analisis yuridis pasal 15 ayat (2) huruf f undang-undang nomor 2tahun 2014 tentang perubahan atas...

25
Analisis Yuridis Pasal 15 Ayat (2) Huruf f Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 ANALISIS YURIDIS PASAL 15 AYAT (2) HURUF F UNDANG-UNDANGNOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHANATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARISTERKAITKEWENANGAN NOTARIS SEBAGAI PEJABAT PEMBUATAKTA PERTANAHAN Wira Prihandini Program Studi S-1 Ilmu Hukum, Jurusan PMP-KN, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Surabaya, [email protected] Abstrak Kewenangan Notaris membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan dalam pasal 15 ayat (2) huruf f UUJNP merupakan perubahan dari pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN menimbulkan penafsiran bahwa akta yang dimaksud adalah akta pertanahan PPAT karena tidak terdapat penjelasan mengenai makna akta tersebut. Kekaburan makna pasal 15 ayat (2) huruf f UUJNP berindikasi membuat masyarakat beranggapan bahwa Notaris memiliki kewenangan yang sama dengan PPAT dan menjadi dasar bagi Notaris untuk membuat akta pertanahan PPAT, maka perlu diperhatikan kewenangan apa saja yang dimiliki Notaris dalam peraturan perundang-undangan terkait pembuatan akta pertanahan dan perubahan apa yang signifikan terdapat dalam UUJNP.Penelitian ini merupakan penelitian hukum Normatif dengan pendekatan penelitian perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah studi pustaka, dan teknik analisis bahan hukum dengan cara seleksi data dengan sifat preskriptif.Menggunakan metode penelitian tersebut dapat ditemukan hasil bahwa di dalam peraturan perundang- undangan terkait pertanahan memang ditemukan ada kewenangan Notaris membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan yaitu berupa akta-akta pengikatan untuk melakukan perbuatan hukum dengan objek sebidang tanah dan surat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum dari pemberi kuasa kepada kuasanya dengan objek perjanjian yang berkaitan dengan pertanahan.Hasil peneltian selanjutnya adalah dengan adanya perubahan dari UUJN menjadi UUJNP merubah beberapa ketentuan tentang pengaturan Notaris, tetapi perubahan yang ada bukan lah suatu perubahan yang signifikan dan tidak berdampak pada pasal 15 ayat (2) huruf f UUJNP terkait kewenangan Notaris membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan.Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ketentuan pasal 15 ayat (2) huruf f UUJNP sudah benar bahwa Notaris memiliki kewenangan membuat akta yang berkaiatan dengan pertanahanselama akta tersebut tidak ditugaskan pada pejabat umum lainnya dan tidak ada perubahan yang signifikan terkait kewenangan Notaris membuat akta yang berkaitan dengan pertanahn dalam pasal 15 ayat (2) huruf f UUJNP. Langkah yang

Upload: alim-sumarno

Post on 09-Nov-2015

479 views

Category:

Documents


322 download

DESCRIPTION

Jurnal Online Universitas Negeri Surabaya, author : WIRA PRIHANDINI

TRANSCRIPT

ANALISIS YURIDIS PASAL 15 AYAT (2) HURUF F UNDANG-UNDANGNOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHANATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARISTERKAITKEWENANGAN NOTARIS SEBAGAIPEJABAT PEMBUATAKTA PERTANAHAN

Wira PrihandiniProgram Studi S-1 Ilmu Hukum, Jurusan PMP-KN, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Surabaya, [email protected] Notaris membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan dalam pasal 15 ayat (2) huruf f UUJNP merupakan perubahan dari pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN menimbulkan penafsiran bahwa akta yang dimaksud adalah akta pertanahan PPAT karena tidak terdapat penjelasan mengenai makna akta tersebut. Kekaburan makna pasal 15 ayat (2) huruf f UUJNP berindikasi membuat masyarakat beranggapan bahwa Notaris memiliki kewenangan yang sama dengan PPAT dan menjadi dasar bagi Notaris untuk membuat akta pertanahan PPAT, maka perlu diperhatikan kewenangan apa saja yang dimiliki Notaris dalam peraturan perundang-undangan terkait pembuatan akta pertanahan dan perubahan apa yang signifikan terdapat dalam UUJNP.Penelitian ini merupakan penelitian hukum Normatif dengan pendekatan penelitian perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah studi pustaka, dan teknik analisis bahan hukum dengan cara seleksi data dengan sifat preskriptif.Menggunakan metode penelitian tersebut dapat ditemukan hasil bahwa di dalam peraturan perundang-undangan terkait pertanahan memang ditemukan ada kewenangan Notaris membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan yaitu berupa akta-akta pengikatan untuk melakukan perbuatan hukum dengan objek sebidang tanah dan surat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum dari pemberi kuasa kepada kuasanya dengan objek perjanjian yang berkaitan dengan pertanahan.Hasil peneltian selanjutnya adalah dengan adanya perubahan dari UUJN menjadi UUJNP merubah beberapa ketentuan tentang pengaturan Notaris, tetapi perubahan yang ada bukan lah suatu perubahan yang signifikan dan tidak berdampak pada pasal 15 ayat (2) huruf f UUJNP terkait kewenangan Notaris membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan.Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ketentuan pasal 15 ayat (2) huruf f UUJNP sudah benar bahwa Notaris memiliki kewenangan membuat akta yang berkaiatan dengan pertanahanselama akta tersebut tidak ditugaskan pada pejabat umum lainnya dan tidak ada perubahan yang signifikan terkait kewenangan Notaris membuat akta yang berkaitan dengan pertanahn dalam pasal 15 ayat (2) huruf f UUJNP. Langkah yang perlu dilakukan adalah melalui Ikatan Notaris Indonesia (INI) seharusnya memberikan usul kepada pemerintah untuk merubah bunyi atau mengahpus pasal 15 ayat (2) huruf f UUJNP karena telah menimbulkan permasalahan, kemudian badan eksektif dan badan legislatif pemerintah perlu menambahkan penjelasan pasal 15 ayat (2) huruf f UUJNP atau membuat Peraturan Pemerintah selaku peraturan pelaksananya guna memperjelas makna yang terkandung di dalam pasal 15 ayat (2) huruf f UUJNP tersebut.Kata Kunci: Kewenangan Notaris, PPAT, Akta pertanahan.AbstractNotary authorized to make Letter that related with land affairs in article 15 section (2) letter f UUJNP is form of article 15 section (2) letter f UUJN make interpretation that the word of Letter is similar with Land Letter which made by Land Deed Officials. The unclear sense of article 15 section (2) letter f UUJNP causing people think that Notary authorized to make Land Letter same as Official Who Make Land Letter, so it needed to be notice what are authorities of Notary in Laws that related with making land deed and what the significant changes inside UUJNP. This research is Normative law research with statue approach and conceptual approach. Legal material collection techniques used is literature, and legal materials analysis techniques used data selection with prescriptive type.By using those methods can be found that in the legislation which related to land was found there are authority of Notary to make deed that relating to the land in the form of deeds of binding to perform legal acts with object of land and letter of given authority to do agreements that relating to land.The next research was found that with the change of UUJN be UUJNP does changed some provisions, but the changes is not a significant change and did no impact on Article 15 section (2) letter f UUJNP regarding Notary authority to makes deed that relating to land.Based on the results of this research concluded that the provisions of Article 15 section (2) letter f UUJNP is correct that the Notary has the authority to make deed that relating to land as long is not assigned to other public officials and there were no significant changes related to the Notary authority to makes deed that relating to land in Article 15 section (2) letter f UUJNP. Step that needs to be done is through the Indonesian Notaries Association (INI) should give a proposal to the government to change the sentence or remove Article 15 section (2) letter f UUJNP because it has caused problems, then executive and legislative of government need to add an explanation of Article 15 section (2) letter f UUJNP or make regulation as the implementing regulations in order to clarify the meaning contained in article 15 section (2) f of the UUJNP.Keywords: Notary Authority, PPAT, Land Deed.

Jurnal Hukum. Volume 01 Nomor 01 Tahun 2015, 0-97Analisis Yuridis Pasal 15 Ayat (2) Huruf f Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004

PENDAHULUANJumlah penduduk Indonesia yang meningkat pada setiap tahunnya mempengaruhi kebutuhan hidup penduduk yang dapat berupa kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Kebutuhan yang turut meningkat diluar dari kebutuhan pokok tersebut adalah kebutuhan akan Hukum, karena hampir pada setiap bidang kehidupan dalam masyarakat dapat ditemukan peraturan-peraturan hukum dan masyarakat butuh hukum untuk mengatur semua hal tersebut. Perkembangan dalam kehidupan masyarakat menghendaki agar hukum melakukan adaptasi terhadap perubahan-perubahan yang ditimbulkan oleh perkembangan tersebut[footnoteRef:2].Masyarakat berkembang begitu pun dengan hukum, karena di mana ada masyarakat di situ ada hukum (Ubi Societas Ibi Ius[footnoteRef:3]). Hukum terus mengikuti perkembangan masyarakat, namun tidak berlaku hal yang sama bagi regulasinya. Regulasi sering tertinggal dibandingkan dengan hukum itu sendiri, karena membuat regulasi melewati beberapa tahapan yang tidak mudah dan membutuhkan waktu yang cukup lama. [2: . Satjipto Rahardjo, 1980, Hukum dan Masyarakat, Bandung, Angkasa, hlm.15.] [3: . Eka Sjarief, Ubi Societas Ibi Ius, 5 Desember 2014, https: //www.academia.edu/ 2479524/ Ubi Societas Ibi Ius (02.16)]

Regulasi mengenai Jabatan Notaris merupakan salah satu contoh tertinggalnya regulasi dari hukum, terlihat dari masih dicantumkannya pasal-pasal dalam pengaturan Jabatan Notaris yang jika ditafsirkan mangandung makna yang tidak sesuai dengan keadaan saat ini. Notaris dibutuhkan oleh masyarakat sebagai pihak mediator yang mengurusi kepentingan masyarakat atau dengan kata lain Notaris merupakan seorang pejabat umum dengan wewenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJNP) atau berdasarkan undang-undang lainnya[footnoteRef:4]. [4: . R.I., Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014, tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Bab I, Pasal 1, angka 1.]

Setiap orang dapat membuat akta untuk kepentingan pribadi, namun mereka yang bekerja dalam bidang usaha lebih banyak membutuhkan jasa-jasa Notaris dibandingkan mereka yang hanya mempunyai kepentingan pribadi.Hal tersebut dikarenakan dalam bidang usaha diperlukan perjanjian-perjanjian yang beraneka ragam untuk kegiatan-kegiatan usaha yang dijalankan[footnoteRef:5]. [5: . R. Soegondo Notodisoerjo, 1982, Hukum Notariat di Indonesia suatu Penjelasan, Jakarta, Rajawali, hlm.9.]

Fakta menunjukkan bahwa jika melihat rasio antara jumlah notaris yang ada dengan jumlah penduduk Indonesia, masih terdapat jurang ketimpangan yang sangat lebar.Kebutuhan notaris dalam masyarakat masih sangat tinggi dan memerlukan waktu yang relatif panjang untuk dapat terpenuhi. Perbandingan ideal antara jumlah notaris dengan jumlah penduduk seharusnya adalah 1 : 13.000 penduduk, melihat jumlah penduduk Indonesia serta data perbandingan rasio tersebut paling tidak seharusnya Indonesia memiliki 21.058 orang notaris. Sementara notaris yang ada saat ini hanya berjumlah 9.732 orang saja.Oleh karena itu, masih diperlukan sekitar 11.326 notaris baru untuk menutup ketimpangan tersebut[footnoteRef:6]. [6: . Dr.Mustaqim,S.H.,M.Hum, Pimpinan Universitas Islam Indonesia, dalam sambutan pada Seminar Nasional bertema Peranan Pendidikan Notaris dalam Membangun Kualitas Notaris di Era Persaingan Global,11 Februari 2015, http://www.uii.ac.id/content/view/2844/257/?lang=id (15.02).]

Notaris memiliki kewenangan membuat akta sebagaimana tercantum dalam pasal 15 UUJNP, yaitu :(1) Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. (2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris berwenang pula: a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus (legalisasi); b. membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus (waarmerking); c. membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya (legalisir); e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan Akta; f. membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau g. membuat Akta risalah lelang.(3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.Kewenangan Notaris dalam pasal 15 UUJNP pada dasarnya merupakan perubahan dari kewenangan Notaris pada pasal 15 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN).Pada pasal 15 huruf f UUJNP terdapat pengulangan pencantuman kewenangan Notaris untuk membut akta yang berkaitan dengan pertanahan.Perihal kewenangan Notaris membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan jika ditafsirkan menurut bahasa (menilai arti kata yang lazim dipakai dalam bahasa sehari-hari yang umum) maka menimbulkan interpretasi atau penafsiran yang berbeda-beda, namun dapat ditarik garis besar bahwa akta yang dibuat oleh Notaris adalah akta pertanahan yang sama dibuat oleh Pejabat khusus yang menangani masalah pertanahan, yaitu Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT). Berdasarkan PP Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PP 37/98) dikatakan bahwa PPAT bertugas untuk melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta pertanahan sebagai bukti.UUJN dan UUJNP mencantumkan pasal 15 huruf f bahwa notaris berwenang untuk membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan. Indonesia memiliki pengaturan tentang pendaftaran tanah yaitu PP 37/98 jo. Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut Per.Men Agraria 3/97) mengatakan bahwa PPAT jelas membuat akta pertanahan. Hal tersebut berindikasi munculnya perebutan kewenangan antara notaris dengan PPAT ketika Notaris memiliki kewenangan membuat akta yang berkaitan dengan Pertanahan.Badan Pertanahan Nasional (selanjutnya disebut BPN) Lembaga Pemerintah Non Departemen yang bidang tugasnya meliputi bidang pertanahan sebagai muara dari tempat pendaftaran tanah, balik nama sertifikat tanah disebutkan dalam pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut PP 24/97) bahwa dalam hal pendaftaran tanah baru maka yang digunakan adalah akta asli PPAT. Akta Notaris yang berkaitan dengan pertanahan dapat digunakan untuk mengajukan pendaftaran tanah tetapi akta tersebut bukanlah akta tanah seperti yang dibuat PPAT, melainkan akta lain seperti akta pelepasan tanah maupun surat kuasa pembebanan hak tanggungan sebagaimana dalam pasal 15 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (selanjutnya disebut UUHT).Banyak Masyarakat Indonesia yang masih awam akan pengetahuan terkait cara mendaftarkan tanah, tidak sedikit dari masyarakat Indonesia yang masih meyakini bahwa yang berkewenangan membuat akta pertanahan adalah Notaris[footnoteRef:7]. Permasalahan kewenangan pembuatan akta pertanahan yang dimiliki oleh Notaris perlu dikaji dengan penelitian hukum lebih lanjut, karena dengan jumlah Notaris yang belum mencukupi kebutuhan masyarakat dan ditambah dengan kekaburan bunyi pasal 15 ayat (2) huruf f UUJNP mengenai kewenangan Notaris membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan, selain membuat kebingungan di masyarakat juga akan berindikasi pada adanya perebutan kewenangan dengan PPAT. Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian sebelumnya yang membahas topik yang sama[footnoteRef:8]. [7: .Keterangan Notaris Fransisca Ratulangi, S.H., M.Kn pada tanggal 28 Maret 2014.] [8: . Penelitian sebelumnya oleh Edward Suharjo sebagai Tesis dengan judul Tinjauan Yuridis Terhadap Kewenangan Notaris dalam Membuat Akta Pertanahan]

Perbedaan dengan penelitian sebelumnya adalah dengan merumuskan permasalahan yaitu bagaimana kewenangan Notaris dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pembuatan akta pertanahan dan rumusan kedua yaitu apa perubahan yang signifikan terdapat dalam UUJNP dan dengan tujuan penelitiannya untuk menjawab rumusan permasalahan tersebut yaitu lebih menitik beratkan pada kewenangan Notaris dilihat dari peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pembuatan akta pertanahan dan mengalisis perubahan yang signifikan terdapat dalam UUJNPMETODE PENELITIANPada penelitian ini jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dimana dalam penelitian hukum normatif dengan fokus kekaburan norma sebagaimana pasal 15 ayat (2) huruf f UUJNP berbicara mengenai kewenangan Notaris membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan, dimana makna akta yang berkaitan dengan pertanahan tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut akan menimbulkan penafsiran berbeda-beda hingga berindikasi pada pertanyaan apakah akta yang dimaksud serupa dengan akta pertanahan yang dibuat oleh PPAT sehingga dikhawatirkan akan mempengaruhi eksistensi PPAT.Pada penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) dimana menggunakan peraturan perundang-undangan seperti UUJN, UUJNP, UUPA maupun regulasi yang terkait dengan kewenangan Notaris membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan untuk mempelajari dan meneliti lebih lanjut terkait kewenangan Notaris membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan. Selain menggunakan pendekatan perundang-undangan, penelitian ini menggunakan pendekatan konsep (Conceptual Approach) untuk mempertajam analisis penelitian.Pendekatan konsep dilakukan dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkaitan dengan kewenangan Notaris membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan.Bahan Hukum yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.1. Bahan Hukum PrimerBahan hukum primer yang digunakan terdiri atas peraturan perundang-undangan terkait kewenangan Notaris membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan.2. Bahan Hukum SekunderBahan hukum sekunder yang digunakan adalah Risalah Rapat Proses Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Jabatan Notaris, Buku-Buku dan jurnal-jurnal hukum yang berkaitan serta dilihat dari segi materi masih mempunyai korelasi dengan kewenangan Notaris dalam membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan.Selain menggunakan bahan hukum, penelitian ini menggunakan bahan non hukum yaitu hasil wawancara dengan seorang Notaris yang mana hasil wawancara tersebut dapat digunakan untuk menunjang dan membantu dalam melakukan penelitian terkait kewenangan notaris dalam membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan.Teknik Analisa Bahan Hukum dilakukan dengan cara melakukan seleksi data sekunder atau bahan hukum, kemudian melakukan klasifikasi menurut penggolongan bahan hukum dan menyusun data hasil penelitian tersebut secara sistematis yang dilakukan secara logis, artinya ada hubungan dan keterkaitan antara bahan hukum satu dengan bahan hukum lainnya untuk mendapatkan gambaran umum dari hasil penelitian.HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANA. Pemaparan KasusKasus Notaris membuat akta pertanahan yang terjadi di kota Surabaya adalah salah satu contoh dari permasalahan yang ditimbulkan dari kekaburan makna Pasal 15 ayat (2) huruf f UUJNP, dimana makna akta yang berkaitan dengan pertanahan sering diartikan sebagai akta pertanahan sebagaimana yang menjadi kewenangan PPAT untuk membuat akta tersebut dan tidak adanya penjelasan apakah akta yang berkaitan dengan pertanahan yang dimaksud dalam pasal tersebut sama atau tidak dengan akta pertanahan PPAT.BPN Surabaya seharusnya mengampu keseluruhan wilayah Kota Surabaya yang terdiri dari 35 kecamatan, namun BPN surabaya membagi wilayah kerjanya menjadi BPN wilayah barat dengan wilayah kerja 15 kecamatan dan BPN wilayah timur dengan wilayah kerja 16 kecamatan dengan alasan wilayah Surabaya yang dianggap terlalu luas oleh BPN. Notaris PPAT di Surabaya dipaksa untuk mengikuti pemecahan BPN dan harus memilih wilayah kerja mana yang mereka hendaki dan tentu saja disesuaikan dengan domisili kantor kerja Notaris PPAT tersebut berada.Sebanyak 47 orang Notaris PPAT menuruti dan mengikuti perintah BPN untuk memecah merelakan setengah wilayah kerja mereka dan memilih pada wilayah mana mereka bertugas, namun sekitar 300 orang Notaris PPAT lainnya tidak mengikuti perintah BPN. Notaris PPAT yang menolak untuk memecah wilayah kerja nya bertumpu pada pasal 18 ayat (2) UUJN bahwa Notaris memiliki wilayah jabatan yang seharusnya meliputi seluruh wilayah provinsi dari tempat kedudukannya, yaitu seluruh kota Surabaya yang terdiri dari 25 kecamatan sehingga mereka merasa perintah dari BPN mengenai pemecahan wilayah kerja bertentangan dengan pasal 18 ayat (2) UUJN dan akan merugikan Notaris PPAT karena penghasilan mereka akan berkurang setengah dari penghasilan sebelumnya[footnoteRef:9]. [9: .Keterangan Notaris (PPAT) dan Pejabat Lelang Kelas-II H. Raden Ibnu Arly, S.H., M.Kn pada tanggal 16 April 2015.]

BPN kemudian memberikan sanksi kepada Notaris PPAT yang membangkang, sanksi yang diberikan adalah dengan mencabut Surat Ketetapan (selanjutnya disebut SK) PPAT mereka sehingga Notaris PPAT tersebut kehilangan kewenangannya sebagai PPAT dan hanya memiliki kewenangan sebagai Notaris saja. Kasus tersebut menjadi permasalahan penting karena selain merugikan penghadap Notaris yang masih awam dalam perihal pendaftaran tanah juga akan berdampak buruk pada citra Notaris-Notaris lainnya yang dianggap sama dengan Notaris yang membuat akta pertanahan[footnoteRef:10]. [10: .Keterangan dengan Notaris (PPAT) dan Pejabat Lelang Kelas-II H. Raden Ibnu Arly, S.H., M.Kn pada tanggal 16 April 2015.]

Pembuatan akta pertanahan yang dilakukan oleh Notaris menjadi satu hal yang bisa dilakukan oleh Notaris yang bukan PPAT, karena para Notaris yang bukan PPAT beranggapan semenjak dikeluarkannya pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN yang kemudian diubah dalam pasal 15 ayat (2) huruf f UUJNP menjadikan mereka memiliki kewenangan untuk membuat akta pertanahan yang sama dengan yang dibuat oleh PPAT.Tindakan yang dilakukan oleh Notaris tersebut adalah suatu kesengajaan dengan alasan meskipun SK PPAT mereka telah dicabut tetapi mereka berharap tindakan mereka dapat dibenarkan dengan beralaskan pasal 15 ayat (2) huruf f UUJNP yang menyebutkan bahwa Notaris memiliki kewenangan untuk membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan, dengan tanpa memahami makna bunyi pasal tersebut. Pembuatan akta pertanahan oleh Notaris yang tidak lagi memiliki SK PPAT tersebut dilakukan tanpa menggunakan stempel PPAT yang berarti bahwa akta pertanahan tersebut adalah akta Notaris dan bukan akta PPAT. Hal tersebut bermasalah ketika akta pertanahan akan digunakan untuk melakukan pendaftaran tanah ke BPN.Permasalahan tidak berhenti hanya pada dicabutnya SK PPAT milik Notaris PPAT melainkan ada masalah lainnya yaitu tidak adanya penjelasan mengenai makna akta dalam pasal 15 ayat (2) huruf f UUJNP tersebut, dari awal terbentuknya UUJN tahun 2004 perihal Notaris diberi kewenangan membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan sudah menimbulkan perdebatan, karenanya pada saat UUJN dirumuskan untuk dirubah telah disinggung pada Rancangan UUJNP bahwa ketentuan mengenai kewenangan Notaris dalam pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN akan dhapuskan, tetapi kenyataannya ketika UUJNP di keluarkan pasal tersebut masih tetap ada tanpa ada perubahan atau pemberian penjelasan lainnya, sehingga Notaris PPAT yang SK nya telah dicabut oleh BPN tersebut beranggapan bahwa tindakan mereka dalam membuat akta pertanahan adalah benar karena mereka mengganggap makna akta dalam pasal 15 ayat (2) huruf f UUJNP adalah sama dengan akta yang dibuat PPAT dengan alasan tidak adanya penjelasan lebih lanjut dalam UUJNP maupun pada UUJN sebelumnya[footnoteRef:11]. [11: .Keterangan dengan Notaris (PPAT) dan Pejabat Lelang Kelas-II H. Raden Ibnu Arly, S.H., M.Kn pada tanggal 16 April 2015.]

B. PEMBAHASAN1. Kewenangan Notaris dalam Peraturan Perundang-Undangan Terkait Pembuatan Akta yang Berkaitan dengan PertanahanKewenangan Notaris dalam membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan dapat dilihat di berbagai peraturan perundang-undangan terkait pertanahan yang antara lain adalah UUPA, UUHT, UURS, PP 24/97 dan Per.Men 3/97. Pencarian lebih lanjut mengenai kewenangan Notaris dalam peraturan perundang-undangan tersebut menghasilkan pemahaman bahwa Notaris memang memiliki kewenangan untuk membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan tetapi keterangan akta yang berkaitan dengan pertanahan apa saja yang dimaksud tentu berbeda-beda jika dilihat dari masing-masing perundang-undangan.Kewenangan Notaris dalam Undang-Undang Pokok AgrariaNotaris tidak memiliki kewenangan membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan yang tertulis secara langsung dalam UUPA terlebih yang berkaitan dengan pembuatan akta pertanahan, baik pengaturan mengenai kewenangan Notaris maupun pejabat lain tidak tertulis dalam UUPA karena UUPA tidak mengatur secara terperinci mengenai perihal pertanahan seperti tata cara pendafataran tanah atau mengenai siapa saja pejabat yang terlibat di dalamnya. UUPA hanya berupa aturan dasar dari hukum pertanahan di Indonesia yang bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan sifat dualisme yang dengan berlakunya hukum adat disamping hukum agraria yang didasarkan atas hukum barat dalam pertanahan serta dengan berlakunya hukum adat disamping hukum agraria yang didasarkan atas hukum barat.UUPA tidak menyebutkan secara langsung bahwa Notaris termasuk pihak yang membantu pemerintah dalam proses pendaftaran tanah, tetapi jika dilihat dari tugas dan fungsi Notaris maka dapat dikatakan bahwa Notaris terlibat dalam proses pendaftaran tanah karena Notaris bertugas untuk membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum dalam hal ini terkait bidang pertanahan dan hal tersebut berkaitan dengan pasal 19 ayat (2) UUPA yang menjelaskan bagian yang termasuk dalam proses pendaftaran tanah yaitu :(2) Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi:a. pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah;b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-haktersebut;c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.Pada huruf c tersebut dikatakan pemberian surat-surat tanda bukti hak termasuk dalam pendaftaran tanah, di situ lah letak fungsi dari adanya Notaris yaitu memberi kepastian dan kelancaran hukum keperdataan bagi segenap usaha masyarakat dengan cara membuat akta autentik sebagai tanda bukti yang sempurna.Akta autentik yang dibuat oleh Notaris merupakan salah satu bentuk surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai pembuktian yang kuat sehingga pada dasarnya kewenangan Notaris terkait pembuatan akta dibidang pertanahan sudah ada di dalam UUPA, tetapi dalam UUPA tersebut tidak dijelaskan apa saja yang termasuk dalam surat-surat tanda bukti hak terkait pendaftaran tanah karena dicantumkan pada peraturan pemerintah sebagai bentuk penjelasan lebih lanjut dari UUPA tersebut, sehingga meskipun dalam UUPA tidak disebutkan secara langsung mengenai kewenangan Notaris tetapi keberadaan Notaris sejalan dengan maksud dan tujuan UUPA dalam memberikan kepastian hukum terkait pertanahan.Kewenangan Notaris dalam Undang-Undang Hak TanggunganUUHT tidak terlepas dari perihal pembuatan akta pertanahan berikut dengan perihal seputar kewenangan Notaris karena meskipun kewenangan Notaris dalam UUHT tidak langsung pada pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan tetapi kewenangan Notaris ada meskipun hanya sebatas pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (selanjutnya disebut SKMHT) sebagaimana tercantum dalam pasal 15 ayat (1) UUHT yang berbunyi :(1) Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT dan memenuhi persyaratan sebagai berikut :a. tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan Hak Tanggungan;b. tidak memuat kuasa substitusi;c. mencantumkan secara jelas obyek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas kreditornya, nama dan identitas debitor apabila debitor bukan pemberi Hak Tanggungan.Notaris memiliki kewenangan berdasarkan pasal tersebut untuk membuat SKMHT yang merupakan surat kuasa bagi seseorang yang telah diberikan kewenangan oleh orang lain untuk membebankan hak tanggungan pada suatu bidang tanah. Pasal 15 ayat (1) UUHT menyebutkan SKMHT diterbitkan dengan akta Notaris atau akta PPAT yang artinya hanya salah satu yang digunakan, ketika sudah menggunakan akta Notaris dalam membuat SKMHT maka tidak diperlukan lagi untuk menggunakan akta PPAT begitupun sebaliknya, dengan demikian SKMHT dapat digolongan dalam akta yang berkaitan dengan pertanahan dan antara SKMHT yang dibuat oleh Notaris dengan SKMHT yang dbuat oleh PPAT memiliki kekuatan hukum yang sama.Notaris membuat SKMHT dalam kondisi ketika pemegang hak atas tanah karena suatu keadaan sehingga objek hak tanggungan belum atau tidak dapat dimiliki baik karena pembayaran yang belum lunas atau objek perjanjian belum selesai di bangun, hal tersebut disebutkan dalam pasal 4 ayat (5) UUHT yaitu :(5) Apabila bangunan, tanaman, dan hasil karya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dimiliki oleh pemegang hak atas tanah, pembebanan Hak Tanggungan atas benda-benda tersebut hanya dapat dilakukan dengan penandatanganan serta pada Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan oleh pemiliknya atau yang diberi kuasa untuk itu olehnya dengan akta otentik.Notaris dalam membuat SKMHT memiliki tanggung jawab yang sama dengan PPAT dalam membuat SKMHT dan membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan, karena Notaris dan PPAT keduanya termasuk dalam pengertian Pejabat dalam UUHT yang dapat dikenakan sanksi ketika lalai melakukan tugasnya. Ketentuan tanggung jawab kewenangan Notaris tersebut termasuk dalam pasal 23 ayat (1) UUHT yang berbunyi :(1) Pejabat yang melanggar atau lalai dalam memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), Pasal 13 ayat (2), dan Pasal 15 ayat (1) Undang-undang ini dan/atau peraturan pelaksanaannya dapat dikenai sanksi administratif, berupa :a. tegoran lisan;b. tegoran tertulis;c. pemberhentian sementara dari jabatan;d. pemberhentian dari jabatan.Kewenangan Notaris dalam Undang-Undang Rumah SusunHubungan antara kewenangan Notaris dengan UURS terlihat pada pasal 3 huruf h UURS dikatakan bahwa tujuan dari adanya rumah susun adalah untuk memberikan kepastian hukum dalam penyediaan, kepenghunian, pengelolaan, dan kepemilikan rumah susun. Tujuan tersebut selaras dengan asas pelaksanaan tugas dan wewenang Notaris yaitu menjamin kepastian hukum dibidang keperdataan dengan cara membuat akta autentik yang merupakan alat bukti dengan nilai pembuktian sempurna.Notaris memiliki kewenangan untuk membuat Perjanjian Pengikatan Jual Beli (selanjutnya disebut PPJB) yang merupakan perjanjian pengikatan bagi calon pembeli selama pembangunan rumah susun belum selesai. PPJB dibuat guna menguntungkan kedua belah pihak, bagi penjual atau pelaku penjualan akan menguntungkan karena selain dapat mempromosikan rumah susun sebelum selesai pembangunan juga dengan adanya PPJB maka akan mendapatkan pemasukan dana dari uang yang disetorkan sebagai tanda akan melakukan perjanjian jual beli, sedangkan bagi pembeli rumah susun akan menguntungkan karena akan mendapat kepastian terkait unit rumah susun yang dipesan sehingga apabila setelah pembangunan rumah susun selesai namun unit rusun yang dipesan diberikan kepada pembeli lain, maka pembeli dengan PPJB tersebut dapat membuktikan haknya dengan bukti tertulis yaitu PPJB. Pembuatan PPJB oleh Notaris diatur dalam pasal 43 UURS yang berbunyi:(1) Proses jual beli sarusun sebelum pembangunan rumah susun selesai dapat dilakukan melalui PPJB yang dibuat di hadapan notaris. (2) PPJB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah memenuhi persyaratan kepastian atas:a. status kepemilikan tanah;b. kepemilikan IMB;c. ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum;d.keterbangunan paling sedikit 20% (dua puluh persen); dane. hal yang diperjanjikan.PPJB selanjutnya akan ditingkatkan menjadi Akta Jual Beli (selanjutnya disebut AJB) ketika pembayaran maupun proses pembangunan rumah susun selesai. AJB dapat dikeluarkan dengan telah terbit dahulu apa yang tercantumkan dalam pasal 44 ayat (2) UURS yaitu terbitnya Sertifikat Laik Fungsi dan Sertifikat Hak Milik (selanjutnya disebut SHM) sarusun atau Surat Kepemilikan Bangunan Gedung (selanjutnya disebut SKBG) sarusun. SKBG telah dijelaskan sebelumnya pada pasal 1 angka 12 UURS yang merupakan tanda bukti kepemilikan atas sarusun di atas barang milik negara/daerah berupa tanah atau tanah wakaf dengan cara sewa dan pembuatan SKBG diharuskan dihadapan Notaris[footnoteRef:12]. Dapat ditarik garis besar bahwa kewenangan Notaris dalam UURS terkait pembuatan akta yang berkaitan dengan pertanahan adalah Notaris berwenang membuat PPJB dan SKBG. [12: . R.I., Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011, tentang Rumah Susun, Penjelasan pasal 44, ayat (1).]

Kewenangan Notaris dalam Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran TanahKewenangan Notaris dalam hal pendaftaran tanah tidak tertulis dalam PP 24/97 karena dalam peraturan tersebut yang diberi kewenangan secara langsung untuk membuat akta-akta tanah dalam proses pendaftaran tanah adalah PPAT[footnoteRef:13]. [13: .R.I., Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, tentang Pendaftaran Tanah, Bab I, Pasal 1, angka 24.]

Kewenangan Notaris jika hanya dilihat berdasarkan PP 24/97 tidak akan ditemukan seperti apa bentuk kewenangan dan sejauh mana kewenangan Notaris tersebut, karena dalam PP 24/97 tidak dicantumkan pasal yang secara langsung memberikan kewenangan Notaris untuk membuat akta pertanahan, begitupun dalam keadaan pendaftaran tanah yang saat ini dilakukan, BPN memiliki kecenderungan untuk hanya menerima akta PPAT sebagai dasar rujukan dalam melakukan pendaftaran tanah[footnoteRef:14], sementara pada PP 24/97 tidak ada pelarangan orang perorangan untuk secara langsung melakukan pendaftaran tanah dan pada dasarnya Notaris memiliki kewenangan dalam proses pendaftaran tanah, hanya saja disayangkan kewenangan Notaris tersebut tidak dijelaskan secara langsung dan khusus dalam PP 24/97. [14: .Linda Erma Suryani, 2009, Kewenangan Notaris dalam Membuat Akta Tanah Menurut Undang-Undang Jabatan Notaris (Tesis Magister tidak diterbitkan, Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya), hlm.55.]

Notaris tidak memiliki kewenangan untuk membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan untuk dijadikan dasar rujukan pendaftaran tanah ke BPN jika akta yang dibuat oleh Notaris tersebut telah ditugaskan pula pada pejabat lainnya.Akta Notaris yang dapat dijadikan bahan rujukan pendaftaran tanah adalah akta pelepasan tanah menjadi tanah negara dan akta sebagai bukti seorang ahli waris mewarisi sebidang tanah dan akta Notaris tersebutlah yang dapat dijadikan rujukan untuk mendaftarkan tanah ke BPN dengan berdasarkan ketentuan pelaksanaan PP 24/97.Kewenangan Notaris dalam Peraturan Menteri AgrariaPada PP 24/97 tidak dicantumkan secara jelas mengenai kewenangan Notaris, meskipun demikian bukan berarti Notaris benar-benar tidak memiliki kewenangan membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan dalam proses pendaftaran tanah.BPN yang merupakan kepanjangan tangan dari Menteri Agraria mengeluarkan peraturan yang merupakan ketentuan pelaksanaan dari PP 24/97 yaitu Per.Men Agraria 3/97, di mana dalam peraturan menteri tersebut terdapat penjelasan lebih lanjut mengenai kewenangan Notaris membuat akta pertanahan.Pendaftaran tanah dapat dilakukan dengan salah satu caranya yaitu dengan peralihan hak, peralihan hak sendiri dapat terjadi karena berbagai macam hal baik jual beli, hibah maupun dengan cara waris. Pasal 111 ayat (3) Per.Men3/97 mengatur perihal peralihan hak secara waris untuk pendaftaran tanah dengan menggunakan akta waris yang berbunyi Akta mengenai pembagian waris sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibuat dalam bentuk akta dibawah tangan oleh semua ahli waris dengan disaksikan oleh 2 orang saksi atau dengan akta notaris.Pasal tersebut mencantumkan bahwa Notaris memiliki kewenangan untuk membuat akta pembagian waris yang menjadi dasar bukti peralihan hak karena pewarisan yang digunakan untuk pendaftaran tanah, sehingga dengan adanya pasal tersebut membuktikan bahwa akta pertanahan Notaris dapat digunakan sebagai rujukan pendaftaran tanah ke BPN. Notaris berkewenangan pula untuk membuat akta pelepasan hak atas suatu bidang tanah, yang kemudian digunakan untuk melakukan pendaftaran hapusnya hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun sebagaimana tercantum dalam pasal 131 ayat (3) huruf a angka 1 Per.Men 3/97 yakni :(3) Pendaftaran hapusnya hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang disebabkan oleh dilepaskannya hak tersebut oleh pemegangnya dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan berdasarkan permohonan dari pihak yang berkepentingan dengan melampirkan:1) akta notaris yang menyatakan bahwa pemegang yang bersangkutan melepaskan hak tersebuta. Notaris Merangkap sebagai PPATCap yang digunakan adalah cap PPAT dan bukan cap Notaris, sehingga ada pemisahan antara profesi sebagai Notaris dan profesi sebagai PPAT. Notaris dapat merangkap sebagai PPAT dengan catatan tidak diluar dari tepat kedudukan Notaris sebagaimana tercantum dalam pasal 17 ayat (1) huruf g UUJNP.b. Akta Pertanahan yang dibuat bukan merupakan akta PPATNotaris dapat membuat akta pertanahan dengan ketentuan bahwa akta yang dibuat tersebut bukan akta pertanahan yang menjadi kewenangan PPAT. Akta PPAT yang dimaksud adalah akta PPAT yang disebutkan pada pasal 2 ayat (2) PP 37/98 yaitu Jual beli, Tukar menukar, Hibah, Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng), Pembagian hak bersama, Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik, dan Pemberian Hak Tanggungan,sedangkan untuk Pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan juga merupakan kewenangan dari Notaris karena UUHT mengatakan demikian. Pembuat akta pertanahan Notaris harus melihat ketentuan bahwa sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang maka Notaris berkewenangan membuatnya, demikian tercantum dalam pasal 15 ayat (1) UUJNP.b. Notaris berwenang sepanjang memenuhi tempat di mana akta itu dibuatNotaris dapat membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan, selain akta tersebut bukanlah akta PPAT juga harus memenuhi syarat akta tersebut dibuat di dalam wilayah jabatan Notaris yang meliputi seluruh wilayah provinsi dari tempat kedudukannya[footnoteRef:15]. [15: . R.I., Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004, tentang Jabatan Notaris, Bab IV, Pasal 18, ayat (2).]

c. Notaris berwenang sepanjang memenuhi waktu pembuatan aktaNotaris berwenang sepanjang pembuatan akta yang berkaitan dengan pertanahan dilakukan selama memenuhi waktu pembuatan akta, dalam artian Notaris tersebut dalam menjalankan tugas jabatannya harus dalam keadaan aktif dan tidak dalam keadaan cuti, sakit atau sementara berhalangan dalam menjalankan tugas jabatannya.Akta yang berkaitan dengan pertanahan selain berupa akta perjanjian pengikatan, termasuk juga di dalam kewenangan Notaris untuk membuat surat kuasa yang isinya pemberian kuasa dari seseorang kepada orang lain untuk melakukan perbuatan hukum dengan objek tanah, contohnya yaitu Notaris memiliki kewenangan untuk membuat surat kuasa menjual sebidang tanah, yang tentu saja Notaris tidak menentukan isi dari kuasa tersebut melainkan hanya menyaksikan atau melegalisir surat kuasa yang dimaksud guna mensahkan pemberian kuasa.Berdasarkan uraian di atas maka kewenangan Notaris membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan yang telah diberikan langsung oleh UUJNP adalah dapat dikatakan sudah benar selama akta yang dibuat oleh Notaris tidak disama artikan dengan kewenangan PPAT membuat akta pertanahan, karena Notaris berwenang membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan dan bukan akta pertanahan langsung. Akta yang berkaitan dengan pertanahan yang dibuat oleh Notaris merupakan akta pengikatan perjanjian dengan objek sebidang tanah sebelum perjanjian tersebut dilakukan, seperti contohnya PPJB dalam UURS, SKMHT pada UUHT, dan akta pelepasan hak atas tanah dalam pendaftaran hapusnya hak atas tanah yang dapat ditemukan pengaturanya pada Per.Men 3/97.Kewenangan Notaris Membuat Akta yang Berkaitan dengan PertanahanKewenangan Notaris jika dianalisis dengan menggunakan teori kewenangan F.A.M. Stroink dalam Ade Mamam yang mengatakan bahwa kewenangan adalah kemampuan yuridis dari orang, maka dapat dikatakan Notaris termasuk dalam pengertian orang yang mempunyai kewenangan, karena mempunyai kemampuan yuridis terhadap suatu bidang urusan tertentu yang dalam hal ini jika sangkut pautkan dengan kemampuan untuk membuat akta pertanahan bukan termasuk dalam kewenangan Notaris karena meskipun Notaris yang bukan PPAT tetap memaksakan untuk membuat akta pertanahan, maka yang akan berakibat adalah pada bentuk ke autentikan akta pertanahan tersebut.Notaris berkewenangan membuat akta pertanahan dapat terjadi hanya jika dalam kondisi sebagi berikut :a. Notaris merangkap menjadi PPATNotaris yang memiliki kewenangan membuat akta pertanahan hanyalah Notaris mempunyai rangkap jabatan PPAT, karena hanya PPAT yang mempunyai kewenangan membuat akta pertanahan sebagaimana telah diberikan kewenangan tersebut oleh PP 24/97 dan PP 37/98. PPAT yang berawal dari Notaris ketika membuat akta pertanahan harus menyampingkan profesi Notarisnya, hal tersebut dilakukan dan dibuktikan dengan penggunaan cap pada akhir akta, cap yang digunakan adalah cap PPAT dan bukan cap Notaris, sehingga ada pemisahan antara profesi sebagai Notaris dan profesi sebagai PPAT. Notaris dapat merangkap sebagai PPAT dengan catatan tidak diluar dari tepat kedudukan Notaris sebagaimana tercantum dalam pasal 17 ayat (1) huruf g UUJNP.b. Akta Pertanahan yang dibuat bukan merupakan akta PPATNotaris dapat membuat akta pertanahan dengan ketentuan bahwa akta yang dibuat tersebut bukan akta pertanahan yang menjadi kewenangan PPAT. Akta PPAT yang dimaksud adalah akta PPAT yang disebutkan pada pasal 2 ayat (2) PP 37/98 yaitu Jual beli, Tukar menukar, Hibah, Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng), Pembagian hak bersama, Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik, dan Pemberian Hak Tanggungan.c. Notaris berwenang sepanjang memenuhi tempat di mana akta itu dibuatAkta yang dibuat diluar wilayah jabatan Notaris dapat mengakibatkan akta tersebut tidak lagi menjadi akta autentik karena tidak memenuhi salah satu unsur dari akta autentik yaitu dibuat di hadapan pejabat yang berwenang, meskipun Notaris dalam kewenangannya dapat membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan tetapi Notaris dilarang untuk menjalankan jabatannya di luar tempat kedudukannya sebagaimana diatur dalam pasal 19 ayat (3) UUJNP.c. Notaris berwenang sepanjang memenuhi waktu pembuatan aktaNotaris berwenang sepanjang pembuatan akta yang berkaitan dengan pertanahan dilakukan selama memenuhi waktu pembuatan akta, dalam artian Notaris tersebut dalam menjalankan tugas jabatannya harus dalam keadaan aktif dan tidak dalam keadaan cuti, sakit atau sementara berhalangan dalam menjalankan tugas jabatannya, jika Notaris tersebut berhalangan dalam menjalankan tugasnya maka dapat menunjuk Notaris pengganti sebagaimana tercantum dalam pasal 1 angka 3 UUJNP.Akta yang berkaitan dengan pertanahan selain berupa akta perjanjian pengikatan, termasuk juga di dalam kewenangan Notaris untuk membuat surat kuasa yang isinya pemberian kuasa dari seseorang kepada orang lain untuk melakukan perbuatan hukum dengan objek tanah, contohnya yaitu Notaris memiliki kewenangan untuk membuat surat kuasa menjual sebidang tanah, yang tentu saja Notaris tidak menentukan isi dari kuasa tersebut melainkan hanya menyaksikan atau melegalisir surat kuasa yang dimaksud guna mensahkan pemberian kuasa.Berdasarkan uraian di atas maka kewenangan Notaris membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan yang telah diberikan langsung oleh UUJNP adalah dapat dikatakan sudah benar selama akta yang dibuat oleh Notaris tidak disama artikan dengan kewenangan PPAT membuat akta pertanahan, karena Notaris berwenang membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan dan bukan akta pertanahan langsung. Akta yang berkaitan dengan pertanahan yang dibuat oleh Notaris merupakan akta pengikatan perjanjian dengan objek sebidang tanah sebelum perjanjian tersebut dilakukan, seperti contohnya PPJB dalam UURS, SKMHT pada UUHT, dan akta pelepasan hak atas tanah dalam pendaftaran hapusnya hak atas tanah yang dapat ditemukan pengaturanya pada Per.Men 3/97.2. Perubahan Undang-Undang Jabatan NotarisNotaris adalah pejabat umum yang menjalankan profesi dengan melayani dan memberikan jasa hukum kepada masyarakat, sehingga jaminan dan perlindungan hukum merupakan hal yang diperlukan Notaris dalam menajalankan tugas-tugasnya. Beralaskan alasan tersebut pemerintah membentuk sebuah regulasi yang mengatur pelaksanaan tugas Notaris yaitu UUJN, namun beberapa ketentuan dalam UUJN sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum dan perkembangan masyarakat sehingga pemerintah melakukan beberapa perubahan peraturan dalam UUJN guna dapat mengikuti perkembangan hukum dan perkembangan masyarakat, serta untuk lebih menegaskan, memantapkan tugas, fungsi, kewenangan Notaris sebagai pejabat yang menjalankan pelayanan publik, sekaligus sinkronisasi dengan undang-undang lain.Tabel 3 .1Perubahan Ketentuan-Ketentuan dalam Undang-Undang Jabatan NotarisNoPerubahanPasal sebelumnya dalam UUJNPerubahan pasal dalam UUJNP

1Penguatan persyaratan untuk dapat diangkat menjadi Notaris serta perpanjangan jangka waktu menjalani magangPasal 3 huruf a,b,c,d,e,f, dan gPasal 3 huruf a,b,c,d,e,f,g, dan ada penambahan huruf h

2Penambahan kewajiban, larangan merangkap jabatan, dan alasan pemberhentian sementara NotarisPasal 16, pasal 17, dan pasal 19Pasal 16, pasal 17 dan ada penambahan pasal yang disisipkan yaitu 16A

3Pengenaan kewajiban kepada calon Notaris yang sedang melakukan magangTidak diatur sebelumnyaPasal 16A

4Penyesuaian pengenaan sanksi yang diterapkan pada pasal tertentuAda pencantuman sanksiLebih banyak pencantuman sanksi dibandingkan dalam UUJN pada sebagian besar pasal

5Pembedaan terhadap perubahan yang terjadi pada isi Akta, baik yang bersifat mutlak maupun bersifat relatifPasal 48 ayat (1) dan ayat (2)Pasal 48 ayat (1), ayat (2), dan penambahan ayat (3)

6Pembentukan majelis kehormatan NotarisTidak diatur sebelumnyaPasal 66A

7Penguatan dan penegasan Organisasi NotarisPasal 82 ayat (1) dan ayat (2)Pasal 82 ayat (1), ayat (2) dan penambahan ayat (3), ayat (4), ayat (5)

8Penegasan untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi dalam pembuatan Akta autentikPasal 43 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4),dan ayat (5)Pasal 43 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan penambahan ayat (6)

9Penguatan fungsi, wewenang, dan kedudukan Majelis PengawasAda pengaturan Majelis PengawasPertegasan pengaturan Majelis Pengawas

Perubahan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris terkait Kewenangan NotarisPerubahan yang terdapat dalam UUJN merupakan sebuah harapan baik dari masyarakat maupun dari Notaris untuk mempunyai suatu payung hukum dibidang kenotariatan yang lebih sesuai dengan perkembangan hukum dan perkembangan masyarakat, ketika pertama kali UUJN dikeluarkan pada tahun 2004 mulai terjadi perdebatan mengenai pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN yang memberikan kewenangan Notaris untuk membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan dan tidak terdapat penjelasan ayat tersebut mengenai makna akta yang tercantum dalam pasal tersebut sehingga timbul pertanyaan di kalangan masyarakat maupun pada Notaris sendiri apakah dengan dikeluarkannya UUJN berarti Notaris memiliki kewenangan yang sama dengan PPAT dalam membuat akta pertanahan.UUJNP diharapkan dapat memberikan penjelasan atau jalan keluar dari perdebatan yang terjadi mengenai kewenangan Notaris membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan, namun sangat disayangkan ketika UUJN dikeluarkan ternyata belum juga memberikan kejelasan mengenai akta pertanahan yang dimaksud dalam pasal 15 ayat (2) huruf f UUJNP sehingga dapat dikatakan meskipun sudah mengalami perubahan tetapi kewenangan Notaris membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan tidak mengalami perubahan yang signifikan.Perubahan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris terkait kewenangan Notaris hanya berupa perubahan kata atau kalimat yang yang digunakan dan perubahan tersebut hanya terlihat dari bunyi pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) UUJN, sedangkan pasal 15 ayat (3) UUJN tidak mengalami perubahan.Tabel 3 .2Perubahan dalam pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) UUJNPAyatPasal 15 UUJNPasal 15 UUJNP

(1)Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.

(2)Notaris berwenang pula :a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;b. membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;c. membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;f. membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; ataug. membuat akta risalah lelang.Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris berwenang pula:a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;b. membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;c. membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan Akta;f. membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan; ataug. membuat Akta risalah lelang.

Sumber : Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) UUJNPPada dasarnya tidak ada perubahan terkait inti atau makna yang berarti dalam pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) UUJNP terkait kewenangan Notaris baik kewenangan Notaris secara umum maupun kewenangan Notaris secara khusus. Perubahan yang ada adalah pada kalimat-kalimat dari ketentuan sebelumnya terdapat pada UUJN seperti dimana adanya perubahan kata otentik yang digunakan kini menjadi autentik, kemudian adalah pada pasal 15 ayat (1) UUJN terdapat kata ketetapan yang kemudian diubah menjadi penetapan, tentu arti dari ketetapan dan penetapan tersebut berbeda dimana ketetapan merupakan suatu produk hukum dan penetapan adalah sifat atau karakter.Pengaruh Perubahan Undang-Undang Jabatan Notaris pada Makna Pasal 15 ayat (2) Huruf f UUJNPBPN memiliki kecenderungan hanya menerima rujukan pendaftaran tanah melalui akta pertanahan yang dibuat PPAT, meskipun demikian ada akta yang berkaitan dengan pertanahan Notaris yang diterima BPN untuk melakukan pendaftaran tanah yaitu akta pelepasan hak atas tanah dan akta keterangan waris sehingga dapat dikatakan makna dari kalimat akta yang berkaitan dengan pertanahan dalam pasal 15 ayat (2) huruf UUJNP adalah akta-akta yang meskipun bukan akta pertanahan tetapi memiliki hubungan dengan bidang bertanahan dan akta tersebut bukanlah akta pertanahan yang dibuat oleh PPAT, karena pada kenyataannya akta pertanahan berbeda dengan akta yang berkaitan dengan pertanahan.Memaknai ketentuan dalam pasal 15 ayat (2) huruf f UUJNP tidak terlepas dari ketentuan sebelumnya yang tercantum dalam pasal 15 ayat (1) UUJNP. Pasal 15 ayat (2) huruf f UUJNP mengatakan bahwa Notaris berwenang membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan, tetapi dalam mengartikan akta dalam pasal tersebut tidak dapat mengesampingkan ketentuan dalam pasal 15 ayat (1) UUJNP yang menyebutkan bahwa pembuatan akta yang berkaitan dengan pertanahan oleh Notaris sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.Berdasarkan uraian di atas maka perubahan yang terjadi dalam UUJN kemudian diubah dalam UUJNP bukan lah suatu perubahan yang siginifikan terhadap kewenangan Notaris terlebih dalam hal membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan. Perubahan yang ada tidak mempengaruhi kewenangan Notaris seperti pada awal yang dicantumkan dalam UUJN, terkait kewenangan membuat akta pertanahan dalam pasal 15 ayat (2) huruf f UUJNP perubahan yang terjadi tidak mempengaruhi makna dari akta yang dimaksudkan, karena pasal tersebut tidak mengalami perubahan sedikitpun baik dari segi bahasa maupun penambahan penjelasan. Akta yang dimaksud dalam pasal 15 ayat (2) huruf f UUJNP tetap sebagai akta yang memiliki kaitan dengan bidang pertanahan tetapi akta tersebut tidak juga ditugaskan kepada pejabat lain.PENUTUPSimpulanBerdasarkan hasil penelitian dan pembahasan serta analisis yang telah dilakukan, demikian dapat ditarik kesimpulan yang merupakan jawaban atas permasalahan dalam penelitian sebagai berikut :1. Kewenangan Notaris membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan terkait pertanahan yaitu UUPA, UUHT, UURS, PP 24/97, dan Per.Men 3/97 sebagaimana kewenangan Notaris tersebut telah diberikan langsung oleh pasal 15 ayat (3) UUJNP. Kewenangan tersebut sudah benar dan tidak sama dengan kewenangan PPAT membuat akta pertanahan, karena Notaris berwenang membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan dan bukan akta pertanahan langsung. Notaris berkewenangan membuat akta pertanahan hanya jika dalam kondisi Notaris merangkap menjadi PPAT, Akta Pertanahan yang dibuat bukan merupakan akta PPAT, Notaris berwenang sepanjang memenuhi tempat di mana akta itu dibuat, dan Notaris berwenang sepanjang memenuhi waktu pembuatan akta.2. Perubahan signifikan yang dilakukan terhadap beberapa ketentuan dalam UUJN dapat dirumuskan menjadi sembilan hal yang pertama memuat penguatan persyaratan untuk dapat diangkat menjadi Notaris dan jangka waktu menjalani magang, kedua penambahan kewajiban, larangan rangkap jabatan, dan alasan pemberhentian sementara Notaris, ketiga pengenaan kewajiban kepada calon Notaris yang sedang melakukan magang. Keempat dicantumkan penyesuaian pengenaan sanksi yang diterapkan pada pasal tertentu, kelima pembedaan terhadap perubahan yang terjadi pada isi Akta, baik yang bersifat mutlak maupun bersifat relatif, keenam pembentukan majelis kehormatan Notaris, ketujuh penguatan dan penegasan Organisasi Notaris, kedelapan penegasan untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi dalam pembuatan Akta autentik, dan poin kesembilan adalah penguatan fungsi, wewenang, dan kedudukan Majelis Pengawas.Perubahan tersebut namun tidak merubah ketentuan mengenai kewenangan Notaris khususnya dalam membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan baik penambahan penjelasan atau perubahan bunyi pasal sehingga makna pasal 15 ayat (2) huruf f UUJNP masih tetap sama seperti dalam pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN yaitu akta yang memiliki hubungan dengan bidang bertanahan dan akta tersebut bukanlah akta pertanahan yang dibuat oleh PPAT.SaranBerdasarkan analisis yang telah dilakukan, demikian dapat diberikan saran atas permasalahan dalam penelitian sebagai berikut :1. Ikatan Notaris Indonesia (INI) hendaknya bertindak untuk mengajukan usul kepada pemerintah terkait Kewenangan Notaris membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan dalam pasal 15 ayat (2) huruf f UUJNP yang tidak dicantumkan penjelasan makna pasalnya, maka sebaiknya pasal tersebut dirubah bunyi atau dihapuskan karena selain akan menimbulkan perbedaan penafsiran yang berindikasi perebutan kewenangan dengan PPAT juga akan menambah beban Notaris dalam menjalankan tugas-tugasnya.2. Pemerintah sebagai pihak yang memiliki kewenangan untuk menyusun dan mengubah UUJNP yang terdiri dari badan legilatif dan badan eksekutif hendaknya memberikan penjelasan secara langsung yang tercantum dalam penjelasan UUJNP mengenai makna dari Kewenangan Notaris membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan dan lebih baik jika membuat peaturan pemerintah sebagai peraturan pelaksananya, guna memberikan kejelasan dan tidak menimbulkan banyak keraguan bagi Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya dan bagi masyarakat dalam meminta bantuan jasa Notaris dalam hal terkait pendaftaran tanah.DAFTAR PUSTAKABuku :Adam, Muhammad. 1985. Ilmu Pengetahuan Notariat. Bandung: Sinar BaruAdjie, Habib. 2009. Sekilas Dunia Notaris dan PPAT Indonesia. Surabaya: Mandar Maju__________. 2009. Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia. Bandung: Citra Aditya BaktiDewata, Mukti Fajar Nur dan Yulianto Achmad.2009. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Hermit, Herman. 2004. Cara Memperoleh Sertifikat Tanah Hak Milik, Tanah Negara dan Tanah Pemda. Bandung: Mandar MajuIshaq. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar GrafikaMarzuki, Peter Mahmud. 2011. Penelitian Hukum. Surabaya: KencanaMas, Marwan. 2004. Pengantar Ilmu Hukum. Makassar: Ghalia IndonesiaMertokusumo, Sudikno dan A. Plito. 1993. Bab-Bab tentangPenemuan Hukum. Yogyakarta: Citra Aditya BaktiMochtar, Dewi Astutty dan Dyah Ochtorina Susanti. 2012. Pengantar Ilmu Hukum. Malang: Bayumedia PublishingTobing, G.H.S. Lumbang. 1991. Peraturan Jabatan Notaris. Jakarta: ErlanggaSantoso, Urip. 2010. Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah. Jakarta : KencanaSatjipto Rahardjo. 1980. Hukum dan Masyarakat. Bandung: AngkasaSjaifurrachman dan Habib Adjie.2011. Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuatan Akta. Surabaya: Mandar MajuSudarsono. 1991. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Rineka CiptaNotodisoerjo, R. Soegondo. 1982. Hukum Notariat di Indonesia suatu Penjelasan. Jakarta: RajawaliSoesanto, R. 1978. Tugas, Kewajiban, dan Hak-Hak Notaris Wakil Notaris (sementara). Jakarta: Pradnya ParamitaSulihandari, Hartanti dan Nisya Rifiani. 2013. Prinsip-Prinsi Dasar Profesi Notaris. Jakarta: Dunia CerdasMakalah dan Karya Ilmiah :Firmanu, Mohamad Adi. 2010. Kewenangan Notaris dalam Membuat Akta yang Berkaitan dengan Pertanahan. Surabaya: Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas AirlanggaNovianto, Vicky. 2008. Wewenang Notaris dalam Membuat Akta Tanah Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 dan Kepastian Hukum Akta Tanah Notaris. Surabaya: Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas AirlanggaPalestina, Debora Dinar. 2008. Wewenang Notaris yang Bukan PPAT dalam Pembuatan Akta Pertanahan. Surabaya: Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas AirlanggaSadikin, Ali. 2012. Tinjauan Yuridis terhadap Pemekaran Kantor Pertanahan Kota Surabaya. Depok: Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia.Suryani, Linda Erma. 2009. Kewenangan Notaris dalam Membuat Akta Tanah Menurut Undang-Undang Jabatan Notaris. Surabaya: Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas AirlanggaWardhana, Setya. 2010. Wewenang Notaris dalam Pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT). Surabaya: Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas AirlanggaYustikawati.2011. Tanggungjawab Notaris dalam Membuat Akta di Bidang Pertanahan. Surabaya: Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas AIrlanggaPeraturan Perundang-Undangan :Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043)Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3632)Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432)Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5252)Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5491)Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2171)Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3746)Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran TanahInternet :Eka Sjarief, Ubi Societas Ibi Ius. 2014. https: //www.academia.edu/ 2479524/ Ubi Societas Ibi Ius, diakses pada tanggal 5 Desember 2014Badan Pusat Statistik. 2014. Jumlah Penduduk Indonesia, http://www.datastatistik-indonesia.com/proyeksi/, diakses pada tanggal 28 September 2014