analisis yuridis pernyataan pailit terhadap bank dalam uu no. 37 tahun 2004 tentang kepailitan dan...
DESCRIPTION
Permohonan pernyataan pailit terhadap Bank ternyata bisa dilakukan oleh Nasabah Bank, bukan saja Bank Indonesia. Asalkan tahu kapan harus mengajukannya. Belum lagi masalah pada UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU yang masih lemah.TRANSCRIPT
1
ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN PERNYATAAN PAILIT TERHADAP BANK DALAM UNDANG-UNDANG NO. 37 TAHUN 2004
TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG
Oleh :
Agung Yuriandi Medan 2011
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kegiatan ekonomi pada umumnya dilakukan oleh pelaku-pelaku ekonomi
baik orang perorangan yang menjalankan perusahaan atau badan usaha yang
mempunyai kedudukan sebagai badan hukum atau bukan badan hukum. Kegiatan
ekonomi pada hakekatnya adalah kegiatan menjalankan perusahaan yaitu, suatu
kegiatan yang mengandung pengertian bahwa kegiatan yang dimaksud harus
dilakukan :
a. Secara terus menerus dalam pengertian tidak terputus putus
b. Secara terang terangan dalam pengertian yang sah (bukan ilegal);
c. Dan kegiatan tersebut dilakukan dalam rangka memperoleh keuntungan baik
untuk diri sendiri atau orang lain.1
1 Sri Redjeki Hartono, Husni Syawali, dan Neni Sri Imaniyati, Kapita Selekta Hukum
Ekonomi, (Bandung : Mandarmaju, 2000), hal. 4.
2
Kegiatan ekonomi yang terjadi di dalam masyarakat pada hakikatnya
merupakan rangkaian berbagai perbuatan hukum yang luar biasa banyak jenis, ragam,
kualitas dan variasinya yang dilakukan oleh antar pribadi, antar perusahaan, antar
negara dan antar kelompok dalam berbagai volume dengan frekuensi yang tinggi
setiap saat di berbagai tempat. Peranan tersebut baik dalam hal mengumpulkan dana
dari masyarakat maupun menyalurkan dana yang tersedia untuk membiayai kegiatan
perekonomian yang ada. Mengingat dengan semakin tinggi frekuensi kegiatan
ekonomi yang terjadi pada masyarakat tentunya semakin banyak pula kebutuhan akan
dana sebagai salah satu faktor pendorong dalam menggerakkan roda perekonomian.
Seiring pesatnya perkembangan ekonomi dunia telah berdampak pada meningkatnya
transaksi perdagangan antar pelaku usaha, dimana satu pelaku usaha melakukan
usaha atau investasi di beberapa negara berdasarkan hukum negara setempat.2
Sektor perbankan di Indonesia memiliki peran yang sangat strategis dalam
perekonomian, mengingat peranannya sebagai lembaga intermediasi dan penunjang
sistem pembayaran. Terlebih lagi perbankan masih mendominasi sektor keuangan
Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah menaruh perhatian yang besar terhadap
kebijakan pengaturan dan pengawasan bank, apalagi setelah terjadinya krisis
perbankan. Salah satu pelajaran penting yang dapat ditarik dari krisis perbankan
adalah bahwa kegagalan suatu bank, apalagi yang berdampak sistemik,
mengakibatkan tingkat kepercayaan masyarakat kepada sistem perbankan nasional
2 Mustafa Siregar, Efektivitas Perundang-Undangan Perbankan dan Lembaga Keuangan
Lainnya dengan Penelitian di Wilayah Kodya, (Medan : USU, 1990), hal. 1.
3
menjadi sangat menurun, selain itu berakibat pula pada terganggunya kegiatan
perekonomian.3
Berdasarkan Pasal 24 Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia,4 Bank Indonesia adalah otoritas perbankan yang kewenangannya meliputi:
menetapkan peraturan (power to regulate), memberikan dan mencabut izin atas
kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank (power to license),5 melaksanakan
pengawasan bank (power to supervise) dan mengenakan sanksi terhadap bank (power
to impose sanction). Selaku otoritas perbankan, maka kebijakan pengaturan dan
pengawasan bank yang dirumuskan dan diimplementasikan oleh Bank Indonesia
bertujuan untuk mengupayakan terciptanya individual bank yang sehat yang pada
gilirannya mendukung sistem perbankan yang sehat.6 Dengan demikian, ada dua
dimensi yang harus tercakup dalam penyelenggaraan kebijakan perbankan, yaitu
fokus terhadap individu bank dan fokus terhadap sistem perbankan nasional. 7
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepalitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang memberi kewenangan tunggal kepada Bank Indonesia
3 Kelompok Kerja Edukasi Masyarakat di Bidang Perbankan, ”Cetak Biru Edukasi
Masyarakat di Bidang Perbankan”, http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/0906143C-163D-4A02-BC59-C2D6C0E31AE9/903/CetakBiruEdukasiMasyarakatdiBidangKeuangan.pdf., diakses pada 12 Mei 2011.
4 Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843.
5 Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, op.cit., otoritas yang mempunyai power to license adalah Menteri Keuangan.
6 Bagian yang juga sangat penting dalam rangka mengupayakan terciptanya bank dan system perbankan yang sehat adalah kualitas dan integritas pemegang saham pengendali, pengurus, dan pegawai bank, serta iklim usaha yang kondusif. Dalam : Rimsky K. Judisseno, Sistem Moneter dan Perbankan di Indonesia, Cetakan Kedua, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2005).
7 Sistem perbankan dapat diartikan sebagai kumpulan dari lembaga, kegiatan usaha, serta cara dan proses pelaksanaan kegiatan usaha yang memungkinkan bank melaksanakan fungsinya dengan baik. Dalam : Ibid.
4
untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit atas bank sebagai debitor.8
Pengaturan yang demikian ini menunjukkan bahwa pembuat peraturan kepailitan
memberikan perhatian tersendiri bagi bank sebagai debitor dalam pelaksanaan
kepailitan.9
Di dalam Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang disebutkan, di
Penjelasannya, yaitu10 :
“Dalam hal debitor adalah bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia sedangkan bank yang dimaksud adalah bank sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pengajuan permohonan pernyataan pailit bagi bank sepenuhnya merupakan kewenangan Bank Indonesia dan semata-mata didasarkan atas penilaian kondisi keuangan dan kondisi perbankan secara keseluruhan, oleh karena itu tidak perlu dipertanggungjawabkan. Kewenangan Bank Indonesia untuk mengajukan permohonan kepailitan ini tidak menghapuskan kewenangan Bank Indonesia terkait dengan ketentuan mengenai pencabutan izin usaha bank, pembubaran badan hukum, dan likuidasi bank sesuai peraturan perundang-undangan”. Ketentuan bahwa terhadap permohonan Kepailitan bank ternyata tidak secara
serta merta dapat dilakukan oleh kreditor. Sebagai badan usaha yang mempunyai
karakteristik khusus, yaitu selaku intermediary institution yang bekerja dengan dana
8 Pasal 2 ayat (3), Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4443.
9 W.J.S. Poerwadarminta mengatakan bahwa pailit artinya bangkrut; misal perusahaan itu sudah bangkrut dan bangkrut artinya menderita kerugian besar hingga jatuh (perusahaan, toko, dan sebagainya). Dalam : W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1999). Kemudian, John M. Echols dan Hassan Shadily mengatakan bahwa bankrupt artinya bangkrut, pailit dan, bankruptcy artinya kebangkrutan, kepailitan. Lihat juga : John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta : Gramedia, 1979). Selanjutnya, David K. Linnan menamakan kepailitan sebagai liquidation in bankcruptcy. Bandingkan : David K. Linnan, Indonesian Bankcruptcy Policy & Reform: Reconciling Efficiency and Economic Nationalism, (Singapura : Institute of Southeast Asian Studies Singapore, September 1999), hal. 6., Sementara, J. Armour menyebut kepailitan sebagai insolvency. Ia mengatakan: “insolvency means inability to pay creditors”. J. Armour, “The Law and Economics of Corporate Insolvency : A Review”, (Cambridge : ESRC Centre for Business Research University of Cambridge, Maret 2001), hal. 3.
10 Pasal 2 ayat (3) dan Penjelasannya, Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Loc.cit.
5
masyarakat yang disimpan pada bank atas dasar kepercayaan,11 maka prosedur
kepailitan terhadap bank oleh Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dibedakan dari prosedur kepailitan
bagi badan usaha pada umumnya. Kreditor tidak dapat mengajukan permohonan
pailit secara langsung kepada Pengadilan Niaga terhadap debitor yang merupakan
bank. Kreditor tersebut harus mengajukan keinginannya kepada Bank Indonesia dan
hanya Bank Indonesia yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit
terhadap bank dimaksud ke pengadilan niaga.
Dalam Penelitian ini akan di analisis mengenai alasan dibuatnya prosedur
khusus kepailitan bank. Analisis akan difokuskan pada usaha bank karena
mempunyai karakteristik khusus, yaitu selaku intermediary institution,12 sehingga
terpeliharanya kepercayaan masyarakat terhadap bank yang merupakan hal yang
sangat esensial bagi kelangsungan usaha bank harus benar-benar dijaga. Apabila bank
dengan mudah dapat dimohonkan pailit oleh setiap kreditur, maka risikonya sangat
tinggi, karena pengaturan kepailitan yang sederhana terhadap bank akan
mengakibatkan kepercayaan masyarakat terhadap bank bisa menjadi hilang. Dapat
dibayangkan bahwa ketika terdengar kabar suatu bank diajukan untuk dimohonkan
pailit ke Pengadilan Niaga, maka nasabah penyimpan di bank tersebut akan segera
berbondong-bondong antri untuk mengambil simpanannya (rush). Bahkan dampak
lanjutan dari kondisi psikologis masyarakat ini dapat menimbulkan dampak berantai
11 Pasal 29 ayat (3), Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 ttg Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357. Lihat juga : Ross H. Mcleod, Indonesia Assessment 1994 : Finance as a Key Sector in Indonesia’s Development, (Singapura & Australia : Heng Mui Keng Terrace & Australian National University, 1994), hal. 132.
12 Ross H. Mcleod, Ibid.
6
kepada nasabah-nasabah bank lainnya, sehingga pada bank-bank lainnya juga dapat
terjadi rush (contagion effect).
Berdasarkan uraian yang dikemukakan diatas, penelitian ini menjadi penting
sebagai ide perspektif hukum dalam upaya pemikiran yakni menguraikan kekhususan
kepailitan terhadap Bank yang diatur dalam ketentuan kepailitan dikaitkan dengan
fungsi bank dan peran Bank Indonesia dalam pengaturan dan pengawasan Bank
dalam rangka memajukan perekonomian nasional.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi pokok permasalahan
dari penelitian ini, antara lain :
1. Bagaimana kedudukan Bank Indonesia dalam hal pengajuan permohonan
pailit terhadap bank?
2. Bagaimana permasalahan hukum yang dihadapi Bank Indonesia sebagai bank
sentral apabila menerapkan kepailitan pada Bank?
3. Bagaimana mekanisme hukum yang dapat digunakan oleh Kreditor dalam
menyelesaikan piutangnya terhadap Bank?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan utama yang hendak dicapai peneliti dalam melakukan penelitian ini
adalah sebagai berikut :
7
1. Untuk mengetahui dan menganalisis dasar yuridis kedudukan bank berupa
prinsip-prinsip yang menyebabkan hanya Bank Indonesia yang dapat
mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap bank.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis permasalahan hukum yang dihadapi
Bank Indonesia apabila menerapkan kepailitan pada Bank
3. Untuk mengetahui dan menganalisis mekanisme hukum yang dapat digunakan
oleh kreditor dalam menyelesaikan piutangnya terhadap Bank.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat memberi manfaat, yaitu :
1. Kegunaan Teoritis :
a. Sebagai bahan informasi bagi para akademisi maupun sebagai bahan
pertimbangan bagi penelitian selanjutnya, khususnya hukum kepailitan
dan hukum perbankan.
b. Memperkaya khasanah kepustakaan dalam hal literatur mengenai
kepailitan tentang permohonan pailit terhadap Bank yang hanya
dilakukan oleh Bank Indonesia yang masih sedikit.
2. Kegunaan Praktis :
a. Sebagai bahan masukan bagi kalangan terkait yaitu Akademisi, Praktisi
Hukum Bisnis, Lembaga Pemerintah, Institusi Peradilan, dan Bank
Indonesia dalam hal bersinergi dan berkolaborasi untuk menerapkan
dan menegakkan ketentuan peraturan perundang-undangan hukum
8
kepailitan maupun peraturan lainnya yang memiliki relevansi dengan
hukum bisnis di Indonesia.
b. Sebagai bahan masukan bagi masyarakat (sebagai nasabah) agar
memiliki pemahaman terhadap permohonan kepailitan oleh Bank
Indonesia terhadap Bank agar tidak merasa khawatir apabila terjadi
permohonan pailit kepada bank tempat masyarakat menyimpan
uangnya.
E. Keaslian Penelitian
Hasil dari pemeriksaan penulisan tesis dan disertasi di Universitas Sumatera
Utara terdapat 32 (tiga puluh dua) judul yang membahas Kepailitan, namun tidak
terdapat judul penelitian yang membahas Kepailitan terhadap Bank. Berdasarkan
pemeriksaan tersebut maka tesis dengan judul “Analisis Yuridis Permohonan
Pernyataan Pailit Terhadap Bank Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang” belum pernah dilakukan
dalam topik dan permasalahan yang sama. Jadi Penelitian ini dapat disebut asli sesuai
dengan asas-asas keilmuan yaitu, jujur, rasional dan objektif serta terbuka.
Adapun beberapa penelitian yang memiliki karakteristik serupa tapi tidak
sama, antara lain :
1. Berlian Napitupulu, “Analisis Juridis Likuidasi Bank di Indonesia (Studi
Kasus di Kota Medan)”, Tesis yang dibuat di Medan pada Program Magister
Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara tahun 2004. Pada
9
tesis ini membahas mengenai akibat hukum yang timbul jika Undang-Undang
No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang jika diterapkan terhadap bank dan terhadap likuidasi bank;
2. Saraswati Jaya, “Perlindungan Hukum Terhadap Bank Sebagai Kreditor
Pemegang Hak Tanggungan Dalam Penangguhan Eksekusi Jaminan Berkaitan
Dengan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”, Tesis yang dibuat di Medan pada
Program Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara tahun
2010. Pada tesis ini membahas mengenai eksekusi hak tanggungan,
kedudukan kreditur, dan pelaksanaan eksekusi hak tanggungan.
Penulisan penelitian ini memiliki rumusan masalah dan tujuan penelitian yang
berbeda. Begitu juga dengan kajiannya berupa pengajuan permohonan pailit oleh
Bank Indonesia terhadap Bank, permasalahan hukum terhadap Bank Indonesia yang
menerapkan ketentuan kepailitan pada Bank, dan mekanisme hukum yang digunakan
oleh kreditor dalam menyelesaikan piutangnya terhadap bank. Pertanggung jawaban
tersebut dapat berupa isi dan kajian yang dipaparkan dalam penelitian ini.
F. Kerangka Teoritis dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Kewangan Bank Indonesia sebagai institusi yang mempunyai kewenangan
dalam mengajukan kepailitan bank merupakan cerminan dari teori utilitarisme. Teori
10
tersebut untuk pertama kalinya dikembangkan oleh Jeremy Bentham13 (1748-1832)
yang dalam karya tulisannya yang berjudul “An Introduction to the Principles of
Morals and Legislation” menjelaskan bahwa suatu kebijaksanaan atau tindakan
dinilai baik secara moral kalau hanya mendatangkan manfaat bagi orang sebanyak
mungkin.14 Dalam hal ini, utilitarisme sangat menekankan pentingnya konsekuensi
perbuatan dalam menilai baik buruknya. Kualitas moral suatu perbuatan baik
buruknya tergantung pada konsekuensi atau akibat yang dibawakan olehnya. Jika
suatu perbuatan mengakibatkan manfaat paling besar, artinya paling memajukan
kemakmuran, kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat, maka perbuatan itu adalah
baik (the greatest good for the greatest number). Artinya, bahwa hal yang benar di
definisikan sebagai hal yang memaksimalisasi apa yang baik atau meminimalisir apa
yang berbahaya bagi kebanyakan orang.15 Jika perbuatan membawa lebih banyak
kerugian daripada manfaat, perbuatan itu harus dinilai buruk. Konsekuensi perbuatan
tersebut memang menentukan seluruh kualitas moralnya. Perbuatan yang memang
bermaksud baik tetapi tidak menghasilkan apa-apa, menurut utilitarisme tidak pantas
disebut baik.16
13 Jeremy Bentham (1748-1832), karyanya Introduction to the Principles of Morals and
Legislation, pertama kali diterbitkan tahun 1789 adalah karya klasik yang menjadi rujukan (locus classicus) tradisi utilitarian. Utilitarisme berasal dari kata Latin utilis yang berarti “manfaat”. Diktum Bentham yang selalu dikenang, yakni bahwa mereka diharapkan mampu memaksimalkan kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Dalam : Ian Saphiro, Asas Moral dalam Politik, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia bekerjasama dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat Jakarta dan Freedom Institute, 2006), hal. 13.
14 A. Sonny Keraf, Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya, (Yogyakarta : Kanisius, 1998), hal. 93-94.
15 Erni R. Ernawan, Business Ethics : Etika Bisnis, (Bandung : Alfabeta, 2007), hal. 93. 16 K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta : Kanisius, 2000), hal. 67.
11
Moral biasanya mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia. Di
samping itu, moralisme hukum paling baik dipahami sebagai pola alami institusional,
yakni pola dari upaya untuk membuat nilai-nilai menjadi efektif untuk memberikan
arahan bagi tingkah laku manusia. Moral dilegalisasi ketika ideal-ideal kebudayaan
diidentikkan dengan suatu gambaran pasti mengenai tatanan sosial. Sehingga
moralisme hukum bergerak ke arah hukum positif, yakni dengan memasukkan suatu
kecenderungan untuk memberi sanksi ke dalam proses hukum.
Prinsip Utilitarian menyatakan bahwa : ”An action is right from an ethical
point of view if and only if the sum total of utilities produceed by that act is greater
than the sum total of utilities produced by any other act the agent could have
performed in its place”. (Terjemahan bebas : Suatu tindakan dianggap benar dari
sudut pandang etis hanya jika jumlah total utilitas yang dihasilkan dari tindakan
tersebut lebih besar dari jumlah utilitas total yang dihasilkan oleh tindakan lain yang
dilakukan).17 Menurut teori ini sesuatu adalah baik jika membawa manfaat, tapi
manfaat itu harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat
sebagai keseluruhan. Jadi utilitarianisme tidak boleh dimengerti dengan cara egoistis.
Dalam rangka pemikiran utilitarisme kriteria untuk menentukan baik buruknya suatu
perbuatan adalah kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar. Perbuatan yang
mengakibatkan paling banyak orang merasa senang dan puas adalah perbuatan yang
terbaik.18 Hal ini dapat dipahami dari alasan diberikannya kewengan kepada Bank
Indonesia untuk mengajukan kepailitan pada bank untuk melindungi kepentingan
17 Manuel G. Velasquez, Business Ethics : Concepts and Cares (Fifth Edition), (New Jersey :
Pearson Education Inc., 2002), hal. 76 18 K. Bertens, Loc.cit, hal. 66.
12
ekonomi secara makro karena bank merupakan lembaga kepercayaan yang harus
dijaga stabilitasnya oleh Bank Indonesia .
Di berbagai negara, tugas menjaga stabilitas keuangan diemban oleh bank
sentral, dengan dasar bahwa stabilitas moneter hanya dapat dicapai dengan sistem
keuangan yang stabil. Dari sini dapat dilihat sudah seharusnya pemeliharaan stabilitas
moneter dan stabilitas keuangan dilaksanakan secara simultan. Di Indonesia, memang
tidak ada kerangka hukum yang secara formal dan definitif menyatakan bahwa Bank
Indonesia memiliki fungsi dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Namun perlu
diingat, bahwa baik fungsi kestabilan moneter maupun fungsi kestabilan keuangan
akan bermuara pada hal yang sama, yaitu stabilitas harga.19 Dengan demikian, Bank
Indonesia dalam menjalankan fungsi menjaga stabilitas moneter yang diatur secara
eksplisit dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, secara simultan juga turut
menjaga stabilitas keuangan. Atau dapat pula dikatakan bahwa tugas menjaga
stabilitas sistem keuangan menjadi satu dengan tugas menjaga stabilitas sistem
moneter.20
Sejalan dengan berlakunya Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Bank
Indonesia juga telah memasukkan aspek stabilitas sistem keuangan dalam misinya,
yaitu memelihara stabilitas nilai rupiah dengan memelihara stabilitas moneter dan
19 Zulkarnain Sitompul, Perlindungan Dana Nasabah Bank: Suatu Gagasan tentang
Pendirian Lembaga Penjaminan Simpanan di Indonesia, (Jakarta : Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002), hal. 349.
20 Ibid.
13
mendorong stabilitas sistem keuangan untuk pembangunan Indonesia yang
berkelanjutan.21 Sehingga peranan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas keuangan
bukanlah suatu hal untuk diperdebatkan lagi.
Pelaksanaan tugas dan fungsi Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas
keuangan antara lain menjaga stabilitas moneter, menciptakan kinerja lembaga
keuangan yang sehat, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran,
melakukan macroprudential surveillance dan mengembangkan riset untuk
pengembangan instrumen dan indicator macroprudential serta mendeteksi kerentanan
sektor keuangan, serta yang tidak kalah pentingnya adalah melakukan fungsi lender
of the last resort. 22
Sebagai lender of the last resort, bank sentral memilik peranan yang sangat
besar dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Lender of the last of resort
merupakan instrumen pengawasan pada saat krisis, dimana bank sentral dapat
memberikan bantuan kepada bank yang mengalami krisis likuiditas apabila ada
potensi terjadi resiko sistemik.23 Hal ini bertujuan untuk memulihkan kepercayaan
sehingga menciptakan kredibilitas bank, sehingga stabilitas keuangan juga turut
terjaga.
21 Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank Indonesia, “Kerangka Acuan Tugas
Penelitian dan Publikasi: Peran Bank Sentral dalam Stabilitas Sistem Keuangan dan Jaring Pengaman Sektor Keuangan”, (Jakarta : Bank Indonesia, Maret 2009).
22 Ibid. 23 Zulkarrnaen Sitompul, Op.cit., hal. 346. Lihat juga : Tobias M.C. Asser, Legal Aspects of
Regulatory Treatment of Banks in Distress, (Washington DC : International Monetary Fund, 2001), hal. 20.
14
Kita dapat juga mengelaborasi pendapat dari H.L.A. Hart yang membagi
hukum kedalam 2 bentuk.24 Pertama, primary rule, yaitu aturan yang membebankan
kewajiban dan penegakannya tergantung pada penerimaan mayoritas masyarakat.
Kedua, secondary rule, yaitu aturan-aturan yang memberikan kekuasaan. Namun
primary rule memiliki kelemahan-kelemahan berupa ketidakpastian, statis dan tidak
efisien, dan untuk itu adalah menjadi fungsi dari secondary rule untuk menutupi
kekurangan dari primary rule. Secondary rule terdiri atas rules of recognition, rules
of change dan rules of adjudication. Rules of Recognition bertujuan untuk menilai
apakah suatu norma dapat diterima sebagai peraturan atau tidak dalam masyarakat.
Apabila tidak memenuhi rules of recognition ini, maka tidak dapat diterima sebagai
peraturan. Oleh Hart, salah satu kriteria bagi rules of recognition adalah kembali
menguji keabsahannya berdasarkan norma dasar yang berlaku. Apabila suatu norma
yang telah disahkan ternyata bertentangan dengan norma dasar, maka melalui rules of
change, norma itu dapat dicabut dan dapat diganti dengan yang baru.25 Di Indonesia,
hal ini dapat diajukan dengan judicial review melalui Mahkamah Konstitusi.
Dapat disimpulkan bahwa apabila berbagai undang-undang yang mengatur
kewenangan yang sama dari berbagai badan, maka semua undang-undang tersebut
akan dapat diuji keabsahan dan validitasnya sesuai dengan norma dasar yang berlaku.
Dalam hal ini, pengaturan sektor keuangan misalnya, dilihat dari norma dasar, Bank
Indonesia memiliki kekuatan yang sangat kuat dibandingkan dengan badan-badan
24 M.R. Zafer, Jurisprudence: An Outline, (Kuala Lumpur : International Law Book Services,
1994), hal. 17-18. Lihat juga : Hari Chand, Modern Jurisprudence, (Kuala Lumpur : International Law Book Services, 1994), hal. 54.
25 Ibid.
15
pengawas sektor keuangan lain seperti Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM-
LK) dan Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS).26
Bank sentral yang independen dan otonom harus tetap dilihat sebagai bagian
dari cabang kekuasaan eksekutif, namun terpisah untuk menjalankan kebijakannya
yang khusus demi efisiensi, dan lepas dari campur tangannya. Konsep ini dikenal
dengan teori the principal-agent.27 Independensi bank sentral terbatas pada kekuasaan
yang ditentukan oleh undang-undang atau disepakati oleh pemerintah dan parlemen
untuk didelegasikan kepada bank sentral. Dengan demikian, pemisahan adalah
pemisahan fungsi, bukan pemisahan dalam arti politis.28 Namun dari konsep
independensi ini, terutama dengan pendekatan “principal-agent”, masih tersirat kesan
bahwa bank sentral dalam menjalankan tugasnya, dapat sangat dipengaruhi oleh
cabang eksekutif atau pemerintah sebagai principal.
Alan S. Blinder menyatakan bahwa independensi bank sentral dapat berarti 2
(dua) hal. Pertama, bank sentral memiliki kebebasan untuk menentukan bagaimana
untuk mencapai tujuannya. Kedua, keputusan-keputusan yang diambil olehnya sulit
untuk dibatalkan oleh cabang-cabang atau lembaga pemerintahan lainnya.29
Kebebasan dalam menentukan bagaimana untuk mencapai tujuannya bukan berarti
bahwa bank sentral dapat menentukan sendiri tujuannya, karena tujuan bank sentral
secara umum tentu saja ditetapkan melalui legislasi yang disepakati bersama melalui
26 Bismar Nasution, “Aspek Hukum Peran Bank Sentral Dalam Stabilitas Sistem
Keuangan (SSK)”, (Bank Indonesia : Laporan Hasil Penelitian, 2007). 27 Maqdir Ismail, Bank Indonesia : Independensi, Akuntabilitas dan Transparansi, (Jakarta:
Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, 1997), hal.142. 28 Ibid. 29 Alan S. Blinder, Central Banking in Theory and Practice, (Cambridge : The MIT Press,
1998), hal. 54.
16
suatu sistem demokrasi. Tapi yang dimaksud adalah bahwa bank sentral memiliki
diskresi yang luas mengenai bagaimana menggunakan instrumen-instrumennya untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan melalui undang-undang. 30
Lebih jauh lagi, Blinder menegaskan mengapa independensi bank sentral
menjadi begitu penting. Kebijakan moneter menurut Blinder memerlukan yang ia
sebut sebagai long time horizon, atau pandangan yang jauh kedepan.31 Hal ini karena,
pertama, efek-efek yang dihasilkan dari suatu kebijakan moneter, seperti yang terkait
dengan inflasi baru dapat dilihat setelah sekian waktu lamanya, sehingga para
decision makers tidak bisa langsung melihat hasil kerja mereka. Kedua, kebijakan-
kebijakan moneter memiliki karakteristik yang sama seperti halnya aktivitas
investasi, yaitu memerlukan sesuatu dibayar dimuka, dan akan mendapatkan hasil
secara berkala setelah sekian waktu. 32
Teori lain yang akan digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini
adalah teori yang dikemukakan oleh Leonard J. Theberge dalam tulisannya “Law and
Economic Development” berpendapat ada 5 (lima) fungsi atau kualitas hukum dalam
pembangunan ekonomi yaitu 33 :
1. “Predictability; kualitas hukum dapat menciptakan prediktabilitas terhadap perubahan dengan adanya globalisasi dibidang ekonomi, sehingga menjamin adanya kepastian hukum dalam dunia usaha khususnya pengembalian utang atas pemberian pinjaman (investasi).
2. Stability; kualitas hukum untuk menciptakan keseimbangan antara kepentingan para kreditor dan debitor dalam rangka persaingan dalam pengembangan dunia usaha.
30 Ibid. 31 Ibid., hal. 55. 32 Ibid. 33 Leonard J. Theberge, “Law and Economic Development”, dalam “Peranan Hukum dalam
Pembangunan Ekonomi 2”, dikumpulkan oleh : Erman Rajagukguk, (Jakarta : UI,1995), hal. 352
17
3. Fairness; kualitas hukum dalam mengatur prosedur yang menciptakan perlakuan yangsama antara kepentingan pemerintah disatu pihak dan kepentingan masyarakat dunia usaha di pihak lain, sehingga tercapai keadilan atau perlakuan yang seimbang dibidang hukum publik dan bidang hukum perdata.
4. Education; fungsi edukasi melalui program sosialisasi menjelaskan perubahan/perkembangan peraturan perundang-undangan kepada masyarakat.
5. Special development abilities of the lawyer; hukum dapat berperan bilamana tersedia sarjana hukum yang memiliki kemampuan mlihat hubungan hukum dan pembangunan dunia usaha untuk kesejahteraan masyarakat”.
Prediktabilitas (predictability) jika dikaitkan dengan penelitian ini adalah
bahwa Bank Indonesia sebagai otoritas perbankan dalam mengatur bank-bank yang
ada Indonesia harus mengeluarkan peraturan-peraturan yang dapat ditebak.
Maksudnya adalah pengajuan pernyataan pailit oleh Bank Indonesia dilakukan karena
Bank Indonesia adalah bank sentral untuk Indonesia. Jadi, dengan begitu yang
mengatur dan mengawasi kegiatan-kegiatan perbankan antar bank adalah bank
Indonesia. Dengan kata lain, yang dapat memailitkan sebuah bank adalah Bank
Indonesia saja.
Jadi, dari otoritas regulator lembaga perbankan yang mempunyai peraturan
yang bisa ditebak maka selanjutnya peraturan tersebut tidak boleh berubah-ubah.
Dengan demikian, bank-bank yang ada di Indonesia akan dengan mudah
memprediksikan bagaimana pengaturan perbankan ke depannya. Khususnya
mengenai pengaturan pengajuan pernyataan pailit oleh Bank Indonesia kepada Bank.
Tujuannya adalah agar nasabah tidak panik dalam hal ini jika bukan Bank Indonesia
yang mengajukan pailit terhadap bank yang ada, maka sudah dipastikan kondisi
keuangan bank tersebut akan collapse. Inilah yang dihindari oleh Bank Indonesia
sebagai penanggung jawab kelangsungan dunia perbankan.
18
Diharapkan kepada Bank Indonesia agar berlaku adil dalam mengawasi
contohnya dalam pencabutan izin-izin usaha pada Bank. Jika, keadilan hukum
terpenuhi maka dipastikan kepastian hukum akan tercapai. Karena tujuan kepastian
hukum adalah keadilan yang bermanfaat bagi Bank. Dengan perlakuan Bank
Indonesia yang adil maka akan dapat mengembangkan Bank yang ada. Seperti
perlakuan pemberian kredit pada setiap bank yang memohon kepada Bank Indonesia.
Bank Indonesia tidak boleh bersikap subjektif melainkan harus objektif dalam
pengambilan keputusan untuk pemberian kredit pada Bank.
Setelah perlakuan yang adil kepada Bank maka selanjutnya adalah pendidikan
hukum bagi Sumber Daya Manusia (SDM) Bank Indonesia itu sendiri. Pada Bank
Indonesia pastilah memiliki staff karyawan yang bekerja pada institusi tersebut.
Dengan begitu pendidikan hukum kepada setiap staff karyawan dinilai sangat penting
untuk menunjang penerapan stability, predictability, dan fairness. Begitu juga dengan
pendidikan spesialis hukum, dalam hal ini untuk mendukung pendidikan hukum. Jika
pendidikan hukum sudah tercapai maka spesialisasi pendidikan hukum diharapkan
akan ikut tercapai juga. Setelah Sumber Daya Manusia (SDM) diberikan pendidikan
hukum maka pastilah akan menuntut pendalaman kajian hukum, yaitu spesialisasi
terhadap huum. Seperti mengenai spesialisasi hukum asuransi, hukum perbankan, dan
lain sebagainya.
Beralih ke pengajuan pernyataan pailit oleh Bank Indonesia maka tujuan dari
kepailitan adalah untuk melakukan pembagian kekayaan milik debitor kepada para
kreditornya dengan melakukan sitaan bersama dan kekayaan debitor dapat dibagikan
kepada kreditor sesuai dengan haknya. Berkaitan dengan ini berlaku ketentuan Pasal
19
1131 dan Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur dan
memberikan kedudukan para kreditor sebagai kreditor konkuren sehingga boedel
pailit akan dibagikan kepada para kreditor secara seimbang. Selain itu fungsi dari
hukum kepailitan adalah untuk mencegah kreditor melakukan kesewenang-wenangan
untuk memaksa debitor agar membayar utangnya.
Menurut Rudhi Prasetya, adanya lembaga kepailitan berfungsi untuk
mencegah kesewenang-wenangan pihak kreditor yang memaksa dengan berbagai cara
agar debitor membayar utangnya.34 Menurut Radin, dalam bukunya The Nature of
Bankruptcy sebagaimana dikutip oleh Jordan, et.al., tujuan semua peraturan
perundangan tentang kepailitan adalah untuk memberikan suatu forum kolektif untuk
memilah-milah hak-hak dari beberapa penagih terhadap aset seorang debitor yang
tidak cukup nilainya.35
Kepailitan diatur melalui Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Azas yang terkandung
dalamnya, antara lain36 :
1. Azas Keseimbangan adalah azas yang menentukan bahwa ketentuan tersebut
mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan baik
oleh debitor yang tidak jujur maupun oleh oleh kreditor yang tidak beritikad
baik.
34 Rudhi Prasetya, Likuidasi Sukarela Dalam Hukum Kepailitan, Makalah Seminar Hukum
Kebangkrutan, (Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, 1996), hal. 1-2.
35 Bagus Irawan, Aspek-Aspek Hukum Kepailitan; Perusahaan; dan Asuransi, (Bandung : Alumni, 2007), hal. 29.
36 Penjelasan Atas Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Op.cit.
20
2. Azas Kelangsungan mengandung arti bahwa ketentuan tersebut mengatur
kemungkinan perusahaan debitor yang prospektif tetap dilangsungkan.
3. Azas Keadilan mengandung pengertian bahwa ketentuan mengenai kepailitan
dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Azas
keadilan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan
pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing
terhadap debitor, dengan tidak memperdulikan kreditor lainnya.
4. Azas Integritas mengandung pengertian bahwa sistem hukum formil dan
hukum materilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum
perdata dan hukum acara perdata nasional.
2. Kerangka Konsep
Dalam melakukan penelitian tesis ini, perlu dijelaskan beberapa istilah di
bawah ini sebagai definisi operasional dari konsep-konsep yang dipergunakan. Hal ini
digunakan untuk menghindari kesalahan pemahaman terhadap konsep-konsep yang
dipergunakan dalam penelitian ini, maka akan dipaparkan definisi operasional dari
konsepsi yang digunakan, yaitu :
1. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang
pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan
Hakim Pengawas, sebagaimana diatur dalam undang-undang;37
2. Pailit adalah suatu keadaan yang tidak mampu untuk membayar atau dengan
kata lain “ketidakmampuan untuk membayar” dari seorang (debitor) atas
37 Pasal 1 angka 1, Ibid.
21
utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Ketidakmampuan tersebut harus
disertai dengan suatu tindakan nyata untuk mengajukan ke pengadilan, baik
yang dilakukan secara sukarela oleh debitor sendiri maupun atas permintaan
pihak ketiga (di luar debitor), suatu permohonan pernyataan pailit ke
pengadilan;38
3. Bank adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan
atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa
dalam lalu lintas pembayaran;39
4. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) adalah suatu masa yang
diberikan oleh undang-undang melalui putusan hakim niaga dimana masa
tersebut kepada pihak kreditor dan debitor diberikan kesempatan untuk
memusyawarahkan cara-cara pembayaran hutangnya dengan memberikan
rencana pembayaran seluruh atau sebagian utangnya, termasuk apabila perlu
untuk merestrukturisasi hukum tersebut;40
5. Wewenang adalah hak untuk melakukan sesuatu atau memerintah orang lain
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu agar tercapai tujuan tertentu;41
6. Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau
undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan;42
38 Henry Campbell Black and Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary (Standard Edition),
Edisi Kesembilan, (Amerika Serikat : West Group, 2009). 39 Pasal 1 angka 3, Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790.
40 Pasal 222-264, Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Op.cit.
41 Kamus Bahasa Indonesia Online, “Wewenang”, http://kamusbahasaindonesia.org/wewenang., diakses pada 12 Mei 2011.
22
7. Mekanisme Hukum adalah cara kerja peraturan perundang-undangan. Jika
yang satu bergerak maka yang lain ikut bergerak. Atau dengan kata lain
adalah tata cara dari ketentuan yang dibuat oleh penguasa atau otoritas
tertentu;43
8. Bank Indonesia adalah bank sentral Republik Indonesia atau badan hukum
sebagai lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan
Pemerintah dan atau pihak-pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara
tegas diatur dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia;44
9. Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) adalah sistem keuangan yang kuat dan
tahan terhadap berbagai gangguan ekonomi sehingga tetap mampu melakukan
fungsi intermediasi, melaksanakan pembayaran, dan menyebar risiko secara
baik. Atau stabilitas keuangan yang stabil mampu mengalokasikan sumber
dana dan menyerap kejutan (shock) yang terjadi sehingga dapat mencegah
gangguan terhadap kegiatan sektor riil dan sistem keuangan. Dengan kata lain,
dapat dikatakan suatu kondisi dimana mekanisme ekonomi dalam penetapan
harga, alokasi dana dan pengelolaan risiko berfungsi secara baik dan
mendukung pertumbuhan ekonomi;45
42 Pasal 1 ayat (2), Loc.cit. 43 Kamus Bahasa Indonesia Online, “Mekanisme”,
http://kamusbahasaindonesia.org/mekanisme., diakses pada 12 Mei 2011. 44 Pasal 4 ayat (1), (2), (3), Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia,
Op.cit. 45 Bank Indonesia, “Definisi Stabilitas Sistem Keuangan”,
http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Stabilitas+Sistem+Keuangan/Ikhtisar/Definisi+SSK/., diakses pada 12 Mei 2011.
23
10. Bank Bermasalah (problem bank troubled bank) adalah bank yang
mempunyai rasio atau nisbah kredit tidak lancar yang tinggi apabila
dibandingkan dengan modalnya. Arti lain dari bank bermasalah adalah bank
yang dari hasil pemeriksaan nilai CAMEL berada pada posisi empat (kurang
sehat) atau lima (tidak sehat) pada daftar urutan kondisi bank; penilaian
tersebut tidak disebarluaskan ke masyarakat; bank bermasalah akan lebih
sering diperiksa daripada bank yang berkondisi sehat;46
11. Bank Dalam Likuidasi adalah bank yang telah dicabut izin usahanya karena
tidak dapat memenuhi persyaratan yang ditetapkan sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1996 tentang Ketentuan dan Tata
Cara Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran, dan Likuidasi Bank karena
dianggap tidak mungkin diselamatkan lagi meskipun telah dilakukan berbagai
upaya penyehatan (liquidated bank);47
12. Insolvensi adalah suatu keadaan dimana debitur dinyatakan benar-benar tidak
mampu membayar, atau dengan kata lain harta debitur lebih sedikit jumlahnya
dengan hutangnya.48
46 Ralona M., Kamus Istilah Ekonomi Populer, (Jakarta : Gorga Media, 2006), hal. 30. 47 Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1996 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pencabutan Izin
Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3659.
48 Penjelasan Pasal 57 ayat (1), Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Op.cit.
24
G. Metode Penelitian
Penelitian merupakan salah satu cara yang tepat untuk memecahkan masalah,
selain itu penelitian juga dapat digunakan untuk menemukan, mengembangkan dan
menguji kebenaran. Dilaksanakan untuk mengumpulkan data guna memperoleh
pemecahan masalah atau mendapatkan jawaban atas pokok-pokok permasalahan yang
dirumuskan, sehingga diperlukan rencana yang sistematis, metodelogi merupakan
suatu logika yang menjadi dasar suatu penelitian ilmiah. Oleh karenanya pada saat
melakukan penelitian seseorang harus memperhatikan ilmu pengetahuan yang
menjadi induknya.49 Pada penelitian hukum ini, peneliti menjadikan bidang ilmu
hukum sebagai landasan ilmu pengetahuan induknya. Oleh karena itu, maka
penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum.
Menurut Soerjono Soekanto yang dimaksud dengan penelitian hukum adalah
kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu
yang bertujuan untuk mempelajari satu atau segala hukum tertentu dengan jalan
menganalisanya.50 Maka penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan
menggunakan pendekatan juridis normatif. Dengan demikian objek penelitian adalah
norma hukum yang terwujud dalam kaidah-kaidah hukum dibuat dan ditetapkan oleh
pemerintah dalam sejumlah peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang
terkait secara langsung dengan Bank Indonesia. Dalam penelitian hukum juga
dilakukan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta-fakta hukum untuk
49 Soemitro Ronny Hanintijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, (Jakarta : Ghalia
Indonesia, 1998), hal. 9. 50 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia, 1986),
hal. 43.
25
selanjutnya digunakan dalam menjawab permasalahan-permasalahan. Agar mendapat
hasil yang lebih maksimal maka peneliti melakukan penelitian hukum dengan
mengunakan metode-metode sebagai berikut :
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Penelitian mengenai ”Analisis Yuridis Permohonan Pernyataan Pailit
Terhadap Bank Dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang” merupakan penelitian hukum normatif. Penelitian
hukum normatif, yang ditujukan untuk menemukan aturan-aturan hukum pada bidang
Hukum Kepailitan berdasarkan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang dapat memberikan
kejelasan mengenai permohonan pailit terhadap Bank. Selanjutnya karena
kekhususan kepailitan terhadap Bank maka akan dianalisis Undang-Undang No. 3
Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia dan Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perbankan.
Sifat penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis karena penelitian untuk
mengagambarkan dan menganalisa masalah yang ada dan termasuk dalam jenis
penelitian kepustakaan (library research) yang akan disajikan secara deskriptif.
Deskriptif disini ditujukan untuk menggambarkan secara tepat, akurat, dan sistematis
gejala-gejala hukum terkait dengan pernyataan pailit oleh Bank Indonesia kepada bank-
bank umum, konvensional maupun syariah.
26
2. Sumber Bahan Hukum
Penelitian hukum normatif yang menititikberatkan pada studi kepustakaan dan
berdasarkan pada data sekunder, maka sumber bahan hukum yang digunakan dapat
dibagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu :
1. Bahan hukum primer, meliputi seluruh peraturan perundang-undangan yang
relevan dengan permasalahan dan tujuan penelitian, antara lain :
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek);
b. Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;
c. Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia;
d. Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia;
e. Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;
f. Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;
g. Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin
Simpanan;51
h. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;52
51 Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420.
52 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756.
27
i. Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1996 tentang Ketentuan dan Tata
Cara Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank;
j. Putusan Pengadilan Niaga mengenai perkara permohonan pailit
terhadap Bank.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data mempunyai hubungan erat dengan sumber data, karena
dengan pengumpulan data akan diperoleh data yang diperlukan untuk selanjutnya
dianalisis sesuai kehendak yang diharapkan. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam
penelitian ini penulis menggunakan metode pengumpulan data kepustakaan (library
research).53 Studi kepustakaan dipergunakan terutama untuk mengumpulkan data-
data berupa peraturan perundang undang dan kebijakan kebijakan yang dikeluarkan
oleh Bank Indonesia berupa Peraturan Bank Indonesia yang terkait dengan masalah
pengawasan bank.
4. Analisis Data
Analisis data merupakan proses pengorganisasian dan mengurutkan data ke
dalam kategori-kategori dan satuan uraian dasar, sehingga ditemukan tema dan dapat
53 Menurut Bambang Sunggono, studi kepustakaan dapat membantu peneliti dalam berbagai keperluan, misalnya : a) Mendapatkan gambaran atau informasi tentang penelitian yang sejenis dan berkaitan dengan permasalahan yang diteliti; b) Mendapatkan metode, teknik, atau cara pendekatan pemecahan permasalahan yang digunakan; c) Sebagai sumber data sekunder; d) Mengetahui historis dan perspektif dari permasalahan penelitiannya; e) Mendapatkan informasi tentang cara evaluasi atau analisis data yang dapat digunakan; f) Memperkaya ide-ide baru; dan g) Mengetahui siapa saja peneliti lain di bidang yang sama dan siapa pemakai hasil penelitian tersebut, seperti yang dikemukakan Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : Rajawali Press, 2010), hal. 112-113.
28
dirumuskan hipotesis kerja, seperti yang disaran oleh data.54 Analisa data yang akan
dilakukan secara kualitatif.55 Kegiatan ini diharapkan akan dapat memudahkan
penulis dalam menganalisa permasalahan yang diajukan, menafsirkan dan kemudian
menarik kesimpulan. Analisa kualitatif dilakukan terhadap paradigma hubungan
dinamis antara teori, konsep-konsep dan data yang merupakan umpan balik atau
modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang
dikumpulkan. Hal ini dilakukan sehubungan data yang dianalisis beraneka ragam,
memiliki sifat dasar yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Analisis dilakukan secara holistik56 dan integral untuk menemukan hubungan
logis antara berbagai konsep hukum yang sudah ditemukan dengan menggunakan
kerangka teoritis yang relevan. Dalam hal ini yang akan diuji hubungan logisnya
antara lain meliputi hubungan antara Bank Indonesia, Kepailitan, Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, Pengajuan Pernyataan Pailit, dan lain-lain yang
ditemukan dalam penelitian.
Melalui pendekatan holistik dalam ilmu hukum, maka ilmu hukum dapat
menjalankan perkembangannya sebagai suatu ilmu pengetahuan yang lebih utuh dan
tidak terintegrasi ke dalam ilmu-ilmu lain yang nantinya akan berakibat bagi
54 Analisa data menurut Patton adalah proses mengatur urutan data, mengorganisaikan ke
dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar. Analisa berbeda dengan penafsiran yang memberikan arti yangsignifikan terhadap hasil analisis, menjelaskan pola uraian dan mencari hubungan diantara dimensi dimensi uraian. Dalam : Lexy J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2004), hal 280
55 Ibid., hal. 281. 56 Menurut Dilthey, holistik adalah hubungan melingkar antara part (bagian) dan whole
(keseluruhan) sebagai perputaran antara bagian dan keseluruhan dalam memahami sesuatu. Bagian yang satu dapat dipahami apabila direlasikan dengan bagian yang lain sehingga membentuk totalitas atau keseluruhan, dalam Yusran Darmawan, ”Membincang Holistik dalam Antropologi”, http://timurangin.blogspot.com/2009/08/membincang-holistik-dalam-antropologi.html., diakses pada 12 Mei 2011.
29
perkembangan ilmu hukum itu sendiri, oleh sebab itu paradigma tersebut tentunya
akan mengubah peta hukum dan pembelajaran hukum selama ini memandu kita
dalam setiap kajian-kajian ilmu hukum yang lebih baik dalam prinsip keilmuan.57
Pendekatan secara integral maksudnya adalah suatu konsep yang meliputi seluruh
bagian dari Bank Indonesia dan permohonan pernyataan pailit agar menjadikan
sebuah penelitian itu lengkap dan sempurna.58
Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika berfikir
deduktif – induktif yaitu dilakukan dengan teori yang digunakan dijadikan sebagai
titik tolak untuk melakukan penelitian. Deduktif artinya menggunakan teori sebagai
alat, ukuran dan bahkan instrumen untuk membangun hipotesis, sehingga secara tidak
langsung akan menggunakan teori sebagai pisau analisis dalam melihat masalah
dalam kebijakan yang dibuat oleh Bank Indonesia. Teorisasi induktif adalah
menggunakan data sebagai awal pijakan melakukan penelitian, bahkan dalam format
induktif tidak mengenal teorisasi sama sekali artinya teori dan teorisasi bukan hal
yang penting untuk dilakukan. Maka deduktif – induktif adalah penarikan kesimpulan
didasarkan pada teori yang digunakan pada awal penelitian dan data-data yang
didapat sebagai tunjangan pembuktian teori tersebut apakah : 1) hasil-hasil penelitian
ternyata mendukung teori tersebut sehingga hasil penelitian dapat memperkuat teori
yang ada; 2) apakah teori dalam posisi dapat dikritik karena telah mengalami
perubahan-perubahan disebabkan karena waktu yang berbeda, lingkungan yang
57 Satjipto Rahardjo, “Pendekatan Holistik Terhadap Hukum”, (Jurnal Progresif, Vol. 1 No. 2), hal. 5, dalam Ronny Junaidy K., “Ilmu Hukum dalam Perspektif Ilmu Pengetahuan Modern”, http://www.legalitas.org/content/ilmu-hukum-dalam-perspektif-ilmu-pengetahuan-modern., diakses pada 12 Mei 2011.
58 Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, “Integral”, http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php., diakses pada 12 Mei 2011.
30
berbeda, atau fenomena yang telah berubah, untuk itu perlu dikritik dan direvisi teori
yang digunakan tadi; 3) apakah membantah teori yang digunakan untuk penelitian
berdasarkan hasil penelitian, maka semua aspek teori tidak dapat dipertahankan
karena waktu, lingkungan, dan fenomena yang berbeda, dengan demikian teori tidak
dapat dipertahankan atau direvisi lagi, karena itu teori tersebut harus ditolak
kebenarannya dengan menggunakan teori baru.59
59 Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif : Komunikasi Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu
Sosial Lainnya, Edisi I, Cetakan 3, (Jakarta : Kencana, 2009), hal. 26-29.
31
BAB II
KEDUDUKAN BANK INDONESIA DALAM HAL PENGAJUAN PERMOHONAN PAILIT TERHADAP BANK
A. Ketentuan Kedudukan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral
Di berbagai negara, tugas menjaga stabilitas keuangan diemban oleh bank
sentral, dengan dasar bahwa stabilitas moneter hanya dapat dicapai dengan sistem
keuangan yang stabil. Dari sini dapat dilihat sudah seharusnya pemeliharaan stabilitas
moneter dan stabilitas keuangan dilaksanakan secara simultan. Di Indonesia, memang
tidak ada kerangka hukum yang secara formal dan definitif menyatakan bahwa Bank
Indonesia memiliki fungsi dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Namun perlu
diingat, bahwa baik fungsi kestabilan moneter maupun fungsi kestabilan keuangan
bermuara pada hal yang sama, yaitu stabilitas harga.60
Dengan demikian, Bank Indonesia dalam menjalankan fungsi menjaga
stabilitas moneter yang diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang No. 3 Tahun
2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia, secara simultan juga turut menjaga stabilitas keuangan. Atau dapat pula
dikatakan bahwa tugas menjaga stabilitas sistem keuangan menjadi satu dengan tugas
menjaga stabilitas sistem moneter.61 Sejalan dengan berlakunya peraturan Bank
Indonesia, Bank Indonesia juga telah memasukkan aspek stabilitas sistem keuangan
dalam misinya, yaitu memelihara stabilitas nilai rupiah dengan memelihara stabilitas
60 Zulkarnain Sitompul, Op.cit., hal. 349. 61 Ibid.
32
moneter dan mendorong stabilitas sistem keuangan untuk pembangunan Indonesia
yang berkelanjutan.62
Sehingga peranan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas keuangan
bukanlah suatu hal untuk diperdebatkan lagi. Pelaksanaan tugas dan fungsi Bank
Indonesia dalam menjaga stabilitas keuangan antara lain menjaga stabilitas moneter,
menciptakan kinerja lembaga keuangan yang sehat, mengatur dan menjaga
kelancaran sistem pembayaran, melakukan macroprudential surveillance dan
mengembangkan riset untuk pengembangan instrumen dan indicator macroprudential
serta mendeteksi kerentanan sektor keuangan, serta yang tidak kalah pentingnya
adalah melakukan fungsi lender of the last resort.63 Sebagai lender of the last resort,
bank sentral memilik peranan yang sangat besar dalam menjaga stabilitas sistem
keuangan. Lender of the last of resort merupakan instrumen pengawasan pada saat
krisis, dimana bank sentral dapat memberikan bantuan kepada bank yang mengalami
krisis likuiditas apabila ada potensi terjadi resiko sistemik.64 Hal ini bertujuan untuk
memulihkan kepercayaan sehingga menciptakan kredibilitas bank, sehingga stabilitas
keuangan juga turut terjaga.
Sebagai otoritas moneter, perbankan dan sistem pembayaran, tugas utama
Bank Indonesia tidak saja menjaga stabilitas moneter, namun juga stabilitas sistem
keuangan (perbankan dan sistem pembayaran). Keberhasilan Bank Indonesia dalam
menjaga stabilitas moneter tanpa diikuti oleh stabilitas sistem keuangan, tidak akan
62 Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank Indonesia, Op.cit. 63 Ibid. 64 Zulkarrnaen Sitompul, Op.Cit, hal. 346. Lihat juga : Tobias M.C. Asser, Op.cit., hal. 20.
33
banyak artinya dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Stabilitas moneter dan stabilitas keuangan ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat
dipisahkan. Kebijakan moneter memiliki dampak yang signifikan terhadap stabilitas
keuangan begitu pula sebaliknya, stabilitas keuangan merupakan pilar yang
mendasari efektivitas kebijakan moneter. Sistem keuangan merupakan salah satu alur
transmisi kebijakan moneter, sehingga bila terjadi ketidakstabilan sistem keuangan
maka transmisi kebijakan moneter tidak dapat berjalan secara normal. Sebaliknya,
ketidakstabilan moneter secara fundamental akan mempengaruhi stabilitas sistem
keuangan akibat tidak efektifnya fungsi sistem keuangan. Inilah yang menjadi latar
belakang mengapa stabilitas sistem keuangan juga masih merupakan tugas dan
tanggung jawab Bank Indonesia.
Secara konsep istilah ”sentral” dalam ”bank sentral” mengandung pengertian
bahwa bank tersebut mengemban tugas sebagai pelayan publik yang bersifat
memenuhi kepentingan umum (Public Purpose).65 Hal ini memberikan indikasi
bahwa bank sentral tersebut tidak mencari keuntungan, tetapi mempengaruhi pasar
uang dan memberi efek terhadap struktur perbankan pada umumnya.66 Sebagai suatu
lembaga negara yang independen, Bank Indonesia mempunyai otonomi penuh dalam
merumuskan dan melaksanakan setiap tugas dan wewenangnya sebagaimana
ditentukan dalam undang-undang tersebut. Pihak luar tidak dibenarkan mencampuri
pelaksanaan tugas Bank Indonesia, dan Bank Indonesia juga berkewajiban untuk
65 Satjipto Rahardjo, et.al., Bank Indonesia dalam Kilasan Sejarah, (Jakarta : Pustaka LP3ES
Indonesia, 1995), hal. 21. 66 Hendra Nurtjahjo, et.al., Eksistensi Bank Sentral Dalam Konstitusi Berbagai Negara
(Pembahasan Kemandirian Bank Indonesia dalam Perspektif Hukum Tata Negara), (Depok : Pusat Studi Hukum Tata Negara, 2002), hal. 27.
34
menolak atau mengabaikan intervensi dalam bentuk apapun dari pihak manapun juga.
Status dan kedudukan yang khusus tersebut diperlukan agar Bank Indonesia dapat
melaksanakan peran dan fungsinya sebagai otoritas moneter secara lebih efektif dan
efisien.
Sebagai lembaga yang independen, Bank Indonesia mempunyai otonomi
penuh dalam pelaksanaan tugasnya. Secara struktural Bank Indonesia berada diluar
pemerintah sehingga dapat mengeliminir adanya intervensi terhadap pelaksanaan
tugas Bank Indonesia baik yang berasal dari pemerintah maupun pihak lain.67
Bank Indonesia mempunyai satu tujuan tunggal, yaitu mencapai dan memelihara
kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu
kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa, serta kestabilan terhadap mata
uang negara lain.68 Aspek pertama tercermin pada perkembangan laju inflasi,
sementara aspek kedua tercermin pada perkembangan nilai tukar rupiah terhadap
mata uang negara lain. Perumusan tujuan tunggal ini dimaksudkan untuk
memperjelas sasaran yang harus dicapai Bank Indonesia serta batas-batas tanggung
jawabnya. Dengan demikian, tercapai atau tidaknya tujuan Bank Indonesia ini kelak
akan dapat diukur dengan mudah.
67 Barno Sudarwanto, “Mengupayakan Bank Indonesia yang Independen”, 15 Desember
2009, dalam ”Peranan Bank Indonesia Sebagai Last Money Lender”, http://sandipieceofmind.blogspot.com/2010/01/peranan-bank-indonesia-sebagai-last.html., diakses pada 13 Mei 2011.
68 Bank Indonesia, ”Tujuan dan Tugas Bank Indonesia”, http://www.bi.go.id/web/id/Tentang+BI/Fungsi+Bank+Indonesia/Tujuan+dan+Tugas/., diakses pada 13 Mei 2011.
35
Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Indonesia didukung oleh tiga pilar yang
merupakan tiga bidang tugasnya. Ketiga bidang tugas ini, antara lain69 :
1. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter. 2. Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; dan 3. Mengatur dan mengawasi perbankan di Indonesia”.
Ketiganya perlu diintegrasi agar tujuan mencapai dan memelihara kestabilan
nilai rupiah dapat dicapai secara efektif dan efisien. Dalam rangka menetapkan dan
melaksanakan kebijakan moneter Bank Indonesia berwenang untuk70 :
1. ”Kewenangan memberikan izin (right to license), yaitu kewenangan untuk menetapkan tata cara perizinan dan pendirian suatu bank. Cakupan pemberian izin oleh Bank Indonesia meliputi pemberian izin dan pencabutan izin usaha bank, pemberian izin pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor bank, pemberian persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank, pemberian izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu;
2. Kewenangan untuk mengatur (right to regulate), yaitu kewenangan untuk
menetapkan ketentuan yang menyangkut aspek usaha dan kegiatan perbankan dalam rangka menciptakan perbankan sehat yang mampu memenuhi jasa perbankan yang diinginkan masyarakat;
3. Kewenangan untuk mengawasi (right to control), yaitu kewenangan
melakukan pengawasan bank melalui pengawasan langasung (on-site supervision) dan pengawasan tidak langsung (off-site supervision). Pengawasan langsung dapat berupa pemeriksaan umum dan pemeriksaan khusus yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang keadaan keuangan bank dan untuk memantau tingkat kepatuhan bank terhadap peraturan yang berlaku serta untuk mengetahui apakah terdapat praktik-praktik tidak sehat yang membahayakan kelangsungan usaha bank. Pengawasan tidak langsung yaitu pengawasan melalui alat pemantauan seperti laporan berkala yang disampaikan bank, laporan hasil pemeriksaan dan informasi lainnya. Dalam pelaksanaannya, apabila Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan terhadap bank termasuk pihak lain yang meliputi
69 Pasal 8, Undang-Undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Op.cit. 70 Bank Indonesia, “Tujuan Pengaturan dan Pengawasan Bank”,
http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Ikhtisar+Perbankan/Pengaturan+dan+Pengawasan+Bank/Tujuan+dan+Kewenangan/., diakses pada 13 Mei 2011.
36
perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait, pihak terafiliasi dan debitur bank. Bank Indonesia dapat menugasi pihak lain untuk dan atas nama Bank Indonesia melaksanakan tugas pemeriksaan;
4. Kewenangan untuk mengenakan sanksi (right to impose sanction), yaitu
kewenangan untuk menjatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan terhadap bank apabila suatu bank kurang atau tidak memenuhi ketentuan. Tindakan ini mengandung unsur pembinaan agar bank beroperasi sesuai dengan azas perbankan yang sehat”.
Dalam pelaksanaan tugas ini, Bank Indonesia berwenang menetapkan
ketentuan-ketentuan perbankan dengan menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian.
Pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia terhadap bank umum dilaksanakan
secara langsung ataupun tidak langsung. Pengawasan langsung adalah dalam bentuk
pemeriksaan yang disusul dengan tindakan-tindakan perbaikan. Pengawasan tidak
langsung terutama dalam bentuk pengawasan dini melalui penelitian, analisis, dan
evaluasi laporan bank. Berkaitan dengan kewenangan di bidang perizinan, selain
memberikan dan mencabut izin usaha bank, Bank Indonesia juga dapat memberikan
izin pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor bank, memberikan persetujuan
atas kepemilikan dan kepengurusan bank, serta memberikan izin kepada bank untuk
menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu.
Selanjutnya adalah peranan Bank Indonesia dalam memelihara Stabilitas
Sistem Keuangan (SSK). Sebagai bank sentral, Bank Indonesia memiliki 5 (lima)
peran utama dalam menjaga Stabitas Sistem Keuangan (SSK). Kelima peran utama
37
tersebut mencakup kebijakan dan instrumen dalam menjaga stabilitas sistem
keuangan itu, antara lain71 :
1. ”Bank Indonesia memiliki tugas untuk menjaga stabilitas moneter antara lain melalui instrumen suku bunga dalam operasi pasar terbuka. Bank Indonesia dituntut untuk mampu menetapkan kebijakan moneter secara tepat dan berimbang. Hal ini mengingat gangguan stabilitas moneter memiliki dampak langsung terhadap berbagai aspek ekonomi. Kebijakan moneter melalui penerapan suku bunga yang terlalu ketat, akan cenderung bersifat mematikan kegiatan ekonomi. Begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, untuk menciptakan stabilitas moneter, Bank Indonesia telah menerapkan suatu kebijakan yang disebut inflation targeting framework;
2. Bank Indonesia memiliki peran vital dalam menciptakan kinerja lembaga
keuangan yang sehat, khususnya perbankan. Penciptaan kinerja lembaga perbankan seperti itu dilakukan melalui mekanisme pengawasan dan regulasi. Seperti halnya di negara-negara lain, sektor perbankan memiliki pangsa yang dominan dalam sistem keuangan. Oleh sebab itu, kegagalan di sektor ini dapat menimbulkan ketidakstabilan keuangan dan mengganggu perekonomian. Untuk mencegah terjadinya kegagalan tersebut, sistem pengawasan dan kebijakan perbankan yang efektif haruslah ditegakkan. Selain itu, disiplin pasar melalui kewenangan dalam pengawasan dan pembuat kebijakan serta penegakan hukum (law enforcement) harus dijalankan. Bukti yang ada menunjukkan bahwa negara-negara yang menerapkan disiplin pasar, memiliki stabilitas sistem keuangan yang kokoh. Sementara itu, upaya penegakan hukum (law enforcement) dimaksudkan untuk melindungi perbankan dan stakeholder serta sekaligus mendorong kepercayaan terhadap sistem keuangan. Untuk menciptakan stabilitas di sektor perbankan secara berkelanjutan, Bank Indonesia telah menyusun Arsitektur Perbankan Indonesia dan rencana implementasi Basel II;
3. Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk mengatur dan menjaga
kelancaran sistem pembayaran. Bila terjadi gagal bayar (failure to settle) pada salah satu peserta dalam sistem sistem pembayaran, maka akan timbul risiko potensial yang cukup serius dan mengganggu kelancaran sistem pembayaran. Kegagalan tersebut dapat menimbulkan risiko yang bersifat menular (contagion risk) sehingga menimbulkan gangguan yang bersifat sistemik. Bank Indonesia mengembangkan mekanisme dan pengaturan untuk mengurangi risiko dalam sistem pembayaran yang cenderung semakin meningkat. Antara lain dengan menerapkan sistem pembayaran yang bersifat
71 Bank Indonesia, “Peran Bank Indonesia Dalam Stabilitas Keuangan”,
http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Stabilitas+Sistem+Keuangan/Peran+Bank+Indonesia/Peran+ BI/., diakses pada 13 Mei 2011.
38
real time atau dikenal dengan nama sistem RTGS (Real Time Gross Settlement) yang dapat lebih meningkatkan keamanan dan kecepatan sistem pembayaran. Sebagai otoritas dalam sistem pembayaran, Bank Indonesia memiliki informasi dan keahlian untuk mengidentifikasi risiko potensial dalam sistem pembayaran;
4. Melalui fungsinya dalam riset dan pemantauan, Bank Indonesia dapat
mengakses informasi-informasi yang dinilai mengancam stabilitas keuangan. Melalui pemantauan secara macroprudential, Bank Indonesia dapat memonitor kerentanan sektor keuangan dan mendeteksi potensi kejutan (potential shock) yang berdampak pada stabilitas sistem keuangan. Melalui riset, Bank Indonesia dapat mengembangkan instrumen dan indikator macroprudential untuk mendeteksi kerentanan sektor keuangan. Hasil riset dan pemantauan tersebut, selanjutnya akan menjadi rekomendasi bagi otoritas terkait dalam mengambil langkah-langkah yang tepat untuk meredam gangguan dalam sektor keuangan;
5. Bank Indonesia memiliki fungsi sebagai jaring pengaman sistim keuangan
melalui fungsi bank sentral sebagai lender of the last resort (LoLR). Fungsi LoLR merupakan peran tradisional Bank Indonesia sebagai bank sentral dalam mengelola krisis guna menghindari terjadinya ketidakstabilan sistem keuangan. Fungsi sebagai LoLR mencakup penyediaan likuiditas pada kondisi normal maupun krisis. Fungsi ini hanya diberikan kepada bank yang menghadapi masalah likuiditas dan berpotensi memicu terjadinya krisis yang bersifat sistemik. Pada kondisi normal, fungsi LoLR dapat diterapkan pada bank yang mengalami kesulitan likuiditas temporer namun masih memiliki kemampuan untuk membayar kembali. Dalam menjalankan fungsinya sebagai LoLR, Bank Indonesia harus menghindari terjadinya moral hazard. Oleh karena itu, pertimbangan risiko sistemik dan persyaratan yang ketat harus diterapkan dalam penyediaan likuiditas tersebut”.
B. Kewenangan Bank Indonesia dalam Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan
Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) sebenarnya belum memiliki definisi baku
yang telah diterima secara internasional. Oleh karena itu, muncul beberapa definisi
mengenai SSK yang pada intinya mengatakan bahwa suatu sistem keuangan
memasuki tahap tidak stabil pada saat sistem tersebut telah membahayakan dan
39
menghambat kegiatan ekonomi. Di bawah ini dikutip beberapa definisi SSK yang
diambil dari berbagai sumber.72
Menurut Sutton dan Tosovsky, mengatakan bahwa Stabilitas Keuangan
yaitu73 :
”Situasi dimana sistem keuangan dapat : (i) mengalokasikan sumber daya secara efisien ke dalam kegiatan produktif pada waktu yang berbeda-beda; (ii) memprediksi dan mengukur risiko finansial; dan (iii) menyerap shock. Maksud dari ketiga poin tersebut adalah Stabilitas Sistem Keuangan meliputi efisiensi dan ketahanan sistem keuangan yang notabene merupakan suatu konsep yang kompleks. Stabil tidaknya sistem keuangan tidak hanya bergantung pada interaksi yang kompleks antara lembaga keuangan, sektor riil dan pasar keuangan”.
Menurut Crocket, dalam membahas stabilitas keuangan dibedakan menjadi
financial stability dari monetary stability yang mengacu pada stabilitas harga-harga
secara umum (no excessive inflation), yaitu74 :
”Ketidakstabilan keuangan (financial instability) akan memberi dampak negatif pada efektivitas kebijakan moneter (monetary stability) apabila perbankan tidak dapat mentransmisikan kebijakan moneternya dengan baik. Secara teoritis, pada ekonomi tertutup kebijakan moneter memiliki kaitan erat dengan stabilitas keuangan, terutama karena kebijakan moneter yang baik dapat meredam gangguan terhadap ekonomi dan sistem keuangan. Namun dalam perekonomian terbuka, keterkaitan antara stabilitas keuangan dan kebijakan moneter menjadi semakin longgar, terutama karena perekonomian yang terbuka cenderung lebih rentan terhadap berbagai gangguan eksternal. Gangguan tersebut dapat berupa perubahan terms of trade yang menghantam aggregat supply jangka panjang ataupun berupa pembalikan arah arus modal (capital flow reversal) secara besar-besaran yang menghantam sektor finansial. Walaupun demikian, kebijkan moneter yang mampu menunjang stabilitas ekonomi makro dalam suatu perekonomian terbuka kerap kali juga mampu menunjang stabilitas keuangan secara terbatas. Oleh karenanya, upaya yang dilakukan oleh setiap negara untuk mencapai kestabilan makro pada
72 Bank Indonesia, “Definisi Stabilitas Sistem Keuangan”, Op.cit. 73 Sjamsul Arifin, et.al., IMF dan Stabilitas Keuangan Internasional : Suatu Tinjauan Kritis,
(Jakarta : Elex Media Komputindo, 2004), hal. 13. 74 Ibid.
40
hakikatnya merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan antara kestabilan moneter dan kestabilan finansial”.
Arti stabilitas sistem keuangan dapat dipahami dengan melakukan penelitian
terhadap faktor-faktor yang dapat menyebabkan instabilitas di sektor keuangan.
Ketidakstabilan sistem keuangan dapat dipicu oleh berbagai macam penyebab dan
gejolak. Hal ini umumnya merupakan kombinasi antara kegagalan pasar, baik karena
faktor struktural maupun perilaku. Kegagalan pasar itu sendiri dapat bersumber dari
eksternal (internasional) dan internal (domestik). Risiko yang sering menyertai
kegiatan dalam sistem keuangan antara lain risiko kredit, risiko likuiditas, risiko pasar
dan risiko operasional.75
Kecenderungan globalisasi sektor finansial yang didukung oleh
perkembangan teknologi menyebabkan sistem keuangan menjadi semakin terintegrasi
tanpa jeda waktu dan batas wilayah. Selain itu, inovasi produk keuangan semakin
dinamis dan beragam dengan kompleksitas yang semakin tinggi. Berbagai
perkembangan tersebut selain dapat mengakibatkan sumber-sumber pemicu
ketidakstabilan sistem keuangan meningkat dan semakin beragam, juga dapat
mengakibatkan semakin sulitnya mengatasi ketidakstabilan tersebut.76
Identifikasi terhadap sumber ketidakstabilan sistem keuangan umumnya lebih
bersifat forward looking (melihat kedepan). Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui
potensi risiko yang akan timbul serta akan mempengaruhi kondisi sistem keuangan
mendatang. Atas dasar hasil identifikasi tersebut selanjutnya dilakukan analisis
75 Bank Indonesia, “Definisi Stabilitas Sistem Keuangan”, Op.cit. 76 Ibid.
41
sampai seberapa jauh risiko berpotensi menjadi semakin membahayakan, meluas dan
bersifat sistemik sehingga mampu melumpuhkan perekonomian.77
Gambar 1 Hubungan Stabilitas Sistem Kuangan dan Stabilitas Moneter
Sumber : Website Resmi Bank Indonesia, “Definisi Stabilitas Sistem Keuangan”,
http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Stabilitas+Sistem+Keuangan/Ikhtisar/Definisi+SSK/., diakses pada 13 Mei 2011.
Setidaknya, ada dua aspek sumber masalah yang dihadapi bank sebagai unit
usaha bisnis yang tidak terlepas dari berbagai risiko. Kedua aspek itu bisa karena
persoalan di internal bank atau eksternal. Faktor internal bank bisa menjadi sumber
bank mengalami masalah bila bank itu dikelola dengan tidak hati-hati khususnya
dalam manajemen risiko, lemahnya pengendalian internal, campur tangan pemilik
dalam operasional bank atau adanya kesalahan penetapan strategi yang bermuara
bank mengalami kerugian. Sedangkan faktor eksternal bank seperti perubahan
77 Ibid.
42
lingkungan bisnis. Contoh senyatanya adalah krisis moneter yang mendera tahun
2008 hingga memasuki tahun 2009 yang banyak memukul kinerja usaha debitor bank
yang mengalami kesulitan untuk membayar bunga dan pokok kredit mereka. Gagal
bayar debitor bank ini memukul tingkat pendapatan bank dari bunga kredit (fee based
income) dan memaksa bank untuk menyisihkan pencadangan yang menguras
likuiditas hingga struktur permodalan pun terancam melorot.78
Masih banyak faktor eksternal lainnya sangat berpotensi mempengaruhi
kinerja bank. Sebut misalnya, perubahan kebijakan pemerintah. Perubahan kebijakan
yang tak terduga berpeluang besar memukul pemburukan kualitas kredit debitur bank
sehingga mempengaruhi likuiditas bank. Ambil contoh kebijakan Pemerintah
mengurangi pagu ekspor minyak kelapa sawit untuk setiap industri pengolahan
minyak sawit di dalam negeri guna memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Kenyataan
ini sudah barang tentu berpotensi memukul industri sawit dan mengancam kelancaran
pembayaran angsuran kredit ke perbankan. Sebab lain bisa juga karena faktor
perubahan situasi politik dan tingkat persaingan antar bank itu sendiri.79
Masih panjang daftar risiko-risiko yang mesti dipikul perbankan. Sebuah bank
dikatakan bermasalah atau mengalami kegagalan bila sudah tidak mampu lagi
memenuhi kewajiban deposan dan kreditur. Gagal bayar ini bersumber pada
persoalan likuiditas bank. Dalam menjalankan roda bisnis, bank menghimpun dana
78 Wikisource, “Krisis Global dan Penyelamatan Sistem Perbankan Indonesia/Bab 3”,
http://id.wikisource.org/wiki/Krisis_Global_dan_Penyelamatan_Sistem_Perbankan_Indonesia/Bab_3., diakses pada 13 Mei 2011.
79 Ibid.
43
masyarakat dalam bentuk tabungan, deposito dan giro yang umumnya berjangka
waktu pendek (kurang dari setahun).80
Dana yang terkumpul tadi akan dimanfaatkan bank untuk membiayai kredit
korporasi atau penempatan pada instrumen-instrumen investasi lain yang umumnya
berjangka waktu lebih dari setahun. Disinilah bank secara alamiah menghadapi apa
yang disebut maturity gap pada struktur keuangannya. Maksudnya, antara kewajiban
membayar dana nasabah dan hasil penempatan, jatuh temponya tidaklah sama. Sekali
bank gagal memenuhi kewajiban kepada deposan, reputasi bank itu sedang
dipertaruhkan. Bukan tidak mungkin akan mengalami rush oleh nasabah.81
Kalau sudah begini, bank sebesar dan sesehat apapun akan collapse. Dalam
menangani bank bermasalah mestilah dilihat situasi dan kondisi ketika itu. Bila ada
bank bermasalah hingga ditetapkan sebagai bank gagal dan setelah dikaji tidak
berdampak sistemik dalam situasi tidak sedang ada krisis, putusan terang benderang
seperti likuidasi. Selanjutnya tugas Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk
membayar dana masyarakat yang masuk dalam skim penjaminan. Lihat saja ketika
Bank Indonesia menutup Bank IFI atau Uni Bank. Dalam kondisi sedang tidak ada
krisis, penutupan bank-bank tersebut berjalan secara alamiah tanpa menimbulkan
goncangan psikologi massa nasabah bank.82
Namun sebaliknya, ketika ada bank bermasalah dalam situasi krisis (moneter
atau ekonomi), jelaslah pendekatan dan penanganan menjadi berbeda. Hal itu arena
ada krisis yang berpotensi mengoyak psikologi pasar yang berdampak ikut (baca :
80 Ibid. 81 Ibid. 82 Ibid.
44
sistemik) merontokkan bank-bank lainnya, misalnya penyelamatan Bank Century.
Selanjutnya Bank yang tergolong kecil yang bermasalah dalam hal likuiditasnya ini
dalam kondisi normal akan divonis mati alias likuidasi karena kecil saja peran bank
ini terhadap totalitas sistem perbankan. Dalam kondisi yang sedang tak normal didera
krisis, bukan lagi faktor-faktor kuantitatif yang dominan akan menjadi bahan
pertimbangan mengambil keputusan (judgement). Tapi unsur kualitatif atau
judgement yang mempertimbangkan dengan cermat dampak psikologi pasar.
Memang haruslah diakui, wilayah ini adalah debatable. Tapi, kalau belajar dari krisis
moneter tahun 1997/1998, bukankah faktor psikologi pasar yang merontokkan
perbankan nasional hingga harus direkapitalisasi dana triliunan rupiah.83
C. Kriteria Tingkat Kesehatan Bank
Dalam rangka menjalankan tugas pengawasannya, Bank Indonesia
menetapkan beberapa jenis pengawasan yang didasarkan atas analisis terhadap
kondisi suatu bank tertentu, yaitu84 :
1. Pengawasan Normal (Rutin) 2. Pengawasan Intensif (Intensive Supervision) 3. Pengawasan Khusus (Special Surveillance). Dalam prakteknya, Bank Indonesia juga tetap mengawasi Bank Dalam
Penyehatan (BDP), dan memantau penyelesaian kewajiban dari Bank Beku Kegiatan
83 Ibid. 84 Bank Indonesia, “Bank Dalam Pengawasan Khusus (Special Surveillance)”,
http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Bank+dalam+Pengawasan+Khusus/., diakses pada 13 Mei 2011.
45
Usaha (BBKU), serta Bank Dalam Likuidasi (BDL) yang ditetapkan oleh peraturan
dan perundang-undangan yang berlaku. Dalam menjalankan strategi pengawasan
tersebut di atas, pendekatan pengawasan yang dilakukan terbagi atas 2 (dua) jenis
kegiatan yaitu pengawasan tidak langsung (off site supervision) dan pengawasan
langsung (on site examination). Secara ringkas, pengawasan tidak langsung
merupakan tindakan pengawasan dan analisis yang dilakukan berdasarkan laporan
berkala (regulatory reports) yang disampaikan oleh Bank, informasi dalam bentuk
komunikasi lain serta informasi dari pihak lain. Sementara itu, pengawasan langsung
dilakukan dengan cara melakukan pemeriksaan pada Bank untuk meneliti dan
mengevaluasi tingkat kepatuhan Bank terhadap ketentuan yang berlaku. Termasuk
dalam kedua jenis pengawasan tersebut di atas analisis kondisi Bank, saat ini dan di
waktu yang akan datang (forward looking).85
1. Bank Dalam Pengawasan Normal
Pengawasan intensif terhadap Bank yang memenuhi kriteria tidak memiliki
potensi atau tidak membahayakan kelangsungan usahanya. Umumnya, frekuensi
pengawasan dan pemantauan kondisi Bank dilakukan secara normal sedangkan
pemeriksaan terhadap jenis Bank ini dilakukan secara berkala atau sekurang-
kurangnya setahun sekali.86
85 Ibid. 86 Ibid.
46
2. Bank Dalam Pengawasan Intensif
Pengawasan intensif ini dilakukan Bank yang memenuhi dan memiliki potensi
kesulitan yang dapat membahayakan kelangsungan usahanya. Langkah-langkah yang
dilakukan Bank Indonesia pada Bank dengan status ini, antara lain87 :
1. Meminta Bank untuk melaporkan hal-hal tertentu kepada Bank Indonesia;
2. Melakukan peningkatan frekuensi pengkinian dan penilaian rencana kerja
dengan penyesuaian terhadap sasaran yang akan dicapai;
3. Meminta Bank untuk menyusun rencana tindakan sesuai dengan
permasalahan yang dihadapi;
4. Menempatkan pengawasan dan atau pemeriksaan Bank Indonesia pada
Bank, apabila diperlukan.
Bagi Bank dalam Pengawasan Intensif yang tidak menghasilkan perbaikan
kondisi keuangan dan manajerial dan berdasarkan analisis Bank Indonesia diketahui
bahwa Bank tersebut dapat diklasifikasikan sebagai Bank yang memiliki kesulitan
yang dapat membahayakan kelangsungan usahanya, maka Bank tersebut ditetapkan
sebagai Bank dengan status Pengawasan Khusus. Di samping itu, apabila diperlukan,
intensitas pemeriksaan langsung pada Bank pada umumnya meningkat terutama
dalam rangka memantau perkembangan kinerja berdasarkan komitmen dan rencana
perbaikan yang disampaikan manajemen Bank kepada Bank Indonesia.88
87 Ibid. 88 Ibid.
47
2. Bank Dalam Pengawasan Khusus
Pengawasan terhadap bank yang dinilai mengalami kesulitan yang
membahayakan kelangsungan usahanya. Terhadap Bank dengan status Pengawasan
Khusus ini maka beberapa tindakan Bank Indonesia yang diambil, antara lain89 :
1. Memerintahkan Bank dan atau pemegang saham Bank untuk mengajukan
rencana perbaikan permodalan (capital restoration plan) secara tertulis
kepada Bank Indonesia.
2. Memerintahkan Bank untuk memenuhi kewajiban melaksanakan tindakan
perbaikan (mandatory supervisory actions).
3. Memerintahkan Bank dan atau pemegang saham Bank untuk melakukan
tindakan antara lain:
a. mengganti dewan komisaris dan atau direksi Bank;
b. menghapusbukukan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah yang tergolong macet dan memperhitungkan kerugian
Bank dengan modal Bank;
c. melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain;
d. menjual Bank kepada pembeli yang bersedia mengambil alih
seluruh kewajiban Bank;
e. menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan Bank
kepada pihak lain;
f. menjual sebagian atau seluruh harta dan atau kewajiban Bank
kepada bank atau pihak lain; dan atau
89 Ibid.
48
g. membekukan kegiatan usaha tertentu Bank.
Adapun larangan dan pembatasan bagi Bank dalam Pengawasan Khusus,
antara lain90 :
1. Bank dilarang melakukan pembayaran distribusi modal (pembagian
deviden atau pemberian bonus);
2. Bank dilarang melakukan transaksi dengan pihak terkait atau pihak lain
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
3. Bank dikenakan pembatasan pertumbuhan aset;
4. Bank dilarang melakukan pembayaran terhadap pinjaman subordinasi; dan
5. Bank dikenakan pembatasan kompensasi kepada pihak terkait.
Selain tindakan perbaikan Bank yang diwajibkan tersebut, Bank Indonesia
juga Bank yang telah ditetapkan dengan status Bank dalam Pengawasan Khusus pada
homepage Bank Indonesia. Sebaliknya, dalam rangka keseimbangan informasi
kepada publik, maka apabila kondisi Bank membaik dan tidak terkategori sebagai
Bank dalam Pengawasan Khusus, maka Bank Indonesia juga akan
mengumumkannya. Jangka waktu Bank dengan status Pengawasan Khusus adalah
paling lama tiga bulan bagi Bank yang tidak terdaftar pada Pasar Modal atau enam
bulan bagi Bank yang terdaftar pada Pasar Modal (listed Banks). Jangka waktu
tersebut dapat diperpanjang dan perpanjangan dapat diberikan maksimal satu kali dan
paling lama tiga bulan. Pertimbangan perpanjangan tersebut terutama yang berkaitan
dengan proses hukum yang diperlukan antara lain perubahan anggaran dasar,
90 Ibid.
49
pengalihan hak kepemilikan, proses perizinan, dan proses kaji tuntas oleh investor
baru (due diligence).91
Pada umumnya frekuensi dan intensitas pengawasan dan pemeriksaan
meningkat terutama dalam rangka memantau perkembangan kinerja dan komitmen
serta kewajiban Bank yang diperintahkan oleh Bank Indonesia. Selanjutnya
berdasarkan analisis dan pemantauan dimaksud, apabila diketahui bahwa kondisi
Bank semakin memburuk, maka terdapat dua alternatif resolusi Bank dimaksud, yaitu
Bank diserahkan kepada BPPN dengan status Bank Dalam Penyehatan (BDP) atau
Bank Beku Kegiatan Usaha.
a. Bank Dalam Penyehatan (BDP)
Bank dapat ditetapkan dengan status Bank Dalam Penyehatan apabila Bank
tersebut dinilai masih memiliki potensi untuk dapat diperbaiki terutama dari aspek
permodalan. Selama proses penyehatan Bank oleh BPPN, komunikasi dan kerjasama
antara Bank Indonesia dengan BPPN intensif dilakukan terutama yang berkaitan
dengan perkembangan indikator utama kinerja Bank, antara lain kinerja permodalan,
rasio likuiditas (Giro Wajib Minimum), non-performing loan, ketentuan prudensial
(BMPK, PDN, PPAP), dan indikasi pencapaian rencana kerja. Apabila kondisi
membaik dan program penyehatan telah selesai dilakukan atau dinyatakan berhasil,
maka status BDP dicabut dan Bank diserahkan kembali kepada Bank Indonesia untuk
91 Ibid.
50
dilakukan pengawasan yang diperlukan. Sebaliknya, apabila kondisi Bank semakin
memburuk, status BDP dapat berubah menjadi Bank Beku Kegiatan Usaha.92
b. Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU)
Bank ditetapkan dengan status Bank Beku Kegiatan Usaha apabila Bank
memenuhi persyaratan bahwa kondisi Bank menurun sangat tajam atau program
penyehatan BPPN atas Bank Dalam Penyehatan (BDP) tidak dapat diselesaikan oleh
Bank dalam jangka waktu yang disepakati atau berdasarkan pertimbangan BPPN,
program penyehatan tidak dapat dilaksanakan meskipun jangka waktu yang
disepakati belum terlampaui. Selanjutnya dalam hal BPPN telah selesai
melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk penyelesaian Bank dengan
status BBKU, penyelesaian berikutnya dilakukan tahapan-tahapan pencabutan izin
usaha, pembubaran badan hukum, serta likuidasi Bank.93
4. Penanganan Bank Gagal
Kegagalan sebuah bank secara realistis harus dijadikan suatu risiko yang
terukur dan rasional. Artinya sejak awal harus disadari bahwa peluang gagalnya
suatu bank harus diperhitungkan sekecil apapun peluangnya. Dengan demikian dapat
dilakukan pencadangan sumber dananya agar penanganan bank gagal menjadi lebih
terorganisir dengan baik dan dapat dipertanggung jawabkan. Tentunya sulit diterima
oleh semua pihak kalau dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) akan
92 Ibid. 93 Ibid.
51
dialokasikan sejumlah dana pencadangan untuk mengatasi bank gagal. Oleh sebab
itu, diperlukan pendekatan dan penanganan khusus oleh suatu lembaga yang khusus
juga.94
Disinilah dikeluarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS) pada tanggal 22 September 2004 atas dasar persetujuan
bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden. LPS adalah sebuah lembaga
yang independen diberi tugas dan wewenang untuk melaksanakan program dimaksud.
Di dalam ketentuan ini ditetapkan penjaminan simpanan nasabah Bank yang
diharapkan dapat memelihara kepercayaan masyarakat terhaap industri perbankan
dan dapat meminimumkan risiko yang membebani anggaran negara atau risiko yang
menimbulkan moral hazard.95
Penjaminan simpanan nasabah Bank tersebut diselenggarakan oleh LPS,
fungsi LPS adalah menjamin simpanan nasabah Bank dan melakukan penyelesaian
atau penanganan bank gagal (likuidasi bank). Penjaminan simpanan nasabah Bank
yang dilakukan LPS bersifat terbatas, tetapi dapat mencakup sebanyak-banyaknya
nasabah. Setiap bank yang menjalankan usahanya di Indonesia diwajibkan untuk
menjadi peserta yang membayar premi penjaminan. LPS melakukan tindakan
penyelesaian atau penanganan Bank yang mengalami kesulitan keuangan dalam
kerangka mekanisme kerja yang terpadu, efisien dan efektif untuk menciptakan
ketahanan sektor keuangan Indonesia atau disebut : Indonesia Financial Safety Net
94 Krisna Wijaya, “Penanganan Bank Gagal”,
http://www.lps.go.id/v2/home.php?link=publikasi&pub_id=35., diakses pada 13 Mei 2011. 95 Soetanto Hadinoto, Bank Strategy on Funding and Liability Management, (Jakarta : Elex
Media Komputindo, 2008), hal. 201.
52
(IFSN) bersama Menteri Keuangan, Bank Indonesia, Lembaga Pengawas Perbankan
(LPP) menjadi anggota Komite Koordinasi.96
Tindakan penyelesaian atau penanganan Bank gagal oleh LPS didahului
berbagai tindakan lain oleh Bank Indonesia dan LPP sesuai peraturan perundang-
undangan. Bank Indonesia melalui mekanisme sistem pembayaran, akan mendeteksi
kesulitan tersebut dan berupaya mengatasi dan menjalankan fungsi pengawasannya,
antara lain berupa tindakan agar pemilik Bank menambah modal atau menjual Bank,
atau agar Bank melakukan merger atau konsolidasi dengan Bank lain. Apabila
kondisi Bank yang mengalami kesulitan keuangan tersebut semakin memburuk,
antara lain ditandai dengan menurunnya tingkat solvabilitas Bank, tindakan
penyelesaian dan penanganan lain harus segera dilakukan. Dalam keadaan ini,
penyelesaian dan penanganan Bank gagal diserahkan kepada LPS yang akan bekerja
setelah terlebih dahulu mempertimbangkan perkiraan dampak pencabutan izin usaha
Bank terhadap perekonomian nasional.97
Dalam hal pencabutan izin usaha Bank diperkirakan memiliki dampak
terhadap perekonomian nasional, tindakan penagangan yang dilakukan LPS yang
didasarkan pada keputusan Komite Koordinasi. Mengingat fungsinya yang sangat
penting, LPS harus independen, transparan, dan akuntabel dalam menjalankan tugas
dan wewenangnya. Karena itu, status hukum, governance, pengelolaan kekayaan dan
kewajiban pelaporan dan akuntabilitas LPS serta hubungannya dengan organisasi
96 Ibid., hal. 201-202. 97 Ibid., hal. 202.
53
lain, diatur sercara jelas dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga
Penjaminan Simpanan (LPS).98
Keberadaan LPS terlanjur dipahami hanya sekedar menjalankan fungsi
penjaminan simpanan masyarakat yang menabung di bank. Masih banyak yang belum
mengetahui bahwa salah satu tugas strategis LPS diluar penjaminan simpanan
adalah penanganan bank gagal dan melaksanakan proses dan penyelesaian likuidasi
bank. Bank gagal yang akan ditangani LPS adalah bank gagal yang berdampak
sistemik dan tidak sistemik. Pengertian sistemik adalah apabila kegagalan bank akan
berdampak luar biasa baik dalam penarikan dana (rush) maupun terhadap kelancaran
dan kelangsungan roda perekonomian. Sementara yang tidak sistemik tentunya
apabila tidak memenuhi kriteria tersebut diatas.99
Dalam menangani bank gagal yang sistemik maupun tidak pihak LPS akan
melakukan kajian dan memutuskan apakah akan diselamatkan atau tidak. Jika biaya
penyelamatan jauh lebih mahal dari pada dengan menglikuidasi, maka
penyelesaiannya singkat saja. Bank diusulkan dicabut ijin usahanya, kemudian
dilikuidasi dan LPS membayar klaim atas simpanan masyarakat. Apabila LPS
memutuskan untuk melakukan penyelamatan, maka ada perbedaan perlakuan antara
penyelamatan bank gagal sistemik dan tidak sistemik. Untuk bank gagal tidak
sistemik penyelamatan tidak mengikutsertakan pemegang saham lama. Artinya segala
biaya yang timbul untuk penyelamatan akan menjadi disediakan oleh pihak LPS.100
98 Ibid. 99 Krisna Wijaya, “Penanganan Bank Gagal”, Op.cit. 100 Ibid.
54
Untuk bank gagal sistemik dapat dilakukan baik tanpa melibatkan pemegang
saham lama maupun dengan cara melibatkan pemegang saham lama (open bank
assistance). Dalam hal pemegang saham lama akan terlibat dalam penyelematan,
maka diwajibkan menyetor minimal 20% dari total biaya penyelamatan. Sama seperti
bank gagal sistemik, maka kekurangannya akan ditangani LPS. Untuk penanganan
bank gagal dengan skim apapun, pihak LPS berdasarkan UU No.24/2004 diberikan
kewenangan yang sangat memadai. Kewenangan RUPS dan pengelolaan bank gagal
sepenuhnya diserahkan kepada LPS sehingga program penyelamatan dapat dilakukan
lebih efektif. Termasuk dalam kewenangan yang diberikan kepada LPS adalah untuk
melakukan penyertaan sementara, melakukan merger dan konsolidasi dengan bank
lain.101
Sekalipun diperbolehkan melakukan penyelamatan, bukan berarti dana
“talangan” dari LPS akan hilang. Semua biaya yang timbul akibat melakukan
penyelamatan suatu bank akan diperhitungkan sebagai penyertaan sementara. Jangka
waktu penyertaan LPS dibatasi dan harus menjual kembali sahamnya maksimal 2-3
tahun sejak penyelamatan dilakukan. Dalam hal suatu bank pada akhirnya harus
dilikuidasi, maka hasil penjualan aset bank terlikuidasi akan didistribusikan secara
prioritas untuk biaya gaji dan pesangon pegawai, biaya operasional dan biaya-biaya
yang telah dikeluarkan oleh LPS. Apabila hasil penjualan aset masih belum
mencukupi, maka sisanya akan tetap menjadi kewajiban pihak pemegang saham
lama.102
101 Ibid. 102 Ibid.
55
Tabel 1. Mekanisme Pengambilan Keputusan untuk Pencegahan dan Penanganan Krisis
Sumber : Wikisource, “Krisis Global dan Penyelamatan Sistem Perbankan Indonesia/Bab 3”,
http://id.wikisource.org/wiki/Krisis_Global_dan_Penyelamatan_Sistem_Perbankan_Indonesia/Bab_3., diakses pada 13 Mei 2011.
Dari skim penanganan bank gagal oleh LPS sebagaimana telah diuraikan
diatas, dapat disimpulkan bahwa apabila terjadi kegagalan bank secara sistem telah
ada mekanisme penyelesaian yang lebih pasti dan terstruktur. Disamping itu ada
sangsi yang jelas dan tegas kepada pemegang saham yang mengakibatkan banknya
gagal. Hal tersebut tentunya akan memberikan suatu perlindungan yang lebih
memadai baik bagi masyarakat maupun pemerintah. Sekalipun demikian harus tetap
disadari bahwa keberadaan LPS belum bisa membebaskan beban pemerintah. Sebab
apabila kemampuan LPS baik dari modal, akumulasi premi dan cadangan serta
surplus usaha tidak mencukupi, maka kekurangannya akan tetap dimintakan kepada
56
pemerintah. Kalau dilihat bahwa kemungkinan itu ada, maka LPS memang bukan
dewa penyelamat yang handal.103
Pada akhirnya harus diyakini bahwa penanganan bank gagal yang paling
ampuh dan mujarab adalah apabila bank yang ada selalu sehat. Mungkin ada yang
berpendapat gagal tidaknya suatu bank tergantung kepada unsur pengawasannya.
Kesan itu tidak salah tetapi juga tidak selalu benar. Sebab dalam keseharian yang
menentukan sehat tidaknya bank kembali kepada pengelola dan pemiliknya. Sebagai
langkah antisipasi kedepan, tentu ada baiknya dicarikan suatu pendekatan yang lebih
komprhensif dalam rangka menumbuh-kembangkan perbankan yang kuat sekaligus
sehat. Ada pendekatan yang ideal dan perlu dikaji lebih lanjut. Biarkan BI fokus pada
pengelolaan monoter dan regulator, lalu OJK (Otoritas Jasa Keuangan) fokus kepada
pengawasan dan LPS dalam penanganan bank gagal. Jadi akan ada segitiga
pengaman untuk perbankan nasional yang lebih terstruktur sekaligus terukur.104
R. G. Hawtrey (The Art of Central Banking, 1932) berpendapat bank sentral
adalah suatu bank yang berperan sebagai sumber pinjaman terakhir bagi bank-bank
(lender of the last resort) dan untuk mendukung peranan tersebut, bank sentral juga
harus mempunyai hak untuk menerbitkan uang kertas bank sebagai sumber dari
perolehan dana bank sentral itu dalam pemberian jaminan.105 Vera Smith (Rational of
Central Banking, 1936) menyatakan bahwa suatu bank dikatakan sebagai bank sentral
apabila bank tersebut berperan sebagai pencetak dan pengedar uang kertas dengan
103 Ibid. 104 Ibid. 105 R.G. Hawtrey, The Art of Central Banking, 2nd Edition, (Amerika Serikat : Frank Cass
Publisher, 1970).
57
hak monopoli dari pemerintah (the bank of issue). Kisch dan Elkin berpendapat
bahwa bank sentral adalah suatu bank yang memiliki ciri yang paling hakiki, yaitu
sebagai pemelihara stabilitas moneter yang baku yang mendukung kontrol terhadap
peredaran moneter.106
Salah satu fungsi Bank Indonesia yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan adalah mengatur dan mengawasi bank umum di Indonesia. Bank-bank
umum di bawah pengendalian dan pengawasan Bank Indonesia, beserta dengan Bank
Indonesia itu sendiri, membentuk sistem moneter nasional. Sistem moneter ini juga
melibatkan lembaga-lembaga keuangan non-bank. Bank Indonesia mempunyai
kewajiban untuk menjaga kestabilan sistem moneter nasional. Bank Indonesia dalam
menjaga kestabilan moneter nasional berwenang untuk menjaga dan memelihara
cadangan kas-kas bank komersial.107
Dalam hal ini bank komersial diwajibkan untuk menyimpan suatu jumlah
minimum tertentu (reserve requirement) pada bank sentral. Penyimpanan cadangan
ini bisa berupa uang kertas maupun surat berharga. Bank Indonesia juga berwenang
untuk Menyelenggarakan kegiatan kliring di antara bank-bank. Kliring (clearing)
adalah sarana perhitungan market antar bank yang dilaksanakan oleh bank sentral
guna memperluas dan memperlancar lalu lintas pembayaran giral dalam suatu
wilayah kliring.108
106 Vera Constance Smith, The Rationale of Central Banking and the Free Banking
Alternative, (London : PS King and Sons, 1936). 107 Pamela Romauli Tampubolon, “Perubahan Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank
Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing Dikaitkan Dengan Penyaluran Kredit Bank”, (Tesis : Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2009).
108 Ibid.
58
Bank Indonesia sebagai bank sentral juga diberi fungsi dan wewenang untuk
membina dan mengawasi kegiatan perbankan sebagai lembaga perantara keuangan
(financial intermediary). Dalam menjalankan fungsinya itu, bank sentral mempunyai
peranan khusus dalam sistem moneter sebagai sumber peminjaman bagi bank-bank
(the banker’s bank) dan sumber terakhir bagi bank-bank untuk mendapatkan
pinjaman ketika bank yang bersangkutan sedang mengalami kesulitan likiuiditas
(lender of the last resort). Dalam fungsinya ini, bank sentral sekaligus juga berperan
dalam mengembangkan sistem perkreditan yang sehat.109 Bank Indonesia membantu
manakala suatu bank gagal untuk memenuhi Giro wajib Minimum (GWM).
Semua fungsi dan wewenang ini dijalankan oleh Bank Indonesia dalam
rangka menjami terciptanya kondisi perbankan yang sehat. Perbankan yang sehat
menurut Manuel Guitian hanya dapat tercipta melalui pengawsan dan pengaturan
yang ketat. Isu kesehatan perbankan menjadi isu sentral manakala krisis perbankan
melanda dunia. Perbaikan sistem pembayaran dan restrukturisasi perbankan menjadi
permasalahan utama dalam menjaga fungsi perbankan pada umumnya. Tingkat
kesehatan suatu bank dapat diukur dari Cash Ratio (CAR).110 Aset yang dimiliki oleh
bank tersebut, pengelolaan bank, pendapatan, dan tingkat likuiditas, rentabilitas,
solvabilitas, dan aspek-aspek lain yang berhubungan dengan bank. Bank juga
109 Satjipto Rahardjo, et.al, Op.cit, hal. 21. 110 Cash Ratio adalah rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga yang dihimpun dan harus
segera dibayar oleh pihak bank. Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan bank dalam membayar kembali simpanan nasabah pada saat ditarik menggunakan alat likuid yang dimilkinya. Alat likuid, menurut ketentuan Bank Indonesia, terdiri dari uang kas ditambah dengan rekening giro bank yang disimpan di Bank Indonesia. Dalam : Steven M. Bragg, Business Ratios and Formulas : A Comprehensive Guide, Second Edition, (Amerika Serikat : John Wiley & Sons Inc., 2010).
59
diwajibkan untuk menjaga kesehatannya sendiri dengan cara melaksanakan kegiatan
usahanya dengan prinsip kehati-hatian.111
D. Kewenangan Bank Indonesia Dalam Kepailitan Bank
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, menyatakan bahwa hanya Bank Indonesia yang dapat
mengajukan permohonan pailit terhadap debitur yang merupakan Bank, menurut
Sutan Remy Sjahdeini merupakan standard ganda (double standard).112 Menurut
Sutan Remy Sjahdeini, ketentuan ini telah merampas hak kreditur dari suatu bank.
Kreditur bank justru pada umumnya adalah juga bank, bahkan sering terdiri dari
banyak sekali bank, yang memberikan fasilitas kepada bank itu melalui interbank
money market. Bank sebagai kreditur dalam menghadapi debitur non bank adalah
mandiri menjalankan haknya untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit, tetapi
apabila bank sebagai kreditur menghadapi debitur yang merupakan bank, haknya
untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit itu hilang karena ketentuan Undang-
Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang tentang
Kepailitan Menjadi Undang-Undang tersebut.113
111 Manuel Guitián, and Discretion in International Economic Policy, Occasional Paper,
(Washington DC : International Monetary Fund, Juni 1992). 112 Sutan Remy Syahdeini, Undang-Undang Kepailitan : Dalam Persfektif Hukum, Politik
dan Ekonomi, Makalah disajikan pada 7 Mei 1998 di Jakarta, hal. 6., sebagaimana dikutip Habiba Hanum, “Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan”, (Tesis : Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2007), hal. 48.
113 Ibid, hal. 48.
60
Selanjutnya Sutan Remy Sjahdeini mengemukakan bahwa untuk mengajukan
permohonan pernyataan pailit dan memberikan keputusan untuk dinyatakan pailit
suatu bank, haruslah terdapat keterlibatan Bank Indonesia. Sebab Bank Indonesia
merupakan bank sentral yang menentukan kebijakan perbankan Indonesia, yang
mempunyai kewenangan untuk memberikan izin usaha berdasarkan Undang-Undang
No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Pemerintah berpendapat bahwa
kewenangan Bank Indonesia ini berhubungan dengan tugas pengawasan dan
pembinaan terhadap dunia perbankan nasional.114
Pembinaan terhadap perbankan ditekankan pada aspek ekonomi dan politik.
Konsekwensinya segala sesuatu yang berkaitan dengan keadaan insolvensi atau
masalah kesulitan dana yang dapat membahayakan keberadaan bank dengan cara-cara
persuasif akan diakhiri oleh Bank Indonesia dengan cara melakukan likuidasi tanpa
perlu pernyataan pailit terhadap bank. Sutan Remy Syahdeini menyatakan bahwa
keadaan pailit atau bangkrut hanya akan dirasakan oleh kreditur. Krediturlah yang
mengalami ingkar janji (in default) sehubungan dengan perjanjian utang piutang
(perjanjian kredit) antara debitur dan kreditur. Bank Indonesia tidak pernah menjadi
pihak dalam perjanjian antara kreditur dan debitur.115
Kenyataan bahwa debitur bukanlah debitur biasa, tetapi suatu bank, tidak
mengubah keadaan bahwa Bank Indonesia bukan pihak dalam perjanjian kredit antara
debitur dan kreditur. Bank Indonesia hanya akan menjadi pihak dalam perjanjian
114 Menteri Kehakiman, “Jawaban Pemerintah atas Tanggapan Fraksi-fraksi terhadap
Rancangan Undang-undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan”, hal. 3., dalam Laporan Lima Tahun DPR-RI 2004-2009, (Jakarta : Sekjend DPR-RI & UNDP dan AusAID, 2009).
115 Habiba Hanum, Op.cit., hal. 48.
61
antara kreditur dan debitur, apabila kredit yang diterima oleh debitur yang merupakan
bank diberikan oleh Bank Indonesia berupa Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI)
atau berupa Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Dalam hal Bank Indonesia yang menjadi
kreditur, maka seyogyanya Bank Indonesia, baik sendiri maupun bersama dengan
kreditur-kreditur lain, yang mengajukan permohonan pernyataan pailit. Selain itu
Bank Indonesia dapat pula mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa diminta
oleh debitur atau kreditur atau kejaksaan, apabila Bank Indonesia (bukan sebagai
kreditur tetapi sebagai otoritas moneter yang bertugas dan bertanggung jawab
terhadap pembinaan dan pengawasan bank-bank serta stabilitas moneter) menilai
bahwa bank yang bersangkutan telah membahayakan sistem perbankan. Hal ini tidak
mengurangi kewenangan Bank Indonesia untuk mengajukan permohonan pernyataan
pailit suatu bank dalam kedudukan Bank Indonesia selaku kreditur Bank itu.116
Selanjutnya Sutan Remy Syahdeini menyebutkan ketentuan dalam Pasal 1
ayat (3), Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, yang menyatakan bahwa : “Bank Indonesia dapat
mengajukan permohonan pailit dalam hal debitur yang diajukan pailit tersebut
merupakan bank”, pada satu sisi dapat dibenarkan. Hal ini untuk menjaga
kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional. Apabila kreditur dapat
mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada debitur yang merupakan bank
tanpa melalui Bank Indonesia, dikhawatirkan bahwa setiap saat Bank akan senantiasa
dibayang-bayangi pengajuan permohonan pernyataan pailit. Bila kondisi ini terjadi
maka jelas akan mengganggu kinerja perbankan nasional, yang selanjutnya tentu akan
116 Ibid.
62
berkaitan dengan kelangsungan hidup perbankan tersebut. Dampak selanjutnya
adalah akan mengganggu perekonomian nasional. Karena sebagaimana diketahui
bahwa bank merupakan agent of modernitation.117
Pemberian hak-hak khusus kepada Bank Indonesia yang mewakili
kepentingan orang banyak harus mendapat dukungan karena berkaitan dana
masyarakat yang terhimpun dalam bank. Perlindungan terhadap dana masyarakat luas
ini harus dijaga dan dilindungi secara proporsional. Perkara yang berkaitan dengan
diajukannya permohonan pailit terhadap Bank adalah perkara Bank IFI sebagai
pemohon terhadap Bank Danamon sebagai termohon. Dalam perkara ini Bank
Indonesia menolak untuk mempailitkan Bank Danamon dan akhirnya Pengadilan
Niaga menolak untuk memeriksa dan memutuskan permohonan kepailitan bank
karena tidak diajukan melalui Bank Indonesia. Hal ini berarti selama Bank Indonesia
tidak memohonkan pailit terhadap bank yang tidak membayar utangnya yang telah
jatuh waktu dan dapat ditagih, maka terhadap bank tersebut tidak dapat dipailitkan.118
Jika dikaitkan dengan teori Jeremy Bentham (Utilitarian Theory) mengenai
the greatest happines is the greatest number. Maka peraturan mengenai pengajuan
permohonan pailit terhadap Bank adalah Bank Indonesia saja maka dalam hal ini
demi menyelamatkan sistem perbankan nasional. Keuntungan terbesar adalah
Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) yang terjamin.
117 Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan : Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan (Edisi Baru), Cetakan Pertama, (Jakarta : Pustaka Utama Grafika, 2009). 118 Andreas Timothy, “Tinjauan Yuridis tentang Kasus Permohonan Pernyataan Pailit
PT.Bank IFI terhadap PT.Bank Danamon Indonesia, Tbk.”, (Tesis : Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2005).
63
BAB III
MASALAH BANK INDONESIA SEBAGAI BANK SENTRAL DALAM PENGAJUAN KEPAILITAN BANK
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang No.
4 tahun 1998. Undang-Undang tersebut perlu dikeluarkan karena perkembangan
perekonomian yang semakin pesat sehingga semakin banyak permasalahan utang
piutang yang timbul di masyarakat. Oleh karena itu, perlu diatur cara penyelesaian
masalah utang piutang secara adil, cepat, terbuka, dan efektif. Penyelesaian perkara
kepailitan dilangsungkan dengan jangka waktu yang pasti, melalui suatu badan
peradilan khusus yakni Pengadilan Niaga.119
Menurut Joseph E. Stiglitz sebagaimana dikutip oleh Zulkarnain Sitompul,
hukum kepailitan harus mengandung tiga prinsip. Pertama, peran utama kepailitan
dalam ekonomi kapitalis modern adalah untuk menggalakkan reorganisasi
perusahaan. Hukum Kepalitan harus memberikan waktu yang cukup, cukup bagi
perusahaan untuk melakukan pembenahan perusahaan. Kedua, meskipun tidak
dikenal hukum kepailitan yang berlaku universal dan ketentuan kepailitan telah
berkembang dari waktu ke waktu seiring dengan perubahan keseimbangan politik
diantara para pelaku, transformasi struktural perekonomian dan perkembangan
sejarah masyarakat, namun setiap hukum kepailitan bertujuan menyeimbangkan
119 Kelik Pramudya, “Kelemahan Hukum Kepailitan di Indonesia”, http://click-
gtg.blogspot.com/2008/10/kelemahan-hukum-kepailitan-di-indonesia.html., diakses pada 14 Mei 2011.
64
beberapa tujuan termasuk melindungi hak-hak kreditur dan menghindari terjadinya
likuidasi premature.120
Ketiga, hukum kepailitan mestinya tidak hanya memperhatikan kreditur dan
debitur tetapi yang lebih penting lagi adalah memperhatikan kepentingan stakeholder
yang dalam kaitan ini yang terpenting adalah pekerja. Ketentuan kepailitan memang
telah memberikan hak istimewa untuk pembayaran gaji yang terutang. Akan tetapi
bagaimana dengan hak-hak lainnya. Disamping itu juga perlu dilihat apakah pailit
menimbulkan dampak luas bagi konsumen atau menyebabkan terjadinya dislokasi
ekonomi yang buruk. Singkat kata, kepailitan adalah ultimum remedium, upaya
terakhir.121
Likuidasi bank merupakan salah satu instrumen pembinaan di dalam dunia
perbankan agar sektor perbankan dapat tetap menjalankan fungsinya secara dinamis
dan mandiri. Likuidasi bank harus tetap menjamin terpeliharanya hak para pihak
terkait, khususnya nasabah penyimpan dana.
A. Terbukanya Peluang Kreditor Lain dalam Pengajuan Pailit Bank
Pelaksanaan likuidasi harus dilakukan oleh suatu tim yang profesional yang
beranggotakan berbagai unsur yang terkait dengan aktifitas perbankan sehingga
kepentingan berbagai pihak dapat terwakili dan terpelihara.122 Bank Indonesia
120 Zulkarnain Sitompul, “Perlukah PT DI Dipailitkan”, http://zulsitompul.wordpress.com/isu-
sentral/., diakses pada 14 Mei 2011. 121 Ibid. 122 Pasal 7 ayat (1), Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1996 tentang Ketentuan dan Tata
Cara Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank, Op.cit.
65
bertindak sebagai pengawas pelaksanaan likuidasi.123 Likuidasi perusahaan yang
bernama “bank” diatur prosedur di luar ketentuan kepailitan yang ada, karena
kharateristik bank memang jauh berbeda dengan perusahaan biasa. Hal tersebut
misalnya dapat dilihat bahwa bank merupakan lembaga kepercayaan, karena bank
dapat bekerja atas dasar kepercayaan nasabah/masyarakat, sehingga kaidah
kepailitan (Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) tidak dapat diterapkan karena dapat
menggoyahkan kepercayaan masyarakat.124
Dari segi aset, aset perbankan adalah dana masyarakat, sementara porsi modal
bank tersebut relatif kecil bila dibandingkan dengan aset secara keseluruhan.
Operasional bank mempunyai resiko sistemik, dalam arti kejatuhan pada suatu bank
dapat menyebabkan kejatuhan bank lain, yang pada akhirnya akan menghancurkan
sistem yang telah dibangun. Oleh sebab itu terhadap bank perlu diatur prosedur yang
sangat khusus untuk ‘pembubarannya’.125 Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang
No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk memohonkan pailit terhadap
suatu bank debitur, namun dalam praktiknya pasal ini tidak pernah digunakan.126
Alasan yang paling mendasar mengenai tidak digunakannya pasal ini oleh
Bank Indonesia adalah karena usaha bank memiliki kharekteristik kegiatan usaha
123 Pasal 1 ayat (4), Ibid. 124 Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan : Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan (Edisi Baru), Op.cit. 125 Bagian Menimbang huruf b. dan c., Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1996 tentang
Ketentuan dan Tata Cara Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank, Op.cit. 126 Sylvia Janisriwati, “Disertasi Sylvia Janisriwati : Kewenangan Bank Indonesia dalam
Menyatakan Pailit”, http://prasetya.ub.ac.id/berita/Disertasi-Sylvia-Janisriwati--Kewenangan-Bank-Indonesia-dalam-Menyatakan-Pailit-1583-id.html., diakses pada 14 Mei 2011.
66
yang berbeda dari perusahaan pada umumnya, yaitu sebagai intermediary institution,
sehingga aset bank pada dasarnya adalah milik para deposan selain juga milik
kreditur bank lainnya. Selain itu mengingat bank adalah usaha yang hanya dapat
berjalan atas dasar kepercayaan masyarakat, sehingga usaha bank harus dilindungi
dari kemungkinan tindakan kreditur tertentu untuk serta merta mengajukan gugatan
pailit ke Pengadilan. Oleh karena itu Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dapat membatasi pihak
yang boleh mengajukan gugatan kepailitan terhadap bank melalui debitur, yaitu Bank
Indonesia (selaku otoritas perbankan).127
Namun, mengingat karakteristik usaha bank sebagaimana diuraikan di atas,
maka terhadap bank yang mengalami permasalahan keuangan, pertama-tama
dilakukan upaya penyelamatan. Apabila upaya penyelamatan itu tidak berhasil,
sementara permasalahan yang dihadapi bank itu menganggu usahanya atau sistem
perbankan, maka bank bermasalah itu harus keluar dari sistem perbankan (exit policy)
melalui proses likuidasi bank sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 37 Undang-
Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan serta Peraturan Pemerintah No. 25
Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha Pembubaran dan Likuidasi Bank dan
bukan melalui proses kepailitan sebagaimana disediakan jalannya oleh Pasal 1 ayat
(3) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.128
127 Ibid. 128 Ibid.
67
Bank yang sudah dilikuidasi dianggap sudah tidak eksis lagi, oleh karena itu
tidak berhak melakukan kegiatan hukum seperti membayar utang. Ini berbeda dengan
proses kepailitan. Perusahaan yang dipailitkan wajib melakukan proses kepailitan.
Perusahaan yang dipailitkan wajib melakukan proses rehabilitasi sehingga
perusahaan itu tetap eksis. Kepailitan tidak menyebabkan matinya suatu Perseroan
Terbatas, tetapi hanya berakibat terhadap ketidak mampuan perusahaan itu untuk
melakukan tindakan hukum terhadap harta kekayaan Pemegang Saham perusahaan
tetap eksis/aktif, namun diwakili oleh Kurator. Dalam proses rehabilitasi ternyata
perusahaan tersebut mampu survive, maka perusahaan tersebut dapat berubah
statusnya menjadi perusahaan biasa lagi yang tidak di bawah pengampuan.129
Status Debitur setelah selesainya tindakan pemberesan, Undang-Undang No.
37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
menyatakan bahwa setelah tindakan pemberesan selesai dilakukan, Debitur yang
berbentuk badan hukum tidak bubar. Bubarnya perusahaan yang berbentuk badan
hukum hanya terjadi apabila memang dengan sengaja dibubarkan, bagi perusahaan
yang berbentuk Perseroan Terbatas maka pembubarannya mengikuti ketentuan
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Dalam hal setelah
tindakan pemberesan ternyata utang-utang debitur kepada kreditur masih tersisa atau
belum lunas seluruhnya maka Debitur tetap berkewajiban untuk melunasi utang itu.
Para Kreditur memperoleh kembali hak mereka untuk menagih dan memperoleh
pembayaran atas piutang mereka yang belum dilunasi oleh Debitur (Pasal 190
129 Sunarmi, Hukum Kepailitan, (Medan : USU Press., 2009).
68
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang).130
Sebagai konsekuensinya, apabila Debitur memulai kembali untuk berbisnis
setiap pendapatan yang diperolehnya dari bisnisnya itu harus dipakai untuk
membayar utang-utang yang belum lunas. Sebaliknya apabila Debitur tersebut tidak
lagi menjalankan kegiatan usahanya, sehingga dengan demikian tidak memperoleh
pendapatan sebagai sumber pelunasan utang-utangnya maka hanya lewatnya masa
kadaluwarsa yaitu setelah lewatnya waktu 30 (tiga puluh) tahun sejak terakhir Debitur
ditagih oleh krediturnya yang dapat membebaskan Debitur dari kewajiban membayar
utang-utangnya.131
Kembali ke permasalahan likuidasi Bank, untuk menyelesaikan permasalahan
yang membelit Bank tersebut. Bank dalam kondisi pailit lebih memberikan
keuntungan, salah satunya bagi nasabah penyimpan dana. Pengajuan pernyataan pailit
pada Bank bisa melindungi Kreditor Bank sehingga Bank dapat segera
menyelesaikan utangnya kepada para Kreditor. Posisi Bank Indonesia dalam hal ini
sangatlah krusial karena sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang
No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,
yang mengatur bahwa dalam hal Debitor adalah Bank, permohonan pernyataan pailit
hanya bisa diajukan oleh Bank Indonesia.132
Hal ini terjadi pada kasus Bank IFI yang tidak berhasil mengajukan pailit
karena ketidakbersediaan otoritas untuk mengambil langkah mengajukan permohonan
130 Ibid. 131 Ibid. 132 Sylvia Janisriwati, Op.cit.
69
pailit terhadap Bank sebagai kelanjutan permohonan yang diajukan oleh Kreditur
secara absolut akan menutup kesempatan dari Kreditur tersebut untuk mempailitkan
Bank debiturnya walaupun telah terbukti adanya utang yang telah jatuh tempo dan
dapat ditagih.133
Dalam hal terjadi likuidasi bank, nasabah penyimpan dan Kreditur lainnya
berada dalam posisi yang lemah. Berbeda dengan perjanjian kredit yang lebih
menjamin posisi Bank sebagai Kreditur, karena Debitur wajib menyerahkan jaminan,
sehingga apabila Debitur wanprestasi, Bank memiliki kepastian hukum bahwa dana
yang dipinjamkannya akan kembali. Sedangkan dalam hubungan antara Bank dengan
nasabah penyimpan, ketika nasabah menyimpan sejumlah dananya pada Bank, Bank
tidak menyerahkan jaminan yang dapat memberi kepastian kepada nasabah bahwa
dana yang disimpannya pasti dapat diterima kembali, bahkan oleh hukum nasabah
bank yang dianggap harus menanggung risiko hilangnya sebagian dana yang
disimpan di bank yang dipilih sendiri. Demikian pula kedudukan Kreditur bank yang
bukan merupakan Kreditur Preferen.134
Likuidasi bank terjadi antara lain karena kelalaian maupun kurangnya
kepatuhan pengurus bank terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kinerja Tim Likuidasi harus memperlihatkan efektifitas seperti yang diharapkan
untuk menuntaskan proses likuidasi bank yang disebabkan karena beberapa hal antara
lain ketentuan tentang lukuidasi bank yang belum sempurna, peraturan yang belum
133 Ibid., Lihat juga : Andreas Timothy, “Tinjauan Yuridis tentang Kasus Permohonan
Pernyataan Pailit PT. Bank IFI terhadap PT. Bank Danamon Indonesia, Tbk.”, Op.cit. 134 Suwono, “Pemberdayaan dan Perlindungan Hukum Nasabah Bank”,
http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2004/4/19/o2.htm., diakses pada 14 Mei 2011.
70
lengkap, misalnya dalam hal eksekusi aset bank terlikuidasi, dalam hal pembuktian,
masalah aset atas nama pihak lain dan lain sebagainya. Pelaksanaan penegakan
hukum terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya pencabutan izin
usaha bank belum sepenuhnya efektif.135
Perizinan merupakan sub yang sangat penting dalam pembangunan sistem
perbankan yang sehat dan kuat, karena perizinan merupakan salah satu sarana untuk
menyeleksi agar hanya badan hukum yang memenuhi standar yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia yang dapat menjalankan usaha perbankan. Disamping itu, perizinan
juga digunakan oleh otoritas perbankan sebagai alat untuk memaksa bank untuk
mematuhi segala ketentuan dari otoritas perbankan dengan ancaman pencabutan izin
usaha bila terjadi pelanggaran dan penyimpangan dalam pengelolaan bank.136
Pencabutan izin usaha Bank dilakukan oleh Pimpinan Bank Indonesia apabila
tindakan penyelamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) Undang-
Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan Undang-
Undang No. 10 Tahun 1998 belum cukup mengatasi kesulitan yang dihadapi Bank,
atau menurut penilaian Bank Indonesia keadaan suatu Bank dapat membahayakan
sistem perbankan atau terdapat permintaan dari pemilik atau pemegang saham Bank
atau bank melanggar peraturan perundang-undangan.137
Pencabutan izin usaha Kantor Cabang dari Bank yang berkedudukan di Luar
Negeri dapat dilakukan oleh Bank Indonesia apabila memenuhi alasan sebagaimana
135 Zulkarnain Sitompul, “Likuidasi BDB dan Efektifitas Pengawasan Bank”, Majalah Pilars No. 28, periode 12-18 Juli 2004.
136 Bank Indonesia, “Tujuan Pengaturan dan Pengawasan Bank, Op.cit. 137 Pasal 3 ayat (3), Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha,
Pembubaran dan Likuidasi Bank, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3831.
71
diuraikan di atas atau terdapat permintaan kantor pusat Bank yang berkedudukan di
Luar Negeri atau izin usaha kantor pusat Bank yang berkedudukan di Luar Negeri
dicabut dan/atau kantor pusat dimaksud likuidasi oleh otoritas yang berwenang di
negara setempat.138 Apabila tindakan penyelamatan belum cukup, untuk mengatasi
kesulitan yang dihadapi Bank dan/atau menurut penilaian Bank Indonesia keadaan
suatu Bank dapat membahayakan sistem perbankan, Pimpinan Bank Indonesia dapat
mencabut izin usaha bank dan memerintahkan direksi bank untuk segera
menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) guna membubarkan
badan hukum bank dan membentuk Tim Likuidasi.139
Konsekuensi dari pencabutan izin usaha tersebut adalah bank wajib menutup
seluruh kantor-kantornya untuk umum dan menghentikan segala kegiatan perbankan
dan membubarkan badan hukum bank tersebut. Berkenaan dengan itu bank harus
berupaya mengembalikan dana masyarakat yang telah dipercayakan untuk disimpan
pada bank tersebut maupun dana kreditur lainnya kepada yang berhak. Sebaliknya
debitur bank harus segera menyelesaikan kewajibannya untuk membayar kembali
kepada bank agar piutang bank tsb segera masuk ke dalam boedel. Bank yang dicabut
izin usahanya berubah bentuk menjadi perseroan biasa pada umumnya, dalam hal ini
pengajuan kepailitan terbuka untuk seluruh Kreditur bank tersebut. Karena pada
pendirian Bank pertama sekali adalah menurut Undang-Undang No. 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas, lalu selanjutnya pada bidang usahanya diatur dalam
ketentuan perbankan. Setelah dicabut izin usahanya, Bank tidak bergerak dalam
138 Pasal 22, Ibid. 139 Pasal 5 ayat (1), Ibid.
72
bidang perbankan lagi sehingga karenanya mengacu kepada ketentuan Pasal 1 angka
11 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang bahwa badan hukum tersebut dapat dimohonkan pailit oleh setiap
Krediturnya, tidak lagi harus Bank Indonesia yang memohonkan pailit.140
B. Aspek Hukum Permohonan Pernyataan Pailit
Syarat-syarat untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap
Debitor dapat dilihat pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang berbunyi
bahwa :
”Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan baik atas permohonannya sendiri atau maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya”.141
Untuk lebih lanjutnya akan dibahas mengenai unsur-unsur dari ketentuan
tersebut di atas, yang terdiri dari : 1. adanya dua Kreditor atau lebih; 2. adanya utang;
3. adanya satu utang yang telah jatuh tempo; dan 4. persyaratan permohonan pailit.
Hal ini akan dibahas pada sub-bab selanjutnya di bawah ini.
140 Erman Radjagukguk sebagai saksi ahli dalam Kasus Bank Global., dalam Andi Pangeran
Hamzah, “Proses Kepailitan Bank Dalam Likuidasi : Studi Mengenai Bank Global (Dalam Likuidasi)”, (Tesis : Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006), hal. 87.
141 Pasal 2 ayat (1), Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Op.cit.
73
1. Syarat Adanya Dua Kreditor Atau Lebih (Concursus Creditorium)
Adanya persyaratan concursus creditorium adalah sebagai bentuk
konsekuensi berlakunya ketentuan Pasal 1131 Burgerlijk Wetboek dimana rasio
kepailitan adalah jatuhnya sita umum atas semua harta benda Debitor untuk kemudian
setelah dilakukan rapat verifikasi utang-piutang tidak tercapai perdamaian atau
accoord, dilakukan proses likuidasi atas seluruh harta benda Debitor untuk kemudian
dibagi-bagikan hasil perolehannya kepada semua Kreditor sesuai urutan tingkat
Kreditor yang telah diatur oleh undang-undang.142
Jika Debitor hanya memiliki satu Kreditor, maka eksistensi ketentuan
kepailitan kehilangan raison d’etre-nya. Bila Debitor hanya memiliki satu Kreditor,
maka seluruh harta kekayaan Debitor otomatis menjadi jaminan atas pelunasan utang
Debitor tersebut dan tidak diperlukan pembagian secara pari passu pro rata parte,
dan terhadap Debitor tidak dapat dituntut pailit karena hanya mempunyai satu
Kreditor.143 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang tidak mengatur secara tegas mengenai pembuktian
bahwa Debitor mempunyai dua Kreditor atau lebih, namun oleh karena di dalam
hukum kepailitan berlaku pula Hukum Acara Perdata, maka Pasal 116 HIR berlaku
dalam hal ini. Pasal 116 HIR atau Pasal 1865 Burgerlijk Wetboek menegaskan bahwa
beban wajib bukti (burden of proof) dipakai oleh pemohon atau penggugat untuk
membuktikan diri (posita) gugatannya,144 maka sesuai dengan prinsip pembebanan
142 Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit., hal. 64. 143 Jono, Hukum Kepailitan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hal. 5. 144 Pasal 116 HIR dan Pasal 1865, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Staatsblad 1847
Nomor 23.
74
wajib bukti di atas, maka pemohon pernyataan pailit harus dapat membuktikan bahwa
Debitor mempunyai dua atau lebih Kreditor sebagaimana telah dipersyaratkan oleh
undang-undang kepailitan.145
Ketentuan mengenai adanya syarat dua atau lebih Kreditor di dalam
permohonan pernyataan pailit, maka terhadap definisi mengenai Kreditor harus
diketahui terlebih dahulu. Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan
tidak memberikan definisi yang jelas mengenai “Kreditor”. Menurut Sutan Remy
Sjahdeini, harus dibedakan pengertian Kreditor dalam kalimat “...mempunyai dua
atau lebih Kreditor…”, dan “...atas permohonan seorang atau lebih kreditornya...”.146
Dalam kalimat pertama, yang dimaksud Kreditor adalah sembarang Kreditor, baik
Kreditor Separatis, Kreditor Preferen, maupun Kreditor Konkuren. Sedangkan dalam
kalimat kedua, kata “Kreditor” disini dimaksudkan untuk Kreditor Konkuren.
Kreditor Konkuren berlaku dalam definisi Kreditor pada kalimat kedua dikarenakan
seorang Kreditor Separatis tidak mempunyai kepentingan untuk diberi hak
mengajukan permohonan pernyataan pailit mengingat Kreditor Separatis telah
terjamin sumber pelunasan tagihannya, yaitu dari barang agunan yang dibebani
dengan hak jaminan.147
Pendapat Sutan Remy Sjahdeini ini diperkuat pula oleh Putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia No. 07.K/N/1999 tanggal 4 Februari 1999 yang
mengemukakan dalam pertimbangan hukumnya bahwa Kreditor Separatis yang tidak
melepaskan haknya terlebih dahulu sebagai Kreditor Separatis, bukanlah Kreditor
145 Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit., hal. 64-65. 146 Ibid. 147 Ibid.
75
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 1998
tentang Kepailitan.148
Disahkannya Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, maka telah didapat pengertian “Kreditor”
sebagaimana terdapat di dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) ketentuan ini. Berkaitan
dengan ada tidaknya pelepasan hak agunan Kreditor Separatis terhadap pengajuan
permohonan pailit, terhadap Kreditor telah diatur secara jelas di dalam Pasal 138
ketentuan ini.149 Berdasarkan ketentuan kepailitan yang baru ini, maka Kreditor
Separatis dan Kreditor Preferen dapat tampil sebagai Kreditor Konkuren tanpa harus
melepaskan hak-hak untuk didahulukan atas benda yang menjadi agunan atas
piutangnya, tetapi dengan catatan bahwa Kreditor Separatis dan Kreditor Preferen
dapat membuktikan bahwa benda yang menjadi agunan tidak cukup untuk melunasi
utangnya Debitor pailit.150
2. Syarat Harus Adanya Utang
Pengertian mengenai utang di dalam hukum kepailitan Indonesia mengikuti
setiap perubahan aturan kepailitan yang ada. Di dalam Faillissementsverordening
tidak diatur tentang pengertian utang. Faillissementsverordening menentukan bahwa
148 Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit., hal. 65. 149 Pasal 138, Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, Op.cit., menyatakan bahwa : ”Kreditor yang piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, hak agunan atas kebandaan lainnya, atau yang mempunyai hak yang diistimewakan atas suatu benda tertentu dalam harta pailit dan dapat membuktikan bahwa sebagian piutang tersebut kemungkinan tidak akan dapat dilunasi dari hasil penjualan benda yang menjadi agunan, dapat meminta diberikan hak-hak yang dimiliki kreditor konkuren atas bagian piutang tersebut, tanpa mengurangi hak untuk didahulukan atas benda yang menjadi agunan atas piutangnya”.
150 Jono, Op.cit., hal. 10.
76
putusan pernyataan pailit dikenakan terhadap “de schuldenaar, die in en toestand
verkeert daj hij heft apgehouden te betalen”. Dari ketentuan ini, dapat diterjemahkan
dalam beberapa versi, yaitu151 :
1. “Setiap Debitor (orang yang berutang) yang tidak mampu membayar utangnya yang berada dalam keadaan berhenti membayar kembali utang tersebut
2. Setiap berutang yang berada dalam keadaan telah berhenti membayar utang-utangnya
3. Setiap Debitor yang berada dalam keadaan berhenti membayar utang-utangnya”.
Siti Soemarti Hartono meyatakan bahwa dalam yurisprudensi ternyata bahwa
membayar tidak selalu berarti menyerahkan sejumlah uang. Oleh karenanya di dalam
Faillissementsverordening dapat dilihat adanya konsep utang dalam arti luas.
Menurut putusan H. R. 3 Juni 1921, membayar berarti memenuhi suatu perikatan, ini
diperuntukkan untuk menyerahkan barang-barangnya.152
Sama halnya dengan Faillissementsverordening, Undang-Undang No. 4
Tahun 1998 tentang Kepailitan juga tidak mengatur pengertian utang. Ketentuan ini
menentukan Debitor dapat dinyatakan pailit apabila “tidak membayar sedikitnya satu
utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih kepada kreditor”. Ketentuan ini hanya
menentukan utang yang tidak dibayar oleh Debitor adalah utang pokok atau bunga.
Hal ini berarti permohonan pernyataan pailit terhadap Debitor dapat dilakukan
151 Siti Anisah, Perlindungan Kepentingan Kreditor dan Debitor Dalam Hukum Kepailitan di
Indonesia : Studi Putusan-Putusan Pengadilan, (Yogjakarta : Total Media, 2008), hal. 44. 152 Siti Soemarti Hartono, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran,
(Yogjakarta : Seksi Hukum Dagang, Fakultas Hukum UGM, 1981).
77
apabila ia dalam keadaan berhenti membayar utang atau ketika ia tidak membayar
bunganya saja.153
Menurut Jerry Hoff, istilah hukum “utang” dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-
Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan menunjuk kepada hukum kewajiban
dalam hukum perdata. Kewajiban atau utang dapat timbul baik dari perjanjian
maupun undang-undang dimana hal tersebut terdapat kewajiban untuk memberikan
sesuatu, berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.154 Dalam Undang-Undang
No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,
terdapat perubahan pengertian tentang utang. Utang diartikan sebagai kewajiban yang
dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang dalam mata uang Indonesia
maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul karena
perjanjian atau,undang-undang, dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak
dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta
kekayaan debitor.155
Berdasarkan pengertian utang di atas, permohonan pernyataan pailit
dikabulkan apabila “Debitor mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar
lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit
dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas
permintaan satu atau lebih kreditornya”.156 Namun telah diaturnya pengertian
mengenai utang dan syarat dikabulkannya permohonan pernyataan pailit di dalam
153 Siti Anisah, Loc.cit., hal. 53. 154 Pasal 1233 dan Pasal 1234, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Op.cit. 155 Pasal 1 angka 6, Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, Op.cit. 156 Pasal 2 ayat (1), Ibid.
78
undang-undang ini ternyata dianggap belum mampu mengakomodasi ketentuan
tentang persyaratan permohonan pernyataan pailit yang banyak diterapkan oleh
negara lain, seperti misalnya mengenai batasan minimal nominal utang yang dapat
diajukan pailit. Batasan minimal nominal utang yang dimiliki oleh Debitor sebagai
syarat permohonan pernyataan pailit dianggap penting untuk membatasi jumlah
permohonan pernyataan pailit. Pembatasan ini sebagai bentuk perlindungan hukum
terhadap Kreditor Mayoritas dari kesewenangwenangan Kreditor Minoritas, dan
untuk mencegah Kreditor dengan piutang sangat kecil dibandingkan dengan aset yang
dimiliki Debitor, mengabulkan permohonan pernyataan pailit, dan dikabulkan oleh
hakim.157
Tidak terdapatnya pembatasan jumlah nilai nominal utang di dalam pengajuan
permohonan pernyataan pailit, menurut M. Hadi Subhan dianggap sebagai
kekurangan dan kelemahan aturan hukum kepailitan di Indonesia.158 Padahal ide
untuk menentukan pembatasan persentase harta Debitor yang tersisa sebagai syarat
permohonan pernyataan pailit sebenarnya telah ada sebagaimana terdapat di dalam
Pasal 1 Konsep Rancangan Undang-Undang tentang Undang-Undang Kepailitan.
Dalam pasal ini mengatur mengenai pailit dan kebangkrutan berlaku terhadap Debitor
yang sudah tidak mampu lagi untuk membayar utang-utangnya, dan harta yang tersisa
adalah hanya 25% dari seluruh kekayaan Debitor.159 Adanya kelemahan berupa tidak
diaturnya pembatasan jumlah nilai nominal utang di dalam hukum kepailitan, dilihat
157 Siti Anisah, Op.cit., hal. 71. 158 M. Hadi Subhan, Hukum Kepailitan : Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, (Jakarta :
Kencana, 2008), hal. 93. 159 Siti Anisah, Loc.cit., hal. 72.
79
dari argumentasi yuridis menunjukkan bahwa dengan tidak dibatasi jumlah minimum
utang sebagai dasar pengajuan permohonan kepailitan, maka akan terjadi
penyimpangan hakikat kepailitan dari kepailitan sebagai pranata likuidasi yang cepat
terhadap kondisi keuangan debitor yang tidak mampu melakukan pembayaran
utangutangnya kepada para kreditormya, sehingga untuk mencegah terjadinya
unlawful execution dari para kreditornya, kepailitan hanya menjadi alat tagih semata
(debt collection tool).160
Apabila dilihat dari komparasi hukum, pembatasan jumlah nilai nominal
utang di dalam pengajuan permohonan pernyataan pailit merupakan suatu kelaziman
sebagaimana yang dianut di beberapa negara lainnya seperti Singapura, Hongkong,
Filipina, Australia, Kanada, dan bahkan Amerika Serikat. Undang-Undang Kepailitan
Singapura mengatur jumlah minimal utang yang dapat diajukan pailit adalah sebesar
US$. 2,000,- atau jumlah lain akan ditentukan di masa depan, sedangkan di
Hongkong, perusahaan yang tidak dapat memenuhi kewajibannya untuk jumlah utang
yang lebih dari HK$. 5,000,-.161
Menurut The Philippine Act, tiga orang Kreditor atau lebih yang merupakan
penduduk Filipina dan memiliki tagihan terhadap debitor hingga mencapai nilai
sebesar 1,000 pesos dapat mengajukan involuntary petition. Di Australia pengajuan
voluntary petition tidak mensyaratkan besaran jumlah utang yang dimiliki, sedangkan
pengajuan involuntary petition atau sequestration (penitipan barang atas perintah
160 M. Hadi Subhan, Loc.cit. 161 Nilai nominal jumlah minimal utang di Singapura di dalam undang-undang kepailitan
mengalami peningkatan dari US$. 500,- menjadi US$. 2,000,- dan hal ini didasarkan pada The Bankruptcy Act 1995 yang disahkan parlemen pada 23 Maret 1995 dan disetujui Presiden pada 12 April 1995. Sedangkan pengaturan batasan minimal utang di Hongkong, diatur di dalam §.178 (a) (1) of The Companies Ordinance.
80
pengadilan) dilakukan apabila Debitor memiliki utang tidak kurang dari
AUS$.2,000,- dalam bentuk utang yang jumlahnya telah ditentukan dalam
perjanjian.162
Di Kanada, Kreditor tidak berjaminan atau Kreditor berjaminan yang
mempunyai piutang senilai CDN$. 1,000,- dapat mengajukan permohonan pailit
dalam jangka waktu enam bulan dari saat debitor mengajukan permohonan pailit
kepada The Official Receiver.163 Bankruptcy Code Amerika Serikat mensyaratkan
permohonan pernyataan pailit untuk involuntary petition dapat diajukan jika debitor
memiliki tagihan utang yang tidak berjaminan (unsecured debt) sebesar US$. 5,000,-.
Tiga kreditor harus bersama-sama mengajukan permohonan pailit apabila Debitor
memiliki 12 Kreditor atau lebih Kreditor, sebaliknya seorang Kreditor dapat
mengajukan permohonan pailit sepanjang tagihannya minimal US$. 5,000,-.164
3. Syarat Adanya Satu Utang yang Telah Jatuh Waktu dan Dapat Ditagih
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyebutkan syarat untuk dinyatakan
pailit melalui putusan pengadilan, yaitu165 :
1. ”Terdapat minimal 2 (dua) orang Kreditor 2. Debitor tidak membayar lunas sedikitnya satu utang, dan 3. Utang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih”.
162 Siti Anisah, Op.cit., hal. 72-73. 163 Di Kanada, kreditor berjaminan dapat mengajukan permohonan pailit hanya jika ia
bersedia melepaskan jaminannya. 164 Siti Anisah, Loc.cit. 165 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, Op.cit.
81
Syarat yang ada pada poin ketiga di atas, menunjukkan bahwa adanya utang
yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih menunjukkan bahwa Kreditor sudah
mempunyai hak untuk menuntut Debitor untuk memenuhi prestasinya. Menurut Jono,
hak ini menunjukkan adanya utang yang harus lahir dari perikatan sempurna yaitu
adanya schuld dan haftung.166 Schuld yang dimaksud disini adalah kewajiban setiap
debitor untuk menyerahkan prestasi kepada Kreditor, dan karena itu Debitor
mempunyai kewajiban untuk membayar utang. Sedangkan haftung adalah bentuk
kewajiban Debitor yang lain yaitu Debitor berkewajiban untuk membiarkan harta
kekayaannya diambil oleh Kreditor sebanyak utang Debitor guna pelunasan utang
tadi, apabila Debitor tidak memenuhi kewajibannya membayar utang tersebut.167
Ketentuan adanya syarat utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,
menurut Sutan Remy Sjahdeini, kedua istilah tersebut memiliki pengertian dan
kejadian yang berbeda. Suatu utang dikatakan sebagai utang yang telah jatuh waktu
atau utang yang expired, yaitu utang yang dengan sendirinya menjadi utang yang
telah dapat ditagih. Sedangkan utang yang telah dapat ditagih belum tentu merupakan
utang yang telah jatuh waktu.168 Di sisi lain, suatu utang dikatakan jatuh tempo dan
dapat ditagih yaitu apabila utang itu sudah waktunya untuk dibayar. Penggunaan
istilah jatuh tempo merupakan terjemahan dari istilah “date of maturity”.169 Date of
maturity atau tanggal jatuh tempo adalah tanggal yang ditetapkan sebagai batas waktu
166 Jono, op.cit., hlm. 11. 167 Menurut pakar hukum dan yurisprudensi, schuld dan haftung dapat dibedakan tetapi pada
hakikatnya tidak dapat dipisahkan. Asas pokok haftung terdapat dalam Pasal 1131 Burgerlijk Wetboek. Lihat : Mariam Darus Badrulzaman, et.al., Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 8-9.
168 Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit., hal. 68-71. 169 Siti Anisah, Op.cit., hal. 87.
82
maksimal terhadap utang atau kewajiban.170 Tidak dipergunakannya istilah jatuh
waktu disini karena istilah ini tidak ditemukan di dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Pengertian jatuh tempo itu sendiri ditemukan di dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jatuh tempo mempunyai pengertian batas waktu pembayaran atau
penerimaan sesuatu dengan yang ditetapkan; sudah lewat waktunya; kadaluarsa.171
Pengertian tempo mempunyai arti waktu, batas waktu, janji (waktu yang
dijanjikan).172
Pengaturan suatu utang jatuh tempo dan dapat ditagih, dan juga wanprestasi
dari salah satu pihak dapat mempercepat jatuh tempo utang, yang diatur di dalam
perjanjian. Ketika terjadi default, jatuh tempo utang telah diatur, maka pembayaran
utang dapat dipercepat dan menjadi jatuh tempo dan dapat ditagih seketika itu juga
sesuai dengan syarat dan ketentuan perjanjian.173 Jika di dalam perjanjian tidak
mengatur tentang jatuh tempo, maka Debitor dianggap lalai apabila dengan surat
teguran Debitor telah dinyatakan lalai dan dalam surat itu Debitor diberi waktu
tertentu untuk melunasi utangnya.174
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, menentukan pengertian utang yang telah jatuh waktu
dan dapat ditagih adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu
170 Date of maturity dapat diartikan tanggal saat utang atau kewajiban tertentu harus dibayar
atau dilunasi. Lihat : HRA Rivai Wirasasmita, et.al., Kamus Lengkap Ekonomi, (Bandung : Pionir Jaya, 2002), hal. 111.
171 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, (Jakarta : Balai Pustaka, 1996), hal. 404.
172 Ibid., hal. 1033. 173 Default adalah kelalaian untuk memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam kontrak. dapat
diartikan pula sebagai kelalaian pihak debitor dalam menepati janji dan kewajiban yang dilakuan terhadap pihak kreditor. Lihat : HRA. Rivai Wirasasmita, et.al, Op.cit., hal. 117.
174 Pasal 1238, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Op.cit.
83
baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana
diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang
maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase.175 Implementasi
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) ketentuan kepailitan ini lebih banyak terjadi ketika
Debitor tidak memenuhi kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu
sebagaimana yang telah diperjanjikan.176
Ketentuan yang menyatakan adanya satu utang yang telah jatuh waktu dan
dapat ditagih, menurut Sutan Remy Sjahdeini, hukum kepailitan bukan hanya
mengatur kepailitan Debitor yang tidak membayar kewajibannya hanya kepada salah
satu kreditornya saja, tetapi debitor itu harus berada dalam keadaan insolven
(insolvent). Seorang Debitor berada dalam keadaan insolven hanyalah apabila Debitor
itu tidak mampu secara finansial untuk membayar utang-utangnya kepada sebagian
besar para kreditornya.177 Istilah “toestand” secara etimologi berarti keadaan
penghentian kewajiban membayar yang pada umumnya baru ada jika orang
membiarkan Debitor tidak membayar lebih dari satu utang.178
Kata “keadaan berhenti membayar” dalam Pasal 1 ayat (1)
Faillissementsverordening berubah menjadi “tidak membayar” dalam Undang-
Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan. Debitor tidak membayar utang-
utangnya kepada para kreditornya tidak memerlukan klasifikasi apakah Debitor
benar-benar tidak mampu melakukan pembayaran utang atau karena tidak mau
175 Penjelasan Pasal 2 ayat (1), Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Op.cit.
176 Siti Anisah, Op.cit., hal. 92. 177 Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit., hal. 71-72. 178 Hal ini sebagaimana tertuang di dalam Pasal 1 ayat (1) Faiilissementsverordening, Siti
Anisah, Op.cit., hal. 74., Lihat juga : Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit., hal. 71.
84
membayar kendati Debitor memiliki kemampuan.179 Dalam praktik pengadilan niaga
muncul beberapa kriteria Debitor tidak membayar utangnya, antara lain180 :
a. Ketika Debitor tidak membayar utang karena berhenti membayar utangnya;
b. Debitor tidak membayar utang ketika Debitor tidak membayar dengan
seketika dan sekaligus lunas kepada para kreditornya;
c. Debitor tidak membayar utang ketika Debitor berhenti melakukan
pembayaran terhadap angsuran yang telah disepakati sehingga Debitor dapat
dikatakan tidak memenuhi kewajiban sebagaimana telah diperjanjikan;
d. Debitor tidak melakukan pembayaran atas utangnya meskipun terhadap
perjanjian awal telah dilakukan amandemen. Tindakan ini menunjukkan
bahwa Debitor bersikap ingkar janji kepada kreditornya; dan
e. Debitor tidak pernah membayar utangnya yang terakhir meskipun tersebut di
dalamnya.
Penegakan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang di dalam perjalanannya menghasilkan
beberapa putusan pengadilan niaga yang mendalilkan debitor tidak membayar utang,
antara lain181 :
a. Debitor tidak membayar utang ketika debitor berhenti membayar utang
terhadap puluhan Kreditor sementara harta yang dimiliki Debitor makin hari
179 Siti Anisah, Op.cit., hal. 78. 180 Ibid., hal. 78-83. 181 Ibid., hal. 83-84.
85
makin berkurang dan nilainya menjadi lebih kecil dari utang-utang Kreditor;
dan
b. Debitor tidak membayar utangnya ketika Debitor tidak melunasi
pembayarannya kepada Kreditor pada saat yang telah ditentukan dan
mengakui utangnya tersebut.
4. Syarat Permohonan Pailit
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1), (2), (3), (4), (5) Undang-Undang No. 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menunjukkan
bahwa pihak yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit bagi seorang
Debitor adalah182 :
a. ”Debitor yang bersangkutan; b. Kreditor atau para kreditor; c. Kejaksaan untuk kepentingan umum; d. Bank Indonesia apabila debitornya adalah bank; e. Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) apabila debitornya adalah
Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian;
f. Menteri Keuangan apabila debitornya adalah Perusahaan Asuransi; g. Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara
yang bergerak di bidang kepentingan publik”.
Menurut Pasal 1 ayat (1), (2), (3), (4) Undang-Undang No. 4 Tahun 1998
tentang Kepailitan menyatakan pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit pada
seorang Debitor adalah183 :
a. “Debitor yang bersangkutan; b. Kreditor atau Para Kreditor;
182 Pasal 2 ayat (1), (2), (3), (4), (5) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Op.cit. 183 Pasal 1 ayat (1), (2), (3), (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan.
86
c. Kejaksaan untuk kepentingan umum; d. Bank Indonesia apabila debitornya adalah Bank; e. Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) apabila debitornya adalah
Perusahaan Efek”.
Ketentuan yang ada di dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ditambahkan Menteri
Keuangan sebagai pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit berkaitan dengan
kegiatan perasuransian dan kewenangan Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM-
LK) di dalam mengajukan permohonan pailit juga menjadi lebih luas karena tidak
hanya semata-mata perusahaan efek saja, melainkan juga lembaga-lembaga lain yang
terlibat di dalam kegiatan pasar modal.184
Beberapa pihak di atas yang dapat mengajukan permohonan pailit, pihak yang
paling umum mengajukan permohonan pailit adalah pihak Debitor dan Kreditor.
Pengajuan permohonan pailit yang dilakukan oleh Debitor disebut dengan voluntary
petition. Voluntary petition adalah permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh
Debitor, yang tidak mensyaratkan berapa besar jumlah utang yang dimilikinya.
Sebaliknya pengajuan permohonan pailit yang dilakukan oleh pihak Kreditor disebut
dengan involuntary petition. Involuntary petition adalah pengajuan permohonan
pernyataan pailit yang dilakukan Kreditor apabila Debitor memiliki utang yang
jumlah nilai utangnya dan bentuk utangnya telah ditentukan di dalam perjanjian.185
Ketentuan bahwa Debitor adalah salah satu pihak yang dapat mengajukan
permohonan pailit terhadap dirinya sendiri adalah ketentuan yang dianut di banyak
184 Man. S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,
(Bandung : Alumni, 2006), hal. 92. 185 Siti Anisah, Op.cit., hal. 72.
87
negara. Namun ketentuan ini memberi kesempatan bagi Debitor nakal untuk
melakukan rekayasa demi kepentingannya. Oleh karenanya, sekalipun mungkin saja
permohonan pernyataan pailit terhadap Debitor dikabulkan oleh pengadilan, baik
yang diajukan oleh Debitor sendiri atau oleh Kreditor teman kolusi Debitor atau
sekongkolnya, namun Debitor tidak seharusnya lepas dari jerat pidana.186 Sedangkan
ketentuan Kreditor di dalam mengajukan permohonan pernyataan pailit mengacu
pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Ketentuan ini juga telah
mengatur pula kewenangan Kreditor Separatis dan Kreditor Preferen dapat
mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas
kebendaan yang dimilikinya terhadap harta Debitor dan haknya untuk didahulukan.187
Peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur tentang kepailitan
diantaranya Faillissementsverordening, Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang
Kepailitan, Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang telah menentukan bahwa permohonan pernyataan
pailit dapat dilakukan atas permintaan Debitor maupun atas permintaan kreditornya.
Namun ketiga undang-undang kepailitan ini tidak membedakan permohonan
pernyataan pailit terhadap debitor individu atau perusahaan.188 Padahal tujuan dan
manfaat hukum kepailitan perseorangan dan perusahaan berbeda. Tujuan dan manfaat
hukum kepailitan perseorangan adalah pembagian yang adil harta pailit Debitor di
186 Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit., hal. 122-124. 187 Penjelasan Pasal 2 ayat (1), Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Op.cit. 188 Siti Anisah, Op.cit., hal. 126-127.
88
antara para kreditornya dan memberi kesempatan bagi Debitor Insolven untuk
memperoleh fresh start.189
Di sisi lain, tujuan dan manfaat hukum kepailitan perusahaan adalah
memperbaiki atau memulihkan perusahaan guna memperoleh keuntungan dalam
perdagangan, memaksimalkan pengembalian tagihan para Kreditor, menyusun
tagihan Kreditor, dan identifikasi penyebab kegagalan perusahaan serta menerapkan
sanksi terhadap manajemen yang menyebabkan kepailitan.190 Ketiadaaan perbedaan
permohonan pailit terhadap Debitor perseorangan dan perusahaan menjadikan
undang-undang kepailitan di Indonesia berbeda dengan undang-undang kepailitan di
negara lain.191
Menurut H.L.A. Hart mengenai yang membagi hukum dalam dua bentuk,
yaitu primary rule dan secondary rule, terkait pengajuan kepailitan oleh Bank
Indonesia terhadap Bank adalah bahwa Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (sebagai primary rule)
sudah tepat menentukan Bank Indonesia yang dapat mengajukan pailit terhadap
Bank. Karena terkait dengan yang dikatakan oleh Sutan Remy Sjahdeini bahwa ada
yang diselamatkan jika Bank Indonesia yang mengajukan permohonan tersebut yaitu
rush, semua itu demi menjamin Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) yang stabil.
Namun pada, Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin
189 Fresh start adalah kesempatan bagi debitor dimana debitor tidak diwajibkan untuk melunasi utang-utangnya dan dapat melakukan bisnis tanpa dibebani utang yang menggantung dari masa lalu. Lihat : Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit., hal. .39.
190 Siti Anisah, Op.cit., hal. 127. 191 Misalnya saja di Belanda terdapat Netherlands Bankruptcy Act untuk penjatuhan kepailitan
terhadap perusahaan dan Debt Restructuring Act For Private Individual untuk kepailitan konsumen atau individual.
89
Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank (sebagai secondary rule) yang mengatur
mengenai likuidasi Bank adalah kurang tepat karena menurut Erman Radjagukguk
bahwa status Bank Umum yang sudah dicabut izinnya akan berubah menjadi
Perseroan Terbatas biasa yang tidak lagi bergerak dalam bidang perbankan. Jadi,
Kreditor lainnya selain Bank Indonesia juga dapat mengajukan permohonan pailit
terhadap bank dalam likuidasi terkait pencabutan izin oleh Bank Indonesia.
90
BAB IV
MEKANISME HUKUM YANG DAPAT DIGUNAKAN OLEH KREDITOR DALAM MENYELESAIKAN PIUTANGNYA TERHADAP BANK
A. Mekanisme Hukum Penyelesaian Piutang Terhadap Bank Melalui Permohonan Pailit
Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang disebutkan dalam hal Debitor adalah bank,
permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia. Bank
Indonesia sudah sewajarnya melaksanakan kewenangannya dalam kepailitan untuk
menunjang perekonomian nasional. Sehubungan dengan itu, dalam ketentuan
kepailitan ini sebenarnya perlu diatur dengan tegas dalam kondisi bagaimana Bank
Indonesia dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada Pengadilan
Niaga.192
Oleh karena pengaturan dimaksud tidak ada maka kondisi itu sebaiknya
didasarkan pada ukuran yang terdapat Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang No. 10
Tahun 1998 tentang Perbankan yaitu keadaan suatu bank mengalami kesulitan yang
membahayakan kelangsungan usahanya. Suatu bank dikatakan mengalami kesulitan
yang membahayakan kelangsungan usahanya bila berdasarkan penilaian Bank
Indonesia keadaan usaha Bank semakin memburuk antara lain ditandai dengan
menurunnya permodalan, kualitas aset, likuiditas, dan rentabilitas, serta pengelolaan
Bank yang tidak dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian dan asas perbankan
yang sehat. Dengan adanya ukuran yang jelas ini maka Bank Indonesia akan aman
192 Direktorat Hukum Bank Indonesia, “Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan”, Volume 2 Nomor 2, (Jakarta : Bank Indonesia, Agustus 2004), hal. 9.
91
dalam menggunakan kewenangan tunggalnya mengajukan permohonan pernyataan
pailit ke Pengadilan Niaga.193
Selanjutnya menurut penilaian Bank Indonesia suatu Bank mengalami
kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, Bank Indonesia dapat
melakukan tindakan agar194 :
a. “Pemegang saham menambah modal; b. Pemegang saham mengganti Dewan Komisaris dan atau Direksi bank; c. Bank menghapus bukukan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah yang macet dan memperhitungkan kerugian bank dengan modalnya;
d. Bank melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain; e. Bank dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh
kewajiban; f. Bank menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan bank
kepada pihak lain; g. Bank menjual sebagian atau seluruh harta dan atau kewajibannya kepada
bank atau pihak lain”.
Apabila tindakan di atas belum cukup untuk mengatasi kesulitan yang
dihadapi Bank atau menurut Bank Indonesia keadaan suatu bank dapat
membahayakan sistem perbankan, maka Pimpinan Bank Indonesia dapat mencabut
izin usaha bank dan memerintahkan Direksi Bank untuk segera menyelenggarakan
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) guna membubarkan badan hukum bank dan
membentuk Tim Likuidasi. Dalam hal Direksi bank tidak menyelenggarakan RUPS,
Pimpinan Bank Indonesia meminta kepada pengadilan untuk mengeluarkan
penetapan yang berisi pembubaran badan hukum bank, penunjukan Tim Likuidasi,
dan perintah pelaksanaan likuidasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan
193 Ibid. 194 Pasal 37 ayat (1), Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Op.cit.
92
yang berlaku.195 Dalam rangka kepailitan ini, sebaiknya Bank Indonesia mengajukan
permohonan pernyataan pailit kepada Pengadilan Niaga ketika tindakan tindakan
penyelamatan bank (bank rescue) sebagaimana pada Pasal 37 ayat (1) huruf a hingga
g. Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan belum berhasil untuk
mengatasi kesulitan yang dihadapi bank.196
Sebaiknya Bank Indonesia tidak menunggu hingga kesulitan Bank tersebut
dapat membahayakan sistem perbankan. Bila keadaan suatu Bank telah
membahayakan sistem perbankan maka sebenarnya adalah suatu keterlambatan untuk
melakukan kepailitan, kecuali keadaan membahayakan sistem perbankan itu terjadi
seketika. Ketepatan waktu ini penting karena upaya kepailitan itu sebenarnya adalah
juga merupakan upaya penyelamatan Bank melalui jalur Pengadilan Niaga. Dalam
kepailitan, penetapan putusan pernyataan pailit oleh Pengadilan Niaga tidak perlu
didahului dengan pencabutan izin usaha bank oleh Bank Indonesia dan pembubaran
badan hukum bank oleh RUPS mengingat dalam kepailitan selalu diupayakan
terwujudnya perdamaian yang merupakan tindakan penyelamatan bank berdasarkan
kesepakatan antara Debitor dan para Kreditur (Kreditur Konkuren). Bila perdamaian
tersebut dapat diwujudkan dan setelah disahkan oleh Pengadilan Niaga maka
kepailitan diangkat (dicabut) dan bank sebagai Debitor dapat kembali berbisnis
seperti biasa. Namun, jika perdamaian tidak terwujud maka harta pailit Bank
195 Pasal 37 ayat (2) dan (3), Ibid. 196 Direktorat Hukum Bank Indonesia, “Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan”,
Op.cit., hal. 10.
93
dinyatakan berada dalam keadaan insolvensi dan Kurator mulai membereskan dengan
menjual harta pailit tanpa memerlukan persetujuan Debitor.197
Setelah ada kejelasan ukuran bagi Bank Indonesia untuk melaksanakan
kewenangannya atas Bank sebagai Debitor, selanjutnya diperlukan juga kejelasan
ukuran atas ‘jumlah Kreditur’ dan ‘utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih’.
Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dinyatakan bahwa agar dapat diajukan
permohonan pernyataan pailit ke Pengadilan Niaga maka jumlah kreditur yang
dimiliki debitor minimal dua. Bagi Bank sebagai Debitor terlalu riskan diberlakukan
kriteria kepemilikan minimal dua Kreditur tersebut. Suatu hal yang tidak wajar bagi
Bank sebagai Debitor jika hanya karena dengan memiliki minimal dua Kreditur dan
tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih
menjadi dapat dipailitkan oleh Pengadilan Niaga, mengingat ketidakwajaran ini
berbeda dengan perusahaan pada umumnya, dimana bank memiliki banyak Kreditur.
Kepentingan seluruh Kreditur sudah sewajarnya menjadi pertimbangan bukan hanya
sekedar kepentingan dua atau tiga Kreditur saja. Selain kepentingan para Kreditur
Bank, maka kepentingan para nasabah Debitor dan nasabah pengguna jasa Bank juga
perlu menjadi pertimbangan.198
Dengan kata lain, implikasi kepailitan bagi kepercayaan masyarakat terhadap
industri perbankan perlu mendapat perhatian dalam mempailitkan bank. Oleh karena
197 Ibid. 198 Daniel Djoko Tarliman, et.al., “Kewenangan dan Tanggung Jawab Bank Indonesia Dalam
Kepailitan dan Likuidasi Lembaga Perbankan”, (Executive Summary Hasil Penelitian : Kerjasama Fakultas Hukum Universitas Surabaya dengan Bank Indonesia, 2004), hal. 35.
94
itu, adalah suatu pengaturan yang tepat dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang bahwa atas Bank
sebagai Debitor permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank
Indonesia. Dalam pelaksanaan kepailitan, Bank Indonesia sudah seharusnya
mengabaikan ukuran kepemilikan minimal dua Kreditur tersebut.199
Selanjutnya, untuk menghindari kesan bahwa mudah untuk mempailitkan
Debitor maka ukuran nilai atas ‘utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih’ juga
perlu menjadi pertimbangan. Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak menetapkan besarnya nilai utang
Debitor sebagai dasar untuk melaksanakan kepailitan. Artinya, berapapun nilai utang
Debitor kepailitan tetap dapat dilaksanakan asal utang tersebut tidak dibayar pada saat
jatuh tempo. Bagi Bank sebagai Debitor, ukuran nilai utang menjadi penting karena
kaitannya dengan pemeliharaan kepercayaan masyarakat terhadap Bank. Bila nilai
utang Bank hanya relatif sedikit maka adalah suatu tindakan yang keliru untuk
mempailitkan Bank, mempertimbangkan dampak kepailitan itu bagi pemeliharaan
kepercayaan masyarakat. Pihak yang menentukan ukuran nilai utang tersebut adalah
Bank Indonesia sendiri sejalan dengan kewenangan yang diberikan Undang-Undang
No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
kepadanya sebagai satu-satunya lembaga yang dapat mengajukan permohonan
pernyataan pailit atas Bank sebagai Debitor.200
199 Ibid. 200 Direktorat Hukum Bank Indonesia, Op.cit., hal. 11.
95
B. Jaring Pengaman Sistem Keuangan Sebagai Kebijakan Dalam Kepailitan Bank
Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) merupakan kerangka kerja yang
melandasi pengaturan mengenai skim asuransi simpanan, mekanisme pemberian
fasilitas pembiayaan darurat oleh Bank Sentral (lender of last resort), serta kebijakan
penyelesaian krisis. JPSK pada dasarnya lebih ditujukan untuk pencegahan krisis,
namun demikian kerangka kerja ini juga meliputi mekanisme penyelesaian krisis
sehingga tidak menimbulkan biaya yang besar kepada perekonomian. Dengan
demikian, sasaran JPSK adalah menjaga stabilitas sistem keuangan sehingga sektor
keuangan dapat berfungsi secara normal dan memiliki kontribusi positif terhadap
pembangunan ekonomi yang berkesinambungan.201
Pada tahun 2005, Pemerintah dan Bank Indonesia telah menyusun kerangka
Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK) yang kelak akan dituangkan dalam sebuah
Rancangan Undang Undang tentang Jaring Pengaman Sektor Keuangan. Dalam
kerangka JPSK dimaksud dimuat secara jelas mengenai tugas dan tanggung-jawab
lembaga terkait yakni Departemen Keuangan, Bank Indonesia dan Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS) sebagai pemain dalam jaring pengaman keuangan. Pada
prinsipnya Departemen Keuangan bertanggung jawab untuk menyusun perundang-
undangan untuk sektor keuangan dan menyediakan dana untuk penanganan krisis.
Bank Indonesia sebagai bank sentral bertanggung-jawab untuk menjaga stabilitas
moneter dan kesehatan perbankan serta keamanan dan kelancaran sistem
201 Bagian Menimbang huruf a., Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 4
Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4907.
96
pembayaran. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) bertanggung jawab untuk
menjamin simpanan nasabah bank serta resolusi bank bermasalah.202
Kerangka JPK tersebut telah dituangkan dalam Rancangan Undang-Undang
JPSK yang pada saat ini masih dalam tahap pembahasan Dengan demikian, UU JPSK
kelak akan berfungsi sebagai landasan yang kuat bagi kebijakan dan peraturan yang
ditetapkan oleh otoritas terkait dalam rangka memelihara stabiltas sistem keuangan.
Dalam RUU JPSK semua komponen JPSK ditetapkan secara rinci yakni meliputi: (1)
pengaturan dan pengawasan bank yang efektif; (2) lender of the last resort; (3) skim
asuransi simpanan yang memadai dan (4) mekanisme penyelesaian krisis yang
efektif.203
1. Pengaturan dan Pengawasan Bank yang Efektif
Pengaturan dan pengawasan bank yang efektif merupakan jarring pengaman
pertama dalam JPSK (First Line of Defense). Mengingat pentingnya fungsi
pengawasan dan pengaturan yang efektif, dalam kerangka JPSK telah digariskan
guiding principles bahwa pengawasan dan pengaturan terhadap lembaga dan pasar
keuangan oleh otoritas terkait harus senantiasa ditujukan untuk menjaga stabilitas
sistem keuangan, serta harus berpedoman kepada best practices dan standar yang
berlaku.204
202 Bank Indonesia, “Jaring Pengaman Sistem Keuangan”,
http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Stabilitas+Sistem+Keuangan/Manajemen+Krisis/Jaring+Pengaman+Sistem+Keuangan/., diakses pada 15 Mei 2011.
203 Ibid. 204 Ibid.
97
2. Lender of Last Resort
Kebijakan Lender of Last Resort (LLR) yang baik terbukti sebagai salah satu
alat efektif dalam pencegahan dan penanganan krisis. Sejalan dengan itu, Bank
Indonesia telah merumuskan secara lebih jelas kebijakan The Lender of Last Resort
(LLR) dalam kerangka JPSK untuk dalam kondisi normal dan darurat (krisis)
mengacu pada best practices. Pada prinsipnya, LLR untuk dalam kondisi normal
hanya diberikan kepada bank yang illikuid tetapi solven yang memiliki agunan likuid
dan bernilai tinggi. Sedangkan dalam pemberian LLR untuk kondisi krisis, potensi
dampak sistemik menjadi faktor pertimbangan utama, dengan tetap mensyaratkan
solvensi dan agunan.205
Untuk mengatasi kesulitan likuiditas yang berdampak sistemik, Bank
Indonesia sebagai lender of last resort dapat memberikan fasilitas pembiayaan
darurat kepada Bank Umum yang pendanaannya menjadi beban Pemerintah
berdasarkan Undang-Undang No 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No 3 Tahun 2004 yang telah
disetujui DPR tanggal 15 Januari 2004. Sebagai peraturan pelaksanaan fungsi lender
of the last resort, telah diberlakukan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.
136/PMK.05/2005 tanggal 30 Desember 2005 dan Peraturan Bank Indonesia (PBI)
No. 8/1/2006 tanggal 3 Januari 2006. Pendanaan Fasilitas Pembiayaan Darurat (FPD)
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).206
205 Ibid. 206 Ibid.
98
3. Skim Penjaminan Simpanan (deposit insurance) yang Memadai
Pengalaman menunjukkan bahwa Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
merupakan salah satu elemen penting dalam menjaga Stabilitas Sistem Keuangan.
Program penjaminan pemerintah (blanket guarantee) yang diberlakukan akibat krisis
sejak tahun 1998 memang telah berhasil memulihkan kepercayaan masyarakat
terhadap sektor perbankan. Namun penelitian menunjukkan bahwa blanket guarantee
tersebut dapat mendorong moral hazard yang berpotensi menimbulkan krisis dalam
jangka panjang.207
Sejalan dengan itu, telah diberlakukan Undang-Undang No. 24 Tahun 2004
tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Dalam ketentuan tersebut, LPS nantinya
memiliki dua tanggung jawab pokok yakni: (i) untuk menjamin simpanan nasabah
bank; dan (ii) untuk menangani (resolusi) bank bermasalah. Untuk menghindari
dampak negatif terhadap stabilitas keuangan, penerapan skim LPS tersebut akan
dilakukan secara bertahap. Selanjutnya, jaminan simpanan nasabah bank akan
dibatasi sampai dengan Rp100 juta per rekening mulai Maret 2007.208
4. Kebijakan Resolusi Krisis yang Efektif
Kebijakan penyelesaian krisis yang efektif dituangkan dalam kerangka
kebijakan JPSK agar krisis dapat ditangani secara cepat tanpa menimbulkan beban
yang berat bagi perekonomian. Dalam JPSK ditetapkan peran dan kewenangan
masing-masing otoritas dalam penanganan dan penyelesaian krisis, sehingga setiap
207 Ibid. 208 Ibid.
99
lembaga memiliki tanggung jawab dan akuntabilitas yang jelas. Dengan demikian,
krisis dapat ditangani secara efektif, cepat, dan tidak menimbulkan biaya sosial dan
biaya ekonomi yang tinggi.209
Dalam pelaksanaannya, JPSK memerlukan koordinasi yang efektif antar
otoritas terkait. Untuk itu dibentuk Komite Koordinasi yang terdiri dari Menteri
Keuangan, Gubernur Bank Indonesia dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS). Sebagai bagian dari kebijakan JPSK tersebut, telah
dikeluarkan Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia dan
Ketua Dewan Komisioner LPS tentang Forum Stabilitas Sistem Keuangan sebagai
wadah koordinasi bagi Bank Indonesia, Departemen Keuangan dan Lembaga
Penjamin Simpanan dalam memelihara stabilitas sistem keuangan.210
C. Peran Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Dalam Mengembalikan Dana Nasabah pada Bank yang Pailit
Industri perbankan merupakan salah satu komponen yang sangat penting
dalam perekonomian suatu negara. Krisis pada 1997-1998 telah memberi pelajaran
yang berharga bahwa kepercayaan masyarakat dan stabilitas sistem perbankan itu
sangat mahal harganya. Berawal dari penutupan 16 bank umum, krisis menimbulkan
keraguan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap keamanan menempatkan
dananya pada sistem perbankan.211 Ketidakpercayaan tersebut kemudian mendorong
masyarakat untuk menarik simpanannya secara besar-besaran dari sistem perbankan
209 Ibid. 210 Ibid. 211 Website Resmi Lembaga Penjamin Simpanan, “Sejarah Pendirian Lembaga Penjaminan
Simpanan (LPS)”, http://www.lps.go.id/v2/home.php?link=sejarah., diakses pada 15 Mei 2011.
100
(bank run / Bank Rush). Dana yang ditarik nasabah tersebut sebagian dilarikan ke luar
negeri dan menyebabkan capital flight, sebagian dibelikan valuta asing, serta
sebagian dibelanjakan untuk keperluan konsumtif yang mengakibatkan tingkat inflasi
melonjak drastis. Hal itulah yang menyebabkan nilai tukar rupiah anjlok hingga
Rp.16.000,- terhadap US$.212
Untuk mengatasi dampak buruk dari penarikan dana tersebut serta sebagai
upaya menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan,
pemerintah mengeluarkan kebijakan penjaminan terhadap seluruh kewajiban
pembayaran bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat (blanket guarantee) melalui
Keppres No. 26 dan No. 193 Tahun 1998.213 Di samping kebijakan tersebut, dalam
rangka memperbaiki kinerja perbankan dan memperkuat struktur permodalan bank,
pemerintah melakukan restrukturisasi dan rekapitulasi perbankan yang seluruhnya
menelan biaya yang luar biasa besarnya.214
1. Pendirian Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
Kebijakan blanket guarantee telah terbukti menumbuhkan kembali
kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan. Akan tetapi, di sisi lain dapat
membebani keuangan negara dan menimbulkan moral hazard, yakni insentif bagi
212 Lepi T. Tarmidi, “Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran”,
Pidato Pengukuhan Guru Besar Madya pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 10 Juni 1998, hal. 3.
213 Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 29., dan Keputusan Presiden No. 193 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 185.
214 Website Resmi Lembaga Penjamin Simpanan, “Peran LPS Dalam Mendukung Stabilitas Sistem Perbankan”, http://www.lps.go.id/v2/home.php?link=publikasi&pub_id=147., diakses pada 15 Mei 2011.
101
bankir atau nasabah untuk mengambil risiko yang lebih besar dikarenakan adanya
penjaminan simpanan. Dengan pertimbangan perlunya menjaga kepercayaan
masyarakat dan meminimalkan dampak negatif dari blanket guarantee, pemerintah
menetapkan untuk secara bertahap mengurangi lingkup penjaminan dan hanya akan
memberikan jaminan terhadap simpanan dalam jumlah terbatas (limited
guarantee).215
Kebijakan tersebut dituangkan dalam ketentuan Pasal 37 B Undang-Undang
No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-
Undang No. 10 Tahun 1998, yang mengatur bahwa setiap bank wajib menjamin dana
masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan. Untuk menjamin dana
masyarakat tersebut, pemerintah membentuk suatu Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS). Sebagai implementasinya, pada tanggal 22 September 2004 ditetapkan
Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS).
LPS dirancang sebagai suatu unsur penting dalam jaring pengaman sistem keuangan
(financial safety net) yang merupakan praktik terbaik di banyak negara.216
2. Fungsi dan Peran Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
Fungsi LPS adalah menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif
dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya. Fungsi
penjaminan diejawantahkan dengan melakukan pembayaran klaim penjaminan atas
simpanan nasabah bank yang dicabut izinnya dan menunjuk Tim Likuidasi untuk
215 Ibid. 216 Ibid.
102
membereskan aset dan kewajiban bank tersebut, sedangkan fungsi turut aktif
memelihara stabilitas sistem perbankan diwujudkan dalam bentuk upaya
menyelamatkan atau penyehatan terhadap bank gagal yang tidak berdampak sistemik
maupun bank gagal yang terdampak sistemik (Bank Resolution).217
Keputusan menyelamatkan atau tidak menyelamatkan bank gagal tidak
berdampak sistemik ditetapkan oleh LPS. Salah satu pertimbangannya didasarkan
pada penghitungan biaya yang lebih rendah (lower cost test) antara menyelamatkan
bank tersebut dengan membayar klaim penjaminan. Sedangkan, keputusan untuk
menyelamatkan gagal yang berdampak sistemik ditetapkan dan diserahkan oleh
Komite Koordinasi (KK) yang terdiri dari Menteri Keuangan, Gubernur Bank
Indonesia (BI), dan Ketua Dewan Komisioner. Setelah itu, LPS bertindak sebagai
pelaksana dalam penyelamatan bank gagal yang telah diputuskan berdampak
sistemik.218
Dalam upaya dalam menyelamatkan bank gagal, LPS mempunyai
kewenangan, antara lain mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang
Pemegang Saham, termasuk RUPS; menguasai, mengelola, dan menjual/mengalihkan
aset bank; melakukan Penyertaan Modal Sementara (PMS); serta mengalihkan
manajemen pada pihak lain. LPS mempunyai jangka waktu penyelamatan paling
lama 4 tahun untuk bank tidak berdampak sistemik dan 5 tahun untuk bank gagal
217 Ibid. 218 Ibid.
103
yang berdampak sistemik. Selanjutnya, LPS harus menjual seluruh saham bank yang
diperoleh dari Penyertaan Modal Sementara (PMS) secara terbuka dan transparan.219
Mengenai pembayaran klaim penjaminan simpanan nasabah bank yang
dicabut izinnya, LPS memiliki hak untuk menggantikan posisi nasabah penyimpan
tersebut (hak subrogasi) dalam pembagian hasil likuidasi bank. Pemberian
kewenangan dan hak tersebut dimaksudkan untuk mengoptimalkan tingkat pemulihan
(recovery rate) bagi LPS, sehingga keberlangsungan program penjaminan simpanan
dapat terus dijaga.220
D. Penanganan Dana Nasabah Bank yang Pailit
Krisis perbankan nasional telah memberikan pelajaran bagi kita semua bahwa
kegagalan suatu bank pada akhirnya menjadi beban Negara. Rekapitalisasi melalui
penerbitan obligasi pada akhirnya membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) secara berkepanjangan. Oleh karena itu, wajar kalau dikatakan
bahwa kegagalan sebuah bank pada akhirnya menjadi beban masyarakat. Kegagalan
sebuah bank secara realistis harus dijadikan suatu risiko yang terukur dan rasional.
Artinya sejak awal harus disadari bahwa peluang gagalnya suatu bank harus
diperhitungkan sekecil apapun peluangnya. Dengan demikian dapat dilakukan
pencadangan sumber dananya agar penanganan bank gagal menjadi lebih terorganisir
dengan baik dan dapat dipertanggung jawabkan.221
219 Ibid. 220 Ibid. 221 Krisna Wijaya, Op.cit.
104
Tentunya sulit diterima oleh semua pihak kalau dalam APBN akan
dialokasikan sejumlah dana pencadangan untuk mengatasi bank gagal. Oleh sebab
itu, diperlukan pendekatan dan penanganan khusus oleh suatu lembaga yang khusus
juga. Bersyukurlah kalau pada akhirnya kita mempunyai Lembaga Penjaminan
Simpanan (LPS) yang telah beroperasi sejak tanggal 22 September 2005. Keberadaan
LPS terlanjur dipahami hanya sekedar menjalankan fungsi penjaminan simpanan
masyarakat yang menabung di bank. Masih banyak yang belum mengetahui bahwa
salah satu tugas strategis LPS diluar penjaminan simpanan adalah penanganan bank
gagal dan melaksanakan proses dan penyelesaian likuidasi bank.222
Bank gagal yang akan ditangani LPS adalah bank gagal yang berdampak
sistemik dan tidak sistemik. Pengertian sistemik adalah apabila kegagalan bank akan
berdampak luar biasa baik dalam penarikan dana (rush) maupun terhadap kelancaran
dan kelangsungan roda perekonomian. Sementara yang tidak sistemik tentunya
apabila tidak memenuhi kriteria tersebut diatas. Dalam menangani bank gagal yang
sistemik maupun tidak, pihak LPS akan melakukan kajian dan memutuskan apakah
akan diselamatkan atau tidak. Jika biaya penyelamatan jauh lebih mahal dari pada
dengan menglikuidasi, maka penyelesaiannya singkat saja. Bank diusulkan dicabut
ijin usahanya, kemudian dilikuidasi dan LPS membayar klaim atas simpanan
masyarakat.223
Apabila LPS memutuskan untuk melakukan penyelamatan, maka ada
perbedaan perlakuan antara penyelamatan bank gagal sistemik dan tidak sistemik.
222 Ibid. 223 Ibid.
105
Untuk bank gagal tidak sistemik penyelamatan tidak mengikutsertakan pemegang
saham lama. Artinya segala biaya yang timbul untuk penyelamatan akan menjadi
disediakan oleh pihak LPS. Untuk bank gagal sistemik dapat dilakukan baik tanpa
melibatkan pemegang saham lama maupun dengan cara melibatkan pemegang saham
lama (open bank assistance). Dalam hal pemegang saham lama akan terlibat dalam
penyelematan, maka diwajibkan menyetor minimal 20% dari total biaya
penyelamatan. Sama seperti bank gagal sistemik, maka kekurangannya akan
ditangani LPS.224
Untuk penanganan bank gagal dengan skim apapun, pihak LPS berdasarkan
Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, diberikan
kewenangan yang sangat memadai. Kewenangan RUPS dan pengelolaan bank gagal
sepenuhnya diserahkan kepada LPS sehingga program penyelamatan dapat dilakukan
lebih efektif. Termasuk dalam kewenangan yang diberikan kepada LPS adalah untuk
melakukan penyertaan sementara, melakukan merger dan konsolidasi dengan bank
lain. Sekalipun diperbolehkan melakukan penyelamatan, bukan berarti dana
“talangan” dari LPS akan hilang. Semua biaya yang timbul akibat melakukan
penyelamatan suatu bank akan diperhitungkan sebagai penyertaan sementara. Jangka
waktu penyertaan LPS dibatasi dan harus menjual kembali sahamnya maksimal 2-3
tahun sejak penyelamatan dilakukan.225
Dalam hal suatu bank pada akhirnya harus dilikuidasi, maka hasil penjualan
aset bank terlikuidasi akan didistribusikan secara prioritas untuk biaya gaji dan
224 Ibid. 225 Ibid.
106
pesangon pegawai, biaya operasional dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh
LPS. Apabila hasil penjualan aset masih belum mencukupi, maka sisanya akan tetap
menjadi kewajiban pihak pemegang saham lama. Dari skim penanganan bank gagal
oleh LPS sebagaimana telah diuraikan diatas, dapat disimpulkan bahwa apabila
terjadi kegagalan bank secara sistem telah ada mekanisme penyelesaian yang lebih
pasti dan terstruktur. Disamping itu ada sangsi yang jelas dan tegas kepada pemegang
saham yang mengakibatkan banknya gagal. Hal tersebut tentunya akan memberikan
suatu perlindungan yang lebih memadai baik bagi masyarakat maupun pemerintah.226
Sekalipun demikian harus tetap disadari bahwa keberadaan LPS belum bisa
membebaskan beban pemerintah. Sebab apabila kemampuan LPS baik dari modal,
akumulasi premi dan cadangan serta surplus usaha tidak mencukupi, maka
kekurangannya akan tetap dimintakan kepada pemerintah. Kalau dilihat bahwa
kemungkinan itu ada, maka LPS memang bukan dewa penyelamat yang handal. Pada
akhirnya harus diyakini bahwa penanganan bank gagal yang paling ampuh dan
mujarab adalah apabila bank yang ada selalu sehat. Mungkin ada yang berpendapat
gagal tidaknya suatu bank tergantung kepada unsur pengawasannya. Kesan itu tidak
salah tetapi juga tidak selalu benar. Sebab dalam keseharian yang menentukan sehat
tidaknya bank kembali kepada pengelola dan pemiliknya.227
Sebagai langkah antisipasi kedepan, tentu ada baiknya dicarikan suatu
pendekatan yang lebih komprehensif dalam rangka menumbuh-kembangkan
perbankan yang kuat sekaligus sehat. Ada pendekatan yang ideal dan perlu dikaji
226 Ibid. 227 Ibid.
107
lebih lanjut. Biarkan Bank Indonesia fokus pada pengelolaan moneter dan regulator,
lalu OJK (Otoritas Jasa Keuangan) fokus kepada pengawasan dan LPS dalam
penanganan bank gagal. Jadi akan ada segitiga pengaman untuk perbankan nasional
yang lebih terstruktur sekaligus terukur.228
Terkait dengan Teori Hukum ”Law and Economic Development” (Leonard J.
Theberge), yang mengatakan bahwa hukum berperan untuk pembangunan ekonomi
harus memiliki keterprediksian, stabilitas, keadilan, pendidikan & sosialisasi hukum,
dan pendidikan spesialis hukum bagi penegak hukum. Mengenai mekanisme hukum
yang harus dilalui oleh Kreditor Bank (Nasabah) untuk pengajuan klaim dana
simpanannya maka dapat dilakukan melalui :
1. Proses kepailitan itu sendiri pada saat Bank tersebut dicabut izin usahanya
oleh Bank Indonesia dengan begitu status hukumnya adalah Perseroan
Terbatas biasa, jadi dapat dimohonkan pailit agar dana Nasabah Bank dapat
kembali (dalam hal ini, dilakukan jika dana nasabah lebih dari Rp. 100 juta);
2. Bank Indonesia dengan program Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK)
yang menjamin dana Rp. 100 juta setiap rekening kepada Nasabah Bank;
3. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Kreditor (Nasabah) dapat mengajukan
klaim pembayaran atas dana simpanannya pada lembaga tersebut jika Bank
tempat nasabah menyimpan dananya dilikuidasi.
Maksud keterprediksian disini adalah bahwa setiap Nasabah Bank tidak perlu
takut kehilangan dananya apabila Bank tempat Nasabah menyimpan uangnya
228 Ibid.
108
dilikuidasi. Dalam hal stabilitas peraturan pelaksananya adalah terkait dengan
perubahan ketentuan mengenai pengajuan klaim tersebut agar tidak berubah-ubah
dengan begitu maka Nasabah akan terbiasa dan mengerti proses birokrasi. Keadilan
menyangkut kepercayaan yang diberikan oleh Nasabah kepada Bank, dalam hal ini
jika Nasabah sudah percaya kepada Bank sebaiknya pihak pengurus Bank
mempergunakan dana tersebut untuk mengembangkan usaha Bank itu, bukan untuk
kepentingan pengurus atau pribadi atau golongan tertentu.
Dalam hal pendidikan hukum mengenai proses kepailitan Bank, Nasabah
harus melek terhadap sosialisasi yang dilakukan oleh pihak Bank. Antara Nasabah
dan Bank juga harus mengetahui perkembangan hukum yang terjadi di masyarakat,
seperti kondisi dari Bank tersebut apakah sehat atau tidak dapat diketahui melalui
Bank Indonesia. Pendidikan bagi penegak hukum adalah pengetahuan terhadap Bank,
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), maupun Bank Indonesia itu sendiri. LPS
tersebut tidak lain adalah sebagai skim perlindungan terhadap Nasabah Bank.
109
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Setelah melakukan penelitian mengenai “Analisis Yuridis Permohonan
Pernyataan Pailit Terhadap Bank dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”, maka kesimpulan yang
didapat, sebagai berikut :
1. Kedudukan Bank Indonesia dalam hal pengajuan permohonan pailit terhadap
Bank adalah sebagai Bank Sentral yang mengontrol seluruh tindakan dari
Bank. Pengajuan permohonan pernyataan pailit bagi Bank sepenuhnya
merupakan kewenangan Bank Indonesia dan semata-mata didasarkan atas
penilaian kondisi keuangan dan kondisi perbankan secara keseluruhan, oleh
karena itu tidak perlu dipertanggungjawabkan. Kewenangan Bank Indonesia
untuk mengajukan permohonan pailit ini tidak menghapuskan kewenangan
Bank Indonesia terkait dengan ketentuan mengenai pencabutan izin usaha
Bank, pembubaran badan hukum, dan likuidasi Bank sesuai peraturan
perundang-undangan. Hal ini disebabkan karena Bank Indonesia memiliki
peranan yang sangat besar dalam menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK).
Lender of the Last of Resort merupakan instrumen pengawasan pada saat
krisis, dimana Bank Sentral dapat memberikan bantuan kepada Bank yang
mengalami krisis likuiditas apabila ada potensi terjadi resiko sistemik. Hal ini
110
bertujuan untuk memulihkan kepercayaan sehingga menciptakan kredibilitas
bank, sehingga stabilitas keuangan juga turut terjaga.
2. Masalah Bank Indonesia sebagai Bank Sentral dalam pengajuan kepailitan
Bank adalah terbukanya peluang bagi Kreditor Bank (Nasabah Bank) selain
Bank Indonesia itu sendiri dalam pengajuan pailit terhadap Bank. Peraturan
Pemerintah No. 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran
dan Likuidasi Bank bahwa pada saat Bank dicabut izinnya oleh Pimpinan
Bank Indonesia maka status Bank berubah menjadi Perseroan Terbatas biasa
tidak dalam bentuk Bank lagi karena sudah tidak bergerak dalam sektor
perbankan. Jadi, kreditor lainnya selain Bank Indonesia juga dapat
mengajukan permohonan pailit terhadap Bank dalam likuidasi terkait
pencabutan izin oleh Bank Indonesia. Kasusnya dapat dilihat pada pengajuan
pailit Bank Global.
3. Mekanisme hukum yang dapat digunakan oleh Kreditor dalam menyelesaikan
piutangnya terhadap Bank, antara lain :
a. Melalui permohonan pailit yang diajukan oleh Nasabah Bank itu sendiri
(Kreditor Bank). Pengajuan pailit ini berdasarkan Undang-Undang No. 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang;
b. Melalui Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) yang dilakukan oleh
Pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia;
111
c. Melalui mekanisme pengajuan klaim kepada Lembaga Penjamin
Simpanan (LPS) berdasarkan ketentuan yang berlaku.
Proses kepailitan lebih menjamin pembagian harta kekayaan debitur secara
parri passu (membagi secara proporsional harta kekayaan Debitor). Dengan
demikian setiap Kreditor memiliki kesempatan yang sama dalam hal menuntut
hak-hak mereka oleh karena pembagian harta Debitor dibagi secara
proporsional sehingga dengan demikian lebih melindungi kreditor-
kreditornya.
B. Saran
Berdasarkan analisis dari kesimpulan di atas, selanjutnya akan disarankan hal-
hal sebagai berikut sebagai pemecahan masalah :
1. Bertolak dari kesimpulan pertama, kedudukan Bank Indonesia adalah sebagai
Bank Sentral dalam hal pengajuan pailit terhadap Bank maka perlu untuk
segera melakukan revisi terhadap Undang-Undang No. 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sehingga
polemik yang timbul di masyarakat dapat diselesaikan khususnya di dunia
bisnis sehingga tercipta Kepastian Hukum, Kemanfaatan Hukum, dan
Keadilan Hukum. Apabila Bank Indonesia tetap berpendirian bahwa sebuah
Bank tidak dapat dipailitkan oleh karena mempunyai dampak yang sangat
besar terhadap perekonomian negara dalam hal Bank itu dipailitkan, maka
sebaiknya dalam hal kepailitan Bank diatur tersendiri di luar ketentuan
112
kepailitan seperti di Amerika Serikat dimana Bankruptcy Code mengecualikan
Bank sebagai salah satu subjek hukum kepailitan.
2. Dalam hal pengajuan pailit Bank, terbukanya peluang bagi Kreditor Lain
(Nasabah Bank) untuk mengajukan pailit maka sebaiknya apabila sebuah
badan hukum Bank tetap dijadikan sebagai salah satu subjek hukum dalam
proses kepailitan maka perlu diatur lebih detail lagi mengenai proses
kepailitan terhadap suatu Bank itu sendiri oleh karena apabila tidak diatur
secara detail untuk kedepannya tidak menutup kemungkinan masalah-masalah
mengenai kepailitan suatu Bank akan menjadi perdebatan kembali.
3. Untuk mekanisme pengajuan klaim pembayaran tidak ada masalah yang
timbul jika dana yang dijaminkan tidak lebih besar dari angka jaminan itu
sendiri. Namun, jika dana Nasabah Bank (Kreditor Bank) lebih besar dari
angka jaminan (Rp. 100 juta) itu maka proses kepailitan yang lebih menjamin
adanya Kepastian Hukum oleh karena telah ditetapkan jangka waktu hingga
adanya putusan pailit.
Demikianlah saran yang diajukan agar kiranya dapat menjadi pertimbangan di
kemudian hari, baik untuk memperkaya khasanah kepustakaan maupun untuk
penelitian lanjutan mengenai pengajuan kepailitan terhadap Bank oleh Bank
Indonesia.
113
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Anisah, Siti., Perlindungan Kepentingan Kreditor dan Debitor Dalam Hukum Kepailitan di Indonesia : Studi Putusan-Putusan Pengadilan, Yogjakarta : Total Media, 2008.
Armour, J., “The Law and Economics of Corporate Insolvency : A Review”, Cambridge : ESRC Centre for Business Research University of Cambridge, Maret 2001.
Arifin, Sjamsul., et.al., IMF dan Stabilitas Keuangan Internasional : Suatu Tinjauan Kritis, Jakarta : Elex Media Komputindo, 2004.
Asser, Tobias M.C., Legal Aspects of Regulatory Treatment of Banks in Distress, Washington DC : International Monetary Fund, 2001.
Badrulzaman, Mariam Darus., et.al, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001.
Bertens, K., Pengantar Etika Bisnis, Yogyakarta : Kanisius, 2000.
Black, Henry Campbell and Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary (Standard Edition), Edisi Kesembilan, Amerika Serikat : West Group, 2009.
Blinder, Alan S., Central Banking in Theory and Practice, Cambridge : The MIT Press, 1998.
Bragg, Steven M., Business Ratios and Formulas : A Comprehensive Guide, Second Edition, Amerika Serikat : John Wiley & Sons Inc., 2010.
Bungin, Burhan., Penelitian Kualitatif : Komunikasi Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, Edisi I, Cetakan 3, Jakarta : Kencana, 2009.
114
Chand, Hari., Modern Jurisprudence, Kuala Lumpur : International Law Book Services, 1994.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Jakarta : Balai Pustaka, 1996.
Direktorat Hukum Bank Indonesia, “Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan”, Volume 2 Nomor 2, Jakarta : Bank Indonesia, Agustus 2004.
Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank Indonesia, “Kerangka Acuan Tugas Penelitian dan Publikasi: Peran Bank Sentral dalam Stabilitas Sistem Keuangan dan Jaring Pengaman Sektor Keuangan”, Jakarta : Bank Indonesia, Maret 2009.
Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan Biro Stabilitas Sistem Keuangan, “Booklet Stabilitas Sistem Keuangan”, Jakarta : Bank Indonesia, 2007.
Echols, John M., dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta : Gramedia, 1979.
Ernawan, Erni R., Business Ethics : Etika Bisnis, Bandung : Alfabeta, 2007.
Guitián, Manuel., Rules and Discretion in International Economic Policy, Occasional Paper, (Washington DC : International Monetary Fund, Juni 1992).
Hadinoto, Soetanto., Bank Strategy on Funding and Liability Management, Jakarta : Elex Media Komputindo, 2008.
Hanintijo, Soemitro Ronny., Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1998.
115
Hanum, Habiba., “Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan”, Tesis : Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2007.
Hartono, Sri Redjeki., Husni Syawali, dan Neni Sri Imaniyati, Kapita Selekta Hukum Ekonomi, Bandung : Mandarmaju, 2000.
Hartono, Siti Soemarti., Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Yogjakarta : Seksi Hukum Dagang, Fakultas Hukum UGM, 1981.
Hawtrey, R.G., The Art of Central Banking, 2nd Edition, Amerika Serikat : Frank Cass Publisher, 1970.
Irawan, Bagus., Aspek-Aspek Hukum Kepailitan; Perusahaan; dan Asuransi, Bandung : Alumni, 2007.
Ismail, Maqdir., Bank Indonesia: Independensi, Akuntabilitas dan Transparansi, Jakarta : Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, 1997.
Judisseno, Rimsky K., Sistem Moneter dan Perbankan di Indonesia, Ceetakan Kedua, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2005.
Jono, Hukum Kepailitan, Jakarta : Sinar Grafika, 2008.
Keraf, A. Sonny., Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya, Yogyakarta : Kanisius, 1998.
Laporan Lima Tahun DPR-RI 2004-2009, (Jakarta : Sekjend DPR-RI & UNDP dan AusAID, 2009).
Linnan, David K., Indonesian Bankcruptcy Policy & Reform: Reconciling Efficiency and Economic Nationalism, Singapura : Institute of Southeast Asian Studies Singapore, September 1999.
M. Ralona., Kamus Istilah Ekonomi Populer, Jakarta : Gorga Media, 2006.
116
Mcleod, Ross H., Indonesia Assessment 1994 : Finance as a Key Sector in Indonesia’s Development, Singapura & Australia : Heng Mui Keng Terrace & Australian National University, 1994.
Moleong, Lexy J., Metodelogi Penelitian Kualitatif, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2004.
Nasution, Bismar., “Aspek Hukum Peran Bank Sentral Dalam Stabilitas Sistem Keuangan (SSK)”, (Bank Indonesia : Laporan Hasil Penelitian, 2007).
Nurtjahjo, Hendra., et.al., Eksistensi Bank Sentral Dalam Konstitusi Berbagai Negara (Pembahasan Kemandirian Bank Indonesia dalam Perspektif Hukum Tata Negara), Depok : Pusat Studi Hukum Tata Negara, 2002.
Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1999.
Prasetya, Rudhi., Likuidasi Sukarela Dalam Hukum Kepailitan, Makalah Seminar Hukum Kebangkrutan, Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, 1996.
Rahardjo, Satjipto., et.al., Bank Indonesia dalam Kilasan Sejarah, Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia, 1995.
Rajagukguk, Erman., “Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi”, Jilid 2, Jakarta : Universitas Indonesia, 1995.
Saphiro, Ian., Asas Moral dalam Politik, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia bekerjasama dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat Jakarta dan Freedom Institute, 2006.
Sastrawidjaja, Man. S., Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung : Alumni, 2006.
117
Sjahdeini, Sutan Remy., Hukum Kepailitan : Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan (Edisi Baru), Cetakan Pertama, Jakarta : Pustaka Utama Grafika, 2009.
Smith, Vera Constance., The Rationale of Central Banking and the Free Banking Alternative, London : PS King and Sons, 1936.
Soekanto, Soerjono., Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Universitas Indonesia, 1986.
Siregar, Mustafa., Efektivitas Perundang-Undangan Perbankan dan Lembaga Keuangan Lainnya dengan Penelitian di Wilayah Kodya, Medan : USU, 1990.
Sitompul, Zulkarnain., Perlindungan Dana Nasabah Bank : Suatu Gagasan tentang Pendirian Lembaga Penjaminan Simpanan di Indonesia, Jakarta : Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002.
Subhan, M. Hadi., Hukum Kepailitan : Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, Jakarta : Kencana, 2008.
Sunarmi, Hukum Kepailitan, Medan : USU Press., 2009.
Sunggono, Bambang., Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta : Rajawali Press, 2010.
Tampubolon, Pamela Romauli., “Perubahan Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing Dikaitkan Dengan Penyaluran Kredit Bank”, Tesis : Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2009.
Tarliman, Daniel Djoko., et.al., “Kewenangan dan Tanggung Jawab Bank Indonesia Dalam Kepailitan dan Likuidasi Lembaga Perbankan”, (Executive Summary Hasil Penelitian : Kerjasama Fakultas Hukum Universitas Surabaya dengan Bank Indonesia, 2004.
118
Tarmidi, Lepi T., “Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran”, Pidato Pengukuhan Guru Besar Madya pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 10 Juni 1998.
Timothy, Andreas., “Tinjauan Yuridis tentang Kasus Permohonan Pernyataan Pailit PT.Bank IFI terhadap PT.Bank Danamon Indonesia, Tbk.”, Tesis : Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2005.
Usman, Rachmadi., Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Cetakan Kedua, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, Desember 2003.
Velasquez, Manuel G., Business Ethics : Concepts and Cares (Fifth Edition), New Jersey : Pearson Education Inc., 2002.
Wirasasmita, HRA Rivai., et.al., Kamus Lengkap Ekonomi, Bandung : Pionir Jaya, 2002.
Zafer, M.R., Jurisprudence: An Outline, Kuala Lumpur : International Law Book Services, 1994.
ARTIKEL INTERNET
Bank Indonesia, “Bank Dalam Pengawasan Khusus (Special Surveillance)”, http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Bank+dalam+Pengawasan+Khusus/., diakses pada 13 Mei 2011.
--------------------., “Definisi Stabilitas Sistem Keuangan”, http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Stabilitas+Sistem+Keuangan/Ikhtisar/Definisi+SSK/., diakses pada 12 Mei 2011.
--------------------., “Jaring Pengaman Sistem Keuangan”, http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Stabilitas+Sistem+Keuangan/Manajemen+Krisis/Jaring+Pengaman+Sistem+Keuangan/., diakses pada 15 Mei 2011.
119
--------------------., “Peran Bank Indonesia Dalam Stabilitas Keuangan”, http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Stabilitas+Sistem+Keuangan/Peran+Bank+Indonesia/Peran+ BI/., diakses pada 13 Mei 2011.
--------------------., ”Tujuan dan Tugas Bank Indonesia”, http://www.bi.go.id/web/id/Tentang+BI/Fungsi+Bank+Indonesia/Tujuan+dan+Tugas/., diakses pada 13 Mei 2011.
--------------------., “Tujuan Pengaturan dan Pengawasan Bank”, http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Ikhtisar+Perbankan/Pengaturan+dan+Pengawasan+Bank/Tujuan+dan+Kewenangan/., diakses pada 13 Mei 2011.
Darmawan, Yusran., ”Membincang Holistik dalam Antropologi”, http://timurangin.blogspot.com/2009/08/membincang-holistik-dalam-antropologi.html., diakses pada 12 Mei 2011.
Faraby, Reza., ”Masalah Kedudukan Peraturan Bank Indonesia (PBI) terhadap Hierarki Perundang-Undangan (Implikasi dari Kedudukan dan Peran Bank Indonesia yang Indpenden)”, http://stasiunhukum.wordpress.com/2009/10/22/masalah-kedudukan-peraturan-bank-indonesia-pbi-terhadap-hierarki-perundang-undangan-implikasi-dari-kedudukan-dan-peran-bank-indonesia-yang-independen/., diakses 13 Mei 2011.
Janisriwati, Sylvia., “Disertasi Sylvia Janisriwati : Kewenangan Bank Indonesia dalam Menyatakan Pailit”, http://prasetya.ub.ac.id/berita/Disertasi-Sylvia-Janisriwati--Kewenangan-Bank-Indonesia-dalam-Menyatakan-Pailit-1583-id.html., diakses pada 14 Mei 2011.
Kamus Bahasa Indonesia Online, “ W e w e n a n g ”, http://kamusbahasaindonesia.org/wewenang., diakses pada 12 Mei 2011.
-----------------------------------------------., “ M e k a n i s m e ”, http://kamusbahasaindonesia.org/mekanisme., diakses pada 12 Mei 2011.
-----------------------------------------------., “ I n t e g r a l ”, http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php., diakses pada 12 Mei 2011.
120
K, Ronny Junaidy., “Ilmu Hukum dalam Perspektif Ilmu Pengetahuan Modern”, http://www.legalitas.org/content/ilmu-hukum-dalam-perspektif-ilmu-pengetahuan-modern., diakses pada 13 Agustus 2010.
Kelompok Kerja Edukasi Masyarakat di Bidang Perbankan, ”Cetak Biru Edukasi Masyarakat d i B i d a n g P e r b a n k a n”, http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/0906143C-163D-4A02-BC59-C2D6C0E31AE9/903/CetakBiruEdukasiMasyarakatdiBidangKeuangan.pdf., diakses pada 12 Mei 2011.
Pramudya, Kelik., “Kelemahan Hukum Kepailitan di Indonesia”, http://click-gtg.blogspot.com/2008/10/kelemahan-hukum-kepailitan-di-indonesia.html., diakses pada 14 Mei 2011.
Sitompul, Zulkarnain., “Likuidasi BDB dan Efektifitas Pengawasan Bank”, Majalah Pilars No. 28, periode 12-18 Juli 2004.
--------------------------., “Perlukah PT DI Dipailitkan”, http://zulsitompul.wordpress.com/isu-sentral/., diakses pada 14 Mei 2011.
Sudarwanto, Barno., “Mengupayakan Bank Indonesia yang Independen”, 15 Desember 2009, dalam ”Peranan Bank Indonesia Sebagai Last Money Lender”, http://sandipieceofmind.blogspot.com/2010/01/peranan-bank-indonesia-sebagai-last.html., diakses pada 13 Mei 2011.
Suwono, “Pemberdayaan dan Perlindungan Hukum Nasabah Bank”, http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2004/4/19/o2.htm., diakses pada 14 Mei 2011.
Website Resmi Lembaga Penjamin Simpanan, “Peran LPS Dalam Mendukung Stabilitas Sistem Perbankan”, http://www.lps.go.id/v2/home.php?link=publikasi&pub_id=147., diakses pada 15 Mei 2011.
121
-----------------------------------------------------------., “Sejarah Pendirian Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS)”, http://www.lps.go.id/v2/home.php?link=sejarah., diakses pada 15 Mei 2011.
Wijaya, Krisna., “Penanganan Bank Gagal”, http://www.lps.go.id/v2/home.php?link=publikasi&pub_id=35., diakses pada 13 Mei 2011.
Wikisource, “Krisis Global dan Penyelamatan Sistem Perbankan Indonesia/Bab 3”, http://id.wikisource.org/wiki/Krisis_Global_dan_Penyelamatan_Sistem_Perbankan_Indonesia/Bab_3., diakses pada 13 Mei 2011.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 29.
Keputusan Presiden No. 193 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 185.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Staatsblad 1847 Nomor 23.
Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1996 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3659.
Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3831.
122
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4907.
Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472.
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790.
Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843.
Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 ttg Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357.
Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420.
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4443.
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756.