analisis struktur tari guel pada masyarakat gayo … · unsur norma/adat, unsur komunikasi, unsur...
TRANSCRIPT
i
ANALISIS STRUKTUR TARI GUEL PADA MASYARAKAT GAYO DI KABUPATEN ACEH TENGAH
TESIS
diajukan oleh: MAGFHIRAH MURNI BINTANG P.
PROGRAM STUDI MAGISTER PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI
FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2017
ii
ANALISIS STRUKTUR TARI GUEL PADA MASYARAKAT GAYO DI KABUPATEN ACEH TENGAH
TESIS
untuk memperoleh gelar Magister Seni (M.Sn) dalam Program Studi Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni Pada Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara
OLEH : MAGFHIRAH MURNI BINTANG P.
147037010
PROGRAM STUDI
MAGISTER PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2017
iii
PERSETUJUAN
Judul Tesis : ANALISIS STRUKTUR DAN UNGKAPAN ESTETIK TARI GUEL PADA MASYARAKAT GAYO DI KAUPATEN ACEH TENGAH
Nama : MAGHFIRAH MURNI BINTANG P Nomor Pokok :147037010 Program Studi : Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara
Menyetujui Komisi Pembimbing,
Ketua, Anggota,
Dra. Rithaony, M.A Yusnizar Heniwaty, S.ST, M.Hum NIP 196311161990032001 NIP 196510211992032003 Program Studi: Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Ketua, Dekan, Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. Dr. Budi Agustono, M.S. NIP.196512211991031001 NIP.196008051987031001
iv
Telah diuji pada Tanggal
PANITIA PENGUJI UJIAN TESIS
Ketua : Drs. Muhammad Takari, M.Hum, Ph.D. (……… …….……..)
Sekretaris : Drs. Torang Naiborhu, M.Hum. (…..………………..)
Anggota-I : Dra. Rithaony, M.A. (….…..........….……)
Anggota-II : Yusnizar Heniwaty, SST, M.Hum (………….…………)
Anggota III : Dr. Ridwan Hanafiah, SH., M.A. (…….……...………)
v
ABSTRAK
Tari Guel merupakan tarian yang mencerminkan hidup masyarakat Gayo, berasal dari kisah kakak beradik paa masa kerajaan Linge. Kajian ini memfokuskan pada kajian struktur tari Guel dalam kaitannya dengan pemahaman sosial masyarakat pendukungnya. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis struktur tari Guel pada masyarakat Gayo di Aceh Tengah dan mendeskripsikan serta ungkapan-ungkapan konsep estetik melalui struktur teknik artistik
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, karena mementingkan makna dan konteks, dengan pengumpulan dan analisis data berlangsung secara simultan. Penelitian berlokasi di Kotacane Kab. Aceh Tengah. Subyek penelitian, adalah para pemangku adat yang memiliki kredibilitas di dalam tari Guel. Dalammenganailsa data digunakan pendekatan struturalisme dengan memfokuskan pada konsep struktur tari Guel, dengan menitik beratkan teori struktur geraktari dari Kaepler
Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa tari Guel adalah tari yang awalnya diciptakan untuk kebutuhan upacara adat, kemudian berkembang menjadi tari hiburandilaksanakan dalam berbagai kegiatan. Struktur Tari Guel terdiri dari struktur bentuk/luar dan struktur isi/dalam. Struktur bentuk memiliki hubungan erat dengan struktur pertunjukan berkaitan dengan elemen dalam pendukung tari yang terdiri dari struktur koreografi, struktur gerak, struktur musik, dan sturuktur bentuk. Struktur koreografi terdiri dari unsur gerak, unsur penokohan/karakter, unsur norma/adat, unsur komunikasi, unsur tata rias dan busana, unsur musik pengiring dan unsur tempat pertunjukan. Struktur isi/dalam berkaitan dengan ungkapan konsep estetik yang merupakan simbol dari keluhuran nilai-nilai moral, adat dan agama suku Gayo dan menjadi simbol masyarakatnya. Kesemua simbol ini tampak jelas dalam pertunjukan tari Guel yang dilakonkan dalam empat babak (babak munatap, babak redep dep, babak ketibung, babak cincang nangka), masing-masing memiliki alur cerita, dituangkan dalam ragam-ragam gerak yang memiliki makna dari kehidupan suku Gayo. Simbol tersebut berfungsi ganda, yaitu; sebagai petanda peristiwa/kejadian dari peristiwa pencarian seorang adik kepada abangnya yang mencerminkan kesetiaan, tanggungjawab, persaudaraan, kepahlawanan, dan kewaspadaan, yang memberikan pesan kepada masyarakat, bahwa dalam melakukan sesuatu haruslah mempersiapkan diri baik lahir maupun batin. Sedangkan sebagai penanda peristiwa, memiliki makna dari simbol visual yang sekaligus berfungsi sebagai penuntun bagi pengamatnya.
Kata Kunci: Tari Guel, Gayo, Analisis, Struktur, Simbol.
vi
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada ALLAH SAW yang telah
memberikan keberkahan, sehingga peneliti dapat menyelesaikan Tesisi ini
berjudul Analisis Struktur dan Ungkapan Estetik Tari Guel pada Masyarakat Gayo
di Kenupaten Aceh Tengah.. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk
menyelesaikan jenjang S-2 dan memperoleh gelar Magister Seni (M.Sn) pada
Program Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Sumatera Utara. Tesis ini berisikan hasil penelitian mengenai Tari
Guel dala kehidupan masyarakat Gayo. Pokok permasalahan yang di bahas
adalah; Bagaimana Struktur, dan ungkapan Estetik Tari Guel pada masyarakat
Gayo di Kabupaten Aceh Tegah. Selama proses penyusunan tesis, penulis
mendapatkan bimbingan dan arahan dari para pembimbing yakni Ibu Dra.
Rithaony, M.A sebagai pembimbing I, Ibu Yusnizar Heniwaty, S,ST, M,Hum
sebagai pembimbing II dan para penguji yakni Bapak Drs Irwansyah, M.A.,
Bapak Drs Torang Naiborhu, M.Hum., dan Bapak Dr Ridwan Hanafiah, SH, MH,
serta kesemua dosen yang telah mengajar. Tim pembimbing dan penguji ini
sungguh banyak membantu penulis terutama kesabaran dan ketelatenan dalam
penulisan Tesis ini. Arahan-arahan mereka tersebut membuat penulis semakin
termotivasi dan semangat untuk menyelesaikan Tesis ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas
Sumatera Utara, Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Ketua dan Sekertaris Program
Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni, dan para Dosen di Lingkungan
Program Studi Penciptaan dan Pengkajian Seni. Penulis juga mengucapkan
banyak terima kasih kepada Bapak Drs Ponisan selaku pegawai di lingkungan
vii
Program Studi Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni, yang telah
memberikan banyak bantuan dan kemudahan kepada penulis sejak awal duduk di
bangku perkuliahan hingga menyelesaikan tesis ini.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua,
Ine(Mama)Badilah Murni S.pd dan Ama(Ayah)Darmansyah Sh yang selalu
medukung dan mendoa kan saya dalam menyelesaikan tesis ini, Tuhan selalu
memberkati dan di berikan panjang umur sehat selalu, dan ucapan terima kasih
kepada Nenek Inen Juwita Walaupun tidak mendampingi penulis saat menyiapkan
tesis tapi semangat seluruh keluarga selalu mendukung, membuat penulis kuat.
Terima kasih juga kepada suamiku Sanjo. St dan anakku Mr,Alfathir Tambunan
yang selalu mensaport dan membantu saya dalam penulisan, Terima kasih juga
kepada Abangnda Bintang Bener Mpd Ucapan terima kasih juga kepada adik
Bintang Yaumil Adha dan Anisa maulidya juga kedua mertua saya Bapak
Syahrun Tambunan ST dan Ibu Ratna Dewi hasibuan.yang telah membantu
untuk menyeselaikan tesis ini.
Penulis mengucapkan beribu-ribu maaf bila ada kata yang kurang
berkenan, Akhir kata, penulis berterima kasih kepada seluruh pihak yang sudah
membantu penyusunan tesis ini. Semoga hasil penelitian dari tesis ini dapat
berguna bagi dunia penelitian seni pada umumnya dan bagi kesenian Gayo
khususnya pada masyarakat Gayo dan masyarakat Aceh pada umumnya.
Medan, Pebruari 2017
Penulis,
Maghfira Murni Bintang P NIM.1470377010
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................. ii HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................... iii HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... iv KATA PENGANTAR ................................................................................ v DAFTAR RIWAYAT HIDUP ................................................................... vii DAFTAR ISI .............................................................................................. viii ABSTRACT ............................................................................................... ix ABSTRAK .................................................................................................. x PERNYATAAN ......................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xii BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1 1.2 Pokok Masalah ........................................................................... 9 1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................ 10 1.4 Manfaat penelitian ..................................................................... 10
1.5 Studi Kepustakaan ...................................................................... 11 1.6 Konsep dan landasan teoritis ....................................................... 17
1.6.1 Kerangka Konsep ............................................................. 17 1.6.1.1 Konsep kesenian ..................................................... 18 1.6.1.2 Konsep tari ............................................................. 19 1.6.1.3 Suku gayo .............................................................. 22 1.6.1.4 Upacara adat ........................................................... 23 1.6.1.5 Konsep struktur ...................................................... 25 1.6.1.6 Konsep estetik ........................................................ 26
1.6.2 Teori ................................................................................... 27 1.6.2.1 Teori struktur gerak tari andrienne kaeppler ......... 28
1.6.2.2 Teori estetika ......................................................... 31 1.7 Metode Penelitian ....................................................................... 37
1.7.1 Populasi dan sampel penelitan ........................................... 40 1.7.1.1 Populasi penelitian ................................................ 40 1.7.1.2 Subyek penelitian dan lokasi penelitian ................. 41 1.7.1.3 Teknik pengumpulan data ...................................... 42
1.7.3 Teknik analis data ............................................................. 45 1.8 Sistematika penulisan ................................................................. 46
BAB II ETNOGRAFI SUKU GAYO DI KAB. ACEH TENGAH ............ 48
2.1 Aceh dan Kebudayaan .............................................................. 49 2.2.1 Etnografi masyarakat Aceh ........................................... 51 2.2.2 Sejarah Aceh .................................................................. 54 2.2.3 Asal mula Aceh .......................................................... 56
2.2 Sejarah Aceh Tengah ................................................................ 60 2.2.1 Gambaran Umum ............................................................ 62 2.2.2 Kependudukan ............................................................... 67
2.2.3 Suku Gayo.............................................................. 68 2.3 Kebudayaan Aceh Gayo .......................................................... 71
ix
2.3.1 Adat Istiadat Gayo .................................................. 74 2.3.2 Sistem Kemasyarakatan .......................................... 78 2.3.3 Agama .................................................................... 80 2.3.4 Upacara Adat.......................................................... 82 2.3.5 Kesenian ................................................................ 91
BAB III TARI GUEL DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT GAYO 3.1 Pandangan Masyarakat ........................................................................... 95 3.2 Asal Mula Tari Guel ............................................................................... 97 3.3 Karakter Tari Guel .................................................................................. 103 3.4 Bentuk Pertunjukan Tari Guel ................................................................. 106
BAB IV STRUKTUR TARI GUEL ........................................................... 125 4.1 Struktur Norma ....................................................................................... 126
4.1.1 Norma .......................................................................................... 127 4.2 Struktur Koreografi ................................................................................. 133
4.2.1 Urutan .......................................................................................... 134 4.2.2 Pola lantai ..................................................................................... 140
4.3. Struktur Gerak........................................................................................ 143 4.3.1 Konsep teknik .............................................................................. 145
4.3.1.1 Siep semperne ................................................................... 145 4.3.1.2 Resam................................................................................ 146 4.3.1.3 Torom Ni Rupe .................................................................. 146 4.3.1.4 Peropohhen ....................................................................... 147
4.3.2 Konsep pilosofi ............................................................................. 148 4.3.2.1 Munatap ........................................................................... 149 4.3.2.2 Redep ............................................................................... 150 4.3.2.3 Kepur Nunguk .................................................................. 151 4.3.2.4 Seneng Lintah ................................................................... 152 4.3.2.5 Cincang Nangka ............................................................... 153
4.4 Struktur Musik ........................................................................................ 154 4.4.1 Makna irama munatap .................................................................... 155 4.4.2 Makna irama redep tatap dep .......................................................... 156 4.4 3 Makna irama ketibung .................................................................... 156 4.4.4 Makna Irama Cincang Nangka ....................................................... 156
4.5 Struktur Bentuk Gerak Dengan Relasi-Relasinya ................................... 156 4.5.1 Unsur Gerak ................................................................................ 157 4.5.2 Motif gerak................................................................................... 166 4.5.3 Ragam gerak .............................................................................. 170 4.5.4 Ragam gerak samar kalang, ......................................................... 172 4.5.5 Ragam gerak dah papan ............................................................... 173 4.5.6 Ragam gerak sining ...................................................................... 174 4.5.7 Ragam gerak cincang nangka ....................................................... 176 4.5.8 Frase gerak ................................................................................... 177 4.5.9 Kalimat gerak tari guel ................................................................. 178
4.6 Analisis Gerak Tari Guel ........................................................................ 179 4.6.1 Bentuk Visual Karakter Tari Guel ................................................. 183 4.6.2 Gerak tari guel ............................................................................... 184
x
4.6.3 Formasi ......................................................................................... 191 4.6.4 Tata Rias dan Busana .................................................................. 194
BAB V PENUTUP ...................................................................................... 196 5.1 Saran-saran ........................................................................................... 199 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 201
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kabupaten Aceh Tengah merupakan salah satu kabupaten yang ada di
provinsi Aceh, terletak diujung pulau Sumatera, dengan mayoritas penduduknya
bersuku Gayo. Suku Gayo tidak hanya berada di kabupaten Aceh Tengah, namun
suku ini menyebar dibeberapa wilayah Aceh lainya yaitu; Kabupaten Aceh
Tengah, Kabupaten Bener Meriah dan Kabupaten Gayo Lues. Sebelumnya
mereka berada di satu wilayah yang kemudian menyebar dikarenakan adanya
pemekaran wilayah serta faktor-faktor lainnya.
Dalam seluruh segi kehidupan, masyarakat Gayo memiliki dan
membudayakan sejumlah nilai budaya sebagai acuan tingkah laku untuk mencapai
ketertiban, disiplin, kesetiakawanan, gotong royong, dan rajin (munentu).
Pengalaman nilai budaya ini dipacu oleh nilai yang disebut bersikemelen, yaitu
persaingan yang mewujudkan nilai dasar mengenai harga diri (mukemel). Nilai-
nilai ini diwujudkan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti dalam bidang
ekonomi, kesenian, kekerabatan, pengetahuan, komunikasi, dan pendidikan,
kesemuanya ini merupakan produk yang dihasilkan oleh masyarakat, serta
menjadi budaya yang sudah mereka lakukan secara berkesinambungan.Sumber
dari nilai-nilai tersebut adalah berpedoman pada ajaran dalam agama Islam serta
adat setempat yang dianut dan dipatuhi oleh seluruh masyarakat Gayo.
2
Kebudayaan seperti yang disebutkan di atas, merupakan penuangan dari
segala kebiasaan yanag mereka lakukan sehari-hari sertamenjadi sumber bagi
masyarakat dalam melakukan segala aktifitas. Dengan demikian, melalui
kebudayaan kita dapat mengetahui tingkat peradaban manusia. Begitu juga
dengan kebudayaan masyarakat Gayo ditemukan oleh masyarakatnya dan
dijadikan sebagai kebudayaan. Kebudayaan Gayo timbul sejak orang Gayo
bermukim di wilayah ini, dan sejak sebelum masuknya Islam wilayah Gayo.
Keseluruhan kebudayaan tersebut tertuang dalam berbagai aktifitas
masyarakatnya.
Unsur kebudayaan yang ada di Gayo menjadi panutan ataupun pedoman
dalam segala aktifitas yang tertuang dalam adat sejak lama dan hingga agama
Islam menjadi agama yang dianut suku Gayo, serta menjadikan Al’Quran dan
Hadist sebagai pedoman. Saat ini ajaran Islam menjadi ajaran yang diterapkan
dalam kehidupan masyarakat Aceh secara keseluruhan, baik dalam kegiatan adat
maupun sistem pemerintahannya, seperti mengharuskan bagi wanita untuk
memakai jilbab/kerudung bagi yang muslim, serta memberi hukuman cambuk
bagi pelaku kejahatan yang dilakukan di depan masyarakat.
Islam sebagai agama mayoritas yang dianut suku Gayo dijalani oleh
masyarakatnya dengan ketakwaan dengan menjalankan ajarannya, sehingga
semua bersifat Theokrasi (berdasarkan ajaran Islam), baik adat, budaya dan sistem
pendidikan semua berlandaskan agama Islam. Menurut Mahmud Ibrahim (2007:
19), sebelum agama Islam masuk kedaerah Gayo, masyarakat setempat
sebelumnya menganut animisme, yang menjalankan kehidupan sesuai dengan
3
ajaran yang mereka anut, termasuk dalam hal berkesenian. Agama Islam sendiri
diperkirakan masuk kedaerah Gayo pada abad ke-8 Masehi, yang juga menyebar
ke wilayah Gayo dan akhirnya secara berangsur suku Gayo yang bermukim disana
secara perlahanmulai memeluk agama Islam.
Kesenian sebagai unsur dalam kebudayaan menjadi kegiatan yang ada pada
suku Gayo. Dalam bidang kesenian, suku Gayo memiliki beragam kesenian
mulai dari tarian, musik, sastra, dan teater. Tarian yang terdapat pada msayarakat
Gayo adalah, tari Turun ku aih aunen,tari Resame Berume, Tari Tuah Kukur dan
lain sebagainya. Kesemua tarian ini tersebar di wilayah kesukuan Gayo dengan
masing-masing daerah memiliki bentuk tari yang berbeda dan menjadi ciri khas
kesukuan, yang diwariskan secara turun temurun
Kehidupan berkesenian dalam masyarakat Gayo juga tidak terlepas dari
pengaruh ajaran Islam, hal ini tampak pada pertunjukan tari Guel. Dipercayai oleh
masyarakat sebelum masuknya agama Islam, pada awalnya tari Guel
dipertunjukan pada kegiatan-kegiatan adat yang menyertakan kelengkapan ritual
dalam pertunjukan, dan menjadikan laki-laki sebagai penari. Sejak masuknya
Islam ke daerah Gayo, perlahan kelengkapan ritual dalam pertunjukan tari Guel
mulai dihilangkan dan tari ini menjadi tari hiburan, yang bisa disaksikan oleh
seluruh masyarakat. Tari Guel merupakan tari tradisi suku Gayo yang sudah
cukup lama ada dan tercipta berdasarkan cerita rakyat tentang abang, adik,
Sengeda dan bener Meriah. Tari ini diciptakan dengan menjadikan alam sebagai
sumber dalam pengolahan gerak,dan menjadikan gajah sebagai inti cerita karena
alam memberikan insfirasi yang cukup banyak bagi masyarakat dalam
4
menuangkan ungkapan kreatifitas mereka. Dalam hal ini ada pepatah klasik suku
Gayo yang menyatakan tentang karya tari adalah kata “kepur nunguk tari nuwo
(kepurni unguk tarini wo)”. Kata ini menyiratkan tentang gerakan dua ekor jenis
burung yang menjadi dasar tari Gayo (Dinas Pariwisata Kab. Aceh Tengah, 2015:
13). Dari gerakan burung ini kemudian tercipta tari-tari tradisi suku Gayo lainnya
dan menjadikan alam/binatang sebagai sumber dalam kreatifitas kesenian
masyarakatnya. Gerakan burung juga menjadi gerakan yang ada dalam tari Guel,
yang terdapat pada gerak ‘jentik kedidi’ yang berdiri di atas pematang sawah,
melompat-lompat untuk mencari makanan. Tidak heran apabila hewan menjadi
sumber inspirasi masyarakat Gayo, dikarenakan masyarakat meyakini ada
hubungan antara kehidupan hewan dengan kehidupan manusia, tercermin dalam
isi cerita tari Guel. Penempatan Gajah putih sebagai inti cerita merupakan bentuk
inspirasi pada kehidupan hewan.
Kota Takengon, Kabupaten Aceh Tengah di kenal masyarakat Aceh sebagai
asal mulanya Tari Guel, Guel di kenal sebagai tari yang berasal dari Gayo, yang
didalamnya menyatu antara gerak, musik, seni sastra serta pertunjukannya dibagi
dalam 4 babakan. Tari Guel berawal dari mimpi seorang pemuda bernama
Sengeda anak Raja Linge ke XIII. Sengeda bermimpi bertemu saudara
kandungnya Bener Meria yang konon telah meninggal dunia karena
pengkhianatan. Mimpi itu menggambarkan Bener Meria memberi petunjuk
kepada Sengeda (adiknya), tentang kiat mendapatkan Gajah putih sekaligus cara
menggiring Gajah tersebut untuk dibawa dan dipersembahkan kepada Sultan Aceh
Darussalam, karena keinginan dari putri raja yang menginginkan seekor Gajah
5
berwarna putih seperti yang dilukis oleh sengeda. Proses dalam membawa Gajah
Putih keistana ini yang menjadi asal penciptaan dari tari Guel, melalui hentakan
kaki dan gerakan tangan yang lembut serta gerakan-gerakan membujuk dari
Sengeda dengan memukul-mukul berbagai benda yang menimbulkan ‘bunyi-
bunyian’ (Guel), membuat Gajah ini mengikuti kemauan Sengeda untuk sampai
ke Kuteni Reje. Tari yang dilakukan dengan gerak mengikuti suara
gendang/gegedem yangbiasa disebut dengan ‘ketang-ketang’ dalam
pembelajarannya, memiliki ciri khas goyangan pada bahu di putar kedepan dan
kebelakang mengikuti iringan pukulan gendang yang penuh ritmik, serta memiliki
kekuatan mistis inilah disebut tari Guel.Tari guel jugamenunjukan kewibawaan,
keperkasaan, tanggungjawabseorang pria dalam menjalani kehidupan yang
tertuang dalam tarian ini, sehingga tari Guel juga dijadikan tari untuk
penyambutan pengantin laki-laki dalam upacara perkawinan/ngerje.
Tari Guel menjadi tari tradisi yang dimiliki suku Gayo yang ada di
Takengon dan Bener Meriah, dan tidak dimiliki suku Gayo lainnya. Tari Guel
menjadi tari yang memperlihatkan perjalanan kehidupan suku Gayo yang
menunjukkan keperkasaan, kesetiaan, dan kewibawaan, dan mereka menjadikan
tari Guel sebagai materi yang ada dalam berbagai kegiatan. Tari Guel adalah tari
yang bercerita dan terbagai dalam empat bagian, memiliki ciri pada goyangan
bahu yang sekilas mudah dilakukan. Namun sesungguhnya gerakan yang menjadi
ciri tari Guel ini justru sangat sulit dilakukan, karena kordinasi antara bahu dan
gemulai jari serta ketukan gendang/gegedem sebagai patokan dalam tarian yang
membuat tari ini menjadi menarik. Selain gerakan bahu, tari Guel juga banyak
6
melakukan gerakan menunduk sambil melompat kecil yang merupakan cerminan
dari seekor Gajah, dengan mempermainkan kain yang diletakkan di punggung
memperlihatkan gerakan telinga Gajah. Rangkaian gerakan satu kegerakan
lainnya, dari babak awal hingga akhir, kesemuanya memiliki alur cerita dan pesan
dari penciptaan tari Guel. Iringan musik yang menjadi patokan dalam tarian, dan
juga menjadi cikal bakal terciptanya nama tari Guel yang berasal dari benda-
benda yang dipukul sehingga mengeluarkan bunyi, menyatukan antara tari dan
musik. Kedua unsur ini saling berkaitan, dengan masing-masing babak memiliki
irama musikmenyesuaikan dengan babak tarian. Irama dalam musik juga menjadi
nama dalam babak tari Guel.
Dalam perkembangannya, tari Guel saat ini tidak hanya dilakukan dengan
format ditarikan oleh dua orang penari laki-laki saja. Para seniman menuangkan
kreatifitas mereka dengan menata kembali tari Guel dengan variasi gerak dan pola
lantai yang menarik, baik dari jumlah penari yang menjadi 4 orang ataupun lebih,
menyertakan penari perempuan dalam bagian cerita tanpa merusak format yang
sudah ada. Adanya perubahan dalam pertunjukan serta tujuan pelaksanaannya,
tanpa disadari menjadikantari Guel semakin dikenal, terutama dengan
dipertunjukkannya tari ini sebagai tari penyambutan calon pengantin laki-laki dan
menjadikan pengantin sebagai penari dalam pertunjukan, mengambil peran Aman
mayaksebagai Gajah putih. Perubahan dalam pertunjukan tidak saja dalam
pelaksanaannya, dari pola garapan tari perubahan nampak dalam pembabakan
dalam tarian yang memasukkan penari wanita menyelingi dari urutan penari laki-
laki. Saat ini perubahan dalam format ke dua (adanya penari wanita) menjadikan
7
semakin dikenalnya tari Guel dan dipertunjukkan dalam berbagai acara, terutama
pada upcara perkawinan yang memunculkan garapan baru dengan nama tari Guel
Mayak, dan di lain tempat dinamakan dengan Guel Munalo. Perubahan ini,
ternyata membuat tari Guel semakin dikenal, dan semakin banyak sanggar-
sanggar yang mempelajari dan mengembangkan tarian ini dengan berbagai
kreatifitas tanpa meninggalkan format awal. Masing-masing sanggar akan
memunculkan kreatifitas kelompoknya untuk menunjukkan kepiawaian dari karya
tarinya, dan memunculkan tari Guel dengan berbagai versi yang tetap dikenal
dengan tari Guel. Selain itu, adanya perhatian dari pemerintah dengan
menyertakan tari Guel dalam berbagai kegiatan/even, serta melakukan
pengumpulan data tentang keberadaan tari Guel yang dijadikan bahan informasi
dan potensi budaya yang dimiliki pemerintah kabupaten Aceh Tengah. Hal ini
dilakukan sebagai bentuk upaya pemerintah dalam merevitalisasi bentuk-bentuk
kesenian tradisi yang mulai ditinggalkan dan sebagai bentuk publikasi yang
selama ini cederung kurang terpublikasi dengan baik.
Perubahan dalam pertunjukan tari Guel memberikan dampak positip pada
prkembangan tari-tari tradisi Gayo lainnya yang ada di Takengon, sebagai pusat
pemerintahan dari Kabupaten Aceh Tengah. Pemerintah Kab. Aceh Tengah di
Takengon memberikan perhatian pada perkembangan kesenian tradisi Gayo,
termasuk pada tari Guel dengan menyelenggarakan acara yang menyertakan tari
Guel sebagai salah satu materi acara. Kepedulian masyarakat selama ini dengan
mempertunjukan tari Guel dalam kegiatan mereka, terutama memasukkan tari
sebagai bagian dalam upacara perkawinan, menjadi hal yang sangat positip
8
ditambah dengan dukungan pemerintah yang mulai peduli pada bentuk-bentuk
pewarisan kesenian tradisi Gayo. Selain itu masyarakat Gayo dari semua
kalangan, mulai menyertakan tari Guel pada upacara perkawinan yang mereka
lakukan, mereka dengan antusias menyelenggarakannya. Kehadiran tari Guel
dalam acara perkawinan menjadi penyemarak dan sekaligus sebagai
penghormatan pada keluarga mempelai laki-laki. Namun dari adanya perubahan
dan perkembangan dalam pertunjukan, masih banyak ditemukan pelaku-pelaku
seni yang tidak memahami isi dari tari Guel, sehingga dalam pertunjukannya tidak
dapat melakukan dengan sebaik-baiknya sesuai format yang ada. Hal ini
dikarenakan ketidaktahuan masyarakat pada pesan yang ada dalam tari Guel,
walaupun mereka tahu cerita dalam tarian.
Sebagai sebuah warisan budaya, tari Guel layak untuk menjadi perhatian,
dikarenakan banyak nilai-nilai pertunjukannya yang memberikan pesan tentang
arti sebuah kesetiaan, persaudaraan, perjuangan, dan kewibawaan yang menjadi
sikap dalam hidup manusia yang harus dimiliki. Tari Guel dikatakan ekspresif,
misteri dan penuh makna serta tidak sumang, artinya tari ini pantas untuk
dikunjungi, layak dilihat, wajar didengar, sopan dan santun, yang menjadi bukti
bahwa agama urum edet lagu jet urum sipet (agama dengan adat sepetti zat
dengan sifat; edet pegerti agama (adat pagar agama) Disbudpar Kab. Aceh
Tengah; 2016:2). Dari penjelasan ini, dapat dikatakan tari Guel menjadi warisan
budaya yang mengajarkan pada masyarakat untuk tidak melupakan arti dari
sebuah keluarga, yang memberikan kehangatan, persaudaraan dalam sebuah
hubungan yang penuh dengan kemuliaan.
9
Berdasarkan ulasan di atas, banyak hal yang perlu dipahami dan harus dikaji
untuk memberikan pemahaman tentang hidup, yang dapat diamati dari susunan
tarian, elemen-elemen dalam tari yang saling berkaitan antara satu dengan
lainnya, serta ungkapan estetik yang menuangkan norma aturan dalam
pertunjukannya. Dengan mengkaji tari Guel, maka pesan dari adanya hubungan
dapat terjawabkan. Eleman-elemen tari yang menjadi wujud visual dalam tari
Guel, memberikan pesan pada manusia berdasarkan konteks dari pertunjukannya.
1.2 Pokok Masalah
Dalam setiap penelitian sangat perlu jelaskan yang menjadi pokok-pokok
masalah. Menurut Pariata Westra (1981 : 263 ) bahwa “Suatu masalah yang
terjadi apabila seseorang berusaha mencoba suatu tujuan atau percobaannya yang
pertama untuk mencapai tujuan itu hingga berhasil”.Hal ini dilaksanakan, agar
peneliti yang dilakukan menjadi lebih terarah serta cakupan masalah yang dibahas
tidak terlalu luas. Dalam menjelaskan pokok permaslahan diharapkan mampu
untuk memperkecil batasan-batasan masalah dan sekaligus lebih mempertajam
arah penelitian. M.Hariwijaya dalam Nugrahaningsih.
(2012:163) yang menyatakan bahwa :
“Berikut adalah mencari titik masalah yang akan dikaji dalam penelitian skripsi anda, sikap kritis dalam menemukan masalah merupakan hal yang penting yang harus dimiliki oleh setiap peneliti, dan suatu penelitian selalu diawali dengan mengidentifikasi masalah”.
Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana struktur Tari Guel pada Masyarakat Gayo di Aceh Tengah?
10
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dalam sebuah penelitian harus terarah dan dirumuskan untuk
mendapatkan catatan yang jelas tentang hasil yang akan dicapai. Hal ini sesuai
dengan pendapat Suharsimi Arikunto (1978:69) yang menyatakan “Penelitian
merupakan rumusan kalimat yang menunjukan adanya hasil yang diperoleh
setelah penelitian ini selesai”. Berhasil atau tidaknya suatu penelitian yang
dilakukan terlihat dari tercapai atau tidaknya tujuan penelitian yang telah
ditetapkan.
Penulis merumuskan tujuan penelitian adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis struktur tari Guel pada masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh
Tengah
1.4 Manfaat penelitian
Setiap penelitian yang dilakukan diharapkan akan memberi sumbangan
yang bermanfaat bagi siapa saja. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia manfaat
adalah guna atau faedah. Penelitian juga harus memiliki hasil yang berguna,
terutama bagi pengembangan ilmu, baik bagi diri peneliti, maupun lembaga,
instansi tertentu, ataupun orang lain yang membacanya. Dan apabila penelitian
yang dilakukan tidak ada manfaatnya maka hasil penelitian itu gagal tentunya,
untuk itu berdasarkan kajian yang akan diteliti nantinya, maka dapat diambil
beberapa manfaat yang bisa menjadi pedoman dan informasi bagi pembaca,
antara.
11
Berdasarkan tujuan penelitan, maka hasil penelitian ini dapat berguna bagi
semua pihak yang memilki manfaat sebagai berikut:
1. Sebagai bahan referensi untuk menjadi acuan pada penelitian yang relevan di
kemudian hari
2. Sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan studi Magister (S2) di program
Seni Penciptaan dan Pengkajian, Fakultas Ilmu dan Budaya, Universitas
Sumatera Utara (USU).
3. Sebagai masukan bagi peneliti dalam menambah pengetahuan,wawasan
mengenai Tari-tari tradisiGayo pada umunya dankhususnya pada Tari Guel.
4. Hasil penelitian ini bermanfaat sebagai bahan referensi untuk menambah
khasanah ilmu pengetahuan seni tari di perpustakaan.
1.5 Studi Kepustakaan
Studi kepustakan merupakan suatu proses pencarian literature dan sumber
bacaan yang nantinya dapat memperlancar proses penelitian. Kegiatan ini
merupakan teknik untuk melengkapi kekurangan-kekurangan data, Sekaligus
sebagai media untuk menganalisis data-data yang di peroleh dalam penelitian di
lapangan. Teknik ini digunakan dalam keseluruhan proses penelitian sejak awal
hingga akhir penelitian dengan cara memafatkan berbagi macam pustaka yang
relevan dengan fenoma sosial yang di cermati.Studi pustaka ini merupakan
sumber bacaan yang didapat dari buku, majalah, artikel dan referensi lain yang
bersmber dari mana saja termasuk internet.
12
Gayo merupakan salah satu suku yang ada di Propinsi Aceh, pemahaman
tentang suku Gayo didapati dari beberapa literatur yang menjelaskan kehidupan
suku Gayo sebagai satu suku yang memiliki beragam budaya sebagai produk yang
mereka hasilkan. Dalam memahami suku Gayo, terlebih dahulu dijelaskan tentang
Aceh dengan keunikan kebudayaannya yang telah ditulis oleh para sarjana Barat,
antropolog, sosiolog. Tulisan tentang Aceh juga menjadi kajian yang menarik dan
telah ditulis dalam karya karya tulis para sarjana Indonesia. Mereka menjelaskan
tentang budayanya termasuk kesenian, yang didalamnya bercerita tentang tarian
Aceh yang sangat menarik, sehingga menjadi kajian yang paling banyak ditulis.
Walaupun karya tulisan tentang tari tradisi tidak secara komprehensif, namun
sumbangan yang telah diberikan dalam bentuk tulisan, menjadikan kejelasan
tentang keberadaan tari tradisi Aceh.
Beberapa Publikasi tentang Aceh dan suku-suku yang mendiami wilayah
ini, telah melengkapi studi ini yang memberikan informasi penting, pemahaman,
dan ide-ide tentang Budayanya dan suku-suku yang ada, khususnya suku Gayo
selaku pemilik tari Guel. Tulisan Amirul Hadi, (Aceh: Sejarah, Budaya dan
Tradisi, 2010, Respon Islam Terhadap Hegenomi Barat: Aceh versus Portugis
1500-1579 Banda Aceh, 2006)) Abubakar Al Yasa’, yang berbicara dari Dimensi
“keislaman” tidak dapat dipisahkan, apalagi ditinggalkan dari setiap perilaku
masyarakat Aceh, baik masa lalu maupun masa kini. Dimensi keagamaan ini
sering diabaikan oleh para sarjana, terutama Barat dalam kajiannya mengenai
masyarakat Islam di Aceh. Karya tulis para sarjana ini, menjadi awal penulis
dalam memahami latar belakang terciptanya, tari Guel.
13
Selain itu karya tulis dari Mohammad Said (Aceh Sepanjang Abad,
2007), Sunny Ismail (Bunga Rampai tentang Aceh)berisi tentang keragaman dari
kehidupan masyarakat Aceh yang dilihat dari berbagai aspek, seperti, asal-usul
masyarakat Aceh, Agama, Politik, Mata Pencaharian, Sistem Kekerabatan,
Kesenian. Pendeskrifsian dari karya tulis ini dapat membantu penulis dalam kajian
memahami masyarakat Aceh dengan permasalahannya.
Buku Tari Guel Gayo tahun 2016, merupakan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kab. Aceh
Tengah. Buku ini menjelaskan tentang tari Guel sebagai tari yang dimiliki suku
Gayo di Aceh Tengah yang dideskrifsikan dari gerak dasar tari, babak dalam tari
Guel, musik pengiring, busana tari, jumlah dan penampilan dari tari Guel. Buku
ini secara umum berisi informasi tentang tari Guel, dan usaha pemerintah dalam
mengenalkan tari Guel lebih jauh. Penulisan buku ini dilakukan sebagai usaha
dalam menjaga dan mengembangkan kebudayaan suku Gayo, serta mengangkat
kembali kesenian Gayo dalam bentuk tulisan, agar penerus dari kesenian Gayo
mengetahui dan dapat mempelajarinya.
Disertasi dari M.J, Melalatoa yang membahsa kebudayaan Gayo dengan
judul ‘Pseudo Moiety Gayo: Satu Analisis Tentang Hubungan Sosial Menurut
Kebudayaan Gayo dalam kajian S-3. Dalam disertasi ada dua bab yang
menjelaskan tentang kesenian, termasuk seni tari walau penjelasan lebih
ditekankan pada kesenian didong (cerita yang disampaikan dengan bersyair).
Pembahasan dalam bab ini membantu untuk memahami latar belakang masyarakat
Gayo dalam menjadikan kesenian sebagai bagian dari kehidupan yang
14
menunjukkan sifat satria dari para pemuda Gayo sebagai identitas dari budayanya.
Kemudian diskusi-diskusi tentang elemen-elemen pertunjukan Tari Guel
membantu dalam menganalisis pertunjukan Guel terutama didasari oleh informasi
yang diberikan oleh para pelaku (penari) Guel dan kemahiran, serta pengamatan
saya sendiri secara personal terhadap pertunjukan Guel.
L.K. Ara, dalam tulisannya “ Ensiklopedia Aceh, Musik, Tari, Teater, Seni
Rupa”. 2009. Tulisan ini berisi tentang berbagai macam bentuk kesenian baik itu
dalam bidang Musik, Tari, Teater, Seni Rupa. Menyebutkan dan menjelaskan
jenis-jenis musik Aceh, tarian Aceh, teater Aceh, serta bentuk seni rupa Aceh.
Peneliti menggunakan artikel ini sebagai bahan acuan untuk mengetahui jenis
musik apa yang di pakai pada TariGuel
Beberapa tulisan tentang tari Guel, pertama oleh Saadah, Skirpsi 2013
“Etikadan Nilai Estetika Tari Guel pada Masyarakat Gayo Kabupaten Aceh
Tengah”. Skripsi ini membahas tentang Estetika dan nilai Etikadi dalam tari Guel
yang berada di Kabupaten Aceh Tengah. Skripsi ini membantu peneliti dalam
mencari informasi tentang tari yang ada di Gayo, serta membantu dan menambah
Pengetahuan tentang tari Guel.Dalam tulisan ini, tari Guel yang dibahas adalah
pertunjukan tari pada kegiatan pernikahan suku Gayo yang dinamakan dengan tari
Guel Munalo.
Dalam penjelasannya Saadah mendeskripsikan bentuk tari Guel yang
diperinci dari awal hingga akhir pertunjukan, dengan mengkaitkannya pada nilai
etika dan estetetika. Dalam kaajian ini, penjelsan masih pada tahap pendeskripsian
dari bentuk gerak, dan arti/makna dari ragam gerak yang ada. Namun tulisan ini
15
sangat menarik untuk dilanjutkan, dengan mengkajinya pada penekanan struktur
tari Guel, serta menjelsakan ungkapan estetis yang ada pada tarianj ini. Pengkajian
pada struktur tari Guel akan membedakan dengan yang sudah ditulis oleh Saadah.
Tari Guel yang dikenal oleh masyarakat mempunyai nilai-nilai serta makna yang
penting sehingga antusias masyarakat sampai saat ini masih bertahan. Ditengah-
tengah arus moder-nisasi yang terjadi, tari Gueltetap selalu dinantikan oleh
masyarakatnya. Sehingga peneliti menjadikan kajian struktur dalam memahami
tari Guel.
Penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan tari Guel adalah skripsi yang
ditulis oleh Rudhatul Jannah yang berjudul ‘Sining di dalam tari Guel pada
masyarakat Gayo di desa Kemili Aceh Tengah; Kajian Tekstual’ Jnnah dalam
tulisannya menjelaskan sining adalh bergerak dan berlagu yang kedudukannya
sebagai pembuka pertama tari Guel, gerakan-gerakan yang dilakukan berasal dari
alam, dan lagu yang dinyanyikan di dalamnya disebut dengan jangin. Adapun teks
janginn berisi panggilan terhadap gajah putih dan disampiakn untuk mengingat
kembali pada kejadian terdahulu, mengenai kisah kejahatan pemimpin yang
terungkap serta adat ‘TABI’ dalam suku Gayo yaitu masalah adat pemnghormatan
sebelum melakukan segala hal apapun masyarakat percaya hal tersebut dilakukan
agar terhindar dari mara bahaya. Tulisan Raudahatul Jnnah memberikan
pemahaman tentang sining yang menjadi bagian dalam tari Guel, dan menjadi
istilah yang dipakai suku Gyao mdalam menyatakan gerak dan lagu. Dari tulisan
ini, peneliti dapat memahami kaitan antara sining dengan tari Guel dan
16
menjadikan tulisan ini sebagai referensi awal dalam menganalisis struktur tari
Guel.
Selanjutnya tari Guel yang ditulis oleh Magfhirah Murni Bintang Permata.
Penelitian yang dilakukan kepada konsep koreografi tari Guel Mayak pada
masyarakat Aceh Tengah. Adapun judul dari penelitian ini ialah “Konsep
Koreografi Tari Guel Mayak Pada Masyarakat Aceh Tengah”.Tari Guel Mayak
yang telah mengalami perkembangan saat ini dikarenakan tuntutan permintaan
masyarakat yang inginkan perubahan dari sebelumnya. Perubahan bentuk dan
perubahan fungsi pada hasil-hasil seni dapat pula disebabkan oleh dinamika
masyarakat (Kayam, 2000: 339-432). Jumlah penari, pola lantai, tata busana,
irama, dan lainnya semuanya dibahas di dalam penelitiannya. Dalam kajian
tersebut konsep koreografi yang berada di dalam masyarakat Aceh Tengah sangat
berbeda dengan koreografi tari Guel Mayak. Kemudian bentuk tersebut di
jelaskan dengan memakai ilmu serta konsep koreografi.
Penelitian yang dilakukan oleh Magfhirah Murni Bintang berada di Aceh
Tengah. Konsep koreografi tari Guel Mayak pada masyarakat Aceh Tengah
dijelaskan secara rinci oleh peneliti. Terjadi perbedaan dan kesamaan di dalam
tarian ini yaitu sama-sama mengkaji objek material yang sama, namun tempat dan
pendekatan berbeda. Penelitian mengenai tari Guel Mayak pada masyarakat Aceh
Tengah mengalami perkembangan dan perubahan bentuk serta struktur koreografi.
Hal ini disebabkan karena masyarakat Aceh Tengah telah mempunyai selera yang
lebih.
17
Tari Guel yang berada di dalam masyarakat Aceh Tengah mengalami
perkembangan dan perubahan dari asalnya. Seni pertunjukan tidaklah untuk
kepentingannya sendiri (seni untuk seni), tetapi kesenian itu baru dapat berarti
atau bermakna apabila diamati atau mendapatkan respon dari penonton (Y.
Sumandiyo Hadi, 2012:109). Tari Guel yang disampaikan melalui gerak, musik,
syair, pola lantai, jumlah penari, jenis kelamin, tata rias, tata busana, karakter dan
lain sebagiannya akan memberikan penjelasan dari kehidupan satu kelompok
masyarakat yang memiliki budaya sendiri.
Penelitian tari Guel yang ini menjadi menarik untuk dikaji, melalui
struktur tari, akan jelas terlihat keberadaan tari Guel pada masyarakat Gayo, serta
hakl-hal apa yang menarik sehingga tari Guel hingga sekarang masih tetap
dilakukan dan justru menjadi tarin yang memiliki ciri tersendiri serta
membedakannya dengan tari-tari lainnya yang ada di daerah Aceh.
1.6 Konsep dan Landasan Teoritis
1.6.1 Kerangka Konsep
Membicarakan keberadaan tari Guel pada masyarakat Aceh khususnya
suku Gayo, sebenarnya membahas beberapa kenyataan yang saling berhubungan,
yaitu kisah sebuah keluarga yang terpisah dan dipertemukan kembali dalam wujud
yang berbeda, serta adat yang menjadi pedoman masyarakat, dan kebudayaan
masyarakat itu sendiri. Cerita rakyat memuat kisah-kisah yang mengajarkan
berbagai ajaran tentang kebaikan, keselamatan, aturan-aturan dalam kehidupan,
serta adat yang menjadi pedoman bagi masyarakat dengan berbagai macam
18
simbol. Melalui seni, berbagai aturan-aturan adat disampaikan sebagai proses
dalam menjawab bagaimana cerita rakyat dapat membentuk terciptanya tari Guel.
Sehubungan dengan itu, untuk memperluas wawasan, mahupun mempertajam
sensitivitas teori dalam rangka memahami realitas itu, maka penelitian ini akan
memahami beberapa konsep antara lain: konsep kesenian, konsep tari, suku
Gayo, konsep Struktur, konsep estetik. Melalui berbagai konsep ini diharapkan
akan dapat menjelaskan beberapa kejadian yang berkaitan satu dengan yang lain,
untuk dapat menemukan hubungan antara struktur tari Guel dan elemen-elemen
pendukung sebagai kekuatan dalam tarian, yang menjelaskan isi dan pesan dari
tari Guel.
1.6.1.1 Konsep Kesenian
Membicarakan kesenian sebagai karya atau hasil simbolisasi manusia
merupakan sesuatu yang tidak ada penghujungnya. Sampai saat ini berbagai
macam defenisi telah dikemukakan para pakar, tetapi sampai sekarang masih
sering terjadi perdebatan atau adu pendapat terutama mengenai unsur “keindahan”
. banyak teori yang mengemukakan unsur keindahan sering dihubungkan dengan
“kebaikan”, maupun “kebenaran”. Unsur keindahan ini (keindahan, kebaikan,
kebenaran) pernah menjadi pemikiran falsafah Jerman Alexander Baumgarten,
ketika membezakan adanya tiga kesempurnaan di dunia, iaitu das Wahre
(kebenaran), das Gute (kebaikan), dan das Schone (keindahan) (Tolstoy, 1960: 25;
Soedarso. 1998). Ketiga unsur ini memiliki wilyahnya sendiri. Keindahan berada
dalam cakupan indrawi, sementara kebaikan diterjemahkan melalui moral atau
19
hati nurani, dan kebenaran berkaitan dengan rasio. Keindahan seni yang
dihubungkan dengan kebaikan dan kebenaran, kerana seni dapat dilihat sebagai
tanda kebenaran moral maupun etika kebaikan pada umumnya.
Pemahaman pada konsep keindahan dapat dilihat dan dibicarakan pada
bentuk seni yang perlu untuk dikemukakan, dimana bentuk seni itu adalah
komunikatif. Abdullah (1981: 8-12), dalam tulisannya tentang komunikasi ilmu
dan seni, menjelaskan bahawa seni adalah satu dari berbagai cara untuk
melukiskan dan mengkomunikasikan. Keistimewaan seni dalam ekspresiviti,
memperhalus dan memperluas komunikasi menjadi suatu persentuhan rasa yang
akrab; dengan menularkan kesan dan pengalaman subyektif, iaitu kesan dan
pengalaman seniman kepada penonton. Sehingga, setiap bentuk seni merupakan
perkembangan dari kebiasaan yang sering dipakai, dan merupakan suatu “bentuk
komunitas umum yang intens”. Hal ini bukan saja kerana berbagai macam
perwujudannya, tetapi komunikasi yang disampaikan. Dalam pemahaman ini
maka dapat diamati batas antara pengertian “isi” dan “bentuk”. Seni baru
bermakna atau dapat diresapi, jika pada dirinya terkandung kekuatan pesan yang
komunikatif.
1.6.1.2 Konsep Tari
Aktivitas manusia mencakup berbagai macam kegiatan, di
antaranyaadalah seni yang di dalamnya termasuk tari. Fungsi setiap kegiatan seni
tari selalu dilakukan berulang-ulang, seperti upacara perkawinandi Kotacane,
yang merupakan bagian dalam kehidupan sosial. Medium tari adalah tubuh
20
manusia yang digerakkan dan diolah secara komposisi dalam ruang dan waktu
sehingga menjadi suatu gerak tari yang indah.
Berkaitan dengan hal di atas, Soedarsono (1977:17) juga menjelaskan
bahwa tari adalah ekspresi jiwa manusia yang diungkapkan dengan gerak-gerak
ritmis yang indah. Kehadiran tari dalam masyarakat kadangkala sebagai
kesenangan. Seni juga didefinisikan sebagai usaha untuk menciptakan bentuk
yang menyenangkan, baik kesenangan untuk penciptanya sendiri maupun untuk
orang lain. Di samping sebagai kesenangan atau hiburan, kehadiran tari juga
sebagai bentuk pemujaan yang berkaitan dengan religi atau kepercayaan bersifat
sakral atau suci (Hadi, 2007:18).
Tari merupakan karya cipta manusia yang berkembang dari aktivitas
kognitif murni dengan cara-cara yang biasa dipakai di lingkungan tempat seni itu
ada. Oleh karena itu, keberadaan seni telah berakar kuat dalam sebuah kerangka
kerja tentang kehidupan kolektif, dalam bentuk komunitas yang intens sehingga
menambah kekuatan komunikasi dan memperluas maknanya. Keberadaan seni tari
ditempatkan sebagai salah satu unit komponen superstruktur, seni ini tidak
sekadar dilihat realitas empiris saja, tetapi keberadaan seni tari juga berfungsi
ritual (Hadi, 2007:35), seperti tari Guel dalam masyarakat Gayo.
Upacara perkawinan sebagai pengalaman emosi keagamaan, dilakukan
masyarakat sebagai bentuk kepatuhan pada ajaran yang dianutnya. Kehadiran tari
di dalamnya menjadi sarana ungkapan kepercayaan atau keyakinan mereka pada
pemkanaan dari tari, utnuk menguatkan calon pengantin dan seluruh keluarga
dalam menjalaninya.Tari Guel sebagai seni tradisi masyarakat Gayo dalam
21
penelitian ini adalah tari yang mendapatkan pembaruan dalam pelaksanaan
pertunjukan, yang sebelumnya masuk dalam kegiatan adat, kemudian
dikembangkan dan menjadi tari penyambutan pada upacara perkawinan.
Tari Guel adalah salah satu khasanah budaya Gayo di NAD yang berasal
dari dataran tinggi Gayo. Tari Guel adalah tari tradisi yang memiliki aturan-aturan
dalam pertunjukannya, diwarisi secara turun temurun melalui generasi ie genarasi.
Tarian ini telah mengalami perjalanan yang panjang, bertumpu pada pola garapan
tradisi yang kuat, memiliki sifat kedaerahan yang kental dengan pola gerak tari
atau gaya yang dibangun melalui sifat dan karakter gerak yang sudah ada sejak
lama. Tari Guel memiliki kisah panjang yang unik. Kata “Guel” berarti
membunyikan, kata ini diambil dari suara yang dihasilkan oleh pukulan benda-
benda. Para peneliti dan koreografer tari mengatakan tarian ini bukan hanya
sekedar tari. Dia merupakan gabungan dari seni sastra, seni musik dan seni tari itu
sendiri.Dalam perkembangannya, tari Guel timbul tenggelam, namun Guel
menjadi tari tradisi terutama dalam upacara adat tertentu. Guel sepenuhnya
apresiasi terhadap wujud alam, lingkungan kemudian dirangkai begitu rupa
melalui gerak simbolis dan hentakan irama. Tari ini adalah media informative
yang dapat dijelaskan melalui elemen-elemen dalam tarian. Kekompakan dalam
padu padan antara seni satra, musik/suara, gerak, peran, memungkinkan untuk
dikembangkan (kolaborasi) sesuai dengan semangat zaman, dan perubahan pola
pikir masyarakat setempat.
22
1.6.1.3 Suku Gayo
Gayo merupakan salah satu suku yang berada di Propinsi Aceh, yang
tersebar di beberapa kabupaten, memiliki wilayah budaya khas dan berbeda
dengan suku yang ada di Aceh lainnya. Suku Gayo juga memiliki adat budaya
kesukuannya yang sudah dijalankan sejak lama. Bagi masyarakat di luar Aceh,
suku Gayo tidaklah dikenal baik, masyarakat luar lebih mengenal suku Aceh.
Suku Gayo lebih dikenal dari salah satu suku Aceh ataupun suku Karo. Hal ini
dikarenakan suku Gayo memiliki budaya yang berbeda dan wilayahnya
berbatasan langsung dengan kabupaten Karo. Hingga tidak mengherankan apabila
suku ini dikenal dengan suku Karo, dan bagi suku Gayo sendiri, mereka tidak mau
dikatakan sebagai orang Aceh dan untuk menyatakan tentang kesukuannya
mereka disebut dengan suku Gayo.
Suku Gayo terbagai empat sub suku yaitu Gayo Lues, Gayo Deret, Gayo
Lut, dan Gayo Serbajadi. Sebenarnya keempat suku ini adalah satu, yang
membedakannya hanyalah wilayah tempat tinggal. Suku Gayo Lues berada di
Kab. Gayo Lues, suku Gayo Lut (laut) atau disebut Gayo Laut Tawarmendiami
sekitar danau Laut Tawar, Gayo Serbejadi, di daerah sekitar Serbejadi –
Sembuang Lukup,termasuk kedalam daerah Aceh Timur. Manakala suku Alasdi
daerah Alas yang berbatasan dengan daerah Gayo Lues.
Suku Gayo juga menjadi suku yang menerapkan nilai-nilai syariat Islam
dalam berbagai aktivitas kehidupan masyarakatnya, sehingga semua bersifat
Theokrasi (berdasarkan ajaran Islam), baik adat, budaya dan sistem pendidikan
semua berlandaskan Agama Islam. Menurut Mahmud Ibrahim (2007: 19),
23
sebelum agama Islam masuk kedaerah Gayo, masyarakat setempat sebelumnya
menganut animisme. Agama Islam masuk ke Perlak Aceh pada abad ke-8 Masehi,
suku Gayo yang bermukim di sana secara berangsur-angsur mulai memeluk
agama Islam. Dalam menjalani kehidupannya mereka diatur oleh adat, dan agama
termasuk dalam berkesenian. Dalam bentuk kesenian, terdapat perbedaan dan ciri
khusus dari masing-masing suku Gayo, mereka memiliki bentuk-bentuk kesenian
yang menonjolkan dari bentuk busana dengan menggunakan tenunan kerawang
Gayo, pola gerakyang banyak menggunakan tempo lambat, sedang dan cepat
secara serempak. Sehingga penonjolan ini memberikan ciri khas pada bentuk seni
tari, yang memperkaya bentuk kesenian yang ada.
1.6.1.4 Upacara Adat
Menurut Anto Soemarman (2003: 15), bahwa adat merupakan wujud idil
dari kbudayaan yang berfungsi sebagai pengaturan tingkah laku. Dalam
kebudayaannya sebagai wujud idil kebudayaan dapat dibagi lebih khusus dalam
empat yakni tingkat budaya, tingkat noema-norma, tingkat hukum dan aturan-
aturan khusus. Pendapat lain tentang pengertian adat juga dikemukakan oleh
Arjono Suryono (1985: 4) bahwa adat merupakan kebiasaan yang bersifat magis
religius dari kehidupan suatu penduduk asli yang meliputi kebudayaan, norma dan
aturan-aturan yang saling berkaitan dan kemudian menjadi suatu sistem atau
pengaturan tradisional.
Upacara adat tradisional masyarakat merupakan perwujudan dari sistem
kepercayaan masyarakat yang mempunyai nilai-nilai universal yang dapat
24
menunjang kebudayaan nasional. Upacara tradisional ini bersifat kepercayaan dan
dianggap sakral dan suci. Dimana setiap aktifitas masnuia selalu mempunyai
maksud dann tujuan yang ingin bersifat reiligious. Dengan mengacu pada
pendapat ini maka upacara adat tradisional merupakan kelakuan atau tindakan
simbolis manusia sehubungan dengan kepercayaan yang mempunyai maksud dan
tujuan untuk menghindarkan diri dari gangguan roh-roh jahat. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa upacara adat tradisional merupakan satu bentuk tradisi
yang bersifat turun-temurun yang dilaksanakan scara teratur dan tertib menurut
adat kebiasaan masyarakat dalam bentuk suatu permohonan atau sebagai dari
ungkapan rasa terimakasih.
Upacara-upacara adat yang dimiliki suku Gayo sangat beragam dan
berbeda satu dengan lainnya, namun tetap menjalankan konsep adat/syarak opat
sebagai sandaran/pedoman dalam mengatur kegiatan adat yang mereka lakukan.
Kehadiran tari sebagai media dalam pelaksanaannya juga dikarenakan adanya
kesepakatan dari sistem adat serta pemaknaan dari tari itu sendiri, untuk
disertakannya tarian dalam proses kegiatan upacara. Sistem adat yang berlaku
bagi suku Gayo menjadi penguat bagi masyarakatnya untuk melakukan kegiatan,
karena mereka telah menjalankan adat sesuai dengan sisten yang mereka akui,
serta tidak melanggar dari norma-norma agama. Upacara-upacara adat yang ada
dilakukan dengan menyertakan kesenian sebagai bagian dari ritual pelaksanaan,
baik yang dilakukan untuk upacara, ataupun sebagai hiburan bagi mereka sendiri.
Upacara-upacara adat ini menjadi wadah yang tepat dalam menjaga dan
mewariskan bentuk-bentuk kesenian yang ada termassuk tari Guel.
25
1.6.1.5 Konsep Struktur
Secara arti kata, struktur adalah bangunan (teoritis) yang memiliki unsur-
unsur yang saling berhubungan antara satu dengan lain dalam satu kesatuan.
Struktur bisa dikaitkan dengan pengertian struktur sosial atau struktur masyarakat,
dalam pelaksanaan yang menyangkut hubungan yang saling berkaitan,struktural
berusaha untuk mengidentifikasi dan menyusun unit-unit dalam sebuah sistem
untuk menemukan hubungan atau pola “yang lebih mendalam” yang mendasar
suatu kejadian atau serangkaian kejadian. Selain itu sturuktur juga adalah
bagaimana cara suatu masyarakat mengorganisasi hubungan-hubungan yang dapat
diprediksi melalui pola perilaku berulang yang dilakukan individu-individu
maupun kelompok masyarakat. Penjelasan berusaha untuk menyelidiki fenomena
yang mendasar aturan-aturan, prinsip-prinsip, atau konvensiyang menghasilkan
makna permukaan. Sementara itu, fungsi dari struktur adalah sebagai pengawas,
yaitu menjadi media untuk meminimalisasi terjadinya pelanggaran terhadap
norma-nomra, nilai dan peraturan dalam kelompok/masyarakat.
Menurut teori, strukturalisme bekerja dengan sistem makna tertutup yang
elemen-elemennya dapat diperoleh dan dipisahkan menurut beberapa prinsip atau
aturan. Dengan demikian fenomena-fenomena semacam itu dapat dipahami
sebagai sistem penandaan atau simbol yang terbuka untuk dikaji.
Dalam kaitannya dengan tulisan ini, struktur yang dimaksud adalah
merujuk kepada struktur pertunjukan tari dan musik. Struktur mencakup etika
pembawaan tari dan musik, makna tari maupun prosesnya, serta tujuan
pertunjukannya. Penjelasan tentang struktur tari Guel dapat menjelaskan
26
bagaimana keberadaan tari ini pada masyarakatnya, sehingga mereka dapat
memahami kenapa tari Guel harus dan layak untuk dipertunjukan dan
dipertahankan keneradaannya.
1.6.1.6 Konsep Estetik
Keindahan pada dasarnya adalah sejumlah kualitas pokok yang sering
disebut; kesatuan (unity), keselarasan (harmony), kesetangkupan (symmetry),
keseimbangan (balance), dan perlawanan (contrast).Adanya ungkapan rasa
keindahan dan pengaruh psikologis yang dialami para pelaku kesenian, hal ini
merupakan tanggapan keindahan terhadap benda seni tersebut yang tentunya
karena adanya pengalaman estetik yang telah mereka peroleh.“Bangsa Yunani
juga mengenal kata keindahan dalam arti estetis yang
disebutnya “symmetria” untuk keindahan visual, dan harmoniauntuk keindahan
berdasarkan pendengaran (auditif).
Sementara estetika itu sendiri dapat didefinisikan sebagai susunan bagian
dari sesuatu yang mengandung pola. Pola mana mempersatukan bagian-bagian
tersebut yang mengandung keselarasan dari unsur-unsurnya, sehingga
menimbulkan keindahan,(Effendy, 1993). Keindahan juga menyngkut
keseimbangan dan keteraturan ukuran yakni ukuran material, yang melihat dari
unsur-unsur dalam karya tari sebagai ungkapan dari masyarakatnya. Karya seni
menjadi simbol atau lambang yang maknanya harus dapat ditemukan dan dikenali
oleh penggemar seni itu yang didasarkan pada pengalaman. Dengan kata lain
sebuah karya seni dilihat tidak hanya dari sisi bentuknya saja, melainkan
27
keseluruhan dari elemen yang ada merupakan ungkapan dari masyarakat pemiliki
karya tersebut. Sehingga estetika terbentuk dari pemahaman masyarakatnya, dan
dilihat dengan bagaimana kita dapat mersakannya. Dengan demikian keindahan
berkembang sesuai penerimaan masyarakat terhadap ide yang dimunculkan oleh
pembuat karya, oleh karena dalam melihat keindah sebuah karya dapat dilihat dari
isi tarian yang melatar belakanguinya dan bentuk/wujud dari karya tari tersebut.
1.6.2 Teori
Landasan teori ini akan difungsikan untuk mempertajam analisis untuk
mengembangkan kepekaan atas fenomena di dalam eksistensi tari Tari Guel
dalam kesatuan seni pertunjukan Tari Guel. Dengan demikian di dalam penelitian
ini tidak dimaksudkan untuk menguji maupun membuktikan suatu teori,
melainkan sebagai alat untuk memaknakan realitas dan data yang tengah dihadapi
dan dikaji agar mampu menganalisis dengan penuh kritik (Strauss, 1990: 23,
Hadi 2006: 50). Adapun penelitian Struktur Simbolik Tari Tari Guel pada
pertunjukan Dramatari Tari Guel, menggunakan pendekatanstrukturalisme, yang
pertama struktur gerak tari dari Kaepleer, dan yang kedua strukturalis Levi
Strauss.
Menurut Budiman (1999: 111-112), strukturalisme adalah cara berpikir
tentang dunia yang secara khusus memperhatikan persepsi dan deskripsi mengenai
struktur, yaitu di dalamnya akan menitikberatkan pada usaha mengkaji fenomena
seperti mitos, ritual, relasi-relasi kekerabatan dan sebagainya. Disamping itu,
strukturalisme memandang beberapa dokumen sebagai obyek fisik aktual atau
28
tersusun secara konkrit, sebagai “teks”, fenomena teoritis yang dihasilkan oleh
definisi-definisi dan operasi-operasi teoritis (Foucoult, 1973: 47). Strukturalisme
berusaha untuk mengidentifikasi elemen-elemen menyeluruh melalui prosedur-
prosedur sistematis, dimana metode analisis adalah strukturalis ketika makna,
menurut obyek yang dianalisis, diambil bergantung pada susunan bagian-
bagiannya. Strukturalisme pada esensinya adalah sebuah metode komparatif,
sebab strukturalisme berusaha menemukan isomorfim dalam dua atau lebih isi.
Sekali unit-unit, bagian-bagian, atau elemen-elemen itu dipisahkan secara analitis,
mereka dapat digabungkan, digabungkan ulang, dan ditransformasikan untuk
menciptakan model-model baru.
Penjelasan struktural berusaha untuk mengidentifikasi dan menyusun unit-
unit dalam sebuah sistem untuk menemukan hubungan atau pola “yang lebih
mendalam” yang mendasar suatu kejadian atau serangkaian kejadian. Penjelasan
berusaha untuk menyelidiki fenomena yang mendasar aturan-aturan, prinsip-
prinsip, atau konvensi yang menghasilkan makna permukaan. Menurut teori,
strukturalisme bekerja dengan sistem makna tertutup yang elemen-elemennya
dapat diperoleh dan dipisahkan menurut beberapa prinsip atau aturan. Dengan
demikian fenomena-fenomena semacam itu dapat dipahami sebagai sistem
penandaan atau simbol yang terbuka untuk dikaji.
1.6.2.1Teori Struktur Gerak Tari Andrienne Kaeppler
Gyorgy Martin dan Erno Pesovar meneliti tarian dengan tujuan untuk
pendokumentasian. Hasil penelitiannya berupa pengklasifikasian gerak. Berpijak
29
dari hasil penelitian tersebut, Andrienne Kaeppler menyusun sebuah teori struktur
gerak tari dengan menganalogikan gerak tari sebagai struktur bahasa atau
sebanding dengan fonem dalam bahasa. Dalam analisis struktural tari itu pada
tingkat pertama Kaeppler menyebut unsur atau elemenkinetic (gerak); tingkat
kedua menggunakan istilah kinemic atau, morphokinemic, yaitu berdasarkan
gerak yang sudah dikenal, artinya unit terkecil yang rnemiliki makna dalam
struktur sebagai sistem gerak; tataran atau tingkat ketiga dengan istilah ,motifs,
yaitu mengkombinasikan unit-unit terkecil dengan cara khusus sebagai gerak tari
sesuai dengan konteks budayanya. Tingkat keempat atau terakhir dalam organisasi
gerak tari itu disebut struktur tari secara utuh (lihat Royce, 1977: 64-85, Hadi,
2007: 81-84).
Bandingkan teori Kaeppler tersebut dengan teori strata dari Rene Wellek,
yang menyatakan bahwa sesungguhnya karya sastra itu terdiri dari struktur norma
yang berlapis-lapis yang di sebut strata. Lapisan norma yang di atas,
menyebabkan lapisan, norma yang di bawahnya. Lapisan norna yang pertama
adalah lapisan bunyi (sound stratum), lapisan bunyi ini menimbulkan lapisan
norma kedua yang disebut arti (unit of meaning), pada lapis kedua ini, tiap-tiap
kata tunggal mempunyai makna sendiri yang kemudian bergabung di dalam
konteks yang melahirkan frase dan seranjutnya melahirkan pola-pola kalimat.
Lapisan kedua ini menimbulkan, lapisan ketiga (di bawahnya) yang disebut dunia
ciptaan seorang pengarang (Wellek, 1956: 151-153).
Fenomena tari dapat dilihat sebagai fenomena kebahasaan karena
keberadaan tari pada dasarnya adalah ekspresi, perwujudan, atau simbolisasi dari
30
pandangan atau perasaan-perasaan manusia. Pandangan dan perasaan ini ingin
dikomunikasikan, disampaikan kepada orang lain (penonton). Jadi pertunjukan
tari sebenarnya adalah juga wahana komunikasi seperti bahasa. Suatu tarian dapat
dijelaskan sebagai suatu totalitas dimana elemen-elemen strukturalnya
mempunyai pola tata urutan tertentu sesuai dengan konteks budayanya.
Sebagai materi baku dan paling mendasar di dalam tari adalah gerak.
Gerak tersebut dipergunakan sebagai media untuk mengungkapkan ekspresi dan
mediumnya adalah tubuh manusia. Ungkapan ekspresi melalui gerak tersebut
merupakan suatu pernyataan imajinatif yang dituangkan dalam bentuk simbul-
simbul. Karena simbul-simbul ini berupa gerak, maka di dalam kontek koreografi,
gerak merupakan sesuatu yang sangat esensial. Sedangkan perwujudan simbul-
simbul merupakan kemanunggalan dari pola imajinasi manusia dengan kenyataan
indrawi atau kasat mata. Gerak dapat berfungsi tidak saja karena koordinasi
berbagai factor, tetapi juga karena fungsi ritmis dari struktur tubuh. Atas dasar
gerak-gerak alamiah yang tidak perlu dilatih, gerak tari berkembang menuju
bentuk perwatakannya dan nilai ekspresifnya.
Dalam struktur gerak tari, gerak dibaca sebagai teks, yang memiliki
tataran hirarki sebagaimana strutur bahasa. Tataran yang tertinggi dalam hirarki
struktur kebahasaan dapat dikatakan sebagai bentuk atau wujud karangan. Identik
dengan itu, struktur teks tari tersusun dari gerak yang diwujudkan untuk
menghasilkan “bentuk” secara keseluruhan? Kata “bentuk” dipakai oleh semua
cabang seni untuk menerangkan sistem di dalam kehadiran cabang seni. Gagasan
atau emosi menjadi terwujud jika dikomunikasikan lewat bentuk. Bentuk adalah
31
aspek estetis yang dikomunikasikan dan dilihat secara visual oleh penonton.
Penonton tidak melihat elemen-elemennya tetapi melalui kesan yang mengikat
secara menyeluruh. Hal ini relevan khususnya buat seni waktu seperti musik,
teater, dan tari.
Bentuk sesungguhnya dapat didefinisikan sebagai hasil pernyataan
berbagai macam elemen yang didapatkan secara kolektif melalui vitalitas estetis.
Dengan demikian hanya dalam pengertian inilah elemen-elemen tersebut dihayati
keseluruhan menjadi lebih besar dari jumlah bagian-bagiannya. Proses penyatuan
dimana bentuk yang dicapai tersebut dinamakan komposisi. “Bentuk” merupakan
sesuatu yang dapat dibedakan dari materi yang ditata (Smith, 1985: 6). Bentuk tari
merupakan hasil keseluruhan di dalam koreografi. Dengan demikian, bentuk
adalah wujud dari rangkaian-rangkaian gerak atau pengaturan laku-laku. (Elfeldt,
1967). Rangkaian-rangkaian gerak yang dimaksud adalah keselarasan hubungan
antara motif gerak satu dengan motif gerak yang lainnya, secara hirarkis atau
susunan yang berjenjang (Wido, 1992: 9).
1.6.2.2 Teori Estetika
Keindahan adalah susunlah kualitas atau pokok tertentu yang didalamnya
terdapat beberapa unsur yaitu; adalah kesatuan (unity) keselarasan (harmony)
kesetangkupan (symmetry) keseimbangan (balance) dan pertentangan (contrast).
Kesemuanya ini saling terkait di dalam sebuah karya yang dihasilkan oleh
manusia.
32
Keindahan atau estetika berasal dari kata Aesthetica dari bahasa Yunani yang
berarti ha-halyang dapat diserap dengan panca indra.Selanjutnya Gie menjelaskan
bahwa keindahandalam seni mempunyai hubungan yang eratdengan kemampuan
manusia menilai karya seni tersebut. Kemampuan ini dalam filsafat dikenal
dengan cita rasa. Sasaran estetika menurut Gie adalah indah dan jeleknya sesuatu
menurut ukurang atau norma estetika tertentu dalammasyarakat.
Dua pengertian nilai dalam estetika merupakan dua kutub yang
berseberangan, sejalan dengan pengertian moral yang mengenal pengertian baik
dan buruk. Antara estetika dan keindahan dalampandangan filsafat dan pendangan
umum adalah sesuatu yang berhubungan dengan gejala yangindah, baik keindahan
alam maupun kindahan seni. Menurut asal katanya indah itu berasal dari bahasa
Yunani ”bellum” yang artinya kebaikan.
Menururt cakupannya orang harus membedakannya antara keindahan
sebagai suatu kualitas abstrak dengan sebuah benda tertentu yang kelihatan indah.
Bellum merupakan keindahan yang berhubungan dengan kualitas yang abstrak,
yang merupakan kebaikan Yang terdapat pada suatu benda tertentu yang
memunculkan nilai estetika yaitu kebaikan. Aristoteles dalam Dharsono (2004: 2)
merumuskan keindahan sebagai sesuatu yang baik juga menyenangkan.
Selanjutnya Socrartes dalam Dhasono (2004: 11) mengambil pandangan klasik
Yunani tentang hubungan seni dengan keindahan, maka Socrates menyatakan
keadaan bentuk dari suatu hal atau benda yang bersifat obyektif. Kemudian Lipps
menyatakan pendapatnya dalam Dharsono juga bahwa keindahan ditentukan oleh
keadaan perasaan (sabyektif) atau pertimbangan salera daripengamat.
33
Djelantik (1990: 14) menyatakan bobot berkaitan dengan isi suatu barang.
Kesenianbukan hanya berkaitan dengan apa yang dilihat, akan tetapi meliputi juga
apa yang dirasakan dan dihayati terhadap isi dari kesenian itu. Jadi suatu bentuk
kesenian seperti tari dapat diamati. Dalam bentuk tari primitif, keindahan tidak
diukur dari keindahan bentuk, gemulainya postur tubuh penari, keserasian dan
kontrsa-kontras desain. Tetapi suasana yang tercipta sebagai bentuk pengabdian
seni itu terhadap suatu ritur tertentu. Maka keindahan yang muncul sebagai nilai
adalah terciptanya suatu kemanunggalan bentuk (seni tari tersebut) dengan situasi
ritus. Kekhususkan, kehikmatan, dan leburnya penari sebagai sebuah media
pengucapan doa. Dengan demikian pendekatan konstruktif koreografis tidak dapat
dipergunakan.
Beragam hal dapat dijadikan sebagai sumber dalam penggarapan karya
tari, yang kadanag adakalanya menganggap bahwa tubuh yang gemetar atau
kesurupan melambangkan keindahan, dinamisasi tubuh dan jika diolah dalam
sebuah kajian pertunjukan panggung (performance art) maka dapat ditemui
eksotika tubuh yang sangat indah karena tubuh yang mengalami langsung
kegelisahan menguasai posisi, yang terus menatap setiap gerakan dan tindakan.
Dalam proses sebuah penggarapan tari di Aceh khususnya suku Gayo menggali
sumber gerak dari kehidupan masyarakat dengan mengkaitkannya dengan alam,
yang telah dikenal secara turun temurun dari leluhurnya. Bagi masyarakat Gayo
dikenal cerita tentang pencarian seekor Gajah dan merupakan cerita dari satru
keluarga, yang menjadi sumber inspirasi gerak dari beragam pertunjukan tari yang
telah diciptakan oleh beberapa sanggar di Kotacane.
34
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji secara mendalam fenomena
seni pertunjukan yang berkaitan dengan ideology masyarakat pendukungnya.
Dengan demikian di dalam prosesnya, secara seksama peneliti akan terlibat secara
penuh di lapangan. Data yang di kumpulkan di lapangan bersifat holistik
diantaranya: gerak tari Tari Guel secara khusus dan gerak tari pada Tari Guel
secara keseluruhan, mempelajari macam ritual yang berkaitan langsung dengan
kehidupan Tari Guel, kaitan vocal/lagu dalang dengan gending, musik pengiring
dan suasana dramatik, serta makna filosofi yang menjadi satu kesatuan ideologi
kehidupan Tari Guel. Dengan demikian proses penelitian yang dilakukan
mempertimbangkan penetapan lokasi dan objek kajian, strategi pengumpulan
data, teknik pencermatan data dan teknik penyusunan laporan secara cermat.
Fokus perhatian dalam penelitian ini adalah tari Guelpada masyarakat
Gayo yang berada di Kabupaten Aceh Tengah. Penelitian ini mengkaji teks tari
(bentuk, struktur), konteks tari (makna simbolis), dan hubungan di antara
keduanya. Di dalam teks tari terdapat bentuk dan struktur gerak. Bentuk dan
struktur gerak ini mempunyai kandungan makna dalam teks tari Guel. Kemudian,
setiap simbol-simbol tersebut mengandung makna penting dalam konteks
masyarakat dan menjadi awal hadirnya hiburan pada saat acara pernikahan.
Hubungan antara teks dan konteks inilah yang menguatkan kesenian Guel,
sehingga mampu untuk bertahan dan eksis di dalam masyarakat di tengah
gelombang modernisasi. Bahkan, nama Guel kemudian telah identik dengan khas
Daerah Gayo.
35
Menjawab permasalahan hadirnya tari Guel digunakan pendapat Janet
Wolf dalam bukunya berjudul The Social Production Of Art tentang aspek
kesejarahan dan dibantu dengan teori sejarah dan ilmu-ilmu sosial lainnya.
Dikatakan bahwa perkembangan seni tidak bisa terlepas dari masyarakat
pemiliknya (seni produk masyarakat) (Janet Wolf dalam Slamet, 2012:19).
Menjawab tentang alasan hadirnya tari Guel, digunakan pendapat dari
Talcott Parson dalam Harsja W. Bachtiar dalam Birokrasi dan Kebudayaan buku
Persepsi Masyarakat Tentang Kebudayaan (Editor Alfian) yang menyatakan
Kebudayaan merupakan suatu sistem menyeluruh yang terdiri dari cara-cara dan aspek-aspek pemberian arti pada laku ujaran, laku ritual, dan berbagai jenis laku atau tindakan lain dari sejumlah manusia yang mengadakan tindakan antar satu dengan lain. Unsur terkecil dari sistem ini, yang biasanya dinamakan sistem budaya, adalah simbol sehingga kebudayaan bisa juga ditanggapi sebagai suatu sistem simbol. Sistem simbol ini terdiri dari empat perangkat yaitu, simbol-simbol konstitutif yang terbentuk sebagai kepercayaan-kepercayaan dan biasanya merupakan inti dari agama, simbol-simbol yang membentuk ilmu pengetahuan, simbol-simbol penilaian moral yang membentuk nilai-nilai dan aturan-aturan, dan terakhir simbol-simbol pengungkapan perasaan atau simbol-simbol ekspresif (Alfian, 1985:66). Menjawab tentang permasalahan koreografi digunakan konsep Y.
Sumandiyo Hadi tentang koreografi kelompok dan di bantu dengan teori laban
tentang efford dan shape. Y. Sumandiyo Hadi (2003), menjelaskan bahwa struktur
elemen koreografi dapat dilihat melalui tujuh tahap yaitu sebagai berikut.
Orientasi garapan menjelaskan dasar pijakan dan arah pengembangan dari garapan tari itu, sedang dasar pemikiran akan memberikan keterangan tentang konsep-konsep garapan tari yang meliputi aspek-aspek atau elemen-elemen koreografi antara lain, gerak tari, ruang tari, iringan/musik tari, judul tari, tema tari, tipe/jenis/sifat tari, mode atau cara penyajian, jumlah penari, jenis kelamin dan postur tubuh, tata rias, tata busana, tata
36
cahaya atau stage lighting, dan properti tari atau perlengkapan lainnya (Hadi, 2003:85-86).
Tari Guel merupakan tarian kelompok yang ditarikan oleh lebih dari empat
orang. Tarian ini fokus kepada kemampuan kelompok, bukan kepada individunya.
Untuk itu dibutuhkan kerjasama, saling ketergantungan atau terkait satu sama
lainnya, agar menjadi satu kesatuan yang kompak. Menurut Y.Sumandiyo Hadi
dalam bukunya Koreografi Bentuk-Tekhnik-Isi.
Pendekatan koreografis baik menyangkut masalah bentuk, tekhnik dan isi sangat berhubungan dengan aspek-aspek koreografi kelompok seperti aspek jumlah penari dan jenis kelamin, aspek motif gerak, aspek struktur ruang, dan aspek struktur waktu ( Y.Sumandiyo Hadi, 2011:81). Berkaitan dengan penjelasan di atas mengenai bentuk dan struktur elemen
koreografi pada tari Guel, di dalam pembahasan nantinya akan dijelaskan dan
memilah-milah bagian tersebut. Pembahasan mengenai bentuk dan struktur
elemen koreografi ini akan di bahas pada bab 3.
Menjawab pemaknaan bentuk tari Guel digunakan teori dari Desmond
Moris dalam buku yang berjudul Manwaching : A Field Guide To Human
Behavior yaitu tentang perilaku, yang dapat dipahami setiap perilaku manusia
mengandung makna atau tanda. Disebutkan bahwa, dalam kaitannnya tantang tari
Guel digunakan model analisis tentang religi display, yes or no, status display,
dan clothing display.. Makna gerak yang berkaitan dengan tari Guel dijelaskan
sebagai berikut.
Religious display, Status display, Yes no signal, dan Clothing signal. Religious display : menjelaskan tentang keagamaan, tentang tingkah laku, berkelakuan, dan bergerak. Status display :
37
menunjukkan status sebagai penggabaran dalam hal ini makna duabelas yang dianggap mempunyai peranan penting dalam masyarakat desa Seuneulop. Yes no signal : menjelaskan apakah itu suatu tanda apa tidak. Clothing signal : menjelaskan tentang busana atau kostum yang dipakai pada saat penampilan. Kostum yang seperti apa dibutuhkan (Desmond Moris, 1997:63-213).
Kemudian untuk menjelaskan mengenai makna simbolis tari Guel di
Kabupaten Aceh Tengah, menggunakan teori yang dikemukakan oleh Allegra
Faller Syneder judul Dance Symbol. Di dalamnya menjelaskan bagaimana “proses
yang terjadi di dalam masyarakat kemudian terwujud ke dalam bentuk (teks)
sehingga menjadi simbol”. Penjelasan oleh Allegra Faller Syneder secara
keseluruhan berbicara mengenai konteks (simbol) menjadi wujud (teks). Berkaitan
dengan simbol-simbol (Jazuli, 2013) kesenian melalui simbol-simbol yang ada
merupakan sebuah fenomena kebudayaan yang di dalamnya memiliki fungsi dan
peran untuk menyampaikan berbagai pesan, gagasan, dan nila-nilai budaya (M.
Jazuli, 2013 :157).
1.7. Metode Penelitian
Metodologi penelitian merupakan ilmu yang mempelajari tentang metoda-
metoda penelitian, dan ilmu tentang alat-alat dalam penelitian. Di lingkungan
filsafat, logika dikenal sebagai ilmu tentang alat untuk mencari kebenaran. Bila
ditata dalam sistematika, metodologi penelitian merupakan bagian dari
logika.Secara umum metode penelitian diartikan sebagai cara ilmiah untuk
mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Menurut Sugiono
(2009:3) menyatakan bahwa : “Setiap penelitian mempunyai tujuan dan kegunaan
38
tertentu. Secara umum tujuan penelitian ada tiga macam yaitu yang bersifat
penemuan, pembuktian, dan pengembangan”. Penemuan berarti data yang
diperoleh dari penelitian itu adalah data yang betul-betul baru yang sebelumnya
belum pernah diketahui. Pembuktian berarti data yang diperoleh itu digunakan
untuk membuktikan adanya keraguan terhadap informasi dan pengetahuan
tertentu, dan pengembangan berarti memperdalam dan memperluas pengetahuan
yang ada.
Dari pendapat diatas peneliti menyimpulkan bahwa metode penelitian
merupakan suatu proses mencari sesuatu dengan menggunakan metode ilmiah
serta aturan yang berlaku secara sistematis dalam beberapa waktu tertentu. Pada
penelitian ini peneliti menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan
kualitatif, karena dapat memberikan keterangan yang akurat dan jelas sesuai yang
dibutuhkan. Menurut Surachmad (1990 : 18) tujuan penggunaan metode deskriptif
kualitatif adalah :
1. Mencari informasi yang bersifat fakta secara mendetail
2. Mengidentifikasi masalah-masalah untuk mendapatkan penelitian terhadap
keadaan yang sedang berlangsung
3. Membuat perbandingan dan penelitian
4. Mengetahui apa yang dikerjakan orang lain dalam menangani suatu masalah
atau situasi yang sama agar dapat dipelajari dalam membuat perencanaan dan
pengambilan keputusan di masa depan.
Berdasarkan pemahaman di atas,penelitian ini dimaksudkan untuk
mengkaji secara mendalam fenomena seni pertunjukan yang berkaitan dengan
39
ideology masyarakat pendukungnya. Dengan demikian di dalam prosesnya, secara
seksama peneliti akan terlibat secara penuh di lapangan. Data yang di kumpulkan
di lapangan bersifat holistik diantaranya: gerak tari Tari Guel secara khusus dan
gerak tari pada Tari Guel secara keseluruhan, mempelajari macam pertunjukan
yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh
Tengah, Tari Guel, kaitan vocal/lagu dengan musik pengiring dan suasana
dramatik, serta makna filosofi yang menjadi satu kesatuan ideologi kehidupan
Tari Guel. Dengan demikian proses penelitian sudah dilakukan sebelum seminar
proposal hingga penyelesaian tulisan ini, mencakup tentang pendekatan yang
digunakan, pertimbangan penetapan lokasi dan objek kajian, strategi
pengumpulan data, teknik
Pencermatan data dan teknik penyusunan laporan secara cermat. penelitian
ini dilakukan di Kabupaten Aceh Tengah. Dengan menggunakan penelitian
kualitatif pendekatan etnokoreologi dan metode yang dipakai dalam penelitian ini
adalah etnografi tari. Pendekatan etnokoreologi inilah sebagai payung utama
dalam penelitian.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ialah penelitian
kualitatif dengan menggunakan pendekatan etnokoreo-logi. Penelitian ini pula
memakai metode interpretative deskripstif, yaitu peneliti berhubungan langsung
dengan masyarakatnya (observasi partisipatif), yaitu di Dinas Pariwisata dan
Sanggar Kabupaten Aceh Tengah. Dalam pendekatan etnokoreologi pada
penelitian ini menggunakan Kurath dalam R.M Pramutomo. Gerturd Kurath
40
menjelaskan ada tujuh hal yang harus dilakukan di dalam metode penelitian
dengan pendekatan etnokoreologi.
Menurut Kurath dalam R.M Pramutomo ada tujuh tahapan dalam penelitian mengenai tari. (1) penelitian lapangan, (2) Laboratory study, (3) memberikan penjelasan gaya tari dan ragamnya, (4) peneliti menampilkan tari-tarian yang diteliti dalam bentuk gambar, (5) gambar kemudian dianalisis, dipilah-pilah menjadi gerak dasar, (6) peneliti membuat sintesis atau dan kata-kata, yang telah diperolehnya hingga membentuk tarian yang lengkap, (7) membuat kesimpulan (Pramutomo 2007:92).
Pendekatan etnokoreologi dengan menggunakan metode dari Kurath ini
merupakan hal yang tepat dalam melakukan penelitian nantinya.
1.7.1 Populasi dan sampel penelitan
1.7.1.1 Populasi penelitian
Pertimbangan Penetapan Lokasi dan Objek Kajian Penetapan lokasi dan
obyek kajian ditentukan melalui alasan-alasan yang mendasar diantaranya,
pertama ketertarikan peneliti terhadap tema obyek kajian (Tari Guel, yang
mengkhususkan pada tari Tari Guel), kedua, jangkauan teoritik yang mampu
dibangun, ketiga, kedekatan lokasi dan hubungan yang harmonis informan dengan
peneliti dan keempat kecukupan waktu dan dana. Maka penelitian ini menetapkan
lokasi di kota Takengon, Kabupaten Aceh Tengah, dengan mempertimbangkan
faktor-faktor sebagai berikut:
a. Tari Guelmenjadi materi yang sering ditampilkan dalam berbagai
kesempatan, terutama pada acara perkawinan, yang menempatkan tari
Guel di awal acara sebagai penyambutan pada pengantin pria.
41
b. Kegiatan-kegiatan pemerintahan, lembaga, dan masyarakat sendiri yang
menyelenggarakan berbagai acara yang bertujuan untuk membina
regenerasi dan merupakan suatu keterikatan moral untuk masyarakatnya.
c. Pewarisan tari dengan membentuk kelompok-kelompok tari yang
mengajarkan dan mengembangkan tari Guel serta tari tradisi Gayo lainnya.
1.7.1.2 Subyek penelitian dan lokasi penelitian
Subyek penelitian yang dipilih dalam penelitian ini, adalah para pemangku
tradisi yang memiliki kredibilitas di dalam Tari Guel. Mereka dipilih dan
ditetapkan sebagai informan kunci (key informants) yang banyak memiliki
pengetahuan luas dan mendalam, dalam hal ini dipilih subyek penelitian yang
kaya akan informasi (information rich) yang secara langsung terlibat di dalam
kehidupan pertunjukan Tari Guel, yang meliputi, pewaris aktif (active bearer)
penari, tokoh masyarakat, termasuk musik iringan Tari Guel, seniman yang
dipandang konsisten di dalam pelestarian dan pengembangan tari Guel khususnya
baik secara teknik maupun kedalaman makna simbol-simbol pada pertunjukan
Tari Guel, dan penonton/penyelenggaradari pertunjukan Tari Guel. O
Sungguhpun demikian, jumlah informan dan responden sesuai dengan
konteks informasi yang hendak digali, tidak terbatas tergantung dari sejauh mana
data yang mereka kemukakan itu sudah jenuh (saturation). Artinya bahwa hal-hal
yang mereka sampaikan bukanlah suatu hal yang bersifat baru lagi, atau
cenderung mengulang saja, tetapi juga mengoptimalkan dan memfokuskan seleksi
sampel secara berkelanjutan (Muhadjir 1989: 134-135). Sehingga pemilihan
42
informan menjadi hal yang penting untuk mendapatkan data-data yang valid,
walaupun kebaruan belum dapat ditentukan secara pasti.
1.7.2 Teknik pengumpulan data
Sesuai dengan karakteristik penelitian kualitatif, pengumpulan dan analisis
data dilakukan secara simultan di lapangan penelitian, dengan maksud untuk
memperoleh kedalaman dari pada keluasan cakupan penelitian. Strategi untuk
memperoleh informasi atau data yang akurat, dapat dipercaya dan sesuai dengan
tujuan penelitian, ditempuh melalui pentahapan kegiatan sebagai berikut;
Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi partisipasi yaitu, peneliti
bersikap sebagai participant as observer, berusaha masuk (getting in) menjadi
partisipan dari masyarakat subyek penelitian, sehingga memungkinkan
mendapatkan kepercayaan sebagai bagiannya. Dengan posisi ini peneliti mencoba
memahami seting dengan menggali dan mengumpulkan bahan empirik untuk
mengungkap permasalahan secara tuntas. Melalui observasi secara menyeluruh,
perhatian diarahkan kepada seluruh bentuk penghayatan aktivitas perilaku budaya
Tari Guel sebagai fokus penelitian. Oleh karena itu keberadaan individu dalam
berbagai kegiatan, seperti beberapa kegiatan latihan, kegiatan pementasan
bersama dengan masyarakat pengikutnya. Semua hasil aktivitas tersebut direkam
atau dicatat secara maksimal untuk memahami tindakan, reaksi, dan semua yang
mereka konstruksi dalam kelompok itu.
Cara observasi ini tidak hanya berambisi mengumpulkan data dari sisi
kuantitasnya, tetapi juga berusaha memperoleh pemahaman yang lebih mendalam.
43
Pengalaman pengumpulan data primer diperoleh melalui wawancara dengan
informan dan responden secara mendalam (in-depth). Wawancara secara
mendalam, dengan menggunakan pedoman dan tehnik wawancara untuk setiap
pertemuan dengan para informan dan respondent, semua dialog itu tidak hanya
dilakukan secara tertulis terstruktur, tetapi juga menggunakan rekaman (MP
recorder) secara informal, spontan dalam bentuk dialog, dengan atau tanpa
perjanjian lebih dulu untuk mendapatkan realitas senyatanya. Oleh karena itu
sengaja peneliti tidak menentukan “satu waktu” ketika berkunjung ke lapangan,
bisa siang, sore atau malam hari. Hal ini dilakukan dengan maksud agar
memperoleh data yang akurat, karena waktu-waktu yang dipilih memiliki karakter
yang spesifik untuk menggali data.
Untuk menjaring data yang berupa visual, seperti pengamatan pergelaran,
ritual, pengamatan struktur gerak dan tata busana, serta perilaku perilaku lain dari
subyek penelitian, dilakukan dengan dua cara, pertama menggunakan alat bantu
rekaman, seperti kamera foto, kamera video, MP4, dan yang kedua dengan
menggunakan rekaman manual alat-alat tulis. Dengan demikian kemanapun
peneliti pergi selalu membawa MP4 kecil yang sewaktu-waktu dapat merekam
suara/pembicaraan apa saja, wawancara dengan siapa saja secara non formal,
bahkan bersifat spontanitas, dalam situasi apa saja. Tentu saja ini sangat
bermanfaat jika topiknya menyangkut hal ikhwal Tari Guel, lebih-lebih informasi
baru, sehingga bola salju terus menggelinding semakin membesar. Wawancara
semacam ini oleh Miles & Huberman (terj. Rohendi, 1992) dinamakan wawancara
“jalan belakang”.
44
Pengumpulan data yang lebih bersifat sekunder didapatkan dari teknik
dokumentasi berupa studi pustaka, arsip/dokumen dan berbagai macam laporan
yang ada di perpustakaan, maupun beberapa koleksi pribadi teman sejawat yang
berhubungan dengan penelitian yang dilakukan. Teknik ini digunakan sebagai
pendukung dan pelengkap data yang didapatkan dengan teknik sebelumnya seperti
wawancara dan observasi langsung di lapangan. Pengumpulan data yang
dilakukan dengan berbagai macam teknik ini sesuai dengan kebutuhan, namun
tetap menggunakan prinsip cek dan recek, atau sering disebut dengan triangulasi
baik sumber maupun metodenya (Moleong, 1993: 178). Triangulasi sumber
berfungsi untuk membandingkan hasil pengamatan dengan wawancara, dan yang
dikatakan di depan umum dengan yang dikemukakan secara pribadi. Sedangkan
triangulasi metode digunakan untuk mengecek kembali tingkat
kepercayaa/penemuan hasil penelitian dengan teknik pengumpulan data dari
beberapa subyek penelitian dengan metode yang sama.
Di samping, triangulasi sumber dan metodenya, triangulasi ini dirasa
penting bagi peneliti (investigator triangulation) yang digunakan untuk
menempuh langkah penarikan diri atau disebut (withdrawl) (Denzin dan Lincoln,
1994: 231). Metode ini dilakukan digunakan untuk mengatasi bias peneliti, baik
bias kepentingan maupun bias nilai yang biasa terjadi dalam penelitian kualitatif
yang bersifat pemihakan, sehingga semua data yang dikumpulkan lebih obyektif,
terhindar dari kemungkinan pengungkapan makna yang tidak sesuai dengan
realitas senyatanya.
45
1.7.3 Teknik analis data
Setelah prose pengumpulan data, maka data-data yang terkumpul selama
penelitian berlangsung, dianalisis setiap waktu secara induktif dengan mengolah
bahan empirik (synthesizing). Hal ini bertujuan untuk memudahkan dalam proses
analisis yang mudah dibaca, dipahami, dan diinterpretasikan. Interpretasi data
yang bersifat kualitatif dimaksudkan guna mencari makna dan implikasi hubungan
yang ada.
Proses analisis dimulai dengan merumuskan sejumlah permasalahan ke
dalam beberapa pertanyaan yang dijadikan tujuan penelitian. Beberapa pertanyaan
yang menjadi permasalahan utama telah dikemukan dalam perumusan masalah,
tetapi pertanyaan-pertanyaan khusus dapat digali melalui wawancara bebas, atau
observasi lapangan, sehingga dapat mengumpulkan ungkapan kognitif, emosional
atau intuisi dari para pelaku atau aktor yang terlibat (Hadi, 2006: 78-80). Data
tersebut diusahakan dirangkum secara diskriptif untuk membantu menemukan
konsep-konsep yang diungkapkan oleh subyek penelitian sendiri sesuai dengan
realitasnya (Patton, 1990: 390). Dengan cara ini akan dapat menyajikan realitas
yang sebenarnya nyata (emik) sebagaimana yang diharapkan dalam penelitian
kualitatif.
Pemaparan, adalah menyajikan data yang telah direduksi dalam bentuk
bahan yang diorganisir melalui ringkasan terstruktur, diagram, matrik maupun
sinopsis dan beberapa teks. Dengan cara ini dapat membantu menyusun analisis
yang dikehendaki, dan diarahkan kepada supaya merumuskan temuan konsep.
Tahap penarikan kesimpulan dan verifikasi, dugunakan untuk menyusun
46
penafsiran makna dari sajian/pemaparan data, kemudian memverifikasikannya.
Untuk meyakinkan kesahihan hasil penarikan kesimpulan, maka diperlukan
tinjauan atau periksa ulang hasil verifikasi dengan melihat kembali ke lapangan,
mendiskusikan secara informal maupun formal melalui seminar atau sarasehan.
Diharapkan dengan menggunakan cara ini hasilnya benar-benar dapat teruji
sehingga memiliki derajad kredibilitas, transferabilitas, dependabilitas, maupun
tingkat konfirmabilitas sepertyang telah disebutkan terdahulu. Perhatikan skema
langkah proses analisis di atas.
Semua data yang diperoleh di lapangan di catat kemudian diolah dan di
analisis dengan teliti. Hasil olahan data dan analisis tersebut dijadikan sebagai
bahan tulisan, agar nantinya dapat ditemukan Bentuk yang dirumuskan dan dari
hasil rumusan tersebut dapat di ingat menjadi suatu teori baru. Selanjutnya hasil-
hasil pengolahan dengan analisis data tersebut disusun secara sistematis dengan
tekhnik deskriftif kualitatif, yang bersifat analisis secara sistematis dengan teknik
deskriftif kakualitaif yang bersifat analisis secara rinci, sehingga hasilnya dapat di
lihat dalam suatu bentuk laporan ilmiah atau Tesis.
1.8 Sistematika penulisan
Tesis ini ditulis dalam bentuk bab demi bab. Setiap bab secara saintifik
dianggap memiliki isi yang dekat, setiap bab akan dibahagi menjadi sub-sub bab.
Secara keseluruhan tesisi ini di bagi kedalam lima bab, dengan perincian sebagai
berikut.
47
Pada Bab I bab pendahuluan, yang diisi dengan uraian mengenai
Permasalahan, tujuan penelitian, manfaat, kajian pustaka, konsep dan landasan
teori berupa kajian literatur dari berbagai sumber /referensi baik secara tertulis
maupun wawancara, dan teori yang menjadi panduan dalam tesis dengan
menggunakan teori Bentuk, teori etika, dan teori Struktur,
Bab II adalah etnografi masyarakat Gayo umumnya dan Gayo khususnya
di Takengon Bab ini terdiri dari beberapa sub bab, yaitu Aceh dan Kebudayaan,
Kontinuitas Dalam Kebudayaan, Asal nama Aceh, Aceh Gayo, Kebudayaan Aceh
Gayo, Sistem Pemerintahan di Daerah Gayo, Sistem Kekerabatan Suku Gayo,
Upacara Adat Suku Gayo, unsur-unsur kesenian dalam budaya Gayo.
Bab III mengkaji tentang pandangan masyarakat pada tari Guel, asal mula
tari, karakter tari Guel, bentuk pertunjukan tari Guel, deskripsi tari Guel dan
ragam gerak
Bab IV Struktur tari Guel yang dilihat dari struktur norma, struktur
koreografi dilihat dari urutan pertunjukan dan koreografi atau penciptaan, struktur
musik, struktur gerak yang dikaji dari teknik dan pilosofi tari Guel, struktur
bentuk dilihat dari unsur-unsur pendukung gerak,dan analisis struktur tari Guel.
BAB V Penutup, bab ini Memberikan rumusan dan saran cadangan bagi
para pembaca maupun peneliti untuk dapat menjadikan kajian ini sebagai
referensi yang boleh dikaji dengan lebih mendalam.
48
BAB II
ETNOGRAFI SUKU GAYO DI KAB. ACEH TENGAH
Suku Gayo adalah salah satu suku terbesar yang mendiami dataran tinggi
di provinsi Aceh dan memiliki adat istiadat yang unik, yang membedakannya
dengan suku lainnya di Aceh. Saat ini Suku Gayo mendiami tiga kabupaten yaitu
Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Bener Meriah, dan Kabupaten Gayo Lues.
Mereka juga tersebar di beberapa desa di Kabupaten Aceh Tenggara, Kabupaten
Aceh Tamiang, Kecamatan Beutong, Kabupaten Nagan Raya, dan di Kabupaten
Aceh Timur.
Gayo merupakan salah satu suku yang ada di Propinsi Aceh yang
memiliki wilayah budaya khas dan berbeda dengan suku yang ada di Aceh
lainnya. Wilayah budaya ini dihuni oleh masyarakat suku Gayo dengan beragam
kebudayaan dan menjadi ciri masyarakat dalam menghasilkan ragam budaya.
Selain itu, wilayah ini juga menjadi wilayah Aceh yang lekat dengan nilai-nilai
dan penerapan syariat Islam dalam berbagai aktifitas kehidupan, termasuk dalam
mengekspresikan kesenian dengan konsep Islam sebagai pedoman dalam
pelaksanaannya.
Kebudayaan Gayo sudah ada sejak orang Gayo bermukim di wilayah
dataran tinggi Gayo. Kebudayaan ini mulai berkembang pada masa Kerajaan
Linge pertama abad ke-10 Masehi. Kebudayaan itu meliputi aspek kekerabatan,
komunitas sosial, pemerintahan, pertanian, kesenian dan lain-lain. Kata Gayo
sendiri berasal dari kata Pegayon yang artinya tempat mata air yang jernih tempat
49
ikan suci (bersih) dan kepiting. (Syamsudin1979/1980)
Bab ini mendeskripsikan aspek etnografi dari masyarakat Gayo, sebagai
sebuah kelompok etnik yang memiliki berbagai macam kesenian dan menjadi
kajian dalam tesis ini khususnya tari Guel. Aspek etnografi suku Gayo dikaji
dalam konteks kebudayaan masyarakatAceh dalam memberikan gambaran
mendasar tentang kebudayaan yang melahirkan tari Guel.
2.1 Aceh dan Kebudayaan
Kebudayaan merupakan produk yang dihasilkan manusia dalam berbagai
aktivitasas dalam kehidupan, sehingga kita dapat memahami kebudayaan yang
berarti kita memahami hasil karya dari manusia. Kebudayaan itu sendiri memiliki
arti luas, difahami sebagai sistem idea atau gagasan milik satu kelompok
massyarakatyang dijadikan acuan dalam kehidupan. Gagasan atau idea tersebut
terdapat dalam beberapa unsur gagasan, yang terkait dengan sistem dan dikenal
dengan sistem budaya “cultural sistem”. Unsur-unsur gagasan itu sendiri adalah
seperangkat pengetahuan yang meliputi pandangan hidup, keyakinan, nilai,
norma, aturan, hukum yang kemudian menjadi milik satu masyarakat melalui
proses belajar dan kemudian menjadi acuan dan pedoman dalam menata, menilai,
dan menginterpretasi benda dan peristiwa dalam beragam aspek kehidupan (lihat
Koentjaraningrat 1980, Suparlan, 1992, Melalatoa, 1997: dan 2005: , Bachtiar,
1994).
Pemahaman dalam kebudayaan menjadi dasar dalam memahami hasil
karya manusia, yang tertuang dalam berbagai unsur kebudayaan. Unsur-unsur
50
kebudayaan itu sendiri secara universal terbahagi dalam tujuh unsur yaitu; sistem
agama dan upacara keagamaan, sistem organisasi masyarakat, sistem
pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencarian hidup, dan sistem
teknologi”,Koentjaraningrat (2004) Keseluruhan unsur ini kemudian menjadi
“nafas” kehidupan masyarakat untuk dijalani dalam berbagai aspek kehidupan,
dengan berbagai bentuk aktivitas. Kebudayaan ini juga berfungsi dalam
menentukan norma, perilaku yang teratur serta meneruskan adat dan nilai-nilai
kebudayaan, sesuai dengan kebutuhan dari masyarakatnya. Hal ini akan
menyebabkan terjadinya perbedaan dalam pelaksanaan dari aktivitas yang
dilakukan dan menyebabkansetiap kelompok masyarakat akan melahirkan
kebudayaan dan adat-istiadat yang berbeda-beda. Pola hidup dan tingkah laku
yang beragam serta sudut pandang yang berbeda, baik mitos maupun sistem nilai
dari setiap masyarakat, menghasilkan suatu unsur kebudayaan yang tidak sama.
sehingga dapat mempererat ikatan solidaritas, dan menjadi ciri dan pembeda dari
masing-masing kelompok masyarakat.
Sebagai wilayah yang cukup besar, Aceh memiliki berbagai
komunitasyang terdiri dari kelompok masyarakat yang multikultural, ada delapan
suku bangsa (Badan Pusat Statistik Prov. NAD 2014) yang menjadi “suku asal”
dari wilayah ini. Suku-suku ini memiliki kebudayaan yang berbeda sesuai dengan
norma, dan adat istiadat yang berlaku dari masing-masing sukunya. Dalam
menjalankan aktivitas kehidupan, masyarakat Aceh menjadikan Islam sebagai
dasar untuk melakukan segala kegiatan, yang akhirnya menjadi hukum dalam
menjalankan aturan dipemerintahan.
51
2.2.1 Etnografi masyarakat Aceh
Secara geografikal Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) terletak
antara 01º 58' 37,2"- 06º 04' 33,6" Lintang Utaradan94o 57' 57,6" - 98o 17' 13,2"
Bujur Timur dengan ketinggian rata-rata 125 meter di atas permukaan laut. Luas
wilayah 58.375,63 km² yang terbagi dengan luas provinsi Aceh 5.677.081 ha,
dengan hutan sebagai tempat terluas yang mencapai 1.290.874 ha, diikuti tempat
untuk bertanam sebagai perkebunan rakyat seluas 800.553 ha, dan lahan industri
seluas 3.928 ha.
52
Sumber: (Badan Pusat Statistik Banda Aceh, Aceh dalam Angka 2014)
53
Berdasarkan gambar peta di atas, Provinsi Aceh terbagi dalam 18
Kabupaten dan 5 Kota, yang terpecah kedalam 289 Kecamatan, 778 Mukim dan
6.493 Gampong. Propinsi Aceh ini berbatasansebelah Utara dan Timur berbatasan
dengan Selat Melaka, sebelah Selatan dengan Provinsi Sumatera Utara dan
sebelah Barat dengan Samudera Indonesia. Satu-satunya hubungan darat hanyalah
dengan Provinsi Sumatera Utara, sehingga memiliki ketergantungan yang cukup
tinggi dengan Provinsi Sumatera Utara.
Provinsi NADdahulu bernama Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang
berdiri sejak tahun 1959–2001, dan menjadi salah satu dari 34 Provinsi di
Indonesia saat ini.Pada tahun 2001 hingga sekarang, Provinsi Daerah Istimewa
Aceh berubah menjadi Provinsi NAD. Dalam menjalankan sistem pemerintahan,
Provinsi NAD memiliki wilyahkekuasaan yang diatur sendiri dan berbeda dengan
daerah lain, seperti menjalankan syariat Islam yang akhirnya menjadi hukum
dalam menjalankan aturan-aturan pemerintahan. Selain itu Provinsi NAD juga
terkenal kaya akan sumber alam seperti minyak bumi dan gas alam, dan juga
terkenal dengan sumber hutannya yang terletak di sepanjang jajaran Bukit Barisan
dari Kota Kutacane, Kabupaten Aceh Tenggara, Seulawah, Kab. Aceh Besar,
sampai Ulu Masen di Kabupaten. Aceh Jaya, termasuk Taman Nasional Gunung
Lauser (TNGL) yang juga terdapat di Kabupaten. Aceh Tenggara. Selain sumber
alam, Aceh juga terkenal dengan beragamnya bentuk kesenian yang dimiliki,
dengan berbagai corak yang membentuk ciri dari masing-masing kedaerahannya.
Dengan sumber alam yang begitu kaya ditambah kesenian yang beragam,
54
masyarakat di Provinsi NAD menjalankan kehidupannya dengan saling
menghormati diantara mereka walaupun berbeda suku dan agama.
Beragamnya budaya yang ada di Aceh disebab, terdapat 13 suku asli yang
hidup di Provinsi Acehyaitu Aceh, Gayo, Aneuk Jamee, Singkil, Alas, Tamiang,
Kluet, Sigulai, Pakpak, Haloban, Lekon, Devayan dan Nias. Suku-suku ini hidup
rukun, dan menjalankan kegiatannya sesuai dengan aturan-aturan dalam adat yang
berlaku pada masyarakatnya,serta menjadikannya sebagai kebudayaan masyarakat
Aceh.
2.2.2.Sejarah Aceh
Menurut sejarah, (pemerintah Daerah Istimewa Aceh, 1972) dahulunya
Aceh masuk ke dalam wilayah Propinsi Sumatera Utara, dengan menamakan
Keresidenan Aceh. Wilayah ini meliputi Keresidenan Aceh ditambah dengan
sebahagian Kabupaten Langkat yang terletak di luar daerah negara bagian
Sumatera Timur waktu itu. Kemudian pada tahun 1949keresidenan Aceh berubah
menjadi Provinsi (Provinsi Aceh yang pertama), dengan kepala daerahnya Teuku
Muhammad Daud Beureuh yang sebelumnya adalahGabenor Tentara Aceh,
Langkat, dan Tanah Karo. Setelah terbentuknya Propinsi Aceh, berdasarkan
Peraturan daerah No. 3 tahun 1946, kemudian diadakan pemilihan umum yang
bertingkat dan demokrasi untuk memilih Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), serta
susunan pemerintahan dan perwakilan provinsi serta kabupaten-kabupaten yang
disesuaikan menurut undang-undang no 22 tahun 1948. Berubahnya Keresidenan
menjadi propinsi menandakan wilayah ini keluar dari Provinsi Sumatera Utara
55
dan membentuk Provinsi sendiri berdasarkan peraturan Wakil Perdana Menteri
pengganti peraturan pemerintah No.8/Des/Wk.Pm/1949 pada 17 Disember
1949.Kemudian dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia Serikat dan
Republik Indonesia pada 19 Mei 1950 dan pernyataan bersama pada 20 Julai
1950, dikeluarkan Peraturan Pemerintah no 21 tahun 1950 tentang penetapan
Republik Indonesia Serikat yang membentuk negara kesatuan dan terbagi atas 10
provinsi pentadbiran. Dari 10 Provinsi tersebut, diantaranya terdapat Provinsi
Sumatera Utara yang meliputi daerah-daerah keresidenan Aceh, Sumatera Timur,
dan Tapanuli.
Berdirinya 10 provinsi, diikuti dengan keluarnya Peraturan Pemerintah
pengganti Undang-undang Nombor 5 tahun 1950 oleh Pemerintah Negara
Bahagian Republik Indonesia, berisi terbentuknya Provinsi Sumatera Utara yang
auotonomi.berlaku pada 15 Ogos1950. Dengan demikian, semenjak itu Aceh
menjadi satu Keresidenan Administratif yang dikepalai oleh seorang Residen.
Penyatuan Provinsi Aceh dengan Sumatera Utara ternyata bertentangan
dengan keinginan rakyat Aceh, yang kemudian dilakukan perubahan dari
kebijakan yang sudah dilakukan dengan membentuk Provinsi autonom Aceh
yang kedua berdasarkan undang-undang No 24 tahun 1956. Wilayah dari
Keresidenan Aceh meliputi daerah bekas Keresidenan Aceh dengan tidak
memasukkan wilayah dari Provinsi Sumatera Utara.Pembentukan Provinsi
autonom Aceh yang ke-2dengan menamakannya Daerah Swantara Tingkat I
Aceh, tetap didasarkan pada undang-undang No 22 tahun 1948.Dengan
terbentuknya Provinsi Aceh yang baru, maka dilantiklah Gabernor Provinsi Aceh
56
yaitu Ali Hasymi pada 27 Januari Tahun 1957, bertempat di Pendopo Residen
Aceh, dan bersamaan dengan itu dilakukanserah terima pemerintahan dari
Gabernor Sumatera Utara, Sutan Kumala Pontas kepada Ali Hasymi.
Selanjutnya melalui keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No.
1/misi/1959 pada 26 Mei 1959 berdasarkan tuntutan rakyat Aceh dalam rangka
keamanan, ditetapkan daerah Swantara Tingkat I Aceh menjadi Daerah Istimewa
Aceh, yang bermakna diakui hak autonom seluas-luasnya, terutama dibidang
keagamaan, adat, dan pendidikan. Kemudian melalui Perpres No. 6 tahun 1960
dan Undang-undang No. 18 tahun 1965 sifat keistimewaan Aceh ditambah dengan
diberikan kedudukan undang-undang yang lebih kuat. Masa pemerintahan
kekuasaan Daerah Istimewa ini kemudian berubah lagi kerana terjadi reformasi
sosiopolitik di Indonesia tahun 1998, yang akhirnya berdampak dengan sistem
pemerintahan di Aceh. Akhirnya pemerintah Republik Indonesia menjadikan
Aceh sebagai Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD), dengan menerapkan
syariat Islam dalam sistem pemerintahannya, yang dipercayai
sebagaipenyelesaian dalam krisis sosiobudaya. Ini dikenal arti sebagai satu
kesadaran tentang syariat Islam yang begitu tinggi dan mengakar dalam budaya
Aceh (Pemerintah Daerah Istimewa Aceh: 1972)
2.2.3 Asal mula Aceh
Penjelasan tentang Aceh, dalam usaha untuk memberikan gambaran yang
menyeluruh dari asal-usul Aceh menjadi penting untuk diungkapkan, sebagai
upaya dalam memahami keberadaan Aceh yang menjadikan pemahaman awal dari
57
kajian kesenian Saman. Kata “Aceh” apabila dikaitkan dengan sebuah wilayah,
adalah salah satu Provinsi di Indonesia yang berada dihujung pulau
Sumatera.Wilayah ini juga dikenali dengan nama Serambi Mekkah, Tanah
Rencong, Bumi Iskandar Muda, Daerah Modal, dan Negeri Darussalam (negeri
yang damai sejahtera). Dalam Melalatoa (2005),ada beberapa penamaan yang
berkaitan dengan kata “Aceh” yaitu sebuah kelompok etnik (suku bangsa Aceh”
atau “orang Aceh” atau Urueng Aceh), nama bahasa (“bahasa Aceh”), nama
kebudayaan (“ kebudayaan atau adat istiadat Aceh”), nama sebuah kerajaan
(“kerajaan Aceh”), nama perang (“perang Aceh”) dan lain sebagainya. Suku
bangsa ini terdapat delapan wilayah kabupaten dan kota madya dari sebelas
daerah tingkat dua di Provinsi NAD. Wilayah kediaman asal orang Aceh ini
adalah Kota Banda Aceh, Kab. Aceh Besar, Kab. Pidie, Kab. Aceh Utara,
sebagian Aceh Barat, sebahagian Aceh Selatan dan Kota Sabang. Referensi lain
tentang kata Aceh adalah berdasarkan pada informasi berupa dongeng dan mitos
melalui laporan perjalanan para musafir dan pedagang yang disampaikan secara
turun temurun.
Dalam Hikayat Aceh yang merupakan cerita turun temurun di Sumatera,
asal-usul Aceh dari Aceh Dar us-Salam adalah hasil pembauran dua pemukiman
raja yaitu Meukuta Alam dan Dar ul-Kamal yang kedua wilayah tersebut
dipisahkan oleh sebuah sungai, yang bergabung kerana proses perkawinan politik
antar-kedua anak raja-raja tersebut. Meukuta Alam (kuta Alam) adalah wilayah
yang terletak pada sisi Utara Krueng Aceh di Lembah Aceh sebagai pusat
kerajaan Lamri pada akhir abad ke-15. Kepindahan Lamri dari Aceh Besar ke
58
Meukuta Alam kerana adanya serangan dari Pidie dan adanyaaliran air yang
berkurang di muara sungai yang mengalir melalui pusat kerajaan Lamri sehingga
tidak begitu baik untuk kepentingan pelayaran. Penggabungan dua kerajaan
Meukuta Alam dan Dar ul-kamal melalui perkahwinan politik yang dilakukan
oleh Sultan Syamsu Syah Putra Munawwar Syah (Raja Meukuta Alam yang
pertama) dilakukan dengan menjodohkan puteranya yang bernama Ali Mughayat
Syah dengan Dar ul-Kamal terjadi pada masa Sultan Mansyur Syah cucu dari
sultan ‘Ala ad-Din Ri’ayat Syah al-Kahhar (anak Ali Mughayat Syah) dengan
putri Raja Indra Bangsa anak dari ‘Ala ad-Din Ri’ayat Syah Sayyid al-Mukammil
(cucu Muzaffar Syah penguasa Dinasti Dar ul-Kamal), dari perkawinan ini
lahirlah Sultan Iskandar Muda, yang menjadi sultan yang terkenal dan di masa
pemerintahan sultan Iskandar Muda, kebudayaan menjadi perhatian khususnya
kesenian.
Selain itu asal-usul Aceh dapat dijelaskan berdasarkan beberapa referensi,
menurut Dennys Lombard (2006) yang memberikan kemudahan dalam
penggambaran tentang Aceh dengan membaginya kedalam masa sebelum abad
ke-16 dan pada masa abad ke-16. Sebelum abad ke-16 sulit untuk menemukan
“kata Aceh”, kata Aceh baru muncul ketika Tome Pires menyebut “o Regno
Dachei” (kerajaan Aceh) sebagai satu diantara tiga kekuatan di belahan Sumatera
selain Pasai dan Pidir (Pidie), dan pada abad ke-16 Portugis muncul sebagai
kekuatan yang menguasai kerajaan-kerajaan pelabuhan diSumatera yang
merupakan awal Aceh dibicarakan sebagai sebuah kerajaan yang memiliki
kekuatan sendiri. Informasi yang didapat oleh Dennys sejak dinasti Liang abad
59
ke-6 hingga persinggahan Marco Polo pada abad ke-13 menjadikan Aceh sebagai
kelanjutan negeri bernama Poli/lamiri/Lambri/Lanwuli1.
Asal-usul Aceh juga dapat diamati berdasarkan tulisan Meuraxa (1974)
yang mengatakan orang Aceh dikatakan juga orang mante (mantir), mulanya
hidup di rimba raya dan berbadan agak kecil dari orang Aceh sekarang. Orang
Aceh disebut mante yang dulunya diperkirakan berhubungan atau pecahan bangsa
Monkhamer dari India. Asal usul orang Aceh juga termasuk rumpun bangsa
Melayu yang terdiri dari suku-suku Mante, Lanun, Jakun, Senoi, Semang, dan
lainnya yang berasal dari Semenanjung Malaysia. Ditinjau secara etologi
mempunyai hubungan dengan bangsa-bangsa yang pernah hidup di Babilonia
yang disebut Phunisia, dan daerah antara sungai Indus dan Gangga yang disebut
Dravida. Selanjutnya diperkirakan asal-usul penduduk Aceh adalah orang-orang
yang berhubungan dari India, Andaman dan Nicobar, pulau-pulau Sebelah Utara
Aceh.(Amirul Hadi: 2010, Melalatoa: 2005, Said: 2007) .
Berdasarkan dari beberapa referensi yang sudah dikemukakan di atas,
dapatdisimpulkan tentang asal-usul Aceh. Pertama,Aceh adalah sebuah kerajaan
yang terletak di Aceh Besar. Kedua Aceh adalah hasil penggabungan beberapa
kerajaan pada masa Sultan Ali Mughayat Syah yang memiliki pusat kerajaan di
Banda Aceh,ketiga, Aceh lahir kerana adanya penguasaan Portugis atas Selat
Melaka dan terakhir sejalan dengan melebarnya “hegemoni” kekuasaannya, Aceh
akhirnya berhasil menguasai jalur perdagangan di sekitar Sumatera.
1Untuk lebih jelas tentang hal ini dapat dilihat dalam Buku Dennys Lombard “ kerajaan
Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), (Jakarta, Kepustaakan Populer Gramedia)
60
Keberadaannya diperkuat dengan perluasan kekuasaan sampai ke Pahang dan
Pulau Pinang. Bahkan, salah satu literatur menyebutkan bahawa pada abad ke-17,
Sultan Aceh adalah raja Pulau Sumatera yang tidak ada tandingannya kerana
penguasaan atas pantai dan pengendalian atas seluruh perniagaan di Sumatera dan
sekitarnya. Keempat, Aceh adalah satu suku bangsa yang hidup di rimba raya dan
berbadan kecil yang berhubungan dengan bangsa Monkhamer dari India, serta
orang Aceh dikatakan juga termasuk dalam rumpun suku Melayu.
2.2 Sejarah Aceh Tengah
Aceh Tengah merupakan salah satu wilayah tingkat II di Provinsi Banda
Aceh, dimana suku Gayo menjadi suku yang dominan mendiami wilayah ini.
Sekitar tahun 1904 Kedatangan kolonial Belanda, hal ini tidak sterlepas dari
potensi perkebunan “Tanoh Gayo” yang sangat cocok untuk budidaya kopi
Arabika, tembakau dan damar.Pada masa itu wilayah Aceh Tengah dijadikan
Onder Afdeeling Nordkus Atjeh, Sigli sebagai ibukotanya (seutan in
menunjukkan satu wilayah pemerintahan tingkat II pada saat ini). Pada saat itu
kota Takengon mendirikan sebuah perusahaan untuk pengolahan kopi dan damar,
yang menjadi andalan dari Provinsi ini. Selanjutnya kota baru ini mulai
berkembang dan menjadi sebuah pusat pemasaran hasil bumi dataran tinggi Gayo,
khususnya sayuran dan kopi.
Tahun 1942-1945, pada masa penjajahan Jepang tahun (1942-1945).
Sebutan Onder Afdeeling Takengon di era kolonial Belanda, berubah menjadi
Gun, dipimpin oleh Gunco. Pada masa ini aktifitas perkebuanan ditangani oleh
61
penjajah yang semula oleh Belanda kemudian diganti oleh Jepang. Setelah
kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, sebutan
tersebut berganti menjadi wilayah yang kemudian berubah lagi menjadi
kabupaten.
Tahun 1948 pada tanggal 14 April,Aceh Tengah berdiri berdasarkan
Oendang-oendang No. 10 tahun 1948 dan dikukuhkan kembali sebagai sebuah
kabupaten berdasarkan oendang-oendang Nomor 1Tahun 1956, pada tanggal 14
November 1956 melalui Undang-undang No. 7 (Drt) Tahun 1956. Wilayahnya
meliputi tiga kewedanaan yaitu, Kewedanaan Takengon,Kewedanaan Gayo Lues
danKewedanaan Tanah Alas. Wilayah ini terus berlangsung hingga terjadi
pemekaran dari ketiga kewedanan berdiri sendiri menjadi daerah tingkat II.
Pemekaran Kabupaten Aceh Tengah berawal dari sulitnya transportasi dan
didukung aspirasi masyarakat, akhirnya pada tahun1974 Kabupaten Aceh Tengah
dimekarkan menjadi Kabupaten Aceh Tengah, dan Aceh Tenggara melalui
Undang undang No. 4 Tahun 1974. Tahun 2004, Kemudian pada 7 Januari
2004, Kabupaten Aceh Tengah kembali dimekarkan menjadi Kabupaten Aceh
Tengah dan Bener Meriah dengan Undang -undang No. 41 Tahun 2003.
Kabupaten Aceh Tengah tetap beribukota di Takengon, sementara Kabupaten
Bener Meriah beribukota Simpang Tiga Redelong.
Kabupaten Aceh Tengah berada di kawasan Dataran Tinggi Gayo.
Kabupaten lain yang berada di kawasan ini adalah Kabupaten Bener Meriah serta
Kabupaten Gayo Lues. Tiga kota utamanya yaitu Takengon,Blang Kejeren, dan
Simpang Tiga Redelong. Jalan yang menghubungkan ketiga kota ini melewati
62
daerah dengan pemandangan yang sangat indah. Pada masa lalu daerah
Gayomerupakan kawasan yang terpencil sebelum pembangunan jalan
dilaksanakan di daerah ini.
Batas wilayah Kabupaten Aceh Tengah:
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kab. Bener Meriah dan Kab. Biruen
2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kab. Gayo Lues
3. Sebelah Barat Berbatasan dengan Kab. Pidie dan Kab. Nagan Raya
4. Sebelah Timur berbatasan dengan Kab. Aceh Timur.
2.2.1 Gambaran Umum
Sumber: Badan Pusat Statistik Kab. Aceh Tengah 2014
63
Aceh Tengah merupakan salah satu kabupaten yang terletak ditengah-
tengah Provinsi Aceh, dengan Takengon sebagai ibukotanya. Kota Takengon
terletak di sisi Danau Laut Tawar, di tengah-tengah wilayah provinsi Aceh.
Kawasan ini merupakan dataran tinggi yang berhawa sejuk dengan ketinggian
sekitar 1200 m di atas permukaan laut. Banyak terdapat tempat wisata di kawasan
ini, di antaranya adalah Danau Laut Tawar, Gua Puteri Pukes, Pantan
Terong.Secara geografis Kabupaten Aceh Tengah berada pada posisi antara
4010”-4058. ” LU dan 96018” - 96022” BT.
Wilayah dari Kabupaten ini seluas 431.839 Ha atau setara dengan 4.318,39
Km2, yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Bener Meriah dan Bireuen di
sebelah utara, Kabupaten Gayo Lues di sebelah selatan, Kabupaten Nagan Raya
dan Pidie di sebelah barat, serta Kabupaten Aceh Timur di sebelah timur. Secara
administrative, wilayahnya terbagi menjadi 14 kecamatan yang meliputi 269 desa/
kampung defenitif dan 27 kampung persiapan. Pada Triwulan I tahun 2011,
jumlah penduduknya mencapai 202.114 jiwa dengan kepadatan rata-rata 47
jiwa/Km2. Keadaan pendududuk berdasarkan suku bangsa, Kabupaten Aceh
Tengah merupakan daerah yang majemuk dengan komposisi penduduk bersuku
Gayo ± 60%, suku Jawa 30%, Aceh Pesisir 5%, dan sisanya merupakan suku
lainnya seperti Batak, Padang, Cina, dan sebagainya dengan mayoritas
penduduknya beragama Islam yakni sebanyak 97%. Mata pencaharian pendudukn
didominasi oleh kegiatan pertanian dengan tenaga kerja sebesar 80%, disusul
lapangan pekerjaan disektor perdagangan sebanyak 8%, sektor jasa sebesar 5%
dan sektor lainnya sebesar 7%. Berikut disajikan data Penduduk Kabupaten Aceh
64
Tengah berdasarkan kecamatan Tahun 2008 (Profil Kab. Aceh Tengah, Aceh
Tengah dalam Angka 2014).
Poto 2.1: Kota Takengon ibu kota dari Kabupaten. Aceh Tengah dilihat dari atas (dok, Kabupaten Aceh Tengah dalaam angka 2014)
Kota Takengon yang berada di dataran tinggi Gayo merupakan kota tujuan
wisata di Aceh. Keindahan alamnya seperti tersembunyi karena berada di tengah
provinsi Aceh. Objek wisata alam yang terkenal disana adalah danau laut tawar,
yang menjadi kebanggan masyarakat Takengon. Banyak wisatawan domestik
maupun mancanegara yang datang ke Takengon, mengunjungi dan menginap
disekitar Danau Laut Tawar. Selain objek wisata Danau Laut Tawar, terdapat
tempat-tempat wisata lainnya di kota Takengon, seperti Gua Puteri Pekes, Pantang
Terong, pemandian air panas Wih Pesam, Bukit Terong (puncak Khafi), Goa
Loyang Koro, Pantai Menye, Pantai Ketibung dan monumen Pacuan kuda
tradisional. Setidaknya ada 20 objek wisata yang dapta dikunjungi di kota
Takengon.
65
Photo 2.2: Danau Laut Tawar, danau yang menjadi kebanggan Kab. Aceh Tengah dan menjadi tempat tujuan bagi wisatawan. (dok, Bintang 2016)
Tabel 2.1 Luas Kabupaten Aceh Tengah
No Kecamatan
Luas Wilaya
h (Km2)
Jumlah Kampu
ng (Desa)
Jumlah Penduduk (Jiwa)
Jumlah
Rumah
Tangga
(KK)
Jumlah Rumah Tangga
Pra Sejahte
ra
L P Jumlah
1. Linge 2.075,28
25 4.476 4.582 9.058 3.287 1.097
2. Bintang 429,00 24 4.556 4.652 9.208 2.198 887 3. Lut Tawar 99,56 21 9.203 9.971 19.174 4.259 911 4. Kebayakan 56,34 20 6.947 6.851 13.798 3.336 995 5. Pegasing 99,00 31 8.976 9.295 18.271 3.914 1.602 6. Bebesen 47,19 28 17.319 18.63
7 35.956 8.198 1.647
7. Kute Panang
35,06 23 3.674 3.529 7.203 1.871 786
8. Silih Nara 98,00 33 10.964 10.937
21.901 5.371 2.057
9. Ketol 404,53 25 5.938 5.902 11.840 3.072 784 10.
Celala 89,00 16 4.341 4.346 8.687 2.137 990
11.
Atu Lintang 105,04 10 3.645 3.541 7.186 1.662 642
12.
Jagong Jeget
82,53 11 4.835 4.335 9.170 2.375 824
13.
Bies 28,86 12 3.321 3.601 6.922 1.699 367
66
14.
Rusip Antara
669,00 16 3.663 3.367 7.030 1.620 927
Jumlah 4.318,39
295 91.858 93.546
185.404
44.999
14.516
Sumber : Aceh Tengah Dalam Angka 2014
Kabupaten Aceh Tengah memiliki topografi wilayah bergunung dan
berbukit dengan ketinggian rata-rata bervariasi antara 200 – 2.600 meter diatas
permukaan laut. Penggunaan lahannya didominasi oleh kawasan hutan seluas
280.647 Ha atau 64,98% dari luas wilayah, dan sisanya berupa tanah bangunan,
sawah, tegal/ kebun, lading/huma, padang rumput, rawa-rawa, kolam, tambak,
perkebunan dan areal peruntukan lainnya. Pada umumnya jenis tanahnya
bervariasi, 68% diantaranya terdiri dari tanah podsolik coklat dan merah kuning
dengan tekstur liat berpasir, struktur remuk, konsistensi gembur permeabilitas
sedang. Keadaan tersebut menjadikan Aceh Tengah sebagai daerah yang subur
dan menjadi pusat produksi hasil pertanian dataran tinggi di Provinsi Aceh. Sesuai
dengan letak geografisnya, iklimnya termasuk iklim equatorial, dengan jumlah
hari hujan rata-rata 137 hari/ tahun dan curah hujan rata-rata 1.822 m/tahun. Suhu
udara rata-rata berkisar pada 20 derajad celcius dengan kelembaban nisbi antara
80 – 84%.
Kabupaten AcehTengah, juga memiliki objek wisata yang cukup menarik
apalagi dengan daerahnya yang berbukit-bukit memberikan pemandangan yang
indah. Obejek wisata yang ada di Kabupaten Aceh Tengah adalah Danau Laut
Tawar, Pantan Terong (atraksi pemandangan), Taman Buru Linge Isak (berburu),
67
Gua Loyang Koro, Loyang Pukes, Loyang Datu, Burni Klieten (hiking), Gayo
Waterpark (wahana wisata keluarga) dan Krueng Peusangan arum jeram.
2.2.2 Kependudukan
Mayoritas penduduk kota Takengon adalah Suku Gayo, dengan suku
pendatang bersuku Aceh, Batak, Minang, Jawa dan lain-lain. Dalam menjalankan
kehidupan, masyarakat pendatang bersama-sama dengan suku Gayo menjalankan
adat dan budayanya, dengan saling menjaga dan menghormati. Namun adat
budaya Gayo menjadi lebih dominan, hal ini juga dikarenakan Gayo menjadi suku
mayoritas. Dalam melaksanakan atau melakukan acara-acara adatnya, suku-suku
pendatang turut serta dalam pelaksanannya, mereka saling bekerjasama, bahkan
mengikuti adat kebiasaan suku Gayo.Hal ini menunjukkan kebersamaan, dan
keikutseretaan mereka sebagai suku pendatang, dengan menjadikannya sebagai
adat mereka juga.
Masyarakat Takengon pada umumnya berprofesi sebagai petani dan
pekebun yang menghasilkan salah satu jenis kopi arabika terbaik di dunia dengan
luas lahan mencapai 48.300 Hektar, dengan rata-rata produksi per hektar sebanyak
720 kilogram. Komoditas penting selain kopi adalah tebu dengan luas areal 8.000
Hektar, serta kakao seluar 2.322 hektar, kemudian terdapat pula tanaman sayur
mayur dan palawija. Profesi petani kopi ini menjadikan daerah ini sangat dikenal
karena kopi terbaiknya, dan minuman ini juga menjadi minuman yang diberikan
pada berbagai jamuan untuk tamu-tamu yang datang. Pekerjaan orang Gayo
sebagai petani kopi pun tidak hanya mendorong mereka untuk memuaskan
68
kehidupan ekonomi secara individual, tetapi lebih jauh dari itu, mata pencaharian
tersebut telah mendorong mereka untuk keluar dari kehidupan privat menuju
dunia sosial yang lebih luas. Di Tanah Gayo, orang-orang menjadikan budaya
minum kopi sebagai sarana sosialisasi baik di rumah,kedai, kantor, dan
sebagainya, sehingga kedai-kedai kopi banyak dibuka di kota ini.
No Kecamatan Laki-Laki Perempuan Total Sex Ratio 2.2.3 Suku Gayo
Keberadaan dari awal mula adanya suku Gayo belum dapat dipastkan
sampai sekarang, belum pernah diadakan penelitian yang mendalam dan sungguh-
sungguh oleh para ahli, tentang asal-usul Bangsa Gayo. Namun tulisan tentang
suku Gayo bisa didapat dari seorang sarjana Belanda Snouck Hurgronje yang
pernah meneliti tentang asal-usul Bangsa Gayo. Walaupun tulisan tentang bangsa
Gayo belummenampakkan hasil yang tepat, namun tulisan Snouck banyak
digunakan oleh para peneliti tentang suku Gayo sebagai referensi.
Orang Gayo adalah Bagian dari Melayu Tua yang datang dari Hindia
Belakang ke kepulauan nusantara ini pada gelombang pertama sebelum masehi.
Mereka menetap di pantai utara dan timur Aceh serta sepanjang daerah aliran
sungai (Das) Jambo Aye, sungai Perlak, sungai Kuala Simpang, sungai Wih (air)
Jernih dan lain-lain. Para ahli sejarah berendapat, bahwa penduduk yang
bermukim di wilayah pedalaman merupakan orang-orang yang pertama datang ke
pulau Sumatera, yaitu orang Gayo, orang Batak dan lain-lainnya, dan mereka ini
termasuk dalam gelombang pertama yang bermukim di wilayah pedalaman Pulau
Sumatra. orang-orang ini datang dari Hindia Belakang dan menetap di pantai dari
arah mana mereka datang.
69
Dalam menetapkan asal mula nama suku Gayo, ada dua sumber yang
menjelaskan. Pertama menurut C. Snouk, yang menyatakan “nama suku Gayo”2
berasal dari satu suku bangsa di dalam negri itu yang tidak mau masuk agama
Islam, sehingga mereka melarikan diri ke hulu sungai Peusangan untuk
mempertahankan kepercayaan yang telah mereka yakini.” Pendapat kedua
menurut Bapak Ibrahim Syah Bencek wawancara (14 Juni 2013) menyatakan
nama Gayo berasal dari suku Batak yang masuk Islam. Berdasarkan dua pendapat
ini, apabila dilihat dari penyebaran orang-orang yang pertama kali datang ke
Sumatera, jelas bahwa nama gayo bukanlah dari suku Batak yang di Islamkan.
Suku bangsa Gayo adalah kelompok yang mendiami daerah pedalaman
atau terletak di bagian tengah dari wilayah Nanggroe Aceh Darussalam. Mereka
bermukim di sela-sela pegunungan Bukit Barisan di sepanjang Pulau Sumatera.
Kini wilayah asal kelompok ini menjadi wilayah atau bagian wilayah empat
kabupaten, yaitu Kabupaten Aceh Tengah, kabupaten Bener Meriah, kabupaten
Aceh Gayo Lues. Selain itu suku Gayo juga mendiami sebagian wilayah di Aceh
Tenggara, Aceh Tamiang, dan Aceh Timur.Suku Gayomenurut daerah kediaman
dan tempat tinggalnya dapat dibagi dalam 4 daerah, yaitu, Gayo laut, atau disebut
dengan Gayo laut Tawar, yang mendiami sekitar danau Laut Tawar. Gayo Deret
atau Gayo Linge, yang mendiami daerah sekitar Linge – Isaq, Gato Lues yang
mendiami daerah sekitar Gayo Lues, danGayo Serbejadi, yang mendiami daerah
sekitar Serbejadi – Sembuang Lukup, termasuk kedalam daerah Aceh Timur.
2 Untuk lebih jelas lihat buku Mujahid Dataran tinggi Gayo oleh Mahmud Ibrahim
tentang suku gayo yang didapat berdasarkan sumber tertulis petama tentang gayo oleh C. Snouk Hurgronye, yang kemudian menjadi rujukan dalam tulisan-tulisan tetang Gayo selanjutnya.
70
Sedang suku Alasberdiam di daerah Alas yang berbatasan dengan daerah Gayo
Lues.
Suku Gayo memiliki bahasa sendiri yaitu bahasa Gayo (basa Gayo) yang
dipakai sebagai bahasa sehari-hari oleh suku Gayo. Bahasa Gayo ini mempunyai
keterkaitan dengan bahasa suku Karo di Sumatera Utara. Bahasa ini termasuk
kelompok bahasa yang disebut “Northwest Sumatera-Barrier Islands” dari rumpun
bahasa Austronesia. Bahasa Gayo terbagi menjadi dua dialek yaitu Gayo Lut dan
Gayo Luwes. Penutur dialek Gayo Lut adalah orang Gayo yang mendiami
Kabupaten Aceh Tenggara dan Kabupaten Bener Meriah, sedangkan penutur
dialek Gayo Luwes adalah orang Gayo yang mendiami daerah Kabupaten Gayo
Luwes dan orang Serbajadi di kabupaten Tamiang. Bahasa Gayo dipengaruhi
olelh bahas dari suku-suku lainnya dengan variassi dialek yang berbeda. Bahasa
Gayo yang ada di Lokop, sedikit berbeda dengan bahasa Gayo yang ada di gayo
Kalul, Gayo Lut, Linge, dan gayo Lues. Hal tersebut disebabkan karena pengaruh
bahas Aceh yang lebih dominan di Aceh Timur. Begitu juga halnya dengan Gayo
Kalul, di Aceh Tamiang, sedikit banyak terdapat pengaruh Melayu karena lebih
dekat ke Sumatera Utara. Kemudian Gayo Lues lebih dipengaruhi oleh bahasa
Alas dan bahasa Karo karena interaksi yang lebih banyak dengan kedua suku
tersebut.
Orang Gayo mempunyai adat-istiadat yang khas dankental dengan nuansa
Islami. Berbagai ungkapan, tersurat dalam pepatah-pepatah bijak dengan makna
yang dalam banyak ditemukan dalam kebudayaan Gayo. Salah satunya adalah
ungkapan: Asal Linge Awal Selure, petuah bijak yang menyiratkan jati diri.
71
Ungkapan tersebut berarti kalau Urong Gayo berasal dari Linge dan berawal dari
Selure. Ungkapan Asal Linge Awal Selure juga adalah sebuah semboyan. Dalam
kesenian Saman di setiap pembukaannya selalu menyebutkanAsal Linge Awal
Selure. Ini dimaksudkan sebagai sebuah indentitas diri Urang Gayo.
Kerajaan Linge pada masa kejayaannya, adalah pusat peradaban Gayo.
Bahkan salah satu putra kerajaan Linge telah memberikan konstribusi besar
terhadap berkembangnya kerajaan Aceh yang dulu kedaulatannya sampai ke
Negeri Johor Malaysia. Murip I kanung edet, mate I kanung bumi, (Hidup di
kandung adat mati dikandung bumi) adalah ungkapan yang menggambarkan
penataan kehidupan bermasyarakat Gayo. Kalimat ini bermakna betapa urang
gayo sangat menghargai adat dalam kehidupannya. Murip I kanung edet, mate I
kanung bumi, berarti segala hal perbuatan dalam masyarakat harus sesuai dengan
adat dan sesuatu yang mutlak dan tidak boleh dilanggar.
2.3 Kebudayaan Suku Gayo
Kebudayaan berasal dari terjemahan kata kultur. Kata kultur dalam bahasa
latin culture berarti memelihara, mengolah dan mengerjakan. Dalam kaitan ini,
cakupankebudayaan menjadi sangat luas, seluas hidup manusia. Kebudayaan
sebagai hasil aktifitas yang merupakan kebiasaan dalam satu kelompok
masyarakat menunjukkan bagaimana masyarakat tersebut. Dimana melalui
kebudayaan yang dimiliki, maka dapat diketahui tingkat peradaban
masyarakatnya. Namun perlu disadari bahwa tingkat kebudayaan banyak
ditemukan oleh kemampuan manusia dalam menghadapi tantangan alam sekitar
lingkungan dimana mereka tinggal dan hidup.
72
Suku gayo dalam hal ini mempunyai kebudayaan sendiri, meskipun
kebudayaan tersebut hampir sama dengan kebudayaan Aceh lainnya. Mereka
mempunyai bahasa sendiri, adat istiadat sendiri, yang mungkin berbeda dengan
bahasa dan adat istiadat Aceh, Karo Batak, dan Melayu. Secara umum, sejak
masuknya Agama Islam ke Aceh, kebudayaan Aceh maupun kebudayaan Gayo
terlihat terpengaruh dan lebih cenderung mengarah kepada kebudayaan yang
bernafaskan Islam. Namun demikian, masing-masing kebudayaan ini memiliki
ciri-ciri tersendiri yang agak berbeda dengan kebudayaan Aceh umumnya.
Pengaruh Aceh sangat kuat mempengaruhi kebudayaan Gayo, namun
disamping itu pengaruh suku Melayu juga sangat kuat, terutama dalam
penggunaan soal bahasa. Keadaan ini disebabkan adaya penyebaran,
pengembangan dan pendidikan Agama Islam, naskah-naskah buku, tulisan tangan,
surat menyurat, dan lain-lain, sebahagian besar disampaikan dan dilakukan dalam
Bahasa Aceh dan Gayo sendiri. Suku gayo tergolong ke dalam ras Proto Melayu
yang berasal dari India. Kedatangan bangsa ini diperkirakan datang ke Indonesia
sekitar 2000 tahun sebelum masehi. Ciri khas dari bangsa ini adalah berkulit
hitam, tubuhnya kecil dan berambut keriting.
Suku Gayo sangat erat hubungannya dengan suku Karo dan Batak, yang
dapat dilihat dari persamaan dalam bahasa, adat istiadat, terutama karena
terdapatnya beberapa persamaan dalam bahasa dan adat istiadat, terutama sekali
dengan Suku Karo. Persamaan antara Suku Gayo dan Suku Karo dapat dilihat
dari pembagian belah-belah dalam susunan masyarakat Gayo yang terdapat di
wilayah raja cik bebesan di daerah Gayo Lut. Susunan masyarakat di wilayah
73
Raja Cik Bebesan dibagi dalam Belah-belah Cebere, Melala, Munte, Linge, dan
belah tebe. Selain itu terdapat pula persamaan-persamaan di bidang kesenian,
seperti seni tari, seni suara, seni musik, dan lain-lain. Nama belah di wilayah Raja
Cik Bebesan mempunyai persamaan dengan nama nama marga di Tanah Karo.
Kebudayaan Gayo timbul sejak orang Gayo bermukim di wilayah ini dan
mulai berkembang sejak kerajaan Linge Pertama abad ke X M, atau abad ke IV H.
Meliputi aspek kekerabatan, komunikasi sosial, pemerintahan, pertanian kesenian
dan lain–lain. Adat Urang Gayo menganut Prinsip Keramat Mupakat,
Behu Berdedale yang punya makna kemulian didapat kerana mufakat dan berani
sama-sama. Ungkapan lainTirus lagu gelas belut lagu umut rempak lagu resi
susun lagu belo yang punya arti kuatnya persatuan orang gayo yang tidak mudah
dicerai berai.Nyawa sara pelok ratep sara anguk punya arti tekad yang
melahirkan kesatuan sikap dan perbuatan. Selain itu banyak lagi terdapat kata –
kata pelambang yang mengandung kebersamaan dan kekeluargaan serta
keterpaduan. Berbagai ungkapan tersebut menggambarkan tentang Pemerintah
dan ulama saling harga menghargai serta menunjak pelaksanaan agama dalam
adat Urang Gayo.Di dalam sistem nilai budaya Gayo telah merumuskan prinsip–
prinsip adat yang disebut kemalun ni edet. Prinsip ini menyangkut “harga diri”
(malu) yang harus dijaga, diamalkan, dan dipertahankan oleh kelompok kerabat
tertentu, kelompok satu rumah (sara umah), klen (belah), dan kelompok yang
lebih besar lagi. Prinsip adat meliputi empat hal berikut ini. Pertama, Denie –
terpancang adalah harga diri yang menyangkut hak – hak atas wilayah.
Kedua, Nahma teraku adalah harga diri yang menyangkut kedudukan yang sah.
74
Ketiga, Bela mutan ialah harga diri yang terusik karena ada anggota kelompoknya
yang disakiti atau dibunuh. Keempat adalah Malu tertawan yang merupakan
harga diri yang terusik karena kaum wanita dari anggota kelompoknya diganggu
atau difitnah pihak lain
2.4 Adat Istiadat Gayo
Setiap daerah yang ada di Indonesia mempunya sistem adat, begitu juga
dengan suku Gayo yang mendiami wilayah dataran tinggi, mempunyai adat sesuai
dengan kepercayaan yang dianutnya. Menurut Mahmud Ibrahim (2007: 5) pada
sekita tahun 1115 Masehi, raja (reje) Islam kerajaan Lingga yang oleh penduduk
Negeri Lingga (negeri Linge) disebut “Petu Merhum Mahkota Alam” untuk
pertama kalinya merumuskan norma adat bersama para ulama dan pemimpin
masyarakat Lainnya. Isi rumusan adat yang disusun di Istana raja Lingge (reje
Lingge) Umah Adat Pitu Ruang neggeri Lingge oleh raja Petu Mehrum mahkota
Alam.
Photo 2.3; Rumah adat suku Gayo yang dinamakan juga dengan umah adat pitu ruang
75
Rumah panggung /umah adat pitu ruang tidak hanya sebuah bangunan
yang dijadikan tempat tinggal, namun rumah ini menjadi milik suku, dengan
fungsi dan kegunaan yang menyertainya. Rumah ini terdiri dari panggung dengan
tangga masuk berada di luar rumah, sedangkan pintu rumahnya tingginya sekitar
1.50 m. Saat masuk ke “rumah orang” harus pelan-pelan karena naik tangga tidak
boleh terburu nafsu. Kemudian juga harus hati-hati, karena tangga sering kena
hujan sehingga sering licin. Selanjutnya saat dibukakan tuan rumah kita harus
menunduk karena atas pintu lebih rendah dari pada kita. Bila kita “masuk rumah”
orang dengan kepala tengadah, maka kepala kita akan terbentur. Akan tetapi
setelah kita masuk diterima tuan rumah, maka terlihat ruangan yang sangat luas
untuk berkumpulnya keluarga serta tamu, sehingga terlihat keterbukaan,
keikhlasan dari suku Gayo dalam menjalin persaudaraan sesuai dengan
kesepakatan yang di atudr dalam sistem adat Gayo.
Sistem adat itu sendiri termuat dalam kitab mereka, terdiri dari 45 pasal
berbahasa Gayo dan tulisan Jawi. Semua dibukukan sebagai lembaran aturan adat
istiadatdari zaman dahulu hingga sekarang dan tetap dilaksanakan pasal demi
pasal dalam semua keadaan mengenai keadatan. Sementara itu umah adat pitu
ruang juga dijadikan sebagai simbol/lambang dari Kabupaten Aceh Tengah yang
memiliki filosopy berdasarkan adat yang telah mereka sepakati.
Adat yang telah disusun sebanyak empat puluh lima pasal menjadi panutan
bagi suku Gayo yang didalamnya tertuang aturan tata krama dalam sistem
bermasyarakat seperti dalam pepatah Gayo
76
“munatur murip sibueten sarak opat,in penguet ni ahlak menenah buet, menyoki belide remet, melupeti junger, mubantah hakim, menumpang ale, munyugang edet i engon ku bekase”
(tata krama dalam sistem bermasyarakat, untuk menjaga ahlakulkarimah, tidak membuat kekerasan atau pemerasan, tidak mengganggu masyarakat, tidak melawan hakim untuk menutupi kesalahan, supaya adat berjalan sesuai dengan harapan (Mahmud Ibrahim, 2007:6).
Pepatah ini menyiratkan tentang menjalani kehidupan bahwa adat
berbicara mutlak-mutlakan, berjalan memakai tongkat, hakikat sesuatu disimpan
dengan baik, syarat dilaksanakan dengan tepat, karena hukum Islam mengenal
mana yang hak mana yang baik, sementara adat membedakannya. Sesuatu yang
wajib harus dilaksanakan pada tempat dan waktunya, sebaliknya yang bukan
wajib dapat dilakukan kapan dan dimana saja.
Pelaksanaan adat ini dipakai dalam semua unsur dari hal yang terkecil
sampai yang terbesar serta mempunyai aturan dalam penyelesaiannya yang harus
dipatuhi dan dijalankan. Fungsi dari adat itu sendiri yaitu:
1. Adat berasal dari bahasa arab, dengan pengertian melakukan berbagai kebiasaa-kebiasaan. Adanya ada dikarenakan manusia hidup berkelompok-kelompok lalu membuat berbagai keputusan disebut peraturan, untuk mengatasi kepentinga mereka dan dipandang sebagai undang-undang tanpa tertulis.
2. Adat Gayo bernilai spritual dan berorientasi kepada ahlaulkarimah, membentuk pergaulan yang berlandaskan agama, adat melaksanakan amar makruf nahi mungkar (salah bertegah benar berpapah). Adat gayo, jelas menunjang agama (pengertian agama). Perlu disimak adat adalah hablumminannas.
3. Adat adalah etos (pandangan hidup yang khas suatu golongan sosial) masyarakat, terikat dengan “murip ikanung edet, mate ikamnung bumi, murip benar matee suci” (hidup selalu dikandung adat, mati dikandung bumi/tanah, hidup harus benar, mati harus suci).
77
4. Adat adalah aturan ciri khas dari berbagai suku, tata kelakuan dan kebiasaan. Bagi suku Gayo adat itu: “nge mucap ku, atu mulabang kepapan’ (sudah melembaga)
5. Adat adalah aturan yang berlaku di daerah tritorial masing-masing berfungsi laksana undang-undang.
6. Adat adalah pegangan hidup serta pedoman dalam melaksanakan sesuai perbuatan
7. Adat istiadat adalah kata kelakuan yang kekal dan turun temurun dari generasi kegenerasi sebagai warisan sehingga kuat integrasinya dengan pola-pola prilaku masyarakat (Hakim, 1998: 14).
Dengan demikian fungsi adat ini tampak jelas untuk mengatur kehidupan
yang berlaku dengan menjadikan ajaran Islam sebagai pedoman. Dalam arti
apabila ada kekeliruan yang terjadi, maka akan dikembalikan kepada Al Qur’an
dan yang membuat adat tersebut. Fungsi adat ini menjadi sistem yang berlaku
pada masyarakat Gayo. Di dalam sistem adat Gayo ada tahapan adat yaitu,
mukemel (harga diri), tertip (tertib), setie (setia), semayang Gemasih (kasih
sayang), mutentu (kerja keras), amanah (amanah), genapmupakat (musyawarah),
alang tulung (tolong menolong), bersikemelen (kompetitif). Tahapan tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut. Sistem nilai budaya Gayo terbagi menjadi nilai
“utama” yang disebut “harga diri” (mukemel). untuk mencapai harga diri itu,
seorang harus mengamalkan atau mengacu pada sejumlah nilai lain, yang disebut
nilai “penunjang”. Nilai – nilai penunjang itu adalah: “tertib”, “setia”, “kasih
sayang”, “kerja keras”, “amanah”, “musyawarah”, “tolong- menolong”. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa agama dengan adat seperti zat dengan sifat,
seperti dalam pepatah Gayo
“edet mugenal hokum mubeza Kuet edet muperala agama Rengang edet benasa nama
78
Edet menukum musifet ujud Ukum munukum musifet kalam Edet sifetni resam, resam itinyo edet Edet atan astana, hokum atan agama Dewe hadis ulaken ku empuwe Edet turah berujud Fiil turah berupe Semi turah bertubuh
(adat mencari hukum dijadikan neraca Bila kuat adat terpeliharalah agama Renggang adat rusaklah nama Adat menghukum bersifat wujud Hukum menghukum bersifat pasti Adat sifatnya resam, resam ditinjau adat Sumber adat dari istana, hukum dalam agama Berselisih pendapat tentang hadist dikembalikan ke firman Berselisih pendapat tentang adat kembalikan kepada empunya Adat harus dibuktikan Fiil harus mempunyai rupa Semi harus bertubuh (Hakim, (1998:14)
2.5 Sistem Kemasyarakatan
Ssistem kemasyarakatan suku Gayo tidak berbeda dengan system
kemasyarakatan yang dimiliki suku lainnya di Aceh, dan berbeda dengan suku-
suku di luar Aceh. Masyarakat Gayo hidup dalam komunitas kecil yang terdiri
dari beberapa suku dan mendiami satu daerah yang disebut kampong. Setiap
kampong dikepalai oleh seorang gecik. Kumpulan beberapa kampung disebut
kemukiman yang dipimpin oleh Mukim. Pada masa sekarang sistem pemerintahan
mengikuti sistem pemerintahan nasional, yang membedakan dengan daerah lain
yang ada di Indonesia yaitu terdapat beberapa buah mukim. Mukim merupakan
bagian dari kecamatan dengan unsur-unsur kepemimpinan terdiri atas: gecik,
wakil gecik, imem, dan cerdik pandai yang mewakili rakyat. Pada pemerintahan
yang ada di dataran tinggi Gayo tidak mengenal dengan sistem RT/RW yang ada
79
hanya satu bagian yang disebut sebagai dusun dipimpin kepala dusun dan
perangkatnya, untuk mengatur hidup masyarakat Gayo.
Sistem pemerintahan yang berbeda ini juga menjadi system yang mengatur
dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan adat, mereka memiliki sistem pemerintahan
yang dikenal dan berlaku secara adat suku Gayo yang dahulu dikenal dengan
sistem kerajaan, dikenal dengan dinasti Lingga. Sistem pemerintahan ini dan
unsur kepemimpinan yang disebut sarak opat (empat unsur dalam satu ikatan
terpadu), terdiri dari: raja (reje), orang yang dtuakan (patue), iamam (imem), dan
rakyat (rayat), Mahmud Ibrahim (27: 63) menyatakan adapaun sarak opat adalah:
1. Raja (reje: kepala pemerintahan), musuket sifet (berfungsi memelihara
keadilan dikalangan rakyatnya)
2. Ulama (imem), muperl sunet (berkewajiban membimbing dan melaksanakan
ajaraagama Islam terutama yang fardhu dan sunat yang baik.
3. Petue (orang yang dituakan dan dindang berilmu), musidik sasat (meneliti dan
mengevaluasi keadaan rakyat/masyarakat).
4. Rakyat (rakyat), genap mufakat (bermusyawarah dan mufakat bagi
kepentingan negeri atau seluruh masyarakat)
Reje (raja) dan imem (ulama) memiliki fungsi dan berperan sangat penting
dalam pemerintahan, karena raja (reje) melaksanakan prinsip: edet mu nukum
bersifet wujud (adat menjatuhkan hukuman karena ada bukti yang jelas, imem
(ulama) melaksanakan prinsip : ukun mu nukum bersifet kalam (hukum Islam
menetapkan hukum berdasarkan firman Allah danSunnah Rasulullah).Keduanya
80
harus serasi dan terpadu dalam rangka mewujudkan agama iberet empus, ederet
ibarat peger (agama seperti kebun/tanaman, edet seperti pagar tanaman.
Menurut Melalatoa dalam Zainal Abidin, (2002: 27) masyarakat Gayo
sebagai mana masyarakat Aceh lainnya, adalah masyarakat yang tergolong taat
menjalankan ajaran agama Islam. Hal ini karena adanya pemahaman ditengah-
tengah masyarakat bahwa sistem budaya mereka berasal dari dua sumber, pertama
sumber leluhur yang bermuatan pengetahuan, keyakinan nilai, norma-norma yang
kesemuanya dinyatakan edet (adat) serta kebiasaannya yang tidak mengikat yang
disebut resam, kedua, sumber agama Islam berupa akidah, sistem keyakinan,
nilai-nilai dan kaidah-kaidah agama disebut dengan hukum. Kedua hukum ini
berjalan bersama dan saling mengikat satu sama lain, sehingga kekuatan hukum
ini menjadi pegangan/anutan bagi suku Gayo.
2.6 Agama
Sebagaimana halnya kebanyakan wilayah di negeri ini, mayoritas
penduduk Kabupaten Aceh Tengah memeluk agama lslam, diikuti oleh Kristen
Katolik, Protestan, Persentase umat lslam sekitar 96,4 persen lebih. Masyarakat
Gayo yang berdomisili di Kotacanemayoritas memeluk agama Islam. Namun ada
beberapa pendatang yang beragamakan non Islam, seperti agama Kristen, Hindu
dan Budha. Penduduk yang beragamakan non Islam tersebut bukanlah penduduk
tetap ataupun penduduk asli, melainkan mereka adalah pendatang atau penduduk
sementara yang berdomisili di Kotacane tersebut. Pada umumnya keberadaan
penduduk yang beragamakan non Islam tersebut adalah mereka yang ditugaskan
81
atau pun bertugas sementara, misalnya sebagai pegawai negri sipil, Kepolisian,
Tentara, dan juga instansi-instransi kepemerintahan lainya, selain sebagai
pedagang.
Masyarakat Gayo merupakan masyarakat yang taat beribadah, itu semua
terlihat jelas dari banyaknya masjid dan mushola yang berdiri kokoh pada setiap
daerahnya. Setiap kampung ataupun kelurahan mempunyai masjid-masjid besar
dan setiap dusun mempunyai mushola-mushola yang setiap waktu sholat selalu
dipenuhi oleh warganya untuk berjamaah.Selain sebagai tempat beribadah,
masjid juga digunakan sebagai tempat melaksanakan kegiatan keagamaan lainya,
seperti : pengajian, ceramah keagamaan, diskusi keagamaan, dan juga diskusi
tentang pembangunan-pembangunan desa, sehingga keberadaannya sangat
dibutuhkan oleh masyarakat.
Kekhusukan masyarakat Gayo dalam beribadah juga terlihat pada saat
bulan suci ramadhan. Pada bulan yang penuh berkah ini masyarakat Gayo
semakin mempertebal ibadah untuk lebih memperkokoh keimanannya. Sebulan
penuh melaksanakan ibadah puasa disertai sholat tarawih, ceramah-ceramah
keagamaan, sholat-sholat sunat lainya, dan banyak lagi kegiatan keagamaan
lainya, mesjid selalu dipenuhi jamaah untuk pelaksanaan kegiatan keagamaan.
Tempat-tempat ibadah selain mesjid juga dibangun untuk kebutuhan beribadah
bagi umat non muslim. Toleransi masyarakat Kotacane dalam beragama sangatlah
tinggi, itu semua terlihat dari pertemanan yang terjalin antar umat beragama, tidak
pernah terjadi perselihan diantara mereka. Semua saling menjaga, hormat
menghormati dan mengharagai adanya perbedaan di antara mereka.
82
Suku Gayo dengan Islam sebagai agama yang dominan dianut, tidak
menjadikan masyarakatnya menutup pada bentuk-bentuk hiburan yang
menyertakan kesenian dalam materi acara. Kesenian sudah ada sejak sebelum
agama Islam masuk ke wilayah Gayo, yang kemudian memasukkan ajaran Islam
dalam pertunjukan dan dijadikan sebagai media memperkenalkan dan pengajaran
tentang Islam. Pertunjukan kesenian dilakukan dalam memperingati Maulid nabi,
Isyrak mikraj, perayaan setelah hari raya Idul Adha, dan memasukkan ajaran
Islam sebagai aturan dalam pertunjukan, yang juga menempatkan kesenian Aceh
sarat dengan ajaran Islam di dalamnya.
2.7 Upacara Adat
Masyarakat Gayo melakukan berbagai kegiatan upacara adat yang telah
ada sejak zaman nenek moyang mereka hingga sekarang. Upacara-upacara adat
tersebut mereka lakukan sebagai bentuk dari kepatuhan dalam menjaga sistem
adat yang sudah mereka sepakati.Syarak opat sebagai panduan dalam system adat
menjadi patokan utama dalam pelaksanaan upacara-upacara adat yang mereka
lakukan. Upacara-upacara adat yang ada antara lain: Turun Mani, Sunet rasul,
Kenduri Ulu Nueh, Mulongom Umah dan Ngerje(perkawinan). Upacara Turun
Mani adalah upacara Akikahan3, biasanya dilaksanakan pada hari ketujuh anak
yang baru lahir, dengan mengadakan syukuran semoga anak yang di aqiqah
menjadi anak yang sholeh dan sesuai dengan harapan kedua orang tua. Upacara
3Kegiatan ini merupakan salah satu kewajiban yang dilakukan oleh umat muslim bagi
yang mampu pada anaknya yang baru lahir, dengah melakukan ucapan syukur (kenduri) dan mengundang tetangga, keluarga untuk hari bahagia, biasanya acara aqiqah sekaligus acara untuk pemberian (penabalan) nama bagi anak.
83
Sunet Rasuladalah upacara Khitanan, biasanya dilaksanakan sesudah beberapa
hari anak tersebut disunat. Upacara Kenduri Ulu Nueh adalah upacara yang
dilakukan sebelum memulai bersawah. Upacara Mulongom Umah adalah upacara
yang dilaksanakan pada saat menempati rumah yang baru selesai dibangun.
Pelaksanaan kegiatan-kegiatan adat ini menjadi bukti akan kepatuhan masyarakat
dengan aturan-aturan yang menjadi pedoman mereka dalam menjalankan
kehidupan.
Dalam pelaksaan upacara-upacara adat ini, suku Gayo melakukannya
dengan mengikuti aturan-aturan yang sudah mereka dan diwariskan secaraturun
temurun. Pelaksanaan upacara-upacara adat menjadi symbol bagi suku Gayo dari
bentuk kepatuhan, keikhlasan mereka sebagai kelompok masyarakat yang
memiliki hubungan dianatar satu dengan lainnya, hubungan dengan alam, dan
hubungan dengan tuhan. Sehingga dalam pelaksanaannya mereka menyertakan
berbagai perangkat upacara untuk menjaga terjadinya hal-hal yang tidak
diinginkan. Termasuk dengan menyertakan seni sebagai materi dalam pelaksanaan
kegiatan upacara adat.
Upacara Ngerje adalah upacara perkawinan pada masyarakat Gayo,
Ngerje berkaitan dengan daur hidup dalam kehidupan masyarakat Gayo. Aturan-
aturan adat dan tata cara pelaksanaan upacara perkawinan Ngerje tersebut telah
lama ada dan dilaksanakan sampai sekarang. Pada Upacara Ngerje ini lah
dilaksanakan kesenian tari Guel. Kesenian tari Guel berupa penyambutan sebagai
penghormatan akan kedatangan rombongan mempelai laki-laki. Adapun
serangkaian acara didalam upacara Ngerje tersebut adalah sebagai berikut:
84
a. Edet Mungerje (adat Pernikahan)
Tradisi pernikahan sebagai salah satu unsur kebudayaan yang terdapat
dalam udaya Gayo memiliki keunikan dan kekayaan nilai budaya yang tinggi.
Kebdayaan masyarakat Gayo yang berada di sekitar kawasan Takengon Aceh
Tengah (Gayo Lut) turut mempersiapkan hajat besar dalam upacara perkawinan
dengan melewati beberpa tahapan adat yang tiap tahapannya tersimpan makna
yang sakral untuk kebahagiaan pasangan pengantin.
Rangkaian proses pernikahan masyarakat suku Gayo:
1. Risik Kano (Perkenalan Keluarga)
Acara ini merupakan ajang perkenalan keluarga calon pengantin. Orang
tua pengantin pria, biasanya di wakilkan oleh ibunya, akan menyampaikan
maksud dan tujuan kedatangan mereka untuk berbesan dengan orang tua
pengantin wanita. Biasanya acara akan dimulai dengan ramah tamah serta senda
gurau sebagai awal perkenalan dan barulah selanjutnya mengarah pada
pembicaraan serius mengenai kemungkinan kedua keluarga ini bisa saling
berbesan.
2. Munginte (meminang/melamar)
Munginte adalah tahapan yang dilakaukan sebelum melaksanakan upacara
perkawinan, Munginte (meminang atau pinangan) yang datang dari pihak laki-laki
kepada pihak perempuan. Namun biasanya tahapan ini tidak langsung dilakukan
oleh orangtua calon pengantin pria tetapi diwakilkan oleh kerabat dekat pihak
pria. Utusan ini disebut telangke/tel;angkai, mereka terdiri dari tiga sampai lima
85
pasangan suami-istri dan yang memegang peranan penting dalam tahapan ini
adalah kaum ibu.
Pada saat Munginte ini pihak laki-laki mengutarakan maksud
kedatangannya untuk meminang sang wanita untuk dijadikan istri oleh sang laki-
laki. Biasanya sebelum pihak laki-laki datang, pihak perempuan telah memberi
tahu terlebih dahulu bahwa pihak laki-laki akan datang meminang. kemudian
pihak perempuan memberi tahu kepada keluarga untuk berkumpul pada tanggal
yang ditentukan. Pada tanggal yang ditentukan, pihak laki-laki datang kekediaman
pihak perempuan untuk meminang.
Dalam acara ini meminang ini pihak calon pengantin laki-laki datang
sambil membawa bawaan yang antara lain berisi beras, tempat sirih lengkap
dengan isinya, sejumlah uang, jarum dan benang. Barang bawaan ini disebut
penampong ni kuyu yang bermakna sebagai tanda pengikat agar keluarga
pengantin wanita tidak menerima lamaran dari pihak lain. Bawaan ini akan
ditinggal di rumah calon pengantin wanita sampai ada keputusan.
Selanjutnya barang bawaan ini diserahkan dan ditinggal di rumah
pengantin wanita sampai ada kepastian bahwa lamaran tersebut diterima atau
tidak. Keluarga pengantin wanita diberi waktu sekitar 2-3 hari untuk memutuskan
hal tersebut. Dalam waktu tersebut biasanya keluarga pengantin wanita akan
mencari sebanyak mungkin tentang informasi calon pengantin pria mulai dari
bagaimana pribadinya, pendidikannya, agama, tingkah laku sampai ke soal bibit,
bobot dan bebetnya. Jika lamaran diterima maka barang bawaan tersebut tidak
86
dikembalikan lagi tetapi sebaliknya jika tidak, maka penampong kayu akan
dikembalikan pada pengantin pria lagi.
Setelah mendapat kepastian lamaran diterima selanjutnya akan dilakukan
pembicaraan antara dua pihak kelurga mengenai kewajiban apa saja yang harus
dipebuhi oleh keluarga masing-masing, termasuk membicarakan mengenai barang
dan jumlah uang yang diminta oleh keluarga pengantin wanita yang disebut
sebagai acara munosah nemah (menetapkan bawaan), dalam pembicaraan ini
keluarga pengantin pria akan diwakili oleh talangke yang harus pandai
melakukan tawar menawar atau negosiasi dengan keluarga pengantin wanita
dengan baik dan jangan samapi menyinggung atau kecewa pada pihak perempuan.
Sementara untuk mahar yang menetukan adalan calon mempelai wanita sendiri
dan mahar yang diminta tidak boleh ditawar lagi.
a. Sesuk pantang
Acara ini merepkana ketentuan adat yang harus dipatuhi oleh kedua calon
pengantin selama mereka belum menikah. Misalnya tidak oleh saling
bertemu, mereka tidak diperbolehkan saling menyapa. Selain itu keduanya
juga harus menghindari pertemuan dengan calon mertua. Bila tak sengaja
bertemu, mereka harus menutupi wajahnya, pria dengan kopiah dan wanita
dengan kerudung yang dipakainya. Bila aturan ini dilanggar, bukan tidak
mungkin rencana pernikahan mereka terancam gagal.
87
b. Turun Caram (mengantar Uang)
Acara mengantar uang ini biasa dilakukan pada saat matahari mulai naik
antara pukul 09.00-12.00. dengan harapan agar nantinya kehidupan rumah
tangga pasangan pengantin ini, termasuk rezekinya akan selamnya bersinar.
c. Munos benten
Munos benten adalah kegiatan dalam pelaksanaan upacara pernikahan,
kegiatan ini dilakukan oleh pihak pria dalam membuat benten. Apabila bapak
si calon belum memiliki anak yang sudah kawin atau belum punya menantu,
maka yang membuat benten adalah saudara iparnya.
d. Segenap dan begenap (musyawarah dan keluarga).
Dalam acara ini akan dilakukan pembagian tugas saat acara pernikahan
berlangsung. Yang mendapat tugas melakukan berbagai persiapan pesta
perkawinan adalah para kerabat serta tetangga dekat. Acara akan berlangsung
pada malam hari.
Pada malam begenap acara akan dibagi menjadi dua kelompok orang tua
yang akan membicarakan mengenai tata cara serah terima calon pengantin
kepada imam (pemuka agama) sementara kelompok kedua yaitu para muda-
mudi yang berkelompok membuat kue onde-onde untuk disantap bersma-
sama. Setelah itu datanglah utusan dari kelompok orang tua ke kelompok
anak muda tersebut sambil membawa batil (cerana) lalu mereka makan sirih
bersama sebagai tanda permintaan orang tua pengantin wanita agar muda-
mudi itu rela melepas salah satu teman mereka menikah.
e. Muniri
88
f. Kegiatan ini merupakan kegiatan dimana calon pengantin wanita dimandikan
oleh teman-teman sepermainannya. Selain membersihkan tubuh, rambut
calon pengantin juga ikut dibersihkan, yang disebut bepangir (keramas).
g. Beguru (pemberian nasehat)
Acara ini diadakan sesudah acara malam begenap yaitu pada pagi hari
sesudah sholat subuh. Beguru artinya belajar, dimana calon pengantin akan
diberi berbagai nasehat dan petunjuk tentang bagaimana nantinya mereka
bersikap dan berprilaku dalam membina rumah tangga. Acara beguru di
rumah calon mempelai wanita ini biasanya akan diiringi juga dengan acara
bersebuku (meratap) yaitu pengantin wanita melakukan sungkeman kepada
kedua orang tuanya untuk memohon restu dan doa.
h. Jege Uce (berjaga-jaga)
Acara ini dilaksanakan menjelang hari pernikahan. Disini para kerabat dan
tetangga dekat akan berjaga-jaga sepanjang malam dengan melakukan
berbagai kegiatan adat seperti acara guru didong (berbalas pantun) serta tari
tarian. Pada malam itu calon pengantin wanita akan diberi inai oleh pihak
ralik (keluarga pengantin wanita)
i. Belutut dan Bekune (mandi dan krikan)
Dahi, pipi dan tengkuk calon pengantin wanita akan dikerik oleh juru rias
atau wakil keluarga ibunya yang paling dekat setelah sebelumnya dilakukan
acara mandi bersama di kediaman masing-masing yang disebut acara
berlutut. Bekas bulu-bulu halus kerikan tadi selanjutnya akan ditaruh dalam
sebuah wadah berisi air bersih dan dicampurkan dengan irisan jeruk purut
89
untuk ditanam. Dipercayai nantinya rambut pengantin akan tumbuh subur dan
lebat.
j. Munalo(menjemput pengantin)
Pada hari dan tempat yang telah disepakati rombongan pengantin wanita yang
dipimpin oleh telangkai, selanjutnya disebut sebagai pihak beru, sambil
menabuh canang yang dilakukan oleh para gadis bersiap menunggu
kedatangan rombongan pengantin pria yang disebut pihak bei. Sementara itu
pengantin wanita di rumahnya telah didandani dan menanti dalam kamar
pengantin. Canang akan semakin keras ditabuh dan terdengar bersahutan
ketika pihak bei sudah mulai kelihatan dari kejauhan.
Saat pihak bei telah tiba, tabuhan canang dihentikan dan pihak beru akan
membuka percakapan sebagai ucapan selamat datang dan permohonan maaf
jika terdapat kekurangan dalam acara penyambutan tersebut. Pada saat acara
Munalo inilah tari Guel dan beberapa tari lainnya seperti tari Sinning
dipertunjukkan, sehingga tari Guel pada acara ini disebut dengan Guel
Munalo Disini pengantin pria akan diajak ikut menari bersama. Setelah itu
calon pengantin pria diarak beramai-ramai menuju kediaman pengantin
wanita.
k. Mah Bei (mengarak Pengantin Pria)
l. Sebelum rombongan pengantin pria sampai kerumah pengantin wanita,
mereka akan terlebih dahulu berhenti di rumah persinggahan yang disebut
umah selangan selama 30-60 menit. Dijempat ini rombongan akan menanti
datangnya kiriman makanan yang di bawa oleh utusan pihak beru. Bila
90
kiriman itu dianggap berkenan maka rombongan akan melanjutkan perjalanan
menuju rumah pengantin wanita, setelah mendengar kabar bahwa keluarga
pengantin wanita telah siap menerima kedatangan. Sebaliknya bila tidak
berkenan maka acara bida tertunda bahkan batal. Dalam perjalanan ini,
pengantin pria diapit telangkai yang biasanya terdiri dari dua orang laki-laki
yang sudah menikah. Pada acara ini orang tua mempelai pria boleh tidak
mendampingi karena tugas tersebut telah diwakilkan.
Setibanya rombongan bei di rumah pengantin wanita, tiga orang ibu akan
langsung datang menyambut dan saling bertukar batuil tempat sirih lalu
diadakan acara basuh kiding (cuci kaki) di depan pintu masuk. Uniknya yang
melakukan acara basuh kiding ini adalah adik perempuan pemngantin anita.
Jika pengantin wanita tidak memiliki adik perempuan maka tugas ini bisa
digantikan oleh anak pakciknya. Setelah itu sebagai tanda terima kasih,
pengantin pria akan memberikan sejumlah uang pengantin pria akan
melakukan acara tepung tawar yang dilakukan oleh keluarga pengantin
wanita. Sambil dibimbing masuk rumah, pengantin pria akan diserahkan oleh
keluarganya dan didudukkan berhadapan dengan ayah pengantin wanita
untuk acara akad nikah yang disebut acara Rempele (penyerahan)
Sebelum akad nikah dimulai telah disiapkan satu gelas air putih, satu
wadah kosong dan sepiring ketan kuning untuk melakukan tata acara adat. Selesai
akad pengantin pria memberikan batil mangas kepada mertua laki-laki. Selama
akad berlangsung pengantin wanita yang telah didandani tetap tinggal di dalam
kamar sambil menunggu dipertemukan dengan suaminya.
91
m. Ersuami Ngunduh mantu (munenes)
Acara ini sebagai simbol perpisahan antara pemngantin wanita dengan
orang tuanya karena telah bersuami dan akan berpisah tempat tinggal,
termnasuk juga sebagai acara perpisahan di masa lajang kekehidupan
berkeluarga. Pengantin wanita akan diantar kerumah pengantin pria sambil
membawa barang-barannya dari perhelatan rumah tangga sampai bekal
memulai hidup baru. Setelah itu diadakan acara makan bersama. Biasanya
setelah tujuh hari pengantin wanita berada dirumah pengantin pria, orang
tua pengantin pria akan datang ke rumah besannya sambil membawa nasi
beserta lauk pauk. Acara yang disebut mah kero opat ingi ini bertujuan
untuk lebih saling mengenal antar dua keluarga yang sudah berbesan.
2.8 Kesenian
Suatu unsur budaya yang tidak pernah lesu di kalangan masyarakat Gayo
adalah kesenian yang hampir tidak pernah mengalami kemunduran, bahkan
cenderung berkembang. Kabupaten Aceh Tengah dengan kota Takengon sebagai
ibukotanya, juga mempunyai kesenian tradisi yang sangat menarik dan mulai
dikenal di kalangan luas. Bentuk-bentuk kesenian yang ada mempunyai fungsi
yang beraham seperti ritual, pendidikan, penerangan, sekaligus sebagai sarana
hiburan dan sarana untuk mempertahankan keseimbangan dan struktur sosial
masyarakat.
Bentuk-bentuk kesenian tersebut seperti Didong dan tari Guel. Didong
merupakan salah satu kesenian milik suku Gayo yang berasal dari daerah dataran
92
tinggi ini. Didong adalah kesenian yang bercerita dengan cara menyanyikan dalam
bentuk syair. Pertunjukan yang dilakukan dengan adanya sekelompok orang
duduk bersila membentuk lingkaran, dengan salah seorang ceh akan
mendendangkan syair-syair dalam bahasa Gayo dan anggota yang lain akan
mengiringi dengan tepukan tangan dan tepukan pada bantal kecil dengan ritme
yang harmonis. Didong menjadi unik karena sebuah cerita dapat disampaikan
dengan cara yang menarik. Peran ceh sebagai penyampai cerita sangat penting,
karena ceh harus mampu menguasai nyanyian sekaligus cerita-cerita baik cerita
tentang sejarah, legenda, ataupun humor. Sepintas kalau diperhatikan peran cèh
sama dengan dalang pada kesenian wayang, dengan versi yang berbeda, sehingga
cèh adalah seorang seniman sejati yang memiliki kelebihan di segala aspek yang
berkaitan dengan fungsinya untuk menyebarkan ajaran Islam. Dalam didong ada
nilai-nilai religius, nilai-nilai keindahan, nilai-nilai kebersamaan dan lain
sebagainya. Jadi dalam berdidong para ceh tidak hanya dituntut untuk mampu
mengenal cerita-cerita religius tetapi juga harus mampu bersyair, memiliki suara
yang merdu serta berprilaku baik, sehingga kemampuan untuk menjadi ceh harus
dipelajari dengan sebaik-baiknya.
Tari Guel adalah kesenian berikutnya yang dimiliki suku Gayo di Aceh
Tengah. Tari ini begitu unik dengan pendominasian pola gerak pada bahu, yang
sepintas seperti gerakan Gajah. Tari ini awalnya dimainkan oleh dua orang penari
laki-laki yang memerankan dua tokoh abang beradik dalam mematuhi perintah
dan keinginan dari raja Linge beserta putrinya. Tari Guel ditarikan sejumlah
peanri antara 8-10 orang penari perempuan, 2-4 orang penari laki-laki. Penari laki-
93
laki setiap penampilan selalu tampil sebagai simbol dan primadona,
melambangkan aman manyak atau lintoe baroe dan guru didong. Jumlah pemusik
biasanya minimal 4 orang yang menabuh canang, gong, gegedem dan memong.
Saat ini pertunjukan tari Guel selalu ada terutama pada upacara perkawinan, yang
juga menjadi hiburan bagi keluarga, tamu, dan kerabat, serta menjadi media
penghormatan pada pihak keluarga laki-laki.
Tari Bines, adalah tari yang biasanya ada pada setiap acara bejamu saman
yang dilakukan selama 3 hari 2 malam. Tari ini muncul dan berkembang di Aceh
tengah dan kemudian dibawa ke Aceh Timur. Menurut sejarah tari ini
diperkenalkan oleh seorang ulama Syeh Saman dalam rangka berdakwah. Tari
Bines dimainkan oleh wanita dengan cara duduk berbanjar sambil menyanyikan
syair yang berisikan dakwah atau informasi pembangunan.
Tari Resam Berume, tari Resam Berume adalah tari tradisi yang ada di
Kotacane selain tari Guel. Tari resam berume artinya Tata cara bersawah,
kelaziman yang biasa dilaksanakan dalam mengolah sawah, misalnya menabur
benih, mencangkul, bertanam, mengusir burung, menyabit/menuai, mengirik dan
seterusnya. Maka gerakan-gerakan yang terdapat dalam tari Resam Berume ini
adalah menggambarkan gerak-gerak dari pekerjaan yang tersebut di atas, yaitu
gerak menabur benih, mencangkul dan sebagainya.
Pekerjaan yang dilakukan secara bergotong royong, bahu membahu
antara laki-laki dan perempuan mewarnai kenangan yang indah pada mereka
dalam mengerjakan pekerjaan bersawah. Pekerjaan bersawah ini menjadi satu
kebiasaan yang dilakukan oleh Masyarakat Gayo Aceh Tengah dari generasi ke
94
generasi dan menjadikan “Resam” (Tata Cara) dalam kehidupan bersawah
dikalangan masyarakat luas khususnya Gayo Kabupaten Aceh Tengah.
Pengerjaan sawah dikalangan masyarakat Gayo telah memiliki tata cara
pengerjaan, sejak dari membuat petak persemaian bibit sampai pada pengolahan
lahan dan mengumpulkan hasil panen.
Saat ini kesenian-kesenian yang ada pada masyarakat Gayo semakin
berkembang dengan banyaknya acara-acara yang menyertakan kesenian sebagai
materi dalam kegiatan tersebut. Tari Guel dan didong sebagai kesenian tradisi,
juga termasuk kesenian yang mulai disertakan sebagai materi acara. hal ini bisa
dilihat dengan semakin sering dipertunjukan kesenian Didong, misalnya pada
malam setelah selesainya acara resepsi perkawinan, adanya penampilan Didong
Jalu4 dan lain sebagainya. Begitu juga dengan tari Guel, yang semakin
berkembang dikalangan masyarakat Gayo. Saat ini pertunjukan tari Guel banyak
dilakukan pada acara perkawinan dan penyambutan tamu-tamu pemerintahan
4 Didong Jalu adalah didong yang dimainkan oleh dua grup didong, mereka saling
berbalas syair satu sama lain dengan ola pertanyaan dan jawaban yang dilakukan secara bergantian.
95
BAB III
TARI GUEL DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT GAYO
3.1 Pandangan Masyarakat
Tari Guel adalah salah satu khasanah budaya Gayo di Provinsi Aceh,
khususnya daerah dataran tinggi Gayo, yang menjadi salah satu tari hiburan dan
dilakukan dalam kegiatan adat suku Gayo. Kata Guel dalam tari Guel, berarti
membunyikan/memukul sesuatu benda hingga mengeluarkan suara, yang
kemudian dari kata ini terciptalah tari Guel. Dalam penciptaannya, masyarakat
Gayo menjadikan alam sebagai sumber inspirasi, sehingga dapat dikatakan tari
Guel merupakan apresiasi masyarakat Gayo kepada alam, dari alamlah mereka
belajar tentang kehidupan.
Tari Guel adalah tarian yangmenggabungkan seni sastra, seni musik dan
seni tari itu sendiri di dalam pertunjukannya, dan menjadi media informatif
melalui gerak simbolis dan hentakan irama. Tari ini hidup dan berkembang pada
masyarakat Gayo yang dipertunjukkan dalam berbagai tujuan. Walaupun bersifat
hiburan, tari ini menguatkan masyarakat untuk tetap mempertahankan,
melestarikan dan mengembangkan kesenian Guel serta menjadikannya bagian
dalam aktifitas kegiatan adat terutama pada upacara perkawinan suku Gayo.
Dalam rangkaian upacara adat perkawinan, tari Guel dipertunjukkan pada
rangkaian acara menyambut pengantin (munalo), yang dilakukan sebelum
pelaksanaan akad nikah. Dalam acara peyambutan ini, pihak yang disambut
adalah calon pengantin laki-laki. Dengan demikian tari Guel sangat erat kaitannya
96
dengan upacara perkawinan. Bahkan tari Guel menjadi bagian penting dalam
kegiatan ini, Sebagai sebuah karya tari yang ditempatkan dalam upacara
perkawinan, makaisi cerita disesuaikan dengan kegiatan pelaksanaan perkawinan,
dengan menjadikan calon pengantin sebagai tokoh dalam cerita. Aman mayak
(pengantin laki-laki) sebagai inti cerita adalah pelambang dari Gajah putih yang
merupakan jelmaan dari Bener Meriah. Dalam cerita,Gajah putih diajak bangun
dari tempat persembunyiannya oleh Sengeda dengan memukul benda-benda yang
menghasilkan bunyi (guel). Dalam penyajian tari Guel, aman mayak (calon
pengantin) laki-laki diajak bangun dari tempat duduk dipelaminan oleh guru
didong (penari utama sebagai Sengeda), dengan melakukan gerak-gerak tertentu
yang disebut munatap untuk menari bersama.
Dahulunya setiap pertunjukan tari Guel, harus mendapat izin dari “reje”,
reje menjadi penentu untuk pelaksanaan kegiatan adat/upacara, bahkan apabila
pertunjukan terjadi kesalahan, maka penari akan kena denda. Untuk itu calon
pengantin laki-laki harus mengusai gerakan dalam tari Guel dengan baik, agar
jalannya pertunjukan tidak akan mendapat malu. Dengan demikian calon
pengantin laki-laki harus mempelajari tari Guel, dan harus menguasai aturan,
susunan, dan elemen tari dalam penyajiannya. Penguasaan dalam tari ini sangat
diperlukan karena banyak gerak-gerak yang unik dan kemampuan dalam
mengayunkan kipasan kain di punggung, serta melakukan loncatan kaki kekanan
dan kekiri dengan lincahnya. Kipasan kain kerawang Gayo yang dikenakan,
seakan mengandung kekuatan yang luar biasa di sepanjang tarian. Ayunan kain
dan ayunan gerakan tangan serta henjutan badan yang dilakukan dari babakkan
97
awal ke babakan berikutnya hingga akhir, selalu menawarkan uluran tangan
seperti tarian sepasang kekasih. Dalam tarian ini tidak ada menang dan kalah,
walau cerita menunjukkan keengganan dari Gajah putihuntuk mengikuti kehendak
Sengeda, hal ini dikarenakan persembahan dan pertautan gerak serta tatapan mata,
adalah perlambang cinta. Sehingga tidaklah heran kalau tari ini ditempatkan
dalam rangkaian upacara adat perkawinan suku Gayo.
Khidmadnya peristiwa adat ditambah dengan adanya kesenian yang
memberikan perlambangan tentang perjalanan kasih sayang sepasang kekasih
(kedua calon pengantin), membuat tari Guel berbeda dengan tari-tari tradisi
lainnya.
3.2 Asal Mula Tari Guel
Dari berbagai sumber yang penulis dapatkan, tari Guel berawal dari cerita
pada masa kerajaan Linge. Konon, tari Guel berasal dari cerita tentang dua orang
putera Sultan Johor, Malaysia, bernama Muria dan adiknya yang bernama
Sengeda. Diceritakan, pada suatu hari kedua kakak-beradik itu disuruh oleh orang
tuanya menggembala itik di tepi laut. Sambil menggembala, untuk mengisi
kebosanan, mereka bermain layang-layang. Suatu saat, datanglah angin kencang
yang membuat layang-layang mereka putus. Secara spontan mereka berusaha
sekuat tenaga mengejar layang-layangnya yang putus itu, sehingga lupa pada itik-
itik yang harus mereka jaga. Karena kelengahan ini, itik-itik yang harus mereka
jaga berenang, akhirnya hilang di tengah laut1.
1versi lain dari cerita ini yang menyatakan bahwa, akibat hembusan angin yang sangat kencang itu mereka bersama layang-layangnya diterbangkan oleh angin hingga jatuh di Negeri Serule, Aceh Tengah yang dikuasai oleh Raja Cik Serule yang bergelar Muyang Kaya Lanang Bejeye.
98
Muria dan Sengeda mengejar layang-layang hingga kelelahan, dan
akhirnya mereka kembali lagi ke tepi laut untuk membawa itik-itiknya pulang.
Namun sesampai di sana, mereka tidak mendapati satu ekor itik pun karena
seluruhnya telah hilang di telah ombak lautan. Dengan perasaan takut karena lalai
dalam menjalankan tugas yang diberikan, akhirnya mereka pulang untuk
melaporkan kejadian itu pada orang tua mereka. Sesampai di rumah, mereka
segera memberitahu tentang hilangnya itik-itik yang mereeka jaga. Mendengar
laporan kedua anaknya tersebut, sang ayah menjadi murka dan menyuruh mereka
mencari itik-itik itu sampai dapat dan apabila tidak dapat, maka mereka tidak
boleh pulang ke rumah. Akhirnya kedua kakak-beradik itu pergi dengan sebuah
sampan mengarungi lautan luas untuk mencari itik-itik yang hilang. Mereka
kemudian mencari hingga berhari-hari lamanya ke segala penjuru mata
angin,akhirnya mereka tersesat dan terdampar di sebuah negeri yang bernama
Serule.
Sesampainya di Negeri Serule hari telah gelap gulita, kemudian mereka
menuju ke sebuah meunasah/langgar untuk beristirahat karena sekujur tubuh
mereka basah serta lemah lunglai setelah berhari-hari berada di tengah lautan.
Pada pagi harinya barulah rakyat Serule terkejut mendengar ada dua anak
terdampar di negeri mereka. Rakyat Serule beramai-ramai menuju ke meunasah
untuk membawa kedua anak itu ke istana Raja Cik Serule untuk diinterogasi.
Setelah kedua anak itu menjelaskan asal usulnya, maka raja menjadi iba,
kemudian raja mengangkat mereka menjadi anak angkatnya. Kedua anak itu
sangat disayangi oleh Raja Cik Serule.
99
Negeri Serule dengan adanya kedua abang beradik ini, membuat rakyat
Serule makmur, aman dan sentosa. Hal ini terjadi karena kedua anak itu
mempunyai tuah/kesaktian yang menakjubkan. Sebagai pertanda bahwa mereka
memiliki tuah tersebut adalah tatkala menjelang senja hari selalu terlihat cahaya
menyala-nyala di atas langit Negeri Serule.Melihat kemakmuran Negeri Serule
akibat kesaktian atau tuah dari kedua anak itu, maka raja Linge, yang berasal dari
negeri tetangga merasa cemburu. Kemudian ia memerintahkan kepada para
prajuritnya untuk membunuh kedua anak itu. Namun dalam usaha pembunuhan
itu, yang terbunuh hanya Muria, kakak dari Sengeda. Sedangkan Sengeda berhasil
diselamatkan oleh Raja Cik Serule dengan menyembunyikannya di suatu tempat
tanpa diketahui oleh sembarang orang. Jasad Muria yang terbunuh itu kemudian
dikuburkan di tepi sungai di Desa Samarkilang, Aceh Tengah.
Pada setiap akhir tahun raja-raja harus datang ke Kutaraja untuk
mengantarkan atau mempersembahkan “cup usur” (upeti) kepada Sultan Aceh.
Kebetulan pada tahun itu Raja Cik Serule membawa serta Sengeda. Saat para raja
mengadakan pertemuan dengan Sultan Aceh, si Sengeda yang bukan seorang raja,
menunggu di halaman istana. Sambil menunggi, ia mengisi waktunya dengan
seekor Gajah yang berwarna putih. Rupanya lukisan Sengeda itu menarik
perhatian puteri Sultan. Sang puteri kemudian meminta ayahnya (Sultan Aceh)
untuk mencarikan jenis binatang yang dilukis oleh Sengeda.
Sultan Aceh enggan untuk menolak permintaan anaknya tersebut dan
memerintahkan Raja Cik Serule bersama Sengeda mencari dan menangkap Gajah
itu untuk dipersembahkan kepada Sultan Aceh. Raja Cik Serule sangat
100
kebingungan menerima tugas yang berat itu, sebab ia tidak tahu bagaimana cara
mencari dan menangkap Gajah tersebut. Melihat kebinggungan ayah angkatnya
itu, Sengeda kemudian bercerita bahwa beberapa malam sebelumnya ia didatangi
oleh roh kakaknya (Muria) yang dibunuh dan dikubur di Desa Samarkilang. Roh
kakaknya itu memberikan petunjuk dimana mereka dapat mencari Gajah putih.
Keesokan harinya Raja Cik Serule, yang bergelar Muyang Kaya pergi
bersama Sengeda mencari Gajah itu sesuai dengan petunjuk yang telah
disampaikan roh Muria melalui mimpinya. Sesampainya mereka ke tempat Gajah
itu, yang ketika itu sedang berkubang, maka mereka segera memasangkan tali
kulit ke leher Gajah putih itu. Mulanya Gajah putih itu hanya diam saja, tetapi
tiba-tiba Gajah itu berlari dengan sangat kencang. Gajah putih itu akhirnya baru
berhenti di dekat kuburan Muria di Kampung Samarkilang. Walaupun segala
macam cara telah dilakukan, tetapi sang Gajah putih tetap tidak beranjak dari
tempatnya. Akhirnya mereka menggunakan cara lain yaitu rayuan yang lemah
lembut dan menari dengan meiluk-liukkan tubuh. Melihat tingkah polah kedua
orang itu, sang Gajah akhirnya terbujuk dan bersedia ikut menuju istana Sultan
Aceh.
Gerakan-gerakan tubuh yang dilakukan oleh Raja Cik Serule dan Segenda
itu akhirnya menjadi cikal bakal tari Guel yang menjadi tari tradisional khas
rakyat Gayo. Sumber kedua tentang tari Guel, berdasarkan cerita rakyat yang
berkembang di tanah Gayo. tari Guel berawal dari mimpi seorang pemuda
bernama Sengeda anak Raja Linge ke XIII. Sengeda bermimpi bertemu saudara
kandungnya Bener Meria yang konon telah meninggal dunia karena
101
pengkhianatan. Mimpi itu menggambarkan Bener Meria memberi petunjuk
kepada Sengeda (adiknya), tentang kiat mendapatkan Gajah putih sekaligus cara
menggiring Gajah tersebut untuk dibawa dan dipersembahakan kepada Sultan
Aceh Darussalam. Adalah sang putri Sultan sangat berhasrat memiliki Gajah
Putih tersebut. Berbilang tahun kemudian, tersebutlah kisah tentang Cik Serule,
perdana menteri Raja Linge ke XIV berangkat ke Ibu Kota Aceh Darussalam
(sekarang kota Banda Aceh). Memenuhi hajatan sidang tahunan Kesutanan
Kerajaan. Nah, Sengeda yang dikenal dekat dengan Serule ikut dibawa serta. Pada
saat-saat sidang sedang berlangsung, Sengeda rupanya bermain-main di Balai
Gading sambil menikmati keagungan Istana Sultan.
Pada waktu itulah ia teringat akan mimpinya waktu silam, lalu sesuai
petunjuk saudara kandungnya Bener Meria ia lukiskan seekor Gajah berwarna
putih pada sehelai daun Neniyun (Pelepah rebung bambu), setelah usai, lukisan itu
dihadapkan pada cahaya matahari. Tak disangka, pantulan cahaya yang begitu
indah itu mengundang kekaguman sang Puteri Raja Sultan. Dari lukisan itu, sang
Putri menjadi penasaran dan berhasrat ingin memiliki Gajah Putih dalam wujud
asli.
Permintaan itu dikatakan pada Sengeda. Sengeda menyanggupi
menangkap Gajah Putih yang ada dirimba raya Gayo untuk dihadapkan pada tuan
puteri dengan syarat Sultan memberi perintah kepada Cik Serule. Untuk
menjinakkan sang Gajah Putih, diadakanlah kenduri dengan membakar
kemenyan; diadakannya bunyi-bunyian dengan cara memukul-mukul batang kayu
serta apa saja yang menghasilkan bunyi-bunyian. Sejumlah kerabat Sengeda pun
102
melakukan gerak-gerak yang tidak beraturan, bergerak kesana kemari mengikuti
bunyi yang berasal dari benda-benda yang dipukul untuk memancing sang Gajah.
Perlakuan rombongan Sengeda akhirnya menarik perhatian Gajah putih
untuk keluar dari tempat persembunyiannya. Setelah itu, sang Gajah yang
bertubuh putih nampak keluar dari persembunyiaannya. Ketika berpapasan
dengan rombongan Sengeda, sang Gajah tidak mau beranjak dari tempatnya.
Bermacam cara ditempuh, sang Gajah masih juga tidak beranjak. Sengeda yang
menjadi pawang pada waktu itu menjadi kehilangan ide untuk menggiring sang
Gajah. Lagi-lagi Sengeda teringat akan mimpi waktu silam tentang beberapa
petunjuk yang harus dilakukan. Sengeda kemudian memerintahkan rombongan
untuk kembali menari dengan niat tulus dan ikhlas sampai menggerakkan tangan
seperti gerakan belalai Gajah: indah dan santun. Disertai dengan gerakan salam
sembahan kepada Gajah ternyata mampu meluluhkan hati sang Gajah. Gajah pun
dapat dijinakkan dan mengikuti Sengeda ke istana sambil diiringi rombongan.
Sepanjang perjalanan pawang dan rombongan, Gajah putih sesekali ditepung
tawari dengan mungkur (jeruk purut) dan bedak oleh kaum ibu-ibu yang dilewati
oleh rombongan. Perjalanan ini dilakukan hingga berhari-hari hingga sampailah
rombongan ke hadapan Putri Sultan di Pusat Kerajaan Aceh Darussalam. Dari
proses pencarian Gajah hingga terbujuknya Gajah dengan bunyi-bunyian dan
berdasarkan dari gerak-gerak Gajah,terciptalah tari Guel dengan Gajah sebagai
insfirasi penciptaan.
Begitulah sejarah cerita rakyat yang ada di Gayo dengan berbagai
penafsiran, walaupun kebenaran secara ilmiah tidak bisa dibuktikan, namun
103
kemudian cerita Tari Guel dalam perkembangannya tetap mereka ulang dengan
kisah unik Sengeda, Gajah Putih dan sang Putri Sultan. Runtutan cerita ini yang
kemudian dikenal dengan adanya hubungan sejarah yang menghubungkan
kerajaan Linge dengan Kerajaan Aceh Darussalam .
Dari kedua sumber di atas, terlihat tidak begitu banyak perbedaan, hanya
pada asal mula Sengeda dan Muria. Pada sumber kedua Muria menjadi bener
Meriah dan dikatakan inilah asal mula dari nama kabupaten Bener Meria. Dalam
pertunjukan tari Guel, yang sering dijumpai pada saat upacara perkawinan,
khususnya di Tanah Gayo, adalah kepatuhan dari Sengeda atas perintah raja dan
kasih sayangnya pada Benar Meria menjadi rangkaian susunan tari yang indah.
Sumber di atas merupakan isi cerita dari tari Guel, sementara untuk nama
Guel diambil dari proses pencarian dalam membangunkan dan membawa Gajah.
Kata “Guel” dalam bahas Gayo berarti “bunyi” yang didapat dari pukulan
berbagai benda yang menimbulkan suara. Diceritakan, ketika Gajah tidak mau
bangun, maka Sengeda dan rombongan berupaya untuk dapat menaklukkan
Gajah, dengan gerakan memohon dan mengajak Gajah seperti bersalaman hingga
7 kali. Akhirnya dengan rasa tulus dari Sengeda dan rombongan dalam merayu
Gajah, Gajah pun mau untuk di bawa ke istana.
3.3. Karakter Tari Guel
Nama tari Guel tercipta dari kata ‘guel’ yang berarti bunyi-bunyian dalam
bahasa Gayo. Kemudian kata Guel dijadikan sebagai nama tarian, dikarenakan
proses pencarian yang menjadi inti kisah tari ini memberikan pesan pada
104
masyarakat. Tari Guel merupakan tari yang bercerita tentang kisah kasih sayang
dari keluarga yang kemudian tertuang dalam rangkaian tarian. Gerakan-gerakan
yang dominan dilakukan berasal dari sinkronisai antara bunyi yang dihasilkan dari
benda-benda disekitar dengan keikhlasan, ketulusan hati, sehingga menarik Gajah
untuk mengikuti kemauan dari Sengeda. Dari rangkaian proses pencarian,
tertuang karakter dari masing-msaing peran yang disampaikan.
Tari Guel adalah tarian yang memiliki cerita dengan penokohan dari
masing-masing karakter pelakunya, yang menceritakan tentang kisah abang adik
Sengeda dan bener Meriah. Didalam struktut tarian, tariini dibagi dalam empat
bagian/babakan dari awal hingga akhir tarian, yang setiap babak memiliki
perubahan dalam iringan musik. Masing-masing babak memiliki alur yang
menguatkan inti cerita, melalui karakter dari masing-masing penari.
Dalam tari Guel karakter tari di bagi 3 penokohan yaitu, karakter Sengeda
atau Guru Didong yakni penari yang mengajak Beyi (aman Mayak) atau Linto
Baroe untuk bangun dari tempat persandingan (pelaminan). Karakter Bener
Meriah yang menjadi Gajah Putih diperankan oleh Linto Baroe (pengantin laki-
laki). Peran pendukung yaitu pengulu Mungkur, Pengulu Bedak diperankan oleh
kaum ibu yang menaburkan breuh padee (beras padi) atau dikenal dengan bertih.
Ketiga karakter dalam tai Guel ini tidak sama dalam pengambilan caerita,,
karakter Sengeda dan karakter Bener Merie yang dominan dilakukan. Untuk
karakter Pengulu Bedak yang diperankan kaum ibu-ibu, menjadi karakter
pendukung, dan adakalanya karakter pengulu Bedak tidak diikutsertakan apabila
tari Guel hanya diperankan oleh dua orang atau 4 orang.
105
Penguatan karakter dalam sisi gerak, tidak begitu jauh berbeda antara
karakter Sengeda dan karakter Bener Meriah. Secara konsep tari Guel, gerak yang
dilakukan Bener Meriah sebagai Gajah putih tidaklah sebanyak gerakan yang
dilakukan oleh Sengeda. Karakter Bener Meriah (Gajah putih) lebih banyak
melakukan gerakan diakhir babak. Peran Gajah putih diawali dengan melakukan
gerakan berlari kecil kemudian duduk, dan selanjutnya menunggu peran Sengeda
untuk mengajaknya ke istana. Pada tahapan ini, gajah putih menirukan gerakan
yang dilakukan Sengeda yang menonjolkan pada gerak-gerak Gajah,berjalan
lambat dengan gerak lembut, merentangkan tangan, menggerakkan telinga dan
menggoyangkan belalai. Selain itu pola gerak melengkungkan jemari dengan
merapatkan membentuk seperti ujung belalai gajah terlihat sangat khas dan
menjadi ciri dari tari Guel. Gerakan Gajah ini juga dilakukan oleh karakter
Sengeda dan penari pendukung, sehingga isi cerita tentang Gajah Putih sangat
terasa, selain gerakan Gajah, dalam tari Guel juga menampakkan gerakan burung.
Terlihat pada gerakan tangan merentang, kaki diinjit, kemudian berputar, menukik
tajam dengan membungkukkan badan, seolah-seolah mencari mangsa dengan
penuh kewaspadaan. Keseluruhan gerakan yang dilakukan merupakan gerak-
gerak dari alam ini kemudian disusun/ditata menjadi rangkaian gerak dalam Guel,
dan dilakukan oleh kedua karakter dalam tari Guel ini.
Karakter lain dalam tari Guel terlihat pada pembedaan dalam pemakaian
busana, biasanya karakter Sengeda (Guru Didong) memakai pakaian kerawang
Gayo berwarna Hitam, sedangkan karakter Bener Meriah yang berperan menjadi
Gajah putih, memakai pakaian krawang Gayo dan kain yang berwarna putih.
106
Untuk peran penari pendukung, biasanya memakai pakaian Krawang Gayo
berwarna Hitam sama dengan pakaian Sengeda, demikian juga dengan pakaian
penari perempuan.
Pemakaian dari busana dalam tari Guel di atas mengikuti pakaian yang
dipakai dalam sistem sarak opat, yaitu:
1. Pakaian Raja, warna dasar hitam dengan warna motif kerawang didominasi
oleh warna kuning.
2. Pakaian imem, warna dasar hitam dengan warna motif kerawang didominasi
warna hijau.
3. Pakaian petue, warna asar hitam dengan warna motif kerawang didominasi
oleh warna merah hati.
4. Pakaian rayat genap mupakat, warna dasar hitam dengan marna motif
kerawang didominasi oleh warna putih.
3.4 Bentuk Pertunjukan Tari Guel
Penyajian tari Guel dilaksanakan pada saat acara Mah Bai dalam rangkaian
upacara perkawinan. Tujuan dari menyertakan tari ini adalah sebagai
penyambutan untuk menghormati rombongan mempelai laki-laki yang datang
dengan keluarga dan kerabatnya. Pada saat ini lah tari Guel memegang peran
utama, melalui tarian, upacara penghormatan sebagai wujud rasa gembira, ikhlas,
bahagia tersampaikan.
Seperti yang dikatakan oleh Sal Murgianto tentang teori bentuk, yang
membedakan menjadi dua yaitu bentuk yang tidak terlihat dan bentuk yang
107
terlihat. Bentuk yang tidak terlihat dapat diamati dari batin penari itu sendiri
meliputi perasaan maupun isi hatinya. Kemudian dituangkan melalui bentuk yang
terlihat, meliputi gerak-gerak dalam tarian dan juga ekspresi dari sang penari.
Jika seorang penari melakukan gerak dengan baik tetapi ia tidak bisa
menggunakan ekspresinya dengan tepat maka akan mengurangi keindahan pada
tarian tersebut. Semua itu dikarenakan penyatuan antara gerak yang dilakukan
penari dengan rasa yang timbul dari hati si penari berhubung kait. Demikian
halnya didalam tari Guel, jika penarinya bergerak dengan baik, tetapi ekspresi
pada penari tidak terungkap, maka bentuk tarian tersebut terlihat kurang baik.
Tari Guel adalah tari yang ditampilkan secara berkelompok, dan dapat
menyesuaikan dengan konteks pertunjukan. Pada kegiatan upacara perkawinan,
tari Guel ditarikan oleh 1-4 penari laki-laki dan 6-10 penari wanita. Tari Guel
dipertunjukan pada acara perkawinan yaitu pada penyambutan mempelai. Selain
untuk acara perkawinan, tari Guel juga dipertunjukan pada acara penyambutan
tamu-tamu daerah, dengan pola garapan yang berbeda namun tetap memegang
aturan dan struktur dari format tari Guel yaitu adanya empat babakan.
Pada awalnya, bentuk pertunjukan tari Guel hanya ditarikan oleh 2 orang
penari yaitu yang berperan sebagai Sengeda dan yang berperan sebagai Gajah
Putih (Bener Meriah). Dalam perkembangannya, tari Guel mulai menambahkan
jumlah penari dan penambahan pada penari wanita sebagai pelengkap dari
pertunjukan. Perubahan ini dilakukan dalam acara perkawinan dan pertunjukan
sebagai apresiasi dari sebuah karya seni. Penamahan yang ada tidak mengganggu
dari format yang sudah ada sejak awal, penambahan dilakukan untk memeriahkan
108
pertunjukan serta mempertajam dari cerita yang disampakan, sehingga pesan-
pesan dari tarian dapat tersampaikan. Selain itu turut sertanya penari perempuan,
sesungguhnya memberikan ruang pada kaum perempuan untuk ikut berpartisipasi,
dengan tetap berlaku sesuai dengan aturan dalam ajaran Islam.Terlihat betapa
hormat dan santun kaum laki-laki suku Gayo, yang memberikan kesempatan
untuk menari bersama dalam satu rangkaian tari.
Apabila dicermati posisi penari perempuan adalah bahagian dari akhir
kisah pencarian Gajah, terlihat pada suasana perjalanan pulang menuju istana.
Pada saat Sengeda membawa Gajah putih, maka kaum perempuan yang ditemui
di sepanjang perjalanan, memberikan tepung tawar dan bedak, bertih pada
rombongan Sengeda beserta Gajah Putih, hal ini menunjukkan kebahagiaan dari
masyarakat dengan keberhasilan Sengeda dalam membawa Gajah putih sesuai
keinginan Raja Linge Dari peristiwa ini, kaum perempuan kemudian
turutmengambil bagian dalam pertunjukan tari Guel, dan menyesuaikan dalam
pertunjukannya. Hal ini juga menunjukkan adanya penghargaan yang diberikan
oleh kaum laki-laki kepada kaum perempuan untuk turut serta dalam pelaksanaan
kegiatan adat. Sehingga dalam penyambutan calon penganting laki-laki, maka
penari perempuan disertakan dalam pertunjukan tari Guel.
Bentuk penyajian pada tari Guel dapat dibagi menjadi empat babak dalam
tiga tahapan, dibawah ini dijelaskan tahapan dalam pertunjukan pada upacara
perkawinan, yaitu:
109
1. Tahap Awal
Pertunjukan tari Guel diawali dengan posisi penari berada di depan pintu
gerbang bagian sebelah kiri, pemusik berada disebelah kanan, sementara itu
pengantin perempuan berada dikamar pengantin. Kedua mempelai belum bisa
dipertemukan, karena belum terjadi akad nikah yang menghalalkan mereka
untuk bersatu. Posisi rombongan pengantin laki-laki berada didepan para penari
yang berjarak kurang lebih sepuluh meter dari posisi penari. Kesemua pelaku baik
itu rombongan pengantin laki-laki, pemusik maupun penari sudah siap berada di
posisinya masing-masing. Setelah mempelai sampai di lokasi acara, maka para
penari dan pemusik tari Guel mulai memainkan perannya. Para penari memasuki
arena pertunjukan yang diiringi musik tari Guel. Para penari memasuki arena
dengan melakukan gerak Munalo Awal, yang juga merupakan babak pertama
(munatap).
Pada babak awal ini menceritakan perjumpaan Sengeda dengan Gajah
Putih. Sengeda mendekati Gajah putih dengan sopan dan santun, kemudian
terkesan seolah-olah terjadi dialog diantara mereka serta ajakan untuk gajah putih
ikut dengan Sengeda. Tampak rangkaian ekspresi perlakuan penari Sengeda
memberikan pengertian agar Gajah putih dapat memahami ajakan Sengeda.
Tahapan awal ini juga menjadi tahapan permohonan, izin dari para pelaku tari
Guel yang terlihat pada gerak munatap dengan memberikan salam semah.
2. Tahap Isi
Pada tahapan isi, bercerita tentang proses pencarian Gajah Putih hingga
ditemukannya. Diawali dari mimpi Sengeda, yang kemudian berkelanjutan pada
110
pencarian Gajah putih. Sementara itu, Gajah putih duduk diam di tempat
(biasanya posisi Gajah putih berada di tengah). Pada tahapanini, gerakan yang
dilakukan dengan berbagai variasi, yang menjelaskan isi cerita dan sekaligus
memberikan dinamik dan estetika pertunjukan. Pada tahapan isi ini, terddiri dari
babak munatap, babak redep/dep, babak ketibung. Ketiga babak ini masing-
masing menjelaskan isi cerita dengan penuangan dari karakter tokoh tari Guel.
Dalam pertunjukannya, gerakan yang dikakukan yaitu adalah gerak Redeep dan
Ketibung.
Pada tahapan isi ini, 3 babakan yang dimainkan yaitu, babak redep.
ketibung, dan babak cincang nangka. Babak Redep menceritakan bagaimana
Gajah Putih akhirnya menuruti keinginan Sengeda untuk dibawa ke istana. Pada
bagian ini, Gajah Putih mengikuti gerak-gerak yang dilakukan Sengeda,
sebelumnya Sengeda membujuk dan mengajak Gajah Putih untuk bangun, dan
setelah ajakan ke tujuh yang diiringi dengan irama musik rebana, akhirnya Gajah
Putih bangkit dan mengikuti Sengeda.
Pada babakan ketiga yaitu babak Ketibung, merupakan babak yang lebih
menjelaskan kesediaan Gajah Putih untuk ikut dengan Sengeda. Hal ini tampak
jelas dengan Gajah Putih mengikuti setiap gerak yang dilakukan Sengeda, yang
berlari kecil berkeliling seperti burung, kadangkala menukik ke bawah dan
kadangkala seperti melompat terbang dengan mengembangkan ke dua tangan.
3. Tahap Akhir
Pada tahap akhir merupakan babak akhir dari tari Guel yaitu babak cincang
nangka. Babak ini merupakan babak perjalanan Sengeda dengan Gajah Putih dan
111
rombongan menuju Istana. Di dalam perjalanannya, kaum perempuan (ibu-ibu
dan anak-anak gadis) menaburkan beras sebagai ucapan kebahagiaan pada
rombongan yang berjalan menuju istana. Pada bagian ini irama musik yang
dimainkan bersemangat dengan penari melakukan gerak dep-papan, atau pada
umumnya membuat gerak improvisasi. Pada tahapan akhir ini, gerakan penari
perempuan lebih menonjolkan pada bentuk gerak penonjolan dari sudut estetika,
dengan suasana kegembiraan.
Dalam peristiwa upacara perkawinan, babak akhir ini dilakukan Gerak
Munalo Akhir, yang menjadi gerak akhir dan tahapan akhir dari tari Guel. Munalo
akhir juga menjadi penanda usainya pertunjukan tari Guel. Gerak Munalo akhir
merupakan gerakan sembah/penghormatan kepada seluruh pengunjung (keluarga,
tamu undangan, penonton), bahwa pertunjukan yang di tampilkan merupakan
ungkapan tuan rumah dalam kebahagiaan, menerima calon pengantin dan
menandakan acara perkawinan dapat dilanjutkan dengan “ijab kabul” sesuai
dengan syariat Islam.
Setelah gerak munalo akhir, kemudian pengantin laki-laki berjalan dengan
diringi para penari menuju ke pelaminan. Sesampai didepan pelaminan, para
penari membuka barisan menjadi dua bagian dan saling berhadapan. Tujuannya
adalah memberi jalan kepada rombongan untuk mengantar pengantin laki-laki
sampai dipelaminan. Selanjutnya para penari meninggalkan pelaminan,
dikarenakan akan dilakukan serangkaian upacara adat lainnya. Pada saat
penyambutan rombongan pengantin, terdapat dua bentuk penyambutan. Pertama,
jika akad nikah kedua mempelai dilaksanakan di masjid, maka penyambutan
ditujukan untuk kedua mempelai berserta rombongan mempelai laki-laki. Kedua,
jika akad nikah kedua mempelai dilaksanakan di kediaman mempelai wanita,
112
maka penyambutan ditujukan untuk mempelai laki-laki berserta rombongan.
Dalam format yang lain, guru didong (Sengeda) akan mengajak calon mempelai
laki-laki untuk menari bersama hingga menuju rumah dari calon pengantin
perempuan. Format ini menjadi akhir dari pertnjukan tari Guel.
3.5 Deskripsi Tari Guel
Secara hirarkis struktur bentuk tari Guel dibagi menjadi empat bagian,
yaitu; bagian Babak Menatap, babak Redep/Dep, babak Ketibung, babak cincang
nangka. Dari masing-masing bagian tersebut secara berstrukturterbentuk dari
kalimat gerak, ragam tari, dan motif gerak. Keempat babakan yang ada dalam tari
Guel tertuang dalam beberapa ragam gerak yang berpijak pada gerak-gerak tari
tradisi dan diiringi lagu/musik. Dalam bahasa Gayo istilah yang menyatukan
gerak dan lagu disebut dengan sining, sehingga sining merupakan perpaduan dari
gerak dan lagu/nyanyian. Tanpa ada salah satunya, maka tidak bisa disebut
dengan sining. Kata sining juga ada dalam kamus bahasa Gayo yang
menjelaskan bahwa sining adalah sejenis tarian yang dilakukan dengan cara
setengah berlari sambil mengibas-ngibaskan kain (Melalatoa, 1985: 346).
Dalam tari Guel kata sining juga menjadi nama ragam gerak sekaligus
menunjukkan pada istilah musik iringan. Istilah dalam ragam-ragam gerak yang
ada didapat berdasarkan dari peristiwa/kejadian dalam proses penciptaan tarian,
juga merupakan istilah dalam menentukan irama musik. Proses pencarian yang
memunculkan istilah tari, didapat dari kehidupan alam yang melihat dari
kehidupan binatang/hewan, dalam hal ini binatang yang menjadi insfirasi dapat
terlihat dari gerak burung yang terlihat dominan pada beberapa ragam gerak.
Adapun pendeskripsian tari Guel secara rinci dapat diungkapkan sebagai berikut.
113
Tabel 3.1 Deskripsi Tari Guel No Ragam Gerak Uraian Syair 1
Gerak Mayo (awal tarian): Guru didong masuk dari arah kiri, dengan kaki bergerak injit, tangan naik turun keatas dan ke kebawah dalam hitungan 1x8, mengikuti musik gegedem (rals) Bagian ini, merupakan posisi Sengeda dalam mengajak Gajah putih untuk keluar dari tempatnya untuk bersedia diajak ke kutaraja.
tem o item...m Engingku ine…e (Hitam oh hitam…m Kekasihku ibu…u) Hiye…e mas Salammualaikum bayakku ine…e Kujurahen pumu,jenujung ni ulu bayak ku ine…e Tuah rom bahgie..ee (Assalamulaikum kekasihku ibu Kuulurkan tanganku diujung rambut kekasih ku ibu…u Beruntung dan bahagia)
114
Karakter Gajah putih: Posisi Gajah putih duduk, sementara karakter Sengeda melakukan gerak Guru Didong
Gerak Munatap: Salam semah awal Salam semah menjadi awal dari tarian sebagai bentuk penghormatan kepada penonton sekaligus penghormatan pada Gajah putih
Hiye…e mas Jejari sepuluh bayakku ine…e Kutatangen pumu, muniro restu bayakku ine…e Seleseh ni bele…e (Hiye…e mas Dengan sepuluh jari-jari kekasihku ibu…u Kuangkat tangan meminta restu kekasihku ibu…u
115
Terhindar dari mara bahaya)
2 Gerak penghubung (gerak tepok): Apabila tarian menyertakan penari perempuan, maka gerak tepok menjadi rangkaian dalam usunan tari. Untuk penari laki-laki tidak melakukangerak tepok Intro pindah
Gerak tepok: Gerak tepok merupakan gerak yang hanya dilakukan oleh penari wanita Hit 1-2 tangan kanan melambai
Hiye…e salam Mulaikum mulo kami jurah Selamat sawah wo reje,tudung payung ruje,emas ku ine..e (Hiye…e salam Assalamualaikum kami ucapkan Selamat datang wahai Raja bertudungkan paying kain emasku ibu…u) Huoo…emmas ku ine gure…e
116
dua jengkal di depan wajah, tangan kiri diletakkan di belakang badan Hit 3-4 tangan kiri melambai dua jengkal didepan wajah, tangan kanan diletakkan di belakang badan, dilakukan pegulangan pada hitungan berikutnya
Huo… mas so…o, emmas ku adoh ine gure e… Huo…o emas aduh senangnya hatiku ibu…u Huo mas o emasku aduh ibu senangnya hatiku
3.
Guru didong melakukan gerak sining dengan cara merapatkan kedua kaki, badan dibungkukkan, tumpuan pada lutut dan tumit. Gerakan ini dilakukan dengan melompat kecil kekiri dan kanan seperti orang berjalan tertatih-tatih, sekaligus menggerakkan kedua bahu, dilakukan 1 x 8 hitungan
117
4
Gerak semar kalang: mengembangkan dua tangan seperti burung elang yang menyambar, menukik ke kiri dan kanan 8 hitungan Sengeda dan Bener Merie (gajah putih) melakukan gerak burung elang yang menukik Posisi ini dilakukan setelah Gajah putih menuruti kemauan Sengeda.
118
5
Gerak Kepur unguk: Guru didong / Sengeda melakukan gerakan seperti burung pungguk yang mengepakkan sayapnya. Lalu membentangkan opoh ulen-ulen di belakang lalu diputar di depan dada dan mengibarkannya ke arah depan/ mungepur
6
Gerak jentik kedidi: Sengeda mengajak gajah putih keluar dari hutan dan bersedia ikut ke istana. Gerakan seperti burung yang melompat-lompat sambil menggerakkan kedua sayap serta kaki mencari makanan. Gerak ini disebut juga dengan jentik kedidi. Sengeda memberi salam dengan (jangin) menyampaikan syair
119
7 Munatap/ Munalo akhir: Gerak munatap akhir dilakukan dengan posisi badan membungkuk menghadap depan begitu juga dengan kedua tangan, dilanjutkan dengan posisi berdiri, berbeda dengan munatap awal.
Tareng-tareng kope aman mayak gelah likak e…e dodok mayak e gelah likak si mulo oya ujung ni serami enti ko muninget I santeri kebet, I santeri benang Serlo lingang.serlo lingang Oya gelah patut oya gelah lingang Oya gelah patut oya gelah lingang Tareng-tareng kope
120
Menarilah wahai pengantin laki-laki dengan lemah gemulai Menarilah kedua mempelai dengan lemah gemulai Didepan orang ramai jangan sekali-kali engkau melenggang Terjerat kawat, terjerat benang Sehari melenggang, sehari melenggang Begitulah melenggang yang sebenarnya Begitulah melenggang yang sebenarnya Menarilah (mempelai)
121
Tabel 3.2 Pembabakan dalam Tari Guel
No Babak Penjelasan Gambar
1. Munatap Diawali dengan guru didong masuk ke dalam pentas dengan gerak kaki diinjit dan bergerak maju, dilanjutkan dengan gerak jentik kedidi, sining lintah, semar kalang dan kepur nunguk, kemudian duduk.
- Posisi gajah putih duduk dengan menangkupkan kedua tangan di paha - Setelah mendapat bujukan dari Sengeda, perlahan gajah putih
menyelubungi badannya dengan kain untuk perlahan bangkit - Gajah putih bangkit dari duduknya
122
2. Redep dep Gajah putih berkenan mengikuti permintaan sengeda. Gajah putih bangun dari tempatnya dan menuruti gerakan-gerakan yang diperagakan oleh sengeda
- Gajah putih berhasil dibujuk dan kemudian berdiri mengikuti Sengeda - Posisi gajah putih yang menerima keinginan Sengeda - Gajah putih mengikuti gerakan yang dilakukan Sengeda
123
3. Ketibung Kesediaan gajah putih untuk mengikuti permohonan sengeda makin terlihat dengan memperlihatkan gerakan-gerakan tari yang diperagakan sengeda yang kemudian diikuti gajah putih
4. Cincang nangka Gerakan yang dilakukan cenderung bebas, pertanda permohonan telah dikabulkan dengan ikutnya gajah putih dalam rombongan ke istana linge diiringi dengan lagu ‘turun ku belang’ dan lagu gedek-gedek’ menyatakan tarian telah selesai dan penari keluar tempat pertunjukan.
124
- Bentuk gerak seperti Sengeda mengajarkan gerakan setengah duduk dan berdiri yang menunjukkan kegembiraan gajah putih. Gerak dilakukan mengikuti irama yang semakin lama semakin cepat
- gerakan dilakukan dengan berganti-ganti pola lantai melingkar dan tegak lurus
- Pada posisi berdiri, penari yang membawa beras masuk edalam
pentas dengan menabur beras dan bunga kepada sengeda dan bener merie dengan berkeliling mengitari sengeda dan bener merie
- Berbagai ragam gerak yang diinginkan penghulu mungkur dan penghulu bedak untuk dilakukan sengeda dan bener merie.
- Iringan rombongan melakukan gerak-gerak yang bervariasi hingga ke istana dengan mengantarkan gajah putih.
- Sengeda memberi salam persembahan penyerahan gajah putih kepada Sultan Aceh dengan khidmat.
110
3.6 Tata Rias dan Busana
Pemakaian rias dan busana merupakan bahagian dari elemen pendukung
sebuah tarian, penggunaannya akan berbeda dari masing-masing tarian sesuai
dengan tujuan dari pelaksanaannya. Penggunaan tata rias biasanya dipakai untuk
membantu penonjolan dari suasana yang diinginkan, agar penyampaian tujuan
dari pesan yang diinginkan akan tersampaikan. Dalam tari Guel tata rias tidak
menjadi sebuah keharusan terutama pada penari utama yang dimainkan oleh
penari laki-laki. Walaupun tari ini bercerita dan memiliki peran serta karakter,
namun tata rias tidak menjadi hal yang utama.Namun apabila pertunjukan
dilakukan di gedung dalam acara pemerintahan, maka biasanya tata rias yang
dipakai hanya menggunakan bedak dengan warna yang tidak mencolok, dan
pemakaian warna yang lebih natural seperti coklat. Namun kadangkala lebih
banyak yang tidak menggunakan rias sama sekali. Berbeda pada penari putri,
tetap menggunakan tata rias yang biasa disebut dengan rias cantik, yang berarti
menjadikan penari lebih segar, dan menarik.
Dalam pemakaian busana, penari laki-laki dan perempuan memakai
tenunan khas Gayo yang disebut dengan tenunan krawang Gayo, yang juga
menjadi pakaian adat Gayo. Warna busana biasanya memakai warna hitam,
dengan berbagai macam motif-motif dari alam yang kemudian ditenun/bordir
menjadi tenunan kerawang.Motif kerawang yang ada merupakan cerminan dari
resam peraturan negeri Linge yaitu sarak opat. Filosofi kehidupan yang tercermin
dalam motif kerawang yaitu: Sarak opat ; reje museket sipet (raja yang adil ) petue
musidik sasat ( cendikiawan yang memiliki ilmu pengetahuan dan wawasan yang
111
luas) imem muperlu sunet(iman memahami betul antara yang haram dan halal,
yang wajib dan sunat ) rakyat genap mupakat (segala persoalan maysrakat
diselesaikan dengan musyawarah).
112
Gambar 3.1 ; Busana tari yang dipakai untuk peran Sengeda, terdiri dari bulang cekarom, upuh ulen-ulen, baju kerawang, seruel/celana. Dok, Bintang 2017
113
Gambar 3.2; Busana calon pengantin/Aman Mayak dilihat dari belakang, dok.
Bintang 2017
114
Gambar 3.4. Busana yang dipakai pemain musik terdiri dari, pengkah/ikat kepala, baju kerawang, upuh kerawang/kain sampong dan seruel, dok. Bintang 2017
115
Pola busana tari di atas, juga menjadi pakaian adat yang dipakai suku gayo
dalam kegiatan-kegiatan adat. Busana adat/tari dengan motif-motif kerawang
Gayo, memiliki makna filosopfi masyarakat Gayo, yang tertuang dalam pepatah:
- Embun berangkat ; beluh sara loloten mewen sara tamunen (sebuah kebersamaan dan kerja sama dalam persatuan dalam membangun negeri).
- Pucuk rebung : Kuatas mupucuk lemi kutuyuh mujantan tegep ( peningkatan kualitas manusia ddengan pondasi iman ).
- Puter tali ; ratif musara nanguk nyawa musara peluk ( sebuah ikatan kekeluargaan dan kebersamaan dalam menyelesaikan masalah harus bersama-sama)
Motif-motif tenunan kerawang ini menggunakan benang dari berbagai
warna dan yang menjadi warna utama dalam tenunan kerawang Gayo adalah:
Hitam : merupakan hasil keputusan adat,
Merah : sebagai tanda berani (mersik) bertindak dalam kebenaran,
Putih : sebagai tanda suci dalam tindakan lahir dan batin,
Hijau : sebagai tanda kejayaan dan kerajinan (lisik) di dalam kehidupan sehari-
hari,
Dari makna warna-warna di atas, menunjukkan masyarakat Gayo
dilambangkan sebagai masyarakat yang Mersik (berani), Lisik (rajin) dan Urik
(teliti). Selanjutnya motif-motif yang ada pada tenunan Gayo juga memiliki arti
sendiri yaitu:
- Mata Itik: Mata Itik mempunyai makna bahwa yg ikut menentukan dalam
kehidupan masyarakat Gayo Lues, adalah penghulu, ulama dan golongan
cerdik pandai.
- Pucuk Rebung:Pucuk Rebung mempunyai makna masyarakat Gayo Lues
mencintai keadilan dan kedamaian.
116
- Sesirung: Sesirung mempunyai makna bahwa dalam kehidupan masyarakat
Gayo Lues selalu salaing membantu.
- Leladu: leladu bermakna bahwa masyarakat Gayo Lues memiliki harkat dan
martabat dan berwibawa.
- Mun Berangkat: Mun Berangkat bermakna bahwa masyarakata Gayo Lues
mempunyai cita-cita dan tata cara dalam kehidupan bermasyarakat.
- Tulenni Iken: Tulenni Iken bermakna masyarakat Gayo Lues memiliki sifat
untuk membela diri dalam kebenaran. Takut karena salah dan berani karena
benar.
- Puter Tali: Puter tali bermakna dalam kehidupan masyarakat Gayo Lues
terdapat kesatuan dan persatuan.
- Bunge Kipes: Bunge kipes mempunyai makna bahwa Masyarakat Gayo Lues
mempunyai harmonis antara manusia dengan Tuhan ( Hablumminallah),
manusia dengan manusia ( Hablumminannas) dan manusia dengan
lingkungannya.
- Gegaping: Gegaping mempunyai makan bahwa masyarakat Gayo Lues
memiliki ketaatan terhadap pemerintahan, agama, dan adat istiadat. Murip
Ikanung edet mate ikanung ukum (agama).
- Bunge Panah: Bunge panah memilki makna bahwa masyarakat Gayo Lues
memiliki sifat keterbukaan dalam menerima dan menjalankan ketentuan tang
tidka bertentanagan dengan agama dan adat.
- Motif Selalu: Motif selalu bermakna bahwa masyarakat Gayo memiliki sifat
kejujuran dan ketulusan hati dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Makna-makna dari motif-motif kerawang Gayo ini juga tertuang dalam
busana tari Guel. Keseluruhan motif-motif disebut di atas nampak pada baju,
celana kain samping da ikat kepala. Dengan melihat motif pada baju tari Guel,
maka secara tidak langsung penonton akan tahu dari mana tari Guel berasal.
Busana yang dikenakan oleh penari laki-laki terdiri dari dua warna yaitu untuk
Sengeda memakai warna hitam, terdiri dari baju teluk belanga dengan kerah kecak
117
musang, memakai celana, kain samping, dan memakai ikat kepala berupa kain
berwarana merah dan dijalin. Untuk penari yang memerankan Gajah Putih
memakai baju teluk belanga, celana (seruel) dan kain samping berwarna putih,
serta memakai ikat kepala berupa cekarom (topi) terbuat dari kain yang diiaktkan
di kepala. dan memakai kain lebar berwarna putih, dan memakai upuh pnggang
(kain yang dililitkan di pinggang). Untuk penari wanita memakai pakaian
berwarna hitam baik untuk baju dan kain.
Dalam pemakaian busana tari, suku Gayo memiliki ketentuan untuk
pemakaiannya dan membahaginya ke dalam empat bahagian yaitu:
1. Bahagian kepala yang disebut dengan bulang cekarom/topi/ikat kepala
2. Bahagian pakaian yang terdiri dari baju
3. Bahagian bawah terdiri dari celana (seruel) dan sarung
4. Bahagian asesoris/property terdiri dari kain warna putih dengan sulaman
kerawang
Keempat bahagian ini terdiri dari:
a. Bulang cekarom (kopiah teleng/ikat kepala)
b. Baju Kantong (baju pokok)
c. Seruel (celana)
d. Upuh pinggang (kain samping)
e. Upuh kerawang (kain kerawang)
118
Photo 3.1 : Busana penari Bener Meriah dan busana penari Sengeda, keduanya
memakai busana daerah Gayo dengan ciri khas tenunan kerawang Gayo (dok: Dinas Pariwisata Kab . Aceh Tengah )
Pemakaian busana yang berbeda dari sisi warna ini, untuk memperjelas
dari karakter yang dimainkan, agar penari dapat meresapi pada peran yang
dilakukan. Warna putih pada Gajah Putih menunjukkan kasihsayang dari seorang
Bener Meriah pada adiknya melalui mimpi bahwa Bener Meriah menjelma
menjadi Gajah Putih, dan adiknya Sengeda dapat membawanya ke istana sebagai
obat bagi sang putri raja. Warna putih juga menunjukkan bahwa gajah yang
merupakan penjelmaan Bener Meriah berwarna putih.
Busana Sengeda sebagai seorang adik memakai warna hitam, yang juga
merupakan warna berdasarkan kerapatan dalamadat yang diambil dalam setiap
musyawarah adat. Pemaknaan ini menunjukkan bahwa Sengeda sebagai seorang
119
adik, anak, rakyat, harus mematuhi dengan apa yang sudah menjadi keputusan,
dan menunjukkan kesetiaan pada raja, selaku pemimpin
3.7 Pelaku
Pelaksanaan pertunjukan tari Guel dilakukan dengan mempersiapkan hal-
hal yang berkaitan dengan pertunjukan. Dalam hal ini pelaku dalam pertunjukan
menjadi penting dalam keterlibatannya. Untuk itu diperlukan sejumlah pelaku
yang mendukung terlaksananya pertunjukan. Pelaku dalam Tari Guel yang
berperan dalam setiap pertunjukan antara lain: (1)Penyelenggara/penggagas acara;
(2)penari dan (3) penonton. Ketiga pelaku ini akan melakukan perannya dengan
sebaik-baiknya sesuai dengan tugas dan tanggungjawabnya.
3.7.1 Penyelenggara Acara
Penyelenggara acara pada pertunjukantari Guel, menjadi satu unsur yang
harus dipersiapkan, kerana acara tidak bisa terlaksana apabila penyelenggara
dalam hal ini pelaksana/tuan rumah tidak ada. Tuan rumah dalam persembahan
tari Guel disesuaikan dengan kegiatan yang dilaksanakan. Pada pertunjukan tari
Guel dalam upacara perkawinan (ngerje), sebagai penyelenggara adalah keluarga
dari calon pengantin perempuan.Dalam pelaksanaan penyelanggara dibantu oleh
masyarakat secara sukacita bergotong royong mempersiapkan hal-hal yang
dibutuhkan, dari mulai persiapan hingga akhir kegiatan.
Tuan rumah/keluarga pengantin perempuan dan masyarakat sebagai
pelaksana upacara menyiapkan segala keperluan yang mulai dari perencanaan,
120
pelaksanaan, hingga akhir dari acara. Tahapan perencanaan, sebagai awal
kegiatan, dilakukan oleh keluarga pengantin yang berkordinasi dengan calon
pengantin laki-laki untuk jadwal pelaksanaan dibantu dengan perangkat jema
opat, yang bermusyawarat untuk mengatur semua persiapan dimulai dari, tempat
acara, materi acara, transportasi dan akomodasi, tamu yang diundang, siapa yang
mengundang, penerima tamu yang menjadi “saudara”, pembawa acara, ketua adat,
serta segala sesuatu yang dibutuhkan dalam acara. Perencanaan sebahagai
persiapan sebelum acara sangat penting dilakukan sebagai upaya agar acara dapat
terlaksana dengan baik dan tujuan dari acara dapat tercapai.
Pada tahap pelaksanaan, semua yang terlibat dalam acara harus sudah
bersiap ditempat masing-masing dengan tugas dan tanggungjawab yang sudah
diberikan. Setiap peran yang menjadi tanggungjawab harus dilakukan dengan
sebaik-baiknya. Dan semua peran harus berkoordinasi dengan baik untuk
meminimalisir kesalahan yang mungkin dapat terjadi.
Tahapan akhir berupa peneriman calon pengantin laki-laki yang memasuki
rumah untuk melanjutkan acara selanjutnya yaitu upacara pernikahan, yang
dipandu oleh Tuan Kadi/penghulu sesuai dengan syariat dalam ajaran agama
Islam, dan dilanjutkan dengan acara adat suku Gayo.
3.7.2 Penari
Pada awalnya tari Guel ditarikan oleh penari laki-laki, sejalan dengan
perkembangannya, kemudian penari perempuan disertakan yang dilakukansecara
berkelompok. Tari Guel terbagi dalam empat babak, dengan masing-masing
babak memiliki pesan dan cerita yang disesuaikan dengan pertunjukannya. Sesuai
121
dengan pertunjukan tari Guel yang bercerita dan memiliki babakan, maka penari
dari tari ini dibagi dalam 3 peran. Peran pertama dilakukan oleh penari yang
berperan sebagai Sengeda, penari kedua, berperan sebagai Gajah Putih, dan
penari ke tiga yang berperan sebagai penari pendukung (untuk penari pendukung
boleh ditarikan dengan jumlah banyak, dan boleh dilakukan oleh penari laki-laki
ataupun dengan penambahan penari perempuan). Para penari merupakan suku
Gayo, namun tidak menutup kemungkinan untuk ditarikan oleh suku-suku di luar
suku Gayo. Mereka menguasai tari Guel dengan belajar di sanggar-sanggar yang
ada di Takengon, dan saat ini sudah banyak berdiri sanggar-sanggar yang
menjaddikan tari Guel sebagai materi dalam penguasaan tari-tari tradisi Gayo.
Tari Guel, ditarikan oleh 1 orang penari yang berperan menjadi Sengeda, 1
orang yang berperan menjadi Gajah Putih (Bener Meriah), dan 4 orang atau 6
orang menjadi penari pendukung. Jumlah ini bisa berubah sesuai dengan
kebutuhan, namun untuk peran Sengeda dan Gajah putih tetap dilakukan masing-
masing oleh satu orang. Penari yang mendapatkan peran-peran sebagai penari
utama harus menguasai teknik-teknik dalam tari Guel, dimana dalam sisi gerak
ada beberapa gerak khas yang menjadi ciri tari Guel harus dapat dilakukan dengan
baik. Selain penari yang berperan sebagai Gajah Putih juga harus mampu dan
menguasai gerakan kelembutan dari seekor Gajah yang lamban tetapi memiliki
kekuatan, ketegasan dengan gerakan yang didominasi pada gerak bahu, dan
pergelangan tangan.
122
Perubahan-perubahan dalam jumlah penari dari banyak ke sedikit tidak
mengurangi format dan cerita dari tari Guel, dikarenakan penambahan dapat
menyesuaikan dengan isi cerita, dan membuat pertunjukan semakin menarik.
3.7.3 Penonton
Tari Guelmenjadi tari untuk upacara yang sekaligus juga menjadi tari
hiburan bagi suku Gayo, maka dengan sendirinya suku Gayolah yang menjadi
penonton, selain tamu-tamu yang diundang dalam setiap kegiatan. Biasanya
dalam setiap perhelatan/acara, maka masyarakat dengan beramai-ramai
menyaksikanpertunjukan tari Guel, selain pihak penyelenggara (orang tua dan
keluarga calon pengantin perempuan dan pihak calon pengantin laki-laki). Para
penonton ini membantu terjadinya kemeriahan dari acara, dan menambah
semangat bagi pemain untuk menyampaikan cerita dengan baik. Penonton
menyaksikan pertunjukan tari Guel dengan posisi duduk, berdiri, jongkok, kondisi
ini dikarenakan tempat duduk hanya disediakan untuk kedua orangtua dari calon
pengantin dan beberapa keluarga.
123
Poto 3.2 : Tampak para penonton yang terdiri dari penyelenggara, tamu undangan, masyarakat setempat, yang menyaksikan dengan mengelilingi halaman (dok, Saadah 2014)
3.8. Tempat
Pertunjukan tari Guel bisa dipentaskan di mana saja, apakah di dalam
gedung, maupun di luar ruangan seperti, di halaman, di lapangan. Pada awalnya
pertunjukan tari Guel hanya dilakukan oleh kalangan tertentu saja dan
dikelompokkan pada kegiatan sakral karena pada awalnya hanya dipertunjukkan
dalam upacara-upacara tertentu saja. Upacara-upacara yang menyertakan tari Guel
antara lain: upacara perkawinan, peresmian penobatan seorang raja, sehingga
dalam pelaksanaannya haruslah tempat menjadi hal yang diperhitungkan.
Pada kegiatan upacara adat dalam hal ini upacara perkawinan, maka
pertunjukan di laksanakan di halaman rumah calon pengantin perempuan.
Penempatan di halaman dikarenakan, pernikahan belum terjadi dan halaman
biasanya memiliki ruang yang luas, sehingga dapat dilihat dari semua sudut juga
menunjukkan keterbukaan dari penyelenggara untuk sama-sama menyaksikan
124
peristiwa yang membahagiakan. Selain itu penempatan halaman dikarenakan,
ruang gerak dari Sengeda dan Gajah Putih dalam melakukan gerakan improvisasi
biasanya akan banyak melakukan gerakan yang luas. Demikian juga dengan
penambahan pada jumlah penari pendukung yang tentunya memerlukan ruang
lebar dalam membuat formasi-formasi untuk menambah keindahan dari tarian.
Para penari melakukan tarian di tengah halaman, sebelumnya seluruh penari
berada di depan halaman rumah, dilanjutkan dengan awal tarian yang dimulai dari
sudut pojok kanan atau kiri belakang, penari yang berperan sebagai Sengeda
memulai gerakan lalu menuju ke tengah halaman. Penari perempuan berada di
belakang atau samping menghadap rumah calon pengantin perempuan. Posisi
pemain musik berada di samping kiri atau depan rumah calon pengantin
menghadap penari. Sementara penonton berada di sampin kanan dan kiri, depan
menghadap rumah pengantin atau membelakangi rumah pengantin. Dengan
demikian kalau diperhatikan bahwa pentas adalah seluruh halaman, dan seluruh
penonton berada mengelilingi halaman.
125
BAB IV
STRUKTUR TARI GUEL
Dalam pembahasan tentang strukturalisme, Menurut Budiman (1999: 111-
112), strukturalisme adalah cara sebuah berpikir tentang dunia yang secara
khusus memperhatikan persepsi dan deskripsi mengenai struktur, yaitu di
dalamnya akan menitikberatkan pada usaha mengkaji fenomena seperti mitos,
ritual, relasi-relasi kekerabatan dan sebagainya. Disamping itu, strukturalisme
memandang beberapa dokumen sebagai obyek fisik aktual atau tersusun secara
konkrit, sebagai teks, fenomena teoritis yang dihasilkan oleh definisi-definisi dan
operasi-operasi teoritis (Barthes, 1975; Foucoult, 1973: 47). Pembahasan
penjelasan tentang struktural, mencoba untuk mengidentifikasi kemudian
mengolah dan menyusun unit-unit dalam sebuah sistem untuk menemukan
hubungan atau pola yang lebih mendalam dan mendasar dari suatu kejadian atau
serangkaian kejadian.
Pola-pola yang mendasar ini merupakan penjelasan yang berusaha untuk
menyelidiki fenomena berdasar pada aturan-aturan, prinsip-prinsip, atau konvensi
yang menghasilkan makna. Dengan demikian Struktur pertunjukan tari Guel
adalah sejumlah unsur yang secara kesatuan saling membuat ikatan satu dengan
yang lain, yaitu: (1) susunan, didalamnya terdapat: bagian-bagian dari babakan
dalam tari, perilaku dan mantra atau doa; (2) koreografi, meliputi; hirarki
tampilan, formasi (pola lantai); (3) Gerak terdiri dari, konsep teknik, konsep
filosofi; (4) Struktur bentuk gerak, meliputi unsur, motif, frase, kalimat dan
praragraf gerak, (5) deskripsi struktur gerak tari, dan (6)(musik pengiring).
126
4.1 Struktur Norma
Wilayah daratan Indonesia sebagian besar adalah pegunungan
(pedalaman). Maka masyarakatnya merupakan masyarakat agraris yang tentu
mementingkan nilai kesuburan sebagai prioritas utama menuju keseajahteraan
hidup yang diimpikan. Terkait dengan permasalahan itu, maka berbagai upacara
ritual dilaksanakan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan yang berhubungan
dengan kesuburan, kesejahteraan dan keselamatan. Misalnya upacara bersih desa,
mendatangkan hujan, memelihara keselamatan hewan ternak, perkawinan, inisiasi
(proses perjalanan hidup manusia) dan sebagainya. Semua permohonan yang
bersifat doa itu mempengaruhi hidup dan perkembangan seni tradisi, seperti
halnya dalam seni kerakyatan tari Guel, tari Saman, Resam Berumedan tari-tarian
lainnya yang dianggap dapat menjadi media antara masyarakat dengan segala
macam bentuk roh, serta Tuhan Yang Maha Kuasa yang diyakini dapat
mengabulkan permohonannya (Maharsiwara, 2006: 28-19).
Kesenian tradisional (termasuk di dalamnya tari tradisional) memegang
peranan penting dalam kehidupan manusia baik dilihat dari fungsi religi maupun
fungsi sosialnya. Pengolahannya didasarkan atas cita-cita masyarakat
pendukungnya yang pada dasarnya bermula dari adanya keperluan-keperluan
ritual yang biasanya dimunculkan dalam suatu gerak, suara ataupun tindakan-
tindakan tertentu dalam suatu upacara ritual. Sedangkan proses penciptaannya
terjadi hubungan antara subyek pencipta dan kondisi lingkungannya. Kegiatan
yang bersifat mitos dan magis dalam bentuk upacara-upacara dengan
menggunakan mantra-mantra, alat-alat, lagu-lagu dan gerak-gerak yang berirama
yang lazim dinamakan tari. Sejak masa pra-Hindu, tari telah diyakini dapat
127
menjadi media komunikasi dengan berbagai kekuatan yang tidak kasat mata, yang
dapat memberikan keselamatan, kemakmuran, kesejahteraan hidup, mengatur
cuaca atau apa saja yang memberikan kekuatan, keseimbangan antara kebutuhan
jasmani dan kebutuhan rohani. Oleh karenanya tari juga merupakan ekspresi
sosial masyarakat, sekaligus sebagai ritual keagamaan. Pada masa itu (dari pra-
Hindu sampai masuknya pengaruh Islam ke provinsi Aceh), tari bukan hanya
sebagai tontonan yang menghibur, tetapi merupakan kebutuhan dan menjadi
tuntunan dalam hidup bermasyarakat. Demikian pula kiranya pada pertunjukan
tari-tari tardisi Aeh, khususnya pada tari Tari Guel, yang hidup dan berkembang
di pedesaan dalam wilayah pegunungan.
4.1.1 Norma
Norma sangat penting peranannya dalam setiap kehidupan, untuk
mewujudkan kehidupan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia. Hal ini
karena tanpa norma, kehidupan masyarakat tidak ada yang mengendalikan disini
akan berlaku siapa yang kuat dialah yang menang, seperti dalam kehidupan di
hutan rimba. Adanya norma, akan membuat setiap manusia memperjuangkan
kepentingan dan kebutuhannya dalam batas-batas yang tidak melanggar aturan
dan tidak merugikan kepentingan orang lain. Dengan demikian kehidupan yang
tertib, aman, tenteram dapat terwujud.
Dalam kehidupan sehari-hari kita mengenal 4 macam norma, yang
masing-masing mempunyai aturan dan berlaku sesuai kebutuhan. Norma tersebut
antara lain adalah: norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, dan norma
hukum. Bentuk-bentuk norma yang berlaku ini menyesuaikan dengan kebutuhan
dari peristiwa yang terjadi. Norma agama bersumber dari wahyu atau kitab suci
128
yang berisi tentang hal-hal batiniah dan berlaku secara universal. Norma
kesusilaan bersumber dari hati nurani, bersifat batiniah dan berlaku secara luas
dan waktuditentukan. Norma kesopanan bersumber dari masyarakat bersifat
lahiriah dan berlaku secara sempit pada daerah tertentu. Norma hukum bersumber
dari negara bersifat lahiriah dan berlaku pada wilayah yang telah ditentukan.
Dengan menjalankan norma-norma di atas, maka akan timbul rasa hormat
yang luhur untuk menyatakan hubungan dengan alam, sesama manusia dan tuhan.
Dalam mewujudkan norma-norma tersebut, manusia/masyarakat menuangkannya
dalam berbagai aspek dalam kehidupan salah satunya kesenian, yang tertuang
dalam nilai-nilai pertunjukan
Pertunjukan tari Guel adalah salah satu unsurkebudayaan suku Gayo yang
mengandung nilai etis dan estetika yang berharga untuk dipelajari. Tari Guel
memiliki kontribusi yang banyak bagipendidikan masyarakat, karena di dalam
setiap pementasannya menyampaikan nilai-nilai pesan normatife yang dapat
memberikan pendidikan bagi masyarakat (penonton) yang khususnya memuat
nilai-nilai kehidupan.
Pertunjukan Tari guel tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat
Gayo di wilayah pegunungan, di dalam setiap pergelarannya tidak lepas dari
aspek peran masyarakat. Sampai saat ini, para pendukung pertunjukan ini (penari,
pemain musik, dan penonton) adalah orang Aceh suku Gayo dari berbagai latar
belakang yang berebeda. Suku gayo adalah masyarakat yang taat dalam
menjalankan ajaran Islam dan memegang teguh adat berdasarkan sistem adat yang
berlaku.
129
Fungsi pertunjukan Tari guel, selain sebagai tontonan juga sebagai
tuntunan kehidupan manusia dalam “berhubungan” dengan alam nyata maupun
alam maya. Berhubungan dengan alam nyata adalah perilaku yang dilaksanakan
dalam kehidupan di dunia, yang selalu berhubungan antara diri dengan dirinya,
dirinya dengan sasama manusia, dengan lingkungan sekitar seperti binatang,
tumbuhan, air, tanah, api, udara dan lain sebagainya (eko sistem). Sedangkan
hubungan dengan alam maya, yaitu melakukan hubungan antara dirinya dengan
yang dipercaya Membina hubungan dengan alam nyata, dapat dilakukan secara
visual yang dapat diukur, seperti sopan santun, andap asor, ramah tamah,
dermawan dan sebagainya. Sedangkan membina hubungan dengan alam maya,
hanya dapat dilakukan melalui hubungan transcendental, yaitu dengan melakukan
perilaku yangbersifat transenden, seperti puasa dan upacara ritual.
4.1.2 Norma Tari Guel
Norma dalam tari Guel menyangkut pada norma-norma yang berlaku pada
masyakat Gayo, yaitu norma yang sesuai dengan sistem adat yang telah menjadi
kesepakatan oleh masyarakatnya. Sistem adat yang berlaku juga sesuai dengan
norma agama, norma kesusilaan, norma hukum, dan norma kesopanan. Norma-
norma ini selalu dilakukan dalam “dua” situasi, yakni ritual di luar dan di dalam
pertunjukan tari Guel. Norma diluar pertunjukan pada awalnya, sebelum
menarikan tari Guel biasanya harus dilakukan sesembahan dengan membakar
kemenyan untuk memohon restu dari para roh Sengede yang telah lama tiada.
Selanjutnya meminta izin pada raja untuk terlaksananya pertunjukan sebagai
penguasa yang memiliki kewenangan. Saat ini ritual dalam menyediakan
130
sesembahan sudah tidak dilakukan lagi karena tidak sesuai dengan ajaran dalam
agama Islam, sementara ritual untuk mendapatkan izin dari raja sudah tidak ada
lagi, karena sudah tidak ada lagi kerajaan. Untuk ritual izin saat ini digantikan
dengan adanya kesepakatan dari system adat Syarak Opat yang menjadi panduan
masyarakat.
Dilihat dari segi ritual, tari Guelawalnya merupakan tari yang berfungsi
dalam upacara, karena pada mulanya dipertunjukkan pada upacara-upacara
tertentu seperti, peresmian penobatan seorang raja, upacara-upacara adat
(perkawinan anak kaum bangsawan negeri saja). Adanya pembakaran kemenyan
dalam prosesi persiapan sebelum pertunjukan menjadi satu bentuk ritual dalam
tari Guel, dan merupakan peninggalan dari kehidupan sebelum masuknya agama
Islam, yang tidak memperbolehkan perlakauan ini. Saat ini pembakaran
kemenyan sudah ditiadakan karena tidak sesuai dengan agama yang menjadi
tuntunan hidup manusia untuk menuju arah yang lebih baik dan benar. Saat ini
pertunjukan Guel memasukkan ajaran Islam dalam pertunjukan, tanpa
menghilangkan nilai-nilai keindahan.
Norma diluar pertunjukan ini merupakan simbol membina hubungan
transendental dengan alam maya (roh), agar terjalin keselarasan, keharmonisan
dan keseimbangan, sehingga dapat saling menjaga keselamatan kegiatan upacara
beserta masyarakatnya, serta kelestarian budaya dari tari Guel.
Di dalam pertunjukan norma yang dilakukan dengan menyajikan
pertunjukan sesuai dengan fomat dari terciptanya tari Guel. Namun ada kebebasan
pada penari untuk mengembangkan dan memberikan kekuatan yang lebih
ekspresip dalam tarian dengan melakukan improvisai. Improvisasi tidak hanya
131
dilakukan pada gerak saja, pada iringan musik juga diberikan improvisasi untuk
menambah kesemarakan pertunjukan, tetapi format yang seharusnya jangan
sampai dihilangkan atau digantikan. Dikarenakan melakukan kesalahan dengan
memindahkan irama yang seharusnya berada pada babak awal kemudian dipindah
menjadi babak ke tiga, maka yang terjadi kekacauan dari format pertunjukan.
Perubahan yang diperbolehkan dengan merubah pada syair. Dalam kaitannya
dengan seluruh pertunjukan, norma ini dilakukan untuk menjaga keutuhan tari
serta merupakan permohonan selamat kepada Tuhan agar pertunjukan dapat
dilakukan dengan sebaik-baiknya, serta tidak mendapat gangguan
Permohonan selamat ini ditujukan khususnya yang punya hajad
sekeluarga, para pemain dan pekerja panggung (penari, pemusik, petugas lampu,
sound sistem, dekorator dan lain-lain, juga para tamu dan para
penonton/masyarakat desa sekitarnya). Permohonan selamat ini dilakukan agar
pelaksanaan kegiatan secara keseluruhan dapat dilakukan dengan baik dan tidak
akan mendapat gangguan.
Permohonan selamat dalam kaitannya dengan struktur pertunjukan tari
Guel, merupakan makna Norma yang mengawali pertunjukan tersebut, yang
sesungguhnya merupakan simbol-simbol perilaku menusia di dalam usaha untuk
membersihkan diri atau sebelum melaksanakan segala aktifitas. Terlebih aktifitas
dengan hubungan sakral, baik antar manusia dengan Tuhannya maupun antara
manusia dengan manusia (seperti menjelang pernikahan), yang fungsinya
membersihkan kotoran-kotoranhati (prasangka buruk, dendam, iri, dengki, sirik,
hasud, sombong, congkak dan sebagainya).
132
Dalam kesenian Tari Guelmemunculkan budaya positif, yang
melanggenkan kesenian tradisi sebagai materi dalam berbagai acara. Tari Guel
yang dijadikan sebagai penghormatan bagi keluarga calon mempelai laki-laki,
sekaligus sebagai hiburan bagi undangan, penonton, dan penyelenggara. Dengan
disertakannya dalam kegiatan upacara perkawinan, tari Guel memberikan budaya
positipif bagi masyarakat. Dikarenakan dalam tari ini, banyak pelajaran yang
dapat diambil berkaitan dengan nilai-nilai dalam kehidupan, seperti nilai
kehebatan yang diartikan sebagai kemampuan aman mayak (pengantin laki-laki)
yang berperan sebagai Gajah Putih yang bertanggung jawab sebagai kepala
rumahtangga dan menjadi Imam bagi keluarganya yang juga menjadi kepatuhan
dalam menjalankan syariat Islam.
Pertunjukan kesenian Tari Guel dari segi norma kesusilaan dapat dilihat
dari hubungan antara pelaku kesenian Tari Guel dengan penonton, dan
penyelenggara. Pertunjukan ini banyak peminatnya, karena kemampuan dari
pemain yang melakukan gerakan gajah dengan cukup menarik. Melalui
pertunjukan tari Guel, mereka yang terlibat dan yang tidak terlibat saling
menghormati dan percaya, sehingga pertunjukan berjalan lancar dan
memuaskan.Dalam pertunjukan ini tidak ada kesurupan atau kerasukan roh halus
untuk menjadi daya tarik, namun pertunjukan menjadi menarik karena adanya
karakter dari masing-masing peran yang mampu dibawakan dengan cukup baik.
Adanya kerjasama yang dilaksanakan dalam pelaksanaan acara, dengan
dukungan dari masyarakat sekitar, yang memberikan bantuan untuk
terlaksananya acara. Kerjasama ini membuktikan norma-norma kesusilaan dalam
masyarakat berjalan dengan baik.
133
4.2 Struktur Koreografi
Koreografi (bahasa Inggris: choreography) berasal dari istilah kata Yunani
kuno: khoreos, yang berarti tarian bersama atau tarian koor, dan graphoyang
berarti tulisan atau catatan (Wilson, 1957;74). Dengan demikian koroeografi
mengandung arti sebagai metoda pencatatan tentang tari bersama atau koor.
Metoda pencatatan tari itu sendiri sebenarnya sudah berkembang jauh sebelum
istilah koreografi itu dipergunakan sebagai metoda pencatatan tari. Menurut An
Hutchinson, pada tahun 1588 Thoinot Arbeu pernah mempublikasikan sistem
pencatatan tari dengan istilah yang diterapkannya adalah : orchesographie.
Istilah koreografi itu sendiri untuk pertama kalinya dipergunakan oleh
Raoul Feuillet (1700). Dalam penulisannya tentang metode pencatatan tari,
berjudul Choreographie, au l.'art de decrirela Danse. Di dalam perkembangan
selanjutnya, istilah koreografi memiliki pengertian yang lain, yaitu selain untuk
menyatakan suatu hasil karya tari, sekaligus juga merupakan teori yang memberi
petunjuk teknik tentang cara menyusun atau menata tari. namun demikian
pengertian yang lazim untuk istliah koreografi saat ini, lebih banyak bersangkut
paut dengan masalah "bentuk" dan "gaya" dari karya tari yang diciptakan.
Koreografer tari guel adalah tari yang diciptakan dengan memiliki format,
aturan-aturan dan patokan dalam membawakannya secara tersusun. Tari guel
merupakan tari yang memiliki struktur yang jelas, sistematis, dan dapat dipelajari.
Sebelum Dalam tari guel struktur kreografi dibagi menjadi 4/empat kelompok
yaitu gerak pokok, gerak unsur, gerak penghubung, dan gerak pelengkap/sisipan.
Sebelum penjelasan tentang struktur koreografi, terlebih dahulu dijelaskan
struktur dalam pembabakan atau adegan dalam pertunjukan tari Guel yaitu;
134
4.2.1 Urutan
Struktur penampilan tari Tari Guel di Kotacane Kabupaten Aceh Tengah,
merupakan satu kesatuan yang utuh, antara gerak, musik pengiring, pola lantai
dan tempat pertunjukan. Kesemuanya memiliki peran sendiri-sendiri, akan tetapi
saling menunjang hingga membentuk simbol-simbol berupa teks yang dapat
dibaca. Pertunjukan tari Guel, diawali setelah (musik pengiring) dimainkan pada
bagian awal dengan pukulan rapai, gendang berupa “ral” panjang, penari berada di
sudut belakang kanan pentas. Kemudian terdengar pukulan rapai 3 x menjadi
tanda bahwa penari memulai gerakan dengan menghentakkan kaki 3 x mengikuti
pukulan rapai, gendang (gegedem), format ini menjadi awal dari pertunjukan tari
Guel. Format awal ini bisa berbeda pada setiap kelompok dan daerah, masing-
masing kelompok memberikan kreatifitas pada tariannya, namun pada umumnya
masih tetap dengan format yang sama.
Gambar 4.1: Awal masuk dengan menghentakkan kaki 3 x lalu berlari kecil
ketengah arena dengan mengayunkan kedua tangan dari atas ke bawah dilakukan secara berulang merupakan urutan pertama dalam tari Guel (dok. Bintang 2017)
135
Pola awal dengan hentakan kaki 3 x menjadi petanda bahwa dimulainya
kisah Sengeda dalam mencari saudaranya Bener Meriah/Bener Merie (Gajah
Putih) untuk dibawa ke Istana Raja Linge. Gerakan-gerakan mengayunkan tangan
ke atas dan ke bawah, berkeliling mengitari pentas memberikan pemaknaan
tentang mimpi Sengeda bertemu abangnya Bener Merie yang telah meninggal
dalam wujud Gajah Putih.
Photo 4.1: Salam Semah sebagai awal pertunjukan tari Guel. Penari perempuan
juga melakukan gerak salam semah bersama penari laki-laki apabila format tari menyertakan perempuan (dok, Dinas Priwisata. Kab. Aceh Tengah)
Apabila diperhatikan dari posisi salam semah, tampak bentuk badan yang
membungkuk serta tangkupan kedua tangan, menunjukkan kebersihan hati,
keikhlasan bahwa manusia bukanlah siapa-siapa. Untuk itu mohon diberikan
ketenangan tidak menjadi sombong dan takabur karena nantinya akan merusak
jalannya pertunjukan. Apabila mereka melakukan kesalahan, maka dimohonkan
untuk dapat dimaafkan, dikarenakan mereka hanyalah manusia biasa yang tidak
luput dari salah dan dosa. Ada dua bentuk salam yang dilakukan, pertama salam
dengan posisi badan kedepan beserta kedua tangan di depan dada/kutoyoh, yang
berarti salam diberikan untuk Allah SAW sebagai permohonan untuk diberikan
136
hati yang bersih, tidak sombong agar pertunjukan dapat berjalan lancar.
Sedangkan salam dengan memalingkan kepala arah kiri dengan posisi tangan
tidak berubah, memberi arti bahwa sembah diberikan kepada penonton dan tamu-
tamu yang ada.
Pertamaagar penari (yang menari) ini diberi keselamatan di dalam
menjalankan tugas dari segala godaan, fitnah maupun godaaan dari awal
pertunjukan hingga akhir. Kedua, agar seluruh rangkaian tari diberi keselamatan,
lancar, dapat memerankankarakter dalam penokohan tari Guel sehingga dapat
diterima sebagai tontonan dan tuntunan. Ketiga, agar semua yang terlibat di dalam
pertunjukan tari Guel (penari, pemusik, penonton, penyelenggara) senantiasa
diberi keselamatan dari awal sampai akhir. Disamping ketiga makna tersebut,
salam semah juga berfungsi untuk memberi penghormatan kepada penonton yang
sekaligus memberi ucapan selamat datang.
Ketiga pemaknaan ini merupakan keikhlasan yang berasal dari hati dan
menjadi kunci dalam awal tari, memberi pengertian bahwa hati yang berada di
dalam secara hakiki adalah dalam dirinya sendiri (kalbu). Di situlah tempat
bersemayamnya suatu keyakinan atau iman, dan di situlah asal mulanya “yang”
atau gerak.Lebih tegas lagi bahwa di dalam (kalbu) inilah terdapatnya ‘Aku’ sejati
atau Tuhan Yang Maha Esa. Dari pemaknaan ini tampak jelas bahwa makna
fungsi tari Guel adalah sebagai manifestasi dari ‘doa’ untuk terhindar dari segala
yang mencelakakan. Pemaknaan dari gerak salam semah menjadi penanda dari
tahapan awal tari Guel.
Pada tahapan isi, menjadi tahapan yang banyak menggunakan motif-motif
gerak dari tari tradisi Aceh seperti, gerak kepur nunguk, gerak sining lintah, gerak
137
semar kalang, gerak dah papan, dan gerak ketibung. Kelompok gerak-gerak ini
menjadi isi cerita dari proses pertemuan, mengajak dan membawa Gajah Putih ke
istana Raja Linge, yang ada pada babak munatap, babak redep dep, dan babak
ketibung.
Karakter dalam kelompok gerak kepur nungukadalah gagah dan “manis”
dengan situasi dramatik atau suasana tenang, damai. Di dalam kelompok gerak
ini, pola lantai (bloking)nya sebagian besar berada di satu tempat, yakni di
tengah.Sedangkan pada pola lantai yang berjalan sebagian besar menggunakan
garis-garis melingkar, di samping membuat garis lurus. Bentuk gerak pada
kelompok gerak kepur nunguk adalah menirukan gerak burung pungguk yang
merentangkan sayapnya, sehingga terlihat gagah dan berwibawa.
Bagian kelompok sining lintah memperlihatkan gerakan lintah yang
berenang dengan meliukkan badannya, yang dituangkan dalam bentuk gerak
membungkuk dengan tangan dibelakang.
Photo 4.2 : Gerak sining lintah, pola gerak meliukkan badan dengan dibungkukkan, melompat kecil dengan lincah menjadi kelompok gerak pada babak Redep dep, (dok, Dinas Pariwisata Kota Takengon,2015)
138
Kelompok gerak sining lintahmengandung makna mengajak gajah putih
dengan penuh kelembutan yang membawa alam pikiran manusia dengan
mengingatkan situasi anak yang penuh dengan kemanjaan, kasih sayang, dan
saling menuruti. Di samping itu di dalam alam pikir diingatkan bahwa mereka
adalah kaka beradik, hingga bujukan Sengede pada Gajah Putih di penuhi. Oleh
sebab itu bentuk dan gayanya pun diselaraskan dengan konsep latar belakang
pemikiran ini. Pola-pola gerak yang disajikan pada bagian ini secara umum
cenderung bersifat ‘manis’, namun dilakukan dengan cepat pada lompatan kecil
ke kiri dan kanan. Musik iringannya beriramaredepdengan nyanyian (jangin)
yang diirngi dengan syair untuk mengajak.
Salammualaikum rejeni bumi Tuen rembeni isi ini rime Tair mi tair nge gaeh kami Pitu sentabi tene mulie
Salamualaikum pemulo ni peri ooo Tabi mulo langit si kami jujung Kin tudung payung oo ton seseren te ooo Maaf mulo bumi si kami jejak ooo Seringkel tapak isi ni kampong ooo Salam awal dari perkataan
Mohon maaf langit yang kami junjung Untuk payung tempat kita bersandar/berlindung Mohon maaf bumi yang kami pijak Perjalanan telapak kaki se isi kampung (syair ini menjadi syair pertama dalam mengajak gajah putih dan gajah
putih belum mau menampakakan diri yang kemudian Sengede menyayikan lagi ke
salem berikutnya
Abango…….ooooooooo Rejeni denie rembani alam Nge kami paham samakni tene Bugemi bunge entimi telam Sejarah alam neggeri linge
139
Kurrrr............rrrrrr
Wahai abang Raja dunia pemilik alam Sudah kami paham apa-apa yang telah menjadi tanda Semoga jauh dari hal-hal yang buruk Sejarah alam negeri Linge
Kurrrr............rrrrrrrr
Setelah salam ke tujuh barulah Gajah Putih mau bangun dan Sengede
memberikan salam semah (munatap) dengan khidmad kepada Gajah Putih agar
berkenan bangun dari tidurnya.
Konsep ‘membangunkan seperti memaksa’ di dalam tahap ini melalui
gerak sining memberikan pengertian bahwa ‘Raja’ bagi manusia dipandang dan
diyakini sebagai manusia yang memiliki pengetahuan dan ilmu-ilmu kesaktian
bahkan sering dipandang sebagai titisan dewa. Oleh karena itu Raja harus
dijunjung tinggi dan dituruti kehendaknya. Demikian pula pola lantai dalam alam
atau juga pikir dini ini masih sangat sederhana, garis-garisnya tegas lurus maupun
melingkar.
Bagian selanjutnya adalah kelompok gerak semar kalang. Pada kelompok
gerak ini sudah mulai banyak kerumitan, baik pola gerak, pola lantai (sudah
menggunakan garis-garis spiral serta resultante, dan membuat angka delapan),
demikian pula bentuk iringan musik yang berirama cepat dengan irama ketibung.
Di samping itu baik irama musik maupun irama gerakan dan temponya sedikit
lebih cepat dibandingkankan pada bagian kelompok sining. Pada bagian ini gajah
Putih mengikuti Sengede dengan meniru gerakkan yang dilakukan. Dalam
pemaknaan kelompok gerak ini memberi arti bahwa manusia sudah memasuki
alam pikir dewasa yang penuh dengan tantangan, gejolak dan sudah banyak
variasi hidup, serta sudah bisa menentukan pilihan untuk melihat baik buruknya
140
persoalan. Dinamika maupun irama gerak tampak lebih banyak di kelompok ini,
di antaranya adalah dinamika ritme langkah kaki, yang terdiri darisesok, kedeng
jingket semalah sesok.
Ketiga bentuk langkah tersebut amat berbeda baik teknik melangkah,
hitungan maupun iramanya. Dari sini manusia dihadapkan dengan berbagai
macam pilihan ‘jalan hidup’. Jalan yang mana dan usaha apa yang hendak
digunakan untuk menempuh suatu tujuan hidup.
Bagian terakhir dari tari Tari Guel ini adalah kelompok cincang nangka.
Pada bagian ini dilakukan berbagai variasi gerak dari naik dan turun, kadang-
kadng dilakukan dengan setengah duduk mengikuti irama yang cepat penuh suka
cita dan gembira. Setelah berakhir gerak cincang nangka maka diakhiri dengan
gerak salam semah (munalo akhir) dan diikuti dengan gerak berjalan keluar
panggung. Gerak yang pertama di dalam kelompok ini adalah gerak yang
menyatakan rasa kebahagiaan bahwa pekerjaan yang diberika pada Sengede sudah
tertunaikan. Tanggungjawab terselesaikan dan Sengede bertemu lagi dengan
abangnya yang diakhiri dengan kebahagiaan.
Pemaknaan dari kelompok gerak akhir ini memberikan arti bahwa manusia
sudah memiliki pemikiran yang sudah pasti, tidak tergoyahkan. Artinya manusia
secara hakiki sudah dapat membedakan dan menyamakan antara langit dan bumi,
sudah dapat memisahkan dan menyatukan antara langit dan bumi. Dengan
demikian manusia sudah dapat menemukan arti hidup.
4.2.2 Pola lantai
Pola lantai adalah lukisan garis yang dilalui oleh seorang penari dalam
melakukan gerakan-gerakan di atas pentas. Soedarsono (1976.23) menyebut
141
dengan kesan garis yang dibuat oleh penari tunggal atau penari kelompok di atas
lantai pentas. Aspek garis desain tari dapat dilihat pada kerangka wujud yang
terbentuk oleh hubungan antara anggota-anggota tubuh dan bagaimana cara piñata
tari menggarap ruang pentas lewat wujud-wujud geometris. Wujud desain garis di
dalam tari selalu berubah dari saat ke saat atau yang lama melebur untuk
membentuk desain garis yang baru (Murgiyanto, 1983:56).
Aspek garis dari anggota tubuh tersebut yang langsung dapat dilihat oleh
penonton di atas lantai, dinamakan desain atas (La Meri, 1968 dalam Sudarsono,
1976: 23). Artinya formasi penari sangat berkaitan dengan wujud gerak dan
kekuatana real pentas (Soedarsono, 1986:113). Para penari Guel menyebut pola
lantai dengan posisi, artinya menunjukkan kedudukan seseorang tokoh.
Formasi atau pola lantai tari Tari Guel dibuat sesuai dengan kebutuhan.
Pada pola lantai yang di lakukan oleh penari Utama, (Gajah putih dan Sengeda)
banyak mengunakan pola lantai lingkaran, garis lurus, sejajar, dengan berbeda
arah. Pola lantai ini biasanya ada pada pola lantai dalam tari-tari tradisi.
Penggunaan pola lantai ini dalam sebuah karya akan memberi pemaknaan yang
menegaskan/menajamkan alur cerita menyesuaikan dengan pola gerak yang
dilakukan.
Untuk penari pengiring (penari perempuan) membuat pola lantai yang
mengisi dari pola lantai Sengede dan Gajah Putih. Biasanya menggunakan pola
lantai setengah lingkaran, garis lurus, segi tiga yang berada di belakang penari
utama. Pada prinsipnya pola lantai yang dilakukan penari perempuan membantu
menjaga keutuhan dan kejelasan, serta memperindah dari tarian.
142
Gambar 4.1: Pola lantai sejajar/satu baris Pola lantai sejajar memberikan arti ketenangan bagi semua pelaku,
sehingga proses pencarian dalam membujuk Gajah Putih dapat dilakukan. Dalam
pola lantai ini biasanya dilakukan gerakan sembah/salam untuk penghormatan,
sehingga dilakukan dalam bentuk satu baris. Pola lantai ini juga memberikan
kesempatan untuk menunjukkan kepada penonton karakter yang dibawakan oleh
penari.
Gambar 4.2. Pola lantai segi tiga untuk penari pendukung dan pola lantai
melingkar untuk penari utama
Pola lantai segitiga yang dilakukan penari pendukung, memberikan
pemaknaan bahwa penjagaan dalam sebuah tempat memberikan arti tentang
hidup yang harus menjaga norma-norma dalam aturan-aturan yang berlaku.
Sesungguhnya norma-norma itu menjadi panduan bagi masyarakat. Sementara
143
posisi dari penari utama merupakan wujud kesetiaan dan kasih sayang seorang
adik pada abangnya dan begitu juga sebaliknya.
Gambar 4.3: Pola lantai setengah lingkaran 4.3. Struktur Gerak
Di dalam tari, gerak merupakan elemen baku yang paling mendasar. Gerak
tersebut dipergunakan sebagai media untuk mengungkapkan ekspresi, dan
mediumnya adalah tubuh manusia. Ungkapan ekspresi melalui gerak tersebut
merupakan suatu pernyataan imajinatif yang dituangkan dalam bentuk simbol-
simbol. Karena simbol-simbol ini berupa gerak, maka di dalam koreografi, gerak
merupakan sesuatu yang sangat esensial. Gerak dapat berfungsi tidak saja karena
koordinasi berbagai faktor, tetapi juga karena fungsi ritmis dari struktur tubuh.
Chattam memiliki keyakinan, bahwa gerak itu adalah “hidup”, atau hidup itu
adalah “gerak” (Chattam, 2008: 3-4).
Gerak-hidup akan menjelma dalam perikehidupan alam semesta, dan
memenuhi alam semesta. Pada hakekatnya, gerak itu hanya “satu”, akan tetapi di
dalam penerapan kehidupan sehari-hari akan selalu ditemui paradox-paradox
gerak, seperi gerak maju, mundur, gerak atas bawah, gerak kiri kanan dan
seterusnya. Di dalam tari Guel, gerak paradoxial tersebut dinamakan bertiru
144
kurembege berconto kusi munge, artinya sesuatu yang dihasilkan mempunyai
patrun yaitu bercontoh ke pada yang ada. Bumi Gayo adalah daerah pedalaman
dan pegunungan maka alam dan kkayaan alamnya yang memberi inspirasi untuk
mendapaatkan sesuaitu ide atau gagasan. Contoh jika gerak guru didong
menggerakkan bahu ke muka dan kebekakang atau memutar kemuka dan
kebelakang, merupakan imitasi dari gerakan Gajah putih yang menggerakkan
telinganya. Memberikan pemaknaan tentang kehidupan yang kadangkala ada di
atas, kadangkala ada di bawah.
Pemahaman makna tentang gerak sebagai wujud kehidupan, maka gerak
mengisi jasad manusia, wujudnya berupa denyut nadi/jantung dan nafas. Jika
indikator gerak nadi dan nafas masih ada, maka ini adalah hidup. dalam
penerapannya dengan menjadikan alam sebagai ilmuyang mengajarkan tentang
kebudayaan/kesenian tradisional, bahwa di dalam belajar kebudayaan termasuk
kesenian, ternyata tidak berhenti pada visualnya saja, akan tetapi selalu berlanjut
pada aspek kedalaman (tataran batin, rasa, makna), yang mengolah adalah “hidup”
itu sendiri. Sudah barang tentu untuk mencapai tataran tersebut yang lebih tinggi
harusdilakukan dengan sungguh-sungguh, sehingga untuk memeprolehnya perlu
dilakukan dengan berbagai macam cara, baik secara fisik (melihat, menyimak,
memperhatikan, melakukan), maupun secara batin (berdo’a, berpuasa, melakukan
sesuatu) yang kesemuanyabertujuan untuk mendapatkan (ilmu).
Usaha lahir batin tersebut berfungsi untuk memantabkan jiwa dengan
melakukan sikap yang kritis, bijaksana, arif dan cepat tanggap dengan
menggunakan semboyan Gayo (cerdik, bidik, lisik, mersik), agar hidup dapat
bermanfaat dan penuh makna. Usaha ini juga dilakukan dalam membersihkan
145
jiwa dan raga sebagai pemegang hati dalam rangka menyatukan niyat untuk
memperoleh ilmu tentang sesuatu. Sebenarnya hal ini yang dimaksud cukup
sederhana, yaitu; jika ingin belajar/memperoleh sesuatu harus dilandasi niyat yang
kuat dan sungguh-sungguh minta kepada Yang Maha Kuasa. Dengan niyat yang
bulat dan didukung kekukuhan jiwa niscaya kita akan mampu melakukannya.
4.3.1 Konsep teknik
Untuk melakukan teknik tari Guel, maka perlu diperhatikan beberapa hal-
hal yang menghantarkan tercapainya konsep gerak tari Guel. Konsep yang
dimaksud berdasarkan pemahaman masyarakat Gayo, merupakan gerakan yang
menjadi ciri khas dari tari-tari tradisi Aceh Tengah/suku Gayo. Dalam tari Guel
ada beberapa teknik menari tari Guelberdasarkan pemahaman masyarakat suku
Gayo
4.3.1.1 Siep semperne
Siep semperne merupakan sikap gerak tubuh dan bagian-bagiannya secara
keseluruhan. Di dalam tari Guel, tubuh dapat dibagi menjadi 3 (tiga) besar, yaitu
bagian atas, meliputi kepala dan leher; bagian tengah, meliputi bahu, tangan,
dada, perut dan pinggul, sedangkan bagian bawah meliputi, paha, betis, dan kaki
(jinjit, tumit dan telapak). Ketiganya merupakan satu kesatuan yang saling
mendukung dalam melakukan gerak tari. Tedoh sekejepadalah sikap gerak (pose),
sehingga sifatnya statis, namun sudah mengarah pada “salah” dan “benar”.
Gerak yang sudah terorganisasi dengan irama musiknya (jangin). Didalam
tari Guel, gerak tidak mengalir menurut ketukan jatuhnya pukulan gendang. Di
depan telah dijelaskan bahwa Tari Guel, dibentuk oleh musiknya (jangin), sebab
146
janginada dulu. Setiap bentuk irama (gegedem) membawa pola ketukan sendiri.
Oleh karena itu, wawasan dan keterampilan pemain gendangmenjadi kunci utama
di dalam mengiringi tari Guel. Penari akan merasa nikmat jika pemusikdapat
memainkan gegedem, dan dapat menuntun musik/jangin. Musik bertumpu pada
iringan vokal, jika nyayian dilakukan dengan benar, maka rangkaian gerakan yang
mewujud pada bakakan tarian akan menjadi sempurna.
4.3.1.2 Resam
Resam, adalah sikap dan bentuk dari ekspresi penari atau kemampuan
dalam menghayati isi dari tarian. Resam ini akan menumbuhkan daya hidup jika
diisi oleh semangat spirit dari dalam diri penari yang lahir dari gerakan, irama,
tempo serta ketepatan dalam mengikuti pola gendang yang menjadi panduan bagi
penari. Terutama pada gerakan keteng-keteng. Dengan demikian resam
merupakan “sesuatu” yang ada di dalam, yang dituangkan dengan semangat spirit
melalui aspek visual berupa gerak, musik, ekspresi, Artinya: yang dinamakan tari
adalah: gerakan seluruh anggota tubuh yang bersamaan dengan bunyi-bunyian
musik, diatur dan selaras dengan irama lagu serta mendapat ekspresi sesuai
dengan maksud dan tujuan tari. Dalam tari resam ini biasa disebut dengan Wiraga,
wirama, wirasa.
4.3.1.3 Torom Ni Rupe
Torom Ni Rupe atau Ekspresi adalah bentuk visual dari wajah penari.
ekspresi merupakan perwujudan transparansi diri untuk menyampaikan berbagai
macam suasana melalui simbol-simbol wajah, seperti gembira, agung, sedih,
marah, romantis dan sebagainya. Dengan demikian ekspresi sebenarnya adalah
147
resam yang divisualkan melalui wajah. Visual ungkapan yang sesuai dengan
pesan dari koreografer, tidak mudah untuk dilakukan, untuk itu setiap penari perlu
memahami dengan cermat karakter dari peran yang dimainkan, termasuk dengan
mengkordinasikan anggota tubuh selain wajah dalam menjelaskan dari gerakan
yang dilakukan. Dalam hal ini, penari harus mampu memperlihatkan bagaimana
wajah, mulut, mata, arah pandang mata (ke bawah, lurus kedepan, membelalak
dan sebagainya). Kecermatan pemahaman terhadap karakter yang dimainkan
menjadi kunci dalam ungkapan secara ekspresi.
4.3.1.4 Peropohhen
Yang dimaksud peropphhen adalah perlakuan pada pemakaian kain yang
diletakkan di punggung oelh penari yang berperan sebagai Bener Meria. Untuk itu
perlu ketrampilan dan pemahaman arti dari kain krawang Gayo. Selanjutnya
mengatur letak kain agar tidak jatuh ke bawah, karena kain yang dipakai berupa
kain yang ditenun dan memiliki motif yang banyak serta dijahit dengan berlapis
dan menjadi berat. Hal ini secara teknik memberikan penguasan khusus bagi
penari untuk dapat membawakan dan memainkan kain dengan lincah. Dalam
menarikan tari ini, penari yang memakai kain, banyak melakukan gerak
menunduk dan membungkukkan badan. Satu sisi posisi badan yang dibungkukkan
dapat membantu penari untuk menyeimbangkan kain agar tidak jatuh. Sehingga
penari dapat melakukan perannya dengan baik sesuai karakter dari Gajah.
Demikianlah ke empat pedoman teknik menari tari Guel tersebut luluh
menjadi satu kesatuan yang saling menunjang. Keempat konsep ini harus menyatu
antara siep semperne,resam, torom ni rupe dan propohhen yang menjadi
kesempurnaan dari tari Guel. Masing-masing konsep ini memiliki ruang dan pola
148
yang memberikan kekuatan pada konsep yang lain. Dari keempat konsep ini
dapat disimpulkan bahwa konsep tari Guel terdiri dari 4 teknik, yaitu: 1) siep
simperne yaitu ketepatan dan kesiapan di dalam melakukan gerak, sehingga tidak
tergoyahkan dengan “sesuatu”. 2) resam, yaitu kekuatan kehendak di dalam
menari, meyakini dirinya di dalam menuangkan gerak maupun karakteristiknya.
3) ekspresifocus, yaitu menyatukan diri dengan sikap yang baik untuk
mendapatkan ketengan agar tidak terjadi kesalahan. Di dalam menari dengan
membawa property kain, penonton akan dapat melihat ekspresif tidaknya penari
dengan keliahaian dalam memainkan kain.Untuk itu penari Bener Meria harus
fokus pada gerakan-gerakan walaupun gerak yang dilakukan banyak
menggunakan gerak improvisasi. Focus menjadi faktor penting di dalam menari.
4) serasi (keselarasan antara ungkapan bentuk gerak, ekspresi, irama)yaitu
keterampilan di dalam menggerakkan tarian dengan menyatukan iringan musik,
yang menjadi patokan dalam tari Guel dan dengan sendirinya akan dapat
mengungkapkan penuangan ekspresi dalam mewujudkan karakter yang
diperankan.
4.3.2 Konsep pilosofi
Disamping ke emapat pedoman teknik tersebut, tari Guel memiliki
pegangan/pandangan hidup yang tertuang di dalam gerakan-gerakan tarian yang
tertuang dalam rangkaian tari. Bagi masyarakat Gayo, tari Guel ibarat “Mesium
gerak tanpa bangunan”1 tempat menyimpan sejarah Gayo, agar orang tidak mudah
melupakannya. Hingga sekarang masih banyak fakta sejarah Gayo tercecer dan
1 Pernyataan ini dungkapkan oleh Yusra Habib Abdul Gani, direktur Institut For Etnics Civilization Research dalam artikel tentang Tari Guel
149
disimpan dalam bentuk “kekeberen”, pusi dan pantun. Hal ini bisa dimakumi,
karena keterbatasan fasilitas pada masa itu. Imaginator menafsirkan fakta sejarah
tadi ke dalam gerak Tari Guel. Selain itu imaginator ingin menggambarkan
“aurat” orang Gayo yang tak pantang membunuh saudara sendiri, jika dirasa perlu
untuk itu. Riwayat pembunuhan Bener Merie oleh saudara sedarah, bukanlah satu-
satunya peristiwa dalam peradaban orang Gayo. Motif pembunuhan Bener Merie
semata-mata khawatir kehilangan pengaruh, kuasa, irihati dan dengki. Jadi
peragaan “tari Guel” adalah penyingkapan fakta, rahasia (aurat) orang Gayo yang
sungguh memalukan, mengharukan, memilukan sekaligus peringatan.
4.3.2.1 Munatap
Munatap, maknanya eksistensi diri dan kesadaran tadi mengkristal, setelah
dirangsang oleh Sengede dengan gerak diiringi irama, yang kemudian disebut
“tari Guel” (tari berirama), agar Gajah Putih bangkit bersaksi: merubah diam
menjadi aksi, memecah kebekuan jiwa agar larut dan menyatu dalam
kemajemukan nilai-nilai, membangunkan kematian menjadi hidup dan
mewujudkan mimpi menjadi kenyataan. Pada tahap gerak “munatap” yang
dituntut hanya kesadaran diri, pengakuan dan pengenalan secara menyeluruh. Hal
ini berhubung langsung dengan karakteristik orang Gayo pada umumnya baru
sadar dan beraksi setelah dirangsang terlebih dahulu.
Untuk selanjutnya bersiap-siap dan dirinya sudah benar-benar siap, tidak
ada sedikit keraguan di dalam melakukan gerak, baik kesiapan otot-otot fisik,
maupun kesiapan rohani berkaitan dengan penghayatan. Munatap dapat terjadi
jika sudah dilandasi dengan perasaan imanatau keyakinan yang kokoh. Dalam
kaitannya dengan pandangan maupun pedoman hidup, manusia jika memegang
150
satu keyakinan harus kokoh atau jatuh. Karena yakin atau iman itu perilaku hati,
bukan akal, tetapi akal dapat membuktikan dan memperkuat hati. Dengan
demikian keyakinan hanya satu, tidak mendua, seperti halnya hidup itu hanya
satu, yaitu Dia yang Maha Hidup.
4.3.2.2 Redep
Secara fisik, gerak lebih mengutamakan pada gerak bahu dan tangan
bergerak lentur dan bervariasi. Jari jemari penari sesekali terbenam dalam lipatan
“opoh Ulen-ulen”. Tahap ini adalah proses belajar, meniru, berpikir. Di sini gerak
dan irama yang dimainkan lebih cepat. Walau tidak terlalu lama. Ini mengajarkan
cara berpikir dan bergerak cepat jika mau dapat dan selamat. Gerak Redep” lewat
dan segera menuju gerak lain, yakni gerak ketibung yang ditandai dengan
hentakan kaki berkali-kali secara bergantian ke bumi. Mengankat dan
menurunkan atau memutar-mtar kedua tangan, dikmnbinasikan dengan sorot mata
yang tajam. Inilah tahap pengetahuan dan pemahaman, dimana manuisa
berhadapan dengan dua pilihan: menginjak atau diinjak, membunuh atau dibunuh,
tuan atau budak, menguasai atau dikuasai. Kata ketibung dalam bahasa Gayo,
lazimnya dipakai bagi gadis-gadis yang mandi di kolam atau disungai,
membunyikan air dengan keduda tangan, yang dalam tari diisyarakan dengan
variasi gerak tangan dan kaki, sebagai refleksi dari gelora pikiran dan luahan jiwa.
Itu pula alasannya hingga dalam sastera Gayo, jejolak hati kerap digambarkan
dalam lirik “ketibung jiwanni jantung, berjunte iwanni ate” (bergejolak dalam
jantung, berseni dalam hati”).
Konsep bergejolak/perang terjadi bukan perang sesungguhnya tetapi
perang melawan angkara murka di dalam hati. Perang ini dilakukan berhadapan
151
anatar sengede dan gajah putih yang menolak untuk bangkit, tidak diperlukan
teknik menghindar dan menyerang, artinya saling memukul, saling menendang,
saling mendorong dengan kekuatan keyakinannya masing-masing. Kemudian
yang kalah dilempar/dibuang terus lari tetapi tidak saling mambunuh. Makna
simbolik pada tari perang ini, bahwa kehidupan manusia didunia ini dilengkapi
dengan berbagai alat termasuk indra dan nafsu. tiada seorangpun yang mampu
membunuh keinginannya, kecuali hanya mengarahkan (Chattam, 2008:140).
Adanya indra yang mendorong nafsu ini akan datang silih berganti secara
terus-menerus beradu kekuatan dan atau kekuasaan. Mana yang kalah akan
terseingkir sementara, pada saatnya akan datang kembali mengadu kekuatan dan
kekuasaan. Pertentangan iniakan berakhir ketika manusia berakhir pula di alam
dunia ini. Dengan demikian, mau tidak mau manusia harus siap berani
menghadapi segala resiko dalam segala permasalahan hidup. Andaikata takut,
tidak berani menghadapi permasalahan tersebut, lalu mau lari kemana dan
sembunyi di mana? Semua terlihat olehNya Dzat yang memiliki hidup. Jika orang
tidak tahu dan tidak bijak, maka jalan yang diambil adalah mengahiri hidup
dengan jalan merebut hidupnya sendiri sebelum sampai pada kodratNya.
4.3.2.3 Kepur Nunguk
Kepur Nunguk menuntut semua anasir atau “debu-debu” yang menodai
supaya disingkirkan. Artinya: tangan siapa sih yang tiDak kotor? Tangan kita
telah mengotori negara, maruah bangsa, budaya dan bahasa (kata kepur dalam
bahasa Gayo berarti mengusir debu-debu (kotoran) yang melekat pada kain atau
tikar dengan tangan, bukan dengan penyapu. Mengapa? Sebab tangan mempunyai
konotasi kekuasaan yang bisa merubah, memperbaiki atau menjahanamkan.
152
Kepur Nunguk yang mengepak-ngepakkan “opoh ulen-ulen”, sambil
berputar-Putar, maju dan mundur. Gerakannya sangat agresif dan menantang.
Tahap ini menggambarkan proses klarifikasi masalah, yaitu mengendalikan.
Dalam kaitannya dengan teknik gerak, megeng adalah kemampuan untuk
mengendalikan diri, baik sebagai kontrol emosi, maupun control tenaga agar tidak
berlebihan (over) atau sebaliknya terlalu lemah. Gerak-gerak tari Guel diperlukan
kekuatan/tenaga dan emosi. Akan tetapi kekuatan maupun tenaga yang dimaksud
bukan berlebihan seperti ungkapan dalam bahawa Guel: kuet gere lagu jema
munatang atu ilang, beb nume munatang atu (kuat tidak seperti orang memikul
batu merah, kaku tidak seperti orang memikul batu). Dengan demikian secara
teknik, tari Guel berjalan secara wajar, secukupnya sesuai kebutuhan.
4.3.2.4 Seneng Lintah
Seneng lintah atau sengker kalang yang gerakannya menggelepar,
memiringkan tubuh bagaikan gerak burung Elang yang mau menyambar mangsa.
Inilah gerak burung Elang yang terbang melayang, melingkar dan menukik
dengan memiringkan badan untuk melihat dan memastikan posisi masgsa atau
gerak lintah yang meliuk-liuk dalam air yang berarti masalah mesti di lihat bukan
dari satu arah saja, tetapi didekati dan dikaji dari berbagai sudut pandang. Kata
Seneng” dan Sengker” dalam bahasa Gayo bermakna: melirik atau memantau
dengan gerak miring, gerak ini menggambarkan tahap/peringkat aksi, cermat,
konsentrasi dan terarah.
Konsep waspada yaitu menempati tempat yang semestinya dalam kondisi
yang tepat, benar, tidak ragu, tidak kacau. Manusia harus siap adalah posisi
sempurna sebelum dan sesudah melakukan berbagai macam gerak. Dapat
153
dikatakan bahwa berbagai macam ragam gerak apapun pada tari Guel akan
menuju gerak sikap siep semperne.
Dalam kehidupan masyarakat, kehidupan di dunia yang diharapkan adalah
genap, artinya sudah sesuai dengan harapan dan cita-citanya. Dengan demikian
manusia yang sudah genap, sudah “tahu” tempat kedudukan dimana ia harus
berada genapdi,hatinyatenang, hidupnya tidak kacau, nafsunya tidak ngacau. Ia
sudah dapat menjadi tauladan bagi orang lain, dapat memberi petunjuk, sementara
perilakunya sudah tanpa petunjuk, karena jiwanya kokoh, hatinya bersih, cerdas
akal budinya, perilakunya benar dan menyenangkan.
4.3.2.5 Cincang nangka
Cincang nangka merupakan rangkaian terakhir, aksi memasukkan diri
kedalam kemajemukan, yang berarti makna individu larut dalam kebersamaan.
Yang dituntut bukan lagi keserasian gerak, melainkan penyatuan perasaan dan
emosi. Tahap ini menunjukkan bahwa apa pun masalah, mesti diselesaikan
dengan mengikut sertakan orang lain.
Tari guel yang dimainkan tanpa syair oleh penari tunggal diiringi irama
(menabuh) canang dan gong, sarat dengan nilai-nilai kehidupan. Ianya
dipersembahkan dalam upacara perkawinan atau menyambut tetamu agung. Sebab
inilah peluang terbaik utnuk menyingkap segala-galanya, mendoakan agar bahagia
dan sejahtera, yang disimpulkan dengan menabur beras-padi dan air tepung tawar
oleh penghulu mungkur. Persembahan tari ini kepada tamu asing, untuk
memperlihatkan inilah “gayo” dan “adat istiadat adalah pagarnya agama” jadi tari
Guel boleh juga dikatakan sebagai “talqin”, agar orang Gayo tersentuh hatinya,
154
bergairah dan berani bangkit bersaksi atas nama kebenaran sejarah, jika tidak
ingin martabat dan maruahmu di lecehkan orang lain.
Dengan adanya kesepakatan dalam sistem adat, maka pertunjukan tari
Guel semakin sering dipentaskan, apalagi dengan menempatkan tarian dalam
kegiatan upacara perkawinan, yang menambah kekhusukan dalam
pelaksanaannya. Sebagai sebuah pertunjukan, masyarakat Gayo semakin
menyadari arti dari kebudayaan yang mereka miliki dan menyemangati untuk
bersama menjaga dan mempertahankan, dengan tetap melaksanakan pertunjukan
tari Guel dalam berbagai kesempatan.
4.4 Struktur Musik
Dalam musik tradisional Gayo dikenal beberapa macam istilah untuk
irama/tempo musik yaitu munatap, redep tatau dep, ketibung, cincang nangka,
yang menyatu dala musik canang. Istilah-istilah ini juga yang menjadi babakan
dalam tari Guel, sekaligus memberi gambaran ragam gerak dan tata cara
penyaijiannya. Dalam pertunjukan tari Guel, iringa musik biasanya dimainkan
secara lie (langsung), dengan menggunakan alat musik yang terdiri dari
Gegedem, Gong, Canang dan Suling. Gegedem adalah alat musik yang paling
utama, karena gerakan penari selalu mengikuti ketukan Gegedem, dan gegedem
menjadi patokan pada penari dari awal hingga akhir tarian
155
Fhoto 4.3; Gegedem, (Dok : Saadah, Juli 2013)
Ketukan-ketukan Gegedem sangat khas suaranya dan memang hanya
dimainkan khusus untuk mengiringi tari Guel saja. Perpaduan antara alat musik
dengan para penarinya sangatlah indah. Permainan alat musiknya sangat beragam,
ada bagian-bagian hanya suara Gegedem yang mengiringi penarinya. Gerakan
penari yang hanya diiringi oleh Gegedem diantaranya adalah, gerak Salam,
Munatap (gerak Ketang-ketang), dan Ketibung. Gerak yang lainnya diiringi
dengan semua perpaduan alat musik dengan diiringai vokal.
4.4.1 Makna irama munatap
Pada tahapan munatap yang merupakan awal dari tarian, irama yang
diberikan bernada sendu, penyanyi mengawali setelah bunyi ketukan gegedem dan
rangkaian permainan gegedem dalam satu bagian yang menunjukkan Sengede
dalam proses pencarian. Kemudian dilanjutkan dengan masuknya musik yang
ditandai lantunan dari syair yang dinyanyikan dengan nada tinggi (jangin)
156
4.4.2 Makna irama redep tatap dep
Tahapan Redep lebih bernada riang dengan tempo cepat dari irama
munatap. Pada bagian ini merupakan kisah tentang aman mayak telah
dibangkitkan dan dituntun Guru didong untuk menari bersama. Pada bagian ini
terlihat gerak kepur nunguk, dan semar kalang.
4.4 3 Makna irama Ketibung
Irama ketibung lebih semarak dari redep. Gerak tari memperlihatkan
rangkaian dari gerak dasar kepur nunguk, semar kalang dan sining lintah yang
dilakukan secara impropisai dan dengan berbagai variasi gerak.
4.4.4 Makna irama Cincang Nangka
Pada babakan cincang nangka, irama musik riang dan bersemangat, gerak
tari cenderung bebas, Guru Didong dengan gerak “dep-papab” penari wanita
secara improvisasi menaburkan beras pada rombongan Sengeda.
4.5 Struktur Bentuk Gerak Dengan Relasi-Relasinya
Seperti yang diungkapkan oleh Kaeppler, yang menganalogikan gerak
tari sebagai struktur bahasa atau sebanding dengan fonem dalam bahasa, maka
dapat dijelaskan struktur hirarkinya, sebagai beriku: Bentuk tari merupakan
tingkat keempat atau terakhir dalam organisasi gerak tari, yangsecara hirarkis
terdiri dari susunan gugus-gugus gerak. Sedangkan gugus gerak merupakan
kesatuan dari kalimat gerak, yang oleh Kaeppler dinamakan “motifs”, yaitu
kombinasi dari unit-unit terkecil dengan cara khusus sebagai gerak tari sesuai
157
dengan konteks budayanya. Adapun kalimat gerak terdiri dari beberapa fase gerak
dan fase-fase gerak ini merupakan susunan dari “motif-motif gerak”, Kaeppler
memberikan istilah "kinemic" atau, morphokinemic, yaitu berdasarkan gerak
yang sudah dikenal, artinya unit terkecil yang memiliki makna dalam struktur
sebagai sistem gerak. Dapat pula dikatakan bahwa “motif gerak” adalah bagian
yang terkecil dari struktur bentuk
yang telah terorganisasi. Sedangkan “motif gerak” ini merupakan kesatuan dari
unsur-unsur gerak, atau elemen kinetik yang masing-masing berdiri sendiri.
Berikutnya akan dibahas mulai darti tingkat yang terkecil menuju tingkat
yang besar, yaitu unsur gerak, motif gerak, frase gerak, kalimat/ragam gerak,
gugus/paragraph gerak dan Bentuk Tari.
4.5.1 Unsur gerak
Pengertian unsur gerak ini adalah gerakan atau sikap dari masing-masing
anggota badan yang masih belum dapat dikatakan tari. Seluruh tubuh manusia
dalam kaitannya dengan unsur gerak tari dapat dibagi menjadi empat bagian yang
masing-masing tidak saling berkaitan. Keempat bagian tersebut adalah, kepala,
tangan, badan (torso), dan kaki. Dengan demikian unsur-unsur gerak anggota
badan yang dimaksud adalah, unsur gerak kepala, unsur gerak tangan, dan unsur
gerak badan atau torso, serta unsur gerak kaki.
Di dalam kaitannya dengan dinamika, motif gerak secara garis besar dapat
dibagi menjadi dua, yaitu motif gerak statis, adalah gerak yang diam di tempat
dan lazim disebut pose atau sikap gerak, yang kedua adalah motif gerak motorik,
yaitu motif gerak yang berpindah tempat. Dengan demikian motif gerak motorik
158
ini merupakan proses perpindahan dari sikap/pose gerak satu ke sikap/pose yang
lain.
Pola Dasar Unsur Gerak Kepala Tabel 4.1 Unsur gerak kepala
Bentuk gerak Nama gerak Dominasi gerak Kode Gerak
Petongkok
Fokus gerak pada dagu dan kepala yang ditundukkan
Gk 1
Nengon kiri Fokus gerak pada leher yang diberi tekanan dengan lembut
Gk 2
Nengon ku toyoh kuen (gerak ini dibalas kesebelah kiri)
Fokus gerak pada leher dan diberi tekanan kearah bahu samping kanan
Gk 3
159
Munyine ku Kuen
Gerak leher menjadi tumpuan dengan mengunci untuk tetap fokus
Gk 4
Pola Dasar Unsur Tangan Tabel 4.2 Unsur dasar gerak tangan
Bentuk gerak Nama gerak Dominasi gerak Kode Gerak A
Pumu i arap salin beramatan
Posisi gajah putih duduk dengan bersila
Gt 1
B
Roa pumu arab tuke, gerak perempuan)
Roa pumu arab
Gerak bahu menjadi tumpuan
Gt 2 Gt 3
160
Semah Tumpuan pada leher dan dagu yang ditundukkan
Gt 4
Roa pumu i tatang ku atad
Gt 5
Rangkaian gerak keteng-keteng -Sara pumu i awak sara pumumi i arap dede Sara pumu i awak, sara pumu kemang tengen
Rangkaian gerak ini merupakan imitasi dari gerak belalai gajah yang dimainkan pada gerak pergelangan tangan. Tangan kanan menirukan gerak goyangan lembut belalai. (dilakukan berbalasan arah kiri)
Gt 6 Gt 7
161
Pumubi puter ku atas Sara pumu i awak sara pumumui
Gt 8 Gt 9
Pumujurah ku arap jejari ku atas
Gt 10
Pumu i tatang ke atas
Gt 11
162
Pumu i juah ku arab
Gt 12
Pu kemang ku atas jejariku toyoh Roa pumu kemang jejari kuah diri sesereng
Pola gerak ini sama dengan gerak pada pola keteng-keteng hanya dilakukan dengan dua tangan
Gt 13 Gt 14
Sara pumu u atas sara toyoh
Fokus gerak pada pergelangan tangan yang diputar arah dalam dilakukan berkeliling di tempat
Gt 15
163
sara pumu iarab lagu jema kesejuken
dominasi Gt 16
Sara pumu arab dede, sara pumu i tekar ku arap
Dominasi gerak pada tangan kanan seolah-olah menolak ke depan, keatas, dan kebawah
Gt 17
Roa pumu kemang
Fokus gerakan pada tangan kanan yang perlahan dihentak lembut dari atas ke bawah
Gt 18 Gt 19
164
Pola dasar unsur gerak badan Tabel 4.3 Unsur dasar gerak badan
Bentuk gerak Nama gerak Dominasi gerak Kode Gerak
Sara pumu munamat
Dominasi gerak pada bahu yang diputar ke atas bergantian kiri dan kanan . Gerak ini menjadi ciri khas dari tari Guel
Gb 1
Sara pumu i awak sara pumumi
Fokus gerak pada pergelangan tangan dan jari yang dirapatkan membentuk seperti ujung belalai gajah
Gb 2
Sara pumu i arab sara pumu i kodok teneng awak
Pokus gerak pada tekukan badan yang ditarik kedepan, dada di tarik kebelakang
Gb 3
Jentik kedidi Fokus pada gerak badan yang dibungkukkan dan dimiringkan ke kiri dan kanan
Gb 4
165
Pola Dasar Unsur Gerak Kaki Tabel 4.4 Unsur dasar gerak kaki
Bentuk gerak Nama gerak Dominasi gerak Kode Gerak
Roa kedeng jingkek dari samping
Tumpuan pada kaki menapak
Gkk 1
Sesok
Tumpuan pada tapak kaki depan
Gkk 2
Kedeng mujingket wan cengkok
Tumpuan badan pada kaki yang menapak. dibelakang
Gkk 3
Jentik kedidi Gkk 4
166
Jentik kedidi Gkk 5
4.5.2 Motif gerak
Unsur-unsur gerak di atas apabila digabung sesuai dengan “konsep” dan
maknanya maka menjadi sebuah motif gerak, yaitu kesatuan gerak tari yang
terkecil yang menggandung makna, seperti halnya “kata” dalam struktur bahasa.
Misalnya: motif gerak keteng-keteng, terdiri dari kepala nengon kuen, tangan
pumu ku kodok, badan sikap tegak, kaki roa kideng jingkek. Jika kombinasi gerak
dasar tersebut di rubah sedemikian rupa strukturnya, maka akan muncul motif
gerak yang lain. Misalnya: struktur dasarnya sama dengan motif gerak keteng-
keteng, hanya tangannya diganti gerak pumu juah ku arab, maka akan menjadi
motif gerak lain, yaitu motif gerak jentik kedidi. Selanjutnya secara detail, motif
gerak akan diuraikan dalam deskripsi ragam gerak di bawah ini.
167
4.5.1 Ragam salam semah
168
Gambar 4.2: Ragam salam semah
Ragam gerak salam semah terdiri dari motif semah nengon kuen dan
semah depan, jentik kedidi, pumu i arab.Penari yang melakonkan Sengeda
membungkukkan badan, ke dua tangan kedepan dengan cara mempertemukan
ujung jari membuat bentuk segitiga, seperti melakukan sembah/penghormatan.
Posisi ini menjadi awal dari tari Guel dan bermulanya cerita tentang Sengeda dan
Bener Meriah. Setelah posisi sembah kemudian dilanjutkan dengan merentangkan
tangan kanan, membuat lekukan, memutar pergelangan tangan, menghempas
keatas dan kebawah lalu membuang seakan-akan memperlihatkan belalai Gajah
membelit dan mencabut sesuatu. Tangan/lengan menempel di pinggang, bahu
naik turun sesuai dengan irama tari.
169
4.5.2 Ragam gerak kepur nunguk
Proses a Proses b
Proses c
Gambar 4.3: Ragam Kepur Nunguk
Ragam gerak kepur nunguk terdiri dari motif sara pumu, pumu i tatang,
jentik kedidiGerakan ini adalah gerakan yang menirukan gerak kepak sayap
burung pungguk. Kadang-kadang sayapnya merentang lebar dan adakalanya sayap
170
mengepak. Penari pada gerakan ini memperlihatkan tangan merentang lebar
dengan mengibaskan kainnya opoh ulen-ulen sambil memutar dengan agresip dan
lincahnya apabila mengenakan kain. Tahap ini merupakan penyelesaian masalah
yang menuntut agar segera selesai/tuntas dan pasir-pasir yang ada di opoh ulen-
ulen dapat disingkirkan. Apabila dikaitkan dengan istuilah dalam bahasa Gayo,
kata kepur berarti mengibaskan bukan menyapu dengan tangan., yang disesuaikan
demngan konsep dalam penciptaan tari Guel.
4.5.3 Ragam gerak sining lintah
Proses a proses b
171
Proses c
Gambar 4.4: Ragam gerak sining lintah
Ragam gerak sining lintah terdiri dari motif mutalu, sara pumu, roa
pumukokodok. Gerakan tari ini memperlihatkan gerakan lintah berenang, dimana
penari melakukan seakan dengan meletakkan lengan ke belakang seakan-akan
disembunyikan. Badan agak membungkuk, kaki berlari-lari kecil/melompat-
lompat kecil diikuti gerakan kepala yang bergerak ke kanan dan ke kiri mengikuti
gerak kaki dengan lincahnya. Gerakan sining lintah menjadi gerak khas pada tari
Guel, gerakan melompat diikuti dengan gerakan kepala, dan liukan badan namun
tetap dalam posisi badan ditundukkan terlihat kedinamisan dari rangkaian gerak.
Gerakan sining linath ini menjelsakan liukan tubuh seperli lintah memberi arti
bahwa menyelesaikan satu masalah harus dilihat dari berbagai sudut pandang,
agar didapat cara untuk menyelesaikannya.
172
4.5.4 Ragam gerak samar kalang
Gambar 4.5: Ragam gerak semar kalang
Ragam gerak semar kalang terdiri dari motif munatap, roa pumu u
arab,pumujurah ku arab. Gerak tari seperti burung elang mencakar, penari
memperlihatkan tangan menguncup secara melengkung seakan-akan menerkam
tajam, miring ke kanan dan ke kiri dan kaki bergerak lincahnya. Posisi ini
memperlihatkan bagaiamana dalam usaha mendapatkan sesuatu daa
menyelesaikannya haruslah pokus, cermat dan terarah. pokus ini juga menjadi
pedoman dalam teknik gerak tari Guel. Gerakan ini terlihat pada babak ketibung,
dep dan cincang nangka.
173
4.5.5 Ragam gerak dah papan
Gambar 4.6: Ragam gerak dah papan
Ragam gerak dah papan terdiri dari motif roa pumu arab tuke, pumu i
tatangkeatas, u i kemangen, roa pumu i tatang ku atad. Gerak tari dah papan
174
merupakan perpaduan dari semua gerak dasar di atas yang ditarikan agak bebas
dan spontan dilakukan. Bentuk-bentuk gerak dah papan menjadi penyambung dari
ragam-ragam gerak yang ada, dan memberikan keindahan dari tarian.
4.5.6 Ragam gerak sining
175
Gambar 4.7: Ragam gerak sining
Sesuai dengan namanya, ragam gerak sining memperlihatkan gerakan
melingkar dengan didominasi putaran ke arah yang berlawanan dengan arah
putaran bumi.gerak ini terdiri dari motif roa pumu kemang, sara pumu i atas ku
toyoh, pumu kemang. Gerak ini terinspirasi dari kisah “Aman Kayani” dalam
membangun rumah adat. Puncak dari gerakan ini adalah dengan memperlihatkan
penari yang menari di atas dulang untuk kemudian selanjutnya menaiki tangga
untuk menari di atas kaso lintang (bera reje tiang) yang telah didirikan sebagai
awal pembangunan.
Keberadaan dulang dalam kisah “Aman Kayani” menjadi perlakukan
penting dengan menempatkan dulang sebagai sebuah benda yang istimewa,
dimana penari menari di atas dulang dan menari di atas kaso lintang serta
berusaha menyeimbangkan badan agar tidak jatuh. Perlakuan ini menjadi
176
misterius dan pemuh makana, karena keberadaan dulang yang menjadi media
dalam pelaksanaan pertunjukan. Sehingga dahulunya dipercayai dalam penetapan
kampung, juga menyertakan tarian dengan melakukan gerak sining.
4.5.7 Ragam gerak Cincang Nangka
Gambar 4.8: Ragam Gerak cincang nangka
177
Ragam gerak cincang nangka terdiri dari motif pumu ku kodok,
pumukemang ku toyoh, pumu kemang ku atas, pumubi puter. Ragam gerak ini
memperlihatkan gerakan gelora semangat rakyat membela nama dan kebesaran
kerajaan, enerjik, berani, pantang menyerah. Gerakan ini dilakukan oleh sejumlah
penari yang diwarnai gerakan murni, artinya gerakan tangan terkadang diselingi
dengan kata cang...cang... pertanda siap siaga berhadapan. Biasanya pada gerak
cincang nagka ini dilakukan secara bebas dan banyak memberikan inprovisasi.
4.5.8 Frase Gerak
Frase gerak yang diidentikkan dengan anak kalimat, merupakan kumpulan
dari berbagai motif gerak yang mengandung konsep dan makna gerak tertentu
dalam suatu tari. Dalam satu kesatuan ragam/kalimat gerak tari dapat terdiri dari
satu atau lebih frase gerak, tergantung dari konsep dan tujuan gerak tersebut. Jika
dalam satu kalimat gerak tari hanya terdiri dari satu frase gerak saja, maka
kedudukan frase gerak tersebut sekaligus sebagai ragam atau kalimat gerak.
Tari Guel dalam kesatuan gerak tari, memiliki frase-frase gerak yang
beragam. Contoh: frase gerak munatap merupakan kesatuan dari motif gerak
semah ke bawah, pumu ijuah ku arab, puter ku arab, pumu jurah ku arab
jejeariku ku atas. Frase gerak sining, merupakan gabungan dari motif gerak sara
pumu tengen mata sarami i kodok awak, sara pumu balas kiri, dan motif gerak
semar kalang. Adapun secara rinci nama-nama frase gerak dalam tari Tari Guel
adalah: 1) semah, 2). ara pumu, 3). Roa pumu kemang jejari, 4) sining, 5) pu
kemang, 6) pumu itatang, 7) umu itatang, 8 pumubu, 9) pumu turun, 10) roa pumu
178
itatang, 11) roa pumu arab tuka, 12) ulu singkeh, 13 salam semah, 14 jentik
kedidi, 15 sara pumu tengen, 16 kedeng jingket semalah
4.5.9 Kalimat gerak Tari Guel,
Istilah ‘kalimat gerak; di dalam tari, adalah suatu rangkaian gerak yang
memiliki awalan dan akhiran. Kalimat gerak tari ini merupakan kumpulan dari
motif-motif gerak yang sudah terangkum di dalam suatu anak kalimat atau frase
gerak. Dengan kata lain, satu kalimat gerak adalah kesatuan dari anak kalimat atau
frase gerak yang telah selesai.
Di dalam tari Tari Guel, susunan kalimat gerak beserta relasi bagian-
bagiannya (frase gerak) secara hirarkis tersusun sebagai berikut. 1) munatap
(beraggotakan frase-frase gerak: roa pumu arab jejari ku toyoh, sara pumu tengen
mata, sara pumu i atas sara i toya, roa pumu ku arab, semah, munatap). 2)
redep/dep(beraggotakan frase-frase gerak: ulu singkih ku kiri, ulu singkih ku
kanan,), 3) ketibung(beraggotakan frase-frase gerak: pumu turun ku toyohi kipeels
dari atas), 4) semar kalang (beraggotakan frase-frase gerak: pumu i tatang ke
atas, sara pumu i atas sara toya, roa pumu ko kodok, sara pumu tengen), 5)
cincang nangka, (beraggotakan frase-frase gerak: lumpet, geritik, Jentik kedidi,
pumu jurah ku arab jejari ku atas, pumuturun ku toyoh i kipeels ari atas, puter ku
arabpumu i juah ku. 6 dah papan menjadi gerak penghubung untuk menjelaskan
kalimat sebagai pemberi pesan.
Kedudukan frase gerak di dalam kalimat gerak, berfungsi sebagai
pembentuk kalimat, walaupun di dalam satu kalimat ada yang terdiri dari ‘satu
frase’ saja yang sekaligus untuk menamakan kalimat gerak tersebut, namun ada
179
kalimat gerak yang terdiri dari beberapa frase, yang dapat menjelaskan dari frase
yang ada.
Menurut fungsinya, ragam/kalimat gerak di dalam tari Tari Guel dapat
dibagi menjadi dua, yaitu: 1) Ragam Tari utama, yaitu ragam yang berdiri sendiri
dan membentuk makna dan/atau tema di dalam suatu karakter tari. Sedangkan
ragam tari inti ini terdiri dari dua bagian, yaitu ragam tari inti yang diam di tempat
(stationer) dan ragam gerak inti yang berpindah tempat (motorik movement).
2) Ragam Tari Penghubung, adalah ragam tari yang berfungsi untuk
menghubungkan atau merangkai kalimat gerak satu ke kalimat gerak yang lain,
atau untuk menghubungkan atau merangkai dua ragam tari inti. Adapun ragam
tari penghubung yang ada dalam tari Patih ini adalah; dah papan. Ragam ini
biasanya menjadi gerak improvisasi dari penari, penari bebas memberikan
ekspresi melalui gerak untuk menghidupkan suasana.
4.6 Analisis Gerak Tari Guel
Dalm menganalisis tari Guel digunakan teori struktur gerak tari oleh
Andreenne Kaeppler yang menganalogikan tari dengan struktur bahasa. Teori ini
dikuatkan oleh teori strata dalam sastra oleh Rene Weelek, yang membagi lapisan-
lapisan strata bentuk karangan sastra yaitu; Lapisa pertama adalah lapisan bunyi
(sound stratum), lapisan bunyi ini menimbulkan lapisan kedua yang disebut arti
(unit of meaning), pada lapis kedua ini, tiap-tiap kata tunggal mempunyai makna
sendiri yang kemudian bergabung di dalam konteks yang melahirkan frase dan
selanjutnya melahirkan pola-pola kalimat. Lapisan kedua ini menimbulkan,
lapisan ketiga (di bawahnya) yang disebut dunia ciptaan seorang pengarang.
180
Masing-masing lapisan ini tidak akan bermakna apa-apa apabila berdiri sendiri.
Untuk itu penyusunan unsur-unsur gerak yang dirangkai menjadi kalimat,
dilakukan dengan penyesuaian dengan ide dan pesan dari tarian.
Dalam analisis ini, unsur gerak diberi kode-kode tersendiri, yaitu: Unsur
gerak kepala diberi kode “k”, unsur gerak badan diberi kode “b”, unsur gerak
tangan diberi kode “t”, dan unsur gerak kaki diberi tanda “kk”. Maka Bentuk
terkecil atau motif gerak (mg) merupakan kesatuan dari unsur-unsur gerak,
sehingga mg=k+t+b+kk
Kemudian strata ke dua dinamakan frase gerak (Fg) yang merupakan
kesatuan dari motif-motif gerak, maka Fg=mg+mg+mg…, dan strata ketiga
dinamakan kalimat atau ragam gerak (Rg) yang merupakan kesatuan dari frase
gerak, maka Rg=Fg+Fg+Fg….. Strata keempat dinamakan paragraf atau sesi
gerak (Pg) merupakan kesatuan dari kalimat-kalimat gerak, maka
Pg=Rg+Rg+Rg…
Adapun strata yang tertinggi adalah bentuk koreografi yang terdiri dari kesatuan
paragraf atau sesi gerak. Dengan demikian rumus bentuk koreografi/bentuk tari
(T), adalah: T = Pg+Pg+Pg+… Secara rinci, struktur tari Guel memiliki
tujuh paragraf gerak (Pg), yaitu:
Tabe 4.5. Struktur Gerak Tari Guel Paragraf /kalimat
Ragam Gerak / Rg
Frase/Fg Motif Gerak
Munatap Rg 1 (Munatap) Fg 1, fg 2, fg 3, fg 4, fg 10
Fg1(gk1, gk4, gt,4, gb3, gkk2)
Fg2 (gk3, gt13, 14, 15, gb3, gkk1)
Fg3 (gk3, gt17, 18, 19, gb3, gkk2)
Fg4 (gk3, gb3, gt18, 19,
181
gkk1, 2, 3) Fg10 (gk1, 2, gt5, 10, 11,
gb1, 2, gkk2, 3) Babak Redep/ dep
Rg 2 (Kepur nunguk)
F 2, f 10, f 11 F2 (gk3, gt13, 14, 15, gb3, gkk1,2)
F10 (gk1,2 gt5, 10, 11, gb1, 2, gkk1, 2, 3)
F11 (gk2, 3, gt6, 7, 8, gb2, 3, gkk2, 3)
Rg 3 (Sining lintah)
F 9, f 14 F9 (gk2, 4, gt3, 4, 7, 8, 9, gb2, 3, gkk1, 2, 3)
F14 (gk3, gb3, gt18, 19, gkk1, 2, 3)
Babak ketibung
Rg 4 (Semar kalang)
F 2, f 5, f 14 F2 (gk3, gt13, 14, 15, gb3, gkk1)
F5 (gk2, 3, 4, gt6, 7, 8, 9, 10, gb1, 2, gkk2, 3, 4)
F14 (gk1, 2, 3, gt18, 19, 20, gb1, 2, gkk1, 2)
Rg 5 (Dah/ papan)
F, 7, f 9, f, 10, f 12
F7 (gk2, gt2, 3, 5, 6, 7, gb 4, gkk3, 4)
F9 (gk2, 4, gt3, 4, 7, 8, 9, gb2, 3, gkk1, 2, 3)
F10 (gk1,2 gt5, 10, 11, gb1, 2, gkk1, 2, 3)
F12 (gk2, 3, 4, gt13, 14, 15, 16, gb1, 2, gkk1, 2, 3)
Rg 6 (Sining) F 2, f 11, 13, f 14
F2 (gk3, gt13, 14, 15, gb3, gkk1)
F11 (gk2, 3, gt6, 7, 8, gb2, 3, gkk2, 3)
F13 (gk1, 2, gt1, 2, 3, 4, gb 3, 4, gkk 3, 4)
F14 (gk1, 2, 3, gt18, 19, 20, gb1, 2, gkk1, 2)
Babak cincang nangka
Rg 7 (Cincang nangka)
F, 4, f 8, f 9, f 12, f 13, f 16
F4 (gk3, gb3, gt18, 19, gkk1, 2, 3)
F8 (gk 3, 4, 5, gt 5, 6, 8, 10, gb 2, 4, gkk 1, 2, 3)
F9 (gk2, 4, gt3, 4, 7, 8, 9, gb2, 3, gkk1, 2, 3)
F12 (gk2, 3, 4, gt13, 14, 15,
182
16, gb1, 2, gkk1, 2, 3) F13 (gk1, 2, gt1, 2, 3, 4, gb
3, 4, gkk 3, 4) F16 (gk 2, 3, 4, gt 2, 3, 4, 5,
gb 1, 2, gkk 1, 2, 3)
Tari Guel sebagai hasil karya seni merupakan sistem komunikasi dari
bentuk dan isi. Bentuk yang berupa realitas gerak, musik iringan berupa vokal,
busana, property, dan peralatan (ubarampen) yang secara visual kelihatan oleh
mata (oleh Lavi Strauss ini dinamakan struktur lahir atau surface structure
(Ahimsa, 2001). Namun, isi yang berupa destinasi, harapan, dan cita-cita adalah
komunikasi maya yang hanya dapat difahami oleh masyarakat pendukung
budayanya. Hal itu disebabkan simbol-simbol fisualnya hanya
difahami/dipersetujui oleh masyarakat pemilik budayanya. simbol-simbol yang
disampaikan melalui komunikasi maya itu oleh faham strukturalisme dinamakan
struktur batin atau deep structure (Ahimsa, 2001).Dalam kaitannya dengan tari
Guel, ungkapan esetetik dapat dijelaskan sebagai struktur batin atau isi.
Struktur lahir dapat dianalogikan sebagai gejala atau realitas “organik”,
yang nampak lebih empirik dan konkrit sementara struktur batin lebih kepada
makna kultural-simbolik, yaitu ide, gagasan yang bersifat, supraorganik, yang
sifatnya abstrak dan tak teraba, yang ada di balik realitas organik.
Berkaitan dengan hal tersebut, struktur batin dalam tari Guel yang
disampaikan melalui komunikasi maya menjadi simbol dan kekuatan bagi suku
Gayo. Penuangan komunikasi maya secara visual nampak jelas pada struktur
persembahan tari Guel, terutama pada unsur gerak. Gerak menjadi unsur utama
dalam sebuah tarian dengan menjadikan tubuh sebagai media yang diberi bentuk
183
ekspresif dan estetika. Hal ini bermakna gerakan-gerakan yang terbentuk dalam
tari adalah berstruktur ataupun terpola di dalam peraturan-peraturan adat, agama,
dan nilai keindahan tempatan, yang dilakukan secara simbolik serta mempunyai
makna-makna tersendiri. Di mana kata struktur disini adalah bahagian-bahagian
yang melengkapi tari Guel dalam persembahan yang saling berhubungan satu
dengan yang lain, sehingga menjadi satu kesatuan yang memberikan pesan kepada
penonton melalui babak-babak dalam pertunjukannya.
Sebagai langkah awal analisis Tari Guel, perlu dipotong-potong dalam
beberapa unit-unit analisis yang masing-masing berisi suatu deskripsi mengenai
suatu hal atau memiliki tema tertentu. Unit-unit analisis yang terdapat dalam satu
kesatuan tari Guel dapat diformulasikan sebagai berikut:
4.6.1 Bentuk visual karakter tari guel
Tari Guel merupakan tari yang dipertunjukan dalam bentuk format
dramatari yang memiliki peran dalam pertunjukannya. Peran dalam tari Guel
terdiri dari peran Sengede dan Gajah Putih (bener meriah). Kedua peran ini
memiliki karakter yang berbeda. Peran Sengede merupakan peran seorang adik
yang setia pada saudaranya dan pada kedua orangtuanya. Sementara karakter
Gajah Putih adalah karakter yang mencerminkan kasih sayang seorang abang pada
adik dan keluarganya.
Pesan dalam dua karakter ini merupakan simbol dari persaudaraan yang
sangat kuat, terlihat dari mimpi yang dialami oleh Sengede yang memperlihatkan
abangnya yang selama ini diketahui telah tiada, ternyata menjelma menjadi seekor
Gajah Putih. Mimpi ini didapat dari ingatan yang kuat oleh Sengede pada
184
abangnya, begitu juga kuatnya rasa persaudaraan yang dialami, maka bener
meriah menunjukkan wujudnya sebagai seekor gajah putih dalam mimpi Sengede.
Simbol persaudaraan yang menjadi inti dari dua karakter Sengede dan
Bener Meriah, kemudian dijadikan sebagai ungkapan persaudaraan dalam hidup
manusia dengan menyambung tali silaturahmi melalui perkawinan. Perkawinan
menjadi upaya dalam meneruskan generasi dan menjadikan hubungan yang tidak
hanya pada kedua calon pengantin tetapi juga menjalin persaudaraan pada kedua
keluarga dan undangan sebagai tamu. Tidak hanya dalam upacara perkawinan,
simbol persaudaraan tari Guel juga diwujudkan dalam pertunjukan sebagai
hiburan untuk menyambut tamu-tamu sekaligus menghibur penonton.
4.6.2 Gerak
Dalam konsep teknik gerak Tari Guel, lagumerupakan elemen yang paling
mendasar, sebab secara umum, lagu dapat dimengerti sebagai “gerak”. lagu
dalam tari Guel memiliki norma yang “baku” sebagai pembentuk karakter.
Dengan demikian untuk mencapai karakter dan memenuhi norma-norma dalam
pertu jukantersebut, diperlukan teknik dan konsep gerak yang tepat. Ada empat
konsep teknik tari Guel, yakni 1) Siep semperne merupakan sikap gerak tubuh dan
bagian-bagiannya secara keseluruhan yang sifatnya statis, tetapi sudah mengarah
pada salah dan benar. Siep semperne 2) resam, yaitu gerak yang sudah
terorganisasi dengan irama musiknya (jangin). Didalam tari Guel, gerak
mengikuti pola gendang. Tari Guel, dibentuk oleh musiknya, sebab jangin
(nyanyian) ada dulu, baru tari dibuat mengikuti musik. Setiap bentuk nyanyian
185
yang mengiringi membawa pola irama sendiri yang juga menjadi nama dalam
babak tari.
4) torom ni rupeadalah bentuk visual dari wajah penari. Torom ni rupe merupakan
perwujudan transparansi diri untuk menyampaikan berbagai macam suasana
melalui simbol-simbol wajah, seperti gembira, agung, sedih, marah, romantis dan
sebagainya. Dengan demikian torom ni rupe sebenarnya adalah resam yang
divisualkan melalui perangai wajah. Tidak terlalu sulit pada tarian yang
menampakkanwajahnya secara visual, Untuk itu penari perlu untuk memahami
dengan cermat teknik gerak sesuai dengan karakter dari peran yang
dimainkan.Pemahaman dan penguasaaan ini terlihat pada bentuk motif
pergelangan tangan yang membuat pola melingkar dengan merapatkan jari,
penguasaan pada teknik gerak bahu, mimik/wajah, pandangan mata. Kecermatan
pemahaman terhadap karakter tokoh merupakan kunci untuk menuangkan
penguasaan pada pemakaian kain. 4) Yang dimaksud keliahaia adalah
penguasaan pada keseluruhan dari karakter yang dimainkan. Untuk itu perlu
pemahaman yang tepat dalam melakukan keseluruhan kordinasi gerak, permainan
property (kain) yang harus dilakukan dengan tepat. Selanjutnya pengaturan
melakukan gerak kepala, apakah berpusat pada dagu, ujung kepala, leher dan
sebagainya. Hal ini secara teknik sangat mempekerjakan mata penari. Apakah
membelalak, pandangan ke depan, ke atas, ke bawah, memejamkan mata dan
sebagainya sesuai dengan karakter dari peran Sengede dan Gajah Putih.
Secara sederhana, penulis meringkas pemahaman tentang konsep teknik
tari Guel, yang juga terdiri dari 4 (empat) macam, yakni: 1) Siep semperne, yaitu
ketepatan dan kesiapan di dalam melakukan gerak, sehingga tidak tergoyahkan
186
dengan sesuatu. 2) resam, yaitu kekuatan kehendak di dalam menari,
meyakinidirinya di dalam menuangkan gerak maupun karakteristiknya. 3) torom
ni rupe focus. Di dalam menari dengan menngunakan property, orang dapat
melihat ekspresif tidaknya penari terutama dari pandangan mata. Dengan
demikiantorom ni rupe./focus merupakan faktor penting di dalam menari. 4)
resam (keselarasan antara ungkapan bentuk gerak, ekspresi, irama). 5) Songgoh
Jagodi, yaitu keterampilan di dalam menggerakkan lagu/gerak maupun
mengungkapkan karakter.
Disamping ke lima pedoman teknik tersebut, tari Guel memiliki
pegangan/pandangan hidup atau pedoman morip yang disebut penamaten.
Pedoman ini merupakan model tuntunan dalam berkehidupan dan bermasyarakat.
Pedoman yang pertama adalah BEB maknanya kokoh dalam bahasa Gayo
Kuet Pengertiannya bahwa dirinya sudah benar-benar siap, tidak ada sedikit
keraguan di dalam melakukan gerak, baik kesiapan otot-otot fisik, maupun
kesiapan rohani berkaitan dengan penghayatan. Siep semperne dapat terjadi jika
sudah dilandasi dengan perasaan iman atau keyakinan yang kokoh. Dalam
kaitannya dengan pandangan maupun pedoman hidup, manusia jika memegang
satu keyakinan harus kokoh atau kuet jatuh. Karena yakin atau iman itu perilaku
hati, bukan akal, tetapi akal dapat membuktikan dan memperkuat hati. Dengan
demikian keyakinan hanya satu, tidak “mendua”, seperti halnya “hidup” itu hanya
satu, yaitu Dia yang Maha Hidup.
Pedoman yang kedua yaitu sema, secara fisik adalah “menghadap” , bukan
dalam posisi miring atau serong. Artinya menghadap adalah benar-benar berani.
Berani karena sudah memiliki kesiapan, kemantapan hati, tidak ada lagi rasa was-
187
was atau keraguan. Makna yang tersirat adalah kejantanan, berani menghadapi
segala resiko.
Konsep mengajak pada tari Guel saling berhadapan dengan membuat pola
gerak mengajak, adu kekuatan, tidak diperlukan teknik menghindar dan
menyerang, artinya saling memukul, saling menendang, saling mendorong dengan
kekuatan keyakinannya masing-masing. Akhirnya hati dikalahkan dengan
mengikuti kemauan dan penyerahan diri. Makna simbolik pada tari guel ini,
bahwa kehidupan manusia didunia ini dipenuhi dengan cobaan yang kita harus
mampu untuk menghadapainya. Dilengkapinya manusia dengan hati dan nafsu
untuk memberikan pilihan dalam mengambil keputusan, manusia harus siap
membunuh keinginan yang tidak sesuai. Dengan adanya dorongan hati dan nafsu
ini, maka memberikan pengarahan berbuat lebih baik. mengajak memberikan
pemaknaan bahwa manusia harus
Pedoman menaklukan, yaitu mengendalikan/menjinakkan yaitu
kemampuan untuk mengendalikan diri, baik sebagai kontrol emosi, maupun
control tenaga agar tidak berlebihan (over) atau sebaliknya terlalu lemah. Lemut
merupakan simbol perilaku manusia hidup di jagad raya ini agar dapat senantiasa
menahan diri dari segala hawa nafsu. Artinya tidak mematikan nafsu, tetapi
memfungsikan selaras dan seimbang sesuai dengan kebutuhan. Pemaknaan
menaklukan untuk mampu mengendalikan dan mensegerakan dari peluang-
peluang dalam hidup dan menggali peluang yang ada.
Pedoman yang ke empat yaitu siege adalah menguasai dari segala aspek
baik lahir maupun batin, sehingga gerak dan karakter sudah hafal bukan karena
menghafal, tepat dinamis bukan karena dipikir, ekspresi bukan karena dipaksakan.
188
Kesemuanya berjalan mengalir bagai air sungai yang tidak lagi diperintah dan
diarahkan. Oleh sebab itu, dalam seluruh kehidupan manusia, baik lahir dan batin,
luar dan dalam, jagad agung dan jagad alit sudah menyatu menjadi satu kesatuan.
dengan kata lain jika segalanya sudah terselesaikan, maka sudah tidak ada lagi
“beban” perasaan mudah dan sukar, berat dan ringan, salah dan benar, karena
mudah dan sukar, berat dan ringan, salah dan benar, sudah melabur menjadi satu
dengan Yang Memiliki.
Bentuk gerak secara rinci telah dipaparkan pada analisis koreografi di atas,
yang pada dasarnya pada seluruh gerakan tari Guel menggambarkanperjalanan
dan perilaku kehidupan manusia dalam menjalin hubungan antara manusia dengan
manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan tuhan. Persoalan-persoalan
dalam perjalanannya merupakan isi dan dinamika yang harus dijalani atau bahkan
harus ditinggal. Persaudaraan, tanggungjawab, kesetiaan menjadi simbol dalalm
kehidupan yang menjadi pelajaran bagi manusia untuk mengharagai dengan
segala sesutau yang belum dilakukan, sudah dilakukan dan akan dilakukan.
Pedoman yang ke empat adalah siep semperne yaitu menempati tempat
yang semestinya dalam kondisi yang tepat, benar, tidak ragu, tidak kacau. Ini
merupakan posisi sempurna sebelum dan sesudah melakukan berbagai macam
gerak. Dalam kehidupan masyarakat, kehidupan di dunia yang diharapkan adalah
genap, artinya sudah sesuai dengan harapan dan cita-citanya. Dengan demikian
manusia yang sudah genap, sudah tahu tempat kedudukan dimana ia harus
berada,hatinya tenang, hidupnya tidak kacau, nafsunya tidak ngacau. Ia sudah
dapat menjadi tauladan bagi orang lain, dapat memberi petunjuk, sementara
189
perilakunya sudah tanpa petunjuk, karena jiwanya kokoh, hatinya bersih, cerdas
akal budinya, perilakunya benar dan menyenangkan.
Pedoman yang ke lima yaitu siege semperne adalah menguasai dari segala
aspek baik lahir maupun batin, sehingga gerak dan karakter sudah hafal bukan
karena menghafal, tepat dinamis bukan karena dipikir, ekspresi bukan karena
dipaksakan. Kesemuanya berjalan mengalir bagai air sungai yang tidak lagi
diperintah dan diarahkan. Oleh sebab itu, dalam seluruh kehidupan manusia, baik
lahir dan batin, luar dan dalam, sudah menyatu menjadi satu kesatuan. dengan
kata lain jika segalanya sudah menyatu, maka sudah tidak ada lagi
“beban”perasaan mudah dan sukar, berat dan ringan, salah dan benar, karena
mudah dan sukar, berat dan ringan, salah dan benar, sudah melabur menjadi satu
dengan Yang Memiliki.
Bentuk gerak secara rinci telah dipaparkan pada analisis koreografi di atas,
yang pada dasarnya pada seluruh gerakan tari Guel menggambarkanperjalanan
dan perilaku kehidupan manusia dari lahir sampai meninggal dunia. Pernik-pernik
yang ada di dalamnya merupakan isi dan dinamika yang harus dijalani atau
bahkan harus ditinggal.
Formasi penari atau pola lantai pada tari guel pada dasarnya ada tiga
macam yaitu formasi berpasangan (berbaris), formasi lingkaran (murkelong) dan
formasi angka delapan (waluh). Pertama formasi sepasang ini digunakan untuk
melakukan ragam gerak tari di tempat (statis). Kedudukan tokoh Bener Meriah
penari yang rperan menjadi Gajah Putih dan memakai kain, berada di sebelah
kanan, sedangkan tokoh sengede berkedudukan di sebalah kiri. Seluruh ragam
gerak yang dilakukan dalam formasi ini “sama dan sebangun”. Desain gerak tari
190
yang sama dan sebangun untuk kedua penari Sengede dan Bener Beriah ini
menggambarkan konsep dwitunggal. Konsep ini yang memegang peranan paling
penting dan baku atau menjadi pusat cerita dalam tari Guel . Yang ke dua,
formasilingkaran atau mukerlong, yang merupakan gambaran bumi, dimana bumi
adalah manusia (kosmos) dan alam semesta (mikro kosmos). Bumi ini adalah
tempat dari segalan tata aturan(norma) maupun sikap dan tingkah laku manusia
(makro kosmos). Lingkaran merupakan gambaran “kehendak” manusia yang tidak
ada batasnya. Hal ini dapat dipahami karena secara haqiqi, manusia memiliki sifat
dasar ingin yang ter/paling yang pusatnya berada di dalah hati atau qalbu, yang
lebih lazim disebut “kehendak”. Kehendak inilah yang menyebabkan manusia
selalu tidak pernah puas dengan apa yang sudah dimiliki, dan selalu mencari
kekurangan serta tidak mensyukuri apa yang sudah ada.
Kita akan berada pada satu sisi, tidak akan berada pada dua sisi secara
bersamaan., Formasi angka 8 atau waluh. Formasi ini selalu diawali dari tengah
menuju kearah kanan, kembali ke tengah kemudian diteruskan ke arah kiri,
selanjutnya kembali ke tengah lagi, tiada terputus dan akan terlihat sama dari
sudut manapun. Angka delapan sangat konsisten, dan dianggap selalu membawa
keburuntungan. Dengan gerakan seperti burung pungguk, melakukan gerak redep
dep. Formasi ini memiliki lambang/simbol tentang perilaku manusia. Yang
memiliki dua sifat seperti yang telah diciptakan oleh Allah. Sebagai manusia
apabila kita berada di atas, tidak mungkin kita juga berada di bawah.
Berputar ke kanan maksudnya adalah menuju dunia nyata (alam duniawi)
dan berputar ke kiri menuju alam surgawi (dunia maya). Kanan adalah sesuatu
yang baik atau dianggap baik atau dibuat baik. Maka berputar ke kanan menuju
191
sesuatu yang baik, nikmat, menyenangkan dan seterusnya. Di dunia ini, orang
senantiasa mencari bahkan meraih segala sesuatu yang baik agar hidupnya baik.
Berputar ke arah kiri adalah menuju alam surgawi (dunia maya). Jika kanan
adalah sesuatu yang baik atau dianggap baik atau dibuat baik, sebaliknya kiri
adalah sesuatu yang dianggap, salah, jelek, perusak dan sebagainya. Oleh karena
itu, jika manusia berani menanggulangi segala ke “kiri”an (salah, jelek, perusak),
sehingga dirinya dapat berdiri dalam ke “kanan”an, terlebih mampu
meng”kanan”kan yang kiri, maka dia dalam alam maya menuju ke surga.
Apabila diperhatikan angka delapan juga menyimbolkan keseimbangan
dalam menjalani kehidupan. Berkaitan dengan upacara perkawinan, keseimbangan
menajadi poin penting untuk menandakan bahwa manusia menjalani pernikahan
untuk meneruskan keturunan dan menjadi sunnah rasul, menjalin silaturahmi
dengan menyatukan dua keluarga, yang tampak pada dua bulatan yang seimbang
dan terlihat indah. Pola keseimbangan ini menjadi pola dalam hubungan manusia
dengan manusia, hubungan manusia dengan persekitarannya (alam), dan
hubungan manusia dengan penciptanya (Tuhan). Dalam tataran ini manusia tidak
boleh sesuka hati dirinya melawan alam, Tuhan, dan manusia lain. Dalam hidup,
apabila keseimbangan ini terjaga, maka akan tercapai keharmonian.
4.6.3 Formasi
Formasi penari atau pola lantai pada tari guel pada dasarnya ada tiga
macam yaitu formasi berpasangan (berbaris), formasi lingkaran (muringkel) dan
formasi angka delapan (waluh). Pertama formasi sepasang ini digunakan untuk
melakukan ragam gerak tari di tempat (statis). Kedudukan tokoh Bener Meriah
192
penari yang rperan menjadi Gajah Putih dan memakai kain, berada di sebelah
kanan, sedangkan tokoh sengede berkedudukan di sebalah kiri. Seluruh ragam
gerak yang dilakukan dalam formasi ini “sama dan sebangun”. Desain gerak tari
yang sama dan sebangun untuk kedua penari Sengede dan Bener Beriah ini
menggambarkan konsep dwitunggal. Konsep ini yang memegang peranan paling
penting dan baku atau menjadi pusat cerita dalam tari Guel. Yang ke dua, formasi
lingkaran atau muringkel, yang merupakan gambaran bumi, dimana bumi adalah
manusia (kosmos) dan alam semesta (mikro kosmos). Bumi ini adalah tempat
dari segalan tata aturan (norma) maupun sikap dan tingkah laku manusia (makro
kosmos). Lingkaran merupakan gambaran “kehendak” manusia yang tidak ada
batasnya. Hal ini dapat dipahami karena secara haqiqi, manusia memiliki sifat
dasar —ingin yang ter/paling— yang pusatnya berada di dalah hati atau qalbu,
yang lebih lazim disebut “kehendak”. Kehendak inilah yang menyebabkan
manusia selalu tidak pernah puas dengan apa yang sudah dimiliki, dan selalu
mencari kekurangan serta tidak mensyukuri apa yang sudah ada.
kita akan berada pada satu sisi, tidak akan berada pada dua sisi secara
bersamaan., Formasi angka 8 atau waluh. Formasi ini selalu diawali dari tengah
menuju kearah kanan, kembali ke tengah kemudian diteruskan ke arah kiri,
selanjutnya kembali ke tengah lagi, tiada terputus dan akan terlihat sama dari
sudut manapun. Angka delapan sangat konsisten, dan dianggap selalu membawa
keburuntungan. Dengan gerakan seperti burung pungguk, melakukan gerak redep
dep. Formasi ini memiliki lambang/simbol tentang perilaku manusia. Yang
memiliki dua sifat seperti yang telah diciptakan oleh Allah. Sebagai manusia
apabila kita berada di atas, tidak mungkin kita juga berada di bawah.
193
Berputar ke kanan maksudnya adalah menuju dunia nyata (alam duniawi)
dan berputar ke kiri menuju alam surgawi (dunia maya). Kanan adalah sesuatu
yang baik atau dianggap baik atau dibuat baik. Maka berputar ke kanan menuju
sesuatu yang baik, nikmat, menyenangkan dan seterusnya. Di dunia ini, orang
senantiasa mencari bahkan meraih segala sesuatu yang baik agar hidupnya baik.
Berputar ke arah kiri adalah menuju alam surgawi (dunia maya). Jika kanan
adalah sesuatu yang baik atau dianggap baik atau dibuat baik, sebaliknya kiri
adalah sesuatu yang dianggap, salah, jelek, perusak dan sebagainya. Oleh karena
itu, jika manusia berani menanggulangi segala ke “kiri”an (salah, jelek, perusak),
sehingga dirinya dapat berdiri dalam ke “kanan”an, terlebih mampu
meng”kanan”kan yang kiri, maka dia dalam alam maya menuju ke surga.
Apabila diperhatikan angka delapan juga menyimbolkan keseimbangan
dalam menjalani kehidupan. Berkaitan dengan upacara perkawinan, keseimbangan
menajadi poin penting untuk menandakan bahwa manusia menjalani pernikahan
untuk meneruskan keturunan dan menjadi sunnah rasul, menjalin silaturahmi
dengan menyatukan dua keluarga, yang tampak pada dua bulatan yang seimbang
dan terlihat indah. Pola keseimbangan ini menjadi pola dalam hubungan manusia
dengan manusia, hubungan manusia dengan persekitarannya (alam), dan
hubungan manusia dengan penciptanya (Tuhan). Dalam tataran ini manusia tidak
boleh sesuka hati dirinya melawan alam, Tuhan, dan manusia lain. Dalam hidup,
apabila keseimbangan ini terjaga, maka akan tercapai keharmonian
194
4.6.4 Tata rias dan busana
Unsur pendukung dalam pertunjukan tari Guel salah satunya adalah tata
rias dan busana, struktur tata rias busana pada tari Guel meliputi konsep, bentuk
dan makna. Tata rias dan tata busana tari Guel tidak berbeda dengan busana adat
suku Gayo. Tata busana yang dikenakan oleh dua penari utama sama, hanya saja
pada sisi warna dan ikat kepala yang membedakannya. Penari Sengeda memakai
warna hitam dan penari Bener Meriah memakai warna putih, untuk karakter
dalam tata rias adalah sama.
Adapun busana yang dikenakan oleh tarian ini adalah: (1) ikat kepala
(bulang cekarom) untuk penari Sengede menggunakan kain warna hitam yang
diikatkan di kepala, ujung kain terjuntai di sebelah kanan. Ikat kepala ini
menunjukkan karakter gagah. Ikat kepala Gajah putih (pengkah)berwarna merah
membentuk segitaga mengerucut ke atas, menunjukkan karakter megah layaknya
seorang raja atau bangsawan. (2) upuh pinggang sebagai kain samping
diikatkan/dililitkan di pinggang dengan tenunan kerawang Gayo, dahulunya
pemakaian kain menggunakan ikat pinggang (genit rante) yang dililitkan di
pinggang untuk menguatkan ikatan kain samping. (3) Bagian bawah mengenakan
celana (seruel) warna hitam/putih, dengan panjang sebatas mata kaki terbuat dari
kain katun yang disulam dengan tenunan kerawang berwarna hijau, merah,
kuning. (4) Untuk penari tokoh Gajah Putih memakai kain (upuh ulen-ulen) warna
putih dihias sulaman kerawang Gayo dengan panjang 2 meter. (5) untuk penari
putri memakai baju kurung warna hitam bersulam kerawang Gayo, dengan kain
warna hitam dan memakai kerudung. Pemakaian kerudung menunjukkan Islam
sebagai agama dan menjadi hukum dalam hidup masyarakat Aceh. Jika dicermati,
195
sepasang penari dengan busana yang sama, menyimbolkan kesatuan jiwa. Secara
fisik tampak dua dan dikuatkan dengan warna pakaian yang berbeda hitam dan
putih, menjelaskan kosep keseimbangan. Sesungguhnya apabila dicermati, bahwa
semua simbol ini ada dalam diri masing-masing manusia. Kejantanan, kelemah-
lembutan, keangkuhan, ketulusan, kebesaran, keikhlasan, kerendahan dan
seterusnya merupakan sifat-sifat alamiah atau sifat kodrati manusia.
196
BAB V
PENUTUP
Tari Guel di Kotacane merupakan fenomena sosial yang memiliki kaitan
dengan masyarakat pendukungnya. Tarian ini dipahami sebagai sebuah kehidupan
yang memberikan interaksi dinamis pada masyarakat pendukungnya, yaitu simbol
yang menghantarkan pembentukan makna dalam realitas kehidupan sehari-hari di
alam nyata (dunia nyata).
Melalui kajian-kajian yang telah dilakukan, berupa serangkaian
pengumpulan data dan menganalisisnya, maka penelitian ini menghasilkan
beberapa temuan yang perlu mendapatkan kesimpulan. Tari Guel merupakan tari
tadisi yang memiliki struktur cerita, yang keberadaannyaterkait denganupacara
adat, kepercayaan yang hadir sebagai kelengkapan upacara perkawinan.
Didalamnya menyiratkan ajaran moral, ajaran agama dan tujuan hidup yang
intinya memuja Dzat Yang Maha Kuasa. Tari Guel memiliki dua fungsi, yaitu (1)
fungsi penyambutan sekaligus penghormatan kepada para tamu dan atau
penonton, serta permohonan agar terhindar dari mara bahaya untuk seluruh
pelaku dalam upacara. (2) fungsi sosial yaitu menjadi tontonan bagi keluarga dari
kedua belah pihak, penonton, tamu undangan, dan juga sebagai sebuah pewarisan
dan pelestarian budaya suku Gayo.
Struktur pertunjukan tari Guel tampak pada bentuk atau wujud yang secara
visual bukan sekedar memenuhi kebutuhan estetika saja, akan tetapi wujud yang
dihasilkan menjadi simbol yang memberikan pemaknaan mendalam tentang
197
kehidupan manusia. Tari Guel bukan hanya sekedar tarian penyambut tamu,
namun sekaligus merupakan tontonan dan tuntunan yang perlu menjadi cerminan
untuk direnungkan dan dilakukan agar apa yang diinginkan dapat terwujud. Tari
Guel memiliki pesan tentang kesetiaan, tanggungjawab, persaudaraan yang tidak
hanya dilakukan oleh saudara/keluarga, namun harus dilakukan dalam hubungan
untuk sesama. Pesan keikhlasan juga menjadi isi pesan dalam tari Guel yang
menjelaskan perlindungan terhadap Sengeda dari fitnah dan ancaman, serta
pengambilan keputusan yang sangat arif dari para pengiring yang membantu
dalam proses penjemputan Gajah Putih.
Sebagai sebuah karya tari, tari Guel terbentuk dari unsur-unsur gerak
hingga menjadi satu kesatuan yang utuh. Unsur-unsur gerak dalam sebuah
koreografi setidakanya dapat dibagi menjadi empat, yakni unsur gerak kepala,
tangan, badan dan kaki. Kesatuan unsur yang terkecil akan membentuk motif
gerak, dan motif-motif gerak akan mengikat menjadi ragam/kalimat gerak. Dalam
kesatuan tari Guel terdapat empat paragraf gerak yang masing-masing terbentuk
dari kesatuan kalimat/ragam gerak, sesuai dengan pemikiran struktur gerak tari
Andreenne Kaeppler, yang menganalogkan gerak tari dengan struktur bahasa
menjadi relevan, yang menjadi struktur bentuk tari Guel.
Secara hakiki Tari Guel bukan hanya sekedar tontonan untuk pelepas lelah
atau hiburan semata, akan tetapi didalamnya mengandung berbagai unsur yang
berkaitan langsung dengan sosial masyarakat pendukungnya. Hubungan kedua
belah pihak antara seni pertunjukan dengan masyarakat dapat divisualkan melalui
bentuk-bentuk visual seperti perilaku, norma, musik pengiring, penari, tata rias
198
busana dan pola lantai. Aspek visual ini secara langsung akan menghasilkan
struktur visual (struktur fisik). Tari Guel, secara visual dilakukan dua orang penari
yang berpakaian sama namun menggunakan warna yang berbeda. warna hitam
dan yang lain menggunakan warna putih. Tarian ini berkarakter maskulin gagah.
Secara fisual penonton hanya melihat keterampilan dan kegagahan kedua orang
penari Guel tersebut. Sedangkan untuk memahami struktur dalam pada
pertunjukan yang ditampilkan diperlukan pemahaman makna simbol-simbol yang
divisualkan.
Kesemua simbol ini tampak jelas dalam struktur bentuk tari Guel yang
dilakonkan dalam empat babak (babak munatap, babak redep dep, babak
ketibung, babak cincang nangka) yang masing-masing memiliki alur cerita,
dituangkan dalam ragam-ragam gerak(unsur gerak, teknik gerak, motif gerak),
pola busana, pola musik, dan pola lantai. simbol tersebut berfungsi ganda, yaitu;
sebagai petanda peristiwa/kejadian di dalamnya dan sebagai penanda peristiwa
yang memiliki makna dari simbol visual yang sekaligus berfungsi sebagai
penuntun bagi pengamatnya.
Pertunjukan tari guel ditampilkan, bukan hanya sekedar untuk ditonton,
sebagai pengisi waktu dalam menanti persiapan “lakon” dipertunjukkan, tetapi
merupakan konsep yang dipersiapkan secara matang untuk disampaikan kepada
pengamat/penyelenggara maupun keluarga kedua pengantin yang berfungsi
sebagai pencerahan dan wejangan untuk perjalanan hidup yang akan dijalani. Hal
ini dikarenakan pertunjukan tari Guel merupakan harga diri suku Gayo yang
berkarakter serta mukemel (mempunyai rasa malu) yang sudah diwarisi secara
199
turun temurun, dari generasi ke generasi. Konsep ini dapat dipahami karena
seluruh rangkaian peristiwa menjadi sau kesatuan yang utuh dalam pertunjukan
tari Guel, yang mengajarkan tentang kebaikan. Keseluruhan konsep ini terlihat
dari seluruh unsur-unsur yang menjadi keutuhan pertunjukan tari, melalui karakter
Sengeda dan Bener Meriah (Gajah Putih) serta penari pendukung.
6.3 Saran-saran
Pertunjukan tari Guel sebagai kesenian tradisional suku Gayo dapat
menjadi perhatian besar sebagai aset budaya Indonesia khususnya budaya Gayo,
dikarenakan isi pesan memiliki pelajaran bagi manusia dalam menjalani
kehidupan. Dengan demikian hasil tesis ini dapat direkomendasikan khususnya
kepada pemerintah daerah kabupaten dan kota Aceh Tengah dan Kotacane, perlu
melestarikan keberadaannya sebagai lokal jenius dan pelestarian, pewarisan dan
pengembangan budaya daerah. Pelestarian, pembinaan dan pengembangan
menjadi hal yang perlu dipikirkan dan diperhatikan agar tari Guel menjadi icon
bagi masyarakat Aceh Khususnya suku Gayoi Takengon.
Petunjukan tari Guel yang ada saat ini cukup beragam yang sebenarnya
menjadi kekayaan bagi darah Takengon, namun konsep simbol estetik tari Guel
perlu diperhatikan. Di satu sisi simbol estetik yang melekat pada bentuk
koreografi tari Guel yang tampak pada struktur gerak tari, musik pengiring, tata
rias busana dan tatapanggung, dan di sisi lain simbol estetik yang melekat pada
aspek pendukungnya menjadi hal yang selalu menjai perharian. Dengan melihat
realitas tersebut, maka di disarankan kepada yang berkepentingan dengan
pertunjukan tari Guel, agar tidak terjerumus dengan bentuk visualnya saja karena
200
ada kebebasan dalam kreatifitas pengembangan. Untuk itu aspek simbol dari
struktur isi harus menjadi pemikiran agar tidak menghilangkan nilai norma yang
sudah ada.
201
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Taufik. 1980/1981. Disekitar Komunikasi Ilmu dan Seni. Analisis
Kebudayaan. Th. I. No. 1 Jakarta. Adi Pramono, M. Soleh. 1984. Gerak Permainan Gunungsari Patrajaya; Sebuah
Analisis bentuk dan Gaya pada Wayang Topeng Malang : Skripsi Sarjana Tari Institut Seni Indonesia Yogyakarta (tidak diterbitkan).
Ahimsa Putra, 2001. Strukturalisme Lavi – Staruss, Mitos dan Karya Sastra.
Yogyakarta: Galang Press. Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2002. Tekstual dan Kontekstual. Makalah Seminar
Seni Partunjukan Indonesia (tidak diterbitkan). Surakarta: STSI Alma, M. Hawkins. 1990. Mencipta Lewat Tari 9diterjemahkan oleh Y.
Sumandiyo Hadi0. Yogyakarta;ISI
Alisjahbana, Sutan Takdir. 1989. (Cetakan ke 4). Antropologi Baru. Jakarta: Aian Rakyat.
Bachtiar, Harsya W. 1980/1981. Kreativitas: Usaha Memelihara Kehidupan
Budaya, Analisis Kebudayaan. 2: 13-18 Bachtiar, Hasyim, 1985. “Birokrasi dan Kebudayaan”, dalam Alfian, (ed).
Persepsi Masyarakat Tentang Kebudayaan. Jakarta: PT Gramedia Bachtiar, Hasyim, 1985. Sistem Budaya di Indonesia. Dalam Bachtiar Harsya W., Hakim, A.R. 1986. BungaRampaiCerita Rakyat Gayo, Seri IV. Jakarta:
DepartemenPendidikandanKebudayaan, ProyekPenerbitanBukuSastra Indonesia dan Daerah.Jago Copy Blogspot
(Eds). Budaya dan Manusia di Indonesia. Yogyakarta: PT Hinindita.
Baghdadi, Abdurrahman Al. 1991. Seni Dalam Pandangan Islam: Seni Vokal, Musik dan Tari. Jakarta: Gema Insani Press.
Budhisantosa, S. 1980/1981. Tradisi Lisan Sebagai Sumber Informasi
Kebudayaan, Majalah Analisis Kebudayaan Budiman, Kris. 1999. Kosa Semiotika. Yogyakarta: LkiS
Denzin, Norman K; Yvona S. Lincoln, (ed). 1994. Handbook of Qualitative
Research. London- New Delhi: SAGE Publications.
202
Djamil, M. Junus, 1950. Gajah Putih. Kuta Rja; Lembaga Kebudayaan Atjeh. Dinas Kebuadayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kab. Aceh Tengah, 2015.
Tari Guel. Sibuku Media, Takengon Aceh Tengah.
Jannah, Raudhatul. 2016. ‘Sining dalam tari Guel pada masyarakat Gayo di desa Kemili Aceh Tengah; Kajian Tekstual, skripsi S-1 Etnomusikologi, Universitas Sumatera Utara.
Foucoult, M. 1973. The Order of Thinks: An Archeology of the Human science.
New York: Pantheon. Geerts, Clifford, 1973. Interpretation of Culture. Selected Essays. New York: Geerts, Clifford. 1968. The Religion of Java. Chicago and London: The
University of
Geerts, Clifford, 1980. Negara: The Theatre State in Nineteenth Century Bali. New Jersey: Princenton University Press.
Hurgronje. C.S. (1985). Aceh di Mata Kolonialisme. Penerjemah. Ng. Singarimbun-Cet I – Jakarta. YayasanSoko Guru
Hadi, Sumandiyo, 2005. Sosiologi Tari Yogyakarta: Pustaka Jaya Hadi Sumandiyo, 2006. Seni dalam Ritual Agama. Yogyakarta: PUSTAKA. Hadi Sumandiyo, 2007. Kajian Tari, Teks dan Konteks. Yogyakarta: Pustaka
Book Publisher. Hawkin, Alma M. 1964. Creating Trough Dance. New Jersey: Printice Hall Inc. Haviland, W.A. 1985a. Antropologi: Jilid 1. Terjemahan R.G. Soekadijo. Tanpa
tahun. Jakarta: Erlangga. Haviland, W.A, 1985b. Antropologi: Jilid 2. Terjemahan R.G. Soekadijo. Tanpa
tahun. Jakarta: Erlangga. Ibrahim, Mahmud. (2007). Mujahid Dataran Tinggi Gayo. Takengon. Yayasan
Maqamammahmuda Takengon. Jannah, Raudhatul. 2016. ‘Sining di dalam Tari Guel. Pada Masyarakat Gayo di
desa Kemili Aceh Tengah; Kajian Tekstual. Kadir. S. (1960). “Perkembangan Agama Islam di Gayo”. Kutaraja. Naskah Ketik.
203
Kadir, Abdul. (Penterjemah). Diktat Estetika. Jilid I. Yogyakarta: Akademi Seni
Rupa Indonesia. Kayam, Umar. 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat. (seri Esni No. 3) Jakarta: Sinar
Harapan. Koentjaraningrat. 1980. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru Koentjarangingrat. (ed) 1981. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta:
Djambatan Koentjarangingrat, 1985. Ritus Peralihan di Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka. Kroeber, A.L. 1952. The Natural of Culture. Chicago: The University of Chicago
Press. Langer, Susanne K. 1957. Problems of Art. New York: Charles Schribner’s Sons. Lincoln, Y.S and Guba, E.G. 1984. Naturalistic Inquiry. California: SAGE Pub. Lindsay, Jennifer. 1991. Klasik, Kitsch, Kontemporer. (terjemahan: Nin Bakdi
Sumanto). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Meri, La. 1968. Dane Composition, The Basic Elements. Terjemahan Soedarsono,
1985. Yogyakarta: Lagaligo. Miles, Mattew B. , Huberman, A. Michael. 1992. Analisis Data Kualitatif.
Terjemahan Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: UI Press. Moleong, J. Lexy. 1990. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya Majelis Ulama Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Banda Aceh.(1972).Bagaimana
Islam Memandang Kesenian. MajelisAdat Aceh. (2005). “Fatwa AdatdanPokok-pokokPikiran. hasilRaker
MAA Kab. Aceh Tenggara. Kutacane. Mahmud asy-Syafrowi, Wahid Najmudian, dan M. Ikhsan, 2010. Mana ada orang
yang miskin kerana sedekah dan Silaturahim. Mutiara Media, Yogyakarta.
Melalatoa. M.J. (1982). KebudayaanGayo. Jakarta. PN. BalaiPustaka
204
Melalatoa. M.J. 1983. “Pseudo Moiety Gayo: Satu Analisa tentang Hubungan Sosial Menurut Kebudayaan Gayo”. Disertasi. Dalam Ilmu Sastra Universitas Indonesia. Jakarta
Noerhadi, Toeti Heraty. 1992. “Semiotik”, Matra. 71: 110 – 115. O’Dea, Thomas F. 1995. Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal. Terjemahan:
Yasogama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Parson, Tolcot. 1951. The Structure of Soscial Action..2nded. New
York:McGraw-Hill. Patton, Mchael Quin. 1990. Qualitative Evaluations and Research Methods.
Newbury Park: SAGE Pub. Peacock, L. James. 1968. Rites of Modernization (Simbolic and Social Aspects of
Indonesia Proletarian Drama). Chicago: The University of Chicago.
Pujasworo, Bambang. 1982. Studi Analisa Konsep Estetis Koreografis Tari
Bedhaya Lambangsari. Skripsi Seniman Tari Akademi Seni Tari Indonesia Yogyakarta.
Soedarso 1998. Seni dan Keindahan, dalam Pidato Ilmiah. Pengukuhan Guru
Besar Tetap pada Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta. Yogyakarta: 30 Mei 1998.
Said. Mohammad.(2007) Jilid II.Aceh Sepanjang Abad. Medan Strauss, Anselm L, and Juliet Corbin. 1990. Basic of Qualitative Research,
Grounded Theory Procedure and Techniques. London: Sage Publications.
Sutopo, HB. 1990. Struktur Kritik Holistik.Sebuah Pendekatan Kritik Seni yang
terbuka dan Luwes.Makalah Disajikan Dalam Seminar Lokakarya Penelitian Kualitatif di Jurusan Pendidikan Seni Rupa dan Kerajinan FPBS IKIP Surabaya.
Sunny. Ismail. Ed. (2000) BungaRampaiTentangAceh. Jakarta.
BharataKaryaAksara. Strauss. Levi. C. (1963). Structural Anthropology. New York. Basic Books. Inc. Syamsudin. T. et.al (1985). “UpacaraTradisional Daerah Istimewa Aceh. Yang
Berkaitan Dengan Peristiwa Alam dan Kepercayaan”. Departemen
205
Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Jakarta.
Teew, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori. Jakarta: Pustaka Jaya.
Tim Penyusun Balai Bahasa Yogyakarta. 2001. Kamus Bahasa Jawa (Bausastra Jawa). Yogyakarta: Kanisius.
Waters, Malcom. 1994. Modern Sosiological Theory. London, Thousand Oaks,
New Delhi: SAGE Publications. Wellek, Rene & Warren, Austin. 1956. Theory of Literature. New York:
Harcourt, Brace & World. Inc. Wido, Soerjo Minarto. 2002. Dasar-Dasar Komposisi dan Koreografi. Malang:
Universitas Kanjuruhan Malang (tidak dipublikasikan).