laporan penelitian tanggung jawab notaris … · penelitian ini bertujuan untuk menemukan...
TRANSCRIPT
LAPORAN PENELITIAN
DANA PRODI MAGISTER KENOTARIATAN
TANGGUNG JAWAB NOTARIS TERHADAP KEABSAHAN
TANDATANGAN DALAM AKTA YANG DIBUATNYA
TIM PENELITI
1. DR. I GUSTI KETUT ARIAWAN, SH. MH (KETUA)
2. I GUSTI AGUNG AYU DIKE WIDHIYAASTUTI, SH. MH
3. I GUSTI BAGUS ANGGARA PARAMARTA, SH/149241016
(MAHASISWA)
4. NI KETUT AYU MAS DIRMAYUNTI, SH/1492461030 (MAHASISWA)
DIBIAYAI DARI SP DIPA KENOTARIATAN – 042..04.2.400107/2015
DENGAN SURAT PERJANJIAN PELAKSANAAN PENELITIAN
NOMOR :
TANGGAL :
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2015
HALAMAN PENGESAHAN
HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA
1. Judul Penelitian : Tanggung Jawab Notaris Terhadap Keabsahan Tanda
Tangan Dalam Akta Yang Dibuatnya
2. Bidang Ilmu : Kenotariatan
3. Ketua Peneliti :
a. Nama lengkap dengan gelar : Dr. I Gusti Ketut Ariawan, SH. MH
b. NIP : 1919570709 198610 1 001/0009075702
c. Pangkat/Golongan : Lektor Kepala/IVa
d. Jabatan Fungsional/Struktural : Pembina
e. Pengalaman Penelitian : (terlampir dalam CV)
f. Program Studi/Jurusan : Ilmu Hukum/Hukum Pidana
g. Fakultas : Fakultas Hukum
h. Alamat Rumah : Jalan Kertha Petasikan IX No. 8 Sidakarya Denpasar
i. E-mail : [email protected]
4. Jumlah Tim Peneliti : 4 (empat) orang
5. Lokasi Penelitian : LKBH FH Unud dan Kantor Notaris
6. Jangka waktu penelitian : 1 (satu) tahun
7. Biaya Penelitian : Rp. 12.500.000,00 (duabelas juta rupiah)
Denpasar, 30 September 2015
Mengetahui, Ketua Peneliti,
Ketua Prodi Magister Kenotariatan
(Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH. MHum) (Dr. I Gusti Ketut Ariawan, SH. MH)
NIP. 19640402 198911 2 001 NIP. 19570709 198610 1 001
Mengetahui
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Udayana
(Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH. MH)
NIP. 19530401 198003 1 004
iii
iii
ABSTRACT
The research purposes to find the synchronization of facts and rules in order
to size up the notary responsibility to the signature legality in notary deed.
Signature is very significant in legal documents such as notary deed. Signature
can be a sign that someone approval to a things. In facts there is found signature
forgery including signature forgery in notary deed. The main problems shown is
about notary responsibility to the signature legality in their deed then can be
notary ask for a criminal responsibility and if can what kind of sanction can be
punish to the notary for illegal signature in their deed.
This research use normative juridical research methods which is not ignore
the empirical aspects. Therefore the research method will combine norm and
empirical (socio legal research). The approaches will uses is history approaches,
concept approach, case approach and rules approaches.
The main result and discuss in this research is to find the notary
responsibility boundaries to the signature legality in notary deed until find the
main reason to submit criminal responsibility and punish by criminal sanction.
Facts found that notary have a absolute responsibility to their deed particular to
all aspects in the deed including the formal aspect such as signature. This
absolute responsible give when the workmanship process of the deed and
signature which performed legally and follow the UUJN rules.
The research conclusion is the notary has a responsibility to the
workmanship process of the deed as performed legally and follow the UUJN
rules. If found signature forgery, notary and the injure party shall prove their
postulate. If notary proven culpability doing a signature forgery, notary bears a
criminal responsibility and will punish with criminal sanction due to KUHP rules
Article 263 maximum 6 (six) years under prison.
Keywords : responsibility, notary, signature, deed
iv
iv
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan sinkronisasi antara kenyataan
dengan undang-undang dalam menilai tanggung jawab notaris terhadap keabsahan
tanda tangan dalam akta yang dibuatnya. Tanda tangan memiliki arti penting
dalam surat. Tanda tangan bisa menjadi isyarat atau tanda bahwa seseorang
menyetujui sesuatu. Dalam faktanya sering dijumpai adanya pemalsuan tanda
tangan termasuk tanda tangan dalam akta yang dibuat oleh seorang notaris.
Permasalahan yang timbul adalah berkaitan dengan bagaimana tanggung jawab
notaris terhadap keabsahan tanda tangan dalam akta yang dibuatnya lalu dapatkah
notaris dipertanggungjawabkan secara pidana dan jika dapat sanksi apa yang
dapat diberikan kepada seorang notaris terkait ketidakabsahan tanda tangan dalam
aktanya.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normative dengan tidak
melepaskan aspek empiris. Dengan demikian metode penelitian ini nantinya akan
mengkombinasikan antara norma dan empiris (socio legal research). Pendekatan
yang digunakan antara lain pendekatan sejarah, pendekatan konsep, pendekatan
kasus dan pendekatan undang-undang.
Hasil dan pembahasan dalam penelitian ini berfokus pada penemuan batasan
tanggungjawab notaris terhadap keabsahan tanda tangan dalam akta yang
dibuatnya sehingga ditemukan dasar untuk mengajukan pertanggungjawaban
notaris secara pidana untuk kemudian dijatuhkan sanksi pidana. Ditemukan fakta
bahwa notaris bertanggungjawab mutlak terhadap segala aspek dalam akta yang
dibuatnya termasuk aspek formal yang berkaitan dengan tanda tangan.
Tanggungjawab mutlak ini diberikan jika proses pembuatan akta dan
penandatangan telah dilakukan berdasarkan prosedur yang ditetapkan UUJN.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa notaris bertanggungjawab
terhadap proses pembuatan akta sepanjang telah mengikuti prosedur pembuatan
akta dalam UUJN. Jika kemudian dijumpai adanya tanda tangan yang palsu maka
notaris dan pihak yang dirugikan harus sama-sama dapat membuktikan dalilnya
masing-masing. Jika ternyata notaris telah terbukti melakukan kesalahan memalsu
tanda tangan para penghadapnya maka ia dapat dimintakan pertanggungjawaban
secara pidana dan dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan ketentuan KUHP
Pasal 263 yaitu maksimum pidana penjara 6 (enam) tahun.
Kata Kunci : tanggungjawab, notaris, keabsahan, tanda tangan
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi
Wasa atas berkat dan rahmat-NYA maka kami dapat menyelesaikan Laporan
Penelitian dengan judul “Tanggung Jawab Notaris Terhadap Keabsahan Tanda
Tangan Dalam Akta Yang Dibuatnya”.
Pengambilan judul ini dilatarbelakangi oleh adanya kasus di lapangan yang
berkaitan dengan persoalan tanda tangan yang dipalsukan yang menyeret notaris
ke hadapan hukum untuk mempertanggungjawabkan keabsahan tanda tangan
tersebut.
Penelitian ini tidak akan ada tanpa adanya informasi bantuan Hibah Penelitian
yang diluncurkan oleh Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Udayana. Oleh karenanya kami ucapkan terimakasih yang sebesar-
besarnya atas kesempatan berpartisipasi kepada Program Magister Kenotariatan
Fakultas Hukum Universitas Udayana khususnya kepada Ibu Dr. Desak Putu
Dewi Kasih, SH.MHum dan Tim TPPM Magister Kenotariatan.
Akhir kata, Laporan Penelitian ini masih sangat jauh dari sempurna karenanya
besar harapan kami akan adanya kritik dan saran yang membangun bagi
pengembangan pengetahuan dan keilmuan peneliti.
Denpasar, 30 September 2015
Peneliti
iii
DAFTAR ISI
JUDUL ……………………..………………………………………………… i
LEMBAR IDENTITAS DAN PENGESAHAN …………………………… ii
ABSTRACT …………………………………………………………………. iii
KATA PENGANTAR ………………………………………………………. iv
DAFTAR ISI …………………………………………………………………. . v
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………… 1
A. LATAR BELAKANG ………………………………………………. 2
B. RUMUSAN MASALAH …………………………………………….. 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………. 4
A. SEJARAH KENOTARIATAN DI INDONESIA …………………. 4
B. ARTI DAN PRINSIP PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA
PERDATA DAN PIDANA ………………………………………….. . 9
C. PERAN DAN KEWENANGAN NOTARIS DALAM PEMBUATAN
AKTA …………………………………………………………………. 13
D. MACAM-MACAM AKTA NOTARIS …………………………….. 17
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN …………………….. 20
A. TUJUAN PENELITIAN ……………………………………………. 20
B. MANFAAT PENELITIAN …………………………………………. 20
BAB IV METODE PENELITIAN …………………………………………. 21
A. JENIS PENELITIAN ………………………………………………... 21
B. SPESIFIKASI PENELITIAN ………………………………………. 21
C. LOKASI PENELITIAN ……………………………………………... 22
D. SUMBER BAHAN HUKUM ……………………………………….. 22
E. TEKNIK PENGUMPULAN BAHAN HUKUM ………………….. 23
F. TEKNIK PENGOLAHAN DAN ANALISA DATA ……………… 23
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………….. 24
iv
A. TANGGUNGJAWAB NOTARIS TERHADAP KEABSAHAN
TANDA TANGAN DALAM AKTA YANG DIBUATNYA …….. 24
B. PERTANGGUNGJAWABAN NOTARIS TERHADAP
KETIDAKABSAHAN TANDA TANGAN DALAM AKTA YANG
DIBUATNYA ………………………………………………………… 30
C. SANKSI BAGI NOTARIS DALAM KAITANNYA DENGAN
KETIDAKABSAHAN TANDA TANGAN DALAM AKTA YANG
DIBUATNYA …………………………………………………………. 33
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ………………………………………… 37
A. SIMPULAN …………………………………………………………… 37
B. SARAN ………………………………………………………………… 38
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
a. Justifikasi Anggaran Penelitian
b. Biodata Peneliti
c. Surat Pernyataan Peneliti
4
3. Sanksi apa yang dapat dijatuhkan pada notaris terkait ketidakabsahan
tanda tangan dalam aktanya?
2
yang membuat akta dibawah tangan tersebut. Jadi jika para pihak mengakuinya
atau tidak menyangkal maka akta dibawah tangan tersebut dapat dikatakan
memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna.
Akta otentik yang dibuat dihadapan notaris umumnya berisi pernyataan dari
para pihak, dibuat atas kehendak atau permintaan para pihak dan notaris
membuatnya dalam bentuk yang sudah ditentukan menurut undang-undang. Akta
otentik memiliki kekuatan pembuktian secara lahiriah, secara formal dan materiel.
Diantara ketiga kekuatan pembuktian tersebut yang paling sering dipermasalahkan
adalah yang berkaitan dengan aspek formal sebuah akta khususnya mengenai
kepastian hari, tanggal, bulan dan tahun serta pukul/jam menghadap para pihak;
para pihak yang menghadap; tanda tangan yang menghadap; salinan akta yang
tidak sesuai dengan minuta akta; salinan akta ada tanpa dibuat minuta akta;
minuta akta tidak ditanda tangani secara lengkap namun minuta akta dikeluarkan.
Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa salah satu hal penting
dalam akta otentik yang dibuat notaris yang dapat menimbulkan permasalahan
adalah berkaitan dengan tanda tangan. Hal ini dapat dimaklumi mengingat tanda
tangan memiliki arti yang amat penting dalam surat. Adanya tanda tangan ini
mengisyaratkan banyak hal seperti menyepakati, menyetujui, telah menerima dan
lain-lain. Tanda tangan bisa menjadi suatu tanda keterwakilan atas keberadaan
seseorang. Dalam konteks ini tanda tangan memiliki arti legalisasi terhadap isi
daripada surat baik yang dibuat sendiri atau diperuntukkan bagi orang lain. Tanda
tangan mengandung kebenaran atas sesuatu yang dapat dipertanggungjawabkan
secara hukum.
3
Keabsahan suatu tanda tangan dalam akta dapat diragukan kebenarannya.
Dalam beberapa peristiwa hukum banyak dijumpai adanya pemalsuan tanda
tangan dalam akta otentik. Seringkali notaris selaku pejabat pembuat akta otentik
turut dipermasalahkan. Dengan kata lain secara awam, notaris dianggap turut serta
dalam proses pemalsuan tanda tangan dalam akta otentiknya. Kondisi ini tentunya
akan menempatkan notaris dalam posisi yang kurang menguntungkan sebab
secara hukum, notaris hanya seorang pejabat yang membuat akta otentik
berdasarkan fakta-fakta yang diuraikan para pihak yang datang menghadap
kepadanya.
Uraian latar belakang tersebut menarik untuk dikaji secara lebih lanjut
mengenai tanggung jawab notaris terhadap keabsahan tanda tangan yang terdapat
dalam akta yang dibuatnya. Oleh karena itu penelitian ini akan dilakukan untuk
menemukan jawaban terkait tanggung jawab notaris terhadap keabsahan tanda
tangan yang ada dalam aktanya. Tanggung jawab notaris ini nantinya akan
berkaitan dengan dapat tidaknya ia dipertanggungjawabkan secara hukum pidana.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka dapat dijumpai beberapa
permasalahan antara lain :
1. Bagaimanakah tanggung jawab notaris terhadap keabsahan tanda tangan
yang terdapat dalam akta yang dibuatnya?
2. Apakah seorang notaris dapat dipertanggungjawabkan secara pidana atas
ketidakabsahan tanda tangan dalam akta yang dibuatnya?
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Akta merupakan produk hukum yang memiliki peranan penting dalam proses
pembuktian dalam suatu perkara perdata maupun pidana. Hal ini dikarenakan akta
termasuk sebagai alat bukti tulisan yang dapat memberikan jaminan kepastian
akan hak dan kewajiban seseorang. Akta juga mengandung pernyataan-pernyataan
yang memberikan petunjuk akan suatu keadaan yang terjadi. Akta merupakan
wujud entitas kehendak dari pada orang-orang yang terlibat sebagai para pihak.
Akta umumnya dapat dibuat oleh seorang pejabat publik yang diberi
wewenang untuk itu seperti notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), pejabat
lelang dan pegawai Catatan Sipil. Akta yang dibuat dihadapan pejabat publik yang
diberi wewenang untuk itu disebut dengan akta otentik yang memiliki kekuatan
pembuktian yang sempurna. Selain akta otentik dikenal pula istilah akta dibawah
tangan yang dibuat dalam bentuk yang tidak ditentukan oleh undang-undang dan
tidak dilakukan di hadapan pejabat publik yang diberikan wewenang untuk
membuat akta. Perbedaan yang penting antara kedua akta ini adalah terletak
dalam nilai pembuktian yang dimilikinya. Sebagaimana telah disebutkan akta
otentik yang dibuat oleh pejabat publik memiliki kekuatan pembuktian yang
sempurna. Oleh karena kesempurnaannya itu maka akta otentik sebagai alat bukti
harus dilihat dengan apa adanya dan tidak perlu ditafsirkan lagi. Akta dibawah
tangan kekuatan pembuktiannya terletak pada adanya pengakuan dari para pihak
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. SEJARAH KENOTARIATAN DI INDONESIA
Notaris merupakan lembaga yang memiliki arti penting dalam tata kehidupan
masyarakat. Notaris merupakan lembaga yang berperan untuk menulis dan
mencatat serta mensahkan perjanjian, akta, dan peristiwa-peristiwa hukum yang
dilakukan oleh masyarakat. Dengan demikian dapat dipahami bahwa baik notaris
maupun masyarakat memiliki hubungan simbiosis mutualisme (butuh
membutuhkan).
Lembaga Notaris yang berkembang saat ini memiliki sejarahnya sendiri.
Meskipun sejarah Lembaga Notaris pun masih diperdebatkan oleh para ahli
namun dapat diterima bahwa lembaga notaris berawal pertama kalinya di Mesir.
Hal ini dibuktikan dengan adanya temuan sejarah kertas papyrus yang digunakan
dalam hal administrasi negara di zaman Firaun (Pharaos). Namun tidak pula dapat
dipungkiri bahwa keberadaan notaris di dunia merupakan hasil pewarisan dari
sistem hukum Roma yang mempengaruhi negara-negara Eropa Kontinental yang
menganut sistem Civil Law. Tidak hanya mempengaruhi negara-negara penganut
Civil Law System ternyata keberadaan notaris dari sistem hukum Roma juga turut
mempengaruhi negara-negara penganut Common Law System. Contohnya adalah
Inggris yang pada mulanya tidak mengenal keberadaan notaris kini mulai
memberi ruang pada lembaga Public Notary dengan mengeluarkan Public Notary
Act 1843.
6
Lembaga notaris di Indonesia sendiri mulai berkembang pada era penjajahan
terutamanya ketika VOC masuk ke Indonesia. Saat itu Gubernur VOC Jan
Pieterszoon Coen memandang perlu untuk mengangkat seorang notaris atau
Notarium Publicum untuk kepentingan masyarakat dan para pedagang di era itu.
Tahun 1620, Melchior Kerchem seorang Sekretaris College van Schepenen
(Urusan Perkapalan Kota Jacatra) ditunjuk dan diberikan tugas rangkap sebagai
seorang notaris yang berkedudukan di Jakarta. Tugas Melchior Kerchem saat itu
antara lain melayani dan melakukan semua surat libel atau smaadschriff, surat
wasiat di bawah tangan atau codicil, akta perjanjian perdagangan, perjanjian
kawin, surat wasiat atau testament serta akta-akta lainnya. Di tahun 1625,
berdasarkan Instruksi Untuk Para Notaris yang dikeluarkan pada tanggal 16 Juni
1625 jabatan notaris pun mulai dipisahkan dari Sekretaris College van
Schepenen.
Tahun 1822, pemerintah Belanda mengeluarkan Stb.1822 No. 11 atau
Instructie voorde Notarissen Residerende in Nederlands Indie yang isinya
mengatur secara hukum tentang batas-batas dan wewenang dari seorang notaris
dan juga menegaskan tugas notaris untuk membuat akta-akta dan kontrak-kontrak
dengan maksud untuk memberikan kepadanya kekuatan dan pengesahan,
menetapkan dan memastikan tanggalnya, menyimpan asli atau minutanya dan
mengeluarkan grossenya, demikian juga memberikan salinannya.1 Pada tahun
1860 Pemerintah Hindia Belanda memandang perlu untuk membuat peraturan-
1 Soegondo Notodisoerjo dalam Habib Adjie, 2014, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik
Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, PT. Refika Aditama, Bandung, hal. 4
7
peraturan yang baru mengenai jabatan notaris di Nederlands Indie untuk
disesuaikan dengan peraturan-peraturan mengenai jabatan notaris yang berlaku di
Belanda.2 Untuk itu di Indonesia kemudian berlaku Reglement op Het Notaris
Ambt in Nederlands Indie (Stb 1860: 3) sebagai pengganti Instructie voor de
Notarissen Residerende in Nederlands Indie.
Ketika Indonesia merdeka pada tahun 1945, jabatan notaris tetap diakui
berdasarkan pada Pasal II Ketentuan Peralihan UUD 1945. Reglement op Het
Notaris Ambt in Nederlands Indie tetap diberlakukan dan kewenangan untuk
mengangkat notaris berada di tangan Menteri Kehakiman. Tahun 1949 ketika
terjadi penyerahan kedaulatan dari pemerintah Belanda ke pemerintah Indonesia
memberi dampak pada keberadaan notaris yang tidak berkewarganegaraan
Indonesia. Notaris-notaris tersebut harus meninggalkan Indonesia sehingga terjadi
kekosongan notaris di Indonesia. Untuk mengisi kekosongan tersebut, Menteri
Kehakiman pun menetapkan dan mengangkat Wakil Notaris untuk menjalankan
tugas jabatan notaris dan menerima protocol yang berasal dari notaris yang
berkewarganegaraan Belanda.
Pada tanggal 13 November 1954 Pemerintah Republik Indonesia
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan
Wakil Notaris Sementara. Pasal 2 ayat (1) undang-undang tersebut, menegaskan
bahwa dalam hal notaris tidak ada, Menteri Kehakiman dapat menunjuk seorang
yang diwajibkan menjalankan pekerjaan-pekerjaan notaris. Mereka yang ditunjuk
dengan kewajiban seperti tersebut dalam pasal ini disebut sebagai wakil notaris
2 Ibid.
8
(Pasal 1 huruf c dan Pasal 8 Undang-Unang Nomor 33 Tahun 1954), selanjutnya
dalam Pasal 2 ayat (2) disebutkan, sambil menunggu ketetapan dari Menteri
Kehakiman, Ketua Pengadilan Negeri dapat menunjuk seorang untuk sementara
diwajibkan menjalankan pekerjaan-pkerjaan notaris. Mereka yang ditunjuk
dengan kewajiban seperti tersebut dalam pasal ini disebut sebagai Wakil Notaris
Sementara (Pasal 1 huruf d Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954), sedangkan
yang disebut Notaris adalah mereka yang diangkat berdasarkan ketentuan Pasal 2
ayat (1) Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stb. 1860: 3) –
(Pasal 1 huruf a Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954).3
Pada tahun 2004 dengan dikeluarkannya UU No. 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris maka beberapa ketentuan antara lain :
1. Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stb. 1860: 3)
sebagaimana diubah dalam LN 1954 Nomor 10;
2. Ordonantie 16 September 1931 tentang Honorarium Notaris;
3. UU No. 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris
Sementara;
4. Pasal 54 UU No. 8 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 2 tahun 1986
tentang Peradilan Umum;
5. Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1949 tentang Sumpah/Janji Jabatan
Notaris
Pun dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi. Dengan adanya UU No. 30 Tahun
2004 tentang Jabatan Notaris maka dapat dikatakan jika di Indonesia telah
3 Ibid., hal. 5
9
terlaksana pembaharuan terhadap sistem hukum kenotariatan yang melahirkan
adanya unifikasi hukum kenotariatan yang akan berlaku di seluruh wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terakhir di tahun 2014 Undang-Undang
Tentang Jabatan Notaris kembali diubah dengan mengeluarkan UU No. 2 Tahun
2014 tentang Jabatan Notaris.
Demikian sekilas tentang sejarah kenotariatan di Indonesia yang digambarkan
sejak jaman VOC hingga Indonesia merdeka di tahun 1945 dan kemudian secara
independen memiliki undang-undang tersendiri sebagai bukti adanya pengakuan
terhadap profesi/jabatan notaris di Indonesia.
B. ARTI DAN PRINSIP PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA
PERDATA DAN ACARA PIDANA
1. ARTI DAN PRINSIP PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA
PERDATA
Dalam suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk menyelidiki
apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau
tidak. Adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti apabila penggugat
menginginkan kemenangan dalam suatu perkara. Apabila penggugat tidak berhasil
untuk membuktikan dalil-dalilnya yang menjadi dasar gugatannya, maka
gugatannya akan ditolak.
Menurut Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, di dalam soal
menjatuhkan beban pembuktian, hakim harus bertindak arif dan bijaksana, serta
10
tidak boleh berat sebelah.4 Terkait dengan ini menurut keduanya, ada beberapa hal
dalam pembuktian yang tidak harus dibuktikan ialah berupa hal-hal atau keadaan-
keadaan yang telah diketahui oleh khalayak ramai. Hal yang disebut terakhir ini
dalam hukum acara perdata disebut fakta notoir.5
A Pitlo mengatakan bahwa tidak termasuk dalam “notoire feiten” itu
peristiwa-peristiwa yang secara kebetulan diketahui oleh hakim yang
bersangkutan, atau ia menyakininya ketika terjadi atau hakim yang bersangkutan
mempunyai keahlian perihal suatu kejadian/keadaaan.6 Dengan demikian dapat
dipahami bahwa dalam soal pembuktian khususnya mengenai hubungan hukum
diperlukan adanya dalil-dalil yang dapat menjadi dasar gugatan atau dalil-dalil
yang dapat dipergunakan untuk menyanggah tentang kebenaran dalil-dalil yang
dikemukakan. Dengan kata lain, pembuktian dalam hukum acara perdata cukup
berdasarkan kebenaran formil yang ditunjang dengan berbagai dalil yang
menguatkan.
Adapun yang dapat menjadi alat bukti dalam hukum acara perdata adalah :
1. Bukti surat
2. Bukti saksi
3. Persangkaan
4. Pengakuan
5. Sumpahan
4 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 1989, Hukum Acara Perdata Dalam Teori
dan Praktek, Penerbit Mandar Maju, Bandung, hal. 51
5 Ibid.
6 Ibid., hal. 52
11
Dalam proses perdata, bukti tulisan atau bukti surat merupakan bukti yang
penting dan utama. Bukti surat dapat diminta untuk diserahkan kepada hakim oleh
para pihak yang berselisih. Tujuan penyerahan bukti surat kepada hakim adalah
untuk memeriksa apakah ada alasan untuk menyangkal keabsahan dari surat-surat
tersebut. Dengan demikian hakim akan memiliki keyakinannya sendiri terhadap
kebenaran dalil yang ada. Apabila ada sangkalan dari salah satu pihak yang
berselisih berkaitan dengan bukti surat yang diajukan maka hakim harus
melakukan pemeriksaan lebih khusus terhadap hal tersebut. Jika ada sangkaan
yang beralasan seperti misalnya surat yang diserahkan kepada hakim adalah palsu
atau dipalsukan oleh orang yang masih hidup maka bukti surat tersebut akan
dikirimkan kepada jaksa penuntut umum untuk dilaksanakan pemeriksaaan dan
penuntutan sebagaimana mestinya. Jika hal ini terjadi dalam proses perkara
perdata maka implikasinya adalah dilakukan penangguhan pemeriksaan dalam
perkara perdata sampai ada putusan terhadap perkara pidananya. Terkait dengan
hal inilah biasanya permasalahan mengenai tanda tangan atau cap jempol sering
muncul.
2. ARTI DAN PRINSIP PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA
PIDANA
Berbeda dengan pembuktian dalam hukum acara pidana yang lebih
mengedepankan kebenaran materiil. Hakim dalam memeriksa perkara pidana
dalam sidang pengadilan senantiasa berusaha untuk membuktikan :
a. Apakah betul suatu peristiwa itu telah terjadi;
b. Apakah betul peristiwa itu merupakan suatu tindak pidana;
12
c. Apakah sebab-sebabnya peristiwa itu terjadi; dan
d. Siapakah orangnya yang telah bersalah berbuat peristiwa itu?7
Oleh karena itu dalam hukum acara pidana terdapat suatu azas yang terdapat
dalam Pasal 183 KUHAP yang menentukan bahwa hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-
kurangnya, dua alat bukti yang syah yang ia peroleh keyakinan bahwa satu tindak
pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Terkait dengan alat bukti dalam hukum pidana diketahui ada beberapa alat
bukti yang ditetapkan dalam Pasal 184 KUHAP yaitu :
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa.
Khusus yang berkaitan dengan penelitian ini mengenai surat maka yang dimaksud
dengan alat bukti surat dalam hukum acara pidana, yaitu yang dibuat atas sumpah
jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah :
1. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat
umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat
keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang
7 R. Soesilo, 1982, Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana Menurut KUHAP
Bagi Penegak Hukum), Politeia, Bogor, hal. 109
13
dialami sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang
keterangannya itu;
2. Surat yang dibuat menurut ketentuan perundang-undangan atau surat yang
dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang
menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian
sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
3. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan
keahliannya mengenai sesuatu hal atau suatu keadaan yang diminta secara
resmi dari padanya;
4. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari
alat pembuktian yang lain.8
C. PERAN DAN KEWENANGAN NOTARIS DALAM PEMBUATAN
AKTA
Jabatan notaris ada karena dikehendaki oleh peraturan perundang-undangan
dengan tujuan untuk memberikan pelayanan, bantuan kepada masyarakat yang
membutuhkan adanya alat bukti tertulis yang bersifat otentik berkaitan dengan
keadaan ataupun peristiwa-peristiwa hukum. Adanya dasar seperti ini seyogyanya
bisa memberikan semangat kepada para notaris yang diangkat untuk mempunyai
semangat melayani masyarakat yang membutuhkan dan masyarakat yang
menggunakan jasa notaris bersangkutan seyogyanya pula memberikan honor (fee)
pembayaran.
8 Ibid., hal. 116 - 117
14
Terkait dengan hal itu, dapat dipahami bahwa jabatan notaris merupakan
suatu Jabatan (Publik) yang memiliki beberapa karakteristik, yaitu:
a. Sebagai Jabatan
b. Notaris mempunyai kewenangan tertentu
c. Diangkat dan diberhentian oleh pemerintah
d. Tidak menerima gaji atau pensiun dari yang mengangkatnya
e. Akuntabilitas atas pekerjaannya kepada masyarakat.
Dengan adanya karakteristik demikian maka jelaslah bahwa notaris adalah jabatan
yang diberikan negara untuk melaksanakan kewenangan tertentu dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Pasal 1 angka 1 UUJN menyebutkan bahwa notaris adalah pejabat umum
yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya
sebagaimana dimaksudkan dalam UUJN. Pejabat umum yang dimaksud dalam
Pasal 1 angka 1 UUJN harus dibaca sebagai pejabat publik yang berwenang untuk
membuat akta otentik (Pasal 15 ayat (1) UUJN) yang kewenangan lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) dan (3) UUJN dan untuk melayani
kepentingan masyarakat. Dalam konteks ini, Herry Susanto menerangkan notaris
sebagai pejabat publik, dalam pengertiannya mempunyai kewenangan dengan
pengecualian. Dengan mengkategorikan notaris sebagai pejabat publik dalam hal
ini publik yang bermakna hukum, bukan publik sebagai khalayak umum.9
9 Herry Susanto, 2010, Peranan Notaris Dalam Menciptakan Kepatutan Dalam Kontrak, Penerbit
FH UII Press, Yogyakarta, hal. 38
15
Selanjutnya diterangkan kembali, notaris sebagai pejabat publik tidak berarti
sama dengan pejabat publik dalam bidang pemerintahan yang dikategorikan
sebagai badan atau pejabat tata usaha negara.10
Hal ini dapat dibedakan dari
produk yang dihasilkan notaris dengan produk yang dihasilkan pejabat tata usaha
negara. Jelas dalam hal ini notaris sebagai pejabat publik menghasilkan produk
hukum yang disebut dengan akta otentik.
Akta tidak memenuhi syarat sebagai keputusan tata usaha negara yang
bersifat konkret, individual, dan final serta tidak menimbulkan akibat
hukum perdata bagi seseorang atau badan hukum perdata, karena akta
merupakan formulasi keinginan atau kehendak para pihak yang dituangkan
di dalam akta yang dibuat dihadapan atau oleh notaris itu sendiri. Sengketa
yang timbul akan di proses di pengadilan negeri.11
Pejabat publik dalam bidang pemerintahan menghasilkan produk yang
disebut dengan surat keputusan ata ketetapan yang terkait dalam ketentuan hukum
administrasi negara yang memenuhi syarat sebagai penetapan tertulis yang
bersifat konkret, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi setiap
orang dan badan hukum perdata. Sengketanya pun akan diselesaikan melalui
proses peradilan tata usaha negara.
Notaris sebagai pejabat publik dikatakan memiliki kewenangan sebagaimana
diatur dalam Pasal 15 ayat (1), (2) dan (3) UUJN.
Menurut Pasal 15 ayat (1) UUJN, notaris berwenang membuat akta otentik
mengenai semua perbuatan, perjanjian dari penetapan yang diharuskan oleh
peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang
10
Ibid.
11 Ibid., hal. 39
16
berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian
tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan
kutipan akta semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan
atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang yang ditetapkan oleh undang-
undang.
Selain wewenang membuat akta, UUJN juga memberikan wewenang lain
kepada notaris sebagaimana tertuang dalam Pasal 15 ayat (2) UUJN yaitu :
1. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat
dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
2. Membuktikan surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku
khusus;
3. Membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang
memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang
bersangkutan;
4. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
5. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;
6. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
7. Membuat akta risalah lelang.
Dengan demikian jelaskan bahwa notaris memiliki peranan dan wewenang
dalam pembuatan akta. Peranan notaris sebagai pejabat umum adalah
memformulasikan kehendak-kehendak dari para pihak ke dalam akta otentik
dengan memperhatikan hukum yang berlaku. Wewenang notaris adalah membuat
17
akta yang sesuai dengan aturan prosedur pembuatan akta yang ditentukan oleh
UUJN sehingga akta tersebut dikemudian hari tidak merugikan pihak lain dan
memiliki nilai keabsahan yang dapat menjadi suatu alat bukti yang sempurna.
D. MACAM-MACAM AKTA NOTARIS
Pasal 7 angka 7 UUJN menyebutkan akta adalah akta autentik yang dibuat
oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam
UUJN. Berdasarkan Pasal ini dapat dijumpai ada 2 (dua) pemahaman terkait
penggolongan akta autentik, yaitu pertama, akta otentik yang dibuat oleh pejabat
umum dan kedua, akta otentik yang dibuat dihadapan pejabat umum.
Victor M Situmorang dan Cormentyna Sitanggang menyebutkan perbedaan
dari kedua akta tersebut yaitu :
1. Akta relaas dibuat oleh pejabat, sedangkan akta para pihak dibuat oleh
para pihak di hadapan pejabat, atau para pihak meminta bantuan pejabat
itu untuk membuat akta yang mereka inginkan tersebut.
2. Dalam akta para pihak, para pejabat pembuat akta sama sekali tidak
pernah memulai inisiatif, sedangkan dalam akta relaas, pejabat pembuat
akta itu kadang-kadang yang memulai inisiatif untuk membuat akta itu.
3. Akta para pihak harus ditandatangani oleh para pihak dengan ancaman
kehilangan sifat otentiknya, sedangkan akta relaas tanda tangan
demikian tidak merupakan keharusan
18
4. Akta para pihak berisikan keterangan yang dikehendaki oleh para pihak
yang membuat atau menyuruh membuat akta itu, sedangkan akta relaas
berisikan keterangan tertulis dari pejabat yang membuat akta itu sendiri.
5. Kebenaran dari isi akta relaas tidak dapat diganggu gugat kecuali
dengan menuduh bahwa akta itu palsu, sedangkan kebenaran isi akta
para pihak dapat diganggu gugat tanpa menuduh kepalsuan akta
tersebut.12
Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat dipahami bahwa akta yang dibuat
oleh notaris dalam praktik kenotariatan disebut akta relaas (relaas acten) atau akta
berita acara yang berisi berupa uraian notaris yang dilihat dan disaksikan notaris
sendiri atas permintaan para pihak, agar tindakan atau perbuatan para pihak
dilakukan dan dituangkan ke dalam bentuk akta notaris. Sedangkan akta yang
dibuat notaris atas permintaan para pihak disebut akta partij (partij acten).
Pembuatan akta notaris baik akta relaas maupun akta pihak sama-sama didasarkan
pada adanya keinginan dan kehendak dan permintaan dari para pihak. Jika
keinginan dan permintaan para pihak tidak ada maka notaris tidak akan membuat
akta yang dimaksud untuk memenuhi keinginan.
Menurut Pasal 1868 KUHPerdata, suatu akta baru akan mempunyai kekuatan
otensitas apabila telah memenuhi syarat-syarat :
1. Aktanya itu harus dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum;
12
Ibid., hal. 43-44
19
2. Aktanya harus dibuat di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-
undang dan pejabat umum itu harus mempunyai kewenangan.
Dengan demikian jelaslah bahwa akta-akta seyogyanya dibuat dalam bentuk akta
notariil di hadapan notaris.
Terkait dengan hal itu, ada beberapa karakter yuridis dari akta notaris yaitu :
1. Akta wajib dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan oleh undang-
undang (UUJN).
2. Akta notaris dibuat karena ada permintaan para pihak dan bukan
keinginan notaris
3. Meskipun dalam akta notaris tercantum nama notaris, tapi dalam hal
ini notaris tidak berkedudukan sebagai pihak bersama-sama para pihak
atau penghadap yang namanya tercantum dalam akta.
4. Mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Siapa pun terikat
dengan akta notaris serta tidak dapat ditafsirkan lain, selain yang
tercantum dalam akta tersebut.
5. Pembatalan daya ikat akta notaris hanya dapat dilakukan atas
kesepakatan para pihak yang namanya tercantum dalam akta. Jika ada
yang tidak setuju, maka pihak yang tidak setuju harus mengajukan
permohonan ke pengadilan umum agar akta yang bersangkutan tidak
mengikat lagi dengan alasan-alasan tertentu yang dapat dibuktikan.13
13
Habib Adjie, 2013, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, PT. Refika Aditama, Bandung, hal.
17
20
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
A. TUJUAN PENELITIAN
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk :
1. Menambah wawasan dalam bidang ilmu kenotariatan dan juga dalam
bidang ilmu hukum pidana terkait dengan persoalan pertanggungjawaban
notaris terhadap keabsahan tanda tangan dalam akta yang dibuatnya.
2. Untuk mengetahui dan menemukan jawaban pertanggungjawaban notaris
terhadap keabsahan tanda tangan dalam akta yang dibuatnya dan
implikasinya bilamana tanda tangan dalam akta tersebut palsu.
3. Untuk menemukan jawaban mengenai sanksi yang dapat diterapkan pada
notaris terkait ketidakabsahan dari tanda tangan yang ada dalam akta yang
dibuatnya.
B. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan praktis.
1. Manfaat teoritis, penelitian ini akan dapat memberikan sumbangsih
pemikiran yang berkaitan dengan pengembangan ilmu pengetahuan
khususnya ilmu kenotariatan.
2. Manfaat praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemikiran
bagi praktisi notaris agar memahami tanggung jawabnya dalam
memeriksa dan menetapkan keabsahan tanda tangan para pihak agar tidak
menimbulkan permasalahan hukum di kemudian hari.
21
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. JENIS PENELITIAN
Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian normative. Disebut
penelitian normative karena penelitian ini hanya akan memperhatikan segi-segi
norma-norma yang berasal dari peraturan perundang-undangan maupun doktrin-
doktrin. Oleh karena itu ia juga disebut sebagai penelitian doktriner yang disebut
juga penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang dilakukan atau ditujukan
hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.14
Disamping itu penelitian ini juga akan tetap memperhatikan perkembangan-
perkembangan empiris yang terjadi di lapangan.
B. SPESIFIKASI PENELITIAN
Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis15
, yaitu penelitian yang
menggambarkan fakta-fakta hukum yang ada juga bertujuan untuk menjelaskan
dengan menggunakan analisis data yang diperoleh secara sistematis, factual, dan
akurat dikaitkan dengan ketentuan-ketentuan yuridis yang terdapat dalam
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tanggung jawab notaris
terhadap keabsahan tanda tangan dalam akta yang dibuatnya.
14
Bambang Waluyo, 1996, Metode Penelitian Hukum, PT. Ghalia Indonesia, Semarang, hal. 13
15 Bambang Sunggono, 2001, Metode Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal.
35
22
C. LOKASI PENELITIAN
Penelitian akan difokuskan di Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum FH
UNUD yang biasa menangani kasus-kasus yang berkaitan dengan kerja notaris
dalam penipuan atau pemalsuan tanda tangan. Penelitian juga akan dilakukan di
sebuah kantor Notaris yang ada di Kabupaten Badung untuk menemukan jawaban
mengenai tanggungjawab notaris terhadap keabsahan tanda tangan dalam akta
yang dibuatnya.
D. SUMBER BAHAN HUKUM
Penelitian ini menggunakan sumber bahan hukum primer dan sekunder dalam
menemukan jawaban terhadap permasalahan.
1. Sumber hukum primer akan difokuskan pada UU No. 30 Tahun 2004
jo. UU No. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, KUHPidana dan
KUHPerdata.
2. Sumber hukum sekunder akan menggunakan berbagai macam
literature terkait yang menunjukkan adanya doktrin-doktrin terkait
pertanggungjawaban notaris terhadap keabsahan tanda tangan dalam
akta yang dibuatnya.
Disamping kedua sumber bahan hukum tersebut, penelitian ini juga tidak
mengabaikan adanya data hasil wawancara dengan notaris sebagai penguat
simpulan terkait dengan tanggungjawab notaris terhadap keabsahan tanda tangan
dalam akta yang dibuatnya.
23
E. TEKNIK PENGUMPULAN BAHAN HUKUM
Bahan Hukum akan dikumpulkan dengan melakukan studi kepustakaan
terhadap objek penelitian yaitu tanggung jawab yuridis notaris terhadap keabsahan
tanda tangan dalam akta yang dibuatnya. Selain itu juga dilakukan wawancara
terhadap salah seorang notaris untuk memperkuat penelusuran kepustakaan yang
telah dilakukan.
F. TEKNIK PENGOLAHAN DAN ANALISA BAHAN HUKUM
Sumber bahan hukum dan data yang telah diperoleh selanjutnya akan diolah
secara kualitatif. Selanjutnya bahan hukum dan data tersebut akan dianalisis dan
diuraikan secara sistematis agar bisa menjawab semua permasalahan yang timbul
terkait dengan tanggung jawab notaris terhadap keabsahan tanda tangan dalam
akta yang dibuatnya. Terakhir hasil pengolahan dan analisa tersebut akan
dideskripsikan dalam bahasan dan dikonstruksikan sebagai simpulan-simpulan.
24
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. TANGGUNG JAWAB NOTARIS TERHADAP KEABSAHAN TANDA
TANGAN DALAM AKTA YANG DIBUATNYA
1. Pengertian Tanggung Jawab
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan tanggung jawab sebagai
keadaan wajib menanggung segala sesuatunya, kalau ada sesuatu hal boleh
dituntut, dipermasalahkan, diperkarakan, dan sebagainya.15
Menurut O. P
Simorangkir, tanggung jawab adalah kewajiban menanggung atau memikul
segala-galanya yang menjadi tugas, dengan segala dilihat dari pada tindakan yang
baik maupun yang buruk.16
Dengan demikian dapat dipahami arti tanggung jawab
seabagi suatu kewajiban untuk memikul suatu hal sebagai tugas yang harus
dilaksanakan.
Berkaitan dengan tanggung jawab notaris, Abdul Kadir Muhammad
mengatakan bahwa bentuk-bentuk tanggung jawab notaris dapat diberi pengertian
sebagai berikut :
1. Notaris dituntut melakukan pembuatan akta dengan baik dan benar
artinya akta yang dibuat ini memenuhi kehendak hukum dan
permintaan pihak yang berkepentingan karena jabatannya.
15
W.J.S Poerwadarminta, 1982, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta
16 O.P Simorangkir, 1998, Etika Jabatan, Aksara Persada Indonesia, Jakarta, hal. 102
25
2. Notaris dituntut menghasilkan akta yang bermutu artinya akta yang
dibuatnya itu sesuai dengan aturan hukum dan kehendak pihak yang
berkepentingan dalam arti sebenarnya bukan mengada-ada. Notaris
harus menjelaskan kepada pihak berkepentingan kebenaran isi dan
prosedur akta yang dibuatnya itu.
3. Berdampak positif artinya siapapun akan mengakui akta notaris
mempunyai kekuatan bukti sempurna.17
Dari sisi hukum pidana, pertanggungjawaban menurut Simons adalah suatu
perbuatan yang oleh hukum diancam dengan hukuman, bertentangan dengan
hukum, dilakukan oleh seorang bersalah dan orang ini dianggap bertanggung
jawab atas perbuatannya.18
Moeljatno memandang pertanggungjawaban pidana itu
dapat diberikan kepada seseorang apabila seseorang tersebut selain daripada
melakukan perbuatan pidana, orang itu juga harus mempunyai kesalahan atau
pertanggungjawaban pidana tidak cukup hanya dikarenakan adanya perbuatan
pidana saja melainkan harus ada kesalahan didalamnya.
Berdasarkan beberapa pengertian tentang tanggung jawab tersebut diatas
dapat dipahami bahwa tanggung jawab notaris dalam UUJN lebih dilihat sebagai
ketaatan notaris terhadap ketentuan-ketentuan hukum dalam menjalankan tugas
dan kewajibannya. Dalam artian semua perbuatan notaris saat melaksanakan tugas
17
Abdulkadir Muhammad, 2001, Etika Profesi Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 93-94
18 Simons dalam Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 61
26
dan kewajibannya berdasarkan aturan UUJN harus dapat dipertanggungjawabkan
secara hukum termasuk siap menerima konsekuensi dikenakan sanksi apabila
melakukan pelanggaran dan tindakan hukum lain seperti kejahatan.
Selanjutnya penting dipahami bahwa tanggung jawab notaris terjadi dalam
hubungannya dengan pelaksanaan tugas dan kewajiban yang dibebankan kepada
notaris berdasarkan kewenangannya menurut hukum. Konkritisasi tanggung
jawab notaris dalam hal ini berbentuk upaya-upaya maksimal untuk menghasilkan
akta otentik yang diakui keabsahannya oleh hukum.
2. Keabsahan Tanda Tangan Para Pihak Dalam Akta Yang Dibuat
Notaris
Tanda tangan adalah tulisan tangan berupa tanda huruf dari nama pribadi
seseorang yang dibubuhkan pada dokumen (dalam hal ini akta notaris) atas
kehendak sendiri sebagai pengesahan atas isi dokumen. Dalam pembuatan akta
notaris, tanda tangan merupakan salah satu syarat formal yang melengkapi akta
dan dilakukan paling akhir setelah notaris membacakan akta yang dibuatnya
dihadapan para pihak. Melalui pembubuhan tanda tangan tersebut, para pihak
akan dianggap telah mengetahui, memahami dan menyetujui isi akta.
Pada faktanya tanda tangan dalam akta notaris sebagai salah satu syarat
formal sering dipermasalahkan. Dalam beberapa informasi media cetak dijumpai
fakta bahwa identitas penghadap berikut tanda tangan penghadap seringkali
dipalsu oleh pihak-pihak yang ingin mencari keuntungan. Tindakan ini tentunya
akan merugikan pihak lain yang memiliki identitas tersebut bahkan termasuk akan
27
merugikan notaris sendiri. Tidak jarang notaris ikut disertakan membantu proses
pembubuhan tanda tangan karena dianggap membiarkan atau mengijinkan hal itu
terjadi.
Berdasarkan teori, notaris selaku pejabat publik tidak dapat dikriminalisasi
atas perbuatannya membantu pembuatan akta apabila telah sesuai dengan
prosedur pelaksanaan pembuatan akta sebagaimana ditentukan oleh UUJN.
Dengan kata jika notaris telah bertindak sesuai dengan prosedur dalam UUJN
maka ia tidak dapat dikriminalisasi telah melakukan tindak pidana. Oleh karena
itu ketika seseorang hendak memidanakan notaris maka tolok ukur pemeriksaan
yang dipergunakan adalah kesesuaian tindakan notaris dalam proses pembuatan
akta dengan aturan hukum atau UUJN. Artinya dalam pembuatan atau prosedur
pembuatan akta telah ditentukan bahwa notaris harus mengikuti ketentuan atau
aturan dalam UUJN. Jika notaris telah mengikuti ketentuan dan tidak dijumpai
adanya ketidakwajaran dalam aspek lahiriah, aspek formal dan aspek materii dari
akta yang dibuatnya maka notaris tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban.
Logikanya jika notaris telah melaksanakan pembuatan akta sesuai dengan
ketentuan dalam UUJN maka sangatlah tidak mungkin notaris kemudian secara
sengaja melakukan suatu tindakan yang akan merugikan dirinya. Terkecuali
bahwa ia secara sadar kemudian melakukan tindakan pidana secara bersama-sama
atau membantu para penghadapnya melakukan tindakan pemalsuan maka notaris
tersebut dapat dikatakan melakukan tindak pidana.
Sehubungan dengan ini Notaris Chynthia Yuniati, SH. MKn menerangkan
bahwa notaris sebagai pejabat publik hanya membantu para pihak untuk
28
memformulasikan kehendak atau keinginannya ke dalam akta. Dalam hal itu
notaris tidak termasuk sebagai salah satu pihak dari para pihak. Dengan kata lain
notaris berada diluar para pihak. Notaris Chynthia Yuniati, SH. MKn juga
menerangkan bahwa tanggung jawab notaris terbatas hanya pada proses
pembuatan akta yang sesuai dengan prosedur. Jadi jika notaris tidak bertindak
sesuai dengan prosedur dalam UUJN maka notaris tersebut dapat dikatakan telah
melakukan pelanggaran terhadap UUJN. Persoalan kemudian muncul
permasalahan dalam aspek formal seperti misalnya tanda tangan palsu maka pihak
yang dirugikan harus bisa membuktikan bahwa ia tidak datang menghadap ke
hadapan notaris pada hari, tanggal, bulan dan tahun serta waktu pembuatan akta
dan tidak melakukan pembubuhan tanda tangan pada akta tersebut. Menurut
Notaris Chynthia Yuniati, SH. MKn, dalam hal ini pihak yang dirugikan harus
melakukan pembuktian secara terbalik dan apabila hal tersebut masih dirasa
belum kuat maka dapat dilakukan uji labfor oleh POLRI.
Terkait keabsahan tanda tangan dalam akta yang dibuat notaris, Notaris
Chynthia Yuniati, SH. MKn menerangkan bahwa pada prinsipnya notaris harus
mengedepankan prinsip know your customer atau prinsip mengenali penghadap.
Ketika penghadap datang pertama kali, notaris harus memastikan benar bahwa
yang datang kepadanya betul-betul para pihak yang hendak membuat akta partij.
Ini dapat dilakukan dengan meminta identitas KTP dan lain sebagainya yang
dapat menguatkan fakta bahwa penghadap adalah orang yang berkepentingan.
Menurutnya memang tidak dapat dipungkiri bisa saja notaris terkecoh seperti
yang diberitakan oleh media-media cetak dan baru menyadari ketika ada pihak
29
yang mempermasalahkan dan merasa dirugikan oleh akta yang dikeluarkannya.
Namun Notaris Chynthia Yuniati, SH. MKn kembali menegaskan bahwa selama
notaris telah bertindak sesuai dengan prosedur yang ditentukan oleh UUJN maka
notaris tidak bertanggungjawab atas hal-hal lain yang kemudian muncul setelah
akta dikeluarkan. Terangnya kembali beliau mengingatkan bahwa notaris
hanyalah pejabat publik yang diberi tugas untuk membantu dan melayani
masyarakat dan tidak memiliki kewajiban investigasi terhadap kebenaran materiil.
Dengan demikian jelaslah bahwa terkait keabsahan tanda tangan dalam akta
yang dibuatnya, notaris mutlak harus bertanggungjawab sepanjang proses
pembuatan akta itu telah dilakukan berdasarkan aturan UUJN. Jika tanda tangan
itu dipalsu para pihak tanpa sepengetahuan notaris maka notaris tidak ada
tanggung jawab apapun. Dalam hal ini notaris juga harus bisa membuktikan
bahwa dirinya telah melakukan prosedur pembuatan akta sesuai UUJN dan
membuktikan bahwa saat proses pembuatan akta tersebut para pihak telah
menunjukkan identitas dirinya dan telah melaksanakan prinsip identifikasi.
Terkecuali, saat proses pembuatan akta tersebut telah didahului dengan itikad
tidak baik yaitu meniatkan adanya pemalsuan tanda tangan sebagai proses akhir
pembuatan akta yang menandakan akta telah diketahui, dipahami dan disetujui
isinya oleh para pihak maka notaris pun dapat dimintakan pertanggungjawaban.
UUJN juga tidak memberikan penjelasan lebih lanjut terkait keabsahan tanda
tangan dalam akta yang dibuat notaris. UUJN lebih menekankan pada pelaksanaan
prosedur pembuatan akta oleh notaris harus sesuai dengan standarisasi yang diatur
UUJN. Ini artinya UUJN tidak mengharuskan notaris bertanggungjawab terhadap
30
keabsahan tanda tangan para pihak sepanjang notaris telah melaksanakan prosedur
pembuatan akta sesuai UUJN. Dalam hal ini UUJN hanya mengatur tentang
tanggungjawab notaris apabila akta yang dibuatnya ternyata cacat hukum maka
akta tersebut dapat dibatalkan dan kepada notaris tersebut dapat dikenakan sanksi
yang sifatnya perdata, administrative atau sanksi kode etik notaris.
B. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA NOTARIS TERHADAP
KETIDAKABSAHAN TANDA TANGAN DALAM AKTA YANG
DIBUATNYA
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, notaris mutlak bertanggungjawab
terhadap keabsahan tanda tangan dalam akta yang dibuatnya apabila notaris telah
melaksanakan prosedur pembuatan akta berdasarkan aturan dalam UUJN.
Pertanggungjawaban notaris secara pidana terjadi apabila tanda tangan
tersebut ternyata tidak sah dan notaris mengetahui hal tersebut. Artinya
ketidakabsahan tanda tangan dalam akta yang dibuatnya itu diketahui dan
disetujui oleh notaris. Disini pertanggungjawaban pidana terhadap notaris tetap
mendasarkan pada ada tidaknya kesalahan dalam proses pembubuhan tanda
tangan para pihak. Jadi harus bisa dibuktikan bahwa notaris memiliki niat dan
pengetahuan akan adanya pemalsuan tanda tangan. Bilamana menyangkal dapat
ditindaklanjuti dengan mengajukan uji laboratorium forensik terhadap tanda
tangan yang ada di dalam akta.
Jika terbukti ada pemalsuan tanda tangan maka notaris dapat dianggap
melakukan tindakan-tindakan yang dapat dikenakan pasal-pasal dalam KUHP
antara lain :
31
1. Membuat surat palsu/yang dipalsukan dan menggunakan surat
palsu/yang dipalsukan (Pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP
2. Melakukan pemalsuan (Pasal 264 KUHP)
3. Menyuruh mencantumkan keterangan palsu dalam akta otentik (Pasal
266 KUHP)
4. Melakukan, menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan (Pasal
55 jo. Pasal 263 ayat (1) dan (2) atau Pasal 264 atau Pasal 266 KUHP
5. Membantu membuat surat palsu/atau yang dipalsukan dan
menggunakan surat palsu/yang dipalsukan (Pasal 56 ayat (1) dan (2) jo.
Pasal 263 ayat (1) dan (2) atau Pasal 264 dan Pasal 266 KUHP.
Pemeriksaan terhadap notaris yang sudah memenuhi syarat untuk menjadi
tersangka (artinya ada kesalahan yang dapat dibuktikan) tetap harus mengacu
pada tata cara pembuatan akta notaris yaitu:
1. Notaris melakukan pengenalan terhadap penghadapnya berdasarkan
identitas yang diperlihatkan kepada notaris.
2. Menanyakan, kemudian mendengarkan dan mencermati keinginan atau
kehendak para pihak tersebut (proses tanya jawab)
3. Memeriksa bukti surat yang berkaitan dengan keinginan atau kehendak
para pihak tersebut.
4. Memberikan saran dan membuat kerangka akta untuk memenuhi
keinginan atau kehendak para pihak tersebut.
32
5. Memenuhi segala teknik administrative pembuatan akta notaris, seperti
pembacaan, penandatanganan, memberikan salinan dan pemberkasan
untuk minuta.
6. Melakukan kewajiban lain yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas
jabatan notaris.19
Jadi dalam melakukan pemeriksaan terhadap notaris, tolok ukur yang digunakan
tetap kepada prosedur pembuatan akta notaris yang berdasarkan pada UUJN.
Apabila ditemukan fakta bahwa notaris telah melaksanakan prosedur sesuai UUJN
namun para pihak yang telah melakukan tindak pidana tanpa sepengetahuan
notaris maka notaris tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana.
Namun jika ternyata disamping telah melaksanakan prosedur pembuatan akta
sesuai UUJN, notaris juga ternyata ikut melakukan tindak pidana maka notaris
dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana.
Sehubungan dengan adanya perbuatan notaris yang termasuk dalam ranahnya
hukum pidana, seperti pemalsuan surat atau keterangan dan lain-lain, UUJN tidak
membuat aturan tentang ketentuan pidana. Dalam konteks ini maka hukum yang
akan diberlakukan kepada notaris yang melakukan tindak pidana adalah hukum
pidana dengan menerapkan KUHP. UUJN hanya mengatur tentang pelanggaran
oleh notaris dan sanksi yang diberikan kepada notaris yang melakukan
pelanggaran.
19
Habib Adjie, 2013, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik,
PT. Refika Aditama, Bandung, hal. 77
33
Berkenaan dengan pertanggungjawaban notaris terhadap ketidakabsahan
tanda tangan dalam akta yang dibuatnya, Notaris Chynthia Yuniati, SH. MKn
menerangkan bahwa notaris dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana
apabila terbukti benar ia telah melakukan tindak pidana yang dituduhkan. Dalam
konteks ini Notaris Chynthia Yuniati, SH. MKn mengingatkan untuk memisahkan
antara tanggung jawab Notaris dalam melaksanakan jabatannya dengan tanggung
jawab notaris karena terbukti melakukan tindak pidana. Artinya tanggungjawab
notaris dalam melaksanakan jabatannya hanya terbatas pada prosedur pelaksanaan
pembuatan akta yang sesuai UUJN. Bilamana tidak sesuai maka notaris dianggap
telah melakukan pelanggaran dan dapat dikenakan sanksi administrasi atau
perdata dan sanksi kode etik. Konsekuensi adanya pelanggaran oleh notaris adalah
aktanya cacat hukum dan dapat dibatalkan. Hal itu berbeda dengan
tanggungjawab notaris yang melakukan tindak pidana, artinya notaris yang telah
terbukti melakukan tindak pidana harus bertanggungjawab secara pidana dan
menerima konsekuensi penjatuhan sanksi berdasarkan tindak pidana yang
dilakukannya.
C. SANKSI BAGI NOTARIS DALAM KAITANNYA DENGAN
KETIDAKABSAHAN TANDA TANGAN DALAM AKTA YANG
DIBUATNYA
UUJN mengatur bahwa ketika notaris melakukan pelanggaran saat
menjalankan tugas jabatannya maka notaris tersebut dapat diberikan sanksi.
Adapun sanksi yang dapat diberikan kepada notaris yang melakukan pelanggaran
adalah sanksi perdata, administrasi dan kode etik jabatan notaris. Sanksi-sanksi
34
tersebut telah diatur dalam UUJN dan Kode Etik Jabatan Notaris. Dalam
praktiknya terkadang ditemukan fakta bahwa suatu tindakan hukum atau
pelanggaran yang dilakukan notaris dikualifikasikan sebagai tindak pidana.
Dengan demikian selain pemberian sanksi yang bersifat perdata, administrasi dan
kode etik, notaris juga dapat dikenakan sanksi pidana.
Adapun hal-hal yang dapat menyebabkan tindakan seorang notaris
dikualifikasikan sebagai tindak pidana adalah yang berkaitan dengan aspek formal
dari akta yang dibuatnya. Aspek formal tersebut terdiri atas :
1. Kepastian hari, tanggal, bulan, tahun dan pukul penghadap;
2. Pihak atau siapa orang yang datang menghadap notaris;
3. Tanda tangan yang menghadap;
4. Salinan akta tidak sesuai dengan minuta akta;
5. Salinan akta ada, tanpa dibuat minuta akta; dan
6. Minuta akta tidak ditandatangani secara lengkap, tapi minuta akta
dikeluarkan.
Aspek-aspek formal tersebut dapat dijadikan dasar untuk memidana notaris
dengan dugaan notaris telah membuat surat palsu atau memalsukan akta.
Terkait aspek formal akta dapat memidanakan notaris, Notaris Chynthia
Yuniati, SH. MKn menjelaskan memidanakan notaris berdasarkan aspek formal
tidak bisa dilakukan secara sembarang. Artinya, harus ada penelitian dan
pembuktian yang mendalam dengan mencari unsure kesalahan atau kesengajaan
notaris. Apabila terbukti notaris telah melakukan kesalahan (sengaja) memalsukan
aspek-aspek formal sebuah akta maka ia dapat diproses secara hukum pidana
35
karena telah melakukan tindak pidana pemalsuan dan dapat dikenakan sanksi
pidana.
Berdasarkan ketentuan dalam KUHP, tindak pidana pemalsuan surat diatur
dalam Buku II Bab XVI Pasal 263 s/d 276. Terkait dengan akta yang dibuat
notaris (akta otentik) termasuk dalam kualifikasi surat yang dikecualikan dan
diatur dalam Pasal 264 KUHP ayat (1) ke-1. Adapun pidana yang dapat diberikan
kepada notaris adalah pidana penjara maksimum 6 (enam) tahun sebagaimana
tertuang dalam Pasal 263 KUHP.
Terkait dengan dugaan pemalsuan tanda tangan dalam akta yang dibuatnya
sehingga tidak sah maka pihak yang menuduhkan dugaan tersebut harus
membuktikan bahwa ada kesengajaan (dengan kesadaran penuh dan keinsyafan
serta perencanaan yang matang oleh notaris tersebut) bahwa akta yang dibuat oleh
notaris dihadapannya itu ada unsur palsunya yaitu dalam tanda tangannya. Di
samping itu juga harus dibuktikan adanya kesengajaan dan kesadaran notaris
untuk secara bersama-sama dengan para penghadap (para pihak) melakukan
pembantuan atau menyuruh penghadap melakukan suatu tindakan hukum yang
diketahuinya sebagai tindakan yang melanggar hukum. Apabila keseluruhan hal
ini dapat dibuktikan oleh pihak yang dirugikan (yang mengajukan dugaan) maka
notaris dapat diproses secara pidana.
Jadi dapat ditarik suatu pemahaman bahwa notaris pada dasarnya tidak dapat
dikriminalisasi dalam melaksanakan tugas atau jabatannya. Namun notaris dapat
dikriminalisasi dan dikenakan sanksi pidana apabila terbukti telah melakukan
tindakan-tindakan :
36
1. Dalam proses pembuatan akta, ada tindakan notaris terhadap aspek
formal seperti tanda tangan yang dengan sengaja, penuh kesadaran dan
keinsyafan serta direncanakan untuk dipalsu.
2. Ada tindakan notaris yang menyalahi prosedur pembuatan akta yang
telah diatur dalam UUJN.
3. Tindakan tersebut merupakan tindakan yang salah dalam penilaian
Majelis Pengawas Notaris.
37
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian hasil dan pembahasan dalam bab sebelumnya, dapat
disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1. Tanggungjawab notaris terhadap keabsahan tanda tangan dalam akta yang
dibuatnya adalah mutlak. Tanda tangan termasuk dalam salah satu aspek
formal akta yang harus dipenuhi sebagai penanda bahwa para pihak telah
menyetujui, mengetahui (paham) dan mengerti akan isi akta. Apabila di
kemudian hari ada pihak yang merasa dirugikan atas pembubuhan tanda
tangan tersebut maka pihak tersebut harus membuktikan adanya
ketidakwajaran tanda tangan.
2. Apabila diketemukan fakta adanya ketidakwajaran tanda tangan dalam
akta yang dibuat oleh notaris dan dapat dibuktikan maka notaris dapat
dimintakan pertanggungjawaban atas ketidakabsahan tanda tangan dalam
akta yang dibuatnya. Disini notaris dapat diduga telah melakukan
kesalahan dengan memalsukan surat atau keterangan dalam suratnya.
Notaris dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana. Jika notaris
tersebut menyangkal pengetahuannya akan tidakabsahnya tanda tangan
dalam aktanya maka notaris harus membuktikan bahwa ia telah
melaksanakan prosedur-prosedur pembuatan akta sebagaimana diatur oleh
UUJN. Termasuk memastikan para penghadap melalui identitas yang
diberikan.
38
3. Secara umum sanksi yang dapat diberikan kepada notaris telah ditentukan
dalam UUJN yaitu sanksi perdata, sanksi administrasi dan sanksi kode etik
jabatan. Sanksi-sanksi tersebut dijatuhkan kepada notaris apabila notaris
dinilai telah melakukan pelanggaran terhadap UUJN oleh Majelis
Pengawas Notaris. Secara khusus, sanksi pidana dapat diberikan kepada
notaris yang telah terbukti sengaja (sadar dan insyaf) melakukan
pemalsuan termasuk pemalsuan tanda tangan yang menyebabkan tidak
absahnya tanda tangan tersebut. Penjatuhan sanksi pidana ini harus melalui
prosedur pemeriksaan yang sesuai dan memperhatikan tolok ukur yang
ditentukan UUJN yaitu prosedur pelaksanaan pembuatan akta oleh notaris.
Apabila notaris tersebut terbukti melakukan tindak pidana pemalsuan
tanda tangan maka kepadanya dapat dijatuhkan pidana penjara maksimal 6
(enam) tahun lamanya.
B. SARAN
Adapun saran yang dapat diberikan adalah :
1. Notaris harus lebih mengedepankan prinsip know your customer tatkala
hendak melaksanakan pembuatan akta para pihak maupun relaas.
Sekalipun notaris tidak diwajibkan untuk melakukan investigasi terhadap
para penghadapnya. Hal ini untuk menghindarkan notaris dari adanya
dugaan-dugaan yang mungkin akan menyeret notaris ke meja hijau.
2. Notaris harus lebih taat kepada tugas dan wewenangnya sebagai pejabat
publik yang bertugas untuk melayani masyarakat sebagaimaan diatur
39
dalam UUJN dan tidak berfokus pada usaha-usaha mementingkan pihak-
pihak yang memberikan keuntungan padanya.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU-BUKU
Andi Hamzah, 1985, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia
Indonesia, Jakarta
Bambang Sunggono, 2001, Metode Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo Persada,
Jakarta
Bambang Waluyo, 1996, Metode Penelitian Hukum, PT Ghalia Indonesia,
Semarang
Habib Adjie, 2008, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No.
30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris), Refika Aditama, Bandung
--------------, 2013, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai
Pejabat Publik, PT. Refika Aditama, Jakarta
---------------, 2013, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, Refika Aditama,
Bandung
Herry Susanto, 2010, Peranan Notaris Dalam Menciptakan Kepatutan Dalam
Kontrak, FH UII Press, Yogyakarta
R. Soesilo, 1982, Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana
Menurut KUHAP Bagi Penegak Hukum), Politeia, Bogor
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 1989, Hukum Acara Perdata
Dalam Teori dan Praktek, Penerbit Mandar Maju, Bandung
Ronny Hanitijo Soemitro, 1994, Metodelogi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2004, Penelitian Normatif suatu Tinjauan
Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
UNDANG-UNDANG
UU No. 30 Tahun 2004 jo. UU No. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris
KUHP
KUHAP
KUHPerdata