analisis keadilan ekonomi dalam perspektif … · pernyataan mengenai tesis dan sumber informasi...
TRANSCRIPT
ANALISIS KEADILAN EKONOMI DALAM PERSPEKTIF
PEMBANGUNAN WILAYAH PADA AGRIBISNIS
TEMBAKAU VIRGINIA DI PULAU LOMBOK
MUHAMMAD NURJIHADI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Keadilan
Ekonomi dalam Perspektif Pembangunan Wilayah pada Agribisnis Tembakau
Virginia di Pulau Lombok adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013
Muhammad Nurjihadi
NIM. H152110021
RINGKASAN
MUHAMMAD NURJIHADI. Analisis Keadilan Ekonomi dalam Perspektif
Pembangunan Wilayah pada Agribisnis Tembakau Virginia di Pulau Lombok.
Dibimbing oleh ARYA HADI DHARMAWAN dan DEDDY S.
BRATAKUSUMAH.
Sistem ekonomi pasar merupakan sistem ekonomi yang dominan
digunakan sebagai strategi pembangunan ekonomi negara maupun wilayah.
Rasionalitas pasar dengan pilar kebebasan, individualisme dan persaingan
sempurna menjadi acuan utama para perencana kebijakan pembangunan ekonomi
yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Salah satu strategi yang
dikembangkan adalah penetapan sektor atau komoditas unggulan yang
disesuaikan dengan daya dukung dan kondisi wilayah setempat. Komoditas
tembakau virginia merupakan salah satu komoditas unggulan yang dianggap
penting untuk membangun perekonomian di wilayah Pulau Lombok.
Tembakau adalah komoditas yang kontroversial. Sebagai bahan baku
pembuatan rokok yang berbahaya bagi kesehatan manusia, produksi dan konsumsi
tembakau seharusnya dibatasi. Namun besarnya manfaat ekonomi yang diberikan
oleh industri pertembakauan membuat komoditas ini tetap dikembangkan sebagai
salah satu komoditas unggulan dalam pembangunan ekonomi wilayah, khususnya
di Pulau Lombok. Teori Cumulative Causation (CC Theory) menjelaskan bahwa
mekanisme pasar yang digerakkan oleh motif laba dapat mendorong
berkembangnya pembangunan terpusat di wilayah-wilayah yang memiliki harapan
laba tinggi, sementara wilayah-wilayah lain hanya dijadikan sebagai pemasok
sumberdaya untuk meraih laba yang tinggi di wilayah pusat itu. Hal ini dapat
menyebabkan terjadinya ketidakadilan ekonomi di mana wilayah maju menjadi
semakin maju, sedangkan wilayah terbelakang tetap terbelakang. Pasar juga
merupakan pelayan yang rajin bagi orang kaya namun tidak ramah kepada orang
miskin. Hal ini dapat menimbulkan ketidakadilan dalam distribusi kesejahteraan.
Penelitian ini bermaksud untuk membuktikan apakah proses sebab-akibat
kumulatif (cumulative causation) itu terjadi pada sektor ekonomi pertembakauan.
Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat keadilan
ekonomi secara mikro dengan menghitung margin nilai tambah (value added)
antara petani dan perusahaan industri tembakau dalam setiap satu hektar
pertanaman tembakau. Selain itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menganalisis tingkat keadilan ekonomi secara makro (dalam perspektif
pembangunan wilayah) dengan menghitung besaran efek sebar (spread effect) dan
potensi efek pencucian balik atau penyedotan sumberdaya (backwash effect) pada
agribisnis tembakau virginia di Pulau Lombok.
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif dengan
teknik survey dan disajikan secara deskriptif. Wilayah penelitian ditetapkan
secara purposive yang terdiri dari 10 desa yang tersebar di 8 kecamatan dan 2
kabupaten. Responden berjumlah 100 orang yang ditetapkan dengan teknik simple
random sampling di mana setiap desa sampel diwakili oleh 10 orang responden.
Data dianalisis dengan menggunakan rumus fungsi keuntungan (π = TR – TC)
yang dimodifikasi berdasarkan kondisi riil di lapangan. Analisis kewilayahan
(spread effect dan backwash effect) dilakukan dengan menghitung total nilai
tambah wilayah dari agribisnis tembakau virginia Lombok untuk kemudian
dibandingkan dengan total nilai ekonomi tembakau tersebut setelah diproduksi
menjadi rokok.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi ketidakadilan ekonomi
secara mikro dalam agribisnis tembakau virginia Lombok dalam kaitannya dengan
distribusi nilai tambah (value added). Petani dalam penelitian ini dibagi ke dalam
lima kategori di mana kategori yang mendapat nilai tambah terbesar dari
usahataninya adalah kategori petani pengomprong bermitra. Petani yang
memperoleh nilai tambah terbesar itu hanya mampu mendapatkan nilai tambah
sebesar Rp 3.975.379,- per hektar per musim tanam dengan nilai R/C ratio sebesar
1,08. Pelaku ekonomi lainnya dalam agribisnis tembakau virginia ini, yakni
perusahaan industri rokok bisa mendapatkan keuntungan atau nilai tambah sebesar
Rp 212.520.000,- per satu hektar pertanaman tembakau setiap musim tanam.
Margin nilai tambah antara petani dan perusahaan itu mencapai Rp 208.544.621,-.
Hal ini berarti, petani dengan kategori yang berhasil mendapat keuntungan
terbesar itu hanya mampu mendapatkan 1,87% dari total pendapatan perusahaan
untuk setiap satu hektar pertanaman tembakau virginia Lombok per musim tanam.
Secara makro hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi
ketidakadilan ekonomi dalam konteks interaksi ekonomi antar wilayah.
Ketidakadilan itu terjadi karena tidak adanya pabrik rokok di wilayah Pulau
Lombok meskipun wilayah ini menjadi penghasil tembakau virginia terbesar di
Indonesia. Akibatnya aglomerasi ekonomi dan akumulasi nilai tambah terjadi di
wilayah lain tempat dilakukannya pengolahan tembakau, yakni wilayah Pulau
Jawa. Nilai ekonomi tembakau virginia Lombok setelah diolah menjadi produk
rokok adalah , dari jumlah itu, yang mengendap dan
menjadi pendapatan wilayah Pulau Lombok, baik pendapatan masyarakat ataupun
pemerintah daerah adalah . Hal ini berarti bahwa total
potensi nilai tambah wilayah yang hilang atau dinikmati oleh wilayah lain
mencapai Rp 5.211.010.159.829,-. Artinya total nilai tambah wilayah yang bisa
diciptakan oleh adanya agribisnis tembakau virginia Lombok itu hanya sebesar
14,5% dari total nilai ekonominya. Kondisi ini merupakan indikasi bahwa telah
terjadi efek pencucian balik atau efek penyedotan (backwash effect) yang kuat
dalam agribisnis tembakau virginia Lombok, sementara efek sebar (spread effect)
yang ditimbulkannya lemah, yakni hanya mencapai Rp 511.745.080.000,-.
Hasil penelitian ini memperkuat kembali hipotesis Gunnar Myrdal tentang
faktor sebab-akibat kumulatif (circular cumulative causation) yang menyebabkan
semakin kuatnya ketimpangan antar wilayah. Pasar jika dibiarkan bekerja secara
bebas dapat menyebabkan terjadinya pemusatan aktifitas ekonomi pada wilayah
tertentu yang memiliki potensi menghasilkan laba tinggi. Akibatnya daerah lain
sebagai penghasil bahan baku industri di daerah pusat itu dapat mengalami efek
pencucian balik (backwash effect) yang dapat menyebabkan wilayah itu tetap
tertinggal atau mengalami kemajuan pembangunan yang lamban.
Kata kunci: ekonomi pasar, keadilan ekonomi, nilai tambah, pembangunan
wilayah, tembakau virginia
SUMMARY
MUHAMMAD NURJIHADI. Analysis of Economic Equity in Regional
Development Perspective on Virginia Tobacco Agribusiness in Lombok Island.
Supervised by ARYA HADI DHARMAWAN and DEDDY S.
BRATAKUSUMAH.
Market economic system is a dominant economic system which was
chosen as national or regional economic development strategy. Market rationality
with freedom, individualism and perfect competition as its pillar had been a main
reference for development policy makers who make economic growth as the main
orientation. One of the strategies is establishment special commodities as leading
sector. Tobacco is one of a commodity which was chosen as important
commodity to develop regional economic in Lombok Island.
Tobacco is a controversial commodity. As raw material for cigarette
industries which have negative effect for human health, its production and
consumption should be restricted. Because of its favorability in economic
development, tobacco was become one of the important commodities, especially
for Lombok island. Circular cumulative causation theory explained that market
mechanism which was driven by profit motive could encourage economic
development centralized in certain regions which have high profit expectation,
meanwhile other regions are only as supplier of resources to achieve high profits
in the central region. This causes economic inequity in which developed regions
become more advanced regions, whereas the backward region remains
underdeveloped. Moreover, market is also a good waiter for the rich people but
unfriendly for the poor. This causes economic inequity in income distribution.
This study intends to prove whether the process of cumulative causation occurred
in the tobacco economic sector. In particular, this study aims to analyze the level
of economic equity (micro) by calculating margin of value added between the
farmers and the tobacco industry companies in every hectare of tobacco field.
Moreover, the purpose of this study is to analyze the level of economic equity (in
the perspective of regional development/macro level) by calculating the amount of
spread effect and backwash effect on virginia tobacco agribusiness in Lombok
Island.
This research is using quantitative and qualitative method in survey
technique. Report of the study is present in the form of descriptive. Research areas
were determined purposively. The selected research areas consist of 10 villages
which are spread in 8 districts. There were 100 respondents which were chosen by
simple random sampling technique. Each village is represented by 10 respondents.
Data was analyzed by profit function formula (π = TR – TC) with some
modification based on real condition in the field. While regional economic
analysis (spread effect and backwash effect) analyzed by calculating regional
income (value added) from virginia tobacco agribusiness and compare it with total
economic value of virginia tobacco.
Research result showed that there was economic inequity in micro level on
Lombok virginia tobacco agribusiness. Farmers with the biggest profit category in
virginia tobacco agribusiness were only able to get value added of Rp 3,975,379, -
per hectare per cropping season with the R / C ratio of 1.08. While the tobacco
industry companies could benefit (value added) of Rp 212,520,000, - for each
hectare of tobacco field in one cropping season. Thus the margin of value added
between the farmers and the companies is Rp 208,544,621, -. It means that
farmers in the biggest benefit category were only able to get 1.87% of the
company total income for every one hectare of virginia tobacco field in Lombok
Island.
At the macro level, research result showed that there is economic inequity
in Lombok virginia tobacco agribusiness in the context of economic interaction
between two regions. In this case, Lombok Island as producer of virginia tobacco
and Java Island as industrial center to produce a cigarette. The economic value of
Lombok virginia tobacco after being processed into tobacco products (cigarette) is
Rp 6,098,400,000,000, -. Of that amount, which settles and becomes regional
income for Lombok Island region, either the community value added or the local
government income is Rp 887,389,840,171, -. Thus, the total of potential regional
lost value or enjoying by other regions is Rp 5,211,010,159,829, -. It means that
the total of regional value added which can be created by the presence of virginia
tobacco agribusiness is only 14.5% from the total economic value of Lombok
virginia tobacco. This means that there has been strong backwash effect, while the
spread effect resulting is weak, which only reached Rp 511,745,080,000, -.
Results of this study reinforce the hypothesis of Gunnar Myrdal on
circular cumulative causation theory that free market causes the growing
inequality across the regions. If the market is allowed to work freely, it can lead
the concentration of economic activity in certain regions that have a high potential
for generating profits. While other regions as a producer of industries raw material
in the central region can experience backwash effect. This causes the region
stagnant to growth or slow progress in development.
Keywords: economic equity, market economy, regional development, tobacco of
virginia, value added
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
ANALISIS KEADILAN EKONOMI DALAM PERSPEKTIF
PEMBANGUNAN WILAYAH PADA AGRIBISNIS
TEMBAKAU VIRGINIA DI PULAU LOMBOK
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
MUHAMMAD NURJIHADI
2
Penguji pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, MS, DEA
Judul Tesis : Analisis Keadilan Ekonomi Dalam Perspektif Pembangunan Wilayah Pada Agribisnis Tembakau Virginia di Pulau Lombok
Nama : Muhammad Nurjihadi
NTM : H1521 10021
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
M.Sc. PhD
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan
I
~. Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS
Tanggal Ujian: 1 Juli 2013 Tanggal Lulus: 2 3 AU G20 13
3
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang dengan karunia dan
rahmatNya karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan pada bulan Februari hingga Maret 2013 ini adalah
keadilan ekonomi dengan judul Analisis Keadilan Ekonomi dalam Perspektif
Pembangunan Wilayah pada Agribisnis Tembakau Virginia di Pulau Lombok.
Pengembangan agribisnis tembakau di Indonesia selalu dihadapkan pada
dilema tentang dampak negatif rokok sebagai produk olahan tembakau terhadap
kesehatan pada satu sisi dan manfaat ekonomi yang diciptakannya pada sisi lain.
Kemampuan menyerap tenaga kerja, kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto
(PDB) serta sumbangannya terhadap pendapatan nasional melalui cukai selalu
menjadi alasan dipertahankannya sektor ekonomi tembakau di tengah kuatnya
kampanye anti tembakau global. Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui
seberapa besar manfaat ekonomi yang diterima masyarakat pelaku ekonomi
tembakau serta untuk mengetahui seberapa besar nilai tambah wilayah yang dapat
diciptakan di wilayah penghasilnya, yakni Pulau Lombok. Penelitian ini khusus
mengkaji fenomena keadilan ekonomi pada agribisnis tembakau itu untuk
tembakau jenis virginia yang dominan diusahakan di Pulau Lombok.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Arya Hadi
Dharmawan, M.Sc.Agr dan Bapak Ir. Deddy S. Bratakusumah, BE., MURP.,
M.Sc., PhD selaku pembimbing. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada
bapak Prof. Dr. Didin S Damanhuri, MS, DEA selaku penguji yang telah banyak
memberikan masukan dalam penyempurnaan karya ilmiah ini. Penghargaan yang
tinggi juga penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah turut berkontribusi
dalam penelitian dan penulisan karya ilmiah ini yang tidak dapat penulis sebutkan
satu per satu. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) yang telah mensponsori penulis dalam
menjalankan studi S2 melalui program Beasiswa Unggulan (BU).
Karya ini saya persembahkan untuk orang-orang tercinta. Untuk ayah dan
ibu, meski tidak akan bisa membacanya, do‟a dan harap yang mereka pelihara
hingga akhir hayat telah mengantar saya sampai titik ini. Buat kak Agus, kak Heri,
kak Dina dan semua adik-adikku, terimakasih untuk segenap korbanan dan cinta
kalian. Persembahan ini juga saya tujukan untuk sahabat saya di Squad; Lisma,
Edwin, Nadhirah, Efa, Evan, Saiful dan Retno. Juga untuk orang yang bayangnya
menemani imajinasiku menyelesaikan karya ini.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi diri saya sendiri, keluarga,
masyarakat, agama, bangsa dan negara. Penulis terbuka untuk kritik dan saran
yang membangun.
Bogor, Juli 2013
Muhammad Nurjihadi
4
5
DAFTAR ISI
halaman
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
xi
xii
xiii
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
1
6
10
10
TINJAUAN PUSTAKA
Mazhab-Mazhab Pembangunan Ekonomi
Sistem Ekonomi Pasar (Market Economic)
Sistem Ekonomi Terpusat (State Based Economy)
Sistem Ekonomi Heterodoks
Ekonomi Wilayah
Keterkaitan Ekonomi dan Wilayah
Kebocoran Ekonomi Wilayah
Keterkaitan Desa – Kota
Pusat Pertumbuhan (Growth Pole) dan Faktor Sebab-Akibat -
Kumulatif (Circular Cumulative Causation) Gunnar Myrdal
Konsep Agribisnis
11
11
16
20
25
25
26
30
31
35
METODE PENELITIAN
Kerangka Pemikiran Operasional
Hipotesis Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian
Rancangan Penelitian
Unit Analisis
36
43
43
43
43
6
Data
Kualifikasi Data
Teknik Pengumpulan Data
Metode Penentuan Wilayah Sampel dan Responden
Variabel yang Diamati
Metode Analisis Data
Analisis Keadilan Ekonomi Berdasarkan Jumlah Nilai -
Tambah dan Margin Nilai Tambah Petani-Perusahaan
Analisis Keadilan Ekonomi Berdasarkan Efek Sebar (Spread -
Effect) dan Efek Pencucian Balik (Backwash Effect)
Definisi Operasional
44
44
44
45
47
48
48
49
57
GAMBARAN UMUM PULAU LOMBOK
Wilayah Administrasi dan Kondisi Alam Pulau Lombok
Penduduk dan Ketenagakerjaan
Struktur Perekonomian Wilayah
Agribisnis Tembakau di Pulau Lombok
Potensi Pengembangan Wilayah Pulau Lombok
58
59
61
62
67
KEADILAN EKONOMI DALAM AGRIBISNIS TEMBAKAU
VIRGINIA LOMBOK: MARGIN NILAI TAMBAH PETANI -
PERUSAHAAN
Tingkat Keuntungan Usahatani
Tingkat Keuntungan Perusahaan
Margin Nilai Tambah Petani-Perusahaan
Ekonomi Politik Tembakau Dalam Agribisnis Tembakau Virginia
di Pulau Lombok
Bisnis Gelap Oknum Perusahaan
Ketergantungan Ekonomi Petani
Fenomena Self Exploitation
68
84
87
89
94
96
98
7
KEADILAN EKONOMI DALAM AGRIBISNIS TEMBAKAU
VIRGINIA LOMBOK: EFEK SEBAR (Spread Effect) DAN EFEK
PENCUCIAN BALIK (Backwash Effect)
Nilai Ekonomi Tembakau Virginia Lombok
Efek Sebar (Spread Effect)
Efek Pencucian Balik (Backwash Effect)
100
102
106
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
114
115
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP
8
DAFTAR TABEL
halaman
Tabel 3.1. Wilayah sampel yang dipilih beserta alasannya
Tabel 4.1. Komposisi penduduk Nusa Tenggara Barat berdasarkan
kelompok umur
Tabel 4.2. Jumlah pekerja menurut sektor di Pulau Lombok tahun
2011
Tabel 4.3. Distribusi nilai tambah dan laju pertumbuhan PDRB
pada tiga kabupaten Pulau Lombok menurut sektor atas
dasar harga konstan tahun 2000
Tabel 4.4. Perkembangan luas areal dan produksi tembakau di
Pulau Lombok
Tabel 4.5. Distribusi dana bagi hasil cukai tembakau di Provinsi
NTB
Tabel 4.6. Jumlah dan prosentase penduduk miskin di Provinsi
NTB tahun 2002-2011
Tabel 5.1. Rekapitulasi analisis usahatani tembakau virginia
Lombok selama empat tahun terakhir di PT.Djarum
station Lombok
Tabel 5.2. Analisis usahatani tembakau virginia Lombok untuk
petani pengomprong bermitra
Tabel 5.3. Analisis usahatani tembakau virginia Lombok untuk
petani pengomprong swadaya
Tabel 5.4. Analisis usahatani tembakau virginia Lombok untuk
petani swadaya tidak mengomprong
Tabel 5.5. Analisis usahatani tembakau virginia Lombok untuk
pengomprong bermitra
Tabel 5.6. Analisis usahatani tembakau virginia Lombok untuk
pengomprong swadaya
Tabel 5.7. Rekapitulasi analisis usahatani dalam agribisnis
tembakau virginia Lombok
Tabel 5.8. Bobot, harga dan biaya cukai rokok yang diamati
Tabel 5.9. Distribusi dana bagi hasil cukai tembakau di Provinsi
NTB
Tabel 6.1. Analisis usahatani petani pengomprong bermitra
Tabel 6.2. DBHCT yang diterima pemerintah daerah se Provinsi
NTB
46
59
60
61
63
64
67
70
72
75
77
80
82
82
85
90
103
111
9
DAFTAR GAMBAR
halaman
Gambar 1.1. Umur mulai merokok Indonesia tahun 1995, 2001, 2004,
2007, 2010
Gambar 2.1. Konsep Agribisnis Suharjo
Gambar 3.1. Kerangka pemikiran penelitian
Gambar 4.1. Luas areal dan produksi tembakau virginia Lombok
tahun 1995-2012
Gambar 4.2. Sebaran kesesuaian lahan untuk pertanaman tembakau di
Pulau Lombok
Gambar 4.3. Peta kesesuaian ekonomi tembakau di Pulau Lombok
7
35
42
63
65
66
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu dari sepuluh negara produsen daun
tembakau terbesar di dunia. Food and Agriculture Organization (FAO) mencatat
bahwa pada tahun 2007 total produksi tembakau dunia mencapai 6.311.103 ton.
Indonesia menyumbang 164.851 ton (2,6%) dari total produksi tembakau dunia
tersebut. Jika diranking, Indonesia berada pada urutan ke 5 sebagai produsen daun
tembakau terbesar dunia. Adapun produsen terbesar adalah China dengan
2.397.200 ton (38%), disusul Brasil dengan 919.393 ton (14,6%), India dengan
produksi 555.000 ton (8,8%), dan Amerika Serikat yang memproduksi 353.177
ton (5,6%). Sisanya tersebar di beberapa negara seperti Pakistan, Italia, Turki,
Zimbabwe, Yunani, dan negara-negara lainnya (FAO, 2007).
Tembakau merupakan komoditas yang kontroversial. Bagi sebagian
masyarakat, terutama di tiga provinsi penghasil utama tembakau, yaitu Jawa
Timur, Nusa Tenggara Barat dan Jawa Tengah tembakau merupakan primadona,
jalan hidup (way of life), sumber pendapatan utama, dan bahkan sudah menjelma
menjadi tradisi ekonomi yang sulit dihentikan. Fakta sosio-ekonomi seperti ini
dihadapkan pada fakta lain di mana tembakau merupakan bahan baku utama
produk rokok yang berbahaya bagi kesehatan. Perdebatan tentang bahaya
kesehatan rokok dan manfaat ekonomi yang ditimbulkan industri itu sudah
berlangsung sejak dekade 1990-an dan tidak pernah menemukan titik temu. Hal
itu menyebabkan pemerintah kesulitan untuk mengambil sikap yang tegas dan
jelas terhadap industri pertembakauan ini. Akibatnya pertumbuhan dan
perkembangan industri ini digerakkan oleh mekanisme pasar yang bertumpu pada
tiga pilar, yaitu kebebasan, menjunjung tinggi hak-hak individu, dan persaingan.
Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan penyumbang produksi daun
tembakau terbesar ketiga di Indonesia setelah Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Menurut Kementerian Pertanian Republik Indonesia (Kementan RI), pada tahun
2009, produksi tembakau nasional mencapai 235.987 ton yang terdiri dari
172.450 ton tembakau rakyat dan 63.537 ton tembakau virginia. Provinsi NTB
menyumbang 57.707,2 ton atau 24,5% dari total produksi nasional tersebut yang
terdiri dari 51.353 ton tembakau virginia (80,8% total produksi tembakau virginia
nasional) dan 6.354,2 ton tembakau rakyat (3,7% total produksi tembakau rakyat
nasional). Berdasarkan data diatas didapat pula informasi bahwa 89% dari total
produksi tembakau di NTB merupakan jenis tembakau virginia dan sisanya
merupakan jenis tembakau rakyat (Kementan RI, 2011). Daerah sebaran utama
penanaman tembakau di Provinsi NTB adalah Kabupaten Lombok Timur. Basuki,
et al. (2003) menjelaskan bahwa pada tahun 2003 kabupaten Lombok Timur
memproduksi 21.972 ton tembakau atau 76,81% dari total produksi tembakau di
NTB saat itu.
Dinas Perkebunan Provinsi NTB (Disbun NTB) menjelaskan bahwa
agribisnis tembakau virginia mulai diusahakan di Pulau Lombok sejak tahun
1969 bersamaan dengan masuknya PT. Faroka Tbk. Langkah PT. Faroka ini
kemudian diikuti oleh PT. British American Tobacco (BAT) Indonesia pada tahun
2
1971 serta PTP.XXVII dan NV GIEB pada tahun 1974. Memperhatikan
keberhasilan rintisan usahatani tembakau virginia di Pulau Lombok, maka secara
bertahap hadir perusahaan-perusahaan lain untuk turut mengembangkan tembakau
virginia. Perusahaan – perusahaan yang dimaksud adalah PT. Djarum pada tahun
1980, PT. Anugrah Alam Abadi, PT. Mangli Jaya Raya, PT. Cakrawala pada
tahun 1987 serta PT. Tresno Bentoel pada tahun 1989. Langkah ini disusul oleh
PT. Trisno Adi, PT. HM. Sampoerna, PT. Sadhana Arifnusa dan PT. Gelora Djaja
dan UD. Nyoto Permadi tahun 1999. (Disbun NTB, 2002).
Susrusa dan Zulkifli (2009) menjelaskan bahwa agribisnis tembakau
virginia di Pulau Lombok dikembangkan dengan sistem kemitraan melalui pola
Perusahaan Inti Rakyat (PIR) di mana perusahaan-perusahaan industri rokok
menjadi inti dan petani sebagai plasma. Perusahaan berkewajiban memberikan
bantuan kepada petani baik bantuan teknis maupun non teknis dalam proses
usahatani. Praktek di lapangan yang dilakukan perusahaan umumnya adalah
memberikan bantuan kredit kepada petani dalam bentuk penyediaan sarana
produksi seperti pupuk, pestisida, benih, dan lain-lain. Selain itu, perusahaan juga
memberikan bantuan penyuluhan dan pembimbingan teknis kepada petani dalam
menjalankan usahatani tembakau, baik pada saat ditanam (on farm) maupun pada
proses pengolahan atau pengomprongan tembakau (off farm). Sebagai imbalan
atas bantuan itu, perusahaan mewajibkan petani menjual hasil panennya hanya
kepada perusahaan yang memberikan bantuan itu. Selanjutnya kredit yang
diberikan perusahaan itu dihitung sebagai hutang yang harus dilunasi ke
perusahaan. Hutang sarana produksi yang sudah diberikan kepada petani itu
secara otomatis akan dibayar saat petani menjual produk tembakaunya ke
perusahaan dengan cara memotong atau mengurangi nilai pembayaran tembakau
petani oleh perusahaan. Pada satu sisi, pola kemitraan ini memberikan keuntungan
kepada kedua belah pihak, di mana petani mendapatkan keuntungan karena
mendapat bantuan, bimbingan dan sekaligus memiliki tujuan pasar yang jelas
sehingga petani tidak perlu khawatir soal pemasaran, perusahaan juga
diuntungkan karena dengan pola ini perusahaan dapat menghimpun hasil produksi
tembakau petani yang sesuai dengan kebutuhannya. Tapi pada sisi lain, pola ini
justeru merugikan petani karena dalam prakteknya, harga ditentukan secara
sepihak oleh perusahaan, sementara petani kian tergantung pada perusahaan.
Berkembangnya agribisnis tembakau virginia di Pulau Lombok secara
signifikan telah meningkatkan pendapatan petani. Studi yang dilakukan Nurjihadi
(2011) membuktikan bahwa agribisnis tembakau telah berhasil meningkatkan
taraf hidup masyarakat. Peningkatan taraf hidup itu terlihat pada peningkatan daya
beli, perbaikan kondisi perumahan, peningkatan tingkat pendidikan dan perubahan
gaya hidup. Beberapa tahun terakhir ini petani tidak lagi merasakan peningkatan
pendapatan yang signifikan dalam agribisnis tembakau virginia yang dilakukan.
Hal ini disebabkan karena harga ditentukan secara sepihak oleh perusahaan
sebagai konsekuensi dari pola kemitraan yang diterapkan.
Tembakau merupakan komoditas komersial bernilai tinggi (high value
commodity), oleh karenanya tembakau merupakan salah satu komoditas yang
tidak luput dari perhatian para pemilik modal. Artinya industri tembakau
merupakan salah satu tujuan investasi penting bagi para pemilik modal, baik
pemodal asing maupun domestik untuk mengakumulasi modal dan menumpuk
3
kekayaan. Badan Pusat Statistik Provinsi NTB (BPS NTB) dalam tabel Input-
Output tahun 2004 mencatat bahwa share tembakau terhadap PDRB NTB adalah
Rp 466,020 miliar atau setara dengan 1, 57%. Ironisnya, dari total share terhadap
PDRB itu, Rp 348, 604 miliar diantaranya (74,80%) masuk ke kantong para
pemilik modal dalam bentuk surplus usaha sedangkan sisanya yang hanya
115,621 miliar (24, 81%) terdistribusi kepada 57. 287 orang petani dan para
pekerja perusahaan serta buruh tani (BPS NTB, 2004).
Ketimpangan ekonomi dalam agribisnis tembakau itu juga terlihat jelas
dari data yang disampaikan Tobacco Control Support Center-Ikatan Ahli
Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC-IAKMI) yang mengambil data dari
statistik upah BPS tahun 2005. Data itu menunjukkan bahwa upah rata-rata petani
tembakau adalah Rp 15.900 per hari atau Rp 413.374 per bulan dengan rata-rata
lama bekerja 7 jam per hari. Jumlah itu jauh lebih kecil dari pada rata-rata upah
nasional yang mencapai Rp 883.693 (hanya 47%). Jika dibanding dengan Upah
Minimum Kabupaten (UMK) di Kabupaten Lombok Timur maka rata-rata upah
petani tembakau itu hanya 50% dari UMK Lombok Timur. Sementara pada saat
yang bersamaan, perusahaan rokok mencatat nilai keuntungan yang fantastis. Pada
triwulan ke tiga tahun 2008, HMS mencatat keuntungan bersih sebesar Rp 3,1
Triliun, sementara GG sampai pertengahan tahun 2008 mendapat keuntungan
sebesar Rp 891,3 Miliar. Belum lagi keuntungan yang didapat oleh perusahaan
rokok lainnya seperti Bentoel, BAT, PMI, dan perusahaan lainnya (TCSC IAKMI,
2008).
Ketika upah rata-rata petani tembakau jauh dibawah rata-rata upah
nasional dan perusahaan rokok meraup keuntungan dengan nilai yang fantastis,
pertanyaannya kenapa petani tembakau (khususnya di Pulau Lombok) masih
bertahan dan tetap bergantung pada agribisnis tembakau virginia. Nurjihadi
(2011) dalam laporan penelitiannya menyampaikan sebuah fakta yang tegas
tentang hal itu. Menurutnya ketergantungan petani terhadap agribisnis tembakau
virginia di Pulau Lombok terjadi karena adanya anggapan petani bahwa tembakau
merupakan usaha yang dapat menghasilkan keuntungan besar. Anggapan itu
membuat petani enggan meninggalkan usahatani ini meskipun pada faktanya
terjadi penurunan hasil atau keuntungan petani dalam beberapa musim tanam
terakhir. Sebab lain dari ketergantungan ini adalah terwariskannya usahatani ini
secara turun temurun sehingga membuat petani merasa tidak memiliki keahlian
lain selain mengusahakan agribisnis tembakau. Disamping itu, kondisi iklim yang
sangat sesuai dengan tembakau juga menjadi sebab lain ketergantungan petani
terhadap agribisnis tembakau virginia di Pulau Lombok.
Kesimpulan yang disampaikan Ahsan (2008) dalam penelitiannya
memperkuat argumen ketimpangan pendapatan pada agribisnis tembakau itu
dengan menyatakan bahwa petani tembakau selama beberapa tahun terakhir
mengalami kerugian massal. Untuk kasus petani tembakau virginia Lombok,
Ahsan menyebut selama kurun waktu 2002-2008 hanya sekitar 10% petani yang
memperoleh keuntungan sementara sisanya mengalami kerugian, kecuali pada
tahun 2006. Selain karena pengaruh iklim (curah hujan yang terlalu tinggi atau
justeru kekeringan yang panjang), kerugian itu juga terjadi karena petani memiliki
posisi tawar yang lemah dalam proses penetapan harga jual tembakaunya.
Sebagaimana dikatakan Susrusa dan Zulkifli (2009), dalam agribisnis tembakau di
4
Pulau Lombok yang dikembangkan dengan model kemitraan menempatkan
perusahaan mitra sebagai pihak yang memiliki pengaruh dan posisi tawar lebih
besar dalam menentukan harga daripada petani. Kondisi ini membuat terciptanya
hubungan yang cenderung bersifat eksploitatif dan parasitik yang dilakukan oleh
perusahaan terhadap petani dalam proses kemitraan yang terjalin diantara
keduanya. Penetapan harga sepenuhnya berada di tangan perusahaan yang
menggunakan sistem grading. Grader yang ditunjuk perusahaan memiliki
kewenangan subjektif untuk menentukan grade tembakau petani yang kemudian
mempengaruhi harga jual tembakau petani tersebut. Ironisnya, petani tidak pernah
diinformasikan secara jelas tentang standar grade. Akibatnya petani sering kali
merasa bahwa tembakau yang seharusnya masuk dalam grade yang tinggi, dibeli
perusahaan dengan harga tembakau untuk grade yang lebih rendah.
Secara umum perekonomian wilayah di NTB digerakkan oleh sektor
pertanian. Sebanyak 74% masyarakat NTB menggantungkan hidupnya pada
sektor pertanian (BPS, 2004). Basuki, et al. (2003) dalam penelitiannya
menyimpulkan bahwa kinerja pertanian di NTB masuk dalam kategori „baik‟
berdasarkan indikator-indikator pembangunan pertanian. NTB dalam laporan itu
dinilai berhasil dalam memenuhi kriteria indikator pembangunan pertanian seperti
(1) nilai investasi PMA sektor pertanian; (2) peningkatan produksi pangan dan
hortikultura; (3) peningkatan produksi tanaman perkebunan; (4) peningkatan
produksi peternakan dan perikanan; (5) nilai PDRB sektor pertanian, 6) serapan
tenaga kerja sektor pertanian; (7) ketahanan pangan; (8) tingkat keuntungan
usahatani; (9) pendapatan rumah tangga petani dan tingkat kemiskinan. Semenatra
itu indikator yang kinerjanya buruk adalah: (1) ekspor hasil pertanian; (2) nilai
tukar petani; (3) produksi beberapa komoditas perkebunan, pertanian dan
perikanan yang turun.
Sektor pertanian dalam arti luas (pertanian tanaman pangan, hortikultura,
perkebunan, peternakan, dan perikanan) merupakan salah satu sektor unggulan
dalam rencana pembangunan wilayah Provinsi NTB, khususnya Pulau Lombok.
Pada triwulan III tahun 2012 total PDRB provinsi NTB adalah Rp.13,086 Trilliun
dengan memasukkan sektor pertambangan non migas dan Rp.11,043 Trilliun
tanpa sektor pertambangan non migas. Kontribusi (share) sektor pertanian
terhadap PDRB Provinsi NTB pada triwulan III tahun 2012 mencapai Rp.3,7
Trilliun atau 28% dari total PDRB dengan memasukkan sektor pertambangan non
migas dan 34% tanpa pertambangan non migas. Secara umum struktur pembentuk
PDRB NTB ini lebih didominasi oleh sektor primer (sektor pertanian) yang
dicirikan dengan rendahnya share sektor industri pengolahan terhadap PDRB.
Adapun nilai kontribusi sektor industri pengolahan dalam PDRB NTB pada
triwulan III tahun 2012 adalah Rp.507 Milliar atau 3,87% dari total PDRB dengan
sektor pertambangan non migas dan 5% dari total PDRB tanpa sektor
pertambangan non migas (BPS NTB, 2012).
Pengaruh agribisnis tembakau dalam perekonomian wilayah NTB belum
terlihat signifikan. Efek pengganda (Multiplier effect) yang ditimbulkannya
berupa backward linkage (keterkaitan ke belakang) atau disebut juga derajat
kepekaannya sebesar 1,75 sedangkan forward linkage (keterkaitan ke depan) atau
disebut juga daya penyebarannya sebesar 1,18 (BPS NTB, 2004). Nilai derajat
kepekaan (backward linkage) sebesar 1,75 berarti bahwa setiap Rp 1 permintaan
5
akhir akan menyebabkan peningkatan output perekonomian sebesar Rp 1,75. Hal
ini terjadi karena bergeraknya sektor lain untuk mendukung pelaksanaan
agribisnis tembakau itu. Sedangkan forward linkage yang hanya sebesar 1,18
menunjukkan bahwa agribisnis tembakau hanya mampu menggerakkan sedikit
sektor di hilir, dalam kasus ini agribisnis tembakau hanya menggerakkan tumbuh
dan berkembangnya industri rokok.
Pusat pengolahan daun tembakau menjadi produk rokok tersebar di Pulau
Jawa dan umumnya membuka kantor pusat di Jakarta. Daerah-daerah yang
menjadi tempat produksi rokok adalah Kediri, Surabaya, Semarang, Kudus, dan
sebagainya. Sebagian perusahaan rokok yang skalanya cukup kecil memang ada
yang menjalankan usahanya di luar Pulau Jawa, namun jumlahnya sangat sedikit.
Sementara itu Pulau Lombok sebagai salah satu penghasil daun tembakau terbesar
di Indonesia serta penghasil tembakau jenis virginia terbesar pertama di Indonesia
tidak memiliki pabrik rokok sama sekali. Hal ini dapat dipahami, sebagaimana
dijelaskan Myrdal dalam Jhingan (1999:211-212) bahwa pemberlakuan pasar
bebas membuat hampir semua aktifitas ekonomi menumpuk di suatu wilayah
yang sudah lebih dulu maju, dalam hal ini wilayah Pulau Jawa adalah wilayah
yang lebih dulu maju dan wilayah Pulau Lombok adalah wilayah yang tertinggal.
Pulau Lombok sebagai wilayah tertinggal berperan sebagai pemasok bahan
mentah (raw material) berupa tembakau untuk kemudian diolah di Pulau Jawa.
Tidak adanya industri pengolahan daun tembakau di Pulau Lombok
membuat Pulau Lombok menjadi daerah Pheripery atau hinterland dalam
mendukung pembangunan ekonomi (tembakau) di Pulau Jawa sebagai pusat
pertumbuhan secara nasional. Sebagaimana hipotesis Myrdal yang dikutip
Jhingan (1999:212) bahwa wilayah maju sebagai pusat pertumbuhan cenderung
menyebabkan efek pencucian balik (backwash effect) yang lebih besar daripada
efek sebar (spread effect). Kondisi seperti itu membuat wilayah maju menjadi
semakin maju sementara wilayah tertinggal mengalami stagnasi pembangunan
dan bahkan menjadi semakin tertinggal karena semakin berkurangnya kapasitas
daya dukung lingkungan akibat penyedotan (backwash) oleh wilayah maju itu.
Indikasi adanya efek pencucian balik (backwash effect) yang lebih besar
daripada efek sebar (spread effect) dalam hubungan ekonomi pada industri
pertembakauan dapat dilihat dari struktur PDRB daerah yang menunjukkan
tingginya kontribusi sektor primer (pertanian, termasuk perkebunan tembakau)
dan rendahnya kontribusi sektor sekunder (industri pengolahan). Selain itu
indikasi backwash itu juga dapat dilihat dari data input-output provinsi NTB tahun
2004 sebagaimana dijelaskan sebelumnya di mana tingkat keterkaitan ke belakang
(backward linkage) sektor tembakau dalam perekonomian wilayah NTB hanya
1,7 sementara keterkaitan ke depan (forward linkage) hanya sebesar 1,1. Analisis
secara lebih spesifik terhadap proses terjadinya efek penyedotan atau efek
pencucian balik (backwash effect) pada industri tembakau virginia di Pulau
Lombok itu dapat didekati dengan pendekatan analisis keadilan ekonomi yang
menggunakan data sebaran nilai tambah. Cara ini dilakukan untuk melihat besaran
pendapatan petani tembakau virginia dalam usahataninya (mikroekonomi)
sekaligus menganalisis proses pembangunan wilayah berbasis tembakau
(makroekonomi). Penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisis keadilan
ekonomi pada agribisnis tembakau virginia Lombok secara mikro, yakni antara
6
perusahaan dan petani dan secara makro dalam konteks hubungan antar wilayah
(regional relation). Sampai saat ini belum ada penelitian yang mencoba
menganalisis keadilan ekonomi dalam agribisnis tembakau virginia Lombok,
terutama yang menggunakan perspektif kewilayahan. Hal itulah yang membuat
perlunya melakukan penelitian ini.
Perumusan Masalah
Sistem ekonomi pasar merupakan sistem ekonomi yang dominan
digunakan sebagai strategi pembangunan ekonomi negara maupun wilayah.
Rasionalitas pasar dengan pilar kebebasan, individualisme dan persaingan
sempurna menjadi acuan utama para perencana kebijakan pembangunan ekonomi
dengan berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Salah satu strategi yang
dikembangkan adalah penetapan sektor atau komoditas unggulan yang
disesuaikan dengan daya dukung dan kondisi wilayah setempat. Komoditas
tembakau merupakan salah satu komoditas unggulan yang dianggap penting untuk
membangun perekonomian di wilayah Pulau Lombok, utamanya tembakau jenis
virginia.
Tembakau merupakan komoditas yang kontroversial. Bagi sebagian
masyarakat, terutama di tiga provinsi penghasil utama tembakau, yaitu Jawa
Timur, Nusa Tenggara Barat dan Jawa Tengah tembakau merupakan primadona,
jalan hidup (way of life), sumber pendapatan utama, dan bahkan sudah menjelma
menjadi tradisi ekonomi yang sulit dihentikan. Fakta sosio-ekonomi seperti ini
dihadapkan pada fakta lain di mana tembakau merupakan bahan baku utama
produk rokok yang berbahaya bagi kesehatan. Perdebatan tentang bahaya
kesehatan rokok dan manfaat ekonomi yang ditimbulkan industri itu sudah
berlangsung sejak dekade 1990an. Menguatnya kampanye anti rokok global
dilawan dengan argumen kemiskinan dan tidak adanya alternatif pekerjaan untuk
masyarakat pedesaan. Kondisi itu membuat Indonesia tidak mampu mengambil
sikap tegas untuk melarang atau membatasi produksi dan konsumsi produk
tembakau.
Besarnya kontribusi industri pertembakauan terhadap perekonomian
nasional juga turut mempersulit pemerintah dalam mengambil keputusan yang
tegas untuk melarang atau membatasi produksi dan konsumsi tembakau. Setiap
regulasi perlindungan kesehatan dari bahaya merokok selalu dihadapkan dengan
argumen akan hilangnya sumber pendapatan masyarakat pertembakauan di
pedesaan. Selain itu pengetatan regulasi anti rokok juga dikhawatirkan akan
mengganggu kinerja ekonomi pada sektor yang lain seperti periklanan,
transportasi, perdagangan, dan sebagainya. Pihak mana yang sebenarnya paling
dirugikan jika regulasi anti rokok itu diberlakukan dengan ketat? Para pengusaha
besar atau para petani tembakau yang ada didesa?. Pertanyaan ini bisa dijawab
dengan mengetahui pihak mana yang menerima manfaat paling besar dari industri
pertembakauan itu.
Bisnis tembakau merupakan bisnis besar yang melibatkan banyak aktor
baik secara domestik maupun global. Fakta itu membuat bisnis ini tidak lepas dari
cengkraman para pemilik modal besar berskala internasional. Pangsa pasar rokok
dunia pada tahun 2011 bernilai US$ 378 miliar dan diproyeksikan meningkat
7
menjadi US$ 464,4 pada tahun 2012. Jika diibaratkan sebagai sebuah negara
dengan berdasar pada data bank dunia tahun 2011, maka negera tembakau itu
akan menjadi negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar ke-23 di
dunia, jauh melampuai Norwegia dan Arab Saudi (Kinasih et al. 2012:1-2). Hal
ini menyebabkan persoalan tembakau tidak sesederhana persoalan menyediakan
lapangan pekerjaan bagi masyarakat desa, tapi juga persoalan akumulasi kekayaan
oleh para pemilik modal.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tanggal 25 Mei 2009
didapatkan informasi bahwa pangsa pasar rokok Indonesia dikuasai oleh tiga
perusahaan besar, yaitu HMS yang menguasai 24,3% pangsa pasar rokok nasional,
GG menguasai 21,1% dan Dj menguasai 19,4%. Sisanya dikuasai oleh Njr (6,7%),
Btl (6%), PMI (4,7%), BAT (2%), dan lain-lain (15,8%) [Kinasih et al. 2012:76].
Adapun sasaran utama pasar industri rokok itu adalah kaum muda. Hal ini
disebabkan karena kebanyakan perokok aktif merupakan kelompok muda dan
memulai merokok di usia muda. Berikut adalah data prosentase umur mulai
merokok di Indonesia:
Gambar 1.1 Umur mulai merokok Indonesia tahun 1995, 2001, 2004, 2007,
2010 (Chamim et al. 2011)
Pada sisi lain, berdasarkan data tahun 2006 diketahui bahwa HMS
memperoleh laba bersih Rp 3,53 Triliun, GG mendapat untung Rp 1 triliun.
Sedangkan Kontribusi (share) industri pertembakauan terhadap Produk Domestik
Bruto (PDB) berdasarkan data input-output tahun 2005 adalah Rp 47, 7 Triliun
(1,66%) dari total PDB tahun 2005 yang mencapai Rp 2.876,9 Triliun. Selain itu
penerimaan negara dari cukai tembakau tercatat terus mengalami peningkatan dari
tahun ke tahun. Pada tahun 2005 kontribusi cukai tembakau terhadap pendapatan
nasional adalah Rp 33, 25 Triliun, jumlahnya meningkat hampir dua kali lipat
pada tahun 2011 yang mencapai Rp 60,7 Triliun (Kinasih et al., 2012:75-79).
8
Melihat data tersebut, seharusnya dapat disimpulkan dengan mudah bahwa semua
pihak yang terlibat dalam bisnis ini mendapatkan keuntungan yang besar, tidak
terkecuali petani. Faktanya petani tembakau justeru mendapatkan upah rata-rata
yang jauh dibawah upah rata-rata nasional sebagaimana yang dilaporkan oleh
TCSC-IAKMI (2008).
Ironis diatas menunjukkan bahwa ada hubungan yang bersifat eksploitatif
dan parasitik dalam industri tembakau di mana petani tembakau terposisikan
sebagai korban. Argumen ini diperkuat oleh Susrusa dan Zulkifli (2009) yang
menyebut bahwa petani dan pengomprong tembakau di Kabupaten Lombok
Timur memiliki posisi tawar yang lemah dalam proses interaksi ekonomi dengan
perusahaan mitra. Akibatnya petani hanya mampu memperoleh nilai tambah
(value added) yang relatif rendah dari aktifitas usahanya. Padahal jika
dibandingkan dengan besarnya risiko yang harus ditanggung petani dalam
usahataninya, nilai tambah yang diperoleh itu bisa jadi negatif (petani mengalami
kerugian). Sementara itu, perusahaan yang operasinya mendapatkan jaminan
kemanan dari pemerintah melalui serangkaian regulasi dan kebijakan, juga
mendapatkan jaminan melalui asuransi dari pihak swasta lainnya dengan tingkat
risiko yang relatif tidak begitu besar sebagaimana petani justeru memperoleh
manfaat ekonomi (value added) yang lebih besar. Karena itulah Swasono (2011)
menyebut pasar sebagai pelayan yang rajin untuk orang kaya tapi tidak ramah
kepada orang miskin. Orang kaya dibuat menjadi semakin kaya, sementara orang
miskin dibuat terjebak pada lingkaran setan kemiskinannya. Tingkat keadilan
ekonomi dalam agribisnis tembakau virginia lombok dapat dianalisis dengan
melihat distribusi nilai tambah atau margin nilai tambah yang diterima petani
dengan perusahaan mitra. Hal ini berarti bahwa perlu untuk mencari tau seberapa
besar nilai tambah (value added) yang diterima oleh petani dan perusahaan mitra
per satuan unit produk tembakau lalu menghitung margin diantara keduanya.
Petani tembakau merupakan aktor utama dalam industri tembakau. Tanpa
petani tembakau tidak akan ada industri olahan berupa rokok, oleh karenanya para
pelaku industri tembakau seharusnya memberikan perhatian khusus kepada petani
dan menjamin agar para petani tembakau itu hidup dengan layak. Faktanya,
sebagaimana yang dilaporkan Guazon (2008) dalam cycle of poverty in tobacco
farming bahwa pekerja tembakau (petani) mendapatkan nilai tambah (value
added) yang rendah dari usahataninya meskipun pasar dan output sektor ini terus
mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan bahwa pelaku industri rokok
sebagai pihak yang paling bergantung pada agribisnis tembakau tidak memiliki
kepekaan dan kepedulian kepada petani tembakau. Atau mungkin kondisi ini
memang disengaja sebagai bagian dari upaya untuk meraup keuntungan yang
sebesar-besarnya meski harus mengorbankan pihak lain yang seharusnya menjadi
partener bisnis. Akumulasi modal merupakan doktrin utama dalam sistem
ekonomi pasar. Semakin banyak modal yang terakumulasi, semakin besar peluang
untuk melakukan investasi dan menumpuk kekayaan.
Selama dua dekade terakhir, agribisnis tembakau virginia menjadi
penopang kehidupan sebagian masyarakat di Pulau Lombok, terutama di
Kabupaten Lombok Timur dan sebagian Kabupaten Lombok Tengah. Secara
signifikan agribisnis tembakau mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat
meskipun dalam beberapa tahun terakhir terjadi fenomena kerugian masal petani
9
(Nurjihadi, 2011; Ahsan 2008). Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa
kontribusi (share) industri tembakau terhadap PDRB NTB adalah 1,57% dan
mampu menyebabkan efek pengganda (multiplier effect) berupa keterkaitan ke
belakang (backward linkage) sebesar 1,75 dan keterkaitan ke depan (forward
linkage) sebesar 1,18 (BPS NTB, 2004). Mengingat sifat komoditasnya yang
merupakan komoditas komersil bernilai tinggi (hight value commodity), industri
tembakau seharusnya mampu memberikan kontribusi lebih terhadap
perekonomian wilayah.
Gunnar Myrdal dalam Jhingan (2011:211-213) menjelaskan tentang faktor
sebab akibat kumulatif (cumulative causation) yang dapat terjadi pada sistem
ekonomi pasar yang digerakkan oleh motif laba. Jika pasar dibiarkan bekerja
secara bebas, maka pasar itu akan mendorong berpusatnya aktifitas perekonomian
di suatu wilayah tertentu yang memiliki harapan laba tinggi. Akibatnya
sumberdaya-sumberdaya wilayah lain akan ditransfer ke wilayah pusat itu untuk
diolah menjadi produk lain. Hal itu menyebabkan terakumulasinya nilai tambah
ekonomi di wilayah pusat yang umumnya merupakan wilayah maju sehingga
wilayah maju itu menjadi semakin maju, sementara wilayah terbelakang sebagai
penghasil sumberdaya justeru tetap tertinggal. Kondisi seperti itu juga terjadi pada
agribisnis tembakau virginia Lombok. Pulau Lombok sebagai wilayah penghasil
tembakau akan mengirimkan produk tembakau itu untuk diolah menjadi produk
rokok ke pabrik-pabrik rokok yang tersebar di Pulau Jawa. Terjadi transfer
sumberdaya dalam bentuk daun tembakau sebagai bahan baku pembuatan rokok
dari Pulau Lombok yang relatif masih tertinggal ke Pulau Jawa yang sudah lebih
dulu maju. Dengan mengacu pada konsep pusat pertumbuhan (growth pole), maka
Pulau Lombok dalam konteks interaksi ekonomi pada agribisnis tembakau
virginia ini termasuk dalam kategori wilayah penyangga (hinterland) yang
memiliki peran untuk mendukung proses industrialisasi di wilayah utama yang
menjadi pusat pertumbuhan (center of growth), yakni Pulau Jawa. Secara teoritis,
Pulau Jawa sebagai pusat pertumbuhan, dalam hal ini pusat pengolahan daun
tembakau, seharusnya mampu menciptakan efek menetes ke bawah (trickle down
effect) dengan mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis komoditas tembakau
dan menyerap tenaga kerja yang besar di Pulau Lombok. Fakta bahwa efek
pengganda (multiplier effect) berupa backward linkage sebesar 1,75 dan forward
linkage yang hanya sebesar 1,18 sebagaimana disebutkan sebelumnya
menunjukkan bahwa pengembangan tembakau virginia di Pulau Lombok belum
mampu memberikan daya sebar (spread effect) yang baik. Sebaliknya, hal itu
menunjukkan adanya kebocoran ekonomi (economic leakages) dalam agribisnis
tembakau virginia itu. Hal itu menunjukkan kuatnya indikasi bahwa wilayah
Pulau Jawa sebagai pusat pengolahan produk hasil tembakau menyebabkan
terjadinya efek pencucian balik (backwash effect) terhadap wilayah Pulau Lombok
sebagai penghasil daun tembakau. Untuk membuktikan indikasi itu, perlu untuk
mencari tahu dan menganalisis efek sebar (spread effect) dan efek pencucian balik
(backwash effect) yang terjadi dalam agribisnis tembakau virginia Lombok
dengan menghitung total nilai tambah wilayah Pulau Lombok dari agribisnis
tembakau virginia itu, termasuk dengan menghitung potensi nilai tambah wilayah
yang mengalir ke luar wilayah Pulau Lombok akibat adanya cumulative causation
dalam sistem ekonomi pasar. Hal ini akan menjadi acuan untuk melihat atau
10
menganalisis tingkat keadilan ekonomi dalam perspektif pembangunan wilayah
pada agribisnis tembakau virginia di Pulau Lombok.
Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka secara spesifik dapat
dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana distribusi nilai tambah (value added) dan seberapa besar
margin nilai tambah yang diterima petani dengan perusahaan dalam
agribisnis tembakau virginia Lombok ?, jawaban atas pertanyaan ini
dijawab pada Bab V (lima).
2. Bagaimana dampak agribisnis tembakau virginia Lombok itu terhadap
perekonomian wilayah kaitannya dengan efek sebar (spread effect),
dan efek sedot atau efek pencucian balik (backwash effect) dalam
konteks keterkaitan ekonomi antar wilayah ? Jawaban atas pertanyaan
ini akan dijawab pada Bab VI (enam).
Tujuan Penelitian
Berdasarkan penjelasan dan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari
penelitian ini adalah:
1. Menganalisis tingkat keadilan ekonomi secara mikro dengan mengetahui
bagaimana distribusi nilai tambah (value added) dan seberapa besar
margin nilai tambah yang diterima petani dengan perusahaan dalam
agribisnis tembakau virginia Lombok. Tujuan penelitian ini dijawab dalam
Bab V (lima) laporan penelitian ini.
2. Menganalisis keadilan ekonomi dalam perspektif pembangunan wilayah
dengan mengetahui bagaimana dampak agribisnis tembakau virginia itu
terhadap perekonomian wilayah kaitannya dengan efek sebar (spread
effect), dan efek sedot (backwash effect) dengan mengacu pada teori
keterbelakangan dan pembangunan ekonomi Gunnar Myrdal tentang
faktor sebab-akibat kumulatif (circular cumulative causation) pada sistem
ekonomi pasar yang menyebabkan terjadinya ketimpangan wilayah
(regional inequality) yang dalam laporan penelitian ini dijelaskan pada
Bab VI (enam).
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diniatkan untuk mengungkap, mengeksplorasi dan
menganalisis tingkat keadilan ekonomi dalam agribisnis tembakau, khususnya
dalam kasus tembakau virginia di Pulau Lombok, baik secara mikro dengan
melihat margin nilai tambah (value added) antara petani dan perusahaan maupun
secara makro dalam konteks keterkaitan ekonomi antar wilayah. Secara spesifik,
penelitian ini dirancang untuk dapat bermanfaat:
1. Sebagai masukan kepada para pengambil kebijakan baik di tingkat lokal
maupun nasional. Informasi ilmiah dan akurat dalam penelitian ini
diharapkan dapat membantu pemerintah untuk mengambil kebijakan yang
11
tepat dan terarah dalam mengelola agribisnis tembakau, terutama
tembakau virginia di Pulau Lombok.
2. Sebagai masukan kepada pihak-pihak yang bergelut dalam agribisnis
tembakau, terutama kepada para petani dan perusahaan industri rokok agar
lebih bijak dalam menjalankan agribisnis tembakaunya.
3. Sebagai upaya untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan. Penelitian
ini juga diharapkan dapat memperkaya referensi ilmiah tentang realitas
sosial ekonomi dalam agribisnis tembakau virginia Lombok dan
dampaknya terhadap perekonomian wilayah.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Mazhab – Mazhab Pembangunan Ekonomi
Sistem Ekonomi Pasar (Market Economy)
Adam Smith adalah peletak dasar sistem ekonomi pasar yang menjunjung
tinggi nilai-nilai kebebasan, individualisme dan persaingan. Sebagai seorang
ekonom, pilsuf dan sosiolog ia memiliki keyakinan bahwa “hukum alam‟ juga
terjadi dalam persoalan ekonomi. Ia menganggap setiap orang adalah hakim yang
paling tahu akan kepentingannya sendiri, oleh karenanya setiap orang harus
diberikan kebebasan untuk mengejar kepentingannya itu demi keuntungannya
sendiri. Proses mengejar kepentingan pribadi itu akan membuat setiap orang
membutuhkan serangkaian barang dan jasa yang kompleks yang akan membuat
setiap orang berinteraksi satu sama lain untuk saling melengkapi kebutuhannya di
mana setiap orang akan dibimbing oleh suatu “kekuatan tidak terlihat” yang ia
sebut sebagai „tangan tuhan‟. Setiap orang jika dibiarkan bebas akan berusaha
memaksimalkan kesejahteraannya sendiri, sehingga ketika semua orang dibiarkan
bebas, maka akan tercipta kesejahteraan agregat (Jhingan, 1999:81-82).
Skousen (2006:25-26) merekam bagaimana Adam Smith mampu
mengidentifikasi tiga unsur pembentuk kemakmuran dan kesejahteraan melalui
mekanisme pasar bebas, yakni: (1) kebebasan (freedom), hak untuk memproduksi
dan memasarkan produk tanpa campur tangan pemerintah; (2) kepentingan diri
(self interest), pengakuan atas hak individualis seseorang untuk melakukan usaha
atau apapun, termasuk dalam menguasai sumber daya; (3) persaingan
(competition), hak untuk bersaing dalam produksi dan perdagangan barang dan
jasa. Smith meyakini bahwa ketiga unsur diatas akan menghasilkan „harmoni
alamiah‟ dari kepentingan kapitalis, tuan tanah dan juga buruh yang akhirnya akan
menciptakan kesejahteraan agregat.
Mekanisme pasar yang dicetuskan Adam Smith memberikan dasar yang
penting untuk perkembangan kapitalisme di masa setelahnya. Gagasannya tentang
kebebasan dan adanya kekuatan „tangan tuhan‟ menjadi logika dasar yang
melatarbelakangi gagasan kapitalisme. David Ricardo adalah salah satu
pendukung penting pemikiran Smith. Melalui teori the comparative advantage-
nya, Ricardo menegaskan pentingnya perdagangan bebas tanpa campur tangan
12
pemerintah (Laissez faire). Bahkan Ricardo memberikan penekanan khusus pada
perdagangan bebas antar negara untuk mencapai efisiensi ekonomi dan
kesejahteraan maksimum. Ricardo adalah tokoh penting yang membawa ilmu
ekonomi pada titik kemapanannya. Ia adalah ekonom pertama yang
memperkenalkan ekonomi dengan analisis matematis yang akurat namun syarat
dengan asumsi-asumsi yang tidak realistis. Hal itu membuat banyak ekonom
menyebut Ricardo sebagai „pengkhayal sia-sia yang membawa ilmu ekonomi ke
jalur yang keliru dan membingungkan‟ (Skousen, 2006:114-115).
Meski memberikan dukungan kepada gagasan perdagangan bebas Smith,
Ricardo memiliki pandangan yang berbeda secara substansial dengan Smith. Jika
Smith berupaya membangun gagasan harmoni alamiah lewat perdagangan bebas,
Ricardo justeru berpandangan bahwa konflik kelas adalah cara efektif untuk
mencapai kesejahteraan. Konflik kelas yang dimaksud Ricardo adalah persaingan
antar kelas yakni kaum kapitalis, tuan tanah dan buruh, di mana kue ekonomi
didistribusikan atau dibagi-bagi kedalam kelompok-kelompok atau kelas itu
dalam bentuk sewa, keuntungan dan upah. Dengan model ini, akan terjadi
persaingan antara kapitalis dan buruh, di mana jika upah buruh naik maka
keuntungan kapitalis akan menurun dan demikian pula sebaliknya. Sementara
tuan tanah dalam model ini menjadi pihak yang paling diuntungkan sebab nilai
sewa tanah tetap tanpa bergantung pada tingkat keuntungan maupun upah
(Skousen, 2006:130-132).
Pemikiran-pemikiran ekonomi mengalami polarisasi pada masa-masa
berikutnya. John Stuart Mill adalah salah seorang pendukung utama gagasan
David Ricardo. Ia mendukung sepenuhnya azas laissez faire yang dipromosikan
Smith dan Ricardo, namun pada saat bersamaan ia juga menyebut diri sebagai
seorang sosialis. Karl Marx kemudian hadir dengan kritik tajam terhadap
kapitalisme. Kritiknya terhadap kapitalisme justeru dibangun dari kekagumannya
pada teori distribusi pendapatan Ricardo yang sebenarnya ikut memapankan
kapitalisme Smith. Selanjutnya hadir pemikir-pemikir ekonomi seperti Menger,
Bohm-Bawek, Jeavon, Marshall dan sebagainya yang menghidupkan kembali
teori ekonomi klasik pasar bebas Smith dan menyempurnakannya dengan teori-
teori baru. Lalu ketika dunia dilanda great depretion pada tahun 1930, dunia
akademis pun mengalami great debate tentang efektifitas teori pasar Smith yang
diasosiasikan dengan kapitalisme. Gagasan Marxisme kembali hidup dan
mewabah di kampus-kampus. Tepat disaat kapitalisme nyaris runtuh seperti itu,
seorang ekonom datang sebagai penyelamat kapitalisme dan memaksa Marxisme
untuk kembali dilupakan di mimbar intelektual. Dialah John Maynard Keynes.
Dialah orang pertama yang mengingatkan pentingnya integrasi kapitalisme
dengan pemerintah. Teori yang dikembangkannya mengharuskan pemerintah
untuk ikut campur tangan dalam urusan perekonomian sampai pada batas tertentu
guna menjamin berlangsungnya prinsip-prinsip kapitalisme. Keynes adalah
penyelamat kapitalisme sekaligus menjadikan dirinya pemimpin aliran ekonomi
baru (Jhingan, 1999; Skousen, 2006).
Bagi para pembela ekonomi pasar, kekuasaan tidak ada dan tidak boleh
ada dalam aktifitas perekonomian. Kemunculan kekuasaan dianggap sebagai
musuh yang harus dihambat dan dilawan karena dinilai akan menghambat
tercapainya kesejahteraan maksimum. Para kapitalis itu berlindung dibalik
13
argumen tersebut untuk mempertahankan status quonya. Pendukung ekonomi
pasar itu seolah lupa bahwa didalam pasar sesungguhnya ada kekuasaan, bahkan
pasar itu sendiri memiliki kekuasaan, namun kekuasaan itu bersifat samar, tembus
pandang dan seolah tidak terlihat (Caporaso dan Levine, 2008). Galbraith (1983)
dalam Caporaso dan Levine (2008) bahkan juga menyimpulkan bahwa pasar
adalah sarana yang memperlancar fungsi dari kekuasaan kapitalisme industrial
dan sekaligus menyembunyikan kekuasaan itu. Tidak terlihatnya kekuasaan dalam
struktur pasar sesungguhnya bukanlah suatu yang kebetulan, melainkan
merupakan syarat mutlak untuk mendapatkan kondisi yang menguntungkan dan
menjadi landasan idiologis dari kapitalisme.
Proses terbentuknya keseimbangan harga dalam mekanisme pasar dapat
dijelaskan sebagai berikut. Setiap manusia diyakini memiliki kecenderungan
untuk mementingkan diri pribadi. Sehingga segala aktifitas ekonomi setiap orang
adalah untuk mendapatkan manfaat maksimum bagi dirinya. Seorang produsen
misalnya memiliki kepentingan untuk mendapatkan laba (profit) maksimum,
sementara konsumen memiliki kepentingan untuk mendapatkan kepuasan (utility)
maksimum. Interaksi antara dua kepentingan untuk mendapatkan laba maksimum
dan kepuasan maksimum inilah yang akan membentuk harga. Setiap orang dalam
interaksi ini (baik produsen ataupun konsumen) bebas melakukan apa saja untuk
memaksimumkan manfaat yang ia terima (Damanhuri, 2010:16). Karena setiap
orang dalam interaksi ekonomi bebas melakukan apa saja untuk mendapatkan
manfaat maksimum bagi dirinya, maka itu dapat mendorong setiap orang dalam
interaksi ekonomi itu untuk memiliki (mendominasi) pengaruh dalam interaksi itu.
Siapa yang berhasil mendominasi pengaruh dalam interaksi ekonomi itu, dialah
yang menjadi penguasa dalam pasar itu. Memang kekuasaannya bersifat samar
sebagaimana dikatakan Caporaso dan Levine, namun kesamaran kekuasaan itulah
yang memungkinkan para penguasa tidak tampak itu untuk mendzalimi pihak lain
yang lebih lemah. Jadi teori the invisible hand (tangan tuhan_tangan tak terlihat)
juga berarti pembentukan kekuasaan tak terlihat, dalam konteks ini, dominasi atau
penguasaan pasar itu bisa dilakukan oleh pedagang (suplyer) ataupun pembeli
(demander).
Kekuasaan dalam sistem ekonomi pasar tidak hanya di monopoli oleh
pemerintah di suatu negara, tapi juga oleh struktur pasar yang terbentuk melalui
interaksi ekonomi dalam mekanisme pasar. Todaro dan Smith (2006:147-148)
menjelaskan bahwa setelah sempat mendapat kritik-kritik tajam secara teoritis,
fundamentalisme pasar (market fundamentalism) kembali menguat pada tahun
1980-an dengan lahirnya sebuah paham baru yang merupakan reinkarnasi dari
aliran neoklasik yang disebut sebagai kontrarevolusi neoklasik (neoclassical
counterrevolution). Aliran ini menghendaki negara-negara berkembang untuk
mengembangkan pasar bebas, menanggalkan campur tangan pemerintah dalam
perekonomian nasional dan melakukan swastanisasi (privatisasi) perusahaan-
perusahaan negara. Menurut aliran ini, hanya dengan cara itu negara berkembang
bisa mencapai efisiensi serta pertumbuhan ekonomi optimal. Lebih jauh, para
penganut paham ini berpendapat bahwa ketertinggalan negara-negara berkembang
selama ini bukanlah disebabkan karena sikap predatoris negara-negara maju
sebagaimana dikatakan dalam teori ketergantungan. Ketertinggalan negara
berkembang menurut paham ini lebih disebabkan karena inefisiensi alokasi
14
sumber daya, korupsi serta pengaturan yang berlebihan dalam bidang ekonomi.
Jadi menurut pemikiran ini, satu-satunya solusi untuk mendorong kemajuan suatu
negara adalah dengan memastikan bahwa pasar bebas bekerja secara sempurna
tanpa ada campur tangan pemerintah di negara tersebut, dalam bahasa yang lebih
lugas, dapat dikatakan bahwa paham neoclassical counterrevolution ini
menginginkan agar kekuasaan para penguasa pasar lebih besar daripada
kekuasaan negara itu sendiri.
Sistem ekonomi pasar yang tegak diatas pilar kebebasan, individualisme
dan persaingan pada dasarnya dimaksudkan untuk menjamin terpenuhinya hak
setiap orang untuk hidup sejahtera. Hanya dengan kebebasan seseorang bisa
leluasa dalam memperjuangkan kepentingannya guna meraih sejahtera itu.
Sementara itu persaingan merupakan suatu penjamin yang dapat membentuk
keseimbangan pasar dalam bentuk harga. Tanpa persaingan, mekanisme
pembentukan harga akan menjadi tidak adil karena di monopoli oleh pihak-pihak
tertentu. Lebih jauh Stiglitz (2000:77-78) menjelaskan bahwa daya saing
(competitiveness) dapat meningkatkan efisiensi produksi dan berperan penting
dalam mendorong inovasi. Perlu diingat bahwa persaingan sempurna hanya akan
menghadirkan kesejahteraan jika seluruh pelaku ekonomi berada pada level
(pendidikan, struktur sosial dan ekonomi) yang sama. Sebab persaingan yang
terjadi ketika seluruh pelaku ekonomi berada pada posisi atau level yang sama
akan dipandu oleh sebuah kekuatan tak terlihat yang membentuk keseimbangan
melalui harga. Faktanya, pelaku ekonomi selalu terbagi kedalam tiga kelompok
atau kelas yang berbeda tingkat pengaruhnya yakni para pemilik modal (kapitalis),
tuan tanah dan buruh. Jika persaingan terjadi antara kaum kapitalis yang memiliki
posisi tawar lebih baik dengan kaum buruh yang lemah, maka tentu saja
persaingan itu akan dimenangkan oleh kaum kapitalis. Kondisi semacam ini akan
membuat distribusi pendapatan mejadi tidak adil di mana kaum kapitalis yang
kaya menjadi semakin kaya dan kaum buruh yang lemah menjadi bertambah
lemah.
Sistem ekonomi pasar dalam prakteknya lebih banyak memihak kepada
para pemilik modal. Atas nama investasi, para pemilik modal mengeksploitasi
sumber daya untuk mendapatkan keuntungan yang besar dan sekaligus
mengakumulasi modal. Akibatnya jurang ketimpangan ekonomi antara orang kaya
dan orang miskin kian tinggi. Modal yang terus terakumulasi membuat para
pemilik modal mampu menciptakan teknologi baru untuk mengefisienkan proses
produksi yang memungkinkan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar
lagi dan mengakumulasi modal lagi tanpa batas. Sementara disisi lain, penemuan
teknologi baru itu berimplikasi pada berkurangnya peran manusia dalam proses
produksi yang membuat banyak tenaga kerja kehilangan pekerjaannya. Hal itu
membuat peran modal menjadi kian dominan dalam aktifitas ekonomi. Tanpa
memiliki modal yang cukup, seseorang atau suatu kelompok atau bahkan suatu
negara tidak akan mampu mengembangkan perekonomiannya sehingga tidak
mampu menghasilkan keuntungan. Akibatnya orang-orang yang tidak memiliki
modal itu tetap terjebak pada kemiskinan di saat para pemilik modal menikmati
hasil dari kekayaan alam yang ada disekitar orang miskin tersebut. Kondisi seperti
itu membuat Fukuyama (1992:xi) memprediksi bahwa akhir dari sejarah dunia ini
adalah kapitalisme global dengan mengatakan bahwa demokrasi liberal dengan
15
segenap perangkatnya, termasuk kapitalisme atau sistem ekonomi pasar akan
menjadi titik akhir dari evolusi idiologi berfikir manusia dan akan menjadi bentuk
akhir dari pemerintahan. Seperti itulah akhir dari perjalanan sejarah ummat
manusia menurut Fukuyama.
Modal yang terus terakumulasi membuat para pemilik modal terus
meningkatkan kapasitas dirinya yang memungkinkannya memiliki kemampuan
lebih untuk mengakumulasi modal dan mendapatkan keuntungan yang lebih
besar lagi. Kaum papa miskin yang lemah disisi lain terus terpinggirkan dan
semakin tidak berdaya serta kian terjebak dalam kemiskinannya. Pasar dalam
banyak kasus ternyata tidak mampu untuk mengatur dirinya sendiri (failed to self
regulating market), pasar selalu diatur dan didominasi oleh kelompok-kelompok
yang lebih kuat, baik dari pihak penjual maupun dari pihak pembeli. Disinilah
ekonomi politik mengambil perannya, ada pihak-pihak tertentu yang berusaha
menguasai pasar untuk memaksimalkan keuntungan pribadi. Thurow (1983)
dalam Swasono (2011:4) menyebut mekanisme pasar semacam ini sebagai arus
berbahaya (the dangerous current) bagi kesejahteraan masyarakat. Selain itu
Heilbroner (1994) dalam Swasono (2011:4) juga menyatakan bahwa pasar
mendorong perbuatan yang tidak bermoral, sehingga mekanisme pasar tidak
hanya merupakan suatu kegagalan ekonomi, tapi juga merupakan suatu kegagalan
moral.
Ekonomi pasar mengalami perkembangan baru setelah munculnya John
Maynard Keynes ketika terjadinya great depretion pada tahun 1930an. Keynes
menganggap kapitalisme memiliki daya adaptasi yang baik dalam membentuk
dirinya sendiri menurut keadaan. Tetapi Keynes menyadari bahwa masa depan
kapitalisme mungkin mengalami kehancuran sehingga ia melahirkan teori
kebangkrutan kapitalis (stagnasi jangka panjang) berdasarkan kondisi over
produksi umum, konsumsi rendah yang kronis, dan merosotnya efisiensi marginal
modal di masa depan. Sebagai solusinya, Keynes mengusulkan perlunya tindakan
pemerintah yang terencana dalam sistem ekonomi pasar (Jhingan, 1999:134).
Keynes merupakan ekonom pertama yang menyadarkan pentingnya integrasi
pemerintah dengan sistem pasar, bukan sebagai pelaku ekonomi, tapi justeru
sebagai pengarah dan pengatur terlaksananya ekonomi pasar. Pemerintah
mempunyai tanggungjawab untuk membuat kebijakan-kebijakan publik di bidang
ekonomi yang dapat menjamin ekonomi pasar bekerja dengan baik berdasarkan
prinsip utamanya yakni pasar persaingan sempurna.
Amerika Serikat menjadi contoh penting bekerjanya ekonomi pasar ala
Keynes yang menekankan perlunya tindakan pemerintah yang terencana dalam
konteks ekonomi tembakau. Gencarnya isu anti rokok justeru dimanfaatkan oleh
Amerika Serikat untuk memproteksi produksi tembakau dalam negeri agar tidak
kalah saing dengan tembakau luar. AS dengan ketat melarang impor tembakau,
namun pada saat yang bersamaan AS justeru mensubsidi petani tembakau untuk
bisa berproduksi secara maksimal. Kondisi ini membuat Amerika Serikat
mendapatkan keuntungan yang cukup besar dari sektor industri pertembakauan.
Sementara di Indonesia, pengusahaan tembakau diserahkan ke mekanisme pasar,
tidak ada proteksi khusus terhadap produk tembakau lokal. Penguasaan
perusahaan-perusahaan internasional (MNCs) terhadap industri tembakau nasional
16
membuat Indonesia seolah kehilangan wibawa dan legitimasi untuk mengatur
perdagangan tembakau (Kinasih et al. 2011:25-33).
Penguasa dalam interaksi ekonomi pada pelaksanaan agribisnis tembakau
virginia Lombok yang dilaksanakan dengan pola kemitraan dapat diidentifikasi
dengan melihat posisi tawar masing-masing pelaku usaha. Susrusa dan Zulkifli
(2009) menyatakan bahwa kemitraan yang terjalin antara petani tembakau dan
perusahaan mitra selama ini terkesan menempatkan petani dalam posisi yang
sangat lemah di mana petani diharuskan mengusahakan usahataninya berdasarkan
analisa dan kepentingan perusahaan, dalam hal ini petani terlihat bukan sebagai
petani mitra, tapi sebagai buruh tani perusahaan. Buruh tani yang bekerja diatas
sawah miliknya sendiri dengan upah rendah. Kondisi ini menggambarkan betapa
dalam interaksi ekonomi politik itu, kekuasaan utama berada di tangan perusahaan.
Pemerintah yang secara syah memegang kekuasaaan politik bahkan tidak pernah
mampu melakukan intervensi agar petani menanam tanaman yang diinginkan
pemerintah, tetapi kekuasaan yang terbentuk melalui mekanisme pasar
sebagaimana yang terjadi dalam pelaksanaan agribisnis tembakau virginia di
Pulau Lombok mampu melakukan itu.
Sistem Ekonomi Terpusat (State Based Economic)
Sistem ekonomi terpusat pada dasarnya merupakan kritik terhadap teori
ekonomi pasar yang dianggap gagal dalam menciptakan keadilan. Teori ini
pertama kali diperkenalkan oleh Karl Marx pada tahun 1867 sebagai alternatif
untuk ekonomi klasik Adam Smith. Melalui teori ini, Marx menunjukkan bahwa
sistem kapitalisme mengandung cacat fatal, yakni hanya menguntungkan kapitalis
dan bisnis besar dengan mengeksploitasi buruh. Marx meyakini bahwa
kapitalisme akan mengalami krisis yang pada akhirnya akan menghancurkan
dirinya sendiri dan digantikan dengan komunisme (Skousen, 2006:184).
Marx menggunakan teori nilai lebih (surplus values) untuk menjelaskan
cara kerja dan kelemahan kapitalisme dan dengan teori nilai lebih inilah ia
membangun suprastruktur analisa pembangunan ekonominya. Perjuangan kelas
semata-mata merupakan hasil dari penumpukan nilai lebih ditangan segelintir
kapitalis. Kapitalisme bagi Marx terbagi ke dalam dua kelompok besar yaitu kaum
buruh dan para kapitalis pemilik alat-alat produksi. Tenaga buruh diasumsikan
sama dengan jenis komoditas lainnya yang dapat diperdagangkan. Buruh menjual
tenaganya menurut harga yang berlaku dalam pasar tenaga kerja (labor market),
yaitu nilainya. Nilai dari tenaga buruh tidak lain adalah nilai dari sarana
kehidupan yang diperlukan oleh buruh untuk menghasilkan tenaga buruh tersebut.
Hal ini berarti bahwa nilai buruh itu sesuai dengan nilai kebutuhan dasar buruh
untuk mempertahankan hidupnya. Marx berkeyakinan bahwa nilai komoditas
yang diperlukan oleh buruh itu tidak akan pernah sama dengan nilai produk yang
dihasilkan oleh buruh tersebut. Jika buruh bisa memproduksi komoditas yang
diperlukan untuk kehidupannya hanya dalam enam jam per hari, namun pemilik
alat produksi tempatnya bekerja mengharuskannya bekerja selama sepuluh jam,
maka perbedaan nilai sebesar empat jam merupakan nilai lebih (surplus values)
yang dinikmati para kapitalis pemilik modal. Nilai lebih (surplus values) tersebut
17
pada akhirnya akan membawa akumulasi modal bagi kaum kapitalis. Kaum
kapitalis akan terus meningkatkan nilai lebih itu untuk memperbesar
keuntungannya dengan cara menambah jam kerja dan pengurangan upah buruh.
Upaya memperbesar nilai lebih dengan cara inilah yang disebut Marx sebagai
eksploitasi atau penghisapan kaum kapitalis terhadap buruh (Jhingan, 1999:115).
Skousen (2006:186-187) menjelaskan bagaimana Marx menggambarkan
proses kehancuran kapitalisme karena kerapuhannya sendiri. Akumulasi nilai
lebih (penumpukan keuntungan dan modal) oleh kaum kapitalis akan mendorong
kapitalis itu untuk menambah investasinya dengan menerapkan teknologi baru
yang memungkinkan peningkatan produktifitas. Penggunaan teknologi baru
berarti peningkatan biaya produksi (cost) sehingga mengurangi keuntungan
(profit). Selain itu penggunaan teknologi juga menyebabkan berkurangnya
kebutuhan tenaga kerja sehingga banyak buruh yang menjadi pengangguran dan
mengalami kehilangan sumber pendapatan. Minimnya sumber pendapatan
masyarakat membuat pasar dari komoditas yang dihasilkan para kapitalis menjadi
terbatas. Pasar yang terbatas menyebabkan terjadinya penurunan harga-harga
komoditas sehingga para kapitalis mengalami kerugian, dalam keadaan seperti
inilah kapitalisme mengalami krisis dan akhirnya hancur dari dalam.
Marx memiliki keyakinan bahwa kapitalisme akan mengalami kehancuran
dari dalam (self destruction), namun ia juga menekankan pentingnya perjuangan
kelas yang bersifat revolusioner untuk mempercepat kehancuran kapitalisme itu.
Untuk menjelaskan tetang pentingnya perjuangan kelas ini, Marx menafsirkan
sejarah secara materialistik dengan menganggap bahwa semua perjuangan sejarah
adalah hasil perjuangan ekonomi yang terus menerus di antara berbagai kelas dan
kelompok dalam masyarakat. Semua perjuangan itu disebabkan oleh adanya
pertentangan antara „cara produksi‟ yang merujuk pada perjanjian produksi dalam
masyarakat yang menentukan keseluruhan cara hidup sosial, politik dan
keagamaan dengan „hubungan produksi‟ yang merujuk pada struktur kelas
masyarakat. Setiap struktur kelas menurut Marx terdiri dari „pemilik tanah‟ dan
„bukan pemilik tanah‟ yang kemudian mengarah pada perjuangan kelas antara
orang kaya dan orang miskin sehingga akhirnya menghancurkan seluruh sistem
sosial tersebut. Tetapi menurut Marx “tidak pernah ada tatanan masyarakat yang
menghilang sebelum keseluruhan kekuatan produksi tuntas berkembang, dan
hubungan produksi yang baru dan lebih tinggi tidak pernah akan muncul sebelum
kondisi material kehadirannya matang di dalam kandungan masyarakat yang lama”
(Jhingan, 1999:114-115).
Damanhuri (2010:41-42) menggolongkan teori Marx ini kedalam teori
radikal. Bagi pendukung teori-teori radikal (terutama marxis-komunis),
pembangunan kapitalis dianggap bukan pembangunan sebenarnya, tapi hanya
merupakan suatu tahap perkembangan sosial yang akan berakhir lewat suatu
proses revolusi sosial untuk menghancurkan sistem kapitalis itu sendiri (self
destruction). Pembangunan yang sesungguhnya menurut teori ini adalah usaha
total yang digerakkan oleh suatu pemerintahan diktator proletariat untuk
menciptakan kekayaan material di mana alat-alat produksi menjadi milik bersama
dan barang-barang di distribusikan kepada para pekerja sesuai dengan jasa dan
perannya dalam proses produksi.
18
Teori Marxisme-Komunisme yang menekankan pentingnya penguasaan
alat produksi sebagai milik bersama memiliki beberapa ciri sebagai berikut
(Damanhuri, 2010:43):
1. Mengutamakan rasa kebersamaan atau kolektivisme. Harta dan alat-alat
produksi adalah milik bersama yang bisa didistribusikan untuk
kepentingan bersama, sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
Masyarakat dianggap sebagi satu-satunya kenyataan sosial, sehingga hak
milik perorangan tidak diakui, yang ada hanya kekayaan sosial atau
kekayaan bersama. Hal ini merupakan pembeda utama Marxisme-
Komunisme dengan ekonomi pasar yang lebih menonjolkan hak-hak
pribadi (individualism).
2. Mengutamakan unsur koopratif daripada motif laba atau kepentingan
pribadi, dalam konteks ini, negara membatasi kebebasan individu untuk
bekerja sesuai keinginannya. Negara yang menentukan pekerjaan apa yang
harus dikerjakan oleh seseorang disesuaikan dengan kapasitas dan
kemampuannya.
3. Campur tangan (peran) pemerintah dalam proses perencanaan,
pelaksanaan hingga pengawasan aktifitas ekonomi sangat kuat dan
dominan. Berbeda dengan sistem ekonomi pasar yang menekankan pada
minimisasi peran negara.
Selain oleh Marx, kritik terhadap sistem ekonomi pasar juga lahir dari
ekonom-ekonom modern pendukung Marx. Secara garis besar ada tiga teori yang
lahir sebagai kritik atas sistem ekonomi pasar yang berangkat dari teori “tangan
tuhan” Adam Smith ini, yaitu pertama teori ketergantungan yang lahir di Amerika
Latin. Teori ini menganggap bahwa pembangunan model kapitalisme adalah
“strategi licik” barat atau negara maju untuk membuat negara-negara berkembang
bergantung secara ekonomi kepada barat. Teori ini lahir dari pengalaman
massifnya investasi asing yang masuk di Amerika Latin. Pada awalnya investasi
ini disambut baik karena dianggap dapat menciptakan lapangan pekerjaan bagi
masyarakat, tapi ternyata kehadirannya justeru menyebabkan seluruh moda
produksi asli lokal terpinggirkan sementara para kapitalis pemilik modal itu
meraup keuntungan yang besar. Kedua adalah teori sistem dunia. Teori ini
merupakan kelanjutan dari teori ketergantungan. Secara ekstrem teori ini
menyebut agresifitas ekspansi kapital Trans Nasional Corporation (TNCs)
sebagai sebuah imperialisme berkedok investasi. Kapitalisme global
menginginkan struktur ekonomi global yang seragam dan mendunia.
Penyeragaman struktur ekonomi dunia ini kemudian membentuk hegemoni
kapital. Struktur hegemonik terhadap perekonomian lokal ini dianggap sebagai
sistem yang tidak adil dan tidak demokratis karena menggerus dan meminggirkan
perekonomian lokal. Ketiga, teori pemberdayaan yang meyakini bahwa
keterbelakangan, ketertinggalan, kemiskinan dan ketergantungan hanya bisa
diputus melalui proses pemberdayaan masyarakat. Hanya dengan pemberdayaan
masyarakat akan menjadi mandiri dan tidak terus terpinggirkan (Dharmawan,
2006:3-5).
19
Para penganjur teori ketergantungan lebih menekankan pada fakta
ketidakseimbangan kekuasaan internasional dan perlunya dilakukan suatu
reformasi ekonomi, politik, dan kelembagaan secara mendasar, baik di negara-
negara berkembang itu sendiri maupun terhadap sistem internasional secara
keseluruhan. Secara ekstrem penganjur teori ini menyerukan pengambilalihan
kepemilikan aset-aset oleh negara dengan harapan bahwa kepemilikan dan
penguasaan aset oleh publik akan lebih efektif dalam membasmi kemiskinan
absolut, memperluas kesempatan kerja, mengurangi kesenjangan distribusi
pendapatan, serta meningkatkan taraf hidup seluruh anggota masyarakat di semua
negara di dunia ini. Kelompok neo-Marxisme yang lebih radikal menyatakan lebih
jauh lagi, yaitu bahwa pertumbuhan ekonomi dan perubahan-perubahan struktural
tidak akan menjadi masalah jika hak kepemilikan pribadi dihapuskan (Todaro dan
Smith, 2006:146).
Pandangan Marx dan pendukungnya tentang perlunya penguasaan aset dan
alat produksi oleh negara dianggap banyak ekonom sebagai kegagalan Marx
dalam memahami persoalan ekonomi. Michael Harrington (1976) dalam Skousen
(2006:196) bahkan mengatakan bahwa Marx pada dasarnya merupakan seorang
anti-ekonom. Skousen menyebutnya sebagai „idealis naif‟ yang gagal memahami
peran capital (modal), pasar, harga dan uang dalam meningkatkan kemakmuran
material manusia. Marx keliru besar ketika dia berpendapat bahwa sosialisme
utopianya dapat mencapai peningkatan pesat dalam standar hidup buruh.
Sosialisme yang digagas Marx dengan strategi penguasaan aset produksi oleh
negara tidak akan mampu menciptakan kelimpahan dan keragaman barang dan
jasa, terobosan teknologi, kesempatan kerja baru dan waktu senggang.
Todaro dan Smith (1999:146-147) menjelaskan bahwa jika teori
ketergantungan yang digagas pihak neo-marxisme diterapkan secara mentah-
mentah, maka menurut teori tersebut strategi terbaik yang harus diambil oleh
negara terbelakang adalah meminimalisasi keterkaitan dengan negara maju, serta
menerapkan kebijaka pembangunan yang berorientasi kedalam (autarky), dalam
kadar yang paling maksimal adalah hanya berhubungan dengan sesama negara
terbelakang dengan negara (pemerintah) sebagai pelaku ekonomi utama. Todaro
dan Smith mencontohkan negara besar yang pernah menggunakan strategi
pembangunan ekonomi seperti ini, yakni China dan India yang ternyata
mengalami pertumbuhan ekonomi stagnan sehingga akhirnya negara-negara
tersebut memutuskan untuk membuka perekonomiannya. Contoh kasus diatas
merupakan bukti bahwa sistem ekonomi terpusat (state based economic) gagal
dalam menciptakan kemakmuran masyarakat.
Jhingan (1999:121) bahkan menyebut Marx sebagai „peramal palsu‟ untuk
menggambarkan kegagalan teori Marx dalam memahami dan meramalkan masa
depan ekonomi. Teori Marx memang berhasil melahirkan masyarakat sosialis,
tetapi evolusinya tidak sesuai dengan yang digariskan Marx. Negara-negara yang
menganut pemikiran Marx justeru menjadi negara yang tertinggal dalam
pembangunan ekonominya. Semua negara komunis sampai sekarang masih
miskin jika dibandingkan dengan negara kapitalis. Disamping itu, buruh di negara
kapitalis yang sudah maju tidak semakin miskin sebagaimana yang diramalkan
Marx, tapi justeru mengalami peningkatan upah riil karena semakin meluasnya
pilihan ekonomi. Bahkan negara-negara kapitalis tidak menunjukkan adanya
20
tanda-tanda melemah dan hancur sebagaimana dikatakan Marx. Selain itu Peet
dan Hartwick (2009:181) juga mencatat beberapa fakta empiris yang
menunjukkan bahwa negara-negara berkembang yang tergantung (dependence)
pada negara maju memiliki tingkat pertumbuhan dan perkembangan ekonomi
yang lebih tinggi dan lebih baik dibanding negara-negara yang tidak tergantung
(non dependence) pada negara maju.
Sebagai komoditas komersil bernilai tinggi, tembakau memiliki peran
penting dalam memajukan perekonomian suatu negara. Setiap negara menerapkan
pendekatan yang berbeda terhadap pengembangan industri tembakau. Salah satu
strateginya adalah dengan menerapkan sistem ekonomi terpusat (state based
economic) khusus untuk komoditas tembakau. Cina adalah negara yang
menerapkan strategi itu, di mana pengelolaan tembakau di Cina dilakukan oleh
negara tanpa keterlibatan sektor swasta. Cina merupakan penghasil tembakau
terbesar di dunia, untuk mengembangkan industri tembakaunya Cina menerapkan
regulasi mengisolasi diri dari perdagangan internasional. Rokok di Cina
diproduksi dengan bahan baku hampir 100% dari dalam negeri dan dipasarkan
hampir 100% di dalam negeri juga. Pengusahaan tembakau di Cina di monopoli
oleh negara. Karenanya, industri tembakau Cina mampu memberikan keuntungan
besar kepada negara. (Kinasih et al. 2011:45-52).
Pengelolaan komoditas pertembakauan dalam sejarah nasional Indonesia
pernah dikelola dengan pendekatan sistem ekonomi terpusat ini di mana saat itu
pemerintah Hindia Belanda (pada masa pra kemerdekaan Indonesia) menjadikan
komoditas tembakau sebagai salah satu komoditas yang wajib ditanam ketika
sistem tanam paksa diberlakukan (Suroyo, 2000:188-191). Kebijakan tanam paksa
tembakau ini menunjukkan bahwa tembakau di masa Hindia Belanda merupakan
salah satu komoditas unggulan pemerintah kolonial untuk keperluan ekspor.
Adanya paksaaan dari pemerintah kolonial kepada penduduk pribumi untuk
menanam tembakau merupakan salah satu bentuk keterlibatan langsung
pemerintah dalam aktifitas ekonomi. Tetapi hal itu dilakukan oleh pemerintah
kolonial sebenarnya untuk memenuhi tuntutan pasar global. Kebijakan tanam
paksa tembakau itu merupakan cara pemerintah kolonial untuk mengamankan
kepentingan kapitalis dalam menumpuk modal dan menambah surplus values-nya.
Negara dalam hal ini berperasn sebagai kapitalis juga (state capitalism). Kondisi
seperti ini umum terjadi pada masa kolonial karena berkembangnya merkantilisme.
Sistem Ekonomi Heterodoks
Lahirnya sebuah teori pembangunan sangat ditentukan oleh kondisi
lingkungan di mana penggagas teori tersebut menulis teorinya. Teori yang dibuat
oleh seseorang sesungguhnya merupakan perwujudan dari apa yang disaksikan
sepanjang hidupnya. Artinya teori yang dibuat tersebut belum tentu cocok untuk
menggambarkan kondisi di tempat lain, apalagi untuk diterapkan di tempat lain.
Setiap negara memiliki karakter sosial, geografis dan pengalaman sejarah yang
berbeda-beda. Hal itu menyebabkan fenomena ekonomi di setiap negara memiliki
ciri khas masing-masing. Fenomena yang terjadi di suatu negara tidak dapat
diklaim terjadi juga di tempat atau negara lain sehingga penanganan atau
21
pendekatan pembangunan ekonomi tidak bisa dilakukan dengan meniru begitu
saja strategi pembangunan ekonomi di negara lain.
Sebuah teori bisa jadi berhasil menjawab permasalahan ekonomi di suatu
negara, namun bisa jadi teori tersebut justeru menambah masalah jika diterapkan
di negara lain yang karakter fisik, sosial dan budayanya berbeda. Hal inilah yang
selama ini menjadi faktor kunci kegagalan negara berkembang dalam
pembangunan ekonominya. Kebanyakan negara berkembang meniru
(menduplikat) teori dan strategi pembangunan yang diterapkan di negara maju
tanpa ada penyesuaian dengan kondisi nyata di negara berkembang tersebut.
Negara-negara berkembang itu tidak memahami sepenuhnya kebutuhan
masyarakat di negaranya lalu kemudian memaksa masyarakatnya untuk menerima
strategi pembangunan yang ditiru dari negara-negara maju itu. Fakta inilah yang
kemudian memunculkan teori yang disebut dengan teori heterodoks (menyempal)
karena karakter teorinya yang menyempal dari teori yang dikenal umum, yaitu
teori liberal (ekonomi pasar) dan teori radikal (ekonomi terpusat). Teori ini
bukanlah teori besar (grand theory) melainkan hanya merupakan teori-teori kecil
tapi berhasil menjelaskan dan memberikan solusi bagi beberapa negara di luar
negara-negara barat (Damanhuri, 2010:61-62).
Nugroho (2006:179-180) menjelaskan bahwa aliran heterodoks merupakan
aliran non mainstream yang tidak lain adalah lawan dari teori-teori ortodoks yang
dikenal luas dalam teori pembangunan. Ada beberapa aliran yang digolongkan
kedalam teori heterodoks menurut Nugroho, yaitu:
1. Aliran kelembagaan (institusionalis) yang menyatakan bahwa
perkembangan ekonomi suatu negara akan sangat dipengaruhi oleh
kelembagaan negara tersebut, baik kelembagaan yang sifatnya legal formal
maupun kelembagaan non formal. Kelembagaan legal formal yang
dimaksud adalah kelembagaan seperangkat aturan hukum dan Undang-
Undang yang berlaku di suatu negara, sementara kelembagaan non formal
yang dimaksud adalah seperangkat kebiasaan, adat-isitadat, tradisi, budaya,
dan sebagainya.
2. Aliran sejarah (historis) yang menekankan bahwa fenomena dan kinerja
perekonomian sebuah negara merupakan hasil dari perjalanan sejarah
negara tersebut. Para pendukung aliran sejarah ini menyatakan bahwa
analisis ekonomi tidak bisa dilakukan dengan metode deduktif
sebagaimana lazim digunakan oleh kaum neo-klasik. Metode deduktif
berangkat dari keyakinan, hipotesis, dan teori yang diyakini kebenarannya
sejak sebelum penelitian dilakukan sehingga cenderung merekayasa
penelitian tersebut agar sesuai dengan hipotesis dan keyakinan awalnya itu.
Analisis ekoomi menurut aliran harus dilakukan dengan cara induktif di
mana peneliti bergerak dari fenomena yang ada di masyarakat tanpa
dibekali teori apapun. Teori disusun berdasarkan fenomena yang ada di
tempat penelitian, bukan sebaliknya.
Sistem ekonomi heterodoks dalam kalimat yang sederhana merupakan
sistem ekonomi yang disusun dan diterapkan berdasarkan kondisi-kondisi spesifik
22
sebuah negara. Damanhuri (2010:62) menyebutkan ciri-ciri dari teori
pembangunan ekonomi heterodoks ini sebagai beriku:
1. Teori ini selalu menyesuaikan dengan realitas yang ada di negara
berkembang, dengan demikian kondisi keberhasilan pembangunan
ekonomi di negara maju tidak bisa menjadi referensi untuk melaksanakan
pembangunan di negara berkembang.
2. Adanya pengakuan yang luas terhadap nilai-nilai kearifan lokal suatu
negara, baik agama, kebudayaan, adat istiadat maupun nilai-nilai lokal
lainnya. Lebih dari itu nilai-nilai kearifan lokal itu justeru dijadikan
sebagai salah satu kekuatan penting dalam pembangunan ekonomi.
3. Adanya sinkronisasi antara nilai-nilai lokal dengan nilai-nilai modern.
Upaya penyerapan perkembangan modern di satu sisi diikuti dengan upaya
melestarikan nilai-nilai lokal yang sudah ada di sisi lain.
4. Adanya keterlibatan langsung yang cukup penting dari UKM dan LSM
lokal yang dianggap sebagai penggerak dalam keberhasilan pembangunan
ekonomi.
Teori dualisme ekonomi dari Boeke adalah salah satu contoh teori
heterodoks. Boeke membuat bangunan teori dualisme itu dari kondisi dualistik
yang dilihatnya di masyarakat Indonesia pra merdeka. Menurut Boeke, ada tiga
ciri ekonomi masyarakat yaitu semangat sosial, bentuk organisasi dan teknik yang
mendominasinya. Saling ketergantungan antara ketiganya merupakan siste sosial.
Jika suatu masyarakat hanya memiliki satu sistem sosial, maka masyarakat
tersebut disebut masyarakat homogen, tetapi jika masyarakat itu memiliki lebih
dari satu sistem sosial, maka masyarakat tersebut disebut sebagai masyarakat
dualistik atau majemuk. Pada masyarakat Indonesia pra merdeka, masyarakat
pribumi mengalami dualistik di mana sistem sosial masyarakat pribumi
bercampur dengan sistem sosial masyarakat barat yang datang dari masyarakat
barat (Belanda). Sebagian masyarakat terpengaruh oleh sistem sosial barat
sementara sebagian besar yang lain tetap dalam sistem sosialnya yang sudah ada.
Hal itu membuat terjadinya benturan antara sistem sosial yang diimpor dari barat
dengan sistem sosial pribumi. Hal itulah yang menyebabkan masyarakat pribumi
sulit mengalami perkembangan ekonomi pada masa itu (Damanhuri, 2010:63-64)
Rahardjo (2011:3) menjelaskan tentang teori dualisme ekonomi Boeke ini
dengan lebih jelas. Menurut Boeke, ekonomi lokal masyarakat Indonesia lebih
digerakkan oleh upaya pemenuhan kebutuhan sosial yang berorientasi pada
terciptanya kesejahteraan masyarakat secara bersama-sama. Hal itu membuat
praktek ekonomi sosial Indonesia sering kali berwujud kerja bersama (gotong
royong) untuk membantu aktifitas ekonomi anggota masyarakat tanpa
mengharapkan upah. Pemerintah kolonial Belanda pada sisi lain justeru
mengembangkan sistem ekonomi yang sangat kapitalistik yang menuntut
masyarakat lokal untuk berproduksi guna memenuhi kebutuhan pasar. Hal inilah
yang disebut Boeke sebagai „dualisme ekonomi‟. Lebih jauh Boeke juga
menyatakan bahwa fenomena dualisme ekonomi inilah yang selama ini
menghambat tercapainya kesejahteraan masyarakat pribumi.
23
Atas dasar analisis itulah Boeke mendukung gagasan pengembangan
koperasi di kalangan pribumi. Boeke adalah salah satu orang pertama yang
mengatakan bahwa koperasi merupakan sistem ekonomi yang paling cocok
dengan budaya kaum pribumi Hindia-Belanda. Koperasi menekankan pentingnya
kesejajaran antara prinsip cooperative dengan nilai gotong royong atau tolong
menolong. Bersama ekonom pribumi, Muhammad Hatta, Boeke menjadi pelopor
peraturan pemerintah dan Undang-Undang Perkoperasian yang dianggap sesuai
dengan kondisi perekonomian kaum pribumi. Pandangan Boeke itulah yang
kemudian menjadi ruh atau semangat munculnya Pasal 33 dalam Undang Undang
Dasar 1945 (Rahardjo, 2011:3).
Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat dikatakan bahwa Indonesia
sesungguhnya secara legal formal menghendaki teori ekonomi heterodoks sebagai
strategi pembangunan ekonominya. Para pendiri bangsa ini sesungguhnya berharap
bahwa perekonomian nasional dijalankan atas dasar kerja sama dan kasih sayang,
bukan atas dasar persaingan dan keserakahan individualisme yang menjadi ciri khas
sistem ekonomi kapitalisme, namun dalam prakteknya pelaksanaan perekonomian
berdasarkan atas azas kekeluargaan sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 UUD
1945 itu belum terlihat dominan dalam realitas pembangunan ekonomi Indonesia.
Jepang adalah salah satu contoh penting negara yang menerapkan dengan
baik teori ekonomi heterodoks. Jepang adalah negara paling maju di Asia yang
dapat dikatakan berhasil membangun perekonomiannya hampir di semua aspek
ekonomi. Berbeda dengan kemajuan yang dialami oleh negara industri barat yang
kemajuan ekonominya terjadi karena bekerjanya sistem ekonomi pasar secara
ekstrem, Jepang membangun perekonomiannya dengan tanpa menghilangkan
budaya dan nilai-nilai lokal yang telah ada didalamnya. Nilai-nilai lokal, budaya
serta agama yang dianut masyarakat Jepang itu justeru menjadi variabel penting
yang memperkuat Jepang dalam upaya pembangunan ekonominya. Micho
Morishima dalam analisisnya menyatakan bahwa keberhasilan jepang dalam
pembangunan ekonominya itu tidak terlepas dari adanya nilai tradisional
konfusianisme yang mampu mengeliminasi problem kelas sosial (Damanhuri,
2010:73).
Lebih jauh, Damanhuri (2010:74) merangkum setidaknya ada empat ciri
menonjol dalam model ekonomi Jepang, yaitu: (1) negara menjadi sentral dalam
penentuan keputusan jangka panjang, pertumbuhan ekonomi, consensus antar
lembaga, pengembangan teknologi, dan sebagainya. Tetapi negara berperan
sangat sedikit dalam tingkat realisasinya. Negara mempercayakan pelaksanaan
hasil perencanaan itu kepada pihak swasta sepenuhnya; (2) negara dan swasta
menjalin hubungan kemitraan yang sangat erat dalam rangka merebut pasar dunia
dengan membentuk Japan Incorporated sebagai wadah resmi kerjasama itu; (3)
sistem subsidi untuk kebutuhan pokok yang menjamin secara selektif proses
redistribusi kepada para petani serta kelas-kelas sosial yang rendah lainnya dari
hasil-hasil pertumbuhan ekonomi; dan (4) peran buruh tidak signifikan dalam
proses pengambilan keputusan ekonomi politik, namun sebagai kompensasinya,
perusahaan berkewajiban untuk mengadakan konsultasi regular, baik harian,
mingguan, bulanan maupun tahunan untuk menampung segala aspirasi buruh.
Jepang kembali menjadi contoh penting dalam menggambarkan berjalannya
teori heterodoks pada sektor ekonomi pertembakauan. Sejak awal abad 20 hingga
24
dekade 1980an, industri tembakau Jepang dijalankan oleh negara secara terpusat
(sebagaimana teori state based economy) di mana negara memonopoli
perdagangan tembakau di Jepang. Pemerintah Jepang pada masa itu mengambil
alih proses budi daya, produksi dan penjualan produk-produk tembakau.
Monopoli negara terhadap perekonomian tembakau ini berlaku untuk semua aspek
budi daya tembakau, pengolahan, penjualan hingga konsumsi. Baru pada era
1980an, Jepang melakukan transformasi besar-besaran dengan menggandeng
sektor swasta dalam menjalankan bisnis tembakau namun tetap dalam konsep
monopoli dengan membentuk Japan Tobacco Incorporated. Tujuan dari upaya
privatisasi ini adalah untuk memperbesar jangkauan pasar, terutama pasar
internasional dan memperluas kapasitas usaha perusahaan. Pada tahun 1999,
Japan Tobacco memperluas skala usahanya dengan membeli RJ Reynolds
International. Lebih jauh, Japan Tobacco juga mengakuisisi Gallaher Group Plc
pada april 2007 untuk memperkuat posisinya sebagai perusahaan internasional
(Kinasih et al., 2012:53-55). Tepat jika Damanhuri (2010:73) menyebut model
pembangunan ala Jepang ini sebagai state capitalism atau capitalist development
state karena sikap progresif pemerintah Jepang yang memerankan diri sebagai
swasta yang terus berusaha mengakumulasi modal demi membangun
perekonomiannya.
Ekonomi Wilayah
Keterkaitan Ekonomi dan Wilayah
Ekonomi tidak bisa dipisahkan dari pembahasan tentang kewilayahan.
Capello (2007:1-2) menyebut aktifitas ekonomi itu muncul, tumbuh dan
berkembang didalam ruang atau wilayah. Sumber daya produksi tersedia dan
terdistribusi didalam ruang atau wilayah. Perbedaan ketersediaan sumber daya
sebagai akibat dari perbedaan kondisi geografis dan iklim antar wilayah
menyebabkan aktifitas ekonomi pada setiap wilayah mengalami perbedaan
karakteristik, hasil dan tingkat kesejahteraan. Wilayah berperan besar dalam
mempengaruhi bekerjanya sistem ekonomi. Wilayah merupakan sumber
keunggulan dalam aktifitas ekonomi (the advantage source of economic) karena
wilayah menyediakan faktor produksi yang dibutuhkan dalam menjalankan
aktifitas ekonomi. Karena kesadaran akan pentingnya wilayah dalam aktifitas
ekonomi itulah yang kemudian melahirkan cabang ilmu ekonomi yang bernama
ekonomi wilayah (regional economic). Secara definitif, Shrivastava (2000:44)
memberikan penjelasan tentang ruang lingkup ekonomi wilayah. Menurutnya
ekonomi wilayah menekankan pada bagaimana aktifitas sektoral (sub sektor atau
fungsional) bisa meningkatkan pendapatan regional dan menyediakan lapangan
kerja didalam wilayah. Lebih spesifik lagi ia menyebut ekonomi wilayah sebagai
penyelesaian permasalahan ekonomi di dalam wilayah (problem-solving
economics for a region).
Keterkaitan yang kuat antara aktifitas ekonomi dan wilayah membuat
banyak ekonom berpendapat bahwa pembangunan ekonomi harus dilakukan
dengan menjadikan wilayah sebagai basis dan orientasi pembangunan
(pembangunan berbasis wilayah). Sebab pembangunan ekonomi sejauh ini
25
umumnya berorientasi pada kinerja ekonomi makro suatu negara. Malecki‟s
(1991) dalam Stimson et al. (2006) menyatakan bahwa standar teori pembangunan
ekonomi selama ini hanya berfokus pada perubahan kuantitatif secara agregat.
Meskipun ada kesadaran tentang pentingnya pembangunan berbasis wilayah,
namun umumnya wilayah hanya dijadikan sebagai alat pembanding (comparison
tools) untuk melihat kinerja ekonomi agregat secara kuantitatif. Pembangunan
ekokomi wilayah menurut Stimson (2006) seharusnya memiliki dua dimensi,
yaitu dimensi kuantitatif dan dimensi kualitatif. Dimensi kuantitatif berguna untuk
mengukur peningkatan atau pertumbuhan kesejahteraan seperti tingkat pendapatan,
ketersediaan barang dan jasa, tingkat keamanan finansisal, dan sebagainya. Tapi
yang tidak kalah penting dari itu adalah dimensi kualitatif seperti kesamaan
(equity), berdampak luas pada penyediaan lapangan kerja (spread effect of
economic), pencapaian pembangunan berkelanjutan, dan peningkatan kualitas
hidup di dalam wilayah.
Multiplikasi pendapatan dalam pembangunan ekonomi wilayah
merupakan inti dari proses pertumbuhan ekonomi. Semakin besar kebocoran
ekonomi yang terjadi berarti semakin besar multiplikasi nilai tambah yang hilang
(Bendavid, 1991). Tarigan (2002:180-184) menjelaskan proses terbentuknya nilai
tambah wilayah yang dimulai dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB),
hingga ke pendapatan real yang diterima dan dibelanjakan masyarakat dalam
suatu wilayah.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah jumlah total nilai
tambah dari aktifitas ekonomi yang ada di suatu wilayah. Nilai bruto mencakup
komponen-komponen faktor pendapatan (upah dan gaji, bunga, sewa tanah, dan
keuntungan perusahaan), penyusutan, serta pajak tidak langsung netto. PDRB ini
sering menjadi bahan acuan untuk mengukur kondisi ekonomi masyarakat di
suatu wilayah. Padahal nilai PDRB itu tidak sepenuhnya masuk menjadi
pendapatan real masyarakat (disposable income).
Setelah nilai PDRB diketahui, selanjutnya dihitung “Produk Domestik
regional Netto (PDRN)” dengan cara mengurangi nilai PDRB tadi dengan
penyusutan. Penyusutan adalah nilai aus (nilai susut) barang-barang modal atau
nilai pengurangan dari barang-barang modal (mesin, peralatan, kendaraan, dan
sebagainya) yang digunakan dalam proses produksi baik karena usia maupun
kapasitas kerja. Total nilai susut barang-barang modal itulah yang disebut dengan
„penyusutan‟.
Setelah pengurangan dengan penyusutan, selanjutnya lakukan
pengurangan dengan jumlah total pajak langsung netto yang dikeluarkan. Pajak
tidak langsung meliputi pajak penjualan, bea ekspor, bea cukai dan lain-lain. Hasil
pengurangan PDRN dengan pajak tidak langsung ini disebut dengan “PDRN atas
dasar biaya faktor”. Sebagaimana penjelasan sebelumnya bahwa sering kali terjadi
capital outflow dalam perekonomian wilayah. Jadi „pendapatan regional bruto‟
merupakan pengurangan dari PDRN atas dasar biaya faktor dengan capital
outflow dan ditambah dengan capital inflow.
Selanjutnya pendapatan regional bruto itu dikurang dengan pajak
pendapatan perusahaan (corporate income taxes), keuntungan yang tidak
dibagikan (undistributed profit), iuran kesejahteraan sosial (social security
26
contribution), ditambah transfer yang diterima rumah tangga dari pemerintah dan
bunga netto atas hutang pemerintah, maka akan dihasilkan „pendapatan
perorangan (personal income)‟. Personal income setelah dikurangi lagi dengan
pajak pendapatan perorangan, pajak rumah tangga/PBB, dan transfer yang
dibayarkan rumah tangga akan menghasilkan „pendapatan real yang dibelanjakan
masyarakat (disposable income)‟.
Kebocoran Ekonomi Wilayah
Ada dua kata kunci ketika berbicara soal kebocoran ekonomi wilayah, yaitu
kebocoran itu sendiri dan wilayah. Kebocoran dalam konteks ini selalu berkaitan
dengan makna ekonomi, oleh karenanya ketika menyebut kebocoran wilayah,
yang dimaksudkan adalah kebocoran ekonomi wilayah. Kebocoran menurut
Doeksen dan Charles (1969) adalah jumlah perubahan total output sebagai hasil
perubahan satu dolar pada permintaan akhir yang tidak terhitung pada suatu
wilayah karena berkaitan dengan impor, atau jumlah pendapatan baru yang tidak
dihasilkan didalam suatu wilayah sebagai akibat kenaikan satu dolar pada
pendapatan karena adanya impor. Sementara itu Bendavid (1991) menyebut
kebocoran sebagai tipe pengeluaran yang tidak meningkatkan tambahan
pendapatan domestik seperti pada pengeluaran pembelian barang-barang impor,
pembelian di luar wilayah, pengeluaran pajak, tabungan, dan sejenisnya yang
tidak meningkatkan arus pendapatan bagi masyarakat dan wilayah tersebut.
Wilayah menurut Isard (1975) dalam Rustiadi et al. (2011:25) pada
dasarnya bukan sekedar areal dengan batas-batas tertentu. Lebih dari itu, wilayah
merupakan suatu area yang memiliki arti atau bermakna (meaningful) karena
adanya masalah-masalah unik yang ada didalamnya, dengan demikian para ahli
regional memiliki ketertarikan untuk menangani masalah tersebut, khususnya
yang menyangkut masalah sosial ekonomi. Sementara secara yuridis, menurut UU
no 26 tahun 2007 tentang tata ruang dijelaskan bahwa wilayah adalah ruang yang
merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan
sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau fungsional.
Sedangkan Murty (2000:3) menjelaskan bahwa wilayah secara umum
merupakan wilayah geografis, teritorial atau suatu tempat tertentu. Wilayah bisa
bermakna suatu negara, provinsi, kabupaten, kecamatan dan termasuk juga desa,
namun wilayah tidak selalu merujuk pada bagian dari tempat atau areal tertentu.
Wilayah juga dapat dilihat dari kesatuan ekonomi, politik, sosial, administratif,
kesamaan kondisi iklim dan geografis dan sebagainya. Pengertian wilayah sangat
bergantung dari perspektif studi yang dibangun dan dikembangkan.
Berdasarkan berbagai definisi dan konsep diatas, maka dapat dipahami
bahwa kebocoran wilayah adalah potensi kehilangan pendapatan atau nilai tambah
suatu wilayah/daerah administratif tertentu sebagai akibat dari tidak adanya
aktifitas processing sumber daya unggulan wilayah/daerah didalam wilayah
/daerah itu. Makna lain dari kebocoran wilayah adalah kondisi terjadinya aliran
nilai tambah ke luar wilayah karena adanya potensi nilai tambah yang tidak dapat
dioptimalkan pemanfaatannya sehingga multiplier yang terjadi dalam
perekonomian wilayah menjadi kecil.
27
Kebocoran wilayah sering kali menjadi penyebab tertinggalnya suatu
wilayah dari wilayah lainnya. Rustiadi et al. (2011) menjelaskan bahwa
kebocoran wilayah dapat mendorong semakin terjebaknya suatu wilayah dalam
kemiskinan dan juga dapat memperlebar ketimpangan antar wilayah. Kiranya
inilah yang menjelaskan kenapa banyak wilayah/daerah yang kaya sumber daya
alam namun kondisinya relatif masih tertinggal dibanding daerah lainnya.
Indonesia misalnya, daerah-daerah kaya sumber daya alam seperti Indonesia
Timur, Kalimantan dan Sumatra, kondisinya tidak lebih baik dari daerah-daerah
yang ada di Pulau Jawa. Hal ini terjadi karena selama ini Pulau Jawa menjadi
pusat pertumbuhan dan pengolahan sumber daya yang bahan bakunya didapat dari
daerah-daerah diluar Pulau Jawa.
Berkembangnya Pulau Jawa sebagai pusat pertumbuhan dan pengolahan
hasil sumber daya di Indonesia terjadi tidak hanya karena dorongan pemerintah,
tapi juga karena bekerjanya mekanisme pasar kapitalisme. Kapitalisme tegak
diatas empat pilar yakni kebebasan (freedom) dengan meminimalkan campur
tangan pemerintah, mementingkan diri sendiri (selfish), pasar persaingan
sempurna, serta berorientasi pada laba (profit) dalam rangka mengakumulasi
modal (capital) [Yustika,2011:24-25].
Laba sebagai tujuan utama para kapitalis bisa dimaksimalkan dengan
melakukan efisiensi penggunaan input serta efektifitas atau memudahkan akses
terhadap pasar. Pulau Jawa dengan populasi yang tinggi menyediakan tenaga kerja
yang melimpah yang dapat dipekerjakan oleh para kapitalis dengan upah yang
murah. Selain itu, kondisi pendidikan yang lebih baik di Pulau Jawa juga
menyediakan tenaga kerja yang relatif lebih baik dibanding daerah lainnya. Lebih
dari itu, populasi yang tinggi di Pulau Jawa juga berarti permintaan (tujuan pasar
utama) yang tinggi tersedia di Pulau Jawa. Terlebih lagi, dengan memusatkan
aktifitas bisnis di Pulau Jawa para kapitalis dapat melakukan lobi-lobi dengan
pihak pemerintah secara lebih mudah. Untuk menjalankan proses produksi itu,
para kapitalis membutuhkan sumber daya yang diambil dari wilayah lain di luar
Pulau Jawa. Akibatnya, infrastruktur di Pulau Jawa berkembang pesat, bahkan
melebihi kapasitas lingkungan (carrying capacity-nya) sementara wilayah lain
kian tertinggal.
Pendapat diatas diperkuat dengan pendapat Anwar (2004) yang
menjelaskan bahwa kebocoran wilayah yang besar sering terjadi karena: (1) sifat
komoditas yang bersifat eksploitatif yang dalam sistem produksi atau processing-
nya komoditas itu memerlukan syarat-syarat khusus baik kualitas sumber daya
manusia, teknologi, kedekatan dengan pasar maupun persyaratan lain yang
membuat aktifitas ekonomi suatu komoditas yang berasal dari suatu wilayah
diolah di wilayah lain; (2) sifat kelembagaan, yaitu menyangkut kepemilikan
(owner).
Proses intraksi regional yang seperti itulah yang membuat ketimpangan
wilayah antara Jawa dan luar Jawa semakin memburuk di Indonesia. Secara
teoritis, ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya ketimpangan wilayah.
Murty (2000:5-8) mengidentifikasi penyebab dari ketimpangan wilayah dengan
mengkombinasikan variabel ekonomi dengan variabel lainnya seperti variabel
fisik dan sosial yang diyakini menjadi penyebab ketimpangan wilayah. Atas dasar
28
itu ia menyimpulkan bahwa ada beberapa penyebab utama terjadinya ketimpangan
wilayah yaitu kondisi geografis, latar belakang sejarah, politik, kebijakan negara,
administratif, sosial, dan ekonomi.
Secara geografis, wilayah yang terlalu luas menyebabkan distribusi
sumber daya nasional (national resources), sumber daya kekuatan (power
resources), sumber daya pertanian (agricultural resources), topografi, iklim dan
curah hujan secara keseluruhan tidak sama. Secara historis, pembangunan
masyarakat akan sangat bergantung pada apa yang sudah dilakukan di masa lalu
sebagai acuan untuk bertindak di masa depan. Secara politik, stabilitas politik,
kekuatan pemerintah (government power), korupsi dan partisipasi publik sangat
berpengaruh dalam pembangunan. Jika politik tidak stabil, atau jika pemerintah
stabil tapi lemah, korup dan resisten terhadap kritik publik, maka itu akan
menyebabkan kegagalan pembangunan dan juga ketimpangan pembangunan.
Kebijakan negara (state policy), keberpihakan kebijakan akan sangat menentukan
hasil pembangunan. Di banyak negara miskin, keberpihakan itu lebih banyak
diberikan kepada orang-orang kaya (pemilik modal) untuk mengeksploitasi orang
miskin. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya efek penyedotan (backwash effect)
yang memperparah ketimpangan wilayah. Secara administratif, lemahnya
birokrasi, ketidakjelasan fungsi administratif merupakan bentuk inefisiensi
administratif yang sering kali menyebabkan ketimpangan wilayah. Kondisi sosial,
berkaitan dengan sikap masyarakat terhadap kegiatan ekonomi. Masyarakat di
beberapa wilayah terkadang menciptakan suasana tidak kondusif bagi
perekonomian sehingga menyebabkan wilayahnya tidak berkembang. Secara
ekonomi, ketimpangan sering disebabkan karena perbedaan ketersediaan faktor
produksi, linngkaran setan kemiskinan (the vicious circle of poverty), free market
yang menyebabkan backwash effect serta ketidak sempurnaan pasar.
Sementara itu, Williamson (1975) menyebut ada beberapa hal yang
menjadi penyebab dari regional inequality, di mana kebocoran yang dimaksudkan
Williamson ini tidak sekadar kebocoran ekonomi secara langsung tapi juga
kebocoran sumber daya manusia (human resources) yang juga berpotensi
menimbulkan kebocoran ekonomi. Secara detail penyebab ketimpangan menurut
Williamson adalah:
1. Migrasi tenaga kerja antar wilayah (interregional labor migration) :
lengkapnya fasilitas di wilayah perkotaan membuat banyak penduduk
pedesaan bermigrasi ke wilayah perkotaan. Sayangnya, karena proses
migrasi itu membutuhkan biaya serta kesiapan untuk berkompetisi (skill),
maka yang bisa melakukan migrasi adalah orang-orang yang terpilih
secara ekstrem. Orang-orang yang bermigrasi itu biasanya adalah orang-
orang terdidik, memiliki kemampuan cukup baik dan dalam usia produktif.
Akibatnya, wilayah pedesaan yang ia tinggal kehilangan orang-orang
terbaik (terdidik dan terampil) dan wilayah perkotaan justeru
mendapatkan orang-orang terbaik yang datang dari pedesaan. Akibatnya
wilayah perkotaan menjadi semakin maju dan wilayah pedesaan semakin
tertinggal.
2. Migrasi modal antar wilayah (interregional capital migration): para
pemilik modal umumnya berasal dari wilayah yang sudah maju. Para
Pemilik modal itu berinvestasi di wilayah yang memiliki ketersediaan
29
sumber daya alam namun belum maju. Ketika investasinya itu
mendapatkan keuntungan, keuntungannya itu dibawa ke wilayah asalnya.
Akibatnya uang yang beredar di wilayah asal semakin banyak sementara
di wilayah tempatnya investasi hanya kebagian sebagian kecil saja. Itupun
dengan merelakan sumber dayanya dikeruk oleh investor itu. Kondisi ini
membuat ketimpangan antar wilayah menjadi semakin besar.
3. Kebijakan pemerintah pusat (central government policy) : pemerintah
pusat memiliki kecenderungan untuk mendapatkan pertumbuhan ekonomi
yang tinggi secara nasional (agregat). Untuk mencapai tujuan itu,
pemerintah pusat umumnya mengintensifkan investasi publik di wilayah-
wilayah yang memiliki potensi pasar besar (demand side strategy
development). Akibatnya wilayah yang tertinggal menjadi semakin
tertinggal.
4. Hubungan atau keterkaitan antar wilayah (interregional linkage) : proses
pembangunan suatu wilayah selalu diharapkan dapat memberikan efek
sebar (spread effect) ke wilayah lain. Spread effect itu dapat diharapkan
dapat membawa perubahan teknologi, perubahan sosial dan
melipatgandakan penghasilan masyarakat di wilayah lainnya. Atas asumsi
inilah dalam ekonomi wilayah dikenal istilah pusat pertumbuhan (center
of growth). Namu faktanya efek sebar ke wilayah lain itu berlangsung
sangat lambat. Bahkan yang terjadi justeru bukan efek sebar melainkan
efek sedot (backwash effect). Artinya wilayah maju menyedot sumber
daya wilayah tertinggal, misalnya dalam proses produksi, bahan baku
diperoleh dari wilayah tertinggal untuk diolah di wilayah maju. Wilayah
tertinggal hanya mendapat sedikit nilai tambah (value added) sedangkan
wilayah maju tempat diolahnya bahan baku itu mendapatkan nilai tambah
yang besar, dengan kata lain wilayah maju menghambat proses kemajuan
wilayah tertinggal. Inilah yang menyebabkan ketimpangan semakin parah.
Apa yang dijelaskan oleh Williamson diatas juga menjelaskan tentang
adanya efek sedot (backwash effect) dalam proses interaksi ekonomi antar wilayah.
Sejalan dengan pendapat diatas, Das dan Mishra (2000:75) yang melakukan studi
tentang ketimpangan wilayah di India menyimpulkan bahwa ketimpangan wilayah
di negara tersebut disebabkan oleh kegagalan pemerintah dalam membuat
kebijakan wilayah yang dapat mengcounter tarikan ekonomi dari luar wilayah. Ia
juga mengusulkan bahwa untuk mengurangi ketimpangan antar wilayah di India
tidak cukup dengan mendorong pertumbuhan melalui peningkatan arus uang
(financial flow), tapi juga dengan pendekatan sosial, ekonomi, politik,
administratif dan bahkan lingkungan. Tujuannya adalah untuk mengurangi
dampak sedot (backwash effect) dalam perekonomian antar wilayah.
Pada umumnya, kebocoran wilayah diukur dengan menggunakan analisis
Input-Output untuk mengetahui seberapa besar potensi kehilangan pendapatan
suatu wilayah sebagai akibat absennya industri pengolahan (processing) dan atau
kurangnya industri penghasil input antara dalam suatu wilayah. Pengukuran
kebocoran ekonomi wilayah dengan analisis Input-Output dapat menggambarkan
seberapa besar potensi kehilangan pendapatan wilayah jika suatu sektor
mengalami peningkatan permintaan akhir sejumlah tertentu. Kebocoran wilayah
dalam penelitian ini tidak dilihat dalam perspektif seberapa besar potensi
30
kehilangan pendapatan wilayah jika permintaan akhir produk tembakau (dan
olahannya) mengalami peningkatan sejumlah tertentu. Penelitian ini mencoba
untuk mengungkap besaran nilai potensi kehilangan pendapatan wilayah sebagai
akibat dari tidak adanya industri pengolahan (processing) produk tembakau di
wilayah Pulau Lombok. Alat analisis yang digunakan didasarkan pada data nilai
tambah wilayah yang dikembangkan sendiri sesuai dengan kebutuhan penelitian.
Keterkaitan Desa – Kota
Pola keterkaitan desa – kota sangat dipengaruhi oleh teori Lewis yang
menyatakan pentingnya “transfer surplus” dari kawasan pertanian (perdesaan) ke
kawasan industri (perkotaan). Transfer surplus dapat terjadi melalui pengambilan
dan penarikan sumberdaya-manusia (labor), modal dan sumberdaya lainnya oleh
perkotaan dari perdesaan atas nama kepentingan pembangunan (Fei dan Ranis,
1964 dalam Rustiadi, 2011:314-315). Menurut teori Lewis, upaya mempercepat
pertumbuhan ekonomi dengan konsep kota sebagai pusat pertumbuhan harus
didukung oleh kawasan desa dengan melakukan transfer surplus.
Desa dalam konsep pusat pertumbuhan diposisikan sebagai kawasan
penunjang pertumbuhan itu. Desa diharapkan dapat mensuplai kebutuhan
sumberdaya untuk mendukung proses pertumbuhan. Kota di sisi lain dijadikan
sebagai pusat akumulasi nilai tambah untuk menciptakan pertumbuhan yang besar.
Pertumbuhan yang besar di kawasan perkotaan selanjutnya diharapkan dapat
menciptakan efek menetes kebawah (trickle down effect) sehingga kawasan
perdesaan pun akan ikut merasakan manfaat dari pertumbuhan yang besar itu.
Konsep ini sesungguhnya menciptakan situasi di mana perkotaan mengendalikan
perdesaan dalam kacamata kepentingan perkotaan, sehingga menyebabkan
berkurangnya potensi desa untuk berkembang. Buruknya keterkaitan desa–kota ini
menunjukkan adanya kecenderungan hubungan eksploitatif antara perdesaan dan
perkotaan. Keterkaitan desa–kota itu hanya memperbesar peluang masyarakat
perkotaan untuk memanfaatkan dan mengeksploitasi sumberdaya perdesaan.
Lipton (1977) dalam Rustiadi (2011:317) memperkenalkan istilah “urban
bias” untuk menjelaskan situasi backwash yang dialami perdesaan. Menurutnya,
perencanaan pembangunan yang pro growth selalu berfokus pada upaya
pembangunan perkotaan sebagai pusat pertumbuhan. Para perencana
pembangunan cenderung mengabaikan atau tidak memahami persoalan perdesaan
secara konprehensif dalam proses perencanaan yang dilakukannya sehingga hasil
pembangunan selalu memposisikan desa sebagai „pelayan‟ kota. Pembangunan
yang berkonsentrasi pada pertumbuhan itu menyebabkan desa mengalami
kebocoran (leakages) yang manfaatnya terakumulasi di perkotaan.
Penyedotan (backwash) yang dilakukan perkotaan terhadap perdesaan
sebenarnya merupakan respon atas mekanisme pasar yang melatari teori
pembangunan mainstream. Konsep „transfer surplus‟ Lewis pada dasarnya juga
dikembangkan dari logika harmoni alamiah Smith. Ketika setiap orang, baik di
perdesaan maupun di perkotaan dibiarkan bebas, mengedepankan kepentingan
sendiri (individualis) dan bersaing secara sempurna, maka masyarakat perdesaan
akan cenderung bermigrasi ke perkotaan dengan harapan dapat memperbaiki
31
kualitas hidup di perkotaan mengingat perkotaan merupakan pusat aglomerasi
ekonomi. Masyarakat perdesaan yang bermigrasi itu pada umumnya merupakan
orang-orang terbaik desa yang merasa siap untuk berkompetisi di kota. Akibatnya
desa kehilangan orang-orang terbaiknya dan kota harus menampung orang-orang
terbaik itu dengan kapasitas penyediaan sumberdaya yang terbatas. Pada
gilirannya kondisi ini akan menyebabkan desa menjadi kian tertinggal dan kota
akan menjadi padat dan kumuh.
Pusat Pertumbuhan (Growth Pole) dan Faktor Sebab Akibat Kumulatif
(Circular Cummulative Causation) Gunnar Myrdal
Pusat pertumbuhan (Growth Pole) dapat diartikan dengan dua cara, yaitu
secara fungsional dan secara geografis. Secara fungsional pusat pertumbuhan
merupakan lokasi konsentrasi kelompok usaha atau cabang industri yang karena
sifat hubungannya memiliki unsur-unsur kedinamisan sehingga mampu
menstimulasi kehidupan ekonomi baik ke dalam maupun ke luar (ke daerah
belakangnya). Secara geografis, pusat pertumbuhan adalah suatu lokasi yang
banyak memiliki fasilitas dan kemudahan sehingga menjadi pusat daya tarik (pole
of attraction) sehingga para pelaku usaha tertarik untuk menjalankan usahanya di
lokasi itu dan masyarakat umum merasa senang untuk datang dan memanfaatkan
fasilitas yang ada di lokasi tersebut (Tarigan, 2002:138).
Teori pusat pertumbuhan (growth pole) ini mendominasi pilihan kebijakan
pemerintah dalam strategi pengembangan wilayah. Sebagaimana dikatakan oleh
Rustiadi et al. (2011:225) bahwa sebagai suatu sistem yang tersusun atas
komponen-komponen yang memiliki lembaga-lembaga fungsional, program-
program pengembangan wilayah pada umumya dilaksanakan dalam kaidah fungsi
suatu unit kawasan berdasarkan karakteristik sumber daya alam (natural
resources), sumber daya manusia (human resources), sumber daya buatan (man
made capital) dan modal sosialnya (social capital). Praktek di lapangan
menunjukkan bahwa program-program pengembangan kawasan itu secara umum
masih didominasi oleh pemikiran teori pusat pertumbuhan (growth pole) yang
lebih menekankan pada pentingnya pengembangan pusat-pusat pertumbuhan baru
untuk membangun suatu wilayah.
Tarigan (2002:138-140) menjabarkan empat karakteristik khusus suatu
lokasi yang dapat menjadi pusat pertumbuhan, yaitu:
1. Ada keterkaitan atau hubungan internal dar berbagai macam kegiatan
Keterkaitan antar sektor dalam suatu wilayah sangat penting untuk
menumbuhkan perekonomian wilayah tersebut. Adanya keterkaitan yang kuat
menyebabkan tumbuhnya suatu sektor tertentu dalam wilayah itu akan mendorong
tumbuhnya sektor lain yang berkaitan dengan sektor yang bertumbuh itu. Jadi
kehidupan kota sebagai pusat pertumbuhan itu menjadi suatu irama dari berbagai
komponen kehidupan kota dan menciptakan sinergi untuk saling mendukung
terciptanya pertumbuhan. Jika keterkaitan antar sektor dalam suatu wilayah lemah,
pertumbuhan ekonomi akan menjadi pincang di mana ada sektor yang bertumbuh
cepat tapi sektor lainnya tidak terkena imbasnya sama sekali.
32
2. Mampu menciptakan efek pengganda (multiplier effect)
Keberadaan sektor-sektor yang saling terkait dan saling mendukung akan
menciptakan efek pengganda. Jika ada suatu sektor yang mengalami peningkatan
permintaan yang kemudian berdampak pada peningkatan produksi sektor tersebut
akan mendorong peningkatan produksi pada sektor yang lain juga. Hal inilah yang
dimaksud dengan efek pengganda (multiplier effect). Unsur efek pengganda ini
sangat berperan dalam membuat kota (pusat pertumbuhan) itu mampu memacu
pertumbuhan wilayah belakang atau pendukungnya (hinterland). Ketika terjadi
peningkatan produksi berbagai sektor di kota, maka kebutuhan kota akan bahan
baku dan tenaga kerja akan meningkat yang dipasok dari wilayah hinterland itu.
kondisi itu kemudian membuat wilayah hinterland mengalami pengingkatan
pertumbuhan ekonomi.
3. Memiliki konsentrasi geografis
Adanya konsentrasi geografis akan menciptakan efisiensi diantara sektor-
sektor yang saling membutuhkan. Selain itu konsentrasi geografis itu juga akan
menjadi daya tarik (attractiveness) dari kota tersebut. Konsentrasi geografis ini
akan membuat orang-orang yang datang ke kota dapat mendapatkan berbagai
kebutuhannya pada lokasi yang berdekatan sehingga lebih menghemat waktu,
tenaga dan biaya.
4. Memiliki sifat mendorong pertumbuhan daerah belakangnya, memiliki efek
menetes ke bawah (tricle down effect)
Jika ketiga ciri sebelumnya dimiliki oleh suatu wilayah, maka wilayah
tersebut otomatis dapat mendorong pertumbuhan daerah belakangnya (hinterland).
Hubungan yang harmonis antara pusat pertumbuhan dengan wilayah belakang
sangat diperlukan agar sifat mendorong pertumbuhan daerah belakang itu dapat
terjadi dengan baik.
Harapan akan terjadinya efek menetes ke bawah (trickle down effect)
dalam konsep pusat pertumbuhan (growth pole) ini tidak sepenuhnya terjadi. Hal
inilah yang membuat teori growth pole tidak begitu populer di kalangan ahli-ahli
pengembangan wilayah, namun pada saat ini teori inilah yang paling
mendominasi aktifitas perencanaan pembangunan di tingkat birokrasi karena
pelaksanaannya yang lebih mudah dan hasilnya cepat terlihat. Wilayah-wilayah
yang ditunjuk sebagai pusat pertumbuhan akan berkembang dengan cepat dan
signifikan meskipun sebenarnya kondisi ini seringkali tidak menjamin
sustainability karena akan timbul disparitas baru dan interaksi yang terbentuk
antara pusat dan hinterland akhirnya akan bersifat asimetris atau saling
memperlemah (Rustiadi et al. 2011:226).
Gunnar Myrdal (1957) dalam Rustiadi et al. (2011:143) memformulasikan
sebab-sebab bertambah buruknya ketimpangan perkembangan ekonomi antar
wilayah. Sebelumnya, teori klasik (ekonomi pasar) berkeyakinan bahwa
mekanisme pasar dalam jangka panjang dapat menciptakan struktur
perkembangan wilayah yang seimbang. Sedangkan Myrdal berpendapat bahwa
adanya faktor sebab akibat secara kumulatif (circular cumulative causation)
33
dalam proses pembangunan jangka panjang justeru dapat memperlebar
ketimpangan-ketimpangan antar wilayah tersebut. Ketimpangan itu menurut
Myrdal dalam Jhingan (1999:212) dapat terjadi karena bekerjanya sistem ekonomi
pasar (kapitalisme liberal) yang dikendalikan oleh motif laba. Motif laba inilah
yang kemudian mendorong berkembangnya pembangunan terpusat di wilayah-
wilayah yang memiliki harapan laba tinggi, sementara wilayah-wilayah lain hanya
dijadikan sebagai pemasok sumber daya untuk meraih laba yang tinggi di wilayah
pusat itu. Hal ini menyebabkan wilayah terbelakang menjadi terlantar dan
mengalami penyedotan atau pencucian balik (backwash).
Dampak pencucian balik (backwash effect) menurut Myrdal adalah segala
perubahan yang bersifat merugikan dari ekspansi ekonomi suatu tempat karena
sebab-sebab diluar tempat itu, baik yang bersifat ekonomi maupun non ekonomi.
Sementara itu dampak sebar (spread effect) didefinisikan Myrdal sebagai dampak
momentum pembangunan yang menyebar secara sentrifugal dari pusat
pengembangan ekonomi ke wilayah-wilayah lainnya. Sebab utama ketimpangan
wilayah menurut Myrdal adalah kuatnya dampak pencucian balik (backwash
effect) dan lemahnya dampak sebar (spread effect) di negara berkembang (Jhingan,
1999:212).
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya backwash effect adalah
(Rustiadi et al., 2011:143-144):
1. Corak perpindahan penduduk dari wilayah yang masih terbelakang ke
wilayah maju. Penduduk-penduduk wilayah terbelakang yang
berpendidikan dan lebih berkualitas selalu mencari alternatif yang
memungkinkan untuk dapat hidup lebih baik. Kelengkapan fasilitas
serta massifnya aglomerasi ekonomi di wilayah yang lebih maju
mendorong orang-orang terdidik dari wilayah terbelakang itu
bermigrasi ke wilayah maju. Kondisi itu mengakibatkan orang-orang
yang tinggal di wilayah terbelakang itu adalah orang-orang yang
umumnya lebih konservatif dan berpendidikan rendah. Akibatnya
wilayah maju semakin maju karena dihuni oleh orang-orang
berkualitas semetara wilayah tertinggal menjadi semakin tertinggal.
2. Arus investasi yang tidak seimbang. Karena dihuni oleh orang-orang
yang konservatif, permintaan modal di wilayah terbelakang sangat
minimal. Selain itu, rendahnya tingkat produktifitas masyarakat di
wilayah terbelakang itu tidak merangsang investor untuk menanamkan
modalnya disana. Bahkan modal yang bersumber dari dalam wilayah
itu justeru mengalir ke luar (wilayah yang lebih maju) karena lebih
menjanjikan keuntungan.
3. Pola dan aktifitas perdagangan yang lebih didominasi oleh industri-
industri di wilayah maju sehingga wilayah-wilayah terbelakang sulit
unuk mengembangkan pasar bagi hasil-hasil industrinya.
4. Adanya jaringan-jaringan pengangkutan dan infrastruktur yang jauh
lebih baik di wilayah yang lebih maju sehingga kegiatan produksi dan
perdagangan dapat dilaksanakan dengan lebih efisien.
Bersamaan dengan terjadinya backwash effect itu, perkembangan wilayah
maju juga mendorong peningkatan permintaan akan barang-barang hasil pertanian
34
dan industri rumah tangga yang dipasok oleh wilayah-wilayah terbelakang. Hal ini
menunjukkan bahwa terjadi efek sebar (spread effect) dalam perkembangan
wilayah maju terhadap wilayah terbelakang, namun karena kekuatan spread effect
itu jauh lebih lemah daripada backwash effect, maka mekanisme pasar semakin
memperlebar ketimpangan-ketimpangan antar wilayah (Rustiadi et al. 2011:144).
Pasar bebas dan kebijakan liberal dalam pembangunan ekonomi
merupakan dua kekuatan penting yang dapat memperparah ketimpangan regional.
Myrdal menyatakan jika segala sesuatu diserahkan pada kekuatan pasar bebas
tanpa dirintangi oleh intervensi kebijaksanaan pemerintah, maka produksi,
industri, perdagangan, perbankan, asuransi, perkapalan dan hampir semua
kegiatan ekonomi yang mungkin mendatangkan keuntungan akan berkumpul atau
mengelompok di wilayah-wilayah yang sudah maju. Bahkan juga ilmu, seni,
sastra, pendidikan dan budaya akan mengelompok di wilayah-wilayah maju itu,
sementara wilayah tertinggal tetap terbelakang (Jhingan, 1999:212-214).
Selanjutnya Rustiadi et al. (2011:145-146) menjelaskan tahapan terjadinya
backwash effect di wilayah-wilayah terbelakang, yakni: (1) aliran bahan mentah /
bahan baku (sumberdaya alam); (2) aliran sumberdaya manusia berkualitas dan
produktif (brain drain); (3) aliran sumberdaya finansial (capital outflow); (4)
aliran sumberdaya informasi dan (5) aliran kekuasaan (power). Pada tahap awal,
perkembangan industri di wilayah maju akan membutuhkan bahan baku (raw
material) untuk mendukung industrinya itu. Bahan baku itu kemudian di supply
oleh wilayah terbelakang sebagai penghasil utama produk pertanian. Selanjutnya
proses backwash itu terjadi dengan adanya migrasi penduduk terdidik dan
produktif wilayah terbelakang ke wilayah maju sebagai akibat dari menurunnya
daya dukung wilayah pedesaan karena massifnya aliran sumberdaya alam dari
wilayah terbelakang itu ke wilayah maju. Hal ini dapat menyebabkan menurunnya
produktifitas wilayah tertinggal atau pedesaan di mana pada saat bersamaan ia
meningkatkan produktifitas di wilayah perkotaan. Hal ini berarti terjadi proses
brain-drain dalam arti mengalirnya intelektual pedesaan ke perkotaan atau
disedotnya intelektual-intelektual desa ke perkotaan.
Proses pengolahan (processing) yang hanya dilakukan di wilayah maju,
menyebabkan wilayah maju itu menjadi pen-supply produk olahan yang
dibutuhkan oleh masyarakat, termasuk masyarakat di wilayah yang tertinggal.
Wilayah tertinggal yang tidak melakukan aktifitas pengolahan akhirnya harus
melakukan impor untuk memenuhi kebutuhannya. Impor ini menyebabkan
terjadinya capital outflow dari wilayah pedesaan yang tertinggal ke wilayah
perkotaan yang maju. Aglomerasi ekonomi yang terjadi di wilayah maju
selanjutnya menyebabkan berpusatnya arus informasi di wilayah maju tersebut.
Wilayah tertinggal dan wilayah maju mengalami asymmetric information di mana
masyarakat perkotaan (wilayah maju) selalu diuntungkan karena kemudahan
akses terhadap informasi. Masyarakat di wilayah maju bisa mengakses informasi
tentang pedesaan dengan mudah, sementara masyarakat di wilayah tertinggal agak
sulit untuk mendapatkan informasi dari wilayah maju tersebut. Sebagai
konsekuensinya, orang kota atau orang-orang di wilayah maju mampu memilih
akses yang lebih tinggi dalam proses-proses politik pengambilan keputusan.
Sementara masyarakat pedesaan atau wilayah tertinggal terjebak sebagai objek
keputusan.
35
Pusat pengolahan daun tembakau menjadi produk rokok tersebar di Pulau
Jawa dan umumnya membuka kantor pusat di Jakarta. Daerah-daerah yang
menjadi tempat produksi rokok adalah Kediri, Surabaya, Semarang, Kudus, dan
sebagainya. Sebagian perusahaan rokok yang skalanya cukup kecil memang ada
yang menjalankan usahanya di luar Pulau Jawa, namun jumlahnya sangat sedikit.
Sementara itu Pulau Lombok sebagai penghasil daun tembakau terbesar ke dua di
Indonesia serta penghasil tembakau jenis virginia terbesar pertama di Indonesia
tidak memiliki pabrik rokok sama sekali. Hal ini dapat dipahami, sebagaimana
dijelaskan Myrdal dalam Jhingan (1999:211-212) bahwa pemberlakuan pasar
bebas membuat hampir semua aktifitas ekonomi menumpuk di suatu wilayah
yang sudah lebih dulu maju, dalam hal ini wilayah Pulau Jawa adalah wilayah
yang lebih dulu maju dan wilayah Pulau Lombok adalah wilayah yang tertinggal.
Pulau Lombok sebagai wilayah tertinggal berperan sebagai pemasok bahan
mentah (raw material) berupa tembakau untuk kemudian diolah di Pulau Jawa.
Artinya, terjadi aliran sumberdaya alam berupa daun tembakau dari Pulau
Lombok ke Pulau Jawa.
Konsep Agribisnis
Arsyad (1985) dalam Firdaus (2008) mendefinisikan agribisnis sebagai
suatu kesatuan kegiatan usaha yang meliputi salah satu atau keseluruhan mata
rantai produksi, pengolahan hasil dan pemasaran produk pertanian dalam arti luas.
Adapun pertanian dalam arti luas adalah kegiatan usaha yang menunjang kegiatan
pertanian dan kegiatan pertanian yang menunjang kegiatan usaha. Agribisnis
mencakup semua kegaiatan mulai dari pengadaan sarana produksi pertanian (farm
supplies), proses produksi atau budidaya pertanian hingga tata niaga produk
pertanian tersebut.
Mengutip Suharjo dalam Gumbira et al. (2001), Asriani (2003)
menggambarkan konsep agribisnis lewat gambar berikut:
Gambar 2.1 Konsep agribisnis Suharjo
SS I
(Pengadaan
dan penyaluran
sarana
produksi)
SS II
(Produksi
Primer)
SS III
(Pengolahan)
SS IV
(Pemasaran)
Lembaga Penunjang Agribisnis
(Pertanian, Keuangan, Penelitian, dll)
36
Berdasarkan definisi dan konsep diatas, Firdaus (2008) menggambarkan
agribisnis sebagai sebuah sistem yang terdiri dari tiga subsistem, yaitu: (1)
subsistem pembuatan, pengadaan dan penyaluran sarana produksi pertanian (farm
supplies) seperti bibit, benih, pupuk, pestisida, alat dan mesin pertanian, bahan
bakar, dan kredit; (2) subsistem kegiatan produksi pertanian baik tanaman pangan,
perkebunan, peternakan, perikanan, dan sebagainya; (3) subsistem pengumpulan,
pengolahan dan penyaluran produk hasil pertanian ke konsumen. Hubungan antar
satu subsistem dengan subsistem lainnya dalam sistem agribisnis ini sangat kuat
sebagaimana tergambar dalam gambar diatas.
Bekerjanya sistem agribisnis yang baik dalam suatu negara akan
mendorong terciptanya kesejahteraan dan kemajuan bagi negara tersebut.
Beierlein et al. (2008) mencontohkan bagaimana Amerika Serikat menjadi negara
dengan tingkat keamanan suplai pangan terbaik, variasi pangan terbanyak serta
biaya transaksi termurah di dunia. Semua itu dapat dicapai karena sistem
agribisnis bekerja dengan sangat baik. Penerapan teknologi dan manajemen yang
efektif dalam proses produksi, processing, pengolahan, dan distribusi membuat
terciptanya efisiensi yang menyebabkan biaya transaksi menjadi rendah sehingga
bisa diakses oleh konsumen dengan harga yang relatif murah. Inti dari kesuksesan
ini adalah terbangunnya interaksi yang baik antar subsistem agribisnis di negara
tersebut.
Agribisnis tembakau virginia Lombok juga dijalankan dengan interaksi
ketiga subsistem diatas. Farm supplier diperankan oleh perusahaan-perusahaan
penyedia sarana produksi. Sementara petani dan pengomprong berperan sebagai
produsen produk tembakau dan industri rokok berperan sebagai pengumpul,
pengolah dan sekaligus distributor produk olahan tembakau. Karena agribisnis
tembakau virginia Lombok dijalankan dengan pola kemitraan, maka perusahaan
mitra juga sering bertindak sebagai farm supplier bagi petani tembakau yang
dibinanya, dalam hal ini perusahaan mitra memfasilitasi penyediaan benih, pupuk
ataupun pestisida yang sesuai dengan kehendak dan kebutuhan perusahaan
tersebut.
3 METODE PENELITIAN
Kerangka Pemikiran Operasional
Sistem ekonomi pasar (teori-teori liberal) sejauh ini masih mendominasi
pengaruh dalam pembangunan ekonomi di dunia, termasuk di Indonesia.
Pembangunan ekonomi wilayah sebagai salah satu bagian dari pembangunan
ekonomi negara bertujuan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan penduduk di
wilayahnya. Teori-teori ekonomi pasar (liberal) menjelaskan bahwa pertumbuhan
ekonomi merupakan aspek terpenting dalam pembangunan ekonomi. Upaya
percepatan pembangunan ekonomi yang tercermin dari pertumbuhan ekonomi itu
37
mendorong setiap wilayah untuk memiliki sektor andalan masing-masing
berdasarkan kapasitas sumberdaya wilayah, baik sumberdaya alam, sumberdaya
manusia maupun sumberdaya sosial dan kelembagaan.
Provinsi Nusa Tenggara Barat, khususnya wilayah Pulau Lombok
menjadikan komoditas tembakau virginia sebagai salah satu komoditas andalan
dalam pembangunan ekonominya. Kemampuan agribisnis tembakau dalam
menyerap tenaga kerja serta meng-create nilai tambah (value added) wilayah
menjadi alasan penting kenapa komoditas tembakau menjadi salah satu sektor
andalan. Disbun NTB (2012) mencatat bahwa agribisnis tembakau virginia
Lombok mampu menyerap 140.000 tenaga kerja dan 15.000 petani setiap tahun
(selama lima bulan). Sementara itu pada tahun 2004, kontribusi (share) komoditas
tembakau terhadap PDRB adalah 1,57% (BPS NTB, 2004).
Agribisnis tembakau virginia di Pulau Lombok dikembangkan dengan
pola kemitraan. Konsep kemitraan dalam agribisnis tembakau virginia di Pulau
Lombok ini sudah berjalan sejak tahun 1970. Pada tahun 2012, jumlah perusahaan
yang bermitra dengan petani tembakau virginia di Pulau Lombok sudah mencapai
23 perusahaan (Disbun NTB, 2012). Perusahaan-perusahaan yang bermitra
dengan petani tersebut umumnya merupakan perpanjangan tangan dari industri
rokok yang berpusat di Pulau Jawa.
Agribisnis tembakau virginia berbeda dengan tembakau jenis lainnya.
Perbedaannya terletak pada cara pengeringannya. Tembakau virginia dikeringkan
dengan cara di oven selama beberapa hari, sementara tembakau jenis lainnya
umumnya dikeringkan dengan cara dijemur dibawah sinar matahari setelah
sebelumnya dilakukan perajaman. Kondisi itu membuat agribisnis tembakau
virginia membutuhkan lebih banyak input dalam proses produksinya. Input
produksi yang dibutuhkan tidak hanya input produksi pertanian on farm seperti
benih, bibit, pengolaan lahan, buruh tani dan sebagainya, tapi juga input produksi
pasca panen (off farm), terutama dalam melakukan pengeringan tembakau. Untuk
mengeringkan tembakau virginia dibutuhkan input produksi seperti oven1, bahan
bakar, gelantang2, pemeres
3, biaya grading
4, dan sebagainya. Tembakau yang
sudah dikeringkan dengan oven itu disebut sebagai tembakau omprongan. Oleh
sebab itu, orang yang mengomprong tembakau itu dikenal dengan pengomprong.
Pengomprong dalam agribisnis tembakau virginia di Pulau Lombok ada yang
sekaligus merangkap sebagai petani on farm juga (petani pengomprong), ada juga
yang hanya menjadi pengomprong. Jadi, setidaknya ada beberapa pihak yang
berperan langsung dalam pelaksanaan agribisnis tembakau virginia di Pulau
Lombok, yaitu petani dan pengomprong, serta perusahaan mitra.
Sebagai komoditas komersil bernilai tinggi (High Value Commodity),
tembakau virginia di Pulau Lombok dikembangkan dengan mengikuti mekanisme
1 Dibuat seperti sebuah rumah yang dimodifikasi untuk keperluan pengeringan tembakau
Virginia. 2 Sebatang kayu atau bambu dengan panjang dan diameter tertentu tempat diikatkannya daun
tembakau guna mempermudah proses pengeringan didalam oven 3 Alat pengemasan tembakau Virginia setelah dikeringkan dan di grade.
4 Setelah tembakau kering dan diturunkan dari oven, tembakau dibuka ikatannya dari gelantang
dan kemudian di grade dengan cara dikelompokkan berdasarkan kualitas.
38
pasar. Harga jual tembakau di tingkat petani bergantung pada tinggi rendahnya
permintaan produk tembakau tersebut. Produk tembakau sejauh ini hanya
dimanfaatkan untuk keperluan industri rokok sehingga penentuan harga jual
produk tembakau petani sangat bergantung pada industri rokok. Proses
terbentuknya harga dalam transaksi jual beli omprongan tembakau di Pulau
Lombok didominasi oleh perusahaan industri rokok. Hal ini mengingat jumlah
petani sebagai penjual atau pensuplai yang besar sementara jumlah perusahaan
sebagai pembeli tidak begitu banyak. Kondisi ini sering disebut sebagai
oligopsoni yang menggambarkan peran dominan pembeli dalam menentukan
harga. Terlebih dengan dikembangkannya agribisnis tembakau ini dengan konsep
kemitraan yang memaksa petani untuk menjual produk tembakau yang
dihasilkannya hanya kepada perusahaan tempatnya bernaung sebagai petani mitra.
Gencarnya kampanye anti tembakau membuat pemerintah mengeluarkan
beberapa regulasi untuk mengurangi konsumsi rokok yang berarti juga
mengurangi konsumsi tembakau. Regulasi tersebut misalnya pemberlakuan tarif
cukai yang tinggi. Kinasih et al. (2012) mencatat tarif cukai hasil tembakau di
Indonesia berkisar antara 57%, 80%, 275%, hingga 1.150% dari harga dasar. jika
di rupiahkan, dalam setiap batang rokok, tarif cukai yang diberlakukan berkisar
antara Rp 17 hingga Rp 325. Bahkan untuk tembakau jenis cerutu tarif cukainya
mencapai Rp 100.000. selain pemberlakuan tarif cukai yang tinggi, pemerintah
juga menetapkan harga jual terendah produk rokok.
Kebijakan penerapan cukai yang tinggi serta penetapan harga dasar
terhadap produk rokok sebenarnya cenderung menguntungkan industri rokok.
Ketika produk tembakau berlimpah, umumnya perusahaan (industri rokok)
membeli bahan baku tembakau dari petani dengan harga yang murah, sedangkan
harga jual produk rokoknya mengikuti harga dasar yang diberlakukan. Artinya
keuntungan perusahaan tersebut akan menjadi berlipat ganda, sementara ketika
supply tembakau terbatas yang berarti harga beli tembakau menjadi tinggi,
industri rokok dibolehkan menaikkan harga jual rokok. Hal itu menunjukkan
bahwa penyerahan harga pada mekanisme pasar yang merupakan idiologi dasar
kapitalisme hanya dilakukan untuk produk tembakau mentah (unmanufactured
tobacco), sedangkan produk olahan tembakau berupa rokok, penentuan harga
ditetapkan oleh pemerintah dengan alasan mengontrol konsumsi rokok.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat dipahami bahwa petani tembakau di
Indonesia, khususnya di Pulau Lombok sangat bergantung pada „kebaikan industri
rokok‟. Harga pembelian tembakau petani biasanya ditetapkan secara sepihak oleh
perusahaan (industri rokok). meskipun dalam konsep kemitraan, berdasarkan
Perda NTB No. 4 Tahun 2006 tentang usaha budidaya dan kemitraan perkebunan
tembakau virginia di Nusa Tenggara Barat, perusahaan diharuskan melakukan
penetapan harga dengan kesepakatan bersama perwakilan petani dengan mediasi
Pemda. Pertemuan penyepakatan harga itu pada prakteknya tetap saja
menempatkan petani pada posisi yang lebih lemah. Petani tidak punya pilihan lain
selain menjual produk tembakaunya, sebab jika tidak dijual tembakaunya akan
rusak, sedangkan produk tersebut tidak bisa di konsumsi langsung. Meski
agribisnis tembakau virginia Lombok dikembangkan dengan konsep kemitraan,
petani tetap memiliki posisi tawar yang lemah dalam proses transaksi (Susrusa
dan Zulkifli, 2007). Kemitraan yang dibangun dalam agribisnis tembakau virginia
39
di Pulau Lombok harusnya bersifat saling menguntungkan (simbiosis mutualisme)
sebagaimana ditegaskan dalam Perda NTB nomor 4 tahun 2006 tentang usaha
budidaya dan kemitraan dalam agribisnis tembakau virginia. Faktanya menurut
Ahsan (2008) selama kurun waktu 2002-2008 kecuali pada tahun 2006, hanya ada
10% petani tembakau yang bermitra dengan perusahaan di Pulau Lombok yang
mampu memperoleh untung, sementara sisanya mengalami kerugian.
Dinamika agribisnis tembakau virginia di Pulau Lombok itu menunjukkan
adanya ironi, di satu sisi pengembangannya diserahkan ke mekanisme pasar, tapi
di sisi lain kebijakan-kebijakan pemerintah justeru lebih memihak industri rokok
besar dan cenderung mengabaikan petani. Pemerintah seharusnya berperan
sebagai pengatur pasar agar tidak merugikan kelompok yang lemah. Kondisi ini
membuat petani yang lemah itu harus berhadapan dengan dua kekuatan sekaligus,
yaitu kekuatan pemerintah yang tidak memihak dan kekuatan pasar (kapitalisme).
Pemerintah membuat kebijakan yang mengatur industri rokok tapi tidak membuat
kebijakan yang mengatur produksi tembakau untuk menjamin keuntungan petani.
Akibatnya, produksi tembakau petani diatur sepenuhnya oleh pasar yang sudah di
modifikasi sedemikian rupa oleh industri rokok untuk mendapatkan keuntungan
yang besar. Hal inilah yang dimaksud oleh Caporaso dan Levine (2008) bahwa
pasar itu bisa membentuk struktur kekuasaan sendiri. Kekuasaan yang samar,
tidak terlihat tapi memiliki pengaruh yang besar. Pasar dalam agribisnis tembakau
di Pulau Lombok dikuasai oleh industri rokok dengan menempatkan cabang-
cabang perusahaannya di Pulau Lombok.
Petani dan pengomprong adalah pihak yang paling dirugikan dalam hal itu.
TCSC IAKMI (2008) yang mengambil data dari statistik upah BPS tahun 2005
berupaya untuk menggambarkan betapa dirugikannya petani karena kondisi-
kondisi seperti itu. Data itu menunjukkan bahwa upah rata-rata petani tembakau
secara nasional adalah Rp 15.900 per hari atau Rp 413.374 per bulan dengan rata-
rata lama bekerja 7 jam per hari. Jumlah itu jauh lebih kecil dari pada rata-rata
upah nasional yang mencapai Rp 883.693 per bulan (hanya 47%). Jika dibanding
dengan Upah Minimum Kabupaten (UMK) di Kabupaten Lombok Timur maka
rata-rata upah petani tembakau itu hanya 50% dari UMK Lombok Timur.
Sementara pada saat yang bersamaan, perusahaan rokok mencatat nilai
keuntungan yang fantastis. Pada triwulan ke tiga tahun 2008, HMS mencatat
keuntungan bersih sebesar Rp 3,1 Triliun, sementara GG sampai pertengahan
tahun 2008 mendapat keuntungan sebesar Rp 891,3 Miliar. Belum lagi
keuntungan yang didapat oleh perusahaan rokok lainnya seperti Btl, BAT, PMI,
dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa distribusi nilai tambah (value added)
dalam agribisnis tembakau virginia Lombok itu dalam kondisi timpang. Hal ini
perlu dibuktikan dengan mencari tahu seberapa besar tingkat keuntungan petani
dan membandingkannya dengan tingkat pendapatan atau keuntungan perusahaan.
Tembakau merupakan salah satu komoditas unggulan di Provinsi NTB,
khususnya di Pulau Lombok. hal itu membuat Pulau Lombok dijadikan sebagai
salah satu pusat pengembangan agribisnis tembakau virginia. Agribisnis tembakau
memiliki efek pengganda (multiplier effect) yang cukup tinggi dalam
perekonomian wilayah di Provinsi NTB pada umumnya dan Pulau Lombok pada
khususnya. Multiplier effect yang ditimbulkan dapat dilihat dari besarnya
keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan keterkaitan ke depan (forward
40
linkage). Backward linkage yang tercatat pada tahun 2004 adalah sebesar 1,75
sedangkan forward linkage adalah sebesar 1,18 (BPS NTB, 2004). Nilai derajat
kepekaan (backward linkage) yang sebesar 1,75 berarti bahwa peningkatan setiap
Rp 1 permintaan akhir pada sektor tersebut akan menyebabkan terjadinya
peningkatan output perekonomian wilayah sebesar Rp 1,75. Hal ini terjadi karena
bergeraknya sektor lain untuk mendukung pelaksanaan agribisnis tembakau itu.
Forward linkage yang hanya sebesar 1,18 menunjukkan bahwa agribisnis
tembakau hanya mampu menggerakkan sedikit sektor di hilir, dalam kasus ini,
agribisnis tembakau hanya menggerakkan berkembangnya industri rokok.
Rendahnya forward linkage sebagaimana dijelaskan diatas disebabkan
karena industri rokok sebagai tujuan pasar tunggal komoditas tembakau virginia
Lombok tidak membuka pabriknya di wilayah Pulau Lombok. Pabrik-pabrik
rokok dari berbagai perusahaan itu umumnya berada di Pulau Jawa (Kediri,
Kudus, Surabaya, Semarang, dan lainnya). Pulau Lombok dalam hal ini hanya
menjadi pemasok bahan mentah untuk diolah di Pulau Jawa. Akibatnya nilai
tambah yang tercipta di Pulau Lombok dari komoditas tembakau virginia ini
menjadi rendah sebab kegiatan pengolahan berlangsung di luar wilayah.
Konsep pembangunan ekonomi yang menggunakan model pusat
pertumbuhan (growth pole) dalam konteks ekonomi tembakau menempatkan
Pulau Lombok menjadi wilayah hinterland yang secara fungsional mendukung
pertumbuhan ekonomi di wilayah pusat yang dalam hal ini adalah Pulau Jawa.
Harapannya pertumbuhan ekonomi Pulau Jawa akan menciptakan efek menetes
kebawah (trickle down effect) terhadap Pulau Lombok. Gunnar Myrdal dalam
Jhingan (2011:211) melalui teori circular cumulative causation meragukan
terciptanya trickle down effect itu. Ia menjelaskan argumennya dengan istilah efek
pencucian balik (backwash effect) dan efek sebar (spread effect). Menurutnya
wilayah maju yang menjadi pusat pertumbuhan, dengan segala kelebihan yang
dimilikinya lebih cenderung melakukan eksploitasi, penyedotan dan pencucian
balik (backwash) terhadap wilayah hinterland-nya. Hal ini terjadi jika pasar
dibiarkan bekerja secara bebas tanpa arahan dari pemerintah. Investor tidak akan
menanamkan modalnya pada wilayah yang masih lemah secara infrastruktur,
jangkauan pasar dan akses permodalan. Akibatnya investasi itu dipusatkan di
wilayah-wilayah yang sudah maju sementara wilayah yang masih terbelakang
(hinterland) hanya dijadikan sebagai penghasil bahan mentah untuk keperluan
industrinya. Penyedotan atau backwash itu terjadi karena rendahnya penciptaan
nilai tambah (value added) di wilayah terbelakang. Value added banyak tercipta di
wilayah maju dengan sokongan sumberdaya yang dimiliki wilayah berkembang.
Wilayah maju mampu menciptakan nilai tambah dari sumberdaya yang
dieksploitasi di wilayah terbelakang. Sementara wilayah terbelakang justeru
mengalami penurunan kapasitas lingkungan (carrying capacity) karena
sumberdayanya telah di transfer ke wilayah maju.
Pulau Lombok dalam konteks agribisnis tembakau virginia merupakan
wilayah terbelakang sebagai hinterland sementara Pulau Jawa adalah wilayah
maju sebagai pusat pertumbuhan (center of growth). Backwash effect yang
dimaksud Myrdal dalam hal ini dilakukan oleh wilayah Pulau Jawa terhadap
wilayah Pulau Lombok dalam bentuk transfer daun tembakau dari Pulau Lombok
ke Pulau Jawa. Interaksi ekonomi antar wilayah itu tentu memiliki dampak positif
41
disamping dampak negatif sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Efek sebar
(spread effect) adalah bentuk dampak positif itu. Efek sebar berarti terciptanya
nilai tambah atau output perekonomian di wilayah hinterland sebagai akibat dari
berkembangnya industrialisasi di wilayah maju. Sumberdaya yang dimiliki
wilayah terbelakang (hinterland) tidak akan memberikan manfaat ekonomi berupa
nilai tambah wilayah jika tidak ada proses industrialisasi di wilayah maju. Pola
hubungan yang eksploitatif dalam interaksi ekonomi antar wilayah dalam sistem
ekonomi pasar (liberal) terjadi karena efek sebar (spread effect) yang ditimbulkan
selalu lebih kecil daripada efek sedot (backwash effect). Kondisi itu diduga terjadi
dalam agribisnis tembakau virginia di Pulau Lombok, di mana nilai backwash
effect lebih besar daripada nilai spread effect. Hal ini perlu dibuktikan dengan
melihat seberapa besar nilai tambah yang diterima wilayah Pulau Lombok dalam
bentuk pendapatan petani, buruh tani dan pemerintah dari total nilai ekonomi
tembakau virginia Lombok setelah dipasarkan dalam bentuk produk jadi (rokok).
Keadilan ekonomi dalam konteks pembangunan wilayah pada agribisnis
tembakau virginia Lombok dapat dilihat dari distribusi nilai tambah wilayah. Hal
ini dapat dilakukan dengan menghitung total nilai ekonomi tembakau virginia
Lombok setelah diolah menjadi rokok. Total nilai ekonomi tersebut kemudian
dijadikan sebagai acuan untuk mengukur tingkat keadilan ekonomi wilayah.
Besarnya nilai tambah wilayah yang dapat diciptakan oleh adanya agribisnis
tembakau virginia di Pulau Lombok dibandingkan dengan total nilai ekonomi
tembakau virginia tersebut. Semakin jauh selisih antara total nilai tambah wilayah
dari agribisnis tembakau dengan total nilai ekonominya berarti semakin besar
ketimpangan antara wilayah Pulau Lombok sebagai wilayah hinterland dan
wilayah lain (Pulau Jawa) sebagai wilayah maju tempat berlangsungnya proses
pengolahan atau produksi rokok. Ketimpangan yang besar berarti tingkat keadilan
ekonominya rendah, dengan kata lain terjadi ketidakadilan ekonomi.
Berdasarkan penjelasan diatas, keadilan ekonomi dalam penelitian ini
dianalisis dalam dua kategori, yakni secara mikro dan secara makro. Analisis
keadilan ekonomi secara mikro dilakukan dengan membandingkan nilai tambah
atau keuntungan usaha tani yang didapat oleh petani maupun pengomprong dan
kemudian membandingkannya dengan nilai tambah atau keuntungan yang
diterima perusahaan pertembakauan yang beroperasi di Pulau Lombok. Agribisnis
tembakau virginia Lombok ini dikatakan adil apabila masing-masing pelaku
ekonomi (petani dan perusahaan) mendapatkan nilai tambah yang proporsional.
Proporsional yang dimaksud dalam hal ini adalah bahwa keuntungan atau nilai
tambah yang diperoleh sesuai dengan besaran korbanan yang dikeluarkan untuk
menghasilkan nilai tambah itu. Selain itu, keadilan ekonomi secara mikro juga
dilihat dari besaran margin atau selisih nilai tambah antara petani dan perusahaan.
Semakin besar margin pendapatan antara kedua pelaku ekonomi dalam agribisnis
tembakau virginia Lombok itu, maka semakin rendah pula tingkat keadilan
ekonominya atau mengalami ketidakadilan ekonomi. Analisis kedua yaitu analisis
secara makro, artinya analisis itu dilakukan dalam perspektif makroekonomi,
dalam hal ini adalah ekonomi wilayah. Aktifitas ekonomi dalam agribisnis
tembakau virginia Lombok itu dikatakan memenuhi prinsip keadilan ekonomi jika
mampu memberikan manfaat yang besar terhadap perekonomian wilayah.
Manfaat terhadap ekonomi wilayah itu dapat dilihat dari besarnya nilai tambah
42
wilayah (regional income) yang dapat diciptakan dari agribisnis tembakau virginia
Lombok. Selain itu, keadilan ekonomi secara makro ini juga dapat dianalisis
dengan melihat besaran efek sebar (spread effect) dan efek pencucian balik
(backwash effect) dalam interaksi ekonomi antar wilayah pada pelaksanaan usaha
agribisnis tembakau virginia Lombok itu.
Secara diagram, kerangka pemikiran ini dapat dilihat pada Gambar 3.1
sebagai berikut :
Gambar 3.1 Kerangka pemikiran penelitian
Backwash Effect
Wilayah Maju (Pusat
Perumbuhan)
Pulau Jawa
Wilayah Terbelakang
(Hinterland)
Pulau Lombok
Spread Effect
Distribusi Nilai Tambah
Antar Wilayah
Sistem Ekonomi
Pasar (Liberal)
Pembangunan
Ekonomi Wilayah
Teori Pembangunan Ekonomi
Gunnar Myrdal
(Circular Cumulative Causation)
Interaksi Ekonomi Antar
Wilayah
Keadilan
Ekonomi ?
Agribisnis Tembakau
Virginia Lombok
Petani dan
Pengomprong
Industri
Rokok
(Perusahaan)
Margin Nilai Tambah
(Keuntungan per hektar)
Nilai Tambah
(Keuntungan
per Ha) Nilai Tambah
(Keuntungan
per Ha)
43
Hipotesis Penelitian
Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah:
1. Diduga bahwa ada ketidakadilan ekonomi dalam agribisnis tembakau
virginia Lombok, di mana pendapatan dan nilai tambah (keuntungan) yang
diterima petani dan pengomprong tembakau virginia Lombok jauh lebih
kecil dibanding pendapatan atau nilai tambah yang diterima perusahaan
industri rokok dari aktifitas usahanya pada agribisnis tembakau virginia
Lombok.
2. Diduga telah terjadi ketidakadilan ekonomi dalam distribusi nilai tambah
wilayah yang ditandai dengan besarnya efek pencucian balik (backwash
effect) oleh Pulau Jawa sebagai pusat pengolahan industri rokok terhadap
Pulau Lombok sebagai penghasil daun tembakau, sementara efek sebar
(spread effect) sangat rendah dalam interaksi ekonomi antar wilayah itu.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Lombok Provinsi Nusa Tenggara
Barat (NTB). Sebaran agribisnis tembakau di Pulau Lombok berpusat di
Kabupaten Lombok Timur dan sebagian kecil di Kabupaten Lombok Tengah, oleh
karenanya penelitian ini difokuskan di Kabupaten Lombok Timur namun tetap
mengambil sebagian responden dari Kabupaten Lombok tengah. Selain itu,
informasi-informasi penunjang juga di akses dari luar kabupaten tersebut seperti
misalnya data-data perusahaan dan dokumen pemerintah provinsi yang relevan
dengan tema penelitian.
Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yang dilakukan pada bulan
Februari sampai dengan bulan Maret tahun 2013.
Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode campuran (mix method) yaitu campuran
antara penelitian kuantitatif dengan penelitian kualitatif dalam bentuk deskriptif.
Penelitian deskriptif adalah sebuah studi untuk membuat gambaran mengenai
situasi atau kejadian. Studi deskriptif juga merupakan studi untuk melukiskan
secara akurat sifat-sifat dari beberapa fenomena, kelompok atau individu (Nazir,
2003).
Unit Analisis
Unit analisis dalam penelitian ini adalah rumah tangga petani tembakau
virginia yang berdomisili di wilayah sampel yang ditetapkan. Setiap rumah tangga
yang terpilih sebagai responden diwakili oleh kepala keluarga masing-masing.
Selain itu unit analisis dalam penelitian ini adalah perusahaan yang bermitra
dengan petani tembakau virginia di Pulau Lombok serta pihak-pihak lain yang
terkait dengan pelaksanaan agribisnis tembakau virginia di Pulau Lombok.
44
Data
Kualifikasi Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif dan data
kuantitatif. Juanda (2009:76) menyatakan bahwa data kualitatif merupakan data
yang tidak berbentuk angka, sedangkan data kuantitatif adalah data yang berupa
angka hasil pengukuran atau penghitungan (counting). Data kuantitatif ini dapat
diklasifikasikan lagi menjadi data diskrit (hasil hitungan) dan data kontinu (hasil
pengukuran).
Berdasarkan sumber datanya, data dalam penelitian ini menggunakan data
sekunder dan data primer. Data sekunder adalah data yang diperoleh dalam bentuk
data sudah jadi atau tersedia dalam bentuk sudah terpublikasi. Adapun data
sekunder yang dikutip dari penelitian ini bersumber dari Badan Pusat Statistik
(BPS), Dinas Perkebunan Provinsi NTB, Dinas Perkebunan Kabupaten Lombok
Timur, Dinas Pendapatan Daerah Provinsi NTB, Dinas Pendapatan, Pengelolaan
Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Lombok Timur, Kementan RI dan
perusahaan-perusahaan pertembakauan yang beroperasi di Pulau Lombok.
Sebagian data sekunder itu juga didapat dari laporan-laporan penelitian yang
sudah dipublikasi. Sementara itu data primer merupakan data yang dikumpulkan
langsung dilapangan ketika melakukan penelitian. Jadi data primer ini belum
tersedia dalam bentuk publikasi tapi tersedia di lapangan (tempat penelitian)
dalam kondisi belum diolah dan berserakan (Juanda, 2009:75).
Teknik Pengumpulan Data
a. Survei yaitu pengumpulan data dengan menggunakan tiga pendekatan:
Kuisioner: daftar pertanyaan yang sudah disiapkan sebelumnya
diberikan kepada responden untuk diisi sendiri. Daftar pertanyaan itu
dibuat dalam bentuk terbuka, semi terbuka dan tertutup.
Wawancara: dipandu dengan daftar pertanyaan (kuisioner) yang sudah
dipersiapkan sebelumnya. Wawancara dilakukan dengan responden
yang telah ditetapkan sebelumnya.
Wawancara mendalam: wawancara dilakukan dengan responden
khusus (pakar) dengan dipandu oleh daftar pertanyaan terbuka (guide)
yang berisi kajian khusus mengenai permasalahan yang diteliti.
Bungin (2007) menyatakan bahwa wawancara mendalam harus
dilakukan berkali-kali dan membutuhkan waktu yang lama bersama
informan di lokasi penelitian.
b. Observasi yaitu proses pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun
data penelitian melalui pengamatan dan penginderaan dengan melakukan
kunjungan dan penilaian langsung ke lokasi penelitian (Bungin, 2007).
Observasi ini dilakukan dengan melihat kondisi real petani – pengomprong,
dan perusahaan mitra.
c. Focus Group Discussion (FGD) yaitu proses pengumpulan data dengan
melakukan diskusi terarah bersama responden (Bungin, 2007). Metode ini
penting untuk mendapatkan kesimpulan yang jelas dari berbagai sumber
45
dengan saling bertukar pikiran tentang tema penelitian. FGD dalam penelitian
ini dilakukan dalam berbagai level, mulai dari FGD di tingkat petani, FGD
bersama pemerintah, pimpinan-pimpinan perusahaan dan stakeholder terkait
lainnya.
Metode Penentuan Wilayah Sampel dan Responden
Secara umum, responden dalam penelitian ini ditetapkan dengan cara
simple random sampling pada wilayah sampel yang ditentukan secara purposive.
Juanda (2009) menjelaskan simple random sampling merupakan strategi
pengambilan contoh secara sederhana di mana sampel itu diambil dengan cara
diacak sederhana, calon responden yang diacak adalah yang memenuhi syarat
sebagaimana dijelaskan dalam unit analisis.
Penentuan Wilayah Sampel
Wilayah sampel dalam penelitian ini ditetapkan secara purposive
berdasarkan tujuan penelitian. Wilayah sampel yang dipilih adalah wilayah yang
menjadi pusat pengembangan agribisnis tembakau virginia di Pulau Lombok. Hal
ini dapat dilihat dari jumlah keluarga petani tembakau virginia dan luas areal
tanam serta produksi tembakau virginia di wilayah tersebut. Selain itu bahan
pertimbangan lain untuk menetapkan wilayah sampel itu adalah tingkat kemajuan
masyarakat, terutama masyarakat pertembakauan pada wilayah tersebut.
Berdasarkan metode itu maka ditetapkanlah lima wilayah sampel yaitu
wilayah utara tengah, tengah, utara, selatan dan perwakilan Lombok tengah.
Wilayah sampel itu terdiri dari sepuluh desa yang tersebar di delapan kecamatan
dalam dua kabupaten. Desa-desa yang terpilih sebagai wilayah sampel tersebut
dapat dilihat pada Tabel 3.1 berikut ini.
46
Tabel 3.1. Wilayah sampel yang dipilih beserta alasannya
No Desa Kecamatan Kabupaten Wilayah Alasan Pemilihan
1 Kabar Sakra Lombok
Timur
Utara
Tengah
Jumlah petani banyak,
masyarakat desa relatif maju,
produksi tinggi.
2 Moyot Sakra Lombok
Timur
Utara
Tengah
Jumlah petani banyak,
masyarakat desa relatif maju,
produksi tinggi.
3 Gelanggang Sakra Timur Lombok
Timur
Tengah Luas areal tanam luas, jumlah
petani banyak, produksi
cukup tinggi, kondisi
masyarakat yang setengah
maju.
4 Lepak Sakra Timur Lombok
Timur
Tengah Luas areal tanam luas, jumlah
petani banyak, produksi
cukup tinggi, kondisi
masyarakat yang setengah
maju.
5 Jerowaru Jerowaru Lombok
Timur
Selatan Luas areal tanam luas, jumlah
petani banyak, masyarakat
yang kurang berkembang.
6 Keruak Keruak Lombok
Timur
Selatan Luas areal tanam luas, jumlah
petani banyak, masyarakat
yang kurang berkembang.
7 Sukadana Terara Lombok
Timur
Utara Jumlah petani banyak, luas
areal dan produksi tinggi,
masyarakat relatif sudah lebih
maju.
8 Sikur Sikur Lombok
Timur
Utara Jumlah petani banyak, luas
areal dan produksi tinggi,
masyarakat relatif sudah lebih
maju.
9 Kopang Kopang Lombok
Tengah
Loteng
Utara
Keterwakilan wilayah
administratif Lombok tengah,
areal yang cukup tinggi,
jumlah petani banyak.
10 Gonjak Praya Lombok
Tengah
Loteng
Tengah
Keterwakilan wilayah
administratif Lombok tengah,
areal yang cukup tinggi,
jumlah petani banyak.
Sumber: Data primer diolah (2013)
47
Penentuan Responden dan Pakar
Responden dalam penelitian ini berjumlah 100 orang yang tersebar di
sepuluh desa. Setiap desa diwakili oleh sepuluh orang responden. Jumlah itu
dirasa cukup untuk mewakili populasi dan memberikan gambaran umum tentang
tema penelitian. Adapun penentuan responden itu dilakukan dengan cara simple
random sampling. Sedangkan pakar untuk wawancara mendalam dalam penelitian
ini ditetapkan secara purposive. Informan dipilih berdasarkan kebutuhan
penelitian. Informan dalam penelitian ini berjumlah enam orang. Dua orang dari
asosiasi petani tembakau yang berbeda, dua orang dari unsur perusahaan
pertembakauan dan dua orang lagi dari pihak pemerintah daerah. Adapun orang-
orang yang dimaksud sebagai informan itu adalah sebagai berikut: (1) Pimpinan
Himpunan Petani Tembakau Lombok (Hipetal); (2) Pimpinan Asosiasi Petani
Tembakau Indonesia (APTI) wilayah Lombok; (3) Pimpinan PT. AOI station
Lombok; (4) Pimpinan PT. Djarum station Lombok; (4) Pimpinan di Dinas
Perkebunan Kabupaten Lombok Timur; dan (5) Bidang khusus terkait di Dinas
Perkebunan Provinsi NTB.
Variabel yang Diamati
Adapun variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah :
1. Keuntungan usaha yang diterima oleh petani maupun pengomprong
tembakau virginia di Pulau Lombok. Keuntungan usaha petani
pengomprong dalam penelitian ini juga disebut sebagai nilai tambah (value
added)
2. Keuntungan atau value added yang diterima oleh perusahaan industri
rokok dari aktifitas usaha pada agribisnis tembakau virginia di Pulau
Lombok.
3. Margin atau selisih value added antara petani dengan perusahaan dalam
satu satuan unit tertentu, dalam hal ini adalah dalam satuan unit hektar.
4. Nilai ekonomi yang dapat dihasilkan oleh produk olahan tembakau
virginia, yakni produk rokok.
5. Nilai tambah wilayah yang dapat diciptakan dengan adanya agribisnis
tembakau virginia di Pulau Lombok.
6. Potensi nilai tambah wilayah yang hilang atau mengalir dan dinikmati oleh
wilayah lain tempat berlangsungnya proses pengolahan daun tembakau
menjadi rokok.
7. Efek sebar (spread effect) yang ditimbulkan dari terpusatnya aktifitas
ekonomi pertembakauan di Pulau Jawa terhadap wilayah Pulau Lombok
sebagai penghasil tembakau virginia.
8. Proses terjadinya efek pencucian balik (backwash effect) dalam agribisnis
tembakau virginia di Pulau Lombok yang ditandai dengan rendahnya
pendapatan wilayah dari agribisnis tembakau virginia sedangkan nilai
ekonominya sangat besar.
48
Metode Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara yang berbeda-beda
untuk setiap masalah penelitian.
Analisis Keadilan Ekonomi Berdasarkan Jumlah Nilai Tambah
(Keuntungan) dan Margin Nilai Tambah Petani-Perusahaan
Margin usahatani dalam agribisnis tembakau virginia Lombok dianalisis
secara deskriptif dengan cara mengungkapkan fakta-fakta di lapangan dengan
mengacu pada data kuantitatif dan kualtatif. Distribusi nilai tambah (value added)
diukur dengan melihat besaran nilai tambah atau keuntungan usaha yang diterima
oleh masing-masing pihak dalam rantai tata niaga pada agribisnis tembakau
virginia Lombok, dalam hal ini dibatasi hanya pada tingkat petani, pengomprong
dan perusahaan mitra dengan wilayah operasi Pulau Lombok. Besaran nilai
tambah itu diukur dengan menghitung nilai keuntungan usaha dalam satuan rupiah
per hektar pertanaman tembakau. Selanjutnya dihitung margin atau selisih nilai
tambah yang diterima petani, pengomprong serta perusahaan mitra tersebut.
Keuntungan petani dan pengomprong dianalisis dengan menggunakan rumus
berikut.
π = TR – TC
TR = TP x P
TC = FC + VC + L + o + i
FC = LR + O + Pr + o
VC = Ai1 + Ai2 + Ai3 + o
Keterangan:
π = Total keuntungan atau nilai tambah (value added) petani tembakau
TR = Total Revenue atau total penerimaan
TC = Total Cost atau total biaya produksi
TP = Total Production
P = Price atau harga per unit tembakau virginia
FC = Fix Cost, atau biaya tetap
VC = Variable Cost, atau biaya variable
L = Labor, tenaga kerja
o = Biaya lain tak terduga dan penyusutan
i = Interest rate, tingkat bunga
LR = Land Rent, sewa lahan
O = Oven tembakau
Pr = Alat press bale
Ai1 = Biaya Agroinput pembibitan
Ai2 = Biaya Agroinput penanaman
Ai3 = Biaya Agroinput processing pasca panen (pengomprongan)
Sedangkan untuk menghitung tingkat keuntungan perusahaan digunakan
pendekatan harga eceran rokok mengingat perusahaan tidak berkenan
49
memberikan data laporan transaksi usahanya. Adapun rumus yang digunakan
untuk menghitung tingkat keuntungan perusahaan dengan pendekatan harga jual
eceran adalah sebagai berikut:
Π = ( P – C – KF – Pc – πp - o) (V%) (R)
V% = (0,5 gr / BR) 100%
R = TP (gr) / 0,5 gr
Keterangan:
Π = Total keuntungan perusahaan
P = Price, harga eceran per batang rokok
C = Biaya cukai hasil tembakau
KF = Kertas dan Filter rokok serta kemasannya
Pc = Production cost, perkiraan biaya produksi per batang rokok selain
untuk keperluan kertas, filter dan kemasan rokok.
πp = Keuntungan pedagang pengecer
o = other, biaya lai-lain seperti transportasi, dan sebagainya
V% = Perkiraan prosentase penggunaan tembakau virginia dalam satu
batang rokok
R = Jumlah total batang rokok yang mengandung tembakau virginia
Lombok
TP = Total Production, total produksi tembakau
0,5 gr = Merupakan rata-rata kandungan atau komposisi
tembakau virginia dalam satu batang rokok menurut keterangan
informan kunci (pimpinan perusahaan).
Selanjutnya dihitung margin pendapatan antara petani dan perusahaan
dengan rumus:
Margin = Π perusahaan – Π petani
Prosentase = (Π petani / Π perusahaan) X 100%
Keterangan:
Margin = Margin pendapatan petani dan perusahaan dalam satu hektar
pertanaman tembakau virginia Lombok.
Π perusahaan = Tingkat keuntungan perusahaan
Π petani = Tingkat keuntungan petani
Prosentase = Prosentase pendapatan petani terhadap pendapatn perusahaan
Analisis Keadilan Ekonomi berdasarkan Efek Sebar (Spread Effect) dan Efek
Pencucian Balik (Backwash Effect)
Secara umum spread effect maupun backwash effect dalam penelitian ini
dianalisis dengan menggunakan data nilai tambah agregat dari agribisnis
tembakau. Total nilai tambah agregat itu dihitung dengan menggunakan
50
pendekatan harga eceran rokok sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Langkah
pertama adalah menghitung nilai ekonomi tembakau virginia Lombok dengan
rumus:
TEV = ( P – C – KF – [Pc-T] – πp - o) (V%) (R)
V% = (0,5 gr / BR) 100%
R = TPa (gr) / 0,5 gr
Keterangan:
TEV = Tobacco economic value, nilai ekonomi tembakau virginia Lombok
P = Price, harga eceran per batang rokok
C = Biaya cukai hasil tembakau
KF = Kertas dan Filter rokok serta kemasannya
[Pc-T] = Production cost minus tobacco, perkiraan biaya produksi per batang
rokok untuk keperluan selain tembakau dan penyedap rasa lainnya
seperti cengkeh dan saus.
πp = Keuntungan pedagang pengecer
o = other, biaya lai-lain seperti transportasi, dan sebagainya
V% = Perkiraan prosentase penggunaan tembakau virginia dalam satu
batang rokok
R = Jumlah total batang rokok yang mengandung tembakau virginia
Lombok
TPa = Agregat total Production, total produksi tembakau agregat
0,5 gr = Merupakan rata-rata kandungan atau komposisi
tembakau virginia dalam satu batang rokok menurut keterangan
informan kunci (pimpinan perusahaan).
Rumus diatas pada dasarnya didasarkan atas ide yang sama dengan rumus
penghitungan tingkat keuntungan perusahaan sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
Ada beberapa perbedaan mendasar diantara keduanya, yakni total produksi yang
dihitung adalah total produksi agregat yang dalam rumus diatas disimbolkan
dengan TPa. Jika pada perhitungan keuntungan perusahaan, total produksi yang
digunakan adalah total produksi untuk setiap satu hektar pertanaman tembakau,
maka perhitungan nilai ekonomi ini menghitung keseluruhan hasil produksi
tembakau virginia di Pulau Lombok dalam satu tahun. Selain itu perbedaan
mendasar lainnya adalah dikuranginya biaya pembelian tembakau dan penyedap
rasa rokok (cengkeh dan saus) dari perhitungan biaya produksi ([Pc-T]). Hal ini
dimaksudkan karena perhitungan ini sedang berusaha mencari nilai murni dari
tembakau virginia Lombok jika ia dijual dalam bentuk sudah diolah (menjadi
rokok).
Nilai ekonomi tembakau virginia Lombok secara sederhana dapat
diartikan sebagai nilai jual tembakau virginia Lombok setelah diolah dan berubah
bentuk menjadi produk rokok, dengan kata lain seberapa besar kemampuan
agribisnis tembakau Lombok itu dalam menciptakan (creating) nilai tambah. Nilai
ekonomi dari tembakau virginia Lombok perlu diketahui untuk melihat seberapa
besar nilai uang yang beredar dan berkontribusi terhadap perkonomian di wilayah
Pulau Lombok dengan menghitung total pendapatan wilayah Pulau Lombok dari
agribisnis tembakau virginia, baik dalam bentuk pendapatan masyarakat maupun
51
penerimaan pemerintah daerah. Selisih nilai ekonomi dengan total nilai tambah
wilayah Pulau Lombok dari agribisnis tembakau virginia merupakan pendapatan
wilayah lain tempat dilakukannya pabrikasi atau pengolahan tembakau menjadi
produk rokok.
Efek Sebar (Spread Effect)
Efek sebar (spread effect) dari agribisnis tembakau virginia ini dapat
dilihat dari kemampuannya dalam menyerap tenaga kerja dan menggerakkan
sektor terkait di dalam wilayah. Data tenaga kerja yang mampu diserap agribisnis
tembakau virginia ini dapat diperoleh dengan mudah dari publikasi resmi
pemerintah melalui dinas perkebunan maupun BPS. Efek sebar tenaga kerja yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah total nilai (harga) dari tenaga kerja yang
digunakan dalam memproduksi tembakau virginia Lombok. Perhitungan nilai
(harga) tenaga kerja dalam penelitian ini didasarkan pada data hasil analisis
usahatani yang digunakan dalam menghitung tingkat keuntungan petani yang
kemudian di “agregatkan” dengan menggunakan rumus:
LP = LC x TF
Keterangan:
LP = Labor price, nilai atau harga tenaga kerja secara agregat dalam rupiah
LC = Labor cost, biaya tenaga kerja dalam setiap hektar pertanaman tembakau
virginia Lombok.
TF = Total field, total luas areal pertanaman tembakau virginia di Pulau Lombok
Labor price adalah total jumlah uang yang diterima oleh seluruh tenaga
kerja (buruh) selama pelaksanaan agribisnis tembakau virginia Lombok dalam
satu musim tanam (selama lima bulan).
Selain pendapatan buruh, penyerapan tenaga kerja dalam agribisnis
tembakau virginia Lombok ini juga adalah pendapatan atau laba petani. Efek
sebar terhadap tingkat penyerapan tenaga kerja juga memperhitungkan total laba
petani secara agregat dengan rumus:
FP = Tπ x TF
Keterangan:
FP = Farmer price, nilai atau harga dari tenaga kerja petani (total laba seluruh
petani tembakau virginia Lombok)
Tπ = Total keuntungan petani dalam setiap hektar pertanaman tembakau
TF = Total field, total luas areal pertanaman tembakau di Pulau Lombok
52
Adapun nilai total dari penyerapan tenaga kerja adalah:
NP = LP + FP
Keterangan:
NP = Employment price
LP = Labor price
FP = Farmer price
Kemampuan agribisnis tembakau virginia Lombok dalam menggerakkan
sektor lain yang terkait dalam penelitian ini dianalisis dengan menghitung total
nilai keseluruhan biaya agroinput yang digunakan dalam menjalankan usaha
agribisnis tembakau itu (dalam satuan rupiah). Selain itu sektor lain yang
merupakan efek sebar dari industi pertembakauan adalah sektor jasa keuangan
(bunga pinjaman). Rumus yang digunakan untuk mengetahui total nilai agroinput
adalah:
TAi = nAi x TF
Keterangan:
TAi = Total of Agroinput, total nilai atau harga dari faktor-faktor produksi
(agroinput) dalam agribisnis tembakau virginia Lombok secara
keseluruhan.
nAi = Total nilai atau harga faktor-faktor produksi (agroinput) per hektar
pertanaman tembakau virginia Lombok.
TF = Total field, jumlah total pertanaman tembakau virginia di Pulau
Lombok.
Selain sektor agorinput, sektor lain yang dimaksud disini adalah
berkembangnya sektor jasa keuangan dalam bentuk bunga pinjaman. Efek sebar
terhadap sektor jasa keuangan ini dihitung dengan rumus:
i = (iLR + iLP + iIr + iSs + iRo) (TF)
Keterangan:
i = Total bunga pinjaman dalam agribisnis tembakau virginia Lombok secara
keseluruhan (agregat)
iLR = Interest of land rent, bunga sewa lahan
iLP = Interest of labor price, bunga biaya tenaga kerja (buruh)
iIr = Interst of irrigation, bunga biaya pengairan
iSs = Nilai penyusutan dan bunganya
iRo = Bunga biaya renovasi oven
Biaya sewa lahan tidak dihitung sebagai efek sebar karena dengan atau
tanpa adanya agribisnis tembakau lahan-lahan itu diasumsikan tetap berproduksi
53
(memproduksi komoditas lain). Efek sebar (spread effect) dalam hal ini
merupakan fungsi dari nilai total atau nilai agregat penyerapan tenaga kerja dan
nilai agregat dari sektor lain yang terkait, dalam hal ini sektor lain itu adalah
penyedia sarana agroinput seperti pupuk, pestisida, bahan bakar, dan sebagainya.
Tarigan (2002:175) menyebutnya sebagai biaya antara (intermediate cost). Biaya
antara itu akan dihitung sebagai efek sebar jika faktor-faktor produksi biaya antara
itu dimiliki oleh masyarakat setempat. Jika faktor-faktor produksi itu di ekspor
dari luar wilayah, maka biaya antara itu tidak terhitung sebagai spread effect di
dalam wilayah. Selain itu, sektor lain yang dimaksud disini adalah sektor jasa
keuangan dalam bentuk bunga pinjaman. Secara matematis dapat ditulis:
SE = NP + TAi + i
Jika biaya antara (intermediate cost), yakni biaya agroinput bukan
merupakan milik masyarakat Pulau Lombok, maka komponen TAi dihilangkan
dari rumus diatas sehingga menjadi:
SE = NP + i
Keterangan:
SE = Spread effect
LP = Total of employment price
TAi = Total of Agroinput price
i = Total of interest, total bunga pinjaman
Efek Pencucian Balik (Backwash Effect)
Backwash effect mengacu pada kondisi ketimpangan ekonomi antar
wilayah yang memiliki keterkaitan ekonomi langsung di mana ketimpangan itu
disebabkan oleh adanya ketidakadilan ekonomi dalam interaksi ekonomi antar
wilayah tersebut. Backwash itu terjadi dalam berbagai bentuk seperti migrasi
penduduk, perpindahan modal, dan perdagangan yang timpang (Jhingan,
1999:212-213). Backwash effect dalam penelitian ini dianalisis dengan melihat
arus perpindahan modal (keuntungan) dalam aktifitas perdagangan produk hasil
tembakau virginia lombok dari wilayah Pulau Lombok ke wilayah lainnya.
Analisis itu dilakukan dengan menghitung besaran nilai tambah (value added)
yang diterima wilayah Pulau Lombok dari keseluruhan (total) nilai ekonomi
tembakau virginia Lombok.
Menurut Tarigan (2002:175-178) pendapatan wilayah dari suatu aktifitas
perekonomian terdiri dari upah dan gaji, laba, sewa tanah, bunga uang,
penyusutan dan pajak tidak langsung netto. Sementara itu biaya antara
(intermediate cost) seperti pupuk, pestisida dan input produksi lainnya tidak
dihitung sebagai pendapatan wilayah dari sektor tersebut karena sudah
diperhitungkan di sektor yang lain. Artinya input-input produksi itu sudah
dihitung sebagai sektor tersendiri. Sebagai contoh, pupuk sudah diperhitungkan
nilai tambahnya dalam sektor ekonomi pupuk itu sendiri sehingga jika dilakukan
54
perhitungan lagi akan menyebabkan terjadinya perhitungan ganda (double
accounting). Jadi, dalam penelitian ini pendapatan wilayah merupakan nilai total
dari upah tenaga kerja (labor price), biaya sewa lahan, bunga pinjaman,
penyusutan dan pendapatan pemerintah daerah dalam bentuk retribusi. Sementara
nilai tambah diluar itu dihitung sebagai pendapatan wilayah lain, dalam hal ini
wilayah Pulau Jawa tempat berlangsungnya proses pengolahan bahan baku daun
tembakau menjadi produk rokok, dalam rumus matematis dapat dinyatakan:
RIt = RIπ + RIL + RILR + RIi + RIIr + RIRo + GI
Keterangan:
RIt = Regional income in tobacco agribusiness, atau pendapatan wilayah dari
agribisnis tembakau virginia Lombok
RIπ = Regional income from farmer profit, pendapatan wilayah dari laba
usahatani petani tembakau
RIL = Regional income from Labor wage, pendapatan wilayah dari upah
buruh
RILR = Regional income from Land rent, pendapatan wilayah dari biaya sewa
lahan yang diterima tuan tanah
RIi = Regional income from interest, pendapatan wilayah dari total bunga
pinjaman dan penyusutan
RIRo = Regional income from oven renovation, pendapatan wilayah dari biaya
renovasi oven
GI = Government income, pendapatan pemerintah daerah dari agribisnis
tembakau
Sebelum menghitung total pendapatan wilayah dari agribisnis tembakau
virginia Lombok itu, terlebih dahulu perlu dicari nilai dari variabel bebas dengan
rumus-rumus berikut:
RIπ = π x TF
Keterangan:
RIπ = Regional income from farmer profit, pendapatan wilayah dari laba
usahatani
π = farmer profit, keuntungan (laba) usahatani petani
TF = Total field, luas areal pertanaman
RIL = LC x TF
Keterangan:
RIL = Regional income from labor wage, pendapatan wilayah dari upah buruh
LC = Labor cost, total kebutuhan biaya tenaga kerja dalam setiap satu hektar
pertanaman tembakau virginia Lombok
TF = Total field, luas areal pertanaman
55
RILR = LR x TF
Keterangan:
RIiLR = Regional income from land rent, pendapatan wilayah dari biaya sewa
lahan yang diterima tuan tanah
LR = Land rent, biaya sewa lahan per hektar per musim tanam
TF = Total field, total luas areal pertanaman
RIi = (iLR + iLP + iIr + iSs + iRo) (TF)
Keterangan:
RIi = Regional income from interest, pendapatan wilayah dari bunga
pinjaman dan nilai penyusutan.
iLR = Bunga biaya sewa lahan
iLP = Bunga biaya upah tenaga kerja (buruh)
iIr = Bunga biaya irigasi
iSs = Bunga nilai penyusutan
iRo = Bunga biaya renovasi oven
TF = Total field, total jumlah areal tanam
RIIr = Ir x TF
Keterangan:
RIIr = Regional income from irrigation, pedapatan wilayah dari biaya yang
dikeluarkan untuk keperluan pengairan.
Ir = Irrigation, total biaya irigasi per hekatar pertanman tembakau
TF = Total field, total jumlah areal lahan di Pulau Lombok
RIRo = Ro x TF
Keterangan:
RIRo = Regional income from oven renovation, pendapatan wilayah dari
biaya renovasi oven
Ro = Biaya renovasi oven untuk kebutuhan pengovenan tembakau hasil
produksi dalam satu hektar pertanaman
TF = Total field, total luas areal tanam
56
GIt = RIGS + RIGC
Keterangan:
GIt = Government income from tobacco agribusiness, besarnya
pendapatan pemerintah daerah karena adanya usaha agribisnis
tembakau virginia Lombok
RIGS = Pendapatan wilayah dari penerimaan pemerintah dalam bentuk
sumbangan sukarela (retribusi)
RIGC = Pendapatan wilayah dari penerimaan pemerintah daerah dalam
bentuk Dana Bagi Hasil Cukat tembakau (DBHCT).
Selanjutnya dihitung potensi nilai tambah yang hilang atau mengalir ke
luar wilayah Pulau Lombok dengan menghitung selisih antara pendapatan wilayah
Pulau Lombok dalam usaha agribisnis tembakau itu dengan total nilai ekonomi
tembakau. Semakin besar potensi nilai tambah yang hilang itu, semakin kuat pula
efek pencucian balik (backwash effect) yang terjadi. Kemudian dihitung
prosentase pendapatan wilayah terhadap total nilai ekonomi tembakau virginia
Lombok itu. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui seberapa persen nilai tambah
yang menjadi manfaat di wilayah Pulau Lombok dari total nilai tambah yang bisa
diciptakan oleh industri pertembakauan. Semakin kecil prosentase pendapatan
wilayah terhadap nilai ekonomi tembakau virginia itu menunjukkan semakin kuat
backwash effect yang terjadi. Rumus yang digunakan adalah:
LAV = TEV – RIt
Keterangan:
LAV = Loss Value added, potensi kehilangan nilai tambah wilayah
TEV = Tobacco economic value, total nilai ekonomi tembakau virginia
Lombok
RIt = Regional income in tobacco agribusiness, pendapatan wilayah dalam
agribisnis tembakau virginia Lombok
LAV% = Prosentase pendapatan wilayah dalam agribisnis tembakau virginia
Lombok terhadap total nilai ekonomi tembakau virginia Lombok.
Penarikan kesimpulan tentang tingkat kekuatan backwash effect yang
terjadi dilakukan dengan membuat pengkategorian di mana jika prosentase
pendapatan wilayah terhadap total nilai ekonomi tembakau itu kurang dari 10%
maka backwash yang terjadi sangat kuat, antara 10% - 30% berarti kuat, antara
30% - 50% berarti sedang, dan dibawah 50% berarti lemah, dalam bahasa
matematis dapat dituliskan sebagai berikut:
57
LAV% < 10% backwash effect sangat kuat
10% < LAV% < 30% backwash effect kuat
30% < LAV% < 50% backwash effect sedang
LAV% > 50% backwash effect lemah
Definisi Operasional
1. Agribisnis tembakau virginia yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
aktifitas ekonomi yang menjadikan tembakau jenis virginia sebagai
komoditas usaha, baik di tingkat petani berupa penanaman di sawah (on farm),
pengelolaan pasca panen (off farm) maupun di tingkat perusahaan industri
pengolah hasil tembakau, terutama industri rokok.
2. Petani dalam penelitian ini adalah orang yang menanam (produsen) tembakau
virginia baik di sawah miliknya sendiri maupun di sawah milik orang lain
yang ia sewa atau garap.
3. Pengomprong dalam penelitian ini adalah orang yang melakukan aktifitas
pengolahan pasca panen daun tembakau mulai dari proses pengikatan di
gelantang, pengovenan, grading hingga pengemasan (pengebalan) sehingga
didapatkan produk tembakau kering yang siap dijual ke perusahaan mitra.
4. Perusahaan mitra dalam penelitian ini adalah perusahaan yang bermitra
dengan petani tembakau virginia Lombok dalam menjalankan agribisnis
tembakaunya.
5. Pemerintah dalam penelitian ini adalah orang atau lembaga yang memiliki
otoritas dan kekuatan hukum dalam menetapkan kebijakan yang berkaitan
dengan pelaksanaan agribisnis tembakau Virginia Lombok.
6. Nilai tambah (value added) dalam penelitian ini dimaknai dalam dua cara,
yaitu secara mikro dan makro. Secara mikro nilai tambah dalam penelitian ini
adalah pendapatan usahatani petani tembakau virginia dan nilai manfaat
berupa uang yang diterima oleh pengomprong maupun perusahaan dalam
agribisnis tembakau virginia Lombok. Sedangkan secara makro value added
dimaknai sebagai tingkat kemampuan aktifitas ekonomi tembakau virginia
lombok dalam menghasilkan pendapatan wilayah secara agregat.
7. Margin nilai tambah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah selisih nilai
keuntungan yang diterima oleh petani dan pengomprong tembakau virginia
Lombok dengan tingkat keuntungan petani.
8. Nilai ekonomi tembakau yang dimaksud dalam penelitian ini adalah total nilai
(dalam rupiah) tembakau virginia Lombok setelah dijual dalam bentuk produk
rokok. Nilai ekonomi tembakau virginia Lombok itu adalah harga penjualan
tembakau virginia Lombok setelah diolah menjadi rokok.
9. Wilayah terbelakang (hinterland) yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
wilayah Pulau Lombok karena wilayah ini hanya mampu berperan sebagai
penghasil produk primer berupa daun tembakau untuk diolah di wilayah lain.
58
10. Wilayah maju (pusat pertumbuhan/center of growth) dalam penelitian ini
adalah wilayah tempat berlangsungnya proses pengolahan daun tembakau
menjadi rokok sehingga mampu menciptakan nilai tambah yang tinggi di
wilayah tersebut, dalam hal ini adalah wilayah Pulau Jawa.
11. Efek sebar (spread effect) dalam penelitian ini adalah dampak positif langsung
berupa pendapatan (nilai tambah) wilayah yang ditimbulkan oleh agribisnis
tembakau virginia Lombok terhadap perekonomian wilayah di Pulau Lombok.
Dampak sebar dalam penelitian ini diukur dengan nilai uang berdasarkan data
sebaran nilai tambah.
12. Efek sedot atau efek pencucian balik (backwash effect) dalam penelitian ini
adalah dampak negatif atau proses eksploitatif dan parasitik dalam interaksi
ekonomi pada agribisnis tembakau virginia di Pulau Lombok dengan data
sebaran nilai tambah sebagai indikator utama. Backwash ini diukur dengan
menghitung prosentase pendapatan (nilai tambah) yang diterima oleh wilayah
Pulau Lombok pada aktifitas ekonomi tembakau virginia terhadap total nilai
ekonomi tembakau virginia Lombok itu.
13. Keadilan ekonomi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kondisi
kesamaan atau ketidaksamaan, kondisi kemerataan atau ketidakmerataan, serta
kondisi ketimpangan atau ketidaktimpangan distribusi nilai tambah, baik nilai
tambah antara petani dan perusahaan maupun antara wilayah Pulau Lombok
sebagai wilayah terbelakang pemasok bahan baku industri rokok dengan
wilayah Pulau Jawa sebagai wilayah maju tempat berlangsungnya proses
pengolahan daun tembakau menjadi produk rokok.
4 KONDISI UMUM PULAU LOMBOK
Wilayah Administrasi dan Kondisi Alam Pulau Lombok
Secara administratif Pulau Lombok berada dalam wilayah provinsi NTB
bersama Pulau Sumbawa dan ratusan pulau kecil lainnya. Secara keseluruhan,
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) memiliki luas wilayah 20.153,15 km² di
mana Pulau Lombok memiliki luas wilayah 4.738,65 km² atau 23,5% dari total
luas wilayah provinsi NTB. Wilayah Pulau Lombok sendiri, secara administrasi
terbagi menjadi lima wilayah administrasi kabupaten/kota, yaitu Kota Mataram,
Lombok Barat, Lombok Utara, Lombok Tengah, dan Lombok Timur. Luas Kota
Mataram adalah 61,30 km² (1,29%), Lombok Barat 1.053,92 km² (22.24%),
Lombok Utara 809,53 km² (17,08%), Lombok Tengah 1,208,40 km² (25.50%),
serta Lombok Timur seluas 1.605,55 km² atau 33,88% (BPS NTB, 2012).
Secara geografis, Pulau Lombok berada di wilayah gugusan Pulau Nusa
Tenggara yang dulu dikenal dengan nama sunda kecil. Pada bagian utara, Pulau
Lombok berbatasan dengan Laut Jawa dan Laut Flores, di bagian barat berbatasan
dengan Selat Lombok / Pulau Bali, sementara di sebelah timur berbatasan dengan
59
Selat Alas / Pulau Sumbawa, serta di bagian selatan berbatasan langsung dengan
Samudra Indonesia. Selat Lombok merupakan batas sebaran flora dan fauna Asia.
Menurut Alfred Russel Wallace, seorang ilmuwan Inggris di abad ke 19, flora dan
fauna yang ditemui di wilayah Pulau Lombok ke arah timur lebih menunjukkan
kemiripan dengan flora dan fauna yang dijumpai di Australia daripada Asia.
Penduduk dan Ketenagakerjaan
Berdasarkan data hasil Susenas 2011, jumlah penduduk Nusa Tenggara
Barat mencapai 4.545.650 jiwa di mana 3.200.686 jiwa (70,41%) tinggal di Pulau
Lombok. Adapun di Pulau Lombok, kabupaten dengan jumlah penduduk terbesar
adalah Kabupaten Lombok Timur dengan 1.116.745 jiwa (34,89%) disusul oleh
Kabupaten Lombok Tengah dengan 868.895 jiwa (27,14%), Kabupaten Lombok
Barat sebanyak 606.044 jiwa (18,93%), Kota Madya Mataram sebanyak 406.910
jiwa (12,71%), dan yang terkecil adalah Kabupaten Lombok Utara dengan
202.092 jiwa (6,31%). Sedangkan jumlah total rumah tangga yang ada di Pulau
Lombok adalah 925.152 rumah tangga dengan pola sebaran relatif sama dengan
pola sebaran jumlah penduduk sebagaimana dijelaskan diatas (BPS NTB, 2012).
Bila dilihat dari kelompok umur, komposisi penduduk masyarakat NTB,
khususnya masyarakat Pulau Lombok berbentuk priramida yang mana kelompok
umur terbanyak adalah anak-anak, kemudian remaja, pemuda dan orang tua.
Komposisi penduduk berdasarkan kelompok umur dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Table 4.1. Komposisi penduduk Provinsi NTB berdasarkan kelompok umur
Kelompok Umur
Age Group
Laki-Laki
Male
Perempuan
Female
Jumlah
Total
0-4
5-9
10-14
15-19
20-24
25-29
30-34
35-39
40-44
45-49
50-54
55-59
60-64
65+
246.670
238.412
235.172
217.014
178.993
181.295
166.655
159.961
136.689
114.940
100.829
73.089
58.972
98.325
234.071
226.238
223.487
214.350
209.404
219.474
196.177
180.546
152.014
125.025
108.529
73.554
61.996
113.769
480.741
464.650
458.659
431.364
388.397
400.769
362.832
340.507
288.703
239.965
209.358
146.643
120.968
212.094
Jumlah/Total
2.207.016
2.338.634
4.545.650
Sumber: BPS NTB (2012)
60
Tabel diatas merupakan tabel komposisi penduduk berdasarkan kelompok
umur untuk provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Mengingat 70% penduduk
NTB berada di wilayah Pulau Lombok, maka komposisi penduduk berdasarkan
kelompok umur di Pulau Lombok diyakini juga memiliki pola komposisi yang
sama di mana ia berbentuk piramida.
Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan bahwa provinsi NTB pada
umumnya dan Pulau Lombok pada khususnya memiliki komposisi penduduk
yang cukup ideal, di mana jumlah populasi terbanyak ada pada kelompok umur 0-
4 tahun, lalu disusul oleh kelompok umur 5-9 tahun dan begitu seterusnya.
Sementara kelompok umur dengan populasi terendah adalah kelompok umur
diatas 60 tahun. Sementara itu kelompok umur produktif atau kelompok umur
bekerja (15-59 tahun) juga berjumlah cukup besar. Ini adalah sinyal positif untuk
memperbaiki kinerja ekonomi wilayah.
Jumlah penduduk NTB yang berusia 15 tahun keatas berdasarkan hasil
survei sosial ekonomi nasional tahun 2011 mencapai 3.134.958 orang. Adapun
jumlah penduduk berusia 15 tahun keatas yang bekerja mencapai 2.072.782 orang
(66,11%), sekolah 275.339 orang (8,78%), mengurus rumah tangga 627.340 orang
(20%), dan sisanya merupakan pencari kerja (job seeker).sementara itu, jumlah
pekerja menurut sektor dapat dilihat pada Tabel 4.2 berikut.
Tabel 4.2. Jumlah pekerja menurut sektor di Pulau Lombok tahun 2011
No Kabupaten/Kota Pertanian Industri Perdagangan Jasa Lainnya Jumlah
1. Lombok Barat 111.547 17.954 53.072 19.896 61.101 263.570
2. Lombok
Tengah
225.229 49.010 42.267 31.232 33.199 380.937
3. Lombok Timur 199.746 46.563 94.261 82.841 44.626 468.037
4. Kota Mataram 10.093 15.390 75.529 43.965 32.753 177.730
5. Lombok utara 54.780 5.471 11.260 8.080 9.437 89.028
TOTAL 601.395 134.388 276.389 186.014 181.116 1.379.372
Sumber: BPS NTB (2012)
Mengacu pada data diatas, dapat dipahami bahwa sektor yang paling
banyak menyerap tenaga kerja di wilayah Pulau Lombok adalah sektor pertanian,
disusul dengan sektor perdagangan, jasa dan industri. Sektor pertanian yang
dimaksud disini adalah pertanian dalam arti luas yang mencakup sektor
perkebunan, peternakan, perikanan, dan sebagainya.
61
Struktur Perekonomian Wilayah
Kinerja perekonomian suatu wilayah dapat diukur dari laju pertumbuhan
PDRB atas dasar harga konstan dan atas dasar harga berlaku. PDRB atas harga
konstan lebih menjunjukkan kondisi yang sebenarnya karena pertumbuhan
ekonomi dengan alat ukur ini hanya disebabkan oleh pertumbuhan riil produksi
barang dan jasa. Adapun distribusi persentase dan pertumbuhan PDRB disajikan
pada Tabel 4.3 berikut.
Tabel 4.3. Distribusi nilai tambah dan laju pertumbuhan PDRB pada tiga
kabupaten Pulau Lombok menurut sektor atas dasar harga konstan
tahun 2000 (dalam 000.000)
No Lapangan
Usaha
Nilai PDRB per Kabupaten
(Rp)
Laju
Pertumbuhan (%)
Lombok
Barat
Lombok
Tengah
Lombok
Timur Lo-
bar
Lo-
teng
Lo-
tim
1 Pertanian 403.331,58 583.230 914.428,60 3,99 4,04 3,07
2 Pertambangan
dan Penggalian
57.404,21 53.416 108.954,60 3,18 5,25 6,74
3 Industri
Pengolahan
78.551,55 128.888 180.134,60 3,08 7,62 6,69
4 Listrik, gas dan
air bersih
7.702,01 4.253 6.050,60 0,61 4,93 3,35
5 Bangunan 173.103,78 178.186 204.786,10 10 5,70 6,12
6 Perdagangan,
Hotel, dan
Restoran
359.698,98 335.612 435.668,20 20,59 7,14 8,47
7 Pengangkutan
dan Konsumsi
162.916,37 104.063 148.971,10 11,18 7,05 7,45
8 Keuangan,
Persewaan dan
Jasa, perusahaan
64.772,71 91.698 114.403 4,30 6,44 6,66
9 Jasa-Jasa 196.240,89 271.895 299.496,90 13,07 2,17 2,38
Total PDRB 1.503.682,06 1.751.241 2.412.893,70 5,14 5,09 5,09 Sumber: BPS NTB, Lotim, Loteng dan Lobar dalam angka tahun 2009 diolah oleh Dipokusuma
(2011)
Data diatas merupakan data tahun 2009 sebelum terjadinya pemekaran
wilayah Kabupaten Lombok Utara dari Kabupaten Lombok Barat. Tabel 4.3
diatas memperlihatkan dengan jelas bahwa kabupaten yang memiliki nilai PDRB
terbesar adalah Kabupaten Lombok Timur, yakni sebesar Rp 2.412.893,700.000,-.
Sementara Kabupaten Lombok barat merupakan Kabupaten dengan PDRB
terendah yakni Rp 1.503.682,060.000,-. Angka itu merupakan angka PDRB
Kabupaten Lombok Barat bersama Lombok Utara sebelum terjadi pemekaran.
Saat ini nilai PDRB Kabupaten Lombok Barat dapat dipastikan lebih kecil dari
nilai tersebut mengingat Kabupaten Lombok Utara sudah menjadi wilayah
otonom tersendiri. Meski memiliki nilai PDRB terendah pada tahun 2009, namun
62
tingkat pertumbuhan PDRB Kabupaten Lombok Barat pada tahun yang sama
merupakan yang tertinggi dibanding kabupaten lain di Pulau Lombok yakni
sebesar 5,14%. Sedangkan dua kabupaten lainnya, Lombok Tengah dan Lombok
Timur hanya tumbuh 5,09%.
Berdasarkan lapangan usaha dapat dilihat bahwa lapangan usaha pertanian
menyumbang kontribusi terbesar terhadap struktur PDRB Pulau Lombok. Nilai
PDRB lapangan usaha pertanian yang tertinggi adalah Kabupaten Lombok Timur
sebesar Rp 914.428.600.000,- disusul dengan Kabupaten Lombok Tengah dengan
Rp 583.230.000.000,- dan terendah adalah Kabupaten Lombok Barat sebesar
Rp.403.331.580.000,-. Komposisi seperti itu dapat dipahami mengingat
Kabupaten Lombok Timur merupakan kabupaten dengan luas lahan pertanian
terbesar di Pulau Lombok. Selain itu Kabupaten Lombok Timur merupakan
kabupaten dengan jumlah penduduk terbesar di Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Selain lapangan usaha pertanian, lapangan usaha yang juga memberikan
kontribusi yang cukup besar terhadap struktur PDRB wilayah Pulau Lombok
adalah lapanan usaha perdagangan, hotel, dan restoran. Selain itu lapangan usaha
yang juga berkontribusi cukup signifikan dalam PDRB wilayah Pulau Lombok
adalah lapangan usaha jasa, bangunan dan lapangan usaha pengangkutan dan
komunikasi. Hal ini dapat dipahami mengingat Pulau Lombok merupakan salah
satu tujuan wisata nasional setelah Bali dan Jogjakarta.
Agribisnis Tembakau di Pulau Lombok
Tembakau Lombok telah dikenal luas oleh masyarakat tembakau
Indonesia maupun dunia. Menurut beberapa informan kunci (direktur perusahaan
tembakau di Pulau Lombok), Kualitas tembakau Lombok bahkan disejajarkan
dengan kualitas tembakau terbaik dunia yang diproduksi di Brazil dan Amerika.
Bagi pelaku industri rokok nasional, tembakau Lombok banyak digunakan
sebagai penyedap rasa (flavor) sehingga komposisi penggunaannya sangat kecil
pada tiap batang rokok. Hal itu membuat tembakau Lombok dipakai oleh hampir
semua merk rokok nasional sebagai penyedap rasa. Artinya, tembakau Lombok
bukanlah bahan baku utama dalam pembuatan rokok, ia hanya bahan tambahan
sebagai penyedap rasa. Fungsi penyedap rasa inilah yang membuat harga
tembakau Lombok menjadi mahal dalam pasar domestik maupun pasar
internasional. Karakter khusus itu pulalah yang membuat permintaan terhadap
tembakau Lombok ini relatif stabil setiap tahun meski dihadapkan pada fakta
peningkatan harga secara relatif.
Tembakau yang dikembangkan di Pulau Lombok adalah tembakau jenis
virginia yang dalam sejarahnya didatangkan dari Brazil. Kecocokan jenis tanah
dan agroklimat Lombok membuat tembakau Lombok berkembang dengan pesat
dari waktu ke waktu. Tembakau Lombok menjadi semakin berkembang setelah
para pelaku industri tembakau mengetahui kualitas tembakau Lombok yang
kemudian berpengaruh pada peningkatan permintaan dan peningkatan harga.
Kondisi itu yang membuat banyak petani pangan beralih menjadi petani tembakau.
Perkembangan selanjutnyanya membuat agribisnis tembakau menjadi semacam
tradisi yang diusahakan dari tahun ke tahun dan diwariskan dari generasi ke
63
generasi. Tembakau di Pulau Lombok diusahakan secara musiman dengan lama
usaha sekitar 6 bulan. Sebagai gambaran perkembangan tembakau Lombok,
perhatikan Tabel 4.4 berikut.
Tabel 4.4. Perkembangan luas areal dan produksi tembakau di Pulau Lombok
No U R A I A N TAHUN
2007 2008 2009 2010 2011
1 TEMBAKAU
VIRGINIA
Luas Areal Pertanaman
(Ha) 22,058.70 24,564.67 29,758.95 29,527.00 22,890.33
Produksi (Ton) 39,576.69 42,922.45 51,353.32 35,890.00 36,476.51
Produktivitas (Kg/Ha) 1,794.15 1,747.32 1,725.64 1,310.00 1,595.19
Potensi Areal (Ha) - 66,892.20 66,892.20 66,892.20 66,892.20
Jumlah Petani 26,046.00 24,165.00 27,172.00 22,336.00 15,662.00
2 TEMBAKAU
RAKYAT
Luas Areal Pertanaman
(Ha) 6,598.75 6,820.66 5,629.49 5,268.81 6,543.05
Produksi (Ton) 3,369.21 8,081.26 6,353.88 3,134.62 4,494.67
Produktivitas (Kg/Ha) 510.78 1,185.47 1,129.43 604.88 810.94
Potensi Areal (Ha) - 43,708.91 43,708.91 43,708.91 43,708.91
Jumlah Petani 8,125.00 9,522.00 8,142.00 12,056.00 12,202.00
Sumber: Disbun NTB (2013)
Data diatas merupakan data luas areal dan produksi tembakau sejak tahun
2007 hingga 2011. Data diatas memperlihatkan terjadinya peningkatan luas areal
maupun produksi tembakau virginia setiap tahun sejak tahun 2007, kecuali pada
tahun 2011 terjadi penurunan luas areal karena terjadinya rugi masal pada tahun
2010. Pada tahun 2010, terjadi penurunan tingkat produksi yang cukup signifikan
disebabkan karena cuaca ekstrem yang merusak tanaman yang juga menjadi
pemicu terjadinya kerugian massal. Data yang lebih lama tercatat di PT. Djarum
station Lombok sebagaimana digambarkan dalam grafik pada Gambar 4.1. berikut.
5330 7324 11917 11465 13296
26978
19616 17846 19400 22204 21746 19753 18210
22399 25221
21574 21015 24000
7315 11993
17756 17789 21401
36805
26271 22070
28265
34495 38646
35040 33269
45022
54580
32057
40655 41964
1,372 1,637 1,490 1,552 1,610 1,364 1,339 1,237 1,457 1,554 1,777 1,774 1,827 2,010 2,164 1,486 1,935 1,749 0
10000
20000
30000
40000
50000
60000
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
LU
AS
DA
N P
RO
DU
KS
I
TAHUN
HA
TON
PRODUKTIVITAS
Gambar 4.1. Luas areal dan produksi tembakau virginia Lombok tahun 1995-
2012 (PT. Djarum Station Lombok, 2013)
64
Grafik diatas menunjukkan peningkatan luas areal maupun produksi
tembakau virginia Lombok secara konsisten dari tahun ke tahun. Total produksi
jatuh pada tahun 2010 karena pengaruh iklim yang ekstrem yang kemudian
berpengaruh pada penurunan luas areal pada musim tanam tahun 2011.
Peningkatan luas areal dan produksi itu juga dipengaruhi oleh semakin
meningkatnya permintaan yang ditandai dengan semakin banyaknya jumlah
perusahaan pembeli hasil tembakau petani. Pada tahun 2000 jumlah perusahaan
hanya 8 perusahaan, sementara pada tahun 2011 jumlah perusahaan tembakau
yang beroperasi di Pulau Lombok adalah 23 perusahaan.
Setiap tahun, agribisnis tembakau di Pulau Lombok mampu menyerap
tenaga kerja rata-rata hingga 140.000 orang (selama 5 bulan pelaksanaan
agribisnis tembakau setiap tahun). Sejumlah 15.410 orang dari jumlah itu (pada
tahun 2011) merupakan petani dan sisanya merupakan buruh tani, pedagang, dan
pekerja perusahaan. Selama 5 bulan musim tanam tembakau itu pula
perekonomian wilayah di Pulau Lombok bergerak massif. Tercatat 800 Miliar
hingga 1,5 Trilliun uang beredar pada musim tanam tembakau. Nilai itu hampir
sama dengan total APBD Provinsi NTB setiap tahun (Disbun NTB, 2012).
Selain mampu menggerakkan perekonomian wilayah, agribisnis tembakau
Lombok juga merupakan salah satu penyumbang penting bagi Pendapatan Asli
Daerah (PAD), baik provinsi maupun kabupaten. Sumbangan pertama didapat
daerah dalam bentuk sumbangan sukarela yang dulu dikenal dengan istilah
retribusi. Setiap satu kilogram tembakau kering yang dibeli, perusahaan harus
membayar 100 rupiah kepada daerah. Uang Rp.100 itu kemudian dibagi dua, Rp
50 untuk pemerintah provinsi dan Rp 50 untuk pemerintah kabupaten. Jika rata-
rata produksi atau pembelian kering perusahaan setiap tahun adalah 40.000 ton,
maka setiap tahun pemerintah mendapatkan Rp 4 Milliar. Selain itu, daerah juga
mendapatkan PAD dari Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau (DBHCT) yang mulai
dialokasikan ke daerah sejak tahun 2010. Tabel 4.5 berikut menunjukkan besaran
DBHCT yang diterima Provinsi NTB.
Tabel 4.5. Distribusi dana bagi hasil cukai tembakau di NTB
No Pemerintah Daerah DBH CHT (Rp)
2010 2011 2012
1 Provinsi NTB 32.814.826.770 39.477.171.477 56.169.155.012
2 Kabupaten Bima 5.628.627.678 6.643.139.560 8.219.328.575
3 Kabupaten Dompu 2.849.995.581 3.438.170.588 5.025.182.672
4 Kabupaten Lombok Barat 8.071.728.593 10.170.555.325 13.299.825.306
5 Kabupaten Lombok Tengah 10.892.430.992 18.084.954.823 24.769.415.506
6 Kabupaten Lombok Timur 32.860.671.369 35.551.273.813 50.122.791.177
7 Kabupaten Sumbawa 5.551.997.214 6.651.723.959 8.730.898.839
8 Kota Mataram 4.859.553.095 1.436.452.186 6.091.786.585
9 Kota Bima 1.738.007.857 2.591.431.648 4.213.107.862
10 Kabupaten Sumbawa
Barat 1.323.744.877 3.098.136.954 4.597.238.585
11 Kabupaten Lombok Utara 2.791.171.875 4.447.561.257 5991786585
Jumlah 109.382.755.901 131.590.571.590 187.230.516.704
Sumber: APBN Republik Indonesia dalam Sosialisasi Kementan RI (2013)
65
Semua kabupaten/kota di Provinsi NTB mendapatkan alokasi dana
DBHCHT meskipun kabupaten/kota tersebut tidak menghasilkan tembakau sama
sekali. Asumsi pengalokasian itu adalah bahwa kabupaten/kota di sekitar
kabupaten penghasil tembakau juga mendapatkan dampak negatif dari adanya
aktifitas usahatani tembakau sehingga perlu di kompensasi dengan instrumen
DBHCHT. Kabupaten penerima DBHCHT terbesar di Provinsi NTB adalah
Kabupaten Lombok Timur karena kabupaten ini merupakan sentral penghasil
produk tembakau. Jumlah DBHCHT yang diterima daerah dari tahun ke tahun
selalu bertambah dan akan tetap bertambah mengingat pemerintah menerapkan
kebijakan penaikan nilai cukai tembakau dari tahun ke tahun.
Sebaran areal tanam tembakau di Pulau Lombok disesuaikan dengan
kessesuaian lahan daerah. Kabupaten Lombok Timur merupakan daerah yang
paling sesuai untuk pertanaman tembakau bersama Kabupaten Lombok Tengah.
Selain itu kesesuaian lahan untuk pertanaman tembakau juga ada di beberapa
daerah di Kabupaten Lombok Barat dan Kabupaten Lombok Utara. Hanya saja,
dua kabupaten ini belum mengembangkan potensi tembakaunya dengan baik.
Sebaran kesesuaian lahan daerah untuk pertanaman tembakau disajikan dalam
Gambar 4.2 berikut.
Gambar 4.2. Sebaran kesesuaian lahan unttuk pertanaman tembakau di Pulau
Lombok (Disbun NTB, 2013)
Peta diatas menggambarkan kesesuaian lahan di Pulau Lombok untuk
penanaman tembakau. Peta diatas menunjukkan bahwa lahan yang paling sesuai
untuk penanaman tembakau adalah lahan yang berada di wilayah selatan, baik
66
Lombok Timur bagian selatan maupun Lombok Tengah bagian selatan.
Sedangkan daerah yang berwarna merah merupakan daerah yang dianggap sesuai
marginal, artinya lahan itu sesuai untuk pertanaman tembakau namun
membutuhkan perlakukan lebih khusus untuk mendapatkan hasil yang baik.
Sebagai bahan perbandingan, perlu kiranya disajikan peta kesesuaian ekonomi
tembakau pada Gambar 4.3 berikut:
Gambar 4.3. Peta kesesuaian ekonomi tembakau di Pulau Lombok (Disbun NTB,
2013)
Peta diatas menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah di Pulau Lombok
merupakan wilayah yang sesuai secara ekonomi untuk mengembangkan agribisnis
tembakau. Adapun wilayah yang paling sesuai adalah wilayah Kabupaten
Lombok Timur dan Kabupaten Lombok Tengah. Sejauh ini wilayah Kabupaten
Lombok Timur adalah wilayah pengembang agribisnis tembakau yang paling
dominan di Pulau Lombok.
67
Potensi Pengembangan Wilayah Pulau Lombok
Sejauh ini, Lombok lebih banyak dikenal orang sebagai salah satu tujuan
wisata nasional yang indah. Selain itu Lombok juga dikenal sebagai salah satu
daerah surplus hasil padi sehingga menjadikannya sebagai salah satu lumbung
padi nasional. Tanah yang subur dan keindahan alam yang memukau adalah
potensi wilayah yang sangat menjanjikan kesejahteraan. Disamping itu, posisi
geografis Pulau Lombok yang memiliki wilayah perairan yang berpotensi menjadi
jalur perdagangan internasional juga merupakan berkah tersendiri. Potensi ini
perlu dikembangkan untuk menciptakan kesejahteraan rakyat di Provinsi NTB.
Segala potensi kekayaan alam yang berlimpah itu seharusnya Pulau
Lombok memiliki alasan yang cukup untuk menjadi maju dan sejahtera. Faktanya,
hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) September 2012 mencatat jumlah
penduduk miskin di Provinsi NTB adalah 18,02% (BPS NTB, 2012). Data
tersebut memang merupakan data agregat kemiskinan di Provinsi NTB, namun
jika melihat sebaran penduduk yang mana 70% penduduk NTB hidup di Pulau
Lombok, maka dapat dipastikan Pulau Lombok menyumbang kurang lebih 70%
pada angka kemiskinan itu. Indikator garis kemiskinan yang digunakan BPS
mendefinisikan kemiskinan sebagai orang yang pengeluaran bulanannya kurang
dari Rp 274.879 untuk perkotaan dan Rp 230.054 untuk pedesaan telah mencatat
angka kemiskinan setinggi itu, apalagi jika indikator kemiskinan yang digunakan
mengikuti standar internasional. Meski angka kemiskinan sebesar 18% termasuk
tinggi, angka itu sesungguhnya telah mengalami penurunan secara berkala dari
tahun ke tahun. Lebih detail dapat dilihat pada Tabel 4.6 berikut.
Tabel 4.6. Jumlah dan presentase penduduk miskin di Provinsi NTB 2002-2011
Tahun Jumlah Presentase
2002 1.145.081 28
2003 1.054.740 26
2004 1.031.605 25
2005 1.136.524 26
2006 1.156.144 27
2007 1.118.452 25
2008 1.080.613 24
2009 1.050.948 23
2010 1.009.352 22
2011 - - Sumber: BPS NTB (2012)
Keberadaan agribisnis tembakau nampaknya cukup efektif dalam
mengurangi angka kemiskinan itu. Jika Susenas itu dilakukan pada musim
tembakau, dapat dipastikan banyak masyarakat yang tidak masuk dalam kategori
miskin mengingat tingginya tingkat pengeluaran masyarakat tembakau pada
musim tembakau. Masyarakat tembakau yang dimaksud disini adalah petani,
buruh tani, pekerja di perusahaan tembakau, serta pedagang-pedagang kecil
penunjang aktifitas usahatani tembakau. Konsumsi dan tingkat pengeluaran
masyarakat tembakau pada musim tembakau meningkat tajam dibanding pada saat
68
bukan musim tembakau. Hal itu disebabkan karena terjadinya peningkatan
pendapatan secara signifikan pada musim tembakau (hal ini akan dijelaskan pada
bab selanjutnya). Kondisi itu membuat indikator garis kemiskinan yang digunakan
untuk mengukur tingkat kemiskinan akan membuat angka kemiskinan itu menjadi
bias, sebab ketika musim tembakau berhenti, tingkat pengeluaran masyarakat akan
kembali berkurang dan bisa jadi membuatnya digolongkan kedalam kategori
dibawah garis kemiskinan.
Meski dikenal sebagai salah satu ikon pariwisata nasional, perkembangan
sektor pariwisata di Pulau Lombok belum mampu menandingi Pulau Bali maupun
Jogjakarta. Hal ini disebabkan karena program pariwisata yang dijalankan
pemerintah belum mampu mengintegrasi program pariwisata yang kebanyakan
berbasis pantai dengan destinasi wisata lainnya, seperti wisata budaya, agrowisata,
dan sebagainya. Bahkan kerajinan tangan sebagai salah satu daya tarik pariwisata
juga tidak berkembang dengan massif di Pulau Lombok. kondisi itu membuat
daya serap tenaga kerja sektor pariwisata di Pulau Lombok belum begitu besar.
Bahkan kebanyakan masyarakat di Pulau Lombok tidak menyadari dan tidak
merasakan bahwa daerah Pulau Lombok merupakan salah satu tujuan wisata
terbaik di Indonesia. Kondisi itu membuat masyarakat tidak mengandalkan
hidupnya dari sektor pariwisata tapi tetap bertahan pada sektor pertanian.
Selain potensi pariwisata yang belum terkelola secara optimal, Lombok juga
memiliki potensi yang cukup besar pada sektor pertanian pangan. Pulau Lombok
adalah salah satu daerah surplus produksi padi. Artinya jumlah total produksi padi
di Pulau Lombok melebihi total kebutuhan untuk wilayah itu. Kondisi itu
membuat Lombok ditetapkan sebagai salah satu lumbung padi nasional. Sampai
saat ini belum ada sistem pengelolaan padi terpadu untuk meningkatkan nilai
tambah padi di Pulau Lombok, yang ada hanyalah pabrik-pabrik penggilingan
kecil tempat petani menggiling gabahnya untuk keperluan sendiri maupun untuk
keperluan dijual. Kondisi inilah yang dapat menjelaskan kenapa banyak kasus gizi
buruk terjadi di daerah ini meski telah ditetapkan sebagai salah satu daerah
lumbung padi nasional. Kondisi ini pula yang menjelaskan kenapa menanam
tembakau lebih diprioritaskan oleh petani daripada menanam padi sebab nilai
ekonomi kedua komoditas tersebut berbeda jauh.
5. KEADILAN EKONOMI DALAM AGRIBISNIS
TEMBAKAU VIRGINIA LOMBOK:
MARGIN NILAI TAMBAH PETANI – PERUSAHAAN
Tingkat Keuntungan Usahatani
Keuntungan atau profit adalah salah satu pilar penting pembentuk idiologi
kapitalisme. Setiap aktifitas ekonomi diasumsikan secara rasional bertujuan untuk
meraih keuntungan yang setinggi-tingginya dengan biaya atau korbanan yang
69
serendah-rendahnya. Setiap pelaku ekonomi dituntut untuk memiliki daya saing
tinggi baik secara finansial, keterampilan maupun pengetahuan agar dapat
mencapai tujuan itu,. Kebebasan sangat diperlukan untuk dapat meningkatkan
kapasitas dan daya saing diri agar bisa bersaing dalam memperebutkan kue
ekonomi (sumber daya) yang terbatas dengan mengikuti mekanisme pasar.
Begitulah logika pembentuk kapitalisme: keuntungan, persaingan, berserah pada
mekanisme pasar dan kebebasan.
Keuntungan yang tinggi juga menjadi pemicu utama berkembang pesatnya
komoditas tembakau di Pulau Lombok. Fakta yang tidak bisa dibantah adalah
fenomena menjamurnya rumah permanen yang menggantikan rumah-rumah
bedeg yang sebelum berkembangnya agribisnis tembakau mendominasi kondisi
perumahan masyarakat pedesaan (Nurjihadi, 2011). Besarnya nilai ekonomi serta
cepatnya perputaran uang dalam bisnis ini menjadi daya tarik tersendiri bagi
petani. Kondisi itu membentuk persepsi publik bahwa agribisnis tembakau
merupakan bisnis dengan nilai keuntungan yang besar. Terbentuknya persepsi
publik yang seperti itu membuat masyarakat, baik petani maupun masyarakat
umum memiliki ekspektasi yang besar terhadap komoditas ini. Hal ini dapat
dilihat dari meningkatnya rent tanah jika tanah itu digunakan untuk menanam
tembakau. Lebih dari itu, ekspektasi itu juga membuat status sosial para pelaku
bisnis ini (petani) meningkat.
Berdasarkan hasil penelitian, ada beberapa versi tingkat keuntungan petani
tembakau virginia di Pulau Lombok. Jika mengacu pada data PT.Djarum station
Lombok, rata-rata keuntungan petani mitra Djarum pada tahun 2012 adalah
sekitar Rp 10.549.212,- per hektar per musim tanam (satu musim tanam 4-6 bulan,
dirata-ratakan menjadi 5 bulan) untuk petani-pengomprong. Artinya dalam setiap
bulan, petani mendapat penghasilan sebesar lebih kurang Rp 2.109.842,-,
sedangkan rata-rata luas lahan petani (responden) dalam penelitian ini mencapai
1,76 Ha. Hal itu berarti bahwa rata-rata keuntungan atau nilai tambah petani per
musim tanam adalah Rp 28.160.000,- atau dikonversi menjadi Rp 3.713.322,-
setiap bulan. Nilai keuntungan diatas merupakan penyederhanaan dari data biaya
dan benefit produksi secara umum tanpa memperhitungkan nilai bunga riil,
pengeluaran tidak langsung, serta biaya transaksi tak terduga lainnya.
Analisis usahatani yang dibuat PT.Djarum relatif lebih realistis jika
dibanding dengan analisis usahatani yang dibuat oleh perusahaan-perusahaan lain.
Itulah sebabnya data dari PT.Djarum station Lombok ini dijadikan sebagai salah
satu data rujukan dalam penelitian ini. Sebagai permakluman, data dari
PT.Djarum ini merupakan hasil perhitungan rata-rata untuk petani yang bermitra
dengan PT.Djarum station Lombok. Kondisi itu membuat data ini tidak dapat
mewakili kondisi keseluruhan petani di pulau Lombok. analisis usahatani petani
mitra Djarum tersebut secara lebih detail dapat dilihat pada Tabel 5.1 berikut:
70
Tabel 5.1. Rekapitulasi analisis usahatani tembakau virginia Lombok selama
empat tahun terakhir di PT.Djarum Station Lombok
NO KOMPONEN Tahun
2009 2010 2011 2012
1
Sewa Lahan
10,150,000 10,200,000 8,120,000 8,160,000
2 Agro Input
-Pembibitan 654,350 497,650 485,750 525,330
-Pertanaman 8,781,250 6,776,000 5,651,000 6,891,000
-prosesing 7,714,000 9,108,625 9,611,250 9,434,500
Sub Jumlah
17,149,600 16,382,275 15,748,000 16,850,830
3 Tenaga Kerja
-Pembibitan 220,000 350,000 350,000 350,000
-Pertanaman 8,943,500 9,350,000 10,985,000 11,375,000
-prosesing 3,230,000 3,014,613 3,392,500 3,380,000
Sub Jumlah
12,393,500 12,714,613 14,727,500 15,105,000
4 Pengairan 750,000 600,000 600,000 600,000
5 Penyusutan 1,035,833 1,374,167 1,335,000 699,167
6 Bunga (5%) 2,831,017 1,994,844 1,959,775 2,035,792
JUMLAH 44,309,950 43,265,899 42,490,275 43,450,788
Penerimaan 55,000,000 53,487,000 57,750,000 54,000,000
Keuntungan 10,640,50 10,086,101 15,209,725 10,549,212
Sumber: PT. Djarum Station Lombok (2013)
Meski data dari PT.Djarum ini merupakan data yang paling mendekati
realistis, namun data ini pun sesungguhnya belum menggambarkan kondisi riil
petaninya. Sebagai contoh, penggunaan nilai bunga 5%. Angka itu datang dari
kebijakan perusahaan yang memberikan bantuan kredit agroinput kepada petani
mitranya dengan bunga 5% yang harus dilunasi setelah penjualan produk
tembakaunya ke perusahaan. Faktanya, berdasarkan hasil penelitian kredit yang
diberikan kepada petani mitra Djarum hanya kredit agroinput, itu pun tidak 100%.
Masing-masing petani mendapatkan kredit dengan nilai yang berbeda-beda,
tergantung dari hasil evaluasi perusahaan terhadap petani mitranya. Petani yang
dianggap taat dan mengikuti himbauan-himbauan perusahaan diberikan alokasi
kredit agroinput yang lebih besar. Jumlah kredit agroinput yang diberikan berkisar
antara 20%-80%. Sementara biaya untuk membayar tenaga kerja, sewa lahan,
pemeliharaan oven, dan sebagainya ditanggung sendiri oleh petani.
Petani umumnya meminjam uang kepada pihak lain untuk memenuhi
kebutuhan pembiayaan non agroinput maupun kebutuhan agroinput yang tidak
dibiayai oleh perusahaan,. Pinjaman dari pihak lain inilah yang sering menjerat
petani ke dalam jebakan hutang yang tidak disadari. Kebanyakan petani
meminjam uang untuk membiayai usahataninya kepada orang-orang terdekat, baik
keluarga, tetangga, maupun sahabat. Modal yang dipinjam secara kekeluargaan
cenderung tidak memperhatikan tingkat bunga, padahal jika dihitung nilai
bunganya bisa mencapai 50% atau lebih. Bunga yang dibayarkan dianggap
sebagai pemberian sukarela atau ucapan terimakasih. Sebagian petani bahkan
meminjam uang kepada penyandang dana khusus dengan bunga yang tinggi, baik
lembaga finansial maupun individu. Petani bahkan memberikan julukan “Bank 46”
71
kepada orang-orang yang memberikan pinjaman uang untuk pembiayaan usaha
tembakaunya. Bank 46 artinya, minjam empat kembali enam. Sederhananya,
peminjaman itu dikenakan bunga 50%. Bahkan sebagian petani yang menjadi
responden dalam penelitian ini menyebut ada juga Bank 12, minjam satu kembali
dua. Artinya bunga pinjamannya mencapai 100%, meski demikian, ada juga
petani yang membayar hutangnya dengan tanpa membayar bunga atau dengan
bunga rendah yang tidak dianggap bunga.
Berdasarkan kondisi rill diatas, maka dapat dipastikan nilai keuntungan
nyata petani sesungguhnya lebih rendah dari data yang disampaikan diatas. Untuk
menganalisis seberapa besar tingkat keuntungan petani sesungguhnya, penulis
mengelompokkan petani kedalam lima kategori, yaitu (1) kategori petani
pengomprong bermitra; (2) petani pengomprong swadaya; (3) petani swadaya
tidak mengomperong; (4) pengomprong bermitra; dan (5) pengomprong swadaya.
1. Petani Pengomprong Bermitra
Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan informasi bahwa petani
pengomprong yang bermitra dengan perusahaan mendapatkan beberapa
keistimewaan dari perusahaan, diantaranya adalah mendapatkan bantuan kredit
agroinput, mendapat bimbingan teknis (transfer teknologi dari perusahaan),
jaminan pasar, dan harga jual yang relatif lebih terjamin. Setiap perusahaan
memiliki pola dan sistem kemitraan yang berbeda-beda, namun pada prinsipnya
memiliki kesamaan umum yaitu bahwa perusahaan memberikan bantuan kredit
kepada petani. Bantuan kredit yang dimaksud umumnya adalah kredit agroinput
dengan nilai yang bervariasi. Sebagian perusahaan memberikan kredit agroinput
berdasarkan evaluasi terhadap petaninya, namun sebagian lagi memberikan
agroinput sebanyak 100% tanpa melihat kinerja petani.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa untuk memenuhi kebutuhan
pembiayaan pada pos pembiayaan yang lain, petani umumnya meminjam uang
sebagai modal kepada pihak lain dengan bunga 0% - 100%. Sebagian besar petani
mengaku meminjam uang dengan bunga 50%. Sebagian petani juga membiayai
usahatani tembakaunya dengan menggunakan modal sendiri tanpa meminjam.
Sebagian petani yang lain juga mengaku membiayai usahataninya dengan
kombinasi modal sendiri dan modal pinjaman dengan bunga bervariasi.
Keistimewaan lain yang diterima petani yang bermitra adalah adanya
jaminan pasar dan harga yang relatif lebih stabil. Beberapa perusahaan bahkan
memberlakukan harga minimal untuk petani mitranya. Berdasarkan penjelasan-
penjelasan diatas, maka untuk mengetahui tingkat keuntungan petani
pengomprong bermitra, penulis menggunakan asumsi-asumsi berikut:
a. Semua modal yang digunakan petani berasal dari modal pinjaman.
b. Semua perusahaan mitra memberikan kredit agroinput 100% dan tidak
memberikan kredit pada pos pembiayaan yang lain. Kredit agroinput
tersebut diberikan dengan bunga yang sama pula yaitu 5%.
c. Bunga pinjaman untuk pinjaman petani yang berasal dari pihak lain, baik
keluarga, tetangga maupun penyandang dana khusus diasumsikan
memiliki tingkat bunga yang sama yaitu 25%.
72
d. Bahan bakar yang digunakan petani adalah sama yaitu batu bara
e. Semua perusahaan membeli tembakau kering (krosok) petani mitra dengan
harga yang sama yaitu Rp 27.000 per Kg. Angka ini merupakan angka
rata-rata penjualan oleh petani mitra kepada perusahaan mitra masing-
masing selama satu periode musim tanam.
f. Setiap hektar pertanaman tembakau rata-rata menghasilkan 2 ton
tembakau kering (krosok).
g. Pasar dalam kondisi stabil, tidak terjadi over supply maupun over demand.
h. Aspek – aspek lain diasumsikan tetap (cateris paribus)
Berdasarkan data dasar yang bersumber dari PT.Djarum yang dikombinasi
dengan data primer diolah, struktur biaya dan analisis usahatani tembakau untuk
petani pengomprong bermitra dapat dilihat pada Tabel 5.2 berikut:
Tabel 5.2 Analisis usahatani tembakau virginia Lombok untuk petani
pengomprong bermitra
No Komponen Pembiayaan Jumlah (Rp)
1. Biaya Lahan
- Sewa lahan untuk pembibitan
- Sewa lahan untuk penanaman
- Bunga 25%
Sub Jumlah
160.000,-
8.000.000,-
2.040.000,-
10.200.000,-
2. Biaya Agroinput
- Pembibitan
- Penanaman
- Processing pasca panen
- Bunga 5%
Sub Jumlah
525.330,-
6.891.000,-
9.434.500,-
842.541,-
17.693.372,-
3 Biaya Tenaga Kerja
- Pembibitan
- Penanaman
- Processing pasca panen
- Bunga 25%
Sub Jumlah
350.000,-
11.375.000,-
3.380.000,-
3.776.250,-
18.881.250,-
4. Biaya Pengairan
- Pengairan
- Bunga 25%
Sub Jumlah
600.000,-
150.000,-
750.000,-
5. Biaya Penyusutan dengan bunga 25% 40.625,-
6. Biaya Renovasi Oven
- Renovasi oven
- Bunga 25%
Sub Jumlah
2.000.000,-
500.000,-
2.500.000,-
Total Biaya Produksi 50.024.622,-
Total penerimaan = 2.000 X 27.000,- 54.000.000,-
Total Keuntungan per musim tanam 3.975.379,-
R/C Ratio 1, 08 Sumber: Data Primer diolah (2013)
73
Biaya renovasi oven dimasukkan dalam struktur biaya usahatani diatas
didasarkan atas data primer di mana 100% responden mengaku harus mengganti
tungku oven hampir setiap tahun. Pasca dicabutnya subsidi Bahan Bakar Minyak
(BBM) khusus untuk omperongan tembakau, pemerintah, perusahaan dan
akademisi terus berupaya mencari alternatif bahan bakar yang lain. Hampir setiap
tahun dilakukan ujicoba terhadap satu jenis bahan bakar yang konsekuensinya
adalah oven harus dimodifikasi agar sesuai dengan bahan bakar yang digunakan.
Pada tahun 2009, pemerintah daerah pernah menganggarkan untuk membantu
biaya modifikasi oven pengomprong, namun karena terus terjadi perubahan dalam
penggunaan bahan bakar setiap tahun, maka pemerintah menghentikan bantuan
biaya modifikasi oven tersebut. Akibatnya pengomprong harus mengupayakan
sendiri biaya modifikasi ovennya. Menurut pengakuan responden, setiap tahun
pengomprong harus mengeluarkan biaya sekitar 1 juta – 8 juta rupiah untuk
keperluan modifikasi oven. Sebagian responden juga mengaku tidak harus
memodifikasi ovennya setiap tahun, terkadang satu jenis modifikasi bisa dipakai
untuk dua atau tiga kali musim tanam tembakau. Penulis mengambil nilai rataan
terkecil dalam laporan penelitian ini, yaitu Rp 2.000.000,-, meskipun pada
faktanya angka rataan untuk keperluan modifikasi oven sebenarnya sangat
mungkin lebih besar dari itu.
Berdasarkan data diatas, didapatkan informasi bahwa nilai keuntungan
petani pengomprong yang bermitra dengan perusahaan rata-rata hanya sebesar Rp
3.975.379,- per hektar per musim tanam. Artinya nilai keuntungan petani
pengomprong bermitra hanya Rp 795.075,- per bulan per hektar. Berdasarkan data
hasil penelitian, luas areal tanam rata-rata responden adalah 1,76 hektar. Hal itu
berarti nilai keuntungan riil petani pengomprong yang bermitra dengan
perusahaan adalah Rp 1.399.333,-. Angka ini sedikit lebih banyak jika
dibandingkan dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) NTB tahun 2013 yang
sebesar Rp 1,1 juta.
Angka-angka diatas sesungguhnya belum memperhitungkan besarnya
pengeluaran petani untuk keperluan makanan pekerja. Petani sering kali
mengeluhkan soal besarnya anggaran tak terduga yang dikeluarkan untuk
konsumsi pekerja ketika sedang bekerja. Para petani itu menolak untuk
memasukkan pengeluaran konsumsi itu sebagai salah satu pos biaya dalam
analisis usahatani tembakaunya. Penulis sengaja tidak memasukkan angka itu
dalam laporan penelitian ini mengingat tidak ada data pasti dan valid tentang
seberapa besar pengeluaran petani untuk keperluan konsumsi pekerja itu. Besaran
biaya konsumsi itu sangat bergantung dari karakter dan kebiasaan masing-masing
petani. Selain itu besaran biaya konsumsi itu juga sering dipengaruhi oleh kondisi-
kondisi tidak terduga, misalnya secara tiba-tiba pedagang keliling datang ke
tempat bekerja untuk berjualan, pada saat itu para pekerja akan meminta untuk
dibelikan makanan tersebut, maka dengan terpaksa petani membelikan makanan
itu agar tidak dianggap pelit dan agar pekerja bisa lebih semangat dalam bekerja.
Sekali lagi, tidak ada angka yang pasti untuk keperluan pembiayaan konsumsi
pekerja ini. Jika pengeluaran ini diperhitungkan, maka dapat dipastikan tingkat
keuntungan petani akan berkurang cukup signifikan.
74
2. Petani Pengomprong Swadaya
Sebagian responden dalam penelitian ini terambil secara acak sebagai
petani pengomprong swadaya. Sesungguhnya sangat jarang petani yang
mengambil peran ini mengingat tingginya tingkat risiko, terutama risiko pasar dan
harga, juga karena banyaknya biaya yang diperlukan dalam proses usahataninya.
Menjadi petani swadaya berarti tidak mendapatkan bantuan kredit apapun dari
perusahaan ataupun dari pemerintah. Semua biaya usahatani ditanggung sendiri
oleh petani. Selain tidak mendapatkan bantuan kredit, petani swadaya juga tidak
memiliki akses terhadap jaminan pasar maupun harga dari perusahaan. Artinya
petani swadaya itu harus siap untuk menjual barangnya tanpa harga dasar. Meski
demikian, keuntungan yang dapat diperoleh petani swadaya adalah “tidak terikat
oleh satu perusahaan”. Artinya jika petani swadaya itu merasa tidak cocok dengan
harga yang ditawarkan satu perusahaan, maka dia bisa menjual tembakaunya ke
perusahaan lain. Tidak seperti petani mitra yang diharuskan untuk menjual
barangnya ke perusahaan mitra. Meskipun pada faktanya petani mitra juga sering
menjual barangnya ke perusahaan lain secara sembunyi-sembunyi.
Meski posisi sebagai petani pengomprong swadaya berisiko, namun
banyak juga yang dengan sengaja memilih untuk menjadi petani pengomprong
swadaya. Ada beberapa alasan yang dapat penulis himpun dari responden tentang
kenapa petani itu memilih menjadi petani pengomprong swadaya, alasan yang
dimaksud adalah:
a. Tidak terikat pada satu perusahaan dalam hal pemasaran produk
b. Tidak mau terjebak hutang pada perusahaan, artinya muncul kesadaran
yang kuat bahwa perusahaan mempermainkan petani mitranya. Bermitra
dianggap dapat mengekang diri sendiri.
c. Petani bebas untuk menerapkan teknologi tanpa pengawasan ketat dari
perusahaan dalam proses usahatani maupun processing pasca panen.
Penjelasan diatas menunjukkan bahwa banyak orang mengambil posisi
sebagai petani pengomprong swadaya secara sadar karena alasan yang rasional.
Meskipun tidak sedikit juga petani pengomprong swadaya yang terpaksa menjadi
swadaya karena tidak diterima oleh perusahaan sebagai petani mitra. Untuk dapat
menjual barangnya (tembakau krosok) ke perusahaan, petani swadaya harus
mengeluarkan uang tambahan dengan nilai yang bervariasi, mulai dari 50.000 s/d
200.000 per bale (1 bale berisi 60-80 kg tembakau kering). Uang itu dibayarkan
ke petani lain yang bermitra dengan perusahaan sebagai kompensasi karena jatah
jualnya telah dipakai oleh petani swadaya tersebut. Sebagai catatan, setiap petani
mitra dibatasi kuota penjualannya ke perusahaan. Jumlah kuota dipengaruhi oleh
banyak hal, mulai dari kapasitas usaha, loyalitas petani dan sebagainya. Selain ke
petani mitra, alternatif lain yang dapat dilakukan oleh petani swadaya untuk dapat
menjual tembakaunya ke perusahaan adalah menyogok petugas (oknum)
perusahaan dengan nilai yang kurang lebih sama dengan nilai yang dibayarkan ke
petani mitra. Jadi jika tidak ada petani mitra yang mau menjualkan barang petani
swadaya, petani swadaya biasanya akan menyogok oknum petugas perusahaan
untuk dapat menjual tembakaunya ke perusahaan. Hal ini berarti bahwa petani
harus membayar untuk dapat menjual barangnya. Penjelasan lengkap tentang
fenomena ini akan dijelaskan dalam bagian lain pada bab ini.
75
Asumsi yang digunakan untuk kategori ini relatif sama dengan asumsi
yang digunakan pada kategori pertama (petani pengomprong bermitra) dengan
beberapa penyesuaian. Analisis usahataninya dapat dilihat pada Tabel 5.3.
Penyesuaian asumsi yang dimaksud adalah:
a. Tidak ada kredit apapun dari perusahaan ataupun pemerintah untuk
menjalankan usahatani, jadi semua pembiayaan ditanggung sendiri di
mana dalam hal ini diasumsikan petani tersebut meminjam modal kepada
pihak lain dengan bunga 25%.
b. Adanya biaya tambahan dalam menjual produk tembakau krosoknya,
maka nilai pembelian perusahaan terhadap tembakau krosok petani
dikurangi dari Rp 27.000,- menjadi Rp 25.000,-.
c. Selain dari dua hal diatas, asumsi yang lain sama dengan asumsi pada
kategori pertama.
Tabel 5.3. Analisis usahatani tembakau virginia Lombok untuk petani
pengomprong swadaya
No Komponen Pembiayaan Jumlah (Rp)
1. Biaya Lahan
- Sewa lahan untuk pembibitan
- Sewa lahan untuk penanaman
- Bunga 25%
Sub Jumlah
160.000,-
8.000.000,-
2.040.000,-
10.200.000,-
2. Biaya Agroinput
- Pembibitan
- Penanaman
- Processing pasca panen
- Bunga 25%
Sub Jumlah
525.330,-
6.891.000,-
9.434.500,-
4.212.707,-
21.063.537,-
3 Biaya Tenaga Kerja
- Pembibitan
- Penanaman
- Processing pasca panen
- Bunga 25%
Sub Jumlah
350.000,-
11.375.000,-
3.380.000,-
3.776.250,-
18.881.250,-
4. Biaya Pengairan
- Pengairan
- Bunga 25%
Sub Jumlah
600.000,-
150.000,-
750.000,-
5. Biaya Penyusutan dengan bunga 25% 40.625,-
6. Biaya Renovasi Oven
- Renovasi oven
- Bunga 25%
Sub Jumlah
2.000.000,-
500.000,-
2.500.000,-
Total Biaya Produksi 54.052.288,-
Total penerimaan = 2.000 X 25.000,- 50.000.000,-
Total Keuntungan per musim tanam (minus) - 4.052.288,-
R/C Ratio 0,93 Sumber: Data primer diolah (2013)
76
Analisis diatas menunjukkan bahwa petani pengomprong yang tidak
memiliki hubungan kemitraan dengan perusahaan manapun (swadaya) mengalami
kerugian cukup besar dalam menjalankan usahataninya. Nilai kerugiannya bahkan
melebihi nilai keuntungan petani pengomprong yang bermitra dengan perusahaan.
Nilai R/C Ratio yang kurang dari nol sudah secara tegas menggambarkan bahwa
usahatani ini tidak layak untuk diusahakan jika tidak bermitra dengan perusahaan.
Perlu diketahui bahwa kebanyakan petani pengomprong swadaya
merupakan orang-orang yang memiliki kemampuan permodalan sendiri sehingga
petani itu bisa membiayai usahataninya tanpa harus bergantung pada pinjaman
dari pihak lain. Kondisi itu memungkinkan petani pengomprong swadaya tersebut
dapat mengurangi pengeluaran pada pos biaya bunga. Jika pos biaya bunga yang
25% dihilangkan dari struktur pembiayaan usahatani, maka total biaya produksi
akan menjadi Rp 40.539.215,-. Hal itu berarti bahwa usahatani ini sesungguhnya
menguntungkan dengan menghasilkan keuntungan hingga mencapai Rp
9.460.784,- per hektar per musim tanam atau Rp 1.892.157,- per hektar per bulan.
Catatan penting yang perlu diingat dalam hal ini adalah bahwa kepemilikan modal
sendiri adalah kuncinya. Jika modal yang digunakan bersumber dari pinjaman,
terlebih pinjaman berbunga tinggi, maka petani akan mengalami kerugian, bukan
keuntungan.
Selain itu, petani pengomprong swadaya juga dapat memotong pos
pembiayaan pada pos biaya agroinput. Dengan menjadi petani swadaya, petani itu
tidak perlu mengikuti anjuran perusahaan untuk menggunakan paket teknologi
dari perusahaan yang kecenderungannya berbiaya tinggi. Petani swadaya itu dapat
berimprovisasi dan tidak mengikuti anjuran perusahaan sehingga petani itu bisa
leluasa dalam melakukan pemupukan, pemeliharaan, dan sebagainya.
Konsekuensi yang harus ditanggung oleh petani swadaya tersebut adalah hasil
panen yang tidak sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Sebagai catatan perlu
diketahui bahwa paket teknologi yang di transfer perusahaan ke petani sebetulnya
telah disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan. Artinya paket teknologi tersebut
sudah melalui serangkaian penelitian untuk menghasilkan tembakau dengan cita
rasa yang menjadi brand perusahaan. Kondisi itu menunjukkan bahwa setiap
perusahaan memiliki paket teknologi yang berbeda untuk ditransfer ke petani
binaannya masing-masing.
3. Petani Swadaya Bukan Pengomprong
Petani tembakau virginia yang hanya melakukan aktifitas penanaman di
lapangan (on farm) dan tidak melakukan pekerjaan pengomprongan (processing
pasca panen) umumnya tidak memiliki hubungan kemitraan dengan perusahaan.
Kebanyakan petani yang masuk dalam kategori ini adalah petani-petani
berpendidikan rendah yang berasal dari wilayah pedesaan yang cenderung kurang
berkembang. Petani swadaya itu hanya memproduksi tembakau basah untuk dijual
ke pengomprong yang tidak melakukan aktifitas penanaman di lapang atau kepada
petani pengomprong yang membutuhkan tambahan tembakau mentah dalam
proses pengomprongannya.
Sama halnya dengan petani pengomprong swadaya, petani swadaya yang
tidak mengomprong ini juga tidak mendapatkan bantuan kredit apapun dari
77
perusahaan maupun pemerintah. Petani swadaya itu menanam tembakau dengan
modal sendiri dan dengan keterampilan seadanya.
Analisis usahatani untuk kategori ini, menggunakan asumsi berikut:
a. Semua petani swadaya mengikuti anjuran teknis dalam paket teknologi
yang ditransfer perusahaan ke petani mitra dalam hal penanaman di lapang.
b. Petani menjual tembakau basahnya dengan harga yang sama yaitu Rp
130.000,- per kwintal atau Rp 1.300,- per kilogram. Angka ini diambil dari
pengakuan responden petani swadaya yang kebanyakan mengaku rata-rata
menjual tembakau basahnya seharga Rp 130.000,- per kwintal.
c. Berdasarkan data sekunder dari dinas perkebunan dan perusahaan, rata-
rata produksi tembakau kering untuk tahun 2012 adalah 2 ton. Selain itu
data sekunder juga menunjukkan bahwa rata-rata rendemen tembakau
basah terhadap tembakau kering adalah 14%, dengan demikian maka
jumlah rata-rata produksi tembakau basah per hektar per musim tanam
adalah 2 ton dibagi 14% yang hasilnya menjadi 14,29 ton atau 14.290
kwintal.
d. Semua biaya produksi diperoleh melalui pinjaman dengan bunga 25%.
e. Pasar dalam kondisi stabil, tidak terjadi over supply maupun over demand.
f. Aspek – aspek lain diasumsikan tetap (cateris paribus).
Tabel 5.4 Analisis usahatani tembakau virginia Lombok untuk petani swadaya
tidak mengomperong
No Komponen Pembiayaan Jumlah (Rp)
1. Biaya Lahan
- Sewa lahan untuk pembibitan
- Sewa lahan untuk penanaman
- Bunga 25%
Sub Jumlah
160.000,-
8.000.000,-
2.040.000,-
10.200.000,-
2. Biaya Agroinput
- Pembibitan
- Penanaman
- Bunga 25%
Sub Jumlah
525.330,-
6.891.000,-
1.854.083,-
9.270.413,-
3 Biaya Tenaga Kerja
- Pembibitan
- Penanaman
- Bunga 25%
Sub Jumlah
350.000,-
11.375.000,-
2.931.250,-
14.656.250,-
4. Biaya Pengairan
- Pengairan
- Bunga 25%
Sub Jumlah
600.000,-
150.000,-
750.000,-
Total Biaya Produksi 34.876.663,-
Total penerimaan = 14.290 X 1.300,- 18.577.000,-
Total Keuntungan per musim tanam (minus) - 16.299.663,-
R/C Ratio 0,53 Sumber: data primer diolah (2013)
78
Sebagian dari petani swadaya merupakan petani plasma yang dibina oleh
petani lain yang bermitra dengan perusahaan (pengepul). Petani swadaya yang
menjadi plasma ini mendapatkan akses bantuan kredit usahatani dari pengepul
tersebut di mana pengepul yang membinanya itu juga mendapatkan akses kredit
agroinput dari perusahaan mitra. Laporan penelitian ini mengasumsikan bahwa
semua petani swadaya menjalankan usahataninya tanpa terikat kontrak kerjasama
dengan pihak manapun, termasuk dengan pihak petani mitra sebagaimana
dijelaskan diatas. Hal ini berarti bahwa petani swadaya itu menggantungkan akses
permodalannya melalui pinjaman dari pihak lain.
Secara sekilas dapat dilihat pada Tabel 5.4 bahwa petani swadaya bukan
pengomprong itu mengalami kerugian yang besar dalam usahatani tembakau
virginia di Pulau Lombok. Minus lebih dari Rp 16.000.000,- bukanlah angka yang
sedikit. Petani swadaya yang kebanyakan adalah petani berpendidikan rendah dan
berasal dari daerah pedesaan terbelakang ini sesungguhnya tidak menyadari
kerugian besar yang dialaminya dalam usaha agribisnis tembakaunya. Petani-
petani itu hanya mengetahui dengan pasti bahwa menanam tembakau
mendatangkan uang dalam jumlah sebanyak yang tidak pernah didapatkan pada
usahatani lain, meskipun sebenarnya jumlah sebanyak itu tidak cukup untuk
menutupi kerugian yang diterima.
Hal penting yang perlu dipahami adalah bahwa sebagian besar petani
swadaya bukan pengomprong itu menggunakan lahan milik sendiri untuk
menanam tembakau. Fakta itu membuat petani-petani swadaya itu tidak pernah
memperhitungkan biaya sewa lahan sebagai biaya produksi, padahal dalam
melakukan analisis usahatani, apapun status lahan yang digunakan itu harus tetap
dihitung sebagai lahan sewa. Contoh kasus diatas misal, dengan menggunakan
lahan sendiri berarti petani-petani itu mengabaikan pos pembiayaan tanah sebesar
Rp 10.200.000,-. Selain itu petani swadaya juga tidak perlu mengikuti anjuran
perusahaan untuk menggunakan paket teknologi yang ditransfer perusahaan agar
hasil panen sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Kondisi tersebut memungkinkan
petani swadaya untuk mengurangi pos pembiayaannya pada aspek agroinput
usaha tani meskipun itu berarti kualitas hasil panen menjadi kurang bagus.
Fakta penting lainnya dari para petani swadaya bukan pengomprong ini
adalah bahwa usahatani tembakau yang dilakukannya diusahakan pada lahan
sendiri dengan luas lahan yang sempit berkisar antara 0,2 – 1 hektar. Hal ini
berarti bahwa petani swadaya itu tidak membutuhkan banyak biaya untuk
keperluan membayar tenaga kerja pada usahatani tembakaunya. Kebanyakan
petani swadaya dengan luas lahan sempit itu menggunakan tenaga kerja keluarga.
Petani swadaya tidak pernah mempertimbangkan tenaga yang keluar dalam
menjalankan usahataninya, padahal dalam analisis usahatani setiap tenaga yang
dikeluarkan juga termasuk dalam pos pembiayaan usahatani.
Selain itu, karena para petani swadaya non pengomprong ini berorientasi
pada penjualan tembakau basah, maka proses usahatani difokuskan pada upaya
untuk memperberat massa tembakau. Cara yang dilakukan adalah dengan
memperbanyak pupuk urea atau ZA yang dapat mempertebal daun sekaligus
memperkaya kandungan air pada daun tembakau. Hal itu dapat membuat daun
tembakau yang dipanen menjadi berat. Cara penananaman yang seperti ini
79
sesungguhnya akan menghasilkan tembakau krosok yang buruk. Kandungan air
yang tinggi akan membuat masa pengovenan menjadi lebih lama dan akan
menghasilkan daun kering krosok yang cenderung kecoklatan atau bahkan hitam.
Tembakau krosok yang seperti itu termasuk tembakau krosok kualitas buruk dan
dibeli perusahaan dengan harga rendah.
4. Pengomprong Bermitra
Sebagian petani binaan (yang bermitra dengan perusahaan) enggan untuk
melakukan aktifitas penanaman tembakau di lapang (on farm) tapi tetap
memproduksi tembakau kering (krosok) untuk dijual ke perusahaan.
Pengomprong seperti inilah yang umumnya menjadi pembeli tembakau basah
yang diproduksi oleh petani swadaya yang tidak mengomperong (kategori
sebelumnya). Meski tidak melakukan aktifitas penanaman di lapang,
pengomprong yang bermitra ini tetap mendapatkan akses kredit agroinput dari
perusahaan mitranya baik agroinput untuk penanaman di lapangan maupun
agroinput processing pasca panen. Pengomprong yang bermitra ini umumnya
memberikan agroinput pertanaman yang didapat dari perusahaan kepada petani
swadaya yang merupakan petani plasma binaan karena pengomprong itu sendiri
tidak melakukan aktifitas penanaman langsung di lapangan,. Artinya, petani
pengomprong yang bermitra dengan perusahaan ini juga membangun hubungan
kemitraan dengan petani swadaya. Tidak semua pengomprong bermitra itu
memberikan agroinput pertanaman yang dimiliki kepada petani plasma, sebagian
diantaranya justeru menjual agroinput itu untuk keperluan pembiayaan usahatani
pada pos pembiayaan yang lain.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa petani swadaya bukan
pengomprong memproduksi tembakau basah dengan orientasi memaksimalkan
berat basah tembakau tanpa peduli kualitas krosok yang dihasilkan. Akibatnya
tembakau dipelihara di lapangan tanpa mengikuti anjuran teknis perusahaan. Bagi
pengomprong bermitra, sikap petani swadaya yang seperti itu sangat mungkin
membuatnya rugi. Pasalnya, bobot tembakau basah yang tinggi tidak menjamin
bobot kering yang tinggi pula. Kadar air yang tinggi pada tembakau basah itu
justru dapat merusak kualitas tembakau krosok hingga menyebabkan harganya
menjadi jatuh. Berdasarkan informasi-informasi tersebut, maka untuk
menganalisis tingkat keuntungan pengomprong bermitra digunakan asumsi-
asumsi berikut:
a. Pengomprong bermitra tetap mendapatkan kredit agroinput pertanaman
yang kemudian diasumsikan diberikan kepada petani plasma untuk
digunakan dalam usahatani, dengan demikian tingkat bunga pinjaman
untuk keperluan pembelian tembakau basah oleh pengomprong
diasumsikan 20%, Sedangkan bunga pinjaman untuk pos pembiayaan lain
tetap 25%, kecuali pada pos pembiayaan agroinput processing pasca panen.
b. Jumlah tembakau basah yang dibeli diasumsikan sama dengan produksi
tembakau basah petani swadaya yang tidak bermitra yaitu 14.290 Kg atau
14,29 ton.
c. Bahan bakar yang digunakan untuk mengomprong tembakau adalah batu
bara.
80
d. Produksi tembakau kering diasumsikan sama dengan produksi tembakau
kering pada kategori yang lain yakni 2.000 Kilogram.
e. Karena ada risiko rusaknya kualitas krosok yang dihasilkan oleh tembakau
basah yang diproduksi petani swadaya, maka diasumsikan harga krosok per
kilogram turun menjadi Rp 23.000,- per Kilogram.
f. Pasar dalam kondisi stabil, tidak terjadi over supply maupun over demand.
Tabel 5.5. Analisis usahatani tembakau virginia Lombok untuk pengomprong
bermitra
No Komponen Pembiayaan Jumlah (Rp)
1. Biaya Pengadaan Tembakau
- Beli tembakau basah
- Transportasi
- Bunga 20%
Sub Jumlah
18.577.000,-
3.572.500,-
4.429.900,-
26.579.400,-
2. Biaya Agroinput
- Processing
- Bunga 5%
Sub Jumlah
9.434.500,-
471.725,-
9.906.225,-
3 Biaya Tenaga Kerja
- Processing
- Bunga 25%
Sub Jumlah
2.780.000,-
695.000,-
3.475.000,-
4. Biaya Penyusutan plus bunga 25% 32.813
5. Biaya Oven
- Renovasi oven (Flue set, kompor, dsb)
- Bunga 25%
Sub Jumlah
2.000.000,-
500.000,-
2.500.000,-
Total Biaya Produksi 42.493.438,-
Total penerimaan = 2.000 Kg X 23.000,- 46.000.000,-
Total Keuntungan per musim tanam 3.506.563,-
R/C Ratio 1,08 Sumber: Data primer diolah (2013)
Perhitungan diatas menunjukkan bahwa pengomprong yang bermitra
dengan perusahaan dapat memperoleh untung dari usahanya. Meski nilai
keuntungannya lebih rendah dari pada kategori pertama, yaitu kategori petani
pengomprong bermitra, namun itu masih lebih baik jika dibandingkan dengan
kategori lainnya yang justeru menunjukkan kondisi rugi, bukan kondisi untung.
Tingkat keuntungan Rp 3.506.563,- per hektar per musim tanam berarti
menghasilkan rata-rata Rp 6.171.550,- untuk luas lahan rata-rata 1,76 hektar. Itu
artinya penghasilan rata-rata pengomprong mitra tiap bulannya adalah Rp
1.234.310,-. Angka ini sedikit lebih rendah jika dibanding penghasilan rata-rata
tiap bulan untuk petani pengomprong mitra yang sebesar Rp 1.339.333,-.
Nampaknya hal ini pulalah yang mendorong sebagian masyarakat untuk menjadi
pengomprong bermitra tanpa harus menjadi petani lapang. Menjadi pengomprong
saja bisa memungkinkan petani itu untuk mendapat penghasilan yang relatif sama
dengan petani pengomprong bermitra yang aktifitasnya lebih padat dan
melelahkan.
81
5. Pengomprong Swadaya
Masyarakat yang mengambil peran sebagai pengomprong swadaya dalam
agribisnis tembakau virginia di Pulau Lombok berjumlah relatif sedikit. Menjadi
pengomprong swadaya berarti tidak mendapatkan akses kredit dari perusahaan
ataupun pemerintah. Selain itu, sama seperti kategori swadaya lainnya,
pengomprong swadaya tidak memiliki jaminan pasar dan harga yang jelas. Pada
umumnya para pengomprong swadaya ini menjual tembakau krosoknya kepada
para pengepul yang memiliki hubungan kemitraan yang cukup baik dengan
perusahaan. Terkadang pengomprong swadaya juga memasarkan tembakau kering
yang diomperongnya langsung ke perusahaan dengan catatan harus membayar
sejumlah uang, misal dengan membayar kuota beli petani mitra atau dengan
menyogok petugas perusahaan. Artinya, ada biaya transaksi tambahan yang dapat
mengurangi keuntungan.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka untuk menghitung tingkat
keuntungan pengomprong swadaya digunakan asumsi-asumsi sebagai berikut:
a. Semua biaya dalam usaha pengomprongan tembakau ini ditanggung
sendiri dengan modal pinjaman berbunga 25%.
b. Harga pembelian tembakau basah di petani swadaya sama dengan harga
pembelian tembakau basah pengomprong bermitra.
c. Karena pengomprong swadaya menjual tembakau krosoknya ke pengepul,
bukan ke perusahaan, maka harga jual tembakau krosoknya menjadi
berkurang. Kalaupun dijual ke perusahaan, pengomprong tersebut harus
membayar sejumlah uang tertentu untuk dapat menjual tembakau
krosoknya ke perusahaan, dalam hal ini diasumsikan harga jual tembakau
krosoknya menjadi Rp 21.000,- per Kg tembakau krosok.
d. Bahan bakar yang digunakan untuk mengomperong adalah batu bara.
e. Pasar dalam kondisi stabil, tidak terjadi over supply maupun over demand.
f. Faktor lain cateris paribus
Bunga pinjaman yang tinggi adalah penyebab utama kerugian bagi petani
atau pengomprong swadaya. Selain itu, tidak adanya jaminan pasar serta harga
juga membuat harga jual tembakau menjadi rendah dan tentu saja mempengaruhi
penghasilan petani atau pengomprong tersebut. Itulah sebabnya, menjadi petani
binaan perusahaan adalah pilihan terbaik bagi petani maupun pengomprong sebab
dengan menjadi petani binaan atau petani mitra, para petani itu akan mendapatkan
bantuan kredit agroinput, jaminan pasar dan stabilitas harga. Hal itu dapat
mengurangi risiko kerugian bagi petani atau pengomprong swadaya tersebut.
Kelebihan yang dimiliki oleh petani ataupun pengomprong swadaya yang
tidak dimiliki oleh petani dan pengomprong mitra adalah bahwa petani maupun
pengomprong swadaya itu memiliki keleluasaan lebih dalam menjalankan
usahanya tanpa harus mengikuti anjuran teknis dari perusahaan. Kondisi itu
membuat petani swadaya menjadi lebih leluasa untuk mengatur pos pembiayaan
dalam usaha tembakaunya. Terlepas dari semua hal tersebut, analisis dalam
bagian ini menggunakan asumsi-asumsi sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
Adapun analisis usahatani untuk pengomprong swadaya itu dapat dilihat pada
Tabel 5.6.
82
Tabel 5.6. Analisis usahatani tembakau virginia Lombok untuk pengomprong
swadaya
No Komponen Pembiayaan Jumlah (Rp)
1. Biaya Pengadaan Tembakau
- Beli tembakau basah
- Transportasi
- Bunga 25%
Sub Jumlah
18.577.000,-
3.572.500,-
5.537.375,-
27.686.875,-
2. Biaya Agroinput
- Processing
- Bunga 25%
Sub Jumlah
9.434.500,-
2.358.625,-
11.793.125,-
3 Biaya Tenaga Kerja
- Processing
- Bunga 25%
Sub Jumlah
2.780.000,-
695.000,-
3.475.000,-
4. Biaya Penyusutan plus bunga 25% 32.813
5. Biaya Oven
- Renovasi oven (Flue set, kompor, dsb)
- Bunga 25%
Sub Jumlah
2.000.000,-
500.000,-
2.500.000,-
Total Biaya Produksi 45.487.813,-
Total penerimaan = 2.000 Kg X 21.000,- 42.000.000,-
Total Keuntungan per musim tanam (Minus) - 3.487.813,-
R/C Ratio 0,92 Sumber: Data primer diolah (2013)
Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam
agribisnis tembakau virginia di Pulau Lombok, bermitra dengan perusahaan
adalah pilihan paling menguntungkan baik sebagai petani maupun sebagai
pengomprong. Berikut disajikan rekapitulasi biaya usahatani dan tingkat
keuntungan petani dalam agribisnis tembakau virginia di Pulau Lombok dengan
lima kategori.
Tabel 5.7. Rekapitulasi analisis usahatani dalam agribisnis tembakau virginia
Lombok
No Kategori Total Biaya Total
Penerimaan
Keuntungan R/C
Ratio
1. Petani pengomprong
bermitra
Rp 50.024.622 Rp 54.000.000 RP 3.975.379 1,08
2. Petani pengomprong
swadaya
Rp 54.052.288 Rp 50.000.000 -Rp 4.052.288 0,93
3. Petani swadaya bukan
pengomprong
Rp 34.876.663 Rp 18.577.000 -Rp 16.299.663 0,53
4. Pengomprong
bermitra
Rp 42.493.438 Rp 46.000.000 Rp 3.506.563 1,08
5. Pengomprong
swadaya
Rp 45.487.813 Rp 42.000.000 -Rp 3.487.813 0,92
Sumber: Data primer diolah (2013)
83
Lama usaha dalam agribisnis tembakau virginia adalah 4–6 bulan dalam
satu tahun. Nilai keuntungan yang diterima petani sebagaimana tertulis diatas
sesungguhnya sangatlah kecil jika dihitung sebagai pendapatan bulanan petani.
Hal itu membuat tidak banyak petani yang mampu melakukan saving untuk
keperluan modal pada musim tanam berikutnya. Akibatnya untuk melaksanakan
usahatani tembakau pada tahun berikutnya petani kembali mengandalkan hutang
dari pihak lain yang berbunga tinggi. Itulah yang menyebabkan tingkat
kesejahteraan petani tembakau tidak kunjung membaik secara substansial dari
tahun ke tahun. Padahal jika melihat performance ekonomi tembakau secara
makro, di mana petani dilaporkan menikmati keuntungan yang besar, seharusnya
tingkat kesejahteraan petani bisa meningkat secara signifikan seiring semakin
berkembangnya agribisnis tembakau ini dari tahun ke tahun.
Hal ironis lainnya adalah tingkat keuntungan sebagaimana disebutkan
dalam tabel diatas belum memperhitungkan biaya konsumsi tenaga kerja dalam
proses pelaksanaan usaha. Menurut sebagian besar responden, petani
mengeluarkan anggaran yang cukup besar untuk keperluan yang tidak
diperhitungkan itu. Lebih ironis lagi, biaya konsumsi yang dimaksud sebagiannya
juga dibelanjakan untuk keperluan rokok, minuman bertenaga, kopi, mie instan
dan sebagainya. Bahan makanan tersebut banyak menjadi perbincangan karena
dampak negatif yang ditimbulkannya terhadap kesehatan. Lalu dengan tingkat
keuntungan sekecil itu, berapa banyak biaya yang dikeluarkan petani untuk
keperluan pemeliharaan kesehatan diri dan keluarganya?. Penelitian ini membatasi
diri untuk menganalisis tingkat keuntungan petani saja, tidak untuk mengetahui
tingkat pengeluaran petani, diperlukan studi lebih lanjut untuk menjawab
pertanyaan itu.
Berdasarkan hasil penelitian, ada beberapa hal yang membuat tingkat
keuntungan petani menjadi sangat rendah bahkan mengalami kerugian, yaitu:
1. Minimnya akses petani untuk memperoleh bantuan pembiayaan dari
lembaga-lembaga finansial sehingga petani mengandalkan rentenir untuk
memenuhi kebutuhan pembiayaan dalam usahatani tembakaunya.
2. Biaya sewa lahan yang terlalu tinggi. Ekspektasi masyarakat yang tinggi
terhadap agribisnis tembakau membuat para pemilik tanah
melipatgandakan biaya sewa tanah untuk keperluan penanaman tembakau.
Jika untuk menanam padi para pemilik tanah menyawakan tanahnya
dengan harga Rp 4.000.000,- per hektar, maka untuk menanam tembakau
para pemilik tanah menaikkan harga sewa menjadi Rp 8.000.000,-. Bahkan
di beberapa tempat harga sewa tanah bisa mencapai lebih dari Rp
10.000.000,-. Beberapa responden bahkan mengaku mengeluarkan
anggaran sewa tanah seharga Rp 20.000.000,- per hektar.
3. Inefisiensi dalam penggunaan tenaga kerja. Banyak petani yang tidak
menghitung secara proporsional kebutuhan tenaga kerjanya sehingga
mempekerjakan tenaga kerja secara berlebihan. Selain itu tingkat
produktifitas tenaga kerja juga terlalu variatif, terkadang tenaga kerja itu
datang terlambat dan pulang paling cepat. Tingginya permintaan tenaga
kerja pada usaha tembakau membuat petani sebagai pengguna tenaga kerja
tidak berani menegur tenaga kerja atau buruhnya secara berlebihan karena
takut buruh tersebut tidak mau lagi bekerja untuknya.
84
4. Lemahnya peran petani dalam penentuan grade dan harga ketika menjual
tembakaunya ke perusahaan. Petani dan perusahaan sebenarnya sudah
membuat kesepakatan harga melalui musyawarah harga pada awal musim
tanam. Harga itu diberlakukan secara berhirarki sesuai dengan kualitas
atau grade tembakau. Persoalannya penentuan grade tembakau itu
menjadi wewenang penuh petugas perusahaan (grader). Tidak ada
negosiasi dengan petani pada saat penentuan grade itu, hanya saja jika
petani merasa keberatan dengan grade yang diputuskan grader terhadap
tembakau yang dibawanya, petani berhak untuk memilih tidak menjual
tembakaunya.
5. Adanya “permainan” oknum-oknum perusahaan pada saat penjualan
tembakau oleh petani ke perusahaan. Tema ini akan dibahas secara lebih
detail pada bagian lain dalam bab ini.
Tingkat Keuntungan Perusahaan
Perusahaan-perusahaan tembakau yang bermitra dengan petani tembakau
di Pulau Lombok umumnya merupakan perusahaan cabang dari induk perusahaan
pertembakauan baik yang berlevel nasional maupun transnasional. Tidak semua
perusahaan tersebut memiliki pabrik rokok sendiri, sebagian diantaranya
merupakan supplier tembakau bagi industri-industri rokok besar, baik di level
nasional maupun internasional. Sebagian perusahaan yang lain juga memfokuskan
diri sebagai eksportir tembakau Lombok. Kebanyakan dari perusahaan-
perusahaan itu merupakan perusahaan yang membeli tembakau petani untuk
keperluan produksi rokok pada perusahaannya sendiri.
Selama dilaksanakannya penelitian, tidak ada satupun perusahaan yang
berkenan untuk memberikan data transaksi usaha. Bagi perusahaan-perusahaan itu,
data transaksi adalah rahasia yang tidak boleh diberikan kepada siapapun. Bahkan
sebagian informan yang tidak lain adalah direktur perusahaan menyatakan bahwa
dia sendiri tidak tau dengan persis berapa tingkat keuntungan perusahaan, sebab
pencatatan transaksi usaha dilakukan di kantor pusat. Perusahaan-perusahaan
tersebut bahkan tidak bersedia memberikan data harga rata-rata penjualan
tembakau itu sehingga laporan penelitian ini tidak dapat menjelaskan secara pasti
seberapa besar pendapatan yang diterima perusahaan dari usaha tembakau tersebut.
Perhitungan nilai tambah (value added) perusahaan dari agribisnis tembakau
virginia Lombok dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan
harga eceran produk hasil tembakau (rokok). Menurut keterangan informan
(direktur perusahaan), setiap batang rokok mengandung rata-rata 0,3 gram s/d 0,8
gram tembakau virginia Lombok. Berdasarkan keterangan itu, perhitungan ini
menggunakan angka rata – rata 0,5 gr. Artinya komposisi tembakau virginia
dalam satu batang rokok diasumsikan 0,5 gr sedangkan sisanya merupakan
tembakau jenis lain ataupun bahan pembuat rokok lainnya.
Bobot rata – rata tembakau dalam satu batang rokok diketahui dengan
melakukan pengamatan dengan menggunakan 8 sampel merk rokok dari 5
85
perusahaan yang berbeda. Setelah dilakukan penimbangan dan pengamatan,
didapatkan informasi bobot dan harga masing-masing merk adalah sebagai berikut.
Tabel 5.8. Bobot, harga eceran dan biaya cukai rokok yang diamati
No Merk
Rokok
Jenis
Rokok Perusahaan
Bobot Tembakau (gr) Harga
(RP)
Cukai
1 2 3 Rataan (RP)
1. Merk 1 Kretek
Non
Filter
PT. HMS 1,65 2,17 - 1,91 1.000 275
2. Merk 2 Kretek
Non
Filter
PT. Njr 1,74 1,76 1,75 1,75 500 130
3. Merk 3 Kretek
Filter
PT. GG 1,10 1,10 1,10 1,10 500 375
4. Merk 4 Kretek
non
Filter
PT. GG 1,91 1,86 - 1,89 1.000 205
5. Merk 5 Kretek
filter
PT. Dj 1,27 1,24 1,26 1,25 1.000 375
6. Merk 6 Kretek
filter
PT. Dj 0,72 0,80 0,73 0,75 800 375
7. Merk 7 Kretek
filter
PT. HMS 0,75 0,75 0,79 0,76 850 375
8. Merk 8 Kretek
filter
PT. PMI 0,68 0,72 0,73 0,71 775 380
Rata - rata 1,3 803,13 311,25
Sumber: Data primer diolah (2013)
Data diatas dapat menjadi dasar yang kuat untuk membuat asumsi guna
menghitung tingkat pendapatan perusahaan. Nilai cukai yang dibebankan ke
konsumen terus mengalami perubahan setiap tahun. Perubahan itu dilakukan
untuk menyesuaikan dengan perubahan perekonomian negara mengikuti inflasi
dan kenaikan harga yang terjadi. Nilai cukai hasil tembakau yang digunakan
dalam penelitian ini adalah nilai rata-rata cukai dari 8 merk yang dijadikan sampel
yaitu Rp 311,25 atau dibulatkan menjadi Rp 312,-. Setiap kemasan rokok
memberikan informasi tentang berapa banyak beban cukai untuk setiap batang
rokok yang ada dalam kemasan itu. Sementara itu, harga eceran yang digunakan
dalam analisis ini adalah harga eceran rata-rata dari 8 merk sampel sebagaimana
tertera dalam Tabel 5.8 diatas, yakni Rp 803,- yang dibulatkan menjadi Rp 800,-.
Setiap batang rokok mengandung berbagai jenis tembakau dan campuran
lainnya dengan komposisi yang berbeda-beda. Berdasarkan keterangan informan,
setiap batang rokok dalam perhitungan ini diasumsikan mengandung 0,5 gr
tembakau virginia Lombok. Sementara itu komposisi jenis tembakau lain beserta
campuran lainnya dalam analisis ini dikelompokkan kedalam satu kategori yaitu
kategori biaya produksi (production cost) bersamaan dengan tembakau virginia itu.
Berdasarkan keterangan informan didapatkan informasi bahwa tembakau virginia
86
Lombok merupakan jenis tembakau termahal di Indonesia. Jika dalam satu
kilogram tembakau virginia Lombok dihargakan Rp 27.000,-, maka artinya harga
tembakau itu hanya Rp 27,- per gram. Karena setiap batang rokok diasumsikan
mengandung 0,5 gr tembakau virginia, maka biaya yang dikeluarkan untuk
membeli tembakau virginia dalam satu batang rokok adalah Rp 13,5. Hal ini
berarti nilai yang dikeluarkan sebagai biaya untuk jenis tembakau lainnya lebih
rendah dari Rp 13,5, dalam analisis ini, diasumsikan bahwa harga semua jenis
tembakau itu adalah sama sehingga biaya produksi per batang rokok itu
diasumsikan Rp 100,- di mana didalamnya sudah termasuk biaya tenaga kerja,
penyusutan biaya tetap dan biaya iklan. Biaya produksi itu diperhitungkan diluar
biaya pembelian kertas dan filter rokok. Khusus untuk biaya kertas dan filter
rokok ini diasumsikan bernilai Rp 100,-. Angka itu sudah termasuk biaya
pengemasan rokok. Sementara itu, keuntungan penjual rokok eceran dalam
penelitian ini diasumsikan sebesar Rp 100,- per batang, sedangkan biaya lain-lain
seperti transportasi dan sebagainya diasumsikan Rp 50,-. Berdasarkan keterangan
– keterangan itu, maka asumsi – asumsi yang digunakan dalam perhitungan ini
dapat diringkas sebagai berikut:
1. Semua tembakau virginia yang dihasilkan di Pulau Lombok digunakan
untuk keperluan pembuatan rokok dalam negeri.
2. Harga semua jenis tembakau yang digunakan untuk memproduksi setiap
batang rokok diasumsikan sama.
3. Semua rokok yang dihasilkan dari tembakau virginia Lombok itu habis
terjual.
4. Harga eceran rokok rata – rata adalah Rp 800,- per batang untuk semua
merk.
5. Nilai cukai tembakau berdasarkan perhitungan rata – rata dalam tabel 5.8
diatas adalah Rp 312,- per batang.
6. Biaya yang dikeluarkan untuk keperluan pengadaan kertas dan filter rokok,
serta untuk pengemasan rokok diasumsikan Rp 100,- per batang.
7. Biaya produksi per batang rokok untuk keperluan pembelian bahan baku
(selain kertas dan filter), biaya tenaga kerja, biaya periklanan, dan lainnya
diasumsikan Rp 100,- per batang.
8. Keuntungan pengecer diasumsikan Rp 100,- per batang.
9. Biaya lain-lain seperti transportasi atau pengangkutan dan sebagainya
diasumsikan Rp 50 per batang
10. Setiap batang rokok mengandung 0,5 gr tembakau virginia
11. Bobot tembakau (diluar kertas dan filter) rata – rata berdasarkan hasil
pengamatan terhadap 8 merk sebagaimana dijelaskan diatas adalah 1,3 gr.
12. Setiap satu hektar pertanaman tembakau virginia Lombok menghasilkan
dua ton tembakau virginia kering.
13. Hal-hal lainnya dianggap tetap atau cateris paribus.
Berdasarkan asumsi – asumsi diatas, didapatkan perhitungan sebagai
berikut:
V% = (0,5 gr / BR) 100%
= (0,5 gr / 1,3 gr) 100%
= 38,5 %
87
R = TP (gr) / 0,5 gr
= 2.000.000 gr / 0,5 gr
= 4.000.000 batang rokok
Π = ( P – C – KF – Pc – πp - o) (V%) (R)
= (800 – 312 – 100 – 100 – 100 - 50) (38,5%) (4.000.000)
= Rp 212.520.000,-
Artinya, nilai tambah yang dapat di create perusahaan dari 1 hektar
pertanaman tembakau virginia Lombok adalah Rp 212.520.000,-. Jika total
produksi tembakau di Pulau Lombok adalah 40.000 ton per tahun, dengan teknik
perhitungan yang sama, perusahaan akan menghasilkan Rp 4.250.400.000.000,-
(empat trilliun dua ratus lima puluh miliar empat ratus juta rupiah)
Perhitungan diatas bukanlah perhitungan pasti karena angka-angka yang
digunakan merupakan asumsi berdasarkan informasi penelitian. Tingkat
keuntungan perusahaan itu masih mungkin lebih tinggi atau mungkin juga lebih
rendah dari itu, namun kemungkinan keuntungan lebih tinggi dari itu karena
beberapa alasan berikut:
1. Sebagai industri dengan skala usaha besar, perusahaan bisa melakukan
langkah-langkah efisiensi dalam menjalankan usahanya.
2. Harga tembakau virginia Lombok merupakan yang tertinggi di
Indonesia, namun dalam analisis ini harganya disamakan dengan
tembakau jenis lainnya, dengan demikian jumlah biaya produksi
sangat mungkin lebih rendah dari asumsi yang dipakai diatas.
3. Fakta lainnya, perusahaan pertembakauan di Pulau Lombok tidak
hanya membeli tembakau petani tapi juga menyalurkan kebutuhan
agroinput petani sebagai bantuan kredit. Agroinput tersebut (pupuk,
pestisida dan benih) merupakan ciptaan perusahaan sendiri untuk
menghasilkan produk tembakau yang sesuai dengan kehendak
perusahaan. Hal itu membuat perusahaan juga mendapatkan untung
dari penjualan kebutuhan agroinput itu. Penjelasan tentang hal ini akan
diuraikan dalam bagian lain bab ini.
Margin Nilai Tambah Petani – Perusahaan
Margin nilai tambah antara petani dan perusahaan dihitung untuk
melakukan pembandingan atau menganalisis keadilan ekonomi secara mikro.
Petani dalam analisis ini diwakili oleh kategori pertama, yakni kategori petani
pengomprong bermitra yang dalam penjelasan sebelumnya merupakan kategori
dengan nilai keuntungan atau nilai tambah tertinggi dari lima kategori yang ada.
Artinya nilai margin untuk petani kategori lainnya dipastikan lebih tinggi dari
hasil perhitungan yang dibuat dalam bagian ini.
88
Margin = Π perusahaan – Π petani
= (Rp 212.520.000,-) – (RP 3.975.379,-)
= Rp 208.544.621,-
Prosentase = (Π petani / Π perusahaan) X 100%
= (RP 3.975.379,- / Rp 212.520.000,-) X 100 %
= 1,87 %
Artinya, dalam setiap satu hektar pertanaman tembakau, selisih
pendapatan petani dan perusahaan mencapai Rp 208.544.621,-. Petani dengan
kategori yang mendapatkan keuntungan terbesar hanya mampu mendapatkan
1,87% dari total pendapatan perusahaan.
Kelemahan dari model perhitungan ini adalah tidak dapat menghitung
tingkat pendapatan suatu perusahaan tertentu. Hasil perhitungan diatas
menggambarkan penghasilan perusahaan secara keseluruhan. Meski demikian,
perhitungan ini dapat menggambarkan besarnya ketimpangan dalam distribusi
pendapatan pada agribisnis tembakau virginia Lombok.
Berdasarkan hasil penelitian, dapat dikatakan bahwa perusahaan
pertembakauan yang beroperasi di Pulau Lombok tidak hanya berbisnis tembakau,
tapi juga berbisnis agroinput pertembakauan seperti pupuk, pestisida, benih, bahan
bakar, tikar kemas dan bahkan tali benang. Melalui model kemitraan yang
dikembangkan, perusahaan memberikan bantuan kredit agroinput kepada petani
binaannya. Kredit itu disalurkan kepada petani pada proses usahatani di lapang
maupun pada saat proses pengomprongan tembakau. Pembayaran agroinput itu
akan dilakukan dengan memotong penghasilan petani ketika petani tersebut
menjual tembakau krosoknya ke perusahaan. Nilai yang dibayarkan petani tidak
hanya sejumlah hutang kredit agroinput yang diterimanya, tapi juga membayar
bunga kredit yang rata-rata sebesar 5%.
Setiap perusahaan industri rokok membutuhkan tembakau dengan karakter
khusus sebagai penambah cita rasa produk rokoknya, oleh karenanya setiap
perusahaan umumnya memproduksi pupuk maupun pestisida sendiri yang kadar
dan komposisinya telah diatur sedemikian rupa untuk mendapatkan cita rasa khas
perusahaan yang dimaksud. Pupuk dan pestisida buatan perusahaan itulah yang
kemudian disalurkan kepada petani sebagai bantuan kredit agroinput. Pupuk dan
pestisida khusus itu hanya disediakan oleh perusahaan yang bersangkutan dan
tidak tersedia sama sekali di pasar. Jadi, tujuan pemberian kredit agroinput itu
sebenarnya tidak untuk membantu petani dalam hal pembiayaan usahataninya,
tapi lebih kepada upaya perusahaan untuk menghasilkan produk tembakau yang
sesuai dengan krakter cita rasa rokok yang diproduksinya. Lebih dari itu, kredit
agroinput itu sesungguhnya juga merupakan bagian dari bisnis perusahaan untuk
memaksimumkan keuntungan langsung. Hasil produksi pupuk sendiri yang
kemudian dijual ke pasar yang pasti (petani binaan) dengan harga yang relatif
tinggi tentu memberikan keuntungan langsung yang cukup besar kepada
89
perusahaan. Keuntungan itu menjadi semakin besar dengan pemberlakuan bunga
kredit sebesar 5%. Hal ini berarti bahwa keuntungan yang diterima perusahaan
dari program bantuan kredit agroinput ini ada dua yakni keuntungan tidak
langsung berupa menghasilkan tembakau yang sesuai dengan kebutuhan
perusahaan dan keuntungan langsung berupa kentungan dari penjualan agroinput
tersebut dengan bunga 5%.
Pembiayaan kredit agroinput didapatkan perusahaan dengan bekerjasama
dengan pihak perbankan di mana bank diminta untuk membiayai pemberian
bantuan agroinput itu kepada petani melalui perusahaan. Adapun agroinput yang
disalurkan perusahaan merupakan hasil buatan perusahaan itu sendiri. Hal ini
berarti perusahaan sesungguhnya telah menjual produk agroinputnya kepada bank
yang kemudian disalurkan ke petani dengan perantaraan perusahaan. Perusahaan
mendapatkan keuntungan tambahan dari bank sebagai pembeli produk agroinput
tanpa kehilangan pengaruh terhadap petani. Perusahaan sesungguhnya tidak
memberikan bantuan kredit agroinput sama sekali kepada petani. Kredit itu
bersumber dari bank dengan perantaraan perusahaan.
Margin nilai tambah sebesar Rp 208.544.621,- berarti bahwa petani hanya
mendapat 1,87% dari total pendapatan perusahaan untuk setiap satu hektar
pertanaman tembakau. Artinya, pelaksanaan usaha agribisnis tembakau itu secara
mikro termasuk dalam kategori tidak adil. Petani yang memproduksi daun
tembakau dengan tingkat pekerjaan yang begitu padat mendapatkan nilai tambah
yang sangat kecil, sementara perusahaan mendapatkan nilai tambah yang sangat
besar. Kondisi itu diperparah oleh fakta-fakta ketidakberpihakan ekonomi politik
pemerintah serta adanya bisnis gelap oknum perusahaan yang beroperasi di Pulau
Lombok sebagaimana dijelaskan dalam bagian berikutnya pada bab ini.
Ekonomi Politik Tembakau dalam Agribisnis
Tembakau Virginia di Pulau Lombok
Sebagaimana dikatakan oleh Caporaso dan Levine (2008) bahwa
kapitalisme itu dapat membentuk struktur kekuasaannya sendiri yang bersifat
samar dan tidak tampak. Hal seperti itu dapat dilihat pada agribisnis tembakau
virginia di Pulau Lombok. Sadar atau tidak, perjalanan agribisnis tembakau di
Pulau Lombok berada dibawah kendali pasar yang dikendalikan oleh perusahaan-
perusahaan pertembakauan. Kendali itu bahkan sampai menyentuh aspek opini.
Perusahaan-perusahaan pertembakauan itu berhasil membangun opini bahwa
tembakau memberikan manfaat ekonomi yang besar bagi daerah. Pengembangan
opini-opini semacam itu bertujuan untuk menegaskan bahwa daerah, baik
pemerintah maupun masyarakatnya bergantung pada perusahaan itu sebagai
pembeli produk tembakau yang dihasilkan petani.
Opini yang paling sering dibesar-besarkan adalah nilai transaksi usaha
dalam agribisnis tembakau virginia itu. Jika rata-rata produksi tembakau virginia
Lombok setiap musim tanam adalah 40.000 ton dengan harga pembelian rata-rata
Rp 27.000,- per kilogram, maka dalam setiap musim tanam perusahaan
90
membayarkan uang senilai Rp 1, 08 Trilliun kepada petani, angka itu hampir sama
dengan nilai APBD NTB dalam satu tahun. Selain itu, sejak tahun 2010 provinsi
NTB dan kabupaten/kota se-NTB juga menerima Dana Bagi Hasil Cukai
Tembakau (DBHCT) yang jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun.
Berikut data DBHCT yang disalurkan Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah di
wilayah provinsi NTB.
Tabel 5.9. Distribusi dana bagi hasil cukai tembakau di Provinsi NTB
No
Kabupaten
DBHCT (Rp)
2010 2011 2012
Prov. Nusa
Tenggara Barat 32,814,826,770 39,477,171,477 56,169,155,012
1 Kab. Bima 5,628,627,678 6,643,139,560 8,219,328,575
2 Kab. Dompu 2,849,995,581 3,438,170,588 5,025,182,672
3 Kab. Lombok Barat 8,071,728,593 10,170,555,325 13,299,825,306
4 Kab. Lombok
Tengah 10,892,430,992 18,084,954,823 24,769,415,506
5 Kab. Lombok Timur 32,860,671,369 35,551,273,813 50,122,791,177
6 Kab. Sumbawa 5,551,997,214 6,651,723,959 8,730,898,839
7 Kota Mataram 4,859,553,095 1,436,452,186 6,091,786,585
8 Kota Bima 1,738,007,857 2,591,431,648 4,213,107,862
9 Kab. Sumbawa
Barat 1,323,744,877 3,098,136,954 4,597,238,585
10 Kab. Lombok Utara 2,791,171,875 4,447,561,257 5,991,786,585
Total
109,382,755,901 131,590,571,590 187,230,516,704
Sumber: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam Kementan RI (2013)
Besarnya kontribusi cukai tembakau terhadap APBD di Provinsi NTB
adalah salah satu poin penting pembangun opini bahwa daerah ini cukup
bergantung pada komoditas tembakau. Perasaan ketergantungan inilah yang
kemudian membuat perusahaan-perusahaan pertembakauan itu menjadi lebih
leluasa dalam mengelola bisnisnya. Perusahaa-perusahaan tersebut terus
meyakinkan pemerintah daerah dan masyarakat bahwa perekonomian daerah akan
terganggu jika aktifitas agribisnis tembakau dihentikan.
Setiap tahun, perusahaan-perusahaan pembeli tembakau menetapkan kuota
atau target pembelian sebagai acuan dalam membeli tembakau. Berdasarkan kuota
yang ditetapkan itu, perusahaan kemudian membagikan kuota itu secara
proporsional kepada setiap petani binaan. Jadi, setiap petani binaan hanya boleh
menjual tembakau kepada perusahaan sebanyak kuota jual yang diberikan
91
perusahaan kepadanya. Ketika kuota pembeliah telah terpenuhi, maka perusahaan
kemudian menutup gudangnya dan tidak lagi mau membeli tembakau petani.
Kondisi seperti inilah yang membuat harga tembakau petani menjadi jatuh, sebab
setelah perusahaan menutup gudangnya, banyak pembeli-pembeli gelap
bermunculan dan membeli tembakau petani dengan harga dibawah harga dasar
yang pernah disepakati dalam musyawarah harga pada setiap awal musim tanam.
Menurut sebagian responden, para pembeli gelap itu sebenarnya tidak lain
adalah para pekerja di perusahaan-perusahaan resmi yang telah menutup
gudangnya itu. Sulit untuk melakukan pembuktian terhadap tuduhan sebagian
responden ini. Fakta yang tidak bisa dibantah adalah seberapapun banyaknya
produksi tembakau (pemerintah dan perusahaan sering menyebutnya dengan
istilah over produksi) namun tetap saja tembakau itu habis terjual meski dengan
harga yang rendah. Hal ini menunjukkan bahwa pembatasan kuota beli hanya
merupakan strategi untuk bisa mendapatkan tembakau petani dengan harga murah.
Sebab ketika perusahaan merasa sudah membeli sebanyak kuota yang telah
ditetapkan, maka perusahaan tidak memiliki kewajiban untuk mengikuti harga
dasar yang pernah disepakati pada saat musyawarah harga di awal musim tanam.
Sementara di sisi lain, komoditas tembakau bukanlah komoditas konsumsi yang
dapat di konsumsi langsung jika tidak laku dijual. Akibatnya jika petani tidak
menjualnya maka petani tersebut akan mengalami kerugian yang lebih besar. Sulit
untuk mengatakan kondisi ini terjadi secara natural, pasalnya kondisi seperti ini
terjadi nyaris setiap tahun.
Sebagai upaya perlawanan, petani sering kali melakukan aksi unjuk rasa,
baik ke pemerintah maupun ke perusahaan. Sering kali respon yang didapat
petani justeru memojokkan petani itu sendiri yang dianggap tidak bijak, tidak
efisien dan tidak mampu membaca potensi pasar dalam menjalankan usahatani
sehingga menyebabkan terjadinya over supply atau over produksi yang memicu
turunnya harga. Istilah over produksi sebenarnya kuranglah tepat dijadikan alasan
mengingat terus meningkatnya jumlah tembakau impor untuk memenuhi
kebutuhan tembakau virginia nasional. Pada tahun 2011 industri rokok nasional
membutuhkan 105.955 ton tembakau virginia, sementara produksi tembakau
virginia dalam negeri pada saat itu hanya 59.385 ton, sedangkan sisanya dipenuhi
dengan melakukan impor. Jika produksi dalam negeri dianggap tidak mampu
memenuhi kebutuhan industri rokok nasional, seharusnya tidak ada istilah over
produksi dalam agribisnis tembakau virginia Lombok. Over produksi adalah
istilah yang dibuat untuk menggambarkan kondisi jumlah penawaran lebih banyak
dari pada jumlah permintaan. Hukum ekonomi konvensional menjelaskan bahwa
ketika jumlah penawaran (supply) suatu barang lebih tinggi daripada permintaan
(demand) maka akan berakibat pada penurunan harga barang tersebut.
Istilah over produksi umumnya didasarkan pada kuota pembelian yang
sudah direncanakan sejak awal musim tanam oleh perusahaan. Ketika target atau
kuota pembelian itu terpenuhi, maka perusahaan tidak lagi mau membeli
tembakau petani. Peraturan Daerah (Perda) No.4 Tahun 2004 mengatur dan
memerintahkan perusahaan untuk mengadakan musyawarah harga dengan
perwakilan petani mitra pada setiap awal musim tanam setiap tahun. Musyawarah
harga ini akan menjadi acuan perusahaan dalam membeli tembakau petani.
Artinya, perusahaan harus membeli tembakau petani berdasarkan target atau kuota
92
pembelian yang sudah ditetapkan oleh perusahaan dengan harga yang sesuai
dengan hasil musyawarah harga tersebut. Perusahaan tidak punya kewajiban
untuk membeli tembakau petani dengan harga yang sesuai kesepakatan
musyawarah harga setelah seluruh target atau kuota pembelian terpenuhi.
Penetapan kuota pembelian adalah murni kewenangan perusahaan.
Pemerintah maupun petani tidak dapat memaksa perusahaan dalam hal penentuan
target atau kuota pembelian. Bagi perusahaan, kuota pembelian itu ditetapkan
berdasarkan kebutuhan, kemampuan dan ketersediaan anggaran. Selanjutnya
perusahaan melakukan pembinaan dan pendampingan terhadap petani mitra
sekaligus mengarahkan petani mitra itu untuk berproduksi sesuai dengan target
pembelian perusahaan. Perusahaan membatasi kuota jual petani untuk mengontrol
volume usaha agar tetap sesuai dengan target perusahaan. Setiap petani tidak
boleh menjual tembakau diatas jumlah maksimal yang ditetapkan perusahaan
terhadap petani yang bersangkutan. Setiap petani diberikan kuota jual yang
berbeda-beda desesuaikan dengan kemampuan, loyalitas dan kedekatan petani
dengan perusahaan.
Ketika produksi tembakau berlimpah, di mana jumlah total tembakau yang
diproduksi petani melebihi target pembelian perusahaan, maka perusahaan berhak
memilih untuk tidak membeli tembakau petani, baik petani mitra maupun non
mitra. Kondisi seperti ini membuat petani menjadi pihak yang paling dirugikan.
Petani sudah terlanjur memproduksi tembakau karena anjuran pemerintah dan
perusahaan, namun setelah tembakau diproduksi dan siap jual, perusahaan tidak
mau membelinya karena alasan kuota sudah penuh, kalaupun ada perusahaan yang
mau membeli, perusahaan itu menawarkan harga yang sangat rendah. Petani di
sisi lain tidak dapat menyimpan produk tembakaunya karena tembakau
merupakan komoditas yang tidak bisa di konsumsi langsung dan tidak bisa diolah
secara sederhana oleh industri rumahan. Jika pun bisa disimpan, petani harus
menunggu hingga musim tanam berikutnya untuk dapat menjual tembakau itu
karena perusahaan-perusahaan pembeli tembakau itu hanya berkenan membeli
tembakau petani pada saat musim tembakau.
Kelonggaran impor adalah salah satu sebab utama semakin rendahnya
ketertarikan perusahaan untuk membeli tembakau virginia Lombok yang terlihat
dari semakin berkurangnya target atau kuota pembelian beberapa perusahaan.
Meski tembakau Lombok dianggap memiliki cita rasa yang khas, namun terus
meningkatnya biaya produksi tembakau virginia Lombok yang berpengaruh pada
peningkatan harga tembakau Lombok itu membuat sebagian perusahaan beralih
menggunakan tembakau virginia impor. Hal itu membuat beberapa perusahaan
menghentikan operasi perusahaannya di Pulau Lombok dan lebih memilih
menggunakan tembakau impor yang berasal dari Cina karena alasan efisiensi.
Tembakau Cina memang lebih murah jika dibandingkan dengan tembakau
Lombok karena beberapa sebab seperti biaya tenaga kerja yang lebih murah dan
pengusahaan tembakau yang berada dibawah kendali perusahaan milik
pemerintah Cina. Kondisi itu didukung oleh kurangnya proteksi pemerintah
Indonesia terhadap petani dalam negeri. Jika pemerintah memberlakukan tarif
impor yang tinggi terhadap tembakau-tembakau Cina itu, maka tembakau lokal
akan mampu bersaing dengan tembakau impor itu. Meski sebenarnya secara
kualitas tembakau virginia Lombok jauh lebih baik daripada tembakau impor itu,
93
namun harga tembakau impor jauh lebih murah dan menguntungkan bagi
perusahaan rokok, terutama untuk merk-merk rokok yang tidak membutuhkan cita
rasa tinggi.
Pemberlakuan ASEAN – China Free Trade Area (ACFTA) memungkinkan
barang-barang impor dari Cina masuk ke Indonesia tanpa hambatan tarif maupun
non tarif. Demikian juga halnya dengan komoditas tembakau virginia asal Cina
yang masuk ke Indonesia. Kondisi itu membuat tembakau virginia lokal kalah
saing dalam hal harga dan efisiensi. Sementara di sisi lain pemerintah tidak
memberikan perlindungan dan bantuan apapun terhadap petani. Petani dibiarkan
berhadapan langsung dengan pasar yang dikendalikan oleh perusahaan-
perusahaan rokok raksasa level nasional bahkan transnasional. Sedangkan Cina
memberlakukan peraturan yang ketat dalam industri pertembakauan. Tidak ada
seorang pun individu, swasta, ataupun perusahaan negara di Cina yang diizinkan
terlibat dalam perdagangan daun tembakau dan rokok kecuali satu perusahaan
negara yaitu the State Tobacco Monopoly Administration (STMA). STMA
menjadi pembeli tunggal yang diizinkan dalam perdagangan tembakau. Sementara
untuk urusan expor-impor tembakau, STMA menunjuk agen khusus yaitu the
CNT Import-Export (group) Company (Kinasih et al., 2012).
Pemerintah Indonesia selalu menuntut agar petani meningkatkan daya
saing produknya agar mampu bersaing dengan tembakau Cina. Bahkan dalam
beberapa kesempatan pemerintah berkali-kali mendesak agar daerah utama
pensuplai tembakau virginia (Lombok) dapat meningkatkan jumlah produksinya
untuk memenuhi kebutuhan industri rokok dalam negeri. Ironisnya, ketika
produksi tembakau petani melimpah, pemerintah menyebutnya over produksi dan
dijadikan alasan oleh perusahaan untuk membeli tembakau petani dengan harga
murah. Belum lagi jika melihat tingginya biaya produksi petani karena biaya sewa
lahan yang tinggi, tenaga kerja yang mahal, dan minimnya akses petani terhadap
lembaga-lembaga pembiayaan. Bandingkan dengan proses produksi tembakau di
Cina yang semuanya dikendalikan oleh perusahaan tunggal bernama STMA.
STMA mengendalikan biaya sewa lahan, tenaga kerja yang relatif lebih murah
dan pembiayaan usaha yang ditanggung oleh STMA. Semua itu membuat
produksi tembakau Cina menjadi lebih efisien dan menguntungkan. Tidak masuk
akal jika membiarkan petani-petani kecil dari desa-desa pedalaman di Pulau
Lombok itu untuk bersaing dengan perusahaan monopoli negara yang kuat dan
bermodal besar seperti STMA.
Menurut pengakuan beberapa informan kunci yang tidak lain adalah
direktur perusahaan pertembakauan, satu-satunya yang membuat perusahaan itu
masih bertahan untuk menjalankan usaha pertembakauan di Pulau Lombok adalah
karena Lombok bisa menghasilkan tembakau dengan cita rasa yang khas yang
tidak ditemukan di tempat lain di Indonesia, bahkan di dunia. Setiap tahun biaya
produksi tembakau di Lombok terus meningkat, terutama karena biaya sewa lahan
yang tinggi. Bahkan sebagian informan mengatakan bahwa biaya produksi
tembakau di Lombok merupakan yang tertinggi di Indonesia.
Pemilik lahan yang menyewakan lahan dengan harga tinggi tidak dapat
disalahkan. Nilai sewa lahan itu bergerak mengikuti kehendak pasar yang menjadi
salah satu karakter inti kapitalisme. Permintaan yang tinggi serta nilai ekspektasi
94
yang besar terhadap usahatani tembakau membuat biaya sewa lahan untuk
keperluan usahatani tembakau menjadi tinggi. Para petani dijebak oleh
mekanisme pasar untuk bersaing secara “tidak logis” sesama petani. Sebagian
petani dengan mudah menaikkan harga sewa lahan agar pemilik lahan
memberinya izin untuk menyewa lahan itu. Seperti sistem lelang, petani lain
kemudian datang dan menawarkan harga yang lebih tinggi dan begitu seterusnya
sehingga membuat harga sewa lahan menjadi sangat tinggi. Padahal para petani
itu mengetahui dengan pasti bahwa usaha yang akan digeluti adalah usaha yang
sangat berisiko. Tapi jika itu tidak dilakukan bisa jadi para petani itu akan menjadi
pengangguran dan kehilangan kesempatan untuk memperbaiki kondisi
perekonomiannya. Meski sekali lagi, usahatani tembakau itu merupakan usaha
yang sangat berisiko dan tidak menjamin perbaikan ekonomi petani.
Bisnis Gelap Oknum Perusahaan
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa salah satu penyebab kerugian
petani dalam agribisnis tembakau virginia di Pulau Lombok adalah karena adanya
“permainan” dari oknum petugas perusahaan. Permainan yang dimaksud adalah
praktek-praktek ilegal yang dilakukan beberapa oknum perusahaan, bahkan secara
praktek ilegal itu ada yang dilakukan secara “legal” oleh perusahaan tanpa ada
kontrol dari pemerintah. Praktek ilegal yang paling banyak dikeluhkan petani
(responden) adalah praktek jual-beli kuota penjualan petani. Seperti disebutkan
pada bagian sebelumnya bahwa perusahaan membatasi jumlah penjualan petani ke
perusahaan tersebut dengan menetapkan kuota jual per petani mitra berdasarkan
target atau kuota pembelian perusahaan. Dengan cara itu, perusahaan tidak
berkenan membeli tembakau petani diatas kuota yang telah diberikan perusahaan
untuknya. Setiap petani mitra mendapatkan kartu dari perusahaan yang harus
ditunjukkan ketika menjual tembakau ke perusahaan. Komputer akan mencatat
secara otomatis sisa kuota penjualan petani setiap kali petani menjual
tembakaunya ke perusahaan. Sistem ini membuat petani swadaya tidak bisa
menjual tembakaunya secara langsung ke perusahaan.
Menurut pengakuan banyak responden yang bermitra dengan perusahaan,
kuota jual petani sering kali hilang atau tiba-tiba habis padahal petani itu merasa
baru mengambil sedikit saja jatah jual miliknya. Menurut responden, jatah jual itu
“dijual” oleh oknum petugas perusahaan, terutama oleh Penyuluh Lapang (PL)
perusahaan kepada petani lain, baik petani swadaya maupun petani mitra yang
sudah kehabisan jatah jual. Dugaan responden ini didasarkan atas fakta bahwa PL
memegang data petani secara lengkap, termasuk data kuota jual petani. Ketika
petani menjual tembakaunya ke perusahaan, petani diharuskan untuk memberikan
kartu mitranya kepada petugas, pada saat seperti inilah kartu petani itu sering
digunakan oleh oknum petugas “nakal” untuk menjualkan tembakau petani yang
lain dengan imbalan uang. Akibatnya petani pemilik kartu itu kehilangan
kesempatan untuk menjual produk tembakaunya kepada perusahaan. Padahal
petani itu sudah memproduksi tembakau sebanyak kuota yang telah diberikan
perusahaan kepadanya. Hal ini membuat petani tidak dapat menjual sebagian
95
tembakaunya dengan harga yang telah disepakati pada musyawarah harga di awal
musim tanam.
Keterangan responden petani mitra itu dikuatkan dengan pengakuan petani
swadaya yang mengaku harus membayar “uang terimakasih” sebesar Rp 50.000,-
s/d Rp 200.000,- per bale (satu bale tembakau krosok berisi 60-80 Kg) tembakau
yang dijual jika petani swadaya itu mau menjual tembakaunya langsung ke
perusahaan. Petani swadaya seharusnya tidak bisa menjual tembakaunya langsung
ke perusahaan karena perusahaan telah membagi kuota pembeliannya kepada
petani-petani binaan perusahaan, namun dengan bantuan oknum petugas tadi,
tembakau dari petani swadaya itu bisa masuk ke perusahaan dan mendapatkan
harga sesuai dengan harga dasar yang disepakati pada saat musyawarah harga.
Bagi petani mitra yang kuota jualnya dicuri, tentu hal ini membuat rugi karena
sebagian tembakau miliknya akan masuk dalam kategori over produksi dan harus
dijual dengan harga murah yang tidak mengikuti harga dasar hasil kesepakatan
musyawarah harga. Sementara bagi petani swadaya yang berhasil menjual
tembakaunya ke perusahaan tadi, hal ini bisa jadi menguntungkan, namun
sebenarnya petani swadaya itu juga mengalami kerugian karena meningkatnya
biaya transaksi.
Beberapa informan kunci, baik dari asosiasi petani maupun dari pihak
perusahaan mengakui bahwa praktek seperti itu terjadi namun sulit dibuktikan.
Pimpinan-pimpinan perusahaan itu hanya bisa mengambil sikap tegas jika ada
yang terbukti melakukan “bisnis gelap” itu. Membuktikan hal itu bukanlah
sesuatu yang mudah. PL adalah pihak yang paling dicurigai petani menjadi
pemain dalam bisnis gelap ini. Analisa petani-petani itu sederhana, jika PL itu
hanya hidup dari gaji yang hanya sekitar Rp 3 juta per bulan, tidak mungkin PL-
PL itu bisa membangun rumah mewah pribadi, membeli kendaraan-kendaraan
yang juga mewah, dan sebagainya. Kecurigaan petani ini cukup beralasan
mengingat hampir semua rumah PL perusahaan yang pernah penulis kunjungi
masuk dalam kategori “high class” untuk ukuran rumah – rumah di desa.
Jika bisnis gelap penjualan kuota diatas dilakukan oleh individu-individu
oknum perusahaan secara sembunyi-sembunyi, ada bisnis gelap lain yang
dilakukan secara terang-terangan dan dilakukan bukan oleh individu, melainkan
oleh perusahaan itu sendiri. Berdasarkan keterangan responden, ada salah satu
perusahaan yang bersikap “curang” dalam membeli tembakau petani. Ketika
melakukan proses grading, perusahaan yang bersangkutan selalu mengambil satu
hingga tiga bundel tembakau petani sebagai sampel, namun sampel yang diambil
itu tidak ikut ditimbang sehingga mengurangi berat timbangan tembakau petani.
Hal ini tentu menyebabkan berkurangnya pendapatan petani. Lebih dari itu,
perusahaan tersebut juga merugikan petani dengan cara menahan sebagian uang
pembayaran tembakau petani dan diganti dengan pakaian-pakaian bekas, sarung
bekas, dan nasi bungkus. Petani diwajibkan mengambil barang-barang pemberian
perusahaan itu dengan status beli. Perusahaan akan memotong uang pembayaran
tembakau petani sebagai bayarnya dengan harga yang jauh lebih tinggi dari harga
normal. Tidak ada petani yang berani melawan, sebab risikonya adalah petani
yang melawan tersebut akan di black list oleh perusahaan dan tidak dibolehkan
untuk menjual tembakaunya lagi kepada perusahaan yang bersangkutan. Tindakan
96
ini sebenarnya lebih dari sekedar kecurangan ekonomi, tapi merupakan tindakan
kriminalisasi.
Jika pada bagian awal bab ini dijelaskan tentang rendahnya pendapatan petani
tembakau virginia Lombok, melalui bagian ini penulis ingin menegaskan bahwa
perhitungan keuntungan dan kerugian pada bagian awal bab ini belum
mempertimbangkan kecurangan-kecurangan yang disebutkan diatas. Perhitungan-
perhitungan diatas dilakukan dengan asumsi pasar dalam keadaan stabil dan aman.
Jika kecurangan-kecurangan sebagaimana dijelaskan diatas dimasukkan dalam
perhitungan itu, maka nilai kerugian petani akan menjadi semakin besar.
Ketergantungan Ekonomi Petani
Bagian awal bab ini menjelaskan tentang rendahnya pendapatan petani
tembakau virginia Lombok. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, jika petani
terus menerus dirugikan dalam usahataninya, lalu kenapa petani masih terus
bertahan mengusahakan komoditas ini. Jawaban sederhananya adalah karena
petani sudah mengalami sindrom ketergantungan terhadap agribisnis ini.
Mengusahakan tembakau bagi sebagian masyarakat pulau Lombok bukan sekedar
merupakan pilihan ekonomi, tapi juga telah menjadi tradisi yang mendarah daging
dan terwariskan dari generasi ke generasi. Ketika sesuatu sudah menjadi bagian
dari tradisi suatu masyarakat, maka perlu dilakukan penelusuran terhadap akar
sejarah kenapa sesuatu itu bisa menjadi bagian dari tradisi masyarakat.
Tidak ada catatan resmi dan tegas yang bercerita tentang awal sejarah
masuknya tembakau di Pulau Lombok, yang pasti tembakau telah dikenal dan
diusahakan di Lombok sejak 40 tahun terakhir. Tembakau virginia Lombok
mengalami perkembangan pesat setelah diberlakukannya kebijakan Intensifikasi
Tembakau Virginia (ITV) Lombok pada akhir dekade 1980-an. Memasuki dekade
1990an, perusahaan-perusahaan pertembakauan semakin menjamur di Pulau
Lombok. Kondisi ini membuat terjadinya peningkatan permintaan tembakau
virginia sementara supply dari petani belum mampu mengimbangi tingginya
permintaan dari perusahaan. Hal itu membuat harga tembakau menjadi tinggi
sehingga para petani tembakau virginia Lombok pada masa itu mendapatkan
untung yang besar dan secara signifikan merubah wajah sebagian masyarakat desa
Pulau Lombok dari masyarakat miskin pedesaan menjadi masyarakat kelas
menengah. Perubahan itu dapat dilihat secara fisik dari perubahan bentuk rumah
dari rumah semi permanen (bedeg) ke rumah permanen dengan berbagai tipe dan
ukuran. Keberhasilan petani-petani generasi awal ini kemudian merangsang petani
lain untuk ikut beradu nasib pada usahatani tembakau. Sejak saat itu jumlah petani
tembakau terus meningkat dari tahun ke tahun.
Perlahan tapi pasti, berkembangnya tembakau telah merubah pola tanam
petani dalam bertani. Jika sebelumnya petani berfokus pada usahatani pangan
dengan tiga kali tanam dalam setahun, setelah berkembangnya tembakau petani
lebih berfokus pada usahatani tembakau, sedangkan usahatani pangan hanya
menjadi selingan. Pola bertani seperti itu kemudian terwariskan ke generasi
97
berikutnya dan kemudian membentuk tradisi menanam tembakau dalam
masyarakat. Tradisi yang terwariskan itu membuat skill menanam dan
mengusahakan tembakau umumnya tumbuh sejak usia anak-anak. Tanpa harus
diajarkan secara khusus, setiap anak sebenarnya belajar sendiri bagaimana
mengusahakan tembakau mengingat lingkungan sekitarnya dipenuhi dengan para
petani tembakau. Setelah dewasa, anak-anak itu kemudian menjadi generasi
penerus usaha tembakau. Sebagian petani, terutama petani-petani maju umumnya
berusaha untuk menyekolahkan anaknya setinggi mungkin agar bisa meraih masa
depan yang lebih baik.
Memasuki dekade 2000an, agribisnis tembakau terus tumbuh sebagai
penggerak ekonomi pedesaan di masyarakat Pulau Lombok. Studi yang dilakukan
Ahsan (2008) menemukan fakta ironis di mana sejak tahun 2002 - 2008, hanya
10% petani tembakau yang mendapat keuntungan, sementara sisanya mengalami
kerugian. Kondisi ini bisa dipahami mengingat pada dekade 2000an terjadi
peningkatan jumlah petani, luas areal tanam serta produksi secara signifikan. Hal
itu membuat jumlah penawaran tembakau berlimpah sementara jumlah
permintaan cenderung stagnan. Kondisi ini menyebabkan terjadinya penurunan
harga tembakau dan tentu membuat petani mengalami kerugian. Meski demikian,
animo petani untuk mengusahakan tembakau bukannya menurun, tapi malah
semakin meningkat yang ditandai dengan semakin banyaknya jumlah petani dan
semakin tingginya jumlah produksi.
Berdasarkan hasil penelitian ada beberapa hal yang membuat petani
mengalami ketergantungan terhadap usahatani tembakau virginia, yaitu:
1. Faktor agroklimat
Menurut informan kunci, kondisi iklim Pulau Lombok secara umum
merupakan kondisi terbaik untuk pertumbuhan tembakau jenis virginia. Selain itu
jenis dan keadaan tanah di Pulau Lombok juga menjadikan tembakau virginia
memiliki cita rasa yang khas dan berkualitas. Musim panas yang relatif lebih lama
namun kelembaban tanah tetap terjaga merupakan keunggulan agroklimat pulau
Lombok. Kondisi seperti itu sangat sesuai untuk tanaman tembakau.
2. Faktor teknis
Meski usahatani tembakau disebut sebagai usaha yang ribet, banyak
pekerjaan dan melelahkan, namun menurut sebagian besar responden tembakau
merupakan usaha yang paling memungkinkan untuk dilakukan karena sudah
dikuasai secara teknis. Hal ini dapat dipahami mengingat adanya proses
pembentukan tradisi sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Suatu aktifitas yang
disaksikan dan dilakukan secara berulang-ulang akan membuat seseorang menjadi
terampil dalam aktifitas tersebut. Petani-petani tembakau Lombok sudah cukup
menguasai urusan teknis usahatani tembakau. Jika para petani tembakau itu
dipaksa untuk mengusahakan yang lain, meski yang pekerjaannya lebih sederhana
daripada tembakau, petani itu merasa tidak mampu melakukannya.
98
3. Faktor ekonomis
Tidak adanya alternatif usaha lain adalah faktor utama yang membuat
petani kian tergantung terhadap usahatani tembakau. Terlebih dengan tingginya
nilai transaksi usaha pada usahatani tembakau telah memotivasi petani untuk terus
mengusahakan tembakau. Bahkan meski terjerat hutang karena usahatani
tembakaunya mengalami kerugian, petani tetap mengusahakan tembakau karena
tergiur dengan nilai transaksi yang besar itu.
Daya tarik agribisnis tembakau secara ekonomi terletak pada besarnya
nilai transaksi ketika petani menjual tembakaunya ke perusahaan. Petani tergiur
karena dalam sekali penjualan produk tembakau krosok, petani itu akan membawa
pulang uang tunai senilai jutaan, puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Petani itu
lupa bahwa masih ada hutang yang belum dilunasi untuk membiayai usaha
agribisnis tembakaunya agar bisa mendapat uang sebanyak itu. Ketika menerima
uang dalam jumlah besar seperti itu, petani biasanya langsung membelanjakannya
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Akibatnya di akhir musim tanam, petani
baru menyadari bahwa untung yang didapat sangat kecil atau bahkan rugi.
Penjelasan tentang hal ini akan dijelaskan dalam bab lain pada laporan penelitian
ini.
4. Faktor sosio-kultural
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa usahatani tembakau memiliki nilai
ekspektasi yang besar bagi masyarakat. Hal itu membuat petani yang
mengusahakan tembakau mengalami peningkatan status sosial. Itulah yang
menyebabkan petani tembakau yang sudah terbiasa mengusahakan tembakau
merasa malu jika tidak mengusahakan tembakau pada musim tanam tertentu. Jika
pada tahun tertentu petani tembakau itu tidak mengusahakan tembakau, maka
masyarakat sekitar akan membicarakannya dan akan membuat status sosialnya
menurun. Realitas sosial seperti itu membuat petani tembakau itu selalu berusaha
untuk bertahan agar tetap bisa mengusahakan tembakau virginia dari tahun ke
tahun.
Fenomena Self Exploitation
Rendahnya tingkat keuntungan yang diterima petani, bahkan petani dan
pengomprong swadaya justeru mengalami kerugian dalam usaha agribisnis
tembakaunya yang ditandai dengan nilai R/C ratio kurang dari satu tidak membuat
petani berhenti mengusahakan agribisnis tembakau. Hal ini menunjukkan adanya
ketergantungan petani terhadap usahatani tembakau. Tidak adanya alternatif usaha
lain yang lebih menjanjikan dan mampu mendatangkan uang dalam jumlah besar
dalam waktu yang relatif singkat membuat petani kian terjebak pada
ketergantungannya terhadap usaha agribisnis tembakau virginia. Padahal setiap
tahun para petani tembakau itu harus menghitung total hutang di akhir musim
tanam, bukan menghitung total keuntungan.
99
Ketergantungan petani terhadap usaha agribisnis tembakau virginia di
Pulau Lombok sesungguhnya merupakan pilihan terpaksa yang diambil petani
untuk bisa memperbaiki kualitas hidup. Artinya seandainya pemerintah mampu
memberikan alternatif-alternatif pilihan ekonomi yang lain, maka petani itu tidak
akan terjebak pada ketergantungan terhadap usahatani tembakau yang cenderung
merugikan. Ketergantungan pada satu sisi dan fakta kerugian serta akumulasi
hutang petani dalam agribisnis tembakau pada sisi lain merupakan sebuah
pertanda bahwa petani tembakau di Pulau Lombok telah melakukan eksploitasi
atas dirinya sendiri (self exploitation). Usaha yang seharusnya mendatangkan
manfaat ekonomi berupa keuntungan justru mendatangkan masalah baru bagi
petani, yakni hutang.
Tidak banyak petani yang menyadari tentang ekspolitasi terhadap diri
sendiri dalam agribisnis tembakau itu. Petani-petani itu hanya memahami bahwa
usaha agribisnis tembakau yang dilakukannya merupakan sebentuk ikhtiar untuk
memperbaiki kualitas hidup diri dan keluarganya. Aktifitas usaha yang padat dan
melelahkan dalam agribisnis tembakau virginia tidak dihiraukan untuk mengejar
harapan mendapatkan keuntungan yang layak dari usaha tembakau itu. Meskipun
menghitung nilai keuntungan pada akhir musim usaha adalah sesuatu yang langka
untuk dilakukan.
Jika setiap tahun petani lebih sering menghitung hutang dari pada
menghitung keuntungan di akhir musim usaha tembakau, seharusnya petani
menjadi kapok dan berhenti mengusahakan tembakau itu. Faktanya musim
tembakau justru menjadi saat-saat yang dinantikan kedatangannya oleh petani.
Para petani itu memiliki ekspektasi yang tinggi bahwa usaha agribisnis tembakau
akan mampu meningkatkan atau memperbaiki kualitas hidup petani dan
keluarganya, meski petani itu juga menyadari bahwa peluang menyisakan hutang
lebih besar daripada peluang mendapat untung dalam usaha agribisnis tembakau
virginia itu. Selain karena alasan tidak adanya alternatif pilihan ekonomi yang lain,
hal itu juga disebabkan karena petani dan keluarganya menikmati perbaikan pola
konsumsi pada musim tembakau. petani sering memegang uang dalam jumlah
besar pada musim tembakau yang membuatnya menjadi lebih konsumtif daripada
diluar musim tembakau. Petani-petani itu mampu mengakses kebutuhan-
kebutuhan dasar yang tidak mampu diakses di luar musim tembakau. Pada
akhirnya petani itu tidak sadar bahwa keuntungan usaha yang kecil dari agribisnis
tembakau yang dilakukannya telah habis dibelanjakan untuk keperluan
pemenuhan kebutuhan sehari-hari pada musim tembakau itu. Akibatnya petani itu
tidak mampu membayar hutang yang dipinjam untuk keperluan pembiayaan usaha
tembakaunya.
Sebagian besar responden dalam penelitian ini mengaku memiliki hutang
yang belum mampu dibayar. Hutang-hutang itu didapat petani untuk membiayai
usaha agribisnis tembakaunya. Karena tidak ada sumber penghasilan lain yang
mampu menutupi hutang-hutang itu, maka petani kemudian kembali
mengandalkan usaha agribisnis tembakau sebagai satu-satunya jalan untuk
melunasi hutang-hutang itu. Upaya membayar hutang dengan mengusahakan
tembakau itupun dilakukan dengan kembali meminjam uang (berhutang) untuk
keperluan pembiayaan usaha tembakau itu. Akibatnya jumlah hutang petani terus
bertambah dan menumpuk yang justeru membuatnya menjadi semakin terjepit.
100
Fenomena ini merupakan indikasi yang kuat bahwa petani itu melakukan
eksploitasi terhadap diri dan keluarganya sendiri (self exploitation). Meskipun
petani itu sempat menikmati hasil dari usaha tembakaunya dengan meningkatnya
daya beli pada musim tembakau, namun usaha ini juga menjerat petani pada
hutang yang semakin mempersulit kehidupannya. Petani itu terjebak pada hutang
berkelanjutan yang terus bertambah setiap tahun.
6 KEADILAN EKONOMI DALAM AGRIBISNIS
TEMBAKAU VIRGINIA LOMBOK:
EFEK SEBAR (Spread Effect) DAN EFEK
PENCUCIAN BALIK (Backwash Effect)
Nilai Ekonomi Tembakau Virginia Lombok
Nilai ekonomi tembakau virginia Lombok secara sederhana dapat
diartikan sebagai nilai jual tembakau virginia Lombok setelah diolah dan berubah
bentuk menjadi produk rokok, dengan kata lain seberapa besar kemampuan
agribisnis tembakau Lombok itu dalam menciptakan (creating) nilai ekonomi.
Nilai ekonomi tembakau virginia Lombok perlu diketahui untuk dapat melihat
berapa banyak nilai uang yang beredar dan berkontribusi terhadap perkonomian di
wilayah Pulau Lombok dengan menghitung total nilai tambah wilayah yang dapat
diciptakan oleh agribisnis tembakau virginia Lombok. Selisih nilai ekonomi
dengan total nilai tambah wilayah yang diciptakan oleh agribisnis tembakau
virginia itu merupakan pendapatan wilayah lain tempat dilakukannya pabrikasi
atau pengolahan tembakau menjadi rokok.
Mengacu pada data perhitungan tingkat keuntungan perusahaan pada bab
sebelumnya, nilai ekonomi rokok secara umum dapat dihitung dengan rumus
berikut:
CEV = P x TP
= (800) (200.000.000.000)
= Rp 160.000.000.000.000,-
CEV (cigarret economic value) adalah nilai ekonomi rokok. P (price)
dalam rumus diatas adalah harga eceran per batang rokok di pasar, sementara TP
(total production) adalah total produksi rokok rata-rata dalam satu tahun.
Berdasarkan perhitungan diatas didapatkan bahwa nilai ekonomi rokok itu dalam
satu tahun mencapai Rp 160.000.000.000.000,- (seratus enam puluh trilliun
rupiah). Untuk menghasilkan nilai ekonomi sebesar itu dibutuhkan serangkaian
101
input produksi yang kompleks dan saling terkait. Kebutuhan terhadap serangkaian
input produksi itulah yang kemudian menggerakkan sektor ekonomi yang lain
dalam negeri seperti tenaga kerja, input variabel (tembakau, cengkeh, saus ,dll),
iklan, transportasi, laba pengecer, dan sebagainya yang pada gilirannya
membentuk nilai tambah nasional. Selain itu dari total nilai ekonomi yang sebesar
itu terdapat pendapatan langsung pemerintah dalam bentuk cukai.
Perhitungan diatas adalah nilai ekonomi rokok secara umum, yang ingin
dicari dalam pembahasan ini adalah nilai ekonomi dari tembakau virginia Lombok.
Jadi, rumus yang digunakan dalam perhitungan ini mengeluarkan seluruh input
produksi untuk menghasilkan produk rokok, kecuali input produksi tembakau
virginia Lombok. Hal ini dimaksudkan untuk menghasilkan nilai ekonomi murni
dari tembakau virginia Lombok.
TEV = ( P – C – KF – [Pc-T] – πp - o) (V%) (R)
= (800 – 312 – 100 – 40 – 100 – 50) (38,5%) (80.000.000.000)
= (198) (38,5%) (80.000.000.000)
= Rp 6.098.400.000.000,-
Berdasarkan perhitungan diatas, maka nilai ekonomi murni tembakau
virginia Lombok jika ia sudah diolah menjadi produk rokok adalah
Rp.6.098.400.000.000,- (enam trilliun sembilan puluh delapan milliar empat ratus
juta rupiah). Nilai ekonomi sebesar itu dihasilkan melalui proses yang
membutuhkan serangkaian input produksi yang kompleks sebagaimana dijelaskan
sebelumnya. Perhitungan ini merupakan perhitungan murni nilai ekonomi
tembakau virginia Lombok. Adapun nilai ekonomi input produksi lainnya dapat
dihitung secara terpisah. Perhitungan diatas dapat dengan mudah dipahami
dengan memperhatikan asumsi-asumsi berikut:
1. Semua data dalam rumus diatas mengikuti data yang telah dijelaskan
pada bab lima di mana harga eceran per batang rokok adalah Rp.800,-,
nilai cukai per batang rokok adalah Rp.312,-, biaya kertas, filter dan
kemasan rokok diasumsikan Rp.100,-, keuntungan pengecer adalah
Rp.100,- dan biaya lainnya adalah Rp.50,-.
2. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa production cost (Pc) pada rumus
diatas adalah fungsi himpunan dari input produksi bahan tembakau
dari berbagai jenis, yakni cengkeh, saus, biaya tenaga kerja dan iklan,
namun karena dalam perhitungan ini yang dicari adalah nilai ekonomi
murni dari tembakau virginia Lombok, maka elemen production cost
dibatasi hanya sebagai fungsi himpunan dari tembakau virginia
Lombok. Jadi, biaya produksi dalam perhitungan nilai ekonomi ini
dikurangi dengan nilai kandungan tembakau dalam rokok tersebut
( [Pc-T] ).
3. Berdasarkan asumsi yang dikembangkan pada bab 5 di mana nilai
biaya produksi (Pc) diasumsikan sebesar Rp 100,-, maka dalam
perhitungan ini nilai [Pc-T] diasumsikan sebesar Rp 40,-. [Pc-T] ini
sesungguhnya merupakan asumsi nilai biaya tenaga kerja untuk
membuat satu batang rokok dan biaya iklan.
4. Nilai tembakau dalam perhitungan itu diasumsikan sebesar Rp 60,-.
Hanya saja perlu diketahui bahwa nilai Rp 60,- bukanlah nilai murni
102
tembakau virginia Lombok. nilai itu masih bercampur dengan nilai
jenis tembakau lainnya beserta cengkeh dan saus.
5. Setiap batang rokok rata-rata mengandung 38,5% tembakau virginia
Lombok dari total kandungan tembakau, cengkeh dan saus. Jadi, untuk
mendapatkan nilai ekonomi murni tembakau virginia Lombok, hasil
perhitungan nilai ekonomi tembakau secara umum harus dikalikan
dengan 38,5%.
6. Angka 80.000.000.000 (delapan puluh milliar) dalam perhitungan
diatas adalah jumlah batang rokok yang dihasilkan oleh tembakau
virginia Lombok dari total produksi 40.000 ton tembakau virginia
setiap tahun di mana setiap batang rokok mengandung 0,5 gr tembakau
virginia Lombok.
Efek Sebar (Spread Effect)
Teori keterbelakangan dan pembangunan ekonomi Gunnar Myrdal tentang
faktor sebab akibat kumulatif (circular cumulative causation) sebagaimana
dijelaskan oleh Jhingan (1999:212) menjelaskan bahwa efek sebar (spread effect)
dipandang sebagai kemampuan wilayah maju yang menjadi pusat aktifitas
ekonomi dalam menggerakkan perekonomian wilayah terbelakang (hinterland)
yang menjadi penunjang perekonomian wilayah maju itu. Dalam penelitian ini,
efek sebar dari agribisnis tembakau virginia Lombok dianalisis dengan
menggunakan data analisis usahatani sebagai data dasar. Jika dalam Bab 5
dijelaskan bahwa petani dalam penelitian ini dibagi ke dalam lima kategori, maka
untuk memudahkan analisis efek sebar ini, petani diasumsikan hanya satu kategori
saja, yakni kategori petani-pengomprong bermitra. Jadi, untuk menganalisis efek
sebar (spread effect) dari agribisnis tembakau virginia ini terhadap perekonomian
di wilayah Pulau Lombok, digunakan data analisis usahatani petani dengan
kategori petani-pengomprong bermitra.
Efek sebar dalam konteks penelitian ini dilihat dari bagaimana
kemampuan wilayah maju tempat dilakukannya pengolahan daun tembakau itu
menjadi rokok (Pulau Jawa) dalam menyebarkan dampak ekonominya di wilayah
penghasil tembakau itu (Pulau Lombok) kaitannya dengan aktifitas ekonomi
pertembakauan. Adapun yang termasuk dalam efek sebar itu adalah; (1)
kemampuan menyerap tenaga kerja, (2) kemampuan menumbuhkan atau
menggerakkan sektor lain yang terkait. Berikut disampaikan analisis usahatani
dalam agribisnis tembakau virginia Lombok untuk kategori petani-pengomprong
bermitra sebagai basis analisis.
103
Tabel 6.1. Analisis usahatani petani pengomprong bermitra
No Komponen Pembiayaan Jumlah (Rp)
1. Biaya Lahan
- Sewa lahan untuk pembibitan
- Sewa lahan untuk penanaman
- Bunga 25%
Sub Jumlah
160.000,-
8.000.000,-
2.040.000,-
10.200.000,-
2. Biaya Agroinput
- Pembibitan
- Penanaman
- Processing pasca panen
- Bunga 5%
Sub Jumlah
525.330,-
6.891.000,-
9.434.500,-
842.541,-
17.693.372,-
3 Biaya Tenaga Kerja
- Pembibitan
- Penanaman
- Processing pasca panen
- Bunga 25%
Sub Jumlah
350.000,-
11.375.000,-
3.380.000,-
3.776.250,-
18.881.250,-
4. Biaya Pengairan
- Pengairan
- Bunga 25%
Sub Jumlah
600.000,-
150.000,-
750.000,-
5. Biaya Penyusutan dengan bunga 25%
40.625,-
6. Biaya Renovasi Oven
- Renovasi oven
- Bunga 25%
Sub Jumlah
2.000.000,-
500.000,-
2.500.000,-
Total Biaya Produksi 50.024.622,-
Total penerimaan = 2.000 X 27.000,- 54.000.000,-
Total Keuntungan per musim tanam 3.975.379,-
R/C Ratio 1, 08 Sumber: data primer diolah (2013)
Sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab 3 bahwa efek sebar dalam
penelitian ini terdiri dari komponen biaya atau harga tenaga kerja yang
diagregatkan, penggunaan input produksi lokal, bunga serta penyusutan. Biaya
sewa lahan tidak dihitung sebagai efek sebar karena diasumsikan dengan atau
tanpa adanya agribisnis tembakau, tanah tetap akan berproduksi dengan biaya
sewa yang sama. Efek sebar (spread effect) dari industri pertembakauan yang ada
di Pulau Jawa terhadap perekonomian wilayah di Pulau Lombok sebagai
penghasil daun tembakau adalah sebagai berikut:
104
Spread Effect Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja
Menurut data dari Dinas Perkebunan Provinsi NTB (2012:20), pada tahun
2011 industri pertembakauan telah berhasil menyerap 140.000 tenaga kerja
selama lima bulan musim tanam di Pulau Lombok. Angka itu diluar jumlah petani
tembakau yang menjadi aktor terpenting dalam terselenggaranya aktifitas
ekonomi pertembakauan ini. Berdasarkan data analisis usahatani diatas, maka
nilai atau harga dari tenaga kerja (labor price) dalam pelaksanaan agribisnis
tembakau virginia di Pulau Lombok adalah:
LP = LC x TF
= Rp 15.105.000 x 20.000 ha
= Rp 302.100.000.000
Adapun total field (TF) sebesar 20.000 ha didapatkan dari pembagian
antara total produksi rata-rata tembakau virginia Lombok secara agregat dengan
produktifitas rata-rata per hektar. Bagian-bagian sebelumnya dalam laporan
penelitian ini telah disampaikan bahwa rata-rata produksi kering tembakau
virginia Lombok setiap tahun adalah 40.000 ton, sementara produksi rata-rata per
hektar tanaman tembakau adalah 2 ton, dengan demikian maka:
TF = TPa / TP
= 40.000 ton / 2 ton
= 20.000 ha
Selain itu, laba petani juga dapat dihitung sebagai efek sebar dari industri
tembakau yang berpusat di Pulau Jawa terhadap perekonomian wilayah di Pulau
Lombok. Artinya pendapatan petani itu tidak akan ada tanpa adanya industri
tembakau yang ada di Pulau Jawa. Maka total efek sebar dari industri tembakau
itu terhadap perekonomian wilayah Pulau Lombok juga dapat dilihat dari
besarnya laba yang bisa diterima petani:
FP = Tπ x TF
= Rp 3.975.379 x 20.000 ha
= Rp 79.507.580.000,-
Berdasarkan perhitungan diatas maka efek sebar industri pertebakauan itu
terhadap penyerapan tenaga kerja di Pulau Lombok adalah:
NP = LP + FP
= Rp 302.100.000.000,- + 79.507.580.000,-
= Rp 381.607.580.000,-
105
Spread Effect Terhadap Tumbuhnya Sektor Pendukung (Agroinput)
Tarigan (2002:178) menjelaskan bahwa sektor pendukung (agroinput) baru
dapat dihitung sebagai efek sebar jika faktor-faktor produksi agroinput itu dimiliki
oleh masyarakat setempat dalam suatu wilayah. Pada agribisnis tembakau virginia
Lombok, untuk petani yang bermitra dengan perusahaan, perusahaan
memfasilitasi penyediaan sarana agroinput itu sebagai kredit kepada petani.
Artinya, faktor-faktor produksi itu dimiliki dan dijual sendiri oleh perusahaan
pertembakauan yang bermitra dengan petani. Hal itu juga berarti bahwa tidak ada
warga setempat yang memiliki dan menjual faktor produksi itu, terlebih dengan
adanya kepentingan perusahaan untuk memastikan bahwa petani mitra harus
menggunakan agroinput buatan perusahaan demi menjamin kualitas produksi
tembakau yang sesuai dengan selera dan ciri khas perusahaan.
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa untuk memudahkan analisa pada
bagian ini, maka petani tembakau virginia di Pulau Lombok diasumsikan hanya
satu kategori, yakni kategori petani-pengomprong bermitra. Mengacu pada asumsi
yang telah dibuat sebelumnya (pada Bab 5) bahwa untuk petani yang bermitra
dengan perusahaan diasumsikan seluruh komponen agroinputnya disediakan oleh
perusahaan sebagai kredit. Karena faktor-faktor produksi itu tidak dimiliki oleh
masyarakat setempat Pulau Lombok, maka ia tidak dapat dihitung sebagai efek
sebar industri pertembakauan. Bahkan hal itu berarti kembalinya nilai tambah
(value added) sektor agroinput itu ke perusahaan yang bersangkutan sehingga
keuntungan perusahaan tidak hanya didapat dari produk daun tembakau itu sendiri,
melainkan juga dari penyediaan sarana produksi (agroinput) tersebut.
Spread Effect Terhadap Tumbuhnya Sektor Jasa Keuangan (Bunga
Pinjaman)
Kebanyakan jasa keuangan yang berkembang dalam menunjang agribisnis
tembakau virginia Lombok bersifat perseorangan, bukan lembaga profesional. Hal
itu tidak membuat sektor jasa keuangan itu dikeluarkan dari perhitungan efek
sebar. Bunga pinjaman pada donor perseorangan itu tetap dihitung sebagai efek
sebar dari industri pertembakauan terhadap perkonomian di wilayah Pulau
Lombok. Hal itu karena individu-individu pemberi pinjaman itu merupakan
masyarakat lokal Pulau Lombok yang mendapatkan manfaat dengan adanya
agribisnis tembakau virginia Lombok. Sebagaimana asumsi yang telah
dikembangkan pada bab 5, bahwa seluruh modal dalam agribisnis tembakau
virginia yang dijalankan petani bersumber dari pinjaman dengan bunga 25%
untuk pos pembiayaan non agroinput dan 5% untuk pos pembiayaan agroinput,
namun karena bunga pembiayaan agroinput sebesar 5% itu dimiliki oleh
perusahaan, bukan masyarakat setempat, maka bunga agroinput itu tidak dapat
dihitung sebagai efek sebar.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka efek sebar industri pertembakauan itu
terhadap tumbuhnya sektor jasa keuangan dihitung dengan menjumlahkan seluruh
bunga pinjaman dalam struktur analisis usahatani di atas, kecuali bunga untuk pos
pembiayaan agroinput.
106
i = (iLR + iLP + iIr + iSs + iRo) (TF)
= (Rp 2.040.000,- + Rp 3.776.250 + Rp 150.000,- + Rp 40.625,- +
Rp.500.000,-) (20.000 ha)
= Rp 130.137.500.000,-
Total Spread Effect
Berdasarkan perhitungan-perhitungan diatas, maka total efek sebar (spread
effect) industri pertembakauan terhadap perekonomian di wilayah Pulau Lombok
adalah:
SE = NP + i
= Rp 381.607.580.000,- + Rp 130.137.500.000,-
= Rp 511.745.080.000,-
Berdasarkan perhitungan diatas, maka total efek sebar (berdasarkan
pendekatan nilai tambah atau pendapatan) dari industri pertembakauan yang
berpusat di Pulau Jawa itu terhadap perkonomian di wilayah Pulau Lombok
adalah sebesar Rp.511.745.080.000,- (lima ratus sebelas milliar tujuh ratus empat
puluh lima juta delapan puluh ribu rupiah).
Efek Pencucian Balik (Backwash Effect)
Efek pencucian balik (backwash effect) dalam analisis Gunnar Myrdal
sebagaimana dijelaskan Jhingan (1999:211-213) dianggap sebagai penyebab
utama ketertinggalan yang dialami oleh wilayah terbelakang dari wilayah maju.
Hal itu disebabkan karena wilayah maju yang menjadi pusat pertumbuhan (center
of growth) melakukan eksploitasi terhadap wilayah terbelakang untuk mendukung
industrialisasi di wilayah maju tersebut dengan kemampuan daya sebar (spread
effect) yang lemah terhadap perekonomian di wilayah terbelakang.
Industri pertembakauan yang juga berpusat di wilayah maju, dalam hal ini
adalah wilayah Pulau Jawa membutuhkan serangkaian bahan baku, terutama
bahan baku daun tembakau yang didatangkan dari berbagai daerah. Pulau Lombok
adalah salah satu daerah penghasil tembakau utama yang menyuplai kebutuhan
tembakau industri rokok nasional. Sejauh ini Pulau Lombok hanya menjadi
daerah penghasil daun tembakau sebagai bahan baku pembuatan rokok di wilayah
lainnya (terutama Pulau Jawa). Hal ini berarti Pulau Lombok telah memerankan
diri sebagai daerah penunjang (hinterland) dari upaya pembangunan ekonomi
melalui industri pertembakauan di wilayah Pulau Jawa. Berdasarkan teori
ekonomi pembangunan klasik, terutama yang menggunakan konsep pusat
pertumbuhan (growth pole), wilayah Pulau Lombok sebagai wilayah hinterland
seharusnya mendapatkan manfaat ekonomi yang besar dari adanya efek menetes
107
ke bawah (trickle down effect) dari berkembangnya industri pertembakauan di
wilayah Pulau Jawa yang menjadi pusat pertumbuhan (center of growth) industri
pertembakauan. Efek menetes ke bawah tersebut dapat dilihat dari kemampuan
industri rokok itu dalam menciptakan pendapatan wilayah di Pulau Lombok.
Menurut Tarigan (2002:175-178) pendapatan wilayah dari suatu aktifitas
perekonomian terdiri dari upah dan gaji, laba, sewa tanah, bunga uang,
penyusutan dan pajak tidak langsung netto. Sementara itu biaya antara
(intermediate cost) seperti pupuk, pestisida dan input produksi lainnya tidak
dihitung sebagai pendapatan wilayah dari sektor tersebut karena sudah
diperhitungkan di sektor yang lain. Artinya input-input produksi itu sudah
dihitung sebagai sektor tersendiri. Sebagai contoh, pupuk sudah diperhitungkan
nilai tambahnya dalam sektor ekonomi pupuk itu sendiri sehingga jika dilakukan
perhitungan lagi akan menyebabkan terjadinya perhitungan ganda (double
accounting). Jadi, pendapatan wilayah dalam penelitian ini merupakan nilai total
dari upah tenaga kerja (labor price), biaya sewa lahan, bunga pinjaman,
penyusutan dan pendapatan pemerintah daerah dalam bentuk retribusi. Sementara
nilai tambah diluar itu dihitung sebagai pendapatan wilayah lain, dalam hal ini
wilayah Pulau Jawa tempat berlangsungnya proses pengolahan bahan baku daun
tembakau menjadi produk rokok.
Suatu wilayah dikatakan mengalami backwash apabila pendapatan wilayah
yang mampu diciptakan dari suatu aktifitas ekonomi sangat rendah, padahal nilai
ekonomi dari produk yang dihasilkan sebenarnya jauh lebih besar dari itu, oleh
karenanya dalam analisis backwash effect pada agribisnis tembakau virginia
Lombok ini perlu dihitung seberapa besar pendapatan wilayah yang mampu
diciptakan oleh agribisnis tersebut. Menggunakan data analisis usahatani sebagai
data dasar dan penjelasan Tarigan (2002:175-178) tentang komponen-komponen
pendapatan wilayah sebagai acuan, maka pendapatan wilayah Pulau Lombok
adalah sebagai berikut:
Pendapatan Wilayah dari Laba Usahatani
Petani tembakau mendapatkan penghasilan atau pendapatan dari laba
usaha. Data jumlah petani tembakau virginia Lombok selalu berbeda dari tahun ke
tahun. Hal itu disebabkan karena tembakau merupakan komoditas musiman yang
diusahakan sekali dalam setahun dengan lama usaha selama lima bulan. Setiap
tahun, seorang petani belum tentu akan kembali menjadi petani tembakau karena
beberapa alasan seperti keterbatasan ketersediaan lahan, keterbatasan modal,
adanya aktifitas ekonomi yang lain, dan sebagainya. Kondisi itu membuat
perhitungan total pendapatan wilayah Pulau Lombok dari laba usahatani tembakau
virginia ini tidak menggunakan data jumlah petani, melainkan menggunakan data
luas areal rata-rata (total field). Adapun pendapatan wilayah Pulau Lombok dari
laba usahatani adalah:
RIπ = π x TF
= Rp 3.975.379,- x 20.000 ha
= Rp 79.507.580.000,-
108
Total pendapatan wilayah dari laba usahatani tembakau virginia Lombok
adalah Rp 79.507.580.000,- (tujuh puluh sembilan milliar lima ratus tujuh juta
lima ratus delapan puluh ribu rupiah).
Pendapatan Wilayah dari Upah Buruh Tani (Biaya Tenaga Kerja)
Upah buruh (tenaga kerja) juga merupakan pendapatan wilayah yang
manfaatnya diterima langsung oleh buruh tani. Metode perhitungan pendapatan
wilayah dari upah buruh dalam analisis ini dihitung dengan mengalikan total biaya
tenaga kerja dalam setiap hektar pertanaman tembakau dengan total luas areal
tanam di seluruh Pulau Lombok.
RIL = LC x TF
= Rp 15.105.000,- x 20.000 ha
= Rp 302.100.000.000,-
Jadi total pendapatan wilayah dari upah buruh tani dalam agribisnis
tembakau virginia Lombok adalah Rp 302.100.000.000,- (tiga ratus dua milliar
seratus juta rupiah).
Pendapatan Wilayah dari Sewa Lahan
Pendapatan yang diterima oleh tuan tanah (pemilik lahan) dalam bentuk
sewa lahan juga merupakan pendapatan wilayah. Jika lahan itu adalah lahan milik
petani sehingga petani tidak perlu menyewanya maka petani tersebut akan
mendapatkan nilai laba yang lebih besar sehingga penggunaan lahan oleh dirinya
sendiri tetap terhitung sebagai sewa lahan dan menjadi pendapatan wilayah. Total
pendapatan wilayah dari sewa lahan adalah:
RILR = LR x TF
= Rp 8.160.000,- x 20.000 ha
= Rp 163.200.000.000,-
Total pendapatan wilayah yang diterima oleh seluruh tuan tanah dalam
agribisnis tembakau virginia di Pulau Lombok adalah Rp 163.200.000.000,-
(seratus enam puluh tiga milliar dua ratus juta rupiah).
Pendapatan Wilayah dari Bunga Pinjaman dan Penyusutan
Menurut pengakuan sebagian besar responden selama proses penelitian,
modal pinjaman yang di gunakan untuk membiayai usaha agribisnis tembakaunya
didapatkan dari perseorangan yang memberikan jasa khusus peminjaman uang
untuk petani tembakau dengan bunga yang tinggi. Pinjaman juga didapatkan oleh
petani dari kerabat atau keluarga dengan jumlah bunga yang tidak disepakati di
awal. Asumsi bunga pinjaman yang digunakan dalam Bab 5 adalah sebesar 25%.
Perhitungan ini juga memasukkan nilai penyusutan sekaligus dengan bunganya.
109
Hal ini dilakukan karena nilai penyusutan dalam agribisnis ini tidaklah besar
mengingat sebagian biaya penyusutan yang seharusnya dihitung sebagai nilai
susut dihitung sebagai biaya pada pos pembiayaan lain. Maka nilai pendapatan
wilayah dari bunga pinjaman dan penyusutan adalah:
i = (iLR + iLP + iIr + iSs + iRo) (TF)
= (Rp 2.040.000,- + Rp 3.776.250 + Rp 150.000,- + Rp 40.625,- +
Rp.500.000,-) (20.000 ha)
= Rp 130.137.500.000,-
Bunga pinjaman untuk keperluan agroinput dalam perhitungan di atas
tidak dimasukkan mengingat kebutuhan agroinput itu disediakan oleh perusahaan
dalam bentuk kredit yang bunganya harus dibayarkan petani ke perusahaan juga.
Kondisi itu membuat bunga pinjaman agroinput tidak terhitung sebagai
pendapatan wilayah Pulau Lombok. Total pendapatan wilayah Pulau Lombok dari
bunga pinjaman dan penyusutan pada agribisnis tembakau virginia Lombok
adalah Rp.130.137.500.000,- (seratus tiga puluh milliar seratus tiga puluh tujuh
juta lima ratus ribu rupiah).
Pendapatan Wilayah dari Biaya Pengairan
Pada saat pertanaman di lapang, dibutuhkan pengairan dengan kontrol
yang intensif. Bagi petani-petani di daerah-daerah tertentu, pengairan dilakukan
dengan menggunakan alat (pompa air) agar kondisi air di ladang tetap terkontrol,
tidak kekurangan dan tidak juga berlebihan. Hal itu membuat biaya pengairan
pada usahatani tembakau menjadi lebih besar jika dibanding dengan biaya
pengairan pada usahatani untuk komoditas lain, oleh karenanya pos pembiayaan
untuk keperluan pengairan dalam analisis usahatani tembakau virginia Lombok
memperhitungkan biaya pengairan sebagai pos pembiayaan tersendiri.
RIIr = Ir x TF
= Rp 600.000,- x 20.000 ha
= Rp 12.000.000.000,-
Total pendapatan wilayah dari biaya pengairan untuk keseluruhan areal
tanam tembakau virginia di Pulau Lombok adalah RP 12.000.000.000,- (dua belas
milliar rupiah).
Pendapatan Wilayah dari Biaya Renovasi Oven
Biaya renovasi oven menjadi pos pembiayaan yang cukup memberatkan
bagi petani (pengomprong). Hal itu karena renovasi itu dilakukan hampir setiap
tahun untuk menyesuaikan oven dengan teknologi bahan bakar yang baru. Hal ini
terjadi setelah dicabutnya subsidi BBM untuk keperluan omprongan tembakau.
Sebagai alat produksi yang merupakan biaya tetap, biaya oven seharusnya
dihitung nilai penyusutannya, namun hal itu tidak dilakukan karena adanya fakta
bahwa petani (pengomprong) melakukan renovasi oven hampir setiap tahun
110
dengan biaya yang bervariasi. Analisis pada penelitian ini, sebagaimana dijelaskan
pada Bab 5 bahwa biaya renovasi itu dirata-ratakan menjadi Rp 2.000.000,- per
oven tembakau untuk mengeringkan daun tembakau yang diperoleh dari satu
hektar pertanaman tembakau. Renovasi yang dilakukan membutuhkan
serangkaian input yang diperoleh dari komponen masyarakat lainnya (pengusaha
dan pengrajin) sehingga hal itu dihitung sebagai pendapatan wilayah. Pendapatan
wilayah Pulau Lombok dari biaya renovasi oven adalah:
RIRo = Ro x TF
= Rp 2.000.000,- x 20.000 ha
= Rp 40.000.000.000,-
Jadi, total pendapatan wilayah Pulau Lombok dari biaya renovasi oven
pada agribisnis tembakau virginia Lombok adalah Rp 40.000.000.000,- (empat
puluh milliar rupiah).
Pendapatan Wilayah dari Penerimaan Pemerintah Daerah
Selain pendapatan yang diterima oleh masyarakat setempat, baik dalam
bentuk laba usahatani, upah, bunga, sewa lahan, dan sebagainya, penerimaan
pemerintah daerah juga termasuk sebagai penerimaan wilayah. Pemerintah daerah
dalam agribisnis tembakau virginia Lombok mendapatkan penerimaan setidaknya
dari dua sumber, yakni sumbangan suka relah (retribusi daerah) yang dibayarkan
langsung ke pemerintah daerah oleh perusahaan pertembakauan yang beroperasi
di Pulau Lombok dan Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau (DBHCT) yang di
transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan informasi bahwa nilai
sumbangan dari perusahaa pertembakaua yang ada di Pulau Lombok terhadap
pemerintah daerah adalah Rp 100,- untuk setiap kilogram tembakau kering yang
dibeli perusahaan dari petani. Mengacu pada asumsi-asumsi yang digunakan
sebelumnya dalam laporan penelitian ini di mana total produksi tembakau rata-
rata setiap tahun adalah 40.000 ton. Total penerimaan pemerintah daerah dari
sumbangan suka rela (retribusi) itu adalah:
RIGS = SR x TP
= Rp 100,- x 40.000.000 Kg
= Rp 4.000.000.000,-
Total penerimaan pemerintah daerah dari retribusi sebesar
Rp.4.000.000.000,- (empat milliar rupiah) itu dibagi dua oleh pemerintah provinsi
dan pemerintah kabupaten tempat dilakukannya penanaman tembakau oleh petani.
Pemerintah provinsi mendapatkan Rp 2.000.000.000,-, sementara pemerintah
kabupaten menerima sesuai dengan jumlah produksi tembakau di daerahnya.
Selain dari sumbangan sukarela perusahaan (retribusi) kepada pemerintah
daerah, penerimaan pemerintah daerah dari berkembangnya agribisnis tembakau
111
ini juga didapatkan dari dana DBHCT yang mulai diberikan pemerintah pusat
sejak tahun 2010. Berikut adalah tabel perkembangan penerimaan pemerintah
daerah dari cukai tembakau:
Tabel 6.2. DBHCT yang diterima pemerintah daerah se Provinsi NTB
No Pemerintah
Daerah
DBH CHT (Rp)
2010 2011 2012
1 Provinsi NTB 32.814.826.770 39.477.171.477 56.169.155.012
2 Kabupaten Bima 5.628.627.678 6.643.139.560 8.219.328.575
3 Kabupaten Dompu 2.849.995.581 3.438.170.588 5.025.182.672
4 Kabupaten
Lombok Barat 8.071.728.593 10.170.555.325 13.299.825.306
5 Kabupaten
Lombok Tengah 10.892.430.992 18.084.954.823 24.769.415.506
6 Kabupaten
Lombok Timur 32.860.671.369 35.551.273.813 50.122.791.177
7 Kabupaten
Sumbawa 5.551.997.214 6.651.723.959 8.730.898.839
8 Kota Mataram 4.859.553.095 1.436.452.186 6.091.786.585
9 Kota Bima 1.738.007.857 2.591.431.648 4.213.107.862
10 Kabupaten
Sumbawa Barat 1.323.744.877 3.098.136.954 4.597.238.585
11 Kabupaten
Lombok Utara 2.791.171.875 4.447.561.257 5991786585
Jumlah 109.382.755.901 131.590.571.590 187.230.516.704
Sumber: APBN Republik Indonesia dalam Sosialisasi Kementan RI (2013)
Data diatas merupakan data time series selama tiga tahun terakhir. Analisis
dalam penelitian ini menggunakan data terbaru yakni data tahun 2012 di mana
pada tahun tersebut seluruh pemerintah daerah yang ada di Provinsi NTB
menerima total Rp.187.230.516.7,-, dari jumlah itu yang menjadi pendapatan di
wilayah Pulau Lombok adalah:
RIGC = CProv + CLotim + CLoteng + CLobar + CKLU + CMtr
= Rp.56.169.155.012,- + Rp.50.122.791.177,- +
Rp.24.769.415.506,- + Rp.13.299.825.306,- +
Rp.5.991.786.585,- + Rp.6.091.786.585,-
= Rp 156.444.760.171,-
Kabupaten/kota yang berada di luar Pulau Lombok, tidak dihitung dalam
perhitungan di atas karena memang yang dicari adalah pendapatan wilayah Pulau
Lombok. Pendapatan pemerintah provinsi tetap dihitung sebagai pendapatan
wilayah Pulau Lombok karena ibu kota pemerintah daerah provinsi ada di Pulau
Lombok. Artinya, pendapatan pemerintah provinsi itu juga menjadi pendapatan
wilayah Pulau Lombok. Adapun total pendapatan wilayah Pulau Lombok adalah
Rp 156.444.760.171,- (seratus lima puluh enam milliar empat ratus empat puluh
empat juta tujuh ratus enam puluh ribu seratus tujuh puluh satu rupiah).
112
Berdasarkan perhitungan pendapatan pemerintah dari retribusi dan cukai
diatas, maka didapatkan total pendapatan pemerintah dari adanya agribisnis
tembakau ini adalah:
GIt = RIGS + RIGC
= Rp 4.000.000.000,- + Rp 156.444.760.171,-
= Rp 160.444.760.171,-
Pendapatan wilayah Pulau Lombok dari penerimaan pemeriintah dalam
agribisnis tembakau virginia adalah Rp 160.444.760.171,- (seratus enam puluh
milliar empat ratus empat puluh empat juta tujuh ratus enam puluh ribu seratus
tujuh puluh satu rupiah).
Total Pendapatan Wilayah dari Agribisnis Tembakau Virginia Lombok
Berdasarkan perhitungan-perhitungan diatas, maka total pendapatan
wilayah Pulau Lombok dari agribisnis tembakau virginia adalah:
RIt = RIπ + RIL + RILR + RIi + RIIr + RIRo + GIt
= Rp.79.507.580.000,- + Rp.302.100.000.000,- +
Rp.163.200.000.000,- + Rp.130.137.500.000,- +
Rp.12.000.000.000,- + Rp.40.000.000.000,- +
Rp.160.444.760.171,-
= Rp 887.389.840.171,-
Berdasarkan perhitungan-perhitungan diatas, maka didapatkan total
pendapatan wilayah Pulau Lombok dari adanya agribisnis tembakau virginia
adalah Rp 887.389.840.171,- (delapan ratus delapan puluh tujuh milliar tiga ratus
delapan puluh sembilan juta delapan ratus empat puluh ribu seratus tujuh puluh
satu rupiah).
Potensi Nilai Tambah yang Hilang
Potensi nilai tambah yang hilang dapat diketahui dengan menghitung
selisih antara nilai ekonomi tembakau virginia Lombok dengan total pendapatan
wilayah yang dapat diciptakan oleh agribisnis tembakau virginia Lombok tersebut.
Potensi nilai tambah yang hilang berarti besarnya nilai tambah yang tidak
dinikmati oleh masyarakat Pulau Lombok atau dinikmati oleh masyarakat luar
Pulau Lombok. Hal ini umumnya terjadi karena tidak adanya aktifitas pengolahan
hasil di dalam suatu wilayah, dalam hal ini adalah wilayah Pulau Lombok.
113
LAV = TEV – RIt
= (Rp 6.098.400.000.000,-) – (Rp 887.389.840.171,-)
= Rp 5.211.010.159.829,-
Perhitungan diatas menunjukkan bahwa potensi nilai tambah yang hilang
dalam agribisnis tembakau itu mencapai Rp 5.211.010.159.829,- (lima trilliun dua
ratus sebelas milliar sepuluh juta seratus lima puluh sembilan ribu delapan ratus
dua puluh sembilan rupiah). Nilai ini termasuk sangat besar jika dibanding dengan
total pendapatan wilayah yang diterima oleh masyarakat Pulau Lombok. Artinya
masyarakat di wilayah Pulau Lombok itu lebih banyak kehilangan nilai tambah
daripada menerima pendapatan wilayah dalam agribisnis tembakau virginia
Lombok.
Tingkat Kekuatan Backwash Effect
Tingkat kekuatan backwash effect yang terjadi dalam agribisnis tembakau
virginia Lombok dapat dilihat dari prosentase pendapatan wilayah dari agribisnis
tembakau virginia Lombok terhadap total nilai ekonomi tembakau virginia
Lombok itu. Backwash effect dikatan sangat kuat jika prosentase pendapatan
wilayah terhadap nilai ekonomi itu kurang dari 10%. Jika antara 10% - 30%, maka
backwash effect masuk dalam kategori kuat, 30-50% kategori sedang dan diatas
50% berarti backwash effect lemah. Secara sederhana dapat digambarkan secara
matematis sebagai berikut:
LAV% < 10% backwash effect sangat kuat
10% < LAV% < 30% backwash effect kuat
30% < LAV% < 50% backwash effect sedang
LAV% > 50% backwash effect lemah
Adapun prosentasenya adalah:
= 14,5 %
Perhitungan diatas menunjukkan bahwa prosentase pendapatan wilayah
Pulau Lombok dari agribisnis tembakau virginia terhadap total nilai ekonomi
tembakau virginia Lombok adalah 14,5 % yang berarti tingkatan backwash-nya
masuk dalam kategori kuat.
114
Hasil penelitian ini memperkuat tesis Gunnar Myrdal tentang faktor sebab
akibat kumulatif (circular cumulative causation) pada sistem ekonomi pasar yang
menyebabkan terjadinya ketimpangan wilayah. Berpusatnya industri rokok di
Pulau Jawa merupakan respon pasar karena Pulau Jawa memiliki daya tarik pasar
yang memungkinkan menghasilkan laba tinggi. Akibatnya wilayah lain sebagai
penghasil daun tembakau, dalam hal ini adalah Pulau Lombok hanya mampu
mendapat nilai tambah yang kecil. Pulau Lombok sebagai wilayah hinterland
seolah hanya diperankan sebagai penghasil bahan baku untuk diproduksi di
wilayah Pulau Jawa. Kondisi seperti ini menyebabkan wilayah Pulau Jawa yang
sudah cukup maju menjadi semakin maju, sedangkan wilayah Pulau Lombok
yang relatif terbelakang tetap dalam kondisi keterbelakangannya atau mengalami
proses pertuumbuhan yang lambat.
7 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Agribisnis tembakau virginia Lombok yang dikembangkan dengan sistem
ekonomi pasar telah menyebabkan terjadinya ketidakadilan ekonomi yang
ditandai dengan timpangnya distribusi nilai tambah (value added) antar pelaku
ekonomi utama dalam agribisnis tembakau virginia tersebut, yakni antara petani
dan perusahaan. Petani dalam penelitian ini dibagi ke dalam lima kategori.
Kategori yang mendapatkan nilai tambah terbesar adalah petani pengomprong
bermitra. Petani dengan nilai tambah terbesar itu hanya mampu mendapatkan nilai
tambah rata-rata sebesar Rp 3.975.379,- (tiga juta sembilan ratus tujuh puluh lima
ribu tiga ratus tujuh puluh sembilan rupiah) per hektar per musim tanam dengan
nilai R/C ratio sebesar 1,08. Pelaku ekonomi lainnya, yakni perusahaan industri
rokok bisa mendapatkan keuntungan atau nilai tambah sebesar Rp 212.520.000,-
(dua ratus dua belas juta lima ratus dua puluh ribu rupiah) dari setiap satu hektar
pertanaman tembakau virginia Lombok setiap musim tanam. Margin nilai tambah
antara petani dan perusahaan itu mencapai Rp 208.544.621,- (dua ratus delapan
juta lima ratus empat puluh empat ribu enam ratus dua puluh satu rupiah). Hal ini
berarti, petani dengan kategori yang berhasil mendapat keuntungan atau nilai
tambah (value added) terbesar itu hanya mampu mendapatkan 1,87% dari total
keuntungan atau nilai tambah perusahaan industri rokok untuk setiap satu hektar
pertanaman tembakau virginia Lombok per musim tanam.
Telah terjadi ketidakadilan ekonomi dalam konteks interaksi ekonomi
antar wilayah pada agribisnis tembakau virginia Lombok yang dikembangkan
dalam sistem ekonomi pasar. Nilai ekonomi tembakau virginia Lombok setelah
diolah menjadi produk rokok adalah . (enam trilliun
sembilan puluh milliar empat ratus juta rupiah), dari jumlah itu, yang mengendap
dan menjadi nilai tambah wilayah (regional income) Pulau Lombok adalah
(delapan ratus depalan puluh tujuh milliar tiga ratus
delapan puluh sembilan juta delapan ratus empat puluh ribu seratus tujuh puluh
satu rupiah). Total potensi nilai tambah wilayah yang hilang atau dinikmati oleh
115
wilayah lain mencapai Rp.5.211.010.159.829,- (lima trilliun dua ratus sebelas
milliar sepuluh juta seratus lima puluh sembilan ribu delapan ratus dua puluh
sembilan rupiah). Artinya total nilai tambah wilayah yang bisa di create oleh
adanya agribisnis tembakau virginia Lombok itu hanya sebesar 14,5% dari total
nilai ekonomi tembakau virginia Lombok itu yang berarti telah terjadi efek
pencucian balik (backwash effect) yang kuat, sementara efek sebar (spread effect)
yang ditimbulkannya lemah, yakni hanya mencapai Rp.511.745.080.000,- (lima
ratus sebelas milliar tujuh ratus empat puluh lima juta delapan puluh ribu rupiah).
Saran
1. Pemerintah perlu hadir dan terlibat secara aktif dan nyata dalam mengatur
usaha agribisnis tembakau virginia Lombok agar pasar tidak bekerja dengan
terlampau bebas yang dapat menyebabkan terjadinya ketidakadilan ekonomi.
Keterlibatan pemerintah dalam hal ini dapat diarahkan pada upaya penetapan
harga dasar pembelian tembakau petani. Sebagai informasi, pemerintah telah
menetapkan harga eceran terendah untuk produk rokok dengan alasan untuk
menekan tingkat konsumsi rokok oleh masyarakat. Seharusnya
pemberlakuan harga dasar juga diberlakukan untuk produk daun tembakau
petani sehingga perusahaan bisa membelinya dengan harga yang lebih layak
agar petani tidak dirugikan. Kebijakan penetapan harga dasar tembakau itu
berarti pemerintah telah membantu petani tembakau sekaligus menekan
konsumsi rokok.
2. Keberpihakan ekonomi politik pemerintah sangat dibutuhkan, terutama
dengan mengurangi dan memperketat kebijakan impor tembakau untuk
menjaga daya saing tembakau lokal.
3. Sebagai komitmen kemitraan, perusahaan perlu mengalokasikan dana
(sebagian keuntungannya) sebagai pinjaman kepada petani untuk membantu
biaya produksi petani.
4. Karena sifat komoditasnya yang kontoversial, pemerintah perlu berupaya
mengurangi ketergantungan petani terhadap agribisnis tembakau. Komoditas
tembakau ini dalam jangka panjang akan menjadi komoditas terlarang. Saat
hal itu terjadi, masyarakat pertembakauan, khususnya petani harus dapat
dipastikan telah memiliki alternatif usahatani lain. Hal inilah yang dimaksud
dengan perlunya mengurangi ketergantungan petani terhadap agribisnis
tembakau.
5. Perlu penelitian lebih lanjut untuk melihat hubungan ekonomi agribisnis
tembakau virginia Lombok dengan sektor lainnya dengan menggunakan
analisis input-output atau Social Accounting Matrix (SAM).
6. Perlu penelitian lebih detail tentang dampak agribisnis termbakau virginia
Lombok terhadap kondisi lingkungan (sustainability perspective).
116
DAFTAR PUSTAKA
[BPS NTB] Badan Pusat Statistik Provinsi NTB. 2004. Tabel Input-Output
Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2004. Mataram (ID): BPS NTB
[BPS NTB] Badan Pusat Statistik Provinsi NTB. 2012. NTB dalam Angka Tahun
2011. Mataram (ID): BPS NTB
[BPS NTB] Badan Pusat Statistik Provinsi NTB. 2012. Pertumbuhan Ekonomi
Nusa Tenggara Barat Pada Triwulan III 2012. Mataram (ID): BPS NTB
[Disbun NTB] Dinas Perkebunan Provinsi NTB. 2002. Makalah Kebijakan
Pengembangan TembakauVirginia Lombok Melalui Program Intensifikasi
Tembaku Virginia Lombok. Mataram (ID): Disbun NTB
[Disbun NTB] Dinas Perkebunan Provinsi NTB. 2012. Tembakau Lombok, Potret
Sosial Ekonomi. Mataram (ID). Disbun NTB
[Disbun NTB] Dinas Perkebunan Provinsi NTB. 2013. Data Perkembangan Areal
Dan Produksi Tanaman Perkebunan Komoditi Tembakau Selama 5 Tahun
(2007 - 2011) di Nusa Tenggara Barat. Mataram (ID): Disbun NTB
[Disbun NTB] Dinas Perkebunan Provinsi NTB. 2013. Peta Sebaran Kesesuaian
Lahan dan Kesesuaian Ekonomi Tembakau Virginia di Nusa Tenggara
Barat. Mataram (ID): Disbun NTB
[FAO] Food and Agriculture Organization. FAOSTAT. 2007. Agriculture Data
Base [internet]. http://apps.fao.org/page/collections?subset=agriculture
[Kementan RI] Kementerian Pertanian Republik Indonesia, Direktorat Jenderal
Perkebunan. 2011. Statistik Perkebunan Indonesia 2007 – 2009 dan 2009-
2011. Jakarta (ID): Deptan RI.
[Kementan RI] Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 2013. Kebijakan
Pengembangan Tembakau Nasional. Mataram (ID): Sosialisasi Program
Intensifikasi Tembakau Virginia Lombok
[TCSC-IAKMI] Tobacco Control Support Center - Ikatan Ahli Kesehatan
Masyarakat Indonesia. 2008. Petani Tembakau Indonesia. Jakarta(ID).
TCSC-IAKMI
Ahsan A. 2008. Kondisi Petani Tembakau Indonesia, Studi di tiga Wilayah
Penghasil Utama Tembakau. Depok (ID). LD FEUI
Anwar, A. 2004. Organisasi Ekonomi, Konsep Pilihan Aktifitas Ekonomi Melalui
Kelembagaan Pasar dan Organisasi. Bogor (ID). Bahan Kuliah Program
Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan
117
Asriani, P.S. 2003. Konsep Agribisnis dan Pembangunan Pertanian
Berkelanjutan di Indonesia. Jurnal Agrisep. 1(1)
Basuki I, Hastuti S, dan Wahyu K. 2003. Makalah Kinerja Pembangunan
Pertanian NTB Tahun 2003. Mataram (ID). BPTP NTB
Beirlein JG, Kenneth C, Schneeberger, dan Donald O. 2008. Principles of
Agribusiness Management Forth Edition. Illionis (US). Waveland Press Inc
Bendavid-val, A. 1991. Regional and Local Economic Analysis for Practicioners
Fourth Edition. London (GB). Praeger
Bungin, B. 2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik,
dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta (ID). Kencana Prenada Media Group
Capello, R. 2007. Regional Economics. New York (US). Routledege
Caporaso J.A, dan Levine D.P. 2008. Teori-Teori Ekonomi Politik. Pustaka
Yogyakarta (ID). Pelajar
Chamim M, Dhyatmika W, Lamuri S.F, Gaban F, dan Hamzah A. 2011. A Giant
Pack of Lies, Bongkah Raksasa Kebohongan: Menyorot Kedigdayaan
Industri Rokok Indonesia. Jakarta (ID). KOJI communication
Damanhuri, D.S. 2010. Ekonomi Politik dan Pembangunan: Teori, Kritik dan
Solusi Bagi Indonesia dan Negara Sedang Berkembang. Bogor (ID). IPB
Press
Dash L.N, dan Mishra B. 2000. “Political Economy of Regional Imbalances”.
dalam: Shukla, Amitabh. 2000. Regional Planning and Sustainable
Development. New Delhi (IN). Kanishka Publisher
Dharmawan, A.H. 2006. Pendekatan-Pendekatan Pembangunan Pedesaan:
Perspektif Klasik dan Kontemporer. Makalah Seminar
Dipokusuma, B. 2011. Model Partisipatif Perhutanan Sosial Menuju Pengelolaan
Hutan Berkelanjutan, Kasus Pembangunan Hutan Kemasyarakatan Pada
Kawasan Hutan Lindung di Pulau Lombok [Disertasi]. Bogor (ID): Institu
Pertanian Bogor
Djarum Station Lombok. 2013. Sosialisasi dan Evaluasi Pelaksanaan Kemitraan
Tahun 2012 dan Program PT Djarum Tahun 2013. Lombok (ID). Djarum
Lombok
Djarum Station Lombok. 2013. Struktur Pembiayaan Pengusahaan Tembakau
Virginia FC Lombok Musim Tanam Tahun 2012. Lombok (ID). Djarum
Lombok
118
Doeksen GA, Charles HL. 1969. An Analysis of Oklahoma’s Economy By District
Using Input Output Techniques. Southern Journal of Agricultural Economic
Department of Agricultural Economic Oklahoma State University
Stillwater. Oklahoma
Firdaus, M. 2008. Manajemen Agribisnis. Jakarta (ID). Bumi Aksara
Fukuyama, F. 1992. The End of History and the Last Man. New York (US). Free
Press
Guazon, T.M. 2008. Cycle of Poverty in Tobacco Farming. Bangkok (TH).
Shoutheast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA)
Jhingan, M.L. 1999. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta (ID). Raja
Grafindo Persada
Juanda, B. 2009. Ekonometrika, Permodelan dan Pendugaan. Bogor (ID). IPB
Press
Juanda, B. 2009. Metode Penelitian Ekonomi dan Bisnis. Bogor (ID). IPB Press
Kinasih H.N, Febriani R, dan Sulistyoningsih. 2012. Tembakau, Negara, dan
Keserakahan Modal Asing. Jakarta (ID). Indonesia Berdikari
Murty, S. 2000. “Regional Disparities: Need and Measures For Balanced
Development”. dalam: Shukla, A. 2000. Regional Planning and
Sustainable Development. New Delhi (IN). Kanishka Publisher
Nazir, M. 2003. Metode Penelitian. Jakarta (ID). Ghalia Indonesia
Nugroho, S.B.M. 2006. Modernisme, Pos Modernisme Serta Kritik Terhadap Pos
Modernisme dalam Ilmu Ekonomi. Jurnal Dinamika Pembangunan. 3(2)
Nurjihadi, M. 2011. Dampak Usahatani Tembakau Virginia Terhadap
Perubahan Sosial Masyarakat, Studi Kasus di Desa Kabar Kecamatan
Sakra Kabupaten Lombok Timur [skripsi]. Mataram (ID): Universitas
Mataram
Peet R, dan Hartwick E. 2009. Theories of Development, Contention, Argument,
Alternatives. London (GB). The Guilford Press
Rahardjo, D. 2011. Nalar Ekonomi Politik Indonesia. Bogor (ID). IPB Press
Rustiadi E, Saefulhakim S, dan Panuju D.R. 2011. Perencanaan dan
Pengembangan Wilayah. Bogor (ID). Cresspen Press
119
Shrivastava, O.S. 2000. Leading “Theoretical Issues of Regional Economics”.
dalam: Shukla, Amitabh. 2000. Regional Planning and Sustainable
Development. New Delhi (IN). Kanishka Publisher
Skousen, M. 2006. Sejarah Pemikiran Ekonomi, Sang Maestro Teori-Teori
Ekonomi Modern. Jakarta (ID). Prenada Media
Stiglitz, J. 2000. Economics of the Public Sector, Third Edition. Norton and New
York (US). Company Inc
Stimson R, Stough R, dan Robert B.H. 2006. Regional Economic Development,
Analysis and Planning Strategy, Second Edition. Berlin (DE). Springer
Suroyo, A.M. 2000. Eksploitasi Kolonial Abad XIX: Kerja Wajib di Keresidenan
Kedu 1800-1890. Yogyakarta (ID). Yayasan Untuk Indonesia
Susrusa K.B, Zulkifli. 2009. Efektifitas Kemitraan Pada usahatani Tembakau
Virginia di Kabupaten Lombok Timur. Jurnal SOCA. 9(1)
Swasono, E.S. 2011. Timbangan Terhadap Buku Membangun Ekonomi
Komparatif, Strategi Meningkatkan Kemakmuran Nusa dan Resiliensi
Bangsa. Bogor (ID). Makalah Seminar
Tarigan, R. 2002. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta (ID). Depdiknas
Todaro M.P, dan Smith S.C. 2006. Economic Development, 09 Edition. London
(GB). Pearson Education Limited
Williamson, J.G. 1975. “Regional Inequality and the Process of National
Development: A Description of the Patterns”. dalam: Friedman dan Alonso.
1975. Regional Policy, Readings in Theory and Applications. Nebraska
(US). The Colonial Press
Yustika, A.E. 2011. Ekonomi Politik, Kajian Teoritis dan Analisis Empiris.
Yogyakarta (ID). Pustaka Pelajar
120
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Desa Kabar Kecamatan Sakra Kabupaten Lombok
Timur, NTB pada tanggal 10 April 1990 dari ayah Juliadi (alm) dan ibu Mahnim
(alm). Penulis adalah putra ke empat dari sembilan bersaudara. Pendidikan sarjana
ditempuh di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas
Mataram, lulus pada tahun 2011. Pada tahun yang sama penulis mendapat
kesempatan untuk melanjutkan studi ke jenjang S-2 di Program Studi Ilmu
Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana
IPB dengan sponsor dari Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan melalui program Beasiswa Unggulan (BU).
Selama mengikuti program S-2, penulis senantiasa berusaha untuk
mengikuti konferensi internasional. Pada tahun 2012 artikel penulis yang berjudul
Community Forest Management (CFM) in Lombok Island: Keep Sustainability
and Create Prosperity diterima sebagai salah satu artikel yang layak
dipresentasikan di Hokkaido Indonesian Student Association Scientific Meeting
(HISAS 10) di Hokkaido, Jepang. Selanjutnya pada bulan Maret 2013 artikel
penulis yang berjudul Future Taiwan-ASEAN Relationship, Blessing or Disaster:
Theoretical Analysis juga diterima untuk dipresentasikan dalam The 10th
Annual
Conference of European Association for Taiwan Studies yang diselenggarakan
oleh European Association of Taiwan Studies (EATS) di Ecole Normale
Superieure de Lyon, Lyon, Prancis.
Selain disibukkan oleh urusan formal akademik, penulis juga aktif
menyibukkan diri sebagai aktifis, baik yang menunjang prestasi akademik penulis
maupun sebagai tempat pengabdian sosial dan pengembangan diri. Penulis adalah
deklarator sekaligus president director pertama dari Bogor Science Club (BSC)
Sekolah Pascasarjana IPB yang dideklarasikan pada tanggal 6 April 2013. Penulis
juga aktif di Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Himpunan
Mahasiswa Muslim Pascasarjana (HIMMPAS) IPB, organisasi paguyuban
kedaerahan, dan sebagainya.