analisis implementasi clinical pathway kasus stroke berdasarkan ina cb gs
DESCRIPTION
Jurnal PenelitianTRANSCRIPT
1
JURNAL PENELITIAN
ANALISIS IMPLEMENTASI CLINICAL PATHWAY KASUS STROKE
BERDASARKAN INA-CBGs DI RUMAH SAKIT STROKE NASIONAL
BUKITTINGGI TAHUN 2011
OLEHANFERI DEVITRA
BP. 0921291005
PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS ANDALASPROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
TAHUN 2011
1
JURNAL PENELITIAN
ANALISIS IMPLEMENTASI CLINICAL PATHWAY KASUS STROKE
BERDASARKAN INA-CBGs DI RUMAH SAKIT STROKE NASIONAL
BUKITTINGGI TAHUN 2011
OLEHANFERI DEVITRA
BP. 0921291005
PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS ANDALASPROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
TAHUN 2011
1
JURNAL PENELITIAN
ANALISIS IMPLEMENTASI CLINICAL PATHWAY KASUS STROKE
BERDASARKAN INA-CBGs DI RUMAH SAKIT STROKE NASIONAL
BUKITTINGGI TAHUN 2011
OLEHANFERI DEVITRA
BP. 0921291005
PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS ANDALASPROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
TAHUN 2011
2
ANALISIS IMPLEMENTASI CLINICAL PATHWAY KASUS STROKEBERDASARKAN INA-CBGs DI RUMAH SAKIT STROKE NASIONALBUKITTINGGI TAHUN 2011
1) Anferi Devitra
Mahasiswa Program Pasca Sarjana UNAND Program Studi Ilmu Kesehatan MasyarakatPeminatan Kajian Administrasi Rumah SakitEmail: [email protected]
2) Adila Kasni Astiena dan Hadril Busuddin: Dosen Pascasarjana Unand Padang
ABSTRACT
To control the guality and budget of health, the government implemented thepolicy has applied the Prospective Payment System (PPS) based on casemix INA-CBGspackage. In doing this, the hospital must implement the clinical pathway as the integratedhealth service plan involving all steps done by patient from entering hospital till goinghome. The data from National Stroke Hospital of Bukittinggi showed that average lengthof stay stroke case was longer than average from INA-CBGs package. It could be the lossfor hospital. Based on above information, it could be understood how far the clinicalpathway has been applied national Stroke Hospital of Bukittinggi.
The purpose of the research was to find out the analysis of clinical pathwayimplementation at stroke case based on the INA-CBGs system, using system approach atNational Stroke Hospital of Bukittinggi. The input components consist of the policy,human resources, service data, and facilities. The process components consist of strategy,implementation and evaluation. The output component is the step of clinical pathwayimplementation.
The research design was qualitative by getting information from nine informants,observing and analizing documents.The research was conducted at National StrokeHospital of Bukittinggi in March-July 2011.
The research result showed that the implementation of clinical pathway atNational Stroke Hospital of Bukittinggi was at introduction level and ready forimplementation step. The operational policy, commitment, clinical leadership, motivationand evaluation need improving. The hospital management was suggested to make theclinical pathway plan, to establish clinical pathway team, to increase the motivation ofhospital staff and to socialize the program to all hospital staff.
Keyword: clinical pathway, INA-CBGs, implementation, and team
3
PENDAHULUAN
Kesehatan merupakan hak fundamental setiap individu yang dinyatakan secara
global dalam konstitusi WHO, pada dekade terakhir telah disepakati komitmen global
Millenium Development Goals (MDGs) yang menyatakan pembangunan kesehatan
adalah pangkal kecerdasan, produktifitas dan kesejahteraan manusia serta Kementerian
Kesehatan telah menetapkan visi “Masyarakat Sehat Yang Mandiri Dan Berkeadilan”
(Kemen. Kes, 2010).
Untuk mewujudkan harapan tersebut terdapat beberapa permasalahan seperti
perkembangan tekhnologi kesehatan dan kedokteran, pola pembiayaan kesehatan, kondisi
geografis, serta perubahan pola penyakit dari infeksi ke non infeksi, salah satunya
peningkatan kasus penyakit stroke. Pengobatan stroke digolongkan sebagai perawatan
jangka panjang karena membutuhkan waktu yang lama untuk sembuh, apalagi biaya
kesehatan yang semakin berat dirasakan oleh masyarakat (Thabrany, 2005). Mulai bulan
September 2008, Departemen Kesehatan melakukan terobosan dengan mengubah model
pembayaran pelayanan kesehatan dari pembiayaan fee for service menjadi Prospective
Payment System (PPS) berdasarkan paket casemix sistem INA-CBGs. Dalam
penerapannya, rumah sakit harus mengimplementasikan clinical pathway sebagai
perencanaan pelayanan kesehatan terpadu dengan merangkum setiap langkah yang
dilakukan pada pasien mulai dari masuk sampai keluar rumah sakit (Kemen.Kes, 2010).
Tujuan clinical pathway antara lain mengurangi variasi dalam pelayanan, cost
lebih mudah diprediksi, pelayanan lebih terstandarisasi, meningkatkan kualitas pelayanan
(guality of care), meningkatkan prosedur costing, meningkatkan kualitas dari informasi
yang telah dikumpulkan dan sebagai (counter-check) terutama pada kasus-kasus (high
cost, high volume).
Keuntungan membuat clinical pathway dapat mendukung pengenalan evidence-
based medicine, meningkatkan komunikasi antar disiplin ilmu teamwork, menyediakan
standar yang jelas dan baik untuk kegiatan pelayanan, membantu mengurangi variasi
dalam perawatan pasien (melalui standar), meningkatkan proses manajemen sumber daya.
menyokong proses guality improvement secara berkelanjutan, membantu dalam proses
audit klinis, meningkatkan kolaborasi dokter dan perawat/ profesi kesehatan lainnya serta
meningkatkan peran dokter dalam perawatan.
Parameter yang berhubungan dengan implementasi clinical pathway pada rumah
sakit dapat dilihat dari Average Length Of Stay (ALOS). Berdasarkan data di Rumah
Sakit Stroke Nasional Bukittinggi didapatkan ALOS kasus stroke di rumah sakit lebih
4
lama dari ALOS sistem INA-CBGs. Berdasarkan hal tersebut untuk mengendalikan mutu
dan biaya pelayanan maka perlu dilihat sejauh mana implemetasi clinical pathway kasus
stroke di RSSN Bukittinggi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui analisis implementasi clinical pathway
kasus stroke berdasarkan sistem INA-CBGs di Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi
dengan menggunakan pendekatan sistem. Komponen input terdiri dari kebijakan, sumber
daya tenaga, data pelayanan, sarana dan prasarana. Komponen proses terdiri dari strategi,
upaya pelaksanaan, dan evaluasi serta komponen out put yaitu tahap implementasi
clinical pathway.
METODE PENELITIAN
Disain penelitian menggunakan metode pendekatan kualitatif dengan tekhnik
pengambilan sampel secara purposive. Pemilihan informan penelitian berdasarkan prinsip
kesesuaian dan kecukupan berkaitan dengan topik penelitian dan mengetahui secara lebih
luas tentang tujuan penelitian serta dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yaitu
Direktur, Ketua Komite Medik, Kepala SMF Neurologi, Kepala Instalasi Stroke, Kepala
Perawat Ruangan Stroke dan Kepala Instalasi Farmasi.
Data dikumpulkan dengan cara wawancara mendalam pada enam orang
informan, melakukan observasi, dan telaah dokumen. Instrumen utama adalah peneliti
sendiri dengan bantuan pedoman wawancara mendalam, alat perekam, alat pencatat dan
buku harian. Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi pada bulan
Maret sampai Juli 2011.
Data primer dikumpulkan melalui wawancara mendalam oleh peneliti sendiri dan
melakukan pengamatan (observasi) dengan menggunakan form checklist tentang data
rekam medik pasien (data laporan RL1-RL 6), data laporan pelayanan Jamkesmas, Buku
Pedoman Pelaksanaan Jamkesmas (Manlak), Format Clinical Pathway, Aplikasi software
casemix system INA-CBGs, Buku ICD10 dan ICD 9, Standar Pelayanan Minimal Profesi,
bukti edukasi (pelatihan), dan sarana penunjang untuk implementasi clinical pathway.
Data sekunder dikumpulkan dengan menelusuri dan menelaah dokumen-dokumen milik
Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi yang berhubungan dengan implementasi
clinical pathway, antara lain: dokumen Surat Keputusan Direktur, Renstra Rumah Sakit
dan dokumen berhubungan dengan penerapan clinical pathway.
Validasi data dilakukan melalui upaya triangulasi data yaitu triangulasi sumber
didapat dengan melakukan wawancara terhadap beberapa orang informan yang berbeda
5
dan triangulasi metode yaitu melakukan analisis data terhadap hasil wawancara
mendalam, observasi dan telaah dokumen.
Analisis data kualitatif dengan jalan mengorganisasi data, memilah-milah
menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan apa
yang penting dan apa yang dipelajari, serta memutuskan apa yang dapat diceritakan
kepada orang lain. (Moleong, J, 2005). Langkahnya adalah membuat transkrip data,
mereduksi data, display data, serta conclution and verification yaitu membuat kesimpulan
dan menafsirkan data, menemukan pola dan hubungan serta membuat temuan-temuan
umum.
HASIL PENELITIAN
1. Masukan (Input)
Adalah kumpulan bagian atau elemen yang terdapat dalam sistem yang diperlukan
untuk berfungsinya sistem tersebut. Input dalam implementasi clinical pathway adalah
dari aspek kebijakan, data pelayanan, sumber daya tenaga serta sarana dan prasarana.
a. Kebijakan
Kebijakan dari Departemen Kesehatan bahwa pola pembiayaan kesehatan peserta
Jamkesmas di rumah sakit menggunakan sistem casemix INA-DRG melalui surat edaran
Menteri Kesehatan Nomor 586/ Menkes/VII/ 2008, tanggal 3 Juli 2008. Pada Pedoman
Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Manlak) tahun 2009 ditekankan bagi rumah
sakit yang melaksanakan pelayanan Jamkesmas agar pemberlakuan INA-DRG dapat
berjalan dengan baik, rumah sakit harus melaksanakan pelayanan sesuai dengan clinical
pathway dan menggunakan sumber daya yang paling efisien dan efektif (Dep. Kes, 2009).
Berdasarkan kebijakan pemerintah tersebut rumah sakit yang melayani pasien
Jamkesmas, harus menyesuaikan pola pembiayaan kesehatan dari yang bersifat fee for
service menjadi Prospective Payment Sistem. Salah satu elemen terkait adalah rumah
sakit harus membuat perencanaan perawatan pasien sebelum pasien dirawat yang
merupakan integrasi dari berbagai standar medik, keperawatan, farmasi dan penunjang
(clinical pathway). Penerapan clinical pathway ini sangat memerlukan dukungan rumah
sakit dalam bentuk kebijakan. Seperti yang ditekankan pada teori bahwa kunci sukses
penerapan clinical pathway adalah adanya dukungan organisasi dalam bentuk kebijakan
(Currey dan Harvey, 1998).
Kebijakan adalah pengertian umum yang akan membimbing arah berfikir dalam
menentukan keputusan yang berfungsi untuk memberikan jaminan bahwa keputusan akan
6
sesuai serta mendukung tercapainya tujuan. Kebijakan diharapkan dalam berbagai bentuk
praktek pelayanan, pernyataan, peraturan dan bahkan peraturan operasional sebagai
konsekuensi dari keputusan bagaimana kita ingin mengerjakan sesuatu. Tanpa adanya
dukungan kebijakan dari manajemen maka clinical pathway tidak akan bisa terlaksana
karena kebijakan disebuah rumah sakit merupakan dasar hukum untuk pelaksanaan
sebuah program.
Dari hasil wawancara mendalam dan telaah dokumen di RSSN Bukittinggi dapat
disimpulkan bahwa pihak manajemen RSSN Bukittinggi sangat mendukung pelaksanaan
clinical pathway. Hal ini tampak dari telah dilakukan sosialisasi clinical pathway di
lingkungan rumah sakit dengan mengeluarkan surat Keputusan Direktur tentang
pembentukan dokter case manajer dan telah memasukan kegiatan casemix dan clinical
pathway dalam Rencana Strategik Rumah Sakit. Namun dalam pelaksanaannya belum
ada kebijakan operasional rumah sakit yang mendukung, sehingga implementasi clinical
pathway belum terlaksana sebagaimana mestinya. Menurut penulis, langkah awal dan
mendasar yang harus dilaksanakan adalah kebijakan yang telah diambil oleh manajemen
perlu disosialisasikan lagi dan ditegaskan lagi dalam bentuk kebijakan operasional yaitu
kebijakan yang terdiri dari kegiatan-kegiatan secara nyata menggerakan organisasi dalam
memenuhi tujuannya. Kebijakan dalam hal ini adalah berupa prosedur tetap terkait
implementasi clinical pathway ini. Prosedur tetap adalah rangkaian kegiatan tata kerja
atau prosedur yang saling berkaitan satu sama lain, yang menunjukan cara, urutan,
tahapan pekerjaan secara jelas dan pasti. Protap yang diperlukan adalah berupa surat
keputusan direktur yang mengatur penerapan clinical pathway
b. Data pelayanan
Data pelayanan yang dibutuhkan untuk penyusunan dan penerapan clinical
pathway stroke di rumah sakit hampir sama dengan data rekam medik yaitu berupa
sensus harian, laporan RL1 sampai dengan RL6 (terutama RL2), laporan diagnosa
penyakit dengan kode ICD 10 dan ICD 9, data pengunaan obat laporan pelayanan pasien
output dari sistem INA-CBGs. Sebagaimana yang disampaikan Pearson, dkk (1995) data
pelayanan dibutuhkan untuk menetapkan judul clinical pathway, lama hari rawat dan
adanya variasi dalam pelayanannya.
Berdasarkan hasil wawancara mendalam dan telaah dokumen didapatkan bahwa
data pelayanan untuk penerapan clinical pathway dari segi kuantitas (jenis dan jumlah
data) cukup tersedia dan memadai. Hal ini karena unit instalasi pelayanan dan rekam
medik dari awal telah menyiapkan data yang diperlukan untuk implementasi clinical
7
pathway. Semua data bisa diakses di rekam medik yang sudah tertata dengan sistem
elektronik. Apalagi RSSN Bukittinggi merupakan rumah sakit khusus jadi variasi kasus
pasien tidak sebanyak rumah sakit umum biasa. Namun dari segi kualitas data, masih ada
kelengkapan dan penulisan diagnosa yang belum mengacu kepada standar penulisan
diagnosa sesuai ICD 10 dan ICD 9. Hal sangat berpengaruh terhadap data untuk
penentuan kelompok clinical pathway dan lama hari rawat pasien. Sebagaimana yang
terdapat pada Pedoman Pelaksanaan Jamkesmas 2009 yang menegaskan pemberlakuan
INA-CBGs di PPK lanjutan meliputi berbagi aspek sebagai satu kesatuan yakni software
dan aktifasinya, administrasi klaim, clinical pathway, dan proses verifikasi, agar dapat
berjalan dengan baik dokter harus menulis diagnosa dan tindakan dengan lengkap
menurut ICD 10 dan ICD 9 (Dep. Kes, 2009).
Menurut penulis, data penulisan diagnosa yang sesuai dengan ICD sangat
diperlukan dalam penyusunan dan penerapan clinical pathway karena kesalahan
penulisan diagnosa menyebabkan kesalahan pengkodean, kemudian menyebabkan
kesalahan dalam pentarifan dan pada akhirnya mempengaruhi data untuk penyusunan
clinical pathway terutama pada penetapan judul dan rata-rata lama hari rawat kasus stroke
c. Sumber daya tenaga
Sumber daya tenaga/ manusia merupakan kunci utama keberhasilan dalam
penerapan clinical pathway, untuk itu diperlukan ketersediaan dan kemampuan sumber
daya manusia dalam mengelola potensi yang ada di rumah sakit secara efektif dan efisien
sehingga dapat memberikan hasil yang positif. Peran sumber daya manusia ibarat mesin
yang akan menjalankan rencana kerja yang telah dibuat.
Wawancara mendalam tentang sumber daya tenaga untuk penerapan clinical
pathway diketahui bahwa tenaga yang ada cukup memadai dari segi kualitas dan
kuantitas dalam penerapan clinical pathway. Hambata yang ditemui adalah belum ada
konsep tim dalam memberdayakan sumber daya yang ada seoptimal mungkin. Menurut
teori, suatu pathway seyogyanya dikembangkan oleh tim multidisiplin yang terlibat aktif
dalam penanganan pasien dan keterlibatan semua anggota tim dalam pengembangan
sebuah clinical pathway merupakan kunci sukses penerapan clinical pathway dalam
pelayanan sehari-hari (Pearson, dkk, 1995).
Menurut penulis untuk penerapan clinical pathway ini perlu pendekatan
manajemen sumber daya manusia dengan dibentuknya tim casemix di RSSN Bukittinggi
yang sekaligus menangani masalah clinical pathway. Tim tersebut terdiri dari (kepala
SMF) dokter spesialis neurologi, dokter umum, kepala perawat, kepala farmasi, dan
8
kepala bagian unit penunjang (gizi, labor, ronsen dan fisioterapi) yang bertugas
menganalisis pelayanan yang diberikan. Menurut tim center of casemix Dep. Kes (2009)
bahwa integrasi clinical pathway tersebut dapat merupakan suatu standar prosedur
operasional yang merangkum berbagai profesi medis antara lain standar pelayanan medis
dari setiap kelompok Staf Medis/ Staf Medis Fungsional (SMF), profesi keperawatan
dengan asuhan keperawatan serta profesi farmasi dengan unit dose daily dan stop
ordering serta bagian penunjang.
d. Sarana dan prasarana
Berdasarkan hasil wawacara mendalam dengan beberapa informan, aspek sarana
dan prasarana dalam penerapan clinical pathway secara umum tidak ada masalah karena
rumah sakit telah memfasilitasi untuk hal ini. Rumah sakit telah memiliki alat-alat
keperawatan yang menunjang standar asuhan keperawatan, logistik keperawatan sudah
sesuai dengan standar pelayanan stroke dan sudah lulus akreditasi rumah sakit. Begitu
juga dengan sarana terkait tekhnis penerapan clinical pathway itu sendiri yaitu format
clinical pathway, software sistem INA-CBGs, buku ICD dan SPM, formularium obat,
komputer dan alat tulis kantor lainnya telah tersedia. Hal ini sesuai dengan teori bahwa
rumah sakit memberikan fasilitasi untuk pengembangan dan pelaksanaan clinical
pathway (Currey dan Harvey, 1998).
Menurut hasil observasi, sarana bagian penunjang sudah tersedia seperti alat
laboratorium, CT-Scan, USG, ECG, TCD, elektromedik, fisioterapi dan protese protestik.
2. Proses (Proces)
Proses adalah kumpulan bagian atau elemen yang terdapat dalam sistem yang
berfungsi untuk mengubah masukan menjadi keluaran yang terdiri dari strategi, upaya
penerapan dan evaluasi.
a. Strategi
Strategi adalah rencana yang cermat tentang kegiatan untuk mencapai tujuan
yang diharapkan. Pada penerapan clinical pathway, strategi penerapan yang digunakan
adalah dengan melihat dari pembentukan komitmen dan kepemimpinan klinis yang kuat.
1) Pembentukan Komitmen
Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan informan didapatkan bahwa di
RSSN Bukittinggi belum ada pembentukan komitmen manajemen dan staf untuk
penerapan clinical pathway ini. Tanpa adanya komitmen dari staf dan manajemen rumah
sakit penerapan clinical pathway akan menemui hambatan dalam penerapannya.
Penelitian Siti Nurfaida (2009) tentang Penerapan Clinical Pathway, Studi Kasus di
9
Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Dr. Saiful Anwar Malang Jawa Timur
menyimpulkan bahwa belum adanya komitmen dokter, kepemimpinan klinis, dan
dukungan manajemen klinis merupakan hal yang menghambat dalam penerapan clinical
pathway.
Begitu juga menurut Pearson, dkk (1995) untuk pengembangan clinical pathway
dicapai dengan sebuah konsensus yang disepakati bersama oleh semua anggota tim
kesepakatan dengan konsesus diperlukan untuk mengurangi hambatan dan resistensi
dalam pelaksanaan pathway.
Komitmen adalah upaya penyatuan persepsi dan kesepakatan, serta tekad
bersama untuk mencapai sebuah tujuan (Maulana, 2009). Pembentukan komitmen
organisasi sangat diperlukan dalam penerapan clinical pathway di rumah sakit (Cheah,
2000
Berdasarkan beberapa penjelasan diatas menurut penulis pembentukan komitmen
secara tertulis untuk penerapan clinical pathway perlu dilakukan secepatnya sebagai
bentuk tekad dan persamaan persepsi, yang harus dilakukan dari seluruh jajaran direksi,
manajemen dan profesi. Beberapa kiat untuk membentuk komitmen penerapan clinical
pathway di RSSN adalah diperlukan upaya manajemen membentuk komitmen secara
transparansi menampilkan data-data pelayanan dan menghubungkannya terhadap
pendapatan dan pengeluaran serta jasa pelayanan rumah sakit kalau clinical pathway
tidak diterapkan. Kemudian melibatkan staf sejak dari awal secara bersama-sama
menyusun perencanaan pelayanan pasien yang efisien dan efektif. Dengan adanya
pemahaman dan kejelasan tersebut setiap komponen dirumah sakit akan merasa dihargai.
2) Kepemimpinan Klinis
Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan beberapa informan,
kepemimpinan klinis ini belum sepenuhnya diterapkan di RSSN Bukittinggi. Hanya
beberapa pimpinan yang selalu mengingatkan dan mendorong staf agar memberi
pelayanan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan seperti pada bidang keperawatan
dan farmasi.
Kepemimpinan merupakan faktor penting dalam keberhasilan manajemen yang
dapat dirasakan pada tingkat individu, antar individu, manajerial dan organisasi. Salah
satu bentuk kepemimpinan yang diperlukan dalam implementasi clinical pathway adalah
kepemimpinan klinis yang kuat yaitu pola kepemimpinan yang diperlukan untuk
mendorong seluruh staf memberikan pelayanan yang didasarkan pada bukti ilmiah yang
terbaru dan terbaik. Sebagaimana yang terdapat dalam teori bahwa pemimpin dengan
10
kewenangan yang dimiliki selalu untuk mendorong seluruh staf menjalankan clinical
pathway yang didasarkan pada bukti ilmiah yang terbaru dan terbaik (Currey dan Harvey,
1998).
Bentuk kepemimpinan klinik yang kuat adalah pemimpin baik manajer puncak
maupun manajer menengah yang selalu punya perhatian agar menerapkan pelayanan
sesuai evidence base dan formularium serta standar asuhan klinis yang telah disepakati.
Evidance based medicine practice adalah praktik yang dilakukan berdasarkan bukti.
Penggunaan evidance based dan formularium merupakan standar dasar dalam
penyusunan dan penerapan clinical pathway. Hal ini sesuai dengan pengertian clinical
pathway adalah suatu konsep perencanaan terpadu, pelayanan kepada pasien mulai dari
masuk sampai keluar rumah sakit berdasarkan standar pelayanan medis, standar asuhan
keperawatan, dan standar pelayanan tenaga kesehatan lain yang berdasarkan bukti yang
diberikan pada pada pasien (Dep.Kes, 2008)
Kepemimpinan klinis ini diperlukan karena sangat berhubungan dengan clinical
governance. Menurut Currey dan Harvey (1998) clinical governance meliputi manajemen
klinis, yaitu pemberian asuhan klinis yang terdiri dari asuhan medis (primer, sekunder
dan tersier), asuhan keperawatan, asuhan kebidanan, rehabilitasi medik dan sebagainya.
Pimpinan rumah sakit dan profesional secara bersama pada dasarnya bertanggung jawab
terhadap clinical governance.
b. Upaya Penerapan
Rumah sakit sebagai organisasi yang sangat dinamis yang tumbuh dan
berkembang harus selalu mencari cara untuk terbaik untuk memberikan pelayanan kepada
pasien sesuai sesuai dengan perkembangan ilmu dan tekhnologi terbaru. Begitu juga
dalam penerapan clinical pathway, karena program ini merupakan hal yang masih baru
bagi staf rumah sakit maka dari manajemen perlu melakukan pendekatan dengan melihat
edukasi (pendidikan) dan motivasi (dorongan) terhadap staf untuk penerapan clinical
pathway. Sebagaimana menurut Gillies (1986) fungsi dasar manajemen pada tahap
actuating adalah pengarahan (edukasi) dan motivasi. Berdasarkan hal diatas maka perlu
dilihat bagaimana edukasi dan motivasi untuk penerapan clinical pathway yang telah
dilakukan di RSSN Bukittinggi.
1) Edukasi
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa informan didapatkan hasil bahwa
pihak RSSN telah melakukan upaya edukasi (pendidikan dan pelatihan) kepada staf
dalam rangka penerapan clinical pathway ini. Sejak dicanangkan RSSN sebagai pusat
11
stroke tahun 2005 telah mulai dibuat konsep clinical pathway. Dalam perkembangan
tahun 2010 telah dilanjutkan edukasi dalam bentuk pelatihan di rumah sakit dengan
mengadakan worshop maupun dengan mengirim petugas mengikuti pelatihan dan
seminar tentang casemix dan clinical pathway yang diadakan Departemen Kesehatan.
Dalam penerapannya edukasi pada tingkat operasional telah dilakukan seperti dibagian
SMF neurologi dengan mengupdate perkembangan clinical pathway ini dan bagian
keperawatan sudah mulai menghitung berapa sumber daya bahan habis pakai yang
digunakan pasien dalam penerapan clinical patway ini. Jadi pihak manjemen dan staf
telah menyadari pentingnya edukasi bagi staf untuk pathway ini. Hal ini sesuai dengan
teori yang menyatakan bahwa edukasi dan komunikasi yang intensif dibutuhkan untuk
menjamin pathway dapat berjalan dengan baik (Cheah, 2000).
2) Motivasi
Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan beberapa orang informan
didapatkan hasil bahwa upaya untuk memotivasi staf agar melakukan penerapan clinical
pathway ini belum dilakukan oleh pihak manajemen. Motivasi adalah suatu set atau
kumpulan perilaku yang memberi landasan bagi seseorang untuk bertindak, dalam suatu
cara yang diarahkan kepada tujuan spsesifik tertentu (spesifik goal directed way)
(Armstrong,1991).
Berdasarkan beberapa hal diatas menurut penulis motivasi merupakan hal
mendasar yang harus diberikan pada staf. Upaya yang dilakukan adalah memberikan
pengertian tentang pentingnya penerapan clinical pathway, dalam teori mengatakan
bahwa staf akan bekerja bila ada kejelasan dan pemahaman terhadap persoalan
(Djojodibroto, 1997). Upaya lain adalah dengan cara staf dilibatkan sejak awal supaya
merasa dihargai aktualisasinya. Selain itu perlu diberikan reward bukan hanya uang tapi
juga pujian (pengakuan).
c. Evaluasi
Evaluasi merupakan bagian penting dari proses manajemen, karena dengan
evaluasi akan diperoleh umpan balik (feed back) terhadap pelaksanaan kegiatan yang
telah direncanakan. Tanpa adanya evaluasi sulit rasanya untuk mengetahui sejauh mana
tujuan-tujuan yang direncanakan tercapai atau belum.
Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan beberapa informan tentang
evaluasi terhadap upaya pelaksanaan clinical pathway di RSSN Bukittinggi, evaluasi ini
belum pernah dilakukan. Sejak dikeluarkannya kebijakan penerapan clinical pathway
12
oleh manajemen tidak pernah dilihat lagi bagaimana perkembangannya apalagi
dievaluasi.
Menurut Darmadjaja (2009) evaluasi yang dilakukan terhadap kebijakan
penerapan clinical pathway pada suatu rumah sakit untuk efisiensi dan efektifitas, ada
tiga hal yang dilakukan yaitu:
1) Evaluasi upaya kesiapan rumah sakit untuk penyusunan dan penerapan clinical
pathway yaitu menyangkut dengan dukungan organisasi, kesiapan sumber daya
tenaga, fasilitasi rumah sakit, sarana prasarana clinical pathway dan proses
manajemen untuk menerapkannya.
2) Evaluasi penggunaan yang ditujukan untuk melihat sejauh mana clinical pathway
digunakan untuk efektif dan efisiensi pelayanan. Pada tahap ini clinical pathway
memastikan semua intervensi dilakukan secara tepat waktu dengan mendorong
staf klinik untuk bersikap pro-aktif dalam pelayanan. Clinical pathway
diharapkan dapat mengurangi biaya dengan menurunkan Length Of Stay (LOS)
dan tetap memelihara mutu pelayanan.
3) Evaluasi outcome untuk peningkatan pelayanan dan melihat dampak clinical
pathway dari:
a) Secara mikro sistem:
External customers, untuk individu pasien/ keluarga, penyandang dana
(asuransi) sebagai purchasers dan internal customer profesi (dokter,
apoteker, perawat, penata, akuntasi dan rekam medik) serta penyelenggara
rumah sakit sebagai provider dan menjadi jelas, eksplisit dan akuntabel dari
segi mutu layanan maupun biaya yang dikeluarkan (value for money).
b) Secara makro sistem
Dalam hal ini pemerintah mudah untuk mengalokasikan biaya kesehatan
yang diperlukan untuk masyarakat dan dapat menilai benchmarking efisiensi
biaya dan mutu layanan setiap penyelenggara kesehatan sehingga
mempertajam skala prioritas pembangunan kesehatan dalam menyusun
national health accounts and universal coverage system asuransi nasional.
Menurut peneliti upaya evaluasi implementasi clinical pathway di RSSN
Bukittinggi baru pada tahap evaluasi kesiapan, jadi yang perlu dilakukan adalah
mengindentifikasi dan evaluasi terhadap dukungan rumah sakit sebagai pedoman
pelaksanaan, monitoring kemajuan, dan evaluasi terhadap proses manajemen dalam
penerapan clinical pathway. Evaluasi perlu dilakukan secara berkelanjutan sampai
13
clinical pathway bisa diterapkan. RSSN harus menunjuk staf yang care terhadap pathway
ini dalam bentuk tim sebagai evaluator, sebagaimana yang disampaikan oleh Cheah
(2000), seorang manajer kasus ditugaskan untuk bertindak sebagai fasilitator dan
evaluator dalam pemberlakuan pathway.
3. Keluaran (out put)
Out put adalah kumpulan bagian atau elemen yang dihasilkan dari berfungsinya
proses dalam sistem. Keluaran yang diharapkan adalah dengan melihat sejauh mana tahap
upaya implementasi clinical pathway dengan sistim INA-CBGs di RSSN Bukittinggi dan
hal apa saja yang perlu dibenahi untuk pelaksanaannya.
Hasil wawancara mendalam didapatkan bahwa implementasi clinical pathway di
RSSN Bukittinggi baru tahap pengenalan dan secara umum telah siap untuk
melaksanakan penerapan clinical pathway ini, tahap penggunaan (pelaksanaan) ada
beberapa hal yang harus diperhatikan dan perlu ketegasan manajemen serta pendekatan
manajemen untuk meningkatkan edukasi dan motivasi staf fungsional.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Masukan (Input)
a. Kebijakan
Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi telah mensosialisasikan
clinical pathway dan memasukan kedalam rencana strategi serta mengeluarkan
Surat Keputusan Pembentukan Dokter Caser Manajer. Dalam pelaksanaannya
belum didukung dengan kebijakan operasional berupa prosedur tetap
implementasi clinical pathway.
b. Data Pelayanan
Data Pelayanan yang dibutuhkan untuk penyusunan dan penerapan
clinical pathway di RSSN Bukittinggi sudah cukup tersedia dan memadai, hanya
kualitas penulisan diagnosa penyakit yang sesuai dengan ICD 10 dan ICD 9 yang
perlu disosialisasikan lagi.
c. Sumber Daya Tenaga
Sumber daya tenaga di RSSN Bukittinggi telah diberi pelatihan
penyusunan dan penerapan clinical pathway baik inhouse training maupun
dengan mengikuti pelatihan dan seminar di luar rumah sakit. Belum ada dibentuk
tim clinical pathway rumah sakit yang terdiri dari multidisiplin ilmu sebagai
14
pengelolaan sumber daya tenaga yang terintegrasi untuk implemetasi clinical
pathway.
d. Sarana dan prasarana
Sarana dan prasarana untuk penerapan clinical pathway sudah cukup
memadai tidak ada masalah karena rumah sakit telah menfasilitasi untuk hal ini.
2. Komponen Proses
a. Strategi
1) Pembentuk komitmen dari pihak manajemen, medis, staf fungsional lainnya
di Rumah Sakit Stroke Nasional untuk penerapan clinical pathway belum
ada dilakukan.
2) Pola kepemimpinan klinik yang kuat untuk mendukung penerapan clinical
pathway belum sepenuhnya diterapkan di RSSN Bukittinggi.
b. Upaya Penerapan
1) Edukasi
Edukasi kepada staf terkait implementasi tentang clinical pathway telah
dilakukan sejak berdirinya RSSN sebagai pusat stroke nasional kemudian
telah dilakukan dilakukan edukasi lanjutannya dalam bentuk pelatihan pada
staf di rumah sakit dalam bentuk workshop dan mengikuti pelatihan tentang
casemix dan clinical pathway yang diadakan Departemen Kesehatan.
2) Motivasi
Belum dilakukan upaya motivasi terhadap staf oleh manajemen rumah sakit
untuk penerapan clinical pathway ini.
c. Evaluasi
Evaluasi terhadap upaya implementasi clinical pathway belum pernah dilakukan
di RSSN Bukittinggi.
3. Keluaran (out put)
Implementasi clinical pathway diRSSN Bukittinggi baru pada tahap
pengenalan dan secara umum RSSN sudah siap untuk menuju tahap penggunaan
(pelaksanaan).
15
B. Saran
1. Kepada Manajemen Rumah Sakit
a. Perlu dukungan dari manajemen dalam bentuk kebijakan operasional dengan
mengeluarkan prosedur tetap (protap) penerapan clinical pathway .
b. Perlu dibentuk Tim Clinical Pathway di RSSN Bukittinggi yang terdiri dari
multidiplin ilmu dan menunjuk komite medik sebagi leader .
c. Perlu dilakukan pembentukan komitmen terhadap penerapan clinical pathway.
d. Perlu diadakan sosialisasi, motivasi dan edukasi lanjutan peningkatan sumber
daya manusia untuk pelaksanaan clinical pathway
e. Perlu adanya monitoring dan evaluasi yang berkelanjutan untuk melihat sejauh
mana upaya implementasi dilakukan dan mengetahui hambatan dalam
implementasi clinical pathway.
2. Kepada Komite Medik, SMF Neurologi, Keperawatan dan Farmasi
a. Perlu dilakukan upaya nyata dengan mulai mengisi format clinical pathway
berdasarkan evidence base dan standar pelayanan profesi, dalam perjalanan
disempurnakan dengan melakukan evaluasi klinis.
b. Perlu dioptimalkan peran dokter case manajer untuk mengelola pelayanan
kepada pasien sebagai pedoman untuk pelaksanaan clinical pathway.
3. Kepada Peneliti Lain
Perlu penelitian lanjutan tentang aspek klinis penyusunan dan penerapan clinical
pathway dari aspek pembiayanaan untuk melihat sejauh mana efektifitas dan efisiensi
pelayanan dengan mengunakan clinical pathway.
16
DAFTAR PUSTAKA
Armstrong. 1991. Definisi Motivasi. hhtp://www.organisasi
Azwar, A. 1996. Pengantar Administrasi Kesehatan. FK UI. Binarupa Aksara. Jakarta
Bachtiar, A, Dkk. 2000. Metodologi Penelitian Kesehatan. PPS UI. Jakarta
Bungin, B. 2001. Analisis Data Penelitian Kualitatif. PT Rajagrafindo Persada. Jakarta
Cheah. 2000. Evidence And Information For Policy. Geneva
Currey dan Harvey. 1998. Clinical Pathway in Hospital . Aksara. Jakarta
Danim, S. 2000. Pengantar Studi Kebijakan Penelitian Kebijakan. PT Bumi Aksara.
Jakarta
Darmadjaja. 2009. Implementasi Clinical Pathway dan Case Manajer. Jakarta
Dep. Kes. 2004. Standar Pelayanan Unit Stroke. Jakarta
Dep. Kes. 2005. Buku tarif INA DRG Rumah Sakit Kelas A dan B. Direktorat Jenderal
Bina Pelayanan Medik. Jakarta
Dep.Kes. 2007. Rencana Kerja Implementasi Casemix 15 RS Pilot Projet Di Indonesia.
Jakarta.Dirtjen Bina Pelayanan Medik
Dep. Kes. 2007. Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit Tipe B dan A
Dep. Kes. 2008. Implementasi Clinical Pathway Dalam Rangka Penerapan Sistem
Casemix Di Indonesia. Jakarta Dir. Jen Bina Pelayanan Medik
Dep. Kes. 2008. Pedoman Pelaksanaan Jamkesmas Tahun 2008 . JPKM Jakarta
Dep. Kes. 2008. Pengelolaan Pelayanan Rehabilitasi Medik di Rumah Sakit
Dep. Kes. 2009. Pedoman Pelaksanaan Jamkesmas Tahun 2009. JPKM. Jakarta
Djojodibroto. 1997. Kiat Mengelola Rumah Sakit. Hipokrates. Jakarta.
Fetter, R, dan Brand. 2008. DRG’s Their Design and Development. Health
Administration Press. Michigan
Firmanda, D. 2005. Integrated Clinical Pathway (ICP): Peran Profesi Medis dalam
Rangka Menyusun Sistem DRG-Casemix di Rumah Sakit, disampaikan dalam
Evaluasi Penyusun Clinical Pathway di Departemen Kesehatan. Desember
2005
Firmanda, D. 2008. Clinical Pathway Dalam Rangka Kendali Mutu dan Biaya Melalui
Sistem DRG Casemix. RSUP Fatmawati Jakarta
Firmanda, D. 2009. Pengenalan Sistem Pembiayaan Casemix. RSUP Fatmawati Jakartali
Firmanda, D. 2009. Tekhnik Penyusunan Clinical Pathway. RSUP Fatmawati. Jakarta
17
Firmansyah, Dkk. 2009. Clinical Pathway Integrasi Pendokumentasian Berbagai Disiplin
Ilmu Kesehatan Di Rumah Sakit. RSCM. Jakarta
Gani, A. 1998. Pembiayaan Kesehatan di Indonesia dalam Thabrany, Hasbullah dan
Hidayat Budi. Pembayaran Kapitasi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia, Jakarta
Gani, A. 2002. RS Sebagai Public Enterprise. hhtp://www.JurnalManajemen 2009
Ghufron, A. 2008. Sistem Jaminan Kesehatan. UGM
Gillies. 1986. Konsep Manajemen Organisasi. PT Rosdakarya. Bandung
Hatta, G. 2006. Aplikasi Klasifikasi Tentang Penyakit Dan Masalah Kesehatan (ICD 10).
Jakarta
Hosizah. 2009. Casemix Upaya Pengendalian Biaya Pelayanan Rumah Sakit Di
Indonesia. Universitas Esa Unggul. Jakarta
Johnson, dkk. 2000. Clinical Pathway Intergrited. Jakarta. hhtp://www.jurnalmanajemen
kesehatan 2009
Junaidi, I. 2004. Panduan Praktis Pencegahan dan Pengobatan Stroke, PT Buana Ilmu
Populer, Jakarta
Kemen. Kes. 2010. Perubahan Grouper Klaim Jamkesmas dengan INA-CBGs
Kemen. Kes. 2010. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan. Jakarta
Kodim, N. Epidemiologi Penyakit Cerebrovaskuler. Perdossi. Jakarta
Laksono, T. 2006. Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi dalam Manajemen Rumah
Sakit
Lumbanthobing, S.M. 1994. Stroke Bencana Peredaran Darah Di Otak. FKUI Jakarta
Makmur, A, dan Alibbirwin. 2004. Penyakit Stroke di Ruang Intensif RSUP Pertamina.
Studi Kasus. Jurnal Kesehatan Vol.4 No.1. Maret 2004
Maulana. 2009. Pembentukan Komitmen Pada Organisasi. Jakarta.
Middelton dan Robert. 1998. Clinical Pathway. hhtp://jurnalpelayanankesehatan
Moleong, J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT Rosdakarya . Jakarta
Nurfaidah, S. 2009. Peran Budaya Dalam Penerapan Clinical Pathway. Malang
hhtp://.jurnalmanajemenpelayanankesehatan 2010
Pearson, dkk. 1995. Integrited Clinical Pathways. Jakarta
Perdossi. 2004. Guidelines Stroke Perdossi. Jakarta
Ranette, R. 2009. Lama Hari Rawat Pasien Stroke di RSCM dan Faktor Yang
Mempengaruhinya. hhtp://jurnalmanajemenpelayanankesehatan 2010
18
Rivany, R. 1998. DRG dan Casemix, Reformasi Mikro Ekonomi di Di Industri Pelayanan
Kesehatan. Modul
RSSN Bukittinggi. 2009. Laporan Pelayanan Jamkesmas Dengan Sistem INA DRG tahun
2009. RSSN Bukittinggi
RSSN Bukittinggi. 2010. Profile RSSN Bukittinggi
Ruhaya. 2010. Stroke dan Penanganannya. Seminar di RSSN Bukittinggi
Sardiman, A.M. 2009. Motivasi Dalam Organisasi .PT Buana Pelajar. Jakarta
Sulastomo. 1999. Pembiayaan Kesehatan Dari Asuransi ke Managed Care Concept.
Thabrany. 2005. Current Health Insurance Coverage in Indonesia. Paper Presented in
the Asia- Pacific Summit on Health Insurance and Managed Care, Jakarta May
22-26, 2002.
Thabrany. 2005. Pendanaan Kesehatan dan Alternatif Mobilisasi Dana Kesehatan di
Indonesia. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta
Thabrany. 2005 . Pelayanan Kesehatan Berpihak Kepada Masyarakat Miskin. Seminar
Kesehatan Kebijakan Kesehatan Nasional. Jakarta
Tim Casemix. 2008. Clinical Pathway dalam Sistem Casemix. UGM Jogjakarta
Unand. 1997. Pedoman Penulisan Proposal Penelitian Dan Tesis. Program Pasca
Sarjana Unand. Padang.
Walshe, J. 1970. Disease of Nervous System. E & Livingstone, Edinburgh and London.
Yastroki. 2005. Penanganan Masalah Stroke Di Indonesia. Jurnal elektronik
hhtp:/ww.yahoo.co.id
Yoga, T. 2005. Manajemen Administrasi Rumah Sakit. Bintang. Jakarta