analisis spasiotemporal kejadian kebakaran...
TRANSCRIPT
ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN BANGUNAN
DI JAKARTA SELATAN TAHUN 2013-2015
Skripsi
Oleh:
Ahmad Faiz
1112101000092
PEMINATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1438 H / 2017 M
i
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Judul Skripsi
ANALISIS SPASIOTEMPORAL KEJADIAN KEBAKARAN BANGUNAN
DI JAKARTA SELATAN TAHUN 2013-2015
Telah disetujui, diperiksa, dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi
Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Jakarta, Februari 2017
Oleh:
Ahmad Faiz
1112101000092
Mengetahui
Pembimbing I Pembimbing II
DR. Iting Shofwati, M.K.K.K.
NIP. 19760808 200604 2 001
Meilani M. Anwar, M.T.
PEMINATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1438 H / 2017 M
ii
PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Jakarta, Maret 2017
Penguji I
Siti Rahmah Lubis M.K.K.K.
Penguji II
Catur Rosidati, M.K.M.
NIP. 19750210 200801 2 018
Penguji III
Ir. Rulyenzi Rasyid, M.K.K.K.
iii
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
Skripsi, Maret 2017
Ahmad Faiz, NIM : 1112101000092
Analisis Spasiotemporal Kejadian Kebakaran Bangunan Di Jakarta Selatan
Tahun 2013-2015
xv + 122 halaman, 14 tabel, 29 gambar
ABSTRAK
Kebakaran merupakan suatu kejadian yang dapat menimbulkan kerugian harta benda
dan korban jiwa di masyarakat. Kejadian kebakaran di Jakarta Selatan selama tahun 2013-2015
mengalami peningkatan setiap tahunnya serta merupakan wilayah dengan jumlah korban
meninggal terbanyak pada tahun 2015. Setiap wilayah memiliki kemungkinan karakteristik
kejadian kebakaran bangunan yang berbeda. Analisis spasiotemporal dapat digunakan untuk
mengetahui karakteristik kejadian kebakaran bangunan di setiap wilayah sehingga program
penanggulangan kejadiannya dapat disesuaikan dengan karakteristiknya.
Penelitian ini menggunakan desain studi ekologi yang bertujuan untuk mengetahui
distribusi spasial temporal kejadian kebakaran bangunan di Jakarta Selatan tahun 2013-2015
beserta faktor-faktornya (kelompok berpendapatan rendah, kepadatan penduduk, penduduk
anak-anak, dan penduduk lansia). Penlitian ini dilakukan pada November 2015-Maret 2017.
Populasi dalam penelitian ini adalah semua laporan kejadian kebakaran bangunan di Jakarta
Selatan pada tahun 2013-2015.
Hasil penelitian menunjukkan secara spasial kejadian kebakaran bangunan yang tinggi
hampir terjadi di semua kecamatan sedangkan secara temporal berkurang. Secara spasial
terdapat 9 dari 10 kecamatan dengan frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi dan
kelompok berpendapatan rendah yang rendah. Secara spasial frekuensi kejadian kebakaran
bangunan yang tinggi terjadi pada kategori tingkat kepadatan penduduk rendah hingga tinggi
sedangkan secara temporal kecamatan yang termasuk ke dalam kategori kepadatan penduduk
tinggi tidak bertambah. Secara Spasial frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi
terjadi pada wilayah dengan kategori penduduk anak-anak yang rendah dan tinggi sedangkan
secara temporal tidak terdapat peningkatan atau penurunan jumlah kecamatan yang masuk ke
dalam kategori penduduk anak-anak yang tinggi. Secara spasial frekuensi kejadian kebakaran
bangunan yang tinggi terjadi pada kategori penduduk lansia yang rendah sedangkan secara
temporal seluruh kecamatan termasuk ke dalam kategori Rendah selama 3 tahun berturut-turut.
Disarankan pemerintah untuk melakukan penambahan personil dan fasilitas pemadam
kebakaran untuk meningkatkan pelayanan pemadaman mengoptimalkan serta meningkatkan
sosialisasi dan pengawasan mengenai kebakaran, memudahkan masyarakat untuk mendapat
barang yang sesuai standar dan melakukan penataan penduduk.
Kata Kunci: Kebakaran, pendapatan rendah, kepadatan, lansia, anak-anak, kerugian.
Daftar Bacaan: 66 (1997-2016)
iv
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM
OCCUPATIONAL HEALTH AND SAFETY
Undergraduate Thesis, March 2017
Ahmad Faiz, NIM : 1112101000092
Analysis Spasiotemporal Building Fire Incident in South Jakarta Year 2013-2015
xiv + 122 pages, 14 tables, 29 pictures
ABSTRACT Fire is an event that can cause loss of property and loss of life. During 2013-2015 fires
in South Jakarta has increased every year and is the region with the highest number of deaths
in 2015. Every region has the possibility of fire occurrence characteristics of different building.
Spasiotemporal analysis can be used to determine the characteristics of a building fire activity
in each region so that prevention programs can be tailored to the characteristics of events.
The design of this research is ecological study to determine temporal spatial
distribution of building fires in South Jakarta in 2013-2015 as well as the factors (low income
groups, the population density, the population of children, and the elderly population). This
study to be done on November 2015 to March 2017. The population in this study are all
building fire incident reports in South Jakarta in 2013-2015.
Results showed spatially building fire occurrence at a high level occurred almost in all
districts, while temporally reduced. Spatially there are 9 of the 10 districts with the frequency
of occurrence building fire at a high level and low-income groups at low levels. In the spatial
frequency of occurrence building fire at a high level occurs in population density, with low to
high levels, while temporally districts that belong to the category with high levels of population
density is not increased. Spatially, frequency of occurrence building fire at high levels occur in
regions with a population category of children with low and high levels, while temporally, there
is no increase or decrease in the number of districts that into the category of children population
is high. Spatially, the frequency of occurrence building fire at a high level occurs in the elderly
population with a low level, while the temporal, the entire district are included in category of
Low for 3 years
Suggested the government to make additional personnel and fire fighting facilities to
improve the fire fighting services, optimize and improve the socialisation and monitoring of
the fire, facilitate the public to get goods to the standards and structuring of the population.
Keywords: Fire, lower income, the density, the elderly, children, loss.
Reading List: 66 (1997-2016)
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahiim
Alhamdulillah, seluruh puji serta syukur selalu dilantunkan ke hadirat Allah
SWT, Sang Pemilik Pengetahuan, yang dengan rahmat dan inayahNYA jualah maka
penulis mampu merampungkan skripsi yang berjudul “Analisis Spasiotemporal
Kejadian Kebakaran Bangunan Di Jakarta Selatan Tahun 2013-2015”.
Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad
Rasulullah SAW, yang atas perkenan Allah, telah mengantarkan umat manusia ke pintu
gerbang pengetahuan Allah yang Maha luas.
Dalam proses penyusunan Skripsi ini, penulis mendapatkan banyak dukungan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa
terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Keluarga tercinta atas dukungan yang diberikan tanpa mengenal batas waktu
hingga akhirnya penulis mampu mencapai pendidikan di jenjang universitas.
2. Bu Riastuti selaku pembimbing akademik yang telah memberi motovasi dan
mengawasi perkembangan akademik penulis.
3. Bu Iting dan Bu Lani selaku pembimbing Skripsi yang telah memberi arahan
dan masukan serta motivasi dan doa kepada penulis agar senantiasa berupaya
maksimal dalam penyelesaian skripsi ini.
4. Pa Fajar yang telah menyusun bahan ajar GIS serta memberikan waktunya
untuk berdiskusi.
5. Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan DKI Jakarta dan BPS
DKI Jakarta.
6. Seluruh Dosen Program Studi Kesehatan Masayarakat atas semua ilmu yang
telah diberikan.
7. Devina dan Mas nya yang telah membantu untuk mengambil data di dinas
terkait
8. Ukhty yang telah mengajarkan GIS serta mengantarkan ke dinas terkait untuk
pengambilan data.
9. Teman-teman di peminatan K3 yang telah meluangkan waktunya untuk
berdisuksi
10. Serta semua orang yang tidak dapat disebutkan namanya yang telah membantu
dan mendukung penulis untuk menyelesaikan laporan magang ini.
vi
Dan akhirnya kepada Allah SWT jualah penulis panjatkan doa dan harap, semoga
kebaikan mereka dicatat sebagai amal shaleh di hadapan Allah SWT dan menjadi
pemberat bagi timbangan kebaikan mereka kelak.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Kritik dan saran
yang membangun senantiasa penulis harapkan agar dapat dijadikan masukan di waktu
mendatang.
Semoga skripsi ini dapat mendatangkan manfaat kepada penulis khususnya, dan
kepada seluruh pembaca secara keseluruhan.
Ciputat, Maret 2017
Penulis
vii
DAFTAR RIWAYAT
Nama : Ahmad Faiz
Alamat : Kadu Gading, Menes, Kab. Padeglang, Banten
Tempat, Tanggal Lahir : Pandeglang, 10 September 1994
Pendidikan : 1. SDN Purwaraja 3
(2000-2006)
2. MTs. Mathla’ul Anwar Pusat Menes
(2006-2009)
3. MA Mathla’ul Anwar Pusat Menes
(2009-2012)
4. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Program Studi Kesehatan Masyarakat
Peminatan Keselamatan & Kesehatan Kerja
(2012-2017)
viii
DAFTAR ISI
PERNYATAAN PERSETUJUAN ................................................................................ i
ABSTRAK ................................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR .................................................................................................. v
DAFTAR RIWAYAT ................................................................................................. vii
DAFTAR ISI .............................................................................................................. viii
DAFTAR TABEL ...................................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. xiv
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................................. xvi
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
Latar Belakang ............................................................................................... 1
Rumusan Masalah .......................................................................................... 6
Pertanyaan Penelitian ..................................................................................... 8
Tujuan Penelitian ............................................................................................ 8
1.4.1 Tujuan Umum ......................................................................................... 8
1.4.2 Tujuan Khusus ........................................................................................ 8
Manfaat Penelitian .......................................................................................... 9
1.5.1 Bagi Badan Penanggulangan Bencana Daerah ....................................... 9
ix
1.5.2 Bagi Dinas Pemadam Kebakaran ............................................................ 9
1.5.3 Bagi Badan Pusat Statistik ...................................................................... 9
1.5.4 Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat ............................................ 9
Ruang Lingkup ............................................................................................. 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 11
Kebakaran ..................................................................................................... 11
Cara penjalaran api ....................................................................................... 13
Penyebab kejadian kebakaran....................................................................... 14
Fire Ignition and Fire Loss Model ............................................................... 16
Faktor-faktor pada kejadian kebakaran bangunan ........................................ 17
Dampak Kerugian pada Kejadian Kebakaran. ............................................. 28
Pelayanan penanggulangan kebakaran ......................................................... 30
Analisis Spasiotemporal ............................................................................... 34
Kerangka Teori ............................................................................................. 36
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ....................... 37
Kerangka konsep .......................................................................................... 37
Definisi Operasional ..................................................................................... 38
BAB IV METODE PENELITIAN ............................................................................. 40
Desain Penelitian .......................................................................................... 40
x
Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................................ 40
Populasi ........................................................................................................ 40
Pengumpulan Data ....................................................................................... 40
Pengolahan Data ........................................................................................... 41
4.5.1 Data tabular ........................................................................................... 42
4.5.2 Data Spasial ........................................................................................... 48
Analisis Data ................................................................................................ 53
4.6.1 Analisis Univariat.................................................................................. 53
4.6.2 Analisis Spasial ..................................................................................... 54
BAB V HASIL ............................................................................................................ 55
Kota Administrasi Jakarta Selatan ............................................................... 55
5.1.1 Letak Geografis ..................................................................................... 55
5.1.2 Luas Wilayah ........................................................................................ 55
5.1.3 Keadaan Iklim ....................................................................................... 57
5.1.4 Program-program pencegahan dan penanggulangan kebakaran ........... 57
5.1.5 Pos pemadam kebakaran dan sarana prasaranan kebakaran ................. 59
Distribusi Kejadian Kebakaran Bangunan ................................................... 60
Distribusi Kejadian Kebakaran Bangunan Berdasarkan .................................
Kelompok Berpendapatan Rendah. .............................................................. 67
xi
Distribusi Kejadian Kebakaran Bangunan Berdasarkan .................................
Kepadatan Penduduk .................................................................................... 69
Distribusi Kejadian Kebakaran Bangunan Berdasarkan .................................
Penduduk Anak-anak ................................................................................... 73
Distribusi Kejadian Kebakaran Bangunan Berdasarkan .................................
Penduduk Lansia .......................................................................................... 77
BAB VI PEMBAHASAN ........................................................................................... 81
Keterbatasan Penelitian ................................................................................ 81
Distribusi Kejadian Kebakaran Bangunan ................................................... 81
Distribusi Kejadian Kebakaran Bangunan Berdasarkan .................................
Kelompok Berpendapatan Rendah. .............................................................. 88
Distribusi Kejadian Kebakaran Bangunan Berdasarkan .................................
Kepadatan Penduduk .................................................................................... 91
Distribusi Kejadian Kebakaran Bangunan Berdasarkan .................................
Penduduk Anak-anak ................................................................................... 94
Distribusi Kejadian Kebakaran Bangunan Berdasarkan .................................
Penduduk Lansia .......................................................................................... 96
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 99
Kesimpulan ................................................................................................... 99
Saran ........................................................................................................... 100
xii
7.2.1 Bagi BPBD DKI Jakarta ..................................................................... 100
7.2.2 Bagi Dinas Pemadam Kebakaran ........................................................ 101
7.2.3 Bagi Badan Pusat Statistik .................................................................. 101
7.2.4 Bagi Penelitian Selanjutnya ................................................................ 101
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 102
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Peraturan Dan Klasifikasi Kepadatan Penduduk ........................................ 24
Tabel 2.2 Tingkatan Kelas Korban Bencana Kebakaran ............................................ 30
Tabel 3.1 Definisi Operasional ................................................................................... 38
Tabel 4.1 Variabel, sumber data dan instansi pengumpul data sekunder. .................. 41
Tabel 5.1 Program-program Pencegahan Dan Penanggulangan Kebakaran
Tahun 2013-2017 ........................................................................................................ 57
Tabel 5.2 Pos Pemadam Dan Kantor Pemadam Kebakaran Berdasarkan
Kecamatan Tahun 2015............................................................................................... 59
Tabel 5.3 Distribusi Kejadian Kebakaran Bangunan Di Jakarta Selatan
Tahun 2013-2015 ........................................................................................................ 61
Tabel 5.4 Distribusi Kerugian Ekonomi (Dalam Juta Rupiah)
Di Jakarta Selatan Tahun 2013-2015 .......................................................................... 62
Tabel 5.5 Distribusi Korban Luka Di Jakarta Selatan Tahun 2013-2015 ................... 63
Tabel 5.6 Distribusi Penyebab Kejadian Kebakaran Bangunan Di Jakarta Selatan
Tahun 2013-2014 ........................................................................................................ 64
Tabel 5.7 Distribusi Kelompok Berpendapatan Rendah Di Jakarta Selatan
Tahun 2014 ................................................................................................................. 68
Tabel 5.8 Distribusi Kepadatan Penduduk (jiwa/ha) Di Jakarta Selatan
Tahun 2013-2015 ........................................................................................................ 70
Tabel 5.9 Distribusi Penduduk Anak-Anak Di Jakarta Selatan Tahun 2013-2015.... 74
Tabel 5.10 Distribusi Penduduk Lansia Di Jakarta Selatan Tahun 2013-2015........... 78
Tabel 6.1 Jumlah Personel Pemadam kebakaran berdasarkan standar Tokyo ............ 88
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Segitiga Api ............................................................................................. 11
Gambar 2.2 Tetrahedon Api ........................................................................................ 12
Gambar 2.3 Fire Ignition and Fire Loss Model ........................................................... 17
Gambar 2.4 Gunung Es Kerugian Finansial Kebakaran ............................................. 28
Gambar 2.7 Kerangka Teori ........................................................................................ 36
Gambar 3.1 Kerangka Konsep .................................................................................... 37
Gambar 4.1 Tampilan tabel yang sudah di sederhanakan ........................................... 42
Gambar 4.2 Cara memindahkan coding primary key ................................................. 43
Gambar 4.3 Tampilan tabel setelah di normalisasi ..................................................... 43
Gambar 4.4 Cara membuka shapefile pada Quantum GIS ......................................... 48
Gambar 4.5 Tampilan layar kerja QGIS ..................................................................... 49
Gambar 4.6 Cara mengaktifkan atribut baru ............................................................... 49
Gambar 4.7 Menu properties....................................................................................... 50
Gambar 4.8 Window add vector layer ........................................................................ 50
Gambar 4.9 Menu field ............................................................................................... 51
Gambar 4.10 Menyimpan layer................................................................................... 51
Gambar 4.11 Menu style. ............................................................................................ 52
Gambar 4.12 Hasil visualisasi data ............................................................................. 53
Gambar 5.1 Wilayah Kota Administrasi Jakarta Selatan ............................................ 56
xv
Gambar 5.2 Distribusi Spasiotemporal Kejadian Kebakaran Bangunan Di Jakarta
Selatan Tahun 2013-2015 ........................................................................................... 65
Gambar 5.3 Distribusi Spasial Kejadian Kebakaran Bangunan berdasarkan Kelompok
Berpendapatan Rendah Di Jakarta Selatan Tahun 2014 ............................................. 69
Gambar 5.4 Distribusi Spasiotemporal Kejadian Kebakaran Bangunan Dengan
Kepadatan Penduduk Di Jakarta Selatan Tahun 2013-2015 ....................................... 71
Gambar 5.5 Distribusi Spasiotemporal Kejadian Kebakaran Bangunan Dengan
Penduduk Anak-anak Di Jakarta Selatan Tahun 2013-2015....................................... 75
Gambar 5.6 Distribusi Spasiotemporal Kejadian Kebakaran Bangunan Dengan
Penduduk Lansia Di Jakarta Selatan Tahun 2013-2015 ............................................. 79
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Data Pos/Sektor Dinas Penanggulangan Kebakaran Dan Penyelamatan
2015
Lampiran 2 Rekapitulasi Pegawai Aktif Dinas Penanggulangan Kebakaran Dan
Penyelamatan 2015
1
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebakaran merupakan suatu kejadian yang dapat menimbulkan kerugian
harta benda dan korban jiwa di masyarakat. Kebakaran adalah suatu fenomena
yang terjadi ketika suatu bahan mencapai temperatur kritis dan bereaksi secara
kimia dengan oksigen yang menghasilkan panas, nyala api, cahaya asap, uap air,
karbon monoksida, karbon dioksida, atau produk dan efek lainnya (Furness dan
Muckett, 2007). Pada abad ke-21, kebakaran merupakan salah satu tantangan
pada aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) karena dampak dari
kejadiannya yang sangat merugikan (Beyler, 2001).
Data International Association of Fire And Rescue menyebutkan bahwa
tercatat pada tahun 2014 telah terjadi 2,7 juta kejadian kebakaran di dunia dengan
jumlah total korban meninggal mencapai 20.700 jiwa. Data itu juga menyebutkan
bahwa kejadian kebakaran tertinggi terjadi di USA.
Di USA (United States of America) selama tahun 2006 hingga 2010,
setiap tahunnya diperkirakan terdapat 42.800 laporan kebakaran, dengan
kerugian setiap tahunnya yaitu 22 orang tewas, 300 orang cidera, dan kerugian
finansial sebesar 951.000.000 dolar (Evarts, 2012). Menurut Jennings (2013)
kejadian kebakaran yang terjadi di Amerika mayoritas terjadi di perumahan
dengan persentase sebesar 75%.
2
Data Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan Provinsi DKI
Jakarta menyebutkan kejadian kebakaran pada bangunan dari Januari sampai
Desember 2015 berjumlah 729 kejadian dengan taksiran kerugian mencapai Rp.
324.291.000.000, korban luka-luka 106 orang, dan korban meninggal 17 orang
(Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan Provinsi DKI Jakarta,
2015). Kejadian kebakaran bangunan tersebut merupakan jumlah total kejadian
kebakaran bangunan yang terjadi di seluruh wilayah DKI Jakarta. Kebakaran
bangunan di perkotaan merupakan masalah bagi aspek keselamatan dan
kesehatan yang sangat penting untuk diperhatikan (Corcoran dan Higgs, 2013).
Menurut Muhadi (2008) kebakaran bangunan di wilayah perkotaan merupakan
masalah yang sulit untuk dihindari karena kepadatan penduduk di wilayah
perkotaan lebih tinggi daripada di wilayah lain.
Adapun jumlah korban meninggal pada kejadian kebakaran bangunan
berdasarkan wilayah administratifnya di DKI Jakarta, yaitu Jakarta Selatan
sebanyak 5 orang, Jakarta Barat jumlah korban sebanyak 4 orang, Jakarta Timur
sebanyak 4 orang, Jakarta Pusat sebanyak 2 orang, Jakarta Utara sebanyak 2
orang, dan Kepulauan Seribu tidak ada korban meninggal (Dinas
Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan Provinsi DKI Jakarta, 2015).
Artinya wilayah dengan jumlah korban terbanyak pada tahun 2015 adalah
Jakarta Selatan.
Jakarta Selatan merupakan sebuah kota administrasi di bagian selatan
DKI Jakarta. Perbatasan dari kota administratif ini yaitu di sebelah utara
3
berbatasan dengan Jakarta Barat dan Jakarta Pusat. Di sebelah timur berbatasan
dengan Jakarta Timur. Di sebelah selatan berbatasan dengan Kota Depok, dan
sebelah barat dengan Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan. Luas wilayah
Kota Administratif Jakarta Selatan yaitu 141,27 km2 dengan kepadatan
15.318,68 jiwa/km2. Jakarta Selatan memiliki kerawanan terhadap kejadian
kebakaran dengan jumlah penduduk yang semakin padat, pembangunan gedung-
gedung, perumahan, dan bangunan-bangunan lain yang semakin berkembang.
Berdasarkan data Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan
Provinsi DKI Jakarta (2015) kejadian kebakaran pada bangunan di wilayah
Jakarta Selatan dari tahun 2013-2015 mengalami peningkatan setiap tahunnya.
Pada tahun 2013 jumlah kejadian kebakaran bangunan di Jakarta Selatan
sebanyak 135 kejadian dengan kerugian material Rp. 35.585.000.000, korban
luka sebanyak 12 orang, dan korban meninggal sebanyak 5 orang. Pada tahun
2014 jumlah kejadian kebakaran bangunan di Jakarta Selatan sebanyak 141
kejadian dengan kerugian material Rp. 53.284.600.000, korban luka sebanyak 4
orang, dan korban meninggal sebanyak dua orang. Pada tahun 2015 jumlah
kejadian kebakaran bangunan di Jakarta Selatan sebanyak 155 kejadian dengan
kerugian material Rp. 83.828.600.000, korban luka sebanyak 16 orang, dan
korban meninggal sebanyak 5 orang.
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mengendalikan
kejadian kebakaran bangunan yang terjadi dan meminimalisir dampak dari
kejadian kebakaran bangunan. Salah satunya yaitu melalui program-program
4
yang dikeluarkan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi DKI
Jakarta. Berdasarkan BPBD DKI Jakarta (2013) terdapat 5 fokus Kebijakan
pencegahan dan penanggulangan kebakaran, yaitu pencegahan bencana
kebakaran, mitigasi bencana kebakaran, kesiapsiagaan bencana kebakaran,
penanganan darurat, dan pemulihan paska bencana kebakaran.
Salah satu program yang terkait pada kejadian kebakaran bangunan yaitu
penataan ulang pemukiman padat penduduk. Penataan ulang pemukiman padat
penduduk perlu dilaksanakan karena wilayah dengan kepadatan penduduk yang
tinggi memungkinkan kejadian kebakarannya tinggi. Menurut Muhadi (2008),
semakin tinggi kepadatan suatu kota semakin sering kebakaran terjadi. Frekuensi
kejadian kebakaran yang tinggi dapat menimpa wilayah dengan kepadatan
penduduk tinggi seperti di wilayah Kebayoran Lama. Selama tahun 2013-2014,
kejadian kebakaran di wilayah Kebayoran Lama mengalami kenaikan dari 15
kejadian pada tahun 2013 kemudian mengalami kenaikan pada tahun 2014
menjadi 20 kejadian. Wilayah dengan kepadatan penduduk yang tinggi
berpotensi untuk mengalami frekuensi kebakaran yang tinggi dan kerugian yang
lebih besar (Trisna, 2003).
Selain itu, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan untuk membuka
akses kredit ringan untuk pembangunan rumah permanen bagi pemilik rumah
non-permanen. Kebijakan ini perlu dilaksanakan agar kelompok ekonomi yang
berpendapatan rendah dan memiliki daya beli yang rendah dapat memiliki rumah
yang memungkinkan tahan terhadap kebakaran. Kelompok berpendapatan
5
rendah berisiko untuk meningkatkan kejadian kebakaran di suatu wilayah. Hal
tersebut terjadi karena kurangnya daya beli dari kelompok berpendapatan rendah
untuk membeli barang yang sesuai standar. Tingginya tingkat keberadaan
penduduk yang berpendapatan rendah dapat meningkatkan tingkat kejadian
kebakaran di suatu wilayah (Federal Emergency Management Association,
1997).
Pemerintah juga memberikan perhatian terhadap penduduk anak-anak.
Salah satunya melalui pengembangan sistem pendidikan pencegahan kebakaran
pada usia dini. Hal ini diperlukan karena anak-anak dapat memungkinkan
berpotensi menjadi penyebab kejadian kebakaran atau korban dari kejadian
kebakaran. Menurut Hui dkk. (2005) mengemukakan bahwa penyebab
kebakaran yang disebabkan oleh anak-anak yang bermain lebih sering
ditemukan. Kejadian kebakaran yang disebabkan oleh anak-anak dapat terjadi
karena kurangnya pengawasan terhadap anak-anak (Huang, 2009). Selain itu
dapat juga disebabkan oleh anak-anak yang bermain (Miller, 2012).
Akan tetapi, pemerintah belum secara spesifik mengeluarkan kebijakan
pencegahan kebakaran yang berfokus pada lansia. Kebijakan yang dikhususkan
untuk penduduk lansia hanya penanganan darurat yaitu melalui kebijakan
pengadaan kebutuhan untuk kelompok khusus. Padahal jumlah penduduk lanjut
usia (lansia) juga dapat memungkinkan berpengaruh meningkatkan tingkat risiko
kebakaran. Pada kejadian kebakaran di London selama tahun 1996 hingga tahun
2000 mengungkapkan bahwa mayoritas korban meninggal pada kejadian
6
kebakaran berumur lebih dari 60 tahun ke atas (Holborn dkk., 2003). Salah satu
faktor dari hal tersebut yaitu keterbatasan fisik yang mulai dimiliki karena proses
penuaan seperti tuli atau buta yang dapat penduduk lansia untuk mengalami
kecelakaan pada saat kebakaran (Federal Emergency Management Association,
1999b).
Oleh karena itu, tersedianya informasi karakteristik dan persebaran
kejadian kebakaran bangunan sangat diperlukan karena terdapat kemungkinan
setiap wilayah memiliki karakteristik kejadiannya masing-masing. Selain itu,
kerugian kebakaran yang terjadi dapat diminimalisir dengan mengetahui
persebaran lokasi kejadian, wilayah yang berpotensi, dan sarana prasarana
penanggulangan kebakaran yang tersedia (Murray, 2013). Program-program
yang dikeluarkan oleh pemerintah sebaiknya dapat disesuaikan dengan
persebaran dan karakteristiknya. Berdasarkan latar belakang tersebut, kemudian
peneliti tertarik untuk mengetahui kejadian kebakaran bangunan di Jakarta
Selatan dengan menggunakan sudut pandang keruangan untuk mengetahui besar
potensi kejadian kebakaran dari faktor-faktornya dari kejadian kebakaran di
wilayah Jakarta Selatan.
Rumusan Masalah
Kejadian kebakaran bangunan telah menjadi masalah yang dapat
menimbulkan berbagai kerugian pada setiap kejadian. Jakarta Selatan merupakan
bagian dari wilayah provinsi DKI Jakarta yang memiliki korban meninggal
paling tinggi dari wilayah lainnya pada tahun 2015 yaitu sebanyak 5 orang.
7
Selain itu, kejadian kebakaran bangunan di Jakarta Selatan selama tahun 2013-
2015 mengalami peningkatan setiap tahunnya. Berdasarkan data kejadian
kebakaran selama tahun 2013-2015 telah terjadi peningkatan kejadian kebakaran
bangunan setiap tahunnya yaitu tahun 2013 sebanyak 135 kejadian, tahun 2014
sebanyak 141 kejadian, dan tahun 2015 sebanyak 157 kejadian. Hal tersebut
dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kepadatan penduduk. Kepadatan
penduduk wilayah Kota Jakarta Selatan mengalami peningkatan juga setiap
tahunnya yaitu dari 14795,25 jiwa/km2 pada tahun 2013 menjadi 15389.08
jiwa/km2 pada tahun 2015. Selain itu masih terdapat faktor lain seperti jumlah
kelompok ekonomi berpendapatan rendah, jumlah penduduk anak-anak, dan
jumlah lansia yang dapat meningkatkan kejadian kebakaran di wilayah Jakarta
Selatan. Oleh karena itu, diperlukan analisis deskriptif untuk menggambarkan
besar masalah dan analisis spasial temporal untuk menggambarkan sebaran dan
faktor risiko pada kejadian kebakaran bangunan. Studi deskriptif akan
menggambarkan distribusi kejadian kebakaran bangunan. Sedangkan analisis
spasial akan mempertajam analisis dari distribusi tersebut dari sudut pandang
keruangan untuk mengetahui persebaran wilayah kejadian kebakaran bangunan.
Dengan demikian, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian distribusi
spasial temporal kejadian kebakaran bangunan di Jakarta Selatan tahun 2013-
2015.
8
Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana distribusi spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan di
Jakarta Selatan tahun 2013-2015?
2. Bagaimana distribusi spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan
berdasarkan kelompok berpendapatan rendah di Jakarta Selatan tahun 2014?
3. Bagaimana distribusi spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan
berdasarkan kepadatan penduduk di Jakarta Selatan tahun 2013-2015?
4. Bagaimana distribusi spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan
berdasarkan penduduk anak-anak di Jakarta Selatan tahun 2013-2015?
5. Bagaimana distribusi spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan
berdasarkan penduduk lansia di Jakarta Selatan tahun 2013-2015?
Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Diketahuinya gambaran spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan di
Kota Jakarta Selatan tahun 2013-2015.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya distribusi spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan
berdasarkan jumlah kelompok berpendapatan rendah di Jakarta Selatan
tahun 2014.
2. Diketahuinya distribusi spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan
berdasarkan kepadatan penduduk di Jakarta Selatan tahun 2013-2015.
9
3. Diketahuinya distribusi spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan
berdasarkan penduduk anak-anak di Jakarta Selatan tahun 2013-2015.
4. Diketahuinya distribusi spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan
berdasarkan penduduk lansia di Jakarta Selatan tahun 2013-2015.
Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Badan Penanggulangan Bencana Daerah
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk
menyesuaikan program penanggulangan kejadian kebakaran bangunan
berdasarkan karakteristik wilayah dan persebaran kejadiannya.
1.5.2 Bagi Dinas Pemadam Kebakaran
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk
pembuatan kebijakan untuk pencegahan dan penanggulangan kebakaran sebagai
upaya peningkatan pelayanan terhadap masyarakat dengan mengetahui wilayah
yang berpotensi terjadi kebakaran.
1.5.3 Bagi Badan Pusat Statistik
Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk
mengevaluasi standar atau indikator yang yang digunakan untuk pengambilan
data di masyarakat terutama di wilayah perkotaan.
1.5.4 Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan referensi untuk
penelitian berikutnya dengan mengembangkan metode yang lebih luas
lingkupnya.
10
Ruang Lingkup
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui distribusi spasial temporal
kejadian kebakaran bangunan di Jakarta Selatan tahun 2013-2015. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan September 2016-Maret 2017. Studi ini menggunakan
desain studi ekologi. Populasi penelitian ini yaitu seluruh laporan kejadian
kebakaran bangunan yang terjadi di wilayah Jakarta Selatan. Cara pengumpulan
data yang dilakukan dengan analisis data laporan tahunan kejadian kebakaran di
Jakarta Selatan. Analisis Spasiotemporal digunakan untuk menganalisis
distribusi kejadian kebakaran berdasarkan wilayah dan faktor kejadian kebakaran
bangunan.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kebakaran
Api adalah suatu fenomena proses oksidasi antara 3 komponen yaitu
bahan bakar, panas yang cukup untuk membuat benda terbakar, dan udara
(oksigen). Semua komponen ini harus hadir untuk menghasilkan api dan api
tersebut akan terus menyala hingga salah satu komponen tersebut dihilangkan
(National Fire Protection Association, 2015). Ketiga komponen tersebut dikenal
sebagai segitiga api. Segitiga api dikenal atau diketahui sebagai kondisi yang
dibutuhkan agar terciptanya api. Ketiga unsur tersebut yaitu panas (heat), bahan
bakar (fuel), dan oksigen yang disebut juga segitiga api (triangle of fire).
Sumber: Subagyo, 2012
Gambar 2.1 Segitiga Api
12
Apabila salah satu dari komponen tersebut tidak tersedia maka api-pun
tidak dapat muncul. Bahan bakar berperan sebagai sumber energi, oksigen
memberikan kunci untuk melepaskan energi, dan panas memberikan dorongan
untuk menghasilkan reaksi kimia untuk menghasilkan api (Cote, 2004). Namun,
untuk berlangsungnya suatu pembakaran masih diperlukan komponen keempat
yaitu rantai reaksi kimia (chemical chain reaction).
Sumber: Subagyo, 2012
Gambar 2.2 Tetrahedron Api
Reaksi dari rantai kimia ini menghasilkan proses pembakaran. Proses
pembakaran merupakan proses yang kompleks dimana hasil dari oksidasi bahan
pembakar yang cepat, panas dan juga cahaya (Chandler, 2009). Teori ini dikenal
sebagai Piramida Api (fire tetrahedron) (Casal, 2008). Api dapat dipadamkan
apabila bahan bakar, panas, dan oksigen dapat dihilangkan atau dengan cara
menghambat reaksi kimia yang terjadi (Giustina, 2014).
Keberadaan api yang tidak dikendalikan dapat menimbulkan kerugian
harta benda atau cidera bahkan kematian (Suma’mur, 2007). Dengan Demikian
13
kebakaran adalah suatu kondisi bersentuhan nya bahan bakar (fuel), oksigen dan
panas atau kalor, namun bukan yang dikehendaki (Suprapto, 2006).
Frekuensi kejadian kebakaran yang terjadi di suatu wilayah menunjukaan
kemungkinan bahaya kebakaran dapat terulang di wilayah tersebut. Semakin
tinggi frekuensi kebakaran pada suatu wilayah semakin tinggi kemungkinan
wilayah tersebut mengalami kebakaran kembali. Frekuensi kejadian kebakaran
merupakan salah satu komponen yang dapat menentukan tingkat ancaman suatu
kejadian kebakaran di suatu wilayah. Frekuensi kejadian kebakaran di suatu
wilayah dibagi ke dalam 3 tingkatan, yaitu rendah (kurang dari 2%), sedang (2-
5%), dan tinggi (lebih dari 5%) (Badan Nasional Penanggulangan Bencana,
2012).
Cara penjalaran api
Fenomena kebakaran biasanya berawal dari penyalaan api yang kecil
kemudian membesar dan menyebar ke wilayah sekitarnya. Menurut Eckhoff
(2005), perambatan api dapat terjadi melalui beberapa cara, yaitu sebagai berikut:
a. Konduksi
Konduksi adalah proses perambatan api melalui benda padat, misalnya
api merambat melalui kayu, tembok beton, ataupun besi. Apabila terjadi
kebakaran di suatu ruangan, maka panas dapat merambat melalui tembok
tersebut sehingga ruangan di sebelahnya akan mengalami pemanasan juga dan
api dapat merambat dengan mudah.
14
b. Konveksi
Konveksi adalah perambatan api melalui media cairan ataupun uap air.
Apabila terjadi kebakaran di suatu ruangan, maka panas juga dapat merambat
melalui pergerakan atau aliran udara panas ke wilayah sekitar ruangan tersebut.
Aliran udara panas akan mengalir dari suatu ruangan yang lebih panas menuju
ruangan yang lebih dingin.
c. Radiasi
Radiasi adalah proses perambatan api melalui media gelombang
elektromagnetik dan pancaran cahaya yang keluar dari api yang menyala. Salah
satu contoh perambatan panas melalui proses radiasi adalah panas matahari yang
dapat dirasakan oleh manusia di bumi. Terjadi proses perpindahan panas dalam
proses radiasi, misalnya ketika suatu bangunan terbakar, maka api akan
menyebarkan energi panas dalam bentuk pancaran cahaya sehingga
memungkinkan bangunan lain di sekitarnya akan terbakar juga meskipun berada
di jarak yang agak jauh.
Penyebab kejadian kebakaran
Penyebab kejadian kebakaran pada bangunan dapat disebabkan berbagai
peristiwa. Untuk membuatnya lebih dipahami U.S. Fire Administration
mengelompokan berbagai penyebab kebakaran pada kategori-kategori yang
memiliki gambaran yang lebih besar. Menurut Federal Emergency Management
15
Association (1999a) berikut penyebab-penyebab kejadian kebakaran pada
bangunan:
a. Exposure: kejadian kebakaran yang disebabkan oleh panas, api, atau
kebakaran yang menyebar dari tempat lain.
b. Pembakaran sengaja: Kejadian kebakaran yang disebabkan oleh pembakaran
yang dilakukan dengan sengaja.
c. Anak-anak yang bermain: Semua kejadian kebakaran yang disebabkan oleh
anak-anak yang bermain dengan berbagai material yang dapat terbakar.
d. Merokok: semua kejadian kebakaran yang diakibatkan oleh rokok, cerutu,
dan pipe.
e. Heating: kejadian kebakaran yang sumber penyebabnya adalah penghangat
ruangan, perapian, cerobong asap, dan pemanas air
f. Memasak: kejadian kebakaran yang sumber panasnya dari kompor, oven,
pemanas, tempat penggorengan minyak, dan pemanggang.
g. Electrical distribution: Kejadian kebakaran yang sumber panasnya dari
kabel, trafo, meter boxes, saklar, colokan listrik, dan peralatan pencahayaan
listrik.
h. Appliances (peralatan-perlatan rumahtangga): kejadian kebakaran yang
sumber panasnya berasal dari pendingin ruangan/AC, televisi, radio, mesin
cuci, vacuum cleaner, pekakas, selimut listrik, setrika, alat cukur listrik, alat
pembuka kaleng, dehumidifier, dan perangkat pendingin air.
16
i. Peralatan-peralatan lainnya: kejadian kebakaran yang sumber panasnya berasal
dari peralatan khusus (radar, x-ray, komputer, telepon, pemancar, mesin penjual
otomatis (vending machine), mesin kantor, pompa, dan mesin printing),
peralatan servis, peralatan untuk pemeliharaan seperti insenerator, kendaraan
dalam bangunan dan peralatan lain yang tidak ditentukan.
j. Open flame: kejadian kebakaran yang sumber panasnya dari obor, lilin, korek
api, bara, abu, dan api di ruang terbuka.
k. Panas lainnya: kejadian kebakaran yang bersumber dari kembang api, bahan
peledak, panas atau percikan dari gesekan, bahan cair, material panas, dan
semua kebakaran lain yang disebabkan oleh panas dari benda-benda bertenaga
bahan bakar, panas dari overloading, dan panas dari benda panas yang tidak
tercakup oleh kelompok lain.
l. Unknown: kejadian kebakaran yang penyebabnya tidak diketahui, tidak
dilaporkan, atau belum ditentukan.
Fire Ignition and Fire Loss Model
Fire Ignition and Fire Loss Model merupakan model yang dikembangkan
oleh Charles Robert Jenning pada tahun 1996. Model pada gambar 2.3
menjelaskan bagaimana karakteristik populasi dan bangunan berdampak
terhadap kejadian kebakaran. Terdapat faktor-faktor dalam model ini yang
mempengaruhi kejadian kebakaran yaitu lingkungan fisik, aset bangunan, faktor
sosial, faktor ekonomi, demografi, dan faktor perilaku. Sedangkan Federal
Emergency Management Association yang mengadopsi kerangka dari Jennings
17
tersebut meyebutkan faktor-faktor tersebut sebagai faktor-faktor sosioekonomi.
Menurut Federal Emergency Management Association (1997) alasan kenapa
faktor-faktor tersebut penting dianalisis karena faktor-faktor tersebut merupakan
sesuatu yang paling baik dalam menganalisis dan memprediksikan tingkat
kejadian kebakaran pada level populasi. Faktor lingkungan alam, aset bangunan,
sosial, ekonomi, dan demografi dapat menyebabkan kejadian kebakaran secara
tidak langsung tanpa dipengaruhi oleh perilaku manusia, sedangkan pada
kejadian secara langsung dapat disebabkan oleh perilaku manusia (Federal
Emergency Management Association, 1997).
Sumber: Federal Emergency Management Association, 1997
Gambar 2.3 Fire Ignition and Fire Loss Model
Faktor-faktor pada kejadian kebakaran bangunan
Jennings menjelaskan bahwa faktor-faktor yang berkontribusi terhadap
peningkatan kejadian kebakaran bangunan adalah lingkungan alam/fisik, aset
18
bangunan, sosial, ekonomi, demografi, dan perilaku kejadian kebakaran. Berikut
ini merupakan penjelasan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kejadian
kebakaran bangunan.
a. Lingkungan Fisik
Lingkungan fisik pada kejadian kebakaran biasanya diukur dengan suhu
(Huang, 2009). Untuk dapat menyalakan api suatu benda atau material
memerlukan suhu terendah untuk menyala (Thomson, 2001). Oleh karena itu
suhu dapat berpengaruh pada kebakaran. Dalam penelitian Gunther ditemukan
bahwa terdapat hubungan signifikan antara kematian pada kejadian kebakaran
dengan tingkat suhu. Hal tersebut dapat terjadi karena suhu dapat mempengaruhi
kejadian kebakaran. Peningkatan suhu lingkungan dapat mengakibatkan bahan-
bahan menjadi mudah terbakar karena bahan tersebut mencapai titik suhu yang
dapat menyalakan api (Randall, 2003). Menurut Corcoran dkk. (2011) suhu juga
dapat berpengaruh terhadap peningkatan risiko kebakaran. Adapun peningkatan
kejadian kebakaran ketika suhu lingkungan rendah terjadi karena pemakaian
peralatan seperti penghangat ruangan, peralatan masak dan kegiatan lain yang
dapat meningkatkan risiko kejadian kebakaran karena penggunaan peralatan
tersebut.
b. Aset Bangunan
Aset bangunan merupakan salah satu komponen untuk mengetahui
seberapa besar ketahanan terhadap kebakaran dan kerugian yang dapat terjadi
ketika terjadi kebakaran bangunan. Kondisi dari karakteristik dan aset-aset
bangunan dapat berperan penting dalam kejadian kebakaran.
19
1) Usia Bangunan
Usia bangunan merupakan salah aset bangunan yang berperan penting
untuk mengetahui atau mengukur kondisi bangunan dalam menghadapi kejadian
kebakaran. Menurut Federal Emergency Management Association (1998) bahwa
terdapat kecenderungan tingkat kebakaran lebih tinggi di kota-kota dengan yang
mayoritas terdapat bangunan tua dibandingkan dengan kota yang mayoritas telah
dibangun dengan bangunan atau gedung yang lebih baru. Hal tersebut dapat
terjadi karena bangunan-bangunan baru telah dibangun dengan standar lebih
baik.
2) Kualitas kelayakan bangunan.
Kemudian kualitas kelayakan bangunan dalam suatu wilayah perlu
menjadi perhatian. Suatu bangunan dinyatakan kualitas layak untuk difungsikan
apabila telah memenuhi berbagai persyaratan kelayakan fungsi bangunan
gedung. Kelayakan tersebut mencakup kondisi keselamatan, kesehatan,
kenyamanan, dan kemudahan yang memenuhi persyaratan teknis bangunan
gedung yang telah diatur pada peraturan pemerintah nomor 25/PRT/M/2007
tentang Pedoman Sertifikat Layak Fungsi Bangunan Gedung (Departemen
Pekerjaan Umum, 2007). Adapun peraturan spesifik yang mengatur mengenai
komponen-komponen pada bangunan untuk kejadian kebakaran diatur dalam
Permen PU No. 26/PRT/M/2008 tentang Persyaratan Teknis Sistem Proteksi
Kebakaran pada Bangunan Gedung dan Lingkungan. Menurut Gielen dkk.
(2012) kualitas rumah yang tidak layak memungkinkan untuk dapat
meningkatkan risiko kejadian kebakaran.
20
c. Sosial
Aspek sosial dapat menjadi penyebab kejadian kebakaran yang terjadi.
Menurut Jennings (1999) kejadian kebakaran dapat dianggap sebagai produk dari
faktor sosial dan struktur sosial. Berikut faktor-faktornya:
1) Keberadaan orang tua
Federal Emergency Management Association (1997) mendefinisikan
keberadaan orang tua pada model ini dalam kontek ekologi yaitu persentase anak
di bawah umur 18 tahun yang tingal dengan kedua orang tuanya. Keberadaan
kedua orang tua yaitu bapak dan ibu sangat penting untuk mengawasi anak-anak
(Federal Emergency Management Association, 1997). Sedangkan, keluarga
single parent atau hanya 1 orang tua dapat meningkatkan risiko terjadinya
kebakaran karena pada umumnya memiliki tingkat fleksibilitas yang kurang
dalam kegiatan rumah tangganya dan kurangnya juga perawatan dan pengawasan
terhadap anak-anak karena harus meninggalkan anak untuk bekerja sehingga
menurunkan pengawasan terhadap anak-anak (Huang, 2009). Pengawasan yang
kurang terhadap anak-anak pada saat bermain dapat meningkatkan tingkat risiko
kejadian kebakaran (Federal Emergency Management Association, 1997).
2) Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan memiliki kemungkinan meningkatkan potensi
terjadinya kejadian kebakaran di suatu wilayah. Menurut Huang (2009) orang-
orang dengan tingkat pendidikan rendah lebih memiliki kemungkinan
berpenghasilan rendah, sehingga tidak mampu untuk membeli peralatan-
peralatan yang sesuai standar, seperti peralatan listrik. Tingkat pendidikan yang
21
rendah dapat berdampak pada rendahnya tingkat pengetahuan terhadap berbagai
instruksi manual dan label peringatan sehingga memungkinkan alat digunakan
tidak sesuai ketentuan dan meningkatkan risiko terjadinya kebakaran. Tingkat
pendidikan dapat mempengaruhi bagaimana seseorang bertindak dengan baik
(Yang dkk., 2004).
d. Ekonomi
1) Kelompok berpendapatan rendah
Menurut Badan Pusat Statistik (2015a) pendapatan meliputi upah dan gaji
atas jam kerja atau pekerjaan yang telah diselesaikan, upah lembur, semua bonus
dan tunjangan, perhitungan waktu-waktu tidak bekerja, bonus yang dibayarkan
tidak teratur, penghargaan, dan nilai pembayaran sejenisnya. (Badan Pusat
Statistik) mengklasifikasikan pendapatan berdasarkan 4 kelompok. Berikut
klasifikasinya:
a) Golongan pendapatan sangat tinggi, adalah jika pendapatan rata-
rata lebih dari Rp. 3.500.000,00 per bulan
b) Golongan pendapatan tinggi adalah jika pendapatan rata-rata
antara Rp. 2.500.000,00 s/d Rp. 3.500.000,00 per bulan
c) Golongan pendapatan sedang adalah jika pendapatan rata-rata
antara Rp. 1.500.000,00 s/d Rp. 2.500.000,00 per bulan
d) Golongan pendapatan rendah adalah jika pendapatan rata-rata
1.500.000,00 per bulan
22
Berdasarkan standar dari PPLS (Pendataan Program Perlindungan Sosial)
tahun 2011 dalam (Kertati, 2013) kelompok berpendapatan rendah di suatu
wilayah dikategorikan menjadi 3 kategori yaitu Rendah (≤26% dari total
kelompok seluruh kategori pendapatan), Sedang (26-35% dari total kelompok
seluruh kategori pendapatan), dan Tinggi (>35% dari total kelompok seluruh
kategori pendapatan) (Kertati, 2013).
Tingkat pendapatan dapat berpengaruh terhadap risiko kejadian
kebakaran. Kelompok berpendapatan rendah umumnya tinggal di tempat tinggal
yang tidak memenuhi berbagai syarat sehingga berbahaya bagi keselamatan
penghuninya (Gielen dkk., 2012). Pendapatan yang rendah menurunkan daya
beli terhadap peralatan-peralatan yang sesuai standar dan aman sehingga
meningkatkan risiko kebakaran (Istre dkk., 2002). Tingginya tingkat keberadaan
penduduk yang berpendapatan rendah dapat meningkatkan tingkat kejadian
kebakaran di suatu wilayah (Federal Emergency Management Association,
1997).
2) Kemiskinan
Kemiskinan menurut (Haryana, 2008) adalah kondisi di mana seseorang
atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak
dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang
bermartabat. Penduduk miskin adalah penduduk yang pengeluarannya di bawah
garis kemiskinan (Federal Emergency Management Association, 1997). Jumlah
penduduk miskin di suatu wilayah dapat mencerminkan tingkat kemiskinan di
23
suatu wilayah. Menurut Jennings (1999) kejadian kebakaran yang besar dapat
berhubungan dengan kemiskinan di suatu wilayah. Hal tersebut dapat terjadi
karena masyarakat atau penduduk miskin tidak dapat menyediakan peralatan-
peralatan yang sesuai dan ketersedian peralatan kebakaran.
e. Demografi
1) Kepadatan Penduduk
Analisa pada komponen ini sangat penting salah satunya pada kepadatan
penduduk. Kepadatan penduduk adalah jumlah penduduk di dalam suatu wilayah
dibagi luas wilayah berdasarkan batasan administrasi yang ada (Badan
Standarisasi Nasional, 2004). Kepadatan penduduk sangat mempengaruhi
jumlah pemenuhan fasilitas, baik fasilitas umum maupun sosial, jumlah fasilitas
pada wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi akan lebih besar bila
dibandingkan dengan kepadatan rendah. Kepadatan tinggi mempengaruhi
kemungkinan bencana kebakaran. Hasil analisa dari kepadatan penduduk dapat
memunculkan faktor-faktor kemungkinan terjadinya kebakaran. Menurut Trisna
(2003) berikut faktor-faktor kemungkinan kejadian kebakaran yang dapat
dihasilkan dari analisa kepadatan penduduk terhadap kejadian kebakaran yang
terjadi di suatu wilayah yaitu kemungkinan sebagai sumber kebakaran,
kemungkinan bahaya penjalaran, dan kemungkinan sebagai sumber korban
kebakaran dan masalah sosial. Adapun peraturan dan klasifikasi mengenai
standar kepadatan dapat dilihat pada tabel 2.1.
24
Tabel 2.1 Peraturan Dan Klasifikasi Kepadatan Penduduk
Standar atau Peraturan Klasifikasi kepadatan penduduk
Undang-Undang No. 56 tahun 1960 1. Tidak padat : ≤50 jiwa/km2)
2. Kurang padat : 51-250 jiwa/km2
3. Cukup padat : 251-400 jiwa/km2
4. Sangat padat : ≥401 jiwa/km2
Tata cara perencanaan lingkungan
perumahan di perkotaan
(Badan Standarisasi Nasional,
2004)
1. Rendah : <150 jiwa/ha
2. Sedang ; 151 – 200 jiwa/ha
3. Tinggi : 200 – 400 jiwa/ha
4. Sangat padat : >400 jiwa/ha
Sumber : UU 56, 1960, Badan Standarisasi Nasional, 2004.
Adapun Standar yang dapat digunakan untuk wilayah perkotaan yaitu
yaitu klasifikasi kepadatan penduduk pada peraturan tata cara perencanaan
lingkungan perumahan di perkotaan. Hal ini karena peraturan tersebut
merupakan peraturan yang digunakan sebagai penilaian perencanaan untuk
wilayah perkotaan.
2) Penduduk Anak-anak
Menurut World Health Organization (2013) anak-anak adalah seseorang
yang berusia di bawah 19 tahun atau lebih muda. Sedangkan, menurut Undang-
undang (Republik Indonesia) anak-anak adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Adapun
menurut Ahmad dkk. (2001) yang dipublikasikan oleh WHO standar persentase
populasi usia di bawah 19 tahun adalah 34,62 % dari keseluruhan populasi total.
25
Ketika suatu kebakaran disebabkan oleh tindakan seorang anak yang
bermain dengan sumber api maka dapat dikatakan sebagai kebakaran yang
disebabkan oleh anak-anak yang bermain (Miller, 2012). Pada penelitian Hui
dkk. (2005) mengemukakan bahwa penyebab kebakaran yang disebabkan oleh
anak-anak yang bermain lebih sering ditemukan. Anak-anak merupakan korban
utama pada kejadian kebakaran pada saat siang hari ketika orang tuanya pergi
bekerja (Ono dan Da Silva, 2000). Bagi anak-anak menyelamatkan diri ketika
terjadi kebakaran akan sulit karena pengetahuan anak-anak mengenai
penyelamatan dari kebakaran masih kurang (Federal Emergency Management
Association, 2015, Federal Emergency Management Association, 2013). Anak-
anak di bawah 5 tahun paling rentan untuk menjadi korban mati (Istre dkk., 2002,
Hannon dan Shai, 2003).
3) Penduduk lansia
Proporsi penduduk lanjut usia (lansia) yang semakin besar membutuhkan
perhatian dan perlakuan khusus. (Federal Emergency Management Association)
mendefinisikan penduduk usia tua yaitu setiap orang yang berusia di atas 65
tahun. Sedangkan, Undang-undang (Republik Indonesia) mendefinisikan
penduduk lanjut usia sebagai penduduk berumur 60 tahun ke atas. Usia tua
merupakan tahap akhir dari proses penuaan yang memiliki dampak terhadap 3
aspek, yaitu biologis, ekonomi, dan sosial (Badan Pusat Statistik, 2015b). Secara
biologis, lansia akan mengalami proses penuaan secara terus menerus yang
ditandai dengan penurunan daya tahan fisik dan rentan terhadap serangan
penyakit. Secara ekonomi, umumnya lansia lebih dipandang sebagai beban
26
daripada sumber daya. Secara sosial, kehidupan lansia sering dipersepsikan
secara negatif, atau tidak banyak memberikan manfaat bagi keluarga dan
masyarakat. Adapun menurut Ahmad dkk. (2001) yang dipublikasikan oleh
WHO standar persentase populasi lansia adalah 8,235 % dari keseluruhan
populasi total.
Keberadaan penduduk lanjut usia juga dapat berpengaruh meningkatkan
tingkat risiko kebakaran. Pada penelitian Holborn dkk. (2003) mengenai kejadian
kebakaran di London selama tahun 1996 hingga tahun 2000 mengatakan bahwa
mayoritas korban meninggal pada kejadian kebakaran berumur lebih dari 60
tahun ke atas. Menurut Ahrens dkk. (2007) penduduk lansia yang berusia 65
tahun ke atas memiliki kontribusi yang lebih besar dalam jumlah kematian karena
kejadian kebakaran dari pada penduduk usia muda. Hal tersebut dapat terjadi
karena penduduk lansia memiliki berbagai keterbatasan. Berikut berbagai alasan
penduduk lansia lebih berisiko pada kejadian kebakaran (Federal Emergency
Management Association, 1999b):
a) Proses penuaan yang kemudian rentan untuk terkena berbagai macam
penyakit dan rentan terhadap berbagai cidera seperti luka bakar.
b) Keterbatasan fisik yang mulai dimiliki karena proses penuaan seperti
tuli atau buta yang dapat penduduk lansia untuk mengalami kecelakaan
pada saat kebakaran.
c) Terdapat penduduk lansia yang hidup sendiri sehingga meningkatkan
risiko mengalami cidera pada saat terjadi kebakaran (Zhang dkk.,
2006).
27
d) Terdapat penduduk lansia yang hidup di bawah garis kemiskinan dan
kemiskinan memiliki pengaruh signifikan terhadap kejadian
kebakaran.
e) Mayoritas penduduk lansia harus mengonsumsi berbagai obat yang
interaksinya dapat mengakibatkan berbagai efek samping yang dapat
meningkatkan potensi kecelakaan.
f) Gangguan yang disebabkan oleh kombinasi alkohol dengan berbagai
obat pada penduduk lansia yang dapat meningkatkan kemungkinan
untuk menyalakan api secara sengaja, tidak mendeteksi kebaradaan,
dan tidak bisa melarikan diri ketika terjadi kebakaran.
f. Perilaku penduduk terhadap kebakaran
Beberapa ciri perilaku manusia yang membedakan dari makhluk lain
adalah kepekaan sosial, kelangsungan perilaku, orientasi pada tugas, usaha dan
perjuangan, serta tiap individu adalah unik (Sarwono, 2013). Salah satu faktor
yang harus diperhatikan pada suatu kejadian kebakaran yaitu perilaku manusia.
Menurut Huang (2009) perilaku manusia merupakan penyebab utama pada suatu
kejadian kebakaran karena berbagai kejadian kebakaran yang terjadi disebabkan
oleh manusia. Penelitian yang dilakukan di Bandung memperlihatkan bahwa
perilaku masyarakat terkait kebakaran masih tergolong berbahaya karena
kegiatan penggunaan api yang dilakukan secara tidak aman sehingga dapat
menimbulkan kejadian kebakaran (Sagala dkk., 2014).
28
Dampak Kerugian pada Kejadian Kebakaran.
a. kerugian ekonomi
Kejadian kebakaran yang terjadi dapat mengakibatkan kerugian pada
harta benda selain dari mengakibatkan kerugian terhadap jiwa. Dalam menutupi
kerugian yang diakibatkan oleh kejadian kebakaran dibutuhkan biaya yang
cukup besar meskipun terdapat beberapa biaya yang dapat ditutupi oleh asuransi
seperti biaya pengobatan dan barang-barang yang rusak. Selain dari kerugian
yang dapat ditutupi oleh asuransi masih terdapat biaya yang lain yang harus
dikeluarkan untuk membiayai kejadian kebakaran yang terjadi seperti biaya
pembersihan area kebakaran dan waktu yang digunakan untuk mengembalikan
keadaan menjadi baik kembali. Berikut analogi gunung es kerugian finansial
kejadian kebakaran (Furness dan Muckett, 2007).
Sumber: Furness dan Muckett, 2007
Gambar 2.4 Gunung Es Kerugian Finansial Kebakaran
Berdasarkan gambar tersebut dapat terlihat bahwa kerugian yang
langsung yang nampak di permukaan terlihat kecil, tetapi di bawah permukaan
masih terdapat kerugian yang tidak terlihat. Kemudian di Indonesia, dalam
29
perhitungan kerugian yang terjadi pada suatu kejadian kebakaran dilakukan oleh
ahli dari Dinas Penanggulangan Bahaya Kebakaran. Perhitungan kerugian materi
dilakukan oleh Dinas Penanggulangan Bahaya Kebakaran selain dengan
bertanya langsung kepada ahli musibah kebakaran juga dengan memperkirakan
harga harta benda yang terbakar (Trisna, 2003). Tentu saja hal ini sangat
tergantung dari kemampuan individu yang mendata setelah terjadinya kebakaran.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2012) juga memberikan klasifikasi
kerugian atau dampak ekonomi dari suatu kejadian kebakaran bangunan. Berikut
klasifikasinya:
a) Rendah : kurang dari 1 milyar rupiah (<Rp 1.000.000.000)
b) Sedang : 1 milyar rupiah sampai 3 milyar rupiah
(Rp 1.000.000.000 – Rp 3.000.000.000)
c) Tinggi : lebih dari 3 milyar rupiah (>Rp 3.000.000.000)
b. Korban
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Kamus Besar Bahasa Indonesia
(2015) korban adalah orang, binatang, dan sebagainya yang menjadi menderita
(mati dan sebagainya) akibat suatu kejadian, perbuatan jahat, dan sebagainya.
Menurut Undang-undang nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan bencana
menyatakan bahwa korban bencana adalah orang atau sekelompok orang yang
menderita atau meninggal dunia akibat bencana. Dalam hal ini kejadian
kebakaran termasuk ke dalam kategori bencana nonalam.
30
Korban meninggal dalam kejadian kebakaran dapat disebabkan oleh
berbagai penyebab selain terbakar. Pada kejadian kebakaran di London selama
tahun 1996 sampai tahun 2000 yaitu 42% korban meninggal karena asap
kebakaran dan hanya 19% korban meninggal karena luka bakar. Di Indonesia
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2012) memberi kategori jumlah
korban meninggal dan korban luka-luka pada masing-masing masing kelasnya
berdasarkan jumlah korban meninggal. Berikut kategorinya:
Tabel 2.2 Tingkatan Kelas Korban Bencana Kebakaran
Komponen Kelas
Rendah Sedang Tinggi
Meninggal - 1 orang >1 orang
Luka <5 orang 5-10 orang >10 orang
Sumber: Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2012)
Pelayanan penanggulangan kebakaran
Dalam upaya penanggulangan kebakaran diperlukan pelayanan terhadap
penanggulangan kebakaran yang disediakan oleh pemerintah. Berdasarkan
Permen PU No. 20/PRT/M/2009 mengenai Pedoman Teknis Manajemen
Proteksi Kebakaran di Perkotaan dalam pelayan penanggulangan kebakaran
dapat terdiri dari instansi pemadam kebakaran yang dapat berupa pos pemadam
kebakaran, mobil pemadam kebakaran, sumber daya manusia atau personil
pemadam kebakaran, dan sumber air. DKI Jakarta juga memiliki Peraturan
Daerah (Perda) mengenai kebakaran yaitu Peraturan Daerah Provinsi Daerah
Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 8 Tahun 2008.
31
a. Instansi pemadam kebakaran
Instansi pemadam kebakaran menyediakan pelayanan penanggulangan
dan pemadaman kebakaran dalam bentuk penyediaan pos pemadam kebakaran
dalam suatu wilayah manajemen kebakaran. Wilayah Manajemen Kebakaran
yang tersusun atas pos-pos penanggulangan kebakaran tersebut dimaksudkan
untuk memenuhi tujuan proteksi kebakaran, yakni utamanya untuk keselamatan
jiwa (life safety) dan perlindungan harta benda (properti safety) (Trisna, 2003).
Terkait dengan hal ini dapat diajukan pertanyaan berapa rasio optimal
antara jumlah pos penanggulangan bahaya kebakaran dengan jumlah penduduk
dan rasio optimal pos penanggulangan bahaya kebakaran dengan jumlah
bangunan. Menurut Badan Standarisasi Nasional (2004) SNI 03-1733-2004
tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan
menetapkan 1 pos pemadam kebakaran untuk 30.000 penduduk.
Selain itu, Wilayah yang sudah terbangun dan dihuni harus mendapat
perlindungan oleh mobil kebakaran yang pos terdekatnya berada dalam jarak 2,5
km dan berjarak 3,5 km dari sector. Sedangkan, standar waktu tanggap yang
harus dipenuhi yaitu tidak lebih dari 15 menit (Kementerian Pekerjaan Umum,
2009).
Waktu tanggap Instansi Pemadam Kebakaran terhadap pemberitahuan
kebakaran untuk kondisi di Indonesia tidak lebih dari 15 (5 belas) menit yang
terdiri atas:
32
1) Waktu dimulai sejak diterimanya pemberitahuan adanya kebakaran di suatu
tempat, penentuan lokasi kebakaran, informasi objek yang terbakar dan
penyiapan pasukan serta sarana pemadaman.
2) Waktu perjalanan dari pos pemadam menuju lokasi
3) Waktu gelar peralatan di lokasi sampai dengan siap operasi penyemprotan.
b. Mobil pemadam kebakaran
Dalam meningkatkan upaya penanggulangan bahaya kebakaran
dibutuhkan jumlah armada yang mencukupi serta jenis yang sesuai dengan
kondisi fisik wilayah yang akan dilayani dan dengan mempertimbangkan jumlah
Pos Pemadam serta potensi kebakaran yang akan ditanggulangi. Berdasarkan
Keputusan (Menteri Permukiman Dan Prasarana Wilayah) No.
534/KPTS/M/2001 pada 1 pos pemadam kebakaran harus terdapat dua mobil
pemadam kebakaran. IFCAA (International Fire Chiefs Association of Asia)
menetapkan 1 unit mobil pemadam kebakaran untuk setiap 10.000 penduduk
(Sarwono, 2011, Trisna, 2003).
c. Sumber daya manusia institusi pemadam kebakaran
Sumber daya manusia adalah faktor sentral dalam suatu organisasi.
Adapun bentuk serta tujuannya, organisasi dibuat berdasarkan visi untuk
kepentingan manusia dalam pelaksanaan misinya dikelola dan diurus oleh
manusia. Jadi, manusia merupakan faktor strategis dalam semua kegiatan
institusi/organisasi. Berdasarkan pertimbangan dan jumlah pos serta cakupan
masyarakat, maka perlu dipertimbangkan kualifikasi dan kuantifikasi personil
33
yang harus disediakan untuk melakukan pelayanan penanggulangan dan
pemadaman kebakaran.
Menurut Standar Tokyo menetapkan 25 personil 10.000 penduduk
(Sarwono, 2011, Trisna, 2003). Menurut Kementerian Pekerjaan Umum (2009)
dalam setiap Pos kebakaran dipimpin oleh seorang Kepala Pos yang merangkap
sebagai kepala regu, Setiap regu jaga maksimal terdiri dari 6 orang, yaitu 1 orang
kepala regu, 1 orang operator mobil kebakaran, dan 4 orang anggota yang terdiri
dari dua orang anggota tenaga pemadam dan dua orang anggota tenaga
penyelamat. Sedangkan jumlah personil pada suatu Pos Pemadam sangat
tergantung dari jumlah mobil unit pemadam kebakaran yang akan ditempatkan,
umumnya 1 unit mobil pemadam diawaki oleh 4 personil terdiri dari 3 orang
pemadam dan seorang operator, jadi bila dalam 1 hari terdapat 3 regu jaga dan 1
regu libur (day off) maka untuk 1 Pos Pemadam dengan 1 unit mobil pemadam
dibutuhkan 16 personil (Trisna, 2003).
d. Sumber Air
Pasokan air untuk keperluan pemadam kebakaran diperoleh dari sumber
alam seperti kolam air, danau, sungai, jeram, sumur dalam dan saluran irigasi;
maupun buatan seperti tangki air, tangki gravitasi, kolam renang, air mancur,
reservoir, mobil tangki air dan hidran. Idealnya sumber air penanggulangan
bahaya kebakaran menggunakan hydrant-hydrant kota (Trisna, 2003). Karena
apabila menggunakan sumber air alami harus memenuhi kondisi tertentu. Seperti
pada penggunaan air ketika musim kemarau harus dijamin mampu untuk
dimanfaatkan untuk kegiatan pemadaman serta harus dilengkapi dengan
34
peralatan penghisap air (drafting point) (Kementerian Pekerjaan Umum, 2009).
Kemudian mengenai pemenuhan penyediaan hidran berdasarkan Keputusan
Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No. 534/KPTS/M/2001 yaitu
penyediaan hidran kota pada setiap jarak 200 meter di tepi jalan.
Analisis Spasiotemporal
Spasiotemporal (Spatiotemporal) adalah data yang setiap objek datanya
berkaitan dengan objek lain dalam interaksi yang kompleks yang diambil dalam
bentuk waktu (masa lalu, sekarang, dan masa depan) yang dibuat dalam model
lingkungan (Hsu, 2007). Adapun, spasial itu sendiri merupakan sesuatu yang
dibatasi oleh ruang dan waktu serta dibatasi oleh komunikasi dan transportasi
(Achmadi, 2014). Hasil analisis data spasial sangat bergantung pada lokasi objek
yang bersangkutan (objek yang sedang dianalisis). Analisis spasial juga dapat
diartikan sebagai teknik‐teknik yang digunakan untuk meneliti dan
mengeksplorasi data dari perspektif keruangan (Kementrian Riset Dan
Teknologi, 2013). Analisis spasial adalah sekumpulan teknik yang dapat
digunakan dalam pengolahan data SIG (Sistem Informasi Geografis).
Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan perangkat untuk
mengumpulkan, menyimpan, menampilkan, dan menghubungkan data spasial
dari fenomena geografis untuk dianalisis dan hasilnya dikomunikasikan kepada
pengguna data sebagai dasar pengambilan keputusan (Achmadi, 2014). Sistem
tersebut dapat menyediakan visualisasi spasial (keruangan) berbagai variabel
35
seperti kualitas hidup masyarakat di suatu wilayah dengan peta berwarna
(Câmara dkk., 2002). Adapun kegunaan analisis spasial yaitu (Achmadi, 2014):
a. Untuk pemetaan kasus yang memberikan informasi geografis secara visual
dan memperlihatkan kecenderungan kasus.
b. Untuk melihat studi hubungan geografis yang bertujuan untuk melihat
korelasi suatu kejadian dengan variabel lingkungan, faktor demografi, dan
sosial ekonomi.
c. Sebagai pengelompokan kasus yang memungkinkan adanya faktor risiko di
suatu wilayah.
36
Kerangka Teori
Dalam penelitian ini penulis menggunakan Fire Ignition and Fire Loss
Model yang merupakan model yang dikembangkan oleh Charles Robert Jenning.
Berikut kerangka teori yang digambarkan:
Gambar 2.5 Kerangka Teori
37
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
Kerangka konsep
Variabel pada penelitian ini adalah kejadian kebakaran bangunan,
kelompok berpendapatan rendah, kepadatan penduduk, penduduk anak-anak,
dan penduduk lansia. Variabel keberadaan orang tua, umur bangunan, dan
kualitas bangunan tidak diteliti karena data tersebut belum tersedia. Sedangkan
suhu tidak diteliti karena data pengukuran suhu hanya dilakukan di 1 tempat yaitu
di stasiunnya untuk seluruh wilayah Jakarta Selatan. Sedangkan faktor perilaku
tidak diteliti karena penelitian ini menggunakan data sekunder. Adapun variabel
kerugian ekonomi, korban meninggal, dan korban luka tidak diteliti karena
penelitian ini tidak meneliti dampak dari kejadian kebakaran bangunan yang
terjadi. Berikut kerangka konsep pada penelitian ini:
Gambar 3.1 Kerangka Konsep
38
Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional
Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Kejadian
Kebakaran
Bangunan
Tingkat kejadian kebakaran bangunan
yang di Jakarta Selatan tahun 2013-
2015
Observasi
data
sekunder
Laporan kejadian
kebakaran di Jakarta
Selatan tahun 2013-
2015
1. Rendah (<2% di wilayah
setempat)
2. Sedang (2-5% di wilayah
setempat),
3. Tinggi (>5% di wilayah
setempat)
(Badan Nasional Penanggulangan
Bencana, 2012)
Ordinal
Kelompok
Berpendapatan
rendah
Tingkat persentase kelompok
berpendapatan rendah di Jakarta Selatan
tahun 2014
Observasi
data
sekunder
Data survey
kelompok
pendapatan rumah
tangga di Jakarta
tahun 2014
1. Rendah (≤26%)
2. Sedang (26-35%)
3. Tinggi (>35%)
(PPLS, 2011)
Ordinal
39
Tabel 3.1 Definisi Operasional (Lanjutan)
Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Kepadatan
penduduk
Tingkat kepadatan penduduk di dalam
suatu wilayah dibagi luas wilayah
berdasarkan batasan administrasi
kecamatan yang ada di Jakarta Selatan
tahun 2013-2015
Observasi
data
sekunder
Jakarta Selatan
dalam Angka 2014-
2016
1. Rendah (<150 jiwa/ha)
2. Sedang (150-200 jiwa/ha)
3. Tinggi (200-400 jiwa/ha)
4. Sangat tinggi (>400 jiwa/ha)
(Badan Standarisasi Nasional, 2004)
Ordinal
Penduduk anak-
anak
Tingkat persentase penduduk yang
belum berusia 19 (sembilan belas) tahun
berdasarkan batasan administrasi
kecamatan yang ada di Jakarta Selatan
tahun 2013-2015
Observasi
data
sekunder
Jakarta Selatan
dalam Angka 2014-
2016
1. Rendah (< 34,62%)
2. Tinggi (≥ 34,62%)
(WHO, 2011)
Ordinal
Penduduk lansia Tingkat persentase penduduk yang
berusia 60 tahun ke atas berdasarkan
batasan administrasi kecamatan yang
ada di Jakarta Selatan tahun 2013-2015
Observasi
data
sekunder
Jakarta Selatan
dalam Angka 2014-
2016
1. Rendah (< 8,235%)
2. Tinggi (≥ 8,235%)
(WHO, 2011)
Ordinal
40
BAB IV
METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan
kuantitatif. Desain penelitian ini adalah studi ekologi yaitu menggunakan data
dari seluruh populasi sebagai unit analisis. Unit analisis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah kecamatan. Keseluruhan jumlah kecamatan yaitu 10
kecamatan di wilayah Administratif Kota Jakarta Selatan dalam kurun waktu 3
tahun yaitu dimulai dari tahun 2013-2015.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Administratif Kota Jakarta Selatan
yang mencakup 10 kecamatan dan penelitian ini dilaksanakan dari bulan Oktober
sampai bulan Maret 2017.
Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua laporan kejadian kebakaran
bangunan di Jakarta Selatan yang terdiri dari 10 kecamatan pada tahun 2013-
2015.
Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
didapat dari institusi-institusi terkait. Untuk melihat sumber data dan institusi
pengumpul datanya dapat dilihat pada tabel 4.1.
41
Tabel 4.1 Variabel, sumber data dan instansi pengumpul data sekunder.
Variabel Sumber data Instansi
Kejadian Kebakaran
Bangunan
Laporan kejadian
kebakaran di Jakarta
Selatan tahun 2013-
2015
Dinas Penanggulangan
Kebakaran dan Penyelamatan
Provinsi DKI Jakarta
Kepadatan penduduk Jakarta Selatan dalam
Angka 2014-2016
Badan Pusat Statistik DKI Jakarta
Penduduk anak-anak Jakarta Selatan dalam
Angka 2014-2016
Badan Pusat Statistik DKI Jakarta
Penduduk lansia Jakarta Selatan dalam
Angka 2014-2016
Badan Pusat Statistik DKI Jakarta
Kelompok
pendapatan ekonomi
Survei kelompok
pendapatan rumah
tangga di Jakarta tahun
2014
Badan Pusat Statistik DKI Jakarta
Pengolahan Data
Pengolahan data melalui pengolahan data tabular dan data spasial dengan
SIG (Sistem Informasi Geografis). Data tabular adalah data deskriptif yang
menyatakan nilai dari data grafis yang diterangkan. Data ini biasanya berbentuk
tabel terdiri dari kolom dan baris. Pengolahan data tabular menggunakana
software pengolah data. Software yang digunakan dalam pengolahan data spasial
dalam penelitian ini yaitu QGIS v.2.8.1 yang merupakan software open source
untuk pengolahan data spasial. Untuk tahapan pengolahan data dapat dijelaskan
sebagai berikut:
42
4.5.1 Data tabular
1) Memasukan data atau entry data yaitu tahapan memasukan data ke dalam
software yang mendukung untuk pengolahan data tabular atau data deskriptif,
agar data lebih mudah dianalisis.
2) Memeriksa kembali data yang telah dimasukkan untuk menghindari kesalahan
selama memasukkan data dan memastikan tidak ada kesalahan pada data yang
telah dimasukkan.
3) Melakukan eliminasi data yang tidak perlu, seperti jumlah kasus, sumber,
nomor kolom, dan judul tabel.
4) Melakukan penyederhanaan judul kolom, misalkan ‘jumlah penduduk’ menjadi
‘jml_pddk’. Perlu diperhatikan bahwa terdapat beberapa aturan untuk
penamaan judul kolom seperti tidak melebihi 10 karakter, dimana strip ( - )
ataupun underscore ( _ ) terhitung sebagai 1 karaker, serta tidak menggunakan
simbol matematika.
5) Mengidentifikasi primary key yang sesuai pada data tabular tersebut. Tampilan
tabel yang telah disederhanakan dapat dilihat pada gambar 4.1.
Gambar 4.1 Tampilan tabel yang sudah di sederhanakan
43
6) Membuka file atribut quantum berekstensi *dbf dengan menggunakan software
pengolah data.
7) Memindahkan coding primary key pada file atribut quantum berekstensi *dbf
ke file kasus di Micorosft Excel. Perlu diketahui bahwa primary key (PK) yang
terdapat dalam file berekstensi *dbf memiliki ciri khusus yakni menggunakan
huruf kapital serta pengejaan yang sesuai. Cara pemindahan primary key dapat
dilihat pada gambar 4.2.
Gambar 4.2 Cara memindahkan coding primary key
8) Setelah dipindahkan, maka tampilan data tabular akan tampak pada gambar 4.3.
Gambar 4.3 Tampilan tabel setelah di normalisasi
44
9) Menambahkan kolom perhitungan berdasarkan klasifikasi dari definisi
operasional untuk memudahkan pengakategorian. Berikut contoh perhitungan
berdasarkan klasifikasi dari definisi operasional pada wilayah Kecamatan
Tebet:
a. Kejadian kebakaran bangunan
Pada variabel ini dilakukan perhitungan yang dilakukan untuk
mendapatkan data sesuai dengan hasil ukur pada definisi operasional. Data
yang digunakan yaitu jumlah kejadian kebakaran bangunan di kecamatan
dan jumlah kejadian kebakaran bangunan di Jakarta Selatan. Contohnya di
Kecamatan Tebet, jumlah kejadian kebakaran bangunan di Kecamatan
Tebet pada tahun 2014 yaitu sebanyak 16 kejadian dan jumlah kejadian
kebakaran bangunan di Jakarta Selatan pada tahun 2014 yaitu sebanyak
141 kejadian.
Persentase kejadian
kebakaran bangunan=
Kejadian kebakaran bangunan
di kecamatanKejadian kebakaran bangunan
di seluruh wilayah Jakarta Selatan
× 100%
=16
141× 100%
= 11 %
Jadi, persentase kejadian kebakaran bangunan di Kecamatan Tebet pada
tahun 2014 adalah 11 %. Persentase tersebut melebihi 5 %. Artinya,
kejadian kebakaran bangunan di Kecamatan Tebet pada tahun 2014
termasuk ke dalam kategori tinggi kejadiannya.
45
b. Kelompok berpendapatan rendah
Pada variabel ini dilakukan perhitungan yang dilakukan untuk
mendapatkan data sesuai dengan hasil ukur pada definisi operasional. Data
yang digunakan yaitu jumlah kelompok berpendapatan rendah di
kecamatan dan jumlah dari semua kelompok pendapatan di kecamatan
tersebut. Contohnya di Kecamatan Tebet, jumlah kelompok berpendapatan
rendah di Kecamatan Tebet pada tahun 2014 yaitu sebanyak 702 keluarga
dan jumlah dari semua kelompok pendapatan di Kecamatan Tebet pada
tahun 2014 yaitu sebanyak 549.499 keluarga.
Persentase kelompok
berpendapatan rendah =
Jumlah kelompok
berpendapatan rendah di kecamatanJumlah semua kategori kelompok
pendapatan di Jakarta Selatan
× 100%
=702
549.499× 100%
= 1,4 %
Jadi, persentase kelompok berpendapatan rendah di Kecamatan Tebet
pada tahun 2014 adalah 1,4 %. Persentase tersebut kurang dari 26%.
Artinya, kelompok beperndapatan rendah di Kecamatan Tebet pada tahun
2014 termasuk ke dalam kategori rendah.
c. Kepadatan penduduk
Pada variabel ini dilakukan perhitungan yang dilakukan untuk
mendapatkan data sesuai dengan hasil ukur pada definisi operasional. Data
yang digunakan yaitu jumlah penduduk di kecamatan dan luas wilayah
kecamatannya. Contohnya di Kecamatan Tebet, jumlah penduduk di
46
Kecamatan Tebet pada tahun 2014 yaitu sebanyak 229.767 penduduk dan
luas wilayah Jakarta Selatan pada tahun 2014 yaitu sebanyak 953 hektar.
Kepadatan penduduk =Jumlah penduduk di kecamatan (jiwa)
Luas wilayah kecamatan (ha)
=229.767
903
= 254,45 𝑗𝑖𝑤𝑎
ℎ𝑎⁄
Jadi, kepadatan penduduk di Kecamatan Tebet pada tahun 2014 adalah
254,45 jiwa/ha. Hasil tersebut berada pada rentang 200-400 jiwa/ha.
Artinya, kepadatan penduduk di Kecamatan Tebet pada tahun 2014
termasuk ke dalam kategori tinggi.
d. Penduduk anak-anak
Pada variabel ini dilakukan perhitungan yang dilakukan untuk
mendapatkan data sesuai dengan hasil ukur pada definisi operasional. Data
yang digunakan yaitu jumlah penduduk anak-anak di kecamatan dan
jumlah penduduk di kecamatannya. Contohnya di Kecamatan Tebet,
jumlah penduduk anak-anak di Kecamatan Tebet pada tahun 2014 yaitu
sebanyak 74.001 jiwa dan jumlah penduduk di Jakarta Selatan pada tahun
2014 yaitu sebanyak 229.767 jiwa.
Persentase penduduk
anak − anak=
Jumlah penduduk anak − anak di kecamatan
Jumlah seluruh pendudukdi kecamatan
× 100%
=74.001
229.767× 100%
= 32,2 %
47
Jadi, persentase penduduk anak-anak di Kecamatan Tebet pada tahun
2014 adalah 32,2 %. Persentase tersebut kurang dari 34,62 %. Artinya,
penduduk anak-anak di Kecamatan Tebet pada tahun 2014 termasuk ke
dalam kategori rendah.
e. Penduduk lansia
Pada variabel ini dilakukan perhitungan yang dilakukan untuk
mendapatkan data sesuai dengan hasil ukur pada definisi operasional. Data
yang digunakan yaitu jumlah penduduk lansia di kecamatan dan jumlah
penduduk di kecamatan. Contohnya di Kecamatan Tebet, jumlah penduduk
lansia di Kecamatan Tebet pada tahun 2014 yaitu sebanyak 18.790 jiwa
dan jumlah penduduk di Jakarta Selatan pada tahun 2014 yaitu sebanyak
229.767 jiwa.
Persentase
penduduk lansia =
Jumlah penduduk lansia di kecamatanJumlah penduduk
lansia di kecamatan
× 100%
=18.790
229.767× 100%
= 8,178 %
Jadi, persentase penduduk lansia di Kecamatan Tebet pada tahun 2014
adalah 8,18 %. Persentase tersebut kurang dari 8,235 %. Artinya, penduduk
lansia di Kecamatan Tebet pada tahun 2014 termasuk ke dalam kategori
rendah.
48
10) Melakukan penyimpanan terpisah dengan alur file kemudian Save As. Setelah
itu, pilih direktori tempat penyimpanannya dengan memberi nama file.
Kemudian, memilih file type dengan ekstensi *csv (comma delimeted). Ketika
menyimpan file, maka harus dipastikan bahwa tidak ada tulisan yang terpotong.
Data ini kemudian digabungkan dengan software yang mendukung untuk
pengolahan data spasial.
4.5.2 Data Spasial
1) Membuka shapefile yang akan dilakukan analisis dengan menggunakan
software Quantum GIS melalui tahapan: klik add vector layer, lalu klik browse
dan pilih shapefile yang akan dibuka. Pastikan memiliki ekstensi *shp Open.
Keterangan lokasi menunya dapat dilihat pada gambar 4.4.
Gambar 4.4 Cara membuka shapefile pada Quantum GIS
1. Add vector layer 2. Browse file
49
2) Tampilan layar kerja akan tampak seperti pada gambar 4.5.
Gambar 4.5 Tampilan layar kerja QGIS
3) Melakukan pemanggilan attribute dengan tahapan: pilih add delimeted text
layer. Setelah itu, browse dengan memilih file dengan ekstensi *csv yang tadi
sudah dibuat lalu menandai pilihan lainnya seperti tampak pada gambar.
Dengan demikian maka nama file tersebut akan muncul di kolom layer . lokasi
menunya dapat dilihat pada gambar 4.6.
Gambar 4.6 Cara mengaktifkan atribut baru
1. Delimeted vector text layer
2. Browse file
50
4) Melakukan join attribute dengan memilih shapefile lalu klik kanan dan memilih
properties, maka akan terbuka sub window dari properties seperti tampak pada
gambar 4.7.
Gambar 4.7 Menu properties.
5) Pada sub window ‘properties’, memilih ‘join’ yang terdapat di sisi kiri lalu
mengklik tanda tambah ( + ) yang berwarna hijau, maka akan muncul sub
window ‘add vector join’. Kemudian, memilih ‘kecamatan’ yang merupakan
PK dari data *csv untuk pilihan join field. Setelah itu, memlih variabel
‘kecamatan’ yang merupakan PK dari shapefile untuk pilihan target field lalu
mengklik OK.
Gambar 4.8 Window add vector layer
51
6) Setelah itu, maka tampilan pada sub window ‘join’ akan berubah, yakni ada
penambahan atribut pada join layer. Klik OK.
7) Lalu, klik kanan lagi pada shapefile dan memiilih properties. Setelah itu,
memilih ‘field’ dan mengklik OK. Tampilan menu field dapat dilihat pada
gambar 4.9.
Gambar 4.9 Menu field
8) Lalu, pilih shapefile dan klik kanan. Kemudian, memilih save as dan
direktorinya. Setelah itu, memberi nama shapefile yang telah join dengan
variabel dan menyimpannya dengan mengklik save. Maka tampilan peta pun
akan berubah warna
Gambar 4.10 Menyimpan layer.
52
9) Pada shapefile lama, klik kanan dan pilih remove.
10) Save Project dengan langkah: klik project, save, memilih direktori dan
memberi nama project lalu memilih save.
11) Lakukan tahapan visualisasi data dengan tahapan memilih menu properties
pada layer.
12) Kemudian pilih menu style dan data tabular yang akan di visualisasikan. Lokasi
menu dapat dilihat pada gambar 4.11.
Gambar 4.11 Menu style.
Style yang dipilih
Data tabular
Jumlah kelas
Pilihan warna
Nilai dan keterangan
53
13) Klik OK dan visualisasi data selesai. Tampilannya dapat dilihat pada gambar
4.12.
Gambar 4.12 Hasil visualisasi data
Analisis Data
4.6.1 Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi kejadian
kebakaran bangunan, faktor-faktornya, dan dampaknya. Sehingga diketahui
besar kejadian kebakaran bangunan yang terjadi dan faktor-faktornya serta besar
dampak kejadian.
54
4.6.2 Analisis Spasial
Distribusi secara spasiotemporal dalam penelitian ini hanya dipaparkan
dan diambil kesimpulan secara visualisasi (gambar peta). Sistem informasi
geografis yaitu dengan software QGIS dalam analisis ini digunakan sebagai alat
untuk membuat peta sebaran kejadian kebakaran bangunan berdasarkan
kepadatan penduduk, berpendapatan rendah, penduduk anak-anak, penduduk
lansia, korban meninggal, korban luka, dan kerugian material per kecamatannya
di Jakarta Selatan tahun 2013-2015.
55
BAB V
HASIL
Kota Administrasi Jakarta Selatan
Jakarta Selatan merupakan wilayah kota administrasi di bagian selatan
DKI Jakarta. Jakarta Selatan terdiri dari 10 Kecamatan dan pusat
pemerintahannya berada di Kebayoran Baru.
5.1.1 Letak Geografis
Jakarta Selatan terletak pada 060 15’ 40,8” Lintang Selatan dan 1060 45’
00.0” Bujur Timur. Batas Wilayah yang meliputi
a. Utara : Banjir Kanal, Jalan sudirman Kecamatan Tanah Abang (Jakarta
Pusat), Jalan Kebayoran Lama dan Kebon Jeruk (Jakarta Barat)
b. Timur : Kali Ciliwung (Jakarta Timur)
c. Barat : Kecamatan Ciputat (Tangerang Selatan) dan Ciledug (Kota
Tangerang), Provinsi Banten.
d. Selatan : Kotamadya Depok, Provinsi Jawa Barat.
5.1.2 Luas Wilayah
Jakarta Selatan merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata
26,2 meter di atas permukaan laut. Berdasarkan SK Gubernur 171 tahun 2007
luas wilayah Kota Administrasi Jakarta Selatan adalah 145,73 km2. Wilayah
Jakarta Selatan terbagi menjadi 10 kecamatan yang meliputi Kecamatan
Jagakarsa, Pasar Minggu, Cliandak, Pesanggrahan, Kebayoran Lama, Kebayoran
Baru, Mampang Prapatan, Pancoran, Tebet, dan Setiabudi yang luas daerahnya
masing-masing dapat dilihat pada gambar 5.1.
56
Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Administrasi Jakarta Selatan, 2016
Gambar 5.1 Wilayah Kota Administrasi Jakarta Selatan
Berdasarkan gambar 5.1 terlihat bahwa Kecamatan Jagakarsa mempunya
wilayah paling luas yaitu 24,87 km2 dan luas wilayah paling kecil adalah
Kecamatan Mampang Prapatan yaitu 7,73 km2.
57
5.1.3 Keadaan Iklim
Jakarta Selatan seperti daerah di Indonesia pada umumnya memiliki dua
musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Secara umum DKI Jakarta
Memiliki iklim panas/tropis dengan suhu rata-rata berkisar antara 27,70-30,30 C.
Kelembaban udara rata-rata berkisar 51%-98%.
5.1.4 Program-program pencegahan dan penanggulangan kebakaran
Dalam rangka pencegahan dan penanggulangan bencana di wilayah
Jakarta Selatan, pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan melalui program-
programnya. Kebijakan pencegahan dan penanggulangan kebakaran di wilayah
ini terdiri dari 5 fokus, yaitu pencegahan bencana kebakaran, mitigasi bencana
kebakaran, kesiapsiagaan bencana kebakaran, penanganan darurat, dan
pemulihan paska bencana kebakaran. Dalam fokus-fokus kebijakan tersebut,
terdapat beberapa program-program yang dapat dikaitkan dengan variabel pada
penelitian ini yang dapat dilihat pada tabel 5.1.
Tabel 5.1 Program-program Pencegahan Dan Penanggulangan Kebakaran
Tahun 2013-2017
Variabel Program
Kelompok
berpendapatan
rendah
Pemberian subsidi untuk instalasi listrik yang lebih
aman bagi penduduk miskin di kawasan padat
penduduk
Terbukanya akses terhadap kredit ringan untuk
pembangunan rumah permanen bagi pemilik rumah non-
permanen
58
Tabel 5.1 Program-program Pencegahan Dan Penanggulangan Kebakaran
Tahun 2013-2017 (Lanjutan)
Variabel Program
Kepadatan
Penduduk
Sosialisasi penggunaan alat elektronik yang standar dan
aman dan memperbaiki kebiasaan penggunaan alat
elektronik yang berpotensi menimbulkan kebakaran
Penataan bangunan
Terpantaunya berkala instalasi listrik di pemukiman
padat penduduk
Pemantauan berkala instalasi listrik di perumahan dan
fasilitas umum.
Sosialisasi informasi mengenai pencegahan dan
penanggulangan kebakaran
Pembentukan dan penguatan kapasitas tim relawan
kebakaran (tim siaga bencana) kelurahan
Pengadaan sarana pendukung untuk tim relawan kebakaran
kelurahan
Rekrutmen personil
Penambahan jumlah dan pemeliharaan perangkat
pendukung pemadaman
Penduduk anak-
anak
Pengembangan Sistem Pendidikan pencegahan kebakaran
pada usia dini (Sidik Api)
Pengadaan kebutuhan untuk kelompok khusus (anak-anak,
manula, Ibu hamil, diffabel)
Penduduk lansia Pengadaan kebutuhan untuk kelompok khusus (anak-anak,
manula, Ibu hamil, diffabel)
Sumber: BPBD DKI Jakarta, 2013
59
5.1.5 Pos pemadam kebakaran dan sarana prasaranan kebakaran
Keberadaan hidran di Jakarta Selatan sebanyak 247 buah, yang terdiri
dari 76 buah dalam kondisi baik, 95 buah kondisi rusak sedang, 65 buah kondisi
rusak berat, dan 11 buah kondisinya sudah hilang. Kemudian, di Jakarta Selatan
juga telah terdapat 22 pos pemadam kebakaran dan kantor pemadam pada tahun
2015. Personel untuk operasi pemadam kebakaran di wilayah Jakarta Selatan
terdapat 473 orang. Untuk melihat alamat dari pos pemadam dan kantor
pemadam dapat dilihat pada tabel 5.2.
Tabel 5.2 Pos Pemadam Dan Kantor Pemadam Kebakaran Berdasarkan
Kecamatan Tahun 2015
Kecamatan Alamat
Tebet Jl. Prof. Dr. Supomo, S.H., Tebet.
Setiabudi Jl. Pendawa, Casablanca, Menteng Atas, Setiabudi.
Jl. Garnisun Dalam Kav. 2-3 (RS. Siloam), Karet
Semanggi, Setiabudi.
Pancoran Jl. Taman Makam Pahlawan, Rajawati, Pancoran.
Mampang Prapatan Jl. Kapten Tendean, Kuningan Barat, Mampang
Prapatan.
Kebayoran Lama Jl. Raya Pasar Jum’at, Pondok Pinang, Kebayoran Lama.
Jl. Ciputat Raya, Kebayoran Lama Utara, Kebayoran
Lama.
Jl. Kebayoran Lama, Grogol Utara, Kebayoran Lama.
Jl. Ciledug Raya, Cipulir, Kebayoran Lama.
Kebayoran Baru Jl. Radio II Keramata Pela, Kramat Pela, Kebayoran
Baru.
Jl. Prapanca Raya, Petagon, Kebayoran Baru.
Jl. Trunojoyo No. 3, Selong, Kebayoran Baru
Pesanggrahan Jl. Saidi, Pesanggrahan.
60
Tabel 5.2 Pos Pemadam Dan Kantor Pemadam Kebakaran Berdasarkan
Kecamatan Tahun 2015 (Lanjutan)
Kecamatan Alamat
Cilandak Jl. Melati Raya, Cipete Selatan, Cilandak.
Jl. RS. Fatmawati, Cilandak Barat, Cilandak
Jl. R.A. Kartini No. 8, Cilandak.
Pasar Minggu Jl. Salihara, Jatipadang, Pasar Minggu.
Jl. Lenteng Agung, Pasar Minggu.
Jl. Pejaten Raya, Pejaten Barat, Pasar Minggu
Jagakarsa Jl. M. Kahfi 1, Jagakarsa.
Jl. Raya Srengseng Sawah, Srengseng Sawah, Jagakarsa.
Jl. Brigif Raya, Ciganjur Jagakarsa
Sumber: Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan Provinsi DKI Jakarta, 2015
Distribusi Kejadian Kebakaran Bangunan
Jakarta Selatan terdiri dari 10 wilayah kecamatan. Setiap kejadian
kebakaran yang terjadi di wilayah Jakarta Selatan dapat dilaporkan dengan
menghubungi pos pemadam kebakaran, kantor sektor pemadam terdekat, atau
menghubungi command center melalui nomor yang tersedia. Semua laporan
yang masuk dilaporkan ke command center dan validasi oleh pos atau petugas
yang bertanggung jawab di wilayah tempat kejadian kebakaran bangunan atau
pos terdekat dengan lokasi kejadian kebakaran bangunan. Kemudian, menurut
Badan Nasional Penanggulangan Bencana frekuensi kejadian kebakaran
bangunan yang terjadi di suatu wilayah terdiri dari 3 kategori, yaitu rendah
(kurang dari 2%), sedang (2-5%), dan tinggi (lebih dari 5%). Untuk mengetahui
distribusi kejadian kebakaran bangunan yang terjadi di Jakarta Selatan selama
tahun 2013-2015 dapat dilihat pada tabel 5.3.
61
Tabel 5.3 Distribusi Kejadian Kebakaran Bangunan Di Jakarta Selatan
Tahun 2013-2015
No Kecamatan
Kejadian Kebakaran Bangunan
2013 2014 2015
Jumlah % Jumlah % Jumlah %
1 Tebet 21 16 % 16 11 % 23 14 %
2 Setiabudi 8 6 % 10 7 % 18 12 %
3 Pancoran 11 8 % 5 4 % 6 4 %
4 Mampang Prapatan 7 5 % 10 7 % 8 5 %
5 Kebayoran Lama 15 11 % 20 14 % 18 12 %
6 Kebayoran Baru 17 13 % 17 12 % 21 13 %
7 Pesanggrahan 14 10 % 17 12 % 10 6 %
8 Cilandak 14 10 % 14 10 % 28 18 %
9 Pasar Minggu 12 9 % 15 11 % 13 8 %
10 Jagakarsa 16 12 % 17 12 % 12 8 % Sumber: Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana, 2013-2015
Berdasarkan tabel 5.3 dapat diketahui bahwa jumlah kejadian kebakaran
bangunan selama tahun 2013-2015 cenderung mengalami fluktuasi pada 7 dari
10 kecamatan (Tebet, Pancoran, Mampang Prapatan, Kebayoran Lama,
Pesanggrahan, Pasar Minggu, dan Jagakarsa). Sedangkan, 3 dari 10 kecamatan
(Setiabudi, Kebayoran Baru, dan Cilandak) di Jakarta Selatan kejadian
kebakaran bangunan cenderung meningkat selama tahun 2013-2015. Pada tahun
2013, jumlah kejadian kebakaran bangunan yang paling tinggi terjadi di
Kecamatan Tebet dan paling rendah terjadi di Kecamatan Mampang Prapatan.
Sedangkan, pada tahun 2014 jumlah kejadian kebakaran bangunan yang paling
tinggi terjadi di Kecamatan Kebayoran Lama dan paling rendah terjadi di
Kecamatan Pancoran. Pada tahun 2015 jumlah kejadian kebakaran bangunan
yang paling tinggi terjadi di Kecamatan Cilandak dan paling rendah terjadi di
Kecamatan Pancoran. Distribusi perkembangan jumlah kerugian ekonomi di
Jakarta Selatan selama tahun 2013-2015 pada tabel 5.4.
62
Tabel 5.4 Distribusi Kerugian Ekonomi (Dalam Juta Rupiah) Di Jakarta Selatan
Tahun 2013-2015
No Kecamatan 2013 2014 2015
1 Tebet 2.276,3 4.831,0 6961,1
2 Setiabudi 3.231,0 4.772,5 10.639,0
3 Pancoran 4.430,0 525,0 2.124,5
4 Mampang Prapatan 900,5 4.435,0 2.460,0
5 Kebayoran Lama 7.469,0 7.266,6 14.063,5
6 Kebayoran Baru 4.592,0 7.040,5 18.210,0
7 Pesanggrahan 2.646,2 5.920,0 2.715,5
8 Cilandak 3.083,0 7.236,0 14.561,0
9 Pasar Minggu 4.958,0 6.478,0 9.556,0
10 Jagakarsa 1.999,0 4.780,0 2.538,0 Sumber: Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana, 2013-2015
Berdasarkan tabel 5.4 dapat diketahui bahwa kerugian ekonomi selama
tahun 2013-2015 cenderung meningkat di 6 dari 10 kecamatan (Tebet, Pancoran,
Kebayoran Baru, Cilandak, dan Pasar Minggu). Sedangkan, wilayah dengan
kerugian ekonomi yang mengalami kecenderungan fluktuatif selama tahun 2013-
2015 terdapat 4 dari 10 kecamatan (Pancoran, Mampang Prapatan, Kebayoran
Lama, dan Jagakarsa). Selama tahun 2013-2014 kecamatan dengan kerugian
ekonomi yang paling tinggi terjadi di Kecamatan Kebayoran Lama dan pada
tahun 2015 di Kecamatan Kebayoran Baru. Sedangkan, untuk kecamatan dengan
kerugian ekonomi paling rendah pada tahun 2013 di kecamatan Mampang
Prapatan dan pada tahun 2014-2015 di Kecamatan Pancoran. Distribusi
perkembangan korban luka dan meninggal di Jakarta Selatan selama tahun 2013-
2014 pada tabel 5.5.
63
Tabel 5.5 Distribusi Korban Luka Di Jakarta Selatan Tahun 2013-2015
No Kecamatan 2013 2014 2015
Luka Meninggal Luka Meninggal Luka Meninggal
1 Tebet 2 0 2 0 1 3
2 Setiabudi 6 0 0 0 7 1
3 Pancoran 1 5 0 0 2 0
4 Mampang
Prapatan
0 0 0 0 2 0
5 Kebayoran
Lama
0 0 2 1 0 0
6 Kebayoran
Baru
1 0 0 0 1 0
7 Pesanggrahan 2 0 0 0 0 0
8 Cilandak 0 0 0 1 2 0
9 Pasar Minggu 0 0 0 0 0 1
10 Jagakarsa 0 0 0 0 1 0 Sumber: Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana, 2013-2015
Berdasarkan tabel 5.5 dapat diketahui bahwa korban luka selama 2013-
2015 cenderung fluktuatif di 4 dari 10 kecamatan (Setiabudi, Pancoran,
Kebayoran Lama, dan Kebayoran Baru). 3 dari 10 kecamatan (Mampang
Prapatan, Cilandak, dan Jagakarsa) cenderung meningkat jumlah korban lukanya
selama tahun 2013-2015. Sedangkan, 1 dari 10 kecamatan (Tebet) cenderung
menurun jumlah korban lukanya selama tahun 2013-2015. Pada tahun 2013
jumlah korban tertinggi terdapat di Kecamatan Setiabudi sebanyak 6 orang. Pada
tahun 2014 jumlah korban tertinggi terdapat di Kecamatan Tebet dan Kecamatan
Kebayoran Lama sebanyak 2 orang. Kemudian, pada tahun 2015 jumlah korban
tertinggi terdapat di Kecamatan Setiabudi sebanyak 7 orang.
Berdasarkan tabel 5.5 dapat diketahui juga bahwa terdapat 3 dari 10
kecamatan (Tebet, Setiabudi, dan Pasar Minggu) cenderung meningkat jumlah
korban meninggalnya selama tahun 2013-2015. Sedangkan, 1 dari 10 kecamatan
64
(Pancoran) cenderung menurun jumlah korban meninggalnya selama tahun
2013-2015. 2 dari 10 kecamatan (Cilandak dan Pasar Minggu) mengalami
kecenderungan fluktuatif jumlah korban meninggalnya selama tahun 2013-2015.
Pada tahun 2013 korban meninggal terbanyak sebanyak 5 orang (Kecamatan
Pancoran). Pada tahun 2014 korban meninggal terbanyak sebanyak 1 orang
(Kecamatan Kebayoran Lama dan Kecamatan Cilandak). Pada tahun 2015
korban meninggal terbanyak sebanyak 3 orang (Kecamatan Tebet).Distribusi
penyebab kejadian kebakaran bangunan di Jakarta Selatan selama tahun 2013-
2015 dapat dilihat pada tabel 5.6.
Tabel 5.6 Distribusi Penyebab Kejadian Kebakaran Bangunan Di Jakarta
Selatan Tahun 2013-2014
No Penyebab Kejadian 2013 2014 2015
Jumlah % Jumlah % Jumlah %
1 Kebocoran gas di
rangkaian kompor 12 8,9% 8 5,7% 20 12,7%
2 Lupa mematikan
kompor 2 1,5% 0 0,0% 1 0,6%
3 Kompor meledak 1 0,7% 10 7,1% 3 1,9%
4 Korsleting listrik 100 74,1% 107 75,9% 112 71,3%
5 Puntung Rokok 6 4,4% 1 0,7% 4 2,5%
6 Api tabunan 4 3,0% 4 2,8% 8 5,1%
7 Dibakar dengan
sengaja 2 1,5% 1 0,7% 2 1,3%
8 Korek Api 3 2,2% 1 0,7% 1 0,6%
9 Lilin 2 1,5% 3 2,1% 3 1,9%
10 Percikan api 2 1,5% 4 2,8% 0 0,0%
11 Sambaran petir 1 0,7% 0 0,0% 1 0,6%
12 Penyalaan Kembali 0 0,0% 1 0,7% 1 0,6%
13 Petasan 0 0,0% 1 0,7% 1 0,6% Sumber: Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana, 2013-2015
Berdasarkan tabel 5.6 dapat diketahui bahwa penyebab kejadian
kebakaran tertinggi selama 3 tahun berturut-turut adalah korsleting listrik.
65
Kemudian, untuk melihat distribusi spasiotemporal kejadian kebakaran
bangunan di Jakarta Selatan tahun 2013-2015 dapat dilihat melalui gambar 5.2.
Sumber: Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana, 2013-2015
Gambar 5.2 Distribusi Spasiotemporal Kejadian Kebakaran Bangunan Di
Jakarta Selatan Tahun 2013-2015
66
Berdasarkan pada gambar 5.2 maka secara spasial terlihat bahwa
frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi hampir terjadi di semua
kecamatan. Sedangkan secara temporal, kecamatan dengan frekuensi kejadian
kebakaran bangunan yang tinggi berkurang dari tahun 2013-2015.
Pada tahun 2013, diketahui bahwa terdapat 9 dari 10 kecamatan dengan
frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang termasuk ke dalam kategori tinggi
dan hanya terdapat 1 dari 10 kecamatan dengan frekuensi kejadian kebakaran
bangunan yang sedang. Kecamatan dengan frekuensi kejadian kebakaran
bangunan yang tinggi adalah Kecamatan Tebet, Setiabudi, Pancoran, Kebayoran
Lama, Kebayoran Baru, Pesanggrahan, Cilandak, Pasar Minggu, dan Jagakarsa.
Sedangkan, Kecamatan dengan frekuensi kejadian kebakaran yang sedang
adalah Kecamatan Mampang Prapatan.
Tahun 2014 terdapat 9 dari 10 kecamatan dengan frekuensi kejadian
kebakaran bangunan yang termasuk ke dalam kategori tinggi dan hanya terdapat
1 dari 10 kecamatan dengan frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang
sedang. Namun, Pada tahun ini terdapat perbedaan daripada tahun sebelumnya
yaitu kecamatan dengan frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang sedang
adalah Kecamatan Pancoran. Sedangkan, Kecamatan dengan frekuensi kejadian
kebakaran bangunan yang tinggi adalah Kecamatan Tebet, Setiabudi, Mampang
Prapatan, Kebayoran Lama, Kebayoran Baru, Pesanggrahan, Cilandak, Pasar
Minggu, dan Jagakarsa.
67
Pada tahun 2015 terdapat 8 dari 10 kecamatan dengan frekuensi kejadian
kebakaran bangunan yang termasuk ke dalam kategori tinggi dan hanya terdapat
dua dari 10 kecamatan dengan frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang
sedang. Artinya, terdapat penurunan jumlah kecamatan dengan frekuensi
kejadian kebakaran bangunan yang tinggi daripada dua tahun sebelumnya. Pada
tahun ini kecamatan yang dikategorikan frekuensi kebakaran bangunannya
sedang yaitu Kecamatan Pancoran dan Kecamatan Mampang Prapatan.
Sedangkan, Kecamatan Tebet, Setiabudi, Kebayoran Lama, Kebayoran Baru,
Pesanggrahan, Cilandak, Pasar Minggu, dan Jagakarsa stabil menjadi wilayah
dengan frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi.
Distribusi Kejadian Kebakaran Bangunan Berdasarkan Kelompok
Berpendapatan Rendah.
Kelompok berpendapatan rendah merupakan kelompok yang dapat
meningkatkan frekuensi kejadian kebakaran bangunan di suatu wilayah. Adapun
kelompok berpendapatan rendah merupakan kelompok yang pendapatan rata-
rata 1.500.000,00 per bulan. Berdasarkan standar dari PPLS (Pendataan Program
Perlindungan Sosial) kelompok berpendapatan rendah di wilayah Jakarta Selatan
dikategorikan menjadi 3 kategori yaitu Rendah (≤26% dari total kelompok
seluruh kategori pendapatan), Sedang (26-35% dari total kelompok seluruh
kategori pendapatan), dan Tinggi (>35% dari total kelompok seluruh kategori
pendapatan). Kemudian, berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilaksanakan,
diperoleh informasi jumlah kelompok berpendapatan rendah di Jakarta Selatan.
68
Untuk mengetahui distribusi kelompok berpendapatan rendah di Jakarta Selatan
tahun 2014 dapat dilihat pada tabel 5.8.
Tabel 5.7 Distribusi Kelompok Berpendapatan Rendah Di Jakarta Selatan
Tahun 2014
No Kecamatan Jumlah (keluarga) %
1 Tebet 702 1,4%
2 Setiabudi 2.047 4,6%
3 Pancoran 508 1,3%
4 Mampang Prapatan 7.481 19,6%
5 Kebayoran Lama 2.748 3,6%
6 Kebayoran Baru 2.296 6,0%
7 Pesanggrahan 1.375 2,5%
8 Cilandak 653 1,3%
9 Pasar Minggu 3.343 4,5%
10 Jagakarsa 3.240 3,8% Sumber: Badan Pusat Statistik DKI Jakarta, 2014
Pada tabel 5.8 dapat terlihat bahwa kecamatan dengan persentase
kelompok berpendapatan rendah paling rendah yaitu di Kecamatan Pancoran dan
Cilandak. Sedangkan, Kecamatan dengan persentase kelompok berpendapatan
rendah paling banyak yaitu di wilayah Mampang Prapatan. Setelah itu, untuk
melihat distribusi spasial kejadian kebakaran bangunan dengan kelompok
berpendapatan rendah di Jakarta Selatan tahun 2013-2015 dapat dilihat melalui
gambar 5.3.
69
Sumber: Badan Pusat Statistik DKI Jakarta, 2014
Gambar 5.3 Distribusi Spasial Kejadian Kebakaran Bangunan berdasarkan
Kelompok Berpendapatan Rendah Di Jakarta Selatan Tahun 2014
Pada gambar 5.3 menunjukkan terdapat 9 dari 10 kecamatan dengan
frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi dan kelompok
berpendapatan rendah yang rendah yaitu Kecamatan Tebet, Setiabudi, Mampang
Prapatan, Kebayoran Lama, Kebayoran Baru, Pesanggrahan, Cilandak, Pasar
Minggu, dan Jagakarsa.
Distribusi Kejadian Kebakaran Bangunan Berdasarkan Kepadatan
Penduduk
Kepadatan penduduk merupakan jumlah dari penduduk berbanding
dengan luas wilayah yang ada atau dapat dibatasi juga sesuai dengan luas wilayah
administrasi yang telah ditentukan. Berdasarkan Badan Standarisasi Nasional,
kategori tingkat kepadatan penduduk yaitu rendah (<150 jiwa/ha), sedang (151 –
200 jiwa/ha), tinggi (200 – 400 jiwa/ha), dan sangat padat (>400 jiwa/ha).
Kemudian berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilaksanakan, maka diperoleh
70
informasi perkembangan kepadatan penduduk di Jakarta Selatan. Pada tabel 5.8
dapat dilihat distribusi Kecamatan di Jakarta Selatan selama tahun 2013-2015.
Tabel 5.8 Distribusi Kepadatan Penduduk (jiwa/ha) Di Jakarta Selatan
Tahun 2013-2015
No Kecamatan 2013 2014 2015
1 Tebet 255,76 254,45 235,28
2 Setiabudi 127,16 125,89 155,84
3 Pancoran 180,33 179,83 177,91
4 Mampang Prapatan 191,06 190,91 189,26
5 Kebayoran Lama 176,66 177,97 183,35
6 Kebayoran Baru 114,19 114,73 111,78
7 Pesanggrahan 174,77 177,67 173,53
8 Cilandak 109,78 111,57 109,86
9 Pasar Minggu 135,96 135,91 140,00
10 Jagakarsa 118,32 119,70 144,69 Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Administrasi Jakarta Selatan, 2014-2016
Berdasarkan tabel 5.8 dapat diketahui bahwa kepadatan penduduk selama
tahun 2013-2015 cenderung mengalami fluktuasi kepadatan penduduk pada 5
dari 10 kecamatan (Setiabudi, Kebayoran Baru, Pesanggrahan, Cilandak, dan
Pasar Minggu). Kepadatan penduduk selama tahun 2013-2015 cenderung
mengalami penurunan pada 3 dari 10 kecamatan (Tebet, Kebayoran Lama, dan
Jagakarsa). Sedangkan, dua dari 10 kecamatan (Kebayoran Lama dan Jagakarsa)
cenderung mengalami peningkatan kepadatan penduduk selama tahun 2013-
2015. Selama tahun 2013-2015 kepadatan penduduk yang paling tinggi terjadi di
Kecamatan Tebet selama 3 tahun berturut-turut dan paling rendah di Kecamatan
Cilandak selama 3 tahun berturut-turut. Kemudian untuk melihat distribusi
spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan dengan kepadatan penduduk di
Jakarta Selatan tahun 2013-2015 dapat dilihat melalui gambar 5.4.
71
Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Administrasi Jakarta Selatan, 2014-2016
Gambar 5.4 Distribusi Spasiotemporal Kejadian Kebakaran Bangunan Dengan
Kepadatan Penduduk Di Jakarta Selatan Tahun 2013-2015
72
Berdasarkan pada gambar 5.4 secara spasial terlihat bahwa frekuensi
kejadian kebakaran bangunan yang tinggi terjadi pada kategori kepadatan
penduduk rendah hingga tinggi di kecamatan-kecamatan Jakarta Selatan.
Kemudian, secara temporal selama tahun 2013-2015 kecamatan yang termasuk
ke dalam kategori kepadatan penduduk tinggi tidak bertambah.
Pada tahun 2013 terdapat 1 dari 10 kecamatan dengan frekuensi kejadian
kebakaran bangunan yang tinggi dan kepadatan penduduk yang tinggi.
Kemudian, 3 dari 10 dengan frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi
dan kepadatan penduduk yang sedang. Selain itu, terdapat 5 dari 10 kecamatan
dengan frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi dan kepadatan
penduduk yang rendah. Kecamatan dengan frekuensi kejadian kebakaran
bangunan yang tinggi dan kepadatan penduduk yang tinggi yaitu Kecamatan
Tebet.
Pada tahun 2014, masih terdapat 1 dari 10 kecamatan dengan frekuensi
kejadian kebakaran bangunan yang tinggi dan kepadatan penduduk yang tinggi.
Kemudian, 3 dari 10 dengan frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi
dan kepadatan penduduk yang sedang. Selain itu, terdapat 5 dari 10 dengan
frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi dan kepadatan penduduk
yang rendah. Akan tetapi, pada tahun ini terdapat perbedaan dari tahun 2013
yaitu kecamatan dengan frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang sedang
dan kepadatan penduduk yang sedang adalah Kecamatan Pancoran. Sedangkan,
73
kecamatan dengan frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi dan
kepadatan penduduk yang tinggi adalah Kecamatan Tebet.
Pada tahun 2015, masih terdapat 1 dari 10 kecamatan dengan frekuensi
kejadian kebakaran bangunan yang tinggi dan kepadatan penduduk yang tinggi.
Kemudian, 3 dari 10 dengan frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi
dan kepadatan penduduk yang sedang. Selain itu, pada tahun ini terdapat 4 dari
10 dengan frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi dan kepadatan
penduduk yang rendah. Pada tahun ini terjadi perubahan yang disebabkan karena
meningkatnya kepadatan penduduk sehingga menjadikan Kecamatan Setiabudi
menjadi kecamatan frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi dan
kepadatan penduduk yang sedang. Kemudian, karena menurunnya kejadian
kebakaran bangunan di Kecamatan Mampang Prapatan, maka kecamatan dengan
frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang sedang dan kepadatan penduduk
yang sedang menjadi 2 dari 10 kecamatan yaitu Kecamatan Mampang Prapatan
dan Pancoran. Sedangkan, kecamatan dengan frekuensi kejadian kebakaran
bangunan yang tinggi dan kepadatan penduduk yang tinggi yaitu Kecamatan
Tebet.
Distribusi Kejadian Kebakaran Bangunan Berdasarkan Penduduk Anak-
anak
Penduduk anak-anak adalah penduduk yang berusia di bawah 19 tahun
atau lebih muda. Cut off point untuk mengategorikan variabel penduduk anak-
anak agar dapat didistribusikan secara spasiotemporal dalam penelitian ini adalah
standar dari WHO. Berdasarkan standar tersebut penduduk anak-anak di wilayah
74
Jakarta Selatan dapat dikategorikan menjadi 2 kategori yaitu Rendah (≤34,62%
dari total populasi) dan Tinggi (>34,62% dari total populasi). Sebelum
ditampilkan dalam distribusi spasiotemporal dapat dilihat pada tabel 5.9
distribusi penduduk anak-anak di Jakarta Selatan selama tahun 2013-2015.
Tabel 5.9 Distribusi Penduduk Anak-Anak Di Jakarta Selatan
Tahun 2013-2015
No Kecamatan
Penduduk Anak-anak
2013 2014 2015
Jumlah % Jumlah % Jumlah %
1 Tebet 73.440 31,80% 74.001 32,21% 66.371 31,24%
2 Setiabudi 35.673 31,70% 35.535 31,90% 36.955 26,80%
3 Pancoran 50.553 32,48% 50.997 32,86% 48.505 31,59%
4 Mampang Prapatan 48.865 33,09% 49.153 33,31% 45.424 31,05%
5 Kebayoran Lama 95.379 32,29% 97.642 32,81% 95.161 31,04%
6 Kebayoran Baru 45.792 31,01% 46.656 28,28% 41.234 28,53%
7 Pesanggrahan 89.988 33,03% 77.131 34,02% 73.698 33,28%
8 Cilandak 64.061 32,13% 66.272 32,71% 62.160 31,16%
9 Pasar Minggu 98.260 33,32% 87.923 33,48% 97.592 32,14%
10 Jagakarsa 102.684 34,89% 104.483 35,10% 126.768 35,23% Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Administrasi Jakarta Selatan, 2014-2016
Berdasarkan tabel 5.9 dapat diketahui bahwa distribusi jumlah penduduk
anak-anak selama tahun 2013-2015 cenderung fluktuatif di 8 dari 10 kecamatan
(Tebet, Setiabudi, Pancoran, Mampang Prapatan, Kebayoran Lama, Kebayoran
Baru, Cilandak, dan Pasar Minggu). Wilayah dengan jumlah penduduk anak-
anak yang mengalami peningkatan selama tahun 2013-2015 terdapat di 1 dari 10
kecamatan (Jagakarsa). Sedangkan, wilayah dengan jumlah penduduk anak-anak
yang mengalami penurunan selama tahun 2013-2015 hanya terdapat di 1 dari 10
kecamatan (Pesanggrahan) juga. Selama tahun 2013-2015 kepadatan penduduk
yang paling tinggi terjadi di Kecamatan Jagakarsa dan paling rendah di
Kecamatan Setiabudi. Kemudian, untuk melihat distribusi spasial kejadian
75
kebakaran bangunan dengan penduduk anak-anak di Jakarta Selatan tahun 2013-
2015 dapat dilihat melalui gambar 5.5.
Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Administrasi Jakarta Selatan, 2014-2016
Gambar 5.5 Distribusi Spasiotemporal Kejadian Kebakaran Bangunan Dengan
Penduduk Anak-anak Di Jakarta Selatan Tahun 2013-2015
76
Berdasarkan gambar 5.5 secara spasial terlihat bahwa frekuensi kejadian
kebakaran bangunan yang tinggi terjadi pada semua kategori penduduk anak-
anak di kecamatan-kecamatan di Jakarta Selatan. Kemudian, secara temporal
selama tahun 2013-2015 tidak terdapat peningkatan atau penurunan jumlah
kecamatan yang masuk ke dalam kategori penduduk anak-anak yang tinggi
selama 3 tahun.
Pada tahun 2013, diketahui bahwa hanya terdapat 1 dari 10 kecamatan
dengan frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi dan jumlah anak-
anak yang tinggi yaitu Kecamatan Jagakarsa. Kemudian, terdapat 8 dari 10
kecamatan dengan frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi dan
jumlah anak-anak yang rendah. Selain itu, terdapat 1 dari 10 kecamatan dengan
frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang rendah dan jumlah anak-anak yang
rendah.
Pada tahun 2014, tidak terjadi perubahan pada jumlah kecamatan dengan
kategori penduduk anak-anak yang tinggi atau kategori penduduk anak-anak
yang rendah. Akan tetapi, terdapat perubahan wilayah kecamatan dengan
frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang sedang dan penduduk anak-anak
yang rendah sebanyak 1 dari 10 kecamatan sehingga kecamatan yang menjadi
kategori tersebut pada tahun 2014 adalah Kecamatan Pancoran. Sedangkan,
kecamatan dengan frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi dan
jumlah anak-anak yang tinggi terdapat sebanyak 1 dari 10 kecamatan yaitu masih
di Kecamatan Jagakarsa. Selain itu juga masih terdapat 8 dari 10 kecamatan
77
dengan frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi dan penduduk anak-
anak yang rendah pada tahun 2014.
Pada tahun 2015 juga tidak terjadi perubahan pada jumlah kecamatan
dengan kategori penduduk anak-anak yang tinggi atau kategori penduduk anak-
anak yang rendah. Akan tetapi, terdapat perubahan wilayah kecamatan dengan
frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang sedang dan jumlah anak-anak yang
rendah sebanyak 2 dari 10 kecamatan sehingga kecamatan yang termasuk ke
dalam kategori ini pada tahun 2015 adalah Kecamatan Pancoran dan Mampang
Prapatan. Kemudian, terdapat penurunan jumlah kecamatan dengan kategori
frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi dan jumlah anak-anak yang
rendah sehingga jumlahnya menjadi 7 kecamatan. Sedangkan, kecamatan dengan
frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi dan jumlah anak-anak yang
tinggi masih terdapat sebanyak 1 dari 10 kecamatan yaitu masih di Kecamatan
Jagakarsa.
Distribusi Kejadian Kebakaran Bangunan Berdasarkan Penduduk Lansia
Proporsi penduduk lanjut usia (lansia) yang semakin besar membutuhkan
perhatian dan perlakuan khusus. Penduduk usia tua yaitu penduduk yang berusia
di atas 65 tahun. Cut off point untuk variabel penduduk lansia adalah standar dari
WHO Berdasarkan standar tersebut penduduk lansia di wilayah Jakarta Selatan
dikategorikan menjadi 2 kategori yaitu Rendah (≤8,23% dari total populasi) dan
Tinggi (>8,23% dari total populasi). Sebelum ditampilkan dalam distribusi
spasiotemporal dapat dilihat perkembangan jumlah penduduk lansia di Jakarta
78
Selatan selama tahun 2013-2015 pada tabel 5.10 distribusi penduduk lansia di
Jakarta Selatan tahun 2013-2015.
Tabel 5.10 Distribusi Penduduk Lansia Di Jakarta Selatan Tahun 2013-2015
No Kecamatan
Penduduk Lansia
2013 2014 2015
Jumlah % Jumlah % Jumlah %
1 Tebet 18.327 7,935% 18.790 8,178% 16.834 7,923%
2 Setiabudi 8.174 7,263% 8.382 7,524% 10.275 7,450%
3 Pancoran 10.479 6,733% 10.778 6,945% 9.919 6,461%
4 Mampang Prapatan 8.561 5,797% 8.938 6,057% 8.673 5,928%
5 Kebayoran Lama 20.239 6,852% 21.367 7,181% 20.868 6,807%
6 Kebayoran Baru 11.737 7,949% 12.276 31,451% 10.957 7,581%
7 Pesanggrahan 13.954 6,257% 14.889 6,568% 13.438 6,069%
8 Cilandak 14.154 7,100% 14.957 7,382% 13.667 6,851%
9 Pasar Minggu 18.259 6,191% 19.211 6,517% 18.121 5,968%
10 Jagakarsa 16.046 5,453% 16.934 5,688% 18.534 5,151% Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Administrasi Jakarta Selatan, 2014-2016
Berdasarkan tabel 5.10 dapat diketahui bahwa jumlah penduduk lansia
selama tahun 2013-2015 cenderung fluktuatif di 8 dari 10 kecamatan (Tebet,
Pancoran, Mampang Prapatan, Kebayoran Lama, Kebayoran Baru,
Pesanggrahan, Cilandak, dan Pasar Minggu). Sedangkan, wilayah dengan jumlah
penduduk lansia yang mengalami peningkatan selama tahun 2013-2015 terdapat
di 2 dari 10 kecamatan (Setiabudi dan jagakarsa). Selama tahun 2013-2015
kecamatan dengan penduduk lansia yang paling tinggi terdapat di Kecamatan
Kebayoran Lama selama 3 tahun berturut. Sedangkan untuk kecamatan dengan
penduduk lansia paling rendah pada tahun 2013-2014 di Kecamatan Setiabudi
dan pada tahun 2015 di Kecamatan Mampang Prapatan. Untuk melihat distibusi
spasiotemporal kejadian kebakaran bangunan dengan distribusi penduduk lansia
di Jakarta Selatan tahun 2013-2015 dapat dilihat melalui gambar 5.6.
79
Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Administrasi Jakarta Selatan, 2014-2016
Gambar 5.6 Distribusi Spasiotemporal Kejadian Kebakaran Bangunan Dengan
Penduduk Lansia Di Jakarta Selatan Tahun 2013-2015
Berdasarkan gambar 5.6 maka secara spasial terlihat bahwa frekuensi
kejadian kebakaran bangunan yang tinggi terjadi pada kategori penduduk lansia
yang rendah di kecamatan-kecamatan di Jakarta Selatan dan hanya terdapat
80
beberapa kecamatan yang frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang sedang
dan dengan kategori penduduk lansia yang rendah. Kemudian, secara temporal
selama tahun 2013-2015 seluruh kecamatan di Jakarta Selatan termasuk ke dalam
kategori Rendah selama 3 tahun berturut-turut.
Pada tahun 2013, diketahui bahwa terdapat 9 dari 10 kecamatan dengan
frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi dan penduduk lansia yang
rendah. Sedangkan, kecamatan dengan frekuensi kejadian kebakaran bangunan
yang sedang dan jumlah penduduk lansia yang rendah hanya terdapat 1 dari 10
kecamatan yaitu Kecamatan Mampang Prapatan.
Pada tahun 2014, tidak terjadi perubahan pada jumlah kecamatan dengan
kategori penduduk lansia yang tinggi atau kategori penduduk lansia rendah.
Namun, terdapat perubahan wilayah kecamatan dengan frekuensi kejadian
kebakaran bangunan yang sedang dan penduduk lansia yang rendah sebanyak 1
dari 10 kecamatan sehingga kecamatan yang menjadi kategori tersebut pada
tahun 2014 adalah Kecamatan Pancoran.
Pada tahun 2015 juga tidak terjadi perubahan pada jumlah kecamatan
dengan kategori penduduk lansia yang tinggi atau kategori penduduk lansia yang
rendah. Akan tetapi, terdapat perubahan wilayah kecamatan dengan frekuensi
kejadian kebakaran bangunan yang sedang dan jumlah anak-anak yang rendah
sebanyak 2 dari 10 kecamatan sehingga kecamatan yang termasuk ke dalam
kategori ini pada tahun 2015 adalah Kecamatan Pancoran dan Mampang
Prapatan. Sedangkan, kecamatan dengan frekuensi kejadian kebakaran bangunan
yang tinggi dan jumlah lansia yang rendah terdapat 2 dari 10 kecamatan.
81
BAB VI
PEMBAHASAN
Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, adapun keterbatasan pada
penelitian ini, yaitu:
1. Data kejadian kebakaran bangunan merupakan data sekunder yang diperoleh
dari Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan Provinsi DKI
Jakarta. Data tersebut diperoleh melalui pelaporan langsung dari masyarakat,
sehingga terdapat kemungkinan adanya kejadian kebakaran bangunan yang
tidak terlaporkan dan tidak tercatat.
2. Data untuk variabel kelompok ekonomi berpendapatan rendah hanya
tersedia pada tahun 2014 sehingga pada variabel tersebut peneliti tidak dapat
melihat sebarannya berdasarkan temporal (tahun 2013-2015).
3. Pada penelitian ini tidak melihat keberlangsungan program yang berkaitan
dengan variabel yang diteliti.
4. Pada penelitian ini data hidran dan personel pemadam yang bertugas tidak
tersedia berdasarkan kecamatan sehingga tidak dapat melihat distribusinya
berdasarkan kecamatan.
Distribusi Kejadian Kebakaran Bangunan
Api merupakan suatu fenomena dari proses oksidasi antara 3 komponen
yaitu bahan bakar, panas yang cukup untuk membuat benda terbakar, dan udara
(oksigen) (National Fire Protection Association, 2015). Menurut Suprapto
82
(2006) kebakaran adalah kondisi natural akibat bersentuhannya bahan bakar
(fuel), oksigen dan panas atau kalor, namun bukan yang dikehendaki (Suprapto,
2006). Keberadaan api yang tidak dikehendaki dan tidak dapat dikendalikan
dapat menimbulkan kerugian harta benda atau cidera bahkan kematian
(Suma’mur, 2007).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh kecamatan di
Jakarta Selatan termasuk ke dalam kategori tinggi kejadian kebakarannya selama
tahun 2013-2014. Pada tahun 2013 kejadian kebakaran bangunan yang paling
tinggi terjadi di Kecamatan Tebet dengan jumlah 21 kejadian. Sedangkan, pada
tahun 2014 kejadian kebakaran bangunan yang paling tinggi terjadi di
Kecamatan Kebayoran Lama dengan jumlah 20 kejadian. Pada tahun 2015
kejadian kebakaran bangunan yang paling tinggi terjadi di Kecamatan Cilandak
dengan 28 kejadian. Meskipun wilayah Jakarta Selatan selama 2 tahun
mengalami penurunan jumlah kecamatan dengan kategori kejadian kebakaran
bangunan yang tinggi. Namun, secara jumlah kasus kejadian kebakaran
bangunan dari tahun 2013-2015 mengalami peningkatan jumlah kejadian.
Sebagian besar wilayah kecamatan di Jakarta Selatan mengalami dampak
kerugian secara ekonomi yang terus meningkat pada tahun 2013 sampai 2015.
Peningkatkan tersebut terjadi di 6 dari 10 kecamatan (Tebet, Pancoran,
Kebayoran Baru, Cilandak, dan Pasar Minggu). Diantara kecamatan tersebut,
yaitu Tebet, Kebayoran Baru, Cilandak merupakan wilayah yang kejadian
kebakarannya paling tinggi pada tahun 2013, 2014, dan 2015. Hal dapat mungkin
83
saja dapat terjadi karena frekuensi kebakaran yang lebih sering terjadi di wilayah
tersebut sehingga meningkatkan kerugian ekonominya.
Kerugian kebakaran tidak hanya secara ekonomi, tetapi juga terdapat
korban jiwa yang luka dan meninggal. Akan tetapi, berdasarkan hasil terlihat
bahwa jumlah korban jiwa cidera dan meninggal di kecamatan-kecamatan di
Jakarta Selatan mayoritas tidak ada. Namun, masih terdapat beberapa wilayah
yang menunjukkan terdapatnya korban luka dan meninggal. Hal tersebut
menunjukkan bahwa pemerintah masih harus meningkatkan pelayanan
penanggulangan kebakaran terhadap masyarakat.
Jakarta Selatan merupakan wilayah yang rawan terhadap kejadian
kebakaran. Kejadian kebakaran bangunan yang berfrekuensi tinggi pada
umumnya hampir terjadi di semua wilayah di Jakarta Selatan. Hal ini dapat
memungkin kejadian kebakaran bangunan dapat terjadi lagi di wilayah Jakarta
Selatan. Menurut Trisna (2003) frekuensi kejadian kebakaran pada suatu wilayah
dapat menunjukkan kemungkinan bahaya kebakaran dapat terulang kembali di
wilayah tersebut karena semakin tinggi frekuensi kebakaran pada suatu wilayah
semakin tinggi kemungkinan wilayah tersebut mengalami kebakaran kembali.
Terdapat berbagai faktor yang memiliki kemungkinan berpotensi
meningkatkan frekuensi kejadian kebakaran di wilayah Jakarta Selatan. Faktor-
faktor tersebut seperti kepadatan penduduk, banyaknya masyarakat
berpenghasilan rendah, penduduk anak-anak, dan keberadaan penduduk lansia.
Kemudian, terdapat beberapa ciri-ciri suatu wilayah dapat dikatakan rawan
84
terhadap kejadian kebakaran bangunan, diantaranya jalan lingkungan yang
sempit, banyaknya belokan yang menyulitkan kendaraan pemadam untuk belok,
bahu jalan yang digunakan parkir kendaraan, jarak antar bangunan sangat rapat
dan tidak teratur, sumber air yang langka dan perilaku masyarakat yang kurang
kooperatif (BPBD DKI Jakarta, 2013).
Adapun faktor lain yang kemungkinan dapat meningkatkan potensi
bahaya kejadian kebakaran di Jakarta Selatan dari aspek lingkungan seperti suhu.
Suhu rata-rata wilayah Jakarta Selatan selama tahun 2013-2014 adalah 27,60 C
dan merupakan wilayah yang beriklim panas. Suhu dapat berpengaruh terhadap
peningkatan risiko kebakaran (Corcoran dkk., 2011). Untuk dapat menyalakan
api suatu benda atau material memerlukan suhu terendah untuk menyala
(Thomson, 2001). Peningkatan suhu lingkungan dapat mengakibatkan bahan-
bahan menjadi mudah terbakar karena bahan tersebut mencapai titik suhu yang
dapat menyalakan api (Randall, 2003). Selain itu perlu juga diperhatikan dampak
dari perubahan iklim yang menyebabkan kecenderungan kemarau lebih panjang
dan akan memicu tingkat kejadian kebakaran bangunan semakin tinggi dan
menyebabkan kelangkaan air sebagai sumber utama pemadaman kebakaran
(BPBD DKI Jakarta, 2013).
Penyebab langsung kejadian kebakaran bangunan di Jakarta Selatan
paling banyak selama tahun 2013-2015 disebabkan oleh korsleting listrik.
Korsleting listrik adalah suatu pertemuan antara muatan arus listrik positif
dengan muatan arus listrik negatif yang mengakibatkan hubungan arus pendek
85
sehingga menimbulkan percikan-percikan api yang bisa berdampak pada
rusaknya peralatan-peralatan elektronik ataupun kebakaran (Kuniawan, 2013).
Menurut Setyo (2014) penyebab kebakaran tertinggi diakibatkan oleh korsleting
listrik pada peralatan instalasi listrik terutama pada pemasangan instalasi listrik
yang tidak sesuai standar PUIL (Persyaratan Umum Instalasi Listrik) dan
instalasi listrik yang sudah berumur tua. Selain itu penggunaan, pemasangan dan
perlakuan pada peralatan listrik yang kurang baik juga menyebabkan korsleting
listrik (Setyo, 2014). Hal ini dapat menunjukkan bahwa pemerintah harus
meningkatkan sosialisasi dan pengawasan mengenai persyaratan instalasi listrik
di masyarakat.
Pemerintah juga telah mengeluarkan berbagai kebijakan melalui
program-programnya untuk mengatasi kejadian kebakaran yang terjadi di Jakarta
Selatan. Dalam kebijakan yang dikeluarkan terdapat juga program-program yang
menitikberatkan untuk mengatasi kejadian kebakaran oleh listrik diantaranya
yaitu terlaksanakannya sosialisasi penggunaan alat elektronik yang standar dan
aman dan memperbaiki kebiasaan penggunaan alat elektronik yang berpotensi
menimbulkan kebakaran, terpantaunya berkala instalasi listrik di pemukiman
padat penduduk, dan terlaksanakannya pemberian subsidi untuk instalasi listrik
yang lebih aman bagi penduduk miskin di kawasan padat penduduk (BPBD DKI
Jakarta, 2013).
Sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah melalui institusi terkait dapat
dilakukan melalui berbagai upaya. Salah satu contohnya, sosialisasi yang
86
dilakukan oleh Sudin Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan Jakarta
Barat mengenai penggunaan potensi-potensi bahaya kebakaran yang disebabkan
oleh listrik dan penggunaannya yang benar dan sesuai aturan yang dilakukan
secara door to door (Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana
DKI Jakarta, 2016). Hal tersebut diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan
warga mengenai penggunaan listrik yang baik.
Pengawasan atau pemeriksaan oleh pemerintah mengenai persyaratan
listrik pada masyarakat juga penting untuk dilaksanakan. Hal ini dikarenakan
instalasi listrik yang digunakan harus diawasi penggunaannya dan diuji secara
berkala agar masyarakat dapat menerapkan persyaratan listrik yang sesuai aturan
(Subagyo, 2012). Selain dari sosialisasi kebakaran yang memfokuskan pada
listrik, pemerintah juga sebaiknya melakukan sosialisasi pada penyebab lain,
seperti halnya penggunaan kompor. Meskipun kompor bukan merupakan
penyebab dominan dari kejadian kebakaran yang terjadi di wilayah Jakarta
Selatan.
Sosialisasi mengenai standar-standar yang berlaku, pengawasannya dan
kemudahan bagi masyarakat untuk dapat menerapkan standar yang berlaku
diharapkan dapat menurunkan potensi terjadinya kejadian kebakaran bangunan.
Masyarakat diharuskan mematuhi peraturan-peraturan atau standar-standar yang
berlaku. Menurut NFPA (2016), masyarakat harus mengikuti prinsip proteksi
kebakaran berdasarkan peraturan atau standar yang berlaku untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya kebakaran dan kerugian akibat kebakaran.
87
Selain kebakaran yang penyebab awalnya disebabkan oleh listrik,
pemerintah juga sebaiknya memperhatikan juga pada penyebab awal lain, seperti
kompor. Kebakaran yang disebabkan oleh rangkaian kompor merupakan
penyebab yang paling sering menjadi penyebab awal kejadian kebakaran
bangunan di Jakarta Selatan selama tahun 2013 dan 2015 setelah listrik.
Kemudian, pada tahun 2014 penyebab awal paling sering setelah listrik yaitu
disebabkan oleh kompor meledak. Adapun tingkat risiko bahaya penggunaan
kompor tergolong ke dalam risiko tinggi (Sakti, 2011). Oleh karena itu,
sebaiknya pemerintah melakukan sosialisasi juga mengenai kompor dan
penggunaannya yang baik untuk menurunkan tingkat kejadian kebakaran yang
disebabkan oleh kompor. Menurut Sakti (2011) agar tingkat risiko dapat ditekan
semaksimal mungkin perlu dilakukan upaya yang meliputi sosialisai tentang cara
menggunakan kompor gas Elpiji dengan benar, sosialisasi cara merawat
komponen kompor, menggunakan APD khusus tenaga kerja di dapur, serta
melakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin.
Pemerintah juga sebaiknya meningkatkan pelayanan penanggulangan
kebakaran terhadap masyarakat. Menurut Standar Tokyo dalam Sarwono (2011),
Trisna (2003) menetapkan 25 personil 10.000 penduduk. Apabila mengikuti
standar Tokyo, maka jumlah personilnya dapat dilihat pada tabel 6.1.
88
Tabel 6.1 Jumlah Personel Pemadam Kebakaran Berdasarkan Standar Tokyo
No Kelurahan Jumlah Penduduk Personil Pemadam
1 Jagakarsa 359.833 900
2 Pasar Minggu 303.653 760
3 Cilandak 199.499 499
4 Pesanggrahan 221.420 554
5 Kebayoran Lama 306.563 767
6 Kebayoran Baru 144.529 362
7 Mampang Prapatan 146.299 366
8 Pancoran 153.537 384
9 Tebet 212.460 532
10 Setia Budi 137.918 345
Berdasarkan tabel 6.1 terlihat bahwa jumlah personil pemadam sesuai
dengan standar Tokyo yang paling banyak yaitu di Kecamatan Jagakarsa
sebanyak 900 orang untuk 359.833 jiwa.
Distribusi Kejadian Kebakaran Bangunan Berdasarkan Kelompok
Berpendapatan Rendah.
Tingkat pendapatan dapat berpengaruh terhadap risiko kejadian
kebakaran. Kelompok berpendapatan rendah atau berpenghasilan rendah
umumnya tinggal di tempat tinggal yang tidak memenuhi berbagai syarat
sehingga berbahaya bagi keselamatan penghuninya (Gielen dkk., 2012).
Pendapatan yang rendah menurunkan daya beli terhadap peralatan-peralatan
yang sesuai standar dan aman sehingga meningkatkan risiko kebakaran (Istre
dkk., 2002).
Berdasarkan hasil menunjukkan bahwa terdapat 9 dari 10 kecamatan
dengan frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi dan jumlah
kelompok berpendapatan rendah yang rendah yaitu Kecamatan Tebet, Setiabudi,
89
Mampang Prapatan, Kebayoran Lama, Kebayoran Baru, Pesanggrahan,
Cilandak, Pasar Minggu, dan Jagakarsa. Kondisi ini berbeda dengan pendapat
dari Federal Emergency Management Association (1997) yang mengungkapkan
bahwa tingginya tingkat keberadaan penduduk berpendapatan rendah dapat
meningkatkan tingkat kejadian kebakaran di suatu wilayah. Hasil menunjukkan
bahwa frekuensi kebakaran bangunan yang tinggi dapat terjadi di wilayah yang
memiliki proporsi rendah pada penduduk berpenghasilan rendah. Hal ini terjadi
karena seluruh kecamatan di Jakarta Selatan memiliki proporsi rendah pada
kelompok pendapatan rendah apabila dibandingkan dengan kelompok
pendapatan yang lain.
Adapun Federal Emergency Management Association (1997)
menyatakan bahwa kejadian kebakaran yang terjadi pada masyarakat yang tidak
berkategori pendapatan rendah dapat terjadi karena pada masyarakat tersebut
terdapat kemungkinan untuk penggunaan daya listrik yang tinggi, sehingga ada
kemungkinan penggunaan daya listrik melebihi batas yang berakibat terjadinya
korselting listrik. Penggunaan daya listrik yang melebihi batas penggunaan dari
alat dapat menjadikan awal dari kejadian kebakaran. Kemudian menurut
Subagyo (2012) terdapat beberapa hal yang menjadikan listrik menjadi penyebab
kebakaran, yaitu penggunaan listrik yang tidak sesuai peruntukannya, beban
listrik yang melebihi batas kemampuan daya yang diberikan, penggunaan
material yang tidak sesuai dengan standar yang berlaku, perawatan,
pemeliharaan, dan modifikasi instalasi yang tidak sesuai, dan instalasi yang tidak
terlindungi atau tidak sesuai dengan kondisi lingkungannya.
90
Adapun program-program pemerintah mengenai kebakaran yang dapat
dikaitkan sasarannya untuk masyarakat berpendapatan rendah, yaitu pemberian
subsidi untuk instalasi listrik yang lebih aman bagi penduduk miskin di kawasan
padat penduduk dan terbukanya akses terhadap kredit ringan untuk
pembangunan rumah permanen bagi pemilik rumah non-permanen (BPBD DKI
Jakarta, 2013). Kedua program tersebut memiliki kemungkinan untuk dapat
menurunkan kejadian kebakaran bangunan di Jakarta Selatan. Pemberian subsidi
untuk instalasi listrik yang lebih aman bagi penduduk miskin di kawasan padat
penduduk dan pemberian kredit ringan untuk pembangunan rumah permanen
bagi pemilik rumah non permanen akan memudahkan masyarakat berpendapatan
rendah untuk menerapkan instalasi listrik yang sesuai standar di tempat
tinggalnya. Tingkat pendapatan merupakan penentu dalam menentukan kualitas
rumah yang akan ditinggali pada sebagian besar rumah tangga (Federal
Emergency Management Association, 1997).
Selain itu, dalam penelitian ini juga memiliki keterbatasan karena standar
kelompok pendapatan rendah yaitu adalah keluarga yang penghasilannya
sebanyak Rp. 1,500,000. Sedangkan, untuk Upah Minimum di Jakarta sebanyak
Rp. 3,400,000 sehingga standar tersebut perlu dipertimbangkan untuk dilakukan
penyesuaian terhadap kondisi saat ini. Hal ini menunjukkan bahwa standar yang
digunakan untuk pengelompokkan pendapatan penduduk kurang sesuai dengan
wilayah tersebut. Sehingga pada analisis penelitian ini kelompok ekonomi yang
berpendapatan rendah berkategori rendah semua karena kemungkinan penduduk
dengan penghasilan kurang dari Rp. 1,500,000 sudah mulai berkurang
91
disebabkan oleh standar pengupahan yang sudah lebih tinggi. Bagi Badan Pusat
Statistik disarankan untuk melakukan evaluasi terhadap indikator
pengolompokkan pendapatan atau penghasilan agar disesuaikan dengan kondisi
ekonomi yang terbaru.
Distribusi Kejadian Kebakaran Bangunan Berdasarkan Kepadatan
Penduduk
Kepadatan penduduk adalah jumlah penduduk di dalam suatu wilayah
dibagi luas wilayah berdasarkan batasan administrasi yang ada (Badan
Standarisasi Nasional, 2004). Berdasarkan hasil terlihat bahwa terdapat 1 dari 10
kecamatan yaitu Kecamatan Tebet dengan frekuensi kejadian kebakaran
bangunan yang tinggi dan kepadatan penduduk yang tinggi selama 3 tahun
berturut-turut. Selain itu, pada tahun 2013-2014 terdapat 1 dari 10 kecamatan
dengan frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang sedang dan kepadatan
penduduk yang sedang yang kemudian pada tahun 2015 menjadi sebanyak 2 dari
10 kecamatan. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian kebakaran bangunan yang
tinggi dapat terjadi pada wilayah dengan kepadatan penduduk yang tinggi.
Menurut Trisna (2003) kepadatan penduduk yang tinggi dapat berpotensi
meningkatkan kemungkinan bencana kebakaran karena menunjukkan
banyaknya aktivitas di wilayah tersebut.
Namun, pada penelitian ini juga menghasilkan kondisi yang berbeda.
Kepadatan penduduk yang semakin rendah tidak diiringi dengan frekuensi
kejadian kebakaran bangunan yang semakin rendah. Pada tahun 2013, terdapat 3
dari 10 kecamatan dengan frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi
92
dan kepadatan penduduk yang sedang dan terdapat 5 dari 10 kecamatan dengan
frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi dan kepadatan penduduk
yang rendah. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian kebakaran bangunan yang
tinggi dapat terjadi di wilayah dengan kepadatan penduduk yang rendah. Adapun
pada penelitian Saraswati (2013) mengenai kepadatan penduduk dan kebakaran
pada pemukiman di Jakarta Barat tahun 2008 menyatakan bahwa tidak ada
hubungan antara kejadian kebakaran dengan kepadatan penduduk.
Adapun pemerintah juga mengeluarkan program-program penanganan
kebakaran yang berkaitan dengan kepadatan penduduk. Program penataan
bangunan, sosialisasi penggunaan alat elektronik yang standar dan aman dan
memperbaiki kebiasaan penggunaan alat elektronik yang berpotensi
menimbulkan kebakaran, terpantaunya berkala instalasi listrik di pemukiman
padat penduduk, dan pemantauan berkala instalasi listrik di perumahan dan
fasilitas umum diharapkan dapat menurunkan kemungkinan potensi kejadian
kebakaran (BPBD DKI Jakarta, 2013). Pada program-program tersebut
masyarakat diarahkan untuk menerapkan standar-standar yang ada bangunannya.
Masyarakat harus mengikuti prinsip proteksi kebakaran berdasarkan peraturan
atau standar yang berlaku untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kebakaran
dan kerugian akibat kebakaran (NFPA, 2016).
Program-program seperti sosialisasi informasi mengenai pencegahan dan
penanggulangan kebakaran, pembentukan dan penguatan kapasitas tim relawan
kebakaran (tim siaga bencana) kelurahan, pengadaan sarana pendukung untuk
tim relawan kebakaran kelurahan, rekrutmen personil, penambahan jumlah dan
93
pemeliharaan perangkat pendukung pemadaman yang berfungsi untuk
menanggulangi kejadian kebakaran yang terjadi (BPBD DKI Jakarta, 2013).
Pembentukan dan pemberian fasilitas bagi relawan pemadam kebakaran di
tingkat kelurahan dapat memberikan penanganan yang cepat terhadap kejadian
kebakaran yang terjadi di lingkungannya. Sehingga, masyarakat tidak
bergantung pada petugas pemadam kebakaran. Kemudian rekrutmen personil
pemadam kebakaran juga diperlukan untuk meningkatkan pelayanan terhadap
masyarakat. Menurut Standar Tokyo dalam Sarwono (2011), Trisna (2003)
menetapkan 25 personil 10.000 penduduk. Jumlah penduduk Jakarta Selatan
pada tahun 2015 yaitu sebanyak 2.185.711 jiwa. Apabila mengikuti standar
Tokyo, maka jumlah personilnya yaitu sebanyak 5.465 personil untuk penduduk
dengan jumlah 2.185.711 jiwa. Berdasarkan Dinas Penanggulangan Kebakaran
dan Penyelamatan Provinsi DKI Jakarta (2015) di Jakarta Selatan terdapat 473
personil untuk pemadaman kebakaran. Hal ini bahwa masih diperlukan
penambahan personil untuk meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat.
Adapun untuk distribusi kebutuhan perwilayah kecamatannya berdasarkan
Standar Tokyo dapat dilihat pada tabel 6.1.
Selain penyediaan sumber daya manusia untuk pemadaman kebakaran,
penyediaan sarana untuk pemadaman kebakaran juga perlu diperhatikan seperti
penyediaan hidran. Penyediaan hidran berdasarkan Keputusan Menteri
Permukiman dan Prasarana Wilayah No. 534/KPTS/M/2001 yaitu penyediaan
hidran kota pada setiap jarak 200 meter di tepi jalan. Tahun 2013 total panjang
jalan di Jakarta Selatan yaitu 2.437.779,95 m. Apabila mengikuti standar tersebut
94
maka kebutuhan hidran di Jakarta Selatan yaitu sebanyak 12.189 hidran. Namun,
berdasarkan Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan Provinsi DKI
Jakarta (2015) keberadaan hidran di Jakarta Selatan sebanyak 247 buah, yang
terdiri dari 76 buah dalam kondisi baik, 95 buah kondisi rusak sedang, 65 buah
kondisi rusak berat, dan 11 buah kondisinya sudah hilang. Selain itu, waktu
tanggap atau respons di untuk petugas kebakaran di Jakarta masih tergolong
paling lama dibandingkan dengan di Negara lain. Waktu tanggap untuk ke tempat
kejadian kebakaran dari awal pelaporan di Indonesia yaitu selama 15 menit. Hal
ini sangat berbeda dengan di Jepang, Australia, dan Hongkong yang hanya
membutuhkan waktu selama 6 menit. Padahal pada setiap menitnya kebakaran
akan terus berkembang sebanyak 2,3% dan mengakibatkan kerugian yang lebih
besar lagi (Sufianto dan Green, 2012). Oleh karena itu pemerintah masih perlu
untuk melakukan peningkatan pelayanan penanggulangan untuk masyarakat
melalui penambahan fasilitas pemadam dan mempercepat waktu respon di
Jakarta Selatan.
Distribusi Kejadian Kebakaran Bangunan Berdasarkan Penduduk Anak-
anak
Ketika suatu kebakaran disebabkan oleh tindakan seorang anak yang
bermain dengan sumber api maka dapat dikatakan sebagai kebakaran yang
disebabkan oleh anak-anak yang bermain (Miller, 2012). Risiko kebakaran akan
lebih besar pada penduduk anak-anak karena mereka memiliki kemungkinan
keingin tahuan tentang api dan cenderung ingin bermain api (Federal Emergency
Management Association, 1997).
95
Berdasarkan hasil terdapat 1 dari 10 kecamatan dengan frekuensi
kejadian kebakaran bangunan yang tinggi dan persentase penduduk anak-anak
yang tinggi (Kecamatan Jagakarsa selama tahun 2013-2015). Begitu pula
frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang lebih rendah yaitu pada tingkatan
sedang dapat terjadi di wilayah dengan persentase penduduk anak-anak yang
rendah (tahun 2013 di Kecamatan Mampang Prapatan, tahun 2014 di Kecamatan
Pancoran, dan tahun 2015 di Kecamatan Mampang Prapatan dan Kecamatan
Pancoran). Hal ini menunjukkan bahwa kejadian kebakaran bangunan yang
tinggi dapat terjadi di wilayah dengan persentase penduduk anak-anak yang
tinggi. Menurut Federal Emergency Management Association (2013) penduduk
anak-anak yang semakin tinggi menjadikan risiko kejadian kebakaran semakin
tinggi.
Pada penelitian Hui dkk. (2005) mengemukakan bahwa penyebab
kebakaran yang disebabkan oleh anak-anak yang bermain lebih sering
ditemukan. Anak-anak merupakan korban utama pada kejadian kebakaran pada
saat siang hari ketika orang tuanya pergi bekerja (Ono dan Da Silva, 2000). Bagi
anak-anak menyelamatkan diri ketika terjadi kebakaran akan sulit karena
pengetahuan anak-anak mengenai penyelamatan dari kebakaran masih kurang
(Federal Emergency Management Association, 2015, Federal Emergency
Management Association, 2013).
Namun, hasil dari penelitian ini juga memperlihatkan hal yang berbeda,
di mana frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi justru terjadi juga
pada wilayah dengan persentase penduduk anak-anak yang rendah. Hal ini
96
menunjukkan bahwa kejadian kebakaran kemungkinannya dapat disebabkan
oleh faktor lain. Dalam teori Fire Ignition and Fire Loss Model dari Charles
Robert Jenning terdapat salah satu faktor yang mungkin saja berperan dalam
kejadian kebakaran bangunan di Jakarta Selatan yaitu seperti faktor perilaku dari
masyarakat. Menurut BPBD DKI Jakarta (2013) faktor kerentanan kejadian
kebakaran di suatu wilayah dapat terjadi karena perilaku masyarakat yang kurang
kooperatif dan kelalaian dari masyarakat. Untuk mengatasi kondisi tersebut,
diperlukan peran dari masyarakat agar masyarakat sadar akan pencegahan
kejadian kebakaran.
Pemerintah sendiri telah mengeluarkan program untuk meningkatkan
peran serta masyarakat melalui pembentukan tim relawan kebakaran (tim siaga
bencana) kelurahan (khususnya di kelurahan rawan kebakaran). Kemudian juga
terdapat pengembangan Sistem Pendidikan pencegahan kebakaran pada usia dini
(Sidik Api) yang dikembangkan untuk memberikan pemahaman kepada
penduduk pada usia dini. Selain itu, terdapat program pengadaan kebutuhan
untuk kelompok khusus (anak-anak, manula, Ibu hamil, diffabel) yang berguna
pada ketika kejadian kebakaran bangunan telah terjadi (BPBD DKI Jakarta,
2013).
Distribusi Kejadian Kebakaran Bangunan Berdasarkan Penduduk Lansia
Usia tua merupakan tahap akhir dari proses penuaan yang memiliki
dampak terhadap 3 aspek, yaitu biologis, ekonomi, dan sosial (Badan Pusat
Statistik, 2015b). Secara biologis, lansia akan mengalami proses penuaan secara
97
terus menerus yang ditandai dengan penurunan daya tahan fisik dan rentan
terhadap serangan penyakit. Secara ekonomi, umumnya lansia lebih dipandang
sebagai beban daripada sumber daya. Secara sosial, kehidupan lansia sering
dipersepsikan secara negatif, atau tidak banyak memberikan manfaat bagi
keluarga dan masyarakat.
Berdasarkan pada hasil penelitian dapat terlihat bahwa kejadian
kebakaran bangunan yang tinggi justru tetap terjadi di wilayah dengan penduduk
lansia yang tergolong rendah. Selama tahun 2013-2015 di Jakarta selatan tidak
terdapat wilayah dengan penduduk lansia yang tergolong tinggi. Akan tetapi,
sebagian besar kecamatan-kecamatan di Jakarta Selatan tetap tergolong tinggi
frekuensi kejadian kebakaran bangunannya. Kondisi tersebut memperlihatkan
pola frekuensi kejadian kebakaran bangunan tinggi terjadi pada wilayah dengan
penduduk lansia yang rendah. Padahal menurut Federal Emergency
Management Association (1997) kalangan lansia dapat berpengaruh terhadap
terjadi kejadian kebakaran karena keterbatasan fisik yang mulai dimiliki akibat
proses penuaan seperti tuli atau buta yang dapat penduduk lansia untuk
mengalami kecelakaan pada saat kebakaran. Kemudian, terdapat penduduk
lansia yang hidup sendiri sehingga meningkatkan risiko mengalami cidera pada
saat terjadi kebakaran (Zhang dkk., 2006).
Pada penelitian Huang (2009) menunjukkan bahwa persentase penduduk
lansia menunjukkan hubungan yang lemah. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat
kejadian kebakaran bangunan dapat dipengaruhi oleh faktor lainnya, salah satu
pada kondisi bangunannya. Kondisi bangunan yang tidak layak dapat
98
meningkatkan risiko kejadian kebakaran seperti pada bangunan semi permanen
atau bangunan instalasi kelistrikan yang tidak sesuai.
Pada penelitian Saraswati dan Susilowati (2008) memperlihatkan bahwa
terdapat hubungan antara besarnya persentase bangunan semi permanen dengan
kejadian kebakaran, yaitu semakin besar persentase bangunan semi permanen,
semakin banyak kejadian kebakaran. Kemudian, menurut Huang (2009) kondisi
kelistrikan bangunan yang tidak layak dapat meningkatkan risiko terjadinya
kejadian kebakaran bangunan.
Adapun pemerintah sendiri belum secara spesifik mengupayakan
pelayanan pencegahan dan penanggulangan kebakaran untuk para penduduk
lansia. Program yang ada hanya diperuntukan ketika kejadian kebakaran
bangunan telah terjadi yaitu pengadaan kebutuhan untuk kelompok khusus
(anak-anak, manula, Ibu hamil, diffabel) (BPBD DKI Jakarta, 2013). Adapun
Menurut Ahrens dkk. (2007) penduduk lansia yang berusia 65 tahun ke atas
memiliki kontribusi yang lebih besar dalam jumlah kematian karena kejadian
kebakaran dari pada penduduk usia muda.
Pemerintah perlu menyediakan sumber daya yang mampu mengevakuasi
kalangan lansia karena memiliki kemungkinan keterbatasan fisik sehingga sulit
untuk mengevakuasi dirinya. Oleh karena itu, pemerintah juga disarankan untuk
mengeluarkan kebijakan yang secara spesifik diperuntukan bagi para lansia serta
menyiapkan sumber daya yang mampu mengevakuasi para lansia dengan baik.
99
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Distribusi kejadian kebakaran bangunan di Jakarta Selatan 2013-2015 secara
spasial menunjukkan bahwa frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang
tinggi hampir terjadi di semua kecamatan. Sedangkan secara temporal,
kecamatan dengan frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi
berkurang dari tahun 2013-2015.
2. Distribusi spasial kejadian kebakaran bangunan berdasarkan jumlah
kelompok berpendapatan rendah di Jakarta Selatan tahun 2014 menunjukkan
terdapat 9 dari 10 kecamatan dengan frekuensi kejadian kebakaran bangunan
yang tinggi dan kelompok berpendapatan rendah yang rendah.
3. Distribusi kejadian kebakaran bangunan berdasarkan kepadatan penduduk di
Jakarta Selatan tahun 2013-2015 secara spasial terlihat bahwa frekuensi
kejadian kebakaran bangunan yang tinggi terjadi pada kategori kepadatan
penduduk rendah hingga tinggi di kecamatan-kecamatan Jakarta Selatan.
Kemudian, secara temporal selama tahun 2013-2015 kecamatan yang
termasuk ke dalam kategori kepadatan penduduk tinggi tidak bertambah.
4. Distribusi kejadian kebakaran bangunan berdasarkan penduduk anak-anak
di Jakarta Selatan tahun 2013-2015 secara spasial menunjukkan bahwa
frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi terjadi pada wilayah
dengan kategori penduduk anak-anak yang rendah dan tinggi di kecamatan-
100
kecamatan Jakarta Selatan. Kemudian, secara temporal selama tahun 2013-
2015 tidak terdapat peningkatan atau penurunan jumlah kecamatan yang
masuk ke dalam kategori penduduk anak-anak yang tinggi selama 3 tahun.
5. Distribusi kejadian kebakaran bangunan berdasarkan jumlah penduduk
lansia di Jakarta Selatan tahun 2013-2015 secara spasial menunjukkan
bahwa frekuensi kejadian kebakaran bangunan yang tinggi hampir terjadi
pada semua kategori penduduk lansia yang rendah di kecamatan-kecamatan
di Jakarta Selatan. Kemudian, secara temporal selama tahun 2013-2015
seluruh kecamatan di Jakarta Selatan termasuk ke dalam kategori Rendah
selama 3 tahun berturut-turut.
Saran
7.2.1 Bagi BPBD DKI Jakarta
1. Disarankan kepada pemerintah untuk dapat mengoptimalkan program yang
telah dibuat, terutama pada aspek penataan penduduk di wilayah padat
dengan memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk mendapatkan
hunian yang layak.
2. Disarankan kepada pemerintah untuk dapat meningkatkan sosialisasi
penggunaan peralatan listrik yang sesuai dengan peraturan agar menurunkan
potensi kejadian kebakaran dan memberikan kemudahan bagi masyarakat
untuk mendapatkan peralatan listrik yang sesuai standar serta melakukan
pengawasan penerapannya di masyarakat.
101
7.2.2 Bagi Dinas Pemadam Kebakaran
1. Disarankan untuk meningkatkan kapasitas mitigasi kebakaran dengan
mempercepat waktu tanggap serta meningkatkan dan memelihara fasilitas
yang digunakan untuk memadamkan api kebakaran.
2. Meningkatkan jumlah sumber daya manusia dan fasilitas yang digunakan
untuk penanggulangan kejadian kebakaran dengan melakukan penambahan
personil dan fasilitas-fasilitasnya sesuai dengan kebutuhan dan ketentuan
yang berlaku.
7.2.3 Bagi Badan Pusat Statistik
1. Melakukan evaluasi mengenai indikator untuk pengelompokkan pendapatan
atau penghasilan di penduduk agar sesuai dengan kondisi ekonomi yang ada
terutama di wilayah perkotaan.
7.2.4 Bagi Penelitian Selanjutnya
1. Melakukan penelitian lanjutan dengan mencari hubungan antara faktor-
faktor yang berkaitan dengan kejadian kebakaran.
2. Melakukan penelitian dengan metode point atau titik pada lokasi kejadian
kebakaran dan titik pada lokasi fasilitas-fasilitas kebakaran agar dapat
diketahui kebutuhan fasilitas yang optimal untuk penanggulangan kebakaran
serta persebaran kejadiannya.
102
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, U. F. 2014. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah, Jakarta, Raja Grafindo
Persada.
Ahmad, O. B., Boschi-Pinto, C., Lopez, A. D., Murray, C. J., Lozano, R. dan Inoue,
M. 2001. Age standardization of rates: a new WHO standard. Geneva: World
Health Organization, 9.
Ahrens, M., Hall, J., Comoletti, J., Gamache, S. dan LeBeau, A. 2007. Behavioral
Mitigation of Cooking Fires United States Fire Administration, National Fire
Data Center.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana 2012. Pedoman Umum Pengkajian Risiko
Bencana. In: Bencana, B. N. P. (ed.) Nomor 02 Tahun 2012. Jakarta: BNPB.
Badan Pusat Statistik. 2015a. Istilah. Tersedia:
http://www.bps.go.id/index.php/istilah/409.
Badan Pusat Statistik 2015b. Statistik Penduduk Lanjut Usia, Jakarta, Badan Pusat
Statistik.
Badan Standarisasi Nasional 2004. Tata cara perencanaan lingkungan perumahan di
perkotaan. Jakarta: BSN.
Beyler, C. L. 2001. Fire Safety Challenges in the 21st century. Journal of Fire
Protection Engineering, 11, 4-15.
BPBD DKI Jakarta 2013. Rencana Penanggulangan Bencana Provinsi DKI Jakarta
2017. Jakarta: BPBD DKI Jakarta.
Câmara, G., Monteiro, A. M., Fucks, S. D. dan Carvalho, M. S. 2002. Análise espacial
e geoprocessamento (Spatial analysis and GIS). Análise espacial de dados
geográficos. Embrapa Cerrados.
Casal, J. 2008. Evaluation of the Effects and Consequences of Major Accidents in
Industrial Plants, Elsevier.
Corcoran, J. dan Higgs, G. 2013. Special issue on spatial analytical approaches in urban
fire management. Fire Safety Journal, 62, Part A, 1-2.
Corcoran, J., Higgs, G., Rohde, D. dan Chhetri, P. 2011. Investigating the association
between weather conditions, calendar events and socio-economic patterns with
103
trends in fire incidence: an Australian case study. Journal of Geographical
Systems, 13, 193-226.
Cote, A. E. 2004. Fundamentals of Fire Protection, Quincy, Jones & Barlett Learning.
Departemen Pekerjaan Umum 2007. Pedoman Sertifikat Laik Fungsi Bangunan
Gedung. In: Umum, D. P. (ed.) 25/PRT/M/2007. Jakarta: Departemen
Pekerjaan Umum.
Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana DKI Jakarta. 2016. Anggota
Sudin PKP Jakarta Barat Sosialisasi dan Berikan Himbauan Kebakaran Door
To Door di Pemukiman Warga. Tersedia:
http://jakartafire.net/news/detail/4088/anggota-sudin-pkp-jakarta-barat-
sosialisasi-dan-berikan-himbauan-kebakaran-door-to-door-di-pemukiman-
warga [Telah diakses pada 3 Maret 2017].
Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan Provinsi DKI Jakarta 2015. Data
Kebakaran tahun 2015. In: Jakarta, D. P. K. d. P. P. D. (ed.). Dinas
Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan Provinsi DKI Jakarta.
Evarts, B. 2012. Fires in U.S. Industriial and Manufacturinng Facilities. USA: NFPA.
Federal Emergency Management Association 1997. Socioeconomic Factors and the
Incidence of Fire. United States Fire Administration, National Fire Data Center.
Federal Emergency Management Association 1998. An NFIRS Analysis: Investigating
City Characteristics and Residential Fire Rated. United States Fire
Administration, National Fire Data Center.
Federal Emergency Management Association 1999a. Fire in the United States, United
States Fire Administration, National Fire Data Center.
Federal Emergency Management Association 1999b. FIRE RISKS FOR OLDER
ADULTS. United States Fire Administration, National Fire Data Center.
Federal Emergency Management Association 2013. Fire Risk to Children in 2010. In:
Report, T. F. (ed.) Topical Fire Report. Emmitsburg: Federal Emergency
Management Association,.
104
Federal Emergency Management Association 2015. Fire Risk in 2013. In: Report, T.
F. (ed.) Topical Fire Report. Emmitsburg: Federal Emergency Management
Association,.
Furness, A. dan Muckett, M. 2007. Introduction to Fire Safety Management,
Burlington, Elsevier.
Gielen, A. C., Shields, W., McDonald, E., Frattaroli, S., Bishai, D. dan Ma, X. 2012.
Home Safety and Low-Income Urban Housing Quality. Pediatrics, 130, 1053-
1059.
Hannon, L. dan Shai, D. 2003. The truly disadvantaged and the structural covariates of
fire death rates. The social science journal, 40, 129-136.
Haryana, A. 2008. Konsep dan Implementasi Strategi Nasional Penanggulangan
Kemiskinan: Upaya Mendorong Terpenuhinya Hak Rakyat Atas Pangan
Holborn, P. G., Nolan, P. F. dan Golt, J. 2003. An analysis of fatal unintentional
dwelling fires investigated by London Fire Brigade between 1996 and 2000.
Fire Safety Journal, 38, 1-42.
Hsu, W. 2007. Temporal and spatio-temporal data mining, IGI Global.
Huang, K. 2009. Population and building factors that impact residential fire rates in
large US cities.
Hui, M., Tsui, F. dan Luo, M. 2005. Fire Incident Characteristics of a Densely
Populated Oriental Urban City. Fire Safety Science, 8, 363-374.
Istre, G. R., McCoy, M., Carlin, D. dan McClain, J. 2002. Residential fire related deaths
and injuries among children: fireplay, smoke alarms, and prevention. Injury
Prevention, 8, 128-132.
Jennings, C. R. 1999. Socioeconomic characteristics and their relationship to fire
incidence: a review of the literature. Fire technology, 35, 7-34.
Jennings, C. R. 2013. Social and economic characteristics as determinants of residential
fire risk in urban neighborhoods: A review of the literature. Fire Safety Journal,
62, Part A, 13-19.
Kamus Besar Bahasa Indonesia 2015. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
105
Kementerian Pekerjaan Umum 2009. Pedoman Teknis Manajemen Proteksi Kebakaran
Di Perkotaan. Jakarta: Kemenpu.
Kementrian Riset Dan Teknologi 2013. Modul 3 Analisis Spasial. Jakarta.
Kertati, I. 2013. Analisis Kemiskinan Kota Semarang berdasarkan Data Perndataan
Program Perlindungan Sosial (PPLS). Riptek, 7, 27-38.
Kuniawan, A. 2013. Implementasi Hak-Hak Konsumen Instalasi Listrik Yang
Mengalami Kerugian Akibat Terjadinya Korsleting Listrik (Studi di Wilayah
Hukum Kota Malang). University of Muhammadiyah Malang.
Menteri Permukiman Dan Prasarana Wilayah 2001. Pedoman Standar Pelayanan
Minimal Pedoman Penentuan Standar Pelayanan Minimal Bidang Penataan
Ruang, Perumahan Dan Permukiman Dan Pekerjaan Umum. In: Umum, K. P.
(ed.) 534/KPTS/M/2001. Jakarta.
Miller, D. 2012. 2008–2010 Residential Fire Loss Estimates, Consumer Product Safety
Commision.
Muhadi, M. 2008. Pencegahan Resiko Kebakaran Gedung: Peran Dan Tindakan Pusat
Layanan Kebakaran Dan Pertolongan Département Rhone. Program
Pascasarjana Universitas Diponegoro.
Murray, A. T. 2013. Optimising the spatial location of urban fire stations. Fire Safety
Journal, 62, Part A, 64-71.
Ono, R. dan Da Silva, S. 2000. An Analysis of Fire Safety in Residential Buildings
through Fire Statistics. Fire Safety Science, 6, 219-230.
Randall, C. K. 2003. Fire in the wildland-urban interface: understanding fire behavior,
University of Florida Cooperative Extension Service, Institute of Food and
Agricultural Sciences, EDIS.
Republik Indonesia 1998. Kesejahteraan Lanjut Usia. 13/1998. Jakarta.
Republik Indonesia 2002. Perlindungan Anak. 23/2002. Jakarta.
Republik Indonesia 2007. Penanggulangan Bencana. Nomor 22 Tahun 2007. Jakarta:
Republik Indonesia.
Sagala, S., Wimbardana, R. dan Pratama, F. P. 2014. Perilaku Dan Kesiapsiagaan
Terkait Kebakaran Pada Penghuni Permukiman Padat Kota Bandung.
106
Saraswati, R. dan Susilowati, M. H. D. 2008. Asesmen Wilayah Rawan Kebakaran
Pada Permukiman Padat Penduduk Di Jakarta Barat.
Sarwono, A. 2011. Peningkatan Layanan Institusi Pemadam Kebakaran Melalui
Penerapan Rencana Induk Kebakaran (RIK) Studi Kasus : Kota Pontianak
Kalimantan Barat. Jurnal Permukiman, 6, 100-107.
Sarwono, S. W. 2013. Pengantar Psikologi Umum, Jakarta, Rajawali Press.
Setyo, B. 2014. KORSLETING LISTRIK PENYEBAB KEBAKARAN PADA
RUMAH TINGGAL ATAU GEDUNG. Edu Elektrika Journal, 3.
Subagyo, A. 2012. Antisipasi yang Diperlukan Terhadap Kebakaran Listrik pada
Bangunan Gedung. JTET (Jurnal Teknik Elektro Terapan), 1.
Sufianto, H. dan Green, A. R. 2012. Urban fire situation in Indonesia. Fire technology,
48, 367-387.
Suprapto. 2006. Pengembangan Manajemen Keselamatan Berbasis Potensi Bahaya
Kebakaran Pada Bangunan Gedung Dan Industri [Online]. Jakarta:
Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan Provinsi DKI Jakarta.
Tersedia:
http://jakartafire.net/news/detail/610/pengembanganmanajemenkeselamatanbe
rbasispotensibahayakebakaranpadabangunangedungdanindustri [Telah diakses
pada 22/07/2016 2016].
Thomson, N. 2001. Fire hazards in industry, Elsevier.
Trisna, R. 2003. Kajian Pelayanan Penanggulangan Bahaya Kebakaran di Kota
Palembang. Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.
World Health Organization. 2013. Definition [Online]. Tersedia:
http://www.who.int/hiv/pub/guidelines/arv2013/intro/keyterms/en/ [Telah
diakses pada 22/07/2016.
Yang, L., Yang, Y., Gong, J., Fang, T. dan Cui, W. 2004. The Relations Hips Between
Socioeconomic Factors And Fire In China. Fire Safety Science, 6, 2c-4--1.
Zhang, G., Lee, A. H., Lee, H. C. dan Clinton, M. 2006. Fire safety among the elderly
in Western Australia. Fire Safety Journal, 41, 57-61.