implementasi kewenangan mahkamah konstitusi...

93
IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA HASIL PILKADA Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh: FACHRIZAL NIM. 1113048000060 KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1438 H/2017 M

Upload: ngokhanh

Post on 04-Jul-2019

236 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI

DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA HASIL PILKADA

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Syarat Guna Mencapai

Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

FACHRIZAL

NIM. 1113048000060

KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA

P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1438 H/2017 M

Page 2: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai
Page 3: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai
Page 4: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai
Page 5: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

v

ABSTRAK

Fachrizal. NIM 1113048000060. IMPLEMENTASI KEWENANGAN

MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA

HASIL PILKADA. Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum

Kelembagaan Negara. Fakultas Syariah dan Hukum. Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta, 1438/2017 M. ix +86 halaman + 6 halaman lampiran.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui implementasi kewenangan

sementara yang diamanatkan kepada Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan

sengketa hasil pilkada. Selain itu juga untuk mengetahui dampak dan efektivitas

penerapan regulasi penyelesaian Pilkada mengenai ketentuan ambang batas selisih

suara.yang kontradiktif dengan asas kepastian hukum.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian studi kepustakaan yang

dikolabirasikan dengan metode pengamatan atau observasi proses penyelesaian

sengketa hasil pilkada pada persidangan di MK menggunakan tinjauan literature

resmi yang dipublikasikan oleh lembabga Mahkamah Konstitusi tersebut. Dengan

argumentasi dan putusan hakim yang telah tercatat atau terkodifikasi dengan baik

seiring berjalanya pelanggaran. Proses penyelesaian sengketa didominasi perkara

yang gugur akibat tidak memenuhi ambang batas selisih penghitungan suara yang

terdapat pada pasal 158 Undang-Undang Pilkada.

Jumlah perkara yang teregistrasi ke Mahkamah Konstitusi yakni 53 perkara

sedangkan yang lolos hingga melaju ke proses sidang hanya 7 perkara. Hasil

penelitian menunjukkan bahwasanya pelanggaran terstruktur sistematis dan masif

dijadikan dalil utama oleh pihak yang berperkara demi mengesampingkan

ketentuan ambang batas.

Implementasi dari kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam penyelesaian

sengketa tersebut berkiblat pada keadilan yang substansial dengan tetap tunduk

terhadap konstitusi, serta sebagai upaya perlindungan terhadap hak konstitusional

warga negara. Namun di sisi lain unsur kepastian hukum dalam menjalankan

amanat Undang-Undang Pilkada bagi pihak yang bersengketa tidak terpenuhi

secara maksimal.

Kata Kunci : Kewenangan Mahkamah Konstitusi, Hak Konstitusional warga

Negara, Keadilan Substansial dan Asas Kepastian Hukum

Pembimbing : 1. Dr. Muhammad Maksum, S.H., MDC.

2. Drs. Sukadarto, S.H., M.M., M.H.

Daftar Pustaka : Tahun 2004 s.d. Tahun 2016

Page 6: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

vi

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan rahmat-

Nya, penyusunan skripsi yang berjudul “IMPLEMENTASI KEWENANGAN

MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA

HASIL PILKADA" dapat diselesaikan dengan baik, walaupun terdapat beberapa

kendala yang dihadapi saat proses penyusunan skripsi ini.

Hal ini tidak dapat dicapai tanpa adanya bantuan, dukungan, dan bimbingan

dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, dengan segala

kerendahan hati dan penuh rasa hormat saya ingin mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Dr. Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat,S.H., M.H., ketua Program Studi Ilmu Hukum

dan Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum., sekretaris Program Studi Ilmu Hukum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. Muhammad Maksum, S.H., M.A., MDC dan Drs. Sukadarto, S.H., M.M.,

M.H. Dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan

pikirannya. Beserta Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, khususnya Dosen Program Studi Ilmu Hukum yang telah

memberikan ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat untuk peneliti.

Page 7: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

vii

4. Muhmammad Sani, S.H. dan Tihana (Orang tua), Nur Meilinda (Kakak) yang

sangat sabar mendidik peneliti dari mulai lahir, sekarang, hingga seterusnya

tanpa kenal lelah serta memberikan dukungan materiil, immateriil beserta doa

kepada peneliti. Kemudian Lisa Kurniati (Adik) yang selalu memberikan

dukungan dalam penyelesaian skripsi. Semoga Peneliti Sukses secepatnya dan

Allah SWT Selalu memberkati langkah kaki kita.

5. Sahabat-sahabat yang peneliti sayangi, yakni group “UNO” (Pangki Ladipa,

Rekky Prasetyo, Irfan Saputra, Topan Rohmattulah, Kurnia Dwi Sulistiorini,

Andhitta A.D, Tika Arizkya, Puti Shakina, dan Wardah Humaira) dan “Audit

Bahagia” (Daryanto Wibowo, Ahmad Syahroni, M. Hanafi, Jafar Shiddiq,

Reyza Ramadhan, Rahmat Ivan, Fachri Hafizd, Shabir M, dan kawan

seperjuangan lainnya) yang selalu menemani dan mewarnai hari-hari peneliti

selama di kampus terimakasih untuk 8 semester yang singkat ini kawan.

Semoga silaturahim dan komunikasi kita tidak akan terputus hingga tua nanti.

6. Kerabat terdekat Ilmu Hukum Konsentrasi Kelembagaan Negara khususnya

Silvia Amanda, Ismatun Nadhifa, Reyza Ramadhan dan kawan yang lainnya

serta Senior Abang Muhammad Anshor, S.H. dkk. Terima kasih atas

dukungannya dan menjadi tempat bertukar pikiran dan berkeluh kesah penulis.

Semoga pertemanan dan silaturahim kita tak akan lekang oleh jarak dan waktu.

7. Keluarga besar Ilmu Hukum angkatan 2013, Junior dan Senior Ilmu Hukum

UIN Jakarta khususnya Terimakasih telah menemani mengarahkan serta

berkontribusi selama berproses di dunia perkuliahan dan memberikan dorongan

semangat dalam kelancaran skripsi Peneliti.

Page 8: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

viii

8. Teman-teman Kuliah Kerja Nyata (KKN) Damai 2016, Ahmad Muflih, Ida

Fitriyah, Wahyu Andhika, Nur Nazmi Laila, Khoirurrrahman, Ririn Puspita,

Nurul Mustofa, Syaviera Dena, Ahmad Husni, Athfan Radhibillah. Telah

menemani dan memberikan banyak inspirasi kepada penulis serta menularkan

nilai-nilai tentaNg kehidupan yang memotivasi peneliti.

9. Semua Pihak terkait yang tidak d apat peneliti sebutkan satu persatu. Tidak ada

yang Peneliti bisa berikan untuk membalas jasa-jasa kalian kecuali doa dan

ucapan terima kasih. Akhir Kata, Peneliti berharap semoga skripsi ini dapat

bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya. Terima kasih.

Jakarta, September 2017

Fachrizal

Page 9: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ................................................................ iii

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iv

ABSTRAK ......................................................................................................... v

KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi

DAFTAR ISI ........................................................................................................ ix

BAB I: PENDAHULUAN ........................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1

B. Identifikasi Masalah ......................................................................... 7

C. Pembatasan dan Rumusan Masalah ................................................. 8

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 8

E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ............................................ 10

F. Metode Penelitian. ......................................................................... 14

G. Sistematika Penulisan .................................................................... 16

BAB II : TEORI HUKUM DAN DEMOKRASI ........................................ 19

A. Teori Demokrasi dan Negara Hukum ............................................ 19

B. Teori Trias Politika & Asas Dalam Prinsip Negara Hukum .......... 23

C. Teori Hukum Progresif dan Keadilan Substantif .......................... 32

BAB III: TINJAUAN UMUM PENANGANAN PERKARA SENGKETA

HASIL PILKADA ........................................................................ 36

A. Mahkamah Konstitusi Sebagai Lembaga Yudikatif ...................... 36

B. Sengketa Pilkada, dan Norma Hukum didalamnya ....................... 41

C. Pengajuan Sengketa Hasil Pilkada 2017 ........................................ 45

D. Mahkamah Konstitusi Sebagai Pelaksana UU Pilkada .................. 48

Page 10: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

x

BAB IV : MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MEMUTUS SENGKETA

HASIL PILKADA ......................................................................... 51

A. Perkara Sengketa Hasil Pilkada Yang Diajukan Kepada

Mahkamah Konstitusi .................................................................... 51

B. Pandangan Mengenai Kriteria Ambang Batas dan Realitas di

Persidangan .................................................................................... 61

C. Efektivitas Penerapan UU Pilkada ................................................. 67

BAB V : PENUTUP ..................................................................................... 72

A. Kesimpulan .................................................................................... 72

B. Saran .............................................................................................. 73

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 74

LAMPIRAN -LAMPIRAN ................................................................................. 76

Page 11: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia memiliki sejarah demokrasi yang panjang dan khas hingga detik ini.

Konsep dan stigma sebagai suatu negara hukum telah sangat jelas termaktub dalam

pasal 1 ayat (1) UUD 1945. Dalam implementasinya kedua hal tersebut tentu

haruslah berjalan secara beriringan, sehingga terbentuk suatu konsep negara yang

mapan, demokratis, adil, dan sejahtera. Fenomena inilah yang sebenarnya menjadi

suatu hal yang belum ditemui dalam sistem kelembagaan yang diimbangi dengan

kepastian hukum yang jelas.

Prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat dapat menjamin peran serta

masyarakat yang mana direfleksikan dalam hal memilih pemimpin mereka karena

dalam negara demokrasi rakyat harus dilibatkan secara aktif. Indonesia merupakan

negara yang menganut sistem demokrasi dengan menempatkan manusia sebagai

pemilik kedaulatan yang biasa disebut kedaulatan rakyat.1 Pelaksanaan demokrasi

tersebut dituangkan melalui proses pemilu. Rakyat sebgai ujung tombak

demokrasi diberi wewenang untuk menentukan secara mutlak siapa pemimpin

mereka dengan mekanisme berupa pemilihan umum. Hal ini sesuai dengan apa

yang telah tertulis dalam pasal 1 ayat (2) UUD yang menyatakan :”kedaulatan

berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang - Undang Dasar”.

1 Janedjri M. Gaffar, Politik Hukum Pemilu, (Jakarta : Konstitusi Press, 2013), h. 77.

Page 12: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

2

Terkait dengan prinsip demokrasi yang melekat pada bangsa ini,perlu

diketahui bahwasanya salah satu syarat pokok demokrasi adalah adanya sistem

pemilihan umum yang jujur dan adil (free and fair elections). Pemilu jujur dan adil

dapat dicapai apabila adanya tingkat kesadaran dam kedewasaan rakyat dalam

berdemokrasi. Terlepas dari itu tersedianya perangkat hukum yang mengatur

proses pelaksanaan pemilu; sekaligus melindungi para penyelenggara, kandidat,

pemilih, pemantau, dan warga negara pada umumnya dari ketakutan, intimidasi,

kekerasan, penyuapan, penipuan, dan berbagai praktik curang juga dibutuhkan

sebagai perangkat penting dalam pemilu. Oleh karena itu, pemilu yang jujur dan

adil membutuhkan peraturan perundang-undangan beserta aparat yang bertugas

menegakkan peraturan perundang-undangan pemilu tersebut.2

Dalam beberapa hal perlu diketahui, beberapa produk hukum yang dihasilkan

lembaga legislatiflah yang terkadang belum memenuhi unsur kepastian hukum.

Terlebih dalam hal kewenangan lembaga negara yang mana memiliki peran sentral

dalam penegakan dan penyelesaian suatu sengketa hukum dalam pesta demokrasi

yang berlangsung ke depan, padahal inilah sejatinya yang dijadikan sebagai salah

satu tolak ukur apakah negara tersebut secara utuh telah menganut prinsip sebagai

negara hukum yang menjunjung tinggi pula nilai demokrasi didalamnya.

Kondisi seperti ini yang kerap menimbulkan suatu ketimpangan dalam proses

penegakan hukum yang ada di Indonesia. Meskipun secara sistem pemerintahan

2 Arif Wibowo, Menata Ulang Sistem Penyelesaian Sengketa dan Pelanggaran Pilkada- dlm

buku Demokrasi local, (Jakarta, Konstitusi Press, 2013) h. 117.

Page 13: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

3

sudah dapat dikatakan baik tetapi jika salah satu substansi instrumen penegakan

hukum yang ada tidak memadai maka sejatinya negara tersebut belum dapat

dikatakan dapat menjalankan pemerintahan yang baik (good governence).3

Jika ditelisik perjalanan demokrasi bangsa Indonesia bukan tanpa halangan

dan rintangan. Berjalannya proses hukum yang beriringan dengan proses politik

yang ada kerap turut mengawal dan mewarnai dinamika kehidupan berdemokrasi

di bangsa ini. Kondisi seperti yang tergambarkan diatas pernah dirasakan bersama

dari mulai era Pemilihan Umum masih menggunakan sistem perwakilan hingga

menjadi demokrasi langsung yang rutin dilaksanakan kerap kali diwarnai problem

sengketa terhadap hasil keputusan yang diterbitkan badan independen negara

yakni KPU sebagai Pelaksana dalam pesta demokrasi yang berlangsung. Dapat

diketahui bahwasanya rezim pemilu sendiri dalam kewenangan penyelesaian

sengketanya oleh Mahkamah Konstitusi melalui amanat UUD 1945. Berbeda

dengan Pilkada yang tidak dapat dikatakan secara mutlak terletak dalam rezim

pemilu, dimana sempat beberapa kali diombang-ambing regulasinya terkait

kewenangan penyelesaian sengketa hasil Pilkada tersebut. Yang lebih menarik

perhatian publik yakni pada momentum terselengaranya Pilkada langsung secara

serentak yang menjadi proyeksi besar dalam pesta demokrasi di Indonesia

3 Soehino, Ilmu Negara, (Yogyakarta: liberty, 2007), h. 123

Page 14: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

4

regulasinya sempat beberapa kali berubah atau direvisi dalam kurun waktu yang

cukup singkat guna beradaptasi dengan situasi politik hukum yang ada.4

Dalam proses penyelesaian sengketa hasil Pilkada beberapa kali terjadi pola

pelimpahan kewenangan, seperti yang mana terjadi pada dua Lembaga Peradilan

yang merupakan kiblat keadilan tertinggi di Indonesia yakni Mahkamah Konstitusi

dan Mahkamah Agung bergantian pernah mengemban amanat untuk menangani

sengketa Pilkada. Fenomena ini sebelumnya dipicu oleh DPR yang mana sebagai

lembaga Legislatif menafsirkan adanya salah satu pasal dalam UUD 1945 yakni

pasal 18 ayat (4) yang menyebutkan bahwasanya “Gubernur, Bupati dan Walikota

masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota

dipilih secara demokratis” yang mana dari sinilah DPR mulai merumuskan dan

menghasilkan beberapa regulasi terkait pelaksanaan Pemerintahan Daerah yang

kemudian dipartisi kembali demi kebutuhan hukum yang lebih spesifik lagi

kedalam tiga UU berbeda yakni UU tentang Pemerintahan Daerah, UU tentang

Desa, dan UU tentang Pilkada. Dari UU Pilkada tersebutlah yang mana isinya

memicu untuk adanya regulasi mencakup penetapan prosedur pemilihan secara

langsung, hingga ke ranah pengaturan mengenai lembaga yang berwenang apabila

terjadi perselisihan hasil Pilkada yang ada.

Berbicara mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi sesungguhnya hal

tersebut sangat jelas diuraikan dalam Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

4 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika,

2010), h.116

Page 15: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

5

yang menyatakan “Mahkamah konstitusi berwenang mengadili pada tingkat

pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-

Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan

lembaga negara yang kewenangannya di berikan Undang Undang Dasar, memutus

pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang pemilihan umum”.

Asumsi dan pandangan yang kini ada bahwasanya MK dapat diberi

kewenangan lebih untuk menangani sengketa pilkada bukan hal yang ringan dan

tanpa regulasi khusus yang mengamanatkan secara eksklusif kepada MK,

semuanya telah terbackup melalui UU Pilkada yang memang sempat beberapa kali

mengalami revisi namun pada akhirnya bermuara kembali ke MK sebagai lembaga

yang dianggap kredibel dan baik secara kinerja melalui Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan

Walikota Menjadi Undang-Undang5

Lebih spesifik lagi dalam pelaksanaan Pemilu Kepala daerah atau sering

disebut Pilkada yang mana berdasarkan UU Pilkada terbaru yakni Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur,

5 Topo Santoso, Penegakan Hukum Pemilu – praktik Pemilu 2004, Kajian Pemilu 2009-2014

(Jakarta : PerludemUS-AID, DRSP), h. 5

Page 16: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

6

Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang.dalam Pasal 157 ayat (1), (2), dan

(3) Yang menyebutkan bahwasanya Perkara perselisihan hasil Pemilihan

diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus yang dibentuk sebelum

pelaksanaan pemilihan serentak nasional. Perkara perselisihan penetapan

perolehan suara tahap akhir hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah

Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus tersebut.

Terlihat secara eksplisit bahwasanya Mahkamah Konstitusi merupakan

lembaga yang kini diamanatkan memiliki kewenangan yang sifatnya sementara

dalam menangani perkara penyelesaian sengketa hasil Pilkada.

Peranan dari Mahkamah konstitusi di sini bukan tanpa regulasi yang

menjabarkan mengenai prasyarat atau kriteria sengketa yang dapat diputus dalam

menjalankan tugasnya melindungi hak konstitusi bagi para calon pemimpin daerah

tersebut yang telah terenggut atau dicurangi dalam pelaksaan pemilihan kepala

daerah. Adapun dalam pasal selanjutnya yakni pasal 158 Undang-Undang Pilkada

ini turut menjabarkan dan membahas mengenai ambang batas selisih perolehan

suara yang dapat diajukan kepada MK yang mana pasalnya berisi mengenai

pengaturan terhadapa peserta pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dapat

mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara dengan

ketentuan ambang batas selisih perolehan suara untuk tingkat Provinsi dan

Kabupaten ketentuan persentase berkisar antara 0,5% sampai 2% bergantung

dengan Jumlah penduduknya dengan rasion penduduk lebih tinggi jumlah

persentasenya lebih rendah.

Page 17: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

7

Berkenaan dengan latar belakang di atas, maka dilakukan penelitian terhadap

substansi hukum dari pada Lembaga Yudikatif yang sejatinya berwenang dalam

penyelesaian sengketa Pilkada yang dipengaruhi kriteria perkara melalui ambang

batas selisih perolehan suara dalam regulasinya. Dalam penelitian ini, peneliti

memfokuskan penelitian pada Implementasi Kewenangan Mahkamah Konstitusi

yang diamantkan melalui UU Pilkada yang terhitung masih baru ini, dengan

analisis yang sifatnya normatif empiris terkait penerapan wewenang dan peranan

Mahkamah Konstitusi sebelum Peradilan khusus terbentuk sesuai yang termaktub

dalam pasal 157 UU Pilkada yang mana diarahkan melalui pengaturan ambang

batas selisih perolehan suara yang dapat disengketakan sesuai dengan ketentuan

pasal 158 UU Pilkada tersebut. Oleh karena itu, judul dalam penelitian ini adalah

“IMPLEMENTASI KEWENANGAN DALAM PENYELESAIAN

SENGKETA HASIL PILKADA OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI”.

B. Identifikasi Masalah :

Berdasarkan latar belakang masalah yang dijabarkan sebelumnya, maka

identifikasi masalah penelitian ini sebagai berikut :

1. Proses penyelesaian sengketa hasil Pilkada Serentak yang menerapkan

ambang batas selisih

2. Lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa dalam Pilkada secara

keseluruhan sifatnya terpartisi tidak dalam satu lembaga khusus

3. Substansi hukum dalam Undang-Undang Pilkada tentang penyelesaian

sengketa Pilkada

Page 18: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

8

4. Implementasi kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam penyelesaian

sengketa hasil Pilkada.

C. Pembatasan dan Rumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Karena cakupan identifikasi masalah di atas cukup luas, dikhawatirkan

nantinya akan ada keterbatasan dari peneliti secara keseluruhan maka penelitian

hanya akan dibatasi pada aspek Implementasi kewenangan Mahkamah

Konstitusi dalam menerima perkara melalui ketentuan ambang selisih

perolehan suara.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah dan pembatasan masalah yang telah

dipaparkan sebelumnya, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam

penelitian ini meliputi:

Bagaimana Implementasi kewenangan sementara yang diamanatkan kepada

Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan sengketa hasil pilkada melalui

ketentuan ambang batas selisih perolehan suara?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui implementasi kewenangan sementara yang

diamanatkan kepada Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan

sengketa hasil pilkada

Page 19: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

9

b. Untuk mengetahui dampak dan efektivitas penerapan regulasi

penyelesaian Pilkada mengenai ketentuan ambang batas selisih

suara.yang kontradiktif dengan asas kepastian hukum

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Peneliti berharap hasil penelitian ini dapat menambah wawasan dan

pengetahuan pembaca mengenai efektivitas pasal-pasal yang terdapat

pada Undang-Undang (UU Pilkada) hasil kinerja lembaga Legislatif yang

diimplementasikan terkait dengan unsur hukum mengenai penentuan

ambang batas selisih suara yang berimplikasi kepada wewenang

Mahkamah Konstitusi dalam Penyelesaian Sengketa Hasil Pilkada.

b. Manfaat Praktis

Peneliti berharap hasil penelitian ini menjadi masukan ataupun saran

untuk:

Pemerintah melakukan pembenahan dalam pembentukan peraturan

perundang-undangan, DPR sebagai badan Legislatif membentuk regulasi

yang lebih ideal serta mengesampingkan kepentingan politisnya guna

mengutamakan aspek kepentingan rakyat. Demi menunjang pelaksanaan

Pilkada yang demokratis namun berlandaskan keadilan, sebuah

sistematika penyelesaian sengketa hasil Pilkada perlu lebih ditingkatkan

untuk mengedepankan efektivitas dalam penyelesaian sengketa hasil

pilkada.

Page 20: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

10

E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Sepanjang pengetahuan peneliti, penelitian ataupun kajian terdahulu yang

pernah dilakukan dalam hal terkait penyelesaian sengketa dalam Pilkada adalah:

1. Penelitian yang disusun dalam skripsi yang berjudul “Independensi Dan

Akuntabilitas Mahkamah Konstitusi Dalam Memutus Perkara Pemilu

Kepala Daerah Lebak Banten (Analisis Putusan MK No. 111/PHPU.D-

XI/2013)” yang disusun oleh Eka Sari Saputri, Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta Tahun 2014, yang membahas

tentang alasan serta asumsi yang sifatnya yuridis dalam isi putusan

tersebut. Uniknya dalam putusan tersebut amat sering muncul dissenting

opinion dalam majelis. Adapun pada akhirnya memang disini ketua MK itu

sendirilah yang pada dasarnya memiliki jiwa yang besar pada awalnya

namun tergerus sendirinya Karena kasus korupsi yang ia timpa. Jelas

berbeda dengan skripsi peneliti yang membahas tentang UU Pilkada yang

melatarbelakangi wewenang Mahkamah Konstitusi.

2. Penelitian yang disusun dalam skripsi yang berjudul “Penghapusan

Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Sengketa Pemilukada

(Analisis Putusan MK No. 97/PUU-XI/2013)” yang disusun oleh Jentel

Chairnosia, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta

Tahun 2011, yang membahas tentang alasan serta asumsi yang sifatnya

yuridis dalam hal pemindahan kewenangan memutus perkara Pilkada

Page 21: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

11

dimana didalamnya mencakup bahasan mengenai sistem kewenangan yang

dianut MK khusus untuk menangani sengketa rezim Pemilu secara general

kepada Pilpres dan Pileg, sehingga dalam implementasinya MK

membatalkan produk hukum yang menyatakan MK berhak dan memiliki

wewenang perkara Pemilukada. Jelas berbeda dengan skripsi peneliti yang

membahas tentang UU Pilkada yang melatarbelakangi wewenang

Mahkamah rKonstitusi.

3. Dalam buku karya Veri Junaidi yang berjudul “ Mahakamah Konstitusi

Bukan Mahkamah Kalkulator” .Buku ini membahas tentang analisis yang

menyajikan pemetaan awal untuk merumuskan bentuk-bentuk pelanggaran

sistematis, terstruktur dan massif. Peta awal ini akan berguna bagi

pembentuk undang-undang untuk memberikan rambu-rambu dalam

penyelesaian perselisihan hasil Pemilukada di MK. Pada akhirnya,

kelemahan atas penyelesaian perselisihan hasil pemilukada oleh MK bisa

tertutupi tanpa harus berfikir untuk mencabut wewenangannya. Bahasan

buku ini tidak hanya menjadi rekomendasi bagi pembentuk undang-

undang, kebutuhan empirik bagi praktisi, namun juga menarik menjadi

kajian akademik mengingat belum banyak literatur terkait kewenangan

MK satu ini.. Jelas berbeda dengan skripsi peneliti yang membahas tentang

UU Pilkada yang melatarbelakangi wewenang Mahkamah Konstitusi.

4. Penelitian oleh Dian agung Wicaksono dan Ola Anisa Ayutama dalam

Jurnal Rechtvinding Volume 4, Nomor 1, April 2015 dengan judul “Inisiasi

Page 22: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

12

Pengadilan Khusus Pemilihan Kepala Daerah dalam Menghadapi

Keserentakan Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota di Indonesia.

Yang mana di dalamnya menjabarkan secara detail mengenai Sejarah

Perjalanan Pilkada yang mulai diterapkan secara serentak. Sistematika

pelaksanaan pemilu dan penyelesaian sengketa hasil Pilkada yang ideal.

Serta secara detail menggambarkan kondisi hukum pemilu yang ada di

Indoesia dari mulai dan sebelum demokrasi secara langsung diberlakukan

hingga saat pemilu serentak diadakan. Jelas berbeda dengan skripsi peneliti

yang membahas tentang UU Pilkada yang melatarbelakangi wewenang

Mahkamah Konstitusi.

F. Metode Penelitian

1. Tipe Penelitian

Dalam mengkaji dan membedah permasalahan tipe penelitian ini adalah

penelitian yuridis normative dengan data kualitatif, yaitu penelitian yang

bertujuan untuk memberikan gambaran serta penjelasan atau merumuskan

masalah sesuai dengan keadaan/fakta yang ada dengan membandingkan

kepada teori atau norma hukum yang ada dan seharusnya diterapkan .6

6 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, Cet. IV, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008),

h. 9

Page 23: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

13

2. Pendekatan Penelitian

Mengingat tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian normative

empiris, yaitu suatu penelitian terhadap efektivitas dan kualitas hukum yang

sedang berlaku, maka dari itu pendeketan yang dilakukan terfokus pada data

mengenai efektivitas dan kualitas hukum Undang- Undang Pilkada yang

berimplikasi dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi.

Dalam studi hukum, pendekatan diperlukan untuk mendapatkan

informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari

jawabannya. Pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah

Pendekatan Undang-Undang (Statue approach) ,pendekatan tersebut

menggunakan legislasi dan regulasi yang bertumpu dengan hirarki perundang-

undangan dan materi muatan didalamnya.7

Pendekatan Sosiologis juga digunakan untuk membantu melihat hukum

dari segi penerapan dan efektivitas dari regulasi yang dikaji, untuk

mengevaluasi efektivitas peraturan yang diterapkan.8

3. Sumber Bahan Hukum

1) Bahan Hukum Primer

7 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, (Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, 2015), h. 136 8 Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:

LembagaPenelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010), h.50

Page 24: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

14

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat

autoritatif, artinya mempunyai otoritas. 9 Dengan kata lain, bahan

hukum primer merupakan bahan-bahan hukum yang mengikat.10 Dalam

penelitian ini digunakan peraturan perundang-undangan,

Yurisprudensi, dan Perpu yang berkaitan dengan penelitian ini,

diantaranya adalah:

a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

b) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016

Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun

2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan

Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang.

c) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003

Tentang Mahkamah Konstitusi

d) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011

Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

2) Bahan Hukum Sekunder

9 Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:

LembagaPenelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010)., h. 181 10 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Cet. VIII, (Jakarta:

Rajawali Pers, 2014), h. 31

Page 25: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

15

Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer, 11 seperti: rancangan

undang-undang, buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum, hasil

penelitian, pendapat pakar hukum, teori atau pendapat sarjana,

penelusuran internet, majalah, jurnal, surat kabar, makalah, dan

sebagainya.

3) Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder,12 seperti kamus (hukum), ensiklopedia, dan sebagainya.

4. Prosedur Pengumpulan Bahan

Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penelitian ini, maka

peneliti menggunakan prosedur pengumpulan bahan dengan cara:

a. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan dilakukan dengan cara mempelajari dan menganalisa

secara sistematis bahan-bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum

primer, bahan hukum sekunder, dan badan hukum tersier yang

berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.

b. Pengamatan atau observation

11 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Cet. VIII, h. 31

12 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Cet. VIII., h. 32

Page 26: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

16

Pengamatan atau observation dilakukan dengan cara mengamati suatu

hal yang menjadi objek dalam penelitian untuk memperoleh dasar bagi

perumusan masalah yang tidak ditemukan dalam teori, dan sekaligus

memberikan ruang lingkup tertentu bagi perumusan masalah penelitian.

5. Pengolahan dan Analisa Bahan Hukum

Bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi kepustakaan,

wawancara, dan observasi akan peneliti uraikan dan hubungkan sedemikian

rupa, sehingga disajikan dalam penelitian lebih sistematis guna menjawab

permasalahan yang telah dirumuskan dalam skripsi ini. Cara pengolahan data

dilakukan dengan cara deduktif, yakni menarik kesimpulan dari suatu

permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang

dihadapi.13

6. Teknik Penulisan

Teknik penulisan dan pedoman yang digunakan peneliti dalam skripsi

ini berdasarkan kaidah-kaidah dan teknik penulisan yang terdapat dalam

“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2013”.

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun dengan sistematika yang terbagi kedalam lima bab.

Masing-masing bab terdiri atas beberapa sub-bab guna lebih memperjelas ruang

13 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,

2015), h. 180

Page 27: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

17

lingkup dan cakupan permasalahan yang dinteliti. Adapun urutn dan tata letak

masing-masing bab serta pokok pembahasannya sebagai berikut :

Bab I : Pendahuluan

Merupakan bagian pendahuluan yang berisikan latar belakang masalah

tema yang penulis bahas, yang terdapat beberapa identifikasi masalah

dan di rumusan masalah ke dalam rumusan masalah,dan berisikan

tujuan dan manfaat dari penelitian, tinjauan kajian terdahulu, kerangka

konseptual, metode penelitian, dan sistematika penulisan

Bab II: Teori Hukum dan Demokrasi

Merupakan bagian kedua yang memuat beberapa teori yang menjadi

landasan berfikir dalam permasalahan yang dibahas yang saling

memiliki keterkaitan hukum, dan prinsip dasar penerapan demokrasi di

Indonesia.

Bab III: Tinajuan Umum Penanganan Perkara Sengkerta Hasil Pilkada

Merupakan bagian ketiga yang memuat mengenai penyajian data

lembaga peradilan secara umum yang mememiliki peran dalam proses

sengketa Pilkada di Indonesia. Penjelasan mengenai data kongkret

penyelesaian sengketa Pilkada sebelumnya dan kredibilitas lembaga

terkait.

Bab IV: Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Memutus Sengketa Hasil Pilkada

Page 28: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

18

Merupakan bagian yang membahas secara mendalam fokus utama

disertai dengan hasil analisi data secara mendalam mengenai

Implementasi hukum dari Undang-Undang Pilkada.

Bab V: Penutup

Pada bab ini berisi kesimpulan dan saran-saran yang dapat diberikan

oleh penulis.

Page 29: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

19

BAB II

TEORI HUKUM DAN DEMOKRASI

A. Teori Demokrasi dan Negara Hukum

Permasalahan terkait demokrasi merupakan perbincangan yang aktual namun

juga klasik dalam suatu sistem pemerintahan. Hal ini tidak terlepas dari prinsip

demokrasi itu sendiri yang dinilai memiliki peran ideal dalam menunjang

pemerintahan, yang mana rakyat menjadi titik berat dalam menjalankan

pemerintahan suatu negara1

Secara etimologis atau bahasa demokrasi itu sendiri berasal dua suku kata yakni

dari kata demos (rakyat) dan kratein atau kratos (kekuasaan), dari kata ini dapat

diasumsikan bahwasanya kekuasaan Negara itu bersumber dan berasal dari rakyat,

oleh rakyat, dan untuk rakyat.2 Rakyatlah penentu akhir penyelenggaraan kekuasaan

dalam suatu negara. Pada era modern ini demokasi secara luas dianggap sebagai

konsep yang diidealkan oleh semua Negara di dunia. Meskipun dalam praktik

penerapannya, tergantung kepada penafsiran masing-masing Negara dan para

penguasa di Negara-negara yang menyebut dirinya demokrasi.

Demokrasi mempunyai kelemahan yaitu pada demokrasi terlalu mengandalkan

diri pada prinsip suara mayoritas sesuai dengan doktrin “one man one vote” adapun

1 Abu Daud Busroh , Ilmu Negara. (Jakarta : Sinar Grafika , 2011, cet. Keenam), h.211 2 A. Salman Manggalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara

(Aktualisasi dalam Teori Negara Indonesia), (Jakarta : Prodi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah dan

Fajar Media, 2013, Cet. Pertama), h.220.

Page 30: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

20

pihak mana yang paling banyak suaranya, ialah yang paling menentukan keputusan.

Padahal, mayoritas suara belum tentu mencerminkan kebenaran dan keadilan.3

Dalam penerapan demokrasi khususnya di Indonesia sejarah menyebutkan

bahwasanya konsep pemikiran yang ditawarkan demokrasi yakni tidak lain dan

tidak bukan bertujuan untuk meniadakan kesenjangan sosial dan menyatukan

keberagaman yang sejatinya menjadi identitas negara Indonesia. Dengan

berlandaskan pancasila, demokrasi berimplikasi sebagai poros jalannya

pemerintahan dari awal kemerdekaan hingga dewasa ini. Perjalanan sejarah

tersebutlah yang memberikan warna tersendiri akan corak demokrasi di era

pemerintahan yang berkuasa pada masanya. Hingga kini demokrasi masih mengalir

dalam setiap sendi-sendi pemerintahan yang ada, ditopang dengan pembagian

wewenang berlandasakan pada asas check and balances perkembangan sistem

demokrasipun menjadi amat pesat hingga menentuh pada level pemilihan kepala

daerah secara langsung oleh rakyat. Namun di sisi lain bukan tanpa celah,terkadang

demokrasi juga dimanfaatkan sebagai instrumen meraih kekuasaan dengan

menghalalkan segala cara untuk memperoleh suara lebih maksimal manghancurkan

lawan politiknya.4 Disinilah celah daripada demokrasi yang perlu dibenahi terlebih

apabila adanya timbul persaingan politik yang tidak sehat dan justru merugikan

kepentingan rakyat yang terintimidasi kepentingan individu semata.

3 Abu Daud Busroh , Ilmu Negara. (Jakarta : Sinar Grafika , 2011, cet. Keenam), h.210 4 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta : Nusa media, 2010) h.113

Page 31: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

21

Atas dasar kelemahan yang dimiliki demokrasi tersebut proses pengambilan

keputusan dalam dinamika kekuasaan Negara harus diimbangi dengan prinsip

keadilan, nomokrasi, atau the rule of the law.5 Prinsip inilah yang dinamakan prinsip

Negara hukum, yang mengutamakan kedaulatan hukum, prinsip supremasi hukum

(supremacy of law), atau kekuasaan tertinggi di tangan hukum.6

Teori negara hukum secara umum dibagi ke dalam dua jenis, yaitu teori negara

hukum formal dan teori negara hukum material. Pertama, teori negara hukum

formal, dipelopori oleh Immanuel Kant. Teori mengakibatkan negara bersifat pasif,

artinya tugas negara hanya mempertahankan ketertiban dan keamanan negara saja,

atau negara hanya sebagai ”penjaga malam”, sedangkan dalam urusan sosial

maupun ekonomi, negara tidak boleh mencampurinya.

Kedua, teori negara hukum material (welfare state), yang dipelopori oleh

Kranenburg. Teori ini menyatakan bahwa negara selain bertugas membina

ketertiban umum, ia juga ikut bertanggungjawab dalam membina dan mewujudkan

kesejahteraan rakyatnya. Teori ini banyak dipraktekkan di negara-negara

berkembang, seperti Indonesia.7

Menurut Bagir Manan dalam bukunya Teori dan politik Konstitusi, untuk

melaksanakan prinsip Negara berdasarkan hukum harus memenuhi syarat tegaknya

5 Otje Salman S dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum (Mengingat,mengumpulkan dan

Menemukan Kembali,(Bandung : Refika Aditama, 2007, Cet. Ketiga) h.76 6 Raisul Muttaqien, Teori Hukum Murni (Hans Kelsen), (Bandung : Nusamedia, 2010, Cet.

Ketiga) h.86 7 Munir Fuady, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum (Jakarta : Kencana, 2013,

Cet. Pertama), h. 100.

Page 32: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

22

tatanan kerakyatan atau demokrasi, karena Negara berdasarkan atas hukum tidak

mungkin tumbuh berkembang dalam tatanan kediktatoran. 8 Dalam hal tersebut

rakyat semata-mata menjadi objek hukum dan bukan subjek hukum, karena itu

setiap upaya untuk mewujudkan tatanan Negara berdasarkan hukum tanpa diikuti

dengan usaha mewujudkan tatanan kerakyatan atau demokrasi akan sia-sia.9

Adapun apabila demokrasi juga dapat berkembang menjadi demokrasi yang

berlebihan yaitu mengembangkan kebebasan tanpa keteraturan dan kepastian

sehingga Negara tersebut kacau. Negara demokrasi yang seperti ini bukanlah

demokrasi yang diidealkan. Demokrasi yang yang ideal itu demokrasi yang teratur

berdasarkan hukum. karena itu, antara ide demokrasi dan Negara hukum

(nomokrasi) dipandang harus bersifat sejalan dan seiring, sehingga suatu Negara itu

dapat disebut sebagai Negara demokrasi dan sekaligus sebagai Negara hukum.10

demokrasi dan Negara hukum tidak dapat dipisahkan, oleh karena itu kualitas

demokrasi suatu Negara akan menentukan kualitas hukum Negara tersebut, begitu

pula sebaliknya.

Dalam hal ini peranan dari M ahkamah Konstitusi yang memiliki wewenang

sementara dalam hal menyelesaikan perkara pemilihan kepala daerah yang

merupakan praktik demokrasi langsung. Tidak menutup mata praktik demokrasi

8 A. Salman Manggalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara

(Aktualisasi dalam Teori Negara Indonesia), (Jakarta : Prodi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah dan

Fajar Media, 2013, Cet. Pertama), h.120. 9 Otje Salman S dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum (Mengingat,mengumpulkan dan

Menemukan Kembali,(Bandung : Refika Aditama, 2007, Cet. Ketiga) h.83 10 Raisul Muttaqien, Teori Hukum Murni (Hans Kelsen), (Bandung : Nusamedia, 2010, Cet.

Ketiga) h.79

Page 33: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

23

yang berlangsung di masyarakat kerap digunakan sebagai ajang kontestasi politik

secara tidak sehat oleh para oknum yang memiliki hasrat berkuasa disuatu

pemerintahan daerah tertentu khususnya. Hal inilah yang memicu urgensitas dari

suatu lembaga untuk membentuk sistematika penyelesaian sengketa dalam praktik

pesta demokrasi yang ada, tentunya bermuara pada selisih hasil penghitungan suara

dalam suatu pemilihan langsung tersebut. Mahkamah Konstitusi disini yang

memiliki peranan dalam mengawal hak konstitusi dari warga negara dipandang

sebagai lembaga yang paling kredibel dan strategis guna menyelesaikan sengketa

perolehan suara dari pesta demokrasi yang ada sekaligus melindungi hak

konstitusional dari pada warga negara yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah

jika terjadi sengketa dalam hal selisih perolehan suara yang mencederai hasil

Pilkada secara langsung tersebut.

Dari pemikiran tersebutlah yang mana disini Mahkamah Konstitusi dinilai

berkompeten dan mampu sebagai lembaga pencari keadilan bagi para peserta

kontestasi pada Pemilihan Kepala Daerah yang mana amanat daripada kewenagan

yang diberikan oleh Undang-Undang No.10 Tahun 2016 yang mengatur secara

spesifik pesta demokrasi yang ada di Daeraah atau di sebut Pilkada.

B. Teori Trias Politika danAsas dalamPrinsip Negara Hukum

Dalam kehidupan berdemokrasi pemerintah yang memiliki kewenangan atas

dasar amanat rakyat ini tentunya dalam implementasinya membutuhkan suatu

sistem yang menyokong pemerintahan sehingga peran dalam menjalankan roda

Page 34: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

24

pemerintahan dapat terdistribusikan secara merata guna menunjang kehidupan,

11melayani kebutuhan rakyat secara menyeluruh merata dan dengan kinerja yang

optimal. Berangkat dari tujuan tercapainya kesejahteraan rakyat dengan prinsip

kedaulatan yang berada di tangan rakyat guna menghindarkan dan mengoptimalkan

fungsi dan wewenang pemerintah di butuhkan adanya pemisahan kekuasaan secara

proporsional disamping menghindarkan potensi kedigdayaan pemerintah yang

otoriter karena memiliki peran dan fungsi yang bertumpu hanya pada satu titik

kekuasaan saja. Trias politica atau teori mengenai pemisahan kekuasaan, di latar

belakangi pemikiran bahwa kekuasaan-kekuasaan pada sebuah pemerintahan yang

berdaulat tidak dapat diserahkan kepada orang yang sama dan harus dipisahkan

menjadi dua atau lebih kesatuan kuat yang bebas untuk mencegah penyalahgunaan

kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian diharapkan hak-hak asasi

warga negara dapat lebih terjamin12.

Dalam bukunya yang berjudul L’esprit des Louis Montesquieu membagi

kekuatan negara menjadi tiga kekuasaan agar kekuasaan dalam negara tidak terpusat

pada tangan seorang raja penguasa tunggal, yaitu sebagai berikut;

Legislatif, yaitu kekuasaan untuk membentuk undang-undang. Eksekutif, yaitu

kekuasaan untuk menjalankan undang-undang. Yudikatif, yaitu kekuasaan untuk

mengawasi pelaksanaan undang-undang (mengadili).

11 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta : Nusa media, 2010) h.117 12 Abu Daud Busroh , Ilmu Negara. (Jakarta : Sinar Grafika , 2011, cet. Keenam), h.213

Page 35: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

25

Ide pemisahan kekuasaan tersebut, menurut Montesquieu dimaksudkan untuk

memelihara kebebasan politik, yang tidak akan terwujud kecuali bila terdapat

keamanan masyarakat dalam negeri. Montesquieu menekankan bahwa satu orang atau

lembaga akan cenderung untuk mendominasi kekuasaan dan merusak keamanan

masyarakat tersebut bila kekuasaan terpusat padanya. Oleh karenanya, dia berpendapat

bahwa agar pemusatan kekuasaan tidak terjadi, haruslah ada pemisahan kekuasaan

yang akan mencegah adanya dominasi satu kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya.13

Dalam menstabilkan kekuasan melalui pemahaman teori daripada Montesque tersebut

Indonesia pada dasarnya memiliki suatu pilar atau pegangan yang menjadi ciri khas

dan identitas hukum yang selaras dengan kehidupan bernegara bangsa Indonesia.

Hal ini mengacu pada prinsip pokok Negara Hukum yang berlaku di zaman

sekarang ini merupakan pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya suatu negara

sehingga dapat disebut sebagai Negara Hukum dalam arti yang sebenarnya. Di

samping, jika konsep Negara Hukum itu dikaitkan pula dengan paham negara yang

ber-Ketuhanan Yang Maha Esa seperti Indonesia. Adapun Asas-Asas yang merupakan

bagian dari Prinsip Negara Hukum di Indonesia yakni : 14

1. Supremasi Hukum (Supremacy of Law)

Adanya pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi hukum, yaitu

bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi.

13 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika,

2010), h.132 14 Martitah, Mahkamah Konstitusi Dari Negative Legislature Ke Positive Legislature,(Jakarta

: KonstitusiPress, 2013, Cet.Pertama), h.39

Page 36: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

26

Dalam perspektif supremasi hukum (supremacy of law), pada hakikatnya

pemimpin tertinggi negara yang sesungguhnya, bukanlah manusia, tetapi konstitusi

yang mencerminkan hukum yang tertinggi. Pengakuan normative atas supremasi

hukum tercermin dalam perumusan hukum dan/atau konstitusi, sedangkan

pengakuan empirik tercermin dalam perilaku sebagian terbesar masyarakatnya

bahwa hukum itu memang ‘supreme’. Bahkan, dalam republik yang menganut

sistem presidential yang bersifat murni, konstitusi itulah yang sebenarnya lebih

tepat untuk disebut sebagai ‘kepala negara’. Itu sebabnya, dalam sistem

pemerintahan presidential, tidak dikenal pembedaan antara kepala Negara dan

kepala pemerintahan seperti dalam sistem pemerintahan parlementer.

2. Kepastian Hukum

Nilai kepastian hukum merupakan nilai yang pada prinsipnya memberikan

perlindungan hukum bagi setiap warga negara dari kekuasaan yang bertindak

sewenang-wenang, sehingga hukum memberikan tanggung jawab pada negara

untuk menjalankannya. Nilai itu mempunyai relasi yang erat dengan instrumen

hukum positif dan peranan negara dalam mengaktualisasikannya dalam hukum

positif15.

Dalam hal ini kepastian hukum berkedudukan sebagai suatu nilai yang harus ada

dalam setiap hukum yang dibuat dan diterapkan. Sehingga hukum itu dapat

15 Lili Rasjidi, Filsafat Hukum Mazhab Dan Refleksinya, (Bandung: Remaja Rosdakarya

Offset, 1994), h.95

Page 37: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

27

memberikan rasa keadilan dan dapat mewujudkan adanya ketertiban dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Secara filsafati hukum diharapkan dapat memenuhi aspek ontologi yaitu

menciptakan ketentraman dan kebahagian bagi hidup manusia, sebagai suatu tujuan

yang ingin dicapai setiap manusia dan merupakan hakikat dari hukum itu sendiri.

Menurut Theo Huijbers hakekat hukum juga menjadi sarana bagi penciptaan suatu

aturan masyarakat yang adil (rapport du droit, inbreng van recht) 16 . Secara

Epistemologi hukum dilahirkan melalui suatu metode tertentu yang sistematis dan

obyektif serta selalu dilakukan pengkajian-pengkajian, sehingga melahirkan ilmu

hukum yang merupakan bagian dari ilmu pengetahuan. Dalam aspek Aksiologi,

hukum memiliki nilai-nilai yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh setiap manusia

dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Hukum yang ditaati masyarakat mengandung nilai kepastian tidak terkecuali

hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). Nilai kepastian inilah yang harus

ada dalam setiap hukum yang dibuat sehingga dapat memberikan rasa keadilan dan

menciptakan ketertiban. Hukum yang hidup dalam masyarakat

Kepastian mengandung beberapa arti, diantaranya adanya kejelasan, tidak

menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan kontradiktif, dan dapat dilaksanakan.

Hukum harus berlaku tegas di dalam masyarakat, mengandung keterbukaan

sehingga siapapun dapat memahami makna atas suatu ketentuan hukum. Hukum

16 Theo Huijbers, Filsafat Hukum. (Yogyakarta: Kanisius. 1995) .h.75

Page 38: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

28

yang satu dengan yang lain tidak boleh kontradiktif sehingga tidak menjadi sumber

keraguan.

Untuk tercapainya nilai kepastian di dalam hukum, maka diperlukan syarat-syarat

sebagai berikut:

a. Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, konsisten dan mudah

diperoleh (accesible), yang diterbitkan oleh kekuasaan negara;

b. Bahwa instansi-instansi negara penguasa (pemerintahan) menerapkan

aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat

kepadanya;

c. Bahwa mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi dan karena

itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut;

d. Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak

menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka

menyelesaikan sengketa hukum; dan

e. Bahwa putusan peradilan secara konkrit dapat dilaksanakan17.

Kelima syarat yang dikemukakan tersebut menunjukkan bahwa kepastian hukum

dapat dicapai jika substansi hukumnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Aturan hukum yang mampu menciptakan kepastian hukum adalah hukum yang

lahir dari dan mencerminkan budaya masyarakat. Kepastian hukum yang seperti ini

yang disebut sebagai kepastian hukum yang sebenarnya (realistic legal certainly),

17 Theo Huijbers, Filsafat Hukum. (Yogyakarta: Kanisius. 1995), .h.77

Page 39: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

29

yaitu mensyaratkan adanya keharmonisan antara negara dengan rakyat dalam

berorientasi dan memahami sistem hukum.

Menurut Lon Fuller hukum itu dapat memenuhi nilai-nilai kepastian apabila di

dalamnya terdapat 8 (delapan) asas, yang dapat diuraikan sebagai berikut18:

a. Suatu sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan, tidak berdasarkan

putusan-putusan sesaat untuk hal-hal tertentu.

b. Peraturan tersebut diumumkan kepada publik.

c. Tidak berlaku surut, karena akan merusak integritas.

d. Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum.

e. Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan.

f. Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa

dilakukan.

g. Tidak boleh sering diubah-ubah.

h. Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari.

3. Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law)

Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang

diakui secara normative dan dilaksanakan secara empirik. Dalam rangka prinsip

persamaan ini, segala sikap dan tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan

manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang, kecuali tindakan-

tindakan yang bersifat khusus dan sementara yang dinamakan ‘affirmative

18 Theo Huijbers, Filsafat Hukum. (Yogyakarta: Kanisius. 1995), h.90

Page 40: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

30

actions19’ guna mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu atau

kelompok warga masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai

tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat

kebanyakan yang sudah jauh lebih maju. Kelompok masyarakat tertentu yang dapat

diberikan perlakuan khusus melalui ‘affirmative actions’ yang tidak termasuk

pengertian diskriminasi itu misalnya adalah kelompok masyarakat suku terasing

atau kelompok masyarakat hukum adapt tertentu yang kondisinya terbelakang.

Sedangkan kelompok warga masyarakat

tertentu yang dapat diberi perlakuan khusus yang bukan bersifat diskriminatif,

misalnya, adalah kaum wanita ataupun anak-anak terlantar.

4. Asas Legalitas (Due Process of Law)

Dalam setiap Negara Hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam

segala bentuknya (due process of law)20, yaitu segala tindakan pemerintahan harus

didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan

perundang-undangan tertulis harus ada dan berlaku lebih dulu atau mendahului

tindakan atau perbuatan administrasi yang dilakukan. Dengan demikian, setiap

perbuatan atau tindakan administrasi harus didasarkan atas aturan atau ‘rules and

procedures’ (regels). Prinsip normatif demikian nampaknya sangat kaku dan dapat

menyebabkan birokrasi menjadi lamban. Karena itu, untuk menjamin ruang gerak

19Martitah, Mahkamah Konstitusi Dari Negative Legislature Ke Positive Legislature,(Jakarta :

KonstitusiPress, 2013, Cet.Pertama), h.40 20 Martitah, Mahkamah Konstitusi Dari Negative Legislature Ke Positive Legislature,(Jakarta

: KonstitusiPress, 2013, Cet.Pertama),, h.37

Page 41: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

31

para pejabat administrasi negara dalam menjalankan tugasnya, maka sebagai

pengimbang, diakui pula adanya prinsip ‘frijsermessen’ yang memungkinkan para

pejabat administrasi negara mengembangkan dan menetapkan sendiri ‘beleid-

regels’ atau ‘policy rules’ yang berlaku internal secara bebas dan mandiri dalam

rangka menjalankan tugas jabatan yang dibebankan oleh peraturan yang sah.

5. Pembatasan Kekuasaan21

Adanya pembatasan kekuasaan Negara dan organ-organ Negara dengan cara

menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan

kekuasaan secara horizontal. Sesuai dengan hukum besi kekuasaan, setiap

kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang-

wenang, seperti dikemukakan oleh Lord Acton: “Power tends to corrupt, and

absolute power corrupts absolutely”. Karena itu, kekuasaan selalu harus dibatasi

dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat

‘checks and balances’ dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi

dan mengendalikan satu sama lain. Pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan

membagi-bagi kekuasaan itu ke dalam beberapa organ yang tersusun secara

vertical. Dengan demikian, kekuasaan tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi

dalam satu organ atau satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewenang-

wenangan.

21 Martitah, Mahkamah Konstitusi Dari Negative Legislature Ke Positive Legislature,(Jakarta

: KonstitusiPress, 2013, Cet.Pertama), h.38

Page 42: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

32

6. Peradilan Bebas dan Tidak Memihak

Adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial

judiciary). Peradilan bebas dan tidak memihak ini mutlak harus ada dalam setiap

Negara Hukum. Dalam menjalankan tugas judisialnya, hakim tidak boleh

dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena kepentingan jabatan (politik) maupun

kepentingan uang (ekonomi). Untuk menjamin keadilan dan kebenaran, tidak

diperkenankan adanya intervensi ke dalam proses pengambilan putusan keadilan

oleh hakim, baik intervensi dari lingkungan kekuasaan eksekutif maupun

legislative ataupun dari kalangan masyarakat dan media massa. 22 Dalam

menjalankan tugasnya, hakim tidak boleh memihak kepada siapapun juga kecuali

hanya kepada kebenaran dan keadilan. Namun demikian, dalam menjalankan

tugasnya, proses pemeriksaan perkara oleh hakim juga harus bersifat terbuka, dan

dalam menentukan penilaian dan menjatuhkan putusan, hakim harus menghayati

nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Hakim tidak hanya

bertindak sebagai ‘mulut’ undang-undang atau peraturan perundang-undangan,

melainkan juga ‘mulut’ keadilan yang menyuarakan perasaan keadilan yang hidup

di tengah-tengah masyarakat.

C. Teori Hukum Progresif dan Keadilan Substantif

Indonesia yang merupakan negara hukum berlandasakan Pancasila memiliki

tujuan untuk mencapai masyarakat yang adil makmur dan sejahtera secara merata.

22 Martitah, Mahkamah Konstitusi Dari Negative Legislature Ke Positive Legislature,(Jakarta

: KonstitusiPress, 2013, Cet.Pertama), h.40

Page 43: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

33

Dengan kerangka tersebutlah hukum di Indonesia dibentuk berdasarkan tujuan

untuk membangun keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bahwasanya

makna dari hal ini adalah tujuan atau kondisi ideal yang dikehendaki harus

senatiasa berorientasi pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.23 Adapun

jikasanya tidak tercapai kondisi ideal tersebut sangat mungkin disebabkan oleh

tidak berkualitasnya penegakan hukum yang ada di Indonesia, dari sinilah lahir

hukum progresif yang merupakan wujud daripada ketidakpuasan dan keprihatinan

atas kualitas penegakan hukum yang ada.

Dalam perspektif teori hukum progresif, hukum merupakan suatu institusi yang

bertujuan mengantarkan manusia pada kehidupan yang bertujuan mengantarkan

manusia kepada kehidupan yang adil sejahtera, dan membuat manusia bahagia.

Pernyataan ini berpuncak pada tuntutan akan kehadiran hukum progresif yang

mengandung pengertian tentang konsep, fungsi, dan tujuan hukum yang harus

diwujudkan. Hukum progresif merupakan bagian dari proses searching for the truth

(pencarian kebenaran) yang tidak pernah berhenti. Hukum progresif bertolak dari

realitas empirik tentang bekerjanyahukum dalam masyarakat sekaligus refleksi

ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap kinerja dari penegak hukum di Indonesia

pada akhir abad ke-20.

Landasan dalam hukum progresif terdapat dua asumsi pokok yakni yang

pertama hukum untuk manusia. Asumsi tersebut bermakna bahwasanya apabila

23 Satjipto Raharjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2007,

Cet. Kedua), h.11

Page 44: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

34

terdapat problematika dalam penyelesaian suatu permasalahan hukum maka

disinilah posisi hukum yang harus dapat dibenahi bukan sebaliknya manusia yang

dipaksa masuk ke dalam skema hukum tersebut. Yang kedua yakni hukum bukan

merupakan hal yang mutlak dan final, dikarenakan hukum tersebut pada dasarnya

harus dapat mengikuti dan dalam proses untuk menjadi. Pemikiran Prof. Satjipto

Raharjo ini sering dikenal “Law as a process law in the making” atau hukum yang

selalu dalam proses untuk menjadi.24

Nafas daripada teori yang dikemukakan oleh Prof. Satjipto ini menggambarkan

kondisi antara realitas hukum yang dihadapi seorang hakim apabila hukum tertulis

atau Undang-Undang yang ada tidak dapat mewujudkan suatu keadilan yang hakiki

dalam perkara yang dihadapi. Karena dalam praktik penerapan yang ada terkadang

realitas yang dihadapi tidak dapat terselesaikan begitu saja dengan peraturan

perundang-undangan.

Esensi daripada lahirnya pemikiran progresif ini juga tidak lain dan tidak bukan

untuk mencapai keadilan yang sejatinya dibutuhkan oleh manusia melalui suatu

terobosan hukum tanpa terpaku dengan kitab tertulis semata. Makna keadilan

substantive sebagai bentuk realisasi dan konstruksi pemikiran penegakan hukum

yang progresif dan responsif sudah seperti mengalir dan mendarah daging dengan

nafas juga hakikat dibentuknya mahkamah ini. Yang mana khusus dalam

penanganan perkara terkait pelanggaran yang mengakibatkan selisih suara yang

24 Martitah, Mahkamah Konstitusi Dari Negative Legislature Ke Positive Legislature, (Jakarta

: KonstitusiPress, 2013, Cet.Pertama), h.40

Page 45: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

35

dapat dikatakan tidak halal tersebut tetap harus diputus secara seadil-adilnya karena

meskipun dunia ini runtuh hukum harus tetap ditegakkan (fiat justitia et pereat

mundus).

Dalam mengkaji mengenai pokok permasalahan menggunakan beberapa teori

yang mencakup tentang demokrasi dan negara hukum, trias politika, asas dalam

prinsip negara hukum, serta mengenai keadilan substantive. Dari beberapa teori

tersebut sangatlah erat kaitannya dengan penegakan dan penerapan hukum dalam

lingkup perkara selisih hasil Pilkada yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi.

Sebagaimana yang diketahui bahwasanya regulasi yang dijadikan landasan itu

sendiri memang sejatinya merupakan representasi kinerja para legislator. Namun

dalam hal ini tidak menutup kemungkinan adanya celah hukum yang bertolak

belakang dengan beberapa teori yang telah disampaikan tadi membuat suatu naluri

akademis diamanahkan untuk menganalisa lebih lanjut dengan aspek yang lebih

fokus berdasarkan cakupan data real yang turut dijadikan sarana terwjudnya suatu

konklusi dari fokus permasalahan yang dikaji.

Page 46: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

36

BAB III

TINJAUAN UMUM PENANGANAN PERKARA SENGKERTA HASIL

PILKADA

A. Mahkamah Konstitusi Sebagai Lembaga Yudikatif

1. Definisi

Konstitusi didefinisikan sebagai suatu kerangka masyarakat politik (negara)

yang diorganisir dengan dan melalui hukum kehidupan secara umum yang

dikerjakan oleh para budak yang berada di luar batas kewarganegaraan.

Sedangkan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yaitu suatu lembaga

tertinggi negara yang baru yang sederajat dan sama tinggi kedudukannya dengan

Mahkamah Agung (MA). Dalam hal ini Indonesia terhitung merupakan negara

yang ke tujuh puluh delapan yang memiliki lembaga pengadilan

konstitusionalitas yang diberikan kewenangan menguji materil sebuah undang-

undang. Sehingga dalam hal undang-undang Mahkamah Konstitusilah yang

memiliki wewenang penuh dalam menguji undang-undang tersebut.1 Selain itu

Mahkamah Konstitusi juga memiliki wewenang dalam membubarkan partai

politik, memutuskan sengketa hasil pemilu dan pemecatan presiden dan wakil

presiden apabila melakukan pelanggaran hukum. Dalam pembentukannya

mahkamah konstitsi pada awalnya menitikberatkan pada aspek pengujian PUU

terhadap Konstitusi yang ada atau sering terdengar dengan istilah Contitutional

1 Martitah, Mahkamah Konstitusi Dari Negative Legislature Ke Positive Legislature, (Jakarta :

KonstitusiPress, 2013, Cet.Pertama), h.2

Page 47: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

37

Court bahkan disamping itu sifat putusan yang final and bindng ini juka

memberikan ruang gerak Mahkamah Konstitusi menjadi sejajar dengan Lembaga

Peradilan Tertinggi negara yakni Mahkamah Agung namun tetap dalam naungan

kekuadsan kehakiman . Dari beberapa peranan yang melekat pada Mahkamah

Konstitusi julukan khusus yang diberikan kepadanya yakni The Guardian of

Constitution.2

2. Kedudukan, Fungsi dan Wewenang Mahkamah Konstitusi

Kekuasaan negara pada umumnya diklasifikasikan menjadi tiga cabang,

walaupun kelembagaan negara saat ini mengalami perkembangan yang sangat

pesat dan tidak sepenuhnya dapat diklasifikasi ke dalam tiga cabang kekuasaan

itu. Namun demikian, cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif

adalah tiga cabang kekuasaan yang selalu terdapat dalam organisasi negara.

Cabang kekuasaan yudikatif diterjemahkan sebagai kekuasaan kehakiman.

Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, kekuasan kehakiman merupakan

kekuasaan yang merdeka untuk untuk menyelenggarakan peradilan guna

menegakkan hukum dan keadilan.

Kekuasaan kehakiman diselenggarakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan

badan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah

Konstitusi [Pasal 24 ayat (2) UUD 1945]. Dengan demikian, kedudukan MK

adalah sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, di samping MA. MK

2 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika,

2010), h.132

Page 48: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

38

adalah lembaga peradilan yang dibentuk untuk menegakkan hukum dan

keadilan 3 dalam lingkup wewenang yang dimiliki. Kedudukan MK sebagai

pelaku kekuasaan kehakiman sejajar dengan pelaku kekuasaan kehakiman lain,

yaitu MA,serta sejajar pula dengan lembaga negara lain dari cabang kekuasaan

yang berbeda sebagai konsekuensi dari prinsip supremasi konstitusi dan

pemisahan atau pembagian kekuasaan. Lembaga-lembaga negara lainnya

meliputi; Presiden, MPR, DPR, DPD dan BPK.

Setiap lembaga negara menjalankan penyelenggaraan negara sebagai

pelaksanaan kedaulatan rakyat berdasarkan dan di bawah naungan

konstitusi.Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, fungsi konstitusional yang

dimiliki oleh MK adalah fungsi peradilan untuk menegakkan hukum dan

keadilan.Namun fungsi tersebut belum bersifat spesifik yang berbeda dengan

fungsi yang dijalankan oleh MA. Fungsi MK dapat ditelusuri dari latar belakang

pembentukannya, yaitu untuk menegakkan supremasi konstitusi. Oleh karena itu

ukuran keadilan dan hukum yang ditegakkan dalam peradilan MK adalah

konstitusi itu sendiri yang dimaknai tidak hanya sekadar sebagai sekumpulan

norma dasar, melainkan juga dari sisi prinsip dan moral konstitusi, antara lain

prinsip negara hukum dan demokrasi, perlindungan hak asasi manusia, serta

perlindungan hak konstitusional warga negara.4

3 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika,

2010), h.4 4 Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah

Konstitusi, (Jakarta : KonstitusiPress, 2014, Cet.Pertama), h.12

Page 49: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

39

Dalam Penjelasan Umum UU MK disebutkan bahwa tugas dan fungsi MK

adalah menangani perkara ketatanegaraan atau perkara konstitusional tertentu

dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab

sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Selain itu, keberadaan

MK juga dimaksudkan sebagai koreksi terhadap pengalaman ketatanegaraan

yang ditimbulkan oleh tafsir ganda atas konstitusi.

Fungsi tersebut dijalankan melalui wewenang yang dimiliki, yaitu memeriksa,

mengadili, dan memutus perkara tertentu berdasarkan pertimbangan

konstitusional. Dengan sendirinya setiap putusan MK merupakan penafsiran

terhadap konstitusi. Berdasarkan latar belakang ini setidaknya terdapat 5 (lima)

fungsi yang melekat pada keberadaan MK dan dilaksanakan melalui

wewenangnya, yaitu sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the

constitution), penafsir final konstitusi (the final interpreter of the constitution),

pelindung hak asasi manusia (the protector of human rights), pelindung hak

konstitutional warga negara (the protector of the citizen’s5constitutional rights),

dan pelindung demokrasi (the protector of democracy).

Wewenang yang dimiliki oleh MK telah ditentukan dalam Pasal 24C UUD

1945 pada ayat (1) dan ayat (2) yang dirumuskan sebagai wewenang dan

kewajiban. Wewenang tersebut meliputi:

a. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;

5 Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah

Konstitusi, (Jakarta : KonstitusiPress, 2014, Cet.Pertama), h.15

Page 50: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

40

b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya

diberikan oleh Undang-Undang Dasar

c. Memutus pembubaran partai politik dan

d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Sedangkan kewajiban MK adalah memberikan putusan atas pendapat DPR

mengenai dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil

Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga

memiliki kewajiban memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan

pelanggaran hukum oleh presiden dan wakil presiden menurut UUD.

Dengan demikian ada empat kewenangan dan satu kewajiban konstitusional bagi

Mahkamah Konstitusi. Pengadilan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi

merupakan pengadilan tinggal pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.

Artinya, tidak ada upaya hukum lain atas putusan Mahkamah Konstitusi, seperti

yang terjadi pada pengadilan lain6.

Dari amanat yang telah di Emban melalui Undang-Undang Dasar tersebut, kini

Mahkamah Konstitusi memiliki tugas tambahan dari UU No. 10 Tahun 2016 tentang

Pilkada. Regulasi tersebut kembali mengamanatkan peran sebagai lembaga

peradilan sengketa hasil Pilkada kepada MK setelah terombang ambing oleh

Regulasi yang tumpang tindih dan dibatalkan oleh Keputusan MK sendiri dengan

6Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika,

2010), h.131

Page 51: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

41

catatan argumentasi pada saat itu nomenklatur Pemilukada yang sejatinya bukan

rezim pemilu sehingga MK membatalkan kewenangannya melaui keputusan MK .

B. Sengketa Pilkada, dan Norma Hukum didalamnya

Salah satu perwujudan negara yang demokratis adalah diselenggarakannya

pilkada sebagai sarana untuk memilih Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil

Bupati, dan Walikota/ Wakil Walikota, hal ini secara jelas dinyatakan dalam Pasal

18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan “Gubernur, Bupati, dan walikota masing-

masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan dipilih secara

demokratis”. Pemilihan Kepala Daerah merupakan sarana bagi masyarakat lokal

dalam suatu daerah guna menentukan sosok yang pantas untuk memimpin daerah

tersebut. Pemilihan Kepala Daerah juga merupakan suatu perjalanan panjang yang

diwarnai oleh tarik menarik antara kepentingan pusat kota dan daerah, bahkan

kepentingan asing.

Dengan sedemikian besarnya kepentingan yang diperjuangkan dalam

pemilihan kepala daerah maka tidak heran jika berbagai cara dilakukan oleh para

calon kepala daerah guna memuluskan langkahnya menjadi pemimpin suatu daerah.

Pelaksanaan Pilkada tidak terlepas dari peranan KPU Provinsi dan KPU

Kabupaten/Kota (KPUD) sebagai salah satu institusi penyelenggara pemilu.

Dilihat dari sisi historis sejak diberlakukaunnya undang-undang nomor 32

tahun 2004, mengenai pemilihan kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh

rakyat, telah banyak menimbulkan permasalahan, diantaranya waktu yang sangat

panjang, sehingga sangat menguras tenaga dan pikiran, belum lagi biaya yang begitu

Page 52: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

42

besar, baik dari segi politik (isu tentang perpecahan internal parpol, isu tentang

money politic, kecurangan yang melibatkan instansi resmi, disintegrasi social

walaupun sementara, black campaign, perhitungan suara yang salah, KPUD yang

bermasalah ) dan lain-lain.

Dalam lingkup di era modern saat ini persengketaan Pilkada sudah dalam level

yang lebih tinggi lagi. Berindikasi kejahatan yang sifatnya Terstruktur Sistematis

dan Massif, terus terulang dan berkelanjutan mengawal pelaksaan Pilkada hingga

menghasilkan suatu penghitungan yang memenangkan Pasangan Calon dengan

lebel menghalalkan segala cara. Oleh karenanya melalui perbaikan secara

berbanding lurus dengan mode kasus didalamnya membuat para instrumen penegak

hukum dan penyusun regulasi dituntut untuk lebih optimal dalam menjalankan tugas

dan wewenangnya demi terselenggaranya pemilihan kepala daerah yang

berkeadilan dan menjunjung tinggi demokrasi yang berintegritas didalamnya.7

Adapun dasar hukum secara keseluruhan menganai fokus pembahasan pada

Penyelesaian Sengketa Hasil Pilkada ini berkaitan dengan beberapa peraturan

perundang-undanagan diantaranya yakni :

1. UU Pilkada yang memang sempat beberapa kali mengalami revisi namun pada

akhirnya bermuara kembali ke MK sebagai lembaga yang dianggap kredibel

dan baik secara kinerja melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1

7 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar Demokrasi, (Jakarta : Sinar Grafika,

2012), h.4

Page 53: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

43

Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan

Walikota Menjadi Undang-Undang.

2. UU Terdahulu Yang Pernah Mewarnai Rekam Jejak Pilkada:8

Perselisihan tentang hasil pemilihan kepala daerah semula menjadi

kewenangan MA untuk memutus dan mengadili, namun kemudian

kewenangan tersebut dialihkan ke MK yang pada dasarnya kewenangan MK

adalah memutus perselisihan tentang hasil penghitungan suara pemilihan

umum yang sifatnya nasional. Berdasarkan ketentuan Pasal 79 UU No. 8

Tahun 2011 tentang MK, kewenangan memutus Perselisihan tentang Hasil

Pemilihan Umum (PHPU) meliputi PHPU Presiden dan Wakil Presiden dan

PHPU Legislatif yaitu anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan

Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Dan berdasarkan Pasal 74 ayat (2) UU No. 8 Tahun 2011 tentang MK,

Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) adalah perselisihan antara peserta

pemilu (perseorangan calon anggota DPD, pasangan calon Presiden dan Wakil

Presiden, atau parpol) dan KPU sebagai penyelenggara pemilu; yang

diperselisihkan adalah penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional

oleh KPU; dan perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilu secara

8 Hukum Online, “Wewenang MK dalam Mengadili Sengketa Hasil Pemilukada”, diakses pada

tanggal 12 Juli 2017 dari http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl6843/lembaga-yang-berwenang-

menangani-sengketa-hasil-pemilukada

Page 54: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

44

nasional yang dimaksud harus mempengaruhi terpilihnya calon anggota DPD,

penentuan terpilihnya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden atau

penentuan untuk dipilih kembali pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden

putaran kedua, atau perolehan kursi parpol peserta pemilu di suatu daerah

pemilihan.

Namun setelah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang

Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah diundangkan, kewenangan MK ditambah lagi yaitu

memutus perselisihan tentang hasil pilkada yang semula merupakan

kewenangan MA. Pasal 236C UU No. 12 Tahun 2008 tersebut menyatakan

“Penanganan perselisihan hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah

dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah

Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini

diundangkan”.

Jadi, sejak dikeluarkannya UU No. 12 Tahun 2008 tentang

Pemerintahan Daerah, kewenangan memutus perselisihan tentang hasil pilkada

yang semula merupakan kewenangan MA dialihkan ke MK. Sehingga pada

tanggal 29 Oktober 2008, Ketua MA Prof. Dr. Bagir Manan dan Ketua MK

Prof. Dr. Moh. Mahfud MD menandatangani berita acara pengalihan

wewenang memutus perselisihan tentang hasil pilkada melalui nota

Page 55: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

45

kesepahaman antara MA dan MK sebagai pelaksanaan amanat UU No. 12

Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.9

C. Pengajuan Sengketa Hasil Pilkada 2017

1. Data Jumlah Perkara

Fakta dan data yang terjadi dalam pelaksanaan Pilkada 2016 memang

mengundang banyak perhatian mulai dari masa kampanye, dari segi

pelaksanaan, hingga keluarnya hasil rekapitulasi resmi yang diterbitkan oleh

KPU.terhadap pihak-pihak yang merasa tidak puas atas rekapitulasi, penetapan,

dan pengumuman hasil penghitungan suara, baik pada tingkat kabupaten/kota

maupun tingkat provinsi, terdapat sarana yang dapat ditempuh, yakni melalui

permohonan perselisihan hasil pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota

kepada Mahkamah Konstitusi terhitung paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh

empat) jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil pemilihan, baik

oleh KPU provinsi maupun KPU kabupaten/kota. Dalam pengajuan perkara

yang masuk hingga ketahap permohonan perselisihan hasil pemilihan,

berdasarkan situs web resmi dari Mahkamah Konstitusi disebutkan bahwasanya

MK Terima 48 Perkara Permohonan PHP Kada 2017 Pada hari terakhir

penerimaan permohonan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur,

Bupati, dan Walikota (PHP Kada) Serentak 2017 MK menerima 3 perkara.

9 Hukum Online, “Wewenang MK dalam Mengadili Sengketa Hasil Pemilukada”, diakses pada

tanggal 12 Juli 2017 dari http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl6843/lembaga-yang-berwenang-

menangani-sengketa-hasil-pemilukada

Page 56: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

46

Dengan demikian, total perkara yang masuk sejak dibukanya pendaftaran

permohonan adalah sebanyak 53 perkara.10.

2. Syarat Pengajuan Permohonan Perkara Sengketa Hasil Pilkada

Bagi pasangan calon yang tidak puas dengan hasil pilkada serentak 2017,

maka yang bersangkutan bisa mengajukan sengketa pilkada ke Mahkamah

Konstitusi (MK) tiga hari pasca penetapan hasil pilkada. Namun, syarat

pengajuan sengketa pilkada harus memenuhi selisi 2 sampai 0,5 persen dari

jumlah suara sah pilkada.

Dalam Undang-undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan

Kepala Daerah disebutkan beberapa ketentuan mengenai hal-hal yang berbau

teknis terkait dengan tata cara penggajuan sengketa beserta penjelasannya, serta

pengaturan ketentuan menenai ambang batas sebagaimana yang diatur dalam

Pasal 157 dan Pasal 158.

Adapun tata cara teknis yang disebutkan dalam pasal 157 adalah sebagai

berikut :

1. Peserta Pemilihan dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan

hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi atau KPU

Kabupaten/Kota kepada Mahkamah Konstitusi.

2. Peserta Pemilihan mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi

sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lambat 3 (tiga) hari kerja

10 Lulu Anjarsari, “Pertarungan Calon Abdi Daerah di MK”, Majalah KonstitusiPress Nomor

122 (April 2017), h.10

Page 57: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

47

terhitung sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan oleh

KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.

3. Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilengkapi

alat/dokumen bukti dan Keputusan KPU Provinsi atau KPU

Kabupaten/Kota tentang hasil rekapitulasi penghitungan suara.

4. Dalam hal pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5)

kurang lengkap, pemohon dapat memperbaiki dan melengkapi

permohonan paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya permohonan

oleh Mahkamah Konstitusi.

5. Mahkamah Konstitusi memutuskan perkara perselisihan sengketa hasil

Pemilihan paling lama 45 (empat puluh lima) hari kerja sejak diterimanya

permohonan.

6. Putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (8)

bersifat final dan mengikat.

7. KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti

putusan Mahkamah Konstitusi.

Selain itu juga disebutkan secara mendetail dalam beberapa ayat mengenai

kriteria batas selisih perolehan suara yang dapat diterima pada Pasal 158

Adapun beberapa pasalnya berisi mengenai pengaturan terhadap peserta

pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dapat mengajukan permohonan

pembatalan penetapan hasil penghitungan suara dengan ketentuan ambang

batas selisih perolehan suara untuk tingkat Provinsi dan Kabupaten ketentuan

Page 58: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

48

persentase berkisar antara 0,5% sampai 2% bergantung dengan Jumlah

penduduknya dengan rasion penduduk lebih tinggi jumlah persentasenya lebih

rendah.

D. Mahkamah Konstitusi Sebagai Pelaksana UU Pilkada

Perkara penyelesaian sengketa hasil Pilkada yang telah dieksekusi oleh

Mahkamah Konstitusi pada Pilkada serentak tahun 2017 ini menghasilkan

beberapa fakta yang timbul dari efek turunan penerapan norma hukum dalam

salah satu pasal UU Pilkada. Hal ini menimbulkan beberapa data yang cukup

ideal untuk dikaji secara mendalam mengenai bagaimana dan sejauh mana

dampak penerapan norma yang dipatuhi secara penuh oleh Mahkamah

Konstitusi tersebut.11

Pada awal April lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) menggugurkan

sejumlah perkara Perselisihan Hasil pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota

(PHP Kada) Tahun 2017 di tengah jalan. Dari 53 perkara yang diregistrasi MK,

hanya 7 perkara yang memenuhi syarat untuk dilanjutkan pada proses

persidangan berikutnya dan 3 perkara baru memasuki persidangan pendahuluan

sampai dengan akhir Maret 2017. Sedangkan sebanyak 41 permohonan diputus

menjadi putusan akhir, dan dua permohonan dijatuhi putusan sela dalam

tahapan putusan dismissal.12

11 Lulu Anjarsari, “Pertarungan Calon Abdi Daerah di MK”, Majalah KonstitusiPress Nomor

122 (April 2017), h.14 12 Lulu Anjarsari, “Pertarungan Calon Abdi Daerah di MK”, Majalah Konstitusi Press Nomor

122 (April 2017)h.15

Page 59: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

49

Putusan digelar pada 3 – 4 April 2017 merupakan salah satu rangkaian

tahapan penanganan perkara PHP Kada dismissal yang Tahun 2017 yang dilalui

usai melalui dua tahapan sebelumnya. Dua tahapan sebelumnya, yakni sidang

pemeriksaan pendahuluan dan sidang mendengar jawaban Termohon dan Pihak

Terkait. Kemudian, Majelis Hakim Konstitusi memeriksa secara pleno dalam

Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) mengenai persyaratan sesuai dengan

Pasal 157 dan Pasal 158 UU Nomor 10 Tahun 2016 (UU Pilkada). Bagi

permohonan yang tidak memenuhi persyaratan tersebut, maka MK memutus

melalui putusan dismissal agar perkara itu tidak lagi dilanjutkan. Terkait hal

ini, Ketua MK Arief Hidayat menyampaikan “MK selalu berupaya

mengedepankan keadilan substantif. Akan tetapi, lanjutnya, MK tidak boleh

melupakan posisinya sebagai pelaksana UU Pilkada karena kewenangan

menangani PHP Kada sudah dibatalkan melalui Putusan MK Nomor 97/PUU-

XI/2013. Maka kewenangan menangani PHP Kada saat ini merupakan amanat

UU Pilkada sampai terbentuknya badan peradilan khusus. Sebagai pelaksana,

MK harus tunduk pada aturan yang tercantum dalam UU Pilkada.” 13

Karena itulah, MK tetap mempergunakan Pasal 157 dan Pasal 158 UU

Pilkada. Sebanyak 40 perkara harus terdiskualifikasi dan tidak bisa dilanjutkan

karena tidak memenuhi ambang batas selisih suara dan tenggang waktu. Jika

dirinci, terdapat sebanyak 26 permohonan tidak dapat diterima karena tidak

13 Nano, Arif, Bayu. “MK Tetap Tagakkan Keadilan Substantif” Majalah Konstitusi Press.

No.112 (April 2017): h. 32-34.

Page 60: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

50

memenuhi ambang batas selisih suara sebagaimana diatur dalam Pasal 158 UU

Pilkada. Selain itu, sebanyak 12 permohonan tidak dapat diterima dikarenakan

tidak memenuhi tenggang waktu yang diatur dalam Pasal 157 UU Pilkada. Dan

terakhir, sebanyak 2 permohonan tidak dapat diterima karena pemohon bukan

merupakan pasangan calon. Meskipun begitu, dari 43 putusan dismissal

kemarin ada tiga putusan yang diputus tidak menggunakan Pasal 157 maupun

Pasal 158 UU Pilkada. Ketiga perkara tersebut, yakni:; PHP Kabupaten

Tolikara (14/PUU.BUP-XV/2017), PHP Puncak Jaya (42/PUU.BUP-

XV/2017), PHP Intan Jaya (50/PUU.BUP-XV/2017).

Page 61: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

51

BAB IV

PERAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MEMUTUS SENGKETA

HASIL PILKADA

A. Perkara Sengketa Hasil Pilkada Yang Diajukan Kepada Mahkamah

Konstitusi

1. Data Mengnai Jumlah Perkara yang Masuk ke Mahkamah Konstitusi

Salah satu agenda ketatanegaraan yang penting pada 2017 terlaksana di 101

daerah melalui pelaksanaan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota serentak. Pada

15 Februari 2017, sebanyak 337 pasangan calon abdi daerah bertarung untuk

memperebutkan suara para pemilih pada daerah masing-masing. Mahkamah

Kontitusi (MK) pun kembali diberi amanat kewenangan oleh Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota sebagai

pintu terakhir bagi para paslon yang masih berkeberatan terhadap hasil

penghitungan suara yang dikeluarkan KPU Provinsi/Kabupaten/Kota.1

Mahkamah Konstitusi pada 22 Februari 2017 mulai membuka pendaftaran

pasangan calon Pilkada Serentak Tahun 2017 yang berkeberatan dengan hasil

penghitungan. Dari data awal hingga dengan penutupan pendaftaran pada 1 Maret

2017, MK menerima sebanyak 50 perkara dari 48 daerah. Kemudian, pada 30 Maret

2017, MK kembali menerima tiga sengketa pilkada susulan dari Kabupaten

Kepulauan Yapen, Papua. Keseluruhan jumlah perkara yang ditangani MK terkait

1 Hukum Online, “Sengkarut Sengketa Pilkada 2017:Mengawal Sengketa Pilkada yang

Berintegritas”, diakses pada tanggal 12 Juli 2017 dari http://www.hukumonline.com/

Page 62: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

52

Pilkada Serentak Tahun 2017 sampai dengan 30 Maret 2017 adalah 53 perkara.

Seperti diketahui, kewenangan MK menangani sengketa pilkada sesungguhnya

telah dimulai sejak 2008 lalu. Namun pada 2014, MK membatalkan kewenangan

tersebut karena pilkada bukanlah merupakan rezim pemilu seperti amanat UUD

1945. Akan tetapi, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan,

Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) kembali mengamanahi MK untuk

kembali menangani Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHP Kada)

Tahun 2017 sampai terbentuknya badan peradilan khusus. Jika dihitung sejak 2008

hingga 2017, MK telah menangani total keseluruhan perkara PHP Kada sebanyak

903 perkara. Adapun Statistik atau diagram secara menyeluruh mengenai sengketa

Perselisihan Hasil Pilkada yang telah diterima dan ditangani MK adalah sebagai

berikut :2

2 Lulu Anjarsari. “Pertarungan Calon abdi daerah di MK.” Majalah Konstitusi Press. No.112 (April

2017): h.13-15.

27 3

230

132

105

192

9

142

53

0

50

100

150

200

250

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015/2016 2017

Jumlah Perkara Sengketa Hasil Pilkada Tahun 2008-

April 2017

Page 63: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

53

Grafik dan jumlah perkara yang cukup tinggi tersebut selayaknya mendapat

fasilitas dan pelayanan maksimal dari para instrumen penegak keadilan yang ada

agar terakomodir dengan seoptimal mungkin. Dalam hal ini intensitas MK yang

termanahkan dalam menjalankan tugas tersebut terpecah fokusnya secara tidak

langsung karena disisi lain juga berkewajiban sampingan untuk pula menyelesaikan

perkara pengujuan Undang-Undang dan yang lainnya. Namun dari sudut pandang

para legislator atas dasar trek record yang cukup berpengalaman inilah yang

menjadikan Mahkamh Konstitusi dianggap paling kredibel dalam menjalankan

tugas sementara sebagai penegak keadilan bagi para calon pemimpin daerah di

Indonesia.

Berdasarkan data dari situs resmi mahkamah konstitusi frekuensi sengketa hasil

Pilkada pada 2017 jika di bandingkan dengan jumlah peserta daerah yang

mengadakan pilkada serentak yaknidari 101 daerah (terdiri atas 7 provinsi, 76

kabupaten, dan 18 kota), Mahkamah Konstitusi menerima permohonan dari calon

kepala daerah dari 48 daerah yang erdiri dari 4 Provinsi, 36 Kabupaten, dan 9 Kota.

Semuanya tertuang dalam perkara PHP Kada Tahun 2017 sebanyak 53 permohonan.

Berdasarkan jumlah tersebut, sebanyak 40 perkara diajukan oleh pasangan calon

bupati, sebanyak 9 perkara di ajukan oleh pasangan calon walikota, dan sebanyak 4

perkara diajukan oleh pasangan calon gubernur.3

3 “Catatan Perkara : Putusan Perselisihan Hasil Pemilihan (PHP) dalam Pilkada Serentak 2017

Sepanjang April 2017”, Majalah KonstitusiPress Nomor 122 (April 2017) h.42-48

Page 64: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

54

Dari data tersebut dapat ditemui bahwasanya tanpa mengesampingnkan prinsip

kesetaraan keadilan seharusnya pengoptimalan kinerja Mahkamah Konstitusi wajib

hukumnya untuk didukung dengan instrumen hukum dan lembaga lainnya seperti

KPU Bawaslu dan Panwaslu yang ada .

Seperti yang dipaparkan dalam literature mengenai Pemilihan Umum dalam

Jurnal Konstitusi disebutkan bahwasanya karena demi menjalankan suatu sistem

Pemilu yang berkeadilan perlu beberapa persyaratan yakni

a. Adanya mekanisme dan penyelesaian hukum yang efektif,

b. Adanya aturan mengenai sanksi yang jelas atas pelanggaran pemilu,

c. Adanya ketentuan terperinci dan memadai untuk melindungi hak pilih,

d. Adanya hak bagi pemilih, kandidat, partai politik untuk mengadu kepada

lembaga penyelenggara pemilu atau lembaga pengadilan,

e. Adanya kewenangan untuk mencegah hilangnya hak pilih yang diputuskan oleh

lembaga penyelenggara pemilu atau lembaga pengadilan,

f. Adanya hak untuk banding, adanya keputusan yang sesegera mungkin,

g. Adanya aturan main mengenai waktu yang dibutuhkan untuk memutuskan

gugatan,

h. Adanya kejelasan mengenai implikasi bagi pelanggaran aturan pemilu terhadap

hasil pemilu, dan

i. Adanya proses, prosedur, dan penuntutan yang menghargai hak asasi manusia.4

4 Hamdan Zoelva , “Problematika Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilukada Oleh Mahkamah

Konstitusi”, Jurnal Konstitusi Vol.10, no.3 (September 2013): h.7

Page 65: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

55

2. Dalil Masuknya Perkara Ke Mahkamah Konstitusi

Jika dikategorikan berdasarkan kedudukan hukum, maka terdapat empat

kategori pemohon yang mengajukan PHP Kada Tahun 2017 ke Mahkamah

Konstitusi. Keempat kategori tersebut, yakni Pasangan Calon

Gubernur/Bupati/Walikota; Bakal Pasangan Calon Bupati/Walikota; Pemantau

Pemilihan; dan Perseorangan/ Lembaga Swadaya Masyarakat. Pasangan Calon

Gubernur/Bupati/Walikota menjadi pemohon yang menggugat hasil pemilihan

terbanyak, yakni 46 pemohon.Jika dibandingkan dengan Pilkada Serentak Tahun

2015, persentase pilkada yang bersengketa cenderung berada pada kisaran 50%.

Pada Pilkada Serentak 2015, MK menerima 153 permohonan dari 259 daerah yang

menyelenggarakan pemilihan. Tak jauh berbeda dengan Pilkada Serentak Tahun

2017, yang diikuti 101 daerah dan sengketa pilkada yang masuk ke MK sebanyak

53 permohonan.

Terkait dalil permohonan, seperti pada tahun-tahun sebelumnya, sebagian besar

permohonan yang masuk mendalilkan adanya kecurangan yang terstruktur,

sistematis, dan massif (TSM). Bentuk kecurangan tersebut di antaranya adanya

keberpihakan KIP/KPU Provinsi/ Kabupaten/Kota (pengurangan suara ataupun

penggelembungan suara salah satu pasangan calon), penggunaan kekuasaan yang

dilakukan oleh calon petahana, politik uang dan lainnya. 5

5 Lulu Anjarsari, “Pertarungan Calon Abdi Daerah di MK”, Majalah KonstitusiPress Nomor

122 (April 2017), h.11

Page 66: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

56

Di samping itu, permasalahan DPT pun menjadi isu yang kembali muncul

dalam setiap sengketa pilkada di MK. Dalil lainnya yang muncul pada PHP Kada

tahun 2017, terkait dengan penyalahgunaan Surat Keterangan (Suket) dari Dukcapil

setempat.

Dalam kasus kongkretnya Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur

Banten Rano Karno – Embay Mulya Syarief mendalilkan KPU Provinsi Banten

memberikan Surat keterangan kepada pemilih tidak terdaftar dalam DPT. Hal ini

dinilai Pemohon melanggar Pasal 112 ayat (2) huruf a UU Nomor 10 Tahun 2016

juncto Pasal 59 ayat (2) PKPU Nomor 10 Tahun 2015. 6

Tak hanya itu, rekomendasi dari Panwaslih yang bermasalah pun menjadi dalil

yang diungkapkan para Pemohon seperti PHP Kada Kabupaten Maybrat. Pasangan

Calon Bupati dan Wakil Bupati Maybrat, Karel Murafer dan Yance Way

mempermasalahkan mengenai kejanggalan rekomendasi dari Panwaslih. Dalam

permohonannya, Pemohon mendalilkan sudah melaporkan kepada Panwaslih

Kabupaten Maybrat mengenai masalah yang terdapat pada 25 TPS di Distrik

Aitinyo. Atas laporan tersebut, Panwaslih justru mengeluarkan rekomendasi agar

dilakukan pemungutan suara ulang di 260 TPS se-Kabupaten Maybrat padahal yang

diminta oleh Pemohon hanya di 25 TPS. Hal inilah yang menjadi dalil utama

pemohon karena kejanggalan rekomendasi.

6 Hukum Online, “Sengkarut Sengketa Pilkada 2017:Mengawal Sengketa Pilkada yang

Berintegritas”, diakses pada tanggal 12 Juli 2017 dari http://www.hukumonline.com/

Page 67: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

57

Adapun terdapat 3 perkara ataupun dalil khusus yang agak cenderung memiliki

perbedaan dari perkara-perkara sengketa hasil Pilkada lainnya yang diajukan.

Seperti yang disebutkan oleh Jurnal resmi (official) Mahkamah Konstitusi dalam

keterangan langsung oleh ketua Mahkamah Konstitus yang menyebutkan

bahwasanya :

Dari dalil-dalil yang diungkapkan para pemohon PHP Kada (Perkara Hasil

Pilkada) Tahun 2017, Ketua MK Arief Hidayat mengungkapkan ada tiga kasus

berbeda, yakni PHP Kada Kabupaten Intan Jaya, PHP Kada Puncak Jaya, dan PHP

Tolikara. Ketiganya merupakan kasus sengketa pilkada dengan modus baru yang

ditangani MK. Meski dalil yang diungkapkan terkait adanya kecurangan TSM, ia

menjelaskan ketiganya memiliki kerumitan tersendiri bagi hakim konstitusi untuk

memeriksanya.7

Sedangkan yang tidak kalah menarik pula dalam PHP Kada Tolikara, Pasangan

Calon Bupati dan Wakil Bupati John Tabo-Barnabas Weya mendalilkan adanya

kesalahan penghitungan suara oleh KPU Kabupaten Tolikara yang mengindikasikan

adanya diskoordinasi antara KPU dan Panwaslih.

Dalam PHP Puncak Jaya minimnya data otentik yang ada di Kabupaten Puncak

Jaya. Penyebabnya, rekapitulasi 6 distrik tidak memenuhi syarat karena minimnya

data otentik formulir penghitungan suara tingkat PPS dan formulir penghitungan

suara di tingkat PPD. Dalam hasil rekapitulasi, KPU Kabupaten Puncak Jaya tetap

7 Lulu Anjarsari, “Pertarungan Calon Abdi Daerah di MK”, Majalah KonstitusiPress Nomor

122 (April 2017), h.11

Page 68: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

58

mencantumkan 6 distrik yang bermasalah tersebut. Alasan inilah yang membuat

Panwaslih Kabupaten Puncak Jaya mengeluarkan rekomendasi membatalkan

rekapitulasi pada 6 distrik yang tercantum dalam rekapitulasi KPU Kabupaten

Puncak Jaya. Atas hal ini, KPU melalui Komisioner Ida Budhiarti pun akhirnya

meminta MK untuk memberikan solusi atas permasalahan tersebut.

Sedangkan dalam PHP Kada Kabupaten Intan Jaya terjadi pengajuan perkara

sengketa tersebut kepada MK padahal sejatinya penghitungan suara yang dilakukan

oleh KPU sendiri belum usai dikarenakan adanya serangan dan ancaman intimidasi

dari masing-masing pendukung paslon yang menghambat proses penghitungan

suara.

Mengomentari ketiga perkara tersebut, Ketua MK (Arief Hidayat) menyebut

objek permohonan dalam dua sengketa di atas, yakni PHP Kada Kabupaten Tolikara

dan Puncak Jaya, dinyatakan cacat hukum oleh MK. Karena itulah, MK

memutuskan agar dilakukan pemungutan suara ulang di distrik-distrik yang

bermasalah dan hasilnya dilaporkan epada MK selambatnya 60 hari kerja.

Sementara, untuk PHP Kada Intan Jaya, objek permohonan prematur karena belum

selesainya proses rekapitulasi penghitungan suara. Untuk itulah, lanjutnya, MK

memutuskan dilakukan putusan akhir agar penghitungan dilanjutkan. 8

8 Nano, Arif, Bayu. “MK Tetap Tagakkan Keadilan Substantif” Majalah Konstitusi Press.

No.112 (April 2017): h. 32-34.

Page 69: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

59

3. Rekapitulasi Data Perkara yang Memenuhi Syarat Berdsarkan Putusan

Dismissal

Dalam rangka menangani PHP Kada yang sekarang, MK posisinya beda. Kalau

dulu berarti kewenangannya bisa di atas undang-undang, maka MK sekarang

pelaksana undang-undang. Karena itulah, MK tetap mempergunakan Pasal 157 dan

Pasal 158 UU Pilkada. Sebanyak 40 perkara harus terdiskualifikasi dan tidak bisa

dilanjutkan karena tidak memenuhi ambang batas selisih suara dan tenggang waktu.

Jika dirinci, terdapat sebanyak 26 permohonan tidak dapat diterima karena tidak

memenuhi ambang batas selisih suara sebagaimana diatur dalam Pasal 158 UU

Pilkada. Selain itu, sebanyak 12 permohonan tidak dapat diterima dikarenakan tidak

memenuhi tenggang waktu yang diatur dalam Pasal 157 UU Pilkada. Dan terakhir,

sebanyak 2 permohonan tidak dapat diterima karena pemohon bukan merupakan

pasangan calon.

Meskipun begitu, dari 43 putusan dismissal tersebut ada tiga putusan yang

diputus tidak menggunakan Pasal 157 maupun Pasal 158 UU Pilkada. Ketiga perkara

tersebut, yakni PHP Kabupaten Tolikara (14/PUU.BUP-XV/2017), PHP Puncak

Jaya (42/PUU.BUP-XV/2017), dan PHP Intan Jaya (50/PUU.BUP-XV/2017). 9

Sementara itu, tersisa tujuh perkara yang memenuhi persyaratan mengenai ambang

batas selisih suara maupun tenggang waktu. Ketujuh permohonan tersebut, yakni:

9 Hukum Online, “Sengkarut Sengketa Pilkada 2017:Mengawal Sengketa Pilkada yang

Berintegritas”, diakses pada tanggal 12 Juli 2017 dari http://www.hukumonline.com/

Page 70: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

60

a. PHP Kada Kabupaten Maybrat (No. 10/PHP.BUP-XV/2017),

b. PHP Kada Provinsi Sulawesi Barat (No. 13/PHP. GUB-XV/2017)

c. PHP Kada Kota Yogyakarta (No. 28/PHP.KOT-XV/2017)

d. PHP Kada Kabupaten Gayo Lues (No. 29/PHP BUP-XV/2017)

e. PHP Kada Kota Salatiga (No. 30/PHP.KOT-XV/2017)

f. PHP Kada Kabupaten Bombana (No. 34/PHP.BUPXV/2017)

g. PHP Kabupaten Takalar (No. 36/PHP.BUP-XV/2017)

Dari data tersebut dapat ditemukan fakta bahwasanya perkara yang ditangani

MK melelui tahapan putusan dismissal. Hal ini merupakan tahapan yang dilalui usai

melalui dua tahapan sebelumnya. Dua tahapan sebelumnya, yakni sidang

pemeriksaan pendahuluan dan sidang mendengar jawaban Termohon dan Pihak

Terkait. Kemudian, Majelis Hakim Konstitusi memeriksa secara pleno dalam Rapat

Permusyawaratan Hakim (RPH) mengenai persyaratan sesuai dengan Pasal 157 dan

Pasal 158 UU Nomor 10 Tahun 2016 (UU Pilkada).

Bagi permohonan yang tidak memenuhi persyaratan tersebut, maka MK

memutus melalui putusan dismissal agar perkara itu tidak lagi dilanjutkan. Meskipun

argumentasi kuat yang berulang kali disampaikan langsung oleh ketua MK Arief

Hidayat bukan tanpa landasan hukum, namun dalam hal ini dapat dilihat fenomena

yang sebenarnya terjadi dalam penanganan perkara Pilkada 2017 ini. Penerapan Pasal

158 dan 157 yang dijadikan batu pijakan dalam menentukan kelayakan perkara tidak

dapat dipungkiri lagi. Fenoena ketimpanganpun terjadi dengan keadilan substantive

yang digadang-gadang menjadi goal MK dengan unsur kepasttian hukum yang

Page 71: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

61

menjadi salah satu asas penting dalam penegakan hukm dalam menyelesaikan sebuah

perkara terlihat bias . Persentase perkara yang terselamatkan dari pasal 158 dan 157

itu sendiri bisa dibilang sangatlah senjang dengan jumlah perkara yang masuk, yakni

jika dibandingkan yakni rasionya 7: 53.

Dalam menganalisis fakta tersebut maka dapat diingat dan berpijak melalui

teori hukum progresif seperti yang dikemukakan oleh Prof. Satjipto yang mana

menggambarkan kondisi antara realitas hukum yang dihadapi seorang hakim apabila

hukum tertulis atau Undang-Undang yang ada tidak dapat mewujudkan suatu

keadilan yang hakiki dalam perkara yang dihadapi. Karena dalam praktik penerapan

yang ada terkadang realitas yang dihadapi tidak dapat terselesaikan begitu saja

dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini tentunya sangatlah tercermin dengan

fenomena Pilkada dewasa ini yang apabila terjadi penyelewengan hak ataupun

pelangaran yang dialami oleh Pasangan Calon dengan kategori TSM tersebut

melampaui ambang batas yang ditentukan pada pasal 158 maka Mahkamah

Kosntitusi disini berupaya mengambil langkah awal melalui putusan dismissal yang

notabene berfungsi menelusuri perkara yang masuk sebelum masuk keproses

perisdangan guna mengedepankan keadilan substansial.

B. Pandangan Mengenai Kriteria Ambang Batas dan Realitas di Persidangan

1. Tinjauan berdasarkan pandangan Saldi Isra (Pakar Kukum Tata Negara Yang

Kini Sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi)

Jika ditelusuri pengalaman penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala

daerah sedikit ke belakang, ruang menggunakan jalur ke MK tak sepenuhnya

Page 72: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

62

murni digunakan pasangan calon untuk mengoreksi kesalahan penghitungan

suara yang memengaruhi terpilihnya pasangan calon. Sejumlah fakta

menunjukkan, sebagian pasangan yang kalah dalam proses pemilihan seperti

berupaya memakai jalur ke MK menjadi jalan pintas untuk mengoreksi suara

rakyat.

Contoh yang paling menonjol, meski bentangan fakta menunjukkan terjadi

selisih suara sangat mencolok, pasangan calon yang kalah tetap memilih jalan

mengajukan sengketa ke MK. Padahal, dalam batas penalaran yang wajar,

perbedaan suara tak mungkin dibuktikan sebagai akibat dari kesalahan

perhitungan.

Pilihan menggunakan jalur MK menjadi seperti berubah menjadi modus baru

ketika muncul alasan multitafsir mengajukan sengketa yaitu terjadi pelanggaran

yang bersifat TSM. Dengan alasan tersebut, penyelesaian sengketa ke MK tak

ubahnya seperti keranjang sampah ketidaksiapan pelaku politik kontestasi

pengisian jabatan kepala daerah menerima pilihan rakyat.10

Meskipun sebagiannya terkesan coba-coba, pilihan ke MK tetap

dilakukan karena sebagiannya juga berupaya memanfaatkan kemungkinan

”perilaku liar” hakim MK. Paling tidak, pengalaman yang menimpa Akil

Mochtar menjadi bukti pemanfaatan tersebut. Tanpa pembatasan, MK berubah

10 Saldi Isra, “Ambang Batas Sengketa Pilkada”, diakses pada tanggal 12 Juli 2017 dari

https://www.saldiisra.web.id/index.php/tulisan/artikel-koran/12-seputarindonesia/610-ambang-batas-

sengketa-pilkada.html

Page 73: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

63

menjadi tumpukan perkara penyelesaian sengketa penyelesaian pemilihan kepala

daerah.

Pada salah satu sisi, disebabkan jumlah hakim yang terbatas (yaitu sembilan

orang) dan di sisi lain jumlah permohonan sengketa yang menumpuk, MK harus

lebih konsentrasi menyelesaikan sengketa pemilihan kepala daerah. Akibatnya,

MK memiliki waktu yang terbatas untuk menyelesaikan wewenang

konstitusional terutama pengujian undangundang (judicial review) terhadap

undang-undang dasar sebagaimana diatur Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945.

Apalagi, sebelum dilakukan secara serentak, agenda pilkada hampir

dilaksanakan sepanjang tahun. Dengan penyelenggaraan demikian, sepanjang

tahun pula MK harus membagi perhatian dengan kewajiban menyelesaikan

permohonan sengketa pilkada.11

Oleh karena itu, Saldi Isra Sendiri pernah mengemukakan, sekiranya dalam

hal Penyelesaian Perkara Sengketa Hasil Pilkada ini dilakukan tanpa pengaturan

yang lebih ketat pihak-pihak yang dapat mengajukan sengketa pilkada, MK

potensial kehilangan fokus melaksanakan wewenang dalam UUD 1945 terutama

judicial review. Padahal, sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman,

judicial review merupakan mahkota MK.

11 Saldi Isra, “Ambang Batas Sengketa Pilkada”, diakses pada tanggal 12 Juli 2017 dari

https://www.saldiisra.web.id/index.php/tulisan/artikel-koran/12-seputarindonesia/610-ambang-batas-

sengketa-pilkada.html

Page 74: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

64

Sejak semula, Saldi Isra dalam beberapa kesempatan termasuk orang yang

mendorong ada pembatasan persentase tertentu untuk dapat mengajukan

permohonan sengketa ke MK. Kendati demikian, pembatasan tersebut tidak

dimaksudkan untuk menghilangkan kesempatan bagi pasangan calon yang

merasa dicurangi secara total memilih jalur ke MK.

Artinya, ambang batas masih dapat diterobos melalui mekanisme pemeriksaan

pendahuluan (dismissal process) sepanjang pemohon mampu menunjukkan

buktibukti yang sangat kuat telah terjadi pelanggaran yang bersifat TSM. Bila

dalam proses awal bukti-bukti tidak kuat, ambang batas diperlakukan secara

ketat.12

Dalam batas penalaran yang wajar, dengan ada pemeriksaan pendahuluan,

ruang menghidupkan terobosan yang telah dilakukan MK dalam memeriksa

permohonan yang mengindikasikan ada pelanggaran yang bersifat TSM tetap

bisa dipertahankan. Misalnya, dalam Putusan No 57/PHPU.D-VI/2008 MK

menyatakan bahwa konstitusi dan Undang-Undang MK yang menempatkan MK

sebagai pengawal konstitusi sehingga berwenang memutus perkara pelanggaran

atas prinsip-prinsip pemilu dan pilkada.

Selain itu, MK juga pernah memutuskan bahwa dalam mengawal konstitusi,

MK tak dapat membiarkan dirinya dipasung oleh keadilan prosedural (procedural

12 Saldi Isra, “Ambang Batas Sengketa Pilkada”, diakses pada tanggal 12 Juli 2017 dari

https://www.saldiisra.web.id/index.php/tulisan/artikel-koran/12-seputarindonesia/610-ambang-batas-

sengketa-pilkada.html

Page 75: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

65

justice) sematamata, melainkan juga harus mewujudkan keadilan substansial.

Banyak kalangan percaya, ketika PMK No 1/2015 membuka tahapan

pemeriksaan pendahuluan, MK sebetulnya tidak hendak mematikan peluang

pasangan calon yang tidak memenuhi ambang batas.

Artinya, dengan ada pemeriksaan pendahuluan, semua permohonan yang

masuk ke MK akan dinilai terlebih dahulu pada tahapan ini. Sepanjang pemohon

dapat menunjukkan bukti-bukti yang kuat telah terjadi pelanggaran yang bersifat

TSM dan bukti-bukti tersebut mampu memberikan keyakinan pada hakim,

ambang batas jangan dijadikan sebagai instrumen untuk membunuh upaya

pencarian keadilan substantif.

Bagaimanapun, kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak boleh diisi oleh

mereka yang meraih dukungan dengan cara yang curang. Dalam konteks itu,

peranti ambang batas tidak boleh dijadikan sebagai tameng guna melindungi

pelanggaran yang nyata-nyata memenuhi unsur TSM (Terstruktur Sistematis dan

Masif ).13

2. Tinjauan Realitas Persidangan dan Pandangan dari Fajar Laksono (Juru Bicara

Mahkamah Konstitusi)

Dalam kutipan wawancara eksklusif disalah satu media hukumonline dan

website resmi Mahkamah Konsttusi, Fajar Laksono menjabarkan berbagai

13 Saldi Isra, “Ambang Batas Sengketa Pilkada”, diakses pada tanggal 12 Juli 2017 dari

https://www.saldiisra.web.id/index.php/tulisan/artikel-koran/12-seputarindonesia/610-ambang-batas-

sengketa-pilkada.html

Page 76: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

66

pengalaman dalam pelaksanaan penanganan sengketa Pilkada oleh Mahkamah

Konstitusi di tahun 2017 ini. Begitu banyak kejutan terjadi diluar dugaan dan

belum pernah terjadi sebelumnya. Dari mulai penerapan hukum yakni UU

Pilkada dalam beberapa pasal nya diantaranya pasal 157 dan pasal 158 yang

memang mendominasi ruang sidang. Hingga fenomena sikap inkonsistensi para

Lawyer yang saling berhadapan menggunakan dan argument hukum yang

terkadang menerobos pasal 158 namun tak jarang yang mengagung-agungkan

pasal tersebut. Hal ini merupakan fenomena hukum yang memang dapat

dikatakan dapat terprediksi sebelumnya.

Selaras dengan peristiwa yang peneliti temui didalam ruang sidang yang

terjadi yakni apabila dalil argumentasinya di dua kubu yang berbeda tersebut

digabung sudah pasti saling bertentangan. Ketika advokat tersebut menjadi kuasa

hukum pemohon yang tidak memenuhi syarat selisih suara menggugat yakni 0,5-

2 persen, MK diminta melepaskan diri dari syarat selisih suara dalam Pasal 158

UU Pilkada. Namun, ketika advokat yang sama menjadi kuasa hukum pihak

terkait di daerah lain, argumentasi yang disampaikan mesti MK harus

menjalankan Pasal 158 UU Pilkada.”

Kata-kata yang mendominasi argument dari para lawyer tersebut yakni disatu

sisi dibilang Pasal 158 ini harus dipertahankan, tapi di sisi lain Pasal 158 ini harus

‘ditabrak’ (diterobos). Fenoomena tersebut berbanding lurus dalil utama sebagai

titik pembeda adalah potensi pelanggaran TSM (Terstruktur Sistematis dan

Masif) dengan dalil perlunya ditegakkan hukum secara utuh dan konsisten sesuai

Page 77: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

67

dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku yakni pada pasal 158

tersebut.

Pro kontra yang terjadi diruang sidang tersebut memang sudah menjadi hal

yang amat wajar dalam proses persidangan. Namun jika ditelaah secara

menyeluruh dominasi pertentangan dengan titik temu pasal 158 UU Pilkada

tersebut secara tidak langsung menggambarkan tidak adanya asas kepastian

hukum yang dapat diobang-ambing argumentasi perbedaan sudut pandang yang

dinilai secagai celah hukum bagi para pencari keadilan,

Tercermin dari keterangan yang dikemukakan Fajar Laksono bahwasanya

pada sengketa pilkada tahun kemarin sama juga seperti itu. Setiap kali sengketa

pilkada sama yang dipersoalkan yakni terkait ambang batas, namun hanya berdiri

di posisi berbeda dengan argumentasi yang berbeda.”14 Dari fenomena tersebut

tentu sudah selayaknya unsur kepastian hukum dalam UU Pilkada ini menjadi

dipertanyakan dan dievaluasi.

C. Efektivitas Penerapan UU Pilkada

Pelaksanaan Pilkada 2017 yang telah usai menghasilkan berbagai catatan

krusial yang mana letak pokok dan fokus yang telah tertuju dalam pokok pembahsan

yakni mengenai beberapa pasal terkait penyelesaian perkara sengketa hasil Pikada

oleh Mahkamah Konstitusi. Data yang telah dikemukakan sebelumnya secara

mendetail menerangkan peranan Mahkamah Konstitusi disini yang dijadikan poros

14 Agus Sahbani “Fajar Laksono dan Cerita Tentang Sengketa Pilkada”, diakses pada tanggal

12 Juli 2017 dari http://www.hukumonline.com

Page 78: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

68

penegakan hukum dalam sengketa hasil Pilkada, memiliki instrumen hukum yang

berkonstribusi pada pemberian landasan wewenang dan sebagai penunjuk kriteria

penerimaan perkara melalui putusan dismissal berdasarkan ambang batas dan

ketentuan hukum penunjang lainnya sebagai prasyarat sengketa tersebut dapat

ditindak lanjuti ke dalam forum Persidangan yang utama.

Dapat dinilai melalui data yang telah dikemukakan bahwasanya secara formil

Mahkamah Konstitusi telah bekerja semaksimal mungkin untuk menghandle

perkara yang diterimanya dalam penyelesaian Sengketa Pilkada 2017 ini. Namun

yang tidak dapat diabaikan disini yakni apakah kinerja Mahkamah Konstitusi dalam

menjalankan Undang-Undang ini juga dapat dikatakan efektif dalam hal

menegakkan keadilan substantive

Melihat fakta yang ada yakni dengan persentase Perkara Sengketa yang

berpotensi terjadi pelangaran atau kejahatan TSM (Terstruktur Sistemais dan Masif)

yang sangat mendominasi dalil pengajuan perkara, Keadilan substantive yang

menjadi tujuan utama Mahkamah Konstitusi kembali diuji melalui proses

penyelesaian sengketa yang persentasenya pengajuan perkaranya dapat dikatakan

cukup tinggi . Hal ini mengingat penentuan ambang batas yang amat kental

mencederai pertimbangan persyaratan dan bukti kuat lainnya menjadi seolah gugur

begitu saja tanpa ada pertimbangan hukum yang matang didalamnya. Padahal dalam

realitasnya upaya penegakan keadilan substantive tersebut dapat dikatakan cukup

optimal oleh MK disini. Proses putusan dismissal sebagai gerbang penyaring dan

Page 79: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

69

penyeleksian perkara secara mendalam juga menjadi upaya tambahan Mahkamah

Konstitusi dalam melindungi keadilan substansial di sini.

Berdasar pada teori yang telah dikemukakan oleh Sacipto Raharjo mengenai

hukum progresif langkah-langkah yang ditempuh Mahkamah Konstitusi dalam

memutus serangkaaian perkara yang diajukan dapat dikatakan selaras dengan

prinsip dan landasan hukum tertulis yang disuarankan oleh Undang-Undang namun

tidak mengesampingkan aspek substantive didalamnya. Argumentasi yang

membuat situasi persidangan diombang ambing perbedaan sudut pandang terhadap

beberapa pasal direspon secara bijak dan tetap dalam koridor yang tepat dan efisien.

Selaras dengan prinsip demokrasi adanya peradilan sengketa Pilkada ini

sebagai sarana pencari keadilan yang diamanatkan melalui Undang-Undang

membuat tambahan kewenangan kepada MK tersebut bernilai amat krusial

Pemberian kewenangan yang mengacu pada prinsip trias politika membuat peran

Mahkamah Konstitusi sebagai Lembaga Yudikatif sangatlah signifikan.

Namun bukan tanpa celah, pro dan kontra terhadap pasal 158 disini menuai

pandangan bahwasanya celah hukum yang ada dalam UU Pilkada cukup terbuka

dan menggoyahkan asas kepastian hukum didalmnya. Hal inilah yang memicu

problematika hukum yang perlu dicari solusinya. Dalam UU Pilkda sedemikian rupa

berupaya untuk memberikan sarana penunnjang demokrasi yang maksimal kepada

rakyat untuk memilih pemimpinnya namun dari sudut pandang lain metode

memperoleh kekuasaan dalam memimpin itulah yang harus dijaga agar

menciptakan mekanisme yang tetap berlandaskan keadian dan sesuai kehendak

Page 80: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

70

rakyat. Untuk meraih keadilan inilah Indonesia sebagai negara hukum pada

dasarnya wajib untuk mengedepankan kepentingan warga negaranya dengan

menciptakan hukum yang dapat melindungi dan mengayomi hak warga negara

bukan hanya melenggangkan kepentingan politik didalamnya.15 Dari situlah terlihat

bahwasanya data antara selisih masing-masing calon menjadi tolak ukur

didalamnya, maka disisi lain akan ada potensi dan ambisi untuk berlomba-lomba

memperoleh suara secara tidak sehat melalui pelanggaran yang sifatnya terstriktur

sistematis dan massif menjadikan celah hukum didalamnya sangat dioptimalkan

untuk digunakan dalam melenggangkan kekuasaannya.16

Namun bukan tanpa antisipasi, Mahkamah Konstitusi disini juga berupaya

menjaga dan menyelaraskan amanh UU Pilkada tersebut melalui penerapan Putusan

dismissal disertai pemeriksaan pendahuluan. Hal ini dinilai urgen karena dengan

adanya pemeriksaan pendahuluan, semua permohonan yang masuk ke MK akan

dinilai terlebih dahulu pada tahapan ini. Sepanjang pemohon dapat menunjukkan

bukti-bukti yang kuat telah terjadi pelanggaran yang bersifat TSM dan bukti-bukti

tersebut mampu memberikan keyakinan pada hakim, ambang batas tidak dapat

dijadikan sebagai instrumen untuk membunuh upaya pencarian keadilan substantif

.

15 Janedjri M. Gaffar, Politik Hukum Pemilu, (Jakarta : Konstitusi Press, 2013), h. 57 16 Hamdan Zoelva , “Problematika Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilukada Oleh Mahkamah

Konstitusi”, Jurnal Konstitusi Vol.10, no.3 (September 2013): h.7

Page 81: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

71

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Implementasi kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan sengketa

hasil Pilkda tahun 2017 dapat dikategorikan sangatlah efisien. Proses penyelesaian

sengketa melalui serangkaian tahapan sebelum melaju kemeja persidangan dinilai

dapat meminimalisir dampak terbuangnya waktu dalam proses persidangan yang

dibatasi oleh Undang-Undang. Namun bukan dengan mekanisme yang

mengabaikan hak konstitusional,melainkan MK berupaya maksimal membackup

semua perkara yang masuk dengan proses penanganan pemeriksaan pendahuluan

dan putusan dismissal yang membuat seolah penyelesaian sengketa menjadi lebih

efisien dalam hal jangka waktu dengan keterbatasan jumlah hakim yang ada.

Melihat aspek normatif didalamnya UU Pilkada yang menjadi batu pijakan dalam

proses penyelesaian sengketa hasil pilkada terlihat masih terdapat celah hukum

didalamnya. Tepat pada pasal 158 yang mengatur mengenai mabang batas menjadi

sorotan utama dan menuai pertanyaan yang menimbulkan hilangnya kepastian

hukum dalam beberapa aspek penyelesaian sengketa Pilkada.

Adanya benturan antara hak memperoleh keadilan yang diamanatkan oleh UUD

1945 pada pasal.28 D ayat 1 dengan asas mengesampingkan peraturan yang sifatnya

umum dan mengutamakan peraturan yang sifatnya khusus sesuai yang dituangkan

pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tidak dapat terelakkan. Tercermin

Page 82: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

72

dari data persidangan, yang mendominasi argument dari kedua belah pihak yang

berperkara menjadikan pasala 158 UU Pilkada seperti pisau bermata dua.

Argumentasi tidak terpenuhinya unsur keadilan yang dicederai pelanggaran

bersifat TSM(terstruktur sistematis dan massif ) berbenturan dengan argumentasi

menuntut terpenuhinya asas formil dalam hal ambang batas sesuai yang tertulis di

UU Pilkada. Hal inilah yang perlu disoroti lebih lanjut dalam menerapkan UU

Pilkada tersebut terlepas dari upaya optimalisasi penegakan keadilan substansial

oleh Mahkamah Konstitusi dalam kewenangannya kali ini.

B. Saran

Berdasarkan pembahasan yang telah di ulas pada bab sebelumnya maka dalam

hal ini peneliti memberikan saran-saran sebagai berikut :

1. Kepada pembuat regulasi untuk meninjau kembali unsur dari pasal 158 UU

Pilkada guna mewadahi dan melindungi hak konasitusional warga negara

dalam memperoleh kepastian hukum.

2. Proyeksi pembentukan lembaga peradilan khusus sengketa Pilkada seperti

yang disebutkan pada pasal 157 lebih diutamakan agar Mahkamah Konstitusi

dapat fokus menjalankan tugas yang diamanatkan UUD 1945. Tentunya agar

proses penyelesaian sengketa dapat lebih mengandung unsur kepastian hukum

dari segi kelembagaan dan wewenagnya , optimal dalam pelaksanaanya, dan

Pilkada yang jujur demokratis dan tetap berkeadilan dapat terwujud..

Page 83: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

80

DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Jurnal

Al Iman, Abu Nashar Muhammad. Membongkar Dosa-Dosa Pemilu. Jakarta: Prisma

Media, 2004

Amiruddin dan Asikin, Zainal. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Cet. VIII.

Jakarta: Rajawali Pers, 2014.

Ana, Nur Rosihin. Pilkada Serentak 2015. dalam Majalah Konstitusi No.103

September 2015. Jakarta: Kepaniteraan dan Sekretariat Jendral, 2015

Anjarsari, Lulu. “Pertarungan Calon abdi daerah di MK.” Majalah Konstitusi Press.

No.112 (April 2017): h.13-15.

Bisariyadi, dkk.. “Komparasi Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pemilu di Beberapa

Negara Penganut Paham Demokrasi Konstitusional”. Jurnal Konstitusi Vol. 9.

No.3, Sepetmber 2012.

Busroh, Abu Daud. Ilmu Negara. Jakarta : Sinar Grafika , 2011

Gaffar, Janedjri M. Demokrasi dan Pemilu di Indonesia, Cet. I. Jakarta: Konstitusi

Press, 2013

_____________. Politik Hukum Pemilu, Cet. II, Jakarta: Konstitusi Press, 2013

Hakim, Abdul dkk.. Memahami keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia.

Bandung: Citra Aditya Bakti., 2004

Hertanto dkk. Teori-Teori Politik dan Pemikiran Politik di Indonesia.. Bandarlampung.

Universitas Lampung, 2006

Kepala Daerah di Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya Terhadap Jaminan

Keamanan Nasional, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Jember. Vol 5 No. 6

April 2016

Lutfi, Mustafa. Hukum Sengketa Pemilukada di Indonesia- Gagasan Perluasan

Kewenangan Konstitusinal Mahkamah Konstitusi, Cet I, Yogyakarta: UII

Press, 2010.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.Anggono, Bayu Dwi. Pemabatasan

Pengajuan Perkara Hasil Pemilihan, 2016.

Page 84: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

74

Mahmud Marzuki, Peter. Penelitian Hukum Edisi Revisi. Jakarta: Kencana Prenada

Media Group, 2015.

Manggalatung, A. Salman dan Yunus, Nur Rohim. Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara

(Aktualisasi dalam Teori Negara Indonesia). Jakarta : Prodi Ilmu Hukum UIN

Syarif Hidayatullah dan Fajar Media, 2013,

Nano, Arif, Bayu. “MK Tetap Tagakkan Keadilan Substantif.” Majalah Konstitusi

Press. No.112 (April 2017): h. 32-34

Pramudya, Kelik. “Mewujudkan Sistem Penyelesaian Hasil Pilakda Yang Efektf dan

Berkeadilan (Manifesting Effective And Fair Resoluution System and The

Local Election Result)”, Jurnal Rechtvinding Media Pembinaan Hukum

Nasional Vol.4, No. 1.(Apri 2015): h.123-179

Pratama, M. Heroik dan Debora Blandina Sinambela.. “Evaluasi Pilkada Serentak

2015, Sebuah Studi Mengenai Dinamika Pemungutan Suara di Pilkada 2015”

Jurnal Pemilu dan Demokrasi, edisi (April 2016): h.1-13

Raharjo, Satjipto. Membedah Hukum Progresif. Cet.II Jakarta: Kompas Media

Nusantara, 2007.

Rizky Ariestandi Irmansyah, S.H. Hukum, Hak Asasi Manusia dan Demokrasi

Yogyakarta.: Graha Ilmu, 2009

Rudy.. Hukum Pemerintahan Daerah Perspektif Konstitusionalisme Indonesia.

Bandarlampung: Indepth Publishing, 2012

Santoso, Topo, dkk.. Penegakan Hukum Pemilu Praktik Pemilu 2004, Kajian Pemilu

2004, Kalian Pemilu 2009-2014”. Jakarta: USAID- RSPPerludem,2016.

Santoso, Topo. Penegakan Hukum Pemilu – Praktik Pemilu 2004, Kajian Pemilu 2009-

2014. Jakarta : Perludem-US AID-DRSP, 2006.

Soehino. Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty, 2007

Sudiro, Amad dan Bram Deni, Hukum dan Keadilan Aspek Nasional dan

Internasional, Cet. I. Jakarta: Raja Grafindo, 2013

Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum dalam Praktek, Cet. IV. Jakarta: Sinar Grafika,

2008.

Page 85: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

75

Wibowo, Arif, Menata Ulang Sistem Penyelesaian dan Pelanggaran Pemilukada,

Dalam Buku : Demokrasi Lokal-evaluasi Pemilukada di Indonesia. Cet. II.

Jakarta : Konstitusi Press, 2013.

Zoelva Hamdan, “Problematika Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilukada Oleh

Mahkamah Konstitusi.” Jurnal Konstitusi Vol.10 No.3 (September 2013): h.7

Undang-undang

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua

Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 TentangPenetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun

2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi

Undang-Undang.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah

Konstitusi

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan

Artikel dari Internet

Agus Sahbani “Fajar Laksono dan Cerita Tentang Sengketa Pilkada”, diakses pada

tanggal 12 Juli 2017 dari http://www.hukumonline.com

Hukum Online, “Wewenang MK dalam Mengadili Sengketa Hasil Pemilukada”,

diakses pada tanggal 12 Oktober 2016 dari

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl6843/lembaga-yang-berwenang-

menangani-sengketa-hasil-pemilukada.

Mahkamah Konstitusi. “Polemik Badan Peradilan Khusus Sengketa Pilkada”. Artikel

diakses pada 12 Oktober 2016 dari

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=11647

Saldi Isra, “Ambang Batas Sengketa Pilkada”, diakses pada tanggal 12 Juli 2017 dari

https://www.saldiisra.web.id/index.php/tulisan/artikel-koran/12-

seputarindonesia/610-ambang-batas-sengketa-pilkada.html

Page 86: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

76

LAMPIRAN

Page 87: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

17 Nomor 122 • April 2017

Kategori Putusan AkhirPHP Kada Tahun 2017 Berdasarkan Syarat Permohonan

Selisih Suara Waktu Bukan Paslon

• ProvinsiBanten• ProvinsiAceh• ProvinsiGorontalo• KotaKendari• Kab.BengkuluTengah• Kab.Dogiyai• Kab.PulauMorotai• Kab.Jepara• Kab.NaganRaya• Kab.Tebo• Kab.Sarmi(2)• Kab.KepulauanSangihe• Kab.AcehUtara• Kab.AcehTimur• Kab.Pidie• Kab.AcehSingkil• Kab.Sorong• Kab.LannyJaya• Kab.ButonSelatan• Kab.Buru• Kab.HalmaheraTengah• Kab.Mappi• Kab.MalukuTenggaraBarat(2)• Kab.BanggaiKepulauan

• KotaTasikmalaya• KotaLangsa• KotaPayakumbuh• KotaBatu• KotaJayapura• Kab.Sarolangun• Kab.ButonTengah• Kab.Pati• Kab.Bireun• Kab.MalukuTengah• Kab.Buol• Kab.Sarmi

• KotaSorong• Kab.AcehBaratDaya

Page 88: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

18 Nomor 122 • April 2017

Putusan SelaPerselisihan Hasil Pemilihan (PHP) Bupati dan Wakil Bupati

dalam Pilkada Serentak Tahun 2017

No Daerah / Nomor Perkara Pemohon Putusan Tanggal

Putusan1 Kabupaten Tolikara

14/PHP.BUP-XV/2017Dr. (HC) John Tabo, S.E., MBA dan Barnabas Weya, S.Pd

Putusan Sela / ProvisiPemungutan suara ulang pada semua TPS di 18 (delapan belas) distrik di Kabupaten Tolikara paling lambat 60 hari kerja.

3 April 2017

2 Kabupaten Puncak Jaya 42/PHP.BUP-XV/2017

Yustus Wonda, S.Sos., M.Si dan Kirenius Telenggen, S.Th., M.CE

Putusan Sela / Provisi Pemungutan suara ulang di semua TPS di enam distrik yaitu Distrik Lumo, Distrik Yamoneri, Distrik Ilamburawi, Distrik Molanikime, Distrik Dagai dan Distrik Yambi paling lambat 60 hari kerja

4 April 2017

Putusan Akhir Perselisihan Hasil Pemilihan (PHP) Gubernur dan Wakil Gubernur

dalam Pilkada Serentak Tahun 2017No. Daerah / Nomor

Perkara Pemohon Putusan Tanggal Putusan

1 Provinsi Aceh31/PHP.GUB-XV/2017

H. Muzakir Manaf dan Ir. H. T. A. Khalid, M.M

Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf b UU Pilkada dengan ambang batas 1,5% karena jumlah penduduk Provinsi Aceh berjumlah 5.101.473 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan pemohon sebesar 132.283 suara (5,48%)

4 April 2017

2 Provinsi Gorontalo44/PHP.GUB-XV/2017

Hana Hasanah Fadel dan Tonny S Junus

Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU Pilkada dengan ambang batas 2% karena jumlah penduduk Provinsi Gorontalo berjumlah 1.143.765 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan pemohon sebesar 159.701 suara (24,8%)

4 April 2017

3 Provinsi Banten

45/PHP.GUB-XV/2017

Rano Karno dan Embay Mulya Syarief

Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf c UU Pilkada dengan ambang batas 1% karena jumlah penduduk Provinsi Banten berjumlah 10.083.370 jiwa. Perbedaan jumlah jumlah total suara sah dengan pemohon sebe-sar 89.890 suara (1,90%)

4 April 2017

LAPORAN UTAMA

Page 89: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

19 Nomor 122 • April 2017

Putusan Akhir Perselisihan Hasil Pemilihan (PHP) Bupati dan Wakil Bupati

dalam Pilkada Serentak Tahun 2017No. Daerah / Nomor Perkara Pemohon Putusan Tanggal

Putusan

1 Kabupaten Intan Jaya 50/PHP.BUP-XV/2017

Bartolomius Mirip, S.Pd dan Deny Miagoni, S.Pd., M.Pd

Memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum Provinsi Papua untuk melakukan Rekapitulasi Penghitungan Suara Lanjutan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Intan Jaya Tahun 2017 paling lambat 14 hari kerja.

3 April 2017

2 Kabupaten Bengkulu Tengah(1/PHP.BUP-XV/2017)

M. Sabri, S.Sos., M.M. dan Naspian

Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU Pilkada dengan ambang batas 2% karena jumlah penduduk Kabupaten Bengkulu Tengah berjumlah 107.630 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 8.511 suara (14,70%)

3 April 2017

3 Kabupaten Jepara2/PHP.BUP-XV/2017

Dr. H. Subroto, S.E., M.M. dan H. Nur Yahman, S.H.

Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf d UU Pilkada dengan ambang batas 0,5% karena jumlah penduduk Kabupaten Jepara berjumlah 1.145.164 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 15.578 suara (2,50%)

3 April 2017

4 Kabupaten Tebo3/PHP.BUP-XV/2017

Hamdi, S.Sos., M.M. dan H. Harmain, S.E., M.M.

Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf b UU Pilkada dengan ambang batas 1,5% karena jumlah penduduk Kabupaten Tebo berjum-lah 324.420 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 17.700 su-ara (10,77%)

3 April 2017

5 Kabupaten Aceh Timur4/PHP.BUP-XV/2017

Ridwan Abubakar, S.Pd.I., M.M. dan Abdul Rani

Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf b UU Pilkada dengan ambang batas 1,5% karena jumlah penduduk Kabupaten Aceh Timur berjumlah 419.143 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 4.530 suara (2,5 %)

3 April 2017

6 Kabupaten Aceh Singkil5/PHP.BUP-XV/2017

H. Safriadi, S.H. dan Sariman, S.P.

Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU Pilkada dengan ambang batas 2% karena jumlah penduduk Kabupaten Aceh Singkil berjumlah 128.543 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 2.648 suara (4,38 %)

3 April 2017

7 Kabupaten Buton Selatan 6/PHP.BUP-XV/2017

H. Muhamad Faizal, S.E., M.S. dan Wa Ode Hasniwati

Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU Pilkada dengan ambang batas 2% karena jumlah penduduk Kabupaten Buton Selatan berjumlah 93.683 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 1.538 suara (3,8%)

3 April 2017

Page 90: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

20 Nomor 122 • April 2017

8 Kabupaten Halmahera Tengah8/PHP.BUP-XV/2017

Muttiara T. Yasin, S.E., M.Si. dan Kabir Kahar, S.Ag.

Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU Pilkada dengan ambang batas 2% karena jumlah penduduk Kabupaten Halmahera Tengah berjumlah 49.337 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 1.128 suara (3,87%)

3 April 2017

9 Kabupaten Mappi9/PHP.BUP-XV/2017

Drs. Aminadab Jumame dan Stefanus Yermogoin, S.Sos.

Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU Pilkada dengan ambang batas 2% karena jumlah penduduk Kabupaten Mappi berjumlah 100.993 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 5.598 suara (12%)

3 April 2017

10 Kabupaten Maluku Tenggara Barat12/PHP.BUP-XV/2017

Dharma Oratmangun dan Markus Faraknimella

Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU Pilkada dengan ambang batas 2% karena jumlah penduduk Kabupaten Maluku Tenggara Barat berjumlah 120.985 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 2.130 suara (3,8%)

3 April 2017

11 Kabupaten Pidie15/PHP.BUP-XV/2017

H. Sarjani Abdullah dan M. Iriawan, S.E.

Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf b UU Pilkada dengan ambang batas 1,5% karena jumlah penduduk Kabupaten Pidie berjumlah 435.608 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 4.673 suara (2,34 %)

3 April 2017

12 Kabupaten Bireuen16/PHP.BUP-XV/2017

H.M. Yusuf Abdul Wahab dan dr. Purnama Setia Budi, Sp. OG.

Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi Pasal 157 ayat (5) UU 10/2016 serta Pasal 1 angka 27, Pasal 5 ayat (1) dan ayat (4) PMK 1/2017 tentang tenggang waktu pengajuan permohonan

3 April 2017

13 Kabupaten Aceh Barat Daya17/PHP.BUP-XV/2017

H. Said Syamsul Bahri dan Drs. H.M. Nafis A. Manaf, M.M.

Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Pemohon bukan merupakan Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Aceh Barat Daya Tahun 2017

3 April 2017

14 Kabupaten Buol18/PHP.BUP-XV/2017

Dr. Ir. H. Syamsudin Koloi, M.S. dan Dra. Hj. Nurseha, M.Si.

Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi Pasal 157 ayat (5) UU 10/2016 serta Pasal 1 angka 27, Pasal 5 ayat (1) dan ayat (4) PMK 1/2017 tentang tenggang waktu pengajuan permohonan

4 April 2017

15 Kabupaten Buru20/PHP.BUP-XV/2017

Ir. Bakir Lumbessy, MBA. dan Amarullah Madani Hentihu, S.E.

Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU Pilkada dengan ambang batas 2% karena jumlah penduduk Kabupaten Buru berjumlah 129.233 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 12.662 suara suara (17,91%)

3 April 2017

LAPORAN UTAMA

Page 91: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

21 Nomor 122 • April 2017

16 Kabupaten Sarmi21/PHP.BUP-XV/2017

Ir. Albertus Suripno dan Adrian Roi Senis, Amd.Tek

Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU Pilkada dengan ambang batas 2% karena jumlah penduduk Kabupaten Sarmi berjumlah 36.051 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 1.924 suara (9,49%)

3 April 2017

17 Kabupaten Kepulauan Sangihe22/PHP.BUP-XV/2017

Drs. Hironimus Rompas Makagansa, M.Si. dan dr. Fransiscus Silangen, Sp.B., KBD

Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU Pilkada dengan ambang batas 2% karena jumlah penduduk Kabupaten Kepulauan Sangihe berjumlah 141.231 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 9.162 suara (10,83%)

3 April 2017

18 Kabupaten Nagan Raya23/PHP.BUP-XV/2017

Teuku Raja Keumangan, S.H., M.H. dan Said Junaidi, S.E.

Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU Pilkada dengan ambang batas 2% karena jumlah penduduk Kabupaten Nagan Raya berjumlah 165.872 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 8.882 suara (9,18%)

4 April 2017

19 Kabupaten Aceh Utara24/PHP.BUP-XV/2017

Fakhrurrazi H. Cut dan Mukhtar Daud, SKH.

Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf c UU Pilkada dengan ambang batas 1% karena jumlah penduduk Kabupaten Aceh Utara berjumlah 569.426 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 16.636 suara (6,39%)

4 April 2017

20 Kabupaten Sarmi25/PHP.BUP-XV/2017

Drs. Mesak Manibor, M.MT. dan Sholeh

Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi Pasal 157 ayat (5) UU 10/2016 serta Pasal 1 angka 27, Pasal 5 ayat (1) dan ayat (4) PMK 1/2017 tentang tenggang waktu pengajuan permohonan

4 April 2017

21 Kabupaten Sarolangun32/PHP.BUP-XV/2017

Drs. H. Muhammad Madel dan H. Musharsyah

Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi Pasal 157 ayat (5) UU 10/2016 serta Pasal 1 angka 27, Pasal 5 ayat (1) dan ayat (4) PMK 1/2017 tentang tenggang waktu pengajuan permohonan

4 April 2017

22 Kabupaten Banggai Kepulauan33/PHP.BUP-XV/2017

Drs. H. Irianto Malingong, M.M. dan Hesmon Firatoni V.L. Pandili

Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU Pilkada dengan ambang batas 2% karena jumlah penduduk Kabupaten Banggai Kepulauan berjumlah 116.222 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 4.376 suara (6,45%)

4 April 2017

23 Kabupaten Buton Tengah37/PHP.BUP-XV/2017

Kiesman M. Talib Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi Pasal 157 ayat (5) UU 10/2016 serta Pasal 1 angka 27, Pasal 5 ayat (1) dan ayat (4) PMK 1/2017 tentang tenggang waktu pengajuan permohonan

4 April 2017

Page 92: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

22 Nomor 122 • April 2017

24 Kabupaten Dogiyai38/PHP.BUP-XV/2017

Markus Waine dan Angkian Goo, S.Pi.

Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU Pilkada dengan ambang batas 2% karena jumlah penduduk Kabupaten Dogiyai berjumlah 159.518 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 9.146 suara (7,22%)

4 April 2017

25 Kabupaten Sorong39/PHP.BUP-XV/2017

Zeth Kadakolo, S.E., M.M. dan H. Ibrahim Pokko

Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf c UU Pilkada dengan ambang batas 2% karena jumlah penduduk Kabupaten Sorong berjumlah 117.945 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 11.898 suara (21.38%)

4 April 2017

26 Kabupaten Sarmi40/PHP.BUP-XV/2017

Demianus Kyeuw-Kyeuw, S.H., M.H. dan Ir. Musriadi HP., M.Si.

Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU Pilkada dengan ambang batas 2% karena jumlah penduduk Kabupaten Sarmi berjumlah 36.051 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 4.059 suara (20,03%)

3 April 2017

27 Kabupaten Pati41/PHP.BUP-XV/2017

Gerakan Masyarakat Pati (GERAM PATI), dll

Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi Pasal 157 ayat (5) UU 10/2016 serta Pasal 1 angka 27, Pasal 5 ayat (1) dan ayat (4) PMK 1/2017 tentang tenggang waktu pengajuan permohonan

4 April 2017

28 Kabupaten Maluku Tengah43/PHP.BUP-XV/2017

Alter Sopacua dan Aswar Rahim

Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi Pasal 157 ayat (5) UU 10/2016 serta Pasal 1 angka 27, Pasal 5 ayat (1) dan ayat (4) PMK 1/2017 tentang tenggang waktu pengajuan permohonan

4 April 2017

29 Kabupaten Pulau Morotai46/PHP.BUP-XV/2017

M. Ali Sangaji, S.E., M.M. dan Yulce Makasarat, S.Th.

Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU Pilkada dengan ambang batas 2% karena jumlah penduduk Kabupaten Pulau Morotai berjumlah 64.178 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 5.848 suara (15,26%)

4 April 2017

30 Kabupaten Lanny Jaya47/PHP.BUP-XV/2017

Briyur Wenda, S.Pd., MAP dan Paulus Kogoya, S.Sos.

Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf c UU Pilkada dengan ambang batas 2% karena jumlah penduduk Kabupaten Lanny Jaya berjumlah 115.597 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 34.566 suara (30,61%)

4 April 2017

31 Kabupaten Maluku Tenggara Barat49/PHP.BUP-XV/2017

Petrus P. Werembinan Taborat, S.H. dan Jusuf Siletty, S.H., M.H.

Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU Pilkada dengan ambang batas 2% karena jumlah penduduk Kabupaten Maluku Tenggara Barat berjumlah 120.985 jiwa. Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 8.531 suara (15,37%)

4 April 2017

LAPORAN UTAMA

Page 93: IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41813/1/FACHRIZAL-FSH.pdfIMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI ... serta sebagai

23 Nomor 122 • April 2017

Putusan AkhirPerselisihan Hasil Pemilihan (PHP) Walikota dan Wakil Walikota

dalam Pilkada Serentak Tahun 2017

No. Daerah / Nomor Perkara Pemohon Putusan Alasan

1 Kota Sorong 7/PHP.KOT-XV/2017

Amos Lukas Watori, S.H. dan Hj. Noorjannah

Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Pemohon bukan merupakan Pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota Dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Aceh Barat Daya Tahun 2017

3 April 2017

2 Kota Batu 11/PHP.KOT-XV/2017

Rudi dan Sujono Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi Pasal 157 ayat (5) UU 10/2016 serta Pasal 1 angka 27, Pasal 5 ayat (1) dan ayat (4) PMK 1/2017 tentang tenggang waktu pengajuan permohonan

3 April 2017

3 Kota Langsa 19/PHP.KOT-XV/2017

Fazlun Hasan dan Syahyuzar AKA, S.Sos.

Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi Pasal 157 ayat (5) UU 10/2016 serta Pasal 1 angka 27, Pasal 5 ayat (1) dan ayat (4) PMK 1/2017 tentang tenggang waktu pengajuan permohonan

3 April 2017

4 Kendari 26/PHP.KOT-XV/2017

Abdul Rasak, S.P. dan Haris Andi Surahman, S.Pd.

Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi persyaratan Pasal 158 ayat (2) huruf b UU Pilkada dengan ambang batas 1,5% karena jumlah penduduk Kota Kendari berjumlah 331.686 jiwa.Perbedaan jumlah total suara sah dengan suara pemohon sebesar 6.250 suara (4,13%)

4 April 2017

5 Kota Payakumbuh 27/PHP.KOT-XV/2017

Drs. H. Suwandel Muchtar, M.M. dan Drs. Fitrial Bachri

Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi Pasal 157 ayat (5) UU 10/2016 serta Pasal 1 angka 27, Pasal 5 ayat (1) dan ayat (4) PMK 1/2017 tentang tenggang waktu pengajuan permohonan

3 April 2017

6 Kota Tasikmalaya35/PHP.KOT-XV/2017

Ir. H. Dede Sudrajat, M.P. dan dr. H. Asep Hidayat Surdjo, Sp.A., M.Kes.

Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi Pasal 157 ayat (5) UU 10/2016 serta Pasal 1 angka 27, Pasal 5 ayat (1) dan ayat (4) PMK 1/2017 tentang tenggang waktu pengajuan permohonan

4 April 2017

7 Kota Jayapura48/PHP.KOT-XV/2017

Lembaga Demokrasi dan Riset Papua (PDRI)

Tidak Dapat DiterimaPertimbangan:Tidak memenuhi Pasal 157 ayat (5) UU 10/2016 serta Pasal 1 angka 27, Pasal 5 ayat (1) dan ayat (4) PMK 1/2017 tentang tenggang waktu pengajuan permohonan

4 April 2017