analisis peran k elembagaan ekonomi lokal … · 6.2.3.3.aturan aturan kegiatan pemancingan saat...
TRANSCRIPT
ANALISIS PERAN KELEMBAGAAN EKONOMI LOKAL
TERHADAP PEMANFAATAN PERAIRAN DALAM
PENGELOLAAN IKAN LARANGAN Studi Kasus Ikan Larangan Desa Sungai Pasak
Kota Pariaman
IFTITAHUL FAJRIYAH
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Peran
Kelembagaan Ekonomi Lokal terhadap Pemanfaatan Perairan dalam Pengelolaan
Ikan Larangan: Studi Kasus Pengelolaan Ikan Larangan Desa Sungai Pasak Kota
Pariaman adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi
yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan
dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar
Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari
karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2013
Iftitahul Fajriyah
H44090051
ABSTRAK
IFTITAHUL FAJRIYAH. Analisis Peran Kelembagaan Ekonomi Lokal terhadap
Pemanfaatan Perairan dalam Pengelolaan Ikan Larangan (Kasus Ikan Larangan
Desa Sungai Pasak Kota Pariaman). Dibimbing oleh RIZAL BAHTIAR.
Penelitian ini didasarkan pada pengelolaan sumberdaya ikan yang dilakukan
masyarakat di Desa Sungai Pasak Sumatera Barat. Pengelolaan sumberdaya ikan
tersebut dikenal dengan sebutan Ikan Larangan. Ikan larangan adalah sebuah
sistem pengelolaan ikan melalui sistem tutup untuk beberapa waktu yang
dilakukan di sungai atau kanal. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi
kelembagaan pengelolaan ikan larangan, biaya transaksi, dan mendeskripsikan
manfaat pengelolaan ikan larangan Desa Sungai Pasak. Metode yang purposive
sampling terhadap responden dan snowball sampling terhadap informan kunci.
Metode lain yang mendukung hasil wawancara adalah observasi lapang dan
dokumentasi. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa area Ikan Larangan
sepenuhnya diserahkan kepada masyarakat secara umum melalui pemerintah desa
dan kelembagaan adat setempat yang berperan sebagai pengawas. Biaya
pengelolaan ikan larangan terdiri dari biaya operasional (Rp 12 000 000) dan
biaya transaksi (Rp 8 000 000 per tahun). Observasi lapangan menunjukkan
bahwa pengelolaan daerah ikan larangan memiliki dampak positif bagi
masyarakat. Beberapa manfaat dari pengelolaan sumberdaya ikan di perairan
umum adalah menjaga keberlanjutan, menjaga persaudaraan antara masyarakat,
dan menjadi penghasilan tambahan bagi masyarakat desa.
Kata kunci: biaya pengelolaan, ikan larangan, kelembagaan lokal, pengelolaan
perikanan
ABSTRACT
IFTITAHUL FAJRIYAH. Analysis of The Role of Local Institutional Economic
to Waterworks Utilization about Ikan Larangan Management (Case study Ikan
Larangan in Sungai Pasak Village, Pariaman City). Supervised by RIZAL
BAHTIAR
This research based on management of fisheries resources by community
Desa Sungai Pasak in West Sumatera. Management of fisheries resources is
known as ikan larangan. Ikan larangan is a kind of fisheries management system
that applies closing seasons to fishing in a portion of river or canal for a certain
period. The purpose of this study was to indentify management of fisheries
institutional, transaction cost, and describe the benefit from management of ikan
larangan Desa Sungai Pasak. The research method are purposive sampling and
snowball sampling. Another method of supporting the result interview are
observations and documentation. The result of research showed that Ikan
larangan areas is under the management of community from village government
and local comunity representative. Management cost for ikan larangan include
operational cost (IDR 12 000 000) and transaction cost (IDR 8 000 000 anually).
Field observation shows that the management of the ikan larangan areas has a
positive impact on the villagers. Some of the benefits from the system are fisheries
resources in the open waters are kept sustainable, facilitating brotherhood among
the villagers, and generating income for villagers.
Keywords : fisheries management, ikan larangan, local institution, management
cost
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
ANALISIS PERAN KELEMBAGAAN EKONOMI LOKAL
TERHADAP AKSES PEMANFAATAN LINGKUNGAN
DALAM PENGELOLAAN IKAN LARANGAN Kasus Ikan Larangan Desa Sungai Pasak
Kota Pariaman
IFTITAHUL FAJRIYAH
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
JudulSkripsi : Analisis Peran Kelembagaan Ekonomi Lokal terhadap Pemanfaatan
Perairan dalam Pengelolaan Ikan Larangan (Studi Kasus Ikan
Larangan Desa Sungai Pasak Kota Pariaman)
Nama : Iftitahul Fajriyah
NIM : H44090051
Disetujui oleh
Rizal Bahtiar, S.Pi, M.Si
Pembimbing
Diketahuioleh
Dr. Ir. AcengHidayat, MT
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“Analisis Peran Ekonomi Kelembagaan Lokal dalam Pemanfaatan Perairan dalam
Pengelolaan Ikan Larangan (Studi Kasus Ikan Larangan Desa Sungai Pasak Kota
Pariaman)” dengan baik dan lancar. Skripsi ini disusun sebagai salah satu langkah
dan syarat untuk memperoleh gelar sarjana ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis ingin menyampaikan rasa terima
kasih dan penghargaan kepada:
Kedua orang tua tercinta yaitu Ibu Asrida Kasim dan Bapak Izhar Idham,
beserta ketiga kakak dan adik saya atas doa, kasih sayang dan perhatiannya.
Bapak Rizal Bahtiar S.Pi, M.Si selaku pembimbing skripsi yang telah
membimbing penulis serta Bapak Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT dan Bapak
Kastana Sapanli, S.Pi, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan
saran dan masukan dalam penulisan skiripsi ini.
Kantor Kesbangpolinmas Kota Pariaman, Dinas Kelautan dan Perikanan
Kota Pariaman dan warga Desa Sungai Pasak, Kecamatan Pariaman Timur,
Kota Pariaman yang telah membantu selama pengumpulan data.
Seluruh Rekan-rekan ESL 46, terutama rekan sebimbingan Aulia Putri
Adniey, Sri Kuncoro, Khoirunnisa Cahya, Nur Cahaya, Lungit, dan Sarah
yang telah memberi semangat dan dorongan kepada penulis selama proses
penulisan karya tulis ini.
Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan
skripsi ini, sehingga segala saran dan kritik penulis terima.Semoga skripsi ini
bermanfaat bagi seluruh pihak yang terkait dan para pembaca.
Bogor, Agustus 2013
Iftitahul Fajriyah
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ................................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... xiii
I. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah ............................................................................ 4
1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................ 7
1.4. Ruang Lingkup Penelitian .................................................................. 7
II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 8
2.1. Hak Kepemilikan (Property Right) .................................................... 8
2.2. Teori Kelembagaan ............................................................................ 9
2.3. Kinerja Kelembagaan ......................................................................... 10
2.4. Biaya Transaksi .................................................................................. 11
2.4.1. Biaya Transaksi Manajerial ........................................................... 12
2.5. Ekosistem Sungai ............................................................................... 13
2.5.1. Pengertian Sungai .......................................................................... 13
2.5.2. Fungsi dan Manfaat Sungai ........................................................... 13
2.6. Teori Pengetahuan Lokal Bagi Pengelolaan Perikanan ...................... 14
2.7. Jenis Ikan dalam Pengelolaan Ikan Larangan ..................................... 15
2.8. Penelitian Terdahulu ........................................................................... 16
III. KERANGKA PEMIKIRAN ................................................................... 18
3.1. Kerangka Teoritis ............................................................................... 18
3.1.1 Analisis Aktor Pengelola Ikan Larangan.................................. ...... 18
3.2. Kerangka Operasional........................................................................ 19
IV. METODE PENELITIAN ........................................................................ 22
4.1. Lokasi dan Waktu ............................................................................... 22
4.2. Jenis dan Sumber Data ....................................................................... 22
4.3. Metode Pengambilan Sampel ............................................................. 22
4.4. Metode dan Prosedur Analisis Data ................................................... 22
4.4.1. Analisis Kelembagaan dan Tata Kelola Ikan Larangan .............. 24
4.4.2. Analisis Kinerja Kelembagaan .................................................... 25
4.4.3. Analisis Biaya Transaksi ............................................................. 25
4.4.4. Analisis Persepsi Masyarakat Mengenai Manfaat Pengelolaan
Ikan Larangan .............................................................................. 25
V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ................................... 28
5.1. Kondisi Togografi .............................................................................. 28
5.2. Kondisi Demografi ............................................................................. 28
5.3. Sarana dan Prasarana Desa ................................................................ 30
5.4. Mata Pencaharian ............................................................................... 31
5.5. Sejarah Keberadaan Ikan Larangan Desa Sungai Pasak................... 31
5.6. Karakteristik Responden .................................................................... 35
5.6.1. Jenis Kelamin ......................................................................... 35
5.6.2. Tingkat Umur ......................................................................... 35
5.6.3. Tingkat Pendidikan ................................................................ 36
5.6.4. Jenis Pekerjaan ....................................................................... 36
5.6.5. Tingkat Pendapatan................................................................ 37
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 38
6.1. Aktor Pengelolaan dan Pemanfaatan Ikan Larangan ......................... 38
6.1.1. Pengaruh dan Kepentingan Aktor............................................ 40
6.2. Aturan Pengelolaan Ikan Larangan .................................................... 45
6.2.1. Boundary Rule, Sanksi dan Monitoring terhadap Aturan......... 45
6.2.2.Aturan Akses terhadap Sumberdaya dan Penyelesaian
Konflik...................................................................................... 48
6.2.3.Aturan Ikan Larangan yang Berdampak
terhadapPembangunan Desa ..................................................... 48
6.2.3.1.Aturan Musim Tutup Wilayah Ikan Larangan................... 49
6.2.3.2.Aturan Penetapan Musim Buka Ikan Larangan................. 50
6.2.3.3.Aturan Aturan Kegiatan Pemancingan Saat Musim buka
Ikan Larangan .................................................................... 51
6.2.4.Peraturan Perundang-undangan Mengenai Pengelolaan
Perikanan Melalui Pengetahuan Lokal...................................... 52
6.3. Analisis Kinerja Kelembagaan Ikan Larangan .................................. 53
6.3.1.Kejelasan Kelembagaan Ikan Larangan .................................... 53
6.3.1.1. Kejelasan Struktur Kelembagaan ..................................... 53
6.3.1.2. Kejelasan Aturan Kelembagaan ....................................... 56
6.3.2 Keefektifan Kinerja Kelembagaan ............................................ 57
6.3.2.1. Partisipasi dalam Kelembagaan ....................................... 57
6.3.2.2. Efektivitas Kelembagaan .................................................. 59
6.4. Analisis Biaya Transaksi Pengelolaan Ikan Larangan ....................... 61
6.4.1.Komponen Biaya Pengelolaan Ikan Larangan .......................... 61
6.4.2.Biaya Transaksi Pengelolaan Ikan Larangan ............................ 62
6.4.3.Biaya Operasional Pengelolaan Ikan Larangan ........................ 63
6.5. Manfaat Pengelolaan Ikan Larangan .................................................. 64
VII. SIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 66
7.1. Simpulan ............................................................................................ 66
7.2. Saran .................................................................................................. 66
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 68
LAMPIRAN ............................................................................................................ 71
RIWAYAT HIDUP ................................................................................................ 84
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Jumlah Lubuk Larangan yang tercatat hingga tahun 2009 ........................ 6
2 Ukuran Kuantitatif terhadap Identifikasi dan Pemetaan Aktor ................. 18
3 Matriks Keterkaitan antara Tujuan Penelitian, Parameter atau
indikator, dan Analisis data ....................................................................... 23
4 Matriks Analisis Manfaat Pengelolaan Ikan Larangan .............................. 27
5 Data penduduk Desa Sungai Pasak............................................................ 29
6 Jumlah penduduk Desa Sungai Pasak menurut Mata Pencaharian ........... 31
7 Identifikasi Aktor dan Peran ...................................................................... 40
8 Nilai Skor Pemetaan Aktor Pengelola Ikan Larangan ............................... 41
9 Peraturan mengenai Pengakuan Pengelolaan Perikanan berdasarkan
Pengetahuan Lokal..................................................................................... 52
10 Sebaran Persepsi Masyarakat Desa Sungai Pasak mengenai
Kelengkapan Pengurus Kelembagaan ....................................................... 54
11 Sebaran Pengetahuan Masyarakat Desa Sungai Pasak mengenai
Peran dari Susunan Kelembagaan ............................................................. 55
12 Sebaran Persepsi Masyarakat Desa Sungai Pasak mengenai
Periode Pergantian Pengurus ..................................................................... 56
13 Sebaran Persepsi Masyarakat Desa Sungai Pasak mengenai
Partisipasi dalam Kelembagaan ................................................................. 58
14 Sebaran Persepsi Masyarakat Desa Sungai Pasak mengenai
Transaparansi Kelembagaan ...................................................................... 59
15 Sebaran Persepsi Masyarakat terhadap Hasil Panen ................................. 60
16 Sebaran Persepsi Masyarakat terhadap Manfaat dari Kegiatan
Pemancingan Musim Buka Ikan Larangan ................................................ 60
17 Biaya Transaksi dalam Pengelolaan Ikan Larangan Desa Sungai Pasak .. 62
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Matriks analisis aktor (Aktor grid) ............................................................ 19
2 Kerangka Pemikiran Operasional ............................................................. 21
3 Sebaran Jumlah Responden berdasarkan Jenis Kelamin .......................... 35
4 Sebaran Jumlah Responden berdasarkan Tingkat Umur .......................... 35
5 Sebaran Jumlah Responden berdasarkan Tingkat Pendidikan .................. 36
6 Sebaran Jumlah Responden berdasarkan Jenis Pekerjaan ........................ 37
7 Sebaran Jumlah Responden berdasarkan Tingkat Pendapatan ................. 37
8 Pemetaan Aktor Pengelola ikan larangan Desa Sungai Pasak .................. 41
9 Hubungan antar Aktor Pengelolaan Desa Sungai Pasak .......................... 44
10 Analisis Usaha Pengelolaan Ikan Larangan Desa Sungai Pasak .............. 61
11 Persentase persepsi masyarakat Desa Sungai Pasak mengenai
manfaat pengelolaan ikan larangan .......................................................... 65
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Kuisioner Key Person ............................................................................... 72
2 Kuisioner Responden ................................................................................ 75
3 Panduan scoring Penilaian Tingkat Pengaruh dan Kepentingan
Aktor terhadap Pengelolaan Ikan Larangan ............................................. 79
4 Panduan scoring Analisis Kinerja Kelembagaan ...................................... 81
5 Dokumentasi Penelitian ............................................................................ 83
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Luas perairan umum daratan di Indonesia diperkirakan mencapai 54 juta
hektar yang merupakan perairan umum yang terluas di wilayah ASEAN. Dari
luasan perairan umum daratan tersebut, 71.63% terdiri dari perairan rawa dan
sungai, perairan lebak sebesar 22.13% dan danau (danau alam dan danau buatan)
sebesar 3,89%. Sebagian besar perairan tersebut berada di Pulau Kalimantan
(60%), Pulau Sumatera (30%) dan sisanya di Pulau Sulawesi, Pulau Papua, Pulau
Nusa Tenggara Barat, Pulau Jawa dan Pulau Bali (Badan Riset Kelautan dan
Perikanan 2009). Dari hasil riset mengenai luasan perairan umum daratan di
Indonesia, menunjukan bahwa secara garis besar sumberdaya perairan umum
daratan mempunyai potensi yang sangat besar untuk dikembangkan, salah
satunya bagi pengembangan dan pemanfaatan sektor perikanan (perikanan
tangkap maupun perikanan budidaya).
Pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan di Indonesia mulai
mendapat perhatian sekitar tahun 1985. Pengelolaan perikanan yang sebelumnya
bersifat tersentralisasi berubah menjadi desentralisasi sebagaimana tertuang dalam
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam
pasal 3 UU No.22/1999 disebutkan bahwa wilayah daerah provinsi terdiri atas
wilayah darat dan wilayah laut sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis pantai.
Lebih lanjut, pasal 10 UU No.22/1999 menyebutkan kewenangan daerah
kabupaten/kota sejauh sepertiga dari batas laut provinsi. Selain itu kebijakan
perikanan yang ada saat ini, UU No.45/2009 yang merupakan perubahan dari UU
No.31/2004 diharapkan dapat membangun perikanan Indonesia sesuai dengan
perkembangan teknologi serta perkembangan kebutuhan hukum dalam
pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumber daya ikan yang dimiliki.
Kenyataannya kebijakan pengelolaan perikanan yang telah dilakukan oleh
pemerintah saat ini masih memiliki beberapa kelemahan. Kelemahannya diantara
lain adalah belum mampunya pemerintah dalam mengatasi permasalahan
overfishing dan overcapacity. Selain itu, kebijakan yang tidak tepat serta adanya
kebijakan yang saling bertentangan, administrasi yang tidak efisien dalam bentuk
2
biaya transaksi yang cukup tinggi, kewenangan yang terbagi-bagi kepada
beberapa lembaga pemerintahan, data dan informasi yang diperoleh kurang benar
atau kurang akurat, dan kegagalan dalam merumuskan keputusan manajemen
dalam mengatasi masalah-masalah di lapangan. Hal ini mengakibatkan
permasalahan dalam pengelolaan perikanan yang menjadi tidak efisien, baik
secara ekonomi, sosial dan teknis.
Berdasarkan kelemahan tersebut, pemerintah menyadari bahwa keterlibatan
masyarakat tradisional merupakan suatu rumusan yang perlu dikembangkan
terutama dalam rangka pengelolaan sumberdaya ikan. Pengelolaan sumberdaya
perikanan ada baiknya dilakukan dengan memandang situasi dan kondisi lokal
daerah yang di kelola. Menurut Nikijuluw (2002) dalam Wahyudin (2004),
pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat tradisional dapat
didefinisikan sebagai suatu proses pemberian wewenang, tanggung jawab dan
kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola sumberdaya perikanan pada
akhirnya menentukan dan berpengaruh pada kesejahteraan hidup mereka.
Beberapa contoh pengelolaan sumberdaya perikanan yang dikelola oleh
masyarakat melalui adat istiadat lokal yaitu sasi yang dilakukan oleh masyarakat
pesisir di Provinsi Maluku, tradisi Awig-awig di Nusa Penida, Bali dan adanya
Lubuk Larangan yang dilakukan masyarakat disekitar sungai di daerah Muaro
Bungo, Jambi.
Lubuk larangan adalah salah satu bentuk pengelolaan sumberdaya ikan yang
dilakukan di perairan umum yang merupakan tradisi turun temurun dimasyarakat
seperti beberapa daerah di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Riau.
Pemanfaatan sumberdaya perairan umum bersifat serba guna seperti pola
pemanfaatan masyarakat yang memanfaatkan aliran sungai sebagai lahan untuk
mengembangkan sumberdaya ikan. Sungai merupakan perairan mengalir dari
tingkatan lebih atas yang menunjukkan bagian hulu dan kemudian mengarah ke
bawah yang menunjukkan bagian hilir. Sungai menjadi salah satu pemasok air
terbesar untuk kebutuhan makluk hidup yang memiliki fungsi penting bagi
kehidupan manusia.
Selain mempunyai fungsi hidrologis, sungai juga mempunyai peran dalam
menjaga keanekaragaman hayati, nilai ekonomi, budaya, transportasi, pariwisata
3
dan lainnya. Sungai merupakan sumberdaya air yang kaya dengan
keanekaragaman ikan yang selama ini telah banyak dimanfaatkan sebagai
pemenuhan kebutuhan pangan bagi manusia. Menurut Naditia (2011) menyatakan
bahwa sungai memiliki nilai ekonomi sebesar Rp 53 601 669 968.11 per tahun.
Nilai ekonomi total (total economic value) dari sungai terdiri dari nilai ekonomi
kegunaan (use value) dan nilai ekonomi bukan kegunaan (non-use value). Hal ini
menggambarkan bahwa pengelolaan sungai yang baik akan memberikan manfaat
besar bagi kehidupan masyarakat terutama dalam mengembang sumberdaya ikan.
Pengembangan sumberdaya perikanan inilah yang diadopsi untuk
dikembangkan dan dilestarikan oleh masyarakat di beberapa daerah di Sumatera.
Salah satunya bentuk pengelolaan sumberdaya ikan dengan sistem ikan larangan.
Ikan larangan bagi masyarakat Sumatera Barat sama halnya dengan lubuk
larangan yang dilakukan masyarakat di Muaro Jambi. Kegiatan ini sudah
dilakukan turun-temurun, dimana berdasarkan kesepakatan bersama seluruh
masyarakat menetapkan sungai, rawa, atau sumber air lainnya selama kurun
waktu tertentu ikan yang ditebar tidak boleh di panen. Komitmen ini dipegang
teguh seluruh masyarakat sampai waktu yang ditentukan karena jika dilanggar
mereka percaya ada konsekuensi yang akan diterima seperti sakit.
Mengelola sumberdaya yang terdapat di sungai tidaklah mudah, karena
sungai merupakan salah satu common-pool resources layaknya laut. Menurut
karakteristik fisiknya, common pool resources (sumberdaya milik bersama), yaitu
sumberdaya alam yang bersifat tidak bisa dikecualikan (non-excludable), sangat
beresiko persoalan penunggang gratis. Common pool resources (CPR) cenderung
akan dieksploitasi dan dimanfaaatkan secara berlebihan untuk memaksimumkan
utilitas para individu yang dapat mengakses (Hardin 1968 dalam Yustika 2006).
Namun, menurut Ostrom (1990) dan Bromley (1992) dalam Yustika (2006)
melaporkan bahwa para pemanfaat CPR mengembangkan kelembagaan yang
mampu mengelola sumberdaya yang dimiliki bersama secara sukses dalam jangka
waktu yang lama.
Hal ini telah dilakukan masyarakat pengelola ikan larangan. Kelembagaan
dalam pengelolaan ikan larangan merupakan kelembagaan adat yang terbentuk
secara alamiah dikarenakan adanya kebiasaan yang telah dilakukan turun
4
temurun. Tradisi ini telah dilakukan masyarakat karena memberikan manfaat yang
besar disamping dapat memenuhi kebutuhan pangan, lubuk larangan dapat
menjaga keutuhan masyarakat serta menjaga kelestarian sumberdaya alam dan
lingkungan karena terpeliharanya kebersihan sungai dengan adanya ikan tersebut.
Lebih lanjut Surma, dkk (2008) menambahkan bahwa secara sosial ekonomi
keberlanjutan pengelolaan lubuk larangan tidak lepas dari kemampuan komunitas
pengelola lubuk larangan dalam menanam dan mengembangkan investasi modal
sosial (social capital) dalam sistem pengelolaan lubuk larangan, sehingga
mendorong masyarakat untuk berpartisipasi, menciptakan nilai dan aturan baru.
1.2 Perumusan Masalah
Tradisi ikan larangan di Sumatera Barat merupakan tradisi budidaya ikan
yang dilakukan di perairan umum yang dikelola bersama oleh masyarakat.
Pengelolaan ikan di perairan umum ini memiliki dua kategori yaitu ikan diniatkan
dan ikan larangan. Ikan diniatkan adalah ikan yang berada di perairan yang telah
dituahi atau didoakan terlebih dahulu oleh salah seorang pemuka adat agar ikan-
ikan yang dilepas di wilayah tersebut aman. Menurut Pahlevi (2002), ikan
diniatkan merupakan aturan yang dibuat masyarakat sehingga mereka patuh
terhadap ketentuan yang telah diputuskan bersama dan memperlihatkan bahwa
mereka sangat percaya terhadap pemimpin adat yang telah menuahi/mendoakan
ikan-ikan tersebut saat pembukaan tradisi pengelolaan ikan tersebut. Hal ini lebih
pada kepercayaan dimana ketika pemimpin yang menuahi ikan-ikan tersebut
meninggal, masyarakat tidak ada yang berani untuk mengambil ikan tersebut
sehingga membiarkan ikan tersebut terus tumbuh di sungai.
Tidak jauh berbeda dengan ikan diniatkan, ikan larangan merupakan
budidaya ikan di sungai yang dikelola masyarakat dengan ketentuan yang
disepakati bersama, seperti waktu panen dan sanksi yang diterima ketika
ketentuan dilanggar. Pengelolaan ikan diniatkan dan ikan larangan memiliki
aturan-aturan yang mengatur pengelolaan kegiatan tersebut. Aturan yang berlaku
terkait dengan waktu buka dan waktu tutup daerah ikan larangan, ketentuan
larangan dan sanksi jika ikan diambil tidak sesuai waktu yang telah ditetapkan,
hasil dan pendapatan dari ikan larangan, dan tanda batasan daerah perairan yang
5
dijadikan daerah ikan larangan. Sebenarnya, ikan larangan termasuk dalam daerah
ikan diniatkan karena tidak ada perbedaan dalam pengelolaannya.
Informasi mengenai kegiatan ikan diniatkan dan ikan larangan sangat
terbatas. Hal ini membuat sulit untuk mengetahui kapan asal mulanya ikan
diniatkan dan ikan larangan dimulai. Menurut Dinas Perikanan Propinsi Sumatera
Barat (1998) dalam Pahlevi (2002), jumlah daerah ikan diniatkan telah menurun
selama beberapa tahun terakhir, sementara sejumlah daerah ikan larangan telah
meningkat. Penurunan jumlah daerah ikan diniatkan mungkin karena jumlah
pemimpin desa dengan supranatural kekuasaan telah menurun. Selain itu,
pemimpin desa enggan untuk melatih kekuatan untuk membuka daerah baru ikan
diniatkan. Mereka khawatir tentang keselamatan penduduk desa yang ingin
membuktikan kebenaran dari kemampuan mereka.
Tradisi ikan larangan hampir punah pada masa pembangunan.
Berkurangnya wibawa surau dan ninik mamak sebagai institusi kultural akibat
sentralisasi bentuk pemerintahan orde baru menjadi faktor utama ditinggalkannya
tradisi lubuk larangan. Berdasarkan catatan Dinas Perikanan Propinsi Sumatra
Barat, jumlah daera ikan larangan yang pernah menjadi sumberdaya perikanan
lokal di wilayah-wilayah bersungai Sumatra Barat, tinggal beberapa saja pada
tahun 1993 (Pahlevi 2002). Namun, tradisi ini bangkit lagi sejalan dengan
kembalinya propinsi Sumatra Barat menerapkan bentuk pemerintahan nagari
setelah pemerintah membuka peluang itu berdasarkan UU No 32 tahun 2004. Di
sisi lain, daerah Ikan Larangan telah meningkat karena dua alasan. Pertama,
kepala desa/nagari bersedia untuk membudidayakan ikan mas (Cyprinus carpio)
di daerah ikan larangan. Kedua, mengelola daerah ikan larangan jauh lebih mudah
karena pemerintah daerah memberikan dukungan dengan memberikan bantuan
pemberian benih ikan dan ikut membantu melestarikan tradisi tersebut.
Berdasarkan data Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sumatera Barat
(2010) terdapat 734 wilayah ikan larangan yang tersebar di beberapa kota dan
kabupaten. Berikut data jumlah wilayah ikan larangan (lubuk larangan) yang
terdapat di Provinsi Sumatera Barat.
6
Tabel 1 Jumlah lubuk larangan yang tercatat hingga tahun 2009
No Kabupaten/Kota Jumlah Lubuk Larangan
1 Kota Padang 9
2 Kabupaten Pasaman Barat 191
3 Kabupaten Pesisir Selatan 11
4 Kabupaten Padang Pariaman 79
5 Kabupaten Tanah Datar 33
6 Kabupaten Solok 6
7 Kota Solok 6
8 Kabupaten Agam 155
9 Kabupaten Sijunjung 7
10 Kabupaten 50 Kota 36
11 Kota Payakumbuh 8
12 Kabupaten Dhamasraya 11
13 Kabupaten Solok Selatan 39
14 Kabupaten Pasaman 130
15 Kota Sawahlunto 8
16 Kota Bukittinggi 3
17 Kota Padang Panjang 2
Total 734
Sumber : Kelautan dan Perikanan Sumatera Barat dalam angka 2009
Tabel di atas menunjukan bahwa kearifan lokal seperti ikan larangan telah
diakui oleh pemerintah. Kearifan lokal suku Minangkabau yang dikenal dengan
petitih alam takambang manjadi guru (alam terkembang menjadi guru), yang
menganggap alam sebagai guru dalam melakukan tindak tanduk kehidupan.
Kearifan lokal telah menuntun masyarakat untuk mengambil manfaat dari SDA
tanpa merusak kelestarian dan keseimbangan ekologisnya. Salah satu bentuk
kearifan lokal tersebut tercermin pada pengelolaan ikan larangan seperti yang
dilakukan masyarakat Desa Sungai Pasak. Berdasarkan uraian diatas, maka
perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1 Bagaimana bentuk kelembagaan pengelolaan dan tata kelola ikan larangan
di Desa Sungai Pasak?
2 Bagaimana efektifitas kinerja kelembagaan ikan larangan di Desa Sungai
Pasak?
3 Berapakah biaya pengelolaan ikan larangan di Desa Sungai Pasak?
4 Bagaimana persepsi masyarakat mengenai manfaat pengelolaan ikan
larangan di Desa Sungai Pasak?
7
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1 Mengidentifikasi kelembagaan pengelolaan dan tata kelola ikan larangan
yang terdapat di Desa Sungai Pasak.
2 Menganalisis kinerja kelembagaan pengelolaan ikan larangan yang terdapat
di Desa Sungai Pasak.
3 Menganalisis biaya pengelolaan ikan larangan di Desa Sungai Pasak melalui
pendekatan biaya transaksi.
4 Mendeskripsikan manfaat pengelolaan ikan larangan di Desa Sungai Pasak.
1.4 Ruang Lingkup Penelitian
Adapun ruang lingkup sebagai batasan-batasan dari penelitian ini adalah:
1 Manfaat pengelolaan ikan larangan pada penelitian ini berdasarkan analisis
deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui manfaat yang diperoleh dari
pengelolaan sumberdaya perikanan melalui sistem ikan larangan.
2 Penelitian ini hanya menganalisis bentuk pengelolaan sumberdaya
perikanan melalui sistem ikan larangan di Desa Sungai Pasak, Kecamatan
Pariaman Timur.
3 Kelembagaan yang diidentifikasi merupakan kelembagaan lokal pengelola
ikan larangan di Desa Sungai Pasak, Kecamatan Pariaman Timur.
4 Analisis kinerja kelembagaan ikan larangan terkait dengan kejelasan
kelembagaan dan efektifitas dalam mencapai tujuan kelembagaan.
8
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hak Kepemilikan (Property Right)
Hak kepemilikan (property right) adalah klaim yang sah terhadap
sumberdaya ataupun jasa yang dihasilkan dari sumberdaya tersebut. Hak
kepemilikan juga dapat diartikan sebagai suatu gugus karakteristik yang
memberikan kekuasaan kepada pemilikan hak (Hartwick dan Olewiler, 1998)
dalam Fauzi (2006). Selain itu, menurut Bromley (1989) dalam Fauzi (2006) juga
menyebutkan bahwa di dalam sumberdaya alam terdapat sumberdaya dan rezim
pemilikan terhadap sumberdaya tersebut harus dibedakan jelas. Satu sumberdaya
bisa saja mempunyai berbagai hak pemilikan.
Hak pemilikan terhadap sumberdaya alam umumnya terdiri dari : (1) State
property dimana klaim pemilikan berda di tangan pemerintah; (2) Private
property dimana klaim pemilikan berada pada individu atau kelompok usaha
(korporasi); (3) Common property atau Communal property dimana individu atau
kelompok memiliki klaim atas sumberdaya yang dikelola bersama. Suatu
sumberdaya alam bisa saja tidak memiliki klaim yang sah sehingga tidak bisa
dikatakan memiliki hak kepemilikan. Sumberdaya seperti ini dikatakan sebagai
open access. Terbukanya akses untuk memiliki sumberdaya ini sering dikenal
dengan common resources. Masalah common resources dititikberatkan pada
alokasi dan penggunaan sumberdaya alam serta efek yang ditimbulkannya.
Common resources atau common-pool resources adalah sumberdaya alam atau
sumberdaya buatan manusia (man-made) yang karena besarnya akses terhadap
sumberdaya tersebut sulit dikontrol dan pemanfaatan oleh seseorang bersifat
mengurangi kesempatan orang lain memanfaatkan sumberdaya tersebut.
Sumberdaya perikanan sering dikemukakan sebagai wadah bersama
(common-pool resources) yaitu sumberdaya yang berada pada suatu wadah atau
ekosistem dimana penangkapan ikan dilakukan secara bersama-sama. Secara
global memang wadah berupa perairan, akan tetapi yang dilihat adalah kesatuan
dari perairan tersebut. Sebagai suatu wadah bersama, sumberdaya perikanan
memili sifat-sifat interkoneksitas, indivisibilitas dan substraktabilitas. Sifat
interkoneksitas artinya bahwa sumberdaya perikanan memiliki saling keterkaitan
9
antara suatu komponen, katakanlah jenis ikan serta antara ikan dengan lingkungan
alam. Sifat indivisibilitas artinya bahwa sumberdaya perikanan tidak mudah
dibagi-bagi menjadi bagian atau milik wilayah perairan tertentu. Sifat
indivisibilitas muncul karena ikan melakukan migrasi antar wilayah dan tidak bisa
dibatasi pergerakannya dalam suatu ekosistem alam. Sifat subtraktabilitas artinya
bahwa sumberdaya ikan bila diambil oleh orang tertentu pada waktu tertentu akan
mempengaruhi keberadaan dan ketersediaan ikan bagi orang lain di waktu lain
(Nikijuluw 2005).
2.2 Teori Kelembagaan
Ostrom (1985) dalam Suhana (2008a) mendefinisikan kelembagaan sebagai
aturan dan rambu-rambu sebagai panduan yang dipakai oleh para anggota suatu
kelompok masyarakat untuk mengatur hubungan yang saling mengikat atau saling
tergantung satu sama lain. Penataan institusi (institutional arrangements) dapat
ditentukan oleh beberapa unsur, yaitu aturan operasional untuk pengaturan
pemanfaatan sumberdaya, aturan kolektif untuk menentukan, menegakan hukum
atau aturan itu sendiri dan untuk merubah aturan operasional serta mengatur
hubungan kewenangan organisasi. Sementara itu, Rutherford (1994) dalam
Suhana (2008a) menyatakan bahwa kelembagaan dapat dimaknai sebagai regulasi
perilaku yang secara umum diterima oleh anggota-anggota kelompok sosial, untuk
perilaku spesifik dalam situasi yang khusus, baik yang diawasi sendiri maupun
dimonitor oleh otoritas luar. Hal ini juga dijelaskan North (1994) dalam Suhana
(2008a) dengan memaknai kelembagaan sebagai aturan-aturan yang membatasi
perilaku menyimpang manusia untuk membangun struktur interaksi politik,
ekonomi dan sosial.
Kelembagaan sebagaimana yang kita ketahui memiliki ruang lingkup.
Ruang lingkup kelembagaan dapat dibatasi pada hal-hal berikut, yaitu
kelembagaan adalah kreasi manusia, kelembagaan merupakan kumpulan individu,
berkaitan dengan dimensi waktu, adanya dimensi tempat, adanya aturan main dan
norma yang dirumuskan, adanya pemantauan dan penegakan aturan, adanya
hierarki dan jaringan serta adanya konsekuensi kelembagaan (Arifin 2005). Dari
semua ruang lingkup tersebut, kelembagaan amat menentukan bagaimana
10
seseorang atau kelompok orang harus dan tidak harus mengerjakan sesuatu
(kewajiban atau tugas), bagaimana mereka boleh mengerjakan sesuatu tanpa
intervensi dari orang lain(kebolehan), bagaimana mereka mampu mengerjakan
sesuatu dengan bantuan kekuatan kolektif untuk mengerjakan sesuatu atas
namanya (ketidakmampuan atau exposure). Menurut Bromley (1989) dalam
Arifin (2005), kelembagaan dapat digambarkan sebagai rangkaian hubungan
keteraturan antara beberapa orang yang menentukan hak, kewajiban serta
kewajiban menghargai hak orang lain, dan tanggung jawab mereka dalam
masyarakat atau kelembagaan tersebut.
Menurut Pejovich (1999) dalam Suhana (2008a), kelembagaan memiliki
tiga komponen, yakni : (1) Aturan formal (formal institutions), meliputi
konstitusi, statuta, hukum dan seluruh regulasi pemerintah lainnya. Aturan formal
membentuk sistem politik (struktur pemerintahan, hak-hak individu), sistem
ekonomi (hak kepemilikan dalam kondisi kelangkaan sumberdaya, kontrak), dan
sistem keamanan (peradilan, polisi); (2) Aturan informal (informal institutions),
meliputi pengalaman, nilai-nilai tradisional, agama dan seluruh faktor yang
mempengaruhi bentuk persepsi subjektif individu tentang dunia tempat hidup
mereka; dan (3) Mekanisme penegakan (enforcement mechanism), semua
kelembagaan tersebut tidak akan efektif apabila tidak diiringi dengan mekanisme
penegakan.
2.3 Kinerja Kelembagaan
Kinerja kelembagaan didefinisikan sebagai kemampuan suatu kelembagaan
untuk menggunakan sumberdaya yang dimilikinya secara efisien dan
menghasilkan output yang sesuai dengan tujuan yang relevan dengan kebutuhan
pengguna (Peterson 2003 dalam Syahyuti 2004). Menurut Mackay (1998) dalam
Syahyuti (2004) ada empat dimensi untuk mempelajari suatu kelembagaan yaitu :
Satu, kondisi lingkungan eksternal. Lingkungan sosial dimana suatu
kelembagaan hidup merupakan faktor pengaruh yang dapat menjadi pendorong
dan sekaligus pembatas seberapa jauh suatu kelembagaan dapat beroperasi.
Lingkungan yang dimaksud berupa kondisi politik dan pemerintahan,
sosiokultural, teknologi, kondisi ekonomi, berbagai kelompok kepentingan
11
(stakeholder), infrastruktur, serta kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya alam.
Seluruh komponen lingkungan tersebut dipelajari dan dianalisis bentuk
pengaruhnya terhadap kelembagaan.
Kedua, motivasi kelembagaan. Kelembagaan dipandang sebagai suatu unit
kajian yang memiliki jiwanya sendiri. Terdapat empat aspek yang dipelajari untuk
mengetahui motivasi kelembagaan, yaitu sejarah kelembagaan, misi yang
diembannya, kultur yang menjadi pegangan dalam bersikap dan berperilaku
anggotanya, serta pola penghargaan yang dianut.
Ketiga, kapasitas kelembagaan. Pada bagian ini yang dipelajari bagaimana
kemampuan kelembagaan untuk mencapai tujuan-tujuannya. Kemampuan
tersebut diukur melalui lima aspek, yaitu: strategi kepemimpinan yang dipakai,
perencanaan program, manajemen dan pelaksanaannya, alokasi sumberdaya yang
dimiliki, dan hubungan dengan pihak luar yaitu terhadap clients, partners,
government policymakers dan external donor.
Keempat, kinerja kelembagaan. Ada tiga pokok yang harus diperhatikan
yaitu keefektifan kelembagaan dalam mencapai tujuan, efisisensi penggunaan
sumberdaya, dan keberlanjutan kelembagaan berinteraksi dengan para kelompok
kepentingan luarnya. Pada dimensi ini lebih pada kalkulasi secara ekonomi untuk
mengukur keefektifan dan efisiensi suatu kelembagaan.
2.4 Biaya Transaksi
Biaya transaksi biasanya digunakan untuk mengukur efisien tidaknya suatu
kelembagaan. Semakin tinggi biaya transaksi yang terjadi dalam kegiatan
ekonomi (transaksi), maka semakin tidak efisien kelembagaan yang dibentuk,
demikian sebaliknya. Semakin rendah biaya transaksi yang terjadi dalam kegiatan
ekonomi, maka akan lebih efisien kelembagaan tersebut. Namun, teori biaya
kelembagaan belum memiliki makna definitif, yang artinya terkait dengan sudut
pandang para ahli ekonomi kelembagaan.
Menurut Barzel (1993) dalam Fauzi (2006) menyatakan bahwa biaya
transaksi berhubungan dengan konsep hak kepemilikan seperti yang dikemukakan
oleh Coase (1960). Biaya transaksi diartikan sebagai biaya yang dikeluarkan
untuk memperoleh, menstransfer dan melindungi hak. Jika biaya transaksi tinggi
12
maka sangat sulit untuk menetapkan hak kepemilikan karena potensi manfaat atas
sumberdaya atau aset tidak akan diketahui. Namun, jika biaya transaksi nol maka
hak kepemilikan terpenuhi. Dengan kata lain, biaya transaksi nol disebabkan oleh
hak kepemilikan akan terkukuhkan karena kedua belah pihak (pemilik dan pihak
lain yang tertarik untuk memiliki aset), memiliki pengetahuan yang penuh atas
nilai dari aset tersebut.
Menurut Furobotn dan Richter (2000) dalam Yustika (2006) menyatakan
bahwa biaya transaksi adalah ongkos untuk menggunakan pasar dan biaya
melakukan hak untuk memberi pesanan di dalam perusahaan. Disamping itu, ada
juga rangkaian biaya yang diasosiasikan untuk menggerakan dan menyesuaikan
dengan kerangka politik kelembagaan. Untuk masing-masing tiga jenis biaya
transaksi tersebut dapat dibedakan menurut dua tipe: (1) biaya transaksi tetap,
yaitu investasi spesifik yang dibuat didalam menyusun kesepakatan kelembagaan;
dan (2) biaya transaksi variabel, yakni biaya yang tergantung pada jumlah dan
volume transaksi.
Pada poin ini, sifat dari biaya transaksi sama dengan ongkos produksi.
Keduanya mengenal konsep biaya tetap dan biaya variabel. Akan tetapi, dalam
identifikasi yang mendalam, tentu membedakan biaya tetap dan biaya variabel
dalam biaya transaksi tidak semudah membandingkannya dalam biaya produksi.
2.4.1 Biaya Transaksi Manajerial
Furubotn dan Richter (2000) dalam Yustika (2006) menyatakan terdapat dua
tipe biaya taransaksi manajerial, yaitu :
Biaya penyusun, pemeliharaan atau perubahan desain organisasi. Ongkos ini
juga berhubungan dengan biaya operasional yang lebih luas, yang biasanya
secara tipikal masuk ke dalam biaya transaksi tetap.
Biaya menjalankan organisasi, yang kemudian dapat dipilah dalam dua
subkategori: (a) biaya informasi dan (b) biaya yang diasosiasikan dengan
transfer fisik barang dan jasa yang divisinya terpisah.
13
2.5 Ekosistem Sungai
2.5.1 Pengertian Sungai
Sungai merupakan jalan air alami, mengalir menuju samudera, danau atau
laut, atau ke sungai yang lain. Pada beberapa kasus, sebuah sungai secara
sederhana mengalir meresap ke dalam tanah sebelum menemukan badan air
lainnya. Selain itu, sungai juga tempat air hujan turun di daratan untuk mengalir
ke laut atau tampungan air yang besar seperti danau. Sungai terdiri dari beberapa
bagian, bermula dari mata air yang mengalir ke anak sungai. Beberapa anak
sungai akan bergabung untuk membentuk sungai utama. Aliran air biasanya
berbatasan dengan kepada saluran dengan dasar dan tebing di sebelah kiri dan
kanan. Penghujung sungai di mana sungai bertemu laut dikenali sebagai muara
sungai.1
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011, sungai adalah
tempat-tempat dan wadah-wadah serta jaringan pengaliran air mulai dari mata air
sampai muara dengan dibatasi pada kanan kirinya serta sepanjang pengalirannya
oleh garis sempadan. Daerah Aliran Sungai adalah suatu wilayah daratan yang
merupakan satu kesatuan, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari
curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan
pemisah topografis dan batas laut sampai dengan daerah perairan yang masih
terpengaruh aktivitas daratan.
2.5.2 Fungsi dan Manfaat Sungai
Pemanfaatan sumberdaya alam seperti sungai, masyarakat dituntut untuk
memperhatikan tiga aspek secara menyeluruh, yaitu aspek sosial budaya, aspek
kelestarian lingkungan, dan aspek ekonomi. Ketiga aspek tersebut akan menjadi
satu kesinambungan yang penting terjaga bagi pemanfaatan fungsi sungai yang
tepat. Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1991
Tentang Sungai menyatakan bahwa bahwa sungai sebagai sumber air yang sangat
penting fungsinya dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat dan meningkatkan
pembangunan nasional.
Menurut Kementerian Lingkungan Hidup (2010) dalam Naditia (2011),
manfaat sungai bagi manusia adalah sebagai berikut:
1http://id.wikipedia.org/wiki/Sungai. Diakses tanggal 22 April 2012
14
a Sumber air baku air minum (PDAM).
b Sumber air bagi pengairan wilayah pertanian atau irigasi.
c Sumber tenaga listrik untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).
d Tempat untuk mengembangbiakkan dan menangkap ikan guna memenuhi
kebutuhan manusia akan protein hewani.
e Tempat rekreasi, melihat keindahan air terjun.
f Tempat berolahraga, seperti berperahu pada arus deras, lomba dayung.
g Tempat untuk memenuhi kebutuhan air untuk memenuhi kebutuhan
penduduk yang tinggal di tepi sungai, seperti mencuci, mandi, dsb.
h Sarana pendidikan dan penelitian.
i Sumber plasma nutfah (keanekaragaman hayati).
j Tempat ritual kebudayaan.
k Air baku industri dan pertambangan.
l Sumber tambang galian C (pasir, kerikil).
m Penggelontoran.
n Transportasi air.
o Pengendali banjir.
p Pasar terapung.
2.6 Teori Pengetahuan Lokal Bagi Pengelolaan Perikanan
Adat adalah kebiasaan masyarakat, dan kelompok-kelompok masyarakat
yang lambat laun menjadikan adat itu berlaku bagi semua anggota masyarakat
dengan dilenkapi sanksi, sehingga menjadi hukum adat (Setiady 2008 dalam
Adrianto, et al 2011). Menurut Wignjodipoero (1967) dalam Adrianto, et al
(2011) meyatakan hukum adat memiliki dua unsur yaitu : (1) unsur kenyataan,
bahwa adat itu dalam keadaan yang sama selau diindahkan oleh rakyat; dan (2)
unsur psikologis yang menyatakan bahwa terdapat keyakinan pada rakyat, artinya
adat mempunyai kekuatan hukum. Hukum adat di Indonesia umumnya
menunjukan corak-corak sebagai berikut, yaitu : (1) tradisional (turun temurun);
(2) keagamaan (magis religius); (3) kebersamaan; (4) konkret dan visual ;(5)
terbuka dan sederhana;(6) dapat berubah dan menyesuaikan; (7) tidak
dikodifikasi; dan (8) mengutamakan musyawarah dan mufakat. Menurut
15
Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 4 Tahun 2012 tentang
Pengelolaan dan Perlindungan Sumberdaya Ikan Pasal 1 ayat 35 menyatakan
kearifan lokal adalah gagasan-gagasan masyarakat setempat yang bersifat
bijaksan, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertana dan diikuti oleh anggota
masyarakat.
Pengetahuan lokal masyarakat meliputi segenap pengetahuan tentang hal-
hal-hal yang terkait dengan lingkungan hingga pengetahuan sosial, politik dan
geografis. Menurut Ruddle (2000) dalam Adrianto, et al (2011) menyatakan
bahwa praktik pengelolaan perikan berbasis pengetahuan lokal/adat paling tidak
memiliki empat ciri. Pertama, praktek ini sudah berlangsung lama, empiris dan
dilakukan di suatu tempat (spesifik terhadap lokasi tertentu), mengadopsi
perubahan-perubahan lokal, dan dalam beberapa hal sangat detil. Kedua,
berorientasi pada perilaku masyarakat, tidak jarang spesifik untuk tipe
sumberdaya dan jenis ikan tertentu yang dianggap sangat penting. Ketiga, bersifat
struktural, memiliki perhatian yang kuat terhadap sumberdaya dan lingkungan
sesuai konsep ekologis dan biologis. Keempat, sangat dinamik sehingga adaptif
terhadap perubahan dan tekanan-tekanan ekologis dan kemudian mengadopsi
adaptasi terhadap perubahan tersebut ke dalam inti dari pengetahuan lokal yang
menjadi pengetahuan lokal yang menjadi basis pengelolaan perikanan.
2.7 Jenis Ikan dalam Pengelolaan Ikan Larangan
Berdasarkan hasil penelitian Hendrik (2007), jenis ikan yang terdapat pada
wilayah ikan larangan merupakan jenis ikan garing dengan nama ilmiah Tor sp.
Ikan garing merupakan ikan yang hidup pada perairan air tawar yang airnya
mengalir, jernih dan terlindung.untuk mewujudkan kondisi perairan tersebut
diperlukan perlindungan seperti tidak boleh menebang pohon, mengambil batu
danpasir diperairan tersebut. Jenis ikan garing dikenal juga dengan ikan semah.
Ikan yang masih sekerabat dengan ikan mas ini populer sebagai bahan pangan
kelas tinggi, dan yang biasa dijumpai dan dikonsumsi di Indonesia dan Malaysia
adalah Tor douronesis (semah biasa), T. tambra (tambra), T. tambroides (tambra),
16
dan T. soro (kancera). Ikan tambra dan semah dapat mencapai panjang sekitar satu
meter, walaupun tangkapan yang dijual biasanya berukuran maksimum 30 cm.2
Ikan ini hidup di sungai-sungai beraliran deras di pegunungan dan populasi
sangat terancam akibat penangkapan berlebihan. Indikasi yang terlihat adalah
semakin jarang terlihat, ukuran tangkapan semakin kecil, dan distribusi menurun.
Bahkan telah dilaporkan pula penangkapan di beberapa taman nasional. Pihak
berwenang di Indonesia (Balai Benih Ikan lokal), seperti di Jawa Tengah, Padang
Pariaman, dan beberapa kabupaten pedalaman Jambi telah mulai mengembangkan
teknologi pembiakan menggunakan pemijahan buatan dan paket budidaya.
Selain itu, di Padang Pariaman aturan adat setempat juga ditegakkan dengan
pemberlakuan zona larangan, penyangga, dan penangkapan. Penangkapan hanya
dilakukan apabila terdapat izin dari kerapatan adat. Pengembangan pengelolaan
ikan larangan saat ini tidak hanya pada jenis ikan garing tetapi jenis ikan mas
(Cyprinus carpio) dan ikan nila juga dikembangkan.
2.8 Penelitian Terdahulu
Berdasarkan hasil studi dari beberapa penelitian terdahulu, diperoleh hasil
kajian mengenai pengelolaan ikan larangan. Beberapa penelitian sebagai berikut :
Pahlevy (2002), dengan hasil penelitian berjudul “Ikan Diniatkan and Ikan
Larangan : Areas of Traditional Fish Cultivation in Districs of Pasaman and
Padang Pariaman, West Sumatera Province”. Penelitian ini menyatakan bahwa
adanya peran lembaga adat, kelembagaan informal dan lembaga desa yang ada di
masyarakat Pasaman dan Padang Pariaman dalam mengembangkan ikan larangan.
Kesinambungan daerah Ikan Diniatkan dan Ikan Larangan ditentukan oleh desa-
desa melalui lembaga pemimpin adat. Penelitian menunjukkan bahwa daerah Ikan
Diniatkan dan Ikan Larangan membentuk batas-batas wilayah yang jelas yang
diakui oleh desa. Pengelolaan daerah Ikan Diniatkan dan Ikan Larangan didukung
oleh masyarakat karena memiliki dampak positif pada kesejahteraan masyarakat.
Selain itu, sistem manajemen di kedua daerah telah diberlakukan untuk waktu
yang lama dan telah lulus dari satu generasi ke generasi yang lain. Sistem ini
2 http://id.wikipedia.org/wiki/ikan semah. Diakses tanggal 10 Agustus 2013
17
efisien dan efektif serta masih ada. Pemerintah daerah juga telah memberikan
bantuan teknis yang sama untuk meningkatkan manajemen di dua daerah.
Suhana (2008b), dengan judul penelitian “Pengakuan Keberadaan Kearifan
Lokal Lubuk Larangan Indarung, Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau
Dalam Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup”. Penelitian ini
menyampaikan bahwa sistem pengelolaan perikanan di perairan umum
dipengaruhi oleh adanya peranan masyarakat hukum adat yaitu kelompok
masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu
karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan
lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi,
politik, sosial, dan hukum. Dalam makalah ini, tatanan kelembagaan sosial
tradisional yang hidup di lingkungan masyarakat perikanan kabupaten Kuantan
Singingi Provinsi Riau bisa dikembangkan, dan diakui keberadaannya dalam
sistem hukum dan aturan-aturan (rules) sistem pengelolaan wilayah perairan
umum.
Parwati, et al (2012), dengan penelitian berjudul “Nilai Pelestarian
Lingkungan dalam Kearifan Lokal Lubuk Larangan Ngalau Agung di Kampuang
Surau, Kabupaten Dhamasraya, Provinsi Sumatera Barat”. Penelitian ini bertujuan
untuk mengidentifikasi nilai-nilai pelestarian lingkungan yang terkandung dalam
kearifan lokal Lubuk Larangan Ngalau Agung tersebut. Hasil penelitian ini
menyimpulkan bahwa: (1) Lubuk Larangan Ngalau Agung memiliki batas areal
tidak boleh diganggu masyarakat memberikan dampak positif pada pelestarian
lingkungan; (2) Nilai pelestarian lingkungan dalam pelaksanaan kearifan lokal
Lubuk Larangan Ngalau Agung berupa tidak boleh menyakiti ikan, tidak boleh
mengambil ikan,kecuali hari tertentu yang ditetapkan bersama, tidak boleh
menganggu ikan, tidak boleh berkata tidak baik (takabur) disekitar lokasi lubuk
larangan, dan tidak boleh berlaku tidak baik di lokasi lubuk larangan.
Berdasarkan ringkasan hasil penelitian terdahulu maka hasil penelitian
yang saya lakukan memiliki perbedaan diantaranya perbedaan lokasi dan adanya
aspek biaya pengelolaan ikan larangan yang jelas serta peranan dan pemetaan
aktor yang jelas dalam penelitian yang saya lakukan.
18
III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1 Analisis Aktor Pengelola Ikan Larangan
Aktor merupakan kelompok atau individu yang mempengaruhi atau
dipengaruhi oleh suatu pencapaian tujuan tertentu (Freeman, 1984). Analisis aktor
digunakan untuk mengidentifikasi dan memetakan aktor (terkait dengan pengaruh
dan kepentingan) dalam pengelolaan dan pemanfaatan ikan larangan di Desa
Sungai Pasak.Analisis aktor merupakan suatu pendekatan untuk meningkatkan
pemahaman terhadap suatu sistem melalui identifikasi aktor kunci atau
stakeholder pada suatu sistem dan menduga peranannya pada sistem tersebut
(Grimble dan Chan 1995 diacu dalam Haswanto 2006). Identifikasi dan pemetaan
aktor dilakukan melalui wawancara dengan panduan wawancara. Pengolahan data
kualitatif dari hasil wawancara dikuantitatifkan dengan mengacu pada pengukuran
data berjenjang lima (Tabel 1).
Tabel 2 Ukuran kuantitatif terhadap identifikasi dan pemetaan aktor
Skor Nilai Kriteria Keterangan
Kepentingan Aktor
5 17-20 Sangat tinggi Sangat bergantung pada keberadaan sumberdaya
4 3-16 Tinggi Ketergantungan tinggi pada keberadaan
sumberdaya
3 9-12 Cukup tinggi Cukup bergantung pada keberadaan sumberdaya
2 5-8 Kurang tinggi Ketergantungan pada keberadaan sumberdaya
kecil
1 0-4 Rendah Tidak bergantung pada keberadaan sumberdaya
Pengaruh Aktor
5 17-20 Sangat tinggi Jika responnya berpengaruh nyata terhadap
aktivitas aktor lain
4 13-16 Tinggi Jika respon berpengaruh besar terhadap aktivitas
aktor lain
3 9-12 Cukup tinggi Jika responnya cukup berpengaruh terhadap
aktivitas aktor lain
2 5-8 Kurang tinggi Jika responnya berpengaruh kecil terhadap
aktivitas aktor lain
1 0-4 Rendah Jika responnya tidak berpengaruh terhadap
aktivitas aktor lain
Sumber : Abbas (2005) dalam Haswanto (2006)
Langkah-langkah dalam melakukan analisis aktor adalah:
1 Identifikasi aktor
2 Membuat tabel aktor
19
3 Menganalisis pengaruh dan kepentingan aktor
4 Membuat aktor grid
Setelah diketahui nilai dari tingkat kepentingan dan pengaruh yang
dimiliki masing-masing aktor maka dapat dipetakan ke dalam matriks analisis
aktor pada Gambar 1.
Gambar 1 Matriks analisis aktor (Aktor grid)
Kuadran I (subjek) menunjukan kelompok aktor yang memiliki
kepentingan yang tinggi terhadap kegiatan tetapi rendah pengaruhnya. Kuadran II
(pemain) merupakan kelompok aktor yang memiliki derajat pengaruh dan
kepentingan yang tinggi untuk mensukseskan kegiatan. Kuadran III (penonton)
merupakan kelompok aktor yang rendah pengaruh dan kepentingannya.
Kepentingan mereka dibutuhkan untuk memastikan kepentingan nya tidak
terpengaruh dan pengaruhnya tidak mengubah keadaan. Kuadran IV (aktor)
merupakan aktor yang terpengaruh tapi rendah kepentingan dalam tujuan dan
hasil kebijakan (Suhana 2008). Tabel parameter dan indikator analisis aktor
pengelola ikan larangan Desa Sungai Pasak dapat dilihat pada Lampiran 3.
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional
Ikan larangan di Sumatera Barat merupakan tradisi budidaya ikan yang
dilakukan di perairan umum yang dikelola bersama oleh masyarakat. Ikan
larangan adalah sebuah komitmen bersama untuk memelihara sungai sebagai
pusat kegiatan masyarakat. Komitmen bersama masyarakat untuk memelihara
sungai tersebutlah yang menjadikan ikan larangan terus berkembang hingga saat
PENGARUH RENDAH
TINGGI
Kuadran I Kuadran II
(Subjek) (Pemain)
Kuadran III Kuadran IV
(Penonton) (Aktor)
K
E
P
E
N
T
I
N
G
A
N
TINGGI
20
ini. Hal terpenting yang bisa dipelajari dari tradisi ini adalah kemampuan
masyarakat sebuah jorong (wilayah hunian di bawah nagari) dalam menjaga nilai-
nilai musyawarah dan keajegan ekosistem perairan di wilayah mereka. Sebab
dalam proses pembukaan ikan larangan, mufakat dan kesediaan mematuhi aturan
nagari merupakan unsur yang utama.
Dengan menggunakan analisis aktor, penelitian ini akan mencoba untuk
menggambarkan bagaimana posisi tokoh pengelola berdasarkan pengaruh dan
kepentingan yang dimiliki, penelitian ini juga mendeskripsikan bentuk aturan
main (rule) yang terdapat dalam pengelolaan sumberdaya ikan dalam ikan
larangan di Desa Sungai Pasak. Selain itu, penelitian ini juga menganalisis biaya
transaksi pengelolaan ikan larangan serta manfaat pengelolaan ikan larangan
tersebut sehingga ikan larangan dapat dijadikan salah satu alternatif pengelolaan
sumberdaya ikan. Kerangka operasional dari penelitian ini adalah sebagai berikut
(Gambar 2).
21
Gambar 2 Kerangka Pemikiran Operasional
Memanfaatkan dan mengembangkan
sumberdaya perairan umum melalui
perikanan
Pengelolaan sumberdaya perikanan
melalui kearifan lokal
Pengelolaan ikan larangan Desa Sungai
Pasak
Pengelola ikan larangan
Desa Sungai Pasak Aturan pengelolaan ikan
larangan
Identifikasi aktor
Kepentingan dan
pengaruh aktor
Kinerja kelembagaan
pengelolaan ikan
larangan
Manfaat ikan
larangan
Biaya
transaksi
Rekomendasi alternatif pengelolaan sumberdaya
perikanan
22
IV METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Sungai Pasak, Kecamatan Pariaman Timur,
Kota Pariaman, Provinsi Sumatera Barat. Lokasi penelitian ini ditentukan secara
sengaja karena Desa Sungai Pasak memiliki kawasan ikan larangan. Masyarakat
Desa Sungai pasak masih memelihara kultur pengelolaan sumberdaya ikan
dengan sistem ikan larangan. Waktu yang digunakan untuk pengambilan data
primer dilaksanakan pada bulan Februari dan Maret 2013.
4.2 Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer dalam penelitian ini diperoleh langsung dari informan
kunci (key informant) dengan menggunakan panduan wawancara dengan daftar
pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya dan hasil pengamatan langsung
dilapangan (observasi). Data sekunder, yang dikumpulkan dari instansi
pemerintah dan lembaga berupa laporan-laporan, arsip dan dokumentasi yang
terkait dengan ikan larangan.
4.3 Metode Pengambilan Sampel
Penelitian ini menggunakan informan dan responden sebagai sumber data
primer. Informan adalah pihak-pihak yang berpotensi memberikan informasi
mengenai objek penelitian. Teknik pemilihan informan menggunakan snowball
sampling sebanyak 7 orang. Sedangkan responden adalah masyarakat Desa
Sungai Pasak. Selain itu, teknik pemilihan responden dengan teknik purposive
sampling dengan responden sebanyak 40 responden. Responden berasal dari
masyarakat yang tinggal dekat dengan area ikan larangan.
4.4 Metode dan Prosedur Analisis
Data yang diperoleh dalam penelitian antara lain adalah data kualitatif dan
kuantitatif yang menggunakan kuesioner. Pengolahan data dengan terlebih dahulu
23
melakukan pengkodean. Kegiatan ini bertujuan untuk penyeragaman data.
Setelah pengkodean, tahap selanjutnya adalah perhitungan persentase jawaban
responden dan dipresentasikan dalam bentuk analisis deskriptif berupa tabel
frekuensi, grafik, ukuran pemusatan, dan ukuran penyebaran. Pengolahan dan
analisis data dilakukan secara manual dan menggunakan komputer dengan
program Microsoft Excel 2007 dan aplikasi Graph. Berikut ini matriks
keterkaitan antara tujuan penelitian, sumber data dan metode analisis data yang
digunakan dalam penelitian.
Tabel 3 Matriks keterkaitan antara tujuan penelitian, parameter atau indikator,
dan analisis data No Tujuan Penelitian Parameter atau indikator Metode Analisis Data
1 Menganalisis
kelembagaan
pengelolaan ikan
larangan
Identifikasi kelembagaan
meliputi:
a. Identifikasi aktor dan
peranannya dalam
pengelolaan Ikan
larangan Desa Sungai
Pasak
b. Tata kelola Ikan larangan
Desa Sungai Pasak
Berkaitan dengan aturan
main yang terdiri dari
aturan-aturan
pengelolaan Ikan
larangan (boundary
rule, monitoring, sanksi,
dan aturan penyelesaian
konflik)
Analisis aktor
Analisis mengenai
aturan (boundary rules,
sanksi dan monitoring)
2 Menganalisis kinerja
kelembagaan
pengelolaan ikan
larangan
a. Kejelasan kelembagaan :
struktur, aturan, dan
pengetahuan anggota
tentang kelembagaan
pengelola ikan larangan
b. Keefektifan kelembagaan:
Partisipasi dalam
kelembagaan dan
efektifitas kelembagaan
Analisis deskriptif
3 Menganalisis biaya
pengelolaan ikan
larangan
Biaya transaksi berupa
biaya persiapan dan biaya
operasional kelembagaan
Analisis biaya transaksi
4 Mendeskripsikan
manfaat dari
pengelolaan ikan
larangan
Identifikasi manfaat
pengelolaan ikan larangan
berdasarkan dampak yang
diterima masyarakat Desa
sungai Pasak baik segi
ekonomi, sosial maupun
ekologi/ lingkungan.
Analisis deskriptif dan
Skala Likert
24
4.4.1 Analisis Kelembagaan dan Tata Kelola Ikan Larangan
Analisis deskriptif digunakan untuk mengidentifikasi karakteristik dan
aturan masyarakat dalam mengelola sumberdaya ikan di sungai seperti ikan
larangan di Desa Sungai Pasak, Kecamatan Pariaman Timur. Analisis ini meliputi
beberapa parameter yang bersifat kualitatif. Analisis deskriptif adalah suatu
metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set
kondisi, suatu sistem pemikiran maupun suatu kelas peristiwa pada masa
sekarang. Tujuannya adalah membuat suatu deskripsi, gambaran, atau lukisan
secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta antara
fenomena yang diselidiki.
Kelembagaan dalam pengelolaan ikan larangan dalam konteks penelitian
ini merupakan kelembagaan yang mengatur aktivitas dalam mengelola
sumberdaya ikan yang terdapat dalam area sungai dan aliran irigasi yang telah
ditetapkan sebagai area ikan larangan. Selain itu, kelembagaan ini berperan
dalam mengawasi pemeliharaan ikan, mengatur waktu yang tepat untuk
mengambil ikan, serta mengatur hal-hal yang diperbolehkan dan tidak
diperbolehkan untuk dilakukan di area ikan larangan.
Beberapa atribut yang digunakan dalam menganalisis kelembagaan ikan
larangan adalah: Pertama, aktor dalam kelembagaan dianalisis dengan
mengidentifikasi struktur kelembagaan yang ada pada ikan larangan Desa Sungai
Pasak. Kemudian masing-masing aktor tersebut diidentifikasikan peran dimiliki
dalam kelembagaan.Kedua, aturan kelembagaan diklasifikasikan dalam empat
bagian yaitu: (1) boundary rule mengenai tata aturan yang terdapat dalam
kelembagaan; (2) aturan akses terhadap sumberdaya yang dikelola bersama-
sama; (3) monitoring dan sanksi dalam setiap pelanggaran yang dilakukan; serta
(4) aturan dalam setiap penyelesaian konflik yang terjadi dalam lingkup
kelembagaan.
Setelah mengetahui aktor atau tokoh pengelola ikan larangan maka
berdasarkan peran yang dimiliki masing-masing tokoh perlu dipetakan ke dalam
aktor grid. Berdasarkan hasil pemetaan akan terlihat tokoh mana yang berperan
sebagai subjek, pemain, penonton dan aktor. Pemetaan tokoh memperlihatkan
pengaruh dan kepentingan dari masing-masing tokoh pengelola ikan larangan.
25
4.4.2 Analisis Kinerja Kelembagaan
Kinerja kelembagaan didefinisikan sebagai kemampuan suatu kelembagaan
untuk menggunakan sumberdaya yang dimilikinya secara efisien dan
menghasilkan output yang sesuai dengan tujuannya dan relevan dengan
kebutuhan pengguna (Peterson, 2003) dalam Syahyuti (2004). Analisis kinerja
kelembagaan teori keempat dari teori Mackay et al (1998) dalam Syahyuti(2004).
Penelitian ini hanya melihat kinerja kelembagaan berdasarkan kejelasan
kelembagaan dalam mencapai outcome dan efektivitas kinerja kelembagaan.
Penilaian ini ditujukan untuk menganalisis keberlanjutan pengelolaan ikan
larangan Desa Sungai Pasak. Tabel parameter analisis kinerja kelembagaan
dalam penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 4.
4.4.3 Analisis Biaya Transaksi
Dalam pengelolaan ikan larangan secara umum memiliki biaya transaksi
berupa biaya pemeliharaan ikan larangan, biaya pada saat pembukaan atau
pemanenan ikan larangan dan lain-lain. Biaya transaksi tersebut termasuk
kedalam biaya transaksi manajemen. Menurut Furubotn & Richter (2000) dalam
Suhana (2008a) biaya transaksi secara umum mencakup biaya transaksi
manajemen dan biaya transaksi politik.
Persamaan yang digunakan untuk biaya transaksi dalam kelembagaan ikan
larangan Desa Sungai Pasak adalah:
TrC=∑Sij..........................................................................................................................................................(1)
Keterangan:
TrC : Total Biaya Transaksi Pengelolaan wilayah ikan larangan
Sij : Komponen Biaya Transaksi Pengelolaan wilayah ikan larangan
Analisis biaya transaksi pada penelitian ini lebih difokuskan pada biaya
menjalankan organisasi seperti biaya pengambilan keputusan dan biaya
operasional bersama yang meliputi biaya tutup untuk penetapan lokasi ikan
larangan serta biaya pada waktu ikan larangan dibuka atau dipanen.
4.4.4 Analisis Persepsi Masyarakat Mengenai Manfaat Pengelolaan Ikan
Larangan
Kelembagaan pengelolaan sumberdaya ikan melalui ikan larangan
merupakan salah satu upaya untuk mencapai pembangunan berkelanjutan yang
26
memadukan aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi
pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup generasi masa kini dan
generasi masa depan. Untuk itu diperlukan mengidentifikasi manfaat apa yang
terkait pengelolaan ikan larangan tersebut melalui penilaian persepsi responden.
Data yang digunakan untuk menganalisis manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan
dari pengelolaan ikan larangan adalah data primer melalui observasi dan
wawancara. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan skala Likert.
Skala Likert merupakan metode untuk mengukur luas/dalamnya persepsi
dan pendapat dari responden. Dalam metode ini sebagian besar pertanyaan
dikumpulkan, setiap pertanyaan disusun sedemikian rupa sehingga bisa dijawab
dalam lima tingkatan jawaban (Gumilar, 2012). Urutan untuk skala Likert
menggunakan lima angka penilaian, yaitu (1) sangat setuju (SS, bobot 5), (2)
setuju (S, bobot 4), (3) netral/ abstain (A, bobot 3), (4) tidak setuju (TS, bobot 2),
dan (5) sangat tidak setuju (STS, bobot 1).
Menurut Riduwan dan Sunarto (2007) cara menghitung skor dari pernyataan
yang dinilai menggunakan skala likert adalah setiap skor jawaban yang dijawab
responden dikalikan dengan jumlah responden yang menjawab pernyataan
tersebut. Misalkan dari 70 responden yang digunakan dalam menilai suatu aspek,
berikut rangkuman hasil penilaian menjawab (5) = 2 orang, menjawab (4) = 8
orang, menjawab (3) = 15 orang, menjawab (2) = 25 orang, dan menjawab (1) =
20 orang. Maka jumlah skor untuk yang menjawab (5) = 2 x 5 = 10, skor yang
menjawab (4) = 8 x 4 = 32, dan seterusnya hingga jawaban skala 1.
Interpretasi skor perhitungan dilakukan dengan menghitung skor ideal yaitu
5 x 70 = 350 dan skor terrendah 1 x 70 = 70. Jadi, jika total skor penilaian di
peroleh angka 157, maka penilaian responden adalah : (157/350) x 100% =
44.86%, atau bisa dikategorikan sebagai cukup. Berikut kriteria interpretasi skor :
- Angka 0% – 20% = Sangat lemah
- Angka 21% – 40% = Lemah
- Angka 41% – 60% = Cukup
- Angka 61% – 80% = Kuat
- Angka 81% – 100%= Sangat kuat
27
Berikut matriks analisis manfaat dari pengelolaan ikan larangan dari aspek
ekonomi, sosial dan lingkungan:
Tabel 4 Matriks Analisis Manfaat Pengelolaan Ikan Larangan
Aspek Indikator
1. Ekonomi
2. Sosial
3. Lingkungan
Manfaat ekonomi yang dirasakan masyarakat dari
pengelolaan ikan larangan adalah:
a. Meningkatkan pendapatan masyarakat
b. Menjaga ketersediaan sumberdaya ikan untuk
konsumsi
c. Sebagai sumber pendanaan desa
d. Sebagai alternatif wisata/hiburan
Manfaat sosial yang dirasakan oleh masyarakat dari
pengelolaan ikan larangan adalah:
a. Terbinanya kerukunan bermasyarakat
b. Meningkatkan kedisiplinan di masyarakat
c. Sebagai warisan budaya
d. Mendorong terwujudnya kemandirian ekonomi
Manfaat ikan larangan dari aspek lingkungan meliputi:
a. Mencegah kerusakan lingkungan
b. Menjaga kelestarian jenis ikan lokal
c. Menjaga sumber air bersih
d. Sebagai salah satu bentuk pelestarian lingkungan
e. Sebagai sarana melindungi spesies ikan lokal (ikan
garing)
Sumber : Data primer (2013)
28
V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
5.1 Kondisi Topografi
Desa Sungai Pasak merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan
Pariaman Timur, Kota Pariaman, Provinsi Sumatera Barat. Secara georafis Desa
Sungai Pasak terletak antara 100°9'12'' BT dan 1°24'13'' LS. Desa ini berada pada
ketinggian 5 mdpl dengan luas wilayah sebesar 165 Ha. Suhu rata-rata Desa
Sungai Pasak berada sekitar 30 derajat celcius. Secara administrasi Desa Sungai
Pasak berbatasan dengan 4 desa, yaitu:
- Sebelah Utara : Desa Talago Sarik, Kecamatan Pariaman Timur.
- Sebelah Selatan : Desa Kajai, Kecamatan Pariaman Timur.
- Sebelah Barat : Desa Sungai Sirah, Kecamatan Pariaman Timur.
- Sebelah Timur : Desa Air Santok, Kecamatan Pariaman Timur.
Desa Sungai Pasak terletak pada dataran rendah yang terdiri dari wilayah
daratan bukan pantai. Secara umum, kondisi lingkungan di Desa Sungai Pasak
relatif masih alami. Terlihat dari ketersediaan kawasan (tata ruang desa) dimana
kawasan pemukiman yang digunakan sebesar 65 ha dan kawasan pertanian
sebesar 85 ha. Desa ini berjarak 5 km dari Kota Pariaman dengan waktu tempuh
15 menit. Sedangkan untuk menempuh Kota Padang, ibukota provinsi
membutuhkan waktu selama 1 jam 30 menit dengan jarak sekitar 50 km.
Akses lalu lintas kendaraan menuju desa ini tidak begitu sulit tetapi jumlah
kendaraan menuju desa tersebut masih terbatas. Kendaraan yang banyak
digunakan untuk menempuh desa ini adalah ojek. Hal ini dikarenakan belum
adanya trayek angkutan desa yang melalui desa ini, walaupun kondisi jalan telah
layak untuk dilalui angkutan. Jalan menuju desa ini baik dan telah diaspal.
5.2 Kondisi Demografi
Desa Sungai Pasak dihuni oleh enam kelompok suku yang merupakan
bagian dari suku-suku dalam adat Minangkabau. Keenam suku tersebut adalah
Suku Tanjuang, Suku Jambak, Suku Sikumbang, Suku Caniago, Suku Piliang, dan
Suku Koto dimana keenam suku tersebut tersebar merata di seluruh Desa Sungai
Pasak. Selain itu secara administrasi desa ini terdiri dari empat dusun yaitu Dusun
29
Sungai Pasak Utara, Dusun Sungai Pasak Selatan, Dusun Sungai Pasak Timur dan
Dusun Sungai Pasak Barat. Posisi desa dikelilingi oleh lahan sawah pertanian,
sungai, serta saluran (banda) irigasi untuk pengairan sawah.
Berikut gambaran jumlah penduduk Desa Sungai Pasak menurut tingkat
usia dan jenis kelamin, kelompok tenaga kerja dan menurut tingkat pendidikan
dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 5 Data penduduk Desa Sungai Pasak
No Penduduk Desa Sungai Pasak Jumlah (dalam Jiwa) Persentase (%)
1
Rasio Jenis Kelamin
a. Laki-laki
b. Perempuan
Total
510
562
1072
47,57
52,43
100
2 Rasio Tingkat Usia
a. 0-4 Tahun
b. 5-6 Tahun
c. 7-12 Tahun
d. 13-15 Tahun
e. 16-18 Tahun
f. 19-25 Tahun
g. 26-34 Tahun
h. 35-49 Tahun
i. 50-54 Tahun
j. 55-59 Tahun
k. 60-64 Tahun
l. 65-69 Tahun
m. > 70 Tahun
Total
98
32
112
76
56
122
138
201
60
55
32
27
63
1072
9,14
2,99
10,45
7,09
5,22
11,38
12,87
18,75
5,59
5,13
2,99
2,52
5,88
100
3 Tingkat Pendidikan
a. Taman Kanak-kanak
b. Sekolah Dasar
c. SLTP
d. SLTA
e. Perguruan Tinggi
Total
15
189
141
208
73
626
2,40
30,19
22,52
33,23
11,66
100
4 Kelompok Usia Tenaga Kerja
a. 15-19 tahun
b. 20-26 Tahun
c. 27-40 Tahun
d. 41-56 Tahun
e. > 57 Tahun
Total
106
118
199
206
150
779
13,61
15,15
25,55
26,44
19,25
100
5 Agama
- Islam
- Non Islam
1072
0
100,00
Sumber: Data Kependudukan Kantor Desa Sungai Pasak 2012
30
Berdasarkan data monografi desa tahun 2012, jumlah penduduk Desa
Sungai Pasak sekitar 1.072 jiwa yang terbagi dalam 268 kepala keluarga dengan
jumlah penduduk laki-laki adalah 510 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak
562 jiwa. Penyebaran penduduk pada tiap-tiap dusun hampir merata dengan
komposisi jumlah laki-laki dan perempuan seimbang. Dalam profil Desa Sungai
Pasak tahun 2012 penduduk terbagi berdasarkan tingkat usia dan jenis kelamin,
kelompok tenaga kerja dan menurut tingkat pendidikan.
Berdasarkan kategori tingkatan usia penduduk Desa Sungai Pasak
dikelompokkan menjadi 13 kelompok usia. Sebaran terbanyak berada pada
kelompok usia 35-49 tahun. Hal ini menandakan bahwa penduduk Desa Sungai
Pasak memiliki jumlah penduduk dewasa produktif cukup tinggi yang juga
berkaitan dengan kelompok usia tenaga kerja. Jika dilihat dari tingkat pendidikan,
sebanyak 33,23% penduduk Desa Sungai Pasak telah mengenyam pendidikan
sekolah menengah atas. Penduduk Desa Sungai Pasak 100% menganut agama
Islam.
5.3 Sarana dan Prasarana Desa
Desa Sungai Pasak merupakan salah satu desa yang berada dalam wilayah
Kecamatan Pariaman Timur, Kota Pariaman. Akses terhadap desa sudah cukup
baik karena jalan-jalan menuju desa telah di aspal. Namun, untuk kendaraan
angkutan umum ke desa memang tidak ada, masyarakat desa terbiasa untuk
menggunakan kendaraan pribadi, seperti sepeda, sepeda motor ataupun ojek.
Meskipun demikian, kegiatan masyarakat sehari-hari ditunjang berbagai fasilitas
yang cukup memadai. Program pembangunan desa dari pemerintah telah
memberikan pembangunan bagi sektor publik. Apabila dana dari pemerintah tidak
mencukupi maka secara swadaya masyarakat desa dapat membantu mencukupi
pembangunan sarana desa.
Sarana dan prasarana seperti pendidikan, peribadatan, air dan sanitasi,
kesehatan, dan olahraga tersedia. Sektor pendidkan terdapat satu Paud, satu
Sekolah Dasar (SD), dan satu TPA/TPSA. Terdapat satu masjid dan empat
mushola sebagai prasarana ibadah. Sedangkan prasarana kesehatan terdapat satu
posyandu dan satu puskesmas pembantu. Terdapat satu lapangan sepak bola untuk
prasarana olahraga (Data Monografi Desa Sungai Pasak 2012).
31
5.4 Mata Pencaharian
Mata pencaharian pokokDesaSungaiPasak terbesar yaitu di bidang pertanian
dan peternakan karena daerah ini sangat cocok untuk bertani dan ternak. Selain
itu, terdapat mata pencaharian lain di berbagai sektor. Berikut ini adalah tabel
jumlah penduduk berdasarkan mata pencahariannya.
Tabel 6 Jumlah Penduduk Desa Sungai Pasak Menurut Mata Pencaharian
No Jenis Mata Pencaharian Jumlah(Jiwa) Persentase
1 Petani 68 23,94
2 Peternak 83 29,23
3 Buruh Tani 14 4,93
4 Wiraswasta 38 13,38
5 Pertukangan 15 5,28
6 Pegawai negeri sipil 25 8,80
7 Swasta 36 12,68
8 Nelayan 1 0,35
9 Pensiunan 4 1,41
Total 284 100
Sumber: Data Kependudukan Kantor Desa Sungai Pasak 2012
Terdapat 284 jiwa (36,45%) dari usia produktif 779 jiwa jumlah penduduk
berusia 15-57 penduduk Desa Sungai Pasak yang mempunyai pekerjaan seperti
pada Tabel 5. Sebagian besar penduduk Desa Sungai Pasak mempunyai
pekerjaan sebagai petani dan peternak.
5.5 Sejarah Keberadaan Ikan Larangan Desa Sungai Pasak
Ikan Larangan merupakan salah satu bentuk dari kearifan lokal (adat dan
kebiasan) dari masyarakat Sumatera Barat (Minangkabau) untuk menjaga
kelestarian komunitas ikan di suatu perairan. Pengelolaan ikan larangan ini
menerapkan suatu aturan yang telah disepakati oleh para pemangku adat, ninik
mamak, alim ulama, perangkat nagari dan masyarakat nagari, dan siapa
melanggarnya akan dikenakan denda sesuai dengan yang telah ditetapkan
bersama. Konsep ini yang tetap dipertahankan masyarakat Desa Sungai Pasak,
Kecamatan Pariaman Timur, Kota Pariaman. Namun, seiring perkembangan
zaman masyarakat di desa ini mulai mengubah pola ikan larangan yang dahulunya
di uduah dan diniatkan dengan pengelolaan ikan larangan semi diniatkan dengan
pengelolaan budidaya ikan. Dalam perkembangannya ikan larangan yang terdapat
di Kota Pariaman dan sekitarnya yang ada saat ini adalah ikan larangan seperti
32
budidaya ikan dimana adanya kegiatan penebaran benih, pemeliharaan dalam
beberapa waktu kemudian dipanen.
Pengelolaan ikan larangan di Kota Pariaman masih dikelola oleh masyarakat
secara umum dibawah pengawasan pimpinan nagari/desa. Pimpinan nagari adalah
ninik mamak, alim ulama, dan cadiak pandai. Di ranah Minangkabau termasuk
Kota Pariaman pola kepemimpinan masih menganut sistem Tungku Tigo
Sajarangan yang merupakan sebuah kesatuan dari kepemimpinan ninik mamak
(adat istiadat), alim ulama (agama), dan cadiak pandai (ilmu
pengetahuan/pemerintahan). Ketiga bentuk kepemimpinan ini lahir dan ada, tidak
terlepas dari perjalanan sejarah masyarakat Minangkabau sendiri.
Desa Sungai Pasak, Kecamatan Pariaman Timur, Kota Pariaman merupakan
salah satu desa yang memiliki ikan larangan. Desa Sungai Pasak memiliki satu
sungai dengan panjang 1000 meter. Sejak tahun 1970 melalui musyawarah adat
ninik mamak, alim ulama, dan cadiak pandai beserta masyarakat desa telah
menetapkan sungai tersebut sebagai wilayah terlarang untuk diambil hasil ikannya
selama jangka waktu yang ditetapkan. Keputusan ini menjadikan ikan yang ada di
sungai desa sebagai ikan larangan. Sistem pengelolaan ikan larangan yang telah
diterapkan oleh masyarakat Desa Sungai Pasak merupakan sebuah kearifan
masyarakat yang partisipatif, adaptif dan berkelanjutan dalam pelestarian
sumberdaya perikanan sungai khususnya ikan lokal yaitu ikan garing (Tor sp).
Ikan larangan merupakan istilah bagi daerah sungai atau aliran air dimana
terdapat sumberdaya ikan baik alamiah maupun di tebar yang dilarang untuk
mengambil hasil ikan dari daerah tersebut. Akan tetapi masyarakat masih dapat
menggunakan air sungai untuk kegiatan lain tanpa mengganggu ikan yang
terdapat di sungai tersebut. Selain itu, untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan
di wilayah sungai tersebut masyarakat melarang menebang pohon disekitar daerah
ikan larangan tersebut karena ikan-ikan yang ada di wilayah ikan larangan dapat
memakan daun-daun pohon yang terjatuh ke sungai.Ikan yang terdapat di sungai
ini dapat diambil ketika telah ada keinginan dari masyarakat yang telah
diputuskan oleh ninik mamak, alim ulama, dan cadiak pandai dalam rapat
nagari/desa. Keinginan masyarakat untuk mengambil ikan biasanya tidak terlepas
dari kebutuhan desa, seperti untuk memperbaiki sarana ibadah di desa, atau untuk
33
kegiatan keagamaan seperti maulid nabi atau menjelang bulan ramadhan. Pada
awalnya pemanenan ikan yang dilakukan Desa Sungai Pasak terjadi satu kali
dalam setahun.
Menurut masyarakat desa, ikan larangan memiliki banyak manfaat
disamping untuk pembangunan desa, ikan larangan berdampak bagi lingkungan
dan dapat menjadi hiburan di desa. Besarnya manfaat yang diterima dari ikan
larangan tersebut membuat desa melakukan penambahan daerah untuk ikan
larangan tersebut. Hal ini dikarenakan Desa Sungai Pasak memiliki banda (aliran
air untuk irigasi pertanian) yang akhirnya dimanfaatkan juga sebagai daerah ikan
larangan. Ide memanfaatkan banda tersebut di awali dari wakaf yang diberikan
oleh seorang warga Desa Sungai Pasak. Pemberi wakaf tersebut memberikan
wakaf dalam bentuk semen untuk pembangunan mesjid Raya Sungai Pasak setiap
tahunnya.
Saat itu, mesjid dalam keadaan baik sehingga timbullah masukan dari
kepala desa untuk mengembangkan wakaf tersebut untuk ke pembangunan lain
namun dapat berkembang terus-menerus yang hasilnya masih dapat digunakan
untuk kepentingan Desa Sungai Pasak. Ide tersebut disambut baik oleh ninik
mamak, alim ulama, cadiak pandai dan masyarakat desa. Selain untuk
menyalurkan wakaf dari warga, penggunaan banda sebagai banda larangan untuk
mengembangkan ekonomi produktif di Desa Sungai Pasak. Ekonomi produktif
yang dimaksud adalah bagaimana cara masyarakat dapat memikirkan
perekonomian desa dan juga mengembangkan potensi desa. Setelah
dimusyawarahkan maka ditetapkan oleh ninik mamak bahwa banda irigasi desa
digunakan sebagai daerah ikan larangan (banda larangan). Kesepakatan tersebut
ditetapkan tahun 1987.
Sejak tahun 1987 daerah ikan larangan di Desa Sungai Pasak menjadi dua
wilayah yaitu di sungai dan banda. Hasil dari kedua wilayah tersebut terus
meningkat. Keberadaan ikan larangan di Desa Sungai Pasak sejak awal diatur oleh
ninik mamak, alim ulama, dan cadiak pandai yang ada di desa. Dalam
pengelolaan ikan larangan tersebut tentunya terdapat aturan yang mengatur
pengelolaan sumberdaya ikan dan air yang terdapat di desa tersebut. Pengelolaan
sistem ikan larangan diatur bersama dengan penerapan sanksi bagiyang
34
melanggar. Dimensi spiritual (agama dan kepercayaan) serta kepatuhan
terhadappemuka/kepala adat yang selalu menekankan tentang hubungan antara
manusia dan pencipta serta makhluk hidup lain sebagai bagian dari alam
menjadipijakan dalam pengelolaan ikan larangan. Sistem yang ada pada
masyarakat tradisional tersebut tidak lain adalah diperuntukan untuk menjaga
kelestarian lingkungan dan mengelola sumberdaya yang mereka miliki agar tetap
lestari dan dapat dimanfaatkanuntuk generasi penerus selanjutnya.
Berdasarkan keputusan bersama antara pemangku adat dan masyarakat
beserta perangkat pemerintahan desa, setelah tiga kali pembukaan ikan larangan di
Banda Larangan Desa Sungai Pasak maka dilakukan perubahan pola pengelolaan.
Dahulu ikan yang terdapat di banda dikelola sesuai dengan pengelolaan ikan di
sungai, yaitu ikan diniatkan. Namun, dilihat dari hasil yang diperoleh maka
diputuskan bahwa ikan yang ada di perairan umum Desa Sungai Pasak baik
sungai maupun banda tidak lagi diniatkan. Walaupun tidak diniatkan melalui
dimensi spiritual wilayah perairan umum desa masih ditetapkan sebagai Lubuk
dan Banda Larangan.
Keputusan tersebut diambil agar ikan yang berada di wilayah tersebut dapat
berkembang dengan baik. Dalam hal ini, pemuka adat hanya menyampaikan
bahwa wilayah tersebut dilarang menangkap ikan dengan cara apapun mulai dari
batasan wilayah yang telah ditetapkan serta bagi siapa yang menangkap ikan di
wilayah tersebut, maka akan mendapatkan resiko tersendiri. Aturan ini masih
berlaku hingga sekarang sehingga ikan larangan desa ini tetap terjaga.Ikan yang
berada dalam wilayah lubuk dan banda larangan Desa Sungai Pasak dibuka setiap
enam bulan sekali. Hal ini telah ditetapkan oleh pemuka adat dan masyarakat
desa. Keputusan musim buka dilakukan enam bulan sekali dengan alasan ikan
yang berada di lubuk dan banda biasanya telah besar dan layak untuk dipanen.
Untuk menentukan kapan waktu yang tepat dilakukan musim buka maka
pemuka adat beserta masyarakat dan pemuka desa akan melakukan musyawarah
terlebih dahulu. Waktu yang dipergunakan untuk bermusyawarah adalah hari
Jumat. Setelah musim buka selesai, maka akan dilakukan musyawarah kembali
mengenai waktu penutupan sungai dan banda sebagai wilayah ikan larangan.Pada
35
hari yang sama juga pemuka adat akan mengumumkan hasil panen ikan larangan
dan peruntukannya. Kegiatan ini berlangsung hingga sekarang.
5.6 Karakteristik Responden Mengenai Ikan Larangan Desa Sungai Pasak
5.6.1 Jenis Kelamin
Jumlah responden pada penelitian ini sebanyak 40 responden. Responden
merupakan penduduk Desa Sungai Pasak yang bertempat tinggal disekitar lokasi
ikan larangan dan mengetahui pengelolaan ikan larangan tersebut. Persentase
jumlah responden laki-laki dan perempuan sebanding. Sebaran jenis kelamin
responden dapat dilihat pada Gambar 3.
Sumber: Data primer diolah (2013)
Gambar 3 Sebaran jumlah responden berdasarkan jenis kelamin
5.6.2 Tingkat Umur
Tingkat umur responden antara 20-73 tahun. Berdasarkan aturan Sturges
(Sunyoto 2011) tingkat umur dapat dibagi menjadi 6 kelas yaitu (1) 20-28
tahun, (2) 29-37 tahun, (3) 38-46 tahun, (4) 47-55 tahun, (5) 56-64 tahun, dan
(6) 65-73 tahun. Berikut merupakan sebaran penduduk Desa Sungai Pasak
berdasarkan tingkat umur dapat dilihat pada Gambar 4 di bawah ini.
Sumber: Data primer diolah (2013)
Gambar 4 Sebaran tingkat umur responden Desa Sungai Pasak
36
Berdasarkan Gambar 4 di atas dapat dijelaskan bahwa sebaran umur
responden paling banyak berada pada selang 38-46 tahun sebesar 33 persen.
Sedangkan sebaran umur responden paling kecil pada selang 65-73 tahun sebesar
3 persen.
5.6.3 Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan merupakan sebuah gambaran umum untuk melihat
kualitas sumberdaya manusia disuatu tempat. Pendidikan mempunyai pengaruh
terhadap pengetahuan dan keterampilan serta kemampuan adaptasi dan adopsi
terhadap teknologi dan perubahan. Keragaan pendidikan pada masyarakat Desa
Sungai Pasak adalah seperti yang terdapat pada Gambar 5 di bawah ini.
Sumber : Data Primer diolah (2013)
Gambar 5 Sebaran tingkat pendidikan responden Desa Sungai Pasak
Masyarakat Desa sungai Pasak sekitar 55% telah mengenyam pendidikan
hingga tingkat SMA dan sederajat. Hal ini menggambarkan bahwa masyarakat
Desa Sungai Pasak telah sadar akan pentingnya pendidikan. Selain faktor fasilitas
pendidikan yang dapat ditempuh dari desa, fasilitas pendukung lainnya seperti
jalan raya pun telah baik.
5.6.4 Jenis Pekerjaan
Jenis pekerjaan yang menjadi mata pencaharian responden di Desa Sungai
Pasak cukup bervariasi, diantaranya adalah pegawai negeri sipil, pegawai swasta,
wiraswasta, petani, pedagang, penjahit, pegawai kantor desa, dan ibu rumah
tangga. Berdasarkan hasil survei, mata pencaharian responden tertinggi adalah
wiraswasta sebesar 33 persen. Sedangkan pekerjaan lain adalah petani (22%),
pegawai swasta (13%), dan pegawai negeri sipil (10%). Selain itu terdapat jenis
37
pekerjaan lain seperti pedagang dan pegawai kantor desa. Sebaran jenis pekerjaan
dapat dilihat pada Gambar 6.
Sumber: Data Primer diolah (2013)
Gambar 6 Sebaran jenis pekerjaan responden Desa Sungai Pasak
5.6.5 Tingkat Pendapatan
Persentase responden dengan tingkat pendapatan terbesar terdapat pada
kelompok pendapatan Rp 500 000 – Rp 1 200 000 yaitu sebesar 47 persen. Hal
ini berhubungan dengan jenis pekerjaan mayoritas responden yaitu petani.
Sebanyak 25 persen responden memiliki selang pendapatan Rp 1 300 000 – Rp
2 000 000, hal ini berhubungan dengan jenis pekerjaan diluar petani, seperti
pegawai negeri sipil, pegawai swasta dan wiraswasta. Selain itu, sebanyak 15
persen reponden memiliki pendapatan antara Rp 2 100 000 - Rp 2 800 000, 10
persen memiliki pendapatan Rp 2 900 000 – Rp 3 600 000 dan 3 persen
responden memiliki pendapatan antara > Rp 3 600 000. Perbandingan tingkat
pendapatan dapat dilihat pada Gambar 7.
Sumber: Data Primer diolah (2013)
Gambar 7 Sebaran responden menurut tingkat pendapatan di Desa Sungai
Pasak
38
VI HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1 Aktor Pengelolaan dan Pemanfaatan Ikan Larangan
Ikan larangan Desa Sungai Pasak telah terbentuk sejak dahulu dimana telah
ada saat Sungai Pasak belum ditetapkan sebagai desa. Adapun aktor pengelolaan
dan pemanfaatan ikan larangan yaitu semua pihak yang terlibat pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya yang terdapat di area ikan larangan tersebut.
Pengelolaan ikan larangan dilakukan oleh kelembagaan lokal Desa Sungai Pasak
yaitu dibawah kepemimipinan Ninik Mamak Desa Sungai Pasak. Pada tahun 2010
keberadaan ikan larangan Desa Sungai Pasak yang dahulunya dikelola oleh Ninik
Mamak bersama masyarakat desa dibantu oleh Kelompok Masyarakat Pengawas
(Pokmaswas) Ikan Larangan.
Berdasarkan pengelolaan tradisional, ikan larangan Desa Sungai Pasak
hanya dikelola bersama oleh masyarakat desa dibawah pimpinan ninik mamak.
Kepemimpinan ninik mamak merupakan kepemimpinan tradisional yang sesuai
dengan pola yang telah digariskan oleh adat. Kepemimpinan secara
berkesinambungan, dengan arti kata “patah tumbuah hilang baganti” dalam kaum
masing-masing, suku dan nagari. Dalam menjalankan tugasnya memimpin suatu
kaum dalam satu nagari ninik mamak didampingi oleh alim ulama dan cadiak
pandai. Ketiga sistem kepemimpinan ini dalam masyarakat Minangkabau disebut
“tungku nan tigo sajarangan, tali nan tigo sapilin”. Mereka saling melengkapi dan
menguatkan. Ketiga unsur tersebut menjadi simbol kepemimpinan yang memberi
warna dan mempengaruhi perkembangan masyarakat Desa Sungai Pasak.
Sebagai pemimpin adat dalam desa “tungku nan tigo sajarangan” harus
menguasai seluk beluk adat, taat beragama, dan berilmu pengetahuan. la harus
memiliki ciri-ciri berakhlak Islami, demokratis, bertanggung jawab dan berilmu
pengetahuan.Sesuai dengan perkembangan peraturan pemerintahan keberadaan
kelembagaan adat yang dipimpin oleh ninik mamak dibantu oleh pemerintahan
administrasi desa yang ada saat ini. Kelembagaan adat yang terdapat di Desa
Sungai Pasak bersifat informal. Saat ini keberadaan Cadiak Pandai (Cendekiawan)
identik dengan kepala desa. Hal ini terjadi seiring pergantian pemerintahan nagari
39
menjadi desa. Selain itu, agar kegiatan masyarakat dibawah kepemimpinan ninik
mamak dapat berjalan selaras dengan peraturan desa secara administrasi.
Secara struktural, posisi pengelola ikan larangan terdiri dari Ninik Mamak,
Alim Ulama, Cadiak Pandai, Bundo Kanduang, dan pemuda. Kelima unsur ini
merupakan tokoh penting pengelola ikan larangan. Jika salah satu dari lima unsur
tersebut tidak menyetujui kesepakatan yang dibuat maka kesepakatan tersebut
batal. Setelah terbentuknya Pokmaswas posisi pengelolaan ikan larangan tidak
banyak berubah. Keberadaan Pokmaswas ini melengkapi pengelolaan ikan
larangan Desa Sungai Pasak. Selain untuk membantu pengawasan ikan yang
terdapat dalam wilayah ikan larangan, Pokmaswas juga membantu memberikan
pengetahuan baru kepada masyarakat bagaimana kegiatan yang telah dilakukan
selama ini (pengelolaan ikan larangan) tidak hanya bermanfaat sebagai pendanaan
desa tetapi juga bermanfaat menjaga lingkungan.
Masyarakat Desa Sungai Pasak tanpa terkecuali berkewajiban memelihara
keberadaan wilayah ikan larangan sehingga apabila ada hal-hal yang merusak
wilayah ikan larangan atau pelanggar pantangan dapat diketahui dan dicegah
untuk terjadi kerusakan lebih lanjut. Sebelum adanya Pokmaswas pengawasan
ikan larangan Desa Sungai Pasak juga disertai dengan pengawasan menggunakan
dimensi spiritual melalui Pawang. Berdasarkan pola pengelolaan ikan larangan
yang terdapat di Desa Sungai Pasak maka dapat diidentifikasi aktor pengelola
ikan larangan dan peranan setiap aktor yang terdapat dalam pengelolaan ikan
larangan. Adapun peranan tokoh kelembagaan ikan larangan dapat dilihat pada
Tabel 7.
40
Tabel 7. Identifikasi aktor dan peran
No Aktor Peranan
1 Ninik Mamak
- Unsur pimpinan (adat istiadat) dalam masyarakat adat di
Minangkabau dimana unsur tersebut masih ada di Desa
Sungai Pasak.
- Pengawas ikan larangan mulai dari tahapan penetapan
lokasi sampai masa pembukaan ikan larangan
2 Alim Ulama
(Labai)
- Unsur pimpinan (agama) masyarakat adat di Minangkabau
dimana unsur tersebut masih ada di Desa Sungai Pasak.
- Pengawas ikan larangan mulai dari tahapan penetapan
lokasi sampai masa pembukaan ikan larangan
3 Cadiak Pandai - Unsur pimpinan masyarakat adat di Minangkabau dimana
unsur tersebut masih ada di Desa Sungai Pasak
(cendekiawan).
- Pengawas ikan larangan mulai dari tahapan penetapan
lokasi sampai masa pembukaan ikan larangan
4 Bundo kanduang - Unsur kepemimpinan perempuan yang ikut mengelola ikan
larangan
5 Pemuda - Pengelola harian ikan larangan.
- Mengawasi keadaan area ikan larangan.
6 Kepala Desa - Membina, mengayomi dan melestarikan nilai-nilai sosial
budaya dan adat istiadat.
- Mengembangkan potensi sumberdaya alam dan
melestarikan lingkungan hidup.
- Pengawas kegiatan ikan larangan.
- Membentuk Kelompok Masyarakat Pengawas Ikan
Larangan untuk mengoptimalkan pengelolaan potensi dari
lubuk dan banda larangan yang terdapat di Desa Sungai
Pasak
7 Pokmaswas - Mengawasi pengelolaan ikan larangan dari penangkapan
ikan yang menggunakan bahan terlarang dari oknum
masyarakat.
8 Masyarakat Desa
Sungai Pasak
- Memanfaatkan sungai pasak dan banda irigasi serta ikut
mengawasi pengelolaan ikan larangan yang terdapat di
sungai maupun di banda tersebut.
- Menjaga keamanan pengelolaan ikan larangan.
9 Pawang - Memiliki kemampuan untuk mengamankan keberadaan
ikan yang terdapat pada area ikan larangan.
- Keberadaaan pawang dalam pengelolaan ikan larangan
Desa Sungai Pasak bersifat sementara karena untuk
kegiatan yang ikan larangan saat ini telah tidak
menggunakan jampi.
Sumber: Data primer diolah (2013)
6.1.1 Pengaruh dan Kepentingan Aktor
Aktor pengelola ikan larangan memiliki pengaruh dan kepentingan yang
telah teridentifikasi melalui peranan yang dimiliki masing-masing. Berdasarkan
pengaruh dan kepentingan yang dimiliki oleh para aktor maka dapat digambarkan
pada aktor grid. Pemetaan aktor tersebut didapatkan dari nilai skor analisis aktor
sebagai berikut.
41
Tabel 8 Nilai skor pemetaan analisis aktor pengelolaan ikan larangan Desa Sungai
Pasak
No Aktor Pengaruh Kepentingan
1 Alim Ulama 4,00 4,00
2 Ninik Mamak 3,50 4,00
3 Kepala Desa 4,00 3,25
4 Cadiak Pandai 4,00 3,50
5 Pemuda (karang taruna) 4,00 5,00
6 Bundo Kanduang 2,00 3,50
7 Pokmaswas 2,00 2,00
8 Pawang 1,25 1,25
9 Masyarakat 4,00 2,25 Sumber : Data primer diolah (2013)
Hasil pemetaan aktor berdasarkan derajat kepentingan dan pengaruhnya
dalam memanfaatkan dan mengelola sumberdaya ikan larangan dapat dilihat pada
Gambar 8.
labai
ninik mamak
Kepala Desa
bundo kanduang
karang taruna
pokmaswas
pawang
masyarakat
cadiak pandai
1 2 3 4 5 6
1
2
3
4
5
6
subjek
penonton aktor
pemain
12
34
5
6
7
8
KEPENTINGAN
PENGARUH
9
Sumber : Data primer diolah (2013)
Keterangan : 1. Labai (alim ulama),2. Ninik Mamak, 3. Kepala Desa, 4. Cadiak Pandai 5. Pemuda,
6. Bundo Kanduang, 7. Pokmaswas, 8. Pawang dan 9 Warga Desa Sungai Pasak
Gambar 8. Pemetaan aktor pengelola ikan larangan Desa Sungai Pasak
Kuadran I (subjek) ditempati Bundo Kanduang. Bundo kanduang memiliki
kepentingan tinggi terhadap sumberdaya ikan larangan desa sungai Pasak namun
kurang terlibat dalam merumuskan berbagai kebijakan pengelolaan sumberdaya
tersebut. Kepentingan yang tinggi terhadap sumberdaya ikan larangan terkait
dengan penggunaan sumberdaya air dari lokasi ikan larangan tersebut.
Penggunaan sumberdaya air yang dijadikan lokasi ikan larangan menjadikan
Bundo Kanduang memiliki peranan yang tinggi terhadap keberadaan wilayah ikan
larangan untuk menjaga keberlanjutan pengelolaan dan kebersihan air yang
42
terdapat di wilayah ikan larangan. Selain itu, peranan dan partisipasi Bundo
Kanduang dalam mengelola ikan larangan Desa Sungai Pasak hanya sebagai
pengawas sehingga hanya berkontribusi dari segi sumberdaya manusia.
Kuadran II (pemain) ditempati oleh Alim Ulama, Ninik Mamak, Kepala
Desa dan Pemuda. Kelompok ini memiliki tingkat kepentingan dan pengaruh
yang tinggi dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Lubuk
Larangan dan Banda Larangan Desa Sungai Pasak. Pengaruh dalam pengelolaan
dan pemanfaatan sumberdaya ikan pada wilayah ikan larangan tersebut terkait
dengan perumusan peraturan mengenai ikan larangan, peran dan partisipasi,
kemampuan berinteraksi serta kewenangan yang dimiliki masing-masing tokoh.
Jika dilihat dari aspek keterlibatan Alim,Ulama, Ninik Mamak, Kepala Desa dan
Pemuda terlibat dalam semua proses yaitu perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan dan pengawasan.
Keberadaan ikan larangan memberikan manfaat yang berbeda-beda bagi
tokoh-tokoh pengelola ikan larangan. Pihak Alim Ulama dan Pemuda menyatakan
manfaat yang diterima dari pengelolaan ikan larangan adalah sebagai penerimaan
desa, menjaga keberadaan jenis ikan lokal, melestarikan budaya, terbinanya
kerukunan sosial serta untuk memuaskan hobi para pemancing ikan larangan.
Ninik Mamak dan Kepala Desa menyatakan manfaat ikan larangan adalah sebagai
penerimaan desa, melestarikan budaya dan terbinanya kerukunan sosial.
Pengelolaan ikan larangan menjadi prioritas yang tinggi karena kegiatan ini
berfungsi sebagai sarana penerimaan desa untuk pembangunan sarana ibadah,
sarana mengenalkan potensi desa, dan memberikan dampak ekonomi bagi
sebagian masyarakat. Kelompok pemain memiliki kewenangan dalam
mengendalikan pengelolaan ikan larangan di Desa Sungai Pasak. Pengetahuan
lokal dalam pengelolaan perikanan memiliki pengaruh yang tinggi yang
didasarkan pada kemampuan para tokoh dalam berinteraksi yang dapat menjaga
keberlangsungan keberadaan ikan larangan serta peran dan partisipasi dari tokoh
untuk bersama-sama mengelola sumberdaya yang terdapat di wilayah mereka.
Kuadran III (penonton) ditempati oleh Pokmaswas dan Pawang/tukang
jampi. Keberadaan mereka dinilai tidak terlalu bergantung terhadap sumberdaya
ikan di wilayah ikan larangan Desa Sungai Pasak. Selain itu posisi mereka tidak
43
terlalu berpengaruh terhadap pengelolaan sumberdaya ikan di wilayah ikan
larangan Desa Sungai Pasak. Berdasarkan keterlibatan, manfaat yang diperoleh,
fokus pengelolaan, dan tingkat ketergantungan terhadap sumberdaya, aktor pada
kuadran ini memiliki nilai yang rendah. Kelompok ini hanya memiliki peranan
yang kecil dalam pengelolaan ikan larangan.
Pokmaswas memiliki peranan dalam pengawasan dan pengamanan
sumberdaya ikan larangan dari penangkapan ikan menggunakan bahan-bahan
terlarang yang dapat merusak perairan dan keberadaan ikan sesuai dengan
pengelolaan perairan. Pawang memiliki peranan sebagai pemberi pengamanan
dalam pengelolaan sumberdaya ikan yang bersifat spiritual namun mulai
ditinggalkan karena terkait dampak yang diterima. Dilihat dari penetapan dan
pelaksanaan aturan, kemampuan dalam berinteraksi dan kewenangan, aktor dalam
kuadran ini memiliki nilai yang rendah. Kedua tokoh ini memiliki pengaruh yang
rendah karena kontribusi yang diberikan kecil dalam pengelolaan ikan larangan
Desa Sungai Pasak.
Kuadran IV (aktor) ditempati oleh masyarakat Desa Sungai Pasak.
Kelompok masyarakat Desa Sungai Pasak memiliki pengaruh yang tinggi dengan
sedikit kepentingan terhadap sumberdaya ikan di wilayah ikan larangan desa. Hal
ini dikarenakan masyarakat memiliki peran memanfaatkan sungai pasak dan
banda irigasi serta ikut mengawasi sumberdaya ikan yang terdapat di wilayah
larangan tersebut. Pengaruh yang dimiliki oleh kelompok masyarakat merupakan
suatu proses pengontrolan proses dan hasil dari kegiatan ikan larangan yang
terdapat di wilayah tempat tinggal mereka. Kelompok ini berpengaruh besar
terkait dalam pelaksanaan aturan dan penegakan sanksi dalam pengelolaan ikan
larangan Desa Sungai Pasak. Peran dan partisipasi masyarakat dalam memantau
dan mengawasi pengelolaan ikan larangan dengan berkontribusi waktu dan tenaga
serta kemampuan bekerja sama dalam menjaga keberadaan ikan larangan.
Berdasarkan pemetaan aktor terkait kepentingan dan pengaruh diatas aktor-
aktor yang harus dilibatkan dalam pengelolaan ikan larangan di Desa Sungai
Pasak dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok formal dan kelompok
informal. Aktor-aktor yang berperan ditingkat kelompok formal yaitu kepala desa
sebagai pemimpin pemerintahan administrasi dan Kelompok Masyarakat
44
Pengawas (Pokmaswas) yang dibentuk berdasarkan surat keputusan kepala desa.
Kelompok informal terdiri dari Ninik Mamak, Alim Ulama, Cadiak Pandai,
Bundo Kanduang dan pemuda serta pawang. Kelompok ini merupakan komunitas
lokal yang berperan mengelola ikan larangan Desa Sungai Pasak selama ini.
Walaupun keberadaan pawang sudah tidak digunakan saat ini, kepercayaan
masyarakat akan larangan mengambil ikan tidak sesuai waktu tetap berlangsung
hingga saat ini. Pembagian kelompok ini disebabkan karena pengaruh dari Ninik
Mamak, Alim, Ulama, Cadiak Pandai merupakan orang yang dituakan dan
dihormati di Desa Sungai Pasak. Keberadaan pawang dalam pengelolaan ikan
larangan merupakan unsur dimensi spiritual yang berkembang di masyarakat.
Adapun hubungan aktor-aktor pengelola Ikan Larangan Desa Sungai Pasak yaitu
seperti pada Gambar 9.
Sumber : Data primer diolah (2013)
Gambar 9 Hubungan antar aktor pengelola ikan larangan Desa Sungai Pasak
Ostrom (1990) dalam Suhana (2008a) menyatakan bahwa dalam
menganalisis hubungan antar aktor dalam sistem kelembagaan perlu dibedakan
berdasarkan tingkatannya (level), yaitu pertama, level konstitusi
(constitutional),yaitu lembaga yang berperan dalam menyusun aturan main untuk
level collective choice. Kedua, level pilihan kolektif (collective choice), yaitu
lembaga yang berperan dalam menyusun peraturan untuk dilaksanakan oleh
BUNDO KANDUANG,
PEMUDA ,MASYARAKAT
POKMASWAS
SEIPA LESTARI
IKAN LARANGAN
ATURAN
Operational
Choice Level
Collective
Level
KEPALA DESA SUNGAI PASAK
NINIK MAMAK,
ALIM ULAMA,
CADIAK PANDAI
FORMULASI
ATURAN
45
lembaga operasional. Ketiga, lembaga operasional (operational), yaitu lembaga
yang secara langsung melaksanakan kebijakan di lapangan.
Berdasarkan teori Ostrom (1990) dalam Suhana (2008a) maka aktor-aktor
pengelolaan dan pemanfaatan ikan larangan di Desa Sungai Pasak yang tergolong
kedalam level penentu aturan (collective choice level) adalah Ninik Mamak, Alim
Ulama, Cadiak Pandai (tungku tigo sajarangan) dan Kepala Desa Sungai Pasak.
Kelompok ini berperan dalam menyusun dan menetukan aturan main dalam
pengelolaan ikan larangan Desa Sungai Pasak. Sementara itu, yang termasuk level
operasional (operational level) adalah kelompok Bundo Kanduang, Pemuda,
Masyarakat Desa Sungai Pasak dan Kelompok Masyarakat Pengawas ikan
larangan Desa Sungai Pasak.
6.2 Aturan Pengelolaan Ikan Larangan Desa Sungai Pasak
Sebuah kelembagaan memiliki aturan main (rule of the game) yang
mengatur kegiatan yang dilakukan, hubungan antar aktor dalam kelembagaan dan
aktor diluar kelembagaan. Hal ini juga terdapat pada kelembagaan pengelola ikan
larangan. Dalam konteks ini, aturan main dalam pengelolaan ikan larangan adalah
berupa aturan informal. Aturan ini terkait dengan pengelolaan perikanan yang
bersifat pengetahuan lokal. Selain aturan informal, pengelolaan ikan larangan juga
memiliki landasan hukum. Berdasarkan konteks hukum nasional yang ada
pengelolaan perikanan berbasis pengetahuan lokal telah mendapat pengakuan
secara nyata dalam peraturan perundang-undangan.
6.2.1 Boundary Rule, Sanksi, dan Monitoring terhadap Aturan
Pengelolaan ikan larangan Desa Sungai Pasak tentu memiliki aturan
tersendiri. Peraturan yang diterapkan dalam ikan larangan pada Desa Sungai
Pasak berupa peraturan tidak tertulis. Hal ini disebabkan karena aturan ini
dikeluarkan oleh kepemimpinan Tungku Tigo Sajarangan yang telah menjadi
kebiasaan di masyarakat desa. Aturan yang terkait dengan pengelolaan ikan
larangan Desa Sungai Pasak berisi mengenai larangan menangkap ikan saat
musim tutup, seluruh penduduk desa merupakan anggota pengelola ikan larangan
dan bertanggungjawab memantau dan mengawasi ikan larangan tersebut.
46
Selain itu, penduduk desa yang merupakan suatu komunitas harus ikut
berkontribusi langsung terhadap pengelolaan ikan larang tersebut. Kontribusi
yang dapat diberikan terkait dengan waktu, usaha serta pemikiran bagaimana ikan
larangan ini dapat berjalan dengan baik. Berdasarkan dengan kontribusi yang
diberikan oleh anggota tersebut manfaat dari ikan larangan ini akan dapat
dirasakan langsung oleh penduduk desa. Secara umum, aturan adat mengenai ikan
larangan masyarakat Desa Sungai Pasak ini berisi aturan-aturan dalam
pemanfaatan (appropriation problems) dan pemeliharaan (provision problems)
sumberdaya ikan di lubuk larangan dan banda larangan. Adapun aturan-aturan
tersebut antara lain aturan batas wilayah ikan larangan, aturan akses pemanfaatan
sumberdaya ikan, aturan sanksi, dan monitoring.
Wilayah ikan larangan desa Sungai Pasak terdiri dari sungai dan banda
irigasi. Wilayah sungai yang menjadi wilayah ikan larangan adalah wilayah lubuk
larangan. Batas wilayah lubuk larangan dengan bukan lubuk larangan ditandai
oleh jembatan. Jembatan merupakan jalan yang membatasi satu desa dengan desa
lain. Sedangkan batas banda larangan adalah sepanjang aliran irigasi yang
melewati desa Sungai Pasak.
Ikan hanya boleh ditangkap ketika telah ada pemberitahuan bahwa lubuk
larangan dan banda larangan telah dibuka oleh ninik mamak dengan waktu yang
telah ditetapkan. Selain itu, ikan yang tidak masuk didalam wilayah yang
dijadikan wilayah ikan larangan dapat ditangkap atau dimanfaatkan. Ikan hanya
boleh ditangkap mengunakan alat pancing, tidak boleh mengunakan racun,
menyentrum ikan dan tidak boleh menggunakan jala.
Aturan mengenai sanksi untuk wilayah ikan larangan di desa Sungai Pasak
secara formal tidak ada. Namun, sanksi tersebut akan terlihat dengan sendirinya
jika mereka melanggar ketentuan yang telah dibuat bersama. Pengelolaan ikan
larangan di Desa Sungai Pasak masih semi tradisional. Sanksi yang dirasakan bagi
pelanggar bersifat alamiah. Berdasarkan penuturan tokoh agama desa (Labai),3
apapun yang terdapat di daerah yang sifatnya milik bersama pasti akan ada saja
yang ingin berbuat curang. Terkadang kita tidak dapat menyalahkan sehingga kita
3 Wawancara Bapak Suardi Tanjung (mantan Kepala Desa Sungai Pasak tahun 1986, pemuka
masyarakat) 18 Februari 2013
47
hanya dapat memohon pada yang Maha Kuasa agar kesalahannya menghianati
kesepakatan yang ada diampuni.
Ikan larangan Desa Sungai Pasak dahulu pernah di jampi, namun
penggunaan jampi telah dibuka karena pada saat itu membuat ikan yang berada di
kawasan tersebut tidak berkembang dengan baik. Namun, kepercayaaan terhadap
ikan yang terdapat di lubuk dan banda yang ada larangan untuk tidak diambil
masih dianut sampai saat ini. Walau tidak menggunakan jampi lagi masyarakat
masih percaya bahwa sesuatu yang telah disepakati untuk tidak diambil sebelum
masa diperbolehkan maka akan mendapat bala. Menurut kepercayaan masyarakat
setempat, bagi yang mengambil ikan yang terdapat di wilayah berlarangan
tersebut akan mendapat penyakit yang tidak dapat disembuhkan secara medis.
Untuk menghilangkan penyakit tersebut, maka seseorang harus mengingat
kesalahan yang telah diperbuat dan memohon kepada Allah agar kesalahannya
diampuni. Ketika masih di jampi, orang yang mengambil ikan di wilayah ikan
larangan akan mengaku ditempat ia mengambil ikan tersebut.
Hal ini membuat seseorang merasa bersalah dan mendapat sanksi sosial
karena diperlihatkan secara langsung. Mengingat akibat dari perilaku tersebut
yang berdampak bagi psikologi seseorang maka untuk menghindari permasalahan
yang akan muncul dari perilaku buruk tersebut, ninik mamak bersama alim ulama
dan cadiak pandai desa Sungai Pasak memutuskan untuk tidak menggunakan
jampi lagi. Perubahan sistem pengamanan wilayah ikan larangan ini membuat
monitoring yang kurang jelas dalam pengelolaan ikan larangan tersebut. Menurut
hasil wawancara dengan pemuka agama desa (Labai) dan Kepala Desa Sungai
Pasak yang mengawasi tindakan pelanggaran adalah pribadi masing-masing. Ikan
larangan ini dibuat berdasarkan kesepakatan bersama sehingga perubahan dalam
pengaamanan wilayah ikan diharapkan tidak menimbulkan permasalahan di
masyarakat dan menegaskan bahwa melalui kesepakatan yang telah dibentuk
harus dibuat atas dasar kepercayaan satu sama lain. Terciptanya sikap saling
percaya dengan sesama maka dapat mewujudkan kebaikan dari apa yang
diperbuat sehingga ikan larangan dapat menghasilkan manfaat bagi seluruh
masyarakat desa.
48
6.2.2 Aturan Akses terhadap Sumberdaya dan Penyelesaian Konflik
Pemanfaatan sumberdaya perairan desa sebagai wilayah ikan larangan telah
ada sejak tahun 1970. Hal ini merupakan kesepakatan ninik mamak beserta
masyarakat desa. Kegiatan ini pernah terhenti selama lima tahun karena adanya
program normalisasi sungai yang digalakkan oleh pemerintah. Kegiatan ini
dianggap sangat baik oleh masyarakat sehingga dilakukan kembali. Oleh karena
itu masyarakat desa mewacanakan untuk memperluas wilayah ikan larangan
dengan memanfaatkan daerah aliran irigasi.
Berdasarkan kesepakatan ninik mamak dan masyarakat maka daerah aliran
irigasi juga dijadikan wilayah ikan larangan yang disebut juga banda larangan.
Banda larangan tersebut ditetapkan tahun 1987. Wilayah ikan larangan desa
berada di sungai dan aliran irigasi dengan panjang sekitar 1880 meter. Masyarakat
Desa Sungai Pasak sangat menyadari potensi yang terdapat di desa mereka
sehingga mereka berusaha untuk menjaga agar potensi desa mereka dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan bersama. Apapun yang menjadi milik desa harus
dijaga dan dipergunakan untuk kepentingan desa.
6.2.3 Aturan Ikan Larangan yang Berdampak terhadap Pembangunan Desa
Ikan larangan merupakan tradisi yang dilakukan turun temurun oleh
masyarakat Desa Sungai Pasak. Sejak tahun 1970 ikan larangan telah ada dan
mulai dikembangkan oleh masyarakat desa melalui perluasan wilayah ikan
larangan. Perluasan wilayah ikan larangan desa dimaksud dengan memanfaatkan
banda irigasi desa yang dirasa dapat berpotensi untuk membantu perkembangan
ekonomi desa. Pemanfaatan banda irigasi di mulai pada tahun 1987. Selain
sebagai sarana memanfaatkan potensi desa, kegiatan ikan larangan juga
berdampak pada pembangunan desa. Hal ini terlihat dari adanya gerbang selamat
datang pada kawasan Masjid Raya Sungai Pasak.
Kegiatan pengelolaan ikan larangan Desa Sungai Pasak pada awalnya
bersifat tradisional. Namun, setelah melakukan beberapa kali panen, pengelolaan
ikan larangan di Desa Sungai Pasak mengalami perubahan sehingga bersifat semi
tradisional. Pengelolaan bersifat semi tradisional ditandai dengan adanya
penebaran ikan kembali (restocking),serta saat musim buka ikan larangan panitia
musim buka akan memperbolehkan menggunakan alat pancing dan mengutip
49
sejumlah uang dari semua peserta yang mendaftarkan diri untuk ikut pesta
pembukaan ikan larangan (baik masyarakat desa setempat maupun dari luar desa).
Perubahan tersebut berlaku sejak tahun 1990-an dengan alasan bahwa
penangkapan pada musim buka yang terdahulu sering menyebabkan ikan yang
terdapat di sungai dan banda habis dan tidak berkembang dengan baik. Oleh sebab
itu, mereka mulai menerapkan pola semi-tradisional yang terlihat saat penetapan
musim tutup ikan larangan, sebelum musim buka dan pada masa musim buka.
6.2.3.1 Aturan Musim Tutup Wilayah Ikan Larangan
Aturan dalam memulai waktu musim tutup ikan larangan ditentukan
berdasarkan kesepakatan bersama. Proses pengambilan keputusan yang dilalui
cukup demokratis. Semua masyarakat desa berhak menyampaikan aspirasi,
gagasan dan pandangannya, baik melalui forum informal (seperti pembahasan di
warung-warung kopi) maupun forum formal (musyawarah desa), sehingga
penetapannya dilakukan secara partisipatif. Setelah itu dilakukan pertemuan
bersama ninik mamak, alim ulama, cadiak pandai dan masyarakat desa. Musim
tutup ditetapkan seminggu setelah musim buka selesai. Wilayah ikan larangan
desa kembali ditutup setelah adanya pertemuan ninik mamak, alim ulama, cadiak
pandai bersama masyarakat. Pertemuan itu berlangsung pada hari Jumat
bertempat di Mesjid Raya Sungai Pasak.
Pertemuan tersebut membahas penetapan lokasi ikan larangan, kapan waktu
penutupan wilayah ikan larangan dan juga mengumumkan pendapatan dari hasil
musim buka wilayah ikan larangan desa yang telah dilakukan. Beberapa
pertimbangan yang biasanya digunakan dalam penetapan sebuah lokasi sebagai
Lubuk Larangan, antara lain yaitu lokasinya tidak jauh dari pusat pemukiman
warga. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan pengawasan dan pelaksanaan
ketentuan-ketentuan adat yang ditetapkan pada lokasi Ikan Larangan dan daerah
aliran sungai yang memiliki kedalaman yang cukup memungkinkan untuk ikan
berkembang biak. Panjang aliran sungai yang dijadikan lokasi Ikan Larangan
sekitar 300 s/d 1.500 meter. Artinya tidak semua daerah aliran sungai di desa
ditetapkan sebagai kawasan larangan bagi penangkapan ikan.
Setelah disepakati waktu yang tepat untuk menutup wilayah ikan larangan
maka disampaikan pada seluruh masyarakat bahwa wilayah perairan desa yaitu
50
sungai dan banda irigasi telah ditutup kembali. Dalam pengumuman tersebut juga
disampaikan kepada masyarakat agar tetap menjaga perairan desa dan dilarang
mengambil ikan di wilayah tersebut selama waktu yang ditentukan. Kegiatan
penutupan dimulai dengan dibacakan doa bersama yang disampaikan oleh ulama
desa dengan niat bahwa wilayah ikan larangan dibuat berdasarkan kesepakatan
bersama dan dimanfaatkan untuk kegiatan pembangunan sarana ibadah dan
membantu kegiatan karang taruna Desa Sungai Pasak. Kemudian diumumkan
kepada masyarakat desa dan desa-desa tetangga bahwa sungai itu telah menjadi
lubuk larangan. Hal tersebut merupakan sebuah bentuk kepatuhan, kedisiplinan
dan kekeluargaan yang terjadi antar masyarakat Desa Sungai Pasak.
6.2.3.2 Aturan Penetapan Musim Buka Ikan Larangan
Setelah ditetapkan dan disepakati bersama bahwa sungai dan banda irigasi
merupakan wilayah ikan larangan milik desa maka masyarakat akan menjaga dan
mengawasi perkembangan ikan yang terdapat di wilayah tersebut. Pada
kelembagaan ikan larangan Desa Sungai Pasak ini seluruh masyarakat desa
merupakan suatu bentuk komunitas yang menjadi pengelola ikan larangan
tersebut. Selain itu, mereka memiliki kewajiban untuk mengawasi ikan-ikan yang
terdapat di dalam sungai dan aliran irigasi sebagaimana yang disepakati bersama.
Musim buka akan dilaksanakan setelah melihat apakah ikan yang terdapat
di banda aliran irigasi dan di sungai telah layak di pancing. Berdasarkan
kesepakatan masyarakat desa ikan larangan desa dapat dibuka lebih kurang enam
bulan setelah masa tutup. Terkadang mereka dibantu oleh para penggemar
memancing ikan larangan untuk melihat apakah ikan-ikan yang terdapat di desa
mereka telah dapat dipancing. Jika menurut pemancing, ikan-ikan yang terdapat di
banda dan sungai telah layak untuk dipancing, maka masyarakat akan
menyampaikan kepada ninik mamak untuk menggelar pertemuan membahas
tentang pembukaan ikan larangan tersebut.
Jika ikan-ikan telah layak untuk diambil dan dapat memuaskan minat para
pemancing maka ninik mamak, alim ulama, cadiak pandai, kepala desa serta
masyarakat akan sepakat untuk mempersiapkan musim buka. Ketika telah
ditetapkan kapan waktu yang tepat untuk membuka ikan larangan maka
ditunjuklah pelaksana dalam acara pembukaan ikan larangan tersebut. Musim
51
buka ikan larangan di Desa Sungai Pasak dilakukan dengan cara memancing.
Oleh sebab itu, dalam pelaksanaan pemancingan tersebut maka dibentuklah
kepanitiaan dan penetapan harga pemancingan.
Ikan larangan lebih dikelola dengan baik dan diberi makna sebagai asset
desa. Ada aturan baru yang dikenakan setiap dilakukan pembukaan ikan larangan.
Panitia penyelenggara pesta pembukaan/pembongkaran ikan larangan mengutip
sejumlah uang dari semua peserta yang mendaftarkan diri ingin ikut pesta (baik
masyarakat desa setempat maupun dari luar desa). Panitia pembukaan ikan
larangan bukan dibentuk setiap saat karena pada dasarnya setiap musim buka
ninik mamak akan menyerahkan kegiatan ini kepada pemuda-pemuda desa.
Pemuda-pemuda di Desa Sungai Pasak tersebut tergabung dalam karang taruna
sehingga ketika musim buka ditetapkan maka karang taruna akan dengan segera
mempersiapkan segala hal yang diperlukan dalam musim buka. Pemuda-pemuda
tersebut akan menginformasikan ke desa-desa lain bahwa desa mereka akan
melaksanakan musim buka dan uang pendaftaran pemancingan tersebut.4
Informasi mengenai musim buka desa biasanya menggunakan pamflet,
pemasangan iklan koran dan radio daerah.
6.2.3.3 Aturan Kegiatan Pemancingan saat Musim Buka Ikan Larangan
Setelah ditentukan kesepakatan hari yang sesuai, maka pemuda dan
masyarakat bersama-sama mempersiapkan lokasi. Pembukaan ikan larangan
tersebut dilakukan dengan cara memancing dan dilakukan selama satu hari.
Namun, untuk ikan larangan Desa Sungai Pasak karena memiliki dua wilayah
ikan larangan maka dilaksanakan dua hari. Waktu pembukaan ikan larangan yang
terdapat di sungai dan aliran irigasi dilakukan dalam bulan yang sama di minggu
yang berbeda. Kegiatan ini diikuti sekitar 600 pemancing setiap musim buka,
tidak hanya berasal dari Kota Pariaman, akan tetapi juga berasal dari luar.
Sebelum dimulai, panitia pemancingan ikan larangan akan mengutip biaya.
Para pemancing menganggap biaya tersebut sebagai beramal sambil memancing.
Hasil dari biaya pemancingan tersebut akan dimanfaatkan untuk pembangunan
desa, termasuk untuk sarana ibadah dan sosial serta pembelian benih ikan. Musim
4 Wawancara Sutan Sulaiman Tanjung (tokoh masyarakat) tanggal 20 Februari 2013
52
buka ikan larangan ini juga dijadikan sarana bersilaturahmi bagi masyarakat
perantau Desa Sungai Pasak.
6.2.4 Peraturan Perundang-undangan Mengenai Pengelolaan Perikanan
Melalui Pengetahuan Lokal
Pengelolaan perikanan melalui sistem ikan larangan merupakan keunikan
dalam adat dan tradisi secara turun temurun dalam pengelolaan perikanan di
Indonesia. Dalam konteks hukum nasional, pengelolaan perikanan yang dikelola
berdasarkan hukum adat atau kearifan lokal mendapatkan pengakuan secara nyata
dalam peraturan perundang-undangan diantaranya yaitu :
1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan Pasal 6 ayat 2.
2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2007 tentang
Konservasi Sumberdaya Ikan.
4 Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 4 Tahun 2012 tentang
Pengelolaan dan Perlindungan Sumberdaya Ikan Pasal 19.
Tabel 9 berikut ini menyajikan lebih rinci hasil analisis peraturan
perundang-undangan mengenai pengetahuan lokal dalam pengelolaan perikanan
di Indonesia.
Tabel 9 Peraturan mengenai pengakuan pengelolaan perikanan berdasarkan
pengetahuan lokal
No Peraturan Hal yang diatur
1 Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 31 Tahun
2004 tentang Perikanan
Pasal 6 ayat 2, pengelolaan perikanan untuk
kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan
ikan harus mempertimbangkan hukum adat
dan/atau kearifan lokal serta memeperhatikan peran
serta masyarakat.
2 Undang-undang No 27
Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil
Pasal 7 Ayat 3, meyebutkan pelibatan masyarakat
berdasarkan norma, standar, dan pedoman
dilakukan melalui konsultasi publik dan/atau
musyawarah adat, baik formal maupun nonformal.
Pasal 61 ayat 1 menyebutkan pemerintah
mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak
Masyarakat Adat, Masyarakat Tradisional, dan
Kearifan Lokal atas Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil yang telah dimanfaatkan secara turun-
temurun.
53
No Peraturan Hal yang diatur
3 Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor
60 Tahun 2007 tentang
Konservasi Sumberdaya
Ikan
Penetapan kawasan konservasi perairan dilakukan
berdasarkan kriteria sosial dan budaya, meliputi
tingkat dukungan masyarakat, potensi konflik
kepentingan, potensi ancaman, kearifan lokal serta
adat istiadat.
4 Peraturan Daerah Provinsi
Sumatera Barat Nomor 4
Tahun 2012 tentang
Pengelolaan dan
Perlindungan Sumberdaya
Ikan Pasal 19
Pemerintah Daerah mengakui nilai-nilai kearifan
lokal yang dimiliki masyarakat dalam pengelolaan
sumberdaya ikan di perairan umum daratan dalam
bentuk lubuk larangan atau ikan larangan.
Sumber: Data sekunder diolah (2013)
6.3 Analisis Kinerja Kelembagaan Ikan Larangan
6.3.1 Kejelasan Kelembagaan Ikan Larangan
Kelembagaan ikan larangan bersifat lokal karena dikelola oleh masyarakat
secara bersama-sama dan secara turun temurun. Dalam kelembagaan terkandung
nilai dan norma dalam pemanfaatan dan pengelolaan, kejelasan orang-orang yang
berpartisipasi, serta cara-cara pengendalian sosial agar kelembagaan senantiasa
terjaga. Kelembagaan yang terdapat dalam pengelolaan ikan larangan Desa
Sungai Pasak merupakan jenis kelembagaan non formal. Pada tahun 2010
berdasarkan hasil musyawarah masyarakat desa yang difasilitasi oleh perangkat
Pemerintahan Desa sepakat membentuk kelompok pengawas ikan larangan desa
baik yang berada di lubuk (sungai) maupun banda irigasi.
Kelompok pengawas dibentuk menjadi Kelompok Masyarakat Pengawas
(Pokmaswas) Seipa Lestari. Tujuan pembentukan kelompok ini yaitu untuk
mengawasi sungai dan banda irigasi dari penangkapan ikan yang menggunakan
bahan terlarang dan pencurian ikan di lokasi ikan larangan oleh oknum
masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan analisis mengenai kejelasan kelembagaan
ikan larangan dalam mencapai tujuan tersebut yang meliputi: (1) kejelasan
struktur kelembagaan dan (2) kejelasan aturan.
6.3.1.1 Kejelasan Struktur Kelembagaan
Struktur kelembagaan berkaitan dengan susunan kedudukan antar pengurus
dengan anggota yang masing-masing memiliki peranan dan pembagian tugas serta
turan yang mengikat. Untuk mengetahui kejelasan struktur kelembagaan dapat
dilihat berdasarkan beberapa indikator antara lain: kelengkapan pengurus,
54
pengetahuan anggota terhadap susunan kelembagaan, pengetahuan anggota
mengenai prinsip pengurus kelembagaan menjalankan tugas dan periode
pergantian pengurus.
1 Kelengkapan Pengurus Kelembagaan
Kelengkapan pengurus kelembagaan dapat dilihat dari kelengkapan aktor
yang terlibat dalam kelembagaan tersebut. Kelengkapan pengurus kelembagaan
akan berpengaruh pada keberlangsungan kelembagaaan. Berikut ini adalah
sebaran pendapat masyarakat Desa Sungai Pasak mengenai kelengkapan pengurus
ikan larangan yang ada dapat dilihat pada Tabel 10 dibawah ini.
Tabel 10 Sebaran persepsi masyarakat Desa Sungai Pasak mengenai kelengkapan
pengurus kelembagaan
Kelengkapan
Kelembagaan
Masyarakat Desa Sungai Pasak
Jumlah Persentase (%)
Tinggi 37 92,5
Kurang 3 7,5
Rendah 0 0
Jumlah 40 100 Sumber: Data primer diolah (2013)
Berdasarkan tabel di atas dijelaskan bahwa menurut persepsi masyarakat
Desa Sungai Pasak beranggapan jika kelembagaan ikan larangan yang ada telah
lengkap. Hal tersebut diperkuat dengan hasil penelitian yaitu sekitar 92,5%
menyatakan telah lengkap dan sisanya 7,5% menyatakan kurang lengkap.
Responden yang menyatakan kelembagaan cukup lengkap dikarenakan mereka
tidak terlalu mengerti tentang kepengurusan kelembagaan tersebut dan
kelembagaan yang ada telah ada sejak turun temurun.
2 Pengetahuan Angota Terhadap Susunan Kelembagaan
Susunan kelembagaan merupakan struktur dari kelembagaan mulai dari
ninik mamak beserta orang-orang yang membantunya hingga ketua kelompok
masyarakat pengawas dan anggotanya. Pengetahuan masyarakat Desa Sungai
Pasak terhadap kelembagaan dinilai berdasarkan tingkat pemahaman mereka
terhadap susunan kelembagaan tersebut. Gambaran mengenai sebaran
pengetahuan masyarakat terhadap susunan kelembagaan disajikan dalam Tabel 11
dibawah ini.
55
Tabel 11 Sebaran pengetahuan masyarakat Desa Sungai Pasak mengenai peran
dari susunan kelembagaan
Pengetahuan Terhadap
Kelembagaan
Masyarakat Desa Sungai Pasak
Jumlah Persentase (%)
Paham 39 97,5
Kurang Paham 1 2,5
Tidak Paham 0 0
Jumlah 40 100
Sumber: Data primer diolah (2013)
Sebagian besar masyarakat desa sudah paham mengenai susunan
kelembagaan yang ada pada kelembagaan ikan larangan Desa Sungai Pasak yaitu
sekitar 97,5%. Sedangkan sisanya 2,5% kurang paham karena responden hanya
mengetahui pengelola harian saja yaitu pemuda.
3 Periode Pergantian Kepengurusan
Dalam suatu lembaga pergantian pengurus terjadi secara berkala. Pergantian
dilakukan sesuai dengan aturan yang telah disepakati. Untuk kepengurusan
lembaga adat (komunal) dalam pengelolaan ikan larangan pergantian tidak begitu
tinggi dirasakan oleh masyarakat. Hal ini terkait dengan pola kepemimpinan yang
turun temurun dan berdasarkan penilaian masyarakat sekitar. Selain itu, kelompok
yang dibentuk berupa kelompok masyarakat pengawas ikan larangan masih
bersifat baru dan belum mengalami pergantian.
Pengambilan keputusan dalam pergantian periode kepengurusan lembaga
ikan larangan ini hanya terjadi pada kepengurusan kelompok pemuda (karang
taruna) sebagai pelaksana kegiatan pada musim buka ikan larangan. Untuk
kepengurusan inti seperti ninik mamak tidak ada proses untuk pergantian karena
kepengurusan tersebut bersifat alami. Proses pergantian kepengurusan terlihat
pada kelembagaan pemuda yang merupakan kepengurusan harian dalam ikan
larangan sebelum adanya kelompok masyarakat pengawas ikan larangan. Berikut
adalah sebaran pendapat masyarakat tentang periode pergantian kepengurusan
tersaji pada Tabel 12 di bawah ini.
56
Tabel 12 Sebaran persepsi masyarakat Desa Sungai Pasak mengenai periode
pergantian pengurus
Periode Pergantian Pengurus
Kelembagaan
Masyarakat Desa Sungai Pasak
Jumlah Persentase (%)
Teratur 9 22,5
Kurang Teratur 15 37,5
Tidak Teratur 16 40,0
Jumlah 40 100
Sumber: Data primer diolah (2013)
Berdasarkan tabel diatas dapat tergambar bahwa masyarakat Desa Sungai
Pasak mengetahui pengurus ikan larangan secara umum, namun untuk pergantian
pengurus harian tidak terlalu dirasakan oleh masyarakat. Tergambar jelas dari
sebaran pendapat yang mereka sampaikan yaitu sebagian besar masyarakat
menyatakan tidak teratur yaitu sekitar 40%. Hal ini disebabkan karena
kepengurusan yang ada diganti hanya berdasarkan kesepakatan saja dan biasanya
pengurus yang diganti hanya bertukar peran.
6.3.1.2 Kejelasan Aturan Kelembagaan
Kelembagaan Ikan Larangan Desa Sungai Pasak secara umum yang
terlihat adalah kelembagaan adat (komunal) yang telah ada sejak dahulu.
Sedangkan dalam perkembangannya, kelembagaan komunal menyepakati
dibentuknya kelembagaan baru yang disebut kelompok pengawas
(POKMASWAS) ikan larangan. Hal ini menjelaskan bahwa aturan pengelolaan
ikan larangan dapat berupa lisan, tertulis, atau keduanya. Oleh karena itu,
diperlukan analisis untuk mengetahui kejelasan aturan tersebut. Berdasarkan data
dilapangan, seluruh responden (100%) menyatakan bahwa aturan kelembagaan
ikan larangan bersifat lisan karena aturan tersebut telah dikenal secara turun
temurun. Namun, sejak terbentuk POKMASWAS, masyarakat juga mengenal
aturan secara tertulis. Hal ini menunjukkan bahwa kelembagaan ikan larangan
Desa Sungai Pasak telah menjalankan kedua aturan yang berlaku, yaitu lisan dan
tertulis. Disisi lain, kekuatan aturan lisan lebih dipercaya masyarakat desa, karena
merupakan tradisi dan modal terbentuknya kelembagaan baru seperti kelompok
masyarakat pengawas ikan larangan.
57
6.3.2 Keefektifan Kinerja Kelembagaan Ikan Larangan
Kelembagaan ikan larangan Desa Sungai Pasak merupakan kelembagaan
lokal yang terbentuk dari modal sosial untuk pembangunan ekonomi desa
sehingga diharapkan dapat meningkatkan pendapatan desa dan masyarakat desa.
Selain kelembagaan lokal, ikan larangan Desa Sungai Pasak juga memiliki
kelembagaan formal yang terbetuk sejak tahun 2010 yaitu Pokmaswas Seipa
Lestari. Terbentuknya kelompok masyarakat pengawas merupakan kesepakatan
Ninik Mamak, Alim Ulama, Cadiak Pandai, Bundo Kanduang, pemuda dan
pemerintah desa sebagai bentuk pelaksanaan dari Keputusan Menteri Kelautan
dan Perikanan Nomor Kep.58/Men/2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan Sistem
Pengawasan Masyarakat dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya
Kelautan dan Perikanan.
Kedua kelembagaan ini merupakan kelembagaan yang mengelola ikan
larangan Desa sungai Pasak. Menurut hasil wawancara, kelompok masyarakat
pengawas dibentuk agar ikan larangan desa diakui secara legal dan lebih
terstruktur. Namun, dimata masyarakat desa ikan larangan dikelola bersama
dibawah pengawasan Ninik Mamak, Alim Ulama, Cadiak Pandai, Bundo
Kanduang, serta pemuda sebagai pelaksana harian. Berdasarkan ulasan yang
dikemukakan oleh narasumber maka penilaian kinerja kelembagaan ikan larangan
Desa Sungai Pasak lebih terfokus pada kelembagaan lokal dibawah pimpinan
Ninik Mamak. Hal ini terkait dengan keberadaan Pokmaswas Seipa Lestari yang
masih tergolong baru dan belum tersosialisasikan dengan benar.
6.3.2.1 Partisipasi Dalam Kelembagaan
Konsep ikan larangan dibentuk dengan tujuan untuk menjaga kelestarian
sumberdaya perikanan dan meningkatkan kesejahteraan serta perekonomian
masyarakat melalui kesepakatan Ninik Mamak, Alim Ulama, Cadiak Pandai,
Bundo Kanduang, pemuda dan tokoh masyarakat desa. Kelembagaan ikan
larangan dipimpin oleh Ninik Mamak, Alim Ulama, dan Cadiak Pandai sebagai
pihak dihormati atau “dituakan” oleh masyarakat desa setempat. Prinsip
kepemimpinan yang terdapat diantara ketiganya adalah prinsip partisipatif.
Partisipatif adalah gaya kepemimipinan yang berkonsultasi dengan bawahan dan
mengunakan ide serta saran mereka dalam mengambil keputusan. Hal ini sesuai
58
dengan sebutan bapantang kusuik indak salasai, bapantang karuah indak janiah
(tidak ada kusut yang tidak akan selesai, tidak ada keruh yang tidak akan jernih).
Artinya, setiap persoalan yang ada dalam kelembagaan ikan larangan dapat dicari
pemecahannya melalui musyawarah dan mufakat. Mufakat merupakan jaminan
utama pengambilan keputusan yang ideal dan benar.
Tabel 13 Sebaran persepsi masyarakat Desa Sungai Pasak mengenai partisipasi
dalam kelembagaan
Tingkat Partisipasi Masyarakat
dalam Kelembagaan
Masyarakat Desa Sungai Pasak
Jumlah Persentase
Tinggi 35 87,5
Sedang 5 12,5
Rendah 0 0
Jumlah 40 100
Sumber : Data primer diolah (2013)
Berdasarkan Tabel 13 diatas, dapat dijelaskan bahwa sebesar 87,5%
masyarakat menyatakan bahwa kelembagaan ikan larangan Desa Sungai Pasak
pastisipatif. Setiap kelembagaan tentunya akan berjalan baik jika para penggerak
atau orang-orang yang berhimpun didalamnya memiliki motivasi yang sama
untuk mencapai tujuan yang sama. Ninik Mamak sebagai orang yang dituakan di
desa dapat memberikan motivasi kepada masyarakat atau anggotanya untuk
bersama-sama mengembangkan potensi yang dimiliki desa mereka. Motivasi yang
diberikan oleh pemimpin kelembagaan ikan larangan ini tergambar dari kegiatan
yang mereka lakukan. Mulai dari waktu yang tepat ikan larangan di buka dan
ditutup semua berdasarkan suara dari masyarakat dan hasilnya juga dirasakan
masyarakat secara bersama.
Selain itu, kelembagaan ini menerapkan transparansi (keterbukaan) dalam
mengemukakan pendapat dalam berdiskusi pengelolaan dana yang diperoleh dari
kegiatan yang dilakukan. Semua hasil yang diperoleh dari musim buka ikan
larangan diketahui oleh masyarakat dan segala peruntukan dana tersebut jelas
diketahui masyarakat. Selain sikap partisipatif yang dimiliki oleh pemimpin,
kelembagaan ikan larangan juga mengambarkan sikap keterbukaan. Sebaran
persepsi masyarakat Desa Sungai Pasak tergambar pada Tabel 14 di bawah ini.
59
Tabel 14 Sebaran persepsi masyarakat Desa Sungai Pasak mengenai transparansi
kelembagaan ikan larangan
Transparansi Kelembagaan Terhadap
Hasil dari Kegiatan yang dilakukan
Masyarakat Desa Sungai Pasak
Jumlah Persentase (%)
Tinggi 40 100
Sedang 0 0
Rendah 0 0
Jumlah 40 100
Sumber : Data primer diolah (2013)
Secara umum kelembagaan ikan larangan Desa Sungai Pasak sangat
transparan dalam pengelolaan potensi desa mereka. Masyarakat menyatakan
bahwa hasil pengelolaan ikan larangan diketahui oleh masyarakat desa. Hal ini
terbukti dari sebaran persepsi masyarakat sebesar 100 persen menyatakan
kelembagaan ini bersifat terbuka (transparan). Menurut penuturan salah satu
narasumber, pengelolaan ikan larangan tidak boleh sembunyi-sembunyi, harus
diberitahu kepada semua masyarakat karena sumberdaya ikan tersebut hidup di
perairan desa yang tentunya diketahui oleh masyarakat.
6.3.2.2 Efektivitas Kelembagaan Ikan Larangan
Efektivitas kelembagaan merupakan tercapainya tujuan kelembagaan yang
dihubungkan kepuasan anggota dalam mencapai tujuan tersebut. Selain itu
efektifitas juga dilihat setelah tujuan tersebut tercapai. Efektifitas kelembagaan
ikan larangan Desa Sungai Pasak diukur melalui perubahan hasil panen ikan dan
perubahan perilaku masyarakat sejak dikembangkannya ikan larangan di desa
tersebut. Indikator perubahan perilaku tersebut terlihat dari manfaat yang diterima
masyarakat desa ketika musim panen ikan dilaksanakan. Melalui kegiatan ikan
larangan tersebut memberikan dampak positif terhadap masyarakat menuju
kemandirian ekonomi. Hal ini terlihat beberapa warga desa yang memiliki warung
mendapat penerimaan yang lebih dari biasanya. Terkadang masyarakat yang tidak
berjualan makanan dihari biasa akan ikut serta berjualan ketika musim panen di
buka.
Untuk mengetahui perubahan hasil panen ikan larangan yang dilakukan
masyarakat Desa Sungai Pasak, dapat dilihat berdasarkan pemasukan yang
diterima oleh pemuda selama kegiatan pemancingan dibuka. Perubahan hasil
panen dilihat dari rata-rata penerimaan uang masuk pemancing yang telah
ditetapkan panitia musim buka ikan larangan selama satu tahun terakhir. Dalam
60
satu tahun kegiatan membuka ikan larangan dilakukan dua kali sehingga dapat
terlihat bahwa penerimaan dari hasil panen mengalami perubahan. Tabel 15
disajikan sebaran persepsi masyarakat Desa Sungai Pasak terhadap hasil panen.
Tabel 15 Sebaran persepsi masyarakat Desa Sungai Pasak terhadap hasil panen
Hasil panen Masyarakat Desa Sungai Pasak
Jumlah Persentase (%)
Tinggi 38 95
Sedang 2 5
Rendah 0 0
Jumlah 40 100
Sumber : Data primer diolah (2013)
Menurut persepsi responden, sebanyak 95% menjawab tinggi. Hal ini
menggambarkan bahwa hasil panen meningkat setiap periode musim buka.
Peningkatan terjadi karena pengelolaan ikan larangan sangat baik dan panitia
musim buka telah melakukan inovasi dalam pemberitahuan pelaksanaan musim
buka ikan larangan tersebut. Keberhasilan peningkatan hasil panen dari ikan
larangan juga memberi dampak pada sebagian masyarakat desa. Meningkatnya
hasil panen menandakan bahwa peserta pemancingan pada musim buka ikan
larangan desa banyak dikunjungi orang. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor
adanya pendapatan tambahan bagi masyarakat desa. Indikator adanya manfaat
berupa pendapatan tambahan yang diterima masyarakat dari kegiatan
pemancingan ikan dimusim buka ikan larangan desa diukur melalui persepsi
masyarakat Desa Sungai Pasak yang tersaji pada Tabel 16 berikut ini.
Tabel 16 Sebaran persepsi masyarakat terhadap manfaat dari kegiatan
pemancingan musim buka Ikan Larangan
Manfaat dari kegiatan
pemancingan
Masyarakat Desa Sungai Pasak
Jumlah Persentase (%)
Bermanfaat 40 100
Kurang Bermanfaat 0 0
Tidak Bermanfaat 0 0
Jumlah 40 100
Sumber : Data primer diolah (2013)
Seluruh responden menyatakan kegiatan pemancingan saat musim buka ikan
larangan bermanfaat. Jawaban tersebut dipilih oleh responden karena selain
menambah pendapatan masyarakat, kegiatan ini juga bermanfaat bagi orang-orang
yang gemar memancing sehingga ikut meramaikan kegiatan yang dilakukan Desa
Sungai Pasak.
61
6.4 Analisis Biaya Transaksi dalam Pengelolaan Ikan Larangan
6.4.1 Komponen dalam Biaya Pengelolaan Ikan Larangan
Berdasarkan hasil analisis aktor terlihat bahwa aktor utama dari
kelembagaan ikan larangan adalah pengurus lembaga adat. Aktor yang terlibat
dalam kepengurusan memiliki pengaruh yang tinggi dalam menentukan segala
keputusan dan kebijakan. Keputusan yang diambil berdasarkan persetujuan dari
pemimpin desa melalui musyawarah dengan ninik mamak. Berdasarkan hal
tersebut, maka analisis biaya transaksi yang dilakukan dalam penelitian ini
difokuskan pada kelembagaan dengan kelompok pemain utama yaitu lembaga
adat.
Secara sistematis biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat desa dalam
kegiatan ikan larangan dapat dilihat pada Gambar 10 di bawah ini.
Sumber: Data primer 2013 (diolah) Gambar 10 Biaya Transaksi pengelolaan ikan larangan Desa Sungai Pasak
Berdasarkan Gambar di atas, total biaya yang dikeluarkan masyarakat
Sungai Pasak dalam kegiatan ikan larangan meliputi (1) Biaya transaksi yang
merupakan biaya yang akan dikeluarkan untuk kegiatan ikan larangan. Dalam
biaya transaksi dalam ikan larangan merupakan biaya pengambilan keputusan
dalam musyawarah dan biaya informasi yang dikeluarkan untuk kegiatan saat
musim buka ikan larangan. Pertemuan ini dilakukan di masjid pada hari Jumat
setiap enam bulan sekali. Pertemuan ini di buka oleh ninik mamak dan diikuti
oleh perwakilan masyarakat dari setiap dusun dan (2) Biaya Operasional Ikan
Larangan yang meliputi biaya yang dikeluarkan untuk pembelian bibit ikan dan
pakan.
Besarnya biaya pengelolaan ikan larangan Desa Sungai Pasak dapat dilihat
pada Tabel 17 pada tabel analisis usaha pengelolaan ikan larangan dibawah ini.
Biaya Pengelolaan Ikan Larangan
Biaya Operasional Biaya Transaksi
62
Tabel 17 Analisis usaha pengelolaan ikan larangan Sungai Pasak
No Uraian Nilai (Rupiah) Keterangan
1 Penerimaan musim
buka (pemancingan)
47 400 000 Hasil pendapatan dari biaya
masuk pemancingan ikan
larangan dengan biaya biaya
masuk Rp 40 000/ orang.
Total pendapatan dari
pemancingan 47 400 000
Total hasil penjualan tiket masuk
pemancingan ikan saat musim
buka selama tahun 2012
2 Biaya pengelolaan
ikan larangan
a. Biaya operasional
berupa :
- Bibit ikan garing
- Pakan
7 000 000
5 000 000
Dikeluarkan setiap musim tutup
dimulai untuk restocking wilayah
ikan larangan.
b. Biaya transaksi
- Biaya musyawarah
1 Musim tutup
2 Musim buka
- Biaya informasi
kegiatan
pemancingan saat
musim buka
500 000
500 000
7 000 000
Dikeluarkan untuk pelaksanaan
musyawarah untuk menetapkan
musim tutup dan musim buka
wilayah ikan larangan.
Biaya pembuatan pamflet, surat
undangan, iklan elektronik untuk
menginformasikan kegiatan
pemancingan ikan larangan Desa
Sungai Pasak.
Total biaya pengelolaan
ikan larangan 20 000 000
Biaya yang dikeluarkan untuk
pengelolaan wilayah ikan
larangan selama setahun
Manfaat bersih dari ikan
larangan
27 400 000 Total pendapatan dari
pemancingan dikurangi total
biaya pengelolaan
Pembagian hasil pengelolaan ikan larangan
Pembangunan mesjid raya (30%) 8 220 000
Untuk mushola (25 %) 6 850 000
Untuk kas pemuda (15 %) 4 110 000
Sisanya untuk kas desa 8 220 000
Sumber : Data primer diolah (2013)
Total biaya yang wajib dikeluarkan Desa Sungai Pasak setiap tahunnya sekitar
Rp. 20 000 000. Biaya terbesar dikeluarkan adalah biaya operasional. Hal ini
dikarenakan adanya biaya penebaran kembali ikan dan pembelian pakan.
6.4.2 Biaya Transaksi Pengelolaan Wilayah Ikan Larangan
Biaya transaksi pengelolaan ikan larangan Desa Sungai Pasak terdiri dari
biaya musyawarah dan biaya sosialisasi kegiatan pemancingan. Suatu
kelembagaan memiliki cara tersendiri dalam mengambil suatu keputusan. Satu
lembaga dengan lembaga lain tentunya berbeda. Sebagai suatu kelembagaan yang
63
memiliki jumlah anggota yang cukup besar tentunya memiliki banyak
pertimbangan dalam memutuskan suatu keputusan. Ninik Mamak sebagai
pimpinan utama dalam kelembagaan ikan larangan desa Sungai Pasak memiliki
peranan penting dalam mengatur kelembagaan tersebut. Ninik Mamak bersama
Alim Ulama dan Cadiak Pandai akan berkoordinasi dengan masyarakat desa
selaku anggota kelembagaan ikan larangan. Musyawarah dilakukan di mesjid raya
desa pada hari Jumat.
Pertemuan tersebut membahas tentang anggaran yang akan diperlukan
untuk penutupan wilayah ikan larangan, biaya operasional yang dibutuhkan dalam
pengelolaan, waktu pembukaan wilayah ikan larangan serta biaya yang diperlukan
saat pembukaan ikan larangan. Total biaya transaksi yang dikeluarkan dalam
mengelola ikan larangan adalah Rp 8 000 000 yang terdiri dari biaya penutupan
wilayah ikan larangan sebesar Rp 500 000 dan biaya pembukaan (biaya
musyawarah dan biaya informasi tentang pelaksanaan kegiatan pembukaan
wilayah ikan larangan) sebesar Rp 7 500 000. Musim buka ikan larangan Desa
Sungai Pasak dilakukan dengan pemancingan sehingga untuk menginformasikan
bahwa akan dilaksanakan musim buka diperlukan biaya. Biaya tersebut berguna
untuk memberitahu para pemancing untuk dapat berpartisipasi dalam
pemancingan dalam musim buka ikan larangan Desa Sungai Pasak. Informasi
tersebut disebarkan melalui pamflet, iklan surat kabar lokal dan radio-radio lokal.
6.4.3 Biaya Operasional Pengelolaan Ikan Larangan
Besarnya biaya operasional yang dikeluarkan Desa Sungai Pasak dalam
mengelola ikan larangan setiap tahunnya sekitar Rp 12 000 000. Biaya tersebut
digunakan dalam membeli bibit ikan untuk restocking dan pakan ikan. Biaya
operasional terdiri dari biaya bibit sebesar Rp 7 000 000 dan biaya pakan sebesar
Rp 5 000 000. Bibit ikan untuk restocking adalah jenis ikan nila, ikan garing, dan
ikan mas. Selama satu tahun Desa sungai Pasak melakukan pembukaan wilayah
ikan larangan dua kali sesuai kesepakatan yang telah dibuat.
Biaya ini dikeluarkan dari hasil panen ikan setiap musim buka. Biaya
pembelian bibit ikan sebesar Rp 7 000 000 dibagi dua karena restocking dilakukan
dua kali. Setelah musim buka dilakukan dua minggu setelah musim buka wilayah
perairan untuk ikan larangan kembali di tutup atau di sepakati kembali sebagai
64
wilayah larangan mengambil ikan. Sebelumnya dilakukan penebaran bibit ikan
agar jumlah ikan dalam wilayah ikan larangan tidak sedikit.
6.5 Manfaat Pengelolaan Ikan Larangan
Secara umum metode analisis yang digunakan dalam menilai manfaat
dari pengelolaan ikan larangan merupakan analisis deskriptif, yaitu
menjelaskan manfaat yang dirasakan oleh masyarakat di Desa Sungai Pasak
yang telah sejak tahun 1970 melakukan pengelolaan ikan dengan sistem ikan
larangan. Berdasarkan Suhana (2008b), lubuk larangan memiliki dampak
terhadap masyarakat, seperti dampak ekologis, ekonomi dan sosial budaya.
Dampak tersebut memberikan manfaat positif. Penilaian ini mencoba
mengidentifikasi kondisi objek penelitian dengan memberi gambaran persepsi
masyarakat mengenai manfaat yang telah mereka peroleh dari mengelola ikan
larangan tersebut.
Secara ekonomi manfaat yang diterima masyarakat Desa Sungai Pasak
dari pengelolaan ikan larangan adalah (1) memberikan manfaat dalam
meningkatkan pendapatan masyarakat desa; (2) keberadaan ikan larangan ini
dapat menjaga ketersediaan sumberdaya ikan; (3) sebagai sumber pendanaan
desa; dan (4) Ikan larangan dapat dijadikan sarana wisata atau hiburan di desa.
Sementara itu secara sosial mafaat yang dirasakan oleh masyarakat dari
pengelolaan ikan larangan adalah (1) salah satu aspek yang dapat menciptakan
kerukunan yang terjalin antar masyarakat Desa Sungai Pasak; (2) Ikan larangan
merupakan tradisi dan sebagai salah satu warisan budaya di masyarakat Desa
Sungai Pasak; (3) Ikan larangan dapat mewujudkan kedisiplinan di masyarakat
Desa Sungai Pasak; dan (4) Ikan larangan melambangkan kemandirian
ekonomi di masyarakat Desa Sungai Pasak.
Secara ekologi ikan larangan memberikan manfaat sebagai berikut (1)
membuat lingkungan (sekitar aliran sungai) lebih bersih; (2)Adanya Ikan
larangan dapat mencegah kerusakan lingkungan; (3) Ikan larangan yang ada di
sungai maupun di banda irigasi dapat menjaga kebersihan air; (4) Pengelolaan
ikan larangan ini termasuk salah satu cara untuk melestarikan lingkungan; dan
65
(5) Ikan Larangan membantu melindungi spesies ikan garing. Berikut grafik
sebaran persepsi masyarakat mengenai manfaat pengelolaan ikan larangan.
Sumber : Data primer diolah (2013)
Gambar 11 Persentase persepsi masyarakat Desa Sungai Pasak mengenai manfaat
pengelolaan ikan larangan
Berdasarkan Gambar 11 dapat dijelaskan bahwa manfaat pengelolaan ikan
larangan Desa Sungai Pasak yang dirasakan masyarakat paling besar adalah
sebagai sumber pendanaan pembangunan desa sebesar 94 persen. Sedangkan
manfaat yang kurang dirasakan masyarakat adalah sebagai alternatif wisata atau
hiburan desa sebesar 65 persen. Secara keseluruhan pengelolaan ikan melalui
sistem ikan larangan sangat baik untuk dilakukan. Mencermati keberadaan ikan
larangan terdapat tiga aspek manfaat yang berdasarkan persepsi
masyarakatdiperoleh hasil bahwa manfaat dari aspek ekologi/lingkungan yang
lebih menonjol.
Hal ini terlihat pada gambar, dimana pernyataan mengenai manfaat ekologi
terdapat pada urutan atas. Manfaat kelestarian lingkungan, menjaga keberadaan
sungai dan banda irigasi dari pencemaran menjadi manfaat utama yang dapat
diterima oleh masyarakat. Sedangkan, manfaat sosial merupakan manfaat kedua
yang dirasakan oleh masyarakat. Keberadaan ikan larangan juga meningkatkan
kerukunan masyarakat Desa Sungai Pasak karena sikap saling percaya dalam
66
mengelola sumberdaya ikan baik yang berada di sungai maupun banda irigasi.
Manfaat ekonomi bukan menjadi manfaat utama pengelolaan ikan larangan.
Menurut hasil wawancara dengan aktor pengelola ikan larangan dan
responden menyatakan bahwa hasil panen ikan larangan telah diperuntukan untuk
pembangunan sarana ibadah desa. Sementara itu, saat musim panen tiba juga
memberikan dampak ekonomi kepada beberapa masyarakat desa seperti warga
desa yang memiliki warung. Kegiatan pemancingan saat musim buka boleh
diikuti oleh siapa saja, tidak harus berasal dari Desa Sungai Pasak. Kegiatan ini
telah berlangsung sekitar 10 tahun belakangan ini. Sebelumnya, kegiatan ini
hanya berlaku bagi warga desa dan daerah sekitarnya. Kegiatan ini dihadiri oleh
ninik mamak desa, kepala desa serta peserta pemancingan. Setiap peserta
pemancingan membayar biaya pemancingan sebesar Rp 40 000.
Hasil dari pemancingan ikan larangan menurut kesepakatan bersama dibagi
menjadi beberapa pos seperti perbaikan sarana ibadah, kas pemuda, sarana umum
berupa jalan desa dan kebutuhan lain yang sesuai dengan kesepakatan tokoh-
tokoh ikan larangan dengan masyarakat desa. Berdasarkan penerimaan yang
diterima dari panen ikan biasanya hasil ikan larangan dipergunakan untuk
kepentingan mesjid sekitar 30 persen, kegiatan di mushola 25 persen serta
tambahan kas pemuda 15 persen dan sisanya dipergunakan untuk pembelian bibit
ikan bagi wilayah banda larangan. Selama tahun 2012 Desa Sungai Pasak
menghasilkan pendapatan dari ikan larangan sebesar Rp 47 400 000.
VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh beberapa informasi tentang
pengelolaan Ikan Larangan yang terdapat di Desa Sungai Pasak, yaitu:
1 Desa Sungai Pasak merupakan salah satu desa di Kecamatan Pariaman Timur,
Kota Pariaman yang masih menerapkan pengelolaan sumberdaya ikan melalui
sistem ikan larangan. Kelembagaan ikan larangan ini memiliki aktor dan aturan
didalamnya. Meskipun kelembagaan tersebut bersifat informal, tetapi bersifat
mengikat bagi seluruh masyarakat desa.
2 Tata pengelolaan kelembagaan ikan larangan telah menjadi tradisi dalam
kehidupan masyarakat hingga saat ini. Pengelolaan ikan larangan Desa Sungai
Pasak secara teknis sepenuhnya diserahkan kepada masyarakat setempat.
Meskipun telah dibentuk Pokmaswas, pengelolaan ikan larangan melalui
kelembagaan adat yang dipimpin ninik mamak masih berperan sebagai
pengontrol dan pengawas dari setiap kegiatan yang berkaitan pengelolaan ikan
larangan.
3 Biaya pengelolaan ikan larangan setiap tahunnya mencapai Rp 20 000 000
biaya tersebut terbagi menjadi dua bagian yaitu biaya operasional sebesar Rp
12 000 000 dan biaya transaksi sebesar Rp 8 000 000.
4 Kelembagaan pengelolaan sumber daya ikan melalui ikan larangan merupakan
salah satu upaya untuk mencapai pembangunan berkelanjutan yang
memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi
pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup generasi masa kini
dan generasi masa depan.
7.2 Saran
1 Sistem ikan larangan merupakan kearifan lokal yang patut dijaga dan
dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman seperti halnya memperkuat
aturan pengelolaan ikan larangan dari yang tidak tertulis menjadi aturan
tertulis. Aturan dapat ditingkatkan menjadi aturan tertulis seperti dimasukan
68
kedalam peraturan desa atau surat keputusan kepala desa dimana isinya tetap
bersumber pada aturan terdahulu.
2 Struktur pengelola harian ikan larangan Desa Sungai Pasak yang ada perlu
dilakukan pergantian secara berkala dan pembaharuan peran serta tanggung
jawab pengurus. Hal ini bertujuan agar pengelolaan ikan larangan Desa Sungai
Pasak lebih terorganisasi dan terstruktur. Pada kelembagaan baru pengelola
ikan larangan yaitu Pokmaswas perlu lebih diaktifkan peranannya, selain itu
perlu diperkuat dengan mendaftarkan kepada Dinas Perikanan Kota Pariaman
agar tercatat dan bersifat legal.
3 Dalam mewujudkan pemanfaatan sumberdaya alam berkelanjutan, termasuk
sumberdaya perikanan perairan umum, diperlukan pengelolaan menyeluruh
yang melibatkan semua pihak terutama komunitas masyarakat lokal yang
tinggal disekitar sumberdaya tersebut.
4 Peran serta masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi diharapkan
dapat mengurangi biaya pengawasan yang dibebankan pada pemerintah. Selain
itu, pembentukan kelembagaan formal (Pokmaswas) dapat dijalankan lebih
baik sehingga pengelolaan ikan larangan memiliki struktur organisasi yang
jelas.
69
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Bustanul. 2005. Ekonomi Kelembagaan Pangan. Jakarta (ID): Pustaka
LP3ES Indonesia.
Adrianto, L, Al Amin M A, Solihin A,dan Hartoto D I. 2011. Kontruksi Lokal
Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Indonesia. Bogor (ID): IPB Press.
Badan Riset Kelautan dan Perikanan. 2009. Dinamika Pengelolaan Sumber Daya
Kelautan dan Perikanan: Bunga Rampai Hasil-hasil Riset Ke-2.
Departemen Kelautan dan Perikanan. ISBN 978-979-3893-12-9.
Departemen Kelautan dan Perikanan. 2004. Statistik Perikanan Tangkap. Jakarta
(ID):Departemen Kelautan dan Perikanan.
Dinas Kelautan dan Perikanan Sumatera Barat. 2010. Kelautan dan Perikanan
dalam angka tahun 2009. [Internet]. [diakses 2013 Mei 23]. Tersedia pada :
www.dkp.sumbarprov.go.id.
Fauzi, Akhmad. 2006. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Teori dan
Aplikasi. Jakarta(ID): PT Gramedia Pustaka Utama.
Gumilar, Iwang. 2012. Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Ekosistem
Hutan Mangrove Berkelanjutan di Kabupaten Indramayu. Jurnal Akuatika
Vol.III No 2./September 2012 (198-211). ISSN 0853-2523.
Haswanto, AI. 2006. Studi Konstruksi Kelembagaan Pengelolaan Sea Farming
(Kasus di Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu)
[tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Hendrik. 2007. Ikan Larangan Sebagai Bentuk Kearifan Lokal dalam
Pemanfaatan Sumberdaya Perairan Umum (studi Kasus Pada Beberapa
Nagari di Sumatera Barat). Vol.35 No.1. Berkala Perikanan Terubuk,
Februari 2007, hlm 1-10. Issn 0126-4265. [Internet]. [diakses 2013 Juni 3].
Tersedia pada : http://e-journal.unri.ac.id/index.php/JT/article/1223/1215
Naditia, Junita.2011.Valuasi Ekonomi Ekosistem Sungai [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Nikijuluw,Victor PH. 2005. Politik Ekonomi Perikanan: Bagaimanana dan
Kemana Bisnis Perikanan. Jakarta (ID): FERACO.
Pahlevi, Reza Shah. 2002. Ikan Diniatkan and Ikan Larangan: Areas of
Tradisional Fish Cultivation in the Districts of Pasaman and Padang
70
Pariaman, West Sumatera Province [Internet]. [diakses 2012 Desember
29]. Tersedia pada : www.konservasi.org.
Parwati A, Purnaweni H, Dwi Anggoro D. 2012. Nilai Pelestarian Lingkungan
dalam Kearifan Lokal Lubuk Larangan Ngalau Agung di Kampung Surau
Kabupaten Dhamasraya Provinsi Sumatera Barat. Prosiding Seminar
Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan [Internet].
Semarang(ID): Universitas Diponegoro. [diakses 2012 Desember 2012].
Tersedia pada : http://e.prints.undip.ac.id.
Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 4 Tahun 2012 tentang
Pengelolaan dan Perlindungan Sumberdaya Ikan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1991 Tentang
Sungai.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2011 Tentang
Sungai.
Profil dan Monografi Desa Sungai Pasak, Kecamatan Pariaman Timur, Kota
Pariaman, Provinsi Sumatera Barat Tahun 2012.
Ratmoko, Dani. 2011. Analisis Kinerja Kelembagaan Pangan Lokal terhadap
Peningkatan Ketahanan Pangan Rumahtangga Miskin di Kasepuhan Sinar
Resmi, Kabupaten Sukabumi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Riduwan, Sunarto. 2007. Pengantar Statistika untuk Penelitian Pendidikan,
Sosial, Komunikasi, Ekonomi, dan Bisnis. Akdon, editor. Bandung (ID):
ALFABETA.
Suhana. 2008a. Analisis Ekonomi Kelembagaan dalam Pengelolaan Sumberdaya
Ikan Teluk Pelabuhan Ratu Kabupaten Sukabumi [tesis]. Bogor. (ID):
Institut Pertanian Bogor.
_______. 2008b. Pengakuan Keberadaan Kearifan Lokal Lubuk Larangan
Indarung, Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau dalam Pengelolaan
dan Perlindungan Lingkungan Hidup. COMIT [Internet].[diakses 15
November 2012]. Tersedia pada: http://suhana-ocean.blogspot.com.
Sunyoto, Danang. 2011. Aplikasi SPSS untuk Statistik Ekonomi dan Bisnis.
Yogyakarta (ID): CAPS.
71
Surma EH, Rodiah, Adnan H. 2008.Mengatur Diri Sendiri Melalui Pengelolaan
Lubuk Larangan, Belajar dari Bungo, Mengelola Sumber Daya Alam di
Era Desentralisasi. ISBN 978-979-1412-47-6, CIFOR Bogor [Internet].
[diakses 20 Desember 2012]. Tersedia pada :
www.cifor.org.publication/pdf_files/Books/Badnan0801.pdf.
Syahyuti. 2004. Model Kelembagaan Penunjang Pengembangan Pertanian di
Lahan Lebak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi
Pertanian. Bogor.
Wahyudin, Yudi. 2004. Community Based Management. Makalah Pelatihan
Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan . Institut Pertanian Bogor (ID): Bogor.
Yustika, Ahmad Erani.2006. Ekonomi Kelembagaan, Definisi, Teori, & Strategi.
Malang (ID): Bayumedia Publishing.
Lampiran 1 Kuisioner Key Person
No : Hari/Tanggal :
...................
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN Jl. Kamper level 5 Wing 5 kampus IPB Dramaga Bogor 16
Telp. (0251) 8621 834, Fax (0251) 8421 762
KUESIONER KEY PERSON
Uraikan bagaimana sejarah adanya ikan larangan Desa Sungai Pasak ini, mengenai
kelembagaan yang ada. Hal ini terkait:
a. Aktor
Siapa saja yang terlibat dalam kelembagaan pengelolaan ikan larangan dan peran
dalam kelembagaan?(Identifikasi Struktur Kelembagaan)
..........................................................................................................................................
..........................................................................................................................................
..........................................................................................................................................
..........................................................................................................................................
b. Aturan Kelembagaan
Identifikasi kelembagaan formal dan non formal mengenai kelembagaan yang
mengelola ikan larangan yang ada di Desa Sungai Pasak?
1.a. Kelembagaan Formal
Apakah ada peraturan formal mengenai kelembagaan yang mengelola ikan larangan
yang ada di Desa Sungai Pasak?
( ) Ya
( ) Tidak
Kalau Ya, Sebutkan jenis peraturan dan hal-hal yang diatur
..........................................................................................................................................
..........................................................................................................................................
..........................................................................................................................................
..........................................................................................................................................
1.b. Kelembagaan Non Formal
Apakah ada Peraturan non formal mengenai kelembagaan yang mengelola ikan
larangan di Desa Sungai Pasak?
( ) Ya
( ) Tidak
Kalau Ya, sebutkan jenis peraturan dan hal-hal yang diatur
..........................................................................................................................................
..........................................................................................................................................
..........................................................................................................................................
..........................................................................................................................................
2. Bagaimana dengan aturan boundary di Desa Sungai Pasak?
..........................................................................................................................................
..........................................................................................................................................
..........................................................................................................................................
..........................................................................................................................................
73
3. Bagaimana aturan akses terhadap sumberdaya yang dikelola masyarakat Desa
Sungai Pasak?
.........................................................................................................................................
.........................................................................................................................................
.........................................................................................................................................
4. Bagaimana monitoring terhadap aturan dan sanksi bila melakukan kesalahan?
.........................................................................................................................................
.........................................................................................................................................
.........................................................................................................................................
.........................................................................................................................................
5. Apabila terjadi konflik, jenis konflik apa yang biasa terjadi dan bagaimana
menyelesaikannya?
.........................................................................................................................................
.........................................................................................................................................
.........................................................................................................................................
.........................................................................................................................................
Biaya Transaksi yang terdapat dalam Kelembagaan Ikan larangan
Biaya apa saja yang terdapat dalam kelembagaan ikan larangan yang anda ketahui?
No Biaya Nominal Keterangan/alasan
Analisis pengaruh dan kepentingan tokoh pengelolaan ikan larangan
No Kepentingan Aspek Jawaban Skor
1 2 3 4 5
1 Keterlibatan
Tokoh
a.Perencanaan
menginisiasi
b.Pengorganisasian
c.Pelaksanaan
d.Pengawasan
2 Manfaat
Pengelolaan
Ikan Larangan
a.Penerimaan desa
b.Menjaga keberadaan
ikan garing
c.Melestarikan budaya
d.terbinanya kerukunan
sosial
3 Pengelolaan
sumberdaya
menjadi
prioritas
a.Sebagai penerimaan
desa untuk pembangunan
sarana ibadah
b.Memberi dampak
ekonomi pada sebagian
masyarakat
c.Sarana mengenalkan
potensi desa
d.Kegiatan yang rutin
dilakukan
4 Tingkat
ketergantung
a.Lokasi
b.Hasil
74
an dengan
sumberdaya
c.Budidaya
d.Konservasi
No Pengaruh Aspek Jawaban
Skor
1 2 3 4 5
1 Aturan
Pengelolaan
a.Menetapkan aturan
b.Melaksanakan aturan
c. Penegakan hukum
d. Pengawasan
2 Peran dan
partisipasi
a.Kontribusi dana
b.SDM
c.Fasilitas
d.Pelaksanaan
3 Kemampuan
dalam
berinteraksi
a.Mengadakan
pertemuan/musyawara
h
b.bekerja sama
c. saling
mempengaruhi
d.mengubah arah
pengelolaan
4 Kewenangan a.Perlindungan dan
pengawasan
b.membangun sarana
prasarana
c.pemberdayaan
masyarakat
d.pelayanan izin
75
Lampiran 2. Kuisioner Responden
No : Hari/Tanggal : ........................
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN Jl. Kamper level 5 Wing 5 kampus IPB Dramaga Bogor 16
Telp. (0251) 8621 834, Fax (0251) 8421 762
KUESIONER PENELITIAN
Kuisioner ini digunakan sebagai bahan skripsi mengenai “Analisis Kelembagaan dan
Biaya Transaksi dalam Pengelolaan Ikan Larangan”, studi kasus ikan larangan
Desa Sungai Pasak, Kota Pariaman, Provinsi Sumatera Barat. Kami mohon partisipasi
Anda untuk mengisi kuisioner ini dengan teliti dan lengkap sehingga dapat menjadi
data yang objektif. Informasi yang Anda berikan dijamin kerahasiaannya, tidak untuk
dipublikasikan dan tidak digunakan untuk kepentingan politis. Atas perhatian dan
partisipasinya Kami ucapkan terima kasih.
A. Karakteristik Responden
Nama :
Alamat :
1. Jenis kelamin : L/P
2. Umur : tahun
3. Status : Menikah/ Belum Menikah
4. Jika sudah menikah, berapa jumlah (orang) anggota keluarga yang ditanggung?
5. Pendidikan formal terakhir yang anda tempuh?
a. SD
b. SMP/Tsanawiyah
c. SMA/STM/Aliyah
d. Perguruan Tinggi
e. Tidak sekolah
6. Apakah jenis pekerjaan Anda saat ini ?
a. PNS (Pegawai Negeri Sipil) e. Pegawai Swasta
b. TNI / Polisi f. Pengusaha / Wirausaha
c. Pedagang g. Ibu Rumah Tangga
d. Buruh Pabrik h. Lainnya, …………………….
7. Rata-rata pendapatan perbulan (dalam rupiah) Saudara?
a. <500.000 Tepatnya : Rp.
b. 500.001-1.000.000 Tepatnya : Rp.
c. 1.000.001-1.500.000 Tepatnya : Rp.
d. 1.500.001-2.000.000 Tepatnya : Rp.
e. >2.000.000 Tepatnya : Rp.
8. Adakah pendapatan lain selain pekerjaan yang Saudara sebutkan di atas?
76
9. Berapakah pendapatan per bulan yang saudara dapatkan dari pekerjaan sambilan
tersebut? Rp.
10. Apakah ada anggota keluarga lainnya yang bekerja?
a. Ya b. Tidak
11. Kalau ada, berapa total pendapatan mereka perbulannya? Rp.
12. Total Pendapatan perbulan satu rumah tangga : Rp.
13. T
o
t
a
l
p
e
ngeluaran Saudara per hari? Rp.
a. Konsumsi keluarga Rp.
b. Biaya anak sekolah Rp.
c. Uang jajan anak Rp.
d. Listrik Rp.
e. Tabungan Rp.
f. Biaya Pengobatan Rp.
B. Kinerja Kelembagaan
1. Kejelasan Kelembagaan
a. Struktur Kelembagaan
No Pernyataan Jawaban
Rendah Sedang Tinggi
1 Bagaimana Struktur kelembagaan dan
pengurus-pengurus pengelolaan ikan larangan
2 Struktur kelembagaan yang ada sudah lengkap
3 Pengurus-pengurus kelembagaan mengetahui
tugasnya masing-masing
4 Pergantian pengurus sesuai waktu yang
dijadwalkan
b. Kejelasan aturan
Menurut sepengetahuan Anda, aturan kelembagaan yang ada di pengelolaan ikan
larangan Desa Sungai Pasak tersaji dalam bentuk apa?
a. Lisan b. Tertulis c. Kedua-duanya
c. Pengetahuan masyarakat terhadap kelembagaan
Menurut tingkat pemahaman Anda, apakah anda mengerti dan memahami siapa saja
aktor yang terlibat serta bagaimana pemahaman tentang aturan kelembagaan?
( )Paham ( )Kurang Paham ( )Tidak Paham
2. Efektivitas Kinerja Kelembagaan
Definisi Skor :
1= Rendah
2= Sedang
3= Tinggi
No Jenis Pekerjaan
Sambilan Curahan jam/hari
Curahan hari/
minggu Keterangan
77
No Pernyataan Jawaban
1 2 3
1 Dalam pengambilan keputusan anggota
diberikan kesempatan dalam mengemukakan
pendapat
2 Kelembagaan bersifat transparan
3 Kegiatan yang dilakukan bermanfaat bagi
masyarakat (hasil dari pemancingan ikan
meningkat setiap musim buka)
4 Hasil dari musim buka terdistribusi kepada
seluruh kegiatan yang direncanakan
C. Manfaat Pengelolaan ikan larangan
Mendeskripsikan Manfaat ikan larangan
1. Apakah anda penduduk asli daerah ini?
( )Ya ( )Tidak
2. Sudah berapa Lama anda tinggal didaerah ini?.................. Tahun
3. Apakah anda tahu tentang ikan larangan Desa Sungai Pasak?
( )Ya ( )Tidak
4. Sejak kapan adanya Ikan Larangan Desa Sungai Pasak ini?
5. Menurut anda bagaimana pengelolaan ikan larangan Desa Sungai Pasak?
( )Sangat baik ( ) Baik ( ) Cukup Baik
( )Kurang Baik ( )Rendah
6. Apakah Ikan Larangan ini memberikan manfaat bagi anda?
( )Ya ( )Tidak
7. Menurut anda, manfaat apa saja yang terdapat dari pengelolaan ikan larangan
Desa Sungai Pasak?
8. Apakah ikan larangan Desa Sungai Pasak ini memberikan manfaat ekonomi?
Ya, alasannya................................................
Tidak, alasannya............................................
9. Bagaimana dengan manfaat sosial, apakah ikan larangan memberikan manfaat
sosial?
Ya, alasannya................................................
Tidak, alasannya.............................................
10. Apakah ikan larangan ini berdampak terhadap lingkungan?
Ya, alasannya...............................................
Tidak, alasannya............................................
Analisis Manfaat Pengelolaan Ikan Larangan
Definisi Skor:
5= Sangat Setuju
4= Setuju
3= Netral
2= Tidak Setuju
1= Sangat Tidak Setuju
Aspek Ekonomi
1. Menurut anda, apakah adanya ikan larangan ini dapat meningkatkan pendapatan
masyarakat?
( )1 ( )2 ( )3 ( )4 ( )5
2. Menurut anda, apakah adanya ikan larangan ini dapat menjaga ketersediaan
sumberdaya ikan?
( )1 ( )2 ( )3 ( )4 ( )5
78
3. Menurut pendapat anda, apakah ikan larangan ini dapat dijadikan sebagai sumber
pendanaan desa?
( )1 ( )2 ( )3 ( )4 ( )5
4. Bagaimana menurut anda, apakah ikan larangan dapat dijadikan sarana wisata
atau hiburan?
( )1 ( )2 ( )3 ( )4 ( )5
Aspek Sosial
1. Menurut pengetahuan anda, apakah dengan adanya ikan larangan kerukunan yang
terjalin antar masyarakat Desa Sungai Pasak semakin meningkat?
( )1 ( )2 ( )3 ( )4 ( )5
2. Menurut anda, apakah ikan larangan merupakan tradisi dan sebagai salah satu
warisan budaya di masyarakat?
( )1 ( )2 ( )3 ( )4 ( )5
3. Menurut pendapat anda, apakah ikan larangan dapat mewujudkan
kedisiplinan di masyarakat?
( )1 ( )2 ( )3 ( )4 ( )5
4. Apakah ikan larangan merupakan salah satu cara untuk melambangkan
kemandirian ekonomi di masyrakat Desa Sungai Pasak?
( )1 ( )2 ( )3 ( )4 ( )5
Aspek Lingkungan
1. Bagaimana dengan manfaat lingkungan yang dirasakan dari adanya ikan larangan
tersebut, apakah dengan adanya ikan larangan lingkungan (sekitar aliran sungai)
lebih bersih?
( )1 ( )2 ( )3 ( )4 ( )5
2. Menurut anda apakah ikan larangan bermanfaat untuk mencegah kerusakan
lingkungan?
( )1 ( )2 ( )3 ( )4 ( )5
3. Apakah dengan adanya ikan larangan ini dapat menjaga sumber air bersih?
( )1 ( )2 ( )3 ( )4 ( )5
4. Apakah dengan adanya pengelolaan ikan larangan ini termasuk salah satu cara
untuk melestarikan lingkungan?
( )1 ( )2 ( )3 ( )4 ( )5
5. Apakah pengelolaan ikanlarangan ini salah satu cara melindungi spesies ikan
garing (jenis ikan lokal)?
( )1 ( )2 ( )3 ( )4 ( )5
79
Lampiran 3 Panduan scoring penilaian tingkat pengaruh dan kepentingan aktor terhadap
pengelolaan ikan larangan Parameter Indikator
1. Pengaruh
1. Aturan atau kebijakan pengelolaan sumberdaya
perikanan
5=Menetapkan aturan dan kebijakan, melaksanakan
aturan dan kebijakan,penegakan hukum,
pemantauan/pengawasan
4=Hanya menyebutkan tiga saja
3=Hanya menyebutkan dua saja
2= Hanya menyebutkan satu saja
1 =Tidak melakukan apapun
2. Peran dan partisipasi dalam perencanaan atau
pengambilan keputusan
dalam pengelolaan sumberdaya perikanan
5=Sangat besar, memberikan kontribusi berupa dana,
SDM, fasilitas dan dalam pelaksanaannya
4=besar, jika berkontribusi terhadap tiga point
3=cukup besar, jika hanya berkontribusi terhadap dua
point saja
2=kurang, jika hanya berkontribusi terhadap salah satu
point saja
1=sangat kecil, tidak mempunyai kontribusi sama sekali
3. Kemampuan dalam berinteraksi
5=Mengadakan forum untuk membahas rencana
pengelolaan, mengadakan kerjasama, saling
mempengaruhi antara tokoh yang bekerjasama,
mengubah arah pengelolaan
4=hanya menyebutkan tiga saja
3=hanya menyebutkan dua saja
2=hanya menyebutkan salah satu saja
1=jika tidak melakukan apapun
4. Kewenangan tokoh terkait dengan pengelolaan ikan
larangan
5=Kewenangan dalam pengawasan kegiatan ikan
larangan, pembangunan sarana dan prasarana,
pemberdayaan masyarakat, pelayanan perizinan untuk
kegiatan pemancingan ikan larangan.
4=Kewenangan dalam 3 point saja
3=Kewenangan dalam 2 point saja
2=kewenangan dalam 1 point saja
1=Tidak memiliki kewenangan
2. Kepentingan 1. Keterlibatan tokoh dalam pengelolaan ikan larangan
5= Terlibat dalam perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, dan pengawasan
4= Keterlibatan dalam 3 poin saja
3= Keterlibatan dalam 2 poin saja
2= Keterlibatan dalam 1 poin saja
1= tidak terlibat sama sekali
80
2. Manfaaat dari pengelolaan ikan larangan
5= Untuk pendanaan pembangunan sarana ibadah desa,
menjaga keberadaan spesies ikan lokal (ikan garing),
dapat berinteraksi dengan desa lain/orang luar,serta
melestarikan budaya yang telah ada
4= Mendapat 3 manfaat
3= Mendapat 2 manfaat
2= Mendapat 1 manfaat
1= tidak mendapatkan manfaat apa-apa
3. Apakah pengelolaan ikan larangan merupakan prioritas
desa?
5= sangat prioritas, karena salah satu sarana pendapatan
desa untuk pembangunan sarana ibadah di desa
4= Prioritas, selain memberikan penerimaan kepada
desa, kegiatan ini juga berdampak pada penerimaan
masyarakat desa saat musim buka
3=Cukup prioritas, sebagai sarana mengenalkan potensi
desa kepada desa lain
2= kurang prioritas, karena kegiatan hanya dilaksanakan
pada waktu-waktu tertentu
1= Tidak prioritas, karena kegiatan ini telah
berlangsung sejak lama
4. Tingkat ketergantungan tokoh terhadap pengelolaan
ikan larangan
5=bergantung terhadap keberadaan sumberdaya (lokasi,
hasil, budidaya,konservasi)
4=bergantung terhadap keberadaan sumberdaya (lokasi,
hasil, budidaya)
3=bergantung terhadap keberadaan sumberdaya (hasil,
budidaya)
2=bergantung terhadap keberadaan sumberdaya (hasil)
1=tidak bergantung terhadap keberadaan sumberdaya
81
Lampiran 4 Panduan scoring analisis kinerja kelembagaan
Parameter Indikator
1. Kejelasan
kelembagaan
1. Struktur kelembagaan berkaitan dengan perbedaan
kedudukan antar anggota, danpembagian tugas.
Selanjutnya, bagaimana kelengkapan struktur tugas
kelembagaan yang diaturnya dan persentase jumlah
anggota yang diberi kejelasan. Struktur kelompok diukur
dengan skala ordinal. Indikator struktur kelembagaan
adalah:
a. Kelengkapan susunan pengurus, kategorinya:
- Tinggi, jika susunan pengurus lengkap : 3
- Kurang, jika susunan pengurus kurang lengkap : 2
- Rendah, jika susunan pengurus tidak lengkap: 1
b. Memahami peran dari susunan pengurus, kategorinya:
- Tinggi, jika mengetahui peranan pengurus dengan jelas :
3
- Sedang, jika kurang mengetahui peranan pengurus : 2
- Rendah, jika tidak mengetahui sama sekali : 1
c. Keteraturan waktu pergantian atau penyempurnaan
pengurus kelembagaan, kategorinya:
- Tinggi, jika pergantiannya teratur: 3
- Sedang, jika pergantiannya kurang teratur: 2
- Rendah, jika pergantiannya tidak teratur: 1
2. Kejelasan aturan merupakan analisis untuk mengetahui
aturan informal yang dibuat secara tertulis atau lisan.
Pengukurannya dilakukan dengan menggunakan skala
ordinal dan dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu:
(1) lisan, (2) tertulis, dan (3) keduanya.
2.Efektivitas
Kinerja
Kelembagaan
dalam mencapai
tujuan
3. Pengetahuan masyarakat terhadap kelembagaan
merupakan analisis untuk mengetahui seberapa besar
tingkat pengetahuan masyarakat mengenai aktor yang
terlibat beserta interaksi dan aturan yang berlaku.
Pengukurannya dilakukan menggunakan skala ordinal dan
dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu:
- Paham, mengetahui sejak kapan ikan larangan ada beserta
tokoh, dan manfaat dari kegiatan tersebut : 3
- Kurang Paham, tidak mengetahui pasti tokoh yang
mengelola dan hanya menyebutkan manfaat dari kegiatan
tersebut : 2
- Tidak Paham, tidak mengetahui sama sekali : 1
1. Partisipatif, indikatornya adalah:
Memberikan kesempatan kepada anggotanya untuk
mengemukakan pendapat dalam merencanakan kegiatan
atau membuat keputusan, kategorinya:
- Tinggi, jika kesempatan berpendapat yang leluasa: 3
- Sedang, jika kesempatan berpendapat dibatasi: 2
- Rendah, jika tidak diberi kesempatan: 1
2.Transparansi (keterbukaan), indikatornya adalah
menyampaikan informasi mengenai pengelolaan ikan
larangan dari segi keuntungan dan penggunaan dari hasil
yang di dapat.
-Tinggi, informasi mendetail dengan pengumuman dan
82
pencatatan yang jelas diketahui seluruh masyarakat desa: 3
- Sedang, hanya diketahui sebagian masyarakat : 2
- Rendah, informasi tidak sampai kepada masyarakat : 1
3. Efektifitas kelembagaan adalah tercapainya tujuan
kelembagaan yang dihubungkan besarnya kepuasan
anggota dalam mencapai tujuan kelembagaan melalui
indikator sebagai berikut:
a. Penerimaan yang diterima dari pengelolaan ikan
larangan, dengan kategori:
- Tinggi, jika penerimaan meningkat dari musim buka
sebelumnya : 3
- Sedang, jika penerimaan sama dari musim setiap musim
buka : 2
- Rendah, jika penerimaan menurun setiap musim buka : 1
b. Manfaat pengelolaan ikan larangan yang dirasakan
masyarakat, dengan kategori:
-Tinggi, jika merasakan manfaat seperti mendapat tambahan
pendapatan saat musim buka, air sungai bersih dan
terciptanya kedisiplinan di masyarakat : 3
- Sedang, jika merasakan 2 manfaat : 2
- Rendah, jika tidak merasakan manfaat sama sekali : 1
83
Lampiran 5 Dokumentasi Penelitian
Wilayah ikan larangan Desa S. Pasak Wilayah ikan larangan Desa S. Pasak
Wilayah ikan larangan Desa S. Pasak Kondisi alam Desa Sungai Pasak
Sumber : www. google.com
Ikan gariang (Tor sp)
Sumber : www.google.com
Wawancara tokoh
Sumber :www. Pariamankota.go.id
Kondisi saat pemancingan
84
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Iftitahul Fajriyah, dilahirkan di Padang tanggal 5
Juni 1991 sebagai anak keempat dari lima bersaudara dari pasangan Izhar
Idham dan Asrida Kasim B.A. Penulis mengawali pendidikan formal di SD
Negeri 20 Indarung tahun 1997-2003. Kemudian menempuh pendidikan di
SMP Negeri 1 Padang tahun 2003-2006 dan pendidikan menegah atas di SMA
Semen Padang tahun 2006-2009. Penulis melanjutkan kuliah di Institut
Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) tahun 2009 dan
diterima sebagai mahasiswa di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan
Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama mengikuti
perkuliahan penulis mengikuti beberapa kepanitiaan yang diselenggarakan di
Institut Pertanian Bogor serta lomba karya tulis ilmiah seperti Program
Kreativitas Mahasiswa (PKM).