islam, cedaw perlindungan hak perempuan · pdf filepelanggar syari’at islam dari kaum...

14
& Islam, CEDAW Perlindungan Hak Perempuan SERI MAKALAH DISKUSI 1.

Upload: phamtuong

Post on 02-Feb-2018

234 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Islam, CEDAW Perlindungan Hak Perempuan · PDF filepelanggar syari’at Islam dari kaum perempuan dalam kasus khalwat di Kota Lhokseumawe, kasus pemotongan rambut terhadap wanita

& Islam, CEDAW

Perlindungan Hak Perempuan

SERI MAKALAH DISKUSI 1.

Page 2: Islam, CEDAW Perlindungan Hak Perempuan · PDF filepelanggar syari’at Islam dari kaum perempuan dalam kasus khalwat di Kota Lhokseumawe, kasus pemotongan rambut terhadap wanita

UNIFEM adalah dana perempuan pada PBB

(Perserikatan Bangsa-Bangsa). UNIFEM menyediakan bantuan keuangan dan tehnis bagi

strategi-strategi dan program-program inovatif yang mendukung hak asasi, partisipasi politik dan

ketahanan ekonomi perempuan. Didalam melakukan kegiatannya, UNIFEM berkerjasama

dengan organisasi-organisasi dibawah PBB dan organisasi non pemerintah (NGO) dan jariangan-

jaringan yang mendukung kesetaraan gender.

UNIFEM menghubungkan isu dan kepentingan perempuan kedalam agenda nasional, regional

dan global dengan mengembangkan kerjasama dan menyediakan keahlian tehnis dalam strategi-

strategi untuk pengarusutamaan gender dan pemberdayaan perempuan.

UNIFEM dengan bangga mempersembahkan seri

makalah diskusi mengenai kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di Aceh. Aceh

merupakan suatu masyarakat yang hidup dengan, stabilitas sejarah yang penuh perubahan,

pergolakan yang bertahun – tahun , perjanjian

damai, bencana tsunami, rehabilitasi paska konflik, serta rekonstruksi dan pemulihan.

Perempuan telah menjadi tulang punggung masyarakat Aceh didalam masa damai dan

konflik, serta selama bencana dan rekonstruksi.

Seri makalah diskusi ini memetakan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan didalam

bidang sosial ekonomi dan politik di Aceh baik pada saat ini maupun pada waktu yang lalu.

Makalah-makalah ini akan menyediakan wawasan dan informasi yang kaya serta analisa yang dapat

digunakan oleh para praktisi di semua sektor untuk memaknai kembali dan merekonstruksi

Aceh yang sedang memulai wacana perumusan dan pelaksanaan sebuah Kerangka Kerja

Pemulihan Aceh (Aceh Recovery Fremework) yang sensitif, responsif dan berkesetaraan

gender.

Dr. Jean D’Cunha

Program Direktur Regional Kantor UNIFEM untuk wilayah Asia Timur dan

Tenggara

Pandangan-pandangan yang diungkapkan didalam makalah ini adalah dari penulis sendiri,

dan tidak harus mewakili pandangan UNIFEM,

PBB dan organisasi-organisasi terkait lainnya.

Seri Makalah Diskusi 1: Islam, CEDAW dan

Perlindungan Hak Perempuan Copyright © UNIFEM 2008

United Nations Development Fund for Women

East and Southeast Asia Regional Office UN Building 5th Floor

Rajdamnern Nok Ave. Bangkok 10200 Thailand

www.unifem-eseasia.org

Ditulis oleh Danial Foto-foto oleh Hotli Simajuntuk

Danial adalah Direktur Tazkiya

Institute for Islamic and Humanity Research dan Dosen

Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Malkussaleh

Lhokseumawe. Beliau menamatkan pendidikan S1 nya

dari IAIN Sunan Kalijaga Jogja dan baru saja menyelesaikan program paska sarjananya di

bidang Studi Islam dari IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. Belau terkenal sebagai salah seorang tokoh

muda berfikiran progresif, kepedulian beliau terhadap isu kesetaran gender dan isu-isu

Perempuan didalam perspektif Islam tertuang didalam beberapa tulisan yang pernah beliau

hasilkan antaranya: Sensitifitas Fiqh Terhadap Perempuan (2006), Pemberdayaan Politik

Perempuan (2001) dan Kekerasan Dalam Rumah

Tangga Dalam Perspektif Hukum Islam (2006).

Page 3: Islam, CEDAW Perlindungan Hak Perempuan · PDF filepelanggar syari’at Islam dari kaum perempuan dalam kasus khalwat di Kota Lhokseumawe, kasus pemotongan rambut terhadap wanita

Seri Makalah Diskusi 1: Islam, CEDAW dan Perlindungan Hak Perempuan

1

Pra-Wacana elaksanaan syari'at Islam selama ini disamping telah memberikan beberapa perubahan (meskipun tidak signifikan),

juga telah melahirkan kekerasan dan beberapa penyimpangan. Pihak yang sangat rentan terhadap kekerasan secara faktual adalah perempuan. Ada beragam bentuk kekerasan yang menimpa kaum perempuan selama pelaksanaan syari’at Islam di bumi Serambi Makkah. Mulai dari kekerasan fisik, seksual, psikologis, dan ekonomi. Tentu saja, fenomena kekerasan ini sangat berlawanan dengan visi dan misi syari’at Islam. Sehingga syari’at Islam yang sejatinya menebarkan kasih-sayang, justeru setelah dirumuskan menjadi qanun atau peraturan dan pelaksanaannya mendatangkan kekerasan dan kebencian terhadap jenis kelamin tertentu. Dari rahimnya, lahirlah kekerasan dan diskriminasi. Tindakan yang sama sekali menagasikan fitrah sejati dari manusia serta hak-hak yang melekat padanya.

Bentuk-bentuk Kekerasan Tindakan-tindakan yang dikategorikan sebagai kekerasan terhadap perempuan, justifikasi yang digunakan pelaku, serta dampak yang ditimbulkannya adalah sebagai berikut: A. Kekerasan Fisik Semua bentuk tindakan paksa atau brutal yang melibatkan secara langsung antara korban dan pelaku dan melahirkan penderitaan fisik seseorang atau sekelompok orang dikategorikan dalam kekerasan fisik. Bentuk kekerasan ini merupakan tindakan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia yang paling mendasar, yaitu hak untuk hidup dengan nyaman dan aman. Dalam konteks ini, maka pemotongan celana perempuan di Kreung Mane dan Kreung Geukuh - untuk menyebut sebagai contoh faktual - beberapa waktu yang lalu adalah wujud nyata dari kekerasan fisik. Contoh lainnya adalah peristiwa pengarakan pelanggar syari’at Islam dari kaum perempuan dalam kasus khalwat di Kota Lhokseumawe,

kasus pemotongan rambut terhadap wanita dewasa yang tidak memakai jilbab di Banda Aceh, melakukan razia oleh pihak-pihak yang bukan kewenangannya terhadap masyarakat sebagaimana terjadi di Kreung Geukuh, Aceh Utara yang berakibat pada tindakan pengguntingan celana ketat yang dikenakan pelanggar. Kekerasan jenis ini dilakukan baik oleh negara maupun bukan negara. Cara kekerasan ini dilakukan dapat secara langsung atau tidak langsung, baik di ranah publik maupun domestik. Kekerasan fisik di wilayah domestik yang paling populer di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) adalah pemukulan, penganiayaan, dan penyiksaan. Dampak kekerasan fisik ini tidak hanya menimpa korban, melainkan juga anggota keluarga mereka. Tidak hanya berdampak secara fisik, tetapi juga psikis, sosial, hukum dan sebagainya. Apalagi tindakan di atas dilakukan tanpa proses pengadilan. Sehingga melahirkan pelanggaran hak korban lainnya yakni hak untuk diperlakukan secara manusiawi dan bermartabat. B. Kekerasan Psikologis Kekerasan psikologis adalah segala tindakan dan pembiaran yang melahirkan nyeri ruhani atau penderitaan psikologis termasuk dalam kategori kekerasan psikologis. Dalam prakteknya kekerasan jenis ini dapat dilakukan oleh negara maupun bukan negara. Negara sebagai pelaku dapat berupa individu dan institusi. Sementara bukan negara, pelaku kekerasan jenis ini dapat dilakukan oleh individu maupun kelompok atau massa. Di antara cara dan jenis kekerasan psikologis ini adalah berbagai tulisan yang bernada keras terhadap pelanggaran syari’at Islam seperti yang terdapat pada baliho di Kabupaten Tamiang, persis dekat Jembatan kota Kuala Simpang yang tertulis “Hanya orang kafir yang tidak memakai jilbab”. Nada kalimat yang

P

Islam, CEDAW dan Perlindungan Hak Perempuan

”Jika hukum dicanangkan dalam hati, akan dituliskan dalam pikiran mereka, dan akan dibacakan dalam tindakan mereka”

Page 4: Islam, CEDAW Perlindungan Hak Perempuan · PDF filepelanggar syari’at Islam dari kaum perempuan dalam kasus khalwat di Kota Lhokseumawe, kasus pemotongan rambut terhadap wanita

Seri Makalah Diskusi 1: Islam, CEDAW dan Perlindungan Hak Perempuan

2

hampir sama juga dijumpai pada spanduk di Banda Aceh yang tertulis “Perempuan tidak berjilbab adalah syaitan”1. Masih banyak lagi aksi-aksi lain yang tidak sesuai dengan hakikat syari’at Islam itu sendiri.2 Cara yang digunakan pelaku --baik negara maupun bukan negara-- dalam melakukan kekerasan psikologis ini dapat secara langsung maupun tidak langsung. Negara melalui kebijakannya di berbagai bidang baik pendidikan, ekonomi, politik, hukum, dan karir dapat melakukan kekerasan psikologis. Ia dapat dilakukan oleh individu pejabat negara atau atas nama institusi negara/ pemerintahan. Sementara pelakunya yang bukan negara melakukan kekerasan psikologis dengan cara mengeluarkan kata-kata tidak senonoh, kasar, merendahkan, dan memojokkan perempuan. Termasuk melakukan alienasi atau memberikan hukuman sosial kepada perempuan korban pemerkosaan, mantan terhukum cambuk dalam kasus khalwat, maisir, dan lain sebagainya. Cara melakukannya bisa langsung, dapat pula secara tidak langsung. Segala bentuk tindakan yang membahayakan manusia yang tidak melibatkan hubungan langsung antara pihak korban dan pihak yang bertanggung jawab terhadap tindakan kekerasan tersebut. Ada dua jenis kekerasan kategori ini, yaitu kekerasan akibat kelalaian dan kekerasan perantara. Lahirnya penderitaan psikologis pada diri seseorang atau sekelompok orang karena tidak ada orang atau institusi yang berwenang menghalanginya. Sedangkan kekerasan perantara merupakan hasil intervensi manusia yang dilakukan secara sengaja dan membawa pengaruh secara tidak langsung kepada orang lain. Sehingga hubungan antara orang atau institusi yang bertanggung jawab atas tindakan kekerasan tersebut dan korbannya tidaklah langsung. Kelalaian negara (legislatif , yudikatif, atau eksekutif) untuk merumuskan kebijakan yuridis dan ekonomis dalam mengantisipasi kemiskinan kaum perempuan janda korban konflik dan tsunami adalah wujud nyata dari

1Lihat Komentar Cut Hasnawati (Mantan Direktur Perempuan dan Anak, Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh ) dalam Syari’at Islam di Aceh; Simbol atau Subtansi, Internet)..

2Lihat juga Lily Zakiyah Munir, Simbolisasi, Politisasi dan Kontrol Terhadap Perempuan di Aceh., dalam Saiful Mujani dkk., Syari’at Islam Pandangan Muslim Liberal., hal. 129-132.

kekerasan jenis ini. Kelalaian negara untuk memberikan perlindungan terhadap TKW atau buruh migran perempuan juga bentuk lain dari kekerasan akibat kelalaian. Kasus terakhir ini dialami oleh perempuan Aceh beberapa bulan yang lalu. Kekerasan jenis ini terjadi baik di ranah domestik maupun publik. Di ranah domestik kekerasan ini berwujud ancaman, penghinaan, ketakutan, dan dominasi peran dalam pengambilan keputusan. Sementara kekerasan seksual berupa pemaksaan melakukan hubungan suami-isteri, dan perlakuan kasar dalam berhubungan. Kekerasan psikologis ini tidak hanya berdampak bagi perempuan sebagai korban langsung, tetapi juga bagi seluruh anggota keluarga termasuk anak-anak mereka. Tidak hanya itu, kekerasan jenis ini dapat juga berdampak sosial dan ekonomi. Kedua dampak ini muncul, saat sikorban dan anggota keluarganya dihinggapi rasa malu yang luar biasa sehingga ia kehilangan akses dengan dunia luar. Karena itu, tindakan kekerasan semacam ini bertentangan dengan prinsip HAM dan Islam. C. Kekerasan Seksual Kekerasan seksual adalah segenap tindakan pemaksaan melakukan hubungan seksual baik dengan diri sipemaksa maupun orang lain, termasuk menggunakan alat atau dilakukan secara oral, anal dan bentuk lainnya. Termasuk dalam kekerasan jenis ini adalah pemaksaan hubungan seksual untuk tujuan komersil dan atau tujuan tertentu lainnya. Kasus paling mutakhir adalah pemerkosaan seorang ayah terhadap putri kandungnya sendiri di Lhokseumawe, paksaan untuk merekonstruksi ulang perzinaan yang dilakukan oleh sepasang muda mudi di Banda Aceh, serta pemerkosaan terhadap seorang gadis SMA oleh 3 pemuda secara bergiliran di Aceh Timur. Dan diyakini ada beragam kekerasan langsung lainnya yang tidak tercatat, baik yang terjadi di wilayah publik maupun domestik. Di antaranya berupa pemaksaan melakukan hubungan suami-isteri, dan perlakuan kasar dalam berhubungan. Syahdan, kekerasan ini dilakukan oleh negara maupun bukan negara, baik dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung saat ada tindakan aktif yang dilakukan negara (individu atau institusi) dan

Page 5: Islam, CEDAW Perlindungan Hak Perempuan · PDF filepelanggar syari’at Islam dari kaum perempuan dalam kasus khalwat di Kota Lhokseumawe, kasus pemotongan rambut terhadap wanita

Seri Makalah Diskusi 1: Islam, CEDAW dan Perlindungan Hak Perempuan

3

bukan negara (individu, masyarakat, perusahaan swasta, korporasi, dan lain-lain) yang melahirkan kekerasan seksual. Dikatakan tidak langsung seperti adanya pembiaran dan kealpaan negara untuk melakukan perlindungan atau pencegahan terjadinya kekerasan seksual dimaksud. Dampak kekerasan jenis ini tidak hanya secara fisik (kerusakan alat reproduksi), melainkan juga secara psikologis, dan sosial. Dampak psikologis disebabkan oleh rasa malu yang harus ditanggung korban berikut trauma yang dideritanya. Kondisi ini semakin diperparah, jika masyarakat juga memberikan hukuman sosial dan pelabelan negatif kepada korban. Bahkan, dari kasus yang ditangani oleh beberapa lembaga baik NGO (LBH APIK) maupun pemerintah daerah (Pusat Trauma) dampak dari kekerasan seksual terutama dengan kelahiran anak melahirkan bentuk kekerasan lainnya yakni penelantaran keluarga. Karena sangat sedikit ditemukan pelaku yang bertanggung jawab terhadap korban pemerkosaan dan anak yang lahir akibat tindakan itu. D. Kekerasan Ekonomi Kekerasan ekonomi adalah segala tindakan yang dilakukan baik oleh negara maupun bukan, secara langsung atau tidak yang mengakibatkan hilangnya akses, kesempatan, dan hasil yang seharusnya diperoleh oleh perempuan. Di antara jenis kekerasan dalam kategori ini adalah fatwa Majlis Permusyawarahan Ulama’ (MPU) Kabupaten Bireun mengenai pelarangan kaum perempuan bekerja pada malam hari. Alasan yang dikemukakan adalah ketidak-amanan kerja malam bagi perempuan. Dalam kondisi tidak aman, mestinya negara berkewajiban menciptakan suasana aman dan kondusif bagi perempuan yang bekerja di malam hari, bukan justeru melarang mereka bekerja. Tindakan yang disebut terakhir menunjukkan bahwa negara melepaskan diri dari tanggung jawabnya sebagai pelindung dan pengemban amanah untuk mensejahterakan rakyat. Terlebih lagi jika perempuan tersebut adalah mereka yang berada di bawah garis kemiskinan. Menurut Jamil Salmi, kekerasan jenis ini tidak mengacu kepada orang yang secara fisik terpaksa bekerja untuk seseorang yang mereka tidak bisa memilih pekerjaannya secara bebas, melainkan mengacu kepada orang yang

kehidupan dan status sosialnya tidak mengizinkan dirinya untuk hak-haknya sebagai pekerja. Mayoritas adalah anak-anak yang tinggal di negara-negara berkembang. Pihak lain yang paling rentan adalah buruh-buruh migran yang kebanyakan perempuan. Mereka adalah para penganggur dan orang miskin di negaranya yang kemudian diterbangkan ke negara-negara kaya. Meskipun mereka bekerja sama berat dengan buruh laki-laki yang ada di negara tersebut tapi gaji buruh perempuan dihargai lebih rendah. Ada dua catatan penting yang perlu diperhatikan berkaitan dengan kekerasan tidak langsung.ini. Pertama, antara kekerasan karena kelalaian dan kekerasan perantara terdapat banyak sisi yang saling melengkapi. Akibat dari kekerasan perantara seringkali dapat menjelaskan asal mula kekerasan karena kelalaian. Kedua, orang atau institusi yang bertanggung jawab atas kekerasan tidak langsung belum tentu dianggap pelaku kejahatan oleh hukum maupun masyarakat. Intervensi atau tindakan yang diambilnya bisa jadi justru untuk menghargai hukum maupun masyarakat. Paling tidak itu menurut para pelaku yang bernama negara. Namun demikian, menimbulkan penderitaan baik fisik maupun psikologis terhadap orang atau kelompok lain tetap tidak bisa menutupi kenyataan bahwa itu adalah kejahatan dan pelangaran hak azasi manusia (HAM). Terutama jika dipandang dari sudut syari’at Islam yang memiliki visi mewujudkan kemashlahatan dunia akhirat. Jika bentuk kekerasa ini diabaikan, tanggung jawab sosial dan moral tetap tidak bisa dielakkan. Dampak pelarangan perempuan bekerja di malam hari ini tidak hanya bersifat ekonomis, tetapi juga mengakibatkan dilanggarnya hak-hak lain dari perempuan yang bersangkutan dan anggota keluarganya. Karena berada pada kondisi rentan secara ekonomi, maka mereka akan tidak mendapatkan hak memperoleh pendidikan, hak mendapatkan kehidupan yang layak, hak mendapatkan kesehatan yang memadai, dan hak-hak lainnya. Di sisi lain, kekerasan jenis ini juga diperparah oleh pelabelan yang diberikan masyarakat terhadap perempuan yang bekerja memenuhi kebutuhan hidupnya di malam hari dengan label negatif atau tabu. Bahkan dapat melahirkan kekerasan baru yaitu kekerasan kultural atau budaya.

Page 6: Islam, CEDAW Perlindungan Hak Perempuan · PDF filepelanggar syari’at Islam dari kaum perempuan dalam kasus khalwat di Kota Lhokseumawe, kasus pemotongan rambut terhadap wanita

Seri Makalah Diskusi 1: Islam, CEDAW dan Perlindungan Hak Perempuan

4

Di samping apa yang telah diuraikan di atas, negara juga dapat melakukan kekerasan secara represif dan aleinatif. Kekerasan represif ini merupakan tindakan mencabut hak-hak dasar manusia selain hak untuk hidup dan hak untuk dilindungi dari kecelakaan. Meskipun secara langsung atau tidak langsung tidak membahayakan kehidupan manusia, tetapi merupakan pelanggaran berat dalam tinjauan HAM dan Islam. Misalnya pengekangan kebebasan untuk berekspresi, merendahkan martabat manusia, dan perlakuan tidak sama di hadapan hukum atau pengadilan. Lazimnya, kekerasan jenis ini terkait dengan tiga hak dasar manusia, yakni hak sipil, politik, dan hak sosial. Di antara hak sipil yang pokok adalah kebebasan berpikir, beragama, bergerak, privasi, dan hak berusaha secara adil. Hak-hak politik adalah tingkat partisipasi secara demokratis dalam kehidupan politik suatu negara atau daerah. Sementara jaminan hak-hak sosial meliputi larangan berserikat atau membentuk asosiasi, larangan mogok, dan kesenjangan sosial. Kekerasan jenis ini sering disebut dengan kekerasan sosial. Kekerasan sosial bukan terletak pada penggunaan bayonet, namun pada apa yang dilindungi bayonet itu.3 Kekerasan ini umumnya dilakukan oleh pemerintah yang secara sengaja mengaturnya dalam konstitusi negara atau aturan perundang-undangan. Selanjutnya, salah satu bentuk kekerasan aleinatif paling kejam adalah kebijakan atau tindakan yang betul-betul mengubah kondisi material atau sosial di bawah satu identitas kultural atau kelompok tertentu. Ia dapat berupa jenis kelamin, ras, mazhab, bahkan warna kulit. Akibatnya, ada komunitas yang terisolasi dan tidak diikutkan untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan suatu bangsa. Di NAD dalam rangka pelaksanaan syari’at Islam masih ditemukannya kekerasan jenis ini. Pada lembaga atau institusi yang berwenang dalam proses pelaksanaan syari’at Islam sulit kita menemukan perempuan sebagai anggota , seperti di MPU, Mahkamah Syar’iyah, atau penentu kebijakan di Dinas Syari’at Islam. Andaipun ada di salah satu dari lembaga tersebut, posisinya tidak lebih dari pekerja atau pelaksana yang tidak mampu

3Jamil Salmi, Kekerasan dan Kapitalisme; Pendekatan Baru dalam Melihat Hak Azasi Manusia, terj. Agus Prihantoro, cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal. 159.

mempengaruhi kebijakan. Inilah yang disebut dengan kekerasan aleinatif. Bentuk lain dari kekerasan ini adalah keharusan qanun untuk memakai jilbab bagi perempuan, khususnya para remaja. Namun mereka hampir tak pernah diminta konstribusi pendapatnya tentang busana dan model yang cocok dengan mereka. Sehingga, konsep orang tua tentang busana itulah yang menjadi patron yang dipaksakan untuk dikenakan para remaja. Itupun jika kita sepakat bahwa memakai jilbab sudah dharurat untuk dilaksanakan berdasarkan qanun, ketimbang korupsi, monopoli, dan kekerasan dalam rumah tangga serta masalah kemiskinan. Kondisi aleinatif yang dialami perempuan juga berlangsung di wilayah sosial dan politik. Terutama partisipasi perempuan dalam pemilihan kepala desa, imum mukim, dan dalam menentukan kebijakan termasuk kebijakan tentang perempuan sendiri. Bentuk lainnya adalah dimasukkannya keharusan mermazhab teologi Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah dalam qanun syari’at Islam. Akibatnya mazhab teologi di luar itu tidak dilindungi Qanun. Hal ini menentang pluralitas masyarakat dalam berteologi. Karena negara sudah mengklaim, hanya satu aliran teologi tertentu yang sah hidup di NAD. Secara psikologis berwujud ancaman, penghinaan, ketakutan, dan dominasi peran dalam pengambilan keputusan. Sementara kekerasan seksual berupa pemaksaan melakukan hubungan suami-isteri, dan perlakuan kasar dalam berhubungan. Sementara penelantaran berbentuk pembiaran, pengusiran, tidak memberikan nafkah, dan lain sebagainya. Data tentang ini dapat diperoleh dari Kantor Urusan Agama yang ada di setiap Kecamatan dan Kabupaten, serta NGO yang bergerak di bidang ini.

Penyebab Kekerasan Mengenai faktor penyebab tentang kekerasan terhadap perempuan yang terjadi selama pelaksanaan syari’at Islam akhir-akhir ini di provinsi NAD dapat diidentifikasi ke dalam beberapa faktor di antaranya: Pertama, politik. Ruang lingkupnya meliputi kebijakan politik, skala prioritas pelaksanaan syari’at, intervensi negara dan pengawasan serta penegakan syari’at yang masih sangat

Page 7: Islam, CEDAW Perlindungan Hak Perempuan · PDF filepelanggar syari’at Islam dari kaum perempuan dalam kasus khalwat di Kota Lhokseumawe, kasus pemotongan rambut terhadap wanita

Seri Makalah Diskusi 1: Islam, CEDAW dan Perlindungan Hak Perempuan

5

kental dengan upaya pelestarian kekuasaan politik. Pertautan antara kekuasaan politik dan kekerasan sangat erat. Yasraf menjelaskan karena begitu canggih trik, taktik dan strategi yang digunakan dalam melanggengkan kekuasaan, sehingga kekerasan, yang sebenarnya merupakan bagian yang menyatu dalam proses mempertahankan kekuasaan tersebut, diciptakan sedemikian rupa, sehingga seolah-olah ia tak pernah ada..4 Di samping itu, pelaksanaan syari’at Islam di NAD sangat berkait berkelindan dengan situasi konflik politik antara Perintah Republik Indonesia dan Gerakan aceh Merdeka (RI-GAM). Satu hal yang tidak terbantahkan bahwa setiap kebijakan yang lahir dari carut-marut politik dipastikan bermuatan politis. Sayangnya, syari’at Islam ini menjadi komoditas politik para elit yang hanya bersifat simbolik, kering dari makna substantif syari’at itu sendiri. Kedua, sosial-budaya. Aspek sosial-budaya mengalami kristalisasi saat berkulturasi dengan agama atau ajaran Islam. Pengaruh patriarki dalam ajaran agama yang sangat dominan adalah dalam ranah fiqh. Terlebih lagi karena fiqh yang ada di Aceh memiliki hubungan geneologis yang sangat kental dengan budaya patriarki masyarakat Arab. Di samping fakta yang tak terbantahkan bahwa mayoritas ulama fiqh adalah laki-laki. Sehingga impuls-impuls kelelakian sangat mewarnai pembahasannya. Menarik untuk memperhatikan salah satu contoh fiqh patriarkis yang disetir Al-Ghazali tentang perkawinan. Baginya pernikahan adalah sebentuk perbudakan (naw’u riqqin). Sehingga isteri wajib mentaati suaminya secara mutlak.5 Secara antropologis, masyarakat Aceh memandang perempuan sebagai kuli domestik. Meskipun secara historis pandangan ini terbantahkan. Bahwa perempuan sejak dulu aktif di dunia publik adalah fakta. Tidak hanya di dunia politik dan sosial, tetapi juga ekonomi, seni, dan militer. Tjut Nya’ Dhein, Ratu Safiatuddin, Cut Meurah Intan, dan Laksamana Malahayati adalah di antara contohnya. Budaya patriarki ini semakin mengental terutama pasca kolonialisme Barat di Aceh khususnya atau Indonesia pada

4Yasraf Amir Pilliang, Sebuah Dunia yang Menakutkan;Mesin-mesin Kekerasan dalam Jagat Raya Chaos, cet. I, (Bandung: Mizan, 2001), hal. 92.

5Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, II, (t.tp: t.p.t.th.), hal. 48.

umumnya. Secara antropologis pula perempuan Aceh memiliki semangat perlawanan yang dahsyat. Ini disebabkan oleh sikap anti pengekangan. Hal ini terlihat dalam dunia seni tarian Aceh. Perempuan Aceh dalam tari mengenakan celana panjang, menurut Kuntowijoyo sebagai simbul di mana perempuan Aceh mencintai kebebasan dan anti pengekangan. Budaya patriarki itu terlihat jelas dari cara pandang masyarakat tentang tubuh perempuan yang berbeda dengan tubuh laki-laki. Tubuh perempuan itu domestik sedangkan tubuh laki-laki bersifat publik. Akibatnya, tubuh perempuan mengalami pendisiplinan di ranah publik, sementara laki-laki tidak. Perempuan dibatasi gerakan tubuhnya di wilayah publik, karena dapat mengundang hasrat laki-laki. Di sisi lain, laki-laki bebas bergerak tanpa batas. Sepertinya hanya laki-laki yang berhasrat, sementara perempuan dianggap tidak berhasrat atau tidak boleh berhasrat. Akibatnya, orientasi pertama pelaksanaan syari’at Islam adalah tubuh perempuan yang harus ditutup, hal yang sama tidak berlaku bagi laki-laki. Lalu, berujung pada razia jilbab, celana ketat, dan baju ketat. Sampai di sini kekerasan terhadap perempuan dimulai. Ketiga, pemahaman syari’at Islam yang bias gender. Akibatnya, menjamur baik di wilayah publik maupun domestik. Di wilayah publik perempuan didesak ke domestik. Di wilayah domestik pun perempuan masih mengalami dominasi laki-laki/suami, jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan keluarga, keharusan untuk tidak keluar rumah tanpa izin suami, pengistimewaan anak laki-laki untuk mendapat pendidikan terutama di tingkat perguruan tinggi, dan lain sebagainya. Belum lagi kekerasan yang berupa pemukulan, tekanan, penelantaran ekonomi, pembiaran, dan kekerasan seksual lainnya. Keempat, yuridis. Faktor yuridis yang dimaksudkan di sini adalah isi dari qanun dan aturan-aturan syari’at itu sendiri berpotensi menimbulkan kekerasan. Peraturan Daerah No. 5/ 2000 meskipun kabur, memiliki basis konstitusional UU No. 44/ 1999 tentang Penyenggaraan Keistimewaan Aceh. Ironisnya, peraturan yang diatasnamakan syari’at Islam itu di dalamnya terdapat beberapa pasal yang potensial melahirkan kekerasan. Inilah yang kita kenal dengan kekerasan yang legal. Pasal-pasal dimaksud adalah Pasal 7, Pasal 11 Ayat 2,

Page 8: Islam, CEDAW Perlindungan Hak Perempuan · PDF filepelanggar syari’at Islam dari kaum perempuan dalam kasus khalwat di Kota Lhokseumawe, kasus pemotongan rambut terhadap wanita

Seri Makalah Diskusi 1: Islam, CEDAW dan Perlindungan Hak Perempuan

6

dan Pasal 14 Ayat 5. Tiga pasal ini melegitimasi masyarakat untuk menegakkan hukum dan menggelar mahkamah jalanan. Berdasarkan fakta di NAD, yang rentan terhadap korban mahkamah jalanan ini adalah perempuan. Tindakan pemotongan celana perempuan di jalan raya, menyentuh tubuh perempuan tanpa kerelaan, razia jilbab, yang dilakukan secara massif merupakan wujud nyata dari kekerasan terhadap perempuan dimaksud. Dengan mendasarkan diri pada pasal ini masyarakat mendefinisikan sendiri tentang prilaku mana yang merusak akhlak atau dekaden dan mana pula yang tidak. Lalu, peraturan ini memberikan peluang cukup besar kepada masyarakat untuk mengambil tindakan pencegahan. Kebanyakan dari tindakan itu adalah kekerasan. Korban yang paling mudah dieksploitasi dan dieksekusi adalah perempuan. Jadi, kekerasan berada dalam tubuh negara sendiri yang ditutup dan dilakukan atas nama syari’at. Kelima, faktor historis. Secara historis kekerasan bukan hanya terjadi saat syari’at Islam diberlakukan. Ia telah lama menyatu akrab dalam kehidupan masyarakat Aceh pasca-kemerdekaan RI. Terutama konflik berkepanjangan antara RI-GAM. Konflik tersebut telah menyajikan kepada masyarakat beragam kekerasan dengan intensitasnya yang cukup akut. Saban hari mendengar letupan, menyaksikan tendangan, perang, dan penyiksaan, pemerkosaan, serta aneka bentuk kekerasan lainnya. Sehingga, masyarakat kehilangan sekat antara kekerasan dan nir-kekerasan. Akibatnya, kekerasan menjadi inheren dalam anatomi masyarakat Aceh.

Visi dan Misi Syari’at Islam Visi syari’at Islam adalah mewujudkan kemashlahatan hidup manusia dunia dan akhirat. Di dalamnya terkandung prinsip-prinsip kebijaksanaan, kasih-sayang, keadilan, dan kemashlahatan. Setiap kebijakan atau peraturan yang menafikan prinsip-prinsip dimaksud bukanlah syari’at Islam. Meskipun menafian tersebut diatas namakan syari’at Islam. Prinsip-prinsip di atas bertujuan untuk melindungi sekaligus menegakkan Hak Asasi manusia (HAM) yang dikenal dengan maqasid al-syar’iyyah (tujuan syari’at). Ia meliputi hak untuk beragama (himayah li hifdh al-din), hak

untuk hidup (himayah li hifdh al-Nafs), hak mendapatkan pendidikan (himayah li hifdh al-‘aql), hak reproduksi dan kesehatan (himayah li hifdh al-Nasl), hak untuk dihormati (himayah li hifdh al-‘irdh), dan hak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat dan aman (himayah li hifdh al-bi’ah). Semua hak-hak asasi di atas merupakan hak dasar yang inheren dengan diri setiap manusia dan merupakan fitrah kemanusiaan. Karena setiap orang membutuhkan terpenuhinya hak-hak dimaksud untuk kelangsungan hidupnya. Visi dan misi syari’at Islam ini haruslah dioperasionalkan dalam rumusan qanun-qanun dan segenap peraturan serta pelaksanaannya. Sehingga ia tercermin tidak hanya pada dataran normatif-yuridis, melainkan pada level praktis-sosiologis. Secara normatif-yuridis, hal ini harus tergambar dalam substansi qanun dan peraturan yang ditetapkan. Sementara secara praktis-sosiologis, pelaksanaan substansi qanun atau peraturan tersebut harus dipayungi oleh mekanisme dan tata-laksana yang menjamin terwujudnya visi dan misi syari’at Islam, khususnya cita hukum yang akan dicapai oleh substansi yang terkandung dalam qanun atau peraturan tadi. Alhasil, qanun atau peraturan itu memiliki keberlakuan yuridis, sosiologis, dan filosofis secara adil dan setara bagi semua orang. Sampai di sini jelaslah bahwa syari’at Islam adil dan tidak diskriminatif. Baik diskriminasi berdasarkan ras, suku, warna kulit, agama, maupun jenis kelamin. Diskriminasi yang disebut terakhir merupakan fenomena yang menggerogoti pelaksanaan syari’at Islam di NAD selama ini. Lantas, bagaimana perspektif Islam tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan? Kesetaraan Gender dalam Islam dan

CEDAW Di bawah ini, pertama akan dikemukakan prinsip-prinsip kesetaraan gender dalam Islam. Pertama, laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba Allah SWT. (Surah al-Zariyat:56). Dalam kapasitasnya sebagai hamba, baik laki-laki maupun perempuan memiliki kesempatan, akses, dan potensi yang setara untuk menjadi hamba ideal. Hamba ideal dalam terminologi Al-Qur’an dikenal dengan muttaqin (orang-orang yang memelihara diri dan makhluk lain dari kerusakan). Dalam

Page 9: Islam, CEDAW Perlindungan Hak Perempuan · PDF filepelanggar syari’at Islam dari kaum perempuan dalam kasus khalwat di Kota Lhokseumawe, kasus pemotongan rambut terhadap wanita

Seri Makalah Diskusi 1: Islam, CEDAW dan Perlindungan Hak Perempuan

7

posisi ini keduanya mendapat penghargaan dari Allah SWT atas segenap kebaikan yang dilakukannya (Surah Al.Nahl: 97). Sampai di sini jelas, bahwa kualitas seorang hamba (baik laki-laki maupun perempuan) tidak ditentukan oleh jenis kelamin, melainkan kualitas ketaatan atau ketaqwaan kepada yang Maha Pencipta (Surah Al-Hujurat: 13). Prinsip ini melahirkan kesetaraan hak dalam beragama dan mengekspresikan nilai-nilai agamanya, tanpa diskriminasi. Kedua, laki-laki dan perempuan sama-sama berpeluang menjadi khalifah Allah di bumi. Selain sebagai hamba untuk mengabdi kepada Allah SWT, penciptaan manusia juga bertujuan untuk menjadi khalifah di atas permukaan bumi. Dalam kapasitasnya sebagai khalifah, tidak ada perbedaan antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Keduanya berhak sekaligus berkewajiban untuk mempertanggung jawabkan tugas kekhalifahan yang diembannya, sebagaimana tugasnya sebagai hamba. Tiadanya diskriminasi dalam hal ini ditegaskan oleh Surah Al-Baqarah: 30. Ayat ini menegaskan tidak ada diskriminasi sosial-politik berdasarkan jenis kelamin, suku, bangsa, dan warna kulit. Ketiga, laki-laki dan perempuan sama-sama terlibat dalam drama kosmos. Keterlibatan aktif Adam dan Hawa dalam drama kosmos direkam dengan jelas dalam Al-Qur’an. Rekaman ini sekaligus membantah pandangan banyak pihak bahkan sebagian ulama, bahwa Hawa merupakan penyebab kejatuhan Adam kebumi. Berikut ini adalah bukti-bukti yang diungkapkan Al-Qur’an: (1). Keduanya diciptakan di surga dan memanfaatkan fasilitas surga (Surah Al-Baqarah: 35). (2). Keduanya mendapat kualitas godaan yang sama dari setan (Surah Al-A’raf: 20). (3). Keduanya memakan buah khuldi (yang dilarang Tuhan), karenanya keduanya menerima akibat jatuh ke bumi (Surah Al-A’raf: 22. (4). Keduanya memohon ampun dan keduanya pula diampuni Tuhan (Surah Al-A’raf: 23). (5). Setelah terlempar ke bumi keduanya mengembangkan keturunan dan hidup saling melengkapi dan membutuhkan (Surah Al-Baqarah: 187). Dari prinsip ini lahir hak untuk tidak dipersalahkan terhadap jenis kelamin tertentu. Keempat, laki-laki dan perempuan sama-sama berhak untuk dihormati. Surah Al-Isra’: 70 menegaskan:

Sungguh Kami memuliakan anak-anak Adam (manusia). Kami sediakan bagi mereka sarana dan fasilitas untuk kehidupan mereka di darat dan di laut. Kami beikan mereka rezki yang baik-baik, lantas Kami utamakan mereka di atas ciptaan Kami yang lain.

Ada 2 hal kunci yang dapat ditangkap dari ayat di atas. Pertama, Allah SWT menegaskan bahwa Ia telah memuliakan manusia. Jika pencipta telah memuliakan manusia, maka kita sebagai manusia berkewajiban untuk melakukan hal yang sama. Bahkan wajib menghindari dan mencegah segenap tindakan yang mendatangkan kehinaan terhadap orang lain. Kedua, Allah SWT telah menyediakan bagi laki-laki dan perempuan fasilitas dan sarana untuk kehidupan mereka. Konsekuensinya, baik laki-laki maupun perempuan memiliki kesempatan, akses, dan hak untuk meraih, menikmati, dan menggunakan segala fasilitas dan sarana kehidupan tersebut. Dari sini melahirkan kewajiban untuk memuliakan dan larangan untuk menghina manusia lain berdasarkan jenis kelamin, ras, dan atribut lainnya. Karena Allah menyediakan fasilitas di bumi ini untuk manusia dengan jenis kelamin dan suku apapun, maka semua orang harus diposisikan setara dalam menikmati fasilitas tersebut. Baik di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum, sosial, politik, budaya, dan lain sebagainya. Kelima, laki-laki dan perempuan sama-sama mengikrarkan perjanjian teologis dengan Allah SWT dalam kandungan ibunya (Surah Al-A’raf: 172). Selengkapnya ayat tersebut berbunyi:

Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka, dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): Bukankah Aku ini Tuhanmu?Mereka menjawab: Betul (Engkau adalah Tuhan kami), kami menjadi saksi. Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (KeEsaan Tuhan).

Sejak awal sejarah manusia dalam Islam tidak mengenal diskriminasi jenis kelamin. Keduanya menyatakan ikrar ketuhanan yang sama. Karena itu, dalam Islam perempuan sudah memiliki kemantirian dan kepercayaan diri. Sebab, sejak awal Islam tidak memberikan beban khusus kepada perempuan yang berupa “dosa warisan”.

Page 10: Islam, CEDAW Perlindungan Hak Perempuan · PDF filepelanggar syari’at Islam dari kaum perempuan dalam kasus khalwat di Kota Lhokseumawe, kasus pemotongan rambut terhadap wanita

Seri Makalah Diskusi 1: Islam, CEDAW dan Perlindungan Hak Perempuan

8

Keenam, laki-laki dan perempuan sama-sama berkewajiban menuntut ilmu dan mengamalkan ilmunya. Kesetaraan dalam kesempatan, proses, akses, dan hasil dalam menuntut ilmu dibuka lebar-lebar oleh Islam kepada siapapun, dimanapun, dan kapanpun tanpa membedakan jenis kelaminnya. Dalam Islam setiap ilmu yang dimiliki seseorang harus diamalkan, maka wilayah pengamalan inipun tak pernah dibatasi untuk laki-laki dan perempuan. Baik wilayah domestik maupun publik. Semakin luas ilmu seseorang, maka semakin luas pula wilayah pengamalan yang dibutuhkan. Diskriminasi dalam bidang keilmuan dan pendidikan berlawanan dengan prinsip-prinsip ini. Prinsip di atas melahirkan antara lain hak untuk mendapatkan pendidikan dan berperan aktif dalam dunia pendidikan, baik laki-laki maupun perempuan. Ketujuh, laki-laki dan perempuan sama-sama diciptakan dari asal-usul yang sama. Keduanya berasal dari jenis, proses dan asal usul penciptaan yang sama. Tidak berdasar sama sekali pandangan yang menganggap perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Karena informasi yang dapat ditemukan dalam Al-Qur’an dan Hadith kedua jenis kelamin ini diciptakan dari jenis yang sama (Surah An-Nisa’: 1). Proses penciptaannyapun sama (Surah Al-Mu’minun: 12-14). Ayat di atas menjelaskan bahwa proses penciptaan manusia mula-mula adalah dari saripati tanah. Lalu berproses menjadi setetes air mani, lalu cairan ini tersimpan di dalam rahim, lalu menjadi segumpal daging, lalu muncul dari daging itu tulang-belulang, tulang belulang itu dibungkus dengan daging yang utuh. Kemudian menjadilah ia makhluk yang khusus berupa manusia. Kedelapan, laki-laki dan perempuan sama-sama berpeluang untuk berprestasi. Secara khusus al-Qur’an menegaskan bahwa peluang untuk meraih prestasi maksimum tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini dapat disimak dalam Surah Ali Imran: 195; An-Nisa’: 124; Al-Nahl: 197; dan Al-Ghafir: 40. Salah satu ayat tersebut adalah apa yang diproklamirkan Allah SWT dalam Surah An-Nisa’: 124:

Barang siapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, sedang ia beriman, maka mereka itu masuk ke dalam

surga, dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.

Ada hak untuk berprestasi dan mendapatkan ganjaran yang sama dari prestasinya, tanpa diskriminasi, sub-ordinasi, dan eksploitasi satu sama lain. Ayat ini menegaskan bahwa kinerja dan gaji tidak didasarkan pada jenis kelamin tertentu, melainkan prestasi dan kompetensi. Penjelasan di atas menegaskan bahwa dalam meraih prestasi individual baik spritual dan profesional tidak mesti harus dimonopoli oleh salah satu jenis kelamin saja. Keduanya diberi kesempatan untuk meraih prestasi optimal sesuai dengan kemampuan dan usahanya masing-masing. Allah telah membangun sistem normatif secara adil terhadap kedua jenis kelamin, maka kita harus membangun sistem praktis untuk melaksanakan nilai-nilai kesetaraan yang normatif tersebut. Salah satu wujud praktis dari pelaksanaan nilai-nilai dimaksud adalah lahirnya Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convension on the Eliminations if All Forms of Discrimination Against Women, CEDAW). Prinsip, tujuan, dan nilai-nilai yang terkandung dalam CEDAW seirama dengan prinsip-prinsip kesetaraan yang dikemukakan di atas. Karena CEDAW sebagai salah satu perangkat hukum internasional menganut prinsip-prinsip kesetaraan, non diskriminasi, dan obligasi negara. Tiga prinsip tersebut dijabarkan dalam 30 pasal yang diklasifikasikan kedalam 4 (empat) aspek. Aspek kerangka kerja substantif umum konvensi, aspek area spesifik substantif, komite dan prosedur, serta administrasi dan intepretasi, di mana empat aspek tersebut bertujuan untuk mewujudkan secara penuh hak asasi perempuan dan trilogi kesetaraan, yakni kesetaraan kesempatan, akses, dan hasil bagi perempuan. Untuk melihat kesesuaian CEDAW dengan prinsip-prinsip kesetaraan yang ditawarkan Islam, mari kita cermati beberapa pasal CEDAW di bawah ini: Pasal 2: Negara-negara Peserta mengutuk diskriminasi terhadap perempuan dalam segala bentuknya. bersepakat untuk menjalankan dengan segala cara yang tepat dan tanpa ditunda-tunda melaksanakan kebijakan untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan.

Page 11: Islam, CEDAW Perlindungan Hak Perempuan · PDF filepelanggar syari’at Islam dari kaum perempuan dalam kasus khalwat di Kota Lhokseumawe, kasus pemotongan rambut terhadap wanita

Seri Makalah Diskusi 1: Islam, CEDAW dan Perlindungan Hak Perempuan

9

Pasal ini senada dengan semangat Al-Qur’an untuk memberantas kezaliman. Salah satu pihak yang paling bertanggung jawab adalah umara (pemerintah). Penghapusan segala bentuk diskriminasi oleh negara sejalan dengan tuntunan Surah An-Nisa’: 58. Ayat ini berisi perintah kepada para penguasa untuk menunaikan amanah kepada rakyatnya secara adil dan memutuskan perkara di antara manusia (tanpa diskriminasi berdasarkan jenis kelamin) dengan adil pula.

Pasal 7: Negara-negara Peserta wajib melakukan langkah-tindak yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik dan publik negara dan, khususnya wajib memastikan bagi perempuan setara dengan laki-laki. Pasal 10: Negara-negara Peserta wajib melakukan langkah-tindak yang diperlukan untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan untuk menjamin mereka hak-hak yang setara dengan laki-laki di bidang pendidikan.

Diskriminasi di ranah politik dan kehidupan publik, termasuk pendidikan merupakan perlawanan terhadap kesempatan dan akses yang diberikan Islam melalui prinsipnya tentang hak menjadi khalifah di bumi dalam rangka mewujudkan kemakmuran dunia. Untuk melaksanakan tugas ini dibutuhkan ilmu pengetahuan. Ilmu yang berguna dalam pandangan Islam adalah ilmu yang diamalkan. Wilayah pengamalan ilmu bisa domestik dan dapat juga berada di ranah publik. Semakin luas ilmu yang dimiliki membutuhkan kepada semakin luas pula kesempatan dan wilayah pengamalannya. Ini berlaku untuk semua bidang, tanpa kecuali.

Pasal 11 Ayat 1: Negara-negara Peserta wajib melakukan segala langkah-tindak yang diperlukan untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam bidang kesempatan kerja untuk menjamin, atas dasar kesetaraan laki-laki dan perempuan, hak-hak yang sama. Pasal 13: Negara-negara Peserta wajib melakukan langkah-tindak yang diperlukan untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam bidang ekonomi dan kehidupan sosial, untuk menjamin, atas dasar kesetraan laki-laki dan perempuan. Hak-hak yang sama.

Pasal 15 Ayat 1: Negara-negara Peserta wajib memberikan kepada perempuan persamaan hak dengan laki-laki di muka hukum. Pasal 11, 13, dan 15 merupakan manifestasi dari semangat Surah Al-Isra’: 70. ”Sungguh Kami memuliakan anak-anak Adam (manusia). Kami sediakan bagi mereka sarana dan fasilitas untuk kehidupan mereka di darat dan di laut. Kami berikan mereka rezki yang baik-baik, lantas Kami utamakan mereka di atas ciptaan Kami yang lain.”

Jika dikaitkan dengan ayat ini, maka fasilitas yang disediakan Allah kepada manusia, baik laki-laki atau perempuan meliputi fasilitas ekonomi, sosial, politik, budaya, agama, kesehatan, hukum, dan lain sebagainya. Di antara segenap fasilitas tersebut disetir oleh CEDAW pasal 11, 13, dan 15. Dalam ayat lain Al-Qur’an menjelaskan bahwa belum memadai bila fasilitas ini diberikan kepada perempuan dan laki-laki, jika pemberian tersebut dilakukan secara tidak adil atau zalim. Adil baik pada dataran kesempatan, akses, maupun hasil yang didapatkan oleh kedua jenis kelamin tersebut. Secara ringkas, isi atau substansi perlindungan terhadap hak-hak perempuan yang ingin dilindungi oleh CEDAW sebagaimana tergambar secara tegas dalam setiap bagian dan pasal-pasalnya adalah: 1. Deklarasi untuk menghapus segala bentuk

pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang berdampak atau bertujuan untuk mengurangi atau meniadakan pengakuan, penikmatan, penggunaan hak asasi manusia, dan kebebasan pokok di bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, sipil atau bidang lainnya (Pasal 1).

2. Setiap negara peserta wajib menjalankan dengan sengaja dan cara yang tepat dan cepat berbagai kebijakan untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan baik secara de facto maupun dejure dalam berbagai kehidupan baik di wilayah pribadi/ domestik maupun publik. Metode atau caranya dapat berupa kultural, struktural, maupun sosial.

3. Hak-hak perempuan yang dilindungi adalah hak politik, sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, dan hak-hak sipil lainnya. Secara detail hak-hak yang dilindungi konvensi ini adalah hak

Page 12: Islam, CEDAW Perlindungan Hak Perempuan · PDF filepelanggar syari’at Islam dari kaum perempuan dalam kasus khalwat di Kota Lhokseumawe, kasus pemotongan rambut terhadap wanita

Seri Makalah Diskusi 1: Islam, CEDAW dan Perlindungan Hak Perempuan

10

berpartisipasi dalam organisasi pemerintah-non pemerintah, hak kewarganegaraan, bimbingan karir dan keterampilan, bekerja dan mendapat upah yang layak dan setara, kebebasan memilih profesi dan pekerjaan, reproduksi, kesempatan mendapatkan beasiswa, tunjangan profesi dan keluarga, perumahan, transportasi, kepemilikan harta, pelepasan hak milik, dan lain sebagainya.

Dalam perspektif Islam, tiga poin ini merupakan hak-hak mendasar yang diberikan Allah SWT kepada setiap hambanya dan inheren dengan diri setiap orang. Karena hak-hak tersebut merupakan tuntutan fitrah manusia lintas kelamin, ras, bangsa, dan apapun, kapanpun, dan di manapun. Dalam rangka mewujudkan terlaksananya keadilan dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam memperoleh hak-hak di atas, maka diperlukan cara atau metode. Metode dimaksud ditempuh dengan cara mengatasi diskriminasi dalam ruang lingkup pribadi/ domestik dan publik baik disengaja ataupun tidak. Di samping ia juga mengatasi diskriminasi historis. Semua prinsip kesetaraan gender di atas merupakan bentuk dari bagaimana Islam dan CEDAW merupakan dua hal yang dapat menjadi dasar dan strategi untuk melindungi hak perempuan yang selama ini terabaikan. Karena perempuan secara faktual berada pada posisi dieksploitasi, dihalangi, dan didiskreditkan untuk menikmati, dan mendapatkan hak-hak mereka, maka setiap orang wajib untuk memberikan kembali hak perempuan yang selama ini terabaikan. Kewajiban ini berlaku baik bagi negara secara struktural, ilmuan dan ulama secara kultural, maupun masyarakat secara sosial. Sebab, penindasan dan ketidakadilan merupakan salah satu bentuk kezaliman yang sudah kompleks, rumit, dan sistemik, maka metode atau strategi perjuangan yang harus ditempuh haruslah komprehensif. Penguasa dengan kekuasaannya (strategi struktural), ilmuan dengan ilmunya (kultural), dan masyarakat dengan ikhtiar dan aksi sosialnya. Begitu pesan dan konsep yang ditegaskan Rasulullah SAW dalam sebuah hadith. Strategi perlindungan terhadap hak-hak tersebut secara praktis operasional dapat

diterjemahkan lebih rinci oleh masing-masing negara di masing-masing wilayah dengan karakter daerah dan budaya serta kearifan lokal yang ada. Perlindungan tersebut tidak hanya bersifat normatif-yuridis, melainkan harus aplikatif. Tidak memadai hanya pada bentuk pemberian kesempatan yang setara antara laki-laki dan perempuan untuk memenuhi hak-haknya, tetapi juga harus menyediakan akses dan perolehan hasil yang setara terhadap hak-hak dimaksud. Bahkan, dalam konteks tertentu perempuan harus diberikan tindakan dan perlakuan khusus (affirmative action) dalam meraih kesetaraannya dengan laki-laki. Persoalan utama yang penting dicermati bukanlah berkaitan dengan apa yang dapat dilakukan konvensi ini dalam melindungi hak-hak perempuan. Melainkan apa yang bisa dilakukan oleh siapapun, dimanapun, dan kapanpun dengan konvensi ini untuk memberikan perlindungan terhadap perempuan. Karena konvensi ini tidak secara eksplisit menghentikan berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan. Justeru kekuatan konvensi ini terletak pada intepretasi kita terhadapnya. Secara yuridis normatif konvensi ini memberikan perlindungan terhadap hak-hak perempuan. Akan tetapi hak-hak tersebut tidak secara otomatis terlindungi tanpa langkah-langkah praktis operasional yang dilakukan untuk itu, terutama oleh negara dan masyarakat.

Laki-laki sebagai Mitra Penghapusan

Diskriminasi dan Kekerasan Dalam konteks NAD, masih ada anggapan bahwa perjuangan untuk mewujudkan kesetaraan sekaligus melindungi hak-hak perempuan itu merupakan tugas perempuan semata. Bahkan dianggap bahwa tindakan tersebut merupakan perjuangan yang hanya menguntungkan perempuan. Lebih dramatis lagi, justeru dipandang sebagai proses dominasi perempuan terhadap laki-laki. Padahal masalah kesetaraan gender dan perlindungan terhadap perempuan merupakan masalah kemanusiaan dan titik permulaan untuk mewujudkan keadilan lintas kelamin. Jika disadari bahwa ketidakadilan terhadap salah satu jenis kelamin (perempuan) merupakan ancaman bagi eksistensi manusia secara kolektif. Sehingga ia merupakan tragedi kemanusiaan yang menimpa semua orang apapun jenis kelaminnya. Dalam perspektif

Page 13: Islam, CEDAW Perlindungan Hak Perempuan · PDF filepelanggar syari’at Islam dari kaum perempuan dalam kasus khalwat di Kota Lhokseumawe, kasus pemotongan rambut terhadap wanita

Seri Makalah Diskusi 1: Islam, CEDAW dan Perlindungan Hak Perempuan

11

agama, Rasulullah SAW menegaskan secara vulgar dalam sabdanya:

”Hanya laki-laki yang mulia yang memuliakan perempuan, dan hanya laki-laki yang hina yang menghina perempuan.”

Penegasan Rasul di atas menjelaskan bahwa kemuliaan laki-laki terletak pada sikapnya dalam memuliakan perempuan, sebaliknya kehinaannya juga bergantung pada sikapnya menghina perempuan. Karena itu, mengeksploitasi perempuan dan menahan untuk memenuhi hak-haknya merupakan tindakan mengeksploitasi dan mereduksi hak sendiri sebagai laki-laki. Bagaimanapun perempuan adalah pasangan dan mitra laki-laki dalam kehidupan ini. Ia ibarat pasangan kaki, tangan, mata, telinga, dan otak kanan-kiri kita. Salah satu di antaranya tidak diperhatikan dan cacat, maka kecatatan itu juga akan menimpa totalitas kepribadian dan aktivitas seluruh tubuh manusia/ seseorang. Karena itu, laki-laki bukan hanya berperan dalam menghapus kekerasan dan berbagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan, melainkan merupakan keniscayaan yang harus disadari dan dilakukannya. Tentu saja jika laki-laki ingin hidup sempurna tidak hanya sebagai laki-laki, tetapi juga sebagai manusia. Untuk tujuan itu, apa yang bisa dilakukan laki-laki dalam menghapus diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan? Berdasarkan ruang lingkup ada dua wilayah dimana laki-laki dapat menjadi mitra yang baik dan efektif bagi perempuan dalam menghapus diskriminasi dan kekerasan, yaitu wilayah pribadi atau domestik dan wilayah publik. Dalam wilayah domestik ia dapat memulai untuk melibatkan perempuan dalam setiap pengambilan keputusan tentang kepentingan keluarga, baik berkaitan dengan ekonomi, sosial, politik, pendidikan anak-anak, maupun reproduksi. Selama ini keputusan dalam bidang tersebut didominasi oleh laki-laki (suami) tanpa penglibatan aktif perempuan (isteri). Baik menyangkut izin bekerja, aktif dalam politik dan jabatan pemerintahan atau organisasi, membeli dan menjual sesuatu, hingga masalah kebutuhan seksual dan reproduksi. Lebih lanjut, sebagai orang tua kesempatan, akses, dan hasil dalam ranah pendidikan bagi anak laki-laki dan perempuan juga dapat diposisikan setara dalam keluarga

dan di antara anak-anak. Padahal agama mengajarkan bahwa setiap keputusan yang menyangkut kepentingan seluruh anggota keluarga harus melibatkan semua orang yang akan terlibat menjalankan keputusan itu. Musyawarah adalah prinsip yang disetir Islam dan harus dijalankan. Di wilayah publik, laki-laki dapat berperan dalam mengurangi atau menghapus berbagai bentuk kekerasan seksual, fisik, dan psikologis-religius. Di antaranya adalah menghapuskan kasus pemerkosaan, penyiksaan, aleinasi atau diskriminasi, keamanan kerja, eksploitasi tubuh perempuan, perlakuan di dunia pendidikan, akses ekonomi dan informasi, hukum, kesehatan, agama serta budaya hingga pelayanan publik untuk perempuan. Sebagai sosok yang kini mendominasi wilayah publik, maka laki-laki sangat berpeluang untuk menciptakan kesetaraan sekaligus menghapus berbagai bentuk ketidakadilan terhadap perempuan. Secara sosial dan kultural, kesempatan, akses, dan kesetaraan hasil bagi perempuan juga harus dilakukan secara kolektif dan komunal oleh masyarakat dengan segenap pranata sosial dan agama yang ada. Mulai dari menghilangkan persepsi dan stereotype bias gender, penyediaan ruang yang kondusif bagi kiprah perempuan dalam ranah sosial, agama, dan budaya, hingga kenyamanan psikologis dan fisik bagi kehidupan perempuan di berbagai bidang, tingkat, dan situasi. Semua peran di atas tidak hanya dalam hal memberikan kesempatan yang sama kepada kedua jenis kelamin, melainkan juga akses dan hasil yang setara. Bahkan dalam konteks tertentu, perlakuan terhadap perempuan harus lebih khusus ketimbang laki-laki. Sehingga, perempuan dapat meraih kesetaraan di dua wilayah dimaksud. Banyak hal lain yang dapat dilakukan laki-laki untuk merealisasikan kesetaraan dan mewujudkan keadilan bagi perempuan. Tentu saja, tidak bisa dilakukan secara revolusioner dan dalam waktu yang singkat.

Page 14: Islam, CEDAW Perlindungan Hak Perempuan · PDF filepelanggar syari’at Islam dari kaum perempuan dalam kasus khalwat di Kota Lhokseumawe, kasus pemotongan rambut terhadap wanita

Seri Makalah Diskusi 1: Islam, CEDAW dan Perlindungan Hak Perempuan

12

Konklusi Berdasarkan uraian di atas di sini akan ditawarkan beberapa konklusi bagi pelaksanaan syari’at Islam di NAD, khususnya implementasi syari’at Islam tanpa kekerasan. Konklusi tersebut antara lain: Pertama, rekonstruksi pemahaman agama atau syari’at Islam yang bertumpu pada maqasid al-Syari’ah (tujuan syari’at) sebagai visi sejati Islam. Dalam implementasinya perlu penentuan skala prioritas dengan klasifikasi mana dharuriyyat (mengancam eksistensi manusia), hajjiyyat (kebutuhan), dan mana yang tahsiniyyat (pelengkap atau penyempurna). Dengan begitu syari’at Islam akan mampu merespon isu-isu global dan lokal sekaligus, seperti isu demokrasi, HAM, Gender, traffiking, dan sebagainya. Tujuan syari’at ini diadakan fondasi mulai dari penentuan prioritas, perumusan qanun, metode pelaksanaan, hingga pemilahan mana domain domestik yang tidak perlu diatur negara dan mana domain publik yang harus diatur oleh negara. Selain menjadikan prinsip-prinsip CEDAW sebagai instrumen dalam pelaksanaan syari’at Islam. Hal ini harus dilakukan baik secara struktural, kultural, maupun sosial. Kedua, perlu mengidentifikasi berbagai masalah ketidakadilan terhadap perempuan yang real terjadi di tengah-tegah masyarakat dan membutuhkan solusi Islam dalam memecahkannya. Agar rumusan qanun syari’at betul-betul sensitif gender dan manqus dalam menjawab tuntutan kebutuhan perempuan. Dalam proses implementasinya perlu partisipasi aktif masyarakat, sebagai pihak yang paling mengetahui tentang masalah yang sedang mereka alami. Terutama kelompok perempuan dan koleganya yang selama ini teraleinasi dan terdiskriminasi. Kita butuh syari’at Islam tanpa jenis kelamin. Ketiga, dalam membangun kapasitas institusi dan sumber daya, maka perlu dibentuk komunitas epistemik syari’at. Sekelompok orang yang memiliki kepakaran dan kompetensi di bidang syari’at dan instrumen hukum internasional dan nasional, terutama yang berkaitan dengan perempuan. Karena banyak bidang dan persoalan perempuan yang memerlukan kepakaran di bidang syari’at Islam sekaligus perspektif gender. Dengan demikian, perbincangan tentang syari’at Islam dan

relevansinya dengan kebutuhan masyarakat dalam konteks komunitas epistemik menempatkan syari’at Islam sebagai ”ide” dan ”pengetahuan” yang dibedakan dari perbincangan tentang syari’at Islam sebagai hak kelompok atau politik kepentingan. Keempat, karena fakta menunjukkan bahwa perempuan NAD berada dalam kondisi memprihatinkan, maka kebijakan syari’at Islam harus memihak kepada kelompok tertindas baik secara ekonomi, politik, hukum, maupun sosial-budaya. Kita perlu memberikan tekanan kepada para pengambil kebijakan secara struktural untuk mendorong lahirnya sensivitas gender dalam berbagai kebijakan negara di NAD. Bahkan negara, terutama pemerintah daerah wajib melakukan tindakan khusus sementara untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak perempuan. Baik kesempatan untuk mendapatkan hak, akses, maupun hasilnya. Kelima, baik Islam maupun CEDAW sama-sama mengakui adanya kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan baik publik maupun domestik. Sembari pada saat yang sama keduanya juga menegaskan larangan diskriminasi, dan sub-ordinasi, berdasarkan jenis kelamin, ras, suku, dan lainnya. Karenanya, perlu menjadikan Islam dan instrumen hukum internasional atau CEDAW yang sudah dirativikasi oleh pemerintah RI sebagai salah satu dasar penting dalam merumuskan berbagai qanun syari’at Islam. Sehingga mengakomodir berbagai kepentingan perempuan, sekaligus memberikan peluang, akses, dan hasil yang setara bagi perempuan. Karena baik CEDAW maupun Islam sama-sama mengandung nilai universal untuk memelihara martabat manusia dan memuliakannya. Keenam, mendorong lahirnya kesadaran laki-laki akan keniscayaan untuk berperan aktif dalam menghapus kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan baik di dunia domestik maupun publik, secara struktural, kultural maupun agama, di berbagai bidang dan level kehidupan. �