analisis pola ritmis mambalbal bagot pada … · kabupaten tapanuli tengah terletak di pesisir...
TRANSCRIPT
0
ANALISIS POLA RITMIS MAMBALBAL BAGOT PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI DESA HUTAIMBARU KECAMATAN TAPIAN NAULI KABUPATEN TAPANULI TENGAH SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O L E H NIELSON D. R. SIHOMBING NIM: 080707014
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
MEDAN
2013
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Batak Toba adalah salah satu etnis yang terdapat di Sumatera Utara. Pada
umumnya wilayah kebudayaannya meliputi Kabupaten Samosir, Kabupaten Toba
Samosir, Tapanuli Utara, Humbang Hasunduntan, sebagian Kabupaten Dairi,
Kabupaten Simalungun dan juga mendiami salah satu kabupaten di pesisir pantai
barat yaitu Kabupaten Tapanuli Tengah.
Kabupaten Tapanuli Tengah terletak di pesisir Pantai Barat Pulau Sumatera.
Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Aceh Singkil, sebelah selatan berbatasan
dengan Kabupaten Tapanuli Selatan, sebelah barat dengan Kota Sibolga dan Samudra
Indonesia dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Utara1. Terdapat
beberapa etnis di Kabupaten Tapanuli Tengah antara lain etnis Pesisir, etnis
Mandailing, Nias dan Batak Toba.
Masyarakat Batak Toba yang berdomisili di Tapanuli Tengah masih banyak
yang mencari uang dari hasil pertanian. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan
tumbuhan yang tumbuh secara alami di alam seperti pohon enau. Tapanuli Tengah ini
merupakan daerah yang banyak ditumbuhi pohon enau. Salah satunya di Desa
Hutaimbaru Kecamatan Tapian Nauli.
Pohon enau adalah salah satu hasil pertanian yang tumbuh secara liar dan
belum dibudidayakan. Masyarakat memanfaatkan pohon enau dengan cara menyadap 1 Sumber : www.wikipedia.com
2
pohon enau tersebut untuk menghasilkan air nira yang kemudian diolah untuk
dijadikan tuak. Masyarakat Batak Toba yang tinggal di daerah Tapanuli Tengah ini
banyak yang bermata pencaharian sebagai penyadap nira. Kegiatan menyadap nira ini
biasanya dilakukan pada pagi dan mengumpulkan hasil yang disadap pada sore hari.
Dalam proses penyadapan nira ini terdapat beberapa proses untuk bisa
menghasilkan air niranya. Sebelum disadap, pohon enau terlebih dahulu dibersihkan
dari tumbuh-tumbuhan yang menempel pada batang enau dan juga mengambil ijuk
yang ada pada batang enau. Kemudian salah satunya proses untuk menghasilkan air
niranya adalah dengan cara memukul-mukul batang pohon enau tersebut yang disebut
dengan mambalbal bagot.
Mambalbal bagot berasal dari kata mambalbal yang berarti memukul dan
bagot adalah pohon enau. Mambalbal bagot berarti kegiatan memukul pohon enau
untuk menyadap nira dari pohon enau untuk kemudian diolah menjadi tuak. Tuak
adalah sejenis minuman tradisional Batak Toba. Selain digunakan sebagai tuak, nira
juga sebagai bahan baku untuk membuat gula merah.
Tuak adalah minuman khas orang Batak yang disadap dari pohon bagot.
Proses penyadapan air nira dari bagot disebut maragat biasanya dilakukan oleh
seorang paragat2. Sebelum tandan dari pohon bagot diagati terlebih dahulu tandan
bagot tersebut dipukul berulang-ulang dengan alat dari kayu yang disebut balbal
selama dua minggu sampai tandan dari bagot tersebut menguning, baru dipotong
mayangnya. Kemudian membungkus ujung tandan yang telah dipotong tersebut
2 Orang yang pekerjaannya menyadap tuak.
3
dengan memberi kapur sirih atau keladi yang ditumbuk selama dua-tiga hari. Dengan
prosedur ini barulah airnya mulai menetes.
Penyadapan biasanya dilakukan dua kali dalam sehari yaitu pagi dan sore
harinya dengan menampung tetesan nira dalam sebuah wadah yang terbuat dari
bambu yang disebut poting. Sekarang ini para paragat sudah menggunakan jeregen
sebagai alat untuk menampung tetesan nira tersebut.
Di dalam proses pemukulan bagot ini menggunakan pola-pola ritem tertentu
dan dengan tempo tertentu. Ritem yang digunakan adalah pola ritme yang diulang-
ulang dengan tempo agak lambat sekitar 56 MM. Hal inilah yang membuat penulis
tertarik untuk meneliti lebih lanjut pola ritem yang terdapat selama mambalbal bagot
tersebut.
Keberadaan penyadapan nira bagi masyarakat Batak ini dianggap penting.
Karena nira tersebut kemudian diolah menjadi tuak. Tuak merupakan pelepas lelah
sebagian orang setelah seharian bekerja. Kumpul-kumpul di lapo tuak sambil
bernyanyi ria dengan sesama teman, sahabat atau tetangganya merupakan kepuasan
tersendiri bagi mereka. Selain itu tuak juga digunakan dalam kegiatan adat. Dalam
adat perkawinan dikenal dengan istilah tuak tangkasan. Tuak tangkasan merupakan
tuak yang diberikan untuk diminum kepada parhata adat3. Kalau seorang parhata
adat belum diberikan tauk tangkasan maka acara pembicaraan adat belum bisa
dimulai4. Tuak tangkasan dalam arti yang sesungguhnya adalah tuak yang diperoleh
dari hasil penyadapan pertama kali dari sebuah pohon bagot. Namun karena tuak
3 Yang pandai berbicara adat dalam adat Batak. 4 Wawancara dengan R. br. Simatupang, salah satu penatua adat di Desa Hutaimbaru.
4
tangkasan yang seperti ini jarang didapat, maka digantikan dengan tuak yang biasa
untuk diberikan kepada parhata adat. Tuak ini juga diyakini dapat memperlancar
proses peredaran darah dan juga diberikan kepada wanita yang baru melahirkan
karena dapat menghangatkan serta memperlancar proses keluarnya air susu ibu untuk
menyusui bayi.
Nira disamping sebagai minuman, juga merupakan bahan baku untuk
pembuatan gula dengan berbagai sebutan seperti gula aren atau gula merah atau gula
jawa. Untuk memproses tuak menjadi gula sangatlah sederhana. Secara tradisional,
nira hanya dimasak diatas kuali dengan kayu bakar selama beberapa jam, lalu diaduk
sampai mengental dan dituang kedalam cetakan yang biasanya terbuat dari bongkol
bambo (lempengan bambo yang tipis atau batok kelapa).
Belakangan ini nira sudah diproses secara modern menjadi kristal gula yang
disebut palm sugar atau brown sugar dan penjualannya tidak lagi di pasar-pasar
tradisional melainkan di super market dengan kemasan bermerek dagang untuk
olesan gula pada roti. Nira juga sebagai bahan mutlak untuk membuat cuka makan
yang disebut Arenga Vinegar.
Terdapat semacam ritual dalam proses penyadapan bagot ini. Seperti
menyanyikan sebuah lagu sebelum menyadap bagot. Hal ini dimaksudkan untuk
membujuk pohon bagot tersebut supaya mau mengeluarkan air tuaknya. Jika seorang
paragat tersebut tidak bernyanyi sebelum maragat, maka airnya tidak akan keluar.
Seorang paragat juga harus pandai-pandai membujuk pohon bagot yang akan
5
diagati, karena menurut legenda masyarakat Batak5 bagot adalah jelmaan dari
seorang wanita yang bunuh diri6 yang harus dibujuk agar mau memberikan tetesan air
matanya yang disebut tuak. Tangkai tandan bunga jantan yang akan diagati biasanya
digoyang-goyang serta diketuk-ketuk dengan sepotong kayu sambil dinyanyi-
nyanyikan syair rayuan yang berbunyi:
“O boru Simbolon siboru nauli, Boru na so ra jadi na uli diagati, unang sai
maila ho tangis da. Tangishon ma sude arsak ni rohami7”
Kata-kata pantun tersebut dinyanyikan berulang-ulang sampai dirasa Siboru
Simbolon dianggap sudah termakan bujuk rajuan oleh paragat. Bila rayuan itu
memang diterima oleh Siboru Simbolon maka diyakini penyadapan akan berlangsung
lama berbulan-bulan dan menghasilkan tuak yang banyak dari satu tandan. Namun
pada penyadapan nira yang terdapat di desa Hutaimbaru ini nyanyian tersebut sudah
jarang digunakan bahkan sudah tidak terdapat lagi nyanyian tersebut.
Dalam proses penyadapan ini, yang melakukan pekerjaan ini adalah orang
yang ahli dalam mambalbal bagot ataupun orang yang sebelumnya telah belajar yang
disebut dengan paragat. Paragat biasanya adalah laki-laki yang telah dewasa. Belum
pernah ditemukan seorang paragat di Desa Hutaimbaru seorang perempuan ataupun
anak-anak.
5 Wawancara dengan Mansari Munte, seorang paragat. 6 Wanita ini bunuh diri karena tidak tahan dengan tingkah laku saudaranya yang kerjanya main judi sehingga memiliki banyak utang. Namun mereka tidak memiliki uang untuk membayar utang-utang saudaranya tersebut, sehingga membuat wanita itu bunuh diri sambil mengucap sebuah sumpah dan ketika gantung diri dia berubah menjadi sebuah pohon bagot. 7 “O boru Simbolon siboru nauli, Boru na so ra jadi na uli diagati, unang sai maila ho tangis da. Tangishon ma sude arsak ni rohami7” artinya wahai boru Simbolon yang cantik rupawan, gadis yang tidak kunjung jadi, yang bagus untuk disadap, janganlah kiranya malu untuk menagis, tangiskanlah semua sedih yang ada di hatimu.
6
Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk meneliti lebih dalam
lagi tentang unsur-unsur ritem yang terdapat selama proses penyadapan tuak serta
ritual yang dijalani seorang paragat selama menyadap bagot. Untuk itu penulis akan
meneliti dan membahas tulisan ini untuk dijadikan karya tulis ilmiah dengan judul
Analisis Pola Ritmis Mambalbal Bagot pada Masyarakat Batak Toba di Desa
Hutaimbaru Kecamatan Tapian Nauli IV Kabupaten Tapanuli Tengah.
1.2 Pokok Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis kemukakan
sebelumnya, maka pokok permasalahan yang menjadi topik bahasan dalam tulisan ini
adalah :
1. Bagaimana proses mambalbal dalam maragat untuk penyadapan nira.
2. Bagaimana struktur musikal terutama pola ritem dalam mambalbal bagot.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
1. Untuk menganalisis proses mambalbal dalam maragat dalam penyadapan
nira.
2. Untuk menganalisis struktur musikal terutama pola ritem dalam mambalbal
bagot.
1.3.2 Manfaat penelitian
1. Dapat menjadi bahan referensi bagi masyarakat untuk dipelajari.
7
2. Agar dapat menjadi bahan dokumentasi dasar bagi para peneliti, terutama
etnomusikolog untuk dikembangkan berikutnya.
3. Sebagai bahan dokumentasi untuk menambah referensi mengenai proses
penyadapan tuak di Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Sumatra Utara.
4. Sebagai bahan acuan dalam melaksanakan kehidupan dan pelajaran tentang
kehidupan.
1.4. Konsep dan Teori
1.4.1 Konsep
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002:43), analisa adalah penguraian
suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelahan bagian itu sendiri serta hubungan
antara bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti
keseluruhan.. Kata analisis mempunyai arti penelitian suatu masalah, atau penelitian
terhadap suatu peristiwa sehingga dapat diketahui latar belakang dan duduk
permasalahannya atau proses kejadiannya (Kamus Besar Bahasa Indonesia Modern).
Analisis yang penulis maksud disini adalah menelaah dan menguraikan struktur
musikal mambalbal bagot, seperti pola ritme, meter, intensitas suara (keras
lembutnya suara).
Pola ritmis adalah suatu bentuk pukulan yang mempunyai struktur tertentu
dari ritem. Mambalbal bagot berasal dari kata mambalbal yang berarti memukul dan
bagot adalah pohon enau. Mambalbal bagot berarti kegiatan memukul pohon enau
dalam menyadap pohon enau untuk menghasilkan tuak. Tuak adalah sejenis minuman
tradisional batak toba dan juga sebagai bahan baku untuk membuat gula merah.
8
Fungsi dapat dikatakan adalah manfaat atau kegunaan dari suatu hal. Sosial
merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat. Fungsi
sosial adalah manfaat maupun kegunaan suatu hal dalam kehidupan masyarakat.
Dalam hal ini penulis akan melihat apa fungsi atau pun kegunaan mambalbal dalam
proses pembuatan tuak.
1.4.2 Kerangka Teori
Teori merupakan landasan pendapat yang dikemukakan mengenai suatu
peristiwa. (Kamus besar bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1991 : 1041). Dalam
tulisan ini unsur utama yang menjadi pokok permasalahan yang dibahas adalah pola
ritmis di dalam mambalbal bagot.
Dalam konteks penelitian, teori digunakan sebagai arahan untuk melakukan
kerja-kerja penelitian. Teori hanya sebagai acuan sementara, agar penelitian tidak
melebar ke mana-mana. Teori adalah bangunan yang mapan, ada pendapat peneliti,
ada simpulan awal. Itulah sebabnya teori harus dibangun terstruktur, sejalan dengan
apa saja yang mungkin akan digunakan (Suwardi, 2006:107).
Menurut Koentjaraningrat pengertian upacara ritual atau ceremony adalah:
sistem aktifitas atau rangkaian tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang
berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan berbagai macam peristiwa yang
biasanya terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan. (Koentjaraningrat, 1990: 190).
Untuk melihat apa-apa saja komponen upacara, maka penulis menggunakan
teori upacara yang kemukakan oleh Koentjaraningrat (1958:243) yang menyatakan
9
aspek-aspek dalam upacara ada empat, yaitu: (1) tempat upacara, (2) waktu upacara,
(3) benda-benda dan alat-alat upacara, (4) yang melaksanakan dan peminpin upacara.
Untuk menganalisis aspek pola ritmis dalam mambalbal bagot, penulis
mengacu kepada teori yang dikemukakan oleh Mark Slobin dan Jeff Titon (1984:5)
yang mengatakan bahwa style (gaya) musik adalah segala sesuatu yang berhubungan
dengan organisasi bunyi musikal itu sendiri antara lain; (1) Elemen nada: tangga
nada, modus, melodi, harmoni, sistem laras (2) Elemen waktu: ritem dan meter (3)
Elemen warna suara: kualitas suara dan warna suara instrumen (4) Intensitas suara:
keras-lembutnya suara. Dalam kasus ini penulis hanya menggunakan sebagian dari
teori diatas yaitu nomor dua, karena berhubungan dengan elemen waktu. Penulis
tertarik untuk menganalisis pola ritem dalam proses mambalbal bagot.
Nettl (1964:148-149) ada hal yang perlu diperhatikan dalam mendeskripsikan
dan menganalisis komposisi, hal tersebut berupa (1) ritem; menghitung berbagai nilai
not pola ritem serta pengulangan ritem dan variasinya, (2) meter; mengindenfikasi
meter, menjelaskan suatu aspek dari musik. (3) tempo; mengindentifikasi perubahan
tempo, menghitung jumlah not dan membaginya dengan menit.
Teori diatas akan penulis jadikan sebagai panduan dalam menganalisis pola
ritem yang terdapat dalam proses mambalbal bagot.
1.5 Metode Penelitian
Metode penelitian adalah suatu prosedur atau urutan pekerjaan yang akan
dilaksanakan dalam rangka penyelidikan dari suatu bidang yang dijalankan untuk
memperoleh fakta-fakta atau prinsip-prinsip dengan sabar, hati-hati serta sistematis,
10
dimana pemecahannya memerlukan pengumpulan dan penafsiran fakta-fakta,
termasuk di dalamnya, pemilihan lokasi penelitian, pengumpulan data, pengolahan
data, memformulasikan hipotesa, penentuan model dalam pengujian hipotesa, studi
kepustakaan dan kerja labolatorium.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif yaitu
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang menghasilkan kata-kata
tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati (Bogdan dan Taylor
dalam Moleong, 1989:3).
Penelitian kualitatif ini, dapat dibagi menjadi 3 tahap, yaitu: tahap sebelum ke
lapangan, tahap analisis data, dan tahap penulisan laporan (skripsi). Adapun teknik
pengumpulan data yang dipakai adalah sebagai berikut :
1.5.1 Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan merupakan salah satu landasan dalam melakukan sebuah
penelitian, yaitu dengan mengumpulkan literatur atau sumber bacaan untuk
mendapatkan pengetahuan dasar tentang objek penelitian. Sumber-sumber bacaan ini
dapat berupa buku, ensiklopedi, jurnal, buletin, artikel, laporan penelitian dan lain-
lain. Dengan melakukan studi kepustakaan penulis akan mendapat cara yang efektif
dalam melakukan penelitian lapangan dan penyusunan skripsi ini.
Hal pertama yang dilakukan penulis adalah melakukan studi kepustakaan
dengan cara mempelajari tulisan-tulisan yang berhubungan dengan objek
pembahasan. Dalam hal ini penulis mempelajari skripsi yang sudah pernah ditulis
oleh sarjana dari Etnomusikologi. Nyanyian dalam proses penyadapan nira sudah
11
pernah ditulis sebelumnya sehingga tidak akan dibahas lagi dalam skripsi ini. Penulis
juga mengumpulkan data dengan menggunakan teknologi internet, seperti dari
www.google.com, dan catatan-catatan yang berkaitan dengan objek penelitian.
Studi pustaka ini diperlukan untuk mendapatakan konsep-konsep dan teori
juga informasi yang dapat digunakan sebagai pendukung penelitian pada saat
melakukan penelitian dan penulisan skripsi ini.
1.5.2 Kerja Lapangan
Menurut Harja W. Bachtiar (1985 : 108), bahwa pengumpulan data dilakukan
melalui kerja lapangan (fied work) dengan menggunakan teknik observasi untuk
melihat, mengamati objek penelitian dengan tujuan mendapatkan informasi-informasi
yang dibutuhkan.
Dalam hal ini, penulis juga langsung melakukan observasi langsung ke lokasi
penelitian yaitu di Desa Hutaimbaru Kec. Tapian Nauli IV Kab. Tapanuli Tengah,
dan langsung melakukan wawancara antara penulis dengan informan yaitu dengan
mengajukan pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya.
1.5.2.1 Wawancara
Menurut Harja W. Bachtiar (1985 : 155), wawancara adalah untuk mencatat
keterangan-keterangan yang dibutuhkan dengan maksud agar data atau keterangan
tidak ada yang hilang.
Dalam proses melakukan wawancara penulis beracuan pada metode
wawancara yang dikemukakan oleh Koenjaraningrat (1985 : 139), yaitu: wawancara
12
berfokus (Focused interview), wawancara bebas (Free interview), wawancara sambil
lalu (Casual interview).
Langkah awal yang penulis lakukan adalah menyiapkan dan menyusun
sejumlah pertanyaan yang terperinci sebelum bertemu dengan informan. Dalam hal
ini penulis terlebih dahulu menyiapkan daftar pertanyaan yang akan ditanyakan saat
wawancara, pertanyaan yang penulis ajukan bisa beralih dari satu topik ke topik lain
secara bebas.
Untuk pemotretan dan perekaman wawancara penulis menggunakan kamera
dan handycam untuk mempermudah perekaman dan penyimpanan data, dan juga
dalam bentuk tulisan.
1.5.3 Kerja Laboratorium
Keseluruhan data yang telah terkumpul dari lapangan, selanjutnya diproses
dalam kerja laboratorium. Data-data yang bersifat analisis disusun dengan sistematika
penulisan ilmiah. Data-data berupa gambar dan rekaman diteliti kembali sesuai
ukuran yang telah ditentukan kemudian dianalisis seperlunya. Semua hasil
pengolahan data tersebut disusun dalam satu laporan hasil penelitian berbentuk
skripsi. (Meriam 1995 : 85).
Menurut Burhan Bungin (2007:153), ada dua hal yang ingin dicapai dalam
analisis data kualitatif, yaitu: (1) menganalisis proses berlangsungnya suatu fenomena
sosial dan memperoleh suatu gambaran yang tuntas terhadap proses tersebut; dan (2)
menganalisis makna yang ada dibalik informasi, data, dan proses suatu fenomena
sosial tersebut.
13
Setelah semua data yang diperoleh dari lapangan maupun bahan dari studi
kepustakaan terkumpul, selanjutnya dilakukan pengolahan data dan penyusunan
tulisan. Sedangkan untuk hasil rekaman dilakukan pentranskripsian dan selanjutnya
dianalisis.
1.5.4 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian berada di di Desa Poriaha Kecamatan Tapian Nauli
Kabupaten Tapanuli Tengah.
14
BAB II
ETNOGRAFI MASYARAKAT BATAK TOBA TAPANULI TENGAH
2.1 Keadaan Geografis Daerah Penelitian
Daerah yang penulis ambil sebagai lokasi penelitian adalah Desa Hutaimbaru
Kecamatan Tapian Nauli. Kecamatan Tapian Nauli adalah salah satu kecamatan yang
ada di Kabupaten Tapanuli Tengah. Tapanuli Tengah merupakan salah satu daerah
tingkat II di propinsi Sumatera Utara. Ibukotanya adalah Pandan. Kabupaten Tapanuli
Tengah secara geografis terletak diantara 98º 07 - 98º 12' Bujur Timur dan 1º 11' - 2º
22' Lintang Utara, luas wilayahnya adalah 2.158 Km2. Pada bulan Mei 2007, secara
administratif Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah terdiri atas 20 kecamatan, 24
kelurahan dan 154 desa8.
Kabupaten Tapanuli Tengah mempunyai luas 2.194,98 km2, dengan jumlah
penduduk 314.142 jiwa. Sebagian besar berada di daratan Pulau Sumatera dan
sebagian kecil berada di pulau-pulau kecil disekitar wilayah kabupaten ini9.
Sebagian besar wilayah kecamatan di Kabupaten Tapanuli Tengah berbatasan
dengan lautan sehingga berpengaruh pada suhu udara yang tergolong beriklim tropis.
Dalam periode bulan Januari – Desember 2006, suhu udara maksimum dapat
mencapai 31,53 °C dan suhu minimum mencapai 21,72 °C. Pada tahun 2009, curah
8 Sumber: www.wikipedia.com 9 Sumber: http://tapanulitengahkab.bps.go.id
15
hujan rata-rata 4.227,7 mm, hari hujan 229,00 hari, kecepatan angin rata-rata 7,40
knot dan penguapan rata-rata 4,90 mm. Kelembaban udara rata-rata 95,00%10.
Berdasarkan hasil Sensus Penduduk (SP) 2000 yang mencacah penduduk
secara lengkap, penduduk di Kabupaten Tapanuli Tengah berjumlah 244.679 jiwa.
Kepadatan penduduknya sebesar 111 jiwa per km2. Menurut hasil Sensus Penduduk,
pada tahun 2010 penduduk Kabupaten Tapanuli Tengah meningkat menjadi 311.232
jiwa, dengan kepadatan penduduk sebesar 142 jiwa per km2.
Komposisi penduduk di Kabupaten Tapanuli Tengah lebih banyak laki-laki
(50,24 persen) daripada perempuan (49,76 persen). Sehingga Rasio jenis kelamin/
Sex Ratio penduduk Kabupaten Tapanuli Tengah pada tahun 2010 sebesar 100,98
persen11.
Adapun batas-batas wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah adalah sebagai
berikut :
Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Aceh Singkil (Propinsi
Aceh).
Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Selatan.
Sebelah timur berbatasan dengan Kota Sibolga dan Samudra Hindia.
Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Utara.
10 Sumber: www.wikipedia.com 11 Sumber: http://tapanulitengahkab.bps.go.id
16
Gambar 2.1 Peta Sumatera Utara12 12 Sumber: www.google.com
17
Gambar 2.1 Peta Kabupaten Tapanuli Tengah13
13 Sumber: http://tapanulitengahkab.bps.go.id
18
Nama-nama kecamatan yang ada di Kabupaten Tapanuli sebagai berikut:
1. Andam Dewi
2. Badiri
3. Barus
4. Barus Utara
5. Kolang
6. Lumut
7. Manduamas
8. Sibabangun
9. Pandan
10. Pasaribu Tobing
11. Pinangsori
12. Sarudik
13. Sirandorung
14. Sitahuis
15. Sorkam
16. Sorkam Barat
17. Sosorgadong
18. Suka Bangun
19. Tapian Nauli
20. Tukka
Kabupaten Tapanuli Tengah terdiri atas 20 kecamatan dimana salah satunya
adalah Kecamatan Tapian Nauli. Dan yang menjadi lokasi penelitian penulis adalah
Dusun Hutaimbaru Kelurahan Tapian Nauli IV Kecamatan Tapian Nauli.
Kecamatan Tapian Nauli terletak antara 01º 33´ Lintang Utara dan 98º 45´
Bujur Timur dan berada 0-800 meter di atas permukaan laut. Kecamatan Tapian
Nauli memiliki luas wilayah 133,53 km², yang berbatasan dengan :
19
o Sebelah utara berbatasan dengan : Kecamatan Kolang
o Sebelah selatan berbatasan dengan : Kecamatan Sibolga dan Kota
Sibolga
o Sebelah barat berbatasan dengan : Samudera Hindia
o Sebelah timur berbatasan dengan : Kecamatan Sitahuis.
Data Statistik Kecamatan Tapian Nauli mengenai keadaan penduduk ,
pendidikan, pertanian, kelengkapan lainnya dapat dilihat pada tabel-tabel di bawah
ini.
TABEL 1
Banyaknya penduduk dirinci menurut jenis kelamin dan kelompok umur
Kelompok
Umur
Laki-laki Perempuan Jumlah
(1) (2) (3) (4)
0-4 1136 1100 2236
5-9 1328 1216 2544
10-14 1175 1224 2399
15-19 1000 938 1936
20-24 653 547 1200
25-29 636 623 1259
20
30-34 677 602 1279
35-39 634 622 1256
40-44 560 597 1157
45-49 471 497 968
50-54 358 401 786
55-59 244 247 491
60-64 174 168 342
65-69 108 154 262
70-74 73 110 183
75+ 67 171 238
Sumber: Tapian Nauli dalam Angka 2012, Kantor camat Tapian Nauli.
TABEL 2
Distribusi Sarana Pendidikan
No SMU SMP SD
Negeri Swasta Negeri Swasta Negeri Swasta
1 1 1 2 2 14 1
Sumber: Tapian Nauli dalam Angka 2012, Kantor camat Tapian Nauli.
21
TABEL 3
Distribusi Sarana Kesehatan
No Rumah sakit Puskesmas Pustu Polindes Posyandu
1 - 1 4 10 18
Sumber: Tapian Nauli dalam Angka 2012, Kantor camat Tapian Nauli.
TABLE 4
Luas Panen dan Produksi Tanaman Pangan
Uraian 2010 2011
(1) (2) (3)
Padi
Luas panen (ha)
Produksi (ton)
725
2970
725
2970
Jagung
Luas panen (ha)
Produksi (ton)
52
144
74
205
Kacang kedelai
Luas panen (ha)
Produksi (ton)
-
-
-
-
Kacang tanah
Luas panen (ha)
Produksi (ton)
26
30
5
4
Ubi kayu
22
Luas panen (ha)
Produksi (ton)
74
889
27
3,5
Ubi jalar
Luas panen (ha)
Produksi (ton)
14
76
18
54
Sumber: Tapian Nauli dalam Angka 2012, Kantor camat Tapian Nauli.
Dari tabel yang yang diperoleh di atas, komoditi pohon enau belum
dimasukkan ke dalam daftar tabel karena pohon enau merupakan pohon yang belum
dibudidayakan dan belum termasuk ke dalam mata pencaharian utama masyarakat
Tapian Nauli.
Berdasarkan letak geografisnya, pohon aren dapat tumbuh dengan baik dan
berproduksi dengan baik pada daerah yang tanahnya subur pada ketinggian 500-800
meter di atas permukaan laut dan suhu rata-rata 30-32 º C. Hal ini membuat
Kabupaten Tapanuli Tengah khususnya Kecamatan Tapian Nauli banyak ditumbuhi
pohon aren karena berada 0-800m di atas permukaan laut. Tumbuhan ini banyak
dijumpai di daerah kecamatan ini. Pohon aren merupakan tumbuhan yang dapat
tumbuh secara liar sehingga tidak memerlukan perawatan tanaman yang khusus.
2.2 Adat Masyarakat yang tinggal di Kecamatan Tapian Nauli khususnya di Desa
Hutaimbaru keseluruhannya adalah etnis Batak Toba sehingga kebudayaan yang ada
dan dipakai oleh masyarakat ini adalah adat Batak Toba.
23
2.2.1 Struktur Kekerabatan
Struktur kekerabatan yang dimaksud adalah hubungan kekeluargaan antara
satu individu dengan individu lain. Kekerabatan timbul akibat dua hal, yaitu
disebabkan hubungan darah (consaigunal) dan akibat adanya perkawinal (konjunal).
Oleh karena itu kekerabatan (kinship) menyangkut jauh dekatnya hubungan seseorang
(individu) dan antara seorang kelompok (keluarga/kerabat) demikian pula sebaliknya
(Kepler, 2002:33).
Sistem kekerabatan ini merupakan suatu dasar yang merupakan titik acuan di
dalam proses interaksi dengan sesama orang Batak Toba. Jauh dekatnya hubungan
kekerabatan dalam masyarakat Batak Toba ditentukan oleh garis keturunan pihak
laki-laki dan pertalian darah akibat perkawinan.
2.2.1.1 Kekerabatan Berdasarkan Keturunan
Sistem kekerabatan pada masyarakat Batak Toba di Desa Hutaimbaru tidak
berbeda dengan sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba di daerah lain.
Kekerabatan masyarakat Batak Toba berdasarkan garis keturunan didasarkan pada
tarombo (silsilah) orang Batak itu sendiri. Tarombo ditentukan oleh marga, dimana
marga ditentukan oleh garis keturunan dari pihak laki-laki (ayah). Segala tata cara
kehidupan dimulai dari keluarga sampai pada lingkungan masyarakat diatur dan
disusun berdasarkan garis keturunan ayah (patrilineal)14. Dari marga ini akan
diketahui tarombo seseorang untuk memanggil sapaan terhadap orang lain. Marga
dipergunakan oleh anak laki-laki, sementara untuk perempuan disebut boru. 14 Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Patrilineal
24
Dalam masyarakat Batak Toba kaum pria berfungsi sebagai pewaris dan
penerus keturunan marga. Sedangkan wanita apabila berumah tangga secara otomatis
akan masuk lingkungan marga suaminya dan tidak menjadi pewaris marga bagi
keturunannya.
Dalam masyarakat Batak apabila marganya sama, maka mereka adalah
kerabat yang memiliki satu nenek moyang yang sama. Pria dan wanita yang semarga
sangat tidak dibenarkan saling mengawini.
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa marga (klan) pada masyarakat Batak
Toba mempunyai peranan yang sangat penting di dalam kehidupan masyarakatnya.
Begitu juga jika ditinjau dari hubungan kekerabatan antar individu, marga (klan) juga
sangat berperan dalam kehidupan masyarakat.
2.2.1.2 Kekerabatan Berdasarkan Hubungan Perkawinan
Masyarakat Batak memiliki sistem kekerabatan yang dikenal dengan dalihan
na tolu. Dalam bahasa Indonesia dalihan na tolu artinya tungku yang terdiri dari tiga
kaki. Sistem ini mengatur pola interaksi sosial dalam masyarakat Batak. Dalihan na
tolu ini terjadi karena adanya perkawinan sehingga terjadi hubungan kekerabatan
dengan marga lain (Siahaan, 1982).
Menurut falsafah orang Batak dalihan na tolu merupakan tiga buah batu yang
dijadikan sebagai penyanggah dalam setiap interaksi satu sama lain dalam kehidupan
bersama diibaratkan sebagai tungku yang menyanggah beban di atasnya (Skripsi
Nainggolan: 2009). Tiga batu penyanggah tersebut membentuk kerja sama yang
sungguh-sungguh kokoh dalam usaha untuk menciptakan kebaikan bersama. Setiap
25
batu penyanggah itu memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan bersama
dan tidak bisa lepas satu sama yang lain.
Tiga kedudukan yang dimaksud dalam dalihan na tolu adalah hula-hula,
dongan tubu, dan boru (Siahaan, 1982). Hula-hula merupakan pihak keluarga dari
istri yaitu orang tua dan semua saudara laki-laki dari wanita yang dinikahi oleh pria
dari marga lain. Hula-hula ini memiliki kedudukan dan fungsi yang paling tinggi
dalam sistem kekerabatan orang Batak Toba. Bagi masyarakat Batak Toba hula-hula
dianggap sebagai pemberi kebahagian, pemberi rejeki, dan pemberi berkat tertinggi
yang harus dihormati. Orang Batak Toba menyakini bahwa hula-hula merupakan
sarana penyalur berkat dan bahkan disebut sebagai “tuhan yang kelihatan”. Sehingga
dengan menghormati hula-hula orang-orang akan memperoleh berkat dan rejeki
dalam kehidupannya.
Dongan tubu merupakan hubungan persaudaraan yang berasal dari ayah yang
sama atau garis keturunan yang sama dan golongan yang memiliki marga yang sama.
Dalam suatu acara adat kedudukan dongan tubu sama atau sederejat dengan pihak
yang menyelenggarakan pesta (suhut). Dongan tubu mempunyai tugas untuk
mengawasi berjalannya acara adat.
Boru adalah keluarga yang memperisteri anak perempuan dari suatu marga.
Boru adalah orang yang selalu sibuk dan siap sedia mempersiapkan segala sesuatu
dalam setiap acara atau kegiatan adat seperti mempersiapkan hidangan konsumsi,
mengatur berbagai pertemuan atau acara-acara keluarga lainnya. Khususnya, jika
acara atau pesta (adat) adalah perhelatan atau pesta dari pihak hula-hula.
26
Ketiga dalihan na tolu ini tidak bisa dipisah dalam kehidupan bersosialisasi
masyarakat Batak Toba, baik dalam acara adat maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Posisi dalihan na tolu ini bergantung pada konteksnya. Setiap orang Batak memiliki
ketiga posisi tersebut pada saat yang sama. Seorang hula-hula akan berposisi sebagai
boru jika yang mengadakan pesta adalah pihak keluarga dari istrinya. Begitu juga
sebaliknya seorang boru akan menjadi hula-hula bagi keluarga anak perempuannya
yang telah menikah dengan marga lain.
Dalam menjaga konsep Dalihan Na Tolu pada masyarakat Batak Toba ada
pepatah yang mengatakan: “somba marhula-hula, elek marboru, manat mardongan
tubu” (Gultom 1992:53). Somba marhula-hula maksudnya adalah agar pihak boru
selalu memberikan sembah kepada hula-hula, elek marboru maksudnya adalah agar
pihak hula-hula selalu bersikap mangelek (membujuk) dan sayang terhadap pihak
boru, manat mardongan tubu maksudnya adalah agar pihak sesama marga selalu
saling memperhatikan dan selalu berhati-hati dalam bersikap agar tidak terjadi sakit
hati bagi sesama dongan tubu.
2.2.2 Sistem Perkawinan
Perkawinan dalam Koentjaraningrat (1994:103) adalah sebagai pengatur
tingkah laku manusia yang berkaitan dengan kehidupan kelaminnya
Perkawinan bukan hanya sekedar perjanjian sehidup semati antara laki-laki
dan perempuan yang bersatu dalam sebuah rumah tangga, tetapi juga terbentuknya
hubungan antara keluarga laki-laki dan keluarga perempuan menjadi sebuah keluarga
27
besar (Kepler, 2002:38). Sistem perkawinan menurut adat Batak Toba adalah sesuatu
yang kompleks yang harus melalui tahapan-tahapan.
Perkawinan bagi masyarakat Batak Toba adalah sebuah pranata yang tidak
hanya mengikat seorang laki-laki dan seorang perempuan tetapi juga mengikat suatu
keluarga besar yakni keluarga pihak laki-laki (paranak dalam bahasa Batak Toba)
dan pihak perempuan (parboru). Perkawinan mengikat kedua belah pihak tersebut
dalam suatu ikatan kekerabatan yang baru, yang juga berarti membentuk satu dalihan
na tolu (tungku nan tiga) yang baru juga15.
Secara umum, dalam adat Batak Toba, upacara perkawinan didahului oleh
upacara pertunangan. Upacara ini bersifat khusus dan otonom, diakhiri dengan tata
cara yang menjamin, baik awal penyatuan kedua calon pengantin ke dalam
lingkungan baru, maupun perpisahan dan peralihan dari masa peralihan tetap,
sebagaimana akan diteguhkan dalam upacara perkawinan.
Dengan demikian, tata upacara perkawinan terdiri dari tata cara penyatuan
tetap atau permanen ke dalam lingkungan (sosial) baru, dan tata cara penyatuan yang
bersifat personal16.
Proses perkawinan dalam adat kebudayaan Batak Toba menganut hukum
eksogami (perkawinan di luar kelompok suku tertentu). Seorang perempuan akan
meninggalkan kelompoknya dan pindah ke kelompok suami, namun dia akan tetap
menyandang marganya sendiri; selanjutnya, perempuan tersebut beserta suaminya
15 Helga Septiani Manik, “Makna dan Fungsi Tradisi Sinamot dalam Adat Perkawinan Sukubangsa Batak Toba di Perantauan Surabaya”, jurnal Antropologi FISIP Unair. 2011 16(Arnold van Gennep, The Rites of Passage. London & Henley: Routledge & Kegan Paul, 1965, hlm. 116).
28
akan menyebut kelompok marga perempuan itu dengan hula-hula (Vergouwen,
1986:xi)
Ini terlihat dalam kenyataan bahwa dalam masyarakat Batak Toba seseorang
yang hendak menikah tidak boleh mengambil isteri dari kalangan kelompok marga
sendiri (namariboto), perempuan meninggalkan kelompoknya dan pindah ke
kelompok suami, dan bersifat patrilineal, dengan tujuan untuk melestarikan marga
dari pihak laki-laki. Hak tanah, milik, nama, dan jabatan hanya dapat diwarisi oleh
garis laki-laki.
Tahapan-tahapan yang ada pada masyarakat Batak Toba adalah sebagai
berikut17:
1. Paranakkon Hata
a) Paranakkon hata artinya menyampaikan pinangan oleh paranak (pihak
laki-laki) kepada parboru (pihak perempuan).
b) Pihak perempuan langsung memberi jawaban kepada orang yang disuruh
oleh pihak laki-laki pada hari itu juga.
c) Pihak yang disuruh paranak panakkok hata masing-masing satu orang
dongan tubu, boru, dan dongan sahuta.
2. Marhusip
a) Marhusip artinya membicarakan prosedur yang harus dilaksanakan oleh
pihak paranak sesuai dengan ketentuan adat setempat (ruhut adat di huta i)
dan sesuai dengan keinginan parboru (pihak perempuan).
17 http://luciusinurat.blogspot.com/2009/12/tahapan-perkawinan-adat-batak-toba.html
29
b) Pada tahap ini tidak pernah dibicarakan maskawin (sinamot). Yang
dibicarakan hanyalah hal-hal yang berhubungan dengan marhata sinamot
dan ketentuan lainnya.
c) Pihak yang disuruh marhusip ialah masing-masing satu orang dongan-tubu,
boru tubu, dan dongan-sahuta.
3. Marhata Sinamot
a) Pihak yang ikut marhata sinamot adalah masing-masing 2-3 orang
dari dongan-tubu, boru dan dongan sahuta.
b) Mereka tidak membawa makanan apa-apa, kecuali makanan ringan dan
minuman.
c) Yang dibicarakan hanya mengenai sinamot dan jambar sinamot.
4. Marpudun Saut
Marpudun saut artinya merealisasikan apa yang dikatakan dalam paranak hata,
marhusip, dan marhata sinamot. Semua yang dibicarakan pada ketiga tingkat
pembicaraan sebelumnya dipudun (disimpulkan, dirangkum) menjadi satu untuk
selanjutnya disahkan oleh tua-tua adat. Dalam marpudun saut sudah diputuskan
ketentuan yang pasti mengenai sinamot, ketentuan jambar sinamot kepada si jalo
todoan, ketentuan sinamot kepada parjambar na gok, ketentuan sinamot kepada
parjambar sinamot, parjuhut, jambar juhut, tempat upacara, tanggal upacara,
ketentuan mengenai ulos yang akan digunakan, ketentuan mengenai ulos-ulos kepada
pihak paranak, dan ketentuan tentang adat.
30
5. Unjuk
Semua upacara perkawinan (ulaon unjuk) harus dilakukan di halaman pihak
perempuan (alaman ni parboru), di mana pun upacara dilangsungkan. Berikut adalah
tata geraknya:
a) Memanggil liat ni Tulang ni boru muli dilanjutkan dengan menentukan
tempat duduk.
b) Mempersiapkan makanan,
c) Paranak memberikan na margoar ni sipanganon dari parjuhut horbo,
d) Parboru menyampaikan dengke (ikan, biasanya ikan mas),
e) Doa makan,
f) Membagikan jambar,
g) Marhata adat – yang terdiri dari tanggapan oleh parsinabung ni paranak,
dilanjutkan oleh parsinabung ni parboru, tanggapan parsinabung ni
paranak, tanggapan parsinabung ni parboru.
h) Pasahat sinamot dan todoan,
i) Mangulosi, dan
j) Padalan Olopolop.
6. Tangiang Parujungan
Doa penutut pertanda selesainya upacara perkawinan adat Batak Toba.
31
2.3 Bahasa
Bahasa ialah sistem perlambangan manusia yang lisan maupun tulisan untuk
berkomunikasi satu dengan yang lain (Koentjaraningrat, 1986:39).
Kecamatan Tapian Nauli merupakan salah satu daerah di Kabupaten Tapanuli
Tengah yang penduduknya adalah mayoritas Batak Toba. Bahasa Batak Toba
merupakan bahasa ibu dari masyarakat dari masyarakat Batak yang menetap disana.
Selain bahasa Batak Toba ada juga bahasa Pesisir yang digunakan sebagai bahasa
sehari-hari. Bahasa Pesisir ini umumnya digunakan oleh masyarakat yang tinggal di
pesisir pantai.
Masyarakat yang ada di Kelurahan Tapian Nauli IV termasuk di Dusun
Hutaimbaru menggunakan bahasa Batak sebagai media komunikasi dalam
percakapan formal maupun percakapan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan
penduduk yang tidak bersuku Batak pun mengerti dan fasih menggunakan bahasa ini,
karena bahasa Batak lebih sering digunakan jika dibandingkan dengan bahasa
nasional (bahasa indonesia). Hal ini bisa dapat dilihat baik dalam upacara adat, acara
kebaktian gereja maupun dalam kehidupan sehari-hari.
2.4 Sistem Religi
Kata religi dalam kamus sosiologi (Sujono Sukarno, 1983:403) berasal dari
kata religion yang berarti: kepertcayaan kepada hal-hal spiritual, perangkat
kepercayaan dan spiritual yang dianggap sebagai tujuan tersendiri dan idiologi
mengenail hal-hal spiritual.
32
Sistem religi yang ada pada masyarakat di Desa Hutaimbaru Kecamatan
Tapian Nauli telah dipengaruhi oleh agama Kristen dan Islam.
Sebelum agama masuk, masyarakat Batak adalah penganut kepercayaan
terhadap benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan gaib dan roh-roh orang yang
telah meninggal. Benda-benda mati dipercayai memiliki tondi (roh) misalnya:
gunung, pohon, batu dan benda-benda yang dianggap gaib. Orang Batak percaya
kepada arwah leluhur yang telah meninggal ada yang baik dan ada yang buruk. Ada
yang bersifat perusak yang dapat menyebabkan beberapa penyakit atau malapetaka
kepada manusia, ada yang bersifat memperbaiki diri ada yang roh yang ditakuti.
Penghormatan dan penyembahan dilakukan kepada arwah leluhur akan
mendatangkan keselamatan, kesejahteraan bagi orang tersebut maupun pada
keturunan.
Masyarakat Batak mempunyai sistem kepercayaan dan religi tentang Debata
Mulajadi Nabolon yang memiliki kekuasaan di atas langit dan bumi. Masyarakat
Batak Toba mengenal tiga konsep menyangkut jiwa dan roh, yaitu18:
Tondi
Sahala
Begu
Tondi adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena
itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang di dalam
kandungan. Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan
sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari 18 http://okahutabarat.wordpress.com/2009/02/27/sejarah-agama-di-tanah-batak/
33
sombaon yang menawannya. Sahala adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki
seseorang. Semua orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala.
Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-
hula. Begu adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan
tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam. Beberapa begu yang ditakuti
oleh orang Batak (Batara Sangti, 1977), yaitu:
Sombaon, yaitu begu yang bertempat tinggal di pegunungan atau di hutan
rimba yang gelap dan mengerikan.
Solobean, yaitu begu yang dianggap penguasa pada tempat tempat tertentu
Silan, yaitu begu dari nenek moyang pendiri huta/kampung dari suatu marga
Begu Ganjang, yaitu begu yang sangat ditakuti, karena dapat membinasakan
orang lain menurut perintah pemeliharanya.
Demikianlah religi dan kepercayaan suku batak yang terdapat dalam pustaha,
yang walaupun sudah menganut agama Kristen, dan berpendidikan tinggi orang
Batak belum mau meninggalkan religi dan kepercayaan yang sudah tertanam di
dalam hati sanu bari mereka.
Masyarakat yang ada di Desa Hutaimbaru ditinjau dari sistem kepercayaan
sudah memeluk agama. Kristen Protestan dan Islam merupakan agama yang telah
diyakini oleh masyarakat di desa ini.
2.5 Sistem Mata Pencaharian
Kecamatan Tapian Nauli merupakan daerah yang berada di daerah lereng
gunung dan tanah yang berbukit-bukit. Dari pengamatan yang penulis lakukan
34
masyarakat yang tinggal di keluharahan ini sebagian besar merupakan petani.
Khususnya masyarakat yang tinggal di Desa Hutaimbaru dalam usaha memenuhi
kebutuhan hidupnya, mata pencaharian penduduk adalah bertani seperti sayur-
sayuran, padi terutama sebagai penyadap pohon karet sebagai tumbuhan yang tumbuh
secara alami.
Selain sebagai petani ada juga beberapa orang yang berprofesi sebagai guru.
Namun sekalipun berprofesi sebagai guru mereka juga melakukan kegiatan bertani
sebagai pekerjaan sampingan apabila lagi libur atau setelah pulang dari mengajar di
sekolah. Di desa ini juga dijumpai kegiatan menyadap nira untuk dijadikan tuak. Nira
ini diperoleh dari pohon bagot (aren) yang masih tumbuh secara alami tanpa adanya
niat untuk membudidayakan pohon bagot tersebut.
Hanya ada satu orang yang membudidayakan pohon bagot ini. Ada sekitar
sepuluh pohon bagot yang ditanam di belakang rumahnya. Selain sebagai guru,
penyadap bagot merupakan pekerjaan sampingan yang dia tekuni. Dari hasil
penyadapan pohon bagot inilah dia bisa menyekolahkan anak-anaknya sampai ke
jenjang perkuliahan.
Pohon enau yang disadap biasanya tumbuh di ladang milik orang. Paragat
harus minta ijin terlebih dahulu kepada pemilik ladang sebelum menyadap pohon
enau yang ada di ladangnya tersebut. Pemilik bagot biasanya tidak pernah meminta
atau mempermasalahkan pembagian dari hasil penjualan tuak tersebut nantinya.
Semua tergantung dari paragat yang menyadap pohon enau di ladang pemilik
tersebut mau memberikan sebagian hasilnya atau tidak. Dari pengamatan yang
penulis lihat di lapangan paragat biasanya hanya memberikan satu persen bahkan
35
kurang dari seluruh hasil penjualan tuak dari satu batang pohon bagot. Ini sangat
ironis mengingat hasil penjualan tuak dari satu pohon bagot bisa mencapai lima belas
juta.
Hal tersebut juga yang menjadi keprihatinan dari Bapak Mansari Munthe yang
juga merupakan seorang paragat dan yang sudah membudidayakan pohon enau,
beliau mengatakan berani menyewa satu pohon bagot seharga dua juta rupiah karena
mengingat hasil dari satu pohon bagot tersebut sangatlah berlimpah.
Pekerjaan sebagai paragat biasanya adalah pekerjaan yang dilakukan turun-
temurun. Seorang paragat biasa lahir dari keluarga paragat juga, tetapi ada juga yang
bukan dari keluarga paragat.
2.6 Kesenian
2.6.1 Seni Musik
Musik dalam masyarakat Batak Toba dikenal dengan istilah gondang bisa
mengacu pada beberapa arti, seperti ensambel musik, sebagai repertoar dan sebagai
alat/instrumen musik. Istilah penggunaan gondang (Hutajulu dan Harahap, 2005:19)
bagi masyarakat Batak Toba beserta konteks pengertiaanya, misalnya:
1) Gondang hasahata;, kata gondang memiliki makna sebuah komposisi.
2) Gondang debata; kata gondang memiliki makna repertoar, yakni terdiri dari
tiga komposisi yang berbeda: “Debata Guru”, “Bane Bulan”, dan “Debata
Sori”.
3) Gondang simonang-monang; kata gondang memiliki makna komposisi lagu
sekaligus menunjukkan tempo pada lagu.
36
4) Gondang saem; kata gondang memiliki makna sebuah upacara
penyembuhan.
5) Gondang sabangunan atau gondang hasapi; kata gondang bermakna
ensambel musik.
Terdapat dua ensambel yang umum dikenal pada Masyarakat Batak Toba,
yaitu ensambel gondang sabangunan dan gondang hasapi. Alat musik yang terdapat
dalam ensambel gondang sabangunan yaitu satu set taganing (membranofon), sarune
bolon (aerofon), empat buah ogung (idiofon) dan hesek (idiofon). Instrument yang
terdapat dalam gondang hasapi yaitu garantung (idiofon), hesek (idiofon), sarune
etek (aerofon) dan hasapi (kordofon).
Ensambel gondang sabangunan dan gondang hasapi ini tidak pernah lagi
dipakai dalam acara adat masyarakat Batak yang ada di Desa Hutaimbaru ini.
Masyarakat sudah memakai instrumen kibot dan sulim dalam acara adat, baik adat
perkawinan maupun kematian. Ada juga beberapa pengusaha kibot yang telah
memasukkan taganing ke dalam instrumennya sebagai pelengkap.
2.6.2 Seni Tari
Seni tari pada masyarakat Batak Toba dikenal dengan dua jenis yaitu tortor
dan tumba. Tortor merupakan tarian yang digunakan dalam konteks upacara adat
seperti perkawinan dan kematian. Tumba merupakan tarian yang digunakan oleh
pemuda-pemudi maupun anak-anak pada waktu terang bulan. Tarian ini merupakan
tarian yang bersifat hiburan. Kegiatan ini disebut dengan martumba.
37
Pada masyarakat yang tinggal di Desa Hutaimbaru kegiatan martumba sudah
tidak terdapat lagi. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena tidak adanya pemrakarsa
ataupun karena rasa kekeluargaan dan persatuan antar muda-mudi tidak ada lagi.
2.6.3 Seni Sastra
Hutajulu dan Harahap (2005:13) mengatakan pada masyarakat Batak Toba
dapat ditemukan beberapa seni sastra, yaitu :
1. Umpasa merupakan kata-kata kiasan yang berisi ajaran tentang keteladanan,
kebijaksanaan, aturan-aturan adat serta pesan-pesan religious. Umumnya
umpasa disampaikan di dalam berbagai kegiatan upacara adat yang ada di
masyarakat Batak Toba.
2. Tonggo-tongo merupakan jenis sastra yang terkait dengan rangkaian teks-teks
naratif keagamaan. Tonggo-tonggo dapat berupa doa-doa pujian kepada Sang
Pencipta atau juga bentuk doa-doa lainnya dalam bentuk permohonan dan
harapan.
3. Turi-turian merupakan satu bentuk seni bercerita yang umumnya bersumber
dari berbagai mitos dan legenda.
4. Huling-huling ansa adalah sejenis sastra berbentuk teka-teki yang umumnya
dilakukan oleh pemuda dan pemudi di waktu senggang.
Umpasa dan hulung-huling ansa merupakan dua dari seni sastra yang masih
terdapat pada masyarakat yang ada di Desa Hutaimbaru ini. Berdasarkan pengamatan
penulis, umpasa sering digunakan pada acara-acara adat perkawinan dan huling-
38
huling ansa banyak digunakan oleh anak-anak ketika sedang bermain dengan anak-
anak yang lain.
2.6.4 Seni Rupa
Pada masyarakat Batak Toba ditemukan beberapa jenis seni rupa. Yang paling
umum adalah seni patung. Umumnya bahan yang digunakan untuk seni patung ini
adalah batu dan kayu. Patung yang terbuat dari batu banyak digunakan pada makam
orang yang sudah meninggal. Patung yang terdapat di atas makam tersebut
menandakan bahwa orang yang meninggal tersebut telah mencapai usia tua dan pada
masa hidupnya memiliki pengaruh di masyarakat. (Harahap, 2005:12).
Pada jaman dahulu masyarakat Batak telah mengenal seni patung dari batu
ini. Hal ini terbukti dari peninggalan-peninggalan bersejarah yang terdapat di Samosir
yaitu situs peninggalan raja-raja Batak.
Jenis patung yang paling popular di masyarakat Batak Toba adalah sigale-
gale. Sigale-gale adalah sejenis patung boneka kayu yang dapat menari. Patung ini
digunakan sebagai seni pertunjukan hiburan. Sigale-gale dikendalikan oleh seseorang
dengan menggunakan tali-tali yang dipasang pada bagian-bagian patung.
Selain seni patung, masyarakat Batak Toba juga mengenal seni ukir
ornamental yang disebut dengan gorga. Seni ukir ini banyak terdapat pada dinding
rumah tradisional Batak dan banyak juga digunakan pada alat-alat musik sebagai
hiasan. Motif-motif yang digunakan dapat berupa ukiran gambar manusia, binatang,
tumbuh-tumbuhan maupun lambang delapan penjuru angin.
39
BAB III
PROSES MAMBALBAL BAGOT
3.1 Pandangan Masyarakat Tentang Pohon Bagot
Pohon bagot dalam bahasa Indonesia disebut dengan pohon enau atau aren
(Arenga pinnata), termasuk suku Arecaceae (pinang-pinangan), merupakan
tumbuhan biji tertutup (Angiospermae). Aren merupakan tanaman yang banyak
tumbuh dari mulai pantai timur India hingga ke Asia Tenggara. Di Indonesia sendiri
tanaman ini terdapat di hampir seluruh wilayah Indonesia.
Hatta Sunanto [1983:17], seorang Insinyur pertanian, menerangkan: Di
Indonesia, tanaman aren dapat tumbuh baik dan mampu berproduksi pada daerah-
daerah yang tanahnya subur pada ketinggian 500-800m di atas permukaan laut. Pada
daerah-daerah yang mempunyai ketinggian kurang dari 500m dan lebih dari 800m,
tanaman aren tetap dapat tumbuh namun produksi buahnya kurang memuaskan.
Pohon yang besar dan tinggi dapat mencapai 25 m, berdiameter hingga 65 cm.
Pada bagian atas pohon diselimuti oleh serabut berwarna hitam yang dikenal sebagai
ijuk. Ijuk sebenarnya adalah bagian dari pelepah daun yang menyelubungi batang.
Daunnya majemuk menyirip, seperti daun kelapa, panjang hingga 5 m dengan
tangkai daun hingga 1,5 m. Anak daun seperti pita bergelombang, hingga 7 x 145 cm,
berwarna hijau gelap di atas dan keputih-putihan oleh karena lapisan lilin di sisi
bawahnya.
40
Pohon bagot merupakan tumbuhan yang banyak tumbuh di lereng-lereng
gunung, tepi-tepi sungai dan merupakan tumbuhan yang banyak tumbuh secara liar.
Dari satu pohon bagot bisa menghasilkan beberapa jenis kebutuhan manusia.
Ijuk yang menempel pada batang bisa dijadikan sebagai sapu, bahan atap sopo.
Daunnya bisa digunakan sebagai bahan pembungkus makanan dan lidinya digunakan
sebagai sapu lidi.
Buah dari bagot tersebut bisa dijadikan sebagai makanan campuran es,
dijadikan sebagai kolak yang disebut sebagai kolang-kaling. Kolang-kaling
dihasilkan dari buah yang masih muda. Buah yang masih muda tersebut terlebih
dahulu direbus untuk memisahkan buah dengan cangkangnya. Kemudian merendam
buah dengan air kapur untuk menghilangkan getah buah yang sangat gatal dan
beracun.
Pohon bagot juga menghasilkan air nira. Nira ini merupakan air yang
diperoleh dengan cara menyadap tandan dari bunga jantan. Nira merupakan cairan
yang berwarna jernih dan rasanya manis. Kegunaan dari nira bisa sebagai bahan dasar
pembuatan gula jawa, sebagai bahan dasar pengembang kue, juga sebagai minuman.
Bagi masyarakat yang tinggal di Desa Hutaimbaru, keberadaan pohon bagot
ini dianggap penting. Pohon bagot ini menghasilkan ijuk yang dimanfaatkan sebagai
bahan kerajinan tangan yaitu sapu ijuk. Tentunya ini sebagai penambah penghasilan
bagi mereka.
Selain ijuk, masyarakat juga memanfaatkan air nira dari bagot tersebut.
Setelah disadap dari tandannya, air nira kemudian diolah lagi menjadi tuak. Tuak
merupakan minuman khas orang Batak. Paragat yang tinggal di Desa Hutaimbaru
41
akan mengolah nira tersebut sehingga menghasilkan minuman yang mengandung
sedikit alkohol yang disebut dengan tuak. Tuak ini diperoleh dengan cara
mencampurkan air nira dengan sejenis kulit kayu yang dikenal dengan raru.
Raru (Cotylelobium sp) merupakan pohon yang banyak tumbuh di daerah
Tapanuli Tengah dan Tapanuli Utara. Kulit dari kayu ini diambil kemudian
dikeringkan dengan cara dijemur. Kemudian kulit kayu yang telah kering tersebut
dicampur dengan air nira yang telah disadap. Rendaman raru ini dibiarkan selama
enam sampai delapan jam di dalam air nira. Selama proses fermentasi, air nira
tersebut akan menjadi keruh. Tingkat kekeruhan nira tersebut tergantung dari banyak
atau tidaknya raru yang dicampurkan dengan nira. Semakin banyak raru yang
dicampur, maka warna nira akan semakin keruh dan menguning. Hasil fermentasi
dari nira dan raru inilah yang disebut dengan tuak.
Kulit raru dapat digunakan tiga sampai empat kali pencampuran dengan nira.
Setelah itu harus dibuang karena sari dari raru tersebut sudah habis. Hal ini dapat
dilihat dari kulit kayu raru yang dari warna coklat berubah menjadi keputih-putihan.
Sebagian masyarakat Tapanuli Tengah memanfaatkan raru sebagai obat
diabetes dengan cara meminum rebusan air dari raru tersebut.
Dalam kehidupan sehari-hari, tuak ini dimanfaatkan sebagai minuman pelepas
rasa lelah setelah bekerja seharian. Para laki-laki baik yang muda maupun orang tua
ngumpul di sebuah lapo (kedai) tuak. Mereka bernyanyi, berbincang-bincang, main
catur dan menonton televisi sambil minum tuak.
Tuak yang telah diolah oleh paragat akan diedarkan atau dijual ke lapo-lapo
tuak atau juga dengan membuka lapak tuak di rumahnya sendiri. Satu hari seorang
42
paragat bisa menghasilkan tuak tiga puluh botol yang berukuran 1500 ml. Dari satu
botol akan dihasilkan enam gelas tuak, sehingga satu hari menghasilkan 180 botol. Di
desa ini satu gelas tuak berharga Rp. 1000, jadi satu hari seorang paragat bisa
berpenghasilan Rp.180.000. Penyadapan bagot itu sendiri bisa bertahan selama dua
bulan. Jika ditotalkan secara keseluruhan penghasilan seorang paragat dari satu
batang pohon bagot selama dua bulan itu bisa mencapai Rp. 10.800.000.
Hasil tersebut di atas sangatlah luar biasa untuk penghasilan seorang paragat
yang tanpa harus memiliki pendidikan yang tinggi. Dari pengamatan penulis di
lapangan, kehidupan seorang paragat memang memiliki kehidupan yang lebih layak
dari sebelumnya. Dari hasil pekerjaan sebagai seorang paragat mereka bisa membeli
perabotan rumah tangga, bisa membeli sepeda motor bahkan ada yang sampai
menyekolahkan anaknya sampai ke perguruan tinggi.
Ada juga seorang paragat yang menjadikan maragat bukan lagi sebagai
pekerjaan sampingan melainkan pekerjaan utama. Dalam artian pekerjaan utama dia
sebelumnya adalah seorang petani karet yang menggantungkan hidupnya dan
keluarganya dari hasil menyadap getah pohon karet, tetapi setelah memiliki pohon
bagot untuk disadap, dia lebih menggantukan hidupnya sebagai seorang paragat dari
pada petani karet karena dari hasil sebagai paragat jauh lebih menjanjikan.
Selain sebagai pelepas lelah, tuak juga diyakini dapat memperlancar proses
peredaran darah dalam tubuh, sehingga banyak orang meminum tuak dan juga
diberikan kepada wanita yang baru melahirkan karena dapat menghangatkan dan
memperlancar proses keluarnya air susu ibu untuk menyusui bayinya.
43
Boru Sinaga (seorang ibu) mengaku bahwa dia dulu minum tuak sewaktu
melahirkan untuk membuat asinya tetap lancar. Hal ini dia lakukan paling tidak
selama empat hari setelah melahirkan anaknya.
Tuak juga digunakan dalam acara adat orang Batak. Dalam adat Batak
khususnya adat perkawinan dikenal dengan istilah tuak tangkasan yaitu tuak yang
diberikan kepada parhata adat untuk memulai acara adat tersebut19. Tuak tangkasan
dalam pengertian yang sebenarnya adalah tuak yang diperoleh dari sadapan yang
pertama kali dari sebuah pohon bagot yang baru pertama kali berbuah. Tapi karena
tuak tangkasan yang seperti ini sangat jarang bisa diperoleh maka digantikan dengan
tuak yang sudah berasal dari hasil penyadapan yang kesekian kalinya.
3.2. Pemilihan Pohon Bagot Untuk Dibalbal
Pohon bagot merupakan pohon yang dapat tumbuh besar mencapai 25 m.
Setelah pohon bagot tumbuh besar maka pohon tersebut akan berbuah. Pohon yang
akan dibalbal adalah yang telah tumbuh besar dan berbuah. Di dalam satu batang
pohon bagot terdapat dua jenis buah yang tumbuh yaitu buah dari enau tersebut
(betina) dan buah jantan.
Menurut Mansari Munthe, bagot pertama kali akan menghasilkan buah yang
disebut dengan halto. Halto inilah yang jika diolah akan menghasilkan makanan yang
dikenal masyarakat luas dengan kolang-kaling.
Jika sebuah pohon bagot sudah berbuah, ini menandakan bahwa pohon
tersebut akan segera menghasilkan buah jantan. Buah jantan akan selalu berada di 19 Hasil wawancara dengan Rosliani Simatupang (seorang penatua adat)
44
bawah buah betina (halto) dari pohon bagot. Hal ini menurut Mansari Munthe
dikarenakan yang tumbuh pertama kali itu adalah buah bagot tersebut.
Gambar 3.1 Pohon bagot yang sedang berbuah.
45
Gambar 3.2. Buah bagot yang disebut dengan halto yang jika diolah bias menghasilkan bahan
makanan yang biasa disebut kolang-kaling.
Kemudian setelah bagot berbuah, akan menghasilkan buah jantan yang
menghasilkan air. Buah jantan inilah yang kemudian diagati untuk menghasilkan air
nira.
Gambar 3.3 Buah jantan dari pohon bagot.
46
Gambar 3.4. Buah jantan yang bentuknya seperti peluru dan isinya seperti benang-benang
yang jika sudah berwarna kuning baru tandannya bisa dibalbal.
3.3 Penyiangan di Sekitar Bagot Persiapan dalam menyadap bagot sangat diperlukan agar dapat menghasilkan
nira yang cukup banyak dan masa penyadapannya lebih lama. Salah satu persiapan ini
adalah dengan pembersihan pohon. Sebelum pohon bagot diagati terlebih dahulu
melakukan proses penyiangan terhadap pohon bagot tersebut dengan membersihkan
tumbuhan yang ada di sekitar pohon, memotong pelepah daun dan mengambil ijuk
yang menempel pada batang.
Proses penyiangan ini dimaksudkan supaya mempermudah paragat di dalam
melakukan penyadapan. Karena biasanya di sekitar pohon banyak ditumbuhi
47
tumbuhan liar yang tentunya mengganggu paragat untuk mencapai pohon bagotnya
tersebut.
Di dalam melakukan penyiangan ini memerlukan parang sebagai alat untuk
memotong pelepah daun dan membersihkan sekitar pohon.
Gambar 3.5 Tumpukan pelepah daun yang telah dipotong.
Gambar 3.6 tumpukan ijuk yang telah dibersihkan dari batang pohon bagot.
48
3.4 Waktu Mambalbal Bagot
Tandan bagot yang akan dibalbal adalah tandan dari bunga jantan yang
bentuknya bulat panjang seperti peluru. Tandan baru bisa dibalbal setelah tandan
dewasa. Seorang paragat tahu kapan waktunya tandan mulai dibalbal dengan melihat
biji dari bunga jantan tersebut. Jika benang sari dari bunga jantan sudah berwarna
kuning maka tandan sudah bisa dibalbal, tetapi jika masih berwarna putih, ini
menandakan bahwa bungan jantan masih muda dan belum bisa dibalbal.
Perkiraan seorang paragat menentukan kapan tandan bagot bisa dibalbal
haruslah tepat, karena jika bunga jantan sudah dewasa dan pecah tetapi belum
dibalbal akan mengurangi hasil produksi air niranya.
Pemukulan tandan bagot atau yang disebut dengan mambalbal dilakukan
sehari sekali. Menurut Kabul Tampubolon (seorang paragat) proses mambalbal
tersebut bisa dilakukan pada pagi hari atau pun sore hari dengan selang sehari atau
dua hari setelah dibalbal selama lima hari berturut-turut.
Keadaan cuaca tidak terlalu berpengaruh terhadap proses pemukulan pohon
bagot yang akan diagati. Jika pada pada pagi hari cuaca sedang hujan kegiatan
mambalbal dapat dikakukan pada sore harinya. Tetapi cuaca sangat berpengaruh
ketika sudah masuk dalam proses mangagati20. Karena ketika tandan sedang diagati
tetapi kemudia hujan turun akan membuat air nira yang telah disadap akan bercampur
dengan air hujan. Hal ini tentu membuat paragat rugi karena rasa dari air nira sudah
tidak asli lagi karena telah bercampur dengan air hujan, sehingga ketika diolah
20 Mangagati artinya menyadap tandan untuk menghasilkan air niranya.
49
menjadi tuak rasanya akan sangat berkurang dari biasanya dan akan mempengaruhi
pembeli tuak itu sendiri.
Pemukulan dilakukan terhadap tandan bunga jantan dari pohon bagot. Bagian
yang dipukul adalah tandan dan batang di bawah tandan.
Bagian tandan yang dibalbal
Bagian batang yang dibalbal
Gambar 3.7. Bagian-bagian yang dibalbal pada pohon bagot. 3.5 Teknik Memukul Dalam Mambalbal Bagot
Menurut legenda Batak, pohon bagot merupakan jelmaan dari seorang
perempuan. Dahulu kala hidup dua orang kakak beradik laki-laki dan perempuan
50
yang telah yatim piatu bermarga Simbolon21. Pekerjaan saudara laki-lakinya ini hanya
berjudi dan menghabiskan uang.
Karena keseringan kalah, saudara laki-lakinya memiliki utang yang banyak.
Hal ini membuat si boru Simbolon sedih dan memohon kepada dewa supaya dia
dijadikan sebuah pohon yang berguna dan bermanfaat menghasilkan uang supaya
bisa melunasi utang-utang saudara laki-lakinya tersebut. Setelah memohon kepada
dewa kemudian dia melompat dari jendela rumah untuk bermaksud bunuh diri dan
seketika juga dia berubah menjadi pohon bagot.
Ketika saudara laki-lakinya tersebut pulang, ia tidak mendapati si boru
Simbolon di rumahnya, tetapi hanya sepucuk surat dari saudarinya itu yang
mengatakan bahwa ia telah pergi selamanya dan mengatakan kepadanya supaya
memanfaatkan pohon yang ada di samping rumah mereka untuk menghasilkan uang
untuk melunasi seluruh utang-utangnya.
Dengan perasaan sangat sedih dan penuh penyesalan akhirnya si laki-laki
kemudian memanfaatkan pohon yang ada di damping rumahnya yang merupakan
jelmaan dari saudara perempuannya itu untuk menghasilkan uang. Si laki-laki
tersebut memukul-mukul batang pohon tersebut dengan perasaan sangat menyesal
sambil menangisi kepergian adiknya tersebut. Begitulah yang ia lakukan setiap hari.
Dari pohon itulah dia menghasilkan air yang sangat enak rasanya dan sangat disukai
oleh masyarakat. Kemudian ia menjual air hasil dari pohon tersebut untuk melunasi
21 Hasil wawancara dengan Kabul Tampubolon (seorang paragat), Mansari Munthe (seorang paragat), Rosliani Simatupang (penatua adat). Mereka menceritakan legenda bagot dengan versi yang sama bahwa pohon bagot berasal dari seorang perempuan bermarga boru Simbolon yang bunuh diri, kemudian menjelma menjadi sebuah pohon bagot.
51
utang-utangnya. Demikianlah yang ia perbuat sehari-hari sampai seluruh utang-
utangnya lunas dan dari penghasilannya itu juga ia memenuhi seluruh kebutuhan
hidupnya.
Orang Batak jaman dahulu sangat percaya bahwa pohon bagot merupakan
jelmaan dari si boru Simbolon. Mereka percaya bahwa tubuhnya berubah menjadi
batang bagot, rambutnya berubah menjadi ijuk dan buah dadanya berubah menjadi
tandan yang menghasilkan air nira.
Pada jaman dahulu pohon bagot merupakan sesuatu yang sacral yang sebelum
diagati harus terlebih dahulu diende-ende i22 dengan maksud membujuk supaya boru
Simbolon tadi mau mengeluarkan air susunya yang merupakan air nira yang
dihasilkan oleh bagot tersebut23.
Tetapi seiring dengan perkembangan jaman dan pengaruh masuknya agama
ke tanah Batak khususnya desa Hutaimbaru, sekarang ini yang penulis lihat di
lapangan ketika paragat sedang mambalbal bagot nyanyian tersebut sudah tidak ada
lagi. Bisa dikatakan nyanyian paragat ketika mambalbal bagot sudah hilang. Ini
dikarenakan oleh kepercayaan orang dahulu yang masih percaya terhadap legenda
dan mitos24.
Paragat sekarang yang ada di desa Hutaimbaru ini tidak lagi terlalu
mensakralkan proses-proses dalam mambalbal bagot. Berdasarkan pengamatan
penulis mereka tidak lagi melakukan nyanyian ketika maragat, tetapi hanya
melakukan pemukulan terhadap batang dan tandan bagot dengan maksud
22 Diende-ende i artinya dinyanyikan. 23 Hasil wawancara dengan Kabul Tampubolon. 24 Hasil wawancara dengan Mansari Munthe
52
melonggarkan serat-serat yang ada dalam batang dan bukan untuk membujuk jelmaan
dari si boru Simbolon.
Cara yang dilakukan ketika mambalbal bagot sekarang dengan jaman dulu
hampir sama. Yang membedakannya hanya dalam letak nyanyian tersebut.
Sebelum diagati, tandan dari bunga jantan bagot harus terlebih dahulu
dibalbal. Hal ini dimaksudkan untuk memperlancar nantinya air nira dari tandan
tersebut setelah diagati. Untuk mencapai tandan bagot yang akan dibalbal seorang
paragat memerlukan sebuah tangga. Tangga ini biasanya dibuat dari sebilah bambu
dengan melubangi bambu tersebut sebagai pijakan untuk kaki paragat, atau juga
dengan menggunakan ranting dari bambu sebagai pijakan kakinya.
Gambar 3.9. Tangga dari bambu yang dilubangi
53
Gambar 3.10. Tangga dari bambu yang menggunakan ranting sebagai pijakan.
Setelah di sekeliling tandan dibersihkan, tandan kemudian diikat ke batang
bagot dengan menggunakan tali nilon karena jika tidak diikat tandannya bisa layu
karena setelah dibalbal serat-serat dalam tandan akan menjadi longgar sehingga tidak
kuat menahan untaian-untaian bunga jantan yang ada dalam tandan tersebut
Proses selanjutnya adalah melakukan pemukulan terhadap tandan dan batang
di bagian bawah tandan. Pemukulan tandan bagot dilakukan dengan ringan (tidak
terlalu keras). Karena jika tandan dipukul keras bisa mengakibatkan tandan tersebut
terluka dan menjadi busuk. Tetapi bagian batang yang ada di bawah tandan dipukul
54
dengan keras karena tidak akan menyebabkan kebusukan. Jumlah pukulan terhadap
tandan setiap kalinya sekitar 250 pukulan25.
Gambar 3.11: bagian batang yang dibalbal
Contoh pukulan yang terdapat pada saat memukul batang adalah sebagai berikut.
Untuk pola yang selengkapnya terdapat pada bab iv.
25 Jumlah pukulan terhadap tandan bukanlah sesuatu yang baku. Jumlah pukulan tersebut tergantung kepada paragatnya itu sendiri.
55
Gambar 3.12: bagian tandan yang dibalbal
Contoh pola ritem yang terdapat pada saat pemukulan tandan adalah
Setelah selesai dibalbal, kemudian tandan diayun-ayunkan dengan maksud
untuk melonggarkan serat-serat yang ada di dalam tandan. Jumlah ayunan dalam
setiap kali mambalbal sekitar 90 ayunan26.
Alat yang digunakan untuk mambalbal tandan dan batang bagot disebut
dengan balbal terbuat dari kayu yang dibentuk sendiri oleh paragat sedemikian rupa
sesuai dengan kenyamanan paragat untuk memegang balbal tersebut.
26 Jumlah ayunan tidak memiliki jumlah yang baku tetapi tergantung kepada paragatnya itu sendiri.
56
Gambar 3.11. Alat pemukul yang digunakan untuk memukul tandan bagot.
Tujuan dilakukannya pemukulan ini adalah untuk melonggarkan serat-serat
yang terdapat dalam batang dan tandan bagot dengan maksud memperlancar air nira
dan mendapatkan air nira yang banyak.
Dalam mambalbal bagot tidak memiliki aturan yang baku dari setiap paragat,
tetapi lebih kepada hasil yang ingin diperoleh paragat itu sendiri.
± 15 cm dengan diameter ±5 cm
± 11 cm dengan diameter ±8 cm
57
BAB IV
ANALISIS POLA RITEM DALAM MAMBALBAL BAGOT
4.1 Pola Ritem Mambalbal Bagot
Bab ini akan menganalisis pola ritem mambalbal bagot. Mambalbal bagot
adalah sebuah kegiatan memukul tandan yang dilakukan pada saat menyadap enau.
Kegiatan ini dilakukan oleh seorang paragat. Ritem yang dimainkan oleh seorang
paragat biasanya hampir sama dengan ritem yang dimainkan oleh paragat yang lain.
Tetapi dalam memainkan ritem tersebut tidak memiliki standart yang baku. Artinya
ritem yang muncul dari seorang paragat tidak selalu sama dengan paragat yang lain.
Seseorang yang ingin menjadi penyadap enau biasanya terlebih dahulu belajar
kepada orang yang sudah berpengalaman di dalam kegiatan penyadapan enau.
Pertama yang dilakukan adalah dengan cara mengamati bagaimana seorang paragat
memukul batang bagot dan teknik-teknik yang dilakukan paragat tersebut. Setelah
mengamati kemudian calon paragat mempraktekkannya pada batang bagot yang lain
yang akan disadap niranya.
Hasil nira yang diperoleh seorang paragat yang baru belajar dengan yang
sudah berpengalaman memiliki perbedaan jumlah nira yang jauh berbeda. Hasil nira
yang diperoleh paragat yang lama lebih banyak dibandingkan seorang paragat yang
baru belajar. Hal ini disebabkan oleh cara mambalbal bagotnya yang belum mahir.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya mambalbal bagot merupakan kegiatan
memukul tandan dan batang pohon enau yang mengandung unsur pola ritem. Pola
ritem yang penulis maksud disini adalah pola irama yang terjadi ketika melakukan
58
kegiatan mambalbal bagot. Menurut Jamalus Hamzah Busroh (1991: 45), “Ritem
adalah irama, sedangkan pola ritem adalah bentuk susunan panjang pendek bunyi dan
diam”. Pola irama dapat terjadi atas pulsa dengan tiga macam bentuk yaitu:
a. Pola irama rata adalah bentuk pola irama yang susunan panjang pendek
bunyinya terbagi rata atau terbagi sama atas pulsanya.
b. Pola irama tidak rata adalah bentuk pola irama yang susunanya panjang
pendek bunyinya tidak rata / tak terbagi sama atas pulsanya
c. Pola irama sinkop adalah bentuk pola irama dengan tempat aksen kuat yang biasa
berpindah ke tempat pulsa yang seharusnya tidak mendapat aksen atau tekanan
lebih
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002:43), analisis adalah penguraian
suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelahan bagian itu sendiri serta hubungan
antara bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti
keseluruhan. Analisis adalah kegiatan berfikir untuk menguraikan suatu keseluruhan
menjadi komponen sehingga dapat mengenal tanda-tanda komponen, hubungannya
satu sama lain dan fungsi keseluruhan terpadu (Komaruddin, 2001:53).
Analisis yang penulis maksud disini adalah menguraikan suatu pokok menjadi
bagian-bagian sehingga dapat diketahui tanda dari tiap bagian, kemudian hubungan
satu sama lain serta fungsi dari mambalbal bagot, seperti pola ritme, meter, intensitas
suara (keras lembutnya suara).
59
Untuk menganalisa pola ritem, penulis melakukan pendekatan yang
dikemukakan oleh Nettl (1964:148-149) yaitu: dalam mendeskripsikan dan
menganalisis pola ritem perlu memperhatikan hal-hal seperti pola dasar ritem, variasi,
pengulangan, meter dan waktu.
Untuk menjelaskan hal yang yang dikemukakan oleh Nettl penulis
menggunakan teknik transkripsi. Transkripsi adalah proses penotasian bunyi,
mengalihkan bunyi menjadi simbol visual (Nettl 1964 : 98).
Dalam mentranskripsikan pola ritem dalam mambalbal bagot penulis
menggunakan notasi barat. Adapun alasan penulis memilih sistem notasi barat karena
notasi barat sangat cocok untuk menunjukkan nilai ritmis dari setiap nada.
Untuk menunjukkan pola ritmis, penulis membaginya ke dalam dua jenis
yaitu pola ritmis berdurasi sama dan pola ritmis berdurasi tidak sama. Pola ritmis
berdurasi sama adalah pola ritmis yang dalam satu birama memiliki nilai not yang
sama. Contohnya:
Sedangkan pola ritmis berdurasi tidak sama tidak sama adalah pola ritmis
yang dalam satu birama memiliki nilai not yang tidak sama. Contohnya:
Penulis melakukan perbandingan kepada empat orang paragat yang berbeda,
yaitu Hotman Hutapea, Gelluk Sitanggang, Mansari Munthe dan Kabul Tampubolon.
Adapun maksud penulis melakukan perbandingan dengan keempat paragat adalah
60
untuk melihat perbedaan pola ritem dalam mambalbal bagot. Sejauh pengamatan
penulis tidak ada patokan untuk mambalbal bagot, perbandingan yang dilakukan
penulis untuk acuan dalam membambal bagot.
Hal terpenting dalam mambalbal bagot adalah hasilnya yakni nira dalam
jumlah yang banyak pada satu batang pohon bagot. Dari sinilah dapat diketahui
kriteria seorang paragat yang sudah lama atau yang lebih berpengalaman dengan
seorang paragat yang baru belajar.
Hal yang lumrah apabila terjadi perubahan tempo (metronome) dalam pola
ritem mambalbal bagot. Ini menunjukkan bahwa dalam mambalbal bagot sangat
dipengaruhi oleh suasana hati sehingga seringkali terjadi perubahan tempo. Tidak ada
ketentuan apa dan harus bagaimana proses mambalbal bagot semua tegantung
suasana hati paragatnya, jika menurut mereka apa yang mereka lakukan itu sudah
cukup tidak ada yang bisa melerai karena itu tergantung pribadi paragatnya.
Analisis yang penulis lakukan adalah berdasarkan fakta yang penulis lihat
sendiri di lapangan.
Berikut adalah pola ritem keempat orang paragat yang telah penulis
transkripsikan ke dalam bentuk not balok.
61
MM = ±56
MM = ±61
MM = ±56
62
Dalam pola ritem mambambal bagot yang dilakukan oleh Hotman Hutapea,
penulis menggunakan meter 2/4 di awal pemukulan agar aksentusai yang terjadi
dalam proses mambalbal bagot dapat ditulis dengan tepat. Aksentuasi dalam pola
ritem itu yang menjadi penting dalam mambalbal bagot karena kekuatan pukulan
baik keras maupun lembut tidak dapat diukur secara akurat. Adapun maksud penulis
MM = ±61
MM = ±56
63
menggunakan tanda pengulangan di antara pola ritmis berdurasi sama adalah untuk
mempersingkat penulisan hasil transkripsi yang penulis kerjakan.
Dan penulis juga menggunakan meter 4/4 untuk mempermudah penulis untuk
menunjukkan pola ritmis yang berdurasi sama.
Berikut analisis yang dapat penulis tarik dari pola ritem mambalbal bagot
yang dilakukan oleh Bapak Hotman Hutapea :
1. Memiliki tempo yang berubah-ubah yaitu sekitar ±56 dan ±61.
Berdasarkan analisis penulis perubahan ini terjadi pada saat peralihan dari
pola ritmis berdurasi sama ke pola ritmis berdurasi tidak sama. Perubahan
tempo ini terjadi karena pada saat paragat memukul tandan pola ritmis yang
digunakan adalah yang berdurasi sama, sehingga paragat memukul tandannya
semakin cepat sehingga terjadi perubahan tempo.
2. Memiliki meter yang bisa digolongkan ke dalam meter 2 dan meter 4 dan
bukan merupakan free meter.
3. Pemukulan diawali dengan pola ritmis berdurasi tidak sama kemudian masuk
ke pola ritmis yang berdurasi sama.
4. Memiliki pola dasar sebagai berikut:
Kemudian terdapat beberapa variasi ritem dari pola dasar yang ada, seperti
berikut.
Variasi pertama
64
Variasi kedua
Variasi ketiga
Variasi keempat
Variasi kelima
Dalam pola ritmis mambalbal bagot oleh Bapak Hotman Hutapea, terdapat
pengulangan pola ritmis berdurasi tidak sama yaitu di tengah dan di akhir dari proses
pemukulan bagot. Berikut pola pengulangan pola ritmis yang ada.
Pola pertama dari proses pemukulan pohon enau merupakan pola dasar dari
proses mambalbal bagot yang selalu diawali dengan pola ritmis yang berdurasi tidak
sama. Kemudian pengulangan pola tersebut akan kembali dilakukan ditengah dari
65
seluruh proses mambalbal bagot. Dan pola yang terakhir akan kembali terjadi di
akhir dari pemukulan dan merupakan penutup dari proses mambalbal bagot tersebut.
MM = ±56
MM = ±60
66
MM = ±56
MM = ±60
67
MM = ±56
68
Dalam pola ritem mambambal bagot yang dilakukan oleh Gelluk Sitanggang,
penulis menggunakan meter 4/4 karena dapat digolongkan ke dalam meter empat dan
aksentuasi pemukulan dapat ditulis dengan tepat. Aksentuasi dalam pola ritem itu
yang menjadi penting dalam mambalbal bagot karena kekuatan pukulan baik keras
maupun lembut tidak dapat diukur secara akurat.
Berikut analisis yang dapat penulis tarik dari pola ritem mambalbal bagot
yang dilakukan oleh Bapak Gelluk Sitanggang :
1. Memiliki tempo yang berubah-ubah yaitu sekitar ±56 pada pola ritmis yang
berdurasi tidak sama dan ±60 pada pola ritmis yang berdurasi sama.
2. Memiliki meter 4
3. Pemukulan diawali dengan pola ritmis berdurasi tidak sama kemudian masuk
ke pola ritmis yang berdurasi sama.
4. Memiliki pola dasar sebagai berikut:
Terdapat beberapa variasi ritem dari pola dasar yang ada, seperti berikut:
Variasi pertama
Variasi kedua
Variasi ketiga
Variasi keempat
69
Variasi kelima
Variasi keenam
Variasi ketujuh
Variasi kedelapan
Dalam pola ritmis mambalbal bagot yang dilakukan oleh Bapak Gelluk
Sitanggang, terdapat pengulangan pola ritmis berdurasi tidak sama yaitu di tengah
dan di akhir dari proses pemukulan bagot. Berikut pola pengulangan pola ritmis dan
variasi dari pola ritmis dasar.
70
MM = ±54
71
Dalam pola ritem mambambal bagot yang dilakukan oleh Mansari Munthe,
penulis tidak dapat menggolongkan ke dalam meter, sehingga penulis
72
menggolongkan pola ritmis tersebut ke dalam ketukan free meter sehinngga
aksentuasi pemukulan dapat ditulis dengan tepat.
Berikut analisis yang dapat penulis tarik dari pola ritem mambalbal bagot
yang dilakukan oleh Bapak Mansari Munthe :
1. Dari pengamatan penulis tempo pola ritmis yang dilakukan oleh Mansari
Munthe ketika mambalbal bagot adalah relatif sama, tidak ada terjadi
perubahan tempo.
2. Merupakan ketukan free meter
3. Pemukulan diawali dengan pola ritmis berdurasi tidak sama kemudian masuk
ke pola ritmis yang berdurasi sama.
4. Memiliki pola dasar sebagai berikut:
Terdapat beberapa variasi ritem dari pola dasar yang ada, seperti berikut:
Variasi pertama
Variasi kedua
Variasi ketiga
Variasi keempat
Variasi kelima
Dalam pola ritmis mambalbal bagot yang dilakukan oleh Bapak Mansari
Munthe, terdapat pengulangan pola ritmis berdurasi tidak sama yaitu di tengah dan di
73
akhir dari proses pemukulan bagot. Berikut pola pengulangan pola ritmis dan variasi
dari pola ritmis dasar.
Pola pertama dari proses pemukulan pohon enau yang dilakukan oleh Bapak
Mansari Munthe merupakan pola dasar dari proses mambalbal bagot yang selalu
diawali dengan pola ritmis yang berdurasi tidak sama. Kemudian pengulangan pola
tersebut akan kembali dilakukan ditengah dari seluruh proses mambalbal bagot. Dan
pola yang terakhir akan kembali terjadi di akhir dari pemukulan dan merupakan
penutup dari proses mambalbal bagot tersebut.
74
MM = ±60
75
MM = ±56
76
Dalam pola ritem mambambal bagot yang dilakukan oleh Kabul Tampubolon,
penulis menggunakan meter 4/4 karena meter tersebut dapat digunakan dan
aksentuasi pukulan juga didapat. Penulis juga menggunakan tanda pengulangan di
antara pola ritmis berdurasi sama adalah untuk mempersingkat penulisan hasil
transkripsi yang telah penulis kerjakan.
Berikut analisis yang dapat penulis tarik dari pola ritem mambalbal bagot
yang dilakukan oleh Bapak Kabul Tampubolon:
1. Memiliki tempo ±60
Berdasarkan analisis penulis, perubahan tempo hanya terdapat pada akhir dari
pemukulan. Terjadi perlambatan tempo ketika proses mambalbal bagotnya
akan selesai yaitu sekitar ±56
2. Memiliki meter yang tetap dan dapat digolongkan ke dalam meter 4/4.
3. Pemukulan diawali dengan pola ritmis berdurasi tidak sama kemudian masuk
ke pola ritmis yang berdurasi sama.
4. Memiliki pola dasar sebagai berikut:
Kemudian terdapat beberapa variasi ritem dari pola dasar yang ada, seperti
berikut.
Variasi pertama
Variasi kedua
77
Variasi ketiga
Variasi keempat
Variasi kelima
Dalam pola ritmis mambalbal bagot oleh Bapak Kabul Tampubolon, juga
terdapat pengulangan pola ritmis berdurasi tidak sama yaitu di tengah dan di akhir
dari proses pemukulan bagot. Berikut pola pengulangan pola ritmis yang ada.
Sama seperti pola ritmis dari ketiga paragat sebelumnya, pemukulan pertama
dari proses mambalbal bagot yang dilakukan oleh Bapak Kabul Tampubolon diawali
dengan pola ritmis berdurasi tidak sama yang merupakan pola dasar dari proses
mambalbal bagot. Kemudian pengulangan pola tersebut akan kembali dilakukan
ditengah dari seluruh proses mambalbal bagot. Dan pola yang terakhir akan kembali
terjadi di akhir dari pemukulan dan merupakan penutup dari proses mambalbal bagot
tersebut.
78
Berdasarkan hasil transkripsi yang telah penulis lakukan dapat disimpulkan
bahwa hampir tidak ada perbedaan yang ada di dalam proses mambalbal bagot.
Penulis berkesimpulan bahwa pola dasar dari keempat paragat tersebut adalah sama
yaitu:
Kemudian terjadi pengembangan ritem oleh paragat itu sendiri sesuai dengan
suasana hati dan keinginan paragat itu sendiri untuk memukul pohon enau tersebut.
Keseluruhan pola ritem yang dilakukan oleh para paragat memiliki alur yang
sama yaitu selalu diawali dengan pola dasar yang berdurasi ritmis tidak sama
kemudian ke yang berdurasi ritmis sama lalu terjadi pengulangan pola yang berdurasi
ritmis tidak sama di tengah proses mambalbal lalu dilanjutkan lagi dengan pola ritmis
yang berdurasi sama dan untuk mengakhiri dari proses mambalbal akan diakhiri
dengan pola ritmis yang berdurasi tidak sama.
79
BAB V PENUTUP
5.1 Rangkuman
Pohon enau adalah salah satu hasil pertanian yang tumbuh secara liar dan
belum dibudidayakan dan banyak tumbuh di daerah Tapanuli Tengah. Masyarakat
memanfaatkan pohon enau dengan cara menyadap pohon enau tersebut untuk
menghasilkan air nira yang kemudian diolah untuk dijadikan tuak.
Dalam proses penyadapan nira ini terdapat beberapa proses untuk bisa
menghasilkan air niranya. Salah satunya proses untuk menghasilkan air niranya
adalah dengan cara memukul-mukul batang pohon enau tersebut yang disebut dengan
mambalbal bagot.
Di dalam proses pemukulan bagot ini menggunakan pola-pola ritem tertentu
dan dengan tempo tertentu. Ritem yang digunakan adalah pola ritme yang diulang-
ulang dengan tempo agak lambat sekitar 56 MM.
Pohon bagot merupakan tumbuhan yang banyak tumbuh di lereng-lereng
gunung, tepi-tepi sungai dan merupakan tumbuhan yang banyak tumbuh secara liar.
Pohon bagot merupakan pohon yang dapat tumbuh besar mencapai 25 m.
Setelah pohon bagot tumbuh besar maka pohon tersebut akan berbuah. Pohon yang
akan dibalbal adalah yang telah tumbuh besar dan berbuah. Di dalam satu batang
pohon bagot terdapat dua jenis buah yang tumbuh yaitu buah dari enau tersebut
(betina) dan buah jantan.
Tandan bagot yang akan dibalbal adalah tandan dari bunga jantan yang
bentuknya bulat panjang seperti peluru. Tandan baru bisa dibalbal setelah tandan
80
dewasa. Seorang paragat tahu kapan waktunya tandan mulai dibalbal dengan melihat
biji dari bunga jantan tersebut. Jika benang sari dari bunga jantan sudah berwarna
kuning maka tandan sudah bisa dibalbal, tetapi jika masih berwarna putih, ini
menandakan bahwa bungan jantan masih muda dan belum bisa dibalbal.
Sebelum diagati, tandan dari bunga jantan bagot harus terlebih dahulu
dibalbal. Hal ini dimaksudkan untuk memperlancar nantinya air nira dari tandan
tersebut setelah diagati.
Dalam mambalbal bagot tidak diperlukan teknik khusus. Tujuan
dilakukannya pemukulan ini adalah untuk melonggarkan serat-serat yang terdapat
dalam batang dan tandan bagot dengan maksud memperlancar air nira dan
mendapatkan air nira yang banyak.
Dalam mambalbal bagot tidak memiliki aturan yang baku dari setiap paragat,
tetapi lebih kepada hasil yang ingin diperoleh paragat itu sendiri.
5.2 Kesimpulan
Dari uraian-uraian tentang permasalahan dan pembahasan yang telah
dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, maka pada bab ini penulis mencoba
membuat kesimpulan dalam proses mambalbal bagot merupakan sebuah proses yang
harus dilalui untuk menghasilkan air nira dari pohon enau.
81
Pohon bagot merupakan tumbuhan yang dapat tumbuh dengan baik secara liar
tanpa perlu adanya perawatan khusus manusia. Kesadaran masyarakat setempat untuk
membudidayakan tanaman ini masih sangat kurang.
Untuk menghasilkan air nira harus melalui beberapa tahap mulai dari
penyiangan sekitar pohon, pembersihan pohon, sampai kepada proses mambalbal dan
penyadapannya sendiri.
Semua hal tersebut harus dilalui untuk menghasilkan air nira yang banyak.
Setelah air nira didapat, kemudian akan diolah kembali untuk menghasilkan tuak
yang merupakan minuman khas yang orang Batak. Tuak merupakan minuman yang
digunakan dalam berbagai kesempatan termasuk dalam acara adat masyarakat Batak
Toba.
5.3 Saran
Penelitian yang penulis lakukan masih dalam tahap kecil namun bermanfaat
bagi masyarakat pendukung kebudayaan dan serta pihak-pihak yang mengemban
tugas menjaga dan melestarikan budaya nusantara. Kiranya penelitian ini membuka
jalan untuk penelitian berikutnya.
82
DAFTAR PUSTAKA
Danandjaya, James. 1994. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng dan lain-lain.
Jakarta: Grafiti.
Hutajulu, Rithaony & Irwansyah Harahap. 2005. Gondang Batak Toba. Bandung:
P4ST UPI.
Koentjaraningrat. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Malm, William P. 1977. Music Culture of the Pasific, the Near East and Asia. 2ded.
Englewood Cliffs, New Jersey: Pritice Hall Inc.
Manik, Kepler H. 2002. Kajian Tekstual dan Musical Doding Ni Paragat pada
Masyarakat Simalungun di Kelurahan Girsang I Kecamatan Girsang
Sipangan Bolon – Simalungun. Skripsi Sarjana. Medan: Fakultas Sastra USU.
Marpaung, P. 1989. Fungsi Sosial Minuman Tuak pada Masyarakat Urban Suku
Bangsa Batak Toba di Pematang Siantar. Skripsi Sarjana. Medan: Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.
Merriam, Alan p. 1964. The Anthropology of Music. Evanstone: Northwestern
University Press.
Nettl, Bruno. 1964. Theory and Method in Ethnomusicology. New York: Free Press
Macmillan Publishing Co, Inc.
Siahaan.Nalom. 1964. Sedjarah Kebudajaan Batak. Medan: C.V. Napitupulu & Sons.
. 1982. Adat Dalihan Natolu. Medan: Prima Anugerah,
Sirait, W. dan O. Sihotang. 1986. Berbagai Fungsi Kedai Tuak. Dalam Pemikiran
tentang Batak, edited by B.A. Simanjuntak, pp.343-346. Medan: Pusat
Dokumentasi dan Pengkajian Kebudayaan Batak, Universitas HKBP
Nommensen
Sunanto, Hatta. 1983. Aren: Budidaya dan Multigunanya. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
Titon, Jeff Todd. 1984. World of Musics: An Introduction to the Music of the World’s People. New York: Schirner Book A Division of Macmillan, Inc.
83
DAFTAR INFORMAN
Nama : Mansari Munthe
Umur : 58 tahun
Pekerjaan : Guru, paragat tuak
Alamat : Dusun Pagaran Pinasa, Kecamatan Tapian Nauli
Nama : Kabul Tampubolon
Umur : 63 tahun
Pekerjaan : Petani, paragat tuak
Alamat : Dusun Hutaimbaru, Kecamatan Tapian Nauli
Nama : Rosliani Simatupang
Umur : 53 tahun
Pekerjaan : Guru, penasehat adat
Alamat : Dusun Hutaimbaru
Nama : Hotman Hutapea
Umur : 42 tahun
Pekerjan : Petani, paragat tuak
Alamat : Dusun Hutaimbaru
Nama : Gelluk Sitanggang
Umur : 39 tahun
Pekerjaan : Petani
Alamat : Dusun Hutaimbaru