princessoxtha.files.wordpress.com€¦ · web viewwilayah jawa timur juga meliputi pulau madura,...
Post on 07-Oct-2020
13 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PERKEMBANGAN PERNIKAHAN ADAT JAWA TIMUR
Untuk memenuhi tugas akhir Mata kuliah Filsafat Kebudayaan
Yang dibina oleh Bapak Abd.Latief Bustami
Oleh
Oktaviana Setyaningtyas Wibawati
108831416476
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
PENDIDIKAN SEJARAH
Desember 2010
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Jawa Timur adalah sebuah provinsi di bagian timur Pulau Jawa, Indonesia.
Ibukotanya adalah Surabaya. Luas wilayahnya 47.922 km², dan jumlah
penduduknya 37.070.731 jiwa (2005). Jawa Timur memiliki wilayah terluas di
antara 6 provinsi di Pulau Jawa, dan memiliki jumlah penduduk terbanyak kedua
di Indonesia setelah Jawa Barat. Jawa Timur berbatasan dengan Laut Jawa di
utara, Selat Bali di timur, Samudra Hindia di selatan, serta Provinsi Jawa Tengah
di barat. Wilayah Jawa Timur juga meliputi Pulau Madura, Pulau Bawean, Pulau
Kangean serta sejumlah pulau-pulau kecil di Laut Jawa dan Samudera
Hindia(Pulau Sempu dan Nusa Barung). Jawa Timur dikenal sebagai pusat
Kawasan Timur Indonesia, dan memiliki signifikansi perekonomian yang cukup
tinggi, yakni berkontribusi 14,85% terhadap Produk Domestik Bruto nasional.
Provinsi Jawa Timur berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Selat Bali di timur,
Samudera Hindia di selatan, serta Provinsi Jawa Tengah di barat. Panjang
bentangan barat-timur sekitar 400 km. Lebar bentangan utara-selatan di bagian
barat sekitar 200 km, namun di bagian timur lebih sempit hingga sekitar 60 km.
Madura adalah pulau terbesar di Jawa Timur, dipisahkan dengan daratan Jawa
oleh Selat Madura. Pulau Bawean berada sekitar 150 km sebelah utara Jawa. Di
sebelah timur Madura terdapat gugusan pulau-pulau, yang paling timur adalah
Kepulauan Kangean dan yang paling utara adalah Kepulauan Masalembu. Di
bagian selatan terdapat dua pulau kecil yakni Nusa Barung dan Pulau Sempu.
Kebudayaan dan adat istiadat Suku Jawa di Jawa Timur bagian barat menerima
banyak pengaruh dari Jawa Tengahan, sehingga kawasan ini dikenal sebagai
Mataraman; menunjukkan bahwa kawasan tersebut dulunya merupakan daerah
kekuasaan Kesultanan Mataram. Daerah tersebut meliputi eks-Karesidenan
Madiun (Madiun, Ngawi, Magetan, Ponorogo, Pacitan), eks-Karesidenan Kediri
(Kediri, Tulungagung, Blitar, Trenggalek) dan sebagian Bojonegoro. Seperti
halnya di Jawa Tengah, wayang kulit dan ketoprak cukup populer di kawasan ini.
Kawasan pesisir barat Jawa Timur banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Islam.
Kawasan ini mencakup wilayah Tuban, Lamongan, dan Gresik. Dahulu pesisir
utara Jawa Timur merupakan daerah masuknya dan pusat perkembangan agama
Islam. Lima dari sembilan anggota walisongo dimakamkan di kawasan ini. Di
kawasan eks-Karesidenan Surabaya (termasuk Sidoarjo, Mojokerto, dan
Jombang) dan Malang, memiliki sedikit pengaruh budaya Mataraman, mengingat
kawasan ini cukup jauh dari pusat kebudayaan Jawa: Surakarta dan Yogyakarta.
Adat istiadat di kawasan Tapal Kuda banyak dipengaruhi oleh budaya Madura,
mengingat besarnya populasi Suku Madura di kawasan ini. Adat istiadat
masyarakat Osing merupakan perpaduan budaya Jawa, Madura, dan Bali.
Sementara adat istiadat Suku Tengger banyak dipengaruhi oleh budaya Hindu.
Masyarakat desa di Jawa Timur, seperti halnya di Jawa Tengah, memiliki ikatan
yang berdasarkan persahabatan dan teritorial. Berbagai upacara adat yang
diselenggarakan antara lain: tingkepan (upacara usia kehamilan tujuh bulan bagi
anak pertama), babaran (upacara menjelang lahirnya bayi), sepasaran (upacara
setelah bayi berusia lima hari), pitonan (upacara setelah bayi berusia tujuh bulan),
sunatan, pacangan. Penduduk Jawa Timur umumnya menganut perkawinan
monogami. Sebelum dilakukan lamaran, pihak laki-laki melakukan acara nako'ake
(menanyakan apakah si gadis sudah memiliki calon suami), setelah itu dilakukan
peningsetan (lamaran). Upacara perkawinan didahului dengan acara temu atau
kepanggih. Masyarakat di pesisir barat: Tuban, Lamongan, Gresik, bahkan
Bojonegoro memiliki kebiasaan lumrah keluarga wanita melamar pria, berbeda
dengan lazimnya kebiasaan daerah lain di Indonesia, dimana pihak pria melamar
wanita. Dan umumnya pria selanjutnya akan masuk ke dalam keluarga wanita.
Untuk mendoakan orang yang telah meninggal, biasanya pihak keluarga
melakukan kirim donga pada hari ke-1, ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, 1 tahun, dan 3
tahun setelah kematian.
B.Rumusan Masalah
1.1 Bagaimana awal mula perkembangan pernikahan adat Jawa Timur?
1.2 Bagaimana tata cara upacara pernikahan adat Jawa Timur?
1.3 Bagaimana makna simbol-simbol dalam pernikahan adat Jawa Timur?
C. Tujuan Masalah
1.1 Awal mula perkembangan pernikahan adat Jawa Timur
1.2 Tata cara upacara pernikahan adat Jawa Timur
1.3 Makna simbol-simbol dalam pernikahan adat Jawa Timur
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Awal Perkembangan Pernikahan Adat Jawa timur
Melakoni perkawinan dalam jagat pikir orang jawa tidak sesederhana .Orang
seperti menapaki dunia baru, dua dimensi dunia yang sama pentingnya, yang
mesti diperjuangkan untuk sebuah ide dan harmoni.dua dunia itu adalah dunia
spiritual, gaib, mistis dan dunia riil, jagat alit dan jagat gedhe, bukan untuk
dipertentangkan atau berjalan sendiri-sendiri, tapi bersama-sama menggapai
harmoni. Maka dalam konsep ini orang Jawa mencap ‘tidak jawa’ terhadap orang
yang tidak ‘menerapkan’ budaya Jawa dan sebaliknya menyebut Jawa atau
njawani meskipun terhadap orang yang secara genetika bukan keturunan Jawa
(Benedict R.O.G. Anderson, 1996)
Hal ini berarti, apabila individu atau jagat alit (mikrokosmos) tidak menerapkan
kelaziman jagat gedhe (makrokosmos) , maka ini inharmoni. Tuntutan penerapan
ini pantas dimengerti karena orang Jawa sebagai individu, jagat alit
(mikrokosmos) tunduk pada masyarakat, dan masyarakat tunduk pada masyarakat,
dan masyarakat tunduk pada alam, jagat Gedhe (makrokosmos).
Berdasarkan konsep pandangan itulah maka perkawinan menurut adat jawa bukan
remeh temeh, semata persoalan formal semata.Lebih dari itu perkawinan
merupakan upaya untuk menghadirkan dan mensinergikan dua konsep dunia itu
secara bersama; sebuah perjalanan spiritual dan kultural yang aplikasinya
bermuara pada masyarakat, jagat gedhe (makrokosmos).
Perkawinan berfungsi menjadi semacam upacara pengukuhan, inisiasi, perubahan
dimensi jeneng (status) ke jeneng yang lain.Dalam hal ini orang jawa memberikan
nama baru, satu nama yang digunakan untuk kedua insan yang telah menikah
sebagai perlambang bahwa jagat manusia ketika sebelum menikah masih sendiri-
sendiri, belum bulat dan setelah menikah menjadi bulat dengan satu nama, yang
untuk itu semua perlu didukung upacara.
Secara lebih terinci, jagat kosmis, Jawa ketika berbicara perkawinan menyebutkan
bahwa perkawinan dapat ditelusur melalui konsep kadang papat lima pancer, yaitu
kawah berwarna putih menemani arah wetan, mengawali kehidupan manusia,
getih berwarna merah, menemani arah kidul, puser berwarna hitam menemani
arah kulon, adhi ari-ari berwarna kuning menemani arah lor dan pancer berisi dua
anasir mar dan marti yang keluar melalui Marga-hina, dimana mar dan marti ini
akan selalu menjadi jodoh. Perkawinan yang terjadi antara laki-laki dan
perempuan hakekatnya hanyalah gambaran pertemuan Mar dan marti yang sudah
berjodoh sejak sebelum lahir.
Dalam nuansa semacam ini “pertemuan” (baca : perkawinan) memiliki relevansi
dengan arti perkawinan secara faktual bahwa perkawinan dalam jagat tradisi Jawa
tidak dimulai dengan nikah, melainkan diinisiasikan dengan upacara, Sebuah
upacara peralihan status, dari satu jeneng (status) ke jeneng lain yang lebih tinggi
(Djojodigoeno : 1957), dari status remaja ke status dewasa berumah tangga.Dalam
konteks ini perlu dipahami bahwa bagi orang Jawa perkawinan atau pernikahan
sering tidak dirasakan sebagai aqad (perjanjian), tetapi semata-mata dirasakan
sebagai upacara saja.Selain itu perkawinan Jawa Pra –Islam juga mengenal istilah
Patiba sampir, yaitu saegala sesuatuyang diucapkan oleh seorang putri kepada
lelakinya.Kata-kata tersebut merupakan bagian dari saksi, janji atau permintaan
untuk terlaksananya perkawinan. (Edi Sedyawati, 1993)
Dalam tataran praktiknya , pernikahan adat Jawa hanya dengan mengundang
tetangga sebagai saksi, dikepayakke (diumumkan ) lalu ujub diucapkan, bahwa si
Perempuan dan si laki-laki telah berjodoh, untuk selanjutnya hidup sebagai suami
istri, dan diupacarai.
Seterusnya upacara menjadi sangat penting , karena upacara hakekatnya sebagai
pen-tashih dengan mengundang partisipasi individu, masyarakat dan kekuatan
jagat gedhe dengan segala misterinya untuk mendukung terwujudnya cita-cita
mempelai. Dalam upacara perkawinan Jawa makna yang dominan dimunculkan
justru bagaimana upacara itu menghasilkan sesuatu yang harmoni dengan
masyarakat sambil tunduk pada alam.Maka lazimnya upacara perkawinan Jawa
dalam tataran aplikasinya dialkukan melalui petung yang njlimet dengan
memperhatikan konsep cokro manggilingan, yang intinya manusia tergantung
pada konsep perputaran roda waktu yang ajeg (konstan) , hari baik dan buruk itu
tinggal kita cocokkan dengan perputaran waktu itu. Kemudian dengan sesaji yang
lengkap, bahasa yang tharik-tharik, rumah yang ditata, pernik dan ragam
hiasannya, tata urut bentuk ritualnya yang semuanya menyiratkan simbol ,
harapan, dan konsep cita ideal perkawinan.
` Pada dimensi lain perkawinan dalam adat jawa membutuhkan kehadiran
sesaji yang menjadi bagian tata cara, doa material simbolis pada Tuhan yang
mengusung terwujudnya keinginan sebuah rumah tangga, sebuah ideal
perkawinan.Sesaji diharapkan dapat menjadi media pendamai, pengharmoni
terhadap ancaman yang datang dari kekuatan potensi jahat makhluk halus,
kekuatan jahat yang bermaksud menggagalkan cita-cita mulia sebuah perkawinan.
Diluar semua itu upacara perkawinan adat jawa juga memuat kepentingan
kebahagiaan dengan kekuasaan.Meminjam istilah Friederich Nietzche hidup ini
sebagai der Wille zur Macht (kehendak untuk berkuasa).Kebahagiaan menurutnya
adalah perasaan akan bertambahnya kekuasaan, seakan tujuannya untuk lebih
berkuasa meraih status, mengasah pamor kekuasaannya (hakekat upacara adalah
mengasah pamor ben mencorong).Seperti yang dilustrasikan oleh John Pemberton
dalam On The Subject of “Java”, bagaimana perkawinan Pakubuwana VII yang
“keluarga Ningrat” dengan putri dari Dinasti Madura Cakraningrat, yang
menunjukkan kekuatan logistik yang serba lengkap, malam laksana siang, dengan
ilustrasi, Gebyar gebyar ting gelebyur, sumilak angilat thathit, manceret mancurat
muncrat”, menghias kota Surakarta bak istana Indraloka.
Dalam filosofi Jawa, konsep perkawinan ini selalu disandingkan dengan istilah
metu, manten, dan mati. Van Gennep dalam kajian teori-teori agama primitifnya
menyebut istilah itu sebagai life cycle rites (siklus hidup) patokan yang diikuti dan
merupakan ritus tertua dalam kehidupan manusia. Secara teoritis ia melihat
bahwa tiap masyarakat secara bewrulang dengan interval waktu tertentu
memerlukan apa yang disebut “regenerasi” semangat kehidupan sosial. Pendapat
ini diperteguh W. Robertson Smith, bahwa upacara yang bernuansa ritus semacam
perkawinan itu berfungsi mengintensifkan solidaritas masyarakat yang cenderung
mengalami kelonggaran karena berbagai macam persoalan yang terjadi seiring
waktu.
Di samping makna sosial itu Mircea Eliade melihat bahwa upacara semacam itu
dalam bahasa Mircea Eliade memiliki muatan simbol, mitos, ritus dan mantra
sebagai konsep metafisis dunia kuno yang tidak dirumuskan dalam bahasa teoritis,
lebih banyak diturun wariskan dengan bahsa praktik , dan merupakan sistem
penegasan koheren yang rumit tentang ultimate (realitas akhir).sistem yang dapat
dipandang sebagai bahan metafisis oleh generasi penerusnya.
Oleh karena itu, ketika kita menyimak perkawinan adat Jawa, banyak ubarampe,
mulai sesaji, ragam hias ornamen tarub dan pelaminan sampai persoalan tata
riasnya yang memainkan tata warna, letak, bentuk, aroma , rasa, dan jumlah yang
dirumuskan dalam makna simbol yang sering tidak dimengerti bahkan oleh
peracik sendiri dalam dimensi teoritis. Maka yang kemudian dipahami budaya ini
dianggap sebagai gugon tuhon, ela-elu yang tidak punya dasar.
2.2 Tata Cara Upacara Pernikahan Adat Jawa Timur
Pernikahan adalah suatu rangkaian upacara yang dilakukan sepasang kekasih
untuk menghalalkan semua perbuatan yang berhubungan dengan kehidupan
suami-istri guna membentuk suatu keluarga dan meneruskan garis keturunan.
Guna melakukan prosesi pernikahan, orang Jawa selalu mencari hari,maka perlu
dimintakan pertimbangan dari ahli penghitungan hari berdasarkan patokan
Primbon Jawa. Setelah ditemukan hari,maka sebulan sebelum akad nikah, secara
fisik calon pengantin perempuan disiapkan untuk menjalani hidup pernikahan,
dengan cara diurut perutnya dan diberi jamu oleh ahlinya. Hal ini dikenal dengan
istilah “diulik†yaitu pengurutan perut untuk menempatkan rahim dalam
posisi yang tepat agar dalam persetubuhan pertama memperoleh keturunan, dan
minum jamu Jawa agar tubuh ideal dan singset. Sebelum pernikahan dilakukan,
ada beberapa prosesi yang dilakukan, baik oleh pihak laki-laki maupun
perempuan. Menurut Sumarsono (2007), tata upacara pernikahan adat Jawa adalah
sebagai berikut :
1. Babak I (Tahap Pembicaraan)
Yaitu tahap pembicaraan antara pihak yang akan punya hajat mantu dengan pihak
calon besan, mulai dari pembicaraan pertama sampai tingkat melamar dan
menentukan hari penentuan (gethok dina).
2. Babak II (Tahap Kesaksian)
Babak ini merupakan peneguhan pembicaaan yang disaksikan oleh pihak ketiga,
yaitu warga kerabat dan atau para sesepuh di kanan-kiri tempat tinggalnya melalui
acara-acara sebagai berikut
1. Srah-srahan
Yaitu menyerahkan seperangkat perlengkapan sarana untuk melancarkan
pelaksanaan acara sampai hajat berakhir. Untuk itu diadakan simbol-simbol
barang-barang yang mempunyai arti dan makna khusus, berupa cincin,
seperangkat busana putri, makanan tradisional, buah-buahan, daun sirih dan uang.
Adapun makna dan maksud benda-benda tersebut adalah :
a. Cincin emas yang dibuat bulat tidak ada putusnya, maknanya agar cinta mereka
abadi tidak terputus sepanjang hidup.
b. Seperangkat busana putri.Bermakna masing-masing pihak harus pandai
menyimpan rahasia terhadap orang lain.
c. Perhiasan yang terbuat dari emas, intan dan berlian mengandung makna agar
calon pengantin putri selalu berusaha untuk tetap bersinar dan tidak membuat
kecewa.
d. Makanan tradisional
terdiri dari jadah, lapis, wajik, jenang; semuanya terbuat dari beras ketan. Beras
ketan sebelum dimasak hambur, tetapi setelah dimasak, menjadi lengket. Begitu
pula harapan yang tersirat, semoga cinta kedua calon pengantin selalu lengket
selama-lamanya.
e. Buah-buahan
Bermakna penuh harap agar cinta mereka menghasilkan buah kasih yang
bermanfaat bagi keluarga dan masyarakat.
f. Daun sirih
Daun ini muka dan punggungnya berbeda rupa, tetapi kalau digigit sama rasanya.
Hal ini bermakna satu hati, berbulat tekad tanpa harus mengorbankan perbedaan.
2. Peningsetan
Lambang kuatnya ikatan pembicaraan untuk mewujudkan dua kesatuan yang
ditandai dengan tukar cincin antara kedua calon pengantin.
3. Asok tukon
Hakikatnya adalah penyerahan dana berupa sejumlah uang untuk membantu
meringankan keuangan kepada keluarga pengantin putri.
4. Gethok dina
Menetapkan kepastian hari untuk ijab qobul dan resepsi. Untuk mencari hari,
tanggal, bulan, biasanya dimintakan saran kepada orang yang ahli dalam
perhitungan Jawa.
1. Babak III (Tahap Siaga)
Pada tahap ini, yang akan punya hajat mengundang para sesepuh dan sanak
saudara untuk membentuk panitia guna melaksanakan kegiatan acara-acara pada
waktu sebelum, bertepatan, dan sesudah hajatan.
1. Sedhahan
Yaitu cara mulai merakit sampai membagi undangan.
2. Kumbakarnan
Pertemuan membentuk panitia hajatan mantu, dengan cara :
a. pemberitahuan dan permohonan bantuan kepada sanak saudara, keluarga,
tetangga, handai taulan, dan kenalan.
b. adanya rincian program kerja untuk panitia dan para pelaksana.
c. mencukupi segala kerepotan dan keperluan selama hajatan.
d. pemberitahuan tentang pelaksanaan hajatan serta telah selesainya pembuatan
undangan.
3. Jenggolan atau Jonggolan
Saatnya calon pengantin sekalian melapor ke KUA (tempat domisili calon
pengantin putri). Tata cara ini sering disebut tandhakan atau tandhan, artinya
memberi tanda di Kantor Pencatatan Sipil akan ada hajatan mantu, dengan
cara ijab.
1. Babak IV (Tahap Rangkaian Upacara)
Tahap ini bertujuan untuk menciptakan nuansa bahwa hajatan mantu sudah
tiba. Ada beberapa acara dalam tahap ini, yaitu :
1. Pasang tratag dan tarub
Pemasangan tratag yang dilanjutnya dengan pasang tarub digunakan sebagai
tanda resmi bahwa akan ada hajatan mantu dirumah yang bersangkutan.
Tarub dibuat menjelang acara inti. Adapun ciri kahs tarub adalah dominasi
hiasan daun kelapa muda (janur), hiasan warna-warni, dan kadang disertai
dengan ubarampe berupa nasi uduk (nasi gurih), nasi asahan, nasi golong,
kolak ketan dan apem.
2. Kembar mayang
Berasal dari kata kembar artinya sama dan mayang� artinya bunga pohon
jambe atau sering disebut Sekar Kalpataru Dewandaru, lambang kebahagiaan
dan keselamatan. Jika pawiwahan telah selesai, kembar mayang dilabuh atau
dibuang di perempatan jalan, sungai atau laut dengan maksud agar pengantin
selalu ingat asal muasal hidup ini yaitu dari bapak dan ibu sebagai perantara
Tuhan Yang Maha Kuasa. Barang-barang untuk kembar mayang adalah :
a. Batang pisang, 2-3 potong, untuk hiasan. Biasanya diberi alas dari tabung
yang terbuat dari kuningan.
b. Bambu aur untuk penusuk (sujen), secukupnya.
c. Janur kuning, 4 pelepah.
d. Daun-daunan: daun kemuning, beringin beserta ranting-ratingnya, daun
apa-apa, daun girang dan daun andong.
e. Nanas dua buah, pilih yang sudah masak dan sama besarnya.
f. Bunga melati, kanthil dan mawar merah putih.
g. Kelapa muda dua buah, dikupas kulitnya dan airnya jangan sampai tumpah.
Bawahnya dibuat rata atau datar agar kalau diletakkan tidak terguling dan air
tidak tumpah.
3. Pasang tuwuhan (pasren)
Tuwuhan dipasang di pintu masuk menuju tempat duduk pengantin. Tuwuhan
biasanya berupa tumbuh-tumbuhan yang masing-masing mempunyai makna :
a. Janur
Harapannya agar pengantin memperoleh nur atau cahaya terang dari Yang
Maha Kuasa.
b. Daun kluwih
Semoga hajatan tidak kekurangan sesuatu, jika mungkin malah dapat lebih
(luwih) dari yang diperhitungkan.
c. Daun beringin dan ranting-rantingnya
Diambil dari kata ingin, artinya harapan, cita-cita atau keinginan yang
didambakan mudah-mudahan selalu terlaksana.
d. Daun dadap serep
Berasal dari suku kata œrep artinya dingin, sejuk, teduh, damai, tenang tidak
ada gangguan apa pun.
e. Seuntai padi (pari sewuli)
Melambangkan semakin berisi semakin merunduk. Diharapkan semakin
berbobot dan berlebih hidupnya, semakin ringan kaki dan tangannya, dan
selalu siap membantu sesama yang kekurangan.
f. Cengkir gadhing
Air kelapa muda (banyu degan), adalah air suci bersih, dengan lambang ini
diharapkan cinta mereka tetap suci sampai akhir hayat.
g. Setundhun gedang raja suluhan (setandan pisang raja)
Semoga kelak mempunyai sifat seperti raja hambeg para marta,
mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi.
h. Tebu wulung watangan (batang tebu hitam)
Kemantapan hati (anteping kalbu), jika sudah mantap menentukan pilihan
sebagai suami atau istri, tidak tengok kanan-kiri lagi.
i. Kembang lan woh kapas (bunga dan buah kapas)
Harapannya agar kedua pengantin kelak tidak kekurangan sandang, pangan,
dan papan. Selalu pas, tetapi tidak pas-pasan.
j. Kembang setaman dibokor (bunga setaman yang ditanam di air dalam
bokor)
Harapannya agar kehidupan kedua pengantin selalu cerah ibarat bunga di
taman.
4. Siraman
Ubarampe yang harus disiapkan berupa air bunga setaman, yaitu air yang
diambil dari tujuh sumber mata air yang ditaburi bunga setaman yang terdiri
dari mawar, melati dan kenanga. Tahapan upacara siraman adalah sebagai
berikut :
- calon pengantin mohon doa restu kepada kedua orangtuanya.
- calon mantu duduk di tikar pandan tempat siraman.
- calon pengatin disiram oleh pinisepuh, orangtuanya dan beberapa wakil
yang ditunjuk.
- yang terakhir disiram dengan air kendi oleh bapak ibunya dengan
mengucurkan ke muka, kepala, dan tubuh calon pengantin. Begitu air kendi
habis, kendi lalu dipecah sambil berkata Niat ingsun ora mecah kendi,
nanging mecah pamore anakku wadon.
5. Adol dhawet
Upacara ini dilaksanakan setelah siraman. Penjualnya adalah ibu calon
pengantin putri yang dipayungi oleh bapak. Pembelinya adalah para tamu
dengan uang pecahan genting (kreweng). Upacara ini mengandung harapan
agar nanti pada saat upacara panggih dan resepsi, banyak tamu dan rezeki
yang datang.
6. Midodareni
Midodareni adalah malam sebelum akad nikah, yaitu malam melepas masa
lajang bagi kedua calon pengantin. Acara ini dilakukan di rumah calon
pengantin perempuan. Dalam acara ini ada acara nyantrik untuk memastikan
calon pengantin laki-laki akan hadir dalam akad nikah dan sebagai bukti
bahwa keluarga calon pengantin perempuan benar-benar siap melakukan
prosesi pernikahan di hari berikutnya. Midodareni berasal dari kata
“widodareni� (bidadari), lalu menjadi “midodareni� yang berarti
membuat keadaan calon pengantin seperti bidadari. Dalam dunia
pewayangan, kecantikan dan ketampanan calon pengantin diibaratkan seperti
Dewi Kumaratih dan Dewa Kumajaya.
1. Babak V (Tahap Puncak Acara)
1. Ijab qobul
Peristiwa penting dalam hajatan mantu adalah ijab qobul dimana sepasang
calon pengantin bersumpah di hadapan naib yang disaksikan wali, pinisepuh
dan orang tua kedua belah pihak serta beberapa tamu undangan. Saat akad
nikah, ibu dari kedua pihak, tidak memakai subang atau giwang guna
memperlihatkan keprihatinan mereka sehubungan dengan peristiwa
menikahkan atau ngentasake anak.
3. Upacara panggih
Adapun tata urutan upacara panggih adalah sebagai berikut :
a. Liron kembar mayang
Saling tukar kembar mayang antar pengantin, bermakna menyatukan
cipta, rasa dan karsa untuk mersama-sama mewujudkan kebahagiaan dan
keselamatan.
b. Gantal
Daun sirih digulung kecil diikat benang putih yang saling dilempar oleh
masing-masing pengantin, dengan harapan semoga semua godaan akan
hilang terkena lemparan itu.
c. Ngidak endhog
Pengantin putra menginjak telur ayam sampai pecah sebagai simbol
seksual kedua pengantin sudah pecah pamornya.
d. Pengantin putri mencuci kaki pengantin putra
Mencuci dengan air bunga setaman dengan makna semoga benih yang
diturunkan bersih dari segala perbuatan yang kotor.
e. Minum air degan
Air ini dianggap sebagai lambang air hidup, air suci, air mani (manikem).
f. Di-kepyok dengan bunga warna-warni
Mengandung harapan mudah-mudahan keluarga yang akan mereka bina
dapat berkembang segala-galanya dan bahagia lahir batin.
g. Masuk ke pasangan
Bermakna pengantin yang telah menjadi pasangan hidup siap berkarya
melaksanakan kewajiban.
h. Sindur
Sindur atau isin mundur, artinya pantang menyerah atau pantang mundur.
Maksudnya pengantin siap menghadapi tantangan hidup dengan semangat
berani karena benar. Setelah melalui tahap panggih, pengantin diantar
duduk di sasana riengga, di sana dilangsungkan tata upacara adat Jawa,
yaitu :
i. Timbangan
Bapak pengantin putri duduk diantara pasangan pengantin, kaki kanan
diduduki pengantin putra, kaki kiri diduduki pengantin putri. Dialog
singkat antara Bapak dan Ibu pengantin putri berisi pernyataan bahwa
masing-masing pengantin sudah seimbang.
j. Kacar-kucur
Pengantin putra mengucurkan penghasilan kepada pengantin putri berupa
uang receh beserta kelengkapannya. Mengandung arti pengantin pria
akan bertanggung jawab memberi nafkah kepada keluarganya.
k. Dulangan Antara pengantin putra dan putri saling menyuapi. Hal ini
mengandung kiasan laku memadu kasih diantara keduanya (simbol
seksual). Dalam upacara dulangan ada makna tutur adilinuwih (seribu
nasihat yang adiluhung) dilambangkan dengan sembilan tumpeng yang
bermakna :
- tumpeng tunggarana : agar selalu ingat kepada yang memberi hidup.
- tumpeng puput: berani mandiri.
- tumpeng bedhah negara : bersatunya pria dan wanita.
- tumpeng sangga langit : berbakti kepada orang tua.
- tumpeng kidang soka : menjadi besar dari kecil.
- tumpeng pangapit : suka duka adalah wewenang Tuhan Yang Maha Esa.
- tumpeng manggada : segala yang ada di dunia ini tidak ada yang abadi.
- tumpeng pangruwat : berbaktilah kepada mertua.
- tumpeng kesawa : nasihat agar rajin bekerja.
3. Sungkeman
Sungkeman adalah ungkapan bakti kepada orang tua, serta mohon doa restu.
Caranya, berjongkok dengan sikap seperti orang menyembah, menyentuh
lutut orang tua pengantin perempuan, mulai dari pengantin putri diikuti
pengantin putra, baru kemudian kepada bapak dan ibu pengantin putra.
2.3 Makna Simbol-Simbol Pernikahan Adat Jawa Timur
Pada tata upacara Pernikahan Tradisional setiap prosesinya atau tahapan-
tahapannya mengandung makna. Upacara Pernikahan Tradisional apabila
dilihat proses dan "ubo rampenya" (perlengkapan upacara), masing-masing
mengandung arti doa dan pengharapan yang mendalam dari orang tua dan
seluruh kerabat calon mempelai kepada kedua calon mempelai, supaya
keduanya dapat hidup berpasangan dengan selamat dan sejahtera dalam
mengarungi kehidupan rumah tangga. Berikut beberapa makna prosesi
maupun "ubo rampe" dalam Upacara Pernikahan Tradisional Adat Jawa.
Makna Prosei Pasang Blaketepe, Tuwuhan, dan Midodareni
Merupakan tradisi membuat "blaketepe" atau anyaman daun kelapa untuk
dijadikan atap atau peneduh pada saat awal pernikahan tradisional (resepsi
manton) akan berlangsung. Tatacara upacara pernikahan tradisional ini
mengambil "wewarah" atau ajaran Ki Ageng Tarub, salah satu leluhur raja-
raja Mataram. Ketika mempunyai hajat menikahkan anaknya Dewi
Nawangsih dengan Raden Bondan Kejawan, Ki Ageng membuat peneduh
dari anyaman daun kelapa. Hal itu dilakukan karena rumah Ki Ageng yang
kecil tidak dapat memuat semua tamu, sehingga tamu yang diluar rumah
diteduhi dengan "payon" atau peneduh daun kelapa itu. Dengan diberi payon
itu ruang yang dipergunakan untuk para tamu Agung menjadi luas dan untuk
dapat menampung seluruh tamu. Kemudian payon dari daun kelapa itu
disebut "tarub", berasal dari nama orang yang pertama membuatnya. Tatacara
memasang tarub adalah bapak naik tangga sedangkan ibu memegangi tangga
sambil membantu memberikan blaketepe (anyaman daun kepala). Tatacara
upacara pernikahan tradisional ini menjadi perlambang gotong royong kedua
orang tua yang menjadi pengayom keluarga.
Makna "Ubo Rampe" atau Perlengkapan
Tuwuhan
Mengandung sebuah arti di mana suatu harapan kepada anak yang dijodohkan
dapat memperoleh keturunan, untuk dapat melangsungkan keturunan atau sejarah
keluarga .
Tuwuhan terdiri dari :
A. Pohon pisang raja yang buahnya sudah masak
Maksud dari dipilihnya pisang yang sudah masak adalah diharapkan kepada
pasangan yang akan menikah telah memiliki pemikiran dewasa atau telah masak.
Sedangkan pisang raja mempunyai makna pengharapan supaya pasangan yang
akan dinikahkan kelak mempunyai kemakmuran, kemuliaan dan kehormatan
seperti layaknya seorang raja.
B. Tebu Wulung
Tebu wulung berwarna yang merah tua sebagai gambaran "tuk-ing" memanis
atau sumber rasa manis. Hal ini melambangkan kehidupan yang serba enak dan
kecukupan. Sedangkan makna wulung bagi orang Jawa berarti sepuh, matang atau
tua. Setelah memasuki jenjang perkawinan, diharapkan kedua mempelai
mempunyai jiwa sepuh yang selalu bertindak dengan "kewicaksanaan" atau
kebijaksanaan.
C. Cengkir Gadhing
Merupakan simbol dari kandungan tempat jabang bayi atau lambang penerus
keturunan
D. Daun Randu dan Pari Sewuli
Randu melambangkan sandang, sedangkan "pari" atau padi melambangkan
pangan. Sehingga hal itu bermakna supaya kedua mempelai selalu tercukupi
sandang dan pangannya.
E. Godhong opo-opo (bermacam-macam dedaunan)
Seperti daun beringin yang melambangkan pengayoman, dan rumput alang-alang
dengan harapan terbebas dari segala halangan.
Makna Siraman dan Jual Dawet
Siraman dilaksanakan untuk menyucikan diri dan juga membuang segala
kejelekan Calon Pengantin yang ada, supaya calon pengantin dapat memulai
hidup baru dengan hati yang bersih dan suci. Siraman dilakukan oleh 9 orang
sesepuh termasuk Ayah dan Ibu. Jumlah sembilan tersebut menurut budaya
Keraton Surakarta untuk mengenang keluhuran Wali Sanga, yang bermakna
manunggalnya Jawa dengan Islam. Selain itu angka sembilan juga bermakna
"babahan hawa sanga" yang harus dikendalikan.
Jual Dawet diambil makna dari cendol yang berbentuk bundar merupakan
lambang kebulatan kehendak orang tua untuk menjodohkan anak. Bagi orang
yang akan membeli dawet tersebut harus membayar dengan "kreweng" (pecahan
genting) bukan dengan uang. Hal itu menunjukkan bahwa kehidupan manusia
berasal dari bumi. Yang melayani pembeli adalah ibu sedangkan yang menerima
pembayaran adalah bapak. Hal ini mengajarkan kepada anak mereka yang akan
menikah tentang bagaimana cara mencari nafkah sebagai suami istri, harus saling
membantu.
Makna Malam Midodareni
Malam menjelang dilaksanakan ijab dan panggih disebut malam midodareni.
Midodareni berasal dari kata "widodari". Masyarakat Jawa yang masih
tradisional percaya bahwa pada malam tersebut, para bidadari dari kayangan akan
turun ke bumi dan bertandang ke kediaman calon pengantin wanita, untuk
menyempurnakan dan mempercantik pengantin wanita
Prosesi Pernikahan Tradisional yang Akan Dilaksanakan pada Malam
Midodareni
A. Jonggolan
Datangnya calon pengantin pria ke tempat calon mertua. "Njonggol" diartikan
sebagai menampakkan diri. Tujuannya untuk menunjukkan bahwa dirinya dalam
keadaan sehat dan selamat, dan hatinya telah mantap untuk menikahi putri
mereka. Selama berada di rumah calon pengantin wanita, calon pengantin pria
menunggu di beranda dan hanya disuguhi air putih.
B. Tantingan
Kedua orangtua mendatangi calon pengantin wanita di dalam kamar, menanyakan
kemantapan hatinya untuk berumah tangga. Maka calon pengantin wanita akan
menyatakan ikhlas menyerahkan sepenuhnya kepada orangtua, tetapi mengajukan
permintaan kepada sang ayah untuk mencarikan "kembar mayang" sebagai
syarat perkawinan.
C. Turunnya Kembar Mayang
Turunnya sepasang kembar mayang merupakan saat sepasang kembar mayang
dibuat. Kembar mayang ini milik para dewa yang menjadi persyaratan, yaitu
sebagai sarana calon pengantin perempuan berumah tangga. Dalam kepercayaan
Jawa tradisional, kembar mayang hanya dipinjam dari dewa, sehingga apabila
sudah selesai dikembalikan lagi ke bumi atau dilabuh melalui air. Dua kembar
mayang tersebut dinamakan "Dewandaru dan Kalpandaru". Dewandaru
mempunyai arti wahyu pengayoman. Maknanya adalah supaya pengantin pria
dapat memberikan pengayoman lahir batin kepada keluarganya. Sedangkan
Kalpandaru, berasal dari kata kalpa yang artinya langgeng dan daru yang berarti
wahyu. Maksudnya adalah wahyu kelanggengan, yaitu agar kehidupan rumah
tangga dapat abadi selamanya.
D. Wilujengan Majemukan
Wilujengan Majemukan adalah silaturahmi antara keluarga calon pengantin pria
dan wanita yang bermakna kerelaan kedua pihak untuk saling berbesanan.
Selanjutnya ibu calon pengantin wanita menyerahkan angsul-angsul atau oleh-
oleh berupa makanan untuk dibawa pulang, orang tua calon pengantin wanita
memberikan kepada calon pengantin pria berupa Kancing gelung: seperangkat
pakaian untuk dikenakan pada upacara panggih, dan sebuah pusaka berbentuk
dhuwung atau keris, yang bermakna untuk melindungi keluarganya kelak.
Makna Prosesi Panggih
Makna dari Upacara Balangan Gantal:
Mengandung makna atau arti bahwa pernikahan adalah suatu peristiwa yang
sekilas namun tidak dapat diulangi lagi.
Makna dari Upacara Mecah Wiji Dadi:
Mengandung makna bahwa yang dijodohkan bisa mempunyai keturunan. "Wiji
Dadi" atau telur ayam melambangkan kemanunggalannya pria dan wanita seperti
pecahnya telur berupa putih dan merah. Putih menggambarkan pria dan merah
menggambarkan wanita.
Makna dari Sinduran:
Maksudnya kedua orangtua memberikan "panjurung donga pangestu" kepada
kedua anaknya.
Makna Upacara Timbangan:
Mengandung makna bahwa antara anak sendiri dengan anak menantu bagi
orangtua tidak ada bedanya.
Makna Upacara Minum Kelapa Muda:
Bermakna membersihkan dan menyegarkan tubuh serta jiwa.
Makna Upacara Kacar Kucur:
Merupakan simbol tanggung jawab pengantin pria untuk menafkahi keluarganya.
Makna Upacara Dulangan:
Tata cara ini melambangkan cumbuan atau saling bercumbu rayu dan saling
memadu kasih.
Makna Upacara Ngabekten:
Ngabekten merupakan prosesi untuk menunjukkan bakti kedua pengantin kepada
orang tuanya.
Tinjauan Dengan Pendekatan Semiotika
Pendekatan yang dipakai dalam makalah ini adalah pendekatan semiotika.
Semiotika memiliki dua tokoh, yakni Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan
Charles Sander Peirce (1839-1914). Keduanya mengembangkan ilmu semiotika
secara terpisah dan tidak mengenal satu sama lain, Saussure di Eropa dan Peirce
di Amerika Serikat. Latar belakang keilmuan Saussure adalah Linguistik,
sedangkan Peirce filsafat. Saussure menyebut ilmu yang dikembangkannya
semiologi (semiology), sedangkan Peirce menyebut ilmu yang dibangunnya
semiotika (semiotics). Dalam perkembangan selanjutnya istilah semiotikalebih
popular dari pada semiologi. Berdasarkan hubungan tanda dan objek, Peirce
membagi tanda menjadi tiga, yakni ikon (icon), indeks (index) dan simbol
(symbol). Ikon adalah sesuatu yang berfungsi sebagai tanda berdasarkan
kemiripannya dengan sesuatu yang lain. Indeks adalah sebuah tanda yang dalam
corak tandanya tergantung dari adanya sebuah objek atau denotatum. Simbol
adalah tanda yang hubungan antara tanda dan objeknya ditentukan oleh sebuah
peraturan yang berlaku umum. Berikut penjelasan tanda berdasarkan kenyataan
hubungan dengan jenis dasarnya :
1.Ikon
Ikon merupakan tanda yang menyerupai benda yang diwakilinya, atau suatu tanda
yang menggunakan kesamaan atau ciri-ciri yang sama dengan apa yang
dimaksudkannya. Dalam hal ini cincin emas, seperangkat busana putri dan uang
merupakan ikon, karena benda-benda tersebut mewakili benda yang sebenarnya.
2. Indeks
Indeks adalah tanda yang sifat tandanya tergantung dari keberadaanya suatu
denotasi, sehingga dalam terminologi Peirce merupakan secondness. Dengan kata
lain, indeks adalah suatu tanda yang mempunyai kaitan atau kedekatan dengan
apa yang diwakilinya. Dalam hal ini tarub, kembar mayang, dan tuwuhan
merupakan indeks. Hal ini dikarenakan item tersebut hanya ditemui dalam
upacara pernikahan adat Jawa.
3.Simbol
Simbol adalah suatu tanda, dimana hubungan tanda dan denotasinya ditentukan
oleh peraturan yang berlaku umum atau ditentukan oleh suatu kesepakatan
bersama (konversi). Cincin emas, seperangkat busana putri, perhiasan yang
terbuat dari emas, intan dan berlian; makanan tradisional, buah-buahan, daun
sirih, peningset, janur, daun kluwih, daun beringin lengkap dengan ranting-
rantingnya, daun alang-alang, daun dadap sirep, seuntai padi, cengkir gadhing,
setandan pisang raja, batang tebu hitam, bunga dan buah kapas, bunga setaman
dan sungkeman merupakan simbol. Hal ini dikarenakan masing-masing item
tersebut memiliki makna simbolis yang terkandung di dalamnya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pernikahan merupakan upacara yang sangat sakral bagi pasangan pengantin.Di
Jawa Timur banyak sekali prosesi yang dilakukan sebelum dan saat melakukan
pernikahan.Banyak prosesi yang harus diikuti oleh pasangan pengantin maupun
keluarga pengantin.Banyak simbol-simbol dalam prosesi pernikahan adat Jawa
Timur.
3.2 Saran
Saat ini prosesi pernikahan pada sebagian masyarakat Jawa Timur yang modern
tidak mengikuti prosesi yang telah diturunkan oleh nenek moyang.Banyak
perubahan yang terjadi dalam prosesi upacara pernikahan Adat Jawa
Timur.Seharusnya Masyarakat Jawa Timur tetap melestarikan warisan budaya
leluhur supaya warisan budaya tersebut tidak luntur oleh perkembangan dunia
modern saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
__________. 2005. Adat Istiadat Jawa. http://www.karatonsurakarta.com (diakses
14 Januari 2008 pukul 15.15 WIB).
Mangun Hardjodikromo. 2005. Adat Istiadat Jawa : Manusia Jawa Sejak Dalam
Kandungan Sampai Wafat. (diakses 14 Januari 2008 pukul 15.15 WIB).
Panuti Sujiman. 1992. Serba-Serbi Semiotika. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Sumarsono. 2007. Tata Upacara Pengantin Adat Jawa. Jakarta: PT. Buku Kita.
top related