· web viewimam malik bernama lengkap abu abdullah malik bin anas bin malik bin abi amir bin...
Post on 09-Mar-2018
243 Views
Preview:
TRANSCRIPT
HISTORISITAS
MADZHAB MALIKI
MAKALAH
Diajukan guna memenuhi tugas
dalam mata kuliah Sejarah Hukum Islam
Disusun Oleh:
Nama : NURDIANSYAH MAULANA (10350039)
Nama : SHEILA FAKHRIYA (10350040)
Nama : AMIQ MAULANA (10350041)
Dosen:
MALIK IBRAHIM
AL-AHWAL ASY-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2011
PENDAHULUAN
Munculnya madzhab dalam sejarah tidak terlepas dari adanya pemikiran fiqih dari
zaman sahabat, tabi’in hingga muncul madzhab-madzhab zfikih pada periode ini. Seperti
contoh hokum yang dipertentangkan oleh Umar bin Khattab dengan Ali bin Abi Thalib ialah
masa ‘iddah wanita hamil yang ditinggalk mati oleh suaminya. Golongan sahabat berbeda
pendapat dan mengikuti salah satu pendapat tersebut, sehingga munculnya madzhab-madzhab
yang dianut.
Kita lihat perkembangan hukum islam menimbulkan beberapa madzhab. Kata bahasa
arab ‘Madzhab’ adalah menurut lughot berarti jalan atau tempat yang dilalui, sedangkan
menurut arti istilah Fiqh, dasar pedirian yang di turut1.
Sampai dewasa kini empat dari beberapa madzhab yang timbul di Bani Abbas yang
masih bertahan dan yang dituruti oleh kebanyakan umat islam di selurug dunia. Ke-empat
madzhab itu ( Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali) berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Rosul;
mereka berlain pendapat mengenai hadist yang boleh menjadi dalil hukum.
Imam Abu Hanifah memakai hadis mutawatir dan hadis masyhur sebagai dalil yang
beliau namakan sunnah. Beliau mendahulukan qiyas dari hadits ahad. Imam-imam Syafi’i,
Malik dan Ahmad bin Hanbal mendahulukan hadits dari qiyas, karena mereka mengambil
hadits yang sah walaupun tidak masyhur sebagai dalil hukum.
Imam Syafi’I mendahulukan hadits yang sah daripada ijma’ ulama Madinah, sedangkan
Imam Malik mendahulukan ijma’ ulama Madinah daripada hadits ahad. Sebagai contoh: Puasa
enam hari di bulan Syawal. Imam Syafi’I berkata sunnat hukumnya, karena ada hadits yang
sah, sedangkan Imam Malik berkata makruh hukumnya, karena tidak ada penduduk dan ulama
Madinah yang melakukannya.
Imam Syafi’i, hadits yang dloif tidak boleh menjadi dalil, sedangkan Imam Ahmad
berpendirian hadits yang dloif boleh menjadi dalil dan didahulukan dari qiyas.
Tegasnya, keempat pembangun madzhab tersebut sepakat mengenai dalil hukum,
perbedaan hanya dalam pendapat yang mana lebih kuat dan harus didahulukan jika
bertentangan. Keempat madzhab sependapat Al-Qur’an dalil hukum yang pertama dan utama.
Dalam pokok agama tidak ada perbedaan, semua madzhab itu sama, yaitu sama-sama bersatu
Tuhan (Allah), bersatu Nabi (Muhammad s.a.w), bersatu Kitab (Qur’an) bersatu Sunnah Rasul,
bersatu Qiblat dan lima rukun Islam.
1. H. Abdulloh Shidiq, S.H, asas-asas hokum islam, penerbit PT. Bumi restu, Jakarta 1982, hal 234.
Juga dalam ushul ad-din, semua madzhab itu berpegang pada kitab Al-Qur’an dan
sunnah Rasul. Hanya dalam mereka ber-ijma’ dan ber-qiyas tentang hukum Islam dari ayat-
ayat Al-Qur’an dan hadits, masing-masing madzhab dari awal mulanya mempunyai pendapat
sendiri-sendiri. Ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu cara menafsirkan ayat-ayat Al-
Qur’an dan sunnah Rasu, cara-cara pemikiran atau pertimbanan hukum yang dipengaruhi oleh
lingkungan an keadaan masyarakat, adat-istiadat dan lain-lain.2
PEMBAHASANA.RAGAM MADZHAB
Madzhab fiqh secara internal, adalah otonom. Namun secara eksternal, merupakan
bagian dari entitas kehidupan muslim, yang saling tergantung dengan unsure lain dari entitas
itu, sehingga menampakkan suatu kesatuan entitas kehidupan manusia. Atas perihal tersebut,
manakala dilakukan pendekatan historis terdapt hubungan yang segnifikan antara kalam
dengan fiqh; atau antara madzhab kalam dengan madzhab fiqh. Kalam bermulai dari pertikaian
politik antar keluarga, sebagai akibat pembunuhan Ustman bin Affan yang tidak kunjung
selesai, dan berpuncak pada peristiwa tarkhim (arbitrase) di antara dua “partai”. Doktrin kalam
kemudian menjadi wacana alam, dan selanjutnya menjadi madzhab kalam : Ahlussunnah
(sunni), Syi’ah (syi’i),dan Khowarijj. Demikian pula, secar garis besar, madzhab fiqh dapat
dikelompokkan menjadi 3 madzhab utama : sunni, syi’I dan khowarijj. Dan tiga madzhab itu
berkembang madzhab yang lebih kecil, misalnya, dalam madzhab sunni hingga kini,
berkembang empat madzhab : Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali. Relasi antara madzhab
kalam dengan madzhab fiqh, tercermin dalam sejumlah proposisi yang dikemukakan oleh Abu
Hanifah dalam Fiqh al-Akbar. Apabila demikian, apakah perkembangan madzhab fiqh
berhubungan dengan pertikaian, atau dukungan politik?3
Dalam masyarakat Islam dewasa ini, madzhab fiqh lebih dikenal ditimbang madzhab
yang lainnya, termasuk kalam. Boleh jadi hal itu bersifat praktis, oleh karena kepraktisannya
digunakan dalam kehidpan sehari-hari, yang “harus” merujuk kepada madzhab. Sering kali
menjadi ungkapan yang popular bila ditemukan masalah fiqh yang kontroversional. Oleh
karena itu, bila ada ungkapan yang menyatakan “perbandingan Madzhab”, dapat diperkirakan
bahwa ungkapan itu dipahami sebagai “perbandingan madzhab fiqh”. Berkenaan dengan hal
itu muncul pertanyaan, apa yang dimaksud dengan madzhab fiqh itu? Jawaban atas pertanyaan
itu telah di ungkapkan oleh beberapa orang pakar, mulai yang sderhana sampai dengan yang
rumit. A. Djazuli (1991:106) misalnya, menyebut madzhab dengan aliran-aliran dalam fiqh.
Madzhab, menurut A. Djazuli, bermula dari perbedaan dalam penggunaan metode ijtihad, yang
2 . H. Abdulloh Shidiq, S.H, asas-asas hokum islam, penerbit PT. Bumi restu, Jakarta 1982, hal 236.3 Cik Hasan Bishri, Model Penelitian Fiqh, hak cipta pernada media, Kencana 2003
menimbulkan perbedaan pendapat. Kemudian terbentuk kelompok pendukung, yang terdiri
atas para murid imam mujtahid, selanjutnya berkembang menjadi madzhab sebagaimana
dikenal dewasa ini.
Sementara itu, Huzaemah (1997:72) menyatakan bahwa pengertian asalnya, “madzhab
adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh Imam Mujtahid dalam memecahkan
masalah, atau meng-istinbath-kan hokum Islam”. Selanjutnya, madzhab berkembang menjadi
kelompok ummat Islam yang mengikuti cara Istinbath Imam Mujtahid tertentu; atau mengikuti
pendapat Imam Mujtahid tentang masalah hokum Islam. Sedangkan Amir Syarifuddin
(1997:31) menggambarkan fiqh pada masa Imam mujtahid, yang kemudian terbentuk berbagai
madzhab, ditandai oleh beberapa kegiatan. Pertama, menetapkan metode berfikir untuk
memahami sumber hokum. Kedua, menetapkan istilah hokum yang digunakan dalam fiqh.
Ketiga, menyusun kitab fiqh secara sistematis, yang tersusun dalam bab dan pasal; bagian dan
subbagian yang mencakup semua masalah hukum.
Dari pandangan ketiga guru besarfiqh itu, terdapat beberapa konsep kunci yang sama :
1.) Imam Mujtahid, 2.) Metode Ijtihad (Istinbath) hukum, 3.) Fiqh (hokum Islam), 4.)
Madzhab sebagai aliran fiqh, kemudian menjadi komunitas, dan 5.) Kelompok pendukung atau
pengikut. Di samping itu, 6.) Istilah hokum yang digunakan, dan 7.) Penyusunan kitab fiqh.
Berdasarkan konsep kunci tersebut, menunjukkan bahwa anatomi madzhab fiqh sebagai
komunitas, yang dapat diteliti lebih lanjut, terutama tentang dinamika internal masing-masing
madzhab; serta relasi antar madzhab dalam entitas masyarakat Islam.4
Untuk pembahasan lebih lanjut, terutama untuk memudahkan pelaksanaan penelitian,
dalam tulisan ini yang di maksud madzhab adalah aliran pemikiran atau perspektif di bidang
fiqh, yang kemudian menjadi komunitas dalam masyarakat Islam. Madzhab, bagaikan aliran
sungai dari mata air yang sama. Di tengah perjalanan bertemu dengan aliran yang lain; yang
juga bercabang dan beranting. Oleh sebab itu, dalam realitas masyarakat Islam terdapat
berbagai madzhab., sebagaimana telah dikemukakan, yakni : hanafi, maliki, syafi’I dan
hanbali. Selnjutnya maka kami akan menguraikan dengan jelas salah satu dari 4 madzhab
tersebut yakni madzhab maliki.
B.BIOGRAFI IMAM MALIK
Imam malik bernama lengkap Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir
bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris Al Asbahi, lahir di Madinah pada
tahun 712-796 M. Berasal dari keluarga Arab yang terhormat dan berstatus sosial yang tinggi,
baik sebelum datangnya islam maupun sesudahnya, tanah asal leluhurnya adalah Yaman,
4 Cik Hasan Bishri, Model Penelitian Fiqh, hak cipta pernada media, Kencana 2003
namun setelah nenek moyangnya menganut islam mereka pindah ke Madinah, kakeknya Abu
Amir adalah anggota keluarga pertama yang memeluk agama islam pada tahun ke dua Hijriah.
Kakek dan ayahnya termasuk ulama hadis terpandang di Madinah, oleh sebab itu, sejak
kecil Imam Malik tak berniat meninggalkan Madinah untuk mencari ilmu, karena beliau
merasa Madinah adalah kota sumber ilmu yang berlimpah dengan ulama ulama besarnya.
Imam Malik menekuni pelajaran hadis kepada ayah dan paman pamannya juga pernah berguru
pada ulama ulama terkenal seperti Nafi’ bin Abi Nuaim, Ibnu Syihab Al Zuhri, Abu Zinad,
Hasyim bin Urwa, Yahya bin Said Al Anshari, Muhammad bin Munkadir, Abdurrahman bin
Hurmuz dan Imam Ja’far AsShadiq. ,
Imam Malik menyatakan:
وأنا أيضا يا أمير المؤمنين ألم أزل أنتظ��رك من��ذ الي��وم؛ إن العلم ي��ؤتى وال ي��أتي، وإن ابن عم��ك صلى الله عليه وسلم هو الذي جاء ب��العلم؛ ف��إن
رفعتموه ارتفع، وإن وضعتموه اتضع“Aku juga menunggumu seharian wahai Amir al-Mu’minin; sesungguhnya ilmu itu
dicari, tidak datang sendiri, dan sesungguhnya anak pamanmu SAW. yang dia datang bersama
ilmu, jika engkau meninggikannya, dia akan tinggi, dan jika engkau rendahkan, maka ia
menjadi rendah.”5
Kecintaannya kepada ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam dunia
pendidikan, tidak kurang empat Khalifah, mulai dari Al Mansur, Al Mahdi, Harun Arrasyid
dan Al Makmun pernah jadi muridnya, bahkan ulama ulama besar Imam Abu Hanifah dan
Imam Syafi’i pun pernah menimba ilmu darinya, menurut sebuah riwayat disebutkan bahwa
murid Imam Malik yang terkenal mencapai 1.300 orang. Ciri pengajaran Imam malik adalah
disiplin, ketentraman dan rasa hormat murid terhadap gurunya.
Karya Imam malik terbesar adalah bukunya Al Muwatha’ yaitu kitab fiqh yang
berdasarkan himpunan hadis hadis pilihan, menurut beberapa riwayat mengatakan bahwa buku
Al Muwatha’ tersebut tidak akan ada bila Imam Malik tidak dipaksa oleh Khalifah Al Mansur
sebagai sangsi atas penolakannya untuk datang ke Baghdad, dan sangsinya yaitu
mengumpulkan hadis hadis dan membukukannya, Awalnya imam Malik enggan untuk
5 Thahir al-Azhar Khuzairi, al-Madkhal il al-Muwaththa’ Imam Malik ibn Anas, cet. 1 (Kuwait: Wizarah al-Awqaf wa al-Syu’un al-Islamiyyah, Maktabah al-Syu’un al-Fanniyyah, 1429H./2008M.), hlm. 25-26.
melakukannya, namun setelah dipikir pikir tak ada salahnya melakukan hal tersebut Akhirnya
lahirlah Al Muwatha’ yang ditulis pada masa khalifah Al Mansur (754-775 M) dan selesai di
masa khalifah Al Mahdi (775-785 M), semula kitab ini memuat 10 ribu hadis namun setelah
diteliti ulang, Imam malik hanya memasukkan 1.720 hadis. Selain kitab tersebut, beliau juga
mengarang buku Al Mudawwanah Al Kubra.
Imam malik tidak hanya meninggalkan warisan buku, tapi juga mewariskan
Mazhab fiqhinya di kalangan sunni yang disebut sebagai mazhab Maliki, Mazhab ini sangat
mengutamakan aspek kemaslahatan di dalam menetapkan hukum, sumber hukum yang
menjadi pedoman dalam mazhab Maliki ini adalah Al Quran, Sunnah Rasulullah, Amalan para
sahabat, Tradisi masyarakat Madinah, Qiyas dan Al Maslaha Al Mursal ( kemaslahatan yang
tidak didukung atau dilarang oleh dalil tertentu.
C.SEJARAH SINGKAT IMAM MALIK
Dalam sebuah kunjungan ke kota Madinah, Khalifah Bani Abbasiyyah, Harun Al
Rasyid (penguasa saat itu), tertarik mengikuti ceramah al muwatta' (himpunan hadits) yang
diadakan Imam Malik. Untuk hal ini, khalifah mengutus orang memanggil Imam. Namun
Imam Malik memberikan nasihat kepada Khalifah Harun, ''Rasyid, leluhur Anda selalu
melindungi pelajaran hadits. Mereka amat menghormatinya. Bila sebagai khalifah Anda tidak
menghormatinya, tak seorang pun akan menaruh hormat lagi. Manusia yang mencari ilmu,
sementara ilmu tidak akan mencari manusia.''6
Sedianya, khalifah ingin agar para jamaah meninggalkan ruangan tempat ceramah itu
diadakan. Namun, permintaan itu tak dikabulkan Imam Malik. ''Saya tidak dapat
mengorbankan kepentingan umum hanya untuk kepentingan seorang pribadi.'' Sang khalifah
pun akhirnya mengikuti ceramah bersama dua putranya dan duduk berdampingan dengan
rakyat kecil.
Kendati demikian, dalam mencari ilmu Imam Malik rela mengorbankan apa saja.
Menurut satu riwayat, sang imam sampai harus menjual tiang rumahnya hanya untuk
membayar biaya pendidikannya. Menurutnya, tak layak seorang yang mencapai derajat
intelektual tertinggi sebelum berhasil mengatasi kemiskinan. Kemiskinan, katanya, adalah
ujian hakiki seorang manusia.
Karena keluarganya ulama ahli hadits, maka Imam Malik pun menekuni pelajaran
hadits kepada ayah dan paman-pamannya. Kendati demikian, ia pernah berguru pada ulama-
ulama terkenal seperti Nafi' bin Abi Nuaim, Ibnu Syihab az Zuhri, Abul Zinad, Hasyim bin
6 Sumber: http://www.kotasantri.com/galeria.php?aksi=DetailArtikel&artid=170
Urwa, Yahya bin Said al Anshari, dan Muhammad bin Munkadir. Gurunya yang lain adalah
Abdurrahman bin Hurmuz, tabi'in ahli hadits, fikih, fatwa dan ilmu berdebat; juga Imam Jafar
Shadiq dan Rabi Rayi.
Dalam usia muda, Imam Malik telah menguasai banyak ilmu. Kecintaannya kepada
ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan. Tidak kurang
empat khalifah, mulai dari Al Mansur, Al Mahdi, Hadi Harun, dan Al Ma'mun, pernah jadi
murid Imam Malik. Ulama besar, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i pun pernah menimba
ilmu dari Imam Malik. Belum lagi ilmuwan dan para ahli lainnya. Menurut sebuah riwayat
disebutkan murid terkenal Imam Malik mencapai 1.300 orang.
Pengendalian diri dan kesabaran Imam Malik membuat ia ternama di seantero dunia
Islam. Pernah semua orang panik lari ketika segerombolan Kharijis bersenjatakan pedang
memasuki masjid Kuffah. Tetapi, Imam Malik yang sedang shalat tanpa cemas tidak beranjak
dari tempatnya. Mencium tangan khalifah apabila menghadap di baliurang sudah menjadi adat
kebiasaan, namun Imam Malik tidak pernah tunduk pada penghinaan seperti itu. Sebaliknya, ia
sangat hormat pada para cendekiawan, sehingga pernah ia menawarkan tempat duduknya
sendiri kepada Imam Abu Hanifah yang mengunjunginya.
D.Dari Al Muwatta' Hingga Madzhab Maliki
Mengenai al-Muwaththa’, Imam Syafi’i berkata:
ما على طهر األرض كت��اب أص��ح بع��د كت��اب الل��همن كتاب مالك
“Tidak ada satu kitab pun di atas permukaan bumi ini yang lebih sahih setelah kitab
Allah dari ada kitab Malik.”7
Mengomentari pendapat Imam Syafi’i di atas, Ibnu Taimiyah menyatakan:
وهو كما قال الشافعي رضي الله تعالى عنه
“Dan dia (Muwaththa’ Imam Malik) sebagaimana yang dinyatakan Syafi’i RA..”8
Al Muwatta' adalah kitab fikih berdasarkan himpunan hadits-hadits pilihan. Santri
mana yang tak kenal kitab yang satu ini. Ia menjadi rujukan penting, khususnya di kalangan
pesantren dan ulama kontemporer. Karya terbesar Imam Malik ini dinilai memiliki banyak
keistimewaan. Ia disusun berdasarkan klasifikasi fikih dengan memperinci kaidah fikih yang
diambil dari hadits dan fatwa sahabat.7 Thahir al-Azhar Khuzairi, op.cit., hlm. 6.8 Ibid., hlm. 6.
Menurut beberapa riwayat, sesungguhnya Al Muwatta' tak akan lahir bila Imam Malik
tidak 'dipaksa' Khalifah Mansur. Setelah penolakan untuk ke Baghdad, Khalifah Al Mansur
meminta Imam Malik mengumpulkan hadits dan membukukannya. Awalnya, Imam Malik
enggan melakukan itu. Namun, karena dipandang tak ada salahnya melakukan hal tersebut,
akhirnya lahirlah Al Muwatta'. Ditulis di masa Al Mansur (754-775 M) dan baru selesai di
masa Al Mahdi (775-785 M).9
Dunia Islam mengakui Al Muwatta' sebagai karya pilihan yang tak ada duanya.
Menurut Syah Walilullah, kitab ini merupakan himpunan hadits paling shahih dan terpilih.
Imam Malik memang menekankan betul terujinya para perawi. Semula, kitab ini memuat 10
ribu hadits. Namun, lewat penelitian ulang, Imam Malik hanya memasukkan 1.720 hadits.
Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa dengan 16 edisi yang berlainan. Selain
Al Muwatta', Imam Malik juga menyusun kitab Al Mudawwanah al Kubra, yang berisi fatwa-
fatwa dan jawaban Imam Malik atas berbagai persoalan.
Imam Malik tak hanya meninggalkan warisan buku. Ia juga mewariskan mazhab fikih
di kalangan Islam Sunni, yang disebut sebagai Mazhab Maliki. Selain fatwa-fatwa Imam Malik
dan Al Muwatta', kitab-kitab seperti Al Mudawwanah al Kubra, Bidayatul Mujtahid wa
Nihaayatul Muqtashid (karya Ibnu Rusyd), Matan ar Risalah fi al Fiqh al Maliki (karya Abu
Muhammad Abdullah bin Zaid), Asl al Madarik Syarh Irsyad al Masalik fi Fiqh al Imam Malik
(karya Shihabuddin al Baghdadi), dan Bulgah as Salik li Aqrab al Masalik (karya Syeikh
Ahmad as Sawi), menjadi rujukan utama mazhab Maliki.
Di samping sangat konsisten memegang teguh hadits, mazhab ini juga dikenal amat
mengedepankan aspek kemaslahatan dalam menetapkan hukum. Secara berurutan, sumber
hukum yang dikembangkan dalam Mazhab Maliki adalah Al-Qur'an, Sunnah Rasulullah SAW,
amalan sahabat, tradisi masyarakat Madinah (amal ahli al Madinah), qiyas (analogi), dan al
maslahah al mursalah (kemaslahatan yang tidak didukung atau dilarang oleh dalil tertentu).
Mazhab Maliki pernah menjadi mazhab resmi di Mekah, Madinah, Irak, Mesir,
Aljazair, Tunisia, Andalusia (kini Spanyol), Marokko, dan Sudan. Kecuali di tiga negara yang
disebut terakhir, jumlah pengikut mazhab Maliki kini menyusut. Mayoritas penduduk Mekah
dan Madinah saat ini mengikuti Mazhab Hanbali. Di Iran dan Mesir, jumlah pengikut Mazhab
Maliki juga tidak banyak. Hanya Marokko saat ini satu-satunya negara yang secara resmi
menganut Mazhab Maliki.
E.Pengendali kekuasaan (otoritas) tasyri’ dan Sumber Tasyri’
9 Sumber: http://www.kotasantri.com/galeria.php?aksi=DetailArtikel&artid=170
Pengendali tasyrik dalam Mazhab Maliki tidak bisa dipisahkan dari sumber-sumber
tasyrik yang dipegang teguh oleh komunitas mazhab ini. Sebagaimana yang telah dijelaskan,
bahwa Imam Malik, di samping seorang Faqih, juga seorang Ahli Hadits, di mana dalam
meriwayatkan Hadits, Imam Malik menyandarkan periwayatan kepada orang yang
menyatakannya, yang merupakan periwayatan yang dhabith. Hal ini dapat dilihat dari kitab al-
Muwaththa’.10
Secara ringkas, manhaj yang ditempuh di dalam Mazhab Maliki ia mendasarkan
pendapat fiqhiyyah pada al-Qur’an; apabila tidak diperoleh informasi pasti dari al-Qur’an,
maka mereka menyandarkannya kepada Sunnah (yang termasuk sunnah di sini ialah Hadits
Nabi, Fatawa Sahabat dan keputusan hukum mereka, dan ‘amal penduduk Madinah);
kemudian bila masalah belum terlesaikan dengan berpegang kepada kedua di atas, maka
mereka menyandarkan pendapat kepada qiyas (yaitu mencari kesamaan illat antara hukum
yang sedang dicari pemecahan [furu’] dengan hukum yang dinashkan [ashl]); di sampng qiyas,
terdapat juga al-mashlahah, sadd al-dzara’i’, al-‘urf, dan al-‘adat.11 Berikut penjelasannya:
1. Kitab Allah
Imam Malik menjadikan Kitab Allah (al-Qur’an) sebagai dasar bagi hujjah dan dalil
terhadap berbagai permasalahan hukum,12 dan sebagai sumber hukum primer yang digunakan
tanpa pra-syarat dalam berbagai implikasinya.13
Dia memahami nash secara sharih, tanpa ditakwil, kecuali ada dalil yang mewajibkannya untuk
ditakwil. Di dalam memahami nash, ia menggunakan mafhum al-muwafaqah dengan fahw al-
khithab, seperti dalam firman-Nya berikut:14
إن الذين يأكلون أموال اليتامى ظلما إنما بأكلون في بطونهنارا وسيصلون سعيرا
Larangan yang terdapat dalam nash dipahami secara fahw al-khithab, yaitu seperti
merusaknya, dari pada hanya memakannya.15
Mereka juga memperhatikan illat hukum, seperti dalam firman-Nya berikut:
ما عEلEى طEاعGم يEطعEمه إGالF أEن Fر Eمح FيEلG يE إ Gا أوح Eي مGد ف GجEأ Eقل ال Eو GنFه رGجس أ إ Eير فGنز Gخ EحمEو لE سفوحا أ Eما مEو دE يتEة أ Eم EكونEي
GهGب GهFالل GيرEغGل FلGسقا أه Gف10 Ibid., hlm. 396.11 Ibid., hlm. 397.12 Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm. 397.13 Abu Ameenah Bilal Philips, op.cit., hlm. 71; Yasin Dutton, hlm. 61; Zakariya al-Sibri, Mashadir al-Ahkam al-Islamiyyah (Kairo: Dar al-Ittihad al-‘Arabi, 1395H./1975M.), hlm. 16;14 Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm. 397; Yasin Dutton, op.cit., hlm. 114-115.
15 Muhammad Abu Zahrah, ibid., hlm. 397.
“Katakanlah: ‘Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau
darah yang mengalir atau daging babi – karena sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang
yang disembelih atas nama selain Allah’.” (QS. Al-An’am/6: 145).
Illat pengharaman yang terdapat di dalam ayat di atas ialah kotor (rijs); yang diartikan
sebagai yaitu makanan yang buruk dan sudah terserang wahab penyakit. Dengan demikian,
setiap makanan yang termasuk dalam kategori rijs adalah haram juga.16
2. Sunnah
Sunnah di dalam mazhab Maliki – sebagaimana mazhab lainnya – dianggap sebagai
sumber terpenting kedua di dalam hukum Islam Mazhab ini juga mengambil dari beberapa
perkataan beberapa sahabat yang aman dari dusta, atau riwayat sekelompok tabiin yang tidak
mungkin bersepakat dusta. Jelasnya, mazhab ini mengambil kemasyhuran sunnah dari masa
tabi’in dan tabi’ tabi’in. adapun setelah generasi ini tidak dianggap lagi, karena masa-masa
tersebut tadi mendekati derajat tawatur dari segi kekuatan istidlal.17
Diriwayatkan dari Qadhi ‘Iyadh dan Ibnu Rusyd di dalam al-Muqaddimat al-
Mumahhidat, bahwa Imam Malik mendahulukan qiyas daripada Hadits Ahad, sebagaimana
yang dilakukan Imam Malik, dan ia mendahulukan al-ra’y, sebagaimana di dalam Hadits
mengenai khiyar al-majlis, yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar:18
البيعان بالخيار ما لم يتفرقاHadits di atas menyatakan bahwa dua orang pelaku kontrak dapat membatalkan kontrak
selama keduanya belum berpisah. Tetapi Hadits ini ditolak oleh Imam Malik dengan
perkataannya:
ليس عندنا حد معروف“Kita tidak memiliki batasan yang diketahui.” Alasan yang diberikannya ialah bahwa majlis
tidak memiliki masa tertentu yang dimaklumi.19
Contoh-contoh yang tersebut di atas banyak terdapat di dalam mazhab ini, terutama
Imam Malik, di mana dia menolak Hadits Ahad dan beralih kepada qiyas atau maslahah. Di
sini terlihat bahwa Imam Malik tidak hanya faqih Hadits, tetapi juga faqih al-ra’y.20
3. Fatwa Sahabat
Imam Malik menganggap fatwa Sahabat di sini sebagai perkataan yang wajib
diamalkan. Karena itu terdapat riwayat yang mengenainya bahwa ia mengamalkan fatwa
sebagian sahabat dalam manasik haji, dan meninggalkan amalan yang disandarkan pada Nabi
16 Ibid., hlm. 398.17 Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm. 399.18 Ibid..19 Ibid..20 Ibid..
SAW. dengan asumsi bahwa apa yang dilakukan sahabat itu tidak sebagaimana anjuran Nabi
SAW, dan juga, manasik itu tidak mungkin diketahui melainkan melalui jalan naql.21
Imam Malik mengambil perkataan sahabat dalam suatu perkara yang tidak diketahui
kecuali dengan jalan naql sebagai Hadits. Dengan demikian, apabila terdapat pertentangan
antara dua ashl, maka ia memiliki di antara keduanya mana yang paling kuat sanadnya dan
paling relevan dengan prinsip umum hukum Islam.22
4. Qiyas, Maslahah Mursalah, dan Istihsan
Prinsip pemikiran fikih yang dikembangkan oleh Imam Malik ialah mempermudah, dan
tidak mempersusus, hal ini sesuai dengan karya monumentalnya Al-Muwaththa’, yang berarti
mempermudah.23
Imam Malik mengartikan qiyas sebagai:
القياس إلحاق أمر غير منصوص على حكمه بأمر منصوصعلى حكمه الشتراكهما في وصف علة الحكم
“Qiyas ialah menghubungkan hukum suatu perkara yang tidak dinashkan dengan hukum suatu
perkara yang dinashkan karena kesamaannya dalam sifat illat hukum.”24
االستحسان ترجيح حكم المصلحة الجزئية على حكم القياس“Istihsan ialah mentarjih hukum maslahat yang partikular atau hukum (yang dihasilkan) oleh
qiyas.”25
Imam Malik menyebut pengambilan al-mashalih ini sebagai al-istihsan, sebagaimana
perkataannya:
االستحسان تسعة أعشار العلم“Istihsan ini sembilan per sepuluh ilmu.”
Berpegang teguh dengan qiyas tehadap hal-hal yang tidak ada dalilnya hanya
mempersempit pandangan Islam, sehingga Ibnu al-Wahb berkata:
المغرق في القياس يكاد يفارق السنة“Tenggelam dalam qiyas hampir dapat meninggalkan Sunnah.”
Imam al-Syathibi menyatakan:
21 Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm. 400; Zakariya al-Sibri, op.cit., hlm. 82-83.22 Ibid..23 Thahir al-Azhar Khuzairi, op.cit., hlm. 75. Al-muwaththa’, yang berarti al-musahhil wa al-muyassir (yang memberikan kemudahah). Lih. juga Abdul Halim al-Jundi, op.cit., hlm. 200.
24 Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm. 401.25 ‘Adil al-Syuyikh, Ta’lil al-Ahkam fi al-Syari’ah al-Islamiyyah, cet. 1 (Thantha: Dar al-Basyir li al-Tsaqafah wa al-‘Ulum, 1420H./2000M.), hlm. 223.
فإنه استرسل فيه استرسال المدل العريق في فهم المعاني المصلحية نعم مع مراعاة مقصود الشارع أن ال يخرج عنه وال يناقض أصال من أصوله حتى لقد استشنع
العلماء كثيرا من وجوه استرساله زاعمين أنه خلع الربقة وفتح باب التشريع وهيهات ما أبعده من ذلك ! رحمه الله بل
هو الذي رضي لنفسه في فقهه باالتباع بحيث يخيل لبعضأنه مقلد لمن قبله بل هو صاحب البصيرة في دين الله
“Imam Malik telah menguraikan dalil-dalil ashl dalam pemahaman makna yang maslahat
dnegan tetap memelihara maksud Syari’, tidak lari darinya, dan tidak (pula) menentangi ashl
dari ushul-nya, sehingga banyak ulama memandang buruk pada aspek penguraiannya
(berkenaan dengan maslahat) dan mencurigai bahwa dia (Imam Malik) hanya melepaskan
kesulitan (dalam mengkaji dalil-dalil), dan kemudian membukan pintu tasyrik (yang baru).
Mustahil! Begitu terhindar beliau dari hal demikian, bahkan fikihnya yang disukai untuk
diikuti, di mana sebagian manusia menyangka bahwa dia bertaklid pada orang-orang
sebelumnya, bahkan dia adalah shahib al-bashirah di dalam agama Allah.”26
F.Karakteristik Mazhab Maliki
Karakteristik mazhab Maliki dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek metodologi fikih
(ushul al-fiqh) dan aspek substansi fikih (al-fiqh).
1. Aspek metodologi (ushul al-fiqh)
Abu Ameenah menyebut sebanyak sembilan mashdar, yaitu al-Qur’an, Sunnah, amal
penduduk Madinah, Ijmak Sahabat, pemikiran individu sahabat, qiyas, adat istiadat penduduk
Madinah, istishlah, dan ‘urf.
Abu Zahrah menyebut mashdar dari ushul mazhab Maliki sebanyak delapan, yaitu al-
Kitab, Sunnah, amal penduduk Madinah, Fatwa Sahabat, qiyas, maslahah mursalah, istihsan,
dan al-dzara’i’
Melihat banyaknya sumber-sumber yang digunakan mazhab maliki, maka tidak heran
bila ulama mazhab ini memiliki keluasan di dalam berijtihad, sehingga mereka mampu
melahirkan banyak sekali kaidah, baik dalam aspek metodologis (Ushul al-Firh) ataupun
asapek produk (Fiqh).
Dalam masalah amal penduduk Madinah, Imam Malik menjadikannya sebagai hujjah
daripada menggunakan hadits Ahad, karena itulah, amal penduduk Madinah merupakan salah
satu landasan ushulnya. Terdapat dalam kitabnya al-Muwaththa’ yang menekankan pengertian
26 Ibid.; Ibid..
ini, sebagaimana tampak jelas dalam istidlal-nya dalam sejumlah hukum cabang, di antaranya:
Perkataannya: “Perkara ini merupakan yang diketahui kebanyakan manusia dan ahli ilmu di
negeri kita……”; dan juga perkataannya” ”Perkara ini merupakan perkara yang terdapat
pada kita....”; demikian juga perkataannya: ”Dan hal yang demikian masih terdapat pada ahli
ilmu di negeri kita,”.
2. Aspek substansi fikih (al-fiqh)
Elastisitas dan toleransi terhadap mazhab lainnya, dan syariat samawi sebelumnya,
yang terlihat dari hal berikut:
1) Dalam pengambilan syariat sebelumnya, selama belum terdapat nasikh yang
menghapusnya, sebagaiman dalam hal ji’alah dan kifalah, yang merupakan syariat Nabi Yusuf
AS., sebagaimana dalam firman-Nya:
م��ل Gه ح��Gب EءEن ج��ا EمGل Eو GكGل Eالم EعEد صوا GفقEلوا نE قايم Gع Eه زGب E Eنا أ Eير وGعEب
“Penyeru-penyeru itu berkata: ‘Kami kehilangan piala Raja, dan siapa yang dapat
mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku
menjamin terhadapnya.” (QS. Yusuf/12: 72).
Demikian juga kebolehan al-ijarah dan pernikahan atas dasar manfaat (pragmatis),
sebagaimana perkataan Nabi Syu’arib kepadaMusa berikut:
GينEتE Eن أنكGح�EكE إGح�دEى ابنEتEيF ه�ا Gني أرGي�د أ قاEلE إج Eج Gح EيGنEماEي ثGن EأجرEن تE عEلEى أ
“Berkatalah dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan
salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan
tahun.” (QS. Al-Qashash/28: 27).
2) Keboleh untuk mengikuti hal yang bertentangan di dalam masalah furu’, seperti
meninggalkan salah satu syarat dari syarat-syarat shalat, atau salah satu dari rukunnya, yaitu
apabila Imam menganggapnya sebagai sesuatu yang bukan syarat atau rukun shalat,
sebagaimana dalam mazhab Hanafiyah.
G.Ta’asub(fanatic) Madzhab
Ta’asub (fanatik) madzhab adalah sikap mengikuti madzhab tertentu secara berlebihan,
memandang madzhabnya yang paling benar dan madzhab lain salah. Ta’asub madzhab ini
pernah mewarnai kehidupan umat islam di sekitar abad ke-13H, yang bekasnya kadang-kadang
masih terasa sampai sekarang.
Imam Malik berkata : “Ketahuilah, sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia,
mungkin salah dan mungkin benar. Maka selidikilah olehmu segala pendapatku. Apa yang
sesuai dengan kitab Alloh dan sunnah, ambillah dia, dan yang tidak sesuai dengan kitab dan
sunnah tinggalkanlah dia.”27
KESIMPULAN
27 Prof. Dr. H. Suparman Usman, S.H., Hukum Islam, penerbit “gaya media Pratama”, 2002 hal 101
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. H. Suparman Usman, S.H., Hukum Islam, penerbit “gaya media Pratama”, 2002
Cik Hasan Bishri, Model Penelitian Fiqh jilid I, penerbit pranada media 2003
H. Abdulloh Shidiq, S.H, asas-asas hokum islam, penerbit PT. Bumi restu, Jakarta 1982
http://www.kotasantri.com/galeria.php?aksi=DetailArtikel&artid=170
Muhammad Abu Zahrah, ibid
Muhammad Abu Zahrah, op.cit.,
‘Adil al-Syuyikh, Ta’lil al-Ahkam fi al-Syari’ah al-Islamiyyah, cet. 1 (Thantha: Dar al-Basyir
li al-Tsaqafah wa al-‘Ulum, 1420H./2000M.),
top related