tension pneumotoraks
Post on 18-Feb-2015
327 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Trauma dada
1. Pengertian
Trauma adalah penyebab kematian utama pada anak dan orang dewasa kurang dari
44 tahun. Penyalahgunaan alkohol dan obat telah menjadi faktor implikasi pada
trauma tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja
(Smeltzer, 2001).
Trauma dada adalah trauma tajam atau tembus thoraks yang dapat menyebabkan
tamponade jantung, perdarahan, pneumothoraks, hematothoraks,
hematompneumothoraks (FKUI, 1995).
Trauma thorax adalah semua ruda paksa pada thorax dan dinding thorax, baik
trauma atau ruda paksa tajam atau tumpul. (Lap. UPF bedah, 1994).
Gambar 1 : Trauma dada
2. Etiologi
Trauma dada dapat disebabkan oleh :
a. Tension pneumothorak-trauma dada pada selang dada, penggunaan therapy
ventilasi mekanik yang berlebihan, penggunaan balutan tekan pada luka dada
tanpa pelonggaran balutan.
b. Pneumothorak tertutup-tusukan pada paru oleh patahan tulang iga, ruptur oleh
vesikel flaksid yang seterjadi sebagai sequele dari PPOM. Tusukan paru dengan
prosedur invasif.
1
c. Kontusio paru-cedera tumpul dada akibat kecelakaan kendaraan atau tertimpa
benda berat.
d. Pneumothorak terbuka akibat kekerasan (tikaman atau luka tembak)
e. Fraktur tulang iga
f. Tindakan medis (operasi)
g. Pukulan daerah torak.
3. Klasifikasi
Klasifikasi trauma toraks
a.Trauma tembus (tajam)Terjadi diskontinuitas dinding toraks (laserasi) langsung
akibat penyebab trauma. Terutamaakibat tusukan benda tajam (pisau, kaca, dsb)
atau peluru. Sekitar 10-30% memerlukanoperasi torakotomi
b. Trauma tumpulTidak terjadi diskontinuitas dinding toraks. Terutama akibat
kecelakaan lalu-lintas,terjatuh, olahraga, crush atau blast injuries. Kelainan
tersering akibat trauma tumpul toraksadalah kontusio paru. Sekitar <10% yang
memerlukan operasi torakotomi
4. Mekanisme trauma torak
a.Trauma TumpulTiga jenis trauma tumpul yang menyebabkan trauma toraks adalah
kompresi,robekan, dan ledakan. Trauma kompresi toraks seperti fraktur iga terjadi
2
tekanan yangmenumpu dada melebihi kekuatan rongga toraks. Area dinding dada
yang paling lemahditemukan didaerah 60° dari sternum, dimana iga didaerah
tersebut lebih datar dan kurang ditopang. Seringkali kompresi tulang iga akan
mengalami fraktur di dua tempat;satu di daerah 60° dari sternum dan bagian
posterior. Kompresi antero-posterior dapatpula menyebabkan gangguan
costochondral, yang menghasilkan suatu keadaan sterna flail.Robekan akan
menyebabkan cedera jaringan dan vascular. Sebagai respon terhadappercepatan
dan perlambatan, jaringan dan pergerakan vascular organ dibatasi olehgabungan
anatomi dan perkembangannya. Oleh sebab itu, jika kekuatan regang
darikeseluruhan jaringan terlampaui, maka dapat terjadi robekan atau ruptur.
Kemampuanuntuk menahan regangan inilah yang bertanggung jawab atas satu-
satunya cedera toraksyang mematikan: transeksi aorta. Karena aorta difiksasi oleh
ligamentum arteriosum danoleh tulang vertebra di bawahnya, maka penghubung
yang membuat aorta dapat lebihmobile dan statisnya aorta desenden menjadi lokasi
tersering yang mengalami gangguan.Robekan yang terjadi di dalam parenkim paru
dapat berupa laserasi, hematoma, kontusio,atau pneumatocele.4 Cedera ledakan
paru primer terjadi ketika tekanan gelombang yangmeghantam dinding dada dan
menciptakan suatu perbedaan tekanan antara udara-jaringansekitarnya. Semakin
besarnya perbedaan tekanan, maka akan semakin besarnya kekuatantekanan yang
akan ditransmisikan ke paru– paru. Berat ringannya cedera\ paru adalahbergantung
jarak jauh dekatnya korban dari sumber ledakan.5 Ledakan dalam ruangtertutup
lebih parah, karena tekanan gelombang dipantulkan kembali ke pasien, yang
malahmemperhebat stimulus aslinya. Karakteristik patologi dari cedera ledakan
pada paru adalahsuatu kontosio dengan adema dan perdarahan alveoli.Cedera
ledakan sekunderdihasilkan dari beberapa objek yang berhamburan akibat ledakan
hebat, yang kemudianmengenai pasien. cedera tersier disebabkan oleh individu
yang sedang dipindahkan. Cederayang berhubungan dengan luka bakar, agen yang
terinhalasi, dan yang berhubungandengan tergencet bangunan yang kolaps secara
sekunder
b. Trauma Tembus Mekanisme cedera dapat dikategorikan sebagai berikut yang
kecepatan rendah,sedang, dan tinggi. Kecepatan rendah termasuk penusukan
3
(misalnya, luka tusuk karenapisau), yang hanya mengenai struktur jaringan sekitar
yang ditusuk. Kecepatan sedang,seperti luka tembus karena peluru dari sebagian
besar jenis pistol dan senapan angin yangmana ditandai dengan gambaran
dekstruksi jaringan yang lebih ringan jika dibandingkancedera karena kecepatan
tinggi. Cedera akibat kecepatan tinggi yaitu seperti cedera yangdiakibatkan oleh
rifle dan dari senjata api militer.
5. Prognosis penyakit
a. Open Pneumothorak
Timbul karena trauma tajam, ada hubungan dengan rongga pleura sehingga paru
menjadi kuncup. Seringkali terlihat sebagai luka pada dinding dada yang
menghisap pada setiap inspirasi ( sucking chest wound ). Apabila luban ini lebih
besar dari pada 2/3 diameter trachea, maka pada inspirasi udara lebih mudah
melewati lubang dada dibandingkan melewati mulut sehingga terjadi sesak nafas
yang hebat
b. Tension Pneumothorak
Adanya udara didalam cavum pleura mengakibatkan tension pneumothorak.
Apabila ada mekanisme ventil karena lubang pada paru maka udara akan semakin
banyak pada sisi rongga pleura, sehingga mengakibatkan :
Paru sebelahnya akan terekan dengan akibat sesak yang berat
Mediastinum akan terdorong dengan akibat timbul syok
Pada perkusi terdengar hipersonor pada daerah yang cedera, sedangkan pada
auskultasi bunyi vesikuler menurun.
c. Hematothorak masif
Pada keadaan ini terjadi perdarahan hebat dalam rongga dada. Ada perkusi
terdengar redup, sedang vesikuler menurun pada auskultasi.
d. Flail Chest
Tulang iga patah pada 2 tempat pada lebih dari 2 iga sehingga ada satu segmen
dinding dada yang tidak ikut pada pernafasan. Pada ekspirasi segmen akan
menonjol keluar, pada inspirasi justru masuk kedalam yang dikenal dengan
pernafasan paradoksal.
4
6. Patofisiologi
Rongga dada terdiri dari sternum, 12 verebra torakal, 10 pasang iga yang berakhir di
anterior dalam segmen tulang rawan dan 2 pasang iga yang melayang. Di dalam
rongga dada terdapat paru-paru yang berfungsi dalam sistem pernafasan. Apabila
rongga dada mengalami kelainan, maka akan terjadi masalah paru-paru dan akan
berpengaruh juga bagi sistem pernafasan. Akibat trauma dada disebabkan karena:
Tension pneumothorak cedera pada paru memungkinkan masuknya udara (tetapi
tidak keluar) ke dalam rongga pleura, tekanan meningkat, menyebabkan pergeseran
mediastinum dan kompresi paru kontralateral demikian juga penurunan aliran baik
venosa mengakibatkan kolapnya paru. Pneumothorak tertutup dikarenakan adanya
tusukan pada paru seperti patahan tulang iga dan tusukan paru akibat prosedur infasif
penyebabkan terjadinya perdarahan pada rongga pleural meningkat mengakibatkan
paru-paru akan menjadi kolaps. Kontusio pasru mengakibatkan tekanan pada rongga
dada akibatnya paru-paru tidak dapat mengembang dengan sempurna dan ventilasi
menjadi terhambat akibat terjadinya sesak nafas. Sianosis dan tidak menutup
kemungkinan akan terjadi syok.
7. Manifestasi klinis
Tanda dan gejala yang sering muncul pada penderita trauma dada;
a.Nyeri pada tempat trauma, bertambah pada saat inspirasi.
b. Pembengkakan lokal dan krepitasi yang sangat palpasi.
c.Pasien menahan dadanya dan bernafas pendek.
d. Dyspnea, takipnea
e.Takikardi
f. Tekanan darah menurun.
g. Gelisah dan agitasi
h. Kemungkinan cyanosis.
i. Batuk mengeluarkan sputum bercak darah.
j. Hypertympani pada perkusi di atas daerah yang sakit.
5
8. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan diagnostik
a.Radiologi : foto thorax (AP).
b. Gas darah arteri (GDA), mungkin normal atau menurun.
c.Torasentesis : menyatakan darah/cairan serosanguinosa.
d. Hemoglobin : mungkin menurun.
e.Pa Co2 kadang-kadang menurun.
Rentang nilai normal : 35 – 45 mmHg
Asidosis respiratorik : >45 mmHg (pH turun)
Alkalosis respiratorik : <35 mmHg (pH naik)
PaCO2 adalah tekanan partial yang ditimbulkan oleh CO2 yang terlarut.
PaCO2 ini merupakan parameter untuk mengetahui fungsi respirasi dan
menentukan cukup tidaknya ventilasi alveolar. Bila PaCO2 rendah
menunjukkan adanya hyperventilasi karena rangsangan pernafasan dan bila
PaCO2 tinggi (hypoventilasi) menunjukkan adanya kegagalan ventilasi
alveolis. Pada PaCO2 rendah konsentrasi ion H+ akan rendah dan PH
meningkat, sedangkan bila terjadi peningkatan PaCO2 konsentrasi ion H+
akan mengingat dan PH menjadi rendah
f. Pa O2 normal / menurun. (Nilai normal 80-100 mmHg, nilai tidak normal
Rentang nilai normal : 80 – 100 mmHg
Hipoksemia ringan : 70 – 80 mmHg
Hipoksemia sedang : 60 – 70 mmHg
Hipoksemia berat : <60 mmHg
PaO2 adalah tekanan yang ditimbulkan oleh oksigen yang terlarut dalam
darah. PaO2 akan memberikan petunjuk cukup tidaknya oksigenisasi darah
arteri
g. Saturasi O2 menurun (biasanya).
Rentang nilai normal : 93% – 98%
Bila nilai SaO2 >80% sudah dapat dipastikan bahwa darah diambil dari
arteri, kecuali pada gagal napas
6
Derajat kejenuhan Hb dengan oksigen. Sat O2 sangat membantu untuk
menghitung kandungan oksigen dalam darah.
h. Oraksentesis : menyatakan darah/cairan,
9. Penatalaksanaan
a. Konservatif
Monitoring terhadap tanda-tanda distress napas berupa peningkatan frekuensi
napas >25 kali permenit dengan tidal volume kurang dari 4 ml/kg.
Dalam 24 jam pertama dilakukan pemeriksaan foto toraks serial per enam jam
untuk mengetahui secara dini terjadinya pneumotoraks, hematotoraks, kontusio
paru atau fraktur costa.
Pada kasus dengan pneumotoraks dan atau hematotoraks dilakukan
pemasangan chest tube yang disambungkan ke WSD.
Dianjurkan dengan sistem continuous suction unit. Pada pneumotoraks terbuka
(open pneumothorax) dipasang plester 3 sisi agar udara tidak bisa inspirasi
masuk rongga pleura tapi udara tekanan tinggi bisa keluar sehingga tension
pneumothorax tidak terjadi.
Pada tension pneumotoraks dilakukan penusukan langsung menggunakan
trokar atau jarum suntik terbesar yang ada diatas iga pada ICS 2 midclavicular
line sisi yang terkena. Kemudian dilanjutkan dengan pemasangan chest tube
setinggi puting susu pada anterior midaxillaris sisi yang terkena.
Pada kasus dengan kontusio paru, perawatan dengan mempertahankan
oksigenisasi yang baik, menjaga kebersihan paru yang adekuat, pemberian
cairan kristaloid yang sesuai kebutuhan. Pada pasien yang tidak berespon
dilakukan intubasi dan pemasangan ventilasi mekanik.
b. Operatif/invasif
Pamasangan Water Seal Drainage (WSD).
Pemasangan alat bantu nafas.
Pemasangan drain.
Aspirasi (thoracosintesis).
Operasi (bedah thoraxis)
7
Tindakan untuk menstabilkan dada :
o Miring pasien pada daerah yang terkena.
o Gunakan bantal pasien pada dada yang terkena
Gunakan ventilasi mekanis dengan tekanan ekspirai akhir positif, didasarkan
pada kriteria sebagai berikut:
o Gejala contusio paru
o Syok atau cedera kepala berat.
o Fraktur delapan atau lebih tulang iga.
o Umur diatas 65 tahun.
o Riwayat penyakit paru-paru kronis.
Pasang selang dada dihubungkan dengan WSD, bila tension Pneumothorak
mengancam.
Oksigen tambahan.
10. Konsep WSD
a.Pengertian
WSD merupakan tindakan invasive yang dilakukan untuk mengeluarkan udara,
cairan (darah, pus) dari rongga pleura dengan menggunakan pipa penghubung.
b. Tujuan
-Mengalirkan/drainage udara atau cairan dari rongga pleura untuk
mempertahankan tekanan negatif rongga tersebut.
-Mengembangkan kembali paru yang kolaps
- Memasukkan obat ke dalam rongga pleura.
c. Perubahan Tekanan Rongga Pleura
Tekanan Istirahat Inspirasi EkspirasiAtmosfir 760 760 760Intrapulmoner 760 757 763Intrapleural 756 750 756
d. Indikasi Pemasangan WSD
- Hematotoraks
- Efusi pleura dengan keganasan
8
- Pneumotoraks lebih dari 20 %
- Hidropneumothoraks
- Empiema
e. Kontra Indikasi Pemasangan WSD
- Hematothoraks masif yang belum mendapat penggantian cairan/darah
- Gangguan pembekuan darah yang tidak terkontrol
- Perlekatan pleura yang luas.
f. Tempat Pemasangan WSD
Bagian Apex paru
Yaitu pada anterolateral intercosta 1-2 yang berfungsi untuk mengeluarkan
udara dari rongga pleura.
Bagian Basal
Yaitu pada posterolateral intercosta ke 8-9 yang berfungsi untuk mengeluarkan
cairan (darah, pus) dari rongga pleura.
a. Jenis-jenis WSD
a) WSD dengan sistem satu botol
Sistem yang paling sederhana dan sering digunakan pada pasien simple
pneumothoraks. Terdiri dari botol dengan penutup segel yang mempunyai 2
lubang selang yaitu 1 untuk ventilasi dan 1 lagi masuk ke dalam botol. Air steril
dimasukan ke dalam botol sampai ujung selang terendam dua cm untuk
mencegah masuknya udara ke dalam tabung yang menyebabkan kolaps paru.
Selang untuk ventilasi dalam botol dibiarkan terbuka untuk memfasilitasi udara
dari rongga pleura keluar. Drainage tergantung dari mekanisme pernafasan dan
gravitasi. Undulasi pada selang cairan mengikuti irama pernafasan.
b) WSD dengan sistem dua botol
Digunakan dua botol, satu botol mengumpulkan cairan drainage dan botol
kedua sebagai water seal. Botol 1 dihubungkan dengan selang drainage yang
awalnya kosong dan hampa udara, selang pendek pada botol 1 dihubungkan
9
dengan selang di botol 2 yang berisi water seal. Cairan drainase dari rongga
pleura masuk ke botol 1 dan udara dari rongga pleura masuk ke water seal botol
2. Prinsip kerjasama dengan sistem satu botol yaitu udara dan cairan mengalir
dari rongga pleura ke botol WSD dan udara dipompakan keluar melalui selang
masuk ke WSD. Bisasanya digunakan untuk mengatasi hemotothoraks,
hemopneumothoraks dan efusi peura.
c) WSD dengan sistem tiga botol
Sama dengan sistem 2 botol, ditambah 1 botol untuk mengontrol jumlah hisapan
yang digunakan. Paling aman untuk mengatur jumlah hisapan. Yang terpenting
adalah kedalaman selang di bawah air pada botol ke-3. Jumlah hisapan
tergantung pada kedalaman ujung selang yang tertanam dalam air botol WSD.
Drainage tergantung gravitasi dan jumlah hisapan yang ditambahkan. Botol ke-
3 mempunyai 3 selang yaitu tube pendek diatas batas air dihubungkan dengan
tube pada botol ke dua, tube pendek lain dihubungkan dengan suction dan tube
di tengah yang panjang sampai di batas permukaan air dan terbuka ke atmosfer.
b. Komplikasi Pemasangan WSD
- Laserasi, mencederai organ (hepar, lien)
- Perdarahan
- Empisema Subkutis
- Tube terlepas
- Infeksi
- Tube tersumbat
c. Persiapan Pemasangan WSD
a) Pengkajian
-Memeriksa kembali instruksi dokte
- Mencek inform consent
-Mengkaji tanda-tanda vital dan status pernapasan pasien.
b) Persiapan Pasien
10
-Siapkan pasien
-Memberi penjelasan kepada pasien meliputi :
Tujuan tindakan
Posisi tubuh saat tindakan dan selama terpasang WSD, posisi klien dapat
duduk atau berbaring
Upaya-upaya untuk mengurangi rangsangan nyeri seperti nafas dalam dan
distraksi
Foto thoraks posterior-anterior dan lateral paru.
c) Persiapan alat dan bahan meliputi :
-Trokar/toraks drain dengan nomor yang disesuaikan dengan bahan yang akan
dialirkan, untuk udara nomor 18-20 dan untuk pus nomor 22-24.
-Kasa steril
-Plester
-Alkohol 70% dan bethadin 10%
- Spuit 5 cc sebanyak 2 buah
-Lidocain solusio injeksi untuk anestesi local sebanyak 5 ampul
-Botol WSD
- Satu buah meja dengan satu set bedah minor
-Duk steril
d) Prosedur Tindakan
-Posisi pasien dengan sisi yang sakit menghadap ke arah dokter dengan
disandarkan pada kemiringan 30o-60o, tangan sisi paru yang sakit diangkat
ke atas kepala
-Lakukan tindakan antiseptic menggunakan bethadin 10% dilanjutkan dengan
menggunakan alkohol 70% dengan gerakan berputar ke arah luar, pasang duk
steril dengan lubang tempat di mana akan dilakukan insersi kateter
-Lakukan anestesi lokal lapis demi lapis dari kulit hingga pleura parietalais
menggunakan lidocain solusio injeksi, jangan lupa melakukan aspirasi
11
sebelum mengeluarkan obat pada setiap lapisan. Anestesi dilakukan pada
daerah yang akan di pasang WSD atau pada intercostalis 4-5 anterior dari
mid axillary line
-Langsung lakukan punksi percobaan menggunakan spuit anestesi tersebut
-Lakukan sayatan pada kulit memanjang sejajar intercostalis lebih kurang 1
cm lalu buka secara tumpul sampai ke pleura
-Disiapkan jahitan matras mengelilingi kateter
-Satu tangan mendorong trokar dan tangan lainnya memfiksir trokar untuk
membatasi masuknya alat ke dalam rongga pleura. Setelah trokar masuk ke
dalam rongga pleura, stilet dicabut dan lubang trokar di tutup dengan ibu jari.
Kateter yang sudah diklem pada ujung distalnya di insersi secara cepat
melelui trokar ke dalam rongga pleura. Kateter diarahkan ke anteroapikal
pada pneumothoraks dan posterobasal pada cairan pleura/empiema. Trokar
dilepas pada dinding dada. Kateter bagian distal dilepas dan trokar
dikeluarkan
-Setelah trokar ditarik, hubungkan kateter dengan selang dan masukkan ujung
selang ke dalam botol WSD yang telah diberi larutan bethadin yang telah
diencerkan dengan NaCl 0,9% dan pastikan ujung selang terendam sepanjang
dua cm
-Perhatikan adanya undulasi pada selang penghubung dan terdapat cairan,
darah dan pus yang dialirkan atau gelembung udara pada botol WSD.
-Fiksasi kateter dengan jahitan tabbac sac, lalu tutup dengan kasa steril yang
telah di beri bethadin dan fiksasi ke dinding dada dengan plester.
(Standar Diagnosis & Terapi Gawat Darurat, 2007: 70-72)
d. Pedoman pencabutan
a) Kriteria pencabutan :
-Sekrit serous, tidak hemoraged
-Dewasa : jumlah kurang dari 100cc/24jam
-Anak – anak : jumlah kurang 25-50cc/24jam
12
-Paru mengembang dengan tanda :
Auskultasi suara napas vesikuler kiri dan kanan
Perkusi bunyi sonor kiri dan kanan
Fibrasi simetris kiri dan kanan
Foto toraks paru yang sakit sudah mengembang
b) Kondisi :
- Pada trauma
Hemato/pneumothorak yang sudah memenuhi kedua kriteria, langsung
dicabut dengan cara air-tight (kedap udara).
- Pada thoracotomi
Infeksi : klem dahulu 24 jam untuk mencegah resufflasi, bila baik cabut
- Post operatif : bila memenuhi kedua kriteria, langsug di cabut (air-tight)
- Post pneumonektomi : hari ketiga bila mediastinum stabil (tak perlu air-
tight).
c) Alternatif
-Paru tetap kolaps, hisap sampai 25 cmH20
-Bila kedua krieria dipenuhi, klem dahulu 24 jam, tetap baik lakukan
pencabutan.
-Bila tidak berhasil, tunggu sampai dua minggu, lakukan dekortikasi
-Sekret lebih dari 200cc/24jam : curiga adanya Chylo toraks (pastikan dengan
pemeriksaan laboratorium), pertahankan sampai dengan empat minggu, bila
tidak berhasil dilakukan toracotomi
-Bila sekret kurang dari 100cc/24jam, klem, kemudian dicabut.
e. Konsep Perawatan WSD
a) Persiapan Alat :
-Satu buah meja dengan satu set bedah minor
-Botol WSD berisi larutan bethadin yang telah diencerkan dengan NaCl
0,9% dan ujung selang terendam sepanjang dua cm.
-Kasa steril dalam tromol
-Korentang
13
-Plester dan gunting
-Nierbekken/kantong balutan kotor
-Alkohol 70%
-Bethadin 10%
-Handscoon steril
b) Persiapan Pasien dan Lingkungan
-Pasien dan keluarga diberikan penjelasan tentang tindakan yang akan
dilakukan
-Memasang sampiran disekeliling tempat tidur
-Membebaskan pakaian pasien bagian atas
-Mengatur posisi setengah duduk atau sesuai kemampuan pasien
-Alat-alat didekatkan ke tempat tidur pasien.
c) Pelaksanaan Perawatan WSD
-Perawat mencuci tangan, kemudian memasang handscoon
-Membuka set bedah minor steril
-Membuka balutan dengan menggunakan pinset secara hati-hati, balutan
kotor dimasukkan ke dalam nierbekken
-Mendisinfeksi luka dan selang dengan kasa alkohol 70% kemudian dengan
bethadin 10%
-Menutup luka dengan kasa steril yang sudah dipotong tengahnya kemudian
diplester
-Selang WSD diklem
-Melepaskan sambungan antara selang WSD dengan selang botol
-Ujung selang WSD dibersihkan dengan alkohol 70%, kemudian selang WSD
dihubungkan dengan selang penyambung botol WSD yang baru
-Klem selang WSD dibuka
-Anjurkan pasien untuk menarik napas dalam dan bimbing pasien cara batuk
efektif
-Latih dan anjurkan pasien untuk secara rutin 2-3 kali sehari melakukan latihan
gerak pada persendian bahu daerah pemasangan WSD
14
-Merapikan pakaian pasien dan lingkungannya, kemudian membantu pasien
dalam posisi yang paling nyaman
-Membersihkan alat-alat dan botol WSD yang kotor, kemudian di sterilisasi
kembali
-Membuka handscoon dan mencuci tangan
-Menulis prosedur yang telah dilakukan pada catatan perawatan.
d) Evaluasi Pelaksanaan Perawatan WSD
Evaluasi pelaksanaan perawatan WSD meliputi :
-Evaluasi keadaan umum :
Observasi keluhan pasien
Observasi gejala sianosis
Observasi tanda perdarahan dan rasa tertekan pada dada
Observasi apakah ada krepitasi pada kulit sekitar selang WSD
Observasi tanda-tanda vital.
-Evaluasi ekspansi paru meliputi :
Melakukan pemeriksaan Inspeksi paru setelah selesai melakukan perawatan
WSD
Melakukan pemeriksaan Palpasi paru setelah selesai melakukan perawatan
WSD
Melakukan pemeriksaan Perkusi paru setelah selesai melakukan perawatan
WSD
Melakukan pemeriksaan Auskultasi paru setelah selesai melakukan
perawatan WSD
Foto thoraks setelah dilakukan pemasangan selang WSD dan sebelum
selang WSD di lepas.
-Evaluasi WSD meliputi :
Observasi undulasi pada selang WSD
Observasi fungsi suction countinous
Observasi apakah selang WSD tersumbat atau terlipat
Catat jumlah cairan yang keluar dari botol WSD
15
Pertahankan ujung selang dalam botol WSD agar selalu berada 2 cm di
bawah air
Pertahankan agar botol WSD selalu lebih rendah dari tubuh
Ganti botol WSD setiap hari atau bila sudah penuh.
(Pedoman Keterampilan Praktik Klinik Keperawatan. 2005: 49-50).
11. Komplikasi
f. Surgical Emfisema Subcutis
Kerusakan pada paru dan pleura oleh ujung patahan iga yang tajam
memungkinkan keluarnya udara ke dalam cavitas pleura dari jaringan dinding
dada, paru.
Tanda-tanda khas: penmbengkakan kaki, krepitasi.
g. Cedera Vaskuler
Di antaranya adalah cedera pada perikardium dapat membuat kantong tertutup
sehingga menyulitkan jantung untuk mengembang dan menampung darah vena
yang kembali. Pembulu vena leher akan mengembung dan denyut nadi cepat serta
lemah yang akhirnya membawa kematian akibat penekanan pada jantung.
h. Pneumothorak
Adanya udara dalam kavum pleura. Begitu udara masuk ke dalam tapi keluar lagi
sehingga volume pneumothorak meningkat dan mendorong mediastinim menekan
paru sisi lain.
i. Pleura Effusion
Adanya udara, cairan, darah dalam kavum pleura, sama dengan efusi pleura yaitu
sesak nafas pada waktu bergerak atau istirahat tetapi nyeri dada lebih mencolok.
Bila kejadian mendadak maka pasien akan syok.
Akibat adanya cairan udara dan darah yang berlebihan dalam rongga pleura maka
terjadi tanda – tanda :
a) Dypsnea sewaktu bergerak/ kalau efusinya luas pada waktu istirahatpun bisa
terjadi dypsnea.
b) Sedikit nyeri pada dada ketika bernafas.
16
c) Gerakan pada sisi yang sakit sedikit berkurang.
d) Dapat terjadi pyrexia (peningkatan suhu badan di atas normal).
j. Plail Chest
Pada trauma yang hebat dapat terjadi multiple fraktur iga dan bagian tersebut.
Pada saat insprirasi bagian tersebut masuk sedangkan saat ekspirasi keluar, ini
menunjukan adanya paroxicqalmution (gerakan pernafasan yang berlawanan)
k. Hemopneumothorak
Yaitu penimbunan udara dan darah pada kavum pleura.
17
12. ASUHAN KEPERAWATAN PADA TRAUMA DADA
1) Pengkajian
Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara
menyeluruh (Boedihartono, 1994 : 10).
Pemeriksaan Sistem
a) B1 (Breathing) :
DS : Kliens mengatakan sesak napas, terutama saat inspirasi
DO :
-Terdapat retraksi klavikula/dada.
-Pengambangan paru tidak simetris.
-Fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain.
-Adanya suara sonor/hipersonor/timpani.
-Bising napas yang berkurang/menghilang.
-Pekak dengan batas seperti garis miring/tidak jelas.
-Dispnea dengan aktivitas ataupun istirahat.
-Gerakan dada tidak sama waktu bernapas.
b) B2 (Blood) :
DS : Klien mengatakan lelah, lesuh
DO :
-Takhikardia, lemah
-Pucat, Hb turun /normal.
-Hipotensi.
c) B3 (Brain) :
DS : Klien mengatakan kepalanya sering sakit, nyeri pada bagian trauma.
DO :
- Klien terlihat, binggung, ansietas dan gelisah
18
- Klien tampak meringgis
- Skala nyeri 4.
- Klien sering pingsan.
d) B3 (Bradder)
Tidak ada kelainan.
e) B4 ( Bowel)
DS : Klien mengatakan sering haus dan nafsu makan menurun.
DO :
- Peningkatan metabolisme
- penurunan nafsu makan
- kembung dan haus.
f) B6 (Bone)
DS : -
DO :
- Kemampuan sendi terbatas.
- Ada luka bekas tusukan benda tajam.
- Terdapat kelemahan.
- Kulit pucat, sianosis, berkeringat, atau adanya kripitasi sub kutan.
2) Diagnosa yang mungkin muncul pada trauma dada
a. Gangguan Perfusi Jaringan berhubungan dengan Hipoksia, tidak adekuatnya
pengangkutan oksigen ke jaringan
b. Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan ekpansi paru yang
tidakmaksimal karena trauma, hipoventilasi
c. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan sekresi
sekret dan penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan.
d. Perubahan kenyamanan : Nyeri berhubungan dengan trauma jaringan dan
reflek spasme otot sekunder.
19
e. Resiko terjadinya syok Hipovolemia berhubungan dengan perdarahan yang
berlebihan, pindahnya cairan intravaskuler ke ekstravaskuler
f. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma mekanik terpasang
bullow drainage.
g. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakcukupan kekuatan dan
ketahanan untuk ambulasi dengan alat eksternal.
h. Risiko terhadap infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme
sekunder terhadap trauma
i. Kurang Pengetahuan berhubungan dengan kurang terpaparnya informasi
tentang penyakit, Tindakan invasive ditandai dengan anxietas.
Dongoes, Marylin E. 2000.
3) Intervensi
Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi Rasional
Gangguan Perfusi
Jaringan berhubungan
dengan Hipoksia, tidak
adekuatnya
pengangkutan oksigen
ke jaringan
Setelah diberikan asuhan
keperawatan selama (…x..)
jam diharapkan
dapatmempertahankan perfusi
jaringan dengan KH :
a. Tanda-tanda vital
dalam batas normal
b. Kesadaran
Meningkat
c. menunjukkan
perfusi adekuat
- Kaji faktor
penyebab dari
situasi/keadaa
n
individu/peny
ebab
penurunan
perfusi
jaringan
- Monitor GCS
dan
mencatatnya
- Monitor
keadaan
umum pasien
- Berikan
oksigen
- Deteksi dini
untuk
memprioritaska
n intervensi,
mengkaji status
neurologi/tanda-
tanda kegagalan
untuk
menentukan
perawatan
kegawatan atau
tindakan
pembedahan
- Menganalisa
tingkat
kesadaran
- Memberikan
informasi
20
tambahan
sesuai
indikasi
- Kolaborasi
pengawasan
hasil
pemeriksaan
laboraturium.
Berikan sel
darah merah
lengkap/pack
ed produk
darah sesuai
indikasi
tentang
derajat/keadeku
atan perfusi
jaringan dan
membantu
menentukan
keb. intervensi.
- Memaksimalka
n transport
oksigen ke
jaringan
- Mengidentifika
si defisiensi
dan kebutuhan
pengobatan
/respons
terhadap terapi
Ketidakefektifan pola
pernapasan
berhubungan dengan
ekpansi paru yang
tidakmaksimal karena
trauma, hipoventilasi
Setelah diberikan asuhan
keperawatan selama(…x…)
jam diharapkan
dapatmempertahanjalannafasp
asiendengan KH :
a. Mengalami
perbaikan
pertukaran gas-gas pada
paru.
b. Memperlihatkan
frekuensi
pernapasan yang
efektive.
c. Adaptive mengatasi
faktor-faktor
penyebab.
- Berikan posisi
yang nyaman,
biasanya
dengan
peninggian
kepala tempat
tidur. Balik ke
sisi yang
sakit. Dorong
klien untuk
duduk
sebanyak
mungkin.
- Observasi
fungsi
pernapasan,
catat
frekuensi
pernapasan,
dispnea atau
- Meningkatkan
inspirasi
maksimal,
meningkatkan
ekspansi paru
dan ventilasi
pada sisi yang
tidak sakit.
- Distress
pernapasan dan
perubahan pada
tanda vital dapat
terjadi sebgai
akibat stress
fisiologi dan
nyeri atau dapat
menunjukkan
terjadinya syock
sehubungan
dengan
21
perubahan
tanda-tanda
vital.
- Jelaskan pada
klien bahwa
tindakan
tersebut
dilakukan
untuk
menjamin
keamanan.
- Pertahankan
perilaku
tenang, bantu
pasien untuk
kontrol diri
dengan
menggunakan
pernapasan
lebih lambat
dan dalam.
- Perhatikan
alat bullow
drainase
berfungsi
baik, cek
setiap 1 – 2
jam
hipoksia.
- Pengetahuan apa
yang diharapkan
dapat
mengurangi
ansietas dan
mengembangka
n kepatuhan
klien terhadap
rencana
teraupetik.
- Membantu klien
mengalami efek
fisiologi
hipoksia, yang
dapat
dimanifestasika
n sebagai
ketakutan/ansiet
as.
- Mempertahanka
n tekanannegatif
intrapleural
sesuai yang
diberikan, yang
meningkatkan
ekspansi paru
optimum/draina
se cairan
Ketidakefektifan
bersihan jalan napas
berhubungan dengan
peningkatan sekresi
sekret dan penurunan
batuk sekunder akibat
nyeri dan keletihan.
Setelah diberikan asuhan
keperawatan selama (…x…)
jam
diharapkanjalannafaspasien
normal dengan KH :
a. Menunjukkan batuk
yang efektif.
- Jelaskan klien
tentang
kegunaan
batuk yang
efektif dan
mengapa
terdapat
- Pengetahuan
yang diharapkan
akan membantu
mengembangka
n kepatuhan
klien terhadap
rencana
22
b. Tidak ada lagi
penumpukan sekret
di
sal. Pernapasan
c. Klien tampak
nyaman.
penumpukan
sekret di
saluran
Pernapasa
- Ajarkan klien
tentang
metode yang
tepat
pengontrolan
batuk.
- Auskultasi
paru sebelum
dan sesudah
klien batuk.
- Dorong atau
berikanperaw
atan mulut
yang baik
setelah batuk
- Kolaborasi
dengan tim
kesehatan lain
Pemberian
antibiotika
atau
expectorant
teraupetik
- Batuk yang
tidak terkontrol
adalah
melelahkan dan
tidak efektif,
menyebabkan
frustasi
- Pengkajian ini
membantu
mengevaluasi
keefektifan
upaya batuk
klien
- Hiegene mulut
yang baik
meningkatkan
rasa
kesejahteraan
dan mencegah
bau mulut.
- Expextorant
untuk
memudahkan
mengeluarkan
lendir dan
mengevaluasi
perbaikan
kondisi klien
atas
pengembangan
parunya
23
B. Flail Chest
1. Pengertian
Flail chest adalah keadaan dimana beberapa atau hampir semua kostae patah,
biasanya di sisi kanan kiri dada yang menyebabkan pelepasan bagian depan dada
sehingga tidak bisa lagi menahan tekanan negative waktu inspirasi dan malahan
bergerak kedalam waktu inspirasi.(Northrup,Robert S.1989).
Flail chest adalah suatu keadaan apabila dua iga berdekatan atau lebuh mengalami
fraktur pada dua tempat atau lebih. Bila fraktur terjadi pada dua sisi maka stabilitas
dinding dada lebih besar dan kurang mengancam ventilasi daripada bila terjadi pada
satu sisi.(Baswick,John A.1988)
Gambar 2 : Flail chest (gambaran toraks yang mengalami flail chest
Adalah area toraks yang “melayang” (flail ) oleh sebab adanya fraktur iga multipel
berturutan ≥ 3 iga, dan memiliki garis fraktur ≥ 2 (segmented ) pada tiap iganya.
Akibatnya adalah: terbentuk area “flail” yang akan bergerak paradoksal (kebalikan)
dari gerakan mekanik pernapasan dinding dada. Area tersebut akan bergerak
masuk saat inspirasi dan bergerak keluar pada ekspirasi.
24
2. Etiologi
Flail chest merupakan salah satu dari bentuk trauma toraks. Penyebab dari trauma
thoraks adalah kecelakan tabrakan mobil atau terjatuh dari sepeda motor. Pasien
mungkin tidak segera mencari bantuan medis, yang selanjutnya dapat mempersulit
masalah (Brunner & Suddarth, 2002).
3. Patofisiologi
Flail chest, adanya pertahanan pada dua segmen koste atau lebih akan mengganggu
keseimbangan dalam pernafasan. Bila segmen thorak mengembang bebas, maka
akan terdorong bebas ke dalam oleh tekanan atmosfer biasa yang mengurangi
kemampuan paru untuk berekspansi pada saat inspirasi. Akibatnya oksigen yang
masuk dalam paru akan mengalami penurunan, jika hal ini terjadi, selanjutnya
peredaran oksigen dalam darah akan menurun, pada saat ekspirasi, tekanan paru
yang meningkat akan mendorong udara keluar paru, tapi segmen hasil yang telah
kehilangan integrasinya akan menonjol keluar sehingga kesanggupan sangkar toraks
mendorong udara keluar dari paru akan berkurang. Hal ini juga disebabkan karena
sebagian karbondioksida pada paru yang tidak mengalami trauma, masuk kedalam
paru yang menonjol pada daerah flail chest.Karbondioksidapun terakumulasi pada
bagian yang fraktur dan volume udara ekspirasi berkurang.Terakumulasinya
karbondioksida pada paru mengakibatkan suatu keadaan asidosis respiratori. Pada
pasien flail chest,pada saat inspirasi, paru-paru akan menggencet jantung, membatasi
pompa hjantung sehingga CO menurun dan aliran darah ke seluruh tubuh menjad
berkurang.
4. Manifestasi klinis
e) Awalnya mungkin tidak terlihat, karena splinting (terbelat) dengan dinding dada.
f) Gerakan paradoksal segmen yang mengambang saat inspirasi ke dalam,
ekspirasike luar. Gerakan ini tidak terlihat pada pasien dengan ventilator.
25
Gambar 2 : Tanda dan gejala flail chest
g) Sesak nafas
h) Krepitasi iga, fraktur tulang rawan
i) Takikardi
j) Sianosis
k) Os menunjukkan trauma hebat
l) Biasanya selalu disertai trauma pada organ lain (kepala, abdomen, ekstremitas).
Biasanya karena ada pembengkakan jaringan lunak di sekitar dan terbatasnya gerak
pengembangan dinding dada, deformitas, dan gerakan paradoksal flail chest yang
ada akan tertutupi. Pada mulanya, penderita mampu mengadakan kompensasi
terhadap pengurangan cadangan respirasinya. Namun bila terjadi penimbunan secret-
sekret dan penurunan daya pengembangan paru-paru akan terjadi anoksia berat,
hiperkapnea, dan akhirnya kolaps.
5. Pemeriksaan penunjang
a.Radiologi : X-foto thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral)
b. Gas darah arteri (GDA), mungkin normal atau menurun.
c.Torasentesis : menyatakan darah/cairan serosanguinosa.
d. Hemoglobin : mungkin menurun.
26
e.Pa Co2 kadang-kadang menurun. Dalam keadaan hipoventilasi, udara pernafasan
yang segar tidak dapat dengan bebas keluar masuk ke dalam alveoli,
akibatnya PaO2 dan PaCO2 menurun
f. Pa O2 normal / menurun.
g. Saturasi O2 menurun (biasanya).
h. Toraksentesis : menyatakan darah/cairan.
i. Bila pneumotoraks < 30% atau hematothorax ringan (300cc) terap simtomatik,
observasi.
j. Bila pneumotoraks > 30% atau hematothorax sedang (300cc) drainase cavum
pleura dengan WSD, dainjurkan untuk melakukan drainase dengan continues
suction unit.
k. Pada keadaan pneumothoraks yang residif lebih dari dua kali harus
dipertimbangkan thorakotomi.
l. Pada hematotoraks yang massif (terdapat perdarahan melalui drain lebih dari 800
cc segera thorakotomi
6. Penatalaksanaan
Sebaiknya pasien dirawat intensif bila ada indikasi atau tanda-tanda kegagalan
pernapasan atau karena ancaman gagal napas yang biasanya dibuktikan melalui
pemeriksaan AGD berkala dan takipneu pain control.
Stabilisasi area flail chest (memasukkan ke ventilator, fiksasi internal melalui
operasi) bronchial toilet fisioterapi agresif tindakan bronkoskopi untuk bronchial
toilet.
Tindakan stabilisasi yang bersifat sementara terhadap dinding dada akan sangat
menolong penderita, yaitu dengan menggunakan towl-clip traction atau dengan
menyatukan fragmen-fragmen yang terpisah dengan pembedahan. Takipnea,
hipoksia, dan hiperkarbia merupakan indikasi untuk intubasi endotrakeal dan
ventilasi dgn tekanan positif.
27
7. Konsep WSD
a. Pengertian
WSD merupakan tindakan invasive yang dilakukan untuk mengeluarkan udara,
cairan (darah, pus) dari rongga pleura dengan menggunakan pipa penghubung.
b. Tujuan
-Mengalirkan/drainage udara atau cairan dari rongga pleura untuk
mempertahankan tekanan negatif rongga tersebut.
-Mengembangkan kembali paru yang kolaps
- Memasukkan obat ke dalam rongga pleura.
c. Perubahan Tekanan Rongga Pleura
Tekanan Istirahat Inspirasi EkspirasiAtmosfir 760 760 760Intrapulmoner 760 757 763Intrapleural 756 750 756
d. Indikasi Pemasangan WSD
- Hematotoraks
- Efusi pleura dengan keganasan
- Pneumotoraks lebih dari 20 %
- Hidropneumothoraks
- Empiema
e. Kontra Indikasi Pemasangan WSD
- Hematothoraks masif yang belum mendapat penggantian cairan/darah
- Gangguan pembekuan darah yang tidak terkontrol
- Perlekatan pleura yang luas.
f. Tempat Pemasangan WSD
Bagian Apex paru
Yaitu pada anterolateral intercosta 1-2 yang berfungsi untuk mengeluarkan
udara dari rongga pleura.
28
Bagian Basal
Yaitu pada posterolateral intercosta ke 8-9 yang berfungsi untuk mengeluarkan
cairan (darah, pus) dari rongga pleura.
l. Jenis-jenis WSD
d) WSD dengan sistem satu botol
Sistem yang paling sederhana dan sering digunakan pada pasien simple
pneumothoraks. Terdiri dari botol dengan penutup segel yang mempunyai 2
lubang selang yaitu 1 untuk ventilasi dan 1 lagi masuk ke dalam botol. Air steril
dimasukan ke dalam botol sampai ujung selang terendam dua cm untuk
mencegah masuknya udara ke dalam tabung yang menyebabkan kolaps paru.
Selang untuk ventilasi dalam botol dibiarkan terbuka untuk memfasilitasi udara
dari rongga pleura keluar. Drainage tergantung dari mekanisme pernafasan dan
gravitasi. Undulasi pada selang cairan mengikuti irama pernafasan.
e) WSD dengan sistem dua botol
Digunakan dua botol, satu botol mengumpulkan cairan drainage dan botol
kedua sebagai water seal. Botol 1 dihubungkan dengan selang drainage yang
awalnya kosong dan hampa udara, selang pendek pada botol 1 dihubungkan
dengan selang di botol 2 yang berisi water seal. Cairan drainase dari rongga
pleura masuk ke botol 1 dan udara dari rongga pleura masuk ke water seal botol
2. Prinsip kerjasama dengan sistem satu botol yaitu udara dan cairan mengalir
dari rongga pleura ke botol WSD dan udara dipompakan keluar melalui selang
masuk ke WSD. Bisasanya digunakan untuk mengatasi hemotothoraks,
hemopneumothoraks dan efusi peura.
f) WSD dengan sistem tiga botol
Sama dengan sistem 2 botol, ditambah 1 botol untuk mengontrol jumlah hisapan
yang digunakan. Paling aman untuk mengatur jumlah hisapan. Yang terpenting
adalah kedalaman selang di bawah air pada botol ke-3. Jumlah hisapan
tergantung pada kedalaman ujung selang yang tertanam dalam air botol WSD.
Drainage tergantung gravitasi dan jumlah hisapan yang ditambahkan. Botol ke-
29
3 mempunyai 3 selang yaitu tube pendek diatas batas air dihubungkan dengan
tube pada botol ke dua, tube pendek lain dihubungkan dengan suction dan tube
di tengah yang panjang sampai di batas permukaan air dan terbuka ke atmosfer.
m.Komplikasi Pemasangan WSD
- Laserasi, mencederai organ (hepar, lien)
- Perdarahan
- Empisema Subkutis
- Tube terlepas
- Infeksi
- Tube tersumbat
n. Persiapan Pemasangan WSD
a) Pengkajian
-Memeriksa kembali instruksi dokte
- Mencek inform consent
-Mengkaji tanda-tanda vital dan status pernapasan pasien.
b) Persiapan Pasien
-Siapkan pasien
-Memberi penjelasan kepada pasien meliputi :
Tujuan tindakan
Posisi tubuh saat tindakan dan selama terpasang WSD, posisi klien dapat
duduk atau berbaring
Upaya-upaya untuk mengurangi rangsangan nyeri seperti nafas dalam dan
distraksi
Foto thoraks posterior-anterior dan lateral paru.
c) Persiapan alat dan bahan meliputi :
-Trokar/toraks drain dengan nomor yang disesuaikan dengan bahan yang akan
dialirkan, untuk udara nomor 18-20 dan untuk pus nomor 22-24.
30
-Kasa steril
-Plester
-Alkohol 70% dan bethadin 10%
- Spuit 5 cc sebanyak 2 buah
-Lidocain solusio injeksi untuk anestesi local sebanyak 5 ampul
-Botol WSD
- Satu buah meja dengan satu set bedah minor
-Duk steril
d) Prosedur Tindakan
-Posisi pasien dengan sisi yang sakit menghadap ke arah dokter dengan
disandarkan pada kemiringan 30o-60o, tangan sisi paru yang sakit diangkat
ke atas kepala
-Lakukan tindakan antiseptic menggunakan bethadin 10% dilanjutkan dengan
menggunakan alkohol 70% dengan gerakan berputar ke arah luar, pasang duk
steril dengan lubang tempat di mana akan dilakukan insersi kateter
-Lakukan anestesi lokal lapis demi lapis dari kulit hingga pleura parietalais
menggunakan lidocain solusio injeksi, jangan lupa melakukan aspirasi
sebelum mengeluarkan obat pada setiap lapisan. Anestesi dilakukan pada
daerah yang akan di pasang WSD atau pada intercostalis 4-5 anterior dari
mid axillary line
-Langsung lakukan punksi percobaan menggunakan spuit anestesi tersebut
-Lakukan sayatan pada kulit memanjang sejajar intercostalis lebih kurang 1
cm lalu buka secara tumpul sampai ke pleura
-Disiapkan jahitan matras mengelilingi kateter
-Satu tangan mendorong trokar dan tangan lainnya memfiksir trokar untuk
membatasi masuknya alat ke dalam rongga pleura. Setelah trokar masuk ke
dalam rongga pleura, stilet dicabut dan lubang trokar di tutup dengan ibu jari.
Kateter yang sudah diklem pada ujung distalnya di insersi secara cepat
melelui trokar ke dalam rongga pleura. Kateter diarahkan ke anteroapikal
31
pada pneumothoraks dan posterobasal pada cairan pleura/empiema. Trokar
dilepas pada dinding dada. Kateter bagian distal dilepas dan trokar
dikeluarkan
-Setelah trokar ditarik, hubungkan kateter dengan selang dan masukkan ujung
selang ke dalam botol WSD yang telah diberi larutan bethadin yang telah
diencerkan dengan NaCl 0,9% dan pastikan ujung selang terendam sepanjang
dua cm
-Perhatikan adanya undulasi pada selang penghubung dan terdapat cairan,
darah dan pus yang dialirkan atau gelembung udara pada botol WSD.
-Fiksasi kateter dengan jahitan tabbac sac, lalu tutup dengan kasa steril yang
telah di beri bethadin dan fiksasi ke dinding dada dengan plester.
(Standar Diagnosis & Terapi Gawat Darurat, 2007: 70-72)
o. Pedoman pencabutan
a) Kriteria pencabutan :
-Sekrit serous, tidak hemoraged
-Dewasa : jumlah kurang dari 100cc/24jam
-Anak – anak : jumlah kurang 25-50cc/24jam
-Paru mengembang dengan tanda :
Auskultasi suara napas vesikuler kiri dan kanan
Perkusi bunyi sonor kiri dan kanan
Fibrasi simetris kiri dan kanan
Foto toraks paru yang sakit sudah mengembang
b) Kondisi :
- Pada trauma
Hemato/pneumothorak yang sudah memenuhi kedua kriteria, langsung
dicabut dengan cara air-tight (kedap udara).
- Pada thoracotomi
Infeksi : klem dahulu 24 jam untuk mencegah resufflasi, bila baik cabut
- Post operatif : bila memenuhi kedua kriteria, langsug di cabut (air-tight)
32
- Post pneumonektomi : hari ketiga bila mediastinum stabil (tak perlu air-
tight).
c) Alternatif
-Paru tetap kolaps, hisap sampai 25 cmH20
-Bila kedua krieria dipenuhi, klem dahulu 24 jam, tetap baik lakukan
pencabutan.
-Bila tidak berhasil, tunggu sampai dua minggu, lakukan dekortikasi
-Sekret lebih dari 200cc/24jam : curiga adanya Chylo toraks (pastikan dengan
pemeriksaan laboratorium), pertahankan sampai dengan empat minggu, bila
tidak berhasil dilakukan toracotomi
-Bila sekret kurang dari 100cc/24jam, klem, kemudian dicabut.
p. Konsep Perawatan WSD
a) Persiapan Alat :
-Satu buah meja dengan satu set bedah minor
-Botol WSD berisi larutan bethadin yang telah diencerkan dengan NaCl
0,9% dan ujung selang terendam sepanjang dua cm.
-Kasa steril dalam tromol
-Korentang
-Plester dan gunting
-Nierbekken/kantong balutan kotor
-Alkohol 70%
-Bethadin 10%
-Handscoon steril
b) Persiapan Pasien dan Lingkungan
-Pasien dan keluarga diberikan penjelasan tentang tindakan yang akan
dilakukan
-Memasang sampiran disekeliling tempat tidur
-Membebaskan pakaian pasien bagian atas
-Mengatur posisi setengah duduk atau sesuai kemampuan pasien
-Alat-alat didekatkan ke tempat tidur pasien.
33
c) Pelaksanaan Perawatan WSD
-Perawat mencuci tangan, kemudian memasang handscoon
-Membuka set bedah minor steril
-Membuka balutan dengan menggunakan pinset secara hati-hati, balutan
kotor dimasukkan ke dalam nierbekken
-Mendisinfeksi luka dan selang dengan kasa alkohol 70% kemudian dengan
bethadin 10%
-Menutup luka dengan kasa steril yang sudah dipotong tengahnya kemudian
diplester
-Selang WSD diklem
-Melepaskan sambungan antara selang WSD dengan selang botol
-Ujung selang WSD dibersihkan dengan alkohol 70%, kemudian selang WSD
dihubungkan dengan selang penyambung botol WSD yang baru
-Klem selang WSD dibuka
-Anjurkan pasien untuk menarik napas dalam dan bimbing pasien cara batuk
efektif
-Latih dan anjurkan pasien untuk secara rutin 2-3 kali sehari melakukan latihan
gerak pada persendian bahu daerah pemasangan WSD
-Merapikan pakaian pasien dan lingkungannya, kemudian membantu pasien
dalam posisi yang paling nyaman
-Membersihkan alat-alat dan botol WSD yang kotor, kemudian di sterilisasi
kembali
-Membuka handscoon dan mencuci tangan
-Menulis prosedur yang telah dilakukan pada catatan perawatan.
d) Evaluasi Pelaksanaan Perawatan WSD
Evaluasi pelaksanaan perawatan WSD meliputi :
-Evaluasi keadaan umum :
Observasi keluhan pasien
Observasi gejala sianosis
Observasi tanda perdarahan dan rasa tertekan pada dada
34
Observasi apakah ada krepitasi pada kulit sekitar selang WSD
Observasi tanda-tanda vital.
-Evaluasi ekspansi paru meliputi :
Melakukan pemeriksaan Inspeksi paru setelah selesai melakukan perawatan
WSD
Melakukan pemeriksaan Palpasi paru setelah selesai melakukan perawatan
WSD
Melakukan pemeriksaan Perkusi paru setelah selesai melakukan perawatan
WSD
Melakukan pemeriksaan Auskultasi paru setelah selesai melakukan
perawatan WSD
Foto thoraks setelah dilakukan pemasangan selang WSD dan sebelum
selang WSD di lepas.
-Evaluasi WSD meliputi :
Observasi undulasi pada selang WSD
Observasi fungsi suction countinous
Observasi apakah selang WSD tersumbat atau terlipat
Catat jumlah cairan yang keluar dari botol WSD
Pertahankan ujung selang dalam botol WSD agar selalu berada 2 cm di
bawah air
Pertahankan agar botol WSD selalu lebih rendah dari tubuh
Ganti botol WSD setiap hari atau bila sudah penuh.
(Pedoman Keterampilan Praktik Klinik Keperawatan. 2005: 49-50).
8. Komplikasi
Komplikasi utama adalah gagal napas, sebagai akibat adanya ineffective air
movement, yang seringkali diperberat oleh edema/kontusio paru, dan nyeri. Pada
pasien dengan flail chest tidak dibenarkan melakukan tindakan fiksasi pada daerah
35
flail secara eksterna, seperti melakukan splint/bandage yang melingkari dada, oleh
karena akan mengurangi gerakan mekanik pernapasan secara keseluruhan.
9. ASUHAN KEPERAWATAN PADA FLAIL CHEST
1) Pengkajian
Flail chest adalah penyebab kematian utama pada anak dan orang dewasa kurang
dari 44 tahun.
a. Riwayat kesehatan
Keluhan Utama
Klien mengatakan nyeri hebat, Skal nyeri 9.
Keluhan Penyakit Sekarang
Rekan kerja klien mengatakan klien mengalami kecelakaan kerja. Dada klien
terhantam besi dan menyebabkan tulang iga kanan klien patah.
Riwayat Penyakit Dahulu
Klien mengatakan tidak pernah mengalami kecelakaan kerja sebelumnya.
b. Pemeriksaan Sistem
a) B1 (Breathing)
DS : Klien mengatakan sesak napas
DO :
-Pasien menahan dadanya dan bernafas pendek
-Dispnea, hemoptisis, batuk dan emfisema subkutan
-Pergerakan dinding dada asimetris
-Vesikular paru, suara jantung, suara tambahan Pasien menahan
dadanya dan bernafas pendek
b) B2 (Blood)
DS : Klien mengatakan mudah lelah, penglihatan sering kabur.
DO :
-Terjadi Penurunan tekanan darah
36
-Peningkatan tekanan vena sentral yang ditunjukkan oleh distensi
vena leher
-Pulsus paradoksus ( tekanan darah sistolik turun dan berfluktuasi
dengan pernapasan ) dapat terjadi dini pada tamponade jantung.
c) B3 (Brain)
DS : Klien mengatakan nyeri pada area trauma
DO :
P : nyeri pada bagian dada
Q : luka dirasakan seperti ditusuk-tusuk
R : area pada toraks
S : nyeri pada angka 9 dengan skala (0-10).
T : nyeri dirasakan saat aktivitas.
d) B4 (Bladder)
DS : Klien mengatakan sakit saat berkemih
DO : terjadi infeksi saluran kencing akibat terpasangnya WSD.
e) B5 (Bowel)
Tidak ada kelainan
f) B6 (Bone)
DS : -
DO :
-Ada jejas pada thorak
-Fraktur tulang wajah, fraktur laring,fraktur trakea
2) Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada flail chest
a. Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan ekpansi paru yang tidak
maksimal karena akumulasi udara/cairan.
b. Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan
reflek spasme otot sekunder.
c. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma mekanik terpasang
bullow drainage.
37
d. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakcukupan kekuatan dan
ketahanan untuk ambulasi dengan alat eksternal.
e. Risiko terhadap infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme
sekunder terhadap trauma.
Dongoes, Marylin E. 2000.
3) Intervensi
Diagnosa Tujuan dan kriteria
hasil
Intervensi Rasional
Ketidakefektifan
pola pernapasan
berhubungan
dengan ekspansi
paru yang tidak
maksimal karena
trauma.
Setela dilakukan
tindakan
keperawatan selama
1x24jam diharapkan
pola nafas Px
efektif Px
mengtakan sudah
tidak mengalami
kesulitan bernafas.
Dengan kriteria
hasil :
a. Memperlihatkan
frekuensi
pernapasan yang
efektive.
b. Mengalami
perbaikan
pertukaran gas-
gas pada paru.
c. Adaptive
mengatasi faktor-
faktor penyebab.
- Berikan posisi
yang nyaman,
biasanya dnegan
peninggian
kepala tempat
tidur. Balik ke
sisi yang sakit.
Dorong klien
untuk duduk
sebanyak
mungkin.
- Observasi fungsi
pernapasan, catat
frekuensi
pernapasan,
dispnea atau
perubahan tanda-
tanda vital.
- Jelaskan pada
klien bahwa
tindakan tersebut
dilakukan untuk
menjamin
keamanan.
- Jelaskan pada
klien tentang
R/ Meningkatkan inspirasi
maksimal, meningkatkan
ekpsnsi paru dan ventilasi pada
sisi yang tidak sakit.
R/ Distress pernapasan dan
perubahan pada tanda vital
dapat terjadi sebgai akibat
stress fifiologi dan nyeri atau
dapat menunjukkan terjadinya
syock sehubungan dengan
hipoksia.
R/ Pengetahuan apa yang
diharapkan dapat mengurangi
ansietas dan mengembangkan
kepatuhan klien terhadap
rencana teraupetik.
R/ Pengetahuan apa yang
diharapkan dapat
mengembangkan kepatuhan
klien terhadap rencana
teraupetik.
R/ Membantu klien mengalami
efek fisiologi hipoksia, yang
38
etiologi/faktor
pencetus adanya
sesak atau kolaps
paru-paru.
- Pertahankan
perilaku tenang,
bantu pasien
untuk kontrol diri
dengan
menggunakan
pernapasan lebih
lambat dan
dalam.
- Perhatikan alat
bullow drainase
berfungsi baik,
cek setiap 1 – 2
jam:Periksa
pengontrol
penghisap untuk
jumlah hisapan
yang benar.
- Periksa batas
cairan pada botol
penghisap,
pertahankan pada
batas yang
ditentukan.
- Observasi
gelembung udara
botol penempung.
- Posisikan sistem
drainage slang
untuk fungsi
optimal, yakinkan
slang tidak
terlipat, atau
dapat dimanifestasikan sebagai
ketakutan/ansietas.
R/ Mempertahankan tekanan
negatif intrapleural sesuai yang
diberikan, yang meningkatkan
ekspansi paru
optimum/drainase cairan.
R/ Air penampung/botol
bertindak sebagai pelindung
yang mencegah udara atmosfir
masuk ke area pleural.
R/ Gelembung udara selama
ekspirasi menunjukkan lubang
angin dari penumotoraks/kerja
yang diharapka. Gelembung
biasanya menurun seiring
dnegan ekspansi paru dimana
area pleural menurun. Tak
adanya gelembung dapat
menunjukkan ekpsnsi paru
lengkap/normal atau slang
buntu.
R/ Posisi tak tepat, terlipat atau
pengumpulan bekuan/cairan
pada selang mengubah tekanan
negative yang diinginkan.
R/ Berguna untuk
mengevaluasi perbaikan
kondisi/terjasinya perdarahan
yang memerlukan upaya
intervensi.
R/ Mengevaluasi perbaikan
39
menggantung di
bawah saluran
masuknya ke
tempat drainage.
Alirkan
akumulasi
dranase bela
perlu.
- Catat
karakter/jumlah
drainage selang
dada.
- Kolaborasi
dengan tim
kesehatan lain :
Dengan dokter,
radiologi dan
fisioterapi.
o Pemberian
antibiotika.
o Pemberian
analgetika.
o Fisioterapi
dada.
o Konsul photo
toraks.
kondisi klien atas
pengembangan parunya.
Perubahan
kenyamanan :
Nyeri akut
berhubungan
dengan trauma
jaringan dan
reflek spasme
otot sekunder.
Setelah dilakukan
tindakan
keperawatan selama
1X24 jam
diharapkan nyeri
pasien berkurang.
Dengan kriteria
hasil :
- Jelaskan dan
bantu klien
dengan tindakan
pereda nyeri
nonfarmakologi
dan non invasif.
- Ajarkan
Relaksasi :
R/ Pendekatan dengan
menggunakan relaksasi dan
nonfarmakologi lainnya telah
menunjukkan keefektifan
dalam mengurangi nyeri.
R/ Akan melancarkan
peredaran darah, sehingga
40
a. Nyeri berkurang/
dapat diadaptasi.
b. Dapat
mengindentifikasi
aktivitas yang
meningkatkan/
menurunkan
nyeri.
c. Pasien tidak
gelisah.
Tehnik-tehnik
untuk
menurunkan
ketegangan otot
rangka, yang
dapat
menurunkan
intensitas nyeri
dan juga
tingkatkan
relaksasi masase.
- Ajarkan metode
distraksi selama
nyeri akut.
- Berikan
kesempatan
waktu istirahat
bila terasa nyeri
dan berikan
posisi yang
nyaman ; misal
waktu tidur,
belakangnya
dipasang bantal
kecil.
- Tingkatkan
pengetahuan
tentang : sebab-
sebab nyeri, dan
menghubungkan
berapa lama nyeri
akan
berlangsung.
- Kolaborasi
denmgan dokter,
pemberian
analgetik.
kebutuhan O2 oleh jaringan
akan terpenuhi, sehingga akan
mengurangi nyerinya.
R/ Mengalihkan perhatian
nyerinya ke hal-hal yang
menyenangkan.
R/ Istirahat akan merelaksasi
semua jaringan sehingga akan
meningkatkan kenyamanan.
R/ Pengetahuan yang akan
dirasakan membantu
mengurangi nyerinya. Dan
dapat membantu
mengembangkan kepatuhan
klien terhadap rencana
teraupetik.
R/ Analgetik memblok lintasan
nyeri, sehingga nyeri akan
berkurang.
R/ Pengkajian yang optimal
akan memberikan perawat data
yang obyektif untuk mencegah
kemungkinan komplikasi dan
melakukan intervensi yang
tepat.
41
- Observasi tingkat
nyeri, dan respon
motorik klien, 30
menit setelah
pemberian obat
analgetik untuk
mengkaji
efektivitasnya.
Serta setiap 1 – 2
jam setelah
tindakan
perawatan selama
1 – 2 hari.
Kerusakan
integritas kulit
berhubungan
dengan trauma
mekanik
terpasang bullow
drainage.
Tujuan : Mencapai
penyembuhan luka
pada waktu yang
sesuai.
Kriteria Hasil :
a. tidak ada tanda-
tanda infeksi
seperti pus.
b. luka bersih tidak
lembab dan tidak
kotor.
c. Tanda-tanda vital
dalam batas
normal atau dapat
ditoleransi.
- Kaji kulit dan
identifikasi pada
tahap
perkembangan
luka.
- Kaji lokasi,
ukuran, warna,
bau, serta jumlah
dan tipe cairan
luka.
- Pantau
peningkatan suhu
tubuh.
- Berikan
perawatan luka
dengan tehnik
aseptik. Balut
luka dengan kasa
kering dan steril,
gunakan plester
kertas.
- Jika pemulihan
tidak terjadi
kolaborasi
R/ mengetahui sejauh mana
perkembangan luka
mempermudah dalam
melakukan tindakan yang tepat.
R/ mengidentifikasi tingkat
keparahan luka akan
mempermudah intervensi.
R/ suhu tubuh yang meningkat
dapat diidentifikasikan sebagai
adanya proses peradangan.
R/ tehnik aseptik membantu
mempercepat penyembuhan
luka dan mencegah terjadinya
infeksi.
R/ agar benda asing atau
jaringan yang terinfeksi tidak
menyebar luas pada area kulit
normal lainnya.
R/ balutan dapat diganti satu
atau dua kali sehari tergantung
42
tindakan
lanjutan,
misalnya
debridement.
- Setelah
debridement,
ganti balutan
sesuai kebutuhan.
- Kolaborasi
pemberian
antibiotik sesuai
indikasi.
kondisi parah/ tidak nya luka,
agar tidak terjadi infeksi.
R/ antibiotik berguna untuk
mematikan mikroorganisme
pathogen pada daerah yang
berisiko terjadi infeksi.
Gangguan
mobilitas fisik
berhubungan
dengan
ketidakcukupan
kekuatan dan
ketahanan untuk
ambulasi dengan
alat eksternal.
Tujuan : pasien akan
menunjukkan
tingkat mobilitas
optimal.
Kriteria hasil :
a. penampilan yang
seimbang.
b. melakukan
pergerakkan dan
perpindahan.
c. mempertahankan
mobilitas optimal
yang dapat di
toleransi, dengan
karakteristik :
0 = mandiri
penuh
1=memerlukan
alat Bantu.
2=memerlukan
- Kaji kebutuhan
akan pelayanan
kesehatan dan
kebutuhan akan
peralatan.
- Tentukan tingkat
motivasi pasien
dalam
melakukan
aktivitas.
- Ajarkan dan
pantau pasien
dalam hal
penggunaan alat
bantu.
- Ajarkan dan
dukung pasien
dalam latihan
ROM aktif dan
pasif.
- Kolaborasi
dengan ahli
terapi fisik atau
okupasi.
R/ mengidentifikasi masalah,
memudahkan intervensi.
R/ mempengaruhi penilaian
terhadap kemampuan aktivitas
apakah karena
ketidakmampuan ataukah
ketidakmauan.
R/ menilai batasan kemampuan
aktivitas optimal.
R/ mempertahankan
/meningkatkan kekuatan dan
ketahanan otot.
R/ sebagai suaatu sumber untuk
mengembangkan perencanaan
dan
mempertahankan/meningkatkan
mobilitas pasien.
43
bantuan dari
orang lain
untuk bantuan,
pengawasan,
dan
pengajaran.
3=membutuhkan
bantuan dari
orang lain dan
alat Bantu.
4=ketergantungan;
tidak
berpartisipasi
dalam
aktivitas.
Risiko terhadap
infeksi
berhubungan
dengan tempat
masuknya
organisme
sekunder
terhadap trauma.
Tujuan : infeksi
tidak terjadi /
terkontrol.
Kriteria hasil :
a. tidak ada tanda-
tanda infeksi
seperti pus.
b. luka bersih tidak
lembab dan tidak
kotor.
c. Tanda-tanda vital
dalam batas
normal atau
dapat ditoleransi.
Pantau tanda-tanda
vital.Lakukan
perawatan luka
dengan teknik
aseptik.Lakukan
perawatan terhadap
prosedur inpasif
seperti infus,
kateter, drainase
luka, dll.Jika
ditemukan tanda
infeksi kolaborasi
untuk pemeriksaan
darah, seperti Hb
dan
leukosit.Kolaborasi
untuk pemberian
antibiotik.
R/ mengidentifikasi tanda-
tanda peradangan terutama bila
suhu tubuh meningkat.
R/ mengendalikan penyebaran
mikroorganisme patogen.
R/ untuk mengurangi risiko
infeksi nosokomial.
R/ penurunan Hb dan
peningkatan jumlah leukosit
dari normal bisa terjadi akibat
terjadinya proses infeksi.
R/ antibiotik mencegah
perkembangan mikroorganisme
patogen.
44
C. Temponade Jantung
1. Pengertian
Temponade jantung merupakan sindroma klinis yang disebabkan oleh akumulasi
cairan dalam ruang perikardium yang menyebabkan berkurangnya pengisian
ventrikel (diastolik) yang menyebabkan terganggunya hemodinamik (Nursing
Memahami Berbagai Macam Penyakit hal. 96)
Tamponade jantung merupakan suatu sindroma klinis akibat penumpukan cairan
berlebihan di rongga perikard yang menyebabkan penurunan pengisian ventrikel
disertai gangguan hemodinamik (Dharma, 2009 : 67)
Tamponade jantung merupakan kompresi akut pada jantung yang disebabkan oleh
peningkatan tekanan intraperikardial akibat pengumpulan darah atau cairan dalam
pericardium dari rupture jantung, trauma tembus atau efusi yang progresif (Dorland,
2002 : 2174).
Jumlah cairan yang cukup untuk menimbulkan tamponade jantung adalah 250 cc
bila pengumpulan cairan tersebut berlangsung cepat, dan 100 cc bila pengumpulan
cairan tersebut berlangsung lambat, karena pericardium mempunyai kesempatan
untuk meregang dan menyesuaikan diri dengan volume cairan yang bertambah
tersebut (Muttaqin, 2009 : 137).
Jadi tamponade jantung adalah kompresi pada jantung yang disebabkan oleh
peningkatan tekanan intraperikardial akibat pengumpulan darah atau cairan dalam
pericardium (250 cc bila pengumpulan cairan tersebut berlangsung cepat, dan 100 cc
bila pengumpulan cairan tersebut berlangsung lambat) yang menyebabkan
penurunan pengisian ventrikel disertai gangguan hemodinamik, dimana ini
45
merupakan salah satu komplikasi yang paling fatal dan memerlukan tindakan
darurat.
2. Etiologi
Menurut buku (Nursing memahami berbagai macam penyakit hal. 97) :
a.Infraksi miokardial akut
b. Efusi (akibat kanker, infeksi bakteri tuberkulosis bisa juga demam reumatik tetapi
jarang)
c.Hemoragi akibat penyebab nontraumatik (ruptur jantung atau pembuluh darah
besar, atau terapi antikoagulan pada pasien perikarditis) sedangkan akibat
traumatik (luka tembakan atau tusukan di dada, preforasi pada saat kateterisasi
kardiak atau venosa pusat)
d. Idiopatik
e.Uremia
Menurut (Panggabean, 2006 : 1604) : Perdarahan intraperikard yang disebabkan oleh
katerisasi jantung intervensi koroner, pemasangan pacu jantung, tuberculosis, dan
penggunaan antikoagulan. Menurut (Mansjoer, dkk. 2001 : 458) : Tamponade
jantung bisa disebabkan karena neoplasma, perikarditis, uremia dan perdarahan ke
dalam ruang pericardial akibat trauma, operasi, atau infeksi.
Untuk semua pasien, penyakit ganas merupakan penyebab paling umum tamponade
perikardial. Di antara etiologi tamponade, Merce dkk melaporkan penyakit ganas
pada 30-60% kasus, uremia dalam 10-15% kasus, perikarditis idiopatik di 5-15%,
penyakit menular dalam% 5-10, antikoagulasi dalam% 5-10 , penyakit jaringan ikat
di 2-6%, dan Dressler atau sindrom postpericardiotomy di 1-2%. Tamponade dapat
terjadi sebagai akibat dari jenis perikarditis.
46
3. Patofisiologi
Perikardium, yang merupakan membran sekitar jantung, terdiri dari 2
lapisan. Perikardium parietalis tebal adalah lapisan fibrosa luar, sedangkan
perikardium viseral tipis adalah lapisan serosa dalam.Ruang perikardial biasanya
berisi 20-50 mL cairan. efusi perikardial bisa serous, serosanguineous, perdarahan,
atau chylous.
Reddy et al menjelaskan 3 fase perubahan hemodinamik pada tamponade.
Tahap I: akumulasi cairan perikardial menyebabkan peningkatan kekakuan
ventrikel, memerlukan tekanan pengisian yang lebih tinggi. Selama fase ini,
tekanan kiri dan kanan mengisi ventrikel lebih tinggi dari tekanan intrapericardial.
Tahap II: Dengan akumulasi cairan lebih lanjut, peningkatan tekanan perikardial di
atas tekanan pengisian ventrikel, sehingga curah jantung berkurang.
Tahap III: Penurunan lebih lanjut dalam cardiac output terjadi, yang disebabkan
equilibrium dari perikardial dan ventrikel kiri (LV) tekanan pengisian.
Proses pathophysiologic mendasari untuk pengembangan tamponade adalah
pengisian diastolik berkurang drastis karena tekanan distending transmural tidak
cukup untuk mengatasi tekanan intrapericardial meningkat. Takikardia merupakan
respon jantung awal untuk perubahan ini untuk mempertahankan cardiac output.
Kembali sistemik vena juga diubah selama tamponade. Karena jantung adalah
dikompresi sepanjang siklus jantung karena tekanan intrapericardial meningkat,
kembali vena sistemik terganggu dan hak atrium dan ventrikel kanan keruntuhan
terjadi. Karena tempat tidur vaskuler paru merupakan rangkaian luas dan compliant,
darah preferentially terakumulasi dalam sirkulasi vena, dengan mengorbankan LV
pengisian. Hal ini menyebabkan cardiac output berkurang dan kembali vena.
Jumlah cairan perikardial diperlukan untuk merusak pengisian diastolik jantung
tergantung pada tingkat akumulasi cairan dan kepatuhan pericardium. akumulasi
Cepat sesedikit 150 mL cairan dapat mengakibatkan peningkatan tekanan perikardial
ditandai dan sangat dapat menghambat cardiac output , sedangkan 1000 mL cairan
dapat terakumulasi selama periode yang lebih lama tanpa efek signifikan terhadap
47
pengisian diastolic jantung. Hal ini disebabkan adaptif peregangan pericardium dari
waktu ke waktu. Sebuah perikardium lebih memenuhi persyaratan dapat
memungkinkan akumulasi cairan yang cukup selama jangka waktu lebih lama tanpa
menghina hemodinamik.
Tamponade jantung terjadi bila jumlah efusi pericardium menyebabkan hambatan
serius aliran darah ke jantung ( gangguan diastolik ventrikel ). Penyebab tersering
adalah neoplasma, dan uremi. (Penggabean, 2006 : 364 ). Neoplasma menyebabkan
terjadinya pertumbuhan sel secara abnormal pada otot jantung. Sehingga terjadi
hiperplasia sel yang tidak terkontrol, yang menyebabakan pembentukan massa
(tumor). Hal ini yang dapat mengakibatnya ruang pada kantong jantung
(perikardium) terdesak sehingga terjadi pergesekan antara kantong jantung
(perikardium) dengan lapisan paling luar jantung (epikardium).Pergesekan ini dapat
menyebabkan terjadinya peradangan pada perikarditis sehingga terjadi penumpukan
cairan pada pericardium yang dapat menyebakan tamponade jantung. Uremia juga
dapat menyebabkan tamponade jantung (Price, 2005 : 954). Dimana orang yang
mengalami uremia, di dalam darahnya terdapat toksik metabolik yang dapat
menyebabkan inflamasi (dalam hal ini inflamasi terjadi pada perikardium). Selain itu
, tamponade jantung juga dapat disebabkan akibat trauma tumpul/ tembus. Jika
trauma ini mengenai ruang perikardium akan terjadi perdarahan sehingga darah
banyak terkumpul di ruang perikardium. Hal ini mengakibatkan jantung terdesak
oleh akumulasi cairan tersebut.
4. Manifestasi klinis
Menurut (Mansjoer, dkk. 2000: 298) :
Gejala yang muncul bergantung kecepatan akumulasi cairan perikardium.Bila terjadi
secara lambat dapat memberi kesempatan mekanisme kompensasi seperti takikardi,
peningkatan resistensi vascular perifer dan peningkatan volume intravaskular.Bila
cepat, maka dalam beberapa menit bisa fatal. Tamponade jantung akut biasanya
disertai gejala peningkatan tekanan vena jugularis, pulsus paradoksus >10mmHg,
tekanan nadi <30mmHg, tekanan sistolik <100mmHg, dan bunyi jantung yang
melemah.Sedangkan pada yang kronis ditemukan peningkatan tekanan vena
48
jugularis, takikardi, dan pulsus paradoksus. Keluhan dan gejala yang mungkin ada
yaitu adanya jejas trauma tajam dan tumpul di daerah dada atau yang diperkirakan
menembus jantung, gelisah, pucat, keringat dingin, peninggian vena jugularis, pekak
jantung melebar, suara jantung redup dan pulsus paradoksus.Trias classic beck
berupa distensis vena leher, bunyi jantung melemah dan hipotensi didapat pada
sepertiga penderita dengan tamponade. Menurut (Oman, 2008 : 269) : Gambaran
klinis tamponade jantung meliputi takikardia, hipotensi, suara jantung yang redup
atau pelan, dan distensi vena leher (yang menunjukkan peningkatan tekanan vena
jugularis). Palsus paroduksus merupakan gambaran lain yang menandai perubahan
yang tidak terduga tekanan vena. Penurunan tekanan sistolik yang semakin
mencolok akan terjadi pada saat inspirasi. Suara jantung akan terdengar redup karena
adanya cairan yang membungkus jantung sehingga menurunkan hantaran tonus
jantung. Menurut ENA (2000 : 129) : Tanda dan gejala yang muncul dapat berupa
takipnea, tanda kusmaul (peningkatan tekanan vena saat inspirasi ketika bernafas
spontan), Beck’s triad, distensi vena jugularis dari elevasi tekanan vena, pulsus
paradoksus : sistolik menurun saat inspirasi 10 mm Hg atau lebih), tekanan nadi
terbatas, takikardi, kulit dingin, kulit lembab, bibir, jari tangan dan kaki sianosis, dan
penurunan tingkat kesadaran. Menurut buku (Nursing memahami berbagai macam
penyakit hal. 97)
a.Resah dan Gelisah
b. Diaforesis
c.Berkurangnya volume akhir sistolik ventrikuler akibat ketidakcukupan perload
d. Dispnea
e.Hepatomegali
f. Kenaikan tekanan perkardial yang terhantar secara seimbang di rongga jantung dan
menyebabkan kenaikan yang sesuai dalam intrakardiak, terutama tekanan atrial
dan ventrikuler akhir-diastolik
g. Kenaikan tekanan darah venosa disertai distensi vena jugular
h. Tekanan denyut nadi kecil
i. Pucat atau sianosis
j. Tekanan darah arterial menurun
49
k. Takikardia
l. Denyut paradoksial (penurunan insoporatik abnormal dalam tekanan darah
sistemik lebih dari 15 mmHg)
m.Saat auskultasi, bunyi jantung terdengar samar seperti terhalang
5. Pemeriksaan penunjang
Menurut buku (Nursing memahami berbagai macam penyakit hal. 97)
a.Sinar X : menunjukkan mediastinum yang sedikit melebara dan kardiomegali
b. EKG : memperlihatkan perubahan yang disebabkan oleh perikarditis akut
c.Kateterisasi erteri pulmonal : mengindikasikan tekanan atrial kanan, tekanan
diastolik ventrikuler kanan, dan tekanan venousa pusat
d. Ekokardiografi : mencatat efusi perikardial dengan tanda kompresi ventrikuler
dan atrial kanan
e.Pemeriksaan Doppler terhadap tanda morfologi jantung dapat membantu dalam
menegakkan keakuratan diagnosa klinis dan mendukung pemeriksaan laboratorium
dari pola hemodinamik pada tamponade. (Nichols, 2006 : 257)
Menurut Braunwald (2001 : 167) hasil pemeriksaan Echocardiografi pada
tamponade jantung menunjukkan :
a) Kolaps diastole pada atrium kanan
b) Kolaps diastole pada ventrikel kanan
c) Kolaps pada atrium kiri
d) Peningkatan pemasukan abnormal pada aliran katup trikuspidalis dan terjadi
penurunan pemasukan dari aliran katup mitral > 15 %
e) Peningkatan pemasukan abnormal pada ventrikel kanan dengan penurunan
pemasukan dari ventrikel kiri
f)Penurunan pemasukan dari katup mitral.
g) Pseudo hipertropi dari ventrikel kiri
50
Karakteristik tamponade jantung pada pemeriksaan EKG : Amplitudo rendah
pada semua sadapan (terjadi karena cairan akan meredam curah listrik jantung).
Fenomena elektrikal alternans (aksis listrik jantung berubah-ubah pada setiap
denyutan). Tampak di EKG perubahan amplitudo tiap kompleks QRS, terjadi
karena jantung berotasi secara bebas dalam kantung perikard yang berisi cairan.
(Dharma, 2009 : 67).
6. Penatalaksanaan
Perikardiosntris atau pembedahan untuk membuat lubang
a. Pembuatan jendela perikardial, dilakukan jikan pasien mengalami temponade,
efusi atau adesi akibat perikarditis kronis.
b. Pengambilan perikardium pelindung yang menguat (untuk kasus yang lebih
parah).
c. Pemuatan volume percobaan dengan larutan garam normal I.V temporer dengan
albumin (pasien yang mengalami hipotensi)
d. Dapat diberikan obat inotropik misalnya : Dopamin untuk menjaga output kardiak
e. Transfusi darah atau torakotomi untuk mengalirkan cairan yang terakumulasi
kembali atau memperbaiki tempat pendarahan (untuk cedera traumatik)
f. Diberi obat antagonis heparin protamin sulfat (pasien yang mengalami
temponadee terpicu-heparin)
g. Pemberian vitamin K (pasien yang mengalami terpicu-warfarin)
Penatalaksanaan pra rumah sakit bagi temponade cardio pada tingkat EMP-A
memerlukan transportasi cepat ke rumah sakit. Ini merupakan satu dari beberapa
kedaruratan yang harus ditransport dengan sirine dan lampu merah.
Perhatian ketat harus dicurahkan untuk menghindari pemberian cairan berlebihan ke
pasien. Sering sukar membedakan antara temponade pericardium dan “tension
pneumotoraks” tanpa bantuan radiograph. EMT harus cermat mengamati penderita
dan mengingatkan dokter di rumah sakit terhadap kemungkinan tamponade
pericardium.
51
Pada tingkat paramedic EMT, setelah diagnositik dan konsultasi ke dokter rumah
sakit, tamponade pericardium dapat diaspirasi. Aspirasi dapat dilakukan dengan
menggunakan jarum interkardiak untuk suntikan ephineprin, dengan hanya menarik
penuh semprit yang kosong. Pendekatannya dari subxifoid, menuju scapula kiri tepat
seperti suntikan intrakardia. Perbedaannya dalam memasukkan jarum selanjutnya.
Pemasukan jarum harus dihentika tepat setelah memasuki kantong pericardium,
sebelum masuk ke ventrikel (lihat gambar). Identifikasi lokasi ujung jarum dengan
tepat dapat dibantu dengan menempatkan sadapan V elektrograf ke batang baja.
Jarum ini dengan klem “alligator”. Sewaktu jarum dimasukkan, segera dapat
diketahui arus luka sewaktu ujung jarum menyentuh miokardium. Dengan menarik
mundur sedikit ke kantong pericardium, EMT kemudian dapat mengaspirasi darah
tanpa mencederai myocardium.
Seratus lima puluh sampai 250 ml darah di kantong pericardium sudah cukup untuk
menimbulkan tamponade berat. Pengambilan beberapa milliliter bisa mengurangi
tekanan yang memungkinkan peningkatan curah jantung pasien, peningkatan
tekanan darah distal dan penurunan tekanan di sisi kanannya. Prasat ini
(mengeluarkan 50-75 ml darah) merupakan tindakan yang menyelamatkan nyawa
pada tamponade berat. Harus diingat bahwa terapi ini bukan definitif melaikan hanya
suatu tindakan sementara sampai penderita bisa dibawa ke kamar operasi, tempat
dapat dilakukan perikardiotomi formal sebelum penatalaksanaan difinitive masalah
jantung dengan anastesi lokal. Perlukaan pada pembuluh darah jantung dan struktur
vaskuler intertoraks ditangani dalam masa pra rumah sakit seperti syok hemoragik
lainnya dengan pakaian anti syok dan infus IV. (Boswick, 1997 : 80). Pemberian
oksigen sesuai indikasi juga diperlukan untuk pasien tamponade, agar mencegah
terjadinya hipoksia jaringan akibat oksigen yang tidak adekuat karena penurunan
curah jantung.
52
Gambar 3 : Penatalaksanaan pada temponade jantung
7. Konsep WSD
a.Pengertian
WSD merupakan tindakan invasive yang dilakukan untuk mengeluarkan udara,
cairan (darah, pus) dari rongga pleura dengan menggunakan pipa penghubung.
b. Tujuan
-Mengalirkan/drainage udara atau cairan dari rongga pleura untuk
mempertahankan tekanan negatif rongga tersebut.
-Mengembangkan kembali paru yang kolaps
- Memasukkan obat ke dalam rongga pleura.
c. Perubahan Tekanan Rongga Pleura
Tekanan Istirahat Inspirasi EkspirasiAtmosfir 760 760 760Intrapulmoner 760 757 763Intrapleural 756 750 756
d. Indikasi Pemasangan WSD
- Hematotoraks
- Efusi pleura dengan keganasan
53
- Pneumotoraks lebih dari 20 %
- Hidropneumothoraks
- Empiema
e. Kontra Indikasi Pemasangan WSD
- Hematothoraks masif yang belum mendapat penggantian cairan/darah
- Gangguan pembekuan darah yang tidak terkontrol
- Perlekatan pleura yang luas.
f. Tempat Pemasangan WSD
Bagian Apex paru
Yaitu pada anterolateral intercosta 1-2 yang berfungsi untuk mengeluarkan
udara dari rongga pleura.
Bagian Basal
Yaitu pada posterolateral intercosta ke 8-9 yang berfungsi untuk mengeluarkan
cairan (darah, pus) dari rongga pleura.
g. Jenis-jenis WSD
a) WSD dengan sistem satu botol
Sistem yang paling sederhana dan sering digunakan pada pasien simple
pneumothoraks. Terdiri dari botol dengan penutup segel yang mempunyai 2
lubang selang yaitu 1 untuk ventilasi dan 1 lagi masuk ke dalam botol. Air steril
dimasukan ke dalam botol sampai ujung selang terendam dua cm untuk
mencegah masuknya udara ke dalam tabung yang menyebabkan kolaps paru.
Selang untuk ventilasi dalam botol dibiarkan terbuka untuk memfasilitasi udara
dari rongga pleura keluar. Drainage tergantung dari mekanisme pernafasan dan
gravitasi. Undulasi pada selang cairan mengikuti irama pernafasan.
b) WSD dengan sistem dua botol
Digunakan dua botol, satu botol mengumpulkan cairan drainage dan botol
kedua sebagai water seal. Botol 1 dihubungkan dengan selang drainage yang
awalnya kosong dan hampa udara, selang pendek pada botol 1 dihubungkan
dengan selang di botol 2 yang berisi water seal. Cairan drainase dari rongga
54
pleura masuk ke botol 1 dan udara dari rongga pleura masuk ke water seal botol
2. Prinsip kerjasama dengan sistem satu botol yaitu udara dan cairan mengalir
dari rongga pleura ke botol WSD dan udara dipompakan keluar melalui selang
masuk ke WSD. Bisasanya digunakan untuk mengatasi hemotothoraks,
hemopneumothoraks dan efusi peura.
c) WSD dengan sistem tiga botol
Sama dengan sistem 2 botol, ditambah 1 botol untuk mengontrol jumlah hisapan
yang digunakan. Paling aman untuk mengatur jumlah hisapan. Yang terpenting
adalah kedalaman selang di bawah air pada botol ke-3. Jumlah hisapan
tergantung pada kedalaman ujung selang yang tertanam dalam air botol WSD.
Drainage tergantung gravitasi dan jumlah hisapan yang ditambahkan. Botol ke-
3 mempunyai 3 selang yaitu tube pendek diatas batas air dihubungkan dengan
tube pada botol ke dua, tube pendek lain dihubungkan dengan suction dan tube
di tengah yang panjang sampai di batas permukaan air dan terbuka ke atmosfer.
h. Komplikasi Pemasangan WSD
- Laserasi, mencederai organ (hepar, lien)
- Perdarahan
- Empisema Subkutis
- Tube terlepas
- Infeksi
- Tube tersumbat
i. Persiapan Pemasangan WSD
a) Pengkajian
-Memeriksa kembali instruksi dokte
- Mencek inform consent
-Mengkaji tanda-tanda vital dan status pernapasan pasien.
b) Persiapan Pasien
-Siapkan pasien
55
-Memberi penjelasan kepada pasien meliputi :
Tujuan tindakan
Posisi tubuh saat tindakan dan selama terpasang WSD, posisi klien dapat
duduk atau berbaring
Upaya-upaya untuk mengurangi rangsangan nyeri seperti nafas dalam dan
distraksi
Foto thoraks posterior-anterior dan lateral paru.
c) Persiapan alat dan bahan meliputi :
-Trokar/toraks drain dengan nomor yang disesuaikan dengan bahan yang akan
dialirkan, untuk udara nomor 18-20 dan untuk pus nomor 22-24.
-Kasa steril
-Plester
-Alkohol 70% dan bethadin 10%
- Spuit 5 cc sebanyak 2 buah
-Lidocain solusio injeksi untuk anestesi local sebanyak 5 ampul
-Botol WSD
- Satu buah meja dengan satu set bedah minor
-Duk steril
d) Prosedur Tindakan
-Posisi pasien dengan sisi yang sakit menghadap ke arah dokter dengan
disandarkan pada kemiringan 30o-60o, tangan sisi paru yang sakit diangkat
ke atas kepala
-Lakukan tindakan antiseptic menggunakan bethadin 10% dilanjutkan dengan
menggunakan alkohol 70% dengan gerakan berputar ke arah luar, pasang duk
steril dengan lubang tempat di mana akan dilakukan insersi kateter
-Lakukan anestesi lokal lapis demi lapis dari kulit hingga pleura parietalais
menggunakan lidocain solusio injeksi, jangan lupa melakukan aspirasi
sebelum mengeluarkan obat pada setiap lapisan. Anestesi dilakukan pada
56
daerah yang akan di pasang WSD atau pada intercostalis 4-5 anterior dari
mid axillary line
-Langsung lakukan punksi percobaan menggunakan spuit anestesi tersebut
-Lakukan sayatan pada kulit memanjang sejajar intercostalis lebih kurang 1
cm lalu buka secara tumpul sampai ke pleura
-Disiapkan jahitan matras mengelilingi kateter
-Satu tangan mendorong trokar dan tangan lainnya memfiksir trokar untuk
membatasi masuknya alat ke dalam rongga pleura. Setelah trokar masuk ke
dalam rongga pleura, stilet dicabut dan lubang trokar di tutup dengan ibu jari.
Kateter yang sudah diklem pada ujung distalnya di insersi secara cepat
melelui trokar ke dalam rongga pleura. Kateter diarahkan ke anteroapikal
pada pneumothoraks dan posterobasal pada cairan pleura/empiema. Trokar
dilepas pada dinding dada. Kateter bagian distal dilepas dan trokar
dikeluarkan
-Setelah trokar ditarik, hubungkan kateter dengan selang dan masukkan ujung
selang ke dalam botol WSD yang telah diberi larutan bethadin yang telah
diencerkan dengan NaCl 0,9% dan pastikan ujung selang terendam sepanjang
dua cm
-Perhatikan adanya undulasi pada selang penghubung dan terdapat cairan,
darah dan pus yang dialirkan atau gelembung udara pada botol WSD.
-Fiksasi kateter dengan jahitan tabbac sac, lalu tutup dengan kasa steril yang
telah di beri bethadin dan fiksasi ke dinding dada dengan plester.
(Standar Diagnosis & Terapi Gawat Darurat, 2007: 70-72)
e) Pedoman pencabutan
Kriteria pencabutan :
-Sekrit serous, tidak hemoraged
-Dewasa : jumlah kurang dari 100cc/24jam
-Anak – anak : jumlah kurang 25-50cc/24jam
-Paru mengembang dengan tanda :
57
Auskultasi suara napas vesikuler kiri dan kanan
Perkusi bunyi sonor kiri dan kanan
Fibrasi simetris kiri dan kanan
Foto toraks paru yang sakit sudah mengembang
Kondisi :
- Pada trauma
Hemato/pneumothorak yang sudah memenuhi kedua kriteria, langsung
dicabut dengan cara air-tight (kedap udara).
- Pada thoracotomi
Infeksi : klem dahulu 24 jam untuk mencegah resufflasi, bila baik cabut
- Post operatif : bila memenuhi kedua kriteria, langsug di cabut (air-tight)
- Post pneumonektomi : hari ketiga bila mediastinum stabil (tak perlu air-
tight).
Alternatif
-Paru tetap kolaps, hisap sampai 25 cmH20
-Bila kedua krieria dipenuhi, klem dahulu 24 jam, tetap baik lakukan
pencabutan.
-Bila tidak berhasil, tunggu sampai dua minggu, lakukan dekortikasi
-Sekret lebih dari 200cc/24jam : curiga adanya Chylo toraks (pastikan dengan
pemeriksaan laboratorium), pertahankan sampai dengan empat minggu, bila
tidak berhasil dilakukan toracotomi
-Bila sekret kurang dari 100cc/24jam, klem, kemudian dicabut.
j. Konsep Perawatan WSD
a) Persiapan Alat :
-Satu buah meja dengan satu set bedah minor
-Botol WSD berisi larutan bethadin yang telah diencerkan dengan NaCl
0,9% dan ujung selang terendam sepanjang dua cm.
-Kasa steril dalam tromol
-Korentang
-Plester dan gunting
58
-Nierbekken/kantong balutan kotor
-Alkohol 70%
-Bethadin 10%
-Handscoon steril
b) Persiapan Pasien dan Lingkungan
-Pasien dan keluarga diberikan penjelasan tentang tindakan yang akan
dilakukan
-Memasang sampiran disekeliling tempat tidur
-Membebaskan pakaian pasien bagian atas
-Mengatur posisi setengah duduk atau sesuai kemampuan pasien
-Alat-alat didekatkan ke tempat tidur pasien.
c) Pelaksanaan Perawatan WSD
-Perawat mencuci tangan, kemudian memasang handscoon
-Membuka set bedah minor steril
-Membuka balutan dengan menggunakan pinset secara hati-hati, balutan
kotor dimasukkan ke dalam nierbekken
-Mendisinfeksi luka dan selang dengan kasa alkohol 70% kemudian dengan
bethadin 10%
-Menutup luka dengan kasa steril yang sudah dipotong tengahnya kemudian
diplester
-Selang WSD diklem
-Melepaskan sambungan antara selang WSD dengan selang botol
-Ujung selang WSD dibersihkan dengan alkohol 70%, kemudian selang WSD
dihubungkan dengan selang penyambung botol WSD yang baru
-Klem selang WSD dibuka
-Anjurkan pasien untuk menarik napas dalam dan bimbing pasien cara batuk
efektif
-Latih dan anjurkan pasien untuk secara rutin 2-3 kali sehari melakukan latihan
gerak pada persendian bahu daerah pemasangan WSD
59
-Merapikan pakaian pasien dan lingkungannya, kemudian membantu pasien
dalam posisi yang paling nyaman
-Membersihkan alat-alat dan botol WSD yang kotor, kemudian di sterilisasi
kembali
-Membuka handscoon dan mencuci tangan
-Menulis prosedur yang telah dilakukan pada catatan perawatan.
d) Evaluasi Pelaksanaan Perawatan WSD
Evaluasi pelaksanaan perawatan WSD meliputi :
-Evaluasi keadaan umum :
Observasi keluhan pasien
Observasi gejala sianosis
Observasi tanda perdarahan dan rasa tertekan pada dada
Observasi apakah ada krepitasi pada kulit sekitar selang WSD
Observasi tanda-tanda vital.
-Evaluasi ekspansi paru meliputi :
Melakukan pemeriksaan Inspeksi paru setelah selesai melakukan perawatan
WSD
Melakukan pemeriksaan Palpasi paru setelah selesai melakukan perawatan
WSD
Melakukan pemeriksaan Perkusi paru setelah selesai melakukan perawatan
WSD
Melakukan pemeriksaan Auskultasi paru setelah selesai melakukan
perawatan WSD
Foto thoraks setelah dilakukan pemasangan selang WSD dan sebelum
selang WSD di lepas.
-Evaluasi WSD meliputi :
Observasi undulasi pada selang WSD
Observasi fungsi suction countinous
Observasi apakah selang WSD tersumbat atau terlipat
Catat jumlah cairan yang keluar dari botol WSD
60
Pertahankan ujung selang dalam botol WSD agar selalu berada 2 cm di
bawah air
Pertahankan agar botol WSD selalu lebih rendah dari tubuh
Ganti botol WSD setiap hari atau bila sudah penuh.
(Pedoman Keterampilan Praktik Klinik Keperawatan. 2005: 49-50).
8. Komplikasi
a. Gagal jantung
b. Syok kardiogenik
c. Henti jantung
9. ASUHAN KEPERAWATAN PADA TEMPONADE JANTUNG
1) Pengkajian
a) Riwayat kesehatan sekarang :
- Trauma tumpul atau penetrasi dada, leher, punggung atau abdomen
- Repair lesi kardiak
- Dispnea
- Kecemasan
- Nyeri dada
- Fatigue/malaise
Riwayat medis :
- penyakit jantung
- penyakit neoplasma atau infeksi
- gagal ginjal (tergantung hemodialisis)
61
b) Pemeriksaan Sistem
B1 (Breathing)
DS : Klien mengatakan sesak napas
DO :
- Tanda kusmaul : peningkatan tekanan vena saat inspirasi nafas spontan
- Takikardi : kulit dingin dan pucat, bibir dan jari sianosis,
- Pucat atau sianosis
B2 (Blood)
DS : Klien mengatakan sering pusing dan penglihatan kabur
DO :
- peningkatan volume vena intravaskular.
- pulsus paradoksus >10mmHg, tekanan nadi <30mmHg, tekanan sistolik
<100mmHg,
- pericardial friction rub,
- pekak jantung melebar,
- Trias classic beck berupa :
o distensis vena leher,
o bunyi jantung melemah / redup dan
o hipotensi didapat pada sepertiga penderita dengan tamponade.
- tekanan nadi terbatas,
- kulit lembab, bibir, jari tangan dan kaki sianosis,
- Penurunan tekanan arteri (hipotensi)
B3 (Brain)
DS : Klien mengatkan sering gelisah
DO :
- Klien sering mengalami Penurunan tingkat kesadaran,
- Klien sering cemas, gelisah, penglihatan kabur.
B4 (Bladder)
62
DS : Klien mengatkan jarang kencing
DO :
-Penurunan urin output, Gagal ginjal.
B5 (Bowel)
DS : Klien mengatakan sering mual muntah
DO :
-Klien terlihat penurunan berat badan
- anoreksia.
B6 (Bone)
DS : -
DO :
-Adanya jejas trauma tajam dan tumpul di daerah dada.
-Terdapat fraktur,
- terjadi kelemahan,
- terdapat bekas tusuk
2) Diagnosa yang mungkin muncul
a) Pola nafas tidak efektif b.d hiperventilasi ditandai dengan takipnea, tanda
kusmaul.
b) Penurunan curah jantung b.d perubahan sekuncup jantung ditandai dengan
distensi vena jugularis, perubahan EKG, TD menurun, kulit dingin, pucat, jari
tangan dan kaki sianosis,
c) Perfusi jaringan (cerebral, perifer, cardiopulmonal, renal, gastrointestinal) tidak
efektif b.d suplai O2 menurun ditandai dengan nadi lemah, TTV abnormal,
penurunan kesadaran, kulit pucat, sianosis, akral dingin.
d) Penurunan kardiak output b.d gangguan pengisian jantung dan kontraktilitas,
penurunan venous return sekunder terhadap tekanan intrathoraks
63
3) Intervensi
Diagnosa Tujuan dan kriteria
hasil
Intervensi Rasional
Pola nafas tidak
efektif b.d
hiperventilasi ditandai
dengan takipnea,
tanda kusmaul.
setelah diberikan
asuhan keperawatan
selama 1 x 15 menit
diharapkan pola
nafas efektif dengan
kriteria hasil :
- Takipnea tidak
ada
- Tanda kusmaul
tidak ada
- TTV dalam
rentang batas
normal (RR : 16 –
20 X/ mnt).
Mandiri:
1. Pantau ketat tanda-
tanda vital terutama
frekuensi pernafasan
2. Monitor isi
pernafasan,
pengembangan dada,
keteraturan
pernafasan, nafas
bibir dan
penggunaan otot
bantu pernafasan
3. Berikan posisi
semifowler jika tidak
kontrainndikasi
4. Ajarkan klien nafas
dalam Kolaborasi :
5. Berikan oksigen
sesuai indikasi
6. Berikan obat sesuai
indikasi
- Perubahan pola
nafas dapat
mempengaruhi
tanda-tanda vital.
- Pengembangan dada
dan penggunaan
otot Bantu
pernapasan
mengindikasikan
gangguan pola nafas
- Mempermudah
ekspansi paru
- Dengan latihan
nafas dalam dapat
meningkatkan
pemasukan oksigen
- Oksigen yang
adekuat dapat
menghindari resiko
kerusakan jaringan
- Medikasi yang tepat
dapat
mempengaruhi
ventilasi pernapasan
Penurunan curah
jantung b.d perubahan
sekuncup jantung
setelah diberikan
asuhan keperawatan
selama 3 x 10 menit
diharapkan curah
jantung ke seluruh
tubuh adekuat
dengan kriteria
hasil :
1. Monitor TTV
berkelanjutan
2. Auskultasi suara
jantung, kaji
frekuensi dan irama
jantung.
3. Palpasi nadi perifer
dan periksa pengisian
- TTV merupakan
indicator keadaan
umum tubuh
(jantung).
- Perubahan suara,
frekuensi dan irama
jantung dapat
mengindikasikan
64
- TTV dalam batas
normal (Nadi : 60-
100 x/mnt, TD :
110-140 mmHg).
- Nadi perifer teraba
kuat
- Suara jantung
normal.
- Sianosis dan pucat
tidak ada.
- Kulit teraba
hangat
- EKG normal
- Distensi vena
jugularis tidak
ada.
perifer.
4. Kaji akral dan adanya
sianosis atau pucat.
Kaji adanya distensi
vena jugularis
Tamponade jantung
menghambat aliran
balik vena sehingga
terjadi distensi pada
vena jugularis.
Kolaborasi :
5. Berikan oksigen
sesuai indikasi
6. Berikan cairan
intravena sesuai
indikasi atau untuk
akses emergency.
7. Periksa EKG, foto
thorax,
echocardiografi dan
doppler sesuai
indikasi.
8. Lakukan tindakan
perikardiosintesis.
adanya penurunan
curah jantung.
- Curah jantung yang
kurang
mempengaruhi kuat
dan lemahnya nadi
perifer.
- Penurunan curah
jantung
menyebabkan
aliran ke perifer
menurun.
- Oksigen yang
adekuat mencegah
hipoksia.
- Mencegah
terjadinya
kekurangan cairan.
- Pada tamponade
jantung, terjadi
abnormalitas irama
jantung dan
terdapat siluet
pembesaran
jantung.
- Dengan
perikardiosintesis
cairan dalam ruang
pericardium dapat
keluar.
Perfusi jaringan
(cerebral, perifer,
cardiopulmonal,
renal, gastrointestinal)
tidak efektif b.d
suplai O2 menurun
setelah diberikan
asuhan keperawatan
selama 3 x 15 menit
diharapkan perfusi
jaringan adekuat
dengan kriteria
hasil :
Mandiri :
1. Awasi tanda-tanda
vital secara intensif
2. Pantau adanya
ketidakadekuatan
perfusi (kulit :
- Perubahan tanda-
tanda vital seperti
takikardi akibat
dari kompensasi
jantung untuk
memenuhi suplai
65
- Nadi teraba kuat
- TTV dalam batas
normal (Nadi : 60-
100 x/mnt, TD :
110-140 mmHg)
- Tingkat kesadaran
composmentis
- Sianosis atau
pucat tidak ada
- Nadi teraba
lemah, terdapat
sianosis,
- Akral teraba
hangat
dingin dan pucat,
sianosis)
3. Pantau GCS
4. Anjurkan untuk bed
rest/ istirahat total
O2.
- Menunjukkan
adanya
ketidakadekuatan
perfusi jaringan
- Penurunan perfusi
terutama di otak
dapat
mengakibatkan
penurunan tingkat
kesadaran
- Menurunkan
kebutuhan oksigen
D. Hemo Pneumotoraks
1. Pengertian
Pneumotoraks adalah adanya udara di dalam rongga pleural antara pleura parietal
dan viseral.
Pneumotorax adalah keluarnya udara dari paru yang cidera, kedalam ruang pleura
sering diakibatkan karena robeknya pleura (Suzanne C.Smeltzer,2001)
Pneumotorax adalah pengumpulan udara didalam ruang potensial antara pleura
visceral dan parietal (Arif Mansjoer)
Hemotoraks (atau hemotoraks) adalah suatu keadaan yang diakibatkan oleh
akumulasi darah dalam rongga pleura. Biasanya disebabkan oleh trauma tumpul
atau trauma tajam pada dada, yang mengakibatkan robeknya membran serosa pada
66
dinding dada bagian dalam atau selaput pembungkus paru. Robekan ini akan
mengaikibatkan darah mengalir ke dalam rongga pleura, yang akan menyebabkan
penekanan pada paru.
Kehilangan darah dapat terjadi secara masif, setiap sisi toraks bisa terisi oleh 30% –
40% dari volume darah seseorang. Jika tidak ditanggulangi, kondisi ini bisa
berkembang menjadi keadaan dimana akumulasi darah akan menekan mediastinum
dan trakea, mengurangi jumlah ventricles diastolic filling dan deviasi trakea ke arah
sisi yang sehat.
2. Etiologi
Di RSU Dr. Sutomo, lebih kurang 55% kasus Pneumothoraks disebabkan oleh
penyakit dasar seperti tuberkulosis paru aktif, tuberkulosis paru disertai fibrosis atau
emfisema lokal, bronchitis kronis dan emfisema. Selain penyakit tersebut diatas,
pneumotorak dapat terjadi pada wanita dapat terjadi saat menstruasi dan sering
berulang, keadaan ini disebut pneumothoraks katamenial yang disebabkan oleh
endometriosis di pleura.
Pneumotorak dapat terjadi secara artificial, dengan operasi atau tanpa operasi, atau
timbul spontan.
Pneumotoraks artifisial disebabkan tindakan tertentu atau memang disengaja untuk
tujuan tertentu, yaitu tindakan terapi dan diagnosis.
Pneumotorak traumatik terjadi karena penetrasi, luka tajam pada dada, dan karena
tindakan operasi.
Pneumotoraks spontan terjadi tanpa adanya trauma. Pneumotoraks jenis ini dapat
dibagi dalam:
-pneumotoraks spontan primer. Disini etiologi tidak diketahui sama sekali
-Pneumothorak spontan sekunder. Terdapat penyakit paru atau penyakit dada
sebagai faktor predisposisinya.
Tabel 4.1. PENYEBAB PNEUMOTORAKS SPONTAN SEKUNDER3
Penyakit saluran pernafasan
67
Penyakit paru obstruksi kronik
Fibrosis kistik
Asma akut
Infeksi parenkim paru
Pneumonia pneumocystis carinii
Infeksi necrotizing (anaerob, bakteri gram negatif, Staphylococcus
Aureus, species nacardia, Mycobacterium Tuberculosis, jamur)
Malignancy
Kanker paru
Sarcoma
Metastase
Penyakit paru intertisial
Langerhans cell granulomatosis
Sarcoidosis
Connective tissue disease
Tuberous Sclerosis
Idhiopathic pulmonary fibrosis
Lainnya
68
Thoracic endometriosis (catamenial)
Lymphangiolelomyomatosis
Marfan syndrom
Ehler-danlos syndrom
3. Klasifikasi pneumotoraks
a.Berdasarkan terjadinya yaitu artificial, traumatic dan spontan.
b. Berdasarkan lokasinya, yaitu Pneumotoraks parietalis, mediastinalis dan basalis
c.Berdasarkan derajat kolaps, yaitu Pneumotoraks totalis dan partialis.
d. Berdasarkan jenis fistel.
Pneumotoraks terbuka. Pneumotoraks dimana ada hubungan terbuka antara rongga
pleura dan bronchus yang merupakan dunia luar. Dalam keadaan ini tekanan intra
pleura sama dengan tekanan barometer (luar). Tekanan intra pleura disekitar nol (0)
sesuai dengan gerakan pernapasan. Pada waktu inspirasi tekanannya negatif dan
pada waktu ekspirasi positif (+ 2 ekspirasi dan - 2 inspirasi).
Pneumotoraks tertutup. Rongga pleura tertutup tidak ada hubungan dengan dunia
luar. Udara yang dulunya ada di rongga pleura kemungkinan positif oleh karena
diresorbsi dan tidak adanya hubungan lagi dengan dunia luar, maka tekanan udara di
rongga pleura menjadi negatif. Tetapi paru belum mau berkembang penuh. Sehingga
masih ada rongga pleura yang tampak meskipun tekanannya sudah negatif (- 4
ekspirasi dan - 12 inspirasi).
Pneumotoraks ventil. Merupakan pneumotoraks yang mempunyai tekanan positif
berhubung adanya fistel di pleura viseralis yang bersifat ventil. Udara melalui
bronchus terus ke percabangannya dan menuju ke arah pleura yang terbuka. Pada
waktu inspirasi udara masuk ke rongga pleura dimana pada permulaan masih negatif.
Pada waktu ekspirasi udara didalam rongga pleura yang masuk itu tidak mau keluar
melalui lubang yang terbuka tadi bahkan udara ekspirasi yang mestinya
69
dihembuskan keluar dapat masuk ke dalam rongga pleura, apabila ada obstruksi di
bronchus bagian proksimal dari fistel tersebut. Sehingga tekanan pleura makin lama
makin meningkat sehubungan dengan berulangnya pernapasan. Udara masuk rongga
pleura pada waktu ekspirasi oleh karena udara ekspirasi mempunyai tekanan lebih
tinggi dari rongga pleura, lebih-lebih kalau penderita batuk-batuk, tekanan udara di
bronchus lebih kuat lagi dari ekspirasi biasa.
4. Patofisiologi
Alveoli disangga oleh kapiler yang mempunyai dinding lemah dan mudah robek,
apabila alveol tersebut melebar dan tekanan di dalam alveol meningkat maka udara
dengan mudah menuju ke jaringan peribronkovaskular. Gerakan nafas yang kuat,
infeksi dan obstruksi endobronkial merupakan beberapa faktor presipitasi yang
memudahkan terjadinya robekan. Selanjutnya udara yang terbebas dari alveol dapat
mengoyak jaringan fibrotik peribronkovaskular. Robekan pleura ke arah yang
berlawanan dengan hilus akan menimbulkan pneumotorak sedangkan robekan yang
mengarah ke hilus dapat menimbulkan pneumomediastinum. Dari mediastinum
udara mencari jalan menuju ke atas, ke jaringan ikat yang longgar sehingga mudah
ditembus oleh udara. Dari leher udara menyebar merata ke bawah kulit leher dan
dada yang akhirnya menimbulkan emfisema subkutis. Emfisema subkutis dapat
meluas ke arah perut hingga mencapai skrotum.2
Tekanan intrabronkial akan meningkat apabila ada tahanan pada saluran pernafasan
dan akan meningkat lebih besar lagi pada permulaan batuk, bersin dan mengejan.
Peningkatan tekanan intrabronkial akan mencapai puncak sesaat sebelum batuk,
bersin, mengejan, pada keadaan ini, glotis tertutup. Apabila di bagian perifer bronki
atau alveol ada bagian yang lemah, maka kemungkinan terjadi robekan bronki atau
alveol akan sangat mudah.
5. Manifestasi klinis
Tanda dan gejalapada pneumotoraks
70
Pada pneumotoraks spontan, sebagai pencetus atau auslosend moment adalah batuk
keras, bersin, mengangkat barang-barang berat, kencing atau mengejan. Penderita
mengeluh sesak nafas yang makin lama makin berat setelah mengalami hal-hal
tersebut diatas.Tetapi pada beberapa kasus gejala –gejala masih gampang ditemukan
pada aktifitas biasa atau waktu istirahat.
Keluhan utama pneumotoraks spontan adalah sesak nafas, bernafas terasa berat,
nyeri dada dan batuk. Sesak sering mendadak dan makin lama makin berat. Nyeri
dada dirasakan pada sisi yang sakit, rasa berat, tertekan dan terasa lebih nyeri pada
gerakan pernafasan.
Rasa sakit tidak selalu timbul. Rasa sakit bisa menghebat atau menetap bila terjadi
perlengketan antara pleura viseralis dan pleura parietalis.
Pasien dengan pneumotoraks spontan primer biasanya ditandai dengan nyeri dada
pleura ipsilateral dan variasi derajat dipsneu. Karena fungsi paru normal, dipsnae
biasanya ringan sampai sedang, bahkan pasien dengan pneumotoraks yang luas.
Gejala biasanya hilang dalam 24 jam, bahkan jika pneumotorak masih ada. Takikardi
dan takipnea adalah gejala yang sangat sering ditemukan.
Serangan pada pneumotoraks spontan sekunder bermanifestasi sebagai nyeri dada.
Bahkan pada kasus pneumotoraks yang sedikit, akut dipsnea dapat berkembang
menjadi keadaan paru yang dicurigai. Tanda-tanda lain dari kardiopulmonal dapat
munculseperti hipoksemia akut (rata-rata PO2, 60 mmHg), hipotensi, sianosis, nafas
berat, status mental berubah dan hiperkapnia.
Tanda dan gejala pada hemotoraks
Hemothorak tidak menimbulkan nyeri selain dari luka yang berdarah didinding dada.
Luka di pleura viseralis umumnya juga tidak menimbulkan nyeri. Kadang-kadang
anemia dan syok hipovalemik merupakan keluhan dan gejala yang pertama muncul.
Secara klinis pasien menunjukan distress pernapasan berat, agitasi, sianosis, tahipnea
berat, tahikardia dan peningkatan awal tekanan darah, di ikuti dengan hipotensi
sesuai dengan penurunan curah jantung.
71
6. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang pada pneumotoraks
Foto Toraks
a. Bagian pneumotoraks akan tampak hitam, rata dan paru yang kolaps akan tampak
garis yang merupakan tepi paru. Kadang-kadang paru akan kolaps tidak
membentuk garis, akan tetapi berbentuk lobuler yang sesuai dengan lobus paru.
b. Adakalanya rongga ini sangat sempit sehingga hampir tidak tampak seperti massa
yang berada di daerah hilus. Keadaan ini menunjukkan kolaps yang luas sekali.
Besar kolaps paru tidak berkaitan dengan berat ringan sesak nafas yang
dikeluhkan.
c. Perlu diamati ada tidaknya pendorongan. Apabila ada pandorongan jantung atau
trakea ke arah paru yang sehat, kemungkinan besar telah terjadi pneumotoraks
ventil dengan tekanan intrapleura yang tinggi.
d. Pada pneumotoraks perlu diperhatikan kemungkinan terjadi keadaan ini:
-Pneumomediastinum, Terdapat ruang atau celah hitam pada tepi jantung, mulai
dari basis sampai ke apeks.
-Emfisema subkutan dapat diketahui bila ada rongga hitam dibawah kulit.
-Bila ada cairan di rongga pleura, akan tampak permukaan cairan sebagai garis
datar di atas diafragma.
Foto lateral dekubitus pada sisi yang sehat dapat membantu dalam membedakan
pneumotorakss dengan kista atau bulla. Pada pneumotoraks udara bebas dalam
rongga pleura lebih cenderung berkumpul pada bagian atas sisi lateral.
Pemeriksaan penunjang pada hemotoraks
a. Sinar X dada : menyatakan akumulasi udara / cairan pada area pleura, dapat
menunjukan penyimpangan struktur mediastinal (jantung)
b. GDA : Variabel tergantung dari derajat fungsi paru yang dipengeruhi, gangguan
mekanik pernapasan dan kemampuan mengkompensasi. PaCO2 kadang-kadang
meningkat. PaO2 mungkin normal atau menurun, saturasi oksigen biasanya
menurun.
c. Torasentesis : menyatakan darah/cairan serosanguinosa (hemothorak).
d. Hb : mungkin menurun, menunjukan kehilangan darah.
72
7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pneumotoraks :
a. Bullow Drainage / WSD
Pada trauma toraks, WSD dapat berarti :
a) Diagnostik :
Menentukan perdarahan dari pembuluh darah besar atau kecil, sehingga dapat
ditentukan perlu operasi torakotomi atau tidak, sebelum penderita jatuh dalam
shoks.
b) Terapi :
Mengeluarkan darah atau udara yang terkumpul di rongga
pleura.Mengembalikan tekanan rongga pleura sehingga "mechanis of breathing"
dapat kembali seperti yang seharusnya.
c) Preventive :
Mengeluarkan udaran atau darah yang masuk ke rongga pleura sehingga
"mechanis of breathing" tetap baik.
b. Perawatan WSD dan pedoman latihanya :
a) Mencegah infeksi di bagian masuknya slang.
Mendeteksi di bagian dimana masuknya slang, dan pengganti verband 2 hari
sekali, dan perlu diperhatikan agar kain kassa yang menutup bagian masuknya
slang dan tube tidak boleh dikotori waktu menyeka tubuh pasien.
b) Mengurangi rasa sakit dibagian masuknya slang. Untuk rasa sakit yang hebat
akan diberi analgetik oleh dokter.
c) Dalam perawatan yang harus diperhatikan :
- Penetapan slang.
Slang diatur se-nyaman mungkin, sehingga slang yang dimasukkan tidak
terganggu dengan bergeraknya pasien, sehingga rasa sakit di bagian masuknya
slang dapat dikurangi.
- Pergantian posisi badan.
73
Usahakan agar pasien dapat merasa enak dengan memasang bantal kecil
dibelakang, atau memberi tahanan pada slang, melakukan pernapasan perut,
merubah posisi tubuh sambil mengangkat badan, atau menaruh bantal di
bawah lengan atas yang cedera.
d) Mendorong berkembangnya paru-paru.
-Dengan WSD/Bullow drainage diharapkan paru mengembang.
-Latihan napas dalam.
-Latihan batuk yang efisien : batuk dengan posisi duduk, jangan batuk waktu
slang diklem.
-Kontrol dengan pemeriksaan fisik dan radiologi.
e) Perhatikan keadaan dan banyaknya cairan suction.
Perdarahan dalam 24 jam setelah operasi umumnya 500 - 800 cc. Jika
perdarahan dalam 1 jam melebihi 3 cc/kg/jam, harus dilakukan torakotomi. Jika
banyaknya hisapan bertambah/berkurang, perhatikan juga secara bersamaan
keadaan pernapasan.
f) Suction harus berjalan efektif :
Perhatikan setiap 15 - 20 menit selama 1 - 2 jam setelah operasi dan setiap 1 - 2
jam selama 24 jam setelah operasi.
-Perhatikan banyaknya cairan, keadaan cairan, keluhan pasien, warna muka,
keadaan pernapasan, denyut nadi, tekanan darah.
-Perlu sering dicek, apakah tekanan negative tetap sesuai petunjuk jika suction
kurang baik, coba merubah posisi pasien dari terlentang, ke 1/2 terlentang atau
1/2 duduk ke posisi miring bagian operasi di bawah atau di cari penyababnya
misal : slang tersumbat oleh gangguan darah, slang bengkok atau alat rusak,
atau lubang slang tertutup oleh karena perlekatanan di dinding paru-paru.
g) Perawatan "slang" dan botol WSD/ Bullow drainage.
-Cairan dalam botol WSD diganti setiap hari , diukur berapa cairan yang keluar
kalau ada dicatat.
-Setiap hendak mengganti botol dicatat pertambahan cairan dan adanya
gelembung udara yang keluar dari bullow drainage.
74
-Penggantian botol harus "tertutup" untuk mencegah udara masuk yaitu
meng"klem" slang pada dua tempat dengan kocher.
-Setiap penggantian botol/slang harus memperhatikan sterilitas botol dan slang
harus tetap steril.
-Penggantian harus juga memperhatikan keselamatan kerja diri-sendiri, dengan
memakai sarung tangan.
-Cegah bahaya yang menggangu tekanan negatip dalam rongga dada, misal :
slang terlepas, botol terjatuh karena kesalahan dll.
h) Dinyatakan berhasil, bila :
-Paru sudah mengembang penuh pada pemeriksaan fisik dan radiologi.
-Darah cairan tidak keluar dari WSD / Bullow drainage.
-Tidak ada pus dari selang WSD.
Penatalaksanaan pada hemotoraks
Penatalaksanaan. Hemotoraks ditangani dengan mengatasi sumber perdarahan dan
mengalirkan darah keluar dari rongga toraks. Kontrol nyeri dan pulmonary toilet.
Hemotoraks dievakuasi dengan memasang drainase menggunakan selang dada (chest
tube), prosedur ini dikenal dengan pemasangan selang torakostomi (tube
thoracostomy). Selang dada di pantau secara ketat karena indikasi pembedahan
didasarkan pada drainase selang dada dari permulaan dan akumulasi setiap jamnya.
Selang dada disambungkan ke system penampung (mis. Pleur-evac) yang
dirangkaikan dengan suction pada tekanan kira-kira -20 cm H2O. Setelah selang
dada dilepaskan dari suction kemudian di sambungkan dengan segel air (Water Seal
Drainage (WSD)). Jika paru telah mengembang selang dada dapat di cabut.
Biasanya pasien dengan cepat akan pulih setelah pemasangan drainase ini. Namun
jika penyebabnya adalah ruptur aorta akibat trauma berkekuatan tinggi, maka
diperlukan intervensi bedah oleh ahli bedah toraks.
Hemotoraks yang luas dengan bekuan darah memerlukan tindakan operasi untuk
evakuasi agar paru dapat mengembang secara penuh dan mencegah komplikasi
seperti fibrotoraks dan empiema. Pendekatan dengan Torakoskopi juga cukup
berhasil dalam penaganan masalah ini.
75
8. Komplikasi
Komplikasi pada pneumotoraks
a.Tension Penumototrax
b. Penumotoraks Bilateral
c.Emfiema
Komplikasi pada hemotoraks
Adhesi pecah, bula paru pecah.
9. ASUHAN KEPERAWATAN HEMO PNEUMOTORAKS
1) Pengkajian
a. Umur : Sering terjadi usia 18 - 30 tahun.
b. Klien terdapat penyakit paru, bila ditemukan adanya iritan pada paru yang
meningkat maka mungkin terdapat riwayat merokok. Penyakit yang sering
ditemukan adalah pneumotoraks, hemotoraks, pleural effusion atau empiema.
Klien bisa juga ditemukan adanya riwayat trauma dada yang mendadak yang
memerlukan tindakan pembedahan.
76
Pemeriksaan sistem :
a. B1 (Breathing)
DS : Klien mengatakan sering sesak napas
DO :
- Terdapat retraksi klavikula/dada.
- Pengambangan paru tidak simetris.
- Fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain.
- Pada perkusi ditemukan Adanya suara sonor/hipersonor/timpani ,
hematotraks (redup)
- Pada asukultasi suara nafas menurun, bising napas yang
berkurang/menghilang.
- Pekak dengan batas seperti garis miring/tidak jelas.
- Dispnea dengan aktivitas ataupun istirahat.
- Gerakan dada tidak sama waktu bernapas.
b. B2( Blood)
DS : Klien mengatakan sering pusing, seperti mau jatuh terutama saat bangun
dari tempat duduk
DO :
- Klien nampak Pucat,
- Hb turun
- Klien mengalami Hipotensi.
c. B3 (Brain)
Tidak ada kelainan.
d. B4 (Bladder)
Tidak ada kelainan.
e. B5 (Bowel)
Tidak ada kelainan.
f. B6 (Bone)
77
DS : Klien mengatakan kemampuan untuk berjalan susah
DO :
- Kemampuan sendi terbatas.
- Ada luka bekas tusukan benda tajam pada dada.
- Terdapat kelemahan.
- Kulit pucat, sianosis, berkeringat, atau adanya kripitasi sub kutan.
2) Diagnosa yang mungkin muncul
a. Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan ekpansi paru yang tidak
maksimal karena akumulasi udara/cairan.
b. Inefektif bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan sekresi sekret
dan penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan.
c. Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan
reflek spasme otot sekunder.
d. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakcukupan kekuatan dan
ketahanan untuk ambulasi dengan alat eksternal.
e. Resiko Kolaboratif : Akteletasis dan Pergeseran Mediatinum.
f. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma mekanik terpasang
bullow drainage.
g. Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme
sekunder terhadap trauma.
Dongoes, Marylin E. 2000.
3) Intervensi
Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi Rasional
Ketidakefektifan pola
pernapasan
berhubungan dengan
ekspansi paru yang
tidak maksimal karena
Tujuan Pola pernapasan
efektive.
Kriteria hasil :
- Memperlihatkan
frekuensi pernapasan
a. Berikan posisi yang
nyaman, biasanya
dnegan peninggian
kepala tempat tidur.
Balik ke sisi yang
- Meningkatkan
inspirasi maksimal,
meningkatkan
ekpsnsi paru dan
ventilasi pada sisi
78
trauma. yang efektive.
- Mengalami perbaikan
pertukaran gas-gas
pada paru.
- Adaptive mengatasi
faktor-faktor
penyebab.
sakit. Dorong klien
untuk duduk
sebanyak mungkin.
b. Obsservasi fungsi
pernapasan, catat
frekuensi
pernapasan, dispnea
atau perubahan
tanda-tanda vital.
c. Jelaskan pada klien
bahwa tindakan
tersebut dilakukan
untuk menjamin
keamanan.
d. Jelaskan pada klien
tentang
etiologi/faktor
pencetus adanya
sesak atau kolaps
paru-paru.
e. Pertahankan perilaku
tenang, bantu pasien
untuk kontrol diri
dengan
menggunakan
pernapasan lebih
lambat dan dalam.
f. Perhatikan alat
bullow drainase
berfungsi baik, cek
setiap 1 - 2 jam :
1) Periksa
pengontrol
penghisap untuk
jumlah hisapan
yang tidak sakit.
- Distress pernapasan
dan perubahan pada
tanda vital dapat
terjadi sebgai akibat
stress fifiologi dan
nyeri atau dapat
menunjukkan
terjadinya syock
sehubungan dengan
hipoksia.
- Pengetahuan apa
yang diharapkan
dapat mengurangi
ansietas dan
mengembangkan
kepatuhan klien
terhadap rencana
teraupetik.
- Pengetahuan apa
yang diharapkan
dapat
mengembangkan
kepatuhan klien
terhadap rencana
teraupetik.
- Membantu klien
mengalami efek
fisiologi hipoksia,
yang dapat
dimanifestasikan
sebagai
ketakutan/ansietas.
79
yang benar.
2) Periksa batas
cairan pada botol
penghisap,
pertahankan pada
batas yang
ditentukan.
3) Observasi
gelembung udara
botol
penempung.
4) Posisikan sistem
drainage slang
untuk fungsi
optimal,
yakinkan slang
tidak terlipat,
atau
menggantung di
bawah saluran
masuknya ke
tempat drainage.
Alirkan
akumulasi
dranase bela
perlu.
5) Catat
karakter/jumlah
drainage selang
dada.
g. Kolaborasi dengan
tim kesehatan
lain :
Dengan dokter,
- .
1) Mempertahankan
tekanan negatif
intrapleural sesuai
yang diberikan,
yang
meningkatkan
ekspansi paru
optimum/drainase
cairan.
2) Air
penampung/botol
bertindak sebagai
pelindung yang
mencegah udara
atmosfir masuk ke
area pleural.
3) gelembung udara
selama ekspirasi
menunjukkan
lubang angin dari
penumotoraks/kerj
a yang diharapka.
Gelembung
biasanya menurun
seiring dnegan
ekspansi paru
dimana area
pleural menurun.
Tak adanya
gelembung dapat
menunjukkan
ekpsnsi paru
lengkap/normal
80
radiologi dan
fisioterapi.
Pemberian
antibiotika.
Pemberian
analgetika.
Fisioterapi
dada.
Konsul
photo
toraks.
atau slang buntu.
4) Posisi tak tepat,
terlipat atau
pengumpulan
bekuan/cairan
pada selang
mengubah tekanan
negative yang
diinginkan.
5) Berguna untuk
mengevaluasi
perbaikan
kondisi/terjasinya
perdarahan yang
memerlukan upaya
intervensi.
Kolaborasi dengan
tim kesehatan lain
unutk engevaluasi
perbaikan kondisi
klien atas
pengembangan
parunya.
Inefektif bersihan jalan
napas berhubungan
dengan peningkatan
sekresi sekret dan
penurunan batuk
sekunder akibat nyeri
dan keletihan.
Tujuan : Jalan napas
lancar/normal
Kriteria hasil :
Menunjukkan batuk
yang efektif.
Tidak ada lagi
penumpukan sekret di
sal. pernapasan.
Klien nyaman.
a. Jelaskan klien
tentang kegunaan
batuk yang efektif
dan mengapa
terdapat
penumpukan sekret
di sal. pernapasan.
b. Ajarkan klien
tentang metode yang
tepat pengontrolan
a. Pengetahuan
yang diharapkan
akan membantu
mengembangkan
kepatuhan klien
terhadap rencana
teraupetik.
b. Batuk yang tidak
terkontrol adalah
81
batuk.
c. Napas dalam dan
perlahan saat duduk
setegak mungkin.
d. Lakukan pernapasan
diafragma.
e. Tahan napas selama
3 - 5 detik
kemudian secara
perlahan-lahan,
keluarkan sebanyak
mungkin melalui
mulut.
f. Lakukan napas ke
dua, tahan dan
batukkan dari dada
dengan melakukan 2
batuk pendek dan
kuat.
g. Auskultasi paru
sebelum dan sesudah
klien batuk.
h. Ajarkan klien
tindakan untuk
menurunkan
viskositas sekresi :
mempertahankan
hidrasi yang
adekuat;
meningkatkan
masukan cairan
1000 sampai 1500
cc/hari bila tidak
kontraindikasi.
melelahkan dan
tidak efektif,
menyebabkan
frustasi.
c. Memungkinkan
ekspansi paru
lebih luas.
d. Pernapasan
diafragma
menurunkan frek.
napas dan
meningkatkan
ventilasi alveolar.
e. Meningkatkan
volume udara
dalam paru
mempermudah
pengeluaran
sekresi sekret.
f. Pengkajian ini
membantu
mengevaluasi
keefektifan upaya
batuk klien.
g. Sekresi kental
sulit untuk
diencerkan dan
dapat
menyebabkan
sumbatan mukus,
yang mengarah
pada atelektasis.
h. Untuk
menghindari
pengentalan dari
sekret atau mosa
82
i. Dorong atau berikan
perawatan mulut
yang baik setelah
batuk.
j. Kolaborasi dengan
tim kesehatan lain :
Dengan dokter,
radiologi dan
fisioterapi.
Pemberian
expectoran.
Pemberian
antibiotika.
Fisioterapi
dada.
Konsul photo
toraks.
pada saluran
nafas bagian atas.
i. Hiegene mulut
yang baik
meningkatkan
rasa
kesejahteraan dan
mencegah bau
mulut
Expextorant
untuk
memudahkan
mengeluarkan
lendir dan
menevaluasi
perbaikan kondisi
klien atas
pengembangan
parunya.
Perubahan kenyamanan
: Nyeri akut
berhubungan dengan
trauma jaringan dan
reflek spasme otot
sekunder.
Nyeri berkurang/hilang.
Kriteria hasil :
Nyeri berkurang/
dapat diadaptasi.
Dapat
mengindentifikasi
aktivitas yang
meningkatkan/menur
unkan nyeri.
Pasien tidak gelisah.
a. Jelaskan dan bantu
klien dengan
tindakan pereda
nyeri
nonfarmakologi dan
non invasif.
b. Ajarkan Relaksasi :
Tehnik-tehnik untuk
menurunkan
ketegangan otot
rangka, yang dapat
menurunkan
intensitas nyeri dan
juga tingkatkan
relaksasi masase.
c. Ajarkan metode
distraksi selama
a. Pendekatan
dengan
menggunakan
relaksasi dan
nonfarmakologi
lainnya telah
menunjukkan
keefektifan
dalam
mengurangi
nyeri.
b. Akan melancarkan
peredaran darah,
sehingga
kebutuhan O2
oleh jaringan
akan terpenuhi,
sehingga akan
83
nyeri akut.
d. Berikan kesempatan
waktu istirahat bila
terasa nyeri dan
berikan posisi yang
nyaman; misal
waktu tidur,
belakangnya
dipasang bantal
kecil.
e. Tingkatkan
pengetahuan
tentang: sebab-sebab
nyeri, dan
menghubungkan
berapa lama nyeri
akan berlangsung.
f. Kolaborasi denmgan
dokter, pemberian
analgetik.
Observasi tingkat
nyeri, dan respon
motorik klien, 30
menit setelah
pemberian obat
analgetik untuk
mengkaji
efektivitasnya. Serta
setiap 1 - 2 jam
setelah tindakan
perawatan selama 1 -
2 hari.
mengurangi
nyerinya.
c. Mengalihkan
perhatian
nyerinya ke hal-
hal yang
menyenangkan.
d. Istirahat akan
merelaksasi
semua jaringan
sehingga akan
meningkatkan
kenyamanan.
e. Pengetahuan yang
akan dirasakan
membantu
mengurangi
nyerinya. Dan
dapat membantu
mengembangkan
kepatuhan klien
terhadap rencana
teraupetik.
f. Analgetik
memblok lintasan
nyeri, sehingga
nyeri akan
berkurang.
Pengkajian yang
optimal akan
memberikan perawat
data yang obyektif
untuk mencegah
kemungkinan
84
komplikasi dan
melakukan intervensi
yang tepat.
E. Tension Pneumotoraks
1. Pengertian
Tension Pneumotoraks merupakan medical emergency dimana akumulasi udara
dalam rongga pleura akan bertambah setiap kali bernapas. Peningkatan tekanan
intratoraks mengakibatkan bergesernya organ mediastinum secara masif ke arah
berlawanan dari sisi paru yang mengalami tekanan.
Tension pneumothoraks adalah pengumpulan/ penimbunan udara di ikuti
peningkatan tekanan di dalam rongga pleura. Kondisi ini terjadi bila salah satu
rongga paru terluka, Sehingga udara masuk ke rongga pleura dan udara tidak bisa
keluar secara alami. Kondisi ini bisa dengan cepat menyebabkan terjadinya
insufisiensi pernapasan, kolaps kardiovaskuler, dan, akhirnya, kematian jika tidak
dikenali dan ditangani. Hasil yang baik memerlukan diagnosa mendesak dan
penanganan dengan segera. Tension pneumothoraks adalah diagnosa klinis yang
sekarang lebih siap dikenali karena perbaikan di pelayanan-pelayanan darurat medis
dan tersebarnya penggunaan sinar-x dada.
2. Etiologi
Etiologi Tension Pneumotoraks yang paling sering terjadi adalah karena iatrogenik
atau berhubungan dengan trauma. Yaitu, sebagai berikut:
a.Trauma benda tumpul atau tajam – meliputi gangguan salah satu pleura visceral
atau parietal dan sering dengan patah tulang rusuk (patah tulang rusuk tidak
menjadi hal yang penting bagi terjadinya Tension Pneumotoraks)
85
b. Pemasangan kateter vena sentral (ke dalam pembuluh darah pusat), biasanya vena
subclavia atau vena jugular interna (salah arah kateter subklavia).
c.Komplikasi ventilator, pneumothoraks spontan, Pneumotoraks sederhana ke
Tension Pneumotoraks
d. Ketidakberhasilan mengatasi pneumothoraks terbuka ke pneumothoraks
sederhana di mana fungsi pembalut luka sebagai 1-way katup
e. Akupunktur, baru-baru ini telah dilaporkan mengakibatkan pneumothoraks
3. Patofisiologi
Mekanisme terjadinya tension pneumothorax sama dengan kejadian pneumotoraks
umumnya. Namun pada tension pneumothorax, udara secara terus-menerus mengalir
dari parenkim paru yang cedera meningkatkan tekanan di dalam rongga hemitoraks
yang terkena.
Pasien mengalami distress pernapasan. Suara napas menghilang, dan hemitorak yang
terkena hipersonor pada perkusi. Trakea mengalami deviasi ke sisi yang berlawanan
dengan injury. Organ mediastinum bergeser kea rah berlawanan dengan sisi yang
sakit. Ini mengakibatkan penurunan Venous Return ke jantung. Pasien menunjukkan
tanda-tanda ketidakstabilan hemodinamik, seperti: hipotensi, yang dengan cepat
dapat berkembang kepada kolaps kardiovaskuler secara keseluruhan.
Penanganan segera terhadap kondisi yang mengancam kehidupan meliputi
dekompresi pada hemitoraks yang sakit dengan menggunakan needle thoracostomy
(ukuran 14 – 16 G) ditusukkan pada ruang interkostal kedua sejajar dengan
midclavicular line. Selanjutnya dapat dipasang tube thoracostomy diiringi dengan
control nyeri dan pulmonary toilet.
Tension Pneumothoraks atau Pneumothoraks Ventiel, terjadi karena mekanisme
check valve yaitu pada saat inspirasi udara masuk ke dalam rongga pleura, tetapi
pada saat ekspirasi udara dari rongga pleura tidak dapat keluar. Semakin lama
tekanan udara di dalam rongga pleura akan meningkatkan dan melibihi tekanan
atmosfir. Udara yang terkumpul dalam rongga pleura ini dapat menekan paru
sehingga sering menimbulkan gagal nafas.
86
Tekanan dalam rongga pleura meningkat sehingga paru mengempis lebih hebat,
mediastinum tergeser kesisi lain dan mempengaruhi aliran darah vena ke atrium
kanan. Pada foto sinar tembus dada terlihat mediastinum terdorong kearah
kontralateral dan diafragma tertekan kebawah sehingga menimbulkan rasa sakit.
Keadaan ini dapat mengakibatkan fungsi pernafasan sangat terganggu yang harus
segera ditangani kalau tidak akan berakibat fatal.
4. Manifestasi klinik
Manifestasi klinis dari tanda dan gejala yang muncul pada tension pneumothoraks
penting sekali untuk mendiagnosa dan mengetahui kondisi pasien.
Manifestasi awal : nyeri dada, dispnea, ansietas, takipnea, takikardi, hipersonor
dinding dada dan tidak ada suara napas pada sisi yang sakit.
Manifestasi lanjut : tingkat kesadaran menurun, trachea bergeser menuju ke sisi
kontralateral, hipotensi, pembesaran pembuluh darah leher/ vena jugularis (tidak ada
jika pasien sangat hipotensi) dan sianosis.
Berikut adalah keadaan atau kelainan akibat trauma toraks yang berbahaya dan
mematikan bila tidak dikenali dan ditatalaksana dengan segera : dispnea, hilangnya
bunyi napas, sianosis, asimetri toraks, mediastinal shift.
5. Pemeriksaan fisik
Adanya respirasi ireguler, takhipnea, pergeseran mediastinum, ekspansi dada
asimetris. Adanya ronchi atau rales, suara nafas yang menurun, perkursi dada redup
menunjukan adanya pleural effusion, sering ditemui sianosis perifer atau sentral,
takikardia, hipotensi,dan nyeri dada pleural.
6. Pemeriksaan penunjang
a) Sinar X dada : menyatakan akumulasi udara / cairan pada area pleural; dapat
menunjukan penyimpangan struktur mediastinal.
b) GDA : variabel tergantung dari derajat fungsi paru yang dipengaruhi, gangguan
mekanik pernapasan dan kemampuan mengkompensasi.
c) Torasentesis : menyatakan darah / cairan sero sanguinosa.
87
d) Hb : mungkin menurun, menunjukkan kehilangan darah
7. Penatalaksanaan
Prinsip :
a.Penatalaksanaan mengikuti prinsip penatalaksanaan pasien trauma secara umum
(primary survey – secondary survey).
b. Tidak dibenarkan melakukan langkah-langkah: anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan diagnostik, penegakan diagnosis dan terapi secara konsekutif
(berturutan)
c.Standar pemeriksaan diagnostik (yang hanya bisa dilakukan bila pasien stabil),
adalah : portable x-ray, portable blood examination, portable bronchoscope. Tidak
dibenarkan melakukan pemeriksaan dengan memindahkan pasien dari ruang
emergency.
d. Penanganan pasien tidak untuk menegakkan diagnosis akan tetapi terutama
untuk menemukan masalah yang mengancam nyawa dan melakukan tindakan
penyelamatan nyawa.
e.Pengambilan anamnesis (riwayat) dan pemeriksaan fisik dilakukan bersamaan atau
setelah melakukan prosedur penanganan trauma.
f. Penanganan pasien trauma toraks sebaiknya dilakukan oleh Tim yang telah
memiliki sertifikasi pelatihan ATLS (Advance Trauma Life Support).
g. Oleh karena langkah-langkah awal dalam primary survey (airway, breathing,
circulation) merupakan bidang keahlian spesialistik Ilmu Bedah Toraks
Kardiovaskular, sebaiknya setiap RS yang memiliki trauma unit/center memiliki
konsultan bedah toraks kardiovaskular.
Penatalaksanaan
1) Pada ICS 5 atau 6 dilakukan pemasangan WSD dengan memakai trokar.
2) WSD dilepas bila paru sudah mengembang dengan baik, tidak ada komplikasi dan
setelah selang plastic atau diklem 24 jam untuk membuktikan bahwa
pneumothoraks sudah sembuh.
3) Bila penderita sesak dapat diberikan oksigen konsentrasi tinggi.
88
4) Untuk megnobati nyeri dapat diberikan analgetika seperti Antalgin 3 X 1 tablet
atau analgetik kuat.
5) Fisioterapi dapat diberikan karena dapat mencegah retensi sputum.
6) Apabila pengembangan paru agak lambat, bias dilakukan penghisapan dengan
tekanan 25-50 cm air.
7) Pada pneumothoraks berulang dapat dilakukan perlekatan kedua pleura dengan
memakai bahan yang dapat menimbulkan iritasi atau bahan sclerosing agent.
Pada pneumothoraks ventil/ tension pneumothoraks, penderita sering sesak napas
berat dan keadaan ini dapat mengancam jiwa apabila tidak cepat dilakukan
tindakan perbaikan. Tekanan intrapleura tinggi, bisa terjadi kolaps paru dan ada
penekanan pada mediastinum dan jantung. Himpitan pada jantung menyebabkan
kontraksi terganggu dan “venous return” juga terganggu. Jadi selain menimbulkan
gangguan pada pernapasan, juga menimbulkan gangguan pada sirkulasi darah
(hemodinamik).
Penanganan segera terhadap kondisi yang mengancam kehidupan meliputi
dekompresi pada hemitoraks yang sakit dengan menggunakan needle
thoracostomy (ukuran 14 – 16 G) ditusukkan pada ruang interkostal kedua sejajar
dengan midclavicular line. Selanjutnya dapat dipasang tube thoracostomy diiringi
dengan control nyeri dan pulmonary toilet (pemasangan selang dada) diantara
anterior dan mid-axillaris. Penanganan Diit dengan tinggi kalori tinggi protein
2300 kkal + ekstra putih telur 3 x 2 butir / hari.
8. Konsep WSD
a.Pengertian
WSD merupakan tindakan invasive yang dilakukan untuk mengeluarkan udara,
cairan (darah, pus) dari rongga pleura dengan menggunakan pipa penghubung.
b. Tujuan
89
-Mengalirkan/drainage udara atau cairan dari rongga pleura untuk
mempertahankan tekanan negatif rongga tersebut.
-Mengembangkan kembali paru yang kolaps
- Memasukkan obat ke dalam rongga pleura.
c. Perubahan Tekanan Rongga Pleura
Tekanan Istirahat Inspirasi EkspirasiAtmosfir 760 760 760Intrapulmoner 760 757 763Intrapleural 756 750 756
d. Indikasi Pemasangan WSD
- Hematotoraks
- Efusi pleura dengan keganasan
- Pneumotoraks lebih dari 20 %
- Hidropneumothoraks
- Empiema
e. Kontra Indikasi Pemasangan WSD
- Hematothoraks masif yang belum mendapat penggantian cairan/darah
- Gangguan pembekuan darah yang tidak terkontrol
- Perlekatan pleura yang luas.
f. Tempat Pemasangan WSD
Bagian Apex paru
Yaitu pada anterolateral intercosta 1-2 yang berfungsi untuk mengeluarkan
udara dari rongga pleura.
Bagian Basal
Yaitu pada posterolateral intercosta ke 8-9 yang berfungsi untuk mengeluarkan
cairan (darah, pus) dari rongga pleura.
g. Jenis-jenis WSD
90
WSD dengan sistem satu botol
Sistem yang paling sederhana dan sering digunakan pada pasien simple
pneumothoraks. Terdiri dari botol dengan penutup segel yang mempunyai 2
lubang selang yaitu 1 untuk ventilasi dan 1 lagi masuk ke dalam botol. Air steril
dimasukan ke dalam botol sampai ujung selang terendam dua cm untuk
mencegah masuknya udara ke dalam tabung yang menyebabkan kolaps paru.
Selang untuk ventilasi dalam botol dibiarkan terbuka untuk memfasilitasi udara
dari rongga pleura keluar. Drainage tergantung dari mekanisme pernafasan dan
gravitasi. Undulasi pada selang cairan mengikuti irama pernafasan.
WSD dengan sistem dua botol
Digunakan dua botol, satu botol mengumpulkan cairan drainage dan botol
kedua sebagai water seal. Botol 1 dihubungkan dengan selang drainage yang
awalnya kosong dan hampa udara, selang pendek pada botol 1 dihubungkan
dengan selang di botol 2 yang berisi water seal. Cairan drainase dari rongga
pleura masuk ke botol 1 dan udara dari rongga pleura masuk ke water seal botol
2. Prinsip kerjasama dengan sistem satu botol yaitu udara dan cairan mengalir
dari rongga pleura ke botol WSD dan udara dipompakan keluar melalui selang
masuk ke WSD. Bisasanya digunakan untuk mengatasi hemotothoraks,
hemopneumothoraks dan efusi peura.
WSD dengan sistem tiga botol
Sama dengan sistem 2 botol, ditambah 1 botol untuk mengontrol jumlah hisapan
yang digunakan. Paling aman untuk mengatur jumlah hisapan. Yang terpenting
adalah kedalaman selang di bawah air pada botol ke-3. Jumlah hisapan
tergantung pada kedalaman ujung selang yang tertanam dalam air botol WSD.
Drainage tergantung gravitasi dan jumlah hisapan yang ditambahkan. Botol ke-
3 mempunyai 3 selang yaitu tube pendek diatas batas air dihubungkan dengan
tube pada botol ke dua, tube pendek lain dihubungkan dengan suction dan tube
di tengah yang panjang sampai di batas permukaan air dan terbuka ke atmosfer.
h. Komplikasi Pemasangan WSD
- Laserasi, mencederai organ (hepar, lien)
91
- Perdarahan
- Empisema Subkutis
- Tube terlepas
- Infeksi
- Tube tersumbat
i. Persiapan Pemasangan WSD
a) Pengkajian
-Memeriksa kembali instruksi dokte
- Mencek inform consent
-Mengkaji tanda-tanda vital dan status pernapasan pasien.
b) Persiapan Pasien
-Siapkan pasien
-Memberi penjelasan kepada pasien meliputi :
Tujuan tindakan
Posisi tubuh saat tindakan dan selama terpasang WSD, posisi klien dapat
duduk atau berbaring
Upaya-upaya untuk mengurangi rangsangan nyeri seperti nafas dalam dan
distraksi
Foto thoraks posterior-anterior dan lateral paru.
c) Persiapan alat dan bahan meliputi :
-Trokar/toraks drain dengan nomor yang disesuaikan dengan bahan yang akan
dialirkan, untuk udara nomor 18-20 dan untuk pus nomor 22-24.
-Kasa steril
-Plester
-Alkohol 70% dan bethadin 10%
- Spuit 5 cc sebanyak 2 buah
-Lidocain solusio injeksi untuk anestesi local sebanyak 5 ampul
-Botol WSD
92
- Satu buah meja dengan satu set bedah minor
-Duk steril
d) Prosedur Tindakan
-Posisi pasien dengan sisi yang sakit menghadap ke arah dokter dengan
disandarkan pada kemiringan 30o-60o, tangan sisi paru yang sakit diangkat
ke atas kepala
-Lakukan tindakan antiseptic menggunakan bethadin 10% dilanjutkan dengan
menggunakan alkohol 70% dengan gerakan berputar ke arah luar, pasang duk
steril dengan lubang tempat di mana akan dilakukan insersi kateter
-Lakukan anestesi lokal lapis demi lapis dari kulit hingga pleura parietalais
menggunakan lidocain solusio injeksi, jangan lupa melakukan aspirasi
sebelum mengeluarkan obat pada setiap lapisan. Anestesi dilakukan pada
daerah yang akan di pasang WSD atau pada intercostalis 4-5 anterior dari
mid axillary line
-Langsung lakukan punksi percobaan menggunakan spuit anestesi tersebut
-Lakukan sayatan pada kulit memanjang sejajar intercostalis lebih kurang 1
cm lalu buka secara tumpul sampai ke pleura
-Disiapkan jahitan matras mengelilingi kateter
-Satu tangan mendorong trokar dan tangan lainnya memfiksir trokar untuk
membatasi masuknya alat ke dalam rongga pleura. Setelah trokar masuk ke
dalam rongga pleura, stilet dicabut dan lubang trokar di tutup dengan ibu jari.
Kateter yang sudah diklem pada ujung distalnya di insersi secara cepat
melelui trokar ke dalam rongga pleura. Kateter diarahkan ke anteroapikal
pada pneumothoraks dan posterobasal pada cairan pleura/empiema. Trokar
dilepas pada dinding dada. Kateter bagian distal dilepas dan trokar
dikeluarkan
-Setelah trokar ditarik, hubungkan kateter dengan selang dan masukkan ujung
selang ke dalam botol WSD yang telah diberi larutan bethadin yang telah
diencerkan dengan NaCl 0,9% dan pastikan ujung selang terendam sepanjang
dua cm
93
-Perhatikan adanya undulasi pada selang penghubung dan terdapat cairan,
darah dan pus yang dialirkan atau gelembung udara pada botol WSD.
-Fiksasi kateter dengan jahitan tabbac sac, lalu tutup dengan kasa steril yang
telah di beri bethadin dan fiksasi ke dinding dada dengan plester.
(Standar Diagnosis & Terapi Gawat Darurat, 2007: 70-72)
j. Pedoman pencabutan
1. Kriteria pencabutan :
-Sekrit serous, tidak hemoraged
-Dewasa : jumlah kurang dari 100cc/24jam
-Anak – anak : jumlah kurang 25-50cc/24jam
-Paru mengembang dengan tanda :
Auskultasi suara napas vesikuler kiri dan kanan
Perkusi bunyi sonor kiri dan kanan
Fibrasi simetris kiri dan kanan
Foto toraks paru yang sakit sudah mengembang
2. Kondisi :
- Pada trauma
Hemato/pneumothorak yang sudah memenuhi kedua kriteria, langsung
dicabut dengan cara air-tight (kedap udara).
- Pada thoracotomi
Infeksi : klem dahulu 24 jam untuk mencegah resufflasi, bila baik cabut
- Post operatif : bila memenuhi kedua kriteria, langsug di cabut (air-tight)
- Post pneumonektomi : hari ketiga bila mediastinum stabil (tak perlu air-
tight).
3. Alternatif
-Paru tetap kolaps, hisap sampai 25 cmH20
-Bila kedua krieria dipenuhi, klem dahulu 24 jam, tetap baik lakukan
pencabutan.
-Bila tidak berhasil, tunggu sampai dua minggu, lakukan dekortikasi
94
-Sekret lebih dari 200cc/24jam : curiga adanya Chylo toraks (pastikan dengan
pemeriksaan laboratorium), pertahankan sampai dengan empat minggu, bila
tidak berhasil dilakukan toracotomi
-Bila sekret kurang dari 100cc/24jam, klem, kemudian dicabut.
k. Konsep Perawatan WSD
a. Persiapan Alat :
-Satu buah meja dengan satu set bedah minor
-Botol WSD berisi larutan bethadin yang telah diencerkan dengan NaCl
0,9% dan ujung selang terendam sepanjang dua cm.
-Kasa steril dalam tromol
-Korentang
-Plester dan gunting
-Nierbekken/kantong balutan kotor
-Alkohol 70%
-Bethadin 10%
-Handscoon steril
b. Persiapan Pasien dan Lingkungan
-Pasien dan keluarga diberikan penjelasan tentang tindakan yang akan
dilakukan
-Memasang sampiran disekeliling tempat tidur
-Membebaskan pakaian pasien bagian atas
-Mengatur posisi setengah duduk atau sesuai kemampuan pasien
-Alat-alat didekatkan ke tempat tidur pasien.
c. Pelaksanaan Perawatan WSD
-Perawat mencuci tangan, kemudian memasang handscoon
-Membuka set bedah minor steril
-Membuka balutan dengan menggunakan pinset secara hati-hati, balutan
kotor dimasukkan ke dalam nierbekken
-Mendisinfeksi luka dan selang dengan kasa alkohol 70% kemudian dengan
bethadin 10%
95
-Menutup luka dengan kasa steril yang sudah dipotong tengahnya kemudian
diplester
-Selang WSD diklem
-Melepaskan sambungan antara selang WSD dengan selang botol
-Ujung selang WSD dibersihkan dengan alkohol 70%, kemudian selang WSD
dihubungkan dengan selang penyambung botol WSD yang baru
-Klem selang WSD dibuka
-Anjurkan pasien untuk menarik napas dalam dan bimbing pasien cara batuk
efektif
-Latih dan anjurkan pasien untuk secara rutin 2-3 kali sehari melakukan latihan
gerak pada persendian bahu daerah pemasangan WSD
-Merapikan pakaian pasien dan lingkungannya, kemudian membantu pasien
dalam posisi yang paling nyaman
-Membersihkan alat-alat dan botol WSD yang kotor, kemudian di sterilisasi
kembali
-Membuka handscoon dan mencuci tangan
-Menulis prosedur yang telah dilakukan pada catatan perawatan.
d. Evaluasi Pelaksanaan Perawatan WSD
Evaluasi pelaksanaan perawatan WSD meliputi :
-Evaluasi keadaan umum :
Observasi keluhan pasien
Observasi gejala sianosis
Observasi tanda perdarahan dan rasa tertekan pada dada
Observasi apakah ada krepitasi pada kulit sekitar selang WSD
Observasi tanda-tanda vital.
-Evaluasi ekspansi paru meliputi :
Melakukan pemeriksaan Inspeksi paru setelah selesai melakukan perawatan
WSD
96
Melakukan pemeriksaan Palpasi paru setelah selesai melakukan perawatan
WSD
Melakukan pemeriksaan Perkusi paru setelah selesai melakukan perawatan
WSD
Melakukan pemeriksaan Auskultasi paru setelah selesai melakukan
perawatan WSD
Foto thoraks setelah dilakukan pemasangan selang WSD dan sebelum
selang WSD di lepas.
-Evaluasi WSD meliputi :
Observasi undulasi pada selang WSD
Observasi fungsi suction countinous
Observasi apakah selang WSD tersumbat atau terlipat
Catat jumlah cairan yang keluar dari botol WSD
Pertahankan ujung selang dalam botol WSD agar selalu berada 2 cm di
bawah air
Pertahankan agar botol WSD selalu lebih rendah dari tubuh
Ganti botol WSD setiap hari atau bila sudah penuh.
(Pedoman Keterampilan Praktik Klinik Keperawatan. 2005: 49-50).
4. Komplikasi
Gagal napas akut (3-5%)
a. Komplikasi tube torakostomi à lesi pada nervus interkostales
b. Henti jantung-paru
c. Infeksi sekunder dari penggunaan WSD
d. Kematian
e. timbul cairan intra pleura, misalnya.
- Pneumothoraks disertai efusi pleura : eksudat, pus.
- Pneumothoraks disertai darah : hemathotoraks.
f. syok
97
5. ASUHAN KEPERAWATAN PADA TENSION PNEUMOTORAKS
1) Pengkajian
Riwayat kesehatan
Klien terdapat penyakit paru, bila ditemukan adanya iritan pada paru yang
meningkat maka mungkin terdapat riwayat merokok. Penyakit yang sering
ditemukan adalah pneumotoraks, hemotoraks, pleural effusion atau empiema.
Klien bisa juga ditemukan adanya riwayat trauma dada yang mendadak yang
memerlukan tindakan pembedahan.
Pemeriksaan sistem
a. B1 (Breathing)
DS : Klien mengatakan nyeri dada
DO :
-Klien tampak memegang dadanya
-Pernapasan meningkat / takipnea,
-peningkatan kerja napas,
-penggunaan otot aksesori pernapasan pada dada,
- ekspirasi abdominal kuat,
-bunyi napas menurun/ hilang (auskultasi mengindikasikan bahwa paru
tidak mengembang dalam rongga pleura),
- fremitus menurun,
-perkusi dada : hipersonor diatas terisi udara,
-observasi dan palpasi dada : gerakan dada tidak sama bila trauma,
-kulit : pucat, sianosis, berkeringat, mental: ansietas, gelisah, bingung,
pingsan.
b. B2(Blood)
DS : Klien mengatakan penglihatanya berkunang-kunang
DO :
-Takikardi
- frekuensi tak teratur (disritmia),
98
-S3 atau S4 / irama jantung gallop
-nadi apikal (PMI) berpindah oleh adanya penyimpangan mediastinal
- tanda homman (bunyi rendah sehubungan dengan denyutan jantung,
menunjukkan udara dalam mediastinum). hipotensi,dan nyeri dada pleural.
c. B3 (Brain)
DS : Klien mengatakan perasaannya tidak tenang, sering gelisah
DO :
-Klien terlihat ketakutan
-Klien terlihat gelisah
-Klien terlihat susah tidur
d. B4 (Bladder)
Tidak ada kelainan
e. B5 ( Bowel)
DS : Klien mengatakan susah makan, karena mual
DO : Adanya gangguan pada metabolisme karena terpasangnya IV sentral/
infuse tekanan
f. B6 (Bone)
DS : -
DO : Adanya trauma pada dada.
2) Diagnosa
Diagnosa yang mungkin muncul
g. Pola pernafasan tak efektif b/d penurunan ekspansi paru (akumulasi
udara/cairan), nyeri, ansietas
h. Resiko tinggi trauma penghentian napas b/d kurang pendidikan
keamanan/pencegahan.
i. Kurang pengetahuan mengenai kondisi aturan pengobatan b/d kurang
menerima informasi.
Dongoes, Marylin E. 2000.
99
3) Intervensi
Diagnosa Tujuan dan
kriteria hasil
Intervensi Rasional
Pola pernafasan tak
efektif b/d penurunan
ekspansi paru
(akumulasi
udara/cairan, nyeri,
ansietas
Tujuan : Setelah
dilakukan asuhan
keperawatan 1 X
24 jam pola
pernafasan pasien
efektif.
Kriteria Hasil :
Menunjukkan
pola
pernapasan
normal atau
efektif dengan
Gas Darah
dalam rentang
normal.
Bebas sianosis
dan tanda/
gejala hipoksia
1. Identifikasi
etiologi /factor
pencetus, contoh
kolaps spontan,
trauma, infeksi,
komplikasi
ventilasi
mekanik.
2. Evaluasi fungsi
pernapasan, catat
kecepatan/pernap
asan serak,
dispnea,
terjadinya
sianosis,
perubahan tanda
vital.
3. Awasi kesesuaian
pola pernapasan
bila
menggunakan
ventilasi mekanik
dan catat
perubahan
tekanan udara.
4. Auskultasi bunyi
napas.
a. Pemahaman penyebab kolaps
paru perlu untuk pemasangan
selang dada yang tepat dan
memilih tindakan terapiutik
yang tepat.
b. Distres pernapasan dan
perubahan pada tanda vital
dapat terjadi sebagai akibat
stress fisiologis dan nyeri
menunjukan terjadinya syok b/d
hipoksia/perdarahan.
c. Kesulitan bernapas dengan
ventilator atau peningkatan
tekanan jalan napas diduga
memburuknya kondisi/terjadi
komplikasi (ruptur spontan dari
bleb, terjadi pneumotorak).
d.Bunyi napas dapat menurun atau
tidak ada pada lobus, segmen
paru/seluruh area paru
(unilateral). Area Atelektasis
tidak ada bunyi napas dan
sebagian area kolaps menurun
bunyinya.
e. Pengembangan dada sanma
dengan ekspansi paru. Deviasi
trahea dari area sisi yang sakit
pada tegangan pneumothoraks.
f. Suara dan taktil fremitus
(vibrasi) menurun pada jaringan
yang terisi cairan / konsolidasi.
100
5. Catat
pengembangan
dada dan posisi
trahea.
6. Kaji fremitus.
7. Kaji adanya area
nyeri tekan bila
batuk, napas
dalam.
8. Pertahankan posisi
nyaman
(peninggian
kepala tempat
tidur).
9. Pertahankan
perilaku tenang,
Bantu klien untuk
kontrol diri
dengan gunakan
pernapasan
lambat/dalam.
10. Bila selang dada
dipasang :
- Periksa
pengontrol
pengisap untuk
jumlah hisapan
yang benar
(batas air,
pengatur
dinding/meja
disusun tepat).
- Periksa batas
cairan pada
botol pengisap
- pertahankan
pada batas
g. Sokongan terhadap dada dan
otot abdominal buat batuk lebih
efektif/mengurangi trauma.
h. Meningkatkan inspirasi
maksimal, meningkatkan
ekspansi paru dan ventilasi pada
sisi yanmg tidak sakit.
i. Membantu pasien alami efek
fisiologis hipoksia yang dapat
dimanifestaikan sebagai
ansietas/takut
j. Mempertahankan tekanan negatif
intra pleural sesuai yang
diberikan, meningkatkan
ekspansi paru optimum atau
drainase cairan.
- Air botol penampung bertindak
sebagai pelindung yang
mencegah udara atmosfir
masuk kearea pleural.
- Gelembung udara selama
ekspirasi menunjukan lubang
angin dari pneumothorak
(kerja yang diharapkan)
- Bekerjanya pengisapan,
menunjukan kebocoran udara
menetap mungkin berasal dari
pneumotoraks besar pada sisi
pemasangan selang dada
(berpusat pada pasien), unit
drainase dada berpusat pada
system.
- Bila gelembung berhenti saat
kateter diklem pada sisi
pemasangan, kebocoran terjadi
pada pasien (sisi pemasukan /
dalam tubuh pasien).
101
yang
ditentukan.
- Observasi
gelembung
udara botol
penampung.
- Evaluasi
ketidak
normalan/kontu
initas
gelembung
botol
penampung.
- Tentukan
lokasi
kebocoran
udara (berpusat
pada pasien
atau system)
dengan
mengklem
kateter torak
pada bagian
distal sampai
keluar dari
dada.
- Klem selang
pada bagian
bawa unit
drainase bila
kebocoran
udara berlanjut.
- Awasi pasang
surut air
penampung
menetap atau
sementara.
- Mengisolasi lokasi kebocoran
udara pusat system.
- Botol penampung bertindak
sebagai manometer intra
pleural (ukuran tekanan
intrapleural), sehingga
fluktuasi (pasang surut)
tunjukan perbedaan tekanan
antara inspirasi dan ekspirasi.
Pasang surut 2-6 selama
inspirasi normal dan sedikit
meningkat saat batuk.
Fluktuasi berlebihan
menunjukan abstruksi jalan
napas atau adanya
pneumothorak besar.
- Berguna untuk mengevaluasi
kondisi/terjadinya komplikasi
atau perdarahan yang
memerlukan upaya intervensi.
- Pemijatan mungkin perlu
untuk
meyakinkan/mempertahankan
drainase pada adanya
perdarahan segar/bekuan darah
besar atau eksudat purulen
(Empiema).
- Pemijatan biasanya tidak
nyaman bagi pasien karena
perubahan tekanan
intratorakal, dimana dapat
menimbulkan
batuk/ketidaknyamanan dada.
- Pemijatan yang keras dapat
timbulkan tekanan hisapan
intratorakal yang tinggi dapat
mencederai.
102
- Pertahankan
posisi normal
dari system
drainase selang
pada fungsi
optimal.
- Catat
karakteristik/ju
mlah drainase
selang dada.
- Evaluasi
kebutuhan
untuk memijat
selang
(milking).
- Pijat selang
hati-hati sesuai
protocol, yang
meminimalkan
tekanan negatif
berlebihan.
- Bila kateter
torak putus/
lepas.Observasi
tanda distress
pernapasan
- Setelah kateter
torak dilepas.
Tutup sisi
lubang masuk
dengan kasa
steril.
INTERVENSI
KOLABORASI
- Kaji seri foto
thorak.
- Pneumothorak dapat terulang
dan memerlukan intervensi
cepat untuk cegah pulmonal
fatal dan gangguan sirkulasi.
- Deteksi dini terjadinya
komplikasi penting, contoh
berulang pneumothorak,
adanya infeksi.
- Mengawasi kemajuan
perbaikan
hemothorak/pneumothorak dan
ekspansi paru.
Mengidentifikasi posisi selang
endotraheal mempengaruhi
inflasi paru.
- Mengkaji status pertukaran gas
dan ventilasi.
- Alat dalam menurunkan kerja
napas, meningkatkan
penghilangan distress respirasi
dan sianosis b/d hipoksemia.
103
- Awasi GDA
dan nadi
oksimetri, kaji
kapasitas
vital/pengukura
n volume tidal.
- Berikan
oksigen
tambahan
melalui
kanula/masker
sesuai indikasi.
Resiko tinggi trauma
penghentian napas b/d
kurang pendidikan
keamanan/pencegahan
Tujuan :
Setelah dilakukan
asuhan
keperawatan 1 X
24 jam resiko
trauma dapat
dicegah.
Kriteria Hasil :
- Mencari
bantuan untuk
mencegah
komplikasi.
- Memberi
perawatan untuk
menghindari
lingkungan dan
bahaya fisik.
1. Kaji dengan
pasien tujuan /
fungsi drainase
dada.
2. Pasangkan
kateter torak
kedinding dada
dan berikan
panjang selang
ekstra sebelum
memindahkan/m
engubah posisi
pasien :
- Amankan sisi
sambungan
selang.
- Beri bantalan
pada sisi dengan
kasa/plester.
3. Amankan unit
drainase pada
tempat tidur
pasien
- Informasi tentang bagaimana
system bekerja berikan
keyakinan dan menurunkan
kecemasan pasien.
- Mencegah terlepasnya kateter
dada atau selang terlipat,
menurunkan
nyeri/ketidaknyamanan b/d
penarikan/penggerakan selang.
- Mencegah terlepasnya selang.
- Melindungi kulit dari iritasi /
tekanan.
- Mempertahankan posisi duduk
tinggi dan menurunkan resiko
kecelakaan jatuh/unit pecah.
- Meningkatkan kontuinitas
evakuasi optimal cairan / udara
selama pemindahan.
- Memberikan pengenalan dini dan
mengobati adanya erosi /infeksi
kulit
- Menurunkan resiko obstruksi
drainase/terlepasnya selang.
- Intervensi tepat waktu dapat
104
4. Berikan alat
transportasi aman
bila pasien dikirim
keluar unit untuk
tujuan diagnostik.
5. Awasi sisi lubang
pemasangan
selang, catat
kondisi kulit.
6. Anjurkan pasien
untuk menghindari
berbaring/menarik
selang.
7. Identifikasi
perubahan / situasi
yang harus
dilaporkan pada
perawat.Contoh
perubahan bunyi
gelembung, lapar
udara tiba-tiba,
nyeri dada segera
lepaskan alat.
8. Observasi tanda
distress pernapasan
bila kateter torak
terlepas/tercabut.
mencegah komplikasi serius.
Kurang pengetahuan
mengenai kondisi
aturan pengobatan b/d
kurang menerima
informasi.
Tujuan : Setelah
dilakukan asuhan
keperawatan
1X24 jam klien
dan keluarga
dapat mengerti
a. Kaji tingkat
pengetahuan
pasien.
b. Identifikasi
kemungkinan
kambuh/komplika
- Informasi menurunkan takut
karena ketidaktahuan.
- Penyakit paru yang ada seperti
PPOM berta dan keganasan dapat
meningkatkan insiden kambuh.
Pasien sehat yang menderita
105
tentang kondisi
kesehatan klien.
Kriteria Hasil :
Pasien dapat
mengidentifikas
i tanda atau
gejala yang
memerlukan
evaluasi medik
Mengikuti
program
pengobatan dan
menunjukkan
perubahan pola
hidup yang
perlu dicegah
agar tidak
menimbulkan
masalah baru
si jangka panjang.
c. Kaji ulang
tanda/gejala yang
memerlukan
evaluasi medik
cepat, seperti :
nyeri dada tiba-
tiba, dispnea,
distress
pernapasan lanjut.
d. Kaji ulang praktek
kesehatan yang
baik contoh :
nutrisi baik,
istrahat, latihan.
pneumothorak spontan insiden
kekambuhan 10 – 50 %.
- Berulangnya
pneumothorak/hemothorak
memerlukan intervensi medik
untuk mencegah/menurunkan
potensial komplikasi.
- Mempertahankan kesehatan
umum meningkatkan
penyembuhan dan dapat
mencegah kekambuhan.
106
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, Elisabeth J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. EGC. Jakarta
Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3. EGC : Jakarta.
Dorland, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran. EGC : Jakarta.
FKUI. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu bedah. Binarupa Aksara : Jakarta
Kristanty, Paula, dkk.2009. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta:TIM
Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. EGC. Jakarta
Price, A. Silvia. 2005. Patofisiologi. Edisi VI. EGC. Jakarta
Priharjo Robert. Pengkajian Fisik Keperawatan. EGC. Jakarta
Smelizer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah. Vol. 1. EGC. Jakarta.
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah Brunner and Suddarth Ed.8 Vol.3.
EGC : Jakarta.
http://hendritamara.blogspot.com/2008/11/asuhan-keperawatan-pada-klien-trauma.html
http://iwansain.wordpress.com
http///G.Keperawatan Gadar Trauma Dada.akses tanggal 28 maret 2010.
107
top related