analisis daya saing komoditi udang indonesia di … · “analisis daya saing komoditi udang...
TRANSCRIPT
ANALISIS DAYA SAING KOMODITI UDANG INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL
OLEH
HENDRA RAKHMAWAN H14050558
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL
“ANALISIS DAYA SAING KOMODITI UDANG INDONESIA DI PASAR
INTERNASIONAL” ADALAH BENAR-BENAR KARYA SAYA SENDIRI
YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA
ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Agustus 2009
Hendra Rakhmawan H14050558
RINGKASAN
HENDRA RAKHMAWAN. Analisis Daya Saing Komoditi Udang Indonesia di Pasar Internasional (dibimbing oleh IDQAN FAHMI)
Indonesia merupakan negara yang memiliki wilayah laut yang luas yang meliputi 5,8 juta km2 sehingga memiliki sumberdaya laut yang melimpah dan merupakan sumberdaya yang bergizi tinggi karena kaya akan mineral untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyat Indonesia serta menjadi tumpuan kekuatan ekonomi nasional di masa yang akan datang. Udang merupakan salah satu sumberdaya perikanan yang selain mengandung zat-zat gizi yang tinggi bagi tubuh, juga merupakan salah satu komoditi yang memiliki nilai jual yang tinggi baik di pasar domestik maupun mancanegara. Diketahui berdasarkan Depdag (2009) bahwa realisasi ekspor / devisa yang dihasilkan udang Indonesia pada tahun 2006 sebesar US$ 943.998.000, pada tahun 2007 sebesar US$ 791.854.000 dan meningkat menjadi 1.055.805.000 sampai akhir bulan Agustus 2008.
Meskipun potensi udang Indonesia sangat besar, tetapi terdapat berbagai permasalahan ekspor yang menimpa komoditi udang Indonesia sampai saat ini seperti kalahnya pangsa pasar ekspor udang Indonesia di AS oleh Thailand dan China, jatuhnya harga pasaran udang Indonesia di Jepang karena tingkat persaingan yang tinggi, munculnya tuduhan “transhipment” pasar AS atas ekspor udang Indonesia, penetapan standarisasi Uni Eropa yang memberatkan ekspor udang Indonesia, serta penurunan kualitas udang Indonesia di pasar AS karena krisis global. Sebenarnya komoditi udang Indonesia telah mampu memenuhi permintaan pasar dunia seperti Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang, namun dalam keunggulan seperti kualitas ataupun daya saingnya masih dipertanyakan karena banyaknya masalah-masalah dalam ekspor udang Indonesia seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Karena itu penelitian ini bertujuan menganalisis tingkat daya saing komoditi udang Indonesia, faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing tersebut, serta merumuskan strategi-strategi yang dapat diterapkan untuk mendukung peningkatan daya saing komoditi udang Indonesia. Penelitian ini menggunakan dua analisis yaitu analisis kuantitatif dan analisis kualitatif. Analisis kuantitatif untuk menjelaskan tingkat daya saing keunggulan komparatif yang dilakukan dengan analisis RCA (Revealed Comparative Advantage). Untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing komoditi udang Indonesia (komoditas yang diteliti adalah udang beku dan tak beku pada jenis udang windu dan vanname), dilakukan dengan metode regresi linear berganda yaitu menggunakan analisis OLS (Ordinary Least Square). Sedangkan pada analisis deskriptif kualitatif digunakan analisis Teori Berlian Porter (Porter’s Diamond Theory) untuk pengkajian potensi, kendala, dan peluang yang berarti menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keunggulan kompetitif komoditi udang Indonesia (dalam hal ini yang diteliti adalah jenis udang windu dan udang vanname).
Komoditi udang Indonesia dihasilkan dari kegiatan budidaya tambak (70%) dan penangkapan perairan laut (30%). Pada produksi udang Indonesia sebanyak 95% diekspor, sedangkan 5% sisanya dipasarkan dalam negeri terutama untuk pasar-pasar besar (supermarket). Sampai saat ini pengadaan udang melalui kegiatan budidaya lebih banyak dilakukan oleh usaha kecil (rakyat) maupun industri, sebaliknya penangkapan perairan laut berkurang. Daerah usaha penghasil udang utama Indonesia berada di perairan Jawa dan Sumatera, Papua, sebagian Maluku, Kalimantan, dan Sulawesi Selatan. Dari seluruh daerah tersebut, Lampung merupakan daerah penghasil utama udang Indonesia, dimana jumlah produksinya adalah 40% dari total produksi udang nasional. Lampung pula yang menjadi pelopor budi daya udang nasional berskala dunia seperti yang dilakukan PT Dipasena dan PT Centralproteinaprima. Pada pasar ekspor udang Indonesia meliputi pasar Jepang (sekitar 60% dari total ekspor), Amerika Serikat (16,5%) dan Uni Eropa (12,5%). Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa komoditi udang Indonesia berdaya saing kuat atau Indonesia mempunyai keunggulan komparatif atas komoditi udang Indonesia karena terlihat dari nilai RCA yang mencapai angka puluhan. Sedangkan pada hasil analisis Porter’s Diamond Theory ditunjukkan bahwa komoditi udang Indonesia mempunyai potensi dalam faktor input yaitu sumberdaya alam yang melimpah, sumberdaya manusia, modal serta infrastruktur yang unggul. Tetapi pada penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi komoditi udang Indonesia masih lemah karena kurangnya penerapan teknologi intensif (modern) pada sektor budidaya udang serta teknologi ekspor yang kurang memadai dibandingkan negara pesaingnya seperti Thailand. Selain itu komoditi udang Indonesia juga mempunyai potensi pada permintaan domestik dan ekspor yang tinggi, persaingan yang ketat antarnegara eksportir udang serta adanya peran pemerintah untuk pengembangan komoditi udang Indonesia dan faktor kesempatan yang bagus di dunia internasional. Sedangkan pada industri terkait dan pendukung serta struktur dan strategi ekspor komoditi udang Indonesia yang juga rendah karena belum banyaknya tempat-tempat penelitian benih udang dan kurang berperannya industri pakan udang, sedikitnya industri produk-produk olahan udang yang berorientasi ekspor dan dominasi Chakroen Phokphand Group yang berstruktur monopoli serta belum adanya strategi-strategi khusus dalam ekspor udang Indonesia. Berdasarkan analisis RCA, regresi OLS serta metode Porter’s Diamond Theory didapatkan strategi-strategi peningkatan daya saing komoditi udang Indonesia yang meliputi (1) Meningkatkan kualitas ekspor komoditi udang Indonesia dengan peningkatan ekspor produk-produk olahan udang yang dapat memberikan nilai tambah dan meningkatkan daya saingnya di pasar global. (2) Meningkatkan teknologi intensif (modern) pada budidaya udang serta menciptakan teknologi ekspor yang memadai. (3) Mendirikan tempat-tempat/balai penelitian udang yang memadai untuk menghasilkan benih udang yang berkualitas. (4) Meningkatkan produksi budidaya udang vanname sebagai bibit unggul yang tahan terhadap penyakit. (5) Meningkatkan standarisasi ekspor udang Indonesia. (6) Mendiversifikasi pasar-pasar tujuan ekspor udang Indonesia ke arah yang lebih prospektif seperti pasar Jepang. Pada penelitian tersebut penulis juga
menyarankan adanya peningkatan penguasaan teknologi pada sistem produksi dan pengolahan hasil komoditi udang Indonesia, menciptakan cluster industri udang Indonesia sehingga terjalin kerjasama dan kemudahan dalam akses ketersediaan benih unggul, pakan yang bermutu, serta pengembangan sektor pengolahan udang dan produk olahan udang yang berkualitas untuk menghasilkan nilai tambah dan meningkatkan daya saingnya di pasar global serta menjaga kesinambungan peningkatan jumlah ekspor udang Indonesia agar nilai ekspornya juga ikut meningkat dan mendorong pada peningkatan daya saingnya di pasar dunia.
ABSTRACT
HENDRA RAKHMAWAN. Analysis Competitiveness of Indonesia Shrimp Commodity in International Market (guided by IDQAN FAHMI)
Indonesia is the country which has a large of ocean territorial in 5,8 million km2 and has a wealthy sea resources which full of nutrients and minerals to supply all the foods of its citizen and also as the national economic power in the future. Shrimp is one of sea resources which not only has a big nutrients for body but also has a high value even in domestic or international market. Based on Depdag (2009) that export value of Indonesia shrimp in 2006 was US$ 943.998.000, US$ 791.854.000 in 2007 and raised to 1.055.805.000 until August, 2008.
Although Indonesia shrimp potency was so big, but it has so many export problems until now such as the conquered of Indonesia shrimp market share in USA by Thailand and China, fall out of Indonesia shrimp export price in Japan because of high competition, transhipment accused for Indonesia shrimp export, Europe standardization which aggravated Indonesia shrimp export, and also the quality declining of Indonesia shrimp export in USA because of global crisis. Actually Indonesia shrimp export had filled demand of world market such as USA, Europe and Japan, but for the competitiveness still questioned because so many problems from them. So this research was purposed to analyze the competitiveness of Indonesia shrimp commodity.
The research had used quantitative and qualitative analysis. Quantitative analysis used to explain the grade of Indonesia shrimp commodity competitiveness by RCA (Revealed Comparative Analysis). Analysis for the influences factors of the competitiveness Indonesia shrimp export (for giant tiger and vanname shrimp) used OLS (Ordinary Least Square). Qualitative analysis used Porter’s Diamond Theory to analyze potency, problems, and chance which analyzed influence factors of competitiveness Indonesia shrimp commodity (the research objection was giant tiger and vanname shrimp). Indonesia shrimp commodity was produced from dyke (70%) and water sea haul (30%). In its production, for 95% to export and 5% was traded domestically especially in supermarket. At this time Indonesia shrimp which produced from dyke is doing by small trader (the masses) or industry, and less from sea water haul. The region of shrimp production in Indonesia are Java and Sumatra, Papua, a half Maluku, Kalimantan, and South Sulawesi waterseas. From them, Lampung was the major area of Indonesia shrimp production which had produced 40% from the total of national shrimp production. It also became the first area of shrimp production in world scale such as PT Dipasena and PT Centralproteinaprima activity. The market of Indonesia shrimp export was Japan (about 60%), USA (16.5%) and Europe (12.5%).
The result of the research showed that Indonesia shrimp commodity has a high grade competitiveness or Indonesia had competitive advantage for its shrimp because the RCA mark was so high in tens. Including the analyzed of Porter’s Diamond Theory showed that Indonesia shrimp commodity had potency in factor condition such as the wealthy of shrimp resources, human resources, capital and superior infrastructure. But in knowledge and technology of Indonesia shrimp commodity still weak because of the less intensive technology system in shrimp production and export technology which not superior if compared with the competitor country such as Thailand. Indonesia shrimp commodity also had potency domestic demand and high export, tighten competition for shrimp exporting countries, good regulation government to increase the competitiveness of Indonesia shrimp commodity and also good chance in international market. For related and supporting industry, structure and strategy in competitiveness shrimp commodity still descent because there weren’t many superior shrimp hatchery, less the role of weft industry and shrimp fickle export products industry. Beside there was dominated Chakroen Phokphand Group which had monopoly structure industry and there hadn’t specific strategy to increased the competitiveness Indonesia shrimp commodity. Including RCA, OLS and Porter’s Diamond Theory analysis, were result some strategy to increase the competitiveness of Indonesia shrimp commodity such as (1) Increasing export quality of Indonesia shrimp commodity by increasing the export volume of shrimp fickle products which gives value added to increase the competitiveness of Indonesia shrimp commodity. (2) Increasing intensive technology for all the shrimp production and also create a superior technology of shrimp export. (3) Building superior hatcheries to get a good quality shrimp seed. (4) Increasing the production of vanname shrimp as the superior seed which invulnerable against the disease. (5) Increasing the standardized of Indonesia shrimp export. (6) Do the diversification of Indonesia shrimp export market to prospective area such as Japan market. In this research is also suggest to increasing in production system technology and also shrimp fickle export product technology, building a cluster industry to get a good access of superior seeds, good quality weft, developing shrimp production sector and shrimp fickle in good quality to get a value added and increase the competitiveness of Indonesia shrimp commodity in global market, the last suggest is to keep the increasing of shrimp export volume to make an increasing of shrimp export value and its competitiveness in international market.
ANALISIS DAYA SAING KOMODITI UDANG INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL
Oleh HENDRA RAKHMAWAN
H14050558
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
Judul Skripsi : Analisis Daya Saing Komoditi Udang Indonesia di Pasar
Internasional
Nama : Hendra Rakhmawan
NIM : H14050558
Menyetujui,
Dosen Pembimbing,
Ir. Idqan Fahmi, M.Ec NIP. 19631111 198811 1 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Rina Oktaviani, Ph.D
NIP. 19641023 198903 2 002
Tanggal Lulus :
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan kepada ALLAH SWT, karena
atas rahmat dan hidayah-NYA maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan
skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Analisis Daya Saing Komoditi Udang
Indonesia di Pasar Internasional”. Skripsi ini disusun sebagai bentuk
kepedulian penulis terhadap kendala-kendala ekspor yang dihadapi oleh komoditi
udang Indonesia dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana
Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen,
Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan dalam
penyusunannya membutuhkan bantuan dan kerja sama dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih dengan penuh hormat kepada:
1. Kedua orang tua penulis, M. Nurul Mulyasaputra dan Nurlaida yang telah
memberikan segala doa dan dukungannya baik moril maupun materil
kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.
2. Bapak Ir. Idqan Fahmi M.Ec selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan bimbingan secara teoritis dan teknis kepada penulis dalam
penyusunan skripsi ini.
3. Bapak M. Firdaus, Ph.D selaku dosen penguji utama yang telah bersedia
menguji dan memberikan masukan, kritik, dan ilmu yang bermanfaat
dalam skripsi ini.
4. Kak Tony Irawan, M.App. Ec selaku dosen penguji komisi pendidikan
yang telah memberikan masukan dalam perbaikan tata bahasa dan
pedoman penulisan skripsi.
5. Kakak-kakak tercinta saya, Bang Rusdi, Teh Irma, A Dade, dan Teh Dian
serta keponakan tercinta saya, Daffa yang telah memberikan harapan dan
semangat dalam penyelesaian skripsi ini.
6. Kepala Tata Usaha beserta staf pelaksana Departemen Ilmu Ekonomi yang
telah membantu dan bekerja sama dengan penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
ii
7. Pihak Departemen Kelautan dan Perikanan yang telah memberikan data
Potensi Produksi dan Ekspor/Impor Kelautan dan Perikanan periode 2002-
2007.
8. Pusat Data dan Informasi Dirjen Budidaya Perikanan di Departemen
Pertanian yang telah memberikan data Ekspor Hasil-Hasil Perikanan
Menurut Komoditi Utama 1988-2007.
9. Pihak Badan Pusat Statistik Pusat yang telah memberikan data Konsumsi
dan Pengeluaran Rata-Rata Perkapita Produk Makanan 2002-2008.
10. Pihak Departemen Perdagangan yang telah memberikan data tentang
program peningkatan ekspor udang serta profil ekspor udang Indonesia.
11. Teman-teman satu bimbingan skripsi yaitu Vagha, Riza dan Adrian yang
telah berjuang bersama-sama dalam suka dan duka dalam penyusunan
skripsi ini.
12. Teh Rina, Kak Jum’at, Dhamar, Lukman, Nazrul, Reza, Babeh, Regy,
Triyanto, Awi, Acun, Nci, Neneh, Ulee, Mei, Tia, Ciput, Putie, Ririe, Inna,
Acil, Mamiech, Rina, Bon-Bon, Herman, Evan, Azis, Ivan, Dipta, Hadi,
Hendri serta teman-teman IE 42 dan non IE 42 yang telah memberikan
bantuan beserta dukungan yang sangat berarti kepada penulis selama
penyusunan skripsi ini.
Bogor, Agustus 2009
Hendra Rakhmawan H14050558
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Hendra Rakhmawan dilahirkan pada tanggal 7 Oktober
1987 di Jakarta. Penulis juga merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara, yaitu
dari pasangan Bapak Nurul Mulyasaputra dan Ibu Nurlaida.
Penulis mulai menjalani pendidikan formal di TK Aisyiah Tomang,
kemudian melanjutkan pendidikan di SDN Tomang 03 Pagi. Setelah itu penulis
melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 69 Tanjung
Duren Timur. Lalu pada tahun 2002 memulai pendidikan menengah atas di
SMAN 23 Mandala Utara Tomang. Setelah menyelesaikan studinya di SMAN 23
Jakarta, penulis mulai melanjutkan jenjang pendidikannya ke perguruan tinggi di
Instititut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2005 melalui jalur Seleksi Penerimaan
Mahasiswa Baru (SPMB). Kemudian pada tahun 2006 penulis menjadi mahasiswa
aktif pada Departemen Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut
Pertanian Bogor.
ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR………………………………………………………….....i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………...ii
DAFTAR TABEL……………………………………………………………….iii
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………….iv
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………..v
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang…………………………………………………………….1
1.2 Perumusan Masalah………………………………………..……………...7
1.3 Tujuan Penelitian………………………………………………………...10
1.4 Manfaat Penelitian……………………………………………………….11
1.5 Ruang Lingkup Penelitian………………………………………………..11
II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Pengertian Udang dan Klasifikasinya…………………………….……..12
2.1.1 Udang Windu (Giant Tiger Shrimph)……………………………...14
2.1.2 Udang Vanname (Pacific White Shrimph)…………………………15
2.2 Pengertian Daya Saing….……………………………………………….17
2.2.1 Konsep Keunggulan Komparatif………………….……………….18
2.2.2 Konsep Keunggulan Kompetitif..………………………………….19
2.3 Penelitian Terdahulu……………………………………………………..25
2.4 Kerangka Pemikiran……………………………………………………..27
2.5 Hipotesis…………………………………………………………………30
III METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Sumber Data…………………………………………………..31
3.2 Metode Analisis Data……………………………………………………31
3.2.1 Analisis Daya Saing Revealed Comparative Advantage (RCA)…..32
3.2.2 Analisis Porter’s Diamond Theory………………………………...34
3.2.3 Metode Regresi Linear Berganda OLS .….………….....................36
iii
3.2.4 Definisi Operasional Variabel dalam Model……………..………...38
3.2.5 Uji Kesesuaian Model……………………………………………...40
IV GAMBARAN UMUM KOMODITI UDANG INDONESIA
4.1 Industri Udang Indonesia………………………………………………...45
4.2 Jenis Udang dan Pasar-Pasar Ekspor Udang Indonesia………………….51
V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Daya Saing Komoditi Udang Indonesia (Analisis RCA)………………...55
5.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Daya Saing Komoditi Udang Indonesia………........................................................................................61
5.2.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keunggulan Komparatif……..61
5.2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keunggulan Kompetitif……...67
5.3 Analisis Strategi-Strategi Peningkatan Daya Saing Komoditi Udang Indonesia……………….………………………………………………...95
VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan….…………………………………………………………...97
6.2 Saran………….………………………………………………………….98
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………..99
LAMPIRAN…………………………………………………………………....101
iii
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1.1 Volume Ekspor Udang Indonesia Tahun 1990-2007 (ton) ................................ 3
1.2 Impor AS dari Indonesia dan Beberapa Negara Lainnya ................................... 6
2.1 Wilayah-Wilayah Berpotensi Penghasil Udang Peneid ................................... 14
4.1 Empat Propinsi Penghasil Nilai Ekspor Udang Terbesar Indonesia ................ 49
5.1 Daya Saing Udang Beku dan Tak Beku Indonesia Periode 1988-2007........... 56
5.2 Indeks RCA Komoditi Udang Indonesia di Pasar Internasional ...................... 60
5.3 Hasil Regresi Pada Metode OLS ..................................................................... 62
5.4 Negara-Negara Penghasil Nilai Ekspor Udang Beku Terbesar ....................... 69
5.5 Produksi Udang Windu Budidaya Tambak di Indonesia ................................. 70
5.6 Produksi Udang Vanname Budidaya Tambak di Indonesia ............................. 74
5.7 Total Konsumsi Udang di Indonesia…………………………...…………….82
5.8 Jumlah dan Nilai Ekspor Udang Beku dan Tak Beku Indonesia ..................... 83
iv
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1.1 Negara-Negara Produsen Utama Udang Dunia……………………………….4
2.1 Kerangka Pemikiran Konseptual……………………………………………..29
3.1 Porter’s Diamond Theory……………………………………………………35
4.1 Harga Komoditas Udang Segar, Udang Beku dan Udang Olahan di Pasar Internasional…………………………………………………………...50
5.1 Keunggulan dan Kelemahan Komoditi Udang Indonesia Hasil Analisis Porter’s Diamond Theory…………………………………………………....94
v
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Data Analisis RCA……………………………………………………...102
2. Nilai RCA Udang Beku dan Tak Beku Negara-Negara Pesaing Indonesia………………………………………………………………..102
3. Data Jumlah Ekspor dan Variabel-Variabel Regresi OLS……………...103
4. Hasil Uji Heteroskedastisitas…………………………………………...103
5. Hasil Uji Autokorelasi…………………………………………………..103
6. Nilai Korelasi Pada Uji Multikolinearitas………………………………104
7. Diagram Jarque Bera Pada Uji Normalitas…………………………….104
8. Tampilan Hasil Regresi OLS…………………………………………...104
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang strategis dan
memiliki wilayah laut yang sangat luas sekitar 5,8 juta km2 dengan wilayah-
wilayah perairan, seperti selat Malaka, Laut Jawa, Selat Sunda, Laut Natuna, dan
lain-lainnya. Tentunya wilayah perairan tersebut menyimpan sumberdaya laut
yang melimpah seperti perikanan, terumbu karang, udang, cumi-cumi, kerang,
lobster, dan berbagai sumberdaya laut lainnya. Semuanya itu merupakan
sumberdaya yang bergizi tinggi karena kaya akan mineral untuk memenuhi
kebutuhan pangan rakyat Indonesia serta menjadi salah satu tumpuan kekuatan
ekonomi nasional di masa yang akan datang.
Berdasarkan para ahli, konsumsi akan sumber daya laut masyarakat global
akan mengalami peningkatan, yang disebabkan oleh beberapa faktor yaitu : (1)
meningkatnya jumlah penduduk disertai dengan dengan meningkatnya pendapatan
masyarakat, (2) meningkatnya apresiasi terhadap makanan sehat (healthy food)
sehingga mendorong konsumsi daging dari pola red meat ke white meat, (3)
adanya globalisasi yang menuntut adanya sumber makanan yang universal, dan
(4) berjangkitnya penyakit hewan sumber protein hewani selain ikan (sumberdaya
laut) sehingga sumber daya laut menjadi sumber alternatif terbaik (Kusumastanto,
2007).
Udang merupakan jenis sumberdaya laut yang berpotensi sebagai bahan
pangan karena mengandung zat-zat gizi yang berguna bagi tubuh, seperti
antioksidan yang cukup kuat berupa selenium yang dapat melindungi risiko
2
kebotakan dan kanker. Selain itu udang juga mempunyai kadar vitamin B12 dan
vitamin D yang tinggi yang berfungsi menambah darah, meningkatkan kesuburan
dan kekuatan tulang serta sangat berguna untuk sintesa hormon thyroid, yaitu
suatu hormon yang jika levelnya sangat rendah bisa menimbulkan obesitas atau
pertumbuhan sel tidak normal. Terakhir, udang mengandung asam lemak omega-3
yang mengandung banyak manfaat bagi tubuh seperti melindungi dinding
pembuluh darah dan kerusakan akibat radikal bebas, membuat awet muda, anti
radang, mencegah terjadinya darah yang menggumpal, dan oksidasi kolesterol
jahat yang merupakan penyebab utama dari penyakit jantung.
Kelezatan dan cita rasa yang tinggi pada udang menambah daya tarik
tersendiri di masyarakat di samping kandungan gizi yang ada di dalamnya.
Karenanya, udang menjadi salah satu komoditi yang paling diminati dan memiliki
nilai jual yang tinggi baik di pasar domestik maupun internasional. Udang juga
merupakan komoditas potensial dan sebagian komoditas revitalisasi perikanan
yang nilai ekspornya selalu meningkat dari tahun ke tahun. Seperti pada tahun
2004 misalnya total nilai ekspor udang sebesar US$ 892.451.547 dan pada tahun
2005 sebesar US$ 948.130.353 naik sebesar 6,24%. Begitu pula pada tahun 2006
terjadi peningkatan nilai ekspor udang menjadi US$ 1.115.962.589 dari US$
948.130.353 di tahun 2005. Hal ini membuktikan bahwa komoditas udang
memang memiliki nilai jual yang tinggi di pasar dunia. Volume ekspor udang
tahun 1990-2007 dapat dilihat pada Tabel 1.1
3
Tabel 1.1 Volume Ekspor Udang Indonesia Tahun 1990-2007 (ton)
Sumber: Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Jakarta, 2009
Berdasarkan data pada Tabel 1.1 diketahui bahwa komoditi udang hanya
mengalami penurunan volume ekspor pada tahun 1993, 1995, 1997, 1999, 2002
dan 2007. sedangkan sisanya mengalami peningkatan yang relatif lebih besar
daripada tahun-tahun sebelumnya. Seperti pada tahun 1998-1999 mengalami
penurunan volume ekspor sebesar 33.039 ton dari 142.689 ton pada tahun 1998
menjadi 109.650 ton pada tahun 1999. Dimana nilai penurunan ekspor ini masih
lebih kecil dibandingkan peningkatannya pada tahun 1997-1998 sebesar 49.646
ton yaitu dari 93.043 ton pada tahun 1997 menjadi 142.689 pada tahun 1998.
Adanya volume ekspor yang berfluktuatif ini mungkin juga disebabkan adanya
pengaruh dari krisis moneter yang terjadi pada tahun-tahun tersebut.
0.000
20.000
40.000
60.000
80.000
100.000
120.000
140.000
160.000
180.000
1990
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Volume
4
Pada wilayah Asia, terdapat beberapa negara yang berkontribusi ekspor
komoditi udang terbesar dunia yakni Indonesia, Thailand, Malaysia, India,
Filipina, Vietnam dan China. Kemudian ada juga beberapa negara Amerika Latin
seperti Brazil, Ekuador, Venezuela, Panama dan Meksiko yang terkenal dengan
udang vanamenya. Negara-negara produsen utama udang dunia dapat dilihat pada
Gambar 1. Adapun pasar utama ekspor udang Indonesia adalah Amerika Serikat,
Jepang dan Uni Eropa.
Berdasarkan Gambar 1.1 diketahui bahwa Indonesia selalu berproduksi di
atas dua juta ton setiap tahunnya bahkan pernah mencapai lebih dari tiga juta ton
di tahun 2003 dan 2004. Karena itu Indonesia menempati peringkat tiga eksportir
terbesar pada periode 2000-2004 setelah Vietnam dan Thailand. Kemudian ada
India, Ekuador, China dan Brazil.
Sumber : (Depdag: FIGIS-FAO, 2006)
Gambar 1.1 Negara-Negara Produsen Utama Udang Dunia
0500,000
1,000,0001,500,0002,000,0002,500,0003,000,0003,500,0004,000,0004,500,0005,000,000
2000 2001 2002 2003 2004
Tahun
Volu
me
(Ton
)
Brazil RR Cina Ekuador India Indonesia Thailand Viet Nam
5
Ada berbagai jenis udang yang dihasilkan di kawasan perairan Indonesia.
Udang yang banyak diproduksi untuk diekspor umumnya adalah udang vaname
dan udang windu. Namun ada juga jenis udang api-api, udang dogol, udang putih,
udang galah, banana shrimp, dan lain-lainnya untuk kebutuhan domestik. Semua
jenis udang tersebut diproduksi berupa budidaya tambak udang yang tersebar di
beberapa daerah seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten, Lampung,
Kalimantan Timur, NTB, Riau, Aceh dan Sulawesi Selatan. Ekspor udang
Indonesia pun mayoritas masih berupa produk bahan mentah yaitu udang beku
dan udang tak beku sehingga belum banyak menghasilkan produk turunan udang
yang memiliki nilai tambah tersendiri untuk diekspor.
Dalam suatu sistem perdagangan bebas, negara yang memiliki daya saing
paling tinggi adalah negara yang muncul sebagai pemenang. Artinya negara
tersebut juga menikmati keuntungan yang optimal dari perdagangan bebas.
Sedangkan untuk negara yang gagal dalam peningkatan daya saing akan sulit
menikmati keuntungan dan cenderung hanya akan menjadi pasar bagi negara lain
saja. Begitu pula dengan komoditi udang Indonesia yang masih dipertanyakan
daya saingnya karena kalahnya pangsa pasar ekspor udang Indonesia di AS oleh
negara Thailand dan China. Hal ini dapat terlihat pada impor AS dari Indonesia
dan beberapa negara lainnya di Tabel 1.2.
Pada Tabel 1.2 diketahui bahwa pada produk ikan dan udang Indonesia
pada tahun 2008 pangsa pasarnya di AS sebesar 7,28% yang kalah jauh
dibandingkan dengan Thailand yang mempunyai pangsa pasar sebesar 8,17% dan
China dengan pangsa pasar 15,80%.
6
Tabel 1.2 Impor AS dari Indonesia dan Beberapa Negara Lainnya1
HS KETERANGAN
Ekspor Indonesia ke AS Pangsa Pasar di AS
(%) Juta US$ PangsaPasar di AS Malaysia Thailand China
2008 2006 2007 2008 2008 2008 2008
40 Karet, barang dari
karet
2037 8,22 8,50 9,9 5,05 7,74 16,46
94 Furniture, lampu 593 1,61 1,75 1,55 2,00 0,77 50,77
27 Bahan Bakar Mineral 777 0,18 0,23 0,15 0,06 0,09 0,40
3 Ikan dan Udang 777 5,23 5,61 7,28 1,71 8,17 15,80
9 Kopi, teh dan
rempah-rempah
381 7,57 6,93 7,41 0,02 0,23 2,87
16 Daging, ikan, udang
diproses
322 7,05 8,03 8,43 0,73 27,98 11,79
18 Kakao dan produk
kakao
244 9,03 7,15 7,15 7,81 0,00 1,95
Sumber : US International Trade Commision (USITC), diolah
Hal ini membuktikan bahwa Indonesia sebagai salah satu eksportir udang
terbesar dunia masih kalah pangsa pasarnya dengan Thailand dan China yang
mempunyai peluang ekspor yang sama. Padahal diketahui bahwa panjang pantai
garis Indonesia sebesar 81.290 km2 yang merupakan pantai garis terpanjang di
dunia. Kawasan pantai sangat potensial untuk tambak udang sehingga menjadi
keunggulan komparatif Indonesia yang lebih unggul di samping Thailand ataupun
China yang tentunya mempunyai panjang garis pantai yang lebih kecil daripada
Indonesia. Oleh karena itu dalam rangka meningkatkan pangsa dan nilai ekspor
udang Indonesia, kajian mengenai analisis daya saing udang dirasakan cukup
penting agar dapat menunjang peningkatan ekspor komoditi udang Indonesia.
1Sadewa Y.P. 2009. “Jangan Abaikan Perdagangan Internasional”.
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak-jangan-abaikan-perdagangan-internasional.htm [20 Juni 2009].
7
1.2 Perumusan Masalah
Komoditi udang Indonesia merupakan salah satu sumberdaya potensial
yang ikut berperan dalam memberikan sumbangan devisa yang besar. Di pasar
internasional Indonesia termasuk negara penghasil udang dan eksportir terbesar
yang amat diminati karena produksinya yang cukup tinggi. Sebenarnya komoditi
udang laut Indonesia telah mampu memenuhi permintaan pasar dunia seperti
Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang, namun dalam keunggulan seperti kualitas
ataupun daya saingnya masih dipertanyakan karena rendahnya pangsa ekspor
udang Indonesia jika dibandingkan dengan Thailand dan China seperti pada Tabel
1.2. Berdasarkan Tabel 1.2 diketahui pada produk udang olahan atau yang
diproses Indonesia hanya mempunyai pangsa pasar sebesar 8,43% di AS yang
kalah jauh dibandingkan Thailand yang sebesar 27,98% dan China yang sebesar
11,79%. Ini disebabkan rendahnya kemampuan Indonesia dalam menghasilkan
produk turunan udang dan dominan mengekspor udang beku dan tak beku yang
masih segar atau mentah sehingga berbeda dengan Thailand ataupun Cina yang
sudah dominan mengolah udang dalam bentuk produk olahannya.
Berbagai masalah yang selalu muncul dalam pengembangan ekspor udang
Indonesia adalah pertama pada tahun 2002 adanya larangan dari pasar ekspor
Amerika dan Eropa untuk mengimpor udang dari negara-negara yang udangnya
mengandung antibiotik Chloraphenicol dan Nitrofurant. Akibatnya, negara-
negara yang biasa melakukan ekspor ke Amerika dan Eropa seperti India,
Pakistan dan beberapa negara lainnya di Asia, membelokkan ekspornya ke
Jepang. Hal ini menyebabkan persaingan pasar menjadi semakin ketat dan daya
8
serap pasar atas udang Indonesia menjadi kecil. Bukan itu saja, harga udang
Indonesia pun menjadi jatuh secara mencolok. Secara umum nilai ekspor udang
turun 30 – 40%, akibat penurunan harga jual ekspor sebesar 20%.
Kedua, munculnya tuduhan AS kepada Indonesia untuk tindakan
transhipment, yakni komoditas ekspor udang Indonesia ke Amerika Serikat
merupakan udang hasil impor Indonesia dari negara-negara yang terkena larangan
anti dumping Amerika yaitu China, Thailand, Vietnam, Equador, India dan Brazil
sejak pasar AS menerapkan larangan antidumping pada 31 Desember 20032. Sejak
itu pula, Indonesia menjadi sasaran utama bagi beberapa negara yang terkena
petisi anti dumping AS untuk bisa memasukkan ekspornya ke negara tersebut.
Karena itulah dikhawatirkan terjadinya embargo udang ekspor Indonesia ke
Amerika karena transhipment ini seperti halnya Malaysia yang sudah mendapat
peringatan keras dari AS karena tindakan reekspornya. Setelah itu juga terjadi
impor udang yang dapat mematikan produksi udang lokal yang sebenarnya
mampu mencukupi kebutuhan nasional dimana udang impor masuk dengan harga
lebih murah daripada udang lokal.
Ketiga, standarisasi dari Uni Eropa untuk ekspor budidaya udang yang
memberatkan negara-negara pengekspor. Standarisasi itu melarang agar di lokasi
tambak tidak boleh ada binatang, pakaian pekerja harus rapi dan bersih, pekerja
tidak boleh sakit, di dalam air tambak tidak boleh ada bakteri Salmonella (bakteri
yang memang terdapat di dalam air) dan tidak boleh menggunakan antibiotik.
2 Siagian, N. 2003. “Derita Petambak Udang dan Ancaman Sanksi AS”.
http://www.google.com/sinar-harapan/ind1.html [7 Mei 2009].
9
Persyaratan ini sangat tidak mungkin dipenuhi petambak Indonesia karena secara
umum. Sebagian besar dari 300 ribu hektare total luas lahan tambak di tanah air
para pekerjanya makan dan tidur serta hidup sehari-hari di lokasi tambak. Hal ini
mengakibatkan penolakan 10 kontainer udang dari Sumatera Utara di pelabuhan
Brussels, Belgia.
Terakhir, adanya penurunan kualitas udang di pasar AS karena imbas dari
krisis global 2008 yang menurunkan daya beli masyarakat AS. Adanya krisis
global menyebabkan penurunan permintaan ekspor udang Indonesia di pasar AS
yang biasanya udang kualitas nomor satu yang jumlahnya 40 ekor per kilogram,
menjadi udang yang ukurannya lebih kecil yaitu udang yang jumlahnya menjadi
70 ekor per kilogram.
Hal tersebut ditambah dengan adanya kasus pelarangan ekspor salah satu
produsen udang terbesar Indonesia, PT. Central Proteinaprima3 Tbk pada Oktober
2008, karena masih tersangkut masalah transhipment atas dua kontainer ke Uni
Eropa dan AS karena ditemukan hanya satu kontainer menggunakan antibiotik
dari hasil cek ulang. Sampai akhir Januari 2009 lalu, pihak DKP masih menunggu
utusan dari AS untuk melakukan pengecekan ulang atas masalah tersebut, di
antaranya melakukan pengecekan atas kadar air yang digunakan dalam udang
tersebut.
Selain itu ada juga kendala domestik seperti merebaknya wabah penyakit pada
udang hasil budidaya tambak seperti penyakit bintik putih (White Spot Syndrome)
yang menyerang berbagai jenis udang Asia seperti udang windu yang sempat 3 PT Central Proteinaprima. 2009. “CP Prima Komitmen Kembangkan Ekspor Udang Indonesia”
http://www.cpp.co.id/press-release-cp-prima-berkomitmen-kembangkan- ekspor-udang-indonesia.pdf [20 Mei 2009].
10
mematikan produksi udang nasional. Penyakit Bintik Putih sempat diantisipasi
karena ditemukannya jenis udang vanname yang berasal dari perairan Amerika
Latin seperti Brazil, Ekuador dan lainnya yang kebal terhadap virus tersebut dan
mulai dibudidayakan petambak lokal dan nasional setelah tahun 2000-an.
Upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan peranan komoditas udang
sebagai komoditas ekspor yang berperan besar dalam menyumbang devisa negara,
maka perlu adanya peningkatan daya saing komoditi udang laut Indonesia baik di
pasar domestik maupun internasional. Berdasarkan uraian tersebut maka
permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana daya saing komoditi udang Indonesia?
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi daya saing komoditi udang
Indonesia?
3. Strategi-strategi apa yang perlu diterapkan dalam mendukung peningkatan
daya saing komoditi udang Indonesia?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dirumuskan, maka penelitian
ini bertujuan untuk :
1. Menganalisis daya saing komoditi udang Indonesia.
2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing komoditi
udang Indonesia.
3. Merumuskan strategi-strategi yang diterapkan dalam mendukung
peningkatan daya saing dan ekspor komoditi udang Indonesia.
11
1.4 Manfaat Penelitian
1. Memberikan informasi kepada para pelaku usaha yang bergerak dalam
sektor budidaya udang termasuk perusahaan-perusahaan eksportir udang
untuk meningkatkan kinerjanya.
2. Memberikan masukan kepada pemerintah untuk dapat meningkatkan
kinerja ekspor udang Indonesia demi menunjang peningkatan devisa
negara.
3. Memberikan pengetahuan dan wawasan baru bagi masyarakat tentang
studi ekspor dan daya saing pada komoditi udang Indonesia.
4. Untuk penulis, penelitian ini dapat digunakan sebagai penyelaras antara
teori yang didapatkan di perkuliahan dengan kondisi nyata yang
sebenarnya terjadi.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini membahas tentang analisis daya saing komoditi udang
Indonesia. Dalam penelitian analisis daya saing ini hanya membahas mengenai
daya saing komoditi udang Indonesia, faktor-faktor yang mempengaruhi, dan
strategi-strategi yang diperlukan dalam mendukung peningkatan daya saingnya.
Komoditi udang dalam penelitian ini adalah jenis udang beku dan tak beku pada
komoditi ekspor udang windu dan udang vanname. Sedangkan periode yang
dianalisis adalah dari tahun 1988 sampai 2007.
12
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Pengertian Udang dan Klasifikasinya
Udang merupakan hewan yang hidup di perairan, terutama laut dan danau.
Umumnya udang dapat ditemukan di hampir semua genangan air yang berukuran
besar baik air tawar, air payau, maupun air asin pada kedalaman yang bervariasi,
baik di dekat permukaan hingga pada beberapa ribu meter pada kedalaman atau di
bawah permukaan air. Udang biasanya dijadikan makanan laut (seafood) dan juga
sebagai sumberdaya laut yang sangat potensial. Selain itu udang juga merupakan
salah satu hasil dari perikanan demersal yaitu perairan pantai sampai kedalaman
40 meter.
Komoditi udang biasanya dibudidayakan dalam bentuk tambak baik untuk
dikonsumsi oleh masyarakat domestik maupun untuk diekspor. Ada beberapa
jenis udang yang bernilai tinggi untuk diekspor seperti udang vanname dan udang
windu. Ada juga jenis udang yang biasanya untuk kebutuhan domestik seperti
udang galah, udang karang, banana shrimp (udang pisang), udang dogol, udang
jeblug serta bermacam-macam jenis udang lainnya.
Jenis udang yang sering dikonsumsi dan diolah yaitu udang yang masih
bermutu baik dan laku diekspor, harus memenuhi syarat-syarat utuh, belum ada
bagian-bagian yang patah atau lepas, kulit licin dan mudah meluncur diantara satu
dan lainnya, warna masih asli sesuai jenisnya dan belum berubah menjadi merah
muda, tidak terdapat bercak-bercak hitam (black spot) di kepala, sambungan ruas-
ruas, ekor, kaki renang dan sungut, mata bulat, hitam dan bening serta bercahaya,
13
dagingnya masih kenyal dan manis rasanya, kulitnya kuat dan tidak mudah
mengelupas, bau segar, khas sesuai ukuran seragam dan jenisnya.
Pada siklus hidupnya, udang menjadi dewasa dan hanya mampu bertelur
di habitat air laut. Udang betina mampu menghasilkan telur dari 50.000 sampai 1
juta telur yang akan menetas setelah 1 hari menjadi larva (nauplius). Larva ini
kemudian bermetamorfosis pada tahap kedua menjadi zoea atau benih udang
(benur). Zoea hidup dengan memakan ganggang liar. Setelah itu ia
bermetamoorfosis lagi selama beberapa hari menjadi mysis4. Mysis hidup dengan
memakan ganggang dan zooplankton5. Kemudian pada tahap akhir, mysis akan
bermetamorfosis menjadi postlarvae, yaitu udang muda yang sudah memiliki ciri-
ciri hewan dewasa. Pada fase ini akan bermigrasi ke estuari, sebuah tempat yang
kaya akan nutrisi dan bersalinitas rendah. Di sanalah mereka akan mengalami
masa pertumbuhan menjadi udang dewasa. Setelah itu, udang dewasa akan
kembali menuju perairan terbuka agar semakin dewasa. Semua proses ini
menempuh waktu 12 hari dari mulai menetas. Setelah itu barulah udang mulai
dibudidaya dan siap diperdagangkan yang disebut dengan benur. Pada Tabel 2.1
dapat dilihat berbagai daerah yang berpotensi menghasilkan udang peneid6.
4 Mysis : Tahapan kedua dari metamorphosis (perubahan daur hidup) udang. 5 Zooplankton : Mikroorganisme perairan / laut yang menjadi nutrisi bagi semua biota perairan. 6 Peneid : Nama keluarga (family) dari udang.
14
Tabel 2.1 Wilayah-Wilayah Berpotensi Penghasil Udang Peneid
Wilayah
Potensi (103 ton /
tahun)
Wilayah
Potensi (103 ton / tahun)
Perairan Selat
Malaka
346,64
Perairan Laut Maluku, Teluk
Tomini, dan Laut Seram
6,72
Perairan Laut Natuna dan Laut
Cina Selatan
116,17
Perairan Laut Sulawesi dan Laut Pasifik
214,57
Perairan Laut Jawa dan Selat Sunda
225,48
Perairan Laut Arafura
24,71
Perairan Laut Flores dan Selat
Makassar
437,39
Perairan Samudra Hindia
62,21
Perairan Laut Banda
- Perairan Indonesia
165,69
Sumber : Kusumastanto, 2007.
2.1.1 Udang Windu (Giant Tiger Shrimp)
Pada udang windu (Giant Tiger Shrimp) merupakan jenis udang yang
sudah biasa dibudidayakan dan merupakan ciri khas udang asli Indonesia. Udang
windu banyak ditemukan pada hampir semua perairan Indonesia, seperti perairan
laut Jawa, Selat Malaka, Laut Natuna, Laut Flores, dan lain-lain. Udang windu
pertumbuhannya sangat cepat dan dapat mencapai ukuran yang besar serta bila
dimasak warnanya akan berubah menjadi merah cerah yang membangkitkan
selera konsumen. Walaupun ada juga yang berwarna biru atau cokelat pada tubuh
aslinya. Karena itulah udang windu juga dikenal dengan sebutan Blue/Brown
Tiger Prawn.
Udang windu memiliki kulit tubuh yang keras dari bahan chitin. Warna
sekujur tubuhnya hijau kebiruan dengan motif loreng besar. Tubuhnya dibagi
15
menjadi dua, yakni bagian cephalotorax yang terdiri atas kepala dan dada serta
bagian abdomen yang terdiri atas perut dan ekor. Cephalotorax dilindungi kulit
chitin yang tebal yang disebut karapas (carapace). Bagian depan kepala yang
menjorok merupakan kelopak kepala yang memanjang dengan bagian pinggir
bergerigi atau disebut juga dengan cucuk (rostrum). Rostrum di kepala memiliki
tujuh buah gerigi di bagian atas dan tiga buah gerigi di bagian bawah dengan
sepasang mata di bawah pangkal kepala. Berikut akan diuraikan klasifikasi atau
tatanama udang windu di bawah ini.
Klasifikasi Tata Nama Udang Windu
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Subfilum : Crustacea
Kelas : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Famili : Penaeidae
Genus : Penaeus
Spesies : Penaeus monodon
2.1.2 Udang Vanname (Pasific White Shrimp)
Pada udang vanname atau udang putih (Vannamei) merupakan spesies
udang budidaya Indonesia yang berasal dari perairan Amerika Tengah, tepatnya
pada negara-negara Amerika Tengah dan Selatan seperti Ekuador, Venezuela,
16
Panama, Brazil, dan Meksiko yang sudah lama membudidayakan jenis udang
yang biasa disebut sebagai pacific white shrimp ini.
Udang vanname sendiri mulai masuk ke Indonesia dan dibudidayakan
pada awal tahun 2000an. Dimana masuknya udang vanname ini telah kembali
menggairahkan pertambakan udang Indonesia yang sempat mengalami kegagalan
budidaya karena serangan hama penyakit bintik putih (white spot). Pada waktu itu
penyakin bintik putih telah menyerang banyak tambak udang terutama pada udang
windu baik yang dikelola secara tradisional maupun intensif meskipun telah
memakai teknologi tinggi dengan fasilitas yang lengkap. Sampai saat ini udang
vanname sudah menjadi alternatif para pengusaha tambak udang untuk
meningkatkan produktivitasnya. Di daerah Lampung misalnya mulai banyak para
pengusaha tambak udang baik tradisional maupun semi intensif yang beralih pada
udang Pasifik putih ini7.
Tubuh udang vanname dibentuk oleh dua cabang yaitu bagian luar tubuh
udang (exopodite) dan bagian dalam tubuh udang (endopodite). Pada bagian
kepala udang vanname terdiri dari antenulla (sungut awal sebagai indera perasa),
antenna (sungut kedua sebagai sensor), mandibula (rahang atas), dan dua pasang
maxillae (rahang bawah). Selain itu juga bagian kepalanya juga dilengkapi 3
pasang maxilliped (organ makan di dekat maxilla) dan 5 pasang kaki berjalan
(peripoda) atau kaki sepuluh (decapoda). Maxilliped sudah mengalami modifikasi
dan berfungsi sebagai organ untuk makan. Pada peripoda bentuknya beruas-ruas
yang berujung di bagian dactylus (bagian ujung kaki udang). Dactylus ada yang
7 Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Papua. 2008. “DKP Pacu Produksi Udang Nasional”.
http://www.dkp-papua.com [7 Mei 2009].
17
berbentuk capit (tiga kaki di bagian belakang) sedangkan tanpa capit (dua kaki di
bagian depan). Pada bagian perut (abdomen) terdiri dari enam ruas yang terdapat
5 pasang kaki renang dan sepasang uropods (mirip ekor) yang membentuk kipas
dengan nama telson. Berikut akan dijelaskan klasifikasi taksonomi udang
vanname.
Klasifikasi Tata Nama Udang Vanname
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Subfilum : Crustacea
Kelas : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Famili : Penaeidae
Genus : Litopenaeus
Spesies : Litopenaeus vannamei
2.2 Pengertian Daya Saing
Menurut Michael E. Porter (1990), daya saing diidentikkan dengan
produktivitas dimana tingkat output yang dihasilkan untuk setiap unit input yang
digunakan. Peningkatan produktivitas meliputi peningkatan jumlah input fisik
(modal dan tenaga kerja), peningkatan kualitas input yang digunakan dan
peningkatan teknologi (total faktor produktivitas). Pendekatan yang sering
digunakan untuk mengukur daya saing suatu komoditi dilihat dari dua indikator
yaitu keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif.
18
Sedangkan menurut Simanjuntak dalam Febriyanthi (2008) daya saing
merupakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditi
dengan biaya yang cukup rendah sehingga harga-harga yang terjadi di pasar
internasional kegiatan produksi tersebut menguntungkan8. Sedangkan menurut
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dalam kamus Bahasa Indonesia tahun
1995, daya saing adalah kemampuan komoditi untuk memasuki pasar luar negeri
dan kemampuan untuk bertahan didalam pasar tersebut.
2.2.1 Konsep Keunggulan Komparatif
Hukum keunggulan komparatif pertama kali dijelaskan dalam buku yang
diterbitkan oleh David Ricardo yang berjudul Principles of Political Economy and
Taxation pada tahun 1817. Menurut hukum keunggulan komparatif tersebut
meskipun suatu negara mengalami kerugian atau ketidakunggulan absolut untuk
memproduksi dua komoditi jika dibandingkan dengan negara lain, namun
perdagangan yang saling menguntungkan masih dapat berlangsung. Hal ini dapat
terjadi jika salah satu negara berspesialisasi dalam memproduksi dan mengekspor
komoditi yang memiliki kerugian absolut lebih kecil (komoditi yang memiliki
keunggulan komparatif) dan mengimpor komoditi yang memiliki kerugian absolut
lebih besar atau yang memiliki kerugian komparatif.
Hukum komparatif tersebut berlaku dengan beberapa asumsi, yaitu (1)
hanya terdapat dua negara dan dua komoditi, (2) perdagangan bersifat bebas, (3)
terdapat mobilitas tenaga kerja yang sempurna di dalam namun tidak ada
mobilitas antara dua negara, (4) biaya produksi konstan, (5) tidak ada biaya
8 Simanjuntak, B. 2008. “Pengertian Daya Saing Industri”. Febriyanthi [penerjemah].
http://www.google.com/pengertian-daya-saing-industri.pdf [7 Juni 2009].
19
transportasi, (6) tidak ada perubahan teknologi, dan (7) menggunakan teori nilai
tenaga kerja. Asumsi satu sampai enam dapat diterima, tapi asumsi tujuh tidak
dapat berlaku dan seharusnya tidak digunakan untuk menjelaskan keunggulan
komparatif.
Para ahli ekonomi lainnya yaitu Eli Heckser dan Bertil Ohlin dalam buku
Salvatore (1996) menelaah sebab-sebab dan dampak keunggulan komparatif bagi
tiap negara dalam hubungan perdagangan terhadap pendapatan faktor produksi di
kedua negara. Teori Heckser-Ohlin menyatakan bahwa suatu negara memiliki
keunggulan komparatif dalam menghasilkan komoditi secara intensif
memanfaatkan kepemilikan faktor-faktorproduksi yang melimpah di negaranya.
Teori ini disebut juga sebagai teori keunggulan komparatif berdasarkan
kelimpahan faktor (factor endowment theory of comparative advantage) yang
mengasumsikan bahwa setiap negara memiliki kesamaan fungsi produksi,
sehingga faktor produksi yang sama menghasilkan output yang sama namun
dibedakan oleh harga-harga relatif faktor produksi tiap negara.
2.2.2 Konsep Keunggulan Kompetitif
Menurut Hady (2001), keunggulan kompetitif adalah keunggulan yang
dimiliki oleh suatu negara atau bangsa untuk dapat bersaing di pasar
internasional9. Menurut Porter (1990), dalam persaingan global saat ini, suatu
bangsa atau negara yang memiliki competitive advantage of nation dapat bersaing
di pasar internasional bila memiliki empat faktor penentu dan dua faktor
9 Hadi, A. 2001. “Pengertian Keunggulan Kompetitif”. http://www.google.com/ pengertian-keunggulan-kompetitif.pdf [7 Juni 2009].
20
pendukung. Empat faktor utama yang menentukan daya saing suatu komoditi
adalah kondisi faktor (factor condition), kondisi permintaan (demand condition),
industri terkait dan industri pendukung yang kompetitif (related and supporting
industry), serta kondisi struktur, persaingan dan strategi industri (firm strategy,
structure, and rivalry). Ada dua faktor yang mempengaruhi interaksi antara
keempat faktor tersebut yaitu faktor kesempatan (chance event) dan faktor
pemerintah (government). Secara bersama-sama faktor-faktor ini membentuk
sistem dalam peningkatan keunggulan daya saing yang disebut Porter’s Diamond
Theory.
1. Kondisi Faktor (Factor Condition)
Sumberdaya yang dimiliki suatu bangsa merupakan suatu faktor
produksi yang sangat penting untuk bersaing. Kondisi faktor atau faktor
input dalam analisis Porter ini merupakan variabel-variabel yang sudah
ada dan dimiliki oleh suatu cluster10 industri. Ada lima kelompok dalam
faktor sumber daya, yaitu : (1) sumberdaya manusia yang meliputi jumlah
tenaga kerja yang tersedia, kemampuan manajerial dan keterampilan yang
dimiliki, etika kerja dan tingkat upah yang berlaku. Dimana semuanya ini
sangat mempengaruhi daya saing nasional.
(2) Sumberdaya modal yang terdiri dari jumlah dan biaya yang
tersedia, jenis pembiayaan atau sumber modal, aksesbilitas terhadap
pembiayaan, serta kondisi lembaga pembiayaan dan perbankan. Selain itu
juga diperlukan peraturan-peraturan seperti peraturan keuangan, peraturan 10 Clusters : Pengelompokan industri-industri inti termasuk industri-industri terkait dan pendukung (hulu dan hilir), berbagai infrastruktur seperti infrastruktur ekonomi, informasi, teknologi, jasa penunjang, pelatihan, dan lainnya serta lembaga-lembaga yang terkait dengan industri tersebut.
21
moneter dan fiskal untuk mengetahui tingkat tabungan masyarakat dan
kondisi moneter dan fiskal. (3) Sumberdaya alam atau fisik yang meliputi
biaya, aksesibilitas, mutu dan ukuran. Sumberdaya alam juga harus
meliputi ketersediaan air, mineral, energi serta sumberdaya pertanian,
perikanan dan kelautan, perkebunan, kehutanan serta sumberdaya lainnya
baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui.
Begitu juga kondisi cuaca dan iklim, luas wilayah geografis, kondisi
topografis, dan lain-lain.
(4) Sumberdaya ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), merupakan
sumberdaya yang terdiri dari ketersediaan pengetahuan tentang pasar,
pengetahuan teknis, pengetahuan ilmiah yang menunjang dalam
memproduksi barang dan jasa. Selain itu ketersediaan sumber-sumber
pengetahuan dan teknologi dapat pula berasal dari perguruan tinggi,
lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga statistik, literatur bisnis
dan ilmiah, basis data, laporan penelitian, serta sumber pengetahuan dan
teknologi lainnya.
(5) Sumberdaya infrastruktur yang terdiri dari ketersediaan jenis,
mutu, dan biaya penggunaan infrastruktur yang mempengaruhi daya saing,
seperti halnya sistem transportasi, komunikasi, pos dan giro, sistem
pembayaran dan transfer dana, air bersih, energi listrik, dan lain-lain.
Adapun kelima kelompok sumberdaya tersebut sangat mempengaruhi daya
saing nasional.
22
2. Kondisi Permintaan (Demand Condition)
Kondisi permintaan merupakan merupakan sifat dari permintaan pasar
asal untuk barang dan jasa industri. Kondisi permintaan ini sangat
mempengaruhi daya saing terutama mutu permintaan. Mutu permintaan
merupakan sarana pembelajaran bagi perusahaan-perusahaan untuk
bersaing secara global. Mutu permintaan juga memberikan tantangan bagi
perusahaan untuk meningkatkan daya saingnya dengan memberikan
tanggapan terhadap persaingan yang terjadi.
Menurut Porter, kondisi permintaan dalam diamond model dikaitkan
dengan sophisticated and demanding local customer. Artinya semakin
maju suatu masyarakat dan semakin demanding pelanggan dalam negeri,
maka industri akan selalu berupaya untuk meningkatkan kualitas produk
atau melakukan inovasi guna memenuhi permintaan pelanggan lokal yang
tinggi. Dalam hal ini kondisi permintaan tidak hanya berasal dari lokal
tetapi juga dari luar negeri karena adanya globalisasi.
3. Industri Terkait dan Industri Pendukung (Related and Supporting
Industry)
Keberadaan industri terkait dan pendukung (related and supporting
industry) akan mempengaruhi daya saing dalam hal industri hulu yang
mampu memasok input bagi industri utama dengan harga yang lebih
murah, mutu yang lebih baik, pelayanan yang cepat, pengiriman tepat
waktu dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan industri. Begitu pula
dengan industri hilir yang menggunakan produk industri utama sebagai
23
bahan bakunya. Jika industri hilirnya berdaya saing global, maka dapat
menarik industri hulunya menjadi ikut berdaya saing pula.
Adapun manfaat industri pendukung dan terkait akan meningkatkan
efisiensi dan sinergi dalam clusters. Sinergi dan efisiensi dapat tercipta
terutama dalam transaction cost11, technology sharing12, informasi,
ataupun skills (keahlian dan keterampilan) tertentu yang dapat
dimanfaatkan oleh industri atau perusahaan lainnya. Selain itu dengan
adanya industri pendukung dan terkait maka akan meningkatkan
produktivitas yang dapat menciptakan daya saing.
4. Persaingan, Struktur dan Strategi Perusahaan (Firm Strategy,
Structure, and Rivalry)
Adanya tingkat persaingan bagi perusahaan akan mendorong
kompetisi dan inovasi. Persaingan dalam negeri mendorong perusahaan
untuk mengembangkan produk baru, memperbaiki produk yang telah ada,
menurunkan harga dan biaya, mengembangkan teknologi baru, dan
memperbaiki mutu serta pelayanan. Dalam hal ini, strategi perusahaan
dibutuhkan untuk memotivasi perusahaan atau industri untuk selalu
meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan dan selalu mencari inovasi
baru.
Struktur perusahaan atau industri dapat menentukan daya saing
dengan melakukan perbaikan dan inovasi. Dalam situasi persaingan, hal
ini juga akan berpengaruh pada strategi yang dijalankan perusahaan atau 11 Transaction Cost : Biaya-biaya transaksi dalam pembelian input pada proses produksi. 12 Technology Sharing : Berbagi pengetahuan tentang metode-metode teknologi yang digunakan pada proses produksi antar industri dalam suatu clusters.
24
industri. Pada akhirnya persaingan di dalam negeri yang kuat akan
mendorong perusahaan untuk mencari pasar internasional.
5. Peran Pemerintah (Government)
Peran pemerintah akan berpengaruh terhadap faktor-faktor yang
menentukan tingkat daya saing. Pemerintah bertindak sebagai fasilitator
agar perusahaan dan industri semakin meningkatkan daya saingnya.
Pemerintah dapat mempengaruhi daya saing global melalui regulasi-
regulasi dan kebijakan yang memperlemah atau memperkuat faktor
penentu daya saing tersebut. Pemerintah juga dapat memfasilitasi
lingkungan industri yang mampu memperbaiki kondisi faktor daya saing
sehingga dapat berdaya guna secara efisien dan aktif.
6. Peran Kesempatan (Chance Factor)
Peran kesempatan berada di luar kendali perusahaan maupun
pemerintah untuk mempengaruhi daya saing. Hal-hal seperti
keberuntungan merupakan peran kesempatan, seperti penemuan baru yang
murni, biaya perusahaan yang konstan akibat perubahan harga minyak atau
depresiasi mata uang. Selain itu dapat juga terjadi karena peningkatan
permintaan produk industri yang lebih besar dari pasokannya atau kondisi
politik yang menguntungkan daya saing.
25
2.3 Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai daya saing pernah dilakukan oleh Kusumastanto
(2007)13 dengan judul Kebijakan dan Strategi Peningkatan Daya Saing Produk
Perikanan Nasional dengan menggunakan analisis RCA (Revealed Comparative
Advantage) untuk menunjukkan bagaimana pangsa produk atau komoditas
perikanan dalam keseluruhan ekspor Indonesia, dibandingkan dengan pangsa
produk sejenis pada pasar ekspor dunia. Berdasarkan hasil penelitian pada
komoditas udang atau jenis Crustacea nilai RCA mengalami penurunan yaitu
sebesar 2.2 pada tahun 2002 menjadi 2.1 pada tahun 2003, dan 1.4 pada tahun
2004. Jadi dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan kontribusi jenis udang
(crustacea) di perdagangan internasional mengalami penurunan tetapi masih
berdaya saing kuat karena nilai RCAnya lebih besar dari satu (RCA >1).
Mudjayani (2008) melakukan penelitian mengenai analisis daya saing
buah-buahan tropis Indonesia. Analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif
kualitatif yang dilakukan dengan menggunakan metode Porter’s Diamond untuk
menganalisis potensi, kendala, peluang dan keunggulan kompetitif buah-buahan
tropis Indonesia, serta analisis kuantitatif dilakukan dengan menggunakan metode
RCA (Revealed Comparative Advantage) untuk mengukur posisi daya saing
buah-buahan tropis Indonesia. Selain itu untuk menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi daya saing buah-buahan tropis digunakan metode regresi linear
berganda OLS (Ordinary Least Square). Berdasarkan hasil penelitian diketahui
bahwa buah-buahan tropis Indonesia memiliki keunggulan kompetitif (metode 13 Kusumastanto, T. 2007. “Kebijakan dan Strategi Peningkatan Produktivitas dan Daya Saing
Produk Perikanan Nasional”. http://www.box.net/index.php? rm=box_ v2_download_ shared __file&blog&ile_id=f_90154791 [7 Mei 2009].
26
Porter’s Diamond Theory) dan berdasarkan hasil perhitungan RCA, didapat nilai
RCA >1 yang berarti bahwa buah-buahan tropis Indonesia memiliki daya saing
yang kuat. Sementara itu pada hasil regresi berganda pada taraf nyata 10 persen
menunjukkan faktor-faktor yang berpengaruh positif terhadap daya saing buah-
buahan tropis Indonesia adalah nilai ekspor dan produktivitas, sedangkan faktor-
faktor berpengaruh negatif adalah harga ekspor dan dummy krisis.
Pada penelitian lain juga dilakukan oleh Efani dkk, tentang Analisis
Penawaran Udang Indonesia di Pasar Internasional14. Penelitian ini bertujuan
untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi produksi udang
Indonesia, perilaku penawaran ekspor udang Indonesia ke negara-negara tujuan
ekspor utama serta mencari kebijakan yang bisa ditempuh untuk meningkatkan
ekspor udang Indonesia. Penelitian ini menggunakan empat model fungsi
produksi/penawaran total udang dan fungsi penawaran ekspor udang dengan
metode Two Stage Least Squares (2SLS). Berdasarkan hasil penelitiannya
diketahui bahwa produksi udang Indonesia sangat dipengaruhi oleh produksi
udang pada tahun sebelumnya dan investasi di bidang perikanan, tetapi kurang
responsif terhadap harga udang domestik dan tingkat suku bunga rupiah. Selain
itu harga udang domestik dipengaruhi secara nyata dan positif oleh harga udang
domestik tahun sebelumnya dan harga udang dunia tetapi kurang dipengaruhi oleh
nilai tukar rupiah.
14 Efani, Anthon, Chandra dan Nuhfil Hanani. 2006. “Analisis Penawaran Udang Indonesia di
Pasar Internasional”. http://www.google.com/analisis-penawaran-udang-indonesia-di-pasar-internasional.pdf [18 Juni 2009].
27
2.4 Kerangka Pemikiran
Indonesia sebagai negara yang memiliki wilayah perairan yang sangat luas
dan berpotensi dalam sumberdaya perairan yang begitu melimpah dalam
memenuhi kebutuhan manusia baik berupa pangan ataupun kebutuhan lainnya
sebagai pusat kekuatan ekonomi nasional dalam perdagangan global. Komoditas
udang merupakan komoditas sumberdaya perairan Indonesia yang sangat
potensial sebagai bahan makanan yang bergizi sekaligus memiliki nilai yang
tinggi dalam perdagangan dunia sehingga menjadi komoditas unggul nonmigas
yang berpeluang besar dalam menghasilkan devisa negara.
Indonesia memang masih menjadi salah satu negara penghasil dan
eksportir komoditas udang terbesar di dunia, disamping negara-negara lainnya
seperti Thailand, China, Malaysia, Vietnam, India, Pakistan, Filipina, Brazil dan
Ekuador. Sebenarnya komoditas udang Indonesia pun telah mampu memenuhi
permintaan pasar dunia seperti permintaan dari Amerika Serikat, Uni Eropa,
Jepang dan negara-negara lainnya. Namun dalam keunggulan seperti kualitas
ataupun daya saingnya masih dipertanyakan karena rendahnya pangsa ekspor
udang Indonesia seperti pada Tabel 1.2 dan masih terdapat berbagai masalah
eksternal pada ekspor udang Indonesia di pasar internasional. Karena itu
diperlukan daya saing yang tinggi untuk dapat mempertahankan bahkan
meningkatkan pangsa pasar dan peranannya dalam perdagangan internasional.
Berdasarkan hal tersebut maka tujuan dari penelitian “Analisis Daya Saing
Komoditi Udang Indonesia di Pasar Internasional” ini adalah menganalisis posisi
daya saing melalui keunggulan komparatif (menghitung nilai RCAnya) dan
28
kompetitif (menggunakan Porter’s Diamond Theory) dari komoditas udang
Indonesia terutama udang windu dan udang vanname serta menganalisis faktor-
faktor yang mempengaruhi daya saing dan merumuskan strategi untuk
meningkatkan daya saing komoditi udang Indonesia di pasar internasional.
Pada analisis keunggulan komparatif menggunakan metode RCA
(Revealed Comparative Advantage). Pada RCA akan dijelaskan kekuatan daya
saing komoditas udang Indonesia secara relatif terhadap produk sejenis dari
negara lain (dunia) yang juga menunjukkan posisi komparatif Indonesia sebagai
produsen komoditas udang dibandingkan dengan negara-negara lainnya dalam
perdagangan internasional. Analisis kuantitatifnya adalah metode OLS (Ordinary
Least Square) untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing
komoditas udang Indonesia. Selain itu juga digunakan Teori Berlian Porter
(Porter’s Diamond Theory) untuk menganalisis keunggulan kompetitif komoditi
udang Indonesia. Dalam penelitian ini juga dilakukan analisis faktor-faktor yang
mempengaruhi keunggulan kompetitif melalui komponen dalam Porter’s
Diamond Theory pada jenis udang yang diteliti yaitu udang windu dan udang
vanname. Adapun kerangka pemikiran konseptual dapat ditunjukkan pada
Gambar 2.1
29
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Konseptual
Peluang Indonesia sebagai salah satu produsen dan
eksportir komoditi udang terbesar di pasar internasional
Ekspor komoditi udang Indonesia di pasar
internasional masih banyak berbagai kendala
Porter’s Diamond Theory
Revealed Comparative
Advantage (RCA)
Analisis Keunggulan Komparatif
OLS (Ordinary Least Square)
Analisis Daya Saing Komoditi Udang
Indonesia di Pasar Internasional
Posisi Daya Saing Komoditi Udang
Indonesia
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Daya
Saing Komoditi Udang Indonesia
Analisis Keunggulan Kompetitif
Strategi-Strategi Peningkatan Daya Saing
Komoditi Udang Indonesia
30
2.5 Hipotesis
1. Nilai RCA komoditas udang Indonesia lebih besar dari satu (RCA > 1),
artinya Indonesia memiliki keunggulan komparatif pada komoditi udang
(di atas rata-rata dunia) sehingga komoditi tersebut berdaya saing kuat.
2. Indeks RCA komoditas udang Indonesia lebih besar dari satu (indeks RCA
> 1), artinya terjadi peningkatan RCA atau kinerja ekspor komoditi udang
Indonesia di pasar internasional pada tahun tersebut lebih tinggi daripada
tahun sebelumnya.
3. Pada variabel harga ekspor udang Indonesia berhubungan positif terhadap
daya saing komoditi udang Indonesia, semakin tinggi harga ekspor maka
semakin tinggi daya saing komoditi udang Indonesia.
4. Pada variabel volume ekspor udang Indonesia berhubungan positif
terhadap daya saing komoditi udang Indonesia, semakin tinggi volume
ekspor maka semakin tinggi daya saingnya.
5. Pada variabel harga input udang diduga berpengaruh positif terhadap daya
saing komoditas udang Indonesia, semakin tinggi harga input udang maka
akan meningkatkan harga ekspor yang menyebabkan peningkatan pada
daya saing komoditi udang Indonesia
6. Pada variabel nilai ekspor ikan tuna sebagai komoditi substitusi diduga
berpengaruh negatif terhadap daya saing komoditas udang Indonesia.
Peningkatan nilai ekspor ikan tuna karena kualitas yang lebih bagus akan
menggantikan nilai ekspor udang Indonesia yang lebih rendah sehingga
terjadi penurunan pada daya saing komoditi udang Indonesia.
31
III. METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa
deret waktu (time series) dengan periode waktu 19 tahun yaitu dari tahun 1989-
2007. Jenis data meliputi data harga ekspor udang Indonesia, volume ekspor
udang Indonesia, harga input udang Indonesia, nilai ekspor ikan tuna sebagai
komoditi subtitusinya, nilai ekspor seluruh komoditi Indonesia, nilai ekspor udang
dunia, dan nilai ekspor seluruh komoditi dunia. Adapun jenis udang yang diteliti
adalah udang beku dan tak beku pada jenis komoditi ekspor udang windu dan
udang vanname.
Data tersebut diperoleh dari Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP),
Departemen Perdagangan, Departemen Pertanian, Badan Pusat Statistik (BPS),
website UNComtrade, serta studi kepustakaan, yaitu pengumpulan data yang
bersumber dari buku-buku dan literatur seperti perpustakaan di IPB dan sekitar
lingkungan IPB.
3.2 Metode Analisis Data
Analisis yang digunakan yaitu analisis kuantitatif dan analisis kualitatif.
Analisis kuantitatif untuk menjelaskan kekuatan daya saing keunggulan
komparatif yang dilakukan dengan analisis RCA (Revealed Comparative
Advantage). Untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing
komoditi udang Indonesia (komoditas yang diteliti adalah udang beku dan tak
32
beku pada jenis udang windu dan vanname), dengan metode regresi linear
berganda yaitu menggunakan model analisis OLS (Ordinary Least Square).
Sedangkan analisis deskriptif kualitatif untuk menjelaskan pengkajian potensi,
kendala, dan peluang yang berarti menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
keunggulan kompetitif komoditi udang Indonesia (dalam hal ini yang diteliti
adalah jenis udang windu dan udang vanname). Analisis dilakukan dengan
pendekatan Teori Berlian Porter (Porter’s Diamond Theory).
3.2.1 Analisis Daya Saing Revealed Comparative Advantage (RCA)
Untuk mengetahui daya saing komoditi udang di Indonesia dalam
penelitian ini digunakan analisis Revealed Comparative Advantage (RCA).
Metode RCA (Revealed Comparative Advantage) didasarkan pada suatu konsep
bahwa perdagangan antar wilayah sebenarnya menunjukkan keunggulan
komparatif yang dimiliki suatu wilayah. Variabel yang diukur adalah kinerja
ekspor suatu produk/komoditi terhadap total ekspor suatu wilayah yang kemudian
dibandingkan dengan pangsa nilai produk dalam perdagangan dunia.
RCA didefinisikan bahwa jika pangsa ekspor komoditi udang Indonesia di
dalam total ekspor komoditi dari suatu negara lebih besar dibandingkan pangsa
pasar ekspor komoditi udang di dalam total ekspor komoditi dunia, diharapkan
negara tersebut memiliki keunggulan komparatif dalam produksi dan ekspor
komoditi udang. Apabila nilai RCA lebih besar dari satu berarti negara itu
mempunyai keunggulan komparatif (di atas rata-rata dunia) untuk komoditi udang
dalam penelitian ini artinya komoditas tersebut (komoditi udang Indonesia)
berdaya saing kuat. Sebaliknya jika nilai RCA lebih kecil dari satu berarti
33
keunggulan komparatif untuk komoditas udang rendah (di bawah rata-rata dunia)
atau berdaya saing lemah.
Kinerja ekspor udang Indonesia (dalam penelitian ini jenis udang beku dan
tak beku pada komoditi ekspor udang windu dan udang vanname) terhadap total
ekspor Indonesia ke pasar dunia yang selanjutnya dibandingkan dengan pangsa
nilai ekspor udang dunia terhadap total nilai ekspor dunia, menggunakan rumus
RCA yaitu:
RCAij = X /XW /W
(3.1)
Dimana :
RCAij = Keunggulan komparatif (daya saing) Indonesia tahun ke t
Xij = Nilai ekspor komoditi udang Indonesia tahun ke t
Xis = Nilai ekspor seluruh komoditi Indonesia tahun ke t
Wj = Nilai ekspor komoditi udang di dunia tahun ke t
Ws = Nilai ekspor seluruh komoditi dunia tahun ke t
t = 1989,…….,2007
Nilai daya saing dari suatu komoditi ada dua kemungkinan, yaitu :
1. Jika nilai RCA > 1, berarti suatu negara memiliki keunggulan komparatif
di atas rata-rata dunia sehingga komoditi tersebut memiliki daya saing
kuat.
2. Jika nilai RCA < 1, berarti suatu negara memiliki keunggulan komparatif
di bawah rata-rata dunia sehingga suatu komoditi memiliki daya saing
lemah.
34
Indeks RCA merupakan perbandingan antara nilai RCA sekarang dengan nilai
RCA tahun sebelumnya. Rumus indeks RCA adalah sebagai berikut :
Indeks RCA = RCA
RCA (3.2)
Dimana :
RCAt = Nilai RCA tahun sekarang (t)
RCAt-1 = Nilai RCA tahun sebelumnya (t-1)
t = 1989,………,2007
Nilai indeks RCA berkisar dari nol sampai tak hingga. Nilai indeks RCA
sama dengan satu berarti tidak terjadi kenaikan RCA atau kinerja ekspor udang
Indonesia di pasar internasional tahun sekarang sama dengan tahun sebelumnya.
Nilai indeks RCA lebih kecil dari satu berarti terjadi penurunan RCA atau kinerja
ekspor udang Indonesia di pasar internasional sekarang lebih rendah daripada
tahun sebelumnya.
Nilai indeks RCA lebih besar dari satu berarti terjadi peningkatan RCA atau
kinerja ekspor udang Indonesia di pasar internasional sekarang lebih tinggi
daripada tahun sebelumnya. Pendekatan Revealed Comparative Advantage (RCA)
merupakan salah satu indikator yang dapat menunjukkan perubahan keunggulan
komparatif atau tingkat daya saing suatu komoditi di suatu negara.
3.2.2 Analisis Porter’s Diamond Theory
Pada penelitian ini menggunakan metode kualitatif Teori Berlian Porter
untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keunggulan kompetitif
35
komoditi udang Indonesia secara deskriptif atau menggunakan tiap komponen
dalam Teori Berlian Porter (Porter’s Diamond Theory). Komponen tersebut
seperti ditampilkan pada Gambar 3.1
Sumber : Porter, 1990
Gambar 3.1 Porter’s Diamond Theory
a. Factor Condition (FC) yaitu keadaan faktor –faktor produksi
seperti Sumber Daya Alam, Sumber Daya Manusia, Modal,
Infrastruktur dan IPTEK.
b. Demand Condition (DC) yaitu keadaan permintaan atas barang dan
jasa dalam negara.
c. Related and Supporting Industries (RSI) yaitu keadaan para
penyalur dan industri lainnya yang saling mendukung dan
berhubungan.
Factor Conditions
Related and Supporting Industries
Demand Conditions
Firm Strategy, Structure and
Rivalry
Chance Factor
Government Factor
36
d. Firm Strategy, Structure, and Rivalry (FSSR) yaitu strategi yang
dianut perusahaan pada umumnya, struktur industri dan keadaan
kompetisi dalam suatu industri domestik.
Selain itu ada komponen lain yang terkait dengan keempat komponen
utama tersebut yaitu peran pemerintahan dan faktor kesempatan. Keempat faktor
utama dan dua faktor pendukung tersebut saling berinteraksi. Dari hasil analisis
komponen penentu daya saingnya selanjutnya ditentukan komponen yang menjadi
keunggulan dan kelemahan daya saing komoditi udang Indonesia. Keunggulan
tiap faktor dalam penentu daya saing komoditi udang dilambangkan dengan (+)
sedangkan kelemahan tiap faktor dalam komponen penentu daya saing komoditi
udang disimbolkan dengan (-). Hasil keseluruhan interaksi antar komponen yang
saling mendukung sangat menentukan perkembangan yang dapat menjadi
competitive advantage dari suatu komoditi.
3.2.3 Metode Regresi Linear Berganda OLS
Metode analisis yang digunakan untuk untuk menganalisis faktor-faktor
yang mempengaruhi keunggulan komparatif pada daya saing komoditi udang
Indonesia adalah regresi linear berganda dengan metode Ordinary Least Square
(OLS) atau metode kuadrat terkecil biasa. Metode OLS diperkenalkan oleh
seorang ahli matematika berkebangsaan Jerman yang bernama Carl Frederich
Gauss (Gujarati, 1978). Dengan asumsi-asumsi tertentu, metode OLS mempunyai
beberapa sifat statistik yang membuatnya menjadi satu metode analisis regresi
yang paling kuat (powerful) dan popular. Menurut Kuotsoyianis (1977), terdapat
beberapa kelebihan metode OLS seperti berikut :
37
1. Hasil estimasi parameter yang diperoleh dengan metode OLS memiliki
beberapa kondisi optimal BLUE (Best Linear Unbiased Estimator);
2. Tata cara pengolahan data dengan metode OLS relatif lebih mudah
daripada metode ekonometrik yang lain, serta tidak membutuhkan data
terlalu banyak;
3. Metode OLS telah banyak digunakan dalam penelitian ekonomi dengan
berbagai macam hubungan antar variabel dengan hasil yang memuaskan;
4. Mekanisme pengolahan data dengan metode OLS mudah dipahami;
5. Metode OLS juga merupakan bagian dari kebanyakan metode
ekonometrik yang lain meskipun dengan penyesuaian di beberapa bagian.
Beberapa sifat penduga yang utama agar metode OLS dapat digunakan
adalah tidak bias, linier, dan efisien (varian minimum). Dalam penelitian ini untuk
menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing udang Indonesia
dilihat dari harga ekspor udang, volume ekspor udang, harga udang domestik
produsen dan nilai ekspor komoditi substitusi. Secara matematis faktor-faktor
yang mempengaruhi daya saing komoditi udang Indonesia dapat ditulis sebagai
berikut :
DSt = f (PXt, QXt, PDXt, NIt) (3.3)
DSt = α + β1PXt + β2QXt + β3PDXt + β4NIt + εt (3.4)
Pada model logaritma naturalnya :
LnDSt = α + β1LnPXt + β2LnQXt + β3LnPDXt + β4LnNIt + εt (3.5)
Dimana :
α = Konstanta
38
βt = Parameter yang diduga, dengan t =1,2,…..4
DSt = Daya saing udang Indonesia pada tahun ke t (nilai RCA)
PXt = Harga ekspor udang Indonesia periode ke t (dollar / ton)
QXt = Volume ekspor udang Indonesia periode ke t (ton / tahun)
PDXt = Harga domestik tingkat produsen (harga input) komoditi udang
(rupiah/tahun)
NIt = Nilai ekspor komoditi alternatif udang yaitu ikan tuna (dollar/tahun)
X = Komoditi udang Indonesia
I = Komoditi ikan tuna
εt = Error term pada periode ke t
t = Tahun ke t
3.2.4 Definisi Operasional Variabel dalam Model
1. Daya Saing
Daya saing komoditi udang Indonesia yang menjadi variabel tak bebas
dalam model di atas merupakan hasil olah dari nilai ekspor udang
Indonesia (dalam penelitian ini adalah udang beku dan tak beku pada
komoditi ekspor udang windu dan vanname) terhadap total ekspor
Indonesia ke pasar dunia yang selanjutnya dibandingkan dengan nilai
ekspor udang dunia terhadap total nilai ekspor dunia.
39
2. Harga Ekspor Udang Indonesia
Harga ekspor udang Indonesia adalah harga ekspor udang beku dan tak
beku Indonesia yang diperoleh dari hasil pembagian antara nilai ekspor
udang tersebut secara keseluruhan pada periode ke t dengan volume
ekspor udang-udang tersebut pada periode yang sama. Variabel ini
menggambarkan harga udang Indonesia yang diterima oleh konsumen
pada harga dunia ditingkat tertentu.
3. Volume Ekspor Udang Indonesia
Volume ekspor merupakan jumlah komoditi udang yang diekspor dari
suatu negara ke negara lain. Dalam penelitian ini jumlah ekspor udang
Indonesia adalah jumlah komoditi ekspor pada udang beku dan tak beku
Indonesia.
4. Harga Input Udang Indonesia
Harga input udang Indonesia merupakan harga komoditi udang di tingkat
produsen di dalam negeri sebelum diekspor oleh perusahaan pengekspor.
Dalam penelitian ini digunakan komoditi jenis udang windu Indonesia.
5. Nilai Ekspor Ikan Tuna
Nilai ekspor ikan tuna sebagai komoditi substitusi merupakan nilai dari
penjualan ikan tuna yang dihasilkan oleh suatu negara ke negara lain.
Dalam penelitian ini digunakan komoditi ikan tuna sebagai substitusi
udang karena ikan tuna juga merupakan komoditas ekspor utama
perikanan Indonesia selain udang.
40
3.2.5 Uji Kesesuaian Model
Ada beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan bahwa
model yang dihasilkan adalah baik. Pada umumnya digunakan tiga kriteria
kesesuaian model seperti berikut.
1. Kriteria Ekonometrika
Pengujian dengan menggunakan kriteria ekonometrika didasarkan pada
pelanggaran asumsi yang digunakan dalam metode OLS. Hal-hal yang
dilihat dalam kriteria ekonometrika antara lain adalah multikolinearitas,
autokorelasi, heterokedastisitas dan normalitas.
A. Autokorelasi
Uji autokorelasi dilakukan untuk melihat apakah terdapat hubungan di
antara galat dalam persamaan regresi yang diperoleh. Jika kita
mengabaikan autokorelasi, maka akan berdampak terhadap pengujian
hipotesis dan proses peramalan. Autokorelasi terjadi pada serangkaian data
runtut waktu, dimana error term pada satu periode waktu secara sistematik
tergantung kepada error term pada periode-periode yang lain.
Konsekuensi adanya autokorelasi yaitu pada uji F dan t menjadi tidak
valid dan peramalan juga menjadi tidak efisien. Adapun uji autokorelasi
yang digunakan adalah uji Durbin-Watson Statistik. Sebelum melakukan
pengujian, harus menyusun hipotesis, yaitu :
H0 : Ada autokorelasi
H1 : Tidak ada autokorelasi
41
Pengambilan kesimpulan bisa dilakukan dengan melihat apakah nilai
dari Durbin-Watson statistik mendekati nilai dua atau empat. Jika nilai dari
Durbin-Watson statistik mendekati nilai dua, maka tolak H0. Artinya tidak
terdapat autokorelasi dalam model regresi yang diperoleh (menerima
hipotesis H1). Tetapi jika nilai dari Durbin-Watson statistik mendekati
nilai empat, maka terima H0. Artinya terdapat autokorelasi dalam model
regresi yang diperoleh (menolak hipotesis H1).
B. Heteroskedastisitas
Salah satu asumsi penting dalam model ekonomi klasik adalah nilai
varian dari variabel bebas yang sama (konstan) yang disebut dengan
homoskedastisitas. Apabila asumsi ini tak terpenuhi, maka nilai varian dari
variabel bebas tidak lagi bersifat konstan (berbeda) yang disebut dengan
heteroskedastisitas. Pengujian masalah heteroskedastisitas dilakukan
dengan menggunakan uji White Heteroskedasticity Test. Sebelum
melakukan pengujian sebaiknya membuat hipotesis, yaitu :
H0 : Homoskedastisitas
H1 : Heteroskedastisitas
Pengujian ini dilakukan dengan melihat Probability Obs* R-squared.
Apabila nilai Probability Obs*R-Squared lebih kecil dari taraf nyata
berarti terdapat heteroskedastisitas pada model atau menolak hipotesis H0,
tapi bila nilai Probability Obs*Rsquared lebih besar dari taraf nyata berarti
tidak ada gejala heteroskedastisitas pada model atau menerima hipotesis
H0. Diketahui taraf nyata atau α = 10%.
42
C. Multikolinearitas
Untuk melihat ada tidaknya multikolinearitas dapat dilakukan dengan
cara melihat correlation matrix. Multikolinearitas dideteksi dengan
melihat koefisien korelasi antar variabel bebas. Jika korelasinya kurang
dari 0.8 (rule of thumbs 0.8) maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada
multikolinearitas. Tetapi jika nilai koefisien korelasinya lebih besar dari
0.8 maka dapat disimpulkan terdapat multikolinearitas dalam model.
Multikolinearitas yang dapat menyebabkan adanya pelanggaran terhadap
asumsi OLS adalah exact multicolinearity (multikolinearitas sempurna).
Jika dalam suatu model terdapat multikolinearitas sempurna maka akan
diperoleh nilai R2 yang tinggi tetapi tidak ada koefisien variabel dugaan
yang signifikan.
D. Normalitas
Uji ini dilakukan untuk memeriksa apakah error term mendekati distribusi
normal. Uji ini perlu dilakukan jika jumlah sampel yang digunakan kurang
dari 30 (n<30). Hipotesis pengujiannya adalah :
H0 : α = 0, error term terdistribusi normal.
H1 : α ≠ 0 error term tidak terdistribusi normal.
Wilayah kritis penolakan HO adalah Jarque Bera > X2df-2 atau probabilitas
(p-value) < α, sedangkan daerah penerimaan adalah Jarque Bera < X2df-2 atau
probabilitas (p-value) > α. Jika H0 ditolak maka disimpulkan error term tidak
terdistribusi normal, sedangkan jika H0 diterima maka disimpulkan bahwa
error term terdistribusi normal.
43
2. Kriteria Statistika
Ada beberapa uji yang digunakan untuk menentukan kesesuaian model
regresi yang telah didapat secara statistika.
A. Uji F
Uji F digunakan untuk menguji bagaimanakah pengaruh seluruh variabel
independent terhadap variabel dependennya. Hipotesis pengujiannya yaitu:
H0 : β1 = β2 = …. = βt = 0 (tidak ada variabel independent yang
berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen).
H1 : Minimal ada satu β1 yang tidak sama dengan 0 (paling tidak ada satu
variabel independent yang berpengaruh signifikan terhadap variabel
dependen).
Jika probability f-statistic < taraf nyata (α), maka tolak H0 dan simpulkan
minimal ada satu variabel independen yang mempengaruhi variabel
dependennya. Sebaliknya jika probability f-statistic > taraf nyata (α), maka
terima H0 dan tidak ada variabel independent yang mempengaruhi
variabel dependen.
B. Uji t
Uji t disebut sebagai uji signifikansi variabel secara parsial karena melihat
signifikansi masing-masing variabel yang terdapat di dalam model.
Besaran yang digunakan dalam uji ini adalah statistik t. Hipotesisnya :
H0 : β1 = 0 t = 1,2,..,n
H1 : βt ≠ 0
Perhitungan statistik menggunakan rumus : t = β` β
β dimana :
44
β` = Parameter Dugaan
βt = Parameter Hipotesis
Se β = Standart error parameter β
Jika statistik t yang didapat pada taraf nyata sebesar α lebih besar daripada
t-Tabel (t stat > t-Tabel), maka tolak H0. Kesimpulannya koefisien dugaan β
tidak sama dengan 0 dan variabel yang diuji berpengaruh nyata terhadap
variabel tak bebas. Sebaliknya jika statistik t lebih kecil daripada t-Tabel (t stat
< t-Tabel) pada taraf nyata sebesar α, maka terima H0. Kesimpulannya
koefisien dugaan β sama dengan 0 dan variabel yang diuji tidak berpengaruh
nyata terhadap variabel tak bebas. Model yang digunakan akan semakin baik
jika semakin banyak variabel bebas yang signifikan atau berpengaruh nyata
terhadap variabel tak bebasnya.
3. Kriteria Ekonomi
Pada kriteria ekonomi dilakukan pengujian pada tanda dan besarnya
pengaruh atau signifikansi pada variabel-variabel independennya terhadap
variabel dependennya apakah sesuai dengan teori-teori ekonomi atau tidak.
Apabila sesuai dengan teori-teori ekonomi maka variabel-variabel tersebut
dapat dikatakan baik secara ekonomi.
45
IV. GAMBARAN UMUM KOMODITI UDANG INDONESIA
4.1 Industri Udang Indonesia
Udang merupakan salah satu produk unggulan Indonesia dalam sektor
perikanan. Besarnya potensi tambak udang nasional dan tingginya permintaan
pasar dunia terhadap komoditi udang Indonesia merupakan peluang yang sangat
besar sebagai sumber devisa negara. Diketahui berdasarkan Departemen
Perdagangan (2009) bahwa realisasi ekspor udang Indonesia meningkat dari
tahun 2005 yang sebesar US$ 806.580.000 menjadi US$ 943.998.000, begitu
juga pada tahun 2007 sebesar US$ 791.854.000 meningkat menjadi
1.055.805.000 sampai akhir bulan Agustus 2008. Hal ini menunjukkan
penerimaan ekspor udang memang sangat besar sebagai devisa negara. Karena
itu para petambak nasional dan eksportir (perusahaan-perusahaan pengekspor)
selalu berupaya meningkatkan produktivitasnya dari tahun ke tahun baik untuk
memenuhi permintaan domestik maupun mancanegara.
Sebuah megaproyek industri budidaya udang pertama dan terbesar di
Indonesia pertama kali dibangun pada tahun 1989 dengan konsep tambak inti
rakyat (TIR) dan menghimpun puluhan ribu tenaga kerja15. Tambak ini dikenal
dengan PT Dipasena Citra Darmaja (DCD) yang kini berganti nama menjadi PT
Aruna Jaya Sakti. DCD membangun tambak di areal konsesi seluas 16.250
hektar dari 30.000 hektar cadangan yang diberikan Pemda Propinsi Lampung
dengan 16 blok. DCD juga membangun infrastruktur besar seperti 7 areal
15 Bank Indonesia. 2009. “Boks: Menanti Kebangkitan Dipasena”. http://www.google.com/boks2-
menanti-kebangkitan-dipasena.pdf [20 Mei 2009].
46
infrastruktur seluas 753.28 hektar dan infrastruktur Tata Kota seluas 1000
hektar. Selain itu DCD juga membangun darmaga ekspor khusus untuk
pengapalan ekspor udang ke mancanegara.
Sejak beroperasinya DCD di Lampung, sumbangan devisa dari tahun
1995-1998 selalu meningkat. Kontribusi nyata telah dilakukan DCD untuk
mengangkat citra Indonesia dimata pelaku bisnis internasional dimulai lewat
panen perdana pada tahun 1990. Tercatat devisa negara yang disumbangkan
oleh Dipasena mencapai 3 juta dolar AS. Tahun 1991, mampu membukukan
sebesar 10 juta dolar AS. Disusul 30 juta dolar AS pada tahun 1992. Dan
puncaknya pada tahun 1995 hingga 1998 menghasilkan 167 juta dolar AS.
Kemudian pada tahun 1991 terjadi peningkatan produksi sebesar 1 ton udang
windu yang melonjak menjadi 11.068 ton pada 1994. Setahun kemudian naik
menjadi 16.250 ton. Pasar ekspornya pun meliputi Jepang, AS dan negara-
negara di Eropa. Citra Indonesia di mata dunia, pada tahun 1997, sempat
terangkat sebagai produsen udang terbesar kedua di dunia.
Namun kejayaan DCD telah terhenti saat terjadinya krisis ekonomi
moneter berkepanjangan pada awal tahun 1998 dan mencapai puncaknya pada
awal tahun 2000-an. Selain karena masalah eksternal, juga terjadi masalah
internal pada industri tersebut yang berdampak seluruh aktivitas usaha terhenti
dan 12 ribu orang petani plasma kehilangan pekerjaannya serta terjadi
kebangkrutan industri DCD. Karena krisis ekonomi yang berkepanjangan
membuat pemerintah melalui BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional)
berusaha menyelamatkan DCD melalui Konsorsium Recapital dengan
47
memberikan dana talangan kredit kepada DCD. Tetapi usaha tersebut juga tak
berhasil sampai akhirnya pemerintah menjual Dipasena Grup melalui lelang
terbuka. Ada empat investor yang menjadi peserta tender Dipasena, yaitu
Konsorsium Laranda (Filipina), PT Central Proteinaprima (kelompok Chakroen
Phokphand Thailand), Thai Royal (Thailand) dan PT Kemila International
Holding Co (Indonesia). Akhirnya pemerintah memutuskan Konsorsium
Neptune sebagai pemenang tendernya, dimana Konsorsium Neptune juga masih
di bawah PT. Central Proteinaprima (Chakroen Phokpand Thailand). Sejak saat
itu PT Dipasena (PT Aruna Wijaya Sakti) berada di bawah PT Central
Proteinaprima (kelompok Chakroen Phokpand Thailand).
Industri Chakroen Phokpand Group sendiri berdiri pada tahun 1972 yang
merupakan suatu industri terbesar di kawasan Asia Tenggara pada sektor
budidaya udang (akuakultur) dan berbagai sektor agribisnis lainnya. Kegiatan
usahanya meliputi produksi, distribusi, pengolahan produk-produk perikanan
dan peternakan termasuk dalam hal industri penyediaan pakan. Industri tambak
paling besar di Asia Tenggara ini menjadikan AS sebagai pasar utamanya dan
menguras 50% udang Indonesia. Salah satu cabang perusahaannya di Indonesia
adalah PT Central Proteinaprima Tbk yang juga menjadi produsen dan pengolah
udang yang terintegrasi secara vertikal terbesar di Indonesia. Diketahui sampai
September 2008, dari 100.000 ton ekspor udang per tahun sebanyak 50%
dikirim ke pasar AS, 30% pasar Jepang dan 20% Uni Eropa. Hal inilah yang
menjadikan industri Chakroen Phokpand menjadi industri berstruktur monopoli
dalam sektor budidaya udang di Asia Tenggara. Begitu pula dengan PT Central
48
Proteinaprima yang menguasai lebih dari 50.000 hektar tambak di Lampung dan
Sumatera Selatan yang terbagi dalam tiga tambak intensif modern yaitu PT
Central Pertiwi Bahari (CPB) dengan 3.520 tambak (12% milik perusahaan inti
dan 88% plasma), PT Wachyuni Mandira (WM) dengan 4.709 tambak (65%
milik perusahaan inti dan 35% plasma), dan PT Aruna Wijaya Sakti (AWS)
dengan 5.908 tambak (100% plasma)16.
Komoditi udang Indonesia dihasilkan dari kegiatan budidaya tambak
(70%) dan penangkapan perairan laut (30%). Pada produksi udang Indonesia
sebanyak 95% diekspor, sedangkan 5% sisanya dipasarkan dalam negeri
terutama untuk pasar-pasar besar (supermarket). Sampai saat ini pengadaan
udang melalui kegiatan budidaya lebih banyak dilakukan oleh usaha kecil
(rakyat) maupun industri, sebaliknya penangkapan perairan laut berkurang.
Daerah usaha penghasil udang utama Indonesia berada di perairan Jawa dan
Sumatera, Papua, sebagian Maluku, Kalimantan, dan Sulawesi Selatan. Dari
seluruh daerah tersebut, Lampung merupakan daerah penghasil utama udang
Indonesia, dimana jumlah produksinya adalah 40% dari total produksi udang
nasional. Lampung pula yang menjadi pelopor budi daya udang nasional
berskala dunia seperti yang dilakukan PT Dipasena dan PT Cental Pertiwi
Bahari. Pada nilai ekspor udang terbesar pada empat propinsi Indonesia dapat
dilihat pada Tabel 4.1.
16 Saragih, M.N. 2008. “Rekam Jejak Krisis Keuangan Global Terhadap Sektor Perikanan
Indonesia”. [Infosheet KIARA-Fisheries Justice Coalition]. http://www.kiara.or.id/images/stories/Rekam-Jejak-Krisis-Keuangan-Global-Terhadap-Sektor-Perikanan-Indonesia.pdf [20 Juni 2009].
49
Kini telah terdaftar 182 perusahaan eksportir udang di seluruh wilayah
Indonesia (Depdag, 2009). Pada umumnya beberapa eksportir besar Indonesia
seperti PT Dipasena dan PT. Central Proteinaprima memproduksi frozen shrimp
dan hanya sedikit yang memproduksi udang tak beku dan udang olahan seperti
PT.Tri Kusuma Graha di Jakarta yang memproduksi Canned Shrimph (udang
dalam kaleng). Adapun mayoritas produksi udang Indonesia berupa produk
udang beku 90% serta udang tak beku dan olahan sebesar 10% (Depdag, 2006).
Tabel 4.1 Empat Propinsi Penghasil Nilai Ekspor Udang Terbesar Indonesia
Tahun
Empat Propinsi Nilai Ekspor Udang Terbesar Indonesia (US$)
Lampung DKI Jakarta Jawa Timur Sulawesi Selatan
2005 124.029.784 130.506.599 321.225.017 445.521.354
2006 193.769.358 118.344.741 362.130.880 6.204.272
2007 159.383.427 10.204.062 377.401.780 42.389.429
*2008 291.757.202,43 50.453.015 399.498.563 53.761.317,71
Sumber : Statistik Ekspor DKP, 2009 * Data sementara dari Pusat Pengolahan Hasil Laut DKP
Pada Tabel 4.1 diketahui bahwa pada tahun 2005 propinsi Sulawesi Selatan
menghasilkan nilai ekspor udang terbesar di antara propinsi-propinsi lainnya,
yaitu sebesar US$ 445.521.354. Sedangkan pada tahun 2006 dan 2007 penghasil
nilai ekspor terbesar dipegang oleh Jawa Timur yaitu sebesar US$ 362.130.880
pada tahun 2006 dan sebesar US$ 377.401.780 pada tahun 2007. Pada data
sementara juga diketahui bahwa propinsi Jawa Timur menghasilkan nilai ekspor
terbesar yaitu US$ 399.498.563 pada tahun 2008.
Keberadaan industri pengolahan udang memiliki peran penting untuk
meningkatkan nilai tambah komoditas ekspor. Dalam persaingan pasar global
yang semakin ketat dan terjadinya penurunan harga udang sekitar 5% dalam
50
lima tahun terakhir, peningkatan nilai tambah komoditas melalui jaminan mutu
dan pengolahan udang memberikan keuntungan yang lebih besar bagi produsen
maupun industri pengolah. Pada Gambar 4.1 diperlihatkan perbedaan harga
komoditas udang segar, udang beku hasil sortasi maupun udang olahan
berdasarkan data World Bank tahun 2007, dimana harga udang olahan memiliki
harga yang paling tinggi.
Sumber: World Bank, 2007
Gambar 4.1 Harga komoditas udang segar, udang beku, dan udang olahan di Pasar Internasional
Berdasarkan Gambar 4.1 diketahui bahwa produk udang olahan memiliki
harga ekspor tertinggi daripada produk lainnya yaitu sebesar US$ 6 per kg. Pada
peringkat kedua diduduki oleh produk udang beku dengan harga ekspor sekitar
US$ 5,5/kg sedangkan produk udang segar berada pada posisi terakhir dengan
harga US$ 4 / kg.
US$
/kg
Udang Segar
Udang Beku
Udang Olahan
51
4.2 Jenis Udang dan Pasar-Pasar Ekspor Udang Indonesia
Pada umumnya jenis udang yang banyak diperdagangkan adalah
kelompok nomor HS.0306 yang meliputi udang White Shrimp, Banana Shrimp
dan Black Tiger Shrimp17. Sedangkan bentuk udang yang diekspor yaitu Fresh18,
Frozen19, Cooked20 dan Peeled21. Dilihat dari bentuknya produk udang yang
diekspor 90% adalah dalam bentuk frozen dan 10% not frozen. Berikut akan
dijelaskan perbedaan antara udang tak beku dan udang beku.
1. Udang Tak Beku (Udang Segar)
Udang segar atau udang hidup harganya lebih rendah dibandingkan udang
olahan lain. Hal ini disebabkan udang segar merupakan bahan mentah
yang benar-benar segar dan akan menghasilkan produk olahan udang yang
bermutu tinggi. Udang segar dikemas dalam poliuretan22. Adapun ciri-ciri
udang segar adalah permukaannya basah mengkilap dan memiliki tekstur
yang kenyal dan beraroma khas. Udang segar sangat sedikit produksinya
di Indonesia. Beberapa eksportir yang memproduksi udang segar adalah
PT Bunyamin Brothers dan CV Dama Persada di Jakarta.
2. Udang Beku
Udang beku dihasilkan dengan menempatkan udang yang sudah
dibersihkan (dihilangkan kepalanya) di dalam ruang penyimpanan beku (-
40°C) selama kurang lebih empat jam, selanjutnya disimpan dalam
17 Black Tiger Shrimph : Komoditi udang windu. 18 Fresh : Komoditi udang segar. 19 Frozen : Komoditi udang beku. 20 Cooked : Komoditi udang beku yang sudah dimasak atau direbus dengan waktu sekitar 15 detik. 21 Peeled : Komoditi udang beku yang sudah dikupas kulitnya dan dipotong kepalanya. 22 Poliuretan : Larutan kimia yang digunakan sebagai bahan pengawet udang segar.
52
ruangan dengan suhu minus 25°C dengan fluktuasi 10°C. Pembersihan
sangat diperlukan untuk menghindari kerusakan akibat kontaminasi
mikroba pembusuk. Udang beku (frozen shrimp) sangat mendominasi
produksinya di Indonesia. Beberapa eksportir yang memproduksi udang
beku adalah PT Dipasena Citra Darmaja, PT Centralproteinaprima (PT
Centralpertwi Bahari), PT Naga Mas Sakti Perkasa di Jakarta, PT Buana
Tirta Adijaya dan PT Indorasa Central Coop Seafoods di Jawa Timur, PT
Growth Pacific di Sumatera Utara dan sebagainya.
Pada pasar utama ekspor udang Indonesia terdiri dari negara Jepang (60% dari
total ekspor), Amerika Serikat (16,5%) dan Uni Eropa (sekitar 12,5%). Berikut
akan dijelaskan pasar-pasar ekspor udang Indonesia.
1. Jepang
Jepang adalah negara tujuan ekspor udang nomor satu Indonesia. Karena
mayoritas masyarakatnya sangat menyukai seafood terutama udang (selain
ikan), menyebabkan permintaan ekspor udang Indonesia terus meningkat
di pasar Jepang. Pangsa pasar atau share Indonesia di pasar Jepang pada
tahun 2005 adalah sebesar 20,44%. Volume rata-rata ekspor udang
Indonesia ke Jepang dalam kurun lima tahun (2001-2005) adalah 52.831
ton dengan nilai US$ 504.365.865 atau 49,17% dari total volume ekspor
udang Indonesia. Pada tahun 2005 pula Indonesia menjadi urutan kedua
eksportir udang di pasar Jepang setelah Vietnam sebesar 23,17%.
Kemudian disusul India dengan share 10,25%, China 8,35%, dan Thailand
dengan share 7,47% (lima negara pemasok utama).
53
2. Amerika Serikat
Secara umum, AS merupakan pangsa pasar terbesar semua negara pada
seluruh komoditi secara umum. Karena daya beli masyarakatnya yang
tinggi dan cenderung konsumtif, membuat permintaan ekspor udang
Indonesia amat diminati. Perkembangan nilai ekspor udang Indonesia di
AS pada tahun 2006 sebesar US$ 353.369 meningkat menjadi US$
380.052 di tahun 2007. Diketahui sampai bulan Agustus 2008 pangsa
pasar Indonesia di AS sebesar 12% pada urutan kedua dari tujuh negara.
Urutan pertamanya adalah Thailand dengan share 13%.
3. Uni Eropa
Uni Eropa merupakan kawasan perdagangan yang sangat strategis dan
potensial bagi negara-negara di dunia. Dengan diselimuti iklim yang
subtropis pada negara-negara di dalamnya membuat masyarakatnya sangat
akrab dengan komoditi-komoditi perikanan, seperti udang. Di samping
permintaan yang cukup tinggi akan udang, masyarakat Eropa senang
dengan produk udang karena citarasanya yang sangat lezat dan dapat
diolah dalam berbagai bentuk makanan siap saji. Karena itu, Indonesia
menjadi salah satu eksportir udang terbesar di Uni Eropa. Pada tahun 2007
perkembangan ekspor udang Indonesia di Uni Eropa sebesar 35,73% di
Inggris, 27,92% di Belgia, 12,76% di Perancis, 7,92% di Belanda dan
6,75% di Jerman. Indonesia juga menempati posisi ke-6 sebagai pemasok
udang ke Uni Eropa dengan nilai ekspor € 99.471.880 pada pangsa 4,67%
dari total impor Uni Eropa yang senilai € 2,13 milyar. Lima negara lainnya
54
adalah Ekuador (11,54%), India (11,43%), Argentina (11,18%),
Bangladesh (8,09%) dan China sebesar 5,76%. Adapun trend ekspor
udang Indonesia di pasar Uni Eropa pada tahun 2003-2007 mengalami
penurunan sebesar 3,01%.
55
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Daya Saing Komoditi Udang Indonesia (Analisis RCA)
Analisis daya saing komoditi udang Indonesia di pasar dunia
menggunakan pendekatan Revealed Comparative Advantage (RCA). Metode ini
didasarkan pada konsep perdagangan antarwilayah yang sebenarnya menunjukkan
keunggulan komparatif yang dimiliki oleh suatu negara. Metode ini diukur
berdasarkan kinerja ekspor komoditi udang beku dan tak beku Indonesia terhadap
total ekspor seluruh komoditi Indonesia dibandingkan dengan kinerja ekspor
udang beku dan tak beku dunia terhadap total ekspor seluruh komoditi dunia.
Perhitungan RCA dapat didefinisikan jika pangsa ekspor komoditi udang
Indonesia dalam total ekspor komoditinya lebih besar daripada pangsa ekspor
komoditi udang dunia dalam total ekspor komoditinya maka negara tersebut
memiliki keunggulan komparatif dalam produksi dan ekspor komoditi udang.
Dalam hal ini jika nilai RCA lebih besar dari 1 (RCA > 1) berarti komoditi udang
Indonesia di atas rata-rata dunia dan Indonesia mempunyai keunggulan
komparatif dalam komoditi udang dan berdaya saing kuat. Tetapi jika nilai RCA
kurang dari satu (RCA < 1) berarti komoditi udang Indonesia berada di bawah
rata-rata dunia dan Indonesia tidak mempunyai keunggulan komparatif dalam
komoditi udang dan berdaya saing lemah. Hasil analisis daya saing komoditi
udang Indonesia (udang beku dan tak beku) dapat diperlihatkan pada Tabel 5.1
berikut.
56
Tabel 5.1 Daya Saing Udang Beku dan Tak Beku Indonesia Periode 1989-2007
Tahun RCA Udang Tahun RCA Udang
1988 - 1998 14,12 1989 12,35 1999 14,04 1990 11,63 2000 12,45 1991 11,50 2001 12,92 1992 10,19 2002 12,71 1993 10,70 2003 13,15 1994 12,23 2004 12,47 1995 12,81 2005 11,42 1996 12,94 2006 12,01
1997 12,67 2007 12,62 Sumber : Un Comtrade, 2009 (diolah)
Keterangan : RCA > 1 : Berdaya saing kuat
RCA < 1 : Berdaya saing lemah
Berdasarkan Tabel 5.1 dapat dilihat bahwa pada tahun 1989-1993
komoditi udang beku dan tak beku Indonesia berdaya saing kuat karena terlihat
dari nilai RCAnya yang lebih besar dari satu hanya saja berkurang nilainya dari
12,35 pada tahun 1989 sampai menjadi 10,70 pada tahun 1993. Hal ini mungkin
disebabkan oleh penurunan kualitas udang Indonesia di pasar Jepang akibat
penyakit. Adapun pada waktu itu munculnya jenis penyakit bintik-bintik putih
(White Spot Syndrome) yang menyerang komoditas udang windu Indonesia
sehingga menurunkan kinerja ekspor udang Indonesia dan membuat daya saing
komoditi udang Indonesia menjadi berkurang.
Pada tahun 1994-1999 nilai RCA komoditi udang kembali meningkat
sampai tahun 1999 yang nilainya sebesar 14,04 dan masih berdaya saing kuat
57
karena bertambahnya pasar ekspor udang Indonesia yaitu selain diekspor ke
Jepang juga diekspor ke AS dan Uni Eropa. Diketahui pada periode tersebut mulai
terjadinya krisis ekonomi dimana terdepresiasinya nilai tukar rupiah dari level Rp
2.400/US$ pada tahun 1997 sampai ke level Rp 14.900/US$ pada tahun 1998 dan
terjadinya kelumpuhan pada sektor industri dan lembaga-lembaga keuangan di
Indonesia. Tetapi walaupun terjadi krisis ekonomi, nilai daya saing komoditi
udang tidak anjlok, bahkan semakin meningkat sehingga krisis ekonomi tidak
berpengaruh terhadap komoditi udang Indonesia. Hal ini disebabkan pada krisis
ekonomi 1997 tersebut hanya berimbas pada perekonomian negara-negara di Asia
tetapi tidak berpengaruh pada negara-negara pada pasar ekspor udang Indonesia
seperti AS atau Uni Eropa sehingga permintaan ekspor udang Indonesia bisa tetap
meningkat.
Pada tahun 2000-2002 nilai RCA Indonesia cenderung stagnan atau tetap,
yaitu sebesar 12,45 pada tahun 2000, 12,92 pada tahun 2001 dan sebesar 12,71
pada tahun 2002. Hal ini mungkin disebabkan masih lesunya ekspor udang
Indonesia karena adanya wabah White Spot Syndrome yang menyerang komoditi
udang windu Indonesia. Hal ini ditambah dengan adanya penetapan larangan dari
pasar ekspor AS dan Eropa pada tahun 2002 untuk negara-negara produsen yang
udangnya mengandung Chloraphenicol dan Nitrofurant seperti India dan Pakistan
yang berakibat peralihan ekspor udang negara-negara tersebut ke pasar Jepang.
Akibatnya persaingan pasar ekspor udang di Jepang semakin ketat dan daya serap
Indonesia di pasar ekspor Jepang menjadi berkurang. Akibatnya nilai ekspor
udang turun sekitar 30-40% diikuti oleh harga ekspor yang juga berkurang sekitar
58
20%23. Meskipun begitu diketahui bahwa komoditi udang Indonesia masih tetap
berdaya saing kuat karena lebih besar dari satu.
Pada tahun 2003-2005 juga terjadi penurunan pada nilai RCA komoditi
udang Indonesia dari 13,15 pada tahun 2003 sampai pada nilai 11,42 pada tahun
2005. Hal ini disebabkan karena adanya standarisasi yang ditetapkan Uni Eropa
yang memberatkan negara-negara pengekspor udang24. Standarisasi itu melarang
tidak boleh adanya binatang di lokasi tambak, pakaian pekerja harus rapi dan
bersih, pekerja tidak boleh sakit, dalam air tambak tidak boleh ada bakteri
salmonela (bakteri yang ada di dalam air) dan tidak boleh memakai antibiotik.
Menurut Kasubdit Pola Pengembangan Produksi Dirjen Perikanan Budidaya,
Chaery Novari, standarisasi itu tidak mungkin semuanya dapat dipenuhi petambak
udang Indonesia karena pada umumnya sebagian besar dari 300 ribu ha total luas
lahan tambak Indonesia para pekerjanya makan, tidur dan hidup sehari-hari di
tambak. Hal ini mengakibatkan penolakan 10 kontainer udang dari Sumatera
Utara di pelabuhan Brussels, Belgia. Meskipun mengalami penurunan daya saing,
komoditi udang Indonesia masih dapat dikatakan kuat.
Terakhir pada tahun 2006-2007 terjadi peningkatan daya saing komoditi
udang Indonesia karena terjadi peningkatan nilai RCA dari sebesar 11.42 pada
tahun 2005, menjadi 12,01 pada tahun 2006 dan 12,62 pada tahun 2007. Hal ini
mungkin disebabkan terjadinya peningkatan kinerja ekspor komoditi udang
Indonesia karena adanya perkembangan budidaya jenis udang baru yang tahan
23 Srihartini, R. 2002. “Dollar Turun, Eksportir Udang Menjerit”.
http://www.tempointeraktif.com/brk,20020616-05,id.html [8 Mei 2009]. 24 Rusdi. 2007. “Indonesia Andalkan FAO Atasi Masalah Budidaya Udang”.
http://forum.kapanlagi.com/Indonesia-Andalkan-FAO-Atasi-Masalah-Budidaya-Udang/0000166668.html [12 Juni 2009].
59
terhadap penyakit bintik putih (White Spot Syndrome) yaitu jenis udang vanname
yang mulai masuk ke Indonesia pada tahun 2001. Udang vanname ini ditetapkan
sebagai jenis benih unggul baru untuk diekspor dan untuk sementara
menggantikan jenis udang windu Indonesia.
Berdasarkan data dari Tabel 5.1 dapat disimpulkan bahwa nilai RCA
komoditi udang Indonesia pada periode 1989-2007 semua nilainya berada di atas
pangsa pasar ekspor rata-rata dunia karena lebih besar dari satu (RCA > 1)
sehingga dapat dikatakan bahwa Indonesia memiliki keunggulan komparatif pada
produksi dan ekspor komoditi udang yang berdaya saing kuat. Untuk dapat
mengetahui kinerja ekspor komoditi udang Indonesia (yaitu pada jenis udang beku
dan tak beku Indonesia) dapat dilihat melalui indeks komoditi udang Indonesia di
pasar dunia pada Tabel 5.2
60
Tabel 5.2 Indeks RCA Komoditi Udang Indonesia di Pasar Internasional
Tahun Indeks RCA Tahun Indeks RCA
1988 - 1998 1,11 1989 - 1999 0,99 1990 0,94 2000 0,88 1991 0,99 2001 1,04 1992 0,88 2002 0,98 1993 1,05 2003 1,03 1994 1,14 2004 0,95 1995 1,05 2005 0,91 1996 1,01 2006 1,05 1997 0,98 2007 1,05
Sumber : UN Comtrade, 2009 (diolah)
Berdasarkan Tabel 5.2 diketahui bahwa pada tahun 1990-1992 indeks
RCA komoditi udang Indonesia di bawah satu yaitu sebesar 0,94 pada tahun 1990
sampai sebesar 0,88 pada tahun 1992. Dapat disimpulkan bahwa pada periode
1990-1992 telah terjadi penurunan RCA komoditi udang Indonesia atau kinerja
ekspor udang Indonesia di pasar dunia lebih rendah dari tahun sebelumnya.
Kemudian pada periode 1993-1996 indeks RCA komoditi udang Indonesia lebih
besar dari satu yaitu sebesar 1,05 pada tahun 1993 sampai sebesar 1,01 pada tahun
1996. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada tahun 1993-1996 telah terjadi kenaikan
RCA atau kinerja ekspor udang Indonesia di pasar dunia tahun 1993-1996 lebih
tinggi daripada tahun sebelumnya. Begitu pula pada nilai-nilai indeks RCA pada
tahun-tahun berikutnya yaitu pada tahun 1997, 1999, 2000, 2002, 2004 dan 2005
menunjukkan nilai kurang dari satu seperti tahun 2000 sebesar 0.88 atau pada
tahun 2004 sebesar 0,95 artinya telah terjadi penurunan RCA di tahun-tahun
61
tersebut atau kinerja ekspor udang Indonesia di pasar dunia lebih rendah pada
tahun-tahun tersebut daripada tahun-tahun sebelumnya. Lalu pada tahun 1998,
2001, 2003, 2006 dan 2007 nilai indeks RCA nya lebih besar daripada satu seperti
1,11 pada tahun 1998 atau 1,05 pada tahun 2006 dan 2007 yang artinya telah
terjadi kenaikan RCA atau kinerja ekspor komoditi udang Indonesia di pasar
dunia pada tahun-tahun tersebut lebih tinggi daripada tahun-tahun sebelumnya.
5.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Daya Saing Komoditi Udang Indonesia
5.2.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keunggulan Komparatif
Pada analisis faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing komoditi udang
Indonesia digunakan uji ekonometrika melalui metode regresi linear berganda.
Pada hasil regresi linear berganda yang diolah dengan menggunakan Eviews 6
akan dilihat berbagai kriteria ekonometrika seperti autokorelasi,
heteroskedastisitas, multikolinearitas dan normalitas.
62
Tabel 5.3 Hasil Regresi Pada Metode OLS
Variabel Dependen : LNDS
Variable Coefficient Prob.
LNPXT 0,302767 0,0277 LNQXT 0,099302 0,6405 LNPDXT 0,143251 0,0105 LNNIT -0,229165 0,0596 C 1,547898 0,5225
R-squared 0,511530 F-statistic 3,665232
Durbin-Watson stat 1,704705 Prob (F-stat) 0,030395
Keterangan pada taraf nyata α = 10%
Uji autokorelasi dilakukan untuk melihat apakah terdapat hubungan di
antara galat dalam persamaan regresi yang diperoleh. Pengambilan
kesimpulan autokorelasi dapat dilihat dari nilai Durbin-Watson statistik pada
hasil regresi yang dijelaskan pada Tabel 5.3. Berdasarkan Tabel 5.3 diketahui
bahwa nilai Durbin-Watson statistik sebesar 1,704705 atau mendekati nilai
dua. Berdasarkan Tabel 5.3 juga diketahui hasil hipotesisnya adalah menolak
H0 (H0 = ada autokorelasi) yang artinya tidak terdapat autokorelasi dalam
model regresi yang diperoleh. Pada asumsi heteroskedastisitas terjadi jika nilai
varian dari variabel bebasnya berbeda atau ragamnya berbeda (tidak konstan).
Pengujian masalah heteroskedastisitas dilakukan dengan menggunakan uji
White Heteroskedasticity Test. Pengujian ini dilakukan dengan melihat
Probability Obs* R-squared pada Lampiran 4. Berdasarkan Lampiran 4
diketahui bahwa nilai Prob. Chi-Square sebesar 0,2735 lebih besar daripada
63
taraf nyata α (0,2735 > 10%). Artinya tidak terdapat heteroskedastisitas dalam
model atau menolak hipotesis H0.
Pada multikolinearitas dideteksi dengan melihat koefisien korelasi antar
variabel bebas dengan cara melihat correlation matrix. Hasil pengujian
correlation matrik dapat dilihat di Lampiran. Pada Lampiran 6 dapat diketahui
bahwa nilai koefisien korelasi antara variabel QXT (volume ekspor udang)
dan PDXT (Harga Input Udang) lebih besar dari 0,8 yaitu sebesar 0,859544
(0,859544 > 10%) sehingga dapat diartikan bahwa terdapat multikolinearitas
di dalam model. Sedangkan pada uji normalitas dilakukan untuk memeriksa
apakah error term mendekati distribusi normal. Wilayah kritis penolakan HO
adalah probabilitas (p-value) < α, sedangkan daerah penerimaan adalah
probabilitas (p-value) > α. Adapun hasil pengujiannya dapat dilakukan
dengan melihat Lampiran 7. Diketahui pada Lampiran 7 nilai probabilitas (p
value) sebesar 0,601233 yang lebih besar daripada taraf nyata α = 10%.
Artinya bahwa galat pada model tersebut menyebar normal atau menerima
hipotesis H0 (H0 = galat menyebar normal).
Adapun pada kriteria lainnya yaitu uji F digunakan untuk menguji
bagaimanakah pengaruh seluruh variabel independent atau variabel bebas
terhadap variabel dependennya atau tak bebasnya. Adapun hasil pengujian
untuk Uji F dapat dilihat pada Tabel 5.3. Pada Tabel 5.3 diketahui bahwa nilai
probability (F statistiknya) sebesar 0,030395 yang lebih kecil daripada taraf
nyata α = 10%. Artinya bahwa pada model tersebut minimal ada satu variabel
independennya atau variabel bebasnya yang mempengaruhi variabel
64
dependennya atau variabel tak bebasnya. Selain itu dapat pula dikatakan
bahwa hipotesisnya adalah menolak H0 (H0 : β1 = β2 = …. = βt = 0 atau
tidak ada variabel independent yang berpengaruh signifikan terhadap variabel
dependen). Sedangkan pada Uji T disebut sebagai uji signifikansi secara
parsial karena melihat signifikansi masing-masing variabel yang terdapat di
dalam model. Adapun hasil pengujian pada Uji T dapat dilihat pada Tabel 5.3
Berdasarkan Tabel 5.3 diketahui bahwa terdapat tiga variabel independen
yang berpengaruh nyata atau signifikan terhadap variabel dependen (DS).
Variabel-variabel tersebut adalah PXT yang nilai probabilitasnya sebesar
0,0277 yang lebih kecil dari taraf nyata α = 10%, variabel PDXT yang nilai
probabilitasnya sebesar 0,0105 lebih kecil dari α = 10% dan variabel NIT yang
nilai variabelnya sebesar 0,0596 lebih kecil juga dari α = 10%. Sedangkan
pada variabel QXT mempunyai nilai probabillitas sebesar 0,6405 yang lebih
besar dari taraf nyata α = 10% sehingga tidak berpengaruh nyata atau tidak
signifikan. Berarti dapat dikatakan bahwa pada variabel PXT (Harga Ekspor),
PDXT (Harga input udang) dan NIT (nilai ekspor ikan tuna) berpengaruh
nyata atau signifikan terhadap variabel DS (Daya Saing). Sedangkan pada
variabel QXT (volume ekspor udang) tidak signifikan atau tidak berpengaruh
nyata terhadap variabel DS (Daya Saing). Pada hipotesisnya dapat dikatakan
bahwa variabel-variabel tersebut menolak H0 dimana H0 : β1 = 0 dan
menerima hipotesis H1 dimana H1 : βt ≠ 0 terkecuali pada variabel QXT
yang berlawanan hipotesis.
65
Pada faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing komoditi udang
Indonesia dapat dijelaskan sebagai berikut :
Berdasarkan Tabel 5.3 diketahui bahwa nilai variabel PXT (Harga Ekspor)
signifikan terhadap variabel DS (Daya Saing) komoditi udang Indonesia
dengan nilai probabilitas sebesar 0,0277 dan tanda koefisiennya positif
0,302767. Hal ini disebabkan karena harga ekspor pada dasarnya
dihasilkan dari permintaan dan penawaran komoditi udang Indonesia di
pasar internasional. Adapun tanda pada koefisien harga ekspor adalah
positif sehingga apabila harga ekspor udang naik berarti terjadi kenaikan
pada daya saing udang karena kenaikan harga ekspor mencerminkan
tingkat kualitas komoditi udang Indonesia yang cukup tinggi sehingga
daya saing komoditi udang Indonesia juga meningkat.
Kemudian pada variabel berikutnya adalah variabel QXT atau volume
ekspor udang Indonesia tidak signifikan terhadap daya saing komoditi
udang Indonesia (DS) dengan probabilitas sebesar 0,6405. Hal ini
disebabkan variabel volume ekspor tidak dapat mempengaruhi kualitas
ekspor komoditi udang Indonesia sehingga tidak bisa mempengaruhi daya
saing komoditi udang Indonesia (DS). Jadi meskipun terjadi peningkatan
pada volume ekspor udang Indonesia tidak akan dapat meningkatkan daya
saingnya tanpa adanya strategi-strategi atau manajemen pemasaran yang
bagus di pasar internasional disamping karena peningkatan volume ekspor
udang Indonesia yang juga tidak stabil atau tidak terjadi peningkatan
secara berkesinambungan setiap tahunnya.
66
Pada harga domestik produsen komoditi udang windu (PDXT)
berpengaruh nyata atau signifikan karena probabilitasnya sebesar 0.0105
dengan tanda koefisiennya positif sebesar 0,143251. Artinya jika terjadi
kenaikan pada harga domestik produsen udang Indonesia maka akan
menyebabkan kenaikan pada daya saingnya. Hal ini disebabkan harga
udang windu di tingkat produsen merupakan harga pembelian input
perusahaan eksportir udang untuk diekspor sehingga juga menentukan
harga ekspornya. Harga ekspor yang meningkat karena harga input yang
meningkat akan mendorong pada peningkatan daya saing komoditi udang
Indonesia.
Pada nilai ekspor komoditi substitusi udang yaitu ikan tuna (NIT)
berpengaruh nyata atau signifikan karena probabilitasnya sebesar 0,0596
dengan tanda koefisiennya negatif 0,229165. Ini dapat diartikan bahwa
kenaikan nilai ekspor ikan tuna tidak menyebabkan kenaikan pada daya
saing udang Indonesia atau bahkan mungkin menyebabkan penurunan
pada daya saing udang Indonesia. Hal ini disebabkan peningkatan nilai
ekspor ikan tuna dengan kualitas yang lebih bagus akan dapat
menggantikan nilai ekspor komoditi udang yang kualitasnya lebih rendah
dan volume ekspornya yang tidak selalu stabil serta daya saingnya juga
menurun.
Adapun pada persamaan regresinya yaitu :
LNDS = 0,302767*LNPXT + 0,099302*LNQXT +
0,143251*LNPDXT – 0,229165*LNNIT + 1,547898
S.E. of regression = 0,064423
67
Persamaan di atas memiliki arti apabila terjadi kenaikan sebesar 1% pada
harga ekspor (PXT) akan meningkatkan daya saing (DS) komoditi udang
Indonesia sebesar 0,30%. Kemudian apabila terjadi kenaikan sebesar 1%
pada volume ekspor udang (QXT) maka akan dapat meningkatkan daya
saing udang Indonesia (DS) sebesar 0,09%. Begitu pula pada variabel
yang lainnya yaitu jika terjadi kenaikan sebesar 1% pada harga udang di
tingkat produsen atau harga input (PDXT) maka akan menyebabkan
kenaikan pada daya saing udang Indonesia (DS) sebesar 0,14%.
Sedangkan jika terjadi kenaikan sebesar 1% pada nilai ekspor ikan tuna
(NIT) maka akan menyebabkan penurunan pada daya saing udang
Indonesia (DS) sebesar 0,229%.
5.2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keunggulan Kompetitif
Pada analisis keunggulan kompetitif menggunakan Teori Berlian Porter
(Porter’s Diamond Theory) yang menganalisis daya saing komoditi udang
Indonesia melalui empat komponen utama yaitu kondisi faktor, permintaan,
industri terkait dan pendukung, serta strategi perusahaan, struktur dan persaingan
ditambah dengan dua komponen pendukung yaitu komponen regulasi pemerintah
dan faktor kesempatan.
1) Kondisi Faktor
Kondisi faktor merupakan salah satu komponen Porter yang memiliki
pengertian jika semakin tinggi kualitas input atau produk bahan mentahnya maka
semakin besar peluang industri dan negara dalam meningkatkan daya saing.
68
Kondisi faktor meliputi semua ketersediaan sumberdaya, yaitu sumberdaya alam,
sumberdaya manusia, sumberdaya modal, sumberdaya IPTEK dan sumberdaya
infrastruktur.
A. Sumberdaya Alam
Indonesia sebagai negara kepulauan yang beriklim tropis membuat tanah
airnya menjadi subur dan mengandung kekayaan hasil alam yang melimpah baik
itu sumberdaya alam yang dapat diperbaharui seperti hasil pertanian, perkebunan,
dan perikanan serta sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui yaitu
sumberdaya mineral atau barang tambang. Pada sumberdaya perikanan Indonesia
sangatlah didukung oleh wilayah laut Indonesia yang luas yakni 5,8 juta km2
dengan luas perairan territorial 0,8 juta km2, luas perairan kepulauan / laut
nusantara 2,3 juta km2, dan luas perairan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) 2,7 juta
km2. Salah satu sumberdaya perikanan yang banyak diproduksi di Indonesia di
samping jenis ikan adalah udang. Sumberdaya udang Indonesia sangatlah diminati
baik di pasar domestik maupun internasional.
Pada komoditi udang Indonesia merupakan komoditi potensial karena sebagai
sektor hasil perikanan yang dapat menghasilkan devisa negara yang cukup besar
dan jumlah ekspor yang meningkat seperti pada Tabel 1.1 Selain itu Indonesia
merupakan negara dengan nilai ekspor udang nomor dua di dunia di bawah
Thailand pada tahun 2007 berdasarkan Tabel 5.4
69
Tabel 5.4 Negara-Negara Penghasil Nilai Ekspor Udang Beku Terbesar25
Tahun
Nilai ekspor Udang Beku Terbesar (US$)
Thailand China Indonesia Vietnam
2007 1.084.677.273 182.176.092 792.385.971 -
2006 1.054.484.182 187.614.194 939.711.381 1.225.601.931
2005 903.470.073 326.704.739 804.022.736 1.129.466.777
Sumber : UnComtrade, (2009)
Berdasarkan Tabel 5.4 diketahui bahwa Indonesia menempati peringkat
ketiga dengan nilai ekspor udang beku sebesar US$ 804.022.736 pada tahun 2005
di bawah Thailand pada peringkat kedua dengan nilai ekspor US$ 903.470.073
dan Vietnam pada peringkat pertama dengan nilai ekspor US$ 1.129.466.777.
Pada tahun 2006, Indonesia juga tetap berada pada peringkat tiga dengan nilai
ekspor US$ 939.711.381 di bawah Thailand dan Vietnam. Pada tahun 2007,
Indonesia meningkat ke peringkat dua dengan nilai ekspor US$ 792.385.971 di
bawah Thailand yang menempati peringkat pertama dengan nilai ekspor US$
1.084.677.273. Selain itu pada Tabel 5.4 dapat disimpulkan bahwa terjadinya
peningkatan nilai ekspor udang beku Indonesia bukan hanya karena kekayaan
sumberdaya udang Indonesia, tetapi juga mencerminkan perbandingan nilai
ekspor udang beku Indonesia terhadap nilai ekspor semua komoditi Indonesia
yang lebih tinggi daripada nilai ekspor udang dunia terhadap nilai ekspor semua
komoditi dunia sehingga daya saingnya juga meningkat.
Pada udang windu (Giant Tiger Shrimph) merupakan jenis udang khas
Indonesia yang banyak dibudidayakan oleh para petambak dan nelayan Indonesia.
Udang windu bersifat euryhaline, yakni secara alami bisa hidup di perairan yang 25 United Nations Comodity Trade (UNCOMTRADE) Statistical Database, 2009.
http://unstat.un.org/unsd/comtrade [13 dan 14 Mei 2009].
70
berkadar garam dengan rentangan yang luas, yakni 5-450/00. Artinya, udang windu
dapat hidup di laut yang berkadar garam tinggi hingga perairan payau yang
berkadar garam rendah. Adapun kadar garam ideal untuk pertumbuhan udang
windu adalah 19-350/00. Pada udang windu muda atau stadium juvenile
mempunyai pertumbuhan yang baik pada perairan berkadar garam tinggi,
sedangkan untuk udang windu yang semakin dewasa mempunyai pertumbuhan
yang optimal pada perairan berkadar garam rendah.
Pada umumnya udang windu menyukai perairan yang relatif jernih dan
sangat rentan terhadap pencemaran, baik itu pencemaran industri, rumah tangga,
ataupun pertanian (pestisida) dan hama atau penyakit. Hal ini disebabkan
lingkungan hidup yang kotor seperti dasar perairan yang berlumpur akan
menghambat pertumbuhan udang windu. Selain itu suhu dan oksigen terlarut juga
ikut mempengaruhi. Udang windu dapat tumbuh dengan baik pada suhu 26-32°C,
sementara kandungan oksigen terlarutnya sebanyak 4-7 ppm. Jika udang windu
dibudidayakan dari benih akan mencapai panen setelah dipelihara 4-6 bulan. Pada
Tabel 5.5 akan dijelaskan produksi udang windu budidaya tambak di Indonesia.
Tabel 5.5 Produksi Udang Windu Budidaya Tambak di Indonesia
Tahun 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Produksi (Ton)
112.840 133.836 131.399 134.682 147.867 133.113
Sumber : Departemen Kelautan dan Perikanan, 2009
Berdasarkan Tabel 5.5, diketahui bahwa produksi udang windu pada
budidaya tambak di Indonesia periode 2002-2007 cenderung mengalami
peningkatan. Hanya pada tahun 2004 mengalami penurunan sebesar 2.437 ton dari
tahun 2003 sebesar 133.836 ton menjadi 131.399 ton pada 2004. Begitu pula pada
71
tahun 2007 yang mengalami penurunan produksi sebesar 14.754 ton dari 147.867
ton di tahun 2006 menjadi 133.113 ton di tahun 2007.
Adapun udang windu banyak dibudidayakan di daerah pesisir timur pulau
Sumatra yaitu daerah Nangroe Aceh Darussalam, Sumatra Utara, Riau dan
Lampung serta pesisir utara pulau Jawa (pantura), pesisir Kalimantan, Bali dan
Nusa Tenggara, serta Papua. Selain Indonesia, beberapa negara yang terkenal
sebagai pembudidaya udang windu adalah Thailand, India, China, Jepang,
Malaysia dan Filipina.
Pada udang vanname merupakan udang jenis baru yang pertama kali
masuk ke Indonesia pada tahun 2001. Udang ini berasal dari perairan asli Amerika
Latin, yaitu dari Pantai Barat Meksiko ke arah selatan hingga daerah Peru. Sejak
empat tahun terakhir, budidaya udang vanname mulai meluas dengan cepat di
kawasan Asia seperti China, Taiwan, Malaysia, dan juga di Indonesia. Pada
awalnya produksi budidaya udang windu yang sedang berkembang mengalami
penurunan karena serangan penyakit, yaitu penyakit bercak putih (White Spot
Syndrome). Kini dengan adanya udang vanname yang kebal terhadap penyakit
White Spot Syndrome usaha perikanan Indonesia mulai bangkit kembali. Pada
dasarnya udang vanname memang berbeda dari udang lain yaitu produktivitasnya
dapat mencapai lebih dari 13.600 kg/ha menurut penelitian Boyd & Clay (2002).
Hal ini disebabkan udang vanname memang memiliki keunggulan sebagai
berikut:
72
1. Tingkat kehidupan yang tinggi, yaitu tingkat lulus kehidupan udang
vanname yang bisa mencapai 80-100% (Duraippah, et al, 2000)26,
sedangkan menurut Boyd dan Clay tingkat lulus kehidupannya bisa
mencapai 91%. Hal ini diperoleh dari induk yang telah berhasil
didomestikasi sehingga menghasilkan benur yang tidak liar dan tingkat
kanibalismenya rendah. Selain itu benur udang vanname ada yang bersifat
SPF (Specific Pathogen Free) ; benur yang bebas dari beberapa jenis
penyakit, seperti penyakit bintik putih atau yang dikenal dengan White
Spot Syndrome Virus (WSSV).
2. Udang vanname adalah hewan omnivora yang mampu memanfaatkan
pakan alami seperti plankton dan detritus pada kolom air atau tambak,
sehingga mengurangi input pakan seperti pelet. Menurut Boyd dan Clay
konversi pakannya atau Feed Conversion Ratio (FCR) sekitar 1,3-1,4,
dengan kadar protein pakannya yang cukup rendah yaitu sekitar 20-35%.
Karena protein pakan rendah, maka biaya pembelian pakannya murah
untuk menekan biaya produksi.
3. Udang vanname dapat tumbuh baik dengan kepadatan tebar yang tinggi,
yaitu sekitar 60-150 ekor / m2 dengan tingkat pertumbuhan 1-1,5 gr/
minggu. Hal ini disebabkan udang vanname mampu memanfaatkan kolom
air sebagai tempat hidup sehingga ruang hidup udang tersebut menjadi
lebih luas. Hal inilah yang menjadi dasar petambak udang untuk
26 Duraippah, S, Supono dan Hendri. 2000. “Keunggulan-Keunggulan Udang Vanname”.
http;//www.google.com/keunggulan-keunggulan-udang-vanname.pdf [15 Juni 2009].
73
meningkatkan produksinya dengan meningkatkan kepadatan tebar.
Tambak budidaya udang vanname sendiri dilaksanakan dengan
menggunakan teknologi intensif.
Karena keunggulan-keunggulan udang vanname itulah pemerintah secara
resmi menjadikan udang vanname sebagai varietas unggul pada 12 Juli 2001
melalui SK Menteri KP No. 41/2001. Sejak itulah budidaya udang vanname
meluas ke berbagai daerah seperti Jawa Timur, Bali, Brebes, Tegal, Pemalang
(Jawa Tengah), Indramayu dan Pangandaran (Jawa Barat), Mamuju dan Makassar
(Sulsel), Pelaihari (Kalsel), Medan (Sumut), Batam (Riau), Musi Banyuasin
(Sumsel), Padang Cermin, Kalianda, Way Seputih, dan Kota Agung (Lampung),
serta Pondok Kelapa (Bengkulu).
Adapun sifat-sifat penting udang vanname yaitu aktif pada kondisi gelap
(nokturnal), dapat hidup pada kisaran salinitas lebar (euryhaline) 21-33 ppt
dengan oksigen terlarut 3,2-5,0 ppm pada pagi hari dan 4,2-9,0 ppm pada siang
hari, suka memangsa sesama jenis (kanibal), tipe pemakan lambat, tetapi terus
menerus (continous feeder), menyukai hidup di dasar (bentik) dan mencari makan
lewat organ sensor (chemocereptor). Selain itu pada sepasang udang vanname
yang berukuran 30-45 gram dapat menghasilkan 100.000-250.000 butir telur yang
berukuran 0,22 mm. Pada siklus hidup udang vanname terjadi pergantian kulit
(moulting) yang dipengaruhi oleh kondisi air pasang dan surut, perubahan
lingkungan, dan penurunan volume air pada saat persiapan panen.
Karena sifat-sifat udang vanname yang unggul maka udang vanname dapat
mencapai harga rata-rata Rp 27.000-Rp 30.000/kg dengan biaya produksi hanya
74
Rp 16.000-Rp 17.000/kg. Berbeda dengan udang windu rata-rata yang harganya
sebesar Rp 50.000-Rp 60.000/kg dengan biaya produksi Rp 15.000-Rp 20.000/kg.
Diketahui bahwa harga ekspor rata-rata udang vanname US$ 10/kg sehingga
diperoleh devisa US$ 10 milyar per tahun. Pada Tabel 5.6 akan dijelaskan
produksi udang vanname budidaya tambak di Indonesia.
Berdasarkan Tabel 5.6 diketahui bahwa produksi budidaya tambak udang
vanname di Indonesia selalu meningkat pada periode 2004-2007. Peningkatan
produksi terbesar terjadi sejumlah 50.657 ton, yaitu dari 53.217 ton pada tahun
2004 menjadi 103.874 ton pada tahun 2005.
Tabel 5.6 Produksi Udang Vanname Budidaya Tambak di Indonesia
Tahun 2004 2005 2006 2007
Produksi (Ton)
53.217 103.874 141.649 179.966
Sumber : Departemen Kelautan dan Perikanan, 2008
B. Sumberdaya Manusia
Berdasarkan data Departemen Perdagangan diketahui bahwa penyerapan
tenaga kerja dari subsektor budidaya udang sampai dengan tahun 2006 adalah
sebesar 194.316 orang. Selain itu dapat diproyeksikan pada tahun 2009
diramalkan terjadi peningkatan penyerapan tenaga kerja sebesar 324.053
orang karena tercapainya program revitalisasi budidaya udang (Depdag,
2009).
Hal tersebut dikarenakan sudah berkembangnya sektor lapangan kerja
dalam industri budidaya udang yakni meningkatnya jumlah perusahaan-
perusahaan eksportir udang yang mencapai 182 perusahaan. Selain itu adanya
75
para stakeholder (pelaku usaha) lainnya seperti sektor-sektor usaha mikro dan
kecil dalam budidaya udang, para nelayan pembudidaya udang, serta
kerjasama dengan instansi-instansi pemerintahan pada sektor perikanan
meningkatkan kuantitas kebutuhan sumberdaya manusia.
Pada produsen dan pengolah udang terbesar di dunia yang ada di Indonesia
yaitu PT Central Proteinaprima yang memproduksi udang beku, pakan udang,
bibit udang, probiotika dan pakan ikan dengan lahan budidaya 50.000 hektar
telah menyediakan lapangan kerja kepada lebih dari 38.000 orang termasuk
12.500 pegawai penuh waktu. PT Central Proteinaprima merupakan
pengendali industri yang ditopang oleh tim pengelola yang stabil dan
berpengalaman, strategi bisnis yang sehat, dan operasi berperingkat terbaik
untuk mengoptimalkan efisiensi dan teknik produksi dalam industri.
Berdasarkan keterangan dari perusahaan Central Proteinaprima telah
diketahui bahwa sumberdaya manusia pada sektor budidaya dan ekspor udang
Indonesia sudah cukup baik dari segi kuantitas dan kualitasnya. Karena
dengan adanya peningkatan kuantitas dan kualitas sumberdaya manusia
(tenaga kerja) akan mendorong peningkatan kinerja ekspor yang berdampak
positif terhadap nilai ekspor dan daya saing komoditi udang Indonesia yang
ikut meningkat.
C. Sumberdaya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Pada umumnya perkembangan teknologi dalam budidaya udang masih
belum mengalami peningkatan. Pada budidaya udang windu dan udang
vanname sampai saat ini, dominan masih dibudidayakan pada tambak yang
76
menggunakan teknologi ekstensif (tradisional) dan sedikit yang memakai
teknologi intensif (modern). Pada teknologi ekstensif atau tradisional
merupakan teknologi usaha budidaya tambak udang yang tanpa disertai
pemberian pakan (pemupukan) dan dilakukan pada lahan pasang surut dengan
bentuk tidak teratur. Pada teknologi ini biasanya diadakan perluasan lahan
yang mencapai 3-10 ha/petak. Sedangkan pada teknologi intensif (modern)
merupakan teknologi pada budidaya tambak udang yang sudah menggunakan
kolam yang dibeton seluruhnya atau dari tanah yang bentuknya sudah teratur
dan adanya sistem pemberian pakan serta sistem penggantian air yang
menggunakan pompa. Pada pola teknologi ini juga ditandai dengan adanya
sistem aerasi untuk menambah kadar oksigen dalam air dan tidak adanya
perluasan lahan karena setiap petak tambak hanya berukuran 0,2-0,5 ha/petak.
Pada teknologi pembekuan udang digunakan bahan pendingin
(refrigerant) tertentu yang akan berubah dari fase cair ke fase gas dengan
menyerap panas dari sekelilingnya. Untuk mencegah akibat negatif dari
pembekuan seperti terjadinya kristal–kristal es yang besar dalam bahan, maka
udang dibekukan dengan sistem quik freezing pada suhu – 24 ºC sampai – 40
ºC. Udang segar dibekukan dengan baik dan disimpan pada suhu dibawah – 17
ºC dapat tahan sampai 6 bulan sedangkan untuk udang cooked (udang beku
setelah dimasak 15 detik) dan peeled (udang beku setelah dikupas kulitnya dan
dipotong kepalanya) sekitar 2 bulan. Pembekuan merupakan penyimpanan
bahan pangan dalam keadaan beku agar dapat menghambat reaksi-reaksi
enzimatis, reaksi-reaksi kimia serta pertumbuhan mikroba penyebab
77
kerusakan. Agar bahan baku tetap segar selama pembekuan sebaiknya suhu
udang harus tetap dijaga di bawah 4°C selama penanganan27.
Berdasarkan hasil penelitian pada budidaya udang windu diketahui bahwa
tingkat keberhasilan pengembangan budidayanya akan bagus apabila
dilaksanakan secara polikutur, yaitu budidaya campuran antara udang bersama
dengan bandeng dan rumput laut. Budidaya ini cukup bagus karena
menghasilkan sekaligus tiga komoditas ekspor. Adapun pengembangan
teknologi dalam budidaya udang vanname mengalami sedikit kemajuan,
antara lain penggunaan plastik untuk melapisi tambak banyak digunakan
untuk memudahkan pengelolaan budidaya dan meningkatkan kualitas udang
meskipun secara umum penerapan teknologi budidaya udang masih sangat
minim. Kurangnya ketersediaan ilmu pengetahuan dan teknologi pada
budidaya dan pengolahan udang menyebabkan komoditi udang Indonesia
menjadi rendah kualitasnya dan menjadi kalah bersaing sehingga harga
ekspornya juga menjadi turun yang berakibat menurunkan daya saingnya.
Berbeda dengan Indonesia yang teknologi produksinya masih belum
modern, Thailand yang juga sebagai salah satu eksportir udang terbesar dunia
saingan Indonesia telah menerapkan sistem food traceability (penelusuran
rekam jejak data perdagangan) berdasarkan teknologi RFID (Radio Frequency
Identification) pada industri pengolahan udang sejak tahun 200628.
Penggunaan teknologi RFID ini bertujuan untuk meningkatkan atau
27 Departemen Pendidikan Nasional. 2003. “Memilah dan Membersihkan Udang”.
http://www.google.com/memilah-dan-membersihkan-udang.pdf [8 Mei 2009]. 28 E-BizzAsia. 2006. “Asia Highlights; Thailand Terapkan RFID di Industri pengolahan Udang”.
http://www.ebizzAsia.com [18 Juni 2009].
78
memperbaiki kualitas makanan dari udang, khususnya untuk mengantisipasi
kasus-kasus kontaminasi makanan sehingga daya saingnya juga ikut
meningkat dan dapat mengamankan pangsa pasarnya di pasar global.
Penerapan teknologi RFID dilakukan pada produk udang Thailand selain
karena udang merupakan komoditi ekspor yang strategis karena menghasilkan
devisa yang besar, juga karena adanya tuntutan dari industri makanan global
yaitu adanya standarisasi internasional seperti HACCP, COC dan lainnya untuk
negara-negara produsen makanan yang berorientasi ekspor. Menurut Menteri
Pertanian dan Koperasi Thailand, komoditi udang memang memerlukan
teknologi RFID karena pada industrinya melibatkan banyak pihak dalam rantai
produksi mulai dari petambak, produsen, peritel sampai para pemasok. Sekitar
80 persen bahan mentah untuk produksi dipasok secara lokal. Adanya sistem
food traceability dengan teknologi RFID tentunya akan mempermudah
pemantauan kualitas produk makanan sepanjang rantai produksinya. Diketahui
dua eksportir udang terbesar Thailand, Charoen Pokphand Foods (CPF) dan
Chanthaburi Frozen Food menginvestasikan sekitar 10 juta baht atau sekitar 2,4
miliar rupiah untuk ujicoba sistem ini pertama kalinya (Asia Highlight, eBizz
Asia).
D. Sumberdaya Modal
Sumberdaya modal merupakan salah satu faktor penting dalam
perkembangan produksi budidaya udang. Pada seluruh sektor-sektor
sumberdaya komoditas perikanan (termasuk produksi udang), Departemen
Perikanan dan Kelautan telah menjalin kerjasama dengan bank-bank nasional
79
untuk mengatasi masalah sumberdaya modal. Melalui kerjasama itu tersedia
alokasi khusus untuk sektor kelautan dan perikanan sebagai bagian dari kredit
Pembinaan Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL), kredit umum investasi atau
modal kerja, dan kredit ekspor masing-masing Bank. Adapun kerjasama
dengan beberapa bank itu antara lain :
Bank Mandiri dengan Kredit Mina Mandiri yang diberlakukan pada 27
Maret 2003 dengan alokasi dana Rp 3 triliun untuk usaha perikanan
tangkap di wilayah Indonesia bagian timur.
Bank BNI dengan Kredit Bahari untuk usaha pengolahan, pemasaran, dan
industri wisata bahari.
Bank BRI yang ikut mengembangkan UMKM yang berada di pedesaan
untuk nelayan, pembudidaya, pengolah dan bakul ikan.
Bank Syariah Mandiri, Bank Muamalat dan Bank Danamon yang
menyalurkan kredit kepada UMKM di daerah-daerah pedesaan seperti di
Aceh, Subang dan lainnya serta untuk pinjaman nelayan, pengolah atau
pemasar.
Bank Pembangunan Daerah (BPD) seluruh Indonesia yang menyalurkan
Kredit Ketahanan Pangan (KKP) sejak tahun 2001 untuk sektor kelautan
dan perikanan senilai Rp 43, 529 milyar yang diarahkan untuk UMKM,
nelayan, pembudidaya, pengolah tradisional dan pemasar produk
perikanan.
80
PT Telekomunikasi Indonesia (PT TELEKOM) yang mengeluarkan dana
PKBL Telekom untuk usaha-usaha kecil yang sudah layak administrasi
atau layak finansial.
Ketersediaan modal yang cukup dalam pengembangan budidaya udang
menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah ekspor udang yang berdampak
positif pada peningkatan nilai ekspor udang Indonesia. Peningkatan pada nilai
ekspor udang Indonesia mengakibatkan peningkatan pada nilai RCA komoditi
udang Indonesia atau meningkatkan daya saing komoditi udang Indonesia.
E. Sumberdaya Infrastruktur
Komoditas udang merupakan salah satu sumberdaya perikanan yang sudah
menggunakan fasilitas infrastruktur yang sudah cukup baik. Hal ini dapat dilihat
pada salah satu eksportir udang terkemuka di Indonesia yaitu PT Dipasena Citra
Darmaja (PT Aruna Wijaya Sakti) yang sekarang berada di bawah perusahaan PT
Central Proteinaprima. Pada awal tahun 1990-an, PT Dipasena Citra Darmaja
(DCD) dibangun dan menjadi megaproyek industri budidaya udang yang pertama
dan terbesar di Indonesia. Perusahaan eksportir udang terkemuka yang kini
berganti nama menjadi PT Aruna Wijaya Sakti ini menggunakan konsep tambak
inti rakyat (TIR) yang menghimpun puluhan ribu tenaga kerja dan membangun
tambaknya di areal konsesi seluas 16250 hektar dari 30.000 hektar cadangan yang
diberikan Pemda Provinsi Lampung dengan 16 blok. DCD juga berinvestasi
dengan membangun tujuh area infrastruktur seluas 753,28 hektar dan sebuah
infrastruktur Tata Kota seluas 1.000 hektar. DCD juga membangun dermaga
ekspor khusus untuk pengapalan udang segar ke mancanegara. Kawasan yang
81
belakangan populer dengan nama "Bumi Dipasena", berubah menjadi kota pantai
yang mentereng, lengkap dengan berbagai prasarana dan sarana perkotaan.
Selain infrastruktur tambak juga dibangun sarana penunjang aktivitas
usaha tambak udang, seperti, jalan, perumahan karyawan, pasar lokal, koperasi,
lapangan olah raga, tempat ibadah dan fasilitas penting perusahaan seperti
perkantoran, pabrik pakan dan gudang pakan, instalasi pendingin (cold storage),
koperasi, dan lain-lain. Pembangunan DCD sebagai industri budidaya udang
pertama dan terbesar dengan berbagai infrastrukturnya yang lengkap menjadi titik
tolak bahwa secara umum infrastruktur dalam budidaya udang (termasuk fasilitas
transportasi, pakan, pembenihan serta sarana dan prasarana pemeliharaan)
memang sudah cukup bagus, hanya saja teknologi produksinya yang belum
memadai.
2) Kondisi Permintaan
Pada kondisi permintaan sangat menentukan daya saing berdasarkan mutunya.
Mutu permintaan suatu pasar dapat menyebabkan terjadinya kompetisi antar-
perusahaan / industri. Suatu komoditas diasumsikan akan selalu meningkat jika
kesejahteraan suatu masyarakat telah bertambah sehingga industri akan berusaha
untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produk atau melakukan inovasi untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat.
A. Kondisi Permintaan Domestik
Komoditi udang Indonesia yang diproduksi untuk kebutuhan domestik
hanyalah sedikit yaitu sebesar 5% yang terutama dipasarkan dalam pasar-pasar
besar (pasar swalayan), sedangkan sebanyak 95% produksi udang Indonesia
82
diekspor. Hal ini disebabkan karena perbedaan selera masyarakat Indonesia
yang cenderung lebih menyukai mengkonsumsi daging (red meat) seperti
ayam, sapi, dan yang lainnya serta sangat jarang dalam mengkonsumsi udang.
Meskipun perbedaan harga komoditi keduanya sangatlah kecil di pasar
domestik. Adapun besarnya konsumsi udang di Indonesia dapat dilihat pada
Tael 5.7.
Tabel 5.7 Total Konsumsi Udang di Indonesia
Tahun 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Besar konsumsi
Kota+desa (kg)
0,46
0,51
0,51
0,51
0,46
0,57
0,57
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2009
Berdasarkan Tabel 5.7 diketahui bahwa total konsumsi udang (kota +
desa) di Indonesia mencukupi dimana konsumsi tertinggi berada di tahun 2007
dan 2008 dengan jumlah yang sama, yaitu hanya 0,57 kilogram.
B. Kondisi Permintaan Ekspor
Pada kondisi permintaan ekspor udang Indonesia dapat diukur dari jumlah
dan nilai ekspor komoditi udang Indonesia (pada udang beku dan tak beku) di
pasar internasional yang cenderung mengalami peningkatan. Pada jumlah dan
nilai ekspor udang Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.8. Menurut Depdag
(2009), nilai ekonomis komoditi udang terlihat dari permintaan konsumen
dunia yang rata-rata naik 11,5% per tahun. Selain itu juga terjadi peningkatan
83
konsumsi udang dunia dari 1.537.967 ton pada tahun 2004 menjadi 1.670.925
ton pada tahun 2007 (KIARA : Fisheries Justice Coalition, 2008)29.
Tabel 5.8 Jumlah dan Nilai Ekspor Udang Beku dan Tak Beku Indonesia
Sumber : Departemen Kelautan dan Perikanan, 2009
Berdasarkan Tabel 5.8 diketahui bahwa jumlah dan nilai ekspor cenderung
mengalami peningkatan yang menandakan bahwa permintaan ekspor udang
Indonesia untuk dunia memang sangat baik. Pada jumlah ekspor hanya mengalami
penurunan di tahun 2004 sebesar 8.452 ton dari 134.479 ton di tahun 2003
menjadi 126.027 ton di tahun 2004. Begitu pula pada tahun 2007 yang mengalami
penurunan sebesar 21.966 ton dari 138.426 ton di tahun 2006 menjadi 116.460 ton
di tahun 2007. Pada nilai ekspor udang juga sama yaitu mengalami penurunan
nilai ekspor sebesar US$ 36.190.000 pada tahun 2004 dan US$ 149.201.557 pada
tahun 2007. Dapat disimpulkan bahwa dengan permintaan ekspor udang Indonesia
yang semakin meningkat akan mendorong harga ekspornya pada tingkat yang
lebih tinggi yang juga meningkatkan daya saingnya.
29 Saragih, M.N. 2008. “Rekam Jejak Krisis Keuangan Global Terhadap Sektor Perikanan Indonesia”. [Infosheet KIARA-Fisheries Justice Coalition]. http://www.kiara.or.id/images/stories/Rekam-Jejak-Krisis-Keuangan-Global-Terhadap-Sektor-Perikanan-Indonesia.pdf [20 Juni 2009].
Tahun 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Jumlah Ekspor (ton)
121.526
134.479
126.027
124.433
138.426
116.460
Nilai Ekspor (1000 US$)
831.964
847.308
811.118
806.514,650
943.996,879
794.795,3
22
84
3) Industri Terkait dan Industri Pendukung
Peran industri pendukung dan terkait dalam komoditi udang Indonesia
merupakan salah satu faktor penting dalam menunjang daya saing ekspor udang
Indonesia. Pada industri terkait ekspor udang meliputi industri penyediaan benih
dan industri pakan udang sedangkan pada industri pendukung memiliki peran
dalam pengembangan produk udang olahan.
a) Industri Terkait
Pada industri terkait ekspor udang meliputi industri penyediaan benih atau
induk udang dan penyediaan pakan udang. Untuk industri penyediaan benih
udang di Indonesia masih belum berkembang yang disebabkan sulitnya
memperoleh benur (benih udang) yang berkualitas karena belum
berkembangnya balai pemuliaan induk yang memadai serta rendahnya daya
serap pasar30.
Hingga saat ini Indonesia baru memiliki satu balai pengembangan
pemuliaan induk udang vanname di Situbondo, Jawa Timur, sedangkan balai
penelitian pemuliaan udang windu untuk saat ini belum ada. Kepala Balai
Budidaya Air Payau Situbondo, Slamet Subiakto, di Samarinda, mengatakan,
pemuliaan induk udang vanamei lokal menghasilkan 20.000 ekor per bulan.
Namun, tingkat penyerapan di pasar dalam negeri baru 30-50 persen. Jumlah
penyerapan itu lebih rendah dibandingkan induk udang impor yang sebanyak
300.000 ekor per tahun.
30 CJ Feed Indonesia. 2009. “Benih Udang Dalam Negeri Belum Bersaing”.
http://www.cjfeed.co.id [12 Juni 2009].
85
Menurut Subiakto, induk udang vaname dalam negeri memiliki
keunggulan bebas penyakit (spesific pathogen free) dan lebih kebal terhadap
penyakit dibandingkan dengan induk impor. Akan tetapi, pertumbuhannya
masih relatif lebih lamban dibandingkan induk udang impor. Sebagai
perbandingan, pertumbuhan induk udang vanname impor lebih singkat 15 hari
dibandingkan induk udang lokal pada umur yang sama.
Salah satu kendala pengembangan benih udang sebenarnya disebabkan
fasilitas pemuliaan induk yang belum memadai diantaranya teknologi seleksi
induk. Akibatnya kepercayaan konsumen menggunakan induk vanname lokal
hasil pemuliaan masih rendah. Bahkan sampai sekarang perusahaan eksportir
udang masih menggunakan benih / induk udang vanname impor yang
harganya Rp. 400.000/ ekor lebih mahal daripada induk vanname lokal yang
seharga Rp.10.000-Rp15.000/ ekor. Sedangkan pada benih udang windu
perusahaan eksportir udang ada yang berasal dari petambak-petambak yang
dominan berpola teknologi tradisional sehingga didapatkan udang windu
berkualitas rendah yang mudah terserang penyakit, seperti penyakit White
Spot Syndrome.
Pada industri pemberian pakan udang sebenarnya sudah cukup
berkembang di Indonesia. Hanya saja, dalam sektor budidaya udang di
Indonesia mayoritas masih berpola ekstensif (tradisional) yang sistemnya
tidak menggunakan pakan atau hanya menggantungkan pakan alami udang
yang berada di dalam tambak. Akibatnya peran industri pakan pada udang
yang dominan memproduksi pakan buatan lebih sedikit berperan
86
dibandingkan dengan pakan alami. Secara umum, ada beberapa jenis pakan
yang dikembangkan dalam budidaya udang31, seperti :
Pakan alami, yaitu jenis pakan yang tumbuh dengan sendirinya atau
dengan sengaja ditumbuhkan di dalam petakan tambak dan mempunyai
sifat seperti di dalam habitat alaminya. Hal ini memang mudah dilakukan
karena udang memang bersifat omnivora yaitu jenis hewan / biota
pemakan segala jenis makanan yang ada di dalam perairan. Pakan alami
udang meliputi zooplankton, jenis lumut terutama lumut usus, kerang-
kerangan, udang berukuran kecil / rebon dan detritus (kotoran tambak
yang berasal dari daun-daun tanaman di sekitar tambak yang jatuh ke
tambak), dan bangkai biota perairan yang berada didasar tambak32.
Pakan buatan, yaitu pakan udang yang dibuat dalam skala industri dengan
komposisi nutrisi dan gizi yang sesuai kebutuhan udang dan disuplai pada
tambak udang jika ketersediaan pakan alami menipis. Pakan buatan
meliputi (1) crumble, yaitu butiran pakan yang berupa serbuk/butiran halus
dan biasa digunakan pada udang usia tebar. (2) pellet yaitu pakan buatan
yang berupa butiran-butiran kecil sampai butiran-butiran kasar dan biasa
digunakan pada udang dewasa sampai usia panen33.
31 Marindro. 2007. “Program Pengelolaan Pakan Udang 02-Penentuan Jenis Pakan (Pakan
Alami)”. http://www.marindro.blogspot.com [12 Juni 2009]. 32 Informasi Budidaya Udang. 2008. “Pakan Alami Bagi Udang-01”.
http://www.feeds.feedburner.com/pakan-alami-bagi-udang-01-informasi-budidaya-udang.mht [12 Juni 2009].
33 Informasi Budidaya Udang. 2008. “Pakan Buatan Untuk Udang”. http://www.feeds.feedburner.com/pakan-buatan-untuk-udang-informasi-budidaya-udang.mht [12 Juni 2009].
87
Pakan segar, yaitu jenis pakan yang berasal dari hewan atau biota perairan
yang diolah sedemikian rupa dan dalam kondisi masih segar kepada udang
yang bertujuan memperbaiki kualitas dan kondisi udang atau untuk
meningkatkan nafsu makan udang.
Pakan tambahan lainnya, yaitu pakan yang bersifat suplemen dari pakan
buatan dan dapat diberikan secara campuran dengan pakan buatan atau
terpisah yang bertujuan mengisi kekurangan nutrisi tertentu dari pakan
buatan.
b) Industri Pendukung
Pada industri pendukung ekspor udang meliputi produk-produk olahan
udang. Diketahui pada ekspor udang Indonesia mayoritas berupa bahan mentah
yaitu udang beku (90%) yang dihasilkan oleh industri udang beku dan 10%
ekspornya berupa udang tak beku seperti udang segar dan udang dalam
kemasan. Pada sektor pengolahannya atau industri produk-produk olahan
udang masih belum banyak berperan dalam ekspor udang Indonesia. Hal ini
disebabkan terbatasnya kemampuan menciptakan olahan udang inovasi baru
yang bernilai tambah untuk peningkatan daya saing. Pada produk olahan-
olahan udang yang sudah ada masih terbatas produksinya hanya untuk pasar
domestik dan belum bisa diekspor. Produk-produk olahan udang yang sudah
ada meliputi khitin dan khitosan, kerupuk udang, terasi, pasta udang, dan
lainnya.
Pada produk baru olahan udang udang yaitu khitin dan khitosan
merupakan senyawa golongan karbohidrat yang dihasilkan dari limbah hasil
88
laut khususnya golongan udang, kepiting, ketam dan kerang. Khitin yang
berbahan baku limbah udang (kulit dan kepala) mengandung protein, CaCo3,
MgCo3, serta pigmen astaxanthin (pigmen pada pangan ikan). Kulit golongan
crustacea merupakan sumber khitin paling kaya sehingga kandungannya
mencapai 40-60% berat kering. Sedangkan khitosan sangat bermanfaat sebagai
bahan pangan, mikrobiologi, kesehatan dan pertanian.
Untuk pertanian, khitosan merupakan suplemen yang mengandung serat
yang dapat meningkatkan massa feses, menurunkan respon glisenik makanan,
dan menurunkan kadar kolesterol dalam darah. Dalam bidang kesehatan,
khitosan berguna sebagai antibakteri, antikoagulan dalam darah, dan antitumor
sel-sel leukemia. Selain itu khitin dan khitosan dapat digunakan dalam industri
kertas dan tekstil sebagai zat adiktif, industri kulit, fotografi, industri cat, dan
sebagai penghasil sel protein tunggal. Meskipun khitin dan khitosan sudah
dapat diproduksi namun masih sangat terbatas dalam perkembangan
industrinya sehingga produk-produk dominan dipasarkan di dalam negeri dan
sedikit yang diekspor. Kurangnya ketersediaan industri terkait dan pendukung
dalam budidaya udang Indonesia menyebabkan sulitnya pengembangan kinerja
ekspor udang karena jumlah ekspornya yang menurun dan berakibat pada
penurunan nilai ekspor udang Indonesia serta penurunan pada daya saingnya.
4) Persaingan, Struktur dan Strategi Perusahaan
Persaingan komoditi udang Indonesia di pasar internasional cukup bagus
karena Indonesia merupakan salah satu penghasil udang terbesar di dunia di
samping China dan Thailand berdasarkan Tabel 5.4 Selain itu Indonesia masih
89
menempati peringkat ketiga pada ekspor di pasar AS pada tahun 2007 dengan
nilai US$ 380.052 ribu. Peringkat nomor satunya adalah Thailand dengan nilai
ekspor US$ 736.098 ribu dan keduanya adalah Vietnam dengan nilai ekspor US$
389.483 ribu. Sedangkan pada pasar Uni Eropa Indonesia menempati peringkat
keenam dengan nilai ekspor € 99.471,88 ribu jauh di bawah Ekuador, India,
Argentina, Bangladesh, dan RRC.
Pada perkembangan perusahaan-perusahaan eksportir udang yang
meskipun jumlahnya mencapai 182 eksportir, namun terdapat cabang-cabang
perusahaan industri Chakroen Phokphand Group yang mendominasi pasar
domestik sehingga berrstruktur monopoli di Indonesia termasuk industri Chakroen
Phokphand Group itu sendiri yang menjadi perusahaan monopoli di Asia
Tenggara karena menguasai pangsa pasar lebih dari 50%. Tetapi dalam jumlah
perusahaan eksportir udang yang cukup banyak, pada produknya masih
mendominasi produk bahan mentah yaitu udang beku dan belum banyak yang
memproduksi produk-produk olahan udang yang bernilai tambah.
Pada strategi ekspor, Indonesia belum banyak melakukan tindakan-
tindakan atau strategi-strategi khusus untuk peningkatan daya saing komoditi
udang Indonesia. Kurangnya struktur dan strategi dalam pengembangan budidaya
udang akan mengakibatkan kalahnya produk komoditi udang Indonesia oleh
negara lain sehingga terjadi penurunan nilai ekspor udang Indonesia yang juga
berakibat pada penurunan daya saingnya.
90
5) Peranan Pemerintah
Pemerintah telah berupaya untuk meningkatkan usaha udang Indonesia
agar menjadi usaha yang terintegrasi dan handal mulai dari hulu hingga hilir serta
berdaya saing tinggi dengan penetapan Komisi Udang Indonesia (KUI) melalui
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.42/MEN/2004 tentang
Komisi Udang Indonesia. Komisi Udang Indonesia dalam menjalankan tugasnya
menetapkan program-program khusus seperti Manajemen Kesehatan Udang dan
Lingkungan, Manajemen Efluen dan Limbah Padat, Manajemen Pasca Panen serta
Pola dan Luas Usaha.
Pada program Manajemen Kesehatan Udang dan Lingkungan lebih
berorientasi pada pencegahan terjadinya penyakit daripada pengobatan. Program
tersebut juga menjelaskan tentang langkah-langkah yang harus ditempuh dalam
mencegah terjadinya penyakit, seperti menerapkan prosedur karantina bagi
pemasukan dan distribusi induk, nauplius (pakan udang), dan benur (benih
udang), penggunaan pakan yang bermutu, pengendalian kualitas air, dan langkah-
langkah lainnya. Program Manajemen Efluen dan Limbah Padat bertujuan untuk
memperbaiki mutu air buangan tambak yang telah banyak mengandung bahan-
bahan cemaran (limbah) yang dapat mencemari air di lingkungan tambak. Pada
Manajemen Pasca Panen bertujuan memberikan jaminan mutu produk dan
keamanan pangan. Sedangkan pada Pola dan Luas Usaha Tambak lebih
dititikberatkan pada pengaturan kegiatan budidaya tambak itu sendiri.
91
6) Peranan Peluang
Peluang ekspor komoditi udang Indonesia cukup bagus di pasar
internasional. Adanya pertimbangan Indonesia sebagai negara yang memiliki luas
laut dan kekayaan sumberdaya perikanan yang besar serta peran Indonesia sebagai
salah satu eksportir udang terbesar di dunia setelah China dan Thailand dalam
pasar-pasar ekspor dunia. Pada pasar ekspor Jepang misalnya udang merupakan
salah satu makanan utama masyarakat Jepang karena selera masyarakatnya yang
lebih menyukai jenis makanan seafood membuat Jepang menjadi pasar ekspor
nomor satu Indonesia dengan pangsa pasarnya sekitar 60%. Salah satu peluang
yang sangat bagus dari pasar ekspor Jepang yaitu mulai bulan Juli 2008, akan
diberlakukan bea masuk 0% untuk produk udang dari Indonesia34.
Salah satu peluang yang sangat bagus yaitu ketika pasar ekspor udang AS
menetapkan pengenaan anti dumping udang terhadap enam negara produsen yaitu
Cina, Thailand, Vietnam, Ekuador, India dan Brazil pada tanggal 31 Desember
2003. Hal ini merupakan kesempatan bagi Indonesia untuk meningkatkan ekspor
udangnya ke AS karena berkurangnya persaingan dari negara-negara lain karena
penetapan anti dumping tersebut. Tetapi kenyataannya Indonesia malah menjadi
sasaran utama bagi negara-negara yang terkena petisi anti dumping AS untuk bisa
memasukkan ekspornya ke AS dan Indonesia dikenai tuduhan transhipment, yaitu
hasil ekspor udang Indonesia dituduh sebagai hasil impor Indonesia dari negara-
negara yang terkena anti dumping.
34 Lin. 2008. “Bea Masuk Udang ke Jepang 0%”. http://forum.kapanlagi.com/bea-masuk-udang-
ke-jepang-0%/0000233340.html [12 Juni 2009].
92
Berdasarkan hasil analisis dari Porter’s Diamond, terdapat keunggulan dan
kelemahan pada komoditi udang Indonesia. Pada komponen sumberdaya alam
Indonesia memiliki keunggulan dengan sumberdaya komoditi udang dan hasil
perikanan lainnya yang melimpah ditambah dengan luas laut atau luas lahan yang
mencukupi serta produksi udang yang cenderung meningkat setiap tahunnya.
Pada komponen sumberdaya manusia, industri udang Indonesia cukup
banyak menyerap tenaga kerja karena terciptanya lapangan kerja yang dinamis
dan dapat diproyeksikan bahwa penyerapan tenaga kerja pada sektor budidaya
udang cenderung meningkat. Kemudian adanya keunggulan jumlah dan kualitas
tenaga kerja di perusahaan PT Central Proteinaprima juga mendukung
perkembangan sumberdaya manusia. Dapat disimpulkan bahwa Indonesia
mempunyai keunggulan baik kuantitas dan kualitas sumberdaya manusia pada
sektor budidaya dan ekspor udang. Hal ini berbeda dengan komponen sumberdaya
ilmu pengetahuan dan teknologi dimana dominasi teknologi produksi budidaya
udang masih sangat tradisional dan sedikit yang intensif yaitu hanya pada udang
vanname.
Pada komponen sumberdaya modal komoditi udang Indonesia memiliki
keunggulan karena sudah adanya kerjasama antara pemerintah dengan lembaga-
lembaga keuangan seperti bank-bank yang memberikan pelayanan kredit kepada
pengusaha udang Indonesia. Begitu pula dengan komponen infrastruktur pada
komoditi udang yaitu memiliki keunggulan karena telah tersedianya berbagai
infrastruktur seperti yang diinvestasikan oleh eksportir udang terbesar Indonesia
93
yaitu PT Aruna Wijaya Sakti (Dipasena Citra Darmaja) di bawah perusahaan PT
Central Proteinaprima.
Pada kondisi permintaan domestik, Indonesia sudah mampu mencukupi
kebutuhan domestik komoditi udang. Begitu pula pada permintaan ekspor yang
terlihat dengan peningkatan nilai ekspor udang dan masih diminatinya komoditi
udang Indonesia di pasar-pasar dunia. Untuk komponen persaingan cukup bagus
karena Indonesia menempati posisi kedua sebagai eksportir udang beku di bawah
Thailand pada tahun 2007 (Tabel 5.4).
Pada struktur dan strategi, Indonesia masih didominasi oleh cabang-
cabang perusahaan Chakroen Phokphand Group yang yang bersifat monopoli dan
mayoritas ekspor udang Indonesia masih berupa bahan mentah yaitu ekspor udang
beku. Selain itu para stakeholder budidaya udang belum dapat menciptakan
strategi-strategi yang jitu untuk peningkatan daya saing udang di pasar dunia
sehingga terdapat kelemahan dalam struktur dan strategi udang Indonesia. Begitu
pula pada komponen industri pendukung dan terkait, kurang berperannya industri
penyediaan benih dan industri pakan udang dalam ekspor udang Indonesia serta
belum banyaknya industri-industri produk olahan udang yang berorientasi ekspor
sehingga ekspor udang Indonesia hanya sebatas bahan mentah seperti udang beku
dan tak beku yang kurang bernilai tambah.
Pada peranan peluang dan pemerintah, Indonesia masih mempunyai
peluang dalam peningkatan daya saing udang di pasar dunia karena Indonesia
masih diperhitungkan dalam pasar dunia sedangkan peran pemerintah sudah
94
cukup bagus dalam membuat regulasi-regulasi peningkatan mutu komoditi udang
Indonesia.
Pada komponen-komponen dalam Porter’s Diamond Theory yang
menunjukkan keunggulan-keunggulan dan kelemahan-kelemahan dalam komoditi
udang Indonesia dapat dijelaskan pada Gambar 5.1. Untuk keunggulan akan diberi
tanda (+) sedangkan untuk kelemahan pada komoditi udang Indonesia akan diberi
tanda (-).
Gambar 5.1 Keunggulan dan Kelemahan Komoditi Udang Indonesia Hasil Analisis Porter’s Diamond Theory
Komponen Sumberdaya : 1. SDA (+) 2. SDM (+) 3. IPTEK (-) 4. Modal (+) 5. Infrastruktur (+)
Peranan Pemerintah (+)
Kondisi Permintaan : 1. Domestik (+) 2. Ekspor (+)
Industri Pendukung dan Terkait :
1. Industri Pendukung (-) 2. Industri Terkait (-)
Persaingan, Struktur dan Strategi :
1. Persaingan (+) 2. Struktur (-) 3. Strategi (-)
Peranan Kesempatan (+)
95
5.3 Analisis Strategi-Strategi Peningkatan Daya Saing Komoditi Udang Indonesia
Berdasarkan ketiga metode analisis yang telah dijelaskan yaitu analisis
keunggulan komparatif dengan Revealed Comparative Advantage Analysis,
analisis keunggulan kompetitif dengan menggunakan Porter’s Diamond Theory,
serta analisis faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing komoditi udang
Indonesia dengan metode Ordinary Least Square (OLS) maka dapat ditentukan
strategi yang dapat digunakan agar daya saing komoditi udang Indonesia
mengalami peningkatan. Adapun strategi-strategi yang dapat dilakukan untuk
peningkatan daya saing komoditi udang Indonesia yaitu :
1) Meningkatkan kualitas ekspor komoditi udang Indonesia dengan
peningkatan ekspor produk-produk olahan udang yang dapat memberikan
nilai tambah dan meningkatkan daya saingnya di pasar global.
2) Meningkatkan teknologi intensif (modern) pada budidaya udang serta
menciptakan teknologi ekspor udang yang memadai.
3) Mendirikan tempat-tempat/balai penelitian udang yang memadai demi
mendapatkan benih udang yang berkualitas.
4) Meningkatkan produksi budidaya udang vanname sebagai bibit unggul
yang tahan terhadap penyakit.
5) Meningkatkan standarisasi ekspor udang Indonesia, seperti tidak
menggunakan antibiotik pada produksinya, penggunaan pakan udang yang
bermutu, serta peningkatan kebersihan dan kesehatan produksi udang yang
bebas dari bakteri dan penyakit.
96
6) Mendiversifikasi pasar-pasar tujuan ekspor udang Indonesia ke arah yang
lebih prospektif seperti pasar Jepang.
97
VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis keunggulan komparatif (RCA), komoditi udang
Indonesia berdaya saing kuat sehingga dapat dikatakan bahwa Indonesia
mempunyai keunggulan komparatif atas komoditi udangnya. Sedangkan dari hasil
analisis Porter’s Diamond Theory komoditi udang Indonesia masih dapat
dikatakan berkeunggulan kompetitif karena mempunyai faktor keunggulan
kompetitif yang lebih banyak daripada kelemahannya sehingga dapat dikatakan
bahwa komoditi udang Indonesia selain mempunyai keunggulan komparatif, juga
mempunyai keunggulan kompetitif.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing komoditi udang
Indonesia adalah harga ekspor udang Indonesia, harga domestik udang windu di
tingkat produsen dan nilai ekspor komoditi substitusi udang yaitu ikan tuna,
kondisi faktor seperti sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya modal,
penguasaan IPTEK, sumberdaya infrastruktur, permintaan domestik dan ekspor,
persaingan, struktur dan strategi industri, industri pendukung dan terkait, peran
pemerintah dan faktor kesempatan.
Strategi-strategi yang dapat dilakukan untuk peningkatan daya saing
komoditi udang Indonesia yaitu (1) Meningkatkan kualitas ekspor komoditi udang
Indonesia dengan peningkatan ekspor produk-produk olahan udang yang dapat
memberikan nilai tambah dan meningkatkan daya saingnya di pasar global. (2)
Meningkatkan teknologi intensif (modern) pada budidaya udang serta
menciptakan teknologi ekspor udang yang memadai. (3) Mendirikan tempat-
98
tempat/balai penelitian udang yang memadai untuk menghasilkan benih udang
yang berkualitas. (4) Meningkatkan produksi budidaya udang vanname sebagai
bibit unggul yang tahan terhadap penyakit, (5) Meningkatkan standarisasi ekspor
udang Indonesia (6) Mendiversifikasi pasar-pasar tujuan ekspor udang Indonesia
ke arah yang lebih prospektif seperti pasar Jepang.
6.2 Saran
1. Meningkatkan penguasaan teknologi pada sistem produksi dan pengolahan
hasil komoditi udang Indonesia sehingga dapat meningkatkan kinerja
ekspor komoditi udang Indonesia.
2. Menciptakan cluster industri udang Indonesia sehingga terjalin kerjasama
dan kemudahan dalam akses ketersediaan benih unggul, pakan yang
bermutu, serta pengembangan sektor pengolahan udang dan produk olahan
udang yang berkualitas untuk menghasilkan nilai tambah dan
meningkatkan daya saingnya di pasar global.
3. Menjaga kesinambungan peningkatan jumlah ekspor udang Indonesia agar
nilai ekspornya juga ikut meningkat dan mendorong pada peningkatan
daya saingnya di pasar dunia.
99
DAFTAR PUSTAKA
Amri, K. 2003. Budidaya Udang Windu Secara Intensif. Agromedia Pustaka, Jakarta.
Badan Pusat Statistik, Pusat Data dan Informasi. 2009. Statistical Yearbook of
2009. Jakarta. Darmono. 1991. Budidaya Udang Penaeus. Kanisius (Anggota IKAPI),
Yogyakarta. Departemen Kelautan dan Perikanan, Pusat Data dan Informasi. 2008. Data
Potensi Produksi dan Ekspor/Impor Kelautan dan Perikanan 2007. Jakarta.
Departemen Perdagangan, Direktorat Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan,
Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri. 2006. Profil Komoditi Ekspor Udang Indonesia. Jakarta.
Departemen Perdagangan, Tim 10 +10 + 3. 2009. Program Peningkatan Ekspor
Produk Udang Indonesia. Jakarta. Departemen Pertanian, Pusat Data dan Informasi Dirjen Budidaya Perikanan.
2009. Data Perkembangan Ekspor Hasil Perikanan Menurut Komoditas Utama 1988-2007. Jakarta.
Gudjarati, D. 1978. Ekonometrika Dasar. Zain dan Sumarno [penerjemah].
Erlangga, Jakarta. Haliman, R.W. dan Dian A.S. 2006. Udang Vannamei. Penebar Swadaya, Jakarta. Kuotsoyianis, A. 1977. Theory of Econometrics Second Edition. Harper & Row
Publisher, USA. Mudjayani, W.P. 2008. Analisis Daya Saing Buah-Buahan Tropis Indonesia.
[skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Nikijuluw, V.P.H. 2007. Meningkatkan Nilai Tambah Perikanan. Satuan Kerja
Ditjen P2HP, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Porter, M.E. 1990. The Competitive Advantage of Nations. Free Press, New York.
100
Salvatore, D. 1996. Ekonomi Internasional Edisi Kelima. Haris Munandar [penerjemah]. Erlangga, Jakarta.
Subdit Data dan Statistik Direktorat Produksi Dirjen Perikanan Budidaya. 2008.
Buku Saku Statistik Perikanan Budidaya Tahun 2007. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta.
101
LAMPIRAN
102
Lampiran 1 Data Analisis RCA Tahun Xij (US$) Xis (US$) Wj (US$) Ws (US$) RCA 1989 554.186.000 22.158.900.000 2.430.357.116 1,20E+12 12,35 1990 686.437.000 25.675.300.000 3.079.243.091 1,38E+12 11,63 1991 768.175.000 29.142.400.000 4.334.048.513 1,92E+12 11,50 1992 758.206.000 33.967.000.000 5.304.176.911 2,46E+12 10,19 1993 867.005.000 36.823.000.000 6.084.207.653 2,83E+12 10,70 1994 1.003.817.000 40.053.400.000 7.679.879.654 3,76E+12 12,23 1995 1.029.012.000 45.418.000.000 8.039.457.106 4,68E+12 12,81 1996 1.013.121.000 49.814.800.000 7.722.239.844 5,00E+12 12,94 1997 1.007.923.000 53.443.600.000 7.946.333.961 5,30E+12 12,67 1998 1.007.788.000 48.847.600.000 7.834.130.930 5,27E+12 14,12 1999 879.055.000 48.665.400.000 7.008.502.837 5,47E+12 14,04 2000 996.469.000 62.124.000.000 8.963.718.548 6,98E+12 12,45 2001 924.667.000 56.320.900.000 8.389.693.700 6,77E+12 12,92 2002 831.964.000 57.158.800.000 784.344.4697 7,12E+12 12,71 2003 847.308.000 61.058.200.000 8.846.304.121 8,31E+12 13,15 2004 811.118.000 71.584.600.000 8.893.681.474 1,01E+13 12,47 2005 806.514.650 85.660.000.000 9.432.023.622 1,15E+13 11,42 2006 943.996.879 10.079.860.0000 1.0311.566.660 1,32E+13 12,01 2007 794.795.322 114.100.900.000 8.416.653.632 1,52E+13 12,62 Sumber : UNComtrade, 2009
Lampiran 2 Nilai RCA Udang Beku dan Tak Beku Negara-Negara Pesaing Indonesia
Tahun Thailand Vietnam China 2002 17 40 2,73 2003 17 51 1,85 2004 19 63 1,76 2005 16 102 1,24 2006 27 0 1,06
Sumber : Depdag, 2009
103
Lampiran 3. Data Nilai Ekspor dan Variabel-Variabel Regresi OLS
Sumber : Pusdatin Dirjen Perikanan Budidaya, DKP
Lampiran 4. Hasil Uji Heteroskedastisitas
Heteroskedasticity Test: White
F-statistic 1.583079 Prob. F(12,6) 0.2968 Obs*R-squared 14.43944 Prob. Chi-Square(12) 0.2735 Scaled explained SS 5.838107 Prob. Chi-Square(12) 0.9240
Lampiran 5 Hasil Uji Autokorelasi
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic 0.854685 Prob. F(2,12) 0.4498 Obs*R-squared 2.369038 Prob. Chi-Square(2) 0.3059
Tahun NXT (US$)
PXT (US$/Ton)
QXT (Ton)
PDXT (Rp)
NIT (US$)
1989 554.186.000 7232,16 76.628 12.000 102.667.000 1990 686.437.000 7364,41 93.210 12.250 124.748.000 1991 768.175.000 8082,22 95.045 12.750 184.426.000 1992 758.206.000 7614,96 99.568 12.500 145.967.000 1993 867.005.000 8922,1 97.175 14.800 213.819.000 1994 1.003.817.000 10191,34 98.497 16.500 182.200.000 1995 1.029.012.000 11063,22 93.012 17.500 212.983.000 1996 1.013.121.000 10234,99 98.986 17.000 192.980.000 1997 1.007.923.000 10911,68 92.371 19.000 189.433.000 1998 1.007.788.000 7145,51 141.038 45.000 215.134.000 1999 879.055.000 8222,23 106.912 50.000 189.386.000 2000 996.469.000 8732,91 114.105 59.000 223.916.000 2001 924.667.000 7453,2 124.063 59.400 218.991.000 2002 831.964.000 6845,97 121.526 49.500 212.426.000 2003 847.308.000 6300,67 134.479 50.000 213.179.000 2004 811.118.000 6436,06 126.027 52.000 243.937.000 2005 806.514.650 6481,51 124.433 54.000 246.302.994 2006 943.996.879 6819,52 138.426 59.500 250.566.631 2007 794.795.322 6824,6 116.460 65.000 304.348.125
104
Lampiran 6. Nilai Korelasi Pada Uji Multikolinearitas
Lampiran 7. Diagram Jarque Bera Pada Uji Normalitas
Lampiran 8 Tampilan Hasil Regresi OLS
Variabel Dependen : LNDS Taraf Nyata α = 10%
LNDS LNPXT LNQXT LNPDXT LNNIT LNDS 1.000000 0.032432 0.325321 0.490712 0.235349
LNPXT 0.032432 1.000000 -0.587672 -0.525910 -0.147669 LNQXT 0.325321 -0.587672 1.000000 0.859544 0.722771
LNPDXT 0.490712 -0.525910 0.859544 1.000000 0.746482 LNNIT 0.235349 -0.147669 0.722771 0.746482 1.000000
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
LNPXT 0.302767 0.123213 2.457263 0.0277 LNQXT 0.099302 0.208018 0.477372 0.6405
LNPDXT 0.143251 0.048485 2.954517 0.0105 LNNIT -0.229165 0.111802 -2.049741 0.0596
C 1.547898 2.359900 0.655917 0.5225
R-squared 0.511530 Mean dependent var 2.512097 Adjusted R-squared 0.371967 S.D. dependent var 0.081292 S.E. of regression 0.064423 Akaike info criterion -2.425764 Sum squared resid 0.058104 Schwarz criterion -2.177227 Log likelihood 28.04476 Hannan-Quinn criter. -2.383702 F-statistic 3.665232 Durbin-Watson stat 1.704705 Prob(F-statistic) 0.030395
0
1
2
3
4
5
6
-0.10 -0.05 -0.00 0.05 0.10
Series: ResidualsSample 1989 2007Observations 19
Mean 5.38e-16Median 0.003887Maximum 0.097900Minimum -0.118365Std. Dev. 0.056816Skewness -0.506107Kurtosis 2.489370
Jarque-Bera 1.017545Probability 0.601233