analisis badan hukum publik

3
1301059872-Oliviane Wenno Menurut saya UU BHP tidak lebih dari sebuah bentuk lepas tangan Negara atas pembiayaan pendidikan nasional. Lembaga Pendidikan akan mengarah pada tujuan pragmatis komersil ketimbang tujuan kritis dan blok historis yang mencerdaskan bangsa dan melahirkan putra-putra terbaik yang bersaing. Pengesahan UU BHP merupakan suatu penyelewengan terhadap tujuan dan filosofi pendidikan Indonesia. Hal ini langsung terlihat dari berubahnya bentuk institusi pendidikan di Indonesia, mulai dari SD hingga Perguruan Tinggi menjadi Badan Hukum. Memang segala semangat positif yang terdapat dalam BHP, seperti akuntabilitas, transparansi serta efisiensi birokrasi diharapkan akan menjadi solusi dari permasalahan pendidikan di Indonesia, yang dinilai bersumber dari inefisiensi birokrasi. Namun, terlepas dari itu semua, kita pun harus memperhatikan dengan jeli bahwa pengubahan status institusi pendidikan menjadi BHP mengandung konsekuensi tersendiri. Konsekuensi tersebut merupakan akibat dari esensi bentuk Badan Hukum yang melekat pada institusi pendidikan berbentuk BHP. Sesuai dengan amanah konstitusi, (Pasal 31 UUD 1945)pendidikan merupakan hak warga Negara yang penjaminan pemenuhannya wajib dilakukan oleh Negara. Berubahnya bentuk institusi pendidikan menjadi Badan Hukum akan mengeliminasi penjaminan Negara terhadap masyarakat dalam memperoleh pendidikan, salah satunya dari sisi aksesibilitas. BHP melegalisasi suatu kesempatan kepada satuan pendidikan untuk memberi peluang bagi calon mahasiswa berkapasitas intelegensia rendah untuk mengambil kursi mahasiswa lain yang berkualitas tinggi jika mampu memberi imbalan tertentu. Hal lain yang perlu dikritisi adalah dari sisi pendanaan BHP. Dalam UU BHP pasal 41, tidak seluruh pendanaan BHP berasal dari Pemerintah, baik itu pendidikan menengah maupun pendidikan tinggi. Dari peneleaahan tersebut juga akan terlihat bahwa mekanisme pendanaan biaya operasional pada BHP diluar porsi pemerintah, tidak hanya diatur dalam UU BHP saja, namun juga tercantum pada peraturan-peraturan lain (PP dan Perpres). UU BHP ‘hanya’ menjelaskan garis besar porsi-porsi pembiayaan yang harus ditanggung sendiri oleh BHP dan menjelaskan secara umum mekanisme memperolehnya. Rincian dari mekanisme tersebut diatur selanjutnya oleh peraturan lain. Salah satu sumber pendanaan yang

Upload: oliviane-theodora-wenno

Post on 15-Jun-2015

370 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Analisis Badan Hukum Publik

1301059872-Oliviane Wenno

Menurut saya UU BHP tidak lebih dari sebuah bentuk lepas tangan Negara atas pembiayaan pendidikan nasional. Lembaga Pendidikan akan mengarah pada tujuan pragmatis komersil ketimbang tujuan kritis dan blok historis yang mencerdaskan bangsa dan melahirkan putra-putra terbaik yang bersaing. Pengesahan UU BHP merupakan suatu penyelewengan terhadap tujuan dan filosofi pendidikan Indonesia. Hal ini langsung terlihat dari berubahnya bentuk institusi pendidikan di Indonesia, mulai dari SD hingga Perguruan Tinggi menjadi Badan Hukum. Memang segala semangat positif yang terdapat dalam BHP, seperti akuntabilitas, transparansi serta efisiensi birokrasi diharapkan akan menjadi solusi dari permasalahan pendidikan di Indonesia, yang dinilai bersumber dari inefisiensi birokrasi. Namun, terlepas dari itu semua, kita pun harus memperhatikan dengan jeli bahwa pengubahan status institusi pendidikan menjadi BHP mengandung konsekuensi tersendiri. Konsekuensi tersebut merupakan akibat dari esensi bentuk Badan Hukum yang melekat pada institusi pendidikan berbentuk BHP.

Sesuai dengan amanah konstitusi, (Pasal 31 UUD 1945)pendidikan merupakan hak warga Negara yang penjaminan pemenuhannya wajib dilakukan oleh Negara. Berubahnya bentuk institusi pendidikan menjadi Badan Hukum akan mengeliminasi penjaminan Negara terhadap masyarakat dalam memperoleh pendidikan, salah satunya dari sisi aksesibilitas. BHP melegalisasi suatu kesempatan kepada satuan pendidikan untuk memberi peluang bagi calon mahasiswa berkapasitas intelegensia rendah untuk mengambil kursi mahasiswa lain yang berkualitas tinggi jika mampu memberi imbalan tertentu.

Hal lain yang perlu dikritisi adalah dari sisi pendanaan BHP. Dalam UU BHP pasal 41, tidak seluruh pendanaan BHP berasal dari Pemerintah, baik itu pendidikan menengah maupun pendidikan tinggi. Dari peneleaahan tersebut juga akan terlihat bahwa mekanisme pendanaan biaya operasional pada BHP diluar porsi pemerintah, tidak hanya diatur dalam UU BHP saja, namun juga tercantum pada peraturan-peraturan lain (PP dan Perpres). UU BHP ‘hanya’ menjelaskan garis besar porsi-porsi pembiayaan yang harus ditanggung sendiri oleh BHP dan menjelaskan secara umum mekanisme memperolehnya. Rincian dari mekanisme tersebut diatur selanjutnya oleh peraturan lain. Salah satu sumber pendanaan yang diperbolehkan dijalankan oleh BHP adalah investasi dalam bentuk portofolio / saham (pasal 42 ayat 1). Hal ini menunjukkan bahwa institusi pendidikan (BHP) dapat bermain di pasar bursa. Tentunya kita tahu benar betapa beresikonya bermain di sektor finansial. Gambaran anjloknya sektor finansial dunia pada krisis ekonomi global saat ini tentunya sangat menggambarkan tingginya resiko permainan saham di lantai bursa. Tak terhitung berapa banyak perusahaan-perusahaan besar dunia yang mendadak gulung tikar karena fluktuasi nilai saham yang sangat rentan. Bayangkan jika sektor vital seperti pendidikan ditopang oleh

Page 2: Analisis Badan Hukum Publik

1301059872-Oliviane Wenno

mekanisme pendanaan yang rapuh seperti ini, akan jadi seperti apa dunia pendidikan Indonesia?

Mekanisme lain yang dapat dilakukan oleh BHP untuk memperoleh dana adalah dengan menghimpun dana dari masyarakat dengan ketentuan yang sesuai (Pasal 45 ayat 1 UU BHP) namun tidak ada penjelasan lebih rinci mengenai hal tersebut. Satu hal yang menarik adalah keberadaan PP no.48 tahun 2008 mengenai pendanaan pendidikan. PP tersebut menjelaskan secara terperinci sumber-sumber dana yang dapat digunakan oleh BHP. Pada PP tersebut terdapat beberapa pasal yang jelas-jelas mengatakan bahwa salah satu sumber pendanaan institusi pendidikan adalah dari pihak asing. Sedikitnya terdapat 15 pasal dalam PP tersebut yang menyebutkan bahwa salah satu sumber pendanaan yang sah dari institusi pendidikan berasal dari pihak asing.

Pada Perpres No.77/2007 mengenai daftar bidang usaha yang tertutup dan terbuka di bidang penanaman modal disebutkan bahwa jenis badan usaha yang dapat dimasuki modal asing adalah pendidikan, baik formal maupun informal, dengan persentase modal asing sampai dengan 49%. Betapa ironisnya. Disaat Pemerintah perlahan-lahan berlepas tangan dari pendanaan pendidikan, pihak asing justru perlahan-lahan diberikan wewenang untuk mendanai pendidikan negeri ini. Jika seperti ini, secara tidak langsung Pemerintah telah melegalkan jalan bagi pihak asing untuk mulai mengambil alih otoritas pendidikan Indonesia. Bagaimana mungkin sektor yang penting seperti pendidikan dalam suatu negara dikuasai oleh modal asing. Seperti apa kebijakan yang akan diterapkan didalam badan hukum pendidikan ini yang dikatakan bersifat “mandiri”? Dalam hal ini kedaulatan Indonesia sebagai sebuah Negara perlu dipertanyakan.