analisis kurs, jumlah uang beredar, dan suku bunga sbi...
TRANSCRIPT
i
ANALISIS KURS, JUMLAH UANG BEREDAR, DAN
SUKU BUNGA SBI TERHADAP INFLASI DI INDONESIA
PERIODE 2001 – 2010
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Untuk Memenuhi Syarat-syarat untuk Meraih Gelar Sarjana Ekonomi
Oleh
AFAQA HUDAYA
NIM: 107084003267
JURUSAN ILMU EKONOMI STUDI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H/2011 M
ii
ANALISIS KURS, JUMLAH UANG BEREDAR, DAN
SUKU BUNGA SBI TERHADAP INFLASI DI INDONESIA
PERIODE 2001 - 2010
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Untuk Memenuhi Syarat-syarat untuk Meraih Gelar Sarjana Ekonomi
Oleh
AFAQA HUDAYA
NIM: 107084003267
JURUSAN ILMU EKONOMI STUDI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H/2011 M
iii
iv
v
vi
vii
viii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : AFAQA HUDAYA
Tempat & Tanggal Lahir : Jakarta, 7 Juni 1989
Agama : Islam
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : Belum Menikah
Pekerjaan : Pelajar/Mahasiswa
Kewarganegaraan : Indonesia
Golongan Darah : B
Tinggi & Berat Badan : 182 cm & 62 kg
Hobi : Futsal, Hiking, dan Bermain Gitar
Alamat : Griya Depok Asri Blok G-1/6
Depok - Jawa Barat
Nomor Telepon : 08158757359
Jenjang Pendidikian
1. Tahun 2007 sampai dengan sekarang.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Tahun 2004 sampai dengan tahun 2007.
SMA Negeri 3 Depok
3. Tahun 2001sampai dengan tahun 2004.
SMP Negeri 4 Depok
ix
4. Tahun 1995 sampai dengan tahun 2001.
SD Negeri Mekar Jaya XI Depok
5. Tahun 1993 sampai dengan tahun 1995.
TK Nurul Islam Depok
Pengalaman Berorganisasi
1. Bulan April 2011 sampai dengan sekarang.
Berorganisasi di Griffon’s Army Regional Depok sebagai
Ketua Koordinator.
2. Tahun 2009 sampai dengan tahun 2010.
Berorganisasi di BEM Jurusan IESP sebagai
Staf Divisi Olahraga dan Seni.
3. Tahun 2006 sampai dengan tahun 2007.
Berorganisasi di Pencinta Alam SMAN 3 Depok “EKSTANBA” sebagai
Seksi Hubungan Masyrakat.
4. Tahun 2005 sampai dengan tahun 2006.
Berorganisasi di Futsal SMAN 3 Depok sebagai
Sekretaris.
5. Tahun 2002 sampai dengan tahun 2003.
Berorganisasi di OSIS SMPN 4 Depok sebagai
Sekretaris.
x
ABSTRACT
Inflation is the most popular in the Indonesian monetary progress. Bank Indonesia as Central Bank has an important role to keep inflation in the safety position. The importance of inflation control is based on the consideration that high and unstable inflation contribute the negative impact on socio-economic conditions of society. There are three indicators that used in this analysis who can give affect to inflation. These indicators are the exchange rate, money supply, and the SBI (Central Bank Certificate) rate.
To obtain the latest research results, this research examines the last decade, from 2001 to 2010. This analysis attempts to explain the causality relationship among exchange rate, money supply, and the SBI rate to inflation in Indonesia 2001-2010. Beside that, this analysis attempts to explain that is there has the cointegration relationship among the exchange rate, money supply, and the SBI rate to inflation in Indonesia during 2001 – 2010. In the other hand, this analysis attempts to explain the shock influence among the exchange rate, money supply, and the SBI rate to inflation in Indonesia from 2001 to 2010.
The exchange rate and money supply progress in 2001 – 2010 are more stable than inflation and the SBI rate progress. Based on the results of the analysis, there are two causalities among the SBI rate variable and the exchange rate variable with inflation. There is a cointegrated relationship in the VECM model from the money supply variable. The SBI rate has more influence the inflation than the money supply and exchange rate. Keywords: Inflation, Exchange Rate, Money Supply, Interest Rate of SBI.
xi
ABSTRAKSI
Inflasi merupakan hal yang sangat populer dalam perkembangan moneter Indonesia. Bank Indonesia sebagai Bank Sentral memiliki peran penting dalam menjaga inflasi pada posisi yang aman. Pentingnya pengendalian inflasi didasarkan pada pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat. Terdapat tiga indikator yang digunakan pada analisis ini yang dapat memberikan pengaruh terhadap inflasi. Indikator-indikator tersebut adalah kurs, jumlah uang beredar, dan suku bunga SBI (Sertifikat Bank Indonesia).
Untuk mendapatkan hasil penelitian yang terbaru, maka penelitian ini meneliti pada satu dekade terakhir, yaitu 2001 – 2010. Analisis ini mencoba untuk menjelaskan hubungan kausalitas antara kurs, jumlah uang beredar, dan suku bunga SBI terhadap inflasi di Indonesia tahun 2001 - 2010. Selain itu, analisis ini mencoba untuk menjelaskan apakah ada hubungan kointegrasi antara kurs, jumlah uang beredar, dan suku bunga SBI terhadap inflasi di Indonesia pada periode 2001 – 2010. Di sisi yang lain, analisis ini mencoba untuk menjelaskan pengaruh guncangan antara kurs, jumlah uang beredar, dan suku bunga SBI terhadap inflasi di Indonesia periode 2001 - 2010.
Perkembangan kurs dan jumlah uang beredar tahun 2001 – 2010 lebih stabil dibandingkan dengan perkembangan inflasi dan suku bunga SBI. Berdasarkan hasil analisis didapatkan dua buah hubungan kausalitas antara variabel suku bunga SBI dan variabel kurs dengan variabel inflasi. Terdapat sebuah hubungan kointegrasi pada model VECM dari variabel jumlah uang beredar. Suku bunga SBI lebih besar pengaruhnya terhadap inflasi dibandingkan dengan jumlah uang beredar dan kurs.
Kata Kunci: Inflasi, Kurs, Jumlah Uang Beredar, Suku Bunga SBI.
xii
KATA PENGANTAR
Dengan penuh rasa syukur dan segala puji bagi Allah SWT, serta rahmat
dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya.
Skripsi ini dibuat berdasarkan hasil peninjauan melalui buku-buku yang dapat
menunjang dan sumber-sumber dari internet yang membantu dalam menyusun
skripsi ini.
Adapun maksud dan tujuan dari skripsi ini secara garis besar yaitu untuk
dapat menganalisis, mempelajari, mengetahui, serta menambah wawasan kita
mengenai faktor-faktor inflasi di Indonesia, yaitu pengaruh kurs, jumlah uang
beredar, dan suku bunga SBI terhadap inflasi di Indonesia pada periode 2001 –
2010 khususnya dengan menggunakan alat analisis Vector Error Correction
Model.
Dalam pembuatan skripsi ini, banyak pihak-pihak yang ikut terlibat baik
secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu penulis ingin mengucapkan
rasa terima kasih kepada pihak-pihak tersebut, di antaranya adalah:
1. Keluarga besar penulis, Ayah, Bunda, Lia, dan Tika, yang telah
memberikan support dan do’anya agar skripsi ini dapat selesai tepat pada
waktunya. Terima kasih kepada Ayah dan Bunda yang telah
membesarkan, mendidik, dan mengajarkan penulis dalam berbagai hal
hingga sampai saat ini dan membiayai penulis dalam segala jenjang
pendidikan sampai saat ini. Penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya.
xiii
2. Bapak Pheni Chalid, SF., MA, Ph.D selaku Dosen Pembimbing Skripsi I.
Terima kasih penulis ucapkan atas bimbingan dan ilmu yang telah Bapak
berikan selama ini. Banyak sekali ilmu yang penulis dapatkan selama
bimbingan ini. Penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
3. Ibu Utami Baroroh, M.Si selaku Dosen Pembimbing Skripsi II dan
Sekretaris Jurusan IESP. Terima kasih penulis ucapkan atas perhatian yang
telah Ibu berikan kepada mahasiswa dan mahasiswi IESP, tenaga dan
pikiran yang telah ibu curahkan untuk memajukan jurusan IESP, ilmu
yang bermanfaat, dan bimbingan skripsi yang telah Ibu berikan selama ini.
Banyak sekali ilmu yang penulis dapatkan selama bimbingan ini. Penulis
ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
4. Bapak Dr. Lukman, M.Si selaku Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi
Pembangunan (IESP). Terima kasih atas semua program dan perhatian
yang telah Bapak curahkan untuk jurusan IESP. Semoga jurusan IESP
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dapat lebih baik lagi dan dapat
melahirkan sarjana-sarjana ekonomi yang professional, berilmu, beriman,
dan kreatif dalam rangka mewujudkan masyarakat madani yang
demokratis dan bermoral Islam.
5. Terima kasih penulis ucapkan kepada seluruh dosen IESP atas pendidikan,
pengajaran, wawasan, dan ilmu-ilmu yang telah diberikan. Penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
6. Terima kasih juga tidak lupa penulis ucapkan kepada seluruh teman-teman
penulis di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah bersama-sama
xiv
melalui hari demi hari hingga sampai di penghujung akademik ini.
Semoga kelak kita masih dapat bertemu dan terus mempererat tali
silaturahmi.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan.
Oleh sebab itu, penulis berharap mendapat saran dan kritik konstruktif demi
peningkatan kualitas dan penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat
diterima dan kelak dapat bermanfaat bagi kita semua.
Depok, 1 Juni 2011
Penulis
AFAQA HUDAYA
xv
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI DARI PEMBIMBING…..……………… iii
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN KOMPREHENSIF………………….…..… iv
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI................………………….…...… v
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI…………………………...... vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP………………………………………….…....... viii
ABSTRACT.............................................................................................................. x
ABSTRAKSI......................................................................................................... xi
KATA PENGANTAR.......................................................................................... xii
DAFTAR ISI......................................................................................................... xv
DAFTAR TABEL............................................................................................... xix
DAFTAR GAMBAR............................................................................................ xx
DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................ xxi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian........................................................ 1
1. Identifikasi Masalah.............................................................. 1
2. Batasan Masalah.................................................................... 9
B. Rumusan Masalah................................................................... 10
C. Tujuan dan Manfaat.................................................................. 11
1. Tujuan ................................................................................. 11
2. Manfaat .............................................................................. 11
xvi
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori yang Berkenaan dengan Variabel yang Diambil............ 13
1. Inflasi.................................................................................... 13
2. Kurs...................................................................................... 19
3. Jumlah Uang Beredar........................................................... 22
4. Suku Bunga SBI............................……..…............…......... 24
B. Keterkaitan Antar Variabel...................................................... 27
C. Penelitian Terdahulu................................................................ 29
D. Kerangka Pemikiran................................................................. 34
E. Hipotesis................................................................................... 38
BAB III METODELOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian........................................................ 40
B. Teknik Penentuan Sampel........................................................ 41
C. Teknik Pengumpulan Data....................................................... 41
1. Internet…………................................................................. 41
2. Studi Kepustakaan................................................................ 42
3. Sumber Data......................................................................... 42
a. Inflasi................................................................................ 42
b. Kurs.................................................................................. 42
c. Jumlah Uang Beredar....................................................... 43
d. Suku Bunga SBI............................................................... 43
D. Teknik Analisis ....................................................................... 43
xvii
1. Uji Stasioneritas Data & Derajat Integrasi........................... 45
2. Ujii Kausalitas Granger........................................................ 46
3. Uji Kointegrasi………......................................................... 47
4. Estimasi VECM................................................................... 47
5. IRF (Impulse Response Function)........................................ 48
6. Variance Decomposition...................................................... 48
E. Operasional Variabel Penelitian............................................... 49
1. Inflasi.................................................................................... 49
2. Kurs...................................................................................... 50
3. Jumlah Uang Beredar........................................................... 50
4. Suku Bunga SBI................................................................... 51
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Sekilas Gambaran Umum Objek Penelitian............................ 52
1. Inflasi.................................................................................... 52
2. Nilai Tukar (Kurs)................................................................ 54
3. Jumlah Uang Beredar........................................................... 58
4. Suku Bunga SBI................................................................... 60
B. Analisis Uji Ekonometrik......................................................... 62
1. Analisis dan Interpretasi....................................................... 62
a. Uji Stasioneritas Data & Derajat Integrasi....................... 62
1) Uji Stasioneritas Data.................................................. 62
2) Uji Derajat Integrasi..................................................... 63
xviii
b. Uji Kausalitas Granger..................................................... 66
c. Uji Kointegrasi................................................................. 69
d. Estimasi VECM............................................................... 70
e. IRF (Impulse Response Function).................................... 72
f. Variance Decomposition.................................................. 74
BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
A. Kesimpulan.............................................................................. 76
B. Implikasi................................................................................... 77
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 79
LAMPIRAN.......................................................................................................... 83
xix
DAFTAR TABEL
No. Keterangan Halaman
1.1 Perkembangan Inflasi, Kurs, Jumlah Uang Beredar, dan Suku Bunga SBI di Indonesia Tahun 2005-2010
4
2.1 Matriks Referensi Penelitian Terdahulu 29
3.1 Operasionalisasi Variabel 49
4.1 Uji Stasioneritas Data 63
4.2 Uji Derajat Integrasi (First Difference) 64
4.3 Uji Derajat Integrasi (Second Difference) 65
4.4 Uji Kausalitas Granger Antara Kurs dan Inflasi 66
4.5 Uji Kausalitas Granger Antara JUB dan Inflasi 67
4.6 Uji Kausalitas Granger Antara SBI dan Inflasi 68
4.7 Uji Kointegrasi 70
4.8 Estimasi VECM 71
4.9 Impulse Response Function Terhadap DINFLASI 73
4.8 Variance Decomposition 74
xx
DAFTAR GAMBAR
No. Keterangan Halaman
2.1 Skema Mekanisme Hubungan Pengaruh SBI Terhadap Inflasi 28
2.2 Kerangka Pemikiran 37
4.1 Grafik Inflasi Tahun 2001 - 2010 52
4.2 Grafik Nilai Tukar Tahun 2001 - 2010 55
4.3 Grafik Jumlah Uang Beredar Tahun 2001 - 2010 59
4.4 Grafik Suku Bunga SBI Tahun 2001 - 2010 61
4.5 Impulse Response Function 72
xxi
DAFTAR LAMPIRAN
No. Keterangan Halaman
1 Data Penelitian 84
2 Uji Stasioneritas Data 88
3 Uji Derajat Integrasi 92
4 Uji Kausalitas Granger 100
5 Uji Kointegrasi 103
6 Estimasi VECM 109
7 Impulse Response Function 112
8 Variance Decomposition 113 9 Nilai Dari t-Table 115
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
1. Identifikasi Masalah
Perkembangan inflasi di Indonesia sangat fluktuatif. Inflasi merupakan
hal yang paling diperhatikan dalam perkembangan moneter Indonesia. Hal
ini dapat terlihat pada kinerja dari pemerintah dan Bank Indonesia yang
berusaha menjaga kestabilan inflasi. Kestabilan inflasi merupakan prasyarat
bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan yang pada akhirnya
memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pentingnya pengendalian inflasi didasarkan pada pertimbangan bahwa
inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif kepada
kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Bank Indonesia, sebagai Bank Sentral, memiliki tujuan untuk mencapai
dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Hal yang dimaksud dengan
kestabilan nilai rupiah antara lain adalah kestabilan terhadap harga-harga
barang dan jasa yang tercermin pada tingkat inflasi. Peran kestabilan nilai
tukar yang tercermin pada tingkat inflasi sangat penting dalam mencapai
stabilitas harga dan sistem keuangan. Oleh karenanya, Bank Indonesia juga
2
menjalankan kebijakan nilai tukar untuk mengurangi volatilitas nilai tukar
yang berlebihan, bukan untuk mengarahkan nilai tukar pada level tertentu.
Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk
melakukan kebijakan moneter melalui penetapan sasaran-sasaran moneter
(seperti jumlah uang beredar atau tingkat suku bunga) dengan tujuan utama
menjaga sasaran laju inflasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Secara
operasional, pengendalian sasaran-sasaran moneter tersebut menggunakan
instrumen-instrumen, antara lain operasi pasar terbuka di pasar uang baik
rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan
cadangan wajib minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan.
Pada periode tahun 2007/2008, terjadi krisis global yang berpusat di
Amerika Serikat. Krisis ini mempunyai dampak yang cukup besar
khususnya bagi negara-negara yang mempunyai hubungan yang sangat erat
dengan Amerika Serikat dalam hal ekonomi. Dalam hal ini, Indonesia juga
merasakan dampaknya meskipun tidak sebesar krisis moneter pada tahun
1997/1998. Berbagai indikator perekonomian menunjukkan bahwa krisis
perekonomian global telah mengalir dan menyebar pada kinerja
perekonomian dalam negeri. Pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan
mengalami perlambatan. Konsumsi rumah tangga diperkirakan tumbuh
melambat, sama halnya dengan investasi yang diperkirakan melemah akibat
menurunnya permintaan eksternal dan meningkatnya faktor risiko
ketidakpastian perekonomian dunia. Pertumbuhan ekspor diperkirakan juga
3
akan melambat sedangkan pertumbuhan impor diperkirakan akan tertahan.
Di sisi penawaran, beberapa sektor utama penopang pertumbuhan yakni
sektor pertanian dan industri diperkirakan tumbuh lebih rendah dari triwulan
sebelumnya. Namun, beberapa sektor seperti sektor pengangkutan dan
telekomunikasi, serta sektor listrik, diperkirakan masih akan tumbuh tinggi.
Inflasi menjadi perhatian utama Bank Indonesia. Berbagai kebijakan
Bank Indonesia diarahkan untuk mengurangi tekanan inflasi dalam jangka
menengah panjang. Inflasi pada akhir tahun 2008 tercatat mengalami
penurunan. Penurunan laju inflasi tersebut terutama disebabkan oleh
menurunnya inflasi pada kelompok volatile food dan sumbangan deflasi dari
kelompok administered price. Inflasi kelompok volatile food adalah inflasi
yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) dalam kelompok bahan
makanan seperti panen, gangguan alam, atau faktor perkembangan harga
komoditas pangan internasional. Inflasi kelompok administered price adalah
inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) berupa kebijakan
harga pemerintah, seperti harga BBM bersubsidi, tarif listrik, tarif angkutan,
dan lain-lain. (Bank Indonesia, ”Disagregasi Inflasi”). Sementara itu, dari
sisi fundamental, melambatnya permintaan domestik serta berkurangnya
tekanan dari imported inflation (inflasi yang bersumber dari kenaikan harga-
harga barang yang diimpor) menyebabkan tekanan pada inflasi inti
cenderung menurun. Meski demikian, Bank Indonesia masih mencermati
tekanan inflasi yang berasal dari sisi permintaan serta pertumbuhan kredit
perbankan yang masih tinggi.
4
Perkembangan inflasi, nilai tukar, jumlah uang beredar (JUB), dan
suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) di Indonesia tahun 2005 - 2010
dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel. 1.1
Perkembangan Inflasi, Kurs, Jumlah Uang Beredar, dan Suku Bunga SBI di Indonesia Tahun 2005 – 2010
Tahun Inflasi (%) Kurs (Rupiah) JUB (Miliar Rupiah) Suku Bunga SBI (%) 2005. 1 7.76 9273.20 1018190 7.29 2005. 2 7.65 9545.20 1057566 7.79 2005. 3 8.41 10006.17 1121787 8.75 2005. 4 17.79 9997.14 1180230 12.54 2006. 1 16.9 9305.91 1197153 12.85 2006. 2 15.51 9094.84 1232257 12.40 2006. 3 14.87 9121.02 1273881 11.36 2006. 4 6.05 9136.19 1351286 9.50 2007. 1 6.36 9099.42 1372146 8.10 2007. 2 6.02 8975.18 1412120 7.83 2007. 3 6.51 9247.91 1494901 8.27 2007. 4 6.73 9234.98 1581026 8.20 2008. 1 7.64 9257.48 1598235 7.99 2008. 2 10.12 9265.05 1652268 8.43 2008. 3 11.96 9217.78 1715667 9.70 2008. 4 11.5 11028.11 1853117 11.25 2009. 1 8.56 11623.17 1897035 9.68 2009. 2 5.67 10541.46 1939075 7.63 2009. 3 2.76 9996.55 1991585 6.70 2009. 4 2.59 9470.14 2075036 6.59 2010. 1 3.65 9265.80 2084141 6.58 2010. 2 4.37 9119.63 2163467 6.56 2010. 3 6.15 8999.02 2243001 6.63 2010. 4 6.32 8962.97 2374792 6.37
Sumber: 1. Data Inflasi didapat dari Laporan Inflasi (Indeks Harga Konsumen) pada situs resmi Bank Indonesia.
2. Data Kurs didapat dari Kalkulator Kurs pada situs resmi Bank Indonesia.
3. Data Jumlah Uang Beredar didapat dari Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia sektor moneter pada situs resmi Bank Indonesia.
4. Data Suku Bunga SBI didapat dari sub bagian Suku Bunga SBI pada situs resmi Bank Indonesia.
5
Dengan melihat pada tabel. 1.1, depresiasi rupiah yang cukup besar
dan ekspektasi inflasi yang cenderung meningkat sepanjang 2005 kuartal 3
juga turut memberikan tekanan terhadap inflasi. Meskipun demikian,
tekanan dari depresiasi rupiah relatif masih terbatas. Terbatasnya dampak
pelemahan rupiah terhadap inflasi disebabkan oleh kecenderungan para
produsen untuk menahan sebagian kenaikan harga yang bersumber dari
depresiasi rupiah mengingat terbatasnya daya beli masyarakat. Tingginya
tekanan inflasi selepas kenaikan harga BBM pada Oktober 2005 menuntut
Bank Indonesia dan pemerintah mengambil langkah-langkah kebijakan
untuk mengendalikan sumber-sumber tekanan inflasi. Dalam
perkembangannya sampai tahun 2006, berbagai langkah kebijakan yang
diambil Bank Indonesia dan pemerintah berhasil mengendalikan sumber-
sumber utama tekanan inflasi. Pada tahun 2006, penurunan tingkat inflasi
hanya diikuti dengan terapresiasinya nilai kurs rupiah terhadap dolar.
Pada periode tahun 2007/2008, telah terjadi krisis global di
Amerika Serikat. Krisis ini mempunyai dampak yang cukup besar
khususnya bagi negara-negara yang mempunyai hubungan yang sangat erat
dengan Amerika Serikat dalam hal ekonomi. Dalam hal ini, Indonesia juga
merasakan dampaknya meskipun tidak sebesar krisis moneter pada tahun
1997/1998. Krisis global ini membuat kembali naiknya inflasi pada tingkat
10,12% pada tahun 2008 kuartal 2. Kenaikan tingkat inflasi ini juga diikuti
dengan kenaikan pada nilai kurs rupiah terhadap dolar, jumlah uang beredar,
dan suku bunga SBI
6
Tekanan inflasi pada tahun 2009 secara umum sangat minimal. Hal
ini tidak terlepas dari pengaruh kebijakan Bank Indonesia dan pemerintah
dalam memulihkan kepercayaan pasar. Kondisi tersebut pada gilirannya
dapat mendukung membaiknya ekspektasi inflasi untuk kembali kepada
targetnya, yaitu berkisar pada tingkat 6%. Pada tahun 2009 ini, penurunan
inflasi diikuti oleh penurunan kurs rupiah terhadap dolar dan suku bunga
SBI.
Pada awal tahun 2010, tekanan inflasi semakin meningkat tiap
kuartalnya sampai dengan pertengahan tahun hingga akhirnya fluktuatif
pada kisaran 6%. Inflasi yang baik adalah inflasi yang stabil pada
kisarannya, meskipun naik dan turun tetapi tetap pada kisarannya. Pada
tahun 2010, kenaikan inflasi tidak diikuti dengan kenaikan kurs rupiah
terhadap dolar dan suku bunga SBI.
Pada sisi inflasi, melambatnya perekonomian dunia tentu
menurunkan tekanan inflasi yang berasal dari harga barang internasional.
Secara umum, tekanan inflasi di dalam negeri mereda. Meski demikian,
Bank Indonesia masih mencermati beberapa risiko tekanan inflasi ke
depan yang perlu terus diwaspadai. Menghadapi kondisi tersebut, Bank
Indonesia memandang penting untuk menjaga kebijakan moneter yang
tepat untuk dapat mencapai keseimbangan antara pencapaian sasaran
inflasi dengan kestabilan ekonomi dalam jangka menengah panjang.
7
Perkembangan kurs rupiah terhadap dolar sejak tahun 2008 – 2009
mengalami depresiasi. Sentimen global telah mendorong terjadinya
perilaku menghindari risiko (risk aversion) oleh para investor
asing. Terjadinya krisis global menyebabkan para investor memindahkan
portfolionya keluar dari Indonesia. Hal ini memicu terjadinya capital
outflow (aliran modal keluar). Meski kondisi fundamental Indonesia masih
kondusif, perilaku tersebut menyebabkan nilai tukar rupiah melemah.
Indonesia tidak sendiri dalam hal ini. Pelemahan nilai tukar terjadi pada
mata uang di kawasan regional, dengan penyebab yang sama, yaitu imbas
dari sentimen global.
Perkembangan jumlah uang beredar terus mengalami kenaikan
pada periode 2005 – 2010. Penyebab dari hal ini merupakan efek dari
sentimen global, di mana masyrakat lebih cenderung untuk memegang
uangnya sendiri atau menyimpannya di bank. Bank sudah menjadi
perantara keuangan yang semakin aktif karena semakin bertumbuhnya
perekonomian di Indonesia. Hal ini terlihat dari banyaknya transaksi yang
dilakukan melalui bank, baik itu berupa transfer antar rekening maupun
transfer antar bank.
Perkembangan suku bunga SBI terlihat tinggi pada tahun 2006.
Dengan semakin tingginya tingkat suku bunga SBI, maka semakin tinggi
juga tingkat bunga deposito dan tingkat bunga kredit yang akan
mempengaruhi investor dalam menyalurkan uangnya. Investor akan lebih
8
condong memanfaatkan kenaikan tingkat bunga deposito karena tidak
berisiko. Kenaikan suku bunga SBI ini pada tahun 2006 tidak selalu diikuti
dengan kenaikan inflasi.
Secara spesifik dapat dikatakan bahwa tidak selalu apresiasi nilai
tukar juga diikuti dengan kenaikan inflasi, kenaikan jumlah uang beredar
tidak selalu diikuti dengan kenaikan inflasi, dan kenaikan suku bunga SBI
tidak selalu diikuti dengan penurunan inflasi.
Sampai saat ini berbagai upaya untuk menekan laju inflasi telah
dilakukan oleh pemerintah. Salah satunya yaitu melalui pengendalian
inflasi dari sisi moneter, yaitu melalui Inflation Targeting Framework
(ITF). Inflation Targeting Framework (ITF) adalah sebuah kerangka kerja
di mana Bank Indonesia secara eksplisit mengumumkan sasaran inflasi
kepada publik dan kebijakan moneter diarahkan untuk mencapai sasaran
inflasi yang ditetapkan oleh pemerintah tersebut. (Bank Indonesia,
”Kerangka Kebijakan Moneter”). Dengan mengkerucuti hal-hal yang
berpengaruh terhadap inflasi khususnya dalam jangka pendek dan jangka
panjang maka dapat dirumuskan kebijakan yang tetap untuk diterapkan
pada negara tersebut agar tingkat inflasi tetap stabil. Oleh karena itu,
tulisan ini berusaha untuk menjawab analisis dari kurs, jumlah uang
beredar, dan suku bunga SBI yang mempengaruhi dan
mengidentifikasikan faktor yang paling besar pengaruhnya terhadap inflasi
dengan menggunakan alat analisis Vector Error Correction Model
9
(VECM). Dengan uraian latar belakang inilah maka dalam penulisan
skripsi ini penulis mengambil judul “Analisis Kurs, Jumlah Uang Beredar,
dan Suku Bunga SBI Terhadap Inflasi di Indonesia Periode 2001 – 2010”.
2. Batasan Masalah
Batasan masalah digunakan untuk menetapkan batasan-batasan
dari masalah penelitian yang akan berguna untuk mengidentifikasi faktor-
faktor mana saja yang akan dimasukkan ke dalam ruang lingkup masalah
penelitian dan mana yang tidak dimasukkan. Adapun batasan masalah
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Inflasi yang dipakai adalah inflasi IHK.
b. Jumlah uang beredar yang dipakai adalah jumlah uang beredar M2.
c. Kurs yang dipakai adalah kurs tengah Rupiah terhadap US Dollar.
d. Suku Bunga SBI yang dipakai adalah suku bunga SBI jangka waktu
tiga bulan.
e. Faktor-faktor lain seperti pertumbuhan ekonomi dan lain-lain
diabaikan.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penilitian sebelumnya
adalah penelitian yang dilakukan oleh Harunurrasyid hanya melihat
pengaruh dari variabel tingkat bunga SBI terhadap inflasi, sedangkan
penelitian ini melihat analisis dari kurs, jumlah uang beredar, dan suku
bunga SBI terhadap inflasi.
10
Penelitian yang dilakukan oleh Nairobi mengambil wilayah
penelitian di Kota Bandar Lampung sedangkan penulis mencoba untuk
mengambil wilayah penelitian secara lebih umum, yaitu Indonesia.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Fery Andrianus & Amelia
Niko, mereka menggunakan alat analisis OLS (Ordinary Least Square)
sedangkan pada penelitian ini menggunakan alat analisis VECM (Vector
Error Correction Model).
B. Rumusan Masalah
Kurs, jumlah uang beredar, dan suku bunga SBI sebagai variabel yang
mempengaruhi inflasi. Untuk lebih memfokuskan pokok bahasan, berikut
pertanyaan-pertanyaan penelitian untuk menjelaskan fenomena faktor-faktor
yang mempengaruhi inflasi di Indonesia.
1. Apakah ada hubungan kuantitas kausalitas antara kurs, jumlah uang
beredar, dan suku bunga SBI terhadap inflasi di Indonesia periode 2001-
2010?
2. Apakah ada hubungan kuantitas kointegrasi antara kurs, jumlah uang
beredar, dan suku bunga SBI terhadap inflasi di Indonesia pada periode
2001 –2010?
3. Bagaimana besarnya pengaruh guncangan (shock) antara kurs, jumlah
uang beredar, dan suku bunga SBI terhadap inflasi di Indonesia periode
2001-2010?
11
C. Tujuan dan Manfaat
Adapun tujuan dan manfaat dari penelitian “Analisis Kurs, Jumlah Uang
Beredar, dan Suku Bunga SBI Terhadap Inflasi di Indonesia Periode 2001 –
2010” adalah sebagai berikut:
1. Tujuan
a. Untuk menganalisa ada atau tidaknya hubungan kuantitas kausalitas
antara kurs, jumlah uang beredar, dan suku bunga SBI terhadap inflasi di
Indonesia periode 2001-2010.
b. Untuk menganalisa ada atau tidaknya hubungan kuantitas kointegrasi
antara kurs, jumlah uang beredar, dan suku bunga SBI terhadap inflasi di
Indonesia pada periode 2001 –2010.
c. Untuk menganalisa besarnya pengaruh guncangan (shock) antara kurs,
jumlah uang beredar, dan suku bunga SBI terhadap inflasi di Indonesia
periode 2001-2010.
2. Manfaat
a. Untuk mengetahui penyebab-penyebab tinggi-rendahnya tingkat inflasi
dan guncangan (shock) yang terjadi sehingga diharapkan dapat
mengurangi kemiskinan di masa yang akan datang karena inflasi yang
tinggi akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat akan terus turun
sehingga standar hidup dari masyarakat turun dan akhirnya menjadikan
semua orang, terutama orang miskin, bertambah miskin.
12
b. Untuk mengetahui penyebab-penyebab tinggi-rendahnya tingkat inflasi
dan guncangan (shock) yang terjadi sehingga diharapkan di masa yang
akan datang dapat menghindari inflasi yang tidak stabil karena akan
menciptakan ketidakpastian (uncertainty) bagi pelaku ekonomi dalam
mengambil keputusan. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa inflasi
yang tidak stabil akan menyulitkan keputusan masyarakat dalam
melakukan konsumsi, investasi, dan produksi, yang pada akhirnya akan
menurunkan pertumbuhan ekonomi.
c. Untuk mengetahui penyebab-penyebab tinggi-rendahnya tingkat inflasi
dan guncangan (shock) yang terjadi sehingga diharapkan di masa yang
akan datang dapat mencegah tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi
dibanding dengan tingkat inflasi di negara tetangga karena dapat
menjadikan tingkat bunga domestik riil menjadi tidak kompetitif
sehingga dapat memberikan tekanan pada nilai rupiah.
d. Untuk dapat dimanfaatkan sebagai pustaka atau literatur bagi penelitian
yang berhubungan dengan kurs, jumlah uang beredar, dan suku bunga
SBI terhadap inflasi di Indonesia periode 2001 – 2010 dengan alat
analisis Vector Error Correction Model.
e. Untuk masukan sebagai referensi bagi suatu pihak atau badan yang
berkepentingan baik itu berupa informasi dan data yang berhubungan
dengan kurs, jumlah uang beredar, dan suku bunga SBI terhadap inflasi
di Indonesia periode 2001 – 2010 dengan alat analisis Vector Error
Correction Model.
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori yang Berkenaan dengan Variabel yang Diambil
1. Inflasi
Inflation is a rise in the general level of prices. (McConnell & Brue,
2002: 146). Yang penting terdapat kenaikan harga umum barang secara terus-
menerus selama satu periode tertentu. Kenaikan yang terjadi hanya sekali saja
(meskipun dengan presentase yang cukup besar) bukanlah merupakan inflasi.
(Nopirin, 2009: 25). Mempertahankan inflasi tetap rendah telah lama menjadi
tujuan kebijakan pemerintah. Yang menjadi masalah utama adalah
hiperinflasi, atau periode peningkatan yang sangat cepat dalam tingkat harga
secara keseluruhan. (Case & Fair, 2007: 5). Kebalikan dari inflasi disebut
deflasi. Deflasi adalah penurunan tingkat harga keseluruhan. Deflasi terjadi
ketika banyak harga turun secara serentak. (Case & Fair, 2007: 57).
Perubahan harga umum sangat tergantung pada permintaan dan penawaran
agregat. Apabila pada suatu tingkat harga tertentu permintaan agregat
meningkat, maka tingkat harga umum akan meningkat. Terjadinya inflasi
yang disebabkan oleh faktor ini disebut demand pull inflation. (Umar Basalim,
dkk, 2000: 17). Dari sisi penawaran agregat, apabila pada suatu tingkat harga
umum tertentu penawaran berkurang, maka harga umum akan naik yang
berarti pula tingkat inflasi akan menjadi tinggi. Penawaran agregat berkurang
14
pada dasarnya lebih disebabkan oleh berkurangnya produksi secara agregat
dan yang menyebabkan berkurangnya produksi adalah meningkatnya biaya
produksi. Apabila biaya produksi sebagai faktor penyebab terjadinya inflasi,
maka kondisi inflasi ini disebut cost push inflation. (Umar Basalim, Moch.
Rum Alim, & Helma Oesman, 2000: 18).
Adapun jenis inflasi dapat dibedakan berdasarkan pada tingkat laju inflasi
(Asfia Murni, 2006: 204), yaitu:
a. Moderat Inflation (laju inflasinya antara 7-10%) adalah inflasi yang
ditandai dengan harga-harga yang meningkat secara lambat.
b. Galloping inflation adalah inflasi ganas (tingkat laju inflasinya antara
20-100%) yang dapat menimbulkan gangguan-gangguan serius
terhadap perekonomian dan timbulnya distorsi-distorsi besar dalam
perekonomian.
c. Hyperinflation, adalah inflasi yang tingkat inflasinya sangat tinggi (di
atas 100%).
Inflasi juga dapat dilihat berdasarkan sumbernya. Inflasi berdasarkan
sumbernya dibagi menjadi dua, yaitu domestic inflation dan imported
inflation. Domestic inflation merupakan inflasi yang berasal dari dalam negeri
itu sendiri misalnya inflasi yang disebabkan karena defisit keuangan negara
yang ditutupi dengan pengenaan pajak oleh pemerintah atau dengan
pencetakan uang baru. Imported inflation, inflasi dapat juga bersumber dari
kenaikan harga-harga barang yang diimpor, terutama barang yang diimpor
tersebut mempunyai peranan penting dalam setiap produksi. (Asfia Murni,
15
2006: 205)
Indikator yang sering digunakan untuk mengukur tingkat inflasi adalah
Indeks Harga Konsumen (IHK). Perubahan IHK dari waktu ke waktu
menunjukkan pergerakan harga dari paket barang dan jasa yang dikonsumsi
masyarakat. Sejak Juli 2008, paket barang dan jasa dalam keranjang IHK telah
dilakukan atas dasar Survei Biaya Hidup (SBH) Tahun 2007 yang
dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Kemudian, BPS akan
memonitor perkembangan harga dari barang dan jasa tersebut secara bulanan
di beberapa kota, di pasar tradisional dan modern terhadap beberapa jenis
barang/jasa di setiap kota. Indikator inflasi lainnya berdasarkan international
best practice antara lain:
a. Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB). Harga Perdagangan Besar
dari suatu komoditas ialah harga transaksi yang terjadi antara
penjual/pedagang besar pertama dengan pembeli/pedagang besar
berikutnya dalam jumlah besar pada pasar pertama atas suatu
komoditas.
b. Deflator Produk Domestik Bruto (PDB) menggambarkan pengukuran
level harga barang akhir (final goods) dan jasa yang diproduksi di
dalam suatu ekonomi (negeri). Deflator PDB dihasilkan dengan
membagi PDB atas dasar harga nominal dengan PDB atas dasar harga
konstan.
16
Inflasi yang diukur dengan IHK di Indonesia dikelompokan ke dalam 7
kelompok pengeluaran (berdasarkan the Classification of individual
consumption by purpose - COICOP), yaitu: (Bank Indonesia, “Pengenalan
Inflasi”).
a. Kelompok Bahan Makanan
b. Kelompok Makanan Jadi, Minuman, dan Tembakau
c. Kelompok Perumahan
d. Kelompok Sandang
e. Kelompok Kesehatan
f. Kelompok Pendidikan dan Olah Raga
g. Kelompok Transportasi dan Komunikasi.
Laju atau tingkat inflasi dapat dihitung dengan rumus berikut (Asfia
Murni, 2006: 41):
Laju Inflasi %100)1(
)1( ×−
=−
−
t
tt
IHKIHKIHK
di mana:
tIHK = Indeks Harga Konsumen tahun t
1−tIHK = Indeks Harga Konsumen tahun sebelumnya (t-1)
17
Disamping pengelompokan berdasarkan COICOP tersebut, BPS saat ini
juga mempublikasikan inflasi berdasarkan pengelompokan yang lainnya yang
dinamakan disagregasi inflasi. Disagregasi inflasi tersebut dilakukan untuk
menghasilkan suatu indikator inflasi yang lebih menggambarkan pengaruh
dari faktor yang bersifat fundamental.
Di Indonesia, disagregasi inflasi IHK tersebut dikelompokan menjadi:
a. Inflasi Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung menetap atau
persisten (persistent component) di dalam pergerakan inflasi dan
dipengaruhi oleh faktor fundamental, seperti:
1) Interaksi permintaan-penawaran
2) Lingkungan eksternal: nilai tukar, harga komoditi internasional,
inflasi mitra dagang
3) Ekspektasi Inflasi dari pedagang dan konsumen
b. Inflasi non Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung tinggi
volatilitasnya karena dipengaruhi oleh selain faktor fundamental.
Komponen inflasi non inti terdiri dari: (Bank Indonesia, “Disagregasi
Inflasi”).
1) Inflasi Komponen Bergejolak (Volatile Food), yaitu Inflasi yang
dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) dalam kelompok
bahan makanan seperti panen, gangguan alam, atau faktor
perkembangan harga komoditas pangan domestik maupun
perkembangan harga komoditas pangan internasional.
18
2) Inflasi Komponen Harga yang diatur Pemerintah (Administered
Prices), merupakan inflasi yang dominan dipengaruhi oleh
shocks (kejutan) berupa kebijakan harga pemerintah, seperti
harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi, tarif listrik, tarif
angkutan, dan lain-lain.
Kestabilan inflasi merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang
berkesinambungan yang pada akhirnya memberikan manfaat bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Pentingnya pengendalian inflasi didasarkan pada
pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak
negatif kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Pertama, inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat
akan terus turun sehingga standar hidup dari masyarakat turun dan akhirnya
menjadikan semua orang, terutama orang miskin, bertambah miskin.
Kedua, inflasi yang tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian
(uncertainty) bagi pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan. Pengalaman
empiris menunjukkan bahwa inflasi yang tidak stabil akan menyulitkan
keputusan masyarakat dalam melakukan konsumsi, investasi, dan produksi,
yang pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi.
Ketiga, tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi dibanding dengan tingkat
inflasi di negara tetangga menjadikan tingkat bunga domestik riil menjadi
19
tidak kompetitif sehingga dapat memberikan tekanan pada nilai rupiah. (Bank
Indonesia, “Pentingnya Kestablian Harga”).
2. Nilai Tukar (Kurs)
Kurs (exchange rate) adalah pertukaran antara dua mata uang yang
berbeda, yaitu merupakan perbandingan nilai atau harga antara kedua mata
uang tersebut, dalam hal ini adalah dolar Amerika dengan rupiah.
Perbandingan nilai inilah sering disebut dengan kurs (exchange rate). Nilai
tukar biasanya berubah-ubah, perubahan kurs dapat berupa depresiasi dan
apresiasi.
Kurs (exchange rate) dibagi menjadi dua, yaitu nominal exchange rate
dan real exchange rate. The nominal exchange rate is the relative price of two
different kinds of money, as set in the foreign exchange market. (DeLong,
2002: 29). The real exchange rate is the price of the average domestic good or
service in terms of the average foreign good or service. (Frank & Bernanke,
2007: 890).
Exchange rate changes have their own terminology. Depreciation of a
currency refers to the fact that one currency has become cheaper in terms of
another currency. (Schiller, 2003: 441). The other side of depreciation is
appreciation, an increase in value of one currency as expressed in another
country’s currency. Whenever one currency depreciates, another currency
20
must appreciate. When the exchange rate changed from 2 euros = $1 to 1
euro = $1, not only did the euro price of a dollar fall, the dollar price of a
euro rise. Hence, the euro appreciated as the dollar depreciated. (Schiller,
2003: 442).
Kurs valuta asing dapat diklasifikasikan ke dalam kurs jual, kurs beli, dan
kurs tengah. Selisih dari penjualan dan pembelian merupakan pendapatan bagi
pedagang valuta asing sedangkan bila ditinjau dari waktu yang dibutuhkan
dalam menyerahkan valuta asing setelah transaksi kurs dapat diklasifikasikan
dalam kurs spot dan kurs berjalan (forward exchange).
Semua transaksi valuta asing yang berlangsung seketika atau langsung, di
mana kedua belah pihak sepakat untuk saling membayar secepatnya saat itu
atau paling lambat dua hari setelah transaksi disebut kurs spot (spot exchange
rate) dan kesepakatannya disebut transaksi spot.
Beberapa kesepakatan seringkali secara khusus menetapkan tanggal lebih
dari dua hari, misalnya 30 hari, 90 hari, atau 180 hari, atau bahkan beberapa
tahun. Kurs yang menjadi dasar bagi transaksi semacam ini disebut kurs
berjangka (forward exchange rate).
Untuk melihat pengertian dari kurs jual dan kurs beli maka lihatlah dari
sudut pandang bank. Kurs jual adalah harga yang ditetapkan saat bank
menjual mata uang asing (masyarakat membeli uang asing). Begitu pula
sebaliknya dengan kurs beli. Kurs beli adalah harga yang ditetapkan saat bank
21
membeli uang asing (masyarakat menjual uang asing). Kurs tengah adalah
nilai rata-rata dari kurs jual dan kurs beli. Kurs tengah lebih bersifat netral
karena merupakan rata-rata dari kurs jual dan kurs beli.
Titik awal untuk memahami bagaimana kurs ditentukan merupakan ide
sederhana dari apa yang disebut sebagai hukum satu harga: Jika dua negara
menghasilkan barang yang sama, dan biaya transportasi dan hambatan
perdagangan sangat rendah, harga barang seharusnya sama di seluruh dunia,
tidak peduli negara mana yang menghasilkannya. (Mishkin, 2009: 112).
Hukum satu harga yang diterapkan untuk pasar internasional disebut paritas
daya beli (purchasing-power parity). Purchasing Power Parity is a method of
calculating exchange rates that attempts to value currencies at rates such that
each currency will buy an equal basket of goods. (Colander, 2004: 780).
Paritas daya-beli memiliki dua implikasi penting. Pertama, karena skedul
ekspor-neto berbentuk datar, maka perubahan tabungan atau investasi tidak
mempengaruhi kurs riil atau kurs nominal. Kedua, karena kurs riil tetap, maka
seluruh perubahan dalam kurs nominal berasal dari perubahan tingkat harga.
(Mankiw, 2007: 138).
Doktrin paritas daya-beli memberikan alasan mengapa perubahan pada
kurs riil akan terbatas. Logika yang mendasari hal ini adalah sah: semakin
jauh kurs riil bergeser dari tingkat yang diprediksi oleh paritas daya-beli,
semakin besar insentif untuk individu yang terlibat dalam arbitrase barang-
barang internasional. (Mankiw, 2007: 139).
22
Hubungan antara kurs dan jumlah uang beredar adalah bila rupiah
terapresiasi maka akan meningkatkan konsumsi khususnya terhadap barang-
barang impor. Peningkatan konsumsi ini tentu saja berpengaruh positif
terhadap jumlah uang beredar.
Hubungan antara kurs dan suku bunga SBI adalah kenaikan suku bunga
SBI akan meningkatkan suku bunga kredit dan suku bunga deposito. Dengan
tingginya suku bunga tersebut maka produsen akan merespon kenaikan suku
bunga di pasar uang dengan mengurangi investasinya, maka produksi dalam
negeri (output) menurun, yang pada akhirnya akan menimbulkan
terdepresiasinya nilai mata uang.
3. Jumlah Uang Beredar
Mata uang dalam peredaran adalah seluruh jumlah mata uang yang telah
dikeluarkan dan diedarkan oleh bank sentral. Mata uang tersebut terdiri dari
dua jenis, yaitu uang logam dan uang kertas. Dengan demikian, mata uang
dalam peredaran adalah sama dengan uang kartal. Jumlah uang beredar adalah
semua jenis uang yang berada di dalam perekonomian, yaitu adalah jumlah
dari mata uang dalam peredaran ditambah dengan uang giral dalam bank-bank
umum.
Pengertian uang beredar atau money supply perlu dibedakan pula menjadi
dua pengertian, yaitu pengertian yang terbatas (M1) dan pengertian yang luas
(M2). Jumlah uang beredar M1 adalah mata uang dalam peredaran ditambah
23
dengan uang giral yang dimiliki oleh perseorangan-perseorangan, perusahaan-
perusahaan, dan badan-badan pemerintah. (Sadono Sukirno, 2008: 281).
Jumlah uang beredar M2 merupakan penjumlahan dari jumlah uang
beredar M1 (uang kartal dan uang giral) dengan deposito berjangka (time-
deposit), tabungan (saving-deposit), dan rekening (tabungan) valuta asing
milik swasta domestik. Deposito berjangka (time-deposit), tabungan (saving-
deposit), dan rekening (tabungan) valuta asing milik swasta domestik sering
disebut dengan uang kuasi atau near money. Hal ini karena deposito berjangka
(time-deposit), tabungan (saving-deposit), dan rekening (tabungan) valuta
asing milik swasta domestik dapat diubah menjadi uang tunai sehingga
fungsinya sama dengan uang kartal. Dalam perekonomian yang semakin maju,
biasanya jumlah uang beredar akan didominasi oleh uang kuasi ini. Hal ini
karena dalam perekonomian yang maju, lebih banyak transaksi dilakukan
melalui bank (tidak langsung).
Hubungan antara jumlah uang beredar dan kurs adalah bila rupiah
terapresiasi maka akan meningkatkan konsumsi khususnya terhadap barang-
barang impor. Peningkatan konsumsi ini tentu saja berpengaruh positif
terhadap jumlah uang beredar.
Hubungan antara jumlah uang beredar dan suku bunga SBI adalah
kenaikan suku bunga SBI akan meningkatkan suku bunga kredit dan suku
bunga deposito. Dengan tingginya suku bunga tersebut maka akan menarik
investor-investor asing untuk menanamkan modalnya. Dengan masuknya
modal dari investor asing, tentu saja menambah jumlah peredaran uang.
24
4. Suku Bunga SBI
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) adalah surat berharga yang dikeluarkan
oleh Bank Indonesia sebagai suatu bentuk pengakuan utang berjangka waktu
pendek dengan sistem diskonto/bunga.
SBI merupakan salah satu mekanisme yang digunakan oleh Bank
Indonesia untuk mengontrol kestabilan nilai rupiah. Dengan menjual SBI,
Bank Indonesia selaku Bank Sentral dapat menyerap kelebihan uang
primer yang beredar.
Tingkat suku bunga yang berlaku pada setiap penjualan SBI ditentukan
dengan mekanisme pasar berdasarkan sistem lelang. Sejak awal bulan Juli
2005, BI menggunakan mekanisme BI rate (suku bunga BI), yaitu BI
mengumumkan target suku bunga SBI yang diinginkan BI untuk pelelangan
pada masa periode tertentu. BI rate ini kemudian yang digunakan sebagai
acuan pelaku-pelaku pasar dalam mengikuti pelelangan.
Dalam penelitian, tingkat suku bunga SBI yang digunakan adalah dalam
periode kuartalan. Oleh karena itu, data tingkat suku bunga SBI yang
diperoleh dalam periode bulanan akan diubah menjadi periode kuartalan
dengan cara jumlah dari tingkat suku bunga periode bulanan selama tiga
bulan dibagi dengan jumlah periode waktu selama tiga bulan.
Tingkat bunga nominal adalah jumlah tingkat bunga riil dan tingkat
inflasi:
i = r + π
persamaan di atas disebut persamaan Efek Fisher (Fisher Effect), diambil dari
25
nama belakang ekonom Irving Fisher (1867-1947). Persamaan itu
menunjukkan tingkat bunga bisa berubah karena dua alasan: karena tingkat
bunga riil berubah atau karena tingkat inflasi berubah. Setelah kita
memisahkan tingkat bunga nominal menjadi dua bagian, kita bisa gunakan
persamaan ini untuk mengembangkan teori yang menjelaskan tingkat bunga
nominal. Tingkat bunga riil menyesuaikan untuk menyeimbangkan tabungan
dan investasi. Teori kuantitas uang menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan
uang menentukan tingkat inflasi. Persamaan Fisher lalu meminta kita
menambah tingkat bunga riil dengan tingkat inflasi untuk menentukan tingkat
bunga nominal. (Mankiw, 2007: 89).
Teori kuantitas dan persamaan Fisher sama-sama menyatakan bagaimana
pertumbuhan uang mempengaruhi tingkat bunga nominal. Menurut teori
kuantitas, kenaikan dalam tingkat pertumbuhan uang sebesar 1 persen
menyebabkan kenaikan 1 persen dalam tingkat inflasi. Menurut persamaan
Fisher, kenaikan 1 persen dalam tingkat inflasi sebaliknya menyebabkan
kenaikan 1 persen dalam tingkat bunga nominal. Hubungan satu-untuk-satu
antara tingkat inflasi dengan tingkat bunga nominal disebut efek Fisher
(Fisher effect). (Mankiw, 2007: 90).
SBI terkait dengan salah satu instrumen kebijakan moneter. Instrumen
kebijakan moneter itu adalah Operasi Pasar Terbuka atau lebih sering disebut
dengan OPT, yaitu merupakan cara untuk mengendalikan jumlah uang beredar
dengan menjual atau membeli surat berharga pemerintah. Untuk menambah
jumlah uang beredar, Bank Indonesia akan membeli surat berharga
26
pemerintah. Begitu pula sebaliknya, untuk mengurangi jumlah uang beredar,
Bank Indonesia akan menjual surat berharga pemerintah. Instrumen yang
digunakan di antaranya adalah Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Jika Bank
Indonesia menjaga jumlah uang beredar tetap stabil, tingkat harga akan stabil.
Jika Bank Indonesia meningkatkan jumlah uang beredar dengan cepat, tingkat
harga juga akan meningkat cepat. Saat Bank Indonesia mengubah jumlah uang
beredar dan menyebabkan perubahan proporsional terhadap nilai output
nominal, perubahan tersebut akan tercermin pada tingkat harga. Karena
tingkat inflasi ditunjukkan melalui perubahan persentase dalam tingkat harga,
maka meningkatnya jumlah uang beredar akan menyebabkan inflasi.
Hubungan antara suku bunga SBI dan kurs adalah kenaikan suku bunga
SBI akan meningkatkan suku bunga kredit dan suku bunga deposito. Dengan
tingginya suku bunga tersebut maka akan menarik investor-investor asing
untuk menanamkan modalnya, yang pada akhirnya akan menimbulkan
terapresiasinya nilai mata uang.
Hubungan antara jumlah uang beredar dan suku bunga SBI adalah
kenaikan suku bunga SBI akan meningkatkan suku bunga kredit dan suku
bunga deposito. Dengan tingginya suku bunga tersebut maka akan menarik
investor-investor asing untuk menanamkan modalnya. Dengan masuknya
modal dari investor asing, tentu saja menambah jumlah peredaran uang.
27
B. Keterkaitan Antar Variabel
Hubungan antara kurs dengan inflasi adalah fluktuasi nilai tukar
berpengaruh terhadap perubahan harga yang akan berdampak kepada permintaan
dan penawaran barang-barang yang diperdagangkan secara internasional (tradable
good). Dengan demikian, terdapat hubungan yang sangat erat antara perubahan
impor dan ekspor terhadap keseimbangan permintaan dan penawaran agregat di
pasar domestik. (Enny Sri Hartati, 2004: 26). Pada gilirannya keseimbangan
permintaan dan penawaran tersebut akan menimbulkan inflasi.
Hubungan antara jumlah uang beredar dengan inflasi terkait dengan tema
utama dari teori kuantitas uang, bahwa inflasi (kenaikan harga umum) terutama
disebabkan oleh ekspansi uang dan kredit, dan ada korelasi langsung antara
perubahan dalam tingkat harga dan perubahan dalam persediaan uang. Jika
persediaan uang dinaikkan, harga juga akan naik. Kenaikan harga tersebut
berpengaruh positif terhadap inflasi. (Skousen, 2006: 345).
MV = PQ
Keterangan:
M = Kuantitas uang yang beredar
V = Kecepatan uang
P = Tingkat harga umum
Q = Kuantitas barang yang dihasilkan dalam setahun
Fisher berasumsi bahwa baik itu V (velocity) maupun Q (output) relatif stabil
28
dan karena itu perubahan dalam tingkat harga pasti secara langsung berkaitan
dengan perubahan dalam persediaan uang. (Skousen, 2006: 346).
Hubungan antara suku bunga SBI dengan inflasi adalah kenaikan suku
bunga SBI akan mendorong kenaikan suku bunga jangka pendek di pasar
uang. Demikian juga halnya dengan suku bunga jangka panjang, produsen
akan merespon kenaikan suku bunga di pasar uang dengan mengurangi
investasinya, maka produksi dalam negeri (output) menurun sehingga tingkat
inflasi domestik menurun. (Utami Baroroh, 2010).
Gambar. 2.1 Skema Mekanisme Hubungan Pengaruh SBI Terhadap Inflasi
Demikianlah keterkaitan antar masing-masing variabel independen
terhadap variabel dependen pada ”Analisis Kurs, Jumlah Uang Beredar, dan
Suku Bunga SBI Terhadap Inflasi di Indonesia Periode 2001-2010.
SBI/SBPU Excess Cadangan
PUAB Suku Bunga Deposito
PDB Aktual PDB Potensial
Inflasi
29
C. Penelitian Terdahulu
Tabel. 2.1 Matriks Referensi Penelitian Terdahulu
No. Peneliti Judul Variabel Metode Hasil
1 Harunurrasyid & Yovi Noveriza
PENGARUH TINGKAT BUNGA SBI TERHADAP TINGKAT INFLASI DI INDONESIA 1. Suku bunga SBI
Analisis kualitatif deskriptif & analisis kuantitatif Positif
2. Inflasi
2 Nairobi FAKTOR-FAKTOR UTAMA YANG MEMPENGARUHI PERGERAKAN INFLASI DI BANDAR LAMPUNG 1.. Biaya transportasi
Inflasi lebih dominan
dipengaruhi oleh konsumsi
masyarakat, IHK Kota Jakarta,
biaya transportasi, dan
uang kuasi di Lampung
2. Pengeluaran pemerintah
3. Konsumsi masyarakat
4. IHK Kota Jakarta
5. Pajak & retribusi daerah
6. Kredit perbankan Analisis regresi komponen utama
7. Uang kuasi di Lampung
8. Kurs Rupiah/Dollar
9. Upah riil
10. Tingkat bunga deposito 11. Inflasi
3 Etty Puji Lestari PENGARUH VOLATILITAS NILAI TUKAR RUPIAH TERHADAP PERMINTAAN UANG M1 INDONESIA, 1. Nilai tukar Rupiah
Analisis VAR, Dynamis OLS, dan ADL ECM Positif
ESTIMASI DATA NON STASIONER 2. Permintaan uang M1
4
Ferry Andrianus & Amelia Niko
ANALISA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INFLASI DI INDONESIA PERIODE 1997:3 - 2005:2
1. Tingkat suku bunga deposito
Suku bunga dan nilai tukar
berpengaruh positif terhadap
inflasi
2. Jumlah uang beredar
3. PDB OLS dan Partial Adjusment Model
4. Nilai tukar
5. Tingkat inflasi
5 Enny Sri Hartati DAMPAK PERGERAKAN NILAI TUKAR TERHADAP INFLASI (EXCHANGE RATE PASS THROUGH) DI INDONESIA
1.Nilai tukar VAR Positif
2. Inflasi
6 Didi Nuryadin
REAL EFFECTIVE EXCHANGE RATE DETERMINATION IN INDONESIA: A BEHAVIORAL EQUILIBRIUM EXCHANGE RATE APPROACH
1. Real effective exchange rate Real effective exchange rate,
net foreign asset, term of
trade, and total trade/GDP were
correctly signed,plausible magnitude and
statistically significant
2. Net foreign asset
3. Term of trade Johansen method & VECM
4. Total trade/GDP
5. Private consumption
6. Government consumption
7 Adji Pratikto & Andy Susilo Lukito Budi THE IMPACT OF EXCHANGE RATE UNCERTAINTY ON
INDONESIAN EXPORTS: BEFORE AND DURING THE PERIOD OF CRISIS
1. Developing country category
Linear Regression Estimation Negative
2. Industrial country category
30
Pada penelitian yang dilakukan oleh Harunurrasyid dan Yovi Noveriza
yang berjudul “Pengaruh Tingkat Bunga SBI Terhadap Tingkat Inflasi di
Indonesia” menunjukkan bahwa selama periode 1988-2003 variabel tingkat bunga
SBI berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap tingkat inflasi di
Indonesia. Bila dilihat dari periode sebelum krisis (1988-1996) dan sesudah krisis
moneter (1998-2003), maka terdapat beda hasil perhitungan di antara kedua
periode tersebut. Sebelum krisis, variabel tingkat bunga SBI berpengaruh secara
negatif, namun tidak signifikan. Sebaliknya, pada masa setelah krisis variabel
tersebut berpengaruh secara positif dan signifikan.
Melihat fenomena yang terjadi, sebaiknya kebijakan Bank Indonesia harus
lebih antisipatif dengan melihat gejala-gejala yang akan timbul sebelum terjadinya
inflasi. Dengan keluarnya UU No. 23 Tahun 1999 telah memberikan gerak yang
lebih besar bagi Bank Indonesia untuk mensukseskan single objektif yaitu
memelihara kestabilan nilai Rupiah. Perlu adanya penelitian lebih lanjut yang
memasukkan variabel-variabel lain terutama kebijakan fiskal yang dikeluarkan
pemerintah. (Harunurrasyid & Yovi Noveriza, 2005: 13).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Nairobi yang berjudul “Faktor-faktor
Utama yang Mempengaruhi Pergerakkan Inflasi di Kota Bandar Lampung” di
dapat tiga kesimpulan, yaitu:
1. Berdasarkan besarnya angka koefisien regresi, tekanan inflasi di daerah
Lampung lebih dominan dipengaruhi oleh faktor-faktor non moneter
dibandingkan faktor moneter. Faktor moneter yang paling dominan
tersebut adalah pengeluaran konsumsi masyarakat, inflasi daerah Jakarta,
31
dan biaya transportasi. Faktor moneter yang paling dominan adalah faktor
peningkatan dalam jumlah uang beredar.
2. Faktor non moneter yang lain yang dapat meningkatkan laju inflasi namun
kurang dominan adalah pengeluaran pemerintah, pajak dan retribusi
daerah, dan kenaikan upah. Di sisi lain faktor moneter yang berpengaruh
namun tidak dominan adalah jumlah kredit yang disalurkan oleh
perbankan dan tingkat kurs Rupiah terhadap Dollar USA.
3. Faktor besarnya tingkat bunga deposito dan faktor musiman (periode akhir
tahun) berpengaruh deflatoir terhadap laju inflasi daerah. (Nairobi, 2006:
18).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Etty Puji Lestari yang berjudul
“Pengaruh Volatilitas Nilai Tukar Rupiah Terhadap Permintaan Uang M1
Indonesia, Estimasi Data Non Stasioner” dapat dilihat bahwa terdapat adanya
kondisi non stasioneritas pada data time series yang digunakan dalam penelitian.
Hal ini disebabkan oleh adanya ketidakstabilan kondisi perekonomian di
Indonesia. Hasil estimasi jangka panjang dengan VAR menunjukkan masing-
masing variabel dipengaruhi oleh variabel itu sendiri yang konsisten pada satu
kuartal sebelumnya.
Adanya volatilitas nilai tukar Rupiah sangat mempengaruhi permintaan
uang M1 Indonesia. Salah satu solusi yang banyak disarankan adalah agar Bank
Indonesia selaku otoritas moneter menetapkan strategi dengan target nilai kurs.
Strategi ini dipandang efektif sebagai upaya untuk menjaga kestabilan nilai tukar
Rupiah. Bank Sentral dibutuhkan untuk mempertahankan nilai tukar yang tetap
32
agar mata uang dari negara yang banyak melakukan perdagangan (baskets of
trading partner currencies) terjaga tingkat kestabilannya. (Etty Puji Lestari, 2005:
11).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Fery Andrianus dan Amelia Niko
yang berjudul “Analisa Faktor-faktor yang Mempengaruhi Inflasi di Indonesia
Periode 1997:3 – 2005:2” didapat bahwa penggunaan suku bunga saat ini sebagai
sasaran operasional sebaiknya disertai dengan penelitian-penelitian lebih lanjut
mengenai penghitungan tingkat suku bunga netral di Indonesia mengingat
pengaruhnya yang signifikan dalam jangka panjang terhadap inflasi. Laju inflasi
yang juga dipengaruhi oleh nilai tukar (exchange rate) dalam jangka pendek
menyebabkan pemerintah dan otoritas moneter harus berupaya menjaga kestabilan
nilai tukar yang tidak over valued ataupun under valued agar tercapai kestabilan
ekonomi. (Fery Andrianus & Amelia Niko, 2006: 11).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Enny Sri Hartati yang berjudul
“Dampak Pergerakan Nilai Tukar Terhadap Inflasi (Exchange Rate Pass
Through) di Indonesia” didapatkan dampak lintasan kurs terhadap tingkat inflasi
atau exchange rate pass through dapat melalui dua jalur, yaitu jalur langsung
(direct pass through) dan jalur tidak langsung (indirect pass through). Jalur
langsung adalah melalui perubahan harga barang-barang impor yang langsung
mempengaruhi harga barang-barang yang dikonsumsi konsumen, dan melalui
perubahan harga impor barang-barang antara dan barang modal. Sementara jalur
tidak langsung melalui perubahan net ekspor yang akan mempengaruhi demand
dan supply produksi (output gap) di dalam negeri. (Enny Sri Hartati, 2004: 29).
33
Sesuai dari hasil perhitungan diketahui bahwa pengaruh fluktuasi nilai
tukar terhadap inflasi baru terasa dalam jangka panjang. Dengan demikian, dalam
jangka pendek kebijakan moneter terutama harus ditujukan untuk mengendalikan
shock itu sendiri. Kebijakan yang efektif untuk mengendalikan laju inflasi dalam
jangka pendek adalah dengan menyerap kelebihan likuiditas perekonomian agar
dapat mengurangi kemungkinan digunakannya likuiditas untuk kegiatan yang
bersifat spekulatif, baik melalui pengurangan jumlah uang beredar maupun
kenaikan tingkat suku bunga. Namun penerapan kebijakan moneter yang ketat
dalam kondisi ketidakstabilan nilai tukar, justru berakibat dilematis terhadap
pertumbuhan sektor riil sehingga justru menimbulkan dampak inflasi melalui
output gap. Oleh karena itu, dalam jangka panjang, kebijakan pengetatan
likuiditas harus segera dilonggarkan kembali, dan kebijakan moneter lebih fokus
pada pengendalian faktor-faktor yang menyebabkan depresiasi Rupiah. (Enny Sri
Hartati, 2004: 31).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Didi Nuryadin yang berjudul “Real
Effective Exchange Rate Determination in Indonesia: a Behavioral Equilibrium
Exchange Rate Approach” didapatkan hasil yang menunjukkan bahwa beberapa
variabel seperti net foreign asset, term of trade, dan ratio total trade to GDP
adalah signifikan. Akan tetapi, variabel government dan private consumption
tidak signifikan secara statistik. Pada tahun 1997 nilai tukar mengalami under
valued.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Adji Pratikto & Andy Susilo Lukito
Budi yang berjudul “The Impact of Exchange Rate Uncertainty on Indonesian
34
Exports: Before and During The Period of Crisis ” didapatkan hasil analisis
sebagai berikut:
1. Untuk kategori negara berkembang, hasilnya menunjukkan bahwa
variabel-variabel world demand benar-benar signifikan untuk
persamaannya.
2. Untuk kategori negara industri, import demand rate dari negara-negara
sampel tidak dipengaruhi oleh krisis, atau dengan kata lain, uncertanty of
exchange rate tidak dipengaruhi oleh permintaan.
3. Model ini gagal menjelaskan dampak dari nilai tukar terhadap ekspor
Indonesia, untuk kedua kategori tersebut.
D. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran merupakan sintesa dari serangkaian teori yang
tertuang dalam tinjauan pustaka, yang pada dasarnya merupakan gambaran
sistematis dari kinerja teori dalam memberikan solusi atau alternatif solusi dari
serangkaian masalah yang ditetapkan.
Latar belakang penelitian yang terdiri dari identifikasi masalah dan
pembatasan masalah selanjutnya akan timbul perumusan masalah. Perumusan
masalah ini menciptakan adanya variabel-variabel yang akan diteliti baik itu
berupa variabel dependen maupun variabel independen. Variabel dependen terdiri
inflasi sedangkan variabel independen terdiri dari kurs, jumlah uang beredar, dan
suku bunga SBI.
35
Selanjutnya adalah kita melihat bagaimana hubungan antara variabel kurs,
jumlah uang beredar, dan suku bunga SBI terhadap inflasi. Hubungan ini juga
dilihat dari teori-teori yang sudah ada. Kurs (exchange rate) adalah pertukaran
antara dua mata uang yang berbeda, yaitu merupakan perbandingan nilai atau
harga antara kedua mata uang tersebut, dalam hal ini adalah US Dollar dengan
Rupiah. Perbandingan nilai inilah sering disebut dengan kurs (exchange rate).
Mata uang dalam peredaran adalah seluruh jumlah mata uang yang telah
dikeluarkan dan diedarkan oleh bank sentral. Mata uang tersebut terdiri dari dua
jenis, yaitu uang logam dan uang kertas. Dengan demikian, mata uang dalam
peredaran adalah sama dengan uang kartal. Jumlah uang beredar adalah semua
jenis uang yang berada di dalam perekonomian, yaitu adalah jumlah dari mata
uang dalam peredaran ditambah dengan uang giral dalam bank-bank umum.
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) adalah surat berharga yang dikeluarkan oleh Bank
Indonesia sebagai suatu bentuk pengakuan utang berjangka waktu pendek dengan
sistem diskonto/bunga. Selanjutnya, dari masing-masing penjelasan variable-
variabel independen secara sistematis tersebut maka dihubungkan dengan variable
dependen inflasi. Inflation is a rise in the general level of prices. (McConnell &
Brue, 2002: 146). Yang penting terdapat kenaikan harga umum barang secara
terus-menerus selama satu periode tertentu. Kenaikan yang terjadi hanya sekali
saja (meskipun dengan presentase yang cukup besar) bukanlah merupakan inflasi.
(Nopirin, 2009: 25). Selanjutnya, dengan melihat pada data perkembangan kurs,
jumlah uang beredar, suku bunga SBI, dan inflasi pada tabel. 1.1 terjadi missed
match antara data dengan teori. Dengan adanya missed match tersebut, maka akan
36
menimbulkan hipotesa yaitu dugaan sementara penelitian. Dari hipotesa tersebut,
selanjutnya akan dilihat bagaimana analisis variabel-variabel kurs, jumlah uang
beredar, dan suku bunga SBI terhadap inflasi dengan menggunakan alat analisis
Vector Error Correction Model.
Setelah data diolah dengan menggunakan alat analisis Vector Error
Correction Model, maka akan didapatkan hasil penelitian dan dijelaskan
bagaimana hasil analisis variabel-variabel kurs, jumlah uang beredar, dan suku
bunga SBI terhadap inflasi. Analisis dengan menggunakan Vector Error
Correction Model tersebut terdiri dari uji stasioneritas data & derajat integrasi,
penentuan lag lenght, uji kausalitas Granger, uji kointegrasi, estimasi Vector
Error Correction Model (VECM), IRF (Impulse Response, Function), dan
variance decomposition. Dari hasil penelitian dan pembahasan berdasarkan
tahapan-tahapan dengan alat analisis Vector Error Correction Model (VECM)
tersebut maka dapat ditarik kesimpulan dan dibuat saran atau implikasi untuk
dapat dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Selanjutnya, penjabaran ini dapat
dilihat secara lebih sederhana pada Gambar. 2.2 Kerangka Pemikiran berikut ini
yang mencoba untuk menjelaskan kerangka pikir secara lebih sistematis.
37
Gambar. 2.2 Kerangka Pemikiran
Kurs
Jumlah Uang Beredar
Suku Bunga SBI
Inflasi
Data Kurs, Jumlah Uang Beredar, Suku Bunga SBI, dan Inflasi
Teori
Missed Match Antara Data Dengan Teori
Hipotesis
Vector Error Correction Model
Model:
Y = f (KURS, JUB, SBI)
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Kesimpulan dan Saran
Latar Belakang Penelitian: Dengan adanya missed match antara data dengan teori, maka penelitian ini mencoba menjelaskan langkah apakah yang terbaik digunakan Bank Indonesia untuk mengatur laju inflasi pada periode 2001-2010 agar dapat juga digunakan di masa yang akan datang.
Perumusan Masalah
38
E. Hipotesis
Berdasarkan pada penelitian yang telah dilakukan oleh Fery Andrianus &
Amelia Niko di mana didapatkan hasil suku bunga dan nilai tukar berpengaruh
positif terhadap inflasi, maka perumusan hipotesis untuk penelitian “Analisis
Kurs, Jumlah Uang Beredar, dan Suku Bunga SBI Terhadap Inflasi di Indonesia
Periode 2001 – 2010 adalah:
1. Hipotesis I
Ha: Sekurang-kurangnya terdapat sebuah variabel yang mempunyai
hubungan kuantitas kausalitas antara kurs, jumlah uang beredar, dan
suku bunga SBI terhadap inflasi di Indonesia periode 2001 - 2010.
H0: Secara keseluruhan variabel kurs, variabel jumlah uang beredar, dan
variabel suku bunga SBI tidak mempunyai hubungan kuantitas
kausalitas antara kurs, jumlah uang beredar, dan suku bunga SBI
terhadap inflasi di Indonesia periode 2001 - 2010.
2. Hipotesis II
Ha: Sekurang-kurangnya terdapat sebuah variabel yang mempunyai
hubungan kuantitas kointegrasi antara kurs, jumlah uang beredar,
dan suku bunga SBI terhadap inflasi di Indonesia pada periode 2001
– 2010.
H0: Secara keseluruhan tidak terdapat hubungan kuantitas kointegrasi
antara kurs, jumlah uang beredar, dan suku bunga SBI terhadap
inflasi di Indonesia pada periode 2001 – 2010.
39
3. Hipotesis III
Ha: Sekurang-kurangnya terdapat sebuah variabel yang mempunyai
pengaruh guncangan (shock) yang besar antara kurs, jumlah uang
beredar, dan suku bunga SBI terhadap inflasi di Indonesia periode
2001 - 2010
H0: Secara keseluruhan variabel kurs, variabel jumlah uang beredar, dan
variabel suku bunga SBI tidak mempunyai pengaruh guncangan
(shock) yang besar terhadap variabel Inflasi di Indonesia periode
2001 - 2010.
40
BAB III
METODELOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian tentang “Analisis Kurs, Jumlah Uang Beredar, dan Suku
Bunga SBI Terhadap Inflasi di Indonesia Periode 2001 – 2010”, jenis penelitian
yang dipakai adalah penilitian analitik/inferensial. Penelitian analitik/inferensial
ini adalah penelitian yang bertujuan untuk dapat mengambil kesimpulan secara
umum dengan tujuan membuktikan hipotesis mengenai hubungan kausal/sebab
akibat.
Penelitian ini menggunakan data sekunder dengan mengakses dari internet
dan studi kepustakaan. Populasi dalam penelitian ini adalah kurs, jumlah uang
beredar, suku bunga SBI, dan inflasi di Indonesia.
Pada tahap awal penelitian, penulis mencoba mencari masalah yang
dianggap menarik yaitu inflasi yang terjadi sebelum dan sesudah krisis global di
Amerika pada tahun 2007. Tahap selanjutnya adalah penulis mencoba melihat
faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi tersebut yang kemudian akan dijadikan
variabel independen atau variabel bebas. Setelah itu, penulis juga melihat manfaat
dan kegunaan dari penelitian ini kelak. Tahap selanjutnya adalah pengumpulan
data terkait dengan penelitian ini yaitu data kurs tengah 1 US Dollar dalam
Rupiah, jumlah uang beredar M2, suku bunga SBI, dan inflasi di Indonesia pada
periode 2001 – 2010. Data yang digunakan adalah data sekunder yaitu data yang
didapat dari internet dan studi kepustakaan berupa data time series.
41
B. Teknik Penentuan Sampel
Populasi penelitian ini adalah berupa data dari inflasi, kurs, jumlah uang
beredar, dan suku bunga SBI sedangkan sampel yang digunakan dalam penelitian
ini adalah inflasi, kurs, jumlah uang beredar, dan suku bunga SBI selama periode
2001-2010, yang masing-masing sebanyak 40 sampel yang diambil dari data per-
kuartal yang berupa data time series.
Teknik penentuan sampel yang digunakan adalah judgement sampling.
Judgement sampling adalah salah satu jenis purposive sampling selain quota
sampling di mana peneliti memilih sampel berdasarkan penilaian terhadap
beberapa karakteristik anggota sampel yang disesuaikan dengan maksud
penelitian. (Mudrajad Kuncoro, 2009: 139).
C. Teknik Pengumpulan Data
Mengingat terbatas waktu, dana, dan tenaga, maka data yang digunakan
adalah data sekunder, di mana metode pengumpulan data tersebut antara lain
didapatkan melalui:
1. Internet
Data yang peneliti peroleh dari internet yang berhubungan dengan
tema skripsi ini.
42
2. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan adalah data yang peneliti peroleh dari jurnal,
buku-buku, dan bahan tertulis lainnya yang berhubungan dengan tema
skripsi ini.
3. Sumber Data
Semua data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data
sekunder yang diperoleh dari Bank Indonesia. Data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah:
a. Inflasi
Tingkat inflasi yang digunakan adalah data persentasi
perubahan kuartalan indeks harga konsumen di Indonesia, berdasarkan
data yang dapat diperoleh di website resmi Bank Indonesia. Data ini
berupa data sekunder dalam bentuk kuartalan periode 2001 – 2010
(time series).
b. Kurs
Data yang digunakan adalah data kurs tengah 1 US Dollar
dalam Rupiah yang didapat melalui kalkulator kurs yang berdasarkan
data nilai penutupan Rupiah per 1 US Dollar menurut Bank Indonesia
(kurs BI) pada setiap kuartal yang dapat diperoleh di website resmi
Bank Indonesia. Data ini berupa data sekunder dalam bentuk kuartalan
periode 2001 – 2010 (time series).
43
c. Jumlah Uang Beredar
Data jumlah uang beredar yang digunakan adalah data jumlah
uang beredar M2 berdasarkan data pada setiap kuartal yang dapat
diperoleh di website resmi Bank Indonesia. Data ini berupa data
sekunder dalam bentuk kuartalan periode 2001 – 2010 (time series).
d. Suku Bunga SBI
Data suku bunga SBI yang digunakan adalah data suku bunga
SBI berjangka waktu 3 bulan berdasarkan data pada setiap kuartal
yang dapat diperoleh di website resmi Bank Indonesia. Data ini berupa
data sekunder dalam bentuk kuartalan periode 2001 – 2010 (time
series).
D. Teknik Analisis
VECM (Vector Error Correction Model) merupakan suatu model analisis
ekonometrika yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkah laku jangka
pendek dari suatu variabel terhadap jangka panjangnya, akibat adanya shock yang
permanen. Analisis VECM juga dapat digunakan untuk mencari pemecahan
terhadap persoalan variabel runtun waktu (time series) yang tidak stasioner (non-
stasionary) dan regresi lancung (spurious regression) atau korelasi lancung
(spurious correlation) dalam analisis ekonometrika. Namun demikian, VECM
dinilai kurang cocok dalam menganalisis kebijakan. Hal ini dikarenakan analisis
VECM yang atheoritic dan terlalu menekankan pada forecasting atau peramalan
44
dari suatu model ekonometrika. (Shochrul R. Ajija, dkk, 2011: 189). Permodelan
VECM dapat dilihat sebagai berikut.
Y = f (X1, X2, X3, ..., Xn )
Keterangan:
Y = Variabel Dependen
X1 = Variabel Independen ke-1
X2 = Variabel Independen ke-2
X3 = Variabel Independen ke-3
Xn = Variabel Independen ke-n
Asumsi yang harus dipenuhi dalam VECM adalah semua variabel
independen harus bersifat stasioner. Hal ini ditandai dengan semua sisaan bersifat
white noise, yaitu memiliki rataan nol, ragam konstan, dan di antara variabel tak
bebas tidak ada korelasi. Uji kestasioneran data dapat dilakukan melalui pengujian
terhadap ada tidaknya unit root dalam variabel dengan uji Augmented Dickey
Fuller (ADF). Uji stasioneritas data ini penting dilakukan karena dengan adanya
unit root akan menghasilkan persamaan regresi yang spurious. Pendekatan yang
dilakukan untuk mengatasi persamaan regresi yang spurious adalah dengan
melakukan diferensiasi atas variabel endogen dan eksogennya. Dengan demikian,
akan diperoleh variabel yang stasioner dengan derajat I(n). (Shochrul R. Ajija,
dkk, 2011: 190).
45
1. Uji Stasioneritas Data & Derajat Integrasi
Langkah pertama yang harus dilakukan dalam estimasi model
ekonomi dengan data time series adalah dengan menguji stasioneritas pada
data atau disebut juga stationary stochastic process. Uji ini merupakan
pengujian yang sangat popular, dan dikenalkan oleh David Dickey dan
Wayne Fuller. (Nachrowi D Nachrowi & Hardius Usman, 2006: 353). Uji
stasioneritas data ini dapat dilakukan dengan menggunakan Augmented
Dickey Fuller (ADF) pada derajat yang sama (level atau different) hingga
diperoleh suatu data yang stasioner, yaitu data yang variansnya tidak
terlalu besar dan mempunyai kecenderungan untuk mendekati nilai rata-
ratanya.
Jika dalam uji stasioneritas ini menunjukkan nilai ADFSTATISTIK
yang lebih besar daripada Mackinnon critical value, maka dapat diketahui
bahwa data tersebut stasioner karena tidak memgandung unit root.
Sebaliknya, jika nilai ADFSTATISTIK yang lebih kecil daripada Mackinnon
critical value, maka dapat disimpulkan data tersebut tidak stasioner pada
derajat level. Dengan demikian, differencing data untuk memperoleh data
yang stasioner pada derajat yang sama di first different I(1) harus
dilakukan, yaitu dengan mengurangi data tersebut dengan data periode
sebelumnya. (Shochrul R. Ajija, dkk, 2011: 166).
46
2. Uji Kausalitas Granger
Metode yang digunakan untuk menganalisa hubungan kausalitas
antar variabel yang diamati adalah dengan Uji Kausalitas Granger. Dalam
penelitian ini, uji kausalitas Granger digunakan untuk melihat arah
hubungan di antara variabel-variabel. (Shochrul R. Ajija, dkk, 2011: 167).
Secara umum, suatu persamaan Granger dapat diinterpretasikan
sebagai berikut:
a. Unindirectional causality dari variabel dependen ke variabel
independen. Hal ini terjadi ketika koefisien lag variabel dependen
secara statistik signifikan berbeda dengan nol, sedangkan koefisien
lag seluruh variabel independen sama dengan nol. Dalam ilmu
ekonomi ketergantungan suatu variabel Y (variabel tak bebas) atas
variabel lain X (variabel yang menjelaskan) jarang bersifat seketika.
Sangat sering, Y bereaksi terhadap X dengan suatu selang waktu.
Selang waktu seperti itu disebut suatu lag. (Damodar Gujarati, 1999:
234).
b. Feedback/bilaterall causality jika koefisien lag seluruh variabel,
baik variabel dependen maupun independen secara statistik
signifikan berbeda dengan nol.
c. Independence jika koefisien lag seluruh variabel, baik variabel
dependen maupun independen secara statistik tidak berbeda dengan
nol.
47
3. Uji Kointegrasi
Dua variabel yang tidak stasioner sebelum dideferensi namun
stasioner pada tingkat deferensi pertama, besar kemungkinan akan terjadi
kointegrasi, yang berarti terdapat hubungan jangka panjang di antara
keduanya. (Wing Wahyu Winarno, 2009: 260). Salah satu pendekatan
yang dapat digunakan dalam uji kointegrasi adalah dengan metode
Johansen. (Shochrul R. Ajija, dkk, 2011: 190). Metode Johansen
digunakan untuk mengestimasi matriks Π dari unrestricted VAR dan
untuk melakukan pengujian apakah hasil reduced rank Π dapat diterima
atau tidak. Dalam pengujian reduced rank tersebut, Johansen
menggunakan dua pengujian statistik yang berbeda, yaitu trace test
( traceλ ) dan maximum eigenvalue test ( maxλ ). Penentuan ini dapat dilihat
dengan membandingkan nilai Max-Eigen dengan nilai trace-nya. Jika nilai
Max-Eigen dan nilai trace-nya lebih besar daripada nilai kritis 1% dan 5%,
maka data terkointegrasi. (Shochrul R. Ajija, dkk, 2011: 200).
4. Estimasi VECM
Perilaku dinamis dari model VEC dapat dilihat melalui respons
dari setiap variabel endogen terhadap kejutan pada variabel tersebut
maupun terhadap variabel endogen lainnya. Ada dua cara untuk melihat
karakteristik dinamis model VEC, yaitu melalui IRF function dan variance
decomposition.
48
Jika suatu data time series model VAR telah terbukti terdapat
hubungan kointegrasi, maka VECM dapat digunakan untuk mengetahui
tingkah laku jangka pendek dari suatu variabel terhadap nilai jangka
panjangnya. VECM juga digunakan untuk menghitung hubungan jangka
pendek antar variabel melalui koefisien standar dan mengestimasi
hubungan jangka panjang dengan menggunakan lag residual dari regresi
yang terkointegrasi. (Shochrul R. Ajija, dkk, 2011: 191).
5. IRF (Impulse Response Function)
IRF menggambarkan ekspektasi k-periode ke depan dari kesalahan
prediksi suatu variabel akibat inovasi dari variabel yang lain. Dengan
demikian, lamanya pengaruh dari shock suatu variabel terhadap variabel
lain sampai pengaruhnya hilang atau kembali ke titik keseimbangan dapat
dilihat atau diketahui. (Shochrul R. Ajija, dkk, 2011: 168).
6. Variance Decomposition
Variance decomposition atau disebut juga forecast error variance
decomposition merupakan perangkat pada model VAR yang akan
memisahkan variasi dari sejumlah variabel yang diestimasi menjadi
komponen-komponen shock atau menjadi variabel innovation, dengan
asumsi bahwa variabel-variabel innovation tidak saling berkorelasi.
Kemudian, variance decomposition akan memberikan informasi mengenai
proporsi dari pergerakan pengaruh shock pada sebuah variabel terhadap
49
shock variabel lainnya pada periode saat ini dan periode yang akan datang.
(Shochrul R. Ajija, dkk, 2011: 168).
E. Operasional Variabel Penelitian
Operasional variabel penelitian adalah sebuah konsep yang mempunyai
penjabaran dari variabel yang diterapkan dalam suatu penelitian dan dimaksudkan
untuk memastikan agar variabel yang ingin diteliti secara jelas dapat ditetapkan
indikatornya.
Tabel. 3.1 Operasionalisasi Variabel
Variabel Skala Satuan
Kurs Ratio Numeric
Jumlah Uang Beredar Ratio Numeric
Suku Bunga SBI Ratio Numeric
Inflasi Ratio Numeric
Dalam penelitian ini dibutuhkan suatu definisi konseptual untuk
menggambarkan secara tepat fenomena yang hendak diteliti. Maka definisi
konseptual yang hendak digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini adalah:
1. Inflasi
Inflation is a rise in the general level of prices. (McConnell
& Brue, 2002: 146). Laju atau tingkat inflasi dapat dihitung dengan
rumus berikut (Asfia Murni, 2006: 41):
50
Laju Inflasi %100)1(
)1( ×−
=−
−
t
tt
IHKIHKIHK
di mana:
tIHK = Indeks Harga Konsumen tahun t
1−tIHK = Indeks Harga Konsumen tahun sebelumnya (t-1)
2. Kurs
Kurs (exchange rate) adalah pertukaran antara dua mata uang yang
berbeda, yaitu merupakan perbandingan nilai atau harga antara kedua mata
uang tersebut, dalam hal ini adalah US Dollar dengan Rupiah. Kurs tengah
adalah nilai rata-rata dari kurs jual dan kurs beli.
3. Jumlah Uang Beredar
Jumlah uang beredar adalah semua jenis uang yang berada di
dalam perekonomian, yaitu adalah jumlah dari mata uang dalam peredaran
ditambah dengan uang giral dalam bank-bank umum. (Sadono Sukirno,
2008: 281). Jumlah uang beredar M2 merupakan penjumlahan dari jumlah
uang beredar M1 (uang kartal dan uang giral) dengan deposito berjangka
(time-deposit), tabungan (saving-deposit), dan rekening (tabungan) valuta
asing milik swasta domestik.
51
4. Suku Bunga SBI
Suku bunga SBI adalah suku bunga surat berharga yang
dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka
waktu pendek dengan sistem diskonto/bunga.
52
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Sekilas Gambaran Umum Objek Penelitian
1. Inflasi
Inflasi sebagai objek penelitian merupakan hal yang paling
diperhatikan dalam perkembangan moneter Indonesia. Perkembangan
inflasi pada tahun 2001 – 2010 dapat dilihat pada Gambar. 4.1.
Gambar. 4.1 Grafik Inflasi Tahun 2001 - 2010
Berdasarkan pada Gambar. 4.1, dapat dilihat bahwa pada tahun
2005 kuartal 3 tingkat inflasi sebesar 8,41 melonjak tinggi menjadi 17,79
53
pada tahun 2005 kuartal 4. Lonjakan inflasi pada kuartal akhir tahun 2005
terutama dipengaruhi oleh dampak signifikan kenaikan harga BBM baik
melalui dampak langsung (first round) maupun dampak lanjutan (second
round). Kenaikan harga BBM sebanyak dua kali pada 2005, khususnya
kenaikan kedua pada tanggal 1 Oktober 2005, mengakibatkan inflasi
melonjak menjadi dua digit. Selain itu, beberapa kebijakan administered
prices lainnya seperti harga rokok, tarif tol, dan PAM juga turut
mendorong kenaikan harga-harga. (Laporan Tahunan Bank Indonesia,
2006: 83).
Tingginya tekanan inflasi selepas kenaikan harga BBM Oktober
2005 menuntut Bank Indonesia dan pemerintah mengambil langkah-
langkah kebijakan untuk mengendalikan sumber-sumber tekanan inflasi.
Dalam perkembangannya, berbagai langkah kebijakan yang diambil Bank
Indonesia dan pemerintah berhasil mengendalikan sumber-sumber utama
tekanan inflasi. (Laporan Tahunan Bank Indonesia, 2007: 97). Oleh karena
itu terjadi penurunan inflasi yang semula pada kuartal 3 tahun 2006
sebesar 14,87 menjadi 6,05 pada akhir tahun 2006. Inflasi IHK tahun 2006
terutama disumbang oleh kelompok bahan makanan. (Laporan Tahunan
Bank Indonesia, 2007: 98).
Secara keseluruhan, tekanan inflasi pada tahun 2008 cukup tinggi.
Inflasi IHK pada tahun 2008 meningkat tajam bila dibandingkan dengan
tahun sebelumnya. Sumber tekanan inflasi terutama berasal dari tingginya
lonjakan harga komoditas global terutama harga komoditas minyak dan
54
pangan. Selain berdampak pada imported inflation yang tinggi, lonjakan
harga minyak dunia juga berdampak pada kenaikan inflasi administered
seiring dengan kebijakan pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM
bersubsidi. (Laporan Tahunan Bank Indonesia, 2009: 25). Oleh karena itu,
tingkat inflasi tinggi pada pertengahan tahun 2008 yang pada kahirnya
turun pada awal tahun 2009. Inflasi pada tahun 2009 yang minimal tidak
terlepas dari pengaruh kebijakan Bank Indonesia dalam memulihkan
kepercayaan pasar sehingga nilai tukar Rupiah yang berada dalam tren
menguat. Kondisi tersebut pada gilirannya dapat mendukung membaiknya
ekspektasi inflasi. Perbaikan ekspektasi inflasi juga cukup besar
dipengaruhi penurunan inflasi kelompok barang administered dan inflasi
kelompok volatile food. (Laporan Tahunan Bank Indonesia, 2009: 35).
2. Nilai Tukar (Kurs)
Nilai tukar juga merupakan faktor yang penting dalam
mempengaruhi inflasi. Adapun perkembangan laju nilai tukar dapat dilihat
pada Gambar. 4.2.
55
Gambar. 4.2 Grafik Nilai Tukar Tahun 2001 – 2010
Berdasarkan pada Gambar. 4.2, nilai tukar Rupiah sudah berada
pada tingkat yang tinggi pada tahun 2001. Perkembangan nilai tukar
Rupiah pada tahun 2001 masih mengalami tekanan depresiasi yang tinggi
disertai dengan volatilitas yang meningkat walaupun sempat menguat pada
pertengahan tahun. Secara umum melemahnya nilai tukar disebabkan oleh
adanya permasalahan yang bersifat makro-fundamental dan mikro-
struktural di pasar valuta asing yang bermuara pada ketidakseimbangan
pasokan dan permintaan valuta asing. (Laporan Tahunan Bank Indonesia,
2002: 8). Pada tahun 2001, nilai tukar berfluktuatif pada level Rp 10.000.
Secara umum, nilai tukar Rupiah selama tahun 2002 mengalami
apresiasi disertai dengan menurunnya volatilitas. Perkembangan ini selain
ditunjang oleh membaiknya faktor fundamental, faktor regional, dan faktor
sentimen, juga tidak terlepas dari intervensi Bank Indonesia (BI) dalam
56
menjaga agar nilai tukar tidak terlalu berfluktuasi. Dari sisi fundamental,
apresiasi nilai tukar Rupiah didorong oleh membaiknya neraca
pembayaran dari defisit menjadi surplus. Dari sisi sentimen pasar,
menguatnya nilai tukar Rupiah juga ditunjang oleh menguatnya sentimen
positif pasar yang didorong oleh keberhasilan penjadwalan utang,
persetujuan pencairan pinjaman IMF (International Monetary Fund).
(Laporan Tahunan Bank Indonesia, 2003: 8). Pada tahun 2002, nilai tukar
berfluktuatif pada level Rp 9.000.
Nilai tukar Rupiah pada 2005 secara umum terdepresiasi. Kondisi
ini terutama terkait dengan melemahnya kinerja neraca pembayaran akibat
pengaruh kondisi sektor eksternal dan internal yang kurang
menguntungkan, sehingga memberikan tekanan yang bersifat fundamental
terhadap nilai tukar Rupiah. Di sisi eksternal,melambungnya harga minyak
dunia dan masih berlanjutnya kebijakan moneter ketat di Amerika Serikat
(AS) telah memberikan tekanan depresiasi terhadap Rupiah. Dari sisi
internal, meningkatnya permintaan valas terutama untuk memenuhi
kebutuhan impor dan pembayaran utang luar negeri merupakan faktor
utama pemicu tekanan terhadap Rupiah. Di tengah kondisi pasar keuangan
domestik yang masih mengalami kelebihan likuiditas Rupiah, permintaan
valas semakin terakselerasi sejalan dengan peningkatan ekspektasi
depresiasi akibat melonjaknya laju inflasi. Berbagai faktor tersebut
memberikan tekanan yang kuat terhadap nilai tukar Rupiah, sebelum pada
akhirnya kembali terapresiasi di triwulan keempat seiring dengan
57
kebijakan yang ditempuh Bank Indonesia dan Pemerintah. Koordinasi
kebijakan tersebut berdampak positif dan berhasil memulihkan
kepercayaan pasar, sebagaimana tercermin dari meredanya ekspektasi
depresiasi dan meningkatnya aliran masuk modal asing ke pasar keuangan
domestik. (Laporan Tahunan Bank Indonesia, 2006: 68). Pada tahun 2005,
nilai tukar Rupiah berfluktuatif pada sekitar level Rp 9.500.
Sepanjang 2006 nilai tukar Rupiah secara umum mengalami
penguatan terhadap US Dollar disertai pergerakan yang lebih stabil
dibandingkan tahun sebelumnya. Perkembangan tersebut dipengaruhi oleh
kondisi fundamental makro ekonomi yang membaik, daya tarik investasi
keuangan di dalam negeri yang terjaga, serta perkembangan ekonomi
global yang relatif lebih kondusif. Dengan kebijakan moneter dan fiskal
yang dijalankan secara konsisten dan berhati-hati, nilai tukar Rupiah dapat
bergerak stabil meskipun menghadapi harga minyak dan suku bunga
global yang masih terus meningkat selama paruh pertama 2006, serta
munculnya tekanan regional pada penghujung 2006. (Laporan Tahunan
Bank Indonesia, 2007: 83). Pada tahun 2006, nilai tukar Rupiah
berfluktuatif pada sekitar level Rp 9.100.
Secara umum, nilai tukar Rupiah dapat bergerak stabil sampai
dengan pertengahan September 2008. Hal tersebut ditopang oleh kinerja
transaksi berjalan dan kebijakan makro ekonomi yang cukup prudent.
Namun, intensifikasi krisis keuangan global yang memicu risk aversion
dan anjloknya harga komoditas menekan Rupiah, sehingga nilai tukar
58
Rupiah terdepresiasi disertai dengan peningkatan volatilitas pada kuartal 4
tahun 2008. Anjloknya harga komoditas berdampak buruk terhadap
kinerja ekspor dan menurunkan pasokan valas yang bersumber dari devisa
hasil ekspor. Di lain pihak, impor yang meningkat akibat kuatnya
permintaan domestik membutuhkan valas yang semakin besar. Tekanan
permintaan valas semakin bertambah seiring dengan adanya aliran dana
portofolio asing ke luar akibat adanya sentimen negatif sebagai imbas
krisis finansial global yang memburuk. Turunnya pasokan valas yang
disertai tingginya permintaan valas menyebabkan tingginya tekanan
depresiasi nilai tukar. (Laporan Tahunan Bank Indonesia, 2009: 23). Pada
tahun 2008, nilai tukar Rupiah berfluktuatif pada sekitar level Rp 9.200.
Pada awal tahun 2009, nilai tukar Rupiah mengalami depresiasi
sampai pada level Rp 11.600 samapi pada akhirnya terus terapresiasi
sampai pada level Rp 9.400. Nilai tukar Rupiah mulai kembali menguat
sejak kuartal 2 2009 ditopang perbaikan persepsi risiko terhadap emerging
market dan kondisi fundamental domestik yang tetap terjaga. (Laporan
Tahunan Bank Indonesia, 2010: 26). Pada tahun 2009, nilai tukar Rupiah
berfluktuatif pada sekitar level Rp 9.900.
3. Jumlah Uang Beredar
Jumlah Uang Beredar (JUB) merupakan salah satu faktor yang
penting dalam mempengaruhi inflasi. Adapun perkembangan laju jumlah
uang beredar dapat dilihat pada Gambar. 4.3.
59
Gambar. 4.3 Grafik Jumlah Uang Beredar Tahun 2001 – 2010
Berdasarkan pada Gambar. 4.3, perkembangan jumlah uang
beredar terus mengalami kenaikan pada periode 2001 – 2010. Penyebab
dari hal ini merupakan semakin bertambahnya pencetakan uang yang
diimbangi dengan tingkat inflasi dan tingginya tingkat konsumsi dan
tabungan yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia.
Pada tahun 2001 kuartal 3 sempat terjadi penurunan volume
jumlah uang beredar dari kuartal sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh
dilakukannya instrumen moneter Operasi Pasar Terbuka (OPT) oleh Bank
Indonesia, khususnya melalui mekanisme lelang SBI baik yang berjangka
waktu 1 bulan maupun 3 bulan. Hal yang sama juga dilakukan pada tahun
2002 kuartal 2.
Ekses likuiditas perbankan yang terus meningkat telah mewarnai
60
pelaksanaan kebijakan moneter selama 2003. Di tengah kebutuhan
likuiditas perbankan yang masih rendah akibat fungsi intermediasi yang
belum berjalan optimal, suplai likuiditas selama 2003 justru meningkat
tajam, terutama yang bersumber dari ekspansi rekening pemerintah di
Bank Indonesia dan pembayaran bunga Operasi Pasar Terbuka (OPT).
Kondisi ini mengakibatkan sistem perbankan secara keseluruhan semakin
kelebihan likuiditas. (Laporan Tahunan Bank Indonesia, 2004: 11). Hal ini
yang mengakibatkan bertambahnya jumlah uang beredar pada tahun 2003.
Perkembangan jumlah uang beredar terus mengalami kenaikan
pada periode 2005 – 2010. Penyebab dari hal ini merupakan efek dari
sentimen global, di mana masyrakat lebih cenderung untuk memegang
uangnya sendiri atau menyimpannya di bank. Bank sudah menjadi
perantara keuangan yang semakin aktif karena semakin bertumbuhnya
perekonomian di Indonesia. Hal ini terlihat dari banyaknya transaksi yang
dilakukan melalui bank, baik itu berupa transfer antar rekening maupun
transfer antar bank.
4. Suku Bunga SBI
Suku Bunga SBI merupakan salah satu faktor yang penting dalam
mempengaruhi inflasi. Adapun perkembangan laju suku bunga SBI dapat
dilihat pada Gambar. 4.4.
61
Gambar. 4.4 Grafik Suku Bunga SBI Tahun 2001 – 2010
Berdasarkan pada Gambar. 4.4, peningkatan suku bunga SBI
selama 2001 masih belum secara langsung berpengaruh pada peningkatan
suku bunga deposito secara signifikan, terutama akibat masih tingginya
likuiditas perbankan sebagai akibat masih tingginya ketergantungan
perbankan pada SBI sebagai alternatif penempatan utama, dengan
memanfaatkan selisih antara suku bunga SBI dan deposito di tengah
kondisi fungsi intermediasi perbankan yang belum sepenuhnya pulih.
Pada tahun 2002, penurunan suku bunga SBI disebabkan oleh
penurunan suku bunga FASBI. Penurunan suku bunga SBI tersebut juga
didorong oleh kondisi perbankan yang mengalami kelebihan likuiditas
sebagai akibat dari belum berjalannya fungsi intermediasi perbankan
secara lebih optimal. (Laporan Tahunan Bank Indonesia, 2003: 75). Hal
ini juga terjadi pada tahun 2003 sampai 2004 kuartal 2.
62
Pada tahun 2004 kuartal 3, suku bunga SBI mengalami kenaikan
yang merupakan suatu cara untuk menaikkan suku bunga deposito. Hal ini
juga terjadi pada tahun 2005 pada kuartal 3 dan 4. Pada tahun 2006, terjadi
penurunan suku bunga SBI setelah kuartal 1. Hal ini disebabkan untuk
menambah jumlah uang di masyarakat. Pada tahun 2007 kuartal 3 terjadi
kenaikan suku bunga SBI yang merupakan suatu intensitas dalam rangka
penyerapan likuiditas.
Pada tahun 2008, suku bunga SBI selalu naik. Hal ini merupakan
suatu cara untuk tetap menumbuhkan rasa aman kepada para investor
akibat krisis global yang terjadi. Tingginya suku bunga SBI akan
berdampak positif pada tingkat bunga deposito yang akan mendorong para
investor untuk berinvestasi.
B. Analisis Uji Ekonometrik
1. Analisis dan Interpretasi
a. Uji Stasioneritas Data & Derajat Integrasi
1) Uji Stasioneritas Data
Langkah pertama yang harus dilakukan dalam estimasi
model ekonomi dengan data time series adalah dengan menguji
stasioneritas pada data atau disebut juga stationary stochastic
process. Uji stasioneritas data ini dapat dilakukan dengan
menggunakan Augmented Dickey Fuller (ADF) pada derajat yang
63
sama (level atau different) hingga diperoleh suatu data yang
stasioner, yaitu data yang variansnya tidak terlalu besar dan
mempunyai kecenderungan untuk mendekati nilai rata-ratanya.
(Shochrul R. Ajija, dkk, 2011: 165).
Tabel. 4.1 Uji Stasioneritas Data
Variabel Probabilitas ADF t-Statistic ADF Critical Value (5% level) Inflasi 0.4114 -2.324788 -3.529758 Kurs 0.0876 -3.264696 -3.533083 JUB 0.7836 -1.577717 -3.529758 SBI 0.1235 -3.088517 -3.533083
Sumber: Lampiran 2
Berdasarkan Tabel. 4.1 di atas, terlihat bahwa seluruh
variabel belum stasioner pada tingkat level atau I(0). Hal ini
disebabkan karena nilai probabilitas seluruh variabel tersebut
masih lebih besar dari α = 5%. Hal ini juga dapat dibuktikan lagi
dengan melihat pada Critical Value (5% level) yang nilainya masih
lebih kecil dibandingkan dengan t-Statistic ADF. Dengan
demikian, pengujian dilanjutkan dengan uji derajat integrasi.
2) Uji Derajat Integrasi
Setelah dilakukan uji stasioneritas dan hasilnya adalah seluruh
variabel belum stasioner pada tingkat level atau I(0), maka
dilakukanlah uji derajat integrasi. Uji derajat integrasi dilakukan
64
dengan melihat probabilitas pada ADF Unit Root Test dan dengan
melihat pada tingkat difference berapa variabel tersebut stasioner.
Tabel. 4.2 Uji Derajat Integrasi (First Difference)
Variabel Probabilitas ADF t-Statistic ADF Critical Value (5% level) Inflasi 0.0024 -4.800624 -3.544284 Kurs 0.0000 -7.000979 -3.533083 JUB 0.3577 -2.432265 -3.544284 SBI 0.0711 -3.367444 -3.533083
Sumber: Lampiran 3
Berdasarkan Tabel. 4.2 Uji Derajat Integrasi (First
Difference) di atas, terlihat bahwa variabel Inflasi dan Kurs telah
stasioner di tingkat derajat pertama (first difference) atau I(1). Hal
ini disebabkan karena nilai probabilitas variabel Inflasi dan Kurs
lebih kecil daripada α = 5%. Hal ini juga dapat dibuktikan lagi
dengan melihat Critical Value (5% level) yang nilainya masih lebih
besar dibandingkan dengan t-Statistic ADF. Artinya, variabel
Inflasi dan Kurs telah stasioner di tingkat derajat pertama first
difference pada α = 5%.
Berdasarkan Tabel. 4.2 Uji Derajat Integrasi (First
Difference) di atas, juga diketahui bahwa variabel JUB dan SBI
belum stasioner di tingkat derajat pertama first difference atau I(1).
Hal ini disebabkan karena nilai probabilitas variabel JUB dan SBI
lebih besar daripada α = 5%. Hal ini juga dapat dibuktikan lagi
65
dengan melihat Critical Value (5% level) yang nilainya masih lebih
kecil dibandingkan dengan t-Statistic ADF. Artinya, variabel JUB
dan SBI belum stasioner di tingkat derajat pertama (first
difference) pada α = 5%.
Setelah dilakukan Uji Derajat Integrasi (First Difference)
dan hasilnya adalah masih terdapat dua variabel yaitu variabel JUB
dan variabel SBI belum stasioner di tingkat first difference pada
α = 5%. Hal ini juga pernah terjadi pada peneilitian yang
dilakukan oleh Enny Sri Hartati, di mana belum semua variabel
stasioner pada derajat yang sama. Oleh karena itu, maka perlu
dilanjutkan uji stasioneritas atau derajat integrasi sampai semua
variabel yang diamati mempunyai derajat yang sama. Selanjutnya
akan dilakukan Uji Derajat Integrasi (Second Difference) yang
hasilnya dapat dilihat pada Tabel. 4.3.
Tabel. 4.3 Uji Derajat Integrasi (Second Difference)
Variabel Probabilitas ADF t-Statistic ADF Critical Value (5% level) Inflasi 0.0000 -9.502998 -3.536601 Kurs 0.0003 -5.589697 -3.548490 JUB 0.0000 -8.291267 -3.544284 SBI 0.0001 -6.164543 -3.536601
Sumber: Lampiran 3
Berdasarkan Tabel. 4.3 Uji Derajat Integrasi (Second
Difference) di atas, terlihat bahwa seluruh variabel telah stasioner
66
di tingkat derajat kedua (second difference) atau I(2). Hal ini
disebabkan karena nilai probabilitas seluruh variabel lebih kecil
daripada α = 5%. Hal ini juga dapat dibuktikan lagi dengan
melihat Critical Value (5% level) yang nilainya masih lebih besar
dibandingkan dengan t-Statistic ADF. Artinya, seluruh variabel
telah stasioner di tingkat derajat kedua (second difference) pada
α = 5%.
b. Uji Kausalitas Granger
Metode yang digunakan untuk menganalisa hubungan kausalitas
antar variabel yang diamati adalah dengan Uji Kausalitas Granger.
Dalam penelitian ini, uji kausalitas Granger digunakan untuk melihat
arah hubungan di antara variabel-variabel. (Shochrul R. Ajija, dkk,
2011: 167).
Tabel. 4.4 Uji Kausalitas Granger Antara Kurs dan Inflasi
Pairwise Granger Causality Tests Date: 06/16/11 Time: 12:37 Sample: 2001Q1 2010Q4 Lags: 12
Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability INFLASI does not Granger Cause KURS 28 13.2542 0.02795
KURS does not Granger Cause INFLASI 0.39304 0.89480 Sumber: Lampiran 4
67
Berdasarkan Tabel. 4.4 Uji Kausalitas Granger Antara Kurs dan
Inflasi tersebut, terdapat sebuah hubungan kausalitas antara variabel
Inflasi dengan variabel Kurs. Hal ini disebabkan karena nilai
probabilitas dari variabel Inflasi terhadap Kurs lebih kecil
dibandingkan dengan nilai α = 5%. Hal ini dapat terlihat pada
perekonomian bahwa dengan tingginya tingkat inflasi menciptakan
terdepresiasinya nilai tukar karena dengan tingginya inflasi membuat
permintaan terhadap mata uang asing meningkat. Selanjutnya akan
dilihat bagaimana hasil Uji Kausalitas Granger Antara JUB dan Inflasi
pada Tabel. 4.5.
Tabel. 4.5 Uji Kausalitas Granger Antara JUB dan Inflasi
Pairwise Granger Causality Tests Date: 06/16/11 Time: 12:36 Sample: 2001Q1 2010Q4 Lags: 12
Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability INFLASI does not Granger Cause JUB 28 0.44899 0.86240
JUB does not Granger Cause INFLASI 0.81537 0.65727 Sumber: Lampiran 4
Berdasarkan Tabel. 4.5 Uji Kausalitas Granger Antara JUB dan
Inflasi tersebut, tidak terdapat sebuah hubungan kausalitas antara
variabel Inflasi dengan variabel JUB. Hal ini disebabkan karena nilai
probabilitas dari variabel Inflasi terhadap JUB lebih besar
68
dibandingkan dengan nilai α = 5%. Hal ini dapat terlihat pada
perekonomian bahwa dengan tingginya tingkat jumlah uang beredar
M2 yang relatif bergerak naik tidak seimbang dengan fluktuatifnya
inflasi. Tingginya nilai M2 ini disebabkan oleh pencetakan uang yang
berlebih kemudian tidak memiliki hubungan kausalitas terhadap
inflasi. Kemungkinan besar nilai M1 yang memiliki hubungan
kausalitas terhadap inflasi. Selanjutnya akan dilihat bagaimana hasil
Uji Kausalitas Granger Antara SBI dan Inflasi pada Tabel. 4.6.
Tabel. 4.6 Uji Kausalitas Granger Antara SBI dan Inflasi
Pairwise Granger Causality Tests Date: 06/16/11 Time: 12:38 Sample: 2001Q1 2010Q4 Lags: 2
Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability INFLASI does not Granger Cause SBI 38 0.90064 0.41606
SBI does not Granger Cause INFLASI 4.56807 0.01773 Sumber: Lampiran 4
Berdasarkan Tabel. 4.6 Uji Kausalitas Granger Antara SBI dan
Inflasi tersebut, terdapat sebuah hubungan kausalitas antara variabel
Inflasi dengan variabel SBI. Hal ini disebabkan karena nilai
probabilitas dari variabel Inflasi terhadap SBI lebih besar
dibandingkan dengan nilai α = 5%. Hal ini dapat terlihat pada
perekonomian bahwa dengan fluktuatifnya nilai SBI seimbang dengan
69
fluktuatifnya inflasi. Dengan ditentukannya tingkat suku bunga SBI
dapat mendorong tingkat inflasi kepada tahap yang diinginkan
sehingga Bank Indonesia dapat mencapai targetnya dalam pengaturan
inflasi.
c. Uji Kointegrasi
Setelah dilakukan Uji Kausalitas Granger, maka selanjutnya akan
dilakukan Uji Kointegrasi. Dua variabel yang tidak stasioner sebelum
dideferensi namun stasioner pada tingkat deferensi pertama, besar
kemungkinan akan terjadi kointegrasi, yang berarti terdapat hubungan
jangka panjang di antara keduanya. (Wing Wahyu Winarno, 2009:
260). Salah satu pendekatan yang dapat digunakan dalam uji
kointegrasi adalah dengan metode Johansen. (Shochrul R. Ajija, dkk,
2011: 190). Metode Johansen digunakan untuk mengestimasi matriks
Π dari unrestricted VAR dan untuk melakukan pengujian apakah
hasil reduced rank Π dapat diterima atau tidak. Dalam pengujian
reduced rank tersebut, Johansen menggunakan dua pengujian statistik
yang berbeda, yaitu trace test ( traceλ ) dan maximum eigenvalue test
( maxλ ). Penentuan ini dapat dilihat dengan membandingkan nilai Max-
Eigen dengan nilai trace-nya. Jika nilai Max-Eigen dan nilai trace-nya
lebih besar daripada nilai kritis 1% dan 5%, maka data terkointegrasi.
(Shochrul R. Ajija, dkk, 2011: 200).
70
Tabel. 4.7 Uji Kointegrasi
Variabel Trace Statistic Critical Value (5% level) Trace Max-Eigen Statistic Critical Value (5% level) Max-Eigen
Kurs 21.06889 25.87211 13.57780 19.38704 JUB 28.05682 25.87211 20.66516 19.38704
SBI 20.64268 25.87211 15.48874 19.38704 Sumber: Lampiran 5
Berdasarkan tabel 4.7 Uji Kointegrasi di atas, terindikasi bahwa
pada nilai Trace Statistic variabel Kurs dan SBI masih lebih kecil bila
dibandingkan dengan Critical Value (5% level) Trace. Hal ini serupa
dengan nilai Max-Eigen Statistic variabel Kurs dan SBI yang masih
lebih kecil dibandingkan dengan Critical Value (5% level) Max-Eigen.
Hal ini membuktikan bahwa pada variabel Kurs dan SBI tidak terjadi
kointegrasi.
Berdasarkan juga pada tabel 4.7 Uji Kointegrasi di atas, terindikasi
bahwa pada nilai Trace Statistic variabel JUB lebih besar bila
dibandingkan dengan Critical Value (5% level) Trace. Hal ini serupa
dengan nilai Max-Eigen Statistic variabel JUB yang lebih besar
dibandingkan dengan Critical Value (5% level) Max-Eigen. Hal ini
membuktikan bahwa pada variabel Jumlah Uang Beredar terjadi
kointegrasi.
d. Estimasi VECM
Setelah dilakukan Uji Kointegrasi, maka selanjutnya akan
dilakukan Uji Estimasi VECM. Jika suatu data time series model VAR
71
telah terbukti terdapat hubungan kointegrasi, maka VECM dapat
digunakan untuk mengetahui tingkah laku jangka pendek dari suatu
variabel terhadap nilai jangka panjangnya. VECM juga digunakan
untuk menghitung hubungan jangka pendek antar variabel melalui
koefisien standar dan mengestimasi hubungan jangka panjang dengan
menggunakan lag residual dari regresi yang terkointegrasi. (Shochrul R.
Ajija, dkk, 2011: 191).
Tabel. 4.8
Estimasi VECM
Variabel t-Statistic t-Table Kurs 2.19162 1.684
JUB -1.43911 1.684
SBI -2.25938 1.684 Sumber: Lampiran 6 & Lampiran 9
Berdasarkan tabel 4.8 Estimasi VECM di atas, terlihat bahwa tidak
terdapat hubungan jangka panjang atau jangka pendek antara variabel
JUB dengan variabel Inflasi. Hal ini disebabkan karena nilai t-Statistic
untuk variabel JUB lebih kecil dibandingkan dengan nilai t-tabelnya.
Di sisi lain, terdapat dua hubungan jangka pendek atau jangka
panjang terhadap variable inflasi. Hal ini disebabkan karena nilai t-
Statistic untuk variabel JUB lebih besar dibandingkan dengan nilai t-
tabelnya. Oleh karena itu, maka dapat dikatakan bahwa terdapat dua
hubungan jangka panjang atau jangka pendek antara variabel Kurs dan
SBI terhadap variabel Inflasi. Hal ini sejalan dengan hasil dari uji
72
kausalitas Granger di mana pada perekonomian pergerakan dari Kurs
dan Suku Bunga SBI memiliki hubungan kausalitas terhadap variabel
inflasi.
e. IRF (Impulse Response Function)
Setelah dilakukan Uji Estimasi VECM, maka selanjutnya akan
dilakukan Uji IRF (Impulse Response Function). IRF menggambarkan
ekspektasi k-periode ke depan dari kesalahan prediksi suatu variabel
akibat inovasi dari variabel yang lain. Dengan demikian, lamanya
pengaruh dari shock suatu variabel terhadap variabel lain sampai
pengaruhnya hilang atau kembali ke titik keseimbangan dapat dilihat
atau diketahui. (Shochrul R. Ajija, dkk, 2011: 168).
Gambar. 4.5 Impulse Response Function
-.01
.00
.01
.02
.03
1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 0
Response of DKURS to DKURS
-.01
.00
.01
.02
.03
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of DKURS to DJUB
-.01
.00
.01
.02
.03
1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 0
Response of DKURS to DSBI
-.01
.00
.01
.02
.03
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of DKURS to DINFLASI
-.0 04
.0 00
.0 04
.0 08
.0 12
.0 16
1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 0
Response of DJUB to DKURS
-.004
.000
.004
.008
.012
.016
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of DJUB to DJUB
-.0 04
.0 00
.0 04
.0 08
.0 12
.0 16
1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 0
Response of DJUB to DSBI
-.004
.000
.004
.008
.012
.016
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of DJUB to DINFLASI
0.0
0.4
0.8
1.2
1.6
2.0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 0
Response of DSBI to DKURS
0.0
0.4
0.8
1.2
1.6
2.0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of DSBI to DJUB
0.0
0.4
0.8
1.2
1.6
2.0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 0
Response of DSBI to DSBI
0.0
0.4
0.8
1.2
1.6
2.0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of DSBI to DINFLASI
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 0
Response of DINFLASI to DKURS
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of DINFLASI to DJUB
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 0
Response of DINFLASI to DSBI
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of DINFLASI to DINFLASI
Response to Cholesky One S.D. Innovations
Sumber: Lampiran 7
73
Pada Gambar. 4.5 Impulse Response kolom keempat menunjukkan
respon dari variabel kurs, jumlah uang beredar, dan suku bunga SBI
terhadap kejutan satu standar deviasi dari inflasi. Pada baris pertama
terlihat bahwa adanya kejutan (shock) atas DKURS awalnya terjadi
hubungan yang stabil dengan DINFLASI sampai pada periode ke-2.
DINFLASI tidak kembali pada nilainya semula melainkan membentuk
titik keseimbangan yang baru dan berhasil direspon positif sampai
pada periode ke-4. Pada periode ke-10 DINFLASI berada pada titik
tertinggi. Pada baris kedua, sedikit kejutan DJUB cukup menghasilkan
dampak positif terhadap DINFLASI sampai periode ke-3. Setelah
periode ke-3, dampak positif tidak lagi dirasakan sampai pada periode
ke-5. Setelah itu, DJUB memberikan hubungan positif sampai pada
periode ke-6 dan lebih fluktuatif sampai periode ke-10. Pada baris
ketiga menunjukkan adanya kejutan DSBI direspon secara negatif
setelah periode ke-3 dan pada periode ke-4 sampai dengan periode ke-
10 cenderung lebih stabil. Secara ringkas, penjelasan IRF ini dapat
dilihat pada Tabel. 4.9 Impulse Response Function berikut.
Tabel. 4.9
Impulse Response Function Terhadap DINFLASI
Periode DKURS DJUB DSBI Ke-2 Bergerak naik Mulai menaik Direspon positif Ke-3 Stabil Titik tertinggi Titik tertinggi Ke-4 Mulai direspon negative Direspon negative Bergerak stabil Ke-7 Mulai bergerak negative Direspon negative Stabil Ke-10 Titik tertinggi Titik terendah Stabil
Sumber: Lampiran 7
74
f. Variance Decomposition
Setelah dilakukan Uji IRF (Impulse Response Function), maka
selanjutnya akan dilakukan Uji Variance Decomposition. Variance
decomposition atau disebut juga forecast error variance decomposition
merupakan perangkat pada model VAR yang akan memisahkan variasi
dari sejumlah variabel yang diestimasi menjadi komponen-komponen
shock atau menjadi variabel innovation, dengan asumsi bahwa
variabel-variabel innovation tidak saling berkorelasi. Kemudian,
variance decomposition akan memberikan informasi mengenai
proporsi dari pergerakan pengaruh shock pada sebuah variabel
terhadap shock variabel lainnya pada periode saat ini dan periode yang
akan datang. (Shochrul R. Ajija, dkk, 2011: 168).
Tabel. 4.10 Variance Decomposition
Variance Decomposition of DINFLASI:
Period S.E. DKURS DJUB DSBI DINFLASI 1 2.670994 1.570200 5.353828 71.56205 21.51393
2 4.062293 0.714682 10.44683 76.35162 12.48687 3 5.304079 0.728064 12.39163 77.61370 9.266610 4 6.308796 1.535248 13.09655 75.30427 10.06394 5 6.923215 2.144340 13.79464 73.87573 10.18529 6 7.442570 2.915827 14.41621 72.43856 10.22940 7 7.951038 3.853671 14.71353 70.70841 10.72439 8 8.381947 4.590468 15.04302 69.35116 11.01536 9 8.785800 5.216628 15.33422 68.27511 11.17405
10 9.187737 5.791903 15.52843 67.26190 11.41776 Cholesky Ordering: DKURS DJUB DSBI DINFLASI Sumber: Lampiran 8
75
Berdasarkan Tabel. 4.10 Variance Decomposition, tabel ini
menjelaskan tentang variance decomposition dari variabel DINFLASI,
yaitu variabel apa saja dan seberapa besar variabel tersebut mempengaruhi
variabel DINFLASI. Pada periode pertama, variabel DINFLASI
dipengaruhi oleh variabel DSBI sebesar 71,56%, DJUB 5,35%, dan
DKURS 1,57%. Pada periode selanjutnya pengaruh varaiabel-variabel
independen tersebut semakin besar terhadap DINFLASI. Pada periode ke-
10, variabel DINFLASI dipengaruhi oleh variabel DSBI sebesar 67,26%,
DJUB 15,52%, dan DKURS 5,79%. Perkembangan DJUB lebih baik
daripada DKURS. Variabel DSBI adalah yang paling besar pengaruhnya
terhadap variabel DINFLASI, kemudian disusul variabel DJUB, dan
terakhir variabel DKURS.
76
BAB V
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh penulis terdapat
kesamaan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Fery Andrianus &
Amelia Niko di mana didapatkan hasil suku bunga dan nilai tukar berpengaruh
positif terhadap inflasi maka diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Terdapat dua buah variabel yang mempunyai hubungan kausalitas
terhadap variabel Inflasi yaitu variabel Kurs dan SBI. Berdasarkan
hasil ini maka untuk Hipotesis I didapatkan hasil Ha diterima, yaitu
sekurang-kurangnya terdapat sebuah variabel yang mempunyai
hubungan kuantitas kausalitas antara kurs, jumlah uang beredar,
dan suku bunga SBI terhadap inflasi di Indonesia periode 2001-
2010.
2. Pada variabel JUB terjadi kointegrasi. Hal ini tidak diikuti oleh
variabel Kurs dan variabel SBI. Dengan demikian, untuk Hipotesis
II didapatkan hasil Ha diterima, yaitu sekurang-kurangnya terdapat
sebuah variabel yang mempunyai hubungan kuantitas kointegrasi
antara kurs, jumlah uang beredar, dan suku bunga SBI terhadap
inflasi di Indonesia pada periode 2001 –2010.
3. Terdapat hubungan jangka panjang atau jangka pendek antara
variabel SBI dan KURS dengan variabel Inflasi. Dengan demikian,
77
untuk Hipotesis III didapatkan hasil Ha diterima, yaitu sekurang-
kurangnya terdapat sebuah variabel yang mempunyai pengaruh
guncangan (shock) yang besar antara kurs, jumlah uang beredar,
dan suku bunga SBI terhadap inflasi di Indonesia periode 2001-
2010.
B. Implikasi
Variabel Inflasi memiliki hubungan kausalitas dan hubungan jangka
panjang atau jangka pendek pada variabel suku bunga SBI dan kurs, maka Bank
Indonesia sudah melakukan tugasnya dengan baik dalam mengatur tingkat inflasi
di Indonesia yaitu pengendalian inflasi dari sisi moneter melalui Inflation
Targeting Framework (ITF). Inflation Targeting Framework (ITF) adalah sebuah
kerangka kerja di mana Bank Indonesia secara eksplisit mengumumkan sasaran
inflasi kepada publik dan kebijakan moneter diarahkan untuk mencapai sasaran
inflasi yang ditetapkan oleh pemerintah tersebut. (Bank Indonesia, Kerangka
Kebijakan Moneter). Dengan mengkerucuti hal-hal yang berpengaruh terhadap
inflasi khususnya dalam jangka pendek dan jangka panjang maka dapat
dirumuskan kebijakan yang tetap untuk diterapkan pada negara tersebut agar
tingkat inflasi tetap stabil yang berorientasi pada kurs dan suku bunga SBI.
Dengan tingkat inflasi yang relatif stabil diharapkan dapat mengurangi
ketidakpastian (uncertainty) bagi pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan.
Pengalaman empiris menunjukkan bahwa inflasi yang tidak stabil akan
menyulitkan keputusan masyarakat dalam melakukan konsumsi, investasi, dan
78
produksi, yang pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Hal ini
juga dapat menunjang ekspor-impor dalam hal pendapatan untuk cadangan devisa
dengan melakukan kebijakan atau intervensi pada kurs.
Dengan melihat Inflation Targeting Framework (ITF) dapat berjalan
dengan baik dan sesuai dengan harapan maka diharapkan dapat mengurangi
kemiskinan di masa yang akan datang karena inflasi yang tinggi akan
menyebabkan pendapatan riil masyarakat akan terus turun sehingga standar hidup
dari masyarakat turun dan akhirnya menjadikan semua orang, terutama orang
miskin, bertambah miskin. Harapan lain adalah agar di masa yang akan datang
dapat mencegah tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi dibanding dengan
tingkat inflasi di negara tetangga karena dapat menjadikan tingkat bunga domestik
riil menjadi tidak kompetitif sehingga dapat memberikan tekanan pada nilai
rupiah.
79
DAFTAR PUSTAKA
Ajija, Shochrul R., Sari Dyah W., Setianto Rahmat H., Primanti, Martha R. (2011). Cara Cerdas Menguasai EViews. Penerbit Salemba Empat: Jakarta.
Andrianus, Fery & Niko, Amelia. (2006). “Analisa Faktor-faktor yang Mempengaruhi Inflasi di Indonesia Periode 1997:3 – 2005:2”. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol.11 No.2.
Baroroh, Utami. (2010). “Pengaruh Guncangan (Shock) Output Gap dan Inflasi Terhadap Suku Bunga Sebagai Sasaran Operasional Kebijakan Moneter di Indonesia”. Signifikan. Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Jakarta.
Basalim, Umar., Alim, Muh. Rum., dan Oesman, Helma. (2000). Perekonomian Indonesia: Krisis dan Strategi Alternatif. Universitas Nasional Jakarta dan PT Pustaka Cidesindo: Jakarta.
Case, Karl E. dan Fair, Ray C. (2007). Prinsip-prinsip Ekonomi Edisi Kedelapan. Penerbit Erlangga: Jakarta.
Colander, David C. (2004). Economics. The McGraw-Hill Companies, Inc: New York.
DeLong, J. Bradford. (2002). Macroeconomics. The McGraw-Hill Companies, Inc: New York.
Frank, Robert H. & Bernanke, Ben S. (2007). Principles of Economics. The McGraw-Hill Companies, Inc: New York.
Gujarati, Damodar. (1999). Ekonometrika Dasar. Penerbit Erlangga: Jakarta.
Hartati, Enny Sri. (2004). “Dampak Pergerakkan Nilai Tukar Terhadap Inflasi (Exchange Rate Pass Through) di Indonesia”. Media Ekonomi Vol.10 No.3.
80
Harunurrasyid & Noveriza, Yovi. (2005). “Pengaruh Tingkat Bunga SBI Terhadap Tingkat Inflasi di Indonesia”. Jurnal Kajian Ekonomi dan Bisnis, Vol.7, No.2.
Kuncoro, Mudrajad. (2009). Metode Riset Untuk Bisnis & Ekonomi. PT Gelora Aksara Pratama: Jakarta.
Lestari, Etty Puji. “Pengaruh Volatilitas Nilai Tukar Rupiah Terhadap Permintaan Uang M1 Indonesia, Estimasi Data Non Stasioner”. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol.10, No.2.
Mankiw, N. Gregory. (2007). Makroekonomi. Penerbit Erlangga: Jakarta.
McConnell, Campbell R. & Brue, Stanley L. (2002). Macroeconomics. The McGraw-Hill Companies, Inc: New York.
Mishkin, Frederic S. (2008). Ekonomi Uang, Perbankan, dan Pasar Keuangan. Penerbit Salemba Empat: Jakarta.
Murni, Asfia. (2006). Ekonomika Makro. PT Refika Aditama: Bandung.
Nachrowi, Djalal Nachrowi, dan Usman, Hardius. (2006). Pendekatan Populer dan Praktis EKONOMETRIKA untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia: Jakarta.
Nairobi. (2006). “Faktor-faktor Utama yang Mempengaruhi Pergerakkan Inflasi di Kota Bandar Lampung”. Media Ekonomi Vol.12, No.2.
Nopirin. (1992). Ekonomi Moneter Buku I. BPFE: Yogyakarta.
Nopirin. (2009). Ekonomi Moneter Buku II. BPFE: Yogyakarta.
81
Nuryadin, Didi. (2006). “Real Effective Exchange Rate Determination in Indonesia: A Behavioral Equilibrium Exchange Rate Approach”. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol.11 No.2.
Pratikto, Adji & Budi, Andy Susilo Lukito. (2005). “The Impact of Exchange Rate Uncertainty on Indonesian Exports: Before and During The Period of Crisis”. Jurnal Ekonomi & Bisnis. Jakarta.
Schiller, Bradley R. (2003). The Macro Economy Today. The McGraw-Hill Companies, Inc: New York.
Skousen, Mark. (2006). Sang Maestro Teori-teori Ekonomi Modern. Prenada Media: Jakarta.
Sukirno, Sadono. (2000). Makro Ekonorni Modern Perkembangan Pemikiran dari Klasik Hingga Keynesian Baru. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Sukirno, Sadono. (2008). Makro Ekonorni Teori Pengantar. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Winarno, Wing Wahyu. (2009). Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan EViews. Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN: Yogyakarta.
www.bi.go.id/web/id/Moneter/Inflasi/Pengenalan+Inflasi/
www.bi.go.id/web/id/Moneter/Inflasi/Pengenalan+Inflasi/disagregasi.htm
www.bi.go.id/web/id/Moneter/Inflasi/Pengenalan+Inflasi/pentingnya.htm
www.bi.go.id/web/id/Moneter/Kalkulator+Kurs/defaultTable.htm?id=val&tipe=Local&bgn=0&mod=0&jmlh=1&kurs=USD&period1=2005&period2=2010&bln1=1&bln2=12
www.bi.go.id/web/id/Moneter/Kerangka+Kebijakan+Moneter/
82
www.bi.go.id/web/id/Moneter/Operasi+Moneter/Suku+Bunga+SBI/
www.bi.go.id/web/id/Publikasi/Laporan+Tahunan/Laporan+Perekonomian+Indonesia/lpi_2005.htm www.bi.go.id/web/id/Publikasi/Laporan+Tahunan/Laporan+Perekonomian+Indonesia/lpi_2006.htm
www.bi.go.id/web/id/Publikasi/Laporan+Tahunan/Laporan+Perekonomian+Indonesia/lpi_2008.htm
www.bi.go.id/web/id/Statistik/Statistik+Ekonomi+dan+Keuangan+Indonesia/Versi+HTML/Sektor+Moneter/
_______. (2002). Laporan Tahunan Bank Indonesia 2001. Jakarta.
_______. (2003). Laporan Tahunan Bank Indonesia 2002. Jakarta.
_______. (2004). Laporan Perekonomian Indonesia 2003. Jakarta.
_______. (2005). Laporan Perekonomian Indonesia 2004. Jakarta.
_______. (2006). Laporan Perekonomian Indonesia 2005. Jakarta.
_______. (2007). Laporan Perekonomian Indonesia 2006. Jakarta.
_______. (2008). Laporan Perekonomian Indonesia 2007. Jakarta.
_______. (2009). Laporan Perekonomian Indonesia 2008. Jakarta.
_______. (2010). Laporan Perekonomian Indonesia 2009. Jakarta.
_______. (2011). Laporan Perekonomian Indonesia 2010. Jakarta.
83
LAMPIRAN
84
Lampiran 1
Data Sebelum Diolah
Tahun Inflasi (%) Kurs (Rupiah) JUB (Miliar Rupiah) Suku Bunga SBI (%) 2001.1 9.35 9757.07 753814 14.86 2001.2 11.15 11220.08 792329 15.96 2001.3 12.76 9716.27 776092 17.18 2001.4 12.64 10301.99 824753 17.62 2002.1 14.54 10180.9 835531 17.11 2002.2 12.57 9096.51 833332 16.07 2002.3 10.38 8948.64 856420 14.68 2002.4 10.28 9044.62 872321 13.12 2003.1 7.82 8907.39 877558 12.52 2003.2 7.25 8491.09 890017 10.78 2003.3 6.37 8433.74 906037 8.99 2003.4 5.72 8474.68 942221 8.38 2004.1 4.84 8462.98 931166 7.72 2004.2 6.41 8985.32 951277 7.25 2004.3 6.71 9151.63 981646 7.3 2004.4 6.27 9116.93 1011210 7.3 2005.1 7.76 9273.2 1018190 7.29 2005.2 7.65 9545.2 1057566 7.79 2005.3 8.41 10006.17 1121787 8.75 2005.4 17.79 9997.14 1180230 12.54 2006.1 16.9 9305.91 1197153 12.85 2006.2 15.51 9094.84 1232257 12.4 2006.3 14.87 9121.02 1273881 11.36 2006.4 6.05 9136.19 1351286 9.5 2007.1 6.36 9099.42 1372146 8.1 2007.2 6.02 8975.18 1412120 7.83 2007.3 6.51 9247.91 1494901 8.27 2007.4 6.73 9234.98 1581026 8.2 2008.1 7.64 9257.48 1598235 7.99 2008.2 10.12 9265.05 1652268 8.43 2008.3 11.96 9217.78 1715667 9.7 2008.4 11.5 11028.11 1853117 11.25 2009.1 8.56 11623.17 1897035 9.68 2009.2 5.67 10541.46 1939075 7.63 2009.3 2.76 9996.55 1991585 6.7 2009.4 2.59 9470.14 2075036 6.59 2010.1 3.65 9265.8 2084141 6.58 2010.2 4.37 9119.63 2163467 6.56 2010.3 6.15 8999.02 2243001 6.63 2010.4 6.32 8962.97 2374792 6.37
85
Sumber: 1. Data Inflasi didapat dari Laporan Inflasi (Indeks Harga Konsumen) pada situs resmi Bank Indonesia.
2. Data Kurs didapat dari Kalkulator Kurs pada situs resmi Bank Indonesia.
3. Data Jumlah Uang Beredar didapat dari Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia sektor moneter pada situs resmi Bank Indonesia.
4. Data Suku Bunga SBI didapat dari sub bagian Suku Bunga SBI pada situs resmi Bank Indonesia.
86
Data Penelitian Tahun Inflasi (%) Log Kurs (Rupiah) Log JUB (Miliar Rupiah) Suku Bunga SBI (%)
2001.I 9.35 3.99 5.88 14.86 2001.II 11.15 4.05 5.9 15.96 2001.III 12.76 3.99 5.89 17.18 2001.IV 12.64 4.01 5.92 17.62 2002.I 14.54 4.01 5.92 17.11 2002.II 12.57 3.96 5.92 16.07 2002.III 10.38 3.95 5.93 14.68 2002.IV 10.28 3.96 5.94 13.12 2003.I 7.82 3.95 5.94 12.52 2003.II 7.25 3.93 5.95 10.78 2003.III 6.37 3.93 5.96 8.99 2003.IV 5.72 3.93 5.97 8.38 2004.I 4.84 3.93 5.97 7.72 2004.II 6.41 3.95 5.98 7.25 2004.III 6.71 3.96 5.99 7.3 2004.IV 6.27 3.96 6 7.3 2005.I 7.76 3.97 6.01 7.29 2005.II 7.65 3.98 6.02 7.79 2005.III 8.41 4 6.05 8.75 2005.IV 17.79 4 6.07 12.54 2006.I 16.9 3.97 6.08 12.85 2006.II 15.51 3.96 6.09 12.4 2006.III 14.87 3.96 6.11 11.36 2006.IV 6.05 3.96 6.13 9.5 2007.I 6.36 3.96 6.14 8.1 2007.II 6.02 3.95 6.15 7.83 2007.III 6.51 3.97 6.17 8.27 2007.IV 6.73 3.97 6.2 8.2 2008.I 7.64 3.97 6.2 7.99 2008.II 10.12 3.97 6.22 8.43 2008.III 11.96 3.96 6.23 9.7 2008.IV 11.5 4.04 6.27 11.25 2009.I 8.56 4.07 6.28 9.68 2009.II 5.67 4.02 6.29 7.63 2009.III 2.76 4 6.3 6.7 2009.IV 2.59 3.98 6.32 6.59 2010.I 3.65 3.97 6.32 6.58 2010.II 4.37 3.96 6.34 6.56 2010.III 6.15 3.95 6.35 6.63
2010.IV 6.32 3.95 6.38 6.37
87
Sumber: Data Olahan
88
Lampiran 2
Uji Stasioneritas Data Inflasi (Data diolah dengan EViews 5)
Null Hypothesis: INFLASI has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -2.324788 0.4114
Test critical values: 1% level -4.211868 5% level -3.529758 10% level -3.196411 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(INFLASI) Method: Least Squares Date: 05/31/11 Time: 21:39 Sample (adjusted): 2001Q2 2010Q4 Included observations: 39 after adjustments
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. INFLASI(-1) -0.257202 0.110635 -2.324788 0.0258
C 2.965179 1.478747 2.005197 0.0525 @TREND(2001Q1) -0.039835 0.037213 -1.070467 0.2915
R-squared 0.131348 Mean dependent var -0.077692
Adjusted R-squared 0.083090 S.D. dependent var 2.524265 S.E. of regression 2.417120 Akaike info criterion 4.676834 Sum squared resid 210.3289 Schwarz criterion 4.804801 Log likelihood -88.19827 F-statistic 2.721772 Durbin-Watson stat 1.522223 Prob(F-statistic) 0.079290
89
Uji Stasioneritas Data Kurs (Data diolah dengan EViews 5) Null Hypothesis: KURS has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -3.264696 0.0876
Test critical values: 1% level -4.219126 5% level -3.533083 10% level -3.198312 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(KURS) Method: Least Squares Date: 05/30/11 Time: 23:41 Sample (adjusted): 2001Q3 2010Q4 Included observations: 38 after adjustments
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. KURS(-1) -0.386817 0.118485 -3.264696 0.0025
D(KURS(-1)) 0.120646 0.148955 0.809952 0.4236 C 1.527004 0.470031 3.248729 0.0026
@TREND(2001Q1) 0.000375 0.000318 1.179603 0.2463 R-squared 0.252741 Mean dependent var -0.002632
Adjusted R-squared 0.186807 S.D. dependent var 0.023559 S.E. of regression 0.021245 Akaike info criterion -4.766061 Sum squared resid 0.015346 Schwarz criterion -4.593684 Log likelihood 94.55517 F-statistic 3.833212 Durbin-Watson stat 1.656756 Prob(F-statistic) 0.018179
90
Uji Stasioneritas Data Jumlah Uang Beredar (Data diolah dengan EViews 5) Null Hypothesis: JUB has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -1.577717 0.7836
Test critical values: 1% level -4.211868 5% level -3.529758 10% level -3.196411 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(JUB) Method: Least Squares Date: 05/30/11 Time: 23:41 Sample (adjusted): 2001Q2 2010Q4 Included observations: 39 after adjustments
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. JUB(-1) -0.105936 0.067145 -1.577717 0.1234
C 0.624472 0.391338 1.595736 0.1193 @TREND(2001Q1) 0.001660 0.000881 1.884844 0.0675
R-squared 0.160363 Mean dependent var 0.012821
Adjusted R-squared 0.113716 S.D. dependent var 0.010247 S.E. of regression 0.009646 Akaike info criterion -6.370652 Sum squared resid 0.003350 Schwarz criterion -6.242686 Log likelihood 127.2277 F-statistic 3.437833 Durbin-Watson stat 2.555094 Prob(F-statistic) 0.043018
91
Uji Stasioneritas Data Suku Bunga SBI (Data diolah dengan EViews 5) Null Hypothesis: SBI has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -3.088517 0.1235
Test critical values: 1% level -4.219126 5% level -3.533083 10% level -3.198312 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(SBI) Method: Least Squares Date: 05/31/11 Time: 21:41 Sample (adjusted): 2001Q3 2010Q4 Included observations: 38 after adjustments
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. SBI(-1) -0.187493 0.060706 -3.088517 0.0040
D(SBI(-1)) 0.627121 0.127858 4.904815 0.0000 C 2.455375 0.938203 2.617104 0.0131
@TREND(2001Q1) -0.032893 0.018317 -1.795780 0.0814 R-squared 0.456527 Mean dependent var -0.252368
Adjusted R-squared 0.408574 S.D. dependent var 1.127896 S.E. of regression 0.867400 Akaike info criterion 2.652667 Sum squared resid 25.58098 Schwarz criterion 2.825044 Log likelihood -46.40066 F-statistic 9.520211 Durbin-Watson stat 2.017449 Prob(F-statistic) 0.000104
92
Lampiran 3 Uji Derajat Integrasi First Difference Inflasi (Data diolah dengan EViews 5) Null Hypothesis: D(INFLASI) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 3 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -4.800624 0.0024
Test critical values: 1% level -4.243644 5% level -3.544284 10% level -3.204699 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(INFLASI,2) Method: Least Squares Date: 05/31/11 Time: 21:41 Sample (adjusted): 2002Q2 2010Q4 Included observations: 35 after adjustments
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. D(INFLASI(-1)) -1.313498 0.273610 -4.800624 0.0000
D(INFLASI(-1),2) 0.445569 0.243897 1.826873 0.0780 D(INFLASI(-2),2) 0.483089 0.204933 2.357307 0.0254 D(INFLASI(-3),2) 0.543197 0.154239 3.521789 0.0014
C -0.375362 0.950409 -0.394948 0.6958 @TREND(2001Q1) 0.003725 0.039398 0.094553 0.9253
R-squared 0.608969 Mean dependent var -0.049429
Adjusted R-squared 0.541550 S.D. dependent var 3.445139 S.E. of regression 2.332667 Akaike info criterion 4.686707 Sum squared resid 157.7988 Schwarz criterion 4.953338 Log likelihood -76.01737 F-statistic 9.032584 Durbin-Watson stat 1.989616 Prob(F-statistic) 0.000029
93
Uji Derajat Integrasi First Difference Kurs (Data diolah dengan EViews 5) Null Hypothesis: D(KURS) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -7.000979 0.0000
Test critical values: 1% level -4.219126 5% level -3.533083 10% level -3.198312 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(KURS,2) Method: Least Squares Date: 05/30/11 Time: 23:42 Sample (adjusted): 2001Q3 2010Q4 Included observations: 38 after adjustments
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. D(KURS(-1)) -1.076651 0.153786 -7.000979 0.0000
C -0.007320 0.008254 -0.886816 0.3812 @TREND(2001Q1) 0.000225 0.000355 0.632976 0.5309
R-squared 0.586142 Mean dependent var -0.001579
Adjusted R-squared 0.562493 S.D. dependent var 0.036282 S.E. of regression 0.023998 Akaike info criterion -4.546015 Sum squared resid 0.020157 Schwarz criterion -4.416732 Log likelihood 89.37428 F-statistic 24.78502 Durbin-Watson stat 1.592657 Prob(F-statistic) 0.000000
94
Uji Derajat Integrasi First Difference Jumlah Uang Beredar (Data diolah dengan EViews 5) Null Hypothesis: D(JUB) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 3 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -2.432265 0.3577
Test critical values: 1% level -4.243644 5% level -3.544284 10% level -3.204699 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(JUB,2) Method: Least Squares Date: 05/30/11 Time: 23:43 Sample (adjusted): 2002Q2 2010Q4 Included observations: 35 after adjustments
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. D(JUB(-1)) -1.092536 0.449185 -2.432265 0.0214
D(JUB(-1),2) -0.106251 0.367921 -0.288788 0.7748 D(JUB(-2),2) -0.228812 0.281313 -0.813375 0.4226 D(JUB(-3),2) -0.311268 0.166523 -1.869219 0.0717
C 0.006486 0.004275 1.517285 0.1400 @TREND(2001Q1) 0.000352 0.000196 1.797634 0.0827
R-squared 0.664405 Mean dependent var 0.000857
Adjusted R-squared 0.606544 S.D. dependent var 0.013366 S.E. of regression 0.008384 Akaike info criterion -6.570155 Sum squared resid 0.002038 Schwarz criterion -6.303524 Log likelihood 120.9777 F-statistic 11.48274 Durbin-Watson stat 1.951519 Prob(F-statistic) 0.000004
95
Uji Derajat Integrasi First Difference Suku Bunga SBI (Data diolah dengan EViews 5) Null Hypothesis: D(SBI) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -3.367444 0.0711
Test critical values: 1% level -4.219126 5% level -3.533083 10% level -3.198312 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(SBI,2) Method: Least Squares Date: 05/31/11 Time: 21:44 Sample (adjusted): 2001Q3 2010Q4 Included observations: 38 after adjustments
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. D(SBI(-1)) -0.466517 0.138537 -3.367444 0.0019
C -0.289411 0.335390 -0.862910 0.3941 @TREND(2001Q1) 0.007443 0.014324 0.519628 0.6066
R-squared 0.247058 Mean dependent var -0.035789
Adjusted R-squared 0.204032 S.D. dependent var 1.084367 S.E. of regression 0.967440 Akaike info criterion 2.847330 Sum squared resid 32.75791 Schwarz criterion 2.976613 Log likelihood -51.09927 F-statistic 5.742150 Durbin-Watson stat 1.779061 Prob(F-statistic) 0.006972
96
Uji Derajat Integrasi Second Difference Inflasi (Data diolah dengan EViews 5) Null Hypothesis: D(INFLASI,2) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -9.502998 0.0000
Test critical values: 1% level -4.226815 5% level -3.536601 10% level -3.200320 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(INFLASI,3) Method: Least Squares Date: 05/31/11 Time: 21:44 Sample (adjusted): 2001Q4 2010Q4 Included observations: 37 after adjustments
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. D(INFLASI(-1),2) -1.457070 0.153327 -9.502998 0.0000
C -0.393659 1.123290 -0.350452 0.7282 @TREND(2001Q1) 0.016881 0.047695 0.353927 0.7256
R-squared 0.726541 Mean dependent var -0.038378
Adjusted R-squared 0.710456 S.D. dependent var 5.748179 S.E. of regression 3.093056 Akaike info criterion 5.173801 Sum squared resid 325.2779 Schwarz criterion 5.304416 Log likelihood -92.71532 F-statistic 45.16663 Durbin-Watson stat 2.249965 Prob(F-statistic) 0.000000
97
Uji Derajat Integrasi Second Difference Kurs (Data diolah dengan EViews 5) Null Hypothesis: D(KURS,2) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 3 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -5.589697 0.0003
Test critical values: 1% level -4.252879 5% level -3.548490 10% level -3.207094 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(KURS,3) Method: Least Squares Date: 05/30/11 Time: 23:44 Sample (adjusted): 2002Q3 2010Q4 Included observations: 34 after adjustments
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. D(KURS(-1),2) -2.738675 0.489951 -5.589697 0.0000
D(KURS(-1),3) 1.318248 0.394330 3.343007 0.0024 D(KURS(-2),3) 0.586155 0.264859 2.213085 0.0352 D(KURS(-3),3) 0.290588 0.130701 2.223310 0.0344
C 0.006264 0.009687 0.646676 0.5231 @TREND(2001Q1) -0.000258 0.000394 -0.655496 0.5175
R-squared 0.787005 Mean dependent var 0.001765
Adjusted R-squared 0.748970 S.D. dependent var 0.044550 S.E. of regression 0.022321 Akaike info criterion -4.607825 Sum squared resid 0.013950 Schwarz criterion -4.338467 Log likelihood 84.33302 F-statistic 20.69173 Durbin-Watson stat 2.036258 Prob(F-statistic) 0.000000
98
Uji Derajat Integrasi Second Difference Jumlah Uang Beredar (Data diolah dengan EViews 5) Null Hypothesis: D(JUB,2) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 2 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -8.291267 0.0000
Test critical values: 1% level -4.243644 5% level -3.544284 10% level -3.204699 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(JUB,3) Method: Least Squares Date: 05/30/11 Time: 23:44 Sample (adjusted): 2002Q2 2010Q4 Included observations: 35 after adjustments
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. D(JUB(-1),2) -3.287003 0.396442 -8.291267 0.0000
D(JUB(-1),3) 1.352882 0.291377 4.643057 0.0001 D(JUB(-2),3) 0.569122 0.138540 4.108007 0.0003
C 0.000217 0.003679 0.058875 0.9534 @TREND(2001Q1) 2.06E-05 0.000152 0.135696 0.8930
R-squared 0.874960 Mean dependent var 0.001429
Adjusted R-squared 0.858289 S.D. dependent var 0.024027 S.E. of regression 0.009045 Akaike info criterion -6.441651 Sum squared resid 0.002454 Schwarz criterion -6.219459 Log likelihood 117.7289 F-statistic 52.48104 Durbin-Watson stat 2.160347 Prob(F-statistic) 0.000000
99
Uji Derajat Integrasi Second Difference Suku Bunga SBI (Data diolah dengan EViews 5) Null Hypothesis: D(SBI,2) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -6.164543 0.0001
Test critical values: 1% level -4.226815 5% level -3.536601 10% level -3.200320 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(SBI,3) Method: Least Squares Date: 05/31/11 Time: 21:48 Sample (adjusted): 2001Q4 2010Q4 Included observations: 37 after adjustments
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. D(SBI(-1),2) -1.056736 0.171422 -6.164543 0.0000
C -0.188740 0.409842 -0.460518 0.6481 @TREND(2001Q1) 0.007008 0.017392 0.402926 0.6895
R-squared 0.527797 Mean dependent var -0.012162
Adjusted R-squared 0.500020 S.D. dependent var 1.593381 S.E. of regression 1.126668 Akaike info criterion 3.154011 Sum squared resid 43.15893 Schwarz criterion 3.284626 Log likelihood -55.34920 F-statistic 19.00144 Durbin-Watson stat 2.002916 Prob(F-statistic) 0.000003
100
Lampiran 4 Uji Kausalitas Granger Uji Kausalitas Granger Antara Kurs dan Inflasi Pairwise Granger Causality Tests Date: 06/16/11 Time: 12:37 Sample: 2001Q1 2010Q4 Lags: 12
Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability INFLASI does not Granger Cause KURS 28 13.2542 0.02795
KURS does not Granger Cause INFLASI 0.39304 0.89480
101
Uji Kausalitas Granger Antara JUB dan Inflasi Pairwise Granger Causality Tests Date: 06/16/11 Time: 12:36 Sample: 2001Q1 2010Q4 Lags: 12
Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability INFLASI does not Granger Cause JUB 28 0.44899 0.86240
JUB does not Granger Cause INFLASI 0.81537 0.65727
102
Uji Kausalitas Granger Antara SBI dan Inflasi Pairwise Granger Causality Tests Date: 06/16/11 Time: 12:38 Sample: 2001Q1 2010Q4 Lags: 2
Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability INFLASI does not Granger Cause SBI 38 0.90064 0.41606
SBI does not Granger Cause INFLASI 4.56807 0.01773
103
Lampiran 5 Uji Kointegrasi Variabel Kurs Terhadap Inflasi (Data diolah dengan EViews 5) Date: 05/30/11 Time: 23:57 Sample (adjusted): 2001Q3 2010Q4 Included observations: 38 after adjustments Trend assumption: Linear deterministic trend (restricted) Series: KURS INFLASI Lags interval (in first differences): 1 to 1
Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized Trace 0.05
No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.** None 0.300445 21.06889 25.87211 0.1766
At most 1 0.178919 7.491091 12.51798 0.2961 Trace test indicates no cointegration at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue) Hypothesized Max-Eigen 0.05
No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.** None 0.300445 13.57780 19.38704 0.2837
At most 1 0.178919 7.491091 12.51798 0.2961 Max-eigenvalue test indicates no cointegration at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by b'*S11*b=I):
KURS INFLASI @TREND(01Q
2) 34.15369 -0.211532 -0.056858 -11.90397 -0.246276 -0.016986
Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha): D(KURS) -0.011106 0.004747
104
D(INFLASI) 0.535976 0.958069 1 Cointegrating Equation(s): Log likelihood 7.899062 Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses)
KURS INFLASI @TREND(01Q
2) 1.000000 -0.006194 -0.001665
(0.00232) (0.00076)
Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(KURS) -0.379297
(0.11905) D(INFLASI) 18.30555
(14.1052)
105
Uji Kointegrasi Variabel Jumlah Uang Beredar Terhadap Inflasi (Data diolah dengan EViews 5) Date: 05/30/11 Time: 23:58 Sample (adjusted): 2001Q3 2010Q4 Included observations: 38 after adjustments Trend assumption: Linear deterministic trend (restricted) Series: JUB INFLASI Lags interval (in first differences): 1 to 1
Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized Trace 0.05
No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.** None * 0.419474 28.05682 25.87211 0.0263
At most 1 0.176768 7.391658 12.51798 0.3054 Trace test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue) Hypothesized Max-Eigen 0.05
No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.** None * 0.419474 20.66516 19.38704 0.0325
At most 1 0.176768 7.391658 12.51798 0.3054 Max-eigenvalue test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by b'*S11*b=I):
JUB INFLASI @TREND(01Q
2) -15.44385 0.215071 0.295720 -22.52165 -0.208344 0.308382
Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha): D(JUB) 0.005361 0.002231
D(INFLASI) -0.766433 0.903292
106
1 Cointegrating Equation(s): Log likelihood 44.12299 Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses)
JUB INFLASI @TREND(01Q
2) 1.000000 -0.013926 -0.019148
(0.00401) (0.00137)
Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(JUB) -0.082795
(0.02183) D(INFLASI) 11.83668
(6.17118)
107
Uji Kointegrasi Variabel Suku Bunga SBI Terhadap Inflasi (Data diolah dengan EViews 5) Date: 05/31/11 Time: 00:00 Sample (adjusted): 2001Q3 2010Q4 Included observations: 38 after adjustments Trend assumption: Linear deterministic trend (restricted) Series: SBI INFLASI Lags interval (in first differences): 1 to 1
Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized Trace 0.05
No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.** None 0.334754 20.64268 25.87211 0.1951
At most 1 0.126834 5.153936 12.51798 0.5744 Trace test indicates no cointegration at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue) Hypothesized Max-Eigen 0.05
No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.** None 0.334754 15.48874 19.38704 0.1685
At most 1 0.126834 5.153936 12.51798 0.5744 Max-eigenvalue test indicates no cointegration at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by b'*S11*b=I):
SBI INFLASI @TREND(01Q
2) -0.010077 0.323664 0.048903 -0.573093 0.296302 -0.038689
Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha): D(SBI) -0.378423 0.233373
D(INFLASI) -1.374406 0.053643
108
1 Cointegrating Equation(s): Log likelihood -114.4263 Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses)
SBI INFLASI @TREND(01Q
2) 1.000000 -32.11855 -4.852882
(7.64752) (2.45435)
Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(SBI) 0.003813
(0.00146) D(INFLASI) 0.013850
(0.00336)
109
Lampiran 6 Estimasi VECM (Data diolah dengan EViews 5) Vector Error Correction Estimates Date: 05/31/11 Time: 21:29 Sample (adjusted): 2002Q3 2010Q4 Included observations: 34 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ]
Cointegrating Eq: CointEq1 DKURS(-1) 1.000000
DJUB(-1) -12.47600 (2.45177) [-5.08857]
DSBI(-1) 0.156397 (0.03626) [ 4.31355]
DINFLASI(-1) -0.041156 (0.01908) [-2.15668]
@TREND(01Q1) 0.204355 (0.03807) [ 5.36859]
C 66.20440 Error Correction: D(DKURS) D(DJUB) D(DSBI) D(DINFLASI) CointEq1 0.062799 0.068548 0.520530 -7.170769 (0.03926) (0.00997) (2.11145) (4.97309) [ 1.59963] [ 6.87281] [ 0.24653] [-1.44192]
D(DKURS(-1)) 0.256547 0.140624 -5.009282 -17.16179 (0.25256) (0.06416) (13.5836) (31.9934) [ 1.01579] [ 2.19162] [-0.36877] [-0.53642]
D(DKURS(-2)) 0.008220 0.088753 5.691761 -9.370053 (0.22698) (0.05767) (12.2079) (28.7532) [ 0.03621] [ 1.53909] [ 0.46624] [-0.32588]
110
D(DKURS(-3)) 0.265089 0.222272 8.979501 14.78245 (0.21780) (0.05533) (11.7140) (27.5899) [ 1.21713] [ 4.01699] [ 0.76656] [ 0.53579]
D(DJUB(-1)) 0.056998 -0.240522 13.65422 -30.29573 (0.65786) (0.16713) (35.3822) (83.3353) [ 0.08664] [-1.43911] [ 0.38591] [-0.36354]
D(DJUB(-2)) -0.746936 -0.401681 -7.476358 35.50236 (0.76050) (0.19321) (40.9025) (96.3373) [-0.98217] [-2.07900] [-0.18278] [ 0.36852]
D(DJUB(-3)) -0.654582 -0.617740 -16.17369 23.58257 (0.65396) (0.16614) (35.1725) (82.8415) [-1.00095] [-3.71813] [-0.45984] [ 0.28467]
D(DSBI(-1)) -0.005014 -0.006376 0.380285 2.477856 (0.01111) (0.00282) (0.59739) (1.40704) [-0.45142] [-2.25938] [ 0.63657] [ 1.76104]
D(DSBI(-2)) -0.011708 -0.007138 -0.201848 0.905994 (0.00890) (0.00226) (0.47841) (1.12680) [-1.31628] [-3.15851] [-0.42191] [ 0.80404]
D(DSBI(-3)) -0.010598 -0.004376 -0.152588 -0.482324 (0.00693) (0.00176) (0.37259) (0.87755) [-1.52978] [-2.48668] [-0.40954] [-0.54963]
D(DINFLASI(-1)) 0.002705 0.003030 0.102077 -0.710394 (0.00401) (0.00102) (0.21542) (0.50739) [ 0.67541] [ 2.97735] [ 0.47384] [-1.40010]
D(DINFLASI(-2)) 0.006083 0.003031 0.039285 -0.515085 (0.00390) (0.00099) (0.20974) (0.49401) [ 1.55984] [ 3.05901] [ 0.18730] [-1.04266]
D(DINFLASI(-3)) 0.003614 0.001493 0.002019 0.070844 (0.00300) (0.00076) (0.16151) (0.38041) [ 1.20343] [ 1.95667] [ 0.01250] [ 0.18623]
C 0.010835 0.025047 -0.135758 -0.023551 (0.02021) (0.00513) (1.08691) (2.56000) [ 0.53614] [ 4.87842] [-0.12490] [-0.00920] R-squared 0.411447 0.775371 0.358669 0.321142
Adj. R-squared 0.028888 0.629363 -0.058195 -0.120116 Sum sq. resids 0.009786 0.000632 28.30670 157.0285
111
S.E. equation 0.022120 0.005620 1.189678 2.802039 F-statistic 1.075513 5.310452 0.860397 0.727788 Log likelihood 90.36064 136.9475 -45.12845 -74.25504 Akaike AIC -4.491802 -7.232204 3.478144 5.191473 Schwarz SC -3.863301 -6.603703 4.106646 5.819975 Mean dependent -0.001471 0.012353 -0.325294 -0.243235 S.D. dependent 0.022446 0.009231 1.156503 2.647542
Determinant resid covariance (dof adj.) 2.00E-08
Determinant resid covariance 2.39E-09 Log likelihood 144.4990 Akaike information criterion -4.911708 Schwarz criterion -2.173238
112
Lampiran 7 Impulse Response Function (Data diolah dengan EViews 5)
-.01
.00
.01
.02
.03
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of DKURS to DKURS
-.01
.00
.01
.02
.03
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of DKURS to DJUB
-.01
.00
.01
.02
.03
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of DKURS to DSBI
-.01
.00
.01
.02
.03
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of DKURS to DINFLASI
-.004
.000
.004
.008
.012
.016
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of DJUB to DKURS
-.004
.000
.004
.008
.012
.016
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of DJUB to DJUB
-.004
.000
.004
.008
.012
.016
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of DJUB to DSBI
-.004
.000
.004
.008
.012
.016
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of DJUB to DINFLASI
0.0
0.4
0.8
1.2
1.6
2.0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of DSBI to DKURS
0.0
0.4
0.8
1.2
1.6
2.0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of DSBI to DJUB
0.0
0.4
0.8
1.2
1.6
2.0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of DSBI to DSBI
0.0
0.4
0.8
1.2
1.6
2.0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of DSBI to DINFLASI
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of DINFLASI to DKURS
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of DINFLASI to DJUB
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of DINFLASI to DSBI
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Response of DINFLASI to DINFLASI
Response to Cholesky One S.D. Innovations
113
Lampiran 8 Variance Decomposition (Data diolah dengan EViews 5)
Variance Decomposition of DKURS:
Period S.E. DKURS DJUB DSBI DINFLASI 1 0.020929 100.0000 0.000000 0.000000 0.000000
2 0.032825 95.75159 0.618991 1.065876 2.563542 3 0.038352 91.77217 1.134138 5.112359 1.981334 4 0.041496 90.89767 1.879992 5.406958 1.815378 5 0.043864 91.24531 2.181960 4.860657 1.712074 6 0.045428 91.06551 2.486718 4.850204 1.597570 7 0.046727 90.31832 2.618347 5.519039 1.544298 8 0.048171 88.89065 2.665433 6.988907 1.455015 9 0.049492 87.51424 2.703069 8.404288 1.378402 10 0.050751 86.18123 2.730436 9.770060 1.318278
Variance Decomposition of DJUB:
Period S.E. DKURS DJUB DSBI DINFLASI 1 0.008943 51.70661 48.29339 0.000000 0.000000
2 0.012714 57.99886 30.49236 9.283079 2.225698 3 0.015855 57.09622 27.89027 13.56288 1.450628 4 0.019082 59.49005 22.87346 16.36640 1.270093 5 0.022421 60.24251 20.28281 18.09001 1.384677 6 0.025582 59.49148 18.26590 21.02358 1.219042 7 0.028523 59.09923 17.08184 22.71063 1.108306 8 0.031287 58.86218 16.12919 23.90642 1.102205 9 0.033836 58.47366 15.52444 24.95488 1.047020 10 0.036197 58.24159 15.04282 25.70983 1.005752
Variance Decomposition of DSBI:
Period S.E. DKURS DJUB DSBI DINFLASI 1 1.085548 8.076434 8.525984 83.39758 0.000000
2 2.097719 5.946977 10.97531 82.96914 0.108567 3 2.897844 5.214956 10.97014 83.59332 0.221581 4 3.486901 5.061745 11.30613 83.38435 0.247775 5 3.954236 4.928055 11.46295 83.35657 0.252424 6 4.349197 4.739572 11.65263 83.32900 0.278804 7 4.695569 4.580260 11.80410 83.32000 0.295641 8 5.010511 4.441818 11.95397 83.29745 0.306757 9 5.303750 4.316069 12.07200 83.29169 0.320242 10 5.578831 4.214198 12.17483 83.28016 0.330818
114
Variance Decomposition of DINFLASI: Period S.E. DKURS DJUB DSBI DINFLASI
1 2.670994 1.570200 5.353828 71.56205 21.51393
2 4.062293 0.714682 10.44683 76.35162 12.48687 3 5.304079 0.728064 12.39163 77.61370 9.266610 4 6.308796 1.535248 13.09655 75.30427 10.06394 5 6.923215 2.144340 13.79464 73.87573 10.18529 6 7.442570 2.915827 14.41621 72.43856 10.22940 7 7.951038 3.853671 14.71353 70.70841 10.72439 8 8.381947 4.590468 15.04302 69.35116 11.01536 9 8.785800 5.216628 15.33422 68.27511 11.17405 10 9.187737 5.791903 15.52843 67.26190 11.41776
Cholesky Ordering: DKURS DJUB DSBI DINFLASI
115
Lampiran 9 Nilai Dari t-Table