skripsi analisis makanan pendamping asi (mp asi) pada …
Post on 30-Nov-2021
11 Views
Preview:
TRANSCRIPT
i
SKRIPSI
ANALISIS MAKANAN PENDAMPING ASI (MP ASI)
PADA IBU BEKERJA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS
TURIKALE KABUPATEN MAROS TAHUN 2017
SYAHRUNI FADILAH
K211 13 308
Skripsi Ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
PROGRAM STUDI ILMU GIZI
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
ii
iii
iv
RINGKASAN
Universitas Hasanuddin
Fakultas Kesehatan Masyarakat
Program Studi Ilmu Gizi
Syahruni Fadilah
“Analisis Makanan Pendamping ASI (MP ASI) pada Ibu Bekerja di Wilayah
Kerja Puskesmas Turikale Kabupaten Maros Tahun 2017”
Makanan Pendamping ASI adalah makanan atau minuman yang
mengandung zat gizi, diberikan pada bayi atau anak usia 6-24 bulan guna
memenuhi kebutuhan gizi selain dari ASI. MP ASI ini diberikan pada bayi karena
pada masa itu produksi ASI semakin menurun sehingga suplai zat gizi dari ASI
tidak lagi memenuhi kebutuhan gizi anak yang semakin meningkat sehingga
pemberian dalam bentuk makanan pelengkap sangat dianjurkan.
Penelitian ini bertujuan mengetahui pemilihan MP ASI pada ibu bekerja
di wilayah kerja Puskesmas Turikale serta status gizi bayi dan anak usia 6-24
bulan. Jenis penelitian ini ialah deskriptif dengan desain cross sectional.
Responden ialah ibu bekerja yang memiliki anak usia 6-24 bulan sebanyak 46
orang di wilayah kerja Puskesmas Turikale. Teknik pengambilan sampel dalam
penelitian ini adalah nonprobability sampling beradasarkan kriteria. Data
diperoleh melalui kuesioner dan dianalisis dengan menggunakan program SPSS.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 26 anak (56,5%) diberikan
MP ASI lokal, 9 anak (19,6%) diberikan MP ASI pabrikan, dan 11 anak (23,9%)
diberi keduanya (lokal dan pabrikan), pada frekuensi pemberian MP ASI terdapat
25 bayi dan anak (54,3%) yang diberikan sesuai anjuran dan semuanya memiliki
status gizi normal, pada porsi pemberian MP ASI terdapat 11 bayi dan anak
(23,9%) yang diberikan sesuai anjuran dan terdapat 5 anak yang memiliki status
gizi normal dan 6 anak yang memiliki status gizi gemuk, kemudian pada
konsistensi pemberian MP ASI terdapat 27 bayi dan anak yang diberikan sesuai
anjuran dan terdapat 22 bayi dan anak yang memiliki status gizi normal dan 5
anak yang memiliki status gizi gemuk, dan pada cara pemberian MP ASI hanya 9
anak yang diberikan sesuai anjuran (19,6%) dan semuanya memiliki status gizi
normal. Peneliti menyarankan dalam melakukan penelitian terkait MP ASI selain
menggunakan kuesioner sebagai instrumen penelitian juga sebaiknya dilakukan
observasi dalam hal ini dengan meninjau langsung proses pembuatan atau pun
pemberian MP ASI tersebut.
Daftar Pustaka : 70 (2002 – 2016)
Kata kunci: MP ASI, lokal, pabrikan
v
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena dengan izin dan
rahmatNyalah penulis dapat menyelesaikan skiripsi yang berjudul “Analisis
Makanan Pendamping ASI (MP ASI) pada Ibu Bekerja di Wilayah Kerja
Pusekesmas Turikale Kab. Maros Tahun 2017”. Shalawat serta salam tidak lupa
tercurahkan bagi Rasulullah SAW teladan umat manusia sepanjang masa,
pembawa dari masa kebodohan ke masa yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Skripsi ini merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan studi S1 pada
Program Studi Ilmu Gizi FKM Unhas.
Terima kasih sebesar-besarnya kepada Ibu Dr. dr. Citrakesumasari,
M.Kes., Sp.GK. sebagai dosen pembimbing I sekaligus selaku Ketua Program
Studi Ilmu Gizi dan juga terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. dr.
Veni Hadju, M.Sc., PhD. selaku dosen pembimbing II. Terima kasih karena telah
banyak memberikan nasehat dan arahan kepada penulis selama menjalankan studi
S1 di Prodi Ilmu Gizi FKM Unhas serta dukungan dalam penyelesaian skripsi ini.
Saya persembahkan skripsi ini kepada kedua orang tua tercinta Ayahanda
Dody Sugeng Raharjo, S.Kep dan Ibunda Nurhayati, SKM, terima kasih atas
segala doa yang selalu dipanjatkan kepada ananda, serta dukungan dan bantuan
yang tak ternilai hingga penulis dapat menyelesaikan studi S1.
Dalam kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati penulis juga ingin
menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A selaku rektor Universitas
Hasanuddin
vi
2. Bapak Ir. H. M. Hatta Rahman, MM selaku Bupati Kabupaten Maros yang
merupakan Kabupaten tempat penulis melakukan penelitian.
3. Ibu Hj. A. Rasmawaty Rasjid, SKM., M.Kes. selaku Kepala Puskesmas
beserta seluruh Staf dan Tenaga Kesehatan di Puskesmas Turikale yang telah
memberikan izin penelitian dan membantu selama penelitian berlangsung.
4. Prof. Dr. drg. Andi Zulkifli, M.Kes selaku Dekan beserta seluruh Dosen dan
Staf yang telah memberikan bantuan fasilitas selama penulis menjalani masa
studi di FKM Unhas.
5. Dr. Aminuddin Syam, SKM., M.Kes., M.Med selaku penguji I, dr. Devintha
Virani, M.Kes., Sp.GK selaku penguji II, dan Dr. Lalu Muhammad Saleh,
SKM., M.Kes selaku penguji III yang telah memberikan bimbingan dan
arahan demi kelancaran penulisan skripsi.
6. Seluruh Dosen Program Studi Ilmu Gizi yang telah banyak memberikan ilmu
kepada penulis serta seluruh Staf Program Studi Ilmu Gizi yang telah
membantu selama ini.
7. Seluruh KM FKM Unhas terutama teman-teman seperjuangan pengurus BEM
FKM UNHAS periode 2016-2017 terkhusus pada Depart. Humas dan
Jaringan Alumni (Jordan, Luthfia, Metri, Suryaman, Dedew, dan Fitri) terima
kasih telah berjuang bersama.
8. Keluarga Sehimpun Secita HmI Komisariat Kesmas Cab. Maktim yang telah
mengenalkan indahnya berislam serta berilmu dan juga mengenalkan
indahnya berteman lebih dari saudara.
9. Teruntuk orang yang selalu mengingatkan dalam hal kebaikan, membantu di
vii
saat suka maupun duka Jordan, Sandy, Arya, Arma, Dian, Upi, Dea, Riska,
dan Renny semoga senantiasa selalu diberi kebahagiaan, kesehatan dan diberi
kekuatan untuk menghadapi jarak yang akan memisahkan.
10. Teman-teman SMANET THIRTEENITY terkhusus untuk teman jalan yang
selalu menghibur Ayu Pratiwi, Auliah, Wawan, Iin, Hery, Faat, Izabella,
Rahmat, dan Ekal. Dan juga sahabat yang meskipun jauh tapi canda dan
tawanya tetap terasa dekat Muh. Alghifari, Syah Reza, dan Alif Indra.
11. Teman-teman pengurus Formazi FKM Unhas Periode 2016-2017 dan seluruh
keluarga besar Ilmu Gizi, terima kasih atas amanah, dinamika, motivasi,
semangat, nasehat dan bantuan serta kerjasamanya selama ini.
12. Perempuan-perempuan tangguh Pengurus Harian Nasional ILMAGI 16-17
yang telah mengajarkan bahwa jarak bukanlah penghalang untuk tetap
semangat dalam berorganisasi.
13. Teman-teman KKN Tematik Sebatik Unhas Gel. 93 terkhusus untuk Naya,
Enci, Indah, Jumardin, Yunus, Wawan, dan Widi terima kasih telah berjuang
bersama menaklukkan beranda negeri Indonesia.
14. Perempuan-perempuan yang selalu menguatkan yaitu Kak Nining, kak Ajina,
Kak Laksmi, Retno Inten, dan Tri Sofiatun. Semoga selalu dilimpahkan
rezeki karena telah banyak membantu dan mendukung penulis.
15. Manusia super dan terkuat menghadapi segala jenis badai yang dapat
menunda sarjana, teruntuk Tuti Ningsih, Sri Wulandari, Amaliah, dan
Muhamad Aryadipa. Badai pasti berlalu. See you on top!
16. Teman-teman seperjuangan angkatan 2013 (REMPONG) FKM Unhas dan
viii
terkhusus untuk teman-teman seperjuangan Ilmu Gizi 2013 (GU13RAK)
yang menjadi teman sharing selama 4 tahun.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, karena
itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca yang bersimpati pada
skripsi ini untuk penyempurnaannya. Akhir kata, tiada kata yang patut penulis
ucapkan selain doa semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan ridho dan
berkah-Nya atas amalan kita di dunia dan di akhirat. Amin.
Makassar, November 2017
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN ........................................................................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................................... iii
RINGKASAN ............................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR .................................................................................................. v
DAFTAR ISI ................................................................................................................. ix
DAFTAR TABEL......................................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................................. 9
C. Tujuan Penelitian .............................................................................................. 9
D. Manfaat Penelitian ............................................................................................. 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum tentang MP ASI ...................................................................... 12
B. Tinjauan Umum tentang Status Gizi .................................................................. 26
C. Tinjauan Umum tentang Ibu Bekerja ................................................................. 29
D. Tinjauan Umum tentang Pemilihan MP ASI ..................................................... 32
E. Faktor yang Mempengaruhi pada Pilihan MP ASI ............................................ 38
F. Kerangka Teori................................................................................................... 46
BAB III KERANGKA KONSEP
A. Dasar Pemikiran ................................................................................................. 47
B. Kerangka Konsep ............................................................................................... 48
C. Definisi Operasional dan Kriteria Obyektif ....................................................... 49
BAB IV METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian ................................................................................................... 50
B. Waktu dan Lokasi Penelitian ............................................................................. 50
C. Populasi dan Sampel Penelitian ......................................................................... 50
D. Instrumen Penelitian........................................................................................... 53
E. Teknik Pengumpulan Data ................................................................................. 54
F. Pengolahan Data................................................................................................. 54
G. Analisis Data ..................................................................................................... 55
H. Penyajian Data ................................................................................................... 55
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian .................................................................. 56
B. Hasil Penelitian .................................................................................................. 57
x
C. Pembahasan ........................................................................................................ 66
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ........................................................................................................ 90
B. Saran ................................................................................................................... 91
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xi
DAFTAR TABEL
Tabel Judul Halaman
Tabel 5.1 Distribusi Karakteristik Responden di Wilayah Kerja Puskesmas
Turikale Kab. Maros Tahun 2017 ............................................... 57
Tabel 5.2 Distribusi Karakteristik Anak di Wilayah Kerja Puskesmas Turikale
Kab. Maros Tahun 2017 ............................................................. 58
Tabel 5.3 Distribusi Status Gizi Bayi dan Anak di Wilayah Kerja Puskesmas
Turikale Kab. Maros Tahun 2017 ............................................... 59
Tabel 5.4 Distribusi MP ASI di Wilayah Kerja Puskesmas Turikale Kab.
Maros Tahun 2017 ..................................................................... 59
Tabel 5.5 Frekuensi Pemberian MP ASI di Wilayah Kerja Puskesmas Turikale
Kab. Maros Tahun 2017 ............................................................. 60
Tabel 5.6 Porsi Pemberian MP ASI di Wilayah Kerja Puskesmas Turikale Kab.
Maros Tahun 2017 ...................................................................... 61
Tabel 5.7 Konsistensi MP ASI di Wilayah Kerja Puskesmas Turikale Kab.
Maros Tahun 2017 ...................................................................... 62
Tabel 5.8 Cara Pemberian MP ASI di Wilayah Kerja Puskesmas Turikale Kab.
Maros Tahun 2017 ...................................................................... 63
Tabel 5.9 Analisis Pemilihan MP ASI yang Sesuai Anjuran dengan Status Gizi
Bayi dan Anak Usia 6-24 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas
Turikale Kab. Maros Tahun 2017 ............................................... 64
xii
Tabel 5.10 Analisis Pemilihan MP ASI yang Sesuai Anjuran dengan Status Gizi
Bayi dan Anak Usia 6-24 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas
Turikale Kab. Maros Tahun 2017 ............................................... 65
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Makanan Pendamping ASI adalah makanan atau minuman yang
mengandung zat gizi, diberikan pada bayi atau anak usia 6-24 bulan guna
memenuhi kebutuhan gizi selain dari Air Susu Ibu. Makanan pendamping
ASI ini diberikan pada bayi karena pada masa itu produksi ASI semakin
menurun sehingga suplai zat gizi dari ASI tidak lagi memenuhi kebutuhan
gizi anak yang semakin meningkat sehingga pemberian dalam bentuk
makanan pelengkap sangat dianjurkan (Depkes RI, 2006).
Makanan pendamping ASI (MP ASI) diberikan tepat pada usia 6 -24 bulan
karena pada usia tersebut merupakan waktu yang sangat rawan terjadi
malnutrisi sebaliknya, bila makanan pendamping diberikan terlambat akan
mengakibatkan anak kurang gizi bila terjadi dalam waktu panjang (Krisnatuti
& Yenrina, 2008). Bayi yang diberi MP ASI sejak usia 6 bulan
perkembangannya lebih tinggi dibandingkan dengan bayi yang diberi MP
ASI sebelum usia 6 bulan. Hal ini disebabkan karena kalau MP ASI diberikan
sebelum 6 bulan menyebabkan bayi tidak tertarik lagi dengan MP ASI
(Suhardjo, 2009).
Kekurangan Gizi diperkirakan berhubungan dengan 2,7 juta kematian
anak per tahun atau 45% dari seluruh kematian anak. Pemberian makan Bayi
dan anak merupakan sebuah kunci untuk meningkatkan kelangsungan hidup
anak dan mempromosikan pertumbuhan dan perkembangan yang sehat. Dua
2
tahun pertama kehidupan anak sangat penting, karena nutrisi yang optimal
selama periode ini menurunkan morbiditas dan mortalitas, mengurangi risiko
penyakit kronis, dan mendorong pembangunan yang lebih baik secara
keseluruhan (WHO, 2016).
Usia 6 bulan kebutuhan bayi akan makanan sudah cukup terpenuhi dengan
ASI namun setelah usia tersebut, ia memerlukan makanan tambahan yang
dapat menunjang pertumbuhannya. Usia 6 bulan jika hanya diberi ASI saja
maka kebutuhan asupan gizi bayi masih belum terpenuhi seluruhnya.
Pemberian ASI saja pada usia setelah 6 bulan hanya akan memenuhi sekitar
60%-70% kebutuhan bayi sedangkan yang 30%-40% harus dipenuhi dari
makanan pendamping atau tambahan (Indiarti, 2009).
Hal ini sejalan dengan program WHO yakni Global Strategy on Infant
Young Child feeding yang secara khusus menyebutkan kebijakan pemberian
ASI bagi bayi sampai usia enam bulan dan mulai pemberian makanan
pendamping MP ASI yang memadai pada usia 6 bulan dan diteruskan hingga
anak berusia dua tahun atau lebih dapat membantu proses tumbuh kembang
bayi (Depkes RI, 2013).
Penelitian WHO (2011), menyatakan bahwa hanya 40% bayi di dunia
yang mendapatkan ASI eksklusif sedangkan 60% bayi lainnya ternyata telah
mendapatkan MP ASI saat usianya < dari 6 bulan. Hal ini menggambarkan
bahwa pemberian ASI eksklusif masih rendah sedangkan praktek pemberian
MP ASI dini di berbagai negara masih tinggi. Jumlah peningkatan pemberian
MP ASI dini dan penurunan ASI eksklusif.
3
WHO telah menyusun Decision Chart for Implementation of Selective
Feeding Program jika tingkat prevalensi malnutrisi 15% atau lebih di suatu
negara, maka bantuan makanan tambahan termasuk MP ASI harus diberikan
kepada seluruh kelompok rawan, yaitu bayi, anak balita, serta perempuan
hamil dan menyusui. Di Indonesia, secara nasional beberapa provinsi perlu
mendapat perhatian serius karena tingginya prevalensi gizi buruk pada anak
balita, yaitu di atas 30% (Agnes, 2008).
Cakupan pemberian MP ASI balita lebih dari 6 bulan secara nasional
tahun 2013 sebesar 54,3%, menurun pada tahun 2014 sebesar 52,3%.
Berdasarkan provinsi di Indonesia tahun 2014 tertinggi di Nusa Tenggara
Barat sebesar 84,7% sedangkan terendah di Provinsi Jawa Barat sebesar
21,8% (Kemenkes RI, 2015).
Secara nasional prevalensi berat kurang pada tahun 2010 adalah 17,9%
yang terdiri dari 4,9% gizi buruk dan 13,0% gizi kurang. Dari 33 propinsi di
Indonesia 18 propinsi yang memiliki prevalensi berat kurang di atas angka
prevalensi nasional yaitu berkisar antara 30,5% di propinsi Nusa Tenggara
Barat dan 18,5% di propinsi Banten. Urutan ke 18 propinsi tersebut dari yang
tertinggi sampai terendah adalah Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara
Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Papua
Barat, Gorontalo, Maluku, Sulawesi Selatan, Aceh, Maluku Utara,
Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, Sumatera Utara, Sulawesi Barat,
Sumatera Selatan, Jambi dan Banten (Riskesdas, 2010).
4
Balita yang memiliki tinggi badan dan berat badan ideal (TB/U normal
dan BB/TB normal) jumlahnya 61,1%. Masih ada 38,9% Balita di Indonesia
yang masing mengalami masalah gizi, terutama Balita dengan tinggi badan
dan berat badan (pendek – normal) sebesar 23,4% yang berpotensi akan
mengalami kegemukan (Kemenkes RI, 2016).
Kabupaten/Kota yang paling tinggi kasus gizi buruk yaitu, Kota Makassar,
Kabupaten Bone, Kota Parepare, Kabupaten Toraja Utara, Kabupaten
Jeneponto, Kabupaten Sidrap, Kabupaten Pinrang, Kabupaten Wajo,
Kabupaten Takalar, Kabupaten Enrekang, Kabupaten Tana Toraja,
Kabupaten Selayar, Kabupaten Barru, Kabupaten Maros, Kabupaten Luwu,
dan Kota Palopo adapun Kabupaten terendah yaitu Kabupaten Bulukumba,
Kabupaten Gowa, Kabupaten Sinjai, Kabupaten Pangkep, Kabupaten Luwu,
Kabupaten Luwu Utara, dan Kabupaten Luwu Timur (Profil Kesehatan
Sulsel, 2014).
Keadaan status gizi anak usia di bawah dua tahun (Baduta) merupakan
kelompok yang rawan gizi dan akan menentukan kualitas hidup selanjutnya.
Pemenuhan gizi merupakan hak dasar anak (Ferreira, 2012). Penjelasan
tentang MP ASI dan status gizi balita memunculkan masalah pada aspek
hubungan sebab akibat dimana pemberian MP ASI yang kurang tepat
melahirkan status gizi kurang atau status gizi buruk (Deba, 2007 dalam Sakti,
2013).
Kekurangan gizi di masa bayi tidak dapat diperbaiki dimasa-masa
kehidupan selanjutnya, pertumbuhan jasmani menjadi pendek, pertumbuhan
5
otak terhambat anak akan tidak cerdas dan perkembangan kemampuan
terhambat, anak akan sulit mengikuti pelajaran saat bersekolah, anak akan
mudah sakit setelah dewasa, sulit mencari pekerjaan. Pada akhirnya anak
menjadi beban keluarga dan negara (Yogi, 2014).
Rendahnya pengetahuan gizi dan kualitas pengasuhan anak bisa menjadi
faktor penyebab yang utama. Kebiasaan memberi makanan pendamping ASI
yang terlalu dini dan pemilihan bahan makanan yang tidak sesuai bagi bayi
dan balita akan mengakibatkan anak-anak akan kekurangan gizi dalam jangka
waktu yang lama. Pola asuh balita yang dijumpai saat ini adalah tidak jarang
balita berada dibawah asuhan orang-orang yang tidak semestinya seperti
kakek atau nenek, saudara, kakak atau bahkan pembantu rumah tangga yang
kurang memahami dan mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan penyediaan
makanan bagi bayi dan balita karena orang tua sibuk bekerja (Iwan, 2008).
Seorang ibu mempunyai peran vital dalam pengasuhan dan menjadi bagian
terpenting dalam setiap perkembangan sang anak. Ketika seorang ibu
mempunyai peran ganda atau memiliki kesibukan lain di luar tanggung jawab
sebagai seorang ibu, secara tidak langsung dapat berdampak pada proses
pengasuhan yang diberikan (Brooks, 2011).
Hertz (2004), seorang professor Sosiologi dan studi wanita di Universitas
Wellesley mengungkapkan fakta mengenai masyarakat yang membebaskan
wanita untuk memilih menjadi ibu ataupun berkarir. Ibu yang mengasuh anak
sekaligus wanita karir banyak yang beranggapan bahwa mempunyai anak
akan tidak efektif karena waktu yang tidak benar-benar cukup untuk anak.
6
Beberapa wanita yang berperan ganda menempatkan anak-anak mereka di
tempat penitipan atau menyewa pengasuh, pada akhirnya mereka terganggu
dengan situasi ini dan berfikir untuk menjadi pengasuh utama bagi anak.
Seorang wanita bisa saja sukses dalam karir namun setidaknya di mata orang
lain gagal dalam membina rumah tangga karena tidak memiliki anak. Hal
inilah yang membuat proses pengasuhan ibu bekerja tidak dapat dikatakan
mudah. Namun tentu seorang ibu sudah memiliki pertimbangan khusus dalam
menjalankan peran ganda mereka.
Jumlah ibu bekerja di seluruh dunia mencapai 54,3% pada tahun 2001
(OECD, 2001). Peran ganda ibu sebagai ibu rumah tangga dan sebagai
pencari nafkah semakin dibutuhkan seiring dengan kemajuan teknologi.
Menurut Bower (2001) dalam Reynolds et. al. (2003), selain faktor ekonomi,
partisipasi para ibu di lapangan kerja juga dipengaruhi oleh faktor sosial,
politik dan demografi. Pada tahun 2000, 35% dari ibu dengan anak balita
bekerja selama 31 jam atau lebih (Reynolds et. al., 2003).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), partisipasi perempuan
dalam lapangan kerja meningkat signifikan. Selama Agustus 2006 - Agustus
2007 jumlah pekerja perempuan bertambah 3,3 juta orang. Banyaknya
jumlah perempuan yang bekerja meningkatkan secara signifikan jumlah
pekerja. Kemungkinan penyebab terjadinya peningkatan jumlah pekerja
perempuan adalah adanya unsur keterpaksaaan yang harus dijalani kaum
perempuan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. Seperti yang
telah disebutkan diatas, peningkatan jumlah pekerja perempuan sebagian
7
berasal dari perempuan yang sebelumnya berstatus mengurus rumah tangga
(bukan angkatan kerja) (Santrock, 2007).
Kekurangan gizi merupakan faktor utama yang menyebabkan kematian
bayi dan balita. Masalah pertumbuh dan perkembang pada bayi dan anak <2
tahun sebagian besar dipengaruhi oleh pemberian makanan tambahan yang
tidak sesuai dengan kebutuhan bayi baik ditinjau dari jenis, jumlah, cara
memasak MP ASI. Pemberian makanan adalah salah satu faktor yang
mempengaruhi status gizi bayi. Pemberian makanan yang kurang tepat dapat
menyebabkan terjadinya kekurangan gizi dan bila berlebih akan terjadi
kegemukan (Septiana 2009).
Hal ini terjadi karena ibu kurang mengetahui tentang pemberian makanan
pendamping ASI yang benar, disamping itu status pekerjaan ibu menjadi
alasan ibu memberikan makanan pendamping ASI terlalu dini karena kurang
mempunyai waktu untuk anaknya, dan juga status sosial ekonomi keluarga
mempengaruhi ibu memberikan makanan pendamping ASI terlalu dini dilihat
dari daya beli terhadap makanan pendamping ASI yaitu jika semakin baik
perekonomian keluarga maka daya beli akan makanan tambahan juga mudah,
sebaliknya semakin buruk perekonomian keluarga, maka daya beli akan
makanan tambahan lebih sukar (Soraya, 2005).
Role Attainment ibu dalam kompetensi pemberian MP ASI akan
berdampak pada pertumbuhan bayi nampak pada berat badan tidak sesuai
dengan umur dan dampak terhadap perkembangan anak akan menjadi apatis,
mengalami gangguan bicara dan gangguan perkembangan yang lain.
8
Sedangkan dampak jangka panjang adalah mengalami penurunan kepandaian,
anak menjadi pendek, sering sakit, skor tes IQ rendah, penurunan
perkembangan kognitif, penurunan integrasi sensori, dan gangguan
pemusatan perhatian (Soekirman, 2010).
Hal ini terjadi karena ibu kurang mengetahui tentang pemberian makanan
pendamping ASI yang benar, disamping itu status pekerjaan ibu menjadi
alasan ibu memberikan makanan pendamping ASI terlalu dini karena kurang
mempunyai waktu untuk anaknya, dan juga status sosial ekonomi keluarga
mempengaruhi ibu memberikan makanan pendamping ASI terlalu dini dilihat
dari daya beli terhadap makanan pendamping ASI yaitu jika semakin baik
perekonomian keluarga maka daya beli akan makanan tambahan juga mudah,
sebaliknya semakin buruk perekonomian keluarga, maka daya beli akan
makanan tambahan lebih sukar (Soraya, 2005).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Maharany (2010) terkait
keefektifan penggunaan MP ASI lokal dan pabrikan di wilayah kerja
Puskesmas Sibela Surakarta, terhadap MP ASI lokal sebanyak 71,88% bayi
berusia 6 – 11 bulan dengan perkembangan berat badan adekuat baik.
Sebanyak 53,09% anak balita 12 – 24 bulan dengan perkembangan berat
badan adekuat baik. Kemudian terhadap MP ASI pabrikan, sebanyak 76,27%
bayi berusia 6 – 11 bulan yang mengalami kenaikan berat badan dengan
kriteria adekuat baik. Dan sebanyak 53,15% bayi berusia 12 – 24 yang
mengalami kenaikan berat badan dengan kriteria adekuat baik.
9
Kesimpulannya adalah MP ASI lokal cenderung lebih efektif diberikan pada
bayi umur 6 – 11 bulan dibandingkan dengan anak balita umur 12 – 24 bulan.
Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menganalisis
Makanan Pendamping ASI (MP ASI) pada Ibu Bekerja guna mengetahui
pemilihan makanan karena MP ASI yang ada tidak diketahui apakah
kontennya sesuai dengan kebutuhan bayi atau tidak sehingga ingin diketahui
dari mana asal, jenis, bahan dasar, dan cara mengolah MP ASI tersebut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan latar belakang di atas permasalahan yang akan
dibahas yaitu “Bagaimana Pemilihan Makanan Pendamping Air Susu Ibu
(MP-ASI) serta Status Gizi Bayi 6 – 24 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas
Turikale Kabupaten Maros 2017”
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana
pemilihan Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP ASI) pada ibu bekerja
dengan status gizi anak 6 – 24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Turikale
Kabupaten Maros Tahun 2017.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui prevalensi penggunaan MP ASI lokal dan MP ASI
pabrikan pada ibu bekerja.
10
b. Untuk mengetahui frekuensi pemberian MP ASI dan status gizi pada
anak usia 6 – 24 bulan.
c. Untuk mengetahui porsi pemberian MP ASI dan status gizi pada anak
usia 6 – 24 bulan.
d. Untuk mengetahui konsistensi pemberian MP ASI dan status gizi pada
anak usia 6 – 24 bulan.
e. Untuk mengetahui cara pemberian MP ASI dan status gizi pada anak
usia 6 – 24 bulan.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat bagi Peneliti
Merupakan bentuk dari pengaplikasian ilmu yang telah diperoleh
selama perkuliahan dan memperoleh pengetahuan serta wawasan
mengenai MP ASI baik dari segi jenis, frekuensi, porsi, konsistensi, cara
pemberian dan pengolahannya. Diharapkan dapat menjadi pengalaman
yang sangat berharga dalam memperluas wawasan dan pengetahuan
peneliti melalui kegiatan penyusunan proposal penelitian, kegiatan
penelitian, dan penulisan hasil penelitian. Dan dapat dijadikan motivasi
dalam berinovasi.
2. Manfaat Institusi Pendidikan
Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai bacaan di
perpustakaan dan juga dapat digunakan sebagai data dasar dalam
11
mengembangkan penelitian-penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan
makanan pendamping ASI pada ibu bekerja.
3. Manfaat bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan wawasan
dan pengetahuan bagi keluarga terkait pemilihan makanan pendamping
ASI pada ibu bekerja, sehingga nanti masyarakat terkhusus ibu yang
sedang bekerja dapat mengetahui makanan pendamping ASI dari segi
jenis, frekuensi, porsi, konsistensi, cara pemberian dan pengolahannya.
Sehingga ke depannya masyarakat terutama ibu akan memperhatikan
asupan makan bayi atau balitanya sesuai dengan usianya.
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum tentang MP ASI
Modal dasar pembentukan manusia berkualitas dimulai sejak bayi dalam
kandungan disertai dengan pemberian Air Susu Ibu (ASI) sejak usia dini,
terutama pemberian ASI eksklusif. ASI merupakan makanan terbaik bagi
bayi yang mencukupi seluruh unsur kebutuhan baik fisik, psikologis, sosial
maupun spiritual. Mengingat begitu pentingnya ASI bagi bayi pada tahun
2002, WHO dan UNICEF telah menetapkan suatu strategi global tentang
pemberian makanan bagi bayi dan anak, dengan menggunakan pendekatan
hak anak, yaitu cara pemberian makan pada bayi dengan menyusui secara
eksklusif sejak lahir sampai umur 6 bulan dan meneruskan menyusui anak
sampai umur 24 bulan. Sehingga memberi ASI adalah hak asasi ibu dan
mendapat ASI merupakan salah satu hak asasi bayi yang harus dipenuhi
(Suradi, dkk., 2008).
Rekomendasi global untuk makanan yang tepat bayi dan anak-anak
adalah (WHO, 2002):
a. Menyusui harus dimulai sejak dini, dalam waktu satu jam setelah lahir.
b. ASI harus eksklusif selama enam bulan.
c. Sesuaikan makanan pendamping ASI, harus dimulai dari usia enam bulan
dengan terus menyusui hingga dua tahun atau lebih (WHO, 2002).
13
Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP ASI) adalah makanan atau
minuman yang mengandung zat gizi yang diberikan pada bayi atau anak usia
6-24 bulan guna memenuhi kebutuhan gizi selain ASI. MP ASI merupakan
makanan peralihan dari ASI ke makanan keluarga. Pengenalan dan pemberian
MP ASI harus dilakukan secara bertahap baik bentuk maupun jumlahnya,
sesuai dengan kemampuan bayi. Pemberian MP ASI yang cukup kualitas dan
kuantitasnya penting untuk pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan
anak yang sangat pesat pada periode ini, tetapi sangat diperlukan hygienitas
dalam pemberian MP ASI tersebut. Sanitasi dan hygienitas MP ASI yang
rendah memungkinkan terjadinya kontaminasi mikroba yang dapat
meningkatkan risiko atau infeksi lain pada bayi. Selama kurun waktu 4 – 6
bulan pertama ASI masih mampu memberikan kebutuhan gizi bayi, setelah 6
bulan produksi ASI menurun sehingga kebutuhan gizi tidak lagi dipenuhi dari
ASI saja. Peranan makanan tambahan menjadi sangat penting untuk
memenuhi kebutuhan gizi bayi tersebut (Winarno, 1990).
Istilah untuk makanan pendamping ASI bermacam-macam yakni makanan
pelengkap, makanan tambahan, makanan padat, makanan sapihan, weaning
food, makanan peralihan, beiskot (istilah dalam bahasa jerman yang berarti
makanan selain dari susu yang diberikan kepada bayi). Keseluruhan istilah ini
menunjuk pada pengertian bahwa ASI maupun pengganti ASI (PASI) untuk
berangsur berubah ke makanan keluarga atau orang dewasa (Depkes RI,
2004).
14
Sesudah bayi berumur 6 bulan, secara berangsur angsur perlu makanan
pendamping berupa sari buah, atau buah- buahan, nasi tim, makanan lunak,
dan akhirnya makanan lembek. Adapun tujuan pemberian makanan
pendamping adalah (Depkes RI, 2004):
1. Melengkapi zat gizi ASI yang kurang
2. Mengembangkan kemampuan bayi untuk menerima macam-macam
makanan dengan berbagai rasa dan bentuk
3. Mengembangkan kemampuan bayi untuk mengunyah dan menelan
(Depkes RI, 2004)
Makanan pendamping ASI dapat disiapkan secara khusus untuk bayi atau
makanannya sama dengan makanan keluarga, namun tekturnya disesuaikan
dengan usia bayi dan kemampuan bayi dalam menerima makanan (Brown
dkk, 2005).
Pada usia 6 bulan, pencernaan bayi mulai kuat. Pemberian makanan
pendamping ASI harus setelah usia 6 bulan, karena jika diberikan terlalu dini
akan menurunkan konsumsi ASI dan bayi mengalami gangguan pencernaan
atau bisa diare. Sebaliknya bila makanan pendamping diberikan terlambat
akan mengakibatkan anak kurang gizi bila terjadi dalam waktu panjang
(Depkes, 2003).
Pemberian makanan pendamping ASI (MP ASI) merupakan proses transisi
dari asupan yang semata berbasis susu menuju ke makanan yang semi padat.
Untuk proses ini juga dibutuhkan ketrampilan motorik oral. Keterampilan
motorik oral berkembang dari refleks menghisap menjadi menelan makanan
15
yang berbentuk bukan cairan dengan memindahkan makanan dari lidah bagian
depan ke lidah bagian belakang. Makanan pendamping ASI adalah makanan
atau minuman yang mengandung zat gizi, diberikan kepada bayi atau anak
usia 6-24 bulan guna memenuhi kebutuhan gizi selain dari ASI. Sedangkan
pengertian makanan itu sendiri adalah merupakan suatu kebutuhan pokok
manusia yang dibutuhkan setiap saat dan memerlukan pengelolaan yang baik
dan benar agar bermanfaat bagi tubuh (Irianto dan Waluyo, 2004).
Dalam pemberian makanan pendamping ASI yang dikonsumsi hendaknya
memenuhi kriteria bahwa makanan tersebut layak untuk dimakan dan tidak
menimbulkan penyakit, serta makanan tersebut sehat, diantaranya (Irianto dan
Waluyo, 2004):
1. Berada dalam derajat kematangan
2. Bebas dari pencemaran pada saat menyimpan makanan tersebut dan
menyajikan hingga menyuapi pada bayi atau anak
3. Bebas dari perubahan fisik, kimia yang tidak dikehendaki, sebagai akibat
dari pengaruh enzim, aktifitas mikroba, hewan pengerat, serangga, parasit
dan kerusakan-kerusakan karena tekanan, pemasakan dan pengeringan
4. Bebas dari mikroorganisme dan parasit yang menimbulkan penyakit yang
dihantarkan oleh makanan (food borne illness)
5. Harus cukup mengandung kalori dan vitamin
6. Mudah dicerna oleh alat pencernaan
Selain melihat kriteria diatas, menurut Depkes RI (2007) menyatakan
bahwa pemberian makanan pendamping ASI hendaknya melihat juga usia
16
pemberian makanan pendamping ASI pada anak, apakah pemberian makanan
pendamping yang diberikan sudah pada usia yang tepat atau tidak.
a. Usia Pemberian Makanan Pendamping ASI
Menurut Depkes RI (2007) usia pada saat pertama kali pemberian
makanan pendamping ASI pada anak yang tepat dan benar adalah setelah
anak berusia enam bulan, dengan tujuan agar anak tidak mengalami
infeksi atau gangguan pencernaan akibat virus atau bakteri. Berdasarkan
usia anak, dapat diketegorikan menjadi (Depkes RI, 2007):
1. Pada usia enam sampai sembilan bulan.
a. Memberikan makanan lumat dalam tiga kali sehari dengan takaran
yang cukup
b. Memberikan makanan selingan satu hari sekali dengan porsi kecil
c. Memperkenalkan bayi atau anak dengan beraneka ragam bahan
makanan
2. Pada usia lebih dari sembilan sampai 12 bulan
a. Memberikan makanan lunak dalam tiga kali sehari dengan takaran
yang cukup
b. Memberikan makanan selingan satu hari sekali
c. Memperkenalkan bayi atau anak dengan beraneka ragam bahan
makanan
3. Pada usia lebih dari 12 sampai 24 bulan
a. Memberikan makanan keluarga tiga kali sehari
b. Memberikan makanan selingan dua kali sehari
17
c. Memberikan beraneka ragam bahan makanan setiap hari
b. Frekuensi Pemberian Makanan Pendamping ASI
Menurut Depkes RI (2007) frekuensi dalam pemberian makanan
pendamping ASI yang tepat biasanya diberikan tiga kali sehari. Pemberian
makanan pendamping ASI dalam frekuensi yang berlebihan atau diberikan
lebih dari tiga kali sehari, kemungkinan dapat mengakibatkan terjadinya
diare. Menurut Irianto dan Waluyo (2004), apabila dalam pemberian
makanan pendamping ASI terlalu berlebihan atau diberikan lebih dari tiga
kali sehari, maka sisa bahan makanan yang tidak digunakan untuk
pertumbuhan, pemeliharaan sel, dan energi akan diubah menjadi lemak.
Sehingga apabila anak kelebihan lemak dalam tubuhnya, dimungkinkan
akan mengakibatkan alergi atau infeksi dalam organ tubuhnya dan bias
mengakibatkan kelebihan berat badan (obesitas).
c. Porsi Pemberian Makanan Pendamping
Menurut Depkes RI (2007) untuk tiap kali makan, dalam pemberian
porsi yang tepat adalah sebagai berikut:
1. Pada usia enam bulan, beri enam sendok makan
2. Pada usia tujuh bulan, beri tujuh sendok makan
3. Pada usia delapan bulan, beri delapan sendok makan
4. Pada usia sembilan bulan, beri sembilan sendok makan
5. Pada usia 10 bulan, diberi 10 sendok makan, dan usia selanjutnya
porsi pemberiannya menyesuaikan dengan usia anak.
18
d. Konsistensi Makanan Pendamping ASI
Dalam pemilihan jenis makanan, biasanya diawali dengan proses
pengenalan terlebih dahulu mengenai jenis makanan yang tidak
menyebabkan alergi, umumnya yang mengandung kadar protein paling
rendah seperti serealia (beras merah atau beras putih). Khusus sayuran,
mulailah dengan yang rasanya hambar seperti kentang, kacang hijau, labu,
zucchini. Kemudian memperkenalkan makanan buah seperti alpukat,
pisang, apel dan pir.
Menurut Depkes RI (2007) jenis makanan pendamping ASI yang baik
adalah terbuat dari bahan makanan yang segar, seperti tempe, kacang-
kacangan, telur ayam, hati ayam, ikan, sayur mayur dan buah-buahan.
Jenis-jenis makanan pendamping yang tepat dan diberikan sesuai dengan
usia anak adalah sebagai berikut:
1) Makanan Lumat
Makanan lumat adalah makanan yang dihancurkan, dihaluskan atau
disaring dan bentuknya lebih lembut atau halus tanpa ampas. Biasanya
makanan lumat ini diberikan saat anak berusia enam sampai Sembilan
bulan. Contoh dari makanan lumat itu sendiri antara lain berupa bubur
susu, bubur sumsum, pisang saring atau dikerok, pepaya saring dan
nasi tim saring.
2) Makanan Lunak
Makanan lunak adalah makanan yang dimasak dengan banyak air atau
teksturnya agak kasar dari makanan lumat. Makanan lunak ini
19
diberikan ketika anak usia sembilan sampai 12 bulan. Makanan ini
berupa bubur nasi, bubur ayam, nasi tim, kentang puri.
3) Makanan Padat
Makanan padat adalah makanan lunak yang tidak nampak berair dan
biasanya disebut makanan keluarga. Makanan ini mulai dikenalkan
pada anak saat berusia 12-24 bulan. Contoh makanan padat antara lain
berupa lontong, nasi, lauk-pauk, sayur bersantan, dan buah-buahan.
e. Cara Pemberian Makanan Pendamping ASI
Menurut Depkes RI (2007) pemberian makanan pendamping ASI
pada anak yang tepat dan benar adalah sebagai berikut:
1. Selalu mencuci tangan sebelum mulai mempersiapkan makanan pada
bayi atau anak, terutama bila kontak dengan daging, telur, atau ikan
mentah, dan sebelum memberi makanan pada bayi atau anak. Selain
itu, juga mencuci tangan bayi atau anak.
2. Mencuci bahan makanan (sayuran, beras, ikan, daging, dan lain-lain)
dengan air mengalir sebelum diolah menjadi makanan yang akan
diberikan kepada bayi atau anak.
3. Mencuci kembali peralatan dapur sebelum dan sesudah digunakan
untuk memasak, walaupun peralatan tersebut masih tampak bersih.
4. Peralatan makan bayi atau anak, seperti mangkuk, sendok, dan
cangkir, harus dicuci kembali sebelum digunakan oleh bayi atau anak.
5. Dalam pemberian makanan pendamping pada bayi atau anak,
hendaknya berdasarkan tahapan usia anak.
20
6. Jangan menyimpan makanan yang tidak dihabiskan bayi atau anak.
Ludah yang terbawa oleh sendok bayi atau anak akan menyebarkan
bakteri.
Tujuan dan Manfaat Pemberian MP-ASI
Pada umur 0-6 bulan pertama dilahirkan, ASI merupakan makanan
yang terbaik bagi bayi, namun setelah usia tersebut bayi mulai
membutuhkan makanan tambahan selain ASI yang disebut makanan
pendamping ASI. Pemberian makanan pendamping ASI mempunyai
tujuan memberikan zat gizi yang cukup bagi kebutuhan bayi atau balita
guna pertumbuhan dan perkembangan fisik dan psikomotorik yang
optimal, selain itu untuk mendidik bayi supaya memiliki kebiasaan makan
yang baik. Tujuan tersebut dapat tercapai dengan baik jika dalam
pemberian MP-ASI sesuai pertambahan umur, kualitas dan kuantitas
makanan baik serta jenis makanan yang beraneka ragam (Muthmainnah,
2010).
Tujuan pemberian makanan pendamping ASI adalah untuk menambah
energi dan zat-zat gizi yang diperlukan bayi karena ASI tidak dapat
memenuhi kebutuhan bayi secara terus menerus, untuk mencapai
pertumbuhan perkembangan yang optimal, menghindari terjadinya
kekurangan gizi, mencegah resiko masalah gizi, defesiensi zat gizi mikro
(zat besi, zink, kalsium, vitamin A, vitamin C dan folat), menyediakan
makanan ekstra yang dibutuhkan untuk mengisi kesenjangan energy
dengan nutrisi, memelihara kesehatan, mencegah penyakit, memulihkan
21
bila sakit, membantu perkembangan jasmani, rohani, psikomotor,
mendidik kebiasaan yang baik tentang makanan dan memperkenalkan
bermacam-macam bahan makanan yang sesuai dengan keadaan fisiologis
bayi (Husaini, 2001).
Pemberian makanan tambahan pada bayi juga bertujuan untuk
melengkapi ASI (mixed feeding) dan diperlukan setelah kebutuhan energi
dan zat-zat gizi tidak mampu dipenuhi dengan pemberian ASI saja.
Pemberian makanan tambahan tergantung jumlah ASI yang dihasilkan
oleh ibu dan keperluan bayi yang bervariasi dalam memenuhi kebutuhan
dasarnya diantaranya untuk mempertahankan kesehatan serta pemulihan
kesehatan setelah sakit, untuk mendidik kebiasaan makan yang baik
mencakup penjadwalan waktu makan, belajar menyukai makanan
(Sembiring, 2009).
Pemberian makanan tambahan merupakan suatu proses pendidikan,
bayi diajar mengunyah dan menelan makanan padat, jika makanan tidak
diberi pada saat kepandaian mengunyah sedang muncul, maka mengajar
kepandaian ini di masa berikutnya akan lebih sukar. Pengenalan pemberian
makanan lebih mudah sebelum gigi keluar, gusi bayi bengkak dan sakit
maka akan sulit memberikan makanan tambahan (Suhardjo, 1999).
Menurut Suharjo (1999) dalam Pardosi (2009) Pemberian MP-ASI
bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan zat gizi anak, menyesuaikan
kemampuan alat cerna dalam menerima makanan tambahan dan
merupakan masa peralihan dari ASI ke makanan keluarga. Selain untuk
22
memenuhi kebutuhan bayi terhadap zat-zat gizi, pemberian makanan
tambahan merupakan salah satu proses pendidikan dimana bayi diajar
untuk mengunyah dan menelan makanan padat, serta membiasakan selera-
selera baru.
Indikator bahwa bayi siap untuk menerima makanan padat:
kemampuan bayi untuk mempertahankan kepalanya untuk tegak tanpa
disangga, menghilangnya refleks menjulurkan lidah, bayi mampu
menunjukkan keinginannya pada makanan dengan cara membuka mulut,
lalu memajukan anggota tubuhnya ke depan untuk menunjukkan rasa
lapar, dan menarik tubuh ke belakang atau membuang muka untuk
menunjukkan ketertarikan pada makanan (Ariani, 2008).
Pola Pemberian Makanan Pendamping ASI
Air Susu Ibu (ASI) memenuhi seluruh kebutuhan bayi terhadap zat-zat
gizi yaitu untuk pertumbuhan dan kesehatan sampai berumur enam bulan,
sesudah itu ASI tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan bayi. Makanan
tambahan mulai diberikan umur enam bulan satu hari. Pada usia ini otot
dan saraf di dalam mulut bayi cukup berkembang dan mengunyah,
menggigit, menelan makanan dengan baik, mulai tumbuh gigi, suka
memasukkan sesuatu ke dalam mulut nya dan berminat terhadap rasa yang
baru (Rosidah, 2004).
Alasan anak umur 6 bulan merupakan saat terbaik anak mulai
diberikan MPASI karena (Luluk, 2005):
23
1. Pemberian makan setelah bayi berumur 6 bulan memberikan
perlindungan ekstra dan besar dari berbagai penyakit. Hal ini
disebabkan sistem imun bayi kurang dari 6 bulan belum sempurna.
Pemberian MP ASI dini sama saja dengan membuka pintu gerbang
masuknya berbagai jenis kuman. Belum lagi jika tidak disajikan
higienis. Hasil riset terakhir dari peneliti di Indonesia menunjukkan
bahwa bayi yang mendapatkan MPASI sebelum ia berumur 6 bulan,
lebih banyak terserang diare, sembelit, batuk-pilek, dan panas
dibandingkan bayi yang hanya mendapatkan ASI eksklusif. Belum lagi
penelitian dari badan kesehatan dunia lainnya.
2. Saat bayi berumur 6 bulan ke atas, sistem pencernaannya sudah relatif
sempurna dan siap menerima MPASI. Beberapa enzim pemecah protein
spt asam lambung, pepsin, lipase, enzim amilase, dan sebagainya baru
akan diproduksi sempurna pada saat ia berumur 6 bulan.
3. Mengurangi risiko terkena alergi pada makanan saat bayi berumur
kurang dari 6 bulan, karena sel-sel di sekitar usus belum siap untuk
kandungan dari makanan, sehingga makanan yang masuk dapat
menyebabkan reaksi imun dan terjadi alergi.
4. Menunda pemberian MP ASI hingga 6 bulan melindungi bayi dari
obesitas di kemudian hari. Dikarenakan proses pemecahan sari-sari
makanan yang belum sempurna (Luluk, 2005).
Banyak sekali alasan kenapa orang tua memberikan MP ASI kurang
dari 6 bulan. Umumnya banyak ibu yang beranggapan kalau anaknya
24
kelaparan dan akan tidur nyenyak jika diberi makan. Meski tidak ada
relevansinya banyak yang beranggapan ini benar. Karena belum sempurna,
sistem pencernaannya harus bekerja lebih keras untuk mengolah dan
memecah makanan. Kadang anak yang menangis terus dianggap sebagai
anak tidak kenyang. Padahal menangis bukan semata-mata tanda anak
lapar. Alasan lainnya bisa jadi juga tekanan dari lingkungan dan tidak ada
dukungan seperti alasan di atas, dan gencarnya promosi produsen makanan
bayi yang belum mengindahkan ASI eksklusif 6 bulan (Ade, 2007).
Pengaruh budaya di dalam masyarakat yang memiliki kebiasaan
memberikan makanan sejak bayi dengan alasan ASI tidak cukup
memenuhi kebutuhan bayi. Disamping itu memberi makan setelah bayi
lahir merupakan kebiasaan turun temurun dalam keluarga dan jika tidak
langsung memberikan makanan pada bayi setelah lahir maka dianggap
melanggar kebiasaan dalam keluarga (Lismintari, 2010).
Pola pemberian MP ASI harus disesuaikan dengan tahap
perkembangan dan pertumbuhan bayi dan anak usia 6-24 bulan.
Pengenalan dan pemberian MP ASI dilakukan secara bertahap baik jenis,
tekstur, frekuensi maupun jumlahnya. Pemberian MP ASI harus
memperhatikan kesiapan bayi antara lain keterampilan mengecap dan
mengunyah serta penerimaan rasa dan bau serta kemampuan pencernaan
bayi atau anak (Depkes, 2007).
MP ASI pertama sebaiknya adalah golongan beras dan serealia karena
berdaya alergi rendah. Secara berangsur-angsur diperkenalkan sayuran
25
yang dikukus dan dihaluskan, buah yang dihaluskan. Jika bayi dapat
menerima dengan baik maka dapat diberikan sumber protein (tahu, tempe,
daging ayam, hati ayam atau daging sapi) yang dikukus dan dihaluskan.
Setelah bayi mampu mengkoordinasikan lidahnya dengan baik secara
bertahap bubur dibuat lebih kental (dikurangi campuran airnya), kemudian
menjadi lebih kasar (disaring) dengan tambahan bahan lain yang dicincang
halus kemudian dicincang kasar dan akhirnya bayi siap menerima
makanan yang dikonsumsi keluarga. Bentuk MP ASI yang diberikan
kepada balita disesuaikan dengan umur seperti yang tampak pada tabel
berikut (Kemenkes RI, 2011).
Menurut Depkes tahun 2009 dalam Buku Kesehatan Ibu dan Anak,
pemberian makanan pada bayi dan anak umur 0-24 bulan yang baik dan
benar adalah sebagai berikut (Depkes, 2009):
1. Umur 0-6 bulan
Berikan ASI sesering mungkin setiap kali bayi menginginkan
sedikitnya 8 kali sehari. Jangan berikan makanan atau minuman lain
selain ASI (ASI eksklusif).
2. Umur 6-8 bulan
ASI tetap diberikan dan mulai dikenalkan MP ASI dalam bentuk
lumat dimulai dari bubur susu sampai bubur tim lunak, diberikan 2
kali sehari dan jumlahnya disesuaikan dengan umur bayi. Makanan
selingan diberikan 2 kali sehari di antara waktu makan seperti bubur
26
kacang hijau, biskuit, pisang, nagasari dan sebagainya serta buah-
buahan seperti air jeruk manis atau air tomat saring.
3. Umur 9-12 bulan
ASI tetap diberikan dan dapat mulai diberikan MP ASI yang lebih
padat contohnya bubur nasi, nasi tim dan nasi lembek sebanyak 3 kali
sehari yaitu pagi, siang dan malam dengan jumlah kira-kira ¾ gelas
ukuran 250 cc. Beri makanan selingan 2 kali sehari di antara waktu
makan seperti bubur kacang hijau, biskuit, pisang, nagasari dan
sebagainya serta buah-buahan seperti air jeruk manis atau air tomat
saring.
4. Umur 12-24 bulan
Pemberian ASI tetap diteruskan sampai usia 2 tahun. Mulai umur
1 tahun dapat diberikan makanan orang dewasa berupa nasi lembek 3
kali sehari masing-masing 1/3 piring dewasa ditambah telur, ayam,
ikan, tempe, tahu, daging sapi, wortel, bayam atau kacang hijau.
Makanan selingan serta buah atau perasan buah diberikan 2 kali
sehari.
B. Tinjauan Umum tentang Status Gizi
Status gizi adalah keadaan yang diakibatkan oleh status keseimbangan
antara jumlah asupan (intake) zat gizi dan jumlah yang dibutuhkan
(requirement) oleh tubuh untuk berbagai fungsi biologis (pertumbuhan fisik,
perkembangan, aktivitas, pemeliharaan kesehatan, dan lainnya) (Suyanto,
27
2009). Status gizi dapat pula diartikan sebagai gambaran kondisi fisik
seseorang sebagai refleksi dari keseimbangan energi yang masuk dan yang
dikeluarkan oleh tubuh (Marmi, 2013).
Ada dua faktor yang mempengaruhi status gizi, yaitu (Marmi, 2013):
1) Faktor Eksternal
Faktor eksternal yang mempengaruhi status gizi antara lain (Marmi,
2013):
a. Pendapatan
Masalah gizi karena kemiskinan indikatornya dalah taraf ekonomi
keluarga, yang hubungannya dengan daya beli keluarga tersebut.
b. Pendidikan
Pendidikan gizi merupakan suatu proses merubah pengetahuan,
sikap dan perilaku orang tua atau masyarakat tentang status gizi yang
baik.
c. Pekerjaan
Pekerjaan adalah sesuatu yang harus dilakukan terutama untuk
menunjang kehidupan keluarganya. Bekerja bagi ibu-ibu akan
mempunyai pengaruh terhadap kehidupan keluarga.
d. Budaya
Budaya adalah suatu ciri khas, akan mempengaruhi tingkah laku
dan kebiasaan.
28
2) Faktor internal
Faktor internal yang mempengaruhi status gizi anatara lain (Marmi,
2013):
a. Usia
Usia akan mempengaruhi kemampuan atau pengalaman yang
dimiliki orang tua dalam pemberian nutrisi pada anak dan remaja.
b. Kondisi fisik
Seseoarang yang sakit, yang sedang dalam penyembuhan dan yang
lanjut usia, semuanya memerlukan pangan khusus karena status
kesehatan mereka yang buruk. Anak dan remaja pada periode hidup ini
kebutuhan zat gizi digunakan untuk pertumbuhan cepat.
c. Infeksi
Infeksi dan demam dapat menyebabkan menurunnya nafsu makan
atau menimbulkan kesulitan menelan dan mencerna makanan.
Status gizi merupakan keadaan keseimbangan antara asupan dan
kebutuhan zat gizi yang diperlukan tubuh untuk tumbuh kembang terutama
untuk anak balita, aktivitas, pemeliharan kesehatan, penyembuhan bagi
mereka yang menderita sakit dan proses biologis lainnya di dalam tubuh
(Depkes RI, 2008).
Kebutuhan bahan makanan pada setiap individu berbeda karena adanya
variasi genetik yang akan mengakibatkan perbedaan dalam proses
metabolisme. Sasaran yang dituju yaitu pertumbuhan yang optimal tanpa
disertai oleh keadaan defisiensi gizi. Status gizi yang baik akan turut berperan
29
dalam pencegahan terjadinya berbagai penyakit, khususnya penyakit infeksi
dan dalam tercapainya tumbuh kembang anak yang optimal.
C. Tinjauan Umum tentang Ibu Bekerja
Menurut Encyclopedia of Children’s Health, ibu bekerja adalah seorang
ibu yang bekerja di luar rumah untuk mendapatkan penghasilan di samping
membesarkan dan mengurus anak di rumah. Lerner (2001), ibu bekerja
adalah ibu yang memiliki anak dari umur 0-18 tahun dan menjadi tenaga
kerja.
Berbeda dengan negara maju, seorang ibu yang bekerja demi menambah
hasil pendapatan keluarga merupakan suatu keharusan. Di negara yang
sedang berkembang seperti Indonesia tingkat kemiskinan yang semakin
meningkat dan merebaknya pengangguran menjadi salah satu alasan mengapa
banyak ibu yang bekerja (Tjaja, 2000). Didapati 29% dari populasi Indonesia
di bawah garis kemiskinan internasional pada tahun 1994-2008 (UNICEF,
2010).
Menurut Data Statistik Indonesia (2005), lebih kurang 34 juta penduduk
berumur di atas 15 tahun dan berjenis kelamin perempuan adalah seorang
pekerja. Sedangkan di Sumatera Utara, menurut Pusat Data dan Informasi
Ketenagakerjaan (2010), terdapat 35,7% wanita yang berumur 20-34 tahun
adalah seorang pekerja.
Status ibu bekerja tentu saja memilki dampak terhadap pertumbuhan dan
perkembangan anak, khususnya anak balita. Dampak tersebut dibagi menjadi
30
dua yaitu dampak positif dan dampak negatif. Ibu yang bekerja akan memiliki
penghasilan yang dapat menambah pendapatan rumah tangga. Mereka yang
bekerja lebih memiliki akses dan kuasa terhadap pendapatan yang dihasilkan
untuk digunakan untuk keperluan anak mereka (UNICEF, 2007). Para ibu
akan lebih memilih membeli sesuatu seperti makanan bergizi berimbang yang
dapat menunjang pemenuhan kebutuhan pangan anak mereka (Glick, 2002).
Jika kebutuhan pangan anak terpenuhi, maka status gizi anak pun
menjadi baik. Essortment (2002) dalam McIntosh dan Bauer (2006), juga
mengatakan bahwa dengan pendapatan rumah tangga yang ganda (suami dan
istri bekerja), banyak wanita lebih mampu menentukan banyak pilihan untuk
keluarga mereka di dalam hal nutrisi dan pendidikan. Pendapat yang sama
juga dikemukakan oleh Gennetian et al. (2009), bahwa ibu yang bekerja
memiliki kemampuan untuk membeli makanan berkualitas tinggi, kebutuhan
rumah tangga lainnya dan biaya kesehatan.
Dampak positif ibu bekerja dapat juga dilihat dari efek yang didapat
apabila anak mereka dititipkan di tempat penitipan anak. Mereka yang
dititipkan di tempat penitipan anak yang memperkerjakan pengasuh terlatih,
memiliki interaksi sosial yang baik, perkembangan kognitif yang pesat, dan
lebih aktif jika dibandingkan dengan anak yang hanya berada di rumah
bersama ibunya yang tidak bekerja (McIntosh dan Bauer, 2006). Gershaw
(1998) dalam McIntosh dan Bauer (2006) mengatakan bahwa, anak dengan
ibu yang bekerja memiliki tingkat intelejensi lebih tinggi.
31
Seperti yang telah disebutkan di atas, jika seorang ibu yang bekerja tidak
memiliki kuasa penuh atas penghasilannya, maka kebutuhan pangan anak
kurang terpenuhi. Akibatnya anak mereka akan mengalami gizi kurang
bahkan menjadi gizi buruk. Anak menjadi lebih pendek daripada anak lain
seusianya dan lebih rentan terkena penyakit seperti infeksi (Glick, 2002).
Akibat jam kerja, waktu kebersamaan atau quality time antara ibu dan
anak pun akan berkurang (Glick, 2002). Sehingga perkembangan mental dan
kepribadian anak akan terganggu, mereka lebih sering mengalami cemas akan
perpisahan atau separation anxiety (Mehrota, 2011), merasa dibuang dan
cenderung mencari perhatian di luar rumah (Mehrota, 2011), serta kenakalan
remaja (Tjaja, 2008). Hal ini dikarenakan akibat jadwal kerja yang terlalu
sibuk, mengakibatkan para ibu tidak dapat mengawasi dan ikut berpartisipasi
dalam setiap kegiatan anak (Fertig et al., 2009). Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Soekirman (1985) dalam Glick (2002), ibu yang bekerja
selama lebih dari 40 jam perminggunya memiliki dampak negatif bagi
tumbuh kembang anak.
Selain kualitas, kuantitas interaksi antara ibu dan anak juga akan
berkurang (AAP, 1984). Menurunnya frekuensi waktu kebersamaan ibu dan
anak juga disebabkan oleh tipe kerja ibu. Ibu yang memiliki pekerjaan yang
dikategorikan berat dapat mengalami kelelahan fisik. Akibatnya sesampainya
ibu di rumah terdapat kecenderungan mereka lebih memilih untuk
berisitirahat daripada mengurus anaknya terlebih dahulu. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Fertig et al. (2009), ibu yang bekerja tidak
32
dapat mengatur pola makan anak, membiarkan anak-anak mereka makan
makanan yang tidak sehat, selalu menghabiskan waktu di depan televisi, dan
kurang beraktivitas di luar rumah. Hal ini berakibat status gizi anak menjadi
lebih atau obesitas (Fertig et al., 2009).
Jarak rumah dengan tempat kerja juga menjadi faktor pengganggu.
Mereka yang bekerja di luar negeri tentunya frekuensi berjumpa dengan anak
dan suami mereka lebih sedikit daripada para ibu yang bekerja di tanah air.
Keharmonisan di dalam keluarga pun akan berkurang (Tjaja, 2008).
Menurut Joekes (1989) dalam Glick (2002), ibu bekerja di negara
berkembang lebih memilih untuk mencari pengasuh pengganti untuk anak
balita mereka. Anak mereka biasanya dijaga oleh anak yang lebih tua atau
oleh kerabat dikarenakan keterbatasan finansial. Keterlibatan anak yang lebih
tua sebagai pengasuh pengganti, dapat menyebabkan anak tersebut putus
sekolah (Glick, 2002).
D. Tinjauan Umum tentang Pemilihan Makanan Pendamping ASI
Gizi yang baik diperoleh dari pangan sehat. Pangan yang sehat adalah
pangan yang mengandung zat-zat yang diperlukan oleh tubuh seperti
karbohidrat, protein, lemak, mineral, dan vitamin, serta bebas dari kuman,
bahan berbahaya, bahan cemaran dan bahan tambahan makanan yang tidak
diperbolehkan seperti formalin, boraks, dan lain-lain. Menurut Notoatmodjo
(2010) persepsi seseorang akan memengaruhi sikap dan perilakunya, seperti
dalam penelitian Lake et al. (2007) bahwa persepsi berhubungan secara
33
bermakna dengan kebiasaan perilaku. Persepsi remaja terhadap pangan sehat
diduga akan berpengaruh terhadap pemilihan pangan yang akan dikonsumsi,
sehingga akan menentukan kebiasaan makan sehatnya. Remaja dengan status
gizi berbeda memiliki persepsi dan pemilihan pangan sehat yang berbeda
sehingga kebiasaan makannya pun berbeda antara masing-masing kelompok
status gizi (Lake et al. 2007).
Definisi istilah pemilihan makanan mengandung makna kekuatan
kemauan orang untuk mengendalikan makanan yang dikonsumsinya. Istilah
ini mengukur seberapa kuat pemilihan tersebut dan faktor yang
mempengaruhi pemilihan makanan tersebut sering menjadi fokus yang utama
(Gibney, 2009).
Keterlibatan seorang terhadap makanan mempengaruhi alasan dalam
pemilihan makanannya. Keterlibatan dalam sebuah produk berarti seseorang
menganggap produk tersebut sangat penting dan bersedia menghabiskan
cukup banyak waktu untuk mendapatkan pengetahuan tentang produk
tersebut sehingga hal tersebut dapat memfasilitasi informed choice (memilih
setelah mendapatkan informasi). Keterlibatan yang tinggi maupun rendah
dalam memahami makanan yang dikonsumsinya mengarahkan seseorang
untuk memiliki kemampuan melakukan pemilihan yang baik maupun kurang
baik. Keterlibatan yang tinggi seperti selalu memperhatikan kandungan gizi,
komposisi, tanggal kadaluarsa, perhatian yang tinggi terhadap penggunaan
bahan tambahan pangan, serta perhatian terhadap penggunaan kemasan yang
digunakan (Suhardjo, 1995).
34
Makanan tambahan mungkin mengandung komponen-komponen alamiah
yang jika diberikan pada waktu dini dapat merugikan. Suatu bahan yang
lazim adalah sukrosa. Gula ini adalah penyebab kebusukan pada gigi, dan
telah dikemukakan bahwa penggunaan gula ini pada umur yang dini dapat
membuat anak terbiasa akan makanan yang rasanya manis. Dalam beberapa
sayuran seperti bayam dan wortel. Kepekatan yang tinggi dan nitrat dapat
terjadi dan menimbulkan bahaya pada bayi-bayi dibawah umur 3-4 tahun,
yang mekanisme dalam badan untuk melawan racun belum diketahui. Banyak
dari serealia yang mengandung glutein dapat menambah risiko penyakit perut
pada umur yang muda, mungkin juga timbul kesulitan-kesulitan diagnostic,
karena sifat tidak mau menerima protein dari susu sapi dapat menyajikan
suatu gambaran klinis yang sama dengan gejala-gejala penyakit perut. Juga
ada kemungkinan bahwa sensitifitas terhadap glutein dapat ditimbulkan
secara lebih mudah pada umur dini. Sekurang-kurangnya pada bayi-bayi yang
mendapat susu formula (Suhardjo, 1995).
Ada dua jenis makanan tambahan untuk bayi, yaitu (Depkes RI, 2006):
a. Makanan tambahan lokal
Makanan tambahan lokal adalah makanan tambahan yang diolah di
rumah tangga atau di Posyandu, terbuat dari bahan makanan yang tersedia
setempat, mudah diperoleh dengan harga terjangkau oleh masyarakat, dan
memerlukan pengolahan sebelum dikonsumsi oleh bayi. Makanan
tambahan lokal ini disebut juga dengan makanan pendamping ASI lokal
(MP-ASI Lokal).
35
Pemberian makanan tambahan lokal memiliki beberapa dampak
positif, antara lain ibu lebih memahami dan terampil dalam membuat
makanan tambahan dari pangan lokal sesuai dengan kebiasaan dan sosial
budaya setempat, sehingga ibu dapat melanjutkan pemberian makanan
tambahan secara mandiri, meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan
masyarakat serta memperkuat kelembagaan seperti posyandu, memiliki
potensi meningkatkan pendapatan masyarakat melalui penjualan hasil
pertanian, dan sebagai sarana dalam pendidikan atau penyuluhan gizi
(Depkes RI, 2006).
b. Makanan tambahan olahan pabrik
Makanan tambahan hasil olahan pabrik adalah makanan yang
disediakan dengan olahan dan bersifat instan dan beredar dipasaran untuk
menambah energi dan zat-zat gizi esensial pada bayi (Depkes RI, 2006).
Makanan tambahan pabrikan disebut juga makanan pendamping ASI
pabrikan (MP-ASI pabrikan) atau makanan komersial. Secara komersial,
makanan bayi tersedia dalam bentuk tepung campuran instan atau biskuit
yang dapat dimakan secara langsung atau dapat dijadikan bubur
(Krisnatuti, 2000).
Sunaryo (1998) dalam Krisnatuti (2000) menyatakan bahwa untuk
membuat makanan bayi harus memenuhi petunjuk dan
mempertimbangkan hal-hal berikut:
36
1. Formula
Formula harus dibuat berdasarkan angka kecukupan gizi bayi dan
balita, bahan baku yang diizinkan, criteria zat gizi, protein, lemak,
karbohidrat, vitamin, dan mineral.
2. Proses Teknologi
Pemilihan proses teknologi berkaitan dengan spesifikasi produk
yang diinginkan, tingkat sanitasi dan higienitas yang dikehendaki,
faktor keamanan pangan, serta mutu akhir produk.
3. Higiene
Produk jadi makanan tambahan harus memenuhi syarat-syarat
seperti bebas dari mikroorganisme pathogen, bebas dari kontaminan
hasil pencemaran mikroba penghasil racun atau alergi, bebas racun,
harus dikemas tertutup sehingga terjamin sanitasinya dan disimpan di
tempat yang terlindung.
4. Pengemasan
Kemasan yang dipakai harus terbuat dari bahan yang kuat, tidak
beracun, tidak mempengaruhi mutu inderawi produk (dari segi
penampakan, aroma, rasa dan tekstur), serta mampu melindungi mutu
produk selama jangka waktu tertentu.
5. Label
Persyaratan label makanan bayi harus mengikuti codex standard
146-1985, dengan informasi yang jelas, tidak menyesatkan konsumen,
komposisi bahan-bahan tercantum dalam kemasan, nilai gizi produk
37
dan petunjuk penyajian. Makanan tambahan pabrikan seperti bubur
susu diperdagangkan dalam keadaan kering dan pre-cooked, sehingga
tidak perlu dimasak lagi dan dapat diberikan pada bayi setelah
ditambah air matang seperlunya.
Cara memberikan makanan tambahan bagi bayi adalah dari
makanan itu berbentuk cairan dan kental lalu bertahap menjadi keras,
seiring dengan proses dan umur juga perkembangan bayi, sehingga
usus bayi pun terlatih dengan sendirinya terhadap makanan yang
diterimanya. Adapun jenis-jenis makanan tambahan (Chintia, 2008) :
a. Makanan lunak yaitu semua makanan yang termasuk yang
disajikan dalam bentuk halus dan diberikan pada bayi yang
pertama kali.misalnya bubur susu dan sari buah.
b. Makanan lembek yaitu makanan peralihan dari makanan lunak
kemakanan biasa seperti nasi tim.
c. Makanan biasa yaitu makanan yang termasuk yang disajikan
adalah makanan orang dewasa seperti nasi.
Selain itu makanan yang dibuat sendiri di rumah dengan cara
memodifikasi makanan keluarga yang kaya energi dan nutrien.
Makanan tambahan dapat juga berupa makanan yang setengah jadi
yang dijual di toko-toko yang merupakan produk hasil teknologi yang
komposisi zat-zat gizi yang didalamnya disesuaikan dengan kebutuhan
bayi terhadap pertumbuhan, perkembangan dan kesehatan bayi
(Suhardjo, 1999).
38
Makanan tambahan yang baik adalah makanan yang kaya energi,
protein dan mikronutrien (terutama zat besi, zink, kalsium, vitamin A,
vitamin C dan fosfat), bersih dan aman, tidak ada bahan kimia yang
berbahaya atau toksin, tidak ada potongan tulang atau bagian yang
keras yang membuat bayi tersedak, tidak terlalu panas, tidak pedas
atau asin, mudah dimakan bayi, disukai bayi, mudah disiapkan dan
harga terjangkau (Rosidah, 2004).
E. Faktor yang Mempengaruhi pada Pilihan Makanan Pendamping ASI
Pemilihan makanan adalah sebagian dari kebiasaan makan (food habit)
yang merupakan perilaku khas sekelompok orang. Kebiasaan itu dianggap
sebagai identitas kelompok yang meliputi jenis makanan yang dipilih, waktu
makan, jumlah hidangan, metode penyiapan makanan, orang yang ikut
makan, ukuran porsi dan cara makan. Kebiasaan makan adalah hasil pengaruh
lingkungan terhadap budaya dengan demikian biasanya lambat berubah
(Barasi, 2007).
Beberapa faktor yang mempengaruhi pemberian makanan pendamping
ASI yaitu tingkat pengetahuan, tingkat pendidikan penduduk, sosial ekonomi,
begitu pula faktor kebudayaan, adat istiadat dan kebiasaan masyarakat yang
turun-temurun mengenai pemberian MP-ASI pada bayi.
1. Tingkat Pengetahuan
Menurut Notoatmojo (2000), pengetahuan adalah hasil tahu dan ini
terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap subyek
39
tertentu. Pengetahuan ibu adalah faktor yang penting dalam pemberian
makanan tambahan pada bayi karena dengan pengetahuan yang baik, ibu
tahu kapan waktu pemberian makanan yang tepat. Pengetahuan dapat
diperoleh dari informasi yang disampaikan orang lain, media cetak media
elektronik, atau penyuluhan-penyuluhan. Pengetahuan didukung oleh
pendidikan karena pendidikan merupakan suatu proses untuk
mengembangkan semua aspek kepribadian manusia meliputi pengetahuan,
nilai, sikap, dan keterampilan sehingga terjadi perubahan perilaku yang
positif.
Ketidaktahuan tentang akibat pemberian makanan pendamping ASI
dini dan cara pemberian nya serta kebiasaan yang merugikan kesehatan,
secara langsung maupun tidak langsung menjadi penyebab masalah gizi
kurang pada anak, khususnya pada anak dibawah 2 tahun (Depkes RI,
2000).
2. Tingkat pendidikan
Pendidikan adalah segala usaha untuk membina kepribadian,
mengembangkan pengetahuan jasmani dan rohani agar mampu
melaksanakan tugas.
Pendidikan bukan sekedar usaha pemberian informasi dan
keterampilan tetapi diperluas ruang lingkupnya sehingga mencakup usaha
mewujudkan kehidupan pribadi sosial yang memuaskan. Makin tinggi
tingkat pendidikan, pengetahuan dan keterampilan maka terdapat
kemungkinan makin baik tingkat ketahanan pangan keluarga, makin baik
40
pola pengasuhan anak, makin mengerti waktu yang tepat memberikan
makanan tambahan bagi bayi serta mengerti dampak yang ditimbulkan
jika makanan tersebut diberikan terlalu dini. Ibu yang berpendidikan akan
memahami informasi dengan baik penjelasan yang diberikan oleh petugas
kesehatan, selain itu tidak akan terpengaruh dengan informasi yang tidak
jelas (Satoto, 1992).
3. Sosial Ekonomi
Status sosial ekonomi berhubungan erat dengan pekerjaan dan
pendapatan orang tua yang nanti nya bepengaruh terhadap konsumsi
energi. Ibu yang bekerja akan berpengaruh terhadap pola asuh anak, ibu
menjadi kurang perhatian dan kurang dekat dengan anak karena sebagian
besar waktu siang digunakan untuk bekerja diluar rumah. Selain itu
pemberian ASI untuk bayipun semakin berkurang.
Orang tua yang mempunyai pendapatan tinggi akan mempunyai daya
beli yang lebih tinggi pula, sehingga memberikan peluang yang lebih besar
untuk memilih berbagai jenis makanan. Adanya peluang tersebut
mengakibatkan pemilihan jenis makanan dan jumlah makanan tidak lagi
didasarkan pada kebutuhan dan pertimbangan kesehatan, termasuk pada
pemberian makanan pendamping ASI bagi bayi (Aryani, 2008).
4. Budaya
Faktor budaya adalah faktor yang berhubungan dengan nilai-nilai dan
pandangan masyarakat yang lahir dari kebiasaan yang ada, dan pada
akhirnya mendorong masyarakat untuk berperilaku sesuai dengan tuntutan
41
budaya. Misalnya budaya yang baru berkembang sekarang ini adalah
pandangan untuk tidak memberikan ASI karena bisa menyebabkan
perubahan bentuk payudara yang membuat wanita tidak cantik. Masih
banyak ibu, khususnya yang sangat memperhatikan bentuk tubuhnya,
masih mengikuti tradisi ini.
Keadaan budaya yang dimaksud adalah mengenai budaya makan di
masyarakat mengenai pantang-pantangan makan, dan makanan yang boleh
maupun tidak boleh dimakan oleh anak. Di samping itu ada juga budaya
yang sudah turun temurun berlaku di masyarakat, yaitu budaya untuk
memberikan makanan pendamping ASI dini kepada anak, yaitu mulai usia
3 bulan anak sudah diberikan makanan berupa pisang lumat kepada
bayinya. Perilaku seperti ini merupakan perilaku turun temurun yang
dilihat ibu balita dari ibunya. Budaya seperti ini merupakan unsur budaya
yang salah karena pemberian MP ASI terlalu dini kepada bayi dapat
mempengaruhi pencernaan bayi.
5. Faktor Individu
Faktor individual yang mempengaruhi seseorang dalam pemilihan
makanan, yaitu (Story et al., 2008):
a. Kognisi, meliputi:
1) Sikap
Pola makan adalah tingkah laku manusia atau kelompok
manusia dalam memenuhi kebutuhannya akan makan yang
meliputi sikap, kepercayaan, dan pemilihan makanan. Sikap orang
42
terhadap makanan dapat bersifat positif dan negatif. Sikap positif
atau negatif terhadap makanan bersumber pada nilai-nilai afektif
yang berasal dari lingkungan (alam, budaya, sosial, dan ekonomi)
dimana manusia atau kelompok manusia itu tumbuh. Demikian
juga halnya dengan kepercayaan terhadap makanan yang berkaitan
dengan nilai-nilai kognitif, yaitu kualitas baik atau buruk, menarik
atau tidak menarik. Pemilihan adalah proses psikomotor untuk
memilih makanan sesuai dengan sikap dan kepercayaannya.
2) Preferensi
Preferensi terhadap makanan didefinisikan sebagai derajat
kesukaan atau ketidaksukaan terhadap makanan dan preferensi ini
akan berpengaruh terhadap konsumsi pangan, yaitu (a)
ketersediaan pangan di suatu tempat, (b) pembelian makanan untuk
anggota keluarga yang lain, khususnya orang tua, (c) pembelian
makanan dan penyediaannya yang mencerminkan hubungan
kekeluargaan dan budaya, (d) rasa makanan, tekstur, dan tempat.
Dalam memilih makanan tertentu yang disukai pengalaman
seseorang dapat menjadi landasan yang kuat, beberapa faktor
antara lain enak, menyenangkan, tidak menyenangkan, tidak
membosankan, berharga murah, mudah didapat dan diolah.
Penampakan merupakan hal yang banyak mempengaruhi
preferensi dan kesukaan konsumen. Dengan demikian nilai gizi
43
dalam hal ini tidak menjadi pertimbangan dalam pemilihan
makanan.
3) Pengetahuan
Menurut Pranadji (1988) pendidikan formal seseorang dapat
mempengaruhi pengetahuan gizinya. Seseorang yang memiliki
tingkat pendidikan formal yang tinggi dapat mempunyai
pengetahuan gizi yang tinggi pula.
Suhardjo (1989) menyatakan bahwa orang yang berpendidikan
tinggi biasanya akan memilih untuk mengkonsumsi makanan yang
bernilai gizi tinggi sesuai dengan pangan yang tersedia dan
kebiasaan makan sejak kecil, sehingga kebutuhan gizinya tetap
terpenuhi. Atmarita & Fallah (2004) menyatakan bahwa tingkat
pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan
perilaku hidup sehat.
Tingkat pendidikan yang semakin tinggi akan memudahkan
seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan
mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-
hari, khususnya dalam kesehatan dan gizi.
b. Skill (Keterampilan)
Kebiasaan pemilihan makanan yang dilakukan seseorang erat
kaitannya dengan keterampilan yang dimiliki dalam pemilihan
makanan. Kemampuan keterampilan pemilihan makanan terbentuk
akibat adanya proses panjang pengalaman masing-masing individu.
44
Rendahnya keterampilan seseorang dalam pemilihan makanan sehat
akan berdampak buruk terhadap pola konsumsi yang pada akhirnya
akan berdampak pada kondisi kesehatan.
c. Gaya Hidup
Perubahan gaya hidup suatu masyarakat dalam kaitannya dengan
makanan berkaitan juga pada perubahan budaya. Makanan alamiah
yang berasal dari pertanian seperti beras, gandum, jagung menjadi
lebih menarik lagi apabila diolah dengan lebih modern sesuai dengan
tuntutan zaman. Makanan siap saji menjadi lebih diminati karena
dianggap lebih cepat dan praktis sebab dapat menunjang kebutuhan
masyarakat urban yang sangat sibuk bekerja. Dengan demikian
perkembangan dan peningkatan perekonomian sebagian masyarakat
juga membentuk kebiasaan makannya.
d. Biologi
1) Gen
Alergi makanan bisa menyerang siapa saja dengan kadar yang
berbeda. Alergi makanan adalah respons abnormal tubuh terhadap
suatu makanan yang dicetuskan oleh reaksi spesifik pada system
imun dengan gejala yang spesifik.
Pada orang dewasa, yang sering menyebabkan alergi makanan
adalah jenis makanan laut, seperti kerang, udang, lobster, kepiting,
cumi-cumi, dan ikan. Beberapa jenis kacang kacangan, seperti
kacang kenari, kacang tanah, dan telur sering menyebabkan alergi.
45
Makanan yang sering menimbulkan alergi pada anak adalah telur,
susu, kacang tanah, dan buah-buahan seperti tomat dan stroberi.
Menghindari makanan yang menjadi penyebab alergi merupakan
hal paling utama dalam penanganan alergi makanan.
2) Jenis Kelamin dan Umur
Jumlah energi, karbohidrat, lemak, protein, vitamin dan
mineral yang dibutuhkan berbeda antara kelompok usia dan jenis
kelamin. Sebagai contoh, wanita usia subur harus mengkonsumsi
sejumlah tambahan Fe (besi) dan asam folat. Makanan dengan Fe
dan asam folat bertambah selama awal kehamilan untuk
mengurangi risiko cacat tabung saraf janin, misalnya spina bifida.
e. Pendapatan
Faktor pendapatan keluarga mempunyai peranan besar dalam
masalah gizi dan kebiasaan makan keluarga. Ketersediaan pangan
suatu keluarga sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan
keluarga tersebut. Rendahnya pendapatan merupakan rintangan
yang menyebabkan orang tidak mampu membeli, memilih pangan
yang bermutu gizi baik dan beragam.
46
F. Kerangka Teori
Sumber: Modifikasi teori Story, M., Kaphingst, K. M.,
Robinson-O’Brien, R., dan Glanz, K. (2008) dalam
Citrakesumasari (2012).
LINGKUNGAN TINGKAT MAKRO
Norma-norma dan nilai-nilai sosial dan
budaya
Industri makanan dan minuman
Pemasaran makanan dan media
Sistem ekonomi
Produksi pangan dan sistem distribusi
Pemerintah dan kebijakan struktur politik
Program bantuan pangan
Sistem pelayanan kesehatan
Pemanfaatan lahan dan transportasi
LINGKUNGAN FISIK
Rumah
Lokasi kerja
Sekolah, setelah sekolah
Pengasuhan anak
Lingkungan sekitar dan masyarakat
Restoran dan outlet makanan cepat saji
Supermarket
Akses
Ketersediaan
FAKTOR INDIVIDU
Kognisi (meliputi sikap, preferensi,
pengetahuan, nilai)
Keterampilan dan perilaku
Gaya hidup
Biologi (meliputi gen, jenis kelamin,
umur)
Kependudukan (meliputi pendapatan,
ras/etnik)
Motivasi
LINGKUNGAN SOSIAL
Keluarga
Teman-teman
Rekan-rekan
PEMILIHAN
MP ASI
STATUS GIZI
BAYI 6-24
BULAN
47
BAB III
KERANGKA KONSEP
A. Dasar Pemikiran
Pemberian MP ASI pada bayi usia 6-24 bulan sangat bermanfaat dalam
memenuhi kecukupan gizi anak balita. Makanan Pendamping ASI adalah
makanan atau minuman yang mengandung zat gizi, diberikan pada bayi atau
anak usia 6 – 24 bulan guna memenuhi kebutuhan gizi selain dari Air Susu
Ibu. Makanan pendamping ASI ini diberikan pada bayi karena pada masa itu
produksi ASI semakin menurun sehingga suplai zat gizi dari ASI tidak lagi
memenuhi kebutuhan gizi anak yang semakin meningkat sehingga pemberian
dalam bentuk makanan pelengkap sangat dianjurkan.
Pada era modern ini, tentunya tidak sedikit ibu yang memiliki peran
ganda (domestik dan publik). Hal tersebut menuntut seorang ibu untuk dapat
membagi waktunya dalam melaksanakan peran domestik sebagai seorang Ibu
Rumah Tangga (IRT) sekaligus peran publik sebagai seorang pekerja. Maka
dari itu, tidak semua ibu dapat menentukan MP-ASI yang tepat pada bayinya
karena banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Salah satu penyebabnya
yaitu ibu yang bekerja. Ibu yang bekerja relatif memiliki waktu yang sedikit
untuk menyiapkan makanan pendamping ASI sendiri sehingga dalam
pemilihan MP ASI, ibu yang bekerja kerap bingung dalam menentukan MP
ASI seperti apa yang tepat. Karena baik atau pun buruknya status gizi anak di
kemudian hari itu tergantung kepada apa yang diberikan oleh ibunya,
termasuk dalam hal ini MP ASI.
48
Ibu yang bekerja bisa saja menjadi alasan penyebab tidak lancarnya
pemberian MP ASI pada bayi karena relatif tidak memiliki waktu. Namun,
dalam pemilihan makanan pendamping ASI ada banyak faktor yang
mempengaruhi, baik itu internal (dari dalam diri) maupun eksternal
(lingkungan). Keduanya dapat menjadi peluang maupun penghambat seorang
ibu dalam memberikan MP ASI pada bayinya.
B. Kerangka Konsep
= Variabel dependen
= Variabel independen
STATUS GIZI BAYI
6 – 24 BULAN
PEMILIHAN
MP ASI
1. Jenis MP ASI
2. Frekuensi
Pemberian MP ASI
3. Porsi Pemberian
MP ASI
4. Konsistensi MP
ASI
5. Cara Pemberian
MP ASI
6. Cara Pengolahan
MP ASI
49
C. Definisi Operasional
1. Variabel Dependen
a) Status Gizi
Ukuran keberhasilan dalam pemenuhan nutrisi untuk balita yang
diindikasikan oleh berat badan dan tinggi badan/panjang badan balita.
Kriteria Objektif
a. Gizi Lebih : Apabila nilai Z score yang diperoleh > 2 SD
b. Gizi baik : Apabila nilai Z score yang diperoleh -2 SD s.d+2 SD
c. Gizi Kurang : Apabila nilai Z score yang diperoleh < -2 SD s.d-3 SD
d. Gizi buruk : Apabila nilai Z score yang diperoleh <-3 SD
2. Variabel Independen
a. MP ASI
MP ASI yang dimaksud adalah makanan pendamping ASI yang
diberikan kepada bayi pada usia ≥6 bulan. MP ASI terbagi menjadi dua
jenis yaitu MP ASI pabrikan dan lokal. Konten MP ASI dapat dilihat dari
cara pengolahan, asal, bahan, cara pemberian, konsistensi, dan frekuensi
pemberian MP ASI tersebut.
Kriteria Obyektif
Jika responden mengetahui jenis, frekuensi, konsistensi, porsi, cara
pemberian, dan cara pengolahan MP ASI yang diberikan kepada bayinya.
50
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian bersifat deskriptif yaitu suatu penelitian yang dilakukan untuk
menggambarkan atau memotret suatu fenomena kesehatan yang terjadi didalam
masyarakat. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional, dimana variabel
sebab (independen) dan akibat (dependen) yang terjadi pada objek penelitian diukur
secara simultan (dalam waktu bersamaan) (Notoatmodjo, 2010).
B. Waktu dan Lokasi Penelitian
1. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus hingga September tahun
2017.
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Turikale Kabupaten
Maros, Sulawesi Selatan.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Unit Analisis merupakan keseluruhan objek penelitian. Dalam penelitian
ini populasi merupakan semua bayi di wilayah kerja puskesmas Turikale
Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan yaitu 89 bayi.
51
2. Sampel
Sampel adalah sebagian populasi yang mewakili suatu populasi
(Saryono, 2011). Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 46 berdasarkan
rumus perhitungan sampel yang dilakukan oleh peneliti, kemudian dirincikan
sebagai berikut:
1. Besar Sampel
Penentuan besar sampel akan ditentukan dengan menggunakan
rumus Lemeshow (1997) sebagai berikut:
Keterangan:
n = Jumlah sampel keseluruhan
N = Besar populasi
Z = Derajat kepercayaan (1,96)
p = Perkiraan proporsi kejadian variabel yang diteliti (0,5)
q = 1- p = 1- 0,5 = 0,5
d = Tingkat ketelitian yang diinginkan (0,05)
n = 𝑁𝑍2𝑝𝑞
𝑑2(𝑁−1)+ 𝑍2𝑝𝑞
52
Sebanyak 46 sampel.
2. Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah nonprobability sampling. Adapun teknik
nonprobability sampling yang akan digunakan adalah purposive
sampling. Hal ini didasarkan pada suatu pertimbangan yang dibuat oleh
peneliti sendiri dengan berdasarkan kriteria atau sifat-sifat populasi
yang sudah diketahui sebelumnya. Sampel akan dimasukkan dalam
penelitian apabila memenuhi kriteria sebagai berikut :
Kriteria Inklusi:
1) Ibu bekerja yang memiliki anak usia 6 – 24 bulan dengan riwayat
pemberian ASI eksklusif.
Kriteria Eksklusi:
1) Ibu yang memiliki anak dengan riwayat berat badan lahir rendah.
2) Ibu yang memiliki anak dengan riwayat kelainan bawaan (alergi,
asma, kelainan konginetal).
3) Ibu yang memiliki bayi dengan riwayat prematur.
D. Instrumen Penelitian
Adapun instrumen atau alat pengumpulan data menggunakan kuesioner untuk
mengukur variabel independen dan dependen.
53
1. Uji Validitas
Uji validitas digunakan untuk mengukur sah atau valid tidaknya suatu
kuesioner. Suatu kuesioner dikatakan valid jika pertanyaan pada kuesioner
mampu untuk mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh kuesioner
tersebut. Untuk mengukur validitas dapat dilakukan dengan melakukan
korelasi antar skor butir pertanyaan dengan total skor konstruk atau variabel.
2. Uji Reabilitas
Uji realibilitas adalah alat untuk mengukur suatu kuesioner yang
mempunyai indikator dari variabel atau konstruk. Suatu kuesioner dinyatakan
realibel atau handal jika jawaban seseorang terhadap pernyataan adalah
konsisten atau stabil dari waktu ke waktu.
Uji realibilitas dapat dilakukan dengan menggunakan bantuan program
SPSS, yang akan memberikan fasilitas untuk mengukur realibilitas dengan uji
statistik ronbach Alpha ( α ). Suatu konstruk atau variabel dikatakan realibel
jika memberikan nilai Cronbanch Alpha 0,7.
E. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data diperoleh dari sumber yaitu sebagai berikut:
1. Data Primer
Data yang diperoleh dengan cara observasi langsung dan membagikan
kuesioner secara langsung pada responden.
54
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang dimiliki dan diperoleh dari lokasi/tempat
penelitian berupa dokumen-dokumen atau catatan pemerintah ataupun instansi
terkait dengan penelitian ini yang menunjang kelengkapan data penelitian. Data
sekunder pada penelitian ini berupa data pendistribusian MP ASI.
F. Pengolahan Data
Adapun tahapan dari pengolahan data mulai dari :
1. Mengkode Data (Data Coding)
Mengklasifikasikan, memberi kode data untuk masing-masing nomor pada
kuesioner/angket. Coding merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf
menjadi data berbentuk angka/bilangan.
2. Mengedit Data (Editing Data)
Memastikan data yang diperoleh adalah data yang lengkap sehingga dapat
diolah dengan memeriksa kelengkapan dan ketetapan pengisian
kuesioner/angket.
3. Memasukkan Data (Data Entry)
Memasukkan data dalam program atau fasilitas data berdasarkan klasifikasi
dengan komputer (SPSS).
4. Membersihkan Data (Data Cleaning)
Pengecekan kembali data yang telah dimasukkan untuk memastikan data
tersebut tidak ada yang salah, sehingga dengan demikian data tersebut telah siap
diolah dan di analisis.
55
G. Analisis Data
Pada penelitian ini dilakukan uji analisis univariat yang bertujuan untuk
menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik variabel penelitian (Notoatmodjo,
2010). Pada umumnya, dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi frekuensi
dan persentase dari tiap-tiap variabel penelitian.
H. Penyajian Data
Data hasil penelitian akan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan
crosstabulasi (tabung silang) serta narasi untuk membahas hasil penelitian.
56
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan penelitian yang dilaksanakan pada bulan Agustus – September 2017
(meliputi pengumpulan dan pengolahan data) pada seluruh ibu bekerja yang memiliki
anak usia 6-24 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Turikale Maros diperoleh data
sebagai berikut:
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Keadaan geografi wilayah kerja Puskesmas Turikale merupakan daerah bukan
pantai yang sebagian besar berbentuk dataran yang mempunyai luas wilayah kerja
29,93 km3 dan dibagi menjadi 7 kelurahan, 134 RT dan RK.
Wilayah kerja Puskesmas Turikale terdiri atas 7 kelurahan dan 31 lingkungan.
Aktivitas penduduk di Kecamatan Turikale meliputi pegawai negeri sipil, pegawai
perusahaan swasta, pedagang, pertanian, perkebunan, dan lain-lain.
57
B. Hasil Penelitian
1. Distribusi Karakteristik Responden
Tabel 5.1
Distribusi Karakteristik Responden
di Wilayah Kerja Puskesmas Turikale Kab. Maros
Tahun 2017
Karakteristik
Responden (Ibu) N Persentase (%)
Umur Ibu
20 – 25 tahun 1 2,2
26 – 30 tahun 8 17,4
31 – 35 tahun 28 60,9
36 – 40 tahun 6 13,0
>40 tahun 3 6,5
Pendidikan
SMA 4 8,7
DII 1 2,2
DIII 7 15,2
S1 31 67,4
S2 3 6,5
Pekerjaan
PNS (Guru) 8 17,4
PNS (Petugas Kesehatan) 10 21,7
PNS (Pemda) 28 60,9
Penghasilan
≤Rp. 3.000.000 7 15,2
>Rp. 3.000.000 39 84,8
Sumber : Data Primer, 2017
Dari tabel 5.1 dapat dilihat bahwa kelompok umur responden yang
paling banyak yaitu umur 31-35 tahun sebanyak 28 orang (60,9%), dan yang
paling sedikit yaitu umur 20-25 tahun yaitu sebanyak 1 orang (2,2%).
Pendidikan responden paling banyak yaitu tamat S1 sebanyak 31 orang
(67,4%), dan paling sedikit yaitu tamat S2 sebanyak 3 ibu (6,5%). Pekerjaan
responden paling banyak sebagai PNS (Pemda) sebanyak 28 orang (60,9%)
dan paling sedikit sebagai PNS (Guru) yaitu 8 orang (17,4%). Sedangkan
58
untuk penghasilan dapat dilihat kelompok penghasilan responden yang
paling banyak adalah ≥Rp. 3.000.000,- yaitu berjumlah 39 orang (84,8%),
dan kelompok penghasilan responden di bawah ≤Rp. 3.000.000,- adalah
sebanyak 7 orang (15,2%).
2. Karakteristik Bayi
Tabel 5.2
Distribusi Karakteristik Anak
di Wilayah Kerja Puskesmas Turikale Kab. Maros
Tahun 2017
Karakteristik n Persentase (%)
Jenis Kelamin
Laki-laki 20 43,5
Perempuan 26 56,5
Umur Anak
6 – 8 bulan 12 26,1
9 – 11 bulan 14 30,4
12 – 24 bulan 20 43,5
Sumber : Data Primer, 2017
Dari tabel 5.2 dapat dilihat bahwa jenis kelamin yang terbanyak adalah
perempuan sebanyak 26 anak (56,5%) dan jenis kelamin laki-laki sebanyak
20 anak (43,5%). Berdasarkan kelompok usia anak yang paling banyak
adalah usia 12-24 bulan yaitu berjumlah 20 anak (43,5%), sedangkan
kelompok usia yang paling sedikit adalah usia 6-8 bulan yaitu sebanyak 12
anak (26,1%).
59
3. Distribusi Status Gizi Bayi
Tabel 5.3
Distribusi Status Gizi Bayi dan Anak
di Wilayah Kerja Puskesmas Turikale Kab. Maros
Tahun 2017
Usia
(bulan)
Z Score Bayi
Total - 2 SD s.d. 2
SD (normal)
> 2 SD
(gemuk)
n % N % n %
6 – 8 9 75,0 3 25,0 12 26,1
9 – 11 10 71,4 4 28,6 14 30,4
12 – 24 17 85,0 3 15,0 20 43,5
Total 36 78,3 10 21,7 46 100,0
Sumber : Data Primer, 2017
Dari tabel 5.3 dapat dilihat dari 46 bayi dan anak usia 6-24 bulan
terdapat 36 bayi dan anak (78,3%) yang memiliki status gizi normal dan 10
bayi dan anak (21,7%) yang memiliki status gizi gemuk.
4. Distribusi MP ASI
Tabel 5.4
Distribusi MP ASI
di Wilayah Kerja Puskesmas Turikale Kab. Maros
Tahun 2017
Usia
(bulan)
Jenis MP-ASI
Total MP-ASI
Lokal
MP-ASI
Pabrikan
MP ASI
Lokal-
Pabrikan
n % n % n % n %
6 – 8 3 25,0 6 50,0 3 25,0 12 26,1
9 – 11 3 21,4 3 21,4 8 57,1 14 30,4
12 – 24 20 100,0 0 0,0 0 0,0 20 43,5
Total 26 56,5 9 19,6 11 23,9 46 100
Sumber : Data Primer, 2017
Dari tabel 5.4 dapat dilihat pada kelompok anak usia 6-8 bulan
terdapat 3 bayi (25,0%) yang diberikan MP ASI jenis lokal, 6 bayi (50,0%)
yang diberikan MP ASI jenis pabrikan, dan 3 bayi (25,0%) yang diberikan
60
MP ASI jenis lokal dan pabrikan. Pada kelompok usia 9-11 terdapat 3 bayi
(21,4%) yang diberikan MP ASI jenis lokal, 3 bayi (21,4%) yang diberikan
MP ASI jenis pabrikan, dan 8 bayi (57,1%) yang diberikan MP ASI jenis
lokal dan pabrikan. Sedangkan pada kelompok anak usia 12-24 bulan
terdapat 20 anak (100,0%) yang diberikan MP ASI jenis lokal, namun tidak
terdapat anak (0,0%) yang diberikan MP ASI jenis pabrikan dan yang
diberikan MP ASI jenis lokal dan pabrikan.
5. Distribusi Frekuensi Pemberian MP ASI
Tabel 5.5
Distribusi Frekuensi Pemberian MP ASI
di Wilayah Kerja Puskesmas Turikale Kab. Maros
Tahun 2017
Umur
(bulan)
Frekuensi Pemberian MP ASI
Total 2 kali sehari 3 kali sehari
>4-5 kali
sehari
n % n % n % n %
6 – 8 1 8,3 8 66,7 3 25,0 12 26,1
9 – 11 1 7,1 5 35,7 8 57,1 14 30,4
12 – 24 0 0,0 12 60,0 8 40,0 20 43,5
Total 2 4,3 25 54,3 19 41,3 46 100,0
Sumber : Data Primer, 2017
Dari tabel 5.5 dapat dilihat pada kelompok anak usia 6-8 bulan
terdapat 1 bayi (8,3%) yang diberikan MP ASI sebanyak 2 kali sehari, 8
bayi (66,7%) yang diberikan MP ASI sebanyak 3 kali sehari, dan 3 bayi
(25,0%) yang diberikan MP ASI sebanyak >4-5 kali sehari . Pada kelompok
usia 9-11 terdapat 1 bayi (7,1%) yang diberikan MP ASI sebanyak 2 kali
sehari, 5 bayi (35,7%) yang diberikan MP ASI sebanyak 3 kali sehari, dan 8
bayi (57,1%) yang diberikan MP ASI sebanyak >4-5 kali sehari. Sedangkan
pada kelompok anak usia 12-24 bulan tidak terdapat anak (0,0%) yang
61
diberikan MP ASI sebanyak 2 kali sehari, 12 anak (60,0%) yang diberikan
MP ASI sebanyak 3 kali sehari, dan 8 anak (40,0%) yang diberikan MP ASI
sebanyak >4-5 kali sehari.
6. Porsi Pemberian MP ASI
Tabel 5.6
Porsi Pemberian MP ASI
di Wilayah Kerja Puskesmas Turikale Kab. Maros
Tahun 2017
Usia
(bulan)
Porsi dalam sekali makan Total
1-2 sendok 3-6 sendok >6 sendok
n % n % n % n %
6 – 8 3 25,0 6 50,0 3 25,0 12 26,1
9 – 11 0 0,0 11 78,6 3 21,4 16 30,4
12 – 24 1 5,0 14 70,0 5 25,0 20 43,5
Total 4 8,7 31 67,4 11 23,9 46 100,0
Sumber : Data Primer, 2017
Dari tabel 5.6 dapat dilihat pada kelompok anak usia 6-8 bulan
terdapat 3 bayi (25,0%) yang diberikan MP ASI sebanyak 1-2 sendok dalam
sekali makan, 6 bayi (50,0%) yang diberikan MP ASI sebanyak 3-6 sendok
dalam sekali makan, dan 3 bayi (25,0%) yang diberikan MP ASI sebanyak
>6 sendok dalam sekali makan. Pada kelompok usia 9-11 tidak terdapat bayi
(0,0%) yang diberikan MP ASI sebanyak 1-2 sendok dalam sekali makan,
11 bayi (78,6%) yang diberikan MP ASI sebanyak 3-6 sendok dalam sekali
makan, dan 3 bayi (21,4%) yang diberikan MP ASI sebanyak >6 sendok
dalam sekali makan. Sedangkan pada kelompok anak usia 12-24 bulan
terdapat 1 anak (5,0%) yang diberikan MP ASI sebanyak 1-2 sendok dalam
sekali makan, 14 anak (70,0%) yang diberikan MP ASI sebanyak 3-6
62
sendok dalam sekali makan, dan 5 anak (25,0%) yang diberikan MP ASI
sebanyak >6 sendok dalam sekali makan.
7. Konsistensi Pemberian MP ASI
Tabel 5.7
Konsistensi MP ASI
di Wilayah Kerja Puskesmas Turikale Kab. Maros
Tahun 2017
Usia
(bulan)
Konsistensi MP ASI
Total Lumat Lunak
Makanan
Padat
n % n % n % n %
6 – 8 1 8,3 11 91,7 0 0,0 12 26,1
9 – 11 0 0,0 13 92,9 1 7,1 14 30,4
12 – 24 0 0,0 7 35,0 13 65,0 20 43,5
Total 1 2,2 31 67,4 14 30,4 46 100
Sumber : Data Primer, 2017
Dari tabel 5.7 dapat dilihat pada kelompok anak usia 6-8 bulan
terdapat 1 bayi (8,3%) yang diberikan MP ASI dengan konsistensi lumat, 11
bayi (91,7%) yang diberikan MP ASI dengan konsistensi lunak, dan tidak
terdapat bayi (0,0%) yang diberikan MP ASI dengan konsistensi makanan
padat. Pada kelompok usia 9-11 tidak terdapat bayi (0,0%) yang diberikan
MP ASI dengan konsistensi lumat, 13 bayi (92,9%) yang diberikan MP ASI
dengan konsistensi lunak, dan 1 bayi (7,1%) yang diberikan MP ASI dengan
konsistensi makanan padat. Sedangkan pada kelompok anak usia 12-24
bulan tidak terdapat anak (0,0%) yang diberikan MP ASI dengan konsistensi
lumat, 7 anak (35,0%) yang diberikan MP ASI dengan konsistensi lunak,
dan 13 anak (65,0%) yang diberikan MP ASI dengan konsistensi makanan
padat.
63
8. Cara Pemberian MP ASI
Tabel 5.8
Cara Pemberian MP ASI
di Wilayah Kerja Puskesmas Turikale Kab. Maros
Tahun 2017
Usia
(bulan)
Cara Pemberian MP ASI Total
Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3
N % n % n % n %
6 – 8 2 16,7 7 58,3 3 25,0 12 26,1
9 – 11 3 21,4 6 42,9 5 35,7 14 30,4
12 – 24 4 20,0 7 35,0 9 45,0 20 43,5
Total 9 19,6 20 43,5 17 37,0 46 100
Sumber : Data Primer, 2017
Dari tabel 5.8 dapat dilihat pada kelompok bayi dan anak usia 6-24
bulan sebanyak 46 bayi dan anak terdapat 9 bayi dan anak (19,6%) yang
diberikan MP ASI tahap 1 (mencuci tangan, bahan, peralatan masak dan alat
makan, memberikan makanan sesuai tahapan usia anak, dan tidak
menyimpan makanan sisa), 20 bayi dan anak (43,5%) yang diberikan MP
ASI tahap 2 (mencuci tangan, bahan, peralatan masak, dan alat makan,
memberikan makanan sesuai apa yang tersedia, dan tidak menyimpan
makanan sisa), dan 17 bayi dan anak (37,0%) yang diberikan MP ASI tahap
3 (mencuci tangan, bahan, peralatan masak dan alat makan, memberikan
makanan sesuai keinginan anak, dan tidak menyimpan makanan sisa).
64
9. Analisis Pemilihan MP ASI, Frekuensi, Porsi, Konsistensi, dan Cara
Pemberian MP ASI yang Sesuai dan Tidak Sesuai Menurut Anjuran
Kemenkes dengan Status Gizi
Tabel 5.9
Analisis Pemilihan MP ASI yang Sesuai Anjuran dengan Status Gizi
Bayi dan Anak Usia 6-24 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Turikale
Kab. Maros Tahun 2017
Pemilihan MP ASI
(Lokal, Pabrikan,
Campuran)
Jumlah
Status Gizi
Normal Gemuk
n % n %
Frekuensi 25 25 100,0 0 0,0
Porsi 11 5 45,5 6 54,5
Konsistensi 27 22 81,5 5 18,5
Cara Pemberian 9 9 100,0 0 0,0
Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa sebanyak 25 bayi dan
anak yang diberi MP ASI dengan frekuensi sesuai anjuran dan semuanya
memiliki status gizi normal (100,0%). Sebanyak 11 bayi dan anak yang
diberi MP ASI dengan porsi sesuai anjuran dan terdapat 5 anak (45,5%)
yang memiliki status gizi normal dan terdapat 6 anak (54,5%) yang
memiliki status gizi gemuk. Sebanyak 27 bayi dan anak yang diberikan MP
ASI dengan konsistensi/tekstur sesuai anjuran dan terdapat 22 anak (81,5%)
yang memiliki status gizi normal dan 5 anak (18,5%) yang memiliki status
gizi gemuk. Selanjutnya, sebanyak 9 bayi dan anak yang diberi MP ASI
tahapan sesuai anjuran dan semuanya memiliki status gizi normal.
65
Tabel 5.10
Analisis Pemilihan MP ASI yang Tidak Sesuai Anjuran dengan Status
Gizi Bayi dan Anak Usia 6-24 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas
Turikale Kab. Maros Tahun 2017
Pemilihan MP ASI
(Lokal, Pabrikan,
Campuran)
Jumlah
Status Gizi
Normal Gemuk
n % n %
Frekuensi 21 11 52,4 10 47,6
Porsi 35 31 88,6 4 11,4
Konsistensi 19 14 73,7 5 26,3
Cara Pemberian 37 27 73,0 10 27,0
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa sebanyak 21 bayi dan
anak yang diberi MP ASI dengan frekuensi yang tidak sesuai anjuran dan
terdapat 11 anak (52,4%) yang memiliki status gizi normal dan 10 anak
(47,6%) yang memiliki status gizi gemuk. Sebanyak 35 bayi dan anak yang
diberi MP ASI dengan porsi yang tidak sesuai anjuran dan terdapat 31 anak
(88,6%) yang memiliki status gizi normal dan terdapat 4 anak (11,4%) yang
memiliki status gizi gemuk. Sebanyak 19 bayi dan anak yang diberikan MP
ASI dengan konsistensi/tekstur yang tidak sesuai anjuran dan terdapat 14
anak (73,7%) yang memiliki status gizi normal dan 5 anak (26,3%) yang
memiliki status gizi gemuk. Selanjutnya, sebanyak 37 bayi dan anak yang
diberi MP ASI tahapan yang tidak sesuai anjuran dan terdapat 27 anak
(73,0%) yang memiliki status gizi normal dan 10 anak (27,0%) yang
memiliki status gizi gemuk.
66
C. Pembahasan
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Turikale Kabupaten
Maros pada tanggal 31 Agustus – 30 September 2017. Setelah dilakukan
pengolahan dan analisis data maka dibahas sebagai berikut:
1. Gambaran Karakteristik Ibu Bayi
Secara teoritis pola pemberian MP ASI dipengaruhi oleh faktor ibu, karena
ibulah yang sangat berperan dalam mengatur konsumsi anak, yang kemudian
akan berpengaruh terhadap status gizi anak. Berdasarkan hasil penelitian,
kelompok usia produktif yang paling banyak yaitu usia 31-35 tahun sebanyak
60,9% dan yang paling sedikit adalah kelompok umur 20-25 tahun sebanyak
2,2%.
Menurut Allender dan Sradley (2005) dalam Bittikaka (2011), ibu berumur
lebih atau sama dengan 30 tahun telah memiliki pemahaman yang cukup tentang
perawatan anak. Hal ini dapat dikaitkan dengan keadaan fungsi keluarga yaitu
memberikan kasih sayang, memberikan perlindungan, memberikan identitas,
mempromosikan ikatan, memberikan sosialisasi, dan menetapkan pengawasan.
Keenam fungsi tersebut membantu meningkatkan pertumbuhan dan
perkembangan anggota keluarga.
Upaya keluarga meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan anggota
keluarga dilaksanakan dengan memperbaiki gizi keluarga yang dimulai dari gizi
ibu sejak hamil, melahirkan dan menyusui, serta gizi balita. Sementara peran
keluarga dalam memenuhi kecukupan gizi keluarga, yaitu membantu setiap
anggota keluarga untuk memenuhi kebutuhan makan 3 kali sehari yang
67
mengandung zat gizi yang dibutuhkan oleh keluarga, diantaranya pemberian
ASI ekslusif bayi sampai dengan 6 bulan, MP ASI ketika anak berusia 6 bulan
dan dilanjutkan sampai dengan berusia lebih dari 24 bulan, memberikan
makanan bergizi seimbang (Bittikaka, 2011).
Selain itu, ibu berusia 20-30 tahun berpeluang lebih besar dapat menyusui
bayinya secara ekslusif karena keadaan biologisnya yang bagus, seperti menurut
Nuryanto (2002) dalam Wulandari (2014) yang menyebutkan bahwa usia 20-30
tahun merupakan usia paling aman untuk bereproduksi karena terjadi
kematangan partumbuhan organ genitalia interna dan perkembangan hormonal
yang stabil sehingga ASI masih dapat diproduksi.
Hal lain yang mempengaruhi pola pemberian MP ASI diantaranya yakni
pengetahuan ibu tentang gizi, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, tingkat pendapatan
keluarga, adat istiadat dan penyakit infeksi (Suhardjo, 2000 dalam Septiana,
2010).
Pada hasil penelitian ini, tingkat pendidikan yang ditempuh paling banyak
yaitu perguruan tinggi S1 sebanyak 67,4% dan yang paling sedikit yaitu
diploma II sebanyak 2,2%. Menurut Suhardjo dalam Septiana (2010), tingkat
pendidikan formal ibu membentuk nilai-nilai bagi seseorang terutama dalam
menerima hal-hal baru. Tingkat pendidikan formal merupakan faktor yang ikut
menentukan mudah tidaknya ibu menyerap dan memahami informasi gizi yang
diperoleh. Semakin tinggi tingkat pendidikan formal ibu, maka semakin mudah
ia menyerap informasi mengenai MP ASI, gizi dan kesehatan, sehingga apabila
ibu mudah menyerap informasi tersebut maka akan berpengaruh terhadap sikap
68
dan perilaku ibu dalam memberikan pola pemberian MP ASI dengan baik dan
benar yang pada akhirnya sikap dan perilaku yang baik tersebut dapat
berpengaruh terhadap status gizi balita.
Hal ini sejalan dengan penelitian Rahmawati (2014) menunjukkan
hubungan positif tingkat pendidikan ibu dengan pemberian MP ASI, hasil
penelitiannya menunjukkan semakin tinggi tingkat pendidikan ibu maka
semakin berkurang pula jumlah bayi yang mendapatkan MP ASI kurang dari 6
bulan.
Pada umumnya, pekerjaan ibu bayi dalam penelitian ini semuanya PNS
(Pegawai Negeri Sipil) karena peneliti mengambil objek penelitian ibu bekerja.
Namun, pekerjaan responden terbagi menjadi 3 sektor yaitu PNS sektor Pemda
sebanyak 28 ibu (60,9%), PNS sektor Kesehatan sebanyak 10 ibu (21,7%), dan
PNS sektor Keguruan sebanyak 8 ibu (17,4%).
Pekerjaan adalah suatu yang dilakukan manusia untuk tujuan yang
dilakukan dengan cara yang baik dan benar. Pekerjaan juga sering disebut
profesi. Bekerja umumnya merupakan kegiatan yang menyita waktu. Bagi ibu-
ibu akan mempunyai pengaruh terhadap kehidupan keluarganya (Wawan dan
Dewi, 2010).
Status pekerjaan seseorang menunjukkan tingkat penghasilan seseorang
dan waktu luang yang dimiliki. Ibu yang tidak bekerja atau ibu rumah tangga
memiliki banyak waktu luang dalam mengurus keluarga. Hasil penelitian Kim
Jihyaongungand K.A.S Wickrama 2013) status pekerjaan ibu mempengaruhi
harga diri dan pola asuh pada bayi. Harga diri tinggi akan membuat seorang ibu
69
dapat melaksanakan pemberian MP ASI dengan baik. Pada ibu tidak bekerja
mempunyai harga diri yang kurang karena merasa hidupnya hanya bergantung
pada suami, hal ini diperlukan suatu dorongan untuk meningkatkan harga diri
ibu bahwa ibu mampu untuk memberiakn MP ASI dengan baik.
Berdasarkan penelitian menunjukkan bahwa responden memiliki
pendapatan/penghasilan yang cukup yaitu ≤Rp. 3.000.000,- sebanyak 7 orang
(15,2%) sedangkan penghasilan ≥Rp. 3.000.000,- sebanyak 39 orang (84,8%).
Faktor pendapatan keluarga mempunyai peranan besar dalam masalah gizi
dan kebiasaan makan keluarga. Ketersediaan pangan suatu keluarga sangat
dipengaruhi oleh tingkat pendapatan keluarga tersebut. Rendahnya pendapatan
merupakan rintangan yang menyebabkan orang tidak mampu membeli, memilih
pangan yang bermutu gizi baik dan beragam.
Tingkat pendapatan merupakan faktor yang menentukan kualitas dan
kuantitas makanan yang dikonsumsi. Keluarga yang berpenghasilan cukup atau
tinggi lebih mudah dalam menentukan pilihan pangan yang baik. Suhardjo
(2008) menyatakan bahwa pada umumnya jika pendapatan meningkat maka
jumlah dan jenis pangan akan membaik. Apabila penghasilan keluarga
meningkat, biasanya penyediaan lauk pauk meningkat mutunya. Dengan
meningkatnya pendapatan perorangan, terjadilah perubahan-perubahan dalam
susunan makanan. Kadang-kadang perubahan utama yang terjadi dalam
kebiasaan makanan ialah pangan yang dimakan itu mahal. Tingkat pendapatan
juga menentukan pola konsumsi pangan atau jenis pangan yang akan dibeli.
Orang miskin biasanya akan membelanjakan sebagian pendapatan tambahannya
70
untuk pangan, sedangkan pada orang kaya porsi pendapatan untuk pembelian
pangan lebih rendah. Semakin tinggi pendapatan, semakin besar pula persentase
pertambahan pembelanjaan termasuk untuk buah-buahan, sayur dan jenis pangan
lain.
2. Gambaran Karakteristik Bayi
Distribusi bayi menurut umur menunjukkan distribusi tertinggi adalah
berusia 12-24 bulan, yaitu 20 anak (43,5%). Usia 0-24 bulan merupakan masa
pertumbuhan dan perkembangan yang pesat, sehingga kerap diistilahkan sebagai
periode emas sekaligus periode kritis. Periode emas dapat diwujudkan apabila
pada masa ini bayi dan anak memperoleh asupan gizi yang sesuai untuk tumbuh
kembang optimal. Sebaliknya apabila bayi dan anak pada masa ini tidak
memperoleh makanan sesuai kebutuhan gizinya, maka periode emas akan
berubah menjadi periode kritis yang akan mengganggu tumbuh kembang bayi
dan anak, baik pada saat ini maupun masa selanjutnya (Depkes RI, 2006).
Untuk mencapai tumbuh kembang optimal, di dalam Global Strategy for
Infant and Young Child Feeding, WHO/UNICEF merekomendasikan empat hal
penting yang harus dilakukan yaitu; pertama memberikan air susu ibu kepada
bayi segera dalam waktu 30 menit setelah bayi lahir, kedua memberikan hanya
air susu ibu (ASI) saja atau pemberian ASI secara eksklusif sejak lahir sampai
bayi berusia 6 bulan, ketiga memberikan makanan pendamping air susu ibu (MP
ASI) sejak bayi berusia 6 bulan sampai 24 bulan, dan keempat meneruskan
pemberian ASI sampai anak berusia 24 bulan atau lebih. Rekomendasi tersebut
menekankan, secara sosial budaya MP ASI hendaknya dibuat dari bahan pangan
71
yang murah dan mudah diperoleh di daerah setempat (indigenous food) (Depkes
RI, 2006).
Berdasarkan hasil penelitian terdapat 20 bayi berjenis kelamin laki-laki dan
26 bayi perempuan. Jika dilihat pada jumlah distribusi bayi di wilayah kerja
tersebut, jumlah bayi perempuan lebih banyak dibandingkan bayi laki-laki.
3. Status Gizi
Hasil penelitian tentang status gizi menunjukkan sebagian besar memiliki
status gizi normal yaitu sebanyak 36 bayi dan anak (78,3%) yang terdiri dari 9
bayi pada kelompok umur 6-8 bulan, 10 bayi pada kelompok umur 9-11 bulan,
dan 17 anak pada kelompok umur 12-24 bulan. Namun, terdapat 10 bayi dan
anak (21,7%) memiliki status gizi gemuk yang terdiri dari 3 bayi pada kelompok
umur 6-8 bulan, 4 bayi pada kelompok umur 9-11 bulan dan 3 anak pada
kelompok umur 12-24 bulan.
Balita adalah kelompok anak yang berumur di bawah lima tahun. Kelompok
anak ini menjadi istimewa karena menuntut curahan perhatian yang intensif
untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangannya (Khomsan, 2003).
Lima tahun pertama dari kehidupan seorang manusia adalah fondasi bagi seluruh
kehidupan di dunia. Sumber daya manusia yang berkualitas baik fisik, psikis,
maupun intelegensianya berawal dari balita yang sehat. Balita adalah anak usia
dibawah lima tahun yang berumur 0-4 tahun 11 bulan (Depkes, 2005).
Menurut Suhardjo (2007) status gizi adalah kondisi tubuh seseorang yang
diukur dengan cara-cara tertentu yang hasil pengukuran tersebut dibandingkan
dengan standar. Almatsier (2009), menjelaskan bahwa status gizi adalah keadaan
72
tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Status gizi
dibedakan antara status gizi buruk, kurang, baik dan lebih. Pendapat lain
mengatakan bahwa status gizi adalah keadaan akibat dari keseimbangan antara
konsumsi dan penyerapan zat gizi dan penggunaan zat-zat gizi tersebut atau
keadaan fisiologik akibat dari tersedianya zat gizi dalam seluler tubuh.
Konsep terjadinya keadaan gizi mempunyai faktor dimensi yang sangat
kompleks. Faktor-faktor yang mempengaruhi keadaan gizi yaitu konsumsi
makanan dan tingkat kesehatan. Konsumsi makanan dipengaruhi oleh
pendapatan, makanan, dan tersedianya bahan makanan (Supariasa, 2002).
Masalah gizi anak secara garis besar merupakan dampak dari
ketidakseimbangan antara asupan dan keluaran zat gizi (nutritional imbalance),
yaitu asupan yang melebihi keluaran atau sebaliknya, di samping kesalahan
dalam memilih bahan makanan untuk disantap (Arisman, 2009).
4. Distribusi MP ASI
Hasil penelitian terkait distribusi MP ASI oleh ibu bekerja di wilayah kerja
Puskesmas Turikale Kab. Maros, sebanyak 56,5% anak diberi MP ASI lokal
sebagai makanan tambahannya, 19,6% anak diberi MP ASI pabrikan, dan 23,9%
bayi diberi kedua-duanya. Bahan pokok MP-ASI lokal yang sebagian besar
digunakan adalah beras dan kentang yang dikombinasikan dengan lauk pauk
hewani/nabati seperti ikan, ayam, telur, tahu, tempe, dan kacang-kacangan. Hasil
penelitian yang didapatkan melalui kuesioner yaitu selain bahan pokok dan lauk
pauk, bayi juga diberikan sayuran daun berupa bayam dan kangkung, dan juga
diberikan buah-buahan seperti pisang dan pepaya, dengan mengeluarkan biaya
73
<Rp. 50.000,- dalam setiap harinya. Sebagian besar ibu memberikan anak
makanan yang sudah tersedia di rumah. Sebagian besar MP ASI lokal diolah
dengan cara dimasak dan dikukus. Responden merupakan ibu yang bekerja,
dimana ibu bekerja sebagian besar berada di luar rumah sekitar ±9 jam sehingga
responden hanya menitipkan anaki serta menyerahkan pemberian MP ASI
kepada keluarga lain/pengasuh anak. Dan dalam memberikan makanan
tambahan kepada anak, tidak ada responden yang memiliki pantangan suatu
makanan untuk bayinya. Sebagian besar Ibu cenderung memberikan anaknya
MP ASI Lokal karena sebagian ibu berasumsi bahwa makanan yang disajikan
sendiri di rumah itu lebih sehat dan lebih baik diberikan kepada anak dan juga
anak bisa lebih mengenal beragam jenis makanan.
Pada tahun 2005, UNICEF menganjurkan untuk memberikan MPASI yang
berasal dari bahan lokal jika kondisi memungkinkan. Makanan Pendamping ASI
buatan sendiri memiliki kandungan nutrisi yang sama dan lebih ekonomis
daripada MP-ASI buatan pabrik. Seorang ibu atau pengasuh harus lebih
memperhatikan variasi dan tekstur makanan yang dibuat (seiring dengan
berkembangnya kemampuan makan anak, konsistensi dan kekentalan makanan
semakin meningkat).
Sedangkan hasil penelitian menggunakan kuesioner untuk MP ASI pabrikan
sebagian besar ibu memakai produk bubur/biskuit SUN, Milna, dan Promina.
Semua responden memperoleh MP ASI pabrikan dengan membeli sendiri
produk yang diinginkan, biaya yang dikeluarkan juga <Rp. 50.000,- dalam
74
sehari dan penyediaan MP ASI pabrikan juga hanya diseduh sehingga tidak
perlu memakan banyak waktu.
Pemberian makanan pendamping ASI mutlak dilakukan setelah bayi berusia
6 bulan, hal ini dikarenakan kebutuhan nutrisi bayi yang semakin tinggi seiring
bertambahnya usia bayi sebagai akibat dari pertumbuhan dan perkembangan
bayi. MP ASI yang diberikan dapat berupa makanan berbasis pangan lokal.
Pemberian MP ASI berbasis pangan lokal dimaksudkan agar keluarga dapat
menyiapkan MP ASI yang sehat dan bergizi seimbang bagi bayi dan anak 6-24
bulan di rumah tangga sekaligus sebagai media penyuluhan (Kemenkes, 2014).
Penelitian Hayati dkk (2012) pada etnis banjar di kelurahan Teluk Lerong
Ilir menunjukkan pola pemberian MP ASI menurut jenisnya bervariasi seperti
makanan pabrikan, bubur nasi, kentang, biskuit, sayur, dan lauk. Rata-rata jenis
makanan pabrikan diberikan pada bayi saat pertama kali makan yaitu pada usia 3
hari, dan 2-4 bulan. Hal ini dikarenakan persepsi ibu bahwa makanan pabrikan
lebih mudah diperoleh, tidak repot, dan mudah cara menyajikannya. Selanjutnya
pada umur 6-11 bulan, bayi diberi makanan olahan lokal berupa bubur nasi atau
nasi yang dilumatkan.
5. Frekuensi Pemberian MP ASI
Hasil penelitian terkait frekuensi pemberian MP ASI yaitu sebanyak 4,3%
bayi diberi makan 2 kali sehari, 54,3% diberi makan 3 kali sehari, dan 41,3%
diberi makan >4-5 kali sehari. Jika dilihat berdasarkan kesesuaian frekuensi
pemberian MP ASI dengan usia bayi dan anak masih ada yang belum sesuai
dengan ketentuan pemberian MP ASI berdasarkan usia. Berdasarkan Kemenkes
75
RI (2011) pada usia 6-8 bulan, bayi seharusnya diberikan makanan 3 kali sehari
bersama ASI namun data yang didapatkan 8 bayi yang sesuai, terdapat 1 bayi
yang hanya diberikan MP ASI sebanyak 2 kali sehari, dan terdapat 3 bayi yang
diberikan MP ASI sebanyak lebih 4 hingga 5 kali sehari. Kemudian pada usia 9-
11 bulan, bayi seharusnya diberikan 3 kali sehari serta 2 kali makanan selingan
bersama ASI namun data yang didapatkan 5 bayi yang sesuai, terdapat 1 bayi
yang hanya diberikan MP ASI sebanyak 2 kali sehari, dan terdapat 8 bayi yang
diberikan MP ASI sebanyak lebih 4 hingga 5 kali sehari. Selanjutnya, usia 12-24
frekuensinya juga sama dengan usia 9-11 bulan namun yang membedakan
adalah jumlah porsinya. Terdapat 12 anak yang diberikan makanan sesuai
dengan anjuran Kemenkes RI dengan frekuensi 3 kali sehari serta 2 kali
makanan selingan bersama ASI, terdapat 8 anak yang diberikan MP ASI
sebanyak lebih 4 kali hingga 5 kali sehari, dan pada pada usia ini sudah tidak
terdapat anak yang diberikan kurang dari 3 kali sehari. Jadi pada penelitian ini
didapatkan hasil, dari 46 bayi dan anak sebanyak 25 bayi dan anak yang sudah
diberikan sesuai dengan anjuran Kemenkes RI dan sebanyak 21 bayi anak yang
diberikan belum sesuai dengan anjuran.
Dalam booklet pesan utama pelatihan konseling pemberian makanan bayi
dan anak disampaikan bahwa pemberian MP ASI harus memperhatikan
frekuensi, jumlah, kepekatan, variasi, pemberian makan secara aktif/responsif,
dan kebersihan. Frekuensi pemberian makanan bayi di usia awal 6 bulan yaitu 2
kali sehari dengan jumlah 2-3 sendok makan setiap kali makan. Sedangkan
untuk 6-9 bulan diberikan 3 kali sehari dengan penambahan porsi setengah
76
cangkir berukuran 250 ml. Selanjutnya untuk bayi berusia 9-12 bulan juga
diberikan 3 kali sehari dengan penambahan porsi setengah cangkir berukuran
250 ml (Kemenkes RI, 2014).
6. Porsi Pemberian MP ASI
Hasil penelitian terkait porsi pemberian MP ASI yaitu sebanyak 67,4%
diberi makan 3-6 sendok makan sehari, 23,9% diberi makan > 6 sendok makan
sehari, dan 8,7% diberi makan 1-2 kali sehari. Jika dilihat berdasarkan
kesesuaian porsi pemberian MP ASI dengan usia bayi dan anak masih ada yang
belum sesuai dengan ketentuan pemberian MP ASI berdasarkan usia.
Berdasarkan Depkes RI (2007) dalam pemberian porsi yang tepat adalah pada
usia enam bulan beri enam sendok makan, pada usia tujuh bulan beri tujuh
sendok makan, pada usia delapan bulan beri delapan sendok makan, pada usia
sembilan bulan beri sembilan sendok makan, dan pada usia 10 bulan, diberi 10
sendok makan, dan usia selanjutnya porsi pemberiannya menyesuaikan dengan
usia anak. Data yang didapatkan sebanyak 11 bayi dan anak usia 6-24 bulan
yang diberikan MP ASI sebanyak >6 sendok porsi sekali makan, dan sebanyak
35 bayi dan anak yang diberi <6 sendok porsi sekali makan. Jadi pada penelitian
ini didapatkan hasil bahwa hanya sebanyak 11 orang bayi dan anak yang porsi
pemberian MP ASInya sudah sesuai dengan anjuran Depkes RI.
Aminah (2011), dalam bukunya menerangkan bahwa porsi makanan
hendaknya diberikan secara bertahap, berangsur mulai dari satu sendok hingga
bertambah sesuai porsi kebutuhan bayi.
77
Jenis makanan pendamping ASI (MP ASI) baik tekstur, frekuensi, dan
porsi makan harus disesuaikan dengan tahap perkembangan dan pertumbuhan
bayi dan anak usia 6-24 bulan. Kebutuhan energi dari makanan adalah sekitar
200 kkal per hari untuk bayi usia 6-8 bulan, 300 kkal per hari untuk bayi usia 9-
11 bulan, dan 550 kkal per hari untuk anak usia 12-23 bulan (Depkes, 2000),
(Bowman, BA, et al, 2001).
7. Konsistensi MP ASI
Hasil penelitian terkait konsistensi/tekstur MP ASI sebanyak 2,2% bayi
diberi MP-ASI dengan tekstur lumat, sebanyak 67,4% bayi diberi MP ASI
dengan tekstur lunak, dan sebanyak 30,4% lainnya diberi MP ASI dengan
tekstur padat. Jika dilihat berdasarkan kesesuaian konsistensi atau tekstur
pemberian MP ASI dengan usia bayi dan anak masih ada yang belum sesuai
dengan ketentuan pemberian MP ASI berdasarkan usia. Berdasarkan Kemenkes
RI (2011) pada usia 6-8 bulan, bayi seharusnya diberikan makanan lumat namun
data yang didapatkan hanya 1 bayi yang sesuai dan terdapat 11 bayi yang sudah
diberikan MP ASI dengan konsistensi lunak. Kemudian pada usia 9-11 bulan,
bayi seharusnya diberikan makanan lunak namun data yang didapatkan terdapat
13 bayi yang diberikan makanan lunak dan sesuai dengan usianya. Selanjutnya,
usia 12-24 seharusnya sudah diberi makanan keluarga (padat) namun terdapat 7
bayi dan anak yang masih diberikan makanan lunak dan terdapat 13 anak yang
diberikan makanan sudah sesuai dengan anjuran Kemenkes RI dengan diberi
makanan keluarga/padat ketika sudah waktunya. Jadi pada penelitian ini
78
didapatkan hasil, dari 46 bayi dan anak sebanyak 27 bayi dan anak yang sudah
diberikan MP ASI sesuai dengan anjuran Kemenkes RI.
Bayi mempunyai ukuran lambung yang kecil sehingga di usia 6 bulan bayi
dapat menerima makanan cair atau bubur encer yang akan cepat membuat bayi
kenyang. Sedangkan bayi berumur 6 bulan ke atas makanan dapat diberikan
berangsur-angsur makanan bertekstur lunak seperti bubur nasi hingga nasi lumat
(Depkes RI, 2011).
Konsistensi makanan yang tidak sesuai akan memacu kerja ginjal dan
organ pencernaan terlalu ekstra, karenanya jika bayi diberi makanan terlalu
padat dan keras tidak sesuai usia akan memicu terjadinya gizi kurang. Selain itu
usia di bawah 6 bulan ginjal dan sistem pencernaan bayi belum sempurna. Oleh
sebab itu makanan yang dikonsumsi bayi konsistensinya harus disesuaikan
(Larasati, 2011).
8. Cara Pemberian
Pada kelompok bayi dan anak usia 6-24 bulan sebanyak 46 bayi dan anak
terdapat 9 bayi dan anak (19,6%) yang diberikan MP ASI tahap 1 (mencuci
tangan, bahan, peralatan masak dan alat makan, memberikan makanan sesuai
tahapan usia anak, dan tidak menyimpan makanan sisa), 20 bayi dan anak
(43,5%) yang diberikan MP ASI tahap 2 (mencuci tangan, bahan, peralatan
masak, dan alat makan, memberikan makanan sesuai apa yang tersedia, dan
tidak menyimpan makanan sisa), dan 17 bayi dan anak (37,0%) yang diberikan
MP ASI tahap 3 (mencuci tangan, bahan, peralatan masak dan alat makan,
memberikan makanan sesuai keinginan anak, dan tidak menyimpan makanan
79
sisa). Hasilnya, hanya sebanyak 9 anak yang diberikan sesuai tahapan anjuran
Depkes RI. Frekuensi makan dan metode pemberian makan harus dapat
mendorong anak untuk mengonsumsi makanan secara aktif dalam jumlah yang
cukup menggunakan tangan, sendok, atau makan sendiri (disesuaikan dengan
usia dan tahap perkembangan anak).
Menurut Depkes RI (2007) pemberian makanan pendamping ASI pada
anak yang tepat dan benar adalah yaitu selalu mencuci tangan sebelum mulai
mempersiapkan makanan pada bayi atau anak, terutama bila kontak dengan
daging, telur, atau ikan mentah, dan sebelum memberi makanan pada bayi atau
anak. Selain itu, juga mencuci tangan bayi atau anak. Dan peralatan makan bayi
atau anak, seperti mangkuk, sendok, dan cangkir, harus dicuci kembali sebelum
digunakan oleh bayi atau anak.
9. Distribusi Analisis Pemilihan MP ASI, Frekuensi, Porsi, Konsistensi, dan
Cara Pemberian MP ASI yang Sesuai dan Tidak Sesuai Menurut Anjuran
Kemenkes dengan Status Gizi
Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP ASI) adalah makanan atau
minuman yang mengandung zat gizi yang diberikan kepada bayi atau anak yang
berusia lebih dari 6 bulan guna memenuhi kebutuhan zat gizi selain dari ASI
(Notoadmodjo, 2007). Hal ini dikarenakan ASI hanya mampu memenuhi dua
per tiga kebutuhan bayi pada usia 6-9 bulan, dan pada usia 9-12 bulan memenuhi
setengah dari kebutuhan bayi (Medise dan Sekartini, 2011).
Dalam pemberian MP ASI, yang perlu diperhatikan adalah usia pemberian
MP ASI, jenis MP ASI, frekuensi dalam pemberian MP ASI, porsi pemberian
80
MP ASI, dan cara pemberian MP ASI pada tahap awal. Pemberian MP ASI yang
tepat diharapkan tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi, namun juga
merangsang keterampilan makan dan merangsang rasa percaya diri pada bayi
(Depkes RI, 2005).
MP-ASI Lokal adalah makanan pendamping Air Susu Ibu yang bahan
dasarnya berasal dari bahan makanan setempat yang komposisi dan kandungan
gizinya telah disesuaikan dengan kebutuhan dan umur bayi dan anak balita umur
6-11 bulan. Penggunaan bahan makanan lokal, disamping untuk meningkatkan
berat badan balita juga untuk meningkatkan pengetahuan ibu balita untuk
menyiapkan dan menyususn menu yang baik bagi anaknya disesuaikan dengan
sosial budaya maupun bahan makanan lokal yang paling banyak di dapatkan di
daerah tempat tinggalnya (Suhardjo,1989).
MP-ASI Pabrikan adalah Makanan Pendamping Air Susu Ibu yang proses
pembuatannya diolah oleh pabrik dengan komposisi dan kandungan gizi yang
sudah disesuaikan dengan umur dan kebutuhan gizi balita. Seperti MP-ASI
Lokal, MP-ASI pabrikan juga diberikan kepada bayi dan anak balita umur 6-24
bulan dari keluarga miskin dengan tujuan untuk meningkatkan berat badan anak
balita, memperbaiki status gizi dan mempertahankan status gizi.
Berdasarkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa dari 26 bayi dan
anak yang diberikan MP ASI lokal, terdapat 4 bayi dan anak (15,4%) yang
memiliki status gizi gemuk dan sebanyak 22 bayi dan anak (84,6%) yang
memiliki status gizi normal. Dari 9 bayi dan anak yang diberikan MP ASI
pabrikan, terdapat 2 bayi dan anak (22,2%) yang memiliki status gizi gemuk dan
81
sebanyak 7 bayi dan anak (77,8%) yang memiliki status gizi normal. Dan dari 11
bayi dan anak yang diberikan MP ASI lokal dan pabrikan (campur), terdapat 4
anak dan bayi (36,4%) yang memiliki status gizi gemuk dan sebanyak 7 anak
dan bayi (63,6%) yang memiliki status gizi normal. Jika dilihat dari hasil
penelitian yang ditemukan memiliki status gizi gemuk cenderung pada anak
yang diberikan MP ASI lokal. Hal tersebut disebabkan karena pembuatan MP
ASI lokal lebih sulit dalam menentukan kebutuhan nutrisi yang sesuai dalam
penyajian, misalnya dalam hal takaran, kuantitas dan kualitas bahan itu tidak
diketahui pasti, apalagi responden memiliki jam kerja yang cukup lama sehingga
memungkinkan responden tidak memiliki waktu untuk membuat MP ASI.
Meskipun menggunakan bahan lokal merupakan salah satu proses untuk
membantu anak dalam pengenalan makanan yang beragam dan sehat namun hal
tersebut belum menjamin anak dapat tumbuh sehat karena MP ASI seharusnya
diberikan sesuai kebutuhan yang dianjurkan.
Pemberian makanan yang cukup pada periode awal kehidupan merupakan
hal yang vital bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Beberapa penelitian
telah membuktikan bahwa pemberian nutrisi dan pola konsumsi makanan
mempunyai dampak jangka panjang terhadap risiko terjadinya obesitas di
kemudian hari, juga diabetes melitus tipe 2, hipertensi dan gangguan
kardiovaskular (Fitriana dkk, 2013).
Berdasarkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa dari 27 bayi dan
anak yang diberikan MP ASI ≤3 kali sehari, semuanya memiliki status gizi
normal. Jika dilihat dari hasil penelitian yang ditemukan memiliki status gizi
82
gemuk cenderung pada anak yang diberikan MP ASI >4-5 kali sehari. Bayi dan
anak usia 6-24 bulan seharusnya diberikan MP ASI sebanyak 3 kali sehari saja,
jika berlebihan akan berdampak pada status gizi bayi.
Sejalan dengan Irianto dan Waluyo (2004), apabila dalam pemberian
makanan pendamping ASI terlalu berlebihan atau diberikan lebih dari tiga kali
sehari, maka sisa bahan makanan yang tidak digunakan untuk pertumbuhan,
pemeliharaan sel, dan energi akan diubah menjadi lemak. Sehingga apabila anak
kelebihan lemak dalam tubuhnya, dimungkinkan akan mengakibatkan alergi atau
infeksi dalam organ tubuhnya dan bisa mengakibatkan kelebihan berat badan
(obesitas).
Menurut Depkes RI (2007) frekuensi dalam pemberian makanan
pendamping ASI yang tepat biasanya diberikan tiga kali sehari. Pemberian
makanan pendamping ASI dalam frekuensi yang berlebihan atau diberikan lebih
dari tiga kali sehari, kemungkinan dapat mengakibatkan terjadinya diare.
Masalah tumbuh kembang pada bayi dan anak <2 tahun sebagian besar
dipengaruhi oleh pemberian makanan tambahan yang tidak sesuai dengan
kebutuhan bayi. Salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi bayi adalah
pemberian makanan. Pemberian makanan yang tidak sesuai dapat menyebabkan
terjadinya kekurangan gizi dan pemberian yang berlebihan akan terjadi
kegemukan (obesitas) (Septiana, 2010).
Berdasarkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa dari 4 bayi dan
anak yang diberikan MP ASI sebanyak 1-2 sendok, semuanya memiliki status
gizi normal (100%). Dari 31 bayi dan anak yang diberikan MP ASI sebanyak 3-
83
6 sendok, terdapat 4 bayi dan anak (12,9%) yang memiliki status gizi gemuk dan
sebanyak 27 bayi dan anak (87,1%) yang memiliki status gizi normal. Dan dari
11 bayi dan anak yang diberikan MP ASI sebanyak >6 sendok, terdapat 6 anak
dan bayi (54,5%) yang memiliki status gizi gemuk dan sebanyak 5 anak dan bayi
(45,5%) yang memiliki status gizi normal. Jika dilihat dari hasil penelitian yang
ditemukan memiliki status gizi gemuk cenderung pada bayi dan anak yang
diberikan MP ASI sebanyak >6 sendok.
Keadaan obesitas terjadi jika makanan sehari-harinya mengandung energi
yang melebihi kebutuhan. Biasanya terjadi pada anak yang cepat merasa lapar
dan tidak mau menahan rasa laparnya. Konsumsi makanan sehari-hari dapat
dilihat berdasarkan umur, berat badan, tinggi badan, dan jenis kelamin. Banyak
atau sedikitnya zat gizi yang dikonsumsi melalui makanan menentukan status
gizi seseorang. Dapat dikatakan bahwa konsumsi makanan merupakan faktor
langsung yang berpengaruh terhadap status gizi. Kelebihan konsumsi makanan
yang tidak diimbangi dengan pengeluaran energi yang mencukupi dan aktivitas
yang kurang menyebabkan timbulnya kegemukan/obesitas (Rahmawati, 2009).
Menurut Indiarti (2008) taraf perkembangan antara bayi yang satu dengan
bayi yang lain berbeda-beda. Berdasarkan hal tersebut ibu harus memperhatikan
sampai dimana perkembangan si kecil. Jadi banyaknya pemberian MP ASI pada
bayi harus memperhatikan keadaan pengosongan lambung bayi, sehingga jumlah
MP ASI yang diberikan sesuai dengan taraf perkembangan bayi.
Pemberian MP ASI diberikan pada anak yang berusia 6 sampai 24 bulan
secara berangsur-angsur untuk mengembangkan kemampuan mengunyah dan
menelan serta menerima macam-macam makanan dengan berbagai tekstur dan
84
rasa. Pemberian MP ASI harus bertahap dan bervariasi, mulai dari bentuk bubur
cair ke bentuk bubur kental, sari buah, buah segar, makanan lunak, makanan
lembik dan akhirnya makanan padat demi sedikit dalam bentuk encer secara
berangsur-angsur ke bentuk yang lebih kental sampai padat (Jumiyati, 2014).
Berdasarkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa dari 1 bayi dan
anak yang diberikan MP ASI lumat, semuanya memiliki status gizi normal
(100%). Dari 31 bayi dan anak yang diberikan MP ASI lunak, terdapat 7 bayi
dan anak (22,6%) yang memiliki status gizi gemuk dan sebanyak 24 bayi dan
anak (77,4%) yang memiliki status gizi normal. Dan dari 14 bayi dan anak yang
diberikan MP ASI padat/makanan keluarga, terdapat 3 anak dan bayi (21,4%)
yang memiliki status gizi gemuk dan sebanyak 11 anak dan bayi (78,6%) yang
memiliki status gizi normal. Jika dilihat dari hasil penelitian yang ditemukan
memiliki status gizi gemuk cenderung pada bayi dan anak yang diberikan MP
ASI lunak. Hal tersebut terjadi karena pada saat pemberian, ibu tidak
memperhatikan frekuensi dan porsi pemberian makanan pada bayi dan anak.
Konsistensi harus disesuaikan dengan usia pemberian karena ukuran lambung
bayi dan anak berbeda dan pencernaan bayi dan anak masih belum bisa bekerja
lebih berat. Seiring pertumbuhan usia, tekstur makanan anak akan berubah
karena semakin bertambahnya usia, pencernaan mulai menyempurna.
Konsistensi makanan yang tidak sesuai akan memacu kerja ginjal dan
organ pencernaan terlalu ekstra, karenanya jika bayi diberi makanan terlalu
padat dan keras tidak sesuai usia akan memicu terjadinya gizi kurang. Selain itu
usia di bawah 6 bulan ginjal dan sistem pencernaan bayi belum sempurna. Oleh
85
sebab itu makanan yang dikonsumsi bayi konsistensinya harus disesuaikan
(Larasati, 2011).
Pada usia di atas 6 bulan makanan yang diberikan adalah makanan lunak
(bubur nasi atau nasi yang dipirik atau dilumatkan) yang diberikan dalam bentuk
sedang (kental). Penelitian sejenis oleh Fathurrahman (2010), tentang faktor
yang berhubungan dengan pemberian MP-ASI pada bayi oleh ibu-ibu pedesaan
di Kabupaten Hulu Sungai Selatan diketahui bahwa proporsi bayi yang telah
diberi MP-ASI di pedesaan Kabupaten Hulu Sungai Selatan adalah 38,8%. Bayi-
bayi di pedesaan sudah mulai diberii MP-ASI pada bulan keempat (33%),
bahkan ada 15.0% yang diberi pada bulan ke-1. Jenis MP-ASI yang diberikan di
samping susu fomula juga diberikan makanan tradisional berupa makanan Iumat
(bubur nasi), makanan lembik (ketupat, nasi lembik). Menurut Depkes RI
(2011), anak mempunyai ukuran lambung yang kecil. Makanan cair atau bubur
encer akan cepat membuat anak kenyang.
Pada kelompok bayi dan anak usia 6-24 bulan sebanyak 46 bayi dan anak
terdapat 9 bayi dan anak (19,5%) yang diberikan MP ASI tahap 1 (mencuci
tangan, bahan, peralatan masak dan alat makan, memberikan makanan sesuai
tahapan usia anak, dan tidak menyimpan makanan sisa), 20 bayi dan anak
(43,5%) yang diberikan MP ASI tahap 2 (mencuci tangan, bahan, peralatan
masak, dan alat makan, memberikan makanan sesuai apa yang tersedia, dan
tidak menyimpan makanan sisa), dan 17 bayi dan anak (37,0%) yang diberikan
MP ASI tahap 3 (mencuci tangan, bahan, peralatan masak dan alat makan,
memberikan makanan sesuai keinginan anak, dan tidak menyimpan makanan
86
sisa). Hasilnya, hanya sebanyak 9 anak yang diberikan sesuai tahapan anjuran
Depkes RI. Frekuensi makan dan metode pemberian makan harus dapat
mendorong anak untuk mengonsumsi makanan secara aktif dalam jumlah yang
cukup menggunakan tangan, sendok, atau makan sendiri (disesuaikan dengan
usia dan tahap perkembangan anak). Pada anak yang diberikan sesuai tahapan
semuanya memiliki status gizi normal
Dalam booklet pesan utama pelatihan konseling pemberian makanan bayi
dan anak disampaikan bahwa pemberian MP ASI sebaiknya memperhatikan
PHBS untuk menghindari diare dan penyakit lainnya. Cuci tangan dengan sabun
sebelum menyiapkan makanan dan memberi makan bayi, mencuci tangan
dengan sabun setelah ke toilet dan setelah membersihkan kotoran bayi. Dan beri
makan bayi dengan tangan, peralatan dan cangkir yang bersih. Sebaiknya
gunakan sendok dan cangkir yang bersih untuk memberikan makanan dan cairan
kepada bayi. Jangan menggunakan botol, kempeng atau cangkir dot karena
peralatan tersebut sulit dibersihkan dan bisa menyebabkan bayi sakit
(Kemenkes, 2014).
Responden bukan berasal dari keluarga miskin, sedangkan tingkat
penghasilan seseorang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan. Pendapatan
yang lebih tinggi akan mendukung perbaikan kesehatan dan gizi anggota
keluarga, hal ini berkaitan dengan meningkatnya daya beli keluarga tersebut.
Pendapatan keluarga yang rendah mengakibatkan daya beli terhadap pangan
yang berkualitas menjadi rendah, akibatnya status gizi anggota keluarga
terutama anak-anak akan menurun.
87
Berdasarkan Booklet pesan utama pemberian makan bayi dan anak terkait
pemenuhan praktik pemberian MP-ASI yang tepat jumlah, frekuensi,
tekstur/kepekatan, dan porsi/jumlah, dapat diusahakan dengan bersabar dan
memberikan dorongan agar bayi ingin makan, jangan memaksa bayi untuk
makan, dan gunakan piring tersendiri untuk memastikan bayi makan semua
makanan yang diberikan.
10. Keterbatasan Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menghadapi beberapa keterbatasan yang
dapat mempengaruhi kondisi dari penelitian yang dilakukan. Adapun
keterbatasan tersebut antara lain: Peneliti tidak melakukan observasi langsung
saat pembuatan MP ASI sehingga tidak diketahui secara pasti apakah responden
membuat MP ASI sesuai dengan prosedur.
88
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. MP ASI yang paling banyak digunakan oleh ibu bekerja di wilayah kerja
Puskesmas Turikale Kab. Maros adalah MP ASI lokal (56,5%) dan yang paling
sedikit adalah MP ASI lokal-pabrikan (19,6%)
2. Frekuensi pemberian MP ASI yang terbanyak adalah 3 kali sehari (54,3%) dan
yang paling sedikit adalah 2 kali sehari (4,3%) dan terdapat 25 bayi dan anak
(54,3%) yang frekuensi pemberiannya sudah sesuai dengan anjuran dan
sebanyak 21 bayi dan anak (45,7%) yang frekuensi pemberiannya belum sesuai
anjuran dan semuanya memiliki status gizi normal.
3. Porsi pemberian MP ASI yang terbanyak adalah 3-6 sendok sekali makan
(67,4%) dan yang paling sedikit adalah 1-2 sendok sekali makan (8,7%) dan
terdapat 11 bayi dan anak (23,9%) yang porsi pemberiannya sudah sesuai
dengan anjuran. Terdapat 5 anak (45,5%) yang memiliki status gizi normal dan 6
anak (54,5%) yang memiliki status gizi gemuk .
4. Konsistensi pemberian MP ASI yang terbanyak adalah makanan lunak (67,4%)
dan yang paling sedikit adalah makanan lumat (2,2%) dan terdapat 27 bayi dan
anak yang konsistensi pemberiannya sudah sesuai dengan anjuran. Terdapat 22
anak (81,5%) yang memiliki status gizi normal dan 5 anak (18,5%) yang
memiliki status gizi gemuk.
89
5. Cara pemberian MP ASI yang terbanyak adalah tahap 2 yaitu mencuci tangan,
bahan, peralatan masak, dan alat makan, memberikan makanan sesuai apa yang
tersedia, dan tidak menyimpan makanan sisa, sebanyak 20 bayi dan anak
(43,5%). Namun yang memberikan sesuai anjuran hanya 9 bayi dan anak dan
semuanya memiliki status gizi normal.
B. Saran
1. Sebaiknya dalam melakukan penelitian terkait MP ASI selain menggunakan
kuesioner sebagai instrumen penelitian juga sebaiknya dilakukan observasi
dalam hal ini dengan meninjau langsung/melihat langsung proses pembuatan
atau pun pemberian MP ASI tersebut.
2. Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut lagi terkait dengan MP ASI.
3. Dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kandungan yang ada pada tiap MP
ASI sehingga bisa diketahui apakah MP ASI tersebut sudah sesuai untuk
dikonsumsi atau tidak untuk anak usia 6-24 bulan.
90
DAFTAR PUSTAKA
Agnes. 2008. Cakupan Program Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) Dinilai Masih
Terbata. Jakarta : Kompas.
Almatsier, S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Aminah S, Nurhidajah. 2009. Kajian Potensi Campuran Tepung Kecambah Kacang
Kacangan dan Tepung Kecambah Serealia Sebagai Formula Makanan
Pendamping ASl. Jurnal Visikes, 2009;8 (2)..
Arini. 2008. Makanan Pendamping ASI (MP-ASI). [online].
http://parentingislami.wordpress.com/2008/05/27makanan-pendamping-asi-mp-
asi/ [diakses 21 April 2017].
Atmarita, Fallah TS. 2004. Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat. [online]
www.gizi.net/kep/download/makalah-wnpg8.doc [diakses 21 April 2017].
Badan Pusat Statistik Jakarta Pusat. 2005. Pedoman Pendataan Survei Penduduk
Antar Sensus 2005. Jakarta Pusat : Badan Pusat Statistik.
Baliwati, dkk. 2004. Pengantar Pangan dan Gizi. Penebar Swadaya, Jakarta.
Barasi, M. 2007. Nutrition at a Glance. Penerjemah: Hermin. 2009. At a Glance: Ilmu
Gizi. Jakarta: Erlangga.
Bittikaka, Fransiska. 2011. Hubungan Karakteristik Keluarga, Balita dan Kepatuhan
dalam Berkunjung ke Posyandu dengan Status Gizi Balita di Kelurahan Kota
Baru Abepura Jayapura. Tesis. Depok : Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia.
Brooks, J. 2011. The Process of Parenting. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Brown, Judith et al. 2005. Nutrition Through the Life Cycle, Thomson Wadsworth;
USA.
91
Chintia. 2008. Cerdas Memberi Makanan Pendamping Bayi. [online]
http://818.blogspot.com/2008/06/cerdas-dalam-memberi-pola-makanan-html
[diakses 21 April 2017].
D, Krisnatuti & I Hastoro. 2000. Menu Sehat untuk Ibu Hamil dan Menyusui. Jakarta :
Puspa Suara.
Deba, Umar. Perbedaan Status Gizi Antara Bayi yang Diberi ASI Eksklusif dengan Bayi
yang Diberi MP ASI Dini di Puskesmas Perumnas Kota Kendari Tahun 2011.
Jurnal Selami IPS, 2011;21 (2)
Depkes RI. 2000. Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI). Jakarta : Departemen
Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial.
Depkes RI. 2004. Peranan Dokter Dalam Peningkatan Penggunaan ASI. Jakarta :
Gerakan nasional Peningkatan Penggunaan ASI..
Depkes RI. 2006. Pedoman Umum Pemberian Makanan Pendamping Air susu Ibu
(MP-ASI) Lokal. Jakarta : Direktorat Jenderal Bina Gizi Masyarakat.
Depkes RI. 2007. Pedoman Strategi KIE Keluarga Sadar Gizi (KADARZI). Jakarta :
Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Bina Gizi Masyarakat.
Depkes RI. 2007. Pedoman Umum Pemberian Makanan Pendamping ASI lokal. Jakarta
: Bakti Husada.
Dinas Kesehatan Provinsi Sulsel. 2014. Profil Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan.
Makassar : Dinkes Sulsel
Encyclopedia of Child’s Health, n. d., Working Mothers. [online] dari:
http://www.enotes.com/childrens-health-encyclopedia/working-mo. [diakses 24
April 2017].
Fertig, Angela. Gerhard, Glomm. Rusty, Tchernis. 2009. The Connection Between
Maternal Employment and Childhood Obesity: Inspecting the Mechanism. Rev
Econ Household 7: 227-255.
Fitriani. Dampak Usia Pertama Pemberian Makanan Pendamping ASI Terhadap Status
Gizi Bayi Usia 8-12 Bulan di Kecamatan Seberang Ulu I Palembang. Jurnal
Fakultas Kedokteran UNSRI, 2013;15 (4).
Gibney, M.J. 2009. Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC.
92
Glick, Peter. 2002. Women’s Employment and Its Relation to Children’s Health and
Schooling in Developing. New York : Cornell University.
Hayati, Ida, dkk. 2012. Pola Pemberian Makanan Pendamping ASI Bayi 6-11 Bulan
pada Etnis Banjar di Kelurahan Teluk Lerong Ilir. Tesis. Makassar : Pasca
Sarjana Universitas Hasanuddin.
Hertz, R. 2004. Professional and Managerial Women in Workplace. Work and
Leadership Test of Manhood.
Husaini, M. 2001. Makanan Bayi Bergizi. Cetakan VIII. Yogyakarta : Gadjah Mada.
Indiarti, M.T. 2009. Panduan Lengkap Kehamilan, Persalinan dan Perawatan Bayi.
Yogyakarta : Diglossia Media.
Irianto, K. dan Waluyo, K. 2004. Gizi dan Pola Hidup Sehat. Bandung : Yrama
Widya.
Jumiyati. 2014. Pemberian MP ASI Setelah Anak Usia 6 Bulan.
Kementerian Kesehatan RI. 2010. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Jakarta : Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Jakarta : Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI. 2013. Profil Kesehatan Tahun 2013. Jakarta selatan.
Kementerian Kesehatan RI. 2014. Pusat Data dan Informasi. Jakarta selatan.
Krisnatuti dan Yenrina. 2008. Menyiapkan Makanan Pendamping ASI. Jakarta:
Puspa Swara.
Lake, A. A. et al. 2006. Food shopping and preparation among the 30 somethings.
Whose job is it? British Food Journal, 108(6), pp.475–486.
Larasati, Widiya. 2011. Hubungan Antara Praktik Pemberian Makanan Pendamping
ASI (MP-ASI) dan Penyakit Infeksi Kaitannya dengan Status Gizi pada Bayi
Umur 6-12 Bulan. [Skripsi]. Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu
Keolahragaan Universitas Negeri Semarang.
93
Lismintari, L. 2010. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemberian Makanan
Pendamping ASI Dini Pada Bayi usia 0-6 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas
Teluk Dalam Kecamatan Tenggarong Seberang Kabupaten Tenggarong
Seberang.
Luluk. 2005. Resiko Pemberian MP ASI Terlalu Dini. [online]
http://wrmindonesia.org/content/vew/647/ [diakses 22 April 2017].
Maharany A.G., Restu. 2010. Hubungan Jenis Asupan Makanan Pendamping ASI
Dominan dengan Perkembangan Anak Usia 6 – 24 Bulan. [Skripsi]. Surakarta :
Fakultas Kedokteran Universitas Negeri Sebelas Maret.
Mawaddah. 2008. Pengetahuan, Sikap dan Praktek Gizi Serta Tingkat Konsumsi Ibu
Hamil di kelurahan Kramat Jati dan Kelurahan Ragunan Provinsi DKI Jakarta.
[online] http://google.co.id/JurnalGizidanPangan [diakses tanggal 18 April].
McIntosh, K. L.; William Bauer. 2006. Working Mothers vs Stay At Home Mothers: The
Impact on Children. Ohio : Marietta College.
Muthmainnah, Fithriatul. 2010. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pengetahuan
Ibu dalam Memberikan Makanan Pendamping Air Susu Ibu di Puskesmas
Pamulang. Jakarta : Ilmu Keperawatan Universitas Islam Negeri Syahid.
Nursalam. 2003. Konsep & Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan:
Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta :
Salemba Medika.
OECD. 2001. Labor Statistics: Working Mother., [online] dari:
http://www.nationmaster.com/graph/lab_wor_mot-labor-working-mothers
[diakses 24 April 2017].
Pibriyanti, Kartika dan Atmojo Dwi. 2014. Hubungan Tekstur Makanan Pendamping
ASI dengan Status Gizi Bayi Usia 6-12 Bulan Di Puskesmas Trucuk I
Kecamatan Trucuk Kabupaten Klaten. Semarang : STIKES Ngudi Waluyo.
Pudjiadi. (2008). Ilmu gizi pada Anak. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Rahmawati, Rita. 2014. Gambaran Pemberian MP-ASI Pada Bayi Usia Kurang Dari 6
bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan
94
Tahun 2014. [Skripsi]. Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Reynolds et.al. 2003. FI Research Summary: Fathers, Mothers, Work, And Family.
[online] http://www.fatherhoodinstitute.org/2011/fi.research-summaryfathers-
mothers-work-and-family.html [diakses pada tanggal 21 April 2017].
Rosidah, D. 2004. Pemberian Makanan Tambahan. Jakarta: EGC
Sekartini Rini, Bernie. E. Medise. Buku Pintar Bayi, Jakarta: Pustaka Bunda; 2011
Sembiring T. 2009. Ragam Pediatrik Praktis. Medan: Universitas Sumatera Utara
Press.
Septiana, Rika, dkk.. 2010. Hubungan Antara Pola Pemberian Makanan Pendamping
ASI (MP-ASI) dan Status Gizi Balita Usia 6-24 Bulan di Wilayah Kerja
Puskesmas Gedongtengen Yogyakarta. KESMAS, Vol. 4, No. 2, Tahun 2010,
76-143.
Soekirman, 2010. Ilmu Gizi dan Aplikasinya Untuk Keluarga dan Masyarakat, Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional.
Soetjiningsih. 2004. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC.
Soraya. 2005. Resiko Pemberian MP-ASI Terlalu Dini [online]
http://www.bayikita.wordpress.com [diakses 7 April 2017].
Suhardjo. 2009. Perencanaan Pangan Dan Gizi. Jakarta: Bumi Aksara.
Suhardjo, Kusharto Clara M. 1999. Prinsip-Prinsip Ilmu Gizi. Yogyakarta : Kanisius.
Suhardjo, dkk. 1986. Pangan, Gizi dan Pertanian. Jakarta : Universitas Indonesia-
Press.
Tjaja, Ratna P. 2000. Wanita Bekerja dan Implikasi Sosial. Naskah No. 20, Juni-
Juli 2000.
UNICEF. 2010. At A Glance: Indonesia. [online] dari: http://www.unicef.org [diakses
24 April 2017].
95
Vita, K., & Abas B. 2003. Studi Dampak Pemberian Makanan Pendamping Air Susu
Ibu (MP-ASI) Terhadap Tingkat Pertumbuhan Anak Umur 5 Bulan. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan, 26 (1), hal. 1-10.
Wawan dan Dewi. (2011). Teori dan Pengukuran Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku
Manusia. Yogyakarta : Nuha Medika.
WHO. 2002. Pemberian Makanan Tambahan, Jakarta: EGC.
WHO. 2011. Nutrition: Complementary Feeding. [online]
http://www.who.int/nutrition/topics/complementary_feeding/en/., [diakses 11
April 2017].
WHO. 2016. Nutrition: Complementary Feeding. [online]
http://www.who.int/nutrition/topics/complementary_feeding/en/. [diakses 11
April 2017].
Wickrama, dkk. 2013. Adolencent Family Experiences and Educational Attainment
during Early Adulthood. [online]
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2735855. [diakses tanggal 20
September 2017].
Winarno, F.G. 1990. Pangan: Gizi, Teknologi dan Konsumen. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Wulandari, Melly. 2011. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Pemberian Makanan
Prelakteal. [Skripsi]. Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Yogi. 2014. Pengaruh Pola Pemberian ASI dan Pola Makanan Pendamping ASI
Terhadap Status Gizi Bayi Usia 6-12 bulan. [online] https://scolar.google.co.id
[diakses tanggal 19 April 2017].
LAMPIRAN - LAMPIRAN
No. Responden:
Tgl. Pengisian:
KUESIONER PENELITIAN
ANALISIS MP-ASI PADA IBU BEKERJA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS
TURIKALE KABUPATEN MAROS
TAHUN 2017
A. Karakteristik Responden
1. Nama Ibu:
2. Alamat:
3. Umur Ibu:
4. Pekerjaan:
5. Pendidikan terakhir:
6. Berapa jam Ibu berada di luar rumah …… Jam (pertanyaan khusus ibu)
7. Penghasilan keluarga satu bulan terakhir… Rp. ….
8. Lokasi kerja:
9. Jarak lokasi kerja dari rumah:
B. Karakteristik Bayi
1. Nama bayi:
2. Umur:
3. BB/TB:
4. BB/PB:
B. KUESIONER TENTANG PEMILIHAN MP ASI
1. Jenis MP-ASI apakah yang anda berikan kepada anak anda?
a. MP-ASI Lokal
b. MP-ASI Pabrikan (Dapur Ibu)
c. Lainnya...
2. Mengapa ibu memberikan bayi makanan pendamping ASI?
a. Agar anak tidak rewel dan canggung
b. Untuk memenuhi kebutuhan zat gizi anak sesuai dengan
pertambahan umurnya
c. Mengatasi rasa lapar pada anak karena ASI tidak cukup
d. Merupakan anjuran dari keluarga/petugas kesehatan/teman
e. Lainnya...
(Pertanyaan no. 3 – 9 Jika menggunakan MP ASI Lokal)
3. Tekstur atau bentuk makanan seperti apakah yang anda berikan kepada
bayi anda?
a. Lumat
Contoh:
i. Nasi tim saring
ii. Bubur sum-sum
iii. Buah saring
iv. …………..(lainnya)
b. Lunak
Contoh:
i. Bubur nasi
ii. Bubur ayam
iii. Nasi tim
iv. ……………(lainnya)
c. Makanan padat/keluarga
Contoh:
i. Nasi + Lauk pauk
ii. Buah-buahan
iii. Lontong + Lauk pauk
iv. ………………(lainnya)
4. Berapa banyak biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh MP ASI dalam
sehari?
a. <Rp. 50.000,- (Nominal….)
b. Rp. 50.000,-
c. >Rp. 50.000,- (Nominal….)
d. Tidak ada
5. Bahan pokok seperti apa yang lebih sering anda gunakan untuk MP ASI
anak anda?
a. Beras
b. Ubi
c. Kentang
d. Mie
e. Lainnya….
6. Lauk pauk hewani seperti apa yang lebih sering anda gunakan untuk MP
ASI anak anda?
a. Ikan
b. Daging ayam
c. Daging sapi
d. Telur
e. Lainnya...
7. Lauk pauk nabati seperti apa yang lebih sering anda gunakan untuk MP
ASI anak anda?
a. Tahu
b. Tempe
c. Tauco
d. Kacang-kacangan (kacang hijau, kacang merah, dsb)
e. Lainnya...
8. Sayuran seperti apa yang lebih sering anda gunakan untuk MP ASI anak
anda?
a. Sayuran daun (bayam, kangkung, sawi dsb.)
b. Sayuran umbi (kentang, wortel, lobak, dsb.)
c. Biji-bijian (kacang polong, jagung, petai, dsb.)
d. Sayuran bunga (brokoli, bunga kol, dsb.)
e. Lainnya…
9. Buah-buahan seperti apa yang lebih sering anda gunakan untuk MP ASI
anak anda?
a. Pisang
b. Pepaya
c. Apel
d. Melon
e. Lainnya...
(Pertanyaan no. 11 – 14 Jika menggunakan MP ASI Pabrikan )
10. Berasal dari manakah MP ASI Pabrikan yang ibu berikan kepada anak?
a. Program pemerintah (dari puskesmas setempat, dsb.)
b. Dibeli sendiri oleh ibu
c. Lainnya…
11. Apa jenis MP ASI Pabrikan yang ibu berikan kepada anak?
a. Biscuit
b. Bubur instan
c. Lainnya….
12. Apa merk MP ASI Pabrikan yang ibu berikan?
a. Milna
b. Promina
c. Nestle
d. SUN
e. Lainnya…
13. Tekstur atau bentuk makanan seperti apakah yang anda berikan kepada
bayi anda?
a. Lumat
b. Lunak
c. Makanan padat/keluarga
14. Berapa banyak biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh MP ASI dalam
sehari?
a. <Rp. 50.000,- (Nominal…)
b. Rp. 50.000,-
c. >Rp. 50.000,- (Nominal…)
d. Tidak ada
15. Bagaimana cara ibu mengolah MP ASI?
a. Masak
b. Mengukus
c. Menggoreng
d. Menyeduh
e. Lainnya...
16. Berapa kali anda memberikan makanan utama kepada bayi anda setiap
harinya?
a. 2 kali sehari
b. 3 kali sehari
c. >4-5 kali sehari
d. ……………..
17. Apakah anda memberikan makanan selingan selain dari makanan utama
pada bayi anda?
a. Ya
b. Tidak
18. Jika iya, berapa kali anda memberikan makanan selingan untuk anak anda
dalam sehari?
a. 2 kali sehari
b. 3 kali sehari
c. >3 kali sehari
d. ……………..
19. Berapa banyak porsi makanan yang anda berikan kepada bayi anda dalam
sekali makan?
a. 1-2 sendok makan penuh
b. 3-6 sendok makan penuh
c. >6 sendok makan penuh
d. ……………..(lainnya)
20. Bagaimana tahapan cara pemberian yang anda lakukan pada saat memberi
MP ASI?
a. Tahap 1 (Mencuci tangan, bahan, peralatan masak dan alat makan,
memberikan makanan sesuai tahapan usia anak, dan tidak
menyimpan makanan sisa).
b. Tahap 2 (Mencuci tangan, bahan, peralatan masak, dan alat makan,
memberikan makanan sesuai apa yang tersedia, dan tidak
menyimpan makanan sisa).
c. Tahap 3 (Mencuci tangan, bahan, peralatan masak dan alat makan,
memberikan makanan sesuai keinginan anak, dan tidak menyimpan
makanan sisa).
21. Alat makan apa yang digunakan untuk memberikan MP ASI kepada bayi?
a. Menggunakan tangan saja
b. Menggunakan sendok makan khusus bayi
c. Menggunakan sendok makan biasa
d. Lain-lain, sebutkan…
22. Siapa yang memberikan MP ASI kepada anak anda?
a. Ibu
b. Ayah
c. Keluarga yang lain
d. Lainnya...
23. Apa alasan ibu dalam memilih makanan yang diberikan kepada bayi?
a. Karena makanan tersebut sudah tersedia
b. Karena kepercayaan turun-temurun
c. Karena anjuran dari petugas kesehatan
d. Lainnya...
24. Apakah ada jenis makanan yang dipantangkan bagi bayi ibu?
a. Ada (Jika ada, sebutkan)
b. Tidak ada
HASIL ANALISIS DATA SPSS
Kategori_umur
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
20-25 tahun 1 2.2 2.2 2.2
26-30 tahun 8 17.4 17.4 19.6
31-35 tahun 28 60.9 60.9 80.4
36-40 tahun 6 13.0 13.0 93.5
>40 3 6.5 6.5 100.0
Total 46 100.0 100.0
Kategori_penghasilan
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
< 3 juta 7 15.2 15.2 15.2
> 3 juta 39 84.8 84.8 100.0
Total 46 100.0 100.0
Pendidikan
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
S1 31 67.4 67.4 67.4
S2 3 6.5 6.5 73.9
SMA/Sederajat 4 8.7 8.7 82.6
DIII 7 15.2 15.2 97.8
DII 1 2.2 2.2 100.0
Total 46 100.0 100.0
Pekerjaan
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
PNS (Guru) 8 17.4 17.4 17.4
PNS (Petugas Kesehatan) 10 21.7 21.7 39.1
PNS (Pemda) 28 60.9 60.9 100.0
Total 46 100.0 100.0
Jenis_kelamin
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
Laki-laki 20 43.5 43.5 43.5
Perempuan 26 56.5 56.5 100.0
Total 46 100.0 100.0
umur_bayi
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
6-8 12 26.1 26.1 26.1
9-11 14 30.4 30.4 56.5
12-24 20 43.5 43.5 100.0
Total 46 100.0 100.0
umur_bayi * Z_Score Crosstabulation
Z_Score Total
-2 SD s.d. 2 SD
(Normal)
> 2 SD (Gemuk)
umur_bayi
6-8 Count 9 3 12
% within umur_bayi 75.0% 25.0% 100.0%
9-11 Count 10 4 14
% within umur_bayi 71.4% 28.6% 100.0%
12-24 Count 17 3 20
% within umur_bayi 85.0% 15.0% 100.0%
Total Count 36 10 46
% within umur_bayi 78.3% 21.7% 100.0%
umur_bayi * Z_Score Crosstabulation
Z_Score Total
-2 SD s.d. 2 SD
(Normal)
> 2 SD (Gemuk)
umur_bayi
6-8 Count 9 3 12
% within umur_bayi 75.0% 25.0% 100.0%
9-11 Count 10 4 14
% within umur_bayi 71.4% 28.6% 100.0%
12-24 Count 17 3 20
% within umur_bayi 85.0% 15.0% 100.0%
Total Count 36 10 46
% within umur_bayi 78.3% 21.7% 100.0%
umur_bayi * Jenis MP ASI Crosstabulation
Jenis MP ASI Total
MP-ASI Lokal MP-ASI
Pabrikan
Lainnya
umur_bayi
6-8 Count 3 6 3 12
% within umur_bayi 25.0% 50.0% 25.0% 100.0%
9-11 Count 3 3 8 14
% within umur_bayi 21.4% 21.4% 57.1% 100.0%
12-24 Count 20 0 0 20
% within umur_bayi 100.0% 0.0% 0.0% 100.0%
Total Count 26 9 11 46
% within umur_bayi 56.5% 19.6% 23.9% 100.0%
umur_bayi * Tekstur makanan Crosstabulation
Tekstur makanan Total
Lumat Lunak Makanan
padat/makanan
keluarga
umur_bayi
6-8 Count 1 11 0 12
% within umur_bayi 8.3% 91.7% 0.0% 100.0%
9-11 Count 0 13 1 14
% within umur_bayi 0.0% 92.9% 7.1% 100.0%
12-24 Count 0 7 13 20
% within umur_bayi 0.0% 35.0% 65.0% 100.0%
Total Count 1 31 14 46
% within umur_bayi 2.2% 67.4% 30.4% 100.0%
umur_bayi * Frekuensi pemberian Crosstabulation
Frekuensi pemberian Total
2 kali sehari 3 kali sehari >4-5 kali sehari
umur_bayi
6-8 Count 1 8 3 12
% within umur_bayi 8.3% 66.7% 25.0% 100.0%
9-11 Count 1 5 8 14
% within umur_bayi 7.1% 35.7% 57.1% 100.0%
12-24 Count 0 12 8 20
% within umur_bayi 0.0% 60.0% 40.0% 100.0%
Total Count 2 25 19 46
% within umur_bayi 4.3% 54.3% 41.3% 100.0%
umur_bayi * Porsi makanan dalam sekali makan Crosstabulation
Porsi makanan dalam sekali makan Total
1-2 sendok 3-6 sendok >6 sendok
makan sendok
umur_bayi
6-8 Count 3 6 3 12
% within umur_bayi 25.0% 50.0% 25.0% 100.0%
9-11 Count 0 11 3 14
% within umur_bayi 0.0% 78.6% 21.4% 100.0%
12-24 Count 1 14 5 20
% within umur_bayi 5.0% 70.0% 25.0% 100.0%
Total Count 4 31 11 46
% within umur_bayi 8.7% 67.4% 23.9% 100.0%
umur_bayi * Tahapan cara pemberian yang anda lakukan pada saat memberi MP ASI Crosstabulation
Tahapan cara pemberian yang anda lakukan pada
saat memberi MP ASI
Total
Tahapan 1 Tahapan 2 Tahapan 3
umur_bayi
6-8 Count 2 7 3 12
% within umur_bayi 16.7% 58.3% 25.0% 100.0%
9-11 Count 3 6 5 14
% within umur_bayi 21.4% 42.9% 35.7% 100.0%
12-24 Count 4 7 9 20
% within umur_bayi 20.0% 35.0% 45.0% 100.0%
Total Count 9 20 17 46
% within umur_bayi 19.6% 43.5% 37.0% 100.0%
DOKUMENTASI PENELITIAN
RIWAYAT HIDUP
A. Data Pribadi
1. Nama : Syahruni Fadilah
2. Tempat / Tgl Lahir : Babang / 12 Juli 1996
3. Jenis Kelamin : Perempuan
4. Suku / Bangsa : Bugis / Indonesia
5. Agama : Islam
6. Alamat : BTP Blok C no. 114
7. E-mail : syahrunif.12@gmail.com
8. No. HP : 0821-8754-5028
B. Riwayat Pendidikan
1. Pendidikan Formal
a. TK Islam Al-Ikhlas Ende, Nusa Tenggara Timur
b. SDN 81 Langkanae (sekarang SDN 12) Palopo, Sulawesi Selatan
c. MTsN Model Palopo, Sulawesi Selatan
d. SMAN 3 Palopo, Sulawesi Selatan
e. Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan
2. Pendidikan Non Formal
a. Forum Mahasiswa Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Hasanuddin Makassar
b. Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Hasanuddin Makassar
c. Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Kesehatan Masyarakat Universitas
Hasanuddin Makassar Cabang Makassar Timur
d. Purna Paskibraka Indonesia Sulawesi Selatan
e. Ikatan Lembaga Mahasiswa Gizi Indonesia
top related