teknik budidaya udang windu intensif dengan green water system
Post on 25-Jul-2015
1.030 Views
Preview:
TRANSCRIPT
TEKNIK BUDIDAYA UDANG WINDU (P. monodon)
INTENSIF DENGAN GREEN WATER SYSTEM MELALUI
APLIKASI PUPUK NITRAT DAN PENAMBAHAN
SUMBER UNSUR KARBON
Oleh :
Supito
Darmawan Adiwidjaya
DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN
DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA
BALAI BESAR PENGEMBANGAN BUDIDAYA AIR PAYAU
JEPARA
2009
1
TEKNIK BUDIDAYA UDANG WINDU (P. monodon) INTENSIF DENGAN GREEN
WATER SYSTEM MELALUI APLIKASI PUPUK NITRAT DAN PENAMBAHAN
SUMBER UNSUR KARBON
Oleh :
Supito dan Darmawan Adiwidjaya
Abstrak
Perubahan lingkungan tambak yang drastis akan menyebabkan udang stres dan
lemah serta memacu serangan patogen penyakit. Menjaga kestabilan lingkungan
melalui green water system, yaitu menjaga kestabilan plankton dengan dominasi
Chloropiceae melalui penambahan pupuk nitrat dan penambahan sumber karbon
(tepung tapioka). Ujicoba dilakukan pada pada tambak sebanyak 2 unit dengan
luas masing-masing 1.000 m2.
Kontruksi pematang terbuat dari pasangan batu (concreat) dengan dasar
tambak dari tanah (70%) dan betuk petakan bulat. Lay out tambak menggunakan
sistem tandon/biofilter untuk mengelola air sebelum digunakan untuk petak
pembesaran. Pemasukan air menggunakan pompa submersible dengan saringan
ganda menggunakan planktonet. Aerasi menggunakan kincir dan blower (super
cash). Padat penebaran benih udang windu 50 ekor/m2 dan 50 ekor/m
2.
Penggunaan pupuk Nitrat dosis 0,5 ppm dilakukan bila kecerahan air kurang dari
40 cm. Penambahan sumber karbon tepung tapioka 2 kali tiap minggu dengan
dosis 10-20% dari total protein pakan yang ditebar di tambak. Pada persiapan air
media dilakukan inokulasi Chlorella sp. Kestabilan kemelimpahan plankton
selama pemeliharaan berwarna hijau kecoklatan dengan dominasi klas
Chloropiceae hingga mencapai kepadatan 6,2.106 sel/lt. Parameter kualitas air
lainnya selama pemeliharaan pada kisaran yang normal.
Produksi yang dihasilkan pada kajian/ujicoba ini adalah petak O-1 produksi
810 kg (SR 73% dan size 45 ekor/kg) dan petak O-2 produksi 803 kg (SR 74%
dan size 46 ekor/kg).
Kata kunci: udang windu, P. monodon, green water system, pupuk nitrat dan
sumber karbon (tepung tapioka)
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Udang windu (P. monodon) merupakan udang asli (indigenius) Indonesia hingga
saat ini masih mempunyai nilai ekonomis tinggi dan menjadi komoditas pilihan oleh
pembudidaya untuk dibudidayakan. Beberapa kendala yang masih dihadapi pembudidaya
adalah timbulnya masalah penyakit terutama penyakit virus bercak putih (WSSV—white
spot sydrom virus). Wabah penyakit virus pada udang windu telah menghancurkan
fundamen ekonomi pada masyarakat pesisir. Areal kawasan sepanjang pantai utara pulau
Jawa banyak dijumpai lahan tambak yang ditinggalkan terbengkalai dan tidak terurus
(idle), terutama eks tambak budidaya udang intensif. Beberapa petambak dengan tidak
kenal putus asa mencoba bangkit untuk kembali menebar benih udang windu, tetapi hanya
bertahan satu hingga dua bulan dan kemudian terjadi kematian masal. Sebagian besar
petambak mengalihkan usaha budidayanya dari udang ke ikan yaitu bandeng dan nila
2
dengan nilai pendapatan yang jauh lebih kecil bila dibandingakan dengan usaha budidaya
udang windu.
Dari hasil indentifikasi permasalahan, terdapat beberapa faktor penyebab tambak
pembesaran udang windu gagal berproduksi, antara lain : kualitas benih yang rendah dan
terinfeksi penyakit viral; lingkungan tempat budidaya yang terkontaminasi dan fluktuasi
lingkungan yang ekstrim akibat eutrifikasi serta sistem tata guna air yang buruk antar
petambak sehingga memudahkan kontaminasi dan infeksi pada petakan tambak dalam
satu kawasan (Supito, et al 2002). Permasalahan yang sering terjadi di lapangan adalah
munculnya serangan penyakit dimulai karena adanya perubahan warna air tambak yang
disebabkan adanya kematian beberapa jenis plankton. Air tambak berubah warna dari
kehijauan (greenist) menjadi coklat tua (dark brown). Kondisi udang terlihat abnormal,
yaitu 1 – 2 hari setelah terjadinya perubahan warna air maka kematian mulai muncul
setelah 2 – 3 hari yang ditandai warna udang pucat (keruh) insang kotor dan muncul
serangan virus bercak putih (WSSV).
Fungsi dan peranan plankton pada air media pemeliharaan udang diantaranya
adalah : 1) sebagai pakan alami untuk pertumbuhan awal udang yang dipelihara; 2) sebagai
penyangga (buffer) terhadap intensitas cahaya matahari; dan 3) sebagai indikator
kestabilan parameter kualitas lingkungan air media pemeliharaan (Adiwidjaya et al, 2004).
Keberadaan plankton pada air media budidaya udang perlu dijaga dan dikendalikan untuk
jenis dan kemelimpahannya. Usaha untuk menjaga kestabilan plankton diperlukan tambah
unsur hara makro dan mikro dari beberapa jenis pupuk sebagai unsur nutrien yang dapat
dimanfaatkan oleh plankton. Selain itu, untuk menjaga kestabilan lingkungan dan kondisi
kemelimpahan plankton diperlukan pula unsur karbon pada air media pemeliharaan udang.
Rendahnya jumlah karbon pada air media pemeliharaan udang sebagai konsekuensi dari
banyaknya fraksi karbon pakan yang lepas akibat respirasi. Data ini menunjukkan
rendahnya retensi nutrien dalam tubuh kultivan, sehingga sisanya seperti nitrogen (75%)
dan posfor (80%) terakumulasi di dasar tambak (Avnimelech et al, 2004). Oleh karena itu
perlu penambahan sumber karbon organik pada media pemeliharaan udang windu intensif
untuk meningkatkan kesimbangan C/N rasio.
Filosofi dasar pertumbuhan adalah biota akan tumbuh dan berkembang biak secara
normal apabila hidup pada lingkungan yang nyaman yaitu lingkungan sesuai kebutuhan
biologis dan tidak terjadi perubahan yang drastis. Perubahan lingkungan yang drastis akan
menyebabkan terjadi tekanan atau stres pada organisme yang dipelihara. Kestabilan
lingkungan tambak pembesaran pada budidaya udang windu intensif merupakan salah satu
kunci keberhasilan (Anonim, 2007).
Berdasarkan data-data kondisi budidaya udang windu yang sering mengalami
kegagalan baik ditingkat pembudidaya maupun di tambak BBPBAP Jepara, maka
diperlukan salah satu rekayasa teknologi budidaya udang windu dengan teknik Green
Water System yaitu mempertahankan kestabilan lingkungan budidaya dengan cara
mempertahanan dominasi plankton jenis Chloropiceae dengan aplikasi pupuk Nitrat
(Sodium Nitrat) dan penambahan sumber karbon (tepung tapioka) sebagai unsur untuk
menjaga keseimbangan nilai CN ratio yang optimal.
Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara sebagai Unit Pelaksana
Teknis Ditjen. Perikanan Budidaya yang mempunyai salah satu tugas dan fungsi untuk
mengembangan perikaanan, yaitu harus mampu menghasilkan paket-paket teknologi
3
perikanan yang tepat guna. Kegiatan rekayasa teknik budidaya udang windu intensif
dengan green water system melalui aplikasi pupuk nitrat dan penambahan sumber carbon
ini perlu dilakukan pada skala pilot (lapang) di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air
Payau Jepara untuk mendapatkan paket teknologi guna menjawab permasalahn yang ada di
masyarakat pembudidaya tambak.
1.2. Kerangka Pikir
Fungsi dan peranan plankton pada air media pemeliharaan udang diantaranya
adalah : 1) sebagai pakan alami untuk pertumbuhan awal udang yang dipelihara; 2) sebagai
penyangga (buffer) terhadap intensitas cahaya matahari; dan 3) sebagai indikator
kestabilan parameter kualitas lingkungan air media pemeliharaan (Adiwidjaya et al, 2004).
Keberadaan plankton pada air media budidaya udang perlu dijaga dan dikendalikan untuk
jenis dan kemelimpahannya.
Usaha untuk menjaga kestabilan plankton diperlukan tambah unsur hara makro dan
mikro dari beberapa jenis pupuk sebagai unsur nutrien yang dapat dimanfaatkan oleh
plankton. Selain itu, untuk menjaga kestabilan lingkungan dan kondisi kemelimpahan
plankton diperlukan pula unsur karbon pada air media pemeliharaan udang. Rendahnya
jumlah karbon pada air media pemeliharaan udang sebagai konsekuensi dari banyaknya
fraksi karbon pakan yang lepas akibat respirasi. Data ini menunjukkan rendahnya retensi
nutrien dalam tubuh kultivan, sehingga sisanya seperti nitrogen (75%) dan posfor (80%)
terakumulasi di dasar tambak (Avnimelech et al, 2004). Oleh karena itu perlu penambahan
sumber karbon organik pada media pemeliharaan udang windu intensif untuk
meningkatkan kesimbangan C/N rasio.
Fungsi dan peranan plankton pada air media pemeliharaan udang diantaranya
adalah : 1) sebagai pakan alami untuk pertumbuhan udang yang dipelihara; 2) sebagai
penyangga (buffer) terhadap intensitas cahaya matahari; dan 3) sebagai indikator
kestabilan parameter kualitas lingkungan air media pemeliharaan (Adiwidjaya et al, 2004).
Keberadaan plankton pada air media budidaya udang perlu dijaga dan dikendalikan untuk
jenis dan kemelimpahannya. Usaha untuk menjaga kestabilan plankton diperlukan tambah
unsur hara makro dan mikro dari beberapa jenis pupuk sebagai unsur nutrien yang dapat
dimanfaatkan oleh plankton. Selain itu, untuk menjaga kestabilan lingkungan dan kondisi
kemelimpahan plankton diperlukan pula unsur karbon pada air media pemeliharaan udang.
Rendahnya jumlah karbon pada air media pemeliharaan udang sebagai konsekuensi dari
banyaknya fraksi karbon pakan yang lepas akibat respirasi. Data ini menunjukkan
rendahnya retensi nutrien dalam tubuh kultivan, sehingga sisanya seperti nitrogen (75%)
dan posfor (80%) terakumulasi di dasar tambak (Avnimelech et al, 2004). Oleh karena itu
perlu penambahan sumber karbon organik pada media pemeliharaan udang windu intensif
untuk meningkatkan kesimbangan C/N rasio.
Filosofi dasar pertumbuhan adalah biota akan tumbuh dan berkembang biak secara
normal apabila hidup pada lingkungan yang nyaman yaitu lingkungan sesuai kebutuhan
biologis dan tidak terjadi perubahan yang drastis. Perubahan lingkungan yang drastis akan
menyebabkan terjadi tekanan atau stres pada organisme yang dipelihara. Kestabilan
lingkungan tambak pembesaran pada budidaya udang windu intensif merupakan salah satu
kunci keberhasilan (Anonim, 2007).
4
1.3. Tujuan
Tujuan pada kajian perekayasaan ini adalah untuk mengasilkan teknologi budidaya
udang windu dengan mempertahankan kestabilan lingkungan media pemeliharaan.
2.3. Sasaran
Sasaran dari kegiatan perekayasaan ini adalah selama pemeliharaan 120 hari
diharapkan :
• SR (sintasan) di atas 65% dan berat rata-rata > 20 gram,
• kondisi kemelimpahan plankton dan keseimbangan CN ratio optimal.
II. BAHAN DAN METODA
2.1. Waktu dan tempat
Kegiatan pembuatan produk rancang bangun/perekayasaan skala pilot/lapang untuk
kegiatan teknik budidaya udang windu intensif dengan green water system melalui
aplikasi pupuk nitrat dan penambahan sumber carbon dilaksanakan selama > 4,5 bulan
mulai tanggal 21 Februari s/d 12 Juli 2008. Lokasi kegiatan ujicoba di tambak milik Balai
Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara yang terdiri dari 1 petak tandon biofilter,
1 petak tandon treatmen, 2 petak pemeliharaan. Lay out tambak kegiatan ujicoba terlihat
pada Gambar 1.
Gambar 1. Lay-out tambak kegiatan ujicoba puptk nitran dan sumber carbon
Tandon
Biofilter
Tandon
Sterilisasi
Grow-out Pond Grow-out Pond
5
2.2. Bahan dan Alat
Bahan dan alat yang digunakan selama kegiatan ini berlangsung tercantum pada
Tabel 1 dan 2 sebagai berikut.
Tabel 1. Bahan-bahan yang digunakan
No. Komponen Bahan Volume Satuan
1 Benih udang windu bebas virus (PL-12) 100.000 Ekor
2 Pakan udang windu 2.650 Kg
3 Ikan segar 100 Kg
4 Desinfektan 150 Kg
5 Moluksida 300 Gram
6 Saponin 50 Kg
7 Kapur (Dolomit) 800 Kg
8 Tepung tapioka 300 Kg
9 Pupuk nitrat (Sodium Nitrat) 100 Kg
10 Pupuk urea, TSP dan NPK 100 Kg
11 Probiotik 20 Liter
12 Feed additive 1 Paket
13 Biofilter 1 Paket
Tabel 2. Sarana dan peralatan yang digunakan pada kegiatan ujicoba
No. Komponen Alat/Sarana Volume Satuan
1 Wadah ujicoba 4 Petak
2 Pompa submersible 6 dan 8 inchi 2 Unit
3 Kincir air 1 PK 2 Unit
4 Super cash 1 PK 2 Unit
5 Peralatan lapangan 1 Paket
6 Alat pengamatan kualitas air, tanah dan plankton 1 Paket
7 Sarana pendukung lainnya (Lab. analisa) 1 Paket
2.3. Metoda
2.3.1. Persiapan Tambak
Persiapan tambak dilakukan untuk memperbaiki wadah/media pemeliharaan
udang. Rangkaian persiapan tambak yang dilakukan adalah pengeringan, pemberantasan
hama, pengolahan tanah dasar dan perbaikan pH tanah dasar. Pengeringan dilakukan
hingga tanah retak-retak untuk untuk mempercepat proses penguraian bahan organik.
Untuk memudahkan pengeringan dibuatkan parit atau caren keliling dengan lebar 30 cm
dan dalam 20 cm bertujuan untuk menampung air rembesan dari luar sehingga tidak
membasahi tanah pada pelataran dasar.
Pembalikan tanah dasar tambak tidak dilakukan karena hingga pada kedalaman 10
– 15 cm kualitas tanah masih menunjukan nilai yang layak dengan nilai parameter
diantaranya : bahan organik < 12 %; redoks potensial > -50 m.ev dan pH tanah > 6,5.
6
Hasil pengukuran pH tanah pada saat persiapan adalah 6,8. Aplikasi kapur jenis dolomite
dilakukan untuk meningkatkan kesuburan tanah dengan dosis 500 kg/Ha.
Aplikasi pupuk nitrat pada dasar tambak dengan dosis 25 kg/ha. Pemberian pupuk
sodium nitrat dapat dilakukan untuk meningkatan proses penguraian bahan organik.
Aplikasi tepung tapioka dan pupuk nitrat dilakukan pada saat tanah dasar tambak masih
lembek (moisture) agar nitrat dapat masuk pada lapisan tanah yang bawah daerah anaerob
(anaerobic zone). Nitrat dapat digunakan sebagai sumber oksigen untuk aktivitas bakteri.
Nitrat akan melepaskan oksigen ketika kandungan oksigen dalam tanah dan nilai redoks
potensial rendah. Dosis dapat ditingkatkan menjadi dua kali lipat (50 – 100 kg) bila
kandungan C oganik tanah antara 3 – 4% (Boyd, 2003).
2.3.2. Persiapan Air Media
Lay-out dan tata letak tambak kajian/ujicoba adalah menggunakan sistem tandon.
Air dari sumber dimasukan pada petak tandon sebelum digunakan untuk petak pembesaran
udang. Petak tandon juga sebagai petak biofilter karena berfungsi juga sebagai upaya
pencegahan infeksi panyakit. Oleh karena itu, petak tandon ditebari tanaman air berupa
rumput laut (Glacillaria sp) serta ikan karnivor (ikan keting), ikan herbivora (ikan
bandeng) dan ikan omnivora (ikan nila).
Pemasukan air dari petak tandon ke petak pembesaran udang dengan menggunakan
pompa. Untuk mencegah masuknya crustecea liar dan ikan lainya, maka dilakukan
penyaringan air dengan saringan kassa mesh size 1 mm dan plankton net ukuran T-45
dengan mesh size 300-400 mikron. Pengisian air tahap awal mencapai di atas 120 cm.
Penumbuhan plankton dilakukan dengan aplikasi pupuk nitrogen (NaNO3) dengan
dosis 0,5 ppm dan pupuk posfat (TSP) dengan dosis 0,5 ppm. Pupuk dilarutkan dalam air
kemudian disebar merata dalam air tambak. Bibit plankton Chlorella sp dimasukan sebagai
starter. Plankton akan tumbuh setelah 4 – 7 hari. Bila plankton belum tumbuh, maka
dilakukan pemupukan susulan dengan dosis pupuk yang sama sampai plankton tumbuh
dengan indikator diukur dengan kescerahan air mencapai minimal 50 cm. Penebaran
probiotik komersial jenis Bacillus sp dilakukan dengan dosis 10 liter/Ha sebagai starter
dalam petak pembesaran.
Kondisi air media petak pembesaran udang dikatakan siap tebar apabila parameter
air sudah stabil, diantaranya : pH 7,8 – 8,5, TOM < 100 ppm, alkalinitas 90 – 150 ppm,
kecerahan maksimum 50 cm dengan warna plankton hijau kecoklatan dan total vibrio <
102 atau sebanyak maksimum 10% dari total bakteri.
2.3.3. Pemilihan dan Penebaran Benih
Benih udang windu yang digunakan untuk penebaran harus sehat dan tidak
terinfeksi penyakit (sesuai SNI benih udang windu). Pengambilan sampel benih udang
windu yang siap tebar (PL-12) harus dilakukan secara acak dari bak pemeliharaan di
hatchery dan selanjutnya untuk diuji visual, uji ketahanan dan uji PCR guna mengetahui
infeksi patogen virus WSSV. Uji visual meliputi keseragaman ukuran, keseragaman
warna, gerakan dan bersih dari patogen. Melakukan uji ketahanan dengan stress terhadap
salinitas dan perendaman formalin. Melakukan Uji PCR sampel benih yang lemah dari
hasil uji ketahanan. Benih yang sehat dan bebas virus selanjutnya diangkut, ditebar dan
7
diadaptasikan pada parameter : salinitas, suhu dan pH air tambak untuk mengurangi stres
pada saat penebaran. Perbedaan pada saat adaptasi benih dari bak hatchery ke tambak
adalah untuk salinitas < 5 ppt, suhu < 1oc dan pH < 0,5.
Sebelum benih ditebar dalam tambak, dilakukan pengamatan perbedaan suhu air dalam
kantung plastic pengangkutan benih dan air tambak. Bila terjadi perbedaan suhu lebih dari
1oC, dilakukan aklimatisasi dengan cara mengapungkan kantung plastik dalam air tambak
dalam kondisi kantung masih tertutup agar oksigen tidak lepas ke udara. Benih udang
dalam kantung plastik akan bergerak aktif bila suhu sudah mendekati sama dengan air
tambak atau aklimatisasi dianggap cukup bila benih sudah aktif berenang. Padat penebaran
benih udang windu pada kajian/ujicoba ini adalah 50 ekor/m2.
2.3.4. Pengelolaan Pakan
Pengelolaan pakan meliputi dosis, ukuran, jumlah, waktu dan frekuensi pemberian
disesuaikan dengan kondisi udang di tambak. Pemberian pakan tambahan mulai diberikan
sejak dari penebaran benih hingga panen dengan ukuran dan jumlah pakan disesuaikan
dengan ukuran udang yang diukur (sampling) tiap 7 – 10 hari sekali. Pengamatan nafsu
makan dilakukan setiap pemberian pakan melalui kontrol pada anco (feeding tray). Jumlah
pakan pada masing-masing anco adalah 0,8 – 1% dari jumlah setiap pemberian. Jumlah
anco minimal 2 buah per petak. Pemberian feed additive berupa vitamin dan meneral
dilakukan secara periodik setiap 1 minggu dengan cara aplikasi melalui pakan (beruapa
pellet atau ikan segar) untuk meningkatkan ketahanan udang dari serangan patogen
penyakit. Pemberian pakan segar juga dilakukan bila nafsu makan menurun dan diimbangi
dengan pengelolaan air yang baik. Protokol pemberian pakan (feeding rate) tercantum pada
Tabel 3.
Tabel 3. Dosis, frekuensi dan waktu pengamatan pakan udang
No.
Umur
(hari)
Est. Bobot
(gr)
Dosis Pakan
(%)
Frekuensi
Pakan (x)
Pengamatan
anco (jam)
1 1 – 30 3 – 4 10 – 30 2 2,5
2 31 – 60 5 – 10 6 – 9 3 – 4 2
3 61 – 90 11 – 21 4 – 6 4 – 5 1,5 – 2
4 91 – 120 22 – 33 2 – 4 4 – 5 1 – 1,5
2.3.5. Pengelolaan air
Pengelolaan air yang dilakukan selama pemeliharaan adalah pergantian air;
pengukuran kualitas air serta aplikasi pupuk anroganik (urea, TSP dan Nitrat) dan sumber
karbon (tepung tapioka) untuk memperbaiki kualitas air. Pengamatan kualitas air harian
meliputi : salinitas, pH, suhu, kecerahan. Pengamatan kualitas air secara periodik
(mingguan) meliputi : bahan organik, nitrit, ammonia dan alkalinitas. Sedangkan
pengamatan kualitas tanah secara periodik (2 minggu sekali) meliputi : redoks potensial,
pH dan bahan organik.
a. Salinitas
Salinitas air tambak diamati secara rutin terutama pada saat akan dilakukan
penambahan atau pergantian air tambak. Pengamatan salinitas menggunakan salinometer
8
atau hand refraktometer. Namun demikian penambahan atau pergantian air tidak merubah
salinitas harian secara drastis (> 3 ppt) dengan tujuan untuk menghindari stres pada udang.
b. Suhu
Kondisi suhu air media tergantung pada musim dan ketinggian air. Suhu sangat
berpengaruh terhadap aktivitas metabolisme yaitu laju komsumsi pakan dan optimalisasi
pertumbuhan dan sintasan. Pengamatan suhu menggunakan thermometer. Suhu optimal
untuk pertumbuhan udang 28,0 – 32oC (Anonim, 1985 dan Anonim, 2007). Pada suhu
kurang dari 26oC laju komsumsi pakan pada udang windu menurun hingga 50% dan
pertumbuhan cenderung terhambat. Untuk mempertahankan kestabilan suhu dapat
dilakukan dengan mengatur kedalaman air sekitar minmal 80 cm dan memperhatikan
kepadatan plankton.
c. Kecerahan dan Warna Air
Kecerahan diukur dengan piring sechi disk. Kecerahan menunjukan tingkat
kepadatan suspensi terlarut dan plankton. Kecerahan diukur secara rutin pada pagi hari
jam 09.00 dan sore hari jam 15.00 WIB. Kecerahan air dipertahankan pada kisaran 30 – 40
cm dengan warna air hijau yang didominasi plankton Chloropiceae. Untuk mempertahan
kestabilan plankton dan kecerahan air dapat dilakukan dengan cara pemupukuan susulan
menggunakan pupuk Nitrat dan pupuk posfat dengan dosis masing-masing 1 ppm secara
rutin tiap minggu.
d. Bahan organik
Nilai parameter total bahan organik (TOM) pada air tambak yang baik adalah
kurang dari 90 ppm. Pengamatan parameter bahan organik dapat dilakukan tiap minggu.
Solusi untuk mengatasi nilai bahan organik air tambak yang tinggi, yaitu dengan
pengenceran atau penambahan air baru yang telah diendapkan pada petak tandon.
Pergatian air dilakukan bila nilai parameter kualiatas air media pemeliharaan udang sudah
menurun dengan air baru dari petak tandon yang nilai parameternya lebih baik. Pergantian
air dilakukan bila air pekat dengan kecerahan kurang dari 20 cm. Sebaliknya bila nilai
parameter air masih dalam kisaran yang normal cukup dilakukan penambahan air dari
petak tandon untuk mempertahankan ketinggian air minimal selama pemeliharaan.
Penambahan sumber karbon (tepung tapioka) untuk meningkatkan C/N rasio dalam
tambak dihitung berdasarkan jumlah protein dari pakan yang dimasukan dalam tambak.
Dosis penambahan sumber karbon diberikan dalam tambak yaitu minimal 10% dari
jumlah total bobot protein (crude protein) dari pakan yang sudah digunakan. Aplikasi
sumber carbon mulai dilakukan pada umur pemeliharaan setelah 30 hari dengan frekuensi
pemberian 1 kali seminggu. Pada umur pemeliharaan bulan ke 3 – 4 alplikasi sumber
karbon dengan dosis yang sama dilakukan dengan frekuensi 2 kali seminggu.
e. pH
Pengamatan pH air tambak menggunakan pH meter dilakukan tiap hari pada waktu
pagi sekitar jam 05.00 dan sore sekitar jam 16.00 WIB. pH air dipertahankan pada kisaran
yang optimum yaitu 7,5 – 8,5 dengan fluktuasi harian pagi dan sore tidak lebih dari 0,2 –
0,6. Bila pH air turun dari 7,8 dilakukan penambahan kapur dengan dosis 3 – 5 ppm.
Sebaliknya bila pH air tinggi diatas 9 dilakukan aplikasi molase (tetes tebu) dengan dosis 2
– 3 ppm.
9
f. Alkalinitas
Alkalinitas diamati tiap 1 – 2 minggu sekali. Nilai alkalinitas dipertahankan pada
kisaran >90 ppm. Nilai alkalinitas yang rendah menyebabkan sulit untuk menumbuhkan
plankton dan fluktuasi nilai pH air harian pagi dan sore tinggi (>0,5). Nilai alkalinitas
yang rendah dapat ditingkatkan melalui penambahan carbonat dengan aplikasi kapur
dolomit 3 – 5 ppm yang dilakukan tiap 3 - 5 hari sekali hingga mencapai minimal >90
ppm. Penambahan kapur dolomit tidak dapat menaikan pH air secara dratis, namun
minimal dapat mempertahankan kestabilan pH air media.
2.3.6. Pengamatan pertumbuhan dan kondisi udang
Pengamatan kondisi kesehatan udang meliputi gerakan, warna, kondisi usus dan
nafsu makan dan ini dilakukan setiap hari dengan mengamati udang dari anco (feeding
tray). Pengamatan dan pengukuran laju pertumbuhan udang dan perhitungan pakan
dilakukan setiap 10 hari sekali. Pengambilan contoh sampel udang menggunakan jala tebar
dengan teknik diambil beberapa titik sample yang dianggap mewakili.
2.3.7. Panen
Pemanenan hasil dapat dilakukan apabila target umur pemeliharaan sudah cukup
dan ukuran udang sudah mencapai size pasar yang ekonomis. Namun pada umumnya
udang windu dapat dipanen setelah mencapai ukuran berat rata-rata individu minimal 20
gram (> 3 bulan).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Pertumbuhan dan Sintasan (SR) Udang
Hasil pengukuran pertumbuhan mutlak udang selama pemeliharaan 115 hari pada
petak tambak O-1 adalah berat rata-rata 22,2 gram dengan laju pertumbuhan 0,16 – 0,28
gram/hari (rata-rata laju pertumbuhan harian 0,23 g/hari). Petak tambak O-2 adalah berat
rata-rata 21,7 gram dengan laju pertumbuhan antara 0,15 – 0,27 gram/hari (rata-rata laju
pertumbuhan 0,22 gram/hari). Berdasarkan grafik pertumbuhan mutlak dan laju
pertumbuhan, udang windu pada kedua petak ujicoba tidak menunjukan perbedaan yang
signifikan (Gambar 2).
Grafik laju pertumbuhan mulai umur 45 hari cenderung meningkat hingga umur
pemeliharaan 95 hari. Kondisi parameter lingkungan yang cukup stabil dengan adanya
pertumbuhan dan kemelimpahan plankton stabil, terutama fitoplankton dari kelompok
Chloropiceae diduga mampu memberikan kondisi lingkungan yang nyaman. Fitoplankton
dalam perairan merupakan produsen primer yang mampu menyerap hasil perombakan
bahan organik dalam bentuk nutrien (unsur hara) dan menghasilkan oksigen melalui proses
fotosintesa pada siang hari (Anonim, 1985 dan Anonim, 2007).
Sintasan atau kelangsungan hidup (SR) udang windu selama pemeliharaan hingga
115 hari terlihat cukup baik, yaitu pada petak O-1 : 73,0% dan O-2 : 74,0% (Tabel 4).
Kematian tertinggi diduga terjadi pada awal penebaran karena proses adaptasi. Hal ini
dapat dilihat dari hasil pengamatan pertumbuhan dan pendugaan populasi selama
pemeliharan tidak menunjukan penurunan poplasi yang drastis. Estimasi penggunaan
10
pakan cukup efisien yaitu dapat dilihat dari FCR pakan sekitar 1,65 berbanding 1.
Udang hasil panen pada kajian ini dengan mempunyai figment coklat kehijauan dan
sekitar 30% berwarna biru (blue). Udang yang berwarna biru tidak dikehendaki pembeli
karena diduga mengandung antibiotik. Beberapa penyebab udang berwarna biru adalah : 1)
faktor genetika/keturunan; 2) udang yang stress akibat kandungan antibiotik atau fluktuasi
parameter lingkungan; 3) air media akibat plankton yang terlalu pekat pada akhir
pemeliharaan; dan 4) media dasar tambak.
Grafik pertumbuhan Udang Windu
0
5
10
15
20
25
45 55 65 75 85 95 105 115
(hari)
Bobot (g)
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
ADG (g/hr)
O1
O2
ADG O1
ADG O2
Gambar 2. Grafik pertumbuhan udang windu dengan green water system
Tabel 4. Data produksi udang windu hasil ujicoba
No. Uraian Petak O-1 Petak O-2
1 Penebaran (ekor) 50.000 50.000
2 Umur (hari) 115 115
3 Berat Udang rataan (g) 22,2 21,7
4 Sintasan (%) 73,0 74,0
5 Biomassa (kg) 810 803
6 FCR 1,65 1,67
3.2. Parameter Kualitas Air
3.2.1. Kemelimpahan dan Dominasi Plankton
Plankton merupakan produsen primer yang mampu menyerap nutrien hasil
degradasi bahan organik oleh mikroba serta dapat menghasilkan oksigen. Plankton
berfungsi sebagai penyetabil kualitas air (water stability). Keberadaan plankton dan
kestabilan kemelimpahan plankton dalam air media akan berpengaruh terhadap parameter
kualitas air. Keberadaan plankton dalam air media pemeliharaan organisme, khususnya
jenis fitoplankton yang menguntungkan dan persentase dominansi (keseimbangan)
sangatlah dibutuhkan, baik dari segi keanekaragaman maupun kemelimpahannya. Fungsi
dan peran plankton pada air media pemeliharaan diantaranya adalah : 1) sebagai pakan
11
alami untuk pertumbuhan organisme yang dipelihara; 2) sebagai Penyangga (buffer)
terhadap intensitas cahaya matahari; dan 3) sebagai bio-indikator kestabilan lingkungan air
media pemeliharaan (Adiwidjaya et al, 2008).
Pembudidaya tambak sering melaporkan bahwa permasalahan budidaya udang
windu di tambak baik teknologi sederhana hingga intensif diawali oleh perubahan warna
air tambak, dari warna kehijauan (greenist) menjadi coklat pekat atau kemerahan. Udang
yang dipelihara terlihat minggir dan bahkan posistif terinfeksi penyakit dan biasanya
terjadi setelah 2 – 3 hari setelah warna air berubah. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa
perubahan warna air tambak disebabkan perubahan kondisi plankton yang ada pada
perairan. Perubahan kemelimpahan plankton yang terjadi dapat disebabkan perubahan dan
keterbatasan ketersediaan nutrien pada air media pemeliharaan, sehingga beberapa jenis
plankton tidak tercukupi unsur haranya. Kurang stabilnya kemelimpahan plankton pada air
media pemeliharaan udang/ikan juga dapat disebabkan oleh kondisi parameter kualitas air
yang masih fluktuatif (Anonim, 2007).
Hasil pengamatan dominasi jenis plankton yang dilakukan tiap minggu pada kedua
petak pemeliharaan menunjukkan pada tahap penyiapan air media hingga pada umur
pemeliharaan 30 hari hampir merata. Jenis plankton berasal dari kelompok Bacillariaceae,
Chlorophyceae dan Cyanophyceae dengan dominasi 20% hingga 40%. Kemudian
dominasi jenis plankton berubah pada umur pemeliharaan 31 hingga umur pemeliharaan
45 hari (pengamatan III – IX) dengan dominasi Bacillariaceae (Gambar 3 dan 4).
Setelah dilakukan aplikasi/penambahan sumber karbon (tepung tapioka) pada umur
pemeliharaan 45 hari, maka jenis plankton didominasi oleh Clorophycea hingga panen.
Hasil pengamatan di lapangan warna air hijau hingga panen. Untuk menghindari terjadinya
blooming plankton dilakukan pergantian air antara 5 – 20% per hari setelah umur di atas
60 hari.
Prosentase Class Pada tambak O1
0.00
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
120.00
I II III IV V VI VII VIII IX X XI XII XIII XIV XV XVI
Pengamatan Ke-
(%)
Bacillariaceae Chlorophyceae Cyanophyceae CiliataDinoflagellata Crustaceae Rotifera
Gambar 3. Dominasi jenis plankton Chlorophyceae petak O-1
12
Prosentase Class plankton pada tambak O2
0.00
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
120.00
I II III IV V VI VII VIII IX X XI XII XIII XIV XV XVI
Pengamatan Ke-
(%)
Bacillariaceae Chlorophyceae Cyanophyceae CiliataDinoflagellata Crustaceae Rotifera
Gambar 4. Dominasi jenis plankton Chlorophyceae petak O-2
Hasil pengamatan kemelimpahan plankton menunjukan peningkatan jumlah/
populasi setelah umur 45 hari (Gambar 5). Hal ini diduga akibat penambahan sumber
karbon (tepung tapioka) sehingga menyebabkan peningkatan keseimbangan C/N rasio.
Ikan dan udang dapat mengakumulasi nutrien dari pakan yang diberikan berkisar antara 5 –
40%. Dari data yang ada diketahui bahwa nutrien yang dapat tertahan dalam tubuh ikan
dan udang adalah 13% carbon, 29% nitrogen, dan 16% posfor. Rendahnya jumlah karbon
sebagai konsekuensi dari banyaknya fraksi karbon pakan yang lepas akibat respirasi. Data
ini menunjukkan rendahnya retensi nutrien dalam tubuh kultivan, sehingga sisanya seperti
nitrogen (75%) dan posfor (80%) terakumulasi di dasar tambak (Avnimelech dan Ritvo,
2003).
Untuk menjaga keimmbangan unsur carbon tersebut diperlukan penambahan
sumber karbon organik seprti tepung tapioka, sehingan diharapkan C/N rasio dapat
seimbangan pada media pemeliharaan udang. Pada perairan yang mempunyai
keseimbangan C/N ratio yang baik akan meningkatkan tumbuhnya Total Bakteri
Heterotrop (TBH) yang akan mempercepat proses penguraian limbah organik. Dari
beberapa jenis bakteri heterotrop ini diduga ada yang bersifat bakteri ansosigenik, yaitu
bakteri yang dalam proses metabolismenya menguraikan bahan organik tidak
menggunakan oksigen sebagai sumber energi (Widiyanto, 2002). Dengan kondisi ini,
diduga dengan tumbuhnya bakteri ini akan mampu menguraikan limbah organik pada
lumpur dasar tambak pada kondisi anaerob.
13
Kemelimpahan plankton pada tambak O1dan O2
2634209
308533
25197707
12212930
1312006
62058924941761
5830700
5095288922526694148
620733
902267
297543
267101
0
5000000
10000000
15000000
20000000
25000000
30000000
I II III IV V VI VII VIII IX X XI XII XIII XIV XV XVI
Pengamatan ke-
Kem
elim
pahan p
lankto
n (sel/lite
r)
kemelimpahan palnkton O1
Kemelimpahan plankton O2
Gambar 5. Grafik kemelimpahan total plankton pada petak pembesaran udang
(petak O-1 dan O-2)
3.2.2. Oksigen Terlarut
Penyediaan kelarutan oksigen terlarut digunakan aerasi berupa kincir air masing-
masing petak 1 buah dan blower 1 buah untuk 2 petak. Untuk efeisien energi pada siang
hari digunakan blower dan pada malam hari ditambah kincir. Berdasarkan hasil
pengukuran kandungan oksigen terlarut pada pagi hari hingga umur pemeliharaan 40 hari
menunjukan nilai yang rendah kurang dari 3 ppm (Gambar 6). Setelah penggunaan blower
dan kincir dihidupkan pada malam hari kandungan oksigen terlarut menunjukan nilai yang
optimal di atas 3 ppm. Sementara pada petak tandon atau biofilter (Petak J7 dan J8)
kandungan oksigen lebih rendah.
Grafik DO Tambak O1-2 dan J7-8
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
I II III IV V VI VII VIII IX
O1
O2
J7
J8
Gambar 6. Fluktuasi oksigen terlarut pada petak tandon dan pemeliharaan
14
3.2.3. Kandungan Bahan Organik Total (TOM) Air
Kandungan bahan organik air tambak selama pemeliharaan antara 101 – 127 ppm
dan masih diagga layak untuk kegiatan pembesaran udang. Berdasarkan hasil pengamatan
kandungan bahan organik pada petak tandon dan pembesaran udang terlihat perubahan
yang sama, artinya peranan petak tandon hanya sebagai pengendapan kotoran (bahan
organik) sementara belum dapat mengurangi bahan organik (Gambar 7).
Avnimelech et al., (2004) menyebutkan bahwa akumulasi bahan organik yang
berlebih menjadi pemicu kondisi lingkungan yang anaerob, tingginya kebutuhan oksigen
pada sedimen. Terjadinya penurunan mutu lingkungan yang pada akhirnya berdampak
pada respon pertumbuhan kultivan yang rendah. Pada petak tandon ditanamani rumput laut
Glacillaria sp dengan tujuan untuk dapat menyerap nutrient hasil perombakan bahan
organic. Namun demikian fungsi ini belum maksimum karena rumput laut yang ada mulai
mati karena salinitas yang turun akibat musim hujan.
Grafik Bahan Organik Tambak O1-2 dan J7-8
0.00
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
120.00
140.00
I II III IV V VI VII VIII IX
O1
O2
J7
J8
Gambar 7. Grafik kondisi bahan organik air
3.2.4. Salinitas
Salinitas air tambak pada saat penebaran adalah 15 ppt. Selanjutnya salinitas turun
karena musim hujan hingga 4 ppt dan kemudidan meningkat mencapai 24 ppt pada saat
menjelang panen (umur > 100 hari). Namun demikian perubahan harian salinitas tidak
lebih dari 3 ppt sehingga masih layak untuk pertumbuhan udang. Diduga salinitas air
tambak pada kajian ini berpengaruh terhadap dominasi jenis plankton. Dominasi plankton
ke arah Chlorophyceae setelah salinitas naik menjadi 14 ppt hingga 25 ppt (Gambar 8).
Tingginya salinitas untuk kegiatan usaha budidaya udang windu atau jenis udang
lainnya akan banyak efek yang kurang menguntungkan, diantaranya : 1) agak sulit untuk
ganti kulit (kulit cenderung keras) pada saat proses biologis bagi pertumbuhan dan
perkembangan; 2) kebutuhan untuk beradaptasi terhadap salinitas tinggi bagi jenis udang
memerlukan energi (kalori) yang melebihi dari nutrisi yang diberikan; 3) bakteri atau
vibrio cenderung tinggi; 4) ikan/udang pada umumnya lebih sensitif terhadap goncangan
parameter kualitas air yang lainnya dan mudah stres; dan 5) jenis udang umumnya sering
mengalami lumutan (Adiwidjaya, et al, 2008).
15
Grafik Salinitas Tambak O1-2 dan J7-8
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
I II III IV V VI VII VIII IX
O1
O2
J7
J8
Gambar 8. Perubahan salinitas selama pemeliharan
3.2.5. Temperatur
Hasil pengamatan temperatur rat-rata harian selama pemeliharaan berkisar antara
26 – 300C. Temperatur air terendah terjadi pada awal pemeliharaan, karena terjadi pada
musim hujan yaitu pada awal penembaran hingga umur 45 hari, yaitu antara 25 – 270C
.
Namun selanjutnya temperatur harian meningkat antara 28 – 300C (Gambar 9).
Grafik Temperatur Tambak O1-2 dan J7-8
24.00
25.00
26.00
27.00
28.00
29.00
30.00
31.00
I II III IV V VI VII VIII IX
O1
O2
J7
J8
Gambar 9. Temperatur air tambak selama pemeliharaan
Temperatur berpengaruh terhadap aktivitas metabolisme terutama laju komsumsi
pakan. Oleh karena itu pemberian pakan disesuaikan dengan laju komsumsi oleh udang
dengan cara mengontrol pakan pada anco (feeding tray). Jumlah pakan dianco adalah 0,6 –
1% dari julah total pemeberian dan lama pengamatan antara 1 – 2 jam. Bila pakan di anco
tidak habis, maka jumlah pakan yang diberikan segera dikurangi hingga 20 – 40%.
Sebaliknya bila pakan habis sebelum waktu pengamatan, maka jumlah pemnberian pakan
ditambah sekitar 20%. Dengan cara seperti ini dapat menghindari kelebihan pakan yang
akan menyebabkan peningkatan kotoran pada dasar tambak dan penggunaan pakan akan
semakin efisien dan efektif.
Dengan kondisi suhu air yang tidak tepat dan salinitas tinggi akan membawa
dampak terhadap beberapa komoditas yang dipelihara dan organisme mudah stres/lemah,
yang akhirnya pertumbuhan terhambat dan akan mudah terserang oleh penyakit. Pada
16
kondisi suhu yang ekstrim (tidak optimal) umumnya sering terjadi kemelimpahan bakteri
dan vibrio yang berlebihan (Adiwidjaya, et al. 2008). Suhu optimal untuk pemeliharaan
udang windu di tambak antara 28,0 – 31,00C (Anonim, 1985).
3.2.6. pH Air
Nilai pH air akan mempengaruhi proses kimia pada air media dan menghasilkan
reaksi tingkat nilai tukar kation air dan selanjutnya akan berdampak pada kehidupan dan
pertumbuhan udang (Anonim, 1985 dan Ahmad, 1991). Hasil pengamatan pH air selama
pemeliharaan menunjukan nilai yang sangat stabil, yaitu berkisar antara 7,8 – 8,6 dengan
fluktuasi harian pada pagi dan sore antara 0,2 – 0,5 (Gambar 10). Kestabilan nilai pH
diduga karena buffer terhadap nilai pH yang dapat diukur dari alkalinitas cukup tinggi (>90
ppm) serta pertumbuhan plankton dalam air yang baik yang relative stabil. Plankton akan
mampu menyerap CO2 pada proses fotosintesa sehingga akan mampu membuat stabil nilai
pH air (Boyd, 2003). Ada kencederungan dengan peranam plankton ini akan menyebabkan
pH air cenderung kearah basa namun demikian fluktuasi harian rendah.
Grafik pH Tambak O1-2 dan J7-8
7.20
7.40
7.60
7.80
8.00
8.20
8.40
8.60
8.80
I II III IV V VI VII VIII IX
Pengamatan Ke-
O1
O2
J7
J8
Gambar 10. Grafik kondisi pH air selama pemeliharaan
3.2.7. Alkalinitas
Hasil pengamatan alkalinitas selama pemeliharaan berkisar antara 83 – 154 ppm.
Nilai alkalinitas cukup tinggi dan baik sehingga dapat berfungsi sebagai penyangga
(buffer) pH air. Perlakukan yang dilakukan untuk mempertahankan nilai alkalinitas adalah
aplikasi kapur dolomite (CaMgCO3) secara rutin tiap 3 – 4 hari dengan dosis antara 3 – 5
ppm. Aplikasi kapur dolomite juga dilakukan setelah terjadi hujan dengan tujuan untuk
menghindari penurunan pH maupun alkalinitas akibat pengenceran air hujan.
Disamping sebagai penyangga nilai pH, alklainitas juga berfungsi sebagai indikator
kesuburan perairan. Dari data kondisi alkalinitas ini dapat dihubungkan dengan
kemelimpahan plankton, yaitu pada alkinitas lebih dari 100 ppm kemelimpahan plankton
dapat meningkat dan stabil. Data kondisi alkalinitas selama pemeliharaan terlihat pada
Gambar 11.
17
Grafik Alkalinitas Tambak O1-2 dan J7-8
0.00
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
120.00
140.00
160.00
180.00
I II III IV V VI VII VIII IX
Pengamatan ke-
O1
O2
J7
J8
Gambar 11. Grafik kondisi nilai aklinitas air
3.2.8. Ammonia dan Nitrit
Nilai ammonia (NH3) tertinggi selama masa pemeliharaan adalah 0,008 ppm, nilai
ini sangat rendah. Ammonia sangat beracun untuk udang dan biasanya terjadi pada nilai
pH di atas 9 (Hargreaves, et al, 2004). Diduga peranan penambahan sumber karbon tepung
tapioka mampu mereduksi pembentukan ammonia. Hari et al., (2004) telah melakukan
percobaan pembesaran udang skala laboratoris dan skala massal di tambak tentang
pengaruh penambahan sumber karbon. Hasil percobaan menunjukkan bahwa penambahan
karbohidrat (tepung tapioka) secara signifikan menurunkan TAN (Total ammonia nitrogen)
dan meningkatkan populasi bakteri heterotropik baik di kolom air maupun di sedimen.
Penambahan karbon organik sangat efektif menurunkan amonia yang dihasilkan olek
ekskrei udang atau sisa pakan yang tidak termakan. Setiap 0,1 ppm ammonia dapat
diturunkan dengan tepung tapioka 20 gram/m3 air (Avnimelech, 1999).
Hasil pengamatan nitrit selama pemeliharaan berkisar antara 0,005-0,032 ppm
(Gambar 12), dan nilai ini masih dibawah batas ambang yang menyebabkan kematian
udang. Nitrit merupakan senyawa dari amonia menjadi nitrat dan akan terbentuk bila
kondisi tambak anaerob. Diduga karena oksigen terlarut dalam air tambak yang selalu
tinggi menyebabkan tidak terbentuknya nitrit yang berlebihan.
Grafik NH3 dan NO2 O1-O2
0.000
0.010
0.020
0.030
0.040
0.050
0.060
I II III IV V VI VII VIII IX
Pengamatan Ke
HH3 Tbk O1
NH3 Tbk O2
NO2 Tbk O1
NO2 Tbk O2
Gambar 12. Grafik Amonia dan Nitrit
18
3.2.9. Kemelimpahan Bakteri
Hasil pengamatan kemelimpahan bakteri selama pemeliharaan adalah 104 hingga
106. Aplikasi bakteri probiotik (bakteri pengurai) dilakukan mulai pada tahap persiapan air
tambak hingga menjelang panen dengan menggunakan probiotik komersial jenis Bacillus
sp dosis antara 0,5 – 1,0 ppm. Aplikasi sumber karbon berupa tepung tapioka secara rutin
dapat meningkatan keseimbangan C/N rasio dan diduga akan merangsang pertumbuhan
dan perkembangbiakan bakteri pengurai secara optimal. Untuk mempertahankan
pertumbuhan bakteri pengurai tesebut perlu dilakukan aplikasi suplemen bahan atau media
secara rutin selama pemeliharaan udang windu (Poernomo, 2004).
Beberapa pendapat menganggap bakteri vibrio merupakan pathogen untuk udang.
Dominasi dan kemelimpahan bakteri Vibrio sp yang tidak stabil pada tambak menunjukkan
kondisi yang beresiko terhadap masalah kesehatan udang. Beberapa kajian lapangan
fluktuasi vibrio dapat menjadi perangsang/pemicu (triger) timbulnya penyakit WSSV
(bercak putih --- white spot). Berdasarkan hasil pengamatan bakteri vibrio selama
pemeliharaan dominasinya berkisar antara 102 – 10
3 sel/CFU dan masih layak untuk
pertumbuhan udang (Gambar 13). Beberapa data hasil pengamatan di lapangan
menunjukkan tambak udang yang terserang WSSV mengandung total bakteri Vibrio sp
>104 sel/CFU (Taslihan et al, 2001).
Kemelimpahan dan Fluktuasi Bakteri di Tambak O1-2
1.00E+00
1.00E+01
1.00E+02
1.00E+03
1.00E+04
1.00E+05
1.00E+06
I II III IV V VI VII VIII IX
Pengamatan Ke
T.Vib. O1 T.Vib. O2 T.Bact. O1 T.Bact. O2
Gambar 13. Grafik fluktuasi bakteri
3.3. Kualitas Tanah
Redoks potensial dapat dijadikan parameter kualitas sedimen, mengingat potensi
redoks menggambarkan sejumlah senyawa yang potensial teroksidasi atau tereduksi.
Semakin besar nilai positif redoks suatu sedimen menunjkan proses oksidasi dan reduksi
suatu senyawa oleh oksigen atau pelepasan elektron dapat berjalan dengan optimal. Salah
satu parameter kualitas tanah yang diamati pada ujicoba ini adalah redoks potensial yang
dilakukan tiap 2 minggu sekali.
Pada saat persiapan tambak nilai redoks antara –100 s/d – 150 m.V. Hasil
pengukuran dan pengamatan selama kegiatan ujicoba cenderung meningkat, yaitu pada
petak O-1 berkisar antara – 171 s/d – 312 m.V dan pada petak O-2 berkisar antara – 219
s/d – 30l m.V. Nilai redoks potensial dasar tambak pada umur pemeliharaan 15 hari
19
cenderung menurun dan selanjutnya meningkat pada mulai umur pemliharaan 45 hari s/d –
175 m.V dan akhirnya menjadi stabil hingga akhir pemeliharaan dengan kisaran antara –
160 s/d – 300 m.V (Gambar 14). Kondisi ini dapat diduga telah terjadi proses perombakan
bahan organik di dasar tambak oleh bakteri pengurai serta kalarutan oksigen yang tinggi
menyebabkan nilai redoks potensial tidak terus menurun. Sementara nilai pH tanah selama
ujicoba berlangsung tidak terlalu mengalami fluktuasi yang berarti, yaitu berkisara antara
6,88 – 7,35. Demikian pula dengan kandungan bahan organik tanah masih dalam kondisi
yang cukup optimal, yaitu antara 11,85 – 12,15%.
Grafik Redoks Potensial Tambak O1-2
-350.00
-300.00
-250.00
-200.00
-150.00
-100.00
-50.00
0.00
I II III IV V VI VII
Pengamatan Ke-
O1
O2
Gambar 14. Grafik nilai redok pontensial dasar tambak
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan kondisi udang dan kondisi kualitas lingkungan pada
kajian/ujioba ini dapat disimpulkan seba bikut :
• Produktivitas udang per hektar mencapai 8.100 kg dengan pertumbuhan mutlak
udang antara 21,7 - 22,2 g/ekor (laju pertumbuhan rata-rata --- ADG sekitar 0.22,5
g/hari sera tingkat kelangsungan hidup 73 – 74%. Kualitas udang hasil panen 70%
berwarna normal (baik) dan 30% berwarna biru. Wana udang yang biru diduga
disebabkan oleh lingkungan media pemeliharaan yang berwarna hijau pekat.
• Penambahan pupuk nitrat dan sumber karbon (tepung tapioka) pada tambak udang
windu intensif dapat mempertahankan dominasi plankton dari kelompok
Chlorophiceae untuk media pemeliharaan udang windu dan keseimbangan CN
ratio yang optimal ( 1 : 15).
• Parameter kualitas air selama pemeliharaan menunjukan nilai yang yang cukup
optimal untuk perumbuhan udang dan mempunyai fluktuasi yang rendah.
• Dengan aplikasi probiotik dan penambahan sumber karbon diduga mampu
mempertahankan perkembangan dakestalan bakteri pengurai paa media
pemeliharaan.
4.2. Saran
Berdasarkan hasil kajian/ujicoba ini dapat disarankan sebagai berikut :
• Masih diperlukan kajian lanjutan dengan pemanfaatan sumber karbon dan sumber
nitrat dari jenis pupuk lain.
20
• Perlu dilakukan kajian pengaruh lingkungan media air pemeliiran dengan
figmentasi warna udang.
DAFTAR PUSTAKA
Adiwidjaya, D., I Kade Ariawan, Erik Sutikno dan Supito, 2002. Peningkatan Produktifitas
Tambak Melalui Budidaya Udang Sistem Tertutup. Departemen Kelautan dan
Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Besar Pengembangan
Budidaya Air Payau. Jepara. 16 p.
Adiwidjaya D., Dwi Sulistinarto, Erik Sutikno, Supito, I Kade Ariawan, Triyono dan
Herman, 2004. Budidaya Udang Sistem Tertutup Ramah Lingkungan dan
Berkelanjutan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan
Budidaya. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau. Jepara. 38 p.
Adiwidjaya A., Tri Supratno, KP dan Slamet Riyadi. 2008Teknologi Budidaya Air Payau
Yang Baik : Dengan Penerapan Strategi Musim Tanam Dapat Meningkatkan
Produktivitas Tambak. Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal
Perikanan Budidaya. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau. Jepara. 18 p.
Ahmad. T. 1991. Pengelolaan Peubah Mutu Air yang Penting dalam Tambak Udang
Intensif. Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai. Maros. 38 p.
Anonim, 1985. Pedoman Budidaya Tambak. Direktorat Perikanan. Jakarta. Balai Budidaya
Air Payau. Jepara. 225 p.
Anonim,. 2007. Penerapan Best Management Practices (BMP) Pada Budidaya Udang
Windu (Penaeus Monodon Fabricius) Intensif. Juknis. Departemen Kelautan dan
Perikanan. Ditjen. Perikanan Budidaya. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air
Payau. Jepara. 68 p.
Avnimelech, Y., 1999. Carbon/nitrogen ratio as a control element in aquaculture systems.
Aquaculture 176, 227-235.
Avnimelech, Y., G. Ritvo., and M. Kocha., 2004. Evaluating the active redox and organic
fractions in pond bottom soils: EOM, easily oxidized material. Aquaculture xx,xxx-
xxx.
Boyd, C.E., 1995. Bottom soils, sediment, and pond Aquaculture. Department of Fisheries
and Allied Aquaculture. Auburn University. Alabama. 348 hal.
Boyd, CE., 2003. Bottom Soil and Water Quality Management in Srimp Ponds.
Department of Fisheries and Allied Aquaculture. Auburn University. Journal of
Appliet Aquaculture (Food Product Press an imprint of the Haworth Press. Inc) Vol
3 No.1/2. page 11-33
Bachtiar, B. 1994. Pengaruh limbah organik tambak udang intensif terhadap kualitas
lingkungan perairan pesisir (studi kasus pada PP TIR Karawang) Thests S-2 IPB
Bogor.
Hargreaves, J.A., and Tucker, C.S,. 2004. Managing Amonia in Fish Pond, Suthern
Regional Aquaculture Center (SRAC), SRAC Publication No. 4603.
Hari, B.; B.M. Kurup; J.T Varghese; J.W Scrama and M.C.J Verdegem, 2004. Effects of
carbohydrate addition on production in extensif shrimp culture. Aquaculture 241,
179-194.
21
Leano, E.E., Lavila-Pitogo, C.R., Parner, M.G., 1998. Bacterial flora in the hepatopancreas
of pond-reared Penaeus monodon juvenils with luminius vibriosis. Aquaculture
164, 367-374.
Pitogo.L., C.R. Leano, E.M. Parner, M.G., 1998. Mortalities of pond-culture juvenil
shrimp, Penaeus monodon, associated with dominance of luminescent vibrios in the
rearing environment, Aquculture 164, 337-349.
Poernomo A., 2004. Teknologi Probiotik untuk Mengatasi Permasalahn Tambak Udang
dan Lingkungan Budidaya. Paper Presented in The National Symposium on
development and Scientific and Technology Innovation in Aquaculture, Semarang,
January 27 – 29, 2004. 24 p.
Supito, Sutikno, E., Taslihan A., dan Callinan R.B., 2006, Penerapan BMP (Best
Management Practices) pada tingkat petambak udang Makalah disampaikan pada
workshop dengan tema ’PENERAPAN TEKNOLOGI BMP UNTUK
MENDUKUNG REVITALISASI BUDIDAYA UDANG’ yang merupakan bagian
dari proyek kerjasama antara Indonesia – Australia di Surabaya
Taslihan A., dkk. 2001. Monitoring dan Pengendalian Penyakit Udang pada tambak Udang
Sistem Tetutup. Laporan Tahunan. Ditjenkan Budidaya. Balai Besar
Pengembangan Budidaya Air Payau. 12 p
Tendencia, E.A., dela Pena, M.R., 2003. Investigation on some component of the
greenwater culture system which makes it effective in the initial control of luminius
bacteria. Aquaculture 218, 115-119.
top related