analisis faktor-faktor yang mempengaruhi tarif … · interpretasi model..... 67 vi. kesimpulan dan...
TRANSCRIPT
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TARIF PADA INDUSTRI PENERBANGAN INDONESIA UNTUK RUTE
DOMESTIK DENGAN KOTA TUJUAN BATAM PERIODE 2001-2005
OLEH: TIKA WULANDARI
H14103106
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
RINGKASAN
TIKA WULANDARI. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tarif pada Industri Penerbangan Indonesia untuk Rute Domestik dengan Kota Tujuan Batam Periode 2001-2005 (dibimbing oleh ARIEF DARYANTO).
Sektor transportasi merupakan salah satu sektor penting yang menunjang perekonomian Indonesia. Salah satu sub sektornya adalah sektor transportasi udara yaitu industri penerbangan domestik. Adanya UU No. 5 Tahun 1999 dan deregulasi penerbangan telah membuka peluang bagi pengusaha untuk masuk dalam bisnis industri ini. Kebijakan-kebijakan ini membuat maskapai penerbangan bersaing dalam merebut pangsa pasar melalui strategi tarif. Tarif merupakan salah satu unsur yang sangat penting bagi pengguna jasa, karena apabila tarif angkutan udara rendah, masyarakat atau pengguna jasa akan cenderung semakin sering menggunakan jasa transportasi udara. Jumlah maskapai penerbangan yang meningkat dari tahun ke tahun menyebabkan harga tarif pun bervariasi.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tarif pada industri penerbangan Indonesia untuk rute domestik dengan kota tujuan Batam periode 2001-2005. Selain itu juga akan dilihat bagaimana perkembangan industri penerbangan di Indonesia.
Pada penelitian ini, untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tarif untuk rute domestik tujuan Batam digunakan Model Paul Bauer dengan teknik estimasi model menggunakan data panel (pooled data). Data yang digunakan adalah data sekunder berupa data jumlah penumpang, jarak tempuh, pendapatan domestik regional bruto perkapita kota asal, jumlah populasi (penduduk), jumlah transit dalam rute dengan tujuan Batam, harga penjualan rata-rata per tahun dan jumlah maskapai dengan kota tujuan Batam. Periode waktu yang digunakan adalah dari tahun 2001 hingga 2005.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi tarif untuk rute tujuan Batam adalah jumlah maskapai penerbangan, jumlah penumpang, jarak tempuh, pendapatan domestik regional bruto perkapita kota asal, jumlah populasi (penduduk), jumlah transit dalam rute dengan tujuan Batam, dan karakteristik bandara kota asal sebagai bandara penghubung atau tidak. Jumlah maskapai penerbangan yang semakin banyak akan menyebabkan rute tersebut menjadi kompetitif dan tarif pun menjadi rendah. Semakin banyak jumlah penumpang, semakin tinggi permintaan terhadap tiket pesawat dan tarif pun naik. Adanya variabel yang tidak sesuai dengan hipotesis untuk jarak tempuh per rute dan PDRB per Kapita kota asal mengindikasikan bahwa tarif yang ditetapkan oleh maskapai penerbangan juga mempertimbangkan keputusan yang ditetapkan oleh maskapai penerbangan lain dan moda transportasi lain. Bertambahnya jumlah penduduk kota asal akan meningkatkan permintaan terhadap jasa penerbangan maka akan menyebabkan kenaikan tarif. Jumlah transit yang bertambah akan menyebabkan tingginya permintaan akan jasa penerbangan sehingga maskapai
penerbangan akan menaikkan tarif. Karakteristik bandara penghubung yang berpengaruh terhadap tarif menunjukkan bahwa dengan adanya bandara yang merupakan HUB akan banyak maskapai penerbangan yang transit untuk menuju ke kota lain.
Perkembangan Industri penerbangan di Indonesia tiap tahunnya selalu mengalami peningkatan. Hal tersebut dapat dilihat dari perkembangan jumlah maskapai, rute penerbangan, armada pesawat udara, dan jumlah penumpang.
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI SAYA INI
ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM
PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Juli 2007
Tika Wulandari H14103106
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TARIF PADA INDUSTRI PENERBANGAN INDONESIA UNTUK RUTE DOMESTIK DENGAN KOTA TUJUAN
BATAM PERIODE 2001-2005
Oleh
TIKA WULANDARI H14103106
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
Pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh,
Nama Mahasiswa : TIKA WULANDARI
Nomor Registrasi Pokok : H14103106
Program Studi : Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi : Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Tarif pada Industri Penerbangan Indonesia
untuk Rute Domestik dengan Kota Tujuan
Batam Periode 2001-2005
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian
Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Dr. Ir. Arief Daryanto M.Ec. NIP. 131 644 945
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Dr. Ir. Rina Oktaviani, M. S. NIP. 131 846 872
Tanggal Kelulusan:
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan
judul: Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tarif pada Industri
Penerbangan Indonesia untuk Rute Domestik dengan Kota Tujuan Batam
Periode 2001-2005. Industri penerbangan merupakan topik yang sangat menarik
karena memiliki peranan yang sangat potensial dalam sektor transportasi di
Indonesia. Karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan topik
ini, khususnya di daerah Otorita Batam. Disamping hal tersebut, skripsi ini juga
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian
Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, terutama
kepada Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec. yang telah memberikan bimbingan baik
secara teknis maupun teoritis dalam proses pembuatan skripsi ini sehingga dapat
diselesaikan dengan baik. Ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada Ir.
Idqan Fahmi, M.Ec., yang telah menguji hasil karya ini. Semua saran dan kritik
beliau merupakan hal yang sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini.
Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Jaenal Effendi, M.A.,
terutama atas perbaikan tata cara penulisan skripsi ini. Meskipun demikian, segala
kesalahan yang terjadi dalam penelitian ini, sepenuhnya merupakan tanggung
jawab penulis.
Penulis juga sangat terbantu oleh kritik dan saran dari peserta pada
Seminar Hasil penelitian skripsi ini. Oleh karena itu, penulis sangat
berterimakasih kepada mereka. Penulis juga berterimakasih kepada temen-temen
di Pondok Diastin yang selalu memberikan semangat kepada penulis untuk tidak
mudah menyerah. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh anak Riau
di Bogor atas kekeluargaan yang telah terjalin selama ini. Penulis juga
berterimakasih kepada pihak-pihak lain yang telah membantu penulis dalam
penyelesaian skripsi ini namun tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Akhirnya penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
orang tua penulis, yaitu Bapak Indra Hardi dan Ibu Narti serta saudara-saudara
penulis. Kesabaran dan dorongan mereka sangat besar artinya dalam proses
penyelesaian skripsi ini. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan
pihak lain yang membutuhkan.
Bogor, 25 Juli 2007
Tika Wulandari H14103106
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Pekanbaru, 9 April 1985 sebagai anak ketiga dari lima
bersaudara pasangan Indra Hardi dan Narti.
Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri 003
Pekanbaru pada tahun 1997, sekolah menengah pertama di SLTP Negeri 13
Pekanbaru pada tahun 2000 dan sekolah menengah atas di SMU Negeri 1
Pekanbaru pada tahun 2003. Tahun yang sama penulis diterima sebagai
mahasiswi Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB.
Semasa kuliah penulis pernah menjadi Guru Tambahan dalam Program
BEM KM IPB sebagai salah satu bentuk Tri Dharma Perguruan Tinggi. Selain itu
juga pernah menjadi panitia Gebyar Nusantara 2005 dan 2006 dalam
memperingati Dies Natalis IPB perwakilan dari Organisasi Mahasiswa Daerah.
UCAPAN TERIMA KASIH
Skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik berkat bantuan, arahan dan
dorongan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan
penhargaan dan terima kasih yang mendalam kepada:
1. Dr. Ir. Arief Daryanto M.Ec selaku dosen pembimbing skripsi yang
senantiasa membimbing, memberikan arahan dan semangat yang sangat
berarti dalam penyelesaian skripsi ini.
2. ..........atas kesediaan menjadi dosen penguji utama pada sidang skripsi,
sumbangan pemikiran dan saran yang membangun untuk perbaikan
skripsi penulis.
3. ................atas kesediaan menjadi dosen penguji wakil komdi pada sidang
skripsi.
4. Papa dan Mama untuk doa, nasehat, bimbingan, semangat, dorongan dan
bantuan serta kasih sayang yang selalu diberikan tanpa terputus dan tak
ternilai.
5. Keluarga tercinta: Bang Anto dan Kak Lia, Bang Joni dan Kak Tati,
Hendri, Putri dan semuanya untuk doa, semangat dan kasih sayang
kepada penulis. Keponakanku tersayang Lala, Faathir dan Tasya yang
selalu membuat penulis tersenyum.
6. My Love........someone who cares a lot to me and always make me be
special.
7. Diastin Family buat semua kebaikan dan kebersamaan selama ini.
8. Seluruh anak Riau di Bogor untuk persahabatan dan kekeluargaan yang
telah terjalin.
9. Teman-teman IE 40 yang tidak bisa disebutkan satu per satu, buat
semangat dan perjuangan bersama yang kita lakukan untuk menjadi
sarjana ekonomi tentunya.
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI................................................... .......................................................i
DAFTAR TABEL................................................................................................ iii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... iv
DAFTAR LAMPIRAN......................................................................................... v
I. PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah .............................................................................. 4
1.3. Tujuan Penelitian .................................................................................. 8
1.4. Manfaat Penelitian ................................................................................ 8
1.5. Ruang Lingkup Penelitian..................................................................... 9
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN.................... 10
2.1. Konsep Ekonomi Industri ................................................................... 10
2.1.1. Pendekatan Struktur, Perilaku dan Kinerja Pasar ..................... 10
2.1.2. Pasar Oligopoli.......................................................................... 16
2.2. Teori Persaingan.................................................................................. 17
2.3. Contestable Market ............................................................................. 19
2.4. Kebijakan Persaingan.......................................................................... 20
2.5. Penelitian-penelitian Terdahulu .......................................................... 21
2.6. Kerangka Pemikiran............................................................................ 22
2.7. Hipotesis.............................................................................................. 23
III. METODE PENELITIAN .......................................................................... 27
3.1. Jenis dan Sumber Data ........................................................................ 27
3.2. Model Penelitian Umum ..................................................................... 27
3.3. Metode Analisis Data.......................................................................... 34
3.3.1. Model Data Panel...................................................................... 35
3.3.2. Uji Kesesuaian Model............................................................... 38
3.4 Evaluasi Model .................................................................................... 41
3.5 Batasan Operasional Variabel .............................................................. 43
ii
IV. GAMBARAN UMUM INDUSTRI PENERBANGAN INDONESIA..... 45
4.1. Sejarah Penerbangan Nasional ........................................................... 45
4.2. Kebijakan Angkutan Udara Komersil................................................. 48
4.3. Perkembangan Deregulasi Angkutan Udara di Indonesia .................. 53
4.4. Perkembangan Tarif Penumpang Angkutan Udara di Indonesia........ 57
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 59
5.1. Perkembangan Industri Penerbangan Indonesia ................................. 59
5.1.1. Perkembangan Perusahaan Niaga Berjadwal Dalam Negeri .... 59
5.1.2. Perkembangan Rute Penerbangan............................................. 59
5.1.3. Perkembangan Armada Pesawat Udara .................................... 60
5.1.4. Perkembangan Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjadwal
Nasional .................................................................................... 61
5.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tarif ........................................... 63
5.2.1. Hasil Estimasi Model ............................................................... 63
5.2.2. Interpretasi Model ..................................................................... 67
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 78
6.1. Kesimpulan ......................................................................................... 78
6.2. Saran.................................................................................................... 79
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 80
LAMPIRAN........................................................................................................ 82
iii
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Kerangka Identifikasi Autokorelasi ............................................................. 42
2. Daftar Perusahaan Angkutan Udara Niaga Berjadwal
Posisi Desember 2003.................................................................................. 46
3. Pengaturan Perusahaan Angkutan Udara Niaga Berjadwal ..................... ....56
4. Perbedaan Tarif Dasar Km No. 61 Tahun 1996 dan
KM No. 9 Tahun 2002 ................................................................................. 58
5. Perkembangan Armada Udara Angkutan Udara Berjadwal
Tahun 1997-2005 ..................................................................................... ....61
6. Perkembangan Penumpang Angkutan Udara Domestik Berjadwal......... ....62
7. Hasil Estimasi dengan Model Pooled ...................................................... ....64
8. Hasil Estimasi dengan Model Fixed ........................................................ ....65
9. Perbandingan Penelitian Bauer dengan Penelitian Wulandari................. ....71
iv
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Perkembangan Perusahaan Maskapai Penerbangan Dalam Negeri ............... 3
2. Hubungan Struktur, Perilaku dan Kinerja Pasar........................................... 11
3. Kerangka Pemikiran Konseptual .............................................................. ....23
v
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Data Total ..................................................................................................... 83
2. Hasil Estimasi Model Bauer......................................................................... 85
3. Hasil Estimasi dengan Model Pooled........................................................... 86
4. Hasil Estimasi dengan Model Pooled (White Heteroskedasticity) .............. 87
5. Hasil Estimasi dengan Model Fixed ............................................................ 88
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada tanggal 5 Maret 1999 Pemerintah mengesahkan Undang-Undang
Persaingan Usaha di Indonesia yaitu Undang-Undang no.5 tahun 1999 Tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Adapun tujuan
UU tersebut, seperti dinyatakan dalam pasal 3 adalah:
a. mempertahankan kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi
nasional sebagai sarana untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat.
b. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan
usaha bagi pelaku usaha besar, menengah dan kecil.
c. Mencegah praktek monopolistik dan atau praktek bisnis yang tidak sehat.
d. Mendorong keefektifan dan efisiensi kegiatan bisnis.
Bab IV UU ini mengharuskan dibentuknya Komisi Pengawas Persaingan
Usaha (KPPU) sebagai pengawas pelaksanaan UU. Hal ini diefektifkan dengan
Keppres yang dikeluarkan pada 7 Juni 2000. Lembaga KPPU bertugas menyusun
peraturan pelaksana, memeriksa dan menyelidiki serta mengadili pihak-pihak
yang melanggar UU No.5 tahun 1999 tersebut, serta memberikan saran dan
pertimbangan terhadap kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan praktek
monopoli dan persaingan usaha di Indonesia.
Salah satu sektor yang berubah akibat adanya UU No.5/1999 adalah sektor
transportasi. Sektor transportasi merupakan sektor yang menunjang sektor
lainnya, disamping itu sering disebut sebagai urat nadi perekonomian dalam
memacu pembangunan kewilayahan dimana transportasi melakukan aktivitasnya.
2
Hal ini dapat dikuatkan dengan adanya asumsi yang menyatakan bahwa gejala
dari suatu negara yang maju minimal harus memiliki tiga kriteria pokok yang ada
pada negara tersebut, yaitu: memiliki sumber daya alam yang potensial, memiliki
sumber daya manusia yang baik dan transportasi yang lancar dan berkembang.
Indonesia merupakan negara kepulauan dan memiliki jumlah penduduk
yang sangat besar sehingga peranan transportasi yang dalam hal ini salah satunya
sektor transportasi udara dianggap potensial dan strategis. Industri ini berperan
dalam lalu lintas dan angkutan orang atau barang dan jasa baik domestik maupun
internasional. Sektor transportasi udara memiliki keunggulan tersendiri dibanding
transportasi darat dan laut yaitu dalam segi kecepatan perjalanan serta dapat
menjangkau tempat terpencil yang sulit dihubungi menggunakan moda lain.
Deregulasi Penerbangan melalui Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1995
tentang angkutan udara dan Surat Keputusan Menteri No.11 Tahun 2001 tentang
Penyelenggaraan Angkutan Udara yang tahun 2005 diganti dengan Keputusan
Menteri No. 81 tahun 2005 telah merubah secara signifikan kebijakan nasional
tentang industri angkutan udara. Deregulasi tersebut telah membuka peluang bagi
pengusaha untuk masuk dalam bisnis industri ini, ditambah dengan adanya SK
Menhub No. KM 8/2002 dan No. KM 9/2002 Tentang Mekanisme Penetapan dan
Formulasi Perhitungan Tarif Penumpang Angkutan Udara. Adapun kedua surat
keputusan tersebut mendasarkan pada koridor batas atas dan bawah yang harus
dipatuhi semua operator penerbangan dalam penentuan tarif. Kebijakan inilah
yang mengakibatkan pesatnya pertumbuhan angkutan udara dan pada akhirnya
langsung menciptakan "perang terbuka" dalam menetapkan tarif angkutan udara
3
serendah mungkin. Kondisi ini secara langsung sangat berpengaruh terhadap
struktur pasar yang ada.
Dari data yang ada pada Direktorat Jenderal Penerbangan Udara
Departemen Perhubungan Republik Indonesia, tercatat bahwa pada tahun 1999
jumlah perusahaan penerbangan niaga tidak berjadwal mencapai 55 buah
perusahaan. Namun demikian untuk kategori perusahaan penerbangan niaga
berjadwal dari tahun 1996 terus mengalami peningkatan sampai dengan tahun
2004, sehingga jumlahnya mencapai 27 perusahaan. Pada tahun 1998 jumlah
perusahaan penerbangan niaga berjadwal sempat mengalami penurunan dibanding
tahun sebelumnya, yaitu dari 6 perusahaan menjadi 5 perusahaan dan penurunan
juga terjadi tahun 2005 menjadi 18 perusahaan. Namun tahun 2006 mengalami
peningkatan menjadi 19 perusahaan, seperti yang terlihat pada Gambar 1.
41
6
43
6
49
5
55
7
49
10
35
14
36
16
37
24
3727
36
18
35
19
0102030405060
JumlahMaskapai
1996 1998 2000 2002 2004 2006Tahun
Niaga Tidak Berjadwal Niaga Berjadwal
Gambar 1. Perkembangan Perusahaan Maskapai Penerbangan Dalam Negeri
Sumber: http://www.dephub.go.id/DJU/angud/AIRLINE.htm.
Semakin banyaknya maskapai penerbangan menyebabkan persaingan yang
meningkat. Persaingan tersebut membuat sebagian besar maskapai penerbangan di
Indonesia memakai low fare (tarif tiket murah) sebagai strategi untuk meraih
penumpang.
4
Strategi perang tarif masih berlangsung sampai saat ini. Berbagai jenis
promosi harga dan macam-macam jenis tarif diperkenalkan kepada masyarakat,
namun tarif masing-masing perusahaan tidak dapat dipastikan. Tarif angkutan
udara cenderung tidak menentu, namun secara umum semakin bervariasi dan
memungkinkan memperoleh harga murah.
Semakin banyaknya perusahaan penerbangan yang beroperasi, maka akan
memacu dan memotivasi perusahaan ke arah persaingan yang lebih sehat. Misi
perusahaan akan lebih fokus ke arah “customer oriented”.
Persaingan yang terjadi secara terus menerus akan mengendalikan usaha
perusahaan dan memaksa harga turun mendekati biayanya. Bertambahnya jumlah
maskapai penerbangan tersebut telah membuat harga menjadi terjangkau bagi
masyarakat. Sejalan dengan teori Ekonomi Industri yang mendukung persaingan,
menurut Adam Smith “absennya persaingan yang ketat akan meningkatkan harga
dan ketidakefisienan perusahaan”. Seperti yang diketahui bahwa sebelum adanya
deregulasi, industri penerbangan jauh dari persaingan yang ketat.
1.2 Perumusan Masalah
Setelah abad ke-XX Piero Sraffa yang merupakan tokoh Neo Klasik
generasi kedua mengamati banyaknya perusahaan-perusahaan besar. Setiap
perusahaan pun mengetahui bahwa kalau seandainya mereka mengubah keputusan
output atau penawaran, harga-harga dapat berubah. Hal ini diungkapkan dalam
artikelnya:”The Laws of Return Under Competitive Conditions” tahun 1926.
5
Kaum Neo Klasik berasumsi bahwa Persaingan ditentukan oleh struktur
pasar. Pada pasar Monopoli, kompetisi berguna yaitu melalui kemampuan
produsen dalam mempengaruhi harga sangat besar sehingga produsen
(perusahaan) bertindak sebagai penentu harga (price maker) yang tidak hanya
disebabkan oleh fungsi produksi tetapi juga mark up. Sebaliknya pada pasar
Persaingan Sempurna, produsen sebagai price taker karena mempengaruhi harga
sangat kecil.
Pada teori Neo Klasik bahwa Persaingan yang pada akhirnya akan
mempengaruhi kemampuan produsen dalam penentuan harga, oleh struktur pasar
dan jumlah pemain dalam industri. Jadi perlu adanya peran pemerintah yaitu
kebijakan untuk mencegah monopoli dan mengubahnya menjadi Pasar Persaingan
Sempurna.
Contestable Market merupakan alternatif dari Neo Klasik. Contestable
Market merupakan sebuah pasar dimana perusahaan mudah masuk dan keluar dari
sebuah pasar costly. Dalam teori Contestable Market dinyatakan bahwa sebuah
pasar monopoli dapat diubah menjadi pasar persaingan dengan syarat bahwa sunk
cost dalam industri tersebut dapat diabaikan.
Untuk deregulasi penerbangan, adanya entry akan menimbulkan
persaingan. Apabila kemudian sebuah perusahaan penerbangan harus
meninggalkan persaingan dalam rute tertentu maka tidak terdapat sunk cost karena
perusahaan tersebut hanya memindahkan rute dan bukan membangun lapangan
udara baru. Jadi, bila pasar yang akan dideregulasi adalah sebuah pasar monopoli
yang membutuhkan investasi infrastruktur yang besar, maka pemerintah harus
6
menanggung infrastrukturnya, sehingga perusahaan swasta yang kemudian masuk
tidak menanggung biaya sunk cost (Sjahrir, 1995).
Perubahan struktur pasar jasa ini menjadi oligopolistik terjadi sejak adanya
deregulasi, dimana entry by new firm menjadi mudah karena:
a. Investasi oleh maskapai baru murah karena menggunakan pesawat yang
tidak dibeli tetapi disewa. Sejak terjadinya Serangan 11 September
menyebabkan harga sewa pesawat menjadi sangat murah.
b. Regulasi pemerintah tidak memberi perlakuan khusus pada pemain
lama.
c. Pemerintah sebagai penyedia infrastruktur bandara seperti landasan
pacu, terminal penumpang, hanggar pesawat dan lain-lain.
d. Respon positif dari pasar yang bisa menawarkan harga murah.
Tarif merupakan salah satu unsur yang sangat penting bagi pengguna jasa,
karena apabila tarif angkutan udara rendah, masyarakat atau pengguna jasa akan
cenderung semakin sering menggunakan jasa transportasi udara. Banyaknya
perusahaan penerbangan nasional baru beroperasi, maka salah satu strategi yang
diterapkan untuk menarik banyak penumpang atau pengguna jasa adalah dengan
cara perang tarif.
Perang tarif antar perusahaan penerbangan telah terjadi setelah adanya
deregulasi penerbangan, sehingga berdampak yang sangat signifikan terhadap
kelangsungan bisnis penerbangan. Tetapi sebenarnya yang menjadi permasalahan
bagi pengguna jasa atau penumpang adalah sejauhmana perusahaan penerbangan
dapat memberikan pelayanan yang baik atau tidak berkurang serta dapat
7
memberikan kenyamanan dan keselamatan bagi pengguna jasa. Kondisi
rendahnya tarif akan memberikan keuntungan bagi pengguna jasa, karena harga
tiket pesawat udara sama bahkan ada yang lebih murah dibandingkan moda
transportasi lainnya, sehingga penumpang yang sudah terbiasa bepergian dengan
menggunakan moda transportasi lainnya sekarang dapat merasakan bepergian
dengan menggunakan transportasi udara .
Tarif merupakan sumber keuntungan bagi perusahaan penerbangan.
Berbagai macam strategi tarif diperkenalkan kepada penumpang. Semakin rendah
tarif yang ditetapkan maka semakin banyak penumpang yang memilih
menggunakan maskapai penerbangan tersebut sehingga pada akhirnya perusahaan
memperoleh keuntungan. Penumpang akan beralih kepada maskapai yang
menerapkan tarif murah tersebut tarif. Tetapi yang perlu diingat, tarif merupakan
sarana pengendali keseimbangan yang adil antara kepentingan perusahaan
penerbangan disatu pihak dan kepentingan pengguna jasa angkutan udara dipihak
lain.
Adapun permasalahan-permasalahan yang akan diteliti:
1) Bagaimana perkembangan Industri penerbangan di Indonesia?
2) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tarif untuk rute
domestik tujuan Batam periode 2001-2005?
8
1.3 Tujuan Penelitian
Perumusan masalah diatas menunjukkan tujuan yang telah penulis
laksanakan. Secara ringkas, dapat penulis tegaskan bahwa penelitian yang penulis
lakukan bertujuan sebagai berikut:
1) Untuk mengetahui perkembangan industri penerbangan di Indonesia.
2) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tarif untuk rute domestik
dengan tujuan Batam periode 2001-2005.
1.4 Manfaat Penelitian
Hal-hal yang diperoleh dari penelitian tentang analisis faktor-faktor yang
mempengaruhi tarif (airfares) pada industri penerbangan Indonesia untuk rute
domesik dengan kota tujuan Batam diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak
yang terkait dengan permasalahan yang telah diteliti ini. Secara ringkas, manfaat
yang penulis harapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi Pemerintah dan pihak yang
terkait lainnya sebagai bahan pertimbangan dalam membuat kebijakan
dalam Industri Penerbangan.
2) Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi perusahaan penerbangan dalam
penentuan harga.
3) Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa yang lain sebagai
bahan pelengkap yang masih relevan dengan permasalahan skripsi ini.
9
4) Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi saya khususnya dan mahasiswa
Ilmu Ekonomi pada umumnya dalam memahami permasalahan mengenai
jumlah maskapai penerbangan terhadap penentuan harga.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
1) Penelitian ini di fokuskan pada rute dari kota asal dengan tujuan akhir
Batam.
2) Penelitian ini hanya mencakup penerbangan domestik untuk kelas
ekonomi.
3) Rute dengan tujuan Batam merupakan rute yang padat penumpang.
4) Bandara Hangnadim merupakan salah satu bandara Internasional.
5) Ketersediaan data dari Angkasa Pura II sebagai pengelola bandara-bandara
untuk kawasan Indonesia bagian Barat.
6) Jangka waktu penelitian dari tahun 2001 hingga 2005 karena melihat
kondisi industri penerbangan Indonesia setelah adanya UU No.5 Tahun
1999.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Ekonomi Industri
Menurut Sheperd (1979) ekonomi industri adalah cabang dari ilmu
makroekonomi yang menganalisis perusahaan, pasar dan industri. Menurut Koch
(1980) ekonomi industri adalah suatu studi teoritis dan empiris tentang kajian
struktur pasar dan perilaku penjual maupun pembeli yang mempengaruhi kinerja
dan kesejahteraan ekonomi. Sedangkan menurut Jaya (2001) ekonomi industri
merupakan suatu keahlian khusus dalam ilmu ekonomi. Ilmu ekonomi ini
membantu menjelaskan mengapa pasar perlu diorganisir dan bagaimana
pengorganisasiannya mempengaruhi cara kerja pasar industri. Ekonomi industri
menelaah struktur pasar dan perusahaan secara relatif lebih menekankan pada
studi empiris dari faktor-faktor yang mempengaruhi struktur pasar, perilaku dan
kinerja pasar.
2.1.1 Pendekatan Struktur, Perilaku dan Kinerja Pasar
Struktur-Perilaku-Kinerja atau biasa disebut Structure,Conduct and
Performance (SCP) merupakan tiga kategori utama yang digunakan untuk melihat
kondisi struktur pasar dan persaingan yang terjadi dipasar. Struktur sebuah pasar
akan mempengaruhi perilaku perusahaan dalam pasar tersebut yang secara
bersama-sama menentukan kinerja sistem pasar secara keseluruhan (Martin,1973
dalam Alistair, 2004).
Paradigma SCP yang dimulai dari ukuran-ukuran yang akan
mempengaruhi struktur pasarnya, kemudian struktur tersebut akan mempengaruhi
11
perilaku dan pada akhirnya juga akan mempengaruhi kinerja pasar tersebut
melalui konsumen yang terlihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Hubungan Struktur, Perilaku dan Kinerja Pasar Sumber: Jaya (1994).
a. Struktur Pasar
Struktur pasar merujuk pada jumlah dan ukuran distribusi perusahaan
dalam pasar serta mudah atau sulitnya masuk dan keluar dari pasar. Struktur pasar
ini menganalisis struktur pasar yang dipengaruhi berbagai faktor baik internal
maupun eksternal dan juga mendeskripsikan karakteristik dan komposisi pasar
dalam perekonomian. Pasar dapat diartikan sebagai suatu kelompok penjual dan
pembeli yang saling bertransaksi, mempertukarkan barang yang dapat
UKURAN-UKURAN Kondisi Permintaan Kondisi Penawaran Elastisitas permintaan Skala ekonomi Elastisitas silang dari permintaan Ekonomi vertikal
STRUKTUR Ukuran distribusi perusahaan
Pangsa pasar Kosentrasi
Rintangan masuk Elemen-elemen lain
PERILAKU Kerjasama dengan pesaing Strategi melawan pesaing Advertensi
KINERJA Harga biaya dan pola keuntungan Keseimbangan teknologi Keseimbangan dalam pendistribusian X-efisiensi Pengalokasian yang efisien Pengaruh lainnya
12
disubtitusikan. Melalui struktur pasar inilah, struktur pasar dapat dinilai dan dikaji
lebih dalam.
Struktur pasar yang biasa dikenal secara umum dalam ekonomi adalah
monopoli dan persaingan sempurna. Ada juga yang menggolongkan struktur pasar
menjadi enam kategori, yaitu: monopoli, perusahaan dominan, oligopoli ketat,
oligopoli longgar, monopolistik dan persaingan sempurna (Sheperd,1979). Dalam
kajian teori yang dilakukan akan lebih dititik beratkan pada struktur pasar
monopoli, oligopoli dan persaingan.
Definisi klasik dari struktur pasar Monopoli adalah satu-satunya produsen
atau penjual produk atau jasa dalam suatu pasar. Akan tetapi berdasarkan
perkembangannya, pengertian monopoli tidak hanya terbatas pada satu-satunya
produsen atau penjual, monopoli dapat diartikan sebagai kesatuan tindakan dan
keputusan yang diambil, sehingga terjadi pengaturan baik dalam perilaku maupun
kinerja (Hasibuan, 1994).
Oligopoli merupakan kondisi dimana gabungan beberapa perusahaan
terkemuka yang memiliki pangsa pasar antara 40 persen-60 persen. Mereka juga
memiliki permintaan yang inelastis dan bekerja sama dalam penentuan harga.
Persaingan merupakan tempat terdapatnya banyak penjual dan pembeli,
tidak memiliki kekuasaan menentukan harga karena pangsa pasar yang tidak
berarti. Dengan hambatan masuk yang rendah dan informasi yang sangat terbuka,
para pesaing potensial dapat mudah memasuki pasar. Para produsen mendapat
keuntungan normal dan efisiensinya tinggi.
13
1) Pangsa Pasar
Menurut Sheperd (1979), pangsa pasar menggambarkan besarnya tingkat
penjualan relatif perusahaan, yaitu rasio antara besarnya penjualan perusahaan
dengan total penjualan industri. Setiap perusahaan memiliki pangsa pasarnya
sendiri dan besarnya antara 0 hingga 100 persen dari total penjualan seluruh pasar.
Menurut literatur Neo-Klasik landasan posisi pasar perusahaan adalah
pangsa pasar yang diraihnya. Pangsa pasar dalam praktek bisnis merupakan tujuan
atau motivasi perusahaan. Perusahaan dengan pangsa pasar yang lebih baik akan
menikmati keuntungan dan penjualan produk dan kenaikan harga sahamnya.
2) Kosentrasi
Pemusatan merupakan kombinasi pangsa pasar dari perusahaan
”oligopolis” dimana mereka menyadari adanya saling ketergantungan. Kosentrasi
sering digunakan sebagai ukuran tingkat persaingan. Kosentrasi juga sering
dipakai sebagai alat analisis struktur pasar, perilaku dan kinerja perusahaan yang
beroperasi di dalamnya dan secara tidak langsung menjadi indikator perilaku anti
persaingan atau kolusi (Satriawan dan Wigati, 2002 dalam Citra, 2006).
3) Hambatan untuk masuk (barrier to entry)
Menurut Asian Development Bank (2001) barrier to entry dapat
didefinisikan sebagai setiap bentuk karakteristik pasar yang menghambat
pendatang (entrant) baru untuk bersaing atas dasar yang sama dengan perusahaan
yang sudah ada. Dalam definisi lain, kombinasi biaya yang hilang (sunk cost) dan
skala ekonomi dapat menjadi barrier to entry.
14
Hambatan masuk seringkali diperlukan sebagai subjek perusahaan
monopoli dan oligopoli untuk mengambil strategi dalam menghadapi pendatang
baru. Hal ini akan dapat meningkatkan kekuatan pasar perusahaan besar dan
menjadi ukuran yang dipakai dalam mengetahui hambatan bagi perusahaan baru
untuk masuk ke pasar.
b. Perilaku Pasar
Perilaku pasar terdiri dari kebijakan-kebijakan yang diadopsi oleh para
pelaku pasar dan juga pesaingnya terutama dalam hal harga dan karakteristik
produk. Perilaku pasar menggambarkan tindakan-tindakan perusahaan sebagai
akibat dari struktur pasar yang dihadapinya.
Salah satu contoh nyata perilaku yang terjadi di perekonomian Indonesia
adalah oligopoli. Pada kondisi pasar oligopoli, perilaku setiap perusahaan akan
sulit diperkirakan. Banyak hal yang dapat mempengaruhi kebijakan yang akan
diambil oleh suatu perusahaan. Berbeda halnya dengan kondisi pasar persaingan
sempurna dimana perusahaan hanya bersifat sebagai penerima harga. Pada
umumnya perusahaan yang mendominasi pasar akan berlaku seperti halnya
perusahaan monopoli yang akan menaikkan harga untuk memperoleh keuntungan
lebih dan menggunakan diskriminasi harga. Sedangkan pada pasar oligopoli,
tindakan yang mereka lakukan terkait oleh strategi dimana pilihan tindakannya
seringkali tergantung pada kebijakan yang diambil oleh pesaing terdekat (Jaya,
2001).
15
c. Kinerja Pasar
Hasibuan (1994) mengemukakan bahwa kinerja pasar atau industri adalah
hasil kerja yang dipengaruhi oleh struktur dan perilaku industri. Kinerja dalam
kaitannya dengan ekonomi memiliki banyak aspek namun biasanya dipusatkan
pada tiga aspek pokok, yaitu: efisiensi, kemajuan teknologi dan keseimbangan
dalam industri.
1) Efisiensi
Efisiensi adalah menghasilkan suatu nilai output yang maksimum dengan
menggunakan sejumlah input tertentu baik secara kuantitas (fisik) maupun nilai
ekonomis serta tidak ada sumberdaya yang terbuang. Efisiensi terdiri dari efisiensi
internal (efisiensi-X) dan efisiensi alokasi.
Tingkat efisiensi internal menggambarkan perusahaan yang dikelola
dengan baik. Efisiensi ini diukur dengan perbandingan nilai tambah dan nilai
input setiap perusahaan. Sedangkan efisiensi alokasi menggambarkan alokasi
sumberdaya ekonomi sedemikian rupa sehingga tidak ada lagi perbaikan dalam
berproduksi yang dapat menaikkan nilai output.
2) Kemajuan Teknologi
Kemajuan teknologi dicapai apabila perusahaan terus menerus melakukan
inovasi dalam penguasaan teknologi, melalui alih teknologi dari negara lain
ataupun didapat dari riset dan pengembangan perusahaan. Melalui penemuan dan
pembaruan teknologi, orang dapat membuat suatu karya baru serta meningkatkan
produktivitas produksi barang yang telah ada. Jika hal ini bekerja dengan baik,
16
produksi-produksi baru ditawarkan, biaya-biaya menurun dan harga-harga akan
memperbesar keuntungan konsumen.
3) Keseimbangan dalam Industri
Keseimbangan dalam Industri akan tercapai apabila perusahaan
mendistribusikan produk ke pasar sesuai dengan keinginan dan pengharapan yang
nyata. Ini sangat erat kaitannya dengan efisiensi dalam pengalokasian.
2.1.2 Pasar Oligopoli
Hasibuan (1994) konsep dasar oligopoli adalah interdependensi (saling
ketergantungan) antar pesaing yang satu dengan yang lainnya. Secara teori,
oligopoli berarti beberapa perusahaan, dua atau lebih. Perusahaan-perusahaan
tersebut mempunyai pangsa pasar yang relatif besar dibandingkan dengan
perusahaan pada pasar persaingan sempurna. Oligopoli dibedakan menjadi
oligopoli ketat dan oligopoli longgar.
Burgess (1989) dalam Ismalianti kecenderungan utama pada pasar
oligopoli adalah adanya persamaan harga dan ciri-ciri produk yang sama pada
semua perusahaan. Persamaan harga dalam oligopoli ketat hanyalah satu sisi dari
kecenderungan yang mendasar. Pengendalian harga secara langsung (karena
besarnya kekuatan pasar) hanya akan terjadi pada pasar monopoli. Pada pasar
oligopoli, perusahaan mengawasi pesaingnya. Harga yang ditetapkan oleh
perusahaan harus berada jauh diatas biaya yang dikeluarkan untuk dapat
memperoleh keuntungan. Karena terdapat saling ketergantungan diantara
17
perusahaan dalam membuat keputusan, maka ada tiga kemungkinan bagi
perusahaan untuk menetapkan harganya:
1. Perusahaan-perusahaan yang ada di pasar membuat perjanjian dengan
pesaingnya dalam menentukan tingkat harga jual produk yang disepakati
bersama dan disetujui semua pihak. Hal tersebut menciptakan lingkungn
persaingan yang aman, akan tetapi bagi konsumen itu beresiko tinggi,
karena akan menciptakan tingkat harga yang tinggi, bahkan mungkin
sangat tinggi.
2. Masing-masing perusahaan menetapkan harga jual pada tingkat yang
serendah mungkin agar dapat mengahancurkan pesaingnya. Tindakan
tersebut biasa disebut sebagai ”perang harga”. Untuk dapat tetap bertahan
di dalam pasar, masing-masing perusahaan harus dapat berproduksi
dengan biaya yang serendah dan seefisien mungkin.
3. Apabila terdapat derajat diferensiasi, perusahaan harus memperlambat
laju pemunculan produk baru untuk menekan resiko.
2.2 Teori Persaingan
Siswanto (2002) menjelaskan bahwa persaingan atau competition dalam
bahasa Inggris oleh Webster didefinisikan sebagai ”... a struggle or contest
between two or more persons for the same objects”. Dengan memperhatikan
terminologi persaingan diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam setiap persaingan
akan terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
18
a. Ada dua pihak atau lebih yang terlibat dalam upaya saling mengungguli.
b. Ada kehendak di antara mereka untuk mencapai tujuan yang sama.
Meskipun demikian Anderson (1958) berpendapat bahwa persaingan di
bidang ekonomi merupakan salah satu bentuk persaingan yang paling utama
diantara sekian banyak persaingan antarmanusia, kelompok masyarakat atau
bahkan bangsa. Adapun salah satu bentuk persaingan di bidang ekonomi adalah
persaingan usaha (business competition) yang secara sederhana bisa didefinisikan
sebagai persaingan antara para penjual di dalam merebut pembeli dan pangsa
pasar.
Dari sudut pandang ekonomi, persaingan membawa implikasi positif.
Pertama, persaingan merupakan sarana untuk melindungi para pelaku ekonomi
terhadap eksploitasi dan penyalahgunaan. Kondisi persaingan menyebabkan
kekuatan ekonomi para pelaku ekonomi tidak terpusat pada tangan tertentu.
Kedua, persaingan mendorong alokasi dan realokasi sumberdaya ekonomi sesuai
keinginan konsumen. Ketiga, persaingan bisa menjadi kekuatan untuk mendorong
penggunaan sumberdaya ekonomi dan metode pemanfaatannya secara efisien.
Keempat, persaingan bisa merangsang peningkatan mutu produk, pelayanan,
proses produksi dan teknologi.
Meskipun secara umum dapat dikatakan aspek positifnya lebih terlihat,
kondisi persaingan juga mempunyai aspek negatif. Pertama, sistem persaingan
memerlukan biaya dan kesulitan-kesulitan tertentu yang tidak didapati dalam
sistem monopoli. Kedua, persaingan bisa mencegah koordinasi yang diperlukan
19
dalam industri tertentu. Ketiga, persaingan yang dilakukan oleh pelaku ekonomi
yang tidak jujur bisa bertentangan dengan kepentingan publik.
2.3 Contestable Market
Sjahrir (1995) menjelaskan bahwa contestable market adalah kondisi pasar
persaingan yang terjadi karena dimungkinkannya entry ke dalam pasar monopoli.
Akibatnya cost akan didorong turun kebawah. Idealnya kemudian harga yang
terbentuk akan sama dengan Long Run Marginal Cost (LRCM). Tetapi tidak
semua CM mampu membentuk harga pada saat P=LRMC, karena syarat
terbentuknya CM adalah tidak adanya sunk cost. Dengan kata lain bahwa sebuah
pasar dapat dideregulasi bila ia tidak mengandung sunk cost. Yang dimaksud
dengan sunk cost disini adalah biaya yang dianggap terbuang bila perusahaan
berada dalam industri tersebut keluar dari pasar.
Kondisi yang dibutuhkan untuk membuat pasar menjadi Perfectly
Contestable antara lain:
1. Semua produsen, baik yang aktual maupun potensial mendapat akses
yang sama pada teknologi yang digunakannya dalam berproduksi.
2. Teknologi mungkin terkarakter oleh skala ekonomi, meskipun terdapat
fixed cost namun fixed cost tersebut bukanlah bagian dari sunk cost.
3. Tidak ada entry lag sehingga pemain baru (entrant) bisa masuk dan
langsung dapat berproduksi pada tingkat skala produksi apa pun.
4. Respon yang dimiliki oleh perusahaan yang telah ada (incumbent)
lebih lama daripada waktu keluarnya entrant dalam industi tersebut.
20
Entrant dapat masuk, membentuk harga yang rendah dari incumbent serta
keluar dari industri tanpa resiko mengalami kerugian sebelum incumbent dapat
memberikan respon atau tindakan untuk merubah harga. Oleh karena itu perfectly
contestable adalah sebuah pasar yang dapat diakses oleh pendatang potensial
(entrant) tanpa hambatan masuk (barriers to entry), yang dapat melayani
permintaan pasar dengan menggunakan teknik produksi yang sama sebagaimana
yang digunakan oleh perusahaan yang telah ada (incumbent). Karena kondisi entry
dan exit secara absolute bebas tanpa biaya, dengan adanya informasi yang
sempurna, entrant tidak akan mengalami kerugian dalam teknik produksi karena
dapat mengacu pada perusahaan yang telah ada dan entrant dapat mengevaluasi
keputusannya untuk masuk ke industri dengan tepat dan benar ketika keputusan
yang sama diambil oleh perusahaan incumbent (Titie, 2005).
2.4 Kebijakan Persaingan
Kebijakan persaingan terdiri dari Undang-Undang Antimonopoli dan
Persaingan Usaha, Deregulasi dan Liberalisasi ekonomi. UU Antimonopoli
mengatur masalah perilaku perusahaan agar tidak menyalahgunakan market
power-nya, sedangkan deregulasi dan liberalisasi menciptakan agar mekanisme
pasar dapat berjalan dengan intervensi pemerintah yang minimal. Tujuan
Kebijakan Persaingan (competition policy) adalah untuk meminimalisasikan
inefisiensi perekonomian yang diakibatkan oleh perilaku pelaku usaha yang
bersifat antipersaingan.
21
2.5 Penelitian-penelitian Terdahulu
Morrison dan Winston (1990), Borenstein (1989) dan Bauer (1989)
menganalisa mengenai jumlah maskapai penerbangan dan kaitannya dengan
penentuan harga. Boreinstein (1989) memasukkan unsur load factor dari rute-rute
penerbangan di AS yang dibagi dalam klasifikasi bandara Hub dan non Hub. Ia
mendapatkan bahwa faktor penentu bukanlah jumlah maskapai penerbangan
melainkan market share dari maskapai penerbangan dalam rute tertentu.
Morrison dan Winston (1990) menggunakan jarak sebagai variabel lain
dalam merumuskan fungsi harga tiket (airfares) tetapi ia mengklasifikasikan
number of firm menjadi 3 kategori yaitu jumlah pemain pada bandara dengan
sistem slot, jumlah penerbangan dengan bandara non slot dan jumlah penerbangan
pada bandara kota tujuan.
Bauer (1989) menganalisa tentang ada tidaknya pengaruh dari jumlah
pemain atau firm terhadap penentuan harga dan faktor apakah yang merupakan
penentu dari harga tiket (airfares) ke kota tujuan tertentu (dalam penelitian
tersebut cleaveland). Ia menggunakan kerangka dari Contestable Market Theory
dan implikasinya dimana jumlah pemain tidak mempengaruhi secara signifikan
proses penentuan harga. Dalam penelitiannya Bauer tidak membedakan antara
Low Cost Airlines atau penerbangan berbiaya rendah dari industri penerbangan
keseluruhan. Hasil dari penelitian Bauer adalah jumlah maskapai penerbangan
(firm) tidak mempengaruhi penentuan harga sehingga pasar tujuan Cleveland
merupakan pasar yang perfectly contestable. Hal ini berarti Contestable Market
terjadi pada industri penerbangan domestik di AS dengan tujuan Cleveland .
22
2.6 Kerangka Pemikiran
Angkutan udara adalah suatu industri global, dengan kegiatan operasi
mencakup antar negara dan antar benua. Dahulunya sistem ekonomi angkutan
udara adalah sistem ekonomi tertutup. Perusahaan yang berperan sangat dominan
pada saat itu adalah Garuda dan Merpati, kedua-duanya adalah BUMN.
Namun, dengan adanya Undang-Undang Persaingan Usaha di Indonesia
yaitu Undang-Undang No.5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat dan deregulasi di bidang penerbangan
menyebabkan perkembangan perubahan pengaturan perusahaan angkutan udara
niaga berjadwal menuju sistem ekonomi pasar.
Deregulasi penerbangan memberikan kemudahan bagi pemain atau
perusahan baru untuk masuk dalam industri penerbangan. Hal tersebut
berdampak pada pesatnya pertumbuhan perusahaan penerbangan di Indonesia.
Akibatnya timbul persaingan antar perusahaan penerbangan yang memperebutkan
pasar yang ada. Persaingan antar perusahaan penerbangan biasanya terjadi pada
rute-rute padat penumpang dalam penelitian ini adalah rute tujuan akhir Batam.
Persaingan tersebut membuat sebagian besar maskapai penerbangan di Indonesia
menetapkan strategi tarif untuk meraih penumpang.
Untuk melihat faktor-faktor yang diduga mempengaruhi tarif dengan rute
domestik tujuan Batam maka digunakan Model Paul Bauer yang sebelumnya
melakukan penelitian untuk rute tujuan Cleveland, Amerika Serikat. Untuk kasus
di Indonesia akan dilakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap Model Paul Bauer
tersebut. Selain itu juga dilihat perkembangan industri penerbangan Indonesia.
23
Pada akhirnya akan dilihat faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya tarif
untuk tujuan Batam.
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Konseptual
2.7 Hipotesis
Berdasarkan permasalahan dan kerangka pemikiran yang telah diuraikan,
untuk faktor-faktor yang mempengaruhi tarif pada industri penerbangan Indonesia
Industri Penerbangan
UU No. 5 ahun 1999 Deregulasi Penerbangan
Persaingan Antar Maskapai Penerbangan
Model Paul Bauer
Faktor yang Diduga Mempengaruhi Tarif : 1. Jumlah perusahaan penerbangan 2. Jumlah penumpang per rute 3. Jumlah Penduduk kota asal 4. PDRB per Kapita kota asal 5. Jarak tempuh per rute 6. Jumlah Transit 7. Karakteristik Bandara
Faktor-faktor yang mempengaruhi tarif untuk tujuan Batam
Analisis perkembangan Industri Penerbangan Indonesia
24
untuk rute domestik dengan kota tujuan Batam pada periode 2001-2005. Penulis
mengajukan suatu hipotesis yaitu :
1. Jumlah maskapai penerbangan berpengaruh negatif dalam penentuan tarif
(airfares) pada pasar domestik dengan kota tujuan Batam. Semakin
banyak jumlah maskapai maka semakin kompetitif rute tersebut sehingga
maskapai penerbangan akan bersaing dalam memperebutkan penumpang
dengan menetapkan harga yang rendah.
2. Jumlah penumpang berpengaruh positif dalam penentuan tarif (airfares)
pada pasar domestik dengan kota tujuan Batam. Berdasarkan teori
permintaan, kenaikan jumlah penumpang akan menggeser kurva-kurva
permintaan untuk jasa penerbangan ke arah kanan, yang menunjukkan
bahwa akan lebih banyak yang menggunakan jasa penerbangan.
3. Jumlah penduduk kabupaten atau kota asal berpengaruh positif dalam
penentuan tarif (airfares) pada pasar domestik dengan kota tujuan Batam.
Pertumbuhan jumlah penduduk belum menciptakan permintaan baru.
Penduduk yang bertambah ini harus mempunyai daya beli sebelum
permintaan berubah. Tambahan orang berusia kerja, tentunya akan
menciptakan pendapatan baru. Jika ini terjadi, permintaan untuk semua
komoditi yang dibeli oleh penghasil pendapatan baru akan meningkat.
Jadi, semakin banyak jumlah penduduk maka semakin banyak permintaan
akan jasa penerbangan.
4. Pendapatan domestik regional bruto per kapita kabupaten atau kota asal
berpengaruh positif dalam penentuan tarif (airfares) pada pasar domestik
25
dengan kota tujuan Batam. Jika rumah tangga menerima rata-rata
pendapatan yang lebih besar maka mereka dapat diperkirakan akan
membeli lebih banyak beberapa komoditi, walaupun harga komoditi-
komoditi itu tetap sama. Dengan melihat keseluruhan rumah tangga, kita
memperkirakan bahwa harga berapa pun yang kita ambil, jumlah komoditi
akan lebih banyak daripada yang diminta sebelumnya pada tingkat harga
yang sama. Jadi semakin besar pendapatan domestik regional bruto per
kapita maka semakin besar permintaan akan jasa penerbangan.
5. Jarak tempuh per rute berpengaruh positif dalam penentuan tarif (airfares)
pada pasar domestik dengan kota tujuan Batam. Semakin jauh jarak
tempuh suatu rute maka akan semakin tinggi tarif yang ditetapkan oleh
perusahaan maskapai.
6. Jumlah pemberhentian atau transit (inflight stop) sebagai karakteristik
penerbangan untuk rute tersebut berpengaruh positif dalam penentuan tarif
(airfares) pada pasar domestik dengan kota tujuan Batam. Semakin
banyak orang yang transit di Batam maka akan semakin tinggi tarif yang
ditetapkan oleh maskapai penerbangan.
7. Karakteristik Bandar udara kota asal sebagai bandara penghubung ke
wilayah Timur dan ke wilayah Barat Indonesia berpengaruh negatif dalam
penentuan tarif (airfares) pada pasar domestik dengan kota tujuan Batam.
Bertambahnya bandara kota asal sebagai bandara penghubung maka pada
bandara tersebut banyak maskapai penerbangan yang transit untuk menuju
kota lain, hal ini berarti akan semakin banyak maskapai penerbangan yang
26
melayani rute tersebut. Semakin banyak jumlah maskapai ini akan
menyebabkan harga tiket menjadi murah.
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis dan Sumber Data
Penelitian mengenai Faktor-faktor yang mempengaruhi Tarif pada Industri
Penerbangan Indonesia untuk Rute Domestik dengan Kota Tujuan Batam
memerlukan data sekunder untuk menjadi informasi dalam menganalisis
permasalahan dalam penelitian tersebut. Data sekunder yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data yang telah tersedia pada instansi-instansi yang terkait,
seperti Biro Pusat Statistik, Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, P.T Angkasa
Pura II dan INACA (International Air Carrier Assotiation). Data-data sekunder
yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data jumlah penumpang, jarak
tempuh, pendapatan kota asal, jumlah populasi (penduduk), jumlah transit dalam
rute dengan tujuan Batam, harga penjualan rata-rata per tahun dan jumlah
maskapai dengan kota tujuan Batam. Mengenai jangka waktu data yang
digunakan dari tahun 2001 hingga 2005 dan diolah dengan menggunakan software
E-Views 4.1.
3.2. Model Penelitian Umum
Fungsi persamaan yang akan digunakan untuk mengestimasi faktor-faktor
yang mempengaruhi tarif pada industri penerbangan Indonesia untuk rute
domestik dengan tujuan Batam periode 2001-2005 merupakan model Paul Bauer
(1989) yang menggunakan model ini juga untuk mengestimasi faktor determinan
dari harga pada penerbangan rute dengan tujuan Cleveland. Hipotesis pada model
28
ini mengikuti paradigma Contestable Market, dimana number of firms bukan
merupakan determinan airfares.
Paul Bauer menyebutkan bahwa penetuan harga (airfares) dipengaruhi
oleh beberapa faktor yaitu jumlah maskapai penerbangan (carriers) dalam rute
tersebut, jarak tempuh rute, volume lalu lintas udara (air traffic) yang diwakili
oleh volume penumpang, karakteristik bandara di USA berupa non atau restricted
slot airport, dimana mereka membedakan bandara komersial untuk penerbangan
berjadwal dan non komersial untuk private purposes tanpa penerbangan berjadwal
dan hubs atau non-hubs airport, dimana bandara kota asal merupakan bandara
penghubung (intercity connecting chain) ke berbagai kota dalam wilayah tertentu,
karakteristik dari penerbangan tersebut yaitu number of stops (jumlah transit
dalam rute tersebut), meal (apakah disediakan makanan dalam rute tersebut),
maskapai penerbangan tertentu yang menawarkan rute tersebut dengan
karakteristik yang unik (dalam model Bauer diambil Eastern Airlines yang
memfokuskan diri pada penerbangan lokal dari negara bagian yang sama dengan
Cleveland dan Continental Airlines yang memfokuskan diri pada penerbangan
nasional), serta karakteristik kota asal, misalnya pendapatan perkapita, populasi
dan apakah kota asal merupakan kota bisnis atau kota pariwisata.
Adapun tujuan penelitian yang dilakukan oleh Bauer adalah untuk
mengetahui determinan dari harga atau airfares dengan tujuan Cleveland untuk
first class, economy dan discount pada tujuan-tujuan tertentu.
Paul Bauer menggunakan data yang berasal dari The Official Airline Guide
(April 1987) sebagai sumber data untuk harga atau fare dan data mengenai
29
karakteristik penerbangan seperti CARRIERS, STOP, SLOT, MEAL, EA, dan CO.
Dalam penelitiannya, Bauer hanya menggunakan data penerbangan langsung ke
Cleveland dan membedakan menjadi tiga jenis berdasarkan kelas-kelasnya yaitu
first class, economy class dan discount fares. Sedangkan data mengenai jumlah
penumpang serta jarak diperoleh dari Departemen Transportasi Amerika Serikat,
mulai periode 1979 sampai dengan 1989, mencakup semua rute umum domestik
dengan tujuan Cleveland. Penelitian tersebut menggunakan 140 observasi dalam
bentuk data panel dan diolah dengan metode Ordinary Least Square (OLS).
Fungsi persamaannya adalah sebagai berikut:
F = α0 + ß1 CARRIERS + ß2 CARRIERS² + ß3 PASS + ß4 MILES + ß5
MILES² + ß6 POP + ß7 INC + ß8 CORP + ß9 SLOT + ß10 STOP + ß11
MEAL + ß12 HUB + ß13 EA + ß14 CO + tε
Keterangan:
CARRIERS = Jumlah maskapai penerbangan (carriers) yang
mempunyai rute domestik dari kota asal ke kota tujuan
Cleveland.
CARRIERS 2 = Jumlah maskapai penerbangan (carriers) dikuadratkan
untuk melihat perubahan marginal yang menurun atau
negatif dari setiap pertambahan jumlah maskapai
penerbangan (carriers) dalam rute domestik tersebut.
PASS = Volume penumpang dari seluruh maskapai penerbangan
(airlines) yang memiliki rute domestik dengan tujuan
Cleveland.
30
MILES = Faktor jarak tempuh dari bandara kota asal ke kota tujuan
Cleveland.
MILES 2 = Faktor jarak tempuh dikuadratkan untuk melihat
perubahan marginal menurun atau negatif dari
pertambahan setiap unit jarak tempuh terhadap harga.
POP = Jumlah penduduk atau populasi dari kota asal sebagai
karakteristik kota asal.
INC = Pendapatan perkapita dari kota asal sebagai salah satu
karakteristik kota asal.
CORP = Proxy bisnis dan perdagangan kota asal sebagai salah satu
karakteristik dari kota asal.
SLOT = merupakan sebuah variabel dummy untuk karakteristik
bandara kota asal, memiliki nilai 1 bila bandara kota asal
memiliki peraturan yang mengklasifikasikan bandara
sebagai bandara komersial yang memiliki penerbangan
berjadwal dan bandara yang lebih banyak digunakan
untuk private purposes dan penerbangan tidak berjadwal
dan 0 bila bukan.
STOP = Jumlah pemberhentian atau transit (inflight stop) sebagai
karakteristik penerbangan untuk rute tersebut.
MEAL = merupakan sebuah variabel dummy dimana bernilai 1 bila
penerbangan tersebut menyediakan makanan (meal)
dalam perjalanan dan 0 bila tidak menyediakannya.
31
HUB = hub airport adalah pengklasifikasian bandara sebagai
bandara penghubung (intercity connecting chain) ke
berbagai kota dalam wilayah tertentu.
Pengklasifikasian ini dilakukan oleh pemerintah dalam membangun sistem
perhubungan khususnya sistem transportasi udara.
EA = merupakan sebuah variabel dummy, bernilai 1 bila
penerbangan rute tersebut dilayani oleh Eastern Airlines,
0 bila tidak. Variabel ini digunakan untuk mengakomodir
karakteristik maskapai penerbangan (airlines) berupa
penerbangan lokal yang melayani wilayah tertentu.
EA merupakan sebuah maskapai penerbangan lokal yang hanya melayani negara
bagian tertentu.
CO = merupakan sebuah variabel dummy, bernilai 1 bila
penerbangan rute tersebut dilayani oleh Continental
Airlines, 0 bila tidak. Variabel ini digunakan untuk
mengakomodir karakteristik maskapai penerbangan
(airlines) berupa penerbangan nasional.
CA merupakan sebuah maskapai nasional.
tε = Error term.
Pada model Paul Bauer ini dilakukan beberapa penyesuaian terhadap pasar
penerbangan di Indonesia yaitu:
a. Menghilangkan variabel CARRIERS2 dan MILES2 karena diduga kedua
variabel ini menyebabkan adanya masalah multikoliniaritas antar variabel
32
dan pada model Paul Bauer ini untuk tujuan Batam juga menyebabkan
banyak variabel yang tidak signifikan, seperti terlihat pada lampiran 2.
b. Menghilangkan variabel data PROXY kota bisnis dan perdagangan karena
adanya keterbatasan penulis dalam mengklasifikasikan kota asal sebagai
PROXY kota bisnis dan perdagangan tersebut.
c. Menghilangkan variabel karakteristik bandara berupa SLOT karena
kondisi bandara di Indonesia tidak memiliki regulasi slot dan semua
penerbangan komersial di Indonesia merupakan penerbangan berjadwal.
d. Menghilangkan variabel MEAL karena adanya perbedaan kebijakan pada
setiap maskapai penerbangan sehingga menimbulkan hambatan bagi
penulis dalam memperoleh data secara kuantitatif. Ada beberapa maskapai
penerbangan untuk kelas ekonomi di Indonesia tidak menyediakan
pelayanan makanan ketika menggunakan maskapai penerbangan tersebut
tetapi masih ada juga beberapa maskapai untuk kelas ekonomi ini yang
menyediakan pelayanan makanan. Perbedaan kebijakan inilah yang
menyebabkan kesulitan dalam memperoleh data kuantitatifnya. Penulis
juga mencoba menjadikannya variabel dummy, dimana jika maskapai
penerbangan tersebut menyediakan makanan bernilai 1 dan bernilai 0
untuk yang tidak menyediakan makanan. Hal ini juga mengalami kesulitan
dengan perbedaan kebijakan yang diterapkan oleh tiap maskapai
penerbangan karena adanya hambatan dalam mengklasifikasikan
penyediaan makanan yang diberikan. Ada maskapai penerbangan yang
33
meyediakan makanan berat, tetapi ada juga yang hanya menyediakan
makanan ringan bahkan hanya menyediakan minuman mineral.
e. Menghilangkan variabel EA dan CO karena dalam rute domestik di
Indonesia, seluruh maskapai penerbangan yang melayani rute-rute tersebut
merupakan maskapai penerbangan nasional.
f. Mengkhususkan diri pada pasar domestik dan kelas ekonomi.
Dari penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan terhadap model Paul Bauer
tersebut maka penulis membuat kombinasi model yaitu persamaan regresi
menggunakan kombinasi variabel dummy untuk jumlah pemberhentian atau
transit (inflight stops) yaitu stop dan variabel karakteristik bandara berupa bandara
penghubung yaitu HUB.
F = α0 + ß1 CARRIERS + ß2 PASS + ß3 MILES + ß4 POP + ß5 INC + ß6
STOP + ß7 HUB + εt
Keterangan:
CARRIERS = Jumlah maskapai penerbangan (carriers) yang
mempunyai rute domestik dari kota asal ke kota
tujuan Batam.
PASS = Volume penumpang dari seluruh maskapai
penerbangan (airlines) yang memiliki rute
domestik dengan tujuan Batam.
MILES = Faktor jarak tempuh dari bandara kota asal ke
kota tujuan Batam.
POP = Jumlah penduduk atau populasi dari kota asal
34
sebagai karakteristik kota asal.
INC = Pendapatan Domestik Regional Bruto perkapita
dari kota asal sebagai salah satu karakteristik kota
asal.
STOP = Jumlah pemberhentian atau transit (inflight stop)
sebagai karakteristik penerbangan untuk rute
tersebut.
HUB = Variabel dummy untuk karakteristik Bandar udara
kota asal sebagai bandara penghubung ke wilayah
Timur dan ke wilayah Barat Indonesia.
Yang diklasifikasikan sebagai Hub airport di Indonesia adalah Soekarno-Hatta
untuk wilayah Barat Indonesia dan Surabaya untuk wilayah Timur Indonesia.
Variabel Hub ini akan bernilai 1 bila karakteristik bandara kota asal merupakan
sebuah Hub airport dan 0 bila bukan.
tε = Error term.
3.3 Metode Analisis Data
Data yang telah didapat dianalisis secara deskriptif dan kuantitatif.
Analisis deskriptif untuk menggambarkan perkembangan industri penerbangan di
Indonesia. Sedangkan data kuantitatif untuk melihat variabel-variabel yang saling
berhubungan. Metode pengolahan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah teknik estimasi model menggunakan data panel (pooled data).
35
3.3.1 Model Data Panel
Data panel (pooled data) atau yang disebut juga data longitudinal
merupakan kombinasi antara data time-series dan cross-section. Metode data
panel merupakan suatu metode yang dapat digunakan untuk melakukan analisis
empirik yang tidak mungkin dilakukan jika hanya menggunakan data time-series
maupun data cross-section. Banyak keuntungan yang diperoleh dengan data panel,
yang diantaranya seperi yang dikemukakan (Gujarati, 2003):
1. mampu mengontrol heterogenitas individu.
2. banyak memperoleh informasi yang lebih bervariasi, mengurangi
kolinearitas antar variabel, meningkatkan degree of freedom dan lebih
efisien.
3. lebih banyak untuk studi dynamics of adjustment.
4. mampu lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengatur efek yang secara
sederhana tidak dapat diatasi dalam data cross section murni atau time
series murni.
5. dapat menguji dan mengembangkan model perilaku yang lebih kompleks.
Terdapat tiga metode pada teknik estimasi model menggunakan data
panel, yaitu pooled Ordinary Least Square (OLS), fixed effect dan random effect.
Dari ketiga metode tersebut akan dipilih model yang terbaik menggunakan uji-F,
uji LM dan uji Hausman.
a) Metode Pooled OLS
Metode Pooled OLS merupakan suatu metode pengkombinasian sederhana
antara data time-series dan data cross-section dan selanjutnya dilakukan estimasi
36
model yang mendasar menggunakan kuadrat terkecil sederhana (OLS). Metode
Pooled OLS dapat dispesifikasikan kedalam model berikut:
Ŷit = α + β X it
Dimana i menunjukkan urutan individu yang diobservasi pada data cross-section,
sedangkan t menunjukkan periode pada data time-series. Namun, pada metode ini
asumsi yang digunakan menjadi terbatas karena model tersebut mengasumsikan
bahwa intersep dan koefisien dari setiap variabel sama untuk setiap individu yang
diobservasi. Hal ini menyebabkan variabel-variabel yang diabaikan akan
membawa perubahan pada intersep time-series dan cross-section.
b) Metode Fixed Effect
Masalah yang timbul pada penggunaan metode pooled OLS yaitu adanya
asumsi bahwa intersep dan koefisien dari setiap variabel sama pada setiap
individu yang diobservasi. Untuk memperhitungkan individualitas dari setiap unit
cross-section daripada dilakukan dengan cara menjadikan intersep berbeda pada
tiap unit individu. Pada metode fixed effect ditambahkan variabel dummy untuk
mengubah intersep, tetapi koefisien-koefisien lainnya tetap sama untuk setiap
individu yang diobservasi. Metode ini dapat dispesifikasikan kedalam model
berikut:
Ŷit = α + βi X it + γ2 W3t + ... + γN WNT + δ2 Zi2 + δ3 Zi3 + ... + δT Zit + ε it
Dimana Wit = 1 untuk individu ke-i, i = 2,....,N
0 untuk lainnya
Zit = 1 untuk individu ke-t, t = 2,....,T
0 untuk lainnya
37
Variabel dummy (N-1) + (T-1) ditambahkan kedalam model dan
penambahan tersebut menghasilkan kolinearitas yang sempurna diantara variabel-
variabel penjelas. Koefisien dari variabel dummy akan mengukur perubahan
intersep cross-section dan time-series.
Terdapat beberapa masalah yang berhubungan dengan penggunaan metode
fixed effect. Yang pertama yaitu bahwa pengguanaan variabel dummy yang tidak
dapat mengidentifikasikan secara langsung penyebab perubahan garis regresi pada
periode dan individu. Yang kedua yaitu teknik variabel dummy akan mengurangi
jumlah derajat bebas (Pyndick, 1998).
c) Metode Random Effect
Penggunaan variabel dummy pada metode fixed effect masih
menghasilkan kekurangan pada informasi mengenai model. Oleh karena itu,
kekurangan informasi tersebut dapat digambarkan melalui komponen galat
(disturbance atau error term).
Pada metode random effect dimasukkan komponen galat (error term) ke
dalam model untuk menjelaskan variabel prediktor (explanatory variable) yang
tidak masuk kedalam model, komponen non linearitas hubungan variabel bebas
dan variabel tidak bebas, kesalahan ukur saat observasi dilakukan serta kejadian
yang sifatnya acak.
Metode random effect dapat dispesifikasikan kedalam model berikut:
Ŷit = α + β X it + ε it
ε it = ui + vt + w it
dimana ui ~ N ( 0, 2μσ ) = komponen galat cross-section
38
vt ~ N ( 0, 2υσ ) = komponen galat time-series
wt ~ N ( 0, 2wσ ) = komponen galat time-series dan cross-section
i menunjukkan urutan individu yang diobservasi pada data cross-section,
sedangkan t menunjukkan periode pada data time-series. Formulasi dari metode
random effect diperoleh dari model fixed effect dengan mengasumsikan bahwa
efek rata-rata dari variabel-variabel time-series dan cross-section yang acak
termasuk dalam intersep dan deviasi acak rata-rata tersebut sama dengan
komponen galat, ui dan vt. Pada metode random effect diasumsikan bahwa
komponen galat individual tidak berkorelasi satu sama lain dan tidak ada
autokorelasi antara setiap unit cross-section dan time-series (Pyndick, 1998).
3.3.2 Uji Kesesuaian Model
Untuk menguji kesesuaian atau kebaikan model dari ketiga metode pada
teknik estimasi model dengan data panel digunakan uji-F, uji LM dan uji
Hausman. Uji-F digunakan untuk menguji kesesuaian model antara model yang
diperoleh dari metode pooled OLS dengan model yang diperoleh dari metode fixed
effect. Selanjutnya dilakukan uji Hausman terhadap model terbaik yang diperoleh
dari hasil Fixed effect dengan model yang diperoleh dari metode random effect.
Dan uji LM Test untuk menguji metode random effect dengan pooled least
square.
a) Uji-F (Chow Test)
Untuk menentukan model yang lebih baik antara model yang dihasilkan
dari metode pooled OLS dengan model yang dihasilkan dari metode fixed effect
39
dapat digunakan uji-F. Pengujian ini meliputi perbandingan jumlah kuadrat galat
(error sum of square) dari metode pooled OLS dan fixed effect. Karena ada lebih
banyak pembatasan parameter pada metode pooled OLS dibandingkan pada
metode fixed effect, diharapkan jumlah kuadrat galat dari metode pooled OLS
lebih tinggi. Apabila peningkatan jumlah kuadrat galat tidak signifikan ketika
ditambahkan pembatasan parameter maka dapat disimpulkan bahwa model yang
dihasilkan dari metode pooled OLS layak dan dapat digunakan. Namun, apabila
jumlah kuadrat galat banyak berubah dengan adanya penambahan pembatasan
parameter maka dapat dipilih dari metode fixed effect. Uji-F dapat dirumuskan
sebagai berikut:
CHOW = )(
)1()(
KNNTURSS
NURSSRRSS
−−
−−
Dimana:
RRSS = Restricted Residual Sum Square (merupakan Sum of Square Residual
yang diperoleh dari estimasi data panel dengan metode Pooled Least Square/
Common Intercept).
URSS = Unrectricted Residual Sum Square (merupakan Sum of Square Residual
yang diperoleh dari estimasi data panel dengan metode fixed effect).
N = Jumlah data cross section.
T = Jumlah data time series.
K = Jumlah variabel penjelas.
40
Pengujian ini dilakukan dengan hipotesa sebagai berikut:
H iαααα ===== ...3210
H1 = terdapat satu atau lebih intersep yang berbeda pada setiap unit cross section
statistik F yang mengikuti sebaran F dengan N+T-2 dan NT-N-T derajat bebas.
b) Uji Hausman
Spesifikasi uji galat Hausman dapat digunakan unuk menguji adanya
beberapa kejadian pada waktu yang bersamaan (simultaneity). Adanya beberapa
kejadian dalam waktu yang bersamaan (simultaneity) menyebabkan metode OLS
tidak dapat digunakan . Dengan demikian, pada teknik estimasi menggunakan
data panel, uji Hausman digunakan untuk membandingkan metode fixed effect
dengan metode random effect. H 0 pada uji Hausman yaitu asumsi bahwa estimasi
dengan metode fixed effect dan random effect tidak berbeda. Statistik uji yang
dikembangkan Hausman memiliki sebaran X 2 secara asimtot dengan derajat
bebas sebesar K (Hsiao, 1986). Apabila H ditolak maka dapat disimpulkan bahwa
metode fixed effect lebih sesuai daripada metode random effect.
c) Uji LM (The Breusch – Pagan LM Test)
Digunakan sebagai pertimbangan statistik dalam memilih metode random
effect versus pooled least square.
H0 : PLS
H1 : Random Effect, maka dasar penolakan terhadap H0 dengan menggunkana
statistik LM yang mengikuti distribusi dari Chi Square.
41
3.4 Evaluasi Model
Sebagai upaya untuk menghasilkan model yang efisien, fleksibel dan
konsisten, maka perlu dilakukan pendeteksian terhadap pelanggaran atau
gangguan asumsi model, yaitu gangguan antar waktu (time-related disturbance),
gangguan antar individu (cross sectional disturbance) dan gangguan akibat
keduanya. Pengestimasian terhadap model tersebut hasilnya diharapkan
memperoleh konstanta intersep yang berbeda-beda untuk masing-masing bandara
di masing-masing tahun.
a. Multikolinearitas
Indikasi multikolinearitas tercermin dengan melihat hasil t dan F statistik
hasil regresi. Jika banyak koefisien paramater dari t statistik diduga tidak
signifikan sementara hasil dari F hitungnya signifikan, maka patut diduga adanya
multikolinearitas. Multikolinearitas dapat diatasi dengan memberi perlakuan cross
section weight, sehingga baik t statistik maupun F hitung menjadi signifikan.
b. Autokorelasi
Autkorelasi dapat mempengaruhi efisiensi dari estimatornya. Untuk
mendeteksi adanya korelasi serial dalah dengan meliht nilai Durbin Watson (DW)
dalam Eviews. Untuk mengetahui ada tidaknya autokorelasi, maka dilakukan
dengan membandingkan DW-statistiknya dengan DW tabel. Adapun kerangka
identifikasi autokorelasi terangkum dalam Tabel 1.
42
Tabel 1 Kerangka Identifikasi Autokorelasi
Nilai DW Hasil
4-dl < DW < 4 Tolak H0, Korelasi serial negatif
4-du < DW < 4-dl Hasil tidak dapat ditentukan
2 < DW 4-du Terima H0, tidak ada korelasi serial
du < DW < 2 Terima H0, tidak ada korelasi serial
dl < DW < du Hasil tidak dapat ditentukan
0 < DW < dl Tolak H0, korelasi positif
Korelasi serial ditemukan jika error dari periode waktu yang berbeda
saling berkorelasi. Hal ini bisa dideteksi dengan melihat pola random error dari
hasil regresi. Pada analisis seperti yang dilakukan dalam model, jika ditemukan
korelasi serial, maka model menjadi tidak efisien meskipun tidak bias dan
konsisten. Treatment untuk pelanggaran ini adalah dengan menambahkan AR(1)
atau AR(2) dan seterusnya, tergantung dari banyaknya autokorelasi pada model
regresi yang kita gunakan.
c. Heteroskedastisitas
Dalam regresi linier berganda, salah satu asumsi yang harus dipenuhi agar
taksiran parameter dalam model tersebut BLUE adalah Var (ui) = σ2 (konstan),
semua sesatan yang mempunyai variasi yang sama. Pada umumnya
heteroskedastisitas diperoleh pada data cross section. Jika pada model dijumpai
heteroskedastisitas, maka model menjadi tidak efisien meskipun tidak bias dan
konsisten. Dengan kata lain, jika regresi tetap dilakukan meskipun ada masalah
heteroskedastisitas maka hasil regresi akan terjadi “misleading” (Gujarati, 2003).
43
Untuk mendeteksi adanya pelanggaran asumsi heteroskedastisitas,
digunakan uji White Heteroskedasticity yang diperoleh dalam program E-Views.
Dengan uji White, dibandingkan Obs* R-Squared dengan X (Chi-Squared) tabel,
jika nilai Obs* R-Squared lebih kecil daripada X (Chi-Squared) tabel maka tidak
ada heteroskedastisitas pada model. Data panel dalam E-Views 4.1 yang
menggunakan metode General Least Square (Cross Section Weights), maka untuk
mendeteksi adanya heteroskedastisitas adalah dengan membandingkan Sum
Square Residual pada Weighted Statistic dengan Sum Square Resid Unweighted
Statistics. Jika Sum Square Resid pada Weighted Statistic < Sum Square Resid
Unweighted Statistic, maka terjadi heteroskedastisitas. Untuk men –treatment
pelanggaran tersebut, bisa mengestimasi GLS dengan White Heteroskedasticity.
3.5 Batasan Operasional Variabel
1. Fare adalah harga yang harus dibayar oleh penumpang pada harga
keseimbangan per rute. Harga yang dimaksud adalah harga rata-rata dari harga
penjualan seluruh maskapai penerbangan per rute dalam satu tahun. Satuan nilai
fare adalah ribuan rupiah. Fare berasal dari harga penjualan resmi tiap maskapai
penerbangan yang diperoleh dari INACA.
2. Passenger merupakan jumlah total penumpang yang diangkut dari kota
asal menuju kota tujuan tertentu setiap bulan oleh seluruh maskapai penerbangan.
Jumlah penumpang terdata dalam unit orang dan diperoleh dari Angkasa Pura II
sebagai pengelola bandara untuk Kawasan Indonesia Barat.
44
3. Income adalah jumlah pendapatan penduduk kota asal, dipakai
Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) dari tiap propinsi. Satuan dari
PDRB adalah jutaan rupiah dan diperoleh dari BPS.
4. Populasi adalah jumlah penduduk yang berada dari bandara kota asal.
Satuan dari populasi adalah dalam ribuan orang dan diperoleh dari BPS.
5. Distance adalah jarak tempuh dari bandara kota asal ke kota tujuan
Batam. Satuan dari distance adalah dalam kilometer (km) dan diperoleh dari
bandara Angkasa Pura II.
6. Carriers adalah jumlah maskapai penerbangan yang terbang dari
bandara kota asal ke kota tujuan Batam dalam satu tahun. Diperoleh dari
Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, Departemen Perhubungan.
7. Stop adalah jumlah transit dalam penerbangan tersebut. Diperoleh dari
Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, Departemen Perhubungan.
IV. GAMBARAN UMUM INDUSTRI PENERBANGAN INDONESIA
4.1 Sejarah Penerbangan Nasional
Perusahaan Penerbangan Komersial yang beroperasi di Indonesia tumbuh
dan berkembang dengan sangat pesatnya. Pada awalnya di Negara Republik
Indonesia hanya terdapat beberapa Perusahaan Penerbangan seperti:
• Perusahaan Penerbangan PT. Garuda Indonesia Airways (GIA) yang
merupakan penerbangan tertua di Indonesia. Perusahaan Penerbangan ini
didirikan pada tanggal 26 Januari 1949 dengan nama Indonesia Airways
dan kemudian tanggal 31 Maret 1950 diubah namanya menjadi Garuda
Indonesia Airways.
• PT. Merpati Nusantara Airlines (MNA) didirikan pada tanggal 6
September 1962 berdasarkan Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 1962.
• Kemudian beberapa Perusahaan Penerbangan Berjadwal lainnya seperti
PT. Bouraq Indonesia Air, PT. Mandala Air, PT. Dirgantara Air Services
(DAS), PT. Sabang Merauke Air (SMAC), PT. Bali Air (untuk
penerbangan charter).
Dan belakangan ini banyak bermunculan Perusahaan Penerbangan baru
yang menyelenggarakan Penerbangan secara berjadwal seperti PT. Pelita Air
Services (PAS) yang semula hanya merupakan Perusahaan Penerbangan yang
melayani kepentingan perminyakan, PT. Lion Air, PT. Batavia Air, PT. AW Air,
PT. Jatayu Air, PT. StarAir, PT. KAL Star, PT. Top Air, PT. Wing Air, PT. Adam
46
Air, PT. Sriwijaya Air, PT. Indonesian Air, PT. Riau Airlines dan lainnya. Selain
itu Perusahaan Penerbangan berjadwal yang pernah ada adalah PT. Sempati Air.
Tabel 2 Daftar Perusahaan Angkutan Udara Niaga Berjadwal Posisi Desember
2003 No. Nama Airlines Tahun berdiri/Beroperasi Keterangan
1 PT. Garuda Indonesia 26 Januari 1949 Beroperasi 2 PT. Merpati Nusantara 06 September 1962 Beroperasi 3 PT. Bouraq Indonesia 01 April 1970 Beroperasi 4 PT. Mandala Airlines 17 April 1969 Beroperasi 5 PT. Dirgantara Air Services 2003 Beroperasi 6 PT. Pelita Air Services 2000 Beroperasi 7 PT. Indonesian Airlines Avi Patria 1999 Beroperasi 8 PT. Lion Mentari Airlines 1999 Beroperasi 9 PT. Bayu Indonesia 2000 Tidak Beroperasi
10 PT. Air Wagon Internasional 2000 Tidak Beroperasi 11 PT. Airmark Indonesia 2000 Beroperasi 12 PT. Star Air 2000 Beroperasi 13 PT. Jatayu Gelang Sejahtera 2000 Beroperasi 14 PT. Republik Express (Cargo) 2001 Beroperasi 15 PT. Kartika Airlines 2001 Beroperasi 16 PT. Metro Batavia 2002 Beroperasi 17 PT. Bali Internasioanal Air Services 2002 Beroperasi 18 PT. Seulawah NAD Air 2002 Tidak Beroperasi 19 PT. Riau Airlines 2002 Beroperasi 20 PT. Air Paradise Internasioanl 2002 Beroperasi 21 PT. Wing Abadi Airlines 2002 Beroperasi 22 PT. Btrigana Air Services 2003 Beroperasi 23 PT. Deraya 2003 Beroperasi 24 PT. Travel Express 2003 Beroperasi 25 PT. Sriwijaya Air 2003 Beroperasi 26 PT. Asia Avia Megatama 2001 Beroperasi 27 PT. Satrio Mataram Airlines 2000 Belum Beroperasi 28 PT. Fajar Air 2002 Belum Beroperasi 29 PT. Gelatik Air Inter 2003 Belum Beroperasi 30 PT. Papua Indonesia Air System 2003 Belum Beroperasi 31 PT. Paradise Air Indonesia 2003 Belum Beroperasi 32 PT. Golden Air 2003 Belum Beroperasi 33 PT. Adam Sky Connection Airlines 2003 Beroperasi 34 PT. Efata Papua Airlines 2003 Belum Beroperasi
Sumber : Subdit Data dan Informasi Penerbangan Direktorat Angkutan Udara, Ditjen Hubud. Dephubtel
Pertumbuhan jumlah maskapai yang begitu pesat ini menyebabkan
maskapai-maskapai penerbangan bersaing dalam memperebutkan penumpang.
Maskapai penerbangan bersaing dengan menerapkan tarif murah. Berbagai
47
fasilitas pelayanan yang menunjang untuk menarik penumpang dilakukan, mulai
dari disediakan makanan saat penerbangan hingga memberikan hadiah dengan
pengundian jika menggunakan maskapai penerbangan tersebut. Hadiah yang
diberikan sebagai cara dalam menarik penumpang ini terlihat dilakukan oleh
maskapai penerbangan seperti Lion Air dan Batavia Air. Tata cara pemeberian
hadiah ini dilakukan dengan pengundian setiap bulannya. Sedangkan, maskapai
penerbangan Adam Air melakukan strategi pemberian hadiah pada saat perjalanan
penerbangan berlangsung dengan memberikan pertanyaan kepada penumpang
yang ada. Garuda Indonesia yang merupakan maskapai penerbangan nasional
pertama di Indonesia juga ikut meramaikan pasar untuk kelas ekonomi dengan
mendirikan anak perusahaan Citylink. Walaupun Garuda ikut dalam pasar ini
namun perusahaan yang telah berdiri sejak tahun 1949 tetap mengutamakan
pelayanan bagi penumpang dengan masih menyediakan pelayanan makanan,
fasilitas ruang tunggu (lounge) dan frequent flyer.
Pada penerbangan kelas ekonomi ini, maskapai yang berhasil menarik
banyak penumpang adalah Lion Air dan Adam Air, dimana tahun 2006 Adam Air
memperoleh penghargaan atas keberhasilannya menerapkan konsep Low Cost
Carrier (LCC). Walaupun maskapai penerbangan kelas ekonomi ini masih ada
yang memberikan fasilitas makanan diatas pesawat tetapi ada juga beberapa
maskapai penerbangan yang tidak memberikan fasilitas tersebut, salah satunya
adalah Air Asia. Strategi yang dilakukan Air Asia ini maupun beberapa maskapai
lain ini bertujuan dalam melakukan efisiensi terhadap biaya penerbangan sehingga
pada akhirnya tarif rendah dapat diterapkan.
48
4.2 Kebijakan Angkutan Udara Komersil
Landasan hukum dalam penyelenggaraan penerbangan komersial di
Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan.
Berdasarkan Undang-undang ini, dalam penetapan struktur dan golongan
tarif angkutan niaga domestik, pemerintah memperhatikan kepentingan
masyarakat dan kepentingan penyelenggara angkutan udara niaga. Pemerintah
menetapkan tarif yang berorientasi kepada kepentingan dan kemampuan
masyarakat luas, termasuk tarif untuk angkutan udara perintis. Dengan
berpedoman kepada struktur dan golongan tarif tersebut penyelenggara angkutan
udara niaga menetapkan tarif yang berorientasi kepada kelangsungan dan
pengembangan usaha angkutan udara niaga dalam rangka meningkatkan mutu
pelayanan.
b. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara.
Berdasarkan peraturan pemerintah tersebut diatur tarif dan ditentukan
sebagai berikut:
1) Tarif angkutan udara niaga berjadwal terdiri atas:
• Tarif penumpang.
• Tarif kargo.
2) Tarif penumpang terdiri atas:
• Tarif penumpang angkutan niaga berjadwal dalam negeri.
• Tarif penumpang angkutan udara niaga berjadwal luar
negeri.
49
• Tarif penumpang angkutan udara perintis.
3) Golongan tarif penumpang angkutan udara niaga berjadwal dalam
negeri
• Tarif pelayanan ekonomi yang berorientasi pada
kepentingan dan kemampuan masyarakat luas.
• Tarif pelayanan non ekonomi yang berorientasi pada
kelangsungan dan pengembangan usaha angkutan udara.
4) Kriteria pelayanan dan besarnya perimbangan kapasitas tempat
duduk dalam pesawat udara untuk pelayanan ekonomi dan non
ekonomi ditetapkan oleh menteri.
5) Struktur tarif pelayanan ekonomi terdiri atas tarif dasar dan tarif
jarak. Untuk non ekonomi terdiri atas tarif pelayanan ekonomi dan
tarif pelayanan tambahan yang ditentukan oleh menteri.
c. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 8 Tahun 2002 tentang Mekanisme Penetapan dan Formulasi Perhitungan Tarif Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri Kelas Ekonomi.
Berdasarkan keputusan menteri ini tarif penumpang angkutan udara niaga
bejadwal dalam negeri ditetapkan bahwa:
1) Besaran tarif dasar atau tarif jarak ditetapkan oleh pemerintah
(Menteri Perhubungan).
2) Besaran tarif batas atas ditetapkan oleh pemerintah (Menteri
Perhubungan).
50
3) Besar tarif normal ditetapkan oleh perusahaan angkutan udara
tetapi tidak boleh melebihi batas atas yang ditetapkan oleh Menteri
Perhubungan.
Berdasarkan keputusan Menteri Perhubungan diatas, mekanisme
penetapan dan formulasi perhitungan tarif adalah sebagai berikut:
1) Tarif penumpang angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri
kelas ekonomi merupakan tarif jarak yang didasarkan pada
perkalian tarif dasar, jarak terbang serta dengan memperhatikan
faktor daya beli masyarakat.
2) Tarif dasar yang besarnya dinyatakan dalam rupiah per penumpang
kilometer ditetapkan oleh Menteri Perhubungan.
3) Tarif jarak yang besarnya untuk tarif per rute penerbangan, per
satu kali penerbangan yang merupakan tarif batas atas ditetapkan
oleh Menteri Perhubungan.
4) Besaran tarif normal ditetapkan oleh perusahaan angkutan udara,
tidak boleh melebihi tarif batas atas yang ditetapkan oleh Menteri
Perhubungan.
5) Direktorat Jenderal Perhubungan Udara melakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan tarif dengan ketentuan apabila perusahaan
angkutan udara yang melakukan pelanggaran atas ketentuan tarif
dikenakan sanksi administrasi.
51
d. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 4 Tahun 2002 tentang Tarif Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri Kelas Ekonomi.
Tarif penumpang angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri ditetapkan
dengan berpedoman pada tarif dasar yang dihitung berdasarkan perkalian
kelompok jarak dalam kilometer dengan tarif dasar per penumpang kilometer.
Tarif yang ditetapkan dimaksud belum termasuk Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) dan iuran wajib dana pertanggungan kecelakaan peumpang, sedangkan
setiap pungutan yang akan dikaitkan dengan tarif angkutan harus mendapat
persetujuan Menteri Perhubungan.
e. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 11 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara dan telah diubah dengan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 81 Tahun 2005, Bab III, Pasal 11 yaitu perizinan angkutan udara dinyatakan bahwa kegiatan angkutan udara terdiri atas angkutan udara berjadwal dan tidak berjadwal.
Pasal 12. Kegiatan angkutan udara niaga dapat dilakukan oleh:
1) Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
2) Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) yang berbentuk badan hukum.
3) Koperasi.
Pasal 13. Untuk mendapatkan izin usaha angkutan udara yaitu dinyatakan:
1) Memiliki akte pendirian perusahaan.
2) Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
3) Menyampaikan studi kelayakan.
Kemudian setiap beroperasinya perusahaan penerbangan harus dapat
menentukan jenis dan jumlah pesawat yang sudah ditetapkan oleh pemerintah
adalah:
52
1) Jenis dan tipe serta jumlah pesawat udara yang akan di operasikan
per tahun untuk jangka waktu sekurang-kurangnya 5 tahun ke
depan.
2) Jumlah pesawat udara yang akan dioperasikan untuk angkutan
udara niaga sekurang-kurangnya 2 pesawat udara registrasi
Indonesia yang dapat mendukung dalam pengoperasiannya.
3) Sumber dan cara pengadaan pesawat udara serta tahapan
pengadaannya untuk jangka waktu sekurang-kurangnya 5 tahun ke
depan.
4) Utilitas per hari masing-masing jenis dan tipe pesawat udara yang
akan dioperasikan.
f. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 36 Tahun 2005 tentang Tarif Referensi untuk Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjdwal Dalam Negeri Kelas Ekonomi.
Keputusan pemerintah dibuat sebagai alat bagi regulator untuk melakukan
pengawasan langsung maupun rutin kepada perusahaan penerbangan yang
diharapkan muncul persaingan sehat diantara maskapai penerbangan.
Tarif referensi untuk menjamin agar mekanisme harga tiket di pasar tidak
terdistorsi untuk rute terutama rute padat, seperti:
Jakarta – Padang Rp. 360.000,00
Jakarta – Denpasar Rp. 380.000,00
Jakarta – Surabaya Rp. 303.000,00
Jakarta – Pontianak Rp. 306.000,00
Jakarta – Yogyakarta Rp. 233.000,00
53
Jakarta – Semarang Rp. 225.000,00
Jakarta – Medan Rp. 487.000,00
Jakarta – Batam Rp. 338.000,00
Jakarta – Jayapura Rp. 1.240.000,00
Perusahaan penerbangan dengan tarif referensi tersebut apabila menjual
dibawah tarif referensi, pemerintah akan melakukan audit korektif terhadap aspek
keuangan hingga teknis dan jika perusahaan penerbangan terbukti mengurangi
biaya salah satu komponen operasi dasar, akan dicabut izin rutenya.
4.3 Perkembangan Deregulasi Angkutan Udara di Indonesia
Pada awal kepemimpinan Presiden Soeharto, sistem ekonomi Indonesia
termasuk didalamnya sistem ekonomi angkutan udara adalah sistem ekonomi
tertutup dan memberikan peluang yang terbatas terhadap para pengusaha. Kondisi
ini dikarenakan pemerintah menerapkan dalam pemberian izin penerbangan untuk
angkutan udara niaga selama kurun waktu 5 tahun. Sedangkan untuk melayani
penerbangan domestik dan internasional diperlukan waktu 16 tahun bagi
perusahaan angkutan udara untuk dapat beroperasi. Perusahaan penerbangan yang
berperan sangat dominan adalah Garuda dan Merpati, kedua-duanya adalah
BUMN.
Berdasarkan surat Keputusan Presiden Nomor 67 tahun 1968, Garuda
Indonesia ditugaskan untuk meningkatkan penerbangan domestik. Selanjutnya
deregulasi juga berlaku bagi Merpati (untuk penerbangan domestik dan perintis),
serta perusahaan penerbangan swasta untuk rute domestik tertentu sebagai
54
pelengkap dan penunjang. Disamping rute, pemerintah juga mengatur jenis
pesawat, pertarifan serta frekuensi penerbangan. Kebijakan pertarifan yang
ditetapkan adalah tarif tunggal yang memberikan kelonggaran terhadap
perusahaan angkutan udara untuk menetapkan tarif lebih rendah 15% sampai
dengan 20%, kecuali PT. Garuda Indonesia.
Regulasi pemerintah mulai longgar pada dekade tahun 1990 sampai
dengan tahun 1999 dengan dibolehkannya Sempati Air menggunakan pesawat jet
serta membagi rute yang lebih banyak yang kemudian diikuti oleh perusahaan
penerbangan lainnya. Penggunaan pesawat jet oleh perusahaan penerbangan
swasta berarti mempersempit perbedaan produk jasa yang diberikan oleh
perusahaan penerbangan kepada penumpang, yaitu kecepatan dan kenyamanan.
Selanjutnya dengan pemberian izin terbang bagi perusahaan penerbangan swasta
pada rute-rute yang semula monopoli Garuda menimbulkan terjadinya persaingan
yang ketat, dengan segala macam strategi dan kreativitas terus dilakukan oleh
setiap perusahaan penerbangan.
Perkembangan angkutan udara dalam negeri sangat terpuruk pada periode
ini, dimana pada tahun 1997 terjadi krisis ekonomi. Permintaan angkutan udara
sangat menurun drastis. Pemerintah berupaya merangsang usaha angkutan udara
dan memacu pertumbuhan penumpang. Diantaranya dengan menerbitkan
Keputusan Menteri Perhubungan No.127 Tahun 1990. Selanjutnya pada tahun
2001, Menteri Perhubungan menerbitkan Keputusan Menteri No. 11 Tahun 2001
dan tahun 2005 diganti dengan Keputusan Menteri Perhubungan No.81 Tahun
2005 yang merubah secara signifikan kebijakan nasional tentang industri angkutan
55
udara. Dengan keputusan tersebut pemerintah merubah jenjang tahapan pemberian
izin yang diterbitkan untuk kegiatan angkutan udara niaga, yang meliputi daerah
operasi, rute dan pengaturan kapasitas yang semakin terbuka. Namun demikian,
kebijakan tarif tunggal tetap berlaku dengan mekanisme yang baru dimana
mekanisme tersebut terbagi ke dalam dua kategori yaitu pesawat jenis jet dan
non jet dimana Pemerintah menetapkan tarif dasar dan International Air Carrier
Association (INACA) menetapkan tarif jarak.
Efek selanjutnya adalah terjadinya perang tarif yang permanen. Walaupun
secara resmi beberapa kali perusahaan penerbangan mengajukan kenaikan tarif
dan pemerintah menyetujui, namun yang terjadi adalah pemberian diskon tarif
yang terus-menerus. Perusahaan penerbangan swasta di Indonesia dari dahulu
selalu menawarkan tarif lebih murah dibandingkan perusahaan BUMN Garuda
dan Merpati. Beberapa kali tarif angkutan udara dinaikkan, namun persaingan
dengan perang tarif yang lebih murah tetap saja terjadi. Perkembangan persaingan
tarif terus berlangsung sampai saat ini.
Perkembangan perubahan pengaturan perusahaan angkutan udara niaga
berjadwal di Indonesia tahun 1999 sampai sekarang kearah sistem ekonomi pasar,
namun masih tetap ada pengaturan pemerintah. Mulai tahun 1999 ini, pemerintah
menetapkan kebijakan dasar biaya tarif dasar untuk penerbangan berjadwal,
sedangkan INACA sebagai wakil dari perusahaan angkutan udara menetapkan
tarif jarak.
Sedangkan pada tahun 2001, tragedi peristiwa pemboman WTC yang
terjadi pada tanggal 9 Nopember 2001 cukup mempengaruhi perkembangan dunia
56
penerbangan serta kondisi di Indonesia. Peristiwa tersebut secara tidak langsung
menjadi titik balik perkembangan industri angkutan udara nasional. Pada saat itu
banyak pesawat udara yang tidak dioperasikan oleh perusahaan Amerika dan
Eropa karena kondisi yang sulit. Melihat kondisi yang ada, pemerintah mulai
merelaksasi kebijakan dalam proses pengadaan (import) armada yang dilakukan
oleh perusahaan penerbangan nasional
Tabel 3 Pengaturan Perusahaan Angkutan Udara Niaga Berjadwal
1928-1990 1990-1999 1999- sekarang Izin Usaha Tertutup Berjenjang Terbuka
Daerah Operasi Diatur ketat Mulai dibuka Relatif dibuka atau bebas
Rute dan Kapasitas Diatur ketat Mulai dibuka Relatif terbuka
Tarif Domestik Single tariff (selain GA
lebih rendah 15%-20%)
Single tariff (selain GA lebih rendah
15%-20%)
Single Tarif (Jet dan Non Jet)
Tahun 1997:
Pemerintah : Tarif Dasar
INACA : Tarif Jarak
Tahun 1999: Pemerintah : Tarif
Dasar INACA : Tarif
Koridor
Tahun 2002 : Pemerintah : Tarif
dasar dan Tarif jarak
INACA : Wewenang dicabut
Sumber : Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, Departemen Perhubungan RI, Desember 2004
Dari tabel tersebut terlihat terjadinya perubahan pengaturan perusahaan
angkutan udara niaga berjadwal dari sistem ekonomi tertutup menuju ekonomi
pasar. Yang mencakup izin usaha, rute, kapasitas dan pertarifan.
57
4.4 Perkembangan Tarif Penumpang Angkutan Udara Indonesia
Diawal perkembangan industri penerbangan Indonesia, pemerintah
memberlakukan tarif tunggal dimana selain Garuda, tarifnya lebih rendah 15%-
20%. Namun sejak tahun 1996, pemerintah menetapkan tarif dasar angkutan
penumpang angkutan udara dalam negeri kelas ekonomi melalui Keputusan
Menteri Perhubungan Nomor 61 tahun 1996 untuk mengantisipasi pasar global.
Pemerintah memberikan kemudahan kepada perusahaan angkutan udara nasional,
dengan melimpahkan wewenangnya kepada INACA untuk menetapkan tarif jarak
(tarif penumpang angkutan udara berjadwal dalam negeri kelas ekonomi) melalui
Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 25 tahun 1997, yang mulai diberlakukan
ditahun 1999. Sedangkan tarif dasar pemerintah tertuang dalam Keputusan
Menteri Perhubungan Nomor 61 Tahun 1995.
Namun, pada tahun 2002 terjadi perubahan kebijakan pertarifan yaitu
pemerintah hanya menetapkan tarif dasar dan tarif jarak sehingga wewenang
asosiasi penerbangan dalam hal ini INACA dicabut. Pada tahun 2002 ini,
pemerintah melalui KM No.9/2002 memeberlakukan tarif dasar baru. Tarif dasar
ini berbeda dengan yang tertuang dalam KM No. 61/1996 karena sudah tidak ada
lagi pembedaan tarif antara pesawat jet dan non jet, seperti yang terlihat dalam
Tabel 4 berikut.
58
Tabel 4. Perbedaan Tarif Dasar KM No. 61 Tahun 1996 dan KM No.9 Tahun 2002
Tarif Dasar KM No. 61 Tahun 1996 Tarif Dasar KM No. 9 Tahun 2002
Jarak (Km) Tarif non Jet (Rp)
Tarif Jet (Rp) Jarak (Km) Tarif (Rp)
< 150 150-225 226-300 301-375
> 275 < 600
601-750 751-900 901-1050
>1050
1512 1476 1440 135
- - - - -
- - - -
1080 1053 1026 999 900
< 150 150-225 226-300 301-375 376-450 451-600
- 601-750 751-900 901-1050 1051-1400
>1400
1450 1365 1295 1230 1170 1100
- 1050 1000 950 900 800
Sumber : Direktorat Jenderal PerhubunganUdara
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Perkembangan Industri Penerbangan Indonesia 5.1.1 Perkembangan Perusahaan Penerbangan Niaga Berjadwal Dalam Negeri
Jumlah perusahaan penerbangan niaga berjadwal pada tahun 2001
sebanyak 14 perusahaan, tahun 2002 bertambah menjadi 16 perusahaan, tahun
2003 menjadi 24 perusahaan dan tahun 2004 menjadi 27 perusahaan. Namun,
tahun 2005 jumlah perusahaan berkurang menjadi 18 perusahaan dan tahun 2006
bertambah menjadi 19 perusahaan penerbangan.
5.1.2 Perkembangan Rute Penerbangan
Pada tahun 1997 jumlah rute penerbangan dalam negeri komersial adalah
201 penggal rute (city pair) yang menghubungkan 102 kota di Indonesia. Akibat
krisis ekonomi, salah satu langkah perusahaan angkutan udara mengurangi
kapasitas pada rute-rute yang kurang potensial dan menghapus rute yang tidak
potensial. Sehingga pada tahun 1998 jumlah rute penerbangan dalam negeri
mengalami pengurangan sebanyak 61 penggal rute dan terdapat 12 kota yang
tidak dilayani yaitu pada akhir 1998 menjadi 140 rute yang menghubungkan 90
kota.
Mengingat pada tahun 1999 belum menunjukkan adanya perkembangan
permintaan (demand) pada rute-rute tertentu, maka perusahaan penerbangan pada
tahun ini masih mengurangi rute-rute yang kurang atau tidak potensial, hingga
akhir tahun 1999 jumlah rute penerbangan dalam negeri menjadi 128 penggal rute
yang menghubungkan 75 kota. Tahun 2000 mulai ada penambahan jumlah rute
60
penerbangan menjadi 131 penggal rute yang menghubungkan 78 kota, kemudian
tahun 2001 jumlah rute juga bertambah menjadi 134 penggal rute yang
menghubungkan 77 kota. Tahun 2002 jumlah rute tidak mengalami perubahan
dan tahun 2003 terdapat 156 penggal rute yang menghubungkan 83 kota.
Sedangkan untuk tahun 2004 mengalami peningkatan menjadi 163 rute
penerbangan yang menghubungkan 89 kota dan tahun 2005 menjadi 167 penggal
rute yang menghubungkan 92 kota di Indonesia.
5.1.3 Perkembangan Armada Pesawat Udara
Pada akhir tahun 1997 jumlah pesawat perusahaan angkutan udara
berjadwal terdaftar sebanyak 217 unit dan siap beroperasi sebanyak 176 unit. Pada
akhir tahun 1998 jumlah pesawat udara yang terdaftar sebanyak 162 unit dan siap
beroperasi 93 unit, berarti pada tahun 1998 mengalami penurunan sebesar 25.35%
untuk pesawat udara terdaftar dan 47.16% untuk untuk pesawat udara yang siap
beroperasi. Selanjutnya, pada tahun 1999 terdaftar 145 unit dan siap beroperasi
sebanyak 104 unit. Jika dibandingkan dengan tahun 1998 jumlah pesawat udara
terdaftar turun 10.50% dan sebaliknya jumlah pesawat udara yang siap operasi
naik 11.83%. Pada tahun 2000 jumlah armada yang beroperasi mengalami
peningkatan 116 unit dan jumlah terdaftar 160 unit. Tahun 2001 jumlah armada
udara operasi sebanyak 135 unit dan jumlah terdaftar sebanyak 185 unit.
Untuk tahun 2002 jumlah pesawat udara yang terdaftar sebanyak 192 unit
dan yang beroperasi 143 unit, berarti pada tahun 2002 mengalami kenaikan
sebesar 35.42% untuk pesawat yang terdaftar dan 59.26% untuk pesawat yang
61
beroperasi. Tahun 2003 yang terdaftar 260 unit dan yang beroperasi 193 unit atau
mengalami kenaikan 35.42% untuk pesawat yang terdaftar dan untuk pesawat
yang beroperasi mengalami penurunan sebesar 34.96%. Sedangkan untuk tahun
2004 yang terdaftar 300 unit dan yang beroperasi 222 unit. Kondisi tersebut diatas
menunjukkan bahwa armada dari tahun 2000 hingga tahun 2004 baik yang
terdaftar dan yang beroperasi bertambah, yang diakibatkan oleh adnya perusahaan
angkutan udara berjadwal baru yang mulai beroperasi.
Pada tahun 2005 ada 315 yang terdaftar dan 213 yang beroperasi. Apabila
dibandingkan tahun 2004, jumlah armada yang terdaftar mengalami peningkatan.
Tetapi, jumlah armada yang beroperasi mengalami penurunan. Kondisi armada
udara untuk selanjutnya dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Perkembangan Armada Udara Angkutan Udara Berjadwal
Tahun 1997-2005
No. Tahun Armada Udara Terdaftar
% Pertumbuhan
Armada Udara Beroperasi
% Pertumbuhan
1. 1997 217 - 176 - 2. 1998 162 -25.35 93 -47.17 3. 1999 145 -10.50 104 11.83 4. 2000 160 10.35 116 11.54 5. 2001 174 8.75 135 16.38 6. 2002 192 10.35 143 59.26 7. 2003 260 35.42 193 34.96 8. 2004 300 15.38 222 15.02 9. 2005 315 5.00 213 -4.05
Sumber: Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (September 2006), diolah.
5.1.4 Perkembangan Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjadwal Nasional
Perkembangan penumpang angkutan udara dari tahun 1988 sampai tahun
1997 mengalami peningkatan dengan rata-rata pertumbuhan pertahun 6.17%.
Akibat adanya krisis ekonomi maka jumlah penumpang mengalami penurunan
62
drastis, sebesar -43.14% pada tahun 1998 dan penurunan tersebut terus berlanjut
hingga tahun 1999. Pada tahun 2000 hingga tahun 2005 jumlah penumpang terus
mengalami peningkatan seperti terlihat pada Tabel 6 berikut.
Tabel 6 Perkembangan Penumpang pada Angkutan Udara Domestik Berjadwal
Tahun Penumpang (orang) % Pertumbuhan 1988 8.068.554 - 1989 8.942.540 10.8 1990 8.719.253 -2.49 1991 9.166.637 5.13 1992 9.527.207 3.93 1993 10.102.101 6.03 1994 11.661.102 15.40 1995 12.948.854 11.04 1996 13.831.105 6.81 1997 13.831.526 0.00003 1998 7.863.836 -43.14 1999 6.476.213 -17.64 2000 7.622.570 17.70 2001 9.168.059 20.28 2002 12.333.035 34.52 2003 19.181.294 55.53 2004 23.763.950 23.89 2005 28.992.019 22.00
Sumber: Direktorat Jenderal Perhubungan (September 2006), diolah.
Dengan kembali membaiknya keadaan perekonomian sejak tahun 2000
telah memberikan respon positif terhadap perkembangan industri penerbangan
Indonesia. Apabila dibandingkan dengan kondisi krisis moneter tahun 1997-1998
yang mengalami penurunan jumlah penumpang akibat daya beli masyarakat yang
turun drastis dan karena faktor sosial, keamanan dan politik yang tidak
mendukung. Bahkan pada tahun 1998 salah satu perusahaan penerbangan swasta
nasional yang sangat potensial dan inovatif pada masa itu (PT. Sempati Air) telah
berhenti beroperasi.
63
Pertumbuhan perusahaan penerbangan berjadwal di Indonesia pasca krisis
moneter tahun 1998 telah berkembang begitu pesatnya, hal tersebut terjadi akibat
adanya deregulasi penerbangan dan liberalisasi penerbangan yang dilakukan
pemerintah. Dari sudut pandang masyarakat pemakai jasa transportasi udara
kondisi semacam ini sangat menguntungkan, dimana konsumen dihadapkan pada
banyak pilihan. Sementara dari sudut pandang perusahaan penerbangan baik lama
maupun baru, dengan semakin banyaknya perusahaan penerbangan yang
beroperasi, maka akan memacu dan memotivasi ke arah persaingan yang lebih
sehat. Pertumbuhan dan perkembangan perusahaan penerbangan baru pasca krisis
moneter berdampak baik, karena hal ini memperlihatkan kegairahan dan
optimisme di kalangan swasta untuk ikut menggerakkan roda perekonomian
nasional guna mempercepat proses pemulihan perekonomian nasional.
5.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tarif
5.2.1 Hasil Estimasi Model
Hasil estimasi koefisien-koefisien variabel persamaan regresi akan
ditampilkan berdasarkan estimasi pada tiap kategori bandara. Estimasi ini
dilakukan dengan program Eviews 4.1 dengan berbagai kelebihan dan kelemahan
penggunaan program software tersebut. Model untuk bandara–bandara yang
diteliti menggunakan estimasi data panel sebagaimana diuraikan pada metode
penelitian ini. Model ini harus memenuhi asumsi klasik untuk estimasi regresi
OLS karena menggunakan prosedur pooled ordinary least square (OLS).
64
Hasil estimasi dengan menggunakan model pooled dijelaskan dalam tabel
7 yang merupakan ringkasan dari lampiran 4. Model ini menunjukkan variabel
yang sama untuk setiap individu pengamatan. Variabel penjelas yang signifikan
secara statistik dengan tingkat α = 5 % adalah variabel CARRIERS, PASS,
MILES, POP, INC, STOP dan HUB.
Tabel 7. Hasil Estimasi dengan Model Pooled Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -199207.1 68332.64 -2.915255 0.0071CARRIERS? -61406.90 2507.243 -24.49180 0.0000
PASS? 3689.974 328.6298 11.22836 0.0000MILES? -0.763776 0.075995 -10.05029 0.0000
POP? 1957.256 236.2443 8.284883 0.0000INC? -1.681566 0.212173 -7.925454 0.0000
STOP? 0.021997 0.004696 4.683863 0.0001HUB? 0.016280 0.001516 10.73879 0.0000
Weighted Statistics R-squared 0.992084 Mean dependent var 1110084. Adjusted R-squared 0.990031 S.D. dependent var 1052588. S.E. of regression 105093.5 Sum squared resid 2.98E+11 F-statistic 483.3859 Durbin-Watson stat 1.297716 Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics R-squared 0.714320 Mean dependent var 411515.3 Adjusted R-squared 0.640255 S.D. dependent var 181172.9 S.E. of regression 108665.3 Sum squared resid 3.19E+11 Durbin-Watson stat 0.994797
Nilai R2 atau koefisien determinasi 0.992084 yang menunjukkan bahwa
99.20% keberagaman (shifting) pertumbuhan tarif pada bandara-bandara tujuan
Batam dapat dijelaskan oleh model diatas. Hasil uji ini diperkuat dengan tingginya
F-statistik yang signifikan pada tingkat kepercayaan 95% dan tingkat α = 5 %
sebesar 0.000000.
65
Hasil estimasi dengan menggunakan model efek tetap (fixed effect)
dijelaskan dalam tabel 8 yang merupakan ringkasan dari lampiran 5. Tabel 8
menunjukkan koefisien yang sama untuk setiap individu, dan intersep yang
berbeda untuk setiap individu. Variabel penjelas yang signifikan secara statistik
dengan tingkat α=5% adalah CARRIERS dan STOP. Sedangkan variabel PASS,
MILES, POP, INC dan HUB tidak signifikan.
Tabel 8. Hasil Estimasi dengan Model Fixed Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
CARRIERS? -30132.22 10387.50 -2.900816 0.0085PASS? 2025.252 1071.478 1.890148 0.0726
MILES? 0.015347 0.220292 0.069664 0.9451POP? -966.6445 9.05E+17 -1.07E-15 1.0000INC? -0.379103 5.59E+14 -6.78E-16 1.0000
STOP? -0.188515 0.038218 -4.932617 0.0001HUB? -0.024710 0.012289 -2.010649 0.0574
Fixed Effects _BANDARA1--C 4000877._BANDARA2--C 3890190._BANDARA3--C 2000910._BANDARA4--C 2025703._BANDARA5--C 585947.7_BANDARA6--C 2498645._BANDARA7--C 2128178.
Weighted Statistics R-squared 0.995780 Mean dependent var 1265155. Adjusted R-squared 0.993167 S.D. dependent var 1209451. S.E. of regression 99972.12 Sum squared resid 2.10E+11 F-statistic 381.1693 Durbin-Watson stat 1.460345 Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics R-squared 0.757202 Mean dependent var 411515.3 Adjusted R-squared 0.606898 S.D. dependent var 181172.9 S.E. of regression 113591.4 Sum squared resid 2.71E+11 Durbin-Watson stat 0.921453
Hal ini menunjukkan bahwa model estimasi pada tabel 8 tidak memenuhi
asumsi klasik OLS atau belum terbebas dari masalah statistik terutama
66
multikolinearitas. Dan setelah dilakukan dengan uji CHOW maka model yang
akan digunakan adalah model Pooled.
Model Pooled pada tabel 7 harus memenuhi asumsi klasik regresi. Untuk
multikolinearitas, model diatas menunjukkan tidak terdapat multikolinearitas
dengan memperhatikan hasil probabilitas t statistic regresi. Semua variabel model
pada tabel 7 menunjukkan hasil yang signifikan pada taraf nyata 5 %.
Untuk mendeteksi heteroskedastisitas (karena menggunakan data cross
section), maka perlu estimasi dengan pendekatan atau metode General Least
Square (Cross Section Weights) yaitu Sum Square Resid Weighted Statistics <
Sum Square Resid Unweighted Statistics (2.98x1011<3.19x1011), dimana GLS
(Cross Section Weights) dengan estimasi White Heteroscedasticity tidak
memberikan perbedaan pada koefisien regresi, tetapi standar error koefisien
memang menjadi lebih rendah. Ini sekaligus menunjukkan bahwa
heteroskedastisitas sesungguhnya tidak ada pada data awal, ataupun jika ada, tidak
signifikan.
Dari tabel 7 dengan nilai Durbin Watson sebesar 1.297716
(1.034<1.297716<1.967) diketahui hasilnya tidak dapat ditentukan, artinya
kalaupun terdapat autokorelasi namun hal tersebut dapat diabaikan. Dari uji syarat
OLS klasik dapat disimpulkan bahwa model pada tabel 7 adalah model yang
terbaik untuk menjelaskan penelitian ini.
67
5.2.2 Interpretasi Model
Setelah mengestimasi model pada Tabel 7 maka langkah selanjutnya
adalah interpretasi terhadap persamaan regresi dari model diatas. CARRIERS
berpengaruh negatif terhadap tarif. Hal ini terjadi karena dengan semakin banyak
jumlah maskapai (CARRIERS) maka akan semakin kompetitif rute tersebut
sehingga tarif akan menjadi murah. Nilai koefisien CARRIERS sebesar -61406.90
artinya jika jumlah maskapai (CARRIERS) bertambah 1 maskapai penerbangan
(perusahaan penerbangan) maka akan terjadi penurunan tarif (fares) sebesar Rp.
61406.90.
Terkait dengan teori Contestable Market, bahwa pasar industri
penerbangan tidak pernah memiliki banyak jumlah pemain tetapi tetap berada
pada tingkat harga yang kompetitif karena pasar industri penerbangan biasanya
contestable. Dalam definisi Baumol (1982) dikatakan bahwa Contestable Market
adalah pasar dimana terdapat kebebasan masuk dan keluar dari industri karena
costless. Walaupun sebenarnya struktur industri penerbangan memiliki struktur
cost yang relatif tinggi dan dibutuhkan investasi yang besar untuk masuk dalam
industri tersebut namun perusahaan maskapai baru terus bermunculan.
Hal ini dimungkinkan oleh kerangka contestable market, dimana CM
terjadi jika “entry in absolutly free and exit is absolutly costless” (Baumol,1982).
Absolutly free entry karena pemain baru memproduksi barang yang sama dengan
pemain lama. Costless exit memungkinkan karena sunk cost tidak ada (relatif
kecil). Dalam CM, pengaruh market power menjadi tidak ada atau menjadi sangat
kecil dan tidak signifikan. Implikasinya adalah penentuan harga tidak lagi
68
didasarkan pada struktur pasar, dalam hal ini dicerminkan oleh jumlah maskapai
penerbangan dalam suatu pasar sehingga berapa pun jumlahnya baik dalam pasar
yang terkonsentrasi maupun tidak, tidak akan memiliki pengaruh pada penentuan
tarif. Hal ini dimungkinkan oleh karena adanya potensi bagi pesaing baru masuk
ke dalam pasar tersebut kapan saja sehingga membuat pemain lama
memberlakukan harga yang kompetitif bahkan bila jumlah maskapai penerbangan
aktual dalam pasar cukup sedikit.
Jika industri penerbangan merupakan CM maka seharusnya jumlah
maskapai dan kosentrasi pasar tidak mempengaruhi atau tidak memiliki korelasi
apa pun pada tarif. Hal ini disebut perfectly contestable market. Bila jumlah
maskapai dan tingkat konsentrasi pasar memiliki korelasi dengan harga tiket yang
lebih tinggi maka hal ini merupakan indikasi bahwa pasar menjadi less
contestable (tidak lagi perfectly contestable market).
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka untuk rute
domestik tujuan Batam, jumlah maskapai berpengaruh terhadap pembentukkan
harga tarif sehingga pasar industri penerbangan tujuan Batam tidak perfectly
contestable. Jadi, teori CM tidak terjadi karena struktur pasarnya yang diwakili
oleh jumlah maskapai masih mempengaruhi terbentuknya tarif yang sesuai dalam
teori Neoklasik.
PASS (jumlah penumpang) berpengaruh positif terhadap tarif. Ini berarti
semakin banyak jumlah penumpang atau pengguna jasa, semakin banyak pula
permintaan terhadap jasa penerbangan. Besarnya permintaan konsumen terhadap
tiket pesawat maka memberi kesempatan bagi maskapai penerbangan untuk
69
menaikkan tarif. Koefisien PASS sebesar 3689.974, artinya jika jumlah
penumpang (PASS) bertambah 1 orang maka akan terjadi kenaikan tarif (fares)
sebesar Rp. 3689.974.
MILES (jarak tempuh) berpengaruh negatif terhadap tarif. Hal ini berarti
semakin jauh jarak tempuh maka akan semakin rendah tarif yang dikenakan.
Variabel ini tidak sesuai dengan teori, hal ini mengindikasikan bahwa tarif yang
ditetapkan oleh maskapai penerbangan juga mempertimbangkan keputusan yang
ditetapkan oleh maskapai penerbangan lain dan moda transportasi lain. Pengguna
jasa masih mempertimbangkan untuk menggunakan moda transportasi lain untuk
jarak tempuh yang pendek. Kondisi ini menyebabkan maskapai-maskapai
penerbangan lebih memilih rute dengan jarak tempuh yang jauh sehingga rute ini
menjadi kompetitif. Semakin kompetitif suatu rute maka maskapai penerbangan
akan semakin bersaing dalam memperebutkan penumpang yaitu dengan cara
melakukan strategi harga. Koefisien MILES sebesar -0.763776, artinya jika jarak
tempuh (MILES) bertambah 1 km maka akan terjadi penurunan tarif sebesar Rp.
0.763776.
POP (jumlah penduduk kota asal) berpengaruh positif terhadap tarif. Hal
ini berarti semakin banyak jumlah penduduk suatu propinsi maka akan semakin
banyak permintaan terhadap jasa penerbangan. Koefisien POP sebesar 1957.256,
artinya jika jumlah penduduk (POP) bertambah 1 orang maka akan terjadi
kenaikan tarif sebesar Rp. 1957.256.
INC (PDRB per kapita kota asal) berpengaruh negatif terhadap tarif. Hal
ini berarti semakin tinggi pendapatan domestik regional bruto per kapita suatu
70
propinsi atau wilayah maka semakin rendah tarif yang ditetapkan. Variabel ini
tidak sesuai dengan teori, hal ini mengindikasikan bahwa keputusan tarif yang
ditetapkan oleh maskapai penerbangan juga mempertimbangkan kondisi maskapai
penerbangan lain. Semakin banyak maskapai penerbangan memilih rute dengan
PDRB per kapita suatu kota tinggi menjadi penyebab adanya penurunan tarif
karena maskapai penerbangan akan bersaing dalam memperoleh penumpang
melalui harga murah. Koefisien INC sebesar -1.681566, artinya jika pendapatan
per kapita suatu propinsi (INC) naik Rp. 1 maka akan terjadi penurunan terhadap
tarif sebesar Rp. 1.681566.
STOP (jumlah transit) berpengaruh positif terhadap tarif. Hal ini
disebabkan karena bandara Hangnadim Batam merupakan salah satu bandara
Internasional sehingga akan banyak penumpang melalui bandara ini untuk transit
yang menyebabkan harga akan naik karena tingginya permintaan akan jasa
penerbangan ini. Koefisien STOP sebesar 0.021997, artinya jika jumlah transit
(STOP) bertambah 1 orang maka akan terjadi kenaikan tarif sebesar Rp. 0.021997.
HUB (karakteristik bandara penghubung) berpengaruh positif terhadap
tarif. Hal ini disebabkan karena pada bandara yang merupakan HUB akan banyak
maskapai penerbangan yang transit untuk menuju ke kota lain. Koefisien HUB
sebesar 0.016280, artinya bahwa tarif dengan adanya karakteristik bandara
penghubung meningkat 0.016280 dibandingkan jika tidak ada bandara
penghubung. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa adanya karakteristik bandara
penghubung direspon secara positif oleh maskapai penerbangan.
Berikut akan dilihat perbandingan dengan Model Paul Bauer:
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Perkembangan Industri Penerbangan Indonesia 5.1.1 Perkembangan Perusahaan Penerbangan Niaga Berjadwal Dalam Negeri
Jumlah perusahaan penerbangan niaga berjadwal pada tahun 2001
sebanyak 14 perusahaan, tahun 2002 bertambah menjadi 16 perusahaan, tahun
2003 menjadi 24 perusahaan dan tahun 2004 menjadi 27 perusahaan. Namun,
tahun 2005 jumlah perusahaan berkurang menjadi 18 perusahaan dan tahun 2006
bertambah menjadi 19 perusahaan penerbangan.
5.1.2 Perkembangan Rute Penerbangan
Pada tahun 1997 jumlah rute penerbangan dalam negeri komersial adalah
201 penggal rute (city pair) yang menghubungkan 102 kota di Indonesia. Akibat
krisis ekonomi, salah satu langkah perusahaan angkutan udara mengurangi
kapasitas pada rute-rute yang kurang potensial dan menghapus rute yang tidak
potensial. Sehingga pada tahun 1998 jumlah rute penerbangan dalam negeri
mengalami pengurangan sebanyak 61 penggal rute dan terdapat 12 kota yang
tidak dilayani yaitu pada akhir 1998 menjadi 140 rute yang menghubungkan 90
kota.
Mengingat pada tahun 1999 belum menunjukkan adanya perkembangan
permintaan (demand) pada rute-rute tertentu, maka perusahaan penerbangan pada
tahun ini masih mengurangi rute-rute yang kurang atau tidak potensial, hingga
akhir tahun 1999 jumlah rute penerbangan dalam negeri menjadi 128 penggal rute
yang menghubungkan 75 kota. Tahun 2000 mulai ada penambahan jumlah rute
60
penerbangan menjadi 131 penggal rute yang menghubungkan 78 kota, kemudian
tahun 2001 jumlah rute juga bertambah menjadi 134 penggal rute yang
menghubungkan 77 kota. Tahun 2002 jumlah rute tidak mengalami perubahan
dan tahun 2003 terdapat 156 penggal rute yang menghubungkan 83 kota.
Sedangkan untuk tahun 2004 mengalami peningkatan menjadi 163 rute
penerbangan yang menghubungkan 89 kota dan tahun 2005 menjadi 167 penggal
rute yang menghubungkan 92 kota di Indonesia.
5.1.3 Perkembangan Armada Pesawat Udara
Pada akhir tahun 1997 jumlah pesawat perusahaan angkutan udara
berjadwal terdaftar sebanyak 217 unit dan siap beroperasi sebanyak 176 unit. Pada
akhir tahun 1998 jumlah pesawat udara yang terdaftar sebanyak 162 unit dan siap
beroperasi 93 unit, berarti pada tahun 1998 mengalami penurunan sebesar 25.35%
untuk pesawat udara terdaftar dan 47.16% untuk untuk pesawat udara yang siap
beroperasi. Selanjutnya, pada tahun 1999 terdaftar 145 unit dan siap beroperasi
sebanyak 104 unit. Jika dibandingkan dengan tahun 1998 jumlah pesawat udara
terdaftar turun 10.50% dan sebaliknya jumlah pesawat udara yang siap operasi
naik 11.83%. Pada tahun 2000 jumlah armada yang beroperasi mengalami
peningkatan 116 unit dan jumlah terdaftar 160 unit. Tahun 2001 jumlah armada
udara operasi sebanyak 135 unit dan jumlah terdaftar sebanyak 185 unit.
Untuk tahun 2002 jumlah pesawat udara yang terdaftar sebanyak 192 unit
dan yang beroperasi 143 unit, berarti pada tahun 2002 mengalami kenaikan
sebesar 35.42% untuk pesawat yang terdaftar dan 59.26% untuk pesawat yang
61
beroperasi. Tahun 2003 yang terdaftar 260 unit dan yang beroperasi 193 unit atau
mengalami kenaikan 35.42% untuk pesawat yang terdaftar dan untuk pesawat
yang beroperasi mengalami penurunan sebesar 34.96%. Sedangkan untuk tahun
2004 yang terdaftar 300 unit dan yang beroperasi 222 unit. Kondisi tersebut diatas
menunjukkan bahwa armada dari tahun 2000 hingga tahun 2004 baik yang
terdaftar dan yang beroperasi bertambah, yang diakibatkan oleh adnya perusahaan
angkutan udara berjadwal baru yang mulai beroperasi.
Pada tahun 2005 ada 315 yang terdaftar dan 213 yang beroperasi. Apabila
dibandingkan tahun 2004, jumlah armada yang terdaftar mengalami peningkatan.
Tetapi, jumlah armada yang beroperasi mengalami penurunan. Kondisi armada
udara untuk selanjutnya dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Perkembangan Armada Udara Angkutan Udara Berjadwal
Tahun 1997-2005
No. Tahun Armada Udara
Terdaftar %
Pertumbuhan Armada Udara
Beroperasi %
Pertumbuhan 1. 1997 217 - 176 - 2. 1998 162 -25.35 93 -47.17 3. 1999 145 -10.50 104 11.83 4. 2000 160 10.35 116 11.54 5. 2001 174 8.75 135 16.38 6. 2002 192 10.35 143 59.26 7. 2003 260 35.42 193 34.96 8. 2004 300 15.38 222 15.02 9. 2005 315 5.00 213 -4.05
Sumber: Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (September 2006), diolah.
5.1.4 Perkembangan Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjadwal Nasional
Perkembangan penumpang angkutan udara dari tahun 1988 sampai tahun
1997 mengalami peningkatan dengan rata-rata pertumbuhan pertahun 6.17%.
Akibat adanya krisis ekonomi maka jumlah penumpang mengalami penurunan
62
drastis, sebesar -43.14% pada tahun 1998 dan penurunan tersebut terus berlanjut
hingga tahun 1999. Pada tahun 2000 hingga tahun 2005 jumlah penumpang terus
mengalami peningkatan seperti terlihat pada Tabel 6 berikut.
Tabel 6 Perkembangan Penumpang pada Angkutan Udara Domestik Berjadwal
Tahun Penumpang (orang) % Pertumbuhan 1988 8.068.554 - 1989 8.942.540 10.8 1990 8.719.253 -2.49 1991 9.166.637 5.13 1992 9.527.207 3.93 1993 10.102.101 6.03 1994 11.661.102 15.40 1995 12.948.854 11.04 1996 13.831.105 6.81 1997 13.831.526 0.00003 1998 7.863.836 -43.14 1999 6.476.213 -17.64 2000 7.622.570 17.70 2001 9.168.059 20.28 2002 12.333.035 34.52 2003 19.181.294 55.53 2004 23.763.950 23.89 2005 28.992.019 22.00
Sumber: Direktorat Jenderal Perhubungan (September 2006), diolah.
Dengan kembali membaiknya keadaan perekonomian sejak tahun 2000
telah memberikan respon positif terhadap perkembangan industri penerbangan
Indonesia. Apabila dibandingkan dengan kondisi krisis moneter tahun 1997-1998
yang mengalami penurunan jumlah penumpang akibat daya beli masyarakat yang
turun drastis dan karena faktor sosial, keamanan dan politik yang tidak
mendukung. Bahkan pada tahun 1998 salah satu perusahaan penerbangan swasta
nasional yang sangat potensial dan inovatif pada masa itu (PT. Sempati Air) telah
berhenti beroperasi.
63
Pertumbuhan perusahaan penerbangan berjadwal di Indonesia pasca krisis
moneter tahun 1998 telah berkembang begitu pesatnya, hal tersebut terjadi akibat
adanya deregulasi penerbangan dan liberalisasi penerbangan yang dilakukan
pemerintah. Dari sudut pandang masyarakat pemakai jasa transportasi udara
kondisi semacam ini sangat menguntungkan, dimana konsumen dihadapkan pada
banyak pilihan. Sementara dari sudut pandang perusahaan penerbangan baik lama
maupun baru, dengan semakin banyaknya perusahaan penerbangan yang
beroperasi, maka akan memacu dan memotivasi ke arah persaingan yang lebih
sehat. Pertumbuhan dan perkembangan perusahaan penerbangan baru pasca krisis
moneter berdampak baik, karena hal ini memperlihatkan kegairahan dan
optimisme di kalangan swasta untuk ikut menggerakkan roda perekonomian
nasional guna mempercepat proses pemulihan perekonomian nasional.
5.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tarif
5.2.1 Hasil Estimasi Model
Hasil estimasi koefisien-koefisien variabel persamaan regresi akan
ditampilkan berdasarkan estimasi pada tiap kategori bandara. Estimasi ini
dilakukan dengan program Eviews 4.1 dengan berbagai kelebihan dan kelemahan
penggunaan program software tersebut. Model untuk bandara–bandara yang
diteliti menggunakan estimasi data panel sebagaimana diuraikan pada metode
penelitian ini. Model ini harus memenuhi asumsi klasik untuk estimasi regresi
OLS karena menggunakan prosedur pooled ordinary least square (OLS).
64
Hasil estimasi dengan menggunakan model pooled dijelaskan dalam tabel
7 yang merupakan ringkasan dari lampiran 4. Model ini menunjukkan variabel
yang sama untuk setiap individu pengamatan. Variabel penjelas yang signifikan
secara statistik dengan tingkat = 5 % adalah variabel CARRIERS, PASS,
MILES, POP, INC, STOP dan HUB.
Tabel 7. Hasil Estimasi dengan Model Pooled Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -199207.1 68332.64 -2.915255 0.0071CARRIERS? -61406.90 2507.243 -24.49180 0.0000
PASS? 3689.974 328.6298 11.22836 0.0000MILES? -0.763776 0.075995 -10.05029 0.0000
POP? 1957.256 236.2443 8.284883 0.0000INC? -1.681566 0.212173 -7.925454 0.0000
STOP? 0.021997 0.004696 4.683863 0.0001HUB? 0.016280 0.001516 10.73879 0.0000
Weighted Statistics R-squared 0.992084 Mean dependent var 1110084. Adjusted R-squared 0.990031 S.D. dependent var 1052588. S.E. of regression 105093.5 Sum squared resid 2.98E+11 F-statistic 483.3859 Durbin-Watson stat 1.297716 Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics R-squared 0.714320 Mean dependent var 411515.3 Adjusted R-squared 0.640255 S.D. dependent var 181172.9 S.E. of regression 108665.3 Sum squared resid 3.19E+11 Durbin-Watson stat 0.994797
Nilai R2 atau koefisien determinasi 0.992084 yang menunjukkan bahwa
99.20% keberagaman (shifting) pertumbuhan tarif pada bandara-bandara tujuan
Batam dapat dijelaskan oleh model diatas. Hasil uji ini diperkuat dengan tingginya
F-statistik yang signifikan pada tingkat kepercayaan 95% dan tingkat = 5 %
sebesar 0.000000.
65
Hasil estimasi dengan menggunakan model efek tetap (fixed effect)
dijelaskan dalam tabel 8 yang merupakan ringkasan dari lampiran 5. Tabel 8
menunjukkan koefisien yang sama untuk setiap individu, dan intersep yang
berbeda untuk setiap individu. Variabel penjelas yang signifikan secara statistik
dengan tingkat =5% adalah CARRIERS dan STOP. Sedangkan variabel PASS,
MILES, POP, INC dan HUB tidak signifikan.
Tabel 8. Hasil Estimasi dengan Model FixedVariable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
CARRIERS? -30132.22 10387.50 -2.900816 0.0085PASS? 2025.252 1071.478 1.890148 0.0726
MILES? 0.015347 0.220292 0.069664 0.9451POP? -966.6445 9.05E+17 -1.07E-15 1.0000INC? -0.379103 5.59E+14 -6.78E-16 1.0000
STOP? -0.188515 0.038218 -4.932617 0.0001HUB? -0.024710 0.012289 -2.010649 0.0574
Fixed Effects _BANDARA1--C 4000877._BANDARA2--C 3890190._BANDARA3--C 2000910._BANDARA4--C 2025703._BANDARA5--C 585947.7_BANDARA6--C 2498645._BANDARA7--C 2128178.
Weighted Statistics R-squared 0.995780 Mean dependent var 1265155. Adjusted R-squared 0.993167 S.D. dependent var 1209451. S.E. of regression 99972.12 Sum squared resid 2.10E+11 F-statistic 381.1693 Durbin-Watson stat 1.460345 Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics R-squared 0.757202 Mean dependent var 411515.3 Adjusted R-squared 0.606898 S.D. dependent var 181172.9 S.E. of regression 113591.4 Sum squared resid 2.71E+11 Durbin-Watson stat 0.921453
Hal ini menunjukkan bahwa model estimasi pada tabel 8 tidak memenuhi
asumsi klasik OLS atau belum terbebas dari masalah statistik terutama
66
multikolinearitas. Dan setelah dilakukan dengan uji CHOW maka model yang
akan digunakan adalah model Pooled.
Model Pooled pada tabel 7 harus memenuhi asumsi klasik regresi. Untuk
multikolinearitas, model diatas menunjukkan tidak terdapat multikolinearitas
dengan memperhatikan hasil probabilitas t statistic regresi. Semua variabel model
pada tabel 7 menunjukkan hasil yang signifikan pada taraf nyata 5 %.
Untuk mendeteksi heteroskedastisitas (karena menggunakan data cross
section), maka perlu estimasi dengan pendekatan atau metode General Least
Square (Cross Section Weights) yaitu Sum Square Resid Weighted Statistics <
Sum Square Resid Unweighted Statistics (2.98x1011<3.19x1011), dimana GLS
(Cross Section Weights) dengan estimasi White Heteroscedasticity tidak
memberikan perbedaan pada koefisien regresi, tetapi standar error koefisien
memang menjadi lebih rendah. Ini sekaligus menunjukkan bahwa
heteroskedastisitas sesungguhnya tidak ada pada data awal, ataupun jika ada, tidak
signifikan.
Dari tabel 7 dengan nilai Durbin Watson sebesar 1.297716
(1.034<1.297716<1.967) diketahui hasilnya tidak dapat ditentukan, artinya
kalaupun terdapat autokorelasi namun hal tersebut dapat diabaikan. Dari uji syarat
OLS klasik dapat disimpulkan bahwa model pada tabel 7 adalah model yang
terbaik untuk menjelaskan penelitian ini.
67
5.2.2 Interpretasi Model
Setelah mengestimasi model pada Tabel 7 maka langkah selanjutnya
adalah interpretasi terhadap persamaan regresi dari model diatas. CARRIERS
berpengaruh negatif terhadap tarif. Hal ini terjadi karena dengan semakin banyak
jumlah maskapai (CARRIERS) maka akan semakin kompetitif rute tersebut
sehingga tarif akan menjadi murah. Nilai koefisien CARRIERS sebesar -61406.90
artinya jika jumlah maskapai (CARRIERS) bertambah 1 maskapai penerbangan
(perusahaan penerbangan) maka akan terjadi penurunan tarif (fares) sebesar Rp.
61406.90.
Terkait dengan teori Contestable Market, bahwa pasar industri
penerbangan tidak pernah memiliki banyak jumlah pemain tetapi tetap berada
pada tingkat harga yang kompetitif karena pasar industri penerbangan biasanya
contestable. Dalam definisi Baumol (1982) dikatakan bahwa Contestable Market
adalah pasar dimana terdapat kebebasan masuk dan keluar dari industri karena
costless. Walaupun sebenarnya struktur industri penerbangan memiliki struktur
cost yang relatif tinggi dan dibutuhkan investasi yang besar untuk masuk dalam
industri tersebut namun perusahaan maskapai baru terus bermunculan.
Hal ini dimungkinkan oleh kerangka contestable market, dimana CM
terjadi jika “entry in absolutly free and exit is absolutly costless” (Baumol,1982).
Absolutly free entry karena pemain baru memproduksi barang yang sama dengan
pemain lama. Costless exit memungkinkan karena sunk cost tidak ada (relatif
kecil). Dalam CM, pengaruh market power menjadi tidak ada atau menjadi sangat
kecil dan tidak signifikan. Implikasinya adalah penentuan harga tidak lagi
68
didasarkan pada struktur pasar, dalam hal ini dicerminkan oleh jumlah maskapai
penerbangan dalam suatu pasar sehingga berapa pun jumlahnya baik dalam pasar
yang terkonsentrasi maupun tidak, tidak akan memiliki pengaruh pada penentuan
tarif. Hal ini dimungkinkan oleh karena adanya potensi bagi pesaing baru masuk
ke dalam pasar tersebut kapan saja sehingga membuat pemain lama
memberlakukan harga yang kompetitif bahkan bila jumlah maskapai penerbangan
aktual dalam pasar cukup sedikit.
Jika industri penerbangan merupakan CM maka seharusnya jumlah
maskapai dan kosentrasi pasar tidak mempengaruhi atau tidak memiliki korelasi
apa pun pada tarif. Hal ini disebut perfectly contestable market. Bila jumlah
maskapai dan tingkat konsentrasi pasar memiliki korelasi dengan harga tiket yang
lebih tinggi maka hal ini merupakan indikasi bahwa pasar menjadi less
contestable (tidak lagi perfectly contestable market).
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka untuk rute
domestik tujuan Batam, jumlah maskapai berpengaruh terhadap pembentukkan
harga tarif sehingga pasar industri penerbangan tujuan Batam tidak perfectly
contestable. Jadi, teori CM tidak terjadi karena struktur pasarnya yang diwakili
oleh jumlah maskapai masih mempengaruhi terbentuknya tarif yang sesuai dalam
teori Neoklasik.
PASS (jumlah penumpang) berpengaruh positif terhadap tarif. Ini berarti
semakin banyak jumlah penumpang atau pengguna jasa, semakin banyak pula
permintaan terhadap jasa penerbangan. Besarnya permintaan konsumen terhadap
tiket pesawat maka memberi kesempatan bagi maskapai penerbangan untuk
69
menaikkan tarif. Koefisien PASS sebesar 3689.974, artinya jika jumlah
penumpang (PASS) bertambah 1 orang maka akan terjadi kenaikan tarif (fares)
sebesar Rp. 3689.974.
MILES (jarak tempuh) berpengaruh negatif terhadap tarif. Hal ini berarti
semakin jauh jarak tempuh maka akan semakin rendah tarif yang dikenakan.
Variabel ini tidak sesuai dengan teori, hal ini mengindikasikan bahwa tarif yang
ditetapkan oleh maskapai penerbangan juga mempertimbangkan keputusan yang
ditetapkan oleh maskapai penerbangan lain dan moda transportasi lain. Pengguna
jasa masih mempertimbangkan untuk menggunakan moda transportasi lain untuk
jarak tempuh yang pendek. Kondisi ini menyebabkan maskapai-maskapai
penerbangan lebih memilih rute dengan jarak tempuh yang jauh sehingga rute ini
menjadi kompetitif. Semakin kompetitif suatu rute maka maskapai penerbangan
akan semakin bersaing dalam memperebutkan penumpang yaitu dengan cara
melakukan strategi harga. Koefisien MILES sebesar -0.763776, artinya jika jarak
tempuh (MILES) bertambah 1 km maka akan terjadi penurunan tarif sebesar Rp.
0.763776.
POP (jumlah penduduk kota asal) berpengaruh positif terhadap tarif. Hal
ini berarti semakin banyak jumlah penduduk suatu propinsi maka akan semakin
banyak permintaan terhadap jasa penerbangan. Koefisien POP sebesar 1957.256,
artinya jika jumlah penduduk (POP) bertambah 1 orang maka akan terjadi
kenaikan tarif sebesar Rp. 1957.256.
INC (PDRB per kapita kota asal) berpengaruh negatif terhadap tarif. Hal
ini berarti semakin tinggi pendapatan domestik regional bruto per kapita suatu
70
propinsi atau wilayah maka semakin rendah tarif yang ditetapkan. Variabel ini
tidak sesuai dengan teori, hal ini mengindikasikan bahwa keputusan tarif yang
ditetapkan oleh maskapai penerbangan juga mempertimbangkan kondisi maskapai
penerbangan lain. Semakin banyak maskapai penerbangan memilih rute dengan
PDRB per kapita suatu kota tinggi menjadi penyebab adanya penurunan tarif
karena maskapai penerbangan akan bersaing dalam memperoleh penumpang
melalui harga murah. Koefisien INC sebesar -1.681566, artinya jika pendapatan
per kapita suatu propinsi (INC) naik Rp. 1 maka akan terjadi penurunan terhadap
tarif sebesar Rp. 1.681566.
STOP (jumlah transit) berpengaruh positif terhadap tarif. Hal ini
disebabkan karena bandara Hangnadim Batam merupakan salah satu bandara
Internasional sehingga akan banyak penumpang melalui bandara ini untuk transit
yang menyebabkan harga akan naik karena tingginya permintaan akan jasa
penerbangan ini. Koefisien STOP sebesar 0.021997, artinya jika jumlah transit
(STOP) bertambah 1 orang maka akan terjadi kenaikan tarif sebesar Rp. 0.021997.
HUB (karakteristik bandara penghubung) berpengaruh positif terhadap
tarif. Hal ini disebabkan karena pada bandara yang merupakan HUB akan banyak
maskapai penerbangan yang transit untuk menuju ke kota lain. Koefisien HUB
sebesar 0.016280, artinya bahwa tarif dengan adanya karakteristik bandara
penghubung meningkat 0.016280 dibandingkan jika tidak ada bandara
penghubung. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa adanya karakteristik bandara
penghubung direspon secara positif oleh maskapai penerbangan.
Berikut akan dilihat perbandingan dengan Model Paul Bauer:
71
Tabel 9. Perbandingan Penelitian Bauer dengan Penelitian Wulandari:
Paul Bauer Tika Wulandari Variabel First Class Coach Class Discount Fares Economy Class
Negatif dan tidak signifikan. Hubungan antara Carriers dan tarif negatif tetapi penambahan jumlah maskapai tidak mempengaruhi tarif.
Negatif dan signifikan. Penambahan jumlah maskapai akan menurunkan tarif dan mempengaruhi terbentuknya tarif.
Negatif dan signifikan. Penambahan jumlah maskapai akan menurunkan tarif dan mempengaruhi terbentuknya tarif.
Negatif dan signifikan. Semakin banyak jumlah maskapai maka semakin rendah tarif dan Carriers ini mempengaruhi terbentuknya tarif.
Positif dan tidak signifikan. Semakin banyak jumlah maskapai dikuadratkan maka akan semakin tinggi tarif tetapi tidak mempengaruhi terbentuknya tarif.
Positif dan signifikan. Semakin banyak jumlah maskapai dikuadratkan maka akan semakin tinggi tarif dan Carriers2 ini berpengaruh terhadap pembentukkan tarif.
Positif dan signifikan. Semakin banyak jumlah maskapai dikuadratkan maka akan semakin tinggi tarif dan Carriers2 ini berpengaruh terhadap pembentukkan tarif.
Tidak ada untuk menghindari terjadinya multikoliniaritas antar variabel.
Karakteristik Penebangan: CARRIERS CARRIERS2 SLOT
Positif dan tidak signifikan. Jika bandara kota asal memiliki peraturan Slot maka semakin tinggi tarif tetapi tidak berpengaruh terhadap pembentukkan tarif.
Negatif dan tidak signifikan. Jika bandara kota asal memiliki peraturan Slot maka semakin rendah tarif tetapi tidak mempengaruhi terbentuknya tarif.
Positif dan signifikan. Jika bandara kota asal memiliki peraturan Slot maka semakin tinggi tarif dan mempengaruhi terbentuknya tarif.
Tidak ada karena kodisi bandara di Indonesia yang tidak memiliki regulasi Slot dan semua penerbangan yang ada merupakan penerbangan yang ada merupakan penerbangan berjadwal.
72
Positif dan tidak signifikan. Semakin banyak jumlah transit maka semakin tinggi tarif tetapi jumlah transit tidak mempengaruhi terbentuknya tarif.
Positif dan signifikan. Semakin banyak jumlah transit maka semakin tinggi tarif dan jumlah transit ini berpengaruh terhadap terbentuknya tarif.
Negatif dan signifikan. Semakin banyak jumlah transit maka semakin rendah tarif dan jumlah transit berpengaruh terhadap terbentuknya tarif.
Positif dan signifikan. Semakin banyak jumlah tarnsit maka semakin tinggi tarif dan berpengaruh terhadap pembentukan tarif.
Positif dan tidak signifikan. Jika maskapai penerbangan menyediakan makanan maka tarif semakin tinggi tetapi penyediaan makanan tidak mempengaruhi terbentuknya tarif untuk kelas ini.
Positif dan tidak signifikan. Jika maskapai menyediakan makanan maka tarif semakin tinggi dan penyediaan makanan ini mempengaruhi terbentuknya tarif.
Positif dan tidak signifikan. Jika maskapai penerbangan menyediakan makanan maka tarif semakin tinggi tetapi penyediaan ini tidak mempengaruhi terbentuknya tarif.
Tidak ada karena terdapat kesulitan dalam mengkalsifikasikan maskapai penerbangan yang menyediakan makanan berat, makanan ringan, hanya air mineral dan tidak menyediakan makanan atau minuman.
Negatif dan tidak signifikan. Jika penerbangan per rute dilayani oleh EA maka tarif semakin rendah tetapi tidak berpengaruh terhadap tarif.
Positif dan tidak signifikan. Jika penerbangan per rute dilayani oleh EA maka tarif semakin tinggi tetapi tidak berpengaruh terhadap tarif.
Negatif dan signifikan. Jika penerbangan per rute dilayani oleh EA maka tarif semakin rendah dan mempengaruhi terbentuknya tarif.
Tidak ada karena seluruh penerbangan yang ada di Indonesia merupakan penerbangan nasional.
STOP MEAL EA CO
Negatif dan signifikan. Jika penerbangan per
Negatif dan signifikan. Jika penerbangan per
Negatif dan tidak signifikan. Jika
Tidak ada karena seluruh penerbangan
73
rute dilayani oleh CO maka tarif akan semakin rendah dan mempengaruhi terhadap pembentukkan tarif.
rute dilayani oleh CO maka tarif akan semakin rendah dan mempengaruhi terhadap pembentukkan tarif.
penerbangan per rute dilayani oleh CO maka tarif akan semakin rendah tetapi tidak mempengaruhi terhadap pembentukkan tarif.
yang ada di Indonesia merupakan penerbangan nasional.
Negatif dan signifikan. Besarnya jumlah penduduk kota asal akan menurunkan tarif dan mempengaruhi terbentuknya tarif.
Negatif dan tidak signifikan. Besarnya penduduk kota asal akan menurunkan tarif tetapi jumlah penduduk tidak berpengaruh terhadap pembentukan tarif.
Negatif dan tidak signifikan. Besarnya penduduk kota asal akan menurunkan tarif tetapi jumlah penduduk tidak berpengaruh terhadap pembentukan tarif.
Positif dan signifikan. Semakin banyak jumah penumpang maka semakin tinggi tarif dan jumlah penduduk ini mempengaruhi terbentuknya tarif.
Karakteristik Kota Asal: POP INC
Negatif dan tidak signifikan. Semakin tinggi PDRB per Kapita maka semakin rendah tarif tetapi PDRB per kapita ini tidak mempengaruhi tebentuknya tarif.
Negatif dan tidak signifikan. Semakin tinggi PDRB per Kapita maka semakin rendah tarif tetapi PDRB per kapita ini tidak mempengaruhi tebentuknya tarif.
Negatif dan signifikan. Semakin tinggi PDRB per Kapita maka semakin rendah tarif dan mempengaruhi terbentuknya tarif. Hal ini disebabkan karena dengan tingginya PDRB per Kapita penumpang maka mereka mengharapkan adanya kompensasi dalam memperoleh tarif
Negatif dan signifikan. Semakin tinggi PDRB per Kapita kota asal maka semakin rendah tarif dan berpengaruh terhadap pembentukkan tarif.
74
yang rendah untuk terbang dengan tiket diskon.
CORP
Positif dan signifikan. Jika kota asal termasuk kedalam kota bisnis maka semakin tinggi tarif dan mempengaruhi terbentuknya tarif.
Positif dan signifikan. Jika kota asal termasuk kedalam kota bisnis maka semakin tinggi tarif dan mempengaruhi terbentuknya tarif.
Negatif dan signifikan. Jika kota asal termasuk kedalam kota bisnis maka semakin rendah tarif dan mempengaruhi terbentuknya tarif.
Tidak ada karena adanya kesulitan dalam membuat Proxy kota asal sebagai kota bisnis dan perdagangan.
PASS Negatif dan tidak signifikan. Semakin banyak jumlah penumpang maka semakin rendah tarif tetapi PASS ini tidak mempengaruhi terbentuknya tarif.
Negatif dan tidak signifikan. Semakin banyak jumlah penumpang maka semakin rendah tarif tetapi PASS ini tidak mempengaruhi terbentuknya tarif.
Positif dan signifikan. Semakin banyak jumlah penumpang maka semakin tinggi tarif dan PASS ini mempengaruhi terbentuknya tarif.
Positif dan signifikan. Semakin banyak jumlah penumpang maka semakin tinggi tarif dan Pass ini mempengaruhi terbentuknya tarif.
MILES Positif dan tidak signifikan. Semakin jauh jarak tempuh maka semakin tinggi tarif tetapi tidak mempengaruhi terbentuknya tarif.
Positif dan signifikan. Semakin jauh jarak tempuh maka semakin tinggi tarif dan jarak tempuh ini mempengaruhi terbentuknya tarif.
Positif dan signifikan. Semakin jauh jarak tempuh maka semakin tinggi tarif dan jarak tempuh ini mempengaruhi terbentuknya tarif
Negatif dan signifikan. Semakin jauh jarak tempuh maka semakin rendah tarif dan jarak tempuh ini mepengaruhi
MILES2 Negatif dan tidak signifikan. Semakin jauh jarak tempuh dikuadratkan maka
Negatif dan signifikan. Semakin jauh jarak tempuh dikuadratkan maka semakin rendah
Negatif dan signifikan. Semakin jauh jarak tempuh dikuadratkan maka semakin rendah
Tidak ada untuk menghindari terjadinya multikoliniaritas antar variabel.
75
semakin rendah tarif tetapi MILES2 ini tidak berpengaruh terhadap pembentukkan tarif.
tarif dan MILES2 ini berpengaruh terhadap pembentukkan tarif.
tarif dan MILES2 ini berpengaruh terhadap pembentukkan tarif.
HUB Positif dan tidak signifikan. Jika bandara tergolong sebagai bandara penghubung maka semakin tinggi tarif tetapi kategori bandara penghubung ini tidak berpengaruh terhadap tarif.
Positif dan tidak signifikan. Jika bandara tergolong sebagai bandara penghubung maka semakin tinggi tarif tetapi kategori bandara penghubung ini tidak berpengaruh terhadap tarif.
Negatif dan tidak signifikan. Jika bandara tergolong sebagai bandara penghubung maka semakin rendah tarif tetapi kategori bandara penghubung ini tidak berpengaruh terhadap tarif.
Positif dan signifikan. Jika bandara tergolong sebagai bandara penghubung maka semakin tinggi tarif dan berpengaruh terhadap pembentukkan tarif.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Perkembangan Industri penerbangan di Indonesia tiap tahunnya selalu
mengalami peningkatan. Hal tersebut dapat dilihat dari perkembangan
jumlah maskapai dari tahun 1996-2006 yang terus mengalami peningkatan
dari hanya 6 perusahaan hingga tahun 2006 berjumlah 19 perusahaan.
Kemudian perkembangan rute penerbangan selama periode 1997-2005
cukup berfluktuatif akibat adanya krisis moneter pada tahun 1998-1999,
namun tetap cenderung mengalami peningkatan, dimana hingga tahn 2005
terdapat 167 penggal rute yang menghubungkan 92 kota di Indonesia.
Perkembangan armada pesawat udara dari tahun 1997-2005 mengalami
peningkatan dengan 315 armada yang terdaftar dan 213 yang beroperasi.
Selanjutnya, untuk perkembangan jumlah penumpang dari tahun 1988-
2005 cukup berfluktuatif, dimana tahun 1998-1999 mengalami penurunan
yang drastis akibat adanya krisis moneter. Namun setelah krisis moneter,
pertumbuhan jumlah penumpang berkembang pesat, dimana hingga tahun
2005 mencapai 22.992.019 orang.
2. Variabel yang memiliki pengaruh secara signifikan terhadap tarif tujuan
Batam adalah CARRIERS, PASS, MILES, POP, INC, STOP dan HUB.
Adanya variabel yang tidak sesuai dengan hipotesis untuk MILES dan INC
mengindikasikan bahwa tarif yang ditetapkan oleh maskapai penerbangan
79
juga mempertimbangkan keputusan yang ditetapkan oleh maskapai
penerbangan lain dan moda transportasi lain.
3. Variabel dummy HUB (karakteristik bandara penghubung) yang
berpengaruh terhadap tarif menunjukkan bahwa dengan adanya bandara
yang merupakan HUB akan banyak maskapai penerbangan yang transit
untuk menuju ke kota lain.
6.2 Saran
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai Industri
Penerbangan domestik terutama untuk penerbangan kelas ekonomi, maka penulis
menyarankan:
1. Untuk penelitian selanjutnya dengan menambah variabel-variabel seperti:
a). load factor untuk melihat pengaruh hunian tempat duduk, b). market
share karena variabel ini berpengaruh terhadap struktur pasar yang ada, c).
karakteristik kota asal sebagai kota bisnis karena menjadi dengan adanya
karakteristik ini akan menjadi pertimbangan bagi maskapai penerbangan
yang ada untuk menempuh rute itu, d). Pelayanan berupa penyediaan
makanan karena akan menjadi daya tarik bagi penumpang dalammemilih
maskapai penerbangan yang menyediakan pelayanan ini.
2. Dengan semakin banyaknya jumlah maskapai sehingga menimbulkan
persaingan dalam harga maka sebaiknya pemerintah harus melakukan
pengawasan melalui Komisi Pengawas Persaingan Usaha agar tidak terjadi
persaingan yang tidak sehat antar maskapai.
80
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Thomas J. 1958. Our Competitive System and Public Policy.South Western Publishing Company, Cincinnati.
Alistair, Armytha. 2004. Analisis Pendekatan Struktur-Perilaku-Kinerja pada
Industri Tepung Terigu di Indonesia Pasca Penghapusan Monopoli BULOG [Skripsi]. Fakultas Ilmu Ekonomi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Badan Pusat Statistik. 2001-2005. Produk Domestik Regional Bruto
Kabupaten/Kota Indonesia. BPS, Jakarta. Basri, Faisal. 2002. Perekonomian Indonesia: Tantangan dan Harapan Bagi
Kebangkitan Ekonomi Indonesia. Erlangga, Jakarta. Bauer, Paul W. dan Thomas J. Zlatoper. 1989. “The Determinants of Direct Air
Fares To Cleveland: How Competitive”. Economic Review-Federal Reserve Bank of Cleveland, First Quarter: 225-248.
Baumol, William. J., John C. Panzaar, dan Robert D. Willig. 1982. Contestable
Markets and Theory of Industry Structure. Mc. Graw-Hill, New York. Budi, N.A.A. Titie. 2005. Analisis Kebijakan Industri Penerbangan Domestik
Berjadwal di Indonesia [Tesis]. Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, Universitas Indonesia, Depok.
Gujarati, Damodar N. 2003. Basic Econometrics. Fourth Edition. Mc Graw-Hill,
New York. Hasibuan, Nurimansyah. 1994. Ekonomi Industri: Persaingan, Monopoli dan
Regulasi. LP3ES, Jakarta. Hsiao, Cheng. 1986. Analysis of Panel Data. Cambridge. University Press,
Cambridge. Jaya, W. H. 2001. Ekonomi Industri. BPFE, Yogyakarta. Lipsey, G.R. 1995. Pengantar Mikroekonomi. Jilid 1. Binarupa Aksara, Jakarta. Morrison, Steven dan Clifford Winston. 1990. ”The Dynamics of Airline Pricing
dan Competition”. American Economic Review. 80(2): 389-393. Pusapasari, Citra. 2006. Analisis Struktur-Perilaku-Kinerja Mi Instan di Indonesia
[Skripsi]. Fakultas Ilmu Ekonomi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
81
Pyndick, Robert S. dan Daniel L. Rubinfeld. 1998. Econometric Models and Economic Forecast. Fourth Edition. Mc Graw-Hill, Singapore.
Putri, Ismalianti. 2004. Analisis Struktur Kinerja dan Perilaku Industri Kretek di
Indonesia [skripsi]. Fakultas Ilmu Ekonomi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rahman, M.Fathur. 2 April 2005. ”Tiga Perubahan Besar Bisnis Angkutan Udara
Di Indonesia”. Transpor, Volume 23:25. Shepherd, W.G. 1979. The Economics of Industrial Organization. Prentice Hall,
New Jersey. Siswanto, Arie. 2002. Hukum Persaingan Usaha. Ghalia Indonesia, Jakarta. Sjahrir. 1995. Formasi Mikro-Makro Ekonomi Indonesia. Universitas Indonesia
(UI Press), Jakarta.
83
Lampiran 1. DATA TOTAL
FARES_1 CARRIERS_1 PASS_1 MILES_1 POP_1 INC_1 STOP_1 HUB_1 2001 520000 7 155965 854.51 8396500 28323213.64 16922 1 2002 433000 8 230946 854.51 8382000 29710115.28 33001 1 2003 417036 8 333614 854.51 8640000 30322082.60 28937 1 2004 395000 9 471457 854.51 8750000 31648557.42 37315 1 2005 360000 12 547303 854.51 8700000 33739004.79 39275 1 FARES_2 CARRIERS_2 PASS_2 MILES_2 POP_2 INC_2 STOP_2 HUB_2 2001 689000 1 12494 663.51 11722397 6348055.80 16922 0 2002 650000 1 15982 663.51 11942000 6500298.14 33001 0 2003 575000 4 20943 663.51 11923000 6912636.88 28937 0 2004 559000 2 85758 663.51 12123000 7113343.54 37315 0 2005 486000 3 71341 663.51 12453000 7257639.61 39275 0 FARES_3 CARRIERS_3 PASS_3 MILES_3 POP_3 INC_3 STOP_3 HUB_3 2001 525000 1 10973 474.11 4243510 5683414.35 16922 0 2002 470000 1 13527 474.11 4298000 5876781.66 33001 0 2003 438000 2 17958 474.11 4476000 5929062.44 28937 0 2004 399000 2 30424 474.11 4535000 6180142.83 37315 0 2005 378000 1 34265 474.11 4402000 6733780.64 39275 0 FARES_4 CARRIERS_4 PASS_4 MILES_4 POP_4 INC_4 STOP_4 HUB_4 2001 469000 2 49636 306.24 3841070 18069392.21 16922 0 2002 430000 3 59407 306.24 4125295 17249481.27 33001 0 2003 379000 4 70305 306.24 4413432 16479851.40 28937 0
84
2004 328000 4 117103 306.24 4491393 16601028.83 37315 0 2005 310000 5 112941 306.24 4614532 16989203.32 39275 0 FARES_5 CARRIERS_5 PASS_5 MILES_5 POP_5 INC_5 STOP_5 HUB_5 2001 179000 1 789 51.12 516087 15221022.58 16922 0 2002 155000 1 882 51.12 531754 13491952.38 33001 0 2003 99000 1 274 51.12 581787 12349165.24 28937 0 2004 0 0 0 51.12 596997 12302693.83 37315 0 2005 0 0 0 51.12 615434 12385051.62 39275 0 FARES_6 CARRIERS_6 PASS_6 MILES_6 POP_6 INC_6 STOP_6 HUB_6 2001 575000 2 18567 452.15 6932637 6068973.32 16922 0 2002 520000 2 24606 452.15 7226000 6043909.63 33001 0 2003 489000 2 19555 452.15 6522000 6991368.3 28937 0 2004 435000 2 32549 452.15 6628000 7196151.79 37315 0 2005 388000 2 33877 452.15 6756000 7407230.75 39275 0 FARES_7 CARRIERS_7 PASS_7 MILES_7 POP_7 INC_7 STOP_7 HUB_7 2001 669000 1 12694 605.47 3788862 4861446.67 16922 0 2002 628000 1 12446 605.47 4198000 4614895.9 33001 0 2003 545000 2 20315 605.47 3969000 5081418.83 28937 0 2004 469000 2 24688 605.47 4033000 5224170.5 37315 0 2005 42000 2 24660 605.47 4394000 5023010.06 39275 0
85
Lampiran 2. Hasil Estimasi Model Bauer
Dependent Variable: FARES? Method: Pooled Least Square Date: 05/24/07 Time: 11:19 Sample: 2001 2005 Included observations: 5 Number of cross-sections used: 7 Total panel (balanced) observations: 35
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 194034.7 166407.5 1.166022 0.2546
CARRIERS? -30073.30 30984.76 -0.970583 0.3411CARRIERS2? 1394.975 2851.655 0.489181 0.6290
PASS? -0.003493 0.536333 -0.006512 0.9949MILES? 1522.990 430.4027 3.538523 0.0016MILES2? -1.199863 0.520680 -2.304414 0.0298
POP? 0.015845 0.008342 1.899362 0.0691INC? 0.006876 0.008739 0.786738 0.4388
STOP? -8.483084 2.276332 -3.726647 0.0010HUB? -124132.4 231867.2 -0.535360 0.5971
R-squared 0.819583 Mean dependent var 411515.3 Adjusted R-squared 0.754633 S.D. dependent var 181172.9 S.E. of regression 89743.18 Sum squared resid 2.01E+11 F-statistic 12.61865 Durbin-Watson stat 1.652031 Prob(F-statistic) 0.000000
86
Lampiran 3. Hasil Estimasi dengan Model Pooled
Dependent Variable: FARES? Method: GLS (Cross Section Weights) Date: 06/21/07 Time: 16:50 Sample: 2001 2005 Included observations: 5 Number of cross-sections used: 7 Total panel (balanced) observations: 35 One-step weighting matrix
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -199207.1 72104.70 -2.762747 0.0102
CARRIERS? -61406.90 8676.358 -7.077497 0.0000PASS? 3689.974 1083.343 3.406099 0.0021
MILES? -0.763776 0.184778 -4.133470 0.0003POP? 1957.256 259.4783 7.543044 0.0000INC? -1.681566 0.242156 -6.944140 0.0000
STOP? 0.021997 0.005646 3.895933 0.0006HUB? 0.016280 0.002087 7.799191 0.0000
Weighted Statistics R-squared 0.992084 Mean dependent var 1110084. Adjusted R-squared 0.990031 S.D. dependent var 1052588. S.E. of regression 105093.5 Sum squared resid 2.98E+11 F-statistic 483.3859 Durbin-Watson stat 1.297716 Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics R-squared 0.714320 Mean dependent var 411515.3 Adjusted R-squared 0.640255 S.D. dependent var 181172.9 S.E. of regression 108665.3 Sum squared resid 3.19E+11 Durbin-Watson stat 0.994797
87
Lampiran 4. Hasil Estimasi dengan Model Pooled (White Heteroskedasticity)
Dependent Variable: FARES? Method: GLS (Cross Section Weights) Date: 06/21/07 Time: 16:53 Sample: 2001 2005 Included observations: 5 Number of cross-sections used: 7 Total panel (balanced) observations: 35 One-step weighting matrix White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -199207.1 68332.64 -2.915255 0.0071
CARRIERS? -61406.90 2507.243 -24.49180 0.0000PASS? 3689.974 328.6298 11.22836 0.0000
MILES? -0.763776 0.075995 -10.05029 0.0000POP? 1957.256 236.2443 8.284883 0.0000INC? -1.681566 0.212173 -7.925454 0.0000
STOP? 0.021997 0.004696 4.683863 0.0001HUB? 0.016280 0.001516 10.73879 0.0000
Weighted Statistics R-squared 0.992084 Mean dependent var 1110084. Adjusted R-squared 0.990031 S.D. dependent var 1052588. S.E. of regression 105093.5 Sum squared resid 2.98E+11 F-statistic 483.3859 Durbin-Watson stat 1.297716 Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics R-squared 0.714320 Mean dependent var 411515.3 Adjusted R-squared 0.640255 S.D. dependent var 181172.9 S.E. of regression 108665.3 Sum squared resid 3.19E+11 Durbin-Watson stat 0.994797
88
Lampiran 5. Hasil Estimasi dengan Model Fixed
Dependent Variable: FARES? Method: GLS (Cross Section Weights) Date: 06/21/07 Time: 16:52 Sample: 2001 2005 Included observations: 5 Number of cross-sections used: 7 Total panel (balanced) observations: 35 One-step weighting matrix
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. CARRIERS? -30132.22 10387.50 -2.900816 0.0085
PASS? 2025.252 1071.478 1.890148 0.0726MILES? 0.015347 0.220292 0.069664 0.9451
POP? -966.6445 9.05E+17 -1.07E-15 1.0000INC? -0.379103 5.59E+14 -6.78E-16 1.0000
STOP? -0.188515 0.038218 -4.932617 0.0001HUB? -0.024710 0.012289 -2.010649 0.0574
Fixed Effects _BANDARA1—C 4000877. _BANDARA2—C 3890190. _BANDARA3—C 2000910. _BANDARA4—C 2025703. _BANDARA5—C 585947.7 _BANDARA6—C 2498645. _BANDARA7—C 2128178.
Weighted Statistics R-squared 0.995780 Mean dependent var 1265155. Adjusted R-squared 0.993167 S.D. dependent var 1209451. S.E. of regression 99972.12 Sum squared resid 2.10E+11 F-statistic 381.1693 Durbin-Watson stat 1.460345 Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics R-squared 0.757202 Mean dependent var 411515.3 Adjusted R-squared 0.606898 S.D. dependent var 181172.9 S.E. of regression 113591.4 Sum squared resid 2.71E+11 Durbin-Watson stat 0.921453