statin
Post on 26-Dec-2015
115 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
1. Mekanisme Kerja Statin sebagai Obat Hipolipidemik
Kolesterol memegang peranan penting dalam fungsi tubuh, tubuh
membutuhkan kolesterol untuk membentuk membrane sel, membuat hormon,
vitamin D dan asam empedu yang membantu mencerna makanan dalam usus.
Namun akan menimbulkan masalah bila kadarnya berlebih dalam darah. Kolesterol
disintesis di dalam hati. Acetyl Co-A diubah menjadi 3-hydroxy-3-methylglutaryl
coenzyme A (HMG C0-A) oleh HMG Co-A sintetase, kemudian HMG Co-A diubah
menjadi mevalonate oleh HMG Co-A reduktase. Selanjutnya mevalonate diubah
menjadi molekul dasar isoprene, isopentenyl pyrophosphate (IPP) bersamaan
dengan hilangnya CO2. IPP diubah menjadi squalene, yang akhirnya squalene
diubah menjadi kolesterol.5,13,17
Gambar 1. Mekanisme Biosintesis Kolesterol18
Statin adalah inhibitor yang kompetitif terhadap enzim HMG-Coa reduktase,
yang mengontrol biosintesis kolesterol. Secara keseluruhan statin memiliki efek
untuk menurunkan kadar kolesterol LDL sebesar 20-55%, tergantung jenis statin
yang digunakan. Statin juga menurunkan kadar trigliserida sebesar 7-30%, dan
melalui mekanisme yang belum diketahui meningkatkan kadar kolesterol HDL
sebanyak 5-15%.13
Statin menurunkan kadar kolesterol dengan cara menghambat secara
kompetitif HMG Co-A reduktase sehingga asetil Ko-A tidak dapat berubah menjadi
HMG Co-A sehingga produksi kolesterol dihati menjadi terhambat.18 Dengan
menghambat produksi kolesterol di hati, statin menurunkan kadar kolesterol LDL
dengan 3 mekanisme, yaitu :13
Mengurangi kolesterol intrahepatik dengan menginduksi peningkatan ekspresi
gen reseptor LDL sehingga menyebabkan lebih banyak reseptor LDL yang
muncul pada permukaan hepatosit, yang memfasilitasi pengikatan dan
beredarnya LDL dari sirkulasi.
Sirkulasi precursor LDL yang dikenal sebagai lipoprotein densitas sangat
rendah (VLDL) dan lipoprotein densitas moderate (IDL) dihilangkan lebih
cepat dari peredaran karena mereka cross-recognition dengan reseptor LDL
hati.
Produksi VLDL hati menurun untuk mengurangi ketersediaan kolesterol
intraseluluer demi perakitan lipoprotein. Karena katabolisme VLDL dalam
sirkulasi membentuk LDL, maka menurunkan produksi VLDL juga akan
menurunkan jumlah LDL. Menurunnya produksi VLDL juga berkaitan dengan
efek statin yang menurunkan kadar trigliserida, karena lipoprotein ini adalah
pembawa utama trigliserida dalam sirkulasi.
Penurunan dari kadar LDL akan mengurangi kadar lipid pada lesi
aterosklerosis dan meningkatkan stabilisasi plak, sehingga mengurangi kerentanan
plak untuk pecah, dimana juga akan menurunkan kemungkinan pembentukan
trombus dan sumbatan pada pembuluh darah.13
2. Efek Pleiotropik Statin
Statin digunakan sangat luas pada pasien-pasien dengan penyakit jantung
koroner karena banyak penelitian-penelitian membuktikan bahwa statin mengurangi
angka kematian, kejadian kardiovaskular dan stroke walaupun kadar kolesterol LDL
nya tinggi atau dalam kisaran normal. Pada beberapa studi pasien yang tidak
diketahui memiliki penyakit jantung koroner, terapi statin telah terbukti mengurangi
kejadian koroner pada pasien dengan risiko tinggi, pada mereka dengan kadar
kolesterol LDL yang tinggi ataupun dengan kadar total kolesterol rata-rata tetapi
memiliki kadar kolesterol HDL yang rendah.13
Meningkatkan fungsi endotel
Selain sifatnya sebagai modulasi lipid, statin memiliki efek
kardioprotektif lainnya yaitu meningkatkan fungsi endotel. Adanya disfungsi
endotel yang terjadi pada penyakit jantung koroner terjadi akibat adanya
vasokonstriksi dari asetilkolin dan gangguan pada sintesis dan aktivitas
endothelium nitrit oksida.19,20
Dasar molekulnya berkaitan dengan interaksi produksi nitrit okside
ditingkat seluler.21 Statin meningkatkan fungsi endotel dengan upregulasi
ekspresi dan aktivitas endothelial Nitric Oxide Syntase (eNOS) yang juga
memegang peranan dalam antioksidan. Sintesis nitrit oksida endothelial
diregulasi melalui dua jalur yang berbeda. Jalur pertama adalah dengan
mengaktifkan protein kinase (Akt) pada sel endotel yang merupakan regulator
penting dari sejumlah proses seluler shingga meningkatkan fosforilasi substrat
Akt endogen dan meningkatkan produksi nitrit oksida. Jalur kedua adalah
penghambatan dari geranylgeranylation dari G-protein Rho kecil.21,22,23
Antioksidan
Mekanisme lain dimana statin dapat mempengaruhi endothelium adalah
melalui efek antioksidannya. Statin dapat menghambat oksidasi LDL dan
VLDL, menghambat aktivitas makrofag untuk mengoksidasi lipoprotein atau
menurunkan aktivitas makrofag CD 36 yang merupakan reseptor yang diakui
untuk oksidasi LDL.24 Statin melemahkan angiotensin II (Ang II) yang
menginduksi produksi radikal bebas pada otot polos pembuluh darah dengan
menghambat Rac1-dimediasi oleh aktivitas NAD(P)H oksidase dan
downregulasi angiotensin AT1-receptor expression. Sejalan dengan hipotesis
ini, studi RECIFE yang termasuk didalamnya 60 pasien dengan miokard
infark akut, dilaporkan bahwa penggunaan pravastatin 40mg/hari dapat
meningkatkan fungsi endotel, dan juga mengurangi total kolesterol dan
kolesterol LDL sebesar 23 dan 33%.18
Stabilisasi plak
Pengurangan dari kolesterol LDL dapat mengurangi ukuran dari lipid
core. Statin menghambat penyerapan LDL teroksidasi oleh CD36 dan
menghambat oksidasi makrofag sehingga mengurangi pembentukan sel busa.
Melemahnya fibrous cap pada plak yang tidak stabil berhubungan dengan
meningkatnya produksi Matriks Metalloproteinase (MMP) oleh makrofag. 18,24
Dalam sebuah studi mengenai pravastatin, pasien dengan stenosis arteri
carotid menerima pravastatin 40mg/hari dengan tanpa terapi selama 3 bulan
sebelum endaterectomi karotis. Plak berkurang secara signifikan pada mereka
yang mendapat terapi statin dengan berkurangnya lipid dan LDL teroksidasi.,
dimana kadar makrofag dan sel T juga berkurang, selain itu apoptosis dan
penghambat matriks metalloproteinase meningkat secara signifikan.24
Sejumlah penelitian juga telah menunjukkan bahwa statin mengurangi
ekspresi dan aktivitas MMP. Penelitian terbaru mengatakan bahwa statin dapat
mencegah terjadinya pecah plak melalui penurunan ekspresi MMP-9.18
Anti inflamasi
Selama satu dekade terakhir, inflamasi memegang peranan dalam
terjadinya aterosklerosis. Peningkatan penanda-penanda inflamasi seperti C-
Reactive Protein (CRP), Interleukin 6 (IL6), Intracelluler Adhesion Molecule-
1 (ICAM-1), dan serum amiloid A (SAA) memiliki hubungan dengan
peningkatan kejadian kardiovaskular.24 Menghambat pembentukan
mevalonate, isoprenoid dan mencegah pembentukan geranyl-geranyl
pirofosfat, statin memegang peranan dalam menghambat kaskade inflamasi.
Studi mengenai Rosuvastatin menunjukkan bahwa rosuvastatin mencegah
terjadinya translokasi Rho A ke plasma membrane, inhibisi dari Rho dapat
mencegah penghambatan aktivitas nitrit oksida.18,24
Pada studi CARE, pasien dengan kadar serum Amyloid A dan C-
Reactive Protein (CRP) yang tinggi memiliki risiko tinggi terjadinya penyakit
kardiovaskular. Pravastatin mengurangi kejadian kardiovaskular hingga 54%
pada pasien dengan mengurangi inflamasi. 18,24
Pada studi MIRACL, dosis tinggi atorvastatin dapat mengurangi kadar
CRP sebanyak 34% dan serum amiloid A sebesar 13% yang berhubungan
dengan berkurangnya kejadian ulang iskemik. 18,24
Tousoulis dkk menunjukkan bahwa dosis rendah atorvastatin dapat
menurunkan penanda-penanda inflamasi seperti interleukin 6 (IL-6), Tumor
Necrosis Factor alpha (TNF-a), soluable Vascular Cell Adhesion Molecule
1(sVCAM-1) dan Monocyte Chemotactic Protein 1 (MCP-1) pada pasien yang
menerima terapi statin dibandingkan dengan grop placebo.18
Statin juga berperan dalam mengurangi adhesi dan kemotaksis molekul
yang akan menghambat aktivitas integrin yang juga memegang peranan
dalam proses inflamasi.24
Trombosis
Sanguigni dkk menunjukkan bahwa statin memiliki menfaat pada proses
trombotik. Pada studi ini 30 pasien hiperkolesterolemia dan 20 pasien control.
Dosis atorvastatin 10 mg/hari selama 3 hari menurunkan platelet pada
pembentukan thrombin secara signifikan. Torsoulis dkk juga menunjukkan
statin memiliki efek terhadap thrombosis, dimana pada penelitian tersebut 45
pasien dengan angina pectoris tidak stabil dengan kolesterol yang normal
diberikan atorvastatin 10 mg/hari selama 6 minggu, dengan kontrolnya pasien
yang tidak menerima obat. Dosis rendah atorvastatin dapat memblok
peningkatan faktor von willebrand selama minggu pertama pengobatan, juga
menghambat faktor V, protein C dan antitrombin III. 18
Efek statin lainnya adalah menstimulasi sel progenitor endothelial, dimana sel
progenitor memiliki peranan dalam memperbaiki kerusakan iskemik dan berperan
dalam pembentukan neovaskularisasi, serta berfungsi sebagai imunomodulator
dimana mekanisme imun juga memegang peranan penting dalam proses
aterogenesis.24
3. Efek Samping Statin
Statin adalah obat yang memiliki toleransi baik. Beberapa efek samping yang
timbul akibat pemakaian obat golongan statin ini antara lain gangguan
gastrointestinal ringan. Efek samping yang signifikan adalah adanya
hepatotoksisitas dan miopati. Dimana hepatotoksisitas terjadi tergantung dosisnya,
dan kurang lebih sekitar 1% dari keseleruhan pasien. Efek samping lainnya yang
dapat ditimbulkan dari obat golongan statin antara lain kelelahan, anoreksi hingga
penurunan berat badan. Kebanyakan pasien ada yang tidak bergejala tetapi pada
pemeriksaan laboratorium terjadi peningkatan kadar enim transaminase (SGOT dan
SGPT). Resiko terjadinya toksisitas hepar pada penggunaan statin meningkat pada
mereka yang mengkonsumsi alcohol.13
Miopati terutama terjadi pada otot kaki ataupun tangan secara simetris, dan
bervariasi mulai dari mialgia dan ketidaknyamanan pada otot, hingga yang paling
jarang yaitu terjadinya rhabdomiolisis (kerusakan otot) yang disertai dengan
mioglobinuria dan gangguan fungsi ginjal. Kejadian kerusakan otot ini meningkat
dengan adanya penggunaan obat lainnya, termasuk obat untuk menurunkan kadar
lemak seperti obat golongan niasin, dan fenofibrat, obat antibiotic makrolid seperti
eritromicin, claritromicin, obat anti jamur seperti ketokonazole, dan itrakonazole.13
Menurut American Heart Association Guidelines tahun 2013 mengenai terapi
kolesterol untuk mengurangi risiko kardiovaskular aterosklerotik pada dewasa,
kondisi-kondisi pasien yang biasanya menimbulkan efek samping pada penggunaan
statin adalah mereka dengan gangguan fungsi hati atau ginjal, riwayat intoleransi
statin sebelumnya atau gangguan otot sebelumnya, umur > 75 tahun, peningkatan
enzim transaminase dalam hal ini SGOT > 3x dari nilai normal yang tidak dapat
dijelaskan penyebabnya, riwayat penyakit stroke dengan perdarahan, dan orang-
orang keturunan asia.25
STATIN DAN RISIKO DIABETES
Pada 28 Februari 2012, US Food and Drug Administration (FDA) memperbarui keterangan mengenai statin; di samping memberikan rekomendasi pemantauan fungsi hepar dan laporan kehilangan memori, FDA juga memperingatkan terhadap kemungkinan kejadian baru diabetes melitus dan perburukan kontrol glikemik pada pasien pengguna statin. Perubahan ini menimbulkan debat mengenai risiko diabetes pada penggunaan statin dan implikasi efek tersebut.7
Penurunan kolesterol LDL dengan statin telah menurunkan kejadian aterosklerosis pasien dengan risiko, termasuk individu dengan diabetes. Penelitian mengenai efek pengobatan statin jangka panjang memberikan perhatian terhadap peningkatan enzim transaminase, miopati, kanker, serta metabolisme glukosa.
Pravastatin pertama kali dilaporkan menurunkan kejadian diabetes di antara individu non-diabetik pada West of Scotland Coronary Prevention Study (WOSCOPS), tetapi timbul risiko berlebih kejadian diabetes pada era statin potensi tinggi.8 Studi WOSCOPS menunjukkan kejadian diabetes 30% lebih rendah pada pasien yang mengonsumsi pravastatin 40 mg/hari dibandingkan plasebo. Namun, hal ini tidak ditemukan dengan atorvastatin 10 mg/hari pada pasien hipertensi dalam studi Anglo-Scandinavian Cardiac Outcomes Trial Lipid Lowering Arm (ASCOT-LLA) atau pada pasien diabetes dalam studi Collaborative Atorvastatin Diabetes Study (CARDS), dan dengan simvastatin 40 mg/hari dalam studi Heart Protection Study (HPS). Studi The Justification for the Use of Statins in Primary Prevention: An Intervention Trial Evaluating Rosuvastatin (JUPITER) yang menggunakan agen lebih poten, rosuvastatin 20 mg/hari
pada pasien dengan peningkatan kadar CRP, dihentikan lebih awal karena analisis telah menunjukkan 44% penurunan kejadian primer. Namun, studi ini juga melaporkan 26% peningkatan kejadian diabetes pada pemantauan kurang dari 2 tahun. Prospective Study of Pravastatin in the Elderly at Risk (PROSPER) dengan usia rerata saat studi 75 tahun, menunjukkan 32% peningkatan kejadian diabetes dengan pengobatan pravastatin.7,9,10
Meta-analisis pada tahun 2009 atas 6 studi— WOSCOPS, ASCOT-LLA, JUPITER, HPS, the Longterm Intervention with Pravastatin in Ischaemic Disease (LIPID), dan the Controlled Rosuvastatin Multinational Study in Heart Failure (CORONA)—dengan total pasien 57.593 orang menemukan kejadian diabetes 13% lebih tinggi pada pengguna statin, yang signifikan secara statistik. Pada analisis awal, peningkatan risiko relatif kurang dari 6% dan tidak signifikan jika WOSCOPS dikeluarkan dari analisis.9,11
Meta-analisis yang lebih besar pada tahun 2010 melibatkan 91.140 partisipan dalam 13 studi mayor statin yang dilakukan antara 1994 dan 2009. Masing-masing studi memiliki lebih dari 1.000 pasien dan pemantauan lebih dari 1 tahun. Kejadian diabetes baru ditetapkan apabila klinisi melaporkan diabetes baru, penggunaan obat diabetes baru, atau glukosa puasa lebih besar dari 7 mmol/L (126 mg/dL). Kejadian diabetes timbul pada 2.226 pasien (4,89%) pengguna statin dan pada 2.052 pasien (4,5%) penerima plasebo, perbedaan absolut 0,39%, dengan OR (odds ratio) 1,09 dan 95%CI 1.02-1.17. Kejadian diabetes bervariasi di antara
13 studi, hanya JUPITER dan PROSPER yang menjumpai peningkatan signifikan secara statistik (masing-masing sebesar 26% dan 32%). Sebelas studi lainnya memperlihatkan temuan berbeda, 4 memiliki kecenderungan insidens lebih rendah yang tidak signifikan, 7 studi memiliki kecenderungan insidens lebih tinggi yang tidak signifikan.3,7
Beberapa studi menunjukkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap hubungan statin dan diabetes:7,12
• Penggunaan statin hidrofilik vs lipofilik Statin hidrofilik meliputi pravastatin, rosuvastatin. Statin lipofilik meliputi atorvastatin, lovastatin, simvastatin. Studi menunjukkan bahwa statin lipofilik memiliki pengaruh terhadap kadar gula darah dan HbA1c.
• Besar dosis dan jangka waktu penurunan kolesterol LDLTerapi statin dosis intensif mengurangi risiko kardiovaskular lebih tinggi dibandingkan dengan terapi dosis sedang atau rendah, yang mendukung pengobatan agresif terhadap kolesterol LDL pada pasien risiko tinggi. Namun, sebuah meta-analisis pada tahun 2011, melibatkan 32.752 pasien tanpa diabetes dari 5 uji klinis statin, memperlihatkan peningkatan risiko kejadian diabetes dibandingkan terapi statin dosis moderat, yaitu 0,8% peningkatan absolut kejadian diabetes dan penurunan absolut 2,6% kejadian kardiovaskular pada statin dosis tinggi.
• Usia atau karakteristik klinis populasi Sebuah meta-analisis menunjukkan risiko diabetes dengan statin lebih tinggi pada pasien yang lebih tua, tetapi tidak dipengaruhi oleh indeks massa tubuh atau berapa lama kolesterol LDL diturunkan.3
Beberapa mekanisme mencoba menjelaskan hubungan antara statin dan peningkatan kadar glukosa darah, yaitu beberapa statin meningkatkan kadar insulin dan mengurangi sensitivitas insulin bergantung-dosis, de- ngan mengurangi kadar adiponektin dan memperburuk kontrol glikemik melalui kehilangan adiponektin yang memiliki efek protektif anti-proliferatif dan anti-angiogenik. Studi in-vitro dan in-vivo menunjukkan atorvastatin mengurangi maturasi adiposit, menyebabkan penurunan ekspresi GLUT-4 dan peningkatan regulasi GLUT-1 pada kultur sel pre-adiposit dan
pada mencit. Statin dapat memengaruhi kontrol glikemik dengan mengurangi sejumlah metabolit, seperti isoprenoid, farnesil pirofosfat, geranilgeranil pirofosfat, dan ubikuinon (Coenzyme Q
10, CoQ
10), yang secara normal diproduksi selama proses
pembentukan kolesterol dari asetil- CoA melalui asam mevalonat. Isoprenoid dapat meningkatkan ambilan glukosa dengan upregulation protein membran transporter glukosa (glucose transporter type 4, GLUT-4), yang berperan dalam ambilan glukosa di adiposit. Penekanan biosintesis ubikuinon (CoQ
10), faktor penting dalam sistem
perpindahan elektron di mitokondria, menyebabkan terhambatnya produksi ATP pada sel beta pankreas dan mengganggu pelepasan insulin.5,7,13
Mekanisme di atas berbeda-beda bergantung pada sifat statin. Statin hidrofilik bersifat spesifik terhadap hepatosit dan tidak tersedia untuk diambil oleh sel pankreas dan adiposit. Sementara itu, statin lipofilik memasuki sel ekstrahepatik dengan mudah dan menghambat sintesis protein isoprenoid, yang memengaruhi kerja insulin. Lovastatin (statin lipofilik) menyebabkan downregulation respons GLUT-4 dan upregulation GLUT-1 pada adiposit 3T3-L1 sehingga menghambat stimulasi transpor glukosa oleh insulin. Simvastatin (statin lipofilik) menghambat peningkatan induksi glukosa pada Ca2+ intraselular di sel beta pankreas, menyebabkan inhibisi sekresi insulin bergantung-dosis, sedangkan pravastatin (statin hidrofilik) tidak memiliki efek tersebut sekalipun pada konsentrasi tinggi.5,7
Statin memiliki efek menurunkan sintesis endogen kolesterol, dengan inhibisi produk reaksi HMG-CoA reduktase, serta memiliki efek pleiotropik terhadap plak aterosklerotik. Meta-analisis menunjukkan adanya hubungan antara statin dengan perburukan kontrol glikemik yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu sifat (lipofilik vs hidrofilik), dosis, dan jangka waktu penurunan kolesterol LDL, serta usia dan karakteristik klinis populasi. Pada pasien kelompok risiko sedangdantinggi,manfaatstatinterhadap penurunan kejadian kardiovaskular melebihi peningkatan risiko kejadian diabetes. Namun, risiko kejadian diabetes perlu dipertimbangkan pada kelompok pasien dengan risiko kardiovaskular rendah atau pasien dengan manfaat kardiovaskular yang belum terbukti.
Hipoglikemia adalah keadaan yang menunjukkan kadar glukosa darah di bawah normal. Pada umumnya kadar glukosa puasa pada orang normal jarang melampaui 126 mg/dl, jika diatas itu tergolong tidak normal. Biasanya pada penderita hipoglikemia terjadi kadar glukosa yangrendah yaitu kurang dari 50 mg/dl(2,8 mmol/L) atau bahkan kurang dari 40 mg/dl (2,2 mmol/L). Kadar glukosa darah keseluruhan (whole blood) lebih rendah 10% dibandingkan dengan kadar glukosa plasma dikarenakan eritrosit memiliki kadar glukosa yang relatif rendah.
Hipoglikemia pada pasien diabetes mellitus tipe 1 (DMT 1) dan diabetes mellitus tipe 2 (DMT 2) merupakan faktor penghambat utama dalam mencapai sasaran kendali glukosa darah normal atau mendekati normal. Pengendalian glukosa darah yang baik dan lengkap didasarkan pada kondisi bebas dari hipoglikemia. Risiko hipoglikemia timbul akibat mekanisme dalam tubuh yang tidak sempurna dimana kadar insulin pada malam hari meningkat secara tidak proporsional dan kemampuan fisiologis tubuh gagal melindungi batas penurunan glukosa darah yang aman.
Hipoglikemia biasanya dibagi menjadi hipoglikemia pasa-makan
(reaktif), hipoglikemia puasa, dan hipoglikemia pada pasien rawat inap.
Hipoglikemia pasca-makan dapat disebabkan oleh hiperinsulinisme pencernaan,
intoleransi fruktosa herediter, galaktosemia, sensitivitas leusin, dan idiopatik. Pada
hipoglikemia puasa penyebab utamanya adalah kurangnya produksi glukosa atau
karena penggunaan glukosa yang berlebihan, sedangkan pada hipoglikemia pasien
rawat inap paling lazim disebabkan oleh penggunaan obat (Longo, 2011).
Hipoglikemia pasca-makan dapat disebabkan oleh hiperinsulinisme
pencernaan. Pasien yang menjalani gastrektomi, gastrojejunostomi, piloroplasti
atau vagotomi dapat mengalami hipoglikemia pasca-makan. Hal ini disebabkan
karena pengosongan lambung yang cepat dengan penyerapan singkat glukosa
turun lebih cepat dibanding insulin. Ketidakseimbangan insulin-glukosa yang
terjadi menyebabkan hipoglikemia. Intoleransi fruktosa herediter yang dipicu
pemasukan fruktosa dan galaktosa juga dapat menyebabkan hipoglikemia pada
anak-anak. Hipoglikemia pasca-makan karena sebab idiopatik dapat dibagi
menjadi hipoglikemia sejati dan pseudohipoglikemia. Pada hipoglikemia sejati,
gejala adrenergik muncul sesudah makan dan disertai dengan glukosa plasma
rendah pada saat gejala muncul spontan dalam kehidupan sehari-hari. Gejala
tersebut berkurang dengan pemasukan karbohidrat yang meningkatkan glukosa
plasma. Pseudohipoglikemia adalah keadaan yang mengarah ke hipoglikemia 2
sampai 5 jam setelah makan, tetapi tidak memiliki konsentrasi glukosa plasma
rendah ketika muncul gejala secara spontan dalam kehidupan sehari-hari (Longo,
2011).
Hipoglikemia puasa dapat disebabkan oleh kurangnya produksi atau
penggunaan glukosa, defek enzim, defisiensi substrat, penyakit hati kongenital,
ataupun obat-obatan. Defisiensi hormon penyebab hipoglikemia puasa karena
kurangnya glukosa dapat terjadi pada hipohipofisisme, insufisiensi adrenal,
defisiensi katekolamin, dan defisiensi glukagon. Adapun defek enzim yang
menyebabkan hipoglikemia puasa karena kurangnya glukosa adalah defek enzim
Glucose-6-fosfatase, fosforilase hati, piruvat karboksilase, fosfoenolpiruvat
karboksikinase, fructose-1,6-difosfatase, dan glikogen sintetase. Defisiensi
substrat penyebab hipoglikemia puasa adalah kurangnya produksi glukosa yang
terjadi pada kasus hipoglikemia ketotik pada bayi, malnutrisi berat, penyusutan
otot, dan kehamilan lanjut. Penyakit hati kongenital yang menyebabkan
hipoglikemia puasa karena kurangnya produksi glukosa dapat berupa kongesti
hati, hepatitis berat, sirosis, uremia, dan hipotermia. Penggunaan obat seperti
alkohol, propranolol, dan salisilat juga dapat menyebabkan hipoglikemia puasa
akibat produksi glukosa yang berkurang. Pada hipoglikemia puasa akibat
penggunaan glukosa berlebihan dapat disebabkan oleh hiperinsulinisme atau pada
kadar insulin memadai tetapi terdapat kelainan lain di luar pankreas.
Hiperinsulinisme disebabkan karena adanya insulinoma, insulin eksogen,
sulfonilurea, penyakit imun dengan insulin atau antibodi reseptor insulin, dan
mengkonsumsi obat-obatan seperti kuinin pada malaria falciparum, disopiramid,
dan pentamidin serta dapat disebabkan oleh syok endotoksik. Pada kasus kadar
insulin memadai tetapi terjadi hipoglikemia adalah akibat pemakaian glukosa
berlebih, dapat disebabkan oleh tumor ekstrapankreas, defisiensi karnitin sistemik,
defisiensi enzim oksidasi lemak, defisiensi 3-hidroksi-3-metilglutaril-CoA liase,
dan kakeksia dengan penipisan lemak (Longo, 2011).
Pasien rawat inap yang mengalami hipoglikemia paling lazim disebabkan
oleh pengunaan obat-obatan yang diberikan. Tiga obat yang paling sering
menyebabkan hipoglikemia pada pasien rawat inap adalah insulin, sulfonylurea,
dan alkohol. Diperkirakan 60% kasus ketiga obat ini terlibat dalam diagnosis
hipoglikemia (Longo, 2011).
A. Patogenesis
Turunnya produksi glukosa dan penggunaan glukosa yang
Puasa
Hiperinsulinmia
Obat-obatan
Contohnya insulin, alkohol, dan sulfonylurea
Pasca Makan
Bagan 1. Patogenensis Hipoglikemia (Isselbacher, 2000 ; Longo, 2011).
B. Patofisiologi
Hipoglikemia dapat terjadi ketika kadar insulin dalam tubuh berlebihan.
Terkadang kondisi berlebih ini merupakan sebuah kondisi yang terjadi setelah
melakukan terapi diabetes mellitus. Selain itu, hipoglikemia juga dapat
disebabkan antibodi pengikat insulin, yang dapat mengakibatkan tertundanya
pelepasan insulin dari tubuh. Selain itu, hipoglikemia dapat terjadi karena
malproduksi insulin dari pankreas ketika terdapat tumor pankreas. Setelah
hipoglikemia terjadi, efek yang paling banyak terjadi adalah naiknya nafsu makan
dan stimulasi masif dari saraf simpatik yang menyebabkan takikardi, berkeringat,
dan tremor (Silbernagl dan Lang, 2010).
Ketika terjadi hipoglikemia tubuh sebenarnya akan terjadi mekanisme
homeostasis dengan menstimulasi lepasnya hormon glukagon yang berfungsi
untuk menghambat penyerapan, penyimpanan, dan peningkatan glukosa yang ada
di dalam darah. Glukagon akan membuat glukosa tersedia bagi tubuh dan dapat
Turunnya produksi glukosa dan penggunaan glukosa yang
meningkatkan proses glikogen dan glukoneogenesis. Akan tetapi, glukagon tidak
memengaruhi penyerapan dan metabolisme glukosa di dalam sel (Carrol, 2007).
Gambar 1. Mekanisme regulasi glukosa pada tubuh manusia (Cryer,
2011).
Selain itu, mekanisme tubuh untuk mengompensasi adalah dengan
meningkatkan epinefrin, sehingga prekursor glukoneogenik dapat dimobilisasi dari
sel otot dan sel lemak untuk produksi glukosa tambahan. Tubuh melakukan
pertahanan terhadap turunnya glukosa darah dengan menaikkan asupan karbohidrat
secara besar-besaran. Mekanisme pertahanan ini akan menimbukan gejala
neurogenik seperti palpitasi, termor, adrenergik, kolinergik, dan berkeringat.
Ketika hipoglikemia menjadi semakin parah maka mungkin juga dapat terjadi
kebingungan, kejang, dan hilang kesadaran (Cryer, 2011).
Hipoglikemia berat didefinisikan sebagai hipoglikemia yang tidak dapat di tangani oleh mekanisme homeostasis tubuh. Pada kondisi ini orang yang terkena hipoglikemia berat dapat kehilangan kesadaran atau merasa kebingungan. Walaupun penderita hipoglikemia berat akan terlihat sadar, tapi penderita akan terlihat lethargik (kelelahan) dan emosional. Hal ini disebabkan karena glukagon tidak dapat mengompensasi adanya insulin yang berlebihan. Sehingga terkadang ketika seseorang mengalami hipoglikemia berat dibutuhkan penyuntikkan glukagon. Penyuntikkan
glukagon ini dapat diberikan dengan orang terdekat yang dilatih atau tenaga medis terlatih
top related