analisis keuangan daerah kabupaten karanganyar pada tahun .../analisis...analisis keuangan daerah...

101
i ANALISIS KEUANGAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR PADA TAHUN 1998-2008 (Perbandingan Era Sebelum Otonomi Daerah dan Pada Era Otonomi Daerah) Skripsi Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh: A.A PUTRI TRISNAWATI NIM. F 0106013 FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

Upload: nguyenmien

Post on 31-Mar-2019

237 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

i

ANALISIS KEUANGAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR

PADA TAHUN 1998-2008

(Perbandingan Era Sebelum Otonomi Daerah dan Pada Era Otonomi Daerah)

Skripsi

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat

untuk Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan

Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh:

A.A PUTRI TRISNAWATI NIM. F 0106013

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2010

ii

HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui dan diterima dengan baik oleh tim penguji skripsi Fakultas

Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta guna melengkapi tugas-tugas dan

syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Ekonomi.

Surakarta, April 2010

Tim Penguji Skripsi:

1. Drs. Wahyu Agung S, M.Si. ...................... NIP. 196505221992031002 (Ketua)

2. Drs. Supriyono, M.Si. ...................... NIP. 196002211986011001 (Anggota)

3. Drs. Kresno Sarosa P, M.Si. ...................... NIP. 195601181986011001 (Pembimbing)

iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi dengan judul:

ANALISIS KEUANGAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR

PADA TAHUN 1998-2008

(Perbandingan Era Sebelum Otonomi Daerah dan Pada Era Otonomi Daerah)

Surakarta, 9 Maret 2010

Disetujui dan diterima oleh

Pembimbing

Drs. Kresno Sarosa Pribadi, M.Si. NIP. 195601181986011001

iv

MOTTO

Di mana ada iman, di situ ada kasih Di mana ada kasih, di situ ada kedamaian

Di mana ada kedamaian, di situ ada kekuatan Di mana ada kekuatan, di situ ada Tuhan

Di mana ada Tuhan di situ tidak diperlukan sesuatu apapun lagi... (Anonymous)

Seseorang tidak akan mendapatkan kebebasan dengan menelantarkan pekerjaannya, juga seseorang tidak akan mendapatkan kesempurnaan

dengan hanya berpasrah diri (Bhagavat Gita, III:4)

Keindahan persahabatan adalah bahwa kamu tahu kepada siapa kamu dapat mempercayakan rahasia

(Alessandro Manzoni)

There’s no one understand you exactly as good as yourself... (Penulis)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Seiring rasa syukurku, karya tulis ini ku

persembahkan untuk:

Ayahanda dan Ibundaku tercinta…

Pa, Ma… aku bisa seperti ini karena Papa dan

Mama....

Kakakku, saudara sekandungku....

Seluruh guru-guruku yang telah mendidikku....

Tanah Air, Bangsa, dan Negara

kebanggaanku, Indonesia....

vi

KATA PENGANTAR

Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya

penulisan skripsi dengan judul “ANALISIS KEUANGAN DAERAH

KABUPATEN KARANGANYAR PADA TAHUN 1998-2008 (Perbandingan

Era Sebelum Otonomi Daerah dan Pada Era Otonomi Daerah)”, dapat

penulis selesaiakan dengan baik. Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk

memenuhi tugas dan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi jurusan

Ekonomi Pembangunan dari Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

Skripsi ini dapat diselesaikan berkat adanya bantuan dan kerjasama dari

berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis juga ingin

menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan

sumbangan pikiran, waktu dan tenaga serta bantuan moril dan materiil, khususnya

kepada :

1. Bapak Drs. Kresno Sarosa Pribadi, M.Si selaku dosen pembimbing yang

memberikan kemudahan, meluangkan waktu dan dengan sabar membimbing

dalam penyelesaian penulisan skripsi ini.

2. Semua dosen dan karyawan Fakultas Ekonomi khususnya di jurusan Ekonomi

Pembangunan.

3. Seluruh karyawan/staf perpustakaan Fakultas Ekonomi, BPS Karanganyar,

DPPKAD Karanganyar, BAPPEDA Karanganyar yang telah membantu dalam

pengumpulan data-data dan bahan dalam skripsi ini.

vii

4. Papa dan mama, terima kasih atas do’a yang tiada henti untukku, kasih sayang

dan bimbingan yang sangat berharga. Kakakku satu-satunya, mas Umbara,

thak’s for support..i’m finish bro.

5. Sobat-sobatku, Anggita, Shinta, Dika, Murti, terima kasih udah nganter

keliling cari data. Devi, Ita, Fira, makasih semangatnya ya. Ghoni, makasih

udah mau sharing data dan pusing bareng cari rumus. Bebbiy, makasih

banyak, kalo hari pertama kamu gak nganter ke BPS mungkin aku bakal balik

berpuluh kali buat ngambil buku yang selemari itu, and thaks for the

memmories too.

6. Teman-teman se-angkatan, Puguh, Adri, Davit, Dita, Bram, Yunita, Tika,

Nurul, Vaulla, dan seluruh EP HOLICS, kalian memberikan begitu banyak

kesan yang dalam. From all till never ends...

7. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu

dalam penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa, sebagai manusia dengan kelebihan

dan kekurangannya, masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan

skripsi ini, baik dalam isi maupun pembahasannya. Penulis berharap semoga

skripsi ini dapat menjadi suatu karya yang berguna bagi kita semua.

Karanganyar, Maret 2010

Penulis

A.A. Putri Trisnawati

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................... i

ABSTRAKSI....................................................................................................... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING.................................................. iii

HALAMAN PENGESAHAN............................................................................. iv

MOTTO............................................................................................................... v

HALAMAN PERSEMBAHAN.......................................................................... vi

KATA PENGANTAR........................................................................................ vii

DAFTAR ISI...................................................................................................... x

DAFTAR TABEL…………………………………………………………...... xii

DARTAR GAMBAR………………………………………………………..... xiii

DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………...... xiv

BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1

A. Latar Belakang............................................................................ 1

B. Perumusan Masalah.................................................................... 6

C. Tujuan Penelitian........................................................................ 6

D. Manfaat Penelitian...................................................................... 7

BAB II LANDASAN TEORI....................................................................... 8

A. Otonomi Daerah.......................................................................... 8

1. Pengertian Otonomi Daerah................................................. 8

2. Landasan Hukum Otonomi Daerah...................................... 10

3. Prinsip Dasar Pemberian Otonomi Daerah.......................... 11

B. Teori Pembangunan Daerah...................................................... 15

C. Keuangan Daerah....................................................................... 17

1. Asas Umum Pengelolaan Keuangan Daerah...................... 18

2. Pendapatan Daerah ........................................................... 20

ix

3. Belanja Daerah..................................................................... 23

4. Pembiayaan Daerah............................................................. 25

D. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah............................... 26

E. Indikator Kinerja Keuangan Daerah......................................... 29

1. Derajat Desentralisasi Fiskal............................................... 29

2. Kebutuhan Fiskal (Fiscal Need).......................................... 30

3. Kapasitas Fiskal (Fiscal Capacity)..................................... 30

4. Usaha Fiskal (Tax Effort)................................................... 31

F. Penelitian Terdahulu................................................................. 31

G. Kerangka Pemikiran ................................................................. 32

H. Hipotesis................................................................................... 33

BAB III METODELOGI PENELITIAN.................................................. 35

A. Ruang Lingkup Penelitian...................................................... 35

B. Metode Pengumpulan Data.................................................... 35

C. Definisi Operasional Variabel................................................ 37

D. Metode Analisis Data............................................................. 39

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN……………………………... 49

A. Gambaran Umum Kabupaten Karanganyar……………….... 49

1. Keadaan Geografis………………...…………………..... 49

2. Pemerintahan..................................................................... 50

3. Penduduk dan Tenaga Kerja............................................. 51

4. Kondisi Sosial Masyarakat……………………………... 53

B. Analisis Deskriptif……………………………..................... 54

1. Pertumbuhan APBD………………………………….... 55

2. Kontribusi PAD terhadap APBD……………………..... 56

3. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)..................... 57

4. Inflasi.............................................................................. 58

5. Analisis Kuantitatif......................................................... 58

1. Uji Hipotesis 1................................................................ 58

x

a. Analisis Derajat Desentralisasi Fiskal....................... 58

b. Kebutuhan Fiskal (Fiscal Needs).............................. 61

c. Kapasitas Fiskal (Fiscal Capacity)........................... 63

d. Upaya/Posisi Fiskal ( Tax Effort)............................. 65

e. Analisis Potensi Pendapatan Asli Daerah................. 66

f. Rasio Aktivitas (Keserasian).................................... 72

g. Rasio Efektivitas PAD............................................. 74

2. Uji Hipotesis 2................................................................ 76

a. Rasio Kemandirian Daerah....................................... 76

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………………………………... 79

A. Kesimpulan………………………………………………. 79

B. Saran……………………………………………………... 81

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

xi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 3.1 Matriks Potensi PAD......................................................................43

Gambar 3.2 Daerah Kritis Uji t.........................................................................48

xii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1.1 Produk Domestik Regional Bruto(PDRB) menurut

Lapangan Usaha dan Pertumbuhan Ekonomi Atas

Dasar Harga Berlaku Kabupaten Karanganyar Tahun

2006-2008.......................................................................................5

Tabel 3.1 Tabel Skala Interval DDF..............................................................41

Tabel 3.2 Efektivitas Keuangan Daerah Otonom..........................................45

Tabel 3.3 Pola Hubungan, Tingkat Kemandirian,

dan Kemampuan Keuangan Daerah..............................................47

Tabel 4.1 Pertumbuhan APBD Kabupaten Karanganyar

Tahun Anggaran 1998-2008……………………………………..55

Tabel 4.2 Rasio PAD terhadap APBD……………………………………...56

Tabel 4.3 Pertumbuhan Ekonomi (PDRB)....................................................57

Tabel 4.4 Derajat Desentralisasi Fiskal Kabupaten Karanganyar.................60

Tabel 4.5 Kebutuhan Fiskal standar se-Jawa Tengah dan

Kebutuhan Fiskal Kabupaten Karanganyar...................................62

Tabel 4.6 Kapasitas Fiskal standar se-Jawa Tengah dan

Kapasitas Fiskal Kabupaten Karanganyar.....................................63

Tabel 4.7 Pertumbuhan PAD dan PDRB Atas Dasar Harga Berlaku serta

Elastisitas PAD Kabupaten Karanganyar...................................... 65

Tabel 4.8 Kategori Pajak Sebelum dan Selama Otonomi Daerah................. 67

Tabel 4.9 Kategori Retribusi Sebelum dan Selama Otonomi Daerah............68

Tabel 4.10 Rasio Belanja Rutin dan Belanja Pembangunan…………………73

Tabel 4.11 Rasio Efektivitas PAD…………………………………………...75

Tabel 4.12 Pola Hubungan, Tingkat Kemandirian,

dan Kemampuan Keuangan Daerah...............................................77

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1

- Pendapatan Asli Daerah, Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, Sumbangan

Bantuan Daerah, dan Total Pendapatan Daerah

- Target dan Realisasi PAD

Lampiran 2

- Belanja Rutin, Belanja Pembangunan, dan APBD Karanganyar

- Jumlah Penduduk Jateng dan Karanganyar

Lampiran 3

- Pengeluaran Jateng dan Karanganyar

- Standar Kebutuhan Fiskal Jawa Tengah dan Karanganyar

Lampiran 4

- Jumlah Kabupaten/Kota di Jawa Tengah

- Jumlah Pengeluaran per Kapita Karanganyar (PPP)

Lampiran 5

- PDRB Harga Berlaku Jawa Tengah

- PDRB Karanganyar

Lampiran 6

- Indeks rata-rata Fiskal Standar Fiskal se-Jateng (SkaFP)

dan Indeks Kapasitas Fiskal Kab. Karanganyar (KaFkK)

Lampiran 7

- Realisasi Pajak Karanganyar Tahun 1998-2000

Lampiran 8

- Realisasi Pajak Karanganyar Tahun 2001-2004

Lampiran 9

- Realisasi Pajak Karanganyar Tahun 2005-2008

Lampiran 10

- Realisasi Retribusi Karanganyar Tahun 1998-2000

xiv

Lampiran 11

- Realisasi Retribusi Karanganyar Tahun 2001-2002

Lampiran 12

- Realisasi Retribusi Karanganyar Tahun 2003-2006

Lampiran 13

- Realisasi Retribusi Karanganyar Tahun 2007-2008

Lampiran 14

- Tabel Kontribusi Realisasi Pajak terhadap Total Pajak Daerah Kabupaten

Karanganyar Sebelum Otonomi Daerah

Lampiran 15

- Tabel Kontribusi Realisasi Pajak terhadap Total Pajak Daerah Kabupaten

Karanganyar Selama Otonomi Daerah

Lampiran 16

- Tabel Pertumbuhan Realisasi Pajak Daerah Kabupaten Karanganyar

Sebelum Otonomi Daerah

Lampiran 17

- Tabel Pertumbuhan Realisasi Pajak Daerah Kabupaten Karanganyar

Selama Otonomi Daerah

Lampiran 18

- Tabel Kontribusi Realisasi Retribusi terhadap Total Retribusi Daerah

Kabupaten Karanganyar Sebelum Otonomi Daerah

Lampiran 19

- Tabel Kontribusi Realisasi Retribusi terhadap Total Retribusi Daerah

Kabupaten Karanganyar Selama Otonomi Daerah

Lampiran 20

- Tabel Pertumbuhan Realisasi Retribusi Daerah Kabupaten Karanganyar

Sebelum Otonomi Daerah

Lampiran 21

- Tabel Pertumbuhan Realisasi Retribusi Daerah Kabupaten Karanganyar

Selama Otonomi Daerah

xv

Lampiran 22

- Tabel Posisi Realisasi Pajak Daerah Kabupaten Karanganyar Sebelum

Otonomi Daerah

Lampiran 23

- Tabel Posisi Realisasi Pajak Daerah Kabupaten Karanganyar Selama

Otonomi Daerah

Lampiran 24

- Tabel Posisi Realisasi Retribusi Daerah Kabupaten Karanganyar Sebelum

Otonomi Daerah

Lampiran 25

- Tabel Posisi Realisasi Retribusi Daerah Kabupaten Karanganyar Selama

Otonomi Daerah

Lampiran 26

- Rasio PAD terhadap TPD Sebelum dan Selama Otonomi Daerah

Lampiran 27

- Indeks Kebutuhan Fiskal Karanganyar Sebelum dan Selama Otonomi

Daerah

Lampiran 28

- Indeks Kapasitas Fiskal Karanganyar Sebelum dan Selama Otonomi

Daerah

Lampiran 29

- Elastisitas PAD Karanganyar Sebelum dan Selama Otonomi Daerah

Lampiran 30

- Rasio Belanja Rutin Karanganyar Sebelum dan Selama Otonomi Daerah

Lampiran 31

- Rasio Belanja Pembangunan Karanganyar Sebelum dan Selama Otonomi

Daerah

xvi

Lampiran 32

- Rasio Efektivitas PAD Karanganyar Sebelum dan Selama Otonomi

Daerah

Lampiran 33

- Rasio Kemandirian Karanganyar Sebelumdan Selama Otonomi Daerah

xvii

ABSTRAKSI

ANALISIS KEUANGAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR

PADA TAHUN 1998-2008 (Perbandingan Era Sebelum Otonomi Daerah dan Pada Era Otonomi Daerah)

A.A PUTRI TRISNAWATI F0106013

Salah satu tolok ukur keberhasilan otonomi daerah adalah dengan melihat kemampuan keuangannya. Sehingga berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan keuangan daerah di Kabupaten Karanganyar beserta tingkat kemandiriannya.

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif dan kuantitatif. Adapun analisisnya adalah DDF, Kebutuhan Fiskal, Kapasitas Fiskal, Upaya/Posisi Fiskal, Matriks Potensi PAD, Rasio Aktivitas PAD, Rasio Efektivitas PAD, serta Rasio Kemandirian Daerah. Data yang digunakan merupakan data sekunder dari instansi pemerintah terkait mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Karanganyar dalam kurun waktu 1998-2008.

Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa secara rerata sebelum dan selama era otonomi daerah pertumbuhan APBD, kontribusi PAD terhadap APBD, maupun pertumbuhan PDRB mengalami penurunan. Jika dilihat dari hasil analisis kuantitatifnya, terjadi penurunan rasio PAD terhadap TPD pada era sebelum dan selama otonomi daerah dari 11,57% menjadi 7,94%. Menurut analisis rasio kemandirian, baik sebelum maupun selama otonomi daerah Kabupaten Karanganyar memiliki rasio kurang dari 25%.

Berdasarkan hasil penelitian, secara umum dapat dikatakan bahwa kemampuan keuangan daerah Kabupaten Karanganyar baik sebelum dan selama era otonomi daerah tergolong rendah sekali dengan pola hubungan instruktif, dimana ketergantungan finansial terhadap pemerintah pusat masih sangat tinggi. Untuk itu diharapkan Pemerintah Daerah Kabupaten Karanganyar lebih mengutamakan upaya intensifikasi dan ekstensifikasi sumber-sumber PAD yang potensial, menciptakan daya tarik dan iklim yang kondusif bagi investor untuk menanamkan modalnya sehingga laju pertumbuhan ekonomi daerah dan PDRB meningkat. Dengan upaya-upaya tersebut diharapkan Kabupaten Karanganyar dapat mewujudkan kemandirian keuangan daerah. Keywords: DDF, Kebutuhan Fiskal, Kapasitas Fiskal, Upaya/Posisi Fiskal, Matriks Potensi PAD, Rasio Aktivitas PAD, Rasio Efektivitas PAD, Rasio Kemandirian Daerah

18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam masa penjajahan pola atau bentuk administrasi sangat terpusat

dan sedikit sekali ada pikiran untuk mendorong perkembangan daerah. Tetapi

pada tahun 1920-an ada upaya mengambil langkah desentralisasi untuk

membentuk Lembaga-lembaga Perwakilan di beberapa Provinsi, Kabupaten,

dan Kota tertentu. Tujuan utamanya adalah agar memperlancar administrasi

dan membuka peluang bagi daerah untuk mengemukakan keinginannya.

Reformasi keuangan daerah terjadi ditandai dengan diberlakukannya

UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang

tersebut menyatakan bahwa penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan

dengan memberikan kewenagan yang luas, nyata, dan bertanggungjawab

kepada daerah secara proporsional, yang pelaksanaannya dilakukan dengan

asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Undang-undang

tersebut kemudian diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004.

Sejak diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

Pemerintah Pusat dan Daerah, banyak terjadi perubahan kebijakan daerah di

Indonesia. Kedua Undang-undang ini merupakan landasan utama bagi

desentralisasi pemerintahan dengan memberikan kewenangan pada daerah

untuk mengelola berbagai urusan pemerintahan. Pelaksanaan otonomi daerah

19

(OTDA) yang ditandai dengan desentralisasi kewenangan (power sharing) dan

desentralisasi keuangan (fiscal decentralization) mulai dilaksanakan secara

penuh sejak tanggal 1 Januari 2001. Konsekuensinya, daerah

menyelenggarakan urusan yang sangat luas terutama dalam pengelolaan

sumber daya alam, sumber daya keuangan dan penyediaan pelayanan publik.

Secara teoritis, desentralisasi ini diharapkan akan menghasilkan dua

manfaat nyata, yaitu: pertama, mendorong peningkatan partisipasi, prakarsa,

dan kreativitas masyarakat dalam pembangunan di seluruh daerah dengan

memanfaatkan sumber daya dan potensi yang tersedia di masing-masing

daerah. Kedua, memperbaiki alokasi sumber daya produktif melalui

pergeseran peran pengambilan keputusan publik ke tingkat pemerintah yang

paling rendah yang memiliki informasi yang lengkap (Mardiasmo, 2002:6).

Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas

Desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan

kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi

daerah. Pembangunan daerah yang dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi

daerah dan pengaturan sumber daya nasional merupakan bagian integral dari

pembangunan nasional yang memberikan peningkatan demokrasi dan kinerja

daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Deberlakukannya otonomi daerah diharapkan mampu membawa

nuansa atau semangat baru bagi terciptanya pemerintah daerah yang mandiri.

Paradigma pemerintahan daerah di era otonomi daerah seharusnya mengacu

pada tujuan awal ditetapkannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

20

Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

Pemerintah Pusat dan Daerah, yaitu membawa daerahnya sendiri untuk

merencanakan pembangunan sesuai dengan aspirasi, potensi, permasalahan,

peluang, dan kebutuhan masyarakat setempat. Oleh karena itu esensi otonomi

daerah harus diterjemahkan sebagai upaya untuk mengoptimalkan proses

pemberdayaan ekonomi masyarakat dan pendayagunaan potensi daerah

dengan meningkatkan partisipasi, prakarsa, dan kreativitas dalam upaya

mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat dari tahun ke tahun di

daerah masing-masing.

Dalam pelaksanaan pembangunan daerah di Indonesia selama ini,

pembiayaan pembangunan bagi kebanyakan daerah masih sangat

mengandalkan sumber pembiayaan pembangunan yang berasal dari

pemerintah pusat. Rendahnya kemampuan daerah dalam menggali sumber-

sumber pendapatan yang sah selama ini, selain disebabkan oleh faktor sumber

daya manusia dan kelembagaan juga disebabkan oleh batasan hukum.

Pemberlakuan UU No. 25 Tahun 1999 yang kemudian diganti oleh UU No. 33

tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah,

mengalokasikan sebagian jenis-jenis pajak yang gemuk bagi pemerintah pusat,

merupakan salah satu faktor penyebab keterbatasan kemampuan daerah dalam

menggali sumber-sumber penerimaannya. Konsekuensi dari hal tersebut

adalah pemerintah pusat memberikan dana perimbangan kepada daerah untuk

mengurangi kesenjangan antara penerimaan daerah dengan banyaknya

21

kegiatan yang dilaksanakan pemerintah daerah dalam rangka melaksanakan

otonomi daerah.

Dalam rangka melaksanakan otonomi daerah sebagaimana diatur

dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,

Pemerintah Daerah Kabupaten Karanganyar merupakan salah satu kabupaten

di Provinsi Jawa Tengah yang telah melaksanakan otonomi daerah atas dasar

desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas, nyata, dan bertanggungjawab.

Tabel 1.1 dibawah ini menggambarkan bahwa di Kabupaten

Karanganyar lapangan usaha yang bergerak pada bidang industri pengolahan

merupakan sektor sumber pendapatan terbesar dari tahun ke tahun.

Sedangkan sektor pertambangan dan penggalian merupakan sektor terkecil

penerimaannya, sesuai dengan kondisi Kabupaten Karanganyar yang tidak

kaya akan sumber daya alamnya.

Pendapatan Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Berlaku

Kabupaten Karanganyar pada tahun 2008 sebesar Rp. 7.679.675.350.000,00

dalam setahun. Sedangkan tahun 2007 sebesar Rp. 6.904.990.490.000,00

dengan kata lain mengalami peningkatan sebesar 11,21%.

22

Tabel 1.1

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut Lapangan Usaha dan Pertumbuhan Ekonomi Atas Dasar Harga Berlaku

Kabupaten Karanganyar Tahun 2006-2008

PDRB Atas Dasar Harga Berlaku

Lapangan Usaha (Jutaan Rp)

2006 2007 2008 (1) (2) (3) (4)

1. Pertanian 1.321.979,58 1.469.358,39 1.701.539,07 1.1 Pert. Tan. Pangan 884.233,99 1.010.706,24 1.161.125,09 1.2 Tan. Perkbn. Rakyat 83.223,77 95.857,13 111.084,04 1.3 Tan. Perkbn. Besar 10.138,11 11.726,75 13.322,75 1.4 Peternakan 329.078,64 361.130,90 396.593,98 1.5 Kehutanan 7.344,32 8.121,35 8.875,02 1.6 Perikanan 7.627,75 8.816,01 10.538,22 2. Pertamb. Dan Penggalian 62.663,48 71.047,85 80.483,00 3. Industri Pengolahan 2.991.317,83 3.288.513,83 3.578.431,04 4. Listrik, Air, dan Gas 96.560,48 110.207,47 124.816,13 5. Bangunan 171.246,84 197.841,47 228.249,70 6. Perdagangan 701.529,39 788.726,79 890.413,99 7. Angkutan dan Perhubungan 205.162,54 233.376,92 256.509,36 8. Lembaga Keuangan, Sewa Bangunan dan Jasa Persewaan 162.556,83 184.872,62 207.807,07 9. Jasa-Jasa 511.765,87 534.009,15 611.425,99

PDRB 6.224.781,84 6.904.990,49 7.679.675,35 Pertumbuhan Ekonomi (%) 10,93 10,93 11,21

Sumber: BPS Karanganyar, Karanganyar dalam Angka

23

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, rumusan masalah penelitian

ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah ada perubahan yang mendasar mengenai keuangan daerah

Kabupaten Karanganyar pada era sebelum otonomi daerah dan pada era

otonomi daerah berdasarkan Derajat Desentralisasi Fiskal, Kebutuhan

Fiskal, Kapasitas Fiskal, Upaya dan Posisi Fiskal, Potensi Keuangan,

Rasio Aktivitas, dan Efektivitas PAD?

2. Bagaimana upaya pemerintah agar keuangan daerah tetap menjadi

tumpuan bagi jalannya pemerintahan yang diukur dengan Rasio

Kemandirian dan Pola Hubungannya?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah dan rumusan masalah

di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan menganalisa tingkat perubahan yang mendasar

tentang Keuangan Daerah Kabupaten Karanganyar pada era sebelum

otonomi daerah dan pada era otonomi daerah berdasarkan Derajat

Desentralisasi Fiskal, Kebutuhan Fiskal, Kapasitas Fiskal, Upaya dan

Posisi Fiskal, Potensi Keuangan, Rasio Aktivitas, dan Efektivitas PAD.

2. Untuk mengetahui dan menganalisa upaya Pemerintah Daerah agar

Keuangan Daerah tetap menjadi tumpuan bagi jalannya pemerintahan

yang diukur melalui Rasio Kemandirian dan Pola Hubungannya.

24

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1. Dapat memberikan gambaran mengenai cara-cara perhitungan tingkat

perubahan yang mendasar tentang Keuangan Daerah Kabupaten

Karanganyar pada era otonomi daerah.

2. Dapat menjadi bahan masukan dan pertimbangan bagi Pemerintah Daerah

untuk dapat meningkatkan PAD dari berbagai sektor yang mempunyai

potensi dalam rangka menunjang kelancaran pembangunan daerah dan

kesejahteraan seluruh warga mayarakatnya dan tujuan akhir untuk

mencapai kemandirian keuangan daerah.

3. Sebagai bahan kajian untuk penelitian sejenis selanjutnya yang

menyangkut Keuangan Daerah.

25

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Otonomi Daerah

1. Pengertian Otonomi Daerah

Otonomi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata

yaitu Autos yang berarti sendiri dan Nomos yang berarti aturan. Beberapa

penulis memberikan pengertian otonomi dapat diartikan sebagai

zelfwetgeving atau pengundangan sendiri, mengatut atau pemerintah

sendiri atau memerintah sendiri.

Di dalam Negara Kesatuan yang menganut Asas Desentralisasi

dikenal adanya Struktur Pemerintah Pusat (centralgovernment) serta

daerah-daerah yang menyelenggarakan pemerintahan sendiri. Hal ini dapat

diartikan bahwa daerah-daerah tersebut memiliki hak, kewajiban,

wewenang, dan tanggung jawab untuk mengatur dan mengurus rumah

tangganya sendiri, yang disebut dengan Otonomi.

Dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

dikemukakan suatu rumusan bahwa otonomi daerah adalah hak,

kewenangan, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus

sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai

dengan peraturan perundang-undangan.

Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan

daerah otonom oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat

26

Daerah (DPRD) menurut asas desentralisasi. Menurut UU No. 33 Tahun

2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah,

desentralisasi merupakan penyerahan wewenang pemerintahan oleh

pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan

pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pemerintah Daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan

efektivitas penyelenggaraan otonomi daerah perlu memperhatikan

hubungan antar susunan pemerintahan dan antar Pemerintah Daerah,

potensi, dan keanekaragaman daerah. Aspek hubungan wewenang

memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam sistem Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

Agar pelaksanaan otonomi daerah dapat mencapai tujuan yang

diharapkan maka pemerintah wajib melakukan pembinaan yang berupa

pemberian pedoman seperti penelitian, pengembangan, perencanaan, dan

pengawasan. Disamping itu pemerintah perlu memberikan standar, arahan,

bimbingan, pelatihan, supervisi, pengendalian, koordinasi, pemantauan,

dan evaluasi. Pemerintah juga wajib memberikan fasilitas yang berupa

pemberian peluang kemudahan, bantuan, dan dorongan kepada daerah

agar pelaksanaan otonomi daerah dapat dilakukan secara efektif dan

efisien sesuai dengan peraturan perundang-undangan (penjelasan umum

UU No. 32 Tahun 2004).

27

2. Landasan Hukum Otonomi Daerah

Usaha untuk memulihkan perekonomian Indonesia dari krisis

ekonomi yang terjadi di Indonesia sejak pertengahan Juli 1997, antara lain

telah ditempuh melalui berbagai Program Reformasi dan Rehabilitasi baik

yang menyangkut aspek kelembagaan maupun aspek regulasi atau

peraturan perundang-undangan. Kegiatan yang sangat penting dan menjadi

tonggak sejarah bagi penciptaan Indonesia yang lebih baik di masa-masa

mendatang adalah diselenggarakannya Sidang Istimewa (SI) yang

berlangsung pada tanggal 10-13 November 1998. Tonggak sejarah yang

dimaksud tidak terlertak pada penyelenggaraan sidangnya, namun pada

produk hukum yang dihasilkan yaitu berupa Ketetapan-ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (TAP MPR RI), yang secara

keseluruhan berjumlah 12 Ketetapan. Ketetapan yang berpengaruh

terhadap otonomi daerah adalah TAP MPR RI Nomor XV/MPR/1998

tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan

Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan

Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Ketetapan MPR tersebut ditetapkan dengan berbagai

pertimbangan, antara lain sebagai berikut (Mulyanto, 2007:2):

1. Negara Kestuan Republik Indonesia memiliki sumber-sumber daya

nasional yang harus dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran

rakyat

28

2. Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan

nasional dilaksanakan melalui otonomi daerah (OTDA); pengaturan

sumber daya nasional yang berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan

Pusat dan Daerah (PKPD), dan

3. Penyelenggaraan otonomi daerah; pengaturan, pembagian, dan

pemanfaatan sumber daya nasional serta Perimbangan Keuangan

antara Pusat dan Daerah belum dilaksanakan secara proporsional

sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan pemerataan.

TAP MPR Nomor XV/MPR/1998 mengilhami dan menjadi dasar

terhadap munculnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Daerah. Salah satu pertimbangan yang ada dalam Undang-undang tersebut

yaitu bahwa penyelenggaraan otonomi daerah perlu untuk lebih

menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat,

pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan

keanekaragaman daerah. UU No. 22 Tahun 1999 kemudian diganti dengan

UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Penggantian

tersebut dilakukan untuk menyesuaikan dengan perkembangan keadaan,

ketatanegaraan, dan tututan penyelenggaraan otonomi daerah.

3. Prinsip Dasar Pemberian Otonomi Daerah

Menurut pengalaman dalam pelaksanaan bidang-bidang tugas

tertentu, khususnya selama Pemerintahan Orde Baru, sistem sentralistik

tidak dapat menjamin kesesuaian antar tindakan-tindakan yang dilakukan

29

secara langsung oleh Pemerintah Pusat dengan keadaan di daerah-daerah.

Hal ini lebih disebabkan oleh luasnya wilayah Indonesia yang terdiri dari

berbagai daerah yang masing-masing memiliki sifat-sifat khusus tersendiri

yang disebabkan oleh beberapa faktor seperti keadaan alam, iklim, flora-

fauna, adat istiadat, kehidupan ekonomi, bahasa, tingkat pendidikan, dan

lain-lain. Dengan sistem Otonomi Daerah atau Desentralisasi maka

diberikan kekuasaan kepada daerah untuk melaksanakan kebijakan

pemerintah sesuai dengan keadaan khusus di masing-masing daerah dalam

kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Atas dasar permasalahan tersebut, tujuan pemberian otonomi

daerah sesuai dengan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan

masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi,

keadilan dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antar

daerah dalam rangka menjaga keutuhan NKRI. Prinsip-prinsip dasar yang

dijadikan sebagai pedoman Otonomi Daerah ketika UU No. 22 Tahun

1999 adalah sebagai berikut (Penjelasan UU No. 22 Tahun 1999):

a) Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan

aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan

keanekaragaman daerah.

b) Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi yang luas,

nyata, dan bertanggungjawab.

30

c) Pelaksanaan otonomi daerah yang nyata, luas, dan utuh diletakkan

pada daerah kabupaten dan daerah kota, sedangkan otonomi daerah

provinsi merupakan otonomi yang terbatas.

d) Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara

sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah

serta antar daerah.

e) Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih menekankan kemandirian

daerah otonom, dan karenanya dalam daerah kabupaten dan daerah

kota tidak ada wilayah administrasi. Demikian pula di kawasan-

kawasan khusus yang dibina oleh pemerintah atau pihak lain, seperti

badan otorita, kawasan industri, kawasan perkebunan, kawasan

pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan perkotaan baru, kawasan

pariwisata, dan semacamnya berlaku ketentuan daerah otonom.

f) Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan

fungsi Badan Legislatif Daerah baik fungsi legislasi, fungsi pengawas,

maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintahan daerah.

g) Pelaksanan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi dalam

kedukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan

kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada

Gubernur sebagai wakil pemerintahan.

h) Pelaksaan tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari

pemerintah kepada daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah

kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana,

31

serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan

dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.

Di lain pihak, tujuan utama dari penyelenggaan otonomi daerah

adalah untuk meningkatkan pelayanan publik (publik service) dan untuk

memajukan perekonomian daerah. Tiga misi utama dalam pelaksanaan

otonomi daearah adalah sebagai berikut (Mardiasmo, 2002:59) :

a. Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan

kesejahteraan masyarakat;

b. Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah;

dan

c. Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk

berpartisipasi dalam proses pembangunan.

Pelaksanaan otonomi daerah dengan menggunakan asas

desentralisasi dapat memberikan kebaikan bagi negara, antara lain adalah

(Kaho, 1997:12):

a. Mengurangi bertumpuknya pekerjaan di pemerintahan pusat.

b. Dalam menghadapi masalah yang mendesak dan membutuhkan

tindakan yang cepat, daerah tidak perlu menunggu instruksi dari

pemerintah pusat.

c. Dapat mengurangi birokrasi dalam arti yang buruk karena keputusan

dapat segera dilaksananakan.

d. Dalam sistem desentralisasi, dapat diadakan perbedaan (differensiasi)

dan pengkhususan (spesialisasi) yang berguna bagi kepentingan

32

tertentu, khususnya desentralisasi teritorial, dapat lebih menyesuaikan

diri kepada kebutuhan dan keadaan khusus daerah.

e. Dengan adanya desentralisasai teritorial, daerah otonom dapat

merupakan semacam laboratorium dalam hal-hal yang berhubungan

dengan pemerintahan, yang dapat bermanfaat bagi seluruh daerah. Hal-

hal yang ternyata baik dapat diterapkan di seluruh wilayah negara,

sedangkan yang kurang baik dapat dibatasi pada suatu daerah tertentu

saja dan oleh karena itu dapat mudah untuk ditiadakan.

f. Mengurangi kemungkinan kesewenang-wenangan dari pemerintah

pusat.

g. Dari segi psikologis, desentralisasi dapat lebih memberikan kepuasan

bagi daerah-daerah karena sifatnya yang lebih langsung.

B. Teori Pembangunan Daerah

Pembangunan ekonomi daerah dapat diartikan sebagai suatu proses

dimana daerah dan masyarakatnya mengelola sumber daya yang ada dan

membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah dengan sektor swasta

untuk menciptakan suatu lapangan pekerjaan baru dan merangsang

perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah

tersebut (Arsyad, 1999:108).

Perencanaan pembangunan ekonomi daerah bukanlah perencanaan dari

suatu daerah, tetapi perencanaan untuk suatu daerah. Perencanaan

pembangunan ekonomi daerah bisa dianggap sebagai perencanaan untuk

33

memperbaiki penggunaan berbagai sumber daya publik yang tersedia di

daerah tersebut dan untuk memperbaiki kapasitas sektor swasta dalam

menciptakan nilai sumber-sumber daya swasta secara bertanggung jawab.

Melalui perencanaan pembangunan ekonomi daerah, suatu daerah

dilihat secara keseluruhan sebagai suatu unit ekonomi (economic entity) yang

di dalamnya terdapat berbagai unsur yang berinteraksi satu sama lain. Ada tiga

unsur dari perencanaan daerah jika dikaitkan dengan hubungan antara pusat

dengan daerah (Kuncoro, 2004:46), yaitu :

1. Perencanaan pembangunan ekonomi daerah yang realistic memerlukan

pemahaman tentang hubungan antara daerah dengan lingkungan nasional

di tempat daerah tersebut merupakan bagian darinya, keterkaitan secara

mendasar antara keduanya, dan konsekuensi akhir dari interaksi tersebut.

2. Sesuatu yang tampaknya baik secara nasional belum tentu baik untuk

daerah, dan sebaliknya yang baik bagi daerah belum tentu baik secara

nasional.

3. Perangkat kelembagaan yang tersedia untuk pembangunan daerah,

misalnya administrasi, proses pengambilan keputusan, dan otoritas,

biasanya sangat berbeda pada tingkat daerah dengan yang tersedia pada

tingkat pusat. Selain itu, derajat pengendalian kebijakan sangat berbeda

pada dua tingkat tersebut. Oleh karena itu, perencanaan daerah yang

efektif harus bisa membedakan apa yang seharusnya dilakukan dan apa

yang dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai sumber daya

pembangunan sebaik mungkin sehingga benar-benar dapat dicapai, dan

34

mengambil manfaat dari informasi yang lengkap dan tersedia pada tingkat

daerah karena kedekatan para perencananya dengan obyek perencanaan.

C. Keuangan Daerah

Keuangan daerah merupakan salah satu kriteria penting untuk

mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam bidang keuangan. Dengan

kata lain, faktor keuangan merupakan faktor esensial dalam mengukur tingkat

kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya.

Keuangan Daerah secara umum diartikan sebagai semua hak dan

kewajiban daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat

dinilai dengan uang, termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang

berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut. Pengelolaan

keuangan daerah dalam konteks yang lebih sempit pada dasarnya adalah

pengelolaan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang

dilakukan setiap tahun sekali oleh daerah, baik oleh Pemerintah Provinsi

maupun Pemerintah Kabupaten/Kota. Ruang lingkup Keuangan Daerah

mencakup (Pasal 2 Permendagri No. 13 Tahun 2006 ) :

1. Hak Daerah untuk memungut Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta

melakukan Pinjaman;

2. Kewajiban Daerah untuk menyelenggarakan urusan Pemerintahan Daerah

dan membayar tagihan pihak ketiga;

3. Penerimaan Daerah, yaitu uang yang masuk ke Kas Daerah;

4. Pengeluaran Daerah, yaitu uang yang keluar dari Kas Daerah;

35

5. Kekayaan Daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain yang berupa

Uang, Surat Berharga, Piutang, Barang, serta Hak-hak lain dapat dinilai

dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada Perusahaan

Daerah; dan

6. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh Pemerintah Daerah dalam rangka

penyelenggaraan tugas Pemerintah Daerah dan/atau kepentingan umum.

Pemerintah daerah tidak dapat melaksanakan fungsinya secara efektif

dan efisien tanpa biaya yang cukup untuk memberikan pelayanan dan

pembangunan. Agar daerah mengurus rumah tangganya sendiri dengan

sebaik-baiknya maka daerah perlu diberikan sumber pembiayaan yang cukup.

Tetapi mengingat tidak semua sumber pembiayaan dapat diberikan kepada

daerah, maka kepada daerah diwajibkan untuk menggali sumber keuangan

sendiri berdasarkan Peraturan Perundang-undangan berlaku.

1. Asas Umum Pengelolaan Keuangan Daerah

Keuangan Daerah dikelola secara Tertib, Taat pada peraturan

perundang-undangan, Efektif, Efisien, Ekonomis, Transparan, dan

Bertanggungjawab dengan memperhatikan Asas Keadilan, Kepatutan, dan

Manfaat untuk Masyarakat (Pasal 4 Ayat (1) Permendagri No. 13 Tahun

2006). Penjelasan selengkapnya adalah sebagai berikut:

1. Tertib, artinya bahwa Keuangan Daerah dikelola secara tepat waktu

dan tepat guna yang didukung dengan bukti-bukti administrasi yang

dapat dipertanggungjawabkan,

36

2. Taat pada peraturan perundang-undangan, artinya bahwa pengelolaan

Keuangan Daerah harus berpedoman pada peraturan perundang-

undangan,

3. Efektif, merupakan pencapaian hasil program dengan target yang telah

ditetapkan, yaitu dengan cara membandingkan keluaran dengan hasil,

4. Efisien, merupakan pancapaian keluaran yang maksimum dengan

masukan tertentu atau penggunaan masukan terendah untuk mencapai

keluaran tertentu,

5. Ekonomis, merupakan pemerolehan masukan dengan kualitas dan

kuantitas tertentu pada tingkat harga yang terendah,

6. Transparan, merupakan prinsip keterbukaan yang memungkinkan

masyarakat utnuk mengetahui dan mendapatkan akses informasi

seluas-luasnya tentang Keuangan Daerah,

7. Bertanggungjawab, merupakan perwujudan kewajiban seseorang untuk

mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian sumber daya

dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam

rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan,

8. Keadilan, adalah keseimbangan distribusi kewenangan dan

pendanaannya dan/atau keseimbangan distribusi hak dan kewajiban

berdasarkan pertimbangan yang obyektif,

9. Kepatutan, adalah tindakan atau suatu sikap yang dilakukan dengan

wajar dan proporsional, dan

37

10. Manfaat untuk Masyarakat, adalah bahwa Keuangan Daerah

diutamakan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat.

2. Pendapatan Daerah

Pendapatan daerah merupakan hak Pemerintah Daerah yang diakui

sebagai penambah nilai kekayaan bersih. Berdasarkan Pasal 5 Ayat (2) UU

No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah

Pusat dan Pemerintah Daerah, Pendapatan Daerah bersumber dari:

a. Pendapatan Asli Daerah (PAD)

PAD merupakan pendapatan yang diperoleh daerah yang

dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan Peraturan

Perundang-undangan. Dalam Pasal 6 UU No. 33 Tahun 2004

disebutkan bahwa PAD bersumber dari :

1. Pajak Daerah

Pajak daerah merupakan salah satu perwujudan kewajiban

kenegaraan. Ditegaskan bahwa penempatan beban kepada rakyat,

seperti pajak dan lain-lain harus ditetapkan dengan Undang-

undang. Dengan demikian, pemungutan pajak daerah dan retribusi

daerah harus didasarkan pada Undang-undang sebagaimana

dinyatakan dalam UU No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah

dan Retribusi Daerah. Pajak daerah adalah iuran wajib yang

dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa

imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan

38

berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku yang

digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah

dan pembangunan daerah.

2. Retribusi Daerah

Retribusi daerah merupakan salah satu bagian dari PAD,

sebagaimana diatur dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah, UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak

Daerah dan Retribusi Daerah, serta PP No. 20 Tahun 1997.

Menurut Undang-undang tersebut diatas, retribusi adalah pungutan

daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin tertentu

yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah

untuk kepentingan orang pribadi atau badan.

3. Hasil Pengelolaan Kekayan Daerah yang Dipisahkan

Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan yaitu

bagian atas laba perusahaan yang merupakan pendapatan dari

perusahaan-perusahaan yang dapat dimiliki oleh pemerintah

daerah, seperti gedung olah raga, PDAM, kolam renang, bagian

laba Bank Pembangunan, perusahaan daerah, pasar, perusahaan

daerah aneka industri, dan bagian laba dari BUMD lainnya.

39

4. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah

Dalam Pasal 6 Ayat (2) UU No. 33 Tahun 2004 disebutkan

bahwa Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah meliputi:

1. Hasil penjualan Kekayaan Daerah yang tidak dipisahkan ;

2. Jasa giro ;

3. Pendapatan bunga ;

4. Keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang

asing ;

5. Komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari

penjualan dan/atau pengadaan jasa oleh daerah.

b. Dana Perimbangan

Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan

kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka

pelaksanaan desentralisasi.

Sumber-sumber dari Dana Perimbangan yang disebutkan pada

Pasal 10 UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah adalah:

1. Dana Bagi Hasil Pajak

- PBB (Pajak Bumi dan Bangunan)

- BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan)

- Pajak Penghasilan

40

2. Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (SDA)

- Kehutanan

- Pertambangan Umum

- Perikanan

- Pertambangan Minyak Bumi

- Pertambangan Gas Bumi

- Pertambangan Panas Bumi

3. Dana Alokasi Umum (DAU)

- Potensi Derah

- Kebutuhan Daerah

4. Dana Alokasi Khusus (DAK)

c. Lain-Lain Pendapatan Daerah yang Sah

Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah terdiri atas Pendapatan

Hibah dan Pendapatan Dana Darurat. Pendapatan ini bertujuan untuk

memberi peluang kepada daerah untuk memperoleh pendapatan selain

dari PAD, Dana Perimbangan, dan Pinjaman Daerah.

3. Belanja Daerah

Belanja Daerah adalah kewajiban Pemerintah Daerah yang diakui

sebagai pengurang nilai kekayaan bersih (Pasal 1 Ayat (16) UU No. 17

Tahun 2003). Secara umum, pengelolaan Belanja Daerah menyangkut

aspek-aspek sebagai berikut:

41

a. Pengelolaan Belanja Operasi

- Belanja Pegawai

- Belanja Barang

- Bunga

- Subsidi

- Hibah

- Bantuan Sosial

b. Pengelolaan Belanja Modal

- Belanja Tanah

- Belanja Peralatan dan Mesin

- Belanja Gedung dan Bangunan

- Belanja Jalan, Irigasi, dan Jaringan

- Belanja Aset Tetap Lainnya

- Belanja Aset Lainnya

c. Pengelolan Belanja Tak Terduga

d. Transfer/Bagi Hasil Pendapat ke Kabupaten/Kota

- Bagi Hasil Pajak ke Kabupaten/Kota

- Bagi Hasil Retribusi ke Kabupaten/Kota

- Bagi Hasil Pendapatan Lainnya ke Kabupaten/Kota

42

4. Pembiayaan Daerah

Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali

dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun

anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya

(Pasal 1 Ayat (17) UU No. 17 Tahun 2003). Pos Pembiayaan secara umum

dibagi dalam dua bagian, yaitu:

a. Penerimaan Pembiayaan

Secara umum Penerimaan Pembiayaan dapat diartikan sebagai

uang yang masuk ke Kas Daerah (Pasal 1 Ayat (11) UU No. 17 Tahun

2003). Pos Penerimaan Pembiayaan meliputi:

1. Penggunaan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Lalu

2. Pencairan/Transfer dari Dana Cadangan

3. Penerimaan Dalam Negeri dan Penjualan Obligasi

- ke Pemerintah Pusat

- ke Pemerintah Daerah Lainnya

- ke Lembaga Keuangan Bank

- ke Lembaga Keuangan Bukan Bank

- dari Penjualan Obligasi

- dari Lainnya

4. Penerimaan Kembali

- Pinjaman kepada Perusahaan Daerah

- Pinjaman kepada Pemerintah Daerah Lainnya

5. Hasil Penjualan Aset Daerah yang Dipisahkan.

43

b. Pengeluaran Pembiayaan

Secara umum Pengeluaran Daerah dapat diartikan sebagai

uang yang keluar dari Kas Daerah (Pasal 1 Ayat (12) UU No. 17

Tahun 2003). Pos Pengeluaran Pembiayaan meliputi:

1. Pembentukan/Transfer ke Dana Cadangan

2. Investasi (Penyertaan Modal Daerah)

3. Pembayaran Utang Pokok yang Jatuh Tempo

- Ke Pemerintah Pusat

- ke Pemerintah Daerah Lainnya

- ke Lembaga Keuangan Bank

- ke Lembaga Keuangan Bukan Bank

- ke Obligasi

- ke Lainnya

4. Pemberian Pinjaman

- kepada Perusahaan Daerah

- kepada Pemerintah Daerah Lainnya

5. Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Tahun Berjalan.

D. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana

keuangan tahunan yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah tentang

APBD. Secara umum proses penetapan APBD dapat dibagi menjadi tiga

tahap, yaitu:

44

1. Tahap Pertama

(a) Pemerintah Daerah menyampaikan Kebijakan Umum Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (KUA) tahun anggaran berikutnya

sejalan dengan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), sebagai

landasan penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah (RAPBD) kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(DPRD) selambat-lambatnya Juni tahun berjalan (Pasal 18 Ayat (1)

UU No. 17 Tahun 2003).

(b) DPRD membahas KUA yang diajukan oleh Pemerintah Daerah

dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD tahun anggaran berikutnya

(Pasal 18 Ayat (3) UU No. 17 Tahun 2003).

(c) Berdasar KUA yang telah disepakati dengan DPRD, Pemerintah

Daerah bersama DPRD membahas Prioritas dan Plafon Anggaran

Sementara (PPAS) untuk dijadikan acuan bagi setiap Satuan Kerja

Perangkat Daerah (SKPD) (Pasal 18 Ayat (3) UU No. 17 Tahun

2003).

2. Tahap Kedua

(a) Dalam penyusunan RAPBD, Kepala SKPD selaku pengguna

anggaran menyusun Rencana Kerja dan Anggaran – Satuan Kerja

Perangkat Daerah (RKA-SKPD) tahun berikutnya (Pasal 19 Ayat (1)

UU No. 17 Tahun 2003).

45

(b) Rencana Kerja – Satuan Kerja Perangkat Daerah (RENJA - SKPD)

disusun dengan pendekatan berdasar prestasi kerja (kinerja) yang

akan dicapai (Pasal 19 Ayat (2) UU No. 17 Tahun 2003).

(c) RKA – SKPD disertai dengan prakiraan belanja untuk tahun

berikutnya setelah tahun anggaran yang sudah disusun (Pasal 19

Ayat (3) UU No. 17 Tahun 2003).

(d) RENJA – SKPD dan RKA – SKPD disampaikan kepada DPRD

untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD (Pasal 19

Ayat (4) UU No. 17 Tahun 2003).

(e) Hasil pembahasan RKA – SKPD disampaikan kepada Pejabat

Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) sebagai bahan penyusunan

Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang APBD tahun

berikutnya (Pasal 19 Ayat (5) UU No. 17 Tahun 2003).

3. Tahap Ketiga

(a) Pemerintah Daerah mengajukan Raperda tentang APBD disertai

penjelasan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD pada

minggu pertama bulan Oktober tahun sebelumnya (Pasal 20 Ayat (1)

UU No. 17 Tahun 2003).

(b) Pembahasan Raperda tentang APBD dilakukan sesuai dengan

undang-undang yang mengatur Susunan dan Kedudukan DPRD

sebelumnya (Pasal 20 Ayat (2) UU No. 17 Tahun 2003).

(c) DPRD dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan

jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam Raperda tentang APBD

46

(Pasal 20 Ayat (3) UU No. 17 Tahun 2003). Selanjutnya dalam

penjelasannya diungkapkan bahwa perubahan Raperda tentang

APBD yang dapat diusulkan oleh DPRD sepanjang tidak

mengakibatkan peningkatan defisit anggaran.

(d) Pengambilan keputusan oleh DPRD mengenai Raperda tentang

APBD dilakukan selambat-lambatnya satu bulan sebelum tahun

anggran yang bersangkutan dilaksanakan (Pasal 20 Ayat (4) UU No.

17 Tahun 2003).

(e) APBD yang disetujui oleh DPRD dirinci sampai dengan unit

organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja (Pasal 20

Ayat (5) UU No. 17 Tahun 2003).

(f) Apabila DPRD tidak menyetujui Raperda yang dilakukan untuk

membiayai keperluan setiap bulan, Pemerintah Daerah dapat

melaksanakan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBD

tahun anggaran sebelumnya (Pasal 20 Ayat (6) UU No. 17 Tahun

2003).

E. Indikator Kinerja Keuangan Daerah

1. Derajat Desentralisasi Fiskal

Derajat desentralisasi fiskal antara Pemerintah Pusat dengan

Daerah pada umumnya ditunjukkan oleh variabel-variabel Pendapatan

Asli Daerah (PAD) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD), Rasio

Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak untuk Daerah (BHPBP) terhadap

47

TPD dan Rasio Sumbangan Bantuan Daerah (SBD) terhadap TPD

(Mulyanto, 2007:93).

Untuk melihat kesiapan Pemerintah Daerah dalam menghadapi

otonomi daerah khususnya di bidang keuangan, diukur dari seberapa

jauh kemampuan pembiayaan urusan pemerintahan bila didanai

sepenuhnya oleh PAD dan Bagi Hasil Daerah (BHD) (Mulyanto,

2007:93).

2. Kebutuhan Fiskal (Fiscal Need)

Kebutuhan Fiskal dapat diartikan sebagai biaya pemeliharaan

prasarana sosial ekonomi seperti angkutan dan komunikasi, lembaga

pendidikan dan kesehatan. Variabel-variabel kebutuhan daerah (fiscal

need) dibagi atas variabel kependudukan dan variabel kewilayahan.

Variabel kependudukan meliputi jumlah penduduk dan Indeks

Kemiskinan Relatif. Sedangkan untuk variabel kewilayahan meliputi

Luas Wilayah dan Indeks Kemahalan Harga Bangunan (Mulyanto,

2007:93).

3. Kapasitas Fiskal (Fiscal Capacity)

Kapasitas fiskal adalah sejumlah pajak yang seharusnya mampu

dikumpulkan dari dasar pajak (tax base), yang biasanya berupa

pendapatan per kapita. Upaya peningkatan kapasitas fiskal daerah

sebenarnya tidak hanya menyangkut peningkatan PAD, namun adanya

48

optimalisasi sumber-sumber penerimaan daerah. Variabel-variabel

potensi daerah terdiri dari potensi PAD dan potensi penerimaan bagi

hasil (PBB, BPHPB, PPh Perseorangan , dan SDA) (Mulyanto,

2007:93).

4. Usaha Fiskal (Tax Effort)

Usaha pajak adalah jumlah pajak yang sungguh-sungguh

dikumpulkan oleh kantor pajak dan dilawankan dengan potensi pajak

(tax capacity potensial). Usaha pajak dapat diartikan sebagai rasio antara

penerimaan pajak dengan kapasitas atau kemampuan bayar pajak di

suatu daerah. Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk

mengetahui kemampuan kemampuan masyarakat membayar pajak

adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Jika PDRB suatu

daerah meningkat, maka kemampuan daerah dalam membayar pajak

juga akan meningkat (Mulyanto,2007:94).

F. Penelitian Terdahulu

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tri Suprapto dalam penelitiannya

yang berjudul “Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten

Sleman dalam Masa Otonomi Daerah Tahun 2000 – 2004”, menyatakan

bahwa tingkat kemandirian daerah Kabupaten Sleman yang diukur melalui

Pendapatan Asli Daerah hanya mencapai rata-rata 11,99% untuk setiap tahun

anggaran dengan peningkatan tiap tahun anggaran sebesar 0,28%. Rata-rata

49

Pendapatan Asli Daerah terhadap total penerimaan daerah masih di bawah

25% yaitu hanya sebesar 11,99% per tahun sehingga pola hubungan tingkat

kemandirian daerah adalah instruktif yang berarti kemandirian Kabupaten

Sleman sangat rendah dan belum mampu untuk melaksanakan otonomi

keuangan daerah. Tetapi jika dilihat perkembangan kemandirian Kabupaten

Sleman untuk setiap tahun anggarannya mengalami peningkatan, dikarenakan

Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Sleman setiap tahunnya mengalami

peningkatan yang cukup besar. Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah

Daerah telah berusaha mandiri dalam mengelola keuangan daerahnya dan

berusaha untuk dapat menjalankan otonomi sesuai dengan sasaran yang

hendak dituju dalam otonomi daerah.

G. Kerangka Pemikiran

PAD Bantuan dan Sumbangan

Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak

Derajat Desentralisasi

Srtuktur Penerimaan PAD

Rasio Keuangan Daerah di Era Otoda

PDRB Jumlah Penduduk

50

Untuk membuat suatu perencanaan pembangunan ekonomi daerah

diperlukan bermacam-macam data yang digunakan sebagai bahan analisis.

Dalam hal ini unsur-unsur penentu perkembangan penerimaan PAD antara

lain adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan Data Jumlah

Penduduk. Sedangkan untuk menghitung Derajat Desentralisasi dan struktur

penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) antara lain

dari PAD , Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP) dan Bantuan dan

Sumbangan, sehingga Rasio Keuangan Daerah di era otonomi daerah dapat

disimpulkan bahwa apakah Pemerintah Daerah Kabupaten Karanganyar pada

era otonomi daerah telah mandiri dari segi posisi Keuangan Daerah dihitung

dari Derajat Desentralisasi dan Struktur Penerimaan APBD nya.

H. Hipotesis

Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian dan

manfaat penelitian maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Kabupaten Karanganyar diduga belum mampu secara keuangan selama

pelaksanaan otonomi daerah, apabila ditinjau dari beberapa indikator,

yaitu Derajat Desentralisasi Fiskal, Kebutuhan Fiskal, Kapasitas Fiskal,

Upaya dan Posisi Fiskal, Potensi PAD, Rasio Aktivitas, dan Efektivitas

PAD.

51

2. Kabupaten Karanganyar diduga belum mandiri secara keuangan dalam

membiayai penyelenggaraan otonomi daerah bila diukur dengan Rasio

Kemandirian dan Pola Hubungannya.

52

BAB III

METODELOGI PENELITIAN

A. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian studi pustaka yang mengambil

lokasi penelitian di Kabupaten Karanganyar Provinsi Jawa Tengah dengan

menggunakan analisis data sekunder tahun 1998-2008. Obyek penelitian ini

meliputi data APBD Kabupaten Karanganyar dan semua penerimaan PAD

yang dikelola oleh Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Karanganyar,

Perhitungan APBD tahun anggaran 1998-2008 dan data PDRB atas dasar

harga konstan dan berlaku periode 1998-2008.

B. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari literatur

dan buku-buku referensi yang berhubungan dengan permasalahan yang

diteliti. Sumber-sumber data yang diperoleh dari studi pustaka dan instansi

pemerintahan.

Data sebelum otonomi daerah menggunakan tahun anggaran, oleh

karena itu perlu adanya penyesuaian menjadi data tahunan. Untuk keperluan

tersebut digunakan cara interpolasi data, yaitu data dipecah dalam kuartalan

kemudian menjumlahkan kembali kuartal yang ada dalam tahun yang sama.

Adapun cara interpolasi data digunakan rumus yang dikembangkan oleh

Insukindro (Insukindro, 1993:142), yaitu:

53

Y t1=

41

{ Yt-

125,4

(Y t-Y t 1-

) }

Y t 2=

41

{ Yt-

125,1

(Y t-Y t 1-

) }

Y t3=

41

{ Yt+

125,1

(Y t-Y t 1-

) }

Y t 4=

41

{ Yt+

125,4

(Y t-Y t 1-

) }

keterangan :

Yt : data variabel pada tahun t

Y t 1-: data variabel pada tahun t-1

t : tahun

Y t1 : data variabel pada kuartal pertama tahun t

Y t 2 : data variabel pada kuartal kedua tahun t

Y t3 : data variabel pada kuartal ketiga tahun t

Y t 4 : data variabel pada kuartal keempat tahun t

Data variabel yang perlu disesuaiakan adalah data variabel pada tahun

1998-2000 selain PDRB. Tahun 1998-2000 merupakan tahun anggaran yang

dimulai bulan April dan setelah tahun 2000 tahun anggaran dimulai bulan

Januari.

54

C. Definisi Operasional Variabel

a) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

PDRB merupakan jumlah nilai dari seluruh produksi barang dan

jasa yang dihasilkan dari berbagai aktivitas ekonomi dari dalam suatu

daerah sendiri dalam kurun waktu satu tahun yang dihitung dalam satuan

rupiah.

b) Pendapatan Asli Daerah (PAD)

PAD adalah penerimaan yang diperoleh dari sumber-sumber dalam

wilayah sendiri sesuai dengan peraturan yang berlaku dihitung dalam

satuan rupiah.

c) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

APBD adalah rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan

berdasarkan Peraturan Daerah tentang APBD.

d) Penerimaan Daerah

Penerimaan Daerah pada dasarnya terdiri dari: PAD yang

umumnya berasal dari Pajak dan Retribusi Daerah; Dana Perimbangan

yang berasal dari Dana Alokasi Umum (DAU); Dana Alokasi

Khusus(DAK) dan Dana Bagi Hasil termasuk bagi hasil Sumber Daya

Alam, Pinjaman Daerah, dan Penerimaan Lainnya yang Sah.

e) Pengeluaran Daerah

Pengeluaran Daerah adalah semua pengeluaran Kas Daerah dalam

periode tahun anggaran yang bersangkutan yang mengurangi kekayaan

Pemerintah Daerah yang yang dihitung dalam satuan rupiah.

55

f) Jumlah Penduduk

Jumlah Penduduk adalah seluruh orang yang berdomisili di suatu

daerah selama enam bulan atau lebih dan atau mereka yang berdomisili

kurang dari enam bulan tetapi bertujuan menetap.

g) Kemandirian Keuangan Daerah (Otonomi Fiskal)

Kemandirian Keuangan Daerah menunjukkan kemampuan

Pemerintah Daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan,

pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar

pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah

(Halim, 2004:150).

h) Rasio Efektivitas

Rasio Efektivitas menggambarkan kemampuan Pemerintah Daerah

dalam merealisasikan PAD yang direncanakan dibandingkan dengan target

yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah (Halim, 2004:152).

i) Rasio Aktivitas

Rasio Aktivitas menggambarkan bagaimana Pemerintah Daerah

memprioritaskan alokasi dananya pada biaya rutin dan belanja

pembangunan secara optimal (Halim, 2004:153).

j) Kapasitas Fiskal

Kapasitas Fiskal merupakan sejumlah pajak yang seharusnya

mampu dikumpulkan dari dasar pajak (tax base) yang biasanya berupa

pendapatan per kapita (Mulyanto, 2007:93)

56

k) Kebutuhan Fiskal

Kebutuhan fiskal dapat diartikan sebagai biaya pemeliharaan

prasarana sosial ekonomi, seperti angkutan dan komunikasi, serta lembaga

pendidikan dan kesehatan (Mulyanto, 2007:93).

D. Metode Analisis Data

a) Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif merupakan suatu bentuk analisis yang

menggambarkan pola-pola yang konsisten dalam data dengan kegiatan

mengumpulkan, mengelompokkan atau memisahkan komponen atau

bagian yang relevan dari keseluruhan data sehingga data mudah dikelola

dan hasilnya dapat dipelajari, ditafsirkan secara singkat dan penuh makna

(Kuncoro, 2003:172).

Tujuan menggunakan teknik analisis deskriptif adalah untuk

memberikan gambaran mengenai kondisi perkembangan keuangan daerah

Kabupaten Karanganyar dengan melihat pertumbuhan APBD dari tahun ke

tahun dan besarnya kontribusi PAD terhadap APBD. Dengan

digunakannya teknik analisis deskriptif diharapkan diperoleh kebenaran

informasi tentang keuangan daerah Kabupaten Karanganyar.

b) Analisis Kuantitatif

Analisis kuantitatif merupakan analisis yang menggunakan data

yang diukur dalam suatu skala numerik atau angka (Kuncoro, 2003:124).

57

Teknik analisis ini digunakan untuk mengetahui seberapa besar tingkat

kemampuan keuangan daerah, kemandirian, dan kinerja, dan kinerja

Kabupaten Karanganyar di era sebelum maupun selama pelaksanaan

otonomi daerah serta kesiapan Pemerintah Daerah Kabupaten Karanganyar

dalam menghadapi pelaksanaan otonomi daerah.

1. Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF)

DDF antara Pemerintah Pusat dan Daerah digunakan ukuran

sebagai berikut (Reksohadiprodjo, 2001:155) :

· )(TPDhimaanDaeraTotalPener

PADx100% ……………………...(1.1)

· )()(&

TPDhimaanDaeraTotalPenerBHPBPBknPjkBagiHslPjk

x100% ……………………..(1.2)

· )(

)(TPDhimaanDaeraTotalPener

SBDahantuanDaerSumbanganBx100% …………………..(1.3)

TPD = PAD + BHPBP + SBD

Jika hasilnya tinggi maka Derajat Desentralisasinya besar

atau dengan kata lain Pemerintah Daerah tersebut mandiri.

Kemampuan Daerah yang dihitung dari rasio PAD terhadap TPD dapat

dikategorikan seperti tabel di bawah ini (Munir, 2004:106):

58

Tabel 3.1

Tabel Skala Interval DDF

Skala Interval DDF Kemapuan PAD/TPD(%) Keuangan Daerah 00,00 - 10,00 Sangat Kurang 10,01 - 20,00 Kurang 20,01 - 30,00 Cukup 30,01 - 40,00 Sedang 40,01 - 50,00 Baik

>50,00 Sangat Baik

2. Kebutuhan Fiskal (Fiscal Need)

Kebutuhan Fiskal dihitung dengan Indeks Pelayanan Publik

Per Kapita (IPPP) dengan formula sebagai berikut (Reksohadiprodjo,

2001:155) :

· JatengSKbFP =KotaKabupaten

PenduduknPengeluara Jateng

/

/

ååå

……………..(1.4)

· rKaranganyaSKbFP =JatengSKbFP

PPP………………….........................(1.5)

Keterangan:

- JatengSKbFP : Rata-rata Kebutuhan Fiskal standart se-Jawa Tengah

- rKaranganyaSKbFP : Kebutuahan Fiskal se-Kabupaten Karanganyar

- PPP : Jumlah pengeluaran rutin dan pembangunan per

kapita masing-masing daerah atau pengeluaran

aktual per kapita untuk jasa publik.

59

Jika hasilnya tinggi maka Kebutuhan Fiskal Daerah tersebut

rendah.

3. Kapasitas Fiskal (Fiscal Capacity)

Kapasitas Fiskal dapat dicari dengan formula sebagai berikut

(Reksohadiprodjo, 2001:156):

· JatengSKaFP =KotaKabupaten

PnduduklakuPDRBHrgBer Jateng

/

/

å

åå.................(1.6)

· rKaranganyaKaFkK =Jateng

Kranganyar

SKaFP

PndduklakuPDRBHrgBer åå /......(1.7)

Keterangan:

- JatengSKaFP : Rata-rata Kapasitas Fiskal standart se-Jawa Tengah

- rKaranganyaKaFkK : Kapasitas Fiskal Kabupaten Karangnyar

Jika hasilnya tinggi maka Kapasitas Fiskal Daerah tersebut tinggi.

4. Upaya dan Posisi Fiskal (Tax Effort)

Upaya dan Posisi Fiskal dihitung dengan mencari koefisien

Elastisitas PAD terhadap PDRB. Apabila semakin elastis PAD suatu

daerah maka struktur PAD di daerah tersebut semakin baik, dihitung

dengan formula sebagai berikut (Halim, 2001:105):

· Elastisitas PAD nPDRBPertumbuha

nPADPertumbuha

%

%x100%.........................(1.8)

60

5. Matriks Potensi PAD

Untuk dapat memetakan pajak dan retribusi termasuk dalam

kategori potensial, prima, berkembang, atau terbelakang dapat

digunakan matriks sebagai berikut (Mahmudi,2006:135):

PROPORSI

PROPORSI YiYÙ 1³

YiYÙ 1<

YYi

DD

1³ PRIMA BERKEMBANG

YYi

DD

1< POTENSIAL TERBELAKANG

Gambar 3.1 Matriks Potensi PAD

Keterangan:

iY : Penerimaan pajak atau rertribusi i pada tahun t

: Nilai rata-rata pajak atau retribusi pada tahun t

iYD : Tambahan jenis pajak atau retribusi i pada tahun t

YD : Tambahan penerimaan pajak atau retribusi pada tahun t

Untuk mengetahui iYD dan YD dihitung dengan rumus sebagai

berikut:

iYD =

ttahunY

ttahunY

ttahunY

i

ii

,

,, )1( --

x100%

61

YD =

ttahunY

ttahunY

ttahunY )1( --

x100%

6. Rasio Aktivitas (Keserasian)

Rasio Aktivitas merupakan keserasian antara Belanja Rutin

dan Belanja Pembangunan, dapat diformulasikan sebagai berikut

(Halim, 2004:153):

· Rasio Belanja Rutin APBD =

TotalAPBD

jaRutinTotalBelanx100%........................................................(1.9)

· Rasio Belanja Pembangunan =

TotalAPBD

PmbgnanTotalBlanjx100%..................................................(1.10)

7. Rasio Efektivitas PAD

Rasio efektivitas PAD menunjukkan kemampuan pemerintah

daerah dalam mengoptimalkan penerimaan PAD sesuai dengan yang

telah ditargetkan. Formulanya adalah sebagai berikut (Halim,

2002:128):

Efektivitas PAD = etPADT

alisasiPAD

arg

Rex100%....................................(1.11)

Semakin tinggi rasio efektivitas menggambarkan kemampuan

daerah semakin baik. Departemen Dalam Negeri dengan Kepmendagri

62

No.690.900-327, Tahun 1996 mengkategorikan kemampuan

efektivitas keuangan daerah otonom ke dalam lima tingkat efektivitas

seperti terlihat pada Tabel 3.2 di bawah ini .

Tabel 3.2 Efektivitas Keuangan Daerah Otonom

Kemampuan Rasio

Keuangan Kemandirian (%) Sangat Efektif >100

Efektif >90-100 Cukup Efektif >80-90 Kurang Efektif >60-80 Tidak Efektif ≤ 60

8. Rasio Kemandirian

Rasio Kemandirian suatu daerah dapat dihitung dengan

formula sebagai berikut (Halim,2001:262):

· Rasio Kemandirian =

PinjamanSumbanganBantuan

PAD

++x100%.............................(1.12)

Berdasarkan formula di atas dapat diketahui bahwa Rasio

Kemandirian menggambarkan sejauh mana ketergantungan daerah

terhadap sumber dana ekstern. Semakin tinggi rasio ini berarti tingkat

ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak ekstern (terutama

pemerintah pusat dan provinsi) semakin rendah, demikian pula

sebaliknya. Rasio ini juga menggambarkan tingkat partisipasi

masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio ini

63

berarti semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak

dan retribusi daerah yang merupakan komponen dari PAD.

Paul Hersey dan Kenneth Blanchard dalam Halim (2001:168)

mengemukakan mengenai hubungan antara pemerintah pusat dan

daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah, terutama pelaksanaan

undang-undang tentang perimbangan keuangan antara pemerintah

pusat dan daerah, yaitu sebagai berikut.

1. Pola hubungan instruktif, yaitu peranan pemerintah pusat lebih

dominan daripada kemandirian pemerintah daerah (daerah tidak

mampu melaksanakan otonomi daerah secara finansial).

2. Pola hubungan konsultatif, yaitu campur tangan pemerintah pusat

sudah mulai berkurang dan lebih banyak pada pemberian

konsultasi karena daerah dianggap sedikit lebih mampu

melaksanakan otonomi daerah.

3. Pola hubungan partisipatif, yaitu pola dimana peranan pemerintah

pusat semakin berkurang mengingat tingkat kemandirian daerah

otonom bersangkutan mendekati mampu melaksanakan urusan

otonomi. Peran pemberian konsultasi beralih ke peran partisipasi

pemerintah pusat.

4. Pola hubungan delegatif, yaitu campur tangan pemerintah pusat

sudah tidak ada lagi karena daerah telah benar-benar mampu dan

mandiri dalam melaksanakan urusan otonomi daerah. Pemerintah

64

pusat siap dan dengan keyakinan penuh mendelegasikan otonomi

keuangan kepada pemerintah daerah.

Pola hubungan pemerintah pusat dan daerah serta tingkat

kemandirian dan kemampuan keuangan daerah dapat disajikan dalam

matriks seperti tampak pada Tabel 3.3 berikut ini.

Tabel 3.3

Pola Hubungan, Tingkat Kemandirian, dan Kemampuan Keuangan Daerah

Kemampuan Rasio Pola

Keuangan Daerah Kemandirian(%) Hubungan Rendah Sekali 0 - 25 Instruktif

Rendah 25 - 50 Konsultatif Sedang 50 - 75 Partisipatif Tinggi 75 - 100 Delegatif

9. Uji Beda Dua Mean (Uji-t)

Uji beda dua mean digunakan untuk mengetahui apakah

terdapat perbedaan antara sebelum dan selama otonomi daerah maka

dilakukan uji hipotesis dengan menggunakan rumus sebagai berikut

(Djarwanto, 1993:184):

a) H0:

1m =

2m

Jika tidak terdapat perbedaan antara masa sebelum dan selama otonomi daerah.

H

1 :

1m ¹

2m

Jika terdapat perbedaan antara masa sebelum dan selama otonomi daerah.

Digunakan pengujian dua sisi

b) Menentukan level of significant ( 05,0=a ) dan nilai t

( 2a ; 221-+ nn )

65

Ho ditolak

Ho diterima

2n;t212α-+ n

2nn;t -+

2n;t212α-+ n

Ho ditolak

c) Rule of the test

Gambar 3.2 Daerah Kritis Uji t

Ho diterima apabila -t tabel £ t hitung £ t tabel

Ho ditolak apabila t hitung > t tabel atau t hitung < -t tabel

d) Perhitungan nilai t :

21

XX -

t =

ïî

ïíì

ïþ

ïýü

ïî

ïíì

+ïþ

ïýü

-+

-+-

2121

2

22

2

11 112

)1()1(

nnnn

SnSn....................................(1.13)

dimana S = 2

1)(

--å

nXX

Keterangan: X : mean (rerata) S : deviasi standar n : jumlah sampel

e) Kesimpulan : Ho diterima atau ditolak. Jika Ho diterima maka

tidak terdapat perbedaan antara era sebelum otonomi daerah dan

selama otonomi daerah. Jika Ho ditolak maka H1diterima, maka

terdapat perbedaan antara era sebelum otonomi daerah dan selama

otonomi daerah.

66

BAB IV

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Kabupaten Karanganyar

1. Keadaan Geografis

a. Letak Geografis

Kabupaten Karanganyar merupakan salah satu kabupaten di

Provinsi Jawa Tengah yang berbatasan dengan Kabupaten Sragen di

sebelah utara, Provinsi Jawa Timur di sebelah timur, Kabupaten

Wonogiri dan Sukoharjo di sebelah selatan, serta Kota Surakarta dan

Kabupaten Boyolali di sebelah barat. Bila dilihat dari garis bujur dan

garis lintang, maka Kabupaten Karanganyar terletak antara 1100 40” –

1100 70” Bujur Timur dan 70 28” – 70 46” Lintang Selatan. Ketinggian

rata-rata 511 meter di atas permukaan laut serta beriklim tropis dengan

temperatur 220 – 310.

b. Curah Hujan

Berdasarkan data dari enam stasiun pengukur yang ada di

Kabupaten Karanganyar, banyaknaya hari hujan selama tahun 2008

adalah 95 hari dengan rata-rata curah hujan 2.453 mm, dimana curah

hujan tertinggi pada bulan Maret dan terendah pada bulan Juli,

Agustus dan September.

67

c. Luas Wilayah

Luas wilayah Kabupaten Karanganyar pada tahun 2008

adalah 77.378,64 Ha, yang terdiri dari luas tanah sawah 22.474,91 Ha

dan luas tanah kering 54.902,73 Ha. Tanah sawah terdiri dari irigasi

teknis 12.929,62 Ha, non teknis 7.587,62 Ha, dan tidak berpengairan

1.957,67 Ha. Sementara itu luas tanah untuk pekarangan/bangunan

21.171,97 Ha, ada pertambahan luas sekitar 31,97 Ha dari 21.140 Ha

pada tahun 2007. Dan luas untuk tegalan/kebun 17.863,40 Ha, ada

pengurangan luas sekitar 28,32 Ha dari 17.891,72 Ha pada tahun 2007.

Di Kabupaten Karanganyar terdapat hutan negara seluas 9.729,50 Ha

dan perkebunan seluas 3.251,50 Ha.

Hal ini berarti terjadi pertambahan pekarangan/bangunan dari

tahun 2007 ke tahun 2008 di Kabupaten Karanganyar serta semakin

berkurangnya luas tegalan/kebun.

2. Pemerintahan

a. Pembagian Wilayah Administrasi

Kabupaten Karanganyar terdiri dari 17 Kecamatan yang

meliputi 177 desa/kelurahan (15 kelurahan dan 162 desa).

Desa/kelurahan tersebut terdiri dari 1.091 dusun, 1.876 RW dan 6.130

RT. Tidak ada pertambahan kelurahan di Kabupaten Karanganyar dari

sebelum otonomi daerah dan selama otonomi daerah.

68

b. DPRD Tk. II

Komposisi keanggotaan DPRD Kabupaten Karanganyar pada

tahun 2008 sebanyak 44 anggota, yang terdiri dari Fraksi PG 14

anggota, Fraksi PKS 5 anggota, Fraksi Partai Demokrat 7 anggota,

Fraksi PAN 3 anggota, dan Fraksi Partai Pelopor 4 anggota. Bila

dilihat menurut kecamatan, maka kecamatan dengan perwakilan

anggota DPRD terbanyak adalah Kecamatan Jaten yaitu sebanyak 10

anggota, Kecamatan Karanganyar 7 anggota, dan Kecamatan Matesih

7 anggota. Kecamatan di Kabupaten Karanganyar yang tidak

mempunyai anggota DPRD adalah Kecamatan Jumapolo, Jumantono,

Tawangmangu, Karangpandan, Tasikmadu, dan Jenawi.

Jumlah komisi di DPR Kabupaten Karanganyar ada 4, dengan

jumlah anggota untuk masing-masing komisi yaitu komisi A 11

anggota, komisi B 11 anggota, komisi C 11 anggota, dan komisi D 9

anggota.

3. Penduduk dan Tenaga Kerja

a. Kependudukan

Jumlah penduduk di Kabupaten Karanganyar berdasarkan

registrasi tahun 2008 sebanyak 865.580 jiwa, yang terdiri dari laki-laki

429.852 jiwa dan perempuan 435.728 jiwa. Dibandingkan tahun 2007,

maka terdapat pertambahan penduduk sebanyak 14.214 jiwa dan

mengalami pertumbuhan sebesar 1,67%.

69

Kecamatan dengan penduduk terbanyak adalah Kecamatan

Karanganyar, yaitu 75.796 jiwa (8,76%), Kecamatan Jaten 10.770 jiwa

(8,18%), dan Kecamatan Gondang 68.571 jiwa (7,92%). Sedangkan

kecamatan dengan jumlah penduduk paling sedikit adalah Kecamatan

Jenawi, yaitu 27.656 jiwa (3,20%), Kecamatan Ngargoyoso 35.351

jiwa (4,08%), dan Kecamatan Kerjo 37.380 jiwa (4,32%).

Seiring dengan kenaikan penduduk maka kepadatan

penduduk juga mengalami kenaikan. Pada tahun 2008 kepadatan

penduduk Kabupaten Karanganyar mencapai 1.119 jiwa/Km2. Disisi

lain persebaran penduduk di daerah perkotaan secara umum lebih

tinggi dibandingkan daerah pedesaan. Kecamatan dengan kepadatan

penduduk paling tinggi adalah Kecamatan Colomadu, yaitu 3.889

jiwa/Km2, dan yang paling rendah adalah Kecamatan Jenawi, yaitu 492

jiwa/Km2.

b. Tenaga Kerja

Sesuai dengan kondisi alam Kabupaten Karanganyar yang

agraris, maka sebagian besar penduduknya bekerja di sektor pertanian

(petani sendiri dan buruh tani), yaitu sebanyak 222.794 orang

(30,83%), pekerja sebagai buruh industri sebanyak 104.204 orang

(14,65%), buruh bangunan 49.099 orang (6,90%) dan pedagang

sebanyak 44.762 orang (6,19%). Selebihnya adalah sebagai pengusaha,

sektor pengangkutan, PNS/POLRI, pensiunan, jasa-jasa, dan lain-lain.

70

Menurut data Dinas Kependudukan, Tenaga Kerja dan

Transmigrasi (KTT) Kabupaten Karanganyar pada tahun 2008 jumlah

pencari kerja tercatat sebanyak 12.245 orang. Dibandingkan dengan

tahun 2007, maka mengalami peningkatan pencari kerja hampir di

semua jenjang pendidikan. Pencari kerja lulusan SLTA tercatat yang

paling besar yaitu 5.689 orang (46,46%), dan yang paling sedikit

adalah lulusan SD, yaitu 130 orang (1,06%). Pencari kerja yang sudah

ditempatkan pada tahun 2008 sebanyak 1.382 orang. Hal ini

menunjukkan bahwa masih banyak pencari kerja yang belum

mendaptakan pekerjaan.

4. Kondisi Sosial Masyarakat

a. Pendidikan

Berdasarkan data dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan

Kabupaten Karanganyar pada tahun 2008 jumlah SD N sebanyak 483

buah, SD Swasta 15 buah, SLTP N 50 buah, SLTP Swasta 26 buah,

SMU N 12 buah, SMU Swasta 6 buah, SMK N 3 buah, dan SMK

Swasta 25 buah. Data dari kantor Depag Kabupaten Karanganyar

jumlah sekolah MI sebanyak 60 buah, MTs 23 buah dan MA 4 buah.

Jumlah perguruan tinggi di Kabupaten Karanganyar sebanyak 12 buah.

Jumlah murid SD/MI sebanyak 81.458 siswa, dengan guru

sebanyak 4.857 orang. Jumlah murid SLTP/MTs sebanyak 37.130

siswa dengan guru sebanyak 2.751 orang. Jumlah murid SMU/MA

71

sebanyak 21.887 siswa dengan guru sebanyak 1.776 orang. Pada tahun

2008 penduduk Kabupaten Karanganyar usia 5 tahun keatas menurut

pendidikan tertinggi yang ditamatkan terdiri dari tidak/belum pernah

sekolah sebanyak 65.060 orang, belum tamat SD sebanyak 81.167

orang, tidak tamat SD 61.446 orang, tamat SD/MI 298.694 orang,

tamat SLTP/MTs 142.701 orang, tamat SLTA/MA/D1/D2 sebanyak

117.394 orang, dan tamat Perguruan Tinggi/Akademi (D3,S1,S2,S3)

sebanyak 29.597 orang.

b. Kesehatan

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten

Karanganyar, pada tahun 2008 jumlah fasilitas kesehatan yang ada

terdiri dari 4 rumah sakit, 59 Puskesmas Pembantu, dan 34 Balai

Pengobatan Swasta. Tenaga kesehatan (tidak termasuk yang di RS)

yang tersedia terdiri dari dokter spesialis 58 orang, dokter umum 84

orang, dokter gigi 32 orang, bidan 255 orang, dan perawat kesehatan

384 orang.

B. Analisis Deskriptif

1. Pertumbuhan APBD

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

merupakan kebijaksanaan keuangan tahunan Pemerintah Daerah yang

disusun berdasarkan instruksi menteri dalam negeri serta berbagai

72

pertimbangan lainnya dengan maksud agar penyusunan, pemantauan,

pengendalian, dan evaluasi APBD mudah dilakukan. Dari sisi lain,

APBD dapat pula menjadi sarana bagi pihak tertentu untuk dapat

melihat atau mengetahui kemampuan keuangan daerah. Pertumbuhan

APBD Kabupaten Karanganyar tahun 1998-2008 dapat dilihat pada

tabel di bawah ini.

Dari data di bawah ini dapat diketahui bahwa pertumbuhan

APBD Kabupaten Karanganyar sebelum era otonomi daerah

mengalami pertumbuhan rata-rata 36,89%. Sedangkan pada era selama

otonomi daerah, pertumbuhan rata-rata APBD sebesar 31,10%, atau

mengalami penurunan sekitar 5,79% dari era sebelum otonomi daerah.

Tabel 4.1

Pertumbuhan APBD Kabupaten Karanganyar Tahun 1998-2008

TAHUN APBD Pertumbuhan APBD (%)

1998 115.395.350 - 1999 163.257.748 41,47 2000 216.038.519 32,32

Rerata* 164.897.206 36,89 2001 480.250.070 122,29 2002 557.462.865 16,07 2003 705.883.420 26,62 2004 724.321.329 2,61 2005 780.368.511 7,73 2006 1.040.972.562 33,39 2007 1.223.948.114 17,57 2008 1.500.285.280 22,57

Rerata** 876.686.519,00 31,10 Catatan:

*) Sebelum Otda **) Selama Otda

Sumber: BPS Karanganyar. Karanganyar dalam Angka, data diolah

73

2. Kontribusi PAD terhadap APBD

Rerata rasio kontribusi PAD terhadap APBD Kabupaten

Karanganyar sebelum era otonomi daerah sebesar 5,88%, sedangkan

pada era selama otonomi daerah sebesar 4,11%. Meskipun mengalami

kenaikan tiap tahunnya tetapi rerata rasio kontribusi PAD selama

otonomi daerah mengalami penurunan sekitar 1,77% dari era sebelum

otonomi daerah. Hal ini disebabkan selama otonomi daerah pemerintah

pusat memberikan dana perimbangan yang cukup besar untuk daerah

sesuai dengan konsekuensi diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999.

Tabel 4.2

Rasio PAD terhadap APBD

TAHUN APBD PAD Rasio PAD

terhadap

APBD (%) 1998 115.395.350 7.799.082 6,75 1999 163.257.748 9.025.689 5,52 2000 216.038.519 11.614.576 5,37

Rerata* 164.897.206 9.479.782,33 5,88 2001 480.250.070 16.550.714 3,44 2002 557.462.865 22.497.807 4,03 2003 705.883.420 25.169.918 3,56 2004 724.321.329 29.485.262 4,07 2005 780.368.511 34.302.566 4,39 2006 1.040.972.562 46.052.120 4,42 2007 1.223.948.114 56.889.064 4,64 2008 1.500.285.280 64.470.676 4,29

Rerata** 876.686.518,90 36.927.265,88 4,11 Catatan: *) Sebelum Otda

**) Selama Otda Sumber: BPS Karanganyar. Karanganyar dalam Angka, data diolah

74

3. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Karanganyar bila dilihat

dari PDRB atas dasar harga berlaku dan harga konstan selama tahun

anggaran 1998/1999-2008 dapat dilihat pada tabel 4.3.

Tabel 4.3

Pertumbuhan Ekonomi (PDRB)

TAHUN PDRB ADHB PDRB ADHK (%) (%)

1998 39,95 -11,65 1999 6,58 2,9 2000 9,89 4,51

Rerata* 18,8 -1,41 2001 10,64 1,42 2002 12,41 3,19 2003 11,15 3,32 2004 11,86 4,03 2005 11,37 5,49 2006 10,93 5,08 2007 10,93 5,74 2008 11,21 5,43

Rerata** 11,31 4,21 Catatan:

*) Sebelum Otda **) Selama Otda

Sumber: BPS Karanganyar. Karanganyar dalam Angka, data diolah

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa rerata pertumbuhan

ekonomi Kabupaten Karanganyar pada era sebelum otonomi daerah

yang ditunjukkan oleh PDRB atas dasar harga berlaku (ADHB)

sebesar 18,8%, sedangkan PDRB atas dasar harga konstan (ADHK)

sebesar -1,41%. Pertumbuhan ekonomi pada era selama otonomi

daerah menurut PDRB ADHB sebesar 11,31%, sedangkan menurut

PDRB ADHK sebesar 4,21%. Dari angka tersebut, pertumbuhan

75

ekonomi Kabupaten Karanganyar menurut PDRB atas dasar harga

berlaku lebih besar dari pada menurut PDRB harga konstan.

Penyumbang penerimaan daerah terbesar dari tahun ke tahun adalah

sektor industri pengolahan.

4. Inflasi

Selama tahun 2008, inflasi di Kabupaten Karanganyar

mencapai 10,83%. Inflasi tertinggi jatuh pada bulan Juni yaitu sebesar

2,34% dan terendah pada bulan Desember sebesar 0,54%.

Penyumbang inflasi terbesar adalah kelompok bahan makanan

mencapai 20,17%, kelompok kesehatan sebesar 13,55%, serta

kelompok transportasi dan komunikasi sebesar 9,28%. Penyumbang

inflasi terendah adalah kelompok pendidikan, rekreasi dan olahraga

yaitu sebesar 2,49% serta kelompok sandang sebesar 3,23%.

C. Analisis Kuantitatif

1. Uji Hipotesis 1

Untuk membuktikan hipotesis 1 maka perlu dilakukan analisis data

sebagai berikut:

a. Analisis Derajat Desentralisasi Fiskal

Derajat desentralisasi fiskal antara Pemerintah Pusat dengan

Daerah pada umumnya ditunjukkan oleh variabel-variabel Pendapatan Asli

Daerah (PAD) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD), Rasio Bagi Hasil

76

Pajak dan Bukan Pajak untuk Daerah (BHPBP) terhadap TPD dan Rasio

Sumbangan Bantuan Daerah (SBD) terhadap TPD.

Dari hasil analisis Derajat Desentralisasi Fiskal Kabupaten

Karanganyar sebelum era otonomi daerah, yaitu pada tahun 1998-2000

dan selama era otonomi daerah, yaitu pada tahun 2001-2008 dapat

diketahui bahwa rerata rasio PAD terhadap TPD pada era sebelum

otonomi daerah lebih besar dari pada era selama otonomi daerah, demikian

pula rerata rasio BHPBP terhadap TPD. Hal ini menunjukkan bahwa

persentase ketergantungan pemerintah Kabupaten Karanganyar pada

Pemerintah Pusat di era sebelum otonomi daerah lebih kecil dibandingkan

dengan era selama Otonomi Daerah.

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa rerata rasio PAD terhadap

TPD pada era sebelum otonomi daerah sebesar 11,57%, sesuai dengan

skala interval DDF angka ini berarti kemampuan keuangan daerah

sebelum otonomi daerah dapat dikatakan kurang.

Berbeda dengan era sebelum otonomi daerah, selama era otonomi

daerah ketergantungan Pemerintah Kabupaten Karanganyar sangat tinggi,

ini dibuktikan dengan rerata rasio PAD terhadap TPD relatif kecil yaitu

7,94%. Hal ini berarti kemampuan keuangan daerah Kabupaten

Karanganyar sangat kurang. Sumbangan dari Pemerintah Pusat lebih

dominan sebagai penyumbang TPD.

Kontribusi BHPBP yang tertinggi pada era selama otonomi daerah

terjadi pada tahun 2002, yaitu sebesar 7,41%, sedangkan BHPBP terendah

77

terjadi pada tahun 2003, sebesar 4,62%. Kontribusi sumbangan dari

Pemerintah Pusat terhadap TPD yang terbesar adalah pada tahun 2006,

yaitu sebesar 87%, sedangkan yang terendah sebesar 57% pada tahun

2002.

Meskipun mengalami peningkatan tiap tahunnya tetapi rerata

kontribusi PAD mengalami penurunan dari era sebelum ke era selama

otonomi daerah. Hal ini disebakan karena adanya bantuan dana

perimbangan dari pemerintah untuk membantu pendanaan kegiatan

otonomi daerah.

Tabel 4.4

Derajat Desentralisasi Fiskal Kabupaten Karanganyar

TAHUN Rasio PAD Rasio BHPBP Rasio SBD

terhadap TPD terhadap TPD terhadap TPD

(%) (%) (%) 1998 13,38 9,17 40,41 1999 10,64 7,85 51,54 2000 10,69 7,16 60,23

Rerata* 11,57 8,06 50,72 2001 6,52 6,91 78,55 2002 7,74 7,41 76,58 2003 7,04 4,62 81,04 2004 7,9 5,79 81,12 2005 8,75 6,48 78,89 2006 8,4 4,81 86,77 2007 8,87 5,42 84,69 2008 8,35 4,84 82,81

Rerata** 7,94 5,78 81,3 Catatan:

*) Sebelum Otda **) Selama Otda Sumber: BPS Karanganyar. Karanganyar dalam Angka, data diolah

78

· Uji Beda Dua Mean

Berdasarkan hasil uji statistik beda dua mean atau uji t, beda rata-

rata pada tingkat kepercayaan 95% (tingkat kesalahan 5%) yang

ditunjukkan pada lampiran 26, nilai t hitung adalah 11,78 dan nilai t tabel

2,262. Berarti nilai t hitung lebih besar dari nilai t tabel. Hal ini

menunjukkan bahwa ada perbedaan rerata PAD terhadap TPD antara era

sebelum dan selama otonomi daerah.

b. Kebutuhan Fiskal (Fiscal Needs)

Kebutuhan fiskal menggambarkan seberapa besar kebutuhan

perkapita penduduk jika jumlah seluruh pengeluaran (pengeluaran rutin

dan pengeluaran pembangunan) dibagi secara adil kepada seluruh

penduduk daerah tersebut. Kebutuhan fiskal juga menunjukkan besarnya

indeks pelayanan publik perkapita Kabupaten Karanganyar.

Dari hasil anlisis Kebutuhan Fiskal atau Indeks Pelayanan Publik

(IPP) Kabupaten Karanganyar dapat dilihat bahwa pada era sebelum

otonomi daerah Kabupaten Karanganyar mempunyai IPP lebih kecil dari

pada era selama otonomi daerah. Pada era sebelum otonomi daerah, IPP

Kabupaten Karanganyar mempunyai besaran sekitar 36,60 kali Standar

Kebutuhan Fiskal se-Jawa Tengah. Pada era selama otonomi daerah, IPP

Kabupaten Karanganyar sebesar 37,81 kali Standar Kebutuhan Fiskal se-

Jawa Tengah.

79

Adanya peningkatan kebutuhan fiskal dari era sebelum dan

selama otonomi daerah ini disebabkan karena kebutuhan pada era otonomi

daerah lebih besar dari pada era sebelum otonomi daerah. Segala

kebutuhan daerah dan masyarakat harus dipenuhi sendiri oleh pemerintah

daerah yang bersangkutan .

Tabel 4.5

Indeks Kebutuhan Fiskal standar se-Jawa Tengah dan Kebutuhan Fiskal Kabupaten Karanganyar

TAHUN SKbFP SKbFP Karanganyar

Jateng terhadap Jateng 1998 2,06 35,60 1999 2,71 36,94 2000 3,63 37,26

Rerata* 2,80 36,60 2001 7,46 37,76 2002 7,58 43,21 2003 11,25 37,62 2004 9,57 44,17 2005 11,23 41,37 2006 15,21 38,38 2007 19,87 34,43 2008 32,88 25,60

Rerata** 14,38 37,81 Catatan: *) Sebelum Otda **) Selama Otda Sumber: BPS Karanganyar. Karanganyar dalam Angka, data diolah

· Uji Beda Dua Mean

Berdasarkan hasil uji statistik beda dua mean atau uji t, beda rata-

rata pada tingkat kepercayaan 95% (tingkat kesalahan 5%) yang

ditunjukkan pada lampiran 27, nilai t hitung adalah -0,343 dan nilai -t tabel

80

-2,262. Berarti nilai t hitung lebih besar dari nilai t tabel. Hal ini

menunjukkan bahwa ada perbedaan rerata kebutuhan fiskal Kabupaten

Karanganyar antara era sebelum dan selama otonomi daerah.

c. Kapasitas Fiskal (Fiscal Capacity)

Kapasitas fiskal menunjukkan seberapa besar usaha dari daerah

yang diwujudkan dalam PDRB untuk memenuhi kebutuhannya, dalam hal

ini adalah total pengeluaran rutin dan total pengeluaran pembangunan.

Hasil dari indeks kapasitas fiskal menunjukkan seberapa besar hasil yang

didapatkan setiap penduduk dalam setiap daerah.

Tabel 4.6

Indeks Kapasitas Fiskal standar se-Jawa Tengah dan Kapasitas Fiskal Kabupaten Karanganyar

TAHUN SKaFP KaFKK

JATENG Karanganyar 1998 0,07 35,20 1999 0,09 31,28 2000 0,10 30,81

Rerata* 0,09 32,43 2001 0,12 29,47 2002 0,14 27,51 2003 0,15 27,85 2004 0,17 28,08 2005 0,20 33,04 2006 0,25 31,09 2007 0,27 29,42 2008 0,31 27,91

Rerata** 0,20 29,29 Catatan:

*) Sebelum Otda **) Selama Otda

Sumber: BPS Karanganyar. Karanganyar dalam Angka, data diolah

81

Dari hasil analisis besaran dan rerata Indeks Kapasitas Fiskal di

Kabupaten Karanganyar dibanding Indeks Kapasitas Fiskal Provinsi Jawa

Tengah, dapat dilihat bahwa rerata Indeks Kapasitas Fiskal pada era

sebelum otonomi daerah sebesar 32,43 kali, sedangkan selama era otonomi

daerah sebesar 29,29 kali. Penurunan indeks ini disebabkan karena

meskipun pajak daerah begitu beragam, ternyata hanya sedikit yang bisa

diandalkan sebagai sumber penerimaan daerah, sedangkan jenis-jenis

pajak yang gemuk dikuasai oleh pemerintah pusat.

· Uji Beda Dua Mean

Berdasarkan hasil uji statistik beda dua mean atau uji t, beda rata-

rata pada tingkat kepercayaan 95% (tingkat kesalahan 5%) yang

ditunjukkan pada lampiran 28, nilai t hitung adalah 1,610 dan nilai t tabel

2,262. Berarti nilai t hitung lebih besar dari nilai t tabel. Hal ini

menunjukkan bahwa ada perbedaan rerata kapasitas fiskal Kabupaten

Karanganyar antara era sebelum dan selama otonomi daerah.

d. Upaya/Posisi Fiskal ( Tax Effort)

Posisi fiskal dihitung dengan mencari koefisien elastisitas PAD

terhadap PDRB. Semakin elastis PAD suatu daerah, maka struktur PAD di

daerah tersebut semakin baik. Upaya atau posisi fiskal Kabupaten

Karanganyar dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

82

Tabel 4.7

Pertumbuhan PAD dan PDRB Atas Dasar Harga Berlaku serta Elastisitas PAD Kabupaten Karanganyar

TAHUN Pertumbuhan

PAD Pertumbuhan

PDRB ELASTISITAS

PAD (%) (%)

1998 10,04 40 0,25 1999 15,72 6,58 2,38 2000 28,68 9,9 2,89

Rerata* 18,14 18,82 1,84 2001 42,49 10,64 3,99 2002 35,93 12,41 2,89 2003 11,88 11,15 1,06 2004 17,00 11,86 1,44 2005 16,33 42,76 0,38 2006 34,25 10,93 3,13 2007 23,53 10,93 2,15 2008 13,32 11,21 1,18

Rerata** 24,35 15,23 2,02 Catatan:

*) Sebelum Otda **) Selama Otda Sumber: BPS Karanganyar. Karanganyar dalam Angka, data diolah

Dari hasil analisis rerata Upaya atau Posisi Fiskal di Kabupaten

Karanganyar dapat disimpulkan bahwa elastisitas PAD terhadap PDRB

pada era selama otonomi daerah lebih besar dari pada era sebelum otonomi

daerah. Pada era sebelum otonomi daerah, elastisitas PAD secara

keseluruhan sebesar 1,84%. Pada tahun 1998 besarnya elastisitas PAD

terhadap PDRB sebesar -0,25%, karena besarnya kurang dari 1, maka

kenaikan pada PDRB tidak diimbangi dengan kenaikkan PAD pada tahun

tersebut. Pada era selama otonomi daerah, elastisitas PAD secara

keseluruhan sebesar 2,02%, ini berarti jika terjadi kenaikkan pada PDRB

maka akan berpengaruh terhadap kenaikkan PAD. Angka elastisitas PAD

83

tertinggi pada era selama otonomi daerah terjadi pada tahun pertama

setelah diberlakukannya Otonomi Daerah, yaitu tahun 2001 sebesar

3,99%, artinya apabila PDRB meningkat sebesar 1% maka PAD akan

mengalami peningkatan sebesar 3,99%. Elastisitas PAD yang inelastis

pada era selama otonomi daerah terjadi pada tahun 2005, yaitu sebesar

0,38% yang berarti bila PDRB meningkat 1% maka PAD mengalami

penurunan 0,38% pada tahun tersebut.

· Uji Beda Dua Mean

Berdasarkan hasil uji statistik beda dua mean atau uji t, beda rata-

rata pada tingkat kepercayaan 95% (tingkat kesalahan 5%) yang

ditunjukkan pada lampiran 29, nilai t hitung adalah -0,178 dan nilai -t tabel

-2,262. Berarti nilai t hitung lebih besar dari nilai t tabel. Hal ini

menunjukkan bahwa ada perbedaan rerata elastisitas PAD Kabupaten

Karanganyar antara era sebelum dan selama otonomi daerah.

e. Analisis Potensi Pendapatan Asli Daerah

Analisis potensi ini bermanfaat bagi manajemen pemerintah daerah

maupun calon investor untuk memberikan pertimbangan tentang potensi

penerimaan yang masih dapat digali dan potensi keuntungan berinvestasi.

Analisis PAD dilakukan untuk mengetahui jenis pajak daerah dan retribusi

daerah apakah masuk dalam kategori prima, potensial, berkembang, atau

terbelakang.

84

Tabel 4.8

Kategori Pajak Sebelum dan Selama Otonomi Daerah

No Ayat Pajak Rerata Rerata Sebelum Otda Selama Otda

1 Pajak Potong Hewan Terbelakang - 2 Pajak Pembangunan 1 Terbelakang - 3 Pajak Radio Terbelakang - 4 Pajak Bangsa Asing Terbelakang - 5 Pajak Pertunjukan Terbelakang Terbelakang 6 Pajak Reklame Terbelakang Terbelakang 7 Pajak Anjing Terbelakang - 8 Pajak Kentator Terbelakang -

9 Pajak Penerangan Jalan Umum Potensial Potensial

10 Pajak Pendaftaran Perusahaan Terbelakang -

11 Pajak Pengeras Suara Terbelakang - 12 Pajak Gol. C Terbelakang Terbelakang 13 Pajak ABT/APT Terbelakang 14 Pajak Hotel dan Restoran Terbelakang Terbelakang 15 Pajak Parkir - Terbelakang

Sumber: DPPKAD Karanganyar. Realisasi Pendapatan Daerah Kab. Karanganyar, data diolah

Dari hasil analisis potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD)

kabupaten karanganyar, yang perhitungannya terdapat pada lampiran 14-

21 maka dapat diketahui bahwa pajak penerangan jalan umum merupakan

jenis pajak yang perlu diupayakan peningkatannya dimasa yang akan

datang sebab berada dalam kategori potensial, baik pada era sebelum

otonomi daerah maupun pada era selama otonomi daerah. Kategori

terbelakang pada era sebelum otonomi daerah adalah Pajak Pembangunan

1, Pajak Radio, Pajak Bangsa Asing, Pajak Pertunjukan, Pajak Reklame,

Pajak Anjing, Pajak Kentator, Pajak Pendaftaran Perusahaan, Pajak

Pengeras Suara, Pajak Gol. C, Pajak ABT/APT, serta Pajak Hotel dan

85

Restoran. Jenis pajak yang berada dalam kategori terbelakang pada masa

selama otonomi daerah antara lain Pajak Pertunjukan, Pajak Reklame,

Pajak Gol. C, Pajak Hotel dan Restoran, Pajak Parkir.

Kategori jenis-jenis retribusi dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 4.9

Kategori Retribusi Sebelum dan Selama Otonomi Daerah

No

Ayat Retribusi

Rerata Sebelum

Otda

Rerata Selama Otda

1 Retribusi Leges Terbelakang - 2 Retribusi Uang Dispensasi Jalan Terbelakang -

3 Retribusi Uang Parkir Kendaraan Terbelakang -

4 Retribusi Uang Penambangan Terbelakang -

5 Retribusi Uang Pemeriksaan Pembantaian Terbelakang -

6 Retribusi IMB Terbelakang Potensial

7 Retribusi Uang Pengujian Kentator Terbelakang -

8 Retribusi Terminal Terbelakang Terbelakang 9 Retribusi RSU dan BP Potensial - 10 Retribusi Pelayanan Kesehatan Prima Potensial

11 Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga Terbelakang Terbelakang

12 Retribusi Pasar Potensial Potensial 13 Retribusi Penerimaan Puskesmas Potensial - 14 Retribusi Ijin Penggilingan Padi Terbelakang Terbelakang 15 Pendaftaran Kelahiran Terbelakang - 16 Pemeriksaan Calon Pengantin Terbelakang - 17 Tebasan Hasil Bumi Terbelakang -

18 Retribusi Pelayanan Persampahan Terbelakang Terbelakang

19 KK dan KTP Potensial - 20 Ijin HO Terbelakang - 21 IPAIR Terbelakang - 22 Retribusi Pemakaman Terbelakang Terbelakang

86

Lanjutan Tabel 4.9.......................

No Ayat Retribusi Rerata Rerata

Sebelum

Otda Selama Otda

23 Retribusi Cetak KTP dan Catatan Sipil Terbelakang Potensial

24 Retribusi Parkir Jalan Umum Terbelakang Terbelakang

25 Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah Terbelakang Potensial

26 Retribusi Tempat Khusus Parkir Terbelakang Terbelakang 27 Retribusi Rumah Potong Hewan - Terbelakang

28 Retribusi Penyebrangan Jalan Atas Air Terbelakang Terbelakang

29 Retribusi Ijin Penggunaan Tanah Terbelakang Terbelakang 30 Retribusi Ijin Gangguan Terbelakang Terbelakang 31 Retribusi Trayek - Terbelakang 32 Retribusi Kendaraan Bermotor - Potensial 33 Retribusi Penyedotan Kakus - Terbelakang 34 Retribusi Pemeriksaan Lab DKK - Terbelakang

35 Retribusi Ijin Sarana Kesehatan dan Sarana Umum - Terbelakang

36 Retribusi Ijin LPK - Terbelakang

37 Retribusi Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja - Terbelakang

38 Retribusi Ijin Usaha Perdagangan - Terbelakang 39 Retribusi Ijin Usaha Industri - Terbelakang

40 Retribusi Tanda Pendaftaran Gudang - Terbelakang

41 Retribusi Tanda Perusahaan - Terbelakang 42 Retribusi Ijin Jasa Konstruksi - Terbelakang 43 TDP,SIUP,UJK,Industri,Gudang - Terbelakang 44 Retribusi Administrasi - Terbelakang 45 Retribusi Ijin Perfilman - Terbelakang 46 Retribusi Ijin Reklame - Terbelakang 47 Retribusi Penggunaan Jalan - Terbelakang

48 Retribusi Ijin Usaha Pengeloaan Pariwisata - Terbelakang

49 Retribusi Penerimaan RSPD - Terbelakang Sumber: DPPKAD Karanganyar, Laporan Penerimaan Daerah,data diolah

87

Jenis retribusi yang berada dalam kategori prima sebelum masa

otonomi daerah adalah Retribusi Pelayanan Kesehatan, sedangkan jenis

retribusi kategori potensial adalah Retribusi RSU dan BP, Retribusi Pasar,

Retribusi Penerimaan Puskesmas, serta Retribusi Biaya Cetak KK dan

KTP.

Jenis retribusi yang termasuk kategori terbelakang pada era

sebelum otonomi daerah adalah sebagai berikut Retribusi Leges, Retribusi

Uang Parkir Kendaraan, Retribusi Uang Penambangan, Retribusi Uang

Pemeriksaan Pembantaian, Retribusi IMB, Retribusi Terminal, Retribusi

Tempat Rekreasi dan Olahraga, Retribusi Ijin Penggilingan Padi,

Pendaftaran Kelahiran, Pemeriksaan Calon Pengantin, Tebasan Hasil

Bumi, Retribusi Pelayanan Persampahan, Ijin HO, IPAIR, Retribusi

Pemakaman, Retribusi Cetak KTP dan Catatan Sipil, Retribusi Parkir

Jalan Umum, Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah, Retribusi Tempat

Khusus Parkir, Retribusi Rumah Potong Hewan, Retribusi Penyebrangan

Jalan Atas Air, Retribusi Ijin Penggunaan Tanah, dan Retribusi Ijin

Gangguan.

Jenis retribusi yang masuk dalam kategori potensial pada era

otonomi daerah adalah Retribusi Ijin Mendirikan Bangunan (IMB),

Retribusi Pelayanan Kesehatan, Retribusi Pasar, Retribusi Cetak KTP dan

Catatan Sipil, Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah, serta Retribusi

Kendaraan Bermotor.

88

Jenis retribusi yang termasuk dalam kategori terbelakang selama

era otonomi daerah adalah Retribusi Terminal, Retribusi Tempat Rekreasi

dan Olahraga, Retribusi Ijin Penggilingan Padi, Retribusi Pelayanan

Persampahan, Retribusi Pemakaman, Retribusi Parkir Jalan Umum,

Retribusi Tempat Khusus Parkir, Retribusi Rumah Potong Hewan,

Retribusi Penyeberangan Jalan Atas Air, Retribusi Ijin Penggunaan Tanah,

Retribusi Ijin Gangguan, Retribusi Trayek, Retribusi Penyedotan Kakus,

Retribusi Pemeriksaan Lab DKK, Retribusi Ijin Sarana Kesehatan dan

Sarana Umum, Retribusi Ijin LPK, Retribusi Norma Keselamatan dan

Kesehatan Kerja, Retribusi Ijin Usaha Perdagangan, Retribusi Ijin Usaha

Industri, Retribusi Tanda Pendaftaran Gudang, Retribusi Tanda

Perusahaan, Retribusi Ijin Jasa Konstruksi, Retribusi Administrasi,

Retribusi Ijin Perfilman, Retribusi Ijin Reklame, Retribusi Penggunaan

Jalan, Retribusi Ijin Usaha Pengeloaan Pariwisata, Retribusi Penerimaan

RSPD.

Setelah mengetahui potensi masing-masing jenis pajak dan

retribusi daerah maka dapat diambil kebijakan untuk masing-masing jenis

pajak dan retribusi daerah tersebut. Jenis pajak dan retribusi yang

tergolong kategori potensial serta berkembang dapat dilakukan

intensifikasi dan ekstensifikasi, untuk kategori prima perlu dilakukan

intensifikasi, sedangkan untuk kategori terbelakang dapat dilakukan

peninjauan ulang atau bahkan penghapusan di tahun anggaran berikutnya.

89

Upaya intensifikasi pajak daerah adalah upaya maksimalisasi

terhadap berbagai kebijakan perpajakan yang selama ini telah

dilaksanakan, antara lain melalui peningkatan efisiensi dan efektivitas

PAD, perbaikan administrasi penerimaan PAD, atau melaui peningkatan

tarif pajak. Kebijakan lain yang dapat dilakukan Pemerintah Daerah

adalah ekstensifikasi pajak, misalnya adalah menambah jenis pajak baru.

f. Rasio Aktivitas (Keserasian)

Rasio Aktivitas atau Rasio Keserasian menggambarkan bagaimana

Pemerintah Daerah memprioritaskan alokasi dananya pada belanja rutin

dan belanja pembangunan secara optimal. Rasio ini menunjukkan

persentase belanja rutin dan belanja pembangunan terhadap APBD.

Semakin tinggi presentase dana yang dialokasikan untuk belanja rutin

berarti presentase belanja modal (belanja pembangunan) yang digunakan

untuk menyediakan sarana dan prasarana ekonomi masyarakat cenderung

semakin kecil.

Dari analisis data dapat dilihat bahwa pada era sebelum otonomi

rerata rasio belanja rutin Kabupaten Karanganyar sebesar 38,74%

sedangkan rerata rasio belanja pembangunan sebesar 15%. Angka ini

menunjukkan bahwa belanja rutin Pemerintah Daerah Kabupaten

Karanganyar lebih besar dari pada belanja modal atau pembangunan pada

era sebelum otonomi daerah. Proporsi terbesar rasio belanja rutin terjadi

pada tahun anggaran 2000, demikian juga untuk rasio belanja

90

pembangunan tertinggi terjadi pada tahun yang sama, masing-masing

sebesar 40,03% untuk rasio belanja rutin dan 20,12% untuk rasio belanja

pembangunan.

Tabel 4.10

Rasio Belanja Rutin dan Belanja Pembangunan

TAHUN Rasio Belanja Rasio Belanja Rutin (%) Pembangunan(%)

1998 36,66 12,07 1999 39,54 12,81 2000 40,03 20,12

Rerata* 38,74 15,00 2001 38,16 9,05 2002 40,76 7,12 2003 32,23 10,07 2004 42,61 5,89 2005 41,68 8,13 2006 39,76 7,61 2007 41,86 8,78 2008 38,18 9,99

Rerata** 35,02 7,40 Catatan:

*) Sebelum Otda **) Selama Otda Sumber: BPS Karanganyar. Karanganyar dalam Angka, data diolah

Pada era otonomi daerah, rerata rasio belanja rutin Pemerintah

Daerah Kabupaten Karanganyar sebesar 35,02% dari total APBD,

sedangkan rerata rasio belanja pembangunan sebesar 7,40% dari total

APBD. Rasio belanja rutin terbesar adalah pada tahun 2004 yaitu sebesar

42,61% dan terkecil pada tahun 2003 sebesar 32,23%. Rasio belanja

tertinggi terjadi pada tahun 2003, yaitu sebesar 10,01%, sedangkan rasio

terendah adalah pada tahun 2004 sebesar 5,89%. Baik dari belanja rutin

91

maupun belanja pembangunan secara keseluruhan mengalami penurunan

proporsi dari era sebelum otonomi daerah ke era otonomi daerah.

· Uji Beda Dua Mean

Berdasarkan hasil uji statistik beda dua mean atau uji t, beda rata-

rata pada tingkat kepercayaan 95% (tingkat kesalahan 5%) yang

ditunjukkan pada lampiran 30, nilai t hitung adalah 1,072 dan nilai t tabel

2,262. Berarti nilai t hitung lebih besar dari nilai t tabel. Hal ini

menunjukkan bahwa ada perbedaan rerata belanja rutin Kabupaten

Karanganyar antara era sebelum dan selama otonomi daerah.

Berdasarkan hasil uji statistik beda dua mean atau uji t, beda rata-

rata pada tingkat kepercayaan 95% (tingkat kesalahan 5%) yang

ditunjukkan pada lampiran 31, nilai t hitung adalah 2,129 dan nilai t tabel

2,262. Berarti nilai t hitung lebih besar dari nilai t tabel. Hal ini

menunjukkan bahwa ada perbedaan rerata belanja pembangunan

Kabupaten Karanganyar antara era sebelum dan selama otonomi daerah

g. Rasio Efektivitas PAD

Rasio efektivitas PAD menunjukkan kemampuan pemerintah

daerah dalam mengoptimalkan penerimaan PAD sesuai dengan yang telah

ditargetkan. Semakin tinggi rasio efektivitas menggambarkan kemampuan

daerah semakin baik.

92

Tabel 4.11

Rasio Efektivitas PAD

TAHUN Efektivitas PAD (%) 1998 101,04 1999 107,18 2000 107,75

Rerata* 105,32 2001 106,48 2002 111,97 2003 106,35 2004 107,25 2005 108,48 2006 125,70 2007 107,23 2008 110,39

Rerata** 110,48 Catatan:

*) Sebelum Otda **) Selama Otda

Sumber: BPS Karanganyar. Karanganyar dalam Angka, data diolah

Kemampuan memperoleh PAD dikategorikan efektif apabila rasio

ini mencapai minimal 1 atau 100%. Dari hasil anlisa dapat dilihat bahwa

pada era sebelum otonomi daerah rerata efektivitas PAD sebesar 105,32%.

Angka ini menunjukkan Pemerintah Daerah Kabupaten Karanganyar

termasuk dalam kategori sangat efektif dalam upaya pemerolehan PAD.

Pada era selama otonomi daerah, ada peningkatan rerata rasio efektivitas

PAD. Hal ini dapat dilihat dari angka rerata rasio sebesar 110,48%. Rasio

PAD yang paling besar selama era otonomi adalah pada tahun 2006 yaitu

sebesar 125,7%.

Rasio efektivitas ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah

Kabupaten Karanganyar mempunyai usaha yang cukup baik dalam

93

merealisasikan PAD. Dengan cara memperkecil target PAD maka

pemerintah daerah dapat memperoleh rasio efektivitas semakin besar,

tetapi dalam menetapkan target PAD pemerintah daerah harus

memperhatikan realisasi tahun sebelumnya sehingga target tahun yang

akan datang harus lebih besar dari realisasi tahun sebelumnya yang

sekiranya mampu dicapai oleh pemerintah daerah tersebut.

· Uji Beda Dua Mean

Berdasarkan hasil uji statistik beda dua mean atau uji t, beda rata-

rata pada tingkat kepercayaan 95% (tingkat kesalahan 5%) yang

ditunjukkan pada lampiran 32, nilai t hitung adalah -1,283 dan nilai t tabel

-2,262. Berarti nilai t hitung lebih besar dari nilai t tabel. Hal ini

menunjukkan bahwa ada perbedaan rerata efektivitas PAD Kabupaten

Karanganyar antara era sebelum dan selama otonomi daerah.

2. Uji Hipotesis 2

Untuk membuktikan hipotesis 2 maka perlu dilakukan analisis

rasio kemandirian daerah untuk mengetahui pola hubungan, tingkat

kemandirian, serta kemampuan keuangan daerah Kabupataen

Karanganyar.

a. Rasio Kemandirian Daerah

Rasio Kemandirian Daerah menunjukkan kemampuan pemerintah

daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan,

94

dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan

retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Rasio

Kemandirian dihitung dengan membandingkan PAD dengan sumber dana

pihak luar, baik dari pemerintah pusat maupun dari daerah lain.

Tabel 4.12

Pola Hubungan, Tingkat Kemandirian, dan Kemampuan Keuangan Daerah

TAHUN Rasio Kemampuan Pola Hubungan

Kemandirian(%) Keuangan 1998 33,13 Rendah Konsultatif 1999 20,65 Rendah Sekali Instruktif 2000 17,75 Rendah Sekali Instruktif

Rerata* 23,84 Rendah Sekali Instruktif 2001 8,31 Rendah Sekali Instruktif 2002 10,11 Rendah Sekali Instruktif 2003 8,69 Rendah Sekali Instruktif 2004 9,74 Rendah Sekali Instruktif 2005 11,10 Rendah Sekali Instruktif 2006 9,68 Rendah Sekali Instruktif 2007 10,47 Rendah Sekali Instruktif 2008 10,09 Rendah Sekali Instruktif

Rerata** 9,77 Rendah Sekali Instruktif Catatan: *) Sebelum Otda **) Selama Otda Sumber: BPS Karanganyar. Karanganyar dalam Angka, data diolah

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa rerata rasio kemandirian

daerah Kabupaten Karanganyar pada era sebelum otonomi daerah dan

selama otonomi daerah tidak lebih dari 25%, ini menunjukkan bahwa

kemampuan keuangan daerah Kabupaten Karanganyar masih rendah sekali

dengan pola hubungan instruktif, artinya peranan pemerintah pusat lebih

95

dominan daripada kemandirian pemerintah daerah. Dengan kata lain

daerah tidak mampu melaksanakan otonomi daerah secara finansial.

· Uji Beda Dua Mean

Berdasarkan hasil uji statistik beda dua mean atau uji t, beda rata-

rata pada tingkat kepercayaan 95% (tingkat kesalahan 5%) yang

ditunjukkan pada lampiran 33, nilai t hitung adalah 5,289 dan nilai t tabel

2,262. Berarti nilai t hitung lebih besar dari nilai t tabel. Hal ini

menunjukkan bahwa ada perbedaan rerata rasio kemandirian Kabupaten

Karanganyar antara era sebelum dan selama otonomi daerah.

96

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan deskripsi dan hasil dari analisis variabel yang diteliti

mengenai keuangan daerah Kabupaten Karanganyar pada tahun 1998-2008

(era sebelum otonomi daerah dan selama otonomi daerah), maka secara garis

besar dapat diambil kesimpulan sebagai berikut.

a. Analisis Deskriptif:

1. Rara-rata pertumbuhan APBD Kabupaten Karanganyar mengalami

penurunan dari era sebelum otonomi daerah ke era selama otonomi daerah

sebesar 5,79%.

2. Rata-rata kontribusi PAD terhadap APBD mengalami penurunan dari

6,8% sebelum era otonomi daerah menjadi 4,11% pada era selama

otonomi daerah, atau menurun sebesar 1,77%. Hal ini disebabkan selama

otonomi daerah pemerintah pusat memberikan dana perimbangan yang

cukup besar untuk daerah sesuai dengan konsekuensi diberlakukannya UU

No. 22 Tahun 1999.

3. Rerata pertumbuhan ekonomi menurut PDRB atas dasar harga berlaku

sebelum era otonomi daerah sebesar 18,8%, sedangkan era selama

otonomi daerah sebesar 11,31%, atau mengalami penurunan sebesar

7,49%. Rerata pertumbuhan ekonomi menurut PDRB atas dasar harga

konstan sebelum era otonomi daerah sebesar -1,41%, sedangkan era

97

selama otonomi daerah sebesar 4,21%, atau mengalami peningkatan

sebesar 5,62%.

b. Analisis Kuantitatif:

1. Dari hasil perhitungan Derajat Desentralisasi Fiskal, Kebutuhan Fiskal,

Kapasitas Fiskal, Upaya dan Posisi Fiskal, Potensi Keuangan, Rasio

Aktivitas, dan Efektivitas PAD terdapat perubahan yang signifikan pada

era sebelum otonomi daerah dan selama otonomi daerah. Keuangan daerah

Kabupaten Karanganyar semakin tergantung pada pemerintah pusat.

2. Rerata rasio kemandirian daerah Kabupaten Karanganyar terdapat

perubahan signifikan pada era sebelum dan selama otonomi daerah. Rasio

yang dicapai tidak lebih dari 25%, hal ini menunjukkan bahwa upaya

pemerintah Kabupaten Karanganyar agar keuangan daerah tetap menjadi

tumpuan bagi jalannya pemerintahan masih rendah sekali dengan pola

hubungan instruktif, artinya peranan pemerintah pusat lebih dominan

daripada kemandirian pemerintah daerah. Dengan kata lain daerah tidak

mampu melaksanakan otonomi daerah secara finansial.

Dari kesimpulan-kesimpulan di atas dapat dikatakan bahwa Kabupaten

Karanganyar belum mampu serta belum mandiri secara keuangan selama

pelaksanaan otonomi daerah. Dengan demikian maka Hipotesis 1 dan

Hipotesis 2 terbukti.

98

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, dapat diketahui bahwa Keuangan

Daerah Kabupaten Karanganyar cenderung masih sangat rendah sekali. Maka

saran yang dapat penulis sampaiakn adalah sebagai berikut:

1. Pemerintah Daerah Kabupaten Karanganyar hendaknya lebih menggali

potensi daerah yang ada sehingga peluang-peluang baru untuk sumber

penerimaan daerah dapat dicari untuk dapat memperbaiki kinerja

keuangan daerahnya.

2. Perlu adanya upaya peningkatan PAD baik dengan cara intensifikasi

maupun ekstensifikasi.

a. Secara Intensifikasi:

a) Melaksanakan tertib penetapan pajak yang harus dibayar oleh

wajib pajak, tertib dalam pungutan kepada wajib pajak, serta tertib

dalam administrasi.

b) Melaksanakan secara optimal pemungutan pajak dan retribusi

daerah sesuai dengan potensi yang objektif berdasarkan peraturan

yang berlaku.

c) Melakukan pengawasan dan pengadilan secara sistematis dan

berkelanjutan untuk mengantisipasi terjadinya penyimpangan

dalam pelaksanaan pemungutan PAD oleh aparatur .

d) Membentuk tim satuan tugas pada dinas terkait yang bertugas

mengawasi pemungutan di lapangan oleh petugas.

99

e) Memberikan insentif (rangsangan) secara khusus kepada aparat

pengelola PAD yang dapat melampaui penerimaan dari target yang

telah ditetapkan.

f) Melakukan pendekatan persuasif kepada wajib pajak agar

memenuhi kewajibannya melalui kegiatan penyuluhan.

b. Secara Ekstensifikasi

a) Menyusun program kebijaksanaan dan strategi pengembangan dan

menggali objek pungutan baru yang potensial dengan lebih

memprioritaskan kepada retribusi daerah untuk ditetapkan dan

dijabarkan oleh Peraturan Daerah.

b) Meninjau kembali ketentuan tarif dan pengembangan sasaran

sesuai dengan Peraturan Daerah yang ada dan mengkaji ulang

Peraturan Daerah untuk diajukan perubahan.

c) Mengadakan studi banding ke daerah lain guna mendapatkan info

terhadap jenis-jenis penerimaan pajak dan retribusi lain yang

memungkinkan untuk dikembangkan.

100

DAFTAR PUSTAKA

Ayu Harinda Putri, Sekar. 2007. Skripsi: Analisis Elastisitas dan Potensi Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Karanganyar. FE UNS

Agus Prayitno, Sumadi. 2005. Skripsi: Analisis Keuangan Daerah di Kabupaten Sleman (Perbandingan Era Sebelum Otda dan Pada Era Otda). FE UNS

Arsyad, Lincolin.1999. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah, Edisi I. Yogyakarta: BPFE UGM

BPS Karanganyar. (Beberapa Edisi). Karanganyar dalam Angka. BPS Kabupaten Karanganyar

Dinas Pendapatan, Pengelolaan Kekayaan Aset Daerah Karanganyar. (Beberapa Edisi). Realisasi Pendapatan Kabupaten Karanganyar. DPPKAD Karanganyar

Djarwanto. 1993. Statistika Induktif. Yogyakarta: BPFE UGM Dwi Kurniati, Ana. 2004. Skripsi: Analisis Kemampuan Keuangan Daerah di

Kabupaten Sukoharjo (Perbandingan Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah). FE UNS

Halim, Abdul. 2001. Bunga Rampai: Manajemen Keuangan Daerah, Edisi I. Yogyakarta: UPP AMP YKPN

_______________, 2002. Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: UPP AMP YKPN

_______________, 2004. Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah, Edisi Revisi. Yogyakarta: UPP AMP YKPN

Insukindro.1993. Ekonomi Uang dan Bank, Edisi 2. Yogyakarta: BPFE UGM Kuncoro, Mudrajad. 2003. Metode Riset untuk Bisnis dan Ekonomi: Bagaimana

Meneliti dan Menilis Tesis?. Jakarta:Erlangga Mahmudi. 2006. Analisis Laporan Keuangan Pemerintah Daerah. Departemen

Keuangan Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta:

Andi Offset _______________, 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah. Jakarta: Erlangga Mulyanto. 2007. Aspek dan Dimensi Keuangan Daerah di Era Otonomi dan

Desentralisasi Fiskal. Surakarta Munir,Dasril. 2004. Kebijakan Manajemen Keuangan Daerah.Yogyakarta. Reksohadiprodjo, Sukanto. 2001. Ekonomika Publik, Edisi I. Yogyakarta: BPFE

UGM Riwu Kaho,J.1997. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia.

Jakarta:Rajawali Press Romikayeni. 2007. Skripsi: Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi

Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Karanganyar Tahun 1993-2004. FE UNS

Suparmoko.1992. Keuangan Negara dalam Teori dan Praktek, Edisi IV. Yogyakarta: BPFE UGM

101

Suprapto, Tri. 2006. Skripsi:Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman dalam Masa Otonomi Daerah Tahun 2000 – 2004. FE UII

Tri Cahyono, Adi. 2009. Skripsi: Analisis Kemandirian Daerah Kawasan Kedungsapur Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah. FE UNS

Undang-undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

Pemerintah Pusat dan Daerah Undang-undang No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Vitaloka,Yuyun. Skripsi: Analisis Kemandirian Keuangan Daerah Kabupaten

Karanganyar Sebelum dan Selama Otonomi Daerah. 2007. FE UNS