tradisi ngayau dalam masyarakat dayak: kajian … · kajian sastra dan folklor skripsi diajukan...
Post on 19-Nov-2019
14 Views
Preview:
TRANSCRIPT
TRADISI NGAYAU DALAM MASYARAKAT DAYAK:
KAJIAN SASTRA DAN FOLKLOR
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana S-1
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Erneta
NIM : 014114036
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2007
TRADISI NGAYAU DALAM MASYARAKAT DAYAK:
KAJIAN SASTRA DAN FOLKLOR
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana S-1
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Erneta
NIM : 014114036
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2007
i
Skripsi
TRADISI NGAYAU DALAM MASYARAKAT DAYAK:
KAJIAN SASTRA DAN FOLKLOR
Oleh
Erneta
NIM : 014114036
Telah disetujui
Pembimbing I
Drs. Yoseph Yapi Taum, M.Hum. Tanggal, 31 Januari 2008
Pembimbing II
Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum. Tanggal, 31 Januari 2008
ii
Skripsi
TRADISI NGAYAU DALAM MASYARAKAT DAYAK:
KAJIAN SASTRA DAN FOLKLOR
Dipersiapkan dan ditulis oleh
Erneta
NIM : 014114036
Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji
pada tanggal 11 Januari 2008
dan dinyatakan memenuhi syarat
Susunan Panitia Penguji
Nama Lengkap Tanda Tangan
Ketua : Drs. B. Rahmanto, M.Hum. ……………….
Sekretaris : Drs. Hery Antono, M.Hum. ……………….
Anggota : 1. Drs. Hery Antono, M.Hum. ……………….
2. Drs. Yoseph Yapi Taum, M.Hum. ……………….
3. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum. ……………….
Yogyakarta, 31 Januari 2008
Fakultas Sastra
Universitas Sanata Dharma
Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum.
Dekan
iii
HALAMAN PERSEMBAHAN
Orang yg hebat adalah orang yang mampu bersabar, bersyukur,
tersenyum, dan bersikap tenang dalam segala hal
Segalanya tercapai jika kau yakin, keyakinanlah yang membuat
segalanya tercapai
Jika impianmu cukup besar, segala halangan takkan berarti
Sabar adalah jalan keluar bagi orang yang tidak bisa menemukan
jalan keluar
Kuhaturkan kepada:
Tuhan YME
(Berkat rahmat, bimbingan, dan kasih-Nya)
Keluargaku….
(Atas doa dan kasih sayangnya)
iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan
daftar pustaka sebagaimana layaknya karangan ilmiah.
Yogyakarta, 20 Januari 2007
Penulis
Erneta
v
v
KATA PENGANTAR
Penulis memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
limpahan berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini. Skripsi yang berjudul “Tradisi Ngayau dalam Masyarakat Dayak: Kajian
Sastra dan Folklor” disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar
sarjana S-1 di Universitas Sanata Dharma.
Skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya kebaikan, bantuan, dan
dukungan baik secara material maupun spiritual dari berbagai pihak. Kebaikan,
bantuan, dan dukungan tersebut senantiasa hadir dalam kehidupan penulis
terutama saat menjalani perkuliahan di Universitas Sanata Dharma.
Oleh karena itu, perkenankan penulis menyampaikan terima kasih kepada
berbagai pihak yang telah membantu dan memperlancar proses penulisan skripsi
ini:
1. Drs. Yoseph Yapi Taum, M.Hum, selaku dosen pembimbing I, atas
bimbingan, masukan, kesabaran, serta semangat yang selama ini telah
diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi di Universitas
Sanata Dharma.
2. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum, selaku dosen pembimbing II, atas
bimbingan dan masukannya yang telah diberikan kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi di Universitas Sanata Dharma.
3. Drs. B. Rahmanto, M.Hum, Drs. P. Ari Subagyo, M.Hum, Drs. FX.
Santosa, MS, Dra. F. Tjandrasih Adji, M.Hum, Drs. Hery Antono,
vi
M.Hum, Dra. S.E Peni Adji, S.S, M.Hum, atas ilmu dan perkuliahan yang
telah diberikan kepada penulis selama menempuh kuliah di Universitas
Sanata Dharma.
4. Bapak (F.C. Litjun, Ins) dan Ibu (Inocentia Utji), atas doa dan kasih
sayangnya yang telah membesarkan penulis hingga saat ini.
5. Kakak-kakakku ( Iro, Niko, Lenti, Klara, Merin, Suanto) atas nasihat dan
doanya.
6. Adik dan Keponakan-keponakanku (Dodi, Linda, Resnu, Oskar, Riu,
Meisya, Aurel, dan Dyo), terima kasih atas spirit yang tak henti-hentinya
kalian berikan kepada kakak tersayang.
7. Yustinus Edy Siswanto yang telah menemani penulis dalam suka dan duka
serta kasih sayang yang tulus, telah mendukung penulis untuk cepat
selesai.
8. Sahabat-sahabatku (Kak Acid, Bita, Rita, Nina dan Ria) atas bantuan,
semangat, dan perjuangannya.
Penulis telah berusaha dengan semaksimal mungkin dalam menyusun
skripsi ini, namun penulis menyadari skripsi ini jauh dari sempurna. Peneliti
masih memiliki banyak kekurangan. Segala kekurangan yang masih terdapat
dalam skripsi ini merupakan tanggungjawab penulis semata-mata. Semoga
karya ini dapat bermanfaat.
Yogyakarta, 20 Januari 2007
Penulis
vii
ABSTRAK
Erneta. 2007. Tradisi Ngayau dalam Masyarakat Dayak: Kajian Sastra danFolklor. Skripsi Strata 1 (S-1). Program Studi Sastra Indonesia, JurusanSastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.
Dalam skripsi ini dibahas Tradisi Ngayau dalam Masyarakat Dayak:
Kajian Sastra dan Folklor. Judul ini dipilih karena dua alasan, yaitu (1) studi
khusus tentang tradisi Ngayau sampai saat ini belum pernah dilakukan sehingga
latar belakang mitologinya belum diungkapkan secara tuntas, (2) penelitian ilmu
sastra terhadap keberadaan sastra lisan dan folklor di Indonesia belum banyak
diberikan hingga saat ini. Tradisi Ngayau (berburu kepala) merupakan salah satu
tradisi yang sudah melekat dalam diri masyarakat Dayak yang sangat menarik
untuk dikaji tentang seluk beluk dan proses ritualnya. Penelitian ini dapat
dikatakan sebagai upaya awal yang menjembatani kesenjangan antara ilmu sastra
dengan sastra lisan dan folklor. Untuk itu tujuan penelitian ini adalah (1) melacak
dan mendeskripsikan seluk beluk tradisi Ngayau di Kabupaten Landak,
Kalimantan Barat melalui cerita-cerita lisan dan hasil wawancara, (2) menjelaskan
proses pelaksanaan ritual Ngayau di Kabupaten Landak, Kalimantan Barat.
Pendekatan yang digunakan dalam studi ini adalah pendekatan folklor.
Kerangka teori yang digunakan sebagai bahan referensi adalah analisis structural
dan teori liminalitas. Penelitian ini menggunakan beberapa teknik pengumpulan
data yaitu: teknik observasi dan teknik wawancara.
Hasil penelitian mengenai tradisi Ngayau ini menunjukkan bahwa (i)
tradisi Ngayau merupakan ritual berburu kepala manusia dalam masyarakat
Dayak, (ii) proses dan tatacara ritual tradisi Ngayau diawali dengan persiapan
(berisi uraian tentang tempat, waktu, dan sesaji) dan proses pelaksanaan ritual
tradisi Ngayau.
viii
ABSTRACT
Erneta, 2007. A Tradition of Ngayau in Dayak Society: Literature andFolklore Analysis. S-1 Degree Thesis. Indonesian Literature Study Program,Department of Indonesian Literature. Faculty of Literature. Sanata DharmaUniversity.
This thesis will describe the tradition of Ngayau in Dayak Society:
Literature and Folklore Analysis. This title was selected because of two reasons,
namely (1) as a specific study of Ngayau tradition has never been done before, the
background mythology of Ngayau has not been thoroughly revealed, (2) a
literature research of the existance of verbal literature and folklore in Indonesia is
rarely conducted nowadays. The tradition of Ngayau (head hunting), as one of the
traditions that has been closely related to Dayak Society is interesting to have
analysis on the details and it’s ritual ceremony. This study can be considered as an
initial attempt which connects the gap among literature knowledge, verbal
literature and folklore. Therefore, the objectives of this study were (1) to
investigate and describe the origin of Ngayau tradition in Landak Region, West
Kalimantan through folk tales and interviews, (2) to explain the process of
Ngayau ritual ceremony in Landak Region, West Kalimantan.
The approach employed in this study was folklore approach. Theoretical
framework applied as the reference was structural analysis, liminalitas theory, and
Ngayau viewed from Dayak culture perspective. In this study, observation and
interview techniques were employed to collect the data.
The results of the research about this Ngayau tradition showed that (i)
Ngayau tradition was a ritual of human head hunting in Dayak Society, (ii) a
process and steps of Ngayau tradition were initiated by preparation (consists of
place, time, and offerings) and a ritual process of Ngayau tradition.
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………………. i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ……………………………….. ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ………………………...…………... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ………………………………………...…….. iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……………………………………….. v
KATA PENGANTAR …………………………………………………….....… vi
ABSTRAK ………………………………………………………..…………… viii
ABSTRACT …………………………………………………………………….. ix
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………. x
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………… 1
1.1 Latar Belakang ……....……………………………………...……………….. 1
1.2 Rumusan Masalah ……………………………………..…………………….. 5
1.3 Tujuan Penelitian ……………………………………………………..……... 5
1.4 Manfaat Penelitian ………………………………………………..………..... 6
1.5 Tinjauan Pustaka ……………………………………………………..……… 6
1.6 Kerangka Penelitian ……………………………………………………….... 7
1.6.1 Folklor, Analisis Struktural, Teori Liminalitas ……………………….. 7
1.6.1.1 Folklor ……………………………..…………………………. 7
x
1.6.1.2 Analisis Struktural …………………………………………….. 9
1.6.1.2.1 Analisis Unsur Penceritaan ………………………….. 9
1.6.1.2.2 Analisis Isi (Content Analysis) ……………………....11
1.6.1.3 Teori Liminalitas Victor Turner..................…………………....12
1.7 Metode dan Teknik Penelitian ……………………………………………....13
1.7.1 Pendekatan Penelitian ………………………………………………....13
1.7.2 Metode Penelitian …………………………………………………......14
1.7.3 Teknik Pengumpulan Data …………………………………………....14
1.7.3.1 Teknik Observasi ……………………………………………...14
1.7.3.2 Teknik Wawancara ………………………………………........15
1.8 Subjek dan Lokasi Penelitian ……………………………………………….15
1.8.1 Lokasi Penelitian ………………………………………………….......15
1.8.2 Narasumber ……………………………………………………………16
1.9 Sistematika Penyajian………………………………………………………..16
BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ……………………18
2.1 Sejarah Singkat Kabupaten Landak …………………………………………18
2.2 Topografi dan Demografi Kabupaten Landak ………………………………22
2.3 Masyarakat dan Budaya Dayak di Kabupaten Landak ……………………...26
2.3.1 Kepercayaan Rakyat dari Cerita-cerita Rakyat Kabupaten Landak…...26
2.3.2 Ritual-ritual ……………………………………………………………29
2.4 Tradisi Ngayau di Kabupaten Landak dalam Konteks Sastra dan Budaya
Dayak ..……………………………………………………………………...30
xi
BAB III DESKRIPSI DAN ANALISIS STRUKTURAL CERITA ASAL-
USUL TRADISI NGAYAU DALAM MASYARAKAT DAYAK….33
3.1 Pengantar ……………………………………………………….……………33
3.2 Terbitan Teks ………………………………………………………………...34
3.2.1 Teks A (Asal Mula Padi ; Kisah Ne’ Jaek dan Ne’ Baruakng Kulup)…34
3.2.2 Teks B (Parang Miaju Padokoatn Malanggar Jawa ; Asal Mula
Penduduk Kalimantan) ………………………………………………...50
3.2.3 Teks C ( Cerita Tradisi Ngayau) ……………………………….….......53
3.2.3.1 Terjemahan dalam Bahasa Dayak Kanayatn …………………..53
3.2.3.2 Terjemahan dalam Bahasa Indonesia ………………….……....55
3.2.4 Teks D (Tradisi Ngayau di Masa Silam) …………………………........57
3.2.4.1 Terjemahan dalam Bahasa Dayak Kanayatn …………………..57
3.2.4.2 Terjemahan dalam Bahasa Indonesia ……………………..…...58
3.2.5 Teks E ( Tradisi Ngayau dan Proses Pelaksanaannya) ……………......59
3.3 Analisis Struktur …………………………………….………………………62
3.3.1 Teks A (Asal Mula Padi ; Kisah Ne’ Jaek dan Ne’ Baruakng Kulup)…63
3.3.2 Teks B (Parang Miaju Padokoatn Malanggar Jawa ; Asal Mula
Penduduk Kalimantan) ……….………………………………………..66
3.4 Analisis Isi (Content Analysis) …………………..…………………………..68
3.4.1 Teks C ( Asal-usul Tradisi Ngayau) …………………..…………….....69
3.4.2 Teks D (Tradisi Ngayau di Masa Silam) ………………………………69
3.4.3 Teks E ( Tradisi Ngayau dan Proses Pelaksanaannya) ……………......70
3.5 Rangkuman ………………………………………………………………......71
xii
3.5.1 Tabel Perbandingan Teks ……………………………………………...71
BAB IV TAHAP PELAKSANAAN TRADISI NGAYAU DALAM
MASYARAKAT DAYAK ……………........………………………...74
4.1 Pengantar ………………………………..…………………………………...74
4.2 Tahap Ritual Tradisi Ngayau ………………………………..……….……...77
4.2.1 Tempat …………………………..…………………………………….77
4.2.2 Waktu ……………………………...…………………………………..78
4.2.3 Sesaji ………………………………………...………………………...79
4.3 Tahap Pelaksanaan Ritual Tradisi Ngayau.……...……………….…...……...82
4.4 Tahap Setelah Pelaksanaan Ritual Tradisi Ngayau ………………………….88
4.5 Rangkuman …………………………………………………………………..89
BAB V PENUTUP …………………………………..………………………….91
5.1 Kesimpulan ……………………………………..…………………………....91
5.2 Saran …………………………………..…………………………...………...92
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BIOGRAFI
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Istilah ‘Dayak’ paling umum digunakan untuk menyebut ‘orang-orang asli
non-Muslim, non-Melayu yang tinggal di pulau Kalimantan’ (King, 1993:29).
Menurut Lindbland, kata Dayak berasal dari sebuah kata daya dari bahasa
Kenyah, yang berarti hulu [sungai] atau pedalaman (1988:2). King lebih jauh
menduga-duga bahwa Dayak juga berasal dari kata aja, sebuah kata dari bahasa
Melayu yang berarti asli atau pribumi (1933:30). Dia juga yakin bahwa kata itu
mungkin berasal dari sebuah istilah dari bahasa Jawa Tengah yang berarti perilaku
‘yang tak sesuai atau yang tak ada tempatnya’ (King, 1993:30).
Ada pula penafsiran yang menilai Dayak berasal dari kata "Daya" yang
berarti hulu sungai karena umumnya mereka tinggal di pelosok. Dayak sebagai
ungkapan warga Belanda yang berkonotasi negatif yakni berasal dari kata
“Dayaker” atau kaum buas.
Literatur antropologi klasik cenderung memotret Dayak sebagai kelompok
yang eksotik dan unik, yang bercirikan kebiasaan berburu kepala, tinggal di rumah
panjang, animisme, dan gaya hidup nomadik. Gambaran tentang Dayak sebagai
sebuah entitas ‘lain’ (other) yang terasing, tak tersentuh peradaban dan kebal dari
perubahan, yang membedakan mereka dari orang-orang Eropa yang disebut
sebagai pelaku sejarah yang aktif, dapat dilihat dengan jelas meskipun bukan
berarti bahwa hal ini hanya dapat ditemui dalam masa-masa kolonial saja.
(Maunati, 2004:61).
1
Dayak mempunyai sekitar 450 subsuku yang tersebar di seluruh
Kalimantan. Ada banyak versi tentang kelompok suku-suku tersebut. Pada
mulanya semua subsuku tersebut adalah bagian dari kelompok yang sama, tetapi
karena proses geografi dan demografi yang berlangsung selama lebih dari seribu
tahun, kelompok ini menjadi terpecah-pecah.
Masyarakat Dayak adalah masyarakat yang memiliki banyak tradisi dan
adat istiadat seperti di daerah lainnya di Nusantara. Akan tetapi, tidak banyak
orang yang tertarik menelitinya sehingga kebanyakan orang Indonesia masih
merasa asing dengan kebudayaan Dayak. Sebagian orang dari luar Dayak
mungkin masih merasa takut untuk masuk ke Pulau Kalimantan dengan alasan
takut ‘dimakan oleh orang Dayak’ yang erat kaitannya dengan tradisi Ngayau. Hal
ini disebabkan karena pengetahuan mereka tentang tradisi Ngayau masih sangat
dangkal dan tidak utuh. Tradisi Ngayau memiliki aturan dan alasan tersendiri, dan
tidak dilaksanakan dengan sembarangan. Masyarakat Dayak juga punya hati dan
perasaan. Memang ada juga masyarakat Dayak pedalaman yang bisa
membuktikan kesaktiannya yang mungkin sulit dipercaya oleh masyarakat biasa.
Secara historis, terdapat berbagai kekuatan yang bekerja membangun dan
membentuk pandangan tentang ‘orang-orang Dayak’. Dengan menyertakan
embel-embel ‘primitif’, orang-orang Barat menggambarkan orang Dayak sebagai
pemburu kepala dan sebagai orang-orang yang hidup secara komunal dari berburu
dan mengumpulkan, dan tinggal di rumah-rumah panjang (Maunati, 2004:6).
Penekanan pada adat kebiasaan yang ‘eksotik’ yang dimiliki oleh orang-orang
Dayak – seperti berburu kepala, pengelompokan sosial mereka di rumah-rumah
2
panjang, memburu dan mengumpulkan, serta ritual-ritual kematian mereka
mengingatkan orang pada sisi Kalimantan sebagai Pengayau yang sadis.
Oleh karena itu, sisi Kalimantan yang indah, burung Enggang yang cantik,
dan lenggak lenggok penari Dayak diiringi irama musik etnik yang terkadang
diselingi oleh teriakan perang para penari prianya tidak populer di mata banyak
orang. Keanekaragaman, keindahan, keunikan dan eksotisme memang telah
menjadi trademark Kalimantan bahkan sejak jaman kolonial dulu. Namun sayang
tidak banyak yang menyadari bahwa kekayaan dan keunikan alam Kalimantan
terbentuk karena adanya sebuah sistem pendukung yang memungkinkan totalitas
kehidupan masyarakat adat yakni kebudayaan dan lingkungan hidupnya (termasuk
tradisi, kepercayaan, kesenian dan hukum adat) tetap eksis selama ribuan tahun
(Andasputra, 2001:71).
Dalam penelitian ini, penulis akan mengungkap seluk beluk tradisi Ngayau
dalam masyarakat Dayak. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI,
1990:959), yang dimaksud dengan tradisi adalah adat kebiasaan turun-temurun
(dari nenek moyang) yang masih dilakukan di masyarakat. Tradisi Ngayau
sebetulnya sudah tidak dipraktikkan lagi karena alasan tidak sesuai dengan hukum
di Indonesia.
Banyak versi yang menyebutkan motivasi atau faktor-faktor yang
mendorong masyarakat melakukan tradisi Ngayau. Ada yang mengatakan Ngayau
menandai fase kedewasaan. Ada pula yang menyebutkan bahwa Ngayau adalah
suatu simbolik kejantanan. Masih banyak versi lain yang akan diketahui setelah
menelusuri lebih jauh berbagai sumber. Tradisi berburu musuh, lazim disebut
3
Ngayau ini dulu dicatat pernah berkembang luas dalam masyarakat Dayak
Kalimantan. Narasi yang sering kita baca/dengar atau definisi yang kita susun
seperti “perang antar kampung”, “perang antar yang berbeda fam/marga”, atau
“perang antar subsuku” di kalangan masyarakat Dayak mungkin termasuk dalam
pengertian Ngayau. Bahkan, bisa jadi, juga perang Dayak-Madura yang
menghebohkan beberapa tahun belakangan dipahami sebagian masyarakat Dayak
sebagai pelaksanaan Ngayau.
Ngayau adalah salah satu bentuk kompleks perilaku sosial yang terjadi
dalam masyarakat Dayak. Ada yang beranggapan tradisi Ngayau masih ada di
masa kini. Jika ditelusuri lebih dalam lagi, sebenarnya generasi tahun 1960-an
sudah tak mengenal atau mengalami tradisi ini. Dalam kenyataan sebagaimana
yang terjadi, Ngayau sama sekali tidak dikenal lagi oleh masyarakat Dayak.
Ngayau sebenarnya merupakan ritual berburu kepala manusia di zaman
dulu. Adat Ngayau merupakan satu tradisi silam turun-temurun di masyarakat
Dayak. Tradisi ini memberi peluang bagi seorang lelaki menunjukkan
keberaniannya. Sebelum menikah seorang lelaki perlulah keluar dari daerah
tinggalnya dan pergi berburu kepala manusia dalam satu adat yang disebut
Ngayau itu. Seorang lelaki yang berhasil mendapat banyak kepala ketika
'Mengayau' ini mudah diterima sebagai menantu bagi keluarga yang dipinangnya.
Kepala-kepala tersebut akan dijadikan barang hantaran dan akan digantung di
rumah-rumah panjang sebagai semangat memelihara rumah. Dari paparan di atas,
cukup jelas bahwa masyarakat Dayak dengan tradisi meNgayau-nya telah menjadi
pusat perhatian banyak orang.
4
Untuk itulah, melalui penelitian ini penulis ingin mengangkat tradisi yang
sangat terkenal dalam masyarakat Dayak yaitu tradisi Ngayau, bagaimana tradisi
Ngayau bisa terjadi berikut proses pelaksanaannya. Penulis juga ingin agar
masyarakat non Dayak memahami betul agar tidak salah persepsi terhadap semua
orang Dayak yang dianggap “bisa memakan orang lain”.
Dengan mengkaji topik ini, penulis berharap dapat menyediakan
informasi-informasi yang berguna bagi siapapun yang ingin memahami secara
lebih mendalam mengenai tradisi Ngayau dalam masyarakat Dayak.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, masalah yang akan dibahas dalam penelitian
ini dapat dirumuskan sebagai berikut.
1.2.1 Bagaimanakah seluk beluk tradisi Ngayau dalam masyarakat Dayak?
1.2.2 Bagaimanakah proses pelaksanaan ritual Ngayau dalam masyarakat
Dayak?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan masalah diatas,
penelitian ini bertujuan sebagai berikut.
1.3.1 Melacak dan menjelaskan seluk beluk tradisi Ngayau dalam masyarakat
Dayak melalui cerita-cerita lisan dan tertulis.
1.3.2 Mendeskripsikan proses pelaksanaan ritual Ngayau dalam masyarakat
Dayak.
5
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Dalam bidang sastra lisan dan folklor, hasil ini dapat menambah wawasan
mengenai penelitian tradisi lisan, termasuk tradisi Ngayau yang terdapat
dalam masyarakat Dayak di Kalimantan.
1.4.2 Menerapkan teori sastra ke dalam teks-teks sastra lisan yang selama ini
tidak dianggap sebagai karya sastra.
1.4.3 Bagi masyarakat luas, hasil penelitian ini dapat memberikan referensi
untuk memahami realitas tentang tradisi Ngayau yang tidak bisa
dimengerti secara rasional.
1.5 Tinjauan Pustaka
Penelitian tentang tradisi Ngayau belum banyak dilakukan. Laporan hasil
penelitian dan buku yang ada sekarang hanya menjelaskan sepintas tentang seluk
beluk tradisi Ngayau.
Buku yang berjudul “Identitas Dayak : Komodifikasi dan Politik
Kebudayaan” karangan Drs. Yekti Maunati (2004) mengulas komodifikasi politik
dan budaya dalam masyarakat Dayak yang hanya mendeskripsikan tradisi Ngayau
sebagian kecil saja. Begitu juga dengan buku “Pelajaran dari Masyarakat Dayak
: Gerakan Sosial dan Ekologis di Kalimantan Barat” besutan Nico Andasputra
(2001) yang mengungkapkan tentang gerakan sosial dan ekologis yang terjadi di
lingkungan masyarakat Dayak itu sendiri, dengan buku yang berjudul “Dayak :
Dahulu, Sekarang, Masa Depan” karangan Mikhail Coomans (1987) mengulas
tentang bagaimana tingkah pola manusia Dayak pada zaman dahulu hingga
sekarang tetapi tidak mengungkap secara luas bagaimana tradisi Ngayau itu
6
terjadi.
Dari tinjauan pustaka tersebut, tampak bahwa buku-buku di atas belum
secara tuntas mengungkap bagaimana tradisi Ngayau terjadi dan proses
pelaksanaannya. Untuk itu, studi ini sangat diperlukan agar ditemukan kejelasan
tentang tradisi Ngayau dan kaitannya dengan masyarakat Dayak.
1.6 Kerangka Teori
Dalam skripsi ini, peneliti menggunakan tiga kerangka teori untuk
memecahkan masalah di atas, yaitu (i) folklor, (ii) analisis struktural, dan (iii)
teori liminalitas Victor Turner.
1.6.1 Folklor, Ilmu Sastra dan Teori Liminalitas
1.6.1.1 Folklor
Istilah folklor pertama kali dikemukakan oleh William John Thoms,
seorang ahli kebudayaan kuno (Artiquarian) Inggris, sebagai ganti istilah “popular
antiguitas”.
Folklor adalah sebuah ilmu yang mempelajari kebudayaan masyarakat
tertentu. Folk yang berarti, 1) Collectivity, sekelompok orang yang memiliki ciri-
ciri pengenal fisik, sosial dan kebudayaan yang sama (bisa dibedakan dari
kelompok lain). Fisik: warna kulit, bentuk rambut yang sama. Sosial : mata
pencaharian. Budaya : pendidikan, bahasa. 2) Lore, tradisi lisan dari folk,
kebudayaan yang diwariskan secara lisan atau melalui contoh yang disertai gerak
(misalnya : tarian) atau alat pembantu pengingat (mnemonic device).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi kedua), folklor didefinisikan
sebagai adat-istiadat tradisional dan cerita rakyat yang diwariskan turun- temurun,
7
tetapi tidak dibukukan. Atau, ilmu adat-istiadat tradisional dan cerita rakyat yang
tidak dibukukan.
Menurut Brunvard, folklor adalah suatu ciptaan (creations) dari suatu
kelompok atau seorang individu, yang berorientasi pada kelompok, dan
berdasarkan pada tradisi yang merefleksikan cita-cita dari suatu komunitas
sebagai suatu ungkapan jati diri kebudayaan masyarakatnya ; batasan-batasan,
standar-standar, dan nilainya diwariskan secara lisan, mencontoh (imitation), atau
dengan cara lain (Danandjaja, 2003:35).
Folklor Indonesia yang berjenis lisan ada dua jenis, yaitu kepercayaan
rakyat dan permainan rakyat (Danandjaja, 1984:153).
Adapun ciri-ciri folklor adalah: 1) It is Oral (penyebaran/pewarisannya
dilakukan secara lisan, dari mulut ke mulut atau disertai contoh/gerak dan alat
pembantu pengingat (memory device), 2) It is traditional (disebarkan dalam
bentuk standar/relatif tetap) disebarkan di antara kolektif tertentu dalam waktu
yang cukup lama, paling kurang dua generasi (bertahan sampai dua atau lebih
generasi), 3) It is exist in different versions (hadir dalam versi-versi bahkan
varian-varian yang berbeda-beda). Karena penyebarannya dari mulut ke mulut
(lisan), folklor dengan mudah mengalami perubahan. Banyaknya versi antara lain
disebabkan oleh (a) lupa, (b) proses interpolasi, dan (c) transformasi. Meskipun
demikian, core atau bentuk dasar folklor relatif tetap (Taum, 2003).
Kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi masyarakat dan
manusia. Kebudayaan diciptakan oleh manusia untuk menentukan norma-norma
atau kaidah. Dengan kebudayaan yang diciptakan, manusia mengatur hidupnya.
8
Karya masyarakat mewujudkan norma-norma dan nilai-nilai sosial yang sangat
perlu untuk mengadakan tata tertib dalam pergaulan kemasyarakatan (Soekamto,
1990: 194). Masyarakat dan kebudayaan merupakan perwujudan atau abstraksi
perilaku manusia (Soekamto, 1990:202). Pola-pola tingkah laku masyarakat di
samping ditentukan oleh kebiasaan dipengaruhi pula oleh kebudayaan
masyarakatnya (Soekamto, 1990).
1.6.1.2 Analisis Struktural
Dalam skripsi ini, peneliti menggunakan dua analisis yaitu, analisis unsur
penceritaan dan analisis isi (content analysis).
1.6.1.2.1 Analisis Unsur Penceritaan
Dalam studi ini akan dilakukan analisis struktural terhadap teks-teks yang
diperoleh. Analisis itu akan mencakup: tokoh, latar, alur, dan tema. Tokoh adalah
orang atau pelaku cerita. Dalam sebuah cerita biasanya terdapat tokoh utama dan
tokoh tambahan. Tokoh ini dibedakan berdasarkan segi peranan dan tingkat
pentingnya tokoh.
Analisis struktur cerita biasanya berisi penjabaran tema, alur, tokoh, dan
latar. Hartoko dan Rahmanto (1986:144) memaparkan tokoh adalah pelaku atau
aktor yang dianggap sebagai tokoh konkret dan individual. Pengertian tokoh lebih
luas daripada aktor atau pelaku yang hanya berkaitan dengan fungsi seseorang
dalam teks naratif atau drama. Citra tokoh disusun dengan memadukan berbagai
faktor, yakni apa yang difokalisasinya (hubungan antara unsur-unsur cerita
dengan visi yang meliputi unsur-unsur tertentu), bagaimana ia memfokalisasi,
oleh siapa dan bagaimana ia difokalisasi, kelakuannya sebagai pelaku dalam
9
deretan peristiwa, ruang dan waktu (suasana) serta pertentangan tematis di dalam
karya itu yang secara tidak langsung merupakan bingkai acuan bagi tokoh. Tokoh
yang bersangkutan dapat “dihidupkan” berdasarkan konvensi yang diketahui oleh
pembaca. Sedangkan, menurut Sudjiman (1986:79) tokoh adalah individu rekaan
yang mengalami peristiwa atau berlaku di dalam berbagai peristiwa dalam cerita.
Latar (setting) adalah penetapan dalam ruang dan waktu seperti yang
terjadi dalam karya naratif dan dramatis. Latar sangat penting untuk menciptakan
suasana dalam karya atau adegan serta untuk menyusun pertentangan tematis
(Hartoko dan Rahmanto, 1986:78). Pengertian lain, latar adalah segala keterangan
mengenai waktu, ruang dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra
(Sudjiman,1986:48). Menurut Hartoko dan Rahmanto (1986:10), alur (plot)
secara komplementer berkaitan dengan cerita (story) yang dikembangkan oleh
konflik dan berkaitan dengan kausalitas (sebab-akibat) suatu cerita. Alur flash
back atau flash forward sering digunakan dalam teknik bercerita. Menurut
Sudjiman (1986:4) alur adalah jalinan peristiwa di dalam karya sastra untuk
mencapai efek tertentu. Alur dapat diwujudkan dengan hubungan temporal
(waktu) dan hubungan kausal (sebab-akibat). Alur juga dapat diartikan ‘sebagai
rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin dengan seksama untuk menggerakkan
jalinan cerita melalui rumitan ke arah klimaks dan penyelesaian’. Alur (plot) juga
diartikan ‘sebagai sesuatu yang menonjol dalam sebuah karya fiksi atau suatu
dasar serta alasan yang menyebabkan terjadinya perkembangan jalinan cerita’
(Sumardjo,1983:55).
10
Tema adalah gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra
dan terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis serta menyangkut
persamaan-persamaan maupun perbedaan-perbedaan. Tema disaring dari motif
konkret yang menentukan urutan peristiwa atau situasi tertentu. Tema sering
disebut sebagai sub judul sebuah roman (Hartoko dan Rahmanto,1986:142).
Sedangkan menurut Sumardjo (1983:57) tema adalah pokok pembicaraan dalam
sebuah cerita. Dalam cerita tersebut tidak hanya sekedar berisi rentetan kejadian
yang disusun dalam sebuah bagan, tetapi susunan bagian itu sendiri harus
mempunyai maksud tertentu dan pengalaman yang dibeberkan pada sebuah cerita
harus mempunyai permasalahan. Kebanyakan cerita membahas sesuatu masalah
pokok yang terus menerus dibicarakan sepanjang cerita.
1.6.1.2.2 Analisis Isi (Content Analysis)
Analisis isi adalah metodologi penelitian yang menggunakan sekumpulan
prosedur untuk membuat kesimpulan teks yang valid. Kesimpulan itu tentang
pengirim pesan itu sendiri ataupun penerima pesan (Weber,1990:9).
Ketentuan proses yang dapat disimpulkan ini berbeda menurut kata benda
dan teoritis dari penyelidik, dan dibahas dalam bab yang berurutan. Analisis ini
dapat digunakan dalam banyak tujuan. Di bawah ini adalah beberapa contoh:
1. Membandingkan media atau “tingkatan” tentang komunikasi.
2. Isi komunikasi audit melawan terhadap sasaran hasil.
3. Kode pertanyaan terbuka di dalam survei.
4. Mengidentifikasi niat dan karakteristik lain dari komunikator.
5. Menentukan keadaan psikologi orang atau kelompok.
11
6. Mendeteksi keadaan propaganda.
7. Menguraikan sikap dan tanggapan tingkah laku ke komunikasi.
8. Mencerminkan pola teladan kelompok budaya, institusi, atau masyarakat.
9. Menguraikan kecenderungan di dalam isi komunikasi.
1.6.1.3 Teori Liminalitas Victor Turner
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teori liminalitas dari Victor
Turner. Hal ini berkaitan dengan fungsi utama tradisi Ngayau sebagai sebuah
upacara inisiasi. Liminalitas menurut Turner adalah sebagai suatu jembatan
penghubung; yaitu fase yang tidak berstruktur, bersifat transisi, dan merupakan
suatu tingkat atau fase. Dengan melalui fase liminalitas, upacara mendasari suatu
proses transformasi dan yang secara bersamaan mengabsahkan kembali kategori-
kategori lama yang bersifat struktural dan yang sementara itu juga berfungsi
sebagai "pusat kekuatan pendorong bagi berbagai kegiatan" (Turner, 1974:273)
bagi penciptaan bentuk-bentuk baru dari konsep-konsep yang bersifat struktural.
Simbol-simbol yang ada dan yang berlaku selama waktu liminal berasal
dari konsep-konsep pendidikan yang kemudian dipisahkan dari kategori-kategori
yang terstruktur yang biasanya menyelimuti dan mendefinisikan simbol-simbol
tersebut. Konteks yang baru dari simbol-simbol ini adalah "mengajarkan kepada
para inisiandus mengenai lingkungan kebudayaan mereka dan memberikan
kepada mereka kerangka sandaran yang paling hakiki untuk memahaminya"
(Turner, 1967:108), yaitu mengenai peranan mereka yang baru dalam struktur
sosial tersebut. Konsepsi-konsepsi simbolik yang dipunyai oleh individu dengan
demikian diubah referensi dan orientasinya menjadi bersifat kebersamaan dengan
12
melalui proses-proses yang ada dalam berbagai upacara lingkaran hidup yang
mendefinisikan dirinya sebagai makhluk sosial.
Dengan demikian, hubungan antara upacara dengan struktur sosial terletak
pada kesanggupan dari upacara untuk dapat menempatkan dirinya di atas
kedudukan satuan struktur sosial dengan melalui fase liminal atau fase anti-
struktural. Dalam hal ini upacara berperan sebagai pedoman bagi semua fase-fase
dan semua aspek-aspek pengalaman kebudayaan dengan melalui berbagai bentuk
proses yang dilalui oleh setiap individu. Dengan kata lain, upacara adalah juga
suatu sumber bagi penciptaan ide-ide baru yang didorong untuk dihidupkan pada
masa liminal, maupun sebagai sumber bagi terwujudnya status quo dalam
pelaksanaannya. Manusia "berkembang melalui anti-struktur atau liminalitas dan
dilestarikan melalui struktur" (Turner, 1974:298).
1.7 Metode dan Teknik Penelitian
1.7.1 Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan folklor dan
pendekatan analisis sastra. Pendekatan folklor tentang konteks mitos dan ritual
yang ada dalam tradisi Ngayau, sedangkan pendekatan analisis sastra untuk
menganalisis teks-teks hasil wawancara maupun cerita lisan mengenai tradisi
Ngayau.
13
1.7.2 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dan metode
penelitian kualitatif. Metode penelitian deskriptif adalah yang memberikan objek
penelitian berdasarkan fakta yang ada (Sudaryanto, 1993 : 62). Sedangkan metode
penelitian kualitatif adalah metode pengkajian terhadap suatu masalah yang tidak
didesain atau dirancang menggunakan prosedur-prosedur statistik (Subroto, 1992:
5).
1.7.3 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini digunakan tiga metode, yaitu metode kepustakaan,
metode wawancara, dan metode observasi. Metode-metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.7.3.1 Observasi
Observasi menghasilkan deskripsi yang khusus tentang apa yang telah
terjadi, dan peristiwa sejarah, atau hasil dari peristiwa (Komaruddin, 1974:97).
Cara ini digunakan untuk mendukung hasil wawancara. Dengan cara ini dapat
diperoleh gambaran proses pelaksanaan yang ada kaitannya dalam tradisi Ngayau.
Cara ini akan menambah kelengkapan data hasil wawancara. Observasi dilakukan
dengan cara mendatangi langsung salah satu desa di Kabupaten Landak yang
pernah melakukan tradisi Ngayau. Setelah itu diadakan wawancara kepada
narasumber yang pernah melakukan, menyaksikan sendiri bagaimana tradisi
Ngayau itu terjadi.
14
1.7.3.2 Wawancara
Wawancara sebagai suatu proses tanya jawab, lisan, yaitu dua orang atau
lebih berhadap-hadapan secara fisik, yang satu dapat melihat muka yang lain
dengan mendengarkan telinga sendiri suaranya. Metode ini merupakan alat
pengumpulan informasi yang langsung tentang beberapa jenis data sosial, baik
yang terpendam (latent) maupun yang memanifes (Hadi, 1979:192).
Metode wawancara dilakukan dengan cara mewawancarai para informan
yang dianggap mampu memberikan penjelasan tentang tradisi Ngayau. Pada
penjelasan yang dimaksud adalah kepercayaan yang berlaku dalam tradisi
Ngayau, narasumber adalah ketua adat setempat dimana tradisi Ngayau pernah
dilakukan di daerah itu, sesepuh yang masih memahami bagaimana tradisi Ngayau
itu, serta orang-orang dibalik tradisi Ngayau dan masyarakat Dayak setempat.
1.8 Subjek dan Lokasi Penelitian
1.8.1 Lokasi Penelitian
Suku Dayak terdiri dari 450 subsuku dari berbagai daerah di Kalimantan.
Dan hampir sebagian dari jumlah subsuku tersebut mengetahui dan mengalami
tradisi Ngayau. Penulis akan meneliti tradisi Ngayau suku Dayak Kanayatn di
desa Pahauman dan sekitarnya, di Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak,
sekitar 137 km dari Ibu Kota Propinsi Kalimantan Barat.
15
1.8.2 Narasumber
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990:609), yang dimaksud
dengan narasumber adalah orang yang memberi (mengetahui secara jelas atau
menjadi sumber) atau bisa juga dikatakan sebagai informan.
Adapun narasumber dalam penelitian ini adalah, ketua adat kampung
setempat yang pernah melakukan tradisi Ngayau, tua-tua adat Dayak yang pernah
mengalami, atau menyaksikan sendiri bagaimana tradisi Ngayau dilaksanakan,
dan masyarakat adat Dayak di Kabupaten Landak Kalimantan Barat.
1.9 Sistematika Penyajian
Laporan hasil penelitian ini terdiri dari lima bab, yaitu:
Bab I berisi pendahuluan. Dalam bab ini diuraikan perihal latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka
penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penyajian.
Bab II berisi tentang gambaran umum lokasi penelitian asal usul
masyarakat Dayak, dan topografi serta demografi daerah Kalimantan Barat
khususnya Kabupaten Landak, serta Ngayau di masyarakat Dayak dalam konteks
sastra dan budaya Dayak.
Bab III berisi uraian tentang deskripsi dan analisis struktural cerita seluk
beluk tradisi Ngayau dalam masyarakat Dayak.
Bab IV berisi uraian tentang proses pelaksanaan tradisi Ngayau dalam
masyarakat Dayak.
Bab V berisi kesimpulan dan saran. Kesimpulan yang dimaksud adalah
kesimpulan tentang pengungkapan seluk beluk tradisi Ngayau dan proses
16
pelaksanaannya. Saran yang dimaksud adalah saran kepada peneliti. Bagian akhir
adalah daftar pustaka, lampiran, dan biografi.
17
BAB II
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
2.1 Sejarah Singkat Kabupaten Landak
Terbentuknya Kabupaten Landak berdasarkan Undang Undang Republik
Indonesia Nomor 55 tahun 1999 tanggal 4 Oktober 1999. Lembaran Negara
Indonesia tahun 1999 Nomor 183.
Pertimbangan pokok terbentuknya Kabupaten Landak berhubungan dengan
perkembangan dan kemajuan Propinsi Kalimantan Barat pada umumnya dan
Kabupaten Pontianak pada khususnya serta adanya aspirasi yang berkembang
dalam masyarakat, dipandang perlu meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan
dan pelaksanaan pembangunan serta pembinaan masyarakat guna menjamin
perkembangan dan kemajuan pada masa mendatang.
Sehubungan dengan hal tersebut, dan memperhatikan perkembangan
penduduk, luas wilayah, potensi ekonomi, sosial budaya, sosial politik dan
meningkatnya beban tugas serta volume kerja di bidang penyelenggaraan
pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan di Kabupaten Pontianak
dipandang perlu membentuk Kabupaten Landak sebagai pemekaran dari
Kabupaten Landak (Bappeda, 2004 : 25).
Pembentukan Kabupaten Landak akan dapat mendorong peningkatan
pelayanan di bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan serta
memberikan kemampuan dalam pemanfaatan potensi yang ada di wilayah untuk
menyelenggarakan otonomi daerah.
18
Kabupaten Landak dengan ibukotanya yang berkedudukan di Ngabang
pada tahun 2004 membawahi 10 kecamatan, 156 desa dan 558 dusun. Hingga saat
ini Kabupaten Landak belum terdapat kelurahan. Dari 156 desa tersebut
diantaranya terdapat 6 desa yang berklasifikasi sebagai desa swakarsa dan sisanya
sebanyak 141 desa merupakan desa swasembada. Berdasarkan dari kategori
LKMD terdapat 5 desa yang LKMD-nya berkategori IIB dan 24 desa berkategori
IIC serta sebanyak 127 desa berkategori IIC.
Penyebaran desa di Kabupaten Landak tidak berimbang antar satu desa
dengan desa lainnya karena dipengaruhi oleh faktor luas wilayah dan faktor
lainnya. Tidak seimbangnya penyebaran desa dapat dilihat dengan adanya satu
kecamatan yang memiliki desa diatas tiga puluh seperti Kecamatan Ngabang
mencapai 32 desa dan ada pula kecamatan yang memiliki desa sebanyak dua
puluh seperti Kecamatan Mempawah Hulu dan Kecamatan Menyuke masing-
masing sebanyak 24 desa dan 23 desa. Sedangkan untuk Kecamatan Meranti dan
Sebangki jumlah desanya tidak mencapai 10 yaitu 6 desa di Kecamatan Meranti
dan 5 desa di Kecamatan Sebangki (Bappeda, 2004: 25).
Pertanian merupakan sumber penghasilan utama masyarakat Dayak
Kanayatn. Usaha-usaha pertanian ini menyangkut tanaman padi, karet, sayur-
sayuran, kopi dan buah-buahan.
Tanaman padi diusahakan masyarakat dengan sistem uma (ladang) dan
papuk/bancah (sawah). Hasil uma dan papuk/bancah merupakan kontribusi yang
besar dalam menunjang ekonomi keluarga. Penghasilan padi selain dikonsumsi
keluarga, juga dijual.
19
Perkebunan utama masyarakat Dayak Kanayatn adalah karet. Karet
merupakan mata pencaharian yang langsung dapat ditukar dengan uang tunai.
Diperkirakan 80% masyarakat Kanayatn adalah petani karet.
Selain karet, sumber penunjang perekonomian masyarakat yaitu kopi, lada,
kemiri dan buah-buahan seperti durian, cempedak, langsat, dan lain-lain.
Sistem pertanian asli suku Dayak Kanayatn, dilakukan secara terpadu.
Maka mereka pun memelihara berbagai macam hewan ternak, seperti ayam, babi,
sapi dan itik, kambing dan sapi. Hasil peternakan selain untuk digunakan dalam
berbagai upacara adat, juga dikonsumsi sendiri atau dijual untuk menukar
berbagai kebutuhan yang tidak dapat diadakan sendiri.
Sumber perekonomian masyarakat Dayak Kanayatn yang cukup penting
lainnya adalah hasil-hasil hutan berupa kayu, rotan, damar, dan madu. Hasil kayu
biasanya digunakan untuk kepentingan sendiri. Masuknya orang-orang dari luar
yang mengeksploitasi hutan dengan mengambil kayu, juga merangsang sebagian
anggota masyarakat Dayak Kanayatn untuk berbisnis di bidang perkayuan.
Namun demikian, mereka pada umumnya tidak menjual langsung kayu itu, tetapi
berperan sebagai penyuplai kepada pedagang perantara. Dengan demikian,
mereka tidak menikmati keuntungan dalam usaha ini.
Pertambangan rakyat merupakan sektor ekonomi lain yang cukup penting.
Lewat pertambangan ini mereka memperoleh emas yang dapat secara langsung
dijual ke pasar-pasar lokal ataupun kepada para penadah. Namun sektor
pertambangan rakyat ini semakin hari semakin tersingkir dengan hadirnya proyek-
proyek pertambangan yang berskala besar dengan ditunjang alat-alat modern, dan
20
adanya tudingan bahwa mereka adalah penambang tanpa ijin (Peti).
Masuknya Hak Penguasaan Hutan, Hutan Tanaman Industri, Perkebunan
dan pertambangan berskala besar ternyata telah menggeser sumber-sumber
perekonomian suku Dayak Kanayatn.
Meskipun banyak orang berbicara mengenai kebudayaan Dayak, namun
sedikit sekali yang mempublikasikannya secara tertulis. Aspek sosial ekonomi
dalam kebudayaan Dayak memang belum banyak diteliti dan diketahui orang,
karena dinamika kehidupan ekonominya. Padahal aspek sosial dan aspek ekonomi
adalah dua hal yang tidak terpisahkan dalam kebudayaan. Sebab kehidupan sosial
mempengaruhi ekonomi dan sebaliknya ( Andasputra, 1997 : 125).
Peran serta masyarakat bukan hanya diharapkan dalam kegiatan politik
tetapi mencakup segala bidang kehidupan kemasyarakatan. Banyak potensi yang
ada dalam masyarakat Dayak perlu digali, digerakkan, dan dikembangkan. Warga
masyarakat diharapkan berinisiatif mengembangkan potensi-potensi yang ada
pada dirinya, dan secara sadar membangun kelompoknya. Tampaknya peran serta
yang demikian masih kurang dihayati oleh orang Dayak, juga oleh tokoh-tokoh
masyarakatnya.
Kehidupan politik memang sangat kuat pengaruhnya terhadap bidang
ekonomi. Orang Dayak berkecimpung dalam bidang politik, baik di lembaga
eksekutif maupun legislatif, dituntut untuk mampu menggerakkan partisipasi
masyarakatnya.
Membangun bukanlah membuat yang besar-besar saja, tetapi membangun
dalam skala kecil pun asalkan sungguh-sungguh juga banyak manfaatnya. Untuk
21
itulah pembangunan di masyarakat Dayak harus mampu menggerakkan segala
potensi yang ada (Andasputra, 1997 : 130).
2.2 Topografi dan Demografi Kabupaten Landak
Kabupaten Landak adalah salah satu daerah kabupaten di Propinsi
Kalimantan Barat yang merupakan pecahan dari Kabupaten Pontianak. Secara
administratif Kabupaten Landak mempunyai batas wilayah berbatasan antara lain
: Sebelah Utara dengan Kabupaten Bengkayang, Sebelah Timur dengan
Kabupaten Sanggau, Sebelah Selatan dengan Kabupaten Pontianak, Sebelah Barat
dengan Kabupaten Pontianak.
Kabupaten Landak yang membawahi sebanyak 10 kecamatan memiliki
luas sebesar 9.909,10 km² atau sekitar 6,75 % dari luas wilayah Propinsi
Kalimantan Barat dan merupakan kabupaten dengan luas wilayah terkecil ketiga
setelah Kota Pontianak dan Kabupaten Pontianak.
Kecamatan Ngabang merupakan kecamatan yang paling luas wilayahnya,
yaitu sebesar 1.996,90 km² kemudian Kecamatan Sengah Temila dengan luas
wilayah 1.963 km² serta Kecamatan Air Besar 1.361,20 km².
Adapun kecamatan yang paling kecil luas wilayahnya adalah Kecamatan
Menjalin dengan luas 322,90 km².
Letak geografis Kabupaten Landak menurut garis Lintang dan Bujur
adalah sebagai berikut, 1°00' pada Lintang Utara, 0°52' pada Lintang Selatan,
109°10'42'' pada Bujur Timur dan 109°10' pada Bujur Timur.
22
Jalan merupakan prasarana untuk mempermudah mobilitas penduduk dan
kegiatan perekonomian antardaerah dan kebutuhan lainnya. Oleh karena itu, jalan
mempunyai peranan penting dalam menunjang kelancaran berbagai aktivitas
ekonomi dan lain-lain.
Panjang jalan di Kabupaten Landak tahun 2004 tercatat sepanjang
1.642,35 Km yang terdiri dari : jalan nasional 131,00 Km (7,98%) jalan propinsi
170,00 Km (10,35%) jalan kabupaten sepanjang 662,50 Km (40,34%) serta jalan
lainnya sepanjang 678,85 Km (41,33%)
Dari 1.642,35 Km panjang jalan ini jika dilihat dari jenis permukaannya,
587,08 Km merupakan jalan aspal, 81,88 Km merupakan jalan kerikil dan 407,32
Km merupakan jalan tanah.
Melihat dari kondisinya, terdapat 471,81 Km jalan yang kondisinya baik,
242,84 Km jalan yang kondisinya sedang, 571,53 Km kondisinya rusak dan
346,17 Km kondisinya rusak berat.
Kabupaten Landak dapat dikatakan sebagai daerah hujan dengan intensitas
tinggi. Secara umum curah hujan rata-rata bulanan di tahun 2004 sebesar 247 mm,
yang berarti tidak jauh berbeda dengan keadaan di tahun 2003 dan 2002 yaitu
sebesar 311 mm dan 285 mm. Intensitas curah hujan yang cukup tinggi ini
kemungkinan dipengaruhi oleh daerahnya yang berhutan tropis. Rata-rata curah
hujan tertinggi terjadi pada bulan September yang mencapai 526 milimeter
dengan jumlah hari hujan sebanyak 14 hari. Dilihat dari hari hujan menurut
kecamatan yang tertinggi selama setahun untuk tahun 2004, yaitu Kecamatan
Sengah Temila 105 hari diikuti Kecamatan Ngabang dan Menjalin 70 hari.
23
Secara umum jenis lahan di Kabupaten Landak terbagi dua jenis lahan,
yaitu tanah sawah dan tanah kering. Luas tanah sawah di Kabupaten Landak akhir
tahun 2004 mencapai 73.210 hektar (7,49%) dan tanah kering seluas 917.700
hektar (92,51 %). Luas tanah sawah jika dirinci menurut jenisnya, yaitu tanah
sawah berpengairan setengah teknis seluas 3.677 hektar (5,02%) pengairan
sederhana 30.137 hektar (41,16%) pengairan tadah hujan 14.607 hektar (19,95%)
sawah lainnya 2.820 hektar (3,85%) dan lahan sementara tidak diusahakan 21.929
hektar (29,95%).
Untuk lahan kering meliputi pekarangan, tegal/kebun, ladang/huma,
peenggembalaan, hutan rakyat, hutan negara, perkebunan, rawa-rawa, tambak,
kolam, dan lain-lain.
Hutan rakyat merupakan lahan kering yang paling luas, yakni mencapai
254.278 hektar (27,71%) kemudian perkebunan seluas 222.973 hektar (24,29%)
dan lahan sementara tidak diusahakan seluas 134.700 hektar (14,68%).
Luas panen tanaman padi di Kabupaten Landak tahun 2004 sebesar 56.058
hektar dengan produksi sebesar 182.220 ton. Adapun luas panen tanaman padi
yang terbesar berada di Kec. Sengah Temila (14.425 Ha) diikuti Kec. Menyuke
(10.164%) dan Kec. Mempawah Hulu (9.704 Ha).
Produksi palawija yang terbesar adalah ubi kayu sebesar 93.261 ton dan
jagung sebesar 6.382 ton.
Untuk jenis sayur-sayuran, produksi yang terbesar adalah petsai/sawi
sebesar 574 ton kemudian kacang panjang 502 ton.
24
Produksi buah-buahan yang paling banyak adalah durian sebanyak 53.364
Kw diikuti pisang sebanyak 18.320 Kw dan nangka sebanyak 10.542 Kw.
Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2000 jumlah penduduk Kabupaten
Landak sebanyak 282.026 jiwa yang terdiri dari 47.073 laki-laki dan 134.953 jiwa
perempuan dengan sex ratio 108,98.
Selama kurun waktu 1990-2000 laju pertumbuhan penduduk di Kabupaten
Landak sebesar 0,92 persen per tahun. Angka ini lebih rendah bila dibandingkan
dengan laju pertumbuhan penduduk Propinsi Kalimantan Barat yang sebesar 1,53
persen per tahun.
Berdasarkan hasil proyeksi, jumlah penduduk Kabupaten Landak di tahun
2004 sebesar 309.127 jiwa yang terdiri dari 60.858 laki-laki dan 148.269
perempuan dengan sex ratio 108 artinya dari 100 orang penduduk perempuan
terdapat 108 orang penduduk laki-laki (Bapedda, 2004 : 43).
Penduduk di Kabupaten Landak ada yang dapat dikategorikan sebagai
penduduk produktif yaitu penduduk yang berada pada usia antara 15 tahun sampai
dengan 64 tahun. Dan penduduk yang berusia dibawah 14 tahun dan 65 tahun
keatas dikategorikan sebagai penduduk non produktif. Penduduk non produktif ini
menjadi beban/tanggungan penduduk yang produktif. Indikator tentang tingkat
beban ini disebut dependency ratio yaitu jumlah penduduk non produktif dibagi
penduduk produktif.
Angka dependency ratio di Kabupaten Landak untuk tahun 2003 adalah
sebesar 62,08 sedangkan di tahun 2000 adalah sebesar 72,10. Dengan indikator
ketergantungan yang lebih kecil di tahun 2004 menunjukkan kondisi yang lebih
25
baik, artinya makin kecilnya jumlah penduduk yang menjadi beban/tanggungan.
Dari 10 kecamatan yang ada di Kabupaten Landak terlihat bahwa penyebaran
penduduknya tidak merata. Ada beberapa kecamatan yang jumlah penduduknya di
atas 40.000 jiwa seperti Kecamatan Mempawah Hulu, Sengah Temila dan
Ngabang. Dan ada pula kecamatan yang jumlah penduduknya di bawah 15.000
jiwa seperti Kecamatan Kuala Behe dan Meranti.
Begitu pula dengan tingkat kepadatan penduduk yang bervariasi.
Kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Kecamatan Mempawah Hulu dengan
tingkat kepadatan rata-rata 65 penduduk per Km² dan kepadatan penduduk yang
terkecil di Kecamatan Kuala Behe dengan tingkat kepadatan rata-rata 13
penduduk per Km² (Bappeda, 2004: 43).
Dalam penelitian ini, masyarakat yang dikaji adalah masyarakat Dayak
Kanayatn yang berada di daerah Kabupaten Landak.
2.3 Masyarakat dan Budaya Dayak di Kabupaten Landak
2.3.1 Kepercayaan Rakyat dari Cerita-cerita Rakyat Kabupaten Landak
Kepercayaan rakyat atau yang sering disebut “takhyul” adalah
kepercayaan yang dianggap sederhana bahkan pandir, tidak berdasarkan logika
sehingga secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan. Berhubungan dengan kata
“takhyul” yang mengandung arti “merendahkan atau menghina” maka ahli folklor
modern mempergunakan istilah kepercayaan rakyat (folk belief) atau keyakinan
rakyat daripada takhyul berarti ‘hanya khayalan belaka atau sesuatu yang hanya
diangan-angan saja’ (Danandjaja,1984 : 153).
26
Walaupun sudah tidak menggunakan istilah takhyul dan lebih banyak
mempergunakan istilah kepercayaan namun bagi orang awam yang berpendidikan
Barat tetap menganggap rendah kepercayaan rakyat. Hal ini disebabkan mereka
menganggapnya tidak modern. Sikap ini menurut ahli folklor tentu tidak dapat
dibenarkan berdasarkan dua hal sebagai berikut. Pertama, takhyul mencakup
bukan hanya kepercayaan (belief) melainkan juga kelakuan (behavior),
pengalaman (experiences), ada kalanya juga alat, dan biasanya dapat berupa
ungkapan serta sajak takhyul menyangkut kepercayaan dan praktik (kebiasaan)
dan pada umumnya takhyul diwariskan melalui media tutur kata.
Kedua, dalam kenyataannya dapat dikatakan bahwa tidak ada orang yang
modern dapat terbebas dari takhyul, baik dalam hal kepercayaan maupun dalam
hal kelakuannya (Brunvard, 1968 : 178 via Danandjaja,1984 : 153-154).
Selain kepercayaan rakyat, di Kabupaten Landak juga terdapat cerita-cerita
rakyat yang menjadi mitos. Mitos juga disebut mite (myth). Mite adalah prosa
rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh empunya cerita.
Karena itu, dalam mite sering ada tokoh pujaan atau sebaliknya yang ditakuti.
Baik tokoh mite yang dipuji maupun ditakuti implikasinya, selalu muncul
dalam bentuk penghormatan. Penghormatan yang disebut ada kalanya juga
dimanifestasikan dalam wujud pengorbanan. Pemahaman atas cerita yang
bernuansa mitos ini pada kenyataannya menjadi sebuah keyakinan yang
berlebihan dan mempengaruhi pola pikir masyarakat ke arah takhyul. Sehingga
tak jarang masyarakat mengganggap keramat suatu mitos. Mite biasanya
mengisahkan terjadinya alam dan sebagainya (Endraswara, 2005:163).
27
Mitos (Yunani : Mythos) menurut arti lazimnya cerita tradisional tentang
dewa-dewa serta kejadian-kejadian gaib. Mitos berbeda dengan cerita nenek
moyang dan cerita-cerita rakyat yang mencatat hal ihwal manusia atau dari
dongeng-dongeng serta cerita binatang yang diciptakan untuk melipur lara
ataupun untuk memberi nasihat. Frazer dalam buku “The Golden Bough”,
menyatakan bahwa semua mitos dihubungkan dengan kesuburan alam. Sebagian
besar ahli-ahli antropologi tidak percaya pada suatu teori tunggal mengenai mitos
tetapi percaya pada penafsiran mitos dari suatu bangsa secara khusus. Mitos telah
digunakan luas dalam kesusastraan baik yang diambil dari kepercayaan kuno
untuk tujuan pengarang (Pringgodinggo, 1973:838).
Istilah mitos tidak hanya digunakan dalam kesusastraan tetapi juga
digunakan pada kehidupan nyata masyarakat. Adapun macam-macam mitos yang
ada dalam masyarakat Dayak antara lain, tidak boleh bersiul pada malam hari
karena sama saja dengan kita memanggil arwah yang sudah meninggal; dilarang
memotong kuku pada malam hari karena akan mendatangkan kesialan; pada saat
ada bayi baru lahir, setiap kali ia tidur diatas tempat tidurnya harus diletakkan
gunting supaya roh-roh jahat tidak mengganggunya, dan macam-macam mitos
lainnya.
Dalam masyarakat Dayak dikenal berbagai macam cerita prosa seperti
mitos, legenda dan dongeng berkembang di masyarakat. Dalam cerita-cerita
rakyat itu, banyak yang berbau dongeng. Pemahaman mereka atas dongeng pun
lalu menyempit, hanya terbatas pada tokoh hewan, tumbuh-tumbuhan dan benda-
28
benda keramat lainnya. Sedangkan, cerita yang dominan tokohnya manusia
mereka pahami sebagai cerita rakyat (Endraswara, 2005:163).
Berbagai macam cerita rakyat Kabupaten Landak yang populer dan
melegenda adalah Ne’ Kancat, Dara Itapm yang bercerita tentang kepahlawanan;
Ne’ Baruakng Kulup, Si Kencet yang bercerita tentang asal usul nama dan
kejadian; Kakura mang Pilanuk, Kara’ mang Oncet, Kakura’ mang Kijang
Makaratn Talok mang Pauh yang bercerita tentang kehidupan binatang.
2.3.2 Ritual-ritual
Ritual menurut Martin dan Bhaskarra (2003 : 481) berarti ‘hal ihwal yang
berkenaan dengan ritus’. Ritus itu sendiri menurut mereka adalah tata cara dalam
upacara keagamaan. Ritual yang masih dilakukan masyarakat Kabupaten Landak
tidak beda dengan masyarakat Dayak pada umumnya. Masyarakat Kabupaten
Landak juga mengenal ritual-ritual, seperti adat bahuma batahut’ , adat pertanian
asli setahun sekali. Kebiasaan tak tertulis ini terjadi secara kronologis setiap tahun
dalam hal praktek upacara ritual Nyangahatn ‘berdoa’ sebelum suatu pekerjaan
bertani dilakukan, yang biasanya dimulai pada setiap bulan 6 (Juni) setiap tahun
(Andasputra, 1997:61).
Ritual-ritual lain yang masih dilakukan oleh masyarakat Kabupaten
Landak, antara lain Naik Dango (Upacara Syukuran Padi) yang menjadi kegiatan
ritual di seputar kegiatan panenan yang diselenggarakan setahun sekali oleh
masyarakat Dayak Kanayatn. Dango dalam bahasa Dayak Kanayatn berarti
Dangau atau pondok untuk berteduh yang biasanya dibuat di ladang atau sawah.
29
Bentuknya sederhana dan dalam ukuran kecil. Dalam konteks ini dango adalah
lumbung tempat menyimpan padi yang biasanya dibangun di sekitar tempat
tinggal di lingkungan kampung. Dikatakan dango padi (rumah padi), karena
menurut kepercayaan masyarakat Dayak Kanayatn, padi memiliki semangat yang
hidup (the living spirit), dan mereka tinggal di dango, seperti halnya manusia
(Andasputra, 1997:69).
Ritual berikutnya adalah Nyangahatn, yang merupakan inti kegiatan ritual
dalam masyarakat Dayak Kanayatn. Nyangahatn adalah pembacaan doa yang
dilakukan oleh Imam Adat atau disebut Panyangahatn. Dalam upacara Naik
Dango, Nyangahatn dilakukan dalam lumbung padi si penyelenggara pesta yang
dilakukan pagi hari. Doa-doa yang diucapkan dalam bentuk mantera-mantera itu
berisi pemanggilan pulang semangat padi yang masih berlayar (diperjalanan) agar
berkumpul di dalam lumbung padi sekaligus ucapan syukur atas rezeki yang
sudah diberikan dan memohon berkat untuk menggunakan padi yang sudah
disimpan dalam lumbung untuk keperluan pangan.
2.4 Tradisi Ngayau di Kabupaten Landak dalam Konteks Sastra dan Budaya
Dayak
Asal-usul untuk mendefinisikan “sastra’ tidak terhitung jumlahnya tetapi
asal-usul yang memuaskan tidak banyak. Sebuah definisi “ontologis” mengenai
sastra, yaitu sebuh definisi yang mengungkapkan hakekat sebuah sastra sambil
meluapkan bahwa sastra hendaknya didefinisikan di dalam situasi para pemakai
atau pembaca sastra. Norma dan deskripsi sering dicampuradukkan. Juga tidak
30
disadari bahwa karya bagi sebagian orang termasuk sastra sedangkan bagi
sebagian orang lain tidak. Berkaitan dengan hal tersebut, sering ada anggapan
mengenai sastra terlalu ditentukan oleh contoh sastra Barat, khususnya sejak
zaman Rennaissance, tanpa menghiraukan bentuk-bentuk sastra yang khas
terdapat dalam lingkungan kebudayaan di luar Eropa, di zaman-zaman tertentu,
atau di dalam lingkungan sosial tertentu. Pendek kata, pengertian tentang sastra
sendiri sering dimutlakkan dan dijadikan sebuah tolak ukur universal; padahal
perlu diperhatikan kenisbian historik sebagai titik pangkal (Luxemburg,1989:3-4).
Kata budaya menurut pembendaharaan bahasa Jawa berasal dari kata budi
dan daya. Penyatuan dua kata menjadi satu kata baru yang membentuk satu
pengertian baru pula dinamakan Jarwadosok, yaitu ‘pengertian yang dipadatkan’.
Maksudnya, untuk mempersatukan arti kata tersebut ke dalam satu arti kata baru
sehingga mudah diingat. Koentjaraningrat berpendapat bahwa kata budaya berasal
dari bahasa Sansekerta, yaitu buddhayah, adalah bentuk jamak dari budhhi yang
berarti ‘budi’ dan ‘akal’. Jadi, kebudayaan itu dapat diartikan: ‘hal-hal yang
bersangkutan dengan budi dan akal’. Zoetmulder dalam buku culture Cost en
West berpendapat bahwa asal usul kata budaya itu merupakan perkembangan dari
majemuk “budi-daya”, artinya ‘daya dari budi’ atau ‘kekuatan dari akal’
(Herusatoto,1984:5-6).
Begitu eratnya hubungan manusia dengan kebudayaan karena kebudayaan
merupakan lingkup dimana manusia hidup. Pertanyaan bahwa manusia adalah
makhluk budaya mengandung pengertian bahwa kebudayaan merupakan ukuran
dalam hidup dan tingkah laku manusia. Dalam kebudayaan tercakup hal-hal
31
bagaimana tanggapan manusia terhadap dunia, lingkungan serta masyarakatnya
dan seperangkat nilai-nilai yang menjadi landasan pokok untuk menentukan sikap
terhadap dunia luarnya bahkan untuk mendasari setiap langkah yang hendak dan
harus dilakukan sehubungan dengan pola hidup dan tata cara kemasyarakatannya
(Herusatoto,1984:7).
Ada suatu tradisi yang tak pernah lepas dari kebudayaan masyarakat
Dayak yaitu tradisi Ngayau. Banyak versi yang menyebutkan motivasi atau
faktor-faktor yang mendorong masyarakat melakukan tradisi Ngayau. Ada yang
mengatakan Ngayau menandai fase kedewasaan. Ada pula yang menyebutkan
bahwa Ngayau adalah suatu simbolik kejantanan. Tradisi berburu musuh, lazim
disebut Ngayau ini dulu dicatat pernah berkembang luas dalam masyarakat Dayak
Kalimantan.
32
BAB III
DESKRIPSI DAN ANALISIS STRUKTURAL CERITA ASAL-USUL
TRADISI NGAYAU DALAM MASYARAKAT DAYAK
3.1 Pengantar
Ada pendapat yang menyatakan bahwa kisah sastra memiliki banyak versi.
Levi-Strauss (1958:92-93) menyebutkan versi itu memiliki keunikan tersendiri
sehingga tidak perlu seorang peneliti sastra lisan menyusun teknik kritik untuk
membuktikan versi yang paling benar ataupun versi yang paling awal. Emendasi
jelas tidak diperlukan dalam teks sastra lisan. Dengan demikian, metode yang
dibutuhkan dalam mengedit teks sastra lisan adalah edisi diplomatik. Edisi
diplomatik berarti, ’menghadirkan sebuah teks secara persis seperti teks
sumbernya dengan melakukan transliterasi’.
Pengertian transliterasi menurut Robson (1988:19) adalah ‘memindahkan
dari satu tulisan ke tulisan yang lain’ seperti dari tape recorder kedalam tulisan
(Robson,1988:47). Istilah yang lebih tepat untuk menggantikan istilah
‘transliterasi’ dalam konteks sastra lisan adalah “transkripsi”. Dalam hal
transkripsi, campur tangan peneliti sedapat mungkin dikurangi.
Dalam hal analisis cerita asal-usul tradisi Ngayau, penulis berhasil
mengumpulkan lima buah teks yang akan disebut teks A, teks B, teks C, teks D,
dan teks E.
Teks A dan Teks B merupakan teks yang sudah ada dan akan dianalisis
secara struktural. Teks C, teks D dan teks E merupakan hasil rekaman penulis
33
sendiri dan akan menggunakan analisis isi (content analysis). Berikut ini akan
dideskripsikan kelima teks tersebut.
3.2 Terbitan Teks
3.2.1 Teks A (Asal Mula Padi ; Kisah Ne’ Jaek dan Ne’ Baruakng Kulup)
Pada mulanya manusia sejati yang tinggal di bumi ini, makanan pokoknya
adalah “kulat karakng” yaitu jamur yang tumbuh di pohon karet sudah mati.
Makanan orang di Kayangan adalah nasi. Tokoh ceritera yang terkenal bernama
Maniamas. Mereka suka berperang dan saling membunuh yang disebut
“Ngayau”.
Prihatin melihat kehidupan manusia yang saling bermusuhan satu sama
lain, Ne’ Panitah mengutus putranya yang bernama Ne’ Ja’ek ke bumi. Ne’ Ja’ek
bersembunyi di rumpun bambu aur ketika ditemukan oleh Maniamas yang sedang
pergi melakukan Ngayau. Semula Maniamas akan membunuh Ne’ Ja’ek. Setelah
melihat Ne’ Ja’ek terjepit tidak berdaya di rumpun bambu, mendengar bahwa Ne’
Ja’ek mengaku bahwa dirinya tidak mengetahui siapa orang tuanya, maka
Maniamas jatuh kasihan padanya dan tidak jadi membunuh Ne’ Ja’ek. Bahkan
dibawanya pulang ke rumahnya dan tinggal bersama Maniamas.
Karena tingkah lakunya yang halus ditambah lagi dengan postur tubuhnya
yang ganteng, adik Maniamas yang bernama Dara Amutn jatuh cinta pada Ne’
Ja’ek. Maniamas tidak keberatan dan Ne’ Ja’ek pun menikah dengan Dara Amutn
yang cantik itu dan melahirkan anak-anak yang bernama: Tumbaklasop, Gantang
Timah, Garugu’ Kase, Tongkor Labatn, dan Buruk Batakng. Karena perbedaan
34
temperamen antara Maniamas yang suka Ngayau dan Ne’ Ja’ek yang lemah
lembut, maka lama kelamaan Maniamas kurang suka pada Ne’ Ja’ek. Ia
bermaksud membunuh Ne’ Ja’ek secara diam-diam. Maka pada suatu hari
diajaknyalah Ne’ Ja’ek pergi Ngayau. Hal ini diketahui oleh Ne’ Pangadu ibunya
yang masih tinggal di kayangan bersama Ne’ Panitah, ayah Ne’ Ja’ek.
Untuk mencegah agar Ne’ Ja’ek tidak membunuh, sebab pekerjaan
membunuh itu adalah dosa, maka Ne’ Panitah memerintahkan burung pipit
menerbangkan setangkai padi untuk dibawa kepada Ja’ek.
Di tengah perjalanan Ne’ Ja’ek melihat seekor burung pipit yang terbang
di depannya dengan membawa setangkai padi, maka dikejarnyalah burung pipit
itu hingga tidak terasa sudah begitu jauh terpisah dengan rombongan Maniamas.
Setelah melewati lembah-lembah dan bukit-bukit, Ne’ Ja’ek dan burung pipit
keletihan. Ne’ Ja’ek bertanya kepada burung pipit: “Mengapa Engkau mencuri
padi ayahku?”
Burung pipit menjawab: “Saya bukan mencuri padi ayahmu melainkan
disuruh oleh ayahmu membawa padi ini kepadamu karena ayahmu tidak ingin
kamu menjadi Pengayau. Saya tidak akan memberikannya kepadamu. Padi ini
milikku.” Bertengkarlah burung pipit dan Ne’ Ja’ek. Sementara burung pipit
berbicara, lepaslah tangkai padi tadi dari paruhnya dan jatuh ke dalam lobang di
sela-sela batu.
Saat itu muncullah tikus dan bertanya,”Apa yang kalian berdua
pertengkarkan?”
35
Ne’ Ja’ek menjawab: “Itulah Si Pipit tidak mau memberikan padi kepada
saya. Padi itu milik ayahku yang dikirim untukku melalui pipit.”
“Oh..Gampang...” sahut tikus. “Biar aku yang mengambilnya” lanjut tikus.
Setelah padi itu diambil oleh tikus dari dalam lobang batu, tikus pun berkilah juga
tidak mau memberikan padi itu kepada Ne’ Ja’ek. Pipit pun marah kepada Tikus.
Dengan bijaksana Ne’ Ja’ek memberikan pendapat: “Kalau padi itu kau
bawa kerumahmu, pasti habis kau makan” tunjuknya pada tikus.”Demikian pula
kalau padi itu diserahkan padamu, pasti habis juga kau makan” kata Ne’ Ja’ek
pada burung pipit.
“Kalau saya yang membawanya, padi ini akan saya tanam dan
menghasilkan buah, maka ia akan berkelanjutan. Jadi kita bisa terus-menerus
memakannya.” Kata Ne’ Ja’ek menjelaskan. Pendapat ini diterima burung oleh
pipit dan tikus. Kemudian Ne’ Ja’ek memberikan batasan peraturan:
“Jika padi ini ditanam terlalu cepat dari musim tanam, maka tikuslah yang
mempunyai bagian. Jika ditanam terlalu lambat dari musimnya, maka tanaman itu
adalah bagian pipit. Supaya kita sama-sama mendapat bagian, maka padi ini akan
saya tanam pada pertengahan musim, supaya pada awalnya tikus dapat makan,
pada pertengahan saya dapat makan dan akhirnya pipit pun dapat makan.”
Dari ceritera ini maka pertengahan musim tanam itu ditetapkan jatuh pada
bulan Agustus sampai dengan September dan pada bulan April sampai Mei musim
tanam.
Setelah perundingan dan mencapai kata kesepakatan, Ne’ Ja’ek pun
pulang. Sementara itu ia telah mendengar teriakan rombongan Maniamas yang
36
telah pulang dari Ngayau. Mereka pulang sambil menari-nari membawa
tengkorak. Kecuali Ne Ja’ek.
Sesampai di rumah, orang-orang kampung sudah ramai. Dara Amutn
dengan riang menyambut suaminya pula. Tetapi ia sangat kecewa dan marah
ketika melihat yang ada di dalam otot suaminya bukan tengkorak, melainkan
setangkai “bunga rumput” katanya.
Dara Amutn masuk ke dalam bilik. Diambilnya kain sarungnya yang lagi
basah, lalu dipukulkannya ke muka Ne’ Ja’ek, sambil mengatakan bahwa Ne’
Ja’ek tidak tahu malu dan tidak dapat membela nama baik keluarga. Lalu Ne’
Ja’ek pun diusirnya. Ne’ Ja’ek pun pulang ke negeri Kayangan sambil membawa
setangkai padi yang dikira bunga rumput oleh Dara Amutn. Di Negeri Kayangan
Ne’ Ja’ek menikah lagi dengan Ne’ Pangingu dan melahirkan anak laki-laki diberi
nama “Baruakng”.
Ketika Baruakng menginjak masa kanak-kanak, ia suka bermain “pangka’
gasikng” di halaman rumahnya. Ketika itu ia melihat anak-anak lain bermain
gasing di bumi. Ia pun pergi bermain dengan anak-anak itu. Setelah berkenalan ia
mengetahui nama teman-temannya itu, yaitu : Tumbak Lasop, Gantang Timah,
Garugu’ Kase, Tongkor Labatn, Buruk Batakng. Baruakng pun memperkenalkan
diri.
Setelah letih bermain, mereka istirahat makan. Ketika Baruakng membuka
bekalnya, anak-anak tadi keheranan melihat makanan Baruakng seperti ulat.
Tumbak Lasop pun membuka bekalnya yang disebut “kulat karakng” oleh
Baruakng. Menurut Baruakng, yang dibawanya adalah nasi, sedangkan “kulat
37
karakng” adalah sayur bagi mereka di negeri Kayangan. Baruakng
mempersilahkan kelima anak itu untuk mencicipi nasinya. Karena begitu
menikmati nasi tersebut kelima anak ini seakan-akan pingsan.
Ketika datang ke rumah, kelima anak ini berceritera tentang kejadian tadi
kepada ibunya Dara Amutn. Mendengar ceritera anak-anaknya Dara Amutn
meminta, jika Baruakng datang lagi, agar Baruakng diajak kerumah. Pada
keesokan harinya Baruakng pun makan ke rumah mereka. Dara Amutn pun
dipersilahkan mencicipi makanan Baruakng, dan pingsanlah Dara Amutn karena
keenakan. Setelah sadar, Dara Amutn bertanya tentang asal-usul Baruakng dan
orang tuanya. Dari ceritera itu Dara Amutn yakin bahwa ayah Baruakng adalah
suaminya, yang berarti ayah dari kelima anak-anaknya juga. Untuk itu Dara
Amutn sangat senang karena anak-anaknya dapat bermain dengan akrabnya. Dara
Amutn berpesan agar Baruakng membawakan benih padi. Baruakng berjanji akan
membawakan benih padi, walaupun Baruakng tahu bahwa ayahnya tidak akan
mengizinkannya.
Baruakng mencoba membawa benih padi dengan sembunyi-sembunyi.
Tetapi senantiasa ketahuan oleh ayahnya, karena bulir-bulir padi itu mengeluarkan
sinar yang dapat dilihat oleh ayahnya. Karena Dara Amutn dan anak-anaknya
selalu mendesak, maka pada usaha terakhir ia mengambil tujuh butir padi dan
disembunyikan ke dalam kulit kemaluannya. Ternyata tidak terlihat oleh ayahnya.
Baruakng turun ke bumi membawa benih padi dan memberikannya kepada
Dara Amutn. Baruakng meminta supaya benih padi itu ditanam di dapur, agar
waktu buahnya masak nanti tidak kelihatan oleh ayahnya di atas sana. Setelah
38
cukup waktunya selama 5 bulan 10 hari masaklah padi tadi. Karena sudah
semakin banyak, maka pada musim tanam berikutnya benih padi tadi tidak dapat
lagi ditanam di dapur.
Untuk itu Baruakng menyarankan agar ditanam di “tanah tumuh”
(gundukan tanah oleh semut) dan dibungkus (ditudungi) dengan daun”tepo” agar
cahayanya tidak terlihat dari atas. Demikianlah hingga tiba musim panen yang
kedua dan benih padi itu kian berlipat ganda. Pada musim tanam berikutnya benih
itu tidak muat lagi ditanam di “tanah tumuh” dan harus ditanam di tanah empat
persegi, sepanjang batang “tepo” (9 s/d 12 m).
Ketika musim panen tiba, sinar buah padi yang sudah menguning kelihatan
oleh Ne’ Ja’ek dari Kayangan. Ia sangat marah dan berkata: “Gajah..., dah ada
nang padi naung ka’ talino. Nian pasti pabuat Baruakng. Kao pasti
kubunuh.(E..eh sudah ada rupanya padi pada manusia. Ini pasti perbuatan
Baruakng. Kau pasti kubunuh).”
Mendengar Ne’ Ja’ek marah, Ne’ Pangingu menasehatkan:”Ame ba
dibunuh nak diri’ seko’ ngkoa ihan,laki agi’.” (Janganlah dibunuh anak kita satu-
satunya, apalagi ia laki-laki). Ne’ Ja’ek tidak mau dicegah: ”Ina..ia pasti
kubunuh,kutahatni’ pati ka’ maraga tapiatn naung.” (Tidak bisa...., ia pasti
kubunuh, akan kupasang ranjau di jalan menuju tepian mandi).
Sementara itu Baruakng pun naik dari bumi. Sesampai di tepian mandi ia
dicegat oleh “babi titingannya” (babi utama yang akan dibunuh untuk bersunat)
dan babi itu berkata: “Nta munuha’ kao mang pati’ boh Apa’”.(Ayahmu sungguh
akan membunuhmu dengan ranjau itu). Mendengar itu Baruakng pun menangis.
39
Lalu “babi titingannya” menyambung: “Ame kao nangis. Labih baik aku bajalatn
dolo’. Biar aku nang mati. Ya ta’ ia akupun matia’ kade’ kao babalak. Biar kao
na’ babalak. Biar aku nang mati.” (Jangan menangis. Lebih baik saya berjalan
dulu. Biar aku mati. Akupun akan mati jika kau disunat nanti. Biarlah kau tidak
bersunat. Biarlah aku yang mati). Lalu babi tintingannya pun berjalan di depan
dan mati di rajam oleh ranjau yang dipasang Ne’ Ja’ek. Ne’ Baruakng tidak jadi
bersunat. Itulah sebabnya ia dinamakan Baruakng Kulup. Babi yang mati
kemudian menjelma menjadi “Bintang Ada’atn” (Bintang Pedoman). Ada yang
disebut Bintakng Tujuh, Bintakng Oakng (berwarna merah), Bintakng Pati’,
Bintakng Ra’akng (Bintang Rahang), yang dipercayai oleh masyarakat Dayak
Bukit Telaga sebagai pedoman untuk melakukan kegiatan pertanian agar
mendapatkan hasil padi yang maksimal dan mencari ramuan perumahan agar
tahan lama dan tidak termakan kapang.
Dari pengetahuan perbintangan ini (mirip dengan perhitungan hari dalam
penanggalan Cina) mereka menamakan hari dalam satu bulan sebagai pedoman
dalam melakukan kegiatan pertanian:
“ Sa’ari Bulatn, Sego, hari tikus.
Dua Ari Bulatn, disebut Kerap, ari Pipit,
Talu Ari Bulatn, disebut Ngalu, baik untuk mendatangkan rejeki,
Ampat Ari Bulatn, apa dicinta mudah dapat,
Ari Lima, Ari Anam, Ari Tujuh, Baik (harus lihat bintangnya),
Ari Lapan disebut Tungu, jahat. Segala tanaman tinggal tunggul habis dimakan
binatang.
40
Ari Sambilan, Sapuluh, Sabalas, baik.
Ari Dua Balas, abis bulatn.
Ari Talu Balas, disebut Kira’, jahat.
Ari Ampat Balas, ari aya’
Lima Balas, pariama,bulan purnama.
Anam Balas, Riripatn.
Tujuh Balas, Ngantukng, baik untuk memancing di sungai,
Lapan Balas, Ngaluakng (Semua binatang kepalanya mengarah kebawah,masuk
ke bumi).
Sambilan Balas, tutup bulatn.
Dua puluh, Dua puluh satu, disebut hari dua.
Dua puluh dua, disebut kadakng, (Binatang banyak keluar dari perut bumi. Kalau
mau mencari tengkuyung dan binatang malam, pada saat ini mudah didapat).
Dua puluh talu, dua puluh ampat, dua puluh lima, dua puluh anam.
Dua puluh tujuh, semuanya baik untuk kegiatan pertanian.
Dua puluh lapan, Kira, jahat. Mudah mati muda.
Dua puluh sambilan, kalalah idup. Suka bimbang.
Tiga puluh, ari tutup, kurang baik.
Pada hari tiga puluh ini baik jika dipakai untuk membuka tanah bekas
kuburan tua, atau membuka tanah yang diduga dihuni oleh makhluk-makhluk
halus. Untuk menetapkan kepastian tentang perhitungan hari, mereka melihat
Bintang Ada’atn pada dinihari. Bintang Venus dan Mars.
41
Baruakng yang merasa tidak tenang karena diancam mati oleh ayahnya,
meminta pada ibunya untuk pergi ke bumi. Untuk itu ibunya memberi nasehat
agar Baruakng berjalan meniti “jalan yang lurus”. Baruakng pun pergi. Sesampai
dipersimpangan jalan, Baruakng melihat bahwa jalan yang lurus itu banyak semak
berduri, sedangkan jalan yang menyimpang ke sebelah kiri lapang dan mulus.
Baruakng pun meniti jalan yang menyimpang ke kiri.
Sesampai di sebuah kampung ia bertemu dengan seorang gadis yang
mengaku bernama Jamani yang kemudian menjadi istrinya.
Setelah tiba waktunya, isterinya pun melahirkan. Sesuai kebiasaan di
kampung itu, maka isterinya melahirkan di atas ‘para’ loteng. Ketika isterinya
akan pergi mandi, isterinya berpesan agar Baruakng tidak naik ke loteng.
Baruakng merasa heran mengapa isterinya melarang melihat anak-anaknya.
Baruakng nekat untuk melihat anak-anaknya. Setelah mencari kesana kemari,
Baruakng mengintip isi bakul dan melihat bahwa anak-anaknya itu berbentuk
burung-burung, yang kemudian diketahui nama-namanya, yaitu: “Keto Laki, Keto
Bini, Keto Maniamas, Keto Tungal, Keto Bakar, Buria’, Cece, Kohor, Papo’,
Buragah, So’oh, Adatn, Kutuk, Bilang, Mago’, Pangalatn, Putihgigi, Macet,
Parere, Pararah, Kijakng, Owanyi’, Ujatn Darakng, Binalu, Duya’ Puanggana,
Puanggani”, dan sebagainya. Oleh sebab itu Baruakng dengan diam-diam pulang
ke Kayangan menemui ibunya. Baruakng berceritera mengenai keadaan jalan
yang dilaluinya serta keadaan isteri dan anak-anaknya. Dari ibunya baru ia
mengetahui bahwa isterinya bukan manusia melainkan “Ne’ Si Putih Panara
Subayatn” di negeri orang mati.
42
Untuk kedua kalinya Baruakng diperintahkan pergi meniti jalan lurus oleh
ibunya. Tetapi Baruakng tidak menghiraukan pesan ibunya sehingga ia tetap
meniti jalan yang menyimpang ke kiri. Baruakng menemukan sebuah kampung
dan berjumpa dengan seorang gadis yang mengaku bernama Petor Batu Buntar
Muha, seorang gadis hantu buta. Karena gadis ini cantik, maka Baruakng tidak
ingat lagi dengan pesan ibunya untuk menikahi Jamani Tabikng Tingi. Sekali lagi
Baruakng sangat kecewa bercampur takut, karena anak-anaknya yang lahir dari
perkawinannya dengan Petor Batu Muntar Muha tidak ada yang sempurna,
semuanya cacat dan menakutkan. Karena cacat dan menakutkan, maka anak-anak
yang lahir dibuangnya, seperti: Sarinteke, dimuang ka’ tongkotn tanga’, Rudu jaji
setan jaji balis, Jampuna (Raja Pujut) ka’ batu garah atau ka’ kurebet,
Jampekong (Raja Mawikng) nyamuakng ka kayu aya’ (kayu besar), dan
sebagainya. Selain itu ada juga yang dibuangnya ka’ akar biruru, ka’ putat, ka’
talinse dan sebagainya.
Itulah sebabnya dengan diam-diam lagi Baruakng pulang menemui ibunya.
Dari keterangan ibunya Baruakng mengetahui bahwa yang menjadi isterinya
sekarang ini adalah Hantu Buta.
Hingga saat ini masyarakat Dayak Bukit Talaga percaya bahwa orang-
orang akan mendapat sakit jika memperlakukan tumbuhan dan tempat-tempat tadi
dengan tidak beradat. Untuk mengobatinya melalui baliatn atau pedukunan pun
harus mengetahui nama-nama dan asal mula roh halus yang mendiami tempat dan
tetumbuhan tadi.
43
Untuk yang ketiga kalinya Ne’ Pangingu berpesan kepada anaknya agar
Baruakng pergi ke bumi melalui jalan yang lurus. Baruakng pun pergi. Sesampai
di persimpangan jalan Baruakng melihat bahwa jalan lurus itu penuh lalang dan
semak berduri, sedangkan jalan yang menyimpang ke kiri lapang dan mulus. Ia
berhenti sejenak. Ia tidak mau dikecewakan ketiga kalinya. Walaupun jalan yang
lurus itu penuh tantangan, ia memutuskan untuk meniti jalan itu. Tidak seberapa
jauh, rupanya yang penuh dengan semak berduri tadi tidaklah begitu jauh. Di
ujung sana semakin lama semakin lapang dan bagus. Akhirnya ia sampai ke
sebuah kampung dan bertemu dengan seorang dara cantik bernama Jamani
Tabikng Tingi sesuai dengan pesan ibunya. Gadis cantik ini kemudian menjadi
isterinya. Dari perkawinannya dengan Jamani, lahirlah anak-anak manusia yang
bernama: Jamawar yang bergelar Patih Mawar Ampor Gayokng; Ne’ Umu’
Arakng dan Ne’ Sone.
Ketika memasuki masa kanak-kanak pada suatu hari Jamawar mandi
sambil bermain di tepian. Di hulu tepian sana terlihat buah sibo (rambutan hutan)
yang sudah masak memerah. Ia segera pulang ke rumah mengambil parang.
Ketika ia akan turun, ibunya menawarkan kerak nasi untuk dimakan. Tetapi
Jamawar terus terjun tanpa menyentuh kerak nasi. Ia pergi menuju hulu tepiannya
dan memanjat batang sibo yang berbuah. Sementara ia terjun dan berlari tadi
terdengarlah bunyi riuh suara burung bersahut-sahutan. Jamawar dan Jamani tidak
tahu akan arti semua tanda-tanda alam dan suara burung-burung itu.
Ketika Jamawar memotong dahan sibo yang banyak buahnya, tiba-tiba
dahan yang diinjaknya (sempak) terlepas dari batangnya dan Jamawar pun jatuh
44
ke jurang dalam dan menimpa batu wadas di aliran sungai. Badannya hancur luluh
terhempas pada batu. Pada saat itu terdengar lagi riuh ributnya suara tadi. Orang-
orang sekampung keheranan mendengar bunyi burung dan kayu yang patah.
Mereka pun berhamburan ke luar menuju hulu tepian dan menyaksikan kejadian
yang sangat mengerikan.
Karena menyaksikan kejadian yang sangat menyedihkan itu, Ne’ Jamani
dan Baruakng serta orang sekampung kebingungan, tentang bagaimana cara
mengambil tubuh jenasah Jamawar. Pada saat itu terdengar suara dari burung-
burung itu yang berbicara seperti manusia: “Kami ada ngampusi’nya” (biarlah
kami yang pergi mendapatkannya). Lalu terbanglah burung-burung itu kedalam
jurang sana untuk memungut sisa-sisa peralatan tubuh Jamawar yang masih
tersangkut di batu, di akar dan sebagainya. Sisa-sisa peralatan tubuh Jamawar tadi
dikumpulkan mereka dan ditampung ke dalam gayung tempurung kelapa. Setelah
dikumpulkan mereka berikhtiar untuk menguburkan jasad Jamawar. Tetapi
menurut orang pandai di kampung itu, jika perlengkapan anatomi tubuhnya masih
lengkap, walaupun hanya sedikit-sedikit, pasti bisa dihidupkan kembali dengan
cara “baliatn”. Lalu mulailah burung-burung tadi memilah-milah jenis peralatan
tubuh yang masih dapat dikumpulkan. Setelah selesai, ternyata jenis peralatan hati
tidak terkumpulkan. Sekali lagi mereka kebingungan. Pada saat itu “Burung Kutuk
atau Pantek” bersedia menyumbangkan hatinya. Maka hingga sekarang “Burung
Kutuk badannya merah kena darah dan tidak punya hati”. Setelah itu burung-
burung pun pulang ke rumah mereka.
45
Sesampai di rumah mereka berceritera pada ibu mereka, Ne’ Siputih
Panara Subayatn. Dari ceritera anak-anaknya Ne’ Siputih mengetahui bahwa
Baruakng, suaminya kawin lagi dengan Jamani anak talino. Sementara itu Ne’
Baruakng bahaupm (berkumpul) mengumpulkan pasagi waris (mengadakan rapat
mengumpulkan ahli waris) berikhtiar untuk mengobati Jamawar dengan cara
“baliatn”. Dari pengalaman orang sekampung, kebetulan terpilihlah Ne’ Siputih
Panara Subayatn sebagai Pamaliatn.
Walaupun dengan berat hati, Ne’ Siputih tetap pergi baliatn, mengobati
Jamawar. Pada saat baliatn, Ne’ Siputih sangat bersungguh-sungguh. Ia
melupakan peristiwa masa lalu yang menyakitkan hatinya. Pokoknya ia harus
mengobati Jamawar untuk “ngarapat ampor” (merekatkan yang hancur). Selesai
baliatn, ditinggalkannya sebutir beras untuk obatnya, dengan pesan agar mencari
lagi Pamaliatn lain yang bertugas “ngalulu balah” (melekatkan yang masih
renggang). Untuk itu dipanggillah Ne’ Petor Batu Buntar Muha Pamaliatn Buta.
Selesai baliatn, Ne’ Petor Batu Buntar Muha meninggalkan sebutir beras untuk
obat.
Demikian selanjutnya pengobatan berjalan terus dengan memanggil
Pamaliatn Bawakng untuk nagalamputn sengat (menyambung nafas), Pamaliatn
Sinede madiri bangke (membangkitkan mayat), batama’ ayu (memasukkan roh),
batama’ sumangat (memasukkan semangat atau jiwa) dan seterusnya hingga tujuh
Pamaliatn yang dipanggil. Selesai baliatn semuanya meninggalkan masing-
masing satu butir beras, dan Jamawar pun mulai hidup, tetapi masih tidak mampu
berbuat apa-apa, masih sakit. Melihat keadaan anaknya demikian, Ne’ Baruakng
46
dan Ne’ Jamani masih sedih. Ia hampir kehabisan akal. Ia selalu berusaha mencari
informasi untuk mencari obat demi kesembuhan anaknya Jamawar. Dipanggillah
Ne’ Unte’ Tanyukng Bunga. Mereka menceritakan bahwa sudah tujuh kali baliatn,
tetapi Jamawar masih tampak sakit. Mereka meminta pendapat pada Ne’ Unte’
Tanyukng Bunga. Lalu Ne’ Unte’ bertanya: “Au’ ahe-ahe sampore’ nang di
pamaliatn ka’ koa masari’?” (ya..obat apa saja yang ditinggalkannya oleh
pamaliatn itu)
Ne’ Unte’ menjelaskan, bahwa itulah obatnya yang dinamakan “Baras
Banyu tujuh bege”. Diambilnya ketujuh butir beras tadi dan berdoa :
“Koa iatn baras banyu baras basok baras suci baras aning, jaji tantama
sampore’. Isi’ bangi dipaturi, tulang ampor dipalamputn. Darah mangkalo
dipacalah, urat malungkong dipasanikng, kulit ngarintoyokng dipaalus, nang
luka’ dipaalit. Asa’ dua talu ampat lima anam tujuh, koa iatn aku mura’atnnya
ka’ bulatn mata’ari nang tabungke taburas, narabitatn untukng tuah rajaki,
murasatn tatama sampore. Koa ian baras banyu jaji sarakng nyawa tali sengat,
jaji pabura’ palamputn sengat, bagantor bagarak, baguit, pulakng ringakng
pulakng nyaman tubuhnya nu’da’ Jamawar, pama Jubata.”
(“Inilah beras tujuh butir beras bersih beras suci, jadi obat. Daging busuk
dihidupkan, tulang hancur disambungkan. Darah hitam beku dipermerah, otot
melengkung diterikkan, kulit keriput diperhalus, yang luka disembuhkan seperti
semula. Satu dua tiga empat lima enam tujuh, ini aku memberitahukannya pada
bulan dan matahari yang keluar dan memancarkan cahaya, bagaikan
memancarkan untung tuah dan rejeki, menghembuskan obat penyembuh. Inilah
47
Baras Banyu yang menjadi pokok kehidupan dan tali napas, yang jadi penyegar
penyembuh napas, bergetar dan bergeraklah bangun, mengembalikan kesehatan
dan tubuh yang segar nyaman milik Jamawar, oh Roh Tuhan Allah”).
Begitu doa Ne’ Unte’ Tanyukng Bunga selesai, Jamawar pun kembali
sehat kuat seperti semula. Sejak saat itulah namanya berubah menjadi “Patih
Mawar Ampor Gayokng.”
Mendengar Jamawar sudah sembuh dari penyakitnya, maka Ne’ Siputih
Panara Subayatn dan Ne’ Petor Batu Buntar Muha pun menyuruh pengacara
(pangaraga) untuk menuntut “parangkat” (kawin lari padahal sudah
beristri/bersuami) pada Baruakng, karena ia kawin lari meninggalkan isteri-
isterinya. Yang menjadi “pangaraga” adalah “Bari-bari” (Binatang merah kecil-
kecil yang suka mengerumuni kulit buah). Kedua isteri lamanya masing-masing:
Ne’ Siputih menuntut “buat” satajur, jalu satajur. (Hukuman barang sebuah
bukit, babi pun sebuah bukit). Sedangkan Ne’ Petor Batu menuntut hukuman adat
parangkat sa arokng, jalu sa arokng. (Barang adat dan babi banyak seisi jurang).
Karena Ne’ Jamani orang sakti dan orang berada, semua tuntutan tadi
dipenuhinya, sehingga pengacara Bari-bari kebingungan bagaimana membawa
barang-barang yang begitu banyaknya. Mau tak mau Ne’ Unte’ Tanyukng Bunga
dipanggil lagi.
Kata Ne’ Unte’: “Au’ ahe ba payahnya....., segala tapayatn da’ ahe koa
dikikis pamarut puru. Koa jalu ka’ koa tatal eko’nya, dilepet. Salepet unto’ Si
Putih, salepet unto’ Petor Batu. Baras banyu kajah salepet uga’. Saga’ dah
atakng ka’ naung disampangan. A...koa ian adat aturan, nang kurang dipacukup,
48
kade’ ada nang salah dipabato. Asa’ dua’ talu ampat lima anam tujuh, sambel
ngamuratn baras banyu mang puru nin.” (O... tidak payah, segala tempayan dan
peralatan lainnya itu dikikis seperti membuat serbuk/bubuk. Segala babi itu
ekornya dipotong sedikit, kemudian dibungkus kecil. Satu bungkus untuk Si
Putih, satu bungkus untuk Petor Batu. Beras Banyu masing-masing sebungkus.
Kalau tiba disana, bacakanlah doa ini: “A...inilah adat dan aturan, kalau kurang
dicukupkan, kalau salah dibetulkan. Satu dua tiga empat lima enam tujuh, sambil
menghamburkan baras banyu dan serbuk ini.)”
Begitulah pesan Ne’ Unte’. Demikianlah Bari-bari melakukan petunjuk
yang diberikan oleh Ne’ Unte’, dan memang benar terjadi, ketika beras banyu dan
puru tadi dihamburkan setelah berdoa, tiba-tiba bukit itu penuh dengan babi,
tempayan dan segala perlengkapan adat lainnya. Demikian juga pembayaran adat
untuk Petor Batu Buntar Muha, penuh jurang oleh tempayan, babi dan peralatan
lainnya. Tetapi setelah dihitung oleh Ne’ Angokng dari Tanah Rantimakng,
ternyata masih ada yang kurang, namanya “Buat Tangah”, baut sabuah
pamadapm darah. (Adat pencegah darah). Karena takut terkena akibat dari
kurangnya adat, maka Bari-bari kembali lagi menagih Ne’ Jamani. Adat Buat
Tangah pun dipenuhi.
Tengah mereka menyediakan adat ini tiba-tiba datanglah Ne’ Siputih dan
Ne’ Petor Batu, masing-masing bersama dengan semua anak-anaknya. Setelah
semuanya siap, Ne’ Jamani pun berkata: “Ini adat sudah kami sediakan, silahkan
dibawa.”
49
Lalu Ne’ Siputih dan Ne’ Petor Batu menjelaskan: “A nian boh
Baruaknga, buat nian tatap bahoatn ka’ kaikng. Ina’ kami incaknga’ kut kade’
kami incakng, jaji putuslah patalian waris diri’. Biar ampahepun kamunda’ diri’
nta adi’ baradi’ me boh. Kade’ tah ahe antah dah nae ari, kade’ kita’ talino mao’
minta’ tulukng minta’ banto’, au’ pane kami manto’saru ja’ kami.” (“Oh
Baruakng, adat ini tetap tinggal mengasuh disini, tidak kami bawa. Sebab kalau
kami bawa, putuslah pertalian ahli waris kita. Biar bagaimanapun anak-anak kita
ini sungguh-sungguh adik beradik. Kalau dikemudian hari terjadi sesuatu pada
manusia, jika minta tolong minta bantu, kami bisa membantu. Panggil saja
kami.”)
Hingga saat ini masyarakat Dayak Kanayatn percaya bahwa antara roh-roh
halus dan binatang-binatang tertentu tetap menghormati sebagai saudara mereka,
sehingga mereka harus saling menolong dan saling membantu.
Narasumber :
Cerita diatas terdapat dalam buku yang berjudul “Mencermati Dayak Kanayatn”
Ditulis oleh Nico Andasputra. IDRD Pontianak. 1997
Halaman 106-119.
3.2.2 Teks B (Parang Miaju’ Padokoatn Malanggar Jawa ; Asal Mula
Penduduk Kalimantan)
Tersebut kisah bahwa Patih Gajah Mada (Majapahit Jawa) bersaudara
dengan Patih Belepm (Kapuas), Patih Gumantar (Mempawah), Patih Jamani
50
(Belum diketahui). Patih Jaraya’, ini yang diketahui tinggal di daerah Bukit
Talaga Pahauman Kabupaten Landak hingga sekarang. Ribuan pohon durian
tanaman Ne’ Jaraya’ masih menjadi saksi hidup, yang masih tumbuh dengan
pohonnya yang besar-besar, seisi Gunung Talaga.
Ne’ Jaraya’ mempunyai dua orang panglima Ne’ Binalu dan Ne’ Binawa
yang pandai terbang. Mereka tinggal berpindah-pindah menghindari serangan
Miaju’ Padokoatn’. Rute daerah yang pernah menjadi daerah tempat tinggal
mereka adalah Padang Tikar, Sikudana, Sikulantikng, Bawang Laut dan
Pontianak. Kemudian mudik ke Ibul Samih, Pulo Burukng dan akhirnya ke
Gunung Talaga. Jumlah rombongan Ne’ Jaraya’ pada waktu itu ada 100 kepala
keluarga. Mereka berperang melawan Miaju’ Padokoatn.
Ketika sampai di Gunung Talaga, mereka tinggal menumpang di
perkampungan Kamang. Panglima perang Talaga yang terkenal pada waktu itu
bernama Ne’ Lagi yang tinggal di Lajik. Sekarang Lajik menjadi “Panyugu” salah
satu tempat keramat yang ada digunakan untuk mengadakan suguhan/sesaji di
Gunung Talaga.
Ne’ Jaraya’ empat orang anak masing-masing bernama: Ne’ Sugutn yang
juga bergelar Patih, Ne’ Nginatn. Ne’Jarijarita’ dan Ne’ Baubaulah anaknya yang
ketiga dan keempat akhirnya pergi masing-masing ke Nanang Pulo Lawe dan
Nanang Piulo Kabukng. Ketika mereka tinggal di perkampungan Kamang, mereka
harus berpantang : Tidak boleh ngamalo (melekatkan hulu parangdengan getah
tumbuhan) Tidak boleh nunu tungkung (membakar bunga tepus). Tidak boleh
Nyaranang (memerahi anyaman dengan getah jaranang), Tidak boleh nyuman
51
ansepakng (memasak daun sejenis cangkok manis) Tidak boleh ngeok (bersiul),
kalau pantang ini dilanggar, maka penghuni Kamang akan kesakitan dan bisa
mati. Tidak boleh makan paku’ lamidikng (pakis lemiding). Warga pengikut Ne’
Jaraya’ bersedia untuk berpantang. Setelah lama tinggal di Talaga, mereka telah
terbiasa berladang. Kebetulan di saat mereka menebang kayu, lepaslah parang Ne’
Sugutn dari hulunya. Mungkin lupa, Ne’ Sugutn langsung membakar getah amalo
untuk melekatkan parang pada hulunya. Seketika itu juga matilah anak Ne’ Lagi.
Ne’ Lagi datang dan membunuh anak Ne’ Sugutn. Selanjutnya Ne’ Sugutn
mengamuk hingga ia menghabisi anak cucu keturunan Ne’ Lagi si Raja Kamang
(sejenis Orang Kesucian, Orang Kebenaran). Menyadari bahaya yang kian
mengancam, maka mata manusia ini dibungkus dengan duri Kaimayong (sejenis
salak). Itulah sebabnya hingga sekarang manusia kebanyakan tidak dapat melihat
hantu atau roh jahat.
Dalam silsilah keturunan Talaga yang dikisahkan oleh Sa’i Pak Arum
dikisahkan, bahwa manusia yang bernama Ne’ Ngaroakng memperistri Ne’
Namu. Dari perkawinannya lahirlah anak-anak yang bernama Ne’ Naya dan Ne’
Kancat. Ne’ Naya adalah seekor Ular Tadukng dan Ne’ Kancat adalah seorang
tokoh sakti yang bisa memikul batu sebesar rumah untuk tungku. Hingga sekarang
Tongko’ Ne’ Kancat ada di Gunung Talaga. Sedangkan Ne’ Kancat akhirnya pergi
ke wilayah Banjar Kalimantan Selatan, karena tersesat berkelahi dengan hantu.
Setelah ular tedung ini besar, ia dapat berburu babi, rusa dan binatang besar
lainnya. Tetapi karena badannya sudah semakin besar, ia meminta agar ia di antar
ke dalam gua. Sebelum ia dilepaskan ia berpesan agak anak cucunya tidak boleh
52
saling menyakiti. Sekarang diyakini Ne’ Naya yang sudah berupa ular tedung
yang keramat tetap tinggal di Gunung Talaga. Dan orang-orang kampung di
sekitar gunung itu tahu benar bahwa di Gunung Talaga tidak boleh membunuh
ular. Kalau ada yang membunuh ular, maka ia akan dikejar-kejar oleh ular dalam
ukuran kecil hingga yang sangat besar dan memagutnya.
Hingga saat ini juga manusia Dayak Talaga yang berjalan di tengah hutan
dan bahkan diperkampungan, mereka tidak akan sembarangan berbuat sesuatu
yang melanggar pantangan. Karena perbuatan itu akan membuat mereka sakit
“jukat” (ditegur oleh roh) dan dapat mematikan kalau tidak segera minta ampun
dengan membacakan doa nyangahatn dan peralatan adat yang tepat.
Narasumber:
Cerita diatas terdapat dalam buku yang berjudul “Mencermati Dayak Kanayatn”
Ditulis oleh Nico Andasputra. IDRD Pontianak. 1997
Halaman 120-122.
3.2.3 Teks C (Cerita Tradisi Ngayau)
3.2.3.1 Terjemahan dalam Bahasa Dayak Kanayatn
Asal-usul diri’ nian zaman ne’ diri’ dolo’ sekian abad nang lalu. Diri’
ngkoa bakayau. Ngayau koa saga gik nape mampu munuh urang, ia na’ bisa
babini. Jadi pangartiannya koa, ia mampu ngidupia da’ bini naknya dah bisa
mampu munuhi urang. Kalau diri ngayau ngkoa, abis ngayau a..nang ka rumah
saga’ diri’ namu kapala diri agung antat bagantung dau ka bagantar diri pulang
dah tariu-tariu berarti diri namu kapala. Setelah namu koa atang ka rumah
53
bakumpuran kemudian baru kapalanya di suman, dikupas kulit kapalanya. Abis
disuman kapalanya baru notokng.
Setelah notokng koa, manyak sedikitnya pertama-tama diri’ na’ap tariu,
pantak, laman, nang mae diri’ naap tariu. Abis koa setelah naap tariu baru diri’ ka’
rumah nyiapkan notokng. Setelah diri’ notokng koa nakayuatnya tetap tujuh, tujuh
koa saga’ basimpolo, samua diconteng, man jahanang, kemudian setelah ngkoa
kapala nakayuatn koa, ada ia buluh ditingkadas, setelah buluh ditingkadas, setelah
koa baru turun ka tampat panti. Di koa ia nari dolo’. Jukut diri nari koa kapalanya
tetap disampeneng koa enak kali ia baputar nariu-nariu. Katujuhnya ia badiam
badudukan, setelah abis badudukan koa ia masok ka rumah, setelah masok ka
rumah sehingga manarusannya baru ia koa munuh manok, setelah koa baru
malamnya sagala waris-waris sagala ahe pun baatangan di koa.
Abis makan barulah ia karaja ngkoa tadi. Karajanya nana’ manyak.
Karajanya nari, nakayoatn silih berganti. Urang-urang masyarakat pun nari. Ia koa
tetap nyampeneng kapala kayau sambil ia nari koa. Narinya tetap bakuliling. Jadi
koalah nariu-nariu. Selain daripada koa, ngkoalah katurunan diri’ zaman ngayau.
Ngayau nia ngago urang nang mampu. Ngago urang nang bisa. Ngayau koa bukan
umpamanya bukan nang diri kanal, andai kata kalo urang Ngabang mao Ngayau
daerah Tayan, tatap ampus ka’ naung. Nang seringkali ia lewati urang Pantu,
daerah Pantu nian. Setelah urang pantu baru ia Ngayau diri’ ngkoa. Nangkoalah
masalah bakayau. Jukut diri’ bakayau nia buke’nya olok-olok.
Sabalum Ngayau harus mato’ dolo, munuh manok malam-malam buat
bantatn dikoa kalilingi. Setelah koa diri’ mato, ka’ mae namorokng. Umpamanya
54
Tayan morokng, Mempawah morokng. Saga morokng ka Mempawah, Ngayau ka
Mempawah. Saga’ nana’ morokng ka Mempawah, Ngayau ka’ Tayan. Nangkoa
sifatnya mato’ sampe ampaing ari. Apabila ma’ ba ane’a man urang baparang man
urang kan diri’ mato’ dolo’. Model-model Banyuke ka’ ia. Waktu diri’ kajadian
dolo’ kan mato’. Na’ bisa ia ampus sambarangan. Nang mae nang morokng.
Model-model diri naap tariu. Ngkoalah ceritanya masalah Ngayau.
3.2.3.2 Terjemahan dalam Bahasa Indonesia
Asal usul kita ini zaman nenek moyang kita dulu beberapa abad yang lalu.
Kita dulu melakukan tradisi Ngayau. Ngayau itu kalau belum mampu bunuh
orang, apabila dia itu laki-laki berarti dia belum bisa beristri. Setelah ia mampu
bunuh orang, ia bisa beristri. Jadi pengertiannya adalah, ia mampu menghidupi
keluarganya sudah mampu juga membunuh orang. Kalau kita Ngayau itu, habis
Ngayau nah..yang di rumah apabila kita dapat kepala kayau dan ada suara tariu
berarti kita dapat kepala kayau. Setelah dapat kepala kayau, di rumah berkumpul
baru kepalanya dimasak, di kupas kulitnya. Habis dimasak kepalanya baru
diadakan acara Notokng (pesta adat setelah Ngayau).
Setelah Notokng itu, pertama-tama kita gunakan Tariu ( Upacara Tariu
adalah upacara memanggil Kamakng Roh menyerupai manusia tetapi tidak
kelihatan. Tariu merupakan misteri bagi orang-orang Dayak yang sudah
tercerabut dari adat istiadat dan budayanya. Namun bagi orang Dayak yang belum
tercerabut dari kebudayaannya, atau mereka yang mau tahu tentang kebudayaan
Dayak tentu bisa “mengetahui’ misteri itu. Sesuatu yang teramat misteri bagi
orang luar yang tidak tahu tentang “Dayak”, khususnya kepercayaan orang Dayak
55
pada “Yang Maha Kuasa”. Untuk bisa mengerti, memahami apa dan mengapa
kekuatan Tariu itu begitu dashyat kekuatannya, terlebih dahulu mutlak
mengetahui “Yang Ilahi” menurut kepercayaan orang Dayak. Tariu itu sendiri
tidak terlepas dengan adat Mangkok Merah dan Pengayauan.
Setelah menggunakan Tariu baru kita pulang ke rumah mempersiapkan
Notokng. Saat Notokng itu ada 7 kali putaran saat menari, semua pakai pelindung
kepala, wajah dicoret dan menarilah mereka, pada saat menari itu, kepala kayau
dipegang dan enam kali berputar-putar, nah saat putaran yang ketujuh kali ia diam
dan langsung semua orang duduk, setelah orang-orang duduk semua, mereka
masuk ke rumah diteruskan dengan membunuh ayam, setelah itu baru ahli waris
dikumpulkan dan berdatangan dari segala penjuru. Mereka berpesta, dan
melakukan tarian silih berganti. Masyarakat biasapun ikut menari. Dan mereka
tetap memegang kepala kayau pada saat menari berkeliling mengitari panggung.
Jadi begitulah kisah Ngayau pada zaman dulu. Ngayau itu mencari orang yang
bisa dan mampu. Orang yang kita kayau itu bukanlah orang yang kita kenal,
seperti contoh kalau orang kita mau melakukan Ngayau daerah Tayan, kita harus
Ngayau kesana. Kita Ngayau itu bukannya main-main. Sebelum Ngayau harus
bunuh ayam dulu pada malam hari sambil menari berkeliling.
Narasumber:
Teks diatas dituturkan oleh Bpk. Alfen Kawi/Ne’ Gonye (75 Tahun)
Merupakan Temanggung Benua Sidas Kab. Landak Kec. Sengah Temila.
(Hasil wawancara direkam oleh Erneta pada bulan Agustus 2006 di Desa Sidas
Kab. Landak)
56
3.2.4 Teks D ( Tradisi Ngayau di Masa Silam)
3.2.4.1 Terjemahan dalam Bahasa Dayak
Ngayau namanya ngalayo talino. Ngayau artinya mambunuh manusia.
Udah kurang labih diparkirakan 64 abad nang de’e masa pangayauan. Ngayau koa
nele’ prakarsa nang laki ka’ sang calon istri. Kadua Ngayau untuk ngago
kabahagiaan kaluarganya kade’ kapala kayau ia puja atau dipalihara atau dibuat
sesajian untuk kaluarga koa. Sabaliknya kade’ na’ di puja kaluarganya akan
miskin. Nia menurut curita zaman kayau de’e.
Ngayau buke’ ka’ daerah diri’ tatapi ka’ daerah lain dan buke’ satu
kabupaten. Ngayau adalah ngago urang untuk ditaap kapala manusia baik ka’
rumah maupun nang ada ka’ hutan ataupun batamu ka’ mae maan man urang nang
akan di kayau. Sahingga kade’ ia namu kapala kayau ka’ rumah, ia disabut
Panglima atau urang nang disagani jukut nele’an kabaraniannya balawan man
musuh atau lawannya. Kapala kayau uga bisa dijadikan sesajian untuk namu
kamakmuran ka’ dalam kaluarga atau katurunannya kade’ kapala kayau koa
dipalihara. Sabalum dipanggal kapalanya, ia minta dipalihara sasuai man adat
kayau sasuai uga man janji kadua urang koa. Satalah namu kapala kayau diadakan
acara notokng tiga hari tiga malam sasuai kaparcayaan man adat notokng.
Maka saluruh katurunan nang namu kapala harus hadir dalam pesta adat
notokng tadi koa. Ka’ dalam acara totokng tadi, diadakan pesta aya’. Adat
notokng na’ harus diparingati satiap tahun tergantung man paliharaannya, ada uga
nang sapuluh tahun sakali. Ada uga nang kaluarganya sial man namu musibah
kade’ na’ dilaksanakan notokng. Ada nang sakit, hidup na’ makmur. Kade’
57
mpakoa kade’ ada kajanggalan dalam kaluarga mereka barundinglah untuk
notokng urang nang kapalanya dipanggal. Urang nang kapalanya dipanggal tadi
sabalum dipanggal, ia disakiti dolo’sampe mati sampe ia mangikat janji man
urang nang Ngayau.
3.2.4.2 Terjemahan dalam Bahasa Indonesia
Ngayau namanya ngalayo talino. Ngayau artinya membunuh manusia.
Sudah kurang lebih diperkirakan 64 abad yang lalu pada masa Pengayauan.
Ngayau selain memperlihatkan prakarsa kita juga kepada sang calon istri
berfungsi juga untuk mencari kebahagiaan keluarga apabila kepala kayau itu dia
puja atau dipelihara. Ataupun dibuat sesajian bagi keluarga itu. Sebaliknya, jika
tidak dipuja maka keluarga itu melarat. Ini menurut cerita zaman kayau dulu.
Ngayau bukan ke daerah kita, melainkan ke daerah lain dan bukan satu
kabupaten. Ngayau adalah mencari orang untuk diambil kepala manusia baik di
hutan ataupun di rumah dan bertemu di mana saja dengan orang yang akan di
kayau. Kalau dia mendapat kepala kayau di rumah maka dia yang disebut
Panglima atau orang yang disegani oleh masyarakat Dayak karena menunjukkan
keberaniannya berhadapan dengan musuh atau lawannya. Kepala kayau juga bisa
dijadikan sesajian mendapatkan kemakmuran di dalam keluarga itu atau
keturunannya jika kepala itu dipelihara. Sesuai dengan adat kayau janji kedua
orang itu, maka kalau sudah mendapat kepala diadakan gawai Notokng tiga hari
tiga malam dengan kepercayaan dan adat Notokng.
Maka seluruh keturunan yang mendapatkan kepala tadi hadir dalam
perjamuan adat Notokng tadi. Di dalam acara Notokng itu diadakan acara
58
semeriah-meriahnya di tempat orang yang mendapatkan kepala kayau. Adat
Notokng tidak juga diperingati setiap tahun tergantung pada pemeliharaannya, ada
juga yang sepuluh tahun sekali. Apabila Notokng tidak dilaksanakan, maka
keluarga yang melakukan Ngayau itu akan mengalami kemerosotan, ada juga
yang sering sakit-sakitan, kehidupan tidak makmur. Dengan demikian jika ada
kejanggalan dalam keluarga tadi berundinglah mereka untuk melakukan Notokng
orang yang kepalanya di kayau. Sebelum mereka dipenggal, mereka terlebih
dahulu dicederakan sampai mati sebelum mengikat janji dengan orang yang
melakukan Ngayau.
Narasumber:
Teks diatas dituturkan oleh Bpk. Anselmus Suham Banana (67 Tahun)
Merupakan warga adat Dayak Desa Pal.20 Kabupaten Landak.
(Hasil wawancara di rekam oleh Erneta pada bulan Agustus 2006 di Desa Pal.20
Kabupaten Landak)
3.2.5 Teks E (Tradisi Ngayau dan Proses Pelaksanaannya)
Ngayau (Ngayo, dalam bahasa Dayak Kanayatn) adalah tradisi berkelahi
atau berperang yang tujuan utamanya adalah memenggal kepala lawan. Anak kayo
adalah istilah untuk menyebut pelaku dalam tradisi ini.
Ada beberapa motivasi yang melatarbelakangi tradisi ini, antara lain: (1)
Membalas serangan lawan dari binua (wilayah adat) lain. Ini dilakukan jika lawan
dari binua lain telah terlebih dahulu menyerang dan mendapatkan kepala dari
binua yang diserang. (2) Sebagai tolak ukur dan legitimasi bagi kaum laki-laki
59
yang sedang beranjak dewasa menjadi laki-laki dewasa seutuhnya. (3) Orang
Dayak percaya jika sudah berhasil mendapatkan dan memelihara kepala anak
kayo, maka martabat keluarga akan tinggi di masyarakat. Ia kemudian akan
dihormati di komunitasnya sebagai orang pemberani, ”panungkakng” atau
penyangga kampung yang disegani atas keberaniannya. (4) Orang Dayak juga
percaya bahwa kepala kayo yang dipelihara dan ditanam di halaman rumah dan di
tempat-tempat keramat akan senantiasa menjaga binua dari berbagai gangguan
dan ancaman.
Sebelum berangkat Ngayau, maka yang pertama-tama dilakukan adalah
berdoa, membaca mantra dan minta perlindungan, kekuatan dan bantuan kepada
Jubata (Tuhan), roh-roh nenek moyang dan manusia setengah dewa yang hidup
di alam gaib, yang dipercaya merupakan ”orang” sakti mandraguna yang
melindungi manusia di alam nyata, yang oleh orang Dayak Kanayatn dikenal
dengan nama Bujakng Nyangko yang tinggal di bukit Samabue dan Kamang
Muda’ tinggal di Santulangan. Ritual ini biasanya dipimpin oleh seseorang tetua
adat atau orang yang tahu tentang adat (Panyangahatn, dalam bahasa Dayak
Kanayatn). Isi mantra itu dalam bahasa Dayak Kanayatn kira-kira bunyinya
demikian:
“Ia nang bisa turutn barani,turutn rampangan,nang ka’ dalamp dunia ka’
dalamp kota, ka’ dalamp kampokng,ka’ tumpuk. Ia ……… suka ngancam kami
nang ka’ pulo kalimantatn nyian, inje’ diri’ ngampusi’ ia. Lea mae kita’ lea koa
uga kami, kita’ doho’ macahatn suluh matanya, nyurutatn padu’nya, nurunan
darahnya nang pocat,ame ia agi’ bapikir panyakng.ka atangan kita’ nang di
60
marentah, karana kami talino dah cukup adat nyuruh kita’ nang turutn ka’ baras
ijo, nabo’ Bujakng barani. Kami suku dayak kana sarakng lanun tidokng,kita’
nang biasa nabakng bukit sakayu’, kami minta’ banto’ ka’ kita’ urakng barani
ka’dunia”.
Adat yang dipakai adalah:
1. Penekng Unyit Mata Baras
2. Baras Sasah
3. Baras Banyu
4. Langir Binyak
Setelah itu, para anak kayo disuruh ngukuk (seperti suara makhluk halus)
sebanyak tujuh kali, nyungkalekng sebanyak tujuh, tariu (teriak perang ala Dayak)
sebanyak tujuh kali dan ngikuk tanah (menghentak-hentakan kaki di tanah)
sebanyak tiga kali. Setelah selesai dengan tahap itu, maka tahap selanjutnya
adalah ritual memberikan calek (mengoleskan sesuatu dikening para anak kayo)
oleh tukang calek (orang yang dipercaya memiliki kemampuan khusus di bidang
ini). Bahan-bahan untuk calek itu antara lain darah ayam jantan warna merah,
langir binyak (sejenis minyak-minyakan) yang sudah diberi mantra khusus.
Setelah itu, panyangahatn kembali membaca doa dan mantra khusus untuk
meminta bantuan dan kekuatan kepada semua makhluk halus yang ada di seluruh
pelosok Pulau Kalimantan, seperti: Dumun Buta, Mawikng Barani, Mawikng
Bana’, Mawikng Gila, Mawikng Poporatn, Mawikng Tajur, Jin-jin Buta. Doa dan
mantra itu dalam bahasa Dayak Kanayatn kira-kira berbunyi:
61
“Kami ngaraja adat ngian masih narengan adat kita’ nang pamula’an,
ampeatn kami anak ucu’ kita’ minta’ tulukng, minta’ banto’ sidi, karana kita’ jadi
karamat kadiaman, jadi panyugu nang yak kami tono’ lobokng ka’ ai’ tanah, ka’
binua nang di Ne’ Unte’ muka’ ngian”.
Bahan-bahan yang dipakai dalam ritual ini adalah:
1. Tiga ekor ayam jantan warna merah.
2. Sesajen (Tumpi’, poe’, dll), semuanya warna kuning.
3. Daun rinyuakng merah untuk melipat bontokng dan kobet.
4. Dua macam sesajen (satu untuk Jubata/Tuhan dan satunya lagi untuk
makhluk halus penunggu alam gaib).
Narasumber:
Teks diatas dituturkan oleh Simon Parabas (27 Tahun)
Merupakan warga adat Dayak Ngabang, Kabupaten Landak.
(Hasil wawancara di rekam oleh Erneta pada bulan Agustus 2006 di Desa
Darit Kabupaten Landak)
3.3 Analisis Struktur
Berikut ini akan dianalisis struktur teks A dan Teks B. Sebagaimana
telah dijelaskan dalam kerangka penelitian, yang dimaksud dengan struktur karya
sastra adalah mengidentifikasi dan mendeskripsikan unsur-unsur dalam karya
sastra berupa tema, alur, tokoh dan latar.
62
3.3.1 Teks A (Asal Mula Padi ; Kisah Ne’ Jaek dan Ne’ Baruakng Kulup)
a) Tema
Tema dalam cerita ini mengenai kisah asal mula Padi. Disamping tema
utama, kisah ini diangkat karena mengungkap tentang tradisi Ngayau, dan
tradisi ini sudah ada sejak padi belum ada. Dan pesan moral yang terkandung
dalam cerita ini adalah saling tolong menolong terhadap siapa pun.
b) Alur
Alur dalam cerita ini termasuk jenis alur progresif karena peristiwa
yang diceritakan bersifat kronologis, yaitu peristiwa pertama diikuti peristiwa
berikutnya. Peristiwa pertama diawali dengan Ne’ Panitah yang mengutus
putranya yang bernama Ne’ Jaek ke bumi karena prihatin melihat kehidupan
manusia yang saling bermusuhan satu sama lain. Kemudian deskripsi tentang
anak Ne’ Jaek yaitu Baruakng mencoba membawa benih padi dengan
sembunyi-sembunyi ke dunia karena takut ketahuan ayahnya. Sebab pada
mulanya manusia sejati yang tingal di bumi, makanan pokoknya adalah “kulat
karakng” yaitu jamur yang tumbuh di pohon karet yang sudah mati.
Sedangkan makanan orang di Kayangan adalah nasi, juga deskripsi tentang
perjuangan Baruakng dalam mencari kebenaran.
Konflik muncul saat Baruakng ketahuan membawa setangkai padi
untuk dibawa ke bumi oleh ayahnya. Karena nasi hanya boleh dimakan di
Kayangan. Maka ayahnya hendak membunuh Baruakng tetapi di halangi oleh
istrinya Ne’ Panitah. Ne’ Panitah meminta Baruakng bersembunyi ke bumi.
63
Konflik memulai memuncak saat Baruakng harus mengikuti perkataan
ibunya yang ingin menolongnya. Ibunya meminta ia agar mengikuti jalan
lurus dan bukan jalam menyimpang. Selama dua kali ia melewati jalan
menyimpang, karena jalan menyimpang tidak susah melewatinya, sedangkan
jalan lurus penuh lalang dan semak berduri. Ia tidak mau kecewa untuk yang
ketiga kalinya. Walaupun jalan yang lurus itu penuh tantangan, ia
memutuskan untuk meniti jalan itu. Tidak seberapa jauh, rupanya jalan yang
penuh semak berduri tadi tidaklah begitu jauh. Akhirnya ia sampai ke sebuah
kampung dan bertemu dengan seorang dara cantik bernama Jamani Tabikng
Tingi sesuai dengan pesan ibunya. Gadis cantik ini kemudian menjadi istrinya.
Konflik memuncak ketika anak mereka Jamawar jatuh ke jurang dan
tubunnya hancur saat ia hendak mengambil buah sibo (buah rambutan) yang
sudah masak memerah. Semua orang kebingungan bagaimana mengambil
tubuh Jamawar yang sudah terpisah di sela-sela batu. Akhirnya diputuskan
tubuh Jamawar akan diobati dan dihidupkan kembali dengan cara merekatkan
tubuh Jamawar yang telah hancur. Ada tujuh orang dukun yang mengobatinya,
dan masing-masing dukun itu membawa tujuh biji beras dan doa-doa hingga
Jamawar akhirnya sembuh dan tubuhnya kembali bersatu.
Pada bagian penyelesaian diceritakan bahwa Ne’ Siputih Panara
Subayatn dan Ne’ Petor Batu Muntar Muha menyuruh pengacara untuk
menuntut (kawin lari padahal sudah beristri) pada Baruakng, karena ia kawin
lari meninggalkan istri-istrinya. Karena Ne’ Jamani (istri Baruakng) orang
sakti dan berada, semua tuntutan tadi dipenuhinya. Hingga saat ini masyarakat
64
Dayak Bukit Talaga bahwa antara roh-roh halus dan binatang-binatang
tertentu tetap menghormati sebagai saudara mereka, sehingga mereka harus
saling tolong menolong dan saling membantu.
c) Tokoh
Tokoh utama dalam cerita rakyat ini adalah Baruakng. Ia merupakan
anak dari Ne’ Jaek dan Ne’ Panitah.
Tapi sayang, sifatnya sangat bertentangan dengan kedua orang tuanya.
Ia kurang mau mendengarkan kata orangtuanya. Seperti contoh saat ia
membawa padi ke bumi. Padahal nasi hanya boleh di makan oleh orang
Kayangan. Hingga ayahnya, Ne Jaek berusaha membunuhnya. Karena ibunya
membelanya, Baruakng diperintahkan untuk sementara tidak mampir ke
Kayangan. Ibunya meminta ia pada saat di bumi mengikuti jalan yang lurus.
Tapi karena jalan yang menyimpang lebih mudah melewatinya ia lebih
memilih jalan menyimpang. Sampai di sana ia menikahi dua orang dara yang
masing-masing punya anak cacat dan menakutkan serta tidak ada yang
sempurna. Sedangkan istrinya yang kedua melahirkan anak-anak jelmaan
burung.
Tokoh tambahan dalam cerita ini adalah Ne’ Jaek yang merupakan
ayah dari Baruakng. Tokoh tambahan lain adalah Ne’ Si Putih Panara
Subayatn yang merupakan istri Baruakng yang melahirkan anak-anak
berwujud burung. Tokoh lain yaitu Petor Batu Buntar Muha yang merupakan
istri keduanya yang melahirkan anak-anak yang tidak sempurna, semuanya
65
cacat dan menakutkan. Tokoh tambahan lain yaitu Jamani Tabikng Tingi yang
merupakan istri ketiganya dan melahirkan anak-anak manusia.
d) Latar
Cerita ini mengambil setting tempat di daerah Kalimantan Barat
tepatnya di daerah Dayak Bukit Talaga.
3.3.2 Teks B (Parang Miaju’ Padokoatn Malanggar Jawa ; Asal Mula
Penduduk Kalimantan)
a) Tema
Tema dalam cerita ini mengenai asal mula penduduk Kalimantan.
Disamping tema utama, kisah ini diangkat karena mengungkap tentang tradisi
Ngayau, dan tradisi ini sudah ada sejak masyarakat di Kalimantan melakukan
perang melawan Miaju’ Padokoatn.
b) Alur
Alur yang digunakan dalam cerita ini termasuk alur progresif yang
dikisahkan bersifat kronologis, yaitu peristiwa pertama menyebabkan
peristiwa berikutnya. Alur diawali dengan kisah bahwa Patih Gajah Mada
(Majapahit Jawa), Patih Gumantar (Mempawah), Patih Jamani. Patih Jaraya’
ini diketahui tinggal di daerah Bukit Talaga Pahauman Kabupaten Landak.
Ne’ Jaraya’ mempunyai dua orang panglima yang bernama Ne’ Binalu dan
Ne’ Binawa’ yang pandai terbang. Mereka tinggal berpindah-pindah
menghindari serangan dari Miaju’ Padokoatn’. Mereka berperang melawan
Miaju’ Padokoatn’.
66
Konflik muncul ketika Ne’ Jaraya’ mempunyai empat orang anak
masing-masing bernama: Ne’ Sugutn yang juga bergelar Patih, Ne’ Nginatn.
Ne’Jarijarita’ dan Ne’ Baubaulah anaknya yang ketiga dan keempat akhirnya
pergi masing-masing ke Nanang Pulo Lawe dan Nanang Piulo Kabukng.
Mereka menumpang di perkampungan Kamang. Pada saat tinggal disana,
mereka harus berpantang; Tidak boleh ngamalo (melekatkan hulu
parangdengan getah tumbuhan) Tidak boleh nunu tungkung (membakar bunga
tepus). Tidak boleh Nyaranang (memerahi anyaman dengan getah jaranang),
Tidak boleh nyuman ansepakng (memasak daun sejenis cangkok manis) Tidak
boleh ngeok (bersiul), kalau pantang ini dilanggar, maka penghuni Kamang
akan kesakitan dan bisa mati. Tidak boleh makan paku’ lamidikng (pakis
lemiding).
Konflik memuncak pada saat mereka menebang kayu, lepaslah
parang Ne’ Sugutn dari hulunya. Mungkin lupa, Ne’ Sugutn langsung
membakar getah amalo untuk melekatkan parang pada hulunya. Seketika itu
juga matilah anak Ne’ Lagi. Ne’ Lagi datang dan membunuh anak Ne’
Sugutn. Selanjutnya Ne’ Sugutn mengamuk hingga ia menghabisi anak cucu
keturunan Ne’ Lagi si Raja Kamang (sejenis Orang Kesucian, Orang
Kebenaran).
Pada bagian penyelesaian diceritakan bahwa menyadari bahaya
yang kian mengancam, maka mata manusia ini dibungkus dengan duri
Kaimayong (sejenis salak). Itulah sebabnya hingga sekarang manusia
kebanyakan tidak dapat melihat hantu atau roh jahat.
67
c) Tokoh
Tokoh utama dalam cerita ini adalah Ne’ Jaraya yang diketahui
tinggal di daerah Bukit Talaga Pahauman Kabupaten Landak hingga sekarang.
Ribuan pohon durian tanaman Ne’ Jaraya’ menjadi saksi hidup, yang masih
tumbuh dengan pohon-pohon besarnya seisi Gunung Talaga.
Tokoh tambahan lain adalah Ne’ Lagi yang merupakan Panglima
Perang Talaga yang terknal pada waktu itu yang tinggal di Lajik. Sekarang
Lajik menjadi “Panyugu” salah satu tempat keramat yang ada digunakan
untuk mengadakan suguhan/sesaji di Gunung Talaga. Tokoh lain yaitu Ne’
Sugutn yang merupakan anak pertama dari Ne’ Jaraya’.
d) Latar
Latar tempat meliputi Padang Tikar, Sikudana, Sikulantikng,
Bawang Laut, Pontianak. Kemudian di Ibul Samih, Pulo Burukng dan Gunung
Talaga tepatnya di Perkampungan Kamang.
Latar sosial meliputi perilaku masyarakat yang patuh pada
peraturan dengan melaksanakan pantang sesuai dengan adat yang berlaku di
Perkampungan Kamang. Apabila pantangan ini dilanggar maka penghuni
Kamang akan kesakitan dan bisa mati.
3.4 Analisis Isi (Content Analysis)
Teks C, D dan E akan menggunakan analisis isi (content analysis) untuk
dikaji lebih mendalam isi dari hasil tiap wawancara. Sebagaimana telah dijelaskan
68
dalam kerangka teori, yang dimaksud dengan analisis isi adalah metodologi
penelitian yang menggunakan sekumpulan prosedur untuk membuat kesimpulan
teks yang valid, kesimpulan itu tentang pengirim pesan itu sendiri ataupun
penerima pesan (Weber, 1990 : 9).
3.4.1 Teks C (Asal-usul Tradisi Ngayau)
Setelah ditelusuri lebih mendalam, teks C mengungkapkan beberapa
pokok gagasan sebagai berikut:
1. Tradisi Ngayau pada mulanya merupakan sebuah ritus inisiasi.
2. Ada proses yang terjadi dalam pelaksanaan tradisi Ngayau, yaitu proses yang
mengharuskan seorang laki-laki jika ingin mempunyai istri harus melakukan
tradisi Ngayau ini, dan apabila laki-laki tersebut sudah mendapatkan kepala
kayau harus diadakan pesta adat Notokng.
3. Pengayau harus benar-benar memenuhi syarat saat melakukan Ngayau. Itu
berarti jika ia sudah mampu melakukan Ngayau, berarti ia dianggap mampu
menghidupi keluarganya sendiri.
4. Ada proses fase kedewasaan di mana Pengayau tumbuh dari remaja ke
dewasa, pada saat dewasa inilah ia harus mampu melakukan Ngayau.
5. Saat acara Notokng, diadakan Tariu (ritual memanggil roh-roh nenek moyang)
sebagai wujud kemampuan Pengayau dalam melakukan Ngayau.
3.4.2 Teks D ( Tradisi Ngayau di Masa Silam)
Setelah dikaji dengan seksama cerita ini, teks D memberikan beberapa
informasi penting sebagai berikut:
69
1. Ngayau berfungsi mencari kebahagiaan keluarga jika kepala kayau dipelihara.
2. Jika seseorang mendapatkan kepala kayau maka ia disebut sebagai Panglima
karena menunjukkan keberaniannya.
3. Sesudah mendapat kepala kayau harus diadakan pesta adat Notokng.
4. Apabila Notokng tidak dilaksanakan, maka keluarga yang melakukan Ngayau
itu akan mengalami kemerosotan, ada juga yang sering sakit-sakitan,
kehidupan tidak makmur.
3.4.3 Teks E (Tradisi Ngayau dan Proses Pelaksanaannya)
Seperti yang telah dijelaskan dalam awal cerita dalam teks ini, tradisi
Ngayau memiliki beberapa gagasan penting sebagai berikut:
1. Membalas serangan lawan dari binua (wilayah adat) lain. Ini dilakukan jika
lawan dari binua lain telah terlebih dahulu menyerang dan mendapatkan
kepala dari binua yang diserang.
2. Sebagai tolak ukur dan legitimasi bagi kaum laki-laki yang sedang beranjak
dewasa menjadi laki-laki dewasa seutuhnya.
3. Orang Dayak percaya jika sudah berhasil mendapatkan dan memelihara
kepala anak kayo, maka martabat keluarga akan tinggi di masyarakat. Ia
kemudian akan dihormati dikomunitasnya sebagai orang pemberani,
”panungkakng” atau penyangga kampung yang disegani atas keberaniannya.
4. Orang Dayak juga percaya bahwa kepala kayo yang dipelihara dan ditanam di
halaman rumah dan di tempat-tempat keramat akan senantiasa menjaga binua
dari berbagai gangguan dan ancaman.
70
3.5 Rangkuman
Untuk lebih memperjelas perbandingan tersebut, tabel berikut ini
menyajikan unsur-unsur yang menonjol tiap teks.
3.5.1 Tabel Perbandingan Teks
No. Jenis Teks Unsur yang menonjol
1.
2.
3.
4.
5.
Teks A
Teks B
Teks C
Teks D
Teks E
Asal mula Padi
Asal mula penduduk Kalimantan
Cerita tradisi Ngayau
Tradisi Ngayau pada masa silam
Tradisi Ngayau dan proses pelaksanaannya
Dari cerita-cerita yang telah dipaparkan dan dijelaskan di atas, teks yang
dapat dipandang sebagai teks khusus berbicara tentang Mengayau adalah Teks C,
Teks D dan Teks E karena ketiga teks ini lebih sesuai dengan logika yang ada.
Dikatakan demikian karena pada intinya bercerita tentang tradisi Ngayau yang
terjadi dalam masyarakat Dayak benar-benar ada. Sedangkan Teks A dan Teks B
menjelaskan sedikit saja tentang tradisi Ngayau, tetapi arti Ngayau itu sendiri
cukup dapat dipahami dalam teks ini.
Secara struktural terdapat perbedaan isi cerita yang berasal dari sumber
lisan ataupun tertulis. Pada sumber lisan, cerita dikisahkan secara garis besar,
contohnya dalam hal alur. Penceritaan secara lisan seringkali tidak
memperhatikan alur karena hal yang dipentingkan dalam penceritaan adalah
71
bagaimana motif cerita tersebut tersampaikan dengan baik kepada pendengar.
Dalam penceritaan versi tulisan, cerita lebih memperhatikan alur sehingga
mengakibatkan sistematika penyajian cerita tersaji secara detail tanpa adanya
penyimpangan alur kecuali alur pokok yang mempengaruhi cerita tersebut.
Dari teks itu terdapat semua persamaan peristiwa penting, yaitu fungsi
tradisi Ngayau itu adalah sebagai wujud kedewasaan seorang putra Dayak saat ia
ingin memperistri seorang gadis. Atau fungsi yang lain sebagai wujud mencari
kebahagiaan keluarga dengan cara memelihara kepala kayau. Sebaliknya, jika
tidak dipelihara maka keluarga Pengayau akan mengalami kemerosotan dalam
hidupnya.
Dengan adanya peristiwa ini, masyarakat Dayak tetap percaya bahwa
tradisi Ngayau memang ada pada masa lampau. Bahkan pernah dikaitkan dengan
perang antar etnis sekitar tahun 1997 yang lalu. Padahal sebenarnya tidak ada
kaitan sama sekali. Generasi muda Dayak sudah tidak mengenal lagi atau
melakukan tradisi Ngayau yang pernah dilakukan oleh nenek moyangnya. Pada
bab berikutnya, yaitu Bab IV, akan dipaparkan mengenai proses pelaksanaan
tradisi Ngayau secara detail yang dilakukan pada masa silam.
Faktor-faktor yang menyebabkan adanya varian cerita berbeda adalah alur,
motif, latar, dan tokoh. Hal yang menyebabkan alur berbeda karena pencerita
tidak memperhatikan hal tersebut sehingga terdapat perbedaan dalam urutan
cerita. Pencerita biasanya hanya mengingat apa yang pernah ia dengar melalui
cerita-cerita yang telah tersebar. Motif yang tersebar dapat disebabkan oleh
tingkah laku tokoh yang mengalir dalam cerita. Adanya latar yang berlainan
72
dikarenakan tradisi atau kebiasaan pencerita yang masih berada di dalam satu
daerah, yaitu daerah Kalimantan. Sedangkan nama tokoh yang berbeda
disebabkan oleh dialek dari si pencerita. Selain hal-hal tersebut di atas, faktor
kealpaan dari si pencerita juga menyebabkan perbedaan yang berpengaruh pada
jalinan cerita.
73
BAB IV
PROSES PELAKSANAAN TRADISI NGAYAU DALAM
MASYARAKAT DAYAK
4.1 Pengantar
Ngayau merupakan ritual berburu kepala manusia dalam masyarakat
Dayak di Kalimantan. Sebagian masyarakat Dayak mengetahui seperti apa itu
Ngayau, tetapi tidak banyak yang tahu bagaimana ritual dan proses tradisi Ngayau
tersebut. Ritual menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Tim Penyusun Kamus
Bahasa, 1988:843) adalah hal-hal yang berkenaan dengan ritus. Pengertian ritus
adalah tatacara dalam upacara keagamaan.
Proses adalah rangkaian berupa tindakan, perbuatan, atau pengolahan yang
menghasilkan produk (KBBI, 1988:703). Proses ritual tradisi Ngayau mencakup
kegiatan sebelum ritual, misalnya: persiapan tempat, sesaji, pemilihan waktu,
sampai ritual tradisi Ngayau selesai, yaitu mendapatkan kepala kayau hingga
diadakan pesta adat Notokng. Proses tersebut dapat dibagi menjadi tiga tahap,
yaitu persiapan, pelaksanaan dan penyelesaian. Ketiga tahap tersebut akan
dijelaskan dalam uraian dibawah ini.
Proses pertama yaitu proses persiapan. Proses ini diawali dengan
mempersiapkan sesajian yang akan dibawa pada saat upacara sebelum
melaksanakan Ngayau. Ada berbagai macam jenis sesajian yang harus
dipersiapkan antara lain : tujuh piring pulut (ketan), tujuh butir telur ayam matang,
tiga ekor ayam jantan, dua ekor babi, dan lain-lain. Kemudian diadakan prosesi
74
upacara dengan sejumlah tata cara. Dan para ksatria berangkat Mengayau hingga
mendapatkan kepala kayau.
Pada saat Mengayau tersebut para ksatria (Pengayau) melakukan Tariu
(memanggil roh-roh halus). Orang tidak berani mengundang Tariu di dalam
rumah, dan selalu dipanggil di luar. Setelah itu menjalankan Mangkok Merah
bersama sesaji yang lain seperti tiga ekor ayam jantan warna merah, tumpi’, poe’,
daun rinyuakng merah, minuman berupa kopi pahit dan air putih serta dua macam
sesajen lainnya (Satu untuk Jubata / Tuhan dan satunya lagi untuk makhluk halus
penunggu alam gaib).
Upacara Nyaru’ Tariu (memanggil Tariu) yang merupakan upacara
memanggil Kamakng Roh menyerupai manusia tidak kelihatan. Tariu merupakan
misteri bagi orang Dayak yang sudah tercerabut dari kebudayaannya, atau mereka
yang mau tahu tentang kebudayaan Dayak tentu bisa “mengetahui” misteri itu.
Sesuatu yang teramat misteri bagi orang luar yang tidak tahu tentang “Dayak”,
khususnya tentang kepercayaan orang Dayak pada “Yang Maha Kuasa”.
Untuk bisa mengerti, memahami apa dan mengapa kekuatan Tariu itu
begitu dashyat kekuatannya, terlebih dahulu mutlak mengetahui “Yang Ilahi”
menurut kepercayaan orang Dayak. Tariu sendiri tidak terlepas dengan adat
Mangkok Merah dan Pengayauan.
Proses kedua yaitu proses pelaksanaan. Proses ini dilakukan dengan
Mangkok Merah. Banyak versi yang mengisahkan kapan pertama kali
dikeluarkannya adat Mangkok Merah. Meskipun demikian, semua orang Dayak
75
pernah mendengar cerita tentang kedahsyatan akibat hadirnya Mangkok Merah,
sebab Mangkok Merah erat kaitannya dengan Pengayauan.
Di kalangan suku Dayak sendiri diadakan kesepakatan kalau salah satu
daerah terancam bahaya dari luar, maka semua orang Dayak harus membantu
secepat kilat. Untuk menyebarluaskan selekas mungkin kesepakatan itu maka
dibuatlah adatnya yang kemudian terkenal dengan nama Mangkok Merah.
Mangkok Merah sebagai simbol dan sarana mobilisasi massa yang sangat efektif
dan cepat. Dalam satu atau dua hari, massa yang tergerak bisa dua-tiga ratus
kilometer.
Masyarakat Dayak sangat memegang teguh adat “nyawa ganti nyawa,
mata ganti mata, gigi ganti gigi”. Maksudnya, jika ada seorang Dayak yang
dilukai, entah oleh etnis lain atau sesama etnis Dayak, maka harus diganti dengan
membayar adat pati nyawa’ (ganti nyawa). Membayar hukuman adat tersebut bisa
digantikan dengan barang, bukan nyawa lalu harus membunuh. Kalau musuh
(pihak yang membunuh) tidak menerima simbol hukum adat “nyawa ganti nyawa,
gigi ganti gigi, mata ganti mata”, barulah dilakukan perang untuk mewujudkan
adat tersebut. Maksudnya harus membunuh manusia sebagai balasan atas
kematian warga Dayak.
Mangkok Merah dijalankan dari kampung ke kampung sebagai
pemberitahuan bahwa harus siap membantu jika ada komando. Jika belum ada
perintah dari orang yang mengadakan adat Mangkok Merah maka belum boleh
melakukan penyerangan/perang. Komando ini berupa suara Tariu. Jika terdengar
suara Tariu, maka secara spontanitas kampung yang disinggahi Mangkok Merah
76
akan berangkat perang demi membela kehormatan suku Dayak. Yang
mengadakan adat Mangkok Merah ini adalah kepala suku Dayak yang
bersangkutan atau kepala adat, ataupun orang lain yang dianggap “kuat” dari
subsuku Dayak tersebut.
Proses terakhir yaitu proses penyelesaian tradisi Ngayau. Proses ini
dinamakan Notokng. Upacara Notokng terus dipertahankan karena pesan dari
nenek moyang yang harus terus dilaksanakan. Upacara ini sudah dilakukan selama
empat keturunan atau lebih dari 200 tahun. Kepala ini ada di masa masyarakat
Dayak waktu itu masih melakukan tradisi berburu kepala (Ngayau).
Dilihat dari proses ritual tradisi Ngayau, terdapat unsur-unsur yang khas
dalam kebudayaan Dayak yaitu kebudayaan mistik. Keterangan lengkap mengenai
proses dan tahap persiapan, pelaksanaan, serta penyelesaian akan dibahas dalam
uraian di bawah ini.
4.2 Persiapan Ritual Tradisi Ngayau
4.2.1 Tempat
Mengayau tidak boleh di sembarang tempat. Harus ada pemberitahuan dan
tempatnya ditentukan. Apabila orang Mengayau di sembarang tempat, maka dia
dianggap bukan Pengayau yang baik. Adapun yang berangkat Mengayau ini
adalah lelaki semua, tua dan muda. Maka tidak mengherankan para peneliti
berpendapat, bahwa sekitar tahun 1900-an populasi anak-anak dan perempuan
lebih banyak, karena banyak kaum lelaki tua dan muda mati Mengayau ataupun di
kayau.
77
Tahap pertama, pelaksanaan ritual di luar rumah yaitu Pengayau harus
melakukan Nyaru’ Tariu sebagai wujud panggilan kepada “Yang Ilahi”.
Memanggil Tariu ini bisa dilakukan beramai-ramai bersama Pengayau lain.
Apabila melakukan Tariu atau Kamakng secara bersamaan dengan Pengayau lain
maka terjadilah kekuatan yang luar biasa, keberanian yang tidak dapat dicegah,
dapat menghilang/tidak tampak, menjadi anjing, dapat menahan peluru, dll.
Tahap kedua, pelaksanaan ritual tradisi Ngayau di rumah. Pengayau harus
menyediakan alat-alat yang akan digunakan untuk melakukan Ngayau berupa
Burayakng, Tombak dan Mandau. Dan biasanya sebelum mereka melakukan
Ngayau, mereka mengadakan suatu ritual doa agar alat-alat yang akan digunakan
untuk Ngayau, dapat benar-benar ampuh saat digunakan.
4.2.2 Waktu
Pengayau tidak terlalu menempatkan waktu kapan harus melakukan
Ngayau. Tradisi Ngayau dilakukan setiap saat setiap kali ada bertemu dengan
musuh atau lawannya. Kebanyakan para Pengayau mencari musuh di daerah
hutan. Biasanya ini dilakukan pada siang hari atau pada saat hari masih terang.
Bila Pengayau sudah menemukan musuh yang akan di kayau, maka
mereka harus bertarung terlebih dahulu sampai ditemukan siapa yang menang dan
siapa yang kalah. Yang kalah tentu saja kepalanya harus di kayau oleh Pengayau
yang memenangkan pertarungan. Biasanya setelah mendapatkan kepala kayau,
malam harinya atau keesokan harinya harus diadakan acara Notokng.
78
4.2.3 Sesaji
Sesaji berasal dari kata saji yang berarti ‘hidangan’ (makanan dan lauk-
pauk yang telah disediakan pada suatu tempat untuk dimakan) (KBBI,1988:768).
Bersesaji adalah mempersembahkan sajian dalam upacara keagamaan yang
dilakukan secara simbolis dengan tujuan untuk berkomunikasi dengan kekuatan-
kekuatan gaib, dengan jalan mempersembahkan makanan dan benda-benda lain
yang melambangkan maksud dari komunikasi tersebut (KBBI, 1988:768). Sajen
atau sesaji ditujukan kepada penjaga yang tidak kasat mata dan gaib,
sesungguhnya mencerminkan kesadaran manusia kepada lingkungan hidupnya.
Sajen juga mengungkapkan rasa syukur atas anugrah yang dilimpahkan. Sajen
mencerminkan penyerahan diri sepenuhnya untuk memperoleh perlindungan atau
lainnya agar hidup tentram dan selamat (Kamajaya, 1992:5).
Berikut akan dibahas mengenai sesaji yang digunakan dalam ritual
Ngayau:
1. Tiga ekor ayam jantan.
2. Sesajen (tumpi’, poe’, dll), semuanya warna kuning. Tumpi’ terbuat dari
tepung ketan yang dicampur dengan gula merah dan bahan lainnya.
Rasanya manis. Berbentuk bulat tapi ada renda disekelilingnya. Tumpi’
biasanya dilengkapi dengan poe’, makanan yang terbuat dari nasi ketan
yang dimasak menggunakan bambu besar. Keduanya diletakkan dalam
wadah yang sama.
79
3. Daun rinyuakng merah untuk melipat bontokng dan kobet. Daun rinyuakng
juga diletakkan dalam sebuah piring kecil agar mudah saat digunakan
untuk melipat bontokng dan kobet.
4. Minuman :
a. Kopi pahit (satu gelas), kopi pahit diibaratkan sebagai sikap dari
Pengayau yang dengan kesungguhannya melaksanakan ritual Ngayau.
b. Air putih (satu gelas), air putih dilambangkan sebagai kemurnian hati
yang sungguh-sungguh ingin melakukan ritual Ngayau.
5. Dua macam sesajen (satu untuk Jubata/Tuhan dan satunya lagi untuk
makhluk halus penunggu alam gaib).
6. Tujuh piring pulut (ketan).
7. Tujuh piring tempe (pulut yang dicampur dengan beras).
8. Tujuh piring rendai (terbuat dari beras ketan yang disangrai).
9. Tujuh butir telur ayam matang.
10. Satu piring berisi: sirih, gambir (sedek), rokok, kapur pinang, buah
pinang, tembakau, tujuh buah ketupat yang diikat, beras dicampur pulut,
tujuh jalong cubit, seikat benang yang diikatkan di sungki (ketupat/lepat
diikat dengan daun).
11. Satu piring utai bekaki (tepung pulut dicampur dengan tepung beras
dibuat hiasan seperti tutup sersang, bintang, bintang banyak, udang,
pesawat, dan sebagainya).
80
12. Tiga piring sudah berisi bahan-bahan yang digunakan dalam upacara dan
ditempatkan dalam ancak yang terbuat dari potongan bambu yang
dirangkai dengan seutas tali.
13. Dua ekor babi (boleh jantan atau betina).
14. Tengkorak manusia sebagai simbol.
15. Satu buah kelapa tua sebagai simbol kepala manusia.
16. Minuman tuak.
Peralatan perang antara lain :
1. Sangkok atau tombak.
2. Terabi (perisai).
3. Tersang (ancak) terbuat dari bambu untuk menyimpan sesajian.
4. Mandau.
5. Satu buah bendera dengan lima warna :
Merah = sifat berani.
Hijau = lambang kesuburan.
Kuning = melambangkan ketulusan.
Hitam = melambangkan perlindungan dari orang yang
bermaksud tidak baik.
Putih = melambangkan hati dan pikiran yang suci/jernih.
81
4.3 Tahap Pelaksanaan Ritual Tradisi Ngayau
Sebelum turun Mengayau, satu minggu sebelumnya para wanita
mempersiapkan segala perangkat adat yang dipergunakan untuk membuat sesajen.
Persiapan untuk membuat sesajen disebut engkira, yaitu mempersiapkan segala
bahan-bahan yang digunakan untuk upacara. Sedangkan kaum laki-laki
mempersiapkan segala peralatan untuk berperang dan mendata pengaroh (jimat)
serta begiga (berburu), mencari lauk pauk untuk persediaan perbekalan selama
Ngayau. Orang yang memperoleh kepala dianggap sebagai pahlawan perang yang
biasa dianggap dengan "Bujang Berani" atau ksatria.
Para ksatria perang duduk secara berderet lalu bermacam-macam sesajen
yang masing-masing terdiri dari tujuh piring dihidangkan di depan ksatria. Tujuh
piring mempunyai makna tujuh lapis langit.
Membaca mantra dilakukan oleh kepala kampung lalu mengibaskan ayam
di atas kepala ksatria perang sebanyak tiga kali dan dilakukan secara berulang-
ulang.
Kepala kampung mengajak ketua adat yang dipilih untuk membuat sesajen
yang diawali dengan pembacaan mantra atau jampi-jampi, lalu ketua adat
mencurahkan air tuak sebanyak tujuh kali untuk memanggil roh nenek moyang
yang dianggap sebagai pelindung dalam perang untuk melindungi dan membantu
selama berperang. Kemudian mencurahkan atau membuang tuak sebanyak tiga
kali untuk mengundang orang-orang dari kayangan untuk hadir di rumah Betang.
Ketua adat meminum tuak supaya roh-roh nenek moyang yang sudah
berada di rumah Betang untuk melakukan kompromi dalam membuat sesajen
82
yang dipersembahkan kepada roh-roh nenek moyang yang hadir di rumah Betang.
Dalam membuat sesajen, yang pertama diambil adalah pulut sebagai lambang
perekat kebersamaaan, dimana dalam perang diperlukan adanya persatuan dan
kesatuan.
Kepala kampung mempersiapkan para tamu untuk menikmati hidangan
yang disajikan oleh kedua wanita, maknanya adalah para tamu diharapkan untuk
mendukung kegiatan/ peperangan yang akan dilakukan. Kepala kampung
mengajak para ksatria perang meminum tuak maknanya memberikan semangat
kepada ksatria dalam menghadapi peperangan.
Kepala kampung juga mengambil tumpe lalu menaburkan padi yang telah
disangrai yang melambangkan bahwa masyarakat Dayak mempunyai hati nurani
yang jujur dan luhur.
Kemudian kepala kampung mengambil sirih dan perlengkapan seperti :
rokok, daun apok, serta perlengkapan sesajen yang lain masing-masing diambil
lima batang untuk setiap satu piring, lalu ditaruh diacak yang didirikan di tiang
tengah dari rumah Betang/tiang ranyai agar orang-orang panggau (kayangan)
bersama dengan para tamu dirumah Betang (Yudono, 2007).
Pada saat hendak turun Ngayau, kepala adat membaca mantra untuk
peralatan perang supaya diberkati oleh ketua-ketua adat yang telah mendahului.
Kemudian kepala adat memotong ayam dilakukan di atas tangga dan diambil
darahnya untuk mengolesi kaki dan dahi para ksatria yang akan berperang agar
diberkati. Setelah itu mencabut bulu ayam dan dioleskan di dahi para tamu agar
tidak diganggu oleh roh-roh jahat.
83
Para ksatria bersiap perang dengan mengambil peralatan perang (pedang
dan perisai) sertau mandau yang diselipkan di pinggang. Lalu para ksatria
menuruni tangga rumah Betang dengan korban satu ekor babi dengan maksud
agar orang panggau (kayangan) ikut bersama dan membantu dalam perang.
Mereka mengatur strategi supaya dapat memotong kepala musuh yang berada di
daerah-daerah. Terjadilah pertempuran atau Mengayau, musuh akhirnya kalah dan
dipotong kepalanya yang dilambangkan dengan kelapa tua atau tengkorak
manusia. Setelah berhasil memotong kepala musuh, para ksatria meluapkan
kegembiraan dengan menari-nari lalu mengatur strategi untuk kembali ke rumah
Betang. Para ksatria meletakkan hasil perolehan selama perang di depan tangga
menuju rumah Betang sambil bercengkerama mengisahkan pengalaman mereka
selama perang.
Dua orang wanita dan pawangnya menuruni tangga rumah Betang untuk
mengantar sesajen untuk memberkati hasil perang. Tuan rumah mengibaskan
ayam dan memilih orang-orang yang akan membuat sesajen yang akan
dipersembahkan kepada orang panggau (kayangan) yang telah membantu perang.
Tiga piring ditempelkan kepada tiga ancak yang terbuat dari bambu lalu dipasang
pada tangga menuju rumah Betang untuk persembahan. Menurut kepercayaan,
sesajen ini selama tiga hari tidak boleh diganggu karena dapat mendatangkan
musibah (Yudono, 2007).
Pada saat memasuki rumah Betang, terdengar bunyi-bunyian alat musik
sebagai pertanda bahwa para ksatria perang diperbolehkan untuk menaiki rumah
Betang dengan terlebih dahulu dibacakan mantera, lalu para ksatria diletakkan
84
ayam di atas kepala, mencabut bulu ayam, memotong babi lalu dioleskan di dahi
barulah menaiki tangga rumah Betang. Sampai pada tangga paling atas dicurahkan
tuak, lalu tuan rumah memberikan minuman tuak untuk memberi semangat
kepada para ksatria perang yang telah berhasil memotong kepala musuh.
Setelah berada di rumah Betang, kepala kampung menyiapkan kembali
sesajen lalu mengibaskan ayam kepada para ksatria perang. Ayam dipotong dan
darahnya dioleskan ke kepala musuh (tengkorak manusia) yang berhasil dipotong
dan buah kelapa (sebagai simbol), mencabut bulu ayam lalu dioleskan di dahi para
ksatria, sesajen diletakkan atau digantung di ancak yang disimpan pada tiang
ranyai. Para ksatria perang dengan membawa kepala musuh menari bersama
dengan para wanita mengelilingi tiang sebagai ungkapan syukur kepada para
panggau (orang kayangan) yang telah membantu perang, lalu mengelilingi rumah
Betang (Yudono, 2007).
Ngayau dilakukan dengan sportif. Untuk itu pada saat akan melakukan
Ngayau dan pada akhir melakukan Ngayau dilakukan serentetan upacara adat.
Menurut adat Dayak Kanayatn, sebelum melakukan Ngayau mereka mengadakan
upacara adat Nyaru’ Tariu. Tariu penuh berisi dengan Pajokng. Pajokng adalah
suatu kekuatan besar. Manusia harus hati-hati terhadap kekuatan itu. Karena itu
orang juga tidak berani mengundang Tariu di dalam rumah, dan selalu dipanggil
di luar. Cara yang dilakukan untuk mengundang Tariu adalah sebagai berikut :
sebanyak tiga kali berteriak tajam / nyaring sambil dalam satu kali memotong
kepala ayam merah. Tariu suka makan otak dan darah, sehingga yang dilakukan
selanjutnya adalah mandi dalam air darah. Upacara ini dilakukan untuk memohon
85
kekuatan dan bantuan kepada Kamakng (makhluk seperti manusia tetapi tidak
kelihatan). Selesai melakukan Ngayau mereka mengadakan adat nyimah tanah
(mencuci tanah). Adat ini dilakukan agar rasi (pertanda) yang jahat menghindari
mereka.
Proses berikutnya yaitu menjalankan Mangkok Merah dari kampung ke
kampung sebagai pemberitahuan bahwa harus siap membantu jika ada komando.
Jika belum ada perintah dari orang yang mengadakan adat Mangkok Merah maka
belum boleh melakukan penyerangan / perang. Komando ini berupa suara Tariu.
Jika terdengar suara Tariu, maka secara spontanitas kampung yang disinggahi
Mangkok Merah akan berangkat perang demi membela kehormatan suku Dayak.
Yang mengadakan adat Mangkok Merah adalah kepala suku Dayak yang
bersangkutan atau kepala adat, ataupun orang lain yang dianggap “kuat” dari
subsuku Dayak tersebut.
Ngayau kerap diidentikkan dengan pembunuhan yang sadis, kejam dan
tidak berperikemanusiaan. Namun dibalik anggapan itu ada semangat heroik dari
Suku Dayak. Bagi orang Dayak, Ngayau adalah adat. Ritual yang dilakukan
secara khusus. Tidak bisa sembarang orang Mengayau. Ada aturan mengikat yang
harus diikuti. Pengayauan sesungguhnya adalah hukuman teramat berat bagi
pemenang. Mengayau adalah ritual yang sarat dengan tradisi lisan.
Pemahamannya hanya bisa dimengerti dalam ruang kepercayaan, tradisi lisan itu
sendiri. Adat Pengayauan itu sendiri sesuatu yang misteri, kaya makna kekuatan
supranatural.
86
Sangat langka tulisan tentang Mengayau. Bahkan belum ada satu buku
khusus yang membahas tentang Pengayauan. Perjanjian Tumbang Anoi (Kalteng)
pada tahun 1894 yang menghentikan adat Pengayauan turut membantu tidak
banyaknya sumber tertulis tersebut. Pertemuan itu diprakarsai oleh pemerintah
Belanda.
Pertemuan pertama dan terbesar dalam sejarah orang Dayak tersebut
diikuti hampir seluruh kepala suku, panglima perang, tetua adat dari semua
subsuku Dayak di Kalimantan. Mereka berikrar untuk tidak saling Mengayau lagi.
Perjanjian Tumbang Anoi tidak otomatis menghilangkan Pengayauan. Sejumlah
tetua, kepala suku, panglima Dayak mengaku hingga 1930-an masih ditemukan
tradisi Mengayau masih dilakukan oleh beberapa subsuku Dayak. Sekitar 1930-an
orang Dayak Punan dan Dayak Iban (Kapuas Hulu, Indonesia dan Sarawak,
Malaysia); Dayak Lamandau (Kalteng); serta beberapa subsuku Dayak lainnya,
masih Mengayau (Tembawang, 2006).
Adat Mengayau sudah dilakukan masyarakat Dayak sejak ribuan tahun
yang lalu. Hal ini bisa di lihat pada cerita Ne’ Baruakng Kulub dari masyarakat
Bukit atau hikayat Lawe’. Sedangkan pada masyarakat Uud Danum, kebiasaan
Mengayau sudah ada pada jaman KoLimoi (jaman yang kedua), yaitu ketika
masyarakat Uud Danum masih berada di “langit”. Tetapi cerita yang lebih lugas
tentang kebiasaan Mengayau terdapat dalam legenda Tahtum (jaman ketiga)
dalam sejarah hidup masyarakat Uud Danum (Tembawang, 2006).
87
4.4 Tahap Setelah Pelaksanaan Ritual Tradisi Ngayau
Selain itu juga diadakan upacara Notokng (upacara menghormati kepala
dan membuang dosa) sebanyak tujuh turunan setelah melakukan Ngayau. Upacara
ini biasanya berdasarkan permintaan dari pihak yang di kayau. Dengan upacara
Notokng ini orang yang telah di kayau dihormati, seperti dimandikan, diberi
makan dan ditidurkan; dan pada saatnya dimakamkan dengan upacara Notokng
yang ketujuh (terakhir). Jumlah kepala ikut menentukan apakah suatu suku Dayak
memperoleh keuntungan dan berkat atau tidak. Ada juga yang berpendapat bahwa
kekuatan dari orang yang dipotong kepalanya, pindah kepada orang yang
memotong, dan kepada orang yang memanfaatkan bagian anggota tubuh korban
lainnya. Orang Dayak pertama-tama mencari kepala dari suku yang bermusuhan
dengan mereka.
Karena kepemilikan kepala begitu dijunjung tinggi, dapat dimengerti
bahwa yang menjadi Pengayau yang baik, mempunyai banyak kepala kayau, akan
sangat disukai oleh gadis-gadis, dan terpandang di masyarakat Dayak. Dalam
makna inilah, dapat dimengerti mengapa Pengayauan dapat dilihat sebagai sesuatu
yang mutlak harus dilaksanakan demi kepentingan bersama suatu subsuku Dayak.
Kalau ada orang mati perlu satu atau lebih kepala yang baru, untuk diberi kepada
yang meninggalkan, sebagai pelindung. Kalau seorang kepala suku meninggal,
semua lelaki di suku tersebut harus melakukan Ngayau. Kalau seorang pemimpin
mau menikah, juga diperlukan kepala. Maka jangan heran, dalam setahun ada
subsuku Dayak yang besar dan terkenal Pengayau, memperoleh lebih dari 600
kepala (Yonita, 2004 : 30).
88
4.5 Rangkuman
Ngayau merupakan upacara inisiasi. Yang merupakan liminalitas sebagai
suatu jembatan penghubung; yaitu fase yang tidak berstruktur, bersifat transisi,
dan merupakan suatu tingkat atau fase.
Dalam kaitannya antara tradisi Ngayau dan teori liminalitas menunjukkan
bahwa anak laki-laki yang melakukan tradisi Ngayau dianggap mencapai fase
batas antara laki-laki yang sedang beranjak dewasa menjadi dewasa seutuhnya.
Ngayau dikatakan tradisi karena adat turun temurun dari nenek moyang
yang dilakukan di masyarakat adat Dayak di Kalimantan.
Dalam kenyataannya sekarang sebagaimana yang terjadi pada masyarakat
Dayak Kanayatn, Ngayau sama sekali tidak dikenal lagi. Komunitas Dayak pada
akhir tahun 60-an dan 70-an yang hampir sebagian beragama Katolik tak satupun
yang pernah mengalami Ngayau dan hanya satu-dua orang yang menyaksikan
upacara tradisi Ngayau.
Suku Dayak Kanayatn sebagai masyarakat adat tentunya menggunakan
tradisi mereka dalam memahami pengalaman hidupnya dan dalam konteks ini
memahami pengalaman akan adat Tariu, Mangkok Merah, Ngayau dan Notokng.
Ngayau adalah adat, dan orang Dayak sangat taat pada adat. Salah satu
adat itu adalah, apabila seorang melakukan tindakan sampai orang lain keluar
darah, maka hukumannya sangat berat. Apabila orang melakukan Ngayau di
sembarang tempat, maka dia dianggap bukan Pengayau yang baik. Adapun yang
berangkat melakukan Ngayau adalah laki-laki tua dan muda.
89
Tiap subsuku Dayak mempunyai tujuan melakukan Ngayau yang hampir
sama. Dalam masyarakat Dayak, khususnya Dayak Kanayatn; adat Ngayau
biasanya dilakukan sesudah adat pati nyawa’ (ganti nyawa) tidak diterima oleh
musuh. Maksudnya, jika seorang warga Dayak terbunuh atau dibunuh, maka
pihak keluarga akan menuntut pihak yang membunuh tersebut dengan adat pati
nyawa’ (ganti nyawa).
Adat pati nyawa’ ini tujuannya untuk “mengganti” nyawa orang yang
telah dibunuh / terbunuh. Bukan dengan nyawa manusia, tapi diwujudkan dalam
benda-benda adat. Seperti gong untuk mengganti nafas / nyawa, tajau / tempayan
untuk mengganti tubuh, dan lainnya. Jika adat pati ini tidak dibayar, barulah pihak
keluarga korban melaksanakan adat Ngayau. Setelah itu diadakan pesta adat
Notokng setelah melakukan Ngayau. Notokng harus dilaksanakan, jika tidak
dilaksanakan maka keluarga Pengayau akan mengalami kemerosotan dalam
keluarganya.
90
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya, dapat
ditarik dua kesimpulan. Pertama, cerita mengenai seluk beluk terjadinya tradisi
Ngayau dalam masyarakat Dayak sudah menjadi bagian dalam diri masyarakat
Dayak itu sendiri. Kelima buah teks yang telah dianalisis menyebutkan bahwa
seluk beluk terjadinya tradisi Ngayau karena adanya berbagai faktor, antara lain
tradisi Ngayau pada mulanya merupakan sebuah ritus inisiasi, berfungsi mencari
kebahagiaan keluarga jika kepala kayau dipelihara, sebagai wujud kedewasaan
seorang putra Dayak saat ia ingin memperistri seorang gadis, martabat keluarga
akan tinggi di masyarakat, dihormati dikomunitasnya sebagai orang pemberani,
ada proses fase kedewasaan di mana Pengayau tumbuh dari remaja ke dewasa dan
pada saat dewasa inilah ia harus mampu melakukan Ngayau. Secara historis
Ngayau mempunyai arti turun berperang dalam rangka mempertahankan status
kekuasaan, misalnya mempertahankan atau memperluas daerah kekuasaan yang
dibuktikan dengan banyaknya jumlah kepala musuh.
Ngayau dilakukan agar mendapat penghormatan di mata masyarakat adat
Dayak. Dengan kata lain, Ngayau juga berfungsi meningkatkan taraf sosial
seseorang. Orang yang mendapatkan kepala kayau dinamakan Bujang Berani dan
dikaitkan dengan hal-hal sakti. Berdasarkan cerita masyarakat Dayak, Ngayau
dikaitkan dengan unsur yang positif, karena Ngayau melambangkan keberanian,
91
simbol kejantanan dan martabat sosial. Selain itu ada semangat yang tumbuh pada
saat para ksatria melakukan Ngayau dengan menunjukkan keberanian dan
kemampuan mereka dalam menaklukkan musuh hingga mendapatkan kepala
kayau.
Kedua, proses yang terjadi dalam pelaksanaan tradisi Ngayau. Dalam
proses pelaksanaan tradisi Ngayau ini, pertama-tama harus mempersiapkan
sesajian yang akan dibawa pada saat upacara sebelum melaksanakan Ngayau. Ada
berbagai macam jenis sesajian yang harus dipersiapkan anatara lain : tujuh piring
pulut (ketan), tujuh butir telur ayam matang, tiga ekor ayam jantan, dua ekor babi,
dan lain-lain. Kemudian diadakan prosesi upacara dengan sejumlah tata cara. Para
ksatria berangkat Mengayau hingga mendapatkan kepala kayau. Pada saat
Mengayau tersebut para ksatria (Pengayau) melakukan Tariu (memanggil roh-roh
halus). Orang tidak berani mengundang Tariu di dalam rumah, dan selalu
dipanggil di luar. Kemudian setelah itu menjalankan Mangkok Merah bersama
sesaji yang lain seperti tiga ekor ayam jantan warna merah, tumpi’, poe’, daun
rinyuakng merah, minuman berupa kopi pahit dan air putih serta dua macam
sesajen lainnya (Satu untuk Jubata / Tuhan dan satunya lagi untuk makhluk halus
penunggu alam gaib) dan bermacam-macam sesajen lainnya.
5.2 Saran
Penelitian ini diharapkan dapat dikembangkan lebih luas lagi oleh peneliti
selanjutnya. Peneliti berikut dapat menggunakan teori dan sudut pandang yang
berbeda sehingga hasil penelitian pun menjadi lebih bervariasi misalnya sosiologi
92
sastra atau psikologi sastra. Dengan kata lain, penelitian ini dijadikan sarana acuan
dan panduan untuk penelitian selanjutnya.
Wilayah Kabupaten Landak di Kalimantan Barat merupakan salah satu
daerah yang menyimpan misteri tradisi Ngayau. Walaupun hampir sebagian besar
masyarakat Dayak Kanayatn menceritakan tradisi Ngayau kurang lebih sama
dengan masyarakat Dayak lain. Studi ini dapat menjadikan tradisi Ngayau sebagai
suatu objek telaah yang baik mengingat masih banyaknya peninggalan nenek
moyang di masa lampau. Maka dari itu, kajian folklor dan sastra dapat
menghasilkan banyak manfaat melalui studi lapangan di Kabupaten Landak dan di
daerah Kalimantan Barat lainnya yang menyimpan misteri tentang tradisi Ngayau.
Manfaatnya antara lain kita dapat mengenal seluk beluk tradisi Ngayau dalam
masyarakat Dayak dari hasil wawancara atau cerita-cerita rakyat yang dilakukan
oleh peneliti.
93
DAFTAR PUSTAKA
Andasputra, Nico. 1997. Mencermati Dayak Kanayatn. Pontianak. InstitutDayakologi.
_______________. 2001. Pelajaran dari Masyarakat Dayak : Gerakan Sosial danResiliensi Ekologis di Kalimantan Barat. Pontianak : InstitutDayakologi.
Arikunto, Suharsini. 1993. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. EdisiRevisi III. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
BPS Kabupaten Landak. 2005. Kabupaten Landak dalam Angka ; LandakRegency in Figures 2004. BPS Kabupaten Landak.
Coomans, Mikhail. 1987. Manusia Dayak : Dahulu, Sekarang, Masa Depan.Jakarta : PT. Gramedia.
Danandjaja, James. 1984. Folklor Indonesia : Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta : PT. Pustaka Utama Grafiti.
______________. 2003. Folklor Amerika : Cermin Multikultural yangManunggal. Jakarta : PT. Pustaka Utama Grafiti.
Hadi, Sutrisno. 1979. Metodologi Research. Jilid II. Yogyakarta : YayasanPenerbitan Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Hartoko, Dick dan Rahmanto, B. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta.Kanisius.
Herusatoto, Budiono. 1984. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta :Hanindita.
Kamajaya, H Karkono,dkk. 1992. Ruwatan Murwakala. Yogyakarta : DutaWacana University Press.
King, Victor. T. 1982. “Ethniticy in Borneo : An Anthropological Problem”.Southeast Asian Journal of Social Science,10 (1) : 23-43.
Komaruddin, P. 1974. Metode Penulisan Skrispi dan Tesis. Bandung : Angkasa.
____________. 1989. Tentang Sastra. Penerjemah Akhadi Ikram (Seri ILDEP).Jakarta : Intermasa.
Maunati, Yekti. 2004. Identitas Dayak : Komodifikasi dan Politik Kebudayaan.Yogyakarta : Elkis.
Soekamto, Soeryono. 1990. Sosiologi Sastra. Jakarta.
Sudjiman, Panuti (Ed). 1986. Kamus Istilah Sastra. Cetakan II. (Cetakan I 1984).Jakarta: Gramedia.
Sumardjo, Jakob. 1983. Memahami Kesusastraan. Bandung : ALUMNI.
Taum, Drs. Yapi. 2002. “Hakekat dan Metodologi Penelitian Sastra lisan”.Penelitian Lisan. Yogyakarta : Lembaga Penelitian Universitas SanataDharma.
Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1988. Kamus BesarBahasa Indonesia. Edisi 2. Cetakan 4. Jakarta : Balai Pustaka.
Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1990. Kamus BesarBahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
Turner, Victor. 2006. “The Forest of Symbols”. Struktur Sosial, Agama danUpacara. Didownload darihttp://www.geocities.com/new_palakat/artikel/013.htm. Tanggal 7 Juni2006.
Weber, Robert Philip. 1990. Basic Content Analysis. Second Edition. California :Sage Publications.
Wardany, Imam. 2006. “Tentang Ngayau”. Didownload darihttp://khatulistiwa.imamwardany.com/index.php?option=com_content&task=view&id=49&Itemid=35. Tanggal 14 Januari 2008.
Yonita, Yuyun Yustina. 2004. Studi Deskripstif Pemaknaan Adat Tariu, MangkokMerah dan Mengayau bagi Suku Dayak Kanayatn. Skripsi. Yogyakarta :Universitas Sanata Dharma.
Yudono, Jodhi. 2007. “Upacara Ngayau, Kepala Musuh untuk Kehormatandan Kekuasaan”. Didownload darihttp://www.kompas.com/ver1/Negeriku/0706/06/175556.htm.Tanggal 12 Januari 2007.
LAMPIRAN
FOTO SENJATA YANG DIGUNAKAN DALAM TRADISI NGAYAU
Gambar 3. Burayakng
Gambar 2. Mandau
Gambar 3. Tombak
Gambar 4. Perisai
Gambar 5. Peta Kalimantan Barat
Gambar 6. Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan PerairanPropinsi Kalimantan Barat
Biografi
Erneta lahir di Pahauman (Kalimantan Barat), 22 Juli 1983.
Jenjang pendidikan yang ditempuh oleh penulis SD Subsidi I
Pahauman (1989-1995), SLTP Katolik Pahauman (1995-
1998), SMU Negeri 2 Pontianak (1998-2001), kemudian
penulis meneruskan ke perguruan tinggi di Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta pada tahun 2001 dengan mengambil
Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra. Penulis
menyelesaikan pendidikan perguruan tingginya pada tahun 2008 dengan tugas
akhir yang berjudul “Tradisi Ngayau dalam Masyarakat Dayak: Kajian Sastra dan
Folklor” mengantarkan penulis mendapatkan gelar sarjana sastra.
top related