tentang mahkamah konstitusi dan judicial review
Post on 29-Nov-2014
1.038 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pemilihan Kasus
Pembicaraan tentang adanya kekuasaan kehakiman yang bebas tak dapat
dilepaskan dari ide negara hukum. Sebab, gagasan tentang kemerdekaan yudikatif
lahir bersamaan dengan gagasan negara demokrasi dan negara hukum menyusul
abad pencerahan di dunia Barat1. Model negara hukum, sebagaimana yang dianut
Indonesia dan ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), mengharuskan
adanya 3 kekuasaan yang berbeda, yakni kekuasaan eksekutif, kekuasaan
legislatif, dan kekuasaan kehakiman. Hal tersebut sesuai dengan teori Trias
Politica yang dikenalkan oleh Montesqieu.
Memang dalam pembagian kekuasaan di Indonesia walaupun berdasarkan
pada pembagian trias politica oleh Montesqieu, tetapi tidak sepenuhnya
dilaksanakan pemisahan kekuasaan, tetapi didasarkan pada distribusi kekuasaan
atau pembagian fungsi, kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan
yudikatif.2 Hal tersebut diperkuat oleh Ridwan HR dengan nama “Legislasi yang
Tidak Mandiri, bahwa kewenangan atau kekuasaan legislasi dibuat bersama-sama
dengan pihak lain.3 Legislatif yang secara luas dikenal sebagai pembuat undang-
1 Moh. Mahfud MD, 2010, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta,
Rajawali Pers, hlm. 88 2 HAW, Widjaya, 2005, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers,
hlm. 69 3 Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara (Edisi Revisi), Jakarta, Rajawali Pers,
hlm. 138
2
undang ternyata bersama-sama dengan eksekutif dalam membuat undang-undang.
Tentu pemikiran tersebut dilandasi dengan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5
ayat (1), Pasal 10 ayat (2), Pasal 19, dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Masa reformasi yang menghasilkan perubahan atas Undang-Undang Dasar
19454 dalam 4 tahap, melahirkan sebuah lembaga baru pada susunan yudikatif
yang sejajar dengan Mahkamah Agung, yakni Mahkamah Konstitusi. Adapun
hasilnya terdapat 5 kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam UUD
1945 yakni sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, memutus pembubaran partai politik, memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum, dan memberikan putusan atas
pendapat Dewan Perwakilan Rakyat dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau
Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Pada tanggal 16 Agustus 2003, sembilan orang hakim Mahkamah Konstitusi
yang mengucapkan sumpah jabatan. Kesembilan orang hakim Mahkamah
Konstitusi tersebut adalah Jimly Asshiddiqie selaku Ketua merangkap anggota, H.
M. Laica Marzuki sebagai Wakil Ketua merangkap anggota, H. A. S. Natabaya,
H. A. Mukhtie Fadjar, H. Achmad Roestandi, Harjono, I Dewa Gede Palguna,
4 Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen atau perubahan
3
Maruarar Siahaan, dan Soedarsono. Dilanjutkan dengan pelimpahan perkara dari
Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi, pada tanggal 15 Oktober 2003, yang
menandai mulai beroperasinya kegiatan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu
cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Alasan yang membuat penulis tertarik untuk mengambil studi kasus atas
putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi adalah Putusan Perkara
Nomor 108/PUU-XI/2013 pada tanggal 20 Maret 2014 adalah pada amar putusan
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa Permohonan
Pemohon untuk menafsirkan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 7C, dikaitkan dengan
Pasal 22E ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dan penafsiran Pasal 6A ayat (2) UUD
19455 tidak dapat diterima, dan menolak permohonan Pemohon untuk selain dan
selebihnya.
Adapun Petitum pemohon dalam perkara a quo adalah sebagai berikut:
1. Menyatakan norma Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara 4924), bertentangan dengan Pasal 4 ayat (1), Pasal 6A ayat (2), Pasal 7C, Pasal 22E ayat (1), ayat (2) dan ayat (3);
2. Menyatakan norma Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara 4924) tidak mempunyai kedudukan hukum yang mengikat;
3. Menyatakan bahwa maksud Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 7C UUD 1945, sistem pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945 adalah sistem Presidensial. Apabila dikaitkan dengan sistem ini, maka maksud frasa dalam norma Pasal
5 Selanjutnya, dalam kutipan atau teks yang diambil dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
108/PUU-XI/2013, penyebutan nama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditulis dengan nama UUD atau UUD 1945. Kesemuanya sama, bermakna Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
4
22E ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) yakni pemilihan umum dilaksanakan “setiap lima tahun sekali” untuk memilih anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah pemilihan umum itu dilakukan serentak dalam waktu yang bersamaan;
4. Menyatakan bahwa maksud Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia adalah setiap partai politik yang telah dinyatakan sebagai peserta pemilihan umum adalah berhak untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden sebelum pelaksanaan pemilihan umum yang diikuti oleh partai politik, yakni Pemilihan Umum Dewan Perwakila Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
5. Memerintahkan agar putusan ini dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ketentuan-ketentuan atau materi-materi dari Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang
dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dalam perkara ini adalah sebagai berikut:
Pasal 3 ayat (5) Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Pasal 9 Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Pasal 14 ayat (2) Masa pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak penetapan secara nasional hasil Pemilu anggota DPR.
Pasal 112 Pemungutan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan paling lama 3 (tiga) bulan setelah pengumuman hasil pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Ketentuan-ketentuan atau materi-materi dari Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan batu uji adalah sebagai berikut:
5
Pasal 4 ayat (1) Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.
Pasal 6A ayat (2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
Pasal 7C Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 22E ayat (1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
Pasal 22E ayat (2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pasal 22E ayat (3) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.
Pada bagian Konklusi putusan Mahkamah Konstitusi perkara a quo,
Mahkamah Konstitusi menyatakan berwenang untuk mengadili permohonan
Pemohon dalam Petitum angka 1 dan angka 2, namun menyatakan tidak
berwenang untuk mengadili permohonan pemohon dalam Petitum angka 3 dan
angka 4 sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Sehingga pada amar
putusannya, Majelis Hakim memutuskan bahwa permohonan pemohon ditolak
dan tidak dapat diterima, dengan dasar pertimbanga-pertimbangan yang berasal
dari dinamika politik bangsa Indonesia yang sedang terjadi.
6
B. Kasus Posisi
Yang dimaksud Pemohon dalam Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 108/PUU-IX/2008 tanggal 20 Maret 2014 ini adalah Yusril Ihza
Mahendra, selaku calon presiden dari Partai Bulan Bintang untuk pemilihan calon
presiden dan wakil presiden tahun pemilu 2014, yang merasa hak
konstitusionalnya dibatasi/dirugikan dengan adanya beberapa ketentuan dari
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden Dan
Wakil Presiden yang dianggap bertentangan dengan norma-norma yang diatur
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Adapun argumen konstitusional pemohon mengenai permohonan a quo
dijelaskan sebagai berikut:
1. Bahwa amandemen UUD 1945 telah melakukan perubahan fundamental tentang tatacara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, dari yang sebelumnya dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat menjadi “dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat” sebagaimana diatur dalam norma Pasal 6A ayat (1) UUD 1945. Syarat untuk menjadi Presiden atau Wakil Presiden juga berubah dari norma konstitusi yang lama, yang hanya menyebutkan “orang Indonesia asli” menjadi “seorang warganegara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri,” dan seterusnya sebagaimana bunyi norma Pasal 6 ayat (1) UUD 1945. Sementara tatacara pencalonan dan pemilihan yang sebelumnya diatur dalam Ketetapan MPR, setelah amandemen, diatur lebih rinci di dalam norma undang-undang dasar yang selanjutnya diatur dengan undang-undang sebagaimana disebutkan dalam norma Pasal 6 ayat (1) sampai ayat (5) UUD 1945;
2. Bahwa norma Pasal 6 A ayat (2) UUD 1945 mengatakan “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Frasa pertama dalam umusan norma pasal 6A ayat (2) ini bagi Pemohon adalah terang dan jelas bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden “diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum”. Kapankah sebuah partai politik dapat disebut sebagai “peserta pemilihan umum”? Pertanyaan ini hanya dapat dipahami konteksnya dengan merujuk kepada norma-norma dan praktik
7
penyelenggaraan pemilihan umum itu sendiri. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, sejumlah paling sedikt 50 orang warganegara Indonesia dapat mendirikan partai politik dengan cara menuangkan keinginannya tersebut dalam Akta Notaris;
3. Bahwa selanjutnya, partai politik itu akan sah berdiri setelah mendapat pengesahan sebagai badan hukum oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008. Namun, meskipun sebuah partai politik telah berdiri, partai itu tidaklah otomatis dapat menjadi peserta pemilihan umum. Untuk menjadi peserta Pemilihan Umum, ketentuan Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2001, partai politik yang ingin menjadi peserta Pemilihan Umum wajib mendaftarkan diri KPU. KPU selanjutnya akan melakukan verifikasi administrasi dan faktual di lapangan untuk memastikan apakah partai tersebut memenuhi syarat untuk menjadi peserta Pemilihan Umum sebagaimana diatur oleh undang-undang. Setelah melalui tahapan itu, barulah KPU memutuskan mana partai politik yang memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilihan Umum;
4. Bahwa dengan pemahaman seperti dalam angka 2 di atas, maka jelaslah norma Pasal 6A ayat (2) dalam frasa yang mengatakan bahwa “partai politik peserta pemilihan umum” adalah partai yang telah ditetapkan KPU sebagai peserta pemilihan umum untuk tahun tertentu –mengingat Pemilihan Umum sebagaimana dikemukakan oleh norma Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 diadakan setiap lima tahun sekali, misalnya Partai Politik Peserta Pemilihan Umum 2014. Hanya partai politik seperti itulah yang berhak untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dalam tahun tertentu setiap lima tahun sekali, sebagaimana dikemukakan oleh norma Pasal 22E ayat (2) UUD 1945;
5. Bahwa selain frasa yang telah diuraikan dalam angka 2 dan 3 di atas, Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 memuat frasa lain yang mengatakan bahwa partai politik peserta pemilihan umum yang berhak mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden haruslah dilakukan “sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Pemilihan Umum manakah yang dimaksudkan oleh frasa dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 ini? Pemohon berpendapat, satu-satunya penafsiran yang benar atas frasa ini adalah, bahwa yang dimaksud dengan pemilihan umum itu adalah pemilihan umum untuk memilih anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, karena hanya pemilihan umum inilah yang pesertanya adalah partai politik seperti dirumuskan dalam norma Pasal 22E ayat (3) UUD 1945, bukan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang
8
tentunya diikuti oleh perorangan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden;
6. Berdasarkan uraian dalam angka 1 sampai angka 5 di atas, maka jelaslah kiranya bahwa norma Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang menyatakan “Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD”; “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”; “Masa pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak penetapan secara nasional hasil Pemilu anggota DPR”; dan “Pemungutan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan paling lama 3 (tiga) bulan setelah pengumuman hasil pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota” adalah seluruhnya bertentangan dengan norma Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, yang akan dirinci lebih lanjut dalam uraian-uraian di bawah ini;
7. Frasa “pasangan calon (Presiden dan Wakil Presiden) diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 % (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden” dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden adalah jelas dan tegas bertentangan dengan bunyi norma “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum” sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Norma Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden ini terang-terangan memanipulasi kata “pemilihan umum” dalam Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945. Kalau perolehan kursi masing-masing partai politik peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPR telah diumumkan dan telah diketahui, maka partai politik tersebut bukanlah lagi partai politik peserta pemilihan umum sebagaimana dimaksud oleh frasa dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 dan sebagaimana dirumuskan oleh Pasal 17 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum, karena pemilihan umum yang pesertanya adalah partai politik telah selesai dilaksanakan. Demikian pula frasa “sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden” dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden telah memanipulasi maksud Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, karena yang dimaksud dengan istilah “sebelum
9
pelaksanaan pemilihan umum” adalah pemilihan umum DPR dan DPRD yang pesertanya adalah partai politik sebagaimana dimaksud norma Pasal 22E ayat (3) UUD 1945;
8. Bahwa konkordans dengan argumentasi dalam angka 6 di atas, maka norma Pasal 14 ayat (2) UU Pemilihan Presiden yang normanya berbunyi: “Masa pendaftaran (pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, paling lama 7 (tujuh) hari sejak penetapan secara nasional hasil Pemilu anggota DPR” adalah juga bertentangan dengan frasa partai politik peserta pemilihan umum sebagaimana dirumuskan dalam norma Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Kalau partai politik atau gabungan partai politik baru diperkenankan mendaftarkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden paling lama 7 (tujuh) hari sejak penetapan secara nasional hasil Pemilu anggota DPR, maka pada saat itu partai politik atau gabungan partai politik tersebut bukanlah lagi partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum, karena pemilihan umum yang pesertanya adalah partai politik telah selesai. Kalau hasil pemilihan umum sudah ditetapkan, maka partai politik tersebut bukan lagi partai politik peserta pemilihan umum. Partai politik tersebut lebih tepat untuk disebut partai politik “mantan” peserta pemilihan umum yang sudah selesai dilaksanakan;
9. Bahwa proses pengajuan calon Presiden dan Wakil Presiden yang telah diuraikan di atas, semuanya terkait dengan sistem pemerintahan menurut UUD 1945. Dengan merujuk pada norma Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar” dan norma Pasal 7C yang menyatakan “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat”, maka Pemohon dapat menyimpulkan bahwa sistem pemerintahan Republik Indonesia menurut UUD 1945 adalah sistem pemerintahan presidensial dan bukan sistem pemerintahan parlementer. Meskipun terdapat banyak varian dari kedua sistem ini, namun secara garis besar dapat dikatakan sistem pemerintahan yang ada di dunia ini, di luar sistem monarki absolute, adalah sistem presidensial dan parlementer;
10. Bahwa dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan presidensial, UUD 1945 tidak memberikan pengaturan yang khusus tentang jadual pemilihan umum untuk mengisi lembaga-lembaga negara yang memerlukan pemilihan umum untuk mengisinya sebagaimana disebutkan dalam norma Pasal 22E ayat (2) UUD 1945. Norma pasal ini menyebutkan bahwa ada empat jenis pemilihan umum, yakni (1) pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat; (2) pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah; (3) pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden; dan (4) pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Tidak ada istilah pemilihan umum yang digunakan oleh UUD 1945 selain untuk mengisi jabatan
10
keempat lembaga negara tersebut. Pertanyaannya kemudian, bagaimanakah urutan penyelenggaraan pemilihan umum antara pemilihan umum eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden) di satu pihak dengan pemilihan umum legislatif (DPR, DPRD dan DPD)?
11. Bahwa UUD 1945 ternyata tidak memberikan pengaturan eksplisit tentang urutan penyelenggaraan pemilihan umum antara keempat lembaga negara sebagaimana diuraikan dalam angka 9 dan 10 di atas, yang dapat disederhanakan menjadi pemilihan umum eksekutif dan pemilihan umum legislatif. Namun, kalau kita melakukan perbandingan konstitusi dan perbandingan sistem pemerintahan, maka dapat disimpulkan bahwa dalam sistem parlementer, maka pemilihan yang lebih dulu diselenggarakan adalah memilih anggota-anggota parlemen. Selesai pemilihan umum parlemen, maka akan diketahui partai manakah atau koalisi partai manakah yang memperoleh kursi mayoritas di parlemen. Partai atau koalisi partai itulah yang akan mengajukan calon Perdana Menteri kepada kepala negara. Ini terjadi pada semua sistem parlementer, termasuk sistem parlementer yang pernah dipraktikkan di negara kita di bawah UUD Sementara 1950 pasca Pemilihan Umum 1955;
12. Bahwa sebaliknya, dalam sistem pemerintahan presidensial di negara-negara yang menganutnya, maka pemilihan Presiden dan Wakil Presiden adalah lebih dulu diselenggarakan, baru kemudian memilih badan-badan perwakilan. Ini terjadi di Amerika Serikat, Perancis, Mesir, Iran dan negara-negara Amerika Latin. Hanya Republik Philipina yang menyelenggarakan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta pemilihan anggota Congress dan Senat dilakukan serentak pada hari yang sama;
13. Meskipun UUD 1945 tidak secara spesifik mengatur manakah pemilihan umum yang diselenggarakan lebih dahulu, badan legislatif (DPR, DPRD dan DPD) ataukah badan eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden), namun kalau dibaca dengan seksama norma Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali”. Jadi, tidak akan ada dua kali atau tiga kali atau lebih pemilihan umum dalam lima tahun, kecuali hanya satu kali saja. Sedangkan ayat (2) Pasal 22E itu menyatakan dalam satu nafas “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Daerah”. Secara sistematik kedua ayat dalam Pasal 22E itu menunjukkan bahwa pemilihan umum hanya diadakan satu kali dalam lima tahun untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden.
14. Bahwa dengan demikian, sesuai uraian pada item 13 di atas, tidak terdapat alasan konstitusional apapun untuk menyelenggarakan dua kali pemilihan umum dalam lima tahun, yakni pertama pemilihan DPR,DPRD dan DPD, dan kedua disusul dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Tafsir
11
yang paling mungkin untuk memahami maksud Pasal 22E ayat (1) dan (2) adalah maksud pasal ini, penyelenggaraan pemilihan umum DPR, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan serempak satu kali saja dalam lima tahun. Penafsiran seperti ini sejalan dengan sistem pemerintahan presidensial yang dianut oleh UUD 1945, dan saat ini satu-satunya negara yang melaksanakannya hanyalah Republik Philipina. Melaksanakan pemilihan badan-badan legislatif (DPR, DPRD dan DPD) lebih dulu baru kemudian memilih badan eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden) adalah bertentangan dengan sistem presidensial sebagaimana diatur dalam norma Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 7C UUD 1945;
15. Bahwa norma Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, “Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD”; “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”; “Masa pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak penetapan secara nasional hasil Pemilu anggota DPR”; dan “Pemungutan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan paling lama 3 (tiga) bulan setelah pengumuman hasil pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota” seluruhnya adalah bertentangan dengan norma Pasal 6A ayat (2) dan 22E ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan (4) UUD 1945;
16. Bahwa perumusan norma “Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD”; “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”; “Masa pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak penetapan secara nasional hasil Pemilu anggota DPR”; dan “Pemungutan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan paling lama 3 (tiga) bulan setelah pengumuman hasil pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota” dalam Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tidaklah sungguh-sungguh dimaksudkan untuk melaksanakan atau menegakkan norma-norma konstitusi, sebagaimana layaknya sebuah negara hukum yang berlandaskan UUD 1945. Rumusan norma-norma tersebut hanya untuk mewujudkan keinginan dari kekuatan yang dominan pengaruhnya di Dewan Perwakilan
12
Rakyat serta Presiden yang memegang jabatan saat itu ketika undang-undang tersebut dibuat, untuk menghalang-halangi munculnya calon Presiden dan Wakil Presiden dari kekuatan saingannya dengan cara yang bertentangan dengan prinsip keadilan dan kesetaraan, yang sesungguhnya dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
17. Bahwa dalam Pemilihan Umum 2014 yang akan datang, partai politik peserta pemilihan umum yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) terdiri atas 12 partai politik yang bertarung di tingkat nasional, dan tiga partai lokal yang hanya bertarung dalam pemilihan umum di Aceh. Dengan kenyataan ini, maka kekhawatiran calon Presiden dan Wakil Presiden akan terlalu banyak, sehingga harus dibatasi dengan “presidential threshold” 20 persen atau 25 persen suara sah nasional, menjadi kehilangan relevansinya. Seandainya semua partai politik peserta Pemilihan Umum 2014 masing-masing mengajukan satu pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, maka paling banyak calon yang akan bertarung adalah dua belas calon. Dibanding jumlah pasangan calon dalam pemilihan umum kepala daerah, menurut hemat Pemohon, jumlah itu masih dapat diterima. Pemilihan Walikota Makassar tahun 2013 diikuti oleh 10 pasangan calon. Pemilihan Bupati Kabupaten Deli Serdang tahun 2013 diikuti oleh 11 pasangan calon. Jadi, kalau pemilihan Presiden dan Wakil Presiden diikuti oleh dua belas pasangan calon, hal itu menurut hemat Pemohon, adalah berada dalam batas-batas yang wajar. Penafsiran konstitusi haruslah dinamis. Penafsiran atas teks-teks konstitusi haruslah mempertimbangkan ratio legis (asbabul wurud) dirumuskannya sebuah norma. Begitu pula putusan Mahkamah Konstitusi, yang dimasa lalu menafsirkan adanya “presidential threshlod” tidak bertentangan dengan norma UUD 1945 bukanlah sebuah tafsir absolute atas konstitusi. Kaidah fiqh sebagaimana dirumuskan Imam Asy-Syatibi mengatakan bahwa “pembentukan norma hukum tergantung kepada sebab-sebab (‘illat) yang melahirkannya. Jika ‘illat berubah, maka norma, atau setidaknya penafsiran terhadap norma harus pula berubah”. Kalau tidak, maka yang terjadi adalah kejumudan belaka;
18. Bahwa Mahkamah Konstitusi, yang berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, dalam berbagai pertimbangan hukum putusannya ternyata telah menyebut dirinya sebagai “the sole interpretator of the constitution” atau “penafsir tunggal konstitusi”. Terkait dengan permohonan ini, maka Pemohon memohon sudilah kiranya Mahkamah menafsirkan apakah sesungguhnya maksud teks norma dalam Pasal 6A ayat (1), Pasal 22E ayat (1), (2) dan (3) dikaitkan dengan sistem pemerintahan presidensial sebagaimana diatur oleh norma Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 7C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
13
Dengan argumen konstitusional tersebut di atas, pemohon mengajukan
petitum yang isinya adalah sebagai berikut:
1. Menyatakan norma Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (LN Tahun 2008 Nomor 176, TLN 4924), bertentangan dengan Pasal 4 ayat (1), Pasal 6A ayat (2), Pasal 7C, Pasal 22E ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Menyatakan norma Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (LN Tahun 2008 Nomot 176, TLN 4924) tidak mempunyai kedudukan hukum yang mengikat;
3. Menyatakan bahwa maksud Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 7C UUD 1945, sistem pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945 adalah sistem Presidensial. Apabila dikaitkan dengan sistem ini, maka maksud frasa dalam norma Pasal 22E ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) yakni pemilihan umum dilaksanakan “setiap lima tahun sekali” untuk memilih anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah pemilihan umum itu dilakukan serentak dalam waktu yang bersamaan;
4. Menyatakan bahwa maksud Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia adalah setiap partai politik yang telah dinyatakan sebagai peserta pemilihan umum adalah berhak untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden sebelum pelaksanaan pemilihan umum yang diikuti oleh partai politik, yakni Pemilihan Umum DPR, dan DPRD.
Terhadap petitum yang dimohonkan pemohon tersebut di atas, Mahkamah
Konstitusi memberikan pertimbangan sebagai berikut:
1. Bahwa permohonan dengan petitum demikian merupakan penafsiran konstitusi yang tidak terkait dengan permohonan pengujian konstitusionalitas norma Undang-Undang. Penafsiran konstitusi dalam hal ini adalah penafsiran UUD 1945 yang menjadi kewenangan Mahkamah haruslah penafsiran dalam kerangka kewenangan Mahkamah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan
14
tentang pemilihan umum” dan “Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar”.
2. Mahkamah adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan” dan “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usahan negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.” Oleh karena itu, penafsiran terhadap UUD 1945 dengan demikian adalah penafsiran dalam rangka penegakkan hukum dan keadilan untuk menyelesaikan kasus konstitusional yaitu penafsiran konstitusionalitas pasal atau norma Undang-Undang terhadap UUD 1945 yang menjadi kewenangan Mahkamah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Selain itu, penafsiran yang dimohonkan Pemohon dapat dikategorikan sebagai permohonan untuk mengeluarkan fatwa kepada Mahkamah melalui penafsiran terhadap pasal UUD 1945. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas petitum permohonan angka 3 dan angka 4, menurut Mahkamah, tidak menjadi kewenangan Mahkamah.
Terhadap argumen-argumen konstitusional yang disebutkan pemohon di
atas, Majelis Hakim berpendapat bahwa yang didalilkan pemohon yang
menyatakan bahwa ketentuan Pasal 7C UUD 1945 bersama-sama dengan
ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menunjukkan digunakannya sistem
pemerintahan presidensial di Indonesia, sehingga melaksanakan Pemilu Anggota
Lembaga Perwakilan lebih dahulu kemudian memilih badan eksekutif (Pilpres)
adalah bertentangan dengan UUD 1945. Kemudian Majelis Hakim menggunakan
pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
15
14/PUU-XI/2013 bertanggal 23 Januari 2014, terkhusus pada paragraf [3.17]6
yang menyatakan:
Menurut Mahkamah penyelenggaraan Pilpres haruslah dikaitkan dengan rancang bangun sistem pemerintahan menurut UUD 1945, yaitu sistem pemerintahan presidensial. Salah satu di antara kesepakatan Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat saat melakukan pembahasan Perubahan UUD 1945 (1999-2002) adalah memperkuat sistem presidensial. Dalam sistem pemerintahan presidensial menurut UUD 1945, Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Presiden sebagai kepala negara dan lambang pemersatu bangsa. Presiden tidak hanya ditentukan oleh mayoritas suara pemilih, akan tetapi juga syarat dukungan minimal sekurang-kurangnya lima puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia dapat langsung diambil sumpahnya sebagai Presiden. Presiden mengangkat dan memberhetikan menteri-menteri negara. Presiden dipilih langsung oleh rakyat untuk masa jabatan lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. Presiden hanya dapat diberhentikan pada masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hanya dengan alasan-alasan tertentu yang secara limitative ditentukan dalam UUD 1945, yaitu apabila terbukti menurut putusan pengadilan dalam hal ini Mahkamah Konstitusi, telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhiatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden. Dengan sistem pemerintahan yang demikian, UUD 1945 menempatkan Presiden dalam posisi yang kuat sehingga dalam masa jabatannya tidak dapat dijatuhkan oleh DPR selain karena alasan dan proses secara limitatif telah ditentukan dalam UUD 1945. Posisi Presiden dalam hubungannya dengan DPR adalah sejajar dengan prinsip hubungan yang saling mengawasi dan mengimbangi (check and balances). Menurut UUD 1945, dalam hal tertentu kebijakan Presiden harus memperhatikan pertimbangan DPR seperti pengangkatan duta dan penerimaan duta dari negara lain. Presiden dalam menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain, serta perjanjian internasional yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang harus dengan persetujuan DPR. Pada sisi lain, DPR dalam menjalankan kekuasaan membentuk Undang-Undang harus dilakukan bersama-sama serta disetujui bersama dengan Presiden. Mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Presiden mengajukan rancangan
6 Kode penulisan tersebut merupakan kode penomoran versi Mahkamah Konstitusi dalam
putusannya.
16
APBN untuk dibahas bersama untuk mendapat persetujuan DPR dan apabila rancangan APBN tidak mendapatkan persetujuan DPR, Presiden menjalankan APBN tahun sebelumnya. Berdasarkan sistem pemerintahan yang demikian, posisi Presiden secara umum tidak tergantung pada ada atau tidak adanya dukungan DPR sebagaimana lazimnya yang berlaku dalam sistem pemerintahan parlementer. Hanya untuk tindakan dan beberapa kebijakan tertentu saja tindakan Presiden harus dengan pertimbangan atau persetujuan DPR. Walaupun dukungan DPR sangat penting untuk efektivitas jalannya pemerintahan yang dilakukan Presiden tetapi dukungan tersebut tidaklah mutlak.
Menurut UUD 1945, seluruh anggota DPR dipilih melalui mekanisme pemilihan umum yang pesertanya diikuti oleh partai politik, sehingga anggota DPR pasti anggota partai politk. Oleh karena konfigurasi kekuatan DPR, berkaitan dengan konfigurasi kekuatan partai politik yang memiliki anggota di DPR, maka posisi partai politik yang memiliki kursi di DPR dalam sistem pemerintahan Indonesia adalah penting dan dapat mempengaruhi ekfektivitas pelaksanaan kebijakan pemerintahan oleh Presiden. Dari ketentuan UUD 1945 tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada satu sisi, sistem pemerintahan Indonesia menempatkan partai politik dalam posisi penting dan strategis, yaitu Presiden memerlukan dukungan partai politik yang memiliki anggota di DPR untuk efektivitas penyelenggaraan pemerintahannya dan pada sisi lain menempatkan rakyat dalam posisi yang menentukan karena siapa yang menjadi Presiden sangat tergantung pada pilihan rakyat. Hak eksklusif partai politik dalam pencalonan Presiden sangat terkait dengan hubungan antara DPR dan Presiden dan rancang bangun sistem pemerintahan yang diuraikan di atas, karena anggota DPR seluruhnya berasal dari partai politik, akan tetapi hak eksklusif partai politik ini diimbangi oleh hak rakyat dalam menentukan siapa yang terpilih menjadi Presiden dan legitimasi rakyat kepada seorang Presiden. Dengan demikian, idealnya menurut desain UUD 1945, efektivitas penyelenggaraan pemerintahan oleh Presiden sangat berkaitan dengan dua dukungan, yaitu dukungan rakyat pada satu sisi dan dukungan partai politik pada sisi lain. Hal yang sangat mungkin terjadi adalah pada satu sisi Presiden mengalami kekurangan (deficit) dukungan partai politik yang memiliki anggota DPR, tetapi pada sisi lain mendapat banyak dukungan dan legitimasi kuat dari rakyat. Dalam hal kondisi yang demikian, terdapat dua kemungkinan yang akan terjadi, yaitu pertama, sepanjang tidak ada pelanggaran yang ditentukan oleh UUD 1945 oleh Presiden yang dapat digunakan sebagai alasan pemakzulan, Presiden tetap dapat menjalankan pemerintahan tanpa dapat dijatuhkan oleh DPR walaupun tidak dapat melaksanakan pemerintahannya secara efektif. Kemungkinan kedua, adalah DPR akan mengikuti kemauan Presiden, karena jika tidak, partai-partai politik akan kehilangan dukungan rakyat dalam pemilihan umum. Berdasarkan kerangka sistem yang demikian, menurut Mahkamah,
17
mekanisme pemilihan Presiden dalam desain UUD 1945 harus dikaitkan dengan sistem pemerintahan yang dianut UUD 1945.
Dalam penyelenggaraan Pilpres tahun 2014 dan tahun 2009 yang dilakukan setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan ditemukan fakta politik bahwa untuk mendapat dukungan demi keterpilihan sebagai Presiden dan dukungan DPR dalam penyelenggaraan pemerintahan, jika terpilih, calon Presiden terpaksa harus melakukan negosiasi dan tawar-menawar (bargaining) politik terlebih dahulu dengan partai politik yang berakibat sangat mempengaruhi jalannya roda pemerintahan di kemudian hari. Negosiasi dan tawar-menawar tersebut pada kenyataannya lebih banyak bersifat taktis dan sesaat daripada bersifat strategis dan jangka panjang. Oleh karena itu, Presiden pada faktanya menjadi sangat tergantung pada partai-partai politik yang menurut Mahkamah dapat mereduksi posisi Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan menurut sistem pemerintahan sistem presidensial. Dengan demikian, menurut Mahkamah, penyelenggaraan Pilpres harus menghindari terjadinya negosiasi dan tawar-menawar (bargaining) politik yang bersifat taktis demi kepentingan sesaat, sehingga tercipta negosiasi dan koalisi strategis partai politik untuk kepentingan jangka panjang. Hal demikian akan lebih memungkinkan bagi penggabungan partai politik secara alamiah dan strategis sehingga dalam jangka panjang akan lebih menjamin penyederhanaan partai politik. Dalam kerangka itulah ketentuan Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 harus dimaknai.
Menurut Mahkamah, praktik ketatanegaraan hingga saat ini, dengan pelaksanaan Pilpres setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan ternyata dalam perkembangannya tidak mampu menjadi alat transformasi perubahan sosial ke arah yang dikehendaki. Hasil pelaksanaan Pilpres setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan tidak juga memperkuat sistem presidensial yang hendak dibangun berdasarkan konstitusi. Mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances), terutama antara DPR dan Presiden tidak berjalan dengan baik. Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden kerap menciptakan koalisi taktis yang bersifat sesaat dengan partai-partai politik sehingga tidak melahirkan koalisi jangka panjang yang dapat melahirkan penyederhanaan partai politik secara alamiah. Dalam praktiknya, model koalisi yang dibangun antara partai politik dan/atau dengan pasangan calon Presiden/Wakil Presiden justru tidak memperkuat sistem pemerintahan presidensial. Pengusungan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden oleh gabungan partai politik tidak lantas membentuk koalisi permanen dari partai politik atau gabungan partai politik yang kemudian akan menyederhanakan sistem kepartaian. Berdasarkan pengalaman praktik ketatanegaraan tersebut, pelaksanaan Pilpres setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan tidak memberi penguatan atas sistem pemerintahan yang dikehendaki oleh konstitusi. Oleh karena itu, norma pelaksanaan Pilpres setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan telah nyata tidak sesuai dengan semangat yang dikandung oleh UUD 1945 dan tidak sesuai dengan makna pemilihan umum yang dimaksud oleh UUD
18
1945, khususnya dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali” dan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”, serta Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
Selanjutnya, berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah Konstitusi
memberikan pertimbangan lebih lanjut yang menjelaskan bahwa:
Sesungguhnya substansi dalil Pemohon yang merujuk Pasal 7C UUD 1945 sebagai dasar pengujian konstitusional benar bahwa pemilihan umum harus diselenggarakan secara serentak telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Nomor 14/PUU-XI/2013, bertanggal 23 Januari 2014, meskipun dalam pertimbangan tersebut Mahkamah tidak secara eksplisit menyebut Pasal 7C UUD 1945. Oleh karena itu, pertimbangan Mahkamah tersebut mutatis mutandis berlaku terhadap dalil Pemohon. Adapun mengenai makna Pasal 7C UUD 1945 bila dikaitkan dengan Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945, menurut Mahkamah, salah satu letak keseimbangan kedudukan antara Presiden dan DPR adalah bahwa DPR tidak dapat dibekukan dan/atau dibubarkan oleh Presiden. Sebaliknya, DPR hanya dapat mengusulkan pemberhentian Presiden kepada MPR hanya dengan alasan apabila Presiden/Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum yang berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Oleh karena itu, masing-masing DPR dan Presiden berkedudukan sangat kuat sebagai representasi rakyat yang berdaulat dan karenanya masing-masing tidak dapat menjatuhkan dan membubarkan satu sama lain. Sehingga, berdasarkan pertimbangan tersebut Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa dalil pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Setelah menyatakan dalil pemohon mengenai Pasal 7C UUD 1945 tidak
beralasan menurut hukum sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, Mahkamah
Konstitusi memberikan pertimbangan mengenai Pasal 22E ayat (3) UUD 1945
sebagai berikut:
1. Menimbang Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 menyatakan, “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik”,
19
dikaitkan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”, menurut Pemohon, pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden harus dilakukan sebelum pelaksanaan pemilihan umum Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang diikuti oleh partai politik sebagai pesertanya sehingga tidak mungkin pencalonan itu sebelum pemilihan umum Dewan Perwakilan Daerah (DPD) atau Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres), karena dalam dua pemilihan umum tersebut, pesertanya bukan partai politik, melainkan perorangan, baik perorangan calon anggota DPD maupun perorangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden.
2. Dalil Pemohon yang mempergunakan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 sebagai dasar pengujian konstitusional untuk Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayt (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 UU 42/2008 bahwa pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden harus dilakukan sebelum pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan DPRD secara substansial telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013, bertanggal 23 Januari 2014, meskipun Mahkamah tidak secara eksplisit menyebutkan pasal a quo. Oleh karena itu, pertimbangan Mahkamah tersebut mutatis mutandis, berlaku terhadap dalil pemohon tersebut. Adapun substansi pasal a quo, menurut Mahkamah, yang menyatakan tentang peserta untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik sejalan dengan pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013, bertanggal 23 Januari 2014 yang memberikan pertimbangan pelaksanaan Pilpres setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan tidak mampu menjadi alat transformasi perubahan sosial ke arah yang dikehendaki. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka dalil Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum.
Mahkamah Konstitusi pun kembali menambahkan pertimbangan
sebagaimana yang dijelaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
14/PUU-XI/2013 tanggal 23 Januari 2014 sebagai berikut:
1. Bahwa tahapan penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2014 telah dan sedang berjalan mendekati waktu pelaksanaan. Seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pelaksanaan pemilihan umum, baik Pilpres maupun Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan telah dibuat dan diimplementasikan sedemikian rupa. Demikian juga persiapan-persiapan teknis yang dilakukan oleh penyelenggara termasuk persiapan peserta pemilihan umum dan seluruh masyarakat Indonesia telah sampai pada tahap akhir, sehingga apabila
20
Pasal 3 ayat (5) UU 42/2008 dan ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan tata cara dan persyaratan pelaksanaan Pilpres yang akan diputuskan dalam perkara ini harus diberlakukan segera setelah diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum maka tahapan pemilihan umum tahun 2014 yang saat ini telah dan sedang berjalan menjadi terganggu atau terhambat. Hal demikian dapat menyebabkan pelaksanaan pemilihan umum pada tahun 2014 mengalami kekacauan dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang justru tidak dikehendaki karena bertentangan dengan UUD 1945.
2. Selain itu, dengan diputuskannya Pasal 3 ayat (5) UU 42/2008 dan ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan tata cara dan persyaratan pelaksanaan Pilpres maka diperlukan aturan baru sebagai dasar hukum untuk melaksanakan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan secara serentak. Berdasarkan Pasal 22E ayat (6) UUD 1945, ketentuan lebih lanjut tentan pemilihan umum haruslah diatur dengan Undang-Undang. Jika aturan baru tersebut dipaksakan untuk dibuat dan diselesaikan demi menyelenggarakan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan secara serentak pada tahun 2014, maka menurut penalaran yang wajar, jangka waktu yang tersisa tidak memungkinkan atau sekurang-kurangnya tidak cukup memadai untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang baik dan komprehensif.
3. Langkah membatasi akibat hukum yang timbul dari pernyataan inkonstitusionalitas atau bertentangan dengan UUD 1945 suatu Undang-Undang pernah dilakukan Mahkamah dalam Putusan Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, bertanggal 19 Desember 2006. Menurut putusan Mahkamah tersebut, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) harus dibentuk dengan Undang-Undang tersendiri, paling lambat tiga tahun sejak dikeluarkannya putusan MK tersebut; dan juga dalam Putusan Nomor 026/PUU-III/2005, bertanggal 22 Maret 2006 mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2005 tentang Anggaran Pendapatan Belanja Negara Tahun Anggaran 2006, yang hanya membatasi akibat hukum yang timbul dari putusan Mahkamah sepanjang menyangkut batas tertinggi Anggaran Pendidikan.
4. Merujuk pada Putusan Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 dan Putusan Nomor 026/PUU-III/2005 tersebut, maka dalam perkara ini pembatasan akibat hukum hanya dapat dilakukan dengan menangguhkan pelaksanaan putusan a quo sedemikian rupa sampai telah terlaksananya Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan tahun 2014. Selanjutnya, penyelenggaraan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan harus mendasarkan pada putusan Mahkamah a quo dan tidak dapat lagi diselenggarakan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan secara terpisah. Selain itu, Mahkamah berpendapat memang diperlukan waktu untuk menyiapkan budaya hukum dan kesadaran politik yang baik bagi
21
warga masyarakat, maupun bagi partai politik untuk mempersiapkan diri dan melaksanakan agenda penting ketatanegaraan.
5. Meskipun Mahkamah menjatuhkan putusan mengenai Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 UU 42/2008, namun menurut Mahkamah penyelenggaraan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan tahun 2009 dan 2014 yang diselenggarakan secara tidak serentak dengan segala akibat hukumnya harus tetap dinyatakan sah dan konstitusional.
Kemudian mengenai uji terhadap ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor
2008, Makhkamah Konstitusi mempertimbangkan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 14/PUU-XI/2013 tanggal 23 Januari 2014 dan 51-52-59/PUU-VI/2008
tanggal 18 Februari 2009, yang dianggap telah menyebutkan dengan jelas bahwa
ketentuan a quo merupakan kebijakan hukum terbuka atau delegasi kewenangan
terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk undang-
undang, sehingga tidak relevan untuk dipertimbangkan lebih lanjut. Dan pada
bagian Konsklusi, Majelis Hakim berkesimpulan bahwa:
1. Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan pemohon dalam petitum angka 1 dan angka 2;
2. Mahkamah tidak berwenang untuk mengadili permohonan pemohon dalam petitum angka 3 dan angka 4;
3. Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo;
4. Dalil pemohon untuk selain dan selebihnya tidak beralasan menurut hukum
Sehingga pada amar putusannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa
permohonan pemohon untuk menafsirkan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 7C, dikaitkan
dengan Pasal 22E ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dan penafsiran Pasal 6A ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak dapat
diterima, dan menolak permohonan pemohon untuk selain dan selebihnya.
22
C. Permasalahan Hukum
Adapun penulisan Studi Kasus atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
108/PUU-XI/2013 tanggal 26 Maret 2014 yang dimaksudkan penulis adalah
untuk mengkaji permasalahan atas putusan Mahkamah Konstitusi yang
menyatakan bahwa permohonan pemohon tidak dapat diterima dan ditolak untuk
selain dan selebihnya, dengan memuat pertimbangan-pertimbangan yang berasal
dari dinamika politik bangsa Indonesia. Sehingga timbul permasalahan dalam
sebuah pertanyaan yaitu:
Apa yang menjadi dasar pertimbangan para Hakim Mahkamah Konstitusi dalam
memutus perkara dalam Putusan Nomor 108/PUU-XI/2013 tanggal 26 Maret
2014?
D. Penelusuran Bahan Hukum
Untuk kajian lebih lanjut mengenai permasalahan hukum dalam penulisan
ini, penulis memulai dengan sejarah singkat hingga akibat hukum daripada
putusan Mahkamah Konstitusi itu sendiri. Sebelumnya, perlu diketahui bahwa
Mahkamah Konstitusi memiliki empat fungsi sebagaimana yang diungkapkan
oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang pertama kali, Jimly Asshiddiqie,
yaitu sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution), pengawal
demokrasi (the guardian of democracy), pelindung hak asasi manusia dan hak
konstitusional warga negara (the protector of human rights and the citizens’
23
constitutional rights), dan penafsir final konstitusi negara (the final interpreter of
the constitution)7.
1. Sejarah Terbentuknya Mahkamah Konstitusi
Pembicaraan mengenai pembentukan lembaga atau badan tersendiri yang
berwenang dalam melakukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945
sudah dibahas oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI), dengan nama Mahkamah Agung, yakni oleh
Muhammad Yamin. Namun saat itu ditolak oleh Soepomo dengan alasan
bahwa Indonesia kala itu masih belum mempunyai pengalaman dalam hal
pengujian undang-undang, dan harus ada lembaga tersendiri dan khusus
(constitutioneel hof) yang mengurusi konsistensi peraturan perundang-
undangan dalam pelaksanaan konstitusi8.
Ide pembentukan sebuah lembaga atau badan yang khusus untuk menguji
peraturan perundang-undang dengan konstitusi (judicial review) berawal dari
langkah yang dilakukan oleh Chief Justice (Ketua Mahkamah Agung
Amerika Serikat) John Marshall pada tahun 1803. Kala itu John Marshall
membatalkan Judiciary Act 1978 karena isinya bertentangan dengan
Konstitusi Amerika Serikat, meskipun di dalam Konstitusi Amerika Serikat
tidak tercantum ketentuan tentang judicial review.9
7 Jimly Asshiddiqie, “Sejarah Constitusional Review dan Gagasan Pembentukan
Mahkamah Konstitusi”, (http://www.jimlyschool.com/read/analisis/276/sejarah-constitutional-review-gagasan-pembentukan-mk/) diakses pada tanggal 14 April 2014
8 Mahfud MD, Op.Cit, Membangun Politik… hlm. 128 9 Ibid, hlm. 125-127
24
Sebelum terobosan yang dilakukan oleh John Marshall itu, memang
sudah ada kebiasaan hakim tidak mengikuti ketentuan Undang-Undang yang
dianggap tidak adil, tetapi John Marshall adalah orang pertama yang (bukan
hanya tidak mengikuti ketentuan Undang-Undang melainkan) membatalkan
Undang-Undang melalui pengujian. John Marshall mengemukakan 3 alasan
atas rechtsvinding atau penemuan hukum tentang pengujian yudisial itu:10
a) hakim bersumpah untuk menjunjung tinggi konstitusi, sehingga jika ada peraturan yang bertentangan dengan konstitusi harus melakukan uji materi.
b) konstitusi adalah the supreme law of the land sehingga harus ada pengujian terhadap peraturan yang di bawahnya agar the supreme law itu tidak dilangkahi isinya.
c) hakim tidak boleh menolak perkara, sehingga kalau ada yang mengajukan permintaan judicial review harus dipenuhi.
d) selain ketiga alasan itu melalui disertasi tahun 1993 saya menambahkan satu alasan lagi tentang perlunya judicial review itu yakni karena hukum adalah produk politik. Karena hukum adalah produk politik, maka harus ada mekanisme pengjian agar isi maupun prosedur pembuatannya benar secara hukum dan bukan hanya menjadi alat justifikasi atas kehendak pemegang kekuasaan politik.
Selain itu, Hans Kelsen menjelaskan bahwa mengenai fungsi legislatif
dari pengadilan, bahwa pengadilan membatalkan hukum yang tidak
konstitusional jika pengadilan itu kompeten untuk membatalkan suatu
peraturan atas dasar bahwa peraturan itu ternyata bertentangan dengan hukum
(undang-undang), atau–seperti kadang-kadang terjadi–bahwa peraturan itu
tampak “tidak masuk akal”. Jika pengadilan membatalkan suatu peraturan
karena peraturan itu tampak tidak masuk akal, maka fungsi legislatif dari
pengadilan adalah sangat jelas. Selanjutnya pengadilan menjalankan fungsi
legislatif ketika keputusan-keputusannya di dalam kasus konkrit menjadi
10 Mahfud MD, “MK dan Politik Perundang-Undangan di Indonesia”, 2009, (http://www. mahfudmd.com/public/makalah/Makalah_4.pdf), diakses terakhir pada tanggal 1 April 2014
25
suatu yurisprudensi (pedoman) bagi keputusan tentang kasus-kasus yang
sama. Pengadilan dengan kompetensi ini melahirkan suatu norma umum
melalui keputusan-keputusan yang setaraf dengan undang-undang yang
dilahirkan oleh yang disebut organ legislatif.11
Tidak hanya pada tahun 1945 saja ide untuk membentuk sebuah badan
independen yang khusus melakukan pengujian terhadap Undang-Undang.
Pada tahun 1950 saat diberlakukannya konstitusi Republik Indonesia Serikat,
desakan untuk mengadakan badan atau lembaga untuk menguji Undang-
Undang masih digulirkan, pun hingga pada tahun 1965 ketika Soekarno turun
takhta sebagai Presiden.
Hingga akhirnya pada perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 di tahun 2001, Mahkamah Konstitusi dimuat
dalam Konstitusi Republik Indonesia melalui Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Majelis Permusyawaratan Rakyat yang
bersidang saat itu menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi dibentuk
selambat-lambatnya pada tanggal 17 Agustus 2003.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi didasari pada kebutuhan check and
balances antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Di mana legislatif sebagai
pemegang kekuasaan membentuk undang-undang, fungsi legislasi, fungsi
pengawasan, fungsi anggaran, dan impeachment terhadap Presiden dan/atau
Wakil Presiden. Eksekutif sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan,
11 Hans Kelsen, 2007, Teori Umum Hukum dan Negara: Dasar-Dasar Ilmu Hukum
Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik, Jakarta, Bee Media Nusantara, hlm. 332-333
26
sebagai pemimpin negara, mengajukan rancangan undang-undang, pelaksana
undang-undang, dan hubungan ke luar. Sedangkan Yudikatif berperan
sebagai pemegang kekuasaan kehakiman, di mana terdapat 2 Mahkamah yang
berdiri sejajar yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah
Agung memiliki wewenang dalam hal menguji peraturan perundang-
undangan di bawah Undang-Undang (yang dibuat oleh legislatif maupun
eksekutif) terhadap Undang-Undang. Dan Mahkamah Konstitusi memiliki
wewenang dalam hal menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sebagaimana yang diungkapkan Mahfud bahwa kehadiran Mahkamah
Konstitusi merupakan respons yang baik dari upaya amandemen UUD 1945
terhadap tuntutan check and balances antara legislatif dan yudikatif.12
Sehingga terjadi perimbangan antara ketiga lembaga atau kekuasaan tersebut,
dan dapat memutus dominasi atas satu atau dua kekuasaan. Dan tidak terus
menerus dikuasai oleh kekuasaan eksekutif yang selalu didominasi oleh
militer pada masa kejayaan Orde Baru.13
Dari penjelasan sederhana di atas, dapat disimpulkan bahwa yudikatif
atau kekuasaan kehakiman tidak hanya melaksanakan (mengadili) peraturan
perundang-undangan produk eksekutif dan legislatif, tetapi juga melakukan
kontrol terhadap produk peraturan perundang-undangan yang dianggap
12 Mahfud MD, 2010, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi,
Jakarta, Rajawali Pers, hlm. 75 13 Wijayanto dan Ridwan Zachrie, 2009, Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat,
dan Prospek Pemberantasan, Jakarta, Gramedia, hlm. 505-506
27
bertentangan dengan konstitusi yang pucuknya berada pada Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun bukan berarti
Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan putusan mengenai Undang-
Undang yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 tanpa adanya permohonan atas itu. Jika hal
tersebut dilakukan Mahkamah Konstitusi, maka Mahkamah Konstitusi telah
mencampuri urusan yang sesungguhnya bukan menjadi kewenangannya.
Fungsi kontrol atau check and balances atas produk Undang-Undang
sebagaimana yang diurai dalam konstitusi Indonesia adalah sebatas menguji
Undang-Undang yang diajukan atau dimohonkan oleh pemohon yang bukan
dari Mahkamah Konstitusi.
Kendati kekuasaan kehakiman memiliki wewenang dalam menggali
keadilan yang belum atau tidak termuat dalam peraturan perundang-
undangan, bukan berarti Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan putusan
ultra petita. Karena ketika putusan ultra petita dikeluarkan oleh Mahkamah
Konstitusi, maka akan terbangun persepsi bahwa Mahkamah Konstitusi
memutus perkara yang diinginkan. Selanjutnya terjadi konsepsi hakim
menjadi hakim atas dirinya sendiri atau Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
menjadi pemohon dalam perkara yang diperiksanya. Dan hal itu tentunya
bertentangan dengan asas hukum yang harus dipegang teguh oleh para hakim
yaitu nemo judex idoneus in propia causa.
28
2. Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Ada lima model permohonan yang menjadi kewenangan Mahkamah
Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 7B dan Pasal 24C Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pelaksanaannya
merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final.
a) Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Permohonan model ini yang sesungguhnya menjadi pokok
bahasan utama yang mendesak segera dibentuknya Mahkamah
Konstitusi sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya di atas.
Pemohon yang berhak mengajukan permohonan pengujian materi
Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3 Peraturan
Mahkamah Konstitusi adalah perorangan warga negara Indonesia
atau kelompok yang mempunyai kepentingan yang sama, kesatuan
masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang, badan hukum publik
atau badan hukum privat, atau lembaga negara.
Dari keempat unsur yang telah disebut di atas bukan
merupakan sebuah kesatuan, melainkan cukup salah satu unsur saja
yang harus dipenuhi, maka pemohon tersebut akan memiliki legal
29
standing dalam mengajukan permohonan. Dan dilengkapi dengan
adanya hak konstitusional pemohon yang telah diatur dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang dirasa telah merugikan pemohon.
Permohonan yang diajukan dalam pengujian undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 ini ada 2 macam, yaitu pengujian formil Undang-Undang dan
pengujian materiil Undang-Undang. Permohonan pengujian formil
Undang-Undang jika Undang-Undang yang akan diuji dianggap
tidak memenuhi syarat pembentukkannya sebagaimana yang telah
diatur peraturan perundang-undangan, tentunya yang menjadi tolok
ukur adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Dan permohonan pengujian materiil Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang dimaksud adalah jika ada 1 atau beberapa atau
keseluruhan isi atau pasal dari Undang-Undang yang dimohonkan
dianggap oleh pemohon telah bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b) Sengketa Kewenangan Lembaga Negara
Dalam permohonan model ini, yang dapat menjadi pemohon
atau termohon adalah Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Majelis Permusyawaratan Rakyat, Presiden,
Badan Pemeriksa Keuangan, Pemerintahan Daerah, atau lembaga
30
lain yang kewenangannya diberikan atau ditentukan oleh Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kecuali
Mahkamah Agung. Pemohon yang mengajukan permohonan model
ini harus mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan
yang dipersengkatan. Sebagai contoh, kewenangan konstitusional-
nya diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan, dan/atau dirugikan
oleh lembaga negara yang lain.
c) Pembubaran Partai Politik
Partai politik yang dimohonkan ke Mahkamah Konstitusi
untuk dibubarkan apabila ideologi, asas, tujuan, program, atau
kegiatan partai politik dianggap bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemohonnya adalah Pemerintah yang dapat diwakili Jaksa Agung
dan/atau Menteri yang ditugasi Presiden untuk itu. Yang jadi
termohon adalah partai politik yang diwakili oleh pimpinan partai
politik yang dimohonkan untuk dibubarkan.
d) Perselisihan Hasil Pemilihan Umum
Pada awal beroperasinya Mahkamah Konstitusi, ada 3 rezim
pemilihan umum dianut oleh Mahkamah Konstitusi dalam
mengadili, yaitu pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden,
pemilihan umum legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah), dan
pemilihan umum kepala daerah. Hingga akhirnya pada tanggal 19
31
Mei 2014, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 yang mengabulkan
permohonan mengenai pengujian terhadap Pasal 236C Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah dan Pasal 29 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang dianggap
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Yang pada pokoknya adalah Mahkamah
Konstitusi tidak memiliki kewenangan untuk mengadili
perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah sebagaimana
yang diatur dan ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Meskipun pada bagian lain amar
putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan masih berwenang
mengadili perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah selama
belum ada Undang-Undang yang mengatur mengenai hal tersebut.
Maka, dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
97/PUU-XI/2013 tanggal 19 Mei 2014 tersebut, rezim pemilihan
umum yang ideal adalah pemilihan umum Presiden dan Wakil
Presiden, dan pemilihan umum legislatif (Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah). Penanganan sengketa hasil pemilihan umum kepala
daerah tetap diberlakukan sampai dengan pembuat undang-undang
32
mengundangkan undang-undang yang mengatur mengenai lembaga
mana yang berwenang dalam mengadili sengketa hasil pemilihan
umum kepala daerah, agar tidak terjadi kekosongan hukum. Karena
masih akan ada pemilihan umum kepala daerah, yang mana
hasilnya berpotensi terjadi sengketa. Dan pembentukan undang-
undang mengenai hal tersebut tidak bisa segera dibuat dalam waktu
cepat akibat dari pelaksanaan pemilihan umum legislatif yang baru
selesai dilaksanakan 40 hari sebelum adanya Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 tersebut, yang artinya legislatif
masih dalam masa transisi.
Oleh karena belum ada undang-undang yang dibuat khusus
untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
97/PUU-XI/2013 tersebut di atas dan Mahkamah Konstitusi masih
berwenang mengadili sengketa hasil pemilihan umum kepala
daerah untuk menghindari kekosongan hukum akibat putusannya,
maka tidak ada salahnya untuk tetap menjelaskan sedikit tentang
permohonan perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah.
Obyek perselisihan pemilihan umum kepala daerah adalah hasil
penghitungan suara yang telah ditetapkan, yang oleh pemohon
dianggap mempengaruhi penentuan pasangan calon yang dapat
mengikuti pemilihan putaran kedua, atau mempengaruhi
terpilihnya pasangan calon sebagai kepala daerah dan wakil kepala
daerah. Yang dimaksud pemohon dalam sengketa ini adalah
33
pasangan calon, dan sebagai termohon adalah Komisi Pemilihan
Umum provinsi atau Komisi Independen Pemilihan provinsi, atau
Komisi Pemilihan Umum kabupaten/kota atau Komisi Independen
Pemilihan kabupaten/kota.
Untuk sengketa hasil pemilihan umum legislatif (Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah), yang menjadi termohon adalah Komisi
Pemilihan Umum. Dan yang menjadi pemohon adalah sebagai
berikut:
1) partai politik peserta pemilu;
2) perseorangan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang telah
memperoleh persetujuan secara tertulis dan pengajuan
permohonannya dilakukan oleh partai politik peserta
pemilihan umum yang bersangkutan;
3) partai politik lokal peserta pemilihan umum untuk
pengisian keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh
dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota di Aceh;
4) perseorangan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota di
Aceh yang telah memperoleh persetujuan secara tertulis
dan pengajuan permohonannya dilakukan oleh partai
34
politik lokal peserta pemilihan umum yang
bersangkutan; dan
5) perseorangan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah
peserta pemilihan umum.
Obyek dalam sengketa hasil pemilihan umum ini adalah
penetapan perolehan suara hasil pemilihan umum secara nasional
yang dianggap mempengaruhi perolehan kursi pemohon,
terpilihnya pemohon, atau terpenuhinya ambang batas perolehan
suara pemohon. Khusus mengenai terpenuhinya ambang batas
perolehan suara pemohon, pemohon yang dimaksud adalah partai
politik peserta pemilihan umum secara nasional.
Dan untuk obyek dalam sengketa hasil pemilihan umum
Presiden dan Wakil Presiden adalah penetapan hasil pemilihan
umum Presiden dan Wakil Presiden yang dilakukan secara nasional
oleh Komisi Pemilihan Umum yang menurut pemohon dianggap
mempengaruhi penentuan pasangan calon yang masuk pada
pemilihan putaran kedua, atau mempengaruhi terpilihnya pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden. Sedangkan yang menjadi
pemohon adalah pasangan calon, dan yang menjadi termohon
adalah Komisi Pemilihan Umum.
35
e) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai Dugaan
Pelanggaran yang Dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil
Presiden
Pada perkara pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai
dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden (atau
lazimnya disebut dengan impeachment), pemohonnya hanya DPR
saja, dan termohonnya tentu hanya Presiden dan/atau Wakil
Presiden. Pemohon wajib menguraikan secara jelas mengenai
dugaan Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan
tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Jika permohonan sudah dicatat dalam Buku Registrasi
Perkara Konstitusi, Mahkamah Konstitusi harus menyampaikan
kepada Presiden paling lambat 7 hari setelah itu.
Apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden mengundurkan diri
pada saat proses pemeriksaan, Mahkamah Konstitusi menghentikan
pemeriksaan dan menyatakan permohonan pemohon telah gugur.
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai perkara pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden ini wajib diputus paling lambat 90 hari
36
sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara
Konstitusi. Dalam perkara ini, Mahkamah Konstitusi menggunakan
kode “PDPR” dalam putusannya.
Keunikan wewenang yang dimiliki Mahkamah Konstitusi tersebut tak
bisa dihindari. Misalnya, catatan mengenai kompetensi dua lembaga
kehakiman (Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi) seperti yang
pernah dikritisi Mahfud MD dalam bukunya14 bahwa idealnya Mahkamah
Konstitusi itu diberikan wewenang untuk menangani “konflik peraturan
perundang-undangan”, mulai dari yang tinggi sampai yang paling rendah.
Dan Mahkamah Agung diberikan wewenang untuk menangani “konflik
antarorang dan/atau badan hukum dan/atau lembaga”. Khusus pada konflik
peraturan perundang-undangan itu harus diberikan batasan tegas agar tidak
tumpang tindih dengan wewenang Peradilan Tata Usaha Negara, karena
pastinya akan ada tarik ulur perihal keputusan-keputusan yang dikeluarkan
oleh para pejabat negara. Ide idealitas Mahfud MD tersebut tentu sejalan
dengan empat fungsi yang dijabarkan oleh Jimly Asshiddiqie pada bagian
sebelumnya di atas.
3. Syarat Hakim Mahkamah Konstitusi
Sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Mahkamah Konstitusi memiliki 9
orang anggota hakim yang ditetapkan oleh Presiden, yang terdiri atas 3 orang
14 Mahfud MD, Op.Cit. Membangun Politik…, hlm 134
37
yang diajukan oleh pemerintah, 3 orang yang diajukan oleh legislatif, dan 3
orang yang diajukan oleh Mahkamah Agung. Sedangkan kedudukannya,
terdiri atas 1 orang ketua yang merangkap sebagai anggota, 1 orang wakil
ketua yang merangkap sebagai anggota, dan 7 orang anggota.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi bahwa hakim konstitusi harus memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela, adil, dan negarawan yang menguasai
konstitusi dan ketatanegaraan. Selain itu, hakim Mahkamah Konstitusi harus
memenuhi syarat:
a) warga negara Indonesia;
b) berijazah doktor dan magister15 dengan dasar sarjana yang berlatar
belakang pendidikan tinggi hukum;
c) bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia;
d) berusia paling rendah 47 tahun dan paling tinggi 65 tahun pada saat
pengangkatan;
e) mampu secara jasmani dan rohani dalam menjalankan tugas dan
kewibawaan;
f) tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan
pengadilan;
15 Frasa “dan magister” tersebut telah dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011 tanggal 18 Oktober 2011
38
g) tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan;
h) mempunyai pengalaman bekerja di bidang hukum paling sedikit 15
tahun dan/atau pernah menjadi pejabat negara16.
4. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
Pada Mahkamah Konstitusi sendiri memiliki dua macam sidang, yaitu
Sidang Yudisial dan Sidang Non-Yudisial. Sidang Yudisial terdiri atas Sidang
Panel dan Sidang Pleno. Sidang Non-Yudisial merupakan sidang yang
diselenggarakan dalam rangka pengucapan sumpah Ketua dan/atau Wakil
Ketua Mahkamah Konstitusi.
Sidang Panel, yang merupakan bagian dari Sidang Yudisial,
dilaksanakan untuk memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi
permohonan, dan dapat juga untuk memeriksa pokok permohonan. Pada
Sidang Panel ini, minimal 3 orang hakim harus hadir. Sedangkan Sidang
Pleno, yang merupakan bagian kedua dari Sidang Yudisial, dilaksanakan
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Seluruh hakim
Mahkamah Konstitusi harus hadir dalam Sidang Pleno ini, yakni 9 orang
hakim. Kecuali dalam keadaan luar biasa (keadaan di mana hakim berada
pada keadaan di luar kebiasaan/idealitas dari seorang hakim), hakim yang
hadir bisa dengan 7 orang saja.
16 Frasa “dan/atau pernah menjadi pejabat negara tersebut telah dinyatakan bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011 tanggal 18 Oktober 2011
39
Selain sidang-sidang yang sudah disebutkan di atas, Mahkamah
Konstitusi memiliki 2 model rapat, yaitu Rapat Yudisial dan Rapat Non-
Yudisial. Rapat Yudisial terdiri atas Rapat Panel Hakim dan Rapat
Permusyawaratan Hakim. Rapat Panel Hakim diselenggarakan untuk
menyusun laporan dan rekomendasi Panel Hakim mengenai pemeriksaan
pendahuluan dan pemeriksaan persidangan, yang dihadiri minimal 3 orang
hakim. Sedangkan Rapat Permusyawaratan Hakim diselenggarakan untuk
membahas atau memusyawarahkan perkara dan mengambil putusan. Pola
kehadiran hakim yang digunakan oleh Rapat Permusyawaratan Hakim ini
sama dengan pola yang digunakan oleh pola kehadiran hakim pada Sidang
Pleno.
Penyelenggaraan Rapat Non-Yudisial dimaksudkan untuk membahas
atau memusyawarahkan dan mengambil keputusan non-perkara. Pola
kehadiran hakim pun sama dengan pola yang digunakan pada Sidang Pleno
dan Rapat Permusyawaratan Hakim di atas. Dengan kata lain, Rapat Non-
Yudisial ini diselenggarakan hanya untuk membahas hal-hal internal
Mahkamah Konstitusi sendiri.
Pemohon yang mengajukan permohonan harus menyerahkan berkas
tertulis sebanyak 12 rangkap mengenai uraian permohonan secara jelas yang
ditandatangani oleh pemohon atau kuasa hukumnya, dan harus disertai alat
bukti yang mendukung permohonan yang dimohonkan. Setelah permohonan
dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi, Mahkamah akan
memberikan salinan permohonan kepada DPR dan Presiden paling lambat 7
40
hari, dan menetapkan hari sidang pertama paling lambat 14 hari kemudian.
Pihak terkait dalam permohonan harus sudah menerima pemberitahuan paling
lama 5 hari kerja. Pemohon dapat menarik kembali permohonan yang
dimohonkan ke Mahkamah Konstitusi paling lama ketika permohonan sudah
dalam pemeriksaan, dan penarikan permohonan mengakibatkan permohonan
tidak dapat diajukan kembali.
Para pihak, saksi, dan ahli wajib hadir memenuhi panggilan sidang
Mahkamah Konstitusi yang sudah diterima paling lambat 3 hari sebelum hari
persidangan. Jika saksi tidak hadir tanpa alasan yang sah meskipun sudah
dipanggil, Mahkamah Konstitusi dapat menghadirkan saksi secara paksa
dengan bantuan pihak kepolisian.
Pemeriksaan persidangan Mahkamah Konstitusi terdiri atas
pemeriksaan pokok permohonan, pemeriksaan alat bukti tertulis,
mendengarkan keterangan para pihak yang berperkara, mendengarkan
keterangan saksi, mendengarkan pendapat ahli, mendengarkan keterangan
pihak terkait, pemeriksaan rangkaian data, keterangan, perbuatan, keadaan
dan/atau peristiwa yang sesuai dengan alat bukti lain yang dapat dijadikan
petunjuk. Dan pemeriksaan alat bukti lain yang berupa informasi yang
diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat
optik atau yang serupa dengan alat bukti itu.
Selain hal-hal tersebut di atas, dalam hukum acara Mahkamah
Konstitusi dikenal penggunaan alat atau sistem elektronik. Pendaftaran
permohonan dapat dilakukan melalui sistem online, atau mendaftarkan
41
langsung ke situs resmi Mahkamah Konstitusi (www.mahkamahkonstitusi.
go.id). Begitu juga dengan dokumen-dokumen pendukung permohonan dapat
diajukan dengan mengirim surat elektronik (e-mail) ke alamat resmi milik
Mahkamah Konstitusi.
Kemudian dalam persidangannya, Mahkamah Konstitusi juga
menggunakan pemeriksaan jarak jauh (video conference). Penggunaannya
harus menghasilkan gambar secara langsung atau seketika dan suara yang
jelas (real time), atau serupa dengan gaya konvensional (berkomunikasi
secara langsung, berhadap-hadapan). Namun beban yang timbul akibat
pelaksanaan video conference tersebut ditanggung oleh pemohon, sedangkan
penggunaan fasilitas yang tersedia di Mahkamah Konstitusi tidak dikenakan
biaya.
Penggunaan perangkat eletronik tersebut dimaksudkan agar dapat
mewujudkan sistem peradilan yang modern, cepat, dan sederhana menerima
perkara. Mengingat juga bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan satu-
satunya peradilan yang berwenang mengadili perkara pengujian undang-
undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia,
pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran yang
dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden, pembubaran partai politik,
sengketa hasil pemilihan umum, dan sengketa konstitusional lembaga negara,
yang pemohonnya bisa saja dari seluruh pelosok wilayah Indonesia.
42
5. Pertimbangan Yang Digunakan Mahkamah Konstitusi Dalam Memutus Perkara
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi memutus perkara
berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sesuai dengan minimal 2 alat bukti dan keyakinan hakim, disertai dengan
pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan. Penetapan putusan
Mahkamah Konstitusi menggunakan metode Rapat Permusyawaratan Hakim
yang diselenggarakan untuk mencapai kemufakatan putusan perkara, dan jika
menemukan jalan buntu (dead lock) majelis hakim menggunakan cara
pemungutan suara terbanyak para hakim. Dan putusan Mahkamah Konstitusi
memperoleh kekuatan hukum tetap (final atau erga omnes, dan self executing)
sejak selesai diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum.
Dalam membuat pertimbangan atas putusannya, Mahkamah Konstitusi
berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia sebagai pemegang posisi tertinggi dalam hierarki peraturan
perundang-undangan di Indonesia, agar putusannya menimbulkan rasa adil.
Selain itu, Mahkamah Konstitusi dapat merujuk pada teori-teori yang
berhubungan dengan perkara yang diperiksa, dan risalah-risalah sidang
Majelis Permusyawaratan Rakyat maupun Dewan Perwakilan Rakyat yang
membahas khusus untuk itu.
Selain hal-hal tersebut di atas yang bersifat normatif atau merujuk pada
hal-hal yang diatur khusus untuk itu, Mahkamah Konstitusi dapat juga
menggunakan putusan pengadilan (yurisprudensi), kebiasaan-kebiasaan yang
43
hidup dan berkembang dalam kehidupan sehari-hari, serta kebiasaan
masyarakat internasional (international customary law atau jus cogens).
Dalam pengadilan Indonesia, yurisprudensi atau jus cogens tidak berlaku
secara imperatif. Dan dalam kenyataannya yurisprudensi tidak banyak
ditemukan17. Selanjutnya dipertegas oleh Jimly bahwa dalam sistem hukum
Indonesia, dipersyaratkan bahwa putusan pengadilan itu (i) harus sudah
merupakan putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijs), (ii)
dinilai baik dalam arti memang menghasilkan keadilan bagi pihak-pihak
bersangkutan, (iii) putusan yang harus sudah berulang beberapa kali atau
dilakukan dengan pola yang sama di beberapa tempat terpisah, (iv) norma
yang terkandung di dalamnya memang tidak terdapat dalam peraturan tertulis
yang berlaku, atau kalaupun ada tidak begitu jelas, dan (v) putusan itu dinilai
telah memenuhi syarat sebagai yurisprudensi dan direkomendasikan oleh tim
eksaminasi atau tim penilai tersendiri yang dibentuk oleh Mahkamah Agung
atau Mahkamah Konstitusi untuk menjadi yurisprudensi yang bersifat tetap.
Untuk diakui sebagai yurisprudensi yang bersifat tetap, putusan pengadilan
harus memenuhi kelima persyaratan tersebut secara kumulatif. Namun
demikian, sekali putusan pengadilan itu benar-benar dianggap sebagai
yurisprudensi, maka bagi para hakim di pengadilan, statusnya dianggap
17 Luhut M. P. Pangaribuan, 2008, Hukum Acara Pidana: Surat-Surat Resmi di Pengadilan
oleh Advokat (Praperadilan, Eksepsi, Pledoi, Duplik, Memori Banding, Kasasi, Peninjauan Kembali); Edisi Revisi Maret 2008, Jakarta, Djambatan, hlm. 19
44
sebagai salah satu sumber hukum yang mengikat seperti halnya undang-
undang.18
6. Akibat Hukum Yang Timbul Setelah Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Mengenai Pengujian Undang-Undang
Putusan Mahkamah Konstitusi mengikat secara umum sejak putusannya
dibacakan terbuka di depan umum pada sidang putusan Mahkamah
Konstitusi, karena Mahkamah Konstitusi merupakan pengadilan di tingkat
pertama dan terkahir yang putusannya bersifat final dan mengikat. Mengikat
secara umum yang dimaksud adalah tidak hanya berimplikasi terhadap
pemohon dan/atau termohon saja, melainkan juga berimplikasi terhadap
seluruh warga negara.
Karena Mahkamah Konstitusi merupakan bagian dari kekuasaan
yudikatif atau kekuasaan kehakiman, maka hakim dan putusan Mahkamah
Konstitusi haruslah merdeka dari intervensi pihak mana pun, sehingga
putusannya mencerminkan rasa keadilan bagi rakyat Indonesia. Selain itu,
telah dijelaskan pula dalam Penjelasan Umum tentang Mahkamah Konstitusi
bahwa “Keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang
berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka
menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai
dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi”.
18 Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara: Jilid I, Jakarta,
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
45
Mahkamah Konstitusi tidak dapat membatalkan Undang-Undang secara
keseluruhan, melainkan menyatakan bahwa materi atau pasal yang
dimohonkan “tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”. Mahkamah
Konstitusi tidak dapat memerintahkan pembuat Undang-Undang untuk
mengganti ataupun mengubah Undang-Undang yang telah diundangkan yang
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selanjutnya diatur
dalam Pasal 57 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi sebagaiman telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 24
Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi bahwa “Putusan Mahkamah
Konstitusi yang mengabulkan permohonan wajib dimuat dalam Berita Negara
dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak putusan
diucapkan”.
Putusan hakim konstitusi sebagai negative legislator mengikat secara
umum baik terhadap warga negara maupun lembaga-lembaga negara sebagai
penyelenggara kekuasaan pemerintahan. Akibatnya semua organ penegak
hukum, terutama pengadilan terikat untuk tidak menerapkan lagi hukum yang
telah dibatalkan tersebut. Putusan yang bersifat final dan memperoleh
kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka
untuk umum menyebabkan materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian
undang-undang ataupun undang-undang secara keseluruhan tidak lagi
mempunyai kekuatan hukum mengikat. Hal tersebut membawa implikasi atau
akibat hukum yang sama dengan diundangkannya satu undang-undang yaitu
46
bersifat erga omnes. Itu berarti bahwa putusan tersebut mengikat seluruh
warga negara, pejabat negara, dan lembaga negara.19
7. Judicial Review
Judicial Review merupakan salah satu kewenangan Mahkamah
Konstitusi sebagaimana yang telah diamanatkan oleh konstitusi Indonesia
melalui Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pada
masa sebelum amandemen atau perubahan atas Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, wewenang Judicial Review terletak
pada Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi negara saat
itu. Sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) TAP MPR RI Nomor
III/MPR/2000 bahwa “Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat”.
Judicial Review yang merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi
dapat disebut sebagai pelaksana fungsi kontrol antar 3 pemegang kekuasaan
negara yaitu kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan kekuasaan
yudikatif. Di mana dalam sistem ketatanegaraan Indonesia bahwa eksekutif
bersama-sama dengan legislatif membuat Undang-Undang. Sebagaimana
yang dikemukakan oleh Saldi Isra dalam penjelasannya mengenai judicial
review, bahwa dalam terminologi konstitusionalisme, secara simpel judicial
19 Maruarar Siahaan, “Check And Balances dan Judicial: Review dalam Legislasi di Indonesia”, 2012, (http://www.jimlyschool.com/read/analisis/333/checks-and-balances-dan-judicial-review-dalam-legislasi-di-indonesia/), diakses pada tanggal 17 Mei 2014
47
review dapat diterjemahkan sebagai konsep yang memiliki kaitan erat pada
konstitusi sebagai perangkat nilai serta aturan tertinggi dan dalam penjagaan
perangkat nilai tertinggi.20
Tidak dapat disangkal bahwa undang-undang yang dibuat oleh kedua
kekuasaan tersebut merupakan hasil dari kesepakatan politik pada saat itu.
Sedangkan mereka adalah representasi rakyat yang masuk ke dalam partai
politik, dan partai politik mempunyai misi dan ideologi tertentu sesuai dengan
kebutuhan partai politik itu sendiri21. Itu berarti produk yang dihasilkan
belum tentu sejalan dengan teori dan asas hukum legislasi pada umumnya
yang masih dipegang teguh oleh para akademisi.
Pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik di Indonesia,
menurut A. Hamid S. Attamini, bahwa asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang patut, khususnya ranah keindonesiaan, terdiri atas:
Cita Hukum Indonesia; Asas Negara Berdasar Hukum dan Asas
Pemerintahan Berdasar Sistem Konstitusi; dan asas-asas lainnya.22 Dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan, di samping menganut asas-asas
pembentukan perundang-undangan yang baik (beginselen van behoorlijke
wetgeving), juga harus berlandaskan pula pada asas-asas hukum umum, yang
terdiri atas hukum umum negara berdasar atas hukum (rechtstaat), asas
20 Saldi Isra, 2010, Disertasi: Pergeseran Fungsi Legislasi (Menguatnya Model Legislasi
Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia), Jakarta, Rajawali Pers, hlm. 293 21 Mahfud MD, 2009, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers, hlm. 348 22Bagir Manan, 2009, Yuliandari dalam buku: Asas-Asas Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan Yang Baik: Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, Jakarta, Rajawali Pers, hlm. 24
48
hukum umum pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi, asas hukum
negara berdasarkan kedaulatan rakyat.23
Tidak dapat dipungkiri bahwa hukum itu sendiri merupakan produk
politik yang dihasilkan oleh pembuat hukum, yaitu legislatif dan eksekutif,
yang berpotensi menyimpang dari norma-norma yang diatur dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Idealnya, hukum lah
yang mengatur politik sebagaimana konsep supremasi hukum tersebut di atas.
Namun harus disadari bahwa politik lah yang membuat hukum yang di
dalamnya mengatur bagaimana politik itu dijalankan, atau lebih luasnya
kehidupan berbangsa dan bernegara itu diatur.
Sebagaimana hasil telaah atas studi dalam bukunya, Mahfud MD
menyebutkan bahwa perkembangan karakter produk hukum senantiasa
dipengaruhi atau ditentukan oleh perkembangan konfigurasi politik. Artinya
konfigurasi politik tertentu ternyata selalu melahirkan karakter produk hukum
tertentu pula. Pada saat konfigurasi politik tampil secara demokratis, maka
karakter produk hukum yang dilahirkannya cenderung responsive/populistik.
Sedangkan ketika konfigurasi politik bergeser ke arah yang otoriter, maka
produk hukum yang lahir lebih berkarakter konservatif/ortodoks/elitis.24
Kehadiran Mahkamah Konstitusi adalah sebuah upaya memperkuat
mekanisme check and balances antar lembaga negara sehingga tidak terjadi
penyalahgunaan wewenang dalam penyelenggaraan negara sebagaimana
23 Loc.Cit 24 Mahfud MD, Op.Cit, Politik Hukum…, hlm 363
49
dikemukakan oleh Lord Acton, “power tends to corrupt, absolute power
corrupt absolutely”. Oleh karena itu sebagai pelaksanaan fungsi check and
balances, jika undang-undang produk legislatif ternyata terbukti melanggar
konstitusi dapat dibatalkan keberlakuannya oleh Mahkamah Konstitusi.25
Dalam hal ini, kontrol dalam bentuk judicial review tersebut dapat menjadi
sarana untuk melakukan purifikasi undang-undang yang dihasilkan lembaga
legislatif sehingga tidak merugikan masyarakat.26
8. Konvensi Ketatanegaraan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, konvensi memiliki definisi
“permufakatan” atau “kesepakatan”, terutama mengenai adat, tradisi, dan lain
sebagainya. Atau dengan ringkasnya, penulis menyimpulkan bahwa konvensi
merupakan sebuah kebiasaan yang terjadi tanpa didasari oleh sebuah
ketentuan tertulis yang sifatnya mengikat, dan para pihak yang mengikuti
kebiasaan tersebut secara tidak langsung atau tanpa ikrar menyepakati hal
yang menjadi kebiasaan itu, kesepakatan itu hanya sebatas tersirat karena
ditandai dengan tiadanya bantahan atau protes terhadap kebiasaan itu.
AV Dicey, seorang sarjana Inggris yang mula-mula mempergunakan
istilah konvensi sebagai ketentuan ketatanegaraan, menyatakan bahwa
25 Irfan Nur Rahman, Politik Hukum Pengaturan Right to Vote and Right to be Candidate
dalam Undang-Undang Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Mahkamah Konstitusi, Volume 10 Nomor 2, Juni 2013, hlm. 313
26 Syukri Asy’ari, Meyrinda Rahmawaty Hilipito, Mohammad Mahrus Ali, Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang (Studi Putusan Tahun 2003-2012), Jurnal Mahkamah Konstitusi, Volume 10 Nomor 4, Desember 2013, hlm. 679
50
Hukum Tata Negara (Constitutional Law) yang terdiri atas dua bagian,
yaitu27:
a) Hukum Konstitusi (The Law of the Constitution) yang terdiri dari: 1) Undang-Undang tentang Hukum Tata Negara (Statuta Law). 2) Common Law, yang berasal dari keputusan-keputusan Hakim
(Judge-made maxims) dan ketentuan-ketentuan dari kebiasaan serta adat temurun (tradisional).
b) Konvensi-konvensi Ketatanegaraan (Conventions of the Constitution) yang berlaku dan dihormati dalam kehidupan ketatanegaraan, walaupun tak dapat dipaksakan oleh pengadilan apabila terjadi pelanggaran terhadapnya.
Konvensi merupakan bagian dari konstitusi, yang berlaku dan dihormat
dalam kehidupan ketatanegaraan. Konvensi sebagai pelengkap dari aturan-
aturan tertulis, yang umumnya berlaku di negara-negara modern saat ini,
khususnya negara-negara yang berasaskan demokrasi. Konvensi atau
kebiasaan ketatanegaraan ini merupakan hukum tak tertulis yang secara tidak
langsung terpelihara dalam praktik ketatanegaraan. Sebagai contoh konvensi
ketatanegaraan adalah Presiden yang menyampaikan pidato kenegaraan di
penghujung jabatannya.
Kehadiran konvensi bukan untuk mengubah Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, konvensi tidak
boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, konvensi berperan sebagai partnership memperkokoh
27 AV Divey, 1999, dalam Dahlan Thaib (et.al): Teori dan Hukum Konstitusi (Edisi Ketiga,
2011), Jakarta, Rajawali Pers, hlm. 121
51
kehidupan ketatanegaraan Indonesia di bawah sistem Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia.28
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan dalam studi kasus terhadap Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 108/PUU-XI/2013 tanggal 26 Maret 2014 adalah
dengan menguraikan lebih dahulu mengenai pertimbangan-pertimbangan dan
amar putusan Mahkamah Konstitusi. Kemudian dilanjutkan dengan menjabarkan
secara urut mengenai sejarah dibentuknya Mahkamah Konstitusi, wewenang yang
dimiliki Mahkamah Konstitusi, syarat-syarat yang harus dimiliki hakim
Mahkamah Konstitusi, hukum acara Mahkamah Konstitusi, pertimbangan hukum
yang digunakan oleh majelis hakim Mahkamah Konstitusi dalam membuat
putusan, akibat hukum yang timbul setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi
perihal pengujian undang-undang, judicial review, dan konvensi ketatanegaraan.
Adapun pemaparan mengenai hal-hal tersebut yang diurutkan di atas
merupakan satu kesatuan yang harus diketahui agar pembaca dapat
membayangkan secara jelas mengenai Mahkamah Konstitusi beserta segala yang
melekat padanya. Perihal konvensi ketatanegaraan yang disertakan dalam
pemaparan di atas karena salah satu instrumen yang digunakan oleh Mahkamah
Konstitusi dalam memutus permohonan yang diajukan padanya berasal dari
konvensi atau kebiasaan ketatanegaraan, khususnya di Indonesia.
28 Dahlan Thaib (et.al), Ibid, hlm. 125
52
Daftar Pustaka
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pedoman
Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai
Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara
dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Beracara
dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman
Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden.
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara
dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara.
53
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 18 Tahun 2009 tentang Pedoman
Pengajuan Permohonan Elektronik (Electronic Filing) dan Pemeriksaan
Persidangan Jarak Jauh (Video Conference).
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2012 tentang Persidangan
Mahkamah Konstitusi.
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2012 tentang Produk Hukum
Mahkamah Konstitusi.
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 12 Tahun 2008 tentang Prosedur
Beracara dalam Pembubaran Partai Politik.
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 19 tentang Tata Tertib Persidangan.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011 tanggal 18 Oktober 2011.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108/PUU-IX/2014 tanggal 20 Maret 2014.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 tanggal 19 Mei 2014.
Buku
Dahlan Thaib, Jazim Hamidi & Ni’matul Huda, 1999, Teori dan Hukum
Konstitusi (Edisi Ketiga, 2011), Jakarta, Rajawali Pers.
Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara: Jilid I, Jakarta,
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia.
Kelsen, Hans, 2007, Teori Umum Hukum dan Negara: Dasar-Dasar Ilmu Hukum
Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik, Jakarta, Bee Media
Nusantara.
Luhut Pangaribuan, MP, 2008, Hukum Acara Pidana: Surat-Surat Resmi di
Pengadilan oleh Advokat (Praperadilan, Eksepsi, Pledoi, Duplik, Memori
54
Banding, Kasasi, Peninjauan Kembali), Edisi Revisi Maret 2008, Jakarta,
Djambatan.
Mahfud MD, Moh. 2010, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi,
Jakarta, Rajawali Pers.
———————, 2010, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen
Konstitusi, Jakarta, Rajawali Pers.
———————, 2009, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers.
Ridwan, HR, 2006, Hukum Administrasi Negara (Edisi Revisi), Jakarta, Rajawali
Pers.
Saldi Isra, 2010, Disertasi: Pergeseran Fugsi Legislasi (Menguatnya Model
Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia), Jakarta,
Rajawali Pers.
Widjaya, HAW, 2005, Penyelenggaraan Otonom di Indonesia, Jakarta, Rajawali
Pers.
Wijayanto dan Ridwan Zachrie, 2009, Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab,
Akibat, dan Prospek Pemberantasan, Jakarta, Gramedia.
Yuliandari, 2009, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang
Baik: Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, Jakarta,
Rajawali Pers.
Jurnal
Irfan Nur Rahman, “Politik Hukum Pengaturan Right to Vote and Right to be
Candidate dalam Undang-Undang Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi”,
Jurnal Mahkamah Konstitusi, Volume 10 Nomor 2, Juni 2013.
Syukri Asy’ari, Meyrinda Rahmawaty Hilipito, Mohammad Mahrus Ali, Model
dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-
Undang (Studi Putusan Tahun 2003-2012), Jurnal Mahkamah Konstitusi,
Volume 10 Nomor 4, Desember 2013.
55
Rujukan Elektronik
Jimly Asshiddiqie, “Sejarah Constitutional Review dan Gagasan Pembentukan
Mahkamah Konstitusi, (http://www.jimlyschool.com/read/analisis/276/
sejarah-constitutional-review-gagasan-pembentukan-mk/), diakses pada
tanggal 14 April 2014.
Mahfud MD, Moh. “MK dan Politik Perundang-Undangan di Indonesia”, 2009,
(http://www.mahfudmd.com/public/makalah/Makalah_4.pdf), diakses pada
tanggal 1 April 2014.
Maruarar Siahaan, “Check And Balances dan Judicial: Review dalam Legislasi di
Indonesia”, 2012, (http://www.jimlyschool.com/read/analisis/333/checks-
and-balances-dan-judicial-review-dalam-legislasi-di-indonesia/), diakses
pada tanggal 17 Mei 2014.
top related