analisis kedalaman gerusan di hilir pintu sorong pada...

12
Analisis Kedalaman Gerusan di Hilir Pintu Sorong pada Dasar Saluran Tanah Liat Berpasir (Sandy Loam) dengan Uji Model Fisik Hidraulik Hasanatul Qamariyah 1 , Very Dermawan 2 , Sebrian Mirdeklis Beselly Putra 2 1 Mahasiswa Program Sarjana Teknik Jurusan Pengairan Universitas Brawijaya, Malang 2 Dosen Jurusan Pengairan Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, Malang 1 [email protected] ABSTRAK Pintu sorong (sluice gate) merupakan salah satu konstruksi bangunan air yang berfungsi untuk membagi air sesuai debit yang direncanakan dengan cara mengatur tinggi muka air. Bangunan ini menyebabkan perbedaan kondisi aliran di hulu dan hilir pintu yang berakibat pada terjadinya gerusan di hilir pintu, terutama apabila material dasar salurannya lepas atau lunak. Fenomena gerusan pada dasar saluran di hilir pintu dapat membahayakan konstruksi pintu tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kedalaman gerusan akibat variasi debit dan bukaan pintu dengan variabel-variabel yang mempengaruhinya serta bentuk dasar yang terjadi pada dasar saluran berupa tanah liat berpasir.Pada penelitian ini dilakukan percobaan menggunakan sembilan variasi debit dengan bukaan pintu tertentu pada kondisi aliran tenggelam. Setiap percobaan menggunakan debit konstan dan dimulai dari dasar rata sampai satu jam pengaliran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variasi debit dan bukaan pintu mempengaruhi kedalaman gerusan yang ditunjukkan oleh persamaan: ( ) (R 2 = 0,859). Selain itu, faktor lain yang juga mempengaruhi kedalaman gerusan adalah kedalaman aliran dan bilangan Froude yang ditunjukkan oleh persamaan ( ) (R 2 = 0,941) dan (R 2 = 0,918). Kedalaman gerusan hasil kajian laboratorium memiliki perbedaan dengan hasil perhitungan menggunakan persamaan Schocklitsch, Muller dan Eggenberger dengan perbedaan relatif rerata berturut-turut 38,57%, 50,94%, dan 81,32%. Analisis bentuk dasar hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk dasar bervariasi dari plane bed dan ripple. Berdasarkan pendekatan Van Rijn menunjukkan bahwa bentuk dasar yang terjadi bervariasi dari plane bed dan ripple. Bentuk dasar berdasarkan pendekatan Simon-Richardon yaitu plane bed, ripple dan dune. Sedangkan hasil analisis dengan pendekatan Garde Albertson menunjukkan bentuk dasar berada pada daerah transisi. Kata kunci: bentuk dasar, bukaan pintu, debit, kedalaman gerusan, tanah liat berpasir. ABSTRACT Sluice gate is one of hydraulic structure to divide discharge in irrigation channel by controlling the water depth. Sluice gate may cause the flow condition in the upstream and the downstream of the structure change rapidly. This flow change can lead a local scouring on the bed channel, espesially when it is composed by erodible material. When it is occured, it may cause stability problems of the structure. The purpose of this study is to analyze the scour depth and bed forms due to various discharges and opening gates on sandy loam bed channel. This research was conducted in nine various discharges and various opening gates in submerged flow. The Sandy loam bed channel were tested experimentally with a constant discharge and opening gate for one hour. The result showed that scouring depth is affected by the discharge and opening gate which is shown by equation: ( ) - (R 2 = 0,859). Moreover, scouring depth is also affected by water depth and Froude number, that are shown by equestions: ( ) - (R 2 = 0,941) and (R 2 = 0,918). The scouring depth in this experiment are different with Schoklistch, Muller and Eggenberger’s equation. The diffrerence are 38,57% for Schoklitsch’s equation; 50,94% for Muller’s equation; and 81,32% for Eggenberger’s equati on. Furthermore, the bed forms observed from experiment was showed different result with analysis after Simon-Richardson, Van Rijn and Garde Albertson. The experiment result is showing that the bed forms are various from plane bed and ripple. Analysis after Van Rijn indicate plane bed and ripple, Simon-Richardson indicate plane bed, ripple and dune. Meanwhile, analysis after Garde Albertson indicate bed forms in transition.. Keywords: bed forms, opening gate, discharge, scouring depth, sandy loam.

Upload: others

Post on 05-Jan-2020

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Analisis Kedalaman Gerusan di Hilir Pintu Sorong pada Dasar Saluran Tanah Liat Berpasir (Sandy Loam) dengan Uji Model Fisik Hidraulik

Hasanatul Qamariyah1, Very Dermawan

2, Sebrian Mirdeklis Beselly Putra

2

1Mahasiswa Program Sarjana Teknik Jurusan Pengairan Universitas Brawijaya, Malang

2Dosen Jurusan Pengairan Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, Malang

[email protected]

ABSTRAK

Pintu sorong (sluice gate) merupakan salah satu konstruksi bangunan air yang berfungsi untuk membagi air sesuai

debit yang direncanakan dengan cara mengatur tinggi muka air. Bangunan ini menyebabkan perbedaan kondisi aliran

di hulu dan hilir pintu yang berakibat pada terjadinya gerusan di hilir pintu, terutama apabila material dasar salurannya

lepas atau lunak. Fenomena gerusan pada dasar saluran di hilir pintu dapat membahayakan konstruksi pintu tersebut.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kedalaman gerusan akibat variasi debit dan bukaan pintu

dengan variabel-variabel yang mempengaruhinya serta bentuk dasar yang terjadi pada dasar saluran berupa tanah liat

berpasir.Pada penelitian ini dilakukan percobaan menggunakan sembilan variasi debit dengan bukaan pintu tertentu

pada kondisi aliran tenggelam. Setiap percobaan menggunakan debit konstan dan dimulai dari dasar rata sampai satu

jam pengaliran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variasi debit dan bukaan pintu mempengaruhi kedalaman gerusan

yang ditunjukkan oleh persamaan:

(

) (R2 = 0,859). Selain itu, faktor lain yang juga

mempengaruhi kedalaman gerusan adalah kedalaman aliran dan bilangan Froude yang ditunjukkan oleh persamaan

(

) (R

2 = 0,941) dan

(R

2 = 0,918). Kedalaman gerusan hasil kajian

laboratorium memiliki perbedaan dengan hasil perhitungan menggunakan persamaan Schocklitsch, Muller dan

Eggenberger dengan perbedaan relatif rerata berturut-turut 38,57%, 50,94%, dan 81,32%. Analisis bentuk dasar hasil

penelitian menunjukkan bahwa bentuk dasar bervariasi dari plane bed dan ripple. Berdasarkan pendekatan Van Rijn

menunjukkan bahwa bentuk dasar yang terjadi bervariasi dari plane bed dan ripple. Bentuk dasar berdasarkan

pendekatan Simon-Richardon yaitu plane bed, ripple dan dune. Sedangkan hasil analisis dengan pendekatan Garde

Albertson menunjukkan bentuk dasar berada pada daerah transisi.

Kata kunci: bentuk dasar, bukaan pintu, debit, kedalaman gerusan, tanah liat berpasir.

ABSTRACT

Sluice gate is one of hydraulic structure to divide discharge in irrigation channel by controlling the water depth.

Sluice gate may cause the flow condition in the upstream and the downstream of the structure change rapidly. This

flow change can lead a local scouring on the bed channel, espesially when it is composed by erodible material. When it

is occured, it may cause stability problems of the structure. The purpose of this study is to analyze the scour depth and

bed forms due to various discharges and opening gates on sandy loam bed channel. This research was conducted in

nine various discharges and various opening gates in submerged flow. The Sandy loam bed channel were tested

experimentally with a constant discharge and opening gate for one hour. The result showed that scouring depth is

affected by the discharge and opening gate which is shown by equation:

(

) - (R

2 = 0,859).

Moreover, scouring depth is also affected by water depth and Froude number, that are shown by equestions:

(

) - (R

2 = 0,941) and

(R

2 = 0,918). The scouring depth in this experiment are

different with Schoklistch, Muller and Eggenberger’s equation. The diffrerence are 38,57% for Schoklitsch’s equation;

50,94% for Muller’s equation; and 81,32% for Eggenberger’s equation. Furthermore, the bed forms observed from

experiment was showed different result with analysis after Simon-Richardson, Van Rijn and Garde Albertson. The

experiment result is showing that the bed forms are various from plane bed and ripple. Analysis after Van Rijn indicate

plane bed and ripple, Simon-Richardson indicate plane bed, ripple and dune. Meanwhile, analysis after Garde

Albertson indicate bed forms in transition..

Keywords: bed forms, opening gate, discharge, scouring depth, sandy loam.

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pertanian merupakan sektor yang sangat

penting dalam pemenuhan pangan suatu negara.

Baik tidaknya hasil suatu pertanian dipengaruhi

oleh usaha penyediaan dan pengaturan air atau

disebut dengan istilah dengan irigasi. Di dalam

rangka pemanfaatan air di bidang irigasi, maka

dibangun konstruksi air. Salah satunya pintu air

untuk membagi debit sesuai rencana. Jenis pintu

air yang sering digunakan adalah pintu sorong

(sluice gate).

Namun, pemanfaatan pintu sorong sebagai

bangunan pengatur pada saluran ternyata dapat

menimbulkan permasalahan di hilir pintu, yaitu

terjadinya gerusan. Hal tersebut terjadi sebagai

akibat adanya perubahan karakteristik aliran di

sebelah hulu setelah melewati pintu dan di hilir

pintu. Selain itu, gerusan juga dipengaruhi oleh

sifat material dasar.

Fenomena terjadinya gerusan di hilir pintu

ini dapat membahayakan konstruksi pintu.Hal

tersebut dapat berakibat fungsi pintu terganggu.

Oleh sebab itu, perlu adanya suatu upaya untuk

mempelajari fenomena terjadinya gerusan pada

dasar saluran di hilir pintu yang dapat dijadikan

sebagai dasar atau acuan untuk mencegah atau

menanggulangi permasalahan tersebut. Studi ini

akan mempelajari mengenai fenomena gerusan

di hilir pintu sorong dengan material tanah liat

berpasir (sandy loam) menggunakan uji model

fisik hidraulik.

1.2. Identifikasi Masalah

Bangunan pintu air pada irigasi digunakan

untuk mengatur tinggi muka air sesuai debit

yang direncanakan. Namun, pemanfaatan pintu

air ini ternyata dapat menyebabkan perubahan

karakteristik aliran di hulu dan di hilir saluran,

seperti kecepatan serta turbulensi sehingga

menimbulkan perubahan transport sedimen dan

terjadinya gerusan. Pada pintu air, aliran yang

melewati bawah pintu (under flow) dapat berupa

aliran superkritik yang mempunyai energi tinggi

sehingga menimbulkan permasalahan gerusan di

hilir pintu, terutama jika dasar saluran tersusun

atas material halus atau lunak (Puspitarini et.all,

2002: 420).

Kedalaman gerusan dapat bertambah sampai

mencapai batas tertentu. Pada kondisi tertentu,

gerusan dapat menyebabkan gangguan stabilitas

terhadap konstruksi pintu serta pintu tidak dapat

berfungsi dengan baik, atau bahkan kehilangan

fungsi sama sekali sebagai bangunan pengatur.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka diperlukan

suatu studi mengenai penggerusan di hilir pintu

sorong dengan uji model fisik.

1.3. Manfaat dan Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui hubungan atau korelasi antara

debit dan bukaan pintu terhadap kedalaman

gerusan.

2. Mengetahui konfigurasi dasar saluran yang

terjadi sebagai akibat dari variasi debit dan

bukaan pintu.

3. Mengetahui kesesuaian analisis kedalaman

gerusan dan konfigurasi dasar berdasarkan

kajian analitis dengan kajian laboratorium.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan

manfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan

di bidang hidraulika, khususnya yang berkaitan

dengan konsep gerusan lokal di hilir pintu.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Aliran Lewat Pintu Sorong (Sluice Gate)

Pintu sorong merupakan jenis pintu yang dioperasikan dengan menggeser pintu ke arah vertikal sesuai bukaan yang telah direncanakan. Aliran yang melewati pintu sorong dapat berupa aliran bebas atau aliran tenggelam.

Pada kondisi aliran tenggelam, kedalaman

aliran di hilir sebelum loncatan lebih besar dari

hasil perkalian koefisien kontraksi dan bukaan

pintu (y1 > Cc.a). Sebaliknya, pada aliran bebas

kedalaman aliran di hilir sebelum loncatan sama

dengan hasil perkalian koefisien kontraksi dan

bukaan pintu (y1 = Cc.a).

Gambar 1. Aliran melewati pintu sorong

Sumber: Subramanya (1986: 251 dan 255)

2.2. Regime Aliran Aliran pada saluran dengan material dasar

yang mudah tergerus dapat dikategorikan dalam dua regime aliran dengan daerah transisinya. Setiap kategori regime aliran ini mempunyai karakteristik yang berhubungan dengan bentuk dasar saluran. Pembagian kategori regime aliran dalam hubungannya dengan konfigurasi bentuk dasar saluran adalah sebagai berikut:

1. Regime aliran rendah (lower flow regime): bilangan Froude < 0,4-1

a. ripples

b. dunes

2. Daerah transisi

Bentuk dasar dari dunes menuju plane bed atau ke antidunes

3. Regime aliran tinggi (upper flow regime): bilangan Froude > 0,4-1

a. Plane bed dengan pergerakan sedimen

b. Antidunes standing waves dan breaking waves

c. Chutes and pools

2.3. Konfigurasi Bentuk Dasar (Bed Forms) Simon dan Richardson (1960) menjelaskan

bahwa bentuk dasar (bed forms) dikategorikan

sebagai berikut (Yang, 1996: 60):

a. Plane bed

Kecepatan aliran naik secara perlahan dan

angkutan sedimen mempunyai tinggi yang

rata. Butiran bergerak menggelinding atau

menggeser. Gerakan terjadi berganti-ganti

pada tempat yang tak tentu. Saltasi terjadi

pada material halus.

b. Ripples

Bentuk dasar menyerupai gelombang kecil

dengan panjang gelombang kurang dari 30

cm serta tinggi kurang dari 5 cm. Bentuk

ripples menyerupai bentuk segitiga dengan

sisi bagian hilir lebih curam dari sisi hulu.

c. Dunes

Dunes memiliki bentuk yang sama dengan

ripples. Perbedaan keduanya terletak pada

dimensi dunes yang lebih besar. Keduanya

terjadi pada bilangan Froude kurang dari 1

(satu) serta gelombang muka air tidak se-

fase dengan bentuk dasar. Perbedaan fase

tersebut ditunjukkan oleh nilai rasio tinggi

Gambar 2. Bentuk dasar (bed forms)

Sumber: Yang (1996: 61)

puncak bentuk dasar terhadap tinggi muka

air dihitung dari setengah tinggi bed forms

(∆/h) yang relatif besar (Yalin, M.S, 1977:

210)

d. Antidunes

Endapan terjadi di hulu, sedangkan di hilir

terjadi erosi. Bentuk gelombang antidunes

sedikit banyak simetris.

e. Chutes and Pools

Konfigurasi ini terjadi pada kondisi saluran

dengan kemiringan curam, serta kecepatan

dan debit sedimen relatif besar. Bentuknya

menyerupai bukit dengan endapan besar.

2.4. Analisis Bentuk Dasar (Bed Forms)

2.4.1. Pendekatan Van Rijn (1984)

Van Rijn mengklasifikasikan bentuk dasar

saluran pada regime aliran rendah dan transisi

berdasarkan nilai parameter partikel nirdimensi

(d*) serta parameter tingkat angkutan (T).

Nilai parameter partikel nirdimensi (d*) dan

tingkat angkutan sedimen(T) dihitung dengan:

(1) (2-13)

(2)

dengan:

d* = parameter partikel nirdimensi

d50 = diameter butiran 50% lolos saringan

s = berat spesifik (specific gravity)

ρw = kerapatan air (kg det2/m

4)

ρs = kerapatan butiran (kg det2/m

4)

Typical ripples pattern

Dunes

Plane bed

Antidune standing waves

Antidune breaking waves

Chutes and pools

Dunes and Superposed ripples

Wash out-dunesor transition

g = percepatan gravitasi (m/det2)

T = Parameter tingkat angkutan

υ = kekentalan kinematik (m2/det)

U* = kecepatan geser (m/det)

U*cr = kecepatan geser kritis (m/det)

2.4.2. Pendekatan Garde Albertson

Garde Albertson mengklasifikasikan bentuk

dasar menurut bilangan Froude serta

( )

dengan tegangan geser di dasar, kerapatan

air, kerapatan butiran, g percepatan gravitasi,

serta d diameter butiran.

Diagram klasifikasi bentuk dasar menurut

Garde Albertson dapat dilihat pada Gambat 4.

2.4.3. Pendekatan Simon-Richardson (1966)

Bentuk dasar menurut pendekatan Simon

dan Richardson diklasifikasikan dengan melihat

nilai diameter lolos saringan 50% (d50) dan nilai

stream power (w = τo.U). Diagram klasifikasi

bentuk dasar berdasarkan pendekatan Simon

dan Richardson dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 3. Diagram klasifikasi bentuk dasar

(bed forms) menurut Van Rijn

Sumber: Rijn (1987: 1736)

Gambar 4. Diagram klasifikasi bentuk dasar

menurut Garde Albertson

Sumber: Breuser (1974-1975: 5.5)

Gambar 5. Diagram klasifikasi bentuk dasar

menurut Simon dan Richardson

Sumber: Yang (1996: 66)

Parameter partikel nirdimensi (d*)

Fr

d50 (mm)

Tra

nsp

ort

sta

ge

pa

ram

eter

(T

)

τ o( ρ

ρ

w)

Ripples and dunes

Transition

Antidunes

τ oU

(l

b/f

t d

et)

2.5 Gerusan Lokal

Gerusan lokal merupakan akibat yang dapat

terjadi apabila dalam suatu saluran ditempatkan

penghalang yang menyebabkan perubahan arah

aliran. Fenomena gerusan lokal akibat halangan

aliran perlu dipelajari dan diperkirakan sehingga

dapat dijadikan sebagai dasar untuk mendapat-

kan struktur bangunanyang ekonomis dan aman.

Hal-hal penting yang perlu dipelajari mengenai

gerusan lokal diantaranya mekanisme terjadinya

serta perkiraan kedalaman gerusan.

Berdasarkan kesetimbangan volume bahan

sedimen yang tergerus, terdapat tiga jenis gerus-

an lokal (local scouring) (Simons dan Senturk,

1976: 673):

a. Gerusan stabil

Gerusan yang terjadi jika volume sedimen

yang masuk sama dengan ang keluar.

b. Gerusan jernih Gerusan terjadi secara berkesinambungan

serta tidak ada bahan sedimen yang masuk

mengisi kembali lubang sedimen. c. Gerusan dengan volume sedimen masuk

berubah-ubah

Suplai sedimen yang masuk berubah-ubah

volumenya.

Estimasi kedalaman gerusan lokal dapat di-

lakukan dengan cara perhitungan menggunakan

rumus atau persamaan yang diusulkan oleh para

ahli. Disini, akan dijelaskan persamaan tentang

kedalaman gerusan dari Schoklitsch, Muller dan

Eggenberger.

2.5.1 Persamaan Schoklitsch

Persamaan kedalaman gerusan pertama kali

diusulkan oleh Schoklitsch pada tahun 1932 dan

selanjutnya dikembangkan oleh para ahli.Rumus

yang diperoleh dari hasil percobaan pada model

tes dengan dua kondisi yang berbeda, yaitu pada

dan aliran air melewati bawah pintu (underflow)

dan aliran air melewati atas pintu (overflow).

Pada kondisi aliran overflow (dengan qu = 0

dan L = 0) diperoleh persamaan: (Breusers dan

Raudkivi, 1991: 124):

(3)

Sedangkan pada kondisi aliran lewat bawah

pintu (underflow) menggunakan sill (L = 1,5H),

diperoleh persamaan: (Breusers dan Raudkivi,

1991: 124):

( o ) (4) (2-18)

dengan:

2.5.2 Persamaan Muller

Muller melakukan tes dengan kondisi aliran

underflow serta kombinasi antara underflow dan

overflow. Untuk aliran underflow, diperoleh dua

persamaan, yaitu untuk kondisi aliran tenggelam

(submerged) dan aliran bebas (free wavy jet).

Rumus untuk aliran tenggelam ditunjukkan

oleh persamaan (5), Sedangkan Persamaan (6)

untuk aliran bebas.

(5) (2-15)

(6)

2.5.3 Persamaan Eggenberger

Eggenberger melakukan tes di laboratorium

dan mengusulkan sebuah persamaan berikut:

(Breuser dan Raudkivi, 1991: 124):

(7)

3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Deskripsi Model Penelitian

Gambar 7. Sketsa saluran untuk pengamatan

ds = kedalaman gerusan (m)

yo = kedalaman air di hulu pintu (m)

y2 = kedalaman air di hilir pintu (m)

q = debit per satuan lebar (m2/det)

d10 = diameter 10% lolos saringan (mm)

H = jarak vertikal antara muka air di hulu

dan hilir pintu (m)

a = bukaan pintu (m)

c = Kedalaman gerusan dibawah apron (m)

Gambar 8. Sketsa pengukuran variabel

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium

Sungai dan Rawa Jurusan Pengairan Fakultas

Teknik Universitas Brawijaya. Pada percobaan

ini digunakan saluran datar sepanjang 8 m dan

berpenampang persegi empat dengan lebar 0,5

m dan tinggi 0,6 m. Saluran terbuat dari akrilik,

begitu pula dengan pintu sorong yang dipasang

sejauh 3 m dari hilir saluran.

Sejauh 3,6 m dari bak penenang, apron di-

pasang dengan tinggi 0,2 m dan panjang 1,4 m,

kemudian dasar dibuat turun lagi 0,2 m. Di hilir

setelah apron merupakan saluran sepanjang 3 m

yang akan diisi material mudah tergerus berupa

tanah liat berpasir (sandy loam). Pengaliran di-

lakukan mulai dari dasar rata sampai satu jam

pengaliran.

3.2. Material Dasar

Material dasar yang digunakan merupakan

tanah liat berpasir (sandy loam) dengan nilai

berat jenis (specific gravity) adalah 2,636 yang

diperoleh dari hasil pengujian di laboratorium.

Dari data tersebut selanjutnya dapat diketahui

nilai kerapatan butiran (ρs) 2635,674 kg det2/m

4

dan berat spesifik (specific weigth) butiran (s)

sebesar 25855,97 kg/m3.

Ukuran diameter butiran material dasar yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Ukuran Diamater Butiran Material Dasar (Lolos Saringan)

Diameter lolos

saringan

Ukuran

(mm) (m)

d10 0,101 0,000101

d50 0,451 0,000451

d90 1,913 0,001913

Sumber: Hasil pengukuran, 2016

3.3. Rancangan Perlakuan

Penelitian ini dilakukan menggunakan debit

pengaliran mulai 0,0010 m3/detik sampai 0,0050

m3/detik dengan interval 0,0005 m

3/detik. Posisi

bukaan pintu yang digunakan 0,5 cm; 1 cm; 1,5

cm; 2 cm; dan 2,5 cm.

Untuk memudahkan percobaan maka dibuat

rancangan perlakuan sebagaimana dapat di lihat

pada Tabel 2.

3.4. Variabel Penelitian

Variabel merupakan faktor-faktor di dalam

penelitian yang dapat dipengaruhi dan nilainya

dapat berubah. Variabel terkait dalam kajian ini

dapat dikelompokkan sebagai berikut:

a. Variabel bebas (yang diatur):

1. Tinggi bukaan pintu sorong (a)

2. Debit di hulu pintu (Q)

b. Variabel yang diukur:

1. Kedalaman gerusan (ds)

2. Tinggi muka air di hulu pintu (yo)

3. Tinggi muka air di hilir pintu (y2)

4. Kecepatan aliran (Ua, U2)

5. Jarak (Xs) dan kedalaman gerusan (ds)

6. Jarak (ʎ) dan ketebalan sedimentasi (∆)

Tabel 2 Rancangan Perlakuan

No

Q a

No

Q a

(m3/det) (cm)

(m3/det) (cm)

1 0,001 0,5

6

0,0035

0,5

2 0,0015

0,5

1

1

1,5

3

0,002

0,5

2

1

7

0,004

1

1,5

1,5

4

0,0025

0,5

2

1

2,5

1,5

8

0,0045

1

2

1,5

5

0,003

0,5

2

1

2,5

1,5

9 0,005 1,5

2

2

2,5

Sumber: Perencanaaan, 2016

ʎ

4. ANALISA DAN PEMBAHASAN

4.1. Kalibrasi Alat

Sebelum melakukan penelitian, maka perlu

dilakukan kalibrasi terhadap alat ukur yang di-

gunakan. Pada penelitian ini, dilakukan kalibrasi

terhadap alat ukur debit dan alat ukur kecepatan.

Nilai kesalahan relatif yang diijinkan sebesar 10

persen.

Alat ukur debit yang digunakan merupakan

alat ukur berbentuk bendung persegi empat atau

Rechbox. Kalibrasi Rechbox dilakukan dengan

cara membandingkan antara nilai debit teoritis

(QRechbox) terhadap debit takar (Qtakar).

Tabel 3. Hasil Kalibrasi Rechbox

No yRechbox Qtakar QRechbox

Kesalahan

relatif

(m) m³/detik m³/detik %

[1] [2] [3] [4] [5]

1 0,01948 0,00178 0,00189 6,003

2 0,02044 0,00188 0,00202 7,720

3 0,02317 0,00215 0,00242 12,379

4 0,02472 0,00242 0,00265 9,344

5 0,02578 0,00275 0,00282 2,372

6 0,02904 0,00326 0,00334 2,397

7 0,03150 0,00364 0,00375 3,067

8 0,03400 0,00418 0,00418 0,114

9 0,03600 0,00454 0,00454 0,024

10 0,03800 0,00486 0,00491 0,937

11 0,03970 0,00571 0,00522 8,580

Kesalahan Relatif

Min 0,024

Max 12,379

rerata 4,812

Sumber: Hasil perhitungan, 2016

Gambar 9. Kurva hubungan tinggi muka air di-

atas Rechbox dengan debit

Kecepatan aliran diukur menggunakan alat ukur berupa tabung pitot. Oleh karena itu, perlu dilakukan kalibrasi terhadap alat ukur tersebut. Jika kalibrasi alat ukur debit dilakukan dengan membandingkan nilai debit, maka kalibrasi alat ukur kecepatan membandingkan nilai kecepatan hasil pengukuran (Upitot) dan kecepatan teoritis (Uteoritis). Kecepatan teoritis dijadikan sebagai patokan dalam kalibrasi.

Tabel 4. Hasil Kalibrasi Pitot

No ypitot Upitot Uteoritis

Kesalahan

relatif

(m) 0 (m/dt) (%)

[1] [2] [3] [4] [5]

1 0,0020 0,1941 0,159 9,433

2 0,0023 0,2059 0,169 14,758

3 0,0025 0,2170 0,178 6,419

4 0,0027 0,2256 0,185 5,291

5 0,0028 0,2311 0,189 7,377

6 0,0031 0,2427 0,199 1,630

7 0,0033 0,2475 0,203 0,078

8 0,0033 0,2506 0,205 6,833

9 0,0035 0,2568 0,210 9,718

10 0,0043 0,2858 0,234 10,432

Kesalahan Relatif

Max 14,758

Min 0,078

Rerata 7,197

Sumber: Hasil perhitungan, 2016

Gambar 10. Kurva hubungan beda tinggi air

pada pitot dengan kecepatan

0,000

0,002

0,004

0,006

0,000 0,010 0,020 0,030 0,040 0,050

Deb

it (

lm³/

det

ik)

yRechbox

Kurva Hubungan Tinggi Muka Air dengan Debit

Q = 0,5294(yRechbox)1,4315

R2 = 1

0,00

0,10

0,20

0,30

0,000 0,002 0,004 0,006

Kec

epa

tan

(m

eter

/det

ik)

ypitot (m)

Kurva Hubungan Kecepatan dengan

Beda Tinggi Air pada Pitot

U = 3,554(ypitot)0,5

R² = 1

Dari hasil perhitungan kalibrasi didapatkan nilai kesalahan relatif sebesar 4,812% untuk alat ukur Rechbox dan 7,197% untuk pitot.

Kemudian, dari nilai kesalahan relatif yang diperoleh dari hasil perhitungan kalibrasi, dapat diketahui perambatan kesalahan.

Kesalahan relatif debit (rQ) = 4,812%

Kesalahan relatif kecepatan (rU) = 7,197%

Sehingga:

Q = A. U

A = Q. U-1

rA = √

( )

rA = √ ( )

rA = 8,657%

rb

= 0% (lebar saluran konstan)

A = b. y

y = A. b-1

ry

= rA = 8,657%

Fr =

Fr = U. g-0,5

. y-0,5

rFr = √

( )

rFr = √ ( )

rFr = 8,398%

Nilai kesalahan relatif sebesar 8,398% lebih

kecil dari nilai yang diijinkan. Sehingga kedua

alat tersebut dapat digunakan dalam penelitian.

4.2. Analisis Dimensi

Kajian dalam hasil penelitian ini melibatkan

beberapa variabel dan parameter. Variabel yang

terkait dengan kedalaman gerusan kemudian di-

kelompokkan sebagai berikut:

Tabel 5. Pengelompokan Variabel

Pengelompokan Variabel

Variabel bebas Tinggi bukaan pintu (a)

Debit per satuan lebar (q)

Variabel terikat

Kedalaman gerusan (ds)

Jarak gerusan (Xs)

Kecepatan di bawah pintu (Ua)

Kedalaman air di hulu pintu (yo)

Kedalaman air di hilir pintu (y2)

Variabel lain Percepatan gravitasi (g)

Variabel yang dipilih sebagai variabel berulang:

percepatan gravitasi (g)

bukaan pintu (a)

Sumber: Hasil analisa, 2016

Tabel 6. Bilangan Tak Berdimensi

Bilangan tak berdimensi

U

o

o

Sumber: Hasil analisa, 2016

Analisis dimensi dilakukan menggunakan

Metode Langhar berdasarkan pengelompokan

variabel tersebut. Hasil bilangan tak berdimensi

dapat dilihat pada Tabel 6.

4.3. Hubungan antar Variabel yang

Mempengaruhi Kedalaman Gerusan

Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat

beberapa variabel yang mempengaruhi besarnya

kedalaman gerusan.

Variabel pertama yang mempengaruhi nilai

kedalaman gerusan yaitu debit per satuan lebar.

Jika debit yang dialirkan semakin besar, maka

kedalaman gerusan yang terjadi akan bertambah

besar. Hal tersebut ditunjukkan oleh Gambar 11.

(

) (8)

Kedalaman aliran juga mempengaruhi nilai

kedalaman gerusan. Hubungan antar variabel ini

dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 11. Hubungan (

) dengan ds/a

0

5

10

15

20

25

30

0,00 0,20 0,40 0,60 0,80

ds/a

q/(a1,5 x g0,5)

ds/a = 39,688

R2 = 0,859

Grafik hubungan 𝐪

𝐚𝟏 𝟓𝐠𝟎 𝟓 dengan (ds/a)

Gambar 12. Hubungan (yo/y2) dengan ds/a

(

) (9)

Persamaan 9 menunjukkan bahwa semakin

besar kedalaman aliran di hulu pintu menyebab-

kan semakin besar pula kedalaman gerusan. Hal

tersebut berbeda dengan hubungan kedalaman

aliran di hilir pintu dan kedalaman gerusan yang

justru memiliki hubungan berbanding terbalik.

Selain debit per satuan lebar dan kedalaman

aliran, kedalaman gerusan juga dipengaruhi oleh

nilai bilangan Froude di bawah pintu. Hasil dari

penelitian menunjukkan bahwa bilangan Froude

berbanding lurus dengan kedalaman gerusan.

Bilangan Froude yang besar menyebabkan

kedalaman gerusan yang besar. Sebaliknya, jika

bilangan Froude kecil, kedalaman gerusan akan

kecil. Sementara itu, bilangan Froude memiliki

hubungan berbanding terbalik dengan bukaan

pintu. Hal tersebut berarti bilangan Froude akan

semakin besar apabila bukaan pintu kecil.

Hubungan antara kedua variabel ini dapat

dilihat pada Gambar13.

(10)

Gambar 13. Hubungan (Fra) dengan ds/a

4.4. Analisis Kedalaman Gerusan

Data nilai kedalaman gerusan diperoleh dari

percobaan yang telah dilakukan di laboratorium.

Kedalaman gerusan hasil percobaan selanjutnya

dibandingkan dengan hasil perhitungan. Rumus-

rumus yang digunakan untuk perhitungan dalam

studi ini adalah Persamaan Schocklitsch, Muller

dan Eggenberger.

Perbandingan kedalaman gerusan dari hasil

penelitian dengan hasil perhitungan dari rumus

empiris dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Perbandingan Kedalaman Gerusan

Hasil Penelitian dengan Hasil Perhitungan

Q a dsLab dsSchoc

klitsch PR

dsEgge

nberer PR

ds

Muller PR

m³/deti

k m m m % m % m %

[1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8] [9]

0,0010 0,01 0,000 0,005 - 0,049 - 0,015 -

0,0015 0,01 0,043 0,048 11,50 0,193 78,04 0,076 44,24

0,0015 0,01 0,003 0,013 77,39 0,061 95,09 0,018 83,62

0,0020 0,01 0,056 0,077 27,37 0,354 84,20 0,149 62,47

0,0020 0,01 0,036 0,018 98,26 0,174 79,32 0,067 46,17

0,0020 0,02 0,001 0,009 88,66 0,027 96,24 0,001 24,85

0,0025 0,01 0,078 0,124 37,19 0,515 84,85 0,218 64,19

0,0025 0,01 0,053 0,070 23,92 0,272 80,50 0,110 51,91

0,0025 0,02 0,031 0,022 39,29 0,083 62,59 0,025 24,75

0,0025 0,02 0,000 0,009 - 0,070 - 0,020 -

0,0030 0,01 0,109 0,186 41,48 0,696 84,35 0,297 63,26

0,0030 0,01 0,062 0,088 29,78 0,438 85,85 0,183 66,13

0,0030 0,02 0,052 0,042 23,52 0,164 68,22 0,060 13,68

0,0030 0,02 0,000 0,015 - 0,095 - 0,029 -

0,0035 0,01 0,126 0,211 40,35 0,877 85,64 0,378 66,63

0,0035 0,01 0,092 0,136 32,16 0,513 82,07 0,214 56,99

0,0035 0,02 0,070 0,092 24,15 0,520 86,54 0,219 67,98

0,0035 0,02 0,002 0,012 82,65 0,133 98,50 0,045 95,58

0,0040 0,01 0,124 0,249 50,12 0,940 86,81 0,406 69,48

0,0040 0,01 0,092 0,146 37,18 0,647 85,77 0,274 66,45

0,0040 0,02 0,086 0,113 23,97 0,441 80,48 0,181 52,53

0,0040 0,02 0,072 0,061 17,72 0,242 70,30 0,092 21,77

0,0040 0,03 0,000 0,012 - 0,113 - 0,035 -

0,0045 0,01 0,190 0,333 42,87 1,053 81,95 0,445 57,32

0,0045 0,02 0,172 0,245 29,83 0,732 76,50 0,302 43,11

0,0045 0,02 0,159 0,171 6,91 0,558 71,48 0,227 29,89

0,0045 0,03 0,000 0,015 - 0,110 - 0,028 -

0,0050 0,02 0,108 0,145 25,31 0,616 82,45 0,250 56,80

0,0050 0,02 0,103 0,101 1,54 0,463 77,76 0,183 43,63

0,0050 0,03 0,060 0,029 51,10 0,185 67,62 0,060 0,16

Rerata 38,57 - 81,32 - 50,94

Sumber: Hasil perhitungan, 2016

Keterangan:

[1] = debit

[2] = bukaan pintu

[3] = ds hasil penelitian (dslab)

[4] = ds hasil perhitungan menggunakan rumus

Schocklitsch (dsScocklitsch)

[5] = Perbedaan relatif dslab dengan dsScocklitsch

[6] = ds hasil perhitungan menggunakan rumus

Eggenberger (dsEggenberger)

[7] = Perbedaan relatif dslab dengan dsEggenberger

[8] = ds hasil perhitungan menggunakan rumus

Muller (dsMuller)

[9] = Perbedaan relatif dslab dengan dsMuller

0

5

10

15

20

25

30

0,00 0,01 0,02 0,03 0,04 0,05

ds/a

yo/y2

Grafik hubungan (yo/y2) terhadap (ds/a)

= (

) 8,642

R2 = 0,941

0

5

10

15

20

25

30

0 1 2 3 4 5 6

ds/a

Fra

Grafik Hubungan Fra terhadap ds/a

R2 = 0,918

Dapat dilihat dari Tabel 7 bahwa kedalaman

gerusan hasil kajian labotarorium memiliki nilai

yang berbeda dengan hasil perhitungan. Rumus

Eggenberger menunjukkan hasil paling berbeda

dengan perbedaan relatif sebesar 81,32%. Hasil

perhitungan dengan rumus Muller menghasilkan

perbedaan relatif 50,94%. Perbedaan relatif ter-

kecil ditunjukkan oleh hasil perhitungan dengan

rumus Schocklitsch dengan besarnya perbedaan

relatif 38,57%.

4.5. Analisis Bentuk Dasar

Analisis bentuk dasar hasil penelitian (hasil

lab) dilakukan berdasarkan kriteria-kriteria yang

dijabarkan oleh Simon-Richardson serta Yalin,

sebagaimana telah dijelaskan pada bab tinjauan

pustaka. Selain itu, dilakukan analisis perkiraan

bentuk dasar dengan beberapa pendekatan, yaitu

pendekatan Simon-Richardson, Garde Albertson

serta Van Rijn. Hasil analisis bentuk dasar dapat

ditunjukkan pada Tabel 4.

Tabel 4. Perbandingan Bentuk Dasar Hasil

Penelitian dengan Berbagai Pendekatan

Perkiraan Bentuk Dasar

Sumber: Hasil analisa, 2016

Gambar 14. Contoh bentuk dasar plane bed

(pada Q = 0,0015 m3/detik dan a = 0,5 cm)

Gambar 15. Contoh bentuk dasar ripple

(pada Q = 0,0025 m3/detik dan a = 0,5 cm)

Q a

m³/detik m Van Rijn Simon-Richardson Garde Albertson

0,001 0,005 Plane bed plane bed (no motion) Plane bed (no motion) Transisi

0,0015 0,005 Plane bed plane bed (no motion) Plane bed (no motion) Transisi

0,0015 0,01 Plane bed plane bed (no motion) Plane bed (no motion) Transisi

0,002 0,005 Plane bed Ripple Ripples Transisi

0,002 0,01 Plane bed Ripple Plane bed (no motion) Transisi

0,002 0,015 Plane bed plane bed (no motion) Plane bed (no motion) Transisi

0,0025 0,005 Ripple Ripple Ripples Transisi

0,0025 0,01 Ripple Ripple Plane bed (no motion) Transisi

0,0025 0,015 Ripple plane bed (no motion) Plane bed (no motion) Transisi

0,0025 0,02 Plane bed plane bed (no motion) Plane bed (no motion) Transisi

0,003 0,005 Ripple Ripple Ripples Transisi

0,003 0,01 Ripple Ripple Ripples Transisi

0,003 0,015 Ripple Ripple Plane bed (no motion) Transisi

0,003 0,02 Plane bed Ripple Plane bed (no motion) Transisi

0,0035 0,005 Ripple Ripple Ripples Transisi

0,0035 0,01 Ripple Ripple Ripples Transisi

0,0035 0,015 Ripple Ripple Ripples Transisi

0,0035 0,02 Plane bed Ripple Ripples Transisi

0,004 0,005 Plane bed dan Ripple Ripple Ripples Transisi

0,004 0,01 Ripple Ripple Ripples Transisi

0,004 0,015 Ripple Ripple Ripples Transisi

0,004 0,02 Ripple Ripple Ripples Transisi

0,004 0,025 Plane bed Ripple Plane bed (no motion) Transisi

0,0045 0,01 Ripple Ripple Ripples Transisi

0,0045 0,015 Ripple Ripple Ripples Transisi

0,0045 0,02 Ripple Ripple Ripples Transisi

0,0045 0,025 Plane bed Ripple Plane bed Transisi

0,005 0,015 Ripple Ripple Dunes Transisi

0,005 0,02 Ripple Ripple Dunes Transisi

0,005 0,025 Ripple Ripple Dunes Transisi

PendekatanHasil Lab

Perkiraan bentuk dasar (bed forms) dengan

pendekatan yang berbeda ternyata memberikan

hasil yang berbeda pula. Hal ini kemungkinan

disebabkan oleh perbedaan parameter yang di-

gunakan pada tiap-tiap pendekatan. Parameter

yang digunakan pada pendekatan Van Rijn yaitu

parameter partikel nirdimensi (d*) serta tingkat

angkutan sedimen (T). Simon dan Richardson

menggunakan parameter tegangan geser dasar

(τo) dan diameter tengah parikel sedimen (d50).

Sementara Garde Albertson mengklasifikasikan

bentuk dasar berdasarkan diameter butiran (d),

tegangan dasar (τo), serta bilangan Froude. Hasil

yang paling mendekati dengan hasil penelitian

adalah perkiraan bentuk dasar dengan metode

Van Rijn.

5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisa dan pembahasan,

maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai

berikut:

1. Debit (q) merupakan salah satu variabel yang

dapat mempengaruhi kedalaman gerusan. Hal

tersebut ditunjukkan oleh persamaan:

(

) (R2

= 0,859)

Selain debit dan bukaan pintu, faktor –faktor

yang mempengaruhi nilai kedalaman gerusan

adalah bilangan Froude (Fa) serta kedalaman

aliran (y). Hubungan antara variabel-variabel

tersebut ditunjukkan oleh persamaan:

(

) (R

2 = 0,941), dan

(R2

= 0,918);

2. Bentuk dasar yang diperoleh dari hasil kajian

laboratorium (penelitian) berada pada daerah

regime aliran rendah, meliputi plane bed dan

ripple. Bentuk dasar berupa plane bed terjadi

mulai debit 0,0010 m³/detik sampai dengan

0,0020 m³/detik. Pada debit 0,0025 m³/detik

sampai 0,0050 m³/detik bentuk dasar berupa

ripple, namun plane bed kembali terbentuk

pada bukaan pintu besar;

3. Perbandingan kedalaman gerusan dan bentuk

dasar hasil penelitian dengan hasil analitis

adalah sebagai berikut:

a. Kedalaman gerusan hasil penelitian (hasil

kajian laboratorium) memiliki nilai yang

berbeda dengan hasil perhitungan dengan

persamaan Schocklitsch, Eggenberger dan

Muller. Besarnya Perbedaan relatif untuk

persamaan Schoklitsch, Eggenberger dan

Muller secara berturut-turut yaitu 38,57%,

81,32%; dan 50,94%;

b. Analisis bentuk dasar dari hasil penelitian

bervariasi dari plane bed ke ripple. Hasil

tesebut sama dengan analisis bentuk dasar

metode Van Rijn yang juga menunjukkan

variasi dari plane bed ke ripple. Namun,

hasil tersebut berbeda dengan pendekatan

Simon-Richardson serta Garde Albertson.

Bentuk dasar dari hasil pendekatan Simon

dan Richardson bervariasi dari plane bed,

ripple dan dune. Sedangkan bentuk dasar

berdasarkan pendekatan Garde Albertson

menunjukkan bahwa bentuk dasar berada

pada daerah transisi.

5.2. SARAN

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh

penyusun, maka disarankan beberapa hal:

1. Untuk memperoleh keakuratan data dan hasil

yang lebih memuaskan, maka diharapkan alat

ukur yang digunakan untuk penelitian lebih

lanjut memiliki tingkat kepekaan yang lebih

tinggi;

2. Penelitian lebih lanjut terkait gerusan lokal di

hilir pintu dapat dilakukan dengan:

a. menggunakan variasi variabel berbeda,

misalnya kemiringan dasar saluran

b. perbandingan hasil kedalaman gerusan

terhadap kondisi aliran bebas

c. perbandingan hasil kedalaman gerusan

menggunakan beberapa material dasar

yang berbeda

DAFTAR PUSTAKA

Breuser, H.N.C., 1974-1975. Lecture Notes on Sediment Transport 1.International Course in Hydraulic Engineering, Delft

Breuser, H.N.C & Raudkivi,A.J., 1991. Scour-ing. Netherland: International Association for Hydraulic Research

Puspitarini, S., Yulistyanto, B., Kinoroto, B.A., 2002.Model Pengendalian Gerusan Lokal Akibat Aliran Superkritik di Hilir Pintu Air. Jurnal TeknoSains. XV (3): 419: 431.Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada

Rijn, Leo C Van., 1987. Mathematichal Modelling of Morphological Processes in The Cas of Suspended Sediment Transport. Thesis aproved by the Delft University of Technology, delft Hydraulics Communica-tion

Simon, Daryl B & Senturk, Fuad., 1976. Sediment Transport Technology: Water and Sediment Dynamics. Colorado: Water Resources Publication

Subramanya, K., 1986. Flow in Open Channels. New Dehi: Tata McGraw-Hill Publishing Company

Yalin, M.S., 1977. Mechanics of Sediment Transportation 2

nd Edition. Queen

University, Ontario, Pergamon Press

Yang, C.T., 1996. Sediment Transport: Theory and Practice. Singapore: The McGraw-Hill Companies, Inc