tugas kk dk6 fcp
Post on 18-Feb-2016
54 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
TUGAS KERJA KLINIK
PEMERIKSAAN NERVUS KRANIALIS
PEMERIKSAAN REFLEKS FISIOLOGIS
DAN REFLEKS PATOLOGIS
MODUL FOUNDATION CLINICAL PRACTICE
DISUSUN OLEH :
Kelompok Diskusi 6
Ratih H. Puspasari I11110006 Magdalena Corry M.C. I11111026Reci Maulita I11110032 Aulia Candra I11111034 Tata Rimba Parmanto I11110035 Imam Tadjudin Alifurqo I11111045Jailanto I11110062 M. Lutfhi Taufik I11111049Prisa Dwicahmi I11111010 Ni'matul Muthmainnah I11111054Michael Raja P.S. I11111016 Iqnasia Windy Novitasari I11111059
Siti Ratnawati I11111070
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2014
1
PEMERIKSAAN NERVUS KRANIALIS
Kedua belas pasang serabut saraf khusus yang dinamakan nervus kranialis
muncul dari dalam tengkorak atau kranium.1 Nervus kranialis biasanya dinyatakan
dengan angka Romawi, I-XII.2 Nervus kranialis II hingga XII muncul dari
diensefalon dan batang otak seperti diilustrasikan di bawah ini. (Nervus kranialis I
dan II sebenarnya merupakan jaras serabut saraf yang muncul dari dalam otak.)
Sebagian nervus kranialis terbatas pada fungsi motorik atau sensorik secara
umum, sementara sebagian lain memiliki fungsi khusus untuk indra penciuman,
penglihatan, atau pendengaran (I, II, VIII).1
Gambar 1. Permukaan Inferior Otak
Memeriksa nervus kranialis (I-XII) dapat membantu kita menentukan
lokasi dan jenis penyakit. Tiap saraf otak harus diperiksa dengan teliti. Oleh
karena itu perlu dipahami anatomi dan fungsinya, serta hubungannya dengan
struktur lainnya.2
2
Fungsi nervus kranialis (NK) yang paling relevan dengan pemeriksaan
fisik tercantum dalam tabel berikut ini.1
Nervus Kranialis Fungsi
I Olfaktorius Indra pembau/penghidu
II Optikus Penglihatan
III Okulomotorius Konstriksi pupil, gerakan membuka mata, dan
sebagian besar gerakan ekstraokular.
IV Troklearis Gerakan mata ke arah inferomedial
VI Abdusens Deviasi bola mata ke lateral
V Trigeminus Motorik m.temporalis dan maseter
(mengatupkan rahang); juga gerakan rahang
ke lateral.
Sensorik fasial. Saraf ini memiliki tiga
cabang: (1) oftalmika, (2) maksilaris, dan (3)
mandibularis
VII Fasialis Motorik gerakan wajah yang meliputi
ekspresi wajah, gerakan menutup mata, dan
mengatupkan mulut.
Sensorik indra pengecap untuk rasa asin,
manis, asam, dan pahit pada dua per tiga
anterior lidah.
VIII Akustikus Pendengaran (cabang koklear) dan
keseimbangan (cabang vestibularis)
IX Glosofaringeus Motorik Faring
Sensorik bagian posterior membran
timpani dan kanalis auditorius, faring, dan
bagian posterior lidah yang meliputi indra
pengecap (asin, manis, asam, pahit)
X Vagus Motorik Palatum, faring, dan laring
Sensorik faring dan laring
XI Asesorius Motorik m. sternomatoideus dan m.
trapezius bagian atas.
XII Hipoglosus Motorik Lidah
3
Pemeriksaan nervus kranialis dapat dirangkum sebagai berikut.1
Nervus Pemeriksaan
I Penciuman
II Ketajaman Visus, lapang pandang, dan
fundus okuli
II, III Reaksi Pupil
III, IV, VI Gerakan Ekstraokular
V Refleks kornea, sensasi wajah, dan gerakan
rahang
VII Gerakan Wajah
VIII Pendengaran
IX,X Gerakan menelan dan elevasi palatum,
reflex muntah
V,VII,X, XII Suara dan Bicara
XI Gerakan bahu dan leher
XII Kesimetrisan dan posisi lidah
I. Nervus Olfaktorius (N I)
a. Pendahuluan
Saraf ini tidak diperiksa secara rutin tetapi harus dikerjakan jika terdapat
riwayat tentang hilangnya rasa pengecapan dan penciuman, kalau penderita
mengalami cedera kepala sedang atau berat dan atau dicurigai adanya penyakit-
penyakit yang mengenai bagian basal lobus frontalis. Syarat-syarat pemeriksaan
nervus olfaktorius antara lain: (1) jalan nafas harus bebas dari penyakit, (2) bahan
yang dipakai harus dikenal oleh penderita, dan (3) tidak boleh menggunakan
bahan irritating. Bahan yang cepat menguap tidak boleh digunakan dalam
pemeriksaan ini sebab bahan tersebut merangsang nervus trigeminus (N V) dan
alat-alat pencernaan.3
Tujuan pemeriksaan nervus I adalah:2
1) Untuk mendeteksi adanya gangguan menghidu.
2) Untuk mengetahui apakah apakah gangguan tersebut disebabkan oleh
gangguan saraf atau penyakit hidung lokal.
4
b. Alat dan Bahan
1) Penutup mata
2) Bahan-bahan beraroma misalnya kulit jeruk, kopi, tembakau
c. Cara Kerja
Lakukan tes sensasi bau dengan meminta pasien untuk mencium bau yang
tidak menyengat dan akrab baginya. Pertama, pastikan bahwa setiap saluran
hidung (kanalis nasi) tidak tersumbat dengan cara menekan salah satu sisi hidung
dan minta pasien mengembuskan napasnya keluar melalui saluran hidung yang
lain.1 Adanya sumbatan atau kelainan setempat pada lubang hidung, misalnya
ingus atau polip, dapat mengurangi tajam penciuman.2 Kemudian, pasien harus
menutup kedua matanya. Tutup salah satu lubang hidung dan lakukan tes dengan
memintanya membaui bahan-bahan, seperti cengkih, kopi, sabun, atau vanili.
Tanyakan apakah pasien mencium bau sesuatu dan jika ya, bau apa. Lakukan tes
pada sisi lainnya. Setiap orang yang normal harus mampu mempersepsikan bau
pada setiap sisi hidung dan sering dapat mengenalinya. Indikasi dilakukan tes ini
pada keadaan yang meliputi penyakit nasal, trauma kepala, kebiasaan merokok,
pertambahan usia, dan penggunaan kokain.1
Gambar 2. Pemeriksaan N. Olfaktorius
5
d. Interpretasi Hasil Pemeriksaan4
1. Terciumnya bau-bauan secara tepat menandakan fungsi nervus
olfaktorius kedua sisi adalah baik.
2. Hilangnya kemampuan mengenali bau-bauan (anosmia) yang
bersifat unilateral tanpa ditemukan adanya kelainan rongga hidung
merupakan salah satu tanda yang mendukung adanya neoplasma
pada lobus frontalis cerebrum.
3. Anosmia yang bersifat bilateral tanpa ditemukan adanya kelainan
rongga hidung merupakan salah satu tanda yang mendukung adanya
meningioma pada cekungan olfaktorius pada cerebrum. Hal ini dapat
terjadi akibat trauma ataupun meningitis. Pada orang tua dapat
terjadi penurunan daya penciuman yang disebut hiposmia. Bentuk
gangguan lainnya dapat berupa kesalahan dalam mengenali bau yang
dicium yang disebut parosmia.
4. Kelainan lainnya dapat terjadi peningkatan kepekaan penciuman
yang disebut hiperosmia yang terjadi akibat trauma kapitis atau
konversi psikiatrik. Sensasi bau yang muncul tanpa adanya sumber
bau disebut halusinasi olfaktorik yang dapat muncul sebagai aura
pada epilepsi maupun pada kondisi psikosis.
5. Untuk membedakan hambatan pembauan karena penyebab psikis
dengan organik, pemeriksaan tidak hanya memakai zat yang
merangsang N I, tapi juga yang merangsang N V (seperti amoniak).
Meskipun N I tidak dapat membau karena rusak, tetapi N V tetap
dapat menerima rangsangan amoniak. Bila dengan amoniak tetap
tidak membau apa-apa maka kemungkinan kelainan psikis.
6
e. Rangkuman (Check List)
NO
.Aspek yang dinilai
1 Salam dan memperkenalkan diri serta menjelaskan tujuan
pemeriksaan
2 Periksa lubang hidung, apakah ada sumbatan atau kelainan
setempat, misalnya ingus atau polip
3 Minta penderita untuk menutup matanya, dan mencium bau dari
zat pengetes
4 Diperiksa satu persatu/dibandingkan dengan jalan menutup lubang
hidung yang lainnya
5 Melaporkan hasil pemeriksaan
Jumlah (maksimal skor 10)
II. Nervus Optikus (N II)
a. Pendahuluan
Keluhan yang ada hubungannya dengan gangguan nervus II ialah ketajaman
penglihatan berkurang, lapangan pandangan berkurang, ada bercak di dalam
lapangan pandang yang tidak dapat dilihat (skotoma), dan fotofobia.2
Fungsi nervus optikus dapat diperiksa dengan beberapa teknik pemeriksaan
namun pada umumnya pemeriksaan nervus optikus yang digunakan untuk
mendeteksi kelainan neurologis antara lain pemeriksaan visus, pemeriksaan
lapang pandang penglihatan dan funduskopi. Sedangkan pemeriksaan refleks
pupil merupakan gabungan pemerikssan nervus optikus (N II) dan pemeriksaan
nervus okulomotorius (N III). Saraf aferen pupil berasal dari N II sedangkan saraf
eferen pupil berasal dari N III.3
Tujuan pemeriksaan nervus II adalah:2
1. Mengukur ketajaman penglihatan (visus) dan menentukkan apakah ada
kelainan pada visus disebabkan oleh kelainan okuler lokal atau oleh kelainan
saraf.
2. Mempelajari lapangan pandang.
7
3. Memeriksa keadaan papil optik.
b. Alat dan Bahan
1. Buku/koran
2. Kartu Snellen
3. Kampimeter
4. Perimeter
5. Oftalmoskop
c. Cara Kerja
1. Pemeriksaan Tajam Penglihatan (Visus)
Secara kasar ketajaman penglihatan diperiksa dengan jalan
membandingkan ketajaman penglihatan pasien dengan pemeriksa.
(Dalam hal ini, ketajaman penglihatan pemeriksa tentulah harus
normal. Kalau tidak, pemeriksa telah mengoreksinya, misalnya
dengan kacamata). Pasien disuruh mengenali benda yang letaknya
jauh (misalnya jam dinding, dan diminta menyatakan pukul berapa)
dan membaca huruf-huruf yang ada di buku atau koran. Bila
ketajaman mata pasien sama dengan pemeriksa, maka hal ini
dianggap normal.2
Pemeriksaan ketajaman penglihatan secara lebih teliti dapat
dilakukan dengan kartu Snellen. Gambar Snellen ialah huruf-huruf
atau gambar-gambar yang disusun makin ke bawah makin kecil;
barisan paling bawah mempunyai huruf yang paling kecil yang oleh
mata normal dapat dibaca dari jarak 6 meter. Penderita disuruh
membaca gambar Snellen ini dari jarak 6 meter, kemudian
ditentukan sampai barisan mana dapat dibacanya. Bila ia dapat
membaca sampai barisan paling bawah, maka ketajaman
penglihatannya ialah normal (6/6). Jika tidak, maka visusnya tidak
normal, dan hal ini dinyatakan dengan menggunakan pecahan,
misalnya 6/20. Ini berarti bahwa huruf yang seharusnya dapat dibaca
dari jarak 20 meter ia hanya dapat membacanya dari jarak 6 meter.2
8
Langkah-langkah dalam pemeriksaan visus adalah sebagai
berikut:5
a) Tempatkan pasien pada jarak 20 feet (sekitar 6 meter) dari kartu
tersebut.
b) Pasien yang menggunakan kacamata selain jenis kacamata baca
harus mengenakan kacamatanya.
c) Minta kepada pasien untuk menutup salah satu matanya dengan
sebuah kartu (agar pasien tidak mengintip lewat celah di antara
jari-jari tangannya), dan mencoba sedapat mungkin membaca baris
huruf yang paling kecil dengan menggunakan mata yang lain.
d) Tentukan baris huruf terkecil yang lebih dari separuh huruf
tersebut dapat dilihat dengan jelas oleh pasien.
e) Seorang pasien yang tidak dapat membaca huruf-huruf yang
terbesar harus menggeser tubuhnya mendekati kartu Snellen;
perhatikan jarak antara pasien dan kartu Snellen.
f) Bila dalam jarak satu meter pasien masih tidak dapat membaca
huruf terbesar snellen maka pemeriksaan menggunakan jari-jari
tangan dimana secara normal dapat dilihat pada jarak 60 m.
g) Bila dalam jarak satu meter jari-jari tangan masih tidak dapat
terlihat maka pemeriksaan menggunakan gerakan tangan dimana
secara normal dapat dilihat dalam jarak 300 m.
h) Bila dalam jarak satu meter masih tidak dapat terlihat maka
pemeriksaan menggunakan cahaya dimana secara normal dapat
dilihat dalam jarak tak terhingga.
i) Bila dalam jarak satu meter masih tidak dapat terlihat cahaya maka
visus pasien 0
j) Catat ketajaman visus seperti yang tercantum di samping baris
huruf ini beserta ukuran lensanya jika ada. Ketajaman visus
dinyatakan dengan dua angka, misalnya 20/30 bila jaraknya diukur
dalarn feet atau 6/6 jika jaraknya diukur dalam satuan meter.
9
2. Pemeriksaan Lapangan Pandang
Secara kasar pemeriksaan lapangan pandang dilakukan dengan
kalan membandingkan dengan lapangan pandang pemeriksa (yang
dianggap normal), yaitu dengan metode konfrontasi dari Donder.2
Pemeriksaan lapangan pandang/tes konfrontasi:5
a. Jarak antara pemeriksa-pasien sekitar 60-100 cm dan objek yang
dgunakan (2 jari pemeriksa/ ujung pulpen) harus berada tepat di
tengah-tegah jarak tersebut.
b. Pasien diminta untuk menutup satu mata, kemudian menatap hidung
pemeriksa.
c. Mata pemeriksa juga ditutup pada sisi yang lain, agar sesuai dengan
lapang pandang pasien.
d. Letakkan jari tangan pemeriksa atau benda kecil pada lapang
pandang pasien dari 8 arah.
e. Pasien diminta untuk menyatakan bila melihat benda tersebut.
Bandingkan lapang pandang pasien dengan lapang pandang
pemeriksa.
f. Syarat pemeriksaan tentunya lapang pandang pemeriksa harus
normal.
Gambar 3. Tes Konfrontasi
10
3. Pemeriksaan Refleks Pupil
Dapat dilihat pada pemeriksaan Nervus III
4. Pemeriksaan Funduskopi2
a) Putar lensa ke arah O dioptri
b) Fokuskan cahaya diarahkan ke arah fundus.
c) Bila retina sudah terfokus carilah terlebih dahulu diskus
optikus. Caranya adalah dengan mengikuti perjalanan
vena retinalis yang besar ke arah diskus.
d) Dengan oftalmoskop nilai papilla, warna, pembuluh
darah dan keadaan retina.
d. Interpretasi Hasil Pemeriksaan
1. Pemeriksaan Visus2
a) Normal bila visus nilainya 6/6 tanpa atau dengan koreksi.
b) Visus dinilai dengan rumus:
jarak penderitadg snellenjarak dimana orgnormal dpt melihat tulisandlm snellen
c) Jika hanya dapat menghitung jari-jari tangan dari jarak 5 meter,
maka visusunya adalah 5/60.
d) Jika hanya dapat melihat gerakan tangan dari jarak 2 m
visus: 2/300.
e) Jika hanya dapat melihat cahaya dari jarak 1 meter visus 1/~
f) Jika cahaya tidak dapat dilihat→ visus: nol (no light
perseption)
2. Pemeriksaan Lapang Pandang/ Tes Konfrontasi6
a) Normal bila lapang pandang sama dengan pemeriksa.
b) Jika terdapat lesi di sepanjang lintasan nervus optikus (N. II)
hingga korteks sensorik, akan menunjukkan gejala gangguan
penglihatan yaitu pada lapang pandang atau medan
penglihatan. Lesi pada nervus optikus akan mengakibatkan
kebutaan atau anopsia pada mata yang disarafinya. Hal ini
11
disebabkan karena penyumbatan arteri centralis retina yang
mendarahi retina tanpa kolateral, ataupun arteri karotis interna
yang akan bercabang menjadi arteri oftalmika yang kemudian
menjadi arteri centralis retina. Kebutaan tersebut terjadi tiba-
tiba dan disebut amaurosis fugax.
c) Lesi pada bagian medial kiasma akan menghilangkan medan
penglihatan temporal yang disebut hemianopsia bitemporal,
sedangkan lesi pada kedua bagian lateralnya akan
menimbulkan hemianopsia binasal. Lesi pada traktus optikus
akan menyebabkan hemianopsia homonim kontralateral. Lesi
pada radiasio optika bagian medial akan menyebabkan
quadroanopsia inferior homonim kontralateral, sedangkan lesi
pada serabut lateralnya akan menyebabkan quadroanopsia
superior homonim kontralateral.
Gambar 4. Gangguan Lapang Pandang Berdasarkan Letak Lesi
12
3. Pemeriksaan Refleks Pupil
Dapat dilihat pada bagian pemeriksaan Nervus III
4. Pemeriksaan Funduskopi2
a) Papil normal berbentuk lonjong, warna jingga muda, di
bagian temporal sedikit pucat, batas dengan sekitarnya
tegas, hanya di bagian nasal agak kabur. Selain itu juga
terdapat lekukan fisiologis. Pembuluh darah muncul di
bagian tengah, bercabang keatas. Jalannya arteri agak
lurus, sedangkan vena berkelok-kelok. Perbandingan
besar vena : arteri adalah 5:4 sampai 3:2.
b) Pada papil yang mengalami atrofi, warna papil menjadi
pucat, batasnya tegas dan pembuluh darah berkurang.
Pada atrofi sekunder warna papil juga pucat tetapi
batasnya tidak tegas. Lamina cribrosa terlihat pada atrofi
primer. Atrofi primer dijumpai pada kasus lesi nervus
optikus atau kiasma optikum (misalnya pada tumor
hipofise atau arachnoiditis opto-kiasmatis). Atrofi
sekunder merupakan akibat lanjut dari papiledema,
misalnya pada pasien yang menderita tekanan tinggi
intrakranial yang lama.7
c) Papiledema dapat disebabkan oleh radang aktif ataupun
bendungan. Bila oleh radang aktif hal ini disebut papilitis
atau neuritis optik yang biasanya disertai perburukan
visus yang hebat. Bila di bagian distal N.II yang
13
mengalami inflamasi, sedangkan papilnya normal, hal ini
disebut neuritis retrobulbar.7
e. Rangkuman (Check List)
No. Jenis Kegiatan
1. Menerangkan cara dan tujuan pemeriksaan
2. Pemeriksaan Kasar
Ketajaman Penglihatan
- Membandingkan ketajaman penglihatan pasien dengan pemeriksa
(ketajaman penglihatan pemeriksa harus normal).
- Pasien disuruh mengenali benda yang letaknya jauh misalnya jam di
dinding dan minta pasien menyatakan pukul berapa.
- Membaca huruf-huruf yang terdapat di buku atau Koran.
- Bila ketajaman mata pasien sama dengan pemeriksa maka hal ini
dianggap normal.
Lapangan pandang
- Lapangan pandang pasien dibandingkan dengan lapangan pandang
pemeriksa yaitu dengan metode konfrontasi dari Donder.
- Pasien disuruh duduk atau berdiri berhadapan dengan pemeriksa
dengan jarak kira-kira 1 meter.
- Jika hendak memeriksa mata kanan, mata kiri pasien harus ditutup
misalnya dengan tangan penderita atau kertas, sedangkan pemeriksa
harus menutup mata kanannya.
- Pasien disuruh melihat terus (memfiksasi matanya) pada mata kanan
pemeriksa dan pemeriksa harus selalu melihat ke mata kanan pasien.
14
- Kemudian pemeriksa menggerakkan jari tangannya di bidang
pertengahan antara pemeriksa dengan pasien.
- Minta pasien untuk memberi tahu apabila ia melihat jari pemeriksa
lalu bandingkan dengan mata pemeriksa.
Jika ada gangguan, pemeriksalah yang terlebih dahulu melihat gerakan tersebut.
3. Pemeriksaan yang Teliti
Ketajaman penglihatan (menggunakan gambar Snellen)
Lapangan pandang (Kampimeter dan Perimeter)
Kampimeter:
- Papan hitam diletakkan di dapan penderita pada jarak 1 atau 2 meter
dan sebagai benda penguji (test object) digunakan bundaran kecil
berdiameter 1-3 meter.
- Mata pasien difiksasi di tengah dan benda penguji digerakkan dari
perifer ke tengah dari segala jurusan
- Dicatat tempat pasien mulai melihat benda tersebut
Perimeter: setengah lingkaran yang dapat diubah-ubah letaknya pada
bidang meridiannya. Cara pemakaian dan pelaporannya serupa dengan
kampimeter.
Pemeriksaan oftalmoskopik (untuk memeriksa papil optic)
4. Melaporkan hasil pemeriksaan
III. Pemeriksaan Nervus Occulomotorius, Nervus Troclearis, Nervus
Abdusens (N. III, N. IV, N. VI)
a. Pendahuluan
Ketiga saraf ini diperiksa bersama-sama, karena kesatuan fungsinya,
yaitu mengurus otot-otot ekstrinsik dan instrinsik bola mata.2 Pemeriksaan
N III meliputi pemeriksaan kelopak mata. Carilah gejala ptosis (jatuhnya
kelopak mata atas). Perbedaan yang kecil pada lebar fisura palpebra dapat
ditemukan pada sekitar sepertiga dari seluruh orang normal. Pemeriksaan
refleks cahaya pupil langsung dan refleks cahaya pupil tidak langsung
serta refleks akomodasi juga berfungsi menilai fungsi N III.
Tujuan dari pemeriksaan ketiga nervus ini adalah:2
15
1. Untuk memeriksa konstriksi pupil, gerakan membuka mata, dan
sebagian besar gerakan ekstraokular.
2. Untuk memeriksa gerakan mata ke arah infero-medial.
3. Untuk memeriksa deviasi bola mata ke lateral.
b. Alat dan Bahan
1) Pen Torch untuk menilai refleks pupil
c. Cara Kerja
1. Pemeriksaan Kelopak Mata4
a) Meminta penderita untuk membuka kedua mata dan menatap
kedepan selama satu menit.
b) Meminta penderita untuk melirik ke atas selama satu menit.
c) Meminta penderita untuk melirik ke bawah selama satu menit.
d) Pemeriksa melakukan pengamatan terhadap celah mata dan
membandingkan lebar celah mata (fisura palpebralis) kanan dan
kiri.
e) Mengidentifikasi ada tidaknya ptosis, yaitu kelopak mata yang
menutup.
Gambar 5. Pemeriksaan N. Okulomotorius
16
2. Pemeriksaan Pupil4
a) Melihat diameter pupil penderita (normal 3 mm).
b) Membandingkan diameter pupil mata kanan dan kiri (isokor
atau anisokor).
c) Melihat bentuk bulatan pupil teratur atau tidak.
d) Memeriksa refleks pupil terhadap cahaya direk dengan cara
menyorotkan cahaya ke arah pupil lalu mengamati ada
tidaknya miosis dan mengamati apakah pelebaran pupil
segera terjadi ketika cahaya dialihkan dari pupil.
e) Memeriksa refleks pupil terhadap cahaya indirek dengan cara
mengamati perubahan diameter pupil pada mata yang tidak
disorot cahaya ketika mata yang satunya mendapatkan
sorotan cahaya langsung.
Gambar 6. Pemeriksaan Refleks Pupil
3. Memeriksa refleks akomodasi pupil dengan cara4
a) Meminta penderita melihat jari telunjuk pemeriksa pada
jarak yang agak jauh.
b) Meminta penderita untuk terus melihat jari telunjuk
pemeriksa yang digerakkan mendekati hidung penderita.
17
c) Mengamati gerakan bola mata dan perubahan diameter
pupil penderita (pada keadaan normal kedua mata akan
bergerak ke medial dan pupil menyempit).
4. Gerakan bola mata (bersama-sama dengan N. IV dan VI)
a) Memberitahukan penderita bahwa akan dilakukan
pemeriksaan terhadap gerakan bola matanya.
b) Memeriksa ada tidaknya gerakan bola mata di luar
kemauan penderita (nistagmus).
c) Meminta penderita untuk mengikuti gerakan tangan
pemeriksa yang digerakkan ke segala jurusan.
d) Mengamati ada tidaknya hambatan pada pergerakan
matanya (hambatan dapat terjadi pada salah satu atau
kedua mata).
e) Meminta penderita untuk menggerakkan sendiri bola
matanya.
Gambar 7. Pemeriksaan Gerakan Bola Mata
d. Interpretasi Hasil Pemeriksaan
1. Pemeriksaan Kelopak Mata5
Pada keadaan normal bila seseorang melihat kedepan, maka batas
kelopak mata atas akan memotong iris pada titik yang sama secara
bilateral. Bila salah satu kelopak mata atas memotong iris lebih rendah
daripada mata yang lain, atau bila pasien mendongakkan kepala ke
belakang/ ke atas (untuk kompensasi) secara kronik atau mengangkat alis
mata secara kronik dapat dicurigai sebagai ptosis.
18
Gambar 8. Ptosis
Penyebab Ptosis adalah:
1) False Ptosis: enophtalmos (pthisis bulbi), pembengkakan kelopak mata
(chalazion).
2) Disfungsi simpatis (sindroma horner).
3) Kelumpuhan N. III
4) Pseudo-ptosis (Bell’s palsy, blepharospasm)
5) Miopati (miastenia gravis).
2. Pemeriksaan Pupil5
a) Bentuk dan ukuran Pupil
Bentuk yang normal adalah bulat, jika tidak maka ada
kemungkinan bekas operasi mata. Ukuran pupil yang normal kira-kira 2-3
mm (garis tengah). Pada sifilis bentuknya menjadi tidak teratur atau
lonjong/segitiga. Pupil yang mengecil disebut miosis, yang biasanya
terdapat pada Sindroma Horner, pupil Argyl Robertson (sifilis, DM,
multiple sclerosis). Sedangkan pupil yang melebar disebut midriasis, yang
biasanya terdapat pada parese/ paralisa m. sphincter dan kelainan psikis
yaitu histeris.
19
b) Perbandingan pupil kanan dengan kiri
Perbedaan diameter pupil sebesar 1 mm masih dianggal normal.
Bila antara pupil kanan dengan kiri sama besarnya maka disebut isokor.
Bila tidak sama besar disebut anisokor. Pada penderita tidak sadar maka
harus dibedakan apakah anisokor akibat lesi non neurologis (kelainan iris,
penurunan visus) ataukah neurologis (akibat lesi batang otak, saraf perifer
N. III, herniasi tentorium.
c) Reflek cahaya
Diperiksa mata kanan dan kiri sendiri-sendiri. Satu mata ditutup
dan penderita disuruh melihat jauh supaya tidak ada akomodasi dan
supaya otot sphincter relaksasi. Kemudian diberi cahaya dari samping
mata. Pemeriksa tidak boleh berada ditempat yang cahayanya langsung
mengenai mata.
Dalam keadaan normal maka pupil akan kontriksi. Kalau tidak
maka ada kerusakan pada arcus reflex (mata N. Opticus pusat N.
Oculomotorius)
d) Reflek akomodasi
Penderita disuruh melihat benda yang dipegang pemeriksa dan
disuruh mengikuti gerak benda tersebut dimana benda tersebut digerakkan
pemeriksa menuju bagian tengah dari kedua mata penderita. Maka
reflektoris pupil akan kontriksi. Reflek cahaya dan akomodasi penting
untuk melihat pupil Argyl Robetson dimana reflek cahayanya negatif
namun reflek akomodasi positif.
e) Reflek konsensual
Adalah reflek cahaya disalah satu mata, dimana reaksi juga akan
terjadi pada mata yang lain. Mata tidak boleh langsung terkena cahaya,
diantara kedua mata diletakkan selembar kertas. Mata sebelah diberi
cahaya, maka normal mata yang lain akan kontriksi juga.
20
3. Pergerakan Bola Mata
Gambar 9. Deviasi Gerakan Bola Mata
e. Rangkuman (Check List)
No
.
Jenis Kegiatan
1. Menerangkan cara dan tujuan pemeriksaan
2. Sambil berbicara, periksalah celah mata (apakah ada ptosis,
eksortalmus, enoftalmus, liat ada strabismus, atau kecendrungan
diplopia)
3. Menilai ptosis:
- Suruh pasien menutup matanya, kemudian kita suruh untuk
membuka matanya kembali, sambil kita memberi tahanan
pada kelopak matanya. Nilai: kekuatan mengangkat kelopak
21
mata. Jangan lupa untuk membandingkan antar kedua
kelopak mata.
4. Menilai pupil:
- Perhatikan besarnya pupil dan dibandingkan besarnya.
- Refleks pupil (langsung dan tidak langsung):
a. Pasien disuruh melihat jauh
b. Setelah itu kita senter pupil
c. Dilihat apakah ada reaksi pada pupil
d. Dibandingkan kanan dan kiri
e. Lalu senter kembali pupil dan kita lihat pupil
sebelahnya, apakah ikut mengecil juga atau tidak
- Refleks akomodasi:
a. Penderita disuruh melihat jauh
b. Kemudian penderita disuruh melihat dekat
Hasil: dianggap positif jika terlihat pupil mengecil
- Kedudukan (posisi bola mata): perhatikan kedudukan bola
mata, apakah menonjol atau masuk kedalam
- Gerakan bola mata:
a. Penderita disuruh mengikuti gerak jari-jari pemeriksa
yang digerakkan ke arah lateral, medial atas, medial
bawah, dan kearah miring, yaitu atas lateral, bawah
medial, atas medial, dan bawah lateral
b. Perhatikan apakah penderita dapat mengikuti
c. Perhatikan bagaimana gerakan bola matanya
Perhatikan juga adanya diplopia.
5. Melaporkan hasil pemeriksaan
IV. Nervus Trigeminus (N V)
a. Pendahuluan
Nervus trigeminus merupakan nervus cranialis V berfungsi menginervasi
bagian muka dan kepala. Nervus ini mempunyai 3 cabang, yaitu cabang yang
menginervasi dahi dan mata (ophthalmic V1), pipi (maxillary V2), dan muka
bagian bawah dan dagu (mandibular V3). Ketiga cabang nervus V ini bertemu
22
pada satu area yang disebut ganglion Gasery, yang selanjutnya menuju batang
otak melalui pons menuju badan-badan sel nukleus nervi trigemini. Dari sini
informasi yang diterima diolah untuk selanjutnya dikirim ke korteks serebri untuk
menimbulkan kesadaran akan sensasi fasial. Nervus trigeminus bertanggungjawab
terhadap sensasi raba, nyeri, dan temperatur pada muka. Selain itu nervus ini juga
mengontrol gerakan otot yang berperan dalam mengunyah makanan. Perlu diingat
bahwa nervus ini tidak berperan dalam pengaturan gerakan wajah yang diatur oleh
nervus VII.5 Tujuan dari pemeriksaan nervus V adalah untuk mengetahui
sensibilitas wajah, kekuatan otot rahang, refleks kornea dan masseter.2
b. Alat dan Bahan
1. Kapas
2. Jarum tumpul
3. Spatel lidah kayu
4. Palu refleks
c. Cara Kerja
1. Pemeriksaan fungsi motorik4
a) Meminta penderita untuk merapatkan gigi sekuat kuatnya.
b) Pemeriksa mengamati muskulus masseter dan muskulus temporalis
(normal : kekuatan kontraksi sisi kanan dan kiri sama).
c) Kekuatan otot dapat diuji dengan meminta pasien menggigit spatel
lidah kau sekuat-kuatnya.
d) Meminta penderita untuk membuka mulut.
e) Pemeriksa mengamati apakah dagu tampak simetris dengan acuan
gigi seri atas dan bawah (apabila ada kelumpuhan, dagu akan
terdorong ke arah lesi).
23
Gambar 10. Pemeriksaan Motoris N. Trigeminus
2. Pemeriksaan fungsi sensorik4
a) Melakukan pemeriksaan sensasi nyeri dengan jarum pada daerah
dahi, pipi, dan rahang bawah.
b) Melakukan pemeriksaan sensasi suhu dengan kapas yang dibasahi
air hangat pada daerah dahi, pipi, dan rahang bawah.
3. Melakukan pemeriksaan refleks kornea4
a) Menyentuh kornea dengan ujung kapas (normal penderita akan
menutup mata/berkedip).
b) Menanyakan apakah penderita dapat merasakan sentuhan tersebut.
Gambar 11. Pemeriksaan Refleks Kornea
4. Melakukan pemeriksaan refleks masseter4
a) Meminta penderita untuk sedikit membuka mulutnya.
b) Meletakkan jari telunjuk kiri pemeriksa di garis tengah dagu
penderita.
c) Mengetok jari telunjuk kiri pemeriksa dengan jari tengah tangan
kanan pemeriksa atau dengan palu refleks.
24
d) Mengamati respon yang muncul : kontraksi muskulus masseter
dan mulut akan menutup.
Gambar 12. Pemeriksaan Refleks Masseter
d. Interpretasi Hasil Pemeriksaan
1. Pemeriksaan fungsi motorik3
a) Normal bila kekuatan otot masseter dan temporal sama-sama kuat
pada kedua sisi dan tonus otot bagus.
b) Parese pada N V menyebabkan kekuatan dan tonus otot masseter
dan temporal lemah pada sisi yang terkena.
2. Pemeriksaan fungsi sensorik3
a) Normal bila merasakan sensasi yang sama dengan stimulus yang
diberikan.
b) Parestesi pada divisi N V yang terkena. Sensai nyeri menjadi
berkurang bahkan sensasi sentuhan kapas tidak dirasakan.
3. Melakukan pemeriksaan refleks kornea3
Normal penderita akan menutup mata/berkedip
4. Melakukan pemeriksaan refleks masseter3
a) Normal bila tidak ada refleks atau refleks yang ditimbulknnya
sedikit
b) Peningkatan refleks menunjukkan adanya lesi UMN.
25
e. Rangkuman (Check List)
No. Jenis Kegiatan
1. Menerangkan cara dan tujuan pemeriksaan
2. Sensibilitas:
Ada tiga cabang sensorik, yaitu oftalmik, maksila, dan mandibula.
Pemeriksaan dilakukan pada ketiga cabang saraf tersebut dengan
membandingkan sisi yang satu dengan sisi yang lain.
- Pasien menutup kedua matanya dan jarum ditusukkan dengan lembut
pada kulit
- Daerah yang menunjukkan sensasi yang tumpul harus digambar dan
pemeriksaan harus dilakukan dari daerah yang terasa tumpul menuju
daerah yang terasa tajam
- Lakukan juga tes pada daerah di atas dahi menuju belakang melewati
puncak kepala
- Pasien tetap menutup kedua matanya dan lakukan tes untuk raba halus
dengan lkapas yang baru dengan cara yang sama. Pasien disuruh
mengatakan “ya”setiap kali merasakan sentuhan kapas pada kulitnya
3. Motorik:
- Pasien disuruh merapatkan giginya sekuat mungkin dan kemudian kita
raba m. masseter dan m. Temporalis
- Perhatikan besarnya tonus serta konturnya
- Pasien disuruh buka mulut kemudian dilihat apakah ada deviasi
rahang bawah
- Meminta pasien menggigit suatu benda dan dinilai kekuatan
gigitannya dengan menarik benda yang digigit tersebut
4. Refleks:
Refleks kornea:
1. Langsung
- Pasien diminta melirik ke arah laterosuperior, kemudian dari
arah lain kapas disentuhkan pada kornea mata, misal pasien
diminta melirik ke arah kanan atas maka kapas disentuhkan
pada kornea mata kiri dan lakukan sebaliknya pada mata yang
lain. Kemudian bandingkan kekuatan dan kecepatan refleks
26
tersebut kanan dan kiri. Saraf aferen berasal dari Nervus V
tetapi eferennya (berkedip) berasal dari Nervus VII.
2. Tak langsung (konsensual)
- Sentuhan kapas pada kornea atas akan menimbulkan refleks
menutup mata pada mata kiri dan sebaliknya. Kegunaan
pemeriksaan refleks kornea konsensual ini sama dengan
refleks cahaya konsensual yaitu untuk melihat lintasan mana
yang rusak (aferen atau eferen).
Refleks masseter:
- Memeriksa refleks rahang bawah (jaw’s reflex) dengan menempatkan
satu jari pemeriksa melintang dagu pasien dan pasien disuruh
membuka mulutnya sedikit lalu jari pemeriksa diketok dengan palu
refleks (normal: sedikit gerakan bahkan tidak ada gerakan sama
sekali)
5. Melaporkan hasil pemeriksaan
V. Nervus Fasialis (VII)
a. Pendahuluan
Nervus fasialis mempersarafi otot-otot ekspresi wajah, dua pertiga bagian
anterior lidah oleh serabut-serabut pengecap, dan sekretomotrik glandula
lakrimalis, submandibularis, dan sublingualis.8 Beberapa penyebab gangguan
nervus VII diantaranya stroke, bell’s palsy, tumor di sudut serebelopontin, otitis
media, meningitis karsinomatosa, dan sebagainya.2
b. Alat dan Bahan
Gula, garam, cuka, dan kopi.
c. Cara Kerja
1. Pemeriksaan & Interpretasi Fungsi Motorik
Lakukan inspeksi wajah pasien, baik pada saat istirahat atupun selama
pasien berbicara dengan anda. Perhatikan setiap ketidaksimetrisan dan amati
setiap gejala tics atau gerakan abnormal lainnya. Minta pasien untuk:1
a) Mengangkat kedua alis matanya
b) Mengernyitkan keningnya
27
c) Menutup kedua mata dengan erat sehingga Anda tidak dapat
membukanya. Lakukan tes kekuatan otot dengan mencoba membuka
mata pasien seperti yang diilustrasikan.
d) Memperlihatkan gigi sebelah atas dan bawah
e) Menggembungkan kedua belah pipi
f) Perhatikan pula setiap kelemahan dan ketidaksimetrisan’
Gambar 13. Pemeriksaan Motorik N VII
2. Pemeriksaan Fungsi Sensori (Pengecapan)
Sensasi pengecap pada masing-masing paruhan dua pertiga bagian anterior
lidah dapat diperiksa dengan meletakkan sedikit gula, garam, cuka, dan kopi pada
lidah, untuk sensasi manis, asin, asam, dan pahit.8
Pemeriksaan dilakukan dengan cara sebagai berikut.4
a) Mintalah pasien untuk menjulurkan lidahnya.
b) Bersihkan lidah sebelum pemeriksaan.
c) Berilah rangsangan pada indera pengecapnya 2/3 bagian depan.
d) Penderita tidak boleh menutup mulutnya.
e) Pasien harus mengatakan perasaannya dengan menggunakan kode-kode
yang telah disetujui bersama antara pemeriksa dan penderita atau
menulisnya.
3. Parasimpatis N.Facialis
a) Inspeksi lakrimasi dan sekresi kelenjar ludah.
28
b) Gunakan kertas lakmus untuk memeriksa sekresi glandula lakrimasi,
glandula submaksilaris dan glandula sublingualis.
d. Interpretasi Hasil Pemeriksaan
Nervus fasialis dapat mengelami cedera atau menjadi tidak berfungsi di
berbagai tempat di sepanjang perjalannnya dari batang otak ke wajah. Hilangnya
sensasi pengecap pada dua pertiga lidah bagian depan menunjukkan bahwa
kerusakan nervus fasialis terjadi di proksimal tempat percabangan corda timpani
di dalam kanalis fasialis. Pembesaran glandula parotis yang keras dan berkaitan
dengan gangguan fungsi nervus fasialis menandakan kanker glandula yang
mengenai nervus fasialis yang terletak di dalam kelenjar.8
Laserasi yang dalam pada wajah dapat mengenai cabang-cabang nervus
fasialis. Bagian nukleus fasialis yang mengendalikan otot-otot wajah bagian atas
menerima serabut kortiko nuklearis dari kedua hemisperium serebri sehingga lesi
yang mengenai upper motor neuron hanya menyebabkan paralisis otot-otot wajah
bagian bawah, akan tetapi pasien dengan lesi pada nucleus motorius n. fasialis
saja. Kelopak mata bawah dan sudut mulut akan turun. Air mata akan mengalir
melalui kelopak mata bawah, dan saliva keluar dari sudut mulut. Pasien tidak
dapat menutup matanya dan tidak dapat memperlihatkan seluruh gigi geliginya
pada sisi lesi.pada pasien hemiplegia, gerakan emosional wajah biasanya tetap
ada. Hal ini menunjukkan bahwa upper motor neuron yang mengatur gerakan
mimik memiliki perjalanan yang berbeda dengan serabut kortikonuklearis utama.
Lesi yang hanya mengenai jaras yang terpisah ini mengakibatkan hilangnya
gerakan emosional, tetapi gerakan voluntar tetap ada. Lesi yang lebih luas, akan
menimbulkan paralisis fasial voluntar dan mimik.8
Bell’s Palsy
Bell’s Palsy adalah disfungsi nervus fasialis, saat saraf ini berjalan di
dalam kanalis fasialis; kelainan ini biasanya unilateral. Lokasi disfungsi
menentukan aspek fungsional nervus fasialis yang tidak bekerja. Pembengkakan
saraf di dalam kanalis fasialis menekan serabut-serabut saraf, keadaan ini
menyebabkan hilangnya fungsi saraf sementara menimbulkan tipe paralisis
29
fasialis lower motor neuron. Penyebab Bell’s Palsy tidak diketahui, kadang-
kadang terjadi setelah wajah terpajan angin dingin.
e. Rangkuman (Check List)
NO
.Aspek yang dinilai
1 Salam dan memperkenalkan diri serta menjelaskan tujuan pemeriksaan
2 Memeriksa fungsi motorik: perhatikan muka(simetris/tidak, kerutan
didahi, pejaman mata, plika nasolabialis, sudut mulut)
3 Suruh penderita mengangkat alis dan mengerutkan dahi.
Perhatikan simetri/tidak
4 Suruh penderita memejamkan mata secara bersamaan, lalu suruh
memejamkan mata satu-persatu
5 Suruh pasien menyeringai (menunjukkan gigi geligi), mencucurkan
bibir dan menggembungkan pipi.
Perhatikan simetri/tidak, perhatikan sudut mulutnya
6 Minta pasien untuk bersiul
7 Gejala chvostek: dengan cara mengetok N.VII, ketokan dilakukan
didepan telinga. Bila positif menyebabkan kontraksi otot yang
dipersarafi
30
8 Fungsi pengecapan: suruh pasien menjulurkan lidahnya dan menutup
matanya, lalu ditaruhkan kelidahnya bubuk gula, kina, asam sitras atau
garam. Jangan sampai penderita menarik lidahnya kedalam mulut.
Penderita disuruh menyampaikan apa yang dirasakan dengan isyarat
9 Melaporkan hasil pemeriksaan
VI. Nervus Akustikus atau Vestibulo-kokhlearis (VIII)
a. Pendahuluan
Saraf ini terdiri dari dua bagian, yaitu saraf kokhlearis dan saraf
vestibularis. Saraf kokhlearis mengurus pendengaran dan saraf vestibularis
mengurus keseimbangan. Gangguan pada saraf kokhlearis dapat
menyebabkan tuli, tinitus atau hiperakusis. Pemeriksaan pendengaran
dilakukan jika terdapat gangguan pendengaran, (1) lakukan tes untuk
lateralisasi, dan (2) bandingkan hantaran udara dan tulang. Untuk menilai
keseimbangan, dapat dilakukan tes Romberg yang dipertajam dan tes
melangkah di tempat (stepping test).2
b. Alat dan Bahan
1. Arloji
2. Garputala
c. Cara Kerja2
1. Tes Bisik
a) Detik Arloji
Arloji ditempelkan di telinga, kemudian dijauhkan sedikit demi
sedikit, sampai tak terdengar lagi, bandingkan kanan dan kiri.
31
b) Gesekan Tangan
Gambar 14. Pemeriksaan Nervus VIII
2. Tes Webber
Tes ini bertujuan untuk membandingkan transportasi suara melalui
tulang di telinga kanan dan kiri pasien. Pemeriksaan dilakukan dengan
menempatkan garpu tala didahi pasien, pada keadaan normal kiri dan
kanan sama keras (pasien tidak dapat menentukan dimana yang lebih
keras).
3. Tes Rinne
Tes ini bertujuan untuk membandingkan pendengaran melalui
tulang dan udara dari pasien.Pada telinga pasien yang sehat, pendengaran
melalui udara didengar lebih lama daripada melalui tulang. Pada
pemeriksaan ini garpu tala ditempatkan pada planum mastoid sampai
pasien tidak dapat mendengarnya lagi. Kemudian garpu tala dipindahkan
ke depan meatus eksternus. Jika pada posisi yang kedua ini masih
terdengar dikatakan tes positif. Pada orang normal tes Rinne ini positif.
Pada ” Conduction deafness ” test Rinne negatif.
Gambar 15. Tes Rinne
32
4. Tes Schwabach
Pada test ini pendengaran pasien dibandingkan dengan pendengaran
pemeriksa yang dianggap normal. Garpu tala dibunyikan dan kemudian
ditempatkan didekat telinga pasien. Setelah pasien tidak mendengarkan bunyi
lagi, garpu tala ditempatkan didekatkan ke telinga pemeriksa. Bila masih
terdengar bunyi oleh pemeriksa, maka dikatakan bahwa Schwabach lebih
pendek (untuk konduksi udara). Kemudian garpu tala dibunyikan lagi dan
pangkalnya ditekankan pada tulang mastoid pasien. Pasien diminta
mendengarkan bunyinya. Bila sudah tidak mendengar lagi maka garpu tala
diletakkan ditulang mastoid pemeriksa. Bila pemeriksa masih mendengarkan
bunyinya maka dikatakan Schwabach (untuk konduksi tulang) lebih pendek.
5. Memeriksa Nistagmus (Maneuver Nylen-Barany)
a) Pasien disuruh duduk di tempat tidur periksa, lalu direbahkan sampai
kepalanya tergantung di pinggir denga sudut sekitar 30 derajat di bawah
horizontal.
Gambar 16. Pemeriksaan Nistagmus
b) Kepala ditolehkan ke kiri kemudian lurus kemudian ditolehkan ke kanan
c) Pasien diminta untuk tetap membuka matanya agar pemeriksa dapat
melihat jika muncul nistagmus
d) Perhatikan kapan nistagmus mulai muncul, berapa lama berlangsung serta
jenis nistagmus
e) Tanyakan apa yang dirasakan penderita, apakah ada vertigo.
33
6. Tes Romberg yang dipertajam
Pada tes ini penderita berdiri dengan kaki yang satu di depan kaki
yang lainnya; tumit kaki yang satu berada di depan jari-jari kaki yang lainnya
(tandem). Lengan dilipat pada dada dan mata kemudian ditutup.
7. Tes Melangkah di Tempat
Penderita disuruh berjalan di tempat, dengan mata ditutup, sebanyak
50 langkah dengan kecepatan seperti berjalan biasa. Sebelumnya dikatakan
kepadanya bahwa ia harus berusaha agar tetap di tempat, dan tidak beranjak
dari tempatnya selama tes ini.
8. Salah Tunjuk (past pointing)
Pasien disuruh merentangkan lengannya dan telunjuknya menyentuh
telunjuk pemeriksa. Kemudian ia disuruh menutup mata, mengangkat
lengannya tinggi-tinggi (sampai vertikal) dan kemudian kembali ke posisi
semula.
d. Interpretasi Hasil Pemeriksaan2
Tes Weber
Normal : telinga kanan dan kiri mendengar sama keras.
Tuli Konduktif : lateralisasi ke arah telinga yang sakit. Contoh:
pada otitis media.
Tuli Sensoris : lateralisasi ke arah telinga yang sehat.
Gambar 17. Interpretasi Tes Weber
34
Tes Rinne
Normal / Tuli Sensori : Udara > Tulang (AC > BC)
Tuli Konduktif : Tulang > Udara (BC > AC)
Tes Swabach
Normal : sama dengan pemeriksa
Tuli konduktif : memanjang
Tuli sensorineural : memendek
Tes Romberg yang dipertajam
Orang normal mampu berdiri dalam sikap Romberg yang dipertajam
selama 30 detik atau lebih.
Tes Melangkah di Tempat
Hasil tes ini dianggap abnormal bila kedudukan akhir penderita beranjak
lebih dari 1 meter dari tempatnya semula, atau badan terputar lebih dari 30 derajat.
Salah Tunjuk (past pointing)
Terjadinya deviasi (salah tunjuk) dapat terjadi pada gangguan vestibular
ataupun gangguan serebelar.
35
e. Rangkuman (Check List)
NO
.Aspek yang dinilai
1 Salam dan memperkenalkan diri serta menjelaskan tujuan pemeriksaan
2 Pemeriksa menyuruh penderita untuk mendengarkan bisikan pada jarak
tertentu dan membandingkannya dengan orang normal. Perhatikan apa ada
perbedaan ketajaman pendengaran telinga kiri dan kanan
(bila ketajaman pendengaran berkurang atau terdapat perbedaan antara kedua
telinga kita lakukan pemeriksaan-pemeriksaan Schwabach, Rinne, Webber,
dan audiogram)
3 Tes Schwabach
Garputala dibunyikan kemudian diletakkan di telinga penderita
Setelah penderita tidak mendengarkan bunyi lagi, garputala tersebut
diletakkan di dekat telinga pemeriksa, bila masih terdengar bunyi oleh
pemeriksa maka dikatakan bahwa schwabach lebih pendek (untuk
konduksi udara)
Kemudian garputala dibunyikan lagi dan pangkalnya ditekankan pada
tulang mastoid penderita
Minta penderita mendengarkan bunyinya
Bila sudah tidak terdengar lagi maka garputala diletakkan pada tulang
mastoid pemeriksa
Bila pemeriksa masih mendengar bunyinya maka dikatakan bahwa
schwabach (untuk konduksi tulang) lebih pendek
4 Tes Rinne
Digunakan garputala yang berfekruensi 128, 256, atau 512 Hz
Garputala dibunyikan dan pangkalnya ditekankan pada tulang mastoid
penderita
Bila tidak terdengar lagi, garputala segera didekatkan pada telinga
Jika masih terdengar bunyi maka konduksi udara lebih baik daripada
konduksi tulang (Rinne positif) sedangakan bila bunyi tidak terdengar lagi
dikatakan sebagai Rinne negative.
5 Tes Webber
Garputala yang dibunyikan ditekankan pangkalnya pada dahi penderita,
36
tepat dipertengahan
Penderita disuruh mendengarkan bunyinya dan menentukan pada telinga
mana bunyinya lebih keras terdengar
Pada orang normal, kerasnya bunyi sama pada telinga kiri dan kanan
Kita katakan tes Webber lateralisasi ke kiri/ke kanan jika bunyi lebih
keras terdengar di telinga kiri/kanan
6 Memeriksa Nistagmus (Maneuver Nylen-Barany)
9. Pasien disuruh duduk di tempat tidur periksa, lalu direbahkan sampai
kepalanya tergantung di pinggir denga sudut sekitar 30 derajat di bawah
horizontal
10. Kepala ditolehkan ke kiri kemudian lurus kemudian ditolehkan ke kanan
11. Pasien diminta untuk tetap membuka matanya agar pemeriksa dapat
melihat jika muncul nistagmus
12. Perhatikan kapan nistagmus mulai muncul, berapa lama berlangsung serta
jenis nistagmus
13. Tanyakan apa yang dirasakan penderita, apakah ada vertigo.
7 Tes untuk menilai keseimbangan
Tes Romberg
Penderita berdiri dengan kaki yang satu di depan kaki yang lainnya, tumit
kaki yang satu berada di depan jari kaki yang lainnya
Lengan dilipat pada dada dan mata ditutup
Orang normal mampu berdiri dalam posisi Romberg selama 30 detik atau
lebih
Tes Melangkah di Tempat
Penderita disuruh berjalan di tempat dengan mata ditutup sebanyak 50
langkah dengan kecepatan seperti berjalan biasa
Beritahu penderita agar tetap ditempat dan tidak beranjak elama melaukan
37
tes ini
Hasil abnormal jika kedudukan akhir penderita beranjak lebih dari 1 meter
dari tempatnya semula atau badan berputar lebih dari 30 derajat
Salah Tunjuk (Past Pointing)
Penderita disuruh merentangkan lengannya dan telunjuknya menyentuh
telunjuk pemeriksa
Kemudian ia disuruh menutup mata, mengangkat lengannya tinggi-tinggi
(sampai vertikal) kemudian kembali ke posisi semula
Pada gangguan vestibular didapatkan salah tunjuk (deviasi)
8 Melaporkan hasil pemeriksaan
VII. Nervus Glossofaringeus dan Vagus (IX dan X)
a. Pendahuluan
Nervus glossofaringeus mempersarafi musculus stylofaringeus dn
mengirim serabut-serabut sekretomotorik ke glandula protis. Serabut sensorik
mempersarafi sepertiga bagian posterior lidah untuk sensasi umum dan
pengecapan. Nervus vagus mempersarafi banyak organ penting, tetapi pemerisaan
ssaraf ini tergantung pada fungsi cabang-cabang ke faring, palatum molle dan
laring.8
Gejala gangguan yang penting pada kedua nervus ini adalah disartria
(cadel, pelo, gangguan pengucapan kata-kata) dan salah telan (keselak, disfagia).2
38
b. Alat dan Bahan
1. Makanan lunak, padat, dan air.
2. Spatel lidah
3. Kapas
c. Cara Kerja
Dengarkan suara pasien apakah suaranya terdengar parau atau sengau?
Penderita disuruh memakan makanan padat, lunak, dan menelan air. Apakah
terdapat sulit menelan? Minta pasien untuk mengatakan “aaaaaa” atau menguap
ketika anda mengamati gerakan palatum molle dan faring. Palatum molle
normalnya akan bergerak secara simetris, uvula tetap berada di garis tengah dan
setiap posisi fring akan bergerark ke arah medial seperti gerakan layar bioskop.
Uvula yang sedikit melengkung kadang-kadang terlihat pada orang normal dan
keadaan ini tidak boleh dikelirukan dengan deviasi uvula yang disebabkan oleh
lesi nervus cranial X.2
Beritahu pasien bahwa anda akan melakukan test reflex muntah. Lakukan
stimulasi ringan (biasanya menggunakan spatel lidah) pada bagian belakang
kerongkongan pada setiap sisi secara bergantian dan perhatikan refleks
muntahnya. Refleks ini dapat berkurang atau tidak terlihat secara simetris pada
orang yang normal.1 Selanjutnya mukosa hidung dirangsang dengan sentuhan
kapas (nervus V), hal ini mengakibatkan timbulnya wahing (N. X dibantu oleh N.
V, VII, dan IX).2
d. Interpretasi Hasil Pemeriksaan
Lesi yang hanya terjadi pada nervus glossofaringeus jarang terjadi,
biasanya disertai juga oleh lesi pada nervus vagus. Suara serak atau hilangnya
suara dapat merupakan gejala kelumpuhan nervus vagus. Gerakan pita suara dapat
diuji dengan pemeriksaan laringoskopi. Lesi yang mengenai nervus vagus di
dalam fossa cranii posterior biasanya juga melibatkan nervus glossofaringeus,
nervus accesorius dan nervus hipoglossus.8
39
e. Rangkuman (Check List)
NO
.Aspek yang dinilai
1 Salam dan memperkenalkan diri serta menjelaskan tujuan pemeriksaan
2 Penderita disuruh menyebutkan aaaaaaa. Periksa apakah suaranya
normal,serak, atau tidak ada sama sekali
3 Penderita disuruh makan makanan lunak, padat, dan menelan air. Perhatikan
apakah ada salah telan (keselak, disfagia)
4 Penderita disuruh membuka mulut. Perhatikan palatum mole dan faring.
Bagaimana sikap palatum mole, arkus faring dan uvula pada keadaan istirahat
dan bagaimana pula bila bergerak (pasien diminta menyebut aaaaaa)
5 Reflex Faring
Waktu pasien membuka mulut, kita rangsang dinding faring atau pangkal
lidah dengan spatel lidah
6 Reflex Wahing
Mukosa hidung dirangsang dengan sentuhan kapas. Hal ini akan
menyebabkan timbulnya Wahing
7 Pengecapan
Serabut aferen pengecapan pada 1/3 bagian posterior lidah
8 Melaporkan hasil pemeriksaan
VIII. Nervus Asesorius Spinalis (N. XI)
a. Pendahuluan
Nervus asesorius mempersarafi musculus sternocleidomastoideus dan
musculus trapezius melalui radix spinalis.8 Gangguan pada N. XI dapat terjadi
karena lesi supranuklir, nuklir, atau infranuklir. Lesi supranuklir dapat dijumpai
pada gangguan peredaran darah (stroke). Lesi nuklir didapatkan pada siringobulbi
dan ALS (sklerosis lateral amiotrofik). Pada lesi ini dapat dijumpai parese, atrofi,
dan fasikulasi pada otot. Lesi infranuklir juga dapat menyebabkan paralisis dan
atrofi.2
b. Alat dan Bahan
40
-
c. Cara Kerja
Dari belakang pasien, cari gejala atrofi atau fasikulasi pada musculus
trapezius, dan dibandingkan dengan sisi lainnya. Minta pasien untuk
memalingkan kepalanya ke setiap sisi dengan melawan tahanan yang diberikan
tangan anda. Amati kontraksi m. sternomastoideus pada sisi yang berlawanan dan
perhatikan kekuatan gerakan tersebut melawan gerakan anda.1
Gambar 18. Pemeriksaan N. XI (otot sternokleidomastoideus)
Perhatikan keadaan otot trapezius dalam keadaan istirahat dan bergerak.
Apakah ada atrofi atau fasikulasi? Bagaimana kontur otot? Bagaimana posisi
bahu, apakah lebih rendah? Pada kelumpuhan otot trapezius bahu sisi yang sakit
lebih rendah daripada sisi yang segar. Otot trapezius perlu dipalpasi untuk
mengetahui konsistensinya, adanya nyeri tekan (miositis) serta adanya hipotoni.2
Tenaga otot ini diperiksa dengan menempatkan tangan pemeriksa di atas
bahu penderita. Kemudian penderita disuruh mengangkat bahunya, dan pemeriksa
menahannya. Tenaga otot yang kiri dan kanan dibandingkan.
Gambar 19. Pemeriksaan N. XI (otot trapezius)
d. Interpretasi Hasil Pemeriksaan
41
Lesi pada pars spinalis nervus asesorius menimbulkan paralisis musculus
sternocleidomastoideus dan musculus trapezius. Musculus sternocleidomastoideus
atrofi dan dapat terjadi kelemahan saat memutar kepala ke sisi berlawanan.
Musculus trapezius juga akan atrofi dan bahu pada sisi lesi akan turun; juga
terdapat kelemahan dan kesulitan saat mengangkat lengan lebih tinggi dari bidang
horizontal. Lesi-lesi pada pars spinalis nervus asesorius dapat terjadi di sepanjang
perjalannanya dan dapat disebabkan oleh tumor atau trauma akibat luka tusuk atau
luka tembak di daerah leher.8
e. Rangkuman (Check List)
NO
.Aspek yang dinilai
1 Salam dan memperkenalkan diri serta menjelaskan tujuan pemeriksaan
2 Inspeksi keadaan m. sternokleidomatoideus dalam keadaan istirahat dan
bergerak (apakah ada fasikulasi atau atrofi otot)
3 Palpasi m. Sternokleidomatoideus untuk mengetahui adanya nyeri tekan dan
atoni otot
4 Mengukur kekuatan otot:
Meminta pasien menoleh ke kanan, gerakan ini ditahan dengan tangan
pemeriksa yang ditempatkan di dagu pasien.
Bandingkan kekuatan otot kiri dan kanan
5 Inspeksi m. Trapezius dalam keadaan istirahat dan bergerak. (apakah ada
fasikulasi atau atrofi, bagaimana kontur otot, bagaimana posisi bahu apakah
ada yang lebih rendah)
6 Palpasi m. Trapezius untuk mengetahui konsistensi, nyeri tekan dan hipotoni
7 Mengukur kekuatan otot:
Menempatkan tangan di bahu pasien
Meminta pasien mengangkat kedua bahunya sementara itu pemeriksa
menahannya
Bandingkan kekuatan otot kanan dan kiri
8. Memeriksa kontur dan perkembangan otot:
Meminta pasien mengekstensikan kepalanya sementara pemeriksa menahan
42
gerakan ini
Jika ada kelumpuhan kepala tidak dapat ditarik ke sisi tersebut, bahu tidak
dapat diangkat dan lengan tidak dapat dielevasi
9 Melaporkan hasil pemeriksaan
IX. Nervus Hipoglossus (N. XII)
a. Pendahuluan
Nervus hipoglossus mempersarafi otot-otot intrinsic lidah serta m.
stylomastoideus, m. hypoglossus, dan m. genioglossus.8 Lesi N. XII dapat bersifat
supranuklir, misalnya pada lesi di korteks atau kapsula interna, yang dapat
disebabkan oleh stroke.2
b. Alat dan Bahan
-
c. Cara Kerja
Kemampuan mengucapkan kata dengan dengan baik bergantung pada
fungsi nervus kranialis V, VII, X, dan XII. Lakukan inspkesi lidah pasien ketika
lidahnya berada di dasar mulut. Cari setiap tanda adanya atrofi atau fasikulasi
(halus, menggeletar, gerakan irregular pada kelompok serabut otot yang kecil).
Beberapa gerakan gelisah yang kasar sering kali terlihat pada lidah yang normal.
Kemudian, ketika lidah pasien dijulurkan, cari tanda-tanda ketidaksimetrisannya,
atrofi, atau deviasi dari garis tengah. Minta pasien untuk menggerakkan lidahnya
dari sisi yang satu ke sisi lainnya, dan perhatikan kesimetrisan gerakan tersebut.
Pada kasus-kasus yang meragukan, minta pasien untuk mendorong bagian dalam
masing-masing pipinya dengan menggunakan ujung lidah secara bergantian
sementara Anda melakukan palapasi dari luar untuk menilai kekuatan gerakan
lidah.1
d. Interpretasi Hasil Pemeriksaan
43
Lesi-lesi nervus hipoglossus dapat terjadi di sepanjang perjalannnya dan
dapat terjadi akibat tumor, penyakit demielinisasi dan siringomielis, dan penyakit
vaskular. Cedera nervus hipoglossus di leher juga dapat terjadi akibat luka tusuk
dan luka tembak.8
Bila pada saat lidah dijulurkan, perhatikan apakah julurannya mencong.
Pada parese satu sisi, lidah dijulurkan mencong ke sisi yang lumpuh. Jika terdapat
kelumpuhan pada dua sisi, lidah tidak dapat digerakkan atau dijulurkan. Terdapat
disartia dan kesukaran menelan, serta kesulitan bernapas karena lidah dapat
terjatuh ke belakang, sehingga menghalangi jalan napas.2
e. Rangkuman (Check List)
NO
.Aspek yang dinilai
1. Salam dan memperkenalkan diri serta menjelaskan tujuan pemeriksaan
2 Inspeksi:
Meminta pasien membuka mulut
Memperhatikan keadaan lidah dalam keadaan istirahat dan bergerak,
dalam keadaan istirahat perhatikan besarnya lidah, simetris kiri dan
kanan, atrofi/ tidak, lidah berkerut/ tidak, sikap lidah mencong/ tidak
Meminta pasien menjulurkan lidah: perhatikan ada tremor/ tidak,
fasikulasi/ tidak.
3 Mengukur kekuatan lidah:
Meminta pasien menggerakkan lidahnya ke segala jurusan
Memperhatikan kekuatan geraknya
Meminta pasien menekankan lidahnya pada pipi
Menekan lidahnya pada pipi untuk menilai daya tekan lidah
4 Melaporkan hasil pemeriksaan
PEMERIKSAAN REFLEKS FISIOLOGIS
44
A. Pendahuluan
Secara sederhana, refleks didefinisikan sebagai jawaban atas rangsang.
Refleks neurologik bergantung pada suatu lengkungan (lengkung refleks) yang
terdiri atas jalur aferen yang dicetuskan oleh reseptor dan sistem eferen yang
mengaktivasi organ efektor, serta hubungan antara kedua komponen ini. Bila
lengkung ini rusak maka refleks akan hilang.2
Selain lengkungan di atas didapatkan pula hubungan dengan pusat-pusat
yang lebih tinggi di otak yang tugasnya memodifikasi refleks tersebut. Bila
hubungan dengan yang lebih tinggi ini terputus, misalnya karena kerusakan pada
sistem piramidal, hal ini akan mengakibatkan refleks meninggi. Refleks Fisiologis
adalah refleks regang otot (muscle stretch reflex) yang muncul sebagai akibat
rangsangan terhadap tendon atau periosteum atau kadang-kadang terhadap tulang,
sendi, fasia atau aponeurosis.2
B. Alat dan Bahan
1. Palu refleks
C. Cara Kerja
1. Refleks Glabela2
a) Ketuk pada bagian daerah sekitar supraorbitalis.
b) Orang normal akan berkedip 1-2 kali.
c) Pada penderita parkinson akan menghasilkan refleks positif dengan
berkedip secara terus menerus.
Gambar 20. Refleks Glabela: pukulan singkat pada glabela
mengakibatkan kontraksi otot okularis okuli.
2. Refleks rahang bawah (jaw refleks) 2
45
a) Penderita disuruh membuka mullutnya sedikit dan telunjuk pemeriksa
ditempatkan melintang di dagu
b) Telunjuk diketok dengan palu refleks yang mengakibatkan
berkontraksinya otot maseter sehingga mulut merapat.
Gambar 21. Refleks rahang bawah (mandibula)
Tidak ada reaksi atau reaksi lemah: normal; bila reaksi meningkat: lesi UMN
3. Refleks biseps 1
a) Lengan pasien harus berada dalam posisi fleksi parsial pada sendi siku
dengan telapak tanganmenghadap kebawah.
b) Tempatkan ibu jari atau jari tangan pemeriksa dengan erat pada tendon
biseps.
c) Lakukan pengetukan dengan palu refleks sedemikian rupa agar arahnya
langsung ke tendon biseps melalui jari tangan pemeriksa
d) Amati gerakan fleksi pada sendi siku, dan perhatikan serta rasakan
kontraksi muskulus biseps.
46
Gambar 22. Refleks Biseps
4. Refleks triseps1
a) Fleksikan lengan pasien pada sendi siku sementara telapak tangannya
menghadap ke arah tubuh, dan tarik lengan tersebut sedikit menyilang
dada.
b) Ketuk tendon triseps tepat di atas siku.
c) Lakukan pengetukan langsung dari belakang siku.
d) Perhatikan kontraksi muskulus triseps dan gerakan ekstensi pada sendi
siku.
Gambar 23. Refleks Triseps
5. Refleks brakioradialis (refleks radius)1
47
a) Tangan pasien harus diletakkan pada perut atau pangkuannya sementara
lengan bawah berada dalam posisi pronasi parsial.
b) Lakukan pengetukan pada os radius sekitar 1-2 inci (2,5-5 cm) di atas
pergelangan tangan.
c) Perhatikan gerakan fleksi dan supinasi lengan bawah.
Gambar 24. Refleks Brakioradialis (Refleks Radius)
6. Refleks kuadriseps femoris (refleks tendon lutut, refleks patella)1
a) Pasien dapat duduk atau berbaring asalkan sendi lututnya difleksikan.
b) Lakukan pengetukan yang cepat pada tendon patela tepat di bawah os
patela.
c) Perhatikan kontraksi m. kuadriseps yang disertai ekstensi pada sendi lutut.
Gambar 25. Refleks Patella Posisi berbaring
48
Gambar 26. Refleks Patella
7. Refleks triseps sure (refleks tendon achilles)1
a) Jika pasien duduk, lakukan dorsifleksi kaki pada sendi pergelangan
kakinya.
b) Minta pasien untuk rileks.
c) Ketuklah tendon Achilles.
d) Amati dan rasakan gerakan fleksi plantaris yang terjadi pada sendi
pergelangan kaki. Perhatikan pula kecepatan relaksasinya sesudah
kontraksi otot.
e) Ketika pasien berbaring fleksikan salah satu tungkainya pada sendi
pangkal paha serta lutut, dan kemudian lakukan gerakan rotasi ke arah luar
sehingga tungkai bawah pasien dapat diletakkan pada tulang tibia yang
berlawanan.
f) Kemudian, lakukan gerakan dorsifleksi kaki pada sendi pergelangan kaki
dan ketuk tendon Achilles.
49
Gambar 27. Refleks Achilles
D. Interpretasi Hasil Pemeriksaan
Jawaban reflex dapat dibagi atas beberapa tingkat, yaitu:2
- (negatif) : kurang jawaban, jawaban lemah.
+ : Jawaban normal
++ : Jawaban berlebihan, refleks meningkat
Tidak ada batasan yang tegas antara tingkat refleks yang dikemukakan
diatas, yaitu: tidak ada batas yang tegas antara refleks lemah, refleks normal
dan refleks meningkat. Bila refleksnya negatif, hal ini mudah dipastikan. Pada
refleks yang meninggi, daerah tepat memberikan rangsang biasanya
bertambah luas. Misalnya refleks kuadrisepsfemoris, bila ia meninggi, maka
tempat merangsang tidak saja di tendon di patella, tetapi dapat meluas sampai
tulang tibia. Kontraksi otot pun bertambah hebat, sehingga mengakibatkan
gerakan yang kuat pada persendiannya. Jika meningginya refleks hebat,
kadang-kadang didapatkan klonus, yaitu otot berkontraksi secara klonik. Pada
refleks yang lemah, kita perlu mempalpasi otot untuk mengetahui apakah ada
kontraksi. Kadang-kadang kita perlu melakukan sedikit upaya untuk
memperjelas refleks yang lemah. Hal ini misalnya dilakukan dengan membuat
otot yang diperiksa berada dalam kontraksi ringan sebelum dirangsang.
Misalnya bila kita hendak memeriksa refleks kuadrisepsfemoris, kita minta
50
pasien untuk mendorongkan tungkai bawahnya sedikit ke depan sambil kita
menahannya, baru kemudian kita beri rangsang (ketok) pada tendon di patella.
Selain itu juga perhatian penderita perlu dialihkan misalnya dengan
menyuruhnya menarik pada kedua tangannya yang saling bertautan.2
Refleks yang meninggi tidak selalu berarti adanya gangguan patologis,
tetapi bila refleks pada sisi kanan berbeda dari sisi kiri, besar sekali
kemungkinan bahwa hal ini disebabkan oleh keadaan patologis. Simetri
memang penting dalam penyakit saraf. Kita mengetahui bahwa simetri
sempurna tidak ada pada tubuh manusia. Walaupun demikian, banyak
pemeriksaan neurologis didasarkan atas tanggapan bahwa bagian tubuh adalah
sama atau simetris (secara kasar). Tiap refleks dalam dapat meninggi secara
bilateral, namun hal ini tidak selalu berarti adanya lesi piramidal. Lain halnya
kalau peninggian refleks bersifat asimetris. Karenanya harus dingat bahwa:
pada pemeriksaan refleks jangan lupa membandingkan bagian-bagian yang
simetris (kiri dan kanan). Asimetri dapat menunjukkan adanya proses
patologis.2
E. Rangkuman (Check List)
No. Aspek yang dinilai
1. Memperkenalkan diri dan menanyakan mengenai identitas penderita
2. Memberikan penjelasan tentang apa yang akan diperiksa dan informed
consent
3. Meminta penderita duduk dengan relaks
Refleks Glabela
4. Ketuk pada bagian daerah sekitar supraorbitalis.
Refleks rahang bawah (jaw refleks)
5. Penderita disuruh membuka mulutnya sedikit dan telunjuk pemeriksa
ditempatkan melintang di dagu.
6. Telunjuk diketok dengan palu refleks yang mengakibatkan
51
berkontraksinya otot maseter sehingga mulut merapat
Refleks biceps
7. Memfleksikan lengan penderita dan lengan bawah dalam posisi antara
fleksi dan ekstensi serta sedikit pronasi
8. Meletakkan siku penderita pada tangan pemeriksa
9. Meletakkan ibu jari pemeriksa pada tendon biseps penderita
10. Memukulkan hamer refleks untuk menemukan pada ibu jari
11. Mencatat dan melaporkan hasil yang dida pat
12. Membuat kesimpulan terhadap hasil pemeriksaan
Positif bila: terjadi gerakan fleksi lengan bawah
Refleks triceps
13. Memposisikan lengan bawah dalam keadaan menggantung pada lengan
pemeriksa
14. Meminta penderita untuk merelaksasikan lengan bawah sepenuhnya
15. Meraba triseps untuk memastikan bahwa otot tidak tegang
16. Memukul tendo otot triseps pada fossa olecranii
17. Mencatat dan melaporkan hasil yang didapat
18. Membuat kesimpulan terhadap hasil pemeriksaan
Positif bila: terjadi gerakan ekstensi lengan bawah
Refleks brakioradialis (refleks radius)
19. Tangan pasien harus diletakkan pada perut atau pangkuannya sementara
lengan bawah berada dalam posisi pronasi parsial.
20. Lakukan pengetukan pada os radius sekitar 1-2 inci (2,5-5 cm) di atas
pergelangan tangan.
21. Perhatikan gerakan fleksi dan supinasi lengan bawah.
Refleks patella
22. Meminta penderita duduk/berbaring dengan tungkai menjuntai atau
menggantung
23. Meraba daerah kanan-kiri tendo patela untuk menetapkan daerah yang
tepat
24. Dengan satu tangan memegang paha bagian distal, tangan yang lain
memukul tendo patela dengan cepat
25. Mencatat dan melaporkan hasil yang didapat
52
26. Membuat kesimpulan terhadap hasil pemeriksaan
Positif bila: kuardiseps femoris berkontraksi dan mengakibatkan ekstensi
tungkai bawah
Refleks Achilles
27. Meminta penderita untuk duduk menjuntai, atau berbaring atau berlutut
dengan sebagian tungai bawah telunjur dan difleksikan sedikit
28. Meregangkan tendo achilles dengan menahan ujung kaki ke arah
dorsofleksi
29. Memukul tendo achilles dengan ringan tapi cepat
30. Membuat kesimpulan terhadap hasil pemeriksaan
Positif bila: berkontraksi m.triseps sure dan memberikan gerak plantar
fleksi pada kaki
31. Memposisikan kembali penderita seperti semula dan melaporkan hasil
yang didapatkan
32. Berterimakasih dan menutup pemeriksaan
53
PEMERIKSAAN REFLEKS PATOLOGIS
A. Pendahuluan
Refleks patologis merupakan respon yang tidak umum dijumpai pada
individu normal. Reflexs patologis pada ekstremitas bawah lebih konstan, mudah
muncul, reliable, dan lebih mempunyai korelasi secara klinis dibandimgkan pada
ekstremitas atas.9
Pemeriksaan refleks patologis yang paling penting dan reliabel adalah
Babinski sign, yang menunjukkan lesi pada Upper Motor Neuron (traktus
kortikospinal) pada orang dewasa. Namun, pada anak-anak berumur 1-6 tahun
masih belum memiliki susunan piramidal yang bermielenisasi sempurna. Oleh
karena itu, gerakan reflektorik yang dinilai sebagai refleks patologis pada orang
dewasa, tidak selamanya patologis jika dijumpai pada bayi dan anak-anak. Refleks
Babinski positif yaitu terjadi respon yang abnormal terdiri dari ekstensi serta
pengembangan jari-jari kaki dan elevasi ibu jari kaki. 10,11
B. Alat dan Bahan
Palu refleksC. Cara Kerja
1. Hoffman Tromner
Hoffman’s sign dilakukan
dengan memposisikan tangan
pasien pada posisi pronasi
dengan jari tengan
hiperekstensi. Kemudian
kuku pasien dijentikkan
dengan kuat dan tegas oleh
jempol pemeriksa.12
Gambar 28. Hoffmann’s sign
Respon positif ditunjukkan dengan fleksi dari jempol pasien12
54
2. Refleks Babinski
Refleks babinski dilakukan
dengan menggoreskan telapak
kaki dari bawah ke atas, bisa
menggunakan benda seperti kunci
atau ballpoint.5
Gambar 29. Refleks Babinski
Terdapat refleks babinski apabila timbul ekstensi/dorsofleksi
jempol kaki dan menyebar atau membuka nya jari-jari lain (fanning).5
3. Variasi Babinski
1) Oppenheim
Refleks Oppenheim
dilakukan dengan
menggoreskan jari
sepanjang tepi depan
tulang tibia dari atas ke bawah.5
Gambar 30. Oppenheim’s sign13
2) Gordon
Refleks Gordon dilakukan dengan
memencet otot gasctrocnemeus.5
55
Gambar 31. Gordon’s sign13
3) Schaeffer
Refleks Schaefer dilakukan dengan
memencet tendon Achilles.5
Gambar 32. Schaeffer’s sign14
4) Chaddock
Refleks Chaddock dilakukan dengan
melakukan penggoresan sepanjang
tepi lateral kaki di luar telapak kaki,
dari bawah ke atas.5
Gambar 33. Chaddock’s sign12
4. Rossolimo
Refleks Rossolimo dilakukan
dengan melakukan pukulan pada
telapak kaki bagian depan.5
Gambar 34. Rossolimo’s sign14
Respon positif menunjukkan fleksi
dari jari-jari kaki.5
Gambar 35. Hasil Positif
Rossolimo’s sign14
56
5. Mendel Bechterew
Refleks Mendel Bechterew dilakukan
dengan melakukan pukulan pada bagian
dorsal kaki pada tulang cuboid.5
Gambar 36. Reflek Mendel
Bechterew15
Respon positif menunjukkan fleksi dari jari-jari kaki seperti pada refleks
Rossolimo.5
D. Interpretasi Hasil Pemeriksaan
1. Refleks positif menunjukkan adanya lesi UMN.5
2. Pada pemeriksaan Hoffman tromner, refleks positif bilateral
dapat dijumpai pada 25% orang normal, sedangkan refleks
positif unilateral Hoffman’s sign menunjukkan indikasi suatu
lesi UMN diatas segmen cervical VIII.5
3. Pada Hoffman’s sign positif unilateral mengindikasikan
kelainan patologi yang mengenai traktus kortikospinal,
ipsilateral spinal cord atau kontralateral hemisfer cerebri dan
batang otak.12
4. Pada babinski sign positif unilateral atau bilateral,
mengindikasikan kelainan patologi yang mengenai traktus
kortikospinal di cerebrum, batang otak dan spinal cord.12
5. Pada Babinski sign positif unilateral lesi ipsilateral atau
kontralateral hemisfer cerebri dan batang otak.12
6. Pemeriksaan Rossolimo dan Mendel Bechterew dianjurkan
untuk dilakukan karena pada beberapa kasus lesi UMN pada
mielum, kadang-kadang menunjukkan refleks Rossolimo dan
57
Mendel Bechterew tanpa adanya refleks Babinsky dan
variasinya.5
7. Refleks Rossolimo normal pada anak usia 2-3 bulan.14
8. Apabila refleks rossolimo dan babinsky positif suspect lesi pada
traktus pyramidal.14
9. Refleks Oppenheim positif menunjukkan suspect lesi pada
corticospinal motor system.14
10. Refleks Schaeffer positif menunjukkan suspect lesi pada traktus
pyramidal.14
11. Refleks Chaddock positif menunjukkan suspect lesi pada
corticospinal motor system.14
E. Rangkuman (Check List)
No
.
Jenis Pemeriksaan
1. Memperkenalkan diri, menyapa pasien dan menanyakan identitas pasien
2. Menjelaskan mengenai pemeriksaan yang akan dilakukan kepada pasien
3. Memposisikan pasien dalam keadaan nyaman dan siap untuk dilakukan
pemeriksaan
4. Mencuci tangan
5. Melakukan pemeriksaan refleks Hoffman Tromner
6. Melakukan pemeriksaan refleks Babinsky
7. Melakukan pemeriksaan refleks Oppenheim
8. Melakukan pemeriksaan refleks Gordon
9. Melakukan pemeriksaan refleks Schaeffer
10. Melakukan pemeriksaan refleks Chaddock
11. Melakukan pemeriksaan refleks Rossolimo
12. Melakukan pemeriksaan refleks Mendel Bechterew
13. Melaporkan hasil yang didapatkan
14. Menyampaikan interpretasi hasil pemeriksaan dengan benar
58
DAFTAR PUSTAKA
1. Bickley, Lynn S. Buku Ajar Pemeriksaan Fisik & Riwayat Kesehatan
Bates Edisi 8. Jakarta. EGC. 2009: 548-582;
2. Lumbantobing. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta:
FKUI, 2012. Hal. 21-86; 134-143
3. Damodaran O, et al. Cranial Nerve Assessment: A Concise Guide to
Clinical Examination. Clinical Anatomy. 2014; 27: 25–30.
4. Sidharta, P. Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi. Jakarta: Dian
Rakyat, 2008.
5. Juwono. Pemeriksaan klinik neurologik dalam praktek. Jakarta: EGC,
1996.
6. Froetscher M & Baehr M. Duus Topical Diagnosis in Neurology. 4th edition. Stuttgart: Thieme, 2005.
7. Riordan-Eva Paul and Whitcher John P. The Optic Nerve. In: Vaughan &
Asbury's General Ophthalmology 17th Edition. New York: Mc Graw-Hill
Lange, 2007.
8. Snell, Richard S. Neuroanatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran.
Jakarta: EGC, 2006.
9. Tim Penyusun Panduan Skills Lab. Neuropsikiatri, Panduan Skills Lab. Unand: Padang, 2011.
10. Merchut, M.P. Neurological Examination of Sensations, Reflexes and Motor Function Sensation. 2011. Page: 8-9.
11. Muttaqin, A. Pengantar asuhan keperawatan dengan gangguan system persarafan. Jakarta: Salemba, 2004.
12. Alpert, Jack N. The Neurological Diagnosis. New York: Springer, 2012.
13. Mumenthaler, Mark; Heinrich Mattle; Ethan Taub. Fundamental of
Neurology an Illustrated Guide. Thieme, 2006.
14. Cipriano, Joseph J. Photographic Manual of Regional Orthopaedic and
Neurologic Tests. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins, 2010.
15. Kolar, Pavel et al. Clinical Rehabilitation. Rehabilitation Prague School,
2013.
59
60
top related