sensasi somatic
Post on 04-Aug-2015
552 Views
Preview:
TRANSCRIPT
SENSASI SOMATIC
RASA GELI DAN GATAL
1. Indera Somatik
Indera somatik adalah mekanisme saraf yang mengumpulkan informasi
sensorik dari tubuh. Sensasi ini berlawanan denan indera khusus,yaitu indera
penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan keseimbangan. Indera somatik
dapat diklasifikasikan menjadi tiga tipe fisiologis yaitu:
1. Indera somatik mekanoreseptif, yang meliputi sensasi taktil dan posisi
(proprioseptif) yang dapat dirangsang oleh pemindahan secara mekanis
berbarapa jaringan tubuh.
2. Indera termoreseptif, yang berguna untuk mengetahui atau mendeteksi
peningkatan atau penurunan suhu.
3. Indera rasa nyeri, yang berguna untuk mendeteksi jaringan atau pelepasa
molekul-moekul perantara nyeri.
Indera taktil meliputi indera raba, tekan , getaran, dan gatal, sedangkan
indera posisi meliputi indera posisi statis dan kecepatan pergerakan. Klasifikasi
lain sensasi somatik. Sensasi somatik juga sering dikelompokkan bersama dalam
kelas lain yang tidak saling terpisah satu sama lain, yakni sebagai berikut:
1. Sensasi eksteroreseptif yaitu sensasi yang berasal dari permukaan tubuh
atau stimulasi terhadap struktur permukaan tubuh , misanya kulit dan
jaringan subkutis, serta struktur yang lebih dalam termasuk otot, fasia dan
tendon.
2. Sensai propioseptif yang berhubungan dengan keadan fisik tubuh, meliputi
modalitas sensorik yang disalurkan mencakup perabaan diskriminatif
(halus, terlokalisasi secara jelas), perabaan kasar (lokalisasi kurang jelas),
tekanan, getaran,sensasi posisi, sensasi tendon dan otot, sensasi tekan yang
berasal dari tapak kaki, dan sensasi keseimbangan tubuh, yang umumnya
ditentukan sebagai suatu sensasi “khusus” dari pada suatu sensai somatik.
3. Sensasi viseral yaitu sensasi yang berasal dari rgan visera tubuh, secara
khusus istilah ini sering dipakai untuk menyatakan sensas yang berasal
dari organ dalam (struktur yang berasal dari endoderm).
4. Sensasi dalam yaitu sensasi yang berasal dari organ-organ dalam seperti
fasia, otot dan tulang. Sensasi ini terutama meliputi takanan “dalam” rasa
nyeri dan getaran.
2. Deteksi dan Penjalaran Sensai Taktil
Walaupun sensasi raba, tekan dan getaran seringkali digolongkan secara
terpisah, namun semua sensasi ini dapat dideteksi oleh jenis reseptor yang sama.
Terdapat tiga prinsip yang berbeda diantara ketiganya yaitu:
1. Sensasi raba, umumnya disebabkan oleh perangsangan reseptor taktil yang
terdapat di kulit.
2. Sensasi tekan, umumnya disebabkan oleh adanya perubahan pada jaringan
yang lebih dalam.
3. Sensasi getaran, umumnya disebabkan oleh sinyal sensorik yang datang
berulang-ulang, tapi beberapa dari reseptor yang sama digunakan juga
untuk rasa raba dan tekan, khususnya jenis reseptor yang beradaptasi
cepat.
Dari semua jenis reseptor taktil, paling sedikit dikenal enam jenis reseptor
(mekanoreseptor), tapi sebenarnya masih banyak reseptor taktil yang serupa.
Beberapa sifat-sifat khususnya adalah sebagai berikut:
1. Ujung saraf bebas (free nerve endings), yang dapat dijumpai di semua
bagian kulit dan jaringan-jaringan lainya, dapat mendeteksi rabaan dan
tekanan. Conthnya, kontak dengan cahaya pada kornea mata, yang tidak
mengandung jenis ujung saraf lain kecuali ujung saraf bebas, namun
demikian dapat merasakan sensasi raba dan sensasi tekan.
2. Badan Meissner merupakan juluran saraf bermielin yang dapat
merangsang serabut saraf besar bermielin (jenisAβ). Didalam selaput ini
terdapat banyak percabangan ujung flament saraf. Badan Meissner adalah
reseptor berkapsul yang dapat beradaptasi dan ditemukan dibagian kulit
tak berambut (glabrosa) misalnya ujung jari dan bibir yang merupakan
bagian-bagian yang sangat peka bahkan terhadap ransang sentuh yang
paling ringan, serta daerah kulit lain sehingga orang mampu membedakan
sifat-sifat ruang dari sensasi raba yang sangat berkembang. Badan
Meissner dapat beradaptasi dalam waktu seperdetik sesudah dirangsang,
yang berarti bahwa reseptor ini terutama sekali peka terhadap gerakan
objek yang sangat sedikit di atas permukaan kulit, seperti juga terhadap
getaran berfrekuensi randah.
3. Diskus Merkel (yang dikenal sebagai expanded tip receptor) merupakan
reseptor taktil yang ujungnya meluas atau melebar. Bagian kulit yang
berambut juga mengandug cukup banyak ujung reseptor yang melebar,
walaupun bagian kulit ini hampir sama sekali tak mengandung badam
meissner. Jenis reseptor ini berbeda dengan badan meissner karena jenis
reeptor ini menjalarkan sinyal yang pada mulanya kuat namun daya
adaptasinya hanya sebagian, dan untuk senjutnya sinyal yang dijalarkan itu
lebih lemah namun daya adaptasinya lambat. Oleh karena itu, reseptor ini
berperab dalam menjalarkan sinyal tetap yang dapat menyebabkan orang
dapat terusmenerus menentukan macam perabaan suatu objek pada
kulitnya. Diskus merkel sering dikelompokkan bersama-sama dalam suatu
organ reseptor tunggal yang disebut reseptor berbentuk kubah Iggo, yang
mennjol ke atas sampai di bawah epitel kulit. Keadaan ini
menyebabkanepitel di titik ini menonjol keluar, sehingga membentuksuatu
kubah dan memberi rasa sensitif yang ekstrem. Perhatikan juga bahwa
seluruh kelompok diskus merkel dipersarafi oleh satu jenis serabut saraf
tunggal besar bermielin (jenia Aβ). Reseptor ini, bersama dengan badan
meissner, sanagat berperan penting dalam melokalisasi sensasi raba di
daerah permukaan tubuh yang spesifik dan menentukan bentuk apa yang ia
rasakan.
4. Organ ujung rambut (Hair end-oragan / ujung peritrichium), pada reseptor
ini jika da pergerakan sedikit saja pada setiap rambut tubuh akan
merangsang serabut saraf yang pangkalnya melilit. Jadi, setiap rambut dan
bagian dasar serabut saraf juga merupakan reseptor raba. Reseptor ini
dapat segera beradaptasi, oleh karena itu seperti badan meissner, reseptor
terutama mendeteksi pergerakan objek pada permukaan tubuh atau kontak
awal dengan tubuh.
5. Ujung organ Ruffini (End-organ Ruffini), dimana ujung saraf berkapsul
yang terletak di kulit dan jarigan yang lebih dalam, ujung organ ruffini
bercabang banyak, ujungnya bermielin. Adaptasi organ ini sangat kecil,
sehingga reseptor ini berguna untuk menjalarkan sinyal perubahan bentuk
kulit dan jaringan yang lebih dalam yang datang terus-menerus, misalnya
sinyal raba dan tekan yang besar dan datang terus-menerus. Reseptor ini
juga dapat dijumpai pada selaput sendi dan membantu menjalarkan sinyal
tentang besar derajat rotasi sendi.
6. Badan Paccini, terletak tepat di bawah kulit dan juga di jaringan fasia
tubuh. Reseptor ini hanya dapat diransang oleh pergerakan jaringan yang
cepat karena reseptor ini dapat beradaptasi dalam waktu sepersekian ratus
detik. Oleh karena itu, reseptor ini terutama berguna untuk mendeteksi
getaran jaringan atau perubahan mekanis yang cepat pada jaringan.
Hampir semua reseptor sensorik yang khusus, seperti badan Meissner,
reseptor berbentuk kubah Iggo, reseptor rambut, badan paccini, dan ujung-ujung
ruffini, menjalarkan sinyalnya melalui serabut saraf jenia Aβ yang mempunyai
kecepatan penjalaran 30 sampai 70 m/detik. Sebaliknya, reseptor taktil ujung saraf
bebas terutama menjalarkan sinyalnya melaui serabut saraf kecil bermielin yang
mempunyai kecepatan penjalaran 5 sampai 30 m/detik. Beberapa ujung saraf
bebas (untuk rasa taktil) menjalarkan sinyalny melalui serabut saraf jenis C tak
bermielin yang mempunyai kecepatan penjalaran seperbeberapa meter sampai 2
m/detik; serabut saraf ini mengirimkan sinyal ke medula spinalis dan batang otak
bagian bawah, yang terutama mungkin untuk menjalarkan sensasi gatal. Jadi, jenis
sinyal sensorik yang sifatnya lebih kritis, yakni yang membantu menentukan
tempat yang tepat di kulit, derajat intensitas yang sangat minim, atau perubahan
intensitas sinyal sensorik yang cepatsemua ini dijalankan melalui jenis serabut
saraf sensorik yang penjalaranya cepat. Sebaliknya sinyal yang bersifat lebih
kasar, seperti tekanan kasar, rasa raba yang kurang dilokalisir tempat perabaanya,
dan khususnya rasa gatal, diajalarkan melalui serabut saraf sangat kecil yang jauh
lebih lambat yang membutuhkan ruang lebih sedikit dalam kumpulan saraf
ketimbang serabut yang lebih cepat.
3. Deteksi Getaran
Semua jenis reseptor taktil ikut berperan dalam mendeteksi getaran,
walupun bermacam-macam frekuensi getaran. Bada paccini dapat menerima
sinyal getaran dengan kecepatan 30 sampai 800 getaran per detik karena reseptor
dengan sangat cepat berespons terhadap perubahan bentuk jaringan yang cepat
dan kecil, dan reseptor ini juga dapat menjalarkan sinyalnya melalui,serabut saraf
jenis Aβ,yang dapat menjalarkan lebih dari 1000 impuls per detik. Sebailknya,
getaran berfrekuensi rendah sampai 80 getaran per detik, akan merangsang
reseptor taktil lainya, terutama badan Meissner, yang adaptasinya lebih lambat
daripada adaptasi badan paccini.
4. Rasa Geli dan Gatal
Penelitian neurofisiologi telah mendemonstrasikan adanya ujung saraf
bebas mekanoreseptif yang sangat peka dan beadaptasi cepat hanya menerima
sensasi geli dan sensasi gatal. Selanjutnya, ujung serabut saraf ini dapat dijumapai
banyak sekali pada lapisan superfisial kulit,yang juga merupakan satu-satunya
jaringan yang biasanya dapat menerima rangsang gatal dan geli. Sensasi ini
dijalarkan melalui serabut saraf C kecil yang tak bermielin seperti serabut saraf
yang digunakan untuk menjalarkan rasa nyeri tipe lambat. Rasa gatal dapat diatasi
dengan menggaruk jika tindakan ini dapat mengangkat bahan iritan atau jika
garukan cukup kuat untuk menimbulkan rasa nyeri. Sinyal nyeri ini dianggap
dapat menekan sinyal gatal dalam medula spinalis dengan cara penghambatan
lateral.
5. Jaras Sensoris Untuk Menjalarkan Sinyal Somatik ke Sistem Saraf Pusat
Hampir seluruh informasi sensorik yang berasal dari segmen somatik
tubuh memasuki medula spinalis melalui saraf-saraf spinal pada radiks dorsalis
(dengan pengecualian beberapa serabut kecil dengan kepentingan yang masih
dipertanyakan yang memasuki radiks ventaralis). Biarpun begitu, dari titik masuk
pada medula spinalis ini dan kemudian ke otak, sinyal sensorik akan dibawa
memalui salah satu dari dua jaras sensorik bolak balik yaitu sistem kolumna
dorsalis-lemniskus medialis dan sistem anterolateral. Kedua sistem ini akan
bersilangan lagi di setinggi thalamus. Sistem kolumna dorsalis-lemniskus
medialis, sesuai dengan namanya, terutama menjalarkan sinyal dalam kolumna
dorsalis medula spinalis dan selanjutnya, setelah bersinaps dan menyilang ke sisi
berlawanan dalam medula akan naik melalui lemniskus medialis di batang otak
menuju talamus.
Sebaliknya,sinyal dalam sistem anterolateral, setelah keluar dari radiks
dorsalis substansiagrisea medula spinalis, akan menyilang ke sisi yang berlawanan
dan naik melaluisubstansia alba anterior dan lateral medula spinalis untuk
berakhir pada batangotak disemua ketinggian dan juga di talamus. Sistem
kolumna dorsalis-lemniskus medialis terdiri atas serabut-serabut saraf besar
bermielin yang menjalarkan sinyal ke otak dengan kecepatan 30 sampai 110
m/detik, sedangkan sistem anterolateral terdiri atas serabut saraf bermielin yang
lebih kecil yang akan menjalarkan sinyal dengan kecepatan beberapa meter per
detik sampai 40 m/detik. Perbedaan lain antara kedua sistem ini adalah bahwa
serabut-serabut saraf dalam sistem kolumna dorsalis-lemniskus medialis
mempunyai sifat orientasi ruang yang sangat tinggi sesuai dengan asal serabut
saraf itu, sedangkan sistem anterolateral mempunyai sifat orientasi ruang yang
jauh lebih kecil. Perbedaaan ini akan mempengaruhi jenis informasi sensorik apa
yang dapat dijalarkan oleh kedua sistem di atas. Yakni informasi sensorik yang
harus dijalarkan dengan cepat dan dalam waktu yang singkat terutama akan
dijalarkannya oleh sistem kolumna dorsalis-lemniskus medialis, sedangkan
informasi yang tak perlu dijalarkan dengan cepat atau dengan tempo yang lama
terutama dijalarkan oleh sistem anterolateral. Sistem anterolateral mempunyai
kemampuan khusus yang tidak dimiliki oleh sistem dorsalis, yakni kemampuan
untuk menjalarkan modalitas sensasi yang sangat luas, misalnya ensasi nyeri,
hangat, dingin dan taktil yang kasar. Jenis-jenis sensasi yang dapat dijalarkan oleh
kedua sistem tersebut antara lain:
SENSASI SOMATIC
NYERI
Nyeri merupakan mekanisme untuk melindungi tubuh terhadap suatu
gangguan dan kerusakan di jaringan seperti peradangan, infeksi jasad renik dan
kejang otot dengan pembebasan mediator nyeri yang meliputi prostaglandin,
bradikinin, serotonin, histamine, ion kalsium dan asetilkolin (Tjay dan Rahardja,
2002). Menurut International Assosiation for The Study of Pain (IASP), nyeri
didefinisikan sebagai sensasi yang tidak mengenakkan dan biasanya diikuti oleh
pengalaman tertentu yang erat kaitannya dengan derajat kerusakan. Nyeri
seringkali dikatakan sebagai respon terhadap stimulus yang merusak jaringan
(misalnya: trauma fisik, mekanik, kimiawi, termal) dan kemudian menimbulkan
aktivasi reseptor nyeri (nosiseptor) (Sujatno, 1998).
Reseptor nyeri (Nosiseptor)
Seperti telah disebutkan, rangsang yang cukup menimbulkan rasa nyeri
adalah kerusakan jaringan atau gangguan metabolisme jaringan. Disini senyawa
tubuh sendiri dibebaskan dari sel-sel yang rusak, yang disebut zat nyeri (mediator
nyeri), yang menyebabkan perangsangan reseptor nyeri.
Reseptor Nyeri
Yang termasuk zat nyeri yang potensialnya kecil adalah ion hydrogen.
Pada penurunan nilai pH dibawah 6 selalu terjadi rasa nyeri yang meningkat pada
kenaikan konsentrasi ion H+ lebih lanjut. Kerja lemah yang mirip dipunyai juga
oleh ion kalium yang keluar dari ruang intrasel setelah terjadi kerusakan jaringan
dan dalam interstisium pada konsentrasi > 20 mmol/liter menimbulkan rasa nyeri.
Demikian pula berbagai neurotransmitter dapat bekerja sebagai zat nyeri pada
kerusakan jaringan. Histamine pada konsentrasi relative tinggi (10-8 g/L) terbukti
sebagai zat nyeri. Asetilkolin pada konsentrasi rendah menstabilisasi reseptor
nyeri terhadap zat nyeri lain, sehingga senyawa ini bersama-sama dalam senyawa
yang dalam konsentrasi yang sesuai secara sendirinya tidak berkhasiat, dapat
menimbulkan nyeri yang paling efektif dari kelompok transmitter.
Sebagai kelompok senyawa penting lain dalam hubungan ini adalah kinin,
khususnya bradikinin, yang termasuk senyawa penyebab nyeri terkuat.
Prostaglandin yang dibentuk lebih banyak dalam peristiwa nyeri, mensensibilisasi
reseptor nyeri dan di samping itu menjadi penentu dalam nyeri dalam.
Nosiseptor berupa akhiran saraf bebas tersebar di kulit, periosteum,
dinding arteri, permukaan sendi, falk dan tentorium, rongga kranium. Nosiseptor
mempunyai sifat tidak beradaptasi terhadap rangsang sehingga reseptor tetap
dapat memberitahukan kepada individu tersebut akan adanya rangsang yang
merusak (Mutchler, 1991). Ternyata, pada beberapa kondisi, eksitasi serabut rasa
nyeri semakin bertambah secara progresif, terutama pada nyeri lambat, karena
stimulus rasa nyeri berlangsung terus-menerus. Keadaan ini dapat meningkatkan
sensitifitas reseptor rasa nyeri yang disebut hiperalgesia. Reseptor nyeri
kebanyakan sensitif terhadap lebih dari satu stimulus walaupun ada beberapa
reseptor nyeri yang hanya sensitif terhadap satu jenis stimulus (Guyton, 2000).
Menurut Mutchler (1991) reseptor sensorik secara fungsional dibedakan
menjadi:
1. Kemoreseptor, reseptor ini peka terhadap rangsang kimiawi dan impulsnya
diteruskan melalui serabut C.
2. Mekanoreseptor dan termoreseptor, reseptor ini peka terhadap rangsang
mekanik dan termal impulsnya diteruskan melalui serabut saraf A delta.
Transmisi impuls dari nosiseptor dilakukan melalui serabut aferen A delta
dan serabut aferen C (Ganong, 2000). Serabut A delta merupakan serabut
bermielin, besar, konduksi cepat, menghasilkan nyeri yang jelas, tajam dan
terlokalisasi. Sedangkan serabut aferen C merupakan serabut yang tidak
bermielin, kecil, konduksi lambat dan menghasilkan nyeri yang tumpul, persisten.
Stimulus yang dapat menimbulkan rasa nyeri diantaranya adalah fisis,
kimia, mekanik dan elektrik. Stimulus tersebut dapat berupa pemotongan,
peregangan, kompresi, iskemi atau dapat berasal dari zat kimiawi seperti asam,
basa dan garam. Termal yang menyebabkan nyeri sebesar 450C , sebanding
dengan kerusakan jaringan. Nyeri oleh karena kimiawi juga dapat disebabkan
penyuntikan bradikinin, ion K, dan enzim proteolitik dibawah kulit. Adanya
stimulus-stimulus tersebut akan menyebabkan keluarnya mediator nyeri yakni
prostaglandin (Kasper, 2005).
Prostaglandin adalah semua kelompok yang diturunkan dari asam lemak
20-karbon tak jenuh, terutama asam arakidonat melalui jalur siklooksigenase;
prostaglandin terlibat dalam berbagai proses fisiologis (Dorland, 2005).
Prostaglandin akan merangsang akhiran saraf dan diteruskan ke pusat sensasi
nyeri oleh apparatus nyeri yang berupa jaringan serabut saraf sensorik hingga
timbul sensasi nyeri (Kasper, 2005).
Biosintesis prostaglandin dimulai dari rangsang yang berupa kimiawi dan
termik yang menyebabkan kerusakan membran sel, sehingga akan mengaktifkan
enzim fosfolipase yang merubah fosfolipid dalam membran sel menjadi asam
arakidonat yang selanjutnya akan disiklasi menjadi prostaglandin endoperoksida
siklik dalam bentuk PGG2 (satu rantai peroksida) yang merupakan zat awal
pembentukan semua senyawa prostaglandin dengan bantuan enzim
siklooksigenase. Peroksida dari PGG2 ini melepaskan radikal bebas oksigen yang
juga berperan pada timbulnya rasa nyeri. PGG2 kemudian akan diubah menjadi
PGH2 (satu rantai samping hidroksil) dengan bantuan enzim endoperoksida
isomerase dan peroksidase. Dari PGH2 ini akan dibentuk secara langsung
prostaglandin primer yaitu PGE2, PGF2a dan PGD2. Perubahan PGH2 menjadi
PGE2 dibantu oleh enzim PGE2 isomerase. Enzim PGF2a reduktase dan
peroksidase mengkatalisis perubahan PGH2 menjadi PGF2a dan enzim PGD2
isomerase mengubah PGH2 menjadi PGD2. Dari PGE terbentuk prostaglandin A,
B, dan C. Dalam trombosit PGG2 dapat diubah menjadi tromboksan A2 oleh
tromboksan sintase. Tromboksan A2 yang tidak stabil diubah menjadi tromboksan
B2 yang stabil dan tidak aktif. Zat lain yang dibentuk oleh PGG2 adalah
prostasiklin (PGI1) yang disintesis di dinding pembuluh darah dengan bantuan
enzim prostasiklin sintase (Mutchler, 1991).
Secara invitro terbukti bahwa PGE2 dan PGI1 dalam jumlah nanogram
menimbulkan eritem, vasodilatasi dan peningkatan aliran darah local. Histamin
dan bradikinin dapat meningkatkan permeabilitas vaskular, tetapi efek
vasodilatasinya tidak besar. Dengan penambahan sedikit PG, efek eksudasi
histamin plasma dan bradikinin menjadi lebih jelas. Migrasi leukosit ke jaringan
radang merupakan aspek penting dalam proses inflamasi. PG tidak bersifat
kemotaktik tetapi produk lain dari asam arakidonat yakni leukotrien B4
merupakan zat kemotaktik yang sangat poten (Wilmana, 1995)
Rangsang nyeri yang berupa kimiawi dan termik akan menyebabkan
kerusakan jaringan yang akan diikuti oleh pelepasan mediator nyeri yang akan
merangsang reseptor nyeri. Rangsang ini lalu diteruskan ke radix dorsalis medulla
spinalis melalui serabut saraf aferen. Serabut-serabut saraf aferen berakhir di
formasio retikularis. Dari formasio retikularis ini, impuls nyeri dihantarkan ke
thalamus opticus, kemudian ke korteks serebri (untuk mengetahui lokasi nyeri),
dari sini impuls juga akan dikirimkan ke serebellum. Serebrum dan Serebellum
bersama-sama melakukan reaksi pertahanan dan perlindungan yang terkoordinasi
(Mutchler, 1991).
Wilmana (1995) menyebutkan mekanisme penghambatan PG dengan
penghambatan kerja enzim siklooksigenase yang berfungsi mengubah asam
arakidonat menjadi endoperoksida sehingga sintesa PG dihambat. Obat analgesic
yang efektif dalam memblok biosintesis prostaglandin ini misalnya aspirin. Obat
ini merupakan golongan obat analgesic nonopioid yang dapat dipakai dalam
menilai efek obat sejenis.
Karena sistem persarafan rasa nyeri ini bersifat rangkap, maka stimulus
rasa nyeri yang hebat dan datangnya mendadak akan menimbulkan sensasi nyeri
yang sifatnya “rangkap” : rasa nyeri tajam yang dijalarkan ke otak oleh jaras
serabut A-delta, yang selanjutnya akan diikuti oleh sedetik atau lebih rasa nyeri
lambat yang dijalarkan oleh jaras serabut C.
Sewaktu memasuki medulla spinalis dari radiks spinalis dorsalis, sinyal
rasa nyeri melewati dua jaras ke otak, melalui tractus neospino-talamikus dan
melalui tractus paleospinotalamicus.
Tractus neospinotalamikus untuk rasa nyeri cepat. Serabut tipe A-delta
berakhir pada lamina I (lamina marginalis) pada kornu dorsalis dan merangsang
neuron pengantar kedua dari tractus neospinotalamikus. Neuron ini akan
mengirimkan sinyal ke serabut panjang yang terletak di sisi lain medulla spinalis
dalam komisura anterior dan selanjutnya naik ke otak dalam kolumna
anterolateralis. Beberapa serabut tractus neospinotalamikus berakhir didaerah
retikularis batang otak, tetapi sebagian besar melewati semua jalur ketalamus
berakhir di komplek ventrobasal disepanjang kolumna dorsalis tractus lemniscus
medialis untuk sensasi raba. Dari sini sinyal akan dijalarkan ke daerah lain pada
basal otak dan juga ke korteks somatosensoris.
Jaras paleospinotalamicus untuk menjalarkan nyeri lambat. Serabut nyeri
tipe C di perifer hamper seluruhnya berakhir di lamina II dan III kornu dorsalis,
yang bersama-sama disebut substantia gelatinosa. Sebagian besar sinyal kemudian
melewati satu atau lebih neuron-neuron serabut pendek tambahan didalam kornu
dorsalisnya sebelum memasuki lamina V melalui lamina VII, juga dikornu
dorsalis. Dari percobaan penelitian diduga ujung serabut nyeri tioe C yang
memasuki medulla spinalis mungkin mengeluarkan transmiter glutamate dan
transmiter substansi P. Transmiter glutamate bekerja secara segera dan dan hanya
berlangsung berapa milidetik saja. Sebaliknya substansi P dilepaskan jauh lebih
lambat, mencapai pemekatan dalam waktu berapa detik bahkan menit.
Kenyataannya ada dua nyeri “ganda” yang dirasakan seseorang setelah tusukan
jarum (pinprick).
Jaras paleospinotalamicus berakhir secara luas dalam batang otak. Hanya
sepersepuluh sampai seperempat serabut yang melewati seluruh jalur ke thalamus.
Namun demilian, secara prinsip, serabut-serabut ini berakhir disatu dari tiga
daerah berikut ini :
1. Nukleus Retikularis medulla, pons dan mesensefalon.
2. Area tektal dari mesensefalon dalam sampai kolikuli superior dan inferior.
3. Daerah substantia abu-abu periaquaductal yang mengelilingi aqueductus
sylvius.
Daerah yang lebih rendah dari batang otak ini tampaknya penting dalam
mengapresiasikan rasa sakit dari nyeri. Dari area nyeri batang otak, banyak
neuron-neuron serabut pendek yang memancarkan sinyal nyeri naik ke intra
laminar dan nucleus lateral pusat dari thalamus dan kedalam bagian tertentu
hipotalamus dan daerah lain yang berdekatan didasar otak.
Derajat reaksi seseorang terhadap rasa nyeri (pain suppression) sangat
bervariasi. Keadaan ini disebabkan oleh kemampuan otak dalam menekan /
menahan besarnya sinyal nyeri yang masuk ke dalam system saraf, yaitu dengan
mengaktifkan system pengatur rasa nyeri atau system analgesia. Sistem analgesia
terdiri dari 3 komponen:
1. Periaqaeductal grisea dan periventrikuler : dari mesensefalon dan bagian
atas pons yang mengelilingi aquaductus sylvius dan bagian yang
berdekatan dengan ventrikel 3 dan 4 signal dari neuron-neuron dikirim ke
2. Nukleus rafe magnus (di bagian bawah pons dan bagian atas medula) dan
nucleus reticularis paragigantoselularis. diteruskan turun ke
3. Kompleks penghambat rasa nyeri di kornu dorsalis medula spinalis
Rangsang elektrik: dibawa ke periaqaeduct dan nukleus rafe magnus dapat
menekan signal sakit (kuat) pada waktu masuk ke dorsal spinal roots.
Periaqaeduct, periventrikuler menekan sakit tidak terlalu kuat. Kemudian
neurotransmitter yang terlibat dalam system analgesia menekan rasa sakit yaitu :
Enkefalin dan Serotonin.
Nuklei periventrikuler dan periaqaeduct mensekresikan enkefalin, juga
rafe magnus mensekresikan enkefalin. Serabut-serabut yang berasal dari nuklei ini
dan berakhir di kornu dorsalis medula spinalis mensekresikan serotonin pada
ujung-ujungnya. Serotonin secara setempat merangsang sekresi enkefalin. Pada
serabut-serabut sakit tipe A dan C sinapsnya di kornu dorsalis dengan cara
presinaps inhibisi dan memblok kanal ion Ca, maka ion Ca melepas transmiter di
sinaps dan memblok presinaps inhibisi. Sistem ini bekerja dalam hitungan menit
sampai jam. Selain itu sistem analgesia dapat menghambat transmisi sakit di
perjalanan di nuklei retikuler, batang otak, dan thalamus.
Menurut kualitasnya, nyeri dibedakan menjadi 2 yaitu:
1. Nyeri cepat (nyeri akut, tajam, tertusuk), sinyal nyeri ini dijalarkan melalui
saraf perifer menuju ke medula spinalis oleh saraf tipe A delta pada
kecepatan penjalaran antara 6-30 m/dtk.
2. Nyeri lambat (nyeri kronik, terbakar, pegal), Sinyal nyeri ini dijalarkan
serabut saraf tipe C dengan kecepatan penjalaran antara 0,5-2m/dtk
(Guyton, 2000)
Menurut tempat terjadinya, nyeri dibagi atas nyeri somatik dan visceral.
Nyeri somatik dibagi menjadi nyeri permukaan dan nyeri dalam. Nyeri
permukaan adalah nyeri yang dirasakan dalam kulit, tulang dan jaringan ikat.
Nyeri visceral terjadi antara lain karena ketegangan organ perut, kejang otot polos,
aliran darah kurang atau penyakit yang menyebabkan radang (Mutchler, 1991).
SENSASI SOMATIC
SUHU, RESEPTOR SUHU DAN PERANGSANGANNYA
Pada dasarnya manusia dapat merasakan bermacam-macam gradiasi panas
dan dingin, yakni mulai dari suhu yang paling dingin lalu suhu dingin sampai
suhu yang sejuk, selanjutnya dari suhu hangat sampai panas dan akhirnya sampai
panas yang menyengat. Gradiasi termal dapat dibedakan oleh paling sedikit tiga
macam reseptor sensorik, reseptor dingin, reseptor hangat dan reseptor nyeri.
Reseptor rasa nyeri hanya dirangsang oleh gradiasi panas atau dingin yang
ekstrem, karena itu bersama reseptor dingin dan reseptor hangat bertanggung
jawab terhadap terjadinya sensasi “sangat dingin” (freezing cold) dan sensasi
“panas yang menyengat” (burning hot). Reseptor dingin dan reseptor hangat
terletak tepat di bawah kulit, yakni pada titik-titik yang berbeda dan terpisahpisah
dengan diameter perangsangan kira0kira 1 mm. Pada sebagian besar daerah tubuh,
jumlah reseptor dingin kira-kira tiga sampai sepuluh kali reseptor hangat, dan
pada berbagai daerah tubuh jumlah reseptor bervariasi, 15 sampai 25 titik dingin
persentimeter persegi pada bibir, 3 sampai 5 titik dingin pada jari-jari, dan kurang
dari 1 titik dingin per sentimeter persegi pada daerah permukaan dada yang luas.
Sedangkan jumlah titik hangatnya lebih sedikit.
Walaupun dengan tes psikologik telah terbukti adanya ujung serabut saraf
yang berbeda, namun hal ini belum dapat diidentifikasi secara histolgik. Ujung
serabut saraf ini dianggap ujung saraf bebas karena sinyal terutama dijalarkan
pada serabut saraf tipe C pada kecepatan penjalaran hanya 0,4 samapai 2 m/detik.
Sebaliknya, reseptor dingin telah dapat diidentifikasi dengan pasti. Ujung saraf
tipe Aδ yang bermielin, khusus, dan kecil yang bercabang beberapa kali, ujungnya
menembus ke permukaan dasar sel-sel epidermis basal. Sinyal dari
reseptorreseptor ini akan dijalarkan melalui serabut saraf delta tipe A yang
berkecepatan lebih dari 20 meter per detik. Sebagian sensasi dingin juga
dijalarkan melalui serabut saraf tipe C, yang diduga merupakan ujung serabut
saraf bebas yang mungkin juga berfungsi sebagai reseptor dingin. Suhu dibawah
7°C dan diatas 50°C mengaktifkan reseptor nyeri, dan kedua suhu ekstrem ini
dirasakan sama seperti rangsang nyeri, bukan dingin atau hangat.
Suhu puncak untuk pengaktifan reseptor dingin adalah sekitar 24°C dan
reseptor hangat aktif maksimal pada suhu sekitar 45°C. reseptor dingin dan hangat
dapat dirangsang oleh suhu daam kisaran 31°C samapai 43°C. Jika terpajan ke
penurunan suhu mendadak, pada awalnya reseptor dingin akan terangsang secara
kuat tetapi kemudian setelah beberapa detik pertama, pembentukan potensial aksi
turun drastis. Namun, dalam sekitar 30 menit kemudian penurunan potensial aksi
ini menjadi lebih lambat. Hal ini berarti bahwa reseptor dingin dan hangat
berespon terhadap suhu keadaan mantap serta perubahan suhu. Hal ini
menjelaskan mengapa suhu dingin di luar rumah terasa jauh lebih dingin sewaktu
pertama kali seseroang berpindah dari lingkungan yang hangat.
Mekanisme simulatorik dalam reseptor suhu diperkirakan berkaitan
dengan perubahan laju metabolik di serat saraf yang dipicu oleh perubahan suhu.
Telah dibuktikan bahwa untuk setiap perubahan 10°C terjadi perubahan 2 kali
lipat laju reaksi kimia intraseluler. Reseptor suhu di permukaan kulit relatif tidak
terlalu padat. Karena itu, perubahan suhu yang hanya terpapar pada sebagian kecil
kulit tidak terlalu efektif terdeteksi dibandingkan dengan perubahan suhu yang
terpapar pada kulit yang lebih luas. Jika seluruh tubuh terangsang, perubahan suhu
sekecil 0,01°C pn sudah dapat dideteksi. Sinyal termal dislurkan ke susunan saraf
pusat sejajar dengan sinyal nyeri.
top related