an pendidikan di indonesia dalam lingkaran neoliberalisme

39
PERKEMBANGAN PENDIDIKAN INDONESIA DALAM LINGKARAN NEOLIBERALISME : Meninjau Sejarah Pendidikan Kita Oleh Rum Rosyid Pendidikan Pada Masa Hindu-Budha Pembahasan sejarah Hindu-Budha di Indonesia akrab diawali dari kemunculan beberapa kerajaan di abad ke-5 M, antara lain: Kerajaan Hindu di Kutai (Kalimantan) dengan rajanya Mulawarman, putra Aswawarman atau cucu Kundung(ga). Di Jawa Barat muncul Kerajaan Hindu Tarumanegara dengan rajanya Purnawarman. Pada masa itu, eksistensi pulau Jawa telah disebut Ptolomeus (pengembara asal Alexandria – Yunani) dalam catatannya dengan sebutan Yabadiou dan demikian pula dalam epik Ramayana eksistensinya dinyatakan dengan sebutan Yawadwipa. Ptolomeus juga sempat menyebut tentang Barousai (merujuk pada pantai barat Sumatera Utara; Sriwijaya). Fa- Hien (pengembara asal China) dalam perjalanannya dari India singgah di Ye-po-ti (Jawa) yang menurutnya telah banyak para brahmana (Hindu) tinggal di sana. Maka tidak berlebihan jika Lee Kam Hing kemudian menyatakan bahwa lembaga-lembaga pendidikan telah ada di Indonesia sejak periode permulaan. Pada masa itu, pendidikan lekat terkait dengan agama. Menurut catatan I-Ching, seorang peziarah dari China, ketika melewati Sumatera pada abad ke-7 M ia mendapati banyak sekali kuil-kuil Budha dimana di dalamnya berdiam para cendekiawan yang mengajarkan beragam ilmu. Kuil-kuil tersebut tidak saja menjadi pusat transmisi etika dan nilai- nilai keagamaan, tetapi juga seni dan ilmu pengetahuan. Lebih dari seribu biksu Budha yang tinggal di Sriwijaya itu dikatakan oleh I-Ching menyebarkan ajaran seperti yang juga dikembangkan sejawatnya di Madhyadesa (India). Bahkan, di antara para guru di Sriwijaya tersebut sangat terkenal dan mempunyai reputasi internasional, seperti Sakyakirti dan Dharmapala. Sementara dari pulau Jawa muncul nama Djnanabhadra. Pada masa itu, para peziarah Budha asal China yang hendak ke tanah suci India, dalam perjalanannya kerap singgah dulu di nusantara ini untuk melakukan studi pendahuluan dan persiapan lainnya. Sejarah agama Hindu-Budha di Indonesia berbeda dengan sejarahnya di India. Disini, kedua agama tersebut dapat

Upload: ziyyaelhakim

Post on 23-Jun-2015

531 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

Page 1: an Pendidikan Di Indonesia Dalam Lingkaran Neoliberalisme

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN INDONESIA DALAM LINGKARAN NEOLIBERALISME : Meninjau Sejarah Pendidikan KitaOleh Rum RosyidPendidikan Pada Masa Hindu-BudhaPembahasan sejarah Hindu-Budha di Indonesia akrab diawali dari kemunculan beberapa kerajaan di abad ke-5 M, antara lain: Kerajaan Hindu di Kutai (Kalimantan) dengan rajanya Mulawarman, putra Aswawarman atau cucu Kundung(ga). Di Jawa Barat muncul Kerajaan Hindu Tarumanegara dengan rajanya Purnawarman. Pada masa itu, eksistensi pulau Jawa telah disebut Ptolomeus (pengembara asal Alexandria – Yunani) dalam catatannya dengan sebutan Yabadiou dan demikian pula dalam epik Ramayana eksistensinya dinyatakan dengan sebutan Yawadwipa. Ptolomeus juga sempat menyebut tentang Barousai (merujuk pada pantai barat Sumatera Utara; Sriwijaya). Fa-Hien (pengembara asal China) dalam perjalanannya dari India singgah di Ye-po-ti (Jawa) yang menurutnya telah banyak para brahmana (Hindu) tinggal di sana. Maka tidak berlebihan jika Lee Kam Hing kemudian menyatakan bahwa lembaga-lembaga pendidikan telah ada di Indonesia sejak periode permulaan. Pada masa itu, pendidikan lekat terkait dengan agama.Menurut catatan I-Ching, seorang peziarah dari China, ketika melewati Sumatera pada abad ke-7 M ia mendapati banyak sekali kuil-kuil Budha dimana di dalamnya berdiam para cendekiawan yang mengajarkan beragam ilmu. Kuil-kuil tersebut tidak saja menjadi pusat transmisi etika dan nilai-nilai keagamaan, tetapi juga seni dan ilmu pengetahuan. Lebih dari seribu biksu Budha yang tinggal di Sriwijaya itu dikatakan oleh I-Ching menyebarkan ajaran seperti yang juga dikembangkan sejawatnya di Madhyadesa (India). Bahkan, di antara para guru di Sriwijaya tersebut sangat terkenal dan mempunyai reputasi internasional, seperti Sakyakirti dan Dharmapala. Sementara dari pulau Jawa muncul nama Djnanabhadra. Pada masa itu, para peziarah Budha asal China yang hendak ke tanah suci India, dalam perjalanannya kerap singgah dulu di nusantara ini untuk melakukan studi pendahuluan dan persiapan lainnya.Sejarah agama Hindu-Budha di Indonesia berbeda dengan sejarahnya di India. Disini, kedua agama tersebut dapat tumbuh berdampingan dan harmonis. Bahkan ada kecenderungan syncretism antara keduanya dengan upaya memadukan figur Syiwa dan Budha sebagai satu sumber yang Maha Tinggi. Sebagaimana tercermin dari satu bait syair Sotasoma karya Mpu Tantular pada zaman Majapahit “Bhinneka Tunggal Ika”, yakni dewa-dewa yang ada dapat dibedakan (bhinna), tetapi itu (ika) sejatinya adalah satu (tunggal). Sekalipun demikian, patut diketahui sempat adanya sejarah konflik politik antar kerajaan yang berbeda agama pada masa-masa permulaannya.Pada masa Hindu-Budha ini, kaum Brahmana merupakan golongan yang menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran. Perlu dicatat bahwa sistem kasta tidaklah diterapkan di Indonesia setajam sebagaimana yang terjadi di India. Adapun materi-materi pelajaran yang diberikan ketika itu antara lain: teologi, bahasa dan sastra, ilmu-ilmu kemasyarakatan, ilmu-ilmu eksakta seperti ilmu perbintangan, ilmu pasti, perhitungan waktu, seni bangunan, seni rupa dan lain-lain. Pola pendidikannya mengambil model asrama khusus, dengan fasilitas belajar seperti ruang diskusi dan seminar. Dalam perkembangannya, kebudayaan Hindu-Budha membaur dengan unsur-unsur asli Indonesia dan memberi ciri-ciri serta coraknya yang khas. Sekalipun nanti Majapahit sebagai kerajaan Hindu terakhir runtuh pada abad ke-15, tetapi ilmu pengetahuannya

Page 2: an Pendidikan Di Indonesia Dalam Lingkaran Neoliberalisme

tetap berkembang khususnya di bidang bahasa dan sastra, ilmu pemerintahan, tata negara dan hukum. Beberapa karya intelektual yang sempat lahir pada zaman ini antara lain: Arjuna Wiwaha karya Mpu Kanwa (Kediri, 1019), Bharata Yudha karya Mpu Sedah (Kediri, 1157), Hariwangsa karya Mpu Panuluh (Kediri, 1125), Gatotkacasraya karya Mpu Panuluh, Smaradhahana karya Mpu Dharmaja (Kediri, 1125), Negara Kertagama karya Mpu Prapanca (Majapahit, 1331-1389), Arjunawijaya karya Mpu Tantular (Majapahit, ibid), Sotasoma karya Mpu Tantular, dan Pararaton (Epik sejak berdirinya Kediri hingga Majapahit).Menjelang periode akhir tersebut, pola pendidikan tidak lagi dilakukan dalam kompleks yang bersifat kolosal, tetapi oleh para guru di padepokan-padepokan dengan jumlah murid relatif terbatas dan bobot materi ajar yang bersifat spiritual religius. Para murid disini sembari belajar juga harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Jadi secara umum dapatlah disimpulkan bahwa: (1) Pengelola pendidikan adalah kaum brahmana dari tingkat dasar sampai dengan tingkat tinggi; (2) Bersifat tidak formal, dimana murid dapat berpindah dari satu guru ke guru yang lain; (3) Kaum bangsawan biasanya mengundang guru untuk mengajar anak-anaknya di istana disamping ada juga yang mengutus anak-anaknya yang pergi belajar ke guru-guru tertentu; (4) Pendidikan kejuruan atau keterampilan dilakukan secara turun-temurun melalui jalur kastanya masing-masing.

Pendidikan Masa Awal Kedatangan IslamSejak abad ke-7 M, lalu lintas perdagangan laut internasional yang melewati wilayah nusantara sudah ramai (dikenal sebagai jalur perdagangan “Po-ssu” atau Persia). Daerah-daerah pesisir yang kala itu merupakan vassal (bawahan) dari kerajaan inti yang terletak di pedalaman, menjadi tempat persinggahan yang menarik bagi para pedagang dari banyak negeri seberang seperti Arab, Persia dan India. Nilai-nilai baru yang dibawa para pedagang muslim semisal dari Gujarat diterima hangat oleh raja-raja pesisir. Sebagaimana kemudian tercatat bahwa kerajaan-kerajaan Islam permulaan di Indonesia muncul di daerah pesisir seperti kerajaan Perlak (1292) dan kerajaan Samudera Pasai (1297). Dari sini pula dapat terbaca bahwa penyebaran Islam di Indonesia bermula dari pusat-pusat perdagangan di daerah pesisir Sumatera Utara (jalur Selat Malaka) baru kemudian menyebar ke Jawa dan seterusnya ke wilayah Timur Indonesia.Pendidikan Islam di Indonesia pada masa awalnya bersifat informal, yakni melalui interaksi inter-personal yang berlangsung dalam berbagai kesempatan seperti aktivitas perdagangan. Da’wah bil hal atau keteladanan pada konteks ini mempunyai pengaruh besar dalam menarik perhatian dan minat seseorang untuk mengkaji atau memeluk ajaran Islam. Selanjutnya, ketika agama ini kian berkembang, di tiap-tiap desa yang penduduknya telah menjadi muslim umumnya didirikan langgar atau masjid. Fasilitas tersebut bukan hanya sebagai tempat shalat saja, melainkan juga tempat untuk belajar membaca al-Qur’an dan ilmu-ilmu keagamaan yang bersifat elementer lainnya. Metode pembelajaran adalah sorogan (murid secara perorangan atau bergantian belajar kepada guru) dan halaqah atau wetonan (guru mengajar sekelompok murid yang duduk mengitarinya secara kolektif atau bersama-sama). Mereka yang kemudian berkeinginan melanjutkan pendidikannya setelah memperoleh bekal cukup dari langgar/masjid di kampungnya, dapat masuk ke pondok pesantren. Secara tradisional, sebuah pesantren identik dengan kyai (guru/pengasuh), santri (murid), masjid, pemondokan (asrama) dan

Page 3: an Pendidikan Di Indonesia Dalam Lingkaran Neoliberalisme

kitab kuning (referensi atau diktat ajar). Sistem pembelajaran relatif serupa dengan sistem di langgar/masjid, hanya saja materinya kini kian berbobot dan beragam, seperti bahasa dan sastra Arab, tafsir, hadits, fikih, ilmu kalam, tasawuf, tarikh dan lainnya. Di pesantren, seorang santri memang dididik agar dapat menjadi seorang yang pandai (alim) di bidang agama Islam dan selanjutnya dapat menjadi pendakwah atau guru di tengah-tengah masyarakatnya.Ketika kekuasaan politik Islam semakin kokoh dengan munculnya kerajaan-kerajaan Islam, pendidikan semakin beroleh perhatian. Contoh paling menarik untuk disebutkan adalah sistem pendidikan Islam yang tampak telah terstruktur dan berjenjang di kerajaan Aceh Darussalam (1511-1874). Secara formal, kerajaan ini membentuk beberapa lembaga yang membidangi masalah pendidikan dan ilmu pengetahuan, yaitu: (1) Balai Seutia Hukama (lembaga ilmu pengetahuan); (2) Balai Seutia Ulama (jawatan pendidikan dan pengajaran); (3) Balai Jamaah Himpunan Ulama (kelompok studi para ulama dan sarjana pemerhati pendidikan). Adapun jenjang pendidikannya dapat disebutkan sebagai berikut: (1) Meunasah (madrasah), berada di tiap kampung. Disini diajarkan materi elementer seperti: menulis dan membaca huruf hijaiyah, dasar-dasar agama, akhlak, sejarah Islam dan bahasa Jawi/Melayu; (2) Rangkang (setingkat MTs), berada di setiap mukim. Disini diajarkan Bahasa Arab, ilmu bumi, sejarah, berhitung (hisab), akhlak, fikih dan lain-lain; (3) Dayah (setingkat MA), berada di setiap ulebalang. Materi pelajarannya meliputi: fikih, Bahasa Arab, tawhid, tasawuf/akhlak, ilmu bumi, sejarah/tata negara, ilmu pasti dan faraid; (4) Dayah Teuku Cik (setingkat perguruan tinggi atau akademi), yang di samping mengajarkan materi-materi serupa dengan Dayah tetapi bobotnya berbeda, diajarkan pula ilmu mantiq, ilmu falaq dan filsafat. Sultan Mahdum Alauddin Muhammad Amin ketika memerintah kerajaan Perlak (1243-1267 M) disebutkan pernah mendirikan majelis ta’lim tinggi, semacam lembaga pendidikan tinggi yang dihadiri oleh para murid yang sudah mendalam ilmunya untuk mengkaji beberapa kitab besar semacam al-Umm karangan Imam Syafi’i. Pembiayaan pendidikan pada masa- tersebut berasal dari kerajaan. Tetapi perlu dicatat disini bahwa hal ini sangat tergantung pada kondisi kerajaan dan faktor siapa yang sedang menjadi raja.Ketika era penjajahan dimulai, pendidikan Islam tetap masih dapat berlangsung secara tradisional melalui peran para guru agama baik yang berbasis di langgar atau masjid maupun yang berada di pesantren-pesantren dan madrasah. Sejarah kemudian mencatat bahwa lembaga-lembaga pendidikan Islam ini memberi kontribusi besar dalam kontinuitas proses islamisasi nusantara dan sekaligus membangun kesadaran dan kekuatan resistensi kultural dan politik terhadap penjajahan asing. Pasca konferensi organisasi muslim Indonesia yang mengelola pendidikan pada tahun 1936 di Padang Panjang, disepakati suatu standar umum dari sistem pendidikan Islam ketika itu, yakni: (1) Madrasah Awaliyah 3 tahun; (2) Madrasah Ibtidaiyah 4 tahun; (3) Madrasah Tsanawiyah 3 tahun; (4) Madrasah Muallimin (sekolah guru) 3 tahun; dan (5) Madrasah Islam Tinggi.Secara umum, pendidikan Islam di masa pra kemerdekaan ini dapat diikhtisarkan mengambil bentuk sebagai berikut: (1) Langgar. Dikelola seorang amil, modin atau lebai yang berfungsi sebagai guru agama sekaligus pemimpin ritual keagamaan di masyarakat. Materi ajar bersifat elementer. Metode pembelajaran sorogan dan halaqah. Tidak ada biaya formal, seringkali hanya berupa pemberian ‘in natura’. Hubungan guru-murid umumnya mendalam dan langgeng. (2) Pesantren. Murid diasramakan di pondok yang

Page 4: an Pendidikan Di Indonesia Dalam Lingkaran Neoliberalisme

dibangun oleh sang guru atau dengan biaya swadaya masyarakat setempat. Ada properti tanah yang dapat dikelola bersama oleh guru dan murid untuk mendanai proses pendidikan. Kekurangan biaya terkadang memaksa santri mencari dana keluar, meminta sumbangan dari umat Islam secara sukarela. Jumlah murid relatif, ada yang banyak ada juga yang sedikit. Tidak ada batasan atau penjenjangan pendidikan yang tegas. Guru tidak digaji secara formal. Murid memberi layanan kepada guru sebagai ganti biaya pendidikan seperi ikut mengelola tanah atau usaha lain milik guru. (3) Madrasah. Pola pendidikan teratur dan berjenjang. Guru menerima imbalan tunai secara tetap. Metode menjadi bersifat klasikal. Pengetahuan umum diajarkan di samping materi-materi ilmu agama

Pendidikan masa penjajahan PortugisPenjelajahan bangsa Portugis, seperti disebutkan B. Schrieke, hingga sampai ke Indonesia kiranya tidak dapat dilepaskan dari sejarah perbenturan antara dunia Islam - dunia Barat sejak abad pertengahan dan juga dukungan kemajuan bidang militer dan kemaritiman mereka. Beberapa peristiwa penting yang lekat dalam ingatan yang melatari hal ini antara lain: (1) Konsili Clermont tahun 1095 M dimana Paus Urbanus II mendeklarasikan Perang Salib melawan dunia Islam; (2) Konstantinopel, pusat imperium Bizantium, direbut Sultan Muhammad II tahun 1453 M; (3) Bulla Paus berjudul Romanus Pontifex tertanggal 8 Januari 1455 M yang berisi pernyataan menghadiahkan Afrika untuk dikristenkan oleh Portugis; (4) Kota Granada lepas dari kekuasaan Islam tahun 1492 M; (5) Bulla Paus berjudul Inter Caetera Divinae tahun 1493 M membagi dunia menjadi dua bagian, masing-masing untuk Portugis dan Spanyol; (6) Perjanjian Tordesillas tanggal 7 Juni 1494 M, menguatkan Bulla Paus tahun 1493 M, memberi hak istimewa kepada dua bangsa tersebut untuk melakukan conquistadores (penaklukan).Portugis pertama kali singgah di Malaka tahun 1509 M setelah sebelumnya menaklukkan kerajaan Goa di India. Ini berarti Portugis hadir di Indonesia hampir satu dekade setelah Raden Patah mendirikan kerajaan Islam Demak di pulau Jawa. Tahun 1511 M. Malaka sudah dapat dikuasai oleh Portugis di bawah Afonso de Albuquerqe (1459-1515 M). Dua tahun kemudian, Pati Unus putra Raden Patah memimpin armada menyerang kekuasaan Portugis di Malaka, tetapi berakhir dengan kegagalan. Berikutnya Portugis bergerak untuk menguasai daerah rempah-rempah yang berpusat di Maluku (berasal dari istilah bahasa Arab: Jazirat al-Mulk, yakni kepulauan raja-raja). Ketika Portugis menjejakkan kakinya di Maluku, seperti diutarakan oleh Russell Jones, Islam telah mengakar di kalangan penduduk setempat sekitar 80 tahun. Di daerah ini khususnya Ambon, melalui peran ordo Jesuit hingga tahun 1560 M, tercatat ada sekitar 10.000 orang yang memeluk Roma Katholik dan bertambah menjadi 50.000 hingga 60.000 pada tahun 1590 M. Sementara ordo Dominikan mampu mengkonversikan kedalam agama Roma Katholik sekitar 25.000 orang di kepulauan Solor. Dari catatan Ismatu Ropi, Katholik Roma ini merupakan fase kedua masuknya Kristen ke Indonesia melalui jasa ordo Jesuit di bawah payung organisasi Society of Jesus dan ordo Dominikan yang turut hadir bersama armada Portugis. Fase pertama adalah masuknya Gereja Timur Nestorian yang ditengarai sempat muncul di Sibolga Sumatera Utara sekitar abad ke-16 juga. Sedangkan fase ketiga adalah Kristen Protestan yang muncul bersamaan dengan armada pelayaran Belanda.Praksis pendidikan pada masa Portugis ini secara mendasar dikerjakan oleh organisasi misi Katholik Roma. Baru pada tahun 1536, di bawah Antonio Galvano, penguasa

Page 5: an Pendidikan Di Indonesia Dalam Lingkaran Neoliberalisme

Portugis di Maluku, didirikan sekolah seminari yang menerima anak-anak pemuka pribumi. Selain pelajaran agama, mereka juga diajari membaca, menulis dan berhitung. Sekolah sejenis dibuka di Solor dimana bahasa Latin juga diajarkan kepada murid-muridnya. Mereka yang berkeinginan melanjutkan pendidikan dapat pergi ke Goa – India yang ketika itu merupakan pusat kekuatan Portugis di Asia. Perkembangan pendidikan di zaman Portugis ini dapat dinyatakan berpusat di Maluku dan sekitarnya, sebab di daerah-daerah lain kekuasaan Portugis kurang begitu mengakar.

Masa Penjajahan BelandaBrugmans menyatakan pendidikan ditentukan oleh pertimbangan ekonomi dan politik Belanda di Indonesia (Nasution, 1987:3). Pendidikan selama penjajahan Belanda dapat dipetakan kedalam 2 (dua) periode besar, yaitu pada masa VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie) dan masa pemerintah Hindia Belanda (Nederlands Indie). Pada masa VOC, yang merupakan sebuah kongsi (perusahaan) dagang, kondisi pendidikan di Indonesia dapat dikatakan tidak lepas dari maksud dan kepentingan komersial. Berbeda dengan kondisi di negeri Belanda sendiri dimana lembaga pendidikan dikelola secara bebas oleh organisasi-organisasi keagamaan, maka selama abad ke-17 hingga 18 M, bidang pendidikan di Indonesia harus berada dalam pengawasan dan kontrol ketat VOC. Jadi, sekalipun penyelenggaraan pendidikan tetap dilakukan oleh kalangan agama (gereja), tetapi mereka adalah berstatus sebagai pegawai VOC yang memperoleh tanda kepangkatan dan gaji. Dari sini dapat dipahami, bahwa pendidikan yang ada ketika itu bercorak keagamaan (Kristen Protestan). Hal ini juga dikuatkan dari profil para guru di masa ini yang umumnya juga merangkap sebagai guru agama (Kristen). Dan sebelum bertugas, mereka juga diwajibkan memiliki lisensi (surat izin) yang diterbitkan oleh VOC setelah sebelumnya mengikuti ujian yang diselenggarakan oleh gereja Reformasi.Kondisi pendidikan di zaman VOC juga tidak melebihi perkembangan pendidikan di zaman Portugis atau Spanyol. Pendidikan diadakan untuk memenuhi kebutuhan para pegawai VOC dan keluarganya di samping untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja murah terlatih dari kalangan penduduk pribumi. VOC memang mendirikan sekolah-sekolah baru selain mengambil alih lembaga-lembaga pendidikan yang sebelumnya berstatus milik penguasa kolonial Portugis atau gereja Katholik Roma. Secara geografis, pusat pendidikan yang dikelola VOC juga relative terbatas di daerah Maluku dan sekitarnya. Di Sumatera, Jawa dan Sulawesi, VOC memilih untuk tidak melakukan kontak langsung dengan penduduk, tetapi mempergunakan mediasi para penguasa lokal pribumi. Jikalaupun ada, itu hanya berada di pusat konsentrasi pendudukannya yang ditujukan bagi para pegawai dan keluarganya.

Secara umum sistem pendidikan pada masa VOC dapat digambarkan sebagai berikut:(1) Pendidikan Dasar; Berdasar peraturan tahun 1778, dibagi kedalam 3 kelas berdasar rankingnya. Kelas 1 (tertinggi) diberi pelajaran membaca, menulis, agama, menyanyi dan berhitung. Kelas 2 mata pelajarannya tidak termasuk berhitung. Sedangkan kelas 3 (terendah) materi pelajaran fokus pada alphabet dan mengeja kata-kata. Proses kenaikan kelas tidak jelas disebutkan, hanya didasarkan pada kemampuan secara individual. Pendidikan dasar ini berupaya untuk mendidik para murid-muridnya dengan budi pekerti. Contoh pendidikan dasar ini antara lain Batavische school (Sekolah Betawi, berdiri tahun 1622); Burgerschool (Sekolah Warga-negara, berdiri tahun 1630); Dll.

Page 6: an Pendidikan Di Indonesia Dalam Lingkaran Neoliberalisme

(2) Sekolah Latin ; Diawali dengan sistem numpang-tinggal (in de kost) di rumah pendeta tahun 1642. Sesuai namanya, selain bahasa Belanda dan materi agama, mata pelajaran utamanya adalah bahasa Latin. Setelah mengalami buka-tutup, akhirnya sekolah ini secara permanent ditutup tahun 1670.(3) Seminarium Theologicum (Sekolah Seminari); Sekolah untuk mendidik calon-calon pendeta, yang didirikan pertama kali oleh Gubernur Jenderal van Imhoff tahun 1745 di Jakarta. Sekolah dibagi menjadi 4 kelas secara berjenjang. Kelas 1 belajar membaca, menulis, bahasa Belanda, Melayu dan Portugis serta materi dasar-dasar agama. Kelas 2 pelajarannya ditambah bahasa Latin. Kelas 3 ditambah materi bahasa Yunani dan Yahudi, filsafat, sejarah, arkeologi dan lainnya. Untuk kelas 4 materinya pendalaman yang diasuh langsung oleh kepala sekolahnya. Sistem pendidikannya asrama dengan durasi studi 5,5 jam sehari dan Sekolah ini hanya bertahan selama 10 tahun.(4) Academie der Marine (Akademi Pelayanan); Berdiri tahun 1743, dimaksudkan untuk mendidik calon perwira pelayaran dengan lama studi 6 tahun. Materi pelajarannya meliputi matematika, bahasa Latin, bahasa ketimuran (Melayu, Malabar dan Persia), navigasi, menulis, menggambar, agama, keterampilan naik kuda, anggar, dan dansa. Tetapi iapun akhirnya ditutup tahun 1755.(5) Sekolah Cina; 1737 didirikan untuk keturunan Cina yang miskin, tetapi sempat vakum karena peristiwa de Chineezenmoord (pembunuhan Cina) tahun 1740. selanjutnya, sekolah ini berdiri kembali secara swadaya dari masyarakat keturunan Cina sekitar tahun 1753 dan 1787.(6) Pendidikan Islam; Pendidikan untuk komunitas muslim relatif telah mapan melalui lembaga-lembaga yang secara tradisional telah berkembang dan mengakar sejak proses awal masuknya Islam ke Indonesia. VOC tidak ikut campur mengurusi atau mengaturnya. Pada akhir abad ke-18, setelah VOC mengalami kebangkrutan, kekuasaan Hindia Belanda akhirnya diserahkan kepada pemerintah kerajaan Belanda langsung. Pada masa ini, pendidikan mulai memperoleh perhatian relatif maju dari sebelumnya. Beberapa prinsip yang oleh pemerintah Belanda diambil sebagai dasar kebijakannya di bidang pendidikan antara lain: (1) Menjaga jarak atau tidak memihak salah satu agama tertentu; (2) Memperhatikan keselarasan dengan lingkungan sehingga anak didik kelak mampu mandiri atau mencari penghidupan guna mendukung kepentingan kolonial; (3) Sistem pendidikan diatur menurut pembedaan lapisan sosial, khususnya yang ada di Jawa.; (4) Pendidikan diukur dan diarahkan untuk melahirkan kelas elit masyarakat yang dapat dimanfaatkan sebagai pendukung supremasi politik dan ekonomi pemerintah kolonial. Jadi secara tidak langsung, Belanda telah memanfaatkan kelas aristokrat pribumi untuk melanggengkan status quo kekuasaan kolonial di Indonesia.

Era ini sesungguhnya telah beroleh pengaruh dari faham gerakan Aufklarung (pencerahan) yang berkembang di Eropa. Di antara tesisnya menyebutkan tentang penghargaan terhadap nalar, kebebasan spiritual serta sekularisasi agama dan negara. Implikasi logis dari hal ini salah satunya adalah penyerahan pengelolaan pendidikan kepada negara, bukan lagi kepada lembaga-lembaga keagamaan (gereja). Secara formil, pemerintah Hindia Belanda telah mendirikan beberapa sekolah di Jawa sejak kepemimpinan Daendels, yaitu sekolah artileri (1806) di Jatinegara, sekolah pelayaran (1808) di Semarang, sekolah bidan (1809) di Jakarta, dan sekolah seni tari (1809) di Cirebon. Daendels ini juga dikenal sebagai tokoh pertama yang menginstruksikan para

Page 7: an Pendidikan Di Indonesia Dalam Lingkaran Neoliberalisme

bupati agar mengusahakan pendirian sekolah-sekolah bagi remaja-remaja pribumi. Janssens yang menggantikan Daendels juga meneruskan kebijakan yang serupa di bidang pendidikan. Tetapi usahanya terinterupsi dengan kekalahan militer dan politik dari kerajaan Inggris. Hindia Belanda selanjutnya dikelola oleh Inggris di bawah Raffles. Secara kelembagaan formal, Inggris tidaklah menaruh perhatian besar kepada dunia pendidikan bagi kaum pribumi. Hanya saja, mereka tergolong sangat berminat melakukan eksplorasi ilmiah yang kemudian menghasilkan karya-karya intelektual yang cukup monumental, antara lain: History of Java karya Raffles, sejarah Sumatera, kamus Melayu dan pelajaran bahasa Melayu yang merupakan karya-karya Marsden, Java Government Gazette yang memuat ilmu pengetahuan tentang daerah dan penduduk, hasil kajian botani oleh Horsfield, dan juga kajian kepemilikan tanah di Jawa oleh Colin Mackenzie. Karya-karya tersebut memberi kontribusi signifikan bagi dunia ilmu pengetahuan sekaligus menjadi penanda khusus masa lima tahun (1811-1816) kekuasaan Inggris di Indonesia. Masa pemulihan kekuasaan Belanda pasca pendudukan Inggris menjadi titik tolak baru bagi perkembangan lebih maju dunia pendidikan di Indonesia.Pada masa ini, pendidikan bagi pribumi kembali dirasa penting guna menopang operasionalisasi pemerintahan Hindia Belanda. Gubernur Jenderal Van den Bosch (1829-1834) yang dikenal sebagai penggagas Cultuurstelsel tercatat pernah menerbitkan edaran agar didirikan sekolah dasar negeri di tiap karesidenan atas biaya Bijbelgenootschap (persekutuan Injil) tahun 1831. Tetapi kurang beroleh tanggapan karena menyelisihi prinsip netral sikap pemerintah dalam soal agama. Baru kemudian tahun 1848, dengan keluarnya Keputusan Raja, diinstruksikan untuk mendirikan sekolah-sekolah pribumi dengan pembiayaan sebesar f. 25.000 setahun yang dibebankan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendidik para calon pegawai negeri. Sejak itulah berdiri dan berkembang sekolah-sekolah dari tingkat dasar dan lanjutan hingga tinggi yang memperkenankan golongan pribumi (aristokrat) untuk turut menikmati pendidikan. Untuk mengurusi pendidikan, agama dan kerajinan, pemerintah Hindia Belanda juga telah membentuk departemen khusus pada tahun 1867. Perkembangan ini kemudian sempat mengalami kemunduran karena krisis ekonomi dunia (malaise) yang berlangsung hampir satu dekade (1883-1892).

Kesulitan keuangan dari Belanda akibat Perang Dipenogoro pada tahun 1825 sampai 1830 (Mestoko dkk,1985:11, Mubyarto,1987:26) serta perang Belanda dan Belgia (1830-1839) mengeluarkan biaya yang mahal dan menelan banyak korban. Belanda membuat siasat agar pengeluaran untuk peperangan dapat ditutupi dari negara jajahan. Kerja paksa dianggap cara yang paling ampuh untuk memperoleh keuntungan yang maksimal yang dikenal dengan cultuurstelsel atau tanam paksa (Nasution, 1987:11). Kerja paksa dapat dijalankan sebagai cara yang praktis untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Rakyat miskin selalu menjadi bagian yang dirugikan karena digunakan sebagai tenaga kerja murah. Rakyat miskin yang sebagian bekerja sebagai petani juga dimanfaatkan untuk menambah kas negara penguasa.

Untuk melancarkan misi pendidikan demi pemenuhan tenaga kerja murah, pemerintah mengusahakan agar bahasa Belanda bisa diujarkan oleh masyarakat untuk mempermudah komunikasi antara pribumi dan Belanda. Lalu, bahasa Belanda menjadi syarat Klein Ambtenaarsexamen atau ujian pegawai rendah pemerintah pada tahun 1864. (Nasution,

Page 8: an Pendidikan Di Indonesia Dalam Lingkaran Neoliberalisme

1987:7). Syarat tersebut harus dipenuhi para calon pegawai yang akan digaji murah. Pegawai sedapat mungkin dipilih dari anak-anak kaum ningrat yang telah mempunyai kekuasaan tradisional dan berpendidikan untuk menjamin keberhasilan perusahaan (Nasution, 1987:12). Jadi, anak dari kaum ningrat dianggap dapat membantu menjamin hasil tanam paksa lebih efektif, karena masyarakat biasa mengukuti perintah para ningrat. Suatu keadaan yang sangat ironis, kehidupan terdiri dari lapisan-lapisan sosial yaitu golongan yang dipertuan (orang Belanda) dan golongan pribumi sendiri terdapat golongan bangsawan dan orang kebanyakan.

Kehidupan petani yang selalu ditekan bukan masalah yang baru. Petani menduduki posisi sosial yang selalu dimanfaatkan, lahan pertanian merupakan tempat untuk menggantungkan pendapatan dan hidup petani, terutama petani gurem. Petani menjadi sapi perahan yang harus membayar pungutan resmi untuk membantu jalannya pemerintahan dan penyuplai kebutuhan pejabat daerah (Mubyarto, 1987:24). Praktek tanam paksa sekitar tahun 1830-1870 (di Yogyakarta, Solo, dan Priangan sampai 1918) merupakan kesengsaraan yang tiada taranya dan memiliki kesan yang paling hitam bagi petani dari masa penjajahan Belanda.

Politik Etis Perkembangan pendidikan di Indonesia mendapati tahapan barunya menjadi lebih progresif ketika memasuki tahun 1900, yakni era Ratu Juliana berkuasa di kerajaan Belanda. Van Deventer yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda menerapkan politik etis (Etische Politiek) pada tahun 1899 dengan motto “de Eereschuld” (hutang kehormatan) dan slogan “Educatie, Irigatie, Emigratie”. Pemerintah Belanda lambat laun seolah-olah bertanggung jawab atas pendidikan anak Indonesia melalui politik etis. Prinsip-prinsip atau arah etis (etische koers) yang diterapkan di bidang pendidikan pada masa ini adalah: (1) Pendidikan dan pengetahuan Barat diterapkan sebanyak mungkin bagi pribumi. Bahasa Belanda diupayakan menjadi bahasa pengantar pendidikan; (2) Pendidikan rendah bagi pribumi disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Sistem pendidikan pada masa ini belum lepas dari pola stratifikasi sosial yang telah ada, dan beroleh pengesahan legal sejak tahun 1848 dari penguasa kolonial. Dalam stratifikasi resmi tersebut dinyatakan bahwa penduduk dibagi kedalam 4 (empat) golongan: (1) Golongan Eropa; (2) Golongan yang dipersamakan dengan Eropa; (3) Golongan Bumiputera; dan (4) Golongan yang dipersamakan dengan Bumiputera. Tahun 1920, rumusan ini mengalami revisi menjadi seperti berikut ini: (1) Golongan Eropa; (2) Golongan Bumiputera; dan (3) Golongan Timur Asing. Perlu dicatat bahwa untuk golongan pribumi (bumiputera), secara sosial terstratifikasi sebagai berikut: (1) Golongan bangsawan (aristokrat) dan pemimpin adat; (2) Pemimpin agama (Ulama); dan (3) Rakyat biasa.

Secara umum, sistem pendidikan di Indonesia pada masa penjajahan Belanda sejak diterapkannya Politik Etis dapat digambarkan sebagai berikut: (1) Pendidikan dasar meliputi jenis sekolah dengan pengantar Bahasa Belanda (ELS, HCS, HIS), sekolah dengan pengantar bahasa daerah (IS, VS, VgS), dan sekolah peralihan. (2) Pendidikan

Page 9: an Pendidikan Di Indonesia Dalam Lingkaran Neoliberalisme

lanjutan yang meliputi pendidikan umum (MULO, HBS, AMS) dan pendidikan kejuruan. (3) Pendidikan tinggi.Pendidikan dibuat berjenjang, tidak berlaku untuk semua kalangan, dan berdasarkan tingkat kelas. Pendidikan lebih diutamakan untuk anak-anak Belanda, sedangkan untuk anak-anak Indonesia dibuat dengan kualitas yang lebih rendah. Pendidikan bagi pribumi berfungsi untuk menyediakan tenaga kerja murah yang sangat dibutuhkan oleh penguasa. Sarana pendidikan dibuat dengan biaya yang rendah dengan pertimbangan kas yang terus habis karena berbagai masalah peperangan.

Politik etis dijalankan berdasarkan faktor ekonomi di dalam maupun di luar Indonesia, seperti kebangkitan Asia, timbulnya Jepang sebagai Negara modern yang mampu menaklukkan Rusia, dan perang dunia pertama (Nasution, 1987:17). Politik etis terutama sebagai alat perusahaan raksasa yang bermotif ekonomis agar upah kerja serendah mungkin untuk mencapai keuntungan yang maksimal. Irigasi, transmigrasi, dan pendidikan yang dicanangkan sebagai kedok untuk siasat meraup keuntungan. Irigasi dibuat agar panen padi tidak terancam gagal dan memperoleh hasil yang lebih memuaskan. Transmigrasi berfungsi untuk penyebaran tenaga kerja, salah satunya untuk pekerja perkebunan. Politik etis menjadi program yang merugikan rakyat.

Pendidikan dasar berkembang sampai tahun 1930 dan terhambat karena krisis dunia, tidak terkecuali menerpa Hindia Belanda yang disebut mengalami malaise (Mestoko dkk, 1985 :123). Masa krisis ekonomi merintangi perkembangan lembaga pendidikan. Lalu, lembaga pendidikan dibuat dengan biaya yang lebih murah. Kebijakan yang dibuat termasuk penyediaan tenaga pengajar yang terdiri dari tenaga guru untuk sekolah dasar yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan guru (Mestoko, 1985:158), bahkan lulusan sekolah kelas dua dianggap layak menjadi guru. Masalah lain yang paling mendasar adalah penduduk sulit mendapatkan uang sehingga pendidikan bagi orang kurang mampu merupakan beban yang berat. Jadi, pendidikan semakin sulit dijangkau oleh orang kebanyakan. Pendidikan dibuat untuk alat penguasa, orang kebanyakan menjadi target yang empuk diberi pengetahuan untuk dijadikan tenaga kerja yang murah.

Ciri-ciri Pendidikan BelandaPendidikan dibuat oleh Belanda memiliki ciri-ciri tertentu. Pertama, gradualisme yang luar biasa untuk penyediaan pendidikan bagi anak-anak Indonesia. Belanda membiarkan penduduk Indonesia dalam keadaan yang hampir sama sewaktu mereka menginjakkan kaki, pendidikan tidak begitu diperhatikan. Kedua, dualisme diartikan berlaku dua sistem pemerintahan, pengadilan dari hukum tersendiri bagi golongan penduduk. Pendidikan dibuat terpisah, pendidikan anak Indonesia berada pada tingkat bawah. Ketiga, kontrol yang sangat kuat. Pemerintah Belanda berada dibawah kontrol Gubernur Jenderal yang menjalankan pemerintahan atas nama raja Belanda. Pendidikan dikontrol secara sentral, guru dan orang tua tidak mempunyai pengaruh langsung politik pendidikan. Keempat, Pendidikan berguna untuk merekrut pegawai. Pendidikan bertujuan untuk mendidik anak-anak menjadi pegawai perkebunan sebagai tenaga kerja yang murah. Kelima, prinsip konkordansi yang menjaga agar sekolah di Hindia Belanda mempunyai kurikulum dan standar yang sama dengan sekolah di negeri Belanda, anak Indonesia tidak berhak sekolah di pendidikan Belanda. Keenam, tidak adanya organisasi yang sistematis.

Page 10: an Pendidikan Di Indonesia Dalam Lingkaran Neoliberalisme

Pendidikan dengan ciri-ciri tersebut diatas hanya merugikan anak-anak kurang mampu. Pemerintah Belanda lebih mementingkan keuntungan ekonomi daripada perkembangan pengetahuan anak-anak Indonesia.

Pemerintah Belanda juga membuat sekolah desa. Sekolah desa sebagai siasat untuk mengeluarkan biaya yang murah. Sekolah desa diciptakan pada tahun 1907. Tipe sekolah desa yang dianggap paling cocok oleh Gubernur Jendral Van Heutz sebagai sekolah murah dan tidak mengasingkan dari kehidupan agraris (Nasution, 1987:78). Kalau lembaga pendidikan disamakan dengan sekolah kelas dua, pemerintah takut penduduk tidak bekerja lagi di sawah. Penduduk diupayakan tetap menjadi tenaga kerja demi mengamankan hasil panen.

Sekolah desa dibuat dengan biaya serendah mungkin. Pesantren diubah menjadi madrasah yang memiliki kurikulum bersifat umum. Pesantren dibumbui dengan pengetahuan umum. Cara tersebut dianggap efektif, sehingga pemerintah tidak usah membangun sekolah dan mengeluarkan biaya (Nasution, 1987:80). Guru sekolah diambil dari lulusan sekolah kelas dua, dianggap sanggup menjadi guru sekolah desa. Guru yang lebih baik akan digaji lebih mahal dan tidak bersedia untuk mengajar di lingkungan desa.

Masa penjajahan Belanda berkaitan dengan pendidikan merupakan catatan sejarah yang kelam. Penjajah membuat pendidikan sebagai alat untuk meraup keuntungan melalui tenaga kerja murah. Sekolah juga dibuat dengan biaya yang murah, agar tidak membebani kas pemerintah. Politik etis menjadi tidak etis dalam pelaksanaannya, kepentingan biaya perang yang sangat mendesak dan berbagai masalah lain menjadi kenyataan yang tercatat dalam sejarah pendidikan masa Belanda.

Masa Penjajahan JepangSetelah Februari 1942 menyerang Sumatera Selatan, Jepang selanjutnya menyerang Jawa dan akhirnya memaksa Belanda menyerah pada Maret 1942. Belanda digantikan oleh kekuasaan Jepang. Jepang membawa ide kebangkitan Asia yang tidak kalah liciknya dari Belanda. Didorong semangat untuk mengembangkan pengaruh dan wilayah sebagai bagian dari rencana membentuk Asia Timur Raya yang meliputi Manchuria, Daratan China, Kepulauan Filiphina, Indonesia, Malaysia, Thailand, Indo China dan Rusia di bawah kepemimpinan Jepang, negara ini mulai melakukan ekspansi militer ke berbagai negara sekitarnya tersebut. Dengan konsep “Hakko Ichiu” (Kemakmuran Bersama Asia Raya) dan semboyan “Asia untuk Bangsa Asia”, bangsa fasis inipun menargetkan Indonesia sebagai wilayah potensial yang akan menopang ambisi besarnya. Dengan konteks sejarah dunia yang menuntut dukungan militer kuat, Jepang mengelola pendidikan di Indonesia pun tidak bisa dilepaskan dari kepentingan ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan di masa pendudukan Jepang sangat dipengaruhi motif untuk mendukung kemenangan militer dalam peperangan Pasifik.

Jepang kemudian menerapkan beberapa kebijakan terkait pendidikan yang memiliki implikasi luas terutama bagi sistem pendidikan di era kemerdekaan. Hal-hal tersebut antara lain: (1) Dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan Bahasa Belanda; (2) Adanya integrasi sistem pendidikan

Page 11: an Pendidikan Di Indonesia Dalam Lingkaran Neoliberalisme

dengan dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan kelas sosial di era penjajahan Belanda. Sistem pendidikan pada masa pendudukan Jepang itu kemudian dapat diikhtisarkan sebagai berikut: (1) Pendidikan Dasar (Kokumin Gakko / Sekolah Rakyat). Lama studi 6 tahun. Termasuk SR adalah Sekolah Pertama yang merupakan konversi nama dari Sekolah dasar 3 atau 5 tahun bagi pribumi di masa Hindia Belanda. (2) Pendidikan Lanjutan. Terdiri dari Shoto Chu Gakko (Sekolah Menengah Pertama) dengan lama studi 3 tahun dan Koto Chu Gakko (Sekolah Menengah Tinggi) juga dengan lama studi 3 tahun. (3) Pendidikan Kejuruan. Mencakup sekolah lanjutan bersifat vokasional antara lain di bidang pertukangan, pelayaran, pendidikan, teknik, dan pertanian. (4) Pendidikan Tinggi.

Guna memperoleh dukungan tokoh pribumi, Jepang mengawalinya dengan menawarkan konsep Putera Tenaga Rakyat di bawah pimpinan Soekarno, M. Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan K.H. Mas Mansur pada Maret 1943. Konsep ini dirumuskan setelah kegagalan the Triple Movement yang tidak menyertakan wakil tokoh pribumi. Tetapi PTR akhirnya mengalami nasib serupa setahun kemudian. Pasca ini, Jepang tetap merekrut Ki Hajar Dewantoro sebagai penasehat bidang pendidikan mereka. Upaya Jepang mengambil tenaga pribumi ini dilatarbelakangi pengalaman kegagalan sistem pendidikan mereka di Manchuria dan China yang menerapkan sistem Nipponize (Jepangisasi). Karena itulah, di Indonesia mereka mencobakan format pendidikan yang mengakomodasi kurikulum berorientasi lokal. Sekalipun patut dicatat bahwa pada menjelang akhir masa pendudukannya, ada indikasi kuat Jepang untuk menerapkan sistem Nipponize kembali, yakni dengan dikerahkannya Sendenbu (propagator Jepang) untuk menanamkan ideologi yang diharapkan dapat menghancurkan ideologi Indonesia Raya.

Jepang juga memandang perlu melatih guru-guru agar memiliki keseragaman pengertian tentang maksud dan tujuan pemerintahannya. Materi pokok dalam latihan tersebut antara lain: (1) Indoktrinasi ideologi Hakko Ichiu; (2) Nippon Seisyin, yaitu latihan kemiliteran dan semangat Jepang; (3) Bahasa, sejarah dan adat-istiadat Jepang; (4) Ilmu bumi dengan perspektif geopolitis; serta (5) Olaharaga dan nyanyian Jepang. Sementara untuk pembinaan kesiswaan, Jepang mewajibkan bagi setiap murid sekolah untuk rutin melakukan beberapa aktivitas berikut ini: (1) Menyanyikan lagi kebangsaan Jepang, Kimigayo setiap pagi; (2) Mengibarkan bendera Jepang, Hinomura dan menghormat Kaisar Jepang, Tenno Heika setiap pagi; (3) setiap pagi mereka juga harus melakukan Dai Toa, bersumpah setia kepada cita-cita Asia Raya; (4) Setiap pagi mereka juga diwajibkan melakukan Taiso, senam Jepang; (5) Melakukan latihan-latihan fisik dan militer; (7) Menjadikan bahasa Indonesia sebagai pengantar dalam pendidikan. Bahasa Jepang menjadi bahasa yang juga wajib diajarkan.

Setelah menguasai Indonesia, Jepang menginstruksikan ditutupnya sekolah-sekolah berbahasa Belanda, pelarangan materi tentang Belanda dan bahasa-bahasa Eropa lainnya. Termasuk yang harus ditutup adalah HCS, sehingga memaksa peranakan China kembali ke sekolah-sekolah berbahasa Mandarin di bawah koordinasi Hua-Chino Tsung Hui, yang berimplikasi pada adanya proses resinification (penyadaran dan penegasan identitas

Page 12: an Pendidikan Di Indonesia Dalam Lingkaran Neoliberalisme

sebagai keturunan bangsa China). Kondisi ini antara lain memaksa para guru untuk mentranslasikan buku-buku berbahasa asing kedalam Bahasa Indonesia untuk kepentingan proses pembelajaran. Selanjutnya sekolah-sekolah yang bertipe akademis diganti dengan sekolah-sekolah yang bertipe vokasi. Jepang juga melarang pihak swasta mendirikan sekolah lanjutan dan untuk kepentingan kontrol, maka sekolah swasta harus mengajukan izin ulang untuk dapat beroperasi kembali.

Taman Siswa misalnya terpaksa harus mengubah Taman Dewasa menjadi Taman Tani, sementara Taman Guru dan Taman Madya tetap tutup. Kebijakan ini menyebabkan terjadinya kemunduran yang luar biasa bagi dunia pendidikan dilihat dari aspek kelembagaan dan operasonalisasi pendidikan lainnya.Sementara itu terhadap pendidikan Islam, Jepang mengambil beberapa kebijakan antara lain: (1) Mengubah Kantoor Voor Islamistische Zaken pada masa Belanda yang dipimpin kaum orientalis menjadi Sumubi yang dipimpin tokoh Islam sendiri, yakni K.H. Hasyim Asy’ari. Di daerah-daerah dibentuk Sumuka; (2) Pondok pesantren sering mendapat kunjungan dan bantuan pemerintah Jepang; (3) Mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah yang mengajarkan latihan dasar seni kemiliteran bagi pemuda Islam di bawah pimpinan K.H. Zainal Arifin; (4) Mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta di bawah asuhan K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan Bung Hatta; (4) Diizinkannya ulama dan pemimpin nasionalis membentuk barisan Pembela Tanah Air (PETA) yang belakangan menjadi cikal-bakal TNI di zaman kemerdekaan; dan (5) Diizinkannya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) terus beroperasi, sekalipun kemudian dibubarkan dan diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang menyertakan dua ormas besar Islam, Muhammadiyah dan NU. Lepas dari tujuan semula Jepang memfasilitasi berbagai aktivitas kaum muslimin ketika itu, nyatanya hal ini membantu perkembangan Islam dan keadaan umatnya setelah tercapainya kemerdekaan.

Pendidikan semakin menyedihkan dan dibuat untuk menyediakan tenaga cuma-cuma (romusha) dan kebutuhan prajurit demi kepentingan perang Jepang (Mestoko, 1985 dkk:138). Sistem penggolongan dihapuskan oleh Jepang. Rakyat menjadi alat kekuasaan Jepang untuk kepentingan perang. Pendidikan pada masa kekuasaan Jepang memiliki landasan idiil hakko Iciu yang mengajak bangsa Indonesia berkerjasama untuk mencapai kemakmuran bersama Asia raya. Pelajar harus mengikuti latihan fisik, latihan kemiliteran, dan indoktrinasi yang ketat.

Kebangkitan Asia menjadi slogan omong kosong pada kenyataannya. Mubyarto (1987:36) menjelaskan pertanian Indonesia diusahakan dapat mendukung usaha peperangan. Bibit baru dari Taiwan memang berumur lebih pendek dengan hasil per hektar lebih tinggi dipaksakan untuk ditanam dengan sistem larikan (dalam garis lurus) dan dengan menggunakan pupuk hijau dan kompos. Petani menjadi membenci sistem baru tersebut. jaman Jepang sebagai jaman penyiksaan yang kejam. Jadi, petani dibuat sebagai sumber pendapatan yang terus dipaksa untuk menambah hasil panen. Penduduk sebagai alat komoditas yang terus diperas.

Sejarah Belanda sampai Jepang dipahami sebagai alur penjelasan kalau pendidikan digunakan sebagai alat komoditas oleh penguasa. Pendidikan dibuat dan diajarkan untuk

Page 13: an Pendidikan Di Indonesia Dalam Lingkaran Neoliberalisme

melatih orang-orang menjadi tenaga kerja yang murah. Runtutan penjajahan Belanda dan Jepang menjadikan pendidikan sebagai senjata ampuh untuk menempatkan penduduk sebagai pendukung biaya untuk perang melalui berbagai sumber pendapatan pihak penjajah. Pendidikan pula yang akan dikembangkan untuk membangun negara Indonesia setelah merdeka.

Era Awal KemerdekaanSetelah kemerdekaan, perubahan bersifat sangat mendasar yaitu menyangkut penyesuaian bidang pendidikan. Badan pekerja KNIP mengusulkan kepada kementrian pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan supaya cepat untuk menyediakan dan mengusahakan pembaharuan pendidikan dan pengajaran sesuai dengan rencana pokok usaha pendidikan (Mestoko, 1985:145). Lalu, pemerintah mengadakan program pemberantasan buta huruf. Program buta huruf tidak mudah dilaksanakan dengan berbagai keterbatasan sumber daya, kendala gedung sekolah dan guru. Kementrian PP dan K juga mengadakan usaha menambah guru melalui kursus selama dua tahun. Kursus bahasa jawa, bahasa Inggris, ilmu bumi, dan ilmu pasti(Mestoko dkk, 1985:161). Program tersebut menunjukkan jumlah orang yang buta huruf seluruh Indonesia sekitar 32,21 juta (kurang lebih 40%), buta huruf pada tahun 1971. Buta huruf yang dimaksud adalah buta huruf latin (Mestoko dkk, 1985:327). Jadi, kegiatan pemberantasan buta huruf di pedesaan yang diprogramkan oleh pemerintah untuk menanggulangi angka buta aksara di Indonesia dan buta pengetahuan dasar, tetapi pendidikan kurang lebih tidak berdampak pada rumah tangga kurang mampu. Badan Pekerja KNIP mengusulkan pokok-pokok usaha pendidikan dan pengajaran kepada Kementrian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (29 Desember 1945): (1) Perlu ada perubahan pedoman pendidikan dan pengajaran. Yang paling mendasar adalah mengubah faham individualisme menjadi faham kesusilaan dan peri kemanusiaan yang tinggi. (2) Demi persatuan dan keadilan sosial, sekolah harus dibuka untuk segala lapisan masyarakat baik laki-laki maupun perempuan. (3) Sistem pendidikan perlu berorientasi vokasi, leadership dan pemberantasan buta huruf. (4) Pendidikan agama perlu diberi perhatian seksama dengan asas kemerdekaan beragama. Adapun madrasah dan pesantren sangat perlu mendapat perhatian dan bantuan nyata dari pemerintah. (5) Pengembangan optimal pendidikan tinggi termasuk memanfaatkan bantuan guru besar asing dan pengiriman mahasiswa untuk studi ke luar negeri. (6) Wajib belajar 6 tahun yang diharapkan telah merata dalam jangka waktu satu dekade (10 tahun). (7) Pendidikan teknik dan ekonomi khususnya pertanian, industri, pelayaran dan perikanan perlu mendapat perhatian istimewa. (8) Pendidikan kesehatan dan olahraga hendaknya dilaksanakan secara teratur. (9) Pendidikan gratis bagi siswa Sekolah Rakyat. Sedangkan bagi siswa Sekolah Menengah dan Perguruan Tinggi diupayakan pengaturan pembiayaan dan tunjangan yang luas agar dapat membantu akses bagi mereka yang kurang mampu.Usulan ini kemudian ditindaklanjuti oleh Mendikjar (Dr. Mr. T.S.G. Mulia) dengan membentuk Panitia Penyelidik Pengajaran di bawah pimpinan Ki Hajar Dewantara dengan penulis Soegarda Poerbakawatja. Salah satu hasil Panitia Penyelidik Pengajaran ini adalah rumusan tujuan pendidikan sebagai berikut: “Mendidik warga negara yang sejati, sedia menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk warga negara dan masyarakat.” Pengertian “warga yang sejati” itu kemudian dijabarkan sifat-sifatnya dalam pedoman bagi guru-guru yang dikeluarkan oleh Kementerian PP dan K pada tahun 1946, yaitu: (1)

Page 14: an Pendidikan Di Indonesia Dalam Lingkaran Neoliberalisme

Berbakti kepada Tuhan YME. (2) Cinta kepada alam. (3) Cinta kepada negara. (4) Cinta dan hormat kepada ibu-bapak. (5) Cinta kepada bangsa dan kebudayaan. (6) Keterpanggilan untuk memajukan negara sesuai kemampuannya. (7) Memiliki kesadaran sebagai bagian integral dari keluarga dan masyarakat. (8) Patuh pada peraturan dan ketertiban. (9) Mengembangkan kepercayaan diri dan sikap saling hormati atas dasar keadilan. (10) Rajin bekerja, kompeten dan jujur baik dalam pikiran maupun tindakan.Formulasi cita-cita ini menunjukkan bahwa pendidikan ketika itu lebih menekankan pada aspek penanaman semangat patriotisme.Pada bulan Desember 1949, terjadi perubahan ketatanegaraan dimana UUD 1945 diganti dengan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat. Meski landasan idiil (yaitu Pancasila) tidak berubah, tetapi formulasi tujuan pendidikan mengalami perubahan. Hal ini tampak dalam UU No. 4 tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah yang disahkan oleh Presiden RI (Mr. Assaat) dan Mendikjar RI (S. Mangunsarkoro), yaitu: “Membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air.” Rumusan tujuan pendidikan ini kemudian dituangkan kembali dalam UU No. 12 tahun 1954 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah yang sesungguhnya merupakan pemberlakuan kembali UU No. 4 tahun 1950 untuk seluruh wilayah RI. Formulasi cita-cita ini menunjukkan bahwa pendidikan ketika itu telah mengadaptasi pemikiran demokrasi yang tengah berkembang sehingga sifat-sifat ini pula yang ditanamkan kepada generasi mudanya. Tujuan pendidikan nasional kembali mengalami perubahan ketika politik negara dikendalikan faham Manipol-Usdek di bawah pimpinan Bung Karno sejak 1959. Dalam Kepres RI No. 145 tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila disebutkan bahwa: “Tujuan Pendidikan Nasional kita baik yang diselenggarakan oleh pihak Pemerintah maupun oleh pihak Swasta, dari Pendidikan Prasekolah sampai Pendidikan Tinggi, supaya melahirkan warga negara Sosialis Indonesia yang susila, yang bertanggung jawab atas terselenggaranya Masyarakat Sosialis Indonesia, adil dan makmur baik spiritual maupun materiil dan yang berjiwa Pancasila, yaitu: (a) Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa, (b) Perikemanusiaan yang adil dan beradab, (c) Kebangsaan, (d) Kerakyatan, (e) Keadilan Sosial, seperti dijelaskan dalam Manipol/Usdek.” Formulasi ini ternyata tidak bertahan lama karena peristiwa G 30 S/PKI tahun 1965 yang menyadarkan rakyat tentang motif politik PKI di balik cita-cita pendidikan tersebut. Selanjutnya, pada masa Orde Baru melalui Ketetapan MPRS RI No. XXVII/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan dan Kebudayaan disebutkan bahwa tujuan pendidikan adalah: “Membentuk manusia Pancasilais sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang dikehendaki oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.”Pada tahun 1973, MPR hasil pemilu mengeluarkan Ketetapan MPR RI No. IV/MPR/1973 yang dikenal dengan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang di dalamnya menyebutkan rumusan tujuan pendidikan sebagai berikut: “Pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup.” Tujuan ini kemudian mengalami reformulasi kembali dalam Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978 yang berbunyi: “Pendidikan nasional berdasarkan atas Pancasila dan bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi

Page 15: an Pendidikan Di Indonesia Dalam Lingkaran Neoliberalisme

budi pekerti, memperkuat kepribadian, dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.”Demikianlah, melalui beberapa ilustrasi formulasi tujuan pendidikan dalam sejarah Indonesia dapat dipahami bahwa dinamika yang terjadi di dunia pendidikan nasional kita sangat erat terkait dengan dinamika politik, ekonomi, serta sosio-kultural masyarakat. Pendidikan memang diakui sebagai wahana pencerdasan dan pembudayaan masyarakat, tetapi bagaimanapun juga, di samping faktor perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kepentingan-kepentingan politik maupun ekonomi senantiasa saja menjadi pertimbangan yang memberi warna dan corak bagi perkembangan pendidikan yang ada. Coba perhatikan formulasi cita-cita pendidikan yang tertuang dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional berikut ini:Pendidikan Nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional(Pasal 3).Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan , kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan (Pasal 4).

Kemerdekaan Indonesia tidak membuat nasib orang tidak mampu terutama dari sektor pertanian menjadi lebih baik. Pemaksaan atau perintah halus gampang muncul kembali, contoh yang paling terkenal dengan akibat yang hampir serupa seperti cara-cara dan praktek pada jaman Jepang, bimas gotong royong yang diadakan pada tahun 1968-1969 disebut bimas gotong royong karena merupakan usaha gotong royong antara pemerintah dan swasta (asing dan nasional) untuk meyelenggarakan intensifikasi pertanian dengan menggunakan metode Bimas (Fakih, 2002:277, Mubyarto, 1987:37). Adapun tujuannya adalah untuk meningkatkan produksi beras dalam waktu sesingkat mungkin dengan mengenalkan bibit padi unggul baru yaitu Peta Baru (PB) 5 dan PB 8.37. Pada jaman penjajahan Belanda juga pernah dilakukan cultuurstelsel, Jepang memaksakan penanaman bibit dari Taiwan. Jadi, rakyat dipaksakan mengikuti kemauan dari pihak penguasa. Cara tersebut kurang lebih sama dengan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia sebagai cara untuk menghasilkan panen yang lebih maksimal. Muller (1979:73) menyatakan berdasarkan penelitian yang dilakukan di Indonesia bahwa sebagian besar masyarakat yang masih hidup dalam kemiskinan, paling-paling hanya bisa memenuhi kebutuhan hidup yang paling minim, dan hampir tidak bisa beradaptasi aktif sedangkan golongan atas hidup dalam kemewahan.

Pendidikan pada masa Belanda, Jepang dan setelah kemerdekaan sulit dicapai oleh orang-orang dari rumah tangga kurang mampu. Mereka diajarkan dan diberi pengetahuan untuk kepentingan pihak penguasa. Mereka dijadikan tenaga kerja yang diandalkan untuk mencapai keuntungan yang maksimal. Setelah jaman kemerdekaan, rakyat dari rumah tangga kurang mampu terus menjadi sumber pemaksaan secara halus untuk pengembangan bibit padi unggul. Pendidikan sebagai alat penguasa untuk

Page 16: an Pendidikan Di Indonesia Dalam Lingkaran Neoliberalisme

mengembangkan program yang dianggap dapat mendukung peningkatan pemasukan pemerintah. dari awal kemerdekaan. Pada masa perjuangan kemerdekaan, dapat dilihat atau setidaknya mendengarkan kesaksian dari para sesepuh kita bagaimana proses pendidikan dijalankan oleh pemerintah. Periode tahun 1908-1945 ditandai dengan kehadiran para pemimpin politik yang penuh dedikasi dan gigih dalam perjuangan di bidang pendidikan, sehingga mereka dapat dipandang sebagai tokoh sekaligus pemimpin politik yang pantas ditiru. Dokter Wahidin Sudirohusodo kala itu begitu yakin bahwa pendidikan merupakan solusi utama guna mengentaskan bangsa dari keterbelakangan dan kemelaratan. Demikian pula dengan Ki Hajar Dewantara yang mengemas pemikirannya tentang pendidikan dalam sebuah konsep sederhana namun begitu dalam filosofinya: Ing Ngarso sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani, yang artinya “di depan memberi contoh, di tengah membangun semangat, dan di belakang mengawasi”.

Begitu pula di awal masa kemerdekaan, masalah pendidikan nasional telah memperoleh cukup banyak perhatian dari elite politik yang ada. Jika kita membuka kembali lembaran sejarah, proklamator Bung Hatta merupakan salah satu tokoh yang gencar menyuarakan pentingnya pendidikan nasional bagi kemajuan bangsa sejak zaman kolonialisme.

Pendidikan Masa Orde BaruNamun sebaliknya, pada periode 1959-1998 muncul pemimpin-pemimpin dan pelaku-pelaku politik yang tidak lagi berjalan dengan idealisme yang nasionalistik dan patriotik. Terlebih lagi pada masa pemerintahan Soeharto yang dianggap sebagian besar kalangan mulai mengenyampingkan isu tentang pendidikan. Pada saat itu kita lebih melihat pendidikan digunakan sebagai kendaraan politik bagi pemerintah untuk melakukan indoktrinasi terhadap rakyat. Hal tersebut ditempuh terkait dengan kekhawatiran akan timbulnya gejolak apabila pendidikan benar-benar diperkenalkan sepenuhnya. Mereka lebih banyak berasyik-masyuk dengan kepentingan kelompok, karena bagi mereka kekuasaan bukan lagi amanah namun kesempatan untuk memakmurkan diri, keluarga, dan teman-teman dekatnya. Sejak saat itulah pandangan terhadap dunia pendidikan dianggap tidak lagi menjanjikan segi finansial apapun, non issue, sesuatu hal yang mudah, sesuatu yang dapat ditangani siapa saja, sehingga wajar bila kemudian diketepikan dan digeser pada prioritas yang kesekian. Sistem pendidikan kita terlihat masih bersifat tambal sulam, mulai dari kebijakan kurikulum, manajemen, sistem pembelajaran, tuntutan kualitas guru, tuntutan fasilitas dan dana pendidikan, kurang memliki “prioritas” yang ingin dicapai. Sementara  secara umum, pendidikan seringkali dipandang sebagai investasi modal jangka panjang yang harus mampu membekali “pembelajar” untuk menghadapi kehidupan masa depannya.  Pendidikan harus mampu mencerahkan “pembelajar” dari ketidak tahuan menjadi tahu dan memberdayakan, artinya pendidikan  mampu membuat “pembelajar” berhasil dalam kehidupan.  Maka, berbicara soal pendidikan adalah bicara “soal kualitas kehidupan “pembelajar”, soal kualitas sumberdaya manusia [SDM], yang akan menjadi tantangan dan sekaligus peluang bagi bangsa Indonesia untuk ikutan bergulir sejajar dengan bangsa lain.   Sejarah Ideology liberal bagi para intelektual

Page 17: an Pendidikan Di Indonesia Dalam Lingkaran Neoliberalisme

Awalnya adalah melemahnya pengaruh Belanda sejak penyerahan kedaulatan ke Indonesia di tahun 1949 yang kemudian perlahan-lahan tergantikan oleh Amerika Serikat – juga sedang merancang kepentingannya untuk berhadapan dengan blok komunis melalui program peluncuran developmentalism oleh Harry S. Truman dibantu dengan beberapa intelektual diantaranya Rostow (ekonomi) dan Parson (sosiologi) melalui program perekrutan sarjana untuk studi lanjut. Peran besar USAID, Yayasan Ford dan Rockefeller dalam menyediakan dana segar sebesar 150 juta US Dollar semakin memperkuat upaya mereka untuk “merancang ideology bagi para intelektual di belahan dunia lain mulai dari bidang social, penciptaan seni sampai metodologi ilmiah”. Guy J. Pauker yang dekat dengan perwira militer dan elit politik orde baru merancang program pendidikan bagi militer melalui sekolah staf komando yang sekarang kita kenal dengan nama Seskoad. Saat penggulingan Soekarno, yang dipersiapkan melalui operasi rahasia, para perwira militer ini mengambil peran yang penting hal tersebut ditunjukkan dengan pernyataan Dubes Marshal Green yang menilai operasi dan pendidikan itu sebagai “investasi kita yang paling berharga bagi masa depan Indonesia”. perwira militer yang terlibat kup dan kemudian tampil memimpin adalah lulusan akademi militer AS. Bahkan penyebutan orde baru dimulai dari seminar Angkatan Darat pada Agustus 1966, sebagai penanda pula persekutuan antara intelektual-politisi-militer.  Di kalangan ekonom-sipil- Bruce Glassburner memimpin tim dari Berkeley untuk memberi pelajaran di bidang administrasi bisnis, perencanaan ekonomi dan statistik, di samping juga melakukan perekrutan sarjana untuk studi di Berkeley dan Harvard kepada para intelektual Indonesia yang kemudian melahirkan arsitek ekonomi orde baru yang di kenal dengan “Mafia Berkeley”, istilah yang pertama kali diperkenalkan oleh jurnal Ramparts di AS. Pada saat kekuasaan mutlak Soeharto di tahun 1967 para sarjana yang direkrut tersebut menduduki posisi strategis diantaranya: Departemen Perdagangan tampil Sumitro Djojohadikusumo (Rotterdam 1939) dan Subroto (Harvard 1964), sementara Bappenas dipimpin oleh Widjojo Nitisastro (Berkeley 1961) dan Emil Salim (Berkeley 1964) sebagai wakilnya. Mohammad Sadli (MIT 1956) menjadi ketua Tim Teknis Penanaman Modal Asing sementara Barli Halim (Berkeley 1969) duduk di Departemen Industri.  Memeluk Ekonomi PasarSetelah keberhasilan mengguling Soekarno, babak selanjutnya dilahirkanlah program “memulihkan ekonomi Indonesia” yang kemudian melahirkan persekutuan lebih kuat antara intelektual, militer, pemilik modal, politisi serta lembaga keuangan internasional yang kemudian merubah haluan bangsa ini ke arah kapitalisme. Selama tahun-tahun pertama kelahiran orde baru, program ekonomi bangsa sesungguhnya di buat 100% oleh badan eknomi dunia seperti IMF, Bank Dunia, USAID, hal tersebut dapat dibuktikan sebagaimana ungkapan Mohamad Sadli saat perjanjian dengan Freeport McMoran yang mengaku hanya minta ditunjukkan kolom-kolom yang harus ditandatanganinya. “Bagi kami yang penting adalah mendatangkan modal ke Indonesia,” seperti dikutip Jeffrey Winters dalam Power in Motion.  Bahkan “guru besar” ilmu ekonomi pertumbuhan W.W. Rostow langsung turun tangan datang ke Indonesia untuk memberikan ceramah-ceramah ke univeristas-universitas

Page 18: an Pendidikan Di Indonesia Dalam Lingkaran Neoliberalisme

terkemuka di Indonesia. Tak pelak kemudian, jika universitas di Indonesia dikuasai oleh pikiran dan praktek kapitalisme. Di sekolah militer yang kemudian melahirkan “perwira intelektual” juga berhasil menjadi ujung tombak kekuasaan kapitalisme dengan bercokolnya mereka di wilayah kekuasaan strategis ditahun 1970-an seperti Mayjen Umar Wirahadikusumah di Badan Pemeriksa Keuangan, Kolonel Sutjipto dan Mayjen Muskita di Departemen Perdagangan, Kolonel Sumudarsono dan Mayjen Tirtajasa di Departemen Perindustrian serta Brigjen Piet Harjono dan Brigjen Tahir di Departemen Keuangan.  Rekayasa Sosial Jika di bidang ekonomi orientasi pertumbuhan menjadi titik pokok utama, maka di bidang ilmu social diperlakukan penyelarasan melalui rekayasa social atau social engineering dengan merancang strategi modernisasi.Sejalan dengan orientasi pertumbuhan dan pasar di bidang ekonomi, para ahli ilmu sosial merancang strategi modernisasi, sebuah strategi penghilangan nilai tradisional yang dianggap menghambat proses menuju masyarakat “beradab”, yakni modern.  Salah satu produknya yakni politik masa mengambang, yakni sebuah alat politik untuk menjauhkan rakyat dari proses pengambilan keputusan dengan anggapan bahwa masyarakat Indonesia masih terbelakang dan karenanya diperlukan elit sebagai penentu arah, merumuskan konsep, dan melaksanakan sekaligus mengevaluasi. Kepentingan ini sejalan dengan harapan militer menciptakan stabilitas nasional untuk mengamankan modal, produk-produk lainnya antara lain, revolusi hijau dan Panca Usaha Tani (pertanian) program yang dijalankan oleh lulusan lembaga riset IRRI seperti: Menteri Pertanian Wardojo, Syarifuddin Karama dan Farid Bahar serta tak kurang dari 832 lulusan lainnya, Transmigrasi – praktek ini dijalankan oleh Menteri Transmigrasi Martono atas bekal pinjaman 820 juta dollar dari Bank Dunia- dan Keluarga Berencana (kependudukan), reboisasi, HPH, HGU (kehutanan), sekulerisasi (teologi). Di bidang psikologi, kaum intelektual kita direkrut sebagai pengklasifikasi para tahanan sekaligus menentukan nasib mereka, ahli komunikasi seperti Alwi Dahlan dan Hidayat Mukmin dijadikan “juru penerangan” menyebarluaskan pengertian di kalangan masyarakat mengenai bahaya laten dari sisa-sisa G-30-S/PKI maupun golongan ekstrem dan subversif lainnya”, imbalan dari kerja Alwi Dahlan adalah ketua BP7 sebuah alat indoktrinasi negara disemua lapisan negara, dengan program yang kita kenal sebagai penataran P4.  Tidak hanya berhenti di sektor pendidikan sekolah, kepentingan kaum kapitalis juga termaktub dengan dibentuknya kelompok studi seperti Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Lembaga ini didirikan oleh persekutuan pemilik modal-militer dan kaum intelektual antara lain oleh Ali Moertopo, Soedjono Hoemardani, Sofyan dan Jusuf Wanandi, serta Harry Tjhan Silalahi. Tahun 1971 mereka berperan besar bagi kemenangan Golkar dalam pemilihan umum, dengan menyingkirkan kekuatan politik yang potensial menjadi penghalang. CSIS juga menghasilkan kajian mengenai orientasi kebijakan pembangunan, seperti 25 Tahun Akselerasi Modernisasi dan Pembangunan yang ditulis Ali Moertopo tahun 1973, sebuah kajian untuk melegitimasi kepentingan pemilik modal demi proyek lanjutan yang akan dilobi oleh Sofyan Wanandi

Page 19: an Pendidikan Di Indonesia Dalam Lingkaran Neoliberalisme

dan Soedjono Hoemardani. Untuk kaum “akademis”, ruang bagi perjalanan penguat legitimasi juga dibuka melalui para intelektual-akademisi yang pro modernisasi ala developmentalism diantaranya Selo Soemardjan, Harsja Bachtiar, Astrid Susanto, Mattulada dan Miriam Budiardjo yang menguasai program-program studi ilmu sosial di beberapa universitas terkemuka.  Jalur yang ditempuh untuk pelanggengan kepentingan tersebut (baca: hegemonisasi) adalah diperkenalkannya gagasan Rostow (ekonomi), Parson (sosiologi), Shmuel Eisenstadt, Lucien Pye, Gabriel Almond dan Samuel Huntington (politik) yang berbicara tentang pentingnya negara Dunia Ketiga mengikuti jalur modernisasi kapitalis. Selain itu atas bantuan Yayasan Ford, Rockefeller, USAID intelektual kita juga diikutkan dalam pergaulan internasional yang melibatkan ahli-ahli seperti Clifford Geertz, Karl Jackson dan Robert Jay.  Persekutuan Intelektual dengan Neo LiberalTumbangnya kediktaktoran Soeharto pada mei 1998 tidak menyurutkan langkah kapitalis dan sekutunya, lembaga finansial seperti: Bank Dunia, IMF, ADB  dan tak lupa juga penyandang dana seperti: USAID, yayasan Ford untuk tetap bercokol di Indonesia. Mereka sama sekali tidak mau ambil pusing bahwa atas “jasa” merekalah krisis dan kehancuran bangsa ini berlangsung. Saat ini perjalanan mereka dapat kita lihat pada para intelektual kita yang “mengais rejeki” pada proyek-proyek globalisasi seperti: good governance, good corporate governance, program anti korupsi, menyingkirkan segenap rintangan investasi dan pasar bebas (baca: privatisasi, pemberlakuan perlindungan hak milik intelektual (HAKI), good governance (pemerintahan yang baik), penghapusan subsidi dan program proteksi rakyat, deregulasi, penguatan civil society, program anti-korupsi, dan lain sebagainya. Globalisasi yang berlandaskan pada paham Neo-liberalis sesungguhnya ditandai dengan kebijakan pasar bebas, yang mendorong perusahaaan swasta dan pilihan konsumen, penghargaan atas tanggungjawab personal dan inisiatif kewiraswastaan, serta menyingkirkan birokrat dan “parasit” pemerintah, yang tidak akan pernah mampu meskipun dikembangkan. Aturan dasar kaum neo-liberal adalah “Liberalisasikan perdagangan dan keuangan,” “Biarkan pasar menentukan harga,” “Akhiri inflasi, stabilisasi ekonomi-makro, dan privatisasi,” “Pemerintah harus menyingkir dari menghalangi jalan.” Arsitek tata dunia ini ditetapkan dalam apa yang dikenal sebagai “The Neo-Liberal Washington Consensus,” yang terdiri dari para pembela ekonomi swasta terutama wakil dari perusahaan-perusahaan besar yang mengontrol dan menguasai ekonomi internasional dan memiliki kekuasaan untuk mendominasi informasi kebijakan dalam membentuk opini publik (M. Fakih: 2001).Secara ideal, sebenarnya dunia pendidikan kita harus mampu berjalan beriringan dengan dunia luar. Akan tetapi, kendala utama yang dihadapi adalah komitmen pemerintah yang tidak terfokus pada prioritas dalam hal dana pendidikan baik pada masa lalu dan masa kini. Akibatnya idealisme tersebut masih jauh dari impian, jauh dari kenyataan dan hanya menjadi “mitos”.   Maka yang menjadi  persoalan sekarang apakah pemerintah atau bangsa Indonesia ini sadar bahwa pendidikan merupakan kunci utama untuk menghadapi persaingan dengan dunia luar.  Apakah pemerintah baik pusat maupun daerah memiliki komitmen untuk menentukan sektor pendidikan adalah faktor kunci bagi pembangunan

Page 20: an Pendidikan Di Indonesia Dalam Lingkaran Neoliberalisme

bangsa dan negara ini. Apabila dilihat dari komitmen pemerintah Indonesia  menempatkan anggaran pendidikan dibawah standar yaitu 8% dalam anggaran belanja dan pendapatan negara [APBN] yang semestinya sebesar minimal 20% [baca: Suyanto, 2006:xi], bahkan semua komponen menghendaki, termasuk usulan dari pengurus besar PGRI agar anggaran pendidikan mendapat alokasi 25% dari APBN [Ibrahim Musa, Ibid, From: http://202.159.18.43/jp/22ibrahim.htm]. Sebab, anggaran pendidikan yang memadai untuk dapat menjadikan SDM bangsa Indonesia berkualitas setarap dengan tingkat pelayanan pendidikan di negara maju hanya tinggal impian. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sebenarnya kesadaran pemerintah Indonesia atas masalah pendidikan sangat rendah dibandingkan perhatian pada sector lain.

Beberapa intelektual yang terjun bebas ke jurang neo liberal dapat diidentifikasi dari pikiran dan prakteknya dalam melakukan analisis, yang hanya berpijak pada kesalahan pelaku birokrasi pemerintah ataupun pengusaha nasional dan takut untuk berbicara pada kesalahan sistem-struktur yang tidak adil yakni neo liberal; diantara mereka adalah menteri, pejabat di lembaga finansial atau penerima proyek dari penganut neo liberal. Selain itu beberapa juga menjadi “broker” bagi penguatan civil society melalui program partnership. Jika melihat komposisi di atas maka kita masih melihat keterkaitan lembaga pendidikan yang mereka naungi dengan para pendahulunya saat orde baru masih berkuasa. (Wallahu a’lam Bishawab).

KepustakaanCahyana, Ade, Indonesia 2010: Merubah Mitos menjadi Realitas Pembangunan, From:

http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/26/indonesia 2010 Ade Cahyana.htm, sabtu, 16/9/ 2006, jam. 13.10.

Freire, Paulo, 1995, Pendidikan Kaum Tertindas, Terjemahan, Utomo Dananjaya, LP3ES, Jakarta.  

Kelompok Kerja Pengkajian dan Perumusan, Rangkuman Filosofi, Kebijaksanaan dan Strategi Pendidikan Nasional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1999, Jakarta.

Mastuhu, 2003, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21, Safiria Insania Press dan MSI, Yogyakarta. 

Musa, Ibrahim,  Otonomi Penyelenggaraan Pendidikan Dasar dan Menengah, From: http://202.159.18.43/jp/22ibrahim.htm, Akses, 5 Juni 2002 

Nomida Musnir, Diana, 2000, Arah Pendidikan Nasional dalam Perspektif Historis, dalam Buku: Sindhunata [editor], 2000, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi, Kanisius, Yogyakarta.  

Purbo, Onno W., Pergeseran Drastis Paradigma Dunia Pendidikan, From: http://bebas.vlsm.org/v09/onno-ind-1/application/education/pergeseran-drastis-paradigma-dunia-pendidikan-1998.rtf, 7/11/2003. 

Sanaky, Hujair AH., 2003, Paradigma Pendidikan Islam, Membangun Masyarakat Madani Indonesia, Safiria Insania dan MSI, Yogyakarta. 

--------, 2005, Sertifikasi dan Profesionalisme Guru di Era Reformasi Pendidikan, Jurnal Pendidikan Islam [JPI], Volume XII TH VIII Juni 2005, ISSN: 0853-7437, Jurusan Tarbiyah Fakultas Ilmu Agama UII, Yogyakarta. 

Page 21: an Pendidikan Di Indonesia Dalam Lingkaran Neoliberalisme

----------, Paradigma Pembangunan Pendidikan di Indonesia Pasca Reformasi Antara Mitos dan Realitas.

Suryadi, Ace, Pengelolaan Pendidikan Perlu Paradigma Baru, From:http://www. Kompas.com/kompas-cetak/0010/16/DIKBUD/peng09.htm.,akses, Sabtu, 23/8/ 2003. 

Suyanto & Djihad Hisyam, 2000, Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III, Adicita Karya Nusa, Yogyakarta. 

Suyanto, 2006, Dinamika Pendidikan Nasional [Dalam Percaturan Dunia Global], PSAP Muhammadiyah, Jakarta. 

Soedjiarto, 1999. "Memahami Arahan Kebijakan GBHN 1999-2004 tentang Pendidikan Sebagai Upaya Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Membangun Peradaban Negara bangsa Indonesia", Makalah, Primagama-IPSI-PGRI, Yogyakarta.

Tilaar, H.A.R., 1998, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21, Tera Indonesia, Magelang.

Yacub, Muhammad, From: http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/27/suatu opini mengenai reformasi_s.htm, akses, Rabu,20/9/2006, jam.13.35. 

Zamroni, 2000, Paradigma Pendidikan Masa Depan, Adipura, Yogyakarta.Insentif bagi Industri yang Lakukan Pelatihan, Kompas, Kamis, 26 Juni 1997

Tempo, 7 Januari 2001Lewat Persentase Anggaran, Belajar dari Negara Lain, Kompas, Sabtu, 2 Mei 1998Kabupaten dan Kota Menjadi Basis Pengelolaan Pendidikan Dasar, Kompas, Rabu, 24

Februari 1999Sekolah Plus, Menghitung Dengan Dollar, Suplemen, Tempo, 18 Maret 2001Kasrai, Reza, Corporate University, CFS-Quebec Education Action, edisi musim gugur

2001. http://www.newyouth.com/archives/campaigns/mexico/UNAM.aspRUU BHP, Skenario Neoliberalisme, SUARA PEMBARUAN DAILY, September 5,

2007 BHMN, Neoliberalisme Pendidikan, Suara Pembaruan March 15, 2007Muhammad Roqib, M.Ag , Politik Pendidikan dan Pendidikan Politik Sebagai Upaya

Memajukan Bangsa, Jumat, 2008 Agustus 08Pan Mohamad Faiz (New Delhi) , Polemik Inkonstitusionalitas Anggaran Pendidikan,

Dimuat pada H.U. Seputar Indonesia (05/05/07)Pan Mohamad Faiz , Menanti Political Will Pemerintah di Sektor Pendidikan, Pikiran

Rakyat Bandung , October 05, 2006Abu Khaulah Zainal Abidin , “Ideologi Pendidikan Kita” Maret 22, 2008, Posted by

rumahbelajaribnuabbas in Pendidikan. Greg Russell, Bentuk Pemerintahan Berdasarkan Konstitusi (terj.), Demokrasi, Office of

International Information Programs, US. Dept. of States., tanpa tahun.Richard C.Schroeder, Garis Besar Pemerintahan Amerika Serikat (terj.), Office of

International Information Programs – United States Dept. of States, 2000.The center on Education Policy, Washington D.C., The Federal Role in US Education,

US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, vol 5 no. 2, June 2000.

Tiffany Danitz, The Standards Revolution In U.S. Schools, US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, vol 5 no. 2, June 2000.

Page 22: an Pendidikan Di Indonesia Dalam Lingkaran Neoliberalisme

Anonim, The Federal Role in Education - Overview , US Department of Education in http://www.ed.gov

Anonim, College Rankings, America’s "Top" Schools, US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November 2005.

Judith S. Eaton, An Overview of U.S. Accreditation, publication of Council for Higher Education Accreditation, tanpa tahun .

Robert H. Bruininks, Public Universities In The United States, US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November 2005.

James W. Wagner, What Is A Large, Private Research University?, US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November 2005.

Anonim, The Cost Of College In The United States, US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November 2005.

Martina Schulze, Possible Sources Of Financial Aid, US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November 2005.

Margaret S. Branson, At The Core Of U.S. Education, A Passion For Learning, US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, vol 5 no. 2, June 2000.

Hizbut Tahrir, How the Khilafah was Destroyed, Khilafah Publication, London 2000Ideologi Pendidikan Sebuah Pengantar , Tuesday, March 18, 2008

http://www.fppm.org/Info%20Anda/pendidikan%20yang%20membebaskan.htm.Mansour Faqih dan Toto Rahardjo. Pendidikan yang membebaskan, 09 Agustus 2002

http://www.pikiran-rakyat.com/Artikel/0802.htm. Ahmad Dahidi & Miftachul Amri. Potret Pendidikan di Jepang, Sebuah Refleksi. 22 Mei

2003.Agus Syafii <agussyafii@yaho...>, Problem Pendidikan di Era Reformasi, February 18,

2008 Kepentingan Politik Masih Terlihat Lebih Menonjol, http://www.kompas.co.id/kompas-

cetak/0708/08/humaniora/3750060.htmPendidikan Indonesia Alami Proses Involusi, Harian Kompas, 4 September 2004Agung Pramanto (JIP'98)/Redaksi AP, Dilema Otonomi Pendidikan: Catatan Dari

Seminar Otonomi Pendidikan Nasional 2001 SMFSUI Otonomi Pendidikan Masih Hadapi Banyak Kendala, Jakarta, Sinar Harapan, 2003St Kartono , Memahami Otonomi Pendidikan beserta Implikasinya, SUARA

PEMBARUAN DAILY , 2002Uni Eropa: Perdamaian Aceh Bukti Kekuatan Soft Power, TEMPO Interaktif, Jakarta,

Rabu, 13 Desember 2006 | 21:15 WIB"Soft Power" dan Jejak Bush , Kompas, 21 Nopember 2006Muhammad Roqib, M.Ag, Politik Pendidikan dan Pendidikan Politik Sebagai Upaya

memajukan Bangsa, http://roqibstain.blogspot.com/2008/08/politik-pendidikan-dan-pendidikan.html

Marsudi Budi Utomo, 50 Tahun RI-Jepang, December 24, 2007Novian Widiadharma, UIN Yogyakarta , Art, Soft Power, dan Tata Dunia Baru,

Wednesday, 13 August 2008 07:15

Page 23: an Pendidikan Di Indonesia Dalam Lingkaran Neoliberalisme

Nurani Soyomukti (Esai Politik): "Soft Power", Strategi Gerakan Anti Teror(Isme), Sabtu, 2007 Agustus 25

Dino Patti Djalal Juru Bicara Kepresidenan, SBY dan "Soft Power" , URL Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0506/13/opini/1806887.htm

Megawati: Pandangan Tentang Pendidikan Murah dan Gratis, Menyesatkan, Rabu, 05 Mei 2004

Khoirul Anwar , Membangun Moral di abad Global , 15 Juni 2008 - 17:05  Iskandar Alisjahbana , Cyberspace dari Peradaban Gelombang-Ketiga "Sifat dan Hakekat

Manusia & Masyarakat di Dalam Era-Informasi" , Edisi ke Tujuh, April 1997Baridul Islam Pr, “Abuse of Power” Kaum Intelektual, Purwokerto, 16 Maret 2003Anonym, Masalah Pendidikan Di Indonesia, August 29, 2007 Yusufhadi Miarso, Pengembangan Terkini Sistem Pendidikan dan Pembelajaran di

Perguruan Tinggi, Disampaikan dalam Semiloka Pengajaran dan Program Magang, Departemen Ilmu Hubungan Internasional, FISIP-UI, 2 Mei 2008

Banathy, Bela H. (1991). Systems Design of Education. A journey to create the future. Englewood Cliffs, NJ: Educational Technology Publications

Dabbagh, Nada & Brenda Bannan-Ritland. Online Learning. Concept, strategies and application. Columbus,OH : Pearson. 2005

Miarso, Yusufhadi. (2005). Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Pustekkom-Kencana

Reigeluth, Charles M. and Robert J. Garfinkle. (eds.)(1994). Systemic Change in Education. Englewood Cliffs, NJ: Educational Technology Publications

Toffler, Alvin. The Third Wave. London : Pan Books Ltd.UNSCTD. Knowledge Society. Published for and on behalf of The Unted Nations.

Oxford,NY : Oxford University Press. 1998 Tim MWA Wakil Mahasiswa KM ITB dan Kastrat Kabinet KM ITB, Positioning Paper.

Pernyataan Sikap KM ITB terhadap RUU BHP BHP: Gaya Baru Otokrasi Pendidikan Indonesia

NIM. Sistem Pendidikan Yang Berkarakter dan Berbudaya, February 28, 2007Benedict Richard O'Gorman Anderson. Imagined Communities: Reflections on the

Origin and Spread of Nationalism. Edition: 2, revised. Verso, 1991Bertrand Russell. Power: A New Social Analysis. Edition: 2. W.W.Norton & company,

1938Chantal Mouffe . Gramsci and Marxist Theory: essays. Routledge, 1979Dewey, John, 1974, The Child and The Curriculum,and The School and Society, Chicago

and London, The University of Chicago Press. Giddens, Anthony, The Nation States and Violence: Volume Two of a Contemporary

Immanuel Maurice Wallerstein, Immanuel Wallerstein. The Modern World-system II. Edition: 2. Academic Press, 1980

Masinambow, EKM (ed), 1997, Koentjaraningrat dan Antropologi Indonesia, Jakarta, AAI dan Yayasan Obor Indonesia.

McQuail, Denis, 2000, Mass Communication Theories, Fourth edition, Sage Publication, London

Michael Wallerstein : The Political Economy of Inequality, Unions, amd Social Democracy. New York: Cambridge University Press, 2008

Renate Holub. Antonio Gramsci: Beyond Marxism and Postmodernism. Routledge, 1992

Page 24: an Pendidikan Di Indonesia Dalam Lingkaran Neoliberalisme

Rudolf Ekstein, Robert S. Wallerstein. The Teaching and Learning of Psychotherapy. Edition: 2. Basic Books, 1958

Siswanta, Relasi kekuasaan: telaah pemikiran Antonio Gramsci dalam konteks politik Indonesia kontemporer.  Media Wacana, 2006

Sutaarga, Moh. Amir. 1997/1998. Pedoman Penyelenggaraan dan Pengelolaan Museum. Jakarta: Proyek Pembangunan Permuseuman Jakarta

Vedi R. Hadiz, Benedict Richard O'Gorman Anderson. Politik, budaya, dan perubahan sosial: Ben Anderson dalam studi politik Indonesia. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama bekerja sama dengan Yayasan SPES, 1992

FX Sugiyanto, Ilusi Kurikulum Pendidikan dalam Kuasa Neoliberalisme , Saturday, 02 August 2008