analisis dakwah terhadap ketaatan wartawan...
TRANSCRIPT
ANALISIS DAKWAH TERHADAP KETAATAN WARTAWAN
PERSATUAN WARTAWAN INDONESIA (PWI) CABANG
JAWA TENGAH PADA KODE ETIK JURNALISTIK
SKRIPSI
Disusun Untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat
Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana (S-1)
Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI)
Oleh:
HANI’ MUWARISAL HAQ
061211015
FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011
ii
NOTA PEMBIMBING
Lamp. : 5 (lima) eksemplar
Hal : Persetujuan Naskah Skripsi
Kepada:
Yth. Bapak Dekan Fakultas Dakwah
IAIN Walisongo Semarang
di Semarang
Assalamu’alaikum War. Wab.
Setelah membaca, mengadakan koreksi dan perbaikan
sebagaimana mestinya, maka kami menyatakan bahwa naskah skripsi
Saudara/i:
Nama : Hani’ Muwarisal Haq
NIM : 061211015
Fak./Jurusan : Dakwah/ KPI
Judul Skripsi : ANALISIS DAKWAH TERHADAP KETAATAN
WARTAWAN PERSATUAN WARTAWAN
INDONESIA CABANG JAWA TENGAH PADA
KODE ETIK JURNALISTIK
Dengan ini telah saya setujui dan mohon segera diujikan. Atas
perhatiannya diucapkan terimakasih.
Wassalamu’alaikum War. Wab.
Semarang, 28 Juni 2011
Pembimbing,
Bidang Subtansi Materi Bidang Metodologi & Tatatulis
Drs. H. Najahan Musyafak, M.A. Rustini Wulandari, S.Sos., M.SI.
NIP. 19701020 199503 1 001 NIP. 19740821 200312 2 001
iii
PENGESAHAN
SKRIPSI
ANALISIS DAKWAH TERHADAP KETAATAN WARTAWAN
PERSATUAN WARTAWAN INDONESIA CABANG JAWA TENGAH
PADA KODE ETIK JURNALISTIK
Disusun Oleh:
Hani’ Muwarisal Haq
NIM. 061211015
Telah Dipertahankan di Depan Dewan Penguji
Pada Tanggal 04 Juli 2011
dan Dinyatakan Telah Lulus Memenuhi Syarat
Susunan Dewan Penguji
Ketua Sidang Penguji I
Dr. Muhammad Sulthon, M.Ag. H. M. Alfandi, M.Ag NIP. 19620827 199303 1 004 NIP. 19710830 19973 1 003
Sekretaris Sidang Penguji II
Rustini Wulandari, S.Sos., M.SI. M. Chodzirin, M.Kom. NIP. 19740821 200312 2 001 NIP. 19691024 200501 1 003
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. H. Najahan Musyafak, M.A. Rustini Wulandari, S.Sos., M.SI. NIP. 19701020 199503 1 001 NIP. 19740821 200312 2 001
iv
PERNYATAAN
Dengan saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri
dan di dalamya tidak terdapat karya yang pernah di ajukan untuk memperoleh
gelar kesarjanaan pada suatu perguruan tinggi di lembaga pendidikan lainnya.
Pengetahuan yang diperoleh dari penerbitan manapun yang belum atau tidak
diterbitkan. Pengetahuan yang diproleh dari penerbitan maupun yang belum/tidak
diterbitkan, sumbernya dijelaskan dalam tulisan dan daftar pustaka.
Semarang, 28 Juni 2011
Hani’ Muwarisal Haq
061211015
v
KATA PENGANTAR
Bismillaahirrahmaanirrakhiim,...
Alhamdulillaahi Robbil’alamiin....
Wassholaatu wassalam ‘ala asyrofil manam,....
Skripsi dengan judul Analisis Dakwah Terhadap Ketaatan Wartawan
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Jawa Tengah Pada Kode Etik
Jurnalistik ini, tidaklah dapat penulis selesaikan tanpa adanya bantuan dari
berbagai pihak. Banyak pihak yang turut serta membantu penulis, baik bantuan
doa, semangat, maupun bantuan lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu-
persatu. Untuk itu, penulis sampaikan terimakasih, semoga senantiasa dalam
lingkar rahmat Allah Swt. Amin.
Secara khusus, penulis mengucapkan terimakasih kepada beberapa pihak
terkait yang berperan serta dalam penyusunan skripsi ini.
1. Prof. Dr. H. Muhibbin, M.Ag. Selaku Rektor IAIN Walisongo Semarang.
2. Dr. M. Sulthon, M.Ag. Selaku Dekan Fakultas Dakwah IAIN Walisongo
Semarang.
3. Bapak Drs. H. Najahan Musyafak, MA. Selaku pembimbing I, dan Ibu
Rustini Wulandari, S.Sos, MS.i. Selaku pembimbing II yang selalu siap
dan sabar memberikan pengarahan dan bimbingan sehingga skripsi ini
dapat terselesaikan.
4. H. M. Alfandi, M.Ag selaku Ketua Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam
(KPI).
vi
5. Seluruh Dewan pengajar dan pegawai perpustakaan dan civitas akademik
lain di lingkungan IAIN Walisongo Khususnya Fakultas Dakwah.
6. Seluruh keluarga, kerabat, sahabat-sahabat, sederek-sederek, yang tidak
dapat disebutkan satu-persatu, Rohimakumullah. Amin.
Penulis menyadari bahwa karya ini masih memiliki banyak kekurangan,
oleh karena itu, kritik serta saran penulis harapakan demi kebaikan di masa
datang. Semoga bermanfaat, Amin.
Semarang, 28 Juni 2011
Penulis
vii
PERSEMBAHAN
Segala puji Robby, Alhamdulillah.....
Sholawatullah,’ alaika ya Ajmala Kholqillah,.
Karya kecil ini, penulis persembahkan Untuk-Mu,
semoga tiada bosan memberi setetes ilmu,
Izinkanku menggapai Syafaat Rasul-Mu
Ayahanda, meski tak terlihat lagi oleh mata,
namun hadirmu akan selamanya bermakna,
Allahummarhamhu, Wa’afihi Wa’fu ‘anhu, amin
Ibu, dengan curah kasih, doa dan air mata
yang mengajarkan ketegaran hati dalam naungan ilahi,
Simbah, Adik-adikku, dengan tawamu kuwarnai langkahku, Barokallah,.
Sahabat-sahabat ma’rufiyyah, Jeng Nur (suwun y wun), Daidy,Chilwah,
Echa, Ge2t, Manager HFC, Ella, nyak Risa, Tia, Ziza, Kang2’o6”, Guz2”, Pin-
pin, Zudin, dan semua yang tak tersebut pada lembar ini, terimakasih,
Ketulusan hati tak akan sirna oleh deru waktu,walau sementara,,
“Jika engkau hadir dengan ketulusan, kau akan tetap bermakna, meski engkau
batu pualam kau ‘kan menjelma menjadi permata”(siluet senja).
viii
MOTTO
“Keindahan Tulisan adalah kefasihan tangan dan keluwesan pikiran”
(Ali Bin Abi Tholib)
öθ s9 uρ $ yϑ ‾Ρ r& ’ Îû ÇÚ ö‘ F{$# ÏΒ >οt�yfx© ÒΟ≈n=ø% r& ã�óst7 ø9 $#uρ … ç푉 ßϑtƒ .ÏΒ Íνω ÷è t/ èπyè ö7y™ 9�çt ø2r& $ ¨Β
ôNy‰ Ï�tΡ àM≈yϑ Î=x. «! $# 3 ¨β Î) ©! $# ̓tã ÒΟŠ Å3ym ∩⊄∠∪
“Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta),
ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan
habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana.”
“Luqman: 27”
ix
ABSTRAK
Persatuan Wartawan Indonesia merupakan organisasi wartawan terbesar di
Indonesia, yang di dirikan di Surakarta, pada tahun 1946. Organisasi ini
digerakkan oleh para pejuang kemerdekaan yang peduli terhadap perkembangan
pers. Berawal dari dikumpulkannya wartawan senior dengan tujuan untuk
menggerakkan dan mempersatukan langkah dalam memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia.
Perkembangan pers sejak era reformasi memberikan ruang kebebasan
wartawan dalam berkarya. Namun kebebasan pers dalam perkembangannya
cenderung “kebablasan”, sehingga citra pers memburuk di mata masyarakat.
Muncul istilah-istilah “wartawan amplop, “wartawan bodrek,” dan sebagainya.
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul
“ANALISIS DAKWAH TERHADAP KETAATAN WARTAWAN
PERSATUAN WARTAWAN INDONESIA (PWI) CABANG JAWA TENGAH
PADA KODE ETIK JURNALISTIK”.
Penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif, dengan pendekatan
deskriptif. Penulis memberikan deskripsi atau penggambaran tentang objek di
lapangan, kemudian menganalisis beberapa indikator ketaatan wartawan dalam
sudut perspektif dakwah.
Dari deskripsi objek penelitian, dapat diketahui bahwa PWI Cabag Jawa
Tengah memiliki peran penting dalam pengawasan pentaatan kode etik jurnalistik.
KEJ-PWI mempunyai sisi religiusitas tersendiri yang tertuang dalam pasal-pasal
didalamnya. Wartawan muslim sebagai salah satu agen perubahan sosial
membawa misi yang sama dengan dakwah. Pemahaman Wartawan Anggota PWI
Cabang Jawa Tengah terhadap Kode Etik Jurnalistik dapat diktegorikan cukup
baik.
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................... i
HALAMAN NOTA PEMBIMBING ............................................................ ii
HALAMAN NOTA PENGESAHAN ........................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN ...................................................................... iv
KATA PENGANTAR .................................................................................. v
HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................... vii
HALAMAN MOTTO ................................................................................... viii
ABSTRAKSI ................................................................................................ ix
DAFTAR ISI ................................................................................................ x
BAB I PENDAHULUAN
1.1. ............................................................................................. Latar
Belakang .................................................................................. 1
1.2. ............................................................................................. Rum
usan Masalah ............................................................................ 5
1.3. ............................................................................................. Tujua
n dan Manfaat Penelitian .......................................................... 5
1.4. ............................................................................................. Tinja
uan Pustaka .............................................................................. 5
1.5. ............................................................................................. Meto
de Penelitian ............................................................................. 8
xi
1.6. ............................................................................................. Siste
matika Penulisan ...................................................................... 16
BAB II KETAATAN WARTAWAN DAN KODE ETIK JURNALISTIK
2.1. ............................................................................................. Ketaa
tan dan Kode Etik Jurnalistik .................................................... 18
2.1.1. .................................................................................. Ketaa
tan Wartawan ................................................................ 18
2.1.2. .................................................................................. Kode
Etik Jurnalistik .............................................................. 22
2.1.3. .................................................................................. Urge
nsi Kode Etik ................................................................ 25
2.1.4. .................................................................................. Etika
, Etiket dan Moral ......................................................... 32
2.2. ............................................................................................. Kom
unikasi Massa ........................................................................... 34
2.3. ............................................................................................. Etika
Komunikasi Massa ................................................................... 37
2.4. ............................................................................................. Fung
si Kode Etik Dalam Pers ........................................................... 41
2.5. ............................................................................................. Moti
vasi Al-Qur’an Tentang Pemberitaan ........................................ 47
BAB III PROFIL PERSATUAN WARTAWAN INDONESIA (PWI)
xii
3.1. ............................................................................................. Sejar
ah Kode Etik Jurnalistik dan Dewan Kehormatan PWI ............... 53
3.2. .............................................................................................
Kode Etik Jurnalistik PWI .......................................................... 60
3.3. .............................................................................................
Ketaatan Wartawan Anggota PWI terhadap KEJ ......................... 65
3.4. .............................................................................................
Struktur Organisasi PWI Cabang Jawa Tengah ........................... 72
3.5. .............................................................................................
Contoh Hasil Karya Jurnalistik Anggota PWI ............................. 74
BAB IV ANALISIS KETAATAN WARTAWAN ANGGOTA PWI
4.1. ............................................................................................. Ketaa
tan Wartawan Anggota PWI Dalam Pemberitaan ........................ 76
4.2. ............................................................................................. Anali
sis Dakwah terhadap Ketaatan Wartawan PWI Cabang Jawa Tengah 92
BAB V PENUTUP
5.1. ............................................................................................. Kesi
mpulan ....................................................................................... 104
5.2. ............................................................................................. Saran
-Saran ......................................................................................... 105
5.3. ............................................................................................. Penut
up ............................................................................................... 106
DAFTAR PUSTAKA
xiii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kode Etik Jurnalistik adalah suatu sistem pengaturan norma perilaku,
nilai-nilai moral, dan prinsip-prinsip benar dan salah dalam kegiatan
menghimpun berita. Kode etik meliputi rambu-rambu berbagai perilaku
wartawan dalam penelitian berita (Atmadi, 1985: 37).
Etika jurnalistik berfungsi sebagai landasan dan pedoman bagi
perilaku para wartawan dalam melaksanakan tugas kewartawanannya, baik
dari proses peliputan maupun penelitian berita, sehingga kode etiklah yang
akan membimbing wartawan dalam tugasnya sebagai tenaga professional.
Kode Etik Jurnalistik PWI pertama kali dirumuskan pada konferensi
PWI di Malang pada bulan Februari, tahun 1947. Kode Etik Jurnalistik
tersebut dianggap masih kurang sempurna dan kemudian diperbaharui dan
dirumuskan kembali di Jakarta tahun 50-an di bawah pimpinan komisi yang
diketuai oleh Suardi Tasrif yang saat itu masih menjabat sebagai pimpinan
redaksi Harian Abadi (Suf Kasman, 2004: 36). Idealnya, dengan adanya
Kode Etik Jurnalistik seharusnya tumbuh-kembang pers berada dalam
kendali etika yang sesuai dengan pedoman yang tentunya dapat tercapai
keselarasan dengan perkembangan politik dan seluruh aspek kehidupan
masyarakat. Namun dalam realitasnya tidak demikian, Kode Etik Jurnalistik
2
tetap ada sebagai seperangkat aturan, namun pelanggaran-pelanggaran tidak
secara otomatis berkurang.
Fenomena pers dewasa ini menunjukkan bahwa pers tidak segan-
segan melakukan bentuk-bentuk kekerasan simbolik karena fakta yang
dikemas dalam bahasa (berita) telah disisipi berbagai kepentingan yang
bukan merupakan pengetahuan yang sesungguhnya, tetapi pengetahuan dari
berbagai pihak yang dilebur ke dalam bentuk berita (Awaludin, 2005: 179).
Hal sejenis tidak saja terjadi satu-dua kasus saja, namun kerap kali
terjadi baik pada proses peliputan, maupun dalam penyajiannya di media
elektronik dan surat kabar. Muncul berita-berita bombastis, lahir istilah
wartawan amplop, wartawan bodrek, dan sejenisnya yang terjadi pada
proses pemberitaan-pemberitaan di media massa.
Beberapa kasus ketidaktaatan wartawan terhadap kode etik telah
beberapa kali diangkat ke permukaan, yang berakhir di meja hijau. Contoh
kasus yang berakhir di meja hijau antara lain kasus Muchtar Lubis,
wartawan terkenal dan satu-satunya wartawan Indonesia yang mendapat
kehormatan menjadi Honorary editor dalam majalah Times, karena dituduh
menulis “Haatzaai-artikelen” di surat kabar, Indonesia Raya. Muchtar lubis
baru keluar dari penjara ketika rezim Orde Lama tumbang pada tahun 1965
untuk digantikan rezim Orde Baru (Kusumaningrat, 2006: 14).
Pada era Orde Baru, tumbuh-kembang pers Indonesia berada dalam
satu kendali, di bawah Departemen Penerangan. Seiring tumbangnya rezim
3
Orde Baru arus informasipun kian terbuka sejalan dengan dimulainya era
reformasi pada masa pemerintahan presiden B. J. Habibie.
Sejak terbukanya era reformasi, kebebasan pers kerap kali
didengungkan sehingga terkesan dipuja, dan dalam perkembangannya
kebebasan pers bahkan sering disalahgunakan sehingga cenderung
“kebablasan”. Seringkali sisi kemanusiaan terabaikan atau bahkan dengan
jelas dilecehkan. Salah satu contoh yang terjadi adalah pencemaran nama
baik.
Jika diamati, pencemaran nama baik oleh wartawan merupakan
bentuk pelanggaran UU No. 40/1999 tentang Pers pasal 5 ayat 1 dan 2
tentang kewajiban pers yang dikeluarkan oleh PWI (Persatuan Wartawan
Indonesia), yang berbunyi: “Pers Nasional berkewajiban memberitakan
peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa
kesusilaan masyarakat, serta asas praduga tidak bersalah dan pers wajib
melayani hak Jawab”. (UU. No. 40/1999 Tentang Pers & Kode Etik
Jurnalistik, 2000: 6).
Profesi wartawan menuntut tanggung jawab dan kesadaran tinggi
dari pribadi-pribadi wartawan. Kesadaran tinggi hanya dapat dicapai apabila
seorang wartawan memiliki kecakapan dan keterampilan serta pengetahuan
jurnalistik yang memadai dalam menjalankan profesinya. Seorang wartawan
hendaknya mengerti fungsi dan tugas pers serta kewartawanan dalam
lingkup masyarakatnya. Pengetahuan tersebut antara lain: 1) pengetahuan
teknis dan praktis jurnalistik, 2) pemahaman substansi terhadap objek
4
pemberitaan 3) wawasan mengenai perilaku masyarakat pembacanya, 4)
penguasaan Bahasa Indonesia dan bahasa lain, 5) mengetahui dan
memahami etika profesi (Kusumaningrat, 2006: 2).
Masih banyaknya penyimpangan-penyimpangan seperti pencemaran
nama baik, pemberitaan yang berlebihan, proses peliputan yang kurang etis
seperti terlalu memaksa narasumber, yang tentunya tidak sesuai dengan
Kode Etik Jurnalistik inilah yang menjadikan peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian khususnya terhadap wartawan anggota PWI. Dengan
tujuan untuk mengetahui bagaimana sebenarnya ketaatan terhadap Kode
Etik Jurnalistik menurut para anggota wartawan PWI Jawa Tengah.
Pelanggaran etika profesi, akan memerosotkan citra sosial institusi
pers di tengah masyarakat, akibatnya bukan hanya pers sendiri yang akan
mengalami kerugian namun juga keseluruhan aspek masyarakat. Sebab tidak
ada yang lebih malang di suatu Negara, jika masyarakat tidak lagi punya
pers yang dapat dipercaya (Siregar, 2006: 57).
Penerapan Kode Etik Jurnalistik dalam tugas kewartawanan,
menurut hemat peneliti dapat dipandang sebagai acuan, sejauhmana
aktualisasi kepribadian jurnalis sebagai insan yang beriman dan bertaqwa.
Maka selayaknya diingatkan, bahwa penyampaian informasi bukanlah hak
bagi media pers, tetapi merupakan kewajibannya dalam memenuhi hak
masyarakat untuk mendapatkan informasi sosial. Itulah yang ingin dijunjung
oleh kode kehormatan profesi jurnalisme. Dengan demikian Kode Etik
Jurnalistik serta penerapannya perlu menjadi perhatian bagi seorang jurnalis.
5
1.2. Rumusan Masalah
Pokok masalah yang menjadi landasan dalam penelitian ini, adalah:
1) Bagaimana pemahaman wartawan PWI cabang Jawa Tengah terhadap
Kode Etik Jurnalistik?
2) Bagaimana praktik wartawan PWI Jawa Tengah dalam menaati Kode
Etik Jurnalistik?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1. Tujuan Penelitian
1) Untuk mengetahui pemahaman wartawan PWI cabang Jawa
tengah tentang ketaatan para wartawan terhadap Kode Etik
Jurnalistik.
2) Untuk mengetahui bagaimana praktik wartawan PWI cabang Jawa
Tengah terhadap Kode Etik Jurnalistik.
1.3.2. Manfaat Penelitian
1) Memberikan kontribusi kepada khalayak akan pentingnya penegakan
etika dalam profesi kewartawanan.
2) Memberikan wacana kepada khalayak tentang praktik Kode Etik
Jurnalistik pada PWI cabang jawa tengah.
3) Menumbuhkan kembali kritisasi khalayak terhadap perkembangan
pers.
1.4. Tinjauan Pustaka
Banyak hal didapat dengan membaca, bahkan Allah Swt.
menurunkan ayat yang pertama, adalah perintah untuk membaca, yakni
6
surah Al-’Alaq ayat 1-5. Pada kajian ini peneliti tidak membahas tentang
perbedaan wartawan yang tergabung dalam beberapa wadah organisasi yang
berbeda, seperti AJI (Aliansi Jurnalis Independent), KEWI (Kesatuan
Wartawan Indonesia), PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) dan lain-lain.
Namun peneliti memfokuskan pada kajian ketaatan wartawan PWI wilayah
Jawa Tengah terhadap Kode Etik Jurnalistik. Adapun kajian yang pernah
dilakukan oleh peneliti yang lain yaitu:
Pertama: Duwi Miyanto dalam Penelitiannya “Implementasi Kode
Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia Dalam Pemberitaan Masalah-Masalah
Agama Islam (Study Kasus Harian Suara Merdeka Kolom Nasional Bulan
Januari–Maret, 2006)”. Pada penelitian tersebut pokok masalah yang dikaji
adalah penerapan Kode Etik Jurnalis pada penelitian berita tentang agama,
yang dikaji dengan metode Kualitatif. Menurutnya, dalam pemberitaan
agama Islam jurnalis berperan menyiarkan ajaran Islam di tengah-tengah
persoalan umat yaitu sebagai penyampai pesan moral. Dimana pesan moral
memuat tanggungjawab sosial yang terfokus pada norma etika jurnalis Islam
dan perubahan sosial dalam menghadapi persoalan umat (Duwi Miyanto,
2007: 11).
Kedua, Muhammad Tonis, dalam skripsinya dengan judul “Telaah
kritis terhadap urgensi pers Islam sebagai media alternatif bagi
perkembangan dakwah di era informasi” (2002). Dalam penelitian ini
dijelaskan bahwa pers Islam dapat mengekspresikan ide, gagasan, atau
7
tulisannya harus berpijak pada etika profesi, di samping harus berdasar pada
orientasi wahyu atau landasan normatif.
Ketiga, Muhammad Zainuri, dalam penelitiannya dengan judul
“Konsep kebebasan pers Krisna Harahap dalam perspektif Islam di
Indonesia” (2002). Disebutkan dalam penelitian ini bahwa pers meskipun
mempunyai hak mengumpulkan dan menyebarkan informasi, mengkritik
pemerintah dan lembaga-lembaga lainnya, ia juga mempunyai tanggung
jawab untuk memelihara demokrasi dengan secara layak memberitahu
publik dan merespons kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Disebutkan
juga bahwa dalam praktiknya kontrol sosial dapat dilakukan oleh para
cendekiawan, para ulama, para pemuka agama, mahasiswa, budayawan, dan
terutama insan pers.
Beberapa persamaan permasalahan dengan permasalahan yang
peneliti teliti, antara lain:
- Pokok kajian yang diteliti sama-sama pada etika profesi kewartawanan.
- Kaitan antara etika jurnalistik dengan dakwah Islam.
Perbedaan kajian yang diteliti, antara lain:
- Obyek yang diteliti, media Islam, organisasi profesi, dan media umum
yang Islami.
- Kajian jurnalistik Islam serta prinsip-prinsip jurnalistik Islam yang ada
dalam landasan teks normatif.
8
1.5. Metode Penelitian
1.5.1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti memakai jenis penelitian
kualitatif. Penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang dapat
digunakan untuk mengungkap dan memahami sesuatu di balik
fenomena yang sedikitpun belum diketahui (Anselm Straus, 2003:5).
Penelitian kualitatif juga di definisikan dengan penelitian yang tidak
menggunakan statistik dalam mengumpulkan data dan memberikan
penafsiran terhadap hasilnya (Arikunto, 2002:10). Menurut Bogdan
dan Taylor yang dikutip Moleong, dalam bukunya Metodologi
Penelitian Kualitatif, penelitian kualitatif ialah sebagai prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati
(Moleong, 2006:4). Untuk melengkapi data, penulis juga
menggunakan teknik pengumpulan data berupa Dokumentasi.
Dokumentasi dalam penelitian ini berupa data wartawan anggota
PWI dan berita dalam surat kabar sebagai bahan analisis ketaatan
wartawan terhadap KEJ-PWI.
Dengan menggunakan pendekatan deskriptif, yakni peneliti
hanya memaparkan, memberikan gambaran situasi atau peristiwa,
dimana penelitian ini juga tidak menguji hipotesis atau membuat
prediksi (Rakhmat, 2005: 24). Pendekatan deskriptif ini digunakan
untuk menggambarkan (mendeskripsikan) populasi yang sedang
9
diteliti. Dalam penelitian ini, peneliti berusaha memberikan paparan
atau memberikan gambaran, tentang ketaatan wartawan PWI Jawa
Tengah terhadap Kode Etik Jurnalistik.
1.5.2. Definisi Konseptual
a. Ketaatan wartawan
Ketaatan yakni suatu kepatuhan atau ketundukan terhadap
aturan etika yang telah berlaku, dalam hal ini maka ketaatan
wartawan terhadap rambu-rambu etika profesi, yakni Kode Etik
Jurnalistik. Suatu ketaatan bukan hanya sebagai manifestasi dari
penghargaan terhadap aturan yang berlaku, namun juga sebagai
pembentuk kepribadian yang didalamnya terdapat tuntunan dalam
bersikap untuk tujuan keselarasan dan kebaikan bersama.
Ketaatan wartawan ialah kepatuhan, ketundukan para
praktisi pers terhadap suatu aturan etika yang telah berlaku, dalam
hal ini ialah Kode Etik Jurnalistik sebagai pedoman bertindak dan
bersikap dalam profesi kewartawanan. Suatu profesi memiliki
kode etik, yaitu norma yang berasal dari suatu komunitas
professional, sebagai acuan nilai bagi pelaku profesi (Siregar,
2006: 81).
Nilai ini diperlukan dalam memelihara keberadaan profesi
ditengah masyarakat. Di satu pihak menjadikan individu pelaku
profesi tetap memiliki orientasi sosial, dan lebih jauh akan
membentuk citra sosial atas komunitas profesionalnya.
10
b. Kode etik jurnalistik
Ketaatan seorang jurnalis terhadap etika profesi dapat
terlihat dari hasil liputannya serta bagaimana menyatukan
kepribadian dengan rambu-rambu atau aturan etika yang telah
berlaku dalam menjalankan profesinya (Siregar, 2006: 63).
Hal ini merupakan salah satu dimensi sosial yang paling
keras. Untuk menjaga otonomi profesi yang menyangga
keberadaan media jurnalisme. Pada intinya, penghargaan terhadap
proses kerja jurnalisme, yaitu pencarian fakta sosial untuk
dijadikan informasi jurnalisme. Seorang pelaku profesi dapat
dibedakan dari pekerja lainnya. Ciri yang terpenting adalah sifat
otonomi dari seorang professional, dan kepercayaan yang
diberikan oleh lingkungan sosialnya. Dengan otonominya,
seorang professional tidak perlu bolak-balik minta petunjuk, atau
hanya mengerjakan tugas sesuai perintah atasan (Siregar, 2006:
75).
Pengertian kode secara umum berarti suatu sistem aturan
atau dalam bahasa inggris disebut dengan “system of rules” atau
bangunan simbolik (Mahmud Yunus, 1989: 61). Sedangkan
pengertian etika berasal dari kata ethica atau ethos dalam bahasa
Yunani, yang artinya adalah moral filosofi, filsafat praktis, dan
ajaran kesusilaan. Sedangkan pengertian etika secara umum
adalah sebuah formasi nilai-nilai moral prinsip benar dan salah.
11
Kode etik disebut juga norma perilaku, kode etik lebih merujuk
pada aturan-aturan, atau prinsip-prinsip yang merumuskan suatu
perilaku benar dan salah (Miyanto, 2007: 13).
Jurnalistik adalah suatu kepandaian atau ketrampilan
menuliskan hal-hal baru dengan cara menaruh perhatian pada
peristiwa-peristiwa yang baru terjadi dengan maksud untuk
diketahui khalayak ramai (Dahlan Albarry, 1994: 24). Dengan
demikian, Kode Etik Jurnalistik adalah seperangkat aturan,
norma, tata tertib yang mengatur tentang perilaku, sikap serta
tindakan, dimana didalamnya mengandung nilai-nilai moral serta
prinsip benar dan salah dalam lingkup profesi kewartawanan.
Berita berasal dari bahasa inggris, yakni kata News yang artinya
peristiwa yang baru, secara umum berita adalah segala suatu
laporan yang sedang hangat dan menarik perhatian bagi pembaca,
yang selanjutnya di publikasikan kepada masyarakat melalui
suatu media (Miyanto, 2007: 14).
Pengertian Analisis dakwah terhadap ketaatan wartawan
PWI pada Kode Etik Jurnalistik: suatu penelitian terhadap tingkat
kepatuhan wartawan PWI cabang Jawa Tengah pada etika profesi
kewartawanan yang mempertanyakan bagaimana kedudukan
Kode Etik Jurnalistik dalam pandangan wartawan PWI Cabang
Jawa Tengah, dan kaitannya terhadap dakwah. Hal ini berkaitan
dengan kedudukan jurnalis Islam sebagai juru tulis dakwah
12
meskipun tidak berangkat dari media yang berhaluan Islam. Hal
ini penting menurut hemat peneliti, karena dalam diri wartawan
atau seorang jurnalis terdapat makna social responsibility atau
tanggungjawab sosial juga sebagai agent of social change (agen
perubahan sosial), dimana karya jurnalis akan turut serta dalam
mewarnai perubahan sosial masyarakat. Tanggungjawab sosial
untuk mendidik umat, beramar ma’ruf nahi munkar, memberikan
wacana tentunya dengan harapan mengantar pada perubahan
sosial menuju arah yang semakin baik dari sebelumnya. Hal ini
sesuai dengan firman Allah dalam surat Ali Imron: 104, yang
artinya:
“Hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, memerintahkan perbuatan yang ma’ruf, dan
mencegah dari perbuatan yang mungkar; merekalah orang-orang
yang beruntung” (QS. Ali Imron: 104) (Depag RI, Al-Waah,
1989: 93).
1.5.3. Sumber dan Jenis Data
1) Sumber Data
Data menurut sumbernya, dapat dibedakan menjadi dua,
yakni data internal dan data eksternal. Data internal ialah data
yang diperoleh dari dalam suatu organisasi atau kelompok yang
diteliti, seperti dokumen-dokumen dari dalam perusahaan, cara
kerja suatu perusahaan atau kelompok yang diteliti tersebut.
13
Sedang data eksternal ialah data yang diperoleh dari luar atau
hal-hal yang turut mempengaruhinya dari luar, seperti minat
masyarakat, rival dari perusahaan lain, dan sejenisnya (Rianto,
2005: 65).
Dalam penelitian ini sumber data diperoleh dari internal
juga eksternal. Yaitu dari wawancara pengurus PWI Jawa
Tengah, serta menganalisa tulisan hasil karya wartawan anggota
PWI. Metode wawancara dalam penelitian ini ialah jenis metode
wawancara mendalam (Depth interviews). Dalam metode ini
peneliti melakukan kegiatan wawancara tatap muka secara
mendalam dan terus menerus (lebih dari satu kali) untuk
menggali informasi dari responden (Kriyantono, 2006:65).
Sedangkan informan atau subjek penelitian dalam penelitian ini
ialah wartawan yunior dan senior yang menduduki jabatan
penting dalam struktur keorganisasian organisasi PWI. Usaha
peneliti mencari fakta dan data-data serta teori yang mendukung
sehingga menjadikannya sebagai landasan utama.
2) Jenis Data
Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini ialah:
a. Jenis data primer, yaitu sumber data diperoleh atau
dikumpulkan ketika melakukan penelitian. Data primer pada
penelitian ini berupa hasil wawancara kepada wartawan
anggota PWI Cabang Jawa Tengah.
14
b. Data sekunder, yaitu pencarian data yang diperoleh atau
dikumpulkan dari sumber yang telah ada (Hasan, 2003: 33).
Artinya bahwa data diperoleh dari perpustakaan atau laporan
peneliti yang terdahulu. Data sekunder ini, berupa hasil studi
seseorang yang pernah melakukan penelitian sebelumnya di
mana karyanya tersedia di perpustakaan.
1.5.4. Teknik Pengumpulan Data
Data pada penelitian ini dikumpulkan melalui wawancara
yang mendalam (Depth Interviews) dan Dokumentasi pada setiap
subjek penelitian. Subjek penelitian pada penelitian ini adalah
perwakilan anggota wartawan PWI yunior dan anggota PWI senior
yang menduduki jabatan penting dalam struktur keorganisasian PWI
Cabang Jawa Tengah. Pemilihan subjek penelitian di sini,
dikarenakan keselarasan dengan tujuan penelitian, di mana hal yang
akan digali dalam penelitian ini adalah kedalaman informasi atau
kualitas informasi bukan kuantitas informasi. Wawancara dalam
penelitian ini merupakan wawancara tatap muka antara peneliti
dengan responden, dengan teknik wawancara mendalam. Dalam hal
ini, peneliti adalah instrumen utama penelitian. Adapun yang
menjadi subjek penelitian dalam penelitian ini adalah:
� Wartawan senior yang menduduki jabatan penting dalam struktur
organisasi wartawan PWI Cabang Jawa Tengah.
15
� Wartawan yunior yang baru masuk sebagai anggota PWI Cabang
Jawa Tengah dengan kurun waktu minimal empat bulan sejak
resmi menjadi anggota PWI Cabang Jawa tengah.
� Hasil tulisan atau karya dari wartawan-wartawan yang menjadi
subjek penelitian tersebut.
1.5.5. Teknik Analisis Data
Setelah melalui proses wawancara mendalam, kemudian
peneliti mendeskripsikan atau memaparkan hasil wawancara tersebut
secara detail. Sedangkan data yang diperoleh dari hasil tulisan karya
wartawan PWI, kemudian dianalisis dengan menggunakan
indeksikalitas. Indeksikalitas yakni menghubungkan keterkaitan
makna, perilaku, dan kata pada konteksnya. Yaitu alat yang dipakai
untuk menganalisis data dalam penelitian kualitatif. Analisis ini
dioperasikan oleh seperangkat kategori-kategori konseptual yang
berkaitan dengan isi media. Karena fokus penelitian ini mengenai
analisis ketaatan wartawan pada Kode Etik Jurnalistik, maka untuk
mengkategorikannya dengan: a) mencari data wartawan yang
menjadi anggota PWI Jawa Tengah, b) menetapkan kerangka
kategori yang relevan dengan tujuan penelitian, c) mewawancarai
wartawan anggota PWI Jawa Tengah yang telah didata tersebut, d)
menganalisa hasil karya tulis wartawan-wartawan anggota PWI Jawa
Tengah, e) mengungkapkan hasil temuan sebagai distribusi
menyeluruh.
16
Cara yang dilakukan adalah mencari data-data wartawan
anggota PWI Cabang Jawa Tengah, setelah itu kemudian
menetapkan kerangka kategori yang relevan dengan tujuan
penelitian, kemudian mewawancarai wartawan PWI Cabang Jawa
Tengah, dan menganalisa hasil karya tulis wartawan PWI Cabang
Jawa Tengah yang telah dipilih, jika semua telah terlaksana maka
langkah berikutnya yakni mengungkap hasil penelitian mengenai
analisis dakwah terhadap ketaatan wartawan pada Kode Etik
Jurnalistik.
1.6. Sistematika Penulisan
Dalam sistematika penulisan yang akan penulis buat, terdiri dari:
BAB I : Berisi pendahuluan
Pada bab ini peneliti memaparkan latar belakang masalah,
rumusan masalah, serta metode yang digunakan dalam
penelitian.
BAB II : Berisi pengertian ketaatan wartawan, tujuan Kode Etik
Jurnalistik serta kaitannya terhadap dakwah. Di dalamnya
peneliti berusaha memberikan penjelasan tentang pengertian
atau definisi ketaatan serta tujuan dasar Kode Etik Jurnalistik.
BAB III : Memuat serba-serbi ketaatan terhadap Kode Etik Jurnalistik.
Dalam bab ini peneliti mencoba memberikan penjelasan
tentang kaitan dakwah dengan ketaatan terhadap Kode Etik
Jurnalistik, juga isi dari Kode Etik Jurnalistik dan paparan
17
tentang obyek penelitian peneliti yakni profil atau struktur
organisasi PWI Cabang Jawa Tengah. Dengan penjelasan-
penjelasan tersebut maka peneliti juga memaparkan hasil
tulisan wartawan PWI Cabang Jawa Tengah terkait
ketaatannya terhadap Kode Etik Jurnalistik.
BAB IV : Pada bab ini peneliti mengungkapkan kronologis analisis
terhadap ketaatan wartawan anggota PWI Jawa Tengah pada
Kode Etik Jurnalistik serta hasil analisis tersebut dari bab satu
sampai bab tiga.
BAB V : Pada bab ini peneliti memberikan kesimpulan dan saran-saran
serta penutup.
BAB II
KETAATAN WARTAWAN DAN KODE ETIK JURNALISTIK
2.1. Ketaatan dan Kode Etik Jurnalistik
2.1.1. Ketaatan Wartawan
Wartawan Muslim dalam melaksanakan tugasnya, hendaknya
menjunjung tinggi asas kejujuran, kedisiplinan, senantiasa bertindak
dengan dilandasi etika-etika keislaman, memperkaya wawasan dan
selalu menghindarkan diri dari hal-hal yang merusak
profesionalismenya (Suf Kasman, 2004: 68). Disebutkan dalam Surat
Al-Jumu’ah: 2. (62)
uθèδ “Ï% ©!$# y] yèt/ ’ Îû z↵ Íh‹ÏiΒW{ $# Zωθ ß™u‘ öΝåκ÷] ÏiΒ (#θ è=÷Ftƒ öΝÍκö� n=tã ϵ ÏG≈tƒ# u öΝÍκ�Ïj. t“ ãƒuρ ãΝßγßϑÏk=yè ãƒuρ
|=≈tG Å3ø9 $# sπ yϑõ3Ït ø:$# uρ βÎ)uρ (#θ çΡ%x. ÏΒ ã≅ ö6s% ’ Å∀s9 9≅≈n=|Ê &Î7•Β ∩⊄∪
Artinya: “Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf
seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-
Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan
mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya
mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang
nyata.” (QS: Al-Jumuah: 2) (Depag RI, Al-Waah, 1989: 932).
Ketaatan merupakan suatu sikap dan tindakan untuk
menunjukkan kepatuhan atau ketundukan terhadap suatu perintah.
Disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh bukhori muslim,
bahwa suatu ketaatan merupakan tindakan dan sikap yang konsisten
dalam menjaga suatu keselarasan dan keseimbangan sikap:
18
اهللا رضي جبل بن معاذ الرمحن عبد وايب جنادة بن جندب ذر اىب عن
متحها احلسنة السيئة واتبع كنت يثماح اهللا اتق صلعم اهللا رسول عن عنهما
)الترمذي رواه( حسن خبلق الناس وخالق
Artinya: “Dari Abu Dzar Jundub bin Junadah dari abu Abdurrahman
Muadz bin Jabbal RA, dari Rosulullah SAW, beliau bersabda
“Takutlah kamu kepada Allah dimanapun kamu berada dan
iringilah keburukan dengan kebaikan. Maka keburukan itu
akan terhapus oleh kebaikan. Bergaullah kamu dengan sesama
manusia dengan budi pekerti yang baik.” (HR.Turmudzi).
(Asrori: 33).
Para jurnalis Islam, sebagaimana diungkap oleh Jalaluddin
Rakhmat yang dikutip Asep Syamsul, harus berperan sebagai mu’addib
(pendidik umat), musaddid (pelurus informasi tentang ajaran dan umat
Islam), mujaddid (pembaru pemahaman keislaman), muwahhid
(pemersatu atau sebagai lem perekat ukhuwah Islamiyah), dan sekaligus
menyimpulkan semua peran tadi yaitu sebagai mujahid (pejuang,
pembela, dan penegak agama dan ajaran-ajaran keislaman), (Suf
Kasman, 2004: 5).
Ketaatan merupakan suatu internalisasi pada diri pribadi
seseorang terhadap nilai-nilai moral pada suatu perangkat aturan-aturan
yang telah berlaku, yang mana internalisasi nilai-nilai tersebut terwujud
dalam bentuk nyata atau sikap dan tindakan yang sesuai. Esensi dari
ketaatan ialah terciptanya suatu keselarasan, tidak mengganggu
keadilan sosial dan kebenaran dalam kehidupan, terlebih pada suatu
kehidupan suatu profesi, misalnya profesi dokter, wartawan, dan lain-
lain.
Dalam istilah-istilah Islam, ketaatan terhadap ajaran-ajaran
syariat Islam sering disebut dengan takwa. Takwa ialah mentaati apa
yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang (Dahlan, 1994: 45).
Takwa merupakan sifat atau gelar yang dipilih Allah untuk diberikan
kepada hamba-Nya yang terpilih, yang dilimpahi dengan berkah dan
rahmat-Nya. Telah ditegaskan Allah dalam surat Al-A’raf: 96, yang
artinya:
“Jika sekiranya penduduk kota-kota beriman dan bertakwa, pastilah
Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.”
(Mudjab Mahalli: 2002: 130).
Hal ini juga disinggung dalam Surat Al-Hujurat:13, yang
artinya:
“Sungguh yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang
yang paling bertakwa. Sungguh Allah maha mengetahui, maha teliti.”
(Depag RI, Al-Waah, 1989: 847).
Dalam menjalankan tugas-tugas kewartawanannya seorang
wartawan Muslim membawa misi-misi sosial keagamaan di mana di
dalamnya terkandung berbagai unsur-unsur pendukung perubahan
sosial. Wartawan Muslim adalah hamba Allah yang karena individu
maupun profesinya wajib menggunakan, menyampaikan dan
memperjuangkan kebenaran disetiap tempat dan saat dengan segala
konsekwensinya. Hal ini dapat dilihat dalam firman Allah pada Surat
An-Nahl: 125:
äí÷Š$# 4’ n< Î) È≅‹Î6y™ y7În/ u‘ Ïπyϑõ3 Ïtø:$$ Î/ Ïπ sà Ïã öθ yϑø9 $#uρ ÏπuΖ|¡ ptø:$# ( Ο ßγø9 ω≈y_ uρ ÉL ©9 $$ Î/ }‘Ïδ ß|¡ ôm r& 4
¨βÎ) y7−/ u‘ uθèδ ÞΟ n=ôã r& yϑÎ/ ¨≅|Ê tã Ï&Î#‹Î6y™ ( uθèδuρ ÞΟ n=ôãr& tω tG ôγßϑø9 $$Î/ ∩⊇⊄∈∪
Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah
dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara
yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan
dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk.” (An-Nahl:125) (Depag RI, Al-Waah, 1989, 421).
Rasulullah pernah mencontohkan suatu ketaatan dalam
menyampaikan informasi dan berbagai perintah-perintah amal
kebajikan yang tentunya terkait etika. Dimana hal ini berlandaskan
pada Al-Qur’an. Yakni terdapat pada surat Al-Baqarah: 44, Al-An’am:
108 dan An-Nur: 26, yang artinya:
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan
kamu melupakan diri (kewajibanmu) sendiri, padahal kamu membaca
Al-kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?” (QS. Al-Baqarah:
44) (Depag RI, Al-Waah, 1989: 16).
“Dan janganlah kamu memaki sesembahan-sesembahan yang mereka
sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan
melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS. Al-An’am: 108) (Depag
RI, Al-Waah, 1989: 205).
“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang
amat keji itu tersiar diantara orang beriman, bagi mereka azab yang
pedih didunia dan akhirat.Dan Allah mengetahui sedang kamu tidak
mengetahui.” (QS. An-Nur: 26) (Depag RI, Al-Waah, 1989: 547).
Dengan demikian telah jelas tuntunan Rasulullah dalam
mendidik umat agar mengutamakan etika dan kebenaran dalam
menyampaikan informasi.
2.1.2. Kode Etik Jurnalistik
Kode, Menurut Pius & Dahlan dalam kamus ilmiah
populernya, kode ialah tanda, atau sandi, tulisan rahasia, kitab undang-
undang. Sedangkan kode etik ialah peraturan kesusilaan dan
kebijaksanaan yang menjadi patokan atau pedoman yang harus ditaati.
Etika secara bahasa berasal dari kata ethica atau ethos dalam bahasa
Yunani, yang artinya adalah moral filosofi, filsafat praktis dan ajaran
kesusilaan (Abede Pareno, 2002: 36). Sedangkan jurnalistik secara
bahasa berasal dari kata journal yang berarti catatan harian, mengenai
kejadian sehari-hari atau surat kabar harian. Namun pengertian
jurnalistik secara umum ialah kegiatan menghimpun berita, mencari
fakta, dan melaporkan peristiwa (Hikmat, 2004: 15).
Dengan demikian, Kode Etik Jurnalistik ialah seperangkat
aturan tentang pedoman berperilaku para praktisi wartawan dalam
bertindak dan bersikap, yang di dalamnya mengandung prinsip benar
dan salah serta mengandung nilai-nilai moral. Sebelum membahas
lebih lanjut tentang Kode Etik Jurnalistik, peneliti akan lebih dulu
memaparkan fungsi pers. Hal ini sangat terkait dengan ketaatan
wartawan terhadap Kode Etik Jurnalistik karena insan pers akan
mematuhi Kode Etik Jurnalistik jika insan tersebut dapat memahami
fungsi pers itu sendiri. Beberapa fungsi pers antara lain:
1) Menyatukan informasi
Pers berfungsi melayani kebutuhan masyarakat akan
informasi tentang segala peristiwa yang terjadi dalam kehidupan.
Karena begitu beragamnya kebutuhan masyarakat akan informasi,
jurnalistik berusaha menyajikan aneka macam informasi dan
menyampaikan segala peristiwa yang terjadi dalam kehidupan.
2) Berfungsi mendidik
Dalam memerankan fungsinya mendidik, pers tidak semua
menyajikan secara langsung, misalnya dalam Surat kabar
menyajikan rubrik khusus latihan membaca, namun secara tidak
langsung dengan sajian-sajiannya mengajarkan atau memberikan
pendidikan kepada masyarakat akan suatu ilmu atau pengetahuan.
Misalnya dengan tujuan memberantas buta huruf atau buta aksara,
hal ini dapat disajikan melalui berbagai rubrik yang dihadirkan baik
secara langsung maupun tidak langsung.
3) Berfungsi menghibur
Secara umum, media Massa memang memiliki fungsi
menghibur, terlebih bagi masyarakat yang tingkat apresiasinya
terhadap informasi masih relatif rendah, bahkan ada media massa
yang memang dikhususkan sebagai media hiburan. Namun ada
juga yang menyisipkan hiburan dalam rubrik tertentu.
4) Berfungsi mempengaruhi
Dengan jurnalistik masyarakat akan lebih mudah mengatur
kesan dan membentuk opini. Fungsi inilah yang memegang
peranan terpenting dalam masyarakat sehingga jurnalistik akan
turut serta mewarnai perubahan sosial (Suf Kasman, 2004: 39).
Sedangkan pengertian jurnalistik Islam dalam kaitannya dengan
perkembangan dakwah ialah: suatu proses meliput, mengolah, dan
menyebarluaskan berbagai peristiwa dengan muatan nilai-nilai Islam
serta dengan mematuhi kaidah-kaidah jurnalistik atau norma-norma
yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. Jurnalistik
islami diutamakan kepada dakwah islamiyah yaitu mengemban misi
amar ma’ruf nahi munkar seperti yang telah disebutkan dalam Al-
Qur’an Surat Ali Imran: 104 (Suf Kasman, 2004: 51). Seorang jurnalis
Islam meskipun tidak berangkat dari media yang berideologi Islam,
namun dia tetaplah mempunyai tugas-tugas alami yang ia emban
sebagai jurnalis muslim, bahwa mestinya apa yang ia sampaikan kepada
khalayak adalah kebenaran. Hal ini sesuai dengan apa yang telah
disebutkan dalam suatu teori pers yang mengedepankan bahwa pers
harus bertanggungjawab dalam setiap tulisannya sebagai bentuk
pengabdian kepada masyarakat, yakni teori tanggungjawab sosial.
Kode Etik Jurnalistik PWI pertama kali dirumuskan di Malang.
Kode Etik Jurnalistik tersebut dianggap masih kurang sempurna dan
kemudian diperbaharui dan dirumuskan kembali di Jakarta tahun 50-an
dibawah pimpinan komisi yang diketuai oleh Suardi Tasrif yang pada
masa itu menjabat sebagai pimpinan redaksi Harian Abadi.
Kode Etik Jurnalistik tersebut memuat aturan-aturan tentang
kewartawanan yang terdiri atas 7 pasal, yaitu (Suf Kasman, 2004: 43):
1). Kepribadian wartawan Indonesia.
2). Bertanggung jawab.
3). Cara pemberitaan dan menyatakan pendapat.
4). Pelanggaran hak jawab.
5). Sumber berita.
6). Kekuatan Kode Etik.
7). Pengawasan pentaatan kode etik.
2.1.3. Urgensi Kode Etik
Tokoh perumus Kode Etik Jurnalistik, S.Tasrif, mengkritisi
kode etik yang ada di Indonesia, jika dibandingkan dengan kode etik
dibeberapa negara lainnya. Yakni bahwa dalam Kode Etik Jurnalistik
PWI tidak terdapat satu kalimatpun yang memperingatkan dengan tegas
supaya wartawan-wartawan Indonesia di dalam segala tulisannya
mengindahkan perasaan dan pribadi orang lain dan supaya tidak
bertindak serampangan di dalam melancarkan tuduhan-tuduhan
terhadap orang lain, termasuk rekan-rekannya sendiri.
Gambaran sosok wartawan yang ideal seperti dikemukakan oleh
tokoh pers S.Tasrif tersebut memang relevan dan aktual. Dikemukakan
tokoh perumus Kode Etik Jurnalistik, bahwa kemerdekaan menyatakan
pendapat memang merupakan syarat mutlak bagi pers yang merdeka
akan tetapi kemerdekaan menyatakan pendapat juga hendaknya
janganlah disalah gunakan. Dengan demikian, wartawan harus dapat
membatasi diri dengan berpedoman kepada kode etik profesi. Kode etik
sebagai landasan moral profesi justru makin penting dijadikan pedoman
serta acuan dalam era kemerdekaan pers sekarang.
Pasal 2 Kode Etik Jurnalistik PWI menegaskan bahwa wartawan
Indonesia dengan penuh rasa tanggung jawab dan bijaksana
mempertimbangkan patut tidaknya menyiarkan karya jurnalistik
(tulisan, suara serta suara dan gambar) yang dapat membahayakan
keselamatan dan keamanan negara, persatuan dan kesatuan bangsa,
menyinggung perasaan agama, kepercayaan atau keyakinan suatu
golongan yang dilindungi oleh undang-undang.
Dari rumusan tersebut jelas bahwa kebebasan pers yang kita
anut bukan tanpa tanggung jawab. Ketentuan bersifat normatif dalam
Kode Etik Jurnalistik telah diangkat menjadi ketentuan hukum positif,
seperti "hak tolak", "hak jawab", dan "hak koreksi". "Hak tolak",
misalnya, diatur dalam Pasal 4 ayat (4) UU No. 40 Tahun 1999 tentang
Pers yang mengatakan, dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan
di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak. Kemudian dalam
Penjelasan disebutkan, tujuan utama Hak Tolak adalah agar wartawan
dapat melindungi sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan
identitas sumber informasi.
Hak tersebut dapat digunakan jika wartawan dimintai
keterangan oleh pejabat penyidik dan atau diminta menjadi saksi di
pengadilan. Hak Tolak dapat dibatalkan demi kepentingan dan
keselamatan negara atau ketertiban umum yang dinyatakan oleh
pengadilan. Akan tetapi, proses pembatalan Hak Tolak tidak dengan
sendirinya, dalam arti harus dibentuk majelis hakim tersendiri yang
memutuskan apakah perkara yang tengah diperiksa pengadilan itu
menyangkut keselamatan negara atau ketertiban umum. Berkenaan
dengan Hak Tolak ini, Pasal 13 KEJ-PWI disebutkan bahwa wartawan
Indonesia harus menyebut sumber berita, kecuali atas permintaan yang
bersangkutan untuk tidak disebut nama dan identitasnya sepanjang
menyangkut fakta dan data, bukan opini. Apabila nama dan identitas
sumber berita tidak disebutkan, segala tanggung jawab ada pada
wartawan yang bersangkutan.
Kode Etik Jurnalistik juga menganut prinsip bersifat otonom
seperti dikemukakan di atas. Baik prinsip personal maupun otonom
merupakan kekuatan Kode Etik Jurnalistik. Kedua prinsip yang melekat
dengan KEJ-PWI tersebut bersumber dari hakikat kode etik itu sendiri
yang dibuat oleh, dari, dan untuk para wartawan yang tergabung dalam
suatu organisasi profesi, kemudian berikrar untuk menaati dan
melaksanakannya. Demikian seharusnya, karena kode etik tersebut
disusun dan dirumuskan oleh para wartawan dan kemudian berikrar
untuk mengamalkannya.
Hal ini berarti, penaatan atas kode etik bukan karena ada pihak
lain di luar diri wartawan bersangkutan yang memerintahkan atau
memaksakan penaatan dan pelaksanaannya, melainkan karena
kesadaran sendiri sekaligus sebagai konsekuensi dari ikrar untuk
menaatinya.
Prinsip personal dengan sendirinya pula membawa konsekuensi.
Yaitu, sebagai akibat bahwa kode etik dibuat oleh, dari, dan untuk para
wartawan yang kemudian berikrar untuk menaatinya sehingga bersifat
otonom, maka dengan sendirinya yang memutuskan telah terjadi
pelanggaran atas kode etik serta penetapan sanksi atas pelanggaran
tersebut sepenuhnya menjadi wewenang organisasi profesi. Atas dasar
itulah dikatakan kode etik bersifat otonom. Jadi, yang mengawasi,
memonitor serta memeriksa atau mengadili ada tidaknya pelanggaran
kode etik sepenuhnya menjadi wewenang organisasi. Demikian juga
yang menetapkan sanksi atas pelanggaran tersebut adalah hak
organisasi.
Kewenangan ini diatur dengan jelas dan tegas dalam Pasal 17
KEJ-PWI yang mengatakan bahwa wartawan Indonesia mengakui
bahwa pengawasan dan penetapan sanksi atas pelanggaran Kode Etik
Jurnalistik ini adalah sepenuhnya hak organisasi dari Persatuan
Wartawan Indonesia (PWI) dan dilaksanakan oleh Dewan Kehormatan
PWI. Tidak satu pihak pun di luar PWI yang dapat mengambil tindakan
terhadap wartawan Indonesia dan atau medianya berdasar pasal-pasal
dalam Kode Etik Jurnalistik ini.
Berdasarkan prinsip personal dan otonom inilah sudah sejak
semula tokoh pers nasional menyatakan sikap bahwa Kode Etik
Jurnalistik tidak dapat digunakan pihak lain untuk menghukum pers.
Sebagai konsekuensi dari prinsip personal dan otonom itu, PWI
melakukan penyempurnaan dan penyesuaian dalam Peraturan Dasar
PWI (PD-PWI) mengenai keanggotaan Dewan Kehormatan PWI.
Seperti diketahui, sejak semula yang menjadi anggota Dewan
Kehormatan PWI adalah tokoh-tokoh masyarakat atau kombinasi tokoh
masyarakat dan wartawan anggota PWI. Akan tetapi dalam Kongres
XX PWI di Semarang, Jawa Tengah pada 10-11 Oktober 1998,
komposisi keanggotaan Dewan Kehormatan tersebut diubah. Dalam
Pasal 21 ayat (4) PD-PWI ditetapkan, yang menjadi anggota DK-PWI
dan DKD-PWI adalah sekurang-kurangnya sudah lima tahun menjadi
anggota PWI.
Dengan demikian, yang menjadi anggota DK-PWI seluruhnya
terdiri dari para wartawan, tidak ada lagi yang mewakili tokoh
masyarakat. Sejarah keanggotaan DK-PWI sebelumnya dan juga pada
umumnya terdiri dari tokoh masyarakat. Sebagai contoh, keanggotaan
DK-PWI untuk pertama kali tahun 1952 praktis terdiri dari tokoh-tokoh
masyarakat seperti H. Agus Salim, Mr. Moh. Natsir, Prof. Dr. Soepomo
dan Roeslan Abdulgani.
Dalam DK-PWI periode Soedjarwo Tjondronegoro, SH, Manai
Sophiaan, Ali Alatas SH, Prof. Padmo Wahjono, Dr. M. Alwi Dahlan,
H. Soekarno, SH, Prof. Dr. Zakiah Daradjat. H. Boediardjo, Prof. Dr.
Ihromi MA, Prof. Dr. H. Loebby Loqman, SH, Dr. A. Alatas Fahmi,
Dra. Ina Ratna Mariani MA, Dr. Din Syamsuddin. Pada Kongres XVIII
PWI di Samarinda, Kalimantan Timur tahun 1988, barulah untuk
pertama kalinya dua orang anggota PWI aktif menjadi anggota DK-
PWI secara kelembagaan yaitu Drs. Djafar H. Assegaff sebagai ketua
dan R.H. Siregar, SH sebagai sekretaris. Kombinasi antara tokoh
masyarakat dan anggota PWI dalam komposisi keanggotaan DK-PWI
berlanjut hingga Kongres XIX PWI di Lampung pada 1993. Tetapi,
dalam Kongres XX PWI di Semarang 1998, diadakan perubahan
terhadap PD-PWI dan ditetapkan bahwa yang menjadi anggota DK-
PWI semuanya terdiri dari anggota PWI.
Ringkasnya, sejak Kongres XX itu tidak ada lagi anggota DK-
PWI yang mewakili unsur masyarakat. Pasal 21 ayat (4) PD-PWI
menegaskan, anggota Dewan Kehormatan maupun anggota Dewan
Kehormatan Daerah adalah wartawan yang telah berusia 40 tahun dan
sudah menjadi anggota PWI sekurang-kurangnya lima (5) tahun.
Sedangkan ketentuan sebelumnya tidak mensyaratkan keanggotaan
PWI. Dengan demikian, setiap warga negara RI, berdomisili di
Indonesia dan berumur sekurang-kurangnya 40 tahun serta yang
mempunyai keahlian, menaruh minat dan berjasa terhadap
perkembangan pers nasional serta menghormati dan mengakui Kode
Etik Jurnalistik PWI, dapat dipilih menjadi anggota Dewan.
(http://www.kodeetikjurnalistikpwi.com/articles.2005).
Ketika melaksanakan tugasnya, wartawan Muslim hendaknya
menggunakan bahasa yang baik dan benar dalam gaya bahasa yang
santun dan bijaksana (Suf kasman, 2004: 71). Disebutkan dalam surat
Al-Qur’an, pada surat Al-Isra’: 17, yang artinya:
“Sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya (ibu-bapak)
perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan
ucapkanlah kepadanya perkataan yang mulia”. (Depag RI, Al-Waah,
1989: 427).
Demikian juga dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa seorang
jurnalis muslim dalam berkarya hendaknya menghindari sejauh
mungkin prasangka maupun pemikiran negatif sebelum menemukan
kenyataan objektiv berdasarkan pertimbangan yang adil dan seimbang
serta diputuskan oleh pihak yang berwenang, hal ini terkandung dalam
surat Al-Hujurat:12 (49), yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka,
sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah
kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu
menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara
kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah
kamu merasa jijik kepadanya…” (QS. Al-Hujurat: 12) (Depag RI, Al-
Waah, 1989: 847).
Asas kejujuran, menjunjung tinggi kemanusiaan serta
mengutamakan kebenaran, yang terkandung dalam kode etik jurnalistik
PWI selaras dan sesuai dengan apa yang Allah firmankan dalam ayat
Al-Qur’an yang terdapat dalam surat Al-Hujurat : 6, yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman,jika datang kepadamu orang fasik
membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak
menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu
itu,..” (QS: Al-Hujurat:6) (Depag RI, Al-Waah, 1989: 846).
2.1.4. Etika, Etiket dan Moral
Etika adalah ilmu yang membahas tentang moralitas atau
tentang manusia sejauh yang berkaitan dengan moralitas. Dengan kata
lain, etika adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku moral. Secara
lebih sederhana Prof. Ir. Poedjowijatno (1986) mengatakan bahwa
sasaran etika khusus kepada tindakan-tindakan manusia yang dilakukan
dengan sengaja. Dalam praktiknya, sasarannya manusia juga karena
tindakan tersebut merupakan kesatuan dan keutuhan.
Sedang kata moral berasal dari bahasa Latin yakni Mores.
Mores berasal dari kata mos yang berarti hal mengenai kesusilaan,
tabiat, kelakuan. Moral juga berarti ajaran tentang baik-buruk perbuatan
dan kelakuan. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa moral
mempunyai pengertian yang sama dengan kesusilaan, yang memuat
ajaran tentang baik-buruknya perbuatan.
Secara etimologi etika dan moral mempunyai arti yang sama,
meskipun asal katanya berbeda. Sedang etiket berarti sopan santun. Ada
beberapa perbedaan antara etika dan etiket tersebut, antara lain
(Nurudin, 2003: 229).
1. Etiket menyangkut cara suatu perbuatan harus dilakukan manusia.
Etiket menunjukkan cara yang tepat, artinya cara yang diharapkan
serta ditentukan dalam suatu kalangan tertentu. Misalnya,
menyerahkan buku dengan tangan kiri pada orang tua. Tetapi etika
tidak terbatas pada cara dilakukannya suatu perbuatan, boleh
dilakukan atau tidak. Misalnya, mengambil barang milik orang lain
tanpa izin tak pernah dilakukan. “Jangan mencuri” merupakan norma
etika. Norma etis tidak terbatas pada cara perbuatan dilakukan,
melainkan menyangkut perbuatan itu sendiri.
2. Etiket hanya berlaku dalam pergaulan. Bila tidak ada orang lain yang
hadir atau tidak ada saksi mata, maka etiket tidak berlaku.
Sebaliknya etika selalu berlaku, termasuk tidak ada saksi mata
sekalipun.
3. Etiket bersifat relatif. Hal yang dianggap tidak sopan pada suatu
kebudayaan, belum tentu dapat dianggap sopan untuk yang lain.
Etika jauh lebih absolut, yang jelas etiket lebih relatif.
4. Membahas tentang etiket berarti membicarakan manusia dari segi
lahiriah saja, sedang etika menyangkut manusia dari dalam. Bukan
merupakan suatu kontradiksi, jika seseorang selalu berpegang pada
etiket dan bersifat munafik, sebab seandainya munafik, hal tersebut
berarti tidak bersikap etis.
2.2. Komunikasi Massa
Menurut Black dan Frederick, komunikasi massa adalah komunikasi
yang ditujukan kepada massa, kepada khalayak yang luar biasa banyaknya.
Sedangkan menurut Bittner, komunikasi massa adalah komunikasi melalui
media massa (media cetak dan elektronik), massa dalam arti sebagai penerima
pesan yang berkaitan dengan media massa (Effendy, 1984:23).
Dalam komunikasi massa diperlukan pentapis informasi atau palang
pintu (gate keeper) yakni beberapa individu atau kelompok yang bertugas
menyampaikan atau mengirimkan informasi dari individu ke individu yang
lain melalui media massa (surat kabar, majalah, televisi, radio, video tape,
buku). Dalam komunikasi massa disamping melibatkan unsur-unsur
komunikasi sebagaimana umumnya, ia membutuhkan peran media massa
sebagai alat untuk menyampaikan dan menyebarkan informasi. Menurut
Michael W Gamble dan Teri Kwal Gamble (1986) komunikasi massa dapat
didefinisikan sebagai komunikasi massa jika mencakup:
1) Komunikator dalam komunikasi massa mengandalkan peralatan modern
untuk menyebarkan atau memancarkan pesan secara cepat kepada
khalayak yang luas dan tersebar.
2) Komunikator dalam komunikasi massa dalam menyebarkan pesan-
pesannya bermaksud mencoba berbagi informasi dengan jutaan orang yang
tidak saling mengetahui satu sama lain.
3) Pesan yang disampaikan bersifat umum. Artinya pesan ini bisa diterima
oleh banyak orang. Pesan-pesan dalam komunikasi massa tidak
ditunjukkan kepada satu orang atau satu kelompok masyarakat tertentu.
Dengan kata lain, pesan-pesannya ditujukan pada khalayak yang plural.
4) Sebagai sumber, komunikator massa biasanya organisasi formal seperti
jaringan, ikatan atau perkumpulan.
5) Komunikator massa dikontrol oleh pentapis infomasi (gate keeper).
Artinya, pesan-pesan yang disebarkan, dikontrol atau dikendalikan oleh
sejumlah individu dalam lembaga tersebut sebelum disiarkan lewat media
massa. Seperti kameramen, sutradara, lembaga sensor film yang semuanya
mempengaruhi bahan-bahan yang akan dikemas dalam sebuah pesan dari
media massa masing-masing.
6) Umpan balik dalam komunikasi massa sifatnya tertunda.
� Fungsi Komunikasi Massa
1) Informasi
Merupakan fungsi paling penting yang terdapat dalam komunikasi
massa. Komponen terpenting untuk mengetahui fungsi informasi ini
adalah berita-berita yang disajikan.
2) Hiburan
Fungsi hiburan bagi sebuah media elektronik menduduki posisi
paling tinggi dibanding fungsi-fungsi yang lain. Pasalnya,
masyarakat memang masih menjadikan televisi sebagai media
hiburan. Berbeda dengan media cetak, yang biasanya tidak
menempatkan hiburan pada posisi penting, dan posisi tersebut
diduduki oleh fungsi informasi.
3) Persuasi
Banyak bentuk tulisan yang jika diperhatikan sekilas hanya berupa
informasi, tetapi jika diperhatikan secara teliti ternyata terdapat
fungsi persuasi. Tulisan pada Tajuk Rencana, artikel dan surat
pembaca adalah contoh tulisan persuasif.
4) Transmisi Budaya
Adalah salah satu fungsi komunikasi massa yang paling luas.
Transmisi budaya tak dapat dielakkan selalu hadir untuk berbagai
bentuk komunikasi yang mempunyai dampak pada penerimaan
individu.
5) Mendorong Kohesi Sosial
Kohesi yang dimaksud disini ialah penyatuan. Artinya media massa
mendorong masyarakat untuk bersatu.
6) Pengawasan
Artinya, menunjuk pada pengumpulan dan penyebaran informasi
mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi disekitar kita.
7) Korelasi
Ialah fungsi menghubungkan bagian-bagian dari masyarakat agar
sesuai dengan lingkungannya. Erat kaitannya dengan fungsi ini
adalah peran media massa sebagai penghubung antar berbagai
komponen masyarakat. Sebuah berita yang disajikan oleh seorang
reporter akan menghubungkan narasumber (salah satu unsur bagian
masyarakat) dengan pembaca surat kabar.
8) Pewarisan Sosial
Dalam hal ini, media massa berfungsi sebagai pendidik, baik yang
berkaitan dengan pendidikan formal maupun informal yang mencoba
meneruskan atau mewariskan suatu ilmu pengetahuan, nilai, norma,
pranata, etika, dari satu generasi ke generasi selanjutnya (Nurudin,
2003: 73).
2.3. Etika Komunikasi Massa
Ada beberapa hal penting yang berkaitan dengan etika seperti yang
pernah dikemukakan oleh Shoemaker dan Reese (1991) yakni: 1)
tanggungjawab, 2) kebebasan pers, 3) masalah etis, 4) ketepatan dan
objektivitas, dan 5) tindakan adil untuk semua orang.
2.3.1. Tanggung Jawab
Setiap apa yang disampaikan oleh media massa harus bisa
dipertanggungjawabkan. Setiap jurnalis atau semua yang terlibat dalam
proses komunikasi massa harus mempunyai tanggungjawab terhadap
apa yang disiarkan.
2.3.2. Kebebasan Pers
Kebebasan pers akan akan lebih bermakna jika disertai dengan
tanggungjawab. Artinya, kebebasan tersebut sebisa mungkin harus
dapat dipertanggungjawabkan.
2.3.3. Masalah Etis
Artinya, bahwa jurnalis harus bebas dari kepentingan, ia
mengabdi pada kepentingan umum. Ada beberapa ukuran normatif
yang dapat dijadikan pegangan, antara lain:
a. Hadiah, perlakuan istimewa, biaya perjalanan dapat mempengaruhi
kerja jurnalis. Tanpa kemampuan untuk bisa menolaknya kerja
jurnalis akan direndahkan. Maka muncullah “budaya amplop” atau
“wartawan bodrek” yakni jurnalis yang gemar dengan “amplop”.
b. Keterlibatan dalam politik, melayani organisasi masyarakat tertentu,
menjadikan profesi wartawan sebagai pekerjaan sambilan perlu
dihindari. Keterlibatan terhadap politik akan memunculkan conflict
of interest (konflik kepentingan) pada diri wartawan yang
bersangkutan.
c. Tidak menyiarkan sumber individu jika tidak mempunyai nilai
berita (news value).
d. Wartawan akan mencari berita yang memang benar-benar melayani
kepentingan publik.
e. Wartawan melaksanakan kode etik kewartawanan untuk melindungi
rahasia sumber berita.
f. Plagiatisme, salah satu bentuk kecurangan yang harus dihindari
karena merupakan aib bagi dunia kewartawanan. Misalnya,
memakai foto media lain tanpa menyebutkan sumber foto tersebut.
2.3.4. Ketepatan dan objektivitas
a. Kebenaran adalah tujuan utama. Orientasi berita yang berdasarkan
kebenaran harus menjadi pegangan pokok setiap wartawan. Apa
yang ditulis berdasarkan fakta-fakta dan bukan opini atau
interpretasi wartawan sendiri.
b. Objektivitas dalam pelaporan berita merupakan tujuan lain yang
bertujuan untuk melayani publik sebagai bukti pengalaman
professional di dunia kewartawanan. Objektiv juga berarti wartawan
tidak berat sebelah dalam liputannya. Jika meliput dua perselisihan
yang berbeda, prinsip keseimbangan atau dalam istilah pers disebut
dengan cover both sides yakni meliput dua sisi yang berbeda secara
seimbang harus dilakukan.
c. Ketidakcermatan dalam penelitian akan membuka peluang
kesalahan proses pencarian data.
d. Judul-judul berita harus sesuai dengan isinya, termasuk foto yang
dimunculkan juga harus sesuai dengan isi. Sebab, tidak sedikit
media cetak yang membuat judul terlalu bombastis sehingga tidak
menggambarkan isi beritanya.
e. Laporan berita harus bebas dari opini dan mempresentasikan semua
sisi peristiwa yang dilaporkan. Bagi penyiar berita atau reporter
televisi harus bisa membedakan dan menekankan dalam ucapannya
mana laporan berita dan mana opininya.
f. Editorial yang partisanship dianggap melanggar profesionalisme
atau semangat kewartawanan. Meskipun editorial atau tajuk rencana
bersifat subjektiv karena mempresentasikan kepentingan media
yang bersangkutan namun harus ditekan untuk “membela” satu
golongan dan memojokkan golongan lain.
g. Artikel khusus atau semua bentuk penyajian yang isinya berupa
pembelaan atau kesimpulan sendiri penelitinya harus menyebutkan
nama dan identitas dirinya.
2.3.5. Tindakan adil untuk semua orang
a. Campur tangan pihak-pihak tertentu yang menyebabkan media tidak
lagi bebas dan independen dalam menyiarkan beritanya, harus
ditolak.
b. Media tidak boleh menjadi “kaki tangan” pihak tertentu yang
mempengaruhi proses pemberitaannya.
c. Media mempunyai kewajiban membuat koreksi lengkap dan tepat
jika terjadi ketidaksengajaan kesalahan yang dibuat.
d. Media harus memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk
mengajukan keberatan dan protesnya terhadap apa yang telah
disampaikan oleh media. Bagi media, publik adalah mitra untuk
bersama-sama dijadikan alat untuk mengembangkan media
massanya.
e. Media harus memberikan kesempatan pada pihak yang dianggap
bersalah dalam suatu perkara untuk melakukan pembelaan atau
tanggapannya (Nurudin, 2003: 250).
Kode etik dibuat atas prinsip bahwa pertanggungjawaban
tentang pentaatannya berada terutama pada hati nurani setiap wartawan
Indonesia.
2.4. Fungsi Kode Etik dalam Pers
Kode etik sebagai pedoman para praktisi pers mempunyai beberapa
fungsi. Fungsi tersebut, yakni:
a. Fungsi Argumentatif
Fungsi argumentatif adalah menjadikan landasan terciptanya debat
publik mengenai kasus-kasus atas perilaku etis sebuah profesi.
b. Fungsi Kemanfaatan
Fungsi kemanfaatan meliputi mendidik masyarakat (tenaga
profesional baru) mengenal pedoman dan tanggung jawab etis dari
profesinya, mempersempit wilayah persoalan etis dalam profesi sehingga
orang tak perlu memperdebatkan etika, membantu anggota profesi
memahami tujuan profesionalnya meliputi cara-cara yang relevan untuk
mencapai tujuan, memperkecil intervensi peraturan pemerintah kedalam
persoalan profesi.
c. Fungsi Penggambaran Karakter
Fungsi penggambaran karakter adalah kode etik sebagai gambaran
tentang sosok profesional yang ingin dibentuk dan menjadi harapan
publik, karenanya susunan kode etik secara tidak langsung memuat
upaya perlindungan konsumen media (Masduki, 2003: 49).
Fungsi-fungsi tersebut merupakan wacana bagi wartawan dalam
melindungi hak masyarakat dalam memperoleh informasi obyektif dan
melindungi kinerja wartawan dari segala macam resiko kekerasan. Kode etik
juga dikenal dengan peraturan atau norma jurnalis yang terdiri atas (Masduki,
2003: 49):
� Pertanggungjawaban.
� Kebebasan Pers.
� Independensi mempromosikan kepentingan pribadi yang bertentangan
dengan kepentingan umum.
� Ketulusan, kesetiaan kepada kebenaran.
� Kejujuran dalam menyampaikan informasi(impartiality).
� Berlaku adil (fair play), pers harus memberikan kesempatan kepada semua
pihak untuk memberikan penjelasan dan bandingan dari apa yang sudah
disampaikan.
� Kesopanan (decency) pers menyampaikan moral dan kesusilaan
masyarakat.
Pertanggungjawaban pers yang lebih penting ialah
pertanggungjawaban dari dalam, yakni wartawan, pemilik dan pengelola pers,
serta dari pers sebagai institusi. Pertanggungjawaban dari dalam biasa disebut
pertanggungjawaban etika. Jakob Oetama, seorang tokoh pers mengutip
pendapat John C. Merrill dari Misouri School of Journalism tentang etika
yang mengatakan, etika yang mempunyai dua ruang lingkup, kewajiban
terhadap diri sendiri dan kewajiban terhadap orang lain, menunjukkan posisi
setiap orang sebagai insan individual dan insan sosial. Sejalan dengan
pemikiran itu, kemudian Jakob Oetama menekankan bahwa wartawan selain
menulis untuk orang lain, untuk khalayak pembaca, untuk masyarakat,
wartawan juga sekaligus menulis untuk diri sendiri. Dalam arti, tulisan ialah
juga ekspresi diri, ekspresi diri seorang wartawan. Wartawan
mempertaruhkan diri lewat tulisannya. Menurutnya, fungsi Kode Etik
Jurnalistik sebenarnya dapat mengamankan pelaksanaan kebebasan dan
tanggung jawab sosial pers dari incaran ranjau-ranjau hukum pers jika ditaati.
Kode Etik Jurnalistik mempunyai fungsi sebagai “polisi”yang
dibentuk sendiri oleh pers untuk mencegah ancaman ranjau-ranjau pers.
Intervensi negara hanya dapat dicegah sejauh anggota-anggota profesi
kewartawanan membentuk sendiri “kepolisian” dan menciptakan sendiri
sistem kedisiplinannya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wina Armada
S.A, S.H. dalam bukunya “Wajah Hukum Pidana Pers”, Penerbit Pustaka
Kartini, Februari 1989 menunjukkan, bahwa Kode Etik Jurnalistik (KEJ) PWI
hanya terdiri dari enam pasal, ternyata masih tetap saja ada wartawan yang
belum pernah membaca Kode Etik Jurnalistik itu. Perinciannya, 19% belum
pernah membaca Kode Etik Jurnalistik, selebihnya 81% sudah pembacanya.
Dengan kenyataan tersebut, ditambah kebebasan pers yang sangat liberal
dewasa ini. Sudah tepat kebijakan yang diambil oleh PWI untuk melakukan
seleksi ketat dalam penerimaan anggota. Yaitu harus melampirkan dalam
surat pengangkatan menjadi wartawan dari perusahaan pers bersangkutan
serta surat pernyataan bermaterai berisikan janji untuk menaati KEJ-PWI
dalam formulir permohonan menjadi anggota. Sedangkan bagi wartawan
yang belum bernaung pada surat kabar tertentu, atau sering disebut Free
Lance harus melampirkan rekomendasi dari sekurang-kurangnya dua
Pemimpin Redaksi atau Penanggungjawab pemberitaan media.
Selain syarat-syarat dimaksud, juga dilakukan ujian sebelum
seseorang diterima menjadi anggota PWI. Ujian ini terutama mengenai KEJ-
PWI sehingga tidak ada lagi wartawan yang sama sekali tidak pernah
membaca kode etiknya. Kebijakan penerimaan anggota seperti ini, selain
akan mengangkat dan mempertahankan kredibilitas organisasi, sekaligus
menjadi kebanggaan tersendiri bagi yang bersangkutan karena secara formal
diakui menjalankan profesi kewartawanannya.
Justru dengan perkembangan perusahaan pers yang sudah menjadi
industri padat modal dewasa ini, terutama perusahaan media siaran televisi,
etos kerja seperti ditekankan oleh wartawan senior Mochtar Lubis serta
penaatan akan Kode Etik Jurnalistik menjadi sangat penting. Sebab dengan
perkembangan perusahaan pers menjadi industri padat modal, maka para
investor yang menanamkan modalnya di bidang usaha pers tentunya
mengharapkan imbalan dari modal besar yang diinvestasikan. Akibatnya
terjadi pertentangan yang makin tajam antara kepentingan idiil pers disatu
pihak dan kepentingan bisnis pers dipihak lain.
Di sinilah etos kerja wartawan dituntut. Dalam arti, dedikasi dan
loyalitasnya sebagai wartawan profesional harus dipertahankan dan juga
ditingkatkan. Sekaligus dengan etos kerja itu, penaatan Kode Etik Jurnalistik
menjadi absolut. Itu berarti jangan sampai demi kepentingan bisnis pers, kode
etik profesi dikorbankan atau diabaikan. Sebab, jika demikian halnya,
ketentuan UU No. 40 Tahun 1999 tentang pers yang mengatakan pers
nasional sebagai lembaga sosial dan wahana komunikasi massa tidak
terpenuhi sekalipun di pihak lain Pasal 3 ayat (2) UU Pers itu mengatakan,
pers nasional juga berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Dengan kedua
ketentuan ini, maka harus ada keseimbangan antara kepentingan idiil pers dan
kepentingan bisnis pers. Jangan justru sebaliknya kepentingan bisnis pers
lebih diutamakan sehingga kepentingan idiil pers yang tercermin dalam Kode
Etik Jurnalistik diabaikan.
Penaatan terhadap kode etik, dihubungkan dengan perkembangan pers
dengan kebebasannya yang sangat liberal dewasa ini, ada kecenderungan
yang terlalu mengagungkan pendidikan formal dalam merekrut wartawan,
seperti ilmu komunikasi dan publisistik. Seolah-olah pendidikan tinggi
bidang komunikasi, misalnya, menjadi jaminan diperolehnya seorang
wartawan yang profesional dan bermartabat dalam arti taat pada Kode Etik
Jurnalistik . Padahal kesarjanaan seseorang belum merupakan jaminan
keberhasilan dalam dunia kewartawanan.
Akhir-akhir ini terdapat kecenderungan perusahaan pers merekrut
tenaga wartawan dengan mensyaratkan kesarjanaan semua bidang. Maka
bukan hal mengherankan apabila kemudian banyak pelamar terdiri dari
berbagai disiplin ilmu. Namun, menurut keterangan yang diperoleh dalam
seleksi penerimaan untuk direkrut menjadi wartawan yang dilakukan oleh
beberapa perusahaan pers justru sarjana dari disiplin ilmu eksakta lebih
banyak lulus tes dibandingkan sarjana dari disiplin ilmu sosial seperti bidang
komunikasi dan publisistik.
Profesionalisme wartawan tidak hanya menyangkut keterampilan serta
keahlian meramu bahan informasi, melainkan juga kemampuan serta
penguasaan Kode Etik Jurnalistik disertai kesetiaan dan keikhlasan
melaksanakannya secara konsekuen dan konsisten.
Mengingat esensi kode etik merupakan ikrar para wartawan yang
tergabung dalam satu organisasi profesi, dalam hal ini organisasi wartawan,
untuk menaati dan melaksanakannya dalam kegiatan jurnalistik sehari-hari.
Dengan kata lain, kode etik inilah yang harus menjiwai dan menyemangati
setiap wartawan dalam menjalankan tugas-tugas jurnalistiknya sehingga
menjadi seorang wartawan profesional yang bermartabat. Dengan
menerapkan kode etik secara seutuhnya berarti wartawan melaksanakan
tanggung jawab yang melekat dengan kebebasan pers. Lebih-lebih di negara
demokrasi dengan pers yang tergolong liberal, fungsi kode etik menjadi amat
penting.
2.5. 2.Motivasi Al-Qur’an Tentang Pemberitaan
Hadist-hadits Rasulullah Saw dan ayat-ayat Al-qur’an secara
berulang-ulang menyebutkan keutamaan pena dan tinta. Hal ini
mengandung pesan bahwa dunia keilmuan (termasuk didalamnya ilmu
komunikasi dan jurnalistik) tidak dapat dipisahkan dari kemanfaatan benda
bernama pena dan tinta ini. Sebuah Hadits yang dikeluarkan Abu Hatim dari
riwayat Abu Hurairah r.a. menyebutkan bahwa Nabi pernah bersabda:
“Setelah Allah menciptakan nun, yakni dawat dan telah menciptakan
qalam, Dia bertitah: “Tulislah!” ‘Ya Robbi, apa yang hamba tulis?’
jawab Allah: ‘Tulislah semua yang ada, sampai hari kiamat.”
Hadits tersebut memberi isyarat bahwa kata nun dalam ayat Al-
qur’an (QSAl-qalam:1) tiada lain adalah dawat atau wadah tinta walaupun
banyak ulama lain yang membuat tafsiran yang tidak sama. Dawat sangat
cocok untuk menghubungkan ingatan kepada Qalam atau pena dan tulisan
yang menjadi padanannya.
úú úúχχχχ 44 44 ÉÉ ÉÉΟΟΟΟ nn nn==== ss ss)))) øø øø9999 $$ $$#### uu uuρρρρ $$$$ tt ttΒΒΒΒ uu uuρρρρ tt ttββββρρρρ ãã ãã���� ää ääÜÜÜÜ óó óó¡¡¡¡ oo oo„„„„ ∩∩∩∩⊇⊇⊇⊇∪∪∪∪
“Nun[1489], demi kalam dan apa yang mereka tulis.”
[1489] ialah huruf-huruf abjad yang terletak pada permulaan sebagian
dari surat-surat Al Quran seperti: Alif laam miim, Alif laam raa,
Alif laam miim shaad dan sebagainya. diantara ahli-ahli tafsir ada
yang menyerahkan pengertiannya kepada Allah Karena dipandang
termasuk ayat-ayat mutasyaabihaat, dan ada pula yang
menafsirkannya. golongan yang menafsirkannya ada yang
memandangnya sebagai nama surat, dan ada pula yang
berpendapat bahwa huruf-huruf abjad itu gunanya untuk menarik
perhatian para Pendengar supaya memperhatikan Al Quran itu,
dan untuk mengisyaratkan bahwa Al Quran itu diturunkan dari
Allah dalam bahasa Arab yang tersusun dari huruf-huruf abjad.
kalau mereka tidak percaya bahwa Al Quran diturunkan dari Allah
dan Hanya buatan Muhammad s.a.w. semata-mata, Maka cobalah
mereka buat semacam Al Quran itu.
Hal ini berarti bahwa dawat yang merupakan induk segenap alat tulis
dan peranannya dipandang perlu jika dibandingkan dengan alat-alat tulis
lainnya yang berperan hanya sebagai pembantu. Ayat diatas (yang
mengandung wawu qasam) menunjukkan “sumpah Tuhan atas nama
kemulyaan dawat, qalam, tulisan.” Penyebutan kata qalam dalam ayat ini ,
menurut Hamka, sangat berhubungan dengan penyebutan kata serupa dalam
surat Al-‘alaq. Keduanya menarik perhatian manusia tentang pentingnya
pena dalam kehidupan manusia (Suf Kasman, 2004:69).
Dengan pena-lah berbagai ilmu dicatat. Secara fungsional, perintah
tulis-menulis kemudian disebutkan lagi untuk diaplikasikan, satunya dalam
dunia perdagangan (muamalah) dalam surat Al-Baqarah:282, yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah[179] tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.
dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan
benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah
mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang
berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun
daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya
atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan,
Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah
dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada
dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan
dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang
seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi
keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis
hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya.
yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian
dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah
mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang
kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika)
kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan
janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan
(yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada
dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha
mengetahui segala sesuatu.”
[179] Bermuamalah ialah seperti berjualbeli, hutang piutang, atau
sewa menyewa dan sebagainya.
Perintah ini mengedepankan signifikasi dan fungsi konkret dari tulis-
menulis. Hal ini relevan dengan apa yang terkandung dalam surat Al-
jatsiyah:29.
# x‹≈yδ $oΨ ç6≈ tFÏ. ß,ÏÜΖtƒ Νän3ø‹ n=tæ Èd, ysø9 $$ Î/ 4 $ ‾ΡÎ) $Ζä. ã‡ Å¡Ψ tGó¡ nΣ $ tΒ óΟçFΖä. tβθ è=yϑ÷è s? ∩⊄∪
(Allah berfirman): "Inilah Kitab (catatan) kami yang menuturkan
terhadapmu dengan benar. Sesungguhnya kami Telah menyuruh mencatat
apa yang Telah kamu kerjakan".(QS: Al-Jastiyah :29), (Depag RI,
Darussunnah, 2007:502).
Sedangkan ayat Al-Quran yang mengandung perintah, khususnya
kepada wartawan muslim atau penyampai informasi, untuk senantiasa
berhati-hati, teliti, dan tidak gegabah dalam menyiarkan berita kepada
khalayak, terdapat dalam surat Al-Hujurat:6.
$ pκš‰ r'‾≈tƒ tÏ% ©!$# (# þθ ãΖtΒ# u βÎ) óΟ ä. u !%y` 7,Å™$ sù :*t6t⊥ Î/ (#þθ ãΨ� t6tG sù βr& (#θç7ŠÅÁ è? $ JΒöθ s% 7's#≈yγpg ¿2 (#θ ßsÎ6óÁ çG sù 4’ n?tã
$ tΒ óΟ çF ù=yè sù tÏΒω≈tΡ ∩∉∪
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik
membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak
menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu
itu.(QS:Al-H-ujurat:6),(Depag RI, Darussunnah, 2007:517).
Al-qur’an memberikan petunjuk untuk mempertanggungjawabkan
setiap perbuatan, khususnya dalam penyampaian informasi, ilmu dan berita.
Hal ini ditekankan pada surat Al-isra’ :36. Kandungan ayat ini sesuai
dengan pikiran utama dalam teori pers tanggungjawab sosial, yang
mengedepankan pelayanan terhadap publik sebagai pertangungjawaban
utama, sehingga diharapkan pers bukanlah sebagai alat bisnis namun lebih
bertanggungjawab sebagai pers, penyampai informasi untuk masyarakat
yang memiliki kemulyaan etika dan berkredibilitas tinggi. Ajaran Al-qur’an
yang cukup relevan atau adanya keterkaitan makna, terdapat dalam surat Al-
Hujurat:12 tentang larangan berburuk sangka.
Ÿωuρ ß#ø) s? $ tΒ }§øŠ s9 y7s9 ϵ Î/ íΟ ù=Ïæ 4 ¨βÎ) yìôϑ¡¡9 $# u�|Ç t7ø9 $# uρ yŠ# xσà/ ø9$# uρ ‘≅ä. y7Í×‾≈s9 'ρ é& tβ%x. çµ ÷Ψtã
Zωθ ä↔ó¡ tΒ ∩⊂∉∪
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan
hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabannya.” (QS: Al-
Isra’:36), (Depag RI, 2002:282). $ pκš‰ r'‾≈tƒ tÏ% ©!$# (#θãΖtΒ# u (#θç7Ï⊥ tG ô_ $# # Z��ÏWx. zÏiΒ Çd©à9 $# āχ Î) uÙ ÷è t/ Çd ©à9$# ÒΟ øOÎ) ( Ÿω uρ (#θ Ý¡ ¡¡pg rB Ÿω uρ
=tG øó tƒ Νä3àÒ ÷è−/ $ ³Ò÷è t/ 4 �=Ïtä† r& óΟà2߉ tnr& βr& Ÿ≅ à2ù' tƒ zΝós s9 ϵŠÅzr& $\GøŠ tΒ çνθ ßϑçF÷δÌ� s3 sù 4 (#θ à) ¨?$# uρ
©! $# 4 ¨βÎ) ©! $# Ò># §θs? ×ΛÏm §‘ ∩⊇⊄∪
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka
(kecurigaan), Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah
mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama
lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging
saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.
dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima
Taubat lagi Maha Penyayang.(Depag, Darussunnah,2002:518).
Sedangkan penekanan Al-qur’an pada larangan kebohongan,
terdapat dalam banyak ayat. Namun ayat yang kandungan perintahnya lebih
spesifik dalam larangan penyiaran berita bohong terdapat pada surat
Annur:11 sampai 16.
¨βÎ) t Ï% ©!$# ρâ !%y Å7øù M}$$ Î/ ×π t6óÁ ãã ö/ä3ΨÏiΒ 4 Ÿω çνθ ç7|¡ øtrB # u�Ÿ° Νä3 ©9 ( ö≅ t/ uθèδ ×�ö� yz ö/ä3 ©9 4 Èe≅ ä3 Ï9 <›Í÷ö∆ $#
Νåκ÷] ÏiΒ $ ¨Β |=|¡ tFø. $# zÏΒ ÉΟ øOM}$# 4 “Ï% ©!$# uρ 4† ‾<uθ s? …çν u�ö9 Ï. öΝåκ÷] ÏΒ …çµ s9 ë># x‹ tã ×ΛÏà tã ∩⊇⊇∪ Iω öθ ©9 øŒÎ)
çνθãΚçF÷è Ïÿxœ £sß tβθ ãΖÏΒ÷σ ßϑø9$# àM≈ oΨ ÏΒ÷σßϑø9 $#uρ öΝÍκŦ à/Ρr' Î/ # Z�ö� yz (#θä9$ s%uρ !#x‹≈yδ Ô7øù Î) ×Î7•Β ∩⊇⊄∪ Ÿω öθ ©9
ρâ !%y ϵ ø‹n=tã Ïπ yè t/ö‘r' Î/ u !#y‰ pκà− 4 øŒ Î*sù öΝs9 (#θ è? ù'tƒ Ï !# y‰pκ’¶9 $$Î/ š� Í×‾≈s9 'ρ é' sù y‰ΖÏã «!$# ãΝèδ tβθ ç/É‹≈s3 ø9 $# ∩⊇⊂∪
Ÿω öθ s9 uρ ã≅ ôÒ sù «! $# ö/ä3ø‹ n= tæ …çµ çGuΗ÷qu‘uρ ’Îû $ u‹÷Ρ ‘‰9 $# Íο t� ÅzFψ$# uρ ö/ä3¡¡ yϑs9 ’Îû !$ tΒ óΟçFôÒ sù r& ϵŠÏù ë># x‹ tã
îΛÏà tã ∩⊇⊆∪ øŒÎ) …çµ tΡöθ ¤)n=s? ö/ä3ÏG oΨ Å¡ ø9 r'Î/ tβθ ä9θà) s? uρ /ä3Ïδ# uθøù r' Î/ $Β }§øŠ s9 Νä3s9 ϵ Î/ ÒΟ ù=Ïæ …çµ tΡθ ç7|¡øt rB uρ
$YΨ Íh‹yδ uθèδ uρ y‰Ψ Ïã «! $# ×ΛÏà tã ∩⊇∈∪ Iωöθ s9 uρ øŒÎ) çνθßϑ çG÷è Ïϑy™ ΟçFù=è% $ ¨Β ãβθ ä3tƒ !$ uΖs9 βr& zΝ‾=x6 tG ‾Ρ # x‹≈pκÍ5
y7oΨ≈ys ö6ß™ # x‹≈yδ í≈tG öκæ5 ÒΟŠÏà tã ∩⊇∉∪
11 Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah
dari golongan kamu juga. janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu
buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. tiap-tiap seseorang dari
mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. dan siapa di
antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran
berita bohong itu baginya azab yang besar[1031].
12. Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohon itu orang-orang
mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri,
dan (mengapa tidak) berkata: "Ini adalah suatu berita bohong yang nyata."
13. Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang
saksi atas berita bohong itu? Olah Karena mereka tidak mendatangkan
saksi-saksi Maka mereka Itulah pada sisi Allah orang- orang yang dusta.
14. Sekiranya tidak ada kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua
di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, Karena
pembicaraan kamu tentang berita bohong itu.
15. (Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke
mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui
sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. padahal dia
pada sisi Allah adalah besar.
16. Dan Mengapa kamu tidak berkata, diwaktu mendengar berita bohong
itu: "Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini, Maha Suci
Engkau (Ya Tuhan kami), Ini adalah dusta yang besar."
[1031] berita bohong Ini mengenai istri Rasulullah s.a.w. 'Aisyah r.a.
ummul Mu'minin, sehabis perang dengan Bani Mushtaliq bulan Sya'ban 5
H. Perperangan Ini diikuti oleh kaum munafik, dan turut pula 'Aisyah
dengan nabi berdasarkan undian yang diadakan antara istri-istri beliau.
dalam perjalanan mereka kembali dari peperangan, mereka berhenti pada
suatu tempat. 'Aisyah keluar dari sekedupnya untuk suatu keperluan,
Kemudian kembali. tiba-tiba dia merasa kalungnya hilang, lalu dia pergi
lagi mencarinya. sementara itu, rombongan berangkat dengan persangkaan
bahwa 'Aisyah masih ada dalam sekedup. setelah 'Aisyah mengetahui,
sekedupnya sudah berangkat dia duduk di tempatnya dan mengaharapkan
sekedup itu akan kembali menjemputnya. Kebetulan, lewat ditempat itu
seorang sahabat nabi, Shafwan ibnu Mu'aththal, diketemukannya seseorang
sedang tidur sendirian dan dia terkejut seraya mengucapkan: "Inna lillahi
wa inna ilaihi raji'un, isteri Rasul!" 'Aisyah terbangun. lalu dia
dipersilahkan oleh Shafwan mengendarai untanya. Syafwan berjalan
menuntun unta sampai mereka tiba di Madinah. orang-orang yang melihat
mereka membicarakannya menurut pendapat masing-masing. mulailah
timbul desas-desus. Kemudian kaum munafik membesar- besarkannya,
Maka fitnahan atas 'Aisyah r.a. itupun bertambah luas, sehingga
menimbulkan kegoncangan di kalangan kaum muslimin. (Depag RI, Darus
sunnah, 2002: 352).
Ayat-ayat tersebut mempunyai point kesamaan dengan KEJ-PWI, terutama
yang tertuang dalam pasal 17 yang berbunyi:
“Wartawan selalu menguji informasi, menerapkan prinsip adil, jujur, dan
penyajian yang berimbang serta menghormati asas praduga tak bersalah”
BAB III
PROFIL PERSATUAN WARTAWAN INDONESIA (PWI)
3.1. Sejarah Kode Etik Jurnalistik dan Dewan Kehormatan PWI
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) didirikan di Surakarta pada 9 Februari 1946,
dan tidak diikuti dengan pembentukan Dewan Kehormatan PWI (DK-PWI). Hal ini
dikarenakan yang menjadi pusat perhatian para tokoh pers yang berkumpul waktu itu adalah
bagaimana upaya menyatukan segenap potensi pers nasional untuk mempertahankan
proklamasi kemerdekaan. Untuk itu, mutlak diperlukan satu wadah yang mempersatukan pers
nasional yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara dan tidak lagi terkotak-kotak dalam
berbagai organisasi dan latar belakang yang berbeda seperti sebelumnya. Termasuk
mempersatukan para wartawan yang bertugas dan berjuang di daerah "republik" dan
wartawan yang bertugas dan berjuang di daerah pendudukan militer Belanda. Kode Etik
Jurnalistik PWI waktu itu belum dirumuskan secara formal, padahal tugas dan fungsi Dewan
Kehormatan adalah mengawasi dan kemudian memutuskan serta menetapkan sanksi atas
pelanggaran kode etik.
Keberadaan kode etik bagi profesi wartawan dan institusi untuk mengawasi
pelaksanaan penaatannya berupa Dewan Kehormatan bersifat mutlak. Sebab Dewan
Kehormatan bertugas meneliti redaksional media massa. Kemudian menangani pengaduan
masyarakat berkenaan dengan tuduhan pelanggaran kode etik. Dewan inilah yang selanjutnya
memutuskan apakah telah terjadi pelanggaran kode etik atau tidak. Jelaslah bahwa tugas dan
fungsi Dewan Kehormatan bagi satu organisasi profesi seperti PWI sangat penting dan
menentukan citra dan kredibilitas suatu organisasi. Sebab, bagi organisasi profesi mutlak
diperlukan satu lembaga atau institusi yang bertugas secara mandiri mengawasi kode etik
serta menetapkan sanksi atas pelanggarannya.
Para tokoh pers yang mendirikan PWI pada waktu itu menyadari betapa pentingnya
lembaga tersebut. Akan tetapi, karena pengerahan tenaga dan fokus utama pertemuan
pertama kali tersebut masih dipusatkan kepada perjuangan fisik melawan agresi militer
Belanda, kehadiran lembaga pengawas pelaksanaan kode etik tersebut dianggap masih belum
terlalu mendesak pada saat itu. Dinamika perkembangan politik serta
timbulnya berbagai masalah dalam pemberitaan pers pada awal 1950-an mendorong
para tokoh pers pasca terbentuknya PWI untuk merumuskan secara formal kode etik
jurnalistik lebih rinci, lengkap, dan komprehensif serta hasil kajian tim yang
khusus dibentuk untuk itu. Dengan demikian, akan ada acuan atau pedoman baku dalam
menilai apakah pemberitaan tertentu telah melanggar kode etik atau tidak. Di samping itu,
mengingat intensitas pelanggaran atas prinsip-prinsip kode etik serta
sensitivitas persoalan politik waktu itu, semakin mendesak untuk segera
merumuskan kembali kode etik jurnalistik PWI yang mampu menjawab perkembangan
pers.
Dengan diterapkannya sistem pers liberal berdasarkan UUDS-1950 yang menganut
sistem kabinet parlementer pada 1950-an, makin dirasakan perlunya segera membentuk
institusi yang bertugas mengawasi dan menetapkan sanksi atas pelanggaran kode etik. Karena
media massa waktu itu diwarnai oleh polemik politik antara partai yang satu dengan partai
lain. Kemudian polemik berkepanjangan antara tokoh partai yang satu dengan tokoh partai
lain bahkan memasuki hal-hal bersifat pribadi. Terlebih pada waktu itu pers nasional
diwarnai oleh kehadiran koran-koran partisan yang sudah tentu menjadi perpanjangan lidah
partai dengan mengabaikan etika jurnalistik yang seharusnya menjadi pedoman dalam
menjalankan kegiatan kewartawanan. Maka kehadiran Dewan Kehormatan pun dirasakan
semakin mendesak.
Kesadaran masyarakat akan perkembangan pers yang demikian, mendorong Kongres
VI PWI di Salatiga pada 1-3 Juni 1952 yang kemudian memutuskan untuk membentuk
Dewan Kehormatan PWI yang khusus bertugas mengawasi pelaksanaan penaatan kode etik
jurnalistik. Salah satu keputusan Kongres VI PWI Salatiga berkenaan dengan pembentukan
Dewan Kehormatan PWI menyatakan, “Oleh konferensi dibentuk suatu Dewan Kehormatan,
sedapat-dapatnya terdiri dari pemimpin-pemimpin redaksi, berkedudukan di tempat
sekretariatnya yang mempunyai kewajiban mempertimbangkan soal-soal sulit dalam
pelaksanaan Code Djurnalistiek, dan bersama dengan pengurus mempunyai kekuasaan
memutuskan pemecatan atau schorsing terhadap anggota yang dianggap melanggar Code”
(Pers dan Masyarakat, terbitan PP PWI). Akhirnya sesuai amanat Kongres PWI Salatiga pada
24 September 1952 dibentuklah Dewan Kehormatan PWI dengan susunan kepengurusan, H.
Agus Salim (Ketua), Mr Mohammad Natsir (Wakil Ketua), dengan anggota, Prof. Mr
Soepomo, Roeslan Abdulgani, dan Djawoto.
Dewan Kehormatan PWI yang baru dibentuk tersebut segera menghadapi tugas berat.
Antara lain berkenaan dengan timbulnya kasus yang terkenal dengan “Peristiwa 17 Oktober”
1952. Kasus itu sendiri bermula dari Markas Besar Angkatan Darat di bawah pimpinan
Kolonel Abdul Haris Nasution yang merasa tidak senang dengan perdebatan yang terjadi di
DPRS (Dewan Perwakilan Rakyat Sementara) mengenai masalah-masalah ketentaraan yang
berpuncak diterimanya Mosi Manai Sophiaan (PNI) yang bertujuan menyelidiki keadaan
dalam ABRI umumnya dan Angkatan Darat khususnya, secara lebih saksama.
Pada 17 Oktober 1952 pasukan Angkatan Darat mengobrak-abrik gedung DPRS.
Beberapa perwira menengah dan tinggi Angkatan Darat menghadap Presiden Soekarno untuk
mendesak pembubaran DPRS, sementara itu istana dikelilingi oleh pasukan dengan meriam
ditujukan ke istana. Sedangkan Presiden Soekarno telah menolak desakan pimpinan
Angkatan Darat, Abdul Haris Nasution. Akibat "Peristiwa 17 Oktober" ini, terjadi polemik
serius dan intens di kalangan pers. Bahkan menurut Soebagijo I.N. dalam buku "PWI Jaya Di
Arena Masa", polemik yang terjadi dalam pers di Jakarta tersebut telah berubah menjadi caci-
maki yang bersifat pribadi yang bisa dianggap merupakan ekses kebebasan pers di zaman
demokrasi liberal waktu itu. Perkembangan pers yang kian mengesampingkan etika ini,
kemudian mendorong Dewan Kehormatan PWI untuk segera merumuskan Kode Etik
Jurnalistik secara lengkap, rinci, dan komprehensif sehingga penilaian terhadap pelaku
pelanggaran serta sanksi mempunyai acuan yang jelas.
Dalam keadaan politik negara dan pers yang demikian buruk, di mana pers dijadikan
sebagai alat perlawanan politik, pengurus PWI Pusat, yang dipelopori oleh Ketua PWI
Jakarta, Tengku Syahril, segera mengambil prakarsa mengadakan pertemuan atau semacam
konferensi di Jakarta. Pertemuan tersebut dilangsungkan pada 1-2 Mei 1954, dihadiri oleh
para pimpinan redaksi seluruh Indonesia serta para wakil PWI Cabang. Untuk memperlancar
pertemuan, penyusunan bahan masukan bagi para peserta dipercayakan kepada S, Tasrif dan
Sjarif Sulaiman.
Mereka berhasil mempersiapkan catatan tentang kode etik jurnalistik serta lembaga
yang perlu dibentuk yang bertugas mengawasi pelaksanaannya. Para peserta pertemuan-pun
memberikan apresiasi yang tinggi atas uraian yang disampaikan oleh S.Tasrif dan Sjarif
Sulaiman. Pada kesempatan tersebut diadakan pula pembahasan yang serius terhadap
pentingnya perumusan secara formal kode etik supaya ada pegangan yang baku dalam
menghadapi perkembangan pers. Peserta pertemuan juga memberikan respons yang sangat
positif mengenai keberadaan serta kedudukan berikut fungsi dan tugas Dewan Kehormatan
PWI. Akhir dari pertemuan tersebut menghasilkan disetujuinya pembentukan panitia Ad hoc
yang bertugas menyusun kode etik jurnalistik yang kemudian akan dibahas dan ditetapkan
dalam Kongres PWI berikutnya. Panitia Ad hoc tersebut terdiri dari S. Tasrif (Ketua), S.
Tahsin (Sekretaris), dan Anggota Moh. Said, Sjarif Sulaiman, dan Supeno.
Panitia Ad hoc tersebut, akhirnya berhasil menyelesaikan tugasnya menyusun naskah
kode etik junalistik. Naskah yang dihasilkan oleh Panitia Ad hoc inilah yang kemudian
dibahas dalam Kongres VIII PWI di Medan pada 31 Desember hingga 2 November 1955.
Akhirnya naskah kode etik jurnalistik tersebut diterima dan disahkan oleh Kongres untuk
selanjutnya dinyatakan berlaku sejak 1 Mei 1955.
Kongres VIII PWI di Medan pada tahun 1955 tersebut ternyata tidak hanya
mengesahkan naskah kode etik jurnalistik yang disusun oleh Panitia Ad hoc pimpinan S.
Tasrif, SH, tetapi juga mengeluarkan seruan agar seluruh anggota PWI menyadari
sepenuhnya akan keberadaan kode etik kemudian bertekad untuk melaksanakannya secara
bertanggungjawab. (http:kodeetikjurnalistikpwi.id/yahoo.com.html/10/5/2011). Kode Etik
Jurnalistik tersebut memuat aturan-aturan kewartawanan yang terdiri atas 7 pasal, yaitu ( Suf
Kasman, 2004: 43):
1. Kepribadian wartawan Indonesia
2. Bertanggung jawab
3. Cara pemberitaan dan menyatakan pendapat
4. Pelanggaran hak jawab
5. Sumber berita
6. Kekuatan Kode Etik
7. Pengawasan pentaatan Kode Etik
Pertemuan ini juga menghimbau seluruh insan pers untuk mematuhi Kode etik yang
telah disahkan. Kemudian Kode Etik ini digunakan sebagai alat untuk melakukan koreksi
terhadap diri para anggota PWI seluruhnya sehingga dapat mengabdikan tugasnya untuk
kepentingan masyarakat. Akan tetapi, dalam perkembangannya, Pengurus Pusat PWI tidak
konsisten akan keberadaan institusi atau lembaga pengawas pelaksanaan kode etik tersebut.
Karena sejak DK-PWI terbentuk untuk pertama kali pada 24 September 1952, beberapa tahun
lamanya keanggotaan dan kepengurusannya tidak diadakan oleh Kongres PWI berikutnya.
Menurut wartawan senior H. Rosihan Anwar dan Ketua Dewan Kehormatan PWI
periode 1983-1988, sejak tahun 1952 sampai 1968 tidak diadakan pemilihan anggota Dewan
Kehormatan PWI. Hal ini dikarenakan tidak adanya perhatian dari Pengurus Pusat PWI untuk
melakukan pemilihan anggota Dewan Kehormatan PWI. Pada tahun 1968 baru diadakan
pemilihan anggota Dewan Kehormatan PWI masa bakti 1968-1970, terdiri dari Mr.
Sumanang sebagai ketua dengan anggota H. Rosihan Anwar, Prof. Oemar Seno Adji SH, Asa
Bafagih dan Sumantoro. Dengan kata lain, beberapa tahun lamanya kepengurusan PWI tidak
dilengkapi oleh Dewan Kehormatan.
Tidak adanya institusi Dewan Kehormatan pada era Demokrasi Terpimpin tidak
terlepas dari pengaruh situasi dan kondisi politik waktu itu, terutama pengaruh Partai
Komunis Indonesia (PKI). Hal ini sangat berpengaruh pada hampir semua bidang kehidupan
masyarakat Indonesia, termasuk dunia pers. Bahkan dapat dikatakan pada zaman Orde Lama,
praktis PWI telah terkooptasi oleh elite politik yang berkuasa waktu itu. Sehingga keberadaan
Dewan Kehormatan PWI tidak dianggap sebagai hal penting. Karenanya, beberapa tahun
lamanya lembaga pengawas kode etik itu tidak eksis. Berikut pasal-pasal dari Kode Etik
Jurnalistik Persatuan Wartawan Indonesia (KEJ-PWI).
3.2. Kode Etik Jurnalistik Persatuan Wartawan Indonesia (KEJ-PWI)
KODE ETIK JURNALISTIK
PEMBUKAAN
Bahwa sesunguhnya salah satu perwujudan kemerdekaan Negara
Kesatuan Republik Indonesia adalah kemerdekaan mengeluarkan pikiran
dengan lisan dan tulisan sebagaimana di amanatkan oleh pasal 28 UUD
1945. Oleh sebab itu kemerdekaan pers wajib di hormati oleh semua
pihak.
Mengingat Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara
berdasarkan atas hukum, seluruh wartawan Indonesia menjunjung tinggi
konstitusi dan menegakkan kemerdekaan pers yang bertanggung jawab,
mematuhi norma-norma profesi kewartawanan, memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, serta
memperjuangkan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial berdasarkan pancasila.
Maka atas dasar itu,demi tegaknya harkat, martabat, integritas, dan mutu
kewartawanan Indonesia serta bertumpu pada kepercayaan masyarakat,
dengan ini Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) menetapkan Kode Etik
Jurnalistik yang harus di taati dan dilaksanakan oleh seluruh wartawan
terutama anggota PWI.
PENAFSIRAN PEMBUKAAN
Kode Etik Jurnalistik ialah ikrar yang bersumber pada hati nurani wartawan dalam
melaksaakan kemerdekaan mengeluarkan pikiran yang dijamin sepenuhnya oleh pasal 28
UUD 1945, yang merupakan landasan konstitusional wartawan dalam menjalankan tugas
jurnalistiknya.
Kemerdekaan mengeluarkan pikiran ialah hak paling mendasar yang dimiliki setiap insan
wartawan, yang wajib dijunjung tinggi dan dihormati oleh semua pihak. Sekalipun
kemerdekaan mengeluarkan pikiran merupakan hak wartawan yang dijamin
konstitusi,mengingat Negara Kesatuan Republik Indonesia ialah Negara berdasarkan hukum,
maka setiap wartawan wajib menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran dalam
menggunakan haknya untuk mengeluarkan pikiran.
Wartawan bersama seluruh masyarakat, maka wajib mewujudkan prinsip-prinsip
kemerdekanaan pers yang profesional dan bermartabat.
Tugas dan tanggung jawab yang luhur hanya dapat dilaksanakan, apabila wartawan selalu
berpegang teguh kepada Kode Etik Jurnalistik, dan masyarakat memberi kepercayaan penuh
serta menghargai integritas profesi tersebut.
Mengingat perjuangan wartawan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
perjuangan bangsa Indonesia, maka selain bertanggung jawab kepada hati nuraninya, setiap
wartawan wajib bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepada masyarakat,
bangsa dan Negara dalam melaksanakan hak, kwajiban, dan tangung jawabnya sesuai dengan
Kode Etik Jurnalistik.
Sadar akan hak, kwajiban dan tanggung jawabnya itu, dan untuk melestarikan kemerdekaan
pers yang profesional dan bermartabat, serta kepercayaan masyarakat, maka dengan ikhlas
dan penuh kesadaran, wartawan menetapkan Kode Etik Jurnalistik yang wajib ditaati dan
ditetapakan.
BAB 1
KEPRIBADIAN DAN INTEGRITAS
PENAFSIRAN
BAB 1
KEPRIBADIAN DAN INTEGRITAS
Wartawan harus memiliki kepribadian dalam arti keutuhan dan keteguhan jati diri,
serta integritas dalam arti kata jujur, adil, arif, dan terpercaya.
Kepribadian dan integritas wartawan yang ditetapkan dalam Bab 1 Kode Etik
Jurnalistik mencerminkan tekad PWI mengembangkan dan memantapkan sosok
wartawan sebagai profesional, penegak kebenaran, nasionalis, konstitusional dan
demokratis serta beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Pasal 1
Wartawan beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berjiwa pancasila taat
Undang-Undang Dasar Negara RI, kesatria, bersikap independen serta terpercaya dalam
mengemban profesinya.
Pasal 2
Wartawan dengan penuh rasa tanggung jawab dan bijaksana mempertimbangkan patut
tidaknya menyiarkan karya jurrnalistik (tulisan, gambar, suara serta suara dan gambar) yang
dapat membahayakan keselamatan dan keamanan negara, persatuan dan kesatuan bangsa,
menyinggung perasaan agama, kepercayaan atau keyakinan suatu golongan yang dilindungi
oleh Undang-Undang dan prasangka atau diskriminasi terhadap jenis kelamin, orang cacat,
sakit, miskin atau lemah.
Pasal 3
Wartawan tidak beri’tikad buruk, tidak menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, gambar, suara,
serta suara dan gambar) yang menyesatkan, memutarbalikkan fakta, bohong, bersifat fitnah,
cabul, sadis, dan sensasional.
Pasal 4
Wartawan tidak menyalahgunakan profesinya dan tidak menerima imbalan untuk menyiarkan
atau tidak menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, gambar, suara, suara dan gambar), yang
dapat menguntungkan atau merugikan seseorang atau sesuatu pihak.
BAB II
CARA PEMBERITAAN
Pasal 5
Wartawan menyajikan berita secara berimbang dan adil, mengutamakan ketepatan dari
kecepatan serta tidak mencampuradukkan fakta dan opini. Tulisan yang berisi interpretasi dan
opini disajikan dengan menggunakan nama jelas penelitinya. Penyiaran karya jurnalistik
reka-ulang dilengkapi dengan keterangan, data tentang sumber rekayasa yang di tampilkan.
Pasal 6
Pemberitaan hendaknya tidak merendahkan atau merugikan harkat-martabat, derajat, nama
baik serta perasaan susila seseorang. Kecuali perbuatan itu bisa berdampak negatif bagi
masyarakat.
Pasal 7
Wartawan selalu menguji informasi, menerapkan prinsip adil, jujur, dan penyajian yang
berimbang serta menghormati asas praduga tak bersalah.
Pasal 8
Wartawan tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak
menyebut identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
BAB III
SUMBER BERITA
Pasal 9
Wartawan menempuh cara yang profesional, sopan dan terhormat untuk memperoleh bahan
karya jurnalistik ( Tulisan, gambar, suara, serta suara dan gambar ) dan selalu menyatakan
identitasnya kepada sumber berita, kecuali dalam peliputan yang bersifat investigative.
Pasal 10
Wartawan dengan kesadaran sendiri secepatnya mencabut atau meralat setiap pemberitaan
yang tidak akurat dengan disertai permintaan maaf, dan memberi kesempatan hak jawab
secara proporsional kepada sumber atau obyek berita.
Pasal 11
Wartawan harus menyebut sumber berita dan memperhatikan kredibilitas serta kompetensi
sumber berita serta meneliti kebenaran bahan berita.
Pasal 12
Wartawan tidak melakukan tindakan plagiat, tidak mengutip karya jurnalistik tanpa menyebut
sumbernya.
Pasal 13
Wartawan dalam menjalankan profesinya memiliki hak tolak untuk melindungi identitas dan
keberadaan narasumber yang tidak ingin diketahui. Segala tanggung jawab akibat penerapan
hak tolak ada pada wartawan yang bersangkutan.
Pasal 14
Wartawan menghormati ketentuan embargo, bahan latar belakang, dan tidak menyiarkan
informasi yang oleh sumber berita tidak dimaksudkan sebagai bahan serta tidak menyiarkan
keterangan “ off the record “.
BAB IV
KEKUATAN KODE ETIK JURNALISTIK
Pasal 15
Wartawan harus dengan sungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan Kode Etik
Jurnalistik PWI ( KEJ – PWI ) dalam melaksanakan profesinya.
Pasal 16
Wartawan menyadari sepenuhnya bahwa penaatan Kode Etik Jurnalistik ini terutama berada
pada hati nurani masing-masing.
Pasal 17
Wartawan mengakui bahwa pengawasan dan penetapan sanksi atas pelanggaran Kode Etik
Jurnalistik ini adalah sepenuhnya hak organisasi dari Persatuan Wartawan Indonesia ( PWI )
dan dilaksanakan oleh Dewan Kehormatan PWI.
Tidak satu pihakpun diluar PWI yang dapat mengambil tindakan terhadap wartawan dan atau
medianya berdasar pasal-pasal dalam Kode Etik Jurnalistik ini.
3.3. Ketaatan Wartawan anggota PWI terhadap Kode Etik Jurnalistik
Ketaatan merupakan ketundukan terhadap aturan-aturan yang berlaku yang dapat
terwujud dalam sikap dan tindakan. Esensi dari ketaatan terhadap aturan-aturan, atau norma-
norma yang berlaku ialah terciptanya suatu keselarasan, tidak terganggunya tatanan sosial
dan posisi kebenaran dalam kehidupan bermasyarakat. Ketaatan atau kepatuhan, dalam istilah
keislaman sering disebut dengan takwa.
Takwa ialah mematuhi atau mentaati apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang
dilarang (Dahlan, 1994:45). Indikator dari ketakwaan atau kepatuhan ini ialah adanya
pelaksanaan perintah secara baik dan konsekuen, tidak adanya pelanggaran dalam
pelaksanaanya serta internalisasi aturan-aturan pada kepribadian diri yang termanifestasi
dalam keseluruhan tuntunan tindakan dalam kehidupan. Sebagai contoh indikator adanya
ketakwaan atau kepatuhan dalam konteks taat dalam keislaman, salah satunya pelaksanaan
pembayaran zakat, pelaksanan sholat, tidak berzina, berkata yang ma’ruf, dan lain-lain yang
terbingkai dalam tindakan keseharian.
Ketaatan wartawan terhadap Kode Etik Jurnalistik merupakan suatu kepatuhan dan
ketundukan untuk menerapkan Kode Etik Jurnalistik dalam keseluruhan pelaksanaan tugas
kewartawanannya. Indikator ketaatan wartawan terhadap Kode Etik Jurnalistik ialah
profesionalitas kerja wartawan yang dapat dilihat dari hasil karya jurnalistiknya yang
meliputi keseluruhan tugas kewartawanan.
Dalam persepsi wartawan, istilah “profesional” memiliki tiga arti. Pertama,
profesional adalah kebalikan dari “amatir”. Kedua, sifat pekerjaan wartawan menuntun
pelatihan khusus. Ketiga, norma-norma yang mengatur perilakunya dititikberatkan pada
kepentingan khalayak pembaca. Norma-norma didalamnya dapat diidentifikasikan sebagi
norma teknis dan norma etis.
Norma teknis yakni keharusan menghimpun berita dengan cepat, keterampilan
menulis dan menyunting berita dan sebagainya. Norma etis yakni kewajiban kepada pembaca
serta nilai-nilai seperti tanggungjawab, sikap tidak memihak, sikap peduli, adil, objektif dan
lain-lain yang keseluruhannya harus tercermin dalam produk penulisannya (Kusumaningrat,
2006:115). Dari pasal-pasal Kode Etik Jurnalistik Persatuan Wartawan Indonesia (KEJ-
PWI) tersebut di atas, dapat diketahui bahwa dalam Kode Etik Jurnalistik PWI telah tersirat
di dalamnya misi-misi dakwah serta peran jurnalis muslim sebagai pembaharu dan juga
pendidik masyarakat yang harus mengutamakan kebenaran, obyektivitas suatu informasi dan
tentunya ketaatan terhadap etika profesi. Di mana dalam penafsiran pasal 1 telah disebutkan
bahwa suatu profesi adalah pekerjaan tetap yang memiliki unsur-unsur antara lain:
� Himpunan pengetahuan dasar yang bersifat khusus.
� Terampil dalam menerapkannya.
� Tata cara pengujian yang obyektif.
� Kode etik serta lembaga pengawasan dan pelaksanaan penaatannya
(Arsip, PWI Cab. Jawa Tengah).
Dengan menaati Kode Etik Jurnalistik secara keseluruhan, secara tidak langsung
wartawan telah membuktikan tanggung jawab dirinya sebagai pembaharu, pemberi informasi,
dan pendidik umat. Disinilah letak keterkaitan dakwah dengan pentaatan wartawan terhadap
Kode Etik Jurnalistik, yakni ketika misi-misi amar ma’ruf nahi munkar (antara lain, pendidik
umat, pemberi informasi, sehingga dengan informasi tersebut umat yang tidak tahu tentang
suatu pengetahuan menjadi tahu,dan dapat membedakan antara hal yang baik dan buruk) dan
dengan tujuan dasar untuk kemaslahatan umat yang tersirat dalam Kode Etik Jurnalistik
dilaksanakan oleh seorang jurnalis, secara tidak langsung telah melaksanakan visi-misi
dakwah.
Pengawasan pentaatan Kode Etik Jurnalistik pada wartawan anggota PWI Cabang
Jawa Tengah merupakan sepenuhnya hak organisasi dan dilaksanakan oleh Dewan
Kehormatan Daerah (DKD). Hal ini seperti yang tertuang pada pasal 17 KEJ-PWI. Anggota
DKD dipilih oleh kongres. Menurut Hendro Basuki, Ketua umum PWI Cabang Jawa Tengah
dan Pimpinan Redaksi Harian Suara Merdeka, wartawan merupakan profesi yang
keseluruhan kinerjanya diawasi oleh banyak orang dan dengan berbagai tahap pengawasan,
dari pengawasan redaksi sampai editor media, hingga pembaca secara keseluruhan.
“Untuk pengawasan pentaatan Kode Etik Jurnalistik secara langsung, PWI Cabang
Jawa Tengah memberikan kewenangan pada pimpinan media masing-masing, atau pimpinan
redaksi masing-masing media sebagai pelaksana lapangan dan segenap tim redaksi, di mana
didalamnya terdapat editor, korektor, dan lain-lain. Dengan tim tersebut karya dari setiap
wartawan akan melalui berbagai proses pengawasan sehingga akhirnya terbit sebagai hasil
karya jurnalistik yang merupakan produk media tersebut. Sampai saat ini ketaatan wartawan
anggota terhadap KEJ-PWI cukup baik, terbukti periode ini belum ada kasus pelanggaran
berat sehingga harus ditangani oleh DKD.” (Wawancara, Kantor Redaksi Harian Suara
Merdeka Lt.2, 30 Mei 2011).
Sedangkan apabila terdapat pelanggaran-pelanggaran dalam anggota PWI Cabang
Jawa Tengah, pihak organisasi PWI menyerahkan kepada Dewan Kehormatan Daerah
(DKD). Namun, sebelum diserahkan kepada DKD, biasanya terlebih dahulu diadakan
mediasi antar anggota organisasi setelah pihak intern media tidak dapat menyelesaikan
persoalan tersebut.
“ Jika terdapat suatu pelanggaran, tindakan pertama dengan mediasi yang kemudian
akan diserahkan pada institusi yang lebih berwenang, yakni Dewan Kehormatan Daerah.
Sebelum sampai pada DKD, permasalahan diserahkan kepada masing-masing media untuk
mengatasinya terlebih dahulu, misalnya dengan menggunakan hak Jawab.”
“Dengan hak Jawab ini, media akan menyampaikan koreksi dan klarifikasi atas
kekeliruan dan kesalahan yang terjadi pada karya jurnalistik yang telah diterbitkan pada edisi
yang telah berlalu. Sedangkan standarisasi kepengawasan DKD terhadap ketaatan anggota
PWI yakni Kode Etik Jurnalistik PWI.” (Wawancara dengan Syamsul Huda, salah satu
pengurus PWI Cabang Jawa Tengah pada tanggal 18 mei 2011, di Kantor PWI Cabang Jawa
Tengah).
Untuk meningkatkan kualitas serta profesionalisme kerja wartawan anggota, PWI
Cabang Jawa Tengah lebih menekankan pada proses diterimanya calon wartawan sebagai
anggota organisasi, sehingga ketika seorang wartawan telah resmi menjadi anggota PWI, ia
telah benar-benar sebagai sosok wartawan yang profesional dan tentunya telah menguasai
Kode Etik Jurnalistik. Hal ini sangat berpengaruh pada kinerja dan profesionalisme
wartawan, sehingga sampai saat ini pelanggaran-pelanggaran wartawan anggota PWI Cabang
Jawa Tengah terhadap Kode Etik Jurnalistik dapat dikatakan rendah.
“Setiap wartawan yang akan menjadi anggota PWI harus melalui tahap Testing,
kemudian setelah lulus tahap ini, setiap wartawan harus mengikuti Diklat Jurnalistik Tingkat
Dasar, pada tahapan inilah calon wartawan mendapatkan pembekalan dan pendalaman materi
khususnya tentang Kode Etik Jurnalistik. Setelah melalui tahap ini, bagi wartawan yang
lulus,atau berhasil akan mendapatkan Surat sertifikasi atau semacam piagam dari PWI, dan
diangkat menjadi Anggota Muda.”
“Anggota Muda ini akan diangkat menjadi Anggota Biasa setelah berkarir sebagai
Anggota Muda selama 2 tahun, dan setelah dua tahun masa berkarir ini, wartawan Anggota
Muda berhak mengikuti Diklat Jurnalistik Tingkat Lanjut sebagai tahap peningkatan status.
Nah, setelah berhasil melalui tahap ini wartawan akan resmi diangkat menjadi Anggota
Biasa” (Wawancara dengan Syamsul Huda, 18 Mei 2011).
PWI sebagai organisasi wartawan senior (karena satu-satunya organisasi wartawan
yang berdiri di era Orde Lama), senantiasa berusaha menjalankan visi-misinya untuk
meningkatkan profesionalisme wartawan anggotanya. Hal ini diwujudkan antara lain dengan
menyelenggarakan Sekolah Jurnalistik untuk anggotanya yang telah berhasil mengikuti tahap
seleksi.
“Di samping mengadakan WorkShop-WorkShop jurnalistik, pelatihan-pelatihan
jurnalistik, PWI Cabang Jawa Tengah juga menyelenggarakan Sekolah Jurnalistik. Sekolah
ini diselenggarakan setiap 1 tahun, juga dengan masa pembelajaran 1 tahun dan pesertapun
terbatas karena dananya juga cukup mahal. Ya, karena Sekolah Jurnalistik ini memakai
kurikulum langsung standar dari UNESCO, dan tentunya ditempuh dengan nominal biaya
yang tidak murah.” (Wawancara, 18 Mei 2011).
Dalam penerapan Kode Etik Jurnalistik, yang hendak diingat oleh wartawan adalah
bahasa jurnalistik yaitu bahasa yang komunikatif dan spesifik sifatnya dalam membuat karya
jurnalistik. Mengingat pentingnya peran bahasa dalam penelitian berita, PWI merumuskan
sepuluh pedoman pemakaian bahasa untuk pers, yakni (Totok Djuroto, 2003:48):
1. Wartawan Indonesia hendaknya secara konsekuensi menaati pedoman
ejaan bahasa indonesia yang disempurnakan.
2. Hendaknya membatasi pemakaian singkatan atau akronim, kalau
terpaksa dijelaskan kepanjangannya.
3. Setidaknya jangan menghilangkan imbuhan bentuk awalan atau
prefiks. Pemenggalan hanya boleh di kepala berita tetapi tidak boleh di
tubuh berita.
4. Hendaknya menulis dengan kalimat pendek; pengutaraan pikiran harus
logis teratur, lengkap dengan kata pokok, sebutan dan tujuan (subyek,
predikat, obyek). Membuat kalimat dengan induk kalimat dan anak
kalimat dengan banyak kata memmbuat kalimat susah dipahami.
Ingatlah prinsip satu gagasan atau ide dalam satu kalimat.
5. Wartawan hendaknya menjauhkan diri dari ungkapan klise atau
stereotype yang sering dipakai dalam transisi berita, seperti kata “
sementara itu,.....”dapat ditambahkan, “perlu diketahui,.....”, ”dalam
rangka,.....”
6. Hendaknya menghilangkan kata mubazir
7. Jangan mencampuraduk bentuk aktif dan pasif
8. Menghindari penggunaan kata-kata asing. Bila terpaksa harus
dijelaskan maknanya.
9. Menaati kaidah-kaidah tata bahasa Indonesia
10. Bahasa Jurnalistik adalah bahasa komunikatif dan spesifik.
3.4. Struktur Organisasi Persatuan Wartawan Indonesia Cabang Jawa Tengah
SUSUNAN PENGURUS PWI CABANG JAWA TENGAH
MASA BHAKTI 2009 - 2014
Ketua Hendro Basuki, SE, MM Harian Suara Merdeka
Wakil Ketua Bidang Organisasi Drs. Sosiawan Harian Wawasan
Wakil Ketua Bidang Pembelaan Wartawan Agus Fathuddin Yusuf, S.Ag Harian Suara Merdeka
Wakil Ketua Bidang Pendidikan Drs. Y.Eko Priyanto, MM RRI Semarang
Wakil Ketua Bidang Kesejahteraan Isdiyanto Harian Kedaulatan Rakyat
Sekretaris Drs. Jayanto Arus Adi Harian Wawasan
Wakil Sekretaris Ir. Bambang Tri Subeno Harian Suara Merdeka
Wakil Sekretaris Titik Widhayani TVRI Jawa Tengah
Bendahara Syamsul Huda,S.Sos Duta Masyarakat
Wakil Bendahara Mahmudah LKBN Antara
Wakil Bendahara Mustangin Ari Wibowo Harian Wawasan
Seksi-Seksi
1.Wartawan Olah Raga 1). Darjo Soyat, S.Sos Harian Suara Merdeka
2). Edi Tuhu Prasetyo Widodo Harian Wawasan
2.Organisasi 1). Achmad Ris Ediyanto, SH Harian Wawasan
2). Hernawan Wahyudono LKBN Antara
3. Wartawan Pendidikan 1). Sucito, S.Sos Harian Wawasan
2). Stefi Thenu, S.Sos Harian Suara Pembaruan
4. Wartawan Polkam 1). N. Djaka Saptana, Spd Harian Wawasan
2). Sukaryono Harian Kedaulatan Rakyat
5. Wartawan Hukum 1). Hermanto, SH, MH Harian Suara Merdeka
2). Budi Sutomo, SH Harian Wawasan
6. Wartawan Film & Budaya 1). Ari Wibowo Harian Wawasan
2). Udin Sairodji Harian Semarang
7. Wartawan Ekuin 1). Rahmat Sujianto, S.Sos Harian Bisnis Indonesia
2). Budi Surono, SE Harian Suara Merdeka
8. Wartawan Pariwisata 1). Sugayo Jawama, S.Sos Harian Semarang
2). Budi Hartono Harian Wawasan
9. Wartawan Media Elektronik & Radio 1). Triyoga Hedratmoko, ST TVRI Jawa Tengah
2). Damar Suniko U.G Trans 7
3). Drs. Harjanto Nugroho Basuki RRI Semarang
10. Wartawan Foto 1). Chandra Adi Nugroho Harian Kedaulatan Rakyat
2). Irwan Ariyanto Harian Suara Merdeka
11. Wartawan Kesejahteraan 1). Dani Tulasekat Harian Sinar Pagi
2). Sahesti Yuli Ambarwati Harian Wawasan
12. Wartawan Kerjasama Antar Lembaga 1). Imam Nuryanto, S.Sos Harian Suara Merdeka
2). Hendri Pelupessy, ST, MM Harian Koran Jakarta
(Sumber: Surat Keputusan Nomor :101-PGS/PP-PWI/2009)
3.5. Contoh Hasil Karya Jurnalistik Wartawan PWI Cabang Jawa Tengah
1. “Nelayan wadaslintang Usulkan Dermaga” (Suara Merdeka, 25/05/2011)
2. “Eka Valentina Akhirnya Meningal” (Pembakaran Mobdin Kepala
Bapermas)” (Suara Merdeka, 25/05/2011)
3. “Penyandang Tunarungu dan Wicara Bentuk Paguyuban” (Suara Merdeka,
25/05/2011)
4. “Polres Pantau Gerakan NII” (Suara Merdeka, 26/05/2011)
5. “Polda Gelar Operasi Gabungan” (Suara Merdeka, 26/05/2011)
6. “Rumah Warga di Kedondong Terbakar” (Suara Merdeka, 26/05/2011)
7. “Kantor Panwas Dibobol, Rp 137 Juta Raib” (Suara Merdeka, 26/05/2011)
8. “Polisi Buat Sketsa Wajah Perampok ” (Suara Merdeka, 26/05/2011)
9. “Rp 8,7 M untuk Kegiatan Keagamaan” (Suara Merdeka, 26/05/2011)
10. “Dewan Sayangkan Ketidaksiapan Pemkab” (Suara Merdeka, 26/05/2011)
BAB 1V
ANALISIS KETAATAN WARTAWAN ANGGOTA PWI
CABANG JAWA TENGAH PADA KODE ETIK JURNALISTIK
4.1. Ketaatan Wartawan Anggota PWI pada KEJ-PWI dalam Pemberitaan
Peneliti menentukan indikator-indikator ketaatan wartawan anggota PWI
Cabang Jawa Tengah, dengan memberikan deskripsi atau pemaparan di lapangan
atau objek penelitian yang telah disampaikan di bab 3, pada 3.3. tentang Ketaatan
Wartawan Anggota PWI terhadap Kode Etik Jurnalistik. Dalam pembahasan
tersebut penulis menjelaskan bahwa suatu indikator ketaatan wartawan
berdasarkan Al-qur’an ialah sesuai dengan apa yang tersebut dalam ayat-ayat
komunikasi antara lain, surat Al-hujurat :6, Al-hujurat :11, Annur :11 sampai 16,
dan lain-lain. ,.............Sedangkan untuk meneliti indikator lain pada ketaatan
wartawan anggota PWI Cabang Jawa Tengah terhadap Kode Etik Jurnalistik
(KEJ-PWI), peneliti mencoba menganalisis hasil karya jurnalistik anggota PWI
Cabang Jawa Tengah dengan menggunakan pendekatan Indeksikalitas.
Indeksikalitas yakni menghubungkan keterkaitan makna, pemilihan kata, dan
perilaku pada konteksnya. Indeksikalitas ini merupakan alat yang dipakai untuk
menganalisis data dalam penelitian kualitatif.
Fokus penelitian ini terletak pada ketaatan-ketaatan wartawan anggota
PWI Cabang Jawa Tengah pada kode etik jurnalistik sehingga peneliti melakukan
beberapa langkah dalam penelitian ini dengan, a) mencari data wartawan yang
menjadi anggota PWI Jawa Tengah, b) menetapkan kerangka kategori yang
relevan dengan tujuan penelitian, c) melakukan wawancara pada wartawan
anggota PWI Jawa Tengah yang termasuk dalam daftar wartawan-wartawan
anggota PWI Jawa Tengah, d) menganalisa hasil karya tulis wartawan-wartawan
anggota PWI Jawa Tengah, e) mengungkapkan hasil temuan sebagai distribusi
menyeluruh.
Sebagian besar dan hampir seluruhnya anggota PWI Cabang Jawa Tengah
yang duduk dalam jajaran pengurus merupakan tokoh-tokoh senior pada masing-
masing medianya, sehingga produktivitas dalam menghasilkan karya jurnalistik
yang berbentuk berita pada umumnya beralih dari kesibukan menulis menjadi
kesibukan mengoreksi karya wartawan lain sebagai editor pada media masing-
masing.
Dengan demikian, dapat dibenarkan pendapat wartawan pengurus PWI
Cabang Jawa Tengah bahwa tanggung jawab serta pengawasan pentaatan kode
etik jurnalistik lebih ditekankan kepada pimpinan media masing-masing. Karena
dalam media masing-masing terdapat banyak pihak terkait yang terlibat dalam
mengoreksi hasil karya jurnalistik yang akan diterbitkan. Sehingga dengan
demikian tanggung jawab jurnalistik yang semula hanya terletak pada masing-
masing individu wartawan, kemudian pada tahap berikutnya beban tanggung
jawab akan meluas pada anggota media lain, misalnya editor, dan lain-lain.
Dikarenakan hal-hal demikian, seperti yang telah peneliti sampaikan,
maka peneliti mengambil contoh salah satu karya jurnalistik wartawan anggota,
baik anggota biasa ataupun anggota muda, karena menurut hemat peneliti, dengan
menganalisis karya dari wartawan seara acak, dalam arti tidak mempedulikan
status wartawan anggota biasa ataupun anggota muda, sama hal-nya dengan
menganalisis karya wartawan secara keseluruhan sebagai suatu kelompok
organisasi, karena anggota PWI yang bernaung dalam media yang berbeda-beda
dan merupakan salah satu bentuk tanggung jawab dari media masing-masing.
Pada contoh hasil karya jurnalistik salah satu wartawan anggota PWI Cabang
Jawa Tengah yang peneliti lampirkan pada bab 3, dengan judul “Nelayan
Wadaslintang Usulkan Dermaga”, dan “Syihabuddin Tuding Ba’asyir Terlibat
Kerusuhan Temanggung” (Suara Merdeka, 25/05/2011).
“Nelayan Wadaslintang Usulkan Dermaga”
Wonosobo-Sebanyak 25 nelayan yang beroperasi di waduk Wadaslintang
mengusulkan ketersediaan dermaga. Disamping itu, mereka juga meminta
pemerintah menyediakan rambu-rambu danau dan pembuatan jalur perahu
hingga tepian karena pada musim kemarau kondisi air waduk terjadi
pendangkalan.
Hal itu mengemuka dalam kunjungan Dinas Perhubungan Informatika
dan Komunikasi (Dishubkominfo) Provinsi Jawa Tengah di Waduk Wadaslintang,
selasa siang (24/5). Dishubkominfo melakukan pemantauan terkait keselamatan
para nelayan Waduk Wadaslintang yang selama ini beroperasi mengangkut para
penumpang.
Dalam kesempatan tersebut Dishubkominfo Jateng diwakili Kepala
Bidang Angkutan Sungai Danau, penyeberangan dan perkeretaapian, Susetio SH
dan didampingi Kepala Dishubkominfo Wonosobo, Drs.Gatot Hermawan.
Gatot Hermawan mengemukakan sampai saat ini jalur transportasi waduk
dari Wadaslintang menuju desa Kemijing masih cukup padat. Setiap hari terdapat
25 perahu nelayan yang beroperasi dan setiap satu perahu mengangkut rata-rata
sebanyak 22 orang dengan toleransi penumpang sebesar 15 persen.
2. “Syihabuddin Tuding Ba’asyir Terlibat Kerusuhan Temanggung”
Semarang- Salah satu terdakwa kasus kerusuhan Temanggung, Syihabuddin,
menyebut banyak kelompok lain dari luar daerah yang berada di lokasi kejadian.
Diantaranya kelompok Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) pimpinan Abu Bakar
Ba’asyir.
Dalam sidang pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Negeri (PN)
Semarang, (24/5), Syihabuddin mengatakan massa yang berada di sekitar PN
Temanggung sebelum kerusuhan terjadi pada 8 februari lalu berjumlah ribuan.
Sedangkan orang-orang yang dibawanya hanya 50-an.
“Banyak sekali. Kalau dari Temanggung, saya kenal tokoh-tokohnya. Tapi
ini saya tidak tahu, hanya kenal dari bajunya,”katanya.
Syihabuddin menyebutkan beberapa organisasi yang dia kenali dari
atributnya, selain JAT, adalah Majlis Mujahidin Indonesia dan Gerakan Pemuda
Kabah (GPK). Syihabudin adalah Ketua Wilayah GPK Temanggung. Namun
dalam peristiwa itu, dia mengaku tidak menggerakkan orang-orang GPK.
Saya tahu JAT itu milik (Abu Bakar) Ba’asyir dan MMI kepunyaan Irfan
Awwas, tapi saya tidak pernah berhubungan dengan mereka,” katanya.
Massa yang ditengarai berasal dari luar Temanggung itu datang untuk
menyaksikan sidang kasus penistaan agama dengan terdakwa Antonius Richmond
Bawengan. Massa menjadi beringas begitu mengetahui terdakwa “hanya”
divonis lima tahun sesuai ancaman maksimal.
Menenangkan Massa
Menurut Syihabudin, pengunjung yang ada diluar gedung mulai
melempari ruang sidang dengan batu. Situasi semakin tak terkendali setelah ada
desas-desus salah satu kiai terkena peluru polisi.
“Massa sudah ricuh tapi belum sampai bakar-bakaran. Lalu saya dengar
ada kiai tertembak. Untuk memastikan, saya ke Polres Temanggung dan sempat
ditemui Kapolres sebentar. Katanya polisi akan bertanggungjawab jika ada yang
terluka,” ceritanya. Ketika Syihabuddin balik dari polres, pembakaran gereja dan
kendaraan sudah terjadi. Oleh karena itu, dia menolak dituding sebagai biang
kerusuhan.
Saya tidak pernah memerintahkan untuk rusuh, bahkan saya bersama
polisi mencoba menenangkan massa. Saya teriak-teriak dengan pengeras suara
tapi tidak didengar,” katanya dihadapan majlis hakim yang diketuai Edy
Tjahyono serta hakim anggota Dolman Sinaga dan Wiwik Suhartono.
Syihabudi juga menola disebut sebagai penyebar SMS bernada menghasut
untuk menyerbu PN Temanggung. Menurutnya SMS itu ditujukan kepada
jamaahnya untuk datang ke pengajian. Syihabudin tetap mengelak meski hakim
sudah mengingatkan bahwa pada SMS terdapat kalimat untuk datang ke PN
Temanggung.
Sidang kemarin hanya mengagendakan pemeriksaan terdakwa
Syihabudin, yang di dakwa dengan pasal 160 KUHP tentang Penghasutan.
Sementara 24 terdakwa lain baru menjalani sidang lanjutan Kamis (26/5) besok.
Sidang yang berlangsung tiga jam tersebut akan dilanjutkan Selasa (31/5) dengan
agenda pembacaan tuntutan.
Dari contoh berita pada nomer satu, dapat dianalisa bahwa wartawan
anggota PWI Cabang Jawa Tengah tersebut telah menerapkan Kode Etik
Jurnalistik, meskipun belum sepenuhnya. Penerapan KEJ-PWI yang telah sesuai
dapat terlihat pada paragraf 3 dan 4, yakni pemilihan kata dan penyusunan
kalimat telah tepat, serta menggunakan prinsip 5W 1H.
Dalam kesempatan tersebut Dishubkominfo Jateng diwakili Kepala
Bidang Angkutan Sungai Danau, penyeberangan dan perkeretaapian, Susetio SH
dan didampingi Kepala Dishubkominfo Wonosobo, Drs.Gatot Hermawan.
Gatot Hermawan mengemukakan sampai saat ini jalur transportasi waduk
dari Wadaslintang menuju desa Kemijing masih cukup padat. Setiap hari terdapat
25 perahu nelayan yang beroperasi dan setiap satu perahu mengangkut rata-rata
sebanyak 22 orang dengan toleransi penumpang sebesar 15 persen.
Sedangkan pada paragraf 1 dan 2 terdapat pemilihan kata yang menurut
peneliti kurang ilmiah walaupun memberikan kesan lebih komunikatif. Hal ini
dapat diketahui dari ketepatan penggunaan bahasa seperti pemilihan kata,
penyusunan kalimat dan hubungan antar kalimat dalam suatu bentuk
penyusunannya, serta pemakaian hubungan antar kalimat dalam kategori
koherensi sebab akibat yang ditandai dengan kata penghubung “disamping itu”,
dan lain-lain.
“Nelayan Wadaslintang Usulkan Dermaga”
Wonosobo-Sebanyak 25 nelayan yang beroperasi di waduk Wadaslintang
mengusulkan ketersediaan dermaga. Disamping itu, mereka juga meminta
pemerintah menyediakan rambu-rambu danau dan pembuatan jalur perahu
hingga tepian karena pada musim kemarau kondisi air waduk terjadi
pendangkalan.
Hal itu mengemuka dalam kunjungan Dinas Perhubungan Informatika dan
Komunikasi (Dishubkominfo) Provinsi Jawa Tengah di Waduk Wadaslintang,
selasa siang (24/5). Dishubkominfo melakukan pemantauan terkait keselamatan
para nelayan Waduk Wadaslintang yang selama ini beroperasi mengangkut para
penumpang.
Dalam berita tersebut, bahasa yang dipakai cenderung kurang ilmiah
meskipun lebih komunikatif. Hal ini tampak pada penggunaan kalimat “tepian”,
juga pada kata “mengemuka”. Sedangkan susunan kalimat pada keseluruhan
tubuh berita tersebut telah tepat, yakni dengan susunan piramida terbalik yaitu
bagian penting dari berita ditampilkan terlebih dahulu atau ditampilkan di atas,
serta tidak mencampuradukkan antara opini dengan fakta. Hal ini telah sesuai,
seperti apa yang telah disebutkan dalam bab 3 pasal 5 KEJ-PWI tentang cara
pemberitaan. Pada penyusunan alinea juga telah tepat, bahwa surat kabar
mempunyai kecenderungan lebih memilih alinea pendek, agar mudah dibaca,
jelas, dan menarik secara tipografis.
Sedangkan pada contoh berita kedua, yang berjudul “Syihabudin Tuding
Ba’asyir Terlibat Kerusuhan Temanggung”, secara keseluruhan wartawan anggoa
PWI Jawa tengah tersebut telah menerapkan KEJ-PWI dalam karyanya. Hal ini
terlihat pada pemilihan kata pada judul, dan susunan kalimat dengan susunan
piramida terbalik serta tidak mencampuradukkan antara fakta dan opini. Meskipun
judul tidak singkat, namun cukup menarik pembaca, karena merupakan hal yang
penting tentang individu yang terlibat suatu kasus. Dalam hal ini, wartawan dalam
penulisannya harus mengedepankan asas praduga tak bersalah. Dalam tata cara
penulisan berita tentang hukum, PWI mempunyai pedoman tersendiri, yang
dituangkan dalam “Sepuluh Pedoman Penulisan Tentang Hukum”,
(Kusumaningrat, 2006: 316).
Dalam Pedoman 1 disebutkan bahwa “Pemberitaan mengenai seseorang
yang disangka/dituduh tersangkut dalam suatu perkara,hendaknya ditulis dan
disajikan dengan tetap menjunjung tinggi asas “praduga tak bersalah”
(presumption of innocence) serta Kode Etik Jurnalistik, khususnya ketentuan pasal
3 ayat (4) yang berbunyi: “Pemberitaan tentang jalannya pemeriksaan
pengadilan bersifat informasi dan yang berkenaan dengan seseorang yang
tersangkut dalam suatu perkara, dilakukan dengan penuh kebijaksanaan terutama
mengenai nama dan identitas yang bersangkutan”. Penerapan pedoman ini telah
dipraktikkan oleh wartawan anggota PWI Cabang Jawa Tengah tersebut. Hal ini
dapat dilihat dalam susunan beritanya yang lebih banyak menyebutkan hal-hal
yang dikatakan oleh terdakwa serta fakta yang ada dalam proses persidangan
tersebut. Pada pedoman 2 juga disebutkan bahwa pers boleh saja menyebut nama
tersangka, jika itu demi kepentingan umum. Tetapi dalam hal ini harus tetap
diperhatikan prinsip adil dan fairness yaitu dengan memberitakan kedua belah
pihak atau cover both side. Hal ini terlihat pada judul, dan beberapa kalimat dan
keterangan dalam isi berita.
Pada contoh berita lainnya yang berjudul “Rumah Warga di Kedondong
Terbakar” dalam Harian Suara Merdeka, edisi kamis,26 mei 2011. Berikut
lampiran beritanya:
1. Rumah Warga di Kedondong Terbakar
Demak- Rumah warga di Desa Kedondong Kecamatan Kota Demak,
terbakar Selasa sekitar 18.30. Rumah yang terbakar milik Jafar (45) dan Nur
Hadi (50) warga RT 6 RW 01. Kebakaran itu, diduga berasal dari aktivitas
menambal ban yang dilakukan Jafar petang itu.
Korban yang sehari-hari merupakan tukang tambal ban, sedang
menambal ban sepeda angin. Lantaran keseharian, sudah terbiasa menambal
dirinya tak berpikir api yang dipakai untuk memanaskan ban bocor akan menjadi
penyebab musibah kebakaran. “Namun nahas, api yang dipakai memanasi ban
itu tanpa disadari merambat ke arah botol berisi bensin. Hingga kemudian
membakar rumah korban,” papar Kahar, salah seorang warga kemarin.
Diceritakan sebelum api membakar dinding, terdengar suara letupan disusul
botol bensin pecah berantakan. Setelah itu, api berkobar berkobar merambat
kemana-mana. Rumah yang terbuat dari kayu seluas sekitar 100m2 itu, ludes
terbakar. Tak ada korban dalam musibah itu, karena Jafar dan keluarga sudah
keluar rumah. Namun karena api berkobar terlalu cepat, tak ada harta benda
yang bisa diselamatkan.
Menumpang
Api tak sebatas membakar rumah Jafar, tetapi juga rumah Nur hadi, yang
berada di samping kanan. Warga, yang berupaya memadamkan api tak bisa
berbuat apapun meski berjuang keras. Mereka, bahkan sudah menyemprot api
dengan air yang diambilkan dari sumur terdekat namun tak mampu memadamkan
api. Rumah milik kedua korban akhirnya ludes.
Pemilik rumah yang masih tampak syok. Mereka juga mengaku
mengalami kerugian puluhan juta rupiah lantaran peristiwa itu. Untuk sementara
waktu, mereka akan menumpang di rumah kerabat korban terdekat.
2. Pengusaha Inginkan Iklim Kondusif
Demak- Para pengusaha maupun investor menginginkan Kabupaten Demak
dalam kondisis aman dan nyaman. Kondusifitas wilayah diperlukan untuk
memaksimalkan usaha sehingga berdampak terhadap meningkatnya
kesejahteraan warga Kota Wali.
“Jika Demak dalam kondisi kondusif, pasti banyak investor yang masuk.
Dan pengusaha yang sudah menjalankan bisnis di Demakpun akan merasa
nyaman, pengangguran kian berkurang,” kata Ketua Paguyuban Pengusaha
Demak, Ikhsan Hidayat. Dalam acara temu pengusaha dan investor Demak di
Hotel Grand Candi Semarang, Selasa (24/5).
Acara tersebut dihadiri Bupati Tafata Zani, Wabup Dachirin Said, Ketua
DPRD H Muklasin Daenuri, Kapolres AKBP Sigit Widodo, muspida serta para
pemilik pabrik yang beroperasi di Demak Kota Karanganyar, Karangtengah,
Sayung, Karangawen hingga Mranggen. Ikhsan Hidayat berkesempatan
menyerahkan tokoh wayang kulit Bimasena kepada Bupati Tafta Zani. Bupati
Tafta menyampaikan, menciptakan kondusifitas wilayah dan birokrasi bersih
memang menjadi prioritasnya. Ia pun akan selalu berkoordinasi dengan muspida.
Pada contoh berita nomer satu, dapat dianalisa bahwa dalam mengemas
berita, wartawan tersebut tidak memakai susunan kalimat piramida terbalik. Hal
ini dapat terlihat dalam susunan kalimat pada judul dan juga pada keseluruhan
tubuh berita. Menurut hemat peneliti, suatu hal dapat dikatakan sebagai berita
yang baik apabila dapat mengambil sisi unik dalam suatu peristiwa yang telah
diliput tersebut. Dapat dicontohkan dalam suatu kalimat apabila ada “Seekor
Singa menggigit manusia”, belum dapat dikatakan suatu berita yang baik dan
menarik, namun jika “Manusia Menggigit Seekor Singa” itulah sisi unik berita.
Pada kalimat judul dalam berita tersebut, wartawan tidak menampilkan sisi
keunikan peristiwa sehingga berita terkesan datar, tidak ada klimaks yang dapat
menarik pembaca.
Dalam tubuh atau isi berita, disebutkan bahwa “korban adalah penambal
ban yang terbiasa dengan kegiatan memanaskan ban”, secara logis, hal yang telah
terbiasa dilakukan akan melatih seseorang menjadi pribadi yang profesional dalam
pekerjaannya dan tentunya dapat menghindarkan hal-hal yang yang tidak
diinginkan. Dengan pola pikir demikian, maka menurut peneliti, judul berita
tersebut kurang menarik dan kurang spesifik. Hal ini terlihat pada pemilihan kata
“Rumah warga kedondong”. Kata ini masih sangat umum karena secara logis,
warga kedondong tidaklah jumlah warga yang sedikit, dan tentunya dalam
masing-masing warganya mempunyai karakteristik dan ciri-ciri tertentu yang
berbeda-beda, sebagai contoh adalah ciri profesi penambal ban. Tidak semua
warga Desa Kedondong adalah penambal ban yang rumahnya juga terbakar.
Sedangkan dari sisi pemilihan kata, masih terdapat kata-kata yang menurut
peneliti kurang tepat dan terlalu berbelit-belit. Hal ini terlihat pada pemilihan kata
pada paragraf kedua, pada susunan kalimat lantaran keseharian, sudah terbiasa
menambal dirinya tak berpikir api yang dipakai untuk memanaskan ban bocor
akan menjadi penyebab musibah kebakaran.
Pada pemilihan kata tersebut, menurut hemat peneliti kurang tepat karena
tanda baca koma pada kata lantaran keseharian, sehingga dapat menimbulkan
kesalahpahaman pada pemabaca. Kalimat yang seharusnya dipahami sebagai hal
yang karena sudah terbiasa, korban tidak berpikir bahwa hal tersebut akan
menjadi penyebab musibah, tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan
kesalahpahaman bahwa korban terbiasa menambal dirinya, bukan menambal
Ban.
Menurut hemat peneliti, pada bagian kalimat setelah kata menambal
sebaiknya diberi tanda baca koma, dan kata dirinya diganti dengan korban, hal ini
menurut hemat peneliti akan lebih tepat, sehingga sususnan kalimat akan lebih
dipahami oleh pembaca. Kurang tepatnya wartawan tersebut dalam menyusun
kalimat yang lengkap juga terlihat pada paragraf terakhir. Pada penggalan kalimat
“Pemilik rumah yang masih tampak syok. Mereka juga mengaku mengalami
kerugian puluhan juta rupiah lantaran peristiwa itu”. Pada kalimat pertama,
penyusunan kalimat tidak sempurna sehingga tidak efektif. Kalimat tersebut
hanya terdiri dari unsur subjek, predikat, namun tiadak dilengkapi dengan objek
dan keterangan.
Secara umum kata “yang” menunjukkan fungsi kata sebelumnya dan
sebagai keterangan kata tersebut. Namun, pada kalimat tersebut tidak dilengkapi
keterangan, sehingga kalimat tidak dapat dipahami secara sempurna. “Pemilik
rumah yang masih tampak syok.”, kalimat ini seharusnya masih harus
mendapatkan keterangan yang menjelaskan kelengkapan kaliamt tersebut. Dengan
kalimat tidak lengkap tesebut, pembaca masih membutuhkan jawaban sehingga
pemikirannya tidak menggantung, dengan kata lain pembaca bisa dengan mudah
berpendapat “dengan keadaan tampak syok tersebut kemudian apa yang terjadi”
Pada contoh berita kedua, dengan judul “Pengusaha Inginkan Iklim
Kondusif”, wartawan anggota PWI tersebut secara garis besar telah menerapkan
KEJ-PWI. Hal ini terlihat pada pemilihan kata, susunan kalimat yang telah
mengandung unsur 5W 1H meskipun terdapat sedikit kekurangan. Menurut
peneliti, ada hal yang kurang tepat dalam susunan kalimat pada paragraf terakhir.
Di mana dalam paragraf tersebut, disebutkan bahwa “Bupati berkesempatan untuk
menyerahkan tokoh wayang kulit,....”. Pemilihan kata pada susunan kalimat ini
kurang tepat, pemilihan kata kurang spesifik, sehingga pembaca belum
sepenuhnya dapat memahami apa yang dimaksud oleh wartawan.
Pada kata menyerahkan tokoh wayang, secara umum, pembaca tidak dapat
memahami secara langsung apa yang dimaksud dengan menyerahkan tokoh
wayang, karena kata “Tokoh Wayang” tersebut mempunyai banyak tafsiran,
apakah yang diserahkan itu berupa replika tokoh wayang, boneka tokoh wayang,
atau lukisan tokoh wayang juga belum dapat dipahami oleh pembaca. Hal ini
mungkin hanya suatu kelalaian wartawan, yang dapat menimbulkan multi tafsir.
Meskipun tidak menimbulkan fitnah karena tidak menyangkut penyebutan nama
suatu lembaga atau individu tertentu.
4.2. Analisis Ketaatan Wartawan PWI Cabang Jawa Tengah pada KEJ-PWI
Menurut hasil wawancara dengan ketua PWI sekaligus pimpinan redaksi
Harian Suara Merdeka, Hendro Basuki, bahwa ketaatan wartawan anggota PWI
Cabang Jawa Tengah selama ini cukup baik. Hal ini dapat terlihat pada tingkat
pelanggaran selama ini, bahwa belum ada kasus yang tergolong besar sehingga
penyelesaian dari pihak internal masing-masing media telah cukup untuk
menyelesaikannya. Meskipun tidak ada catatan atau data riil berapa kasus
pelanggaran terhadap KEJ-PWI yang pernah terjadi di PWI Cabang Jawa Tengah,
namun menurut ketua Dewan pengurus PWI, hal ini masih tergolong ringan
karena dapat diatasi oleh pihak intern media dan tidak melibatkan pihak ekstern
media atau bahkan sampai pada Dewan Kehormatan Daerah. Adapun kasus-kasus
pelanggaran yang pernah terjadi hanya sebatas pada hal-hal bersifat tata tulis, dan
dapat diselesaikan dengan mengklarifikasi berita yang telah diterbitkan pada edisi
berikutnya.
Dalam upaya meningkatkan profesionalisme wartawan anggotanya PWI
Cabang Jawa Tengah menyelenggarakan berbagai macam kegiatan berpola
pendidikan seperti Work Shop Jurnalistik, Seminar-seminar, dan juga Sekolah
Jurnalistik. Hal ini merupakan perwujudan dari kesungguhan PWI dalam
menjalankan visi-misinya. Menurut Pius M Dahlan, ketaatan dapat diartikan
dengan kepatuhan dan ketundukan. Suatu ketaatan atau kepatuhan mengandung
peran kepercayaan yang penuh dalam menjalankan isi kepatuhan tersebut. Hal ini
menurut peneliti sesuai dengan definisi iman dalam Islam. Rasulullah Saw,
menyebutkan bahwa iman ialah mempercayai dalam hati, mengamalkan dengan
perbuatan, dan berikrar dengan lisan. Hal ini sangat sesuai seperti apa yang
menjadi tuntutan dari wartawan anggota PWI Cabang Jawa Tengah.
Suatu kepatuhan dalam konteks patuh terhadap Kode Etik Jurnalistik
menurut peneliti juga mempunyai titik kesamaan dengan ketaatan, kepatuhan, dan
ketundukan dalam iman, hanya terdapat penambahan pada praktik jurnalisme-nya
yang harus terikat oleh tata bahasa dan ejaan yang telah disempurnakan. Letak
kesamaan tersebut dapat terlihat dalam beberapa pasal KEJ-PWI, antara lain
terdapat dalam pasal 1 Kode Etik Jurnalistik, yaitu “Wartawan beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berjiwa pancasila taat Undang-
Undang Dasar Negara RI, kesatria, bersikap independen serta terpercaya dalam
mengemban profesinya.” Senada dengan firman Allah SWT dalam surat Annisa
ayat 59:
$pκ š‰r' ‾≈tƒ tÏ% ©!$# (#þθ ãΨ tΒ#u (#θãè‹ÏÛr& ©! $# (#θ ãè‹ÏÛ r& uρ tΑθ ß™§�9 $# ’ Í< 'ρé&uρ Í÷ö∆ F{$# óΟä3Ζ ÏΒ ( β Î* sù ÷Λä ôãt“≈uΖs?
’ Îû & ó x« çνρ–Š ã�sù ’n< Î) «!$# ÉΑθß™ §�9 $#uρ βÎ) ÷Λ äΨä. tβθ ãΖÏΒ ÷σ è? «! $$Î/ ÏΘ öθ u‹ø9 $#uρ Ì�ÅzFψ $# 4 y7Ï9≡sŒ ×�ö�yz
ß|¡ ômr& uρ ¸ξƒÍρù' s? ∩∈∪
59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.( Qs: Annisa’:
59 ).
Manusia sebagai mahluk Allah yang dikaruniai akal, tidaklah menjamin
bahwa manusia akan selamanya benar dan tepat dalam segala sikap dan
tindakannya, maka tepatlah Rasulullah yang telah memberikan tuntunan kepada
umatnya bahwa kelalaian manusia adalah suatu kemakluman namun hendaklah
suatu kelalaian tersebut segera diikuti dengan melakukan perbuatan-perbuatan
baik. Sabda Rasullah Saw:
T_ ذر ZNSب KNS @Tدة واZRA OT اKCV @LWXYذ QRS @T رOP اA KLMNA F@ رHIل اABCDE F@ ا
`YKaو KMbLc dNebYا dfgeYا hRcوا iNآ KLkgىW @eW `DmT سKNYي( اpVXqYا rروا Fا `cا
“ Dari Abu Dzar Jundub bin Junadah dari abu Abdurrahman Muadz bin
Jabbal RA, dari Rosulullah SAW, beliau bersabda “Takutlah kamu kepada Allah
dimanapun kamu berada dan iringilah keburukan dengan kebaikan. Maka
keburukan itu akan terhapus oleh kebaikan. Bergaullah kamu dengan sesama
manusia dengan budi pekerti yang baik.”
(HR.Turmudzi). (Asrori:33).
Dalam pasal 10 Kode Etik Jurnalistik PWI telah disebutkan bahwa
wartawan hendaknya ketika menyadari suatu kelalaian maka segeralah melakukan
suatu klarifikasi dengan menggunakan hak jawab, yakni “Wartawan dengan
kesadaran sendiri secepatnya mencabut atau meralat setiap pemberitaan yang
tidak akurat dengan disertai permintaan maaf, dan memberi kesempatan hak
jawab secara proporsional kepada sumber atau obyek berita”. Hal ini sesuai
dengan sabda Rasulullah tersebut di atas, bahwa hendaknya manusia dalam
kesehariannya membiasakan untuk senantiasa menjadi pribadi yang rendah hati
dan tidak segan untuk memohon maaf atas kesalahan dan kelalaian yang telah
dilakukan. Misi-misi dakwah secara global telah tersirat dalam KEJ-PWI, seperti
dakwah bilhikmah, bahwa suatu informasi hendaknya disampaikan dengan baik
dan bijaksana.
Kata “hikmah” mempunyai banyak makna, diantaranya ialah menurut
tafsir Al-Maraghi, hikmah mengandung arti perkataan yang tepat, tegas dan benar
disertai dengan dalil yang dapat menyingkap kebenaran dan melenyapkan
keserupaan. Fahruddin al-Razi berpendapat bahwa hikmah adalah dalil qoth’i
yang bermanfaat untuk aqidah yang meyakinkan. Sedangkan menurut Ibnu Jarir
yang dimaksud dengan hikmah ialah AlQur’an dan Sunnah.
Menurut Sayyid Quthub, “hikmah” adalah tindakan dengan melihat situasi
dan kondisi obyek dakwah serta tingkat kecerdasan penerima dakwah,
memperhatikan kadar materi dakwah yang disampaikan kepada mereka, sehingga
mereka tidak merasa terbebani terhadap perintah agama atau materi tersebut.
Sedangkan Syaikh Muhammad Abduh merumuskan hikmah sebagai ilmu yang
shahih, yang menjadi sifat yang bijak di dalam jiwa dan yang menguasai kemauan
sekaligus mengarahkannya pada amal perbuatan. Apabila suatu amal lahir dari
ilmu yang benar, maka perbuatan itu merupakan perbuatan baik dan bermanfaat
yang membawa kepada kebahagiaan. Dengan pendapat-pendapat tersebut diatas,
dapat disimpulkan bahwa hikmah mengandung tiga unsur yang saling terkait.
Pertama, unsur ilmu, yakni ilmu yang shahih, yang dapat memisahkan
antara yang haq dan yang bathil, serta ilmu tentang rahasia, faedah, dan seluk-
beluk sesuatu. Kedua, unsur jiwa, yaitu menyatunya ilmu tersebut ke dalam jiwa
Ahlu-hikmah, sehingga ilmu tersebut mendarah-daging dengan sendirinya. Ketiga,
unsur amal perbuatan yaitu ilmu pengetahuan yang menyatu ke dalam jiwa
tersebut mampu memotivasi dirinya untuk berbuat sesuatu. Dengan demikian,
dakwah Bilhikmah mempunyai arti kemampuan seorang da’i dalam melaksanakan
dakwah dengan tepat yang didukung oleh wawasan ilmu pengetahuan yang
dimiliki. Dalam bahasa Indonesia, kata hikmah lazim diterjemahkan dengan istilah
“kebijaksanaan” (Pimay, 2005: 57). Kebijaksanaan dalam bertindak
menyampaikan risalah-risalah keislaman yang merupakan hasil dari pemikiran
matang yang telah disesuaikan dengan keadaan serta kondisi di mana suatu
tindakan tersebut akan dilaksanakan atau disampaikan.
PWI Cabang Jawa Tengah dalam menjaga kredibilitas wartawan
anggotanya serta mengawasi pentaatan anggota terhadap KEJ-PWI
mempercayakan pelaksanaannya pada Dewan Kehormatan Daerah (DKD).
Pemberian nama Dewan Kehormatan Daerah, hal ini bukanlah pemberian secara
sembarangan. Pemilihan nama kehormatan, menurut peneliti memberikan isyarat
bahwa PWI menjadikan etika sebagai sesuatu landasan tindakan yang harus
dipentingkan dan menjadi suatu keutamaan dalam integritas kepribadian seorang
wartawan.
Pemilihan kata kehormatan dalam nama Dewan Kehormatan Daerah,
adalah suatu hal yang mencerminkan kemulyaan, di mana kehormatan merupakan
sesuatu yang sangat penting dan sebagai suatu strata, level atau kelas dari standar
hidup yang dicari manusia dalam hidupnya yang menjadi bagian dari kehidupan
masyarakat pada umumnya. Peran Dewan Kehormatan Daerah selama ini
nampaknya cukup berarti bagi keberadaan PWI Cabang Jawa Tengah, sehingga
pengawasan pentaatan KEJ-PWI cukup baik dan tingkat pelanggaran cenderung
rendah. Berkaitan dengan fenomena yang peneliti fokuskan dalam penelitian ini,
antara lain fenomena wartawan “amplop”, wartawan “bodrek”, dan sejenisnya,
sebenarnya menurut peneliti hal ini dapat dikembalikan pada media masing-
masing.
Jika media tempat bernaung wartawan dapat memberikan gaji atau upah
yang cukup atau sesuai dengan UMR (Upah Minimum Regional) atau bahkan
dapat melebihi, maka menurut hemat peneliti persoalan ini akan sedikit
berkurang. Meskipun hal itu tidak menjamin sepenuhnya, karena fenomena
tersebut berkaitan dengan etika kewartawanan. Sedangkan permasalahan etika
adalah permasalahan kepribadian yang telah menyatu dalam tindakan keseharian,
dan tindakan keseharian berkaitan dengan keadaan iman dan takwa seseorang
dalam mematuhi aturan yang berlaku. Berkaitan fenomena ini, Pasal 4 KEJ-PWI
dengan jelas telah menyebutkan bahwa “Wartawan Indonesia tidak menerima
imbalan untuk menyiarkan atau tidak menyiarkan berita, tulisan atau gambar,
yang dapat menguntungkan atau merugikan seseorang atau sesuatu pihak”.
Pengawasan pentaatan terhadap KEJ-PWI sesungguhya adalah pada diri
sendiri seorang individu wartawan tersebut, karena pada tindakan-tindakan yang
secara terus menerus dan spontan tersebut adalah cermin dari apa yang di
namakan etika. Etika sebagai landasan dalam bertindak memiliki peran yang amat
penting dalam islam. Akhlak dalam istilah keislaman, sebenarnya merupakan
esensi dari apa yang dinamakan dengan etika dalam istilah umum. Rasullah
menempatkan akhlaq sebagai suatu kemulyaan yang sangat berkaitan dengan
keadaan iman seseorang, beliau pernah bersabda tentang hal ini:
اآE1اC;1D; اAB-@? <=>; روا8 ا5.672ى ا012ء.-,+
“Orang mukmin yang sempurna ialah orang yang senantiasa memperbaiki
akhlaknya”( HR: Atturmudziy). Dalam hadits lain juga dijelaskan:
?=A. 8اا2-;س روا H,=I J=KD ان Mرك وآ6هPQ RS ك;B ;. ?TUو ا V=W2ا +AB 6X2ا
“Suatu kebaikan adalah akhlak yang mulia, sementara yang jahat adalah
apa yang membuatmu tidak senang didalam hatimu dan kamu takut bahwa
persoalan ini diketahui oleh orang lain.”( HR:Muslim).
Akhlak merupakan nilai-nilai dan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa,
yang dengan sorotan dan timbangannya seseorang dapat menilai perbuatannya
benar atau buruk, untuk kemudian melakukan atau meninggalkannya (Asmaran,
1994:3). Menurut Imam Ghazali akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa
yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan
pemikiran dan pertimbangan (Rahmat, 1996: 27). Sesuai dengan misi dakwah
Rosulullah yang dijelaskan dalam sabdanya:
Y>Uرم ا;[. ?1\U M]^_ ;1Cقا
Artinya: “Sesungguhnya saya diutus untuk menyempurnakan akhlak.”
Hadits ini selaras dengan perkataan istri beliau yang menyebutkan bahwa
akhlaq Rasulullah adalah Alqur’an, sehingga Rasululllah saw, mendapat julukan
sebagai AlQur’an berjalan. Disebutkan pula dalam Alqur’an surat Al-Ahzab ayat
21, yang artinya “Sungguh, telah ada pada diri Rosulullah saw, suri tauladan
yang baik bagimu, yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat
Allah.”(QS: Al-Ahzab:21).
Hal ini sesuai dengan perilaku yang Rosulullah contohkan dalam
keseharian beliau, bahwa dalam bertutur kata, bertingkah laku ataupun bersikap
hendaknya berperilaku santun. Bahkan dalam mencontohkan tata tulis-pun
Rosulullah memberikan contoh yang santun. Hal ini dapat dari surat-surat yang
beliau kirimkan pada beberapa raja pada zamannnya, seperti pada kepala suku
kabilah Arab, penguasa Yamamah di Jazirah Arab, yakni surat-surat beliau selalu
diawali dengan menyebut keagungan Asma Allah, berupa kalimat Basmalah,
salam dengan isi yang jelas, tegas, dan ditutup dengan kalimat Tahmid (Suf
kasman, 2004:179).
Ketaatan wartawan pada Kode Etik Jurnalistik sebagai pemberi informasi
bagi masyarakat, secara ringkasnya hanya berprinsip pada kebenaran, sesuai
tuntunan Alquran bahwa informasi yang diberikan haruslah dengan Qoulan
Sadiidan yakni perkataan atau dapat diartikan sebagai berita atau informasi yang
sudah jelas kebenarannya. Namun, prinsip kebenaran saja tidaklah lengkap dalam
dunia etika, maka harus disampaikan dengan baik, santun, serta
mempertimbangkan situasi dan kondisi yang tepat, agar terhindar dari
kesalahpahaman informasi. Kode Etik Jurnalistik PWI secara tersirat telah
mengandung prisip-prinsip kebenaran dan etika tersebut, maka dengan ketaatan
wartawan anggotanya dapt diartikan bahwa PWI merupakan organisasi yang juga
telah menjalankan misi-misi keislaman bahkan tersirat misi dakwah bil-hikmah di
dalamnya.
BAB V
PENUTUP
5.1. KESIMPULAN
Dari pemaparan serta analisis yang telah penulis sampaikan, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa:
1. Pemahaman serta penguasaan wartawan anggota PWI cabang Jawa Tengah terhadap
Kode Etik Jurnalistik dapat dikategorikan baik. Hal ini mengacu pada penilaian
Dewan Pers bahwa secara umum wartawan Indonesia sekitar 80% tidak paham
bahkan belum membaca Kode Etik Jurnalistik baik dari PWI maupun dari Dewan
Pers. Keadaan ini didukung oleh banyaknya wartawan yang tidak bernaung pada
media massa tertentu, sehingga lahir istilah ”Wartawan Tanpa Surat Kabar (WTS)”,
Wartawan Amplop, dan lain-lain, sehingga tidak ada pertanggungjawaban terhadap
kinerjanya. Tingkat pelanggaran terhadap KEJ dalam anggota PWI Cabang Jawa
Tengah selama ini dikategorikan rendah, problematika pelanggaran dapat diselesaikan
intern media, sehingga sampai diatasi oleh Dewan Kehormatan Daerah.
2. Praktik serta implementasi KEJ-PWI wartawan anggota PWI Cabang Jawa Tengah
sangat beragam ciri khas bahasa tulisannya. Hal ini dikarenakan masing-masing
media mempunyai ciri khas bahasa tulisan pada masing-masing karya jurnalistiknya.
Meskipun demikian beragam, namun titik terpenting adalah sesuai dengan apa yang
telah dituangkan dalam Kode Etik Jurnalistik. Sedangkan praktik pengawasan
langsung pada karya jurnalistik dilaksanakan oleh masing-masing pimpinan media.
5.2. Saran-Saran
1. Profesionalisme wartawan tidak hanya menyangkut keterampilan serta
keahlian meramu bahan informasi, melainkan juga kemampuan serta
penguasaan Kode Etik Jurnalistik disertai kesetiaan dan keikhlasan
melaksanakannya secara konsekuen dan konsisten. Maka sudah sepantasnya
bagi setiap wartawan untuk melaksanakan etika, diterapkan dalam sikap
keseharian dan terlebih pada pelaksanaan tugas-tugas kewartawanan, sehingga
profesionalitas jurnalis menyatu dalam integritas kepribadian.
2. Meskipun PWI Cabang Jawa Tengah mempunyai lembaga tersendiri dalam
pengawasan pentaatan KEJ-PWI yakni Dewan Kehormatan Daerah, namun
sebagai organisasi wartawan yang cukup berbobot dan senior hendaknya lebih
memperhatikan aspek religiusitas anggota. Hal ini dikarenakan PWI Cabang
Jawa Tengah merupakan organisasi wartawan yang hidup dilingkungan Jawa
Tengah yang berpenduduk mayoritas muslim dan khususnya mempunyai adat
santri.
3. Dalam setiap pemberitaan sudah semestinya melalui proses koreksi pada
editor, namun terkadang masih juga pemberitaan kurang tepat. Maka, sudah
selayaknya bagi setiap media dan organisasi kewartawanan khususnya PWI
untuk senantiasa menjaga kepercayaan masyarakat akan citra media dan
organisasi dengan kecermatan pemberitaan.
4. Secara keseluruhan, wartawan Indonesia tidak sedikit yang tidak terdaftar
dalam organisasi kewartawanan, maka PWI, khususnya Cabang Jawa Tengah
sebagai organisasi wartawan yang cukup tua, alangkah baiknya jika lebih
banyak menghimbau wartawan-wartawan pemula untuk ikuserta bergabung
dalam keanggotaannya, untukk dibina menjadi lebih profesional.
5.3. Penutup
Demikianlah penyusunan karya kecil ini, peneliti sadar masih terdapat anyak
kekurangan dan kekeliruan didalamnya, namun peneliti hanyalah manusia biasa yang
mempunyai keterbatasan kemampuan, untuk itu kritik dan saran konstruktif peneliti harapkan
demi kebaikan dimasa datang.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Syamsul Munir, Ilmu Dakwah, Hamzah, Jakarta, 2009.
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka
Cipta, Jakarta, 2002.
Ardianti, Fitria Annisa, “Muatan Dakwah Dalam Filim Syahadat Cinta”,Skripsi,
2009.
Baghir,Muhammad, AlGhozali Amar Ma’ruf Nahi Munkar, Terjemah Ihya’
Ulumuddin, Karisma, Bandung, 2005.
Depag, RI,2002. Al-Quran Terjemah, Al-Kamil, Darus Sunnah, Jakarta, 2002.
Effendy, Onong Uchjana, Hubungan Masyarakat Suatu Studi Komunikologis,
Bandung, Rosda Karya,1992.
Hasan, Hafizd Mas’udy, Taysiirul Khollaq, Nubhan, Surabaya,1996.
Kasman, Suf, Jurnalisme Universal Menelusuri Prinsip-Prinsip Dakwah
Bilqalam, Teraju, Jakarta, 2004.
Kriyantono, Rachmat, Teknik Praktis Riset Komunikasi, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, 2006.
Kusumaningrat, Hikmat & Purnama, Jurnalistik Teori Dan Praktik, Remaja
Rosda karya, Bandung, 2006.
Lembaga Studi Agama Dan Pembangunan, Di Balik Sukses Para Penulis Muslim,
Semarang,
Moleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, Remaja Rosda
Karya, 2004.
Miyanto, Duwi, “Implementasi Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia Dalam
Pemberitaan masalah-masalah agama Islam”, Skripsi, 2007.
Nurudin, Komunikasi Propaganda, Rosda karya, Bandung, 2001.
Partanto & Albarry, Pius dan Dahlan, Kamus Ilmiah Populer, Arkola, Surabaya,
1994.
Prayitno, AM, Mari Berpidato, Sarana Ilmu, Surabaya, 2005.
Pius M, Dahlan, Kamus Ilmiah Populer, Arkola, Surabaya, 2005.
Pimay, Awaluddin, Paradigma Dakwah Humanis, Rasail, Semarang, 2005.
Rakhmat, Jalaluddin, Metode Penelitian Komunikasi, Rosda Karya, Bandung,
2005.
Riyanto, Adi, Metodologi Penelitian sosial, Granit, Jakarta, 2005.
Siebert, Fred, Empat Teori Pers, PT. Intermasa, Jakarta, 2005.
Siregar, Ashadi, Etika Komunikasi, Pustaka Publisher, Yogyakarta, 2006.
Sobour, Alex, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana,
Analisis Semiotik, Dan Analisis Framing, Rosda Karya, Bandung,
Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Mahmud Yunus Wadzurriyyatih,
Jakarta, 1989.
http://www.kodeetikjurnalistikpwi.com/articles.2005.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
NAMA : Hani’ Muwarisal Haq
NAMA AYAH : H.M. Mahmudi
NAMA IBU : Zinatul Muttaqiyah
TTL : Magelang, 6 Desember 1986
ALAMAT : Mranggen, Selomoyo, Kaliangkrik, Magelang 56153
PENDIDIKAN : 1. MI Kaliangkrik
2. MTsN Kaliangkrik
3. MA Al Muayyad Mangkuyudan Surakarta
4. Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Dakwah
IAIN Walisongo Semarang (2006)
Semarang, 28 Juni 2011
Hani’ Muwarisal Haq