analisis perhitungan pengaruh lintang dan …eprints.walisongo.ac.id/7526/5/135212010_bab4.pdf ·...
TRANSCRIPT
86
BAB IVBAB IVBAB IVBAB IV
ANALISIS PERHITUNGAN PENGARUH LINTANG DAN
PERUBAHAN UFUK DALAM KONVERSI WAKTU SALAT
PADA KALENDER PBNU
A. Analisis Konversi Awal Waktu Salat Pada Kalender PBNU
sebagaimana yang telah dipaparkan dalam bab tiga tentang metode hisab yang
dipakai oleh LF-PBNU, maka penulis menerapkan beberapa perbandingan antara
jadwal waktu salat yang menggunakan sistem konversi dengan jadwal waktu salat
yang dihitung dengan perhitungan awal waktu salat dengan data lokal suatu daerah.
Berikut ini adalah contoh konversi awal waktu salat kabupaten Banyuwangi dengan
sistem ephemeris dengan nilai konversi yang ada pada tabel pada kalender PBNU
dengan markaz Jakarta. Pada contoh yang penulis ambil adalah pada waktu-waktu
deklinasi Matahari berada di katulistiwa, deklinasi Matahari pada titik balik Utara dan
Selatan.
Jadwal waktu salat DKI Jakarta, Tanggal 20 Maret 2014
Lintang : 6° 10’ LS
Bujur : 106° 49’ BT
Deklinasi : -0° 11’ 49.12’’ (5 GMT)
Subuh Zuhur Asar Magrib Isya Duha Terbit
Tanpa ihtiyat
4:39:45,13 12:00:17,79 15:10:36,21 18:04:16,78 19:12:40,84 6:14:19,45 5:56:13,65
Ihtiyat 1-2 menit
04:41 12:02 15:12 18:06 19:14 06:16 05:55
87
Jadwal waktu salat Banyuwangi, Tanggal 20 Maret 2014 (Perhitungan waktu lokal)
Lintang : 8° 14” LS
Bujur : 114° 23’ BT
Deklinasi : -0° 11’ 49.12’’ (5 GMT)
Subuh Zuhur Asar Magrib Isya Duha Terbit
Tanpa ihtiyat
4:09:03,17 11:30:01,79 14:43:11,16 17:34:2,74 18:42:46,15 5:44:4,71 5:25:53,95
Ihtiyat 1-2 menit
04:11 11:32 14:45 17:36 18:44 05:46 05:24
Jadwal waktu salat Banyuwangi berdasarkan nilai konversi -00:30 dengan markaz
acuan Jakarta:
Subuh Zuhur Asar Magrib Isya Duha Terbit
Waktu Jakarta
04:41 12:02 15:12 18:06 19:14 06:16 05:55
Nilai Konversi
-00:30 -00:30 -00:30 -00:30 -00:30 -00:30 -00:30
Waktu Banyuwangi
04:11 11:32 14:42 17:36 18:44 05:46 05:25
Selisih 00:00 00:00 00:03 00:00 00:00 00:00 00:01
Jadwal waktu salat DKI Jakarta, Tanggal 21 Juni 2014
Lintang : 6° 10’ LS
Bujur : 106° 49’ BT
Deklinasi : 23°26’ 05,35” (5 GMT)
88
Subuh Zuhur Asar Magrib Isya Duha Terbit
Tanpa ihtiyat
4:37:45,47 11:54:26,19 15:16:24,48 17:48:08,65 19:02:23,59 6:20:30,57 6:00:43,71
Ihtiyat 1-2 menit
04:39 11:56 15:18 17:50 19:04 06:22 05:59
Jadwal waktu salat Banyuwangi, Tanggal 21 Juni 2014 (Perhitungan waktu lokal)
Lintang : 8° 14” LS
Bujur : 114° 23’ BT
Deklinasi : 23°26’ 05,35” (5 GMT)
Subuh Zuhur Asar Magrib Isya Duha Terbit
Tanpa ihtiyat
4:10:55,26 11:24:10,19 14:44:26,12 17:14:15,26 18:28:41,89 5:53:58,89 5:34:05,09
Ihtiyat 1-2 menit
04:12 11:26 14:46 17:16 18:30 05:55 05:33
Jadwal waktu salat Banyuwangi berdasarkan nilai konversi -00:30 dengan markaz
acuan Jakarta
Subuh Zuhur Asar Magrib Isya Duha Terbit
Waktu Jakarta
04:39 11:56 15:18 17:50 19:04 06:22 05:59
Nilai Konversi
-00:30 -00:30 -00:30 -00:30 -00:30 -00:30 -00:30
Waktu Banyuwangi
04:09 11:26 14:48 17:20 18:34 05:52 05:29
Selisih 00:03 00:00 00:02 00:04 00:04 00:03 00:04
89
Jadwal waktu salat DKI Jakarta, Tanggal 22 Desember 2014
Lintang : 6° 10’ LS
Bujur : 106° 49’ BT
Deklinasi : - 23°26’ 03,09” (5 GMT)
Subuh Zuhur Asar Magrib Isya Duha Terbit
Tanpa ihtiyat
4:11:11,15 11:51:07,02 15:18:28,76 18:06:22,54 19:21:58,99 5:55:35,83 5:35:51,48
Ihtiyat 1-2 menit
04:13 11:53 15:20 18:08 19:23 05:57 05:34
Jadwal waktu salat Banyuwangi, Tanggal 22 Desember 2014 (Perhitungan waktu
lokal)
Lintang : 8° 14” LS
Bujur : 114° 23’ BT
Deklinasi : - 23°26’ 03,09” (5 GMT)
Subuh Zuhur Asar Magrib Isya Duha Terbit
Tanpa ihtiyat
3:36:27,02 11:20:51,02 11:48:14,03 17:39:46,79 18:56:03,84 5:21:45,56 5:01:55,22
Ihtiyat 1-2 menit
03:38 11:22 14:50 17:41 18:58 05:23 05:00
90
Jadwal waktu salat Banyuwangi berdasarkan nilai konversi -00:30 dengan markaz
acuan Jakarta
Subuh Zuhur Asar Magrib Isya Duha Terbit
Waktu Jakarta
04:13 11:53 15:20 18:08 19:23 05:57 05:34
Nilai Konversi
-00:30 -00:30 -00:30 -00:30 -00:30 -00:30 -00:30
Waktu Banyuwangi
03:43 11:23 14:50 17:38 18:53 05:27 05:04
Selisih 00:05 00:01 00:00 00:03 00:05 00:04 00:04
Dari hasil perhitungan tersebut, dapat diperoleh nilai selisih waktu hasil perhitungan
waktu salat Banyuwangi berdasarkan acuan lokal tempat dengan hasil konversi:
Subuh Zuhur Asar Magrib Isya Duha Terbit
20 Maret 2014
00:00 00:00 00:03 00:00 00:00 00:00 00:01
21 Juni 2014
00:03 00:00 00:02 00:04 00:04 00:03 00:04
22 Desember 2014
00:05 00:01 00:00 00:03 00:05 00:04 00:04
Selisih bujur yang dipakai untuk sistem konversi awal waktu salat hanya bisa untuk
mengkonversi beda waktu rata-rata (yaitu waktu matahari rata-rata/jam arloji)
Sedangkan waktu salat berkaitan dengan posisi matahari sebenarnya yang tampak
guna menghitung sudut waktu mataharinya (Waktu Hakiki/ Istiwak). Waktu Hakiki
/ Waktu Istiwak dalam istilah astronomi disebut dengan Apparent Solar Time (AST)
91
atau dalam literatur bahasa Arab disebut Al-Waqt As-Syamsi> Az}-Z{a>hiri> Al-Mah}alli>
adalah waktu yang didasarkan pada peredaran Matahari hakiki (yang sebenarnya)/
Matahari yang tampak, yaitu pada waktu Matahari mencapai titik kulminasi atas
ditetapkan pukul 12.00. waktu Zuhur yaitu ketika Matahari menempati titik
kulminasi, ketika terbenam maka didefinisikan ketika pukul 18.00. waktu tengah
malam adalah ketika pukul 24.00 tepat, dan terbit adalah pukul 06.00. waktu-waktu
ibadah seperti salat sebenarnya menggunakan sistem waktu ini (At}-T}a>’i, 2007: 235-
236).
Waktu Matahari pertengahan/ rata-rata (Solar Mean Time, Az-Zama>n Asy-Syamsi>
Al-Mutawassit} ) atau dikenal dengan Waktu Sipil (Civil Time, Az-Zama>n Al-
Madani>) adalah waktu yang didasarkan kepada peredaran Matahari khayal yang
menjadikan perjalanan Matahari seakan-akan stabil, artinya tidak pernah terlalu
cepat dan tidak pernah terlambat. Dengan demikian maka waktu pertengahan
dengan waktu hakiki kadang bisa bersamaan dan bisa pula tidak bersamaan. Suatu
ketika waktu pertengahan mendahului waktu hakiki dan pada saat yang lain waktu
pertengahan didahului oleh waktu hakiki. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
yang membutuhkan waktu yang teratur, maka perlu dibuat jam Matahari tiruan yang
seolah-olah bergerak dengan kecepatan yang konstan dan teratur di sepanjang
khatulistiwa dengan pedoman jam Matahari rata-rata yaitu sehari semalam selalu
konstan 24 jam (Marsito, 1960: 70).
Dari tabel di atas, selisih yang diperoleh dari perhitungan ketiga tanggal diatas, yaitu
dengan mengambil waktu pada tiga deklinasi Matahari yang berbeda dan diambil dari
92
dua tempat yang memiliki beda lintang sekitar 2°, menghasilkan nilai selisih
bervariasi yaitu sekitar 1-5 menit. Artinya dengan melihat data tersebut, semestinya
dalam mengkonversi jadwal waktu salat tidak semata-mata hanya dengan
memperhitungkan perbedaan bujur tempat, melainkan juga memperhatikan beda
lintang. Hal tersebut dikarenakan ketika matahari berada pada nilai deklinasi berbeda
dengan lintang suatu kota, maka akan menimbulkan bayangan yang berbeda dengan
kota lainnya yang berbeda lintang saat Matahari berkulminasi. Sedangkan panjang
bayangan yang timbul saat kulminasi akan menjadi tambahan untuk perhitungan awal
masuk salat Asar. Apabila panjang bayangan suatu benda pada suatu lintang kota
tertentu yang dijadikan pedoman untuk penambahan bayang benda untuk perhitungan
waktu Asar pada kota lain yang memiliki lintang berbeda misalnya, maka hal tersebut
akan menghasilkan waktu yang yang berbeda jika dibandingkan dengan perhitungan
waktu salat secara lokal. Ketika waktu-waktu salat ini didasarkan pada konversi
waktu pertengahan (rata-rata) yang menggunakan selisih beda bujur, tidak
melibatkan elemen lintang yang menjadi bagian dalam perhitungan awal salat, maka
akan terjadi selisih.
B. Pengaruh Lintang Dan Perubahan Ufuk dalam Waktu Salat
1111.... Pengaruh Pengaruh Pengaruh Pengaruh Perubahan Perubahan Perubahan Perubahan LintangLintangLintangLintang
Pada perhitungan awal waktu salat, diperlukan beberapa hal yaitu variabel atau
elemen yang berkaitan data suatu tempat maupun berkaitan data Matahari.
Data tempat meliputi lintang dan bujur tempat serta ketinggan suatu tempat.
Data mengenai Matahari meliputi Equation ot Time, deklinasi, semidiameter
93
Matahari, serta refraksi. Data yang diperlukan untuk mencari waktu kulminasi
Matahari adalah perata waktu (Equation of Time) dengan rumus WKM=12WKM=12WKM=12WKM=12––––eeee.
Waktu kulminasi Matahari digunakan sebagai acuan untuk menghitung
waktu-waktu salat yang lainnya. Variabel selanjutnya adalah koreksi waktu
daerah (KWD). Koreksi waktu daerah digunakan untuk mencari selisih waktu
daerah (Zona waktu) dengan waktu lokal suatu daerah. Rumus koreksi waktu
daerah adalah KWD = (Bujur Daerah KWD = (Bujur Daerah KWD = (Bujur Daerah KWD = (Bujur Daerah –––– Bujur Tempat) / 15Bujur Tempat) / 15Bujur Tempat) / 15Bujur Tempat) / 15.
Kemudian untuk mencari sudut waktu yang digunakan untuk
menentukan awal waktu-waktu salat adalah dengan menggunakan rumus, Cos Cos Cos Cos
t = t = t = t = ----tantantantanϕϕϕϕ . tan. tan. tan. tanδδδδ + sin h : Cos + sin h : Cos + sin h : Cos + sin h : Cos ϕϕϕϕ . Cos . Cos . Cos . Cos δδδδ. Rumus waktu Zuhur adalah 12 12 12 12 –––– e + e + e + e +
KWDKWDKWDKWD + i, + i, + i, + i, dari rumus tersebut maka dapat diketahui bahwa perhitungan awal
waktu Zuhur hanya memerlukan elemen perata waktu untuk mengetahui
waktu kulminasi dan bujur untuk mengetahui selisih bujur zona waktu dan
bujur tempat dan penambahan nilai ih}tiyat}. Waktu Zuhur tidak terpengaruh
oleh perubahan lintang tempat. Hal tersebut dikarenakan pada saat kulminasi,
seluruh daerah yang berada pada lingkaran meridian yang sama, akan
mengalami kulminasi Matahari pada saat yang bersamaan. Sedangkan waktu-
waktu salat yang lain memerlukan sudut waktu (t) yang dapat diperoleh dari
rumus yang melibatkan variabel lintang, deklinasi dan tinggi Matahari.
Sudut waktu yaitu busur sepanjang ekuator langit yang di hitung dari
titik meridian pengamat sampai dengan titik dari garis vertikal benda langit
yang berpotongan terhadap ekuator. Dinamakan demikian karena sudut waktu
94
menggambarkan rentang waktu yang membentang antara waktu kulminasi
benda langit hingga posisi tertentu. Perubahan nilai lintang, deklinasi dan
tinggi Matahari akan mempengaruhi nilai t. Semakin besar nilai selisih jarak
deklinasi dan lintang tempat, maka akan semakin besar nilai t. Semakin kecil
nilai h, maka semakin besar nilai t. Penentuan waktu Asar secara normatif di
tentukan oleh panjang bayangan benda. Dengan pendekatan trigonometri,
maka dapat dipergunakan untuk menentukan posisi h matahari berdasarkan
bayang benda. Terbentuknya panjang bayang benda dipengaruhi oleh posisi
Matahari terkait dengan deklinasi matahari dan lintang suatu tempat.
Deklinasi Matahari yang selalu berubah menjadikan jarak zenit
Matahari dan tinggi kulminasi matahari ikut berubah. Jarak zenit Matahari
adalah jarak sepanjang lingkaran busur dari Matahari sampai ke Zenit.
Sedangkan tinggi kulminasi adalah jarak yang dihitung dari horizon sampai
dengan kedudukannya yang tertinggi. Besar kecilnya jarak zenit (zm)
ditentukan oleh nilai dari lintang suatu tempat dan deklinasi Matahari berikut
nilai positif (berada di lintang atau deklinasi utara) dan negatifnya (di lintang
atau deklinasi selatan). Bila nilai keduanya sama-sama negatif maupun sama-
sama positif, maka jarak zenit adalah nilai selisih dari deklinasi dan lintang,
namun bila berbeda (positif-negatifnya), maka jarak zenitnya adalah akumulasi
nilai absolute keduanya. Hasil Zm tidak berpengaruh, hanya jika bernilai
positif maknanya Matahari berada di utara titik zenit. Tapi jika bernilai
negative artinya Matahari berada di selatan titik zenit (Hambali, 2011: 56).
Rumus mencari jarak zenit adalah
lintang tempat dan
diukur dari horizon yang disimbolkan dengan “hm”. Dikarenakan jarak zenit
dari horizon sebesar 90
(Fathurrohman, 2012: 49).
ZPH = 90°
ZPH = Zm + Hm
Hm = 90° -
Zm = 90° -
Perubahan deklinasi Matahari yang menjadikan jarak terhadap
zenitnya berubah
Matahari yang mengenai benda yang tegak lurus dengan permukaan Bumi saat
kulminasi. Semakin
maka semakin panjang bayangan yang ditimbulkan oleh sinar matahari
terhadap benda tersebut. Begitu
Matahari, maka makin pendek bayangan benda tersebut.
akan memunculkan bayangan saat kulminasi jika jarak zenit Matahari bernilai
Rumus mencari jarak zenit adalah �� � |ϕ� δ|
lintang tempat dan δ adalah deklinasi Matahari. Selain itu jarak zenit juga bisa
diukur dari horizon yang disimbolkan dengan “hm”. Dikarenakan jarak zenit
dari horizon sebesar 90°, maka dapat bisa dikatakan ��
(Fathurrohman, 2012: 49).
= Zm + Hm
- Zm
- Hm
Perubahan deklinasi Matahari yang menjadikan jarak terhadap
zenitnya berubah-ubah. kondisi tersebut berimplikasi pada keadaan bayangan
Matahari yang mengenai benda yang tegak lurus dengan permukaan Bumi saat
kulminasi. Semakin besar selisih lintang tempat dengan deklinasi Matahari,
maka semakin panjang bayangan yang ditimbulkan oleh sinar matahari
terhadap benda tersebut. Begitu juga sebaliknya, jika makin tinggi kedudukan
Matahari, maka makin pendek bayangan benda tersebut.
akan memunculkan bayangan saat kulminasi jika jarak zenit Matahari bernilai
95
| dimana ϕ adalah
adalah deklinasi Matahari. Selain itu jarak zenit juga bisa
diukur dari horizon yang disimbolkan dengan “hm”. Dikarenakan jarak zenit
� � 90° � |ϕ� δ|
Perubahan deklinasi Matahari yang menjadikan jarak terhadap
ubah. kondisi tersebut berimplikasi pada keadaan bayangan
Matahari yang mengenai benda yang tegak lurus dengan permukaan Bumi saat
besar selisih lintang tempat dengan deklinasi Matahari,
maka semakin panjang bayangan yang ditimbulkan oleh sinar matahari
juga sebaliknya, jika makin tinggi kedudukan
Matahari, maka makin pendek bayangan benda tersebut. Suatu benda tidak
akan memunculkan bayangan saat kulminasi jika jarak zenit Matahari bernilai
nol, atau nilai deklinasi Matahari sama dengan besar lintang suatu tempat di
permukaan Bumi (Djambek, 1974: 9).
Gambar 4.1.
Pada gambar tersebut mengilustrasikan panjang bayangan yang
dibentuk oleh sinar Matahari saat berkulminasi di deklinasi terjauh. Garis EQ
merupakan ilustrasi ekuator, U adalah titik utara dan S adalah titik selata
Posisi A adalah benda yang berdiri tegak lurus dengan permukaan Bumi yang
jarak zenitnya lebih kecil dibandingan benda yang berdiri di tit
gambar tersebut dapat dilihat semakin besar selisih jarak antara Matahari
dengan lintang tempat, semakin
sebagaimana yang tergambar bayangan B’ lebih panjang dibandingkan dengan
bayangan yang terbentuk pada A’. kondisi tersebut dikarenakan jarak zenit
yang lebih besar akan membantuk sudut yang lebih besar.
Setelah melewati
Semakin menjauhi meridian, maka bayangan yang terbentuk dari sinar
nol, atau nilai deklinasi Matahari sama dengan besar lintang suatu tempat di
permukaan Bumi (Djambek, 1974: 9).
4.1. Kedudukan Matahari terhadap Dua Benda Berbeda Saat Kulminasi.
Pada gambar tersebut mengilustrasikan panjang bayangan yang
dibentuk oleh sinar Matahari saat berkulminasi di deklinasi terjauh. Garis EQ
merupakan ilustrasi ekuator, U adalah titik utara dan S adalah titik selata
Posisi A adalah benda yang berdiri tegak lurus dengan permukaan Bumi yang
jarak zenitnya lebih kecil dibandingan benda yang berdiri di tit
gambar tersebut dapat dilihat semakin besar selisih jarak antara Matahari
dengan lintang tempat, semakin panjang bayangan yang di bentuk
sebagaimana yang tergambar bayangan B’ lebih panjang dibandingkan dengan
bayangan yang terbentuk pada A’. kondisi tersebut dikarenakan jarak zenit
yang lebih besar akan membantuk sudut yang lebih besar.
Setelah melewati merpass, Matahari terus bergerak ke arah barat.
Semakin menjauhi meridian, maka bayangan yang terbentuk dari sinar
96
nol, atau nilai deklinasi Matahari sama dengan besar lintang suatu tempat di
dengan Lintang
Pada gambar tersebut mengilustrasikan panjang bayangan yang
dibentuk oleh sinar Matahari saat berkulminasi di deklinasi terjauh. Garis EQ
merupakan ilustrasi ekuator, U adalah titik utara dan S adalah titik selatan.
Posisi A adalah benda yang berdiri tegak lurus dengan permukaan Bumi yang
jarak zenitnya lebih kecil dibandingan benda yang berdiri di titik B. Dari
gambar tersebut dapat dilihat semakin besar selisih jarak antara Matahari
panjang bayangan yang di bentuk
sebagaimana yang tergambar bayangan B’ lebih panjang dibandingkan dengan
bayangan yang terbentuk pada A’. kondisi tersebut dikarenakan jarak zenit
Matahari terus bergerak ke arah barat.
Semakin menjauhi meridian, maka bayangan yang terbentuk dari sinar
97
matahari terhadap benda semakin memanjang. Bila panjang benda tersebut
telah mencapai satu kali panjang bayangan benda tersebut (ditambah bayangan
yang terbentuk saat kulminasi), maka awal waktu Asar telah masuk. Namun
Djambek (1974: 9-10) memilih pendapat awal masuk Asar adalah dua kali
panjang bayangan benda selain bayangan saat kulminasi. Hal tersebut guna
mengatasi permasalahan untuk waktu Asar di daerah lintang yang besar yang
mendekati kutub.
Kondisi tersebut dikarenakan ketika daerah sirkumpolar utara musim
dingin, yaitu saat Matahari berada di deklinasi selatan, jarak zenit Matahari
akan sangat besar. Hal tersebut akan mangakibatkan bayang-bayang
memanjang lebih cepat dari pada ketika Matahari berkedudukan tinggi di
langit (ketika nilai jarak zenitnya kecil). Saadoe’ddin Djambek menerangkan
jika menggunakan kriteria Asar dengan panjang benda sepanjang benda
tersebut, maka waktu Asar akan masuk terlalu cepat dan waktu Zuhur menjadi
lebih pendek. Menurut Azhari (2007: 66) panjang bayangan asar tergantung
pada musim atau posisi tahunan Matahari. Bahkan pada musim dingin
bayangan bisa lebih panjang dari benda pada saat kulminasi.
Jika yang diperlukan adalah mengetahui berapa besar sudut awal
waktu Asar (ha) saat panjang bayangan sepanjang bendanya ditambah
bayangan saat kulminasi, maka dapat digunakan perbandingan sisi dengan
kaidah sudut tangen yaitu perbandingan panjang atau tinggi suatu benda
dengan panjang bayangan.
Gambar 4.
α adalah sudut yang dibentuk oleh benda dengan sinar garis
saat kulminasi.
satuan , maka x = panjang tongk
Tan α = Depan : Samping
= x : 1
x = Tan
Jika panjang bayangan asar adalah sepanjang bayangan benda ditambah
bayangan saat kulminasi (x + 1), maka sudut ha adalah:
Cotan ha
Tan ha
ha
atau ha
Penentuan awal waktu Magrib, Isya dan Subuh sangat dipengaruhi
oleh posisi Matahari terhadap ufuk. Sehingga memerlukan penambahan
Gambar 4. 2 Panjang Bayangan Saat Awal Asar
dalah sudut yang dibentuk oleh benda dengan sinar garis
saat kulminasi. Jika x adalah Panjang bayangan dari benda yang panjangnya 1
satuan , maka x = panjang tongkat dikali tan α, dengan α= |
= Depan : Samping
= x : 1
= Tan α . 1
Jika panjang bayangan asar adalah sepanjang bayangan benda ditambah
bayangan saat kulminasi (x + 1), maka sudut ha adalah:
= (x + 1) :1
= 1 : (x +1)
= tan-1 (x + 1)-1
ha = arc tan (x + 1) -1
enentuan awal waktu Magrib, Isya dan Subuh sangat dipengaruhi
oleh posisi Matahari terhadap ufuk. Sehingga memerlukan penambahan
98
dalah sudut yang dibentuk oleh benda dengan sinar garis matatahari pada
Jika x adalah Panjang bayangan dari benda yang panjangnya 1
= |δ - ϕ |
Jika panjang bayangan asar adalah sepanjang bayangan benda ditambah
enentuan awal waktu Magrib, Isya dan Subuh sangat dipengaruhi
oleh posisi Matahari terhadap ufuk. Sehingga memerlukan penambahan
99
koreksi dalam menentukan h Matahari. Koreksi ketinggian Matahari pada
waktu-waktu salat tersebut terdiri dari koreksi semi diameter matahari,
refraksi dan kerendahan ufuk (Dip). Dalam perhitungan waktu salat PBNU
kriteria yang digunakan sesuai dengan kriteria standar Kemenag RI, yaitu
Magrib = -1°, Isya = -18° dan Subuh = -20°. Berikut ini contoh perbedaan
waktu salat pada saat deklinasi sama tetapi dengan lintang berbeda yang
mengambil jadwal waktu salat Jakarta pada 5 Maret 2014 yaitu saat deklinasi -
6° 05’ (5 GMT) mendekati lintang kota Jakarta -6°10’ dibandingankan dengan
daerah yang di perkirakan sebujur dengan beda lintang 1-3° .
Tabel. 4.1. Perbedaan waktu salat terhadap perubahan lintang (ϕ) dengan nilai deklinasi (δ) tetap
Lintang (ϕ)
Deklinasi (δ) : -6°5’10,84” (5 GMT) λ =106° 49’ Subuh Zuhur Asar Magrib Isya Dhuha Terbit
-3°10’ 04:42:16,15 12:04:17,55 15:10:10,15 18:09:35,47 19:18:08,76 06:17:04,54 05:58:56,92
+ Ihtiyat
04:44 12:06 15:12 18:11 19:20 06:19 05:57
-4°10’ 04:41:42,53 12:04:17,55 15:08:34,58 18:10:01,04 19:18:40,41 06:16:39,34 05:58:30,53
+ Ihtiyat
04:43 12:06 15:10 18:12 19:20 06:18 05:57
-5°10’ 04:41:07,24 12:04:17,55 15:06:53,04 18:10:26,74 19:19:13,55 06:16:14,34 05:58:04,00
+ Ihtiyat
04:43 12:06 15:08 18:12 19:21 06:18 05:57
----6666°°°°10’10’10’10’ 04:40:30,2504:40:30,2504:40:30,2504:40:30,25 12:04:17,55 15:05:36,3115:05:36,3115:05:36,3115:05:36,31 18:10:52,0618:10:52,0618:10:52,0618:10:52,06 19:19:48,0219:19:48,0219:19:48,0219:19:48,02 06:15:49,5206:15:49,5206:15:49,5206:15:49,52 05:57:37,3205:57:37,3205:57:37,3205:57:37,32
+ Ihtiyat
04:4204:4204:4204:42 12:06 15:0715:0715:0715:07 18:1218:1218:1218:12 19:2119:2119:2119:21 06:1706:1706:1706:17 05:5605:5605:5605:56
-7°10’ 04:39:51,52 12:04:17,55 15:07:43,96 18:11:18,63 19:20:24,39 06:15:24,87 05:57:10,45
+ Ihtiyat
04:41 12:06 15:09 18:13 19:22 06:17 05:56
-8°10’ 04:39:11,0204:39:11,0204:39:11,0204:39:11,02 12:04:17,5512:04:17,5512:04:17,5512:04:17,55 15:09:45,9315:09:45,9315:09:45,9315:09:45,93 18:11:44,8618:11:44,8618:11:44,8618:11:44,86 19:21:02,1819:21:02,1819:21:02,1819:21:02,18 06:15:00,3906:15:00,3906:15:00,3906:15:00,39 05:56:43,0405:56:43,0405:56:43,0405:56:43,04
+ Ihtiyat
04:4104:4104:4104:41 12:06 15:1115:1115:1115:11 18:1318:1318:1318:13 19:2319:2319:2319:23 06:1706:1706:1706:17 05:5505:5505:5505:55
-9°10’ 04:38:28,07 12:04:17,55 15:11:42,95 18:12:11,29 19:21:41,58 06:14:36,01 05:56:16,13
Ihtitat 04:40 12:06 15:13 18:14 19:23 06:16 05:55
100
Berikut ini contoh waktu-waktu salat daerah Jakarta pada saat deklinasi
berbeda:
Jadwal waktu salat DKI Jakarta, Tanggal 20 Maret 2014
Lintang : 6° 10’ LS
Bujur : 106° 49’ BT
Deklinasi : -0° 11’ 49.12’’ (5 GMT) Subuh Zuhur Asar Magrib Isya Duha Terbit
Tanpa ihtiyat
4:39:45,13 12:00:17,79 15:10:36,21 18:04:16,78 19:12:40,84 6:14:19,45 5:56:13,65
Ihtiyat 1-2 menit
04:41 12:02 15:12 18:06 19:14 06:16 05:55
Jadwal waktu salat DKI Jakarta, Tanggal 21 Juni 2014, Deklinasi : 23°26’ 05,35” (5 GMT)
Subuh Zuhur Asar Magrib Isya Duha Terbit
Tanpa ihtiyat
4:37:45,47 11:54:26,19 15:16:24,48 17:48:08,65 19:02:23,59 6:20:30,57 6:00:43,71
Ihtiyat 1-2 menit
04:39 11:56 15:18 17:50 19:04 06:22 05:59
Jadwal waktu salat DKI Jakarta, Tanggal 22 Desember 2014,
Deklinasi : - 23°26’ 03,09” (5 GMT) Subuh Zuhur Asar Magrib Isya Duha Terbit
Tanpa ihtiyat
4:11:11,15 11:51:07,02 15:18:28,76 18:06:22,54 19:21:58,99 5:55:35,83 5:35:51,48
Ihtiyat 1-2 menit
04:13 11:53 15:20 18:08 19:23 05:57 05:34
Dari tabel jadwal waktu salat di atas, menunjukan bahwa perubahan lintang
dan deklinasi akan berpengaruh pada hasil perhitungan waktu salat.
101
2222.... Pengaruh Pengaruh Pengaruh Pengaruh Perubahan UfukPerubahan UfukPerubahan UfukPerubahan Ufuk
Perubahan ufuk memberikan pengaruh terhadap h Matahari dalam perhitungan
waktu salat. Perubahan ufuk merupakan koreksi yang berpengaruh terhadap
perhitungan waktu salat. Dengan mengacu kepada h Matahari yang
dipergunakan oleh PBNU dalam perhitungan waktu salat, menurut penulis
nilai koreksi untuk h Matahari untuk waktu Magrib, Isyak dan Subuh nilai
koreksi semi diameter, refraksi dan dip dianggap tetap, sehingga tidak
memerlukan koreksi lagi. Akan tetapi walaupun nilai refraksi dan semi
diameter dapat diasumsikan tetap, untuk nilai dip (perubahan ufuk) akan
senatiasa berubah karena bergantung kepada posisi pengamat berada, terutama
terkait dengan ketinggian (elevasi) tempat. Waktu-waktu salat yang
terpengaruh oleh perubahan ufuk hanya Magrib, Isya, dan Subuh. Asar dan
Zuhur tidak terpengaruh oleh perubahan ufuk karena acuan kedua salat ini
tidak diidentikan dengan posisinya terhadap ufuk. Salat zuhur mensyaratkan
posisi matahari telah bergeser dari meridian atau biasa disebut dengan zawal.
Salat asar ditandai dengan panjang bayangan terhadap suatu benda tersebut.
Untuk mengamati obyek langit tenggelam maupun terbit, maka
seorang pengamat perlu memahami tentang ufuk. Ufuk adalah batas pandang
yang menunjukan perpotongan bola langit dengan permukaan Bumi bagi
pengamat. Mengingat kondisi Bumi yang berbentuk bola yang tidak rata,
Bumi terdiri dari lautan dan daratan, maka tempat terbaik untuk melihat ufuk
adalah pada tempat terbuka, tanpa penghalang pandangan. Batas pandang itu
102
sesungguhnya adalah garis singgung melalui mata pengamat terhadap
permukaan Bumi, sehingga apabila ketinggian mata pengamat dari permukaan
Bumi berubah, maka keadaan ufuknya pun akan berubah pula.
Namun dalam data-data astronomis yang tercantum, misalnya dalam
ephemeris atau almanak nautika, data-data tersebut dihitung dari titik tengah
suatu benda langit terhadap titik tengah pusat Bumi. Sehingga apabila dalam
perhitungan, perlu adanya beberapa koreksi seperti ketinggian tempat
pengamat maupun refraksi.
Perubahan ufuk yang dimaksud adalah perubahan nilai dip yang
diperoleh berdasarkan ketinggian pengamat. Nilai dip dapat diperoleh dengan
pendekatan rumus: Dip = 1,76 √ h : 60, dimana h merupakan ketinggian
tempat dan Dip dalam satuan menit busur. Berdasarkan pendekatan rumus
tersebut, nilai h menjadi faktor penting dalam menentukan besar kecilnya nilai
Dip. Dari referensi tentang ketinggian tempat yang beredar, ketinggian tempat
diukur dengan acuan 0 meter di atas permukaan laut. Akan tetapi penentuan
ketinggian tempat akan mengalami permasalah jika suatu daerah tidak dapat
memperoleh ufuk pandang berupa laut, sehingga diperlukan koreksi terhadap
ketinggian tempat.
Menentukan ufuk di laut relatif lebih mudah dibandingkan di daratan.
Ufuk di daratan tidak semulus ufuk pada lautan yang tampak jelas. Meski
dalam perhitungan ketinggian nantinya tetap harus dimasukan koreksi-koreksi,
namun di daratan, menentukan ufuk cenderung lebih sulit. Hal tersebut
103
dikarenakan daratan dibumi tidak benar-benar rata. Kontur tanah atau
topografi satu daerah dengan daerah lainnya berbeda. Bahkan untuk didaerah
yang memiliki kontur tanah yang rata berupa dataran, namun menentukan ufuk
tempat tersebut juga menjadi kesulitan akibat dari banyaknya penghalang-
penghalang seperti bangunan dan pepohonan pada batas pandang pengamat.
Sehingga untuk menentukan ufuk sebagai pengamatan benda langit terbenam
dan terbit menjadi hal yang penting. Terlebih jika dikaitkan dengan ibadah
umat Islam yang didasarkan pada posisi Matahari terhadap ufuk suatu tempat
di Bumi.
Nilai koreksi dalam jadwal waktu-waktu salat biasanya dihitung
berdasarkan referensi ketinggian rata-rata air, dalam artian bahwa titik nol
ketinggian suatu tempat berdasarkan rata-rata permukaan air laut. Ketika
dalam kenyataannya bentuk permukaan bumi tidak benar-benar rata, yaitu
terdapat perbedaan ketinggian permukaan antara daerah satu dengan lainnya,
maka perlu adanya kajian yang memadai yang dapat menjelaskan pengaruh
perbedaan ketinggian tempat terhadap perubahan ufuk bagi pengamat saat
mengamati terbit dan tenggelam Matahari (Qas}im, 1983: 145).
Melihat kenyataan bahwa ada beberapa persoalan ketika harus
menentukan ufuk suatu tempat, Penentuan ketinggian suatu tempat untuk
kepentingan jadwal waktu salat disuatu wilayah harus ditentukan berdasarkan
pertimbangan yang paling mendekati kenyataan posisi Matahari terhadap ufuq
104
mar’i secara teoritis maupun pertimbangan postulat/ dalil keabsahan awal
masuknya waktu-waktu salat.
Pengukuran ketinggian suatu tempat bila direferensikan terhadap
ketinggian rata-rata air laut, sejatinya tidaklah sulit pada masa sekarang ini.
Untuk mengetahui ketinggian tempat bisa menggunakan bantuan alat seperti
altimeter atau GPS (Global Positioning System)1. Instrument pengukur
tersebut akan mendasarkan ketinggian dengan referensi ketinggian rata-rata air
laut sebagai titik acuan nol meter. Perhitungan waktu salat Magrib selama ini
yang dipakai yaitu dengan pembulatan ketinggian (altitude) Matahari sebesar -
1° (nilai tersebut sudah termasuk refraksi, semi diameter Matahari dan dip).
Hal tersebut dimaksudkan untuk kepraktisan di dalam perhitungan
tenggelamnya Matahari sebagai tanda awal waktu salat Magrib2
(Fathurrohman, 2012: 44).
Dalam kenyataannya Bumi memiliki topografi atau relief permukaan
yang tidak rata. Didaratan, bahkan dalam satu wilayah, memiliki ketinggian
permukaan yang berbeda-beda. Untuk menentukan posisi ketinggian suatu
wilayah sebagai pedoman ketinggian yang kaitannya dengan perhitungan
jadwal awal waktu salat, tidak semestinya men-generalisasi ketinggian suatu
tempat diukur dari titik nol permukaan air laut. Hal tersebut harus didasarkan
1 GPS adalah alat ukur koordinat dengan menggunakan satelit untuk mendapatkan
posisi lintang, bujur, ketinggian tempat, jarak dan lain-lain (Azhari, 2012: 72). 2 Lihat juga Muslih & Mansyur (2011:95), posisi kedudukan Matahari pada awal
waktu Magrib dari ufuk sepanjang lingkaran vertical yang dirumuskan: hMagrib : 0°- (SD+Ref+Dip), namun dikatakan perhitungan semacam ini diterapkan untuk pengamatan hilal. Untuk keperluan waktu salatkhususnya Magrib cukup dengan pembulatan -1°
105
pada pandangan ufuk suatu wilayah. Sebagian besar wilayah di Indonesia,
ufuknya tidak benar-benar ke laut. Penentuan ufuk suatu tempat semestinya
mempertimbangkan jarak ufuk yang merupakan batas kelengkungan Bumi
yang bisa terlihat bila tanpa halangan yang di dipengaruhi oleh ketinggian
tempat.
Dalam beberapa referensi, ada beberapa perincian dalam menentukan
ketinggian Matahari saat tenggelam berkaitan dengan ketinggian tempat. Di
antaranya yaitu:
a. Hambali (2011: 141), Izzuddin (2012: 84), Abd. Shomad (1991: 32),
Nawawi (2010: 26) dan Bimas Islam Kemenag RI (2013: 82-83) dalam
menentukan awal waktu Magrib adalah dengan menghitung posisi piringan
atas Matahari menyentuh horizon pandang. Hal tersebut bila diterjemahkan
dalam perhitungan maka titik tengah Matahari menyentuh horizon pandang
adalah 0° di kurangi dengan refraksi Matahari rata-rata saat tenggelam
adalah 0°34’, semi diameter Matahari rata-rata 0°16’ dan kerendahan ufuk
(tergantung ketinggian tempat tersebut terhadap permukaan rata-rata air
laut). Sehingga nilai “h” Magrib adalah: 0° - (Ref+SD+Dip).
b. Maskufa (2010: 100-101) menerjemahkan waktu terbenam yaitu ketika
jarak zenith Matahari pada saat itu mencapai 90°+(34’+16’+10’) untuk
wilayah yang terletak di tepi pantai, atau ketinggian Matahari pada saat itu
yaitu -1°. Sedangkan tempat-tempat lain menyesuaikan ketinggian tempat
dan pengaruhnya terhadap kerendahan ufuk.
106
c. JAKIM (2001: 13-14) dan Man dkk. (2013: 60) mendefinisikan Matahari
tenggelam yaitu ketika Matahari mencapai jarak zenit 90°+(SD+Ref) yaitu
90° + (16’+34’) = 90°50’. Dalam referensi tersebut tidak dijelaskan tentang
faktor kerendahan ufuk.
d. Sama seperti JAKIM, Azhari (2007: 67) mendefinisikan Matahari
tenggelam yaitu ketika Matahari mencapai jarak zenit 90°+(SD+Ref) yaitu
90° + (16’+34’) = 90°50’, atau jarak zenith Matahari 91° bila ditambah
koreksi ketinggian empat 30 m dari permukaan laut.
e. Zainal (2004: 124) mendefinisikan Matahari tenggelam pada saat jarak
zenit 90°50’. Untuk wilayah dengan ketinggian diatas 100 meter,
diberlakukan koreksi kerendahan ufuk.
Beberapa referensi di atas yang menyertakan dip sebagai koreksi
kerendahan ufuk, semuanya mengambil acuan titik nol meter dari rata-rata
permukaan air laut untuk ketinggian tempat suatu wilayah. Bentuk Bumi
menyerupai bola yang sangat besar dan tidak rata yang sedikit pepat di daerah
kutub-kutubnya. Sehingga Bumi memiliki jarak kelengkungan yang menjadi
batas pandang mata pengamat dipermukaan Bumi. Batas pandang maksimal
dari mata pengamat sampai ke batas kelengkungan Bumi tersebut menjadi
horizon pandang (ufuq mar’i) ketika pengamat di laut lepas, atau daratan jika
mengabaikan penghalang-penghalang seperti bangunan-bangunan, pepohonan
atau perbukitan.
Gambar
Dalam gambar tersebut, ufuk pengamat berada pada titik H bukan pada titik D
yang merupakan penghalang mata observer mencapai pandangan ke
mar’i. Waktu tenggelam
Waktu tenggelam tersebut berkaitan dengan kedudukan
ufuk. Jarak pengamat terhadap ufuk dipengaruhi oleh ketinggian tempat
pengamat diatas permukaan Bumi.
Kebutuhan menyusun jadwal waktu salat yang bisa digunakan dalam
satu wilayah (semisal satu kabupaten), selain memperhatikan aspek letak
geografis wilayah tersebut, seharusnya juga memperhatikan aspek topografi
wilayahnya yang berpengaruh terhadap nilai koreksi kerendahan ufuk. Koreksi
kerendahan ufuk terjadi akibat dari perub
ketinggian tempat. Hal berimplikasi pada penentuan awal waktu
Magrib, Isya dan Subuh
Gambar. 4.3. Ufuk Pengamat
Gambar 4.3. mengilustrasikan hubungan pengamat terhadap ufuk.
Dalam gambar tersebut, ufuk pengamat berada pada titik H bukan pada titik D
yang merupakan penghalang mata observer mencapai pandangan ke
Waktu tenggelam Matahari menjadi pedoman awal waktu sal
Waktu tenggelam tersebut berkaitan dengan kedudukan
ufuk. Jarak pengamat terhadap ufuk dipengaruhi oleh ketinggian tempat
pengamat diatas permukaan Bumi.
Kebutuhan menyusun jadwal waktu salat yang bisa digunakan dalam
ayah (semisal satu kabupaten), selain memperhatikan aspek letak
grafis wilayah tersebut, seharusnya juga memperhatikan aspek topografi
wilayahnya yang berpengaruh terhadap nilai koreksi kerendahan ufuk. Koreksi
kerendahan ufuk terjadi akibat dari perubahan ufuk suatu wilayah oleh faktor
ketinggian tempat. Hal berimplikasi pada penentuan awal waktu
Magrib, Isya dan Subuh.
107
mengilustrasikan hubungan pengamat terhadap ufuk.
Dalam gambar tersebut, ufuk pengamat berada pada titik H bukan pada titik D
yang merupakan penghalang mata observer mencapai pandangan ke ufuq
menjadi pedoman awal waktu salat Magrib.
Waktu tenggelam tersebut berkaitan dengan kedudukan Matahari terhadap
ufuk. Jarak pengamat terhadap ufuk dipengaruhi oleh ketinggian tempat
Kebutuhan menyusun jadwal waktu salat yang bisa digunakan dalam
ayah (semisal satu kabupaten), selain memperhatikan aspek letak
grafis wilayah tersebut, seharusnya juga memperhatikan aspek topografi
wilayahnya yang berpengaruh terhadap nilai koreksi kerendahan ufuk. Koreksi
ahan ufuk suatu wilayah oleh faktor
ketinggian tempat. Hal berimplikasi pada penentuan awal waktu-waktu salat
108
Penentuan ketinggian suatu wilayah untuk kepentingan jadwal waktu
salat dapat memperhatikan atau pun mempertimbangkan dua hal:
a) Faktor Pemangat (Observer)
Tanda-tanda yang menjadi landasan awal waktu-waktu salat yang
ditunjukan dalam nas} adalah bersifat lokal, tidak seperti dalil puasa yang
menjadikan kenampakan hilal sebagai acuan awal kewajiban puasa bagi
kaum muslim di suatu negri. Hal tersebut karena ibadah puasa berkaitan
dengan kalender, yaitu masuknya awal bulan Ramadan ketika pergantian
tanggal saat Magrib awal bulan tersebut. Tanggal berkaitan dengan hari,
dan hari memiliki durasi yang panjang. sedangkan salat, menjadikan
fenomena gerak semu harian Matahari sebagai dasar acuan masuknya
waktu-waktu salat.
Waktu-waktu salat dengan acuan lokal tiap-tiap pengamat
sebenarnya adalah yang paling ideal. Hal tersebut karena menyandarkan
pada posisi Matahari yang paling aktual terhadap posisi pengamat. Namun,
menyandarkan waktu-waktu salat terhadap posisi pengamat di satu titik di
permukaan Bumi akan menjadikan permasalahan. Hal tersebut karena
keadaan pengamat selalu bergerak dinamis. Dengan kondisi demikian
setiap orang harus mengobservasi sendiri fenomena Matahari, atau
menghitung tiap-tiap lokasi seseorang berdiri dipermukaan Bumi.
Untuk keperluan pembuatan jadwal waktu salal, hal tersebut jelas
tidak memungkinkan. Mengambil acuan tiap titik seseorang berdiri di
109
permukaan Bumi, maka wakti-waktu salat akan sangat bersifat lokal.
Sedangkan jadwal waktu salat dibuat untuk keperluan umum bagi setiap
orang yang berada di jangkauan wilayah yang dibuat jadwal waktu salatnya.
Dengan demikian pertimbangan posisi personal pengamat disuatu wilayah
tidak bisa dijadikan pedoman jadwal waktu salat.
b) Faktor Wilayah
Tujuan dibuatnya jadwal awal waktu-waktu salat adalah untuk
mempermudah umat Islam dalam menjalankan ibadah. Hal tersebut
dimaksudkan agar setiap muslim tidak harus mengobservasi sendiri posisi
Matahari atau menghitung jadwal waktu-waktu salatnya secara personal.
Jadwal waktu salat harus mencakup satu wilayah secara keseluruhan.,
sehingga tidak ada pada satu wilayah tersebut yang tidak ter-cover.
Topografi dalam suatu wilayah terkadang tidak sama. bahkan
misalnya dalam satu wilayah kabupaten, suatu wilayah memiliki
ketinggian permukaan tanah yang sangat berbeda. Misalnya kabupaten
Tegal, untuk wilayah kota Tegal memiliki ketinggian 3 mdpl. Namun,
meski dalam satu wilayah bujur yang sama dan dalam satu kabupaten, desa
Guci kecamatan Bumijawa yang letaknya di gunung Slamet memiliki
ketinggian sekitar 1500 mdpl dan berjarak ±40 Km dari pusat kota Tegal.
Luas wilayah desa Guci hanya sekitar 210 Ha dengan kontur tanah berbukit
(http://www.tegalkab.go.id/detailpariwisata. php?id=94). Berbeda dengan
Bandung, meskipun berada pada ketinggian sekitar 700 mdpl, namun kota
110
bandung berupa kaldera yang luas. Sehingga kota Bandung cederung
memiliki ketinggian yang hampir sama (Peta terlampir).
Dengan kondisi setiap wilayah yang memiliki ciri khas ketinggian
yang berbeda-beda, maka pembuatan jadwal waktu salat untuk wilayah
harus mempertimbangkan hal tersebut. pertimbangan tersebut diantaranya
yaitu:
1) Acuan Daerah Tertinggi atau Terendah
Jadwal waktu salat yang mengacu pada ketinggian tempat terendah dari
suatu wilayah akan berimplikasi pada perbedaan waktu tenggelam
Matahari di daerah dengan elevasi tinggi. Saat daerah dataran yang lebih
rendah Matahari telah tenggelam, pada daerah dengan elevasi yang
tinggi Matahari belum tenggelam. Hal ini disebabkan jika ketinggian
elevasi suatu tempat direferensikan terhadap luas dataran terendah
sampai ke ufuk, maka ufuk akan semakin turun. Akibatnya, ketika
memaksakan waktu salat seluruh wilayah daerah tersebut dengan acuan
titik terendah, maka bagi seseorang yang tinggal di dataran tinggi salat
belum masuk pada waktunya.
Begitu pula jika waktu berbuka puasa dengan acuan
tenggelamnya Matahari daerah terrendah, maka waktu berbuka daerah
elevasi tinggi belum masuk ke waktu sebenarnya. Sebaliknya, bila jadwal
waktu berbuka hanya didasarkan pada ketinggian tempat yang tertinggi
111
wilayah tersebut, maka di daerah dataran terendah wilayah tersebut
sudah terlebih dahulu masuk waktu berbuka.
2) Acuan Ketinggian Rata-Rata
Untuk mengatasi perbedaan elev1asi suatu wilayah akibat dari topografi
muka Bumi yang beragam, maka bisa menggunakan ketinggian rata-rata
wilayah tersebut. Hal tersebut untuk mengakomodir daerah-daerah
elevasi tinggi dan rendah pada wilayah itu. Acuan ini dapat diterapkan
jika perbandingan titik terendah dan titik tertinggi suatu wilayah tidak
memiliki perbedaan yang tajam.
Misalnya, wilayah Tegal yang memiliki ketinggian terendah
wilayah 3 mdpl dan ketinggian tertinggi 1500 mdpl, maka penggunaan
acuan ketinggian rata-rata tidak dapat mewakili perbedaan ketinggian
tersebut. Akan tetapi jika perbedaan ketinggian wilayah tidak tajam,
maka acuan ketinggian rata-rata dapat dipergunakan. Misalnya wilayah
Jombang yang memiliki ketinggian terendah wilayah 40 mdpl dan
ketinggian tertinggi 235 mdpl, maka acuan ketinggian rata-rata dapat
dipergunakan.
3) Acuan jarak kelengkungan sampai ke ufuk
Bumi berbentuk seperti bola memiliki jarak kelengkungan berupa busur
yang menjadi batas pandang mata pengamat dipermukaan Bumi. Batas
pandang maksimal dari mata pengamat sampai ke batas kelengkungan
Bumi tersebut menjadi horison pandang (ufuq h}issi).
Gambar.
Titik H adalah
OH merupakan jarak pengamat sampai ke ufuk yaitu sebesar
dan h merupakan ketinggian mata pengamat terhadap permukaan Bumi.
Gambar.
Jika pengamat berada di permukaan Bumi yang berupa dataran,
kemudian sebelum memenuhi jarak kelengkungan yang seharusnya
menjadi ufuk pengamat terdapat penghalang berupa bangunan,
pepohonan atau pun
pada batas kelengkungan Bumi sebagaimana teori batas jarak pengamat
ke ufuk. Pada gambar
menjadikan
Gambar.4.4. Batas kelengkungan ufuk daerah datar
Titik H adalah ufuq mar’i bagi pengamat di titik S. Garis sinar
OH merupakan jarak pengamat sampai ke ufuk yaitu sebesar
dan h merupakan ketinggian mata pengamat terhadap permukaan Bumi.
Gambar. 4.5. Batas kelengkungan Bumi dengan penghalang
Jika pengamat berada di permukaan Bumi yang berupa dataran,
kemudian sebelum memenuhi jarak kelengkungan yang seharusnya
menjadi ufuk pengamat terdapat penghalang berupa bangunan,
pepohonan atau pun bukit, maka ufuk pengamat tersebut tetap mengacu
pada batas kelengkungan Bumi sebagaimana teori batas jarak pengamat
ke ufuk. Pada gambar 4.4, titik D bukan merupakan ufuk pengamat yang
menjadikan Matahari seolah-olah terbenam di titik I. Ufuk pengamat
112
. Batas kelengkungan ufuk daerah datar
bagi pengamat di titik S. Garis sinar
OH merupakan jarak pengamat sampai ke ufuk yaitu sebesar =√2�� ,
dan h merupakan ketinggian mata pengamat terhadap permukaan Bumi.
. Batas kelengkungan Bumi dengan penghalang
Jika pengamat berada di permukaan Bumi yang berupa dataran,
kemudian sebelum memenuhi jarak kelengkungan yang seharusnya
menjadi ufuk pengamat terdapat penghalang berupa bangunan,
bukit, maka ufuk pengamat tersebut tetap mengacu
pada batas kelengkungan Bumi sebagaimana teori batas jarak pengamat
, titik D bukan merupakan ufuk pengamat yang
olah terbenam di titik I. Ufuk pengamat
tetap mengacu pada kelengkungan batas jarak ke ufuk yang ditunjukan
oleh titik H pada gambar.
Pada kasus seperti yang ditunjukan gambar
suatu daerah berada diperbukitan dimana dataran tempat tersebut
terlalu luas untuk menjangkau batasan jarak ufuk yang dibentuk oleh
kelengkungan Bumi, maka ufuk daerah tersebut didasarkan pada
ketinggian tempat tersebut sampai ke daerah dibawahnya yang datar.
Ketinggian tersebut menjadi koreksi nilai dip untuk p
terbit dan
penentuan ketinggian suatu tempat, maka dapat diperoleh nilai dip yang
mendekati hasil yang lebih baik.
Bumi memiliki topografi atau relief permukaan yang tidak rata.
Bahkan dalam satu wilayah, memiliki ketinggian permukaan yang berbeda
beda. Penentuan ufuk suatu tempat semestinya mempertimbangkan jarak ufuk
wilayah tersebut
ap mengacu pada kelengkungan batas jarak ke ufuk yang ditunjukan
oleh titik H pada gambar.
Gambar. 4.6. Ufuk di wilayah perbukitan
Pada kasus seperti yang ditunjukan gambar
suatu daerah berada diperbukitan dimana dataran tempat tersebut
terlalu luas untuk menjangkau batasan jarak ufuk yang dibentuk oleh
kelengkungan Bumi, maka ufuk daerah tersebut didasarkan pada
ketinggian tempat tersebut sampai ke daerah dibawahnya yang datar.
Ketinggian tersebut menjadi koreksi nilai dip untuk p
terbit dan tenggelam. Berdasarkan ketiga acuan pertimbangan dalam
penentuan ketinggian suatu tempat, maka dapat diperoleh nilai dip yang
mendekati hasil yang lebih baik.
Bumi memiliki topografi atau relief permukaan yang tidak rata.
n dalam satu wilayah, memiliki ketinggian permukaan yang berbeda
beda. Penentuan ufuk suatu tempat semestinya mempertimbangkan jarak ufuk
wilayah tersebut yang bisa terlihat bila tanpa halangan. Ufuk
113
ap mengacu pada kelengkungan batas jarak ke ufuk yang ditunjukan
. Ufuk di wilayah perbukitan
Pada kasus seperti yang ditunjukan gambar 4.5, yaitu ketika
suatu daerah berada diperbukitan dimana dataran tempat tersebut tidak
terlalu luas untuk menjangkau batasan jarak ufuk yang dibentuk oleh
kelengkungan Bumi, maka ufuk daerah tersebut didasarkan pada
ketinggian tempat tersebut sampai ke daerah dibawahnya yang datar.
Ketinggian tersebut menjadi koreksi nilai dip untuk perhitungan waktu
Berdasarkan ketiga acuan pertimbangan dalam
penentuan ketinggian suatu tempat, maka dapat diperoleh nilai dip yang
Bumi memiliki topografi atau relief permukaan yang tidak rata.
n dalam satu wilayah, memiliki ketinggian permukaan yang berbeda-
beda. Penentuan ufuk suatu tempat semestinya mempertimbangkan jarak ufuk
Ufuk merupakan batas
114
kelengkungan Bumi yang di dipengaruhi oleh ketinggian tempat. Semakin
tinggi daerah tersebut, maka ufuknya semakin turun.
Dengan mengacu kepada kriteria yang digunakan dalam jadwal waktu
salat PBNU yang sesuai dengan kriteria Kemenag RI dalam penentuan
ketinggian Matahari, maka dapat diketahui bahwa nilai dip untuk Maghrib
adalah sebesar 0°10’ atau nilai h sama sekitar 30 m dengan asumsi nilai refraksi
0°34’ dan semi diameter 0°16’. Oleh karena itu, untuk daerah yang memiliki
ketinggian tempat 30 m, maka tidak perlu mendapatkan koreksi ketinggian atau
dip kembali. Akan tetapi, untuk ketinggian daerah yang melebihi 30 m harus
mendapatkan koreksi dip.
Sebagaimana disebutkan diatas, bahwa nilai dip sangat tergantung
kepada ketinggian tempat atau dengan kata lain penentuan tinggi tempat harus
mempertimbangkan parameter ketinggian tertinggi dan terendah suatu daerah,
ketinggian rata-rata maupun jarak kelengkungan. Dalam hal ini, penulis
menggunakan acuan kelengkungan bumi dalam menentukan ketinggian suatu
tempat. Acuan dalam penentuan jarak kelengkungan bumi ini diperoleh dengan
pendekatan rumus : d=d=d=d=√��� .... Sebagai acuan dalam penentuan luasan daerah
terhadap pengaruh jarak horizon yang dipergunakan sebagai acuan penentuan
ketinggian tempat, dapat dipergunakan nilai h = 30 m, yang diperoleh dari
nilai koreksi untuk h Magrib. Hal ini agar sesuai dengan ketinggian rata-rata
yang digunakan untuk h = -1 yaitu sekitar = 30 m.
115
Nilai jari-jari Bumi untuk dimasukan dalam perhitungan ini adalah
mengambil jari-jari Bumi pada lintang -7°, karena pulau Jawa berada pada
lintang sekitar -6 sampai -8°. Nilai jari-jari Bumi dapat diambil dari tengah-
tengah pada lintang tersebut. Nilai negatif hanya untuk menunjukan bahwa
tempat tersebut berada di selatan Katulistiwa. Dalam perhitungan tanda
negatif dibuang. Jari-jari Bumi pada lintang 7° / -7° adalah :
� � � sin(90 − ϕ)
� = � cosϕ
r = R sin (90⁰-7⁰) atau
r = R Cos 7⁰
= 6378,1 . Cos 7⁰ = 6378,1 . 0,992546151
= 6330,56 km.
Jadi jari-jari lingkaran Bumi pada lintang 7°/ -7° adalah 6330,56 km. Jika nilai
h = 30 m, maka dapat diperoleh nilai d adalah:
d =√2�ℎ
= √ 2 x 6330,56 km x 30 m
= √ 2 x 6330.56 x ��
����
= √(12,661 x 30)
= 19,5 km
Jarak horizon pada ketinggian 30m dari mata pengamat dari
permukaan Bumi adalah 19,5 km. Jika suatu daerah memiliki jarak wilayah
datar dari Timur ke Barat sejauh 19,5 km, maka lokasi tersebut dapat dijadikan
116
sebagai acuan dalam menghitung ketinggian tempat. Dengan kata lain, daerah
yang memiliki jarak 19,5 km terhadap kelengkungan bumi, lokasi tersebut
sama dengan 0 meter untuk acuan penentuan ketinggian wilayah-wilayah
diatasnya.
Berikut ini contoh waktu-waktu salat kota Jakarta dengan ketinggian
1-1600 m:
122
Tabel.4. 2. Pengaruh ketinggian tempat terhadap perhitungan waktu salat Kriteria KH. Slamet Hambali
Ketinggian
H
H
Maghrib Maghrib
H
Isyak Isyak
h
Subuh Subuh
h
Terbit Terbit
1 -0°52’19,24” 18:03:46,39 -17°19’00” 19:09:55,78 -19°00’00” 04:42:30,24 -0°52’19,24” 05:56:44,04
50 -1°3’00,34” 18:04:29,38 -17°31’26,7” 19:09:37,47 -19°31’26,7” 04:42:48,57 -1°3’00,34” 05:56:01,05
100 -1°08’9,64” 18:04:50,12 -17°36’36” 19:11:06,64 -19°36’36” 04:41:19,37 -1°08’9,64” 05:55:40,31
200 -1°15’27,04” 18:05:19,45 -17°43’53,41” 19:11:35,99 -19°43’53.41” 04:40:50,01 -1°15’27,04” 05:55:10,98
300 -1°21’02,68” 18:05:41,95 -17°49’29,05” 19:11:51,31 -19°49’29,05” 04:40:27,48 -1°21’02,68” 05:54:48,48
400 -1°25’45,64” 18:06:06,93 -17°54’12” 19:12:17,49 -19°54’12” 04:40:08,49 -1°25’45,64” 05:54:29,05
500 -1°29’54,92” 18:06:17,64 -17°58’21,29” 19:12:34,22 -19°58’21,29” 04:39:51,75 -1°29’54,92” 05:54:12,79
600 -1°33’40,03” 18:06:32,76 -18°02’6,66” 19:12:49,34 -20°02’6,66” 04:39:36,62 -1°33’40,03” 05:53:57,67
700 -1°37’07,55” 18:06:45,65 -18°05’33,91” 19:13:03,25 -20°05’33,91” 04:39:22,71 -1°37’07,55” 05:53:43,77
800 -1°40’20,45” 18:07:00 -18°08’46,82” 19:13:16,21 -20°08’46,82” 04:39:09,75 -1°40’20,45” 05:53:30,84
900 -1°43’21,64” 18:07:11,74 -18°11’48” 19:13:28,35 -20°11’48” 04:38:57,06 -1°43’21,64” 05:53:18,69
1000 -1°46’13” 18:07:23,23 -18°14’39,47” 19:13:39,85 -20°14’39,37” 04:38:46,01 -1°46’13” 05:53:07.00
1100 -1°48’55,99” 18:07:34,16 -18°17’22,36” 19:13:50,79 -20°17’22,36” 04:38:35,16 -1°48’55,99” 05:52:56,27
1200 -1°51’31,73” 18:07:44,06 -18°19’58,09” 19:14:01,24 -20°19’58,09” 04:38:24,71 -1°51’31,73” 05:52:45,83
1300 -1°54’01,01” 18:07:54,62 -18°22’27,56” 19:14:11,26 -20°22’27,46” 04:38:14,68 -1°54’01,01” 05:52:35,81
1400 -1°56’26,83” 18:08:04,26 -18°24’51,19” 19:14:20,09 -20°24’51,19” 04:38:05,04 -1°56’26,83” 05:52:26,17
117
123
1500 -1°58’43,81” 18:08:13,55 -18°27’09,87” 19:14:20,09 -20°27’98,7” 04:37:55,72 -1°58’43,81” 05:52:16,87
1600 -2°00’57,64” 18:08:22,55 -18°29’24” 19:14:39,21 -20°29’24” 04:37:46,72 -2°00’57,64” 05:52:07,88
Ket: h Isya & Subuh dengan kriteria KH. Slamet Hambali
h Isya = -17° - (SD + Ref + Dip)
h Subuh = -19° - (SD + Ref + Dip)
Ref Magrib = 0°34’ Ref Isya = 0°3’
SD = 0°16’
Tabel. 4.3. Pengaruh ketinggian tempat terhadap perhitungan waktu salat criteria Abd. Salam Nawawi
Ketinggian
h
H
Maghrib Maghrib
H
Isyak Isyak
h
Subuh Subuh
h
Terbit Terbit
1 -0°52’19,24” 18:03:46,39 -18°1’45,6” 19:12:47,93 -20°1’45,6” 4:39:38,04 -0°52’19,24” 05:56:44,04
50 -1°3’00,34” 18:04:29,38 -18°12’26,7” 19:13:30,95 -20°12’26,7” 4:38:55,00 -1°3’00,34” 05:56:01,05
100 -1°08’9,64” 18:04:50,12 -18°17’36” 19:13:51,07 -20°17’36” 4:38:34,24 -1°08’9,64” 05:55:40,31
200 -1°15’27,04” 18:05:19,45 -18°24’53,41” 19:14:21,05 -20°24’53,41” 4:38:04,88 -1°15’27,04” 05:55:10,98
300 -1°21’02,68” 18:05:41,95 -18°30’29,05” 19:14:43,58 -20°30’29,05” 4:37:42,35 -1°21’02,68” 05:54:48,48
400 -1°25’45,64” 18:06:06,93 -18°35’12” 19:15:02,56 -20°35’12” 4:37:23,36 -1°25’45,64” 05:54:29,05
500 -1°29’54,92” 18:06:17,64 -18°39’21,29” 19:15:19,29 -20°39’21,29” 4:37:06,62 -1°29’54,92” 05:54:12,79
118
124
600 -1°33’40,03” 18:06:32,76 -18°43’6,66” 19:15:34,41 -20°43’6,66” 4:36:51,05 -1°33’40,03” 05:53:57,67
700 -1°37’07,55” 18:06:45,65 -18°46’33,91” 19:15:48,32 -20°46’33,91” 4:36:37,58 -1°37’07,55” 05:53:43,77
800 -1°40’20,45” 18:07:00 -18°49’46,82” 19:16:01,27 -20°49’46,82” 4:36:24,63 -1°40’20,45” 05:53:30,84
900 -1°43’21,64” 18:07:11,74 -18°52’48” 19:16:13,42 -20°52’48” 4:36:12,47 -1°43’21,64” 05:53:18,69
1000 -1°46’13” 18:07:23,23 -18°55’39,37” 19:16:24,92 -20°55’39,37” 4:36:00,97 -1°46’13” 05:53:07.00
1100 -1°48’55,99” 18:07:34,16 -18°58’22,36” 19:16:35,86 -20°58’22,36” 4:35:50,03 -1°48’55,99” 05:52:56,27
1200 -1°51’31,73” 18:07:44,06 -19°00’58,09” 19:16:46,31 -21°00’58,09” 4:35:39,57 -1°51’31,73” 05:52:45,83
1300 -1°54’01,01” 18:07:54,62 -19°03’27,46” 19:16:56,34 -21°03’27,46” 4:35:29,54 -1°54’01,01” 05:52:35,81
1400 -1°56’26,83” 18:08:04,26 -19°05’51,19” 19:17:05,98 -21°05’51,19” 4:35:19,09 -1°56’26,83” 05:52:26,17
1500 -1°58’43,81” 18:08:13,55 -19°08’9,53” 19:17:15,28 -21°08’9,53” 4:35:01,59 -1°58’43,81” 05:52:16,87
1600 -2°00’57,64” 18:08:22,55 -19°10’24” 19:17:25,01 -21°10’24” 4:35:00,86 -2°00’57,64” 05:52:07,88
Ket: h Isya & Subuh dengan kriteria Abd. Salam Nawawi
h Isya = -18° - Dip
h Subuh = -20° - Dip
119
120
3333.... Konversi Awal Waktu Salat Konversi Awal Waktu Salat Konversi Awal Waktu Salat Konversi Awal Waktu Salat Antar DaerahAntar DaerahAntar DaerahAntar Daerah dengan Pertimbangan Selisih Bujurdengan Pertimbangan Selisih Bujurdengan Pertimbangan Selisih Bujurdengan Pertimbangan Selisih Bujur
Perbedaan bujur antar suatu daerah bisa digunakan sebagai konversi waktu
antar daerah waktu rata-rata pada jam kronologi. Jam kronologi mendasarkan
pada rentang waktu peredaran semu rata-rata harian Matahari. Akan tetapi
dalan masalah konversi awal waktu salat, tidak semestinya hanya berdasarkan
pada perbedaan bujur semata. Hal tersebut berkaitan dengan posisi sudut
waktu matahari yang dipengaruhi posisi geografis suatu wilayah dan deklinasi.
Selain itu, konversi awal waktu salat juga semestinya memperhatikan posisi
elevasi suatu tempat yang mempengaruhi perubahan ufuknya.
Perbedaan bujur daerah memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap
masuknya awal waktu salat. Hal tersebut dikarenakan Matahari bergerak
menurut pandangan pengamat dari timur ke barat. Sehingga perbedaan tiap
nilai derajatnya mempengaruhi perbedaan waktu-waktu hakiki daerah di timur
dan barat. Bumi berotasi secara sempurna 360 derajat membutuhkan waktu
sekitar 24 jam, jika 360° = 24j maka, setiap 1 jam adalah 15°.Jadi setiap 1
derajat busur bila dikonversikan ke dalam satuan waktu maka akan bernilai 4
menit waktu. Sehingga perbedaan antar daerah di barat dan timur setiap 1
derajat bujur adalah 4 menit satuan waktu.
Adapun jarak dari setiap satu derajat bujur dapat dicari dengan
dengan rumus �
���°× 2π � , yang mana nilai r tergantung dari lintang suatu
tempat. Jarak 1° pada lintang 0° di lingkaran khatulistiwa adalah �
���°×
121
2π6378,1 = 111,319 km. jika suatu tempat berada di lintang 7° LS/LU, maka
harus dicari terlebih dahulu nilai dari r nya dengan rumus� = � cosϕ sehingga
nilai r adalah � = 6378,1 cos 7° = 6330,55861, jadi jari-jari lingkaran pada
lintang 7° adalah 6330,6 km. untuk mengetahui jarak tiap satu derajat busur di
lintang 10° maka masukan nilai r yang telah dicari ke rumus �
���°×
2π �,sehingga �
���°× 2π6330,6 = 110,49, jadi jarak tiap satu derajat bujur
pada lintang 7° adalah 110,49 km.
Konversi jadwal waktu salat dalam kalender PBNU hanya
menggunakan acuan selisih bujur, sehingga akan memberikan nilai selisih 4
menit waktu setiap 1⁰ bujur. Dengan perhitungan waktu salat dengan markaz
Jakarta pada lintang 6⁰10’ LS dan 106⁰49’ BT menunjukkan bahwa lokasi
yang berada di sebelah Timur Jakarta pada jarak 110,49 km atau sama dengan
1⁰ bujur terdapat selisih 4 menit waktu. Begitupun juga untuk wilayah di
sebelah Barat bujur Jakarta akan memiliki selisih waktu yang sama pada setiap
perbedaan derajatnya.
Dalam peredaran semu harian Matahari, waktu terbit dimulai dari
arah Timur dan terbenam di arah Barat. Hal ini menunjukkan untuk wilayah
Timur pulau Jawa akan mengalami perubahan waktu lebih cepat dari pada
wilayah Barat. Dengan kata lain, dengan acuan Jakarta -yang terletak di
wilayah pulau Jawa bagian- dengan bujur 106⁰49’ BT, wilayah di sebelah
Timur bujur Jakarta yang memiliki nilai bujur lebih besar dari 106⁰49’ akan
122
dikurangi nilai waktunya. Misalnya kabupaten Banyuwangi dengan bujur
114⁰23’BT terletak di sebelah timur Jakarta sehingga selisih waktu akan
dikurangkan dari waktu Jakarta.
Selisih waktu Banyuwangi terhadap Jakarta:
114⁰23’ - 106⁰49’ = 7⁰34’, selisih waktu = 4 menit x 7⁰34’ = 30’16”
Jadi selisih waktu di Banyuwangi akan mengalami perubahan waktu 30 menit
16 detik lebih cepat dari Jakarta. Penggunaan selisih waktu ini yang
dipergunakan dalam pembuatan konversi waktu salat yang dipergunakan oleh
PBNU dengan acuan Jakarta sehingga untuk daerah di sebelah Timur Jakarta
akan dikurangi sebesar selisih bujur dan untuk wilayah di sebelah Barat Jakarta
akan ditambah dengan perbedaan selisih bujur.
Penggunaan nilai konversi ini dapat berlaku jika lokasi berada pada
lintang yang sama, akan tetapi jika terdapat selisih perbedaan lintang akan
berpengaruh terhadap perbedaan waktu yang semakin besar. Sebagai contoh
dengan acuan bujur, deklinasi, dan tinggi Matahari yang sama dengan lintang
yang berbeda akan diperoleh hasil perhitungan waktu salat yang berbeda pula
sebagaimana tabel 4.4.
Tabel. 4.4. Perbedaan waktu salat dengan deklinasi, bujur, h Matahari tetap
dan lintang berbeda.
Lintang (ϕ)
Deklinasi (δ) : -6°5’10,84” (5 GMT) λ =106° 49’ Subuh Zuhur Asar Magrib Isya Dhuha Terbit
----6666°°°°10’10’10’10’ 04:40:30,2504:40:30,2504:40:30,2504:40:30,25 12:04:17,55 15:05:36,3115:05:36,3115:05:36,3115:05:36,31 18:10:52,0618:10:52,0618:10:52,0618:10:52,06 19:19:48,0219:19:48,0219:19:48,0219:19:48,02 06:15:49,5206:15:49,5206:15:49,5206:15:49,52 05:57:37,3205:57:37,3205:57:37,3205:57:37,32
+ 04:4204:4204:4204:42 12:06 15:0715:0715:0715:07 18:1218:1218:1218:12 19:2119:2119:2119:21 06:1706:1706:1706:17 05:5605:5605:5605:56
123
Ihtiyat
-7°10’ 04:39:51,52 12:04:17,55 15:07:43,96 18:11:18,63 19:20:24,39 06:15:24,87 05:57:10,45
+ Ihtiyat
04:41 12:06 15:09 18:13 19:22 06:17 05:56
-8°10’ 04:39:11,0204:39:11,0204:39:11,0204:39:11,02 12:04:17,5512:04:17,5512:04:17,5512:04:17,55 15:09:45,9315:09:45,9315:09:45,9315:09:45,93 18:11:44,8618:11:44,8618:11:44,8618:11:44,86 19:21:02,1819:21:02,1819:21:02,1819:21:02,18 06:15:00,3906:15:00,3906:15:00,3906:15:00,39 05:56:43,0405:56:43,0405:56:43,0405:56:43,04
+ Ihtiyat
04:4104:4104:4104:41 12:06 15:1115:1115:1115:11 18:1318:1318:1318:13 19:2319:2319:2319:23 06:1706:1706:1706:17 05:5505:5505:5505:55
Berdasarkan tabel tersebut, waktu salat pada lintang -6⁰10’ untuk
daerah Jakarta, lintang -7⁰10’ untuk kabupaten Sukabumi dan lintang -8⁰10’
untuk daerah selintang Banyuwangi terdapat selisih waktu yang bervariasi.
Dengan acuan lintang Jakarta diperoleh:
Tabel. 4.5. Selisih waktu salat berdasarkan perbedaan lintang untuk acuan
Jakarta, kabupaten Sukabumi dan daerah selintang Banyuwangi tanpa ihtiyat.
Daerah Deklinasi (δ) : -6°5’10,84” (5 GMT) λ =106° 49’
Subuh Zuhur Asar Magrib Isya Dhuha Terbit
JakartaJakartaJakartaJakarta 04:40:30,2504:40:30,2504:40:30,2504:40:30,25 12:04:17,55 15:05:36,3115:05:36,3115:05:36,3115:05:36,31 18:10:52,0618:10:52,0618:10:52,0618:10:52,06 19:19:48,0219:19:48,0219:19:48,0219:19:48,02 06:15:49,5206:15:49,5206:15:49,5206:15:49,52 05:57:37,3205:57:37,3205:57:37,3205:57:37,32
SukabumiSukabumiSukabumiSukabumi 00:00:38,37 0 00:02:7,65 00:00:26,57 00:00:36,37 00:00:24,65 00:00:26,87
Selintang Selintang Selintang Selintang BanyuwaBanyuwaBanyuwaBanyuwangingingingi
00:01:19,23 0 00:04:9,62 00:00:52,8 00:01:14,16 00:00:49,13 00:00:54,28
Berdasarkan tabel dapat diketahui terdapat selisih yang bervariasi
dengan nilai selisih tertinggi untuk waktu Asar sebesar 2 menit 7,65 detik
untuk lintang Sukabumi dan 4 menit 9,62 detik. Untuk perbedaan waktu salat
ini dapat diakomodir dengan penambahan nilai ihtiyat sebesar 1-2 menit
sehingga wilayah pada lintang Sukabumi dan selintang Banyuwangi dapat
tercukupi. Akan tetapi nilai ihtiyat tersebut tidak dapat mencukupi untuk
124
waktu Asar karena selisih yang diperoleh mencapai 4 menit, walaupun dengan
menambahkan ihtiyat menjadi 15: 07, masih terdapat selisih sebesar 43,96
detik untuk Sukabumi dan bisa diabaikan. Sedangkan untuk selintang
Banyuwangi terdapat sisa selisih sebesar 2 menit 9,62 detik. Nilai selisih ini
perlu mendapat pertimbangan.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, dengan perhitungan waktu
salat dengan menggunakan sistem yang digunakan PBNU, nilai konversi harus
ditambahkan dengan koreksi selisih lintang. Nilai selisih yang ditambahkan
diperoleh dengan memperhitungkan waktu salat pada lintang -6°10’ dan bujur
106°49’ yang diwakili kota Jakarta, lintang -7°10’ dan bujur 106°49’ yang
diwakili Sukabumi, serta lintang -8°21’ dan bujur 106°49’ yang
merepresentasikan lintang Banyuwangi dan sebujur Jakarta.
Adapun perhitungan waktu salat yang dilakukan sebagai berikut:
Tabel.4.6. Perhitungan waktu salat untuk lintang -6°10’ dan bujur 106°49’
tahun 2014
Bulan Zuhur Asar Magrib Isya Subuh Terbit Dhuha Januari 12:02:06 15:26:59 18:15:58 19:30:09 4:25:11 5:48:14 6:11:56 Februari 12:06:53 15:20:17 18:16:34 19:27:04 4:38:21 5:57:12 6:19:52 Maret 11:52:55 15:00:39 17:57:51 19:06:21 4:31:25 5:47:59 6:10:08 April 11:52:48 15:12:05 17:52:36 19:01:51 4:35:37 5:53:00 6:15:28 Mei 11:49:05 15:11:13 17:44:52 18:56:53 4:32:50 5:53:18 6:16:44 Juni 11:53:12 15:15:10 17:46:55 19:01:05 4:36:36 5:59:29 6:23:39 Juli 11:58:42 15:20:51 17:53:16 19:06:29 4:42:19 6:04:08 6:27:58 Agustus 11:57:15 15:18:25 17:55:13 19:05:30 4:40:45 5:59:17 6:22:07 September 11:48:01 15:01:55 17:50:45 18:59:12 4:28:47 5:45:17 6:07:26 Oktober 11:38:32 14:44:36 17:46:20 18:55:45 4:13:07 5:30:44 5:53:06 Nopember 11:37:16 14:59:06 17:49:48 19:02:38 4:03:13 5:24:44 5:48:03 Desember 11:47:49 15:14:57 18:02:51 19:18:20 4:08:15 5:32:47 5:56:52
125
Tabel.4.7. Perhitungan waktu salat untuk lintang -7°10’ dan bujur 106°49’
Per tanggal 15 tahun 2014
Bulan Zuhur Asar Magrib Isya Subuh Terbit Dhuha Januari 12:02:06 15:26:45 18:17:50 19:32:22 4:22:55 5:46:22 6:10:08 Februari 12:06:53 15:19:00 18:17:39 19:28:24 4:36:58 5:56:07 6:18:51 Maret 11:52:55 15:02:35 17:58:02 19:06:43 4:31:01 5:47:48 6:10:00 April 11:52:48 15:12:34 17:51:47 19:01:10 4:36:17 5:53:49 6:16:21 Mei 11:49:05 15:10:45 17:43:14 18:55:22 4:34:21 5:54:56 6:18:27 Juni 11:53:12 15:14:14 17:44:51 18:59:07 4:38:34 6:01:33 6:25:47 Juli 11:58:42 15:20:06 17:51:23 19:04:43 4:44:05 6:06:01 6:29:56 Agustus 11:57:15 15:18:27 17:54:02 19:04:26 4:41:49 6:00:28 6:23:22 September 11:48:01 15:03:12 17:50:31 18:59:07 4:28:51 5:45:31 6:07:44 Oktober 11:38:32 14:42:44 17:47:04 18:56:42 4:12:08 5:30:00 5:52:26 Nopember 11:37:16 14:58:34 17:51:25 19:04:34 4:01:14 5:23:07 5:46:30 Desember 11:47:49 15:14:59 18:04:56 19:20:47 4:05:44 5:30:42 5:54:51
Tabel.4.8. Perhitungan waktu salat untuk lintang -8°21’ dan bujur 106°49’ Per tanggal tahun 2014
Bulan Zuhur Asar Magrib Isya Subuh Terbit Dhuha Januari 12:02:06 15:26:29 18:19:26 19:34:16 4:20:57 5:44:46 6:08:36 Februari 12:06:53 15:17:48 18:18:34 19:29:34 4:35:46 5:55:12 6:17:58 Maret 11:52:55 15:04:07 17:58:11 19:07:04 4:30:39 5:47:39 6:09:53 April 11:52:48 15:12:55 17:51:05 19:00:37 4:36:50 5:54:31 6:17:06 Mei 11:49:05 15:10:17 17:41:51 18:54:06 4:35:36 5:56:19 6:19:54 Juni 11:53:12 15:13:23 17:43:06 18:57:29 4:40:12 6:03:18 6:27:37 Juli 11:58:42 15:19:25 17:49:48 19:03:14 4:45:34 6:07:36 6:31:36 Agustus 11:57:15 15:18:25 17:53:01 19:03:33 4:42:41 6:01:29 6:24:26 September 11:48:01 15:04:12 17:50:19 18:59:05 4:28:52 5:45:43 6:07:59 Oktober 11:38:32 14:41:02 17:47:41 18:57:32 4:11:16 5:29:23 5:51:51 Nopember 11:37:16 14:58:02 17:52:48 19:06:14 3:59:31 5:21:44 5:45:10 Desember 11:47:49 15:14:56 18:06:42 19:22:54 4:03:33 5:28:56 5:53:08
Dari hasil perhitungan, terdapat dapat diperoleh nilai selisih antara hasil
perhitungan waktu salat lintang -6°10’ dengan lintang -7°10’ dan antara
126
lintang -6°10’ dengan lintang -8°21’. Nilai selisih yang diperoleh sebagai
berikut:
Tabel.4.9. Selisih hasil perhitungan waktu salat untuk lintang -6°10’ dengan
lintang -7°10’tahun 2014
Bulan Zuhur Asar Magrib Isya Subuh Terbit Dhuha Januari 0:00:00 -0:00:14 0:01:52 0:02:12 -0:02:16 -0:01:52 -0:01:48 Februari 0:00:00 -0:01:18 0:01:05 0:01:20 -0:01:23 -0:01:05 -0:01:02 Maret 0:00:00 0:01:56 0:00:11 0:00:22 -0:00:24 -0:00:11 -0:00:08 April 0:00:00 0:00:29 -0:00:49 -0:00:41 0:00:40 0:00:49 0:00:53 Mei 0:00:00 -0:00:29 -0:01:38 -0:01:31 0:01:31 0:01:38 0:01:42 Juni 0:00:00 -0:00:56 -0:02:04 -0:01:58 0:01:58 0:02:04 0:02:08 Juli 0:00:00 -0:00:45 -0:01:53 -0:01:47 0:01:47 0:01:53 0:01:57 Agustus 0:00:00 0:00:02 -0:01:11 -0:01:04 0:01:03 0:01:11 0:01:15 September 0:00:00 0:01:17 -0:00:14 -0:00:05 0:00:04 0:00:14 0:00:18 Oktober 0:00:00 -0:01:52 0:00:44 0:00:57 -0:00:59 -0:00:44 -0:00:41 Nopember 0:00:00 -0:00:32 0:01:37 0:01:56 -0:01:59 -0:01:37 -0:01:34 Desember 0:00:00 0:00:02 0:02:05 0:02:27 -0:02:31 -0:02:05 -0:02:01
Tabel.4.10. Selisih hasil perhitungan waktu salat untuk lintang -6°10’ dengan
lintang -8°21’ tahun 2014
Bulan Zuhur Asar Magrib Isya Subuh Terbit Dhuha Januari 0:00:00 -0:00:30 0:03:27 0:04:07 -0:04:13 -0:03:27 -0:03:20 Februari 0:00:00 -0:02:29 0:02:01 0:02:30 -0:02:35 -0:02:01 -0:01:54 Maret 0:00:00 0:03:28 0:00:21 0:00:42 -0:00:45 -0:00:21 -0:00:14 April 0:00:00 0:00:50 -0:01:31 -0:01:14 0:01:13 0:01:31 0:01:38 Mei 0:00:00 -0:00:56 -0:03:01 -0:02:47 0:02:47 0:03:01 0:03:09 Juni 0:00:00 -0:01:47 -0:03:48 -0:03:36 0:03:36 0:03:48 0:03:58 Juli 0:00:00 -0:01:26 -0:03:29 -0:03:16 0:03:15 0:03:29 0:03:37 Agustus 0:00:00 0:00:00 -0:02:12 -0:01:56 0:01:55 0:02:12 0:02:19 September 0:00:00 0:02:17 -0:00:27 -0:00:07 0:00:05 0:00:27 0:00:33 Oktober 0:00:00 -0:03:34 0:01:21 0:01:47 -0:01:51 -0:01:21 -0:01:15 Nopember 0:00:00 -0:01:05 0:03:00 0:03:36 -0:03:42 -0:03:00 -0:02:53 Desember 0:00:00 -0:00:01 0:03:51 0:04:34 -0:04:41 -0:03:51 -0:03:43
127
Dari daftar selisih yang diperoleh, dapat dibuat pola selisih dari masing-masing
waktu salat dengan menggunakan diagram terhadap perubahanbesar kecilnya
setiap bulan sebagai berikut:
Gambar.4.7. Diagram selisih waktu salat untuk untuk lintang -6°10’ dengan lintang -7°10’ tahun 2014
Gambar.4.8. Diagram selisih waktu salat untuk untuk lintang -6°10’ dengan
lintang -7°21’ tahun 2014
Dari hasil pola tersebut dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa
perubahan nilai selisih waktu salat karena perbedaan lintang selama satu tahun
0:00:00
0:01:26
0:02:53
0:04:19
0:05:46
Bulan
Pola perubahan selisih waktu salat untuk lintang -6
dan -7 derajat
Asar
Maghrib
Isya
Shubuh
Terbit
Dhuha
0:00:00
0:01:26
0:02:53
0:04:19
0:05:46
Bulan
pola perubahan selisih -6 dan -8
Asar
Maghrib
Isya
Shubuh
Terbit
Dhuha
128
terdapat keteraturan dengan pola yang dipengaruhi oleh nilai deklinasi
Matahari. Akan tetapi perubahan tersebut tidak terlihat untuk waktu salat
Asar. Menurut penulis, hal ini disebabkan karena penentuan waktu salat Asar
dipengaruhi oleh perubahan panjang bayangan saat kulminasi yang tidak tetap.
Untuk waktu Zuhur, tidak terdapat perbedaan selisih karena pada bujur yang
sama akan terjadi waktu kulminasi yang sama. Sedangkan untuk waktu salat
yang memiliki pola yang sama yaitu untuk waktu salat Magrib dengan Isya
dan waktu salat Subuh, Duha dan Terbit. Kesamaan pola ini menurut penulis
disebabkan karena pengaruh nilai sudut waktu yang dimiliki masing-masing
waktu salat yang dipengaruhi lintang dan deklinasi.
Dari hasil nilai selisih tersebut, nilai yang diperoleh dapat dijadikan
sebagai nilai koreksi lintang dalam konversi waktu salat yang ditambahkan
pada nilai konversi sementara ini hanya dengan perbedaan selisih bujur. Nilai
selisih tersebut ditentukan dengan membulatkan orde detik ke orde menit
untuk nilai diatas 30 detik, sehingga diperoleh nilai konversi berdasarkan
selisih lintang sebagai berikut:
Tabel.4.11. Selisih hasil perhitungan waktu salat untuk lintang -6°10’ dengan
lintang -7°10’ tahun 2014
Bulan Zuhur Asar Magrib Isya Subuh Terbit Dhuha Januari 0 0 +2 +2 -2 -2 -2 Februari 0 -1 +1 +1 -1 -1 -1 Maret 0 +2 0 0 0 0 0 April 0 0 -1 -1 +1 +1 +1 Mei 0 0 -2 -2 +2 +2 +2 Juni 0 -1 -2 -2 +2 +2 +2
129
Juli 0 -1 -2 -2 +2 +2 +2 Agustus 0 0 -1 -1 +1 +1 +1 September 0 +1 0 0 0 0 0 Oktober 0 -2 +1 +1 -1 -1 -1 Nopember 0 -1 +2 +2 -2 -2 -2 Desember 0 0 +2 +2 -3 -2 -2
Tabel.4.12. Selisih hasil perhitungan waktu salat untuk lintang -6°10’ dengan
lintang -8°21’ tahun 2014
Bulan Zuhur Asar Magrib Isya Subuh Terbit Dhuha Januari 0 -1 +3 +4 -4 -3 -3 Februari 0 -2 +2 +3 -3 -2 -2 Maret 0 +3 0 0 0 0 0 April 0 +1 -2 -1 +1 +1 +2 Mei 0 -1 -3 -3 +3 +3 +3 Juni 0 -2 -4 -4 +4 +4 +4 Juli 0 -1 -3 -3 +3 +3 +4 Agustus 0 0 -2 -2 +2 +2 +2 September 0 +2 0 0 0 0 +1 Oktober 0 -3 +1 +2 -2 -1 -1 Nopember 0 -1 +3 +4 -4 -3 -3 Desember 0 0 +4 +5 -5 -4 -4
Dari hasil yang diperoleh penulis berkesimpulan bahwa perbedaan lintang akan
mempengeruhi hasil waktu salat yang diperoleh dengan nilai selisih untuk
lintang -6°10’ dan -7°10’ bervariasi sesuai nilai deklinasi Matahari. Nilai
selisih pun juga bervariasi untuk setiap waktu salat antara -3 menit - + 2 menit
pada taahun 2014. Sedangkan hasil waktu salat yang diperoleh dengan nilai
selisih untuk lintang -6°10’ dan 8°21’ diperoleh hasil yang bervariasi untuk
setiap waktu salat antara -5 menit sampai dengan +5 menit.
130
C. Solusi Konversi Jadwal Waktu Salat dengan Mempertimbangkan Lintang
dan Perubahan Ufuk
Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan, upaya untuk pembuatan jadwal waktu
salat dengan mempertimbangkan lintang dan perubahan ufuk dapat dilakukan
dengan pemetaan terhadap selisih waktu salat dan menambahkan nilai menit dari
perubahan ufuk. Adapun pemetaan dalam pembuatan jadwal waktu salat dengan
sistem konversi ini dilakukan terhadap dua faktor yaitu; faktor pemetaan daerah
berdasarkan lintang dan faktor ketinggian tempat. Kedua faktor ini nilainya
disessuaikan dengan hasil perhitungan yang dilakukan,dan dipetakan berdasarkan
jenis waktu salat yang ada.
Untuk pemetaan jadwal waktu salat yang dipergunakan PBNU terlebih
dahulu dengan mengelompokkan daerah-daerah yang memiliki lintang yang sama.
Dalam hal ini, pengelompokan dibagi menjadi tiga wilayah lintang, yaitu;
Lintang Daerah -6°10’ dan sekitarnya
Bekasi, Pamanukan, Indramayu, Subang, Depok, Karawang, Tangerang, Serang, Lebak, Pandeglang, Bogor, Purwakarta, Bandung, Sumedang, Majalengka, Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Kendal, Batang, Semarang, Jepara, Demak, Kudus, Pati, Rembang, Tuban, Anyer.
-7°10’ dan sekitarnya
Sukabumi, Cianjur, Cimahi, Kota Bandung, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Banjar, Cilacap, Kuningan, Banyumas, Purwwakarta, Purbalingga, Banjarnegara, Wonosobo, Temanggung, Magelang, Kebumen,Purworejo, Yogyakarta, Bantul, Kulon Progo, Salatiga, Sleman, Boyolali, Sragen, Grobogan, Surakarta, Karanganyar, Ngawi, Magetan, Blora, Bojonegoro, Madiun, Nganjuk, Lamongan, Jombang, Mojokerto, Kediri, Pasuruan, Gresik, Surabaya, Probolinggo, Situbondo, Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Sumenep
-8°1’dan sekitarnya
Gunung Kidul, Wonogiri, Pacitan, Trenggalek, Ponorogo, Tulung Agung, Blitar, Malang, Lumajang, Jember, Banyuwangi.
131
Pada kelompok daerah pada lintang -6°10’ nilai konversi yang digunakan cukup
dengan menggunakan selisih bujur. Sedangkan untuk kelompok daerah pada
lintang -7°10’, nilai konversi bujur ditambahkan dengan nilai konversi lintang
pada tabel 4.11. Begitu juga dengan kelompok daerah pada lintang -8°21’, nilai
konversi ditambahkan dengan nilai selisih konversi lintang pada tabel 4.12.
Untuk penambahan waktu pada daerah ketinggian tertentu yaitu dengan melihat
daftar daftar selisih ketinggian tempat seperti dalam tabel dibawah ini:
Tabel 4.13. selisih waktu pada ketinggian tertentu
H Magrib Isya Subuh Terbit
100 0:01:04 0:01:03 0:01:04 0:01:04
200 0:01:33 0:01:33 0:01:33 0:01:33
300 0:01:56 0:01:56 0:01:56 0:01:56
400 0:02:21 0:02:15 0:02:15 0:02:15
500 0:02:31 0:02:31 0:02:31 0:02:31
600 0:02:46 0:02:46 0:02:47 0:02:46
700 0:02:59 0:03:00 0:03:00 0:03:00
800 0:03:14 0:03:13 0:03:13 0:03:13
900 0:03:25 0:03:25 0:03:26 0:03:25
1000 0:03:37 0:03:37 0:03:37 0:03:37
1100 0:03:48 0:03:48 0:03:48 0:03:48
1200 0:03:58 0:03:58 0:03:58 0:03:58
1300 0:04:08 0:04:08 0:04:09 0:04:08
1400 0:04:18 0:04:18 0:04:19 0:04:18
1500 0:04:27 0:04:27 0:04:36 0:04:27
1600 0:04:36 0:04:37 0:04:37 0:04:36
132
Contoh penerapan jadwal waktu salat dengan sistem konversi yang
memperhatikan perubahan ufuk dan perbedaan lintang:
Cara mengkonversi waktu salat antar daerah:Cara mengkonversi waktu salat antar daerah:Cara mengkonversi waktu salat antar daerah:Cara mengkonversi waktu salat antar daerah:
1. Daerah-daerah yang masuk zona Lintang -6° pada tabel A, konversi waktu
salat cukup dengan menambahkan jadwal waktu salat dengan selisih waktu
antar daerah pada tabel B.
2. Daerah-daerah yang masuk zona lintang -7° pada tabel A,konversi waktu
salat yaitu dengan menambahkan selisih waktu daerah (tabel B) dengan
selisih lintang -7° pada tabel C.
3. Daerah-daerah yang masuk zona lintang -8° pada tabel A,konversi waktu
salat yaitu dengan menambahkan selisih waktu daerah (tabel B) dengan
selisih lintang -7° pada tabel D.
4. Daerah yang tidak memiliki jarak dataran relatif datar ke barat sejauh 19.5
km, maka daerah tersebut dilakukan koreksi ketinggian tempat dengan
daerah dibawahnya yang datar. Koreksi ketinggian tersebut adalah pada
ketinggian 31-100 ditambah 1 menit, ketinggian 101-300 ditambah 2 menit,
ketinggian 301-700 ditambah 3 menit, ketinggian 701-1200 ditambah 4
menit.
Jadwal Waktu Salat Jakarta Bulan Maret 2014 (WIB)
Tgl Subuh Terbit Zuhur Asar Magrib Isya
1 4:42 5:56 12:08 15:12 18:14 19:23
5 4:42 5:56 12:07 15:08 18:13 19:21
10 4:42 5:56 12:06 15:10 18:11 19:19
15 4:41 5:55 12:05 15:11 18:09 19:17
20 4:41 5:55 12:03 15:12 18:06 19:14
25 4:40 5:54 12:02 15:13 18:04 19:12
31 4:39 5:53 12:00 15:13 18:01 19:09
133
AAAA.... Zona Lintang DaerahZona Lintang DaerahZona Lintang DaerahZona Lintang Daerah
Lintang Daerah -6°10’ dan sekitarnya
Bekasi, Pamanukan, Indramayu, Subang, Depok, Karawang, Tangerang, Serang, Lebak, Pandeglang, Bogor, Purwakarta, Bandung, Sumedang, Majalengka, Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Kendal, Batang, Semarang, Jepara, Demak, Kudus, Pati, Rembang, Tuban, Anyer.
-7°10’ dan sekitarnya
Sukabumi, Cianjur, Cimahi, Kota Bandung, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Banjar, Cilacap, Kuningan, Banyumas, Purwwakarta, Purbalingga, Banjarnegara, Wonosobo, Temanggung, Magelang, Kebumen,Purworejo, Yogyakarta, Bantul, Kulon Progo, Salatiga, Sleman, Boyolali, Sragen, Grobogan, Surakarta, Karanganyar, Ngawi, Magetan, Blora, Bojonegoro, Madiun, Nganjuk, Lamongan, Jombang, Mojokerto, Kediri, Pasuruan, Gresik, Surabaya, Probolinggo, Situbondo, Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Sumenep
-8°21’dan sekitarnya
Gunung Kidul, Wonogiri, Pacitan, Trenggalek, Ponorogo, Tulung Agung, Blitar, Malang, Lumajang, Jember, Banyuwangi.
BBBB.... SelisihSelisihSelisihSelisih Waktu Antar DaerahWaktu Antar DaerahWaktu Antar DaerahWaktu Antar Daerah
Kota Menit Kota Menit
Kota Menit Kota Menit
Anyer 4 Magetan -18
Gresik -23 Semarang -14
Bandung -3 Majalengka -5.5
Grobogan -16 Serang 2.5
Bangkalan -23.5 Malang -23
Gunung Kidul
-15 Situbondo -28
Banjarnegara -11.5 Mojokerto -22.5
Indramayu -6 Sleman -14
Bantul -14 Ngawi -18.5
Jember -28 Sragen -16.5
Banyuwangi -30 Nganjuk -20.5
Jepara -15 Subang -3.5
Batang -11.5 Pacitan -13
Jombang -22 Sukabumi 0
Bekasi -1.5 Pamekasan -26.5
Karangaanyar -11 Sumedang -4.5
Blitar -21 Pandeglang 2.5
Karawang -1.5 Sumenep -28
Blora -17 Pasuruan -20
Kebumen -11 Surabaya -24
Bogor 0 Pati -16
Kediri -20.5 Surakarta -16
Bojonegoro -20 Pekalongan -11
Kendal -13.5 Tangerang 1
Boyolali -15 Pemalang -10
Klaten -15 Tasik -5
Brebes -8.5 Ponorogo -18.5
Kudus -16 Tegal -9
Ciamis -5.5 Probolinggo -25.5
Kulonprogo -13.5 Temanggung -13.5
Cianjur -1 Purbalingga -10
Kuningan -6.5 Trenggalek -19.5
Cilacap -8.5 Purwakarta -4.5
Lamongan -22 Tuban -20.5
134
Cimahi -2.5 Purwokerto -10
Lebak 2.5 Tulungagung -20
Cirebon -7 Purworejo -13
Lumajang -25.5 Wonogiri -16.5
Demak -15 Rembang -17
Madiun -19 Wonosobo -12
Depok 0 Salatiga -14.5
Magelang -14 Yogyakarta -14
Garut -4 Sampang -26
CCCC.... Selisih Konversi LintSelisih Konversi LintSelisih Konversi LintSelisih Konversi Lintang ang ang ang ----7777°°°° dan sekitarnyadan sekitarnyadan sekitarnyadan sekitarnya
DDDD.... Selisih Konversi Lintang Selisih Konversi Lintang Selisih Konversi Lintang Selisih Konversi Lintang ----8888°°°° dan Sekitarnyadan Sekitarnyadan Sekitarnyadan Sekitarnya
Selisih Waktu Salat lintang -7°°°° dengan Jakarta Bulan Maret (WIB)
Tgl Subuh Terbit Zuhur Asar Magrib Isya
1 -1 0 0 -3 0 1
5 -1 0 0 1 0 1
10 -1 -1 0 1 0 0
15 0 0 0 2 -1 0
20 0 0 0 2 0 0
25 1 0 0 1 -1 0
31 1 1 0 1 -1 0
Selisih Waktu Salat lintang -8°°°° dengan Jakarta Bulan Maret (WIB)
Tgl Subuh Terbit Zuhur Asar Magrib Isya
1 -2 -1 0 -2 1 2
5 -1 -1 0 4 0 2
10 -1 -1 0 3 0 1
15 0 -1 0 3 -1 0
20 0 -1 0 3 0 1
25 0 -1 0 2 -1 0
31 1 -1 0 3 -1 0