seminar hasil tesis diajukan untuk memenuhi …
Post on 02-Dec-2021
8 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
PERBEDAAN EFEKTIVITAS EKSTRAK TEH HIJAU, INFUSUM
TEH HIJAU DAN KLORHEKSIDIN TERHADAP ERADIKASI BIOFILM
Enterococcus faecalis secara in vitro
SEMINAR HASIL TESIS DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN DARI
PERSYARATAN GUNA MEMPEROLEH GELAR SPESIALIS KONSERVASI GIGI
Diajukan oleh:
Melaniwati
114.414.003
PROGRAM STUDI SPESIALIS KONSERVASI GIGI FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA
2016
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bakteri merupakan penyebab utama terjadinya kelainan pada pulpa dan
jaringan periapikal. Perawatan saluran akar bertujuan untuk menghilangkan bakteri
dari sistem saluran akar.1 Tahapan penting dalam perawatan saluran akar meliputi
preparasi saluran akar, irigasi dan pengisian saluran akar. Preparasi saluran akar
dilakukan secara kimia-mekanis, yaitu preparasi secara mekanis menggunakan
instrumen dan secara kimiawi dengan larutan irigasi.2
Larutan irigasi yang digunakan bertujuan untuk menghilangkan debris sisa
preparasi mekanis, jaringan pulpa nekrotik dan bakteri dalam saluran akar yang
tidak bisa dicapai dengan instrumentasi secara mekanis.3 Larutan irigasi untuk
perawatan saluran akar yang ideal harus mempunyai sifat mampu membunuh
bakteri, mengeluarkan debris hasil preparasi saluran akar, berfungsi sebagai bahan
lubrikasi, melarutkan jaringan organik, tidak mengiritasi jaringan periapikal, tidak
bersifat toksik terhadap jaringan periradikular dan tidak melemahkan struktur gigi.4
Penyebab infeksi saluran akar adalah berbagai macam bakteri.Bakteri pada
kasus endodontik primer berbeda dengan kelainan setelah perawatan saluran akar.
Pada gigi yang sudah dilakukan perawatan saluran akar, bakteri yang dominan
adalah bakteri Gram-positif.5 Enterococcus faecalis merupakan bakteri kokus
Gram-positif, anaerob fakultatif.6 Prevalensi tinggi bakteri Enterococcus faecalis
ditemukan pada saluran akar yang sudah dilakukan perawatan dengan kelainan
periapikal dan ditemukan 29-77% pada kasus endodontik.7 Enterococcus faecalis
merupakan bakteri yang paling resisten dan dapat menyebabkan kegagalan pada
perawatan saluran akar.8 Bakteri Enterococcus faecalis dapat menempel pada
dinding saluran akar, berakumulasi dan membentuk biofilm.9 Bakteri ini juga
resisten terhadap bahan medikasi intrakanal seperti kalsium hidroksida.5,6
3
Bahan yang digunakan untuk irigasi saluran akar antara lain hidrogen
peroksida (H₂O₂), natrium hipoklorit (NaOCl), Ethylenediaminetetraacetic acid
(EDTA), klorheksidin glukonat (CHX) dan Mixed Tetracyclin Acid and Detergen
(MTAD). Natrium hipoklorit merupakan larutan irigasi yang paling sering
digunakan pada perawatan saluran akar. Konsentrasinya bervariasi dari 0,5-6%.
Natrium hipoklorit bersifat antibakteri dan merupakan pelarut organik yang sangat
baik untuk jaringan pulpa vital dan nekrotik.6 Natrium hipoklorit mempunyai sifat
sebagai larutan irigasi yang ideal namun punya efek toksik terhadap jaringan
periapikal, rasa bau dan tidak enak dan bisa menyebabkan reaksi alergi.8,10
Klorheksidin glukonat telah digunakan lebih dari 50 tahun untuk mencegah
karies, terapi kelainan periodontal, obat kumur dan larutan irigasi. Konsentrasinya
bervariasi dari 0,2-2%.6 Klorheksidin glukonat telah banyak digunakan dalam
perawatan endodontik sebagai larutan irigasi karena bersifat antibakteri yang
berspektrum luas, sitotoksisitasnya relatif rendah dan berkemampuan untuk
menghambat pertumbuhan bakteri tertentu yang resisten, seperti Enterococcus
faecalis.2
Selain klorheksidin ada beberapa bahan alami yang dikembangkan sebagai
bahan antimikroba. Bahan alam, terutama tanaman, telah lama digunakan di bidang
kesehatan untuk keperluan preventif, kuratif, dan rehabilitatif.2 Pengobatan dengan
menggunakan tumbuhan obat di Indonesia saat ini lebih digalakkan, baik di bidang
kedokteran maupun kedokteran gigi, sehingga pemakaian tanaman obat
berkembang dengan pesat. Hal ini terjadi karena Indonesia dikenal kaya dengan
keanekaragaman hayati atau tumbuhan. Upaya itu dilakukan seiring dengan anjuran
pemerintah untuk mengelola dan memberdayakan segala sumber daya alam secara
lestari dan berkelanjutan. Tumbuhan obat juga banyak dimanfaatkan sebagai bahan
dasar pembuatan obat karena efisien, murah, mudah didapatkan, tingkat toksisitas
rendah dan resistensi bakteri rendah.10
Teh hijau merupakan salah satu tanaman yang dapat dijadikan minuman yang
sudah dikenal luas di Indonesia dan di dunia. Teh dibedakan menjadi empat jenis
yaitu teh putih, teh hijau, teh oolong dan teh hitam. Teh putih terbuat dari daun yang
sangat muda, teh hijau dari daun yang tidak difermentasikan, teh oolong dari daun
4
yang sebagian difermentasikan sedangkan teh hitam dari daun teh yang di
fermentasi total. Teh hijau mempunyai efek antibakteri terhadap bakteri Gram-
positif dan Gram-negatif seperti Escherichia coli, Salmonella spp, Staphylococcus
aureus, dan Enterococcus spp.11 Teh juga mengandung flouride alami yang mampu
mencegah terjadinya karies gigi.2 Kandungan fitokimia teh hijau yaitu alkaloid,
saponin, tanin, katekin dan polifenol.12 Teh hijau mengandung polifenol dengan
konsentrasi paling besar dibandingkan dengan teh oolong dan teh hitam.11 Tiga
puluh sampai empat puluh persen daun teh hijau mengandung polifenol dimana
kandungan utamanya adalah katekin, sedangkan teh hitam hanya mengandung tiga
sampai sepuluh persen polifenol.12
Kandungan katekin dalam teh mempunyai efek antibakteri, antikanker,
antioksidan, dan antiinflamasi. Teh hijau mudah tersedia, ekonomis, tingkat
toksisitas rendah dan tidak menimbulkan resistensi bakteri, sehingga teh hijau
merupakan alternatif yang sangat baik untuk dijadikan sebagai bahan irigasi pada
perawatan endodontik. Penelitian Martina dkk. menyatakan bahwa infusum teh
hijau konsentrasi 3,5% merupakan konsentrasi minimal yang dapat menghambat
pertumbuhan Enterococcus faecalis.3
B. Rumusan Masalah
Apakah ada perbedaan efektivitas antara ekstrak teh hijau 3,5%, infusum teh
hijau 3,5% dan klorheksidin 2% terhadap eradikasi biofilm Enterococcus faecalis
setelah aplikasi selama 15 detik, 30 detik dan 60 detik secara in vitro.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas antara ekstrak teh
hijau 3,5%, infusum teh hijau 3,5% dan klorheksidin 2 % terhadap eradikasi
biofilm Enterococcus faecalis setelah aplikasi selama 15 detik, 30 detik dan 60
detik secara in vitro.
D. Manfaat Penelitian
5
Bagi ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
mengenai penelitian bahan irigasi saluran akar dalam bidang kedokteran gigi,
terutama dalam bidang ilmu konservasi gigi. Bagi praktisi kedokteran gigi di bidang
endodontik adalah menemukan bahan irigasi alternatif alami untuk saluran akar
yang aman digunakan sehingga tingkat keberhasilan perawatan saluran akar
meningkat. Bagi masyarakat agar diperoleh pelayanan perawatan gigi yang lebih
baik ditinjau dari tingkat keamanan bahan irigasi saluran akar yang akan digunakan
dan lebih ekonomis.
BAB II
6
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perawatan Saluran Akar
Tujuan perawatan saluran akar adalah mengeliminasi bakteri dari sistem saluran
akar dan mencegah terjadinya infeksi berulang. Infeksi berulang dan peradangan
periapikal dapat disebabkan oleh sejumlah bakteri yang ditemukan dalam sistem
saluran akar dan tubulus dentin. Pembersihan dan desinfeksi saluran akar sangat
tergantung pada preparasi secara mekanis menggunakan instrumen dan secara
kimiawi dengan larutan irigasi.14
Irigasi adalah proses penting dalam menghilangkan mikroorganisme dari sistem
saluran akar.2,14 Bahan irigasi saluran akar yang digunakan bertujuan untuk
menghilangkan debris sisa preparasi mekanis, jaringan nekrotik, bakteri dan smear
layer dalam saluran akar. Larutan irigasi yang ideal harus mempunyai sifat dapat
membersihkan debris, berfungsi sebagai bahan lubrikasi, melarutkan bahan
organik, mampu membunuh bakteri, tidak mengiritasi jaringan periapikal, tidak
bersifat sitotoksik dan tidak melemahkan struktur gigi.15
B. Enterococcus faecalis
Enterococcus faecalis merupakan bakteri kokus Gram-positif, anaerob
fakultatif, tidak bergerak, berbentuk ovoid dengan diameter rata-rata 0,8-1 µm
terdiri atas rantai pendek, tunggal maupun berpasangan. Enterococcus faecalis
dapat memasuki tubulus dentin, bertahan dari preparasi kimia mekanis dan bahan
medikamen saluran akar, serta dapat menyebabkan infeksi ulang saluran akar yang
telah diobturasi.16 Enterococcus faecalis dapat menempel pada dinding saluran
akar, berakumulasi dan membentuk biofilm.16 Bakteri ini dapat tumbuh pada suhu
10-45 ̊C dan bertahan pada suhu 60 ̊C selama 30 menit.17
Bakteri ini sering ditemukan pada infeksi rongga mulut, periodontitis
marginalis, infeksi saluran akar, abses periradikular dan sering terdeteksi pada
kasus terapi endodontik yang gagal termasuk pada pengisian saluran akar dengan
periodontitis apikalis yang persisten.17 Enterococcus faecalis dapat bertahan hidup
7
di saluran akar sekalipun dalam lingkungan yang merugikan dengan nutrisi yang
terbatas.16
C. Biofilm
Biofilm adalah komunitas mikroba multiselular yang ditandai sel-sel yang
berikatan erat dan terikat dalam matriks extracellular polimeric substance (EPS).9
Matriks dalam biofilm tersusun oleh polisakarida yang mengandung protein dan
asam nukleat. Biofilm menyimpan nutrisi untuk pertumbuhan populasi
mikroorganisme dan melekatkan mikroorganisme pada permukaan. Bakteri
Enterococcus faecalis dapat menempel pada dinding saluran akar, berakumulasi
dan membentuk biofilm.9
D. Pengujian Biofilm
Ada empat metode dasar untuk menilai pertumbuhan dan menganalisis biofilm
yaitu microtiter plate biofilm assay, air-liquid interface assay, colony biofilm assay
dan kadouri drip-fed biofilm assay. Microtiter plate biofilm assay disebut juga 96-
well plate assay. 96-well plate assay merupakan metode sederhana untuk melihat
perlekatan bakteri dengan mengukur pewarnaan dari perlekatan biofilm. Pewarnaan
bakteri yang digunakan adalah kristal violet o,1%, pewarnaan yang terserap pada
bakteri kemudian dilarutkan dengan etanol acetone kemudian densitas optik dari
kristal violet dibaca menggunakan microtiter plate reader.
Air-liquid interface assay (ALI Assay) merupakan metode sederhana untuk
menganalisis secara mikroskopis pembentukan atau formasi dari biofilm pada
waktu 4-48 jam. Menggunakan 24 well plate yang diletakkan pada sudut 30-50̊ dari
bidang horizontal kemudian penilaian bakteri yang sudah ditumbuhkan dalam
jangka waktu tertentu dengan mikroskop inverted.
Colony biofilm assay merupakan metode dengan menumbuhkan koloni biofilm
pada membran semipermeabel yang diletakkan diatas plat agar. Metode ini
digunakan untuk melihat kematian sel dalam biofilm setelah aplikasi antibiotik.
Kadouri drip-fed biofilm assay merupakan metode untuk melihat pembentukan
biofilm bakteri yang ditumbuhkan dalam waktu yang lebih lama sehingga
8
didapatkan maturasi yang sempurna dari biofilm kemudian pembentukan biofilm
pada dasar well plate dilihat dengan mikroskop inverted.18
E. Larutan Irigasi
1. Klorheksidin glukonat (CHX)
Klorheksidin glukonat (CHX) memiliki kegunaan sebagai obat kumur,
medikamen intrakanal dan larutan irigasi. Konsentrasinya bervariasi dari 0,2-
2%. Klorheksidin glukonat konsentrasi 0,2% mempunyai efek bakteriostatik
sedangkan pada konsentrasi tinggi 2% punya daya bakterisid. Klorheksidin
glukonat memiliki kemampuan dalam menghambat pertumbuhan bakteri, daya
tahan serta biokompatibilitas yang tinggi. Klorheksidin glukonat adalah bahan
antibakteri yang berspektrum luas yang efektif dalam menghambat bakteri
Gram-negatif dan Gram-positif, terutama untuk menghambat pertumbuhan
bakteri tertentu yang resisten, seperti Enterococcus faecalis.19,20,21 Klorheksidin
glukonat dalam bentuk obat kumur biasanya digunakan untuk terapi periodontal
dan karies. Klorheksidin glukonat memiliki sitotoksisitas yang relatif rendah,
namun juga memiliki kekurangan, yaitu tidak dapat melarutkan jaringan
organik dan efek samping berupa iritasi pada kulit, gingivitis deskuamatif,
perubahan warna pada gigi dan lidah, atau serta dapat merusak potensi
regeneratif jaringan apikal.22 Klorheksidin glukonat juga direkomendasikan
sebagai larutan irigasi alternatif selain natrium hipoklorit terutama untuk gigi
dengan apeks terbuka dan penderita dengan riwayat alergi natrium hipoklorit.8
2. Teh hijau (Camelia sinensis)
Teh hijau (Camellia sinensis) merupakan salah satu tanaman yang dapat
dijadikan minuman yang sudah dikenal luas di Indonesia dan di dunia. Teh
diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1686 oleh seorang ahli botani sekaligus
dokter dari Belanda bernama Andreas Cleyer.
Komposisi Teh Hijau (Camelia sinensis) terdiri atas kandungan kimia yang
kompleks. Teh mengandung alkaloid, saponin, tanin, katekin polifenol, 15-20%
9
protein dan 1-4% asam amino seperti tanin, asam glutamat, triptopan, glycine,
serin, tirosin, valin, leucine, threonin dan arginin. Selain itu, terdapat unsur
karbohidrat seperti selulose, glukosa, pektin dan fruktosa. Teh hijau juga
mengandung berbagai macam mineral dan vitamin (B, C dan E), lipid, pigmen
berupa klorofil dan enzim-enzim yang berperan sebagai katalisator contohnya
enzim amilase, protease, peroksidase dan polifenol oksidase.12
Tiga puluh sampai empat puluh persen dari daun teh mengandung polifenol
yang kandungan utamanya adalah katekin, sedangkan teh hitam hanya
mengandung tiga sampai sepuluh persen polifenol.12 Katekin merupakan
senyawa larut air, tidak berwarna dan memiliki rasa yang pahit. Di samping itu,
katekin adalah komponen utama teh hijau yang paling berpengaruh terhadap
seluruh komponen teh (rasa, aroma dan warna). Kandungan katekin teh hijau
terdiri atas senyawa katekin (C), 50% (-)-epigallatocatechin-3-gallate (EGCg),
19% (-) – epigallatocatechin (EGC), 13.6% (-)-epicatechin-3-gallate (ECg) dan
sekitar 6.4% (-)-epicatechin (EC).3,22 ECg, EGC, EGCg berperan sebagai zat
antimikroba.11
Konsentrasi katekin pada teh hijau tergantung pada umur daun, lokasi
geografis, kondisi saat pertumbuhan (iklim, tanah) dan varietas tanaman tehnya.
Teh hijau juga mengandung gallic acid (GA) dan polifenol lainnya seperti asam
klorogenik dan flavonol yaitu kaempferol, myricetin dan quercetin yang bersifat
sebagai antioksidan alami.11
Dari hasil penyaringan fitokimia, pada teh hijau terbukti terdapat
kandungan alkaloid, saponin, tanin, katekin dan polifenol, penelitian
menyebutkan bahwa kandungan polifenol pada teh hijau lebih berperan sebagai
zat anti mikroba pada saluran akar. Ekstrak teh hijau termasuk dalam kelompok
antimikroba berspektrum luas dalam menghambat petumbuhan bakteri dan
jamur. Antimikroba merupakan zat yang berfungsi untuk membunuh
menghambat pertumbuhan mikroba.24 Mekanisme kerja zat antimikroba dapat
meliputi penghambatan sintesis dinding sel, penghambatan fungsi membran sel,
penghambatan sintesis protein, penghambatan sintesis asam nukleat, dan
penghambatan reaksi enzimatik.3
10
Katekin dalam teh merupakan senyawa utama dalam polifenol yang bersifat
anti mikroba karena menunjukkan kemampuannya merusak sel dari sebagian
mikroorganisme, di antaranya Enterococcus faecalis dan Staphylococcus
aureus dan efektif menurunkan jumlah mikroba saluran akar lainnya.
Kandungan teh hijau yaitu katekin menghambat pertumbuhan bakteri
Staphylococcus aureus (Gram-positif) dan Enterococcus faecalis dengan
merusak struktur bakteri tersebut. Struktur yang dirusak pada Staphylococcus
aureus tersebut di antaranya kapsul, lapisan peptidoglikan, polisakarida A
(asam teikhoat), protein A, membran sitoplasma, dan sitoplasma.Selain itu
peran katekin yaitu pada membran lipid bilayer yang menghilangkan struktur
sel dan fungsi sel sehingga menyebabkan kematian bakteri tersebut.11
Kandungan teh hijau terutama senyawa polifenol yaitu EGCg terbukti dapat
membunuh bakteri dengan menempel pada dinding bakteri, kemudian
melakukan agregasi pada lapisan peptidoglikan dan menyebabkan kebocoran,
lama kelamaan dinding sel akan menipis dan pecah menyebabkan keluarnya isi
sel dan kematian bakteri.3,12
F. Metode Infusa dan Ekstraksi
Infus adalah sediaan cair yang dibuat dengan cara mengekstraksi simplisia
nabati dengan air pada suhu 90 ̊C selama 15 menit. Pembuatan infus merupakan
cara yang paling sederhana untuk membuat sediaan herbal dari bahan lunak seperti
daun dan bunga. Pembuatannya dengan mencampur simplisia dalam panci dengan
air secukupnya, kemudian dipanaskan pada suhu 90 ̊C selama 15 menit sambil
sekali-sekali diaduk. Ekstraksi merupakan proses pemisahan bahan aktif dari
jaringan tumbuhan atau binatang dengan menggunakan pelarut tertentu. Pelarut
yang digunakan adalah air, etanol atau campuran etanol dan air.
BAB III
KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS
11
A. Kerangka Teori
Pada tahap preparasi saluran akar, instrumentasi harus didukung oleh bahan
irigasi yang aktif. Tujuan irigasi saluran akar adalah untuk menghilangkan
debris sisa preparasi mekanis, jaringan nekrotik, bakteri dan smear layer dalam
saluran akar.
Enterococcus faecalis adalah bakteri yang paling sering ditemukan dalam
saluran akar dan mampu bertahan dalam perubahan lingkungan saluran akar
serta resisten terhadap bahan medikasi saluran akar. Prevalensi tinggi bakteri
Enterococcus faecalis ditemukan pada saluran akar yang sudah dilakukan
perawatan dengan kelainan periapikal.
Klorheksidin glukonat (CHX) memiliki kegunaan sebagai obat kumur,
medikamen intrakanal dan larutan irigasi. Klorheksidin glukonat 2%
merupakan salah satu bahan irigasi yang digunakan secara luas karena memiliki
efek antimikroba yang baik. Klorheksidin efektif terhadap bakteri Gram negatif
dan Gram positif.
Selain klorheksidin ada beberapa bahan alami yang dikembangkan sebagai
bahan antimikroba. Bahan yang dikembangkan sebagai alternatif bahan irigasi
saluran akar ialah teh hijau (Camelia sinensis). Daun teh hijau diketahui
memiliki efek antibakteri terhadap beberapa jenis bakteri dan salah satunya
adalah Enterococcus faecalis.
B. Kerangka Konsep
Ekstrak teh hijau 3,5%
Infusum teh hijau 3,5%
Klorheksidin 2%
Eradikasi biofilm Enterococcus faecalis
12
Gambar 1. Kerangka konsep penelitian
C. Hipotesis
Terdapat perbedaan efektivitas bahan irigasi antara ekstrak teh hijau 3,5%,
infusum teh hijau 3,5% dan klorheksidin 2% terhadap eradikasi biofilm
Enterococcus faecalis setelah aplikasi selama 15 detik, 30 detik dan 60 detik
secara in vitro.
BAB IV
METODE PENELITIAN
Aplikasi waktu
15 detik, 30 detik dan
60 detik
13
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratoris untuk
mengetahui perbedaan efektivitas bahan irigasi antara ekstrak teh hijau 3,5%,
infusum teh hijau 3,5% dan klorheksidin glukonat 2% terhadap eradikasi
biofilm Enterococcus faecalis setelah aplikasi bahan selama 15 detik, 30 detik
dan 60 detik secara in vitro.
B. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan paska perlakuan
dengan kontrol.
C. Sampel Penelitian
Sampel penelitian adalah setiap sumuran dari microtiter well plate yang
berisi 1x108 CFU/mL Enterococcus faecalis ATCC 29212 yang didapat dari
bagian Biologi Oral Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia.
Perhitungan jumlah sampel penelitian dihitung berdasarkan rumus Lwanga dan
Lemeshow:
n = 2 Sd2 (Z1-α + Z1-β)2
(x1-x2)2
Keterangan:
n = jumlah sampel
Sd = standar deviasi larutan CHX ditambah larutan NaOCl dibagi 2
Z 1-α = deviat baku normal untuk tingkat kemaknaan ( Z 1 - α = 1,96)
Z 1-β = deviat baku normal untuk kekuatan uji ( Z 1 - β = 0,842)
x1 = rata-rata besarnya densitas optik E. faecalis larutan CHX.
x2 = rata-rata besarnya densitas optik E. faecalis larutan NaOCl.
Perhitungan besar sampel berdasarkan penelitian Manikandan, dkk.26
Sd = 0,01 + 0,03 = 0,0004
Z 1-α = 1,96
Z 1-β = 0,842
14
x1 = rata-rata densitas optik E. faecalis larutan CHX (x1 =0,134)
x2 = rata-rata densitas optik E. faecalis larutan NaOCl (x2 =0,089)
n = 2 Sd2 (Z1-α + Z1-β)2
(x1-x2)2
= 2 (0,0004)2 (1,96+0,842)2
(0,134-0,089)2
= 3,1
Setelah dilakukan perhitungan didapat nilai n= jumlah sampel minimal
yaitu 3,1. Pada penelitian ini digunakan 6 sampel untuk tiap kelompok.
D. Variabel Penelitian
1. Variabel bebas atau pengaruh
Variabel bebas pertama pada penelitian ini adalah larutan irigasi ekstrak
teh hijau 3,5%, infusum teh hijau 3,5% dan klorheksidin 2%. Variabel
bebas kedua adalah waktu aplikasi selama 15 detik, 30 detik dan 60 detik.
2. Variabel tergantung atau terpengaruh
Variabel tergantung pada penelitian ini adalah nilai eradikasi biofilm
Enterococcus faecalis berdasarkan nilai densitas optik menggunakan
microtiter plate reader.
3. Variabel terkendali
Variabel terkendali pada penelitian ini adalah: operator, jenis larutan
irigasi, volume larutan irigasi, konsentrasi larutan irigasi, jumlah bakteri
media pertumbuhan.
E. Definisi Operasional Variabel
1. Eradikasi biofilm Enterococcus faecalis
Nilai efektivitas eradikasi biofilm Enterococcus faecalis yang terbentuk
dari 1x108 CFU/mL E. Faecalis pada 96 well microtiter plate yang diukur
berdasarkan nilai densitas optik pewarna kristal violet yang terserap oleh
15
biofilm setelah aplikasi bahan uji dan diukur menggunakan microtiter
plate reader (Model 680, Bio-Rad, USA) pada panjang gelombang 655
nm.
Skala: Ratio.
2. Esktrak teh hijau 3,5%
Daun teh hijau dikeringkan dengan oven pada suhu 50°C selama 24
jam. Daun teh hijau yang telah kering ditumbuk dan diayak dengan
ayakan ukuran 2/9 sehingga didapatkan serbuk teh hijau. Serbuk teh
hijau direndam dengan etanol 70% sebanyak 800 mL, diaduk dan
ditutup aluminium foil selama 24 jam kemudian disaring. Filtrat yang
telah disaring ditampung dan ditambahkan pelarut etanol 70% sampai
bahan tersebut terendam. Filtrat kemudian ditutup dengan aluminium
foil dan didiamkan 24 jam, kemudian disaring. Filtrat ditampung
kembali kemudian dipekatkan menggunakan evaporator sehingga
diperoleh ekstrak pekat dan tidak mengandung etanol. Uji fitokimia dari
ekstrak teh hijau dilakukan di Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka
Bogor.
Skala: Nominal.
3. Infusum teh hijau 3,5%
Daun teh hijau dikeringkan dengan oven pada suhu 50°C selama 24
jam. Daun teh hijau yang telah kering ditumbuk dan diayak dengan
ayakan ukuran 2/9 sehingga didapatkan serbuk teh hijau. Serbuk teh
hijau diambil sebanyak 100 gram kemudian dipanaskan dengan suhu
90oC dalam 100mL air selama 15 menit , lalu dilakukan penyaringan
dengan kertas saring steril. Volume infusum yang dihasilkan dari
penyaringan ditambahkan dengan air panas hingga memperoleh 100mL.
Pada konsentrasi infusum 3,5% dilakukan pengenceran sesuai
konsentrasi. Uji fitokimia dari infusum teh hijau dilakukan di
Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka Bogor.
Skala: Nominal.
4. Klorheksidin 2%
16
Larutan klorheksidin glukonat 2% (Gluco-Chex 2%, Ultradentalindo).
Skala: Nominal.
F. Alat dan Bahan Penelitian
1. Alat penelitian
a. Tabung reaksi untuk mengencerkan bakteri Enterococcus faecalis.
b. Pipet transfer.
c. Pipet individual 5 mL.
d. Pipet tips.
e. Autoclave.
f. 96-well microtiter plate (TCP-001096, Jt-Bio Filtration,
Guangzhou).
Gambar 2. 96-well microtiter plate.
g. Microtiter plate reader (Model 680, Bio-Rad, USA)
17
Gambar 3. Microtiter plate reader.
h. Inkubator untuk tempat menyimpan subyek penelitian agar
memperoleh suhu yang stabil
Gambar 4. Inkubator.
2. Bahan penelitian
a. Bakteri Enterococcus faecalis ATCC 29212 yang didapat dari
bagian Biologi Oral Universitas Indonesia.
Gambar 5. Bakteri Enterococcus faecalis ATCC 29212.
b. Esktrak teh hijau 3,5%
18
Gambar 6. Ekstak teh hijau 3,5%.
c. Infusum teh hijau 3,5%
Gambar 7. Infusum teh hijau 3,5%.
d. Larutan klorheksidin glukonat 2% (Gluco-Chex 2%,
Ultradentalindo,).
Gambar 8. Klorhexidin glukonat 2%.
e. Brain Heart Infusion Broth (BHIB) (HiMedia Laboratories Pvt.Ltd.
19
India).
Gambar 9. Brain Heart Infusion Broth (BHIB).
f. Phospate buffered saline (P-3813, USA).
Gambar 10. Phospate buffered saline.
g. Larutan crystal violet ( C.I. 42555, USA).
Gambar 11. Crystal violet.
G. Jalannya Penelitian
20
1. Identifikasi tanaman.
Identifikasi daun teh hijau (Camelia sinensis) dilakukan di Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bogor. Hasil identifikasi daun teh
hijau (Camelia sinensis) dapat dilihat pada lampiran 1.
2. Pembuatan ekstrak teh hijau (Camelia sinensis) yang dipakai sebagai
bahan uji pada penelitian ini dibuat di Balittro Bogor. Daun teh hijau
dikeringkan dengan oven pada suhu 50°C selama 24 jam. Daun teh hijau
yang telah kering ditumbuk dan diayak dengan ayakan ukuran 2/9
sehingga didapatkan serbuk teh hijau. Serbuk teh hijau direndam dengan
etanol 70% sebanyak 800 mL, diaduk dan ditutup aluminium foil selama
24 jam kemudian disaring. Filtrat yang telah disaring ditampung dan
ditambahkan pelarut etanol 70% sampai bahan tersebut terendam. Filtrat
kemudian ditutup dengan aluminium foil dan didiamkan 24 jam,
kemudian disaring. Filtrat ditampung kembali kemudian dipekatkan
menggunakan evaporator sehingga diperoleh ekstrak pekat dan tidak
mengandung etanol. Uji fitokimia dari ekstrak teh hijau dilakukan di
Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka Bogor.
3. Pembuatan infusum teh hijau (Camelia sinensis) yang dipakai sebagai
bahan uji pada penelitian ini dibuat di Laboratorium Pusat Studi
Biofarmaka Bogor. Daun teh hijau dikeringkan dengan oven pada suhu
50°C selama 24 jam. Daun teh hijau yang telah kering ditumbuk dan
diayak dengan ayakan ukuran 2/9 sehingga didapatkan serbuk teh hijau.
Serbuk teh hijau diambil sebanyak 100g kemudian dipanaskan dengan
suhu 90oC dalam 100mL air selama 15 menit , lalu dilakukan
penyaringan dengan kertas saring steril. Volume infusum yang
dihasilkan dari penyaringan ditambahkan dengan air panas hingga
memperoleh 100mL. Pada konsentrasi infusum 3,5% dilakukan
pengenceran sesuai konsentrasi. Uji fitokimia dari infusum teh hijau
dilakukan di Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka Bogor.
4. Penelitian mengenai perbedaan efektivitas bahan irigasi antara ekstrak
teh hijau 3,5%, infusum teh hijau 3,5% dan klorheksidin 2% terhadap
21
eradikasi biofilm Enterococcus faecalis setelah aplikasi bahan selama
15 detik, 30 detik dan 60 detik dilakukan di Laboratorium Pusat Studi
Satwa Primata Bogor (PSSP). Bakteri Enterococcus faecalis disiapkan
terlebih dahulu kemudian dilakukan pembiakan dalam media Brain
Heart Infusion Broth (BHIB), diinkubasi pada 37o C selama 24 jam.
Gambar 12. Media Brain Heart Infusion Broth (BHIB).
5. Kultur E. faecalis didilusikan dengan perbandingan 1:100 kemudian
200µL dari suspensi ini diinokulasi ke tiap well dari microtiter plate
kemudian dinkubasi kembali pada 37oC selama 24 jam.
Gambar 13. E. faecalis 200µL diinokulasi ke tiap well dari microtiter plate.
6. Setelah diinkubasi selama 24 jam kultur E. faecalis dibuang, kemudian
setiap bahan irigasi dimasukkan ke well plate sebanyak 200µL.
Pemaparan bahan irigasi selama 15 detik, 30 detik dan 60 detik
kemudian bahan irigasi dibuang dan well plate dibilas dengan 200µL
phospate buffered saline dan dibuang.
7. Biofilm yang terbentuk kemudian difiksasi dengan memanaskan di atas
api.
22
8. Dilakukan pewarnaan dengan larutan crystal violet sebanyak 200µL ke
tiap well dari microtiter plate selama 15 menit kemudian dibilas dengan
phospate buffered saline steril.
Gambar 14. Pewarnaan dengan larutan crystal violet sebanyak 200µL pada tiap
well.
9. Microtiter plate dikeringkan dengan cara menyedot kembali phospate
buffered saline pada tiap-tiap well.
10. Untuk melihat biofilm yang terbentuk, 200µL etanol acetone
dimasukkan ke dalam tiap sumur dari microtiter plate.
Gambar 15. Etanol acetone 200µL dimasukkan ke tiap well dari microtiter plate.
11. Densitas optik dari kristal violet diukur pada 655nm menggunakan
microtiter plate rider.
H. Alur penelitian
Enterococcus faecalis dilakukan pembiakan dalam media Brain Heart Infusion Broth (BHIB), diinkubasi pada 37o C selama 24 jam.
23
Gambar 16. Kerangka alur penelitian
I. Analisis Data
Data yang didapat dari hasil penelitian ini berupa data rasio. Data yang didapat diuji
Kultur E. faecalis didilusikan dengan perbandingan 1:100 kemudian 200µL dari
suspensi ini diinokulasi ke tiap well dari microtiter plate kemudian dinkubasi
kembali pada 37oC selama 24 jam.
Kultur E. faecalis dibuang, setiap bahan irigasi dimasukkan ke well plate sebanyak 200µLà pemaparan dibiarkan selama 15 detik, 30 detik dan 60 detik.
Setiap bahan irigasi dimasukkan ke well plate sebanyak 200µLà pemaparan dibiarkan selama 15 detik, 30 detik dan 60 detik.
Dilakukan pewarnaan dengan larutan crystal violet sebanyak 200µL ke tiap well dari
microtiter plate selama 15 menit kemudian dibilas dengan phospate buffered saline.
Biofilm yang terbentuk kemudian difiksasi dengan memanaskan di atas api.
Microtiter plate dikeringkan dengan cara menyedot kembali phospate buffered
saline pada tiap-tiap well.
200µL etanol acetone dimasukkan ke dalam tiap sumur dari microtiter plate.
Densitas optik dari kristal violet diukur pada 655nm menggunakan microtiter
plate rider.
Ekstrak teh hijau 3,5%
Infusum teh hijau 3,5%
CHX 2% Kontrol
Bahan irigasi dibuang kemudian well plate dibilas dengan 200µL phospate buffered saline
24
normalitasnya dengan uji Saphiro-Wilk, distribusi data normal maka uji hipotesis
dilanjutkan menggunakan ANOVA dua jalan. Jika terdapat perbedaan bermakna
maka dilakukan uji perbandingan multiple menggunakan post hoc test untuk
mengetahui perbedaan antar kelompok.
BAB V
HASIL PENELITIAN
25
A. Uji Fitokimia
Hasil uji fitokimia yang dilakukan di Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka
Bogor menunjukkan bahwa ekstrak teh hijau mengandung senyawa alkaloid,
steroid, flavonoid, tanin, saponin dan triterpenoid. Infusum teh hijau
mengandung senyawa steroid, flavonoid, tanin dan saponin. Hasil lengkap uji
fitokimia ekstrak dan infusum teh hijau dapat dilihat pada lampiran 2.
B. Normalitas Data
Uji normalitas data dilakukan dengan uji Saphiro-Wilk untuk tiap
kelompok. Hasil uji normalitas data menunjukkan bahwa data nilai densitas
optik kelompok bahan uji ekstrak teh hijau 3,5%, infusum teh hijau 3,5%, CHX
2% dan aquades setelah aplikasi bahan selama 15 detik, 30 detik dan 60 detik
berdistribusi normal ( p>0,05). Sehubungan dengan itu, uji statistik selanjutnya
dilakukan menggunakan analisis statistik parametrik ANOVA dua jalan.
Tabel 1. Hasil uji normalitas data dengan Saphiro-Wilk
Kelompok Rata-rata±Simpang Baku RJ p Distribusi
Ekstrak teh hijau 3,5% 0,1786±0,03364 0,957 > 0,100 Normal
Infusum teh hijau 3,5% 0,1085±0,00626 0,960 > 0,100 Normal
Klorhexidin 2% 0,06678±0,01170 0,973 > 0,100 Normal
Aquades 0,1203±0,02954 0,964 > 0,100 Normal
C. Deskripsi Data
Besarnya efektivitas bahan irigasi ekstrak teh hijau 3,5%, infusum teh hijau
3,5%, CHX 2% dalam mengeradikasi biofilm E. Faecalis dilakukan di
Laboratorium Pusat Studi Satwa Primata Bogor (PSSP). Terdapat 4 kelompok
26
pada penelitian ini, yaitu ekstrak teh hijau 3,5%, infusum teh hijau 3,5%,
klorhexidin 2% dan aquades dengan waktu aplikasi bahan selama 15 detik, 30
detik dan 60 detik. Rata-rata dan standar deviasi hasil pengukuran densitas optik
biofilm E. Faecalis dapat dilihat pada tabel 2. Efektivitas bahan irigasi dilihat
dari densitas optik pewarna kristal violet yang terserap biofilm dibaca
menggunakan microtiter plate reader dimana yang paling tinggi pada kelompok
ekstrak teh hijau 3,5%, kedua infusum teh hijau 3,5%, sedangkan yang terendah
pada klorhexidin 2%. Makin tinggi densitas optik sampel, makin banyak kristal
violet yang diserap oleh sampel, artinya makin banyak biofilm E.Faecalis yang
tertinggal setelah pemaparan bahan uji sehingga makin rendah kemampuan
bahan irigasi untuk mengeradikasi E.faecalis.
Tabel 2. Hasil pengukuran densitas optik eradikasi biofilm E.Faecalis menggunakan microtiter plate reader.
GROUP
WAKTU
MEAN
STANDARD DEVIASI
N
Larutan ekstrak teh hijau 3,5%
15 detik
0,215667
0,018683
6
27
30 detik
0,140833
0,006940
6
60 detik
0,179333
0,009416
6
Larutan infusum teh hijau 3,5%
15 detik
0,109167
0,006210
6
30 detik
0,106500
0,005992
6
60 detik
0,175500
0,050424
6
Larutan CHX 2%
15 detik
0,052167
0,000408
6
30 detik
0,070667
0,003266
6
60 detik
0,077500
0,006504
6
Larutan aquades
15 detik
0,100500
0,043908
6
30 detik
0,137000
0,013387
6
60 detik
0,123333
0,006593
6
D. Uji Hipotesis
a. ANOVA dua jalan
Hasil ANOVA dua jalan ( tabel 3) dari nilai densitas optik pewarna kristal
violet yang terserap pada biofilm E.faecalis yang terbentuk setelah aplikasi
bahan uji irigasi ekstrak teh hijau 3,5%, infusum teh hijau 3,5%, klorhexidin
2% dan aquades setelah aplikasi bahan uji selama 15 detik, 30 detik, dan 60
detik menunjukkan adanya perbedaan bermakna ( F= 164,89; p= 0,000) antara
ketiga jenis bahan irigasi.
Tabel 3. Hasil ANOVA dua jalan densitas optik antara group dan waktu
Source DF SS MS F p
Group 3 0.114863 0.0382878 164.89 0.000
Waktu 2 0.001021 0.0005107 2.20 0.120
28
Interaction 6 0.021998 0.0036664 15.79 0.000
Error 60 0.013932 0.0002322
Total 71 0.151815
S = 0.01524 R-Sq = 90.82% R-Sq(adj) = 89.14%
Kesimpulan: ada perbedaan bermakna ( F= 164,89; p= 0,000) antara ketiga
jenis bahan irigasi dan tidak ada perbedaan bermakna ( F= 2,20; p= 0,120)
antara ketiga aplikasi waktu.
b. Uji multiple comparison
Selanjutnya dilakukan uji multiple comparison menggunakan uji post hoc
test untuk membuktikan kemaknaan perbedaan antar setiap bahan. Hasil uji post
hoc menunjukkan bahwa densitas optik kelompok yang dipapar oleh bahan uji
ekstrak teh hijau 3,5% lebih tinggi dibanding infusum teh hijau 3,5% dan
klorhexidin 2%. Efektivitas bahan irigasi dilihat dari densitas optik pewarna
kristal violet yang terserap biofilm dibaca menggunakan microtiter plate reader
dimana yang paling tinggi pada kelompok ekstrak teh hijau 3,5%, kedua
infusum teh hijau 3,5%, sedangkan yang terendah pada klorhexidin 2%. Makin
tinggi densitas optik sampel, makin banyak kristal violet yang diserap oleh
sampel, artinya makin banyak biofilm E.Faecalis yang tertinggal setelah
pemaparan bahan uji sehingga makin rendah kemampuan bahan irigasi untuk
mengeradikasi E.faecalis.
Tabel 4. Perhitungan Uji Perbandingan Multipel Posteriori Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev ----+---------+---------+---------+----- 1 18 0.17861 0.03364 (--*--) 2 18 0.10903 0.00572 (--*--)
29
3 18 0.06678 0.01170 (--*--) 4 18 0.12028 0.02954 (--*--) ----+---------+---------+---------+----- 0.070 0.105 0.140 0.175
BAB VI
PEMBAHASAN
30
Bakteri pada kasus endodontik primer berbeda dengan bakteri pada
perawatan ulang saluran akar.5 Enterococcus faecalis merupakan bakteri fakultatif
Gram-positif yang dominan pada gigi yang sudah dilakukan perawatan saluran akar
dengan kelainan periapikal. Prevalensinya tinggi sekitar 29-77% ditemukan pada
kasus kegagalan perawatan endodontik. Kemampuan Enterococcus faecalis dalam
membentuk biofilm yang memungkinkan Enterococcus faecalis bertahan terhadap
efek bakterisid dari bahan irigasi yang digunakan dalam perawatan saluran akar.
Sel-sel bakteri dalam biofilm akan menghasilkan substansi matriks polimer
ekstrakseluler yang dapat menghalangi penetrasi bahan antimikroba.27
Klorhexidin glukonat pada penelitian ini digunakan sebagai pembanding
karena merupakan bahan antibakteri berspektrum luas yang efektif dalam
menghambat bakteri Gram-negatif dan Gram-positif, terutama untuk menghambat
pertumbuhan bakteri tertentu yang resisten seperti Enterococcus faecalis.
Konsentrasi klorhexidin glukonat 2% digunakan karena pada konsentrasi ini
klorhexidin glukonat mempunyai efek bakterisid.19 Klorhexidin merupakan
molekul kationik-bisguanid yang akan berinteraksi dengan fosfolipid dan
lipopolisakarida dari membran sel bakteri kemudian akan masuk ke dalam sel dan
menyebabkan kebocoran pada komponen intraseluler.18
Daun teh hijau digunakan karena daun ini merupakan tanaman yang sudah
dikenal luas dan mudah didapatkan di Indonesia. Teh dibedakan menjadi empat
jenis yaitu teh putih, teh hijau, teh oolong dan teh hitam. Dari keempat jenis teh ini,
teh hijau mengandung polifenol dengan konsentrasi paling besar dibandingkan
dengan teh oolong dan teh hitam.11 Tiga puluh sampai empat puluh persen daun teh
hijau mengandung polifenol dimana kandungan utamanya adalah katekin,
sedangkan teh hitam hanya mengandung tiga sampai sepuluh persen polifenol.12
Infusa adalah sediaan cair yang dibuat dengan cara mengekstraksi simplisia
nabati dengan air pada suhu 90 ̊C selama 15 menit. Pembuatan infusa merupakan
cara yang paling sederhana karena alat dan bahan yang digunakan sederhana dan
mudah didapat serta waktu pembuatannya yang relatif singkat. Kekurangan dari
metode ini adalah air sebagai larutan penyari menyebabkan kemungkinan zat aktif
31
yang tersari tidak sempurna. 28 Ekstraksi merupakan proses pemisahan bahan aktif
dari jaringan tumbuhan atau binatang dengan menggunakan pelarut tertentu. Pelarut
yang digunakan adalah air, etanol atau campuran etanol dan air.
Berdasarkan uji fitokimia yang dilakukan di Laboratorium Pusat Studi
Biofarmaka Bogor menunjukkan bahwa ekstrak teh hijau mengandung senyawa
alkaloid, steroid, flavonoid, tanin, saponin dan triterpenoid. Infusum teh hijau
mengandung senyawa steroid, flavonoid, tanin dan saponin. Senyawa flavonoid,
tanin, saponin terbukti mempunyai efek antibakteri. Kandungan polifenol dari teh
hijau ini dapat membunuh bakteri dengan menempel pada dinding bakteri,
kemudian melakukan agregasi pada lapisan peptidoglikan dan menyebabkan
kebocoran, lama kelamaan dinding sel akan menipis dan pecah menyebabkan
keluarnya isi sel dan kematian bakteri.3,12
Teh hijau mempunyai efek antibakteri terhadap bakteri Gram- positif dan
Gram-negatif seperti Escherichia coli, Salmonella spp, Staphylococcus aureus, dan
Enterococcus spp.11 Berdasarkan penelitian sebelumnya ekstrak teh hijau 3,5%
merupakan konsentrasi hambat minimum yang dapat menghambat pertumbuhan
Enterococcus faecalis.3
Pemilihan waktu pemaparan selama 15detik, 30 detik dan 60 detik karena
berdasarkan penelitian sebelumnya menyebutkan klorhexidin glukonat 0,2%
mampu mengeliminasi Enterococcus faecalis dalam waktu 30 detik, klorhexidin
glukonat 1% mampu mengeliminasi Enterococcus faecalis dalam waktu 15 detik,
dan klorhexidin glukonat 2% mampu mengeliminasi Enterococcus faecalis dalam
waktu 15 detik.8 Penelitian lainnya menyebutkan natrium hipoklorit ( NaOCl
5,25%) dan klorhexidin glukonat 0,2% mampu mengeliminasi Enterococcus
faecalis dalam waktu 30 detik.25
DAFTAR PUSTAKA
1. Mehrdad Lotfi, Sepideh Vosoughhosseini, Bahram Ranjkesh, Sajjad Khani, Mohammadali Saghiri, Vahid Zand. Antimicrobial efficacy of nanosilver, sodium hypochlorite and chlorhexidine gluconate against Enterococcus faecalis. Afr J Biotechnol. 2011; 10(35): 6799-803.
32
2. Tohina Mujoo, Vasudev Ballal. Novel root canal irrigants: An endodontic
experience. Int J Dent Health Sci. 2014; 1(3): 356-66.
3. Leena P Martina, Ambrose Vedamanickam Rajesh Ebenezar, Mohamed Fayas Ghani, Ashwin Narayanan, Meenakshi Sundaram, Ajit George Mohan. An in vitro comparative antibacterial study of different concentrations of green tea extracts and 2% chlorhexidine on enterococcus faecalis. Saudi Endod J. 2013; 3(3): 120-4.
4. Pratishta Jain, Manish Ranjan. Role of herbs in root canal irrigation-A
review. IOSR-JPBS. 2014; 9(2): 6-10.
5. Radcliffe C.E, Potouridou L, Qureshi R, Habahbeh N, Qualtrough A, Worthington H, Drucker D.B. Antimicrobial activity of varying concentrations of sodium hypochlorite on the endodontic microorganisms Actinomyces israelii, A. Naeslundii, Candida albicans and Enterococcus faecalis. J Endod. 2004;37:438-46.
6. Krishna R Shetty, Mithra N Hedge, Shishir Shetty, Venna Shetty A.
comparative evaluation of bactericidal effects on Enterococcus faecalis using diode laser irradiation, sodium hypochlorite and chlorhexidine gluconate irrigation-an in vitro study. OHDM. 2013;12(3):145-50.
7. Kenneth M Hargreaves, Stephen Cohen. Pathways of the pulp 10 ed. St.
Louis: Mosby Elsevier;2011:559-601
8. Morgana Eli Vianna, Brenda P.F.A Gomes, Vanessa Bellocchio Berber, Alexandre Augusto Zaia, Caio Cezar Randi Ferraz, Fransisco Jode de Souza-Filho, Piracicaba. In vitro evaluation of the antimicrobial activity of chlorhexidine and sodium hypochlorite. J Oral Surg Oral Med Oral Pathol. 2004;97(1):79-84.
9. Maria Teresa Arias Moliz, Carmen Maria Ferrer Luque, Maria Paloma
Gonzales Rodriguez, Mariano Jose Valderrama, Pilar Baca. Eradication of Enterococcus faecalis by centrimode and chlorhexidine. J Endod. 2010;36(1): 87-90.
10. Uday Kamath, Hina Sheth, Sai Ramesh, Keshav Singla. Comparison of the
antibacterial efficacy of tea tree oil with 3% sodium hypochloride and 2% chlorhexidine againts enterococcus faecalis: An in vitro study. Journal of Contemporary Dentistry. 2013; 3(2): 1-4.
11. Wanda C Reygart. The antimicrobial possibilities of green tea. Frontiers in
microbiology. 2014;5:1-8.
33
12. Archana S and Jayanthi Abraham. Comparative analysis of antimicrobial activity of leaf extracts from fresh green tea, commercial green tea and black tea on pathogens. J Applied Pharmaceutical Sci. 2011; 01(08): 149-52.
13. Madhu Pujar, Chetan Patil, Ajay Kadam. Comparison of antimicrobial
efficacy of tripala, (GTP) green tea polyphenols and 3% sodium hypochlorite on enterococcus faecalis biofilm formed on tooth substrate: in vitro. J Int Oral Health. 2011; 3(2): 23-29.
14. Bonnie Retamozo, Shahrockh Shabahang, Neal Johnson, Raydolfo M
Aprecio, Mahmoud Torabinejad. Minimum contact time and consentration of sodium hypochlorite required to eliminate enterococcus faecalis. J Endod. 2010;36(3):520-3.
15. Ramta Bansal, Aditya Jain, Sunandan Mittal, Tarun Kumar, Neerja Jindal,
Dilpreet Kaur. A comparison of the antibacterial efficiency of mtad (mixture of tetracycline, citric acid and detergent), 2,5% sodium hypochlorite and 2% chlorhexidine root canal irrigants againts enterococcus faecalis in root canals of single rooted mandibular premolars-an in vitro study. IOSR-JDMS. 2013;5(3):47-53.
16. Prabhakar J, Senthilkumar M, Priya MS, Mahalakshmi K, Sehgal PK, Sukumaran VG. Evaluation of antimicrobial efficacy of herbal alternatives (Tripala and green tea polyphenols), MTAD, and 5% sodium hypochlorite againts Enterococcus faecalis biofilm formed on tooth substrate: an in vitro study. J Endod. 2010; 36(1): 83-6.
17. Charles H Stuart, Scott A Schwartz, Thomas J Beeson, Christopher B
Owatz. Enteroccocus faecalis: Its role in root canal treatment failure and current concepts in retreatment. J Endod. 2006;32(2):93-8.
18. Judith H. Merritt, Daniel E. Kadouri, and George A. O’Toole. Growing and
Analyzing Static Biofilms. Current Protocols in Microbiology:1-18.
19. Carlos Estrela, Rosane Galhardo Ribeiro, Cyntia RA Estrela, Jesus Djalma Pecora, Manoel Damiao Sousa Neto. Antimicrobial effect of 2% sodium hypochlorite and 2% Chlorhexidine tested by different methods. J Braz Dent. 2003;14(1):58-62.
20. Shashikala Krishnamurthy, Sunu Sudhakaran. Evaluation and prevention of the precipitate formed on interaction between sodium hypochlorite and chlorhexidine. J Endod. 2010;36(7):1154-7.
34
21. Singamaneni Vijaykumar, Madiraju Gunashekhar, Sura Himagiri. In vitro effectiveness of different endodontic irrigants on the reduction of Enterococcus faecalis in root canals. J Clin Exp Dent. 2010;2(4):169-72.
22. Edwina AM Kidd, Sally Joyston Bechal. Dasar-dasar karies penyakit dan
penanggulangan. Jakarta.2012. p 159-62.
23. Yun Seok Cho, Jay Jooyoung, Kye Heon Oh. Antimicrobial activity and biofilm formation inhibition of green tea polyphenols on human teeth. Biotech and Bioprocess Engineering. 2010;15:359-64.
24. Maksum Radji, Rafael Adi Agustama, Bera Elya, Conny Riana
Tjampakasari. Antimicrobial activity of green tea extract againts isolates of methicillin – resistant staphylococcus aureus and multi drug resistant pseudomonas aeruginosa. Asian Pac J Trop Biomed. 2013; 3(8): 663-7.
25. Sena N.T, Gomes B.P.F.A, Vianna M.E, Berber V.B, Zaia A.A, Ferraz C.C.R, Souza Filho F.J. In vitro antimicrobial activity of sodium hypochlorite and chlorhexidine against selected single-species biofilms. Int Endod Journal. 2006;39:878-85.
26. Manikandan R, Mithra N Hegde,Veena shetty, Geethashri. Comparative evaluation of biofilm formation ability of E.faecalis in alkaline conditions and its susceptibility to endodontic irrigant regimens – An In vitro microbiological study. IOSR-JDMS. 2013;4(2): 49-52.
27. Vytatute Peciuline, Rasmute Maneliene, Estera Balcikonyte, Saulius Drukteinis, Vygandas Rytkunas. Microorganisms in root canal infections: a review. Stomatologija, Baltic Dental and Maxillofacial Journal. 2008;10:4-9.
28. Dewi Sulistyawati, Sri Mulyati. Uji aktivitas antijamur infusa daun jambu Mete (Anacardium occidentale, L) terhadap Candida albicans. Biomedika. 2009;2(1):47-51.
35
top related