rmk 1 phenomenology
Post on 08-Dec-2015
220 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Tugas IndividuMata Kuliah : Metodologi Penelitian Non Positivis
PHENOMENOLOGY
OLEH:
ABDUL SAMING
(P3400215015)
PROGRAM MAGISTER SAIN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
A. Istilah Fenomenologi
Fenomenologi (Inggris: Phenomenology) berasal dari bahasa Yunani phainomenon
dan logos. Phainomenon berarti tampak dan phainen berarti memperlihatkan. Sedangkan
logos berarti kata, ucapan, rasio, pertimbangan. Dengan demikian, fenomenologi secara
umum dapat diartikan sebagai kajian terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak.
Sebagai suatu istilah fenomenologi ada sejak Immanuel Kant yang mencoba
memikirkan dan memilah unsur mana yang berasal dari pengalaman dan unsur mana
yang terdapat dalam akal (Basrowi dan Sukidin, 2002:30). Immanuel Kant memakai
istilah fenomenologi dalam karyanya Prinsip-Prinsip Pertama Metafisika (1786). Maksud
Kant adalah untuk menjelaskan kaitan antara konsep fisik gerakan dan kategori
modalitas, dengan mempelajari ciri-ciri dalam relasi umum dan representasi, yakni
fenomena indera-indera lahiriah.
Hegel (1807) memperluas pengertian fenomenologi dengan merumuskannya sebagai
ilmu mengenai pengalaman kesadaran, yakni suatu pemaparan dialektis perjalanan
kesadaran kodrati menuju kepada pengetahuan yang sebenarnya. Fenomenologi
menunjukkan proses menjadi ilmu pengetahuan pada umumnya dan kemampuan
mengetahui sebagai perjalanan jiwa lewat bentuk-bentuk atau gambaran kesadaran yang
bertahap untuk sampai kepada pengetahuan mutlak. Bagi Hegel, fenomena tidak lain
merupakan penampakkan atau kegejalaan dari pengetahuan inderawi: fenomena-
fenomena merupakan manifestasi konkret dan historis dari perkembangan pikiran
manusia.
Fenomenologi sebagai aliran filsafat dan sekaligus sebagai metode berfikir
diperkenalkan pertama kali oleh Edmund Husserl dan merupakan tokoh aliran filsafat
fenomenologi dan pencetus aliran ini dari bangsa Jerman (Basrowi dan Sukidin,
2002:30). Husserl (1913:1) argued that phenomenology did not deny the existence of the
real world, but sought instead to clarify the sense of this world (which everyone accepts)
as actually existing. Husserl berpendapat bahwa fenomenologi tidak menyangkal
keberadaan dunia nyata, tetapi berusaha bukan untuk memperjelas memahami dunia ini
(yang semua orang menerima) sebagai sesuatu yang benar-benar ada.
Moran (2002:4) Phenomenology is best understood as a radical, anti-traditional style
of philosophising, which emphasises the attempt to get to the truth of matters, to describe
phenomena, in the broadest sense as whatever appears in the manner in which it appears,
that is as it manifests itself to consciousness, to the experiencer. Moran (2002)
Fenomenologi paling baik dipahami sebagai radikal, gaya anti-tradisional philosophising,
yang menekankan upaya untuk mendapatkan kebenaran dari berbagai hal, untuk
menggambarkan fenomena, dalam arti yang luas sebagai apa pun muncul dengan cara
munculnya, yaitu sebagai manifestasi dirinya ke kesadaran, bagi mereka yang
mempunyai pengalaman pengalaman.
B. Metode Fenomenologi
Edmund Husserl (1859-1938) mulai mengembangkan filsafat radikal, suatu filsafat
yang menggali akar-akar pengetahuan dan pengalaman yang melihat bahwa aliran
positivistik yang selama ini di sanjung-sanjung ternyata tidak mampu lagi memanfaatkan
peluang untuk membuat hidup menjadi lebih bermakna karena tidak mampu
mempertimbangkan masalah nilai dan makna, (Collin 1997) dalam basrowi dan sukidin
(2002:33).
Husserl berpendapat bahwa ilmu positif memerlukan pendamping dari pendekatan
filsafat fenomenolgis. Pemahaman Husserl diawali dengan ajakan kembali pada sumber
atau kembali kepada realitas yang sesungguhnya dan kita perlu mengurangi kesadaran
alam murni, sehingga apa yang kita biarkan adalah kerangka murni yang dapat digunakan
untuk mempertimbangkan pola pikir dan metodologi fenomenologi. Untuk itu perlu
langkah-langkah metodis yang disebut “reduksi”. Melalui reduksi, kita menunda upaya
menyimpulkan sesuatu dari setiap prasangka terhadap realitas. Langkah-langkah metodis
yang dimaksud adalah Reduksi Fenomenologi, Reduksi Eidetis, dan Reduksi
Fenomenologi Transedental.
1. Reduksi Fenomenologis.
Menyingkirkan segala sesuatu yang subyektif. Sikap kita harus obyektif, terbuka
untuk gejala-gejala yang harus “diajak bicara”. Walaupun demikian, fenomen itu
memang merupakan data, sebab sama sekali tidak disangkal eksistensinya, hanya tidak
diperhatikan. Namun obyek yang diteliti hanya yang sejauh kita sadari.
Hal yang dilakukan oleh Husserl dalam Reduksi Fenomenologis ini adalah:
a. Dengan “mengurung” atau bracketing yaitu meminggirkan keyakinan kita akan
totalitas obyek-obyek dan segala hal yang Kita terlibat dengannya dari pendirian
alamiah ataupun bahkan pengalaman kita tentangnya.
b. Menjelaskan struktur dari apa yang tetap ada setelah dilakukan “pengurungan”.
Prosedur bracketing sangat penting: pengurungan fenomenologis membantu kita
untuk membebaskan diri dari prasangka dan mengamankan kemurnian detasemen
sebagai pengamat, sehingga kita dapat menemukan "sesuatu sebagaimana adanya dalam
diri mereka" secara independen dari segala pengandaian. Tujuan dari fenomenologi
Husserl adalah deskriptif di kemudian, analisis terpisah dari kesadaran di mana objek,
sebagai berkorelasinya dibentuk.
Husserl mengistilahkan bracketing atau pemutusan pertama kali dari ilmu alam dan
kemudian berlanjut pada daftar hal-hal yang harus kita masukkan ke dalam tanda kurung:
Tidak hanya ini, cara Husserl mensetting kita untuk memahamkan pola pikir kita sendiri
berkaitan dengan kerasnya pengurangan fenomenal, tapi ia mengatakan bahwa ini
memang metode yang dapat digunakan untuk penyelidikan kesadaran murni - apakah itu
adalah obyek, mimpi atau memori; dan bahwa ada hubungan penting antara objek nyata
dan pengalaman persepsi. Dia menyebutnya Noesis dan Noema.
Noesis dan Noema: hubungan ketergantungan antara objek nyata dan intinya
(pengalaman persepsi). Noesis: isi yang sebenarnya, karakter yang nyata, bagian dari
tindakan yang memberikan karakter ke benda. Noema: esensi ideal karakter; yang Noema
penuh adalah struktur yang kompleks terdiri dari setidaknya rasa noematic (arti ideal) dan
inti noematic (yang objek yang artinya merujuk). Husserl memberi contoh:
2. Reduksi Eidetis.
Adalah menyingkirkan seluruh pengetahuan tentang obyek yang diselidiki dan
diperoleh dari sumber lain. Maksud reduksi ini ingin menemukan eidos (intisari), atau
sampai kepada wesen-nya (hakikat). Karena itu, reduksi ini juga disebut wesenchau,
artinya di sini, kita melihat hakikat sesuatu. Hakikat yang dimaksud Husserl bukan dalam
arti umum, misalnya, “manusia adalah hakikatnya dapat mati”, bukan suatu inti yang
tersembunyi, misalnya, “hakikat hidup”, bukan pula hakikat seperti yang dimaksud
Aristoteles, seperti, “manusia adalah binatang yang berakal”. Hakikat yang dimaksud
Husserl adalah struktur dasariah, yang meliputi isi fundamental, ditambah semua sifat
hakiki, lalu ditambah pula semua relasi hakiki dengan kesadaran serta objek lain yang
disadari.
Tujuan sebenarnya dari reduksi adalah untuk mengungkap struktur dasar (esensi,
eidos, atau hakikat) dari suatu fenomena (gejala) murni atau yang telah dimurnikan. Oleh
karena itu, dalam reduksi eidetis yang harus dilakukan adalah jangan dulu
mempertimbangkan atau mengindahkan apa yang sifatnya aksidental atau eksistensial.
Dan caranya adalah dengan “menunda dalam tanda kurung”. Dengan reduksi eidetis ini,
dimana dalam khayalan semua perbedaan-perbedaan dari sejumlah item dihilangkan
sehingga tinggal suatu esensi saja.
3. Reduksi Fenomenologis Transedental.
Adalah dengan menyingkirkan seluruh reduksi pengetahuan. Segala sesuatu yang
sudah dikatakan oleh orang lain harus untuk sementara dilupakan. Kalau reduksi-reduksi
ini berhasil, maka gejala tersebut dapat memperlihatkan diri menjadi fenomen. Dalam
reduksi yang ketiga ini sudah bukan lagi mengenai objek atau fenomen, tetapi khusus
pengarahan intensionalitas ke subjek mengenai akar-akar kesadaran, yakni mengenai
kesadaran sendiri yang bersifat transedental. Fenomenologi harus menganalisis dan
menggambarkan cara berjalannya kesadaran transedental.
Melalui reduksi transendetal, Husserl menemukan adanya esensi kesadaran yang
disebut intensionalitas. Intensionalitas (intentionality), menggambarkan hubungan antara
proses yang terjadi dalam kesadaran dengan obyek yang menjadi perhatian pada proses
itu. Dalam term fenomenologi, pengalaman atau kesadaran selalu kesadaran pada
sesuatu, melihat adalah melihat sesuatu, mengingat adalah mengingat sesuatu, menilai
adalah menilai sesuatu.
Metode fenomenologi Husserl dimulai dari serangkaian reduksi-reduksi. Reduksi
dibutuhkan supaya dengan intuisi kita dapat menangkap hakekat obyek-obyek. Reduksi-
reduksi ini yang menying-kirkan semua hal yang mengganggu kalau kita ingin mencapai
wesenschau. Reduksi pertama, menyingkirkan segala sesuatu yang subyektif. Sikap
kita harus obyektif, terbuka untuk gejala-gejala yang harus “diajak bicara”. Kedua,
menyingkirkan seluruh pengetahuan tentang obyek yang diselidiki dan diperoleh dari
sumber lain. Ketiga:menyingkirkan seluruh reduksi pengetahuan. Segala sesuatu yang
sudah dikatakan oleh orang lain harus, untuk sementara dilupakan. Kalau reduksi-
reduksi ini berhasil, gejala sendiri dapat memperlihatkan diri, menjadi fenomin
(memperlihatkan diri).
Pengamatan Husserl mengenai struktur intensionalitas kesadaran, merumuskan
adanya empat aktivitas yang inheren dalam kesadaran, yaitu objektifikasi, identifikasi,
korelasi, dan konstitusi, (Abidin 2000) dalam Basrowi dan Sukidin (2002:34).
1. Intensionalitas objektifikasi berarti mengarahkan data (yang merupakan bagian
integral dari aliran kesadaran), kepada objek-objek intensional. Fungsi intensionalitas
adalah menghubungkan data yang sudah terdapat dalam aliran kesadaran.
2. Intensionalitas sebagai identifikasi, yakni suatu intensi yang mengarahkan
berbagai data dan peristiwa kemudian pada objek hasil objektifikasi. Identifikasi
banyak dipengaruhi oleh berbagai aspek dari dalam, seperti motivasi, minat,
keterlibatan emosional, maupun intektual.
3. Intensionalitas korelasi menghubung-hubungkan setiap aspek dari objek yang
identik menunjuk pada aspek-aspek lain yang menjadi horisonnya. Bagian depan
sebuah objek menunjuk pada bagian samping, muka, bawah, dan belakang. Aspek
yang menjadi horison dari objek memberi pengharapan pada subjek untuk
mengalaminya kembali di kemudian hari. Aspek atau bagian-bagian tersebut selalu
dibayangi oleh objek identik yang sudah tampak lebih awal.
4. Intensionalitas konstitusi melihat bahwa aktivitas-aktivitas intensional berfungsi
mengkonstitusikan objek-objek intensional. Objek intensional tidak dipandang sebagai
sesuatu yang sudah ada, melainkan diciptakan oleh aktivitas-aktivitas intensional itu
sendiri. Objek intensional' sebenarnya berasal dari endapan-endapan aktivitas
intensional.
C. Asumsi Fenomenologi
Asumsi dasar dari fenomenologi adalah bahwa manusia dalam berilmu pengetahuan
tidak lepas dari pandangan moralnya, baik pada taraf mengamati, menghimpun data,
menganalisis, ataupun dalam membuat kesimpulan. Sutrisno dan Hanafi (2004) dalam
Riharjo menjelaskan apabila ditinjau dari prinsip dasar yang dikembangkan dalam
paradigma interpretif, prinsip dasar dalam membaca fenomena, adalah:
1. Individu menyikapi sesuatu atau apa saja yang ada dilingkungannya berdasarkan
makna sesuatu tersebut pada dirinya;
2. Makna tersebut diberikan berdasarkan interaksi sosial yang dijalin dengan individu
lain; dan
3. Makna tersebut dipahami dan dimodifikasi oleh individu melalui proses interpretif
yang berkaitan dengan hal-hal lain yang dijumpainya.
Terdapat dua varian tentang fenomenologi, yaitu: (1) fenomenologi hermenuetik dan
(2) fenomenologi eksistensial (Berger, 1987) dalam Sukidin (2002:45). Fenomenologi
hermeneutik terfokus pada aspek kolektif dari budaya yang concern dengan bahasa. Teks
dapat dianalisis secara objektif, dalam arti mengeksplorasi dan menentukan kealamiahan
serta struktur komunikasi.
Fenomenologi eksistensial, berorientasi pada level individu dari budaya yang
meliputi internalisasi kesadaran subjektif dari individu. Setiap fenomenologi dapat
dideskripsikan sebagai sesuatu yang empirik dan terkait dengan kehidupan sehari-hari.
Bagi Berger, pendekatan fenomenologi akan terhenti ketika mulai memasuki area
ilmu. Analisis fenomenologi merupakan metode deskriptif dan bersifat empiris. Menurut
Berger, ilmu empirik harus beroperasi dengan asumsi kausalitas yang universal. Namun,
Berger juga mengakui bahwa fenomenologi mampu mengikuti tradisi ilmu sosial untuk
menembus dunia kehidupan sehari-hari dan mendeskripsikan secara sistematis.
D. Langkah-langkah Penelitian dengan menggunakan Fenomenologi Husserl
Langkah-langkah penelitian dengan menggunakan Fenomenologi Husserl yang
terstruktur dan mudah untuk diikuti yaitu:
1. Menentukan fenomena yang ingin diteliti dan peran peneliti dalam
penelitian tersebut. Menentukan fenomena yang menjadi fokus penelitian memerlukan
beberapa pertimbangan, antara lain keefektifan fenomenologi Husserl untuk
menghasilkan Selanjutnya, peran peneliti juga harus jelas. Sesuai dengan filosofi
fenomenologi Husserl, peneliti adalah seseorang yang mampu mentransformasikan
data yang berasal dari partisipan menjadi gambaran yang murni dan utuh dari
fenomena.
2. Pengumpulan data, Proses pengumpulan data meliputi proses pemilihan
partisipan atau sampel dan metode pengumpulan data. Pada umumnya, fenomenologi
menggunakan teknik purposeful sampling, di mana setiap orang yang mempunyai
pengalaman tentang fenomena yang sedang diteliti berhak untuk menjadi partisipan
Carpenter (1999) dalam Asih (2005:79). Teknik pengumpulan data yang sering
digunakan adalah wawancara. Wawancara yang dilakukan dapat berbentuk
wawancara terbuka
atau semi-terstruktur. Proses wawancara direkam dan pada umumnya dilakukan lebih
dari satu kali untuk melengkapi atau memvalidasi data yang diperlukan.
3. Perlakuan dan Analisis data
Data dari fenomena sosial yang diteliti dapat dikumpulkan dengan berbagai
cara, diantaranya observasi dan interview, baik interview mendalam (in-depth
interview). In depth dalam penelitian fenomenologi bermakna mencari sesuatu yang
mendalam untuk mendapatkan satu pemahaman yang mendetail tentang fenomena
sisoal dan pendidikan yang diteliti. In-depth juga bermakna menuju pada sesuatu
yang mendalam guna mendapatkan sense dari yang nampaknya straight-forward
secara aktual secara potensial lebih complicated. Pada sisi lain peneliti juga harus
memformulasikan kebenaran peristiwa/kejadian dengan pewawancaraan mendalam.
ataupun interview. Data yang diperoleh dengan in-depth interview dapat dianalisis
proses analisis data dengan Interpretative Phenomenological Analysis sebagaiman
ditulis oleh Smith (2009) dalam Hajaroh (-:13). Tahap-tahap Interpretative
Phenomenological Analysis yang dilaksanakan sebagai berikut: 1) Reading and re-
reading; 2) Initial noting; 3) Developing Emergent Emergent themes; 4) Searching
for connections across emergent themes; 5) Moving the next cases; and 6)
Looking for patterns across cases. Masing-masing tahap analisis diuraikan sebagai
berikut:
a. Reading and Re-reading
Dengan membaca dan membaca kembali peneliti menenggelamkan diri dalam
data yang original. Bentuk kegiatan tahap ini adalah menuliskan transkrip interview
dari rekaman audio ke dalam transkrip dalam bentuk tulisan. Rekaman audio yang
digunakan oleh peneliti dipandang lebih membantu pendengaran peneliti dari pada
transkrip dalam bentuk tulisan. Imaginasi kata-kata dari partisipan ketika dibaca
dan dibaca kembali oleh peneliti dari transkrip akan membantu analisis yang lebih
komplit. Tahap ini di laksanakan untuk memberikan keyakinan bahwa partisipan
penelitian benar-benar menjadi fokus analisis.
b. Initial Noting
Analisis tahap awal ini sangat mendetail dan mungkin menghabiskan waktu. Tahap
ini menguji isi/konten dari kata, kalimat dan bahasa yang digunakan partisipan
dalam level eksploratori. Analisis ini menjaga kelangsungan pemikiran yang terbuka
(open mind) dan mencatat segala sesuatu yang menarik dalam transkrip. Proses ini
menumbuhkan dan membuat sikap yang lebih familier terhadap transkrip data.
Selain itu tahap ini juga memulai mengidentifikasi secara spesifik cara-cara
partisipan mengatakan tentang sesuatu, memahami dan memikirkan mengenai isu-
isu.
c. Developing Emergent Themes
Dengan komentar eksploratori tersebut maka pada seperangkat data muncul atau
tumbuh secara substansial. Untuk memunculkan tema-tema peneliti memenej
perubahan data dengan menganalisis secara simultan, berusaha mengurangi volume
yang detail dari data yang berupa transkrip dan catatan awal yang masih ruwet
(complexity) untuk di mapping kesalinghubungannya (interrelationship), hubungan
(connection) dan pola-pola antar catatan eksploratori. Pada tahap ini analisis
terutama pada catatatan awal lebih yang dari sekedar transkrip. Komentar
eksploratori yang dilakukan secara komprehensip sangat mendekatkan pada
simpulan dari transktip yang asli.
d. Searching for connection a cross emergent themes
Mencari hubungan antar tema-tema yang muncul dilakukan setelah peneliti
menetapkan seperangkat tema-tema dalam transkrip dan tema-tema telah diurutkan
secara kronologis. Hubungan antar tema-tema ini dikembangkan dalam bentuk
grafik atau mapping/pemetaan dan memikirkan tema-tema yang bersesuaian satu
sama lain.
e. Moving the next cases
Tahap analisis a - d dilakukan pada setiap satu kasus/partisipan. Jika satu
kasus selesai dan dituliskan hasil analisisnya maka tahap selanjutnya berpindah
pada kasus atau partisipan berikutnya hingga selesai semua kasus. Langkah ini
dilakukan pada semua transkrip partisipan, dengan cara mengulang proses yang
sama.
f. Looking for patterns across cases
Tahap akhir merupakan tahap keenam dalam analisis ini adalah mencari pola- pola
yang muncul antar kasus/partisipan. Apakah hubungan yang terjadi antar kasus,
dan bagaimana tema-tema yang ditemukan dalam kasus-kasus yang lain memandu
peneliti melakukan penggambaran dan pelabelan kembali pada tema- tema. Pada
tahap ini dibuat master table dari tema-tema untuk satu kasus atau kelompok kasus
dalam sebuah institusi/organisasi.
4. Studi literatur
Setelah proses analisis data selesai maka peneliti melakukan studi literatur
secara mendalam untuk mengetahui hubungan dan posisi hasil penelitian terhadap
hasil-hasil penelitian yang telah ada.
5. Mempertahankan kebenaran hasil penelitian
Seperti halnya penelitian kuantitatif, penelitian kualitatif juga menuntut adanya
validitas dan reliabilitas. Dalam penelitian kualitatif pada umumnya validitas dan
reliabilitas dikenal sebagai credibility, auditability, and fittingness (Guba and Lincoln,
1982; Leininger, 1994; Streubert, 1995) dalam Asih (2005:79).
6. Petimbangan etik
Pertimbangan etik yang harus diperhatikan meliputi pemberian informasi tentang
sifat penelitian, keikutsertaan yang bersifat sukarela, ijin untuk merekam interview,
kerahasiaan identitas par tisipan baik pada r ekaman, transkrip, maupun pada deskripsi
lengkap.
Referensi
Asih, Dwi Amilia, “Fenomenologi Husserl: Sebuah Cara “Kembali ke Fenomena”, urnal Keperawatan Indonesia, V olume 9, No.2, September 2005; 75-80.
Hajaroh, Mami. Paradigma, Pendekatan dan Metode Penelitian Fenomenologi. Paper: Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta.
Husserl, Edmund. 1962. Ideas : General Introduction to Pure Phenomenology, Translated by W. R. Boyce Gibson. London, New York: Collier,Macmillan.
Manen, Max van. 2007. Phenomenology of Practice. Journal of Phenomenology & Practice, Volume 1 , No. 1, pp. 11 – 30: University of Alberta.
Moran, Dermot. 2002. Introduction To Phenomenology. London and New York: Routledge Taylor & Francis Group.
Riharjo, Ikhsan Budi. 2011. Memahami Paradigma Penelitian Non-Positivisme dan Implikasinya dalam Penelitian Akuntansi. Jurnal Akuntansi, Manajemen Bisnis, dan Sektor Publik (JAMBSP).
Sukidin, Basrowi. 2002. Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro. Surabaya: Insan Cendekia.
top related