sintesis tersier-butil eugenol dari eugenol … · dilakukan menurut reaksi alkilasi friedel craft,...
Post on 31-Mar-2019
229 Views
Preview:
TRANSCRIPT
i
SINTESIS TERSIER-BUTIL EUGENOL DARI EUGENOL DENGAN TERSIER-BUTIL KLORIDA MENGGUNAKAN KATALIS ALUMINIUM
KLORIDA DENGAN VARIASI SUHU PEMANASAN
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperolah Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh:
Prasetya Jati NIM : 06 8114 144
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2010
ii
SINTESIS TERSIER-BUTIL EUGENOL DARI EUGENOL DENGAN TERSIER-BUTIL KLORIDA MENGGUNAKAN KATALIS ALUMINIUM
KLORIDA DENGAN VARIASI SUHU PEMANASAN
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperolah Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh:
Prasetya Jati NIM : 06 8114 144
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2010
iii
iv
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
“Aku iki dalané marang Gusti Allah lan Aku sing nuduhaké,
Gusti Allah kuwi sapa lan kepriyé kaanané;
Aku uga sing mènèhi urip marang manungsa.
Ora ana wong siji waé sing bisa sowan marang Sang Rama, yèn ora
lantaran Aku.”
Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada
Bapa, kalau tidak melalui Aku
(Yohanes 14:6)
Kupersembahkan karya ini untuk:
Bapak, Ibu, Nendya, dan Oline, terimakasih untuk semuanya.
vi
vii
PRAKATA
Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas anugrah dan karya
indah-Nya melalui penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Sintesis Tersier-Butil Eugenol Dari Eugenol Dengan Tersier-Butil
Klorida Menggunakan Katalis Aluminium Klorida Dengan Variasi Suhu
Pemanasan”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Strata Satu Program Studi Ilmu Farmasi (S.Farm.) di Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta.
Penulisan skripsi ini tidak akan pernah lepas dari bantuan, saran, dorongan
dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada :
1. Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta.
2. Dra. Maria Margaretha Yetty Tjandrawati, M.Si. selaku dosen pembimbing
yang bersedia untuk mengarahkan dan membantu penulis sehingga skripsi ini
dapat terselesaikan.
3. Jeffry Julianus, M.Si selaku dosen penguji atas pengarahan, saran, dan kritiknya
selama penelitian maupun penyusunan skripsi.
4. Lucia Wiwid Wijayanti, M.Si. selaku dosen penguji atas waktu, bantuan dan
saran yang telah diberikan.
5. Yohanes Dwiatmaka, S.Si., M.Si. selaku Kepala Laboratorium Fakultas
Farmasi Universitas Sanata Dharma.
viii
6. Seluruh staf laboratorium di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta terutama Pak Parlan, Mas Bimo, dan Mas Kunto, terimakasih atas
bantuannya selama penelitian berlangsung.
7. Bapak, Ibu, Nendya, Oline, dan seluruh keluarga besar tercinta. Terimakasih
untuk doa, semangat, dan dukungannya selama penyusunan skripsi ini.
8. Keluarga Prasodjo dan Sukrisno terimakasih atas bantuan dan dukungan selama
penyusunan skripsi ini.
9. Vita, Handa, Marissa, dan Linda, tim seperjuangan yang hebat. Terimakasih
untuk semangat, bantuan, dan dukungannya
10. Thomplink, Angel, Rudi, Lulu, Oktav, dan Mbak Dita terimakasih untuk
semangat, kegilaan dan kebersamaannya selama ini.
11. Teman-teman kos Progresif; Anton, Aan, Jimbong, dan Pungki. Sukses selalu
untuk kita semua.
12. Teman-teman Farmasi Angkatan 2006, terutama minat FST 2006 yang tidak
dapat penulis sebut satu per satu. Terimakasih untuk semangat kalian selama
di farmasi. Semoga selalu sukses.
13. Teman-teman KKN Palihan XXXVIII dan seluruh warga Dusun Palihan,
terutama; Mbah Joyo, Mas Aga, dan Mas Bayu. Sukses selalu untuk kita
semua.
14. Semua pihak dalam perjalanan hidup penulis yang selalu menjadi inspirasi
bagi penulis.
ix
15. Semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan yang tidak
dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunana skripsi ini masih terdapat
banyak kekurangan. Oleh karena itu, sumbangan pemikiran, saran dan kritik yang
membangun akan sangat diharapkan. Akhir kata penulis memohon maaf atas
segala kekurangan dan mudah mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi
pembaca.
Penulis,
x
xi
SINTESIS TERSIER-BUTIL EUGENOL DARI EUGENOL DENGAN TERSIER-BUTIL KLORIDA MENGGUNAKAN KATALIS ALUMINIUM
KLORIDA DENGAN VARIASI SUHU PEMANASAN
INTISARI
Penambahan gugus meruah didekat gugus hidroksi dapat meningkatkan aktivitas antioksidan. Sintesis tersier-butil eugenol dilakukan untuk meningkatkan aktivitas antioksidan dari eugenol. Sintesis dilakukan dengan mereaksikan eugenol dengan tersier-butil klorida menggunakan katalis Aluminium klorida (AlCl3). Variasi suhu pemanasan dilakukan untuk mendapatkan suhu pemanasan yang optimal selama proses sintesis t-butil eugenol sehingga didapatkan jumlah senyawa hasil sintesis yang optimal.
Penelitian ini termasuk penelitian eksperimental murni. Proses sintesis dilakukan menurut reaksi alkilasi Friedel Craft, dengan cara mereaksikan suatu eugenol dengan t-butil klorida dengan menggunakan katalis AlCl3. Reaksi sintesis dilakukan selama 3 jam. Suhu pemanasan divariasikan menjadi 400C, 600C, dan 800C. Hasil sintesis kemudian diuji organoleptis, Kromatografi Lapis Tipis (KLT), dan Kromatografi Gas (GC) – Spektroskopi Massa (MS). Uji KLT dilakukan dengan lempeng silika gel 60 GF254, fase gerak toluena : etilasetat (93:7) dan dideteksi dengan sinar UV254 nm. Hasil uji KLT menunjukkan adanya bercak senyawa baru pada hasil sintesis dengan suhu pemanasan 600C, sedangkan pada suhu 400C dan 800C tidak diperoleh bercak senyawa baru. Hasil GC-MS menunjukkan terbentuk tersier-butil eugenol pada pada hasil sintesis pada suhu pemanasan 600C. Jadi tersier-butil eugenol dapat disintesis dari eugenol dengan t-butil klorida menggunakan katalis AlCl3 dan variasi suhu pemanasan mempengaruhi jumlah t-butil eugenol yang dihasilkan.
Kata kunci: t-butil eugenol, Friedel Craft, variasi suhu pemanasan
xii
SINTESIS TERSIER-BUTIL EUGENOL DARI EUGENOL DENGAN TERSIER-BUTIL KLORIDA MENGGUNAKAN KATALIS ALUMINIUM
KLORIDA DENGAN VARIASI SUHU PEMANASAN
ABSTRACT Adding of large groups near the hydroxy group can increase the
antioxidant activity. Synthesis of tertiary-butyl eugenol done to improve the antioxidant activity of eugenol. Synthesis carried out by reacting eugenol with tertiary-butyl chloride using aluminum chloride catalyst (AlCl3). Heating temperature variations made to obtain the optimum heating temperature during the synthesis of t-butyl eugenol, so get the optimal yield.
This experiment is an experimental method. Synthesis process is based on Friedel Craft alkilasi reaction, by reacting a eugenol with t-butyl chloride with AlCl3 as catalyst. Synthesis reaction carried out during 6 hours. Heating temperature was varied to 400C, 600C, and 800C.
The results of synthesis and then tested organoleptis, Thin Layer Chromatography (KLT), and Gas Chromatography (GC) - Mass Spectroscopy (MS). KLT test performed with plates silica gel 60 GF254, motion phase toluene: etilasetat (93:7) and detected by UV254 nm light. KLT test result indicates a new compound spots on the synthesis by heating temperature 600C, whereas at temperature 400C and 800C did not obtain a new compound spots. GC-MS results show tertiary-butyl formed eugenol on the synthesis of the heating temperature 600C. So tertiary-butyl eugenol can be synthesized from eugenol with t-butyl chloride with AlCl3
as catalyst, heating temperature variations affect the amount of tertiary-butyl eugenol produced.
Keywords: tertiary-butyl eugenol, Friedel Craft, heating temperature variation
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING iii
HALAMAN PENGESAHAN iv
HALAMAN PERSEMBAHAN v
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI vi
PRAKATA vii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA x
INTISARI xi
ABSTRACT xii
DAFTAR ISI xiii
DAFTAR TABEL xvi
DAFTAR GAMBAR xvii
DAFTAR LAMPIRAN xix
BAB I. PENGANTAR 1
A. Latar Belakang 1
1. Permasalahan 3
2. Keaslian Penelitian 3
3. Manfaat Penelitian 4
B. Tujuan Penelitian 4
BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA 5
A. Antioksidan 5
xiv
B. Eugenol 7
C. Aluminium Klorida 8
D. Tersier-Butil Klorida 9
E. Pelarut 10
F. Reaksi Friedel-Craft 11
G. Uji Organoleptis 13
H. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) 13
I. Kromatografi Gas 15
J. Spektrometri massa (MS) 16
K. Program Image J 18
L. Landasan Teori 18
M. Hipotesis 20
BAB III. METODE PENELITIAN 21
A. Jenis dan Rancangan Penelitian 21
B. Variabel 21
C. Definisi Operasional 21
D. Bahan Penelitian 22
E. Alat Penelitian 22
F. Tata Cara Penelitian 22
1. Sintesis t-butil klorida dari t-butanol dan asam klorida (HCl) 22
2. Sintesis t-butil eugenol dengan katalis Aluminium Klorida 23
3. Analisis hasil 24
a. Perhitungan jumlah senyawa hasil sintesis 24
xv
b. Uji organoleptis 24
c. Kromatografi lapis Tipis (KLT) 24
d. Elusidasi Struktur dengan spektrometri massa 25
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 26
A. Sintesis tersier-butil klorida 26
B. Sintesis tersier-butil eugenol 28
C. Analisis hasil 31
1. Uji organoleptis 31
2. Kromatografi lapis Tipis (KLT) 32
3. Elusidasi struktur senyawa hasil sintesis 38
4. Perhitungan jumlah senyawa hasil sintesis 44
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 49
A. Kesimpulan 49
B. Saran 49
DAFTAR PUSTAKA 50
LAMPIRAN 52
BIOGRAFI PENULIS 66
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Hasil pemeriksaan organoleptis senyawa hasil sintesis dan
starting material 31
Tabel 2. Data Rf eugenol dan senyawa hasil sintesis 38
Tabel 3. Data AUC eugenol dan senyawa hasil sintesis 47
xvii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Reaksi penghambatan radikal primer terhadap radikal lipida
6
Gambar 2. Antioksidan bertindak sebagai proksidan 7
Gambar 3. Struktur eugenol 7
Gambar 4. Diagram keadaan energi 9
Gambar 5. Struktur dietil eter 11
Gambar 6. Contoh reaksi Friedel-Craft 12
Gambar 7. Reaksi eugenol dengan t-butil klorida 13
Gambar 8. Instrumen kromatografi gas 15
Gambar 9. Mekanisme reaksi pembentukan t-butil klorida 27
Gambar 10. Reaksi penetralan asam klorida 28
Gambar 11. Reaksi AlCl3 dengan t-butil klorida ketika larutan didiamkan
semalam 29
Gambar 12. Reaksi sintesis t-butil eugenol dari eugenol dan t-butil klorida
dengan katalis AlCl3 30
Gambar 13. Ikatan hidrogen eugenol dengan silika gel 35
Gambar 14. Ikatan hidrogen senyawa hasil sintesis dengan silika gel 35
Gambar 15. KLT senyawa hasil sintesis 36
Gambar 16. KLT senyawa hasil sintesis dan katalis AlCl3 37
Gambar 17. Kromatogram senyawa hasil sintesis dengan kromatografi gas
39
xviii
Gambar 18. Spektrum massa senyawa pada peak nomor 23 dengan waktu
retensi 12,242 menit 40
Gambar 19. Penembakan molekul senyawa hasil sintesis dengan elektron
berenergi tinggi 41
Gambar 20. Fragmentasi kation t-butil (C4H9+) (m/z = 57) 42
Gambar 21. Fragmentasi kation C3H5+ (m/z = 41) 43
Gambar 22. Tersier-butil eugenol masih berikatan dengan katalis 44
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Perhitungan bahan 53
Lampiran 2. Penimbangan AlCl3 54
Lampiran 3. KLT senyawa hasil sintesis 55
Lampiran 4. KLT senyawa hasil sintesis dan katalis AlCl3 56
Lampiran 5. Kondisi GC-MS 57
Lampiran 6. Hasil elusidasi struktur dengan Kromatografi Gas 58
Lampiran 7. Spektrum massa senyawa hasil sintesis 59
Lampiran 8. Perhitungan nilai Rf 60
Lampiran 9. Hasil AUC dengan program Image J (Eugenol, pemanasan 400
C, dan 600 C) 61
Lampiran 10. Hasil AUC dengan program Image J (Eugenol dan
pemanasan 800 C) 62
Lampiran 11. Hasil AUC dengan program Image J (Pemanasan 600
C dan
bercak baru senyawa hasil sintesis) 63
Lampiran 12. Hasil AUC dengan program Image J 64
Lampiran 13. Perhitungan jumlah senyawa hasil sintesis 65
1
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Saat ini berbagai macam penyakit dapat timbul seperti kanker,
kardiovaskuler, penyumbatan pembuluh darah, stroke, dan penuaan dini yang
salah satu penyebabnya disebabkan oleh terjadinya proses oksidasi radikal bebas
di dalam tubuh. Oleh karena itu sangat diperlukan suatu senyawa yang dapat
menangkap atau menetralkan proses oksidasi radikal bebas, salah satunya adalah
senyawa antioksidan. Senyawa antioksidan diperlukan oleh tubuh untuk
menetralkan radikal bebas dan mencegah kerusakan yang ditimbulkannya
terhadap sel normal, protein dan lemak. Senyawa antioksidan menstabilkan
radikal bebas dengan cara mendonorkan radikal hidrogennya untuk melengkapi
elektron yang dimiliki oleh suatu radikal bebas. Hal ini dapat menghambat
terjadinya reaksi berantai dari pembentukan radikal bebas yang dapat memberikan
tekanan oksidatif terhadap sel-sel tubuh.
Telah banyak penelitian dilakukan untuk mendapatkan senyawa
antioksidan. Salah satu senyawa yang memiliki aktivitas antioksidan adalah
eugenol. Senyawa ini banyak terkandung pada tanaman cengkeh yang banyak
terdapat di Indonesia. Hal ini mendorong pemanfaatan eugenol sebagai
antioksidan karena kemudahannya untuk didapatkan di Indonesia. Walaupun
demikian aktivitas eugenol sebagai senyawa antioksidan ternyata masih rendah,
2
sehingga perlu dilakukan modifikasi senyawa untuk menghasilkan turunan
eugenol yang mempunyai aktivitas antioksidan lebih baik.
Pada penelitian ini, dilakukan modifikasi eugenol menjadi tersier-butil
eugenol untuk meningkatkan aktivitas antioksidannya. Penambahan gugus t-butil
pada posisi orto dari gugus hidroksi fenolik bertujuan untuk meningkatkan
aktivitas antioksidan eugenol. Pada sebuah penelitian, telah terbukti bahwa
penambahan gugus meruah didekat gugus hidroksi dapat meningkatkan aktivitas
antioksidan (Ogata et al., 2000). Penambahan gugus yang meruah seperti t-butil
didekat gugus hidroksi fenolik dapat dilihat pada senyawa BHT (Butylated
Hidroxytoluene) ternyata mempunyai aktivitas antioksidan lebih baik. Karena itu,
sintesis t-butil eugenol dilakukan dengan menambahkan gugus meruah pada posisi
orto dari gugus hidroksi eugenol.
Proses sintesis tersier-butil eugenol dapat dilakukan berdasarkan reaksi
alkilasi Friedel Craft, yaitu dengan cara mereaksikan suatu benzen dengan alkil
halida dengan menggunakan katalis Aluminium klorida (Fessenden dan
Fessenden, 1986). Dalam sintesis ini, digunakan starting material eugenol dan t-
butil klorida yang direaksikan menggunakan katalis AlCl3.
Pengaruh suhu pemanasan terhadap laju reaksi adalah apabila suhu pada
suatu reaksi dinaikkan, maka menyebabkan partikel semakin aktif bergerak,
sehingga tumbukan yang terjadi semakin sering, menyebabkan laju reaksi
Faktor-faktor yang
berpengaruh dalam reaksi alkilasi Friedel Craft, diantaranya adalah penggunaan
katalis, suhu, dan lama pemanasan. Dalam penelitian ini dilakukan optimasi pada
suhu pemanasan.
3
semakin besar. Hal ini disebabkan karena adanya pemanasan akan memberikan
energi yang meningkatkan pergerakan molekul starting material sehingga kontak
atau tumbukan antar starting material makin besar dan mempercepat reaksi
pembentukan senyawa target. Dalam reaksi alkilasi Friedel Craft diperlukan suhu
optimal agar dihasilkan senyawa hasil sintesis dalam jumlah optimum. Oleh
karena itu, dalam penelitian ini dilakukan variasi suhu pemanasan untuk
mengetahui pada suhu mana dihasilkan t-butil eugenol dalam jumlah terbanyak.
1. Permasalahan
Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, masalah yang muncul
dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Apakah t-butil eugenol dapat disintesis dari eugenol dengan t-butil
klorida menggunakan katalis Aluminium klorida (AlCl3
b. Apakah variasi suhu pemanasan dapat mempengaruhi jumlah
senyawa t-butil eugenol yang dihasilkan?
)?
2. Keaslian Penelitian
Sejauh pengamatan penulis, penelitian tentang sintesis t-butil eugenol dari
eugenol dan t-butil klorida menggunakan katalis aluminium klorida dengan variasi
suhu pemanasan belum pernah dilakukan.
3. Manfaat Penelitian
4
Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu
kefarmasian tentang sintesis t-butil eugenol dari eugenol dan t-butil klorida
menggunakan katalis aluminium klorida.
Secara praktis, penelitian ini bermanfaat dalam hal memberikan data
mengenai pengaruh suhu pemanasan terhadap jumlah senyawa t-butil eugenol
yang dihasilkan.
B. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui apakah t-butil eugenol dapat disintesis dari eugenol dengan t-butil
klorida menggunakan katalis Aluminium klorida (AlCl3
)
2. Mengetahui pengaruh variasi suhu pemanasan terhadap jumlah senyawa t-butil
eugenol yang dihasilkan.
5
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Antioksidan
Antioksidan adalah senyawa yang mempunyai struktur molekul yang
dapat memberikan elektronnya kepada molekul radikal bebas tanpa terganggu
sama sekali dan dapat memutus reaksi berantai dari radikal bebas. Antioksidan
juga didefinisikan sebagai senyawa yang dapat menunda, memperlambat, dan
mencegah proses oksidasi lipid. Antioksidan mampu menunda dan mencegah
terjadinya reaksi antioksidasi radikal bebas dalam oksidasi lipid (Anonim, 2009).
Sumber-sumber antioksidan dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu:
a. Antioksidan sintetik : Antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesa
reaksi kimia, contohnya tokoferol, Butylated hydroxytoluene (BHT),
Butylated hydroxyanisole (BHA), dan propil galat.
b. Antioksidan alami : Antioksidan hasil ekstraksi bahan alami,
contohnya golongan flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin dan
lain-lain (Ardiansyah, 2007).
Sebagai senyawa yang dapat menstabilkan radikal bebas, antioksidan memiliki 2
cara kerja. Cara pertama sebagai pendonor radikal hidrogen. Mekanisme kerja
senyawa ini mampu memberikan radikal hidrogen secara cepat ke radikal lipida
(R*, ROO*) atau mengubahnya ke bentuk lebih stabil, sementara turunan radikal
antioksidan (A*) tersebut memiliki keadaan lebih stabil daripada radikal
lipida.Sedangkan cara kedua merupakan fungsi sekunder antioksidan, yaitu
6
memperlambat laju autooksidasi dengan berbagai mekanisme di luar mekanisme
pemutusan rantai autooksidasi dengan pengubahan radikal lipida ke bentuk lebih
stabil (Ardiansyah,2007). Beberapa kriteria senyawa antioksidan diantaranya
adalah memiliki kelarutan yang tinggi dalam lipida, efektif dalam jumlah realtif
sedikit, toksisitas rendah, dan radikal yang terbentuk harus lebih stabil daripada
radikal bebasnya (Puspita-Nienaber dkk., 1997).
Penambahan antioksidan (AH) primer dengan konsentrasi rendah pada
lipida dapat menghambat atau mencegah reaksi autooksidasi lemak dan minyak.
Penambahan tersebut dapat menghalangi reaksi oksidasi pada tahap inisiasi
maupun propagasi (gambar 1). Radikal-radikal antioksidan (A*) yang terbentuk
pada reaksi tersebut relatif stabil dan tidak mempunyai cukup energi untuk dapat
bereaksi dengan molekul lipida lain membentuk radikal lipida baru. Besar
konsentrasi antioksidan yang ditambahkan dapat berpengaruh pada laju oksidasi.
Pada konsentrasi tinggi, aktivitas antioksidan grup fenolik sering lenyap bahkan
antioksidan tersebut menjadi prooksidan (gambar 2).
Inisiasi : R* + AH → RH + A*
Propagasi : ROO* + AH → ROOH + A*
Gambar 1. Reaksi penghambatan antioksidan primer terhadap radikal lipida
7
AH + O2
H3COHO
→ A* + HOO*
AH + ROOH → RO* + H2O + A*
Gambar 2. Antioksidan bertindak sebagai prooksidan
(Ardiansyah, 2007)
B. Eugenol
Eugenol merupakan senyawa berbentuk cairan tidak berwarna atau
berwarna kuning-pucat, dapat larut dalam alkohol, eter dan kloroform. Senyawa
ini termasuk turunan guaiakol yang mendapat tambahan rantai alil, dikenal dengan
nama IUPAC 2-metoksi-4-(2’-propenil) fenol. Eugenol sedikit larut dalam air
namun mudah larut pada pelarut organik (Anonim, 1986). Hal ini memenuhi salah
satu kriteria antioksidan, dimana eugenol dapat larut ke dalam lipid, sehingga
dapat bekerja efektif dalam menangkal radikal bebas.
Gambar 3. Struktur Eugenol
Eugenol merupakan salah satu senyawa alami yang memiliki aktivitas
antioksidan. Secara struktural, eugenol merupakan jenis senyawa yang yang
8
memiliki kemampuan untuk menangkap radikal bebas, sehingga dapat memutus
rantai reaksi radikal. Proses ini menghasilkan senyawa yang lebih stabil dari
radikal bebasnya. Gugus dalam struktur eugenol yang berperan sebagai
penangkap radikal bebas adalah gugus hidroksi (-OH). Hal ini didasarkan pada
senyawa fenolik lain seperti kurkumin yang juga memiliki aktivitas antioksidan
dikarenakan nilai bond dissociation enthalpies (BDEs) gugus O-H fenoliknya
lebih rendah 5,04 Kkal/mol daripada nilai BDEs C-H metilen 116,07 Kkal/mol.
Sehingga atom H dari gugus –Oh fenoliknya lebih mudah diabstraksi daripada
abstraksi atom H dari C-H metilen (Sun et al., 2002).
Modifikasi struktur eugenol dilakukan untuk meningkatkan aktivitas
antioksidan dari eugenol. Penambahan gugus meruah didekat gugus hidroksi
fenolik dapat meningkatkan aktivitas antioksidan (Ogata et al., 2000). Modifikasi
dilakukan dengan menambahkan suatu gugus yang meruah yaitu t-butil pada
posisi orto dari gugus hidroksi fenolik eugenol.
C. Aluminium Klorida
Aluminium Klorida (AlCl3) berupa serbuk putih pada kondisi masih
murni, memiliki bau yang kuat seperti HCl, higroskopis dan larut dalam pelarut
organik, seperti etanol dan eter. Memiliki berat molekul 133,34 (Anonim,1989).
AlCl3 adalah garam logam anhidrat yang merupakan asam lewis. Asam
lewis adalah zat yang dapat menerima sepasang elektron. AlCl3 merupakan asam
lewis yang umum digunakan dalam reaksi alkilasi Friedel Craft (Fessenden dan
Fessenden, 1986).
9
Katalis adalah suatu zat yang mempercepat suatu laju reaksi, namun bahan
ini secara kimiawi, tidak berubah pada akhir reaksi. Penggunaan katalis
memberikan perubahaan yang berarti pada energi aktivasi. Energi aktivasi adalah
energi minimum yang dibutuhkan untuk memulai suatu reaksi kimia. Biasanya
dilambangkan Ea, dengan satuan kilo joule/mol. Dengan adanya katalis maka
suatu reaksi akan memiliki energi aktivasi yang lebih rendah. Gambaran keadaan
energi dengan adanya katalis dapat dilihat pada diagram di bawah ini:
Gambar 4. Diagram keadaan energi
(Anonim, 2004)
D. Tersier-Butil Klorida
Tersier-butil klorida memiliki nama kimia 2-kloro-2-metilpropana
berbentuk cairan dengan berat molekul 92,57, berat jenis 0,847, dan titik didih
51,00 C. Tersier-butil klorida larut dalam air, alkohol, dan eter (Anonim, 1989).
10
Tersier-butil klorida merupakan senyawa alkil halida. Ada 4 tipe alkil halida,
yaitu: metil, primer, sekunder, dan tersier. Tipe alkil halida ini akan
mempengaruhi tipe kestabilan karbokation yang terbentuk, karena karbokation
tidak stabil dan dengan cepat bereaksi lebih lanjut. Dalam suatu karbokation,
karbon yang bermuatan positif adalah suatu pusat elektropositif. Rapatan elektron
dari ikatan-ikatan sigma digeser ke arah karbon positif. Geseran rapatan ini
menciptakan muatan positif parsial (sebagian) pada atom-atom yang berdekatan.
Muatan parsial positif ini mempolarisasi ikatan-ikatan sigma berikutnya. Dengan
cara ini muatan positif karbokation agak disebar, dan karbokation itu terstabilkan.
Gugus alkil mengandung lebih banyak atom dan elektron daripada sebuah atom
hidrogen. Semakin banyak gugus alkil terikat pada atom karbon bermuatan
positif, berarti makin banyak atom yang dapat membantu membagi muatan positif
itu dan membantu menstabilkan karbokation (Fessenden dan Fessenden, 1986).
E. Pelarut
Dalam reaksi organik, pengaruh dari pelarut yang digunakan merupakan
hal penting. Pelarut dalam reaksi organik dapat dibagi menjadi tiga, yakni:
a. Protik
Merupakan pelarut yang berfungsi sebagai pendonor proton, gugus –OH
ataupun –NH, dan termasuk turunan alkohol, amina, asam karboksilat, dan air.
Senyawa ini memiliki momen dipol dan kapasitas ikatan hidrogen yang besar.
b. Dipolar aprotik
11
Pelarut ini memiliki momen dipol dan sifat pendonor yang besar. Contohnya
adalah dimetil sulfoksida, alkil sianida, amina sekunder, dan keton.
c. Non-polar Aprotik
Pelarut ini memiliki momen dipol yang kecil, tidak memiliki proton asam
ataupun sifat donor maupun akseptor. Pelarut ini juga memiliki gaya
intermolekular yang lemah. Contohnya adalah senyawa hidrokarbon,
halokarbon, dan eter (Isaacs, 1995).
Dalam sintesis t-butil eugenol digunakan pelarut dietil eter yang termasuk
pelarut non-polar aprotik. Dietil eter memiliki momen dipol yang kecil, terlihat
dari strukturnya yang simetris.
H3C
H2C
O
H2C
CH3
Gambar 5. Struktur dietil eter
Dietil eter memiliki bobot molekul 74, 12, titik didih 34,40 C, dan berat jenis
0,714. Berwujud cairan (bening), bau khas, mudah menguap, dan mudah terbakar
(Anonim, 2008).
F. Reaksi Friedel Craft
Reaksi alkilasi atau penambahan suatu gugus alkil ke dalam cincin benzen
dapat dilakukan berdasarkan reaksi alkilasi Friedel-Craft dengan menggunakan
katalis asam Lewis seperti Aluminium Klorida. Alkilasi Friedel-Craft merupakan
substitusi suatu gugus alkil pada cincin benzen yang akan mengaktifkan cincin
12
sehingga substitusi kedua juga dapat terjadi. Maka biasanya digunakan
senyawa aromatik berlebih ( Fessenden dan Fessenden,1986).
+ (CH3)2CHClAlCl3
CH(CH3)2
CH(CH3)2(H3C)2HC
Gambar 6. Contoh Reaksi Friedel-Craft
Penambahan gugus t-butil dalam eugenol dapat dilakukan berdasarkan
reaksi Friedel-Craft. Dalam reaksi tersebut, eugenol direaksikan dengan t-butil
klorida dengan katalis AlCl3
Adanya gugus hidroksi pada eugenol yang bersifat sebagai aktifator dan
pengarah orto – para maka gugus t-butil akan masuk pada posisi orto dari gugus
hidroksi. Posisi para dari gugus hidroksi tidak dapat dimasuki gugus t-butil karena
sudah diduduki gugus lain, yaitu gugus propenil. Karakteristik utama pada seluruh
gugus pengaktivasi adalah kemampuannya memberikan elektron-elektron pada
cincin benzen, yang membuat cincin benzen semakin kaya elektron dan dengan
cepat mampu menstabilkan karbokation, sehingga menurunkan energi aktivasi
dari reaksi (McMurry, 2008).
. Gugus t-butil akan masuk pada posisi orto dari
gugus hidroksi sehingga dengan adanya tambahan gugus t-butil tersebut akan
meningkatkan kemeruahan gugus didekat gugus -OH fenolik pada eugenol.
13
H3CO
HO+ C
CH3
CH3
H3C ClAlCl3
H3CO
HO
C CH3H3C
CH3
t-butil eugenol
+ AlCl4
eugenol t-butil klorida
Gambar 7. Reaksi eugenol dengan t-butil klorida
Optimasi proses sintesis perlu dilakukan agar diperoleh jumlah senyawa t-
butil eugenol yang optimal. Reaksi alkilasi Friedel-Craft sangat bergantung pada
penggunaan katalis, suhu, dan lama pemanasan.
G. Uji Organoleptis
Uji organoleptis bertujuan untuk mengetahui sifat fisik dari senyawa hasil
sintesis, meliputi bentuk, warna, bau dan rasa. Uji ini dilakukan dengan
membandingkan senyawa hasil sintesis dengan starting material yang digunakan.
Uji ini merupakan uji paling sederhana, dapat dilakukan tanpa bantuan alat. Dari
hasil pemeriksaan organoleptis dapat diketahui jika senyawa hasil sintesis berbeda
dengan senyawa awal (starting material) maka disimpulkan telah dihasilkan
senyawa yang baru (Anonim, 1995).
H. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) digunakan untuk dua tujuan, pertama
sebagai metode untuk mencapai hasil uji kualitatif, kuantitatif, dan preparatif,
kedua untuk menjajaki system pelarut dan system penyangga yang akan dipakai
dalam kromatografi kolom atau kromatografi cair kinerja tinggi.
14
Kromatografi lapis tipis dapat digunakan untuk mengidentifikasi
komponen tertentu. Teknik ini sering dilakukan dengan lempeng kaca atau plastik
yang dilapisi dengan fase diam. Senyawa yang akan dianalisis ditotolkan pada
dasar lempengan yang dilapisi fase diam dan dielusi dengan fase gerak yang akan
bergerak naik oleh karena gaya kapilaritas (Bresnick, 2004).
Jika fase diam bersifat polar maka senyawa yang bersifat polar akan
melekat lebih kuat pada lempeng daripada senyawa non polar akibat interaksi
tarik-menarik dipol-dipol. Senyawa non polar kurang melekat pada fase diam
polar sehingga terelusi lebih cepat. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan
bahwa jarak rambat senyawa pada lempengan dapat digunakan sebagai cerminan
polaritas suatu senyawa (Bresnick, 2004).
Fase diam yang digunakan berupa serbuk halus yang berfungsi sebagai
permukaan penyerap atau berfungsi sebagai permukaan penyangga untuk lapisan
zat cair. Fase diam yang biasa digunakan adalah silika gel (asam silika), alumina
(aluminium oksida), selulosa, kiselgur (tanah diatom). Sedangkan untuk fase
gerak dapat digunakan segala macam pelarut, didasarkan pada pustaka yang ada
atau dari hasil percobaan dengan variasi tingkat kepolaran (Gritter dkk, 1991).
Identifikasi senyawa-senyawa yang dipisahkan dengan kromatografi lapis
tipis lebih baik dikerjakan dengan pereaksi kimia dan reaksi-reaksi warna. Tetapi
lazimnya menggunakan harga Retardation factor (Rf). Harga-harga Rf untuk
senyawa-senyawa murni dapat dibandingkan dengan harga standar
(Sastrohamidjojo, 1991).
15
Nilai Rf diperoleh dari perbandingan jarak yang ditempuh oleh bercak
senyawa yang diidentifikasi dengan jarak yang ditempuh pelarut (jarak
pengembangan), Rf didefinisikan dalam satuan panjang yang lazim digunakan
(Gritter dkk, 1991).
Untuk mengidentifikasi bercak yang ada pada lempeng KLT dapat
dilakukan menempatkan lempeng KLT dibawah sinar UV atau dengan
menyemprotkan larutan yang dapat bereaksi dengan senyawa sehingga dapat
menimbulkan warna (Bresnick, 2004).
I. Kromatografi Gas
Kromatografi gas merupakan instrumen analitis yang memberikan
informasi baik kualitatif maupun kunatitatif mengenai komponen dari suatu
sampel. Sampel akan mengalami proses pemisahan dalam kolom, kemudian
dideteksi dan direkam sebagai pita elusi (Day and Underwood, 1996).
Secara umum instrument dari kromatografi gas adalah sebagai berikut :
Gambar 8. Instrumen Kromatografi gas
16
Data kromatografi gas biasanya terdiri atas waktu retensi berbagai komponen
campuran. Waktu retensi diukur mulai dari titik penyuntikan sampai titik
maksimum puncak dan sangat khas untuk senyawa tertentu pada kondisi tertentu
(kolom, suhu, gas pembawa, laju aliran). Adanya komponen tertentu dapat
diidentifikasikan dengan cara spiking apabila tersedia senyawa murninya.
Senyawa murni ditambahkan ke dalam cuplikan yang diduga mengandung
senyawa yang diinginkan dan dikromatografi. Jika puncak yang sesuai diperkuat
secara simetris pada dua sistem fase diam yang berlainan dan kepolarannya
berbeda, komponen itu mungkin ada (Gritter, 1991).
J. Spektrometri Massa (MS)
Spektroskopi massa merupakan suatu teknik yang digunakan dalam
penentuan suatu massa dan juga berat molekul suatu senyawa. Untuk
mendapatkan informasi yang mungkin mengenai struktur suatu senyawa dapat
dilakukan dengan mengukur massa dari fragmen-fragmen ketika molekul
mengalami pemecahan (McMurry, 2004).
Tabrakan antara sebuah molekul organik dengan salah satu elektron
berenergi tinggi yang menyebabkan lepasnya sebuah elektron dari molekul
tersebut dan membentuk ion organik. Ion organik yang dihasilkan dari
penembakan elektron berenergi tinggi ini tidak stabil dan pecah menjadi fragmen
kecil, baik berbentuk radikal bebas maupun ion-ion lain. Dalam sebuah
spektometri massa, hanya fragmen bermuatan positif yang akan dideteksi.
Spektrum massa adalah grafik antara kelimpahan relatif fragmen bermuatan
17
positif lawan perbandingan massa/muatan (m/z). Muatan ion dari kebanyakan
partikel yang terdeteksi dalam spektrum massa adalah +1. Nilai m/z ion semacam
ini sama dengan massanya. Dari segi praktis, spektrum massa adalah rekaman dari
massa partikel lawan kelimpahan relatif partikel tesebut.
Suatu molekul atau ion pecah menjadi fragmen-fragmen bergantung pada
kerangka karbon dan gugus fungsional yang ada. Oleh karena itu, struktur dan
massa fragmen memberikan petunjuk mengenai struktur molekul induknya. Selain
itu, spektrum massa digunakan juga untuk menentukan bobot molekul suatu
senyawa (Fessenden dan Fessenden, 1986).
Untuk pembuatan spektrum massa hanya dibutuhkan sekitar 1µg hingga
0,5 mg zat. Pada spektroskopi massa, proses yang terjadi adalah sebagai berikut:
(1) Ionisasi molekul pada bagain mana akan terbentuk hasil ionisasi bermuatan
positif, (2) Mempercepat ion positif melalui medan magnet, (3) Pemisahan ion
bedasarkan perbandingan massanya terhadap muatan (m/e), (4) Identifikasi dan
registrasi ion tersebut.
Proses ionisasi, senyawa yang menguap dalam vakum tinggi ditembak
dengan elektron. Dalam hal ini, elektron akan terlempar keluar dari molekul.
Akan diperoleh kation-molekul bermautan positif tunggal atau ganda. Bagian dari
kation-molekul ini pada waktu bertemu dengan elektron akan menerima sejumlah
energi tinggi yang akan menyebabkan penguraian lebih lanjut menjadi fragmen
yang lebih kecil (fragmentasi).
18
K. PROGRAM IMAGE J
Image J adalah sebuah program dari The National Institute of Health
(NIH) yang memungkinkan Anda untuk menganalisis ukuran partikel dalam foto.
Analisis dapat dilakukan terhadap ukuran butir dan distribusi di bagian lintas
material dan menggunakan informasi tersebut untuk menentukan beberapa sifat
mekanik dari sistem (Anonim, 2009).
Program ini merupakan program grafis yang cukup mudah dan telah
dipilih karena kemudahan penggunaan bagi komputer berbasis kegiatan
pencitraan yang terintegrasi di dalam buku. Kode sumbernya tersedia secara
bebas, sehingga pengguna memiliki kebebasan penuh untuk menjalankan,
menyalin, mendistribusikan, mempelajari, mengubah dan meningkatkan kinerja
perangkat lunak Pada tingkat yang lebih mendasar ini memungkinkan pengguna
untuk mengumpulkan operasi pencitraan bersama di makro, yang disimpan
sebagai file teks dan mudah untuk menulis, mengedit dan debug (Anonim, 2009).
L. Landasan Teori
Reaksi alkilasi Friedel Craft adalah reaksi alkilasi atau penambahan suatu
gugus alkil ke dalam cincin benzen menggunakan katalis asam Lewis seperti
Aluminium Klorida. Reaksi ini sangat bergantung pada kondisi tertentu, seperti
penggunaan katalis, suhu, dan lama pemanasan.
Eugenol merupakan salah satu senyawa alami yang memiliki aktivitas
antioksidan. Aktivitas antioksidan dan kemampuan dari eugenol menangkap
radikal bebas dipengaruhi oleh gugus hidroksi fenolik pada eugenol. Modifikasi
19
struktur eugenol dengan penambahan gugus t-butil pada posisi orto dari gugus
hidroksi fenolik eugenol dapat meningkatkan aktivitas antioksidan eugenol.
Modifikasi struktur eugenol ini dilakukan dengan reaksi alkilasi Friedel Craft
dengan katalis asam lewis. Reaksi yang terjadi adalah penambahan gugus t-butil
ke dalam cincin benzen dari senyawa eugenol, dengan menggunakan katalis
Aluminium klorida.
Gugus hidroksi fenolik pada eugenol merupakan gugus aktifator dan
merupakan pengarah orto-para, sehingga gugus t-butil akan masuk pada posisi
orto dari gugus hidroksi. Gugus t-butil tidak akan masuk pada posisi para dari
gugus hidroksi fenolik eugenol. Karena pada posisi ini sudah diduduki gugus lain
yaitu, gugus propenil dan posisi orto yang lain sudah diduduki gugus metoksi.
Reaksi alkilasi Friedel-Craft sangat bergantung pada kondisi tertentu,
seperti penggunaan katalis, suhu, dan lama pemanasan. Salah satu faktor yaitu
suhu pemanasan akan mempengaruhi jumlah senyawa t-butil eugenol yang
dihasilkan. Hal ini dikarenakan suhu akan mempengaruhi kecepatan reaksi dan
kecepatan terbentuknya senyawa target. Sehingga makin tinggi suhu maka
kecepatan reaksi dan kecepatan terbentuknya senyawa target akan semakin
meningkat dan mempengaruhi jumlah senyawa t-butil eugenol yang dihasilkan.
20
M. Hipotesis
1. Tersier-butil eugenol dapat disintesis dari eugenol dengan t-butil klorida
menggunakan katalis Aluminium klorida (AlCl3
).
2. Variasi suhu pemanasan mempengaruhi jumlah senyawa t-butil eugenol yang
dihasilkan.
21
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam penelitian eksperimental karena ada
perlakuan terhadap subjek uji, yaitu eugenol.
B. Variabel dan Definisi Operasional
1. Variabel penelitian
a. Variabel bebas pada penelitian ini adalah suhu pemanasan 400 C, 600 C,
dan 800
b. Variabel tergantung pada penelitian ini adalah jumlah senyawa t-butil
eugenol karena merupakan obyek yang kehadirannya akibat reaksi antara
eugenol dengan t-butil klorida.
C.
c. Variabel pengganggu terkendali pada penelitian ini adalah lama
pemanasan dan kondisi peralatan.
2. Definisi operasional
a. Starting material adalah senyawa awal yang digunakan dalam proses
sintesis dengan tujuan untuk mendapatkan senyawa yang kita inginkan.
Starting material dalam penelitian ini adalah eugenol dan t-butil klorida.
b. Molekul target adalah senyawa akhir yang dihasilkan melalui proses reaksi
starting material dengan katalis. Molekul target dalam penelitian ini adalah
t-butil eugenol.
22
c. Katalis adalah senyawa yang digunakan untuk mempercepat reaksi
pembentukan molekul target. Katalis yang digunakan dalam penelitian ini
adalah alumunium klorida.
C. Bahan Penelitian
Eugenol (p.a., Sigma), t-butil klorida (p.a., Merck), alumunium klorida
(p.a., Merck), aquadest, etil asetat (p.a., Merck), toluena (p.a., Merck), dan silika
gel 60 GF254
D. Alat Penelitian
(Merck).
Alat yang digunakan meliputi alat-alat gelas, perangkat alat refluks,
perangkat kromatografi lapis tipis, pemanas elektrik (Heidolph MR2002),
timbangan elektrik (Mextler PM 100), mikropipet (Socorex Swiss), termometer,
thermopan (electrothermal 9100), kromatografi gas-spektrometer massa
(Shimadzu QP 2010S), dan lampu UV254
E. Tata Cara Penelitian
nm.
1. Sintesis t-butil klorida dari t-butanol dan asam klorida (HCl)
Tersier-butanol 15 ml dicampurkan dengan asam klorida (HCl) 40 ml
dalam erlenmeyer. Kemudian campuran diaduk dengan stirer (400rpm/menit)
selama 15 menit. Campuran dimasukkan dalam corong pisah dan diambil fase
atasnya. Cuci dengan 6 ml larutan Natrium Klorida jenuh, 6 ml larutan Natrium
23
bikarbonat, dan 6 ml larutan Natrium Klorida jenuh secara berturut-turut dan
diambil lapisan atasnya.
2. Sintesis t-butil eugenol dengan katalis aluminium klorida (AlCl3)
a. Aluminium Klorida 4,3336 g dilarutkan dalam dietil eter 100 ml dalam labu
alas bulat. Kemudian tambahkan t-butil klorida sebanyak 3,6 ml ke dalam
labu alas bulat. Campuran dibiarkan selama 1 malam. Eugenol 1 ml
ditambahkan pada campuran di atas dan dipanaskan pada suhu 400 C
selama 3 jam.
b. Aluminium Klorida 4,3336 g dilarutkan dalam dietil eter 100 ml dalam
labu alas bulat. Kemudian tambahkan t-butil klorida sebanyak 3,6 ml ke
dalam labu alas bulat. Campuran dibiarkan selama 1 malam. Eugenol 1 ml
ditambahkan pada campuran di atas dan dipanaskan pada suhu 600 C
selama 3 jam.
c. Aluminium Klorida 4,3336 g dilarutkan dalam dietil eter 100 ml dalam labu
alas bulat. Kemudian tambahkan t-butil klorida sebanyak 3,6 ml ke dalam
labu alas bulat. Campuran dibiarkan selama 1 malam. Eugenol 1 ml
ditambahkan pada campuran di atas dan dipanaskan pada suhu 800 C
selama 3 jam.
24
3. Analisis hasil
a. Perhitungan jumlah senyawa hasil sintesis
Setiap proses sintesis dihitung jumlahnya dan dibandingkan sehingga
dapat diperoleh suatu proses sintesis yang menghasilkan jumlah senyawa
t-butil eugenol yang optimal. Jumlah senyawa hasil sintesis dihitung
dengan program Image J.
b. Uji organoleptis
Senyawa hasil sintesis diamati warna, bau dan bentuk dan dibandingkan
dengan eugenol. Adanya perbedaan sifat fisis senyawa hasil sintesis
dengan eugenol menunjukkan telah terbentuknya senyawa baru yang
berbeda dengan starting material eugenol.
c. Kromatografi lapis tipis (KLT)
Eugenol 1 ml diencerkan dengan dietil eter100 ml digunakan sebagai baku
pembanding. Baku pembanding dan ketiga senyawa hasil sintesis
sebanyak 15 µl ditotolkan pada lempeng silika gel 60 GF254 dengan
mikropipet, kemudian dielusi dengan fase gerak toluena : etil asetat (93:7)
dengan jarak elusi 15 cm dan dideteksi dengan sinar UV254 nm. Amati
bercak yang terdapat pada lempeng KLT. Bandingkan harga Rf senyawa
hasil sintesis dengan harga Rf eugenol. Jika harga Rf senyawa hasil
25
sintesis berbeda dengan harga Rf
d. Elusidasi struktur dengan spektrometri massa
eugenol, maka didapatkan senyawa baru
yang berbeda dengan eugenol.
Senyawa hasil sintesis diidentifikasi strukturnya dengan
menggunakan spektroskopi massa. Masing-masing spektrum yang
dihasilkan dapat digunakan untuk menyimpulkan struktur senyawa hasil
sintesis.
Senyawa hasil sintesis dimasukkan ke dalam kamar pengion pada
spektrometer masa untuk ditembak dengan seberkas elektron sehingga
terfragmentasi. Fragmen-fragmen tersebut melewati lempeng pemercepat
ion dan didorong menuju tabung analisator, dimana partikel-partikel akan
dibelokkan ke dalam medan magnet dan menimbulkan arus pada kolektor
yang sebanding dengan kelimpahan relatif setiap fragmennya. Kelimpahan
relatif setiap fragmen akan dicatat dan menghasilkan data spektrum massa.
Dari data spektrum yang dihasilkan tersebut, dilakukan interpretasi
sehingga dapat diperoleh struktur senyawa hasil sintesis.
26
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Sintesis Tersier-Butil Klorida
Salah satu starting material dalam sintesis tersier-butil eugenol adalah
tersier-butil klorida. Senyawa ini disintesis dengan mereaksikan t-butanol dan
asam klorida (HCl). Mekanisme reaksi ini terdiri dari dua tahap. Pada tahap
pertama HCl akan terionisasi menjadi ion H+ dan Cl-, ion H+ yang terbentuk akan
memprotonasi gugus hidroksi pada t-butanol sehingga terbentuk gugus pergi yang
lebih baik. Selanjutnya terjadi pemutusan ikatan pada t-butanol dan diperoleh
karbokation t-butil dan H2O. Pada tahap pertama energi aktivasi yang dibutuhkan
dalam pemutusan ikatan ini tinggi sehingga reaksi berlangsung lambat. Kemudian
pada tahap kedua akan terjadi reaksi antara karbokation t-butil dengan ion Cl-
yang tersisa membentuk t-butil klorida. Pada tahap kedua ini energi aktivasi yang
dibutuhkan untuk reaksi antara karbokation t-butil dan ion Cl- kecil sehingga
reaksi berlangsung lebih cepat. Sintesis t-butil klorida dilakukan berdasarkan
reaksi SN1 (substitusi, nukleofilik, unimolekular). Reaksi pembentukkan t-butil
klorida adalah sebagai berikut:
27
HCl H + Cl
C OHH3C + H C OH3CH
HCH3C + H2O
CH3C + Cl C ClH3C
Tahap kedua :
Tahap pertama :
t-butanol
t-butil klorida
CH3
CH3
CH3
CH3
CH3
CH3
CH3
CH3
CH3
CH3
Gambar 9. Mekanisme reaksi pembentukkan tersier-butil klorida
Produk yang dihasilkan dari pencampuran t-butanol dan HCl adalah
produk dengan dua fase. Fase yang diambil adalah fase atas karena fase ini
merupakan t-butil klorida yang terbentuk, sedangkan fase bawah merupakan
campuran air dan HCl yang tersisa. Setelah kedua fase dipisahkan maka kemudian
fase atas dicuci dengan larutan natrium klorida (NaCl) jenuh dan larutan natrium
bikarbonat (NaHCO3) jenuh. Larutan NaCl jenuh berfungsi sebagai “drying
agent”, yaitu untuk menarik air yang masih terjebak dalam produk t-butil klorida
yang dihasilkan. Sedangkan larutan NaHCO3 jenuh berfungsi untuk menetralkan
HCl yang tersisa pada produk t-butil klorida tersebut. Reaksinya :
28
Gambar 10. Reaksi penetralan asam klorida
Dai hasil sintesis tersebut diperoleh senyawa t-butil klorida yang kemudian
digunakan sebagai salah satu starting material pada sintesis t-butil eugenol.
B. Sintesis Tersier-Butil Eugenol
Sintesis tersier-butil eugenol dilakukan dengan cara mereaksikan eugenol
dan tersier-butil klorida menggunakan katalis Aluminium Klorida. Reaksi sintesis
dilakukan dengan refluks menggunakan pendingin Alihn, dengan menggunakan
refluks maka uap dari starting material akan terkondensasi pada kondensor bola
menjadi molekul-molekul cairan dan kemudian akan turun bereaksi kembali. Oleh
karena itu kondisi refluks membantu menjaga kesempurnaan proses reaksi karena
dapat mempertahankan kestabilan thermodinamika dari sistem yang ada.
Hasil penimbangan Aluminium Klorida dilarutkan dalam dietil eter 100
ml, dipilih pelarut dietil eter karena AlCl3 melarut baik dalam dietil eter. Selain
itu pelarut dietil eter termasuk pelarut non-polar aprotik, sifat dari perlarut ini
adalah inert karena gaya intermolekulernya lemah sehingga tidak akan bereaksi
dengan reaktan. Hal ini penting karena pelarut pada penelitian kali ini berfungsi
sebagai pelarut katalis. Katalis awalnya berbentuk serbuk padatan, agar
mempercepat saat bereaksi dengan t-butil klorida yang bentuknya cair. Maka
AlCl3
NaHCO3 + HCl NaCl + H2O + CO2
dilarutkan dalam eter terlebih dahulu agar bentuknya sama-sama cair. Jika
29
pelarut yang digunakan tidak bersifat inert, pelarut seperti ini bisa mendonorkan
protonnya sehingga akan mempengaruhi hasil sintesis.
Aluminium Klorida berfungsi untuk sebagai katalis yang dapat
mempercepat laju reaksi dan bahan ini tidak berubah pada akhir reaksi. AlCl3
Selanjutnya larutan dimasukkan dalam labu alas bulat dan ditambahkan t-
butil klorida. Kemudian dilakukan penggojogan yang bertujuan memberi energi
kinetik untuk mempercepat reaksi. Larutan ini didiamkan selama semalam. Reaksi
yang berlangsung ketika larutan didiamkan selama satu malam adalah:
Gambar 11. Reaksi AlCl
dapat mempercepat laju reaksi karena membantu terbentuknya karbokation yang
optimal pada atom C tersier dari gugus alkil t-butil klorida. Prinsipnya adalah
suatu reaksi dapat terjadi jika partikel-partikel bertumbukan dengan energi yang
cukup. Energi minimum untuk mencapai suatu reaksi disebut energi aktivasi.
Agar laju reaksi meningkat maka perlu penurunan energi aktivasi, salah satunya
dengan pemakaian katalis.
3
Setelah AlCl
dengan t-butil klorida ketika larutan didiamkan semalam
3 direaksikan semalaman dengan t-butil klorida, proses
selanjutnya adalah ditambahkan eugenol dan dilakukan proses refluks. Ketika
AlCl3
AlCl4C
CH3
CH3
Cl CH3
t-butil kloridaAluminum klorida
AlCl3 C
CH3
CH3
Cl CH3AlCl3 C
CH3
CH3
CH3+
direaksikan semalaman dengan t-butil klorida, maka akan terbentuk
karbokation, sehingga ikatan rangkap pada posisi orto dari gugus –OH eugenol
30
akan lebih mudah menyerang C tersier dari gugus t-butil. Dalam proses refluks
kali ini air sebagai pendingin diganti dengan air es, hal ini bertujuan agar uap dari
starting material akan cepat terkondensasi kembali pada kondensor bola menjadi
molekul-molekul cairan. Sehingga akan kembali turun menuju labu alas bulat
bereaksi kembali.
Adanya gugus hidroksi pada eugenol yang bersifat sebagai aktifator dan
pengarah orto – para maka gugus t-butil akan masuk pada posisi orto dari gugus
hidroksi. Posisi para dari gugus hidroksi tidak dapat dimasuki gugus t-butil
karena sudah diduduki gugus lain, yaitu propenil. Reaksinya adalah sebagai
berikut:
Gambar 12. Reaksi sintesis t-butil eugenol dari eugenol dan t-butil klorida dengan katalis AlCl
H
CCH3
CH3
+
H3CO
HO
H3CO
HO
CCH3
CH3
H3C
H3CO
HO
C CH3H3C
CH3
AlCl4
AlCl3 + HCl
+
H3CO
HO
C CH3H3C
CH3
+
eugenolkarbokation t-butil
t-butil eugenol
CH3
3
31
Reaksi sintesis tertier-butil eugenol merupakan reaksi alkilasi Friedel-
Craft dengan menggunakan katalis asam Lewis yaitu AlCl3
Pemeriksaan
. Dalam reaksi ini
terjadi substitusi dengan gugus alkil pada cincin benzen. Karakteristik utama
gugus pengaktivasi, seperti gugus hidroksi pada eugenol adalah kemampuannya
memberikan elektron-elektron pada cincin benzen, yang membuat cincin benzen
semakin kaya elektron. Sehingga ketika eugenol bereaksi dengan karbokation t-
butil maka dengan cepat karbokation akan terstabilkan.
C. ANALISIS HASIL
1. UJI ORGANOLEPTIS
Uji pendahuluan yang dilakukan hanyalah uji organoleptis. Hasil
pemeriksaan organoleptis senyawa hasil sintesis dibandingkan dengan eugenol
adalah sebagai berikut:
Tabel I. Hasil pemeriksaan organoleptis senyawa hasil sintesis dan starting material
Senyawa hasil
sintesis
Eugenol t-butil
klorida
AlCl3
Bentuk Cair Cair Cair Serbuk
Warna Ungu kehitaman Kuning muda Bening/tidak
berwarna
Kuning
Muda
Bau Menyengat Khas cengkeh Menyengat Tidak
berbau
32
Dari hasil pemeriksaan organoleptis senyawa hasil sintesis memiliki
bentuk, warna, dan bau yang berbeda dengan senyawa awal yaitu eugenol dan t-
butil klorida. Hal ini telah menunjukkan bahwa senyawa yang dihasilkan telah
berbeda dengan senyawa awal. Untuk mengetahui apakah senyawa yang
dihasilkan adalah t-butil eugenol maka dilakukan uji selanjutnya.
2. KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS
Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan salah satu metode kromatografi
yang dapat digunakan untuk mengetahui kemurnian suatu senyawa hasil sintesis.
Fase diam yang digunakan dalam kromatografi lapis tipis kali ini adalah silika gel
60 GF254
Silika gel 60 GF
dan fase geraknya toluena : etilasetat (93:7), jarak pengelusian 15 cm.
Bercak hasil elusi kemudian dideteksi di bawah sinar UV 254. Pembading yang
digunakan adalah baku eugenol, digunakan eugenol karena tersier-butil eugenol
merupakan senyawa baru, sehingga belum ada senyawa baku tersier-butil eugenol
yang dapat digunakan sebagai pembanding. Jika terdapat bercak baru yang
berbeda dengan eugenol, bercak tersebut dapat dianggap sebagai senyawa baru.
Kemudian dapat dilakukan uji dengan kromatografi gas (GC) - spektroskopi
massa (MS) untuk menentukan apakah telah terbentuk tersier-butil eugenol atau
belum.
254 sebagai fase diam mengandung Gips (CaSO4)
berfungsi untuk melekatkan silika gel pada lempeng KLT, pada silika juga
mengandung indikator yang dapat berfluoresensi pada panjang gelombang 254
nm. Adanya indikator fluororesensi akan menyebabkan bercak senyawa mudah
33
terdeteksi, hal ini karena akan terjadi peredaman pada becak dengan latar
belakangnya berfluororesensi hijau terang. Peredaman terjadi karena senyawa
hasil sintesis yaitu tersier-butil eugenol dan eugenol memiliki ikatan rangkap
terkonjugasi atau gugus kromofor. Ketika dilakukan deteksi bercak, sinar UV
akan diabsorbsi oleh kedua senyawa tersebut, hal inilah yang disebut sebagai
peredaman bercak karena sinar UV 254 nm tidak dapat mengenai indikator
fluororesensi dan tidak ada cahaya yang dipancarkan pada bercak tersebut. Fase
gerak yang digunakan adalah toluena : etilasetat (93:7) dipilih fase gerak ini
karena dari hasil orientasi, fase gerak inilah yang paling optimal memisahkan
bercak senyawa hasil sintesis dengan bercak eugenol. Fase gerak toluena :
etilasetat sifatnya lebih non polar dibanding fase diam silika gel GF 254. Sehingga
senyawa yang bersifat lebih non polar akan lebih cenderung terbawa fase gerak.
Senyawa hasil sintesis yang diharapkan lebih non polar dari eugenol, karena
adanya tambahan gugus t-butil, sehingga diprediksikan akan terbentuk bercak di
atas bercak eugenol.
Hasil Rf senyawa hasil sintesis yang diperoleh pada suhu 600 C (Gambar
15 bercak B) adalah 0, 74 dan Rf eugenol sebesar 0, 62 keduanya berwarna
keunguan. Bercak yang dihasilkan setelah pengelusian merupakan bercak tunggal,
namun dari hasil KLT ini belum menunjukkan bahwa senyawa hasil sintesis telah
murni. Hal ini dikarenakan hanya digunakan satu sistem pelarut dalam
pengelusian bercak. Terbentuknya bercak tunggal tidak dapat disimpulkan sebagai
bercak murni sebelum digunakan dua atau lebih sistem pelarut yang berbeda
kepolarannya (Gasparic, 1978).
34
Pada gambar 15 nampak bercak F, G, dan H, dimana bercak ini berbeda
dengan bercak eugenol. Namun bercak ini bukanlah bercak senyawa hasil sintesis.
Bercak ini adalah bercak katalis AlCl3 (Gambar 16) yang merupakan senyawa
logam. Senyawa ini tidak rigid, planar, dan bukan senyawa aromatis sehingga
juga dapat menimbulkan peredaman bercak, karena sinar UV 254 nm tidak dapat
mengenai indikator fluororesensi dan tidak ada cahaya yang dipancarkan pada
bercak tersebut.
Hasil Rf eugenol lebih kecil dari Rf
senyawa hasil sintesis hal ini dapat
dijelaskan karena eugenol sifatnya lebih polar dibandingkan senyawa hasil
sintesis, sehingga akan lebih terikat pada fase diam silika gel. Fase diam silika gel
sifatnya polar dengan adanya gugus hidroksi pada permukaannya yang berselang-
seling dengan atom silika (Si). Sedangkan senyawa hasil sintesis yaitu tersier-
butil eugenol sifatnya lebih non polar karena ada penambahan gugus t-butil.
Sehingga senyawa tersebut akan lebih terbawa fase gerak dan menghasilkan
kecepatan rambat lebih besar.
35
Gambar 13. Ikatan hidrogen eugenol dengan silika gel
Gambar 14. Ikatan hidrogen senyawa hasil sintesis dengan silika gel
SiO
SiO
SiO
SiO
Si
OH OH OH OH OH
H3CO OH
C
CH3
CH3
CH3
H3CO OH
C
CH3
CH3
CH3
Ikatan hidrogen
Ikatan hidrogen
SiO
SiO
SiO
SiO
Si
OH OH OH OH OH
H3CO OHH3CO OH
Ikatan hidrogen
Ikatan hidrogen
36
Gambar 15. KLT senyawa hasil sintesis
Keterangan: Fase diam : toluena : etil asetat (93 : 7) Fase diam : silika gel 60 GF254
37
Gambar 16. KLT senyawa hasil sintesis dan katalis AlCl3
Keterangan: Bercak A : eugenol Bercak B dan C : katalis AlCl3 Bercak D dan E : hasil sintesis dengan suhu 600 C Fase diam : toluena : etil asetat (93 : 7) Fase diam : silika gel 60 GF
254
38
Tabel II. Data Rf
eugenol dan senyawa hasil sintesis
3. ELUSIDASI STRUKTUR SENYAWA HASIL SINTESIS
Elusidasi struktur senyawa hasil sintesis dilakukan dengan spektroskopi
massa (GC-MS). Kromatografi gas dapat digunakan untuk mengetahui tingkat
kemurnian senyawa hasil sintesis. Kromatografi gas ini digunakan bersama
dengan penggunaan spektroskopi massa. Keuntungan dari kombinasi
kromatografi gas dan massa adalah apabila komponen senyawa hasil sintesis
masih bercampur dengan senyawa lain, maka senyawa lain ini dapat dipisahkan.
Pemisahan ini akan menghasilkan spektrum yang dihasilkan pada spektroskopi
massa adalah benar-benar murni dari senyawa hasil sintesis.
Senyawa Nilai Rf
Eugenol 0, 62 (bercak A)
Senyawa hasil sintesis dengan suhu pemanasan 400
0, 62 (bercak C)
C
Senyawa hasil sintesis dengan suhu pemanasan 600
0, 62 (bercak D)
0, 74 (bercak B)
C
Senyawa hasil sintesis dengan suhu pemanasan 800
0, 62 (bercak E)
C
39
Gambar 17. Kromatogram senyawa hasil sintesis dengan kromatografi gas
Hasil pengujian kemurnian dengan kromatografi gas menunjukkan
senyawa hasil sintesis belum murni. Hal ini terlihat dari masih banyaknya puncak
senyawa lain di hasil kromatogram. Peak dari t-butil eugenol ditunjukkan oleh
peak nomor 23 dengan waktu retensi 12,242 menit. Namun dari hasil peak yang
diperoleh telah menunjukkan terjadi pemisahan senyawa hasil sintesis dengan
kromatografi gas. Proses selanjutnya adalah elusidasi komponen hasil sintesis
dengan spektroskopi massa.
Dengan spektrometer massa dapat ditentukan bobot molekul senyawa hasil
sintesis, dari data bobot molekul yang diperoleh dapat diketahui apakah senyawa
hasil sintesis terbentuk atau tidak. Selain itu juga sebagai petunjuk bagi gugus-
gugus fungsional dan menyelidiki kerangka molekul senyawa hasil sintesis.
40
Gambar 18. Spektrum massa senyawa pada peak nomor 23 dengan waktu retensi 12,242 menit
Keterangan: Peak pada rasio m/z = 355 menunjukkan ion molekular senyawa
hasil sintesis yang masih berikatan dengan katalis
Peak pada rasio m/z = 57 menunjukkan fragmen ion t-butil Peak pada rasio m/z = 41 menunjukkan fragmen ion C3H5
+ Gambar 18 menunjukkan hasil elusidasi struktur senyawa hasil sintesis
dengan spektroskopi massa. Prinsip elusidasi dengan spektrometer massa adalah
molekul senyawa hasil sintesis ditembak dengan elektron berenergi tinggi
sehingga salah satu elektron valensinya lepas. Hasil dari penembakan dengan
elektron berenergi tinggi ini adalah suatu ion molekular, yaitu ion radikal dengan
muatan +1. Dari hasil elusidasi, diketahui telah terbentuk senyawa hasil sintesis
yaitu tersier-butil eugenol. Bobot molekul dari t-butil eugenol adalah 220, namun
pada gambar18 tidak ada yang menunjukkan peak dengan rasio m/z = 220. Dari
peak pada rasio m/z = 355 sebenarnya telah menunjukkan bahwa telah terbentuk
t-butil eugenol hanya saja masih dalam bentuk berikatan dengan katalis AlCl3.
Oleh karena muatannya +1 maka massa ion molekular (m/z) dari senyawa hasil
sintesis adalah 355. Mekanisme fragmentasi dengan elektron berenergi tinggi dari
senyawa hasil sintesis adalah sebagai berikut:
41
H3CO
O
C CH3H3C
CH3
Cl3Al
+e-
-2e-
O
O
C CH3H3C
CH3
Cl3Al
H3C
HH
ion molekular, m/z = 355
Gambar 19. Penembakan molekul senyawa hasil sintesis dengan elektron
berenergi tinggi
Peak ion molekular ini tidak stabil sehingga masih dapat terfragmentasi
kembali. Ion molekular akan kembali terpecah menjadi fragmen-fragmen yang
lebih kecil, baik berupa radikal bebas maupun ion-ion. Tetapi hanya fragmen
bermuatan positif yang akan terdeteksi oleh spektrofotometer massa.
Peak pada rasio m/z = 57 menunjukkan fragmen kation t-butil (C4H9+).
Fragmen ini juga merupakan hasil fragmentasi ion molekular dari senyawa hasil
sintesis. Mekanisme fragmentasi ion molekular C4H9+ adalah sebagai berikut:
42
H3CO
O
C CH3H3C
CH3
Cl3Al
H3CO
O
C CH3H3C
CH3
Cl3Al
+
-C4H9+
H
H
EI
70 eV
kation t-butil, m/z = 57
H3CO
O
HC CH3H3C
CH3
Cl3Al
H
Gambar 20. Fragmentasi kation t-butil (C4H9+) (m/z = 57)
Kation senyawa hasil sintesis akan mengalami fragmentasi lebih lanjut
dengan menghasilkan kation senyawa C3H5+. Peak kation C3H5
+ ini menunjukkan
rasio m/z = 41 yang sesuai peak C. Mekanisme fragmentasi ion molekular C3H5+
adalah sebagai berikut:
43
H3CO
O
C CH3H3C
CH3
Cl3Al
+
C3H5+
H
H3CO
O
C CH3H3C
CH3
Cl3Al
H EI
70 eV
kation C3H5+, m/z = 41
H3CO
O
C CH3H3C
CH3
Cl3Al
H
Gambar 21. Fragmentasi kation C3H5+
Peak ion molekular memiliki massa yang sesuai dengan bobot molekul
senyawa hasil sintesis namun bentuknya masih berikatan dengan katalis AlCl
(m/z = 41)
3.
Hal ini dapat disebabkan karena AlCl3 merupakan akseptor elektron sedangkan
gugus OH pada t-butil eugenol merupakan pendonor elektron. AlCl3 akan
menerima elektron dari pasangan elektron bebas pada atom O. Hal ini terjadi
karena adanya orbital kosong pada AlCl3, sehingga atom O pada gugus hidroksi
dari eugenol masih bisa berinteraksi dengan AlCl3. Ikatan katalis AlCl3 dengan t-
butil eugenol adalah sebagai berikut:
44
H3CO
O
C CH3H3C
CH3
Cl3Al
H
Gambar 22. tersier-butil eugenol masih berikatan dengan katalis
4. PERHITUNGAN JUMLAH SENYAWA HASIL SINTESIS
Seperti diketahui dalam cara kerja, dalam sintesis t-butil eugenol kali ini
dilakukan variasi suhu pemanasan dalam proses refluks. Jadi starting material
dalam labu alas bulat dipanaskan di atas penangas air dengan variasi suhu 400 C,
600 C, dan 800 C dan direfluks. Variasi suhu ini didasarkan hasil orientasi, dimana
reaksi sintesis biasanya berlangsung pada suhu 600 C, kemudian suhu divariasikan
menjadi 400 C, 600 C, dan 800 C. Variasi suhu pemanasan dilakukan untuk
mengetahui pengaruh variasi suhu pemanasan terhadap jumlah senyawa t-butil
eugenol yang dihasilkan. Alasan pemilihan variasi pada suhu 400 C adalah karena
pada suhu ini merupakan titik didih terendah dalam campuran, yaitu pelarut eter.
Dengan dipilih suhu di mana merupakan titik didih dari pelarut, maka diharapkan
dapat diketahui pengaruh variasi suhu pemanasan terhadap jumlah senyawa hasil
sintesis ketika suhu paling minimal untuk mendidihkan pelarut. Sedangakan
variasi suhu pada 600 C dan 800 C dilakukan untuk melihat pengaruh kenaikan
45
suhu terhadap jumlah senyawa t-butil eugenol, sehingga diperoleh jumlah
senyawa t-butil eugenol yang paling optimal.
Reaksi alkilasi Friedel-Craft sangat bergantung pada kondisi tertentu,
seperti penggunaan katalis, suhu, dan lama pemanasan. Dalam penelitian ini
diamati salah satu faktor yang mempengaruhi reaksi alkilasi Friedel-Craft yaitu
suhu pemanasan. Hal ini dikarenakan suhu akan mempengaruhi kecepatan reaksi
dan kecepatan terbentuknya senyawa target. Pengaruh suhu pemanasan terhadap
laju reaksi adalah apabila suhu pada suatu reaksi dinaikkan, maka menyebabkan
partikel semakin aktif bergerak, sehingga tumbukan yang terjadi semakin sering,
menyebabkan laju reaksi semakin besar. Hal ini disebabkan karena adanya
pemanasan akan memberikan energi yang meningkatkan pergerakan molekul
starting material sehingga kontak atau tumbukan antar starting material makin
besar dan mempercepat reaksi pembentukan senyawa target. Sehingga suhu
pemanasan akan mempengaruhi jumlah senyawa t-butil eugenol yang dihasilkan.
Pada suhu 400 C tidak diperoleh senyawa t-butil eugenol. Hal ini
dikarenakan pada suhu 400 C reaksi belum berjalan sempurna. Dari hasil yang
didapatkan pada suhu 400 C tidak diperoleh senyawa t-butil eugenol, hal ini dapat
terjadi karena pada suhu ini tidak memberikan energi yang cukup untuk starting
material bereaksi. Pengaruh suhu pada suatu reaksi adalah menyebabkan partikel
semakin aktif bergerak, sehingga tumbukan yang terjadi semakin sering,
menyebabkan laju reaksi semakin besar. Reaksi dapat terjadi ketika molekul yang
bertumbukan memiliki energi kinetik total sama dengan atau lebih besar daripada
46
energi aktivasi, yaitu jumlah energi minimum yang diperlukan untuk mengawali
reaksi kimia.
Pemberian suhu akan memberikan energi kinetik untuk tumbukan
molekul-molekul. Saat molekul bertumbukan sebagian dari energi kinetik akan
diubah menjadi energi vibrasi. Apabila energi kinetik awalnya besar, maka
molekul yang bertumbukan akan bergetar kuat sehingga memutuskan beberapa
ikatan kimianya dan membentuk produk. Jika energi kinetik awalnya kecil, maka
molekul hanya akan terpental dan tetap utuh sehingga tidak terbentuk produk. Hal
yang terjadi pada suhu 400 C adalah energi kinetik yang ada lebih kecil dari energi
aktivasi sehingga molekul tetap utuh dan tidak terbentuk senyawa t-butil eugenol.
Hasil sintesis yang diperoleh adalah diperoleh senyawa t-butil eugenol
pada variasi suhu 600 C, jumlah senyawa hasil sintesis yang diperoleh sebesar
48,50%. Pada suhu ini dihasilkan senyawa t-butil eugenol, dapat dijelaskan karena
terjadi kenaikan suhu dari 400 C menjadi 600 C. Suatu kenaikan suhu sebesar 100
C kira-kira akan mengakibatkan kenaikan kelajuan reaksi menjadi dua atau tiga
kali lipat (Sastrohamidjojo, 2001). Hal ini menjelaskan bahwa dengan terjadinya
kenaikan suhu, maka mengakibatkan molekul-molekul bergerak lebih cepat,
tumbukan antar molekul lebih sering hingga akhirnya laju reaksi meningkat dan
dihasilkan kenaikan jumlah senyawa hasil sintesis. Pada suhu 600 C ini memiliki
energi kinetik total lebih besar dari energi aktivasi sehingga tumbukan yang
terjadi dapat memutuskan beberapa ikatan kimianya dan membentuk produk yaitu
senyawa t-butil eugenol.
47
Perhitungan jumlah senyawa hasil sintesis dilakukan dengan program
Image J. Prinsip program Image J adalah mengukur intensitas warna dari suatu
objek dan mengkalkulasinya dalam suatu Area Under Curve (AUC). Jadi, dari
hasil KLT yang diperoleh diproses dengan program tersebut, kemudian
dibandingkan AUC senyawa hasil sintesis dengan AUC total.
Tabel 3. Data AUC eugenol dan senyawa hasil sintesis
Bercak senyawa Nilai AUC bercak
Eugenol 1504.861
Senyawa hasil sintesis 1417.083
=
= 48,50 %
Lalu pada suhu 800 C juga tidak diperoleh senyawa t-butil eugenol. Suhu
ini terlalu jauh dari titik didih t-butil klorida. Seperti diketahui titik didih t-butil
klorida adalah 510 C, ketika t-butil klorida mendidih kemudian menguap maka
senyawa ini akan terkondensasi pada kondensor bola menjadi molekul-molekul
cairan maka senyawa ini akan turun dan bereaksi kembali. Namun ketika senyawa
ini turun dan bereaksi kembali, karena suhu terlalu tinggi maka menyebabkan t-
48
butil klorida terlalu cepat menguap kembali dan waktu bereaksinya minimal.
Berdasarkan teori tumbukan, kelajuan dari setiap langkah dalam suatu reaksi
adalah berbanding langsung dengan:
1. Jumlah tumbukan per detik antara partikel-partikel yang bereaksi
2 Bagian dari tumbukan itu yang efektif
Berdasarkan teori tersebut, menjelaskan tidak dihasilkannya senyawa t-butil
eugenol pada suhu 800 C. Hal ini menggambarkan ketika t-butil klorida terlalu
cepat menguap karena suhu yang digunakan terlalu jauh dari titik didihnya, maka
kesempatan senyawa tersebut untuk bereaksi sangat minimal. Hal ini karena
tumbukan antar partikel-partikel starting material yaitu t-butil klorida dan eugenol
sangat minimal, sehingga tidak terjadi peningkatan laju reaksi dan akhirnya pada
suhu 800
Hasil penelitian yang diperoleh, variasi suhu pemanasan akan
mempengaruhi jumlah senyawa t-butil eugenol yang dihasilkan. Semakin tinggi
suhu pemanasan akan meningkatkan hasil jumlah senyawa t-butil eugenol yang
dihasilkan. Hal ini terlihat dari variasi suhu 40
C tidak diperoleh senyawa t-butil eugenol.
0 C menjadi 600 C, walaupun pada
suhu 800 C tidak diperoleh hasil senyawa hasil sintesis. Dari varasi suhu ini
diketahui suhu 600 C adalah suhu optimal dalam reaksi sintesis t-butil eugenol.
49
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Dari penelitian yang dilakukan diketahui bahwa:
1. t-butil eugenol dapat disintesis dari eugenol dengan t-butil klorida
menggunakan katalis Aluminium Klorida.
2. Variasi suhu pemanasan akan mempengaruhi jumlah senyawa t-butil eugenol
yang dihasilkan. Suhu pemanasan yang optimal dalam reaksi sintesis t-butil
eugenol, yaitu suhu 600
C.
B. SARAN
Setelah t-butil eugenol dapat disintesis dari eugenol dengan t-butil klorida
menggunakan katalis Aluminium klorida, serta diketahui suhu pemanasan paling
optimal dalam reaksi sintesis t-butil eugenol, perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut dengan:
1. Pemurnian senyawa hasil sintesis agar didapatkan senyawa tersier-butil
eugenol yang murni, dengan KLT preparatif.
2. Uji aktivitas antioksidan.
50
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1986, Sediaan Galenik, 10-11, 16-17, 25-28, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta
Anonim, 1989, The Merck Index, an Encyclopedia of Chemical, Drugs, and,
Biologicals, Eleventh Edition, 335, 1566, 3849, Merck & Co., Inc., Rahway, New Jersey, USA
Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV, 12, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta Anonim, 2004, Efek dari katalis, www.chem-is-try.org, diakses pada tanggal 23
November 2009 Anonim, 2009, Antioksidan, drqonita.multiply.com, diakses pada tanggal 2
November 2009 Anonim, 2009, Image J, www.duke.edu, diakses pada tanggal 2 Desember 2009 Anonim, 2009, Image J , www.cambridge.org, diakses pada tanggal 2 Desember
2009 Anonim, 2009, Ekstraksi, medicafarma.blogspot.com, diakses pada tanggal 3
Desember 2009 Ardyansyah, 2007, Antioksidan dan Peranannya Bagi Kesehatan,
www.iptek.com, diakses pada tanggal 23 September 2008 Bresnick, M.D, 2004, Intisari Kimia Organik, 96-99, 101-107, Penerbit
Hipokrates, Jakarta Chang, R., 2003, Kimia Dasar Konsep-Konsep Inti Jilid 2, Edisi ketiga, 43-45,
Penerbit Erlangga, Jakarta Corwin, C. H., 2001, Introductory Chemistry Concepts and Connections, 452-
453, 3rd Edition, Prentice-Hall, Inc. New Jersey Day, Jr., R. A. and Underwood, A. L., Analisis Kimia Kuantitatif, diterjemahkan
oleh Pudjaatmaka, A. H., Edisi IV, 519, Penerbit Erlangga, Jakarta Fessenden dan Fessenden, 1986, Kimia Organik, diterjemahkan oleh
Pudjaatmaka, A.H., Jilid 2, Edisi III, 471, Erlangga, Jakarta
51
Fessenden dan Fessenden, 1986, Kimia Organik, diterjemahkan oleh Pudjaatmaka, A.H., Jilid 2, Edisi III, 471, Erlangga, Jakarta
Gritter, J. R., Bobbit, J. M., and Scharting, A. E., 1991, Pengantar Kromatografi,
diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata, Edisi II, 109-112, ITB, Bandung
Gasparic, J., and Churacek, J., 1978, Laboratory Handbook of Paper and Thin
Layer Chromatoghrapy, 63, Ellis Horwood Limited, England Issacs, Neil, 1995, Physical Organic Chemistry, Second Edition, 194, Longman
Group, London McMurry, J., 2008, Organic Chemistry, 7eth Ed., 393-453, Thomson Learning,
Inc., USA Ogata, M., Hoshi, M., Urano, S., and Endo, T., 2000, Antioksidant Activity of
Eugenol dan Related Monomeric and Dimeric Compounds, Chem. Pharm. Bull. 48 (10) 1467-1469 (2000)
Puspita-Nienaber, N. L., Rahayu, W. P., dan Andarwulan, N., 1997, Sifat
Antioksidan dan Antimikroba Rempah-rempah dan Bumbu Tradisional, Makalah Seminar Sehari Khasiat Keamanan Pangan Bumbu dan Jamu Tradisional, Yogyakarta
Sastrohamidjojo, H,. 1991, Spektroskopi, Edisi II, 46-161, Penerbit Liberty,
Yogyakarta Sastrohamidjojo, H,. 1994, Spektroskopi Resonansi Magnetik inti, Cetakan
Pertama, 8-84, Penerbit Liberty, Yogyakarta Sastrohamidjojo, H,. 2001, Kimia Dasar, 166-175, Gajah Mada University Press,
Yogyakarta Silberberg, M. S., 2006, Chemistry the Molekular Nature of Matter and Charge,
4th Edition, 692-695, Mc Graww-Hill, New York Sun, Y. M., Zhang, H. Y., Chen, D. Z., and Liu, C. B., 2002, Theoretical
Elucidation on The Antioxidant Mechanism of Curcumin: A DFT Study, Org. Lett, 4 (17), 2909-2911
52
LAMPIRAN
53
Lampiran 1. Perhitungan bahan v Eugenol = 1 ml
gBMnmmol
gAlCl
mlmv
vm
gBMnmmol
molgBMmn
BMnmgm
mlm
vm
3336,434,1330325,0
34,133
5520,3847,00085,3
0085,357,920325,00325,00,0065 5 klorida butil-t
0065,020,164
067,1
067,11
067,1
3
=×=×=
=
===
=
=×=×==×=
===
×==
=
=
ρ
ρ
ρ
54
Lampiran 2. Penimbangan AlCl
1. Sintesis 40
3
0
Berat wadah = 48,726 g
Berat wadah + zat = 53,061 g
C
2. Sintesis 60
Berat wadah + sisa = 48,628 g -
Berat zat = 4,333 g
0
Berat wadah = 49,391 g
Berat wadah + zat = 53,877 g
C
3. Sintesis 80
Berat wadah + sisa = 49,741 g -
Berat zat = 4,136 g
0
Berat wadah = 47,998 g
Berat wadah + zat = 52,482 g
C
Berat wadah + sisa = 48,531 g -
Berat zat = 3,951 g
55
Lampiran 3.KLT senyawa hasil sintesis
56
Lampiran 4.KLT senyawa hasil sintesis dan katalis AlCl3
57
Lampiran 5. Kondisi GC-MS
58
Lampiran 6. Hasil elusidasi struktur dengan Kromatografi Gas
59
Lampiran 7. Spektrum massa senyawa hasil sintesis
60
Lampiran 8. Perhitungan nilai R
f
Perhitungan :
Jarak elusi : 15 cm
Bercak A = = 0,62
Bercak B = = 0,74
Bercak C = = 0,62
Bercak D = = 0,62
Bercak E = = 0,62
Senyawa Nilai Rf
Eugenol 0, 62 (bercak A)
Senyawa hasil sintesis dengan suhu pemanasan 400
0, 62 (bercak C)
C
Senyawa hasil sintesis dengan suhu pemanasan 600
0, 62 (bercak D)
0, 74 (bercak B)
C
Senyawa hasil sintesis dengan suhu pemanasan 800
0, 62 (bercak E)
C
61
Lampiran 9. Hasil AUC dengan program Image J (Eugenol, pemanasan 400
C, dan 600
C)
62
Lampiran 10. Hasil AUC dengan program Image J (Eugenol dan pemanasan
800
C )
63
Lampiran 11. Hasil AUC dengan program Image J (Pemanasan 600
C dan
bercak baru senyawa hasil sintesis)
64
Lampiran 12. Hasil AUC dengan program Image J
Senyawa AUC
Eugenol 3841.368 (bercak A)
Senyawa hasil sintesis dengan
suhu pemanasan 400
3470.681 (bercak C)
C
Senyawa hasil sintesis dengan
suhu pemanasan 600
1504.861 (bercak D)
C
Senyawa hasil sintesis dengan
suhu pemanasan 800
1449.062 (bercak E)
C
Bercak baru pada hasil
sintesis dengan suhu
pemanasan 600
1417.083 (bercak B)
C
65
Lampiran 13. Perhitungan jumlah senyawa hasil sintesis
Bercak senyawa Nilai AUC bercak
Eugenol 1504.861
Senyawa hasil sintesis 1417.083
=
= 48,50 %
66
BIOGRAFI PENULIS
Penulis skripsi berjudul “Sintesis Tersier-Butil
Eugenol Dari Eugenol Dengan Tersier-Butil Klorida
Menggunakan Katalis Aluminium Klorida Dengan
Variasi Suhu Pemanasan” memiliki nama lengkap
Prasetya Jati. Penulis lahir di Banjarnegara pada tanggal
15 Maret 1988 sebagai putra pertama pasangan Hartono
dan Siti Badriyah. Pendidikan formal yang pernah ditempuh panulis adalah TK
Pertiwi Banjarnegara (1992-1994), SDN Krandegan I Banjarnegara (1994-2000),
SLTPN I Banjarnegara (2000-2003), SMU Kolese De Britto Yogyakarta (2003-
2006), kemudian tahun 2006 penulis melanjutkan kuliah di Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Selama kuliah penulis aktif dalam
berbagai kegiatan dan organisasi antara lain sebagai sie dekorasi Perayaan Paskah
PMK Apostolos (2007), sie dekorasi Retreat PMK Apostolos (2007), sie dekorasi
Sadhar Bermazmur (2007), sie dekorasi Pharmacy Performance (2007), sie
perlengkapan dan dokumentasi Kampanye Informasi Obat (2008), Ketua Sadhar
Bermazmur (2008), panitia POKJANAS (2009) dan anggota Ismafarsi.
top related