wanita: pemimpin atau ibu suatu kaum?

5
Rabu, 07 Juli 2010 Berkatalah Rasul: "Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al Quran itu sesuatu yang tidak diacuhkan (diabaikan)." (QS 25:30) Wanita: Pemimpin atau Ibu Suatu Kaum? Dalam kelelapan tidur panjangnya mengabaikan Al Qur’an, bisa jadi ummat Islam tidak menyadari bila keberadaannya di tengah-tengah kehidupan sedikit demi sedikit telah berhasil digeser, bahkan digusur. Benarkah telah terjadi pengabaian Al Qur’an? Buktinya sangat nyata. Ummat Islam khususnya di tanah air Indonesia, tidak mendapat kesempatan untuk melahirkan kebijakan, tetapi dalam segala hal, hanya menjadi pelaksana belaka. Manakah bukti bahwa orang-orang beriman pasti unggul (QS 23:1)? Allah memastikan hal itu. Jika tidak atau belum tercapai, berarti Al Qur’an telah terlupakan oleh ummat Islam sendiri. Karena sebagai petunjuk Allah, mustahil Al Qur’an tak dapat menghantar ummat Islam ke puncak keunggulan peradaban. Bukan dalam arti menguasai, tetapi dalam arti memimpin dunia! Campur-tangan para pendengki ke dalam rumah tangga ummat secara berangsur-angsur menjadikan ummat Islam berada di bawah kepemimpinan mereka. Ummat Islam tidak hidup dalam naungan petunjuk Al Qur’an. Kebijakan-kebijakan yang hendak diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, bukan lagi berpangkal dari pandangan Islam yang Allah wahyukan. Jika hal itu berlangsung berkelanjutan, keberadaan ummat Islam tidak lebih laksana tahanan di dalam penjara, atau laksana burung dalam sangkar yang tidak dapat berbuat apa-apa. Bahkan makannya pun disuapi

Upload: bibin-rubiyanto

Post on 17-Mar-2016

235 views

Category:

Documents


11 download

DESCRIPTION

Wanita ibarat bumi atau ibu pertiwi yang tugasnya sangat penting lagi pula mulia. Kandungannya senantiasa melahirkan kehidupan baru. Namun bumi rela tak memimpin kehidupan itu, karena telah ditetapkan Allah, ia dikhalifahi manusia.

TRANSCRIPT

Page 1: Wanita: Pemimpin atau Ibu Suatu Kaum?

Rabu, 07 Juli 2010

Berkatalah Rasul: "Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al Quran itu sesuatu

yang tidak diacuhkan (diabaikan)." (QS 25:30)

Wanita: Pemimpin atau Ibu Suatu Kaum?

Dalam kelelapan tidur panjangnya mengabaikan Al Qur’an, bisa jadi

ummat Islam tidak menyadari bila keberadaannya di tengah-tengah

kehidupan sedikit demi sedikit telah berhasil digeser, bahkan digusur.

Benarkah telah terjadi pengabaian Al Qur’an? Buktinya sangat nyata.

Ummat Islam khususnya di tanah air Indonesia, tidak mendapat kesempatan untuk

melahirkan kebijakan, tetapi dalam segala hal, hanya menjadi pelaksana belaka. Manakah

bukti bahwa orang-orang beriman pasti unggul (QS 23:1)? Allah memastikan hal itu. Jika

tidak atau belum tercapai, berarti Al Qur’an telah terlupakan oleh ummat Islam sendiri.

Karena sebagai petunjuk Allah, mustahil Al Qur’an tak dapat menghantar ummat Islam ke

puncak keunggulan peradaban. Bukan dalam arti menguasai, tetapi dalam arti memimpin

dunia!

Campur-tangan para pendengki ke dalam rumah tangga ummat secara berangsur-angsur

menjadikan ummat Islam berada di bawah kepemimpinan mereka. Ummat Islam tidak

hidup dalam naungan petunjuk Al Qur’an. Kebijakan-kebijakan yang hendak diterapkan

dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, bukan lagi berpangkal dari

pandangan Islam yang Allah wahyukan. Jika hal itu berlangsung berkelanjutan,

keberadaan ummat Islam tidak lebih laksana tahanan di dalam penjara, atau laksana

burung dalam sangkar yang tidak dapat berbuat apa-apa. Bahkan makannya pun disuapi

Page 2: Wanita: Pemimpin atau Ibu Suatu Kaum?

dan ditentukan oleh para pendengki Islam. Kenyataan ini tidak pernah disadari ummat.

Jika disadari, tentu telah bangkit semangat kebersamaan jiwa ke-Islam-an ummat.

Wanita ibarat bumi atau ibu pertiwi yang tugasnya sangat penting lagi pula mulia.

Kandungannya senantiasa melahirkan kehidupan baru. Namun bumi rela tak memimpin

kehidupan itu, karena telah ditetapkan Allah, ia dikhalifahi manusia.

Sekedar contoh penggeseran ajaran Allah: apa yang dihembus-hembuskan ke telinga

ummat Islam salah satunya adalah menjadikan wanita selaku pemimpin. Dalihnya,

dalam rangka memuliakan sekaligus mengangkat harkat dan martabat wanita. Padahal

memuliakan wanita sesungguhnya adalah menjaga kejiwaan dan kehormatannya.

Buktinya jelas: menghargai haq-haq kefithrahan atau kodratinya. Islam menempatkan

wanita pada tempat yang sesuai dengan kefithrahan atau kodratinya. Bagi Islam, sudah

jelas bahwa pemimpin kaum adalah laki-laki. Bahkan Islam pun memberi ketegasan,

bahwa yang mengawali keberadaan manusia adalah Nabi Adam a.s.; Ratu Balqis pun

segera menyerahkan tahtanya ketika kebenaran yang dibawakan Nabi Sulaiman a.s. telah

tersampaikan kepadanya. Siapa tak kenal peran Siti Hajar istri Nabi Ibrahim a.s. dalam

riwayat Islam? Namun ia tak menjadi nabi; yang menjadi nabi adalah Isma’il a.s.

puteranya.

Maryam adalah satu-satunya nama wanita yang ditetapkan Allah sebagai nama salah satu

surah di dalam Al Qur’an (Surat ke-19). Tersirat, demikian penting riwayatnya sebagai

hikmah pelajaran. Ternyata peran kewanitaan Maryam adalah seorang ibu, bukan seorang

istri. Meski melahirkan nabi ’Isyaa a.s., ia bukan nabi pembawa aqidah-syari’ah-akhlaq.

Apakah peran wanita hanya mempersiapkan generasi? Tidak. Islam memberi kesempatan

pada wanita untuk andil berjihad melewati perang fisik, jika memang diperlukan. Namun

peran terpenting, yaitu peran kenabian (sekaligus kepemimpinan ummat), diemban-

Page 3: Wanita: Pemimpin atau Ibu Suatu Kaum?

amanahkan Allah kepada laki-laki.

Telitilah, bahwa agama-agama Kitab di muka bumi ini tidak menjadikan wanita sebagai

pemimpin, tetapi mendudukannya sebagai ibu kaum atau bangsa. Bagi Kristianisme,

keyakinan terhadap Maria yang melahirkan Yesus, sangat jelas menunjukkan jasa kaum

wanita. Namun demikian, ada pertanyaan penting: mengapa bukan Bunda Maria yang

diangkat sebagai pemimpin kaumnya? Maria justru memberikan kesempatan bagi

puteranya Yesus, untuk tampil memimpin kaumnya. Bagi Kristianisme, strata kemuliaan

ditujukan kepada Alah Bapa, bukan Bunda Maria. Hal itu mengejawantah dalam

kehidupan sehari-hari dimana kepemimpinan ummat berada pada tangan seorang paus,

kardinal, uskup, pastur –yang kesemuanya lelaki. Wanita ditempatkan dalam berbagai

peran keibuan yang memberikan curahan kasih-sayang terhadap kaumnya.

Allah lebihkan kaum pria sederajat di atas wanita selaku pemimpin. Bukan untuk

merendahkan kaum wanita. Justru untuk menghindarkan kaum wanita dari kekerasan.

Islam sangat menjaga wanita. Namun dalam Islam, peran kepemimpinan wanita sangat

berbeda. Bahkan tanpa tampil formal selaku pemimpin, kaum wanita sebenarnya mampu

menguasai kehidupan yang tidak hanya di dunia tetapi juga di akhirat kelak. Renungilah:

bagaimana telapak kaki kaum wanita melangkahkan kehidupannya, demikianlah masa

depan generasi. Itulah salah satu arti tamsil ”surga ada di bawah telapak kaki ibu”. Bila

rusak wanitanya, rusaklah suatu bangsa.

Dengan demikian, sangatlah sulit menerima untuk ”memuliakan wanita dengan

mendudukannya selaku pemimpin” formal. Jika dipaksakan, bukankah itu berarti suatu

pemaksaan terhadap kodrat kaum wanita? Padahal setiap pemaksaan pasti akan

melahirkan suatu kemunafiqan dan akhir dari segalanya adalah kehancuran. Apa jadinya

kehidupan ini bila diwarnai kemunafiqan dan kehancuran? Bangkit dan bangkitlah

kesadaranmu wahai ummat Islam untuk membangunkan kembali jiwa ke-islam-an yang

telah lama terkubur dalam perpecahan yang tidak menentu.

Penjelasan di atas bukanlah hendak menghembuskan pertentangan antaragama, tetapi

sekedar membentangkan ajaran Islam. Bukankah di negeri ini kehidupan beragama setiap

ummat dilindungi? Kebebasan melaksanakan syari’at pun diberikan pada masing-masing

pemeluk agama. Pendengki Islam di tanah air ini selalu memakai isu SARA untuk

mengkerangkeng ummat Islam agar tak mampu bergerak, ber-amar-ma’ruf-nahi-munkar.

Page 4: Wanita: Pemimpin atau Ibu Suatu Kaum?

Padahal sesungguhnya, merekalah yang gigih menghembus-tiupkan isu SARA. Apa pun

yang dilakukan adalah dalam rangka menjebak ummat Islam masuk dalam arus pengaruh

mereka, untuk kemudian mereka hanyutkan ke lautan kehinaan.

Diringkas dan dituliskan kembali oleh Taufik Thoyib (dengan beberapa

tambahan informasi) dari buku Ki Moenadi MS berjudul “KEBENARAN adalah

Pengarah Pembentukan Pengembangan Bakat-Potensi Manusia”, halaman

24-26, Yayasan Badiyo, 1421H.

Diunggah oleh kajian budaya ilmu pukul 23:26 Label: Budaya Kebangsaan/Keindonesiaan, Teropong Peristiwa

2 komentar:

Nazarchitect mengatakan...

memang wanita (ibu) mempunyai satu hal yang tidak di punyai oleh laki-laki (ayah), yaitu rahim. dari asal kata AR-RAHIIM. sehingga dapat diaktakan pengejawantahan sifat KASIH SAYANG-Nya (AR-Rahiim) paling besar melalui Ibu. dapat dimungkinkan AR-RAHMAAN (sebagai pasangan dari AR-RAHIIM dalam Bismillah dan ayat ke 3 Al-Fatihah), adalah yang seharusnya pengejawantahan sifat melalui laki-laki. yaitu sifat YANG MENGASIHI. lalu, apabila demikian, bagaimana kedua pengejawantahan sifat ini seharusnya diaplikasikan? wallahua'lam

14 Juli 2010 20:20

kajian budaya ilmu mengatakan...

Ass.wr.wb., Jazakumullah kr.kts tanggapan Anda. Semua makhluk ciptaan Allah adalah biasan, cerminan, atau pantulan sifat asma-Nya. Beda kodrati wanita dan laki-laki dari segi potensi ketenagaan adalah bahwa wanita lebih halus perasaan, sedangkan lelaki lebih kuat akalnya. Bagaimana kasih-sayang dari Allah selak Ar-Rahimm memancar dari sejoli pasangan hidup (suami-istri) tentu berbeda dengan yang bukan suami-istri. Dengan begitu, peran masing-masing di dalam kehidupan masyarakat berbeda. Kehidupan masyarakat dapat diibaratkan sebuah roda sepeda yang dikendarai seorang pemimpin. Kasih-sayang kaum lelaki adalah dengan berperan sebagai "ban luar" yang melindungi sumbu roda, meski untuk itu ia mesti terbentur-bentur semua lubang, genangan air kotor, tanjakan-turunan, termasuk kekerasan jalanan

Page 5: Wanita: Pemimpin atau Ibu Suatu Kaum?

batu penghalang yang dilalui sepeda. Peran kasih-sayang kaum wanita bagaikan "poros" roda, yang menjaga ketimbangan laju-gerak roda. Bila rusak poros, sepeda tak akan stabil jalanan, bahkan mustahil dikendarai. Pesan para bijak: jika wanitanya rusak, maka hancurlah suatu bangsa (dengan terlebih dahulu rusak generasinya). Implementasinya bukan berarti wanita tidak berkarya, namun berkarya sesuai dengan keadaan dan sifat kodratinya. Bahu-membahu dengan kaum lelaki, menyiapkan generasi dan masa depan yang lebih baik, meningkat setingkat demi setingkat. Mohon maaf bila jawaban ini tak memuaskan Anda. Taufik Thoyib

14 Juli 2010 21:10