tindak tutur
Post on 20-Oct-2015
95 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam studi sosiolinguistik telah seringkali dijelaskan, bahwa bahasa merupakan sebuah
sistem, artinya bahasa itu dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara tetap dan dapat
dikaidahkan. Di sisi lain bahasa juga bersifat dinamis, maksudnya, bahasa itu tidak terlepas dari
berbagai kemungkinan perubahan yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Perubahan itu dapat terjadi
pada tataran apa saja: fonologis, morfologis, sintaksis, semantik, dan leksikon. Bahasa juga
merupakan alat interaksi sosial atau alat komunikasi manusia. Dalam konteks yang terakhir ini,
diakui bahwa manusia dapat juga menggunakan alat lain untuk berkomunikasi, tetapi tampaknya
bahasa merupakan alat komunikasi yang paling baik di antara alat-alat komunikasi lainnya.
Apalagi bila dibandingkan dengan alat komunikasi yang digunakan makhluk sosial lain, yakni
hewan. Dalam setiap komunikasi manusia saling menyampaikan informasi yang dapat berupa
pikiran, gagasan, maksud, perasaan, maupun emosi secara langsung. Maka, dalam setiap proses
komunikasi ini terjadilah apa yang disebut “peristiwa tutur” dan “tindak tutur” dalam satu
“situasi tutur”.1[1]
B. Sejarah Tindak Tutur
Bahasa dalam keadaannya yang abstar (karena berada di dalam benak) tidak bisa langsung
dicapai oleh pengamat tanpa melalui medium buatan seperti kamus dan buku tata bahasa.
Menurut pengalaman nyata, bahasa itu selalu muncul dalam bentuk tindakan atau tingkah tutur
individual. Karena itu tiap telaah struktur bahasa harus dimulai dari pengkajian tindak tutur.
Wujudnya ialah bahasa lisan.2[12]
Peristiwa tutur merupakan peristiwa sosial karena menyangkut pihak-pihak yang bertutur
dalam satu situasi dan tempat tertentu. Peristiwa tutur ini pada dasarnya merupakan rangkaian
dari sejumlah tindak tutur (inggris: speech act) yang terorganisasikan untuk mencapai suatu
tujuan. Kalau peristiwa tutur merupakan gejala sosial seperti disebut di atas, maka tindak tutur
merupakan gejala individual, bersifat psikologis, dan keberlangsungannya ditentukan oleh
1
2
kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Kalau dalam peristiwa tutur
lebih dilihat pada tujuan peristiwannya, tetapi dalam tindak tutur lebih dilihat pada makna atau
arti tindakan dalam tuturannya. Tindak tutur dan peristiwa tutur merupakan dua gejala yang
terdapat pada satu proses, yakni proses komunikasi.3[13]
Istilah dan teori mengenai tindak tutur mula-mula diperkenalkan oleh J.L. Austin, seorang
guru besar di Universitas Harvard, pada tahun 1956. Teori yang berasal dari materi kuliah itu
kemudian dibukukan oleh J.O. Urmson (1965) dengan judul How to do Thing with Word ? tetapi
teori tersebut baru menjadi terkenal dalam studi linguistik setelah Searle (1969) menerbitkan
buku berjudul Speech Act and Essay in The Philosophy of Language.4[14]
Pada awalnya ide Austin dalam How to Do Things with Words (1962) membedakan tuturan
deskriptif menjadi dua yaitu konstatif dan performatif. Saat itu Austin berpendapat bahwa
tuturan konstatif dapat dievaluasi dari segi benar-salah yang tradisional (dengan menggunkan
pengetahuan tentang dunia), sedangkan performatif tidak dievaluasi sebagai benar-salah yang
tradisional tetapi sebagai tepat atau tidak tepat (dengan prinsip kesahihan). Austin
mengemukakan adanya empat syarat kesahihan, yaitu: (1) harus ada prosedur konvensional yang
mempunyai efek konvensional dan prosedur itu harus mencakupi pengujaran kata-kata tertentu
oleh orang-orang tertentu pada peristiwa tertentu, (2) orang-orang dan peristiwa tertentu di dalam
kasus tertentu harus berkelayakan atau yang patut melaksanakan prosedur itu, (3) prosedur itu
harus dilaksanakan oleh para peserta secara benar, dan (4) prosedur itu harus dilaksanakan oleh
para peserta secara lengkap.5[15]
Menurut Austin semua tuturan adalah performatif dalam arti bahwa semua tuturan
merupakan sebuah bentuk tindakan dan tidak sekadar mengatakan sesuatu. Kemudian Austin ke
pemikiran berikutnya yaitu, Austin membedakan antara tindak lokusi (tindak ini kurang-lebih
dapat disamakan dengan sebuah tuturan kalimat yang mengandung makna dan acuan) dengan
tindak ilokusi (tuturan yang mempunyai daya konvensional tertentu). Kemudian Austin
melengkapi kategori-kategori ini dengan menambah kategori ‘tindak perlokusi’ (tindak yang
mengacu pada apa yang kita hasilkan atau kita capai dengan mengatakan sesuatu). Namun ide
3
4
5
yang mendorong Austin untuk kemudian membuat klasifikasi mengenai tindak-tindak ilokusi
ialah asumsinya bahwa performatif merupakan batu ujian yang eksplisit buat semua ilokusi.6[16]
Ketika Searle mengemukakan klasifikasi yang serupa dalam ‘A Taxonomy of
Illocutionary Acts’, ia sengaja memisahkan diri dari asumsi Austin tadi, yaitu yang mengatakan
bahwa terdapat kesepadanan antara verba dan tindak ujar. Searle berpendapat bahwa:
‘perbedaan-perbedaan yang ada antara verba-verba ilokusi merupakan pedoman yang baik tetapi
sama sekali bukan pedoman yang pasti untuk membedakan tindak-tindak ilokusi’ (defferences in
illocutionary verb are a good guide, but by no means a sure guide to defferences in illocutionary
acts). Walaupun begitu, cukup jelas bahwa dasar pemikiran Searle ini bertolak dari verba
ilokusi. Kita memang harus mengakui taksonomi Searle lebih berhasil dan lebih sistematis
daripada taksonomi Austin, namun kita dapat mengamati bahwa Searle pun lagi-lagi menyebut
performatif eksplisit yang terdapat pada masing-masing kategori ini. Searle tidak berusaha
mengemukakan dasar-dasar prosedurnya ini, tetapi menerima begitu saja. Ia bertolak dari prinsip
keekspresifan (principle of expressibility), yang menyatakan bahwa apapun yang mempunyai
makna dapat diucapkan. Prinsip ini juga digunakannya dalam Speech Acts yang menjelaskan
tindak tutur merupakan entitas yang bersifat sentral dalam pragmatik. Prinsip keekspresifan ini
memang merupakan tesis yang sangat memudahkan dan membantu penjelasan kita, terutama bila
kita ingin menunjukkan bahwa dengan membubuhkan awalan performatif yang sesuai, daya
ilokusi tuturan selalu dapat dibuat lebih jelas.7[17]
Dalam aspek-aspek lain Searle tampaknya mengandalkan pada kekeliruan performatif,
walaupun ia membenarkan bahwa daya ilokusi dapat diungkapkan dengan penanda daya ilokusi
(illocutionary-force indicating device), baik dengan intonasi, tanda baca, dan sebagainya,
maupun dengan verbal performatif. Searle juga mengakui bahwa terdapat ketidakjelasan yang
sangat besar (enormous unclearity) dalam penggolongan tuturan-tuturan ke dalam kategori-
kategori ilokusi. Namun ia tetap mempertahankan pendapatnya bahwa ‘bila kita menggunakan
titik ilokusi sebagai pengertian dasar bagi klasifikasi penggunaan bahasa, itu berarti kita
melakukan sejumlah hal dasar dengan bahasa.8[18]
6
7
8
Selanjutnya Searle secara lebih operasional merinci syarat kesahihan untuk tindak tutur
menjadi lima, yaitu: (1) penutur mestilah bermaksud memenuhi apa yang ia janjikan, (2) penutur
harus berkeyakinan bahwa lawan tutur percaya bahwa tindakan yang dijanjikan menguntungkan
pendengar, (3) penutur harus berkeyakinan bahwa ia mampu memenuhi janji itu, (4) penutur
mestilah memprediksi tindakan yang akan dilakukan pada prediksi tindakan yang akan dilakukan
pada masa yang akan datang, (5) penutur harus mampu memprediksi tindakan yang akan
dilakukan oleh dirinya sendiri.9[19]
Sejauh ini alasan-alasan Leech untuk menentang tesis kekeliruan Verba-Ilokusi bersifat
deskriptif: mengkotak-kotakkan tindak ujar ke dalam kategori-kategori tertentu seperti yang
dilakukan oleh kekeliruan verba ilokusi terlalu mengatur rentangan potensi komunikatif manusia,
dan ini tidak dapat di benarkan kalau hanya berdasarkan pengamatan saja. Dalam hal perilaku
percakapan manusia dan pengalaman-pengalaman lain, bahasa kita menyediakan sejumlah
kosakata yang menandakan adanya perbedaan-perbedaan kategorikal. Perhatian Austin dan
Searle pada performatif secara implisit memengaruhi mereka untuk berasumsi bahwa analisis
yang teliti mengenai makna verbal-ilokusi dapat membawa ke pemahaman daya ilokusi.10[20]
C. Teori Tindak Tutur
Pembedaan-pembedaan yang dibuat oleh Austin, Searle dan lain-lainya dalam
mengklasifikasi tindak tutur akan sangat berguna bila kita mengkaji verba tindak tutur.
Pernyataan ini didasarkan atas fakta bahwa sebetulnya filsuf-filsuf tindak tutur cenderung
memusatkan perhatian mereka pada makna verba tindak tutur, walaupun kelihatannya mereka
seakan-akan mengkaji tindak tutur. Tambahan lagi, tanpa bersikap terlalu teoretis (doktriner)
dapat diasumsikan bahwa ada kemungkinan terdapat kesamaan antara berbagai perbedaan yang
penting bagi analisis verba tindak tutur dengan berbagai perbedaan yang penting untuk perilaku
tindak tutur yang diperikan oleh verba-verba tindak tutur.11[21]
Sebaliknya, kita akan sangat anti-Worf bila kita mengansumsikan bahwa verba-verba yang
disediakan oleh bahasa untuk membahas perilaku komunikatif mengandung perbedaan-
perbedaan yang tidak signifikan buat perilaku sendiri; dan asumsi ini juga tidak didukung oleh
teori fungsional. Tetapi ada satu perbedaan besar antara pembicaraan tentang tindak tutur dengan
9
10
11
pembicaraan tentang verba tindak tutur, yaitu perbedaan-perbedaan yang ada pada tindak tutur
bersifat nonkategorikal, sedangkan pada verba tindak tutur perbedaannya bersifat kategorikal.
Searle mengatakan bahwa ‘perbedaan-perbedaan di antara verba-verba ilokus merupakan
petunjuk yang baik tetapi sama sekali bukan petunjuk yang pasti akan mengetahui perbedaan-
perbedaan yang ada antara tindak-tindak ilokus’. Perbedaan yang lain adalah bila kita membahas
verba tindak tutur, kita harus membatasi diri pada verba-verba tertentu dalam bahasa-bahasa
tertentu.
Tindak tutur atau tindak ujar (speech act) merupakan entitas yang bersifat sentral dalam
pragmatik sehingga bersifat pokok di dalam pragmatik. Tindak tutur merupakan dasar bagi
nanalisis topik-topik pragmatik lain seperti praanggapan, perikutan, implikatur percakapan,
prinsip kerja sama, dan prinsip kesantunan. Kajian pragmatik yang tidak mendasarkan
analisisnya pada tindak tutur bukanlah kajian pragmatik dlm arti yang sebenarnya.12[22]
Suwito dalam bukunya Sosiolinguistik: Teori dan Problem mengemukakan jika peristiwa
tutur (speech event) merupakan gejala sosial dan terdapat interaksi antara penutur dalam situasi
dan tempat tertentu, maka tindak tutur lebih cenderung sebagai gejala individual, bersifat
psikologis dan ditentukanm oleh kemampuan bahasa penutur dalam menghadapi situasi tertentu.
Jika dalam peristiwa tutur orang menitikberatkan pada tujuan peritiwa, maka dalam tindek tuutr
irang lebih memperhatikan makna atau arti tindak dalam tuturan itu.13[23]
Dari literatur pragmatik, dapat dijelaskan bahwa tindak tutur adalah tuturan dari seseorang
yang bersifat psikologis dan yang dilihat dari makna tindakan dalam tuturannya itu. serangkaian
tindak tutur akan membentuk suatu peristiwa tutur (speech event).
Jadi dapat disimpulkan bahwa tindak tutur merupakan suatu ujaran yang mengandung
tindakan sebagai suatu fungsional dlm komunikasi yang mempertimbangkan aspek situasi tutur.
Tindak tutur yang dilakukan dalam bentuk kalimat performatif oleh Austin dirumuskan
sebagai tiga buah tindakan yang berbeda, yaitu (1) tindak tutur lokusi, (2) tindak tutur ilokusi,
dan (3) tindak tutur perlokusi. Apa bedanya ?
Tindak tutur lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu sebagaimana adanya atau
The Act of Saying Something tindakan untuk mengatakan sesuatu. Fokus lokusi adalah makna
tuturan yang diucapkan, bukan mempermasalahkan maksud atau fungsi tuturan itu. Rohmadi
12
13
mendefinisikan bahwa lokusi adalah tindak bertutur dengan kata, frasa, dan kalimat sesuai
dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan kalimat itu. Lokusi dapat dikatakan sebagai
the act of saying something. Tindak lokusi merupakan tindakan yang paling mudah diidentifikasi
karena dalam pengidentifikasiannya tidak memperhitungkan konteks tuturan.14[24] Dengan kata
lain, tindak tutur lokusi adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu dalam arti “berkata” atau
tindak tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna dan dapat dipahami.15[25] misalnya:
1. Jembatan Suramadu menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Madura
2. Tahun 2004 gempa dan tsunami melanda Banda Aceh.
Dua kalimat di atas dituturkan oleh seorang penutur semata-mata hanya untuk memberi
informasi sesuatu belaka, tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu. apalagi untuk mempengaruhi
lawan tuturnya. Informasi yang diberikan pada kalimat pertama adalah mengenai jembatan
Suramadu yang menghubungkan pulau Jawa dan Pulau Madura. Sedangkan kalimat kedua
memberi informasi mengenai gempa dan tsunami yang paada tahun 2004 melanda Banda Aceh.
Lalu, apabila disimak baik-baik tampaknya tindak tutur ouksi ini hanya memberi makna secara
harfiah, seperti yang dinyatakan dalam kalimatnya.
Tindak tutur ilokusi adalah tindak tutur yang biasanya diidentifikasikan dengan kalimat
performatif yang eksplisit. Bila tata bahasa menganggap bahwa kesatuan-kesatuan statis yang
abstrak seperti kalimat-kalimat dalam sintaksis dan proposisi-proposisi dalam semantik, maka
pragmatik menganggap tindak-tindak verbal atau performansi-performansi yang berlangsung di
dalam situasi-situasi khusus dan waktu tertentu. Pragmatik menganggap bahasa dalam tingkatan
yang lebih konkret daripada tata bahasa. Singkatnya, ucapan dianggap sebagai suatu bentuk
kegiatan: suatu tindak ujar. Menurut pendapat Austin ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu
Ilokusi merupakan tindak tutur yang mengandung maksud dan fungsi atau daya tuturan.
Pertanyaan yang diajukan berkenaan dengan tindak ilokusi adalah “untuk apa ujaran itu
dilakukan” dan sudah bukan lagi dalam tataran “apa makna tuturan itu?”. Rohmadi
mengungkapkan bahwa tindak ilokusi adalah tindak tutur yang berfungsi untuk mengatakan atau
menginformasikan sesuatu dan dipergunakan untuk melakukan sesuatu.16[26]
14
15
16
Tindak tutur ilokusi ini biasanya berkenaan dengan pemberian izin, mengucapkan terima
kasih, menyuruh, menawarkan, dan menjanjikan.17[27] Misalnya:
1. Sudah hampir pukul tujuh
2. Ujian nasional sudah dekat
Kalimat pertama bila dituturkan oleh seorang suami kepada istrinya di pagi hari, selain
memberi informasi tentang waktu, juga berisi tindakan yaitu mengingatkan si istri bahwa si
suami harus segera berangkat ke kantor, jadi minta disediakan sarapan. Oleh karena itu, si istri
akan menjawab mungkin seperti kalimat berikut, “Ya Mas! Sebenat lagi sarapan siap.
Tindak tutur perlokusi adalah tindak tutur yang berkenaan dengan adanya ucapan orang lain
sehubungan dengan sikap dan perilaku nonlinguistik dari orang lain.18[28] Misalnya:
1. Rumah saya jauh sih
2. Minggu lalu saya ada keperluan keluarga yang tidak dapat ditinggalkan
Tuturan pada kalimat pertama bukan hanya memberi informasi bahwa rumah si penutur itu
jauh, tetapi juga bila dituturkan oleh seorang guru kepada kepala sekolah dalam rapat
penyusunan jadwal pelajaran pada wal tahun menyatakan maksud bahwa si penutur tidak dapat
datang tepat waktu pada jam pertama. Maka efeknya atau pengaruhnya yang diharapkan si
kepala sekolah akan memberi tugas mengajar tidak pada jam-jam pertama, melainkan pada jam-
jam lebih siang. Kalimat kedua selain memberi informasi bahwa si penutur pada minggu lalu ada
kegiatan di keluarga, juga bila dituturkan pada lawan tutur yang pada minggu lalu mengundang
untuk hadir pada resepsi pernikahan, bermaksud juga minta maaf. Lalu, efek yang diharapkan
adalah agar si lawan tutur memberi maaf kepada si penutur.
Pencetus teori tindak tutur, Searle membagi tindak tutur menjadi lima kategori:
1. Representative/asertif, yaitu tuturan yang mengikat penuturnya akan kebenaran atas apa yang
diujarkan. Tindak tutur jenis ini juga disebut dengan tindak tutur asertif. Yang termasuk tindak
tutur jenis ini adalah tuturan menyatakan, menuntut, mengakui, menunjukkan, melaporkan,
memberikan kesaksian, menyebutkan, berspekulasi. Contoh jenis tuturan ini adalah: “Adik selalu
unggul di kelasnya”. Tuturan tersebut termasuk tindak tutur representatif sebab berisi informasi
yang penuturnya terikat oleh kebenaran isi tuturan tersebut. Penutur bertanggung jawab bahwa
tuturan yang diucapkan itu memang fakta dan dapat dibuktikan di lapangan bahwa si adik rajin
17
18
belajar dan selalu mendapatkan peringkat pertama di kelasnya. Contoh yang lain adalah: “Tim
sepak bola andalanku menang telak”, “Bapak gubernur meresmikan gedung baru ini”.
2. Direktif/impositif, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar si pendengar
melakukan tindakan yang disebutkan di dalam tuturan itu. Tindak tutur direktif disebut juga
dengan tindak tutur impositif. Yang termasuk ke dalam tindak tutur jenis ini antara lain tuturan
meminta, mengajak, memaksa, menyarankan, mendesak, menyuruh, menagih, memerintah,
mendesak, memohon, menantang, memberi aba-aba. Contohnya adalah “Bantu aku memperbaiki
tugas ini”. Contoh tersebut termasuk ke dalam tindak tutur jenis direktif sebab tuturan itu
dituturkan dimaksudkan penuturnya agar melakukan tindakan yang sesuai yang disebutkan
dalam tuturannya yakni membantu memperbaiki tugas. Indikator dari tuturan direktif adalah
adanya suatu tindakan yang dilakukan oleh mitra tutur setelah mendengar tuturan tersebut.
3. Ekspresif/evaluatif. Tindak tutur ini disebut juga dengan tindak tutur evaluatif. Tindak tutur
ekspresif adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar tuturannya diartikan sebagai
evaluasi tentang hal yang disebutkan dalam tuturan itu, meliputi tuturan mengucapkan terima
kasih, mengeluh, mengucapkan selamat, menyanjung, memuji, meyalahkan, dan mengkritik.
Tuturan “Sudah kerja keras mencari uang, tetap saja hasilnya tidak bisa mencukupi kebutuhan
keluarga”. Tuturan tersebut merupakan tindak tutur ekspresif mengeluh yang dapat diartikan
sebagai evaluasi tentang hal yang dituturkannya, yaitu usaha mencari uang yang hasilnya selalu
tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Contoh tuturan lain adalah “Pertanyaanmu
bagus sekali” (memuji), “Gara-gara kecerobohan kamu, kelompok kita didiskualifikasi dari
kompetisi ini” (menyalahkan), “Selamat ya, Bu, anak Anda perempuan” (mengucapkan
selamat).
4. Komisif. Tindak tutur komisif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk
melaksanakan segala hal yang disebutkan dalam ujarannya, misalnya bersumpah, berjanji,
mengancam, menyatakan kesanggupan, berkaul. Contoh tindak tutur komisif kesanggupan
adalah “Saya sanggup melaksanakan amanah ini dengan baik”. Tuturan itu mengikat penuturnya
untuk melaksanakan amanah dengan sebaik-baiknya. Hal ini membawa konsekuensi bagi dirinya
untuk memenuhi apa yang telah dituturkannya. Cotoh tuturan yang lain adalah “Besok saya akan
datang ke pameran lukisan Anda”, “Jika sore nanti hujan, aku tidak jadi berangkat ke Solo”.
5. Deklarasi/establisif/isbati, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk menciptakan
hal (status, keadaan, dsb) yang baru. Tindak tutur ini disebut juga dengan istilah isbati. Yang
termasuk ke dalam jenis tuutran ini adalah tuturan dengan maksud mengesankan, memutuskan,
membatalkan, melarang, mengabulkan, mengizinkan, menggolongkan, mengangkat,
mengampuni, memaafkan. Tindak tutur deklarasi dapat dilihat dari contoh berikut ini.
“Ibu tidak jadi membelikan adik mainan.” (membatalkan)
“Bapak memaafkan kesalahanmu.” (memaafkan)
“Saya memutuskan untuk mengajar di SMA almamater saya.” (memutuskan).19[29]
Tindak tutur juga dibedakan menjadi dua yaitu tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak
langsung. Penggunaan tuturan secara konvensional menandai kelangsungan suatu tindak tutur
langsung. Tuturan deklaratif, tuturan interogatif, dan tuturan imperatif secara konvensional
dituturkan untuk menyatakan suatu informasi, menanyakan sesuatu, dan memerintahkan mitra
tutur melakukan sesuatu. Kesesuaian antara modus dan fungsinya secara konvensional inilah
yang yang merupakan tindak tutur langsung. Sebaliknya, jika tututan deklaratif digunakan untuk
bertanya atau memerintah –atau tuturan yang bermodus lain yang digunakan secara tidak
konvensional-, tuturan itu merupakan tindak tutur tidak langsung. Sehubungan dengan
kelangsungan dan ketaklangsungan tuturan, tindak tutur juga dibedakan menjadi tindak tutur
harfiah (maksud sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya) dan tidak harfiah (maksud
tidak sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya). Jika dua jenis tindak tutur, langsung
dan taklangsung, digabung dengan dua jenis tindak tutur lain, harfiah dan takharfiah, diperoleh
empat macam tindak tutur interseksi, yaitu (1) tindak tutur langsung harfiah, (2) tindak tutur
langsung takharfiah, (3) tindak tutur taklangsung harfiah, (4) tindak tutur taklangsung
takharfiah.20[30]
Menurur Austin (1962), tuturan dibedakan menjadi tuturan konstatif dan tuturan performatif.
Tuturan konstatif adalah tuturan yang menyatakan sesuatu yang kebenarannya dapat diuji benar
atau salah dengan menggunakan pengetahuan tentang dunia.21[31]
Contoh :
1. “Manuk Dadali adalah lagu daerah Jawa Barat.”
2. “Dakka ibu kota Bangladesh.”
19
20
21
Tuturan performatif adalah tuturan yang pengutaraanya digunakan intuk melakukan
sesuatu.22[32]
Contoh :
1. “Saya berani menjamin Milan akan memenangkan pertandingan malam ini.”
2. “Saya berjanji akan datang besok.”
Selanjutnya, Searle mengklasifikasikan tuturan ilokusi ke dalam lima jenis tindak tutur,
yaitu: tindak tutur asertif yang disebut juga dengan tindak tutur representatif, direktif yang
disebut juga dengan tindak tutur impositif, ekspresif yang disebut juga dengan tindak tutur
evaluative, komisif, dan isbati yang disebut juga dengan tindak tutur deklarasi.23[33]
a. Tindak tutur Asertif / Representatif. Adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya akan
kebenaran atas apa yang diujarkannya. Contoh :
1. “Sebentar lagi rumah itu ambruk terkena angin.”
2. “Yang datang rapat baru 26 orang.”
b. Tindak tutur Direktif / Impositif. Adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar
mitra tutur melakukan tindakan yang disebutkan di dalam tuturan itu.Contoh :
1. “Tolong tutup pintunya!”
2. “Lebih baik kamu masuk saja.”
3. “Berikan data itu sekarang!”
c. Tindak tutur Ekspresif / Evaluatif. Adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar
ujarannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan di dalam tuturan itu. Contoh :
1. “Pekerjaanmu kurang memuaskan.”
2. “Suaramu bagus sekali.”
d. Tindak tutur Komisif . Adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan
apa yang disebutkan di dalam tuturannya. Contoh :
1. ”Besok saya akan tiba tepat waktu.”
2. “Saya berjanji akan belajar dengan sungguh-sungguh.”
e. Tindak tutur Isbati / Deklarasi. Adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk
menciptakan hal (status, keadaan, dsb) yang baru. Contoh :
1. “Jangan membuat tugas sembarangan!”
22
23
2. “Dia tidak jadi pergi hari ini.”
D. Tindak Tutur dan Pragmatik
Tindak tutur saebenarnya merupakan salah satu fenomena dalam masalah yang lebih luas,
yang dikenal dengan istilah pragmatik. Para pakar pragmatik mendefinisikan istilah ini secara
berbeda-beda. Yule, misalnya, menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang
mengkaji makna pembicara; (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang
yang, melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan
atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut
jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu.24[34]
Thomas menyebut dua kecenderungan dalam pragmatik terbagi menjadi dua bagian,
pertama, dengan menggunakan sudut pandang sosial, menghubungkan pragmatik dengan makna
pembicara (speaker meaning); dan kedua, dengan menggunakan sudut pandang kognitif,
menghubungkan pragmatik dengan interpretasi ujaran (utterance interpretation). Selanjutnya
Thomas (1995: 22), dengan mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis yang
melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran (fisik, sosial,
dan linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari sebuah ujaran ujaran, mendefinisikan
pragmatik sebagai bidang yang mengkaji makna dalam interaksi (meaning in interaction).25[35]
Melalui bukunya, How to Do Things with Words, Austin dapat dianggap sebagai pemicu
minat yang paling utama dalam kajian pragmatik. Sebab, seperti diungkap oleh Marmaridou
dalam Gunarwan,26[36] sejak itu bidang kajian ini telah berkembang jauh, sehingga kita dapat
melihat sejumlah kecenderungan dalam pragmatik, yaitu pragmatik filosofis (Austin, Searle, dan
Grice), pragmatik neo-Gricean (Cole), pragmatik kognitif (Sperber dan Wilson), dan pragmatik
interaktif (Thomas).
Austin, seperti dikutip oleh Thomas,27[37] bermaksud menyanggah pendapat filosof
positivisme logis, seperti Russel dan Moore, yang berpendapat bahwa bahasa yang digunakan
sehari-hari penuh kontradiksi, dan bahwa pernyataan hanya benar jika bersifat analitis atau jika
dapat diverifikasi secara empiris. Contoh.
24
25
26
27
(1) Ada enam kata dalam kalimat ini
(2) Presiden RI adalah Soesilo Bambang Yoedoyono
Dari contoh di atas, dapat dipahami bahwa para filosof yang dikritik Austin ini
mengevaluasi pernyataan berdasarkan benar atau salah (truth condition), yaitu, sesuai contoh di
atas, kalimat (1) benar secara analitis dan kalimat (2) benar karena sesuai dengan kenyataan.
Persyaratan kebenaran ini kemudian diadopsi oleh linguistik sebagai truth conditional
semantics.28[38]
Austin dalam Thomas29[39] berpendapat bahwa salah satu cara untuk membuat pembedaan
yang baik bukanlah menurut kadar benar atau salahnya, melainkan melalui bagaimana bahasa
dipakai sehari-hari. Melalui hipotesis performatifnya, yang menjadi landasan teori tindak-tutur
(speech-act), Austin berpendapat bahwa dengan berbahasa kita tidak hanya mengatakan sesuatu
(to make statements), melainkan juga melakukan sesuatu (perform actions). Ujaran yang
bertujuan mendeskripsikan sesuatu disebut konstatif dan ujaran yang bertujuan melakukan
sesuatu disebut performatif. Yang pertama tunduk pada persyaratan kebenaran (truth condition)
dan yang kedua tunduk pada persyaratan kesahihan (felicity condition). Contoh.
(1) Dengan ini, saya nikahkan kalian (performatif)
(2) Rumah Joni terbakar (konstatif)30[40]
Selanjutnya Austin, seperti juga ditekankan lebih lanjut oleh Searle, memasukkan ujaran
konstatif, karena memiliki struktur dalam yang mengandungi makna performatif, sebagai bagian
dari performatif. Dalam contoh (2), struktur dalam ujaran tersebut dapat saja berbunyi Saya
katakan bahwa rumah Joni terbakar.31[41]
Tindakan yang dihasilkan dengan ujaran ini mengandung tiga tindakan lain yang
berhubungan, yaitu lokusi (locutionary act), ilokusi (illocutionary act), dan perlokusi
(perlocutionary act).32[42] Tindak lokusioner berkaitan dengan produksi ujaran yang bermakna,
tindak ilokusioner terutama berkaitan dengan intensi atau maksud pembicara, dan tindak
28
29
30
31
32
perlokusioner berkaitan dengan efek pemahaman pendengar terhadap maksud pembicara yang
terwujud dalam tindakan.33[43] Tindak-tutur, seperti dikembangkan lebih jauh oleh Searle, dapat
berupa tindak-tutur langsung (direct speech-act) dan tindak-tutur tidak langsung (indirect
speech-act). Dalam direct speeh-act terdapat hubungan langsung antara struktur kalimat dengan
fungsinya, sedangkan dalam indirect speech-act hubungannya tidak langsung atau menggunakan
(bentuk) tindak-tutur lain.34[44]
Selain itu, Searle juga menyebut lima jenis fungsi tindak-tutur, yaitu asertif (assertive),
direktif (directive), komisif (comissive), ekspresif (expressive), dan deklarasi (declaration).
Asertif atau representatif merupakan tindak-tutur yang menyatakan tentang sesuatu yang
dipercayai pembicaranya benar; direktif merupakan tindak-tutur yang menghendaki
pendengarnya melakukan sesuatu; komisif merupakan tindak-tutur yang digunakan
pembicaranya untuk menyatakan sesuatu yang akan dilakukannya; ekspresif merupakan tindak-
tutur yang menyatakan perasaan pembicaranya; dan deklarasi merupakan tindak-tutur yang
mengubah status sesuatu.35[45]
Sebuah satuan ujaran dalam tindak tutur dapat dipahami pendengar dengan baik, apabila
dieksisnya jelas, presuposisinya diketahui, dan implikatur percakapannya dipahami. Dieksis
Deiksis adalah kata atau frasa yang menghunjuk kepada kata, frasa, atau ungkapan yang telah
dipakai atau yang akan diberikan.36[46] Purwo menjelaskan bahwa sebuah kata dikatakan
bersifat deiksis apabila referennya berpindah-pindah atau berganti-ganti, tergantung pada siapa
yang menjadi sipembicara dan tergantung pada saat dan tempat dituturkannya kata itu.37[47]
Pengertian deiksis yang lain dikemukakan oleh Lyons dalam Djajasudarma,38[48] yang
menjelaskan bahwa deiksis adalah lokasi dan identifikasi orang, objek, peristiwa, proses atau
kegiatan yang sedang dibicarakan atau yang sedang diacu dalam hubungannya dengan dimensi
ruang dan waktunya, pada saat dituturkan oleh pembicara atau yang diajak bicara. Dari
33
34
35
36
37
38
penjelasan di atas disimpulkan bahwa deiksis adalah kata, frasa, atau ungkapan yang rujukannya
berpindah-pindah tergantung siapa yang menjadi pembicara dan waktu, dan tempat
dituturkannya satuan bahasa tersebut.
Perhatikan contoh kalimat berikut.
1. Begitulah isi sms yang dikirimkannya padaku dua hari yang lalu.
2. Hari ini bayar, besok gratis.
3. Jika Anda berkenan, di tempat ini Anda dapat menunggu saya dua jam lagi.
Dari contoh di atas, kata-kata yang dicetak miring dikategorikan sebagai dieksis. Pada
kalimat (1) yang dimaksud dengan begitulah tidak bisa diketahui karena uraian berikutnya tidak
dijelaskan. Pada kalimat (2) kapan yang dimaksud dengan hari ini dan besok juga tidak jelas,
karena kalimat itu terpampang setiap hari di sebuah kafetaria. Pada kalimat (3) kata Anda tidak
jelas rujukannya, apakah seorang wanita atau pria, begitu juga frasa di tempat ini lokasinya tidak
jelas.
Semua kata dan frasa yang tidak jelas pada kalimat di atas dapat diketahui jika konteks
untuk masing-masing kalimat tersebut disertakan. Dalam berpragmatik kalimat seperti di atas
wajar hadir di tengah-tengah pembicaraan karena konteks pembicaraan sudah disepakati antara si
pembicara dan lawan bicara.
Sedangkan presuposisi dalam tindak tutur adalah makna atau informasi “tambahan” yang
terdapat dalam ujaran yang digunakan secara tersirat. Perlu dipahami bahwa selain mendapat
makna “asal” yang tersirat dalam ujaran, terdapat pula makna lain yang hanya bisa dipahami
secara tersirat. Misalnya, “Kerjakan dulu soal yang mudah, baru kemudian yang lebih sukar dan
yang sukar”, memiliki presuposisi bahwa soal-soal yang harus dikerjakan ada yang sukar dan ada
pula yang mudah.39[49]
Presuposisi terdapat pula dalam kalimat deklaratif dan kalimat interogatif. Misalnya dalam
kalimat, “Yang belum lulus ujian linguistik umum tidak boleh mengikuti kuliah sosiolinguistik”.
Contoh kalimat ini memiliki presuposisi “ada yang belum lulus ujian linguistik40[50]
Sedangkan Implikatur percakapan adalah implikasi pragmatik yang terdapat di dalam
percakapan yang timbul sebagai akibat terjadinya pelanggaran prinsip percakapan. Sejalan
dengan batasan tentang implikasi pragmatik, implikatur percakapan itu adalah proposisi atau
39
40
“pernyataan” implikatif, yaitu apa yang mungkin diartikan, disiratkan atau dimaksudkan oleh
penutur, yang berbeda dari apa yang sebenarnya dikatakan oleh penutur di dalam suatu
percakapan. Implikatur percakapan terjadi karena adanya kenyataan bahwa sebuah ujaran nyang
mempunyai implikasi berupa proposisi yang sebenarnya bukan bagian dari tuturan itu.41[51]
Didalam implikatur, hubungan antara tuturan yang sesungguhnya dengan maksud tertentu
yang tidak dituturkan bersifat tidak mutlak.42[52] Pembahasan tentang implikatur mencakupi
pengembangan teori hubungan antara ekspresi, makna, makna penutur, dan implikasi suatu
tuturan. Di dalam teorinya itu, ia membedakan tiga jenis implikatur, yaitu implikatur
konvensional, implikatur nonkonvensional, dan praanggapan. Selanjutnya implikatur
nonkonvensional dikenal dengan nama implikatur percakapan. Selain ketiga macam implikatur
itu, ia pun membedakan dua macam implikatur percakapan, yaitu implikatur pecakapan khusus
dan implikatur percakapan umum.43[53]
Implikatur konvensional adalah implikatur yang diperolah langsung dari makna kata, bukan
dari prinsip percakapan. Tuturan berikut ini mengandung implikatur konvensional. Contoh:
1. Lia orang Tegal, karena itu kalau bicara ceplas-ceplos.
2. Poltak orang Batak, jadi raut mukanya terkesan galak.
Implikasi tuturan (1) adalah bahwa bicara ceplas-ceplos Lia merupakan konsekuensi karena
ia orang Tegal. Jika Lia bukan orang Tegal, tentu tuturan itu tidak berimplikasi bahwa bicara
ceplas-ceplos Lia karena ia orang Tegal. Implikasi tuturan (2) adalah bahwa raut muka galak
Poltak merupakan konsekuensi karena ia orang Batak. Jika Poltak bukan orang Batak, tentu
tuturan itu tidak berimplikasi bahwa raut muka galak Poltak karena ia orang Batak.
Implikatur nonkonvensional atau implikatur percakapan adalah implikasi pragmatik yang
tersirat di dalam suatu percakapan. Di dalam komunikasi, tuturan selalu menyajikan suatu fungsi
pragmatik dan di dalam tuturan percakapan itulah terimplikasi suatu maksud atau tersirat fungsi
pragmatik lain yang dinamakan implikatur percakapan. Berikut ini merupakan contoh tuturan di
dalam suatu percakapan yang mengandung suatu implikasi percakapan.
A: ”HP mu baru ya? Mengapa tidak membeli N70 aja?”
B : ”Ah, harganya terlalu mahal.”
41
42
43
Implikatur percakapan tuturan itu adalah bahwa HP yang dibeli A murah sedangkan HP N70
harganya lebih mahal daripada HP yang dibeli A.
Dua dikotomi implikatur percakapan selanjutnya adalah implikatur percakapan umum dan
implikasi percakapan khusus.
Implikatur percakapan khusus adalah implikatur yang kemunculannya memerlukan konteks
khusus. Tuturan (1) hanya berimplikasi (2) jika berada di dalam konteks khusus seperti pada
percakapan (3) berikut ini.
1. Langit semakin mendung, sebentar lagi hujan datang.
2. (Ibu belum pulang dari pasar).
A: Mengapa Ibu belum pulang?
B: Langit semakin mendung, sebentar lagi hujan datang.
Implikatur percakapan umum adalah implikatur yang kehadirannya di dalam percakapan
tidak memerlukan konteks khusus. Implikatur (1) sebagai akibat adanya tuturan (2) merupakan
implikatur percakapan umum.
1. Saya menemukan uang.
2. (Uang itu bukan milik saya)
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Chaer dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta.
Agustina. 1995. Pragmatik dalam Pengajaran Bahasa Indonesia. Padang: IKIP Padang.
Alwi, Hasan, dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Austin, J.L. 1962. How to Do Things with Words. London: Oxford University Press.
Brown, Penelope., dan Stephen C. Levinson. 1978. Politeness: Some Universal in
Language Usage. Cambridge: Cambridge University Press.
Djajasudarma, Fatimah. 2010. Semantik 2: Pemahaman Ilmu Makna. Bandung: Refika
Aditama.
Eelen, Gino. 2001. A Critique of Politeness Theories. Manchester, UK: St. Jerome
Publishing
Gunarwan, Asim. 2004. Dari Pragmatik ke Pengajaran Bahasa (Makalah Seminar
Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah). IKIP Singaraja.
Hasanuddin WS, dkk. 2009. Ensiklopedi Kebahasaan Indonesia. Bandung: Angkasa.
Jaszczolt, K.M. 2002. Semantics and Pragmatics: Meaning in Language and Discourse.
Edinburgh: Pearson Education.
Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Jakarta: UI Press.
Nababan, P.W.J. 1987. Ilmu Pragmatik: Teori dan Penerapannya, Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Purwo, Bambang Kaswanti. 1984. Deiksis dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Renkema, Jan. 2004. Introduction to Discourse Studies. Amsterdam: John Benjamins
Publishing Company.
Rohmadi, Muhammad. 2004. Pragmatik: Teori dan Analisis. Yogyakarta: Lingkar Media.
Rustono. 1999. Pokok-pokok Pragmatik. Semarang: IKIP Semarang Press.
Tarigan, Henry Guntur. 1986. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa.
Thomas. Jenny. 1995. Meaning in Interaction: an Introduction to Pragmatics.
London/New York: Longman.
Ullmann, Stephen. 2011. Pengantar Semantik, Terj. Sumarsono. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi Yogyakarta.
Yule, George. 1996. Pragmatics. Oxford. Oxford University Press.
top related