tanggung jawab notaris sebagai pelapor …

23
TANGGUNG JAWAB NOTARIS SEBAGAI PELAPOR TRANSAKSI KEUANGAN MENCURIGAKAN DALAM APLIKASI GATHERING REPORTS & INFORMATION PROCESSING SYSTEM (GRIPS) Nurananda Budi Muliani, Dr. Pieter Everhardus Latumeten, S.H., M.H. , Dr. Drs. Widodo Suryandono, S.H., M.H. ______________________________________________________________________ ABSTRAK Perkembangan teknologi informasi serta globalisasi saat ini dapat memunculkan aktivitas kriminal yang dilakukan secara terorganisir dan telah banyak melintasi batas yurisdiksi suatu negara yakni berupa kejahatan transnasional seperti tindak pidana pencucian uang. Dalam kejahatan pencucian uang tersebut seringkali dapat melibatkan Notaris dalam kewenangannya membuat akta autentik. Oleh karena itu, pemerintah memperluas ketentuan pihak pelapor khususnya Notaris untuk wajib melaporkan transaksi keuangan mencurigakan kepada PPATK dengan melakukan pendaftaran dan pelaporannya pada suatu sarana khusus yakni aplikasi pelaporan GRIPS. Akan tetapi, sejatinya kewajiban pelaporan tersebut berbenturan dengan kewajiban yang dipegang oleh Notaris sebagai pengemban rahasia jabatan. Dengan demikian, ditemukan permasalahan mengenai: bagaimana kedudukan dan peran Notaris dalam sistem pelaporan tindak pidana pencucian uang serta tanggung jawabnya sebagai pihak pelapor dalam aplikasi GRIPS. Penelitian ini menggunakan metode yang berbentuk penelitian yuridis normatif dengan metode kualitatif sebagai metode analisis data dan menggunakan studi dokumen yang didukung dengan hasil wawancara sebagai alat pengumpulan data. Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa Notaris telah diberikan kewenangan melalui Undang- Undang, dan oleh karena itu apabila Notaris dibebani kewajiban lain harus diatur pula dalam Undang-Undang. Meskipun secara legalitas Notaris tetap wajib melakukan pendaftaran dan pelaporan pada aplikasi GRIPS, tetap diperlukannya suatu kekuatan hukum dengan melakukan upaya hukum atas pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang (judicial review) kepada Mahkamah Agung agar terciptanya kepastian hukum terhadap Notaris sehubungan dengan permasalahan kewajibannya tersebut. Kata Kunci: Notaris, Kewajiban Melaporkan, Transaksi Keuangan Mencurigakan, Aplikasi GRIPS. A. PENDAHULUAN

Upload: others

Post on 12-Nov-2021

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: TANGGUNG JAWAB NOTARIS SEBAGAI PELAPOR …

TANGGUNG JAWAB NOTARIS SEBAGAI PELAPOR TRANSAKSI

KEUANGAN MENCURIGAKAN DALAM APLIKASI GATHERING REPORTS

& INFORMATION PROCESSING SYSTEM (GRIPS)

Nurananda Budi Muliani, Dr. Pieter Everhardus Latumeten, S.H., M.H. ,

Dr. Drs. Widodo Suryandono, S.H., M.H.

______________________________________________________________________

ABSTRAK

Perkembangan teknologi informasi serta globalisasi saat ini dapat memunculkan aktivitas

kriminal yang dilakukan secara terorganisir dan telah banyak melintasi batas yurisdiksi

suatu negara yakni berupa kejahatan transnasional seperti tindak pidana pencucian uang.

Dalam kejahatan pencucian uang tersebut seringkali dapat melibatkan Notaris dalam

kewenangannya membuat akta autentik. Oleh karena itu, pemerintah memperluas

ketentuan pihak pelapor khususnya Notaris untuk wajib melaporkan transaksi keuangan

mencurigakan kepada PPATK dengan melakukan pendaftaran dan pelaporannya pada

suatu sarana khusus yakni aplikasi pelaporan GRIPS. Akan tetapi, sejatinya kewajiban

pelaporan tersebut berbenturan dengan kewajiban yang dipegang oleh Notaris sebagai

pengemban rahasia jabatan. Dengan demikian, ditemukan permasalahan mengenai:

bagaimana kedudukan dan peran Notaris dalam sistem pelaporan tindak pidana pencucian

uang serta tanggung jawabnya sebagai pihak pelapor dalam aplikasi GRIPS. Penelitian

ini menggunakan metode yang berbentuk penelitian yuridis normatif dengan metode

kualitatif sebagai metode analisis data dan menggunakan studi dokumen yang didukung

dengan hasil wawancara sebagai alat pengumpulan data. Berdasarkan hasil penelitian,

maka dapat disimpulkan bahwa Notaris telah diberikan kewenangan melalui Undang-

Undang, dan oleh karena itu apabila Notaris dibebani kewajiban lain harus diatur pula

dalam Undang-Undang. Meskipun secara legalitas Notaris tetap wajib melakukan

pendaftaran dan pelaporan pada aplikasi GRIPS, tetap diperlukannya suatu kekuatan

hukum dengan melakukan upaya hukum atas pengujian peraturan perundang-undangan

di bawah undang-undang (judicial review) kepada Mahkamah Agung agar terciptanya

kepastian hukum terhadap Notaris sehubungan dengan permasalahan kewajibannya

tersebut.

Kata Kunci: Notaris, Kewajiban Melaporkan, Transaksi Keuangan Mencurigakan,

Aplikasi GRIPS.

A. PENDAHULUAN

Page 2: TANGGUNG JAWAB NOTARIS SEBAGAI PELAPOR …

Universitas Indonesia

2

1. Latar Belakang

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut

UUD 1945) setelah perubahan menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara

hukum.1 Arti negara hukum itu sendiri pada hakikatnya berakar dari konsep teori

kedaulatan hukum yang pada prinsipnya menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi di dalam

suatu negara adalah hukum, oleh sebab itu seluruh alat perlengkapan negara apapun

namanya termasuk warga negara harus tunduk dan patuh serta menjunjung tinggi hukum

tanpa kecuali.2

Sebagai sebuah negara hukum yang juga berkembang, Indonesia telah berhasil

menjadi satu-satunya negara ASEAN yang termasuk ke dalam anggota G-20

perekonomian besar di dunia. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya pertumbuhan

ekonomi Indonesia yang stabil setiap tahunnya dan menempatkan negara Indonesia

menjadi salah satu kekuatan ekonomi di dunia.3 Keberhasilan Indonesia menjadi economy

global power tersebut tidak terlepas dari pelaksanaan pembangunan yang dimiliki negara

Indonesia dengan disertai kemajuan teknologi informasi dan globalisasi perdagangan.

Dampak dari perekonomian besar tersebut dapat dilihat dalam berbagai bidang

kehidupan, baik hukum, ekonomi dan politik menyusul semakin pesatnya perkembangan

teknologi informasi. Akan tetapi, disisi lain perkembangan teknologi informasi serta

globalisasi dapat memunculkan aktivitas kriminal yang dilakukan secara terorganisir dan

telah banyak melintasi batas yurisdiksi suatu negara yakni berupa kejahatan transnasional

(transnational crime) yang berawal dari persaingan ekonomi. Beberapa kejahatan

tersebut antara lain meliputi korupsi, perdagangan orang, penyelundupan orang dan

senjata, serta pencucian uang.4

Pencucian uang merupakan bentuk kejahatan yang terorganisir dengan cara

menyembunyikan dan menyamarkan harta hasil tindak pidana, sehingga asal-usul harta

kekayaan yang telah diperoleh tersebut seolah-olah berasal dari hasil kegiatan usaha yang

sah atau legal. Sebagaimana ternyata dalam kamus Black’s Law Dictionary yang

memberikan pengertian bahwa pencucian uang adalah “term used to describe investment

or other transfer of money flowing from racketeeting, drug transaction, and other illegal

sources into legitimate channels so that is original source cannot be traced.”5 Dalam

terjemahan bebasnya dapat diartikan bahwa pencucian uang adalah istilah yang

digunakan untuk menggambarkan investasi atau transfer uang lainnya yang mengalir dari

pemerasan, transaksi dan sumber illegal melalui jalur yang sah, sehingga uang tersebut

tidak dapat diketahui lagi asal usulnya.

1 Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen IV, LN. 14 Tahun 2006, Ps. 1 ayat (3).

2 Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan & Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta:

Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2003), hlm. 12.

3 Konsulat Jenderal Republik Indonesia, General Konsulat Der Republik Indonesien Frankfurt,

https://www.indonesia-frankfurt.de/ekonomi/peran-indonesia-dalam-ekonomi-internasional/, diakses 31

Januari 2019.

4 Romli Atmasasmita, Globalisasi Kejahatan Bisnis, (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), hlm. 39.

5 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary Sixth Edition, (St. Paul Minn: West Publishing Co.,

1990), hlm. 884.

Page 3: TANGGUNG JAWAB NOTARIS SEBAGAI PELAPOR …

Universitas Indonesia

3

Berdasarkan penelusuran sejarah, kejahatan pencucian uang pertama kali muncul di

Amerika Serikat pada awal abad ke-20, ketika perusahaan-perusahaan pencucian pakaian

(laundry) digunakan oleh para mafia untuk pemutihan/ pencucian uang yang diperoleh

dari perbuatan illegal dengan cara membeli perusahaan-perusahaan laundry tersebut,

sehingga seolah-olah uang yang mereka kumpulkan itu berasal dari bisnis cuci pakaian.6

Tidak sampai disitu, kejahatan pencucian uang kembali terulang di Amerika Serikat pada

tahun 1931 yang dilakukan oleh Meyer Lansky dengan membuat rekening lepas pantai di

Bank Swiss yang digunakan untuk menyembunyikan hasil kejahatan Gubernur

Lousianna, Hue Long. Kemudian, Lansky mendirikan usaha mesin slot di New Orleans

dan Bank Swiss yang menyediakan dana dalam bentuk pinjaman kepada Lansky & Co.7

Cara-cara tersebut yang memungkinkan kejahatan pencucian uang kembali ke

Amerika Serikat ditambah dengan meningkatnya arus globalisasi dan teknologi informasi

yang menjadikan dimensi kejahatan pencucian uang dapat melintasi batas suatu negara.

Oleh karena itu, untuk pertama kalinya dibentuklah hukum anti pencucian uang yang

dilakukan oleh Amerika Serikat pada tahun 1970 melalui pembentukan undang-undang

Bank Secretary Act dengan tujuan untuk memberikan sarana yang diperlukan oleh

otoritas penegak hukum untuk memerangi pencucian uang.8

Dalam memerangi kejahatan pencucian uang tidak hanya dibutuhkan peraturan saja,

tetapi juga dibutuhkan suatu karakteristik khusus dan juga titik tolak serta pemberantasan

terhadap kejahatan ekonomi yang bukan saja dengan memberantas kejahatan asalnya

tetapi juga memburu hasil kejahatan tersebut dengan menerapkan ketentuan anti

pencucian uang, bukan saja pelaku kejahatan asalnya tertangkap tetapi juga ke mana

aliran dana hasil kejahatannya terungkap, dengan menerapkan ketentuan anti pencucian

uang menyertai kejahatan asal, maka penegak hukum bisa mendapatkan 2 (dua)

sekaligus, yaitu menangkap pelaku kejahatan asal dan sekaligus merampas kembali hasil

kejahatan untuk dikembalikan kepada yang berhak.9

Paling tidak terdapat 3 (tiga) motivasi para pelaku kejahatan untuk melakukan

pencucian uang dari hasil kejahatan yang dilakukannya, yaitu kekhawatiran para pelaku

akan berhadapan dengan petugas pajak, penuntutan oleh aparat penegak hukum, dan

kekhawatiran hasil kejahatan tersebut disita karena didapatkan secara ilegal.

Sebagaimana ternyata yang telah disebutkan oleh Emily G. Lawrence dalam bukunya

yang berjudul “Lest Seller Beware of Money Laundering”, sebagai berikut:

The motivation for all of this activity arises from a situation where a person attempts

to spend illegally-acquired money without first hiding its origin. When this occurs,

one of there possibilite is likely to result: (1) the individually may held liable for taxes

on the fund and/or for non-payment of taxes; (2) the money may be linked to the

6 Juni Sjafrien Jahja, Melawan Money Laundering! Mengenal, Mencegah dan Memberantas Tindak

Pidana Pencucian Uang, cet.1, (Jakarta: Visimedia, 2012), hlm. 4.

7 Hanafi Amrani, Hukum Pidana Pencucian Uang: Perkembangan Rezim Anti Pencucian Uang dan

Implikasinya Terhadap Prinsip Dasar Kedaulatan Negara, Yurisdiksi Pidana dan Penegakan Hukum,

(Yogyakarta: UII Press, 2015), hlm. 2.

8 Ibid., hlm. 2-3.

9 Yenti Ganarsih, Penegakan Hukum Anti Pencucian Uang dan Permasalahan di Indonesia, (Jakarta:

PT Rajagrafindo Persada, 2015), hlm. 1.

Page 4: TANGGUNG JAWAB NOTARIS SEBAGAI PELAPOR …

Universitas Indonesia

4

crime, making owners a target for persecution; (3) the money may be subjects

forfeiture if the government find that’s it was illegally acquired.10

Sementara itu, menurut Yunus Husein, akibat maraknya pelaku kejahatan pencucian

uang memberikan dampak yang buruk terhadap berbagai faktor antara lain:

1. Merongrong integritas pasar keuangan karena lembaga-lembaga keuangan

(ifinancial institutions) yang mengandalkan dana hasil kejahatan dapat

menghadapi resiko likuiditas;

2. Mengganggu sektor swasta yang sah dengan tindakan para kriminal menggunakan

perusahaan-perusahaan (front companies) untuk mencampur uang haram dengan

uang sah, dengan maksud untuk menyembunyikan asal-usul dari uang yang

dihasilkan oleh kegiatan kejahatannya. Perusahaan-perusahaan (front companies)

tersebut memiliki akses terhadap dana-dana haram yang besar jumlahnya, yang

memungkinkan mereka untuk mensubsidi barang dan jasa yang dijual oleh

perusahaan tersebut agar dapat dijual dengan harga jauh dibawah harga pasar,

sehingga merugikan perusahaan-perusahaan yang menjalankan bisnis mereka

secara legal;

3. Mengakibatkan hilangnya kendali pemerintah terhadap kebijakan ekonomi;

4. Timbulnya distorsi dan ketidakstabilan ekonomi karena para pencuci uang tidak

tertarik untuk memperoleh keuntungan dari investasi tetapi lebih mengutamakan

keuntungan dalam waktu cepat dari kegiatan-kegiatan yang secara ekonomis tidak

bermanfaat bagi negara;

5. Hilangnya pendapatan negara dari sumber pembayaran pajak karena pencucian

uang menghilangkan pendapatan pajak yang jujur. Hal itu juga mengakibatkan

pengumpulan pajak oleh pemerintah menjadi makin sulit untuk dilakukan;

6. Membahayakan upaya-upaya privatisasi perusahaan-perusahaan milik negara

yang dilakukan oleh pemerintah, sekaligus mengancam upaya-upaya reformasi

ekonomi oleh negara melalui privatisasi perusahaan milik negara. Organisasi-

organisasi kejahatana tersebut menggunakan dana yang dimiliki untuk membeli

saham-saham perusahaan milik negara tersebut dengan harga yang jauh lebih

tinggi dari calon pembeli lainnya;

7. Rusaknya reputasi negara yang nantinya akan berdampak pada kepercayaan pasar

karena kegiatan pencucian uang dan kejahatan di bidang keuangan (financial

crimes) yang dilakukan oleh negara yang bersangkutan;

8. Menimbulkan biaya sosial (social cost) yang tinggi.11

Dampak buruk tersebut terjadi akibat tindak pidana pencucian uang yang dapat

dibuktikan dengan adanya laporan transaksi keuangan mencurigakan. Sebagaimana yang

dikemukakan oleh Wakil Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan

(PPATK), Dian Adiana Rae menyebutkan bahwa terdapat total laporan transaksi

keuangan mencurigakan yang terjadi sejak 2003 sampai dengan Oktober 2018 mencapai

414.299 laporan transaksi keuangan mencurigakan atau setelah diterbitkannya Undang-

10 Emilly G. Lawrence, Lest Seller Beware of Money Laundering, (Merchants and 18USC: College,

1992), hlm. 841.

11 Yunus Husein, Bunga Rampai Anti Pencucian Uang, cet. 1, (Bandung: Books Terrace & Liberty,

2007), hlm. 83-84.

Page 5: TANGGUNG JAWAB NOTARIS SEBAGAI PELAPOR …

Universitas Indonesia

5

Undang Tindak Pidana Pencucian Uang yang tercatat sebanyak 350.375 laporan.12 Untuk

itu, dalam upaya memerangi kejahatan transnational crime, khususnya kejahatan berupa

tindak pidana pencucian uang pemerintah Indonesia telah resmi menjadi observer pada

Financial Action Task Force (selanjutnya disebut FATF) on Money Laundring pada

tanggal 29 Juni 2018 di Paris dalam suatu forum kerjasama antar negara yang bertujuan

untuk menetapkan standar global rezim anti pencucian uang yang dapat mengancam

sistem keuangan internasional. FATF merupakan badan antar pemerintahan yang

tujuannya adalah untuk mengembangkan dan mempromosikan berbagai kebijakan untuk

memerangi pencucian uang dan pembiayaan terorisme, baik di tingkat nasional maupun

internasional. FATF juga dapat dikatakan sebagai badan pembuat kebijakan yang bekerja

untuk mengarahkan kehendak politik untuk membuat legislatif nasional dan badan

regulator untuk mereformasi kebijakan anti pencucian uang.13

Sebagai bentuk konkrit komitmen Indonesia dalam rangka memerangi kejahatan

pencucian uang, maka dapat dilihat bahwa pada tahun 2002 pemerintah Indonesia

bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah mengesahkan

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana

Pencucian Uang. Namun, karena dibutuhkannya suatu landasan hukum yang kuat untuk

menjamin kepastian dan efektivitas penegakan hukum serta penelusuran dan

pengembalian harta kekayaan hasil tindak pidana sehingga pemerintah Indonesia merasa

perlu untuk mengganti Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang yang terdahulu

dengan yang baru yakni Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (selanjutnya disebut UU TPPU) yang

masih berlaku hingga sampai dengan saat ini.

Dengan adanya UU TPPU, diharapkan praktik-pratik kejahatan transnasional ini

dapat diberantas sehingga diperlukan pula suatu badan independen khusus untuk

membantu penegakan hukum terhadap tindak pidana pencucian uang, dengan

membentuk Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Hal ini secara

lebih lanjut ditegaskan dalam ketentuan Pasal 39 UU TPPU yang menyebutkan bahwa

PPATK mempunyai tugas mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang,

dan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya tersebut PPATK bekerjasama dengan

beberapa pihak baik instansi pemerintah maupun lembaga swasta, seperti Penyedia Jasa

Keuangan dan Penyedia Barang dan Jasa sebagai Pihak Pelapor yang wajib

menyampaikan laporan transaksi keuangan mencurigakan kepada PPATK.

Akan tetapi guna menyelaraskan ketentuan standar rezim internasional (40

Recommendation of the FATF), pemerintah Indonesia memperluas kembali ketentuan

Pihak Pelapor dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 yang

mewajibkan para profesi untuk menyampaikan laporan transaksi keuangan

mencurigakannya kepada PPATK, seperti “advokat, notaris, pejabat pembuat akta tanah,

12 Iwan Sutiawan, “PPATK: Banten Masuk Zona Merah Transaksi Keuangan Mencurigakan”,

https://www.gatra.com/rubrik/nasional/368125-PPATK-Banten-Masuk-Zona-Merah-Transaksi-

Keuangan-Mencurigakan, diakses 31 Januari 2019.

13 Ivan Yustiavanda, Arman Nefi dan Adiwarman, Tindak Pidana Pencucian Uang di Pasar Modal,

(Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 93.

Page 6: TANGGUNG JAWAB NOTARIS SEBAGAI PELAPOR …

Universitas Indonesia

6

akuntan, akuntan publik dan perencana keuangan sebagai Pihak Pelapor.”14 Apabila

melihat ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor

dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (selanjutnya

disebut PP 43/2015) yang mewajibkan para profesi khususnya Notaris untuk

menyampaikan laporan transaksi keuangan mencurigakannya kepada PPATK,

sebetulnya hal tersebut tidak pernah diatur dalam payung hukum jabatan Notaris.

Melainkan Undang-Undang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN) sendiri

mewajibkan Notaris untuk merahasiakan isi akta sebagaimana yang ditegaskan dalam

ketentuan Pasal 4 dan Pasal 16 ayat (1) huruf F Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

Maka dalam hal ini, terdapat perdebatan persoalan aturan hukum mengenai

pertimbangan memasukkan profesi Notaris sebagai Pihak Pelapor dalam pencegahan dan

pemberantasan tindak pidana pencucian uang yang disisi lain Notaris juga sebagai

pengemban rahasia jabatan. Selain itu, Notaris juga merupakan jabatan kepercayaan

(vertrouwensambt) dan oleh karena itu seseorang bersedia mempercayakan sesuatu

kepadanya. Maka dalam hal ini seharusnya Notaris berkewajiban untuk merahasiakan

akta atas semua yang diberitahukan kepadanya. Sekalipun ada bagian yang tidak

dicantumkan dalam akta, Notaris juga tetap tidak boleh memberitahukan apa yang telah

diberitahukan oleh kliennya. Apabila seorang Notaris yang tidak dapat membatasi dirinya

akan mengalami akibatnya di dalam praktek, ia akan segera kehilangan kepercayaan

publik dan ia tidak lagi dianggap sebagai orang kepercayaan (vertrouwenspersoon).15

Namun, sampai dengan saat ini perdebatan persoalan aturan hukum tersebut tetap

berlanjut, terlebih lagi dengan adanya dukungan yang dikeluarkan oleh Kementerian

Hukum dan Hak Asasi Manusia CQ. Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum,

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Ikatan Notaris Indonesia

(INI) melalui Pengumuman Bersama yang mewajibkan Notaris untuk melakukan

registrasi dan melaporkan pada aplikasi Gathering Reports & Information Processing

System (selanjutnya disebut GRIPS) dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak

pidana pencucian uang.

Aplikasi GRIPS ini dihadirkan sebagai suatu bentuk dukungan atas komitmen

bersama dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang

serta melaksanakan kewajiban pemerintah Indonesia di berbagai forum internasional

seperti FATF. Maka, kepada Notaris diwajibkan untuk melakukan registrasi dan

pelaporan atas transaksi keuangan mencurigakan melalui aplikasi GRIPS PPATK16

dengan mengacu kepada Peraturan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi

Keuangan Nomor 11 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyampaian Laporan Transaksi

Keuangan Mencurigakan Bagi Profesi (selanjutnya disebut Perka PPATK 11/2016).

Seraya dengan Pengumuman Bersama yang telah disebut di atas, Notaris dituntut

untuk untuk melakukan pendaftaran/ registrasinya dalam aplikasi GRIPS PPATK sampai

14 Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pihak Pelapor Dalam Pencegahan dan Pemberantasan

Tindak Pidana Pencucian Uang, PP No. 43 Tahun 2015, LN No. 148 Tahun 2015, TLN No. 5709,

Penjelasan Umum.

15 G.H.S Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, cet. 3, (Jakarta: Erlangga, 1983), hal.117-118.

16 Ikatan Notaris Indonesia, “Pendaftaran Aplikasi GRIPS di PPATK,” https://ini.id/post/pendaftaran-

aplikasi-grips-di-ppatk, diakses 31 Januari 2019.

Page 7: TANGGUNG JAWAB NOTARIS SEBAGAI PELAPOR …

Universitas Indonesia

7

dengan jatuh tempo pada tanggal 6 Mei 2019, karena terhitung tanggal 7 Mei 2019 akan

diberlakukan sanksi berupa penutupan sementara akses terhadap AHU Online terhadap

Notaris yang belum menyelesaikan kewajibannya tersebut. Selain itu, Perka PPATK

11/2016 juga memberikan sanksi administratif kepada profesi yang tidak melaksanakan

kewajibannya tersebut baik berupa teguran tertulis, pengumuman kepada publik

mengenai tindakan atau sanksi dan/ atau denda administratif.

Dari urairan-uraian tersebut di atas, dapat diketahui terdapat ketentuan aturan hukum

yang tidak harmonis baik dari segi vertikal maupun horizontal yang sejatinya mempunyai

peran sangat penting untuk menjaga keselarasan dan mencegah terjadinya tumpang

tindihnya peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lain. Di satu sisi Notaris

mempunyai kewajiban untuk merahasiakan akta dan di sisi lain Notaris juga dibebani

kewajiban lain sebagai pelapor dalam transaksi keuangan mencurigakan. Maka dalam hal

ini penulis merasa perlu untuk mengkaji lebih jauh mengenai pelaporan dan tanggung

jawab Notaris dalam menyimpan rahasia jabatan serta tanggung jawabnya sebagai

pelapor dalam pencegahan tindak pidana pencucian uang melalui aplikasi Gathering

Reports & Information Processing System (GRIPS).

Sehingga berangkat dari pemaparan sebagaimana telah disebutkan di atas, maka

penulis merasa tertarik untuk membahas dan mengadakan penelitian dengan melakukan

analisis lebih lanjut dalam sebuah tesis dengan judul “Tanggung Jawab Notaris Sebagai

Pelapor Transaksi Keuangan Mencurigakan Dalam Aplikasi Gathering Reports &

Information Processing System (GRIPS)”.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, maka terdapat 2 (dua) rumusan masalah yang akan dikaji

oleh penulis yaitu:

1. Bagaimana kedudukan dan peran Notaris dalam sistem pelaporan tindak pidana

pencucian uang?

2. Bagaimana tanggung jawab Notaris sebagai pihak pelapor dalam aplikasi

Gathering Reports & Information Processing System (GRIPS)?

3. Sistematika Penulisan

Hasil penelitian ini terdiri dari 3 (tiga) bab dan beberapa sub bab dimana bab pertama

dimulai dengan pendahuluan yang berisi latar belakang penelitian, permasalahan serta

sistematika penulisan. Bab kedua berisi pembahasan yang menjabarkan isi dari penelitian

yaitu mengenai pelaporan terhadap transaksi keuangan mencurigakan dan tanggung

jawab Notaris dalam menyimpan rahasia jabatan serta pelaporan dan tanggung jawab

Notaris dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang melalui

aplikasi Gathering Reports & Information Processing System (GRIPS). Hingga akhirnya

pada bab ketiga penutup yang berisi simpulan yang berisi jawaban atas permasalahan

yang dikaji dan saran dari penulis terkait penelitian.

Page 8: TANGGUNG JAWAB NOTARIS SEBAGAI PELAPOR …

Universitas Indonesia

8

B. KEDUDUKAN DAN PERAN NOTARIS DALAM SISTEM

PELAPORAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG SERTA

TANGGUNG JAWABNYA SEBAGAI PIHAK PELAPOR DALAM

APLIKASI GATHERING REPORTS & INFORMATION PROCESSING

SYSTEM (SYSTEM)

1. Pelaporan dan Tanggung Jawab Notaris Dalam Menyimpan Rahasia

Jabatan

Notaris sebagai pejabat umum telah diberi kewenangan untuk membuat akta autentik

bersama kewenangan lainnya, oleh karena itu Notaris dituntut untuk melakukan

perbuatan hukum dengan baik dan benar, yang artinya akta yang dibuat dihadapan/ oleh

para pihak itu harus memenuhi segala kehendak hukum dan juga dari permintaan pihak

yang berkepentingan. Untuk menghasilkan akta yang bermutu yang dibuat sesuai dengan

aturan hukum dan kehendak pihak yang berkepentingan, Notaris harus menjalankan

kewajibannya sebagaimana yang telah diatur dalam ketentuan Pasal 16 UUJN, sebagai

berikut:

(1) Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib:

a. bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga

kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;

b. membuat Akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian

dari Protokol Notaris;

c. melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta Akta;

d. mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan

Minuta Akta;

e. memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini,

kecuali ada alasan untuk menolaknya;

f. merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dan segala

keterangan yang diperoleh guna pembuatan Akta sesuai dengan sumpah/janji

jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain;

g. menjilid Akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat

tidak lebih dari 50 (lima puluh) Akta, dan jika jumlah Akta tidak dapat dimuat

dalam satu buku, Akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan

mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul

setiap buku;

h. membuat daftar dari Akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya

surat berharga;

i. membuat daftar Akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu

pembuatan Akta setiap bulan;

j. mengirimkan daftar Akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i atau daftar nihil

yang berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar wasiat pada kementerian yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dalam waktu 5

(lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya;

k. mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir

bulan;

Page 9: TANGGUNG JAWAB NOTARIS SEBAGAI PELAPOR …

Universitas Indonesia

9

l. mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang negara Republik

Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan

tempat kedudukan yang bersangkutan;

m. membacakan Akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit

2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan Akta

wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap,

saksi, dan Notaris; dan

n. menerima magang calon Notaris.17

Dari beberapa kewajiban tersebut di atas, dapat diketahui bahwa salah satu kewajiban

Notaris dalam ketentuannya Pasal 16 ayat (1) huruf f UUJN, ialah merahasiakan isi akta.

Oleh sebab itu, dalam prinsip rahasia jabatan yang diemban oleh Notaris melekat pula

suatu ketentuan hukum umum, yakni Pasal 170 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) yang menegaskan bahwa “mereka yang

karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat

minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang

hal yang dipercayakan kepada mereka.”18

Rahasia jabatan yang melekat pada payung hukum jabatan Notaris dan hukum acara

pidana tersebut di atas menjadi patokan yang wajib dilakukan oleh Notaris untuk

menjalankan kewajibannya merahasiakan serapat-rapatnya isi akta hanya kepada pihak-

pihak yang berkepentingan langsung pada akta. Sebagaimana ternyata dalam ketentuan

Pasal 54 UUJN, yang menyatakan bahwa:

Notaris hanya dapat memberikan, memperlihatkan, atau memberitahukan isi Akta,

Grosse Akta, Salinan Akta atau Kutipan Akta, kepada orang yang berkepentingan

langsung pada Akta, ahli waris, atau orang yang memperoleh hak, kecuali ditentukan

lain oleh peraturan perundang-undangan.19

Oleh karena adanya norma atau prinsip bagi Notaris sehubungan dengan kewajiban

merahasiakan segala isi akta maupun keterangan lainnya yang berkaitan dengan akta

Notaris, seringkali memberikan ruang/ celah bagi para pelaku tindak pidana untuk

melakukan kejahatannya dibalik jasa yang telah diberikan oleh Notaris.

Berdasarkan Laporan Hasil Riset Tipologi pada tahun 2016, ditemukan bahwa

terdapat beberapa tindak pidana yang dimungkinkan dengan keberadaan para Notaris, di

antaranya adalah sebagai berikut:

1. Pemalsuan dokumen atau surat (Pasal 263 dan Pasal 264 Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana), seperti pemalsuan surat setoran (SSB) perolehan hak atas tanah

dan bangunan (BPHTB) dan surat setoran pajak (SSP). Selain itu, dalam

pembuatan akta padahal Notaris tersebut mengetahui bahwa syarat-syarat untuk

membuat akta tersebut tidak terpenuhi. Misalnya, dalam pembuatan perjanjian

kredit antara bank dan nasabah. Notaris tetap membuat akta perjanjian tersebut,

meskipun tidak mematuhi syarat lantaran jaminannya bermasalah.

17 Indonesia, Undang-Undang Jabatan Notaris, UU No. 2 Tahun 2014, LN No. 3 Tahun 2014, TLN

No. 5491, Ps. 1 angka 1., Ps. 16 ayat (1).

18 Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981, LN No. 76 Tahun

1981, Ps. 170 ayat (1).

19 Indonesia, Undang-Undang Jabatan Notaris, Ps. 54.

Page 10: TANGGUNG JAWAB NOTARIS SEBAGAI PELAPOR …

Universitas Indonesia

10

2. Penggelapan (Pasal 372 dan Pasal 374 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana),

seperti penggelapan BPHTB yang dibayarkan klien.

3. Pencucian Uang (Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang). Modus yang dilakukan yaitu,

pemilik uang melakukan pembelian saham yang kemudian dicatat dalam akta

notaris. Modus pembelian saham memudahkan pelaku pencucian uang untuk

memindahkan uang. Jika terbentuk saham, otomatis uang hasil kejahatan

menjadi terlihat sah, sehingga mudah dipindahkan sesuai keinginan pelaku

tindak pidana. Karenanya Notaris sebagai Profesi yang bertugas membuat akta

pendirian perusahaan dan jual beli saham diminta mewaspadai kemungkinan.

4. Memberikan keterangan palsu di bawah sumpah (Pasal 242 Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana), seperti kasus keterangan palsu yang diberikan seorang

Notaris yang menjadi saksi dalam sebuah perkara pidana.20

Oleh sebab itu, polemik terhadap kejahatan di atas khususnya pencucian uang yang

terbukti menggunakan jasa Notaris tersebut sangat diperlukan suatu pencegahan dan juga

pemberantasan sampai ke akar-akarnya, karena tindak pidana pencucian uang ini selalu

berkaitan dengan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana, sehingga tidak ada

pencucian uang kalau tidak ada tindak pidana asal yang dilakukan sebelumnya (no crime,

no money laundering).

Maka, untuk memerangi dan memberantas tindak pidana pencucian uang, dalam UU

TPPU diatur ketentuan mengenai Pihak Pelapor yang wajib menyampaikan laporannya

kepada PPATK, antara lain:

(1) Pihak Pelapor meliputi:

a. Penyedia jasa keuangan:

1. bank;

2. perusahaan pembiayaan;

3. perusahaan asuransi dan perusahaan pialang asuransi;

4. dana pensiun lembaga keuangan;

5. perusahaan efek;

6. manajer investasi;

7. kustodian;

8. wali amanat;

9. perposan sebagai penyedia jasa giro;

10. pedagang valutas asing;

11. penyelenggara alat pembayaran menggunakan kartu;

12. penyelenggara e-money dan/ atau e-wallet;

13. koperasi yang melakukan kegiatan simpan pinjam;

14. pegadaian;

15. perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan berjangka komoditi;

atau

16. penyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang.

b. penyedia barang dan/ atau jasa lain:

1. perusahaan property/ agen properti;

20 Tim Riset PPATK, Laporan Hasil Riset Tipologi Semester I 2016 tentang Red Flag Transaksi

Keuangan Mencurigakan Terkait Penyedia Barang dan Jasa Serta Jasa Profesi Periode Data 2005 s/d

2014, cet.1 (Jakarta: Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, 2016), hlm. 16-18.

Page 11: TANGGUNG JAWAB NOTARIS SEBAGAI PELAPOR …

Universitas Indonesia

11

2. pedagang kendaraan bermotor;

3. pedagang permata dan perhiasan/ logam mulia;

4. pedagang barang seni dan antic; atau

5. balai lelang.

(2) Ketentuan mengenai Pihak Pelapor selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diatur dengan Peraturan Pemerintah.21

Berdasarkan ketentuan Pihak Pelapor yang disebut di atas, maka dapat diketahui

bahwa UU TPPU ini memberikan kewajibannya bagi penyedia jasa keuangan dan

penyedia barang dan/ atau jasa untuk menyampaikan laporannya kepada PPATK.

Namun, tidak hanya sampai disitu, Pihak Pelapor yang telah disebut dalam ketentuan

Undang-Undang tersebut di atas diperluas kembali dalam Peraturan Pemerintah Nomor

43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak

Pidana Pencucian Uang (selanjutnya disebut PP 43/2015), yang menyebutkan bahwa

“advokat, notaris, pejabat pembuat akta tanah, akuntan, akuntan publik dan perencana

keuangan sebagai Pihak Pelapor.”22

Adapun maksud pembuat peraturan perundang-undangan yang menetapkan Notaris

sebagai salah satu Pihak Pelapor dalam menyampaikan laporan transaksi keuangan

mencurigakan kepada PPATK merupakan suatu kebijakan untuk menutup ruang/ celah

hukum yang seringkali dimanfaatkan oleh para pelaku tindak pidana pencucian uang yang

berlindung di balik ketentuan hukum yang dimiliki oleh Notaris khususnya prinsip

hubungan kerahasiaan jabatan dengan kliennya, sehingga PP 43/2015 memperluas pihak

pelapor termasuk Notaris. Hal ini juga sejalan dengan menjaga kepentingan Negara untuk

menetapkan suatu standar rezim anti pencucian uang demi membangun stabilitas

pembangunan nasional.

Akan tetapi sayangnya, kewajiban baru yang dibebankan kepada Notaris sebagai

Pihak Pelapor terhadap adanya dugaan tindak pidana pencucian uang tersebut akan

membuat posisi Notaris menjadi tidak lagi dipercaya oleh klien yang merasa keberatan

terhadap hal tersebut. Hal ini dikarenakan Notaris memiliki sifat sebagai orang terpercaya

dan sebagai pejabat umum yang memegang teguh prinsip rahasia jabatan. Tetapi sebagai

pengemban profesi hukum, Notaris juga wajib mematuhi peraturan perundang-undangan

yang berlaku, sebagaimana yang telah diatur dalam PP 43/2015 di atas tersebut.

Inilah yang menjadi perdebatan permasalahan hukum dimana Notaris sebagai pejabat

umum yang diberikan kewajibannya dalam Undang-Undang Jabatan Notaris

mempermasalahkan kewajiban lain yang dibebankan kepadanya sebagai Pihak Pelapor

yang tidak diatur secara tegas dalam ketentuan Undang-Undang, melainkan hanya diatur

dalam PP 43/2015 yang hanya mempunyai kedudukan di bawah Undang-Undang.

Seharusnya PP 43/2015 tidak dapat mengesampingkan ketentuan tertinggi yakni UUJN

yang telah mengatur kewajiban Notaris untuk menjaga kerahasiaan akta yang dibuatnya

sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (2), Pasal 16 ayat (1) huruf f dan Pasal 54 ayat (1)

UUJN.

21 Indonesia, Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, UU

No. 8 Tahun 2010, LN No. 122 Tahun 2010, TLN No. 5164, Ps. 17.

22 Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pihak Pelapor Dalam Pencegahan dan Pemberantasan

Tindak Pidana Pencucian Uang, PP No. 43 Tahun 2015, LN No. 148 Tahun 2015, TLN No. 5709, Ps. 3.

Page 12: TANGGUNG JAWAB NOTARIS SEBAGAI PELAPOR …

Universitas Indonesia

12

Meskipun pemberlakuan PP 43/2015 sebagai wujud pelaksana dari UU TPPU, hal

ini tetap dipersoalkan oleh beberapa kalangan karena dianggap melanggar ketentuan

rahasia jabatan Notaris. Terlebih lagi, kedudukan Notaris yang tidak hanya sebagai

seorang pejabat umum tetapi juga sebagai Profesi yang memiliki payung hukum

tersendiri yang melindunginya, yakni UUJN. Maka, meskipun Notaris diwajibkan

sebagai pihak pelapor, namun dalam menjalankan kewajiban pelaporan tersebut tentunya

tidak semudah pelaksanaannya dalam praktik.

Selanjutnya, persoalan mengenai rahasia jabatan yang diemban oleh Notaris dengan

kewajibannya melaporkan transaksi keuangan mencurigakan dapat dikaji dengan melihat

kembali hierarki pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Apabila menelisik pada ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dapat diketahui jenis dan

hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawarakatan Rakyat;

3. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

4. Peraturan Pemerintah;

5. Peraturan Presiden;

6. Peraturan Daerah Provinsi; dan

7. Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota.23

Berdasarkan hierarki pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut dapat diketahui

secara singkat melalui skema yang menunjukan adanya ketidakharmonisan perundangan-

undangan antara UUJN dengan UU TPPU sebagai berikut:

Berdasarkan skema di atas tersebut dapat diketahui bahwa keberadaan Peraturan

Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang tidak mempunyai kekuatan hukum karena

secara hierarki bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004

23 Indonesia, Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU Nomor 12 Tahun

2011, LN No. 82 Tahun 2011, TLN No. 5234, Ps. 7 ayat (1).

UNDANG-UNDANG

JABATAN NOTARIS

UNDANG-UNDANG

TINDAK PIDANA PENCUCIAN

UANG

PERATURAN PEMERINTAH

TENTANG

PIHAK PELAPOR DALAM

PENCEGAHAN DAN

PEMBERANTASAN TINDAK

PIDANA PENCUCIAN UANG

Page 13: TANGGUNG JAWAB NOTARIS SEBAGAI PELAPOR …

Universitas Indonesia

13

tentang Jabatan Notaris yang menyatakan bahwa Notaris wajib untuk merahasiakan

segala isi akta yang dibuat oleh atau dihadapannya, kecuali undang-undang menentukan

lain.

Oleh sebab itu, pemberlakuan kewajiban bagi Notaris dalam tanggung jawabnya

menyimpan rahasia jabatan sebagaimana yang telah diatur dalam UUJN, hanya dapat

dibuka apabila diatur dalam Undang-Undang atau materi muatannya harus dituangkan

secara tegas dalam Undang-Undang bukan dalam bentuk peraturan perundang-undangan

di bawahnya sebagaimana ternyata dalam PP 43/2015 yang telah disebut di atas.

Hal inilah yang dirasa bahwa pembentukan hierarki perundang-undangan terasa tidak

harmonis baik secara horizontal maupun vertikal. Adapun ketidakharmonisasian secara

horizontal dapat diketahui dalam struktur perundang-undangan secara mendatar yang bisa

berbeda dengan ketentuan yang lain, dimana keberadaan UUJN yang mewajibkan Notaris

merahasiakan isi akta bertentangan dengan UU TPPU yang mewajibkan pihak pelapor

untuk menyampaikan laporannya terhadap transaksi keuangan mencurigakan. Dalam hal

ini seharusnya pembentuk undang-undang perlu berkoordinasi dengan instansi yang

terkait supaya tidak terciptanya kondisi tumpang tindih antar sektor dan bidang hukum

dalam sistem hukum negara Indonesia.

Di samping harmonisasi horizontal tersebut juga perlu diperhatikan harmonisasi

peraturan perundang-undangan dalam struktur hierarki menurun dengan menerapkan

harmonisasi secara vertikal. Dalam hal ini dapat diketahui bahwasanya payung hukum

jabatan Notaris, yakni UUJN secara vertikal tidak dilengkapi secara rinci ketentuan

terkait kewajiban melaporkan yang diatur dalam peraturan lain di bawah undang-undang.

Akan tetapi, terdapat ketentuan Peraturan Pemerintah lain seperti PP 43/2015 yang

mewajibkan Notaris sebagai pihak pelapor dalam transaksi keuangan mencurigakan. Hal

ini yang menyebabkan, seolah-olah UUJN bersikap egosectoral dengan tidak

menerapkan koordinasi antar kementerian tanpa memikirkan kepentingan lain dengan

para kementerian lain seperti PPATK, Otoritas Jasa Keuangan, Badan Pertanahan

Nasional, dan lain-lain. Oleh karena itu, seharusnya pembentuk undang-undang melihat

keharmonisasian peraturan perundang-undangan secara vertikal yang karena mempunyai

peranan penting untuk membentuk perundang-undangan yang saling terkait dan

tergantung satu sama lain agar tidak terjadinya perdebatan persoalan hukum sebagaimana

UUJN dengan PP 43/2015.

Selain itu, diperlukan juga penerapan suatu asas-asas hukum yang termuat dalam

perundang-undangan. Di mana menurut Purbacaraka dan Soerjono Soekanto asas hukum

dalam perundang-undangan adalah sebagai berikut:

1. Peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut (non retroaktif).

2. Peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi,

mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula (sistem hierarki).

3. Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus menyampingkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku umum (lex specialis derogate lex generalis).

4. Peraturan perundang-undangan yang berlaku belakangan membatalkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku terdahulu (lex posteriori derogate

lex periori).24

24 Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009), hlm. 82-83.

Page 14: TANGGUNG JAWAB NOTARIS SEBAGAI PELAPOR …

Universitas Indonesia

14

Dari asas-asas hukum tersebut di atas, berdasarkan sistem hierarki peraturan

perundang-undangan yang ada di jenjang yang lebih rendah seharusnya tidak boleh

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berada di atasnya. Oleh sebab

itu, seharusnya ketentuan Peraturan Pemerintah yang mengatur Notaris sebagai Pihak

Pelapor yang wajib melapor terhadap adanya transaksi keuangan mencurigakan tersebut

tidak boleh melanggar ketentuan di atasnya yakni Undang-Undang Jabatan Notaris yang

tidak mengatur adanya kewajiban melapor melainkan mengatur adanya rahasia jabatan

yang diemban oleh Notaris.

Apabila Notaris melanggar kewajibannya dalam merahasiakan rahasia jabatannya,

Notaris tersebut dapat dikenakan sanksi jabatan berupa:

a. Teguran lisan;

b. Teguran tertulis;

c. Pemberhentian sementara;

d. Pemberhentian dengan hormat;

e. Pemberhentian dengan tidak hormat.25

Tak hanya itu, Notaris yang melanggar kewajibannya tersebut juga dapat dikenakan

sanksi pidana sebagaimana ternyata dalam ketentuan Pasal 322 ayat (1) Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana, yang menyatakan bahwa “Barangsiapa dengan sengaja

membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pekerjaannya, baik yang

sekarang maupun yang dulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan

atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah.”26

Akan tetapi disisi lain, terdapat sanksi bagi Notaris apabila tidak melakukan

kewajibannya dalam melakukan pendaftaran dan pelaporannya pada aplikasi Gathering

Reports & Information Processing System (GRIPS). Sebagaimana ternyata dalam

ketentuan Peraturan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Nomor 11

Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyampaian Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan

Bagi Profesi (selanjutnya disebut Perka PPATK 11/2016) yang menyatakan bahwa

“Profesi yang tidak melaksanakan kewajiban dapat dikenai sanksi administratif berupa:

a. teguran tertulis, b. pengumuman kepada publik mengenai tindakan atau sanksi, dan/

atau c. denda administratif.”

Selanjutnya, Notaris juga dapat dikenakan sanksi berupa penutupan sementara akses

terhadap akun AHU Online atas Notaris yang belum menyelesaikan kewajibannya dalam

melakukan registrasi dan menyelesaikan seluruh tahapan registrasi GRIPS sampai batas

waktu akhir pada tanggal 6 Mei 2019. Dan oleh karena itu, Notaris diminta untuk tidak

menunda pelaksanaan registrasi GRIPS sampai batas waktu yang telah ditentukan

tersebut.

Didasari hal tersebut, maka seharusnya Notaris sebagai pejabat umum yang telah

diangkat/ ditunjuk oleh Negara untuk membantu masyarakat dalam pembuatan akta

autentik harus tunduk dan patuh pada kepastian hukum yaitu Undang-Undang Jabatan

Notaris yang mempunyai kewajiban memberikan perlindungan hukum, dan salah satunya

Notaris sebagai pengemban rahasia jabatan. Sehingga, kalaupun ingin diberlakukan hal

mengenai kewajiban Notaris sebagai Pihak Pelapor atas transaksi mencurigakan harus

25 Indonesia, Undang-Undang Jabatan Notaris ̧Ps. 85.

26 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [Wetboek van Strafrecht], diterjemahkan oleh Redaksi

Bhafana Publishing, cet. 3. S.L: Bhafana Publishing, 2004, Ps. 322.

Page 15: TANGGUNG JAWAB NOTARIS SEBAGAI PELAPOR …

Universitas Indonesia

15

merubah regulasi yang ada sebelumnya dengan yang baru. Akan tetapi perlu juga

diperhatikan, bahwasanya Notaris sebagai pengemban profesi hukum wajib pula

mematuhi peraturan perundang-undangan, dan oleh karena itu untuk melaksanakan

kewajibannya tersebut Notaris tetap diharuskan untuk melaksanakan kewajibannya

sebagai Pihak Pelapor terhadap transaksi keuangan mencurigakan dengan melakukan

registrasi dan melaporkannya pada aplikasi GRIPS.

2. Pelaporan dan Tanggung Jawab Notaris Dalam Pencegahan Tindak

Pidana Pencucian Uang

Hasil laporan riset tipologi pada tahun 2016 menunjukkan bahwa para profesi

khususnya Notaris seringkali dimanfaatkan oleh para pelaku kejahatan seperti tindak

pidana pencucian uang.27 Maka, dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak

pidana pencucian uang, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun

2015 tentang Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana

Pencucian Uang (selanjutnya disebut PP 43/2015) sebagai aturan pelaksana dari Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana

Pencucian Uang (selanjutnya disebut UU TPPU. Dengan diterbitkannya PP 43/2015

tersebut, muatan Pihak Pelapor yang sebelumnya meliputi penyedia jasa keuangan dan

penyedia barang dan jasa diperluas menjadi advokat, Notaris, pejabat pembuat akta tanah,

akuntan, akuntan publik, dan perencana keuangan.

Kewajiban pelaporan kepada para profesi dan instansi tersebut dipandang sebagai gate

keeper atas transaksi/ kegiatan yang membutuhkan data/ informasi. Salah satu profesi

yang dapat bertindak sebagai gate keeper ialah Notaris. Maka untuk menjalankan

kewajibannya sebagaimana yang telah diatur dalam PP 43/2015, Notaris bertanggung

jawab terhadap adanya dugaan tindak pidana pencucian uang. Meskipun sebenarnya

tanggung jawab tersebut hanya berlaku ketika Notaris bertindak untuk kepentingan atau

untuk dan atas nama Pengguna Jasa terhadap obyek yang telah disebut dalam ketentuan

Pasal 3 PP 43/2015. Oleh sebab itu, apabila Notaris tidak bertindak untuk dan atas nama

Pengguna Jasa yang berkaitan dengan obyek yang diwajibkan untuk dilaporkan, maka

Notaris tidak perlu melaporkan kegiatan transaksi yang dilakukan oleh Pengguna Jasa

tersebut. Sebaliknya, apabila Notaris dalam melakukan pekerjaannya bertindak atas

kepentingan dan atas nama pengguna jasa terhadap obyek laporan yang wajib untuk

dilaporkan, maka Notaris harus melakukan prosedur pelaporan dengan baik dan benar

meliputi:

1) Prinsip Mengenali Pengguna Jasa

Dalam ketentuan Pasal 3 PP 43/2015 dinyatakan bahwa profesi-profesi tertentu

seperti Advokat, Notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah, Akuntan, Akuntan Publik, dan

Perencana Keuangan termasuk ke dalam bagian Pihak Pelapor yang wajib dan turut

mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Oleh karena itu, para profesi

khususnya Notaris sebagai Pihak Pelapor perlu melakukan upaya pencegahan yang lebih

mendalam. Sebagaimana yang termuat dalam ketentuan Pasal 4 Peraturan Pemerintah

27 Laporan Hasil Riset Tipologi Semester I 2016 tentang Red Flag Transaksi Keuangan Mencurigakan

Terkait Penyedia Barang dan Jasa Serta Jasa Profesi Periode Data 2005 s/d 2014, cet.1 (Jakarta: Pusat

Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, 2016), hlm. 16-18.

Page 16: TANGGUNG JAWAB NOTARIS SEBAGAI PELAPOR …

Universitas Indonesia

16

yang menyebutkan bahwa “Pihak Pelapor wajib menerapkan prinsip mengenali Pengguna

Jasa”.28

Prinsip mengenali pengguna jasa bagi Pihak Pelapor berlaku secara mutatis mutandis

yang artinya bahwa berlaku juga perubahan-perubahan yang diperlukan terhadap

penerapan prinsip mengenali Pengguna Jasa bagi Pihak Pelapor. Dalam Pasal 18 UU

TPPU, diatur penerapan prinsip mengenali pengguna jasa, sebagai berikut:

Pasal 18

(1) Lembaga Pengawas dan Pengatur menetapkan ketentuan prinsip mengenali

Pengguna Jasa.

(2) Pihak Pelapor wajib menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa yang tetapkan

oleh setiap Lembaga Pengawas dan Pengatur sebagaimana dimaksud pada ayat

(1).

(3) Kewajiban menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) dilakukan pada saat:

a. Melakukan hubungan usaha dengan Pengguna Jasa;

b. Terdapat Transaksi Keuangan Mencurigakan dengan mata uang rupiah dan/

atau mata uang asing yang nilainya paling sedikit atau setara dengan

Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);

c. Terdapat Transaksi Keuangan Mencurigakan yang terkait tindak pidana

Pencucian Uang dan tindak pidana pendanaan terorisme; atau

d. Pihak Pelapor meragukan kebenaran informasi yang dilaporkan Pengguna

Jasa.

(4) Lembaga Pengawas dan Pengatur wajib melaksanakan pengawasan atas

kepatuhan Pihak Pelapor dalam menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa.

(5) Prinsip mengenali Pengguna Jasa sekurang-kurangnya memuat:

a. Identifikasi Pengguna Jasa;

b. Verifikasi Pengguna Jasa; dan

c. Pemantauan Transaksi Pengguna Jasa.

(6) Dalam hal belum terdapat Lembaga Pengawas dan Pengatur, ketentuan mengenai

prinsip mengenali Pengguna Jasa dan pengawasannya diatur dengan Peraturan

Kepala PPATK.29

Mengingat sebelumnya telah dijelaskan bahwa keberadaan Notaris sebagai salah satu

Pihak Pelapor dalam PP 43/2015, maka kemudian pemerintah menerbitkan peraturan

melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 9

Tahun 2017 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa Bagi Notaris

(selanjutnya disebut Kemenkumham 9/2017). Dalam ketentuan Kemenkumham 9/2017

tersebut secara khusus mengatur prinsip mengenali pengguna jasa bagi Notaris yang

sejalan dengan apa yang telah disebutkan dalam UU TPPU sebelumnya. Secara lebih

lanjut, Kemenkumham 9/2017 menegaskan bahwa:

Pasal 2

(1) Notaris wajib menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa.

(2) Prinsip mengenali Pengguna Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling

sedikit memuat:

28 Indonesia, Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Ps.

4.

29 Ibid., Ps. 18.

Page 17: TANGGUNG JAWAB NOTARIS SEBAGAI PELAPOR …

Universitas Indonesia

17

a. Identifikasi Pengguna Jasa;

b. Verifikasi Pengguna Jasa; dan

c. Pemantauan Transaksi Pengguna Jasa.

(3) Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) berlaku bagi Notaris dalam memberikan jasa berupa mempersiapkan dan

melakukan transaksi untuk kepentingan atau untuk dan atas nama Pengguna Jasa,

mengenai:

a. Pembelian dan penjualan property;

b. Pengelolaan terhadap uang, efek, dan/ atau produk jasa keuangan lainnya;

c. Pengelolaan rekening giro, rekening tabungan, rekening deposito, dan/ atau

rekening efek;

d. Pengoperasian dan pengelolaan perusahaan; dan/ atau

e. Pendirian, pembelian dan penjualan badan hukum.30

Oleh karena itu, dalam rangka mengenali pengguna jasa baik terhadap orang-

perorangan, korporasi maupun perikatan lainnya diperlukan tindakan Notaris untuk

melakukan pengumpulan informasi dengan meneliti kebenaran dokumen identitas

Pengguna Jasa seperti Kartu Tanda Penduduk, Nomor Pokok Wajib Pajak, dan spesimen

tanda tangan Pengguna Jasa. Selain meneliti kebenaran dokumen formil tersebut untuk

benar-benar meyakini identitas Pengguna Jasa, maka Notaris juga diwajibkan bertemu

langsung dengan Pengguna Jasa.

2) Kewajiban Penyampaian Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan

Sehubungan dengan kewajiban Notaris sebagai Pihak Pelapor dalam menyampaikan

laporannya atas dugaan transaksi keuangan mencurigakan kepada PPATK, maka untuk

memberikan kepastian hukum PPATK menerbitkan Peraturan Kepala Pusat Pelaporan

dan Analisis Transaksi Keuangan Nomor 11 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyampaian

Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan Bagi Profesi (selanjutnya disebut Perka

PPATK 11/2016). Dalam Perka PPATK 11/2016, diatur mengenai kewajiban pelaporan

transaksi keuangan mencurigakan yang wajib dilaporkan kepada PPATK yang dilakukan

oleh Profesi untuk kepentingan atau untuk dan atas nama Pengguna Jasa, mengenai:

a. Pembelian dan penjualan properti;

b. Pengelolaan terhadap uang, efek, dan/ atau produk jasa keuangan lainnya;

c. Pengelolaan rekening giro, rekening tabungan, rekening deposito, dan/ atau

rekening efek;

d. Pengoperasian dan pengelolaan perusahaan; dan/ atau

e. Pendirian, pembelian, dan penjualan badan hukum.31

Kemudian, untuk melaksanakan pelaporan kepada PPATK, Profesi wajib melakukan

registrasi dan pengisian laporan, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dalam ketentuan

Pasal 6 Perka PPATK 11/2016, antara lain:

30 Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

Republik Indonesia tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa Bagi Notaris, Permenkumham

No. 9 Tahun 2017, BNRI No. 1087 Tahun 2017, Ps. 2 ayat (1), (2), dan (3).

31 Ibid., Ps. 3 ayat (1).

Page 18: TANGGUNG JAWAB NOTARIS SEBAGAI PELAPOR …

Universitas Indonesia

18

a. Menetapkan petugas pelaporan;

Penetapan petugas pelaporan, wajib dilakukan oleh Profesi dengan menetapkan:

petugas pendaftar, petugas pelapor, petugas administrasi dan petugas

penghubung. Petugas tersebut dapat melakukan rangkap jabatan apabila Profesi

merupakan orang perseorangan atau Profesi merupakan Korporasi dengan

memperhatikan aspek pengendalian intern.32

b. Melakukan registrasi melalui aplikasi GRIPS;

Dalam melakukan registrasi, Profesi wajib mengakses website aplikasi GRIPS

pada alamat website https://grips2.ppatk.go.id. Selanjutnya, diperlukan pengisian

registrasi melalui 4 (empat) langkah besaran, yakni: 1) pengisian data

perusahaan, 2) pengisian data petugas, 3) pengisian data pendukung, dan 4)

pengisian data petugas pendaftar. Secara lebih lanjut hal tersebut dapat dilihat

dalam gambar terlampir di bawah ini:

Registrasi tersebut meliputi nama Profesi, bentuk usaha, nomor NPWP, kategori

Profesi, dan data petugas. Setelah, registrasi selesai dilakukan, maka Profesi

wajib menyampaikan hasil registrasi yang telah diotorisasi paling lama 7 (tujuh)

hari kerja yang ditunjukan kepada Kepala PPATK Up Direktur Pelaporan.33

c. Melakukan pelaporan ke PPATK.

Laporan transaksi keuangan mencurigakan wajib memuat informasi paling

sedikit mencakup orang-perorangan, korporasi, rincian transaksi yang dilaporan,

informasi lainnya, dan identitas beneficial owner orang perseorangan/ korporasi.

Pengisian laporan transaksi keuangan mencurigakan dilakukan melalui Aplikasi

GRIPS yang dilakukan oleh Petugas Pelapor dengan cara mengisi (entry) secara

manual laporan transaksi keuangan mencurigakan pada Aplikasi GRIPS, atau

mengunggah (upload) file ke Aplikasi GRIPS dalam format Microsoft Excel.

Selanjutnya, penyampaian laporan transaksi keuangan mencurigakan wajib

disampaikan secara elektronis melalui Aplikasi GRIPS ke jaringan

telekomunikasi yang ditunjukan langsung ke database PPATK melalui web

based application. Meskipun laporan transaksi keuangan mencurigakan wajib

disampaikan secara elektronis, namun Profesi dapat juga menyampaikan

laporannya tersebut secara non-elektronis apabila dalam keadaan tertentu, seperti

fasilitas komunikasi untuk menyampaikan laporan secara elektronis belum

tersedia di daerah tempat kedudukan profesi, fasilitas komunikasi yang dimiliki

mengalami gangguan teknis, keadaan nyata yang menyebabkan profesi tidak

dapat menyampaikan laporan secara elektronis (force majeure), profesi baru

beroperasi kurang dari 2 bulan dan/ atau sistem pelaporan di PPATK mengalami

kerusakan atau gangguan. Penyampaian laporan transaksi keuangan

mencurigakan secara non-elektronis dapat dilakukan dengan cara mengirimkan

laporan dalam format Microsoft Excel dan disimpan dalam compact disk, flash

disk, atau sarana penyimpanan lainnya melalui jasa pengiriman atau ekspedisi,

jasa kurir, atau pengiriman secara langsung ke kantor PPATK. Bagi profesi yang

menyampaikan laporannya secara non-elektronis maka wajib mengirimkan surat

pemberitahuan kepada PPAT mengenai laporan transaksi keuangan

32 Ibid., Ps. 7.

33 Peraturan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan tentang Tata Cara

Penyampaian Laporan Keuangan Mencurigakan Bagi Profesi, Ps 8.

Page 19: TANGGUNG JAWAB NOTARIS SEBAGAI PELAPOR …

Universitas Indonesia

19

mencurigakan. Selanjutnya, apabila aplikasi GRIPS belum tersedia, Profesi wajib

menyampaikan laporan transaksi keuangan mencurigakan secara manual dengan

cara yang hampir sama dengan penyampaian laporan melalui non-elektronis.34

Penyampaian laporan yang tersebut di atas harus dilakukan sesegera mungkin

paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah Profesi mengetahui adanya unsur transaksi

keuangan mencurigakan.

Sebagaimana ternyata pada praktiknya, beberapa Notaris telah melakukan

pendaftaran/ registrasi pada aplikasi GRIPS. Hal ini dapat diketahui dalam hasil

wawancara yang dilakukan penulis dengan Notaris A di Kota Jakarta Timur. Menurutnya,

keefektivifitasan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor

dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang kurang

mendalam, karena satu sisi mewajibkan Notaris untuk melaporkan transaksi keuangan

Mencurigakan kepada PPATK, tapi satu sisi lain Notaris juga mempunyai kewajiban

untuk merahasiakan akta. Menurutnya, kewajiban registrasi pada aplikasi GRIPS PPATK

telah ia lakukan karena adanya sifat ‘pemaksaan’ yang diterapkan bagi Notaris apabila

tidak melakukan kewajibannya tersebut, akan tetapi untuk melaksanakan pelaporan

transaksi keuangan mencurigakan bagi para pengguna jasanya, ia belum bisa menerapkan

karena tidak mempunyai akses lebih jauh dan mendalam terkait keuangan mencurigakan

tersebut.

Sedangkan berdasarkan hasil wawancara dengan Notaris B di Kabupaten Tangerang,

kewajiban registrasi pada aplikasi GRIPS PPATK juga telah ia laksanakan, akan tetapi

untuk melakukan pelaporan transaksi keuangan mencurigakan tidak dapat ia laksanakan

karena kurangnya informasi lebih mendalam terkait transaksi keuangan seperti apa yang

bisa dikategorikan mencurigakan.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis dengan beberapa Notaris

di atas tersebut, maka dapat diketahui bahwa Notaris telah melakukan kewajibannya

untuk melakukan registrasi melalui aplikasi GRIPS bersamaan dengan amanat yang

diterbitkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia CQ. Direktorat Jenderal

Administrasi Hukum Umum, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan

(PPATK) dan Ikatan Notaris Indonesia melalui pengumuman bersamanya yang

diterbitkan pada tanggal 25 November 2018. Bersama dengan pengumuman bersama

tersebut, telah diberikan jangka waktu pendaftaran GRIPS PPATK yang jatuh tempo pada

tanggal 1 Februari 2019. Akan tetapi, karena kurangnya informasi ini maka batas waktu

jatuh tempo diperpanjang sampai dengan tanggal 6 Mei 2019. Dan terhitung mulai

tanggal 7 Mei 2019, akan diberlakukan sanksi berupa penutupan sementara akses

terhadap akun AHU Online Notaris yang belu menyelesaikan kewajibannya tersebut.

3) Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi

Sehubungan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang,

maka Notaris yang merupakan bagian dari kunci dalam pendirian korporasi baik badan

hukum dan bukan badan hukum, maka Notaris tidak hanya berperan sebagai kuasa dari

pemohon untuk pengesahan badan hukum tetapi juga sebagai kuasa dari korporasi untuk

menyampaikan informasi pemilik manfaat dari korporasi kepada instansi yang

berwenang.

Oleh karena itu, pemerintah melalui kebijakan hukumnya telah mengatur penerapan

prinsip mengenali pemilik manfaat dari korporasi dengan menerbitkan Peraturan Presiden

Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat Dari

34 Ibid., Ps. 18-22.

Page 20: TANGGUNG JAWAB NOTARIS SEBAGAI PELAPOR …

Universitas Indonesia

20

Korporasi Dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian

Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (selanjutnya disebut Perpres 13/2018).

Kebijakan tersebut didasarkan pada standar internasional di bidang pencegahan dan

pemberantasan tindak pidana pencucian uang, bahwa perlu adanya pengaturan dan

mekanisme untuk mengenali pemilik manfaat dari suatu korporasi guna memperoleh

informasi mengenai pemilik manfaat yang akurat, terkini dan tersedia untuk umum.

Dalam ketentuan umum Perpres 13/2018 dijelaskan bahwa yang dimaksud Pemilik

Manfaat adalah:

Orang perseroangan yang dapat menunjuk atau memberhentikan direksi, dewan

komisaris, pengurus, Pembina atau pengawas pada Korporasi, memiliki kemampuan

mengendalikan Korporasi, berhak atas dan/ atau menerima manfaat dari Korporasi

baik langsung maupun tidak langsung, merupakan pemilik sebenarnya dari dan atau

saham Korporasi dan/ atau memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam

Peraturan Presiden ini.35

Selanjutnya, Perpres ini juga menetapkan kriteria pemilik manfaat dari Korporasi

secara lebih rinci, yang kriterianya disesuaikan dengan masing-masing jenis Korporasi

berdasarkan tingkat kepemilikan saham, hak suara, perolehan laba, dan lain sebagainya.

Adapun jenis Korporasi yang menjadi target/ sasaran dalam dibentuknya Perpres ini dapat

dilihat lebih lanjut dalam tabel di bawah ini meliputi: Perseroan Terbatas, Yayasan,

Perkumpulan, Koperasi, Persekutuan Komanditer, Persekutuan Firma, dan bentuk

Korporasi lainnya.

Singkatnya, seluruh Korporasi baik badan hukum maupun bukan badan hukum yang

telah tersebut di atas diwajibkan untuk menerapkan prinsip mengenali pemilik manfaat

dengan menunjuk pejabat atau pegawai untuk melaksanakan penerapan prinsip mengenali

Pemilik Manfaat dari Korporasi dan menyediakan informasi mengenai Korporasi dan Pemilik

Manfaat dari Korporasi atas dasar permintaan Instansi berwenang dan instansi penegak hukum.

Dengan demikian sejak diterbitkannya Perpres 13/2018 yang mulai berlaku pada

tanggal 5 Maret 2018 ini memberikan konsekuensi bagi semua jenis Korporasi dalam

proses pendirian wajib juga menyampaikan informasi atau dengan Surat Pernyataan

Kesanggupan Memberikan Informasi mengenai penerapan prinsip mengenali Pemilik

Manfaat dari Korporasi. Pasal 24 Perpres 13/2018 memberikan sanksi terhadap pihak-

pihak yang tidak melaksanakan ketentuannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3

(penetapan pemilik manfaat), Pasal 14 (penerapan prinsip mengenali pemilik manfaat),

dan Pasal 18 sampai dengan Pasal 22 (kewajiban menyampaikan) dapat dikenai sanksi

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Adanya klausula terkait

“…diberikan sanksi sesuai dengan peraturan perundangan-undangan”, menurut hemat

penulis bagi tiap-tiap korporasi maupun pihak yang telah ditunjuk dalam Perpres 13/2018

yang melanggar ketentuan dalam pasal-pasal tersebut dapat saja dijerat dengan Undang-

Undang Pencucian Uang dan Undang-Undang Pendanaan Terorisme, sebagaimana

termuat dalam judul utama Perpres 13/2018 ini.

35 Indonesia, Peraturan Presiden Republik Indonesia tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik

Manfaat Dari Korporasi Dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Uang dan Tindak

Pidana Pendanaan Terorisme, Perpres Nomor 13 Tahun 2018, LN No. 23 Tahun 2018, Ps. 1 angka 2.

Page 21: TANGGUNG JAWAB NOTARIS SEBAGAI PELAPOR …

Universitas Indonesia

21

C. PENUTUP

1. Simpulan

Kedudukan dan peran Notaris dalam sistem pelaporan tindak pidana pencucian uang

berkaitan erat dengan tanggung jawabnya dalam membuat akta autentik. Dalam

pembuatan akta autentik Notaris dituntut untuk melakukan pembuatan hukum dengan

baik dan benar yang artinya akta yang dibuat oleh atau dihadapannya harus memenuhi

kehendak hukum dan permintaan para pihak yang berkepentingan. Sehingga, dalam

menjalankan jabatannya tersebut Notaris diberikan kewajiban untuk merahasiakan segala

isi akta baik yang tertuang dalam akta maupun hanya sekedar penyampaian kehendak

oleh para pihak. Notaris harus berpegang teguh pada sumpah/ janji jabatan sebagaimana

telah diatur dalam Pasal 4 juncto Pasal 16 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang

Jabatan Notaris yang mewajibkan Notaris untuk merahasiakan isi akta dan segala

keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta. Akan tetapi nyatanya Notaris

dibebankan kewajiban lain sebagai Pihak Pelapor terhadap transaksi keuangan

mencurigakan sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun

2015 tentang Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pencucian

Uang. Dalam hal tersebut dapat diketahui bahwa Notaris sebagai pejabat umum

mempunyai kewajiban yang telah diatur dalam Undang-Undang, dan oleh karena itu

seharusnya Notaris tidak boleh dibebankan kewajiban lain diluar Undang-Undang. Maka,

diperlukan harmonisasi pembentukan hierarki perundang-undangan secara vertikal dan

horizontal untuk menyelaraskan ketentuan tersebut.

Akan tetapi, nyatanya secara legalitas Notaris bertanggung jawab terhadap adanya

dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang apabila ia bertindak untuk dan atas nama

Pengguna Jasa terhadap obyek yang diwajibkan untuk dilaporkan. Sebaliknya, apabila

Notaris melakukan pekerjaan untuk dan atas nama Pengguna Jasa terhadap obyek laporan

yang wajib dilaporkan, maka Notaris juga memiliki tanggung jawab untuk menerapkan

prinsip-prinsip yang lebih mendalam terhadap pengguna jasanya antara lain, prinsip

mengenali pengguna jasa, prinsip mengenali pemilik manfaat dari korporasi dan

menyampaikan laporan transaksi keuangan mencurigakan kepada Pusat Pelaporan dan

Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melalui aplikasi Gathering Reports &

Information Processing System (GRIPS) dengan cara melakukan pendaftaran melalui

aplikasi pelaporan berbasis web yang disediakan oleh PPATK yakni Gathering Reports

& Information Processing System (GRIPS) dan menyampaikan laporannya kepada

PPATK terkait transaksi keuangan mencurigakan yang mungkin dilakukan oleh orang

perseorangan ataupun korporasi. Penyampaian laporan tersebut wajib disampaikan

kepada PPATK secara elektronis melalui aplikasi GRIPS dengan mengakses pada alamat

https://grips2.ppatk.go.id.

2. Saran

Untuk menghindari keterlibatan Notaris dalam transaksi keuangan mencurigakan yang

dilakukan oleh pengguna jasa, ada baiknya para pengguna jasa dimintakan

menandatangani surat pernyataan di atas meterai bahwasanya uang yang diperoleh untuk

melakukan transaksi tersebut merupakan sumber yang tidak diperoleh dari hasil tindak

pidana pencucian uang. Dan untuk menciptakan keharmonisasian hukum terhadap

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 yang mewajibkan Notaris sebagai Pihak

Pelapor dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-

Page 22: TANGGUNG JAWAB NOTARIS SEBAGAI PELAPOR …

Universitas Indonesia

22

Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang juga mewajibkan Notaris

untuk merahasiakan segala isi akta yang dibuat olehnya, maka diperlukan perubahan

regulasi terhadap isi Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang tidak hanya

mengatur kewajiban Pelapor bagi Penyedia Jasa Keuangan dan Penyedia Barang dan

Jasa, melainkan juga meliputi para profesi. Karena, kewajiban Notaris dalam

merahasiakan isi akta sejatinya hanya berlaku ketika undang-undang menentukan lain,

bukan ketentuan di bawah undang-undang yang menentukan sebagaimana yang telah

diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015. Terhadap keberatan yang

timbul akibat keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 tentang Pihak

Pelapor Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang

bertentangan dengan peraturan di atasnya yakni Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris,

maka sebaiknya beberapa kalangan Notaris melalui Ikatan Notaris Indonesia dapat

melakukan permohonan upaya hukum pengujian (judicial review) kepada Mahkamah

Agung Republik Indonesia, agar terciptanya kepastian hukum terhadap Notaris

sehubungan dengan permasalahan kewajibannya sebagai pengemban rahasia jabatan

Notaris.

DAFTAR PUSTAKA

Amrani, Hanafi. Hukum Pidana Pencucian Uang: Perkembangan Rezim Anti

Pencucian Uang dan Implikasinya Terhadap Prinsip Dasar Kedaulatan Negara,

Yurisdiksi Pidana dan Penegakan Hukum. Yogyakarta: UII Press, 2015.

Atmasasmita, Romli. Globalisasi Kejahatan Bisnis. Jakarta: Prenada Media Group,

2010.

Black, Henry Campbell. Black’s Law Dictionary Sixth Edition. St. Paul Minn: West

Publishing Co., 1990.

Fuady, Munir. Teori Negara Hukum Modern. Bandung: PT. Refika Aditama, 2009.

Ganarsih, Yenti. Penegakan Hukum Anti Pencucian Uang dan Permasalahan di

Indonesia. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2015.

Handoyo, Hestu Cipto. Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan & Hak Asasi

Manusia. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2003.

Husein, Yunus. Bunga Rampai Anti Pencucian Uang, cet. 1. Bandung: Books

Terrace & Liberty, 2007.

Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen IV.

—. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981, LN No. 76

Tahun 1981.

—. Undang-Undang Jabatan Notaris, UU No. 2 Tahun 2014, LN No. 3 Tahun 2014,

TLN No. 5491.

—. Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian

Uang, UU No. 8 Tahun 2010, LN No. 122 Tahun 2010, TLN No. 5164.

Page 23: TANGGUNG JAWAB NOTARIS SEBAGAI PELAPOR …

Universitas Indonesia

23

—. Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU Nomor 12

Tahun 2011, LN No. 82 Tahun 2011, TLN No. 5234.

—. Peraturan Pemerintah tentang Pihak Pelapor Dalam Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, PP No. 43 Tahun 2015, LN No. 148

Tahun 2015, TLN No. 5709.

—. Peraturan Presiden Republik Indonesia tentang Penerapan Prinsip Mengenali

Pemilik Manfaat Dari Korporasi Dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak

Pidana Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, Perpres Nomor 13 Tahun 2018,

LN No. 23 Tahun 2018.

Jahja, Juni Sjafrien Jahja. Melawan Money Laundering! Mengenal, Mencegah dan

Memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang. Cet.1. Jakarta: Visimedia, 2012.

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Peraturan Menteri Hukum dan Hak

Asasi Manusia Republik Indonesia tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa

Bagi Notaris, Permenkumham No. 9 Tahun 2017, BNRI No. 1087 Tahun 2017.

—. Peraturan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan tentang

Tata Cara Penyampaian Laporan Keuangan Mencurigakan Bagi Profesi, Perka PPATK

No. 11 Tahun 2016, BNRI No. 1896 Tahun 2016.

Konsulat Jenderal Republik Indonesia, General Konsulat Der Republik Indonesien

Frankfurt, https://www.indonesia-frankfurt.de/ekonomi/peran-indonesia-dalam-

ekonomi-internasional/. Diakses 31 Januari 2019.

Lawrence, Emilly G. Lest Seller Beware of Money Laundering. Merchants and

18USC: College, 1992.

PPATK, Tim Riset. Laporan Hasil Riset Tipologi Semester I 2016 tentang Red Flag

Transaksi Keuangan Mencurigakan Terkait Penyedia Barang dan Jasa Serta Jasa

Profesi Periode Data 2005 s/d 2014. Cet.1. Jakarta: Pusat Pelaporan dan Analisis

Transaksi Keuangan, 2016.

Sutiawan, Iwan. “PPATK: Banten Masuk Zona Merah Transaksi Keuangan

Mencurigakan”, https://www.gatra.com/rubrik/nasional/368125-PPATK-Banten-

Masuk-Zona-Merah-Transaksi-Keuangan-Mencurigakan. Diakses 31 Januari 2019.

Tobing, G.H.S Lumban. Peraturan Jabatan Notaris. Cet. 3. Jakarta: Erlangga, 1983.

Yustiavanda, Ivan. Arman Nefi dan Adiwarman. Tindak Pidana Pencucian Uang di

Pasar Modal. Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.