urtikaria kronik
Post on 07-Feb-2016
44 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Nama Ko-ass : Fatia Ayu Ramadhana
NIM : 1320221142
Stase : Departemen Ilmu Kulit dan Kelamin
Tugas : Pembacaan Jurnal
Urtikaria Kronik: Pilihan Tatalaksana Terbaru
Paul A Greenberger
ABSTRAK
Urtikaria kronik didefinisikan sebagai urtika episodik atau harian yang berlangsung selama
minimal 6 minggu dan mempengaruhi kualitas hidup. Dua subtipe utama mencakup
urtikaria kronik idiopatik (spontan) dan urtikaria terinduksi (fisik), namun ada pula
beberapa pasien yang mengalami vaskulitis urtikarial. “Urtikaria kronik autoimun”
menunjukkan pelepasan histamin atau aktivasi sel mast menyebabkan autoantibodi
terhadap IgE atau FcɛRI, yang merupakan reseptor berafinitas tinggi pada sel mast dan
basofil. Pada pasien yang tidak segera dikontrol dengan dosis standar antagonis reseptor
H1 generasi kedua (antihistamin), terdapat bukti bahwa urtikaria baru dapat dikurangi
dengan menggunakan peningkatan dosis standar hingga 4 kali lipat. Agen modifikasi
biologis, omalizumab, dapat mengurangi lesi urtikaria kronik dalam 1 – 2 minggu.
Kata kunci
Urtikaria, Kronik, Vaskulitis, Antihistamin, Reseptor H1, Omalizumab, Imunosupresif
1
Pendahuluan
Urtikaria kronik, yang berprevalensi seumur hidup dan didefinisikan sebagai urtika
episodik atau harian yang berlangsung selama 6 minggu, terjadi pada 1.8% populasi
dewasa dengan periode prevalensi (dalam 12 bulan terakhir) 0.6 – 0.8% [1-3]. Urtikaria
kronik terjadi pada 0.1 – 0.3% anak-anak [4]. Selain mengganggu kualitas hidup dan
menyebabkan ketidakhadiran sekolah atau kerja [5], durasi urtikaria kronik pada dewasa
telah dilaporkan sebagai berikut: 6 – 12 minggu pada 52.8%, 3 – 6 bulan pada 18.5%, 7 –
12 bulan pada 9.4%, 1 – 5 tahun pada 8.7%, dan lebih dari 5 tahun pada 11.3% [3].
Sebagai gambaran, prevalensi urtikaria akut seumur hidup sebesar 8 – 20% [1-3].
Histologi urtikaria kronik
Pemeriksaan histologis pada biopsi lesi pasien dengan urtikaria kronik mungkin
menunjukkan temuan nyata berupa sel mononuklear (limfosit Th1 dan Th2 CD4),
eosinofil, neutrofil, basofil, sel mast (yang juga meningkat pada kulit non-lesi), dan
makrofag teraktivasi [6-10]. Sebagian biopsi menunjukkan adanya edema dengan sedikit
atau tanpa infiltrat seluler sedangkan beberapa biopsi lain menunjukkan adanya
“perivaskulitis” dimana terdapat infiltrat mononuklear yang tidak merusak dinding
pembuluh darah [7,10]. Akan tetapi, mungkin dapat terjadi vaskulitis leukositoklastik
(adanya infiltrat seluler dengan kerusakan dinding pembuluh darah, debris nuklear,
ekstravasasi sel darah merah) tanpa memandang fenotip untuk menjadi lesi urtikaria yang
tidak meninggalkan pigmen residual atau ekimosis [7,10]. Lesi urtikaria kronik idiopatik
diilustrasikan pada Gambar 1.
2
Terminologi
Urtikaria kronik idiopatik, yang bersinonim dengan urtikaria kronik spontan,
merupakan salah satu subtipe urtikaria kronik [2,11,12]. Subtipe urtikaria kronik lain yakni
urtikaria fisik, “urtikaria kronik autoimun”, dan vaskulitis urtikarial. Urtikaria fisik
mungkin terjadi bersamaan dengan urtikaria kronik idiopatik (spontan). Pedoman
European Academy of Allergy and Clinical Immunology/Global Allergy and Asthma
European Network/European Dermatology Foundation/World Allergy Organization
(EAACI/GA2LEN/EDF/WAO) [11] dan World Allergy Organization membuat suatu
rancangan urtikaria terinduksi (dematografis, kontak dingin, tekanan lama, kontak panas,
solaris, akuagenik, kolinergik, kontak, dan getaran). Urtikaria kronik “autoimun”
menunjukkan pelepasan histamin atau aktivasi sel mast menyebabkan autoantibodi
terhadap IgE atau FcɛRI, dan merupakan salah satu subtipe urtikaria kronik idiopatik
(spontan) [2,11,12].
Pendekatan terhadap pasien
Dalam merencanakan pengobatan, akan sangat membantu untuk mempertimbangkan
beberapa faktor prognostik merugikan yang tercantum di Tabel 1 [2,4,13-21]. Daftar
tersebut terutama didasarkan atas penelitian pada orang dewasa; urtikaria fisik diakui
sebagai salah satu faktor prognostik merugikan pada anak-anak [4]. Apabila biopsi kulit
dapat dilakukan, hal tersebut mungkin cukup membantu, namun banyak pasien dengan
urtikaria kronik yang resisten antihistamin tidak memiliki vaskulitis urtikarial yang
mendasari. Rekam medis seharusnya mencatat pengobatan (dan dosisnya) yang sudah
pernah dicoba, tingkat berkurangnya pruritus, urtika dan angioedema, dan reaksi
merugikan apapun yang terjadi. Pandangan psikis pasien mengenai urtikaria kronik dan
pengobatannya sebaiknya dinilai. Beberapa pasien mungkin meragukan dokter dapat
membantu menyembuhkan akibat urtikaria kronik yang dialaminya telah berlangsung
persisten, serta mereka juga mungkin sudah tidak mempercayai rasio untung-rugi terapi
baru apapun maupun terapi-terapi yang belum pernah dicoba.
3
Tabel 1 Faktor yang berhubungan dengan durasi yang lebih lama atau kesulitan
untuk menatalaksana urtikaria kronik
Faktor Keterangan
Kegagalan dosis tunggal H1 receptor blocker untuk mengontrol urtikaria kronik
Eksplorasi kualitas hidup
Durasi lama (6 bulan atau lebih) pada saat munculAngioedema Mencapai hingga 40%
pasienUrtikaria fisik Tanya dan uji di tempat yang
terindikasiPenyakit/hasil tes autoimun*Serum atau plasma uji kulit intradermal autologus positif Gunakan secara hati-hati
dengan sera dan plasmaIgG anti IgE atau IgG anti FcɛRI serumHipertensiAktivasi subklinis jalur koagulasi ekstrinsik (deteksi fragmen Protrombin) atau fibrinolisis (D-Dimer > 500 ng/mL)Aktivasi basofil (CD203c+)
*Berlaku pada dewasa namun tidak untuk anak pada patologi/autoantibodi tiroid
Pendekatan pengobatan terbaru sebagai pilihan untuk urtikaria kronik persisten
Terapi biologis
Omalizumab efektif untuk urtikaria kronik yang resisten terhadap antihistamin [22-
28]. Berbeda dengan pengobatan asma berat persisten dimana pasien harus dinilai 4 – 6
bulan setelah terapi omalizumab, berkurangnya pruritus dan lesi urtikaria terjadi dalam 1
minggu setelah injeksi tunggal 150 atau 300 mg secara subkutan [22]. Tingkat keparahan
dan durasi urtikaria kronik pada subjek penelitian digambarkan dengan rata-rata
penggunaan 4.3 obat dan rata-rata durasi lesi selama 6.8 tahun [22]. Subjek dinilai
berdasarkan sistem penilaian derajat gatal dimana nilai tertinggi yaitu 21 mewakili gejala
dan dampak terberat. Nilai terendah (yaitu 14) dibandingkan dengan minggu terakhir dari
interval aktif 12 minggu [22]. Subjek kelompok plasebo mendapat 1 antagonis reseptor H1
generasi kedua yang mereka gunakan sebelumnya untuk memulai omalizumab-plasebo
dengan pengobatan diphenhydramine. Berkurangnya gatal/nilai derajat keparahan adalah
sebesar 36% untuk subjek dengan placebo dibandingkan 70% untuk subjek dengan
pengobatan aktif omalizumab 300 mg [22]. Maka dari itu, jumlah pasien yang perlu diobati
(the number needed to treat/NNT) untuk menguntungkan seorang pasien dikalkulasikan
sebagai 1/peningkatan manfaat absolut atau
4
NNT = 1/nilai hasil eksperimental - nilai kontrol,
dinyatakan dalam desimal dan bilangan
absolut, atau 1/0.70 - 0.36 = 1/0.34 = 2.9...
sebuah hasil yang sangat mengesankan.
Omalizumab telah disetujui untuk digunakan di Amerika Serikat pada urtikaria
kronik idiopatik yang tidak dapat terkontrol oleh antagonis reseptor H1 pada pasien berusia
12 tahun atau lebih. Dosisnya berupa 150 mg atau 300 mg secara subkutan setiap 4
minggu. Belum ada masalah keamanan baru yang ditemukan pada pengobatan pasien
dengan urtikaria kronik. Respon cepat mungkin disebabkan oleh 1) ikatan antara
omalizumab dengan antibodi IgE bebas, yang terjadi dalam beberapa jam setelah
pemberian obat, yang mengurangi ikatan IgE dengan reseptor berafinitas tinggi FcɛRI pada
basofil dan sel mast, dan 2) downregulation ekspresi FcɛRI pada basofil (dalam 2 minggu)
dan sel mast (dalam 8 minggu) di dalam darah [22]. Apabila efek farmakologisnya
diekstrapolasi dari percobaan pada pasien dengan rhinitis alergika, maka omalizumab
berkaitan dengan terjadinya pengurangan ukuran papul/plakat yang terinduksi alergen serta
rekruitmen eosinofil menjadi reaksi kulit fase lanjut [29]. Eosinofil terdapat pada beberapa
pasien dengan urtikaria kronik, dan adanya aktivasi eosinofil pada kulit berlesi telah
dibuktikan dengan pewarnaan major basic protein (MBP) pada jaringan ekstraseluler [30].
Oleh karena MBP dapat mengaktivasi sel mast [31], maka efek anti-eosinofil dari
omalizumab mungkin merupakan mekanisme lain yang menyebabkan berkurangnya lesi
pada urtikaria kronik idiopatik (spontan) pada beberapa pasien.
Durasi pengobatan masih perlu untuk ditetapkan. Pada subjek penelitian yang
diobservasi selama 20 minggu setelah suntikan omalizumab ketiga dan terakhir dalam 8
minggu, terdapat pruritus dan urtikaria yang secara bertahap kembali timbul pada minggu
ke 20; data tersebut menyarankan durasi pengobatan selama 4 minggu dengan
berkurangnya efikasi selanjutnya. Penelitian ini menganjurkan waktu pengobatan yang
lebih lama untuk beberapa pasien. Pada pasien dengan asma sedang dan berat persisten
mungkin tidak melanjutkan pengobatan dengan omalizumab, dengan alasan kurangnya
manfaat terhadap efek yang diinginkan. Serupa dengan pengobatan atau intervensi lain,
keputusan untuk melanjutkan pengobatan omalizumab pada urtikaria kronik sebaiknya
mencakup penilaian manfaat terapeutik dan dampak apapun yang tidak diharapkan.
5
Dosis antagonis reseptor H1 yang lebih tinggi
Peningkatan 4 kali lipat dosis standar antagonis reseptor H1 generasi kedua untuk
dewasa, levocetirizine dan desloratadine, menunjukkan penurunan gejala pada 75% pasien
dengan urtikaria kronik idiopatik (termasuk pasien dengan urtikaria fisik yang timbul
bersamaan) [32]. Delapan puluh pasien (yang terpilih secara acak) dengan urtikaria kronik
“yang sulit diobati” mencakup 58 pasien (72.5%) yang mendapat kortikosteroid oral dalam
3 minggu terakhir. Subjek penelitian tidak dapat dikontrol dengan antagonis reseptor H1
generasi pertama maupun kedua. Rancangan penelitian adalah randomized, blinded, dan
menggunakan pengobatan aktif levocetirizine atau desloratadine secara crossover, dengan
dosis awal 5 mg. Pada interval 1 minggu, dosis antagonis reseptor H1 ditingkatkan
menjadi 10 mg lalu 20 mg jika belum dapat mencapai kontrol. Jika subjek terbebas dari
gejala dan urtikaria selama 3 hari (“berhasil”), mereka tidak melanjutkan ke kelompok
crossover penelitian. Hasil penelitian mencakup pengawasan berikut: [1] penggandaan
dosis menjadi 10 mg cukup efektif pada kedua pengobatan aktif tersebut; [2] tingkat
keberhasilan awal (peningkatan hingga 20 mg jika diperlukan) lebih tinggi pada
levocetirizine (22 dari 40 subjek) dibandingkan dengan desloratadine (12 dari 37 subjek);
[3] saat pengobatan pada subjek yang bergejala diganti dengan kelompok alternatif lain,
manfaat terapeutik didapatkan pada levocetirizine namun tidak dengan desloratadine.
Sebagai contoh, 7 dari 25 subjek yang tidak mencapai keberhasilan penyembuhan dengan
desloratadine 20 mg, dapat terbebas dari gejala dengan levocetirizine 20 mg [32]. Sebagai
alternatif, 0 dari 18 subjek yang tidak mencapai keberhasilan penyembuhan dengan
levocetirizine 20 mg, membaik dengan desloratadine 20 mg [32]; [4] nilai dapat tidak
berubah dari penilaian dasar atau dapat lebih rendah dengan menggunakan kedua
pengobatan aktif tersebut. Pedoman WAO Scientific and Clinical Issues Council dan
EAACI/GA2LEN/EDF/WAO merekomendasikan dibandingkan penggunaan kortikosteroid
oral sebagai pengobatan lini-kedua untuk pasien dengan urtikaria kronik, antagonis
reseptor H1 generasi kedua dengan dosis yang lebih tinggi lebih layak dicoba.
Efektivitas obat-obatan terdahulu untuk urtikaria kronik persisten
Antidepresan trisiklik
6
Antidepresan trisiklik, doxepin, telah diteliti pada uji 2 double blind terkontrol
[33,34]. Meskipun doxepin telah digunakan selama sekurang-kurangnya 30 tahun,
antagonis reseptor H1 (dan reseptor H2) tetap poten dan efektif pada beberapa pasien tanpa
adanya intoleransi maupun rasa kantuk. Dalam sebuah studi pada 50 pasien, doxepin 10
mg 3 kali sehari dibandingkan dengan diphenhydramine 25 mg 3 kali sehari [33].
“Hilangnya pruritus dan lesi urtikaria terjadi pada 43% pasien yang mendapat doxepin, dan
hanya 5% pada pasien yang mendapat diphenhydramine” [33]. Dan pada studi lain yang
mencakup 16 dewasa, doxepin lebih unggul dibandingkan plasebo serta mampu meredakan
papul/plakat kutaneus yang diproduksi histamin dan codein [34]. Efek samping anti-
kolinergik seperti konstipasi dan mulut kering dapat terjadi selain efek sedasi.
Bagaimanapun juga, doxepin (dan antidepresan trisiklik lain seperti nortriptyline) mungkin
bermanfaat untuk mengobati urtikaria kronik yang sulit.
Antagonis reseptor leukotrien
Akibat injeksi intradermis LTD4 dosis minimal dapat menyebabkan reaksi
papul/plakat/eritema [35,36], antagonis reseptor leukotrien zafirlukast [37] dan
montelukast [38,39] telah diuji coba pada pasien dengan urtikaria kronik idiopatik. Dalam
uji kontrol-plasebo 2 kelompok, penambahan zafirlukast 20 mg 2 kali sehari ke cetirizine
10 mg 1 kali sehari menghasilkan suatu penurunan “sederhana namun signifikan” dalam
skala analog visual (visual analogue scale) ketika dinilai selama 3 minggu dibandingkan
dengan cetirizine monoterapi [37]. Apabila ditinjau ke belakang, pasien-pasien yang
memiliki serum uji kulit autologus positif cenderung berespon terhadap montelukast
sebagai terapi “tambahan” [37]. Pada sebuah studi double-blind, crossover, kontrol-
plasebo, tidak terdapat perbedaan antara montelukast 10 mg dengan placebo (termasuk
pada pasien dengan intoleransi aspirin yang timbul bersamaan) sebagai terapi tambahan.
Sebuah ulasan sistematis tahun 2009 menyimpulkan bahwa “montelukast mungkin efektif
pada urtikaria kronik yang berhubungan dengan hipersensitivitas terhadap aspirin (ASA)
atau zat aditif makanan atau dengan autoreaktivitas terhadap injeksi serum intradermis
(ASST) apabila diberikan dengan antihistamin, tetapi tidak berlaku pada urtikaria kronik
idiopatik ringan atau sedang (urtikaria tanpa penyebab sekunder yang mungkin...)” [40].
Literatur tersebut menyebutkan bahwa jika suatu respon terhadap antagonis reseptor
leukotrien bagus, hal tersebut terjadi selama 3 minggu pertama. Maka dari itu, seorang
pasien dapat diuji selama 3 – 4 minggu dan apabila tidak terjadi reaksi simptomatik,
antagonis reseptor leukotrien dapat dihentikan. Merupakan hal menarik bahwa antagonis
7
reseptor leukotrien telah dilaporkan efektif pada beberapa tipe urtikaria fisik seperti
urtikaria kontak dingin, urtikaria tekanan lama dan dermatografisme [40].
Obat-obatan imunosupresif
Obat-obatan imunosupresif dapat menjadi terapeutik sebagai monoterapi untuk
pasien dengan urtikaria kronik tidak terkontrol. Terdapat respon nyata terhadap obat-
obatan imunosupresif pada 1-4 minggu awal terapi. Beberapa pasien berespon setelah 3 – 5
bulan pengobatan. Pertimbangan manfaat-risiko harus dinilai, dan pasien harus diawasi
mengenai bahaya klinis dan abnormalitas hasil laboratorium. Cyclosporine [41-45],
tacrolimus [46], mycophenolate mofetil [47,48], methotrexate [49], azathioprine [50] dan
mizoribine [51] telah diketahui efektif pada beberapa pasien yang sulit disembuhkan,
khususnya urtikaria kronik bergantung-prednisone. Terdapat berbagai macam tinjauan
mengenai pilihan pengobatan ketika pasien mengalami gagal terapi-terapi lain [52-56].
Dosis awal harian cyclosporine adalah 5 mg/kg namun untuk menghindari hipertensi dan
hilangnya fungsi ginjal (biasanya reversibel), digunakan dosis yang lebih rendah yaitu 1.5
– 2.5 mg/kg/hari [41]. Pemeriksaan tekanan darah pasien dilakukan 2 kali seminggu dan
fungsi ginjal diperiksa setiap 2 minggu. Apabila kreatinin serum meningkat 30%, maka
dosis cyclosporine diturunkan. Jika kadar kreatinin tidak kembali ke nilai awal dalam 2
minggu lebih, (setelah 1 bulan meningkat), dapat diambil keputusan untuk menghentikan
pengobatan [41]. Dosis harian tacrolimus dilaporkan setinggi 0.05 – 0.07 mg/kg 2 kali
sehari selama 4 minggu lalu diturunkan menjadi ½ selama 6 minggu [46]. Pada akhirnya,
dosisnya menjadi 1 mg/hari. Dikarenakan oleh efek samping (nyeri abdomen, diare, nyeri
kepala, dll), pengarang memulai dengan 5 mg/hari untuk dewasa untuk memastikan
tolerabilitas dan keamanan. Khan merekomendasikan pemberian awal 1 mg 2 kali sehari
[52]. Mycophenolate mofetil, yang tidak menyebabkan gangguan ginjal namun dapat
meningkatkan risiko infeksi, diawali dengan dosis 1000 mg 2 kali sehari [52]. Azathioprine
dapat menyebabkan nyeri abdomen akut, nausea, arthralgia, fungsi hati abnormal dan
sitopenia, dan juga mungkin efektif sebagai monoterapi. Pengarang mengawali terapi pada
dewasa dengan dosis 100 mg/hari. Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan setiap 2
minggu pada 2 bulan pertama lalu menjadi interval yang lebih sedikit bila terdapat respon
terhadap azathioprine.
Agen-agen lainnya
8
Colchicine [57-59], dapsone [60-62] dan sulfasalazine [63,64] memiliki efek anti-
inflamatorik yang berkontribusi untuk mengurangi frekuensi dan keparahan lesi urtikaria
pada urtikaria kronik resisten-terapi. Agen-agen ini memiliki efek merugikan spesifik
seperti diare untuk colchicine, hemolisis dan methemoglobinemia (walaupun pada pasien
dengan glukosa 6 fosfat dehidrogenase yang cukup) untuk dapsone, dan gejala
gastrointestinal, nyeri kepala, ruam, leukopenia dan peningkatan fungsi hati untuk
sulfasalazine. Kebanyakan pengalaman berasal dari ulasan retrospektif. Dosis awal pada
dewasa adalah sebagai berikut: colchicine 0.6 mg/hari selama seminggu lalu 2 kali sehari
[57]; 25 – 100 mg/hari untuk dapsone, dan 500 mg/hari ditingkatkan mingguan hingga
2000 mg/hari untuk sulfasalazine [64].
Pada peningkatan konsentrasi D-dimer sebagai cerminan dari aktivasi jalur eksternal
sistem koagulasi dan fibrinolisis, pasien dengan urtikaria kronik resisten-terapi mendapat
suatu heparin berat molekul rendah, nadroparin (11,400 IU) per hari dan tranexamic acid
oral sebagai inhibitor fibrinolisis [65]. Terdapat “perbaikan nyata” dalam 2 minggu pada 5
dari 8 pasien [65]. Konsentrasi D-dimer menurun pada responden dan non-responden. Ini
diduga karena faktor jaringan, yang mengaktivasi kaskade koagulasi, berasal dari eosinofil
di urtikaria kronik [66]. Warfarin telah dilaporkan sebagai pengobatan yang mungkin
dalam sebuah uji double-blind, crossover, terkontrol dimana Rasio Normalisasi
Internasional (International Normalized Ratio/INR) antara 2.0 dan 2.5 [67]. Pada pasien
yang membaik, tidak terdapat penurunan respon terhadap injeksi histamine atau aktivator
sel mast intradermis, yaitu 48 dari 80 pasien [67]. Selain menghambat trombin dan
menurunkan sintesis protein C dan faktor dependen-vitamin K (protrombin dan VII, IX,
dan X), warfarin mengurangi pembentukan kinin, aktivasi komplemen, dan down-regulate
molekul adhesi vaskuler.
Disetujui untuk Leishmaniasis karena aktivitas anti-tripanosomatidnya dan diakui
sebagai obat dengan efek antineoplastik, inhibitor protein kinase B, miltefosine, dilaporkan
dapat menurunkan nilai aktivitas urtikaria pada pasien resisten antihistamin (UAS7) selama
4 minggu dibandingkan dengan placebo [68]. Intensitas pruritus tidak berkurang. Efek
samping mencakup muntah, diare, peningkatan fungsi hati dan peningkatan serum
kreatinin. Bagaimana cara miltefosine dapat digunakan untuk mengontrol urtikaria kronik
masih belum dipastikan.
Ringkasan
9
Urtikaria kronik menyebabkan gangguan kualitas hidup dan pada ½ jumlah pasien
tidak segera berespon terhadap dosis standar tunggal antagonis reseptor H1. Selain
meningkatkan dosis agen generasi kedua hingga 4 kali lipat, levocetirizine [32] atau
desloratadine [32] juga cukup berguna pada beberapa pasien, ini secara kasar ekuivalen
terhadap penggunaan antagonis reseptor H1 generasi pertama yang poten dan bertahan
lama (dimana hydroxyzine 25 mg sebanding dengan cetirizine 10 mg) [54]. Oportunitas
untuk mengobati urtikaria kronik idiopatik (spontan) dengan omalizumab memberikan
suatu pendekatan keamanan yang menghasilkan pengurangan pruritus dan jumlah urtika
dalam 1 minggu pemberian dosis subkutis pertama [22]. Jumlah pasien yang diobati untuk
menguntungkan seorang pasien dengan omalizumab adalah 2.9, suatu angka yang sangat
baik. Penting untuk memastikan apakah pengobatan jangka panjang dapat menyebabkan
remisi penyakit.
10
top related