analisis penerapan cara produksi dan penanganan daging di
TRANSCRIPT
Analisis Penerapan Cara Produksi dan Penanganan Daging di Rumah Potong Ayam Modern PT. X, Semi Modern Y, dan Tradisional Z Tahun
2013
Amelia Hanis, Ratu Ayu Dewi Sartika Fakultas Kesehatan Masyarakat
Program Studi Gizi Kesehatan Masyarakat Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis penerapan cara produksi dan
penanganan daging ayam yang baik dengan pendekatan prinsip HACCP di RPA modern PT. X, RPA semi modern Y, dan RPA tradisional Z. Penelitian dilakukan pada bulan April-Mei 2013. Desain penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bersifat analitik deskriptif dengan metode studi kasus. Informan penelitian ini berjumlah 8 orang, yaitu supervisor di RPA PT. X yang berasal dari divisi Quality Assurance (QA), Quality Control (QC), Produksi, dan Warehouse, pemilik, pekerja di RPA Y, pemilik, dan pekerja di RPA Z. Pengumpulan data dilakukan dengan cara melakukan wawancara mendalam, observasi, dan telusur dokumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa RPA PT. X sudah menerapkan cara produksi dan penanganan daging ayam yang baik dan prinsip HACCP pada seluruh tahapan proses pemotongan ayam mulai dari penerimaan, penyembelihan, pengeluaran jeroan, pencucian, pendinginan, pemotongan karkas, penyimpanan, hingga pendistribusian. Sedangkan RPA Y dan Z belum menerapkan cara produksi dan penanganan daging ayam yang baik dan prinsip HACCP. Saran dari peneliti, diharapkan RPA PT. X melakukan evaluasi terutama pada tindakan pencegahan. Sedangkan RPA Y dan Z sebaiknya berusaha menerapkan cara produksi dan penanganan daging ayam yang baik dan prinsip HACCP dalam proses pemotongan ayam. Kata Kunci : cara produksi yang baik, cara penanganan yang baik, HACCP, pemotongan ayam, Rumah Potong Ayam
Abstract
The purpose of this study is to analyze the implementation of Good Manufacturing and Handling Practices with HACCP Principles Aproach in Modern Chicken Slaughterhouse PT. X, Semi Modern Chicken Slaughterhouse Y, and Traditional Chicken Slaughterhouse Y. This study was conducted in April and May 2013. The design of this study is descriptive analitic qualitative design with case study method. The informants of this study are 8 persons, which are supervisors of Quality Assurance (QA), Quality Control (QC), Production, and Warehouse Division in PT. X, owner and employee in Chicken Slaughterhouse Y, owner and employee in Chicken Slaughterhouse Z. Data was collected by conducting in depth interview, observation, and document review. The result of this study shows that PT. X has implemented Good Manufacturing and Handling Practices and 7 principles of HACCP in all stages of chicken slaughtering process, including receiving, slaughtering, evisceration, washing and chilling, cutting, storing, and distribution. Chicken Slaughterhouse Y and Z has not implemented Good Manufacturing and Handling Practices and HACCP principles. The author suggest that PT. X should evaluate the system, especially the preventive actions. Slaughterhouse Y and Z should try to implement Good Manufacturing and Handling Practices and HACCP principles in chicken slaughtering process. Key Words : Good Manufacturing Practices, Good Handling Practices, HACCP, food safety, chicken slaughter, chicken slaughterhouse
Analisis Penerapan..., Amelia Hanis, FKM UI, 2013
Pendahuluan
Konsumsi daging unggas, terutama ayam telah meningkat tajam dalam dekade
terakhir karena harganya yang relatif lebih murah, bergizi tinggi dan rendah lemak, serta
mudah dan cepat dipersiapkan (FAO, 2010; Mulder, 1999). Namun demikian, daging ayam
rentan untuk menjadi pembawa bakteri patogen seperti serotipe Salmonella, Campylobacter
jejuni, Listeria monocytogenes, Clostridium perfringens, dan Staphylococcus aureus yang
dapat menyebabkan demam typhoid, demam paratyphoid, dan penyakit gastroenteritis (Sams,
2001).
Proses pemotongan ayam merupakan proses yang berisiko tinggi terjadinya
kontaminasi, terutama oleh bakteri patogen (Sams, 2001). Tingginya kebutuhan akan daging
ayam mendorong berkembangnya bisnis komoditi daging ayam. Namun sayangnya, hal ini
tidak dibarengi dengan penerapan aspek higiene sanitasi pada proses pemotongan sehingga
daging ayam yang beredar di masyarakat tidak terjamin mutu dan keamanannya (Kementan,
2010). Untuk meminimalisir kasus keracunan dan penyakit bawaan makanan terutama yang
disebabkan oleh daging ayam, maka penting bagi Rumah Potong Ayam untuk menerapkan
higiene sanitasi dan cara produksi dan penanganan daging ayam yang baik (Kementan, 2010)
dengan pendekatan prinsip HACCP karena sistem HACCP merupakan pendekatan ilmiah dan
sistematis yang dapat mengidentifikasi dan mengendalikan bahaya untuk menjamin keamanan
pangan (Winarno, 2004).
RPA PT. X merupakan RPA yang modern, sudah menerapkan GMP, SSOP, dan
HACCP. RPA Y merupakan RPA semi modern yang prosesnya dibantu dengan mesin, namun
masih banyak yang dilakukan secara manual, namun belum menerapkan GMP, SSOP, dan
HACCP. Sedangkan RPA Z merupakan RPA tradisional yang prosesnya masih banyak
dilakukan secara manual, serta belum menerapkan GMP, SSOP, dan HACCP. Oleh karena
itu, penelitian ini dilakukan untuk membandingkan penerapan cara produksi dan penanganan
daging ayam yang baik dengan pendekatan prinsip HACCP di RPA modern PT. X, RPA semi
modern Y, dan RPA tradisional Z.
Tinjauan Teoritis
Proses pemotongan ayam secara umum terdiri dari proses penerimaan dan
penampungan ayam hidup, penyembelihan, pengeluaran jeroan, pencucian dan pendinginan,
pemotongan karkas, penyimpanan produk jadi, dan pendistribusian (Sams, 2001).
Analisis Penerapan..., Amelia Hanis, FKM UI, 2013
Setelah tiba di rumah potong ayam, ayam diturunkan dari truk pengangkut, dihitung
dan ditimbang untuk mengetahui tingkat susut ayam selama di perjalanan. Setelah itu ayam
diistirahatkan minimal 2 jam agar ayam tidak stress. Ayam juga diperiksa oleh dokter hewan
atau paramedik kesehatan hewan. Ayam yang sakit tidak boleh dipotong dan harus dipisahkan
dari ayam yang sehat (Kementan, 2010).
Sebelum disembelih, ayam dapat dipingsankan terlebih dahulu agar kesadarannya
menurun (Kementan, 2010). Penyembelihan harus dilakukan dengan pisau yang tajam dan
bersih dan memotong 3 saluran sekaligus, yaitu saluran makanan, saluran pernafasan, dan urat
nadi (Kementan, 2010). Penggunaan pisau untuk menyembelih secara bergantian dapat
menyebabkan kontaminasi silang dan bakteri dapat masuk ke aliran darah (Barbut, 2002;
Mead, 2004). Kontaminasi silang ini dapat dicegah dengan cara mensterilkan pisau dengan
menggunakan panas atau dengan mengalirkan air berklorinasi ke mesin penyembelih secara
terus-menerus (Mead, 2004). Setelah leher teriris, ayam dibiarkan tuntas darahnya selama 3-5
menit (Kementan, 2010). Selanjutnya dilakukan pencabutan bulu. Pencelupan dengan air
panas menyingkirkan sebagian tanah, feses, dan kontaminan lain yang menempel di bulu.
Tetapi, kontaminan ini dapat menyebar ke karkas lain melalui air pencelup (Sams, 2001).
Pencabutan bulu memang mengurangi jumlah bakteri pada ayam, terutama bakteri yang
menempel pada bulu. Tetapi penggunaan mesin pencabut bulu secara bergantian dan
pencabutan sisa bulu secara manual dapat menimbulkan kontaminasi silang (Sams, 2001).
Menurut Kementan (2010), pengeluaran jeroan dapat dilakukan secara manual
maupun dengan mesin. Apabila secara manual, pekerja harus sering mencuci tangan untuk
mengurangi peluang kontaminasi dari tangan pekerja ke karkas yang dipegang (Sams, 2001).
Pengeluaran jeroan yang tidak hati-hati dapat mengakibatkan robeknya usus sehingga
menyebabkan kontaminasi feses dan bakteri menempel pada karkas (Sams, 2001). Setelah
pengeluaran jeroan, harus dilakukan pemeriksaan postmortem untuk mengeliminasi karkas
dan jeroan yang tidak aman dan layak untuk dikonsumsi (Kementan, 2010).
Pencucian karkas sebelum pendinginan dimaksudkan untuk menghilangkan materi
organik dan feses yang mungkin menempel pada karkas (Sams, 2001). Pendinginan karkas
bertujuan untuk menghambat pertumbuhan mikroba sehingga mencapai batas yang aman bagi
kesehatan manusia dan memperpanjang masa simpan karkas (Kementan, 2010). Segera
setelah pengeluaran jeroan, kurang lebih 1-2 jam setelah disembelih, suhu karkas harus
diturunkan hingga 4°C atau kurang.
Analisis Penerapan..., Amelia Hanis, FKM UI, 2013
Setelah pendinginan, karkas dinilai mutunya. Penilaian mutu, penimbangan, dan
pengemasan harus dilakukan secepatnya dan tanpa penundaan agar tidak terjadi pertumbuhan
mikroba yang berarti yang akan merusak mutu karkas (Mead et al., 1993 dalam Mead, 2004).
Pemotongan karkas dapat dilakukan secara manual maupun dengan mesin. Kontaminasi
silang dapat terjadi karena bakteri dapat berpindah melalui permukaan yang kontak dengan
karkas, peralatan atau pisau yang digunakan, maupun pekerja (Sams, 2001). Oleh karena itu,
peralatan harus sering dibersihkan dan didesinfeksi, peralatan dan permukaan juga harus
dijaga agar kering (Mead, 2004). Selama proses pemotongan karkas, suhu karkas dijaga agar
tidak melebihi 10°C dan dilakukan dalam waktu yang seminimal mungkin untuk menghambat
pertumbuhan bakteri pada karkas ayam (Sams, 2001). Suhu ruangan juga harus dijaga agar
tetap sejuk untuk meminimalkan pertumbuhan bakteri perusak (Mead, 2004).
Produk jadi sebaiknya dikemas untuk melindungi dari mikroorganisme, tikus, debu,
kontaminan luar, cahaya, oksigen, dan menjaga kelembaban (Sams, 2001). Produk ayam
segar harus disimpan pada suhu maksimal 4°C sedangkan produk ayam beku harus disimpan
pada suhu maksimal -18°C. Pada proses ini terdapat bakteri patogen L. monocytogenes yang
mampu bertahan hidup pada suhu yang dingin (Sams, 2001).
Proses yang terakhir adalah proses pendistribusian ke distributor maupun konsumen.
Karkas dan daging ayam yang sebelumnya sudah dikemas, sebaiknya dimasukkan ke dalam
kemasan sekunder untuk melindungi dari kerusakan, kebocoran, tanah, dan debu selama
pendistribusian. Suhu merupakan faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba
sehingga dapat mempengaruhi masa simpan produk. Produk jadi harus didistribusikan dengan
menggunakan truk berpendingin yang mampu menjaga suhu produk hingga maksimal 4°C
untuk produk segar dan -18°C untuk produk beku (Mead, 2004) atau menggunakan boks yang
ditambah pecahan es pada bagian teratas karkas (Kementan, 2010).
Sistem HACCP merupakan pendekatan ilmiah dan sistematis dalam mengidentifikasi
dan mengendalikan bahaya untuk menjamin keamanan pangan. HACCP merupakan alat
untuk menilai bahaya dan membuat suatu sistem pengendalian yang berfokus pada upaya
pencegahan. HACCP dapat diterapkan pada seluruh rantai pangan, mulai dari produk primer
hingga konsumsi akhir (SNI 001-4852-1998).
Sistem HACCP terdiri dari tujuh prinsip, yaitu melaksanakan analisa bahaya,
menentukan Titik Kendali Kritis (Critical Control Points-CCPs), menetapkan batas kritis,
menetapkan sistem untuk memantau pengendalian TKK (CCP), menetapkan tindakan
Analisis Penerapan..., Amelia Hanis, FKM UI, 2013
perbaikan apabila hasil pemantauan menunjukkan bahwa terdapat titik kendali kritis yang
menyimpang, menetapkan prosedur verifikasi untuk memastikan bahwa sistem HACCP
bekerja secara efektif, dan menetapkan dokumentasi mengenai semua prosedur dan catatan
yang sesuai dengan prinsip-prinsip sistem HACCP dan penerapannya (SNI 001-4852-1998).
Metode Penelitian
Desain penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bersifat analitik deskriptif
dengan metode studi kasus. Penelitian dilakukan pada bulan April-Mei 2013 di RPA modern
PT. X yang terletak di Desa Jabon Mekar, Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor, RPA semi
modern Y yang terletak di Kampung Kedaung, Kecamatan Sawangan, Kota Depok, dan RPA
tradisional Z yang terletak di Pamulang, Tangerang Selatan. Informan penelitian ini di RPA
modern PT. X adalah 4 orang supervisor yang masing-masing berasal dari divisi Quality
Assurance (QA), Quality Control (QC), Produksi, dan Warehouse. Di RPA semi modern Y,
informan penelitian berjumlah 2 orang, yaitu pemilik RPA dan pekerja. Sedangkan di RPA
tradisional Z, informan berjumlah 2 orang yaitu pemilik RPA dan pekerja. Data primer
diperoleh dari hasil wawancara mendalam dengan informan dan hasil observasi di RPA.
Sedangkan data sekunder berupa prosedur, instruksi kerja, formulir, dokumen, surat, foto, dan
sertifikat. Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan oleh peneliti sendiri dengan cara
melakukan wawancara mendalam, observasi, dan telusur dokumen. Untuk menjaga validitas
data dalam penelitian ini, maka dilakukan triangulasi sumber dan metode. Hasil wawancara
mendalam, observasi, dan dokumen yang ditelusur kemudian disajikan dalam bentuk narasi,
dianalisis, dibandingkan dengan teori dan ditarik kesimpulan.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
- Proses Penerimaan
Di RPA PT. X, dilakukan pemeriksaan SKKH (Surat Keterangan Kesehatan Hewan) atau
walaupun tidak semua peternak sudah memiliki SKKH sedangkan di RPA Y dan Z tidak
diperiksa. Padahal sebaiknya ayam yang diterima disertai SKKH, karena surat tersebut
menerangkan kesehatan ayam yang akan dipotong.
Di RPA PT. X, ayam ditimbang lalu diistirahatkan 1-2 jam, setelah itu digantung di
shackle sambil dihitung. Di RPA Y, setelah sampai, ayam ditimbang, lalu langsung
dipotong, tidak diistirahatkan, kecuali apabila persiapan potong belum selesai, maka
ditunggu dulu dan ayam disiram air agar tidak kepanasan dan mati. Di RPA Z, ayam
sudah ditimbang dan dihitung di peternakan, setelah sampai, ayam langsung dilepas dan
Analisis Penerapan..., Amelia Hanis, FKM UI, 2013
diistirahatkan sampai pagi. Penimbangan dilakukan untuk mengetahui tingkat susut
selama di perjalanan. Sedangkan pengistirahatan sebaiknya dilakukan untuk memulihkan
kondisi ayam dan mengurangi stres (Kementan, 2010).
Di RPA PT. X, sambil diistirahatkan, dilakukan pemeriksaan antemortem. Staf Quality
Control (QC) yang juga merupakan paramedik kesehatan hewan, memeriksa kenampakan,
memarnya, dan kesehatan ayam. Di RPA Y dan Z, tidak dilakukan pemeriksaan kesehatan
dan tidak ada tenaga dokter hewan atau paramedik veteriner yang bertanggung jawab
memeriksa kesehatan ayam, tapi pada saat menangkap ayam, diusahakan hanya dipilih
ayam yang sehat. Padahal sebaiknya dilakukan pemeriksaan antemortem oleh dokter
hewan atau paramedik veteriner sebelum menyembelih agar ayam yang sakit tidak sampai
disembelih karena ayam yang sakit dapat menimbulkan pencemaran pada peralatan,
pekerja, dan tempat pemotongan (Kementan, 2010). Tabel 6.1 Analisa Bahaya dan Tindakan Pencegahan di Proses Penerimaan
RPA Bahaya Penyebab Tindakan Pencegahan PT. X Bakteri Patogen Ayam sakit dan carrier Melakukan pemeriksaan kesehatan ayam
Y Bakteri Patogen Ayam sakit dan carrier Memilih ayam yang sehat Z Bakteri Patogen Ayam sakit dan carrier Memilih ayam yang sehat
Tabel 6.2 Penerapan Prinsip HACCP di Proses Penerimaan
RPA CCP Batas Kritis Monitoring Koreksi Verifikasi Dokumen
PT. X Pemeriksaan antemortem
Ayam sehat tidak
menunjukkan tanda-tanda
sakit
Pemeriksaan antemortem
Membuat Berita Acara Penolakan
Audit
SKKH, Laporan harian
pemeriksaan ayam hidup, Berita acara penolakan
ayam hidup
Y Tidak ada
Ayam tidak menunjukkan
tanda sakit seperti ngorok,
bulu leher berdiri, malas
jalan.
Pada saat memilih ayam, dilihat tanda-
tanda sakit
Tidak ada, ayam sakit
tetap dipotong. Tidak ada Tidak ada
Z Tidak ada
Ayam tidak menunjukkan
tanda sakit seperti ngorok,
bulu leher berdiri, malas
jalan.
Pada saat memilih ayam, dilihat tanda-
tanda sakit
Apabila saat memilih ayam banyak yang sakit, maka pindah ke peternakan
lain.
Tidak ada Tidak ada
RPA PT. X sudah menerapkan seluruh prinsip HACCP, mulai dari analisa bahaya dan
tindakan pencegahan, penentuan Titik Kendali Kritis (CCP), penentuan batas kritis,
penentuan tindakan monitoring, penentuan tindakan perbaikan, tindakan verifikasi, dan
Analisis Penerapan..., Amelia Hanis, FKM UI, 2013
dokumentasi. Sedangkan RPA Y dan Z belum menerapkan seluruh prinsip HACCP pada
proses ini.
- Proses Penyembelihan
Di RPA PT. X, ayam dipingsankan dulu sebelum disembelih dengan stunner, yaitu bak
berisi air yang dialiri listrik sekitar 70 volt selama 1-2 detik. Sedangkan di RPA Y dan Z
ayam tidak dipingsankan sebelum disembelih. Namun RPA Y berencana untuk memasang
shackle dan stunner. Pemingsanan ini bertujuan untuk menurunkan kesadaran ayam dan
mengurangi rasa sakit. Pemingsanan harus cukup, karena apabila kurang dapat
menyulitkan proses penyembelihan, sedangkan apabila berlebihan, ayam dapat mati
sebelum disembelih sehingga tidak halal dan penirisan darahnya menjadi tidak sempurna
(Kementan, 2010).
Di RPA PT. X, Y, dan Z, penyembelihan dilakukan secara manual, yaitu dengan pisau
yang tajam, sambil membaca doa, dan harus mengenai saluran pernafasan, pencernaan,
dan pembuluh darah. karena untuk menjaga kehalalannya. Di RPA PT. X, penyembelih
sudah mendapat sertifikat dari MUI dan ayam digantung pada shackle. Sedangkan di RPA
Y dan Z, ayam tidak digantung, tetapi dipegang dengan tangan. Hal yang penting dalam
penyembelihan adalah pisau yang digunakan harus steril karena pisau yang kotor dapat
menyebabkan kontaminasi bakteri (Barbut, 2002; Mead, 2004). Di RPA PT. X, pisau rutin
dibersihkan dan diasah setiap 15 menit sekali. Namun di RPA Y dan Z, pisau hanya
dibersihkan setelah selesai produksi.
Di RPA PT. X, setelah ayam disembelih, ayam dibiarkan tergantung pada shackle yang
bergerak selama rata-rata 3 menit untuk meniriskan darah. Sedangkan di RPA Y dan Z,
penirisan darah dilakukan di dalam bak atau tong, ayam dibiarkan selama kira-kira 5
hingga 10 menit, agak lebih lama karena tidak menggunakan shackle. Darah harus
ditiriskan sempurna karena akan mempengaruhi kualitas daging ayam yang dihasilkan dan
warna daging menjadi merah (Kementan, 2010). Di RPA PT. X, Y, dan Z, penirisan darah
sudah dilakukan dengan baik karena berdasarkan observasi peneliti, tidak ditemukan
ayam yang dagingnya merah.
Di RPA PT. X, ayam lalu dimasukkan ke mesin scalder 1 yang bersuhu 48-50°C selama 1
menit lalu ke scalder 2 yang bersuhu 58-60°C selama 1 menit. Di RPA Y, ayam yang
sudah ditiriskan darahnya lalu dimasukkan ke mesin rebus yang bersuhu sekitar 60-62°C
selama kurang lebih 1 menit. Sedangkan di RPA Z, ayam dimasukkan ke dalam panci
berisi air panas selama 3-5 menit hingga kulit di bagian ceker ayam mengelupas.
Perebusan dilakukan untuk mempermudah pencabutan bulu dan mengurangi jumlah
Analisis Penerapan..., Amelia Hanis, FKM UI, 2013
bakteri yang menempel pada ayam. Suhu dan lama perendaman sebaiknya dikendalikan
dan air di dalam scalder harus diganti secara berkala untuk mengurangi cemaran
(Kementan, 2010; Sams, 2001). Di ketiga RPA, air scalder sudah diganti berkala, yaitu
setiap sehabis produksi.
Di RPA PT. X, Y, dan Z, setelah keluar dari tangki scalding, pencabutan bulu dilakukan
dengan mesin plucker. Bedanya adalah di RPA PT. X, ayam masih tergantung pada
shackle lalu shackle bergerak melalui mesin pencabut bulu. Sedangkan di RPA Y dan Z,
ayam dimasukkan ke mesin pencabut bulu yang berbentuk seperti drum. Di RPA Y, ayam
dipindahkan ke mesin pencabut bulu dengan conveyor, sedangkan di RPA Z, ayam
diangkat dari panci, lalu diletakkan di lantai, baru dimasukkan ke mesin pencabut bulu.
Hal ini kurang baik karena dapat menyebabkan kontaminasi dari bakteri yang ada di
lantai.
Di RPA PT. X, setelah keluar dari mesin plucker, ayam dipotong kepala lehernya secara
manual, lalu melewati mesin pemotong kaki, ayam dijatuhkan ke ruang pengeluaran
jeroan, lalu digantung kembali secara manual. Di RPA Y, ayam keluar dari mesin
pencabut bulu langsung masuk ke bak stainless, dimuat ke keranjang, lalu diangkat ke
meja untuk dikeluarkan jeroannya. Di RPA Z, ayam yang keluar dari mesin pencabut bulu
kemudian dimasukkan ke bak untuk kemudian dikeluarkan jeroannya. Hal ini sudah baik
karena tidak ada kontak langsung dengan lantai. Namun berdasarkan observasi peneliti, di
ketiga RPA, karkas dipegang langsung dengan tangan sehingga dapat meningkatkan
kontaminasi bakteri dari tangan pekerja (Sams, 2001). Apalagi di RPA Y dan Z tidak
terdapat fasilitas cuci tangan sehingga kemungkinan untuk membawa kontaminan lebih
besar. Tabel 6.3 Analisa Bahaya dan Tindakan Pencegahan di Proses Penyembelihan
RPA Bahaya Penyebab Tindakan Pencegahan
PT. X Bakteri
Pisau yang tidak bersih, kontaminasi tangan pekerja, air scalder
Pencucian pisau pemotong, cuci tangan, mengganti air scalder
Benda asing Bulu yang tidak tercabut Melakukan perawatan plucker, mengatur suhu air scalder
Y Bakteri Kontaminasi dari pisau, tangan pekerja, air scalder,
Membersihkan pisau setelah produksi, mengganti air scalder
Z Bakteri Kontaminasi dari pisau,
tangan pekerja, air rebusan, lantai,
Membersihkan pisau setelah produksi, mengganti air scalder
Tabel 6.4 Penerapan Prinsip HACCP di Proses Penyembelihan
RPA CCP Batas Kritis Monitoring Koreksi Verifikasi Dokumen
PT. X Penyembelihan halal
Terpotong 3 saluran (nafas,
Mengontrol terpotongnya
Ayam merah dimusnahkan Audit Checklist
killling-
Analisis Penerapan..., Amelia Hanis, FKM UI, 2013
darah, pencernaan)
3 saluran eviscerating
Y Penyembelihan
Terpotong sempurna dan
penirisan darah tuntas
Melihat warna daging ayam tidak merah
Ayam merah dimusnahkan Tidak ada Tidak ada
Z Tidak ada Warna daging tidak merah
Melihat warna daging ayam tidak merah
Ayam merah dimusnahkan Tidak ada Tidak ada
RPA PT. X sudah menerapkan seluruh prinsip HACCP, mulai dari analisa bahaya,
penentuan Titik Kendali Kritis (CCP), penentuan batas kritis, penentuan tindakan
monitoring, penentuan tindakan perbaikan, tindakan verifikasi, dan dokumentasi. RPA Y
dan Z hanya menerapkan tindakan perbaikan pada proses ini. Sedangkan prinsip lainnya
belum dilakukan.
- Proses Pengeluaran Jeroan
Di RPA PT. X, ayam disayat di bagian dekat kloaka, jeroan dikeluarkan dengan
menggunakan spoon, setelah itu ada operator yang menarik jeroan satu per satu, mulai
dari hati ampela, empedu, usus, tembolok. Di RPA Y dan Z, ayam dilubangi di bagian
dekat kloaka lalu dibuka dan jeroan diambil langsung dengan tangan. Hal ini kurang baik
karena kontak dengan tangan pekerja dapat meningkatkan peluang kontaminasi bakteri
(Sams, 2001). Agar usus dan tembolok tidak robek, ditempatkan pekerja yang terlatih.
Tapi menurut informan di RPA Y, usus dan tembolok robek tidak menjadi masalah karena
akan direndam di bak pencucian dan di bak berisi air es. Padahal robeknya usus dan
tembolok akan menyebabkan karkas ayam tercemar bakteri dari kotoran dan sisa makanan
ayam (Sams, 2001).
Di RPA PT. X, setelah jeroan dikeluarkan, dilakukan pemeriksaan postmortem. QC
memeriksa kualitas jeroan secara visual atau organoleptik dan melihat apakah hati, usus
dan jantung menunjukkan kelainan seperti berwarna pucat, berbintik-bintik, abnormal,
hipermi atau tidak. QC yang memeriksa jeroan merupakan paramedik veteriner sehingga
benar-benar mengerti jeroan dan karkas yang jelek. Di RPA Y dan Z, hati ampela dipilih
dan disortir oleh pekerja sendiri, tidak ada dokter hewan ataupun paramedik veteriner.
Jeroan yang jelek misalnya hati yang hancur, terbungkus jaringan putih apabila terkena
gumboro, berbintik merah bercampur putih, atau usus ada bulat-bulat putih akan dibuang.
Pemeriksaan postmortem ini berguna untuk mengantisipasi ayam sakit yang tidak
terdeteksi sebelum disembelih, mendeteksi kelainan pada karkas maupun jeroan dan
memisahkan jeroan dan karkas yang aman untuk dikonsumsi (Kementan, 2010).
Analisis Penerapan..., Amelia Hanis, FKM UI, 2013
Tabel 6.5 Analisa Bahaya dan Tindakan Pencegahan di Proses Pengeluaran Jeroan
RPA Bahaya Penyebab Tindakan Pencegahan
PT. X Bakteri
Kontaminasi dari karyawan, pisau, spoon,
kotoran ayam, ayam sakit yang tidak terdeteksi saat pemeriksaan antemortem
Sanitasi pisau, spoon saat produksi, cuci tangan karyawan
Y Bakteri Kontaminasi tangan
pekerja, pisau, kotoran ayam
Membersihkan pisau setelah produksi, memisahkan pisau untuk menyembelih dan untuk
mengeluarkan jeroan
Z Bakteri
Kontaminasi tangan pekerja, pisau yang jugadipakai untuk
menyembelih, lantai
Tidak ada
Tabel 6.6 Penerapan Prinsip HACCP di Proses Pengeluaran Jeroan
RPA CCP Batas Kritis Monitoring Koreksi Verifikasi Dokumen
PT. X
Pemeriksaan postmortem Jeroan normal Mengecek
secara visual Jeroan jelek
dimusnahkan Audit Checklist killling-
eviscerating Pengecekan
terakhir karkas sebelum
masuk area bersih
Tidak ada jeroan dan bulu yang
tertinggal di karkas
Mengecek secara visual
Jeroan dikeluarkan
dan bulu dicabuti
Audit Checklist killling-
eviscerating
Y Tidak ada Jeroan normal Pekerja
memeriksa jeroan
Jeroan jelek dibuang Tidak ada
Catatan berat jeroan, kaki,
kepala
Z Tidak ada Jeroan normal Pekerja
memeriksa jeroan
Jeroan jelek dibuang Tidak ada Tidak ada
RPA PT. X sudah menerapkan seluruh prinsip HACCP, mulai dari analisa bahaya,
penentuan Titik Kendali Kritis (CCP), penentuan batas kritis, penentuan tindakan
monitoring, penentuan tindakan perbaikan, tindakan verifikasi, dan dokumentasi. RPA Y
dan Z hanya menerapkan tindakan perbaikan pada proses ini. Sedangkan prinsip lainnya
belum dilakukan.
- Proses Pencucian dan Pendinginan
Di RPA PT. X, ayam dimasukkan ke chilling tank 1 untuk pencucian dengan air yang
bersuhu 10°C dan mengalir berlawanan arah dengan masuknya karkas, serta ditambahkan
klorin dioksida secara otomatis dengan dosing pump. Pemberian klorin dioksida ini sudah
baik karena dapat membunuh kuman yang ada di air dan di karkas (Kemenkes, 2010). Di
RPA Y, ayam yang sudah dikeluarkan jeroannya dicuci dan diperiksa apabila masih ada
bulu maupun maras yang tertinggal. Maras dan bulu ini dapat mempercepat pembusukan
dan dapat menimbulkan bau tidak sedap. Di RPA Z, ayam dicuci dengan air biasa di
Analisis Penerapan..., Amelia Hanis, FKM UI, 2013
dalam bak. Ketiga RPA sudah melakukan pencucian. Pencucian bertujuan untuk
menghilangkan materi organik dan kotoran yang menempel pada karkas (Sams, 2001).
Di RPA PT. X, setelah keluar dari chilling tank 1, karkas masuk ke chilling tank 2 untuk
didinginkan dengan air mengalir yang bersuhu maksimal 2°C. Karkas yang keluar
diharapkan bersuhu maksimal 4°C. Di RPA Y, setelah dicuci, karkas dimasukkan ke bak
pendinginan yang diisi air yang ditambah 10 balok es dan direndam selama 1-2 jam.
Menurut informan, suhu air kurang lebih 5°C tetapi suhu karkas tidak dicek. Terdapat 2
bak pendinginan, setiap selesai merendam, ayam diangkat, lalu airnya dibuang dan
diganti. Sedangkan di RPA Z, ayam tidak didinginkan. Padahal pendinginan harus
dilakukan untuk menghambat pertumbuuhan mikroba dan segera setelah jeroan
dikeluarkan, suhu karkas harus diturunkan hingga maksimal 4°C (Sams, 2001) atau akan
segera terjadi pembusukan (Murtidjo, 2003). Tabel 6.7 Analisa Bahaya dan Tindakan Pencegahan di Proses Pencucian dan Pendinginan
RPA Bahaya Penyebab Tindakan Pencegahan
PT. X Bakteri Kontaminasi dari air dan es
Mengecek kualitas air dan es setiap 2 minggu sekali
Residu klorin Kerusakan dosing pump Mengecek residu klorin
Y Bakteri Maras yang menempel, tidak ada sirkulasi air di
bak Mencuci karkas, menambahkan klorin, es
Z Bakteri Bakteri yang menempel di karkas, kenaikan suhu Melakukan pencucian
Tabel 6.8 Penerapan Prinsip HACCP di Proses Pencucian dan Pendinginan
RPA CCP Batas Kritis Monitoring Koreksi Verifikasi Dokumen
PT. X Pendinginan
Suhu karkas keluar chilling
tank ≤4°C, residu klorin 0,8-3 ppm,
Mengecek suhu karkas
keluar chilling tank dan
residu klorin
Menambahkan es ke chilling tank, koreksi kadar klorin
Audit
Laporan inspeksi chilling grading
Y Pendinginan Bak diberi 10 balok es Tidak ada
Apabila karkas rusak,
dibuang Tidak ada Tidak ada
Z Pencucian Tidak ada Tidak ada Apabila
karkas rusak, dibuang
Tidak ada Tidak ada
RPA PT. X sudah menerapkan seluruh prinsip HACCP, mulai dari analisa bahaya,
penentuan Titik Kendali Kritis (CCP), penentuan batas kritis, penentuan tindakan
monitoring, penentuan tindakan perbaikan, tindakan verifikasi, dan dokumentasi.
Sedangkan RPA Y dan Z belum menerapkan prinsip HACCP pada proses ini, kecuali
tindakan perbaikan.
Analisis Penerapan..., Amelia Hanis, FKM UI, 2013
- Proses Pemotongan Karkas
Di RPA PT. X, ayam keluar dari chilling tank langsung digantung kembali dan ditiriskan
pada shackle yang berjalan. Suhu di area chilling-grading merupakan suhu ruang,
sehingga walaupun suhu karkas keluar dari chilling tank ≤4°C, dapat terjadi kenaikan
suhu. Setelah itu, operator produksi memilah karkas menjadi grade A dan B, setelah itu
baru dipisahkan berdasarkan ukuran karkas. Penilaian mutu dan penimbangan ini
seharusnya dilakukan secepat mungkin untuk mencegah pertumbuhan mikroba. Namun,
berdasarkan observasi peneliti, proses ini cukup memakan waktu dan suhu ruang yang
tidak dikontol menyebabkan munculnya potensi pertumbuhan bakteri. Di RPA Y dan Z
tidak dilakukan grading menjadi grade A dan B karena di RPA Y khusus memproduksi
boneless, sedangkan RPA Z biasanya menjual daging ayam sebagai parting.
Di RPA PT. X, setelah grading, karkas dipindahkan secepat mungkin ke chiller, lalu
karkas diambil sesuai jumlah pesanan dan dipotong di ruang cut up (pemotongan) sesuai
keinginan customer. Pemotongan karkas menjadi boneless dilakukan secara manual
dengan pisau sedangkan parting dilakukan dengan mesin parting. Suhu di ruang cut up
dijaga agar ≤10°C dan karkas ditambah es agar tetap dingin. Hal ini dilakukan untuk
mencegah pertumbuhan bakteri. Di RPA Y, ayam dipotong dulu sayapnya, lalu pahanya.
Setelah itu, bagian dada dan paha diproses menjadi boneless dengan pisau, dibuang
kulitnya sesuai permintaan pelanggan, setelah itu dibungkus, ditumpuk, dan ditutup es.
Sayangnya, suhu di ruang pemotongan adalah suhu ruang, tidak ada pendingin ruangan.
Walaupun selama menunggu dipotong, karkas ditutupi taburan es, masih ada
kemungkinan suhu karkas naik sehingga lebih rentan terhadap berkembangnya bakteri. Di
RPA Z, ayam dipotong dengan golok di talenan yang diletakkan di atas lantai, dicuci, lalu
ditiriskan di keranjang yang juga diletakkan di atas lantai. Padahal kontak dengan lantai
sebaiknya dihindari karena di lantai terdapat banyak bakteri. Seharusnya pemotongan
dilakukan di atas meja yang tidak terbuat dari kayu, tidak toksik, dan mudah dibersihkan
(SNI 01-6160-1999). RPA Z juga tidak memiliki pendingin ruangan dan ayam juga tidak
ditutupi taburan es sehingga sangat mendukung tumbuhnya bakteri.
Di RPA PT. X, produk ada yang dikemas dengan menggunakan plastik, tray, dikemas
secara vakum, hot seal, lalu diberi label, maupun dengan keranjang untuk produk curah.
Di RPA Y, produk dikemas secara manual per 2 kg dengan kantong plastik PP.
Sedangkan di RPA Z, ayam dikemas dengan kantong plastik kresek bening. Ketiga RPA
sudah melakukan pengemasan. Pengemasan ini bertujuan untuk melindungi produk dari
cemaran (Sams, 2001).
Analisis Penerapan..., Amelia Hanis, FKM UI, 2013
Tabel 6.9 Analisa Bahaya dan Tindakan Pencegahan di Proses Pemotongan Karkas
RPA Bahaya Penyebab Tindakan Pencegahan
PT. X Bakteri
Kontaminasi pekerja, pisau, talenan, kenaikan
suhu
Mencuci peralatan setiap 4 jam sekali, menjaga suhu ruang maks 10°C, mengadakan cuci tangan
keliling Sisa plastik dan seal
tape Sisa plastik dan seal tape
belum dirapikan Menyediakan wadah untuk sisa plastik
Y Bakteri Kontaminasi tangan
pekerja, pisau, kenaikan suhu,
Memberi es pada karkas, membersihkan pisau setelah produksi
Z Bakteri
Pisau untuk menyembelih juga dipakai untuk memotong karkas
Mencuci pisau setelah produksi
Cemaran logam Pisau berkarat masih digunakan Tidak ada
Tabel 6.10 Penerapan Prinsip HACCP di Proses Pemotongan Karkas
RPA CCP Batas Kritis Monitoring Koreksi Verifikasi Dokumen
PT. X Pembekuan cepat
Suhu karkas keluar dari
blast freezer maks. -18°C
Mengecek suhu produk,
suhu blast freezer
Pembekuan ulang Audit
Form pengecekan area packing
frozen, laporan in-out blast freezer
Y Pemberian es Tidak ada Tidak ada
Apabila daging
kebiruan, dipotong
Tidak ada Catatan berat dan jumlah
daging
Z Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Apabila daging merah,
memar dibuang
Tidak ada Tidak ada
RPA PT. X sudah menerapkan seluruh prinsip HACCP, mulai dari analisa bahaya,
penentuan Titik Kendali Kritis (CCP), penentuan batas kritis, penentuan tindakan
monitoring, penentuan tindakan perbaikan, tindakan verifikasi, dan dokumentasi.
Sedangkan RPA Y dan Z belum menerapkan seluruh prinsip HACCP pada proses ini.
- Proses Penyimpanan
Di RPA PT. X, produk segar disimpan di chiller dengan suhu maksimal 4°C selama
maksimal 3 hari, sedangkan produk frozen dibekukan dahulu di blast freezer dengan suhu
sekitar -40°C selama 4 jam agar suhu karkas bisa mencapai ≤-18°C, setelah itu dikemas
dengan karung, lalu disimpan di cold storage dengan suhu maksimal -18°C selama
maksimal 1 tahun. Suhu penyimpanan harus diperhatikan karena kenaikan suhu dapat
mempercepat pertumbuhan bakteri. Standar suhu di anteroom dan loading dock adalah
7°C agar kenaikan suhu produk tidak signifikan.
Analisis Penerapan..., Amelia Hanis, FKM UI, 2013
Di RPA Y, produk beku dibekukan dulu di blast freezer dengan suhu -40°C selama 4-8
jam, setelah itu dikeluarkan, dikemas dalam karung per 20 ekor, lalu disimpan di cold
storage dengan suhu -20°C maksimal selama 6 bulan. Tetapi menurut informan, biasanya
1-2 bulan sudah habis barangnya. Sedangkan produk segar ditaburi es dan langsung
diangkut atau disimpan di dalam ruang es apabila harus menunggu.
Di RPA Z, ayam tidak pernah disimpan karena apabila ada pesanan baru dipotong.
Seharusnya suhu penyimpanan harus dijaga 1-4°C untuk produk segar dan ≤-18°C untuk
produk beku agar bakteri tidak tumbuh (Murtidjo, 2003). Tabel 6.11 Analisa Bahaya dan Tindakan Pencegahan di Proses Penyimpanan
RPA Bahaya Penyebab Tindakan Pencegahan
PT. X Bakteri Kenaikan suhu chiller dan cold storage
Mengecek suhu chiller dan cold storage, membersihkan chiller dan cold storage
Y Bakteri
Kenaikan suhu ruang es dan cold storage,
akumulasi kotoran di ruang es dan cold storage
Tidak dilakukan pengecekan suhu. Cold storage dibersihkan tetapi tidak rutin
Z Bakteri Kenaikan suhu produk Tidak ada
Tabel 6.12 Penerapan Prinsip HACCP di Proses Penyimpanan
RPA CCP Batas Kritis Monitoring Koreksi Verifikasi Dokumen
PT. X Tidak ada
Standar suhu chiller ≤4°C, cold
storage maksimal -
18°C
Mengecek suhu chiller
dan cold storage.
Memperbaiki mesin
pendingin, evakuasi produk
Audit
Laporan Pengecekan Suhu Ruang
Penyimpanan FGWH.
Y Penyimpanan dingin
Suhu cold storage dapat
mencapai -40°C
Tidak ada Memperbaiki
mesin pendingin
Tidak ada Catatan keluar masuk barang
Z Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
RPA PT. X sudah menerapkan seluruh prinsip HACCP, mulai dari analisa bahaya,
penentuan Titik Kendali Kritis (CCP), penentuan batas kritis, penentuan tindakan
monitoring, penentuan tindakan perbaikan, tindakan verifikasi, dan dokumentasi. RPA Y
hanya menerapkan tindakan perbaikan. Sedangkan RPA Z belum menerapkan seluruh
prinsip HACCP pada proses ini.
- Proses Pendistribusian
Di RPA PT. X, produk yang akan dikirim telah dikemas dengan kemasan sekunder berupa
kardus, karung untuk produk beku, dan keranjang untuk produk curah. Di RPA Y,
kemasan yang digunakan untuk produk fresh adalah plastik, sedangkan produk frozen
dikemas dengan karung. Sedangkan di RPA Z, kemasan yang digunakan adalah kantong
plastik. Ketiga RPA sudah melakukan pengemasan. Pengemasan sekunder ini penting
Analisis Penerapan..., Amelia Hanis, FKM UI, 2013
untuk melindungi produk dari kerusakan, kebocoran, cemaran, dan debu selama
pendistribusian (Sams, 2001). Kemasan harus cukup kuat, dapat melindungi produk dari
cemaran tapi tidak mengandung bahan yang dapat mempengaruhi isi kemasan (Murtidjo,
2003).
Di RPA PT. X, sebelum mobil diberangkatkan, mobil harus didinginkan terlebih dahulu.
Standar di PT. X adalah suhu mobil untuk produk fresh harus mencapai 0-4°C sedangkan
untuk produk beku suhunya maksimal -12°C. Hal ini sudah baik, yaitu agar tidak terjadi
lonjakan suhu saat produk dimasukkan ke mobil. Barang dikeluarkan dari chiller dan cold
storage secara FIFO (First in First Out) untuk produk fresh dan FEFO (First Expired
First Out) untuk produk frozen. Hal ini sudah baik, produk yang dihasilkan lebih dulu
didistribusikan lebih dulu untuk menjaga kualitas produk. Persiapan dilakukan di dalam
chiller untuk produk fresh, di anteroom untuk produk dalam jumlah besar dan di cold
storage untuk produk frozen dalam jumlah kecil. Namun sayangnya, suhu di anteroom 1
dan 2, yang berdekatan dengan loading dock selalu di atas standar (standarnya adalah
≤7°C) karena pendingin di loading dock rusak. Hal ini dapat menyebabkan suhu produk
naik saat persiapan kirim, sehingga terdapat kemungkinan terjadi pertumbuhan mikroba.
Di RPA Y, produk segar dikeluarkan dari ruang es, lalu ditimbang dan dikemas ulang
sesuai pesanan. Suhu saat menimbang dan mengemas ulang adalah suhu ruang sehingga
terdapat kemungkinan bakteri dapat tumbuh. Produk segar yang akan dikirim dimasukkan
ke boks plastik lalu ditaburi es, ditutup dan dimasukkan ke mobil biasa. Hal ini kurang
baik, karena tidak ada pendingin, maka es bisa meleleh di perjalanan dan bakteri rentan
tumbuh. Produk beku dikeluarkan dari cold storage lalu ditimbang dan dimasukkan ke
mobil berpendingin yang dapat mencapai suhu -20°C. Pengeluaran produk belum
dilakukan secara FIFO, tetapi diambil secara acak. Hal ini kurang baik untuk kualitas
produk karena produk yang lebih dulu diproduksi dapat menumpuk di cold storage dan
apabila rusak, dapat terjadi kontaminasi ke produk yang masih baik.
Sedangkan di RPA Z, apabila barang harus diantarkan, maka diantar dengan motor dan
produk tidak didinginkan dengan es. Padahal suhu merupakan faktor penting karena
mempengaruhi pertumbuhan mikroba dan masa simpan produk (Sams, 2001).
Tabel 6.13 Analisa Bahaya dan Tindakan Pencegahan di Proses Pendistribusian
RPA Bahaya Penyebab Tindakan Pencegahan
PT. X Bakteri Kenaikan suhu anteroom, loading dock, dan mobil Mengecek suhu anteroom dan mobil
Analisis Penerapan..., Amelia Hanis, FKM UI, 2013
Y Bakteri Kenaikan suhu saat pendistribusian
Pengiriman produk beku dengan mobil berpendingin. Tapi produk segar hanya ditaburi
es. Z Bakteri Kenaikan suhu Tidak ada
Tabel 6.14 Penerapan Prinsip HACCP di Proses Pendistribusian
RPA CCP Batas Kritis Monitoring Koreksi Verifikasi Dokumen
PT. X Tidak ada
Standar suhu anteroom ≤7°C, standar suhu mobil saat precooling 0-4°C untuk produk fresh dan ≤-12°C untuk
produk frozen.
QC mengecek suhu
anteroom, suhu mobil
saat precooling,
dan suhu selama di perjalanan terekam
Apabila sudah jelek, maka
dimusnahkan. Audit
Catatan data logger (suhu mobil selama di perjalanan)
dan catatan komplain dari
customer.
Y Pengiriman dingin Tidak ada
Tidak dilakukan
pengecekan suhu
Apabila rusak dibuang. Tidak ada
Catatan jumlah, berat
barang, alamat pengiriman
Z Tidak ada Tidak ada Tidak ada Apabila rusak dibuang. Tidak ada Tidak ada
RPA PT. X sudah menerapkan seluruh prinsip HACCP, mulai dari analisa bahaya, penentuan
Titik Kendali Kritis (CCP), penentuan batas kritis, penentuan tindakan monitoring, penentuan
tindakan perbaikan, tindakan verifikasi, dan dokumentasi. RPA Y hanya melakukan tindakan
perbaikan. Sedangkan RPA Z belum menerapkan seluruh prinsip HACCP pada proses ini.
Kesimpulan
RPA PT. X sudah menerapkan cara produksi dan penanganan daging ayam yang baik, kecuali
bak celup tangan kurang efektif dan pendingin di loading dock rusak. RPA PT. X sudah
memiliki sarana prasarana yang cukup memenuhi SNI RPA, kecuali lantai licin, tergenang,
berlubang dan masih ada lalat. RPA PT. X sudah menerapkan seluruh prinsip HACCP.
RPA Y belum menerapkan cara produksi dan penanganan daging ayam yang baik karena
tidak melakukan pemeriksaan antemortem, tidak membersihkan pisau pada saat produksi,
tidak melakukan pemeriksaan postmortem, meletakkan jeroan di atas lantai, tidak memasang
pendingin di ruang pemotongan karkas, belum melakukan pembersihan cold storage secara
rutin, dan tidak mendistribusikan produk segar dengan mobil berpendingin. RPA Y belum
memiliki sarana prasarana yang memenuhi SNI RPA, karena tidak ada tempat cuci tangan,
foot bath, dinding yang kurang tinggi, lantai yang licin dan tergenang, dan sarana
Analisis Penerapan..., Amelia Hanis, FKM UI, 2013
pengendalian hama. RPA Y juga belum menerapkan prinsip HACCP, kecuali tindakan
perbaikan.
RPA Z belum menerapkan cara produksi dan penanganan daging ayam yang baik karena
tidak melakukan pemeriksaan antemortem, tidak membersihkan pisau pada saat produksi,
tidak melakukan pemeriksaan postmortem, menggunakan pisau yang sudah berkarat,
meletakkan karkas maupun jeroan di atas lantai, tidak mendinginkan karkas dengan es, dan
mencampur antara peralatan yang digunakan untuk menyembelih dengan peralatan untuk
memotong karkas. RPA Z belum memiliki sarana prasarana yang memenuhi SNI RPA karena
tidak dipisahkan area kotor dan bersih, tidak ada sarana cuci tangan, pencegahan serangga,
dan konstruksi bangunan belum memenuhi SNI RPA. RPA Z juga belum menerapkan prinsip
HACCP, kecuali tindakan perbaikan.
Saran
RPA Y dan Z sebaiknya menerapkan cara produksi dan penanganan daging ayam yang baik,
memperbaiki dan menyediakan sarana prasarana yang belum sesuai dengan SNI, dan mulai
berusaha menerapkan prinsip-prinsip HACCP setelah GMP dan SSOP terpenuhi. RPA PT. X
sebaiknya melakukan evaluasi terhadap prinsip-prinsip HACCP yang telah diterapkan,
memperbaiki sarana prasarana yang rusak.
Kepustakaan
Barbut, Shai. 2002. Poultry Product Processing An Industry Guide. Boca Raton: CRC Press.
Buzby, Jean C. 2003. International Trade and Food Safety: Economic Theory and Case
Studies. USDA.
FAO. 2010. Agribusiness Handbook Poultry Meat & Eggs.
FAO dan WHO. 2009. Salmonella and Campylobacter in Chicken Meat.
Guerrero-Legarreta, Isabel. 2009. Handbook of Poultry Science and Technology. Hoboken:
John Wiley & Sons Inc.
Kementrian Pertanian. 2010. Pedoman Produksi dan Penanganan Daging Ayam yang
Higienis. Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Pascapanen Direktorat Jenderal
Peternakan dan Pertanian.
Mead, G.C. 2004. Poultry Meat Processing and Quality. Boca Raton: CRC Press.
Analisis Penerapan..., Amelia Hanis, FKM UI, 2013
Mulder, R.W.A.W. 1999. Safety of Poultry Meat: From Farm to Table. International
Consultative Group on Food Irradiation (ICGFI)
Murtidjo, Bambang Agus. 2003. Pemotongan dan Penanganan Daging Ayam. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
Sams, Alan R. 2001. Poultry Meat Processing. Boca Raton: CRC Press.
Standar Nasional Indonesia 01-4852-1998 tentang Sistem Analisa Bahaya dan Pengendalian
Titik Kritis (HACCP) serta Pedoman Penerapannya.
Standar Nasional Indonesia 01-6160-1999 tentang Rumah Pemotongan Unggas.
Thaheer, Hermawan. 2005. Sistem Manajemen HACCP (Hazard Analysis Critical Control
Points). Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Winarno, F.G. dan Surono. 2004. HACCP dan Penerapannya Dalam Industri Pangan. Bogor:
M-BRIO PRESS, Cetakan 2.
Analisis Penerapan..., Amelia Hanis, FKM UI, 2013