web viewberkata al-hafizh ibnu hajar dalam fathul bary (4/160), “ karena menentukan puasa...
Post on 26-Mar-2018
220 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Beberapa Kesalahan Dalam Menyambut Serta Seputar Bulan Suci Ramadhan
Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi
terakhir beserta keluarga dan para sahabatnya.
Orang sering menyangka bahwa puasa Ramadhan yang ia lakukan sudah sesuai dengan tuntunan
syariat Islam, namun kadang ada beberapa hal yang tidak disadarinya bahwa apa yang dilakukannya atau
diyakininya ternyata merupakan kesalahan yang dapat mengurangi nilai puasanya di sisi Allah Subhanahu
wa Ta’ala . Berikut beberapa kesalahan yang terjadi dan menyebar di kalangan kaum muslimin dalam
berpuasa Ramadhan agar dapat menjadi nasihat dan bekal kita membetulkan kekeliruan yang selama ini
terjadi. Kita memohon kepada Allah ta’ala agar menjadikan tulisan ini bermanfaat.
Maha suci Allah, sebaik dan seagung Dzat yang dimintai dan ditujukan harapan
Berikut beberapa kesalahan tersebut tsb:
1. Mengkhususkan Malam Nishfu Sya’ban Untuk Melakukan Shalat di Malam Hari
Sebagian ummat Islam dan para ulama berpendapat, bahwa laksanakanlah suatu ibadah dan amal shaleh
lainnya dimalam Nishfu Sya'ban adalah sunnah Rasul! mereka menjadikan dalil dibawah ini sebagai
hujjah tentang di sunnahkan melakukan ibadah dimalam Nishfu Sya'ban,berikut bunyi hadistnya:
"Apabila tiba malam nishfu Sya'ban maka berdirilah shalat pada malam harinya dan berpuasalah pada
siang harinya." (HR. Ibnu Majah dalam Sunannya no. 1388)
"Sesungguhnya Allah turun ke langit dunia pada malam Nishfu Sya'ban, lalu Dia akan mengampuni
umatku lebih dari jumlah bulu domba yang digembalakan Bani Kalb." (HR. Ibn Majah no. 1389 dan al-
Tirmidzi no. 670)
Perlu diketahui, bahwa kedua hadist diatas adalah hadist Maudhu' (palsu)!!!
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah pernah ditanya tentang malam nishfu Sya'ban? Apakah ada
shalat khusus di dalamnya?
Beliau menjawab, "Malam Nishfu Sya'ban, tidak ada hadits shahih yang menerangkannya. Semua hadits
yang menyebutkan tentang keutamaan di dalamnya adalah maudhu' (palsu) dan lemah yang tidak
memiliki sumber. Malam itu tidak memiliki keistimewaan (kekhususan), baik dengan membaca sesuatu,
tidak pula shalat khusus dan berjama'ah. . Dan apa yang disebutkan oleh sebagian ulama bahwa malam
tersebut memiliki keistimewaan adalah pendapat yang lemah, karenanya tidak boleh diistimewakan
dengan sesuatu. Ini adalah yang benar, semoga Allah melimpahkan taufiq-Nya kepada kita." Selesai
fatwa.
Allah swt berfirman:
دينا اإلسالم لكم ورضيت نعمتي عليكم وأتممت دينكم لكم أكملت اليوم
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-
Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al-Maidah: 3)
ه الل به يأذن لم ما الدين من لهم شرعوا شركاء لهم أم
"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama
yang tidak diizinkan Allah?" (QS. Al-Syuura: 21)
Dalam Shahihain, dari 'Aisyah Radhiyallahu 'Anha, dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam: "Siapa yang
mengada-adakan perkara baru dalam urusan kami ini yang bukan bagian darinya, maka ia tertolak."
Dan dalam Shahih Muslim, dari Jabir Radhiyallahu 'Anhu, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda
dalam khutbah Jum'at: "Amma Ba'du: sesugguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik
petunjuk adalah petunjuk Muhammad –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, dan seburuk-buruk urusan (Islam)
adalah yang diada-adakan. Maka setiap perkara bid'ah adalah sesat."
Wallahu Ta'ala A'lam....
2. Mengkhususkan Ziarah Kubur Menjelang Ramadhan
Tidaklah tepat ada yang meyakini bahwa menjelang bulan Ramadhan adalah waktu utama untuk
menziarahi kubur orang tua atau kerabat (yang dikenal dengan “nyadran”). Kita boleh setiap saat
melakukan ziarah kubur agar hati kita semakin lembut karena mengingat kematian. Namun masalahnya
adalah jika seseorang mengkhususkan ziarah kubur pada waktu tertentu dan meyakini bahwa menjelang
Ramadhan adalah waktu utama untuk nyadran atau nyekar. Ini sungguh suatu kekeliruan karena tidak ada
dasar dari ajaran Islam yang menuntunkan hal ini.
3. Padusan, Mandi Besar, atau Keramasan (balimau) Menyambut Ramadhan
Tidaklah tepat amalan sebagian orang yang menyambut bulan Ramadhan dengan mandi besar atau
keramasan terlebih dahulu. Amalan seperti ini juga tidak ada tuntunannya sama sekali dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lebih parahnya lagi mandi semacam ini (yang dikenal dengan “padusan”)
ada juga yang melakukannya campur baur laki-laki dan perempuan dalam satu tempat pemandian. Ini
sungguh merupakan kesalahan yang besar karena tidak mengindahkan aturan Islam. Bagaimana mungkin
Ramadhan disambut dengan perbuatan yang bisa mendatangkan murka Allah?!
4. Mendahului Ramadhan dengan Berpuasa Satu atau Dua Hari Sebelumnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فليصمه قبله صياما يصوم كان أحد إال يومين وال بيوم هر الش أحد يتقدمن ال
“Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari sebelumnya, kecuali bagi
seseorang yang terbiasa mengerjakan puasa pada hari tersebut maka puasalah.” (HR. Tirmidzi dan
dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih wa Dho’if Sunan Nasa’i)
Pada hari tersebut juga dilarang untuk berpuasa karena hari tersebut adalah hari yang meragukan. Dan
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
م وسل عليه ه الل صلى القاسم أبا عصى فقد فيه يشك الذي اليوم صام من
”Barangsiapa berpuasa pada hari yang diragukan maka dia telah mendurhakai Abul Qasim (yaitu
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, pen).” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dikatakan shahih oleh
Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dho’if Sunan Tirmidzi)
Berkata Imam Ash-Shan’any dalam Subulus Salam 2/239, “Ini menunjukkan haramnya berpuasa sehari
atau dua hari sebelum Ramadhan dalam rangka untuk ikhtiyath (berjaga-jaga).”
Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bary (4/160), “… karena menentukan puasa haruslah dengan
hilal, tidak sebaliknya -yakni dengan dugaan- ….”
Berkata Imam At-Tirmidzy setelah meriwayatkan hadits di atas 3/364 ( Tuhfatul Ahwadzy ), “ Para
ulama menganggap makruh (haram-ed.) seseorang mempercepat puasa sebelum masuknya bulan
Ramadhan ….”
Berkata Imam An-Nawawy, “Hukum berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan adalah haram
apabila bukan karena kebiasaan puasa sunnah.” Lihat Syarh Shahîh Muslim 7/158.
Maka bisa disimpulkan haramnya puasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dalam rangka ihtiyath.
Adapun kalau ia mempunyai kebiasaan berpuasa, seperti puasa Senin-Kamis, puasa Daud, lalu bertepatan
dengan sehari atau dua hari sebelum Ramadhan, maka itu tidak apa-apa. Wallahu A’lam.
5. Melafazhkan Niat “Nawaitu Shouma Ghodin”
Perkara melafazhkan niat merupakan bid’ah (hal baru) yang sesat dalam agama dan tidak disyariatkan
karena beberapa hal:
Tidak ada sama sekali contohnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dan para
shahabatnya. Bertentangan dengan makna niat secara bahasa yaitu bermakna maksud dan keinginan. Dan
maksud dan keinginan ini letaknya di dalam hati.
Menyelisihi kesepakatan seluruh ulama bahwa niat letaknya di dalam hati.
Melafazhkan niat menunjukkan kurangnya tuntunan agama karena melafazhkan niat itu adalah bid’ah.
Melafazhkan niat menunjukkan kurangnya akal, seperti orang yang ingin makan lalu ia berkata, “ Saya
berniat meletakkan tanganku ini ke dalam bejana, lalu saya mengambil makanan, kemudian saya telan
dengan niat supaya saya kenyang ” .
An Nawawi rahimahullah –ulama besar dalam Madzhab Syafi’i- mengatakan,
خالف بال طق الن يشترط وال القلب ها ومحل ة ي بالن إال الصوم يصح ال
“Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak disyaratkan untuk
diucapkan dan pendapat ini tidak terdapat perselisihan di antara para ulama.” (Rowdhotuth Tholibin,
I/268, Mawqi’ul Waroq-Maktabah Syamilah)
Demikianlah, melafazhkan niat ini dianggap bid’ah oleh banyak ulama yakni Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, Ibnul Qayyim, Abu Rabi’ Sulaiman bin ‘Umar Asy-Syafi’iy, Alauddin Al-Aththar dan lain-
lain.
Maka siapa yang berpuasa hendaknya berniat di dalam hati dan tidak melafazhkannya.
Lihat Majmu’ Al-Fatawa 18/263-264 dan 22/238, Syarhul ‘Umdah 2/290-291 karya Ibnu Taimiyyah,
Zadul Ma’ad 1/201 karya Ibnul Qayyim dan Qawa’id Wa Fawaid Minal ‘Arbain An-Nawawiyah hal 31-
32.
6. Menjadikan Imsak Sebagai Batasan Sahur
Sering kita mendengar tanda-tanda imsak, seperti suara sirine, ayam berkokok, beduk, yang terdengar
sekitar seperempat jam sebelum adzan. Tentunya hal ini merupakan kesalahan yang sangat besar dan
bid’ah (perkara baru) sesat yang sangat bertolak belakang dengan Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam yang mulia.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan makan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam”. [ Al-Baqarah: 187 ]
Dan juga hadits Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa
sallam bersabda,
مكتوم أم ابن تأذين تسمعوا ى حت واشربوا فكلوا بليل يؤذن بالال إن
“Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan pada malam hari maka makanlah dan minumlah kalian
sampai kalian mendengar adzan Ibnu Ummi Maktum.”
Maksud hadits ini bahwa adzan itu dalam syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam ada dua
kali: adzan pertama dan adzan kedua. Pada adzan pertama, seseorang masih boleh makan sahur dan
batasan terakhir untuk sahur adalah adzan kedua yaitu adzan yang dikumandangkan untuk shalat subuh.
Dalam hadits Anas dari Zaid bin Tsabit bahwasanya beliau pernah makan sahur bersama Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri untuk menunaikan
shalat. Kemudian Anas berkata,”Berapa lama jarak antara iqomah dan sahur kalian?” Kemudian Zaid
berkata,”Sekitar 50 ayat”. (HR. Bukhari dan Muslim). Lihatlah berapa lama jarak antara sahur dan
iqomah? Apakah satu jam?! Jawabnya: Tidak terlalu lama, bahkan sangat dekat dengan waktu adzan
shubuh yaitu sekitar membaca 50 ayat Al Qur’an (sekitar 10 atau 15 menit).
Jadi jelaslah bahwa batas akhir makan sahur sebenarnya adalah pada adzan kedua yaitu adzan untuk
shalat subuh, dan dari hal ini pula dapat dipetik/diambil hukum terlarangnya melanjutkan makanan yang
sisa ketika sudah masuk adzan subuh, karena kata hatta (sampai) dalam ayat Al-Qur`an bermakna ghayah,
yakni akhir batasan waktu.
7. Tidak Berniat Sejak Malam Hari
Juga termasuk sangkaan yang salah dari sebagian kaum muslimin bahwa berniat untuk berpuasa
Ramadhan hanyalah pada saat makan sahur saja, padahal yang benar dalam tuntunan syariat bahwa waktu
berniat itu bermula dari terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar. Ini berdasarkan perkataan Ibnu
‘Umar dan Hafshah radhiyallahu ‘anhum yang mempunyai hukum marfu’ (seperti ucapan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam) dengan sanad yang shahih,
له صيام فال يل الل من الصيام ت يبي لم من
“Siapa yang tidak berniat puasa sejak malamnya, maka tidak ada puasa baginya.” Lihat jalan-jalan hadits
ini dalam Irwa`ul Ghalil no. 914 karya Syaikh Al-Albany.
Kata Al-Lail (malam) dalam bahasa Arab berarti waktu yang dimulai dari terbenamnya matahari sampai
terbitnya fajar.
8. Do’a Ketika Berbuka “Allahumma Laka Shumtu”
Ada beberapa riwayat yang membicarakan do’a ketika berbuka semacam ini. Di antaranya adalah
dalam Sunan Abu Daud no. 2357, Ibnus Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no. 481 dan no. 482.
Namun hadits-hadits yang membicarakan hal ini adalah hadits-hadits yang lemah. Di antara hadits
tersebut ada yang mursal yang dinilai lemah oleh para ulama pakar hadits. Juga ada perowi yang
meriwayatkan hadits tersebut yang dinilai lemah dan pendusta oleh para ulama pakar hadits. (Lihat Dho’if
Abu Daud no. 2011 dan catatan kaki Al Adzkar yang ditakhrij oleh ‘Ishomuddin Ash Shobaabtiy).
Do’a yang dianjurkan ketika berbuka adalah,
ه الل شاء إن األجر وثبت العروق ت وابتل الظمأ ذهب
“Dzahabazh zhoma-u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah (artinya: Rasa haus telah hilang dan
urat-urat telah basah, dan pahala telah ditetapkan insya Allah)” (HR. Abu Daud. Dikatakan hasan oleh
Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud)
9. Dzikir Jama’ah dengan Dikomandoi dalam Shalat Tarawih dan Shalat Lima Waktu
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah tatkala menjelaskan mengenai dzikir setelah shalat, “Tidak
diperbolehkan para jama’ah membaca dizkir secara berjama’ah. Akan tetapi yang tepat adalah setiap
orang membaca dzikir sendiri-sendiri tanpa dikomandai oleh yang lain. Karena dzikir secara berjama’ah
(bersama-sama) adalah sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam syari’at Islam yang suci ini.” (Majmu’
Fatawa Ibnu Baz, 11/189).
10. “Ash Sholaatul Jaami’ah” untuk Menyeru Jama’ah dalam Shalat Tarawih
Ulama-ulama hanabilah berpendapat bahwa tidak ada ucapan untuk memanggil jama’ah dengan
ucapan “Ash Sholaatul Jaami’ah”. Menurut mereka, ini termasuk perkara yang diada-adakan (baca:
bid’ah). (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9634, Asy Syamilah)
11. Bubar Terlebih Dahulu Sebelum Imam Selesai Shalat Malam
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ليلة قيام له كتب ينصرف ى حت اإلمام مع قام من ه إن
“Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam
penuh.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi. Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 447 mengatakan bahwa hadits ini
shahih).
Jika imam melaksanakan shalat tarawih ditambah shalat witir, makmum pun seharusnya ikut
menyelesaikan bersama imam. Itulah yang lebih tepat.
12. Menganggap Bahwa Puasa Orang yang Junub (Atau yang Semakna Dengannya) Tidak Sah Bila
Bangun Setelah Terbitnya Fajar dan Belum Mandi
Yang dimaksud dengan orang yang junub di sini adalah orang yang junub secara umum, mencakup
junub karena mimpi atau karena melakukan hubungan suami-istri, dan yang semakna dengannya adalah
perempuan yang haidh atau nifas. Apabila mereka bangun setelah terbitnya fajar maka tetap boleh untuk
berpuasa dan puasanya sah. Hal tersebut berdasarkan hadits ‘Aisyah dan Ummu Salamah riwayat
Bukhary-Muslim,
يقضي وال يفطر ال ثم حلم من ال جماع من جنبا يصبح م وسل وآله عليه الله صلى الله رسول كان
“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam memasuki waktu shubuh dalam keadaan junub
karena jima’ bukan karena mimpi kemudian beliau tidak buka dan tidak pula meng-qadha` (mengganti)
puasanya.”
13. Menganggap Bahwa Muntah Membatalkan Puasa
Anggapan bahwa semua muntah merupakan hal yang membatalkan puasa adalah salah karena muntah
itu ada dua macam:
Muntah dengan sengaja. Ini hukumnya membatalkan puasa. Imam Al-Khaththaby, Ibnul Mundzir dan
lain-lainnya menukil kesepakatan di kalangan ulama tentang hal tersebut, walaupun Ibnu Rusyd menukil
bahwa Imam Thawus menyelisihi mereka.
Muntah yang tidak disengaja. Ini hukumnya tidaklah membatalkan puasa, dan ini merupakan pendapat
jumhur ulama.
Hal di atas berdasarkan perkataan ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang mempunyai
hukum marfu’ (sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihiwasallam) , beliau berkata,
القضاء عليه فليس القيء ذرعه ومن القضاء فعليه صائم وهو استقاء من
“Siapa yang sengaja muntah dan ia dalam keadaan berpuasa maka wajib atasnya membayar qadha’
dan siapa yang dikuasai oleh muntahnya (muntah dengan tidak disengaja) maka tidak ada qadha’
atasnya.” Dikeluarkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwaththa` no. 673, Imam Syafi’iy dalam Al-Umm
7/252, ‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf no. 7551 dan Ath-Thahawy dalam Syarh Ma’ani Al-Atsar 2/98
dengan sanad shahih di atas syarat Bukhary-Muslim.
Lihat Al Mughny 3/17-119, Al Majmu’ 6/319-320, Bidayatul Mujtahid 1/385 karya Ibnu Rusyd,
Ma’alim As-Sunan 3/261 karya Al Khaththaby, ‘Aunul Ma’bud 7/6, Nailul Authar 4/204, Fathul Bary
4/174, Syarhul ‘Umdah Min Kitabush Shiyam 1/395-404 dan Al-Fath Ar-Rabbany 10/44-45.
14. Menganggap Bahwa Makan dan Minum Dalam Keadaan Lupa Membatalkan Puasa
Anggapan ini tidaklah benar, berdasarkan hadits Abu Hurairah yang dikeluarkan oleh Bukhary-
Muslim,
وسقاه الله أطعمه ما فإن صومه فليتم شرب أو فأكل صائم وهو نسي من
“Barangsiapa yang lupa bahwa ia dalam keadaan berpuasa, lalu ia makan dan minum, maka hendaknya ia
tetap menyempurnakan puasanya (tidak berbuka), karena Allah-lah yang telah memberinya makan dan
minum.”
Dari hadits ini menunjukkan bahwa siapa yang berpuasa lalu makan dan minum dalam keadaan lupa
maka tidaklah membatalkan puasanya. Ini merupakan pendapat jumhur ulama.
Lihat Al Majmu’ 6/324 karya Ibnu Qudamah, Syarh Muslim 8/35 karya Imam Nawawy, Syarhul
‘Umdah Min Kitabush Shiyam 1/457-462 karya Ibnu Taimiyah, Al-I’lam 5/203-204 karya Ibnul
Mulaqqin, Fathul Bary 4/156-157 karya Ibnu Hajar, Zadul Ma’ad 2/59 karya Ibnul Qayyim dan Nailul
Authar 4/206-207 karya Asy-Syaukany.
15. Menganggap Bahwa Bersuntik Membatalkan Puasa
Bersuntik bukanlah hal yang membatalkan puasa, sehingga hal itu bukanlah sesuatu yang terlarang
selama suntikan itu tidak mengandung sifat makanan dan minuman seperti suntikan vitamin, suntikan
kekuatan, atau infus. Dibolehkannya hal ini karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa bersuntik
dapat membatalkan puasa.
Lihat Fatawa Ramadhan 2/485-486.
16. Merasa Ragu Mencicipi Makanan
Boleh mencicipi makanan dengan menjaga jangan sampai masuk ke dalam tenggorokan kemudian
mengeluarkannya.
Hal ini berdasarkan perkataan ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang mempunyai hukum
marfu’ (sampai kepada Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam ), yang lafazhnya,
صائم وهو حلقه يدخل لم ما يء الش أو الخل يذوق أن بأس ال
“Tidaklah mengapa orang yang berpuasa merasakan cuka atau sesuatu (yang ingin ia beli) sepanjang
tidak masuk ke dalam tenggorokan dan ia (dalam keadaan) berpuasa.” Dikeluarkan Ibnu Abi Syaibah
dalam Al-Mushannaf 2/304 no. 9277-9278, Al Baghawy dalam Al-Ja’diyyat no. 8042 dan disebutkan
oleh Imam Bukhary dalam Shahîh -nya 4/132 ( Fathul Bary ) secara mu’allaq dengan shighah jazm dan
dihasankan oleh Syaikh Al-Albany dalam Irwa`ul Ghalil 4/85-86.
Berkata Imam Ahmad, “Aku lebih menyukai untuk tidak mencicipi makanan, tetapi bila orang itu
harus melakukannya namun tidak sampai menelannya, maka tidak ada masalah baginya.” Lihat Al-
Mughny 4/359.
Berkata Ibnu Aqaîl Al-Hambaly, “Hal tersebut dibenci bila tak ada keperluan, namun bila diperlukan,
tidaklah mengapa. Akan tetapi, bila ia mencicipinya lalu masuk ke dalam tenggorokan, hal itu dapat
membatalkan puasanya, dan bila tidak masuk, tidaklah membatalkan puasa.” Lihat Al-Mughny 4/359.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Al-Ikhtiyarat hal. 108, “Adapun kalau ia merasakan
makanan dan mengunyahnya atau memasukkan ke dalam mulutnya madu dan menggerakkannya maka itu
tidak apa-apa kalau ada keperluan seperti orang yang kumur-kumur dan menghirup air.”
Lihat Syarhul ‘Umdah Min Kitabush Shiyam 1/479-481 bersama ta’liq-nya.
17. Meninggalkan Berkumur-Kumur dan Menghirup Air ke Dalam Hidung Ketika Berwudhu
Berkumur-kumur dan menghirup air (ke hidung) ketika berwudhu adalah perkara yang disyariatkan
pada setiap keadaan, baik saat berpuasa maupun tidak. Karena itulah kesalahan yang besar apabila hal
tersebut ditinggalkan. Tapi perlu diketahui bahwa pembolehan berkumur-kumur dan menghirup air ini
dengan syarat tidak dilakukan bersungguh-sungguh atau berlebihan sehingga mengakibatkan air masuk ke
dalam tenggorokan, sebagaimana dalam hadits Laqîth bin Saburah bahwasanya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa allihi wa sallam bersabda,
صائما تكون أن إال اإلستنشاق في وبالغ
“Dan bersungguh-sungguhlah engkau dalam menghirup air (kedalam hidungnya) kecuali jika engkau
dalam keadaan berpuasa.” Hadits shahih. Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah 1/18 dan 32, Ibnul Jarud
dalam Al-Muntaqa no. 80, Ath-Thayalisy no. 1341, Asy-Syafi’iy dalam Al-Umm 1/27, Abu Daud no.
142, Tirmidzy no. 788, Ibnu Majah no. 407, An-Nasa`i no. 87 dan Al-Kubra no. 98, Ibnu Khuzaimah no.
150 dan 168, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 1054, 1087 dan 4510, Al-Hakim 1/248 dan
4/123, Al-Baihaqy 1/76, 4/261 dan 6/303, Ath-Thabarany 19/216 no. 483 dan dalam Al-Ausath no. 7446,
Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhîd 18/223, Ar-Ramahurmuzy dalam Al-Muhaddits Al-Fashil hal. 579, dan
Bahsyal dalam Tarikh Wasith hal. 209-210.
Adapun mulut sama hukumnya dengan hidung dan telinga di dalam berwudhu yakni tidak membatalkan
puasa bila disentuh dengan air, bahkan tidak terlarang berkumur-kumur saat matahari sangat terik selama
air tersebut tidak masuk ketenggorokan dengan disengaja. Dan hukum menghirup air ke hidung sama
dengan berkumur-kumur.
Lihat Fathul Bary 4/160, Nailul Authar 4/310, Al-Fath Ar-Rabbany 10/38-39, Syarhul Mumti’ 6/406
karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dan Fatawa Ramadhan 2/536-538.
18. Menganggap Bahwa Mandi dan Berenang atau Menyelam Dalam Air Membatalkan Puasa
Anggapan tersebut salah sebab tidak ada dalil yang mengatakan bahwa berenang atau menyelam itu
membatalkan puasa sepanjang dia menjaga agar air tidak masuk ke dalam tenggorokannya.
Berkata Imam Ahmad dalam kitab Al-Mugny Jilid 4 hal 357, “Adapun berenang atau menyelam dalam
air dibolehkan selama mampu menjaga sehingga air tidak tertelan.”
Berkata Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, “Tidak apa-apa orang yang berpuasa menceburkan
dirinya ke dalam air untuk berenang karena hal tersebut bukanlah dari perkara-perkara yang merupakan
pembatal puasa. Asalnya (menyelam dan berenang) adalah halal sampai tegak (baca: ada) dalil yang
menunjukkan makruhnya atau haramnya dan tidak ada dalil yang menunjukkan haramnya dan tidak pula
ada yang menunjukkan makruhnya. Dan sebagian para ‘ulama menganggap hal tersebut makruh hanyalah
karena ditakutkan akan masuknya sesuatu ketenggorokannya dan ia tidak menyadari.”
Ini juga merupakan pendapat Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah, dan lain-lainnya.
Lihat Syarhul ‘Umdah Min Kitabush Shiyam 1/387 dan 471, Al-Muhalla 6/225-226 karya Ibnu Hazm dan
Fatawa Ramadhan 2/524-525.
19. Menganggap Bahwa Menelan Ludah Membatalkan Puasa
Boleh menelan ludah bagi orang yang berpuasa bahkan lebih dari itu juga boleh mengumpulkan ludah
dengan sengaja di mulut kemudian menelannya.
Berkata Ibnu Hazm, “Adapun ludah, sedikit maupun banyak tidak ada perbedaan pendapat (di
kalangan ulama) bahwa sengaja menelan ludah tersebut tidaklah membatalkan puasa. Wa Billahi Taufiq.”
Berkata Imam An-Nawawy dalam Al-Majmu’ 6/317, “Menelan ludah tidaklah membatalkan puasa
menurut kesepakatan (para ulama).”
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Syarhul ‘Umdah 1/473, “Dan Apa-apa yang terkumpul
di mulut dari ludah dan semisalnya apabila ia menelannya tidaklah membatalkan puasa dan tidak
dianggap makruh. Sama saja apakah ia menelannya dengan keinginannya atau ludah tersebut mengalir
ketenggorokannya di luar keinginannya ….”
Adapun dahak tidak membatalkan puasa karena ludah dan dahak keluar dari dalam mulut, hal itu apabila
ludah belum bercampur dengan rasa makanan dan minuman.
Lihat Syarhul Mumti’ 6/428-429 dan Syarhul ‘Umdah 1/476-477.
20. Menganggap Bahwa Mencium Bau-Bauan yang Menyenangkan Membatalkan Puasa
Mencium bau-bauan yang enak atau harum adalah suatu hal yang dibolehkan, apakah bau makanan
atau parfum dan lain-lain. Karena tidak ada dalil yang melarang.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Ikhtiyarat hal. 107, “Dan mencium bau-bauan yang
wangi tidak apa-apa bagi orang yang puasa.”
21. Menghabiskan Waktu dengan Perbuatan dan Perkataan Sia-Sia
Sebagaimana hadits dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu dikeluarkan oleh Imam Bukhary dan lainnya,
وشرابه طعامه يدع أن في حاجة ه لل فليس به والعمل ور الز قول يدع لم من
“Siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan beramal dengannya maka Allah Subhanahu wa
Ta’ala tidak ada hajat (pada amalannya) ia meninggalkan makan dan minumannya.”
Juga dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang hasan,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menegaskan,
فث والر غو الل من الصيام ما إن رب والش األكل من الصيام ليس
“Bukanlah puasa itu (menahan) dari makan dan minumannya (semata), puasa itu adalah (menahan) dari
perbuatan sia-sia dan tidak berguna.”
Hadits ini menunjukkan larangan untuk berkata sia-sia, dusta, serta beramal dengan pekerjaan yang sia-
sia. Dan juga dalam hadits Abu Hurairah riwayat Bukhary dan Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
alihi wa sallam menyatakan,
صائم ي إن فليقل ه ساب أو أحد شاتمه إن
“Apabila ada orang yang mencelanya, hendaklah ia berkata, ‘ Sesungguhnya saya ini berpuasa .’ .”
21. Menyibukkan Diri dengan Pekerjaan Rumah Tangga di Akhir Bulan Ramadhan
Menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah tangga, sehingga melalaikannya dari ibadah pada akhir
bulan Ramadhan, khususnya sepuluh hari terakhir, adalah hal yang bertentangan dengan apa yang
diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, yang seharusnya, pada sepuluh hari terakhir, kita lebih menjaga
diri dengan memperbanyak ibadah.
22. Membayar Fidyah Sebelum Meninggalkan Puasa
Membayar fidyah sebelum meninggalkan puasa, seperti wanita yang sedang hamil enam bulan yang
tidak akan berpuasa di bulan Ramadhan, lalu membayar fidyah 30 hari sekaligus saat sebelum Ramadhan
atau di awal Ramadhan, tentunya adalah perkara yang salah, karena kewajiban membayar fidyah
dibebankan kepada seseorang apabila ia telah meninggalkan puasa, sedangkan ia belum meninggalkan
puasa di awal Ramadhan, sehingga belum wajib baginya membayar fidyah.
23. Menganggap Bahwa Darah yang Keluar dari Dalam Mulut Dapat Membatalkan Puasa
Darah yang keluar dari dalam mulut, selama tidak sampai ketenggorokan (tidak tertelan), maka tidak
membatalkan puasa, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla 2/214, “Tidak ada
khilaf (perbedaan pendapat) dalam permasalahan ini, yakni darah yang keluar dari dalam mulut, selama
tidak sampai ketenggorokan, maka tidak membatalkan puasa.”
Hal ini disebutkan pula oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Syarhul ‘Umdah 1/477.
Seandainya ada khilaf ‘perbedaan pendapat’ dalam masalah ini, maka pendapat yang kuat yakni tidak
membatalkan puasa. Adapun kalau darah itu keluar dari dalam mulut kemudian ditelan dengan sengaja,
maka hal ini dapat membatalkan puasa, ini sebagaimana keumuman nash-nash yang ada.
Ini adalah pendapat Imam Ahmad dan para ulama di zaman sekarang.
Lihat Syarhul ‘Umdah 9/477, Fatawa Ramadhan 2/460, Syarhul Mumti’ 6/429.
24. Perayaan Nuzulul Qur’an
Perayaan Nuzulul Qur’an sama sekali tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
juga tidak pernah dicontohkan oleh para sahabat. Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengatakan,
إليه لسبقونا خيرا كان لو
“Seandainya amalan tersebut baik, tentu mereka (para sahabat) sudah mendahului kita untuk
melakukannya.”
Inilah perkataan para ulama pada setiap amalan atau perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh para
sahabat. Mereka menggolongkan perbuatan semacam ini sebagai bid’ah. Karena para sahabat tidaklah
melihat suatu kebaikan kecuali mereka akan segera melakukannya. (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim,
pada tafsir surat Al Ahqof ayat 11)
25. Membayar Zakat Fithri dengan Uang
Syaikh Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz mengatakan, “Seandainya mata uang dianggap sah dalam
membayar zakat fithri, tentu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskan hal ini. Alasannya,
karena tidak boleh bagi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan penjelasan padahal sedang
dibutuhkan. Seandainya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membayar zakat fithri dengan uang, tentu
para sahabat –radhiyallahu ‘anhum- akan menukil berita tersebut. Kami juga tidak mengetahui ada
seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membayar zakat fithri dengan uang. Padahal para
sahabat adalah manusia yang paling mengetahui sunnah (ajaran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
orang yang paling bersemangat dalam menjalankan sunnahnya. Seandainya ada di antara mereka yang
membayar zakat fithri dengan uang, tentu hal ini akan dinukil sebagaimana perkataan dan perbuatan
mereka yang berkaitan dengan syari’at lainnya dinukil (sampai pada kita). “. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz,
14/208-211)
26. Tidak Mau Mengembalikan Keputusan Penetapan Hari Raya kepada Pemerintah
Al Lajnah Ad Da’imah, komisi Fatwa di Saudi Arabia mengatakan, “Jika di negeri tersebut terjadi
perselisihan pendapat (tentang penetapan 1 Syawal), maka hendaklah dikembalikan pada keputusan
penguasa muslim di negeri tersebut. Jika penguasa tersebut memilih suatu pendapat, hilanglah
perselisihan yang ada dan setiap muslim di negeri tersebut wajib mengikuti pendapatnya.” (Fatawa no.
388)
Semoga Allah memberi kita petunjuk, ketakwaan, sifat ‘afaf (menjauhkan diri dari hal yang tidak
diperbolehkan) dan memberikan kita kecukupan. Semoga Allah memperbaiki keadaan setiap orang yang
membaca risalah ini.
Wallahu Ta’ala A’lam Wa Fauqa Kulli Dzî ‘Ilmin ‘Alîm.
tulisan ini diambil dari:
http://an-nashihah.com/?p=36
http://abusalma.wordpress.com/2009/08/21/seputar-kesalahan-di-bulan-ramadhan/
http://rumaysho.com/hukum-islam/puasa/2679-membedah-kesalahan-kesalahan-di-bulan-ramadhan.html
dan berbagai sumber serta dengan adanya perubahan.
top related