utang pemerintah dan kesinambungan fiskal (final tanpa cover) - edit pagi
Post on 22-Oct-2015
288 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
PENDAHULUAN
Pengelolaan utang publik adalah proses pembentukan dan pelaksanaan strategi untuk
mengelola utang pemerintah dalam rangka meningkatkan jumlah yang diperlukan untuk
pendanaan pemerintah, mencapai tujuan sesuai biaya dan risikonya, dan untuk memenuhi
tujuan pengelolaan utang publik lainnya yang telah ditetapkan, seperti mengembangkan dan
mempertahankan pasar yang efisien dan likuid untuk sekuritas pemerintah.
Tujuan utama dari pengelolaan utang publik adalah untuk memastikan pemenuhan kebutuhan
keuangan pemerintah dan pembayaran kewajibannya dikelola dengan biaya yang paling rendah
untuk jangka menengah sampai dengan jangka panjang, dan konsisten dengan tingkat risiko
yang ditetapkan.
Dalam konteks makroekonomi yang lebih luas untuk kebijakan publik, pemerintah harus
berusaha untuk memastikan bahwa baik tingkat dan laju pertumbuhan utang publik mereka
pada dasarnya berkelanjutan dari waktu ke waktu, dan dapat dilayani dalam berbagai keadaan.
Manajer utang pemerintah memiliki kepentingan yang sama dengan penasihat kebijakan fiskal
dan moneter agar utang sektor publik tetap pada jalur yang berkelanjutan dan terdapat strategi
yang terpercaya untuk mengurangi tingkat utang yang berlebihan. Pengelola utang harus
memastikan bahwa otoritas fiskal menyadari dampak kebutuhan pembiayaan pemerintah dan
tingkat utang pada biaya pinjaman. Contoh indikator yang membahas isu keberlanjutan utang
termasuk rasio utang sektor pelayanan publik, dan rasio utang publik terhadap PDB dan
pendapatan pajak.
Pengelola utang, pembuat kebijakan fiskal, dan bank sentral harus memiliki pemahaman yang
sama mengenai tujuan dari kebijakan pengelolaan utang, fiskal, dan moneter sehingga tercipta
koordinasi yang baik. Kebijakan fiscal maupun moneter harus dibuat sedemikian rupa sehingga
menciptakan kondisi ekonomi yang menjaga stabilitas resiko pasar sehingga dengan demikian
menjaga resiko atas utang. Sebagai contoh kebijakan moneter untuk menjaga tingkat suku
bunga dan menjaga nilai tukar mata uang untuk meminimalisir resiko terkait utang yang dimiliki
pemerintah.
1
UTANG PEMERINTAH
Pengertian
Utang merupakan bagian integral dari kebijakan fiskal dalam kerangka kebijakan pengelolaan
ekonomi secara keseluruhan. Utang menjadi konsekuensi dari postur APBN yang mengalami
defisit, dimana Pendapatan Negara lebih kecil daripada Belanja Negara. Selain untuk menutup
defisit, utang juga dipergunakan untuk membayar kembali utang yang jatuh tempo (debt
refinancing).
Tujuan dan Kebijakan/Strategi Umum Pengelolaan Utang
Tujuan
1. Tujuan Jangka Panjang
a. Mengamankan kebutuhan pembiayaan APBN melalui utang dengan biaya minimal pada
tingkat risiko terkendali, sehingga kesinambungan fiskal dapat terpelihara;
b. Mendukung upaya untuk menciptakan pasar surat berharga negara (SBN) yang dalam,
aktif dan likuid.
2. Tujuan Jangka Pendek
Memastikan tersedianya dana untuk menutup defisit dan pembayaran kewajiban pokok
utang secara tepat waktu dan efisien.
Kebijakan/Strategi Umum Pengelolaan Utang
1. Mengoptimalkan potensi pendanaan utang dari sumber domestik melalui penerbitan SBN
rupiah maupun penarikan pinjaman dalam negeri;
2. Melakukan pengembangan instrumen utang agar diperoleh fleksibilitas dalam memilih
berbagai instrumen yang lebih sesuai, cost-efficent dan risiko yang minimal;
3. Pengadaan pinjaman luar negeri dilakukan sepanjang digunakan untuk memenuhi
kebutuhan prioritas, memberikan terms & conditions yang wajar (Favourable) bagi
pemerintah, dan tanpa agenda politik dari kreditor;
4. Mempertahankan kebijakan pengurangan pinjaman luar negeri dalam periode jangka
menengah;
5. Meningkatkan koordinasi dengan otoritas moneter dan otoritas pasar modal, terutama
dalam rangka mendorong upaya financial deepening;
6. Meningkatkan koordinasi dan komunikasi dengan berbagai pihak dalam rangka
meningkatkan efisiensi pengelolaan pinjaman dan sovereign credit rating.
2
Jenis-Jenis Utang
Secara Umum utang pemerintah terbagi dalam 2 (dua) jenis yaitu
1. Pinjaman, yang terdiri dari Pinjaman Luar Negeri dan Pinjaman dalam Negeri
a. Pinjaman Luar Negeri
World Bank, Asian Development Bank, Islamic Development Bank dan kreditor bilateral
(Jepang, Jerman, Perancis dll), serta Kredit Ekspor.
1) Pinjaman Program :
Untuk budget support dan pencairannya dikaitkan dengan pemenuhan Policy Matrix
di bidang kegiatan untuk mencapai MDGs (pengentasan kemiskinan, pendidikan,
pemberantasan korupsi), pemberdayaan masyarakat, policy terkait dengan climate
change dan infrastruktur.
2) Pinjaman proyek :
Untuk pembiayaan proyek infrastruktur di berbagai sektor (perhubungan, energi, dll);
proyek-proyek dalam rangka pengentasan kemiskinan (PNPM).
b. Pinjaman Dalam Negeri
Pinjaman dalam negeri merupakan instrumen pembiayaan utang yang ditujukan untuk
pengadaan barang-barang yang diproduksi di dalam negeri, meningkatkan produktivitas
industri strategis di dalam negeri, dan mendorong percepatan pembangunan
infrastruktur di dalam negeri. Biasanya pinjaman dalam negeri berasal dari Badan
Usaha Milik Negara (BUMN), Pemerintah Daerah dan Perusahaan Daerah. Penggunaan
pinjaman dalam negeri sebagai salah satu instrument pembiayaan APBN dimulai sejak
tahun 2010 dengan pagu maksimal sebesar Rp1,0 triliun per tahun.
2. Surat Berharga Negara (SBN)
Terdapat dua instrumen Surat berharga Negara (SBN) yaitu Surat Utang Negara (SUN) dan
Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).
Instrumen SUN yang diterbitkan terdiri atas Obligasi Negara (ON) dengan: (1) tingkat suku
bunga tetap, yaitu seri fixed rate (FR) dan Obligasi Negara Ritel (ORI), (2) tingkat suku
bunga mengambang, yaitu seri variable rate (VR), (3) tanpa bunga, yaitu Surat
Perbendaharaan Negara (SPN) dan Zero Coupon Bond (ZC), serta (4) ON valas.
Sementara itu, instrumen SBSN yang diterbitkan terdiri atas Ijarah Fixed Rate (IFR), Sukuk
Ritel (SUKRI), Sukuk Dana Haji Indonesia (SDHI), Surat Perbendaharaan Negara Syariah
(SPNS), Project Based Sukuk (PBS), dan sukuk valas.
3
Landasan Hukum Pengelolaan Utang
1. Ketentuan Perundang-undangan
a. Undang-Undang No 17/2003 tentang Keuangan Negara;
b. Undang-Undang No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara;
c. Undang-Undang No 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara;
d. Undang-Undang No 19/2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara;
e. Undang-Undang No 24/2002 tentang Surat Utang Negara;
f. Peraturan Pemerintah No 10/2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri
dan Penerimaan Hibah;
g. Peraturan Pemerintah No 54/2008 tentang Tata
2. Mengatur antara lain, prinsip-prinsip Good Governance
a. Pengadaan/penerbitan utang melalui mekanisme APBN/mendapatkan persetujuan DPR;
b. Koordinasi Pemerintah (Kementerian Keuangan, Kementerian PPN/Bappenas), dan BI
dalam perencanaan dan pengelolaan utang;
c. Pengawasan perdagangan SBN di pasar sekunder oleh otoritas pasar modal;
d. Pertanggungjawaban pengelolaan utang dan publikasi data & informasi utang.
KESINAMBUNGAN FISKAL
Risiko Fiskal
Secara konseptual, APBN dikatakan berkesinambungan apabila ia memiliki kemampuan untuk
membiayai seluruh belanjanya selama jangka waktu yang tidak terbatas (Langenus, 2006;
Yeyati dan Sturzenegger, 2007). Konsekuensinya, kesinambungan fiskal harus mampu pula
memperhitungkan risiko fiskal.
Cebotari, Aliona, dkk (2008) mendefinisikan risiko fiskal sebagai “the possibility of deviations in
fiscal variables from what was expected at the time of the budget or other forecast”. Risiko fiskal
adalah kemungkinan penyimpangan dalam variabel-variabel fiskal dari apa yang diharapkan
pada saat penyusunan anggaran maupun perkiraan lainnya. Sumber risiko fiskal terutama
berasal dari guncangan ekonomi makro dan realisasi kewajiban kontinjensi.
4
Brixi, Hanna Polackova dan Allen Schick (2002) mendefinisikan risiko fiskal sebagai “a source
of financial stress that could face a government in the future”. Risiko fiskal adalah sumber
tekanan finansial yang mungkin dihadapi oleh pemerintah di masa depan. Risiko fiskal terutama
terjadi karena terjadinya peristiwa yang tidak tentu. Risiko fiskal sering dihubungkan dengan
kewajiban kontinjensi pemerintah.
Schick, Allen memberikan alternatif definisi risiko fiskal sebagai “the contingency of future
revenues or expenditures on uncertain future events”.
Sementara itu, dalam subbab Risiko Fiskal dalam Nota Keuangan dan APBN Tahun 2012,
risiko fiskal didefinisikan sebagai potensi tambahan defisit APBN yang disebabkan oleh sesuatu
di luar kendali Pemerintah. Risiko fiskal disebabkan oleh beberapa hal, antara lain realisasi
ekonomi makro yang berbeda dengan asumsi yang digunakan dalam menyusun APBN, syarat
dan ketentuan dalam utang Pemerintah Pusat, realisasi kewajiban kontinjensi Pemerintah, dan
konsekuensi kebijakan desentralisasi fiskal.
Terjadinya risiko fiskal yang tidak diantisipasi dengan baik akan membebani anggaran dan
mempengaruhi target pertumbuhan ekonomi dengan cakupan dan kedalaman efek yang
berbeda antara negara maju dengan negara sedang berkembang. Risiko fiskal yang terjadi
pada negara-negara maju akan menimbulkan beban pada anggaran dan berpeluang
menghambat pertumbuhan ekonomi.
Pada negara-negara berkembang implikasinya lebih berat. Terjadinya risiko fiskal yang
membebani anggaran akan menjalar dengan cepat pada perekonomian secara keseluruhan,
mendorong pelarian modal (capital outflow), dan bahkan mengubah arah pertumbuhan
ekonomi. Lebih jauh, pada negara-negara berkembang dengan kelembagaan ekonomi yang
masih lemah, ekspektasi terjadinya risiko fiskal akan mempengaruhi perilaku agen-agen
ekonomi sehingga berpeluang menghambat pertumbuhan ekonomi kendati risiko fiskal tersebut
belum terjadi sesungguhnya (Barnhill dan Kopits, 2003).
Fiscal Sustainability Indicators
Fiscal sustainability adalah kapasistas untuk mempertahankan posisi fiskal saat ini tanpa perlu
melakukan penyesuaian dalam kebijakan pajak atau pengeluaran dalam rangka memastikan
kesanggupan untuk membayar utang sebagaimana ditentukan oleh constraint berupa present
value anggaran.
Adanya peningkatan dalam rasio utang publik terhadap GDP atau rasio stok utang publik
terhadap GDP dapat menunjukkan posisi fiskal yang lebih bermasalah bagi pemerintah,
5
sebagaimana GDP mencerminkan potensi pendapatan pajak yang harus dikumpulkan. Tentu
saja, potensi ini akan bervariasi dari satu negara ke negara, dan dapat bervariasi dalam suatu
negara dari waktu ke waktu, tergantung pada tingkat pengembangan kelembagaan dan struktur
ekonominya. Oleh karenanya, perbandingan dan interpretasi rasio tersebut harus dilakukan
dengan hati-hati.
Apabila tujuannya adalah untuk memprediksikan rasio utang terhadap GDP pada periode
selanjutnya, persamaan di bawah ini dapat menunjukkan bahwa primary surplus yang lebih
rendah tidak akan secara langsung diasosiasikan dengan peningkatan rasio utang terhadap
GDP, karena rasio ini dapat dipengaruhi oleh real interest rate, real growth rate, dan initial debt
to GDP ratio. Demikian pula initial debt to GDP ratio yang tinggi belum tentu diikuti dengan
subsequent debt to GDP ratio.
Untuk dapat memperhitungkan hubungan saling keterkaitan antar variabel tersebut, dibutuhkan
indikator yang lebih mutakhir. Apabila ˜s adalah augmented primary surplus to GDP ratio yang
akan dipertahankan dari waktu ke waktu, dan b0 adalah debt to GDP ratio pada periode 0, agar
debt to GDP ratio tetap konstan dari waktu ke waktu, nilainya pada periode 1, b1, harus sama
dengan b0, demikian juga dengan nilai debt to GDP ratio pada periode berikutnya. Dari
persamaan di atas, dapat diperoleh persamaan berikut:
Persamaan tersebut dapat digunakan untuk memperoleh nilai ˜s atau required augmented
primary surplus:
Indikator “one-period primary gap” atas ketahanan fiskal adalah selisih antara required
augmented primary surplus tersebut dengan actual augmented primary surplus. Apabila gap
tersebut nilainya positif, maka diindikasikan bahwa required primary surplus lebih tinggi
daripada actual primary surplus yang artinya penyesuaian fiskal harus dilakukan di masa
mendatang agar debt to GDP ratio tidak meningkat. Sedangkan apabila nilainya negatif, maka
6
debt to GDP ratio akan mengecil seiring berjalannya waktu, dengan asumsi bahwa primary
surplus to GDP ratio dan variable lain yang relevan nilainya tetap konstan.
Indikator one-periode primary gap ini dapat dihitung untuk periode yang berurutan, dalam
rangka menentukan perubahan postur kebijakan fiskal dari waktu ke waktu. Perhitungan satu-
periode ini dapat dikatakan naif karena variabel ekonomi dan fiskal yang relevan diasumsikan
konstan, namun mudah untuk diterapkan karena tidak diperlukan prakira ekonometrik atas
variabel ekonomi dan fiskal di masa mendatang. Selain one-period primary gap, terdapat pula
versi multi-period yang melonggarkan asumsi bahwa variabel yang relevan (terutama real
interest rate dan real growth rate) akan tetap konstan, dan menggunakan prakira atas variabel
tersebut di masa mendatang. Pendekatan tersebut akan sangat bermanfaat apabila
diperkirakan akan terjadi perubahan atas kebijakan atau kondisi di masa mendatang.
7
PEMBAHASAN
A. Profil Utang Pemerintah
Jumlah total utang pemerintah baik pinjaman luar negeri maupun pinjaman dalam negeri
selama periode 2008 – 2013 dapat dilihat dari grafik berikut ini:
Dari grafik di atas dapat terlihat bahwa tren utang pemerintah dari tahun ke tahun
cenderung naik. Namun dari segi komposisi yang terus mengalami peningkatan adalah dari
Surat Berharga Negara. Jumlah utang pemerintah yang cenderung meningkat tersebut akan
membebani APBN karena mengakibatkan adanya lonjakan dalam pembayaran cicilan
pokok utang dan bunga setiap tahunnya.
Namun demikian, pihak pemerintah (DJPU) menyatakan bahwa utang pemerintah Indonesia
masih dalam batas aman (wajar). Hal ini dilihat dari rasio utang terhadap produk domestik
bruto (PDB) yang cenderung semakin menurun yang mengindikasikan peningkatan
kemampuan Indonesia dalam membayar utang. Pada tahun 2008 rasio utang terhadap PDB
masih sebesar 33,0% kemudian turun menjadi 23,4% pada tahun 2013, seperti ditunjukan
pada grafik berikut ini:
8
Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa rasio utang terhadap PDB Indonesia dibandingkan
dengan negara lain termasuk kecil. Diperbandingkan dengan beberapa negara dengan
tingkat pendapatan perkapitanya yang relatif sama, seperti Argentina dan Turki, rasio utang
Indonesia juga lebih baik, bahkan dengan negara maju seperti Amerika, Itali, dan Jepang.
9
B. Risiko utang
Dengan jumlah utang yang semakin besar banyak ekonom yang memeringatkan
pemerintah akan adanya risiko jebakan utang (debt trap) dimana utang sudah terlalu
membebani anggaran Negara untuk membayar angsuran pokok utang dan bunga. Risiko
lainnya terkait dengan tereksposure-nya pemerintah Indonesia kedalam risiko
perekonomian global. IMF dan World Bank (2001) mengidentifikasi beberapa risiko yang
dihadapi suatu Negara terkait dengan jumlah utang yang besar yaitu market risk, funding
risk, liquidity risk, credit risk, dan operational risk.
Market risk merupakan risiko yang berkaitan dengan fluktuasi suku bunga, nilai tukar mata
uang, harga komoditas, dan inflasi. Sebagai contoh akibat dari perkembangan moneter
global, nilai tukar mata uang Yen terhadap dolar Amerika Serikat meningkat tajam pada
akhir 2008. Proses perubahan peran mata uang Yen tersebut (deleveraging) menjadikan
utang Pemerintah Indonesia yang sebagian besar berasal dari Jepang meningkat cukup
tajam. Demikian juga, menguatnya dolar AS terhadap rupiah berdampak cukup signifikan
terhadap beban APBN untuk membayar angsuran pokok utang dan bunga yang jatuh
tempo. Jika pada akhir 2007 nilai tukar dolar AS terhadap rupiah sebesar Rp9.419,00, pada
akhir 2008 nilai tukar tersebut meningkat tajam menjadi Rp10.950,00. Peningkatan tersebut
mengakibatkan kenaikan jumlah utang luar negeri dalam rupiah yang diperkirakan sebesar
Rp41,8 trilyun, jika nilai tukar 2008 stabil (Harinowo, 2009).
Funding risk merupakan risiko ketika pemerintah memerlukan dana untuk pembiayaan
anggaran ataupun roll-over utang pada tingkat yang dapat diterima. Risiko ini terkait dengan
kemampuan pemerintah untuk melakukan pinjaman baru yang dibutuhkan. Semakin besar
jumlah utang (sebagai % dari PDB) yang dimiiliki suatu Negara semakin besar risiko
(kesulitan) pemerintah dalam mendapatkan pinjaman baru. Risiko lainnya adalah risiko
roll-over yaitu risiko bahwa utang akan diroll-over dengan biaya yang sangat tinggi atau
bahkan risiko utang tidak dapat diroll-over sama sekali. Ketidakmampuan untuk
memperpanjang jatuh tempo utang tersebut dapat menimbulkan krisis utang dan
menimbulkan kerugian ekonomi yang riil. Pengelolaan risiko ini sangat penting khususnya
bagi Negara yang sedang berkembang.
10
Liquidity risk berkenaan dengan manajemen kas pemerintah. Risiko likuiditas menunjuk ke
suatu keadaan dimana volume aset lancar (kas) menurun dengan cepat karena timbulnya
kewajiban pembayaran yang tidak diantisipasi sebelumnya atau kesulitan dalam
memperoleh kas melalui pinjaman jangka pendek. Pembayaran angsuran pokok utang dan
bunga yang setiap tahun meningkat membawa risiko terhadap likuiditas APBN. Apabila
jebakan utang tidak segera diselesaikan maka akan mengarah ke liquidity trap. Mexico
merupakan salah satu Negara yang mengalami liquidity trap yang sangat besar sehingga
akhirnya dinyatakan default. Dari APBN tahun 2008 terlihat bahwa anggaran yang harus
disediakan pemerintah Indonesia untuk membayar bunga utang sebesar Rp89,46 trilyun
(mencapai 10% dari total pendapatan atau 9% dari total belanja). Pada tahun 2009,
diprediksi pembayaran bunga utang sebesar Rp101,66 trilyun atau 10,3% dari total
pendapatan atau 9,8% dari total belanja.
Credit risk berkenaan dengan kinerja yang rendah dari peminjam atas kesepakatan
keuangan yang telah dituangkan dalam kontrak. Risiko tersebut relevan khususnya dalam
pengelolaan aset lancar. Risiko kredit juga terkait dengan penerimaan atas penawaran
surat berharga (surat utang) yang diterbitkan pemerintah ataupun kontrak-kontrak derivatif
yang ditutup oleh pemerintah. Risiko kredit yang tinggi akan menjadikan pemerintah
dikenakan premi yang tinggi pada saat menjual surat utang atau menutup kontrak
derivative, sehingga menjadikan biaya peminjaman (cost of borrowing) lebih tinggi di atas
rata-rata tarif premi pasar.
Operasional risk meliputi berbagai jenis risiko seperti kemungkinan kesalahan berbagai
tahapan pelaksanaan dan pencatatan transaksi, ketidakcukupan atau kegagalan
pengendalian intern atau kegagalan sistem, risiko reputasi, risiko hukum, risiko keamanan
dan risiko bencana alam yang mempengaruhi aktivitas pemerintah. Contoh nyata dari risiko
operasional adalah adanya pembangunan fisik yang salah sasaran dan dilaksanakan
dengan tidak efisien. Juga risiko dana pembangunan dari utang yang dikorupsi.
C. Utang Pemerintah dan Kesinambungan Fiskal
Berdasarkan Teori Ketangguhan Fiskal (Marks, 2004, Fiscal Sustainability) yang telah
diuraikan pada bagian Pendahuluan, dapat disimpulkan bahwa kesinambungan fiskal dapat
dicapai jika tidak ada utang. Kalaupun pemerintah harus berutang, kondisi kesinambungan
fiskal masih dapat dipertahankan apabila besaran tambahan utang harus sebanding dengan
nilai augmented primary surplus.
11
Suatu negara dapat dikatakan sebagai net debtor (yang dicerminkan melalui bt > 0 ) akan
menghadapi dua kemungkinan sebagai berikut:
a. Jika (r–g) > 0, maka untuk mencapai solvabilitas fiskal dibutuhkan surplus dalam
keseimbangan primer sejumlah nilai s.
b. Jika (r–g) < 0, meskipun suatu negara sudah memiliki stok pinjaman sejumlah bt, masih
dimungkinkan memiliki defisit anggaran (diukur dalam keseimbangan primer) tanpa
membahayakan solvabilitas fiskal asal defisit tersebut tidak melebihi nilai s.
Dengan demikian, besarnya pinjaman suatu negara, tidak secara langsung dapat
menggambarkan kesinambungan fiskal. Suatu negara yang memiliki tingkat pinjaman
rendah namun masih tetap menghadapi masalah solvabilitas fiskal, apabila prospek
perekonomian negara tersebut buruk yang dicerminkan (r–g) > 0. Sebaliknya, suatu negara
bisa memiliki tingkat pinjaman yang relatif tinggi tanpa membahayakan solvabilitas fiskal
karena memiliki prospek perekonomian yang cerah secara teknis dicerminkan (r–g) < 0.
Namun patut dicatat bahwa hal semacam ini bukan berarti suatu negara dapat memiliki
tingkat pinjaman yang terlalu tinggi. Risiko paling berat adalah ketika suku bunga tinggi dan
prospek pertumbuhan ekonomi yang rendah.
Utang Pemerintah Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun (utang = bt),
namun karena struktur anggaran defisit, dimana Pendapatan Negara lebih kecil daripada
Belanja Negara (r-g < 0), maka kebijakan pembiayaan dari utang akan terus dilakukan.
Utang pemerintah tersebut tidak akan membahayakan kesinambungan fiskal apabila
augmented primary surplus masih dapat dijaga.
Contoh sederhana perhitungan (APBN-P 2013 dan Angka Sementara utang 2013) :
s= -224,2 T/1+1726,2T x 23,4%
= -0,030
Hasil pengujian sederhana di atas memberi simpulan bahwa ketangguhan APBN masih
sangat rapuh. Kerapuhan ini sangat terkait dengan situasi dan kondisi perekonomian yang
akan terjadi. Konsekuensinya, risiko kerapuhan fiskal ini perlu diantisipasi sejak dini.
Temuan utama adalah bahwa ketangguhan fiskal Indonesia tidak/belum tercapai kendati
memiliki solvensi untuk pembayaran utang domestik dan utang luar negeri. Sumber
ketidaksinambungan ini adalah beban utang dalam negeri yang peningkatannya jauh lebih
pesat daripada peningkatan utang luar negeri.
12
Studi ini memberikan implikasi bahwa penerbitan Surat Utang Negara perlu dilakukan
dengan kehatihatian dengan mempertimbangkan beban pembayaran SUN yang jatuh
tempo. Saat jatuh tempo SUN sepatutnya disesuaikan dengan kemampuan APBN pada
tahun yang bersangkutan. Dalam kaitan ini, telaah yang cermat beban-beban APBN lain
perlu dikalkulasi dengan lebih matang. Untuk itu, eksposure risiko fiskal sepantasnya
menjadi panduan dalam setiap penerbitan SUN.
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas, dapat kami simpulkan bahwa:
1. Utang Pemerintah diperlukan untuk membiayai defisit APBN, penyediaan arus kas jangka
pendek, dan refinancing utang lama.
2. Meskipun utang nominal mengalami peningkatan, namun rasio terhadap PDB cenderung
menurun dan saat ini telah mencapai batas yang aman.
3. Pengelolaan utang pemerintah diarahkan untuk mendapatkan sumber pembiayaan dengan
biaya dan risiko rendah, jangka panjang, dan tidak ada ikatan politik
4. Ketangguhan fiskal Indonesia tidak/belum tercapai kendati memiliki solvensi untuk
pembayaran utang domestik dan utang luar negeri. Sumber ketidaksinambungan ini adalah
beban utang dalam negeri yang peningkatannya jauh lebih pesat daripada peningkatan
utang luar negeri.
13
DAFTAR PUSTAKA
Staffs of the International Monetary Fund and the World Bank Amended. 2003.Guidelines for
Public Debt Management
Mark, S.V., 2004, Fiscal Sustainability and Solvency
DJPU. 2013.Profil Utang Pemerintah Pusat (Pinjaman & Surat Berharga Negara)
http://risikofiskal.blogspot.com/2011/12/apa-itu-risiko-fiskal.html
14
top related