tugas pengganti kuliah pengelolaan sumber daya manusia

Post on 14-Jul-2015

5.213 Views

Category:

Education

1 Downloads

Preview:

Click to see full reader

TRANSCRIPT

KULIAH: PENGELOLAAN SUMBER DAYA MANUSIA

Disiapkan Oleh: Agus Joko Pitoyo, S.Si, M.A.

Topik :Pembangunan Sumber Daya Manusia

UNIVERSITAS GADJAH MADA

MAGISTER STUDI KEBIJAKAN

YOGYAKARTA

2008

PEMBANGUNAN SUMBER DAYA MANUSIA

1.1 Pendahuluan

GBHN 1993 secara tegas mencantumkan bahwa sumber daya manusia (SDM) merupakan modal dasar dan faktor dominan (Bab II butir D). Pencantuman ini mengisyaratkan bahwa pemerintah mempunyai komitmen yang tinggi untuk meletakkan SDM sebagai unsur yang penting dalam pembangunan nasional. Dari satu sisi, dapat dikatakan bahwa SDM tidak hanya sebagai modal pembangunan, tetapi juga keberhasilan dalam pengembangan SDM dapat dijadikan sebagai salah satu indikator keberhasilan pembangunan. Hal itu dilakukan dalam mengakomodasi kepentingan pembangunan yang tidak hanya mengejar keberhasilan fisik, tetapi juga non-fisik.

Dalam kaitannya dengan hal tersebut, muncul pertanyaan-pertanyaan mendasar yang dapat digunakan sebagai landasan berpijak untuk melihat proses pembangunan. Misalnya, apa konsep sumber daya manusia, pembangunan manusia, pengembangan sumber daya manusia, dan lain-lainnya. Pertanyaan-pertanyaan itu penting dalam rangka untuk menyamakan persepsi, sebelum berbicara banyak mengenai perencanaan pengembangan sumber daya manusia (PPSDM). Di samping itu, hal lain yang perlu untuk dibahas adalah mengenai kualitas sumber daya manusia.

1.2 Sumber Daya Manusia Sebagai Paradigma Pembangunan

Selama dua puluh tahun terakhir telah terjadi perubahan mendasar tentang paradigma pembangunan, khususnya di negara sedang berkembang. Pembangunan tidak lagi "hanya" berorientasi kepada pembangunan ekonomi (economic oriented) tetapi pembangunan ekonomi hanya dijadikan sebagai mean atau cara dalam rangka mencapai tujuan lain yang lebih mendasar yaitu human security (UNDP, 1994). Hal ini barangkali disebabkan oleh karena pembangunan yang berorientasi ekonomi justru akan melahirkan persoalan-persoalan yang lebih parah, misalnya kesenjangan pendapatan yang muaranya adalah kemiskinan. Bahkan dalam banyak kasus, pertumbuhan ekonomi di negara sedang berkembang juga dibarengi dengan berkurangnya hak-hak politik dan sosial masyarakat. Di samping itu, pergeseran paradigma pembangunan tersebut tampaknya berasal dari munculnya kecenderungan sumber daya manusia sebagai paradigma pembangunan.

Pada awalnya, manusia diletakkan sebagai salah satu faktor produksi. Artinya manusia dipahami dari sisi sebagai tenaga kerja yang sejajar dengan faktor

lainnya yaitu modal dan bahan baku. Dalam pengertian ini maka sumber daya manusia mempunyai pengertian yang sangat terbatas. Aspek-aspek yang lebih mendalam dan mendasar yang terkait dengan SDM tidak dipandang penting dalam proses produksi. Akibatnya adalah bahwa manusia dalam pembangunan ekonomi lebih dipandang sebagai obyek dari pada subyek. Dalam kerangka tertentu, orientasi pembangunan, kemudian hanya baranjak dari pengertian manusia sebagai obyek fisik. Oleh karenanya tidak mengherankan kalau kemudian muncul masalah-masalah pembangunan, khususnya adanya tren yang tidak sinkron antara pembangunan ekonomi dan pengembangan sumber daya manusia.

Sumber daya manusia sebagai paradigma artinya adalah sumber daya manusia sebagai kerangka orientasi dalam menentukan dan mengarahkan tindakan-tindakan manusia (Sindhunata, 1994). Lebih lanjut Sindhunata (1994) menyebutkan bahwa pergeseran paradigma sumber daya manusia dapat dijelaskan melalui tiga hal. Pertama paradigma daya cipta manusia. Hal ini bisa dilihat dari munculnya kecenderungan bahwa bukan kekayaan alam tetapi manusia yang seharusnya menciptakan kemakmuran. Kedua adalah paradigma kerja manusia. Manusia tidak lagi hanya dipandang sebagai faktor pendukung atau pembantu dalam proses produksi, melainkan sebagai bagian dari kekayaan material maupun spiritual. Pergeseran ini mengandung arti bahwa nilai yang penting bukan hanya pada produktivitasnya saja, tetapi juga kebersamaan manusia. Ketiga adalah paradigma tanggung jawab. Manusia bertanggung jawab terhadap masa lalu dan masa depan. Bertanggung jawab terhadap masa lalu artinya bahwa manusia harus berani menilai keputusan yang dibuatnya. Sementara itu tanggung jawab terhadap masa depan artinya adalah bertanggung jawab terhadap akibat yang akan timbul dari keputusan yang dibuatnya.

Dengan pengertian ini maka menangani manusia tidak cukup hanya dari sisi ekonomi saja tetapi jauh lebih komplek yang melibatkan unsur sosial bahkan politik. Hal itu juga tercermin dari rumusan mengenai pembangunan manusia sebagaimana disebutkan dalam Human Development Report (UNDP, 1992), yaitu

"suatu proses perluasan spektrum pilihan manusia, meningkatkan kesempatan mereka untuk memperoleh pendidikan, pelayanan kesehatan, penghasilan dan pekerjaan".

Dalam definisi tersebut secara jelas terlihat bahwa bukan unsur ekonomi saja yang termasuk dalam cakupan pembangunan manusia. Bahkan kata "perluasan spektrum pilihan manusia" mengisyaratkan munculnya orientasi pembangunan yang lebih luas. Perluasan spektrum pilihan berarti juga demokratisasi. Dengan demikian unsur politik masuk di dalamnya.

Hal itu secara jelas juga tercantum dalam Human Development Report 1994 (UNDP, 1994) yang menyebutkan bahwa:

"Development must enable all individuals to enlarge their human capabilities to the fullest and to put those capabilities to the best use in all fields-economics, social, cultural, and politics"

Salah satu kritik yang muncul terhadap definisi tersebut adalah bahwa pengertian tersebut di atas cenderung menyiratkan penekanan pada aspek pemerataan saja dan anti pertumbuhan. Padahal apabila dikaji lebih mendalam maka hal tersebut tidak benar. Karena pada akhirnya pembangunan manusia diharapkan mampu meningkatkan kemampuan manusia, termasuk di dalamnya dalam produktivitas yang akhirnya akan menyebabkan peningkatan pertumbuhan.

Dalam pengertian yang lebih operasional, sumber daya manusia dapat dilihat dari beberapa dimensi yang di dalamnya mengandung beberapa konsekuensi. Pertama, sumber daya manusia dapat dilihat dari aspek kuantitatif yang meliputi jumlah, persebaran dan struktur, serta aspek kualitatif yang berkaitan dengan mutu manusia misalnya pendidikan, ketrampilan, sikap, nilai, kesehatan dan gizi. Kedua, sumber daya manusia juga dapat dilihat dari aspek makro (agregat) maupun mikro (individu). Dengan demikian dalam membicarakan dua aspek yang pertama, maka hal tersebut dapat pula dibahas dalam konteks makro maupun mikro.

Pemahaman sumber daya manusia dari segi kuantitatif tidak menjadi persoalan, karena variabelnya jelas terukur. Tetapi ketika yang dibicarakan adalah aspek kualitatif maka sering kali sangat sulit untuk diukur, misalnya mengenai sikap, nilai dan kepercayaan. Oleh karenanya pemahamannya perlu dilakukan dengan hati-hati.

Dengan melihat pengertian tersebut maka setiap proses pembangunan yang berorientasi "manusia" perlu memperhatikan aspek-aspek tersebut. Tidak bisa hanya satu aspek saja yang diperhatikan, karena hanya akan menjadikan proses pembangunan menjadi timpang.

1.3 Teori Modal Manusia

Dalam teori ini manusia dianggap sebagai suatu modal dalam suatu proses produksi. Untuk peningkatan produksi, pendidikan dianggap sebagai suatu investasi yang penting dan dominan dalam peningkatan kapasitas produksi sumber daya manusia. Konsekuensinya adalah bahwa penduduk yang berpendidikan merupakan penduduk yang produktif. Akibatnya, pendidikan

dipandang sebagai suatu intervensi yang sangat penting dalam rangka peningkatan sumber daya manusia.

Pembangunan ekonomi yang cepat di Jepang, Korea dan Eropa Barat biasanya digunakan sebagai contoh untuk menunjukkan bahwa sumber daya manusia merupakan unsur penting dalam pembangunan. Bahkan pembangunan sumber daya manusia dilakukan mendahului akumulasi modal fisik (Widarti, 1993).

Keberhasilan pembangunan memerlukan dua syarat, yaitu (a) kemajuan teknologi dalam rangka untuk meningkatkan produksi, dan (b) sumber daya manusia yang berpendidikan dalam rangka penerapan teknologi.

Kritik utama yang muncul terhadap teori ini adalah bahwa pendidikan dianggap sebagai unsur utama dalam pembangunan sumber daya manusia. Sebagai investasi, pendidikan tidak akan lepas dari sistim politik, kondisi sosial dan kultural di suatu negara. Padahal teori tersebut beranggapan bahwa karakteristik individu merupakan unsur penting dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Aspek struktur sosial, yang biasanya merupakan refleksi dari banyak aspek, tidak diperhatikan. Dalam memandang terjadinya pembagian negara maju dan negara terbelakang, teori ini mengatakan bahwa hal tersebut lebih berkaitan dengan karakteristik masing-masing negara.

Argumentasi seperti itu jelas tidak benar. Teori dependensi mengatakan bahwa munculnya negara maju dan tidak maju, terjadi karena sifat dependensi negara tidak maju terhadap negara maju. Bahwa kondisi yang kurang menguntungkan di suatu negara adalah sebagai akibat dari ketidakmampuan negara tersebut melepaskan sifat dependensinya kepada negara maju. Dengan demikian maka perubahan terhadap karakteristik sumber daya manusia saja tidak cukup untuk memacu laju pembangunan ekonomi. Lebih dari itu, harus ada usaha untuk merubah sifat dependensi menjadi interdependensi.

Hal semacam ini tidak hanya terjadi dalam kasus negara, tetapi juga bisa ditarik pada skala yang lebih sempit di dalam negara. Sebab justru hubungan antar daerah lebih terlihat di dalam suatu negara.

1.4 Pembentukan Modal Manusia (PMM) dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM)

Kedua istilah itu pada prinsipnya sama. Keduanya mengandung pengertian sebagai suatu proses perubahan kualitas manusia yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu pendidikan formal atau non-formal, latihan di tempat kerja, perbaikan kesehatan, migrasi, gizi dan sebagainya (Widarti, 1993). Dengan perubahan kualitas, diharapkan produktivitas sumber daya tenaga kerja juga meningkat.

Pengertian yang terakhir ini yang biasanya disebut dengan pengembangan sumber daya manusia. Terdapat lima faktor sebagai unsur utama dalam pengembangan sumber daya manusia, yaitu:

a. pendidikanb. kesehatan dan gizic. lingkungand. pekerjaane. kebebasan politik dan ekonomi

Hal ini sejalan dengan arah baru pembangunan sebagaimana tercantum dalam Human Development Report (1994), bahwa manusia merupakan alat dan tujuan pembangunan. Sebagai alat, manusia merupakan modal yang sangat penting dalam proses pembangunan dan sebagai tujuan pembangunan diarahkan untuk menuju human security.

Dari pengertian tersebut jelas bahwa terdapat perbedaan yang mendasar antara teori modal manusia dengan PPM atau PSDM. Pada pengertian yang kedua, pendidikan hanya merupakan satu aspek dari sejumlah aspek yang perlu diperhatikan dalam peningkatan kualitas untuk meningkatkan produktivitas. Pengertian yang kedua ini juga membawa konsekuensi terhadap meluasnya titik perhatian pembangunan nasional. Dalam pengertian yang lain, mengembangkan sumber daya manusia kemudian tidak hanya meningkatkan pendidikan dan ketrampilan saja, tetapi juga bagaimana mewujudkan manusia yang sehat, berpendidikan dan secara ekonomi dan politik mempunyai kebebasan memilih.

1.5 Indikator Sumber Daya Manusia

Untuk memperoleh suatu indikator sumber daya manusia yang memadai sangat sulit, karena sebagaimana telah dijelaskan di muka, dimensi sumber daya manusia sangat luas, yaitu mencakup aspek kualitatif maupun kuantitatif dalam skala mikro maupun makro. Berikut ini akan dibahas beberapa indikator SDM yang dapat digunakan untuk menilai kondisi SDM di suatu daerah.

Secara kuantitatif, SDM dapat dilihat dari segi jumlah, misalnya jumlah penduduk, jumlah tenaga kerja, dan jumlah angkatan kerja. Tetapi perlu diingat bahwa untuk memperoleh gambaran yang sebenarnya, variabel ini perlu digabung dengan variabel lain, misalnya tingkat pendidikan, tingkat melek huruf, ketrampilan, dan status kesehatan (angka harapan hidup) (Widarti, 1993).

Variabel lain yang bisa dimanfaatkan, khususnya berkaitan dengan aspek ketenagakerjaan adalah variabel yang diturunkan dari pendekatan LUA (Labor Utilization Approach) oleh Hauser (1974). Dalam pendekatan ini angkatan kerja dapat dibagi menjadi angkatan kerja yang dimanfaatkan penuh dan yang tidak

penuh. Angkatan kerja yang tidak dimanfaatkan penuh dapat dibagi menjadi tidak dimanfaatkan sama sekali (penganggur) dan setengah penganggur (underemployment). Setengah penganggur dapat dibagi lagi menjadi setengah penganggur menurut jam kerja, upah, dan mismatch. Secara ringkas variabel tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

a. TPAK (tingkat partisipasi angkatan kerja) adalah perbandingan antara jumlah angkatan kerja terhadap penduduk usia kerja.

b. Tingkat bekerja (employment rate) adalah perbandingan antara jumlah yang bekerja terhadap jumlah angkatan kerja.

c. Tingkat pengangguran terbuka (open unemployment rate) adalah perbandingan antara jumlah penganggur dengan jumlah angkatan kerja.

d. Tingkat setengah pengangguran adalah perbandingan antara mereka yang bekerja tidak dimanfaatkan secara penuh (menurut jam kerja, pendapatan, maupun mismatch) terhadap penduduk yang bekerja.

Indikator-indikator tersebut masih bisa diperluas lagi dengan variabel lain. Sebagai contoh variabel-variabel yang menggambarkan kualitas manusia dari segi nir-fisik, misalnya kebahagiaan, kenyamanan, kesejahteraan, ketaatan beragama, pemenuhan hak asasi, dan lain-lain. Variabel tersebut secara operasional sangat sulit untuk diukur, sehingga sangat jarang digunakan untuk melihat kondisi SDM.

Meskipun masih jauh dari sempurna, UNDP mencoba membuat indek untuk melihat kualitas manusia, yang disebut dengan HDI (Human Development Indeks). Indek ini sebenarnya sebagai respon terhadap munculnya PQLI (Physical Quality of Life Index) yang dianggap masih kurang. Pada tahun 1990, HDI tersusun atas tiga variabel, yaitu pendidikan, harapan hidup, dan pendapatan. Indeks ini dianggap kurang sensitif terhadap variabel tertentu, misalnya jenis kelamin, kelompok etnis, dan klas sosial. Oleh karena itu sejak tahun 1991, HDI dihitung dengan memasukkan jenis kelamin dan distribusi pendapatan sebagai variabel pengontrol. Pada tahun 1994 HDI dihitung berdasarkan empat variabel, yaitu angka harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata tahun sekolah, dan pendapatan per kapita. Dengan HDI bisa dibuat komparasi antara satu daerah atau negara dengan daerah atau negara yang lain.

Perlu dicatat bahwa angka HDI merupakan angka agregat yang mencerminkan kondisi SDM pada suatu wilayah. Dalam menilai kondisi SDM, hal itu perlu dilengkapi dengan indikator yang bersifat individual.

Dalam dua dekade terakhir, manusia telah diletakkan sebagai posisi sentral dalam pembangunan nasional. Akibatnya paradigma sumber daya manusia dalam pembangunan berubah secara drastis. Hal ini menuntut pemerintah untuk secara jeli merumuskan orientasi pembangunan, agar apa yang diharapkan dalam

pengembangan sumber daya manusia (PSDM) bisa tercapai.

Secara operasional, akibat yang muncul dari perubahan tersebut adalah tuntutan terhadap pelaksana pembangunan untuk memahami setiap aspek yang tercakup dalam pengembangan sumber daya manusia. Hal tersebut mencakup pengertian mengenai konsep dan definisi dan juga indikator sumber daya manusia. Hal itu penting karena merupakan landasan yang fundamental dalam PSDM.

Salah satu kesulitan yang muncul misalnya dalam merumuskan indikator SDM. Sejauh ini indikator yang diajukan masih mengacu pada pembangunan fisik atau ekonomi. Dengan tuntutan untuk memperhatikan dimensi lain dalam SDM, maka hal itu dipandang belum cukup. Untuk itu perlu dicari rumusan-rumusan baru yang kemudian bisa digunakan untuk menilai kondisi SDM di suatu tempat.

1.6 Kualitas Sumber Daya Manusia

Pembahasan tentang pengukuran kualitas SDM dari waktu ke waktu selalu menarik karena memerlukan suatu pendekatan yang komprehensif dari aspek kualitas fisik maupun non fisik, baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Ini berarti indikator yang digunakan dalam mengukur kualitas SDM harus mampu menggabungkan antara kualitas fisik dan nonfisik, baik itu yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Alasannya adalah bahwa kualitas penduduk tidak dapat dipisah-pisahkan, baik yang bersifat fisik maupun nonfisik, kedua-duanya saling menunjang dalam membentuk kualitas penduduk secara keseluruhan. Meskipun argumen ini ada betulnya, namun indikator kualitas total penduduk tersebut masih terlalu umum, sulit diukur, dan sulit pula untuk diberi intervensi. Sejalan dengan hal ini maka pengukuran kualitas penduduk cenderung dilakukan secara terpisah-pisah dan cara demikianlah yang banyak digunakan sampai saat ini (Dahlan, 1992).

Perubahan kualitas SDM berhubungan erat dengan keberhasilan pembangunan. Upaya penentuan indikator kemajuan pembangunan menjadi penting dalam kerangka untuk mengetahui sasaran pembangunan yaitu penduduk yang berkualitas. Bank Dunia melalui laporannya World Development Report secara kontinu sejak tahun 1978 melaporkan bahwa pembangunan mempunyai tujuan ganda yaitu pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kemiskinan. Indikator dari kedua aspek tersebut adalah Produk Nasional Bruto (GNP) sebagai dasar penentuan urutan negara mulai dari yang paling miskin sampai yang paling kaya. Cara ini dianggap sebagai indikator yang sangat penting bagi proses modernisasi, apabila modernisasi disamakan artinya dengan pembangunan. Pengukuran kualitas penduduk model seperti ini lebih menekankan pada indikator ekonomi yang dalam beberapa hal mengabaikan

perikehidupan penduduk dalam suatu negara, dalam hal ini untuk hidup lebih lama yang tercermin pada angka harapan hidup (Soetjipto, 1996).

Kelompok Neo-Malthusianis menganggap bahwa pertumbuhan ekonomi berhubungan negatif dengan pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk yang rendah akan diikuti oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang identik dengan kualitas penduduk yang baik. Pendekatan demografis dalam mengukur kualitas penduduk melibatkan beberapa variabel mortalitas, fertilitas dan urbanisasi secara sendiri-sendiri dan tidak digabung menjadi satu indeks komposite. Indeks komposite yang dimaksud adalah merupakan gabungan dari setiap variabel mortalitas, fertilitas dan urbanisasi yang digunakan dalam pengukuran kualitas penduduk. Hal yang sama juga dialami oleh pendekatan nondemografi yang secara terpisah-pisah menggunakan variabel pendidikan, pendapatan, pengeluaran per kapita, ketenagakerjaan dan kecukupan kalori dan protein dalam mengukur kualitas penduduk. Demikian pula Kantor Menteri Negara Kependudukan dan BKKBN menggunakan 13 variabel dalam mengukur kualitas penduduk.

Metode yang digunakan dalam mengukur kualitas penduduk dari ketiga pendekatan tersebut yakni model demografi dan nondemografi maupun pendekatan yang digunakan oleh Menteri Negara Kependudukan dan BKKBN masih secara terpisah-pisah antara variabel yang satu dengan yang lain dan tidak dirangkum dalam suatu indeks komposite. Indeks komposite yang dimaksud adalah suatu angka/nilai yang merupakan gabungan dari setiap nilai yang ada pada variabel yang digunakan dalam pengukuran. Berbeda halnya dengan Morris (1979) dan United Nation Development Programme (1990) telah menyusun suatu indek yang merupakan gabungan dari beberapa variabel demografi dan nondemografi dalam mengukur kualitas penduduk seperti halnya Indeks Mutu Hidup (Physical Quality of Life Index) dan Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index). Tulisan ringkas ini ingin membahas metode pengukuran kualitas penduduk mulai dari asumsi dan data yang digunakan, kelemahan dan keunggulan dari setiap indikator serta aplikasinya di Indonesia.

A. Pengukuran Kualitas Penduduk/SDM

Istilah kualitas manusia di Indonesia sudah dikenal sejak GBHN 1983. Pada dasarnya kualitas manusia mencakup kualitas manusia sebagai individu maupun secara keseluruhan, baik aspek jasmani maupun rokhaninya. Kemudian istilah kualitas penduduk pada umumnya digunakan dalam studi kualitas manusia sebagai agregat, baik dalam konteks makro maupun mikro tentang aspek jasmani dan rokhaninya. Kualitas penduduk pada hakekatnya mengungkapkan keadaan kelompok manusia yang hidup dalam suatu daerah pada saat tertentu. Sejalan

dengan hal ini maka cara pengukurannya dilakukan berdasarkan atas angka rata-rata per jumlah penduduk dalam waktu tertentu. Dengan demikian yang dimaksud dengan kualitas penduduk di sini bukanlah kualitas dalam arti eugenic seperti dalam suatu negara yang membutuhkan tentara untuk mereka yang kuat saja; aborsi diperbolehkan atas alasan kesehatan dan sosial-ekonomi, ibu-ibu yang berpendidikan tinggi saja yang diperbolehkan mempunyai banyak anak (Djalal, 1988). Kualitas penduduk yang dimaksud dan diinginkan pemerintah Indonesia adalah kualitas fisik dan nonfisik yang menjadi prasyarat untuk mencapai produkstivitas kerja yang tinggi.

Untuk melihat perkembangan kualitas penduduk baik secara regional maupun nasional dapat menggunakan indikator tunggal maupun indikator komposite yaitu merupakan gabungan dari beberapa variabel/peubah yang diasumsikan mempengaruhi kualitas penduduk. Dalam menyusun indikator tersebut dapat dilakukan dengan cara indexing dan scaling. Indikator tunggal maupun indikator komposite, baik itu komposite obyektif maupun komposite subyektif oleh Morris (1979) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1. Sahih untuk mengukur berbagai cara/pola pembangunan.

2. Harus obyektif, tidak bias pada nilai-nilai spesifik.

3. Harus dapat mengukur hasil (output) bukan masukan (input).

4. Mampu menggambarkan distribusi hasil pembangunan

5. Sederhana cara penyusunannya dan mudah dipahami

6. Harus dapat dipakai untuk perbandingan internasional.

Salah satu indikator komposite obyektif yang cukup terkenal adalah Indeks Mutu Hidup (PQLI) dan Indeks Pembangunan Manusia (HDI) yang akan dibahas pada bagian akhir dari makalah ini. Indikator komposite subyektif yang disusun oleh Biro Pusat Statistik berusaha menyajikan perkembangan kesejahteraan rumah tangga selama periode tertentu (1987-1990 dan 1991-1994). Indeks komposite subyektif disusun berdasarkan pendapat/persepsi kepala rumah tangga tentang perkembangan sejumlah masalah pokok selama jangka waktu tertentu (lihat data Susenas modul kesejahteraan rumah tangga). Indikator komposite subyektif ini merupakan gabungan dari beberapa indikator tunggal yang diperoleh dari pendapat/persepsi penduduk sehingga mengandung jawaban yang bersifat subyektif. Makalah ini lebih menekankan pada indikator tunggal maupun indikator komposite obyektif baik yang bersifat demografis maupun nondemografis. Bagi yang tertarik pada indikator komposite subyektif dapat dilihat pada daftar pertanyaan yang digunakan dalam Susenas modul kesejahteraan rumah tangga, dilakukan setiap tiga tahun sekali oleh Biro Pusat Statistik.

B. Kualitas Penduduk: Aspek Demografi

Pengukuran kualitas penduduk dari aspek demografi masih dilakukan secara terpisah-pisah yakni berupa indikator tunggal yang obyektif. Angka kematian yang tinggi diasumsikan terjadi pada kualitas penduduk yang masih rendah. Demikian pula dengan angka fertilitas yang tinggi, prevalensi kontrasepsi maupun urbanisasi yang rendah identik dengan kualitas penduduk yang rendah. Dengan demikian kualitas penduduk yang tinggi akan tercermin pada rendahnya IMR, CMR, MMR dan angka morbiditas, TFR dan angka perceraian serta tingginya angka harapan hidup, prevalensi kontrasepsi, usia perkawinan pertama dan angka urbanisasi. Sampai saat ini (sepengetahuan penulis) belum ditemukan suatu model pendekatan demografi yang menggabungkan dari beberapa variabel demografi ke dalam suatu indikator komposite obyektif secara komprehensive. Yang dilakukan pada saat ini baru sampai pada karakteristik variabel demografi secara sendiri-sendiri yakni:

1. Angka Kematian Bayi (IMR)

2. Angka Kematian Anak (MR)

3. Angka Kematian Maternal (MMR)

4. Angka Harapan Hidup (eo)

5. Angka Morbiditas

6. Angka Fertilitas Total (TFR)

7. Angka Perceraian (DR)

8. Usia Perkawinan Pertama

9. Angka Prevalensi Kontrasepsi

10. Angka Urbanisasi.

Parameter fertilitas keluarga berencana, mortalitas dan morbiditas maupun urbanisasi dapat diperoleh dari model-model estimasi secara tidak langsung (indirect technique for demographic estimation) dari data yang dikumpulkan melalui sensus penduduk, Supas, Susenas score dan modul. Masalah pokok yang dihadapi dari model estimasi demografi ini adalah pemenuhan sejumlah asumsi dalam perkiraan dan jumlah sampel yang dibutuhkan dalam perhitungan. Secara nasional dan regional (propinsi) jumlah sampel yang dibutuhkan untuk estimasi telah memadai, namun untuk lingkup Dati II dalam beberapa hal masih terlalu sedikit. Sebagai akibatnya hasil estimasi parameter demografi seringkali tidak dapat digunakan. Ketergantungan terhadap model estimasi akan terus berlangsung apabila pelaksanaan sistem Registrasi Penduduk maupun Sistem Informasi Penduduk dan Keluarga (Siduga) belum dapat berjalan dengan baik

dalam arti cakupan wilayah pendataan dan kualitas data. Kualitas penduduk dilihat dari paramater demografi tersebut dapat dilihat di lampiran.

C. Kualitas Penduduk: Aspek NonDemografi

Sama halnya dengan pengukuran kualitas penduduk dari aspek demografi, kualitas penduduk dan aspek nondemografi masih dilihat secara terpisah-pisah. Beberapa variabel yang sering digunakan dalam pengukuran kualitas penduduk mencakup aspek pendidikan seperti pendidikan tertinggi yang ditamatkan, penduduk usia sekolah menurut status sekolah; pendapatan per kapita; pengeluaran per kapita untuk keperluan bahan makanan dan bukan untuk bahan makanan; kecukupan kebutuhan kalori dan protein maupun kecukupan gizi; dan ketenagakerjaan yang mencakup angka partisipasi angkatan kerja, angka pengangguran dengan berbagai jenis dan penduduk yang bekerja menurut sektor, jenis dan status pekerjaan. Kualitas penduduk yang baik dapat dilihat dari pendidikan yang relatif tinggi, kecukupan kebutuhan kalori dan protein, pendapatan perkapita yang tinggi, proporsi pengeluaran untuk bukan bahan makan lebih tinggi daripada untuk bahan makan, angka pengangguran yang rendah dan sebagian besar pekerja yang bekerja pada sektor manufaktur dan jasa, merupakan pekerja terampil dan bekerja pada sektor formal. Secara rinci pendekatan nondemografi dalam mengukur kualitas penduduk melibatkan beberapa variabel seperti berikut:

1. Pendidikan tertinggi yang ditamatkan

2. Penduduk usia sekolah menurut status sekolah

3. Kecukupan kalori-protein, status gizi

4. Pendapatan per kapita

5. Pengeluaran per kapita/bahan makan dan bukan bahan makan

6. Angka Partisipasi Angkatan Kerja

7. Angka pengangguran terbuka

8. Pekerja manurut sektor, jenis dan status pekerjaan

Dari delapan variabel yang digunakan tersebut hanya kecukupan kalori dan protein serta pendapatan per kapita yang sudah ada standarnya untuk membedakan antara yang baik dan yang kurang baik. Selain variabel ini belum ada standar yang baku untuk membedakannya. Sebagai contoh berapa angka pengangguran terbuka itu dimasukkan untuk kelompok yang kurang baik; demikian pula berapa persentase untuk pekerja sektor manufaktur dan jasa maupun pekerja terampil dapat dikelompokkan untuk kualitas penduduk yang

baik. Sama halnya dengan pendekatan demografi yang dapat dikatakan baik untuk kualitas penduduk itu apabila parameter mortalitasnya rendah dan angka harapan hidup tinggi. Akan tetapi berapa standar IMR, CMR, MMR dan angka harapan hidup dikatakan untuk kelompok yang baik? Bagaimana pula kalau dalam suatu daerah didapatkan pemenuhan kalori dan protein di atas standar yang dibakukan telah memenuhi persyaratan yang dibakukan, akan tetapi di pihak lain angka pengangguran terbuka cukup tinggi dan pendidikan tertinggi yang ditamatkan cukup tinggi pula namun sebagian besar dari pekerja tersebut merupakan pekerja tidak terampil di sektor formal. Banyaknya variabel yang digunakan, baik aspek demografi dan nondemografi ini menyebabkan kurang sensitif dalam mengukur kualitas penduduk. Hal seperti ini dialami pula oleh Kantor Menteri Negara Kependudukan dan BKKBN melibatkan 13 variabel dalam mengukur kualitas penduduk.

Kantor Menteri Negara Kependudukan dan BKKBN telah membetuk Tim Pengembangan Indikator Kualitas Penduduk yang diberi tugas untuk menyusun Indikator Kualitas Penduduk. Indikator kualitas penduduk disusun berdasarkan landasan ideologis, hukum, dan landasan tindak lanjut operasional metodologis. Kualitas penduduk dilihat dari empat aspek yakni sehat, maju, mandiri-sejahtera dan aman bahagia mencakup 13 variabel sebagai berikut:

Sehat mencakup 4 variabel:

1. Angka harapan hidup saat lahir.

2. Angka kematian maternal

3. Rasio tempat ibadah terhadap jumlah penduduk

4. Rasio anak dan remaja yang bermasalah

Maju, hanya mencakup satu variabel:

5. Angka partisipasi sekolah (SLTP ke atas)

Mandiri - Sejahtera mencakup 4 variabel:

6. Angka partisipasi angkatan kerja

7. Proporsi pengeluaran rumah tangga untuk makan

8. Rasio kemandirian

9. Proporsi anak yang terpaksa bekerja

Aman - Bahagia mencakup 4 variabel:

10. Angka perceraian

11. Angka kriminalitas

12. Proporsi anak yang terlantar

13. Proporsi rumah tangga dengan kepala rumah tangga perempuan berumur tua.

Seperti telah disebutkan sebelumnya, pengukuran kualitas penduduk yang dilakukan oleh Menteri Negara Kependudukan masih dilakukan secara terpisah-pisah dari ke 13 variabel yang digunakan. Bahkan di dalam mengukur aspek sehat pun yang terdiri dari 4 variabel masih dilakukan secara sendiri-sendiri, belum sampai pada penggabungan dari ke empat variabel ke dalam satu indek sehat. Sama halnya dengan mengukur aspek mandiri-sejahtera, aman sejahtera, masing-masing masih merupakan variabel yang terpisah-pisah. Selain hal tersebut karena banyaknya variabel yang digunakan dalam pengukuran maka sumber data yang digunakan pun sangat beragam seperti sensus penduduk, survai kependudukan dan survai yang dilakukan oleh departemen tertentu dengan rentang tahun pengumpulan data yang berbeda-beda.

Indeks Mutu Hidup (PQLI)

Indeks Mutu Hidup (IMH) ini merujuk pada Physical Quality of Life Index (PQLI) merupakan hasil pemikiran Morris sebagai alat pengukur hasil proses pemerataan dalam pembangunan. Muncul sebagai jawaban terhadap kelemahan-kelemahan model pembangunan yang berpusat pada pertumbuhan ekonomi yang diukur melalui produk national bruto (GNP). Indeks Mutu Hidup mempunyai keunggulan daripada GNP sebagai tolok ukur keberhasilan pembangunan. Nasikun (1992:69) menyebutkan ada tiga kelemahan pokok menggunakan GNP sebagai ukuran kualitas penduduk yakni: 1. Hanya terdiri dari transaksi ekonomi dan mengabaikan kegiatan yang terjadi di luar pasar. 2. Agregasi berbagai kegiatan ke dalam nilai uang mengasumsikan bahwa isyarat harga merupakan petunjuk yang netral terhadap kesejahteraan penduduk. 3. Tidak memperhatikan aspek distribusi antarwarga masyarakat maupun kelompok penduduk, kesenjangan antarpenduduk, perusakan sumber daya alam karena akumulasi teknologi serta sumber daya manusia.

Lebih lanjut dikatakan bahwa penyusunan GNP yang lebih merupakan akutansi ekonomi mengandung risiko di mana semua aktivitas penduduk harus dinyatakan dalam uang. Memang hampir semua kegiatan penduduk harus dapat dihitung dengan uang namun muncul pertanyaan apa yang mau dihitung dan apa pula artinya. Misalnya, seorang staf pengajar berangkat ke tempat pekerjaan dengan mobil pribadi yang sangat mahal harganya (meskipun dengan kredit) harus dihitung senilai biaya transport dengan kendaraan umum yang digunakan oleh rekan sejawatnya yang sekiranya justru mampu membeli mobil tersebut. Tidur di rumah sendiri dianggap sebagai pendapatan senilai biaya menginap di

hotel. Problema pokok adalah apakah relevan bahwa total nilai uang cukup relevan untuk mengukur kualitas penduduk?

Beberapa kelemahan GNP dalam mengukur kualitas penduduk tidak dimiliki oleh IMH namun menurut Nasikun (1992: 70) kelirulah apabila IMH tidak mempunyai kelemahan. Meskipun IMH disusun dan dirumuskan untuk mengatasi kelemahan GNP, sejak semula disusun untuk tujuan pengukuran kualitas penduduk yang sangat terbatas. Ada dua hal pokok yang harus dipertimbangkan dalam penggunaan IMH. Pertama, IMH tidak dimaksudkan untuk mengukur total kesejahteraan penduduk, apalagi jika di dalamnya mengandung masalah pengukuran rasa aman, kebebasan, keadilan maupun hak-hak asasi manusia. Kedua, tidak untuk mengukur proses pencapaian tujuan pembangunan. Dengan demikian IMH lebih sesuai sebagai tolok ukur keberhasilan pembangunan di dalam kerangka model pembangunan pemerataan melalui pertumbuhan dan model pembangunan untuk pemenuhan kebutuhan dasar.

Indeks Mutu Hidup disusun berdasarkan tiga variabel, merupakan indeks komposite kualitas hidup fisik yang diturunkan dari tiga variabel yakni: 1. Angka harapan hidup pada usia satu tahun (e1). 2. Angka kematian bayi (IMR) dan 3. Angka melek huruf dewasa (15 tahun +). Ketiga variabel ini diukur mengikuti skala 0 (nol) untuk mewakili penampilan yang terburuk yang pernah dicapai oleh suatu negara pada tahun 1950-an dan nilai 100 untuk mewakili penampilan yang terbaik yang diperkirakan akan dicapai oleh suatu negara pada tahun 2000. Indeks komposite IMH untuk suatu negara ini dihitung sebagai nilai rerata dari ketiga variabel dengan bobot yang sama. Implikasi-implikasi pemakaian skala menggunakan asumsi sebagai berikut (Sjahrir, 1986: 42).

a. Indeks angka kematian bayi (IMR) = 22 per seribu dan indeks = 100 untuk IMR = 7 per seribu. Setiap 2,22 angka perubahan dalam angka IMR hasilnya adalah satu angka perubahan dalam indeks.

b. Indeks angka harapan hidup satu tahun yang berdasarkan indeks = 0 untuk angka harapan hidup = 30 tahun dan indeks = 100 untuk angka harapan hidup = 77 tahun. Setiap 0,39 tahun perubahan angka harapan hidup adalah satu angka perubahan pada indeks.

c. Indeks melek huruf mendasarkan penduduk usia 15 tahun ke atas mulai dari yang semuanya buta huruf sampai yang semuanya melek huruf. Setiap satu persen angka perubahan dalam melek huruf adalah satu angka perubahan dalam indeks.

Indeks IMR dan e1 digunakan untuk mengukur kemampuan bertahan secara fisik sejalan dengan siklus hidup dimulai dari usia bayi. Lingkungan keluarga

diasumsikan memerlukan tahap yang dapat dilewati pada tahun pertama dalam kehidupannya. Setelah lewat usia satu tahun, mereka dapat menyesuaikan dalam kehidupan yang lebih luas di luar faktor ibu. Dengan demikian kedua variabel ini diasumsikan dapat mencerminkan faktor ibu dan faktor di luar ibu yang lebih luas. Kemudian, melek huruf merupakan potensi seseorang untuk bergerak yang lebih luas dalam ilmu dan ketrampilan untuk mencari nafkah maupun keperluan sosial-budaya lainnya. Ketiga variabel ini diasumsikan sebagai pengukur hasil upaya masyarakat/penduduk dan bukan merupakan input dalam proses pembangunan. Indeks Mutu Hidup dapat dihitung dengan cara berikut:

IMH = (e1 =Ipj

e1 – 383,9Eo – 1 + qo ( 1 – ko )1 - qomax ( Xj ) – Xpjmax ( Xj ) – min ( Xj )

+e1 = angka harapan hidup usia satu tahuneo = angka harap

229 - IMR2,29

+ Melek Huruf ) : 3

an hidup usia nol tahun/setelah dilahirkanqo = I

MR = angka kematian bayiko = rata

-rata periode kelangsungan hidup selama tahun pertamaPada waktu sasaran dari

ketiga variabel ini

disusun yakni pada tahun 1976 di negara sedang berkemb

ang rata-

rata I

MR sekitar 136 per seribu, angka harapan hidup usia satu tahun ad

alah 48 tahun dan melek hur

uf dewasa 34 persen. Pada tahun 2000 di mana I

M

H telah mencapai 100 rata-

rata I

MR kurang dari 50 per seribu, angka harapan hid

up satu tahun telah mencapai 65 tahun dan melek hur

uf 75 persen. Perubahan I

M

H menur

ut propinsi dapat dilihat pada lampiran. Pada perkembangan selanjutny

a ketiga variabel yang digunakan untuk menyusun I

MH terus mengalami p

erubahan sejalan dengan semakin meningkatnya derajat kehidupan pendud

uk. Sebagai akibatnya, angka-angka mini

mal dan maksi

mal dari angka hara

pan hidup satu tahun bertambah tinggi, demikian halnya dengan angka mele

k hur

uf, dan di lain pihak semakin menurunnya angka kematian bayi,

meny

ebabkan angka-angka dasar berubah dari

waktu ke waktu. Pada perkemba

ngan berikutnya tidak hanya terbatas pada angka dasar dari variabel yang dig

unakan, tetapi ada upaya untuk menambah jumlah variabel lebih dari tiga. Untu

k Indonesia, Sayogyo (1984) pernah menyusun I

MH dengan menambah sa

tu variabel yakni fertilitas sebagai unsur yang keempat. I

MH dengan empat un

sur ini

di kemudian hari lebih dikenal dengan I

MH Plus. Fertilitas di masukkan se

bagai variabel ke empat ini

dimaksudkan untuk menguji

sampai sejauh mana ren

cana standar keluarga kecil sejahtera yang sudah dicanangkan sejak Pelita I da

pat dicapai.

Dengan proses penyusunan I

MH Plus model Sayogya, fertilitas di

asumsikan sebesar 3 per wanita usia subur

(TFR=3) sebagai angka dasar yang ak

an dicapai pada tahun 2000. Angka I

MH Plus diharapkan mampu menggamb

arkan variasi fertilitas menur

ut propinsi. Distribusi I

MH Plus di Indonesia menur

ut p

ropinsi dapat dilihat pada journal Prisma tahun XIII, No. 10, 1984:9-19.Penyajian

IMH dapat dilakukan dengan tiga pendekatan yaitu model angka tahun das

ar,

model angka nasional dan model angka indeks tanpa ditransformasikan. Pen

dekatan pertama menggunakan angka I

MH pada tahun dasar,

misal tahun 1

971 nilai I

MH untuk DIY = 41 dianggap sama dengan indeks 100. Demikian pul

a untuk propinsi yang lain di mana nilai I

MH pada tahun 1971 dapat lebih tinggi

atau lebih rendah dari 41 (DIY) juga dianggap sama dengan 100. Dengan d

emikian indeks I

MH pada tahun dasar = 100. Kemudian, untuk tahun setelah tahun

1971 yakni 1980, 1985, 1990 dan 1995 angka I

MH hasil perhitungan ditran

sformasikan dengan nilai

indeks 100 tersebut. Pendekatan kedua mendasark

an angka I

MH nasional dalam hal ini

Indonesia untuk tahun 1971 misalnya dian

ggap sama dengan indeks 100. Kemudian untuk setelah tahun 1971 yakni 198

0=100; 1985= 100; 1990=100 dan 1995=100. Nilai I

MH regional akan berg

erak antara kurang dari 100, tepat 100 dan lebih dari 100. Pendekatan ketiga y

akni angka I

MH disajikan seperti hasil perhitungan tanpa harus ditransformasika

n ke indeks 100, baik indeks propinsi maupun indeks Indonesia.

Dari ketiga pend

ekatan penyajian angka I

MH ini sudah barang tentu mempunyai keuntung

an dan kerugian, tergantung tujuan perhitungan I

MH itu sendiri.Indeks Pemba

ngunan ManusiaIndeks Mutu Hidup yang diperkenalkan akhir dasawarsa 70-a

n dimaksudkan untuk mengukur kualitas penduduk dalam lingkup sejauh m

ana hasil pembangunan telah mampu memenuhi kebutuhan dasar pendudu

k dari

segi peningkatan kualitas fisik kehidupan yang tercermin dari ketiga varia

bel. Pada awal tahun 1990 suatu team dari UNDP mengembangkan tolok uk

ur baru sebagai upaya untuk memperbaiki I

MH dan diharapkan sebagai model

pendekatan pengukuran kualitas penduduk. Tolok ukur ini

disebut Indeks P

embangunan Manusia (IPM) atau lebih dikenal dengan Human Developme

nt Index (HDI). Indeks ini berusaha untuk mengetahui sampai sejauh mana pertumb

uhan dan pemerataan hasil pembangunan telah mampu secara nyata memberik

an output seperti peningkatan kebutuhan fisik dasar manusia dan perluasan ke

mampuan manusia untuk melakukan pilihan-pilihan yang lebih baik. Pilihan-

pilihan hidup lebih baik ini tercermin pada usia harapan hidup yang semakin ber

tambah panjang, lebih berpendidikan dan mampu memenuhi kebutuhan hidu

p yang paling dasar (basic needs). Ketiga variabel yang dipilih untuk menyusun IP

M adalah usia harapan hidup, pendidikan dan pendapatan per kapita yang di

sesuaikan dengan kemampuan daya beli

masyarakat setempat. Ketiga variab

el ini

digabung menjadi satu indeks dengan memberikan bobot nilai yang sama.D

alam perhitungan IPM digunakan formula yang telah dipakai oleh UNDP pada ta

hun 1990 melalui tiga tahap. Pertama, menentukan suatu ukuran deprivasi dar

i tiga variabel dasar yaitu angka harapan hidup (X1),

melek hur

uf (X2) dan pe

ndapatan per kapita yang telah disesuaikan (X3).

Nilai mini

mum dan maksi

mu

m ditentukan untuk setiap variabel. Seberapa jauh suatu ukuran propinsi dari

ni

lai

maksi

mum dapat digunakan untuk mengetahui keterbelakangan suatu d

aerah. Untuk mengukur keterbelakangan suatu daerah secara relatif dapat dihitung

dengan cara:

p

= Propinsi 1, 2, 3, 4, dst-nyaj

= indikator 1, 2, dan 3Xpj

= nila

i indikator j untuk propinsi ke pmak (Xj)

= nilai maksimum indikator j yang pern

∑=

=3

13

1

jpjp II

ah dicapaimin (Xj)

= nilai minimum indikator j yang pernah dicapaiKedua, men

entukan rata-

rata deprivasi dari ketiga ukuran deprivasi dari ketiga variabel y

aitu:

Ketiga, mengukur besarnya indeks pembangunan manusia dengan

cara: IPM = 1 - Ip

Hasil perhitungan IPM berkisar antara 0 sampai 1, dan ole

h UNDP dikelompokkan menjadi tiga golongan yakni: 1. Indeks

Pembangunan Manusia yang tinggi di mana nilainya 0,8 dan le

bih. 2. Indeks Pembangunan Manusia cukup/sedang nilainya a

ntara 0,500 - 0,89 dan 3. Indeks Pembangunan Manusia rendah

nilainya kurang dari 0,5. Perkembangan nilai IPM Indonesia sejak ta

hun 1990 - 1995 dapat dilihat pada laporan Human Developm

ent Report, publikasi dari United Nation Development Programme

(UNDP) terbit setiap tahun. Dalam perkembangan selanjutnya IPM d

apat dihitung dengan menggunakan lebih dari tiga variabel. L

aporan UNDP 1994 dalam menghitung IPM menggunakan lima

variabel yakni angka harapan hidup, melek huruf dewasa, rata-ra

ta tahun sekolah, pendidikan tertinggi yang ditamatkan dan pend

apatan riil per kapita yang disesuaikan. Tiga variabel pendidikan

dibuat menjadi satu indeks. Dalam laporan tersebut disajikan pula IPM

yang disusun dengan menggunakan delapan variabel yaitu

angka harapan hidup, melek huruf dewasa, rata-rata tahun sekola

h, indeks melek huruf, indeks sekolah/ pendidikan, pendidikan te

rtinggi yang ditamatkan, pendapatan riil per kapita dan pendap

atan riil per kapita yang disesuaikan, urutan IPM dan urutan pen

dapatan.

Indeks komposite yang disusun dari ketiga variabel

atau lebih diharapkan mampu menggambarkan tiga aspek kehi

dupan manusia yang penting yaitu dapat hidup lebih lama, deng

an pengetahuan yang cukup memadai untuk hidup layak. Pa

da awal mulanya IPM yang dimulai dengan ukuran deprivasi unt

uk angka harapan hidup tertinggi yang dicapai oleh Jepang. Kem

udian target melek huruf adalah 100 persen, sedangkan target pen

dapatan adalah logaritma batas kemiskinan rata-rata dari negara

maju yang dinyatakan dalam kemampuan daya beli masyarak

at. Pendapatan riil perkapita yang telah disesuaikan terhadap k

emampuan daya beli harus dapat mencerminkan kenaikan h

asil yang semakin berkurang dalam mentransformasikan pendapat

an menjadi kemampuan manusia. Ini berarti seseorang tidak mem

erlukan sumber keuangan yang berlebihan untuk dapat meme

nuhi kehidupan yang layak. Dengan menggunakan logaritm

a pendapatan per kapita yang disesuaikan ini diharapkan dap

at mencerminkan keadaan yang lebih baik terhadap kemampua

n relatif untuk membeli komoditas dan memiliki sumber daya yan

g diperlukan untuk hidup.

Kualitas Penduduk NonFisik

Indik

ator kualitas penduduk nonfisik sangat berbeda dengan kualitas

fisik, dan sebagian besar lebih banyak merupakan ukuran yang

tidak langsung seperti ukuran gejala untuk memperkirakan keada

an yang sesungguhnya. Ascobat Gani (1984) menyebutkan ba

hwa kualitas nonfisik dapat dibedakan menjadi tiga sesuai deng

an kepribadian penduduk yakni unsur kecerdasan, unsur ra

sa dan unsur budi. Unsur-unsur kecerdasan adalah kemamp

uan memahami, menganalisa secara kritis/cermat serta menghasil

kan gagasan-gagasan baru. Dilihat menurut sifatnya, kecerdasan d

apat dibedakan menjadi tiga yakni kecerdasan sosial yakni kema

mpuan untuk berhubungan secara harmonis dengan orang lain;

kecerdasan konseptual yakni kemampuan memecahkan masalah

yang bersifat abstrak dan kecerdasan mekanik yaitu kemampua

n mendayagunakan benda-benda. Pengukuran kecerdasan

dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Pengukura

n langsung misalnya dengan melakukan psikotest yang lebih di

kenal dengan IQ (intelegent quotient). Pengukuran tidak lan

gsung dapat dilakukan dengan prestasi akademis mulai dari pel

ajar dan mahasiswa. Ada pula pengukuran kecerdasan yang bersi

fat makro seperti memperhatikan pendidikan tertinggi yang ditamat

kan, perbedaan buta huruf antara penduduk laki-laki dan pere

mpuan.

Selanjutnya Ascobat Gani (1984) menyebutkan unsur

rasa merupakan kualitas emosi yang merupakan unsur dua ara

h yakni yang positif seperti bahagia, senang, rasa aman, puas, samp

ai yang negatif seperti takut, gelisah, benci, khawatir dan marah. O

leh karena pengukuran unsur rasa/emosional ini cukup rumit

dan kompleks, maka dilakukan pengukuran secara tidak langsu

ng dengan melihat kejadian neurosis atau psikosis, meliputi gang

guan berupa cemas, histeris dan sejenisnya. Penelitian Departeme

nt Kesehatan tahun 1980 menyebutkn angka neurosis antara 2

0-60 per 1000 penduduk dan angka psikosis antara 1-3 per 100

0 penduduk. Kemudian unsur budi, merupakan kualitas nonf

isik penduduk yang membatasi tingkah laku seseorang untuk se

nantiasa mematuhi norma.moral yang berlaku. Dalam hal ini budi aka

n mencegah seseorang untuk bersifat destruktif baik terhadap ling

kungan sosial maupun dirinya sendiri. Kualitas budi dapat secara tid

ak langsung dilihat dari angka kriminalitas sebagai aspek negatif

dan perbuatan kebijakan seperti beribadat misalnya sebagai aspe

k positif.

Penentuan indikator kualitas penduduk merupakan p

ekerjaan yang rumit dan sulit karena kualitas penduduk tida

k dapat dipisah-pisahkan, baik itu yang bersifat fisik maupun nonf

isik. Akan bertambah sulit lagi terutama dalam mengukur kualit

as non fisik karena kadangkala terpaksa menggunakan uku

ran gejala untuk memperkirakan keadaan yang sesungguhnya.

Sejalan dengan ini maka indikator kualitas nonfisik merupakan u

kuran yang tidak langsung. Berbeda halnya dengan kualitas fi

sik yang ukuran operasionalnya dapat mendekati pengertian

konsepsionalnya, akan tetapi pengembangannya menjadi lam

bat dan banyak menimbulkan masalah selama sistem informasi ke

pendudukan belum dapat menggantikan dominasi model estim

asi tidak langsung (indirect methods). Ketergantungan pada data

sensus dan survai dituntut oleh jumlah sampel yang cukup besar, a

gar analisis kualitas penduduk menurut sub-regional (Dati II) d

apat ditampilkan. Pada sisi lain, semakin besar jumlah sampel semakin b

esar pula jumlah biaya yang diperlukan. Dalam kerangka seperti ini

pelaksanaan sistem informasi kependudukan seperti registrasi p

enduduk, sistem informasi kependudukan dan keluarga menj

adi mutlak segera dibenahi untuk mengumpulkan data secara cepat,

akurat dan murah biayanya.

Pengukuran kualitas pendudu

k dapat dilihat dari aspek demografi, dan nondemografi atau ga

bungan antara kedua aspek tersebut. Sampai saat ini kecuali IM

H dan IPM masih melakukan secara terpisah-pisah dalam mengukur k

ualitas penduduk, baik itu aspek demografi maupun nondemo

grafi. Artinya belum ditemukan suatu indikator komposite obyektif

yang merupakan gabungan dari beberapa variabel, disusu

n dalam satu indeks kecuali IMH dan IPM dengan berbagai keterbat

asan-keterbatasannya. Memilih variabel yang akan digunakan u

ntuk mengukur kualitas penduduk bukan pekerjaan yang m

udah, apalagi di dalam menentukan variabel tersebut harus meme

nuhi beberapa kriteria seperti yang disebutkan oleh Morris. Bagaim

ana caranya untuk memilih variabel yang jumlahnya tidak terlalu

banyak, mempunyai daya ungkit yang cukup besar, sudah

ada ukuran standarnya merupakan agenda diskusi yang cuk

up menarik dalam penyusunan indikator.

Evaluasi

1.Sebu

tka

n 3 indikator kualitas penduduk dan jelaskan?

2.Jelas

k

an pentingnya kualitas sumber daya manusia dalam p

embangunan?

3.Asp

ek ketenagakerjaan apa saja yang

penting untuk diperhatikan dalam era globalisasi?

4.Apa

yang dimaksud dengan Human Capital Theory ?

5.Ada

ti

ga dimensi dalam Human Development, sebutkan dan

jelaskan ?

top related