tinjauan pustaka, permukiman nelayan
Post on 19-Jul-2015
894 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB II
KAJIAN LITERATUR
A. Kota Pesisir
Kota Pesisir (Waterfront City) adalah kawasan perkotaan yang berada di tepi
air (laut, danau, atau sungai), yang memiliki karakteristik open access dan juga
multi fungsi, namun sangat rentan terhadap kerusakan serta perusakan (Rahmat,
2012). Keberadaannya di tepi air tersebut membuat Kota Pesisir memiliki
pengaruh langsung dan tidak langsung dari darat dan laut. Dengan demikian,
keseimbangan Kota Pesisir akan sangat dipengaruhi oleh proses lingkungan
pesisirnya sendiri. Sebagai kota yang berada di tepi air, Kota Pesisir memiliki
karakteristik unik yang berbeda dengan kota-kota yang berbasis pada wilayah
daratan. Sumberdaya alam di Waterfront City khususnya yang berada di wilayah
pesisir dan lautnya bersifat dinamis serta sifat kepemilikan laut yang merupakan
aset umum (common property). Hal-hal inilah yang menyebabkan Kota Pesisir ini
dimanfaatkan untuk beragam aktivitas yang kemudian menciptakan fungsi yang
beraneka ragam.
Kota Pesisir dapat dibedakan berdasarkan dua macam aspek (Rahmat,
2012)., yaitu :
1. Berdasarkan pesisirnya.
Berdasarkan pesisirnya, kita dapat membedakan suatu Kota Pesisir
kepada tiga jenis, yaitu Kota Pesisir Laut, Kota Pesisir Sungai, dan Kota
Pesisir Danau. Jika suatu kota berbatasan langsung dengan Laut, Sungai
ataupun Danau secara sekaligus, maka perairan yang memberikan fungsi
yang dominan bagi Kota Pesisir tersebut, adalah perairan yang menjadi
identitas dari Kota Pesisir tersebut.
2. Berdasarkan populasinya.
Berdasarkan populasinya suatu Kota Pesisir dapat dibedakan kepada
Kota Pesisir Mikro, Kota Pesisir Kecil, Kota Pesisir Sedang, dan Kota
Pesisir Besar.
Dengan memahami jenis-jenis suatu Kota Pesisir maka kita akan
mendapatkan pendekatan yang berbeda dalam upaya melihat keberadaan suatu
Kota Pesisir. Kota Pesisir Laut akan memiliki peluang dan ancaman yang berbeda
dengan Kota Pesisir Sungai. Sedangkan Kota Pesisir Mikro akan memiliki potensi
dan permasalahan yang berbeda dengan Kota Pesisir Besar.
Kota Pesisir merupakan kawasan yang strategis dengan berbagai keunggulan
komparatif dan kompetitif yang dimilikinya sehingga berpotensi menjadi penggerak
pengembangan wilayah nasional. Bahkan secara historis menunjukan bahwa
wilayah pesisir ini telah berfungsi sebagai pusat kegiatan masyarakat karena
berbagai keunggulan fisik dan geografis yang dimilikinya.
Indonesia sendiri sebagai negara kepulauan memiliki lebih dari 150 Kota
Pesisir yang berada di sepanjang garis pantainya, yang merupakan garis pantai
yang kedua terpanjang di dunia. Intensitas kegiatan dan potensi Kota-kota Pesisir
yang bertebaran diseluruh penjuru nusantara, memerlukan perhatian yang
sungguh-sungguh; karena kita tidak ingin, Kota-kota Pesisir kita yang indah dan
mempesona tergerus oleh abrasi, terintrusi oleh air laut dan tergenang banji r rob.
(Rahmat, 2012)
B. Konsep Perencanaan Kota Pesisir (Waterfront City)
Menurut direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dalam Pedoman
Kota Pesisir (2006) mengemukakan bahwa Kota Pesisir atau waterfront city
merupakan suatu kawasan yang terletak berbatasan dengan air dan menghadap
ke laut, sungai, danau dan sejenisnya. Waterfront city juga dapat diartikan suatu
proses dari hasil pembangunan yang memiliki kontak visual dan fisik dengan air
dan bagian dari upaya pengembangan wilayah perkotaan yang secara fisik
alamnya berada dekat dengan air dimana bentuk pengembangan pembangunan
wajah kota yang terjadi berorientasi ke arah perairan. Sebagai bagian dari
kawasan pesisir, kota pesisir (waterfront city) memiliki karakteristik sebagai
kawasan open acces dan multi use yang berpotensi sebagai primemovers
pengembangan wilayah lokal, regional, dan nasional, bahkan internasional
(Rahmat, 2010 dalam Ferdiansyah, 2012).
Pada awalnya waterfront tumbuh di wilayah yang memiliki tepian (laut, sungai,
danau) yang potensial, antara lain: terdapat sumber air yang sangat dibutuhkan
untuk minum, terletak di sekitar muara sungai yang memudahkan hubungan
transportasi antara dunia luar dan kawasan pedalaman, memiliki kondisi geografis
yang terlindung dari hantaman gelombang danserangan musuh. Perkembangan
selanjutnya mengarah ke wilayah daratan yang kemudian berkembang lebih cepat
dibandingkan perkembangan waterfront.
Kondisi fisik lingkungan waterfront city secara topografi merupakan pertemuan
antara darat dan air, daratan yang rendah dan landai, serta sering terjadi erosi dan
sedimentasi yang bisa menyebabkan pendangkalan. Secara hidrologi merupakan
daerah pasang surut, mempunyai air tanah tinggi,terdapat tekanan air sungai
terhadap air tanah, serta merupakan daerahrawa sehingga run off air rendah.
Secara geologi kawasan tersebut sebagian besar mempunyai struktur batuan
lepas,tanah lembek, dan rawan terhadap gelombang air. Secara tata guna lahan
kawasan tersebut mempunyai hubungan yang intensif antaraair dan elemen
perkotaan. Secara klimatologi kawasan tersebut mempunyai dinamika iklim,
cuaca, angin dansuhu serta mempunyai kelembaban tinggi. Pergeseran fungsi
badan perairan laut sebagai akibat kegiatan di sekitarnya menimbulkan beberapa
permasalahan lingkungan, seperti pencemaran. Kondisi ekonomi, sosial dan
budaya waterfront city memiliki keunggulan lokasi yang dapat menjadi pusat
pertumbuhan ekonomi, penduduk mempunyai kegiatan sosio-ekonomi yang
berorientasi ke air dan darat, terdapat peninggalan sejarah dan budaya, terdapat
masyarakat yang secara tradisi terbiasa hidup (bahkan tidak dapat dipisahkan) di
atas air. Terdapat pula budaya/tradisi pemanfaatan perairan sebagai transportasi
utama, merupakan kawasan terbuka (akses langsung) sehingga rawan terhadap
keamanan,penyelundupan, peyusupan (masalah pertahanan keamanan) dan
sebagainya.
Prinsip perancangan waterfront city adalah dasar-dasar penataan kota atau
kawasan yang memasukan berbagai aspek pertimbangan dan komponen
penataan untuk mencapai suatu perancangan kota atau kawasan yang baik.
Kawasan tepi air merupakan lahan atau area yang terletak berbatasan dengan air
seperti kota yang menghadap ke laut, sungai, danau atau sejenisnya. Bila
dihubungkan dengan pembangunan kota, kawasan tepi air adalah area yang
dibatasi oleh air dari komunitasnya yang dalam pengembangannya mampu
memasukkan nilai manusia, yaitu kebutuhan akan ruang publik dan nilai alami.
Berikut alur pikir perumusan prinsip perancangan kawasan tepi air (waterfront
city).
Bagan Alur Pikir Perumusan Prinsip Perancangan Kawasan Tepi Air
Sumber: Sastrawati, 2003 dalam http://onlyone-deny.blogspot.com/
diakses 10/11/2014
Aspek yang dipertimbangkan adalah kondisi yang ingin dicapai dalam
penataan kawasan. Komponen penataan merupakan unsur yang diatur dalam
prinsip perancangan sesuai dengan aspek yang dipetimbangkan.Variabel
penataan adalah elemen penataan kawasan yang merupakan bagian dari tiap
komponen dan variabel penataan kawasan dihasilkan dari kajian (normatif)
kebijakan atau aturan dalam penataan kawasan tepi air baik didalam maupun luar
negeri dan hasil pengamatan di kawasan studi (Sastrawati, 2003 dalam
http://onlyone-deny.blogspot.com/)
1. Waterfront City di Negara Maju
Penerapan waterfront city di kota-kota negara maju dapat juga dijadikan
referensi dalam perencanaan waterfront city bagi kota-kota di Indonesia. Di
negara maju perencanaan dan pengembangan waterfront city didasarkan
pada berbagai konsep sesuai dengan kondisi sosio-kultur, kemampuan
teknologi dan ekonomi serta kebutuhan kotanya masing-masing. Kota San
Antonio di Texas berhasil mengembangkan waterfront city modern yang dapat
mempertahankan bangunan bersejarah dan dapat menonjolkan nuansa
kesenian dan budaya setempat. Kawasan Waterfront city di pusat kota ini
yang dapat meningkatkan kondisi perekonomian di Texas.
Positano dan Amalfi di Italia, mengembangkan romantic waterfront yang
mengkombinasikan pelabuhan, resort dan pusat perbelanjaan yang seimbang
fungsi dan skalanya. Venesia mengembangkan perairan tidak hanya sebagai
edge tetapi juga sebagai jalur arteri sirkulasi kota,Vaporeti (bus air)sampai
angkutan pencampur beton, seluruhnya menggunakan jalur air. Tepian
Sungai Seina di Paris dikembangkan untuk menciptakan fungsi, skala
perubahan suasana yang dinamis melalui penataan kawasan komersial,
industri, residensial dan rekreasi.
2. Waterfront City di Indonesia
Pada dasarnya, mayoritas perencanaan dan pengembangan waterfront city
di kota-kota Indonesia memiliki karakteristik yang beorientasi ekonomi dan
ekologis sehingga mampu menjadi prime movers pengembangan wilayah
lokal, regional, dan nasional, bahkan internasional. Seperti perencanaan dan
pengembangan waterfront city di Jakarta yang mempunyai tujuan utama
merevitalisasi, memperbaiki kehidupan masyarakat pantai, termasuk
nelayannya. Pantai juga ditata kembali bagi kesejahteraan masyarakat,
dengan memberdayakan keunggulan ekonomis dari pantai tersebut, seperti
pariwisata, industri, pelabuhan, pantai untuk publik dan juga perumahan
(Rahmat,2010).
Di Kota Surabaya, perencanaan waterfront city dikembangkan di Teluk
Lamong dengan konsep pelabuhan modern yang mengacu pada pelabuhan
modern Jepang. Selain itu, akan dikembangkan juga sebagai kawasan
pergudangan, industri, dan pariwisata. Berdasarkan hasil Kajian Lingkup
Hidup Startegis (KLHS) Teluk Lamong (2011) konsep yang ditawarkan adalah
eco-waterfront city sebagai upaya untuk menjaga kondisi lingkungan dari
kerusakan dan berkelanjutan.
Sedangkan waterfront city di Ternate telah menjadi kota mandiri (self
contained city) yang dapat melayani kebutuhan penduduk di sekitarnya.
Dalam konteks ekologi waterfront city di Ternate adalah bagaimana menjaga
terjadinya penurunan kualitas lingkungan pada kawasan baik wilayah daratan,
laut maupun perairan yang termasuk maupun tidak termasuk kawasan sensitif
(Nurdin, 2009 dalam http://onlyone-deny.blogspot.com).
Waterfront city di Makasar berciri kota maritime yang kuat merupakan hasil
pengujian dilapangan berdasarkan keinginan masyarakat. Masyarkat tetap
menginginkan positioning Makassar yang diterapkan dalam lima visi kota
sebagai kota maritime, jasa, niaga, pendidikan serta budaya
(http://www.makassarterkini.com).
Berdasarkan konsep waterfront city yang ditawarkan oleh masing-masing
kota – kota di Indonesia tersebut menunjukkan bahwa terdapat pertimbangan-
pertimbangan perencanaan kawasan waterfront city yaitu aspek sosial,
ekonomi dan lingkungan. Aspek sosial meliputi usaha mencapai pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan dan peningkatan kualitas hidup serta peningkatan
kesejahteraan individu, keluarga, patembayan dan seluruh masyarakat
diwilayah itu. Usaha ekonomi meliputi usaha mempertahankan dan memacu
perkembangan dan pertumbuhan ekonomi yang memadai untuk
mempertahankan kesinambungan (sustainable) dan perbaikan kondisi-kondisi
ekonomi yang baik bagi kehidupan dan memungkinkan pertumbuhan kearah
yang lebih baik. Wawasan lingkungan meliputi usaha pencegahan kerusakan
dan pelestarian terhadap kesetimbangan lingkungan. Aktivitas sekecil apapun
dari manusia yang mengambil atau memanfaatkan potensi alam sedikit
banyak akan mempengaruhi kesetimbangannya. Apabila hal ini tidak
diwaspadai akan menimbulkan kerugian bagi kehidupan manusia, khususnya
akibat dampak yang dapat dapat bersifat tak berubah lagi (irreversible
changes). Ketiga aspek tersebut harus mendapat perhatian yang sama sesuai
dengan peran dan pengaruh masing-masing pada pengembangan kawasan
waterfront city (Mulyanto, 2008 dalam http://onlyone-deny.blogspot.com).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa konsep waterfront city
merupakan salah satu konsep pembangunan yang berkelanjutan karena
mempertimbangkan berbagai aspek diantaranya pelestarian sumber daya,
pemerataan pertumbuhan ekonomi, keseimbangan lingkungan. Selain itu, jika
menggunakan pendekan pengelolaan kawasan peisir yang terpadu
(Integrated Coastal Zone Management) maka konsep waterfront city
menggunakan prinsip ICZM yakni proses untuk pengelolaan pantai
menggunakan pendekatan terpadu, mengenai semua aspek dari zona pantai,
termasuk batas geografis dan politik, dalam usaha untuk mencapai
pengelolaan sumberdaya yang keberlanjutan (Dahuri, 1996 dalam
deny.blogspot.com)
C. Pesisir Kota Makassar
Berdasarkan penjelasan sebelumnya diketahui bahwa wilayah pesisir baik di
negara maju maupun di Indonesia umumnya dikembangkan untuk kepentingan
ekonomi, seperti dikembangkan sebagai kawasan pergudangan, industri,
pariwisata, pelabuhan dan perbelanjaan. Pengembangan seperti itu juga terjadi di
kota Makassar, salah satunya yang terjadi di pulau Lae-Lae pada tahun 90-an
yang direncanakan untuk dikembangkan sebagai tempat wisata pantai dimana
akan dibangun restoran dan penginapan. Akibatnya masyarakat pesisir (nelayan)
yang menghuni pulau tersebut harus direlokasi.
Kebijakan relokasi Masyarakat Pulau Lae-Lae ke Kampung Nelayan pada
tahun 1998 oleh Pemerintah Kota Makassar saat itu memberikan dampak pro dan
kontra. Pasalnya, dari 326 jumlah kepala keluarga Pulau Lae-Lae yang
direncanakan direlokasi, hanya separuh diantaranya yang setuju. Sehingga
menyebabkan komunitas masyarakat Lae-Lae terpecah menjadi dua kelompok.
(http://www.upeks.co.id/ diakses 13/11/2014 ).
Kelompok yang setuju direlokasi kemudian menghuni permukiman nelayan
yang disediakan pemerintah di kelurahan Untia, sedangkan sebagian kelompok
lain (yang tidak setuju) memutuskan untuk tetap bertahan di pulau Lae-Lae, yang
pada akhirnya menyebabkan perencanaan untuk dikembangkan sebagai tempat
wisata batal. Sehingga masyarakat yang memutuskan bertahan di pulau Lae-Lae
dapat melanjutkan kehidupan mereka seperti sebelumnya. Sedangkan
masyarakat yang di relokasi berpotensi memiliki dampak hasil relokasi yang
dilakukan secara paksa. World Bank, 2001 (dalam Umbara, 2003) melihat dampak
yang mungkin timbul bagi penduduk yang dipindahkan atau orang terkena
dampak relokasi adalah :
1. Kehidupan penduduk dapat terkena akibat atau dampak yang
menyebabkan penderitaan. Banyak mata pencaharian dan kekayaan yang
hilang. Pemeliharaan kesehatan cenderung menurun. Mata rantai antara
produsen dan konsumen seringkali terputus dan pasar tenaga kerja lokal
menjadi terpecah-pecah.
2. Jaringan-jaringan sosial informal yang merupakan bagian dari sistem
pemeliharaan kehidupan sehari-hari (seperti kebiasaan saling tolong
menolong dan sumber dukungan sosial ekonomi) menjadi rusak.
3. Organisasi-organisasi setempat dan perkumpulan-perkumpulan formal dan
infromal lenyap karena bubarnya anggota mereka. Masyarakat dan otoritas
tradisional dapat kehilangan pemimpin-pemimpin mereka.
4. Efek kualitatif ialah rusaknya sistem sosial dan ekonomu setempat yang
secara mendasar menimbulkan dampak negatif bagi sejumlah besar
penduduk.
D. Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Indonesia
1. Pengertian Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Pengertian pesisir menurut UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan UU
No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yaitu:
a. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu
proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian
Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara
Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut,
serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
b. Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara Ekosistem darat dan
laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.
c. Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan
2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan Ekosistemnya.
d. Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah sumber daya
hayati, sumber daya nonhayati; sumber daya buatan, dan jasa-jasa
lingkungan; sumber daya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang
lamun, mangrove dan biota laut lain; sumber daya nonhayati meliputi
pasir, air laut, mineral dasar laut; sumber daya buatan meliputi
infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan, dan jasa-
jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut tempat
instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta
energi gelombang laut yang terdapat di Wilayah Pesisir.
e. Perairan Pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi
perairan sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai, perairan
yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan
dangkal, rawa payau, dan laguna.
f. Sempadan Pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya
proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100
(seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.
2. Tujuan Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Indonesia
Tujuan Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menurut UU No. 27
Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yaitu :
a. Melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan
memperkaya Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta sistem
ekologisnya secara berkelanjutan;
b. Menciptakan keharmonisan dan sinergi antara Pemerintah dan
Pemerintah Daerah dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil;
c. Memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta
mendorong inisiatif Masyarakat dalam pengelolaan Sumber Daya
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan,
dan keberkelanjutan; dan
d. Meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya Masyarakat melalui
peran serta Masyarakat dalam pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil.
3. Perencanaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Indonesia menurut UU No.
27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (pasal 5) meliputi
kegiatan perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian
terhadap interaksi manusia dalam memanfaatkan Sumber Daya Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil serta proses alamiah secara berkelanjutan dalam upaya
meningkatkan kesejahteraan Masyarakat dan menjaga keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (pasal 7)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, terdiri atas:
a. Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang
selanjutnya disebut RSWP-3-K;
b. Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang
selanjutnya disebut RZWP-3-K;
c. Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang
selanjutnya disebut RPWP-3-K; dan
d. Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang
selanjutnya disebut RAPWP-3-K.
4. Pemanfaatan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Indonesia menurut UU No.
1 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
a. Pesisir
Setiap Orang yang melakukan pemanfaatan ruang dari sebagian
Perairan Pesisir dan pemanfaatan sebagian pulau-pulau kecil secara
menetap wajib memiliki Izin Lokasi. Izin Lokasi adalah izin yang diberikan
untuk memanfaatkan ruang dari sebagian Perairan Pesisir yang mencakup
permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada
batas keluasan tertentu dan/atau untuk memanfaatkan sebagian pulau-
pulau kecil. Izin Lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi
dasar pemberian Izin Pengelolaan.
Izin Lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) diberikan
berdasarkan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Dan
wajib mempertimbangkan kelestarian Ekosistem pesisir dan pulau-pulau
kecil, Masyarakat, nelayan tradisional, kepentingan nasional, dan hak lintas
damai bagi kapal asing. Izin Lokasi sebagaimana diberikan dalam luasan
dan waktu tertentu. Dalam hal pemegang Izin Lokasi sebagaimana, tidak
merealisasikan kegiatannya dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun
sejak izin diterbitkan, dikenai sanksi administratif berupa pencabutan Izin
Lokasi.
Setiap Orang yang melakukan pemanfaatan sumber daya Perairan
Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil untuk kegiatan:
1) produksi garam;
2) biofarmakologi laut;
3) bioteknologi laut;
4) pemanfaatan air laut selain energi;
5) wisata bahari;
6) pemasangan pipa dan kabel bawah laut; dan/atau
7) pengangkatan benda muatan kapal tenggelam, wajib memiliki Izin
Pengelolaan.
b. Pulau-Pulau Kecil dan Perairan di Sekitarnya
Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di sekitarnya dilakukan
berdasarkan kesatuan ekologis dan ekonomis secara menyeluruh dan
terpadu dengan pulau besar di dekatnya.
Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di sekitarnya
diprioritaskan untuk kepentingan sebagai berikut:
1) konservasi;
2) pendidikan dan pelatihan;
3) penelitian dan pengembangan;
4) budidaya laut;
5) pariwisata;
6) usaha perikanan dan kelautan dan industri perikanan secara lestari;
7) pertanian organik; dan/atau
8) peternakan.
Kecuali untuk tujuan konservasi, pendidikan dan pelatihan, serta
penelitian dan pengembangan, pemanfaatan pulau-pulau kecil dan
perairan di sekitarnya wajib:
1) memenuhi persyaratan pengelolaan lingkungan;
2) memperhatikan kemampuan dan kelestarian sistem tata air
setempat; dan
3) menggunakan teknologi yang ramah lingkungan.
c. Konservasi
Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah upaya
perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan,
dan kesinambungan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan
tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan
keanekaragamannya.
Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil diselenggarakan
untuk :
1) menjaga kelestarian Ekosistem Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil;
2) melindungi alur migrasi ikan dan biota laut lain;
3) melindungi habitat biota laut; dan
4) melindungi situs budaya tradisional.
Pemerintah Daerah menetapkan batas Sempadan Pantai yang
disesuaikan dengan karakteristik topografi, biofisik, hidro-oseanografi
pesisir, kebutuhan ekonomi dan budaya, serta ketentuan lain. Sempadan
Pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional
dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 (seratus) meter dari
titik pasang tertinggi ke arah darat.
Penetapan batas Sempadan Pantai mengikuti ketentuan:
1) perlindungan terhadap gempa dan/atau tsunami;
2) perlindungan pantai dari erosi atau abrasi;
3) perlindungan sumber daya buatan di pesisir dari badai, banjir, dan
bencana alam lainnya;
4) perlindungan terhadap ekosistem pesisir, seperti lahan basah,
mangrove, terumbu karang, padang lamun, gumuk pasir, estuaria,
dan delta;
5) pengaturan akses publik; serta
6) pengaturan untuk saluran air dan limbah.
d. Rehabilitas
Rehabilitasi Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah proses
pemulihan dan perbaikan kondisi Ekosistem atau populasi yang telah rusak
walaupun hasilnya berbeda dari kondisi semula. Rehabilitasi Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil wajib dilakukan dengan memperhatikan
keseimbangan Ekosistem dan/atau keanekaragaman hayati setempat.
Rehabilitasi sebagaimana dimaksud dilakukan dengan cara:
1) pengayaan sumber daya hayati;
2) perbaikan habitat;
3) perlindungan spesies biota laut agar tumbuh dan berkembang
secara alami; dan
4) ramah lingkungan.
e. Reklamasi
Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh Setiap Orang dalam
rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut
lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan
lahan atau drainase. Reklamasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
dilakukan dalam rangka meningkatkan manfaat dan/atau nilai tambah
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ditinjau dari aspek teknis,
lingkungan, dan sosial ekonomi.
Pelaksanaan Reklamasi sebagaimana dimaksud menjaga dan
memperhatikan:
1) keberlanjutan kehidupan dan penghidupan Masyarakat;
2) keseimbangan antara kepentingan pemanfaatan dan kepentingan
pelestarian fungsi lingkungan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; serta
3) persyaratan teknis pengambilan, pengerukan, dan penimbunan
material.
f. Larangan
Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Pasal 35),
setiap Orang secara langsung atau tidak langsung dilarang:
1) menambang terumbu karang yang menimbulkan kerusakan
Ekosistem terumbu karang;
2) mengambil terumbu karang di Kawasan konservasi;
3) menggunakan bahan peledak, bahan beracun dan/atau bahan lain
yang merusak Ekosistem terumbu karang;
4) menggunakan peralatan, cara, dan metode lain yang merusak
Ekosistem terumbu karang;
5) menggunakan cara dan metode yang merusak Ekosistem
mangrove yang tidak sesuai dengan karakteristik Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil;
6) melakukan konversi Ekosistem mangrove di Kawasan atau Zona
budidaya yang tidak memperhitungkan keberlanjutan fungsi
ekologis Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
7) menebang mangrove di Kawasan konservasi untuk kegiatan
industri, pemukiman, dan/atau kegiatan lain;
8) menggunakan cara dan metode yang merusak padang lamun;
9) melakukan penambangan pasir pada wilayah yang apabila secara
teknis, ekologis, sosial, dan/atau budaya menimbulkan kerusakan
lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan
Masyarakat sekitarnya;
10) melakukan penambangan minyak dan gas pada wilayah yang
apabila secara teknis, ekologis, sosial dan/atau budaya
menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran
lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya;
11) melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila
secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya
menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran
lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya; serta
12) melakukan pembangunan fisik yang menimbulkan kerusakan
lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya.
Gambar 2.1 Zonasi Ideal Pesisir
(sumber : http://ariefhidayat06.blogspot.com/2009 diakses tanggal
29/11/2014 18:50 WITA)
5. Pengawasan dan Pengendalian menurut UU No. 27 Tahun 2007
Tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Untuk menjamin terselenggaranya Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil secara terpadu dan berkelanjutan, dilakukan pengawasan
dan/atau pengendalian terhadap pelaksanaan ketentuan di bidang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, oleh pejabat tertentu
yang berwewenang di bidang pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil sesuai dengan sifat pekerjaaannya dan diberikan wewenang kepolisian
khusus.
E. Pengertian Permukiman Nelayan
1. Pengertian Nelayan
Menurut ST. Khadija dalam Syahriarto arti kata Nelayan terbagi dalam dua
pengertian nelayan yaitu :
a. Nelayan Sebagai Subyek/Orang; merupakan sekelompok masyarakat
manusia yang memiliki kemampuan serta sumber kehidupan disekitar
pesisir pantai.
b. Nelayan sebagai predikat/pekerjaan; suatu sumber penghasilan
masyarakat yang berkaitan erat dengan sektor perikanan dan perairan
(laut dan sungai).
Menurut Umbara (2003), nelayan digolongkan sebagai pekerja, yaitu orang
yang secara aktif melakukan kegiatan menangkap ikan, baik secara langsung
maupun secara tidak langsung sebagai mata pencahariannya. Pekerjaan
menangkap ikan adalah merupakan pekerjaan yang penuh resiko dan
umumnya hanya dapat dikerjakan oleh lelaki. Kondisi sosial ekonomi dan
budaya masyarakat nelayan ditandai dengan rendahnya tingkat pendapatan
(kemiskinan), tingginya angka kelahiran (fertilitas), tingkat pendidikan yang
rendah, kesehatan yang buruk, budaya konsumtif dan pola tindakan
berdasakan kebiasaan (custom). Berkaitan dengan pola pekerjaan yang
berkaitan dengan air permukiman dibuat mendiami daerah kepulauan,
sepanjang pesisir termasuk danau dan sepanjang aliran sungai.
2. Permukiman Nelayan
Permukiman nelayan adalah merupakan lingkungan tempat tinggal dengan
sarana dan prasarana dasar yang sebagian besar penduduknya merupakan
masyarakat yang memiliki pekerjaan sebagai nelayan dan memiliki akses dan
keterikatan erat antara penduduk permukiman nelayan dengan kawasan
perairan sebagai tempat mereka mencari nafkah, meskipun demikian
sebagian dari mereka masih terikat dengan daratan. (Umbara, 2003).
Secara umum permukiman nelayan dapat digambarkan sebagai suatu
permukiman yang sebagian besar penduduknya merupakan masyarakat yang
memiliki pekerjaan sebagai nelayan. Sedangkan pekerjaan nelayan itu sendiri
adalah pekerjaan yang memiliki ciri utama adalah mencari ikan di perairan.
Sedangkan menurut Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik
Indonesia Nomor 15/Permen/M/2006 Tentang Petunjuk Pelaksanaan
Penyelenggaraan Pengembangan Kawasan Nelayan, perumahan kawasan
nelayan untuk selanjutnya disebut kawasan nelayan adalah perumahan
kawasan khusus untuk menunjang kegiatan fungsi kelautan dan perikanan.
Pada perkembangannya kampung-kampung nelayan berkembang semakin
padat dan tidak tertib karena pertumbuhan penduduk alami dan urbanisasi.
Kriteria fisik lingkungan kawasan permukiman nelayan sebagai berikut:
(Depertemen Pekerjaan Umum)
a. Tidak berada pada daerah rawan bencana
b. Tidak berada pada wilayah sempadan pantai dan sungai
c. Kelerengan : 0 – 25 %
d. Orientasi horizontal garis pantai : > 600
e. Kemiringan dasar pantai : terjal – sedang
f. Kemiringan dataran pantai : bergelombang – berbukit
g. Tekstur dasar perairan pantai : kerikil – pasir
h. Kekuatan tanah daratan pantai : tinggi
i. Tinggi ombak signifikan : kecil
j. Fluktuasi pasang surut dan arus laut : kecil
k. Tidak berada pada kawasan lindung
l. Tidak terletak pada kawasan budidaya penyangga, seperti kawasan
mangrove.
Kawasan permukiman nelayan ini dilengkapi dengan prasarana dan sarana
yang memadai untuk kelangsungan hidup dan penghidupan para keluarga
nelayan. Kawasan permukiman nelayan merupakan merupakan bagian dari
sistem permukiman perkotaan atau perdesaan yang mempunyai akses
terhadap kegiatan perkotaan/perdesaan lainnya yang dihubungkan dengan
jaringan transportasi.
Pendapat lain disampaikan oleh Departemen Pekerjaan Umum Bidang
Cipta karya tentang karakteristik permukiman nelayan adalah :
a. Merupakan Permukiman yang terdiri atas satuan-satuan perumahan
yang memiliki berbagai sarana dan prasarana yang mendukung
kehidupan dan penghidupan penghuninya.
b. Berdekatan atau berbatasan langsung dengan perairan, dan memiliki
akses yang tinggi terhadap kawasan perairan.
c. 60% dari jumlah penduduk merupakan nelayan, dan pekerjaan lainnya
yang terkait dengan pengolahan dan penjualan ikan.
d. Memiliki berbagai sarana yang mendukung kehidupan dan
penghidupan penduduknya sebagai nelayan, khususnya dikaitkan
dengan kegiatan-kegiatan eksplorasi ikan dan pengolahan ikan.
Kawasan permukiman nelayan tersusun atas satuan-satuan lingkungan
perumahan yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan yang
sesuai dengan besaran satuan lingkungan yang sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Kawasan perumahan nelayan haruslah mempunyai ataupun
memenuhi prinsip-prinsip layak huni yaitu memenuhi persyaratan teknis,
persyaratan administrasi, maupun persyaratan lingkungan. Dari berbagai
parameter tentang permukiman dan karakteristik nelayan dapat dirumuskan
bahwa permukiman nelayan merupakan suatu lingkungan masyarakat dengan
sarana dan prasarana yang mendukung, dimana masyarakat tersebut
mempunyai keterikatan dengan sumber mata pencaharian mereka sebagai
nelayan. (Syahriarto,2013).
3. Sarana Permukiman Nelayan
Lingkungan permukiman yang sehat adalah lingkungan yang terdiri dari
atas kumpulan rumah sehat yang teratur tata letaknya dan mempunyai
prasarana dan sarana lingkungan yang memadai, seperti jaringan jalan,
saluran air limbah, MCK, sumber air bersih, pusat lingkungan, yaitu sekolah,
kantor, puskesmas dan tempat peribadatan (Patandianan dan Zenaide, 2011).
Berikut pemaparan yang termasuk dalam sarana permukiman nelayan dikutip
dari berbagai sumber.
Sarana permukiman nelayan dikutip dari Patandianan dan Toban meliputi :
a. Sarana Kesehatan
Lingkungan permukiman yang mempunyai penduduk 6.000 jiwa, perlu
disediakan fasilitas kesehatan seperti puskesmas, poliklinik, posyandu,
fasilitas diletakkan pada lokasi yang mudah terjangkau. (luas lahan
puskesmas pembantu 0,12 Ha/unit dan luas lahan posyandu 0,05 Ha/unit).
b. Sarana Pendidikan
Taman kanak-kanak diperuntukkan bagi anak-anak usia 5–6 tahun
minimal penduduk pendukungnya 1.000 jiwa. Lokasi sebaiknya berada
ditengah-tengah kelompok masyarakat/keluarga dan digabung dengan
tempat/taman bermain di RW atau RT. Radius pencapaian tidaklah lebih
dari 500 meter (luas lahan 0,12 Ha/unit).
1) Sekolah Dasar untuk anak usia 6-12 tahun min. penduduknya
1.600 jiwa. lokasi sebaiknya tidak menyeberang jalan lingkungan
dan masih di tengah kelompok keluarga, radius pencapaian
maksimum 1.500 m. (luas lahan 0,27 Ha/unit)
2) Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama adalah untuk melayani anak-
anak lulusan SD, dimana 3 unit sekolah dasar dilayani oleh 1 unit
SLTP yang dapat dipakai pagi/sore minimum penduduk
pendukungnya 4.500 jiwa, lokasinya dapat digabung dengan
lapangan olahraga atau sarana pendidikan yang lain (luas lahan
0,27 Ha/unit).
3) Sekolah Lanjutan Tingkat Atas adalah lanjutan dari SLTP, di mana
1 unit SLTP, dilayani oleh 1 unit SLTA. Minimum penduduk
pendukungnya adalah 4.800 unit. (luas lahan 0,27 Ha/unit).
c. Sarana perdagangan
Toko/warung untuk lingkungan permukiman yang mempunyai
penduduk 250 orang perlu disesuaikan fasilitas perbelanjaan terkecil.
Selain sarana perdagangan untuk kebutuhan hidup sehari-hari, dibutuhkan
sarana perdagangan berupa toko yang berhubungan dengan kegiatan
melaut.
d. Sarana sosial
1) Tempat peribadatan, yaitu tempat penganut suatu agama
malaksanakan aktivitas ritual beragamanya sehari-hari. Untuk > 15-
40 jiwa diperlukan sebuah fasilitas peribadatan berupa mesjid,
gereja dan sebagainya sedangkan untuk < 15 orang cukup
dilakukan dirumah.
2) Balai karya/Balai Desa, yaitu tempat yang disediakan untuk
menampung berbagai kegiatan seperti rapat, pertemuan,
pelayanan kesehatan masyarakat, dan PKK.
3) Pos jaga adalah tempat yang disediakan untuk melakukan kegiatan
pengawasan lingkungan desa.
e. Tempat bermain/olahraga
Untuk penduduk sebanyak 250 jiwa (setingkat RT) diperlukan ruang
terbuka utuk bermain/taman. Sedangkan untuk penduduk sebanyak 2500
jiwa (setingkat RW) diperlukan lapangan olah raga seperti lapangan sepak
bola yang lokasinya disatukan dengan fasilitas lingkungan lainnya.
f. Tempat penjemuran ikan, untuk mengeringkan ikan dan proses
pengawetan ikan
g. Tempat pembuatan jaring
h. Tempat pelelangan ikan.
Adalah tempat jual beli ikan dengan sistem lelang. Kegiatan yang
terjadi di tempat ini berupa menimbang ikan, menempatkan ikan pada
keranjang-keranjang sesuai dengan jenis-jenisnya atau digelar di lantai
siap untuk dilelang, pelelangan, lalu pengepakan dengan es untuk
keranjang/peti ikan yang sudah laku.
i. Pabrik es
Sarana Permukiman Nelayan dikutip dari Syahriarto 2013, yaitu :
a. Tempat Pelelangan Ikan (TPI)
Tempat pelelangan ikan (TPI) adalah tempat jual beli ikan dengan
sistem lelang dimana terdapat kegiatan menimbang, menempatkan pada
keranjang-keranjang dengan jenis-jenisnya atau digelar di lantai siap untuk
dilelang, kemudian pelelangan lalu pengepakan dengan es untuk
keranjang/peti ikan yang sudah beku.
Lokasi TPI sebaiknya dekat dengan dengan dermaga sehingga
memudahkan pengangkutannya dari kapal-kapal. Kegiatan ini banyak
menggunakan air, oleh karena itu sebaiknya dekat dengan air bersih
kondisi saluran drainase di lokasi TPI harus baik agar air tidak tergenang
sehingga tidak menimbulkan bau yang menyengat.
b. Tambatan Perahu
Tempat penambatan perahu adalah tempat perahu-perahu bersandar /
parkir sebelum dan sesudah bongkar muat ikan. Biasanya berdekatan
dengan TPI. Fungsi tambatan perahu sebagai tempat untuk mengikat
perahu saat berlabuh dan tempat penghubung antara dua tempat yang
dipisahkan oleh laut, sungai maupun danau. Terdapat dua tipe tambatan
perahu terdiri dari:
1) Tambatan tepi, digunakan apabila dasar tepi sungai atau pantai
cukup dalam, dibangun searah tepi sungai atau pantai.
2) Tambatan dermaga, digunakan apabila dasar sungai atau pantai
cukup landai, dibangun menjalar ketengah.
c. Tempat Penjemuran Ikan
Tempat penjemuran ikan berfungsi untuk mengeringkan ikan sebagai
proses pengawetan. Adapun syarat-syarat tempat penjemuran ikan
sebagai berikut:
1) Tempat penjemuran ikan sebaiknya berupa lapangan terbuka atau
terkena sinar matahari.
2) Wadah penjemuran ikan sebaiknya berlubang agar air dapat turun
supaya cepat kering dan tidak berkarat.
3) Tempat penjemuran ikan diusahakan bersih dengan membuat
saluran pembuangan.
4) Sebaiknya ada jaringan drainase supaya tidak ada air yang
tergenang sehingga tidak menimbulkan bau.
5) Lokasi penjemuran ikan sebaiknya mudah di awasi.
4. Prasarana Permukiman Nelayan
Prasarana dikutip dari Patandianan dan Toban, meliputi:
a. Dermaga
Dalam lingkup kegiatan perikanan tingkat desa, dermaga merupakan
tempat menyandarkan perahu saat istirahat dan tempat para nelayan
mendaratkan ikan hasil tangkapannya untuk dijual atau dilelang. Prasarana
ini biasanya dibuat dari konstruksi beton atau kayu.
b. Tambatan perahu
Adalah tempat perahu–perahu nelayan bersandar/parkir sebelum dan
sesudah bongkar muat ikan.
c. Tanggul dan pemecah gelombang
d. Jaringan listrik harus dapat menjangkau seluruh areal permukiman
e. Jaringan jalan
1) Jalan lingkungan, yaitu jalan yang menghubungkan suatu kelompok
rumah ke kelompok rumah yang lain, atau dari kelompok rumah ke
fasilitas lingkungan atau menuju tempat sarana bekerja.
2) Jalan setapak, yaitu jalan yang menghubungkan antar rumah
didalam kelompok perumahan nelayan secara konstruktif. Jalan ini
tidak dapat dilalui oleh kendaraan beroda empat, hanya dapat
dilalui oleh kendaraan bermotor dan becak. Ukuran jalan setapak
1,2 - 1,5 m jika mungkin ditambah jalur kerikil 0,5 m
f. Jaringan air bersih
Bisa memanfaatkan sumber air baku yang tersedia baik air tanah atau
air permukaan melalui pembuatan sumur gali, sumur pompa tangan (SPT),
saringan pipa resapan (SPR), penampungan air hujan (PAH), saringan
pasir lambat (SPL), instalasi pengolahan air (IPA), hidran umum (HU),
terminal air (TA) dan sistem perpipaan / jaringan.
g. Drainase
Untuk menyalurkan air hujan serta dari setiap rumah yang berupa air
limbah agar lingkungan perumahan bebas dari genangan air. Ukuran
saluran drainase ditentukan berdasarkan kapasitas volume air yang akan
ditampung dan frekuensi intensitas curah hujan 5 tahunan serta daya
resap tanah. Saluran drainase di bangun pada kiri kanan jaringan jalan,
namun kadang-kadang untuk menghemat biaya kadang-kadang saluran
terdapat hanya di satu sisi.
h. Persampahan
Bak sampah harus dapat menampung jumlah sampah yang dihasilkan.
Bak sampah dibuat dari bahan yang menjamin kebersihannya dan
mempunyai penutup, sampah basah terpisah dengan sampah kering,
pengangkutan dan pemusnahan sampah harus lancar dan tidak tinggal
membusuk. Tempat pembuangan akhir dari sampah tersebut harus jauh
dari lingkungan perumahan
Dikutip dari Syahriarto. Prasarana adalah kelengkapan dasar fisik suatu
lingkungan yang pengadaannya memungkinkan suatu kawasan permukiman
nelayan dapat beroperasi dan berfungsi sebagaimana mestinya, seperti :
jaringan air bersih dan air limbah, jaringan drainase, jaringan persampahan,
dan jaringan jalan.
a. Jaringan Jalan
Jaringan jalan merupaka prasarana pengangkutan (transportasi) yang
memungkinkan sistem pencapaian dari suatu tempat ke tempat lain dalam
pergerakan arus manusia dan angkutan barang secara aman dan nyaman.
Berdasarkan SNI 03-6967-2003, jaringan jalan adalah suatu prasarana
perhubungan darat dalam bentuk apapun, meliputi segala bagian jalan
termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan
bagi lalu-lintas kendaraan, orang dan hewan.
Menurut Adji Adisasmita (2010) prasarana jalan mempunyai peranan
yang sangat besar dalam kehidupan manusia, dalam perekonomian dan
pembangunan. Hampir seluruh kegiatan manusia dilakukan di luar rumah.
Hampir seluruh kegiatan rumah tangga disuplai dari luar rumah. Kegiatan
dan kebutuhan manusia, semuanya menggunakan transportasi jalan dan
jasa pelayanan jalan, berarti prasarana jalan adalah sangat penting dan
sangat besar.
Jaringan jalan di kawasan perumahan menurut fungsinya adalah jalan
lokal dan jalan lingkungan dalam sistem jaringan jalan sekunder.
1) Jalan Lokal
Jalan lokal merupakan jalan umum yang berfungsi melayani
angkutan setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan
rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.
2) Jalan Lingkungan
Jalan lingkungan merupakan jalan umum yang berfungsi melayani
angkutan lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan
kecepatan rata-rata rendah.
3) Jalan Setapak
Jalan yang menghubungkan antar rumah didalam kelompok
perumahan nelayan secara konstruktif. Jalan ini tidak dapat dilalui
oleh kendaraan beroda empat, hanya dapat dilalui oleh kendaraan
bermotor dengan becak.
b. Jaringan Air Limbah / Air Kotor
Limbah adalah air bekas buangan yang bercampur kotoran, air
bekas/air limbah ini tidak diperbolehkan dibuang ke sembarangan /
dibuang keseluruh lingkungan, tetapi harus ditampung kedalam bak
penampungan.
Limbah adalah kotoran dari masyarakat dan rumah tangga dan juga
berasal dari industri, air tanah, air permukaan serta buangan lainnya.
Dengan demikian air buangan ini merupakan hal yang bersifat kotoran
umum.
Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi
baik industri maupun domestik (rumah tangga). Dimana masyarakat
bermukim, disanalah berbagai jenis limbah akan dihasilkan. Ada sampah,
ada air kakus (black water), dan ada air buangan dari berbagai aktivitas
domestik lainnya (grey water).
Air limbah domestik adalah air bekas yang tidak dapat digunakan lagi
untuk tujuan semula baik yang mengandung kotoran manusia (tinja) atau
dari aktifitas dapur, kamar mandi dan cuci dimana kuantitasnya antara 50-
70 % dari rata-rata pemakaian air bersih (120-140 liter/orang/hari).
Menurut Undang-Undang No.32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan.
Limbah B3 adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung
bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau
konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak
langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup,
dan/atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan,
kelangsungan hidup manusia serta mahluk hidup lainnya.
Limbah B3 adalah setiap limbah yang mengandung bahan berbahaya
dan atau beracun yang karena sifat atau konsentrasinya dan atau
jumlahnya, baik secara langsung atau tidak langsung dapat merusak dan
atau mencemarkan lingkungan hidup dan atau membahayakan kesehatan
manusia.
Yang termasuk limbah B3 antara lain adalah bahan baku yang
berbahaya dan beracun yang tidak digunakan lagi karena rusak, sisa
kemasan, tumpahan, sisa proses, dan oli bekas kapal yang memerlukan
penanganan dan pengolahan khusus. Berdasarkan sumbernya, limbah B3
dibagi menjadi 3 bagian:
1) Limbah B3 dari sumber tidak spesifik yaitu limbah yang berasal dari
kegiatan pemeliharaan alat, pencucian, inhibitor korosi, pelarutan
kerak, pengemasan dan lain-lain.
2) Limbah B3 dari bahan kimia kadaluwarsa, tumpahan, sisa kemasan
dan pembuangan produk yang tidak memenuhi spesifikasi
3) Limbah B3 dari sumber spesifik yaitu limbah B3 yang berasal dari
sisa proses suatu industri atau kegiatan manusia.
Menurut Sugiharto, sumber asal air limbah dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Air Limbah Domestik (Rumah Tangga)
Sumber utama air limbah rumah tangga dari masyarakat adalah
berasal dari perumahan dan daerah perdagangan. Adapun sumber
lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah daerah
perkantoran/lembaga serta daerah fasilitas rekreasi.
2) Air Limbah Non Domestik (Industri)
Jumlah aliran air limbah yang berasal dari industri sangat bervariasi
tergantung dari jenis dan besar kecilnya industri, pengawasan pada
proses industri, derajat penggunaan air, derajat pengolahan air
limbah yang ada untuk memperkirakan jumlah air limbah yang
dihasilkan oleh industri yang tidak menggunakan proses basah
diperkirakan sekitar 50 m3/ha/hari.
c. Jaringan Drainase
Drainase berasal dari bahasa inggris, drainage mempunyai arti
mengalirkan, menguras, membuang, atau mengalihkan air. Dalam bidang
teknik sipil, darinase secara umum dapat didefenisikan sebagai suatu
tindakan teknis untuk mengurangi kelebihan air irigasi dari suatu
kawasan/lahan, sehingga fungsi kawasan/lahan tidak terganggu. Drainase
dapat juga diartikan sebagai usaha mengontrol kualitas air tanah dalam
kaitannya dengan sanitasi. Jadi drainase menyangkut tidak hanya air
permukaan tapi juga air tanah.
Sistem darinase dapat didefenisikan sebagai serangkaian bangunan air
yang berfungsi untuk mengurangi dan/atau membuang kelebihan air dari
suatu kawasan atau lahan, sehingga lahan dapat difungsikan secara
optimal. Dirunut dari hulunya, bangunan sistem drainase terdiri dari saluran
penerima (interceptor drain), saluran drainase terdiri dari saluran penerima
(interceptor darin), saluran induk (main drain), dan badan penerima
(receiving waters). Disepanjang sistem sering dijumpai bangunan lainnya,
seperti gorong-gorong, siphon, jembatan air, pelimpah pintu-pintu air,
bangunan terjun, kolam tando, dan stasiun pompa. Pada sistem yang
lengkap, sebelum masuk ke badan air penerima, air diolah dahulu di
instalasi pengolahan limbah (IPAL), khususnya untuk sistem tercampur.
Hanya air yang telah memenuhi baku mutu tertentu yang dimasukkan ke
badan air penerima, sehingga tidak merusak lingkungan.
Secara umum drainase terbagi menjadi:
1) Drainase Primer adalah saluran utama yang menerima saluran
drainase dari drinase sekunder. Dimensi saluran relatif besar yang
bermuara pada badan penerima yang dapat berupa sungai, danau,
laut, maupun kanal.
2) Drainase Sekunder adalah saluran terbuka atau tertutup yang
menerima aliran air dari drainase tersier / lingkungan, limpahan air
permukaan sekitarnya dan meneruskan ke saluran primer.
3) Drainase Tersier adalah saluran dari yang menerima air dari setiap
persil-persil rumah, fasilitas umum dan sarana kota lainnya.
4) Drainase Lingkungan adalah saluran yang menerima aliran air dari
lingkungan dan para warga.
d. Jaringan Persampahan
Sampah adalah segala sesuatu yang tidak lagi dikehendaki oleh yang
punya dan bersifat padat. Sampah ini ada yang mudah membusuk dan ada
pula yang tidak mudah membusuk. Yang membususk terutama terdiri dari
zat-zat organik seperti sisa makanan, sedangkan yang tidak mudah
membusuk dapat berupa plastik, kertas, karet, logam dan sebagainya.
Sampah adalah limbah atau buangan yang bersifat padat, setengah
padat yang merupakan hasil sampingan dari kegiatan perkotaan atau
siklus kehidupan manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Sumber
limbah padat (sampah) perkotaan berasal dari permukiman, pasar,
kawasan pertokoan dan perdagangan, kawasan perkantoran dan sarana
umum lainnya.
Adapun Jenis-jenis sampah terbagi atas dua. Yaitu:
1) Sampah Organik
Sampah Organik, yaitu sampah yang mudah membusuk. Sampah
Organik terdiri dari bahan-bahan penyusun tumbuhan dan hewan
yang diambil dari alam atau dihasilkan dari kegiatan pertanian,
perikanan atau yang lain. Sampah ini dengan mudah diuraikan
dalam proses alami dan dapat diolah lebih lanjut menjadi kompos.
Sampah rumah tangga sebagian besar merupakan bahan organik.
Termasuk sampah organik, misalnya sampah dari dapur, sisa
tepung, sayuran, kulit buah, dan daun-daun kering.
2) Sampah Anorganik
Sampah Anorganik, yaitu sampah yang tidak mudah dan bahkan
tidak bisa membusuk. Sampah Anorganik berasal dari sumber daya
alam tidak dapat diperbaharui seperti mineral dan minyak bumi,
atau dari proses industri. Sebagian dari sampah anorganik secara
keseluruhan tidak dapat diuraikan oleh alam, sedang sebagian
lainnya hanya dapat diuraikan dalam waktu yang sangat lama.
Sampah anorganik pada tingkat rumah tangga, misalnya berupa
botol, botol plastik, tas plastik, dan kaleng.
e. Jaringan air bersih
Untuk memenuhi kebutuhan air bersih pada suatu kawasan
permukiman maka adapun kriterianya adalah sebagai berikut :
1) Pengambilan air baku diutamakan dari air permukaan;
2) Kebutuhan air rata – rata 100 liter/orang/hari;
3) Kapasitas minimum sambungan rumah 60 liter/orang/hari dan
sambungan kran umum 30 liter/orang/hari.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1405/menkes/sk/xi/2002 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja
Perkantoran dan industri terdapat pengertian mengenai Air Bersih yaitu air
yang dipergunakan untuk keperluan sehari-hari dan kualitasnya memenuhi
persyaratan kesehatan air bersih sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan dapat diminum apabila dimasak.
Menurut (NSPM Kimpraswil, 2002) beberapa pengertian tentang air
bersih adalah sebagai berikut :
1) Sebagai air yang memenuhi ketentuan yang berlaku untuk baku
mutu air bersih yang berlaku yang siap diminum setelah dimasak
2) Air yang memenuhi persyaratan untuk keperluan rumah tangga
3) Air yang dapat dipergunakan oleh masyarakat untuk keperluan
sehari-hari dengan kualitas yang memenuhi ketentuan baku mutu
air bersih yang ditetapkan
4) Air yang aman digunakan untuk air minum dan pemakaian-
pemakaian lain karena telah bersih dari bibit-bibit penyakit, zat
kimia organik dan anorganik, serta zat-zat radioaktif yang dapat
membahayakan kesehatan.
5) Air bersih memenuhi syarat kesehatan :
a) Air yang tidak berwarna (bening atau tembus pandang)
b) Tidak berubah rasanya dan baunya
c) Tidak mengandung zat-zat organik dan kuman-kuman yang
mengganggu kesehatan
5. Karakteristik Lingkungan (Permukiman Nelayan Pesisir Pantai)
Perairan pantai sangat penting sebagai habitat berbagai jenis organisme.
Perairan pantai merupakan daerah peralihan antara perairan tawar dan laut,
terutama di daerah-daerah dekat muara sungai. Pantai yang terletak antara
pasang tertinggi dan surut terendah disebut pantai intertidal. Sebagai daerah
peralihan, perairan pantai mempunyai kekayaan organisme yang relatif tinggi,
sehingga sangat potensial untuk dijaga agar kondisinya tetap dalam keadaan
baik. Kondisi perairan pantai yang baik, tidak hanya akan menguntungkan
secara ekologis, tetapi juga merupakan sumber penghidupan bagi
masyarakat, baik secara langsung bagi masyarakat nelayan maupun secara
tidak langsung bagi masyarakat lainnya (Tobing, 2009).
Dikutip dari Khairum (2012), pantai intertidal dapat dibedakan atas 3 jenis,
yaitu:
a. Pantai Berbatu
Pantai berbatu terbentuk dari batu granit dari berbagai ukuran tempat
ombak pecah. Umumnya pantai berbatu terdapat bersama-sama atau
berseling dengan pantai berdinding batu. Kawasan ini paling padat
makroorganismenya, dan mempunyai keragaman fauna maupun flora yang
paling besar. Tipe pantai ini banyak ditemui di selatan Jawa, Nusa
tenggara, dan Maluku.
b. Pantai Berpasir
Pantai ini dapat ditemui di daerah yang jauh dari pengaruh sungai
besar, atau di pulau kecil yang terpencil. Makroorganisme yang hidup disini
tidak sepadat di kawasan pantai berbatu, dan karena kondisi
lingkungannya organisme yang ada cenderung menguburkan dirinya ke
dalam substrat. Kawasan ini lebih banyak dimanfaatkan manusia untuk
berbagai aktivitas rekreasi.
c. Pantai Berlumpur
Perbedaan antara tipe pantai ini dengan tipe pantai sebelumnya
terletak pada ukuran butiran sedimen (substrat). Tipe pantai berlumpur
mempunyai ukuran butiran yang paling halus. Pantai berlumpur terbentuk
disekitar muara-muara sungai dan umumnya berasosiasi dengan estuaria.
Tebal endapan lumpurnya dapat mencapai 1 meter atau lebih. Pada pantai
berlumpur yang amat lembek sedikit fauna maupun flora yang hidup
disana. Perbedaan yang lain adalah gelombang yang tiba di pantai,
dimana aktivitas gelombangnya sangat kecil, sedangkan untuk pantai yang
lain kebalikannya.
(http://laodekhairummastufpik.blogspot.com/2012/06/daerah-intertidal-atau-
daerah-pasang.html / di akses tanggal 28/11/2014 00:24)
6. Karakteristik Kehidupan Masyarakat Nelayan
a. Kehidupan Masyarakat Nelayan Ditinjau Dari Aspek Sosial
Hubungan sosial yang terjadi dalam lingkungan masyarakat nelayan
adalah akibat interaksi dengan lingkungannya. Adapun ciri sosial
masyarakat nelayan sebagai berikut:
1) Sikap kekerabatan atau kekeluargaan yang sangat erat.
2) Sikap gotong royong/paguyuban yang tinggi.
Kedua sikap telah banyak mewarnai kehidupan masyarakat nelayan
yang pada umumnya masih bersifat tradisional. Lahirnya sikap ini sebagai
akibat dari aktivitas nelayan yang sering meninggalkan keluarganya dalam
kurun yang waktu cukup lama, sehingga timbul rasa keterkaitan serta
keakraban yang tinggi antara keluarga-keluarga yang ditinggalkan untuk
saling tolong menolong.
Hal ini dapat tercermin pada pola permukimannya yang mengelompok
dengan jarak yang saling berdekatan, sikap gotong royong yang tampak
pada saat pembuatan rumah, memperbaiki jala ikan, memperbaiki perahu,
dan alat tangkap serta pada upacara adat, ketika akan melakukan
penangkapan ikan yang juga dilakukan secara gotong royong di laut yang
dipimpin oleh seorang punggawa.
b. Kehidupan Masyarakat Nelayan Ditinjau Dari Aspek Budaya
Beberapa hal yang telah membudaya dalam masyarakat nelayan
adalah kecenderungan hidup lebih dari satu keluarga dalam satu rumah
atau mereka cenderung untuk menampung keluarga serta kerabat mereka
dalam waktu yang cukup lama, hal ini menyebabkan sering dijumpai
jumlah anggota keluarga dalam satu rumah melebihi kapasitas daya
tampung, sehingga ruang gerak menjadi sempit dan terbatas. Dan
dampaknya itu pula, mereka cenderung untuk memperluas rumah tanpa
terencana.
Adapun adat kebiasaan yang turun temurun telah berlangsung pada
masyarakat nelayan adalah seringnya mengadakan pesta syukuran atau
selamatan, misalnya pada waktu peluncuran perahu baru ketika akan
melakukan pemberangkatan, dan saat berakhirnya musim melaut agar
pada musim berikutnya mendapatkan hasil yang lebih banyak dan lain-lain.
Masyarakat nelayan pada umumnya mempunyai tingkat pendidikan
yang rendah, menyebabkan kurangnya pengetahuan mereka sehingga
menghambat kemajuan nelayan sendiri, antara lain sulitnya bagi
pemerintah untuk memberi bantuan dalam bentuk penyuluhan maupun
modernisasi peralatan (Mubyarto,1985; dalam Syahriarto 2013). Hal ini
juga berpengaruh dalam lingkungan permukimannya, karena rendahnya
pengetahuan akan pentingnya rumah sehat yang mengakibatkan mereka
menganggapnya sebagai suatu kebutuhan.
c. Kehidupan Masyarakat Nelayan Ditinjau Dari Aspek Ekonomi
Usaha perikanan banyak tergantung pada keadaan alam, sehingga
pendapatan nelayan tidak dapat ditentukan. Tingkat penghasilan nelayan
umumnya dibagi atas dua:
1) Penghasilan bersih yang diperoleh selama melaut jika seorang
“sawi” maka besar pendapatannya sesuai dengan kesepakatan.
2) Penghasilan sampingan yaitu penghasilan yang diperoleh dari
pekerjaan tambahan, baik pekerjaan itu didapat ketika jadi buruh,
bertani dan berdagang maupun pekerjaan atau kerajinan dalam
mengelola hasil laut lainnya.
Diamati kondisi ekonomi ketiga kelompok tersebut diatas, maka
sepintas lalu dapat dikemukakan bahwa umumnya taraf hidup kehidupan
masyarakat nelayan terutama yang menangkap ikan secara tradisional,
termasuk paling rendah, sedangkan masyarakat pantai yang bergerak
dibidang petempaian/tambak menempati taraf hidup yang lebih baik.
Sedangkan untuk yang teratas diduduki oleh masyarakat /pedagang .
Desa nelayan umumnya terletak dipesisir pantai, maka penduduk desa
tersebut sebagian besar mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan.
Melihat bahwa mereka berada pada daerah pesisir sehingga akan
bertambah secara berkelompok-kelompok mengikuti pola lingkungan
karena adanya faktor laut sebagai faktor pendukung, sehingga penduduk
setempat mempunyai tata cara kehidupan yang bersifat tradisional dengan
kehidupan yang spesifik pula. (Syahriarto, 2013)
F. Teori Relokasi Permukiman
1. Pengertian Relokasi Permukiman
Relokasi atau resettlement merupakan proses pemindahan penduduk dari
lokasi permukiman yang tidak sesuai dengan peruntukannya ke lokasi baru
yang baru disiapkan sesuai dengan rencana pembangunan kota (Ridho,
2001:95 dalam Umbara Umbara, 2003). Bila dikaitkan dengan 5 kelompok
peremajaan permukiman yang didasarkan pada lokasi seperti dikemukakan
oleh Yudohusodo, relokasi atau pemindahan permukiman dilakukan terhadap
lokasi permukiman yang peruntukkannya bukan untuk perumahan atau lokasi
permukiman yang rawan bahaya.
Ada dua alternatif pemberian ganti rugi (kompensasi) dalam proses relokasi
ini, yaitu :
a. Pemberian kompensasi atas tanah dan/atau bangunan serta fasilitas
lainnya berupa uang tunai senilai dengan nilai jual tanah dan/atau
bangunan serta fasilitas lainnya yang dilepaskan.
b. Pemberian kompensasi atas tanah dan/atau bangunan serta fasilitas
lainnya berupa hal yang sama dengan yang dilepaskan pada lokasi
baru yang telah ditetapkan dan disepakati. (Ridlo, 2001:96 dalam
Umbara Umbara, 2003)
Menurut World Bank (OD 4.30, June 1990), permukiman kembali atau
ressetlement pada umumnya terjadi atau dilakukan pada kondisi “terpaksa”.
Pengertiannya adalah tidak ada pilihan lain kecuali harus menyerahkan
“kekayaannya” untuk dimukimkan pada tempat yang baru. Asian Development
Bank (November 1995) menyampaikan laporan hasil studinya yang
menunjukkan bahwa banyak kebijakan dan peristiwa yang seringkali menjadi
penyebab program relokasi (ressetlement), antara lain :
a. Proyek pemerintah yang memerlukan pembebasan tanah untuk
keperluan pembangunan sarana prasarana kota, pembuatan waduk,
pembuatan rel kereta api atau jalan bebas hambatan, untuk keperluan
jaringan listrik dan telepon;
b. Kondisi force majour, seperti bencana alam, kebakaran, perang dan
kerusuhan.
Mengenai program relokasi, di dalam Panduan Operasional Bank dunia
(KO 4.12, September 1999) digambarkan bahwa kebijakan tersebut, mengacu
pada hasil evaluasinya di beberapa negara berkembang, dipandang sebagai
bentuk program yang sedapat mungkin dihindari atau paling tidak dikurangi
dengan cara menjajaki berbagai desain proyek alternatif yang mungkin dapat
dilaksanakan. Program relokasi dinilai sebagai suatu program yanag bersifat
“terpaksa” jikalau harus dilaksanakan.
2. Tujuan dan Prinsip Kebijakan Relokasi Permukiman
Asian Develompment Bank (dalam Umbara, 2003) menyampaikan tujuan
dan prinsip kebijakan mengenai permukiman kembali, yang barangkali dapat
diadopsi dan dimodifikasi sebagai bentuk alternatif program relokasi, yakni :
a. Permukiman Kembali Rudapaksa harus dihindari kalu memungkinakan
memilih alternatif-alternatif proyek yang layak
b. Orang-orang yang terkena dampak, wajib diberikan ganti rugi dan
dibantu, supaya kehidupan sosial dan ekonominya sama seperti
apabila tidak ada proyek tersebut.
c. Orang-orang yang terkena dampak ini harus diberikan informasi
lengkap dan diajak bermusyawarah tentang permukiman kembali dan
alternatif-alternatif lain.
d. Lembaga-lembaga sosial dan budaya dari penduduk yang dipindahkan
dan penduduk setempat di lokasi pindahan harus didukung dan
dimanfaatkan sebaik mungkin. Penduduk yang dipindahkan harus
dapat berintegrasi secara ekonomi dan sosial dengan penduduk
setempat di lokasi pindahan.
e. Sedapat mungkin permukiman kembali harus dirancang dan
dilaksanakan sebagai bagian dari proyek
f. Seluruh biaya permukiman kembali dan ganti rugi harus diperhitungkan
dalam rencana biaya dan manfaat proyek.
3. Prosedur Pelaksanaan Relokasi
Bank Dunia, 1999 (dalam Umbara, 2003) merekomendasikan bahwa
sebelum memutuskan rencana relokasi, negara-negara berkembang perlu
mempersiapkan kerangka rencana atau kerangka kebijakan permukiman
kembali secara matang, dan program dikembangkan atas dasar partisipasif,
sehingga keputusan untuk pindah atau dimukimkan kembali dibuat sendiri
oleh masyarakat setempat dan sacara teguh mengikat anggota-anggotanya.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam perencanaan program relokasi :
a. Diberikan penjelasan yang memadai mengenai pilihan dan hak-hak
mereka sebagai orang yang akan direlokasi;
b. Diberikan konsultasi dan ditawari pilihan-pilihan di antara alternatif
permukiman kembali yang dapat dilakukan secara layak dipandang dari
segi teknis dan ekonomis;
c. Diberikan kompensasi secara tepat dan efektif dengan penggantian
penuh atas kehilangan asset yang secara langsung terkena program
relokasi;
d. Jika relokasi diperlukan, bantuan (seperti biaya pindah) diberikan
selama relokasi;
e. Setelah pemindahan, diberikan bantuan (seperti pekerjaan jangka
pendek, bantuan nafkah atau biaya hidup) secara layak selama masa
transisi yang cukkup memadai; dan
f. Disediakan bantuan pengembangan bagi keberlanjutan perumahan dan
kawasan permukiman.
g. Lembaga-lembaga sosial dan budaya dari penduduk yang dipindahkan
dan penduduk setempat di lokasi pindahan harus didukung dan
dimanfaatkan sebaik mungkin agar penduduk yang dipindahkan harus
dapat berintegrasi secara ekonomi dan sosial dengan penduduk
setempat di lokasi pindahan.
Ridlo (2001:96) dalam Umbara (2003) menawarkan prosedur yang
ditempuh dalam pelaksanaan relokasi, yaitu :
a. Pendekatan yang interaktif kepada masyarakat yang terkena relokasi
dalam rangka menginformasikan rencana proyek relokasi tersebut.
b. Pembentukan forum diskusi warga sebagai wadah untuk menggali
respon, aspirasi warga dan peranserta warga dalam proyek
peremajaan. Kegiatan forum diskusi ini dilaksanakan mulai dari
perencanaan hingga terlaksananya proyek. Hal-hal yang dibicarakan
dalam forum diskusi diantaranya kesepakatan besarnya kompensasi,
pengurusan surat-surat hak atas tanah, penyusunan jadwal
kepindahan, perancangan prosedur kepindahan, dan sebagainya.
c. Pekerjaan fisik berupa pengukuran yang bermanfaat bagi penentuan
besarnya kompensasi bagi masing-masing warga, penyiapan
prasarana dan sarana lingkungan di lokasi yang baru.
d. Penyusunan rencana penempatan lokasi rumah tempat tinggal baru
dengan memperhatikan aspirasi warga;
e. Setelah pemindahan warga ke lokasi baru dilaksanakan, perlu diadakan
bimbingan dan pembinaan kepada warga agar dapat segera
menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru.
Menurut Davidson, 1993 (dalam Umbara,2003) relokasi yang dipilih jauh
dari perkampungan asli dapat menyebabkan tekanan, khususnya jika lokasi
itu berbeda keadaan lingkungannya, pola kehidupan ekonomi dan mata
pencaharian. Relokasi ke kawasan yang jauh harus dapat dihindari sedini
mungkin.
Umbara (2003) mengatakan pendekatan pemenuhan kebutuhan akan
perumahan masyarakat menuntut adanya perspektif baru yang lebih
komprehensif melalui pendekatan ekonomi, sosial dan budaya daripada
sekedar pendekatan kebutuhan dasar. Dalam perspektif ini, kebijakan
pemenuhan kebutuhan perumahan masyarakat perlu dengan sungguh-
sungguh memperhatikan persepsi masyarakat di dalam menentukan tempat
tinggalnya. Persepsi tersebut meliputi :
a. Pandangan masyarakat di dalam menempatkan prioritas berdasarkan
fungsi rumah (seperti security, opportunity dan identity)
b. Lokasi dan aksesbilitas kepada masyarakat dan tempat-tempat lain
c. Kelengkapan fasilitas permukiman, seperti sarana dan prasarana
d. Lingkup atau status sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat
e. Kualitas fisik bangunan dan lingkungannya
f. Nilai dan tipe rumah
g. Lingkup komunitas
4. Dampak Relokasi Permukiman
Evaluasi yang dilakukan oleh Bank Dunia dalam artikel “Involuntary
Resettlement”, 1990 (dalam Umbara, 2003) terhadap beberapa program
relokasi di negara-negara sedang berkembang seperti India, Thailand, dan
Filipina lebih banyak menunjukkan dampak negatif. Program-program tersebut
seperti pemindahan paksa untuk eksploitasi sumber daya alam di beberapa
negara selalu menyisakan masalah, tidak saja menyangkut kerugian materil di
lokasi lama tetapi juga kesulitan-kesulitan atau masalah yang dihadapi
“korban” di lokasi baru.
Asia Development Bank (dalam Umbara, 2003) dalam salah satu temuan
studinya mengemukakan beberapa dampak negatif yang mungkin ditimbulkan
oleh program relokasi yang tidak direncanakan secara matang di dalam
pembangunan perkotaan yakni bahwa perumahan, struktur dan sistem
masyarakat, hubungan sosial dan pelayanan sosial dapat terganggu. Sumber-
sumber produktif termasuk lahan, pendapatan dan mata pencaharian dapat
hilang. Kultur budaya dan kegotongroyongan yang ada dalam masyarakat
dapat menurun. Kehilangan sumber kehidupan dan pendapatan dapat
mendorong timbulnya eksploitasi ekosistem, kesulitan hidup, ketegangan
sosial, dan kemiskinan (ADB, Nopember 1995).
Senada dengan hal tersebut World Bank, 2001 (dalam Umbara, 2003)
melihat dampak yang mungkin timbul bagi penduduk yang dipindahkan atau
orang terkena dampak relokasi adalah :
a. Kehidupan penduduk dapat terkena akibat atau dampak yang
menyebabkan penderitaan. Banyak mata pencaharian dan kekayaan
yang hilang. Pemeliharaan kesehatan cenderung menurun. Mata rantai
antara produsen dan konsumen seringkali terputus dan pasar tenaga
kerja lokal menjadi terpecah-pecah.
b. Jaringan-jaringan sosial informal yang merupakan bagian dari sistem
pemeliharaan kehidupan sehari-hari (seperti kebiasaan saling tolong
menolong dan sumber dukungan sosial ekonomi) menjadi rusak.
c. Organisasi-organisasi setempat dan perkumpulan-perkumpulan formal
dan infromal elnyap karena bubarnya anggota mereka. Masyarakat dan
otoritas tradisional dapat kehilangan pemimpin-pemimpin mereka
d. Efek kualitatif ialah rusaknya sistem sosial dan ekonomu setempat yang
secara mendasar menimbulkan dampak negatif bagi sejumlah besar
penduduk.
Bank Dunia juga mencemaskan dampak yang mungkin dapat terjadi pada
lokasi pemindahan, terutama berkaitan dengan kemungkinan merosotnya
kesejahteraan penduduk akibat penyesuaian terhadap mata pencaharian
mereka sebagai sumber penghidupan di tempat yang baru, termasuk kerugian
yang tidak mudah dinilai atau diganti dalam bentuk uang seperti akses
terhadap pelayanan umum, ancaman terhadap kelestarian lingkungan,
putusnya hubungan ekonomi antara pelanggan dan pemasok yang telah
terbina di tempat lama, dan akses terhadap sumber daya yang sepadan yang
dapat diterima secara kultural dan membuka peluang mereka untuk
memperoleh penghasilan.
top related