wanita: pemimpin atau ibu suatu kaum?
Post on 17-Mar-2016
235 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Rabu, 07 Juli 2010
Berkatalah Rasul: "Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al Quran itu sesuatu
yang tidak diacuhkan (diabaikan)." (QS 25:30)
Wanita: Pemimpin atau Ibu Suatu Kaum?
Dalam kelelapan tidur panjangnya mengabaikan Al Qur’an, bisa jadi
ummat Islam tidak menyadari bila keberadaannya di tengah-tengah
kehidupan sedikit demi sedikit telah berhasil digeser, bahkan digusur.
Benarkah telah terjadi pengabaian Al Qur’an? Buktinya sangat nyata.
Ummat Islam khususnya di tanah air Indonesia, tidak mendapat kesempatan untuk
melahirkan kebijakan, tetapi dalam segala hal, hanya menjadi pelaksana belaka. Manakah
bukti bahwa orang-orang beriman pasti unggul (QS 23:1)? Allah memastikan hal itu. Jika
tidak atau belum tercapai, berarti Al Qur’an telah terlupakan oleh ummat Islam sendiri.
Karena sebagai petunjuk Allah, mustahil Al Qur’an tak dapat menghantar ummat Islam ke
puncak keunggulan peradaban. Bukan dalam arti menguasai, tetapi dalam arti memimpin
dunia!
Campur-tangan para pendengki ke dalam rumah tangga ummat secara berangsur-angsur
menjadikan ummat Islam berada di bawah kepemimpinan mereka. Ummat Islam tidak
hidup dalam naungan petunjuk Al Qur’an. Kebijakan-kebijakan yang hendak diterapkan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, bukan lagi berpangkal dari
pandangan Islam yang Allah wahyukan. Jika hal itu berlangsung berkelanjutan,
keberadaan ummat Islam tidak lebih laksana tahanan di dalam penjara, atau laksana
burung dalam sangkar yang tidak dapat berbuat apa-apa. Bahkan makannya pun disuapi
dan ditentukan oleh para pendengki Islam. Kenyataan ini tidak pernah disadari ummat.
Jika disadari, tentu telah bangkit semangat kebersamaan jiwa ke-Islam-an ummat.
Wanita ibarat bumi atau ibu pertiwi yang tugasnya sangat penting lagi pula mulia.
Kandungannya senantiasa melahirkan kehidupan baru. Namun bumi rela tak memimpin
kehidupan itu, karena telah ditetapkan Allah, ia dikhalifahi manusia.
Sekedar contoh penggeseran ajaran Allah: apa yang dihembus-hembuskan ke telinga
ummat Islam salah satunya adalah menjadikan wanita selaku pemimpin. Dalihnya,
dalam rangka memuliakan sekaligus mengangkat harkat dan martabat wanita. Padahal
memuliakan wanita sesungguhnya adalah menjaga kejiwaan dan kehormatannya.
Buktinya jelas: menghargai haq-haq kefithrahan atau kodratinya. Islam menempatkan
wanita pada tempat yang sesuai dengan kefithrahan atau kodratinya. Bagi Islam, sudah
jelas bahwa pemimpin kaum adalah laki-laki. Bahkan Islam pun memberi ketegasan,
bahwa yang mengawali keberadaan manusia adalah Nabi Adam a.s.; Ratu Balqis pun
segera menyerahkan tahtanya ketika kebenaran yang dibawakan Nabi Sulaiman a.s. telah
tersampaikan kepadanya. Siapa tak kenal peran Siti Hajar istri Nabi Ibrahim a.s. dalam
riwayat Islam? Namun ia tak menjadi nabi; yang menjadi nabi adalah Isma’il a.s.
puteranya.
Maryam adalah satu-satunya nama wanita yang ditetapkan Allah sebagai nama salah satu
surah di dalam Al Qur’an (Surat ke-19). Tersirat, demikian penting riwayatnya sebagai
hikmah pelajaran. Ternyata peran kewanitaan Maryam adalah seorang ibu, bukan seorang
istri. Meski melahirkan nabi ’Isyaa a.s., ia bukan nabi pembawa aqidah-syari’ah-akhlaq.
Apakah peran wanita hanya mempersiapkan generasi? Tidak. Islam memberi kesempatan
pada wanita untuk andil berjihad melewati perang fisik, jika memang diperlukan. Namun
peran terpenting, yaitu peran kenabian (sekaligus kepemimpinan ummat), diemban-
amanahkan Allah kepada laki-laki.
Telitilah, bahwa agama-agama Kitab di muka bumi ini tidak menjadikan wanita sebagai
pemimpin, tetapi mendudukannya sebagai ibu kaum atau bangsa. Bagi Kristianisme,
keyakinan terhadap Maria yang melahirkan Yesus, sangat jelas menunjukkan jasa kaum
wanita. Namun demikian, ada pertanyaan penting: mengapa bukan Bunda Maria yang
diangkat sebagai pemimpin kaumnya? Maria justru memberikan kesempatan bagi
puteranya Yesus, untuk tampil memimpin kaumnya. Bagi Kristianisme, strata kemuliaan
ditujukan kepada Alah Bapa, bukan Bunda Maria. Hal itu mengejawantah dalam
kehidupan sehari-hari dimana kepemimpinan ummat berada pada tangan seorang paus,
kardinal, uskup, pastur –yang kesemuanya lelaki. Wanita ditempatkan dalam berbagai
peran keibuan yang memberikan curahan kasih-sayang terhadap kaumnya.
Allah lebihkan kaum pria sederajat di atas wanita selaku pemimpin. Bukan untuk
merendahkan kaum wanita. Justru untuk menghindarkan kaum wanita dari kekerasan.
Islam sangat menjaga wanita. Namun dalam Islam, peran kepemimpinan wanita sangat
berbeda. Bahkan tanpa tampil formal selaku pemimpin, kaum wanita sebenarnya mampu
menguasai kehidupan yang tidak hanya di dunia tetapi juga di akhirat kelak. Renungilah:
bagaimana telapak kaki kaum wanita melangkahkan kehidupannya, demikianlah masa
depan generasi. Itulah salah satu arti tamsil ”surga ada di bawah telapak kaki ibu”. Bila
rusak wanitanya, rusaklah suatu bangsa.
Dengan demikian, sangatlah sulit menerima untuk ”memuliakan wanita dengan
mendudukannya selaku pemimpin” formal. Jika dipaksakan, bukankah itu berarti suatu
pemaksaan terhadap kodrat kaum wanita? Padahal setiap pemaksaan pasti akan
melahirkan suatu kemunafiqan dan akhir dari segalanya adalah kehancuran. Apa jadinya
kehidupan ini bila diwarnai kemunafiqan dan kehancuran? Bangkit dan bangkitlah
kesadaranmu wahai ummat Islam untuk membangunkan kembali jiwa ke-islam-an yang
telah lama terkubur dalam perpecahan yang tidak menentu.
Penjelasan di atas bukanlah hendak menghembuskan pertentangan antaragama, tetapi
sekedar membentangkan ajaran Islam. Bukankah di negeri ini kehidupan beragama setiap
ummat dilindungi? Kebebasan melaksanakan syari’at pun diberikan pada masing-masing
pemeluk agama. Pendengki Islam di tanah air ini selalu memakai isu SARA untuk
mengkerangkeng ummat Islam agar tak mampu bergerak, ber-amar-ma’ruf-nahi-munkar.
Padahal sesungguhnya, merekalah yang gigih menghembus-tiupkan isu SARA. Apa pun
yang dilakukan adalah dalam rangka menjebak ummat Islam masuk dalam arus pengaruh
mereka, untuk kemudian mereka hanyutkan ke lautan kehinaan.
Diringkas dan dituliskan kembali oleh Taufik Thoyib (dengan beberapa
tambahan informasi) dari buku Ki Moenadi MS berjudul “KEBENARAN adalah
Pengarah Pembentukan Pengembangan Bakat-Potensi Manusia”, halaman
24-26, Yayasan Badiyo, 1421H.
Diunggah oleh kajian budaya ilmu pukul 23:26 Label: Budaya Kebangsaan/Keindonesiaan, Teropong Peristiwa
2 komentar:
Nazarchitect mengatakan...
memang wanita (ibu) mempunyai satu hal yang tidak di punyai oleh laki-laki (ayah), yaitu rahim. dari asal kata AR-RAHIIM. sehingga dapat diaktakan pengejawantahan sifat KASIH SAYANG-Nya (AR-Rahiim) paling besar melalui Ibu. dapat dimungkinkan AR-RAHMAAN (sebagai pasangan dari AR-RAHIIM dalam Bismillah dan ayat ke 3 Al-Fatihah), adalah yang seharusnya pengejawantahan sifat melalui laki-laki. yaitu sifat YANG MENGASIHI. lalu, apabila demikian, bagaimana kedua pengejawantahan sifat ini seharusnya diaplikasikan? wallahua'lam
14 Juli 2010 20:20
kajian budaya ilmu mengatakan...
Ass.wr.wb., Jazakumullah kr.kts tanggapan Anda. Semua makhluk ciptaan Allah adalah biasan, cerminan, atau pantulan sifat asma-Nya. Beda kodrati wanita dan laki-laki dari segi potensi ketenagaan adalah bahwa wanita lebih halus perasaan, sedangkan lelaki lebih kuat akalnya. Bagaimana kasih-sayang dari Allah selak Ar-Rahimm memancar dari sejoli pasangan hidup (suami-istri) tentu berbeda dengan yang bukan suami-istri. Dengan begitu, peran masing-masing di dalam kehidupan masyarakat berbeda. Kehidupan masyarakat dapat diibaratkan sebuah roda sepeda yang dikendarai seorang pemimpin. Kasih-sayang kaum lelaki adalah dengan berperan sebagai "ban luar" yang melindungi sumbu roda, meski untuk itu ia mesti terbentur-bentur semua lubang, genangan air kotor, tanjakan-turunan, termasuk kekerasan jalanan
batu penghalang yang dilalui sepeda. Peran kasih-sayang kaum wanita bagaikan "poros" roda, yang menjaga ketimbangan laju-gerak roda. Bila rusak poros, sepeda tak akan stabil jalanan, bahkan mustahil dikendarai. Pesan para bijak: jika wanitanya rusak, maka hancurlah suatu bangsa (dengan terlebih dahulu rusak generasinya). Implementasinya bukan berarti wanita tidak berkarya, namun berkarya sesuai dengan keadaan dan sifat kodratinya. Bahu-membahu dengan kaum lelaki, menyiapkan generasi dan masa depan yang lebih baik, meningkat setingkat demi setingkat. Mohon maaf bila jawaban ini tak memuaskan Anda. Taufik Thoyib
14 Juli 2010 21:10
top related