analisis koefisien aliran permukaan pada berbagai …digilib.unila.ac.id/29914/2/skripsitanpa bab...
TRANSCRIPT
1
1
ANALISIS KOEFISIEN ALIRAN PERMUKAAN PADA BERBAGAI
BENTUK PENGGUNAAN LAHAN DENGAN MODEL SWAT
(SKRIPSI)
Oleh
DANESTA AYU SAPUTRI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2017
2
2
ABSTRAK
ANALISIS KOEFISIEN ALIRAN PERMUKAAN PADA BERBAGAI
BENTUK PENGGUNAAN LAHAN DENGAN MODEL SWAT
Oleh:
Danesta Ayu Saputri
DAS Way Sekampung Hulu merupakan Daerah Aliran Sungai yang terletak di
Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung dengan luas 43,063 Km2. Perubahan
pola penggunaan lahan dari lahan non terbangun menjadi terbangun akan
mestimulisasi besarnya aliran air permukaan yang memberi dampak pada
pengurangan kapasitas resapan, sehingga akan meningkatkan laju aliran
permukaan yang dapat berpotensi menghasilkan banjir di kawasan hilir DAS Way
Sekampung. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh nilai koefisien
limpasan permukaan pada beberapa bentuk penggunaan lahan DAS dan
memperoleh nilai-nilai parameter hidrograf aliran.
Metode analisis pada penelitian ini menggunakan model hidrologi SWAT.
Periode analisis pada penelitian ini yaitu dari tahun 2010 sampai 2015. Pada
analisis data meliputi tahap running SWAT, Kalibrasi dan Validasi.
Hasil analisis kalibrasi dan validasi menggunakan SWAT-CUP didapatkan nilai
NS dan R2 sebesar 0,63 dan 0,66. Sedangkan validasi didapatkan nilai NS dan R
2
3
3
sebesar,64 dan 0,74. Hasil penelitian menunjukkan nilai koefisien aliran
permukaan (C) untuk berbagai jenis penggunaan lahan. Semak belukar memiliki
nilai C sebesar 0,13, pemukian sebesar 0,22, hutan lahan kering primer sebesar
0,11, tanah terbuka sebesar 0,43, tegalan sebesar 0,28 dan perkebunan sebesar
0,15. Hasil analisis diperoleh nilai-nilai setiap parameter aliran permukaan.
Parameter SURLAG memiliki nilai 0,389, parameter GW_REVAP memiliki nilai
8,451, parameter SOL_AWC memiliki nilai 1,104, parameter EPCO memiliki
nilai 0,008, parameter HRU_SLP memiliki nilai 0,898, parameter SLSBBSN
memiliki nilai 23,195, parameter CH_N2 memiliki nilai 3,876, parameter
ALPHA_BF memiliki nilai 0,636, parameter GW_DELAY memiliki nilai 8,451,
parameter ESCO memiliki nilai 1,335, parameter CN2 memiliki nilai 1,979.
Kata Kunci : Penggunaan Lahan, SWAT, Daerah Aliran Sungai, Aliran
Permukaan.
4
4
ABSTRACT
ANALYSIS OF SURFACE RUNOFF COEFFICIENT ON VARIOUS LAND
USE USING SWAT MODEL
Oleh:
Danesta Ayu Saputri
Watershed of Way Sekampung Upstream is a watershed area located in
Tanggamus Regency of Lampung Province with an area of 43.063 Km2. Changes
in land use patterns from non-constructed land to constructed land will predict the
amount of surface water flow that will have an impact on reducing the recharge
capacity, thereby increasing the rate of surface flows that could potentially result
in flooding downstream of the Way Sekampung River Basin. The purpose of this
reseach was to obtain surface runoff coefficient values in some forms of land use
and obtain values of flow hydrograph parameters.
The method of analysis in this research using the SWAT hydrology model. Period
of analysis in this reseach that is from 2010 to 2015. In the data analysis include
the stage running SWAT, Calibration and Validation.
The results of calibration and validation analysis using SWAT-CUP obtained
values of NS and R2 of 0.63 and 0.66. While the validation values obtained NS
and R2 are 0.64 and 0.74. The results showed the value of surface runoff
5
5
coefficient (C) for some types of land use. The bushes have a C value of 0.13, the
settlement has a C value of 0.22, the primary dryland forest with a C value of
0.11, land is ground with a C 0.43, and moor has a C value of 0.28, the plantation
has a C value of 0.15. The analysis results obtained values of each parameter of
surface runoff. SURLAG parameter has 0.388, GW_REVAP parameter has 8.966,
SOL_AWC parameter has 1.104, EPCO parameter has 0.008, HRU_SLP
parameter has 0.898, SLSBBSN parameter has 23.195, CH_N2 parameter has
3.876, ALPHA_BF parameter has 0.636, parameter GW_DELAY has 8.451,
ESCO parameter has 1.335, the parameter CN2 has 1.979.
Keywords: Land Use, SWAT, Watershed, Surface Runof.
6
6
ANALISIS KOEFISIEN ALIRAN PERMUKAAN PADA BERBAGAI
BENTUK PENGGUNAAN LAHAN DENGAN MODEL SWAT
Oleh :
Danesta Ayu Saputri
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Jurusan Teknik Pertanian
Fakultas Pertanian Universitas Lampung
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR AMPUNG
2017
8
9
10
10
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung, Kecamatan
Tanjung Karang Barat, Kota Bandar Lampung pada
tanggal 23 Oktober 1994, anak pertama dari tiga
bersaudara, anak dari Bapak Andesman dan Ibu
Andriani. Penulis menyelesaikan pendidikan mulai
dari Pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) di TK
Aisyah yang diselesaikan pada tahun 2001, Sekolah
Dasar (SD) di SDN 2 Suka Jawa Kecamatan
Tanjung Karang Barat diselesaikan pada tahun 2007, Sekolah Menengah Pertama
(SMP) SMPN 4 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2010, Sekolah
Menengah Atas (SMA) di SMAN 3 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun
2013.
Pada tahun 2013 penulis terdaftar sebagai mahasiswa S1 Teknik Pertanian di
Universitas Lampung melalui jalur SNMPTN. Selama menjadi mahasiswa,
penulis pernah menjadi asisten dosen Kekuatan Bahan Teknik. Tahun 2014
penulis lolos dalam Program Kreativitas Mahasiswa (PKM-K) sebagai anggota
tim. Penulis juga aktif pada organisasi tingkat jurusan yaitu Persatuan Mahasiswa
Teknik Pertanian (PERMATEP) menjadi Anggota Bidang Dana dan Usaha
i
i
(DANUS) pada periode 2014-2015. Bulan Juli – Agustus 2016 penulis
melaksanakan Praktik Umum (PU) di PT. Great Giant Food dengan judul
“Mempelajari Aplikasi Sistem Irigasi Sprinkler Pada Tanaman Nanas
(Ananas Comosus L.Merr.) Di PG 1 PT Great Giant Food Terbanggi Besar
Lampung Tengah”. Penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik
pada Bulan Januari – Maret 2017 di Kampung Payung Makmur, Kecamatan
Pubian, Kabupaten Lampung Tengah. Penulis berhasil mencapai gelar Sarjana
Teknologi Pertanian (S.T.P.) S1 Teknik Pertanian pada tahun 2017 dengan
menghasilkan skripsi yang berjudul “Analisis Koefisien Aliran Permukaan
Pada Berbagai Bentuk Penggunaan Lahan Dengan Model SWAT’’.
i
i
Kupersembahkan Karya Kecilku ini untuk :
Bapak dan Ibuku tercinta
Bapak Andesman dan Ibu Andriani
Adik-adikku Tersayang
Adhe Ayu Safitri dan Muhammad Abiyyah Syaputra
Serta
Almamaterku Tercinta
Universitas Lampung
Teknik Pertanian 2013
ii
ii
SANWACANA
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahNya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir perkuliahan dalam penyusunan
skripsi ini. Sholawat teriring salam semoga selalu tercurah kepada Nabi besar
Arbi Muhammad SAW dan keluarga serta para sahabatnya. Amin.
Skripsi yang berjudul “Analisis Koefisien Aliran Permukaan Pada Berbagai
Bentuk Penggunaan Lahan Dengan Model SWAT” adalah salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian (S.T.P) di Universitas
Lampung.
Penulis memahami dalam penyusunan skripsi ini begitu banyak cobaan, suka dan
duka yang dihadapi, namun berkat ketulusan doa, semangat, bimbingan, motivasi,
dan dukungan orang tua serta berbagai pihak sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Maka pada kesempatan kali ini penulis
mengucapkan terimakasih kepada :
1. Dr. Ir. Ridwan, M.S., selaku Dosen Pembimbing Utama sekaligus
Pembimbing Akademik yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing,
memotivasi dan memberikan saran selama proses penelitian hingga
penyusunan skripsi ini.
iii
iii
2. Dr. Mohamad Amin, M.Si., selaku pembimbing kedua yang telah memberi
berbagai masukan dan bimbingannya dalam penyelesaian skripsi ini.
3. Dr. Ir. Sandi Asmara, M.Si., selaku pembahas yang telah memberikan saran
dan masukan sebagai perbaikan selama penyusunan skripsi ini.
4. Prof. Dr. Ir. Irwan Sukri Banuwa, M.S., selaku Dekan Fakultas Pertanian yang
telah membantu dalam administrasi skripsi ini.
5. Dr. Ir. Agus Haryanto, M.S., selaku ketua Jurusan Teknik Pertanian,
Universitas Lampung, yang telah memotivasi dan memberikan saran selama
proses penelitian hingga penyusunan skripsi ini.
6. Balai Besar Wilayah Sungai Mesuji-Sekampung (BBWS M-S), terimakasih
atas data yang telah diberikan untuk menunjang terselesaikannya skripsi ini.
7. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Masgar Lampung,
terimakasih atas data yang telah diberikan untuk menunjang terselesaikannya
skripsi ini.
8. Mas Gema Sakti Azan, terimakasih atas ilmu dan waktunya dalam membantu
terselesaikannya penelitian.
9. Bapakku (Andesman), Ibuku (Andriani), Adik-adikku (Adhe Ayu Safitri dan
Muhammad Abiyyah Syaputra) yang telah memberikan kasih sayang yang
luar biasa, dukungan, semangat dan doa nya.
10. Hendri Setiawan S.T.P., dan Arief Cahya Perkasa S.T., terimakasih atas
bantuan, dukungan, serta semangatnya dalam proses penyusunan skripsi ini.
iv
iv
11. Teman-teman Teknik Pertanian 2013, atas kebersamaan dan dukungannya
selama ini.
Bandar Lampung, 20 Desember 2017
Penulis
Danesta Ayu Saputri
v
v
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ....................................................................................................... v
DAFTAR TABEL .......................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ x
I. PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ...........................................................................................2
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................3
1.3 Tujuan ........................................................................................................3
II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 4
2.1 Siklus Hidrologi .........................................................................................4
2.2 Iklim ..........................................................................................................7
2.3 Daerah Aliran Sungai ................................................................................9
2.4 Pengelolaan DAS .....................................................................................10
2.5 Debit Sungai ............................................................................................11
2.6 Aliran Permukaan ....................................................................................13
2.7 Penggunaan Lahan ...................................................................................16
2.8 SIG/GIS (Sistem Informasi Geografis) ....................................................17
2.9 SWAT (Soil and Water Assessment Tools) .............................................19
2.10 SUFI-2 SWAT-CUP ................................................................................21
2.11 Kalibrasi dan Validasi Model ..................................................................24
III. METODELOGI PENELITIAN ............................................................... 28
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ...................................................................28
3.2 Alat dan Bahan Penelitian ........................................................................29
3.3 Tahapan Penelitian ...................................................................................30
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 38
4.1 Kondisi Lokasi Penelitian ........................................................................38
4.2 Kondisi Iklim ...........................................................................................38
vi
vi
4.3 Kondisi Jenis Tanah .................................................................................42
4.3.1 Asosiasi Aluvial Andosol Regosol .................................................... 42
4.3.2 Asosiasi Podsolik Merah Kuning ....................................................... 42
4.4 Kondisi Kelerengan .................................................................................43
4.5 Penggunaan Lahan ...................................................................................43
4.6 Kalibrasi Menggunakan Software SUFI-2.SWAT_CUP ........................46
4.6.1 Input Kalibrasi pada SUFI-2.SWAT_CUP ....................................... 47
4.6.2 Proses Kalibrasi pada SUFI-2.SWAT_CUP .................................... 49
4.6.3 Hasil Kalibrasi pada SUFI2.SWAT-CUP ......................................... 50
4.7 Validasi Menggunakan Software SUFI-2.SWAT_CUP ..........................54
4.8 Koefisien Aliran Permukaan Berbagai Bentuk Penggunaan Lahan ........56
V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 61
5.1 Kesimpulan .............................................................................................61
5.2 Saran........................................................................................................ 62
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 63
LAMPIRAN ..................................................................................................... 65
Lampiran 1. Distribusi HRU/Landuse/Soil/Slope SWAT Model Peta
Penggunaan Lahan Tahun 2010................................................ 66
Lampiran 2. Distribusi HRU/Landuse/Soil/Slope SWAT Model Peta
Penggunaan Lahan Tahun 2015................................................ 72
Lampiran 3. Hasil Uji Statistik Kalibrasi SWAT-CUP Tahun 2010-2012 .... 79
Lampiran 4. Hasil Uji Statistik Validasi SWAT-CUP Tahun 2013-2015 ..... 80
Lampiran 5. Nilai Aliran Permukaan /SubDAS Tahun 2010 ........................ 81
Lampiran 6. Nilai Koefisien Aliran Permukaan Berdasarkan Jenis
Penggunaan Lahan Tahun 2010................................................ 82
Lampiran 7. Nilai Koefisien Aliran Permukaan SubDAS Way
Sekampung Hulu Tahun 2010 .................................................. 86
Lampiran 8. Nilai Aliran Permukaan /SubDAS Tahun 2015 ........................ 87
Lampiran 9. Nilai Koefisien Aliran Permukaan Berdasarkan Jenis
Penggunaan Lahan Tahun 2015................................................ 88
Lampiran 10. Nilai Koefisien Aliran Permukaan SubDAS Way
Sekampung Hulu Tahun 2015 ................................................ 94
vii
vii
Lampiran 11. Peta Jenis Tanah, Kelerengan, dan Penggunaan Lahan
DAS Way Sekampung Hulu .................................................. 95
viii
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Klasifikasi Iklim Schmidt-Ferguson .......................................................... 8
Tabel 2. Klasifikasi Intensitas Hujan .......................................................................8
Tabel 3. Nilai C Pada Setiap Penggunaan Lahan ................................................. 15
Tabel 4. Klasifikasi keragaman model menurut indikator NSE .......................... 27
Tabel 5. Data yang digunakan dalam penelitian .................................................. 31
Tabel 6. Pengelompokan data debit untuk proses kalibrasi dan validasi model
SWAT ..................................................................................................... 37
Tabel 7. Luas SubDAS Way Sekampung Hulu ................................................... 38
Tabel 8.Suhu Udara Rata-rata Bulanan Tahun 2010-2015 .................................. 39
Tabel 9. Kelembaban Udara Rata-rata Bulanan Tahun 2010-2015 ...................... 40
Tabel 10. Kecepatan Angin Rata-rata Bulanan Tahun 2010-2015 ....................... 40
Tabel 11. Curah Hujan Rata-rata Bulanan Tahun 2010-2015 .............................. 41
Tabel 12. Kelas Lereng dan Luasnya di DAS Way Sekampung Hulu ................ 43
Tabel 13. Sebaran Jenis Penggunaan Lahan DAS Way Sekampung Hulu
Tahun 2010 dan 2015 .......................................................................... 45
Tabel 14. Parameter-parameter Kalibrasi Menggunakan SWAT-CUP ............... 48
Tabel 15. Nilai C untuk Setiap Penggunaan Lahan .............................................. 58
lampiran
Tabel 16. Nilai Aliran Permukaan SubDAS 1 Tahun 2010 ................................. 81
Tabel 17. Nilai Aliran Permukaan SubDAS 2 Tahun 2010 .................................. 81
Tabel 18. Jenis Penggunaan Lahan Semak Belukar (SubDAS 1) ......................... 82
ix
ix
Tabel 19. Jenis Penggunaan Lahan Semak Belukar (SubDAS 1)........................ 82
Tabel 20. Jenis Penggunaan Lahan Perkebunan (SubDAS 1) ............................. 83
Tabel 21. Jenis Penggunaan Lahan Hutan Lahan Kering Primer (SubDAS 1) ... 83
Tabel 22. Jenis Penggunaan Lahan Semak Belukar (SubDAS 2)........................ 84
Tabel 23. Jenis Penggunaan Lahan Tegalan (SubDAS 2) ................................... 84
Tabel 24. Jenis Penggunaan Lahan Perkebunan (SubDAS 2) ............................. 85
Tabel 25. Jenis Penggunaan Lahan Hutan Lahan Kering Primer (SubDAS 2) ... 85
Tabel 26. Nilai Koefisien Aliran Permukaan SubDAS 1 Tahun 2010 ................ 86
Tabel 27. Nilai Koefisien Aliran Permukaan SubDAS 2 Tahun 2010 ................ 86
Tabel 28. Nilai Aliran Permukaan SubDAS 1 Tahun 2015 ................................. 87
Tabel 29. Nilai Aliran Permukaan SubDAS 1 Tahun 2015 ................................ 87
Tabel 30. Jenis Penggunaan Lahan Pemukiman (SubDAS 1) ............................. 88
Tabel 31. Jenis Penggunaan Lahan Semak Belukar (SubDAS 1)........................ 88
Tabel 32. Jenis Penggunaan Lahan Hutan Lahan Kering Primer (SubDAS 1) ... 89
Tabel 33. Jenis Penggunaan Lahan Tanah Terbuka (SubDAS 1) ........................ 89
Tabel 34 Jenis Penggunaan Lahan Perkebunan (SubDAS 1) .............................. 90
Tabel 35. Jenis Penggunaan Lahan Pemukiman (SubDAS 2) ............................. 90
Tabel 36. Jenis Penggunaan Lahan Semak Belukar (SubDAS 2)........................ 91
Tabel 37. Jenis Penggunaan Lahan Hutan Lahan Kering Primer (SubDAS 2) ... 91
Tabel 38. Jenis Penggunaan Lahan Tanah Terbuka (SubDAS 2) ........................ 92
Tabel 39. Jenis Penggunaan Lahan Tegalan (SubDAS 2) ................................... 92
Tabel 40. Jenis Penggunaan Lahan Perkebunan (SubDAS 2) ............................. 93
Tabel 41. Nilai Koefisien Aliran Permukaan SubDAS 1 Tahun 2015 ................ 94
Tabel 42. Nilai Koefisien ALiran Permukaan SubDAS 2 Tahun 2015 ............... 94
x
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Skema Siklus Hidrologi ........................................................................ 5
Gambar 2. Ilustrasi hubungan antara ketidakpastian parameter masukan
dengan ketidakpastian hasil prediksi .................................................. 24
Gambar 3. Peta Lokasi DAS Way Sekampung Hulu............................................ 29
Gambar 4. Tahapan Penelitian .............................................................................. 30
Gambar 5. Prosedur Analisis, kalibrasi dan validasi model SWAT ..................... 36
Gambar 6. Peta HRU tahun 2010.......................................................................... 44
Gambar 7. Peta HRU tahun 2015.......................................................................... 44
Gambar 8. Grafik Debit Observasi dan Debit Model Hasil Kalibrasi Tahun
2010-2012 .......................................................................................... 52
Gambar 9. Grafik XY Scatter antara Debit Observasi dan Debit Model .............. 52
Gambar 10. Grafik Analisis Sensitivitas Parameter Hasil Kalibrasi .................... 53
Gambar 11. Grafik Debit Observasi dan Debit Model Hasil Validasi Tahun
2013-2015 .......................................................................................... 55
Gambar 12. Grafik XY Scatter antara Debit Observasi dan Debit Model ............ 56
Lampiran
Gambar 13. Peta Sebaran Jenis Tanah .................................................................. 95
Gambar 14. Peta Kemiringan Lereng DAS Way Sekampung Hulu ..................... 96
Gambar 15. Peta Sebaran Penggunaan Lahan DAS Way Sekampung Hulu
Tahun 2010 ....................................................................................... 97
Gambar 16. Peta Sebaran Penggunaan Lahan DAS Way Sekampung Hulu
Tahun 2015 ........................................................................................ 98
xi
xi
NOTASI
r_ : Relatif
v_ : Replace
.bsn : Koefiseien lag aliran permukaan
.gw : Groundwater
.hru : Menggambarkan Keadaan HRU
.mgt : Koefisien limpasan permukaan yang menggambarkan
kondisi penggunaan lahan
.rte : Konduktivitas hidrolik dan nilai manning
.sol : Jenis tanah
ALPHA_BF : Faktor aliran air tanah (hari)
CH_N2 : Konstanta manning’s ermukaan sungai
CN2 : Runoff Curve Number
EPCO : Faktor kompensasi pengambilan tanaman
ESCO : Faktor kompensasi penguapan tanah
GW_DELAY : Penundaan air tanah (hari).
GW_REVAP : Koefisien "revap" air tanah.
HRU_SLP : Kemiringan lereng rata-rata (m/m)
SLSBBSN : Panjang kemiringan rata-rata
SOL_AWC : Kapasitas tanah menahan air (mm/mm)
SURLAG : Jeda waktu aliran permukaan
2
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penggunaan lahan merupakan salah satu faktor utama yang menentukan kondisi
hidrologi suatu DAS. Oleh karena itu perubahan penggunaan lahan akan selalu
diikuti oleh perubahan kondisi hidrologi DAS. Daerah Aliran Sungai (DAS)
merupakan daerah yang dibatasi punggung gunung di mana air hujan yang jatuh
akan ditampung dan dialirkan melalui sungai kecil menuju sungai utama. DAS
memberikan pengaruh yang besar terhadap kebutuhan air baku suatu daerah,
sehingga dalam pengelolaannya dibutuhkan perencanaan yang sebaik mungkin
(Rau, 2012). Pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) merupakan pengaturan
komposisi penggunaan lahan pada suatu DAS agar sumberdaya DAS dapat
dimanfaatkan tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan pada DAS. Pengelolaan
DAS dapat dilakukan dengan melakukan perencanaan yang optimal yang
didasarkan pada kemampuan atau kondisi DAS dengan mempertimbangkan
keseimbangan lingkungan (Broto, 2009).
DAS Sekampung Hulu yang merupakan daerah tangkapan air (DTA) Waduk
Batutegi (42.400 hektar) yang akhir-akhir ini telah mengalami alih fungsi hutan
menjadi lahan pertanian. Tingkat kerusakan saat ini sudah parah dimana luas
hutan yang tersisa menjadi kurang dari 30 %. Akibat konversi hutan menjadi
2
lahan pertanian dimana usaha tani yang dilakukan tidak mempertimbangkan
kemampuan dan kesesuaian lahan serta agroteknologi, konservasi tanah dan air,
maka hal ini menyebabkan kerusakan lingkungan di DTA Waduk Batutegi (Broto,
2009).
Perubahan tata guna lahan atau konservasi yang dilaksanakan di daerah hulu DAS
tidak hanya akan memberikan dampak di daerah dimana kegiatan itu berlangsung
(hulu DAS), tetapi juga akan menimbulkan dampak di daerah hilir. Perubahan
pola penggunaan lahan dari lahan non terbangun menjadi terbangun akan
mestimulisasi besarnya aliran air permukaan yang memberi dampak pada
pengurangan kapasitas resapan, sehingga akan meningkatkan laju aliran
permukaan yang dapat berpotensi menghasilkan banjir di kawasan hilir. Aliran
permukaan merupakan faktor hidrologi terbesar yang dapat menyumbang debit
pada saat terjadi banjir. Volume aliran permukaan dalam jumlah besar dan terus-
menerus dapat mengakibatkan erosi yang mengangkut partikel-partikel tanah dan
mendeposisikan pada badan-badan air seperti sungai, danau, waduk dan
sebagainya. Makin besar jumlah sedimen yang terbawa oleh aliran menunjukkan
kondisi DAS yang tidak sehat (Staddal, 2016).
Model hidrologi dapat dijadikan alternatif untuk mempelajari masalah di atas.
Teknik simulasi model hidrologi dapat memprediksi debit yang terjadi dalam
suatu DAS. Dengan model hidrologi tersebut, dapat digambarkan kondisi
karakteristik DAS dalam beberapa waktu kedepan berkenaan dengan perubahan
yang dialaminya.
3
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas dapat dirumuskan beberapa
masalah terkait hubungan hujan, bentuk penggunaan lahan dan debit aliran suatu
daerah aliran sungai sebagai berikut.
1. Seberapa besar bagian curah hujan yang menjadi aliran permukaan pada
suatu karakteristik lahan DAS ?.
2. Bagaimana pengaruh variasi besarnya curah hujan terhadap variasi debit
aliran sungai ?.
1.3 Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk memperoleh nilai koefisien limpasan permukaan pada beberapa
bentuk penggunaan lahan DAS.
2. Untuk memperoleh nilai-nilai parameter hidrograf aliran.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Siklus Hidrologi
Siklus hidrologi merupakan perjalanan air dari permukaan laut ke atmosfer
kemudian ke permukaan tanah dan kembali lagi ke laut yang terjadi secara terus
menerus, air tersebut akan tertahan sementara di sungai, danau/waduk, dan dalam
tanah sehingga dapat dimanfaatkan oleh manusia atau makhluk hidup lainnya.
Air yang jatuh ke bumi dalam bentuk hujan, salju dan embun akan mengalami
berbagai peristiwa, kemudian akan menguap ke udara menjadi awan dan dalam
bentuk hujan, salju, dan embun jatuh kembali ke bumi. Daratan yang tidak ada
tumbuhan atau benda lainnya maka air hujan akan langsung jatuh ke permukaan
tanah. Sedangkan pada tempat yang ada tumbuhan atau benda lain di permukaan
lahan, air hujan yang jatuh akan ditahan dan melekat di permukaan tumbuhan atau
benda tersebut. Bagian air yang ditahan dan melekat di permukaan tumbuhan
disebut dengan air intersepsi. Bagian air hujan yang sampai ke permukaan tanah
akan mengalir di permukaan tanah (runoff) atau masuk ke dalam tanah yang
disebut dengan air infiltrasi (Putri, 2011).
Air aliran permukaan akan terkumpul di dalam danau atau waduk serta sungai dan
kemudian mengalir ke laut. Air infiltrasi sebagian akan menguap dari permukaan
tanah dan kembali ke udara (evaporasi), sebagian lagi akan diserap tumbuhan dan
5
manguap ke udara melalui proses transpirasi, dan sebagian lagi terpekolasi masuk
lebih dalam ke dalam tanah menjadi air bawah tanah (ground water) yang
kemudian akan masuk ke dalam sungai atau danau melalui aliran bawah tanah
(groundwater flow). Air dalam danau, waduk, sungai dan laut akan kembali
menguap ke udara. Skema siklus hidrologi dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Skema Siklus Hidrologi
Sumber : Sosiawan (2010, dalam Dahtiar, 2015)
Pada waktu musim penghujan, jumlah air meningkat sangat tajam dan di
permukaan bumi air mengalir dari hulu ke hilir, dari tempat yang lebih tinggi ke
tempat yang rendah menuju laut sebagai muara paling akhir. Air juga meresap ke
dalam tanah membentuk aliran bawah tanah. Pada waktu musim hujan, hampir
selalu ada beberapa wilayah yang mengalami bencana banjir dan longsor.
Sebaliknya pada waktu musim kemarau, beberapa wilayah mengalami bencana
6
kekeringan. Banyak sungai yang tidak ada aliran pada musim ini, namun aliran
yang besar terjadi pada musim penghujan. Ada perbedaan debit yang sangat besar
untuk beberapa sungai pada saat dua musim tersebut (Putri, 2011).
Air mengalir tergantung pada kondisi permukaan bumi. Bila tidak ada daerah
yang bisa menyerap dan daerah yang bisa menahan laju aliran maka pada waktu
musim penghujan air akan mengalir langsung ke laut. Pada waktu musim
kemarau, karena tidak ada lagi hujan maka keberadaan air di suatu tempat
tergantung dari kuantitas dan kualitas resapan dan panahanan air pada waktu
musim penghujan. Pada daerah yang dapat menahan dan meresapkan air dengan
baik dan optimal maka kebutuhan air dapat terpenuhi di musim kemarau karena
masih ada air yang tertampung dan terhenti, misalnya: waduk, danau, retensi,
cekungan serta yang meresap di dalam tanah sehingga membentuk air tanah,
sumur dan mata air (Putri, 2011).
Sebagian air hujan yang tiba ke permukaan tanah akan masuk ke dalam tanah
(infiltrasi). Bagian lain yang merupakan kelebihan akan mengisi lekuk-lekuk
permukaan tanah, kemudian mengalir ke daerah yang rendah, masuk ke sungai-
sungai dan akhirnya ke laut. Dalam perjalanan ke laut sebagian akan menguap dan
kembali ke udara. Sebagian air yang masuk ke dalam tanah keluar kembali segera
ke sungai-sungai (interflow), tetapi sebagian besar akan tersimpan sebagai air
tanah (groundwater) yang akan keluar sedikit demi sedikit dalam jangka waktu
yang lama ke permukaan tanah di daerah-daerah yang rendah (groundwater
runoff).
7
Air yang jatuh ke bumi dalam bentuk hujan, salju dan embun akan mengalami
berbagai peristiwa, kemudian akan menguap ke udara menjadi awan dan dalam
bentuk hujan, salju, dan embun jatuh kembali ke bumi. Sumber energi utama
dalam siklus hidrologi adalah matahari yang membantu dalam proses evaporasi
(Putri, 2011).
2.2 Iklim
Iklim merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi proses hidrologi
terutama pada proses transformasi hujan menjadi debit. Beberapa sistem
klasifikasi iklim antara lain adalah sistem klasifikasi Koppen, Mohr, Schmidt-
Ferguson, Oldeman dan Junghuhn. Sistem klasifikasi iklim yang sangat dikenal
di Indonesia adalah klasifikasi Schmidt-Ferguson. Kriteria yang digunakan
adalah dengan penetuan nisbah bulan basah dan bulan kering. Klasifikasi ini
berdasarkan pada tingkat kebasahan suatu wilayah. Bulan basah mempunyai
curah hujan bulanan >100 mm dan bulan kering mempunyai curah hujan bulanan
<60 mm (Emiyati 2012). Perhitungannya yaitu menggunakan persamaan (1):
Q= (Bulan Kering/Bulan Basah ) x 100% …………………………(2.1)
Dimana nilai Q adalah nisbah bulan basah dan bulan kering. Klasifikasi iklim
Schmidt-Ferguson dapat dilihat pada Tabel 1.
8
Tabel 1. Klasifikasi Iklim Schmidt-Ferguson.
Tipe Ikim Nilai Q (%) Keadaan iklim dan
vegetasi
A < 14,3 Daerah sangat basah, hutan
hujan tropika
B 14,3 – 33,3 Daerah basah, hutan hujan
tropika
C 33,3 – 60,0 Daerah agak basah, hutan rimba,
daun gugur pada musim kemara
D 60,0 – 100,0 Daerah sedang, hutan musim
E 100,0 – 167,0 Daerah agak kering, hutan
sabana
F 67,0 – 300,0 Daerah kering, hutan sabana
G 300,0 – 700,0 Daerah sangat kering, padang
ilalang
H > 700,0 Daerah ekstrim kering, padang
ilalang
Sumber : Emiyati, 2012.
Komponen iklim utama yang sangat mempengaruhi proses hidrologi adalah
presipitasi dan evapotranspirasi. Presipitasi adalah curahan air dari atmosfer yang
jatuh ke permukaan bumi. Pada daerah tropis sumber utama presipitasi berasal
dari curah hujan. Unsur utama dalam presipitasi adalah tinggi hujan yang
dinyatakan dalam satuan (mm) dan intensitas curah hujan yang dinyatakan dalam
tingi persatuan waktu. Klasifikasi intensitas hujan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Klasifikasi Intensitas Hujan
No. Klasifikasi Intensitas hujan (mm/jam)
1. Sangat rendah 0-5
2. Rendah 6-10
3. Sedang 11-25
4. Cukup tinggi 26-50
5. Tinggi 51-75
6. Sangat tinggi >75
Sumber : Emiyati, 2012.
9
Curah hujan yang terjadi pada wilayah DAS dapat menjadi penyebab utama
terjadinya banjir. Meskipun demikian, curah hujan yang tinggi tidak selalu
mendatangkan masalah banjir bila pengelolaan air hujan dilakukan dengan baik.
Tetapi bila tidak ada pengelolaan air hujan yang baik maka masalah banjir dan
kekeringan akan selalu terjadi berulang-ulang. Curah hujan jatuh disaat tanah
mulai jenuh, akan lebih berbahaya dari pada hujan di saat tanah kering. Hujan
lebat pada bulan Februari mungkin lebih berbahaya dari hujan lebat bulan
Desember karena musim penghujan sudah mulai pada bulan November dan
sebagian tanah di hilir mulai jenuh sehingga aliran permukaan akan segera terjadi
sesaat setelah hujan terjadi. Aliran permukaan ini akan mendatangkan banjir bila
kapasitas saluran drainase dan sistem sungai tidak bisa mengimbanginya
(Emiyati, 2012).
2.3 Daerah Aliran Sungai
Definisi Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disebut DAS menurut Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2012 adalah suatu wilayah
daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya,
yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari
curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan
pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih
terpengaruh aktivitas daratan (Setiawan, 2017).
DAS merupakan ekosistem alam yang dibatasi oleh punggung bukit. Air hujan
yang jatuh di daerah tersebut akan mengalir pada sungai-sungai yang akhirnya
10
bermuara ke laut atau ke danau. Pada Daerah Aliran Sungai dikenal dua wilayah
yaitu wilayah pemberi air (daerah hulu) dan wilayah penerima air (daerah hilir).
Kedua daerah ini saling berhubungan dan mempengaruhi dalam unit ekosistem
Daerah Aliran Sungai (DAS). Fungsi Daerah Aliran Sungai adalah sebagai areal
penangkapan air (catchment area), penyimpan air (water storage) dan penyalur
air (distribution water) (Halim, 2014).
DAS dibagi menjadi sub DAS bagian hulu, bagian tengah, dan bagian hilir.
Secara biogeofisik, daerah hulu DAS dicirikan oleh hal - hal sebagai berikut:
merupakan daerah konservasi, mempunyai kerapatan drainase lebih tinggi,
merupakan daerah dengan kemiringan lereng besar (lebih besar dari 15%), bukan
merupakan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh pola drainase,
dan jenis vegetasi umumnya merupakan tegakan hutan. Sementara daerah hilir
DAS dicirikan oleh hal - hal sebagai berikut: merupakan daerah pemanfaatan,
kerapatan drainase lebih kecil, merupakan daerah dengan kemiringan lereng kecil
sampai dengan sangat kecil (kurang dari 8%), pada beberapa tempat merupakan
daerah banjir (genangan), pengaturan pemakaian air ditentukan oleh bangunan
irigasi, dan jenis vegetasi didominasi hutan bakau/gambut. Daerah Aliran Sungai
tengah merupakan daerah transisi dari kedua karakteristik biogeofisik DAS yang
berbeda tersebut diatas (Putri, 2011).
2.4 Pengelolaan DAS
Pengelolaan DAS adalah upaya yang dilakukan manusia dalam pemanfaatan
sumberdaya alam dalam suatu wilayah ekosistem DAS sehingga DAS dapat
11
berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Upaya pengelolaan DAS
secara ideal harus mampu menyeimbangkan antara laju degradasi DAS dengan
tingkat perbaikannya sehingga DAS dapat berfingsi secara baik. Kerusakan DAS
mengakibatkan infiltrasi menurun sehingga aliran permukaan dan erosi
meningkat. Dalam hal ini, DAS atau SubDAS gagal melakukan fungsinya
sebagai pengatur tata air. Perubahan atau terganggunya salah satu komponen
penyusun DAS akan mempengaruhi fungsi ekosistem DAS secara keseluruhan.
Untuk mempertahankan atau meningkatkan fungsi dan interaksi antar komponen
penyusun DAS, diperlukan pengelolaan yang baik dan benar serta dapat
diterapkan. Pengelolaan DAS mencakup unsur perencanaan, pelaksanaan, serta
pemantauan dan evaluasi (Manik, 2012).
2.5 Debit Sungai
Dalam proses hidrologi, aliran air sungai terbentuk dari beberapa sumber air yang
berada pada bukit atau gunung. Bukit dan gunung merupakan daerah penyerap
dan penyimpan cadangan air yang berasal dari air hujan. Cadangan air yang
diserap tersebut masuk ke dalam tanah dan batuan. Karena volume air tersimpan
dalam jumlah besar, air keluar ke permukaan melalui tekuk lereng. Air yang
keluar tersebut kemudian mengalir pada permukaan yang kemudian menjadi
sungai. Aliran ini mengalir ke permukaan yang memiliki ketinggian lebih rendah,
sesuai dengan sifat air yang mengalir dari tempat dengan tempat tinggi ke rendah.
Saat dilakukan pengukuran tinggi permukaan air oleh alat ukur, diperoleh debit
sungai. Debit sungai merupakan laju aliran air (volume air) yang melewati suatu
penampang melintang sungai per satuan waktu, di mana satuan besaran debit
12
dalam satuan internasional adalah meter kubik per detik (m3/dt) (Rau, 2012).
Menurut Arsyad (2010, dalam Setiawan, 2017) metode rasional dalam
menentukan laju puncak aliran permukaan (debit puncak) mempertimbangkan
waktu konsentrasi, yaitu waktu yang dibutuhkan air yang mengalir di permukaan
tanah dari tempat yang terjauh sampai tempat keluarnya (outlet) di suatu daerah
aliran. Persamaan dalam menghitung debit puncak dengan model rasional
(United State Soil Conservation Service, 1987) adalah sebagai berikut:
Qp = 0,0028 CiA …………………. (2.2)
yang menyatakan Qp adalah debit puncak untuk suatu hujan dengan interval
tertentu, dalam m3/det, C adalah koefisien aliran permukaan , i adalah intensitas
hujan yaitu banyaknya curah hujan per satuan waktu dari hujan maksimum yang
diharapkan lamanya hujan yang terjadi sama dengan waktu konsentrasi suatu
DAS, dalam mm/jam, dan A luas suatu DAS dalam hektar. Koefisien dalam
model rasional seperti halnya Bilangan Kurva (Curve Number) dalam model SCS-
CN. Perbedaannya, model rasional menggunakan faktor intensitas hujan dalam
penentuan nilai koefisien, sedangkan model SCS-CN menggunakan kondisi
kandungan air tanah sebelumnya yang diketahui dengan akumulasi hujan lima
hari terakhir. Persamaan untuk menghitung debit pada model SCS-CN yaitu:
…...…………. (2.3)
Yang menyatakan Q adalah limpasan permukaan, P adalah curah hujan sesaat,
dan S adalah perbedaan antara curah hujan dan runoff yang dapat diduga menurut
Dinas Konservasi Tanah Amerika (Asdak, 1995) menggunakan persamaan :
13
…...…………. (2.4)
Yang mana menyatakan CN adalah bilangan kurva aliran yang bervariasi dari 0-
100.
2.6 Aliran Permukaan
Aliran sungai berasal dari hujan yang masuk ke dalam sungai dalam bentuk aliran
permukaan, aliran air bawah permukaan, air bawah tanah, dan butir-butir hujan
yang langsung jatuh di permukaan sungai. Laju infiltrasi merupakan kecepatan
masuknya air ke dalam tanah melalui permukaan tanah dalam satuan waktu
tertentu dan kapasitas infiltrasi tanah adalah kemampuan tanah dalam menyerap
air persatuan waktu tertentu atau jumlah air yang dapat diserapkan oleh tanah
dalam luasan tertentu. Kapasitas infiltrasi tanah berbeda-beda, tergantung pada
kondisi tanah dan lingkungannya yang dipengaruhi oleh sifat tanah, vegetasi, dan
faktor ingkungan lainnya. Jika pada suatu masa tanah kapasitas infiltrasi lebih
besar dari pada intensitas hujan, maka semua hujan akan terinfiltrasi ke dalam
tanah, sedangkan jika kapasitas infiltrasi lebih kecil daripada intensitas hujan
maka akan terjadi aliran permukaan. Aliran permukaan adalah proses pergerakan
air di atas permukaan tanah menuju ke aliran utama yaitu sungai dan danau. Air
tidak terinfiltrasi ke dalam tanah atau tergenang di permukaan tanah, tetapi
mengalir di atas pemukaan tanah. Aliran permukaan akan mengangkut partikel
tanah dan bahan (material), seperti bahan organik, residu pupuk dan pestisida,
tergantung dengan besarnya aliran permukaan. Aliran permukaan dan bahan yang
terangkut akan masuk ke badan (sungai, waduk, danau, atau laut) atau bahan yang
14
terangkut mengendap dibagian permukaan tanah yang rendah. Semakin besar
aliran permukaan, semakin banyak bahan yang terangkut (Putri, 2011).
Pengaruh intensitas curah hujan pada limpasan permukaan tergantung dari
kapasitas infiltrasi. Jika intensitas curah hujan melampaui kapasitas infiltrasi,
maka besarnya limpasan permukaan akan segera meningkat sesuai dengan
peningkatan intensitas curah hujan. Akan tetapi, besarnya peningkatan limpasan
itu tidak sebanding dengan peningkatan curah hujan lebih, yang disebabkan oleh
efek penggenangan di permukaan tanah. Lamanya curah hujan juga
mengakibatkan penurunan kapasitas infiltrasi, untuk curah hujan yang jangka
waktunya panjang, limpasan permukaannya akan menjadi lebih besar meskipun
intensitasnya relatif sedang (Putri, 2011). Laju aliran permukaan (debit)
merupakan volume air yang mengalir per satuan waktu.
Laju aliran permukaan dipengaruhi oleh beberapa faktor:
1. Jumlah dan intensitas curah hujan. Semakin besar curah hujan, semakin
besar laju aliran permukaan. Intensitas hujan berkaitan erat dengan energi
kinetik yang menghancurkan agregat tanah. Semakin tinggi intensitas
hujan, semakin besar energi kinetik dan agregat tanah yang hancur akan
menutup pori-pori tanah. Dampak selanjutnya adalah peningkatan aliran
permukaan.
2. Topografi. Topografi (kemiringan lereng, panjang lereng, dan bentuk
lereng) sangat berpengaruh terhadap laju aliran permukaan. Semakin
miring dan panjang lereng, semakin besar laju aliran permukaan.
15
3. Tanaman dan tumbuhan penutup tanah. Tanaman dan tumbuhan penutup
tanah berperan meningkatkan infiltrasi. Semakin baik penutupan tanah
oleh tanaman dan tumbuhan, maka semakin kecil laju alirannya.
4. Tindakan konservasi tanah. Tindakan konservasi tanah berperan
meningkatkan infiltrasi dan menahan laju aliran permukaan. Semakin
baik tindakan konservasi tanah, semakin besar infiltrasi dan semakin kecil
laju aliran permukaan (Manik, 2012).
Koefisien aliran permukaan (C) merupakan bilangan yang menunjukkan nisbah
(perbandingan) antara besarnya aliran permukaan terhadap besarnya curah hujan.
Nilai Koefisien aliran permukaan adalah salah satu indikator untuk menentukan
apakah suatu DAS telah mengalami gangguan (fisik).
Tabel 3. Nilai Koefisien Aliran Permukaan (C) Pada Setiap Penggunaan Lahan
No Keterangan Koefisien Aliran Permukaan
1 Tegalan, Kebun Campuran 0,20
2 Daerah Tak Terbangun 0,10 - 0,30
3 Hutan 0,01 - 0,10
4 Derah Industri 0,50 - 0,80
5 Pemukiman 0,30 - 0,50
6 Jalan 0,70 - 0,95
7 Jalan Beraspal 0,80 - 0,95
8 Jalan Beton 0,70 - 0,85
9 Taman, Alang-alang 0,10 - 0,25
Sumber : Haryanto, 2014.
Nilai C yang besar menunjukkan bahwa lebih banyak air hujan yang menjadi
aliran permukaan. Nilai C yang besar sebenarnya kurang menguntungkan karena
semakin besar jumlah air hujan yang menjadi aliran permukaan, maka ancaman
terjadinya erosi dan banjir menjadi lebih besar. Nilai C berkisar antara 0-1. Nilai
16
C = 0 menunjukkan bahwa semua air hujan terdistribusi menjadi air intersepsi dan
terutama infiltrasi, sedangkan untuk nilai C = 1 menunjukkan bahwa semua air
hujan mengalir sebagai aliran permukaan. Dilapangan nilai koefisien aliran
permukaan biasanya lebih besar dari 0 dan lebih kecil dari 1. Koefisien aliran
permukaan didapatkan melalui perbandingan laju aliran permukaan dalam satuan
millimeter (mm) dengan jumlah curah hujan dalam satuan millimeter (mm).
Penggunaan lahan, lereng dan ketinggian berperan dalam mempengaruhi besar
kecilnya laju aliran permukaan yang terjadi saat hujan turun (Putrinda, 2012).
2.7 Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan diartikan setiap bentuk interaksi (campur tangan) manusia
terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Menurut Candra
(2003) dalam Longdangsalu, 2008, penggunaan lahan merupakan bentuk kegiatan
manusia terhadap sumberdaya alam lahan baik bersifat permanen atau sementara,
yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan baik material maupun spiritual.
Penggunaan lahan merupakan proses yang dinamis, mengalami perubahan secara
terus-menerus, sebagai hasil dari perubahan pola dan besarnya aktifitas manusia.
Perubahan penggunaan lahan tidak akan membawa masalah yang serius sepanjang
mengikuti kaidah konservasi tanah dan air serta kelas kemampuan lahan. Dari
aspek hidrologi, perubahan lahan akan berpengaruh langsung terhadap karateristik
penutupan lahan, sehingga akan mempengaruhi sistem tata air DAS. Fenomena
ini ditujukan oleh respon hidrologi DAS yaitu yang dapat dikenali melalui
produksi air, erosi dan edimentasi (Longdangsalu, 2008).
17
2.8 SIG/GIS (Sistem Informasi Geografis)
Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, banyak sekali riset-riset yang
dilakukan untuk mendorong timbulnya penemuan baru dalam dunia teknologi.
Adapun salah satu penemuan tersebut adalah Sistem Informasi geografis atau
Geographic Information System (GIS). Sistem Informasi Geografis (SIG)
merupakan suatu sistem informasi berbasiskan komputer untuk menyimpan,
mengelola dan menganalisis, serta memanggil data bereferensi geografis yang
berkembang pesat pada lima tahun terakhir ini. Manfaat dari SIG adalah
memberikan kemudahan kepada para pengguna atau para pengambil keputusan
untuk menentukan kebijaksanaan yang akan diambil, khususnya yang berkaitan
dengan aspek keruangan (spasial). Dengan adanya teknologi ini maka akan
memudahkan dalam hal pemetaan lahan, salah satunya lahan pertambangan.
Dalam pengaplikasian Geographic Information System (GIS) menggunakan
perangkat lunak Arcview yang merupakan salah satu perangkat lunak Sistem
Informasi Geografis (SIG) yang terkemuka hingga saat ini dengan kehandalan
ESRI (Wibowo, 2015).
Sistem Informasi Geografis dapat mempermudah proses visualisasi dan eksplorasi
geografis dari data sekunder yang diperoleh khususnya dalam mengidentifikasi
tingkat bahaya erosi dengan SIG akan dimudahkan dalam melihat fenomena
kebumian dengan perspektif yang lebih baik. SIG mampu mengakomodasi
penyimpanan, pemrosesan, dan penayangan data spasial digital bahkan integrasi
data yang beragam, mulai dari citra satelit, foto udara, peta bahkan data statistik.
Dengan tersedianya komputer dengan kecepatan dan kapasitas ruang
18
penyimpanan besar seperti saat ini, SIG akan mampu memproses data dengan
cepat dan akurat dan menampilkannya. SIG juga mengakomodasi dinamika data,
pemutakhiran data yang akan menjadi lebih mudah (Wibowo, 2015).
Johnson (2009) dalam Ridwan 2014, memberikan 11 fungsi umum yang dapat
dilakukan oleh SIG/GIS, yaitu :
1. Menangkap dan menyimpan data spasial,
2. Melaksanakan pengukuran secara geometris,
3. Mengklasifikasi data dan menempatkannya sesuai dengan jenis data,
spasial atau bukan spasial,
4. Operasional-operasional lengkungan, seperti proximity, buffer, dan aspect,
5. Fungsi hubungan dan penataan data spasial,
6. Operasional-operasional permukaan, seperti membuat dan menganalisa
data berupa Digital Elevation Model (DEM) atau TIN,
7. Tumpang susun (overlay) dan analisis pemetaan seperti vector analysis
dan raster analysis,
8. Analisis statistik keruangan (spasial),
9. Pengolahan gambar atau citra (image),
10. Menampilkan peta dalam tampilan warna dan atribut yang sesuai dengan
kaidah pemetaan, serta hasil SIG/GIS dapat digabungkan dengan berbagai
program lain, dan
11. Kemampuan SIG/GIS untuk melaksanakan permodelan (management
models).
19
Perkembangan penerapan teknologi SIG/GIS telah banyak dilakukan pada
berbagai bidang dan kajian yang terkait dengan kebumian. Kajian hidrologi DAS
juga telah banyak dilakukan dengan teknologi SIG/GIS, karena dengan SIG/GIS
akan diperoleh kemudahan dalam mengelola dan melakukan analisis data dalam
jumlah yang besar secara bersamaan termasuk pada ukuran DAS yang besar
(Ridwan, 2014).
2.9 SWAT (Soil and Water Assessment Tools)
Model SWAT (Soil and Water Assessment Tools) merupakan salah satu model
hidrologi yang telah terintegrasi dengan teknologi sisitem informasi geografi
(SIG/GIS). Soil and Water Assessment Tool yang disingkat SWAT adalah model
hidrologi skala daerah aliran sungai (DAS) yang pertama kali dikembangkan oleh
Dr. Jeff Arnold untuk USDA Agricultural Research Service. SWAT
dikembangkan untuk memprediksi dampak pengelolaan lahan (land management
practices) terhadap hasil air, sedimen, dan hasil kimia pertanian pada suatu DAS
yang kompleks dan luas dengan beragamjenis tanah, penggunaan lahan dan pola
pengelolaan pada waktu yang lama (Ridwan, 2014).
Dalam operasionalnya, model SWAT dapat melakukan beberapa simulasi di
antaranya praktek-praktek pengelolaan di lahan dan di saluran sungai. Beberapa
simulasi antara lain perubahan tataguna lahan, praktek konservasi tanah dan air,
dan keberadaan pound (bangunan pengendali sedimen terangkut). Siklus
hidrologi, proses yang diperhitungkan dalam model SWAT yang terjadi di dalam
20
DAS didasarkan kepada neraca air (Gambar 1). Persamaan matematis, komponen
hidrologi neraca air yang berlaku pada model SWAT yaitu:
SWt = SW0 + Σt (Rday – Qsurf– Ea – Wsep– Qgw) …….......... (2.5)
Keterangan:
SWt = Kandungan lengas tanah pada akhir waktu t (mm)
SW0 = Kandungan lengas tanah pada awal waktu i (mm)
Rday = Presipitasi/hujan harian pada waktu/hari i (mm)
Qsurf = Jumlah limpasan permukaan pada waktu/hari i, (mm)
Ea = Jumlah evapotranspirasi pada waktu/hari i (mm)
Wsep = Jumlah air yang memasuki zona vadose pada profil tanah (perkolasi)
pada Waktu/hari i (mm)
Qgw = Jumlah air, aliran balik/kembali (mm)
i dan t = i = 1, t = menunjukkan waktu (hari)
Luaran utama model SWAT adalah kondisi hidrologi berupa nilai debit, erosi, dan
sedimen terangkut. Nilai-nilai tersebut mencerminkan kondisi hidrologi terkait
kinerja DAS seperti Koefisien Regim Sungai (KRS), Sediment Delivery Ratio
(SDR), dan nilai coefficient runoff (C). Kinerja model diukur dengan cara
validasi, yaitu kalibrasi dan verifikasi menggunakan kriteria statistik R2
(Coefficient of Determination), Ef atau NSE (Nash-Sutcliffe model Efficiency) dan
PBIAS (percent bias) (Hidayat, 2016).
21
2.10 SUFI-2 SWAT-CUP
SWAT-CUP adalah progam komputer yang digunakan untuk kalibrasi model
hidrolologi SWAT. SWAT-CUP memiliki empat program link yaitu GLUE,
ParaSol, MCMC, dan SUFI-2. SWAT-CUP dapat digunakan untuk melakukan
analisis sensitivitas, kalibrasi, validasi dan analisis ketidakpastian pada model
hidrologi SWAT (Rau, 2012).
SWAT-CUP dengan metode SUFI2 memiliki 3 bagian penting dalam melakukan
proses kalibrasi, diantaranya adalah calibration inputs, executable file, dan
calibration outputs. Calibration inputs merupakan bagian awal dari proses
kalibrasi, yaitu pemasukan data. Bagian ini terdiri dari Par_inf.txt,
SUFI2_swEdit.def, File.Cio, dan Absolute_SWAT_Values.txt, serta sub bagian
pemasukan data, diantaranya adalah Observation, Extraction, Objective Function,
dan No Observation. Executable file merupakan bagian proses yang digunakan
untuk melakukan perintah kalibrasi, bagian ini terdiri dari SUFI2_pre.bat,
SUFI2_run.bat, SUFI2_post.bat, dan SUFI2_Extract.bat. Pada bagian
calibration output dapat dilihat hasil dari proses kalibrasi yang telah dilakukan.
Bagian ini terdiri dari 95ppu plot, 95ppu No Observed plot, Dotty Plots,
Best_par.txt, Best_Sim.txt, Goal.txt, New_pars.txt, Summary_Stat.txt (Arifianto,
2011).
SUFI2 merupakan metode kalibrasi di mana ketidakpastian parameter masukan
digambarkan memiliki distribusi yang seragam. Berdasarkan ketidakpastian nilai
output tersebut, model dikalibrasi menggunakan metode 95% Prediction
Uncertainty (95PPU). 95PPU dihitung pada level 2.5% sampai 97.5% dari
22
distribusi kumulatif variabel output menggunakan Latin Hypercube Sampling.
95PPU menggambarkan luasan dari range parameter yang digunakan. Jika data
observasi bersinggungan dengan luasan grafik 95PPU, maka parameter yang
dimasukkan sesuai dengan karakteristik DAS yang ditinjau (Rau, 2012). Konsep
analisis ketidakpastian dari SUFI2 dapat dijelaskan lebih lanjut dengan grafik
pada Gambar 2. Gambar tersebut mengilustrasikan bahwa nilai parameter tunggal
(diwakili oleh titik) memberi pengaruh tunggal pada model (Gambar 2a),
kemudian peningkatan ketidakpastian pada nilai dan jumlah parameter masukan
(diwakili oleh garis) mempengaruhi nilai 95PPU yang diilustrasikan oleh luasan
wilayah pada Gambar 2b. Ketika ketidakpastian pada parameter masukkan
meningkat (Gambar 2c) maka meningkat pula ketidakpastian pada output yang
dihasilkan. Perpotongan data hasil observasi di sepanjang luasan 95PPU
menunjukan bahwa range nilai parameter masukan kalibrasi sudah tepat atau
valid. Sebagai contoh, jika situasi pada Gambar 2d terjadi, dimana data hasil
observasi tidak berpotongan dengan luasan 95PPU maka range nilai parameter
masukan harus diubah. Dan jika range nilai parameter masukan sudah sesuai
dengan batas nilai fisik yang diinginkan tetapi keadaan tersebut tetap terjadi, maka
masalahnya bukan pada parameter masukan kalibrasi tetapi konsep dari model
yang harus dievaluasi.
SUFI-2 memulai proses kalibrasi dengan mengasusmsikan besarnya
ketidakpastian pada parameter masukan, kemudian nilai ketidakpastian berkurang
seiring dengan proses kalibrasi sampai dua syarat terpenuhi: (1) sebagian besar
data hasil observasi berpotongan dengan luasan grafik 95PPU dan (2) selisih rata–
rata antara batas atas (pada level 97.5%) dan batas bawah (pada level 2.5%)
23
95PPU kecil. Model dianggap valid jika 80 – 100% data hasil observasi
berpotongan dengan luasan grafik 95PPU serta selisih antara batas atas dan batas
bawah 95PPU lebih kecil dari standar deviasi data hasil observasi (Setiawan,
2017).
Gambar 2a. Menunjukkan satu nilai parameter dalam masukkan parameter
kalibrasi sehingga model yang dihasilkan tunggal atau 1 titik atau
berbentuk garis bukan luasan.
Gambar 2b. Menunjukkan bahwa nilai parameter dalam bentuk ketidakpastian
(nilai dalam bentuk range) dan jumlah parameter meningkat
sehingga model yang dihasilkan berupa luasan ketidakpastian yang
nantinya akan dipotongkan dengan data observasi untuk dilihat
sampai mana luasan ketidakpastian yang berpotongan dengan data
observasi dan data keluaran(debit) dari hasil simulasi.
Gambar 2c. Menunjukkan bahwa nilai parameter dalam bentuk ketidakpastian
(nilai dalam bentuk range) bertambah atau meningkat sehingga
model luasan prediksi ketidakpastian meningkat dan menyebabkan
output simulasi meningkat sehingga luasan prediksi ketidakpastian
menjadi lebih besar.
Gambar 2d. Menunjukkan pada garis merah merupakan data observasi yang
berada di luar luasan prediksi ketidakpastian dari simulasi nilai
parameter-parameter ketidakpastian. Nilai parameter harus di atur
ulang kembali.
24
Gambar 2. Ilustrasi hubungan antara ketidakpastian parameter masukan dengan
ketidakpastian hasil prediksi.
2.11 Kalibrasi dan Validasi Model
Kalibrasi adalah suatu proses untuk mendekatkan nilai keluaran suatu model
terhadap nilai yang sebenarnya melalui penyesuaian nilai parameter. Proses
kalibrasi dilakukan karena pada umumnya besaran tiap parameter dalam model
ditetapkan berdasarkan pengetahuan atau pengalaman yang telah dikembangkan
sebelumnya dan karenanya hasil keluaran suatu model belum tentu sesuai dengan
kondisi yang sebenarnya.
25
Suprapto (2008) dalam Ridwan 2014 mensitir pendapat Gupta dan Sorooshian
(dalam Singh,1995) yang menyatakan bahwa keandalan suatu model hanya
berlaku pada asumsi model, input, dan estimasi parameter yang digunakan.
Pernyataaan tersebut menandakan bahwa ada dua hal yang dihadapi dalam
permodelan, pertama adalah pemilihan model yang tepat dan kedua adalah
pemilihan nilai parameter sedemikian rupa sehingga model dapat mencerminkan
simulasi sifat dari obyek yang sesungguhnya. Selanjutnya Suprapto (2008)
mengatakan bahwa agar hasil dari model dapat diterima dan layak digunakan,
maka asumsi dan batasan yang digunakan harus jelas dan lengkap, serta model
tersebut harus sudah teruji.
Sebagai langkah awal dalam proses kalibrasi adalah menetapkan parameter
dominan, yakni parameter yang peka terhadap perubahan hasil. Dalam suatu
proses hidrologi terkait banyak parameter dengan nilai kisaran yang beragam.
Cara yang dapat digunakan untuk menentukan parameter dominan dan nilai
parameter dominan tersebut antara lain melalui cara coba ulang dengan pemberian
suatu nilai untuk suatu parameter dari nilai terendah hingga nilai tertinggi.
Selanjutnya, kisaran semua nilai parameter dibagi 3, sehingga terbentuk kisaran
nilai terendah, nilai tengah, dan nilai tertinggi. Pada tahap awal proses, semua
parameter diberikan nilai terendah secara bergantian satu persatu parameter
diganti nilainya dengan tiga aras nilai tersebut. Dengan cara ini nilai tiap
parameter akan memberikan kisaran yang berbeda. Nilai parameter yang
memberikan perubahan yang paling besar dipilih sebagai parameter dominan.
26
Ketersediaan data hasil pengamatan dilapangan merupakan syarat yang harus
dipenuhi dalam proses kalibrasi. Dengan tersedianya data hasil lapangan atau
yang dikenal dengan data sesungguhnya atau data terukur maka data keluaran
hasil model dapat dibandingkan dengan data terukur tersebut. Sebagai tolok ukur
keandalan hasil suatu model dalam menduga keadaan yang sesungguhnya dari
suatu obyek, dapat menggunakan nilai-nilai atau ukuran statistik atau
menggunakan ukuran grafis. Ukuran grafis yang dimaksud adalah grafik residu
dan batasan prediksi (prediction bound), sedangkan ukuran statistik antara lain
meliputi goodnes of fit statistic dan confidence bounds. Sum of absolute error,
Sum of squared residuals, dan Percent error in peak biasa digunakan untuk
mengukur ketepatan model hidrograf aliran (Ridwan, 2014).
Koefisien determinasi (R2) dan indikator NSE (Nash-Sutcliffe Efficiency) juga
banyak digunakan oleh para ahli hidrologi dalam proses kalibrasi (Rossi dkk,
2009 dalam Ridwan, 2014). Goodnes of fit dari nilai NSE dihitung dengan
persamaan matematis :
……..………..….. (2.6)
dengan :
n = jumlah pengamatan selama periode simulasi,
Oidan Pi = nilai observasi dan prediksi pada setiap i pembandingan,
O dan P = nilai tengah dari masing-masing data observasi dan prediksi.
27
Nilai NSE = 1 menunjukkan suatu kondisi yang sempurna (perfect fit). Rentang
nilai NSE lainnya mengacu kepada klasifikasi Moriasi dkk (2007) dalam Rossi
dkk (2009) seperti disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Klasifikasi keragaman model menurut indikator NSE
Nilai Klasifikasi Fase Modeling Referensi
> 0,65 Sangat baik Kalibrasi dan Validasi Saleh et al. (2000)
0,54-0,65 Cukup Kalibrasi dan Validasi Saleh et al. (2000)
≥ 0,50 Memuaskan Kalibrasi dan Validasi Santhi et al. (2001)
Sumber : Rossi dkk. (2009) dalam Ridwan, 2014.
Hasil kalibrasi adalah berupa nilai parameter yang dipilih. Ketepatan nilai
parameter terpilih tersebut masih perlu diuji lagi dengan menggunakan data lain
atau pada obyek yang sama di lokasi yang lain. Proses ini disebut sebagai proses
verifikasi/validasi. Proses verifikasi/validasi dijalankan atas besaran parameter
hasil kalibrasi namun menggunakan seri data dari periode-periode waktu yang
lain. Dengan proses verifikasi/validasi ini diharapkan dapat memberikan hasil
model, yang bila dibandingkan dengan seri data hasil pengamatan (data terukur
sebenarnya) memberikan kemiripan sedekat mungkin. Kemiripan ini pun kembali
diukur nilai goodnes off fit statistiknya.
28
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli sampai November 2017. Untuk
mempelajari permasalahan-permasalahan sebagaimana rumusan masalah yang
telah dikemukakan akan dilakukan penelitian dengan mengambil satu DAS
Sekampung bagian hulu yang terletak di Kabupaten Tanggamus Provinsi
Lampung. Daerah Aliran Sungai (DAS) Way Sekampung hulu merupakan bagian
hulu dari DAS Sekampung yang mana aliran sungai utamanya adalah sungai Way
Sekampung yang mengalir melewati lima wilayah administrasi, yaitu Kabupaten
Tanggamus, Kabupaten Pesawaran, Kabupaten Pringsewu, Kabupaten Lampung
Selatan dan Kota Bandar Lampung dan bermuara di Pantai Timur Laut Jawa.
Secara geografis lokasi penelitian berada pada garis meridian membentang dari
104º30’ BT hingga 106º00’ BT dan dari 05º00’ LS hingga 05º05’ LS, sehingga
membentuk daerah tangkapan hujan seluas 43,063 km2 dengan ketinggian tempat
antara 175 m hingga 1.775 m dari permukaan air laut (Gambar 3).
29
Gambar 3. Peta Lokasi DAS Way Sekampung Hulu
3.2 Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Seperangkat komputer dengan kapasitas RAM miniman 1 GB.
b. Software seperti Microsoft Office, ArcGIS 10.2, SWAT 2012, SWAT CUP.
Bahan yang digunakan dalam penelitian berupa data primer dan data sekunder.
Data sekunder yang digunakan dalam bentuk spasial antara lain:
1. Peta rupa bumi wilayah Provinsi Lampung dengan skala 1:250.000,
2. DEM (Digital Elevation Model) sumber SRTM dengan resolusi 30 meter
3. Peta tanah Provinsi Lampung dengan skala 1:50.000
4. Peta tutupan lahan Provinsi Lampung.
30
Sedangkan data sekunder dalam bentuk non spasial antara lain:
1. Data debit bulanan 5 tahun terakhir (2010-2015)
2. Data curah hujan 5 tahun terakhir (2010-2015)
3. Data klimatologi 5 tahun terakhir (2010-2015).
3.3 Tahapan Penelitian
Kegiatan penelitian dilakukan dengan beberapa tahapan, tahapan penelitian yang
dilakukan mengikuti bagan alir proses sebagaimana disajikan pada Gambar 4
Gambar 4. Tahapan Penelitian
Persiapan
Pengumpulan Data
Kalibrasi
Analisis Hidrologi menggunakan Model SWAT
Validasi
Analisis Hubungan CH, C dan Penggunaan Lahan
Selesai
31
Tahapan penelitian yang dilakukan diantaranya :
1. Tahap Persiapan.
Tahap awal yang dilakukan yaitu dengan melakukan studi literatur yang
berkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan, diantaranya tentang
Hidrologi, DAS, debit, penggunaan lahan dan SWAT. Pada penelitian ini
harus menyiapkan seperangkat komputer dengan kapasitas RAM miniman 1
GB, dan software seperti Microsoft Office, ArcGIS 10.2, SWAT 2012, SWAT
CUP.
2. Pengumpulan Data
Pada tahapan ini, yaitu mengumpulkan data sekunder yang nantinya akan
digunakan untuk penelitian. Data sekunder yang digunakan berupa data
spasial dan non spasial. Data-data yang digunakan didapatkan dari instansi-
instansi terkait. Teknik pengumpulan data yang digunakan dapat dilihat pada
Tabel 5.
Tabel 5. Data yang digunakan dalam penelitian
No. Jenis Data Klasifikasi Data Sumber Data
1. - Curah Hujan
- Debit Sungai Sekampung
- Temperatur
- Kelembaban Udara
- Kecepatan Angin
- Radiasi Matahari
Non Spasial
- Balai Besar
Wilayah Sungai
Mesuji-
Sekampung
Prov.Lampung
- Badan Meteorologi
dan Geofisika
Masgar Lampung
2 - Peta Tutupan Lahan Prov.
Lampung
- Peta Jenis Tanah Prov.
Lampung
- Peta Kemiringan Lereng
Spasial
- Balai Pengelolaan
Daerah Aliran
Sungai dan Hutan
Lindung Way
Seputih Way
Sekampung
32
3. Kegiatan analisis data hasil penelitian dilakukan melalui beberapa tahapan,
seperti pemilihan model, analisis pendukung data model, melakukan kalibrasi-
validasi model dan evaluasi model. Model hidrologi yang dipilih dalam
penelitian ini berupa software SWAT. Model SWAT dijalankan dengan
bantuan software ArcSWAT karena model SWAT ini adalah model hidrologi
berbasis Sistem Information Geografis (SIG) sebagai ekstensi tambahan dari
perangklat lunak ArcGIS 10.2. Tahapan analisis yang dilakukan mengikuti
bagan alir proses sebagaimana disajikan pada Gambar 5.
Langkah kerja yang harus dikerjakan meliputi tahapan sebagai berikut:
1. Database model hidrologi SWAT, persiapan tahap kerja yang pertama adalah
database, meliputi: data klimatologi (curah hujan, temperatur, radiasi
matahari, kecepatan angin dan kelembapan relatif) dalam bentuk (.txt) atau
text delimited atau (.dbf) ESRI dbase file, data penutup lahan (peta tata guna
lahan) dan data jenis tanah (peta jenis tanah) dalam bentuk (shp) atau ESRI
shape file atau ESRI Grid, data DEM (Digital Elevation Model) dalam bentuk
ESRI Grid.
2. Pembuatan batas DAS (Watershed Delineation), pada tahap ini antara lain
dilakukan, DEM Setup, mendefinisikan sungai (Stream), Outlet, dan Inlet.
3. Overlay terhadap jenis tata guna lahan, jenis tanah, dan batas DAS, pada tahap
ini ada beberapa proses, yaitu.
a. Penentuan jenis tata guna lahan, dilakukan proses overlapping data tata
guna lahan (peta tata guna lahan) terhadap hasil pembuatan batas DAS.
Selanjutnya dilakukan penentuan klasifikasi tata guna lahan berdasarkan
penetapan jenis tata guna lahan crop dan urban.
33
b. Penentuan jenis tanah, dilakukan proses overlapping data jenis tanah (peta
jenis tanah) terhadap batas DAS. Selanjutnya dilakukan penentuan
klasifikasi jenis tanah berdasarkan penetapan standar USDA.
c. Klasifikasi kelas lereng, berdasarkan data DEM dibagi menjadi lima kelas,
yaitu 0-3 %, 3-8 %, 8-15 %, 15-25 %, dan >25 %.
d. Overlay peta tata guna lahan, jenis tanah, dan lereng. Proses overlay
untuk mengetahui distribusi spasial parameter tersebut guna analisis HRU
(Hydrologic Response Unit).
4. Penentuan HRU Distribution, pada tahap ini dilakukan dengan dua metode,
yaitu dominant landuse and soil atau multiple hydrologic response unit. Jika
memilih model multiple HRU perlu dilakukan penentuan batas ukuran
minimum (threshold) untuk tata guna lahan dan jenis tanah.
5. Import Data Cuaca (Weather Stations), pada tahap ini dilakukan import data
cuaca, yaitu curah hujan, temperatur, radiasi matahari, dan kelembapan relatif.
Data pengukuran ini dimasukkan ke dalam pengolahan software ArcSWAT
yang bersifat opsional, yaitu dapat disesuaikan dengan keinginan pemakai
(custom database). Jenis data yang digunakan adalah data harian.
6. Input Data, pada tahap ini diproses data iklim dan cuaca, data HRU, data air
tanah (groundwater), data saluran utama.
7. Edit ArcSWAT input Data, pada tahap ini dilakukan editing data, yaitu
parameter-parameter DAS yang bisa dilakukan perbaikan data sebelum
dilakukannya proses simulasi ArcSWAT. Beberapa data yang dapat
diperbaiki, yaitu: Point source input, Inlet discharges, Reservoirs, Sub basin,
Soil parameter, input data: Weather generator, Sub basin general, HRU
34
general, Edit main channel, Edit groundwater, Edit water use, Edit
management, Edit soil chemical, Edit pond atau wetland, Edit stream quality.
8. Pembacaan ulang input parameter (rewriting watershed input files), dilakukan
pembacaan ulang parameter yang dibutuhkan. Pemakai software ArcSWAT
dapat memilih data-data yang akan dibutuhkan untuk simulasi ArcSWAT.
9. Simulasi ArcSWAT (running process), pada tahapan ini dapat mensetting
beberapa tahapan proses running, yaitu:
a. Periode simulasi, ditetapkan tanggal permulaan dan akhir simulasi.
b. Rainfall, runoff, atau routing, ditetapkan pilihan apakah digunakan
precipitation time step, run off calculation method, dan routing time step.
c. Rainfall distribution, dipilih distribusi yang digunakan untuk
menghasilkan data hujan.
d. Potential ET method, dipilih metode yang digunakan untuk menentukan
evapotranspiration potential (PET).
e. Channel water routing method, dipilih metode yang digunakan untuk rute
air di dalam jaringan saluran DAS.
f. Channel dimension, menggambarkan ada atau tidaknya dimensi saluran
yang diizinkan untuk berubah selama keadaan simulasi dalam kaitan
dengan channel degradation.
g. Print out frequency, mengontrol frekuensi output data yang tersedia, yaitu
daily, monthly, dan yearly.
10. Output ArcSWAT, hasil luaran adalah:
a. Sub basin output file (.bsb), berisi tentang informasi yang ada pada
masing-masing Sub DAS atau ringkasan pada HRU pada setiap Sub DAS.
35
b. Main channel output file (.rch), berisi ringkasan informasi muatan
komponen-komponen DAS yang masuk dan keluaran saluran.
c. HRU output file (.sbs), berisi ringkasan informasi HRU DAS (Amin,
2015).
4. Proses Kalibrasi dan Validasi
Kalibrasi dan validasi data, dilakukan proses perbandingan hasil simulasi
model ArcSWAT dengan data hasil observasi. Hasil kalibrasi adalah berupa
nilai parameter yang dipilih. Ketepatan nilai parameter terpilih tersebut masih
perlu diuji lagi dengan menggunakan data lain atau pada obyek yang sama di
lokasi yang lain. Proses ini disebut sebagai proses verifikasi/validasi.
5. Analisis Hubungan CH, C dan Penggunaan Lahan
Analisis hubungan C, penggunaan lahan dan debit dilakukan dengan
pendekatan matematis sebagai berikut :
Y = f (CH, C, PL) ……………… (2.7)
Dimana :
Y = Variabel terkait
F = fungsi
CH = Curah Hujan (mm)
C = Aliran Permukaan
PL = Penggunaan Lahan
36
Gambar 1. Prosedur Analisis, kalibrasi dan validasi model SWAT
Mulai Data
Spasial
Peta
Topografi
Peta Jenis
Tanah
Peta Tata
Guna Lahan
Data Non
Spasial
Input Data
Iklim
Input data
debit ArcSWAT
Watershed Pembentukan
Batas DAS,
SubDAS
ArcSWAT
HRU
Distribution
Input
Parameter
Running ArcSWAT
Ya
Running SWAT-CUP
NSE ≥ 0,6
dan R2
Selesai
Tidak
Edit Parameter Kalibrasi dan Validasi
Output
37
Untuk tujuan kalibrasi parameter model SWAT digunakan dua tolok ukur yaitu
nilai statistik dan grafis. Secara statistik indikator yang digunakan adalah Nash-
Sutcliffe Efficiency (NSE) dan R2. Secara grafis hasil kinerja model akan
disandingkan dengan data pengukuran sebenarnya dalam bentuk kurva
menggunakan anaalisis scatter plot.
Tabel 6. Pengelompokan data debit untuk proses kalibrasi dan validasi model
SWAT
No. Jenis Data Tahun Data Keterangan
1. Debit Sungai 2010-2012 Kalibrasi
2. Debit Sungai 2013-2015 Validasi
Analisis aliran permukaan dilakukan menggunakan Model SWAT dengan nilai
parameter yang telah terkalibrasi dengan tahapan proses yang sama seperti proses
kalibrasi dan validasi (Gambar 5). Sebagai input model digunakan data curah
hujan bulanan yang terukur pada tahun 2013-2015. Edit input SWAT dilakukan
untuk variabel iklim dimana akan disesuaikan dengan kondisi iklim pada tahun
yang sama. Hasil simulasi Model SWAT yang dipelajari lebih mendalam
meliputi hubungan hujan harian terhadap debit.
61
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
1. Hasil penelitian menunjukkan nilai koefisien aliran permukaan (C) untuk
berbagai jenis penggunaan lahan. Semak belukar memiliki nilai C sebesar
0,13, pemukiman sebesar 0,22, hutan lahan kering primer sebesar 0,11, tanah
terbuka sebesar 0,43, tegalan sebesar 0,28 dan perkebunan sebesar 0,15.
2. Hasil analisis diperoleh nilai-nilai setiap parameter aliran permukaan.
Parameter SURLAG memiliki nilai 0,389, parameter GW_REVAP memiliki
nilai 8,451, parameter SOL_AWC memiliki nilai 1,104, parameter EPCO
memiliki nilai 0,008, parameter HRU_SLP memiliki nilai 0,898, parameter
SLSBBSN memiliki nilai 23,195, parameter CH_N2 memiliki nilai 3,876,
parameter ALPHA_BF memiliki nilai 0,636, parameter GW_DELAY
memiliki nilai 8,451, parameter ESCO memiliki nilai 1,335, parameter CN2
memiliki nilai 1,979.
62
5.2 Saran
1. Proses analisis SWAT pada analisis HRU dengan multiple HRU perlu
dilanjutkan dengan menggunakan berbagai threshold yang berbeda.
2. Proses kalibrasi perlu dilanjutkan pada proses berikutnya seperti Parasol,
GLUE yang menggunakan metode dan model yang berbeda..
63
DAFTAR PUSTAKA
Amin, M. 2015. Simulasi Tata Guna Lahan Untuk Pengelolaan DAS
Garang Jawa Tengah. (Disertasi). Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Arifianto, H. 2011. Kalibrasi dan Validasi Model MW-SWAT Pada Analisis
Debit Aliran Sungai Sub DAS Ciliwung Hulu. (Skripsi). Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Broto, A. H. 2009. Kajian Perubahan Penutupan Lahan dan Arahan Pengelolaan
Ruang Daerah Tangkapan Air (DTA) Waduk Batutegi Kabupaten
Tanggamus Provinsi Lampung. (Tesis). Institut Pertanian Bogor.
Dahtiar, R. 2015. Analisis Debit Aliran Sungai Dengan Model SWAT di DAS
Cisadane Hilir, Provinsi Banten. (Skripsi). Departemen Teknik Sipil dan
Lingkungan, Institut Pertanian Bogor.
Emiyati. 2012. Hydrologic Response Unit (Hru) dan Debit Aliran Daerah Aliran
Ci Rasea. (Tesis).Universitas Indonesia. Depok.
Halim, F. 2014. Pengaruh Hubungan Tata Guna Lahan Dengan Debit Banjir
Pada Daerah Aliran Sungai Malalayang. Jurnal Ilmiah Media
Engineering. 4:45-54.
Haryanto, T.E. 2014. Koefisien Air Larian Berdasarkan Penutupan Vegetasi dan
Pengukuran Debit Aliran Sungai Cekungan Pengaliran Sungai (CPS)
Citarik Hulu. Bulletin of Scientific Contribution. 12:40-53.
Hidayat, L., Sudira, P., Susanto, S., Jayadi, R. 2016. Validasi Model Hidrologi
SWAT di Daerah Tangkapan Air Waduk Mrica. Jurnal Agritech.
36:467-474.
Laksana, I. 2011. Kalibrasi dan Validasi Model MW-SWAT Pada Analisis Debit
Aliran Sungai Sub DAS Cisadane Hulu. (Skripsi). Fakultas Teknologi
Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Longdangsalu, D.T. 2008. AnaliSis Pendugaan Erosi, Sedimentasi, dan Aliran
Permukaan Menggunakan Model Agnps Berbasis Sistem Informasi
Geografis Di Sub Das Jeneberang Propinsi Sulawesi Selatan. (Skripsi).
Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
64
Manik. S. K. E. 2012. Konservasi Tanah (Pengelolaan DAS Dan Konservasi
Tanah Sebagai Basis Pembangunan Berkelanjutan. Lembaga Penelitian
Universitas Lampung.
Putri, S. T. 2011. Pengaruh Penggunaan Lahan Terhadap Debit Aliran Sungai Sub
Das Batang Arau Hulu Kota Padang. (Sripsi). Program Studi Manajemen
Sumberdaya Lahan, Institut Pertanian Bogor.
Putrinda, A. C. 2012. Koefisien Aliran Permukaan di DAS Sekampung, Provinsi
Lampung Tahun 1995-2010. (Skripsi). Program Studi Geografi,
Universitas Indonesia.
Rau, M. I. 2012. Analisis Debit Sungai Dengan Menggunakan Model SWAT
Pada DAS Cipasauran, Banten. (Skripsi). Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
Ridwan. 2014. Integrasi Pola Operasi Bendungan dan Bendung Berbeda Basis
Waktu untuk Kebutuhan Irigasi. (Disertasi). Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.
Setiawan, H. 2017. Analisis Pengaruh Penggunaan Lahan Terhadap Erosi dan
Sedimentasi Das Way Seputih Hulu Menggunakan Model SWAT
(Skripsi). Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.
Staddal, I. 2016. Analisis Aliran Permukaan Menggunakan Model SWAT Di Das
Bila Sulawesi Selatan. Jtech, 4(1) 57 – 63.
Wibowo, K. M., Kanedi, I., Jumadi. J. 2015. Sistem Informasi Geografis (SIG)
Menentukan Lokasi Pertambangan Batu Bara di Provinsi Bengkulu
Berbasis Website. Jurnal Media Infotama. 11:No. 1. 51-60.