tugas bloting.pdf
Post on 26-Dec-2015
39 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BIOTEKNOLOGI
“TEKNIK BLOTING DAN RT-PCR”
DISUSUN OLEH :
NAMA : WAHYUL MUTTAQIN
NIM : E1A012058
SEMESTER/KELAS : V/A
PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MATARAM
JANUARI 2015
BLOTING
Blot adalah suatu teknik memindahkan bagian protein yang telah
dipisahkan, RNA atau DNA dari gel ke lembaran tipis atau matriks membran agar
bagian protein tersebut mengalami imobilisasi.
Keuntungan teknik adalah ;
a. Akses yang lebih besar kepada molekul yang telah terikat ke permukaan
lembaran dibandingkan kepada molekul yang masih berada di dalam gel atau
matriks
b. Lebih sedikit reagen yang dibutuhkan
c. Waktu untuk melakukan staining dna destaining, inkubasi, mencuci, dll dapat
lebih singkat
d. Pola yang terbentuk dapat dikeringkan dan disimpan berbulan-bulan sebelum
dianalisis
e. Dapat dibuat banyak replika pola tersebut untuk memungkinkan banyak
metode analisis yang dipakai
f. Matriks
Matriks yang biasa dipakai dapat berupa nitroselulosa (NC). Namun NC juga
memiliki kekurangan, yaitu beberapa komponen yang memiliki afinitas lemah
dapat hilang selama pemrosesan. Matriks lain yang dapat digunakan untuk
menutupi kekurangannya yaitu kertas diazobenzyloxymethyl (DBM). Ada
pula kertas lain, yaitu diazophenylthioeter (DPT)
Beberapa Metode Blot yang Ada
1. Southern BLot
Southern blot pertama kali dikemukakan oleh Southern (1975). Teknik
ini mentransfer DNA ke kertas NC dengan menggunakan prosedur aliran
pelarut. Caranya yaitu dengan menempatkan gel elektroforesis ke kertas
matriks yang direndam buffer dan berada di atas sesuatu seperti spons yang
telah dibasahi dengan buffer. Membran tersebut diletakkan di atas gel dan
ditumpuk pula beberapa kertas peresap di atasnya. Buffer kemudian akan
mengalir pelan-pelan ke membran, demikian pula dengan gel yang membawa
molekul ke kertas membran, sementara gelnya diserap oleh kertas peresap.
Fragmen DNA yang spesifik dideteksi dengan menggunakan pelacak. Pelacak
biasanya merupakan DNA yang dimurnikan dan bisa ditandai dengan aktifitas
spesifik radionukletida. Lokasi sinyal yang terlihat setelah autradiografi
membuat kita dapat menentukan ukuran dari fragmen DNA tersebut.
Step
• Digestion of genomic DNA (w/ ≥ one RE) DNA fragments
• Size-separation of the fragments (standard agarose gel electrophoresis)
Step
• In situ denaturation of the DNA fragments (by incubation @ ↑temp)
• Transfer of denatured DNA fragments into a solid support (nylon or nitrocellulose).
Step
• Hybridization of the immobilized DNA to a labeled probe (DNA, RNA)
• Detection of the bands complementary to the probe (e.g. by autoradiography)
• Estimation of the size & number of the bands generated after digestion of the genomic DNA w/ different RE placing the target DNA within a context of restriction sites)
Southern blotting adalah teknik yang memungkinkan deteksi sekuens
DNA tertentu (gen atau lainnya) dalam besar, kompleks sampel DNA
(misalnya DNA seluler). “Sebelum PCR dan sequencing murah cepat berubah
pandangan kita tentang alam semesta yang genetika, Southern Blot adalah
pekerja keras yang universal. Tidak ada eksperimen dalam genetika molekular
yang tidak pada tahap tertentu menggunakan Southern Blot. Hal ini masih
merupakan alat yang berguna dan Anda perlu tahu tentang hal itu sehingga
Anda dapat menafsirkan data historis.
Southern Blotting Procedure
Diagram of the Southern blot technique. Figure is Copyright. If you would like to
use it for a lecture or science project, please contact us for permission.
a. Pada Langkah 1, DNA dicerna dengan pembatasan endonuklease. Tinggi berat
molekul DNA dicerna menjadi fragmen – fragmen yang lebih kecil.
b. Pada Langkah 2, DNA ini kemudian dipisahkan oleh ukuran dengan
elektroforesis pada gel agarosa.
c. Pada Langkah 3, selembar membran nilon atau nitroselulosa (ungu)
ditempatkan di atas gel agarosa dalam larutan buffer. Ini dianggap sebagai
blotting atau mentransfer panggung. Tekanan diberikan secara merata ke gel
baik menggunakan sedotan atau dengan menempatkan tumpukan kertas
handuk dan berat di atas membran dan gel untuk memastikan bahkan kontak
antara gel dan membran. Buffer transfer oleh kapiler dari wilayah potensi air
yang tinggi kepada daerah potensial air rendah (biasanya kertas filter dan
kertas tisu) yang kemudian digunakan untuk memindahkan DNA dari gel ke
membran. Membran bermuatan positif (ungu) biasanya digunakan yang
memungkinkan DNA untuk mengikat dengan afinitas tinggi untuk ion
membran melalui interaksi antara bermuatan negatif DNA dan membrane
bermuatan positif.
d. Pada Langkah 4, nitroselulosa membran dipanggang oleh paparan suhu tinggi
(60-100 ° C). Membran nilon terpapar radiasi UV. Langkah-langkah ini
digunakan untuk memastikan permanen dan kovalen crosslink DNA hadir
dalam band ke membran.
e. Pada Langkah 5, membran dihadapkan pada radiolabeled probe. Probe ini
beruntai tunggal fragmen DNA yang memiliki urutan minat Anda yang ingin
Anda mendeteksi. Probe ini diinkubasi dengan membran dan diperbolehkan
berhibridisasi dengan DNA pada membran. Probe biasanya radiolabeled
sehingga mereka dapat dideteksi pada film, namun baru juga digunakan probe
yang non-radioaktif seperti neon atau chromogenic pewarna. Setelah
hibridisasi, kelebihan terikat probe dicuci jauh dari membran,meninggalkan
probe terikat secara khusus.
f. Pada Langkah 6, pola hibridisasi dideteksi oleh visualisasi pada film sinar-X
oleh autoradiografi dalam kasus radioaktif atau fluorescent probe, atau
perkembangan warna pada membran jika metode deteksi chromogenic
dimanfaatkan.
Catatan untuk Langkah 3: Jika besar fragmen-fragmen DNA yang hadir
lebih besar dari 15 kb dalam ukuran dapat depurinated oleh maka asam HCl
encer sebelum blotting yang akan memecah DNA menjadi potongan-potongan
yang lebih kecil, lebih efisien sehingga memungkinkan transfer dari gel ke
membran. Jika Metode transfer basa digunakan, DNA gel dimasukkan ke dalam
larutan alkali (biasanya mengandung natrium hidroksida) untuk mengubah
sifat sesuatu benda untai ganda DNA. The denaturasi dalam situasi alkaline
menyediakan untuk peningkatan pengikatan DNA yang bermuatan negatif ke
membran bermuatan positif, memisahkannya ke dalam untai DNA tunggal
untuk kemudian hibridisasi dengan probe (lihat di bawah), dan
menghancurkan setiap residu yang mungkin masih RNA hadir dalam DNA.
2. Northern Blot
Tekniknya sama dengan Southern Blot, namun menggunakan kertas
DBM dan biasanya mendeteksi RNA. Northern Blot digunakan untuk
mempelajari pola ekspresi dari jenis tertentu molekul RNA sebagai
perbandingan relatif antara set sampel yang berbeda dari RNA. Ini pada
dasarnya adalah kombinasi dari denaturasi RNA elektroforesis gel, dan sebuah
noda. Dalam proses ini RNA dipisahkan berdasarkan ukuran dan kemudian
ditransfer ke membran yang kemudian diperiksa dengan pelengkap berlabel
urutan kepentingan. Hasilnya dapat digambarkan melalui berbagai cara
tergantung pada label yang digunakan, namun hasil yang paling dalam
penyataan band yang mewakili ukuran RNA terdeteksi dalam sampel.
Intensitas band-band ini berkaitan dengan jumlah RNA target dalam sampel
yang dianalisis. Prosedur ini umumnya digunakan untuk mempelajari kapan
dan berapa banyak ekspresi gen yang terjadi dengan mengukur berapa banyak
bahwa RNA hadir dalam sampel yang berbeda. Ini adalah salah satu alat yang
paling dasar untuk menentukan pada waktu apa, dan dalam kondisi apa, gen-
gen tertentu yang dinyatakan dalam jaringan hidup.
Northern blotting.
Pemisahan gel dan hibridisasi asam nukleat dapat juga untuk analisis
RNA menggunakan prosedur Northern blotting.
Beberapa hal yang membedakan dengan Southern blotting adalah:
1. RNA jauh lebih rentan terhadap degradasi dibanding DNA, oleh karena
itu elektroforesis dilakukan dalam bufer yang mengandung zat kimia
yang bersifat melindungi (biasanya formaldehid),
2. RNA sudah berupa untai tunggal dan membutuhkan kondisi denaturasi
yang lebih ringan,
3. RNA biasanya berukuran tertentu sehingga tidak memelukan digesti
enzim untuk memperoleh pola pita. Kedua prosedur sangat mirip karena
setelah elektroforesis RNA juga ditransfer ke membran melalui difusi
kapilaritas. Biasanya sinar UVdigunakan untuk mengikat (crosslink) RNA
pada membran sehingga tidak bergerak (imobilisasi).
3. Western Blot
Teknik ini pertama kali dibuat oleh W. Neal Burnette dan dinamai
western blot sebagai olok-olokan terhadap tekini southern blot yang pertama
kali ditemukan. Western blot merupakan teknik untuk mendeteksi protein
spesifik pada sampel jaringan yang homogenat ataupun dari suatu ekstraksi
berdasarkan kemampuan protein tersebut berikatan dengan antibodi. Teknik
ini menggunakan gel elektroforesis untuk memisahkan protein berdasarkan
panjang polipeptida atau berdasarkan struktur 3D-nya. Protein tersebut
kemudian ditransfer ke sebuah membran, biasanya nitroselulosa atau PVDF,
dimana mereka kemudian akan dilacak dengan menggunakan antibodi yang
spesifik kepada protein target. Western blot dapat mendeteksi suatu protein
dalam kombinasinya dengan sangat banyak protein lain, dapat memberikan
informasi mengenai ukuran dan ekspresi protein tersebut.
A. POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)
PCR (Polymerase Chain Reaction) adalah suatu teknik perbanyakan
(amplifikasi) potongan DNA secara in vitro pada daerah spesifik yang dibatasi
oleh dua buah primer oligonukleotida. Primer yang digunakan sebagai
pembatas daerah yang diperbanyak adalah DNA untai tunggal yang urutannya
komplemen dengan DNA templatnya. Proses tersebut mirip dengan proses
replikasi DNA secara in vivo yang bersifat semi konservatif.
PCR memungkinkan adanya perbanyakan DNA antara dua primer,
hanya di dalam tabung reaksi, tanpa perlu memasukkannya ke dalam sel (in
vivo). Pada proses PCR dibutuhkan DNA untai ganda yang berfungsi sebagai
cetakan (templat) yang mengandung DNA-target (yang akan di amplifikasi)
untuk pembentukan molekul DNA baru, enzim DNA polimerase,
deoksinukleosida trifosfat (dNTP), dan sepasang primer oligonukleotida. Pada
kondisi tertentu, kedua primer akan mengenali dan berikatan dengan untaian
DNA komplemennya yang terletak pada awal dan akhir fragmen DNA target,
sehingga kedua primer tersebut akan menyediakan gugus hidroksil bebas
pada karbon 3’. Setelah kedua primer menempel pada DNA templat, DNA
polimerase mengkatalisis proses pemanjangan kedua primer dengan
menambahkan nukleotida yang komplemen dengan urutan nukleotida
templat. DNA polimerase mengkatalisis pembentukan ikatan fosfodiester
antara OH pada karbon 3’ dengan gugus 5’ fosfat dNTP yang ditambahkan.
Sehingga proses penambahan dNTP yang dikatalisis oleh enzim DNA
polimerase ini berlangsung dengan arah 5’→3’ dan disebut reaksi polimerisasi.
Enzim DNA polimerase hanya akan menambahkan dNTP yang komplemen
dengan nukleotida yang terdapat pada rantai DNA templat.
PCR melibatkan banyak siklus yang masing-masing terdiri dari tiga
tahap berurutan, yaitu pemisahan (denaturasi) rantai DNA templat,
penempelan (annealing) pasangan primer pada DNA target dan pemanjangan
(extension) primer atau reaksi polimerisasi yang dikatalisis oleh DNA
polimerase.
PCR merupakan suatu teknik perbanyakan molekul DNA dengan
ukuran tertentu secara enzimatik melalui mekanisme perubahan suhu. Secara
ringkas, prinsip PCR dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada suhu 94-95oC,
DNA mengalami denaturasi (pembelahan untai ganda menjadi untai tunggal).
Waktu yang diperlukan untuk proses ini sekitar 30 detik pada suhu 95oC atau
15 detik pada suhu 97oC. Apabila DNA target mengandung banyak nukleotida
G/C, suhu denaturasi dapat ditingkatkan. Denaturasi yang tidak lengkap akan
menyebabkan renaturasi secara cepat, sedangkan waktu denaturasi yang
terlalu lama dapat mempengaruhi enzim taq polymerase. Hal ini sangat
berpengaruh terhadap keberhasilan proses PCR. Umumnya sebelum proses
siklus PCR dimulai sering kali dilakukan pre denaturasi selama 3-5 menit,
untuk menyakinkan bahwa molekul DNA target yang ingin dilipatgandakan
jumlahnya benar-benar terdenaturasi.
Tahapan PCR
1. Denaturasi
Selama proses denaturasi, DNA untai ganda akan membuka
menjadi dua untai tunggal. Hal ini disebabkan karena suhu denaturasi
yang tinggi menyebabkan putusnya ikatan hidrogen diantara basa-basa
yang komplemen. Pada tahap ini, seluruh reaksi enzim tidak berjalan,
misalnya reaksi polimerisasi pada siklus yang sebelumnya. Denaturasi
biasanya dilakukan antara suhu 90 oC – 95 oC.
2. Penempelan primer (Annealing)
Pada tahap penempelan primer (annealing), primer akan
menuju daerah yang spesifik yang komplemen dengan urutan primer.
Pada proses annealing ini, ikatan hidrogen akan terbentuk antara
primer dengan urutan komplemen pada templat. Proses ini biasanya
dilakukan pada suhu 50oC – 60oC. Selanjutnya, DNA polymerase akan
berikatan sehingga ikatan hidrogen tersebut akan menjadi sangat kuat
dan tidak akan putus kembali apabila dilakukan reaksi polimerisasi
selanjutnya, misalnya pada 72 oC.
3. Reaksi polimerisasi (extension)
Umumnya, reaksi polimerisasi atau perpanjangan rantai ini,
terjadi pada suhu 72oC. Primer yang telah menempel tadi akan
mengalami perpanjangan pada sisi 3’nya dengan penambahan dNTP
yang komplemen dengan templat oleh DNA polimerase.
Jika siklus dilakukan berulang-ulang maka daerah yang dibatasi oleh
dua primer akan di amplifikasi secara eksponensial (disebut amplikon yang
berupa untai ganda), sehingga mencapai jumlah copy yang dapat dirumuskan
dengan (2n)x. Dimana n adalah jumlah siklus dan x adalah jumlah awal
molekul DNA. Jadi, seandainya ada 1 copy DNA sebelum siklus berlangsung,
setelah satu siklus, akan menjadi 2 copy, sesudah 2 siklus akan menjadi 4,
sesudah 3 siklus akan menjadi 8 kopi dan seterusnya. Sehingga perubahan ini
akan berlangsung secara eksponensial. PCR dengan menggunakan enzim Taq
DNA polimerase pada akhir dari setiap siklus akan menyebabkan penambahan
satu nukleotida A pada ujung 3’ dari potongan DNA yang dihasilkan. Sehingga
nantinya produk PCR ini dapat di kloning dengan menggunakan vektor yang
ditambahkan nukleotida T pada ujung-ujung 5’-nya. Proses PCR dilakukan
menggunakan suatu alat yang disebut thermocycler.
Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (Rt-Pcr)
RT-PCR merupakan singkatan Reverse Transcription Polymerase Chain
Reaction. Seperti namanya, proses RT-PCR merupakan bagian dari proses PCR
biasa. Perbedaanya dengan PCR yang biasa, pada proses ini berlangsung satu
siklus tambahan yaitu adanya perubahan RNA menjadi cDNA
(complementary DNA) dengan menggunakan enzim Reverse Transkriptase.
Reverse Transcriptase adalah suatu enzim yang dapat mensintesa molekul
DNA secara in vitro menggunakan template RNA.
Seperti halnya PCR biasa, pada pengerjaan RT-PCR ini juga diperlukan
DNA Polimerase, primer, buffer, dan dNTP. Namun berbeda dengan PCR,
templat yang digunakan pada RT-PCR adalah RNA murni. Oleh karena primer
juga dapat menempel pada DNA selain pada RNA, maka DNA yang
mengkontaminasi proses ini harus dibuang. Untuk proses amplifikasi mRNA
yang mempunyai poly(A) tail pada ujung 3′, maka oligo dT, random heksamer,
maupun primer spesifik untuk gen tertentu dapat dimanfaatkan untuk
memulai sintesa cDNA.
Real-Time PCR Series
Real-Time PCR adalah teknik yang digunakan untuk menggandakan
DNA target dari suatu organisme yang dilakukan untuk tujuan mengetahui
kuantitas DNA target, melihat kuantitasnya secara relatif, ekspresi gen
(kuantifikasi mRNA), deteksi keberadaan DNA target, menentukan jenis SNP
(Single Nucleotide Polymorphism), menentukan kurva Tm (Melting Curve), dan
melakukan skrining High Resolution Melting (HRM).
Instrumen Real-Time PCR bekerja berdasarkan prinsip PCR
(Polymerase Chain Reaction), namun berbeda dengan instrumen PCR
konvensional, dengan Real-Time PCR, kita dapat mengamati proses
penggandaan DNA target secara real-time dari satu siklus PCR ke siklus
selanjutnya tanpa perlu melakukan elektroforesis (agarose) untuk melihat
hasilnya.
Oleh karenanya, untuk running Real-Time PCR, kita membutuhkan:
DNA target atau cDNA hasil isolasi, primer sesuai target, probe atau non-probe
yang membawa pewarna fluoresen yang nantinya akan dideteksi oleh
instrumen, enzim DNA Polymerase dan buffer reaksi.
Biasanya kita perlu menggunakan teknik ini apabila menginginkan
deteksi yang jauh lebih sensitif dengan limit deteksi dan limit kuantifikasi yang
lebih rendah, melakukan analisa kuantitatif, dan menghemat waktu dari
running hingga mendapatkan data.
Penentuan urutan nukleotida merupakan analisis DNA yang paling
detil. Ada beberapa teknik untuk sekuensing DNA, tetapi metode
penghentian rantai dengan dideoksi (dideoxy chain termination) yang
dikembangkan oleh Sanger adalah metode yang paling banyak digunakan
(Gambar 1-10). DNA mula-mula harus didenaturasi dan dipisahkan menjadi
untai tunggal dengan cara pemanasan. Satu primer oligonukleotida yang
dilabel radioaktif kemudian ditambahkan ke dalam reaksi dan akan
menempel pada sekuens pasangannya pada DNA target. DNA polimerase
digunakan untuk menyalin DNA untai tunggal. dNTP dalam jumlah banyak
(sampai jenuh) hanya akan menghasilkan produk ekstensi dengan ujung
terlabel radioaktif, tapi tidak menghasilkan informasi urutan basa.
Penambahan sedikit ddNTP ke dalam campuran dNTP akan dapat
memberikan informasi urutan basa DNA. Dideoksinukleotida akan
terinkorporasi pada ujung 3’ untai DNA yang baru disintesis. DNA
polimerase tidak dapat menambahkan basa baru pada ddNTP. Dengan
demikian, inkorporasi ddNTP mengakibatkan penghentian sintesis rantai
DNA. Penambahan dNTP dan ddNTP dengan rasio yang tepat
memungkinkan untuk menghentikan sintesis rantai DNA pada tiap posisi
nukleotida. Sebagai contoh, jika ektensi primer dilakukan menggunakan
dATP, dTTP, dGTP dann ddCTP, polimerase akan mensintesis untai DNA
baru sampai dia harus menggunakan ddCTP (misalnya ketika basa
komplemennya G). ddCTP akan terinkorporasi, dan pada titik ini DNA
polimerase tidak akan dapat melanjutkan ekstensi.
Dengan demikian, panjang produk hasil ekstensi yang terlabel
radioaktif menentukan osisi G pertama yang disalin. Untuk menentukan
posisi G yang lain, bukan hanya G yang pertama, reaksi sekuensing yang
sebenarnya dilakukan dengan menggunakan campuran dCTP dan ddCTP
dengan perbandingan ~200:1. Pada kondisi ini kemungkinan terjadi
penghentian rantai DNA adalah ~1:200 yang terjadi ketika terdapat G pada
DNA yang disekuensing. Akan diperoleh produk ekstensi dengan berbagai
panjang, yang dapat divisualisasi setelah elktroforesis pada gel
poliakrilamid. Berdasarkan pada panjang produk, maka tiap fragmen akan
menentukan posisi satu G. Untuk menentukan posisi keempat basa, empat
reaksi sekuensing dilakukan untuk tiap sampel. Pada tiap reaksi
dicampurkan dNTP dan ddNTP yang sesuai dikombinasi dengan 3 dNTP
lainnya dalam konsentrasi jenuh.
Keempat reaksi kemudian dielektroforesis bersebelahan pada gel
(poliakrilamiddenaturasi) sekuensing sehingga hasil sekuens DNA dapat
langsung dibaca. Secara teoritis sekuensing DNA nampaknya cukup rumit,
tapi sebenarnya pada kenyataannya relatif sangat mudah. Teknologi
modern telah memungkinkan untukmelakukan otomasisasi sekuensing
DNA. Untuk skala besar, robot dapat digunakan untuk menyiapkan reaksi
sekuensing. Yang lebih penting adalah peralatan yang ada saat ini telah
memungkinkan kita untuk dapat membaca hasil sekuensing secara
langsung dan sekaligus dapat menyimpan data ke dalam database
komputer. Selain mengurangi kerja manusia, otomasisasi demikian juga
mengurangi faktor kesalahan yang sering terjadi dalam pembacaan dan
pemulisan urutan DNA secara manual.
Kebanyakan mesin sekuensing sekarang menggunakan fluorescent
(cat yang berfluoresensi) sebagai pengganti radioaktif. Cat ini dapat
diinkorporasikan ke dalam primer sekuensing atau ke dalam nukleotida.
Seperti pada sekuensing manual, elektroforesis gel (atau elektroforesis
kapiler) digunakan untuk memisahkan fragmen DNA berdasrkan
ukurannya. Hanya saja pada sekuensing otomatis deteksi fragmen DNA
yang berfluoresensi dilakukan dengan bantuan sinar laser dan sinyal
diproses oleh komputer.
Gambar Sekuensing DNA
Cetakan, primer dan polimerase ditambahkan pada suatu reaksi yang
berisi dideoksi dan deoksinukleotida. Empat reaksi yang terpisah yang
masing-masing menggunakan ddATP, ddTTP, ddCTP dan ddGTP. Tiap reaksi
kemudian dirun (dielektroforesis) pada gel poliakrilamid. Atau sebagai
alternatif, reaksi sekuensing dilakukan menggunakan nukleotida (atau
primer) yang dilabel fluorescent agar dapat dideteksi dengan laser.
Sekuens/urutan DNA kemudian didownload ke komputer.
Metode sekuensing otomatis lainnya sedang dikembangkan,
termasuk penggunaan chips DNA. Pada strategi ini sejumlah besar
nukleotida yang diatur dan dilekatkan pada chips DNA. Hibridisasi fragmen
DNA pada chips memungkinkan deteksi sekuens yang overlap yang dapat
diubah menjadi sekuens DNA yang terhubung (nyambung). Teknologi ini
terutama akan sangat berguna untuk mendeteksi polimorfisme dan mutasi,
karena sekuens yang telah diketahui dapat dilekatkan pada chips dengan
variasi tertentu pada tiap nukleotida.
Sumber :
http://radenbondan.wordpress.com/2013/08/31/semester-3-teknik-southern-blot-
dalam-rekayasa-genetika-bakteri/
http://blogs.uajy.ac.id/reditatonapa/2013/05/28/blotting-apa-itu/
https://mahmuddin.wordpress.com/2010/08/31/polymerase-chain-reaction-pcr/
http://wanenoor.blogspot.com/2011/06/mengenal-pcr-polymerase-chain-
reaction.html#.VKlB2iuUfaU
top related