skripsi - digilib.unila.ac.iddigilib.unila.ac.id/61827/3/skripsi tanpa bab pembahasan.pdf ·...
Post on 19-Oct-2020
33 Views
Preview:
TRANSCRIPT
-
KEBIJAKAN FORMULASI PERLUASAN TINDAK PIDANA PERZINAHAN
DALAM PERSKPEKTIF PEMBAHARUAN KUHP NASIONAL
SKRIPSI
Oleh
NADYA FAJRIN SAIMONA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2020
http://www.kvisoft.com/pdf-merger/
-
ABSTRAK
KEBIJAKAN FORMULASI PERLUASAN TINDAK PIDANA PERZINAHAN
DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN KUHP NASIONAL
Oleh
NADYA FAJRIN SAIMONA
Hukum positif Indonesia mengatur perzinahan dalam Pasal 284 KUHP, dalam KUHP
Pasal 284 tindak pidana perzinahan adalah persetubuhan yang dilakukan laki-laki dan
perempuan yang telah terikat perkawinan. Pengertian ini tidak sesuai dengan latar
belakang masyarakat Indonesia yang menganggap bahwa perzinahan bukan saja
hanya dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan yang telah terikat dalam ikatan
perkawinan melainkan siapa saja baik orang tersebut terikat perkawinan maupun
tidak, hal ini dikarnakan masyarakat Indonesia yang sangat menjunjung tinggi nilai-
nilai serta norma-norma yang hidup di masyarakat. Permasalahan dalam penelitian ini
adalah bagaimana perluasan tindak pidana perzinahan dalam RKUHP Tahun2019,
serta apakah perluasan tindak pidana perzinahan dalam RKUHP Tahun2019 sudah
sesuai dengan tujuan dan prinsip pembaharuan hukum pidana.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris,
Narasumber terdiri dari Anggota Komisi I DPRD Bagian Hukum dan Hak Asasi
Manusia, Anggota Lembaga Advokasi Perempuan DAMAR, dan Dosen Bagian
Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Analisis data dalam penelitian
ini menggunakan metode deskriptif kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan pada penelitian ini adalah terdapat perluasan tindak
pidana perzinahan dalam RKUHP Tahun 2019 meliputi perluasan subyek tindak
pidana perzinahan, yang sebelumnya tindak pidana perzinahan hanya dapat
dikenakan apabila salah satu pihak telah terikat dalam perkawinan, menjadi setiap
orang melakukan perzinahan dikenakan tindak pidana, sedangkan dalam jenis delik
aduan dalam RKUHP 2019masih termasuk kedalam delik aduan absolut hanya
diperluas yang sebelumnya dapat menjadi pengadu hanya suami atau istri sedangkan
di RKUHP 2019 adalah suami, istri, orangtua dan anak serta perluasan pemidanaan
sebelumnya hanya dikenakan pidana penjara selama 9 bulan bertambah menjadi 1
Tahun penjara dan denda kategori II.
-
Nadya Fajrin Saimona Perubahan perluasan Tindak Pidana Perzinahan dalam RKUHP Tahun2019 telah
sesuai dengan tujuan dan prinsip pembaharuan hukum pidana meliputi aspek yuridis
yaitu KUHP yang berlaku di Indonesia sudah lama sehingga perlu disesuaikan
dengan perkembangan budaya serta teknologi pada saat ini, aspek sosiologis bahwa
nilai-nilai yang ada didalam KUHP belum mencerminkan nilai-nilai yang hidup di
Indonesia dimana perzinahan merupakan perbuatan yang menurut masyarakat
melanggar nilai agama, norma dan budaya masyarakat Indonesia, aspekfilosofis
bahwa pembaharuan hukum pidana di Indonesia dilandaskan pada tujuan nasional
yang ingin dicapai oleh bangsa Indonesia, aspek politik yaitu Negara Indonesia
sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat. harus memiliki hukum sendiri
yang selaras dalam UUD NRI 1945, sehingga dapatterwujudnya tujuan diadakanya
pembaharuan hukum pidana yaitu menciptakan keadilan dan kesejahteraan didalam
masyarakat Indonesia.
Saran dalam penelitian ini hendaknya tindak pidana perzinahan melalui kebijakan
formulasi dapat membuat rancangan mengenai delik perzinahan yang sebelumnya
termasuk kedalam delik aduan absolut menjadi delik aduan relatif dan segera
diundangkan sehingga masyarakat mendapatkan rasa keadilan dan terwujudnya
tujuan dari pembaharuan hukum pidana yaitu keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Kata kunci: Kebijakan Formulasi, Perluasan Perzinahan, Pembaharuan
RKUHP.
-
KEBIJAKAN FORMULASI PERLUASAN TINDAK PIDANA PERZINAHAN
DALAM PERSKPEKTIF PEMBAHARUAN KUHP NASIONAL
Oleh
NADYA FAJRIN SAIMONA
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum
Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2020
-
RIWAYAT HIDUP
Penulis di lahirkan di Pringsewu pada tanggal 08 April 1998 , anak
pertama dari tiga bersaudara, putri dari pasangan Bapak A. Fajar
Kurnianto dan Ibu Noviarita. Penulis memulai jenjang pendidikannya di
Taman Kanak-kanak (TK) Aisyah Pagelaran, diselesaikan pada Tahun
2004, selanjutnya penulis melanjutkan SD Negeri 1 Patoman, Pagelaran diselesaikan pada
Tahun 2010, setelah itu melanjutkan ke SMP Negeri 1 Pringsewu diselesaikan pada Tahun
2013 dan melanjutkan SMA Negeri 1 Pringsewu selesai pada Tahun 2016.
Tahun 2016 penulis terdaftar sebagai mahasiswi Jurusan Hukum Fakultas Hukum Universitas
Lampung melalui jalur SNMPTN. Pada Tahun 2019 penulis melaksanakan mata Kuliah Kerja
Nyata (KKN) Periode II di Pulau Tabuan, Desa Sawang Balak, Kecamatan Cukuh Balak,
Kabupaten Tanggamus. Kemudian pada Tahun ini 2020 penulis menyelesaikan skripsi sebagai
salah satu syarat mencapai gelar Sarjana pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.
-
MOTO
Lakukan yang terbaik, sehingga aku tak akan menyalahkan diriku sendiri atas
segalanya.
~Magdalena Neuner~
Hidup yang tidak teruji adalah hidup yang tidak layak untuk dihidupi. Tanda manusia
masih hidup adalah ketika ia mengalami ujian, kegagalan dan penderitaan.
~Socrates~
Rahasia keberhasilan adalah kerja keras dan belajar dari kegagalan.
~Nadya Fajrin Saimona~
-
PERSEMBAHAN
Dengan segala puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat
Hidayah-Nya dengan segala kerendahan hati, Kupersembahkan
Karya Kecilku ini kepada :
Kedua Orang TuaTercinta,
A. Fajar Kurnianto dan Noviarita
Yang senantiasa berdoa, berkorban dan mendukung apapun yang aku
jalani, terimakasih untuk semua kasih saying dan cinta yang luarbiasa
sehingga aku bisa menjadi seseorang yang kuat dan konsisten kepada
masa depan.
Adik Irfan Pramudtya dan Bintang Kurnia
Tersayang yang selalu mendoakan, membantu serta mendampingiku dalam segala hal,
Terimakasih karna telah menjadi alasanku untuk terus berjuang
Menata masa depan yang lebih baik.
Almamater Universitas Lampung
Fakultas Hukum, khususnya bagian Hukum Pidana
-
SAN WACANA
Alhamdulillahirabbil`alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT, sebab hanya dengan izin dan kehendakNya semata, penulis dapat
menyelesaikan skripsi berjudul: KEBIJAKAN FORMULASI PERLUASAN
TINDAK PIDANA PERZINAHAN DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN
KUHP NASIONAL sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana
Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Penulis menyadari bahwa dalam menyusun dan menyelesaikan skripsi ini tidak
terlepas dari bantuan, bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis
menyampaikan terima kasih yang tulus dan sebesar-besarnya kepada.
1. Prof. Dr Karomani M.Si selaku Rektor Universitas Lampung.
2. Prof. Dr. Maroni, S.H.,M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Lampung
3. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H dan Bapak Ahmad Irzal Fardiansyah, S.H.,
M.H. selaku Ketua dan Sekretaris Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
4. Ibu Dr. Erna Dewi, S.H.,M.H, selaku Dosen Pembimbing I, yang telah
meluangkan waktu untuk memberikan dukungan, pengarahan, motivasi dan
sumbangan pemikiran, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
-
5. Ibu Emilia Susanti, S.H.,M.H, selaku Dosen Pembimbing II, yang telah
melungkan waktu untuk memberikan dukungan, motivasi dan sumbangan
pemikiran, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
6. Ibu Firganefi, S.H.,M.H, selaku Dosen Pembahas I yang telah meluangkan
waktu untuk memberikan dukungan, motivasi dan sumbangan pemikiran,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
7. Ibu Dona Raisa Monica S.H., M.H, selaku Dosen Pembahas II yang telah
meluangkan waktu untuk memberikan dukungan, motivasi dan sumbangan
pikiran, sehingga penulis menyelesaikan skripsi ini.
8. Bapak Ade Arif, S.H.,M.H. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah
memberikan pengarahannya dan nasihat-nasihatnya selama masa perkuliahan.
9. Bapak dan Ibu staf Dosen Pengajar Fakultas Hukum Uniiversitas Lampung
yang telah dengan iklas memberikan ilmu pengetahuan yang begitu berharga
dalam proses perkuliahan.
10. Secara khusus penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada keluargaku
tercinta ayah dan ibu tersayang yang telah memberikan kasih dan sayang,
yang telah banyak memberikan dukungan moril maupun materil sehingga
penulis semangat untuk menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas
segalanya semoga kelak dapat membahagiakan, membanggakan, dan selalu
bisa membuat kalian tersenyum dalam kebahagian.
11. Adikku tersayang, Irfan Pramuditya dan Bintang Kurnia terima kasih atas doa,
dukungan, perhatian dan motivasimu selama ini.
-
12. Untuk sahabatku Nurul, Hesni, Aji, Pia, Shinda yang telah memberikan cerita
dan kisah, terima kasih atas dukungan dan kebahagiaan yang telah kalian
berikan semoga kita semua menjadi orang sukses.
13. Angkatan 2016 Fakultas Hukum Universitas Lampung.
14. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas
kebaikan kalian semua dukungan doa, bantuan serta waktu yang diberikan
untuk penulis sehingga terselesaikan skripsi ini.
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kemuliaan dan Barokah, dunia dan
akhirat khususnya bagi sumber mata air ilmuku, serta dilipat gandakan atas segala
kebaikannya yang telah diberikan kepada penulis dan semoga skripsi ini bermanfaat
bagi yang membacanya, khususnya bagi penulis dalam mengembangkan dan
mengamalkan ilmu pengetahuan.
Bandar Lampung, 12 Maret 2020
NADYA FAJRIN SAIMONA
-
DAFTAR ISI
Halaman
I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian .................................... 7
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ....................................................... 7
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ..................................................... 8
E. Sistematika Penulisan ...................................................................... 13
II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Kebijakan Hukum Pidana ..................................... 15
B. Kriminalisasi dalam Hukum Pidana................................................. 18
C. Teori Pemidanaan............................................................................. 21
D. Tinjauan Umum Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia ........... 26
E. Pengaturan Tindak Pidana Perzinahan dalam KUHP…...…. .......... 36
F. Pengaturan Tindak Pidana Perzinahan dalam RKUHP 2019 .......... 37
III METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah ......................................................................... 39
B. Sumber dan Jenis Data .................................................................... 40
C. Penentuan Narasumber..................................................................... 41
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ................................. 41
E. Analisis Data .................................................................................... 42
-
IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kebijakan Formulasi Perluasan Tindak Pidana Perzinahan dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP)
Tahun 2019 ...................................................................................... 43
B. Perluasan Tindak Pidana Perzinahan RKUHP Tahun 2019 dalam perspektif pembaharuan hukum pidana .......................................... 56
V PENUTUP
A. Simpulan .......................................................................................... 76
B. Saran ................................................................................................. 77
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
-
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia adalah negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Ayat
(3) UUD 1945. Hukum hadir dan dibuat sebagai jalan yang diharapkan dapat
memberi penyelesaian yang tepat dan seadil-adilnya dalam rangka mencegah dan
memberantas segala bentuk tindak pidana. Hadirnya hukum sebagai alat
mencegah terjadinya kejahatan. Kejahatan merupakan bentuk tingkah laku yang
bertentangan dengan moral kemanusiaan dan melanggar hukum.1 Salah satu
bentuk kejahatan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) di Indonesia yaitu mengenai kejahatan terhadap kesusilaan dalam Tindak
Pidana Perzinahan.
Perzinahan dianggap kejahatan terhadap kesusilaan yang melanggar adat-istiadat
serta hukum yang berlaku di Indonesia. Perzinahan diatur didalam hukum positif
Indonesia buku II KUHP bab XIV tentang kejahatan terhadap kesusilaan Pasal
284. Menurut Pasal 284 KUHP yang dimaksud dengan zina adalah persetubuhan
yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan
perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya. Pengertian ini dirasa
tidak sesuai dengan kebudayaan Indonesia yang sangat menjunjung tinggi norma
dan adat istiadat.
1Roeslan Saleh. 1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta. PT Aksara
Baru. hlm.13.
-
2
Salah satu upaya untuk dapat menanggulangi kejahatan, melalui suatu kebijakan
hukum pidana atau politik hukum pidana. Pengertian kebijakan atau politik
hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun politik kriminal. Menurut
Prof. Sudarto, „‟Politik Hukum‟‟ adalah:
a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan
keadaan dan situasi pada suatu saat.
b. Kebijakan dari Negara melalui badan-badan yang berwenang untuk
menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa
digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan
untuk mencapai apa yang dicita-citakan.2
Kebijakan hukum pidana dapat diartikan usaha untuk mewujudkan peraturan-
peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.3 Usaha
dan kebijakan untuk membuat suatu peraturan hukum pidana pada hakikatnya
tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Upaya
penanggulangan kejahatan dibedakan menjadi dua, yaitu melalui jalur penal yang
lebih menitikberatkan pada sifat represif (pemberantasan) sesudah kejahatan
terjadi, dan jalur nonpenal lebih menitikberatkan pada sifat preventif
(pencegahan) sebelum kejahatan terjadi.4
Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana hakikatnya merupakan
bagian dari usaha penegakan hukum khususnya penegakan hukum pidana. Oleh
karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana
merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum. Usaha penanggulangan
2 Sudarto. 1983. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat. Bandung. Sinar baru. hlm 20. 3Sudarto. 1981. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung.Sinar baru. hlm.159. 4Sudarto. 1981. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung. Sinar baru Alumni, hlm. 118.
-
3
kejahatan lewat pembuatan undang-undang pidana pada hakikatnya juga
merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat, oleh karena itu
kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari
kebijakan atau politik sosial.5
Tahap-tahap dalam pelaksanaan politik hukum pidana terdiri dari :
1) Kebijakan Formulasi 2) Kebijakan Aplikasi 3)Kebijakan Eksekusi
1) Tahap Formulasi, yaitu tahap penegakan hukum pidana oleh badan pembuat
undang-undang. Dalam tahap ini pembuat undang-undang melakukan kegiatan
memilih nilai-nilai yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini dan yang
akan datang, kemudian merumuskannya dalam bentuk perundang-undangan
untuk mencapai hasil perundang-undangan yang paling baik dalam arti
memenuhi syarat keadilan dan daya guna.
2) Tahap Aplikasi, yaitu tahap penegakan hukum pidana oleh aparat penegak
hukum. Aparat penegak hukum bertugas menegakan serta menerapkan
perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang.
3) Tahap Eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukum secara konkret oleh aparat-
aparat pelaksana pidana. Dalam tahap ini aparat-aparat pelaksana pidana
bertugas menegakan peraturan perundang-undangan pidana yang telah
ditetapkan dalam putusan pengadilan. Aparat pelaksana pidana dalam
melaksanakan tugasnya harus berpedoman kepada peraturan perundang-
undangan pidana yang dibuat oleh pembuat undang-undang dan nilai-nilai
keadilan suatu daya guna.
5Barda Nawawi Arief. 2011. Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Konsep
KUHP Baru. Jakarta. Kencana Prenada Media Group. hjlm. 28.
-
4
Pembaharuan hukum pidana dalam aspek kebijakan formulasi yang dilakukan
pemerintah saat ini adalah revisi terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Salah satu tindak pidana yang mengalami perluasan yaitu Tindak Pidana
Perzinahan. Perzinahaan sebelumnya diatur dalam buku II bab XIV Pasal 284
KUHP, yaitu kejahatan terhadap kesusilaan. Lengkapnya Pasal 284 KUHP
berbunyi sebagai berikut :
(1)a. Laki-laki yang beristeri berbuat zina, sedang diketahuinya bahwa Pasal
27 Kitab Undang-undang Hukum Perdata berlaku padanya:
b. Perempuan yang bersuami berbuat zina; c. Laki-laki yang turut melakukannya perbuatan itu, sedang diketahuinya
bahwa kawannya itu bersuami;
d. Perempuan yang tidak bersuami yang turut melakukan perbuatan itu, sedang diketahuinya bahwa kawannya itu beristeri dan Pasal 27 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata berlaku pada kawannya;
(2)Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang
tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku Pasal 27 BW, dalam tenggang
waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah meja dan
ranjang karena alasan itu juga;
(3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku Pasal 72, Pasal 73 dan Pasal 75; (4)Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang belum
dimulai;
(5)Jika bagi suami-istri berlaku Pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan
selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum
putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap;
Mengenai penjelasan pada Pasal 284 KUHP tersebut, maka unsur-unsur yang
harus dipenuhi antara lain:
1. Merusak kesopanan atau kesusilaan (bersetubuh).
2. Salah satu/kedua-duanya beristri atau bersuami.
3. Salah satu berlaku Pasal 27 KUHP Perdata.
Makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana berkaitan erat dengan latar
belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana itu sendiri. Latar
belakang diadakanya pembaharuan hukum pidana dapat ditinjau dari aspek
-
5
sosiopolitik, sosiofilosofis, sosiokultural atau dari berbagai aspek kebijakan.
Permbaharuan hukum pidana merupakan perwujudan dari perubahan dan
pembaharuan berbagai aspek dan kebijakan yang melatarbelakanginya. Dengan
demikian pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna suatu
upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai
dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis, sosiokultural dari masyarakat
Indonesia.6
Konsep Pembaharuan Hukum Pidana pada Rancangan Kitab Undang-undang
Hukum Pidana Tahun 2019 (RKUHP) mengenai tindak pidana perzinahan
mengalami beberapa perubahan jika dibandingkan dengan KUHP sebelumnya,
RKUHP tentang Perzinahan diatur dalam Pasal 417. Adapun bunyi Pasal tersebut
yaitu:
1. Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinahan dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) Tahun atau denda kategori II.
2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, orang tua, atau anaknya.
3. Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) tidak berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30.
4. Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.
Ketentuan KUHP di mana zina hanya berlaku bagi pelaku di mana salah seorang
atau kedua pelaku persetubuhan merupakan orang yang sudah terikat dengan
ikatan perkawinan. Sedangkan pada ketentuan zina dalam Pasal 417 Ayat (1)
RKUHP Tahun 2019 perbuatan zina merupakan tindakan persetubuhan yang
dilakukan oleh kedua orang yang tidak terikat dengan ikatan perkawinan yang
6 Ibid.,hlm. 29.
-
6
sah, baik satu atau kedua belah pihak sudah terikat dengan ikatan perkawinan
sebelumnya maupun kedua-duanya belum terikat pada ikatan perkawinan.7
Terhadap pembaharuan hukum pidana dalam hal ini mengalami pro dan kontra.
Ketentuan hukum pidana Indonesia (KUHP) mengenai tindak pidana perzinahan
memiliki pengertian yang berbeda dengopan konsepsi yang diberikan masyarakat.
Masyarakat Indonesia memiliki pandangan dan struktur sosial budaya masyarakat
yang bersifat kekeluargaan, kolektivistik dan monodualistik.8 Masalah tindak
pidana perzinahan merupakan salah satu contoh aktual adanya benturan antara
pengertian dan paham tentang zina dalam KUHP Pasal 284 dengan
kepentingan/nilai sosial masyarakat.
Perbedaan serta kesenjangan pandangan dan pengertian mengenai perbuatan zina
yang dapat dipidana, menurut KUHP dengan pengertian zina menurut norma-
norma agama dan adat, yang diyakini sebagian besar bangsa Indonesia.
Kesenjangan ini, tidak dapat diakomodasi dalam penegakan hukum pidana, karena
hukum pidana Indonesia menganut asas legalitas bahwa tidak satu perbuatan pun
diperlolehkan untuk melanggar hukum oleh hakim bila belum dinyatakan secara
jelas oleh hukum pidana serta selama perbuatan itu belum dilakukan, sehingga
pada dasarnya norma-norma di luar undang-undang tidak dapat menjadi hukum
positif, meskipun diakui keberadaannya oleh masyarakat. Berdasarkan latar
belakang yang telah dijelaskan diatas, penulis akan melakukan penelitian yang
berjudul Kebijakan Formulasi Perluasan Tindak Pidana Perzinahan dalam
Perspektif Pembaharuan KUHP Nasional.
7R.Soesilo. 1976. KUHP serta komentarnya lengkap Pasal demi Pasal. Bogor. Politea. hlm 209. 8Bahiej. A. 2016. Tinjauan Yuridis atas Delik Perzinahan Overspel dalam Hukum Pidana
Indonesia. Yogyakarta. hlm 53.
-
7
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian
1. Permasalahan
Sesuai dengan uraian latar belakang tersebut, maka permasalahan yang akan
dibahas dalam skripsi ini adalah :
a. Bagaimakah kebijakan formulasi perluasan tindak pidana perzinahan dalam
perspektif Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tahun 2019?
b. Apakah kebijakan perluasan Tindak Pidana Perzinahan dalam RKUHP
Tahun 2019 sudah sesuai dengan tujuan dan prinsip pembaharuan hukum
pidana?
2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini adalah hukum pidana materil, dengan mengkaji dan
meneliti isi suatu peraturan atau kaidah hukum. Adapun ruang lingkup penelitian
ini merupakan kajian hukum pidana yang mengkaji mengenai kebijakan formulasi
perluasan tindak pidana perzinahan dalam perspektif RKUHP Nasional.
Selanjutnya ruang lingkup penelitian dilakukan pada Instansi DPRD Provinsi
dengan waktu penelitian dilaksanakan 2019-2020.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk :
a. Untuk mengetahui Kebijakan Formulasi Perluasan Tindak Pidana
Perzinahan dalam Perspektif KUHP Nasional.
b. Untuk mengetahui Kebijakan perluasaan Tindak Pidana Perzinahan dalam
KUHP yang sesuai dengan tujuan dan prinsip pembaharuan hukum pidana
-
8
2. Kegunaan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas, kegunaan penelitian skripsi ini
adalah:
a. Secara Teoritis penelitian ini dapat digunakan untuk pengembangan ilmu
pengetahuan hukum pidana khususnya hukum materil terkait Tindak
Pidana Perzinahan.
b. Kegunaan Praktis hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi bahan
bagi kalangan praktisi hukum terkait penerapan tindakan perzinahan baik
yang dirumuskan KUHP maupun RKUHP 2019.
D. Kerangka Teoritis dan Koseptual
1. Kerangka Teoritis
Kerangka Teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi-
abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan
untuk mengadakan kesimpulan terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap
relevan untuk penelitian. Mengenai permasalahan yang pertama, penulis
menggunakan teori kebijakan formulasi.
a. Teori Kebijakan Formulasi
Kebijakan Formulasi termasuk kedalam politik hukum pidana atau yang
sering disebut politik kriminal. Menurut Soerjono Soekanto, politik hukum
pidana pada dasarnya mencakup tindakan memilih nilai-nilai dan menerapkan
nilai-nilai tersebut dalam kenyataannya. Politik untuk mencegah terjadinya
delinkuensi dan kejahatan maka politik hukum pidana merupakan upaya
-
9
secara rasional mengorganisasikan reaksi-reaksi sosial terhadap delinkuensi
dan kejahatan.
Kebijakan penegakan hukum pidana merupakan serangkaian proses yang
terdiri dari tiga tahap kebijakan. Pertama, tahap kebijakan formulatif, yaitu
tahap perumusan hukum pidana. Kedua, tahap kebijakan aplikatif, yaitu tahap
penerapan hukum pidana. Ketiga tahap kebijakan eksekutif, yaitu tahap
pelaksanaan hukum pidana. Kebijakan formulasi dalam aspek hukum pidana
dapat dikatakan sebagai bentuk perumusan ketentuan pidana tentang suatu
obyek yang belum diatur di dalam KUHP dan peraturan lain di luar KUHP.
Perumusan formulasi dalam ketentuan pidana harus memiliki prinsip
harmonisasi, baik internal maupun eksternal.
KUHP mengatur tindak pidana perzinahan dalam Buku II Bab XIV tentang
kejahatan terhadap kesusilaan Pasal 284 yang secara jelas mengatur mengenai
tindak pidana perzinahan. Barangsiapa melakukan persetubuhan oleh orang
yang sudah terikat dalam suatu perkawinan dan dilakukan dengan orang
selain dari suami atau isterinya, maka dapat dikenakan sanksi penjara.
Pandangan RKUHP Tahun 2019 tentang Tindak Pidana Perzinahan ada di
dalam Pasal 417, yang secara jelas mengatur laki-laki atau perempuan yang
tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki atau
perempuan yang diketahui bahwa laki-laki atau perempuan tersebut berada
dalam ikatan perkawinan dapat dikenakan sanksi penjara.
-
10
b. Mengenai permasalahan yang kedua, penulis menggunakan teori pembaharuan
hukum pidana, terdapat pertimbangan-pertimbangan berupa landasan-landasan
yang harus diperhatikan, diantaranya:9
1. Landasan Filosofis
Pembaharuan hukum pidana di Indonesia dilandaskan pada tujuan nasional
yang ingin dicapai oleh bangsa Indonesia sebagai sebuah negara yang
merdeka dan berdaulat. KUHP saat ini merupakan peninggalan pemerintah
kolonial Hindia Belanda, yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang hidup
di dalam masyarakat Indonesia. Alinea keempat Pembukaan UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 harus dijadikan tolak ukur untuk
pelaksanaan pembaharuan. Dengan kata lain pembaharuan hukum pidana
harus menjadi sarana untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.10
2. Landasan Sosiologis
Secara sosiologis, pembaharuan hukum pidana dilakukan karena adanya
kehendak untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat. Kebutuhan ini
didasarkan pada nilai-nilai kebudayaan dari suatu bangsa yang merdeka
dan berdaulat. Terlebih lagi bagi negara yang pernah mengalami masa
penjajahan dan saat ini masih mewarisi sistem hukum dari negara yang
menjajahnya, baik melalui asas konkordansi, yurispundensi dan doktrin
9 Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia. DRAFT NASKAH AKADEMIK RANCANGAN KITAB UNDANG-
UNDANG HUKUM PIDANA. Jakarta. hlm. 162. 10 Ibid.
-
11
yang ditanamkan oleh penjajah yang pada perkembangan selanjutnya tidak
banyak dipahami oleh generasi baru. Pembaharuan hukum bagi negara
tersebut mutlak untuk dilakukan sehingga terwujud hukum pidana
nasional.11
3. Landasan Yuridis
KUHP yang berlaku di Indonesia berasal dari Wetboek van Strafrecht voor
Nederlandsch-Indie. Setelah Indonesia merdeka keberlakuannya didasarkan
pada Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945. Setelah
diundangkan Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang menyatakan
berlakunya undang-undang No.1 Tahun 1946 tentang peraturan hukum
pidana untuk seluruh wilayah Republik Indonesia, terwujud kesatuan
hukum pidana materil yang seragam untuk seluruh Indonesia yang
bersumber pada Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie yang
selanjutnya disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana.12
4. Landasan Politis
Alasan politik dilandasi oleh pemikiran bahwa suatu negara merdeka harus
memiliki hukum sendiri yang bersifat nasional demi kebanggaan nasional,
selaras dengan tujuan nasional sebagaimana tersurat dalam Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pada bidang politik terdapat
perkembangan legislasi yaitu adanya tuntutan untuk mengakomodir nilai-
nilai kearifan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.13
11 Ibid. 12 Ibid. 13 Ibid.
-
12
2. Konseptual
Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-
konsep khusus yang merupakan kesimpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan
istilah yang ingin atau akan diteliti agar tidak terjadi kesalahan pemahaman
terhadap permasalahan, maka penulis akan memberikan beberapa konsep dari
berbagai istilah yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu :
a. Kebijakan adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang
pelaku atau oleh sekelompok politik dalam usaha memilih tujuan-tujuan
dan cara untuk mencapai tujuan-tujuan itu.14
b. Kebijakan Formulasi, yaitu tahap penegakan hukum pidana oleh badan
pembuat Undang-undang. Dalam tahap ini pembuat undang-undang
melakukan kegiatan memilih nilai-nilai yang sesuai dengan keadaan dan
situasi masa kini dan yang akan datang, kemudian merumuskannya dalam
bentuk peraturan perundang-undangan pidana untuk mencapai hasil
perundang-undangan yang paling baik dalam arti memenuhi syarat
keadilan dan daya guna.15
c. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), keseluruhan dari
peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan apa yang dilarang dan
termasuk ke dalam tindak pidana, serta menentukan hukuman apa yang
dapat dijatuhkan terhadap yang melakukannya.16
14 Hamdan, M. 1997. Poltik Hukum Pidana. Raja Grafindo Persada. Jakarta. hlm. 48. 15Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1992. Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Alumni. Bandung.
hlm. 91. 16 Muchsin. 2006. Ihtisar Ilmu Hukum. Jakarta. Iblam.hlm. 84.
-
13
d. RKUHP adalah Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang
akan dirancang untuk mengatur suatu tindak pidana yang sebelumnya
belum pernah diatur dalam KUHP.17
e. Pembaharuan Hukum Pidana, yaitu suatu upaya untuk melakukan
peninjauan dan penilaian kembali agar sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-
politik, sosio-filosofi dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi
kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di
Indonesia.18
E. Sistematika Penulisan
Sistematika mempermudah dan memahami penulisan ini secara keseluruhan,maka
penulisan ini dibagi menjadi 5 (lima) bab dengan sistematika sebagai berikut:
I. PENDAHULUAN
Bab ini berisikan pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari Latar
Belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian,
Kerangka Teori dan Konseptual serta Sistematika Penulisan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi tinjauan pustaka dari berbegai konsep atau kajian yang berhubungan
dengan penyusunan skripsi mengenai Kebijakan Formulasi dalam revisi Tindak
Pidana Perzinahan secara umum dan konkret.
17www.bphn.go.id/data/documents/naskah_akademik_tentang_KUHP_dengan_lampiran.pdf
diakses pada hari Selasa, 24 September 2019 pukul 19.08. 18 Barda Nawawi Arief. 2010. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT Kencana Prenada.
hlm 35.
-
14
III. METODE PENELITIAN
Bab ini berisikan metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari pendekatan
masalah, sumber data, penentuan narasumber, prosedur pengumpulan dan
pengolahan data serta analisis data.
IV. HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN
Bab ini berisi mengenai hal-hal dan cara-cara yang dapat dilakukan dalam
meneliti sekaligus mencari prosedur dan pendekatan-pendekatan yang
berhubungan dengan masalah ini sehingga mendapatkan jawaban dari berbagai
permasalahan.
V. PENUTUP
Merupakan bab yang berisikan hasil akhir dari pokok permasalahan yang diteliti
berupa kesimpulan dan saran dari penulis mengenai permasalahan yang diteliti.
-
15
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Kebijakan Hukum Pidana
1. Pengertian Kebijakan Hukum Pidana
Istilah kebijakan berasal dari bahasa Inggris yakni Policy atau secara umum dapat
diartikan sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan
pemerintah dalam arti luas termasuk aparat penegak hukum dalam mengelola,
mengatur, atau menyelesaikan urusan-urusan publik, atau bidang-bidang
penyusunan peraturan perundang-undangan dan pengaplikasian peraturan, dengan
tujuan yang mengarah pada kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat.
Kebijakan hukum pidana dapat pula disebut dengan istilah politik hukum pidana.
Sacipto Rahardjo, mengemukakan bahwa politik hukum adalah aktivitas memilih
dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum
tertentu dalam masyarakat. Secara substansial politik hukum diarahkan pada
hukum yang seharusnya berlaku (Ius constituendum). Dengan demikian,
kebijakan hukum pidana dapat diartikan kebijakan dari negara (pemerintah) untuk
menggunakan hukum pidana dalam mencapai tujuan tertentu, terutama dalam
menanggulangi kejahatan.19
19 Md, Moh. Mahfud. 2009.Politik Hukum di Indonesia. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada. hlm
112.
-
16
Politik hukum pidana pada dasarnya merupakan aktivitas yang menyangkut
proses menentukan tujuan dan cara melaksanakan tujuan tersebut. Terkait proses
pengambilan keputusan atau pemilihan melalui seleksi diantara berbagai alternatif
yang ada mengenai apa yang menjadi tujuan sistem hukum pidana mendatang.
Dalam rangka pengambilan keputusan dan pilihan tersebut, disusun berbagai
kebijakan yang berorientasi pada berbagai masalah pokok dalam hukum pidana
(perbuatan yang bersifat melawan hukum, kesalahan atau pertanggungjawaban
pidana dan berbagai alternatif sanksi baik yang merupakan pidana maupun
tindakan). Dalam hal mencapai tujuan tertentu hukum pidana tidak dapat bekerja
sendiri, tetapi perlu melibatkan sarana-sarana lainnya yang mendukung, yakni
tahapan kebijakan hukum pidana.
2. Ruang Lingkup Kebijakan Hukum Pidana
Definisi kebijakan hukum pidana yang telah diuraikan sebelumnya, sekilas
tampak bahwa kebijakan hukum pidana identik dengan pembaharuan perundang-
undangan hukum pidana yaitu substansi hukum, bahkan sebenarnya ruang lingkup
kebijakan hukum pidana lebih luas daripada pembaharuan hukum pidana. Dalam
hal mencapai tujuan tertentu hukum pidana tidak dapat bekerja sendiri, tetapi
perlu melibatkan sarana-sarana lainnya yang mendukung, yakni tahapan kebijakan
hukum pidana yang terdiri dari :
a. Kebijakan formulatif/legislatif, yaitu tahap perumusan/penyusunan
hukum pidana.
b. Kebijakan aplikatif/yudikatif, yaitu tahap penerapan hukum pidana.
c. Kebijakan administratif/eksekutif, yaitu tahap pelaksanaan hukum
pidana.
-
17
Kebijakan hukum pidana terkandung tiga kewenangan, yaitu kekuasaan
legislatif/formulatif berwenang merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana
berorientasi pada permasalahan pokok dalam hukum pidana, pertanggungjawaban
pidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan oleh pembuat undang-undang. Tahap
aplikasi menerapkan hukum pidana oleh aparat penegak hukum. Tahapan
eksekutif/administrative melaksanakan hukum pidana oleh aparat.20
Kebijakan formulasi dalam perspektif hukum pidana harus memperhatikan
harmonisasi internal dengan sistem hukum pidana atau aturan pemidanaan umum
yang berlaku saat ini. Tidaklah dapat dikatakan terjadi harmonisasi/sinkronisasi
apabila kebijakan formulasi berada diluar sistem hukum pidana yang berlaku saat
ini. Kebijakan formulasi merupakan tahapan yang paling stategis dari penal
policy karena pada tahapan tersebut legislatif berwenang dalam hal menetapkan
atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana yang berorientasi pada
permasalahan pokok hukum pidana meliputi perbuatan yang bersifat melawan
hukum, kesalahan, pertanggungjawaban pidana dan sanksi apa yang dapat
dikenakan.
Suatu perbuatan dapat menjadi perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana, harus
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
1. Perbuatan tersebut haruslah benar-benar perbuatan yang jahat atau tidak
dikehendaki oleh masyarakat atau merugikan masyarakat. Dengan kata lain
jahat berarti merugikan atau menyerang kepentingan hukum (baik
kepentingan hukum individu, masyarakat maupun kepentingan hukum
negara)
20Shafrudin. 1998. Politik Hukum Pidana. Lampung. Universitas Lampung. hlm. 33.
-
18
2. Kesiapan aparatur penegak hukum dalam menegakkan hukum pidana itu
nantinya, baik itu kesiapan secara kualitatif yang menyangkut
profesionalisme aparatur, maupun dari segi kuantitatif, yakni apakah
seimbang dengan kuantitas aparat sehingga tidak menjadi beban baginya.
3. Cost and benefit principle, artinya biaya pembuatan suatu peraturan pidana
harus benar-benar diperhitungkan apakah sudah sesuai dengan tujuan
dibentuknya peraturan pidana, atau apakah sudah tersedia biaya yang
memadai dalam penegakan hukum itu nantinya, sebab ketidaksiapan biaya
penegakan hukum (termasuk pengadaan sarana dan prasarananya) justru
akan menyakiti masyarakat.
B. Kriminalisasi dalam Hukum Pidana
Secara etimologi kriminalisasi berasal dari kata bahasa inggris kriminalization,
kriminalisasi merupakan suatu tindakan mengenai perbuatan-perbuatan tertentu
yang oleh masyarakat atau golongan masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang
dipidana yang dapat dipidana menjadi perbuatan pidana atau proses penetapan
suatu perbuatan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana bagi
yang melanggar larangan. Kriminalisasi dapat pula diartikan sebagai proses
penetapan suatu perbuatan orang sebagai perbuatan yang dapat dipidana. 21
Kriminalisasi merupakan objek studi hukum pidana materil yang membahas
penentuan suatu perbuatan sebagai tindak pidana yang diancam dengan sanksi
pidana tertentu. Perbuatan tercela yang sebelumnya tidak dikualifikasikan sebagai
perbuatan terlarang dijustifikasi sebagai tindak pidana yang diancam dengan
21 Sudarto. Op.cit. hlm.31.
-
19
sanksi pidana. Menurut Soerjono Soekanto, kriminalisasi merupakan tindakan
atau penetapan penguasa mengenai perbuatan-perbuatan tertentu yang oleh
masyarakat atau golongan-golongan masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang
dapat dipidana menjadi perbuatan pidana atau membuat suatu perbuatan menjadi
perbuatan kriminal dan karena itu dapat dipidana oleh pemerintah dengan cara
kerja atas namanya.22 Soetandyo Wignjosoebroto mengemukakan bahwa
kriminalisasi ialah suatu pernyataan bahwa perbuatan tertentu harus dinilai
sebagai perbuatan pidana yang merupakan hasil dari suatu penimbangan-
penimbangan normatif yang wujud akhirnya adalah suatu keputusan (decisions).23
Pengertian kriminalisasi dapat pula dilihat dari perspektif nilai. Dalam hal ini
yang dimaksudkan dengan kriminalisasi adalah perubahan nilai yang
menyebabkan sejumlah perbuatan yang sebelumnya merupakan perbuatan yang
tidak tercela dan tidak dituntut pidana, berubah menjadi perbuatan yang
dipandang tercela dan perlu dipidana. Pengertian kriminalisasi tersebut
menjelaskan bahwa ruang lingkup kriminalisasi terbatas pada penetapan suatu
perbuatan sebagai tindak pidana yang diancam dengan sanksi pidana. Namun
menurut Paul Cornill, pengertian kriminalisasi tidak terbatas pada penetapan suatu
perbuatan sebagai tindak pidana dan dapat dipidana, tetapi juga termasuk
penambahan (peningkatan) sanksi pidana terhadap tindak pidana yang sudah ada.
Berhubungan dengan masalah kriminalisasi, Muladi mengingatkan mengenai
22 Soekanto, Soerjono. Kriminologi Suatu Pengantar. Cetakan Pertama. Ghalia Indonesia. Jakarta.
1981. hlm. 62 23 Wignjosoebroto, Soetandyo. 1993. “Kriminalisasi Dan Dekriminalisasi: Apa Yang Dibicarakan
Sosiologi Hukum Tentang Hal Ini, disampaikan dalam Seminar Kriminalisasi Dan
Dekriminalisasi Dalam Pebaruan Hukum Pidana Indonesia. Fakultas Hukum UII.
Yogyakarta.. hlm. 1.
-
20
beberapa ukuran yang secara doktrinal harus diperhatikan sebagai pedoman, yaitu
sebagai berikut :
a. Kriminalisasi tidak boleh terkesan menimbulkan overkriminalisasi yang masuk kategori the misuse of kriminal sanction.
b. Kriminalisasi tidak boleh bersifat ad hoc c. Kriminalisasi harus mengandung unsur korban victimizing baik aktual
maupun potensial.
d. Kriminalisasi harus memperhitungkan analisa biaya dan hasil dan prinsip ultimum remedium
e. Kriminalisasi harus menghasilkan peraturan yang enforceable f. Kriminalisasi harus mampu memperoleh dukungan publik. g. Kriminalisasi harus mengandung unsur subsosialitet mengakibatkan
bahaya bagi masyarakat, sekalipun kecil sekali
h. Kriminalisasi harus memperhatikan peringatan bahwa setiap peraturan pidana membatasi kebebasan rakyat dan memberikan kemungkinan
kepada aparat penegak hukum untuk mengekang kebebasan itu.
Perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat meliputi perubahan besar dalam
susunan masyarakat yang mempengaruhi sendi-sendi kehidupan bersama dan
perubahan nilai-nilai budaya yang mempengaruhi alam pikiran, mentalitas serta
jiwa. Perubahan sosial tidak hanya berarti perubahan struktur dan fungsi
masyarakat, tetapi di dalamnya terkandung juga perubahan nilai, sikap dan pola
tingkah laku masyarakat. Perubahan nilai pada dasarnya adalah perubahan
pedoman kelakuan dalam kehidupan masyarakat. Asas adalah prinsip-prinsip atau
dasar-dasar atau landasan pembuatan suatu peraturan, kebijakan dan keputusan
mengenai aktivitas hidup manusia.24
Penanggulangan kejahatan diperlukan berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat
diberikan kepada pelaku kejahatan berupa pidana. Karena, pidana masih dianggap
relevan untuk menanggulangi kejahatan, meski masih banyak reaksi lain yang
berupa non-pidana dalam menanggulangi kejahatan. Pidana sebagai sarana
24 Koentjaraningrat, “Pergeseran Nilai-Nilai Budaya dalam Masa Transisi” dalam BPHN,
Kesadaran Hukum Masyarakat dalam Masa Transisi. Binacipta. Jakarta. hlm. 25.
-
21
pengendalian kejahatan diperlukan adanya konsepsi politik dalam hukum pidana
yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana
yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa
yang akan datang.
Konsepsi politik hukum pidana untuk menanggulangi kejahatan, disamping
melalui pembuatan produk hukum berupa pembuatan undang-undang hukum
pidana tidak lepas juga dengan usaha menuju kesejahteraan masyarakat melalui
kebijakan sosial (social policy). Hal ini berarti kebijakan untuk menanggulangi
kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana, harus pula dipadukan dengan
usaha-usaha lain yang bersifat non-penal. Dua masalah sentral dalam kebijakan
kriminal dengan menggunakan sarana penal atau hukum pidana ialah masalah
penentuan, perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan sanksi apa
yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.
C. Teori Pemidanaan
Teori tujuan sebagai Theological Theory dan teori gabungan sebagai pandangan
integratif di dalam tujuan pemidanaan. Pemidanaan mempunyai tujuan plural
dimana kedua teori tersebut menggabungkan pandangan Utilitarian dengan
pandangan retributivist.
Pandangan Utilitarian yang menyatakan bahwa tujuan pemidanaan harus
menimbulkan konsekuensi bermanfaat yang dapat dibuktikan dan pandangan
retributivist yang menyatakan bahwa keadilan dapat dicapai apabila tujuan yang
-
22
Theological tersebut dilakukan dengan menggunakan ukuran prinsip-prinsip
keadilan.25 Beberapa teori yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan:
a. Teori Absolut/ Retribusi
Menurut teori ini bahwa pidana dijatuhkan semata-mata karena orang yang
telah melakukan suatu tindak pidana. Imamanuel Kant memandang pidana
sebagai „’Kategori Imperatif‟‟yakni seseorang harus dipidana oleh hakim
karena ia telah melakukan kejahatan sehingga pidana menunjukan suatu
tuntutan keadilan.26 Mengenai teori pembalasan tersebut, Andi Hamzah
meyatakan pendapat bahwa teori pembalasan meng atakan pidana tidaklah
bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat, kejahatan itu
sendirilah yang mengandung unsur-unsur dijatuhkan pidana. Pidana secara
mutlak, karena dilakukan suatu kejahatan tidaklah perlu memikirkan
manfaat penjatuhan pidana.27
b. Teori Tujuan/ Relatif
Penganut teori ini memandang sesuatu yang dapat digunakan untuk
mencapai pemanfaatan, baik yang berkaitan dengan orang yang bersalah
maupun yang berkaitan dengan dunia luar, misalnya dengan mengisolasi
dan memperbaiki penjahat atau mencegah penjahat potensial, akan
menjadikan dunia tempat yang lebih baik.
Dasar pembenaran dari adanya pidana menurut teori ini terletak pada
tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan quia peccatum est (karena membuat
25 Muladi. 2002. Lembaga Pidana Bersyarat. Alumni. Bandung. hlm.33. 26 Muladi dan Barda Nawawi Arief . 2005. Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Alumni,
Bandung.hlm. 45. 27 Samosir. 1992. Fungsi Pidana Penjara dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia. Bina Cipta.
Bandung. hlm.55.
-
23
kesalahan) melakukan ne peccetur (supaya orang jangan melakukan
kejahatan) maka cukup jelas bahwa teori tujuan ini berusaha mewujudkan
ketertiban dalam masyarakat.
Mengenai tujuan pidana untuk pencegahan kejahatan ini, biasa dibedakan
menjadi dua istilah, yaitu:
1. Prevensi special (speciale preventive) atau Pencegahan Khusus
Bahwa pengaruh pidana ditunjukan terhadap terpidana, dimana prevensi
khusus ini menekankan tujuan pidana agar terpidana tidak mengulangi
perbuatannya lagi. Pidana berfungsi untuk mendidik dan memperbaiki
terpidana untuk menjadi masyarakat yang baik dan berguna, sesuai
dengan harkat dan martabatnya.
2. Prevensi General (Generale Prevenie) atau Pencegahan Umum
Prevensi General menekankan bahwa tujuan pidana adalah untuk
mempertahanakan ketertiban masyrakat dari gangguan penjahat.
Pengaruh pidana ditunjukan terhadap masyarakat pada umumnya
dengan maksud untuk menakut-nakuti. Artinya pencegahan kejahatan
yang ingin dicapai oleh pidana adalah dengan mempengaruhi tingkah
laku anggota masyarakat pada umunya untuk tidak melakukan tindak
pidana.
c. Teori Gabungan
Teori gabungan adalah kombinasi dari teori relatif. Menurut teori
gabungan, tujuan pidana selalu membalas kesalahan penjahat juga
dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dengan mewujudkan
-
24
ketertiban dengan ketentuan beratnya pidana tidak boleh melampaui balas
pembalasan yang adil.28
Terhadap teori gabungan ini terdapat tiga aliran yang mempengaruh, yaitu:
1. Teori gabungan yang menitikberatkan unsur pembalasan, tetapi
sifatnya yang berguna bagi masyarakat. Pompe menyebutkan dalam
bukunya “Hand boek van het Ned.Strafrecht” bahwa pidana adalah
suatu sanksi yang memiliki ciri-ciri tersendiri dari sanksi lain dan
terikat dengan tujuan dengan sanksi-sanksi tersebut karenanya akan
diterapkan jika menguntungkan pemenuhan kaidah-kaidah yang
berguna bagi kepentingan umum.
2. Teori gabungan yang menitikberatkan tata tertib masyarakat.
Pembalasan adalah sifat pidana tetapi tujuannya adalah melindungi
kesejahteraan masyarakat.
3. Teori gabungan yang memandang sama pembalasan dan pertahanan
tata tertib masyarakat.29
Begitu pula Roeslan Saleh mengemukakan, bahwa pidana hakekatnya
terdapat dua poros yang menentukan garis-garis hukum pidana, yaitu:
a. Segi Prevensi, yaitu bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi, suatu
upaya untuk dapat mempertahankan kelestarian hodup Bersama
dengan melakukan pencegahan kejahatan.
28 Samosir, Djisman. 1992. Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia. Bina
Cipta. Bandung 29 Hamzah, Andi. 1986. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke Reformasi.
Pradya Paramita. Jakarta.
-
25
b. Segi Pembalasan, yaitu bahwa hukum pidana sekaligus merupakan
pula penentu hukum, merupakan koreksi dan reaksi atas sesuatu yang
bersifat tidak hukum.30
Pada hakekatnya pidana selalu melindungi masyarakat dan pembalasan atas
perbuatan tidak hukum. Selain itu Roeslan Saleh juga mengemukakan bahwa
pidana mengandung hal-hal lain, yaitu bahwa pidana diharapkan sebagai suatu
yang akan membawa kerukunan serta sebagai suatu proses Pendidikan untuk
menjadikan orang dapat diterima kembali dalam masyarakat. Jadi memang sudah
seharusnya tujuan pidana adalah membentuk kesejahteraan negara dan masyarakat
yang tidak bertentangan dengan norma kesusilaan dan perikemanusiaan sesuai
dengan Pancasila.
d. Teori Integratif
Teori Integratif ini diperkenalkan oleh Muladi, guru besar dari Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro. Pendekatan semacam ini
mengakibatkan adanya keharusan untuk memilih teori integratif tentang
tujuan pemidanaan, yang dapat memenuhi fungsinya dalam rangka
mengatasi kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh tindak pidana.
Pemilihan teori integratif tentang tujuan pemidanaan ini didasarkan atas
alasan-alasan, baik yang bersifat sosiologis ideologis, maupun yuridis.
Perangkat tujuan pemidanaan yang dimaksud adalah:
1. Pencegahan (umum dan khusus); 2. Perlindungan Masyarakat; 3. Memelihara Solidaritas Masyarakat dan 4. Pengimbalan/Pengimbangan.
30 Muladi dan Barda Nawawi Arief. 2005. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni. Bandung.
-
26
D. Tinjauan Umum Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia
1. Makna Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia
Hukum pidana sebagai hukum yang bersifat publik, menemukan arti pentingnya
dalam wacana hukum di Indonesia. Sifat publik yang dimiliki hukum pidana
menjadikan konsekuensi bahwa hukum pidana itu bersifat nasional. Dengan
demikian, maka hukum pidana Indonesia diberlakukan ke seluruh wilayah negara
Indonesia. Di samping itu, mengingat materi hukum pidana yang erat dengan
nilai-nilai kemanusian mengakibatkan hukum pidana seringkali digambarkan
sebagai pedang yang bermata dua. Satu sisi hukum pidana bertujuan menegakkan
nilai kemanusiaan, namun di sisi yang lain penegakan hukum pidana justru
memberikan sanksi kenestapaan bagi manusia yang melanggarnya.
Persoalan kesesuaian antara hukum pidana dengan masyarakat di mana hukum
pidana tersebut diberlakukan menjadi salah satu prasyarat baik atau tidaknya
hukum pidana. Artinya, hukum pidana dianggap baik jika memenuhi dan
berkesesuaian dengan nilai-nilai yang dimiliki masyarakat. Sebaliknya, hukum
pidana dianggap buruk jika telah usang dan tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam
masyarakat. Hukum pidana Indonesia merupakan warisan hukum kolonial ketika
Belanda melakukan penjajahan atas Indonesia, maka selayaknya hukum pidana
Indonesia adalah produk dari bangsa Indonesia sendiri.31
Idealisme ini ternyata tidak sesuai dengan realitasnya. Hukum pidana Indonesia
sampai sekarang masih mempergunakan hukum pidana warisan Belanda. Secara
31Prima Angkupi, Pembaharuan Hukum Pidana, http://id.shvoong.com/law-and-
politics/criminallaw/2077234-pembaharuan-hukum-pidana-dalam
perspektif/#ixzz1sXHWBKsL, di akses pada tanggal 27 april 2012 pukul 15.09
-
27
politis dan sosiologis, pemberlakuan hukum pidana kolonial ini jelas
menimbulkan problem tersendiri bagi bangsa Indonesia. Pembaharuan hukum
pidana pada hakekatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan
peninjauan dan penilaian kembali sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik,
sosio-filosofi dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan
sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.32
Upaya pembaharuan hukum pidana Indonesia mempunyai suatu makna yaitu
menciptakan suatu kodifikasi hukum pidana nasional untuk menggantikan
kodifikasi hukum pidana yang merupakan warisan kolonial yakni Wetboek van
Strafrecht Voor Nederlands Indie 1915, yang merupakan turunan dari Wetboek
van Strafrecht Negeri Belanda Tahun 1886.33 Dari hal tersebut, terkandung tekat
dari bangsa Indonesia untuk mewujudkan suatu pembaharuan hukum pidana yang
dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi
hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofi
dan sosio-kultural yang melandasi dan memberi sisi terhadap muatan normatif dan
substansi hukum pidana yang dicita-citakan.
Makna dari pembaharuan hukum pidana bagi kepentingan masyarakat Indonesia
mengacu pada dua fungsi dalam hukum pidana, yang pertama fungsi primer atau
utama dari hukum pidana yaitu untuk menanggulangi kejahatan. Sedangkan
fungsi skunder yaitu menjaga agar penguasa (pemerintah) dalam menanggulangi
kejahatan betul-betul melaksanakan tugasnya sesuai dengan apa yang telah
digariskan oleh hukum pidana. Di dalam fungsinya untuk menanggulangi
32 Barda Nawawi Arief. 2010. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, cetakakan kedua, PT.
Kencana Prenada Media Group, Jakarta. hlm. 30 33 Muladi, 2005, Lembaga Pidana Bersyarat, cetakan ketiga, Alumni. Bandung, hlm. 4.
-
28
kejahatan, hukum pidana merupakan bagian dari politik kriminal, disamping
usaha nonpenal pada upaya penanggulangan itu. Mengingat fungsi tersebut,
pembentukan hukum pidana tidak akan terlepas dari peninjauan efektivitas
penegakan hukum. Kebutuhan pembaharuan hukum pidana terkait pula pada
masalah substansi dari KUHP yang bersifat dogmatis. KUHP warisan kolonial ini
dilatarbelakangi pada pemikiran/paham individualisme-liberalisme dan sangat
dipengaruhi oleh aliran klasik dan neoklasik Terhadap teori hukum pidana dan
pemidanaan dari kepentingan kolonial Belanda di Negeri-negeri jajahannya. 34
Upaya pembaharuan hukum pidana dalam pembentukan suatu KUHP nasional
merupakan kebutuhan pokok bagi masyarakat guna tercipta penegakan hukum
yang adil. Hukum pidana sebagai upaya penanggulangan kejahatan melalui
undang-undang hukum pidana, sehingga ketakutan akan kejahatan dapat dihindari
melalui penegakan hukum pidana dengan sanksi pidananya. Hukum pidana
dengan ancaman sanksi pidana tidak bisa menjadi jaminan hukum atau ancaman
utama terhadap kebebasan umat manusia dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Sanksi pidana yang dimaksud disini untuk memulihkan situasi semula
akibat dari pelanggaran hukum yang dilakukan oleh seseorang ataupun oleh
sekelompok orang memerlukan adanya kepastian dan penegakan hukum. Sanksi
pidana yang semacam itu akan didapatkan dengan terbentuknya KUHP Nasional
yang mencerminkan nilai-nilai masyarakat Indonesia, bukan lagi KUHP yang
diberlakukan oleh bangsa penjajah untuk bangsa yang dijajah hanya untuk
kepentingan penjajah bukan untuk kepentingan nasional penegakan hukum
Indonesia.
34 Teguh dan Aria. 2011. Hukum Pidana Horizon baru Pasca Reformasi. Jakarta Raja Grafindo
Persada. hlm. 8.
-
29
2. Urgensi Pembaharuan Hukum Pidana
Makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana berkaitan erat dengan latar
belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana itu sendiri. Latar
belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana dapat ditinjau dari
aspek sosio-politik, sosio-filosofik, sosio-kultural atau dari berbagai aspek
kebijakan (khususnya kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan
penegakan hukum). Artinya, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya harus
merupakan perwujudan dari perubahan dan pembaharuan terhadap berbagai aspek
dan kebijakan yg melatarbelakanginya. Dengan demikian, pembaharuan hukum
pidana pada hakikatnya mengandung makna, suatu upaya melakukan reorientasi
dan reformasi hukum pidana yg sesuai dengan nilai-nilai sosio-politik, sosio-
filosofi, dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial,
kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.
Makna dan hakikat dari pembaharuan hukum pidana dapat ditempuh dengan dua
cara sebagai berikut :35
1. Dilihat dari sudut pendekatan kebijakan :
a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana pada
hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah
sosial dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional (kesejahteraan
masyarakat)
b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana pada
hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat
(khususnya upaya penanggulangan kejahatan)
35 Barda Nawawi Arief, 2010. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Prenada Madia Group.
Jakarta. hlm. 29- 30.
-
30
c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum
pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui
substansi hukum dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum.
2. Dilihat dari sudut pendekatan nilai, pembaharuan hukum pidana pada
hakikatnya merupakan bagian dari upaya melakukan peninjauan dan penilaian
kembali nilai-nilai sosio-politik, sosio-filosofi dan sosio-kultural yang
melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum
pidana yang dicita-citakan. Pembaharuan hukum pidana sudah menjadi
kebutuhan yang mendesak untuk adanya perubahan mendasar dalam rangka
mencapai tujuan dari pidana yang lebih baik dan manusiawi. Kebutuhan
tersebut sejalan dengan keinginan kuat untuk dapat mewujudkan suatu
penegakan hukum yang lebih adil terhadap setiap bentuk pelanggaran hukum
pidana di era reformasi ini.
Pada era reformasi ini, ada 3 faktor tatanan hukum pidana yang sangat
mendesak dan harus segera diperbarui. Pertama, hukum pidana positif untuk
mengatur aspek kehidupan masyarakat sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan zaman. Sebagian tatanan hukum pidana positif merupakan
produk hukum peninggalan kolonial seperti KUHP. Kedua, sebagian
ketentuan hukum pidana positif tidak sejalan lagi dengan semangat reformasi
yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan, keadilan, kemandirian, HAM,
dan demokrasi. Ketiga, penerapan ketentuan hukum pidana positif
menimbulkan ketidakadilan terhadap rakyat, khususnya para aktivis politik,
HAM, dan kehidupan demokrasi di negeri ini.36 Menurut Sudarto, sedikitnya
36 Ibid,.hlm. 9.
-
31
ada tiga alasan mengapa perlu segera dilakukan suatu pembaharuan hukum
pidana Indonesia, yaitu :37
1. Alasan politis, Indonesia yang memperoleh kemerdekaan sejak Tahun
1945 sudah wajar mempunyai KUHP ciptaan bangsa sendiri. KUHP dapat
dipandang juga sebagai lambang dan kebanggaan suatu negara yang telah
merdeka dan melepaskan diri dari penjajahan politik bangsa asing. Apabila
KUHP suatu negara yang dipaksakan untuk diberlakukan di negara lain,
maka dapat dipandang dengan jelas sebagai lambang atau simbol dari
penjajahan oleh negara yang membuat KUHP itu.
2. Alasan sosiologis, pengaturan dalam hukum pidana merupakan
pencerminan ideologi politik suatu bangsa dimana hukum itu berkembang.
Ini berarti nilai sosial dan budaya bangsa itu dapat tempat dalam
pengaturan hukum pidana. Ukuran mengkriminalisasikan suatu perbuatan,
tergantung dari nilai dan pandangan kolektif yang terdapat di dalam
masyarakat tentang norma kesusilaan dan agama sangat berpengaruh di
dalam kerangka pembentukan hukum, khususnya hukum pidana.
3. Alasan praktik, sehari-hari untuk pembaharuan hukum pidana adalah
karena teks resmi KUHP adalah teks yang ditulis dalam bahasa Belanda.
Teks yang tercantum selama ini dalam KUHP disusun oleh Moeljatno, R.
Soesilo, R. Trisna, dan lain-lain merupakan terjemahan belaka.
Terjemahan “partikelir” dan bukan pula terjemahan resmi yang disahkan
oleh suatu undang-undang.
37 Ibid. hlm. 7-8.
-
32
Apabila kita hendak menerapkan KUHP itu secara tepat rakyat Indonesia
harus mengerti bahasa belanda. Kiranya hal ini tidak mungkin untuk
diharapkan lagi dari bangsa yang sudah merdeka dan mempunyai bahasa
nasionalnya sendiri. Dari sudut ini, KUHP yang ada sekarang, jelas harus
diganti dengan KUHP nasional. Dalam pembaharuan hukum pidana di
Indonesia, terlebih dahulu haruslah diketahui permasalahan pokok dalam
hukum pidana. Hal tersebut demikian penting, karena hukum pidana yang
berlaku secara nasional sebagaimana pendapat Sudarto diatas selain itu juga
merupakan cerminan suatu masyarakat yang merefleksi nilai-nilai yang
menjadi dasar masyarakat itu. Bila nilai-nilai itu berubah, maka hukum
pidana juga haruslah berubah. Menurut Barda Nawawi Arief, makna dan
hakikat dari pembaharuan hukum pidana sebagai berikut:
a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana pada
hakekatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-
masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai
atau menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat).
b. Sebagai bagian dari kebijakan nasional, pembaharuan hukum pidana pada
hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat
(khususnya upaya penanggulangan kejahatan).
c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum
pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbarui
substansi hukum (legal subtance) dalam rangka lebih mengefektifkan
penegakan hukum.38
38 Barda Nawawi Arief. Log.cit. hlm. 29.
-
33
Pembaharuan hukum pidana Indonesia adalah sebuah keharusan yang tidak bisa
ditawar-tawar lagi. Problematika yang muncul terkait dengan usangnya KUHP
secara internal dan berkembangnya persoalan-persoalan di tengah-tengah
kehidupan masyarakat secara eksternal menambah dorongan yang kuat dari
masyarakat untuk menuntut kepada negara agar segera merealisasikan kodifikasi
hukum pidana yang bersifat nasional sebagai hasil jerih payah dan pemikiran
bangsa Indonesia sendiri. Oleh karena itu, RKUHP yang sudah kesekian kalinya
direvisi selayaknya segera dibahas oleh lembaga legislatif untuk disahkan.
3. Aspek Pembaharuan Hukum Pidana dalam Rancangan KUHP
Upaya pembaharuan hukum pidana dalam pembentukan suatu KUHP Nasional
Merupakan kebutuhan pokok yang tidak dapat dihindari lagi, sebagaimana telah
diuraikan di atas guna terciptanya penegakan hukum yang adil. Keamanan dalam
naungan hukum didambakan oleh warga masyarakat yang mengalami ketakukan
terhadap kejahatan (fear of crime) sehingga perlu upaya penanggulangan
kejahatan melalui perundang-undangan pidana, dalam rangka menanggulangi
kejahatan melalui penegakan hukum pidana dengan sanksi pidanya. Artinya,
adanya usaha penanggulangan kejahatan melalui pembuatan undang-undang
pidana dengan sanksi pidananya merupakan bagian yang integral dari usaha
perlindungan terhadap masyarakat. Menelaah rancangan KUHP setidaknya
bertitik tolak pada tiga substansi atau masalah pokok dalam hukum pidana, yaitu
masalah tindak pidana, masalah kesalahan atau pertanggungjawaban pidana, serta
pidana dan pemidanaan yang akan diuraikan sebagai berikut :
a. Tindak Pidana
Menetapkan sumber hukum atau dasar patut dipidananya perbuatan, pada
pokoknya konsep bertolak dari dasar bahwa sumber hukum yang utama adalah
-
34
undang-undang (hukum tertulis). Jadi bertolak dari asas legalitas dalam pengertian
yang formal. Konsep memperluas perumusan asas legalitas secara materil, yaitu
ketentuan Pasal 1 Ayat (1) tersebut tidak mengurangi berlakunya hukum yang
hidup dalam masyarakat. Namun yang perlu di ingat bahwa berlakunya hukum
yang hidup hanya untuk tindak pidana yang tidak ada bandingannya atau tidak
diatur dalam undang-undang.
Perluasan asas legalitas juga dilakukan konsep terhadap rumusan asas legalitas,
yaitu bahwa ketentuan dalam Ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang
hidup yang menentukan bahwa hukum adat setempat patut dipidana bilamana
perbuatan itu tidak ada persamaan dalam peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya juga konsep tidak membedakan lagi kualifikasi tindak pidana berupa
kejahatan dan pelanggaran, namun menyatukannya dengan istilah tindak pidana.
Kebijakan untuk menghilangkan pembedaan kejahatan dan pelanggaran ini
didasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu : (1) pembedaan tindak pidana
secara kualitatif berupa kejahatan dan pelanggaran tidak dapat dipertahankan lagi
(2) penggolongan dua jenis tindak pidana itu sesuai pada zaman Hindia Belanda
yang relevan dengan pengadilan pada waktu itu.
b. Pertanggungjawaban Pidana
Bertolak dari pemikiran keseimbanga monodualistik, konsep memandang bahwa
asas kesalaha (asas kulpabilitas) merupakan pasangan dari asas legalitas yang
harus dirumuskan secara eksplisit dalam undang-undang. Oleh karena itu
ditegaskan dalam konsep Pasal 35 bahwa asas tiada pidana tanpa kesalahan
merupakan asas yang sangat fundamental dalam memepertanggungjawabkan
pembuat yang telah melakukan tindak pidana. Walaupun prinsipnya bertolak dari
-
35
pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, namun dalam hal-hal tertentu
konsep juga memberikan kemungkinan adanya pertanggungjawaban yang ketat
dalam Pasal 37 dan pertanggungjawaban pengganti dalam Pasal 36. Masalah
kesalahan baik kesesatan mengenai keadaannya maupun kesesatan mengenai
hukumnya, menurut konsep merupakan salah satu alasan pemaaf sehingga pelaku
tindak pidana kecuali kesesatannya itu patut dipersalahkan kepadanya. Ini berbeda
29 dengan doktrin kuno dalam hukum pidana, bahwa kesesatan mengenai
keadaanya tidak di pidana, sedangkan kesesatan mengenai hukumnya tetap
dipidana.
c. Pidana dan Pemidanaan
Bertolak dari pemikiran bahwa pidana pada hakikatnya hanya merupakan alat
untuk mencapai tujuan, maka merumuskan tujuan pemidanaan dalam Pasal 50
yaitu :
1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat.
2. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana 3. Memulihkan keseimbangan 4. Mendatangkan rasa damai dalam masyarakat 5. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga
menjadi orang baik dan berguna.
6. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Pedoman pemidanaan dalam Pasal 51 yang dapat dijadikan acuan bagi hakim
dalam memberikan pidana. Disamping memuat tujuan dan pedoman pemidanaan,
konsep KUHP juga memuat adanya ketentuan mengenai pedoman pengampunan
hakim dalam Pasal 51 Ayat (2). Pedoman pengampunan hakim merupakan
implementasi dari ide individualisasi pidana. Dengan dasar ini maka hakim
diperbolehkan memaafkan orang yang nyata melakukan tindak pidana dengan
-
36
alasan keadaan pribadi si pembuat dan pertimbangan kemanusiaan. Sistem
pemidaan yang dianut dalam konsep adalah elastis (tidak kaku), yang intinya
memberi keleluasaan bagi hakim dalam memilih dan menentukan sanksi yang
sekiranya tepat untuk pelaku tindak pidana. Namun kebebasan dan keleluasaan
tersebut tetap dalam batas-batas menurut undang-undang.
E. Pengaturan Tindak Pidana Perzinahan dalam KUHP
Perzinahan dalam pengertian istilah adalah hubungan kelamin antara seorang
lelaki dengan seorang perempuan yang satu sama lain tidak terikat dalam
hubungan perkawinan. Masalah perzinahan merupakan salah satu contoh adanya
benturan antara pengertian dan paham tentang zina dalam KUHP dan nilai-nilai
sosial masyarakat. Sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat yang masih
menjunjung tinggi nilai-nilai kesusilaan, perzinahan akan dipandang sebagai
sebuah perbuatan yang asusila. Namun hal ini berbeda menurut masyarakat yang
lebih bercorak individualis. Hal ini disebabkan karena sistem hukum yang ada
didunia memandang berbeda terhadap tindak pidana perzinahan sebagai bagian
dalam tindak pidana mengenai kesusilaan dan perbedaan cara pandang dan nilai-
nilai yang melatarbelakanginya. Tindak pidana perzinahan diatur dalam Pasal 284
KUHP, salah satu Pasal yang termasuk dalam buku II bab XIV yaitu kejahatan
terhadap kesusilaan. Pasal 284 KUHP berbunyi sebagai berikut :
(1) a. Laki-laki yang beristeri berbuat zina, sedang diketahuinya bahwa Pasal 27
Kitab Undang-undang Hukum Perdata berlaku padanya;
a. Perempuan yang turut melakukannya perbuatan itu, sedang diketahuinya bahwa kawannya itu bersuami;
b. Perempuan yang tidak bersuami yang turut melakukan perbuatan itu, sedang diketahuinya bahwa kawannya itu beristeri dan Pasal 27 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata berlaku pada kawannya;
-
37
(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang
tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku Pasal 27 BW, dalam tenggang
waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah meja dan
ranjang karena alasan itu juga;
(3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku Pasal 72, Pasal 73 dan Pasal 75;
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang belum
dimulai;
(5) Jika bagi suami-istri berlaku Pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama
perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang
menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap;
Penjelasan mengenai Pasal 284 KUHP sebagai berikut:
1. Zina menurut Pasal 284 KUHP adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki laki dan perempuan yang telah menikah dengan perempuan atau laki-laki yang
bukan istri atau suaminya. Persetubuhan tersebut dilakukan atas dasar suka
sama suka dan tidak merupakan paksaan dari salah satu pihak.
2. Pasal 284 KUHP membedakan antara orang-orang yang tunduk pada Pasal 27 BW dan orang-orang yang tidak tunduk pada Pasal 27 BW.
3. Pasal 284 KUHP tersebut berlaku aduan yang absolut, artinya tidak dapat dituntut jika tidak ada pengaduan dari pihak suami atau istri yang dirugikan
(dipermalukan). Pengaduan tersebut berlaku bagi pihak yang dirugikan dan
pasangan perzinahan.
4. Walaupun belum terdapat pengaduan dari pihak yang berkepentingan, polisi tidak dilarang untuk mengadakan pemeriksaan bila menjumpai peristiwa
perzinahan.
F. Pengaturan Tindak Pidana Perzinahan dalam RKUHP Tahun 2019
Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana 2019 yang sedang dalam
pembahasan masih menyisakan banyak permasalahan. Terutama dalam hal tindak
pidana yang diatur dan bobot pemidanaannya. Di mana masih banyak tindak
pidana yang dirasa mengekang kebebasan warga negaranya dan overkriminalisasi.
Tindak Pidana Zina diatur RKUHP 2019 dalam Pasal 417. Adapun bunyi Pasal itu
sendiri yaitu:
1. Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinahan dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) Tahun atau denda kategori II.
2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, orang tua, atau anaknya.
-
38
3. Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) tidak berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30.
Apabila merujuk pada ketentuan zina dalam rancangan undang-undang Pasal 417
Ayat (1) sampai (3) RKUHP Tahun 2019 tersebut dapat disimpulkan bahwa
perbuatan zina merupakan tindakan persetubuhan yang dilakukan oleh kedua
orang yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah, baik satu atau kedua belah
pihak sudah terikat dengan ikatan perkawinan sebelumnya maupun kedua-duanya
belum terikat pada perkawinan. RKUHP tidak lagi membatasi status perkawinan,
berkarasteristik gender-neutral dan tidak mensyaratkan gugatan cerai. Pihak yang
dapat mengajukan pengaduan adalah pihak-pihak yang berpotensi terkena dampak
dari perbuatan tersebut, RKUHP Pasal 417 dikhawatirkan dapat menyebabkan
terjadinya kriminalisasi.39
39 Eko Sugiyanto. 2016. Pujiyono dan Budi Wisaksono. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Upaya
Penanggulangan Tindak Pidana Perzinahan. Diponegoro Law. hlm. 42.
-
39
III. METODE PENELITIAN
Metode merupakan suatu bentuk atau cara yang dipergunakan dalam pelaksanaan
suatu penelitian guna mendapatkan, mengolah dan menyimpulkan data yang data
memecahkan suatu permasalahan.
A. Pendekatan Masalah
Penulisan skripsi ini digunakan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis
empiris. Membahas kebijakan formulasi terhadap tindak pidana perzinahan dalam
perspektif pembaharuan KUHP Nasional yaitu melakukan penelitian
menggunakan nilai-nilai dan norma dan peraturan perundang-undangan yang
sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dimasyarakat. Pendekatan secara yuridis
normatif dimaksudkan dapat memperoleh gambaran jelas, keadaan dari obyek
yang diteliti, oleh karena itu penelitian ini bersifat deskriptif, untuk mengetahui
pendapat individu, keadaan, nilai dan norma serta peraturan hukum yang ada di
Indonesia menyangkut perzinahan. Pendekatan secara yuridis empiris dilakukan
dengan cara mempelajari hokum dalam kenyataan atau berdasarkan fakta yang
didapat secara objektif di lapangan baik berupa pendapat, sikap dan perilaku
hukum yang didasarkan pada identifikasi hukum dan efektivitas hukum.
-
40
B. Sumber dan Jenis Data
1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber pertama. Data
primer merupakan data yang diperoleh dari studi lapangan yang tentunya
berkaitan dengan penelitian.
2. Data Skunder
Data skunder adalah data yang diperoleh dari hasil penelaahan kepustakaan atau
penelaahan terhadap berbagai literatur atau bahan pustaka yang berkaitan dengan
masalah atau materi penelitian, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan
hukum skunder, dan bahan hukum tersier.40
a. Bahan hukum primer terdiri dari:
1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 junto Undang-undang Nomor 73
Tahun 1958 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
2) Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) Tahun 2019
b. Bahan hukum skunder terdiri dari:
Bahan hukum yang bersifat menjelaskan terhadap bahan primer.41 Bahan
hukum ini terdiri dari berbagai literatur, buku-buku teks, artikel, jurnal,
pendapat-pendapat sarjana, kasus-kasus hukum, yurispundensi dan hasil-
hasil symposium mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian,
Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) dan karya
ilmiah lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini.
40Mukti Fajar dan Yulianto Achmad. 2015. Dualisme Penelitian Hukum-Normatif dan Empiris,
Yogyakarta. Pustaka Pelajar. hlm 156. 41Johnny Ibrahim. 2006. Teori dan Meteologi Penelitian Hukum Normatif. Surabaya. Bayumedia
Publishing.hlm. 64.
-
41
c. Bahan hukum tersier terdiri dari bahan hukum yang memberikan pejelasan
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum skunder, terdiri dari hasil-
hasil penelitian, literatur-literatur, petunjuk teknis maupun pelaksanaan yang
berkaitan dengan pokok bahasan.
C. Penentuan Narasumber
Narasumber atau orang yang akan diwawancarai dalam proses penelitian ini
adalah aparat penegak hukum dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum
Universitas Lampung. Para narasumber di pandang lebih mengetahui tentang
peraturan hukum mengenai tindak pidana perzinahan, KUHP dan RKUHP,
dengan rincian sebagai berikut;
1. Anggota Legislatif komisi I DPRD bagian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Provinsi Lampung : 1 orang
2. Anggota Lembaga Advokasi Perempuan DAMAR : 1 orang
3. Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila : 1 orang +
________
Jumlah : 3 orang
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
1. Prosedur Pengumpulan Data
Data yang benar dan akurat dalam penelitian ini ditempuh melalui prosedur
sebagai berikut:
a. Studi Kepustakaan (Library Research)
Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data skunder dengan
melalui serangkaian kegiatan membaca, mencatat, mengutip dan menelaah
bahan-bahan pustaka yaitu berupa karya tulis dari para ahli yang disusun
dalam literatur dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
-
42
b. Studi Lapangan (Field Research)
Studi lapangan merupakan usaha yang dilakukan untuk memperoleh data
primer dengan mengajukan pertanyaan dan meminta penjelasan kepada
beberapa pihak yang dianggap mengetahui masalah yang berhubungan
dengan penelitian ini.
2. Prosedur Pengolahan Data
Setelah data yang dikehendaki terkumpul, baik dari studi kepustakaan maupun
studi lapangan, maka data diproses melalui pengolahan data dengan langkah-
langkah sebagai berikut :
a. Evaluasi, yaitu data yang diperoleh, diperiksa, dan diteliti kembali mengenai
kelengkapan, kerjasama, dan kebenarannya sehingga terhindar dari kekurangan
dan kesalahan.
b. Klasifikasi, yaitu kegiatan penempatan data menurut kelompok-kelompok yang
telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan
dan akurat untuk di analisis lebih lanjut.
c. Sistematisasi, data adalah penyusun data secara sistematis yaitu sesuai dengan
pokok bahasan sehigga memudahkan analisis data.
E. Analisis Data
Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif dengan
mendeskripsikan data yang dihasilkan dari penelitian dilapangan kedalaman
bentuk penjelasan secara sistematis yang menguraikan mengenai tindak pidana
Perzinahan dalam Pembaharuan KUHP.
-
76
V. PENUTUP
A. Simpulan
1. Perzinahan diatur dalam hukum positif Indonesia Pasal 284 Kitab Undang-
undang Hukum Pidana (KUHP). Pengertian didalam Pasal 284 KUHP belum
sesuai dengan latar belakang serta karakteristik nilai-nilai agama, nilai
kesopanan serta nilai kesusilaan dalam masyarakat Indonesia. Sehingga dalam
kehidupan sehari-hari banyak ditemui tindakan main hakim oleh masyarakat
yang menerapkan hukum adatnya, dikarenakan hukum positif yang berlaku
tidak mampu memberikan rasa keadilan kepada masyarakat. Usaha pemerintah
dalam menanggulangi kejahatan perzinahan adalah dengan merevisi tindak
pidana perzinahan Pasal 284 KUHP. Perluasan tindak pidana perzinahan
didalam RKUHP Tahun 2019 dalam Pasal 417 meliputi 3 hal, yaitu perluasan
subyek, perluasan delik aduan serta perluasan pemidanaan.
2. Kebijakan formulasi yang merancang undang-undang guna pembaharuan
hukum pidana harus memperhatikan landasan-landasan dari pembaharuan
hukum pidana diantaranya landasan filosofis, landasan sosiologis, landasan
politis dan landasan yuridis, sehingga nantinya Indonesia dapat memiliki
hukum yang sesuai dengan latar belakang masyarakat Indonesia. Selain itu
delik perzinahan yang berlaku dalam KUHP saat ini masih termasuk dalam
delik aduan absolut, pandangan barat yang melatarbelakangi KUHP berbeda
dengan pandangan masyarakat Indonesia. Perkawinan dalam pandangan
-
77
masyarakat Indonesia terkait dengan nilai-nilai dan kepentingan masyarakat.
Dengan ditetapkannya tindak pidana perzinahan sebagai tindak pidana aduan
absolut, prevensinya lemah karena memberi peluang dan dasar legitimasi
kepada seseorang untuk merasa bebas melakukan perzinahan, agar tidak
terjadinya bentrokan kepentingan sebaiknya tindak pidana perzinahan menjadi
delik aduan relatif, sehingga terciptanya tujuan dari pembaharuan hukum
pidana yaitu keadilan serta kesejahteraan di dalam masyarakat.
B. Saran
Saran dalam penulisan skripsi ini adalah :
1. Hendaknya pemerintah sebagai badan yang berwenang merancang undang-
undang mengenai tindak pidana perzinahan dapat membuat rancangan
mengenai delik perzinahan yang sebelumnya termasuk kedalam delik aduan
absolut menjadi delik aduan relatif .
2. Diharapkan untuk segera disahkan dan diundangkan oleh badan legislatif,
sehingga memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dan mewujudkan
tujuan dari pembaharuan hukum pidana yaitu keadilan serta kesejahteraan
masyarakat.
-
78
DAFTAR PUSTAKA
A. Literatur
Bahiej. A. 2016. Tinjauan Yuridis atas Tindak pidana Perzinahan Overspel dalam
Hukum Pidana Indonesia. Yogyakarta.
Christianto H. 2016. Norma Kesusilaan Sebagai Batasan Penemuan Hukum
Progresif. Perkara Kesusilaan di Bangkalan Madura. Jurnal Hukum &
Pembangunan. Jakarta.
Dwidja Priyatno. 2004. Kebijakan Legislasi tentang Sistem Pertanggung Jawaban
Pidana Korporasi di Indonesia. Utomo. Bandung.
Eko Sugiyanto. 2016. Pujiyono dan Budi Wisaksono. Kebijakan Hukum Pidana
Dalam Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Perzinahan. Diponegoro
Law. Bandung.
Hadikusuma. Hilman. 1990. Hukum perkawinan Indonesia: menurut
perundangan, hukum adat, hukum agama. Mandar Maju. Jakarta.
Hamdan, M. 1997. Poltik Hukum Pidana. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
top related