tindak pidana pencucian uang sebagai delik …
Post on 23-Oct-2021
14 Views
Preview:
TRANSCRIPT
i
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG SEBAGAI DELIK LANJUTAN
DITINJAU DARI PASAL 3 PASAL 4 PASAL 5 SERTA PASAL 69
UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG
PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA
PENCUCIAN UANG
Oleh :
MUHAMMAD FIKRILLAH
617110135
SKRIPSI
Untuk memenuhi sebagian persyaratan
Untuk mencapai derajat S-1 pada
Program Studi Ilmu Hukum
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MATARAM
MATARAM
2021
ii
HALAMAN PENGASAHAN DOSEN PEMBIMBING
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG SEBAGAI DELIK LANJUTAN
DITINJAU DARI PASAL 3 PASAL 4 PASAL 5 SERTA PASAL 69
UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN
DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
Oleh:
Muhammad Fikrillah
617110135
Menyetujui
Pembimbing Pertama Pembimbing Kedua
DR. Rina Rohayu, SH., MH DR. Ufran Trisa, SH.,MH NIDN. 0830118204 NIDN. 0020058203
iii
DEWAN PENGUJI
- (Ketua) (…………..)
DR. Rina Rohayu, SH., MH (Anggota I) (…………...)
NIDN : 0830118204
DR. Ufran Trisa, SH.,MH (Anggota II) (……….…..)
NIDN : 0020058203
Mengetahui
Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Mataram
Dekan
Rena Aminwara, S.H.,M.Si
NIDN: 0828096301
iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS ILMIAH
Mahasiswa yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Muhammad Fikrillah
Nim : 617110135l
Tempat/Tanggl Lahir : Kota Bima, 25 Oktober 1999
Jurusan : Ilmu Hukum
Fakultas : Hukum
Alamar : Pagasangan Barat jl. Darussalam No 6
Judul : Tindak Pidana Pencucian Uang Sebagai
Delik Lanjutan Ditinjau Dari Pasal 3 Pasal
4 Pasal 5 Serta Pasal 69 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2010 Tentang
Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang.
Menyatakan dengan sesungguhnya dan penuh kesadaran bahwa benar tulisan ini
hasil karya sendiri. Jika dikemudian hari terbukti bahwa ia merupakan duplikat,
tiruan, plagiat atau dibuat oleh orang lain maka skripsi dan gelar yang diperoleh
karenanya batal demi hukum.
Mataram, 24 Desember 2020
Muhammad fikrilah
v
vi
vii
MOTTO HIDUP
Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya
sesudah kesulitan itu ada kemudahan.
(Q.S. Al- Insyirah Ayat 5-6)
viii
PRAKATA
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Dengan segala rasa syukur atas kehadirat, rahmat, dan kasih sayang
ALLAH SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang, yang telah memberikan
kemudahan bagi penyusun untuk menyelesaikan skripsi ini. Salam dan shalawat
kepada Nabi Besar Muhammad SAW beserta para keluarga dan sahabat-
sahabatnya. Sekalipun penyusun menyadari bahwa di dalamnya masih banyak
kekurangan-kekuarangan, karena keterbatasan penyusun. Oleh karena itu,
penyusun sangat mengharapkan berbagai masukan atau saran dari para penguji
untuk penyempurnaan nya.
Dalam masa studi sampai hari ini, penyusun sudah sampai pada tahapan
akhir penyelesaian studi, terdapat banyak halangan dan rintangan yang telah
penyusun lalui, perjuangan untuk menuntut ilmu memang berat. Namun berkat
sebuah cita-cita dan dengan harapan yang orang tua dan keluarga titipkan kepada
penyusun, akhirnya penyusun dapat menyelesaikan ini studi dengan impian akan
kembali ke tanah kelahiran dengan gelar SH dibelakang nama penyusun.
Segala kemudahan yang penyusun tempuh salama menyelesaikan skripsi
ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan, dan kepedulian yang luar biasa dari
dosen bagian hukum pidana, serta pegawai akdemik dan kemahasiswaan. Maka
dari itu dengan segala kerendahan hati penyusun mengucapakan rasa terimakasih
ix
yang sebesar- besarnya, hanya Allah SWT yang mampu membalasnya, lebih
khusus kepada:
1. Bapak DR. Arsyad Abdul Gani, MPd, selaku Rektor Universitas
Muhammadiyah Mataram yang telah memberikan kesempatan kepada
penyusun untuk menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Mataram.
2. Ibu Rena Aminwara SH., MSi selaku dekan Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Mataram yang telah memberikan izin dalam hal
penyusunan skripsi ini.
3. Ibu DR. Rina Rohayu SH., MH selaku pembimbing pertama dan sekaligus
anggota tim penguji I yang telah memberikan kontribusi yang besar baik
beruapa, saran, bimbingan, motivasi dan kemudahan bagi penyusun
sehingga penyusun, dapat menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak DR. Ufran Trisa SH.,MH selaku pembimbing kedua sekaligus
sebagai anggota tim penguji II yang telah meluangkan waktu untuk
memberi masukan, saran dan dorongan positif bagi penyusun, sehingga
penyusun dapat menyelesaikan skripsi ini.
5. Bapak Fahrurozzi SH., MH selaku ketua bagian hukum pidana yang telah
memberikan semangat, pantang menyerah serta saran dan masukannya
kepada penyusun sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi ini.
6. Ibu Anies Primadewi SH., MH selaku ketua program studi yang telah
memberikan kemudahan bagi penyusun dalam proses pengjuan judul
skripsi ini.
x
7. Kedua orang tua yang menjadi alasan penyusun untuk tetap hidup, satu-
satunya alasan mengapa hari ini terus berjuang, yaitu ibu Sri Erna, yang
sudah memberikan cinta yang amat sangat luar biasa, didikan, kasih
sayang serta bapak Adnan Jamal yang senantiasa memberikan motivasi,
dukungan, sikap tanggung jawab, dan kasih sanyang yang luar biasa. Dan
tidak lupa untuk kakak satu-satunya, Ana Rahmatyar yang turut serta
memberikan dukungan kepada penyusun, sehingga penyusun dapat
menyelesaikan skripsi ini.
8. Teman-teman, sahabat, saudara yang mengisi hari-hari penyusun terkhusus
mereka yang hadir dalam setiap perjuangan (Akbar Fanis, Indra, Teguh,
Rahman, Dafa, dan sindi ).
xi
ABSTRAK
TINDAK PIDANA PENCUCIAN SEBAGAI DELIK LANJUTAN
DITINJAU DARI PASAL 3 PASAL 4 PASAL 5 SERTA PASAL 69
UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG
PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA
PENCUCIAN UANG
Oleh : Muhammad Fikrillah
Pembimbing Pertama: Rina Rohayu
Pembimbing Kedua: Ufran Trisa
Pencucian uang atau money laundering secara sederhana diartikan sebagai
suatu proses menjadikan hasil kejahatan (proceed of crimes) atau disebut sebagai
uang kotor (dirty money) misalnya hasil dari obat bius, korupsi, penghindaran
pajak, judi, penyeludupan dan lain-lain, yang dikonversi atau diubah ke dalam
bentuk yang tampak sah agar dapat digunakan secara aman. Indonesia baru
melakukan kriminalisasi terhadap perbuatan pencucian uang pada April 2002,
dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang, yang kemudian direvisi dengan Undang-Undang Nomor
25 Tahun 2003. Setelah itu pada tahun 2010, ketentuan anti pencucian uang
direvisi lagi dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Undang-undang
tindak pidana pencucian uang. tindak pidana pencucian uang mempunyai
karakteristik yang berbeda dengan jenis kejahatan pada umumnya, terutama
bahwa kejahatan ini bukan merupakan kejahatan tunggal tetapi kejahatan ganda
(double crimes). Undang- undang tindak pidana pencucian uang tidak
memberikan definisi yang pasti terkait tindak pidana pencucian uang apakah
sebagai delik lanjutan atau berdiri sendiri, hal ini menimbulaka perdebatan di
kalangan akademisi maupun praktisi hukum terkait tindak pidana pencucian uang
apakah delik berdiri sendiri atau delik lanjutan. Rumusan pasal yang menjadi
dasar perdebatan tersebut adalah Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 serta Pasal 69 tindak
pidana pencucian uang.
Jenis penelitian yang dilakukan adalah peneliti normatif, pendekatan yang
diganakan adalah pendekatan undang-undang dan pendekatan koseptual, bahan
hukum yang digunakan berasal dari literatur-literatur, juranal dan perundang
undangan, tehnik pengumpulan data yaitu menggunakan studi dokumen, analisis
bahan hukum yaitu dengan menggunakan penafsiran.
Simpulan bahwa tindak pidana pencucian uang merupakan tindak bidana lanjutan,
artinya uang yang dicuci oleh pelaku tidak lain dan tidak bukan berasal dari tindak
pidana asal , sehingga tindak pidana pencucian uang tindak mungkin terjadi tanpa
didahului terjadinya tindak pidana asal.
Kata Kunci: Tindak Pidana, Pencucian Uang, Deli Lanjutan
xii
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... ii
LEMBAR DEWAN PENGUJI ..................................................................... iii
LEMBAR PERYATAAN .............................................................................. iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ................................... v
SURAT PERNYATAAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ........................ vi
MOTTO HIDUP ............................................................................................ vii
PRAKATA ...................................................................................................... viii
ABSTRAK ...................................................................................................... xi
ABSTRACT .................................................................................................... xii
DAFTAR ISI ................................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar belakang ................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 9
A. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana ..................................... 9
1. Pengertian Tindak Pidana ............................................................. 9
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana ......................................................... 11
B. Pertanggungjawaban Pidana ......................................................... 12
C. Jenis-Jenis Sanksi Pidana .............................................................. 14
D. Tinjauan Umum Tentang Pencucian Uang .................................. 16
xiv
1.Sejarah Tindak Pidana Pencucian Uang ....................................... 16
2.Tindak Pidana Pencucian Uang .................................................... 19
3. Tindak Pidana Asal ...................................................................... 20
4. Jenis Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang .............................. 22
5. Praktik Pencucian uang di Indonesia ........................................... 24
6. Objek Pencucian Uang ................................................................ 27
7.Tahap-Tahap dan Proses Pencucian Uang.................................... 28
8. Unsur-Unsur Tindak Pidana Pencucian Uang ............................. 30
9. Faktor Pendorong Terjadinya Tindak Pidana Pencucian Uang ... 33
10. Modus Operandi Pencucia Uang ............................................... 35
11. Penyidikan Dan Penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang ... 36
12. Peran Polisi, Jaksa, Dan Para Hakim Dalam Penanggulangan
Tindak pidana Pencucian Uang .................................................. 38
13. Dakwaan Tindak Pidana Pencucian Uang ................................... 42
14. Pembuktian Terbalik dalam Tindak Pidana Pencucian Uang ...... 44
BAB III METODE PENELITIAN…... ........................................................ 46
1. Pendekatan Penelitian ................................................................. 46
2. Jenis Penelitian ............................................................................. 46
3. Metode Pendekatan ...................................................................... 47
4 Sumber dan Jenis Bahan Hukum ............................................... 48
1. Sumber Bahan Hukum .............................................................. 48
2. Jenis Bahan Hukum ................................................................... 48
5. Teknik/Cara Memeperoleh Bahan Hukum ............................... 49
xv
6. Analisis Bahan Hukum ................................................................ 50
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .............................. 51
A. Tindak Pidana Pencucian Uang Merupakan Tindak Pidana
Berdiri Sendiri atau Tindak Pidana Lanjutan Berdasarkan
Dengan Pasal 69 Serta Pasal 3, Pasal 4 Dan Pasal 5 Undang-
Undang Tindak Pidana Pencucian Uang ....................................... 51
1. Tindak Pidana Pencucian Uang Sebagai Delik Berdiri Sendiri .... 52
2. Tindak Pidana Pencucian Uang Sebagai Delik Lanjutan .......... 56
3. Analisis Penyusun terkait tidak pidana pencucian uang sebagai
sendiri atau delik lanjutan ........................................................... 59
B. Impilikasi Hukum Yang Ditimbulkan Dari Pasal 69 Tindak
Pidana Pencucian Uang .............................................................. 63
1. Pertimbangan Tetap Mempertahankan Pasal 69 Tindak
Pidana Pencucian Uang ............................................................ 64
2. Alasan Untuk Menghapus Rumusan Pasal 69 Tindak Pidana
Pencucian Uang ........................................................................ 65
3. Analisis Penyusun Terkait Implikasi Hukum Yang
Ditimbulakan Dari Rumusan Pasal 69 Tindak Pidana
Pencucian Uang ........................................................................ 59
BAB V PENUTUP ......................................................................................... 70
A. Kesimpulan ................................................................................. 70
B. Saran ........................................................................................... 71
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Membahas mengenai tindak pidana pencucian uang tentu tidak mungkin
tanpa memahami filosofis, dan untuk tujuan apa ketentuan anti pencucian
uang itu dilahirkan. Munculnya rezim pencucian uang bukan lahir dari
semangat satu negara saja, tetapi muncul atas prakarsa berbagai negara
melalui lahirnya suatu konvensi internasioanal. Agar kita bisa memahami
terutama untuk kepentingan penegakan hukum, maka penting pula dipahami
sejarah pembentukan lahirnya semangat regulasi anti pencucian uang
tersebut. Pencucian uang atau money laundering secara sederhana diartikan
sebagai suatu proses menjadikan hasil kejahatan (proceed of crimes) atau
disebut sebagai uang kotor (dirty money) misalnya hasil dari obat bius,
korupsi, penghindaran pajak, judi, penyeludupan dan lain-lain, yang
dikonversi atau diubah ke dalam bentuk yang tampak sah agar dapat
digunakan secara aman.1
Terdapat berbagai rumusan tindak pidana pencucian uang, selain itu
dinyatakan bahwa tidak ada definisi tindak pidana pencucian uang secara
universal, artinya setiap negara boleh mendefinisikan sendiri sesuai dengan
kondisi negaranya, terutama dalam menentukann jenis kejahatan asalnya.2.
1 Yenti Garnasih, Penegakan Hukum Anti Pencucian Uang, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2016, hal. 1. 2 Ibid, hal. 2.
2
Indonesia baru melakukan kriminalisasi terhadap perbuatan pencucian uang
pada April 2002, dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang kemudian direvisi
dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003. Setelah itu pada tahun 2010,
ketentuan anti pencucian uang direvisi lagi dengan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2010.
Pola yang dilakukan para penjahat dalam menikmati, menyamarkan, atau
menyembunyikan hasil kejahatan bermacam-macam. Dilihat dari sudut teori
sampai saat ini, terdapat dua cara pencucian uang yaitu cara moderen dan cara
tradisional. Walaupun dikatakan bahwa tidak ada dua sistem pencucian uang
yang sama, namun pada umumnya proses pencucian uang modern terdiri dari
tiga tahap, yaitu placement, layering dan integration. Ketiga langkah itu dapat
terjadi dalam waktu bersamaan. Langkah-langkah tersebut dimaksudkan
untuk menempatkan dana illegal ke dalam sistem keuangan, dengan tujuan
agar tidak mengundang kecurigaan dari pihak yang berwenang.3
Seperti disampaikan di atas bahwa tindak pidana pencucian uang
mempunyai karakteristik yang berbeda dengan jenis kejahatan pada
umumnya, terutama bahwa kejahatan ini bukan merupakan kejahatan tunggal
tetapi kejahatan ganda (double crimes).4 Hal ini dapat dilihat dari ketentuan
Pasal 2 UU TPPU yang menyebutkan 25 jenis kejahatan dan juga seluruh
kejahatan yang diancam pidana 4 tahun ke atas. Dari sudut teori, 25 kejahatan
3 Ibid, hal. 4.
4 Ibid, hal. 5.
3
tersebut dikenal dengan istilah predicate crime atau kejahatan asal, maka dari
itu tidak mungkin ada tindak pidana pencucian uang kalau tidak didahului
terjadinya tindak pidana asal, sehingga ada sebagian yang beranggapan
bahwa tindak pidana pencucian uang merupakan delik berdiri sendiri, tetapi
ada pula sebagian yang branggapan bahwa tindak pidana pencucian uang
merupakan delik lanjutan.
Kongkritisasi dari pemaknaan bahwa tindak pidana pencucian uang
merupakan sebuah independent crime dapat dipahami dari Pasal 69 dan Pasal
3, Pasal 4 dan Pasal 5 UU TPPU. Ketentuan Pasal 69 UU TPPU yang tidak
mewajibkan aparatur penegak untuk membuktikan terlebih dahulu tindak
pidana asal dalam menyelidik, menyidik, menuntut, serta memeriksa perkara
tindak pidana pencucian uang di persidangan. Hal inilah yang menunjukkan
keberadaan Independent Crime dari perspektif pembuktian delik, ketentuan
ini juga sering dijadikan dasar untuk menyatakan bahwa dalam keadaan
tertentu, terhadap pembuktian tindak pidana pencucian uang tidak perlu
menunggu inkrach nya tindak pidana asal, bahkan dapat juga tanpa adanya
pembuktian tindak pidana asal terlebih dahulu.5
Banyak ahli hukum pidana yang berpendapat bahwa Pasal 69 tersebut
bertujuan agar mencegah pelaku untuk secara cepat mengalihkan harta yang
berasal dari tindak pidana tersebut. Jika terlebih dahulu harus membuktikan
tindak pidana asalnya, dianggap akan memakan waktu yang lama sehingga
5 Afdal Yanuar, Diskursus Antara Kedudukan Delik Pencucian Uang, Jurnal Konstitusi,Volume
16, No 4, Priode 2 Desember 2019, hal. 724-729.
4
berpotensi harta tersebut sudah dialihkan atau disembunyikan. Oleh karena
itu Pasal 69 tersebut, dibutuhkan untuk mencegahnya terjadinya hal tersebut.
Hal tersebut, senada dengan apa yang dikemukakan oleh Marjono
Reksodiputro sebagai berikut:
Ditetapkannya Pasal 69 untuk penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
di sidang pengadilan tidak wajib membuktikan tindak pidana asal.
Penjelasan Pasal ini sebaiknya merujuk kepada Pasal 480 KUHP dan
yaitu tentang penadahan. Intinya bertujuan mencegah seseorang
menarik keuntungan dari tindak pidana orang lain. Oleh karena itu
maka tindak pidana penadahan dapat dituntut di pengadilan tanpa harus
dibuktikan bahwa barang tersebut adalah barang curian, asal saja bahwa
orang tersebut mengetahui atau patut diduga bahwa barang tersebut
diperoleh dari kejahatan.6
Selain Pasal 69, rumusan delik yang memperkuat kedudukan tindak
pidana pencucian uang sebagai tindak pidana berdiri sendiri adalah Pasal 3,
Pasal 4 dan Pasal 5 UU TPPU yang selalu menggunakan frasa “diketahui atau
patut diduga” uang tersebut berasal dari kejahatan. Pantja Astawa berpendapat
terkait frasa “mengetahui atau patut diduga” sebagai berikut:
Frasa “diketahui atau patut diduga” menunjukan kedudukan tindak
pidana asal tidak harus benar-benar ada, cukup patut diduga saja bahwa
sebelumnya telah terjadi tindak pidana asal yang menghasilkan harta
kekayaan yang kemudian dicuci, tindak pidana asal (predicate crime)
tidak benar-benar harus menjadi sebab terjadinya tindak pidana
pencucian uang, maksudnya predicate crime itu boleh ada boleh juga
tidak ada, cukup patut diduga saja keberadaannya, jadi kedudukan
predicate crime dalam tindak pidana pencucian uang bukan merupakan
syarat mutlak. Dengan demikian tindak pidana asal predicate crime
kedudukannya tidak urgent karena ia boleh ada boleh juga tidak, cukup
patut diduga saja bahwa harta tersebut didapatkan dari tindak pidana.7
6 Risalah sidang, Rancangan Undang-Undang Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang dengan Pakar, hal. 12. 7 Risalah Sidang, Perkara Nomor 77/PUU-XII/2014 Prihal Pengujian Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Terhadap
Undang-Undang Dasar 1945, hal. 39.
5
Bagi para ahli yang berpendapat tindak pidana pencucian uang sebagai
tindak pidana lanjutan, karena tindak pidana pencucian uang dapat terjadi
setelah adanya kejahatan asal (predicate crime). Hal ini, diakui pula oleh
Mahkamah Konstitusi dalam putusan Mahamah Konstitusi No 90/PUU-
XIII/2015 yang mengatakan bahwa „‟tindak pidana pencucian uang adalah
tindak pidana lanjutan (follow up crime) yang merupakan kelanjutan dari
tindak pidana asal, sebagai upaya untuk menyembunyikan atau
menghilangkan jejak sehingga tidak dapat diketahui bahwa harta kekayaan
tersebut berasal dari tindak pidana. Sedangkan tindak pidana asal (predicate
crime) merupakan tindak pidana yang menghasilkan uang/harta kekayaan
yang kemudian dilakukan proses pencucian. Jadi, tidaklah mungkin ada
tindak pidana pencucian uang tanpa adanya tindak pidana asalnya terlebih
dahulu.”
Bertolak dari putusan Mahkamah Konstitusi di atas, Pasal 69 yang
membolehkan aparatur menyelidik, menyidik dan memeriksa perkara tindak
pidana pencucian uang tanpa membuktikan tindak pidana asal, tidak sesuai
dengan kedudukan tindak pidana pencucian uang sebagai lanjutan dari tindak
pidana asal.8 Yenti Garnasih salah satu ahli yang keberatan terhadap Pasal 69
UU TPPU. Yenti Garnasih mengatakan Seharusnya tindak pidana pencucian
uang dan tindak pidana asal harus dibuktikan secara bersama-sama di
pengadilan. Jika tindak pidana asal tidak dibuktikan, dakwaaan satunya apa
kalau dakwaan duanya pencuciaan uang, karena pencucian uang harus berada
8 Afdal Yanuar, Diskursus Antara Kedudukan Delik Pencucian Uang,Op, Cit, hal. 730.
6
dalam dakwaan dua, karena tidak mungkin ada pencucian uang kalau tidak
ada kejahatan asalnya, jika seseorang didakwa pencucian uang dari hasil
tindak pidana, hasil tindak pidana apa kalau tidak dibuktikan kejahatan
asalnya, jadi tidak bisa serta merta begitu saja seseorang diduga melakukan
kejahatan sementara kejahatan asalnya tidak dibuktikan.9 Sedangkan terkait
rumusan Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 yang dianggap merupakan rumusan
pasal yang menandakan tindak pidana pencucian uang sebagai delik lanjutan,
Eddy Hiariej berpendapat sebagai berikut:
Tindak pidana pencucian uang bukan merupakan tindak pidana yang
mandiri dan juga bukan delik yang independent, tetapi TPPU adalah delik
lanjutan karena ketentuan Pasal 3, 4 dan 5 UU TPPU selalu di-juncto
dengan Pasal 2 mengenai tindak pidana asalnya (predicate crime), itu
menandakan tindak pidana pencucian uang bukan merupakan tindak
pidana berdiri sendiri. Sedangkan mengenai rumusan “ mengetahui atau
patut diduga” tersebut bukan berarti menandakan tindak pidana pencucian
uang berdiri sendiri tetapi berdasarkan tafsir resmi dari memorie van
toelichting frasa “mengetahui atau patut diduga” atau proparte dolus
proparte culpa yang berarti sebagian kesengajaan dan sebagian kealpaan,
bertujuan untuk memudahkan Jaksa Penuntut Umum untuk membuktikan
dakwaannya, artinya jangankan kesengajaan, kealpaan pun bisa menjadi
dasar untuk menjerat pelaku dengan rumusan pasal tersebut.10
9 Risalah sidang, Rancangan Undang-Undang Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang, hal.13. 10
Risalah Sidang, Perkara Nomor 77/PUU-XII/2014 Prihal Pengujian Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Terhadap
Undang-Undang Dasar 1945, hal. 49.
7
Bertolak dari berbagai perbedaan pendapat di atas serta masih ambigunya
ketentuan peraturan perundang-undangan tindak pidana pencucian uang, terkait
tindak pidana pencucian uang sebagai delik lanjutan atau delik berdiri sendiri,
maka dari itu penyusun mengangkat masalah tersebut sebagai bahan penulisan
hukum yang berjudul “Tindak Pidana Pencucian Uang Sebagai Delik Lanjutan
Ditinjau Dari Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 Serta Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang.”
B. Rumusan Masalah
1) Apakah tindak pidana pencucian uang merupakan tindak pidana berdiri
sendiri atau tindak pidana lanjutan jika dikaitkan dengan Pasal 69, serta
Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 UU TPPU ?
2) Apa implikasi hukum yang ditimbulkan dari Pasal 69 UU TPPU?
C. Tujuan dan manfaat penelitian
1. Tujuan penelitian
a. Untuk mengetahui bagaimana konsep tindak pidana pencucian uang,
apakah merupakan tindak pidana berdiri sendiri atau tindak pidana
lanjutan berdasarkan Pasal 69 serta Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 UU
TPPU.
b. Untuk mengetahui bagaimana implikasi hukum yang ditimbulkan dari
Pasal 69 UU TPPU.
8
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Akademis
Secara akademis merupakan persyaratan untuk mencapai S1 pada
program studi ilmu hukum Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Mataram.
b. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam pengembangan
hukum pidana khususnya penerapan pidana, bagi tindak pidana
pencucian uang.
c. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam pengambilan kebijakan
pemerintah atau aparatur penegak hukum, dalam mengambil keputusan
berkaitan dengan penerapan pidana terhadap tindak pidana pencucian
uang.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana dipakai sebagai terjemahan dari istilah strafbaar
feit tetapi di dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku
di Indonesia dikenal dengan istilah yang tidak seragam dalam
menerjemahkan strafbaar feit, adapun beberapa istilah yang
dipergunakan dalam bahasa Indonesia diantaranya sebagai berikut.11
Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu
pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan
kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana.
Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-
peristiwa yang konkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak
pidana haruslah diberi arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan
jelas, untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari
dalam kehidupan masyarakat.
Para pakar hukum pidana menggunakan istilah tindak pidana,
perbuatan pidana atau peristiwa pidana dengan istilah :
11
Tolip Setiady, Pokok-Pokok Penitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung, 2020, hal. 7.
10
1. Strafbaar feit adalah peristiwa pidana.
2. Strafbare handlung diterjemahkan dengan perbuatan pidana, yang
digunakan oleh para sarjana hukum pidana Jerman.
3. Criminal act diterjemahkan dengan istilah perbuatan kriminal.
Delik yang dalam bahasa Belanda disebut Strafbaar feit, terdiri atas 3 kata
yaitu Straf, baar dan feit, yang masing-masing memiliki arti :
1. Straf diartikan sebagai pidana dan hukum.
2. Baar diartikan sebagai tepat dan boleh.
3. Feit diartikan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan.
Jadi istilah Strafbaar feit adalah peristiwa yang dapat dipidana atau
perbuatan yang dapat dipidana. Sedangkan delik dalam bahasa asing disebut
delict yang artinya suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan
hukuman atau pidana. Andi Hamzah dalam bukunya asas-asas hukum pidana
memberikan definisi mengenai delik yaitu suatu tindakan perbuatan yang
terlarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang pidana.
Moeljatno mengartikan Strafbaar feit sebagai berikut, Strafbaar feit itu
sebenarnya adalah kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan
perundang-undangan.
Jonkers merumuskan bahwa:
Strafbaar feit sebagai peristiwa pidana yang diartikan sebagai suatu
melawan hukum (wederrechtelijk) yang berhubungan dengan
kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat
dipertanggungjawabkan.
11
Pompe berpendapat bahwa:
Sebagai suatu pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum
yang dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja telah dilakukan oleh
seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut
adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum.12
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Dalam suatu peraturan perundang-undangan pidana selalu mengatur
tentang tindak pidana, untuk mengetahui adanya tindak pidana maka pada
umumnya dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan pidana tentang
perbuatan-perbuatan yang dilarang dan disertai dengan sanksi. Dalam
rumusan tersebut ditentukan beberapa unsur atau syarat yang menjadi ciri
atau sifat khas dari larangan tadi sehingga dengan jelas dapat dibedakan dari
perbuatan lain yang tidak dilarang. Perbuatan pidana menunjuk kepada sifat
perbuatannya saja yaitu dapat dilarang dengan ancaman pidana kalau
dilanggar.
Menurut Simons unsur-unsur tindak pidana adalah
a) Perbuatan manusia positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat.
b) Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld).
c) Melawan hukum (onrechtmatig).
d) Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband stand) oleh orang
yang mampu bertanggungjawab.
12
Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana Memahami Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban
Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan, Rangkang Education,Yogyakarta, 2012, hal. 18-22.
12
Simons juga menyebutkan adanya unsur objektif dan unsur subjektif dari
tindak pidana (strafbaar feit) sebagi berikut:
Unsur-unsur objektif meliputi:13
a) Perbuatan Orang.
b) Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu.
c) Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti
dalam Pasal 281 KUHP sifat openbaar atau di muka umum.
Unsur- unsur subjektif meliputi:
a) Orang yang mampu bertanggung jawab.
b) Adanya kesalahan (dolus atau culpa).
c) Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan, kesalahan ini dapat
berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan
mana perbuatan itu dilakukan.
Sementara menurut Moeljatno unsur-unsur perbuatan pidana:
a) Perbuatan manusia .
b) Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang.
c) Bersifat melawan hukum.
B. Pertanggungjawaban Pidana
Pada bagian terdahulu telah dijelaskan bahwa pengertian perbuatan
pidana tidak termasuk pengertian pertanggungjawaban pidana perbuatan
pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan
suatu ancaman pidana. Apakah orang yang melakukan perbuatan kemudian
dijatuhi pidana, tergantung kepada apakah dalam melakukan perbuatan itu
orang tersebut memiliki kesalahan.14
Pertanggungjawaban pidana mau tidak
mau harus didahului dengan penjelasan tentang perbuatan pidana, sebab
13
Ibid, hal. 38-40. 14
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Kedelapan, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hal.
165.
13
seseorang tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana tanpa terlebih
dahulu ia melakukan perbuatan pidana. Dirasakan tidak adil jika tiba-tiba
seseorang harus bertanggung jawab atas suatu tindakan sedang ia sendiri
tidak melakukan tindakan tersebut.15
Konsep pertanggungjawaban itu merupakan konsep sentral yang dikenal
dengan ajaran kesalahan dalam bahasa latin ajaran kesalahan dikenal dengan
sebutan mens rea. Doktrin mens rea dilandaskan pada suatu perbuatan tidak
mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat.
Dalam bahasa Inggris doktrin tersebut dirumuskan dengan an act does not
make a person guilty, unless the mind is legally blameworthy. Berdasarkan
asas tersebut ada dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat memidana
sesesorang, yaitu ada perbutan lahiriah yang terlarang/perbutan pidana
(actus reus), dan sikap batin jahat /tercela (mens rea). 16
Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan
objektif yang ada pada perbuatan pidana, dan secara subjektif yang
memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatan itu. Dasar adanya
perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidana
membuat adalah asas kesalahan. Ini berarti pembuat perbuatan pidana hanya
akan dipidana, jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan perbuatan
pidana tersebut, kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan yang
15
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara Baru, Jakarta,
2008, hal. 20-23. 16
Hanafi, Reformasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana, Jurnal Hukum, Vol.6 No. 11 Tahun
1999, hal. 27.
14
menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana. Oleh karena itu,
pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap
tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya yang dipertanggungjawabkan
orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya, terjadinya
pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan
oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan
suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi
terhadap pelanggaran atas kesepakatan menolak suatu perbuatan tertentu.17
Adapun unsur-unsur Pertanggungjawaban pidana menurut Van Hamel
meliputi18
1. Pelaku menyadari perbuatan dan akibat.
2. Pelaku betul-betul memahami bahwasanya perbuatan tersebut
melanggar ketertiban umum.
3. Pelaku melakukan suatu perbuatan tersebut dalam kebebasan
berkehendak.
C. Jenis-Jenis Sanksi Pidana
Dalam sistem hukum pidana ada dua jenis sanksi yang keduanya
mempunyai kedudukan yang sama, yaitu sanksi pidana dan sanksi tindakan.
Kedua sanksi tersebut berbeda baik dari ide dasar, landasan filosofis yang
melatarbelakanginya. Sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling
banyak digunakan dalam menjatuhkan hukuman terhadap seseorang yang
dinyatakan bersalah melakukan perbuatan pidana.19
Sanksi diartikan sebagai
17
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Cetakan Kedua, Kencana, Jakarta, 2006, hal. 68. 18
Eddy O.S. Hiariej, Prinsip Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2014,
hal. 163. 19
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, hal. 193.
15
tanggungan, tindakan, hukuman untuk memaksa orang menepati perjanjian
atau menaati ketentuan undang-undang. Sanksi juga berarti bagian dari aturan
hukum yang dirancang secara khusus untuk memberikan pengamanan bagi
penegakan hukum dengan mengenakan sebuah ganjaran atau hukuman bagi
seseorang yang melanggar aturan hukum itu, atau memberikan suatu hadiah
bagi yang mematuhinya. Jadi, sanksi itu sendiri tidak selalu berkonotasi
negatif. Sedangkan tindakan diartikan sebagai pemberian suatu hukuman
yang sifatnya tidak menderitakan, tetapi mendidik dan mengayomi. Tindakan
ini dimaksudkan untuk mengamankan masyarakat dan memperbaiki
pembuat.20
Jenis –Jenis pidana tercantum di dalam Pasal 10 KUHP.
1. Pidana pokok meliputi:21
a) Pidana Mati
Pidana mati adalah salah satu jenis pidana yang paling tua, setua umat
manusia. Pidana mati juga merupakan bentuk pidana yang paling
menarik dikaji oleh para ahli karena memiliki nilai kontradiksi atau
pertentangan yang tinggi antara yang setuju dan tidak setuju. Kalau di
negara lain satu persatu menghapus pidana mati,maka sebaliknya yang
terjadi di Indonesia, semakin banyak delik yang diancam pidana mati.
b) Pidana Penjara
Pidana penjara adalah berupa pembatasan kebebasan bergerak dari
seseorang terpidana yang dilakukan dengan menempatkan orang
tersebut di Lembaga Pemasyarakatan yang menyebabkan orang tersebut
harus menaati semua peraturan tata tertib bagi mereka yang telah
melanggar. Pidana penjara dalam KUHP bervariasi dari pidana penjara
1 hari samapai pidana penjara seumur hidup.
c) Pidana Kurungan
Pidana kurungan pada dasarnya mempunyai dua tujuan, pertama,
sebagai costudia hunesta untuk delik yang tidak menyangkut kejahatan
kesusilaan, yaitu beberapa delik culpa dan beberapa delik dolus seperti
Pasal 182 KUHP tentang perkelahian satu lawan satu dan Pasal 396
KUHP tentang pailit sederhana, pidana kurungan hakikatnya lebih
20
Ibid, hal. 202. 21
Ibid, hal. 195-198.
16
ringan dari pidana penjara dalam hal penentuan masa hukuman kepada
seseorang.
d) Pidana Denda
Pidana denda adalah jenis pidana yang dikenal secara luas di dunia, dan
bahkan di Indonesia. Pidana ini diketahui sejak zaman Majapahit
dikenal sebagai pidana ganti kerugian. Menurut Andi Hamzah, pidana
denda merupakan bentuk pidana tertua, lebih tua dari pidana penjara,
mungkin setua pidana mati.
e) Pidana Tutupan
Andi Hamzah menyatakan bahwa pidana tutupan disediakan bagi para
politisi yang melakukan kejahatan yang disebabkan ideologi yang
dianutnya. Namun demikian, dalam praktik peradilan dewasa ini tidak
pernah ketentuan pidana tutupan diterapkan.
D. Tinjauan Umum Tentang Pencucian Uang
1. Sejarah Tindak Pidana Pencucian Uang
Pada tahun 1920-an para mafia di Amerika Serikat mengakuisisi atau
memberi, usaha Laundromats (mesin pencuci otomatis) dengan uang
dalam jumlah besar. Uang yang digunakan untuk pembelian tersebut
berasal dari hasil kegiatan pemerasan, prostitusi, perjudia, serta penjualan
minuman beralkohol serta perdagangan narkotika. Selanjutnya, usaha
Laundromats dimanfaatkan untuk menyamarkan hasil kejahatannya
dengan memasukkan uang hasil kejahatan dimaksud ke dalam usaha
Laundromats. Istilah tersebut pun masih menjadi perdebatan istilah
pencucian uang (money laundering) dikenal demikian, karena dengan jelas
melibatkan tindakan penempatan uang haram atau tidak sah melalui suatu
rangkaian transaksi atau dicuci, sehingga uang tersebut keluar menjadi
seolah-olah uang sah atau bersih.22
22
Badan Diklat Kejaksaan RI, Modul Tindak Pidana Pencucian Uang, 2019, hal. 4..
17
Fokus dunia barat yang cukup besar terhadap praktik pencucian uang
sebagai suatu tindak kejahatan, pada awalnya muncul akibat maraknya
kejahatan perdagangan gelap obat bius (drug trafficking). Kejahatan tersebut
selain memiliki dampak negatif akibat penyalahgunaan obat bius di
kalangan masyarakat, tetapi juga berimplikasi secara luas terhadap
perekonomian karena melibatkan dana yang sangat besar. Lebih lanjut
penggunaan dana dari hasil kejahatan yang sedemikian besar tersebut, dapat
mengkontaminasi dan menimbulkan distorsi di segala aspek baik
pemerintahan, ekonomi, politik dan sosial. Peredaran obat terlarang di
beberapa negara dan wilayah perbatasan internasional, telah memberikan
kontribusi yang besar terhadap internasionalisasi kejahatan. Selain
menggunakan pendekatan konvensional dengan pengejaran pelaku
kejahatan, begitu besarnya hasil kejahatan perdagangan obat-obatan
terlarang, sehingga memberikan perhatian serius untuk mengejar dan
merampas harta hasil kejahatan, agar pelaku tidak dapat menikmati uang
haram hasil penjualan obat-obat terlarang tersebut. 23
Perhatian negara-negara di dunia terhadap kejahatan perdagangan gelap
obat bius tersebut, kemudian melahirkan United Nations Convention
Against Illicit Traffic in Narcotic Drug and Psychotropic Substance, pada
tahun 1988, yang dikenal dengan Vienna Convention atau Konvensi Wina.
Konvensi United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic
Drug and Psychotropic Substance merupakan titik puncak keprihatinan
23
Ibid, hal.4.
18
masyarakat atas kejahatan perdagangan gelap obat bius, yang sekaligus
menjadi tonggak sejarah dalam menetapkan rezim hukum internasional anti
pencucian uang, untuk memerangi hasil kejahatan (proceeds of crime).
Metode baru untuk memerangi kejahatan ini dapat dimengerti, mengingat
objek yang diperangi adalan organized crime yang memiliki struktur
organisasi yang solid dengan pembagian wewenang yang jelas, sumber
pendanaan yang sangat kuat, dan memiliki jaringan kerja yang melintasi
batas negara. Namun demikian, konvensi ini masih terbatas pada peredaran
narkoba dan bahan-bahan psikotropika sebagai tindak pidana asal (predicate
crimes) sementara itu, money laundering merupakan proses yang
melibatkan proceeds of crime dari beberapa predicate offences yang lebih
kompleks seperti korupsi, penyelundupan, perdagangan manusia, tindak
pidana di bidang perpajakan, tindak pidana perbankan, dan tindak pidana
yang digolongkan sebagai tindak pidana berat (serious offences). Atas dasar
itulah nampaknya Vienna Convention 1988 belum cukup menjadi dasar
hukum yang komprehensif, untuk mengatasi kejahatan money laundering
yang berdimensi luas.24
Upaya merespon kebutuhan dalam memerangi pencucian uang, pada
tahun 2000 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan The
International Convention Againts Transnational Organized Crimes, yang
dikenal dengan Palermo Convention, yang memberikan pengaturan standar
dalam upaya mencegah dan memberantas pencucian uang. Konvensi ini
24
Ibid, hal. 5.
19
memperluas predicate crimes tindak pidana pencucian uang meliputi
seluruh tindak pidana berat (serious crime), yang diartikan dengan tindak
pidana yang diancam dengan hukuman minimal empat tahun. 25
2. Tindak Pidana Pencucian Uang
Pencucian uang adalah suatu peroses atau perbuatan yang bertujuan untuk
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang atau harta kekayaan yang
diperoleh dari hasil tindak pidana, yang kemudian diubah menjadi harta
kekayaan yang seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah. Istilah pencucian
uang berasal dari bahasa Inggris, yakni money laundering. Istilah money
laudering memang tidak ada definisi yang universal karena baik negara-negara
maju maupun negara- negara dari dunia ketiga, masing-masing mempunyai
definisi sendiri berdasarkan prioritas dan prespektif yang berbeda. Namun para
ahli hukum di Indonesia telah sepakat mengartikan money laundering dengan
pencucian uang.26
Definisi tindak pidana pencucian uang dalam rumusan peraturan-peraturan
di berbagai negara tidak sama persis, tetapi ada prinsip tertentu yang selalu
sama, yaitu bahwa tindakpidana pencucian uang adalah suatu perbutan terkait
dengan menikmati atau mempergunakan hasil kejahatan (who ever enjoy his
fruit of crime). Jadi yang paling penting adalah, ada hasil kejahatan dan ada
perbuatan yang menikmati atau menggunakan hasil kejahatan tersebut (money
25
Ibid, hal.5. 26
Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hal. 12-13.
20
laundering offence).27
Perlu juga ditekankan di sini bahwa hasil kejahatan tidak
harus uang, yang namanya hasil kejahatan bisa berbentuk apa saja, sepanjang
ada nilai ekonomis dan oleh karenanya dalam peraturan perundangan dikatakan
sebagai harta kekayaan bukan sekedar uang. Dalam tindak pidana pencucian
uang terdiri dari kejahatan asal (predicate crime), yang kemudian hasil dari
kejahatan asal itu dilakukan perbuatan apapun, seperti ditransfer, dibelanjakan,
dihadiahkan atau ditukarkan. Secara yuridis definisi pencucian uang dalam UU
TPPU adalah suatu perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana
dalam undang-undang ini.28
3. Tindak Pidana Asal
Tindak pidana pencucian uang memiliki karakteristik yang berbeda dengan
kejahatan pada umumnya, hal ini dapat dilihat dari proses terjadinya tindak
pidana pencucian uang, yang didahului dengan terjadinya tindak pidana asal.
Tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana asal sangat memiliki
hubungan yang erat antara satu dengan yang lainnya, karena tindak pidana
pencucian uang tidak mungkin terwujud tanpa adanya tindak pidana asal.
Tindak pidana asal adalah tindak pidana yang secara tegas disebutkan dalam
Pasal 2 ayat (1) UU TPPU meliputi:
a. Korupsi.
b. Penyuapan.
c. Narkotika.
d. Psikotropika.
e. Penyelundupan tenaga kerja.
27
Yenti Garnasih, Penegakan Hukum Anti Pencucian, Op.Cit, hal. 16. 28
Ibid.
21
f. Penyelundupan migran.
g. Di bidang perbankan.
h. Di bidang pasar modal.
i. Di bidang perasuransian.
j. Kepabeanan.
k. Cukai.
l. Perdagangan orang.
m. Perdagangan senjata gelap.
n. Terorisme.
o. Penculikan.
p. Pencurian.
q. Penggelapan.
r. Penipuan.
s. Pemalsuan uang.
t. Perjudian.
u. Prostitusi.
v. Di bidang perpajakan.
w. Di bidang kehutanan.
x. Di bidang kelautan dan perikanan.
y. Tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat)
tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia atau diluar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana
menurut hukum Indonesia
Tindak pidana asal sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
adalah syarat atau sebab terjadinya tindak pidana pencucian uang, artinya uang
yang diperoleh dari tindak pidana asal itulah yang kemudian akan dilakukan
proses pencucian, baik dengan mentransfer, membelanjakan, membawa keluar
negeri dll. Kedudukan tindak pidana asal sangatlah penting dalam proses
terwujudnya tindak pidana pencucian uang, maka sudah sepatutnya dalam
melakukan proses penyidikan perkara TPPU, penyidik dapat sekaligus
menyidik TPPU dan tindak pidana asal secara bersamaan, hal ini didasari
rumusan Pasal 75 UU TPPU yang membolehkan penyidik dalam melakukan
penyidikan TPPU, dapat dilakukan secara bersamaaan dengan tindak pidana
asal. Hal ini bertujuan untuk memudahkan penyidik dalam mengidentifikasi
22
harta kekayaan yang dicuci tersebut, apakah diperoleh dari kejahatan asal atau
tidak, karena tidak semua harta kekayaan yang diperoleh dari kejahatan,
kemudian dilakukan prosese pencucian oleh pelaku, dapat dijerat dengan UU
TPPU. Pelaku yang dapat dijerat dengan UU TPPU hanyalah pelaku yang
melakukan pencucian harta yang diperoleh dari 25 kejahatan asal sebagaimana
yang diamksud dalam Pasal 2 ayat (1), serta kejahatan lain yang diancam 4
tahun ke atas. Jadi manakala harta tersebut, bukan diperoleh dari 25 kejahatan
sebagaiman dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), dan kejahatan yang ancamanya
dibawah 4 tahun, maka pelaku tidak bisa dijerat dengan UU TPPU.
4. Jenis Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang
Tindak pidana pencucian uang adalah kejahatan ganda yang berarti bahwa
dalam tindak pidana pencucian uang terdiri dari predicate offence (kejahtan
asal), dan pencucian uang itu sendiri yang justru menempati kedudukan
sebagai kejahatan lanjutan (follow up crime), maka, dalam tindak pidana ini
juga dibagi dalam dua tipe pelaku, yaitu pelaku aktif dan pasif. Pelaku aktif
adalah pelaku yang melakukan perbuatan secara aktif mengalirkan hasil
kejahatan, sedangkan pelaku pasif yang mana mereka yang menerima hasil
kejahatan. Pelaku aktif adalah barangsiapa yang mengalirkan hasil kejahatan
seperti orang yang mentransfer, membelanjakan, mengirimkan, mengubah
bentuk, menukarkan atau perbuatan apapun atas harta kekayaan yang berasal
dari kejahatan, dan orang tersebut tahu atau paling tidak patut menduga bahwa
23
harta kekayaan tersebut berasal dari kejahatan, hal ini sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4.29
Berkaitan dengan tipe pelaku aktif terbagi dalam dua kriteria, yaitu pertama
yang dikenal dengan istilah principle violater (pelaku utama). Principle
violater adalah pelaku yang mana dia melakukan kejahatan asal dan juga dia
mengalirkan dana hasil kejahatan baik dengan cara transfer, membelanjakan
atau perbuatan apapun. Untuk pelaku aktif principle violater inilah bentuk
pelaku pencucian uang yang sesungguhnya, yaitu akan dikenakan dua
ketentuan undang-undang, yaitu dia melakukan kejahatan asal (predicate
offence) dan pencucian uang (follow up crime). Bagi principle violater harus
dikenakan dakwaan yang disusun secara kumulatif, atau sebagai pelaku
concrusus (perbarengan tindak pidana) 30
Pelaku aktif yang kedua dikenal dengan istilah aider, yaitu perbuatan aktif
seperti mentransfer, membelanjakan dan sebagainya, tetapi pelaku ini hanya
dikenakan tindak pidana pencucian uang saja, karena memang mereka tidak
terlibat kejahatan asalnya, tetapi mereka tahu atau paling tidak patut menduga
harta kekayaan yang dialirkan tersebut berasal dari kejahatan. Pelaku aider ini
hanya dikenakan satu tuntututan yaitu ketentuan Pasal 3 atau Pasal 4 dan tidak
dikenai ketentuan kejahatan asalnya.31
29
Ibid, hal. 35. 30
Ibid. 31
Ibid.
24
Tipe pelaku kejahatan tindak pidana pencucian uang yang kedua adalah
pelaku pasif. Dari kontruksi perbuatan tindak pidana pencucian uang, yang
pada intinya adalah melarang dan memberikan pidana bagi barangsiapa yang
melanggar larangan tentang menikmati hasil kejahatan, tipe pelaku pasif ini
dikenal dengan istilah abettor, yaitu pelaku yang menerima pentransferan,
menerima pembayaran, menerima hadiah dan lain-lain, yang mana dia tahu
atau seharusnya patut menduga bahwa harta yang diterima berasal dari
kejahatan. Perbuatan pelaku pasif ini diatur dalam Pasal 5, dan bagi pelaku
pasif ini juga hanya dikenai satu ancaman kejahatan saja, yaitu ketentuan
tindak pidana pencucian uang tanpa kejahatan asal, karena memang pelaku ini
tidak terlibat kejahatan asal, tetapi yang bersangkutan tahu atau setidaknya
patut menduga bahwa harta kekayaan tersebut berasal dari kejahatan.32
5. Praktik Pencucian Uang di Indonesia
Tren kejahatan pencucian uang, saat ini terkait adanya korelasi yang sangat
kuat antara berbagai bentuk kejahatan terutama kejahatan transnasional, dan
kejahatan bermotif ekonomi dengan harta kekayaan hasil kejahatan yang
seharusnya diselesaikan secara simultan dalam proses penegakan hukum.
Seiring meningkatnya gelombang globalisasi, jumlah dan modus kejahatan
bidang ekonomi semakin meningkat pula. Pada tahun 2012, angkanya
32
Ibid, hal.36.
25
sebanyak 923 perkara, namun meningkat 229,79% di tahun 2013 menjadi 2.
121 perkara.33
Praktik pencucian uang sebagian besar mengandalkan sarana lembaga
keuangan, terutama perbankan dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank.34
Sistem kerahasiaan bank dan lemahnya perangkat hukum di Indonesia juga
merupakan sarana yang dimanfaatkan oleh para pelaku pencucian uang.
Adanya pengaturan kerahasiaan ini membuat mereka merasa aman untuk
menyimpan uang hasil kejahatannya tanpa harus takut dilacak oleh pihak yang
berwenang. Selain itu kondisi yang membuat negara ini menjadi “surga”
kegiatan pencucian uang, adalah karena Indonesia masih membutuhkan
likuiditas, sehingga dunia perbankan Indonesia masih memandang pentingnya
dana-dana asing untuk masuk dan diinvestasikan di Indonesia. Sementara ada
pihak-pihak asing tertentu yang hanya setuju untuk melakukan investasi di
Indonesia jika dijamin tidak diusut asasl-usul dananya.35
Tindak pidana pencucian uang disamping sangat merugikan masyarakat,
juga sangat merugikan negara karena dapat memengaruhi atau merusak
stabilitas perekonomian nasional atau keuangan negara dengan meningkatnya
berbagai kejahatan. Dampak dari pencucian uang adalah sebagai berikut:36
1. Merongrong sektor swasta yang sah (undermining the legitimate
private sectors)
2. Mengakibatkan rusaknya reputasi negara (reputation risk).
33
Agung Setya, Prespektif Penegakan Hukum Pencucian Uang Yang Memberi Harapan dan Rasa
Keadilan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 11 34
Ibid, hal. 15. 35
Ibid, hal.12. 36
Ibid, hal.12-13.
26
3. Mengurangi pendapatan negara dari sumber pembayaran pajak (loss
revenue).
4. Merongrong integritas pasar keuangan (undermining the integrity of
finacial markets).
5. Membahayakan upaya privatisasi perusahaan negara yang dilakukan
oleh pemerintah (risk of privatization efforts).
6. Menimbulkan biaya sosial yang tinggi (social cost).
7. Timbulnya distorsi dan ketidakstabilan ekonomi (economic
distortion and instability).
8. Mengakibatkan hilangnya kendali pemerintah terhadap kebijakan
ekonominya (loos of control of economic policy).
9. Menimbulkan dampak makro ekonomi, yang mana pencucian uang
telah mendistorsi data ekonomi dan mengkomplikasi upaya
pemerintah untuk melakukan pengelolaan terhadap kebijakan
ekonomi yang nantinya harus memainkan peranan dalam upaya anti
money laundering, misalnya seperti pengawasan lalu lintas devisa
(exchange control), pengawasan bank terhadap rambu kesehatan
bank (prudential supervision), penagihan pajak (tax collection),
pelaporan statistik (statistical reporting) dan perundang- undangan
(legislation).
10. Mengakibatkan kurangnya kepercayaan kepada pasar dan terjadinya
penipuan (fraud), serta penggelapan (embezzlement).
Sebegitu besarnya dampak negatif pencucian uang yang ditimbulkannya,
berpengaruh terhadap perekonomian suatu negara, hal itu yang membuat
negara-negara di dunia dan organisasi internasional merasa tergugah dan
termotivasi untuk menaruh perhatian lebih serius terhadap pencegahan dan
pemberantasan kejahatan pencucian uang. Hal ini tidak lain karena money
laundering baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi
sistem ekonomi, dan pengaruhnya tersebut merupakan dampak negatif bagi
perekonomian itu sendiri.37
37
Bismar Nasution, Rezim Anti Money Laundering di Indonesia, Books Terrace dan Libbary Pusat
Informasi Hukum Indonesia, Bandung, 2005, hal. 1.
27
Kejahatan pencucian uang di Indonesia berkembang mengikuti hukum
alam, bahwa kejahatan ini awalnya hanya bersifat lanjutan dari kejahtan asal.
Namun, seiring dengan dinamika pada industri keuangan dan bisnis pada
umumnya, membawa kejahatan ini masuk kedalam lingkaran yang semakin
rumit. Hal itu juga beriringan dengan meningkatnya keterbukaan informasi
publik, yang dapat mengaskes informasi apapun termaksud berbagai modus
operandi, sampai pengakuan saksi maupun tersangka di persidangan kejahatan
pencucian uang.38
6. Objek Pencucian Uang
Menurut sarah N. Welling money laundering dimulai dengan adanya uang
haram atau uang kotor (dirty mone). Uang dapat menjadi kotor dengan dua
cara, yakni melalui pengelakan pajak (tax evasion) dan cara melanggar
hukum. Pengelakan pajak ialah memperoleh uang secara legal, tetapi jumlah
yang dilaporkan kepada pemerintah untuk keperluan kepentingan pajak lebih
sedikit dari yang sebenarnya diperoleh. Sedangkan dengan cara melanggar
hukum teknik-teknik yang bisa dilakukan untuk hal itu, antara lain, penjualan
obat-obatan terlarang, perdagangan narkotika secara gelap, perdagangan
senjata, penyeludupan minuman keras, penyeludupan imigran gelap.39
38
Agung Setya, Prespektif Penegakan Hukum Pencucian Uang Yang Memberi Harapan dan Rasa
Keadilan, Op. Cit, hal. 14. 39
Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, Op. Cit, hal. 16.
28
Praktik-praktik money laundering memang mula-mula hanya terhadap
uang yang diperoleh dari lalu lintas perdagangan narkotika dan obat-obatan
sejenis itu, atau yang dikenal dengan istilah illegal drug trafficking. Namun,
kemudian money laundering diperlukan pula untuk dilakukan terhadap uang
yang diperoleh dari sumber kejahatan yang lain, seperti yang dikemukan di
atas. Sebenarnya di antara beberapa kegiatan yang bersangkutan dengan
pengumpulan uang haram secara internasional yang berasal dari drug
trafficking, bukanlah sumber yang utama. 40
7. Tahap-Tahap dan Proses Pencucian Uang
Secara umum terdapat beberapa tahap dalam melakukan usaha pencucian
uang yaitu;
a) Placement
Placement merupakan tahap pertama, yaitu pemilik uang tersebut
menempatkan (mendepositokan) uang haram tersebut ke dalam sistem
keuangan. Pada tahap placement tersebut, bentuk dari uang hasil
kejahatan harus dikonversi untuk menyembunyikan asal-usul yang
tidak sah dari uang itu. Misal, hasil dari perdagangan narkoba uangnya
terdiri atas uang-uang kecil dalam tumpukan besar dan lebih berat dari
narkobanya, lalu dikonversi ke dalam nominasi uang yang lebih besar.
Lalu didepositokan ke dalam rekening bank, dan dibelikan ke
40
Ibid, hal. 17.
29
instrumen-instrumen moneter seperti cheques, money orders dan lain-
lain. Bentuk kegiatan ini, antara lain: 41
a. Menempatkan dana pada bank (lebih dari satu) diikuti dengan
pengajuan kredit/pembiayaan.
b. Menyetorkan uang pada bank atau perusahaan keuangan lain
sebagai pembayaran kredit untuk mengaburkan audit trail.
c. Menyelundupkan uang tunai dari suatu negara ke negara lain.
d. Membiayai suatu usaha yang seolah-olah sah atau terkait dengan
usaha sah berupa kredit/pembiayaan.
e. Membeli barang-barang berharga yang bernilai tinggi untuk
keperluan pribadi atau sebagai hadiah kepada pihak lain yang
pembayarannya dilakukan melalui bank atau perusahaan
keuangan lainnya.
b). Layering
Layering adalah memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya, yaitu
tindak pidananya melalui beberapa tahap transaksi keuangan untuk
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul dana dari beberapa rekening
atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ke tempat lain melalui
serangkaian transaksi yang kompl untuk menyamarkan dan menghilangkan
jejak dana tersebut. Bentuk kegiatan ini antara lain:42
1. Transfer dari satu bank ke bank lain dan antara wilayah atau
negara.
2. Penggunaan simpanan tunai sebagai agunan untuk mendukung
transaksi yang sah.
3. Memindahkan uang tunai lintas batas negara, baik melalui jaringan
kegiatan usaha yang sah maupun shell company.
41
Ibid, hal. 18-19. 42
Ibid, hal.19-20.
30
c) Integration
Integration adalah upaya menggunakan harta kekayaan yang telah
tampak sah, baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke berbagai
bentuk kekayaan materil atau keuangan, dipergunakan untuk membiayai
kegiatan bisnis yang sah, maupun untuk membiayai kembali tindak
pidana. Dalam melakukan pencucian uang, pelaku tidak terlalu
mempertimbangkan hasil yang diperoleh dan besarnya biaya yang harus
dikeluarkan, karena tujuan utamanya adalah untuk menyamarkan asal
usul uang sehingga hasil akhirnya dapat dinikmati dan digunakan secara
aman.43
8. Unsur-Unsur Tindak Pidana Pencucian Uang
Dari definisi pencucian Uang sebagaimana dijelaskan diatas, maka tindak
pidana pencucian uang mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
1. Pelaku.
2. Perbuatan (transaksi keuangan atau finansial ) dengan maksud untuk
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan dari
bentuknya yang tidak sah ( ilegal ).
3. Merupakan hasil tindak pidana.
Secara garis besar unsur pencucian uang terdiri dari unsur objektif (actus
reus) dan unsur subjektif (mens rea). Unsur objektif (actus reus) dapat
dilihat dengan adanya kegiatan menempatkan, mentransfer, membayarkan
atau membelanjakan, menghibahkan atau menyumbangkan, menitipkan,
membawa keluar negeri, menukarkan atau perbuatan lain atas harta
43
Ibid, hal. 21.
31
kekayaan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kejahatan.
Sedangkan unsur subjektif (mens rea) dilihat dari perbuatan seseorang yang
dengan sengaja mengetahui atau patut diduga bahwa harta kekayaan berasal
dari kejahatan dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan
harta tersebut.44
Ketentuan yang ada dalam UU TPPU terkait perumusan tindak pidana
pencucian uang menggunakan frasa setiap orang, di mana dalam Pasal 1
angka 9 bahwa setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
Sementara pengertian korporasi terdapat dalam Pasal 1 angka 10, dalam
pasal ini disebutkan bahwa korporasi adalah kumpulan orang dan kekayaan
yang terorganisasi baik merupakan badan hukum atau bukan badan hukum.
Sementara itu, yang dimaksud transaksi keuangan diartikan sebagai
transaksi untuk melakukan atau menerima penempatan, penyetoran,
penarikan, pemindahbukuan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan,
penitipan dan atau kegitan lain yang berhubungan dengan uang. Transaksi
keuangan yang menjadi unsur tindak pidana pencucian uang adalah,
transaksi keuangan yang mencurigakan atau patut dicurigai baik transaksi
dalam bentuk tunai maupun melalui proses pentransferan/
memindahbukukan 45
44
Agung Setya, Prespektif Penegakan Hukum Pencucian Uang yang Memberi Harapan dan Rasa
Keadilan, Op. Cit, hal. 41. 45
Ibid, hal. 42.
32
Transaksi mencurigakan menurut ketentuan yang tertuang pada Pasal 1
angka 5 UU TPPU adalah, transaksi keuangan yang menyimpang dari
profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang
bersangkutan.
1. Transaksi keuangan oleh pengguna jasa keuangan yang patut diduga
dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi
yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh penyedia jasa
keuangan sesuai ketentuan undang-undang ini.
2. Transaksi keuangan yang dilakukan maupun yang batal dilakukan
dengan menggunakann harta kekayaan yang diduga berasal dari
tindak pidana.
3. Transaksi keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporakan
oleh pihak pelapor karena melibatkan harta kekayaan yang diduga
berasal dari hasil tindak pidana.
Perlu dijadikan catatan bahwa dalam pembuktian tindak pidana pencucian
uang nantinya hasil tindak pidana merupakan unsur delik yang harus
dibuktikan, pembuktian apakah benar atau tidaknya harta kekayaan tersebut
merupakan hasil tindak pidana adalah dengan membuktikan adanya hasil
tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan tersebut.46
Ketentuan sebagaimana yang disebutkan pada Pasal 3 UU TPPU,
teridentifikasi beberapa tindakan yang dapat dikualifikasikan ke dalam
bentuk tindak pidana pencucian uang, yakni tindakan atau perbutan dengan
sengaja:47
46
Ibid, 42-43. 47
Ibid, 43-44.
33
a) Menempatkan harta kekayaan ke dalam penyedia jasa keuangan
baik atas nama sendiri atau atas nama orang lain, padahal diketahui
atau patut diduga harta tersebut diperoleh dari tindak pidana .
b) Mentransfer harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga
merupakan hasil dari tindak pidana pencucian uang, dari suatu
penyedia jasa keuangan ke penyedia jasa keuangan lain, baik atas
nama sendiri atau atas nama orang lain.
c) Membelanjakan atau menggunakan harta kekayaan yang diketahui
atau patut diduga merupakan harta yang diperoleh dari tindak
pidana. Baik atas nama dirinya sendiri atau atas nama pihak lain.
d) Menghibahkan atau menyumbangkan harta kekayaan yang
diketahui atau patut diduga merupakan harta yang diperoleh dari
hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri ataupun atas nama
pihak lain.
e) Menitipkan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga
merupakan harta yang diperoleh berdasarkan tindak pidana, baik
atas namanya sendiri atau pihak lain.
f) Membawa keluar negeri harta yang yang diketahui atau patut
diduga merupakan harta diperoleh dari tindak pidana.
g) Menukarkan atau perbuatan lainya terhadap harta kekayaan yang
diketahui atau patut diduga merupakan harta hasil tindak pidana
dengan mata uang atau dengan surat berharga lainya, dengan tujuan
untuk menyembunyikan /menyamarkan asal-usul harta kekayaan
tersebut.
9. Faktor Pendorong Terjadinya Tindak Pidana Pencucian Uang
Seperti telah diuraikan di awal bahwa tindak pidana pencucian uang
merupakan sebuah tindakan guna menyamarkan atau menyembunyikan asal-
usul harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana, dengan tujauan
seolah-olah harta tersebut diperoleh dengan cara yang legal. Faktor
pendorong terjadinya tindak pidana pencucian uang akibat kemajuan
teknologi, misalnya di bidang informasi, yaitu dengan mudahnya internet
yang memperlihatkan kemajuan yang luar biasa.48
48
Lukmanul hakim, Abraham Yazid Martin, Tindak Pidana Pencucian Uang dan Modusnya
Dalam Prespektif Hukum Bisnis, Jurnal De Rechstaat, Vo. 1, No. 1, 2015, hal.7.
34
Dengan kemajuan teknologi informasi tersebut, batas negara tidak berarti
lagi, dunia menjadi satu kesatuan tanpa batas. Akibatnya, kejahatan-kejahatan
teroganisir (organized crime) yang diselenggarakan organisasi-organisasi
kejahatan menjadi mudah dilakukan melewati lintas batas negara. Pada saat
ini, organisasi-organisasi kejahatan dapat secara mudah dan cepat
memindahkan jumlah uang yang sangat besar dari satu yurisdiksi ke
yurisdiksi lainya. Selain kemajuan teknologi yang merupakan faktor
pendorong terjadinya tindak pidana pencucian uang, ada beberapa faktor lain
misalanya:49
a) Ketentuan Rahasia Bank yang Sangat Ketat
Berkaitan dengan reformasi di bidang perpajakan (tax reform),
negara-negara Uni Eropa misalnya Inggris melakukan pertemuan
dengan Menteri keuangan, untuk menghimbau menghapuskan
ketentuan rahasia bank yang ketat tersebut. Dalam memerangi
tindak pidana pencucian uang, maka harus mempertimbangkan
penghapusan ketentuan rahasia bank.
b) Kerahasiaan Hubungan Antara Lawyer dan Klien
Dana simpanan di bank sering mengatasnamakan kantor
pengecara, sementara hubungan antara klien dan lawyer
dilindungi oleh undang-undang. Oleh karena itu lawyer yang
menyimpan dana di bank atas nama kliennya tidak dapat dipaksa
oleh otoritas yang berwenang untuk mengungkapakan identitas
kliennya
c) Negara-Negara Tidak Sungguh-Sungguh Melakukan Kerja Sama
dalam Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Penyebab masih maraknya praktik pencucian uang karena
kurangnya kerja sama antar negara dalam pemberantasan tindak
pidana pencucian uang, hal tersebut karena negara yang
bersangkutan memang sengaja membiarkan praktik pencucian
uang berlangsung. Karena negara tersebut mendapat keuntungan
dengan ditempatkan dana haram di lembaga keuangan di negara
tersebut. Keuntungan dari dana yang terkumpul di lembaga
perbankan sangat diperlukan untuk membiayai pembangunan atau
dengan dana tersebut memungkinkan perbankan memperoleh
49
Ibid, hal.8.
35
banyak keuntungan dari penyaluran dana, lebih lanjut akan
memberi kontribusi yang besar bagi negaranya
10. Modus Operandi Pencucian Uang
Melihat sejarah perjalanan para pelaku tindak pidana pencucian uang yang
baru-baru ini terjadi, baik yang sudah diputuskan oleh Pengadilan Tipikor
maupun yang masih dalam proses penyidikan oleh KPK. Kasus-kasus
tersebut anatara lain, misalnya kasus Djoko Susilo, Melinda Dee, Ahmad
Fatonah, Tubagus Chaeri Wardana, Gubenur Banten Ratu Atut Choisyah dan
Akil Muhtar. Dapat dikatakan bahwa modus operandi kejahatan pencucian
uang umumnya dilakukan melaui cara-cara antara lain:50
a) Melalui kerja sama modal.
Uang hasil kejahatan secara tunai dibawa ke luar negeri. Uang tersebut
kembali dalam bentuk kerja sama modal (joint venture project),
keuntungan investasi bentuk tersebut diinvestasikan lagi dalam
berbagai usaha lain. Keuntungan usaha lain ini dinikmati sebagai uang
yang sudah bersih karena tampaknya diolah secara legal, bahkan
sudah dikenakan pajak.
b) Melalui Agunan Kredit.
Uang tunai diseludupkan ke luar negeri, lalu disimpan di bank negara
tertentu yang prosedur perbankanya termasuk lunak. Dari Bank
tersebut ditransfer ke bank Swiss dalam bentuk deposito, kemudian
dilakukan pinjaman ke satu bank di Eropa dengan jaminan deposito
tersebut. Uang hasil kredit ditanamkan kembali ke negeri asal uang
haram tadi.
c) Melalui Perjalanan Luar Negeri.
Uang tunai di transfer ke luar negeri melalui bank asing yang ada di
negaranya, lalu uang tersebut dicairkan kembali dan dibawa kembali
ke negara asalnya oleh orang tertentu, seolah-olah uang tersebut
berasal dari luar negeri.
d) Melalui Penyamaran Usaha Dalam Negeri.
Dengan uang tersebut didirikanlah perusahaan samaran, tidak
dipermasalahkan apakah uang tersebut berasal dari mana atau halal
50
Alfitra, Modus Operandi Pidana Kkusus Di Luar KUHP, Raih Asa Sukses, Jakarta, 2014, hal.
54-55.
36
tidaknya. Namun, kesanya uang tersebut telah menghasilkan uang
bersih.
e) Melalui Penyamaran Perjudian.
Dengan Uang tersebut didirikanlah usaha perjudian. Tidak menjadi
masalah apakah menang atau kalah, tetapi akan dibuat kesan menang,
sehingga ada alasan asal-usul uang tersebut.
f) Melalui Penyamaran Dokumen.
Uang tersebut secara fisik tidak kemana-mana, tetapi keberadaannya
didukung oleh berbagai dokumen palsu atau dokumen yang diada-
adakan, seperti membuat double invoice dalam jual beli dan expor
impor, agar terkesan uang tersebut hasil dari kegiatan di luar negeri.
g) Melalui Rekayasa Pinjaman Luar Negeri.
Uang secara fisik tidak kemana-mana, tetapi kemuadian dibuat suatu
dokumen seakan-akan ada bantuan pinjaman luar negeri, jadi, pada
kasus ini tidak ada pihak pemberi pinjaman, yang ada hanya dokumen
pinjaman, yang kemungkinan besar adalah dokumen palsu.
h) Melalui Pinjaman Luar Negeri.
Uang tunai dibawa ke luar negeri dengan berbagai cara, lalu uang
tersebut dimasukkan kembali sebagai pinjaman luar negeri, Hal ini
seakan akan memberi kesan seakan-akan pelaku mendapat bantuan
dari luar negeri.
11. Penyidikan Dan Penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang
Beberapa ketentuan acara pidana dalam UU TPPU, yang merupakan
pengecualian dari KUHAP, di antaranya ketentuan bahwa penyidikan tindak
pidana pencucian uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal. Misalnya,
pihak Kejaksaan yang menyidik tindak pidana asalnya, maka penyidik dari
kejaksaan pula yang menyidik tindak pidana pencucian uangnya. Demikian
pula jika penyidik Polri atau penyidik KPK yang menyidik tindak pidana
asalnya, maka penyidik Polri dan penyidik KPK yang akan menyidik tindak
pidana pencucian uangnya. Dalam hal penyidik menemukan bukti permulaan
yang cukup telah terjadi tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana asal,
37
penyidik menggabungkan penyidikan tindak pidana asal dengan penyidikan
tindak pidana pencucian uang dan memberitahukannya kepada PPATK.51
Penuntut umum menurut UU TPPU wajib menyerahkan berkas perkara
tindak pidana pencucian uang kepada Pengadilan Negeri, ketua Pengadilan
Negeri paling lama 30 hari kerja terhitung sejak diterimanya berkas perkara
yang dinyatakan lengkap. Dalam hal penuntut umum telah menyerhakan
berkas kepada Pengadilan Negeri, ketua Pengadilan Negeri wajib membentuk
majelis hakim perkara tesebut paling lama 3 hari hari sejek diterimanya
berkas perkara.52
Untuk pemekrisaan di sidang Pengadilan, terdakwa wajib membuktikan
harta kekayaan yang bukan merupakan hasil tindak pidana. Dalam sidang
yang dimaksud, hakim memerintahkan terdakwa agar membuktikan bahwa
harta kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan
tindak pidana. Ketentuan ini mempertegas bahwa UU TPPU mengakui
adanya pembuktian terbalik, di mana terdakwa membuktikan bahwa harta
kekayaan yang dimaksud bukan berasal dari tindak pidana, melainkan dari
usaha yang halal misalnya warisan, hibah, dan gaji. Namun demikian,
pembuktian terbalik tersebut harus benar-benar didasarkan pada alat bukti
yang kuat dan meyakinkan, sehingga dapat membantah dakwaan Jaksa
Penuntut Umum. Dalam usaha mencegah dan memberantas tindak pidana
51
Ruslan Renggong, Hukum Pidana Khusus Memahami Delik-Delik Di Luar KUHP, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, 2017, hal. 96. 52
Ibid.
38
pencucian uang, maka dibentuk satu lembaga independent, yaitu Pusat
Pelaporan dan Analisis Transkasi Keuangan (PPATK) yang berwenang:53
a) Meminta dan mendapatkan data dan informasi dari instansi
pemerintah dan atau lembaga swasta yang memiliki kewenangan
mengelola data dan informasi, termasuk dari instansi pemerintah atau
lembaga swasta yang menerima laporan dari profesi tertentu.
b) Menetapkan pedoman identifikasi transaksi keuangan mencurigakan.
c) Mengkoordinasikan upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang
dengan instansi terkait.
d) Memberikan rekomendasi kepada pemerintah mengenai upaya
pencegahan tindak pidana pencucian uang.
e) Mewakili Pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi dan forum
internasional yang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana pencucian uang.
f) Menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan anti-pencucian
uang.
g) Menyelenggarakan sosialisasi pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana pencucian uang.
12. Peran Polisi, Jaksa, Dan Para Hakim dalam Penaggulangan Tindak
Pidana Pencucian Uang
1. Peran Polisi dalam Melakukan Investigasi Perkara Pencucian Uang
Ketentuan undang-undang tindak pidana pencucian uang, penaganan
penyelidikan dan penyidikan tindak pidana pencucian uang berada di
bawah kewenangan kepolisian, di samping dibentuk lembaga (financial
investigation unit), yaitu Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK). PPATK berfungsi sebagai penerima laporan (respository
funcition) dan penganalisis (analisys function), serta clearing house, yang
menyediakan fasilitas untuk pertukaran informasi atau transaksi yang
mencurigakan. Berkenaan dengan tugas penyidikan, Polisi harus
53
Ibid, 96-97.
39
memperoleh alat bukti yang akan diajukan pada Jaksa untuk selanjutnya
diungkapkan di persidangan, untuk perkara pencucian uang bukanlah
persoalan yang mudah apalagi harus dikaitkan dengan kejahatan asalnya.54
Perlu ditekankan bahwa polisi tidak selalu harus menunggu laporan
hasil investigasi dari PPATK, bisa saja dan sangat mungkin polisi
melakukan penyelidikan awal terlebih dahulu atas adanya dugaan
pencucian uang. Dalam kasus seperti ini misalnya, polisi telah mempunyai
bukti awal tentang adanya korupsi atau aliran dana illegal logging, justru
polisi harus berinisiatif meminta bantuan PPATK untuk rekening tertentu.
Seperti yang terjadi sekarang ini, begitu banyak kasus korupsi yang
terungkap seharusnya polisi mengambil inisiatif menelusuri aliran dana
terlebih dahulu dan tidak perlu menunggu investigasi dari PPATK. 55
2. Peranan Jaksa dan Problema Pembuktian dalam Tindak Pidana Pencucian
Uang
Selama Indonesia mempunyai ketentuan anti pencucian uang, maka
tampaknya kegagalan terbesar terletak pada kelemahan jaksa dalam
membuktikan perkara ini. Masalah berawal dari penuntutan yang tidak
sederhana, pertama berkenaan bahwa tindak pidana pencucian uang
merupakan kejahatan lanjutan (follow up crime) sehingga ada
permasalahan lain yaitu, bagaimana dengan core crime atau predicate
crime. Apakah harus dibuktikan terlebih dahulu atau cukup pembuktian
54
Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, Op. Cit, hal. 210. 55
Ibid, hal. 212.
40
tindak pidana pencucian uang saja, berdasarkan amanat undang-undang,
maka predicate crimenya tidak perlu dibuktikan, artinya cukup
menggunakan bukti pentujuk saja. Sebagai konsekuensinya maka dakwaan
harus disusun secara kumulatif bukan alternatif karena antara predicate
crime dan pencucian uang adalah dua kejahatan yang masing-masing
berdiri sendiri, walaupun perbuatan pencucian uang selalu dikaitkan
dengan kejahatan asalnya. Namun adakalanya terhadap pelaku tertentu
misalnya pelaku pasif yang hanya menerima hasil tindak pidana, maka
dakwaan jaksa bersifat tunggal, karena pelaku pasif tidak terlibat predicate
crime.56
Permasalahan selanjutnya berkenaan dengan pembuktian unsur
subjektif (mens rea) dan unsur objektif (actus reus). Mens rea yang harus
dibuktikan yaitu knowledge (mengetahui) atau reason to know (patut
menduga) dan intended (bermaksud). Kedua unsur tersebut berkaitan
dengan unsur terdakwa menegetahui atau patut menduga bahwa dana
tersebut berasal dari hasil kejahatan, dan terdakwa mengetahui tentang
atau maksud untuk melakukan transaksi. Untuk membuktikan unsur
mengetuhui tentunya sudah jelas bahwa pelaku harus memenuhi knowingly
dan willingly. Selanjutnya, berkenaan pembuktian unsur patut menduga
maka hal ini persis yang tertera dalam pembuktian Pasal 480 KUHP
tentang penadahan yang menjelaskan adanya unsur proparte dulus
proparte culpa (setengah sengaja setengah lalai). Pembuktian selanjutnya
56
Ibid, hal. 213.
41
adalah unsur intended, yaitu bermaksud untuk menyembunyikan hasil
kejahatan. Untuk pembuktian ini pun sulit. Maka dari itu, pengadilan di
Amerika telah menyatakan bahwa bukti pendukung atau petunjuk cukup
untuk membenarkan adanya unsur-unsur tersebut. Jadi apabila unsur
sengaja dan mengetahui atau patut menduga bahwa harta kekayaan berasal
dari kejahatan sudah terbukti, maka dengan sendirinya unsur intended
terbukti.57
3. Peranan Hakim dalam Memutuskan Perkara Pencucian Uang.
Berkenaan dengan karakteristik yang unik dari tindak pidana pencucian
uang, peranan hakim sangat menentukan untuk tujuan pemberantasan
kejahatan ini. Hakim harus mempunyai sifat visioner yang didasarkan pada
pemahaman bahwa pembuktian kejahatan ini sangat sulit, karena harus
membuktikan kejahatan asal sekaligus. Profesionalitas hakim sangat
diperlukan untuk mengikuti semua sistem acara peradilan yang banyak
menggunakan pendekatan pragmatis, misalnya, adanya perlindungan saksi
dan adanya praktik acara pembalikan beban pembuktian.58
Undang-undang tindak pidana pencucian uang, belum mengatur secara
rinci tentang acara persidangan khususnya untuk pembalikan beban
pembuktian ini, tetatapi pada masa depan hal ini harus dilakukan. Selain
tata cara yang ditentukan, hakim juga harus sangat memahami bahwa
mengingat penerapan pembalikan beban pembuktian pada dasarnya
57
Ibid, 214. 58
Ibid, 215.
42
melanggar prinsip non self incrimination, maka harus ditekankan bahwa
penerapan ini hanya terbatas pada tahap persidangan dan hanya untuk satu
unsur. Unsur yang dibuktikan oleh terdakwa adalah bahwa harta kekayaan
bukan berasal dari tindak pidana. Artinya, apabila unsur ini tidak bisa
dibuktikan oleh terdakwa, jaksa juga harus membuktikan juga unsur yang
lainnya, baik itu unsur objektif maupun subjektif, sepanjang itu merupakan
inti delik. Pemikiran tentang pembuktian unsur, yaitu dengan maksud
untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul hasil kejahatan dan
seterusnya, yang harus dianggap terbukti sepanjang semua unsur di
depannya telah dibuktikan oleh jaksa, maka hakim seharusnya melakukan
lompatan pemikiran untuk mengambil kesimpulan bahwa unsur intended
pasti terbukti. Dalam hal ini berlaku suatu logika hukum, yaitu di mana
terdakwa yang terbukti sengaja melakukan transfer, misalnya dia juga
terbukti mengetahui atau paling tidak patut menduga harta kekayaan yang
ditransfer berasal dari kejahatan.59
13. Dakwaan Tindak Pidana Pencucian Uang
Bekenaan dengan tugas Jaksa Penuntut Umum dalam perkara TPPU,
perlu ditekankan bahwa susunan dakwaan adalah kumulatif, meskipun telah
ada Surat Edaran Jaksa Agung mengenai dakwaan kejahatan asal dan TPPU
harus dalam susunan dakwaan kumulatif, ternyata dalam praktik masih
dijumpai dakwaan yang disusun secara alternatif. Kronologi terjadinya tindak
pidana pencucian uang jelas menunjukan bahwa TPPU dapat tejadi kalau
59
Ibid, hal. 215-216.
43
terlebih dahulu telah ada tindak pidana asal, karena inti dari TPPU adalah
menikmati atau menggunakan hasil kejahatan asal. Sehingga bila seseorang
melakukan kejahatan asal dan kemudian dia melakukan pencucian uang,
maka seharusnya disangkakan sekaligus dua kejahatan tersebut, dengan
demikian sususnan dakwaan ke satu adalah kejahatan asal dan dakwaan
kedua adalah pencucian uang. Terkait keharusan dakwaan kumulatif sesuai
dengan pemahaman di mana dalam Hukum Acara Pidana, dikatakan bahwa
sering atau adakalanya seseorang melakukan lebih dari satu perbuatan, dalam
hal ini maka dakwaan disusun secara kumulatif . Yaitu dakwaan satu, dua,
tiga dan seterusnya, hal itu sesuai dengan asas Hukum Acara Pidana yang
dianut di Indonesia, yaitu peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan, maka
tentu dakwaan kumulatif sangat tepat. Namun demikian, antara perbuatan
yang satu dengan perbuatan yang lain jarak waktunya lama, dan kopetensi
pengadilannya berbeda, bisa dilakukan dakwaan terpisah atau sendiri-
sendiri.60
Kejahatan TPPU sangat memiliki hubungan yang erat dengan kejahatan
asal, di mana secara kronologis dan strategis pengungkapan TPPU, maka
dakwaannya harus kumulatif, hal tersebut didasari jika dakwaan TPPU
dilakukan secara terpisah, maka upaya pelacakan uang hasil kejahatan
dikhawatirkan semakin sulit. Padahal menerapakan TPPU pada perkara
kejahatan asal agar penerapan perampasan atau uang pengganti misalnya
dalam perkara tipikor bisa lebih optimal. Apabila suatu dakwaan disusun
60
Yenti Garnasih, Penegakan Hukum Anti Pencucian Uang,Op.cit, hal. 95-96.
44
secara kumulatif maka tiap perbuatan itu harus dibuktikan secara sendiri-
sendiri pula, walaupun pidananya disesuaikan dengan peraturan tentang
gabungan tindak pidana (samenloop) dalam Pasal 63 sampai dengan Pasal 71
KUHAP. Keharusan untuk mendakwa tindak pidana asal dan TPPU dapat
dilihat dari rumusan Pasal 75 UU TPPU yang berbunyi:
Dalam hal penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya
tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana asal, penyidik
menggabungkan penyidikan tindak pidana asal dan penyidikan tindak
pidana pencucian uang dan memberitahunya kepada PPATK.
Ketentuan pasal tersebut menjelasakan bahwa antara kedua kejahatan
tersebut terjadi concrusus, hal ini bertujuan agar pelaku kejahatan tidak saja
dikenakan ketentuan tentang kejahatan asal tetapi sekaligus juga dikenakan
ketentuan TPPU, karena pelaku telah mengalirkan atau menikmati hasil
kejahatanya. Selain itu, tujuan penerapan UU TPPU juga bertujuan merampas
hasil kejahatan dengan cara melacak ke mana hasil kejahatan mengalir dan
siapa saja yang menikmati. Dengan tidak memisahkan dakwaan maka tujuan
untuk melacak dan merampas lebih cepat dan diharapkan tidak semakin sulit
atau hilang jejaknya.61
14. Pembuktian Terbalik dalam Tindak Pidana Pencucian Uang
Ketentuan UU TPPU menyatakan untuk kepentingan pemeriksaan di
sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaan
bukan merupakan hasil tindak pidana. Berkaitan dengan itu, maka Pasal 78
ayat (1) dinyatakan dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana
61
Ibid, hal. 96-97.
45
dimaksud dalam Pasal 77, hakim memerintahkan terdakwa agar membuktikan
bahwa harta kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait
dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Pasal 78
ayat (2) menyatakan bahwa terdakwa membuktikan bahwa harta kekayaan
yang terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) dengan cara mengajukan alat bukti yang cukup. Rumusan pasal di atas
yang menyatakan bahwa, terdakwa harus membuktikan bahwa harta
kekayaan tidak diperoleh dari tindak pidana sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1).62
Pembuktian yang dilakukan oleh terdakwa harus didukung dengan alat
bukti yang cukup, namun apabila terdakwa tidak mampu membuktikan harta
kekayaan tersebut, maka perbuatanya telah memenuhi unsur-unsur tindak
pidana pencucian uang. Penerapan prinsip pembalikan beban pembuktian
dalam UU TPPU, untuk menjangkau tindak pidana pencucian uang yang
semakin meningkat dan canggih yang melibatkan penyelenggara negara dan
kekuasaan. Mekanisme pembuktian terbalik dalam tindak pidana pencucian
uang hanya dilakukan atas kejahatan sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1).63
62
Maria Silvya Wangga, Mekanisme Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Pencucian
Uang, Jurnal Hukum, Vol. 3 No. 2, 2017, hal. 343. 63
Ibid, hal. 344.
46
BAB III
METODE PENELITIAN
1. Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
hukum kualitatif. Penelitian hukum kualitatif adalah suatu penelitian yang
pada dasarnya menggunakan pendekatan deduktif-induktif. Pendekatan ini
berangkat dari suatu kerangka teori, gagasan para ahli, maupun
pemahaman penelitian yang kemuadian dikembangkan menjadi
permasalahan- permasalahan beserta pemecahanya.
2. Jenis Penelitian
Jenis Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian
yangmenggunakan metode yang mengacu pada norma-norma hukum yang
terdapat dalam aturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kasus
yang diteliti.
47
3. Metode Pendekatan
Dalam penyusunan proposal ini, metode pendekatan yang digunakan
untuk mengumpulkan bahan hukum yaitu :
a) Pendekatan perundang-undangan (Statue Approach), yaitu
pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua undang-undang
dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum.64
Pendekatan undang-undang ini akan membuka kesempatan bagi
peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian
antara suatu undang-undang dengan undang-undang lainya. Hasil
dari telaah tersebut merupakan suatu argumen untuk memecahkan
isu hukum yang dihadapi65
b) Pendekatan konseptual (Conceptual Approach), yaitu pendekatan
ini beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang
berkembang di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-
ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep
hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu hukum yang
dihadapi. Pemahaman akan pandangan dan doktrin-doktrin tersebut
merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu
argumentasi hukum dalam memecahkan isu hukum yang
dihadapi.66
64
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cetakan ke-11, Jakarta Kencana, 2011, hal. 93. 65
Ibid, hal. 93-94. 66
Ibid, .hal. 95.
48
4. Sumber dan Jenis Bahan Hukum
1) Sumber Bahan Hukum
Bahan hukum yang digunakan oleh penyusun ialah bersumber dari
kepustakaan. Artinya, segala sesuatu yang dapat memberikan
informasi mengenai isu hukum dalam penyusunan bahan hukum yang
dibutuhkan adalah, bahan hukum yang bersumber dari kepustakaan
baik dari buku-buku, jurnal, makalah, dan lain-lain yang berkaitan
dengan isu yang diangkat.
2) Jenis Bahan Hukum
Jenis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya
sebagai berikut:
a) Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai
kekuatan hukum tetap yaitu terdiri dari:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945
2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang.
49
b) Bahan Hukum Sekunder
Yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer seperti buku-buku, hasil-hasil penelitian,
jurnal, karya ilmiah dan pendapat para pakar hukum.
c) Bahan Hukum Tersier
Yaitu bahan yang memeberikan pentunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder KBBI
dan ensiklopedia.
4. Teknik/Cara Memeperoleh Bahan Hukum
Teknik Pengumpulan bahan hukum yang penyusun gunakan adalah
dengan menggunakan studi dokumen yaitu penelusuran bahan hukum
yang meliputi studi bahan-bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum
primer, sekunder dan bahan hukum tersier. Setiap bahan hukum ini harus
diperiksa ulang validitas dan realibilitasnya. Dalam penyusunan proposal
ini, penyusun mencari dan mengumpulkan bahan-bahan kepustakaan baik
peraturan perundang-undangan, hasil-hasil penelitian hukum, makalah-
makalah, jurnal-jurnal hukum maupun para sarjana yang berhubungan
dengan topik atau judul tersebut. 67
67
Ana Rahmatyar, Skripis, Pertanggungjawaban Anak yang Melakukan Kejahatan Kesusilaan,
Mataram, UNRAM, 2018, hal. 46.
50
5. Analisis Bahan Hukum
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan penafsiran hukum, dalam tulisan ini penafsiran yang
digunakan adalah penafsiran sistematis, penafsiran sistematis adalah
menafsirkan undang-undang dengan jalan menghubungkan pasal yang satu
dengan pasal yang lain. Setelah dilakukan pengumpulan bahan hukum
selanjutnya adalah pengolahan bahan hukum dengan cara identifikasi,
kalsifikasi menurut sumber hirarkinya serta melakukan kajian dan analisis
dengan menggunakan interpretasi untuk dapat memecahkan isu hukum.68
68
Ibid.
top related