analisis
TRANSCRIPT
ANALISIS
DANAU RANAU adalah sebuah danau indah yang menjadi salah satu daya
tarik wisata Propinsi Lampung atau pun Propinsi Sumatera Selatan. Danau
Ranau ini merupakan danau terbesar kedua di pulau Sumatera setelah
Danau Toba yang eksotis itu. Namun keindahan Danau Ranau ini tak kalah
dengan Danau Toba di Sumatera Utara itu.
Danau Ranau nan indah ini berada di perbatasan Kabupaten Lampung
Barat Propinsi Lampung dan Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan
Propinsi Sumatera Selatan, sekitar 31 kilometer Kota Liwa atau 342
kilometer dari Kota Palembang, Ibukota Propinsi Sumatera Selatan.
Danau yang terbentuk dari gempa besar dan letusan vulkanik dari gunung
berapi ini memiliki luas sekitar 126 kilometer persegi. Sungai yang pada
mulanya mengalir di kaki gunung berapi itu menjadi sumber air yang
mengisi cekungan tersebut, sehingga lambat laut cekungan tersebut menjadi
besar dan berubah menjadi danau seperti sekarang ini. Pada waktu itu di
sekeliling danau ditumbuhi tanaman liar dan tumbuhan semak yang oleh
penduduk setempat disebut ranau, sehingga danau itupun diberi nama
Danau Ranau.
Pemandangan di danau ini begitu indah. Air danau yang jernih , udara yang
sejuk dengan latar belakang Gunung Seminung - sisa dari gunung api yang
meletus tersebut - membuat tempat ini cocok sekali sebagai tujuan untuk
berlibur. Danau Ranau ini juga merupakan tempat para nelayan untuk
mencari ikan. Jenis-jenis ikan di danau ini antara lain, ikan mujair, ikan
kepot, ikan kepiat, ikan harongan.
Satu lagi yang unik di danau ini yaitu ditengah danau terdapat sebuah pulau
yang bernama Pulau Marisa. Selain itu terdapat sumber air panas di sekitar
danau yang sering digunakan oleh para wisatawan yang datang. Ada juga air
terjun yang bisa sobat kunjungi bila berada di danau Ranau ini.
Lokasi Danau Ranau ini bisa ditempuh selama kurang lebih 7 jam dari Kota
Palembang, atau bila dari Bandar Lampung bisa melewati Bukit Kemuning
dan Kota Liwa. Semua jalan sudah beraspal jadi perjalanan sobat akan
terasa nyaman.
Analisis Rencana Pengembangan Sektor
Pariwisata Danau Ranau dalam rangka Meningkatkan Potensi Daerah
Pariwisata
dan Menunjang Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten
oKU
SelatarlAkuntansi.
Perumusan masalahnya adalah bagaimana rencana pengembangan sektor
pariwisata Danau Ranau dalam rangka meningkatkan potensi daerah
pariwisata
dan menunjang peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD ) Kabupaten
OKU
Selatan. Tujuannya untuk mengetahui rencana pengembangan sektor
pariwisata
Danau Ranau dalarn rangka meningkatkan potensi daeratr pariwisata dan
menunjangp eningkatanP endapatanA sli Daerah( PAD) Kabupaten OKU
Selatan.Manfaatnya yaitu bagi penulis dapat menambah wawasan dan
pengetahuanpenulis mengenai rencana pengembangan pariwisata dan bagi
almamaterdiharapkan dapat menjadi bahan referensi bagi peneliti pada
bidnag yang sama.Penelitian ini menggunakan pendekatan asosiatif. Tempat
penelitian dilakukan di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata serta Dinas
Pendapatan Daerah Kabupaten OKU Selatan. Variabel yang digunakan
adalatr rencana pengembangan selctor pariwisata. Potensi daerah pariwisata.
Pendapatan Asli Daerah (PAD). Data primer yang diperlukan adalah data
yarr,g diperoleh dari Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata serta Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten oKU Selatan. Teknik
pengumpulan data yang dipergunakan adalah dokumentasi. Analisis data
yang digunakan kualitatif dengan teknik analisis SWOT.
Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini bahwa rencana pengembangan
sector pariwisah adalah dengan membangun berbagai fasilitas pariwisata
maupun memperbaiki fasilitas yang sudah adq melakukan promosi lewat
berbagai medi4 meningkatkan kualitas SDM. Kekuatan pengembangan
obyek wisata Danau Ranau adalah adanya beberapa tempat obyek wisata
yang ada di Danau Ranau, yang didukung oleh potensi sumber daya alam,
sumber daya buatan serta keragaman budayanya. sedangkan kelemahannya
yaitu sarana dan prasara penunjang pariwisata belum mernadai, kualitas
sumber daya manusianya masih
kurang, serta kegiatan promosi yang kurang gencar dilahkan meqiadi faktor
penghambapt engembangano byek wisata Danau Ranau.
Kata kunci: Rencana Pengembangan Potensi,Daerah Pariwisata dan
Pendapatan Asli daerah
“MALIN KUNDANG”:ANALISIS E-135 SAWIRMAN
Oleh Non Martis
(Peneliti Balai Bahasa Padang)
I. Pengantar
Cerita Malin Kundang adalah sebuah legenda yang hidup di Minangkabau,
yaitu mengenai seorang anak manusia yang bernama Malin Kundang, yang
setelah berhasil di rantau, pulang dengan kapalnya bersama istrinya. Pada
waktu kepulangannya itu, ibunya menjemput Malin Kundang ke pelabuhan.
Keadaan ibunya yang sudah tua dan melarat menyebabkan Malin Kundang
tidak mau mengakui orang tua itu sebagai ibunya. Karena sangat kecewa,
ibunya berdoa agar Allah menurunkan kutukan kepada anaknya itu jika
benar dia adalah anaknya. Doa si ibu terkabul dan kapal Malin Kundang dan
seisinya menjadi batu.
Oleh masyarakat Minangkabau, legenda ini dianggap benar-benar terjadi di
suatu waktu dan di suatu tempat. Manakala seorang anak ‘melawan’ kepada
orang tuanya, ia akan diingatkan kepada kisah si Malin Kundang yang telah
menjadi batu karang karena durhaka kepada orang tua. Sebagai legenda,
cerita Malin Kundang terdiri atas ‘subjek’, yaitu teks dan benda yang diacu
oleh teks tersebut, yaitu berupa batu yang terletak di Pantai Air Manis, Kota
Padang. Antara benda yang diacu dengan teks cerita mempunyai hubungan
yang sangat erat. Karena keeratan hubungan itu, batu Malin Kundang tidak
akan bermakna tanpa adanya teks cerita Malin Kundang. Sebaliknya, teks
cerita akan tetap bermakna tanpa adanya benda yang diacu, yakni batu yang
diberi nama Batu Malin Kundang.
Dalam banyak hal, legenda Malin Kundang yang pada mulanya dalam
bentuk sastra lisan telah banyak diresepsi orang dalam bentuk satra tulis, di
antaranya Wisran Hadi dan Maryelliwati telah meresepsi legenda ini dalam
bentuk drama, A.A. Navis dan Irman Syah telah pula meresepsinya dalam
bentuk cerpen, dan dalam berbagai bentuk tulisan lainnya di koran-koran.
Banyaknya resepsi atas legenda Malin Kundang itu dapat disimpulkan
bahwa Malin Kundang telah menjadi sebuah fenomenal budaya, tidak hanya
dalam lingkup budaya Minangkabau melainkan juga dalam lingkup budaya
Indonesia. Faktor inilah yang menyebabkan penulis tertarik untuk
menganalisis legenda Malin Kundang dengan E-135. Selain hal di atas,
kiranya E-135 dapat digunakan sebagai sebuah ‘pisau bedah baru’ dalam
bidang wacana Malin Kundang ini.
II. Teori
Sebagaimana yang telah dinyatakan sebelumnya bahwa teori yang
digunakan untuk menganalisis legenda Malin Kundang ini adalah E-135
yang digagas oleh Dr. Sawirman. Dalam draf yang disampaikan kepada
kami (mahasiswa S2 Unand) jelas-jelas dikatakan bahwa E-135 bertitik
tolak pada hermeneutik. Dalam aplikasinya, E-135 mempunyai lima tahapan
analisis, yaitu 1) elaborasi, 2) representasi, 3) signifikasi, 4) eksplorasi, dan
5) transfigurasi. Kelima tahapan analisis E-135 itu disajikan sebagai berikut.
Tahap Elaborasi disebut juga dengan tahapan kajian linguistik. Pada tahapan
ini sebuah teks atau wacana dimaknai sebagai sebuah produk dalam
wujudnya sebagai sebuah fisik. Dengan demikian, objek materail yang
digunakan adalah teks dalam artian wacana. Tahapan elaborasi juga sebagai
sistem langue, determinsme sistem teori, kategori benar salah, linear, bahasa
sebagai cermin monolitik, abstraksi bentuk, dan logika operasi yang
memposisikan teks sebagai sebuah instrumen (Sawirman, dalam Draf E-
135: 18).
Tahap Representasi merupakan tahapan pengkonkretan antara bahasa
sebagai tanda dan konsep mental yang dipresentasikannya dengan realitas
yang ada tentang fakta, manusia, keadaan, peristiwa, benda nyata atau objek
(fiktif). Hall (1997: 17) membedakan antara representasi mental dan (mental
representation) dengan bahasa. Menurutnya, representasi mental bersifat
subjektif. Oleh karena itu masing-masing pengarang memiliki perbedaan
dalam mengorganisasikan dan menetapkan hubungan antarkonsep yang
disebabkan oleh perbedaan pendidikan, preferensi, ideologi, pengalaman,
pengetahuan, lingkungan sosial, prespektif, serta nilai-nilai politis lainnya
yang beroperasi di balik subjek pembuat wacana. Sementara itu, bahasa
dianggap menjadi bagian dari sistem representasi. Pertukaran makna terjadi
ketika ada akses terdapat bahasa bersama sebagai sitem langue. Bahasa
sebagai siste tanda (sign) akan membawa makna setelah diwujudkan dalam
bentuk kata, ungkapan, gaya, diksi, suara, mimik, gestures, serta wilayah
bahasa lainnya. Jika dikaitkan dengan pendapat Halliday (1978; 1991)
representasi ini dapat disejajarjan dengan bahasa sebagai wahana (1)
ideasioal, yaitu wahana untuk mengekspresikan sesuatu, (2) interpersonal,
yaitu menilai, menyikapi, dan berinteraksi, dan (3) tekstual s, yaitu wahana
pembentuk teks. Bahasa sebagai representasi ‘logika kesadaran’, sistem
parol, emosi, pikiran, ide dn tingkah laku, bukan hanya serangkaian kata
petunjuk benda juga refleksi tahapan ini. Objek material pada tahapan
representasi ini adalah data interteks. Semua teks yang terkait perlu
dipahami secara totalitas sebagai penghargaan pada totalitas pengarang.
Sejumlah teori fungsi kewacanaan /kebahasaan, seperti yang diungkapkan
Leech, Searle, dan Levinspn digunakan untuk memaknai tahapan ini.
Tahap Signifikasi, yaitu tahapan yang disediakan seluas-luasnya bagi
pembaca untuk melacak makna terhadap representasi mental pemproduksi
teks. Pada tahap ini diharapkan seorang analis teks agar dapat memposisikan
diri sebagai seorang pembaca teks yang kritis untuk meng-code atau
menginterpretasikan makna teks.
Tahap Eksplorasi, yaitu tahapan yang fokus pada jawaban bagaimana pihak-
pihak yang berkepentingan saling memperebutkan, saling
mempertentangkan, saling menegasikan, dan saling melakukan tesis,
antitesis, sintesis terhadap sebuah tanda/simbol. Interpretasi yang berbeda-
beda berdasarkan norma, nilai universal, latar historis, kultural, ideeologis,
serta konteks ruang dan waktu yang memproduksi teks di telaah pada
tahapan ini.
Tahap Transfigurasi, yaitu tahapan kebebasan bagi analis teks untuk
memaknai wacana secara berbeda, tergantung pada pemahaman secara
subjektif, berdasarkan hoeizon ekspektasinya (Draf E-135, 2005: 18—21).
III. Pembahasan
Sebagaimana yang telah dinyatakan di awal, legenda “Malin Kundang” akan
dianalisis dengan ‘pisau bedah baru’ E-135 dengan menerapkan kelima
tahapan analisisnya. Selanjutnya diterapkan pula strategi penganyangan
makna (dekonstruksi makna) sebgaimana yang diisyaratkan dalam E-135
itu.
A. Penerapan Lima Tahapan Analisis E-135
1. Analisis simbol “Malin Kundang” sebagai Tinanda Pendurhakaan pada
Tahapan Elaborasi
Malin Kundang adalah nama seorang anak dalam sastra lisan Minangkabau.
Kata malin berasal dari bahasa Arab mualim dan diserap ke dalam bahasa
Indonesia menjadi malim dengan makna ‘1.orang alim; ulama; guru agama
Islam; 2.pemimpin; penunjuk jalan; 3. pawang. Dalam bahasa Minangkabau
kata itu dikenal dengan malin—fonem m dan n pada kata-kata tertentu
dalam dialek tertentu pada posisi akhir sering berkorespondensi—malin
dalam bahasa Minangkabau berarti ‘1 orang alim; orang berilmu, ‘2 bagian
dari gelar adat; termasuk dalam jenis yang IV Nan IV Jinih; hakikat’., ‘3
tokoh dalam cerita rakyat Minangkabau, misalnya Malin Deman, Malin
Duano> menjadi media pendidikan masa lalu. Sementara itu, kundang
dalam bahasa Minangkabau berarti ‘1.bawa atau selalu dibawa’, ‘2. sayang
atau (anak) kesayangan’. Malin Kundang dibentuk dengan vokal dasar a, i,
dan u dan kosonan m, l, n, k, d, dan g; durhaka adalah kata sifat/adjektiva
yang berarti ‘1. ingkar terhadap perintah Tuhan; 2. tidak setia kepada
kekuasaan yang sah (negara), yang dibentuk dengan vokal dasar u dan a dan
konsonen d, r, h, dan k. Jika dikaitkan dengan legendanya, tidak ada
keterkaitan sama sekali antara malin kundang dan durhaka. Proses
pemaknaan pada tahap elaborasi ditunda dulu dan memasukkankanya pada
kotak makna elaborasi berikut ini.
Kotak Makna Elaborasi (Kotak Makna Tertunda I
1. /malin kundang/ = /pendurhakaan/
1. dua kata nama alim, kesayangan, pemimpin
2. Analisis simbol “Malin Kundang” sebagai Tinanda Pendurhakaan pada
Tahap Representasi
Pada teks yang lebih awal Malin Kundang direpresentasikan sebagai
seorang anak laki-laki yang hidup di kampung dengan seorang ibu. Di usia
remaja pergi merantau. Berhasil di rantau, beristri, Ia kembali ke kampung,
bertemu dengan ibunya. Setelah itu mendapat kutukan. Proses representasi
ini sementara ditempatkan pada ‘kotak makna tertunda dua’.
Kotak Makna Representasi (Kotak Makna Tertunda II)
/malin kundang/ = /pendurhakaan/=/menjadi batu/
1. dua kata nama alim, kesayangan, pemimpin
2. di kampung merantau di kampung dikutuk menjadi batu
3. Analisis simbol Malin Kundang sebagai Tinanda Pendurhakaan pada
Tahapan Signifikasi
Pada tahapan ini penganalisis diberi otoritas yang seluas-luasnya untuk
merepresentasikan tanda. Tahapan ini dalam e-135 disebut juga dengan
tahapan sistem tanda semiotika. Dalam legenda ‘Malin Kundang’, tanda
Malin Kundang tidak hanya mengacu kepada seorang anak yang durhaka
kepada ibunya, tetapi dapat juga dimaknai lebih luas, misalnya, seorang
kepala negara/presiden mendurhakai negaranya dengan menggunakan
kekuasaannya untuk melakukan apa saja demi kepentingan dirinya atau
kelompok tertentu. Di samping itu, tanda durhaka tidak hanya ditafsirkan
sebagai ‘melawan atau menentang’, tetapi juga bisa ditafsirkan sebagai
‘tidak mengacuhkan atau tidak peduli’ kepada yang seharusnya menjadi
tanggung jawabnya. Proses pemaknaa untuk tahap ditunda dulu dan
memasukkannya pada kotak makna tertunda III berikut ini.
Kotak Makna Signifikasi (Kotak Makna Tertunda III)
/malin kundang/ = /pendurhakaan/=/menjadi batu/=/pengabdian/
1. dua kata nama alim, kesayangan, pemimpin
2. di kampung merantau di kampung dikutuk menjadi batu
3. pejabat/kepala negara rakyat pengabdian
4. Analisis simbol Malin Kundang sebagai Tinanda Pendurhakaan pada
Tahapan Eksplorasi
Cerita Malin Kundang hidup dalam konteks matrilineal Minangkabau.
Seorang anak akan masuk garis keturunan ibunya. Meskipun demikian,
sekarang ia telah menjadi sebuah fenomena kebudayaan. Oleh karena itu
Malin Kundang telah banyak diresepsi orang dari bentuk sastra lisan ke
bentuk sastra tulis, sebagaimana yang dilakukan Wisran Hadi dalam
dramanya yang berjudul ‘Malin Kundang’. Terdapat banyak
perbedaan/perubahan bentuk antara teks cerita Malin Kundang (awal)
dengan teks drama Malin Kundang versi Wisran Hadi. Perubahan bentuk itu
dapat dilihat dari sebuah cerita rakyat (legenda) menjadi sebuah naskah
drama modern. Dalam drama Wisran Hadi tidak menggambarkan
pendurhakaan seorang anak kepada orang tuanya, tetapi pendurhakaan
diartikan Wisran sebagai sebuah simbol, yakni pendurhakaan terhadap
sistem matrilineal Minangkabau.
Resepsi yang berbeda terdapat pada cerpen A.A.Navis berjudul ‘Malin
Kundang ibunya durhaka’. Dalam hal ini Navis masih taat pada alur lama,
yaitu semasa kecil Malin Kundang hidup di kampung bersama ibu, tanpa
ayah. Mulai menginjak dewasa pergi merantau dan setelah berhasil kembali
ke kampung bersama istrinya. Pada akhir cerita terjadi perubahan, yaitu
Malin Kundang mengutuk dirinya sendiri menjadi batu karena ia telah
terlahir dari rahim yang keliru. Perubahan ini terjadi, menurut Navis
(1990:117—118) bahwa soerang anak tidak selalu berada pada posisi yang
salah, sedangkan orang tua juga tidak selalu berada pada posisi yang benar.
Pandangan ini berdasarkan realitas sosiokultural yang terjadi dalam
kehidupan sehari-hari. Dalamcerpen ini Navis telah memparodikan cerita
Malin Kundang (awal). Proses pemaknaan tahap eksplorasi ditunda dulu ke
dalam kotak makna tertunda IV berikut.
Kotak Makna Eksplorasi (Kotak Makna Tertunda IV)
/malin kundang/ = /pendurhakaan/=/menjadi batu/=/pengabdian/=/parodi/
1. dua kata nama alim, kesayangan, pemimpin
2. di kampung merantau dikutuk menjadi batu
3. pejabat/kepala negara rakyat pengabdian
4. matrilineal parodi sosiokultural
5. Analisis simbol Malin Kundang sebagai Tinanda Pendurhakaan pada
Tahapan Transfigurasi
Tahapan transfigurasi adalah tahapan untuk ‘melepaskan’ makna-makna
yang selama ini tertunda. Hal ini dilakukan melalui dua strategi, yaitu
strategi ‘rekonstruksi makna’ dan ‘dekonstruksi makna’. Perlu penulis
nyatakan di sini bahwa penulis belum mampu melakukan ‘dekonstruksi
makna’ sebagaimana yang Bapak lakukan dalam Draf E-135. Namun,
penulis berusaha melakukan ‘strategi rekonstruksi makna’ menurut
pemahaman penulis sendiri.