studi analisis komposisi dan struktur tegakan...
Post on 07-Mar-2019
251 Views
Preview:
TRANSCRIPT
i
i
STUDI ANALISIS KOMPOSISI DAN STRUKTUR TEGAKAN
HUTAN MANGROVE DI DESA TANJUNG BUNGA
KABUPATEN KONAWE UTARA
SKRIPSI
Oleh :
MUH. OSMAR
D1B5 09 118
JURUSAN KEHUTANAN
FAKULTAS KEHUTANAN DAN ILMU LINGKUNGAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
2016
ii
ii
STUDI ANALISIS KOMPOSISI DAN STRUKTUR TEGAKAN
HUTAN MANGROVE DI DESA TANJUNG BUNGA
KABUPATEN KONAWE UTARA
SKRIPSI
diajukan kepada fakultas kehutanan dan ilmu lingkungan
untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh
gelar sarjana pada jurusan kehutanan
Oleh :
MUH. OSMAR
D1B5 09 118
JURUSAN KEHUTANAN
FAKULTAS KEHUTANAN DAN ILMU LINGKUNGAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
2016
iii
iii
iv
iv
v
v
vi
vi
ABSTRAK
MUH. OSMAR (D1B5 09 118). Studi Analisis Komposisi dan Struktur Tegakan
Hutan Mangrove di Desa Tanjung Bunga Kabupaten Konawe Utara, dibawah
bimbingan SAFRIL KASIM sebagai Pembimbing I dan ZULKARNAIN sebagai
Pembimbing II.
Penelitian ini dilaksanakan pada kawasan hutan mangrove di Desa
Tanjung Bunga Kabupaten Konawe Utara pada bulan Juni sampai Desember
2015. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui komposisi dan struktur
tegakan hutan serta keanekaragaman jenis hutan mangrove di Desa Tanjung
Bunga Kabupaten Konawe Utara.
Pengambilan sampel menggunakan metode garis berpetak, penentuan
transek pertama dilakukan secara purposive sampling dan transek selanjutnya di
lakukan secara sistematis dengan jarak antar transek 50 Meter. Luas kawasan
penelitian yaitu 16,47 Ha. Hasil penelitian memperlihatkan terdapat 9 jenis
vegetasi, 8 jenis vegetasi terdapat pada tingkat pohon dan pancang yaitu
Avicennia marina, Avicennia officinalis, Bruguiera cylindrica, Bruguiera
gymnorrhiza, Bruguiera sexangula, Rhizophora stylosa, Sonneratia alba dan
Xilocarpus granatum serta 9 Jenis pada tingkatan semai yaitu Acrostichum
Aureum, A.marina, A.officinalis, B.cylindrica, B.gymnorrhiza, B.sexangula,
R.stylosa, S.alba dan X.granatum. Pada tingkat pohon yang memiliki kerapatan
tertinggi yaitu jenis S.alba dengan nilai 37,5 Ind/Ha, B.gymnorrhiza (36,11
Ind/Ha) dan jenis R.stylosa (33,3 Ind/Ha), tiga jenis ini mempunyai nilai frekuesi
tinggi yang masing-masing yaitu 44%, 44% dan 61%. Sedangkan dominansi
paling tinggi dimiliki B.gymnorrhiza dengan nilai 2,11 m2/ha, jenis ini pula yang
memiliki indeks nilai penting tertinggi dengan nilai 84,16. Tingkat pancang jenis
yang memiliki nilai kerapatan, frekuensi dan indeks nilai penting tertinggi yaitu
pada jenis R.stylosa, dan jenis ini mendominasi pada tingkatan semai. Jenis
R.stylosa memiliki daya penyesuaian yang baik terhadap habitatnya dalam
persaingan antara komunitas tumbuhan hutan. Nilai indeks keanekaragaman jenis
(H’) pada tingkat pohon sebesar 1,78, tingkat pancang sebesar 1,67 dan untuk
tingkat semai yaitu 1,94, ketiganya termasuk dalam kategori sedang.
Kata Kunci : hutan mangrove, Desa Tanjung Bunga, Bruguiera gymnorrhiza,
Rhizophora stylosa
vii
vii
ABSTRACT
MUH. OSMAR (D1B5 09 118). Study Analysis of Composition and Structure of
Mangrove Forest Stands in Tanjung Bunga Village of Konawe Utara Regency,
under the guidance of SAFRIL KASIM as Supervisor I and ZULKARNAIN as
Supervisor II.
This study was conducted at mangrove forest area in Tanjung Bunga
Village of Konawe Utara Regency. This was conducted from June to October,
2015. The objectives of this study were to find out the composition and the
structure of forest stands and also the variety of mangrove forest in Tanjung
Bunga Village of Konawe Utara Regency.
Technique of sampling was taken by using parceled line method,
determination of the first transect was conducted by using purposive sampling and
the subsequent transects were conducted systematically, with the space among
transects was 50 meters. The area of this study was 16.47 Ha. The result of this
study showed that there were 9 types of vegetation, 8 types of vegetation were
found on the tree levels and the stake were Avicennia marina, Avicennia
officinalis, Bruguiera cylindrica, Bruguiera gymnorrhiza, Bruguiera sexangula,
Rhizophora stylosa, Sonneratia alba and Xilocarpus granatum, and then 9 types
of seedling level were Acrostichum Aureum, A.marina, A.officinalis, B.cylindrica,
B.gymnorrhiza, B.sexangula, R.stylosa, S.alba and X.granatum. On the tree levels,
types that had the highest density were S.alba with a value of 37,5 Ind/Ha,
B.gymnorrhiza (36,11 Ind/Ha), and R.stylosa (33,3 Ind/Ha). These three types had
high frequency value. Each of them had its own values, were 44%, 44% and 61%.
While the highest dominance was B.gymnorrhiza with a value of 2,11 m2/ha, this
type also had the highest important value index by 84,16. On the stake level, the
type that had density value, frequency and important value index was on the type
of R.stylosa, and this type also which was dominated on seedling level. R.stylosa
type had good adapting power to its habitation in the rivalry among the forest
plants communities. Variety value index of type (H’) on the tree level was 1.78,
on the stake level was 1.67 and for seedling level was 1.94, all three are included
in the medium category.
Keywords: Mangrove Forest, Tanjung Bunga Village, Bruguiera gymnorrhiza,
Rhizophora stylosa.
viii
viii
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa, karena
atas Rahmat dan Hidayah-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “Studi Analisis Komposisi dan Struktur Tegakan Hutan
Mangrove di Desa Tanjung Bunga Kabupaten Konawe Utara” untuk
memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada
Jurusan Kehutanan Fakultas Kehutanan dan Ilmu Lingkungan Universitas Halu
Oleo Kendari.
Ucapan terima kasih dan penghormatan serta penghargaan setinggi-
tingginya kepada Ayahanda Suddin. L dan Ibunda Mira atas segala perhatian,
kasih sayang, doa, serta dukungan yang senantiasa mengiringi perjalanan hidup
penulis serta kepada saudara-saudaraku Fredi, Musta’al, S.Pd beserta istri
Lijayani, S.Pd, Titi Elpian S.Kom. terima kasih atas doa dan motivasinya.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih dan penghormatan kepada
Bapak Safril Kasim, SP., MES selaku Pembimbing I dan Bapak Zulkarnain,
S.Hut., M.Si selaku Pembimbing II yang telah banyak membantu baik secara
moral maupun bimbingan, saran, kritik, nasehat, serta permohonan maaf atas
segala kesalahan penulis perbuat, baik sengaja maupun tidak sengaja mulai dari
awal sampai akhir pembimbingan.
Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1. Dosen penguji, Ibu Dr. Ir. Hj. Husna, MP., Bapak Dr. Faisal Danu
Tuheteru, S.Hut., M.Si., dan Ibu Asrianti Arif, S.Hut., M.Si yang telah
ix
ix
meluangkan waktunya untuk memberikan saran dan kritik dalam perbaikan
skripsi penulis.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Laode Sabaruddin, M.Si., selaku Dekan Fakultas
Kehutanan dan Ilmu Lingkungan, Bapak Zulkarnain, S.Hut., M.Si selaku
Ketua Jurusan Kehutanan dan Ibu Dr. Ir. Sitti Marwah., M.Si sebagai
penasehat akademik, atas segala petunjuk, nasehat dan bimbingan selama
masa studi hingga tahap penyelesaian studi.
3. Dosen Lingkup Jurusan Kehutanan, Fakultas Kehutanan dan Ilmu Lingkungan
serta staf di lingkup Jurusan Kehutanan atas budi baiknya.
4. Teman-teman seperjuangan kehutanan angkatan 2009 Muh. Yasir, S.Hut.,
Ardianto, S.Hut., Try Sutriono, S.Hut., Miduanto, S.Hut, Pebrianti Banasur,
S.Hut, Ramadhan Apagoda, Ramadhan, La Arwan, S.Hut, Abdul Hakam
Rasyid, Sulirman, S.Hut, Nani Marlina Simon, S.Hut, Isra, S.Hut, Niko
Rahmat, S.Hut, Sudarno Alimasri, Murtato Umar, S.Hut, Asdawar Arsamid,
S.Hut, Gusti Putu Adi Prema, S.Hut, Segar Alam, Erlin, Muh Rizal, Rasidin,
Eko Aditiyas Saputra, S.Hut, Elvian Jaka Purnama, S.Hut, Toto Gunarto,
S.Hut, Gusti Komang Arya, S.Hut, Saldin, S.Hut, Djiondan Taruna, S.Hut,
Suci Rari Wulan B., S.Hut Liswati, Suharni, S.Hut, Linda Trisnasari, S.Hut,
Erna, Karni, S.Hut, Fatmawati, Ati Karmila, S.Hut, Ismawati, S.Hut, Cipto
Arief, Astin Angreani Abdulah, Sitti Endriyani S,Hut, Ikhsan serta teman-
teman yang tidak sempat disebutkan namanya satu persatu.
5. Keluarga besar Himpunan Pemuda Pelajar Mahasiswa Kabupaten Konawe
Utara dan Keluarga besar Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Kendari,
x
x
khususnya pada komisariat Fakultas Pertanian, yang telah memberi banyak
bantuan serta sebagai motivator dalam menyelesaikan studi. Semoga tetap jaya
dalam tujuan sebagai insan pencipta dan pengabdi yang merupakan lokomotif
pembentuk kedar kepemimpinan yang tangguh. Yakin Usaha Sampai.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak atas bantuan
serta dukungan yang diberikan kepada penulis dan permohonan maaf atas segala
kesalahan. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan, namun penulis berharap bahwa skripsi ini dapat bermanfaat bagi
mereka yang membutuhkannya.
Kendari, Januari 2016
Penulis
xi
xi
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Muh. Osmar dilahirkan
pada tanggal 25 Juli 1991 di Kelurahan Andowia, Kecamatan
Andowia Kabupaten Konawe Utara, Provinsi Sulawesi
Tenggara. Penulis merupakan anak ke delapan dari sepuluh
bersaudara dari pasangan Bapak Suddin. L dan Ibu Mira. Penulis mengawali
jenjang pendidikan formal di SD Negeri Anggolohipo pada tahun 2000.
Kemudian pada tahun 2003, penulis melanjutkan pendidikan pada SMP Negeri 1
Asera dan tamat pada tahun 2006. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan
jenjang pendidikan ke Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Asera dan
menyelesaikan studi pada tahun 2009. Penulis melanjutkan pendidikan di
Universitas Halu Oleo Tahun 2009. Penulis diterima pada Jurusan Kehutanan
Fakultas Kehutanan melalui jalur SPMB.
Selama menempuh pendidikan di Universitas Halu Oleo, penulis aktif
dalam beberapa kegiatan dan kelembagaan kemahasiswaan antara lain anggota
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakulas Pertanian periode 2011-2012, pengurus
Himpunan Mahasiswa Jurusan Kehutanan pada periode 2010-2011, MPM
Alzaitun Faperta, Lembaga Da’wah Kampus UHO, kader Himpunan Mahasiswa
Islam cabang Kendari, sekretaris Ikatan Mahasiswa Kehutanan Konawe Utara,
Ketua Himpunan Pemuda Pelajar Mahasiswa Kecamatan Andowia dan sekretaris
Umum Himpunan Pemuda Pelajar Mahasiswa Kabupaten Konawe Utara
xii
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ............................................................................. i
HALAMAN JUDUL ................................................................................ ii
PERNYATAAN ....................................................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................... iv
HALAMAN PERSETUJUAN PANITIA UJIAN ................................... v
ABSTRAK ............................................................................................... vi
ABSTRACT ............................................................................................. vii
UCAPAN TERIMAKASIH ..................................................................... viii
RIWAYAT HIDUP .................................................................................. xi
DAFTAR ISI ............................................................................................. xii
DAFTAR TABEL ..................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ xv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ xvi
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................... 3
C. Tujuan dan Manfaat .................................................................... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Hutan Mangrove ........................................................... 5
B. Morfologi Mangrove .................................................................. 6
C. Jenis-jenis Hutan Mangrove ....................................................... 11
D. Struktur Hutan Mangrove ........................................................... 13
E. Manfaat Hutan Mangrove ........................................................... 14
F. Zonasi Vegetasi Hutan Mangrove .............................................. 16
G. Parameter dalam Analisis Komunitas ......................................... 17
H. Metode Pengambilan Contoh ..................................................... 24
I. Kerangka Pikir ............................................................................ 27
III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu ....................................................................... 29
B. Bahan dan Alat ............................................................................ 29
C. Populasi ....................................................................................... 29
D. Prosedur Penelitian ..................................................................... 30
E. Jenis dan Sumber Data ................................................................ 32
F. Variabel Penelitian ...................................................................... 33
G. Analisis Data ............................................................................... 33
H. Indikator Penelitian ..................................................................... 36
I. Konsep Operasional .................................................................... 37
xiii
xiii
IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Letak dan Batas Wilayah ........................................................... 39
B. Aksesbilitas ................................................................................. 39
C. Keadaan Iklim ............................................................................ 40
D. Keadaan Penduduk ..................................................................... 41
E. Mata Pencaharian Penduduk ....................................................... 41
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Rekapitulasi Komposisi Jenis Mangrove yang Ada di Desa
Tanjung Bunga Kecamatan Lasolo Kabupaten Konawe Utara ... 43
B. Analisis Vegetasi ........................................................................ 50
VI. PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................ 63
B. Saran .......................................................................................... 63
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xiv
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel Teks Halaman
1. Indikator Kerapatan Jenis................................................................... 36
2. Indikator Frekuensi Relatif (FR) ........................................................ 36
3. Indikator Indeks Dominansi (D) ........................................................ 36
4. Indikator Indeks Nilai Penting (INP) ................................................. 36
5. Indikator Indeks Keanekaragaman Jenis............................................ 36
6. Aksesbilitas Terhadap Jarak dan Waktu Tempuh Antara Desa
Tanjung Bunga dengan Pusat Pemerintahan ..................................... 40
7. Banyaknya Hari Hujan dan Curah Hujan Di Kecamatan Lasolo
Tahun 2013 ........................................................................................ 40
8. Data Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Jumlah Kepala
Keluarga ............................................................................................ 41
9. Data Jumlah Mata Pencaharian Menurut Jenis Kelamin dan Jumlah
Kepala Keluarga di Desa Tanjung Bunga 2013 ................................. 42
10. Rekapitulasi Jenis, Famili, Jumlah Dan Tingkat Kemunculan Setiap
Jenis Pada Tiap Tingkatan Vegetasi Yang Ditemukan Dikawasan
Hutan Mangrove di Desa Tanjung Bunga Kecamatan Lasolo
Kabupaten Konawe Utara ................................................................. 43
11. Komposisi dan Keanekaragaman Vegetasi Tingkat Pohon dalam
Kawasan Hutan Mangrove di Desa Tanjung Bunga Kecamatan
Lasolo Kabupaten Konawe Utara ..................................................... 50
12. Komposisi dan Keanekaragaman Vegetasi Tingkat Pancang dalam
Kawasan Hutan Mangrove di Desa Tanjung Bunga Kecamatan
Lasolo Kabupaten Konawe Utara ..................................................... 55
13. Komposisi dan Keanekaragaman Vegetasi Tingkat Semai dalam
Kawasan Hutan Mangrove di Desa Tanjung Bunga Kecamatan
Lasolo Kabupaten Konawe Utara ..................................................... 57
14. Hasil Perhitungan Pada Indeks Keanekaragaman ............................. 60
xv
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar Teks Halaman
1. Morfologi Bruguiera cylindrica ........................................................ 7
2. Morfologi Sonneratia alba ................................................................ 9
3. Morfologi Avicennia marina .............................................................. 10
4. Morfologi Xylocarpus moluccensis ................................................... 11
5. Desain Pengambilan Contoh dengan Metode Garis Berpetak ........... 26
6. Kerangka Pikir Penelitian .................................................................. 28
7. Desain Transek Pengamatan Vegetasi . ............................................. 31
8. Morfologi jenis Rombio (A.aureum) ................................................. 44
9. Morfologi jenis Api-api (A.marina) ................................................... 45
10. Morfologi jenis Api-api (A.officinalis) .............................................. 45
11. Morfologi jenis Burus (B.cylindrica) ................................................. 46
12. Morfologi jenis Tanjang (B.gymnorrhiza) ......................................... 47
13. Morfologi jenis Tongge (B.sexangula) .............................................. 47
14. Morfologi jenis Uwakata (R.stylosa) ................................................. 48
15. Morfologi jenis Peropa (S.alba) ......................................................... 49
16. Morfologi jenis Kondawu (X.granatum) ........................................... 49
xvi
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Teks Halaman
1. Peta Lokasi Penelitian ........................................................................ 67
2. Peta Lokasi Penempatan Sampel ....................................................... 68
3. Perhitungan Analisis Vegetasi Pada Tingkat Pohon ......................... 69
4. Perhitungan Analisis Vegetasi Pada Tingkat Pancang ..................... 70
5. Perhitungan Analisis Vegetasi pada Tingkat Semai ......................... 71
6. Daftar Jenis Mangrove yang Teridenfikasi di Desa Tanjung Bunga
Pada Tingkat Pohon .......................................................................... 72
7. Daftar Jenis Mangrove yang Teridenfikasi di Desa Tanjung Bunga
Pada Tingkat Pancang ....................................................................... 72
8. Daftar Jenis Mangrove yang Teridenfikasi di Desa Tanjung Bunga
Pada Tingkat Semai .......................................................................... 73
9. Dokumentasi Penelitian .................................................................... 74
1
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan
ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda dalam memelihara
keseimbangan siklus biologi dalam suatu perairan laut. Mangrove juga memegang
peranan penting dalam kehidupan manusia karena disamping dapat menghasilkan
kayu yang mempunyai nilai ekonomi juga berfungsi sebagai pelindung pantai dan
daratan (Setyawan et al., 2006).
Kawasan Hutan Mangrove di Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2010
memiliki luas 54.259 Ha, mengalami penurunan pada tahun 2012 dengan luas
41.525.91 Ha. Kenyataan ini disebabkan oleh alih fungsi lahan mangrove menjadi
tambak, pengembangan kawasan periwisata yang tidak akrab lingkungan,
perkebunan dan berkembangnya kawasan pemukiman digaris hijau pantai. kondisi
tersebut adalah permasalahan utama yang sering kali menjadi penyebab degradasi
kawasan mangrove (Arisandi, 2001). Pertambahan penduduk terutama didaerah
pantai menyebabkan perubahan tata guna lahan dan pemanfatan sumberdaya alam
secara berlebihan, sehingga kawasan mangrove makin cepat menipis dan rusak.
Kondisi ini juga dapat kita lihat diwilayah Kabupaten Konawe Utara pada Desa
Tanjung Bunga Kecamatan Lasolo yang bersinggungan langsung dengan wilayah
ekosistem mangrove sehingga hal ini menjadi perhatian yang serius.
2
2
Desa Tanjung Bunga mempunyai kakayaan hutan mangrove yang
memiliki potensi untuk dimanfaatkan bagi kelangsungan masyarakat sekitar, yang
memiliki jumlah penduduk 415 jiwa. Desa Tanjung Bunga memiliki vegetasi
hutan mangrove dengan luas . Kawasan hutan mangrove ini
merupakan salah satu potensi sumber daya alam untuk kehidupan biota laut dan
ekosistem mangrove.
Kawasan hutan mangrove Desa Tanjung Bunga saat ini wilayahnya telah
dimanfaatkan untuk keperluan tambak ikan, lahan pemukiman dan pengambilan
kayu untuk kebutuhan masyarakat sekitar. Selain itu pembukaan jalan oleh
pemerintah setempat disepanjang jalur yang berdekatan dengan vegetasi karena
adanya pemekaran wilayah administrasi juga berpotensi mempengaruhi
kelestarian mangrove di wilayah tersebut. Oleh karena itu perlu dilakukan
pengelolaan yang tepat demi menjaga kelestarian ekosistem mangrove di Desa
Tanjung Bunga. Salah satu aspek penting dalam pengelolaan adalah tersedianya
data yang memadai mengenai kondisi vegetasi hutan mangrove. Penelitian ini
penting dilakukan untuk mengkaji komposisi dan struktur tegakan hutan
mangrove di Desa Tanjung Bunga Kabupaten Konawe Utara. Analisis vegetasi
merupakan cara yang dilakukan untuk mengetahui susunan komposisi jenis dan
bentuk struktur vegetasi dalam suatu area, dengan adanya data tersebut maka
diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan untuk melakukan pengelolaan
hutan mangrove Desa Tanjung Bunga Kabupaten Konawe Utara.
3
3
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka rumusan masalahnya adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana komposisi dan struktur vegetasi hutan mangrove di Desa Tanjung
Bunga Kabupaten Konawe Utara?
2. Bagaimana keanekaragaman jenis hutan mangrove di Desa Tanjung Bunga
Kabupaten Konawe Utara ?
C. Tujuan dan Manfaat
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui komposisi dan struktur vegetasi hutan mangrove di Desa
Tanjung Bunga Kabupaten Konawe Utara.
2. Untuk mengetahui keanekaragaman jenis hutan mangrove di Desa Tanjung
Bunga Kabupaten Konawe Utara.
Manfaat yang diharapkan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Sebagai bahan pengetahuan bagi masyarakat yang berada disekitar pesisir
pantai agar dapat memanfaatkan hutan mangrove secara bijaksana tanpa
merusak kelestariannya.
2. Sebagai Informasi dasar kepada masyarakat mengenai keanekaragaman jenis
dan kondisi ekosistem hutan mangrove yang berada di Desa Tanjung Bunga
Kabupaten Konawe Utara.
4
4
3. Sebagai bahan informasi bagi peneliti-peneliti lain yang ingin melakukan
penelitian tentang hutan mangrove serta sebagai bahan pemikiran bagi
pemerintah Kabupaten Konawe Utara khususnya pemerintah di Desa Tanjung
Bunga.
5
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definis Hutan Mangrove
Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh
disepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa
disuatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai
dengan reaksi tanah anaerob. Secara ringkas hutan mangrove dapat didefinisikan
sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai
yang terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang pasang dan bebas dari
genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap
garam (Santono et al., 2005).
Menurut Snedaker (1978), dalam Yudha (2007), hutan mangrove adalah
kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh disepanjang garis pantai tropis sampai
sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa disuatu lingkungan yang mengandung
garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah an-aerob. Adapun
menurut Noor et al., (2006), hutan mangrove adalah tumbuhan yang halofit yang
hidup disepanjang areal pantai yang dipengaruhi oleh pasang tertinggi sampai
daerah mendekati ketinggian rata-rata air laut yang tumbuh di daerah tropis dan
sub-tropis.
Hutan mangrove merupakan komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah
tropik dan didominasi oleh tumbuhan yang mempunyai akar napas atau
pneumatofora dan mempunyai kemampuan untuk tumbuh di daerah perairan asin.
Jenis tumbuhan yang sering dijumpai dalam ekosistem mangrove adalah genus
6
6
Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera,
Laguncularia, Aigiceras, Aegiatilis, Snaeda dan Conocarpus (Indriyanto, 2006).
Mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropika yang didominasi
oleh beberapa spesies pohon bakau yang mampu tumbuh dan berkembang pada
kawasan pasang surut pantai berlumpur. Komunitas ini pada umumnya tumbuh
pada kawasan intertidal dan supratidal yang mendapat aliran air yang mencukupi,
dan terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Karena itu
hutan mangrove dijumpai di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta dan
kawasan-kawasan pantai yang terlindung (Rusdianti dan Sunito 2012).
Ekosistem hutan mangrove disebut juga dengan hutan pasang surut karena
hutan ini secara teratur atau selalu digenangi air laut, atau dipengaruhi oleh pasang
surut air laut dan terdapat di daerah litorial yaitu daerah yang berbatasan dengan
darat. Ekosistem hutan ini juga disebut ekosistem hutan payau karena terdapat di
daerah payau (estuarin), yaitu perairan dengan kadar garam/salinitas antara 0,5 %
dan 30 % (Indriyanto, 2006)
B. Morfologi Mangrove
1. Bakau Putih (Bruguiera cylindrica).
Nama setempat: Bakau putih, burus, lindur, tanjang sukim, tanjang
Klasifikasi
Kingdom: Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi: Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas: Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas: Rosidae
Ordo: Myrtales
7
7
Bunga b. Buah c. (1) Akar, (2) Pohon a. Bunga
Famili: Rhizophoraceae
Genus: Bruguiera
Spesies: Bruguiera cylindrica (L.) Bl.
Sumber: http://www.plantamor.com
Deskripsi umum: pohon selalu hijau, berakar lutut dan akar papan yang
melebar ke samping dibagian pangkal pohon, ketinggian pohon kadang-kadang
mencapai 23 Meter. Kulit kayu abu-abu, relatif halus dan memiliki sejumlah
lentisel kecil.
Tanaman ini tumbuh mengelompok dalam jumlah besar, biasanya pada
tanah liat dibelakang zona Avicennia, atau dibagian tengah vegetasi mengrove
kearah laut. Jenis ini juga memiliki kemampuan untuk tumbuh pada tanah/substrat
yang baru terbentuk dan tidak cocok untuk jenis lainnya. Kemampuan tumbuhnya
pada tanah liat membuat pohon jenis ini sangat bergantung kepada akar nafas
untuk memperolah pasokan oksigen yang cukup, dan oleh karena itu sangat
responsif terhadap penggenangan yang berkepanjangan. Memiliki buah yang
ringan dan mengapung sehingga penyebarannya dapat dibantu oleh arus air, tapi
pertumbuhannya lambat. Perbungaan terjadi sepanjang tahun (Noor et al., 2006).
Gambar 1. Morfologi Bruguiera cylindrica Sumber: http://www.wildsingapore.com
a b c
8
8
2. Bogem (Sonneratia alba Smith).
Nama setempat: Pedada, bogem, bidada, posi-posi, kedada, perepat laut
Klasifikasi
Kingdom: Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi: Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas: Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas: Rosidae Ordo: Myrtales
Famili: Sonneratiaceae
Genus: Sonneratia
Spesies: Sonneratia alba Smith.
Sumber: http://www.plantamor.com
Deskripsi umum: pohon selalu hijau, tumbuh tersebar, ketinggian kadang-
kadang hingga 15 Meter. Kulit kayu berwarna putih tua hingga coklat, dengan
celah longitudinal yang halus. Akar berbentuk kabel dibawah tanah dan muncul
kepermukaan sebagai akar nafas yang berbentuk kerucut tumpul dan tingginya
mencapai 25 cm.
Tanaman ini merupakan jenis pionir, tidak toleran terhadap air tawar
dalam periode yang lama. Menyukai tanah yang bercampur lumpur dan pasir,
kadang-kadang pada batuan dan karang. Sering ditemukan dilokasi pesisir yang
terlindung dari hempasan gelombang, juga dimuara dan sekitar pulau-pulau lepas
pantai. Bunga hidup tidak terlalu lama dan mengembang penuh pada malam hari,
diserbuki oleh ngengat, burung dan kelelawar pemakan buah. Dijalur pesisir yang
berkarang mereka tersebar secara vegetatif. Buah mengapung karena adanya
jaringan yang mengandung air pada bijinya. Akar nafas tidak terdapat pada pohon
yang tumbuh pada substrat yang keras (Noor et al., 2006).
9
9
a. Daun b. Bunga c. Buah d. Akar
3. Api-api Jambu (Avicennia marina (Forsk.) Vierh.
Nama setempat: Api-api jambu, Api-api putih, pejapi, pai
Klasifikasi
Kingdom: Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi: Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas: Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil) Sub Kelas: Asteridae
Ordo: Scrophulariales
Famili: Acanthaceae
Genus: Avicennia
Spesies: Avicennia marina (Forsk.) Vierh. Sumber: http://www.plantamor.com
Deskripsi umum: belukar atau pohon yang tumbuh tegak atau menyebar,
ketinggian pohon mencapai 30 Meter. Memiliki sistem perakaran horizontal yang
rumit dan berbentuk pensil (atau berbentuk asparagus), akar nafas tegak dengan
sejumlah lentisel. Kulit kayu halus dengan burik-burik hijau-abu dan terkelupas
dalam bagian-bagian kecil. Ranting muda dan tangkai daun berwarna kuning,
tidak berbulu.
Merupakan tumbuhan pionir pada lantai yang terlindung, memiliki
kemampuan menempati dan tumbuh pada berbagai habitat pasang surut, bahkan
Gambar 2. Morfologi Sonneratia alba. Sumber: http://www.wildsingapore.com
a b c d
10
10
a. Bunga b. Buah c. Daun d. Akar
ditempat asin sekalipun. Jenis ini merupakan salah satu jenis tumbuhan yang
paling umum ditemukan dihabitat pasang-surut. Akarnya sering dilaporkan
membantu pengikatan sedimen dan mempercepat proses pembentukan tanah
timbul. Jenis ini dapat juga bergerombol membentuk suatu kelompok pada habitat
tertentu. Berbuah sepanjang tahun, kadang-kadang bersifat vivipar. Buah
membuka pada saat setelah matang, melalui lapisan dorsal. Buah dapat juga
terbuka karena dimakan semut atau setelah terjadi penyerapan air (Noor et al.,
2006).
4. Nyiri Batu Xylocarpus moluccensis
Nama setempat: Nyiri batu, nyirih, siri, nyirih gundik, nyuru, pamuli
Klasifikasi
Kingdom: Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi: Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas: Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas: Rosidae
Ordo: Sapindales
Famili: Meliaceae
Gambar 3. Morfologi Avicennia marina. Sumber: http://www.wildsingapore.com
a b c d
11
11
a. Bunga b. Buah c. Akar
Genus: Xylocarpus
Spesies: Xylocarpus moluccensis (Lamk) M. Roem.
Sumber: http://www.plantamor.com
Deskripsi umum: pohon tingginya antara 5-20 Meter. Memiliki akar nafas
mengerucut berbentuk cawan. Kulit kayu halus, sementara pada batang utama
memiliki guratan-guratan permukaan yang tergores dalam. Jenis mengrove
sejatidi hutan pasang surut, pematang sungai pasang surut, serta tampak sepanjang
sungai (Noor et al., 2006).
C. Jenis-jenis Hutan Mangrove
Asia merupakan daerah yang paling tinggi keanekaragaman dan jenis
mangrovenya. Di Thailand terdapat sebanyak 27 jenis mangrove, di Ceylon ada
32 jenis, dan terdapat sebanyak 41 jenis di Filipina. Di Benua Amerika hanya
memiliki sekitar 12 spesies mangrove, sedangkan di Indonesia disebutkan
memiliki sebanyak tidak kurang dari 89 jenis pohon mangrove, atau paling tidak
menurut FAO terdapat 37 jenis. Dari berbagai jenis mangrove tersebut, yang
Gambar 4. Morfologi Xylocarpus moluccensis Sumber: http://www.wildsingapore.com
a b c
12
12
hidup di daerah pasang surut, tahan air garam dan berbuah vivipar terdapat sekitar
12 famili (Irwanto, 2006)
Hutan mangrove meliputi pohon-pohonan dan semak yang terdiri dari 12
tumbuhan berbunga (Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops,
Xylocarpus, Lumnitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda dan
Conocarpus) yang termaksut ke dalam 8 Famili. Vegetasi hutan mangrove di
Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi, dengan jumlah jenis
tercatat sebanyak 202 jenis yang terdiri atas 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19
jenis liana, 44 jenis epifit dan 1 jenis sikas. Namun demikian hanya terdapat
kurang lebih 47 jenis tumbuhan yang spesifik hutan mangrove. Paling tidak
didalam hutan mangrove terdapat salah satu jenis tumbuhan dominan yang
termasuk ke dalam empat famili: Rhizophoraceae (Rhizophora, Bruguiera,
Ceriops), Sonneratiaceae (Sonneratia), Avicenniaceae (Avicennia), dan
Meliaceae (Xylocarpus) (Bengen, 2001).
Jenis mangrove yang banyak ditemukan di Indonesia antara lain adalah
jenis api-api (Avicennia sp.), bakau (Rhizophora sp.), tanjang (Bruguiera sp.), dan
bogem atau pedada (Sonneratia sp.), merupakan tumbuhan mangrove utama yang
banyak dijumpai. Jenis-jenis mangrove tersebut adalah kelompok mangrove yang
menangkap, menahan endapan dan menstabilkan tanah habitatnya (Irwanto,
2006).
13
13
D. Struktur Hutan Mangrove
Struktur hutan mangrove di Indonesia lebih bervariasi bila dibandingkan
dengan daerah lainya, dapat ditemukan mulai dari tegakan Avicennia marina
dengan ketinggian 1-2 meter pada pantai yang tergenang air laut, hingga tegakan
campuran Bruguiera, Rhizophora dan Ceriops dengan ketinggian lebih dari 30
meter (misalnya di Sulawesi Selatan). Di daerah pantai terbuka, dapat ditemukan
Nypa fruticans dan Sonneratia caseolaris. Umumnya tegakan mangrove jarang
ditemukan yang rendah kecuali mangrove anakan dan beberapa semak seperti
Acanthus ilicifolius dan Acrotichum aureum (Noor et al., 2006).
Struktur tegakan hutan merupakan hubungan fungsional antara kerapatan
pohon dengan diameternya. Struktur tegakan adalah sebaran jumlah pohon per
satuan luas tertentu pada berbagai kelas umur. Pengamatan terhadap struktur
tegakan dapat didekati dari 3 komponen, yaitu:
1. Struktur vertikal atau stratifikasi yang merupakan diagram profil
menggambarkan lapisan (strata) pohon, tiang, sapihan, semai dan herba
sebagai penyusun vegetasi tersebut.
2. Sebaran horizontal dari jenis penyusun vegetasi tersebut yang
menggambarkan letak dan kedudukan dari suatu anggota terhadap anggota
yang lain. Bentuk penyebaran tersebut dapat digolongkan menjadi tiga tipe
yaitu acak (random), berkelompok (aggregated) dan teratur (regular).
3. Kelimpahan atau banyaknya individu dari jenis penyusun tersebut.
14
14
Menurut Indrawan (1982) dalam Fachrul (2007), struktur vegetasi dibatasi
oleh tiga komponen yaitu susunan jenis tumbuhan secara vertikal atau stratifikasi
vegetasi, susunan jenis tumbuhan secara horizontal atau sebaran individu dan
kelimpahan tiap jenis tumbuhan yang ada. Kelimpahan (abudance) tumbuhan
yang ada dapat dinyatakan secara kuantitatif dengan nilai kerapatan (density) atau
berat kering bahan atau bagian tumbuhan yang dihasilkan dalam persatuan luas.
E. Manfaat Hutan Mangrove
Ekosistem mangrove merupakan sumberdaya alam pesisir yang
mempunyai peranan penting ditinjau dari sudut sosial, ekonomi dan ekologis.
Fungsi utama mangrove adalah sebagai penyeimbang ekosistem dan penyedia
berbagai kebutuhan hidup bagi manusia dan mahluk hidup lainnya. Sumberdaya
hutan mangrove, selain dikenal memiliki potensi ekonomi sebagai penyedia
sumberdaya kayu juga sebagai tempat peminjah (spawning ground), daerah
asuhan (nursery ground), dan juga sebagai daerah mencari makan (feeding
ground) bagi ikan dan biota laut lainnya, serta berfungsi untuk menahan
gelombang laut dan intrusi air laut daerah darat (Ahmad et al., 2011).
Manfaat hutan mangrove dapat dirasakan dampaknya dari sisi ekologis,
sosial, ekonomi dan sosial budaya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Anwar et
al., (2006) tentang manfaat hutan mangrove adalah sebagai berikut:
1. Manfaat ekologi
Peranan hutan mangrove dari segi ekologi antara lain:
a. Dapat mencegah terjadinya gejala-gejala alam yang membahayakan
seperti abrasi, gelombang badai dan terjadinya tsunami.
15
15
b. Mangrove juga berperan dalam penekanan laju intrusi air laut kearah
daratan
c. Hutan mangrove berfungsi sebagai penghasil serasah yang menjadi
sumber energi bagi organisme yang hidup didalamnya.
d. Semakin menurunnya luas areal hutan mangrove maka akan
memperbanyak jumlah nyamuk Anoples sp. Jadi populasi hutan
mangrove berpengaruh terhadap perkembangan nyamuk Anoples sp.
e. Hutan mangrove menjadi habitat jenis satwa liar dan menjadi habitat
fauna akuatik.
2. Manfaat Sosial Ekonomi
a. Pemanfaatan tanaman yang tumbuh didalam hutan mangrove bisa
dimanfaatkan sebagai arang yang berkualitas tinggi seperti jenis
Rhizophora apiculata dan lain sebagainya.
b. Penempatan tambak ikan yang diletakkan didekat hutan mangrove
akan didapatkan hasil yang berbeda dengan tambak yang tidak ada
hutan mangrovenya.
Manfaat beberapa jenis tanaman mangrove yang telah digunakan di
Indonesia menurut (Saparinto, 2007) antara lain : (1). Acanthus ebracteatus
(buahnya dapat digunakan untuk menghentikan perdarahan, dan untuk
mengobati luka gigitan uIar), (2). Acrostichum aureum (bagian tumbuhan muda
dapat dimakan untuk sayuran dan untuk pakan ternak), ( 3 ) . Avicennia marina
(daun yang muda untuk sayur, pollen bunganya menarik lebah madu yang
diternakkan, abu kayunya baik untuk bahan dasar sabun cuci), (4). Bruguiera
16
16
gymnirriza (kayu untuk industri arang kayu bakar, kulit batang yang muda untuk
menambah penyedap rasa ikan segar), (5). Ceriops tagal (kulit batang untuk zat
pewarna, pengawet alat tangkap nelayan dan industri batik, kayunya berkualitas
untuk kayu lapis, kulitnya dapat dimanfaatkan sebagai obat tradisional), (6).
Rhizophora mucronata (rebusan daun buah, kulit akar yang muda untuk obat
pengusir nyamuk dari badan, kulitnya sebagai obat diare, nektarnya mengandung
madu), (7). Sonneratia spp (buahnya dapat dimakan mentah, daunnya untuk
pakan ternak, cairan buah untuk bahan kosmetika menghaluskan kulit muka),
(8). Xylocarpus spp (kayunya untuk papan dan kerajinan ukiran tangan, kayu
bakar, kulitnya untuk obat diare, buah yang berminyak untuk industri kosmetika
obat rambut akarnya untuk bahan kerajinan hiasan, untuk bahan industri pensil)
F. Zonasi Vegetasi Hutan Mangrove
Zonasi adalah mintakat atau suatu daerah yang dicirikan oleh suatu
organisme atau biota yang hidupnya melimpah dan mendominasi serta seragam
pada daerah tertentu. Zonasi pada tumbuhan mangrove dapat dilihat sebagai suatu
proses suksesi dan merupakan hasil reaksi ekosistem terhadap kekuatan yang
datang dari luar. Kondisi ini terjadi disebabkan oleh adanya peran dan
kemampuan jenis tumbuhan mangrove dalam beradaptasi dengan lingkungan
yang berada di kawasan pesisir (Budiman dan Suhardjono, 1993 dalam Pramudji,
2001).
Hutan mangrove juga dapat dibagi menjadi zonasi-zonasi berdasarkan
jenis vegetasi yang dominan, mulai dari arah laut ke darat sebagai berikut:
17
17
1. Zona Avicennia, terletak paling luar dari hutan yang berhadapan langsung
dengan laut. Zona ini umumnya memiliki substrat lumpur lembek dan kadar
salinitas tinggi. Zona ini merupakan zona pioner karena jenis tumbuhan yang
ada memilliki perakaran yang kuat untuk menahan pukulan gelombang, serta
mampu membantu dalam proses penimbunan sedimen.
2. Zona Rhizophora, terletak di belakang zona Avicennia. Substratnya masih
berupa lumpur lunak, namun kadar salinitasnya agak rendah. Mangrove pada
zona ini masih tergenang pada saat air pasang.
3. Zona Bruguiera, terletak di belakang zona Rhizophora dan memiliki substrat
tanah berlumpur keras. Zona ini hanya terendam pada saat air pasang tertinggi
atau 2 kali dalam sebulan.
4. Zona Nypa, merupakan zona yang paling belakang dan berbatasan dengan
daratan.
Meskipun kelihatannya terdapat zonasi dalam vegetasi mangrove, namun
kenyataannya dilapangan tidaklah sederhana itu. Banyak formasi serta zonasi
vegetasi yang tupang tindih dan bercampur serta sering kali struktur dan korelasi
yang nampak disuatu daerah tidak selalu dapat diaplikasikan di daerah yang lain.
G. Parameter dalam Analisis Komunitas
Analisis komunitas tumbuhan merupakan suatu cara mempelajari susunan
atau komposisi jenis dan bentuk atau struktur tegakan. Dalam ekologi hutan,
satuan vegetasi yang dipelajari atau diselidiki berupa komunitas tumbuhan yang
merupakan asosiasi konkret dari semua spesies tetumbuhan yang menempati suatu
habitat. Oleh karena itu, tujuan yang ingin dicapai dalam analisis komunitas
18
18
adalah untuk mengetahui komposisi spesies dan struktur komunitas pada suatu
wilayah yang dipelajari (Indriyanto, 2006).
Hasil analisis komunitas tumbuhan disajikan secara deskripsi mengenai
komposisi spesies dan struktur komunitasnya. Struktur suatu komunitas tidak
hanya dipengaruhi oleh hubungan antar spesies, tetapi juga oleh jumlah individu
dari setiap spesies organisme (Soegianto, 1994). Lebih lanjut Soegianto (1994)
menjelaskan, bahwa hal yang demikian itu menyebabkan kelimpahan relatif suatu
spesies dapat mempengaruhi fungsi suatu komunitas, distribusi individu
antarspesies dalam komunitas, bahkan dapat memberikan pengaruh pada
keseimbangan sistem dan akhirnya akan berpengaruh pada stabilitas komunitas.
Struktur komunitas tumbuhan memiliki sifat kualitatif dan kuantitatif
menurut Soerianegara dan Indrawan (1982) dalam Fachrul (2007). Dengan
demikian, dalam deskripsi struktur komunitas tumbuhan dapat dilakukan secara
kualitatif dengan parameter kualitatif atau secara kuantitatif dengan parameter
kuantitatif. Namun persoalan yang sangat penting dalam analisis komunitas
adalah bagaimana cara mendapatkan data terutama data kuantitatif dari semua
spesies tumbuhan yang menyusun komunitas, parameter kuantitatif dan kualitatif
apa saja yang diperlukan, penyajian data, dan interpretasi data, agar dapat
mengemukakan komposisi floristik serta sifat-sifat komunitas tumbuhan secara
utuh dan menyeluruh.
1. Parameter kualitatif dalam analisis komunitas
Analisis kualitatif komunitas tumbuhan dapat dibagi kedalam beberapa
parameter yaitu sebagai berikut:
19
19
a. Fisiognomi merupakan penampakan luar dari suatu komunitas yang dapat
dideskripsikan berdasarkan kepada penampakan spesies tumbuhan dominan,
penampakan tinggi tumbuhan dan warna tumbuhan yang tampak oleh mata.
Studi ini dilakukan pada spesies dari komunitas yang dianggap penting.
b. Fenologi merupakan perwujudan spesies pada setiap fase dalam siklus
hidupnya. Bentuk dari tumbuhan berubah-ubah sesuai dengan umurnya,
sehingga spesies yang sama dengan tingkat umur yang berbeda akan
membentuk struktur komunitas yang berbeda.
c. Periodisitas merupakan kejadian musiman dari berbagai spesies dalam
kehidupan pertumbuhan. Kejadian musiman pada tumbuhan dapat ditunjukan
oleh perwujudan bentuk daun dan ukurannya, masa pembuangan, masa
bertunas dan pelurahan buah atau biji.
d. Stratifikasi merupakan distribusi tumbuhan dalam ruangan vertikal. Semua
spesies tumbuhan dalam komunitas tidak sama ukurannya, serta secara
vertikal tidak menempati ruang yang sama.
e. Kelimpahan merupakan parameter kualitatif yang mencerminkan distribusi
relatif spesies organisme dalam komunitas. Kelimpahan pada umumnya
berhubungan dengan densitas berdasarkan penaksiran kualitatif. Menurut
penaksiran kualitatif, kelimpahan dapat dikelompokkan menjadi lima, yaitu:
sangat jarang, kadang-kadang atau jarang, sering atau tidak banyak, banyak
atau berlimpah-limpah, dan sangat banyak atau sangat berlimpah.
20
20
f. Penyebaran adalah parameter kualitatif yang menggambarkan keberadaan
spesies organisme pada ruang secara horizontal. Penyebaran tersebut dapat
dikelompokkan menjadi tiga, antara lain random, seragam dan berkelompok.
g. Bentuk pertumbuhan adalah penggolongan tetumbuhan menurut bentuk
pertumbuhannya, habitat, atau menurut karakter lainnya. Bentuk pertumbuhan
yang umum dan mudah disebut misalnya pohon, semak, perdu, herba dan
liana (Gopal dan Bhardwaj, 1979 dalam Indriyanto, 2006).
2. Parameter kuantitatif dalam analisis komunitas tumbuhan
Menurut Gopal dan Bhardwaj (1979) dalam Indriyanto (2006), untuk
kepentingan deskripsi suatu komunitas tumbuhan diperlukan parameter kuantitatif
antara lain: Kerapatan, Kerapatan Relatif, Frekuensi, Frekuensi Relatif,
Dominansi, Dominansi Relatif, Indeks Nilai Penting (INP) dan Indeks
Keanekaragaman.
Analisis kuantitatif komunitas tumbuhan dapat dibagi ke dalam beberapa
parameter yaitu sebagai berikut:
a. Kerapatan (Densitas)
Densitas adalah jumlah individu per unit luas atau per unit volume.
Dengan kata lain, densitas merupakan jumlah individu organisme per satuan
ruang. Untuk kepentingan analisis komunitas tumbuhan, istilah yang mempunyai
arti sama dengan densitas dan sering digunakan adalah kerapatan diberi notasi K.
Kerapatan (K) = Jumlah individu suatu jenis
Luas seluruh petak contoh
Kerapatan Relatif (FR) = Kerapatan suatu jenis x 100%
Kerapatan seluruh jenis
21
21
b. Frekuensi
Frekuensi digunakan untuk menyatakan proporsi antara jumlah sampel
yang berisi suatu spesies tertentu terhadap jumlah total sampel. Frekuensi spesies
tumbuhan adalah jumlah petak contoh tempat diketemukannya suatu spesies dari
sejumlah petak contoh yang dibuat. Frekuensi merupakan besarnya intensitas
diketemukannya suatu spesies organisme dalam pengamatan keberadaan
organisme pada komunitas tumbuhan. Frekuensi spesies (F) dan Frekuensi relatif
dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Frekuensi (F) = Jumlah petak contoh ditemukannya suatu jenis
Jumlah seluruh petak contoh
Frekuensi Relatif (FR) = Frekuensi suatu jenis x 100%
Frekuensi seluruh jenis
Menurut Raunkiaer, 1934; Gopal dan Bhardwaj, 1979 dalam Indriyanto
(2006), frekuensi tumbuhan dibagi menjadi lima kelas yaitu:
a) Kelas A yaitu spesies yang mempunyai frekuensi 0 – 20%
b) Kelas B yaitu spesies yang mempunyai frekuensi 21 – 40%
c) Kelas C yaitu spesies yang mempunyai frekuensi 41- 60%
d) Kelas D yaitu spesies yang mempunyai frekuensi 61 – 80%
e) Kelas E yaitu spesies yang mempunyai frekuensi 81 – 100%
Menurut hukum frekuensi Raunkiaer yaitu spesies dengan frekuensi
rendah lebih banyak individunya dari pada frekuensi tinggi. Selanjutnya didalam
komunitas suatu vegetasi mempunyai bentuk sebaran yang ditentukan berdasarkan
hukum Raunkiaer yaitu sebagai berikut:
22
22
a) Jika A > B > C = < D < E, berarti spesies-spesies yang menyusun
komunitas berdistribusi normal.
b) Jika E > D, sedangkan A, B dan C rendah berarti kondisi komunitas
tumbuhan homogen.
c) Jika E < D, sedangkan A, B dan C rendah berarti kondisi komunitas
terganggu.
d) Jika B, C dan D tinggi, maka kondisi komunitas tumbuhan heterogen.
c. Dominansi (Dominance)
Dominansi adalah parameter yang menyatakan tingkat terpusatnya
dominasi (penguasaan) spesies dalam suatu komunitas. Penguasaan atau
dominansi spesies dalam komunitas bisa terpusat pada satu spesies, atau pada
banyak spesies yang dapat diperkirakan dari tinggi rendahnya indeks dominansi
(ID), dengan rumus sebagai berikut :
Dominansi (D) = Jumlah Luas Bidang Dasar suatu jenis (LBD)
Luas petak contoh
Dominansi Relatif (DR) = Dominansi suatu jenis x 100 %
Dominansi seluruh jenis
Nilai Indeks Dominansi berkisar antara 0-1. Jika indeks dominansi
mendekati nilai 0, dapat dikatakan bahwa didalam struktur komunitas tidak
terdapat spesies yang mendominasi spesies lainnya dan biasanya diikuti dengan
indeks keseragaman yang besar. Sementara jika indeks dominansi mendekati
nilai1, berarti didalam komunitas terdapat satu spesies yang mendominasi spesies
lainnya dan nilai indeks keseragaman kecil (Basmi, 2000).
23
23
d. Indeks Nilai Penting (Important Value Index)
Indeks Nilai Penting (INP) adalah parameter kuantitatif yang dapat dipakai
untuk menyatakan tingkat dominansi spesies-spesies dalam suatu komunitas
tumbuhan. Spesies-spesies yang dominan dalam suatu komunitas tumbuhan akan
memiliki indeks nilai penting yang tinggi, sehingga spesies yang paling dominan
tentu saja memiliki indeks nilai penting yang paling besar, maka jenis itu sangat
mempengaruhi kestabilan ekosistem mangrove tersebut.
Besarnya nilai INP juga menggambarkan tingkat pengaruh suatu jenis
vegetasi terhadap kestabilan ekosistem. Agar INP dapat ditafsirkan maknanya
maka digunakan kriteria berikut: nilai INP tertinggi dibagi tiga, sehingga INP
dapat dikelompokkan tiga kategori yaitu Tinggi, Sedang dan Rendah. Untuk
mengetahui jenis dominan disetiap tingkat pertumbuhan digunakan metode indeks
nilai penting (INP), dimana INP terdiri atas kerapatan relatif, frekuensi relatif, dan
dominansi relatif dengan nilai maksimum 300 % pada tingkat pohon dan tingkat
tiang sedangkan untuk tingkat semai dan tingkat pancang nilai maksimum INP
ialah 200% terdiri dari jumlah kerapatan relatif (KR) dan frekuensi relatif (FR)
Fachrul (2007). Dengan demikian INP dapat dituliskan dengan rumus sebagai
berikut:
INP = Kerapatan Relatif + Frekuensi Relatif + Dominansi Relatif
e. Indeks Keanekaragaman Jenis (Indeks Of Diversity)
Keanekaragaman spesies merupakan ciri tingkatan komunitas berdasarkan
organisasi biologinya. Keanekaragaman spesies dapat digunakan untuk
menyatakan struktur komunitas. Keanekaragaman spesies juga dapat digunakan
24
24
untuk mengukur stabilitas komunitas, yaitu kemampuan suatu komunitas untuk
menjaga dirinya tetap stabil meskipun ada gangguan terhadap komponen-
komponenya. Untuk keanekaragaman jenis dan kemantapan komunitas setiap
areal dapat digambarkan dengan Indeks Shannon (Shannon-Wiener, 1963 dalam
Odum, 1993) dengan rumus sebagai berikut:
H’ = - ∑ {n.i / N} Ln { n.i / N}
Besarnya indeks keanekaragaman spesies menurut Shannon-Wiener
didefenisikan dalam tiga tingkatan yakni:
a. Nilai H' > 3 menunjukkan bahwa keanekaragaman spesies yang ada pada
suatu transek atau stasiun berada dalam kemelimpahan yang tinggi.
b. Nilai H' 1 ≤ H' ≤ 3 menunjukkan bahwa keanekaragaman spesies pada
suatu transek atau stasiun berada dalam kemelimpahan yang sedang
c. Nilai H' < 1 menunjukkan bahwa keanekaragaman spesies pada suatu
transek atau stasiun berada dalam kemelimpahan yang sedikit atau rendah,
(Odum 1993 dalam Fachrul, 2007).
H. Metode Pengambilan Contoh
Pengambilan contoh untuk analisis komunitas tumbuhan menurut
Soegianto (1994); Kusmana (1997) dalam Indriyanto (2006) antara lain:
1. Metode petak merupakan prosedur yang paling umum digunakan untuk
pengambilan contoh berbagai tipe organisme termasuk komunitas tumbuhan,
petak yang digunakan dapat berbentuk segi empat, persegi, atau lingkaran.
Selain itu, untuk kepentingan analisis komunitas tumbuhan dapat digunakan
petak tunggal atau petak ganda.
25
25
a. Petak tunggal hanya dibuat satu petak contoh dengan ukuran tertentu yang
mewakili suatu tegakan hutan atau suatu komunitas tumbuhan. Ukuran
minimum petak contoh dapat ditentukan dengan menggunakan kurva
spesies area. Luas minimum petak contoh ditetapkan dengan dasar bahwa
penambahan luas petak tidak menyebabkan kenaikan jumlah spesies lebih
dari 5%.
b. Petak ganda pengambilan contoh vegetasi dilakukan dengan menggunakan
banyak petak contoh yang letaknya tersebar merata pada areal yang
dipelajari dan peletakkan contoh sebaiknya secara sistematik, serta
disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan dan bentuk tumbuhnya.
2. Metode jalur merupakan metode yang paling efektif untuk mempelajari
perubahan keadaan vegetasi menurut kondisi tanah, topografi dan elevasi.
Jalur-jalur contoh dibuat memotong garis kontur (garis tinggi/garis topografi)
dan sejajar satu dengan yang lainnya.
3. Metode garis berpetak dianggap sebagai modifikasi dari metode petak ganda
atau metode jalur, yaitu dengan cara melompati satu atau lebih petak-petak
dalam jalur, sehingga sepanjang garis rintisan terdapat petak-petak pada jarak
tertentu yang sama. Semua parameter kuantitatif dapat dihitung dengan
menggunakan rumus dan cara perhitungan semua parameter kuantitatif sama
dengan cara pada petak ganda maupun pada cara jalur. Bentuk peletakannya
dapat dilihat pada Gambar 5.
26
26
Gambar 5. Desain Pengambilan Contoh Dengan Metode Garis Berpetak
Keterangan :
Petak A = Petak berukuran 20 x 20 m untuk pengamatan pohon
Petak B = Petak berukuran 5 x 5 m untuk pengamatan pancang
Petak C = Petak berukuran 2 x 2 m untuk pengamatan semai
4. Metode sensus merupakan penarikan atau pengambilan data dengan jelas
melibatkan seluruh anggota populasi. Seorang peneliti meskipun mengetahui
bahwa metode sensus ini akan banyak memerlukan pikiran, memakan waktu
yang relatif lama dan biayanya mahal, namun tetap melakukan sensus, hal ini
disebabkan karena:
a. Untuk ketelitian
Suatu penelitian sering meminta ketelitian dan kecermatan yang tinggi,
sehingga memerlukan data-data yang besar jumlahnya. Apabila unsur
ketelitian dan kecermatan ini harus diprioritaskan maka harus digunakan
metode sensus.
b. Sumber bersifat heterogen
Apabila menghadapi sumber informasi yang bersifat heterogen dimana sifat
dan karakteristik masing-masing sumber sulit untuk dibedakan maka lebih
baik menggunakan metode sensus.
Arah A B
C
A B
C
27
27
I. Kerangka Pikir
Aktifitas manusia diarea pesisir telah menyebabkan gangguan dan
kerusakan serta penyempitan lahan mangrove yang berdampak menurunkan
keanekaragaman jenis mangrove. Era pembangunan yang semakin pesat dengan
pengembangan ekonomi, menempatkan wilayah pesisir dan pantai pada posisi
yang penting.
Desa Tanjung Bunga Kecamatan Lasolo Kabupaten Konawe Utara
pemerintah melakukan pengembangan ekonomi dengan melakukan pembangunan
inprastruktur jalan desa disepanjang sekitar dekat dengan vegetasi hutan
mangrove, serta sebagian untuk pemukiman, tambak ikan dan udang. Hal ini
merupakan dilema bagi kelestarian mangrove, sementara menurut Setyawan et al.,
(2003, 2006) dan Yudha (2007) bahwa pembangunan lahan di sekitar mangrove
secara nyata telah mempengaruhi kelestarian ekosistem mangrove.
Karena adanya pengembangan wilayah tersebut maka data-data kekinian
mengenai struktur tegakan dan komposisi hutan mangrove perlu diadakan.
Sehingga pengukuran yang terdiri dari dari tingkat semai, pancang dan pohon
harus dilakukan untuk semenjadi data dasar dalam pengelolaan serta sebagai
upaya perlindungan dan pelestarian hutan mangrove.
Secara ringkas kerangka pemikiran dalam penelitian ini disajikan dalam
Gambar 6 berikut :
28
28
Gambar 6. Kerangka Pikir Penelitian
INFORMASI KOMPOSISI DAN STRUKTUR VEGETASI
Analisis Vegetasi
- Frekuensi
- Kerapatan
- Dominansi
- INP
- Keanekaragaman
Komposisi dan Struktur Vegetasi
- Semai
- Pancang
- Pohon
Perubahan Ekosistem Mangrove
Analisis Komposisi dan Struktur Tegakan
Hutan Mangrove
Hutan Mangrove
di Desa Tanjung Bunga, Kab. Konawe Utara
Pengembangan Ekonomi
29
29
II. METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan dikawasan hutan mangrove di Desa Tanjung
Bunga Kecamatan Lasolo Kabupaten Konawe Utara Provinsi Sulawesi Tenggara
pada Bulan Juni 2015 sampai Januari 2016.
B. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu, tali rafia, dan tanaman
mangrove sebagai sampel penelitian dan alat tulis menulis. Sedangkan alat yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu Global Positioning System (GPS) merek
Garmin GPS 60i, kamera digital merek Cannon EOS 600 DL, meteran rol, pita
meter, parang, tally sheet, alat tulis menulis dan buku identifikasi panduan
pengenalan mangrove (Noor et al., 2006).
C. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah hutan mangrove yang terdapat di
Desa Tanjung Bunga Kecamatan Lasolo Kabupaten Konawe Utara dengan luas ±
14,67 Ha. Kriteria pembagian struktur golongan vegetasi adalah :
1. Pohon dewasa (diameter > 10 cm).
2. Tingkat pancang (sapling) yaitu tingkat pertumbuhan yang mencapai tinggi
1,5 meter dengan diameter batang 2-10 cm.
3. Tingkat semai (seedling) yaitu sejak perkecambahan sampai tinggi 1,5 meter.
30
30
Soerianegara dan Indrawan (1982) dalam Indriyanto (2006) menyatakan
bahwa besaran intensitas sampling pada analisis vegetasi bervariasi, berkisar
antara 2 – 10 % semakin luas hutan yang akan dianalisa maka intensitas sampling
yang akan digunakan semakin kecil. Hutan Mangrove di Desa Tanjung Bunga
memiliki luas ± 14,67 Ha Sehingga intensitas sampling yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu 5 % sehingga besar luas sampel 0,73 Ha. Besaran ini
ditetatapkan secara sengaja dan maksudkan untuk meningkatkan ketelitian data
serta sebagai luasan yang cukup, karena semakin tinggi intensitas sampling juga
akan berkorelasi pada waktu dan biaya yang lebih banyak.
D. Prosedur penelitian
Prosedur dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Survei awal untuk mengetahui dan menentukan lokasi penelitian
2. Pengambilan sampel menggunakan metode garis berpetak, penempatan
transek pertama dilakukan secara purposive sampling dan transek selanjutnya
dilakukan secara sistematis, dengan jarak antar transek 50 Meter
3. Mempersiapan bahan dan alat dilakukan untuk memudahkan pada saat
dilokasi penelitian yaitu:
- Tali raffia ukuran panjang 2, 5 dan 20 meter,
- Tally sheet,
- Meteran rol dan
- Buku petunjuk identifikasi karya Noor et al., (2006).
4. Jumlah transek yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sebanyak 5 transek
dengan jumlah plot masing-maing transek 3 dan 4 plot. Penempatan plot 3 dan
31
31
4 dikarenakan kondisi lokasi penelitian yang mempunyai luasan tidak
berimbang dari arah pantai ke darat.
5. Melakukan pembuatan plot ukur untuk kategori pohon berukuran 20 x 20 m,
pancang berukuran 5 x 5 m dan semai berukuran 2 x 2 m sebanyak 18 Plot
ukur mulai dari arah ujung tepi laut ke darat dengan jarak antar plot 20 Meter
dan jarak antar transek 50 Meter, (Gambar 7).
Keterangan :
Petak A = Plot berukuran 20 m x 20 m, untuk pengamatan tingkatan pohon
Petak B = Plot berukuran 5 m x 5 m, untuk pengamatan tingkatan pancang
Petak C = Plot berukuran 1 m x 1 m, untuk pengamatan tingkatan semai
6. Melakukan pengukuran keliling tegakan setiap jenis (setinggi dada), pada
kategori pohon dan pancang, serta menghitung jumlah tegakan setiap jenis
pada kategori semai.
D A
R
A
T
L A
U
T
20 m
A
B C
I
II
III
IV
V
50 m
Gambar 7. Desain transek pengamatan vegetasi
32
32
7. Melakukan identifikasi setiap jenis mangrove berdasarkan bentuk daun, buah,
bunga, batang, akar dan tekstur untuk penentuan spesies mangrove dengan
menggunakan buku identifikasi panduan pengenalan mangrove di Indonesia
karangan Noor et al., (2006).
E. Jenis dan Sumber data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder.
1. Data Primer adalah data yang dikumpulkan melalui observasi, pengamatan
dan pengukuran dilapangan yang diperoleh langsung dari subjek penelitian
dengan mengunakan alat pengukuran, data primer yang dikumpulkan di
lapangan yaitu jenis-jenis vegetasi, keliling tegakan, jumlah individu jenis,
serta kemunculan setiap jenis dalam petak pengamatan yang dihitung pada
semua kategori yaitu pohon, pancang dan semai.
2. Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari instansi/lembaga terkait
dan/atau pihak lain yang berhubungan dengan kegiatan dan tujuan penelitian
yang meliputi letak dan keadaan fisik lingkungan (topografi dan iklim), peta
kawasan serta literatur (data pendukung lain) yang relevan dengan penelitian.
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersumber dari
pengamatan langsung dilapangan yang dilakukan secara sampling melaui
observasi untuk ketegori data primer. Sedangkan data sekunder bersumber dari
instansi terkait yang bisa menunjang perolehan data dalam penelitian ini misalnya
data dari kantor Desa Tanjung Bunga dan kantor Kecamatan Lasolo Kabupaten
konawe Utara.
33
33
F. Variabel Penelitian
Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Kerapatan (K), kerapatan atau densitas merupakan jumlah individu per unit
luas atau per unit volume.
2. Frekuensi (F), frekuensi dipergunakan untuk menyatakan proporsi antara
jumlah plot yang berisi suatu spesies tertentu terhadap jumlah total plot.
3. Dominansi (D) menyatakan luas bidang dasar suatu spesies per luas petak
contoh.
4. Indeks nilai penting (INP), indeks nilai penting adalah parameter kuantitatif
yang dapat dipakai untuk menyatakan tingkat dominansi spesies dalam suatu
komunitas tumbuhan (Kusmana, 1997 dalam Indriyanto, 2006).
5. Indeks Keanekaragaman (Hi), merupakan ciri tingkatan komunitas tumbuhan
yang digunakan untuk mengukur stabilitas komunitas.
G. Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif
kualitatif dan deskriptif kuantitatif. Deskriptif kualitatif merupakan tehnik yang
memaparkan data penelitian yang disajikan dalam bentuk tabel. Data-data
numerik dikompilasi untuk melihat sebaran data, jumlah dan nilai rata-rata dari
seluruh variabel yang digunakan dalam penelitian ini. Metode deskriptif kualitatif
dilakukan melalui tiga tahap penelitian yaitu: penelitian lapangan (observasi
langsung), kajian pustaka dan analisis data (Gopal dan Bhardwaj, 1979 dalam
Indriyanto, 2006).
34
34
Analisis deskriptif kuantitatif merupakan data yang diperoleh dilapangan
ditabulasi dan dianalisis untuk menentukan besaran Kerapatan, Kerapatan Relatif,
Frekuensi, Frekuensi Relatif, Dominansi, Dominansi Relatif dan Indeks Nilai
Penting serta variabel Tingkat Keanekaragaman Jenis.
Analisis Kerapatan Jenis, Kerapatan Relatif, Frekuensi Jenis, Frekuensi
Relatif, Dominansi, Dominansi Relatif dan Indeks Nilai Penting (INP) dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:
1. Kerapatan suatu jenis (K)
K = Jumlah individu suatu jenis
Luas Seluruh petak contoh
2. Kerapatan relatif suatu jenis (KR)
KR = Kerapatan suatu jenis x 100%
Kerapatan seluruh jenis
3. Frekuensi Suatu Jenis (F)
F = Jumlah petak contoh ditemukan suatu jenis
Jumlah seluruh petak contoh
4. Frekuensi Relatif Suatu Jenis (FR)
FR = Frekuensi suatu jenis x 100 %
Frekuensi seluruh jenis
5. Dominansi (D)
D = Jumlah luas bidang dasar suatu jenis (LBDS)
Luas petak contoh
LBD = ¼ d2
; D = k
35
35
Dimana :
k = keliling batang (cm)
D = diameter setinggi dada (1,3 m)
= konstanta dengan nilai 3,14
6. Dominansi relatif suatu jenis (DR)
DR = Dominansi suatu jenis × 100 %
Dominansi seluruh jenis
7. Indeks Nilai Penting (INP)
- Untuk tingkat pancang dan semai dengan rumus :
Indeks Nilai Penting (INP) = KR + FR
- Untuk tingkat pohon dan tiang dengan rumus :
Indeks Nilai Penting (INP) = KR + FR + DR
Dimana:
INP = Indeks nilai penting (%)
KR = kerapatan relatif (%)
FR = frekuensi relatif (%)
DR = dominansi relatif (%)
8. Indeks Keanekaragaman (H’)
Keanekaragaman jenis ditentukan dengan menggunakan rumus Shannon
Index of General Diversity (Shannon-Weiner, 1963 dalam Odum, 1993):
H’ = - ∑ {n.i / N} Ln { n.i / N}
Dimana :
H’ = Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener
n.i = Jumlah individu jenis ke-I
N = Jumlah total individu
Ln = Logaritma natural
n.i/ N = proposi sampel dalam spesies
36
36
H. Indikator Penelitian
Indikator penelitian ini berdasarkan kriteria stadium pertumbuhan dapat
dilihat pada Tabel berikut ini:
Tabel 1. Indikator Kerapatan Jenis
No. Kriteria (Jenis) Indikator
1.
2.
3.
4.
5.
Tingkat kerapatan ≤ 20 pohon/ha
Tingkat kerapatan 21 – 50 pohon/ha
Tingkat kerapatan 51 – 100 pohon/ha
Tingkat kerapatan 10 – 200 pohon/ha
Tingkat kerapatan ≥ 201 pohon/ha
Sangat rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi Sumber :Kepmen KLH No. 02/1988
Tabel 2. Indikator Frekuensi Relatif (FR)
No. Kriteria Indikator
1.
2.
3.
4.
5.
Jenis dengan frekuensi 01 – 20%
Jenis dengan frekuensi 21 – 40%
Jenis dengan frekuensi 41 – 60%
Jenis dengan frekuensi 61 – 80%
Jenis dengan frekuensi 81 – 100%
Kelas A (Sangat rendah)
Kelas B (Rendah)
Kelas C (Sedang)
Kelas D (Tinggi)
Kelas E (Sangat tinggi) Sumber : Raunkiaer, 1934; Gopal dan Bhardwaj, 1979 dalam Indriyanto (2006)
Tabel 3. Indikator Indeks Dominansi (D)
No. Kriteria Indikator
1.
2.
ID mendekati nilai 0
ID mendekati nilai 1
Indeks keseragaman besar / tinggi
Indeks keseragaman kecil / rendah Sumber : Basmi (2000)
Tabel 4. Indikator Indeks Nilai Penting (INP)
No. Tingkatan Kriteria Indikator
1.
2.
Pohon dan Tiang
Pancang dan Semai
INP ≥ 15 %
INP ≥ 10 %
Jenis dikatakan berperan
Jenis dikatakan berperan Sumber : Sutisno (1993) dalam Heriyanto(2004)
Tabel 5. Indikator Indeks Keanekaragaman Jenis
No. Kriteria Indikator
1.
2.
3.
H’ > 3
H’ 1 ≤ H’ ≤ 3
H’ < 1
Kemelimpahan tinggi
Kemelimpahan sedang
Kemelimpahan sedikit atau rendah Sumber : Odum (1993) dalam Fachrul(2007)
37
37
I. Konsep Operasional
Konsep operasional adalah penarikan batasan yang lebih menjelaskan ciri-
ciri spesifik yang lebih substantive dari suatu konsep yang digunakan dalam
penelitian ini. Tujuannya agar dapat mencapai suatu alat ukur yang sesuai dengan
hakikat variabel yang sudah didefinisikan konsepnya.
1. Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat disepanjang pantai atau muara
sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut yang terletak di Desa
Tanjung Bunga Kecamatan Lasolo Kabupaten Konawe Utara.
2. Komposisi vegetasi mangrove adalah jumlah dan susunan jenis golongan
pohon, tiang, pancang dan semai pada hutan mangrove yang terdapat dalam
plot pengamatan pada lokasi penelitian.
3. Keanekaragaman jenis adalah parameter yang berguna untuk mengetahui
pengaruhnya dari gangguan biotik atau untuk mengetahui tingkat suksesi atau
kestabilan dari suatu jenis mangrove pada lokasi penelitian.
4. Analisis vegetasi adalah cara mempelajari komposisi jenis (susunan) dan
struktur vegetasi (bentuk) tumbuh-tumbuhan yang ada diwilayah yang
dianalisis.
5. Metode garis berpetak adalah modifikasi metode petak ganda atau metode
jalur dengan cara melompati satu atau lebih petak-petak dalam jalur sehingga
sepanjang garis rintis terdapat petak-petak pada jarak tertentu yang sama.
6. Proposive sampling adalah pengambilan sampel secara sengaja sesuai dengan
persyaratan sampel yang diperlukan.
38
38
7. Sampel adalah bagian terkecil dari suatu populasi yang akan diikutsertakan
dalam tempat pengambilan data.
8. Jalur ukur adalah suatu jalur yang dibuat dalam suatu populasi guna
melakukan pengamatan dengan menggunakan petak ukur.
9. Petak ukur adalah petak dengan ukuran tertentu yang dibuat guna melakukan
pengukuran dengan perhitungan vegetasi.
10. Kerapatan adalah jumlah individu jenis mangrove dalam suatu luasan tertentu
pada lokasi penelitian.
11. Frekuensi adalah jumlah petak contoh dimana ditemukan jenis mangrove
tersebut dari sejumlah petak contoh yang dibuat pada lokasi penelitian.
12. Dominansi adalah proporsi antara luas tempat yang ditutupi oleh spesies
tumbuhan mangrove dengan luas total habitat pada lokasi penelitian.
13. Indeks Nilai Penting (INP) adalah parameter kuantitatif yang dapat dipakai
untuk menyatakan tingkat penguasaan spesies-spesies dalam komunitas hutan
mangrove pada lokasi penelitian.
14. Pohon (tree) adalah tumbuhan dewasa dengan diameter lebih dari > 10 cm.
15. Pancang atau sapihan (sapling) adalah permudaan yang tingginya >1,5 m atau
lebih sampai pohon-pohon muda yang berdiameter kurang dari 10 cm.
16. Semai adalah permudaan mulai dari kecambah sampai dengan tinggi <1,5 m.
39
39
IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Letak dan Batas Wilayah
Letak geografis Kecamatan Lasolo tergolong sebagai daerah pantai dengan
topografi datar dan berbukit sehingga sangat potensial untuk pengembangan
sektor perikanan dan pariwisata. Batas wilayah Kecamatan Lasolo disebelah utara
adalah Kecamatan Molawe, sebelah timur berbatasan dengan Laut Banda, sebelah
selatan berbatasan dengan Kecamatan Lembo dan sebelah barat berbatasan
dengan Kabupaten Konawe yaitu Kecamatan Anggaberi. Luas wilayah daratan
Kecamatan Lasolo 26.250 Hektar (termasuk wilayah kepulauan).
Desa Tanjung Bunga merupakan bagian dari Kecamatan Lembo yang
mempunyai luas wilayah 158 Ha atau 0,60 % dari total luas keseluruhan
Kecamatan Lasolo, dengan batas wilayah sebagai berikut:
- Sebalah utara berbatasan dengan Desa Kampoh Bunga
- Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Alo-alo
- Sebelah timur berbatasan dengan Laut Banda
- Sebelah barat berbatasan dengan Desa Alo-alo
B. Aksesbilitas
Akses dari ibukota kecamatan keseluruh desa di wilayah Kecamatan
Lasolo relatif mudah, karena semua desa dapat dilewati dengan kendaraan mobil
dan motor, kecuali untuk desa-desa kepulauan seperti, Boenaga, Waturambaha,
dan Labengki akses ke ibukota kecamatan harus dengan menggunakan perahu
motor tempel yang pada musim Timur (April-September) gelombang cukup
40
40
tinggi. Jarak dan waktu tempuh yang dibutuhkan dari Desa Tanjung Bunga
ketempat pusat pemerintahan sebagaimana disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Aksesbilitas Terhadap Jarak dan Waktu Tempuh Antara Desa Tanjung
Bunga dengan Pusat Pemerintahan
Dari Ke Pusat
Pemerintahan
Jarak
(Km)
Waktu
Tempuh
(Menit)
Keterangan
Desa
Tanjung
Bunga
Kecamatan 25.5 15 menit Menggunakan
Mobil dan
Motor Kabupaten 41.2 35 menit
Provinsi 94.1 90 menit Sumber: Data sekunder, profil desa dan kelurahan, 2013
C. Keadaan Iklim
Curah hujan di Kecamatan Lasolo selama tahun 2013 tidak merata, hal ini
dapat dilihat pada Tabel 7. Tahun 2013 curah hujan tertinggi terjadi pada bulan
Juni yaitu 475,5 mm dengan jumlah hari hujan adalah 17 hari dan terendah pada
bulan September sebanyak 39 mm dengan jumlah hari hujan 5 hari. Jumlah curah
hujan paling sedikit adalah bulan Agustus yaitu 38 mm dengan jumlah hari hujan
4 hari.
Tabel 7. Banyaknya Hari Hujan dan Curah Hujan di Kecamatan Lasolo
Tahun 2013
No. Bulan Hari Hujan Curah Hujan
(hh) (mm)
1. Januari 8 227,0
2. Februari 10 337,0
3. Maret 12 322,5
4. April 11 185,5
5. Mei 9 209,0
6. Juni 17 475,5
7. Juli 13 403,0
8. Agustus 4 38,0
9. September 5 39,0
10. Oktober 7 180,0
11. Nopember 6 114,0
12. Desember 9 231,0
Total 111 2.761,5
Rata-Rata 9 230,1
Sumber: Data sekunder, kantor camat Lasolo 2013
41
41
D. Keadaan penduduk
Jumlah penduduk di Desa Tanjung Bunga pada Tahun 2014 adalah 487
Jiwa, yang terdiri dari 251 penduduk laki-laki dan 236 penduduk perempuan,
terdapat pada 109 rumah tangga dengan rata-rata jumlah anggota rumah tangga
sebesar 4 – 5 jiwa per rumah tangga dan seluruhnya merupakan Warga Negara
Indonesia Jumlah Penduduk Desa Tanjung Bunga menurut Jenis Kelamin
disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Data Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Jumlah Kepala
Keluarga
No Jenis Kelamin Tahun 2014
1. Jumlah Laki-laki 251
2. Jumlah Perempuan 236
Jumlah Total 487
Jumlah Kepala Keluarga 109 KK Sumber: Data Sekunder, Kantor Desa Tanjung Bunga 2014
E. Mata Pencaharian Penduduk
Mata pencaharian penduduk terbesar di Desa Tanjung Bunga pada tahun
2014 yaitu pada propesi nelayan sebanyak 85 orang, kemudian disusul wiraswasta
17 orang, tukang kayu 7 orang, Honorer 4 Orang, Petani 3 orang, tukang batu 2
orang dan kemudian pegawai negeri sipil dan bidan swasta masing-masing 1
orang. Mata pencaharian penduduk di Desa Tanjung Bunga dapat dilihat pada
Tabel 9 yaitu sebagai berikut:
42
42
Tabel 9. Data Jumlah Mata Pencaharian Menurut Jenis Kelamin dan Jumlah
Kepala Keluarga di Desa Tanjung Bunga 2013
No Jenis Pekerjaan Laki-Laki
(orang)
Perempuan
(orang)
1. Petani 2 1
2. Pegawai Negeri Sipil 1 -
3. Peternak - -
4. Nelayan 85 -
5. Honorer 3 1
6. Tukang Batu 2 -
7. Tukang Kayu 7 -
8. Penjahit - 1
9. POLRI - -
10. Pensiunan PNS/TNI/POLRI -
11. Dukun Kampung Terlatih - -
12. Bidan Swasta - 1
13. Wiraswata 5 12
Jumlah 105 16
Jumlah Total 111 Sumber: Data sekunder, kantor Desa Tanjung Bunga, 2014
43
43
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Rekapitulasi Komposisi Jenis Mangrove yang Ada di Desa Tanjung
Bunga Kecamatan Lasolo Kabupaten Konawe Utara
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap jenis mangrove di Desa Tanjung
Bunga Kecamatan Lasolo di temukan 9 (sembilan) jenis utama mangrove seperti
disajikan pada Tabel 10. Berdasarkan Tabel 10 menunjukkan bahwa jumlah jenis
yang ditemukan dalam kawasan hutan mangrove di Desa Tanjung Bunga
Kecamatan Lasolo yaitu terdapat 9 (sembilan) jenis yang terkelompok dalam 5
(lima) famili, 8 (delapan) jenis pada tingkatan pohon dan pancang, 9 (sembilan)
jenis pada tingkatan semai dengan total keseluruhan sebasar 602 individu.
Tabel 10. Rekapitulasi Jenis, Famili, Jumlah dan Tingkat Kemunculan Setiap
Jenis pada Tiap Tingkatan Vegetasi yang Ditemukan Dikawasan Hutan
Mangrove di Desa Tanjung Bunga Kecamatan Lasolo Kabupaten
Konawe Utara.
No. Nama Jenis Famili Pohon Pancang Semai Total
Ind/Jenis
1 Acrostichum aureum Pteridaceae - - 43 43
2 Avicennia marina Acanthaceae 4 1 3 8
3 Avicennia officinalis Acanthaceae 5 1 18 24
4 Bruguiera cylindrica Rhizophoraceae 15 7 34 56
5 Bruguiera gymnorrhiza Rhizophoraceae 26 8 58 92
6 Bruguiera sexangula Rhizophoraceae 7 21 91 119
7 Rhizophora stylosa Rhizophoraceae 24 38 97 159
8 Sonneratia alba Sonneratiaceae 27 15 39 81
9 Xilocarpus granatum Meliaceae 3 1 16 20
Jumlah 111 97 399 602
Sumber : Data primer setelah diolah, 2015
Tabel 10. menunjukkan bahwa dari 9 (sembilan) jenis yang ditemukan,
jenis R.stylosa merupakan jenis dengan jumlah individu yang paling ban yak
yaitu sebesar 159 individu yang terdistribusi dalam tiga tingkatan pertumbuhan,
44
44
c. Daun b. Daun d. Batang
sedangkan untuk jumlah individu terendah terdapat pada jenis A.marina yang
terkelompok dalam famili Acanthaceae dengan jumlah 8 (delapan) individu,
terdistribusi dengan sebaran 4 (empat) individu pada tingkatan pohon, 1 (satu)
individu pada tingkatan pancang dan 3 (tiga) individu pada tingkatan semai. Tabel
10 juga memperlihatkan bahwa jumlah individu yang paling banyak ditemukan
terdapat pada tingkatan semai dengan total sebanyak 399 individu, selanjutnya
diikuti pada tingkatan pohon dengan jumlah sebanyak 111 individu. Kemudian
terakhir ditemukan pada tingkat pancang dimana yang ditemukan 97 individu.
Berikut adalah deskripsi mengenai jenis-jenis yang ditemukan di lokasi penelitian
Desa Tanjung Bunga Kecamatan Lasolo Kabupaten Konawe Utara:
1. Rombio (Acrostichum aureum)
Rombio (Acrostichum aureum) merupakan salah satu jenis yang
ditemukan di lokasi penelitian dengan nama lokal yaitu (Rombio), membentuk
rumpun yang lebat,berakar serabut, bentuk daun linear, permukaanya tampa
rambut, gundul dan licin. Tata letak daunya berpasangan dan berhadapan,
sedangkan pangkal daunya bundar membusur dengan ujung daun meruncing.
Jenis ini ditemukan pada daerah terbuka dan disinari matahari.
Gambar 8. Morfologi jenis Rombio (A.aureum)
a b c
45
45
a. Bunga b. Daun c. Akar
a. Bunga b. Daun c. Akar
2. Api-api (Avicennia marina)
Api-api (Avicennia marina) merupakan jenis mangrove yang ditemukan
pada lokasi penelitian dengan nama indonesia yaitu (Api-api), memiliki diamater
batang hingga mencapai 22 cm. Memiliki akar nafas tegak berbentuk seperti
pensil. Kulit kayu halus dan terkelupas dalam bagian-bagian kecil. Bagian atas
permukaan daun berbentuk cekung. Bagian bawah daun putih-abu-abu muda.
Bentuk daunya bulat telur dengan bagian terlebar dekat ujung daun. Pangkalnya
runcing serta ujung daun berbentuk tumpul. Letak daun berpasangan dan
berhadapan.
3. Api-api (Avicennia officinalis)
Api-api (Avicennia officinalis) merupakan jenis mangrove yang ditemukan
pada lokasi penelitian dengan nama indonesia yaitu (Api-api). Mempunyai akar
Gambar 9. Morfologi jenis Api-api (A.marina)
a b c
a b c
Gambar 10. Morfologi jenis Api-api (A.officinalis)
46
46
a. Daun b. Bunga d. Akar
akar nafas yang tipis. Kulit kayu bagian luar memiliki permukaan yang agak halus
jika dibandingkan pada jenis B.gymnorrhiza memiliki warna keabu-abuan.
Permukaan atas daun berwarna hijau tua dan abu-abu kehijauan di bagian
bawahnya. Permukaan atas daun berbentuk cekung dan memiliki sejumlah bintik-
bintik putih. Pangkal dan ujung daun tumpul serta letak daunya berlawanan.
4. Burus (Bruguiera cylindrica)
Burus (Bruguiera cylindrica) merupakan jenis mangrove yang ditemukan
pada lokasi penelitian dengan nama indonesia yitu (Burus), memiliki diamater
batang hingga mencapai 17 cm. Kulit kayu berwarna abu-abu dan berakar lutut,
memiliki jumlah kelopak bunga 8 dengan warna hijau kekuningan. Permukaan
bawah daun hijau agak kekuningan. bentuknya elips memanjang ujungnya agak
meruncing. Letak daunya berseling, hanya satu helai daun melekat pada setiap
buku, daun tertata mengintari ranting seperti spiral.
Gambar 11. Morfologi jenis Burus (B.cylindrica)
a b c
47
47
a. Buah b. Batang c. Akar
a. Bunga b. Batang c. Akar
5. Tanjang (Bruguiera gymnorrhiza)
Tanjang (Bruguira gymnorrhiza) merupakan salah satu jenis mangrove
yang ditemukan dilokasi penelitian dengan nama indonesia yaitu (Tanjang),
dengan diamater batang hingga mencapai 68 cm. Pohon tegak lurus berwarna abu-
abu tua Memiliki akar lutut yang muncul kepermukaan di sekitar pohon. Daun
berkulit berwarna hijau tua pada lapisan atas dan hijau kekuningan pada bagian
bawahnya, permukaan daun tanpa rambut, gundul dan licin. Berbentuk elips
memanjang dengan bagian terlebar berada ditengah daun. Ujungnya agak
meruncing. Bunga terletak pada ketiak daun, memiliki kelopak bunga, berwarna
merah. Buah bundar dengan bentuk spiral, agak bengkok dan pada ujung buah
tumpul serta berwarna hijau tua.
6. Tongge (Bruguiera sexangula)
Gambar 12. Morfologi jenis Tanjang (B.gymnorrhiza)
Gambar 13. Morfologi jenis Tongge (B.sexangula)
a b c
a b c
48
48
a. Bunga b. Daun c. Akar
Tongge (Bruguiera sexangula) merupakan jenis pohon yang mempunyai
nama setempat (Tongge), kulit kayu berwarna coklat muda-abu-abu dengan
permukaan kasar. Diamater batang hingga mencapai 24 cm dan mempunyai akar
lutut. Daunnya tunggal dan bersilangan, bunganya terletak di ketiak daun
munculnya pertandan, memiliki kelopak bunga berwarna kemerahan. Permukaan
daun tanpa rambut dan cekung kebawah, berbentuk elips dengan bagian terlebar
berada pada dekat ujung daun, ujungnya agak meruncing.
7. Uwakata (Rhizophora stylosa)
Uwakata (Rhizophora stylosa) merupakan jenis yang mendominasi pada
hutan mangrove yang ada di Desa Tanjung Bunga Kecamatan Lasolo Kabupaten
Konawe Utara dengan nama setempat yaitu (Uwakata). Diameter batang hingga
mencapai 46 cm dan model perakaran berupa akar tunjang. Bunga muncul pada
ketiak daun serta dalam bentuk pertandan, buahnya memanjang dan agak
membulat, permukaanya kasar berwarna coklat muda. Daun lebar dengan ujung
daun yang meruncing, dibagian belakang daun terdapat bintik-bintik hitam.
Warna daun hijau muda.
Gambar 14. Morfologi jenis Uwakata (R.stylosa)
a b c
49
49
a. Buah b. Batang c. Akar
a. Buah b. Batang c. Akar
8. Peropa (Sonneratia alba)
Peropa Soneratia alba dengan nama setempat yaitu (Peropa), pohon
dengan batang besar dengan diamater batang hingga mencapai 44 cm. Akar dari
bawah tanah muncul kepermukaan sebagai akar nafas yang berbentuk kerucut
tumpul. Memiliki kelopak dengan helai kelopak menyebar dan sedikit
melengkung kearah buah, berwarna hijau. Buahnya seperti bola dengan ujung
bertangkai, benang sari jumlahnya banyak, ujungnya putih Tata letak daunya
berpasangan dan berhadapan, permukaan daun berkeriput dan tebal, tulang daun
tenggelam, bentuknya bulat telur dengan ujung daun membundar sampai berlekuk
kedalam.
9. Kondawu (Xilocarpus granatum)
Gambar 15. Morfologi jenis Peropa (S.alba)
Gambar 16. Morfologi jenis Kondawu (X.granatum)
a b c
a b c
50
50
Kondawu (Xilocarpus granatum) merupakan salah satu jenis mangrove
yang ditemukan pada lokasi penelitian dengan nama lokal yaitu (Kondawu),
memiliki diamater batang hingga mencapai 14 cm. Kulit kayu berkeriput
berwarna coklat muda dan mengelupas. Buah sangat besar seperti bola atau
kelapa, berkulit dan berwarna hijau kecoklatan. Buahnya bergelantungan pada
dahan. Daunya bertangkai kebanyakan dua pasang pertangkai, letaknya
berlawanan. Bentuknya elips ujungnya membundar.
B. Analisis Vegetasi
a. Tingkatan Pohon
Hasil analisis vegetasi tingkat pohon pada lokasi penelitian disajikan pada
Tabel 11.
Tabel 11. Tingkat Pohon dalam Kawasan Hutan Mangrove di Desa Tanjung
Bunga Kecamatan Lasolo Kabupaten Konawe Utara
Sumber : Data primer setelah diolah, 2015
Keterangan : K (kerapatan), KR (kerapatan relatif), F (frekuensi), FR (frekuensi relatif), C (dominansi), CR (dominansi
relatif), INP (indeks nilai penting).
Tabel 11 menunjukkan bahwa terdapat 8 (delapan) jenis vegetasi dalam
ketegori ukuran pohon, dengan total 154,17 pohon/Ha dan terdistribusi pada
kisaran kerapatan antara 4,17-36,11 Ind/Ha. Berdasarkan hasil perhitungan
menunjukkan bahwa kerapatan pada tingkat pohon tergolong dalam 2 kategori
No Nama Jenis K
(Ind.Ha-1
)
KR
(%) F
FR
(%)
D
(m/ha)
DR
(%)
INP
(%)
1 Avicennia marina 5,56 3,60 0,11 5 0,17 3,37 11,97
2 Avicennia officinalis 6,94 4,50 0,11 5 0,16 3,12 12,63
3 Bruguiera cylindrica 20,83 13,51 0,22 10 0,31 5,94 29,45
4 Bruguiera gymnorrhiza 36,11 23,42 0,44 20 2,11 40,74 84,16
5 Bruguiera sexangula 9,72 6,31 0,17 7,5 0,17 3,31 17,12
6 Rhizophora stylosa 33,33 21,62 0,61 27,5 0,90 17,43 66,55
7 Sonneratia alba 37,5 24,32 0,44 20 1,30 25,14 69,46
8 Xilocarpus granatum 4,17 2,70 0,11 5 0,05 0,95 8,65
Jumlah 154,17 100 2,22 100 5,19 100 300
51
51
yaitu pada jenis S.alba, R.stylosa dan B.gymnorrhiza dalam ketegori Rendah dan
sisanya yaitu jenis B.saxangula, B.cylindrica, X.granatum, A.marina dan
A.officinalis masuk dalam kategori Sangat rendah. Pembagian kerapatan tersebut
didasarkan atas nilai Baku Mutu Lingkungan (Kepmen KLH No. 02/1988), untuk
kerapatan vegetasi bahwa tingkat kerapatan ≤ 20 individu/Ha termasuk Sangat
rendah, 21-50 individu/Ha tergolong Rendah, 51-100 individu/Ha tergolong
Sedang, 101-200 individu/Ha tergolong Tinggi dan kerapatan ≥ 201 individu/Ha
tergolong Sangat tinggi.
Jenis S.alba, B.gymnorrhiza dan R.stylosa merupakan jenis yang memiliki
jumlah individu paling banyak mengungguli jenis yang lainya dengan jumlah
masing-masing 27, 26 dan 24 individu, serta mempunyai nilai kerapatan yang
tertinggi dari jenis lainya yaitu 37,5 Ind/Ha, 36,11 Ind/Ha dan 33,33 Ind/Ha.
Fenomena ini mengambarkan pola penyesuaian yang besar terhadap kondisi
habitatnya, sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu daya dukung habitat, 3
jenis ini juga dapat dikatakan sebagai ciri umum komunitas tumbuhan pada lokasi
penelitian. Jenis yang memiliki jumlah individu terendah yaitu X.granatum
dengan jumlah 3 individu hal ini tentunya berkorelasi pada tingkat kerapatan yang
memiliki nilai terendah yaitu 4,17 Ind/Ha, maka jenis ini pada lokasi penelitian
yang kondisi tanahnya bersubstrat berlumpur dan pasir memiliki adaptasi yang
kurang dalam persaingan antara komunitas tumbuhan hutan. Jenis ini tidak
mampu bersaing dalam komunitas untuk mempertahankan jenisnya baik dalam
pemenuhan unsur hara, ruang habitat, baik dari masing-masing jenis yang sama
maupun dari jenis yang berbeda.
52
52
Frekuensi suatu jenis menunjukkan penyebaran suatu jenis-jenis dalam
suatu areal. Dari analisis tingkat pohon diketahui bahwa terdapat 1 spesies
tergolong Tinggi (R.stylosa), 2 spesies tergolong sedang (B.gymnorrhiza, S.alba),
1 spesies tergolong rendah (B.cylindrica) dan 4 spesies tergolong sangat rendah
(A.marina, A.officinalis, B.sexangula, X.granatum). Dengan demikian, R.stylosa
merupakan jenis yang mampu menyebar pada berbagai wilayah dalam vegatasi
mangrove dengan nilai frekuensi sebesar 61 %, sehingga nilai ini mengambarkan
keberadaan spesies pada ruang secara horizontal tergolong Tinggi, hasil ini jika
dibandingkan pada penelitian lain yang dilakukan oleh Niko (2015) menunjukkan
bahwa ada kesamaan terhadap penelitian sebelumnya walaupun pada wilayah
yang berbeda yaitu di Desa Lalemo Kecamatan Kulisusu Utara Kabupaten Buton
Utara yang mengemukakan bahwa Jenis R.stylosa merupakan jenis yang memiliki
jumlah individu terbanyak dan penyebaran yang tinggi, dibanding dengan jenis
lainnya pada wilayah tersebut, hal ini juga berkorelasi terhadap apa yang
dikemukakan oleh Noor et al., (2006) bahwa R.stylosa memiliki wilayah
penyebaranya sepanjang Indonesia serta mampu tumbuh pada habitat yang
beragam di daerah pasang surut, lumpur, pasir dan batu. Juga merupakan
tumbuhan pionir dilingkungan pesisir atau pada bagian daratan dari mangrove,
sehingga dapat dikatakan bahwa jenis ini sebagai jenis yang memiliki adaptasi
yang tinggi terhadap lingkunganya dan dalam persaingan antara komunitas
tumbuhan hutan. Pengelolaan frekuensi didasarkan menurut Indriyanto (2006)
terdiri atas 5 (lima) kelas, yaitu kelas A adalah spesies yang mempunyai frekuensi
1 - 20% tergolong kategori Sangat rendah, kelas B adalah spesies yang
53
53
mempunyai frekuensi 21 - 40% tergolong kategori Rendah, Kelas C adalah
spesies yang mempunyai frekuensi 41 - 60% tergolong kategori Sedang, Kelas D
adalah spesies yang mempunyai frekuensi 61 - 80% tergolong kategori Tinggi dan
kelas E adalah spesies yang mempunyai frekuensi 81 – 100% tergolong kategori
Sangat tinggi.
Dominansi adalah proporsi antara luas tempat yang ditutupi oleh spesies
tumbuhan dengan luas total habitat. Jenis B.gymnorrhiza menguasai ruang
tumbuh per satuan luas (D) dan mendominasi jenis lainya (DR) berdasarkan luas
bidang dasarnya yang memiliki dominansi tinggi yaitu jenis B.gymnorrhiza
dengan nilai 40,74%, sehingga dapat dikatakan bahwa jenis ini memiliki adaptasi
yang baik serta mempu mamanfaatkan semua sumber daya yang dibutuhkan untuk
pertumbuhanya, pernyataan ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Smith
(1997) dalam Alimuddin (2010) bahwa jenis yang dominan adalah jenis yang
dapat memanfaatkan semua sumber daya yang dibutuhkan untuk pertumbuhanya
dalam suatu kompetisi, meliputi kompetisi terhadap unsur hara dan air, cahaya
dan ruang tumbuh pada lingkungan yang di tempatinya secara efisien daripada
jenis lainya dalam tempat yang sama. Sedangkan jenis yang memiliki nilai
dominansi yang lebih rendah adalah pada jenis X.granatum yaitu 0,95 %. Jenis ini
kurang mampu dalam memanfaatkan lingkungan yang ditempatinya secara efisien
sehingga spesies ini tertekan oleh jenis lain yang lebih mendominasi.
Indeks nilai penting (INP) merupakan nilai yang menggambarkan peranan
keberadaan suatu jenis dalam komunitas tumbuhan. Jenis yang memiliki INP
tertinggi merupakan jenis yang sangat mempengaruhi suatu komunitas tumbuhan.
54
54
Indeks Nilai Penting tertinggi pada tingkat pohon ditemukan pada jenis
B.gymnorrhiza dengan nilai 84,16%, S.alba dengan nilai 69,46% dan R.stylosa
yaitu dengan nilai 66,55%. Parameter Indeks Nilai Penting, berdasarkan pendapat
yang dikemukakan oleh Sutisno (1993) dalam Heriyanto (2004) bahwa tingkatan
vegetasi (pohon dan tiang) suatu jenis dapat dikatakan berperan jika INP > 15%.
Jenis tersebut tergolong memiliki peran untuk komunitas jenis mangrove yang
tumbuh disekitarnya. Nilai ini mengindikasikan bahwa jenis-jenis tersebut
mempengaruhi kestabilan ekosistem. Ketiga jenis tersebut merupakan jenis yang
paling mempengaruhi komunitas, hilangnya spesies-spesies ini akan berdampak
besar terhadap kestabilan ekosistem. Penabangan pohon secara besar-besaran pada
ketiga spesies ini akan menciptakan ruang yang luas di antara tajuk karena
memiliki kerapatan yang sangat tinggi, penyebaran yang luas, dan ukuran pohon
yang besar, sehingga memungkinkan munculnya spesies lain yang dominan. Hal
ini sejalan dengan Bengen (2001) menyatakan bahwa nilai penting berkisar antara
0-300. Ini memberikan gambaran bahwa semakin besar nilai indeks nilai penting
suatu jenis memberikan gambaran besarnya sumberdaya lingkungan yang
dimanfaatkan oleh jenis tersebut dalam pertumbuhannya. Sedangkan yang
tergolong dalam nilai INP rendah terdapat pada X.granatum, A.marina,
A.officinalis dan B.sexangula. Hal ini menunjukkan bahwa keempat jenis tersebut
merupakan jenis yang kritis karena disusun oleh kerapatan, frekuensi dan
dominasi yang kecil dengan nilai INP kurang dari 15 % yang berarti jenis-jenis
tersebut sangat rentan untuk hilang dari ekosistem hutan mangrove karena tingkat
keberadaannya yang sangat rendah.
55
55
b. Tingkat Pancang
Berdasarkan hasil perhitungan terhadap parameter kuantitatif untuk
tingkatan pancang pada lokasi penelitian maka diperoleh hasil yang disajikan pada
Tabel 12.
Tabel 12. Komposisi Vegetasi Tingkat Pancang dalam Kawasan Hutan Mangrove
di Desa Tanjung Bunga Kecamatan Lasolo Kabupaten Konawe Utara
No Nama Jenis K
(Ind.Ha-1
) KR (%) F
FR
(%)
INP
(%)
1 Avicennia marina 22,22 1,09 0,06 3,03 4,12
2 Avicennia officinalis L. 22,22 1,09 0,06 3,03 4,12
3 Bruguiera cylindrica 155,56 7,61 0,22 12,12 19,73
4 Bruguiera gymnorrhiza 177,78 8,70 0,17 9,09 17,79
5 Bruguiera sexangula 466,67 22,83 0,44 24,24 47,07
6 Rhizophora stylosa 844,44 41,30 0,61 33,33 74,64
7 Sonneratia alba J.E Smith 333,3 16,30 0,22 12,12 28,43
8 Xilocarpus granatum 22,22 1,09 0,06 3,03 4,12
Jumlah 2044,44 100 1,83 100 200
Sumber : Data primer setelah diolah, 2015
Tabel 12 memperlihatkan bahwa terdapat 2044,44 individu/Ha dengan
kisaran antara 22,22 – 844,44 individu/Ha. Pada tingkatan pertumbuhan ini
R.stylosa merupakan jenis yang memiliki kerapatan tertinggi yaitu 844,44
individu/Ha sedangkan untuk jenis yang memiliki kerapatan terendah adalah pada
jenis X.granatum, A.marina, dan A.officinalis yaitu 22,22 Ind/Ha. Berdasarkan
pembagian kerapatan (Kepmen KLH No. 02/1988) maka spesies R.stylosa,
B.sexangula dan S.alba merupakan spesies yang tergolong sangat tinggi. karena
memiliki nilai kerapatan ≥ 201 individu/Ha, jumlah tersebut sangat berlimpah
sehinga jenis ini pada lokasi penelitian memiliki adaptasi yang sangat baik dalam
persaingan antara komunitas tumbuhan hutan dan penting untuk kestabilan
ekosistem kerena Pancang merupakan generasi pelanjut untuk kelestarian
ekosistem dimasa yang akan datang. Sedangkan pada jenis X.granatum, A.marina,
56
56
dan A.officinalis yang memiliki kerapatan tergolong Rendah yaitu 22,22
individu/Ha. Jenis ini tidak mampu bersaing dalam komunitas untuk
mempertahankan jenisnya baik dalam pemenuhan unsur hara, ruang habitat, baik
dari masing-masing jenis yang sama maupun dari jenis yang berbeda. Semakin
baik kondisi hutan berarti penutupan tajuk hutannya juga semakin rapat dan lantai
hutan semakin tertutup. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya iklim mikro di
dalam hutan yang relatif baik serta akan memperkecil tumbuhnya vegetasi luar
yang akan berkembang di dalam hutan mangrove sehingga kelestarian vegetasi
mangrove bisa tumbuh dengan stabil.
Pada parameter frekuensi ditemukan bahwa terdapat 1 spesies tergolong
Tinggi yaitu pada jenis R.stylosa (61%), 1 spesies tergolong Sedang terdapat pada
B.sexangula (44%), 2 jenis ketegori Rendah yaitu S.alba (22%), B.cylindrica
(22%) dan 4 jenis yang masuk dalam kategori Sangat rendah yaitu jenis
B.gymnorrhiza (17%) serta jenis A.marina, A.officinalis dan X.granatum dengan
nilai yang sama yaitu 6%, penggolongan tersebut berdasarkan penggolongan
tumbuhan menurut frekuensinya. Hal ini menunjukkan bahwa jenis-jenis ini
masih kurang keberadaanya pada ruang secara horizontal atau rentan untuk hilang.
Jenis yang memiliki INP tertinggi merupakan jenis yang sangat
mempengaruhi suatu komunitas tumbuhan. Berdasarkan hasil perhitungan
ditemukan jenis yang berperan dalam komunitas tumbuhan yaitu R.stylosa dengan
nilai 74,64 %. Dengan demikian jenis tersebut merupakan jenis yang paling
mempengaruhi komunitas tumbuhan, jenis-jenis tersebut berdampak besar
terhadap kestabilan ekosistem karena memiliki kerapatan yang cukup tinggi dan
57
57
penyebaran yang luas. Sedangkan yang tergolong dalam nilai INP rendah terdapat
pada X.granatum, A.marina, A.officinalis dengan nilai 4,02%. Hal ini
menunjukkan bahwa 3 (tiga) jenis tersebut merupakan jenis yang kritis karena
disusun oleh kerapatan, frekuensi dan dominasi yang kecil yang berarti jenis-jenis
tersebut sangat potensial untuk hilang dari ekosistem hutan mangrove karena
tingkat keberadaannya yang juga sangat rendah.
c. Tingkat Semai
Berdasarkan hasil perhitungan terhadap parameter kuantitatif untuk
tingkatan semai pada lokasi penelitian maka diperoleh hasil yang seperti disajikan
pada Tabel 13.
Tabel 13. Komposisi Vegetasi Tingkat Semai dalam Kawasan Hutan Mangrove di
Desa Tanjung Bunga Kecamatan Lasolo Kabupaten Konawe Utara
No Nama Jenis K
(Ind.Ha-1
) KR (%) F FR (%)
INP
(%)
1 Acrostichum aureum 5972,22 10,78 0,28 13,16 23,94
2 Avicennia marina 416,67 0,75 0,06 2,63 3,38
3 Avicennia officinalis L. 2500 4,51 0,056 2,63 7,14
4 Bruguiera cylindrical 4722,22 8,52 0,22 10,53 19,05
5 Bruguiera gymnorrhiza 8055,56 14,54 0,17 7,89 22,43
6 Bruguiera sexangula 12638,89 22,81 0,44 21,05 43,86
7 Rhizophora stylosa 13472,22 24,31 0,61 28,95 53,26
8 Sonneratia alba 5416,67 9,77 0,22 10,53 20,3
9 Xilocarpus granatum 2222,22 4,01 0,06 2,63 6,64
Jumlah 55416,67 100 2,116 100 200
Sumber : Data primer setelah diolah, 2015 Keterangan : K (kerapatan), KR (kerapatan relatif), F (frekuensi), FR (frekuensi relatif), C (dominansi), CR (dominansi
relatif), INP (indeks nilai penting).
Tabel 13 menunjukkan bahwa hasil analisis komposisi vegetasi semai
menunjukkan bahwa terdapat 9 (sembilan) jenis semai yang tumbuh dibawah
tegakan pohon, dengan kerapatan 55.416 individu/Ha dalam kisaran antara 416 –
13.472 individu/Ha. Jenis yang memiliki kerapatan tertinggi yaitu pada jenis
R.stylosa dengan nilai 13.472 Ind/Ha sedangkan jenis yang memiliki kerapatan
terendah adalah pada A.marina yaitu 416 Ind/Ha. Berdasarkan pembagian
58
58
kerapatan nilai Baku Mutu Lingkungan (Kepmen KLH No. 02/1988) maka dapat
disimpulkan bahwa semua spesies tumbuhan bawah tergolong sangat Tinggi.
karena memiliki nilai kerapatan ≥ 201 individu/Ha dengan nilai yaitu 416 - 13.472
ind/Ha. Hal ini tentu sedikit besarnya dipengaruhi oleh adanya kerusakan yang
terjadi dalam kawasan penelitian yang menciptakan ruang yang luas diantara
tajuk, sehingga pemakaian ruang dan cahaya lebih signifikan untuk pertumbuhan
semai, perbungaan dan pembuahan sepanjang tahun pada spesies mangrove juga
menjadi faktor pendukung dalam kemelimpahan semai.
Pada lapisan ketiga memperlihatkan bahwa tidak ada perubahan yang
berarti terhadap macam spesies penyusun ekosistem, hanya ditemukan 1 spesies
yaitu jenis Acrostchum aureum. Pada tingkatan pertumbuhan ini, R.stylosa tetap
merupakan spesies terbanyak dalam penyebaranya yaitu tergolong Tinggi diikuti
oleh B.sexangula dalam kategori Sedang dan jenis Acrostichum aureum,
B.cylindrica, S.alba yang masuk kategori Rendah serta sisanya yang merupakan
kategori Sangat rendah yaitu pada spesies B.gymnorrhiza, X.granatum, A.marina
dan A.officinalis.
Berdasarkan kisaran frekuensi pada setiap tingkatan umur pertumbuhan
maka pola distribusi atau penyebaran spesies pada komunitas hutan mangrove di
Desa Tanjung Bunga Kecamatan Lasolo Kabupaten Konawe Utara mengalami
gangguan. Hal ini ditunjukan oleh jumlah spesies yang berdistribusi (frekuensi)
pada kategori tinggi (D) lebih sedikit dari kategori sedang (C) sedangkan A dan B
rendah, sehingga mengambarkan bahwa kondisi habitat mengalami gangguan.
Ketentuan ini didasarkan atas pembagian hutan menurut frekuensi sebaranya
59
59
bahwa apabila kelas A > B > C > = < D < E, maka spesies-spesies yang menyusun
komunitas tumbuhan berdistribusi normal. Jika E > D, sedangkan A, B dan C
rendah, maka kondisi komunitas tumbuhan homogen. Jika B, C, dan D tinggi,
maka kondisi komunitas tumbuhan heterogen. Sedangkan jika E < D, sedangkan
A, B, dan C rendah, maka kondisi komunitas tumbuhan terganggu Raunkiaer
dalam Indriyanto (2006).
Indeks Nilai Penting tertinggi pada tingkat semai ditemukan pada jenis
B.sexangula yaitu 43,86 %. Parameter INP (Indeks Nilai Penting), berdasarkan
pendapat yang dikemukakan oleh Sutisno (1993) dalam Heriyanto (2004) bahwa
tingkatan vegetasi (sapihan dan semai) suatu jenis dapat dikatakan berperan jika
INP > 10%. Dengan demikian jenis-jenis yang memiliki INP yang berperan
penting adalah jenis R.stylosa, B.sexangula, A.aureum, B.gymnorrhiza, S.alba dan
B.cylindrica dengan nilai INP antara 19% – 53%. Nilai ini mengindikasikan
bahwa jenis mangrove tersebut mempengaruhi kestabilan ekosistem.
d. Indeks Keanekaragaman
Berdasarkan hasil perhitungan terhadap parameter kuantitatif Indeks
keanekaragaman hutan mangrove disajikan pada Tabel 14. Berdasarkan data pada
Tabel 14 untuk tingkat pohon nilai total indeks keanekaragaman jenis (H’) yaitu
1,78 yang nilai tersebut menandakan bahwa indeks keanekaragaman komunitas
(H’) pada tingkat suksesi atau kestabilan dari suatu komunitas untuk tingkat
pohon masuk dalam kategori sedang dengan kriteria H’ 1-3 atau tingkat
keanekaragaman jenis sedang.
60
60
Tabel 14. Hasil Perhitungan Pada Indeks Keanekaragaman
No
Nama Latin
Nilai Indeks Keanekaragaman (H')
Pohon Pancang Semai
1 Acrostichum aureum
0,26
2 Avicennia marina 0.13 0.08 0,07
3 Avicennia officinalis L. 0.13 0.08 0,12
4 Bruguiera cylindrica 0.23 0.23 0,22
5 Bruguiera gymnorrhiza 0.36 0.22 0,25
6 Bruguiera sexangula 0.16 0.34 0,33
7 Rhizophora stylosa 0.33 0.37 0,35
8 Sonneratia alba J.E Smith 0.34 0.28 0,23
9 Xilocarpus granatum 0.10 0.08 0,11
Jumlah 1.78 1.67 1,94 Sumber : Data primer setelah diolah, 2015
Berdasarkan penilaian keanekaragaman flora nilai indeks keanekaragaman
jenis yang tergolong tinggi yaitu jenis B.gymnorrhiza dengan nilai 0,36 masuk
dalam kategori Sangat tinggi, sedangkan jenis yang tergolong rendah yaitu jenis
X.granatum dengan nilai 0,10 masuk dalam kategori Rendah, pembagian
golongan keanekaragaman jenis tersebut Berdasarkan Baku Mutu Lingkungan.
Ditunjukkan bahwa keanekaragaman 0,00-0,07 tergolong sangat rendah, 0,08-
0,15 tergolong rendah, 0,16-0,23 tergolong sedang, 0,24-0,31 tergolong tinggi
dan diatas 0,32 tergolong sangat tinggi (Kepmen KLH Nomor 02 tahun 1988).
Dengan demikian, terdapat 3 spesies Sangat tinggi yaitu B.gymnorrhiza, S.alba
dan R.stylosa, 1 spesies tergolong tinggi yaitu B.cylindrica, 1 spesies tergolong
sedang yaitu B.sexangula, dan 3 spesies tergolong rendah yaitu X.granatum,
A.marina dan A.officinalis.
Nilai Keanekaragaman untuk tingkat pancang pada lokasi penelitian
menunjukkan nilai total keanekaragaman berjumlah 1,67 yang nilai tersebut
menandakan bahwa indeks keanekaragaman komunitas pada tingkat pancang
masuk dalam kategori sedang dengan kriteria H’ 1-3. Sedangkan untuk nilai
61
61
keanekaragaman jenis nilai tertinggi ditemukan pada 2 jenis yaitu R.stylosa dan
B.sexangula dengan nilai masing-masing keanekaragaman 0,37 dan 0,34 masuk
dalam kategori sangat tinggi, 1 jenis dalam kategori tinggi, 2 jenis dalam kategori
sedang serta 3 jenis untuk kategori rendah yang terdapat pada jenis X.granatum,
A.marina dan A.officinalis dengan nilai keanekaragaman 0,08.
Sedangkan pada tingkat semai nilai total indeks keanekaragaman yaitu
sebesar 1,94. Berdasarkan besaran kriteria yang dikemukakan oleh oleh Shannon-
Weiner yaitu H’< 1 kategori Rendah, H’ 1-3 kategori Sedang dan H’ 3 > kategori
Tinggi, sehinga berdasarkan pengklasifikasian diatas maka keanekaragaman
komunitas untuk tingkat semai merupakan kategori Sedang. Selanjutnya,
berdasarkan jenis tetumbuhan yang indeks keanekaragaman tergolong sangat
tinggi terdapat 2 jenis yaitu R.stylosa dan B.sexangula, 2 jenis tergolong tinggi
yaitu pada spesies A.aureum dan B.gymnorrhiza, 1 jenis dalam kategori sedang, 2
jenis dalam kategori rendah yaitu jenis A.officinalis dan X.granatum dan sisanya
yaitu A.marina yang masuk dalam kategori sangat rendah.
Rendahnya keanekaragaman jenis pada semua tingkatan mengindikasikan
adanya gangguan dan tekanan oleh faktor luar yang menyebabkan kerusakan pada
vegetasi hutan mangrove, adanya aktifitas manusia yang melakukan pengambilan
tegakan kayu untuk keperluan bangunan rumah maupun untuk keperluan keramba
ikan dan kayu bakar dengan cara melakukan penebangan, pemanfaatan lokasi
sekitar mangrove sebagai lahan pemukiman. Selain itu, rendahnya
keanekaragaman juga akibat terjadinya pasang surut atau pengeringan yang
menyebabkan mekanika tanah berpengaruh buruk terhadap perakaran pohon serta
62
62
mengganggu pertukaran gas, udara tanah dan atmosfer. Subtrat yang berlumpur
yang berhubungan dengan penguapan dan infiltrasi pada umumnya menghambat
perkecambahan sehingga jenis vegetasi yang kurang mampu beradaptasi terhadap
subtrasi ataupun lingkungan menyebabkan adanya tegakan mangrove yang
tertekan dan mati khususnya pada tingkat semai dan pancang. Hal ini selaras
dengan apa yang dikemukakan oleh Irwanto (2006) bahwa rendahnya
keanekaragaman menandakan ekosistem mengalami tekanan atau kondisinya
mengalami penurunan, ini bisa disebabkan karena mangrove hidup pada tingkatan
ekstrim seperti kadar garam yang tinggi serta subtrat yang berlumpur. Oleh karena
itu untuk dapat hidup harus melalui seleksi yang sangat ketat dan daya adaptasi
yang tinggi.
63
63
VI. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan maka dapat disimpulkan
sebagai berikut :
1. Komposisi vegetasi hutan mangrove yang ada di Desa Tanjung Bunga
Kecamatan Lasolo terdiri dari 9 (sembilan) jenis vegetasi yaitu Acrostichum
aureum, A.marina, A.officinalis, B.cylindrica, B.gymnorrhiza, B.sexangula,
R.stylosa, S.alba, dan X.granatum. Vegetasi ini tersebar pada 8 (delapan)
Jenis pada tingkatan pohon dan pancang serta 9 jenis pada tingkatan semai.
2. Nilai Indeks Keanekaragaman Jenis (H’) pada tingkat pohon sebesar 1,78,
tingkat pancang sebesar 1,67 dan untuk tingkat semai yaitu 1,94, ketiganya
termasuk dalam kategori sedang.
B. Saran
1. Perlu dilakukan pengkayaan jenis, khususnya pada jenis-jenis yang memiliki
kerapatan dan frekuensi rendah yang rentan terhadap hilangya spesies dalam
kawasan
2. Pemerintah maupun masyarakat setempat perlu melakukan perlindungan dan
pengawasan untuk meminimalisir kerusakan kawasan yang lebih lanjut,
selain itu perlu diadakan kegiatan rehabilitasi dalam meningkatkan fungsi
hutan mangrove demi kelestarian masa kini dan masa yang akan datang.
64
64
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, F. Timban, J. Dan Suzana, B. 2011. Valuasi Ekonomi Hutan Mangrove di
Desa Palaes Kecamatan Likupang Barat Kabupaten Minahasa Utara.
Jurnal ASE, 7 (2) : 5-11
Alimuddin. 2010. Komposisi dan Struktur Vegetasi Hutan Produksi Terbatas di
Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara. Jurnal Agriplus, 20 (02) :
6-11
Anwar, Gunawan, Hendra. 2006. Peranan Ekologis dan Sosial Ekonomis Hutan
Mangrove dalam Mendukung Pembangunan Wilayah Pesisir. Ekspose
hasil-hasil penelitian. Padang, 20 September 2006.
Arisandi, P. 2001. Mangrove Jawa Timur, Hutan Pantai yang Terlupakan.
(ECOTON). Gresik.
Banasur, F. 2014. Analisis Komposisi dan Struktur Tegakan Hutan Mangrove di
Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Abeli Kota Kendari (Skripsi). Jurusan
Kehutanan Fakultas Kehutanan dan Ilmu Lingkungan.
Basmi, H.J. 2000. Planktonologi: Plankton sebagai Indikator Kualitas Perairan.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Bengen, D. G., 2001. Pedoman teknik pengenalan dan pengelolaan ekosistem
mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisisr dan Laut. Institut pertanian
Bogor. Bogor.
BP-DAS Sampara 2008. Pelaksanaan Pembangunan dan Rehabilitasi Lahan dan
Perhutanan Sosial (Inventarisasi Tahun 2004-2008). BP-DAS Sampara
Sulawesi Tenggara Kendari.
Fachrul, M. F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta.
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. 2005. Teknik Rehabilitasi
Mangrove. Fakultas Kehutanan Institut Petanian. Bogor.
Hakim, N., Nyakpa, A.M.Y., Lubis, A.M., Nugroho, S.G., Saul, M.K., Go Ban
Hong dan Barley, H.H. 2001. Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung.
Haryani, S. N., 2013. Analisis Perubahan Hutan Mangrove Menggunakan Citra
Satelit. Jurnal. Peneliti Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh – LAPAN :
42-49
65
65
Heriyanto, NM. 2004. Suksesi Hutan Bekas Tambahan Dikelompok Hutan Sungai
Lekawai-Sungai Jengonoi, Kabupaten Sintang Kalimantan Barat. Jurnal
Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. 1 (2): 5-11
Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Bumi Aksara Jakarta.
Irwanto. 2006. Keanekaragaman Fauna Pada Habitat Mangrove. Yogyakarta.
Mangrove di Indonesia. PHKA/WI-IP, Bogor.
Irwanto. 2013. Teknik Analisis Vegetasi Metode Dengan Petak. http://
www.irwantoshut.net/analisis_vegetasi_Teknik_Analisis_Vegetasi.html.
Diakses: 06 November 2015
John. 2012. Mangrove conservation. www.wildsingapore.com/wildfacts/plants/
mangrove.htm. Diakses: 06 November 2015
Nasir. 1993. Penilaian Ekonomi Ekosistem Mangrove dan Aplikasinya dalam
Perencanaan Wilayah Pesisir. Graha Ilmu. Jogyakarta.
Niko, R. 2015. Analisis komposisi dan Struktur Hutan Mangrove di Desa Lelamo
Kecamatan Kulisusu Utara Kabupaten Konawe Utara. Skripsi Jurusan
Kehutanan Fakultas Kehutanan dan Ilmu Lingkungan.
Odum, E. HLM. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Terjemahan oleh Tjahjono
Samingan dari Buku Fundamentals of Ecology. Yogyakarta. Gadjah Mada
Universitas.
Plantamor. 2008. Plantamor Situs Dunia Tumbuhan, Data Tumbuhan.
http://plantamor.com. Diakses: 06 November 2015
Poedjirahajoe, E. 2007. Dendrogam Zonasi Pertumbuhan Mangrove Berdasarkan
Habitat Di Kawasan Rehabilitasi Pantai Utara Jawa Tengah Bagian
Barat. Jurnal Ilmu Kehutanan. 1(2): 5-9
Pramudji. 2001. Studi Ekosistem Hutan Mangrove di Beberapa Pulau Kepulauan
Tanimbar, Maluku Tenggara. Lingkungan dan Pembangunan 16 (3) : 200-
209.
Putra, A, M,. 2010. Studi Kesesuaiyan Lingkungan Untuk Rehabilitasi Mangrove
di Desa Sorue Jaya Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe Selatan
Sulawesi Tenggara. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Rohman, Fatchur dan I Wayan Surberartha.2001.Petunjuk Praktikum Ekologi
Tumbuhan.JICA: Malang
66
66
Rusdianti, K., dan Sunito, S. 2012. Konservasi Lahan Hutan Mangrove Serta
Upaya Penduduk Lokal Rehabilitasi Ekosistem Mangrove. Jurnal
Sosiologi Pedesaan. 06 (01) : 5-9
Noor, YR., M. Khazali, dan I N.N. Suryadiputra. 2006. Panduan Pengenalan
Mangrove di Indonesia. Cetakan Kedua. PHKA/WI-IP, Bogor.
Salimudin, LD,. 2012. Analisis komposisi dan Struktur Tegakan Hutan Mangrove
di Kecamatan Kulisusu Kabupaten Buton Utara. Skripsi Jurusan
Kehutana, Fakultas Pertanian, Universitas Haluoleo.
Santono, N., Bayu, C.N., Ahmad, F.S, dan Ida, F. 2005. Resep Makanan
Berbahan Baku Mangrove dan Pemanfaatan Nipah. Lembaga
Pengembangan dan Pengkajian Mangrove.
Saparinto, C., 2007. Pendayagunaan Ekosistem Mangrove. Dahara Priza.
Semarang.
Setyawan, A. D., Indrowuryatno, Wiryanto, K. Winarno, dan A. Susilowati. 2006.
Tumbuhan Mangrove di Pesisir Jawa Tengah: 1. Keanekaragaman Jenis.
Biodiversitas. 6 (2): 90-94.
Setyawan, A. D., K. Winarno, dan P. C. Purnama. 2003. REVIEW: Ekosistem
Mangrove di Jawa: 1. Kondisi Terkini. Biodiversitas. 4 (2) : 124-130.
Soegianto, A. 1994. Ekologi Kuantitatif: Metode Analisis Populasi dan
Komunitas. Jakarta: Penerbit Usaha Nasional.
Subiandono, E. Dan Herianto, N,M. 2012. Komposisidan Struktur Tegakan
Biomasa dan Potensi Kandungan Karbon di Taman Nasional Alas Purwo.
Jurnal Penelitian dan Konservasi Alam. 9 (1) : 8-10
Yudha, I. G. 2007. Kerusakan Wilayah Pesisir Pantai Timur Lampung. Laporan
Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Lampung 2007. Program Studi
Budidaya Perairan FP Universitas Lampung. Lampung.
67
67
68
68
Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian
68
69
69
Lampiran 2. Peta Lokasi Penempatan Transek
69
70
70
Lampiran 3. Perhitungan analisis vegetasi pada tingkat pohon
Keterangan :
Luas Plot : Ukuran plot (20m x 20m) / Hektar (10.000)
Total luas plot : Luas plot x jumlah plot (18)
D (m) : Diameter
LBDS : Luas Bidang Dasar
K : Kerapatan
KR (%) : Kerapatan Relatif (persen)
F : Frekuensi
FR (%) : Frekuensi Relatif (persen)
C : Dominansi
CR (%) : Dominansi Relatif (persen)
INP : Indeks Nilai Penting
INP Pohon : KR (%) + FR (%) + CR (%)
H’ : Indeks Keanekaragaman
No Nama Jenis Plot
Ditemukan
Jumlah
Individu
D
(m)
LBDS
(m)
K
(Ind.Ha-1)
KR
(%) F
FR
(%)
C
(m/ha)
CR
(%)
INP
(%) H'
1 Sonneratia alba J.E Smith 8 27 5,03 0,94 37,5 24,32 0,44 20 1,30 25,14 69,46 0,34
2 Bruguiera sexangula 3 7 1 0,12 9,72 6,31 0,17 7,5 0,17 3,31 17,12 0,16
3 Rhizophora stylosa 11 24 4,04 0,65 33,33 21,62 0,61 27,5 0,90 17,43 66,55 0,33
4 Bruguiera gymnorrhiza Lamk. 8 26 6,03 1,52 36,11 23,42 0,44 20 2,11 40,74 84,16 0,36
5 Bruguiera cylindrical 4 15 2,10 0,22 20,83 13,51 0,22 10 0,31 5,94 29,45 0,23
6 Xilocarpus granatum 2 3 0,36 0,04 4,17 2,70 0,11 5 0,05 0,95 8,65 0,10
7 Avicennia marina 2 4 0,80 0,13 5,56 3,60 0,11 5 0,17 3,37 11,97 0,13
8 Avicennia officinalis L. 2 5 0,75 0,12 6,94 4,50 0,11 5 0,16 3,12 12,63 0,13
Jumlah
111 20,09 3,73 154,17 100 2,22 100 5,19 100 300 1,78
70
0
71
71
Lampiran 4. Perhitungan analisis vegetasi pada tingkat pancang
No. Nama Jenis Plot
Ditemukan
Jumlah
Individu K (Ind.Ha-1) KR (%) F FR (%) INP (%) H'
1 Sonneratia alba J.E Smith 4 15 333,3 16,30 0,22 12,12 28,43 0,28
2 Bruguiera sexangula 8 21 466,67 22,83 0,44 24,24 47,07 0,34
3 Rhizophora stylosa 11 38 844,44 41,30 0,61 33,33 74,64 0,37
4 Bruguiera gymnorrhiza Lamk. 3 8 177,78 8,70 0,17 9,09 17,79 0,22
5 Bruguiera cylindrica 4 7 155,56 7,61 0,22 12,12 19,73 0,23
6 Xilocarpus granatum 1 1 22,22 1,09 0,06 3,03 4,12 0,08
7 Avicennia marina 1 1 22,22 1,09 0,06 3,03 4,12 0,08
8 Avicennia officinalis L. 1 1 22,22 1,09 0,06 3,03 4,12 0,08
Jumlah
92 2044,44 100 1,83 100 200 1,67
Keterangan :
Luas Plot : Ukuran plot (5 m x m) / Hektar (10.000)
Total luas plot : Luas plot x jumlah plot (18)
D (m) : Diameter
LBDS : Luas Bidang Dasar
K : Kerapatan
KR (%) : Kerapatan Relatif (persen)
F : Frekuensi
FR (%) : Frekuensi Relatif (persen)
C : Dominansi
CR (%) : Dominansi Relatif (persen)
INP : Indeks Nilai Penting
INP Pohon : KR (%) + FR (%)
H’ : Indeks Keanekaragaman
71
72
72
Lampiran 5. Perhitungan analisis vegetasi pada tingkat semai
No Nama Jenis Plot
Ditemukan
Jumlah
Individu
K
(Ind.Ha-1)
KR
(%) F
FR
(%)
INP
(%) H'
1 Sonneratia alba J.E Smith 4 39 5416,67 9,77 0,22 10,53 20,3 0,23
2 Bruguiera sexangula 8 91 12638,89 22,81 0,44 21,05 43,86 0,33
3 Rhizophora stylosa 11 97 13472,22 24,31 0,61 28,95 53,26 0,35
4 Bruguiera gymnorrhiza Lamk. 3 58 8055,56 14,54 0,17 7,89 22,43 0,25
5 Bruguiera cylindrica 4 34 4722,22 8,52 0,22 10,53 19,05 0,22
6 Xilocarpus granatum 1 16 2222,22 4,01 0,06 2,63 6,64 0,11
7 Avicennia marina 1 3 416,67 0,75 0,06 2,63 3,38 0,07
8 Avicennia officinalis L. 1 18 2500 4,51 0,056 2,63 7,14 0,12
9 Acrostichum aureum 5 43 5972,22 10,78 0,28 13,16 23,94 0,26
Jumlah
55416,67 55416,67 100 2,116 100 200 1,94
Keterangan :
Luas Plot : Ukuran plot (2 m x 2 m) / Hektar (10.000)
Total luas plot : Luas plot x jumlah plot (18)
D (m) : Diameter
LBDS : Luas Bidang Dasar
K : Kerapatan
KR (%) : Kerapatan Relatif (persen)
F : Frekuensi
FR (%) : Frekuensi Relatif (persen)
C : Dominansi
CR (%) : Dominansi Relatif (persen)
INP : Indeks Nilai Penting
INP Pohon : KR (%) + FR (%)
H’ : Indeks Keanekaragaman
72
73
73
Lampiran 7. Daftar jenis mangrove yang teridenfikasi di Desa Tanjung Bunga pada tingkat pancang
No Jenis Spesies Famili Lokasi
Transek Lokasi Petak
Total Petak
ditemukan Jenis
1 Sonneratia alba J.E Smith Sonneratiaceae 2,3 1,2,3,4 4
2 Bruguiera sexangula Rhizophoraceae 2,3,4 1,2,3,3,4,1,2,3 8
3 Rhizophora stylosa Rhizophoraceae 1,2,3,4,5 2,3,1,2,3,1,2,3,1,4,1,4 11
4 Bruguiera gymnorrhiza Lamk. Rhizophoraceae 1,4,5 1,4,2 3
5 Bruguiera cylindrical Rhizophoraceae 3,4,5 1,2,4,1 4
6 Xilocarpus granatum Meliaceae 5, 3, 1
7 Avicennia marina Avicenniaceae 1, 3, 1
8 Avicennia officinalis L. Avicenniaceae 5, 2, 1
Lampiran 6. Daftar jenis mangrove yang teridenfikasi di Desa Tanjung Bunga pada tingkat pohon
No Jenis Spesies Famili Lokasi
Transek Lokasi Petak
Total Petak
ditemukan Jenis
1 Sonneratia alba J.E Smith Sonneratiaceae 1,2,3,5 1,3,1,2,3,1,4,1 8
2 Bruguiera sexangula Rhizophoraceae 2,3,4 1,3,3 3
3 Rhizophora stylosa Rhizophoraceae 1,2,3,4,5 2,3,1,2,3,2,4,2,4,1,4 11
4 Bruguiera gymnorrhiza Lamk. Rhizophoraceae 1,4,5 1,2,1,2,4,2,3,4 8
5 Bruguiera cylindrical Rhizophoraceae 3,5 1,2,4,1 4
6 Xilocarpus granatum Meliaceae 5, 2,3 2
7 Avicennia marina Avicenniaceae 1, 2,3 2
8 Avicennia officinalis L. Avicenniaceae 5, 2,3 2
73
74
74
Lampiran 8. Daftar jenis mangrove yang teridenfikasi di Desa Tanjung Bunga pada tingkat semai
No Jenis Spesies Famili Lokasi
Transek Lokasi Petak
Total Petak
ditemukan Jenis
1 Sonneratia alba J.E Smith Sonneratiaceae 2, 1,2,3 3
2 Bruguiera sexangula Rhizophoraceae 2,3,4 1,2,3,3,4,1,2,3 8
3 Rhizophora stylosa Rhizophoraceae 1,2,3,4,5 2,3,1,2,3,1,2,1,2,3,4,1 12
4 Bruguiera gymnorrhiza Lamk. Rhizophoraceae 1,4,5 1,1,2,4,2,3,4 7
5 Bruguiera cylindrica Rhizophoraceae 3,5 1,2,4,1 4
6 Xilocarpus granatum Meliaceae 5, 2, 1
7 Avicennia marina Avicenniaceae 1, 3, 1
8 Avicennia officinalis L. Avicenniaceae 5, 4, 1
9 Acrostichum aureum Pteridaceae 3,4 1,2,3,4,4 5
74
75
Lampiran 9. Dokumentasi Penelitian
1. Foto di kawasan penelitian Desa Tanjung Bunga Kabupaten Konawe Utara
2. Foto dalam buku Noor et al., 2006
3. Foto di kawasan penelitian Desa Tanjung Bunga Kabupaten Konawe Utara
Acrostichum aureum A.marina A.officinalis
Acrostichum aureum A.marina A.officinalis
B.cylindrica B.gymnorrhiza B.sexangula
76
76
4. Foto dalam buku Rusila Noor et al, 2006
5. Foto di kawasan penelitian Desa Tanjung Bunga Kabupaten Konawe Utara
6. Foto dalam buku Rusila Noor et al, 2006
Lokasi Penelitian di Desa Tanjung Bunga
Kecamatan Lasolo
Pengukuran Luasan Penelitian
Menggunakan GPS
B.cylindrica B.gymnorrhiza B.sexangula
Rhizophora stylosa Sonneratia alba J.E Xilocarpus granatum
Rhizophora stylosa Sonneratia alba J.E Xilocarpus granatum
77
\
Persiapan Tali Ukur Untuk Pembuatan
Jalur dan Plot Pengamatan
Pembuatan Jalur dan Plot Pengamatan
Pengukuran Keliling
Batang
Pengukuran Keliling
Batang
Pengukuran Keliling
Batang
Gambar Bunga Gambar Akar Lutut Gambar Pohon
top related