rencana aksi daerah - badan pemberdayaan …€¦ · web view · 2011-04-11bab i. pendahuluan....
Post on 20-Apr-2018
223 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN BADAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN KELUARGA BERENCANA
2010
RENCANA AKSI DAERAH Pengarusutamaan Gender Di Sulawesi Selatan
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Persamaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan telah dijamin di dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya Pasal 27 ayat
(1) yang menentukan bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya”. Walaupun Undang- Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menjamin persamaan kedudukan setiap warga negara baik laki-laki
maupun perempuan dan Indonesia telah meratifikasi Konvensi Perempuan di Beijing
Tahun 1995, namun hingga saat ini masih dijumpai adanya kesenjangan laki-laki dan
perempuan dalam memperoleh akses, berpartisipasi, control dan terutama dalam proses
perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan maupun dalam pelaksanaan
pembangunan serta merasa manfaat pembangunan di semua bidang dan pada semua
tingkatan dari desa sampai pusat.
Berpangkal tolak dari hal tersebut dan sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, Instruksi
Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan
Nasional dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman
Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah, maka pelaksanaan Otonomi
Daerah berdasarkan prinsip-prinsip demokratis, keterbukaan, partisipatif, pemerataan dan
keadilan serta dengan mempertimbangkan potensi dan keanekaragaman daerah perlu
direspon secara arif dan bijaksana oleh Pemerintah Daerah khususnya terhadap
pelaksanaan pengarusutamaan di Provinsi Sulawesi Selatan Selatan. Hal ini
dimaksudkan agar sumber daya manusia baik laki-laki maupun perempuan mempunyai
2
hak dan kewajiban serta peran dan tanggung jawab yang sama sebagai bagian integral
dari potensi pembangunan daerah sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal dalam
upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender.
Upaya pelaksanaan pengarusutamaan gender yang mencakup semua bidang
pembangunan, seperti : hukum, ekonomi, politik, agama, pendidikan, sosial dan budaya,
pembangunan daerah, sumber daya alam, lingkungan hidup dan pertahanan keamanan,
perlu dijadikan rujukan dan diterjemahkan serta diserasikan secara operasional ke dalam
kebijakan/program kegiatan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah dalam aspek-aspek
perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi, maupun kelembagaan
pembangunan daerah.
Untuk memberikan kerangka dan landasan hukum bagi upaya pengarusutamaan
gender (PUG) di berbagai bidang pembangunan di daerah Sulawesi Selatan secara
komprehensif dan berkesinambungan, Pemerintah Daerah perlu merumuskan Rencana
Aksi Pengarusutamaan Gender .
Rencana Aksi Daerah Pengarusutamaan Gender (RAD PUG) berisi apa yang
harus dilakukan oleh siapa dengan cara bagaimana, dan output/outcomenya apa
sehingga strategi PUG benar-benar dapat diimplementasikan dalam rangka mewujudkan
Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG).
Rencana Aksi Daerah Pengarusutamaan Gender (RAD PUG) diperlukan karena
akan memberikan acuan/arahan kepada setiap stakeholders dalam melaksanakan
strategi PUG untuk mencapai (KKG) dengan lebih fokus, efisien, efektif, sistematik,
terukur dan berkelanjutan sehingga dapat mendorong mempercepat tersusunnya
kebijakan, program dan kegiatan pembangunan yang responsif gender sehingga
Pemerintah Daerah dapat mendukung kelancaran perencanaan, pelaksanaan dan monev
pengarusutamaan gender secara optimal dalam pembangunan menuju terwujudnya
kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) di Kabupaten/Kota/Provinsi Sulawesi Selatan.
3
1.2. Tujuan Penyusunan
Tujuan Rencana Aksi Daerah PUG Sulawesi Selatan adalah :
1. Mengefektifkan pelaksanaan strategi PUG secara lebih konkrit dan terarah untuk
menjamin agar perempuan dan laki-laki memperoleh akses, partisipasi, mempunyai
kontrol dan memperoleh manfaat yang adil dari pembangunan, serta berkontribusi
pada terwujudnya keadilan dan kesetaraan gender .
2. Sebagai panduan, arahan di dalam menyusun kebijakan, program dan kegiatan dari
tahap perencanaan, pelaksanaan, monitoring–evaluasi (monev) pada setiap tahapan
pembangunan.
3. Mengukur efektivitas, efisiensi dan dampak implementasi karena adanya indikator
yang terukur .
4. Memperkuat sistem dan komitmen lembaga/instansi baik di pemerintah pusat,
pemerintah provinsi, dan kabupaten/kota dalam mengimplementasikan strategi PUG.
1.3. Ruang LingkupRuang lingkup Rencana Aksi Daerah meliputi seluruh perencanaan, penyusunan,
pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kebijakan dan program pembangunan daerah di
Sulawesi Selatan, disusun dengan sistimatika sebagai berikut :
BAB I. PENDAHULUAN1.1. Latar Belakang1.2. Tujuan Penyusunan1.3. Ruang Lingkup1.4. Proses Penyusunan1.5. Pengguna
4
BAB II. ANALISA SITUASI PENGARUSUTAMAAN GENDER2.1. Pendidikan2.2. Kesehatan2.3. Ekonomi2.4. Sosial2.5. Sektor Publik
BAB III. RENCANA AKSI3.1. Isu Strategis3.2. Tujuan3.3. Sasaran3.4. Kebijakan3.5. Strategi
BAB IV. MATRIKS RENCANA AKSI PENGARUSUTAMAAN GENDER
BAB V. PENUTUP
LAMPIRAN
1.4. Proses Penyusunan
Proses menyusunan Rencana Aksi Pengarusutamaan Gender adalah :
1. Membentuk tim penyusun Rencana Aksi Pengarusutamaan Gender.
2.Tim membuat kuisioner untuk mendapatkan informasi dari SKPD dan pokja Gender
Sulawesi Selatan baik data primer maupun sekunder.
3. Tim mengumpulkan data terpilah.
4. Data terpilah ditabulasi
5. Data dianalisis dengan menggunakan analisis gender.
6. Mengkaji isu-isu strategis di Sulawesi Selatan.
7. Membuat Rancangan Rencana Aksi Pengarusutamaan Gender di Sulawesi Selatan.
8. Diseminasi dalam Rencana Aksi Daerah di Sulawesi Selatan.
9. Finalisasi RAD PUG di Sulsel
5
1.5. Pengguna
Pengguna Rencana Aksi Daerah Pengarusutamaan Gender (PUG) adalah seluruh
stakeholder pemerintah/ non pemerintah, yang meliputi para perencana, pelaksana, serta tim
monitoring dan evaluasi pembangunan di Sulawesi Selatan.
6
BAB IIANALISA SITUASI PENGARUSUTAMAAN GENDER
2.1. PENDIDIKAN
Pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan yang
berperan dalam meningkatkan kualitas masyarakat. Kebijakan dalam pendidikan, salah
satunya Pendidikan Untuk Semua (PUS) atau Education For All (EFA), yang berdasarkan
Deklarasi DAKKAR, yang menargetkan bahwa ; (1) menjelang Tahun 2015, semua anak
khususnya anak perempuan, anak-anak yang dalam keadaan sulit dan mereka yang
termasuk etnik minoritas, mempunyai akses dan menyelesaikan Pendidikan Dasar yang
bebas dan wajib dengan kualitas yang baik; (2) mencapai perbaikan 50% pada tingkat
keniraksaraan orang dewasa, menjelang Tahun 2015, terutama bagi kaum perempuan,
dan akses yang adil pada pendidikan dasar dan pendidikan berkelanjutan bagi semua
orang dewasa; (3) penghapusan kesenjangan gender pada pendidikan dasar dan
menengah pada Tahun 2005 dan mencapai kesetaraan gender dalam pendidikan pada
Tahun 2015, dengan fokus pada kapasitas sepenuhnya bagi anak perempuan terhadap
akses dalam memperoleh pendidikan dasar yang bermutu.
Untuk melihat perkembangan sektor pendidikan di daerah ini maka dapat kita
lihat dari aspek seperti : Buta Aksara; Angka Partisipasi Kasar; Angka Partisipasi Murni;
angka putus sekolah maupun rasio murid dan guru dan rasio murid sekolah.
2.1.1. Angka Buta Aksara (Keaksaraan Fungsional/KF)
Berdasarkan amanat UUD 1945 pemerintah berkewajiban menyelenggarakan
program pendidikan nasional yang berkualitas bagi seluruh lapisan masyarakat.
Untuk itu sejak dasawarsa 70-an pemerintah telah mencanangkan program
pemberantasan buta huruf (B3B = bebas tiga buta) yang ditunjang dengan program Inpres
Sekolah Dasar. Selanjutnya, berdasarkan Undang- Undang No. 2 Tahun 1992 tentang
7
Pendidikan Nasional, pemerintah mencanangkan program wajib belajar pendidikan dasar 9
tahun yang pelaksanaannya dimulai sejak 1994.
Salah satu ukuran dasar untuk melihat keberhasilan pendidikan adalah kemampuan
baca tulis (melek huruf) penduduk usia 10 tahun ke atas. Menurut Susenas 2008 dan 2009,
penduduk usia 10 tahun ke atas di Sulawesi Selatan yang telah melek huruf dan dapat
membaca/menulis huruf latin dan atau lainnya mencapai 86,86 persen dan 88,57 persen,
berarti ada peningkatan meskipun persentasenya masih belum memadai. Tabel di bawah
ini menunjukkan hal tersebut.
Tabel ini menunjukkan bahwa ada peningkatan persentase penduduk yang melek
huruf, dan penurunan persentase penduduk yang masih buta huruf, atau tidak dapat
membaca dan menulis huruf latin dan huruf lainnya di Sulawesi Selatan yang berusia 10
tahun ke atas. Peningkatan persentase yang telah melek huruf menunjukkan adanya
keberhasilan program pemberantasan buta huruf (Bebas 3 Buta atau Pemberantas Buta
Aksara), melalui program Kejar Paket A, B, maupun C bagi penduduk, terutama yang telah
berusia dewasa/lanjut.
Disini nampak bahwa ada indikasi tingkat Buta Aksara lebih banyak pada penduduk
perempuan, dan sekaligus dapat dimaknai bahwa partisipasi perempuan untuk
memperoleh akses pendidikan keaksaraan jauh lebih tinggi dibandingkan laki-laki.
8
Tabel 1. Persentase Penduduk Usia 10 Tahun ke Atas Menurut Jenis Kelamin,Kemampuan Membaca/Menulis dan Kabupaten/Kota
Kab/kota
Laki-laki (2008) Laki-Laki (2009) Perempuan (2008) Perempuan (2009)
Laki + Perempuan
(2008)
Laki + Perempuan
(2009)
Dapat
Membaca
dan
Menulis
Tidak
Dapat
Dapat
Membac
a dan
Menulis
Tidak
Dapat
Dapat
Membaca
dan
Menulis
Tidak
Dapat
Dapat
Membaca
dan
Menulis
Tidak
Dapat
Dapat
Membaca
dan
Menulis
Tidak
Dapat
Dapat
Membaca
dan
Menulis
Tidak
Dapat
01 Selayar 91,63 8,37 93,32 6,68 83,83 16,17 88,06 11,94 87,46 12,54 90,51 9,49
02 Bulukumba 84,62 15,38 90,35 9,65 81,30 18,70 83,79 16,21 82,87 17,13 86,85 13,15
03 Bantaeng 80,09 19,91 84,00 16,00 75,71 24,29 79,28 20,72 77,74 22,26 81,48 18,52
04 Jeneponto 78,88 21,12 81,56 18,44 74,40 25,60 76,89 23,11 76,55 23,45 79,13 20,87
05 Takalar 83,54 16,46 86,92 13,08 76,68 23,32 79,86 20,14 79,93 20,07 83,08 16,92
06 Gowa 83,66 16,34 86,65 13,35 77,94 22,06 81,16 18,84 80,69 19,31 83,86 16,14
07 Sinjai 85,43 14,57 89,22 10,78 82,66 17,34 83,36 16,64 83,98 16,02 86,14 13,86
08 Maros 86,79 13,21 89,48 10,52 79,88 20,12 78,14 21,86 83,19 16,81 83,45 16,55
09 Pangkep 89,26 10,74 91,37 8,63 83,83 16,17 86,16 13,84 86,38 13,62 88,58 11,42
10 Barru 90,18 9,82 91,66 8,34 85,32 14,68 88,57 11,43 87,55 12,45 90,00 10,00
11 Bone 86,62 13,38 89,24 10,76 80,71 19,29 83,24 16,76 83,35 16,65 85,93 14,07
12 Soppeng 85,52 14,48 89,35 10,65 84,23 15,77 86,31 13,69 84,82 15,18 87,71 12,29
13 Wajo 87,80 12,20 88,67 11,33 79,26 20,74 81,27 18,73 83,11 16,89 84,62 15,38
14 Sidrap 89,52 10,48 89,35 10,65 85,29 14,71 82,07 17,93 87,31 12,69 85,56 14,44
15 Pinrang 91,42 8,58 94,59 5,41 85,20 14,80 88,44 11,56 88,13 11,87 91,42 8,58
16 Enrekang 93,60 6,40 93,95 6,05 85,62 14,38 86,73 13,27 89,44 10,56 90,34 9,66
17 Luwu 93,55 6,45 92,07 7,93 88,27 11,73 88,37 11,63 90,84 9,16 90,21 9,79
18 TanaToraja 88,65 11,35 90,68 9,32 83,07 16,93 83,94 16,06 85,89 14,11 87,32 12,68
22 LuwuUtara 93,36 6,64 92,84 7,16 90,30 9,70 88,03 11,97 91,86 8,14 90,47 9,53
25 LuwuTimur 95,70 4,30 96,72 3,28 88,34 11,66 91,62 8,38 92,15 7,85 94,19 5,81
71 Makassar 96,83 3,17 97,96 2,04 94,82 5,18 95,36 4,64 95,76 4,24 96,60 3,40
72 Parepare 96,88 3,12 97,16 2,84 93,46 6,54 94,20 5,80 95,12 4,88 95,59 4,41
73 Palopo 97,27 2,73 98,20 1,80 95,34 4,66 95,57 4,43 96,29 3,71 96,84 3,16
Jumlah 89,40 10,60 91,39 8,61 84,56 15,44 86,00 14,00 86,86 13,14 88,57 11,43
Sumber data : BPS, Susenas 2008, 2009
2.1.2. Angka Partisipasi Sekolah
Angka partisipasi sekolah merupakan ukuran daya serap sistem pendidikan terhadap
penduduk usia sekolah. Angka tersebut memperhitungkan adanya perubahan penduduk
terutama usia muda. Ukuran yang banyak digunakan di sektor pendidikan seperti pertumbuhan
jumlah murid lebih menunjukkan perubahan jumlah murid yang mampu ditampung di setiap
jenjang sekolah. Sehingga, naiknya persentase jumlah murid tidak dapat diartikan sebagai
semakin meningkatnya partisipasi sekolah. Kenaikan tersebut dapat pula dipengaruhi oleh
9
semakin besarnya jumlah penduduk usia sekolah yang tidak diimbangi dengan ditambahnya
infrastruktur sekolah serta peningkatan akses masuk sekolah sehingga partisipasi sekolah
seharusnya tidak berubah atau malah semakin rendah.
Data nasional tahun 2006 sampai tahun 2008 menunjukkan bahwa APS
berkecenderungan meningkat pada semua kelompok umur baik anak laki-laki maupun anak
perempuan. Tidak ada perbedaan pencapaian yang nyata antara laki-laki dan perempuan
disemua jenjang pendidikan, bahkan pada kelompok usia 7-12 thn dan 13-15 tahun anak
perempuan lebih tinggi dibandingkan anak laki-laki. Sementara apabila kita mencermati
perbedaan antar wilayah perdesaan dan perkotaan, wilayah perkotaan cenderung lebih tinggi
pencapaiannya apabila dibanding perdesaan, hal ini terjadi disemua jenjang pendidikan. Artinya
didalam rangka meningkatkan angka pencapaian APS nasional, wilayah perdesaan perlu
mendapatkan perhatian yang lebih baik.
Berdasarkan data Susenas 2008 dan 2009 menunjukkan bahwa APS Sulsel untuk usia
16-18 tahun masih dibawah 50% (tabel 2 dan 3).
10
Tabel 2. Angka Partisipasi Sekolah (APS) menurut Usia Sekolah,dan Jenis Kelamin, Provinsi Sulawesi Selatan, 2008
Kabupaten/KotaAPS 7-12 tahun APS 13-15 tahun APS 16-18 tahun APS 19-24 tahun
Laki-Laki Prp Jumlah Laki-
Laki Prp Jumlah Laki-Laki Prp Jumlah Laki-
Laki Prp Jumlah
01. Selayar 98.74 93.85 96.54 75.44 83.02 78.87 37.08 43.26 40.73 7.62 6.41 6.97
02. Bulukumba 93.97 91.47 92.74 69.33 71.20 70.20 47.23 41.17 44.29 7.64 5.67 6.65
03. Bantaeng 89.86 94.13 91.95 65.02 71.63 68.73 43.83 45.25 44.49 6.41 4.47 5.41
04. Jeneponto 87.84 90.15 89.03 63.05 67.08 64.90 26.56 40.68 33.94 5.69 5.77 5.73
05. Takalar 92.10 95.85 93.78 66.33 68.59 67.54 37.96 40.84 39.30 6.05 7.15 6.59
06. Gowa 89.43 95.16 92.12 68.32 81.62 74.10 45.18 49.53 47.18 10.28 8.86 9.46
07. Sinjai 95.71 94.15 94.97 63.79 81.42 73.32 39.25 54.28 45.55 4.49 5.56 5.06
08. Maros 98.27 94.29 96.26 83.14 74.95 79.07 53.75 44.10 48.91 10.67 10.86 10.77
09. Pangkep 95.91 95.17 95.52 74.78 72.87 73.85 55.93 47.75 51.77 10.70 10.39 10.54
10. Barru 97.49 96.07 96.79 81.61 64.23 72.16 51.76 55.19 53.42 8.95 11.11 10.00
11. Bone 94.98 95.21 95.10 72.85 73.31 73.08 34.43 38.76 36.58 5.43 8.15 6.93
12. Soppeng 95.24 98.01 96.54 90.19 86.63 88.21 41.89 65.09 53.44 7.63 8.90 8.27
13. Wajo 96.89 96.05 96.45 74.62 67.28 70.66 32.25 34.33 33.36 6.36 6.55 6.47
14. Sidrap 99.42 98.44 98.90 74.14 94.19 84.63 65.33 59.03 62.35 6.44 10.73 8.36
15. Pinrang 95.92 95.50 95.73 68.19 78.93 73.83 47.65 41.21 44.28 5.46 9.15 7.40
16. Enrekang 97.92 98.98 98.45 82.95 86.22 84.57 57.18 73.27 65.81 6.00 5.30 5.63
17. Luwu 98.01 95.44 96.82 85.05 83.77 84.46 62.56 64.36 63.53 7.37 7.86 7.62
18. Tana Toraja 94.27 98.75 96.39 82.23 97.31 89.74 62.78 77.04 69.12 7.10 14.62 10.71
22. Luwu Utara 96.45 99.09 97.76 86.53 79.96 83.58 46.54 44.49 45.61 4.60 6.67 5.68
25. Luwu Timur 97.99 98.18 98.07 87.17 89.37 88.21 64.77 66.98 65.87 5.85 2.89 4.35
71. Makassar 97.70 97.25 97.47 88.44 84.59 86.25 64.92 67.79 66.31 32.72 43.08 38.22
72. Pare Pare 96.33 95.94 96.14 87.01 95.14 90.78 51.63 63.03 57.45 15.82 28.30 22.10
73. Palopo 96.90 98.36 97.58 82.35 86.66 84.61 58.06 66.57 61.89 12.98 25.73 18.95
Jumlah 95.29 95.95 95.61 77.16 79.93 78.56 50.15 53.22 51.65 13.09 16.71 14.99Sumber data : BPS, Susenas 2008
Data pada tabel 2 dan 3 menunjukkan bahwa untuk usia sekolah 7 -12 tahun, akses laki-laki maupun
perempuan sudah cukup tinggi, sehingga arah kebijakan pendidikan kedepan hendaknya lebih ditujukan
pada peningkatan kualitas. Untuk usia 13-15 tahun relative lebih rendah dibandingkan usia 7 -12 tahun.
Hal ini menunjukkan bahwa keberlanjutan pendidikan anak-anak usia 7 – 12 tahun ke jenjang pendidikan
yang lebih tinggi perlu mendapatkan perhatian, sehingga ketersediaan sarana prasarana pendidikan di
jenjang SLTP diperlukan untuk meningkatkan akses pendidikan lanjutan bagi anak-anak. Selanjutnya,
dari tabel diatas dapat pula dilihat bahwa partisipasi usia sekolah di jenjang pendidikan yang semakin
tinggi, cenderung menurun.
Tabel 3. APS menurut Usia Sekolah,dan Jenis Kelamin, Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009
11
Kabupaten/KotaAPS 7-12 tahun APS 13-15 tahun APS 16-18 tahun APS 19-24 tahun
Laki-Laki Prp Jumlah Laki-
Laki Prp Jumlah Laki-Laki Prp Jumlah Laki-
Laki Prp Jumlah
01. Selayar 95.58 97.36 96.45 84.25 94.55 88.98 51.74 59.06 55.50 13.37 6.20 9.6902. Bulukumba 97.35 98.61 97.89 78.64 78.44 78.55 64.21 38.37 50.54 5.00 13.95 9.63
03. Bantaeng 89.37 96.44 92.83 80.23 65.69 72.80 34.25 41.41 38.03 10.40 7.72 8.98
04. Jeneponto 94.32 93.68 94.00 73.29 75.38 74.31 42.53 30.70 37.09 9.39 5.57 7.53
05. Takalar 91.26 96.49 93.80 72.44 78.64 75.46 40.54 49.50 45.02 7.52 6.96 7.21
06. Gowa 95.49 99.46 97.29 84.91 81.27 83.23 59.88 48.92 54.37 10.98 16.12 13.49
07. Sinjai 96.96 99.40 98.07 89.50 81.44 85.34 64.88 60.42 63.02 10.65 20.43 15.37
08. Maros 96.52 97.59 97.06 80.62 79.63 80.11 54.17 38.89 46.03 5.65 7.41 6.57
09. Pangkep 94.25 95.53 94.81 67.07 67.45 67.26 43.97 38.24 41.02 7.30 11.55 9.46
10. Barru 93.53 95.95 94.65 78.35 81.91 80.18 57.52 44.56 50.43 10.65 16.93 13.95
11. Bone 96.71 98.57 97.70 69.25 71.61 70.40 40.34 51.10 45.73 8.77 12.93 11.07
12. Soppeng 96.77 97.10 96.93 87.47 83.89 85.44 46.49 64.59 55.84 6.23 9.59 8.12
13. Wajo 97.01 96.43 96.75 65.48 66.73 66.13 32.77 39.39 36.77 5.60 5.82 5.71
14. Sidrap 95.06 96.05 95.50 73.24 80.92 77.23 59.88 55.28 57.63 6.65 13.38 10.04
15. Pinrang 94.88 96.61 95.70 74.12 87.19 80.26 40.05 45.67 43.21 3.06 10.98 6.71
16. Enrekang 97.92 99.55 98.69 88.35 95.99 92.46 59.72 71.53 64.59 11.94 14.30 12.89
17. Luwu 96.89 92.93 95.11 89.11 87.54 88.35 44.98 50.82 47.40 2.62 5.74 4.33
18. Tana Toraja 96.69 96.49 96.59 89.23 90.17 89.72 63.93 69.55 66.59 4.78 14.31 9.04
22. Luwu Utara 97.32 97.32 97.32 77.33 89.96 83.49 49.21 62.57 55.74 2.71 6.39 4.54
25. Luwu Timur 94.66 97.91 96.31 86.31 92.15 89.38 62.73 71.52 67.37 4.79 7.97 6.44
71. Makassar 96.47 97.34 96.89 84.08 86.89 85.62 51.88 58.71 55.64 33.78 41.70 37.79
72. Pare Pare 96.84 96.41 96.64 87.28 90.78 89.31 50.07 62.53 56.55 8.39 20.44 14.81
73. Palopo 99.44 98.81 99.13 94.78 92.20 93.62 66.52 65.93 66.22 19.90 30.71 25.74
Jumlah 95.93 97.20 96.53 79.89 82.06 80.99 51.31 52.01 51.67 13.30 18.27 15.82
Sumber data : BPS, Susenas 2009
2.1.3. Angka Partisipasi Murni (APM)
Angka Partisipasi Murni (APM) adalah persentase siswa dengan usia yang berkaitan
dengan jenjang pendidikannya dari jumlah penduduk di usia yang sama.
Indikator APM merupakan indikator yang lebih baik dibanding dengan indikator APK,
sebab APK biasanya digunakan ketika APM-nya masih jauh dari 100 persen. APK dapat
mencapai lebih dari 100 persen, sedangkan APM semestinya maksimal 100 persen.
12
Tabel 5. APM menurut Usia Sekolah,dan Jenis Kelamin, Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2008
Kabupaten/Kota APM 7-12 tahun APM 13-15 tahun APM 16-18 tahun APM 19-24 tahunLaki Prp Jumlah Laki- Prp Jumlah Laki- Prp Jumlah Laki- Prp Jumlah
01. Selayar 98.74 88.10 93.96 53.73 62.11 57.53 12.06 32.94 24.40 4.50 5.36 4.96
02. Bulukumba 89.06 85.79 87.46 58.67 51.51 55.32 44.45 36.77 40.72 3.81 4.72 4.27
03. Bantaeng 88.75 92.39 90.53 45.92 55.64 51.38 38.19 45.25 41.48 5.61 4.47 5.02
04. Jeneponto 82.04 85.24 83.68 42.98 45.86 44.30 16.91 32.99 25.32 4.27 4.33 4.30
05. Takalar 90.96 94.46 92.53 41.35 43.83 42.67 26.46 32.93 29.48 5.29 6.36 5.81
06. Gowa 82.68 90.33 86.27 45.95 69.94 56.38 32.18 41.07 36.26 6.00 7.52 6.88
07. Sinjai 94.67 88.91 91.93 31.97 66.63 50.71 35.43 50.82 41.89 2.71 4.74 3.79
08. Maros 96.41 90.27 93.31 71.72 54.23 63.02 44.10 35.64 39.86 9.92 10.86 10.41
09. Pangkep 95.36 92.66 94.02 57.24 66.15 61.59 36.08 23.98 29.92 8.70 9.62 9.18
10. Barru 96.11 92.24 94.21 70.05 40.72 54.11 50.00 29.13 39.93 7.77 10.03 8.87
11. Bone 91.07 92.58 91.85 52.22 61.87 57.01 30.71 35.07 32.88 4.51 5.93 5.30
12. Soppeng 89.89 96.68 93.08 66.73 63.43 64.90 31.29 65.09 48.12 6.41 7.70 7.06
13. Wajo 94.34 93.74 94.03 34.26 46.96 41.13 30.59 23.68 26.91 6.36 5.72 6.00
14. Sidrap 97.52 95.70 96.56 69.80 67.66 68.68 28.07 37.55 32.56 5.75 10.73 7.97
15. Pinrang 94.96 90.49 92.95 53.65 60.47 57.23 38.94 36.69 37.76 3.68 9.15 6.55
16. Enrekang 94.19 95.40 94.80 60.23 63.96 62.08 44.67 73.27 60.01 3.69 2.12 2.87
17. Luwu 98.01 88.89 93.81 71.02 68.51 69.86 61.37 57.68 59.39 4.59 6.10 5.36
18. Tana Toraja 91.59 97.84 94.54 67.26 85.28 76.23 57.05 64.34 60.29 2.36 14.62 8.25
22. Luwu Utara 95.56 96.90 96.23 74.01 68.21 71.40 38.56 40.39 39.39 3.68 6.67 5.25
25. Luwu Timur 97.55 97.04 97.31 40.31 84.35 61.05 40.81 47.13 43.95 5.85 1.40 3.60
71. Makassar 93.68 90.65 92.13 67.35 66.96 67.13 57.70 47.32 52.67 32.72 41.25 37.25
72. Pare Pare 93.22 89.97 91.67 84.50 86.42 85.39 46.68 57.09 51.99 11.81 28.30 20.11
73. Palopo 91.59 89.64 90.69 67.82 75.47 71.84 55.47 40.79 48.86 7.80 25.73 16.19
Jumlah 92.32 91.96 92.15 57.56 63.63 60.62 41.19 42.52 41.84 11.53 15.55 13.64Sumber data : BPS, Susenas 2008
Berdasarkan tabel 5 dan 6 nampak bahwa Angka Partisipasi Murni untuk golongan usia
semakin tinggi, APMnya semakin rendah. Kecenderungan ini terjadi baik di kelompok laki-laki
maupun perempuan, meskipun jika dilihat persentasenya, perempuan sedikit lebih tinggi
APMnya dibandingkan laki-laki. Suatu hal yang sangat memprihatinkan bahwa APM usia 16-18
tahun masih dibawah 50%, artinya kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi laki-laki dan
perempuan di jenjang pendidikan menengah atas, masih sangat rendah. Untuk tahun 2009,
terdapat penurunan APM perempuan di kelompok usia ini.
13
Tabel 6. APM menurut Usia Sekolah,dan Jenis Kelamin, Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009
Kabupaten/KotaAPM 7-12 tahun APM 13 - 15 tahun APM 16 - 18 tahun APM 19 - 24 tahun
Laki- Prp Jumlah Laki- Prp Jumlah Laki- Prp Jumlah Laki- Prp Jumlah
01. Selayar 94.95 96.70 95.81 76.08 66.09 71.49 40.89 48.85 44.98 4.07 4.96 4.53
02. Bulukumba 94.72 93.72 94.29 60.69 66.13 63.23 54.47 28.48 40.72 5.00 12.11 8.68
03. Bantaeng 86.63 95.17 90.81 57.84 50.51 54.10 25.82 33.89 30.08 7.09 6.99 7.04
04. Jeneponto 91.02 91.34 91.18 56.94 52.14 54.58 34.95 26.24 30.95 6.21 4.74 5.49
05. Takalar 89.09 91.25 90.14 53.05 61.76 57.29 36.72 31.76 34.24 3.31 6.26 4.93
06. Gowa 91.85 93.95 92.81 60.87 55.47 58.38 43.22 38.81 41.00 10.98 15.15 13.02
07. Sinjai 91.39 92.71 91.99 73.69 66.59 70.03 52.70 54.78 53.57 10.65 17.02 13.73
08. Maros 92.57 93.25 92.91 66.82 60.40 63.50 51.65 30.35 40.31 5.65 7.41 6.57
09. Pangkep 91.86 90.43 91.24 57.11 53.56 55.30 32.52 34.07 33.32 7.30 10.81 9.08
10. Barru 87.84 88.05 87.94 65.21 65.14 65.17 55.99 39.13 46.76 10.65 16.93 13.95
11. Bone 91.82 94.75 93.39 50.50 59.35 54.80 34.81 34.64 34.72 6.96 10.74 9.05
12. Soppeng 94.77 94.77 94.77 72.97 66.08 69.06 38.00 54.89 46.72 6.23 9.59 8.12
13. Wajo 95.56 91.96 93.95 51.66 53.87 52.81 22.89 35.57 30.54 5.60 5.82 5.71
14. Sidrap 92.88 92.06 92.52 60.17 62.97 61.63 51.35 46.25 48.86 6.65 12.41 9.55
15. Pinrang 91.83 94.92 93.29 61.61 65.99 63.67 26.73 30.22 28.69 2.29 10.98 6.30
16. Enrekang 95.43 94.04 94.77 75.02 71.95 73.36 45.13 60.00 51.26 5.15 14.30 8.85
17. Luwu 94.23 90.80 92.69 76.15 67.00 71.68 33.71 36.56 34.89 1.75 5.74 3.94
18. Tana Toraja 96.30 94.78 95.56 67.06 75.18 71.30 48.15 52.27 50.10 4.78 14.31 9.04
22. Luwu Utara 83.05 83.41 83.21 63.06 60.14 61.64 49.21 56.31 52.68 1.80 3.65 2.72
25. Luwu Timur 84.46 78.66 81.52 60.05 66.27 63.32 54.71 67.93 61.69 3.84 7.08 5.52
71. Makassar 95.88 93.44 94.69 64.68 57.80 60.91 45.60 46.42 46.05 28.41 34.92 31.72
72. Pare Pare 93.54 91.90 92.76 50.93 64.62 58.89 46.77 58.22 52.72 6.70 18.96 13.23
73. Palopo 86.88 81.74 84.33 67.03 60.72 64.20 63.28 50.59 56.93 16.85 25.89 21.73
Jumlah 92.37 92.16 92.27 62.02 61.45 61.73 42.59 41.53 42.05 11.14 15.93 13.57Sumber data : BPS, Susenas 2009
Hal ini sejalan dengan data Dinas Pendidikan yang menunjukkan bahwa jumlah anak
sekolah untuk tahun 2008/2009 kelompok umur 07 – 12 tahun di Provinsi Sulawesi Selatan,
anak perempuan lebih banyak yaitu 883.257 orang (53,78 %) sementara laki-laki sebanyak
758.996 orang atau 46,22 % dari total 1.642.253 orang.
Untuk kelompok umur 13 – 15 tahun ada 930.666 orang diantaranya laki-laki sebanyak
452.355 orang (48,61 %) dan perempuan sebanyak 478.311 orang (51,39 %) yang lebih banyak
dari pada laki-laki.
14
Tabel 7. Jumlah Peserta Didik Menurut Kelompok Umur Tahun 2008/2009
Kabupaten/ Kota
Kelompok Umur
07 - 12 Thn Jml
13 - 15 Thn Jml
16 - 18 Thn Jml
LK PR LK PR LK PR Selayar 13.169 17.191 30.360 5.953 5.418 11.371 6.094 5.289 11.383 Bulukumba 34.992 44.646 79.638 19.902 21.841 41.743 23.879 19.386 43.265 Bantaeng 14.622 17.990 32.612 8.194 7.783 15.977 6.832 5.784 12.616 Jeneponto 32.038 38.120 70.158 16.760 19.937 36.697 17.550 15.222 32.772 Takalar 22.853 29.031 51.884 15.188 13.455 28.643 12.808 12.222 25.030 Gowa 58.107 63.976 122.083 29.072 34.568 63.640 32.966 30.715 63.681 Sinjai 24.256 28.951 53.207 12.394 12.081 24.475 7.127 8.792 15.919 Maros 25.377 29.710 55.087 18.046 17.202 35.248 21.707 18.219 39.926 Pangkep 30.494 40.252 70.746 14.749 12.473 27.222 17.998 12.830 30.828 Barru 19.395 21.659 41.054 8.143 8.588 16.731 6.810 8.827 15.637 Bone 83.162 96.112 179.274 29.992 40.609 70.601 29.266 27.234 56.500 Soppeng 27.274 32.379 59.653 13.441 16.148 29.589 10.807 10.723 21.530 Wajo 42.766 55.780 98.546 16.576 20.697 37.273 14.842 12.860 27.702 Sidrap 30.502 32.121 62.623 16.620 16.278 32.898 13.804 11.697 25.501 Pinrang 38.136 43.616 81.752 21.978 24.248 46.226 17.017 16.756 33.773 Ebrekang 16.159 16.032 32.191 12.596 13.986 26.582 12.877 11.540 24.417 Luwu 31.455 33.967 65.422 23.851 24.156 48.007 21.663 17.971 39.634 Tana Toraja 39.735 39.737 79.472 36.745 33.632 70.377 23.860 20.254 44.114 Luwu Utara 40.808 41.835 82.643 18.807 16.529 35.336 13.340 9.970 23.310 Luwu Timur 23.350 23.810 47.160 15.095 13.830 28.925 18.645 12.549 31.194 Makassar 87.986 109.407 197.393 77.155 86.185 163.340 162.954 164.613 327.567 Pare-pare 10.687 12.740 23.427 9.357 8.950 18.307 12.135 11.694 23.829 Palopo 11.673 14.195 25.868 11.741 9.717 21.458 14.262 14.560 28.822
Jumlah (Prov. Sul-Sel)
758.996 883.257 1.642.253 452.355 478.311 930.666 519.243 479.707 998.950
Sumber : Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan 2010
Sementara untuk kelompok umur 16–18 tahun jumlahnya sebanyak 998.950 orang diantaranya
laki-laki sebanyak 519.243 orang (51,98 %) dan perempuan sebanyak 479.707 orang (51,39 %). Dengan
mencermati tingkat APS pada kelompok umur 07 – 12 tahun sederajat SD dan kelompok umur 13– 15
tahun yang sederajat SMP, nampaknya APS perempuan lebih tinggi dari APS anak laki-laki. Tetapi APS
pada kelompok umur 16– 8 tahun yang sederajat SMU nampaknya APS laki-laki lebih tinggi dari pada
APS perempuan. Hal ini mencerminkan bahwa makin tinggi tingkat pendidikan partisipasi perempuan
makin menurun.
15
2.1.4. Angka Partisipasi Kasar (APK)
Indikator ini digunakan untuk mengukur proporsi anak sekolah pada suatu jenjang pendidikan
tertentu dalam kelompok umur yang sesuai dengan jenjang pendidikan tersebut. Angka partisipasi kasar
dapat memberikan gambaran tentang banyaknya anak yang menerima pendidikan pada jenjang tertentu.
Untuk mendapatkan gambaran Angka Partisipasi Kasar (APK) di Provinsi Sulawesi Selatan dapat dilihat
pada Tabel 8 dan 9.
Berdasarkan tabel tersebut, nampak bahwa secara umum terjadi kenaikan angka
partisipasi kasar dari tahun 2008 ke tahun 2009, khususnya untuk usia 13-15, 16-18, dan 19-24
tahun. Namun, untuk usia 7-12 tahun justru mengalami pnurunan. Jika dilihat berdasarkan jenis
kelamin, nampak bahwa APK perempuan pada jenjang sekolah SMP sampai PT lebih tinggi
dibandingkan laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi laki-laki justru menurun di usia
sekolah yang semakin tinggi. Untuk usia 7-12 tahun terdapat kecendungan penurunan baik laki-
laki maupun perempuan, dan pada tahun 2009, keadaannya menjadi berbanding terbalik dengan
tahun 2008, dimana perempuan menjadi lebih tinggi APKnya dibandingkan laki-laki.
Fenomena ini cukup memprihatinkan, ditegah-tengah gencarnya upaya pemberdayaan
perempuan dan keseteraan gender, namun justru ada kecenderungan menurunnya partisipasi
laki-laki dalam pendidikan.
16
Tabel 8. APK menurut Usia Sekolah,dan Jenis Kelamin, Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2008
Kabupaten/KotaAPK 7-12 tahun APK 13-15 tahun APK 16-18 tahun APK 19-24 tahun
Laki-Laki Prp Jumlah Laki-
Laki Prp Jumlah Laki-Laki Prp Jumlah Laki-
Laki Prp Jumlah
01. Selayar 124.72 107.61 117.04 55.13 86.96 69.55 19.40 34.91 28.57 6.55 10.76 8.80
02. Bulukumba 106.01 103.99 105.02 73.32 68.15 70.90 50.05 38.24 44.31 4.76 12.30 8.55
03. Bantaeng 106.87 107.64 107.25 49.06 59.31 54.82 39.59 45.25 42.22 8.82 9.00 8.91
04. Jeneponto 102.88 105.47 104.21 53.02 58.80 55.68 19.31 35.18 27.61 4.27 6.49 5.37
05. Takalar 121.45 127.77 124.28 43.53 51.47 47.76 27.62 34.25 30.71 6.81 14.31 10.48
06. Gowa 105.25 104.44 104.87 69.53 85.75 76.59 36.89 43.99 40.15 11.19 12.52 11.96
07. Sinjai 107.97 108.73 108.33 39.18 78.95 60.68 47.93 56.02 51.32 9.09 10.35 9.76
08. Maros 109.49 115.58 112.57 77.59 63.49 70.57 54.85 54.56 54.71 16.14 17.00 16.59
09. Pangkep 108.58 104.84 106.73 70.87 91.74 81.05 54.53 29.70 41.89 15.06 15.35 15.21
10. Barru 110.06 107.50 108.80 73.17 62.40 67.31 56.66 52.83 54.81 13.33 17.91 15.56
11. Bone 109.47 110.04 109.76 63.48 67.52 65.48 41.85 45.03 43.43 5.43 11.11 8.57
12. Soppeng 99.65 110.13 104.56 82.05 65.63 72.92 56.16 88.83 72.43 9.18 13.99 11.60
13. Wajo 121.22 109.11 114.87 40.36 52.14 46.73 37.35 40.16 38.85 8.53 12.11 10.55
14. Sidrap 113.09 108.57 110.71 106.57 87.36 96.52 32.29 70.35 50.31 9.33 14.42 11.60
15. Pinrang 107.93 103.96 106.14 56.70 72.23 64.86 48.62 48.90 48.76 7.43 14.78 11.29
16. Enrekang 111.04 108.25 109.64 79.09 72.85 75.99 63.78 88.94 77.27 8.34 19.76 14.31
17. Luwu 105.15 98.19 101.95 71.89 83.80 77.40 79.41 72.15 75.51 8.26 11.39 9.87
18. Tana Toraja 105.52 114.49 109.75 74.55 87.26 80.88 67.07 72.50 69.48 8.38 22.31 15.07
22. Luwu Utara 109.25 113.61 111.41 80.76 75.09 78.21 47.68 40.39 44.36 8.22 12.43 10.43
25. Luwu Timur 121.23 111.43 116.79 57.62 95.83 75.62 50.81 52.59 51.70 9.58 10.98 10.29
71. Makassar 113.56 109.68 111.58 83.25 82.38 82.76 73.33 67.78 70.65 38.96 52.71 46.26
72. Pare Pare 102.31 102.72 102.50 93.74 101.49 97.33 54.11 59.46 56.84 20.93 37.57 29.31
73. Palopo 105.72 111.90 108.58 82.53 110.47 97.19 68.02 44.25 57.33 18.17 38.27 27.57
Jumlah 109.63 108.84 109.25 69.25 75.56 72.43 51.58 53.39 52.47 15.89 23.04 19.63Sumber data : BPS, Susenas 2008
17
Tabel 9. APK menurut Usia Sekolah,dan Jenis Kelamin, Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009
Kabupaten/KotaAPK 7 -12 tahun APK 13- 15 tahun APK 16 - 18 tahun APK 19 - 24 tahun
Laki-Laki Prp Jumlah Laki-
Laki Prp Jumlah Laki-Laki Prp Jumlah Laki-
Laki Prp Jumlah
01. Selayar 110.53 117.00 113.69 85.57 75.17 80.79 55.53 64.84 60.32 9.66 10.04 9.8602. Bulukumba 102.17 109.23 105.21 76.73 87.53 81.77 71.66 40.82 55.34 5.00 16.70 11.0503. Bantaeng 101.36 109.62 105.40 70.38 60.29 65.22 48.61 47.53 48.04 7.92 6.99 7.4304. Jeneponto 111.15 109.52 110.35 69.16 59.17 64.26 54.51 54.21 54.37 10.18 7.25 8.7605. Takalar 113.62 101.62 107.80 61.06 87.22 73.79 55.78 48.15 51.97 3.31 9.01 6.4306. Gowa 107.42 109.27 108.26 75.08 68.85 72.20 71.42 66.63 69.01 19.22 30.09 24.5407. Sinjai 109.59 110.90 110.18 98.77 83.92 91.11 62.16 81.24 70.13 24.46 38.62 31.3108. Maros 106.24 106.36 106.30 77.34 78.49 77.93 60.26 44.29 51.75 8.94 10.36 9.6809. Pangkep 101.59 104.46 102.83 68.16 65.23 66.67 37.07 43.45 40.36 13.76 16.25 15.0310. Barru 104.36 109.35 106.68 78.61 82.85 80.79 64.40 53.09 58.21 13.29 27.18 20.5911. Bone 109.19 106.06 107.52 63.34 78.09 70.51 58.45 48.18 53.31 9.67 16.43 13.4012. Soppeng 106.73 104.44 105.66 87.12 78.44 82.20 48.56 74.60 62.01 6.23 10.77 8.7813. Wajo 107.39 110.85 108.94 62.73 65.31 64.07 36.16 45.62 41.87 10.41 12.46 11.4114. Sidrap 104.73 106.05 105.32 71.79 76.15 74.05 64.45 65.90 65.16 11.40 18.02 14.7315. Pinrang 107.33 109.08 108.15 76.07 82.35 79.02 43.45 49.82 47.03 6.88 16.33 11.2416. Enrekang 112.22 110.29 111.30 97.01 89.15 92.78 59.49 95.82 74.47 8.35 21.93 13.8317. Luwu 110.54 107.11 109.00 93.58 81.65 87.76 40.47 60.49 48.76 1.75 7.18 4.7318. Tana Toraja 108.66 112.55 110.55 78.66 84.87 81.91 63.55 61.70 62.67 4.78 20.22 11.68
22. Luwu Utara 97.29 97.82 97.54101.1
3 95.26 98.27 67.12 93.53 80.03 1.80 4.56 3.18
25. Luwu Timur 104.30 90.67 97.39 90.06111.1
9 101.17 72.09 90.62 81.87 6.74 10.64 8.7671. Makassar 109.19 112.74 110.92 67.27 65.59 66.35 75.74 84.63 80.63 42.36 47.43 44.9372. Pare Pare 118.66 106.30 112.75 62.36 73.79 69.00 70.41 87.00 79.03 9.55 28.55 19.6773. Palopo 102.52 100.96 101.75 92.69 99.23 95.62 92.29 83.76 88.02 27.37 43.88 36.29
Jumlah 107.26 107.75 107.49 75.83 77.11 76.47 61.43 64.25 62.88 17.06 23.54 20.35Sumber data : BPS, Susenas 2009
2.1.5. Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan
Pendidikan yang lebih baik berpengaruh terhadap peningkatan potensi dasar penduduk
dalam menerima perubahan-perubahan sosial dan ekonomi, berinovasi, dan menyerap teknologi
baru untuk mendukung kehidupannya ke arah yang lebih baik. Selain Tingkat Partisipasi
Sekolah (TPS), Pendidikan tertinggi yang ditamatkan penduduk dapat dijadikan sebagai salah
satu alat kontrol untuk melihat sejauh mana peningkatan pembangunan bidang pendidikan.
Semakin tinggi tingkat pendidikan yang ditamatkan maka kualitas sumberdaya manusia secara
umum akan semakin tinggi. Salah satu ukuran keberhasilan pembangunan pendidikan dapat
dilihat dari kualitas tingkat pendidikan yang ditamatkan. Banyaknya penduduk yang
berpendidikan tinggi menunjukkan semakin baik kualitas penduduknya. Tabel berikut
18
menunjukkan penduduk Sulawesi Selatan yang berumur 10 tahun ke atas menurut pendidikan
tertinggi yang ditamatkan.
Tabel 10. Persentase Penduduk Menurut Jenis Kelamin, Pendidikan yang Ditamatkan dan Kabupaten/Kota Tahun 2008
Kab/Kota SD SLTP SMU SMA Kejuruan D I/II D III/ SarmudD IV/S 1/S 2/S
3
Lk Prp Lk Prp Lk Prp Lk Prp Lk Prp Lk Prp Lk Prp
01 Selayar 30,33 34,61 13,71 10,91 12,76 8,93 1,28 1,72 1,62 2,02 0,47 1,01 4,01 4,40
02 Bulukumba 23,95 27,39 13,62 13,40 14,28 10,69 2,06 1,20 0,83 1,66 0,21 0,65 4,89 3,91
03 Bantaeng 22,70 24,18 12,72 10,46 9,44 6,60 1,17 1,18 1,28 2,74 0,86 0,93 4,12 4,35
04 Jeneponto 25,13 27,51 13,14 14,39 13,01 10,20 0,76 0,79 1,15 1,06 0,29 0,44 3,48 2,48
05 Takalar 23,64 26,99 15,71 12,51 10,77 9,81 2,48 1,55 0,86 1,45 0,47 0,43 3,36 2,85
06 Gowa 25,13 25,78 12,57 13,93 11,28 11,04 2,97 1,34 0,36 0,85 1,09 0,84 4,92 4,00
07 Sinjai 28,75 31,03 14,69 12,95 7,42 8,13 1,02 1,29 0,92 1,85 0,74 0,57 4,76 3,86
08 Maros 22,40 24,03 15,93 13,91 17,24 13,75 1,92 0,98 0,76 1,57 0,58 0,80 4,65 3,57
09 Pangkep 27,75 32,43 13,42 10,05 11,80 8,55 4,58 1,78 0,87 1,87 0,78 1,54 4,75 4,80
10 Barru 32,14 30,46 13,50 12,08 9,20 11,21 2,08 1,21 0,66 2,07 0,44 0,75 4,29 3,75
11 Bone 32,83 30,62 11,84 12,94 10,41 8,21 1,15 0,46 0,57 1,47 0,48 0,39 3,86 2,80
12 Soppeng 31,56 31,31 15,55 15,62 11,78 9,84 0,73 0,52 0,42 0,61 0,52 0,78 3,25 2,90
13 Wajo 30,88 32,95 11,97 12,22 10,08 6,91 0,64 0,69 0,42 1,13 0,21 0,52 4,12 2,77
14 Sidrap 31,59 30,35 17,21 15,38 11,56 9,74 2,73 1,31 0,19 0,94 1,05 0,61 4,09 3,99
15 Pinrang 30,03 30,52 17,30 16,97 11,70 10,94 1,70 0,79 0,60 0,80 0,70 0,53 4,58 4,33
16 Enrekang 23,96 21,82 18,68 19,04 16,72 14,00 2,38 1,71 1,35 2,59 1,04 1,53 7,89 5,36
17 Luwu 26,98 27,54 20,45 19,59 15,31 12,90 3,27 1,68 0,74 1,41 0,47 1,15 3,56 3,98
18 TanaToraja 23,16 23,63 21,42 20,00 9,79 9,75 4,11 2,29 0,38 0,10 0,38 1,26 5,52 3,96
22 LuwuUtara 34,46 36,46 15,88 14,41 9,14 8,12 2,12 0,57 0,56 0,68 0,75 0,29 2,60 2,20
25 LuwuTimur 25,84 28,33 16,70 16,45 17,89 13,50 2,74 1,43 0,66 1,72 0,77 0,93 4,73 3,87
71 Makassar 18,37 20,09 16,11 15,82 29,65 27,73 4,37 2,49 0,26 1,21 1,89 2,26 14,05 11,68
72 Parepare 22,82 25,68 19,98 18,04 20,45 20,04 5,46 3,53 0,67 1,72 1,14 1,72 10,91 8,40
73 Palopo 21,12 25,12 21,25 17,19 22,15 23,24 3,66 2,52 0,62 1,04 1,88 1,84 11,67 7,78
Jumlah 25,95 27,23 15,47 14,75 15,15 13,35 2,60 1,44 0,61 1,29 0,85 1,04 6,19 5,09Sumber data : BPS, Susenas 2008
19
Tabel 11. Persentase Penduduk Menurut Jenis Kelamin, Pendidikan yang Ditamatkan dan Kab/Kota Tahun 2009
Kab/Kota SD SLTP SMU SMA Kejuruan D I/II D III/ SarmudD IV/S 1/S 2/S
3 Lk Prp Lk Prp Lk Prp Lk Prp Lk Prp Lk Prp Lk Prp
-1 -4 -4 -5 -5 -6 -6 -7 -7 -8 -8 -9 -9 -10 -10
01 Selayar 30,38 28,21 14,25 13,74 10,31 7,62 3,49 2,44 0,98 2,07 0,86 0,85 3,15 4,25
02 Bulukumba 26,69 30,41 17,43 14,39 12,24 10,55 4,15 2,47 0,72 1,21 0,55 1,04 2,27 3,22
03 Bantaeng 24,02 25,39 12,07 12,47 10,03 6,05 2,46 2,15 0,65 1,93 0,57 0,64 3,66 2,36
04 Jeneponto 23,21 26,23 14,79 14,02 10,85 7,14 2,54 2,02 0,87 1,31 0,63 1,45 2,15 2,26
05 Takalar 21,97 25,24 15,32 14,78 15,29 10,96 2,07 1,67 0,40 0,41 0,78 1,33 2,14 1,90
06 Gowa 23,04 24,28 14,77 17,08 14,55 12,13 5,48 4,21 0,64 1,40 1,27 1,58 4,26 3,88
07 Sinjai 31,19 30,46 13,26 12,15 10,99 9,82 2,80 2,80 0,83 2,15 1,04 1,87 3,11 3,27
08 Maros 26,22 28,85 14,31 14,10 17,47 10,71 2,12 0,84 0,19 0,58 0,49 0,58 2,73 1,51
09 Pangkep 31,91 33,24 11,65 11,09 11,40 8,50 5,05 2,63 0,40 0,72 0,60 0,81 3,45 2,87
10 Barru 29,87 33,53 15,84 16,19 12,57 10,89 3,24 2,23 0,53 0,72 1,02 1,43 4,24 3,98
11 Bone 31,70 32,32 12,64 12,26 11,64 8,73 1,31 1,34 0,37 1,19 0,55 0,60 3,65 3,94
12 Soppeng 31,89 29,25 15,10 16,73 12,70 11,60 3,47 2,11 0,67 1,58 0,88 2,12 3,67 2,88
13 Wajo 36,44 36,14 12,45 11,79 10,20 8,10 1,42 1,07 0,42 0,80 0,22 0,98 4,35 2,90
14 Sidrap 28,52 28,32 16,60 16,97 12,93 10,12 4,16 2,96 0,38 0,44 0,66 0,80 3,03 2,43
15 Pinrang 33,51 31,48 17,05 16,18 12,84 12,00 4,03 2,18 0,19 0,81 0,48 1,18 3,08 2,63
16 Enrekang 26,43 24,40 17,60 18,03 15,47 12,70 4,30 1,95 0,60 2,12 0,89 1,59 4,96 3,74
17 Luwu 30,35 29,65 19,10 19,13 15,52 16,81 3,19 1,40 0,46 0,75 0,56 0,93 2,05 1,76
18 TanaToraja 24,74 25,91 17,49 18,30 11,70 11,23 5,77 2,89 0,82 0,75 0,83 0,93 2,83 1,74
22 LuwuUtara 34,72 34,02 16,85 15,33 10,68 8,98 2,07 0,68 0,47 1,07 0,66 0,95 3,36 3,19
25 LuwuTimur 27,67 29,69 17,19 18,19 15,33 12,59 6,21 2,00 0,85 1,72 0,37 1,24 4,81 3,63
71 Makassar 17,40 19,37 15,65 18,24 32,08 27,40 6,57 3,75 0,61 0,95 2,25 3,41 11,45 9,62
72 Parepare 18,84 21,96 21,95 20,49 22,97 21,48 7,68 4,59 0,36 1,76 1,49 2,62 7,13 6,20
73 Palopo 21,56 22,11 21,87 19,79 23,20 24,31 6,38 5,13 1,00 1,11 0,90 2,76 7,83 7,47
Jumlah 26,55 27,64 15,54 15,70 16,24 13,54 4,10 2,48 0,57 1,10 0,96 1,53 4,79 4,15
Sumber data : BPS, Susenas 2009
Tabel tersebut memperlihatkan bahwa masih adanya kesenjangan tingkat pendidikan
antara penduduk laki-laki dan perempuan. Persentase perempuan tamat SD masih cukup tinggi
dibandingkan laki-laki. dan semakin tinggi jenjang pendidikan, persentase perempuan semakin
menurun. Namun disisi lain, untuk D1/2/3 dan sarjana muda, justru laki-laki lebih rendah .
Meskipun demikian, secara umum, semakin tinggi jenjang pendidikan, persentasenya semakin
20
menurun, sehingga partisipasi dan kesempatan laki-laki maupun perempuan untuk memperoleh
pendidikan dalam rangka peningkatan kualitas manusia Sulawesi Selatan masih harus
ditingkatkan.
Secara umum di Sulawesi Selatan, Persentase penduduk yang berpendidikan rendah
masih relatif tinggi. Hal ini terlihat dari persentase penduduk yang menamatkan pendidikan pada
tingkat sekolah dasar masih lebih tinggi dibanding pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Persentase tertinggi adalah penduduk yang menamatkan pendidikan SD yaitu 46 %, selanjutnya
penduduk yang menamatkan pendidikan SLTP/MTs/Paket B sebesar 23 %, penduduk yang
menamatkan pada jenjang pendidikan SLTA sebesar 28 %. Tentunya diharapkan kedepan
penduduk Sulawesi Selatan dapat lebih ditingkatkan lagi pendidikan yang ditamatkannya yang
akan berpengaruh pada kondisi sosial ekonomi masyarakat akan semakin baik.
2.1.6. Angka Putus Sekolah
Angka putus sekolah menurut kelas dan jenjang sekolah, tampak mulai terjadi sejak
SD, dan menunjukkan persentase yang meningkat seiring dengan jenjang sekolah. Hal ini
mengindikasikan masih adanya hambatan bagi anak untuk bertahan belajar di sekolah sejak
memasuki sekolah dasar. Untuk menunjang program wajib belajar sembilan Tahun, kenyataan
ini harus mendapatkan perhatian. Untuk mendapatkan gambaran tentang angka putus sekolah
di Provinsi Sulawesi Selatan dapat dilihat pada Tabel 12.
Kemiskinan seringkali menjadi alasan bagi siswa sekolah untuk tidak melanjutkan sekolah,
karena mereka diharapkan membantu mencari nafkah untuk keluarganya, dan anggapan lebih
baik bekerja dengan mendapatkan uang, disamping anggapan bahwa semakin tinggi jenjang
pendidikan, semakin besar biaya yang diperlukan, sementara masyarakat miskin dan rumah
tangga miskin tidak memiliki penghasilan yang cukup untuk biaya pendidikan.
21
Tabel 12. Persentase Penduduk Berdasarkan Status Putus Sekolah Menurut Jenis Kelamin, Usia dan Kabupaten/KotaTahun 2008
Kabupaten/Kota
Tidak bersekolah lagiJenis Kelamin
Laki-laki Perempuan
7-12 13-15 16-18 19-24 7-12 13-15 16-18 19-24
01 Selayar 1,28 23,14 60,13 86,15 3,10 17,10 56,81 92,6302 Bulukumba 3,31 26,78 48,54 84,57 6,88 24,47 54,39 83,9503 Bantaeng 2,78 30,14 46,40 81,71 2,33 22,25 48,31 88,0804 Jeneponto 8,73 32,98 66,27 83,71 8,25 31,78 57,16 86,35
05 Takalar 3,93 33,77 57,71 91,68 2,74 31,63 59,17 89,6906 Gowa 7,19 30,59 49,26 84,81 1,60 17,10 48,36 85,7307 Sinjai 4,21 33,45 59,47 91,73 4,69 17,27 45,51 92,7208 Maros 1,74 14,67 46,32 86,40 3,43 24,01 55,93 86,38
09 Pangkep 3,72 24,42 44,16 87,95 3,94 24,13 51,60 88,8810 Barru 2,52 18,51 46,74 89,24 2,58 34,55 44,85 85,4711 Bone 3,38 27,02 62,75 92,53 4,73 25,68 58,78 87,4212 Soppeng 3,61 9,83 55,21 89,98 1,35 12,33 33,41 91,27
13 Wajo 3,11 25,37 66,03 93,71 2,81 31,52 62,73 92,7714 Sidrap 0,59 26,17 34,65 92,85 1,07 5,92 39,45 87,5215 Pinrang 3,64 31,83 51,17 91,81 3,35 19,77 58,83 90,1016 Enrekang - 16,77 42,86 94,08 0,52 13,54 25,82 91,45
17 Luwu 1,19 14,02 34,53 92,58 1,88 15,23 34,41 88,5818 TanaToraja 2,67 17,19 36,70 87,83 1,27 2,74 22,98 84,3322 LuwuUtara 1,77 12,48 52,24 93,58 0,45 19,98 54,00 91,6825 LuwuTimur 1,48 12,77 33,82 93,26 1,79 10,31 31,40 95,63
71 Makassar 1,71 10,02 35,66 66,62 1,64 15,24 32,85 57,0772 Parepare 0,52 12,55 48,80 83,94 1,76 5,39 37,64 70,8173 Palopo 0,86 16,01 39,38 83,60 0,51 12,20 33,36 73,74
Jumlah 3,06 21,65 47,70 83,90 2,79 19,03 45,60 80,54
22
Sumber data : BPS, Susenas 2008
Kondisi geografis juga berpengaruh terhadap tingginya angka putus sekolah. Aksesibiltas
yang rendah untuk menjangkau sekolah dengan sarana dan prasarana transportasi yang
terbatas dan masih sulit dijangkau oleh masyarakat di pelosok pedesaan dan wilayah kepulauan,
merupakan salah satu alasan bagi siswa untuk tidak melanjutkan sekolah, meskipun guru telah
memberikan dorongan dan motivasi kepada siswa agar tidak putus sekolah.
23
Tabel 13. Persentase Penduduk Berdasarkan Status Putus Sekolah Menurut Jenis Kelamin, Usia dan Kabupaten/KotaTahun 2009
Kabupaten/ Tidak bersekolah lagiKota Jenis Kelamin
Laki-laki Perempuan 7-12 13-15 16-18 19-24 7-12 13-15 16-18 19-24
01 Selayar 3,15 15,75 44,75 85,32 1,32 5,45 39,26 93,80
02 Bulukumba 2,12 15,91 32,90 92,05 0,70 20,04 59,19 81,37
03 Bantaeng 6,12 15,88 58,00 81,82 3,56 33,07 52,97 88,66
04 Jeneponto 3,41 24,84 51,15 77,39 3,99 22,28 64,84 91,91
05 Takalar 3,80 25,25 55,61 87,49 3,51 20,13 49,30 88,19
06 Gowa 1,81 14,10 38,88 83,70 - 17,64 47,39 80,16
07 Sinjai 2,02 10,50 35,12 87,22 0,60 16,10 37,68 76,17
08 Maros 3,48 19,38 45,83 91,97 1,93 20,37 61,11 89,64
09 Pangkep 4,31 32,93 54,92 91,93 3,84 32,55 60,72 86,22
10 Barru 5,88 20,39 42,48 86,50 3,38 15,73 54,15 82,27
11 Bone 2,74 29,75 59,66 85,81 0,96 28,39 46,08 86,34
12 Soppeng 2,59 12,53 53,51 90,74 1,45 14,78 35,41 89,23
13 Wajo 2,22 31,45 63,31 91,23 3,57 30,34 60,61 90,83
14 Sidrap 3,28 26,76 40,12 92,43 3,29 17,86 44,72 84,78
15 Pinrang 4,11 23,82 58,31 95,42 2,82 12,81 54,33 89,02
16 Enrekang 1,25 11,65 40,28 86,48 0,45 4,01 21,30 84,51
17 Luwu 1,33 8,71 52,77 94,76 1,63 11,32 49,18 89,96
18 TanaToraja 1,65 9,79 33,18 93,22 1,76 8,94 28,85 83,21
22 LuwuUtara 2,24 22,67 50,79 95,49 2,68 7,53 37,43 91,79
25 LuwuTimur 3,20 12,45 37,27 94,26 1,56 7,85 27,29 88,47
71 Makassar 2,94 13,33 45,61 66,22 0,81 12,05 40,27 58,30
72 Parepare 2,92 12,72 49,93 91,61 2,01 9,22 37,47 78,08
73 Palopo 0,56 5,22 33,48 79,44 0,57 5,20 32,06 68,24
Jumlah 2,74 18,61 46,86 83,97 1,74 16,88 46,39 79,78Sumber data : BPS, Susenas 2009
Berdasar Tabel 12 dan 13, angka putus sekolah di Sulawesi Selatan menunjukkan
persentase laki-laki lebih besar daripada perempuan, di semua jenjang usia pendidikan.
Banyaknya laki-laki yang putus sekolah dimungkinkan karena beberapa hal meliputi pergi
merantau mencari pekerjaan di daerah lain, membantu orangtua mencari nafkah, dan juga
24
disebabkan oleh faktor internal siswa laki-laki. Tabel tersebut juga menunjukkan bahwa keadaan
putus sekolah pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi cenderung semakin meningkat
persentasenya.
2.1.7. Pendidikan Anak Usia Dini
Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan sebelum jenjang
pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir
sampai dengan usia enam Tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan
untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki
kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut, yang diselenggarakan pada jalur formal,
nonformal, dan informal.
Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan
yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik
(koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi,
kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi,
sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.
Tujuan diselenggarakannya pendidikan anak usia dini yaitu:
1. Tujuan utama: untuk membentuk anak Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh
dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan
yang optimal di dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan di masa
dewasa.
2. Tujuan penyerta: untuk membantu menyiapkan anak mencapai kesiapan belajar
(akademik) di sekolah.
Rentangan anak usia dini menurut Pasal 28 UU Sisdiknas No.20/2003 ayat 1 adalah 0-6
Tahun. Sementara menurut kajian rumpun keilmuan PAUD dan penyelenggaraannya di
beberapa negara, PAUD dilaksanakan sejak usia 0-8 Tahun. Gambaran PAUD di Provinsi
Sulawesi Selatan Tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 6.
25
Tabel 14. Jumlah Siswa PAUD di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009
Kabupaten/ Kota
Golongan Umur
Total0 - 4 BlnJml
25 - 48 BlnJml
49 - 72 BlnJml
LK PR LK PR LK PR Selayar 1.436 1.382 2.818 2.642 2.526 5.168 3.068 2.889 5.957 13.943 Bulukumba 2.192 2.660 4.852 2.831 3.119 5.950 4.195 4.988 9.183 19.985 Bantaeng 1.370 1.808 3.178 5.199 6.245 11.444 2.515 3.099 5.614 20.236 Jeneponto 4.298 4.904 9.202 7.173 7.219 14.392 5.963 6.129 12.092 35.686 Takalar 940 1.410 2.350 603 922 1.525 1.021 1.512 2.533 6.408 Gowa 803 1.007 1.810 922 1.086 2.008 519 590 1.109 4.927 Sinjai 35 40 75 967 1.397 2.364 2.339 3.481 5.820 8.259 Maros 229 335 564 527 745 1.272 2.106 3.105 5.211 7.047 Pangkep 2.864 3.122 5.986 3.172 3.483 6.655 3.554 3.511 7.065 19.706 Barru 182 275 457 279 388 667 2.812 4.164 6.976 8.100 Bone 496 733 1.229 895 1.258 2.153 6.585 9.842 16.427 19.809 Soppeng 115 170 285 267 352 619 6.875 10.259 17.134 18.038 Wajo 14 21 35 237 306 543 3.264 4.896 8.160 8.738 Sidrap 6.165 5.983 12.148 6.707 6.165 12.872 4.268 3.936 8.204 33.224 Pinrang 9.612 9.712 19.324 9.420 9.470 18.890 8.362 8.227 16.589 54.803 Enrekang 375 510 885 684 732 1.416 1.222 1.510 2.732 5.033 Luwu 4.445 4.945 9.390 6.193 6.893 13.086 5.528 6.256 11.784 34.260 Tana Toraja 307 453 760 839 1.241 2.080 2.748 4.074 6.822 9.662 Luwu Utara 10.252 10.222 20.474 8.551 7.989 16.540 4.116 3.759 7.875 44.889 Luwu Timur 224 339 563 265 406 671 2.342 3.493 5.835 7.069 Makassar 1.558 2.327 3.885 3.128 4.708 7.836 10.814 16.129 26.943 38.664 Pare-pare 103 153 256 288 393 681 2.445 3.611 6.056 6.993 Palopo 505 756 1.261 484 732 1.216 3.213 2.115 5.328 7.805 SulawesiSelatan 48.520 53.267 101.787 62.273 67.775 130.048 89.874 111.575 201.449 433.284
Sumber : Dinas Pendidikan Provinsi Sulwesi Selatan 2010
Berdasarkan Tabel 14, menunjukkan jumlah murid yang mengikuti PAUD sebanyak
433.284 orang yang terdiri dari umur 0 – 4 bulan sebanyak 101.787 orang yang terdiri dari laki-
laki 48.520 orang (47,67%) dan perempuan 53.267 orang ((52,33%), selanjutnya umur 24 – 48
bulan sebanyak 130.048 orang yang terdiri dari laki-laki 62.273 orang (47,88%) dan perempuan
67.775 orang (52,11 %) dan kelompok umur 49 – 72 bulan sebanyak 201.449 orang yang terdiri
dari laki-laki 89.874 orang (44,61 %) dan perempuan 111.575 orang (55,38 %). Jika dilihat
secara cermat nampak bahwa jumlah murid PAUD perempuan pada setiap kelompok umur lebih
banyak dibanding laki-laki.
Jika perbandingan murid PAUD dianalisis menurut kabupaten, maka dapat dilihat bahwa
pada kelompok umur 0 – 4 bulan jumlah murid PAUD yang paling banyak adalah di Kabupaten
Luwu Utara yaitu sebanyak 20.474 yang terdiri dari laki-laki 10.252 murid (50,07 %) dan
26
perempuan 10.222 murid (49,93 %) sedangkan kabupaten yang memiliki jumlah murid PAUD
yang paling sedikit pada kelompok umur tersebut adalah di Kabupaten Wajo dengan jumlah 35
murid yaitu laki-laki 14 murid (40,00 %) dan perempuan 21 murid (60,00 %). Selanjutnya pada
kelompok umur 24 – 48 bulan, kabupaten yang memiliki jumlah murid PAUD yang lebih banyak
dibanding kabupaten lainnya yaitu Kabupaten Pinrang yaitu sebanyak 18.890 murid yang terdiri
dari laki-laki 9.420 murid (49,87 %) dan perempuan sebanyak 9.470 murid (50,13 %) sedangkan
kabupaten yang memiliki jumlah murid PAUD yang paling sedikit pada kelompok umur ini sama
pada kelompok umur 0 -4 bulan yaitu Kabupaten Wajo yaitu hanya berjumlah 543 murid yang
terdiri dari laki-laki 237 murid (43,65 %) dan perempuan 306 murid (56,35 %). Sementara pada
kelompok umur 49 – 72 bulan yang memiliki jumlah murid PAUD yang lebih banyak dibanding
kabupaten lainnya yaitu Kota Makassar sebanyak 26.943 murid yang terdiri dari laki-laki
sebanyak 10.814 murid (40,14 %) dan perempuan 16.129 murid (59,86 %) sedangkan
kabupaten yang memiliki jumlah murid PAUD yang paling sedikit pada kelompok umur tersebut
adalah di Kabupaten Gowa yaitu 1.109 murid yang terdiri dari laki-laki sebanyak 519 murid
(46,80 %) dan perempuan 590 murid (53,20 %). Secara umum kabupaten/kota yang memiliki
partisipasi yang paling tinggi dalam melaksanakan PAUD adalah Kabupaten Pinrang dengan
jumlah murid PAUD sebanyak 54.803 murid.
2.2. KESEHATAN
Permasalahan atau isu strategis gender dalam bidang kesehatan adalah Angka
Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi (AKB), Angka Kematian Balita (AKABA), Kesehatan
Reproduksi, Partisipasi dalam ber KB, Penolong Persalinan, cakupan imunisasi, status gizi
balita, HIV/AIDs dan penyakit menular lainnya.
27
2.2.1. Angka Kematian Ibu (AKI)Gambaran perkembangan derajat kesehatan masyarakat dapat dilihat dari kejadian
kematian masyarakat dari waktu ke waktu. Disamping itu kejadian kematian juga dapat
digunakan sebagai indikator dalam penilaian keberhasilan pelayanan kesehatan dan
program pembangunan kesehatan lainnya. Angka kematian pada umumnya dapat dihitung
dengan melakukan berbagai survei dan penelitian.
Peristiwa kematian pada dasarnya merupakan proses akumulasi akhir dari berbagai
penyebab kematian langsung maupun tidak langsung. Secara umum kejadian kematian
pada manusia berhubungan erat dengan permasalahan kesehatan sebagai akibat dari
gangguan penyakit atau akibat dari proses interaksi berbagai faktor yang secara sendiri-
sendiri atau bersama-sama mengakibatkan kematian dalam masyarakat.
Salah satu alat untuk menilai keberhasilan program pembangunan kesehatan yang
telah dilaksanakan selama ini adalah dengan melihat perkembangan angka kematian dari
tahun ke tahun. Salah satu angka kematian yang dibahas pada penyelenggaraan data
gender adalah angka kematian ibu melahirkan.
AKI adalah banyaknya wanita yang meninggal dari suatu penyebab kematian terkait
dengan gangguan kehamilan atau penanganannya selama kehamilan, melahirkan dan
dalam masa nifas (42 hari setelah melahirkan) per 100.000 kelahiran hidup. Angka Kematian
Ibu (AKI) berguna untuk menggambarkan tingkat kesadaran perilaku hidup sehat, status gizi
dan kesehatan ibu, kondisi kesehatan lingkungan, tingkat pelayanan kesehatan terutama
untuk ibu hamil, pelayanan kesehatan waktu ibu melahirkan dan masa nifas. Untuk
mengantisipasi masalah ini maka diperlukan terobosan-terobosan dengan mengurangi
peran dukun dan meningkatkan peran bidan. Harapan kita agar bidan di desa benar-benar
sebagai ujung tombak dalam upaya penurunan AKI (MMR).
Angka Kematian Ibu (AKI) diperoleh melalui berbagai survey yang dilakukan secara
khusus seperti survey di rumah sakit dan beberapa survey di masyarakat dengan cakupan
wilayah yang terbatas. Dengan dilaksanakannya Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
dan Survey Demografi & Kesehatan Indonesia (SDKI), maka cakupan wilayah penelitian AKI
menjadi lebih luas dibanding survey-survey sebelumnya.
28
Tabel 15. Angka Kematian Ibu Maternal Per 100.000 KH Di Indonesia, Hasil SDKI & SKRT, Tahun 1982 – 2007
Penelitian /Survei Tahun AKI
1 2 3
SDKI 1982 450SKRT 1986 450SKRT 1992 425SKRT 1994 390SKRT 1995 373SDKI 1997 334SDKI 2002-2003 307SDKI 2007 248
Sumber : Badan Litbangkes, Publikasi Hasil SKRT 1995 & SDKI 2003, 2007
Untuk melihat kecenderungan AKI di Indonesia secara konsisten, digunakan data hasil
SKRT. Menurut SKRT, AKI menurun dari 450 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1986
menjadi 425 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1992, kemudian menurun lagi menjadi 373
per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1995. Pada SKRT 2001 tidak dilakukan survey
mengenai AKI. Pada tahun 2002-2003, AKI sebesar 307 per 100.000 kelahiran hidup diperoleh
dari hasil SDKI, kemudian menjadi 248 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI 2007). Hal ini
menunjukkan AKI cenderung terus menurun. Tetapi bila dibandingkan dengan target yang ingin
dicapai secara nasional pada tahun 2010, yaitu sebesar 125 per 100.000 kelahiran hidup, maka
apabila penurunannya masih seperti tahun-tahun sebelumnya, diperkirakan target tersebut
dimasa mendatang sulit tercapai.
Angka kematian ibu melahirkan di Sulawesi Selatan yang diperoleh dari SDKI, yaitu
pada tahun 2007 sebesar 228/100.000 kelahiran hidup dan pada tahun 2008 sebesar
226/100.000 kelahiran hidup.
Sedangkan jumlah kematian ibu maternal yang dilaporkan oleh Dinas Kesehatan
Kabupaten/ Kota di Sulawesi Selatan pada tahun 2006 sebanyak 133 orang atau 101,56 per
100.000 kelahiran hidup, sedangkan pada tahun 2007 sebanyak 143 kematian atau 92,89 per
29
100.000 kelahiran hidup. Untuk tahun 2008 jumlah kematian ibu maternal mengalami penurunan
menjadi 121 orang atau 82,67 per 100.000 kelahiran hidup.
Jumlah kematian ibu maternal yang terlaporkan dari sarana kesehatan di Sulawesi
Selatan pada tahun 2008 sebanyak 121 orang, atau 82,67 per 100.000 KH. Jumlah kematian
tersebut terdiri dari kematian ibu hamil sebanyak 32 orang (26,44%), kematian ibu bersalin
sebanyak 58 orang (47,93%), dan kematian ibu nifas sebanyak 31 orang (25,61%). Kabupaten/
kota dengan urutan lima terbesar kematian ibu maternalnya antara lain Kab. Selayar (11,5%),
Kab. Gowa (9,09%), Kab. Bulukumba (8,26%), Kab. Tator (7,43%), dan Kab. Pinrang (6,61%).
2.2.2. Angka Kematian Bayi (AKB)
Derajat kesehatan masyarakat di Sulawesi Selatan semakin meningkat, hal tersebut
ditandai dengan menurunnya angka kematian bayi (AKB). Angka kematian bayi menunjukkan
banyaknya kematian bayi per seribu kelahiran hidup. Menurut hasil Surkesnas/Susenas, AKB di
Indonesia pada tahun 2001 sebesar 50 per 1.000 kelahiran hidup, pada tahun 2002 sebesar 45
per 1.000 kelahiran hidup. Sedangkan AKB menurut hasil SDKI 2002-2003 terjadi penurunan
yang cukup besar, yaitu menjadi 35 per 1.000 kelahiran hidup sementara hasil SDKI 2007
hasilnya menurun lagi menjadi 34 per 1.000 kelahiran hidup, angka ini berada jauh dari yang
diproyeksikan oleh Depkes RI yakni sebesar 26,89 per 1.000 kelahiran hidup.
Selama tiga puluh tahun terakhir, AKB Sulawesi Selatan menunjukkan penurunan yang
sangat tajam seperti Tabel 16. Di Sulawesi Selatan, Angka Kematian Bayi menunjukkan
penurunan yang sangat tajam, yaitu dari 161 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1971 menjadi
55 pada tahun 1996, lalu turun lagi menjadi 52 pada tahun 1998 kemudian pada tahun 2003
menjadi 48 (Susenas 2003). Ini berarti rata-rata penurunan AKB selama kurun waktu 1998-2003
sekitar 4 poin. Namun, menurut hasil Surkesnas/Susenas 2002-2003, AKB di Sulawesi Selatan
sebesar 47 per 1.000 kelahiran hidup sedangkan hasil Susenas 2006 menunjukkan AKB di
Sulsel pada tahun 2005 sebesar 36 per 1.000 kelahiran hidup, dan hasil SDKI 2007
menunjukkan angka 41 per 1.000 kelahiran hidup. Fluktuasi ini bisa terjadi oleh karena
perbedaan besar sampel yang diteliti, sementara itu data proyeksi yang dikeluarkan oleh Depkes
RI bahwa AKB di Sulsel pada tahun 2007 sebesar 27,52 per kelahiran hidup.
30
Tabel 16. Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Harapan Hidup (AHH)Di Sulawesi Selatan Tahun 1971-2009
Tahun AKB AHH
(1) (2) (3)
1971
1996
1998
2000
2001
2003
2004
2005
2007
2008
2009
161
55
52
48
47
48
44
36
41
4,39*)
3,31*)
-
63
64
68
68
68
69
69
69,4
69,6
69,8
Sumber : Susenas dan SDKI, Tanda *) adalah AKB menurut laporan Dinkes Sulawesi Selatan
Sementara laporan dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota bahwa jumlah kematian bayi
pada tahun 2006 sebanyak 566 bayi, atau 4,32 per 1.000 kelahiran hidup, mengalami
peningkatan pada tahun 2007 menjadi 709 kematian bayi atau 4,61 per 1.000 kelahiran hidup.
Tahun 2008 ini jumlah kematian bayi turun menjadi 638 atau 4,39 per 1.000 kelahiran hidup,
sementara tahun 2009, jumlah kematian bayi turun menjadi 495 atau 3,31 per 1.000 kelahiran
hidup.
Penurunan angka kematian bayi merupakan indikasi terjadinya peningkatan derajat
kesehatan masyarakat sebagai salah satu wujud keberhasilan pembangunan di bidang
kesehatan dan semakin meningkatnya pendidikan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya
kesehatan. Hal tersebut merupakan respon positif dari upaya pemerintah untuk mendekatkan
fasilitas kesehatan pada masyarakat. Adapun nilai normatif AKB yang kurang dari 40 sangat sulit
diupayakan penurunannya (hard rock), antara 40-70 tergolong sedang, namun sulit untuk
diturunkan, dan lebih besar dari 70 tergolong mudah untuk diturunkan.
31
Sejalan dengan menurunnya AKB, Angka Harapan Hidup (AHH) juga diharapkan terjadi
peningkatan. Rata-rata usia harapan hidup penduduk Sulawesi Selatan terus meningkat dari 63
pada tahun 1996 menjadi 64 pada tahun 1998. Sejak tahun 2000 hingga tahun 2003 AHH relatif
stabil pada usia 68 tahun, sedangkan dari tahun 2004 – 2005 AHH mencapai angka 69 dan
pada tahun 2009, AHH nya mencapai 69,8 (Tabel 16).
Ada banyak faktor yang mempengaruhi tingkat AKB tetapi tidak mudah untuk
menentukan faktor yang paling dominan dan faktor yang kurang dominan. Tersedianya berbagai
fasilitas atau faktor aksesibilitas dan pelayanan kesehatan dari tenaga medis yang terampil,
serta kesediaan masyarakat untuk merubah kehidupan tradisional ke norma kehidupan modern
dalam bidang kesehatan merupakan faktor-faktor yang sangat berpengaruh terhadap tingkat
AKB. Menurunnya AKB dalam beberapa waktu terakhir memberi gambaran adanya peningkatan
dalam kualitas hidup dan pelayanan kesehatan masyarakat. Tabel 17 menunjukkan bahwa
penyakit Diarre dan Pneumonia adalah penyebab utama terjadinya kematian pada bayi yaitu
masing-masing 31,4 persen dan 23,8 persen.
32
Tabel 17. Proporsi Penyebab Kematian Bayi
=No. Penyebab Kematian %1. Diare 31,42. Pneumonia 23,83. Meningitis/ensefalitis 9,34. Kelainan Saluran Pencernaan 6,45. Kelainan jantung Kogenital & Hydrocephalus 5,86. Sepsis 4,17. Tetanus 2,98. Malnutrisi 2,39. TB 1,210. Campak 1,2
Sumber Riskesdas 2007
2.2.3 Angka Kematian Balita (AKABA). Angka Kematian Balita (AKABA) adalah jumlah anak yang dilahirkan pada tahun
tertentu dan meninggal sebelum mencapai usia 5 tahun, dinyatakan sebagai angka per 1.000
kelahiran hidup. AKABA menggambarkan tingkat permasalahan kesehatan anak dan faktor-
faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kesehatan anak Balita seperti gizi, sanitasi,
penyakit menular dan kecelakaan. Indikator ini menggambarkan tingkat kesejahteraan sosial,
dalam arti besar dan tingkat kemiskinan penduduk, sehingga kerap dipakai untuk
mengidentifikasi kesulitan ekonomi penduduk.
Tabel 18. Angka Kematian Anak Balita (1-4 th) di Sulawesi Selatan dan Indonesia, tahun 1995-2008
Tahun AKABA per 1000 KH SumberNasional Propinsi1 2 3 4
1995 75 Estimasi SUPAS 19951997 19,4 17,1 SDKI 19971998 64,28 Estimasi SUPAS 19951999 59,55 Estimasi SUPAS 19952000 44,7 42,16 Estimasi SUPAS 19952001 64 Estimasi SUSENAS2003 46 72 Estimasi SUSENAS2004 51 Estimasi SUSENAS2005 46 Estimasi SUSENAS2006 1,13 Dilaporkan dari Dinkes Kab.2007 44 53 SDKI 2007
1,33 Dilaporkan dari Dinkes Kab.2008 1,93 Dilaporkan dari Dinkes Kab.
Sumber : Data Sekunder diolah serta Profil Kesehatan Provinsi Sulawesi SelatanCatatan: Adapun nilai normatif AKABA yakni lebih besar dari 140 tergolong sangat tinggi, antara 71-140 sedang dan kurang dari 71 rendah.
33
Angka Kematian Balita di Indonesia (menurut estimasi SUPAS 1995) dalam beberapa
tahun terakhir (kecuali tahun 2001) terlihat mengalami penurunan yang cukup bermakna. Pada
tahun 1986 AKABA diperkirakan sebesar 111 per 1.000 kelahiran hidup, kemudian turun menjadi
81 pada tahun 1993 dan turun lagi menjadi 44,7 pada tahun 2000 sementara untuk Sulawesi
Selatan, pada tahun yang sama berada dibawah rata-rata nasional yakni sebesar 42,16 per
1.000 kelahiran hidup. Menurut hasil SUSENAS 2001 AKABA diperkirakan sebesar 64 per 1.000
kelahiran hidup. Namun, hasil SDKI 2002-2003 menunjukkan bahwa AKABA di Sulawesi Selatan
mencapai 72 per 1.000 kelahiran hidup dan menurun menjadi 53 per 1.000 kelahiran hidup
menurut SDKI 2007. Jumlah kematian balita yang dilaporkan oleh Dinas Kesehatan Kab/Kota di
Sulsel pada tahun 2006 sebanyak 148 balita atau 1,13 per 1.000 kelahiran hidup. Sedangkan
pada tahun 2007 jumlah kematian balita dilaporkan sebanyak 105 balita atau 1,33 per 1.000
kelahiran hidup. Pada tahun 2008 jumlah kematian balita dilaporkan mengalami peningkatan
menjadi 283 balita atau 1,93 per 1000 kelahiran hidup.
Sementara itu, dari hasil penelitian mendalam terhadap semua kasus kematian AKABA
yang ditemukan dalam RISKESDAS diperoleh gambaran besarnya proporsi sebab utama
kematian Balita dapat dilihat pada tabel 18, menunjukkan bahwa pola penyakit penyebab
kematian balita menurut Hasil Riskesdas tahun 2007 masih didominasi oleh penyakit infeksi.
Angka kematian Bayi dan Balita untuk tingkat kecamatan, kabupaten maupun provinsi
tidak tepat jika diperoleh dari survey yang berskala nasional. Hal ini karena rancangan sampel
diperuntukkan untuk menggambarkan angka kematian bayi dan balita tingkat nasional.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka untuk menggambarkan angka kematian bayi dan balita
di Sulawesi Selatan dapat digambarkan dengan indikator program yang dilaksanakan dalam
upaya menurunkan angka kematian bayi dan balita, antara lain persentase BBLR (0,83% pada
tahun 2006 dan 1,57% tahun 2007 dari kelahiran hidup), cakupan kunjungan bayi (82,81% pada
tahun 2006 dan mengalami penurunan pada tahun 2007 menjadi 75,20% dari jumlah kelahiran
hidup), cakupan pemberian ASI ekslusif (57,48% pada tahun 2006 dan 57,05% pada tahun
2007) dan lain-lain. Untuk data tahun 2008 persentase BBLR 1,38 % dari kelahiran hidup,
cakupan kunjungan bayi menurun 71,39 %, cakupan pemberian ASI eksklusif meningkat
menjadi 77,18 %.
Tabel 19. Proporsi Penyebab Kematian Balita di Indonesia
34
Hasil Riskesdas Tahun 2007
No. Penyebab Kematian %1. Diare 25,22. Pneumonia 15,53. Meningitis/ensefalitis 10,74. Kelainan Saluran Pencernaan 8,85. Kelainan jantung Kogenital & Hydrocephalus 6,86. Sepsis 5,87. Tetanus 4,98. Malnutrisi 3,99. TB 2,9
10. Campak 2,9Sumber : Riskesdas 2007
2.2.3. Kesehatan Reproduksi
Persalinan yang dilakukan pada ibu usia kurang dari 20 tahun, lebih dari 35 tahun,
pernah hamil empat kali/lebih, atau jarak waktu kelahiran terakhir kurang dari dua tahun akan
semakin memperbesar resiko persalinan. Himbauan untuk menunda usia perkawinan pertama
dan membatasi jumlah kelahiran merupakan usaha nyata dalam merealisasikan tujuan tersebut.
Perkawinan yang dilakukan pada usia matang (di atas 20 tahun) bagi perempuan akan
membantu mereka menjadi lebih siap untuk menjadi ibu dan mengurangi resiko persalinan.
Sementara jumlah kelahiran yang terbatas (cukup dua saja) membuat perhatian ibu terhadap
anak-anaknya semakin besar.
Disamping itu juga pengetahuan para ibu rumahtangga tentang kesehatan merupakan
sesuatu yang sangat penting dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan keluarga.
Kesempatan untuk memperoleh pengetahuan tersebut telah tersedia di berbagai tempat-tempat
pemukiman penduduk, misalnya melalui Puskesmas, Posyandu, Polindes dan sarana-sarana
kesehatan lainnya. Dengan demikian diharapkan akan lahir generasi baru yang lebih handal dan
berkualitas untuk kelanjutan pembangunan di masa yang akan datang.
Usia perkawinan pertama merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap
tingkat fertilitas, karena semakin tinggi umur perkawinan, khususnya wanita menyebabkan masa
35
reproduksinya lebih pendek. Hal ini berarti pula bahwa penundaan perkawinan mengakibatkan
berkurangnya peluang wanita untuk melahirkan anak lebih banyak.
Kesadaran masyarakat untuk berperan aktif dalam mengendalikan banyaknya kelahiran
belum terlihat nyata. Persentase wanita yang melangsungkan perkawinan pada usia muda ( <
16 tahun) dari tahun 2007 – 2009 memperlihatkan persentase yang semakin meningkat. Pada
tahun 2007 proporsi wanita yang usia perkawinan pertamanya di bawah 16 tahun sekitar 22,26
persen, menjadi 23,16 persen pada tahun 2008, dan pada tahun 2009 persentase ini turun
menjadi 21,66 persen. Kondisi ini cukup menggembirakan, mengingat usia <16 tahun masih
tergolong usia anak (berdasarkan batasan usia anak dalam UU Perlindungan Anak). Namun
demikian, persentase ini masih cukup tinggi apalagi jika diakumulasikan dengan perempuan
yang menikah pada usia 17-18 tahun., sehingga upaya-upaya perlindungan anak masih harus
terus ditingkatkan. Hal ini perlu menjadi perhatian tersendiri karena akan mempengaruhi
ketahanan rumah tangga, dimana ketika perempuan belum siap secara mental dan psikis, maka
cenderung terjadi perceraian yang pada akhirnya akan bermuara pada kemiskinan warisan bagi
anak keturunannya.
Tabel 20. Persentase Wanita Pernah Kawin Menurut Umur Perkawinan Pertama Sulawesi Selatan Tahun 2007,2008 dan 2009
Sumber : Susenas 2007, 2008 dan 2009Persentase penduduk yang menikah pada umur 17-18 tahun cenderung fluktuatif. Pada
tahun 2007 persentasenya sekitar 23,22 persen, turun menjadi 21,73 persen pada tahun 2008,
dan pada tahun 2009 naik lagi menjadi 22,43 persen. Persentase penduduk yang menikah pada
umur 19 – 24 tahun relatif stabil. Pada tahun 2007 persentasenya adalah sekitar 40,85 persen,
menjadi 40,00 persen pada tahun 2008, dan pada tahun 2009 naik menjadi 40,75 persen. Untuk
wanita yang menikah pada usia 25 tahun ke atas persentasenya memperlihatkan tren
meningkat. Pada tahun 2007 persentasenya adalah 14,63 persen, dan mengalami kenaikan
Umur Perkawinaan Pertama (tahun)
Tahun2007 2008 2009
(1) (2) (3) (4)
1617 - 1819 - 24
25+
22,2623,2240,8514,63
23,1621,7340,0015,12
21,6622,4340,7615,14
36
pada tahun 2008 menjadi sekitar 15,12 persen. Pada tahun 2009 persentase wanita yang
menikah pada usia 25 tahun ke atas menjadi meningkat menjadi 15,14 persen.
2.2.4. Partisipasi Dalam ber KB.
Selain melalui penundaan usia perkawinan pertama, partisipasi masyarakat dalam
membantu pemerintah menangani masalah kependudukan adalah berupa kesadaran
masyarakat untuk mensukseskan program Keluarga Berencana. Salah satu tujuan program ini
adalah untuk meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak serta mewujudkan keluarga kecil
bahagia dan sejahtera melalui pembatasan dan pengaturan jarak kelahiran. Hal ini bisa
ditempuh antara lain dengan cara pemakaian alat/cara kontrasepsi KB.
Tabel 21. Persentase Akseptor KB Menurut Kontrasepsi yang Sedang Digunakan Tahun 2004, 2005, 2006 dan 2009
Sumber : Susenas 2004, 2005, 2006 dan 2009Jika dirinci menurut jenis alat/cara KB yang dipakai tampak bahwa akseptor yang
menggunakan suntikan KB menempati urutan tertinggi, yaitu mencapai sekitar 51,54 persen
pada tahun 2004, meningkat menjadi 54,74 persen pada tahun 2005, pada tahun 2006 menjadi
57,86 persen dan pada tahun 2009 menjadi 57,71 persen.. Tingginya persentase penggunaan
alat kontrasepsi Suntikan KB disebabkan alat ini relatif praktis, mudah pemakaiannya (tidak
membuat akseptor malu/risih pada saat pemasangan seperti misalnya IUD) dan efek
sampingnya juga tidak terlalu besar, sehingga untuk wanita-wanita yang sibuk, cenderung lebih
memilih jenis alat kontrasepsi ini. Kelebihan lain dari alat kontrasepsi ini adalah jika akseptor
Jenis KontrasepsiTahun
2004 2005 2006 2009(1) (2) (3) (4) (5)
MOW/MOPAKDR/IUD
Suntikan KBSusuk KB
Pil KBLainnya
1,623,59
51,545,39
35,122,73
1,952,88
54,744,05
33,532,85
1,242,52
57,864,21
31,732,44
1,403,10
57,714,70
29,813,25
37
ingin berhenti, bisa dilakukan pada saat yang dikehendaki oleh akseptor. Alat/cara ini relatif lebih
aman bagi kebanyakan wanita dan relatif lebih murah dan gampang didapatkan.
Meningkatnya akseptor KB yang menggunakan metode kontrasepsi berupa suntikan,
diikuti oleh semakin berkurangnya akseptor KB yang menggunakan metode kontrasepsi pil. Hal
ini menunjukkan telah terjadi pergeseran pemakaian alat kontrasepsi dari pil KB ke Suntikan KB,
kondisi ini kemungkinan disebabkan karena kesibukan para wanita, sehingga lebih memilih
suntikan KB yang resiko terjadinya kelainan kecil dibanding dengan pil KB. Sementara itu
sisanya menggunakan alat kontrasepsi jenis lain, seperti MOW/MOP, AKDR/IUD, susuk KB,
kondom dan metode tradisional.
2.2.5. Penolong Persalinan
Penolong persalinan sangat berpengaruh terhadap keselamatan dan kesehatan bayi dan ibu
pada saat proses persalinan. Penolong persalinan yang berkualitas tentunya lebih
memungkinkan terwujudnya keselamatan/kesehatan bayi dan ibu pada saat persalinan. Tenaga
medis sebagai penolong persalinan tentunya lebih baik dibanding tenaga non medis. Bahkan
pada periode tahun 2005-2009, penolong persalinan oleh dokter terjadi peningkatan yang cukup
signifikan yaitu dari sekitar 8,5 persen pada tahun 2005 dan 8,88 persen pada tahun 2006
meningkat menjadi 11,32 persen pada tahun 2009.
Penolong persalinan oleh tenaga medis (dokter dan bidan) di Sulawesi Selatan lebih dari 60
persen, sementara yang ditolong oleh tenaga non-medis hanya sekitar 30 persen saja. Namun
demikian, persentase tersebut cenderung berfluktuasi dari tahun ke tahun. Pada tahun 2005
persentase kelahiran yang ditangani oleh tenaga medis terdapat sekitar 63,73 persen dan pada
tahun 2006 turun menjadi sekitar 62,93 persen dan 62,51 persen pada tahun 2009 (Tabel 22).
Tabel 22. Persentase Balita Menurut Penolong Kelahiran Tahun 2005, 2006 dan 2009
Penolong Kelahiran 2005 2006 2009(1) (2) (3) (4)
Medis : 63,73 62,93 62,51Dokter 8,50 8,88 11,32Bidan 54,37 53,05 50,83Lainnya 0,86 1,00 0,36
Non.Medis: 36,27 37,07 37,49Dukun 31,21 33,39 28,48Famili 4,61 3,44 8,74Lainnya 0,45 0,24 0,27
38
Sumber: BPS, Susenas 2005, 2006 dan 2009
Terjadinya fluktuasi tersebut, karena penolong persalinan oleh tenaga dukun masih
cukup tinggi walaupun cenderung menurun, sehingga perlu pemantauan pengetahuan akan
pentingnya kesehatan bagi dukun. Hal ini karena dikhawatirkan terjadinya resiko terhadap
keselamatan dan kesehatan ibu dan bayi baik pada saat melahirkan maupun pada pasca
kelahiran. Keberadaan Bidan di desa (bidides), diharapkan menjadi penolong persalinan dan
mentrasfer pengetahuan tentang kesehatan kepada tenaga dukun. Sehingga kualitas kesehatan
anak sejak lahir semakin membaik yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kualitas
sumber daya manusia Sulawesi Selatan khususnya dan Indonesia umumnya dimasa yang akan
datang.
2.2.6. Imunisasi
Sebenarnya jenis imunisasi cukup beragam baik yang diberikan pada anak-anak
maupun pada orang dewasa, tetapi yang jadi focus bahasan disini adalah imunisasi untuk anak
balita (bawah 5 Tahun). Sejak tahun 1982, untuk mencegah penyakit yang biasa menyerang
anak-anak yang diduga akan mengakibatkan kematian pada bayi, pemerintah Indonesia telah
mengusahakan pemberian 4 macam imunisasi yaitu BCG (pencegahan TBC), DPT (pencegahan
Dipteri, Partusis dan Tetanus), Polio (pencegahan polio) dan Campak (pencegahan campak)
kepada balita. Pemantauan pencapaian imunisasi balita ini dapat dilakukan melalui Susenas
secara tahunan. Dari tahun ke tahun pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan cakupan
imunisasi dari keempat jenis yang diprogramkan di atas, tetapi data Susenas tahun 1999
menunjukkan sedikit penurunan persentase balita yang paling tidak pernah menerima salah satu
jenis imunisasi (lihat Tabel 5.10).
Tabel 23. Persentase Balita yang Pernah Diimunisasi menurut Daerah dan Jenis Kelamin, Sulawesi Selatan, 2007-2009
Daerah/Jenis Kelamin 2007 2008 2009
(1) (2) (3) (4)
39
Perkotaan Perempuan Laki-laki
94,392,793,7
94,594,794,3
95,094,995,2
Pedesaan Perempuan Laki-laki
85,285,085,4
88,288,388,1
91,291,091,3
Total Perempuan Laki-laki
89,887,287,8
89,990,189,8
92,492,292,6
Sumber: BPS, Susenas 2007-2009
Pada dasarnya sebagai salah satu program pemerintah, pemberian imunisasi balita tidak
selektif gender atau semua balita ditargetkan menerima imunisasi. Oleh karena itu tidak terlihat
adanya perbedaan yang berarti pada cakupan imunisasi antara balita laki-laki dan perempuan.
Tetapi perbedaan itu terlihat antara daerah pekotaan dengan daerah pedesaan, walaupun tak
terpaut jauh. Hal ini nampaknya terkait dengan kemudahan sarana transportasi untuk menuju
tempat pemberian imunisasi. Kesadaran masyarakat pedesaan untuk membawa putra putri
mereka ke posyandu atau puskesmas untuk mendapatkan imunisasipun nampaknya masih lebih
rendah dari masyarakat perkotaan. Yang tentunya hal ini berkaitan juga dengan tingkat
pendidikan mereka. Sayangnya pada kesempatan ini cakupan imunisasi belum dirinci untuk
setiap jenis imunisasi yang diterima balita.
2.2.7. Status Gizi
Status gizi seseorang sangat erat kaitannya dengan permasalahan kesehatan secara
umum, karena disamping merupakan faktor predisposisi yang dapat memperparah penyakit
infeksi secara langsung juga dapat menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan individual.
Bahkan status gizi janin yang masih berada dalam kandungan dan bayi yang sedang menyusu
sangat dipengaruhi oleh status gizi ibu hamil atau ibu menyusui.
Berikut ini akan disajikan gambaran mengenai indikator-indikator status gizi masyarakat
di Sulawesi Selatan antara lain bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dan status gizi
balita, sebagaimana diuraikan berikut ini:
2.2.7.1. Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
40
Berat Badan Lahir Rendah (kurang dari 2.500 gram) merupakan salah satu faktor utama
yang berpengaruh terhadap kematian perinatal dan neonatal. BBLR dibedakan dalam 2 kategori
yaitu BBLR karena prematur (usia kandungan kurang dari 37 minggu) atau BBLR karena Intra Uterine Growth Retardation (IUGR), yaitu bayi yang lahir cukup bulan tetapi berat badannya
kurang. Di negara berkembang, banyak BBLR dengan IUGR karena ibu berstatus gizi buruk,
anemia, malaria dan menderita penyakit menular seksual (PMS) sebelum konsepsi atau pada
saat hamil.
Tabel 24. Persentase Balita Menurut Penolong Kelahiran dan Status BBLRTahun 2007, 2008 dan 2009
Sumber : Profil Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2009
Tabel 24 menunjukkan bahwa di Sulawesi Selatan pada tahun 2007, tercatat bahwa
jumlah bayi dengan berat badan lahir rendah sebanyak 2.416 (1,56 % dari total bayi lahir) dan
yang tertangani sebanyak 2.451 orang (100%), dengan kasus tertinggi terjadi di Kab. Sidrap
(584 kasus) dan Kota Makassar (295 kasus) dan yang terendah di Kota Palopo (8 kasus).
Sedangkan untuk tahun 2008 jumlah bayi dengan BBLR mengalami penurunan menjadi
1.998 (1,36 % dari total jumlah bayi lahir) dan yang ditangani sebanyak 1.670 (83,58 %),
sementara kasus tertinggi di Kota Makassar (251 kasus), menyusul Kab. Sidrap (172 kasus),
Kota Pare-Pare (158 kasus) dan Kab. Pangkep (147 kasus) dan terendah di Kab. Jeneponto
sebanyak 22 kasus. Pada tahun 2009, jumlah bayi dengan BBLR mengalami kenaikan menjadi
2.040 (1,36 % dari total jumlah bayi lahir).
2.2.7.2. Status Gizi Balita
Status gizi balita merupakan salah satu indikator yang menggambarkan tingkat
kesejahteraan masyarakat. Salah satu cara penilaian status gizi pada balita adalah dengan
anthropometri yang diukur melalui indeks Berat Badan menurut umur (BB/U) atau berat badan
Penolong Kelahiran Jumlah Bayi dengan BBLR Persentase dari Total Bayi Lahir
(1) (2) (3)2007 2.416 1,562008 1.998 1,362009 2.040 1,36
41
terhadap tinggi badan (BB/TB). Kategori yang digunakan adalah: gizi lebih (z-score>+2 SD);
gizi baik (z-score-2 SD sampai +2 SD); gizi kurang (z-score<-2 SD sampai -3 SD) dan gizi buruk (z-score<-3 SD).
Sejak tahun 1992 untuk mengukur keadaan gizi anak balita digunakan standar WHO-
NCHS untuk index berat badan menurut umur. Namun dari beberapa studi/survei yang
melakukan pengukuran berat badan dan tinggi badan (BB/TB), pada umumnya pengukuran
BB/TB menunjukkan keadaan gizi kurang yang lebih jelas, dan sensitif/peka dibandingkan
prevalensi berdasarkan pengukuran berat badan menurut umur seperti hasil dari pengukuran
prevalensi gizi kurang menurut BB/TB (wasting) sesudah tahun 1992 berkisar antara 10-14 %.
Masalah gizi kurang pada anak balita dikaji kecenderungannya menurut Susenas dan
survei atau pemantauan lainnya. Secara nasional, menurut Susenas tahun 1989, prevalensi gizi
buruk dan kurang pada balita adalah 37,5 % menurun menjadi 24,7 % tahun 2000, yang berarti
mengalami penurunan sekitar 34 %.
Dari hasil Susenas 2001 di Indonesia, persentase Balita yang bergizi baik adalah sebesar
64,14%, yang bergizi sedang 21,51 % dan sisanya 9,35 % adalah Balita bergizi kurang/buruk
atau yang dikenal dengan istilah Kurang Kalori Protein (KKP). Bila dibandingkan menurut jenis
kelamin, persentase balita perempuan bergizi baik relatif lebih tinggi daripada balita laki-laki,
demikian pula gizi kurang/buruk lebih tinggi pada balita laki-laki dibandingkan balita perempuan.
Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 25. Persentase Balita (0-59 bulan) Menurut Status Gizi & Jenis Kelamin di Indonesia Tahun 2002 dan 2003
Status Gizi
2002 2003
Laki-Laki
Perempuan Laki-Laki+Perempuan
Laki-Laki Perempuan Laki-laki
+Perempuan
Lebih 2,04 2,58 2,3 2,03 2,47 2,24
Normal 70,46 73,73 71,88 67,89 71,41 69,59
Kurang 19,46 17,18 18,35 20,73 18,43 19,62
Buruk 8,03 6,88 7,47 7,47 7,69 8,55Sumber: Profil Kesehatan Sulawesi Selatan tahun 2008
42
Di Sulawesi Selatan, untuk menanggulangi masalah gizi atau untuk memperoleh
gambaran perubahan tingkat konsumsi gizi di tingkat rumah tangga dan status gizi masyarakat
dilaksanakan beberapa kegiatan seperti Pemantauan Konsumsi Gizi (PKG) dan Pemantauan
Status Gizi (PSG) di seluruh kabupaten/kota. Hasil Pemantauan Status Gizi yang dilaksanakan
pada tahun 2001 menggambarkan 84,7 % anak yang berstatus gizi baik, 11,3 % anak yang
berstatus gizi kurang, 1,0 % anak yang berstatus gizi buruk dan 3,1 % anak yang berstatus gizi
lebih. Sedangkan untuk tahun 2004, menurut laporan yang diterima oleh Subdin Bina Kesehatan
Keluarga dan KB Dinkes Prov. Sulsel tercatat bahwa jumlah KEP sebesar 13,48 % (PSG,2004).
Menurut hasil survei Gizi Mikro Tahun 2006 balita gizi buruk tercatat sebesar 9 %, sedangkan
KEP total sebesar 28,5 %.
Secara umum prevalensi gizi buruk di Sulawesi Selatan menurut hasil Riskesdas adalah
5,1 % dan gizi buruk 12,5 % dari kabupaten./kota tercatat delapan kab./kota yang diatas angka
provinsi dan Sulawesi Selatan sudah mencapai target pencapaian program perbaikan gizi pada
RPJM 2015 sebesar 20 %.
Pada kasus gizi buruk di Sulawesi Selatan pada tahun 2008 dengan adanya gejala klinis
terbagi atas 3 jenis, yaitu marasmus, kwashiorkor, dan gabungan marasmik-kwashiorkor. Jumlah
kasus gizi buruk berdasarkan ketiga jenis tersebut di Sulsel pada tahun 2008 sebanyak 95
kasus, empat kabupaten/kota dengan kasus terbanyak antara lain Bone (16 kasus), Pinrang (15
kasus), Wajo (11 kasus), dan Jeneponto (8 kasus).
Kasus gizi buruk yang sebanyak itu terdiri dari marasmus (48 kasus), kwashiorkor (25
kasus), dan marasmik-kwashiorkor (22 kasus). Marasmus adalah gizi buruk yang disertai tanda-
tanda seperti badan sangat kurus (kulit membungkus tulang), wajah seperti orang tua (pipi
kempot, mata terlihat cekung), cengeng dan rewel, iga gambang, perut cekung, tulang belakang
terlihat menonjol, kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada dan
sering disertai penyakit infeksi serta diare. Kasus gizi buruk jenis marasmus di Sulawesi Selatan
pada tahun 2008 sebanyak 48 kasus, empat kabupaten/kota terbanyak antara lain Pinrang 12
kasus, Bone 11 kasus, Luwu Timur 7 kasus, dan Jeneponto sebanyak 6 kasus. Kwashiorkor
adalah keadaan gizi buruk yang disertai tanda-tanda klinis seperti edema di seluruh tubuh,
rambut tipis, wajah membulat dan sembab. Kasus gizi buruk jenis kwashiorkor ditemukan
43
terbanyak pada Kabupaten Wajo (5 kasus), Soppeng, Pinrang, Selayar, Bulukumba dan
Bantaeng masing-masing (3 kasus).
Sedangkan gizi buruk jenis marasmik-kwashiorkor (M+K) adalah gizi buruk dengan
gambaran klinis yang merupakan campuran dari beberapa gejala klinis kwashiorkor dan
marasmus dengan BB/U < 60% baku median WHO-NHCS disertai edema yang tidak mencolok.
Kasus M+K di Sulsel pada tahun 2008 terbanyak di Kab. Enrekang (7 kasus), Pangkep (6
kasus), dan Bone (5 kasus). Situasi gizi buruk di Sulawesi Selatan pada tahun 2009 berdasarkan
profil kesehatan kabupaten/kota tercatat sebanyak 2.825 orang (24,92 persen yang mendapat
perawatan).
44
2.2.8. Penderita HIV/AIDS
Penyakit HIV/AIDS yang merupakan new emerging diseases, dan merupakan pandemi
pada semua kawasan, penyakit ini telah sejak lama menyita perhatian berbagai kalangan, tidak
hanya terkait dengan domain kesehatan saja. Kasus penyakit yang menyerang sistem
kekebalan tubuh ini, di Indonesia senantiasa meningkat dari tahun ke tahun. Angka yang dirilis
oleh Ditjen PP&PL Depkes menyebutkan bahwa hingga Desember 2007, pengidap HIV positif
berjumlah 6.066 orang dengan penderita AIDS sebanyak 11.141 orang. Selama 1 dasawarsa
terakhir (1997-2007) peningkatan kasus AIDS terjadi lebih 40 kali.
Saat ini Indonesia telah digolongkan sebagai negara dengan tingkat epidemi yang
terkonsentrasi (concentrated level epidemic), yaitu adanya prevalensi lebih dari 5% pada sub
populasi tertentu misalnya pada kelompok penjaja seks dan pada para penyalahguna NAPZA.
Tingkat epidemi ini menunjukkan tingkat perilaku beresiko yang cukup aktif menularkan di dalam
suatu sub populasi tertentu. Selanjutnya perjalanan epidemi akan ditentukan oleh jumlah dan
sifat hubungan antara kelompok beresiko tinggi dengan populasi umum.
Penyakit yang kemunculannya seperti fenomena gunung es ( iceberg phenomena), yaitu
jumlah penderita yang dilaporkan jauh lebih kecil daripada jumlah penderita yang sebenarnya, ini
sudah menyebar di sebagian besar provinsi di Indonesia. Hal ini berarti bahwa jumlah pengidap
infeksi HIV/AIDS yang sebenarnya di Indonesia masih sangat sulit diukur dan belum diketahui
secara pasti. Diperkirakan jumlah orang dengan HIV di Indonesia pada akhir tahun 2003
mencapai 90.000–130.000 orang. Sementara jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS yang dilaporkan
sampai dengan 31 Desember 2003 sebanyak 4.091 kasus, yang terdiri dari 2.720 kasus infeksi
HIV dan 1.371 kasus AIDS, dan 479 kasus diantaranya telah meninggal dunia. Cara penularan
HIV/AIDS yang menonjol adalah melalui hubungan seks (heteroseksual) yakni sebesar 50,62%
dan penyalah-gunaan NAPZA melalui suntik (IDU = Intravena Drug Use) yakni sebesar 26,26%,
serta melalui hubungan homoseksual, yaitu sebesar 9,34%.
Hasil SDKI 2007 menunjukkan bahwa terdapat 61% wanita pernah kawin dan 71% pria
kawin pernah mendengar tentang AIDS. Angka ini serupa dengan yang tercatat di SDKI 2002-
2003 (59% pada wanita dan 73% pada pria). Wanita dengan umur 20-39 tahun, wanita berstatus
kawin, wanita yang tinggal di perkotaan dan wanita berpendidikan lebih tinggi lebih banyak
45
mendengar tentang AIDS dibanding wanita lainnya. Tingkat pengetahuan pada pria kawin
mengikuti pola yang sama seperti pada wanita, dengan tingkat pengetahuan lebih tinggi pada
pria perkotaan dan pria berpendidikan lebih tinggi. Meskipun banyak wanita dan pria Indonesia
mempunyai pengetahuan dasar tentang AIDS, namun tingkat pengetahuan tentang cara
mengurangi risiko terinfeksi pada umumnya rendah.
Hal ini ditunjukkan dengan adanya 42% wanita dan 52% pria mengetahui bahwa
membatasi seks hanya dengan satu partner yang tidak terinfeksi sebagai cara mengurangi risiko
penularan, 37% wanita dan 43% setuju bahwa tidak berhubungan seks akan mengurangi
kemungkinan terinfeksi dan 35% wanita dan 49% pria mengatakan penggunaan kondom secara
teratur akan mengurangi kemungkinan terinfeksi. Selanjutnya, pengetahuan tentang Konseling
Sukarela (Voluntary Counseling and Testing/VCT) menunjukkan hanya 8% wanita pernah kawin
dilaporkan pernah mendengar tentang adanya konseling sukarela. Pengetahuan wanita umur
15-19 tahun sangat rendah tentang konseling sukarela yakni sebesar 3%, sedangkan wanita
umur 20-39 tahun, wanita perkotaan, dan wanita lulus SMP, lebih banyak mendengar tentang
konseling sukarela. Pengetahuan tentang konseling sukarela lebih rendah pada wanita yang
mempunyai anak lebih banyak, wanita tanpa anak adalah yang paling banyak mendengar
tentang konseling sukarela dibanding wanita dengan anak lainnya. Sementara itu, hanya 7% pria
kawin melaporkan pernah mendengar tentang VCT. Pria berumur 30-34 tahun, tinggal di
perkotaan, dan berpendidikan tamat SLTP ke atas sepertinya lebih banyak yang pernah
mendengar tentang VCT daripada wanita. Pengetahuan tentang VCT menurun seiring dengan
banyaknya jumlah anak; pria tanpa anak lebih banyak mengetahui VCT dibandingkan pria yang
memiliki anak. Persentase wanita pernah kawin dan pria kawin yang mengetahui tempat
pelayanan VCT dari rumah sakit pemerintah cukup tinggi, lebih dari 60%.
Untuk di Sulawesi Selatan, kegiatan utama pemberantasan penyakit kelamin dan
HIV/AIDS adalah sero survei terhadap kelompok resiko tinggi dan rendah yang disertai dengan
penyuluhan langsung kepada kelompok sasaran tersebut.
Hasil pemeriksaan sampel tersebut ditemukan STS positif sebanyak 51 sampel dan HIV
positif 18 sampel sehingga jumlah kasus HIV positif hingga tahun 2003 sebanyak 62 orang
sedang penderita AIDS hingga Desember 2003 sebanyak 4 orang. Sedangkan sampai dengan
Desember 2004, kegiatan Sero Survei telah dilaksanakan di seluruh kab./kota se Sulawesi
46
Selatan. Dari hasil pemeriksaan sampel tersebut ditemukan positif HIV sebanyak 84 sampel.
Secara kumulatif jumlah pengidap HIV dan penderita AIDS hingga Desember 2005 sebanyak
398 kasus HIV+ dan 148 kasus AIDS. Sementara situasi pengidap HIV dan penderita AIDS
sampai dengan bulan Desember 2006 tercatat 279 penderita AIDS dan 915 pengidap HIV.
Berdasarkan hasil sero survei ditemukan pengidap HIV 151 orang (7,57%) dan Sifilis 85 orang
(4,26%) dari total sampel (1.995 orang) yang terdiri dari ABK, Napi, PSK, Pramupijat, Pramuria,
Sopir dan pengunjung. Jumlah terbanyak ditemukan pada jenis kelamin laki-laki dengan
kelompok umur 20-29 tahun dan 30-39 tahun. Pada tahun 2007 jumlah penderita HIV meningkat
sebanyak 1.065, sementara penderita AIDS menurun menjadi 68 orang.
Menurut laporan tahunan Bidang Pencegahan Penayakit dan Penyehatan Lingkungan
(P2PL) Dinkes Prov. Sulawesi Selatan tahun 2008, kasus HIV-AIDS di Sulsel menunjukkan
kasus laki-laki cenderung lebih banyak di banding perempuan.
Hasil SDKI 2007 di Sulawesi Selatan terdapat 48% wanita dan 57,1% pria yang pernah
mendengar tentang AIDS. Tingkat pengetahuan tentang cara mengurangi risiko terinfeksi pada
umumnya rendah. Hal ini ditunjukkan dengan adanya 32% wanita dan 42,7% pria mengetahui
bahwa membatasi seks hanya dengan satu partner yang tidak terinfeksi sebagai cara
mengurangi risiko penularan, 28,4% wanita dan 43,3% setuju bahwa tidak berhubungan seks
akan mengurangi kemungkinan terinfeksi dan 27,5% wanita dan 40,5% pria mengatakan
penggunaan kondom secara teratur akan mengurangi kemungkinan terinfeksi. Selanjutnya,
pengetahuan tentang Konseling Sukarela (Voluntary Counseling and Testing/VCT) menunjukkan
hanya 6% wanita pernah kawin dilaporkan pernah mendengar tentang adanya konseling
sukarela. Persentase wanita pernah kawin yang mengetahui tempat pelayanan VCT dari rumah
sakit pemerintah cukup tinggi yakni sebesar 78%.
2.2.9. Penyakit Menular
Penyakit menular yang juga dikenal sebagai penyakit infeksi dalam istilah medis
adalah sebuah penyakit yang disebabkan oleh sebuah agen biologi (seperti virus, bakteria
atau parasit), bukan disebabkan faktor fisik (seperti luka bakar dan trauma benturan) atau
kimia (seperti keracunan) yang mana bisa ditularkan atau menular kepada orang lain melalui
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
influ diare tifus TB Pneu
5 URUTAN PENYAKIT TERBESAR PADA PUSKESMAS SENTINEL DI SULSEL TAHUN 2008
47
media tertentu seperti udara (TBC, Infulenza dll), tempat makan dan minum yang kurang
bersih pencuciannya (Hepatitis, Typhoid/Types dll), jarum suntik dan transfusi darah (HIV
Aids, Hepatitis dll).
a. Penyakit Menular Berbasis Puskesmas SentinelSurvei sentinel adalah suatu system yang dapat memperkirakan insiden penyakit
pada suatu wilayah yang tidak memiliki system surveilans baik berbasis populasi tanpa
melakukan survey dengan biaya yang mahal. Survei sentinel yang dilaksanakan di Sulawesi
Selatan yaitu dengan memilih satu puskesmas atau rumah sakit perkabupaten/kota dengan
criteria mudah dijangkau, memiliki tenaga yang cukup, dan memiliki data yang lengkap.
Pengumpulan data penyakit dengan sistem ini diharapkan dapat menggambarkan
insiden penyakit pada kabupaten/ kota.
Berdasarkan tabel berikut ini dapat diuraikan bahwa dari 25 jenis penyakit pada
puskesmas sentinel, terdapat 520.494 kasus, yang terdiri dari laki-laki (48,20%) dan
perempuan (51,79%). Lima penyakit terbesar yang ditemukan antara lain influenza (56,6%),
diare (29,8%), tifus perut (3,4%), TB paru (2,6%), dan disentri (1,5%). Setelah diamati dari
urutan penyakit antara laki-laki dan perempuan, terbukti bahwa urutan penyakit teratas
berdasarkan jenis kelamin ternyata baik laki-laki maupun perempuan tetap influenza urutan
pertama, diare urutan kedua, tifus diurutan ketiga. Hal ini menandakan bahwa tidak ada
pengaruh antara urutan
penyakit dengan
perbedaan jenis kelamin.
Yang berbeda hanya
jumlah kasus, yaitu
penderita perempuan
lebih besar 3,5% dari
jumlah penderita laki-laki.
Data secara rinci dapat
dilihat pada tabel berikut.
Tabel 26Surveilans Terpadu Penyakit (STP) Menular Berbasis Puskesmas
di Sulawesi Selatan Tahun 2008
48
Lk Pr
1 Kolera 41 42 83 2 Diare 75,287 79,705 154,992 3 Diare berdarah 3,811 3,898 7,709 4 Tifus perut klinis 8,752 9,184 17,936 5 TBC paru BTA (+) 2,187 1,586 3,773 6 Tersangka TBC paru 6,880 6,489 13,369 7 Kusta PB 144 124 268 8 Kusta MB 440 323 763 9 Campak 308 343 651
10 Difteri 2 4 6 11 Batuk rejan 307 311 618 12 Tetanus 8 9 17 13 Hepatitis klinis 401 316 717 14 Malaria klinis 3,420 2,916 6,336 15 Malaria vivax 468 374 842 16 Malaria falcifarum 166 94 260 17 Malaria Mix 33 12 45 18 Demam Berdarah Dengue 1,813 2,063 3,876 19 Demam Dengue 414 478 892 20 Pneumonia 6,259 6,138 12,397 21 Sifilis 69 17 86 22 Gonorrhoe 88 125 213 23 Frambusia 3 3 6 24 Filariasis 129 126 255 25 Influenza 139,457 154,927 294,384
TOTAL 250,887 269,607 520,494
TotalJenis PenyakitNO Jumlah
Sumber : Bidang P2PL Dinkes Prov. Sulsel
b. Penyakit Menular Berbasis Rumah SakitDari 29 jenis penyakit yang dilaporkan dari bulan Januari s/d Desember tahun 2008
melalui laporan STP Rumah Sakit (Rawat Jalan) terdapat beberapa penyakit yang
mengalami peningkatan dan beberapa lainnya mengalami penurunan jumlah kasus jika
dibanding tahun sebelumnya. Dari 29 jenis penyakit yang dilaporkan terdapat 10 jenis
penyakit yang menonjol misalnya Diare menduduki urutan pertama dengan jumlah mencapai
6105 kasus,(Laki-laki = 3203 kasus perempuan = 2903 kasus) kemudian penyakit Influenza
dengan jumlah 3417 kasus (laki-laki = 1830 kasus, perempuan = 1587 kasus), TB Paru
Klinis dengan jumlah 2986 kasus (laki-laki = 1744 kasus, perempuan 1242 kasus)
Pneumonia jumlah kasus = 1315 (laki-laki = 706 kasus perempuan = 609 kasus) Penyakit
Tifus perut klinis dengan jumlah 968 kasus (Laki-laki = 505 kasus, perempuan 460 kasus),
Demam Berdarah Dengue jumlah 821 kasus (laki-laki = 436 kasus, perempuan = 385
kasus), TB Paru BTA (+) 580 kasus (Laki-laki = 334 kasus, perempuan = 246 kasus),
Thypus Perut Widal (+) 541 kasus (Laki-laki = 268 kasus, perempuan = 273 kasus) Malaria
49
klinis 491 kasus (laki-laki = 247 kasus, perempuan = 244 kasus), Hepatitis klinis 222 kasus
(laki-laki = 133 kasus, perempuan = 89 kasus.
Tabel 27Sepuluh Besar Penyakit (STP) Rumah Sakit Rawat Jalan
Di Sulawesi Selatan Tahun 2008
No Penyakit Laki-laki Perempuan Jumlah
1 Diare 3203 2903 6105
2 Influenza 1830 1587 3417
3 TB Paru Klinis 1744 1242 2986
4 Pneumonia 706 609 1315
5 Typus Perut Klinis 505 460 965
6 Demam berdarah dengue 436 385 821
7 TB Paru BTA (+) 334 246 580
8 Typus Perut Widal (+) 268 273 541
9 Malaria Klinis 247 244 491
10 Hepatitis Klinis 133 89 222
Sumber : Bidang P2PL Tahun 2008
Begitu pula dengan Rumah Sakit Rawat Inap juga terdapat beberapa penyakit yang
mengalami kenaikan maupun penurunan dari 10 penyakit yang menonjol adalah Penyakit Diare
diurutan pertama dengan jumlah kasus 7340 (laki-laki = 3752 kasus, perempuan = 3588 kasus)
kematian 24 (CFR 0,33 %), urutan kedua Penyakit Demam Berdarah Dengue jumlah kasus 2502
( laki-laki = 1254 kasus, perempuan = 1248 kasus) kematian 4 (CFR 0.16 %), TB Paru Klinis di
urutan ketiga dengan jumlah kasus 1576 (laki-laki = 987, perempuan 589 kasus) kematian 30
(CFR 1.90 %), Pneumonia jumlah kasus 1225 (laki-laki = 660, perempuan = 565 kasus)
kematian 31 (CFR 2,53 %), Thyfus Perut Widal (+) jumlah kasus 1086 laki-laki = 522 kasus,
perempuan = 564 kasus) kematian 4 (CFR 0.37), Typus Perut Klinis jumlah kasus 1004 (laki-laki
= 503 kasus, perempuan = 501 kasus) dengan kematian 2 (CFR 0,20 %) Malaria klinis jumlah
kasus 816 (laki-laki = 434 kasus, perempuan = 382 kasus) kematian 7 dengan CFR 0,86 %, dan
Demam Dengue jumlah kasus 575 (laki-laki = 289 kasus, perempuan 286 kasus) tidak ada
kematian, TB Paru BTA (+) dengan jumlah 508 kasus Laki-laki = 289 kasus, perempuan = 219 kasus) kematian 31 (CFR 6,10 %) dan mempunyai CFR tertinggi dari sepuluh besar penyakit, Hepatitis Klinis jumlah kasus 249 (laki-laki = 167 kasus, perempuan = 82 kasus)
kematian 1 (CFR 0,40%).
50
Data secara rinci dapat dilihat pada Tabel 28 berikut.
Tabel 28Sepuluh Besar Penyakit STP Rumah Sakit Rawat Inap
Di Sulawesi Selatan Tahun 2008
Sumber : Bidang P2PL Tahun 2008
2.3. EKONOMI
Pergeseran sektor pertanian ke sektor industri dan jasa dalam perekonomian
berpengaruh pada pergeseran pemanfaatan tenaga kerja baik laki-laki maupun perempuan.
Tetapi pergeseran tersebut lebih banyak terjadi pada tenaga kerja perempuan, dalam bentuk
penyerapan banyak tenaga kerja perempuan di sekotr industri dan jasa.
Keterlibatan perempuan dalam sektor ekonomi, dilatarbelakangi oleh keharusan bekerja
atau mereka memilih untuk bekerja. Sebagian perempuan yang “harus bekerja” adalah karena
kondisi ekonomi keluarga yang tidak mencukupi, sehingga melibatkan diri di dalam kegiatan
ekonomi secara aktif, sedangkan bagi perempuan yang memilih untuk bekerja dan memiliki
latarbelakang ekonomi menengah ke atas, mereka bekerja tidak lain hanya didorong oleh
motivasi tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa semakin rendah tingkat kehidupan sosial ekonomi
rata-rata penduduk di dalam suatu masyarakat, tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan
cenderung semakin tinggi.
Kegiatan ekonomi di Provinsi Sulawesi Selatan meliputi: penduduk usia kerja, TPAK dan
pangangguran, lapangan usaha, jenis usaha serta status usaha.
No Penyakit Laki-laki Perempuan Jumlah Mati
1 Diare 3752 3588 7340 24
2 Demam Berdarah dengue 1254 1248 2502 4
3 TB Paru Klinis 987 589 1576 30
4 Pneumonia 660 565 1225 31
5 Thyfus Perut Widal (+) 522 564 1086 4
6 Tifus Perut Klinis 503 501 1004 2
7 Malaria Klinis 434 382 816 7
8 Demam Dengue 289 286 575 0
9 TB Paru BTA+ 289 219 508 31
10 Hepatitis Klinis 167 82 249 1
51
2.3.1. Penduduk Usia Kerja
Sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk, jumlah penduduk usia kerja juga
mengalami pertambahan. Penduduk usia kerja yang dimaksud berumur 15 tahun keatas yang
merupakan sumber angkatan kerja potensial.
Pada tahun 2008, penduduk usia kerja Sulawesi selatan sebanyak 5.559.748 jiwa.
Jumlah ini meningkat menjadi 5.660.624 jiwa pada tahun 2009. Jika dilihat dari jenis kelamin,
terdapat perbedaan usia kerja dimana penduduk usia kerja perempuan lebih besar dari
penduduk usia kerja laki-laki dengan sex rasio 95 (Hasil Sensus Penduduk 2010). Berarti setiap
100 perempuan, hanya ada 95 laki-laki.. Adanya perbedaan ini disebabkan antara lain jumlah
penduduk perempuan memang lebih besar. Selain itu penduduk usia kerja laki-laki di Sulawesi
selatan banyak yang merantau. Hal yang sama terlihat pada daerah perkotaan dan pedesaan
dimana penduduk usia kerja perempuan lebih besar daripada laki-laki (Tabel 29).
52
Tabel 29. Banyaknya penduduk usia kerja menurut jenis kelamin dan daerah tempat tinggal Sulawesi Selatan, 2008 dan 2009
Sumber : BPS, Sakernas 2008 dan 2009
Jika kita mengamati Tabel 29 di atas terlihat penduduk usia kerja di pedesaan ,lebih banyak
dibanding perkotaan. Adanya perbedaan ini disebabkan oleh jumlah penduduk di pedesaan lebih
besar daripada di perkotaan.
2.3.2. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dan Pengangguran
TPAK dapat diukur dari perbandingan angkatan kerja dan usia kerja. Akan tetapi
perubahan TPAK dapat dipengaruhi oleh faktor demografis, sosial, dan ekonomi. Pengaruh
masing-masing faktor tersebut terhadap TPAK berbeda bagi perempuan dan laki-laki.
Bagi TPAK laki-laki, pengaruh faktor-faktor tersebut tidaklah terlalu besar oleh karena
umumnya laki-laki pencari nafkah utama keluarga. Lain halnya dengan TPAK perempuan,
banyak dipengaruhi oleh faktor sosial, ekonomi dan budaya. Melaksanakan tugas rumah tangga
masih dianggap sebagai tugas pokok perempuan.
Jenis kelamin 20082009
Perkotaan Pedesaan Total(1) (2) (3) (4) (5)
PerempuanLaki-laki
2.932.7122.627.036
992.655960.766
1.986.3701.720.833
2.979.0252.681.599
Total 5.559.748 1.953.421 3.707.203 5.660.624
53
Gambar 3. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Menurut Daerah Tempat Tinggal dan Jenis Kelamin, Sulawesi Selatan, Tahun 2009
Sumber : BPS, Sakernas 2009
Dari gambar di atas terlihat bahwa TPAK perempuan baik di perkotaan maupun di
pedesaan pada tahun 2009 selalu lebih rendah dari pada laki-laki. Walaupun demikian, pada
periode 2000-2009 terjadi kenaikan TPAK perempuan dari 28,2 persen pada tahun 2000
menjadi 44,94 persen pada tahun 2009. Kenaikan TPAK tersebut diduga disebabkan oleh
kondisi ekonomi yang sudah berangsur membaik yang juga berdampak pada perekonomian
rumah tangga. Hal ini berkaitan dengan pembagian tugas dalam rumah tangga peranan
perempuan semakin signifikan dalam pasar tenaga kerja untuk mendukung ekonomi rumah
tangga.
TPAK perempuan dan laki-laki di Sulawesi Selatan memiliki perbedaan yang cukup
besar yaitu 44,94 persen (dari 100 orang usia kerja perempuan terdapat 44,94 orang angkatan
kerja), berbanding 81,97 persen (dari 100 orang usia kerja laki-laki terdapat 81,97 orang
angkatan kerja) pada tahun 2009. Ini berarti partisipasi perempuan di bidang ekonomi belum
dapat menyamai partisipasi laki-laki. Kondisi ini masih sama pada tahun 2000 di mana TPAK
perempuan hanya sebesar 28,2 persen sedang laki-laki 69,9 persen. Perbedaan ini mungkin
disebabkan oleh system pembagian kerja secara seksual dalam masyarakat, di mana
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
80.00
90.00
Perkotaan PedesaanLaki-Laki Perempuan
.000
20.000
40.000
60.000
80.000
100.000
15- 19
20- 24
25- 29
30- 34
35- 39
40- 44
45- 49
50- 54
55- 59
60 +
Perkotaan Laki-Laki Perkotaan Perempuan Perdesaan Laki-Laki Perdesaan Perempuan
54
perempuan mempunyai kegiatan utama di dalam rumah dan laki-laki di luar rumah (mencari
nafkah).
Gambar 4. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja menurut umur, jenis kelamin, dan daerah, Sulawesi Selatan 2009
Sumber : BPS, Sakernas 2009
Secara keseluruhan mereka yang berada di pasar kerja atau yang bekerja itu terdiri atas
berbagai kelompok umur, dan seperti telah disinggung sebelumnya partisipasi mereka dalam
angkatan kerja dapat berbeda-beda. Perbedaan itu di samping dipengaruhi oleh desakan
kebutuhan ekonomi, juga oleh kondisi lain, diantaranya yang utama adalah karakteristik
angkatan kerja itu sendiri. Salah satu karakteristik angkatan kerja yang utama adalah umur dan
tentunya jenis kelamin.
Pada daerah yang berbeda, tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) berbeda menurut
umur dan jenis kelamin. Dari gambar 6.2 terlihat bahwa puncak TPAK perempuan di perkotaan
berada pada usia 25-29 tahun (57,91 persen) dan di pedesaan pada usia 40-44 tahun (57,19
persen). Pada tahun 2009 TPAK perempuan perkotaan mempunyai 2 puncak dan di pedesaan
mempunyai 3 puncak. Hal ini menunjukkan bahwa pada tahun 2009 pola TPAK perempuan di
Sulawesi Selatan adalah the early peak yaitu partisipasi sebagian besar adalah pada perempuan
belum kawin atau perempuan muda yang telah kawin sebelum melahirkan, yang kemudian
keluar dari pasar kerja selama dan setelah melahirkan anak. Di bandingkan dengan TPAK laki-
55
laki, ternyata memang TPAK laki-laki selalu lebih tinggi di semua kelompok umur baik di
perkotaan maupun pedesaan.
Namun demikian, dibandingkan tahun 2000, terjadi peningkatan TPAK perempuan untuk
semua umur, baik di perkotaan maupun di pedesaan menunjukkan kecenderungan semakin
melonggarnya ikatan sosial dan budaya di Sulawesi Selatan. Lingkungan sosial budaya selama
ini tidak terlalu memberikan peluang bagi keikut sertaan perempuan dalam angkatan kerja.
Hal menarik dari kedua gambar di atas adalah secara keseluruhan TPAK perempuan di
pedesaan lebih tinggi dari angka di perkotaan. Jika anggapan selama ini yang menyatakan
rendahnya TPAK perempuan di Sulsel disebabkan oleh faktor social dan budaya benar, maka
seharusnya TPAK perempuan di pedesaan akan jauh lebih rendah dari TPAK perempuan di
perkotaan. Hal ini disebabkan oleh lebih kuatnya pengaruh faktor ekonomi daripada faktor social
budaya di pedesaan.
56
2.3.3. Tingkat Pengangguran
Timbulnya pengangguran adalah disebabkan oleh banyaknya pencari kerja yang tidak
dapat diimbangi oleh penciptaan kesempatan kerja. Dalam kondisi ekonomi yang sulit, jumlah
pengangguran cenderung meningkat, yang disebabkan oleh dua kondisi yang berlawanan.
Disatu sisi jumlah pencari kerja semakin bertambah, baik berupa pendatang baru maupun
mereka yang lepas/ keluar dari pekerjaan lama untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Tetapi
disisi lain, kesempatan kerja yang tersedia justru menciut karena kontraksi ekonomi atau tumbuh
dalam besaran yang sangat terbatas karena minimnya investasi atau investasi yang ada lebih
bersifat padat modal.
Tabel 30. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) menurut Daerah tempat tinggal, dan jenis kelamin, Sulawesi Selatan, 2000 dan 2009
Sumber : BPS, Sakernas 2000 dan 2009
Hasil pengolahan Sakernas 2000-2009 Sulawesi Selatan menunjukkan tingkat
pengangguran terbuka (TPT) perempuan lebih tinggi dibandingkan TPT laki-laki. Pada tahun
2000 perbandingannya adalah 5,4 terhadap 2,3. Jika perbedaan TPT dilihat dari daerah tempat
tinggal, didapat perbedaan yang sangat besar antara TPT perkotaan dengan TPT pedesaan,
yaitu 7,0 berbanding 1,9. Namun perbedaan TPT menurut jenis kelamin di dua daerah tesebut
relative lebih kecil (lihat Tabel 30).
TPT perempuan di Sulsel pada tahun 1997 adalah 11,5 persen dan menurun menjadi
5,4 persen pada tahun 2000, dengan TPT perempuan yang lebih tinggi dari TPT laki-laki.
Daerah Tempat Tinggal
2000 2009
Perempuan Laki-laki Total Perempuan Laki-
laki Total
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Perkotaan
Pedesaan
9,3
3,9
5,9
1,0
7,0
1,9
13,1
9,4
10,3
6,5
11,4
7,6
Total 5,4 2,3 3,2 10,7 7,8 8,9
57
Tingginya TPT perempuan diduga karena berhubungan dengan peningkatan keinginan untuk
bekerja diluar rumah tangga. Hal ini merupakan indikasi adanya pergeseran status pekerjaan
perempuan dari hanya bekerja sebagai pekerja keluarga tanpa dibayar disektor pertanian,
menjadi pekerja public/umum untuk mendapatkan upah. Tidak mustahil hal ini berkaitan dengan
menurunnya angka kelahiran. Dalam keluarga yang mempunyai sedikit anak (misalnya 2) yang
sudah bersekolah, maka tersedia kesempatan bagi perempuan untuk mencari pekerjaan guna
menambah penghasilan keluarga sambil mengisi kekosongan waktu ( Effendi,1992 dalam
Fatmawati).
Menarik untuk ditelaah lebih lanjut adalah TPT perempuan di pedesaan lebih rendah
dari perkotaan baik pada tahun 1997, tahun 2000 maupun pada tahun 2009. Padahal penduduk
usia kerja di pedesaan lebih banyak dari perkotaan. Menurut Effendi (1992), perbedaan ini
berkaitan dengan perbedaan struktur peluang kerja. Di pedesaan, usaha di sector pertanian dan
usaha rumah tangga lebih berperan di bandingkan usaha/kegiatan nonpertannian. Perempuan yang
belum bekerja atau tidak mempunyai pekerjaan, dapat saja bekerja sementara dengan membantu usaha
keluarga, meskipun dengan produktivitas yang rendah.
Hal tersebut terkait dengan sifat-sifat pekerjaan di pedesaan yang lebih mudah
menyerap tenaga kerja keluarga, termasuk istri dan anak-anak. Keadaan ini dapat
mempengaruhi TPT, karena mereka yang membantu usaha keluaraga dicatat sebagai pekerja
meskipun tidak dibayar, baik dengan jam kerja normal maupun tidak.
58
Gambar 5. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) menurut Umur, Jenis Kelamin, dan Daerah, Sulawesi Selatan, 2009
Sumber : BPS, Sakernas 2009
Rendahnya pengangguran terbuka dipedesaan juga dapat dipakai sebagai indikator
migrasi desa-kota. Tidak tertutup kemungkinan mereka yang berpendidikan dipedesaan mencari
kerja diperkotaan. Keengganan bekerja di sektor pertanian dan langkahnya peluang kerja non-
pertanian dipedesaan diduga mendorong mereka untuk mencari kerja di perkotaan. Sementara
di perkotaan, yang berpendididkan bersedia menunggu beberapa saat untuk mendapatkan
pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan. Inilah yang menyebabkan TPT di perkotaan relatif
lebih tinggi dari pedesaan. Selain itu, perluasan kota diduga turut menambah pengangguran
terbuka. (Fatmawati 1993).
Gambar 5. menunjukkan TPT mencapai puncaknya pada kelompok usia 20 sampai 24
tahun baik di perkotaan maupun di pedesaan serta baik antara laki-laki dan perempuan,
kemudian menurun setelah itu. Pada usia 15-19 tahun sebagian besar masih di bangku sekolah,
dan mungkin masih berfikir-fikir dulu apakah akan terus sekolah atau bekerja, sehingga belum
mencari kerja, tetapi memasuki usia 20-24 sudah semakin jelas untuk memutuskan masuk
kepasar kerja, terutama biaya sekolahpun pada jenjeng lebih tinggi telah dirasakan
memberatkan beban rumah tangga.
Jika dibandingkan dengan TPT tahun 1997 dapat dikatakan telah terjadi penurunan TPT
diseluruh kelompok umur. Hal ini berkaitan dengan dampak krisis ekonomi yang ada. Pada awal
krisis pengangguran meningkat atau berada pada posisi tinggi karena menurunnya kegiatan
59
ekonomi secara umum maka merosot juga peluang kerja, baik karena terkena pemutusan
hubungan kerja (PHK) maupun karena menurunnya daya beli masyarakat secara umum. Pada
dasarnya hanya orang yang mampu atau dari status sosial-ekonomi menengah keatas yang
dapat tetap menunggu untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Mereka yang berasal dari
status social ekonomi yang rendah tidak mampu untuk menganggur, karena itu mereka akan
bekerja apa saja untuk memperoleh penghasilan, walaupun untuk itu mereka mendapatkan
upah/penghasilan yang rendah.
Namun demikian pada periode 2006-2009, Tabel 6.3 menunjukkan bahwa tingkat
pengannguran di Provinsi Sulawesi Selatan cenderung terus menurun dari 12,8 persen (2006),
11,2 persen (2007), 10,5 persen (2008) dan 8,9 persen tahun 2009. Seiring dengan menurunnya
penduduk miskin dari 14,57 persen (2006), 14,11 persen (2007), 13,34 persen (2008) dan 12,31
persen tahun 2009.
Tabel 31. Tingkat Pengngguran Terbuka (TPT) dan Tingkat Kemiskinan di Sulawesi Selatan Tahun 2006-2009
Indikator 2006 2007 2008 2009
(1) (2) (3) (4) (5)
1. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT %) 12,8 11,2 10,5 8,9
2. Tingkat Kemiskinan 14,57 14,11 13,34 12,31
Sumber : Sakernas 2006-2009 dan Susenas 2006-2009
2.3.4. Lapangan Usaha
Lapangan usaha yang dimasuki oleh pekerja perempuan dan laki-laki memperlihatkan
adanya perbedaan. Pekerja perempuan di luar sektor pertanian (primer) banyak memasuki
sector tertier, terutama jasa dan perdagangan. Kedua sector ini secara umum, karakteristiknya
mirip dengan sector pertanian, yaitu mudah dimasuki oleh mereka yang pendidikannya rendah
dan sering terjadi income/work sharing, sehingga produktivitas merekapun tergolong rendah.
60
Sebenarnya kesertaan pada sector industri, dalam kelompok sector sekunder, cukup
besar. Bagian terbesar dari pekerja sector industri, sebenarnya adalah pada subsector industry
kecil dan kerajinan rakyat (IKKR). Industry pengolahan yang berskala besar umumnya berlokasi
di Makassar dan sekitarnya dengan kegiatan yang banyak menyerap tenaga kerja adalah
industry pengolahan makanan, misalnya pengolahan biji coklat, kopi, maupun udang untuk
tujuan sector.
Jika dilihat dari perkembangan data tahun 2007-2009 terlihat adanya pergeseran yang
cukup jelas di daerah pedesaan, yaitu dari sector sekunder dan tertier ke sector primer di antara
pekerja perempuan. Hal ini menunjukkan adanya penurunan kegiatan ekonomi di kedua
kelompok besar lapangan usaha tersebut, yang menandakan adanya penurunan kondisi
ekonomi pedesaan dalam kurun waktu tahun 2007-2009. Tampaknya pertanda inilah yang
mendorong banyaknya perempuan pedesaan mencari pekerjaan di luar sector pertanian.
Tabel 32. Penduduk Berumur 10 Tahun Keatas yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha Utama, Daerah, Dan Jenis Kelamin, Sulawesi Selatan, 2007, 2009
Daerah/Lapangan Usaha 2007 2009Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki
(1) (2) (3) (4) (5)Perkotaan
- Primer- Sekunder- Tertier
9.69022.90487.482
64.86324.439
281.695
10.27624.274
187.569
70.24036.542
271.295
Pedesaan- Primer- Sekunder- Tertier
352.24072.648
177.231
1.130.55745.210
189.729
396.81556.197
164.442
1.153.00957.010
185.146
Perkotaan+Pedesaan- Primer- Sekunder- Tertier
361.93095.552
364.713
4.495.92071.649
471.424
407.09180.471
352.011
1.223.24993.552
456.441
Catatan: sector primer= sector pertanian, Sector sekunder= sector industry,pertambangan,listrik,kontruksi, Sector tertier= sector perdagangan,transpotasi,keuangan,jasa,lainnya
Sumber: BPS Sakernas 2007, 2009
Tabel 32. menunjukkan bahwa pekerja perempuan banyak terserap selain di sektor pertanian
(45,21 persen) adalah sektor perdagangan besar, eceran, rumah makan dan hotel (29,03 persen).
Bahkan di daerah perkotaan mayoritas pekerja perempuan terserap di sektor sektor perdagangan besar,
eceran, rumah makan dan hotel (47,33 persen) dan sektor jasa kemasyarakatan (30,06 persen). Yang
menarik adalah proporsi pekerja perempuan yang terserap di sektor industri pengolahan cenderung lebih
61
tinggi dari pekerja laki-laki yaitu masing-masing 7,69 persen dan 6,05 persen, dan itu terjadi baik di
perkotaan dan perdesaan.
Tabel 33. Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha Utama, Daerah, Dan Jenis Kelamin, Sulawesi Selatan, 2009
Perkotaan Jenis KelaminLapangan Usaha Laki-laki Perempuan Total
1. Pertanian 12.10 6.68 10.072. Industri Pengolahan 8.70 9.82 9.123. Perdagangan Besar, Eceran, Rumah Makan, Hotel 29.81 47.33 36.404. Jasa Kemasyarakatan 19.11 30.08 23.235. Lainnya 30.27 6.09 21.18
Jumlah 100.00 100.00 100.00Perdesaan Jenis Kelamin
Lapangan Usaha Laki-laki Perempuan Total1. Pertanian 70.80 64.35 68.422. Industri Pengolahan 4.78 6.64 5.463. Perdagangan Besar, Eceran, Rumah Makan, Hotel 6.81 19.94 11.654. Jasa Kemasyarakatan 4.12 7.62 5.415. Lainnya 13.49 1.46 9.06
Jumlah 100.00 100.00 100.00
Perkotaan+Perdesaan Jenis KelaminLapangan Usaha Laki-laki Perempuan Total
1. Pertanian 51.71 45.21 49.302. Industri Pengolahan 6.05 7.69 6.663. Perdagangan Besar, Eceran, Rumah Makan, Hotel 14.29 29.03 19.764. Jasa Kemasyarakatan 8.99 15.07 11.255. Lainnya 18.95 2.99 13.03
Jumlah 100.00 100.00 100.00
Sumber : BPS, Sakernas 2009
2.3.5. Status Pekerjaan
Proses pembangunan ekonomi tidak saja dihubungkan dengan distribusi angkatan kerja
menurut sector, tetapi juga distribusi status usaha/pekerjaan (oberay, 1978). Pengelompokan
pekerja menurut status usaha sangat berguna untuk menelusuri sifat usaha (pekerjaan) dan
jenis usaha tertentu (Manning, dalam Fatmawati 1993).
62
Tabel 33. Penduduk Berumur 10 Tahun Keatas yang Bekerja Menurut Status Pekerjaan, Daerah, Dan Jenis Kelamin, Sulawesi Selatan, 2007, 2009
Status Pekerjaan 2007 2009Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki
(1) (2) (3) (4) (5)Perkotaan
- Berusaha- Buruh/karyawan- Pekerja Keluarga
22,944,532,6
28,947,523,5
26,850,422,7
35,849,916,3
Pedesaan- Berusaha- Buruh/karyawan- Pekerja Keluarga
25,212,962,8
30,414,155,5
20,612,372,2
33,913,852,3
Total- Berusaha- Buruh/karyawan- Pekerja Keluarga
26,623,654,6
37,122,447,5
22,222,655,1
34,422,942,7
Di Sulawesi Selatan, pola status usaha pekerja perempuan menunjukkan bahwa
sebagian besar mereka bekerja sebagai pekerja keluarga (tak dibayar atau sebagai buruh/
karyawan). Untuk 2 status tersebut, persentase pekerja perempuan masing-masing sebesar
55,1 persen dan 22,6 persen pada tahun 2009 (lihat Tabel 33). sebenarnya perempuan pekerja
keluarga dapat dikatakan sebagai fenomena pedesaan. Hal ini terlihat dari persentase
perempuan yang bekerja sebagai pekerja keluarga adalah 72,2 persen.
Di perkotaan pada waktu yang sama, pekerja perempuan sebagian besar (50,4 persen)
berstatus buruh atau karyawan. Jumlah ini melebihi pekerja laki-laki (49,9 persen). Persentase
perempuan yang berusaha (berusaha sendiri/dibantu buruh tidak tetap/dibantu buruh tetap)
ternyata tidak banyak berbeda dengan laki-laki yaitu 26,8 persen berbanding 35,8 persen. Cukup
besarnya persentase perempuan pengusaha sejalan dengan lapangan pekerjaan utamanya
sebagai pedagang atau jasa dengan skala kecil, baik dilakukan sendiri maupun dibantu anggota
rumah tangga lainnya (anak).
Agaknya hal ini berbeda dengan di pedesaan. Umumnya kegiatan perekonomian di
pedesaan lebih bersifat informal, sehingga persentase perempuan yang bekerja sebagai buruh
atau karyawan tergolong rendah (12,3 persen) karena umumnya mereka bekerja sebagai
pekerja keluarga (72,2 persen). Tingginya persentase pekerja keluarga di pedesaan
63
dimungkinkan karena dengan tingkat pendidikan umumnya rendah, lazim terjadi praktek berbagi
rejeki/pekerjaan (income/work sharing) dalam usaha rumah tangga.
2.3.6 Jam Kerja
Jam kerja merupakan salah satu variabel yang mengukur pemanfaatan seseorang
dalam bekerja. Seseorang dapat dikatakan bekerja penuh jika yang bersangkutan bekerja
minimal 35 jam dalam seminggu.
Dengan banyaknya perempuan yang bekerja sebagai pekerja keluarga atau yang hanya
berfungsi membantu suami/ayah/KRT, maka banyak pula ditemukan perempuan yang bekerja
dengan jam kerja rendah. Dari tabel 34. terlihat bahwa pekerja yang bekerja di bawah jam kerja
normal (35 jam seminggu), atau dikenal seminggu setengah penganggur, lebih banyak
perempuan daripada laki-laki. Data tersebut adalah 59,0 persen berbanding 42,0 persen pada
tahun 2009. Perbandingan tersebut menjadi lebih mencolok untuk mereka yang bekerja 1-14 jam
seminggu, atau dikenal juga sebagai setengah penganggur kritis.
Meskipun jumlah jam kerja perempuan lebih rendah dibanding jumlah jam kerja laki-laki,
tetapi bila dibandingkan data tahun 2007 dengan data tahun 2009 nampak ada sedikit
peningkatan. Dalam periode tersebut, proporsi perempuan yang bekerja di atas jam kerja normal
(35 jam seminggu) meningkat dari sebesar 37,8 persen menjadi 40,7 persen.
64
Tabel 34. Persentase Pekerja Menurut Kelompok Jam Kerja Dan Jenis Kelamin, 2007-2009Jumlah Jam Kerja
(Jam)2007 2009
Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki(1) (2) (3) (4) (5)0*)
1-143,921,3
4,59,0
-20,9
-8,8
15-34 37,1 32,7 38,5 32,835+ 37,8 53,9 40,7 58,4
Total840.16(100,0)
1.976.574(100.0)
823.780(100,0)
1.964.188(100,))
Catatan: *) Sementara tidak bekerja, ( ) angka dalam kurung adalah persentase
Sumber: BPS Susenas 2007 dan 2009
2.3.7. Upah/Gaji Sebulan
Pemberian upah biasanya ditentukan oleh banyak faktor, seperti latar belakang
pendidikan, keahlian, jam kerja, jenis pekerjaan, jabatan, pengalaman kerja, dan lain
sebagainya. Biasanya penentuan tersebut merupakan kombinasi dari beberapa faktor sekaligus.
Tetapi pada bahasan ini hanya dilihat berdasarkan tingkat pendidikan yang ditamatkan untuk
laki-laki maupun perempuan.
Dari hasil pengolahan data Sakernas 2000 dan 2009 (Tabel 35) menunjukkan bahwa
tingkat upah pekerja secara umum berhubungan positif dengan tingkat pendidikan pada pekerja
laki-laki maupun perempuan. Kemudian terlihat pula adanya kesenjangan antara tingkat upah di
perkotaan dengan tingkat upah di pedesaan, yang mengakibatkan adanya arus migrasi dari
pedesaan ke perkotaan. Tabel 35 juga menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan upah/gaji
baik laki-laki maupun perempuan pada periode 2000-2009. Peningkatan upah/gaji tersebut
terjadi pada perekerja laki-laki maupun perempuan di semua jenjang pendidikan dan daerah.
Bahkan pada pekerja perempuan peningkatannya lebih signifikan yaitu 2,25 kali, sementara laki-
laki hanya 2,07 kali, bahkan pada pekerja berpendidikan rendah dan tinggi masing-masing 3,39
kali dan 2,82 kali untuk pekerja perempuan. Sehingga gap antara upah/gaji laki-laki dan
perempuan semakin mengecil bahkan upah/gaji di perkotaan sudah mencapai di atas satu juta.
Peningkatan upah/gaji tersebut salah satunya mungkin karena semakin membaiknya
perekonomian di Sulawesi Selatan sehingga upah/gaji pekerja sudah di atas UMR.
65
Sementara itu terlihat juga kesenjangan tingkat upah antara yang diterima pekerja
perempuan dan yang diterima pekerja laki-laki pada seluruh tingkat pendidikan. Kesenjangan
tersebut sangat nyata di antara mereka yang berpendidikan di atas SLTA baik tahun 2000
maupun 2009.
Tabel 35. Rata-rata upah/gaji pekerja sebulan Menurut tingkat pendidikan dan jenis kelamin, Sulawesi Selatan, 2000-2009
Daerah/ Pendidikan
Perempuan Laki-laki2000 2009 Perubahan 2000 2009 Perubahan
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Perkotaan: 469,5
89 1,135,355 2.42 570196
1,325,476 2.32
< SD 195,8
33 309,430 1.58 323067
635,955 1.97
SD 253,4
31 479,234 1.89 336774
686,020 2.04
SLTP 388,0
50 573,473 1.48 456449
812,129 1.78
SLTA 491,7
62 877,770 1.78 549579
1,372,312 2.50
>SLTA 722,5
48 1,831,743 2.54 1018188
2,365,227 2.32
Pedesaan: 385,3
49 768,325 1.99 480700
961,132 2.00
< SD 130,0
00 550,943 4.24 282455
656,253 2.32
SD 238,9
30 408,403 1.71 489735
801,075 1.64
SLTP 237,5
00 487,661 2.05 335150
792,061 2.36
SLTA 626,9
55 837,976 1.34 507317
1,228,087 2.42
>SLTA 529,4
20 1,665,302 3.15 762860
2,170,811 2.85
Total: 431,8
85 969,944 2.25 530857
1,098,443 2.07
< SD 147,6
10 500,342 3.39 298660
602,964 2.02
SD 245,7
03 433,045 1.76 424447
647,967 1.53
SLTP 336,9
75 536,111 1.59 410205
725,053 1.77
SLTA 536,2
89 866,862 1.62 533162
1,195,393 2.24
>SLTA 631,4
45 1,781,144 2.82 943776
2,037,539 2.16
Sumber: BPS Sakernas 2000 dan 2009
66
2.3.8. Kemiskinan
Jumlah penduduk miskin di Sulawesi Selatan selama periode Maret 2006 - Maret 2009
terus mengalami penurunan baik secara absolut maupun relatif. Pada tahun 2006 penduduk
miskin di Sulawesi Selatan adalah sebanyak 1112,0 orang (14,57 persen) turun menjadi 1083,4
orang (14,11 persen) pada tahun 2007. Pada bulan Maret 2008 turun menjadi 1031,7 orang
(13,34 persen) dan pada bulan Maret 2009 turun lagi menjadi di bawah satu juta yaitu 963.600
jiwa (12,31 persen).
Tabel 36. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Sulawesi Selatan Menurut Daerah,2006-2009
Sumber: Diolah dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas)
Penduduk miskin di Provinsi Sulawesi Selatan lebih tinggi di daerah perdesaan. Pada
tahun 2006, penduduk miskin di perdesaan mencapai 18,25 persen sementara di daerah
perkotaan hanya 6,83 persen. Pada periode 2006-2008, penduduk miskin di daerah perdesaan
menurun menjadi 16,79 persen sedangkan di daerah perkotaan turun menjadi 6,05 persen.
Secara absolut selama periode Maret 2007-Maret 2008, penduduk miskin di daerah perkotaan
berkurang 2.000 orang, sementara di daerah perdesaan berkurang 49.700 orang.
Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak
berubah. Pada bulan Maret 2007, sebagian besar (85,90 persen) penduduk miskin berada di
daerah perdesaan, sementara pada bulan Maret 2008 persentase ini sedikit mengalami
penurunan menjadi 85,38 persen.
TahunJumlah Penduduk Miskin (000) Persentase Penduduk Miskin
Kota Desa Kota+Desa Kota Desa Kota+Desa
2006 167,8 944,2 1112,0 6,83 18,25 14,57
2007 152,8 930,6 1083,4 6,18 17,87 14,11
2008 150,8 880,9 1031,7 6,05 16,79 13,34
2009 124,5 839,1 963,6 4,94 15,81 12,31
67
Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada periode Maret 2006-Maret 2008 tampak
semakin menurun. Pada tahun 2006 jumlah penduduk miskin di Indonesia adalah sebesar 39
295,3 ribu orang (17,75 persen), turun menjadi 37 168,3 ribu orang (16,58) pada tahun 2007,
dan pada tahun 2008 turun lagi menjadi 34 963,3 (15,42).
Tabel 37. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di IndonesiaMenurut Daerah, 2006-2008
Sumber: Diolah dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2006-2008
Jika dibandingkan dengan persentase penduduk miskin di Sulawesi Selatan pada periode
Maret 2006-Maret 2008 tampak bahwa persentase penduduk miskin di Indonesia masih lebih
besar. Pada tahun 2006 persentase penduduk miskin di Indonesia mencapai 17,75 persen
sedangkan di Sulawesi Selatan hanya sekitar 14,57. Demikian juga pada tahun 2008, penduduk
miskin di Indonesia mencapai 15,42 sedangkan di Sulawesi Selatan mencapai sekitar 13,34
persen.
TahunJumlah Penduduk Miskin
(000)Persentase Penduduk
Miskin
Kota Desa Kota+Desa Kota Desa Kota+Desa
2006 14 489,0 24 806,3 39 295,3 13,47 21,81 17,75
2007 13 559,3 23 609,0 37 168,3 12,52 20,37 16,58
2008 12 768,5 22 194,8 34 963,3 11,65 18,93 15,42
68
2.3.8. Pekerja Migran (TKI/TKW)
Teori migrasi klasik menyatakan bahwa migran lebih banyak laki-laki daripada
perempuan pada usia umur produktif. (Demographic Institut, 1981). Globalisasi telah merubah
banyak jumlah perempuan yang migrasi bukan saja sebagai pengikut tetapi juga sebagai pelaku
migrasi. Perempuan meningkatkan migrasi internasional bukan saja jumlah perempuannya yang
meningkat tetapi juga konstribusi perempuan di bidang sosial ekonomi juga meningkat (Sri
Harijati Hatmaji, 2004).
Seiring berkembangnya era globalisasi pada saat ini, dunia seakan tanpa batas. Adanya
globalisasi informasi menyebabkan mobilitas penduduk semakin meningkat. Dengan semakin
tingginya tingkat mobilitasi baik nasional maupun internasional, telah mendorong banyak peneliti
melakukan analisa mengenai apa yang mendorong seseorang melakukan hal ini. Tujuan dan
motif utama migrasi yang sering ditemukan adalah untuk memperbaiki keadaan ekonomi dan
status sosial. Mobilitas penduduk merupakan salah satu usaha manusia dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya dengan mencari dan menemukan sesuatu yang baru ( innovative migration)
atau mempertahankan apa yang telah dimiliki (conservative migration).
Tabel 38. Banyaknya Migrasi Internasional (TKI dan TKW) dari Sulawesi Selatan Menurut Tujuan Negara Tahun 2010
Tujuan Negara Jumlah Persentase
Malaysia 2.775 81,6
Arab saudi 85 2,5
Brunei Darussalam 457 13,4
Hongkong 1 0,0
Kuwait 3 0,1
Malaysia Timur 80 2,4
Jumlah 3.401 100,0
Sumber: Disnakertrans Provinsi Sulawesi Selatan (Data Diolah), Data bulan Januari-September 2010.
69
Mobilitas penduduk dapat mendatangkan perubahan sosial baik bagi daerah asal
maupun daerah tujuan, karena dalam proses mobilitas terjadi kontak dengan lingkungan lain.
Migran yang telah tersentuh atau dipengaruhi oleh lingkungan yang lain, seringkali menjadi
pelaku perubahan. Mereka membawa berbagai pengetahuan dan nilai-nilai baru ke tempat asal
atau ke tempat tujuan sehingga mendorong terjadinya perubahan sosial budaya.
Secara umum, perubahan sosial budaya dapat diamati dari perubahan orientasi nilai
budaya tradisional, perubahan status sosial ekonomi seperti mata pencaharian serta tingkat
pendidikan, dan pola fertilitas. Tabel menunjukkan bahwa migrasi dari sulawesi Selatan
sebagian besar menuju Malaysia mencapai 81,3 persen, berikutnya adalah Brunei Darussalam
(13,4 persen) dan Arab Saudi 2,5 persen.
Tabel 39. Banyaknya Migrasi Internasional (TKI dan TKW) dari SulawesiSelatan Menurut Tujuan Negara dan Jenis Kelamin, Tahun 2010
Sumber: Disnakertrans Provinsi sulawesi Selatan (Data Diolah), Data bulan Januari-September 2010.
Tetapi yang menarik adalah migrasi ke Malaysia dari Sulawesi Selatan yang menjadi
TKI dan TKW ke malaysia adalah laki-laki dan perempuan masing masing untuk laki-laki 77,80
persen dan 90,40 persen. Sedangkan migrasi yang menuju nega-negara Arab seperti ke Arab
Saudi adalah umumnya perempuan yaitu sebanyak 85 orang (8,13 persen).dan Kuwait 3 orang
Tujuan NegaraJenis Kelamin
TotalPersentase
L P L P
Malaysia 1.833 942 2.775 77,80 90,40
Arab saudi 0 85 85 0,00 8,13
Brunei Darussalam 457 0 457 19'40 0,00
Hongkong 0 1 1 0,00 0,10
Kuwait 0 3 3 0,00 0,29
Malaysia Timur 66 14 80 2,80 1,34
Jumlah 2.356 1.045 3.401 100,00 100,00
70
(0,29 persen). Bahkan ada yang menuju Hong Kong yaitu 1 orang (0,10 persen) dan Malaysia
Timur 14 orang (1,34 persen).
2.4. SOSIAL
2.4.1. Kekerasan Terhadap Perempuan
Kekerasan terhadap perempuan adalah segala bentuk tindakan kekerasan berdasarkan
gender, termasuk ancaman, pemaksaan atau perampasan hak-hak kebebasan, yang terjadi baik
didalam rumah tangga atau keluarga (privat life), maupun di dalam masyarakat (public life) yang
mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan bagi wanita baik secara fisik, seksual maupun
fisikologis (United Nations Depertement of Public Relation 1986).
Masalah kekerasan pada dasarnya erat kaitannya dengan kekuasaan, dan umumnya
tindakan kekerasan dilakukan oleh kaum laki-laki. Dominasi pria terhadap wanita menunjukkan
adanya kekuasaan pria untuk berbuat sesukanya terhadap wanita. Hal ini juga di dukung oleh
sistem kepercayaan gender yang berlaku dalam masyarakat, sistem kepercayaan gender
mengacu pada serangkaian kepercayaan dan pendapat tentang laki-laki dan perempuan, sistem
ini mencakup pengertian bagaimana sebenarnya laki-laki dan perempuan itu. Pada umumnya laki-
laki dianggap sebagai sosok yang lebih kuat, lebih aktif, mempunyai dominasi dan otonomi,
sebaliknya perempuan dipandang sebagai mahluk lemah, suka mengalah dan pasif
(belenggu patriarki).
Jagger dan Rottenberg (2002), memberikan beberapa penjelasan mengenai penindasan
terhadap perempuan, yaitu :
1. Secara historis perempuan merupakan kelompok pertama yang tertindas
2. Penindasan terhadap perempuan terjadi dimana-mana dalam masyarakat
3. Penindasan perempuan adalah bentuk penindasan yang paling sulit di lenyapkan dan
tidak akan bisa dihilangkan melalui perubahan-perubahan sosial lain, seperti
penghapusan kelas masyarakat
4. Penindasan terhadap perempuan menyebabkan penderitaan yang paling berat bagi
korban-korbannya, meskipunpenderitaan ini berlangsung tanpa di ketahui oleh orang lain.
71
Perempuan sering dianalisis dalam hubungannya dengan kedudukan atau juga dengan
kekuasaan yang ada dalam masyarakat, yaitu fungsi mereka dalam keluarga. Menurut Aguste
Comte, perempuan secara konstitusional bersifat inferior, dimana mereka cenderung sedikit
memperoleh pengakuan kedudukan didalam keluarga maupun dalam masyarakat yang luas.
Kekerasan terhadap perempuan merupakan fenomena sosial yang telah berlangsung lama
dari masyarakat yang masih primitif sampai pada masyarakat modern sekarang ini, berbagai
tindak kekerasan telah di alami oleh perempuan dari waktu-kewaktu, banyak faktor-faktor yang
melatar belakangi timbulnya tindak kekerasan terhadap perempuan, diantaranya faktor budaya,
faktor sosial, dan faktor ekonomi.Kekerasan terhadap perempuan, tidak hanya terjadi pada
kelompok usia dewasa tetapi juga pada kelompok usia anak-anak dan lanjut usia, sebagaimana
disajikan pada Tabel 40.
72
Tabel 40. Rekapitulasi Data Korban Tindak Kekerasan (KTK) Anak
Berdasarkan Jenis Kelamin Di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009-2010
No Provinsi
Sul-Sel
Korban Tindak Kekerasan (KTK)
ANAK JUMLAH ANAK JUMLAH
L P L P
1 Makassar 6 21 27 4 15 19
2 Gowa 3 25 28 2 28 30
3 Pare-Pare 11 45 56 15 36 51
4 Bantaeng 3 38 41 7 26 33
5 Soppeng 7 32 39 9 12 21
6 Tana Toraja 11 71 82 6 71 77
7 Palopo 6 51 57 8 51 59
8 Maros 5 22 27 2 30 32
9 Barru 9 35 44 6 17 23
10 Sidrap 7 24 31 4 18 22
11 Pinrang 5 42 47 7 22 29
12 Wajo 5 44 49 1 19 20
13 Bone 11 46 57 15 19 34
14 Enrekang 0 23 23 1 15 16
15 Luwu 2 43 45 5 29 34
16 Luwu Utara 6 48 54 3 33 36
17 Takalar 7 39 46 9 28 37
18 Jeneponto 5 32 37 2 25 27
19 Bulukumba 3 29 32 7 22 29
20 Sinjai 3 35 38 5 26 31
21 Selayar 0 39 39 5 25 30
22 Pangkep 2 11 13 5 19 24
23 Luwu Timur 3 15 18 9 27 26
Jumlah 120 810 930 137 613 750
Sumber Data : Dinsos Provinsi Sulsel
73
Berdasarkan Tabel 40 menunjukkan bahwa kekerasan yang terjadi pada Tahun 2009 dan 2010
pada anak-anak perempuan jauh lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan kekerasan yang
menimpa pada anak laki-laki yaitu 8,4 : 1,5.
Jumlah kasus kekerasan pada anak perempuan dari Tahun 2009 sampai 2010
berjumlah 1.423 kasus. Jumlah kasus kekerasan pada anak berdasarkan kabupaten, maka
tindak kekerasan terhadap anak-anak perempuan yang tertinggi di kabupaten Tana Toraja yakni
71 kasus, dan terrendah di kabupaten Pangkep (Tahun 2009) dan Soppeng (Tahun 2010).
Secara umum ada kecenderungan penurunan jumlah kasus, namun di beberapa kabupaten/kota
menunjukkan kecenderungan naik atau tetap yaitu di kabupaten Gowa, Tana Toraja, Palopo,
Maros, Pangkep, dan Luwu Timur. Data tersebut diatas, dikuatkan dengan banyaknya jumlah
kasus yang dilaporkan di Polda Sulsebar sebagaimana pada Tabel 41.
Tabel 41. Data Keseluruhan Kasus Yang Melibatkan Pelaku/Korban Anak Tahun 2009
No Jenis Kasus Umur Korban Laki-Laki Perempuan
StatusTersangka Pelaku
Kasus(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)1 - 14 Thn √ P.21 Laki-Laki 15 Thn2 - 13 Thn √ Sidik Laki-Laki 19 Thn3 Pemerkosaan 15 Thn √ P.21 Laki-Laki 27 Thn4 Pemerkosaan 16 Thn √ Sidik Laki-Laki 40 Thn5 Traficking 16 Thn √ - Laki-Laki -6 - 13 Thn √ Sidik Laki-Laki 43 Thn7 - 3 Thn √ - Perempuan 33 Thn8 - 13 Thn √ Proses Laki-Laki 45 Thn9 - 15 Thn √ Proses Perempuan 50 Thn
74
No Jenis Kasus Umur Korban Laki-Laki Perempuan
StatusTersangka Pelaku
Kasus(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)10 Pelecehan Seksual 14 Thn √ P.21 Laki-Laki -11 - 6 Thn √ Sidik Laki-Laki 50 Thn12 Perbuatan Cabul 16 Thn √ Sidik Laki-Laki -13 - 17 Thn √ P.21 Laki-Laki 19 Thn14 - 14 Thn √ Dalam Lidik Laki-Laki 20 Thn
15 Pemerkosaan 17 Thn √ P.21 Laki-Laki 33 Thn16 - 15 Thn √ Sidik Perempuan 21 Thn17 - - √ P.21 Laki-Laki 15 Thn18 - - √ P.21 Laki-Laki 17 Thn19 - 10 Thn √ P.21 Laki-Laki 40 Thn20 Penganiayaan 17 Thn √ Sidik Laki-Laki 17 Thn21 Pemerkosaan 15 Thn √ Lidik Laki-Laki 20 Thn22 Pemerkosaan - √ Lidik Laki-Laki -23 Pernografi - - √ Sidik Perempuan 17 Thn24 - 16 Thn √
Cabut Laporan Laki-Laki 21 Thn
25 - 7 Thn √ ABH Laki-Laki 35 Thn26 - 16 Thn √ ABH Laki-Laki 17 Thn27 - 15 Thn √ ABH Perempuan 17 Thn28 - 16 Thn √ ABH Laki-Laki 35 Thn29 - 17 Thn √ Dalam Lidik Laki-Laki 30 Thn
30 - 17 Thn √ ABH Laki-Laki 23 Thn31 - 11 Thn √ ABH Perempuan 25 Thn32 - 14 Thn √ Dalam Proses Laki-Laki 18 Thn
33 Penganiayaan 60 Thn √ Proses Laki-Laki 19 Thn34 - 16 Thn √ Proses Laki-Laki 17 Thn35 - 37 Thn √ STM Laki-Laki 15 Thn36 - 16 Thn √ STM Laki-Laki 50 Thn
Data kekerasan terhadap anak perempuan yang dilaporkan pada Tahun 2009 sebanyak 26
kasus dari 36 kasus atau 72% dari jumlah keseluruhan. Kecenderungan kasus meningkat pada
Tahun 2010 yaitu sebanyak 32 kasus dari 34 kasus atau 94%, korbannya anak perempuan.
75
Tabel 42. Data Keseluruhan Kasus Yang Melibatkan Pelaku/Korban Anak Tahun 2010
No. Jenis Kasus Umur Korban Laki-Laki Perempuan
StatusTersangka Pelaku
Kasus(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)1 - - - - Sidik - -2 - 19 Thn √ Tidak cukup bukti Laki-Laki 30 Thn3 - - √ P.18/P.19 Laki-Laki -4 - 13 Thn √ Tahap I Laki-Laki 42 Thn5 - 15 Thn √ Dalam Lidik Dalam -6 - 13 Thn √ Damai Laki-Laki 40 Thn7 - - √ Proses Perempuan 18 Thn8 - 17 Thn √ Tahap I Laki-Laki 16 Thn9 - 16 Thn √ Proses Laki-Laki 20 Thn
10 - 16 Thn √ P.21 Laki-Laki 22 Thn11 - 17 Thn √ Diversi Laki-Laki 15 Thn12 - 16 Thn √ Cabut Laki-Laki 35 Thn13 - 15 Thn √ Dalam Lidik Dalam Lidik -14 - - √ Lidik Dalam Lidik -15 - 14 Thn √ - Laki-Laki 17 Thn16 Pencabulan - √ Sidik Laki-Laki -17 - 16 Thn √ Proses Laki-Laki 20 Thn18 Pencabulan - - √ Sidik - -19 - - √ Cabut Laki-Laki 20 Thn20 - 13 Thn √ Proses Laki-Laki 20 Thn21 - - - √ P.21 Laki-Laki 17 Thn22 - 17 Thn √ Bekar Laki-Laki 23 Thn23 - 17 Thn √ Proses Dalam Lidik -24 - 19 Thn √ Limpah Laki-Laki 24 Thn25 - 14 Thn √ Diversi Laki-Laki 15 Thn26 - 4 Thn √ Proses Laki-Laki 40 Thn27 - 18 Thn √ Sidik Laki-Laki 26 Thn28 - 17 Thn √ P.21 Laki-Laki 56 Thn29 - 15 Thn √ Sidik Laki-Laki 16 Thn30 Pemerkosaan 17 Thn √ Sidik Laki-Laki 16 Thn31 Pemerkosaan 9 Thn √ Proses Dalam Lidik -32 - 13 Thn √ P.21 Laki-Laki 20 Thn33 - 15 Thn √ Cabut Perempuan 17 Thn34 - 14 Thn √ Sidik Laki-Laki 16 Thn
Sumber data : Polda Sulselbar,2010
76
Kekerasan yang terjadi pada perempuan usia dewasa dan lansia pada Tahun 2009
dan 2010 juga menunjukkan kondisi yang memprihatinkan. Berdasarkan data dari
Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Selatan, jumlah kekerasan pada perempuan dewasa
mencapai 980 kasus (Tahun 2009) dan 991 kasus (Tahun 2010) atau 89% dari total
kasus kekerasan yang terdata. Untuk kekerasan yang terjadi pada perempuan lanjut
usia mencapai 293 kasus pada kurun waktu Tahun 2009 dan 2010 atau 69 % dari
total kasus.
Tabel 43. Rekapitulasi Data Korban Tindak kekerasan (KTK) Berdasarkan Jenis Kelamin Di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009-2010
No.
PROVINSISUL-SEL
KORBAN TINDAK KEKERASAN (KTK) DEWASA KORBAN TINDAK KEKERASAN (KTK) LANJUT USIATH 2009 JUMLAH TH 2010 JUMLAH
TH 2009JUMLAH TH 2010
JUMLAHL P L P L P L P1 MAKASSAR 5 41 46 13 55 68 2 7 9 1 4 52 GOWA 5 34 39 3 38 41 3 4 7 5 3 83 PARE-PARE 3 40 43 7 29 36 0 1 1 1 5 64 BANTAENG 15 55 70 9 49 58 6 3 9 8 4 125 SOPPENG 12 62 74 3 66 69 5 9 14 0 9 96 TANA TORAJA 15 70 85 18 49 67 10 21 31 6 19 257 PALOPO 21 31 52 6 44 50 3 11 14 5 11 168 MAROS 2 36 38 4 38 42 2 0 2 7 0 79 BARRU 5 39 44 8 28 36 0 3 3 1 5 6
10 SIDRAP 0 38 38 3 44 47 0 4 4 2 4 611 PINRANG 0 50 50 7 51 58 2 5 7 4 8 1212 WAJO 7 53 60 4 60 64 6 3 9 1 9 1013 BONE 4 80 84 8 72 80 6 7 13 4 9 1314 ENREKANG 6 24 30 3 28 31 0 4 4 4 5 915 LUWU 2 56 58 5 42 47 4 8 12 2 8 1016 LUWU UTARA 2 42 44 3 49 52 3 9 12 2 11 1317 TAKALAR 1 41 42 6 42 48 0 5 5 3 8 1118 JENEPONTO 3 51 54 2 48 50 3 6 9 4 7 1119 BULUKUMBA 0 37 37 3 49 52 0 4 4 2 9 1120 SINJAI 2 44 46 5 36 41 1 2 3 3 6 921 SELAYAR 1 28 29 2 36 38 2 7 9 3 5 822 PANGKEP 2 15 17 4 23 27 0 3 3 4 6 1023 LUWU TIMUR 1 13 14 6 15 21 0 4 4 1 8 9
JUMLAH 114 980 1094 132 991 1.123 58 130 188 73 163 236
Sumber Data : Dinsos Prov. Sulsel
77
Secara keseluruhan, berdasarkan data dari Dinas Sosial, menunjukkan bahwa jumlah
kekerasan pada perempuan pada Tahun 2009 mencapai angka 1.920 kasus dari 2.212 kasus
atau 87%, dan untuk Tahun 2010 mencapai 1.767 kasus dari 2.109 kasus atau 84 %.
Kekerasan terhadap perempuan sebagai suatu ancaman global terhadap kemanusian,
dan telah menjadi isu gender yang cukup sentral, mengharuskan kita untuk mengatasi, dan
meminimalisir tindak kekerasan terhadap perempuan. Banyak faktor yang harus di perhatikan
dalam usaha untuk menyelesaikan persoalan sosial dalam masyarakat, karena masyarakat
merupakan suatu sistem, pada saat salah satu subsistem tidak berfungsi dengan baik maka akan
mengakibatkan kerusakan semua sistem, dalam hal ini suatu permasalan sosial, tidak dapat di
selesaikan hanya melalui pendekatan sosial, karena semua unsur berpengaruh dalam hal itu,
maka sudah menjadi keharusan bahwa setiap bagian dalam masyarakat harus berperan aktif demi
terciptanya lingkungan yang adil, tentram, damai, menjadikan masyarakat yang terintegrasi
dengan sempurna.
2.5. SEKTOR PUBLIK
Peran aktif perempuan dalam pembangunan pada hakekatnya adalah upaya untuk
mengembangkan diri yang dapat dilihat pada bidang-bidang yang memberi pengaruh luas
disektor publik meliputi politik dan sektor pemerintahan. Partisipasi perempuan memberikan
kemampuan, kemandirian serta ketahanan mental dan spiritual menuju terwujudnya
kemitrasejajaran perempuan dan laki-laki yang selaras, serasi, dan seimbang yang dilandasi
saling menghormati, saling menghargai, saling membutuhkan dan saling mengisi. Dengan
demikian akan terdapat persamaan status, kedudukan, hak kewajiban dan tanggung jawab
antara laki-laki dan perempuan dalam menjalankan peran masing-masing.
Partisipasi Perempuan dalam Bidang Legislatif, Eksekutif, Yudikatif
Hak untuk dipilih dan memilih berdasarkan persamaan hak merupakan perintah UU
yang harus dipatuhi. Artinya peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Pemilu wajib
menjamin hak yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati hak sipil dan politik.
Hambatan bagi partisipasi perempuan dalam kehidupan politik tidak boleh ditolerir, karena dapat
78
menghambat pertumbuhan kesejahteraan keluarga dan masyarakat dan mempersulit
perkembangan potensi perempuan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
UU No. 2 Tahun 2007 tentang Partai Politik dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum memberikan dukungan untuk terlaksananya affirmative action dalam rangka
meningkatkan peranan perempuan di bidang partai politik.
Ditentukannya 30% pengurus partai politik di semua tingkatan harus diisi oleh
perempuan dan 30% calon anggota legislatif juga diisi oleh perempuan dengan jaminan
penempatan pada nomor urut kopiah atau dasi, cukup memberi peluang kepada peningkatan
peranan perempuan secara kuantitatif. Tetapi hal tersebut belum menjamin calon anggota
legislatif dari kalangan perempuan akan benar terpilih, karena partai politik berubah pikiran
dalam penetapan calon terpilih dari berdasar nomor urut ke berdasar suara terbanyak. Artinya
bila hal tersebut menjadi keputusan politik calon anggota legislatif dari kalangan kaum hawa
harus lebih keras dalam mengumpulkan pemilih. Ketentuan UU tersebut diperlukan sebagai
sarana perubahan sosio cultural menuju persamaan gender dalam kehidupan politik. Hukum
sebagai sarana perubahan sosial diharapkan mampu mengubah pola peranan laki-laki dan
perempuan dalam masyarakat yang masih diwarnai oleh ciri-ciri suatu masyarakat tradisional
paternalistik.
Dalam masyarakat tradisional semacam itu perempuan diberi peran untuk tugas-tugas
yang perlu kesabaran, kehalusan perasaan, sehingga peran mereka terutama mengasuh anak,
memasak, menjadi bidan/perawat. Sedangkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih menantang
dianggap dunianya laki-laki seperti menjadi tentara, bupati atau pemimpin partai. Secara
bertahap sejak reformasi perubahan sosio cultural menuju persamaan peran laki-laki dan
perempuan di dunia politik sudah mulai terjadi.
Keterlibatan perempuan dalam dunia politik memberikan kecerahan bahwa kaum
perempuan bisa menjadi ujung tombak dalam advokasi upaya pengarusutamaan serta nilai-nilai
kesetaraan gender dalam produk perundang-undangan maupun penciptaan perencanaan
pembangunan yang berperspektif gender. Partisipasi perempuan dalam bidang legislatif dapat
dilihat dari keanggotaan mereka dalam lembaga legislatif, dalam hal ini sebagai anggota
DPR/DPRD. Jumlah anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009 dapat dilihat pada
Tabel 44.
79
Tabel 44. Jumlah Anggota DPRD Tingkat Kab/Kota & Provinsi Periode 2004-2009 Berdasarkan Jenis Kelamin di Provinsi Sulawesi Selatan
No. Kabupaten/ Kota
Jumlah Anggota DPRDLaki-laki Perempuan
TotalJumlah Anggota
DPRD%
Jumlah Anggota
DPRD%
1 Selayar 25 78,13 7 21,88 322 Bulukumba 36 90,00 4 10,00 403 Bantaeng 18 72,00 7 28,00 254 Jeneponto 31 88,57 4 11,43 355 Takalar 23 76,67 7 23,33 306 Gowa 32 71,11 13 28,89 457 Sinjai 25 86,21 4 13,79 298 Maros 29 82,86 6 17,14 359 Pangkep 32 91,43 3 8,57 35
10 Barru 20 80,00 5 20,00 2511 Bone 36 80,00 9 20,00 4512 Soppeng 26 86,67 4 13,33 3013 Wajo 29 82,86 6 17,14 3514 Sidenreng Rappang 29 96,67 1 3,33 3015 Pinrang 31 88,57 4 11,43 3516 Enrekang 27 90,00 3 10,00 3017 Luwu 32 91,43 3 8,57 3518 Tana Toraja 40 88,89 5 11,11 4519 Luwu Utara 34 97,14 1 2,86 3520 Luwu Timur 30 100,00 0 0,00 3021 Kota Makassar 51 87,93 7 12,07 5822 Kota Pare-pare 22 88,00 3 12,00 2523 Kota Palopo 21 84,00 4 16,00 25
T o t al 679 86,06 110 13,94 789Sumber : Badan PP dan KB Provinsi Sulawesi Selatan, 2010
Berdasarkan Tabel 25, jika dianalisis berdasarkan jumlah anggota DPRD pada setiap
kabupaten/kota terlihat bahwa dari 24 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan, yang memiliki jumlah
anggota DPRD paling banyak adalah kota Makassar yaitu sebanyak 58 orang diantaranya laki-
laki 51 orang (87,93 %) dan perempuan 7 orang (12,07 %).
Selanjutnya kabupaten yang memiliki jumlah anggota DPRD yang banyak adalah
Kabupaten Gowa sebanyak 45 orang dengan perbandingan laki-laki sebanyak 32 orang (71,11
%) dan perempuan 13 orang (28,89 %). Jumlah yang sama juga di Kabupaten Bone yaitu
80
sebanyak 45 orang dengan perbandingan laki-laki 36 orang (80 %) dan perempuan 9 orang (20
%). Kabupaten berikutnya yang memiliki jumlah anggota DPRD yang cukup banyak adalah
Kabupaten Bulukumba yaitu sebanyak 40 orang dengan perbandingan laki-laki 36 orang (90 %)
dan perempuan 4 orang (10 %).
Dari data Tabel 44, terlihat bahwa dari seluruh kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan
belum ada satupun kabupaten yang keberadaan anggota DPRD perempuan memenuhi quota 30
%. Hal ini menunjukkan bahwa aturan UU No. 2 Tahun 2007 tentang Partai Politik dan UU No.
10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum memberikan dukungan untuk terlaksananya affirmative action dalam rangka meningkatkan peranan perempuan di bidang partai politik belum
sepenuhnya dapat terlaksana. Untuk melihat perbandingan persentase jumlah anggota DPRD
Tingkat II Pemilu 2009 berdasarkan jenis kelamin di Provinsi Sulawesi Selatan dapat dilihat pada
gambar berikut.
Jumlah Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009 berjumlah 789 orang
diantaranya laki-laki 679 orang (86,06 %) dan perempuan 110 orang (13,94 %). Jika kita amati
data tersebut, maka dapat kita simpulkan bahwa baik jumlah anggota DPRD baik di setiap
kabupaten maupun di tingkat provinsi belum ada yang memenuhi quota 30%, sehingga ke
depan perlu dilakukan langkah-langkah strategis agar keterlibatan dan peran perempuan di
ranah legislative dapat lebih ditingkatkan.
Gambar 6.Persentase Anggota DPRD Tingkat II Provinsi Sulawesi Selatan
Berdasarkan Jenis Kelamin di 2009
81
Peran perempuan dalam kepemimpinan di bidang pemerintahan tidak jauh berbeda dari
peran mereka dalam calon anggota legislatif. Peran perempuan dibidang pemerintahan
merupakan refleksi dari kualitas peran mereka dalam kepemimpinan partai politik dan dalam
lembaga legislatif.
Untuk meningkatkan kualitas peran perempuan, diperlukan komitmen, yang kuat
dikalangan elit politik untuk secara sungguh-sungguh melaksanakan amanat UUD dan ketentuan
undang-undang yang menjamin kedudukan antara laki-laki dan perempuan didepan hukum dan
pemerintahan. Sementara itu kaum perempuan perlu mengkonsolidasikan potensinya,
menggalang dukungan untuk meraih simpati dan secara sistematis menempa diri agar memiliki
kapasitas, kapabilitas serta akseptabilitas untuk memainkan peranan lebih besar dalam kancah
politik demi kesejahteraan seluruh rakyat. Urusan politik dalam negara demokratis adalah urusan
laki-laki dalam negara demokratis adalah urusan laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan
perempuan mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama untuk membangun bangsanya.
Partisipasi perempuan dan laki-laki dalam bidang eksekutif dapat dilihat dari jumlah
mereka yang terlibat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Pegawai Negeri Sipil yang dimaksud
adalah semua pegawai yang bekerja pada departemen, non departemen, dinas, badan dan
lembaga lainnya yang berada di bawah koordinasi pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan.
Komposisi PNS Pemerintah pada tingkat provinsi dan kabupaten berdasarkan jenis kelamin di
Provinsi Sulawesi Selatan pada Tahun 2010 disajikan pada Tabel 45 berikut :
82
Tabel 45. Jumlah PNS Kabupaten/Kota Provinsi Sulawesi SelatanMenurut Jenis Kelamin Tahun 2010
No Kabupaten Jenis KelaminTOTALLK % PR %
1 Selayar 2.009 45,44 2.412 54,56 4.421 2 Bulukumba 4.238 48,98 4.415 51,02 8.653 3 Bantaeng 2.093 46,03 2.454 53,97 4.547 4 Jeneponto 3.501 52,03 3.228 47,97 6.729 5 Takalar 3.199 49,14 3.311 50,86 6.510 6 Gowa 4.396 45,23 5.323 54,77 9.719 7 Sinjai 2.938 47,06 3.305 52,94 6.243 8 Maros 3.735 48,65 3.942 51,35 7.677 9 Pangkep 3.467 45,76 4.109 54,24 7.576 10 Barru 2.366 43,45 3.079 56,55 5.445 11 Bone 5.592 45,06 6.817 54,94 12.409 12 Soppeng 3.184 44,77 3.928 55,23 7.112 13 Wajo 3.614 46,39 4.176 53,61 7.790 14 Sidrap 2.998 46,46 3.455 53,54 6.453 15 Pinrang 3.550 46,87 4.024 53,13 7.574 16 Enrekang 2.727 49,64 2.767 50,36 5.494 17 Luwu 3.381 48,09 3.650 51,91 7.031 18 Tana Toraja 4.817 51,51 4.534 48,49 9.351 19 Luwu Utara 2.834 48,88 2.964 51,12 5.798 20 Luwu Timur 1.713 42,93 2.277 57,07 3.990 21 Makassar 5.939 39,17 9.222 60,83 15.161 22 Pare-Pare 2.177 44,52 2.713 55,48 4.890 23 Palopo 2.307 42,81 3.082 57,19 5.389
Provinsi Sulawesi Selatan 5.769 56,61 4.422 43,39 10.191 Jumlah 82.544 46,86 93.609 53,14 176.153
Sumber : BKN Provinsi Sulawesi Selatan 2010
Berdasarkan Tabel 45 terlihat bahwa dari 176.153 orang PNS pada tingkat kabupaten
dan provinsi, diantaranya 82.544 orang (46,86%) adalah laki-laki dan perempuan 93.609 orang
(53,14%). Hampir pada setiap kabupaten persentase PNS perempuan lebih banyak dibanding
laki-laki, kecuali di Kabupaten Jeneponto dan Tana Toraja serta persentase PNS di tingkat
Provinsi Sulawesi Selatan. Hal ini dapat berarti bahwa perempuan telah diberi kesempatan yang
luas dalam bidang eksekutif sehingga diharapkan dapat memberikan peran dalam
pembangunan daerah. Selanjutnya untuk mengetahui perbandingan pegawai laki-laki dan
perempuan berdasarkan golongan dapat dilihat pada Gambar 7 berikut :
83
Gambaran tentang posisi PNS di Provinsi Sulawesi Selatan perempuan dan laki-laki bila
ditinjau dari segi golongannya dapat di lihat pada gambar 7. Dari gambar ini dapat diketahui
bahwa secara umum proporsi PNS laki-laki yang berada pada golongan II, III dan IV lebih
rendah persentasenya dibanding PNS perempuan, kecuali pada golongan I. Secara rinci dapat
diuraikan bahwa pada golongan I laki-laki sebesar 78 % sedangkan perempuan 22 %. Pada
golongan II dan III, persentase PNS perempuan lebih besar yaitu mencapai 55 % sedangkan
laki-laki 45 %. Pada golongan IV perempuan sebesar 52 % sedangkan 48 %. Dari data-data ini
menunjukkan bahwa di Provinsi Sulawesi Selatan ada pergeseran posisi perempuan yang lebih
dominan dibanding laki-laki pada setiap golongan.
Hal lain yang perlu diperhatikan dari keberadaan pegawai adalah komposisinya
berdasarkan tingkat pendidikan yang dimiliki. Untuk peningkatan pembangunan khususnya di
daerah diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas baik dari segi moral maupun
pendidikan sehingga mereka dapat menjadi motor penggerak pembangunan daerah. Utamanya
dalam kerangka Otonomi Daerah, diharapkan sumber daya manusia berkualitas ini mampu
mendatangkan manfaat bagi daerahnya.
Diagram 5.Persentase PNS Menurut Jenis Kelamin dan Golongan
di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2010
Grafik 10.Jumlah PNS Menurut Jenis Kelamin dan Pendidikan
di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2010
84
Analisis lebih lanjut berdasarkan tingkat pendidikan, dari 176.153 orang PNS di Provinsi
Sulawesi Selatan, jumlah pegawai terbanyak berpendidikan S1/DIV/ Akta IV/Akta V/Spesialis
yaitu sebanyak 63.092 orang diantaranya laki-laki 31.175 orang dan perempuan 31.917 orang,
kemudian tingkat pendidikan DI/DII/DIII/Sarjana Muda/Akademik sebanyak 45.233 orang
diantaranya laki-laki 14.158 orang dan perempuan 31.075 orang, kemudian tingkat pendidikan
SLTA sebanyak 56.000 orang diantaranya laki-laki 28.410 orang dan perempuan 27.590 orang.
Pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi yaitu pada S2 dan S3, jumlah laki-laki jauh lebih
banyak dibanding perempuan.
Selain peran perempuan dalam bidang legislatif dan eksekutif, bidang lainnya yang perlu
mendapat perhatian adalah yudikatif. Persamaan hak dalam bidang yudikatif merupakan salah
satu manifestasi prinsip persamaan yang dituntut oleh keadilan yang dicanangkan pemerintah,
hukum yang dilaksanakan atas semua orang tanpa mengistimewakan dan tanpa membedakan
seorang individu atas lainnya karena jenis kelamin, warna kulit, kedudukan, kekayaan,
kemiskinan, kekerabatan atau persahabatan.
Partisipasi perempuan dalam bidang yudikatif dapat dilihat dari keterlibatan mereka
dalam segi tugas dan tanggungjawab pekerjaannya. Dalam hal ini, dapat dilihat dari keterlibatan
mereka sebagai praktisi hukum yaitu sebagai hakim (negeri dan agama), jaksa, notaris dan
advokat/pengacara dan anggota kepolisian. Pada Tabel 46 disajikan data mengenai jumlah
Jaksa yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan menurut jenis kelamin.
85
Tabel 46. Jumlah Pejabat Strutural Pada Kejaksaan Tinggi Di Kabupaten/Kota, Sulawesi Selatan
No. Kabupaten/Kota LK PR Jumlah Jumlah % Jumlah %
1 Kejari Selayar 4 80,00 1 20,00 52 Kejari Bulukumba 6 75,00 2 25,00 83 Kejari Bantaeng 4 44,44 5 55,56 94 Kejari Jeneponto 5 83,33 1 16,67 65 Kejari Takalar 8 80,00 2 20,00 106 Kejari Sungguminasa 12 63,16 7 36,84 197 Kejari Sinjai 6 75,00 2 25,00 88 Kejari Maros 7 46,67 8 53,33 159 Kejari Pangkep 5 31,25 11 68,75 1610 Kejari Barru 5 55,56 4 44,44 911 Kejari Watampone 5 71,43 2 28,57 712 Kejari Soppeng 5 55,56 4 44,44 913 Kejari Sengkang 6 75,00 2 25,00 814 Kejari Sidrap 6 75,00 2 25,00 815 Kejari Pinrang 7 63,64 4 36,36 1116 Kejari Enrekang 5 71,43 2 28,57 717 Kejari Belopa 8 72,73 3 27,27 11
18 Kejari Makale 5 71,43 2 28,57 719 Kejari Masamba 6 100,00 - - 620 Kejari Malili 7 87,50 1 12,50 821 Kejari Makassar 17 62,96 10 37,04 2722 Kejari Pare-Pare 9 90,00 1 10,00 1023 Kejari Palopo 10 76,92 3 23,08 13
Kejati Provinsi Sul-Sel 48 57,83 35 42,17 83Jumlah 167 63,50 96 36,50 263
Sumber: Kejaksaaan Tinggi Sulawesi Selatan
Berdasarkan Tabel 46 dapat diketahui bahwa jumlah jaksa sebanyak 257 orang
diantaranya laki-laki 167 orang (63,50 %) dan perempuan 96 orang (36,50 %) yang tersebar
pada 23 Kejari kabupaten/kota dan Kejati Provinsi Sulawesi Selatan. Hanya saja tidak
didapatkan data tentang jumlah pengacara, hakim dan notaris. Selain praktisi hukum, untuk
menegakkan pelaksanaan hukum aparat keamanan dalam hal ini polisi juga memegang peranan
penting. Polisi banyak memainkan peran untuk menciptakan kedamaian dan perlindungan
hukum kepada masyarakat. Pada Tabel 47. berikut disajikan data mengenai jumlah personil
polisi menurut pangkat dan jenis kelamin di Provinsi Sulawesi Selatan pada Tahun 2010.
86
Tabel 47. Jumlah Personil Polisi Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2010
No. Kabupaten/Kota LK PR
Jumlah Jml % Jml % 1 Polres Kep. Selayar 325 99,69 1 0,31 3262 Polres Bulukumba 548 98,56 8 1,44 5563 Polres Bantaeng 276 97,87 6 2,13 2824 Polres Jeneponto 367 98,66 5 1,34 3725 Polres Takalar 466 98,94 5 1,06 4716 Polres Gowa 822 97,86 18 2,14 8407 Polres Sinjai 323 98,18 6 1,82 3298 Polres Maros 637 97,40 17 2,60 6549 Polres Pangkep 549 98,21 10 1,79 559
10 Polres Barru 346 98,58 5 1,42 35111 Polres Bone 934 98,42 15 1,58 94912 Polres Soppeng 339 98,55 5 1,45 34413 Polres Wajo 425 98,84 5 1,16 43014 Polres Sidrap 406 98,54 6 1,46 41215 Polres Pinrang 470 98,33 8 1,67 47816 Polres Enrekang 262 98,13 5 1,87 26717 Polres Polman 425 99,07 4 0,93 42918 Polres Majene 213 98,61 3 1,39 21619 Polres Mamasa 250 100,00 - - 25020 Polres Mamuju 477 98,55 7 1,45 48421 Polres Mamuju Utara 252 99,21 2 0,79 25422 Polres Luwu 494 99,20 4 0,80 49823 Polres Tana Toraja 418 97,89 9 2,11 42724 Polres Luwu Utara 367 98,39 6 1,61 37325 Polres Luwu Timur 369 98,40 6 1,60 37526 Polres Pelabuhan Makassar 409 97,61 10 2,39 41927 Polres Pare-Pare 661 97,49 17 2,51 67828 Polres Palopo 396 97,78 9 2,22 40529 Polrestabes Makassar 2.210 95,75 98 4,25 2,308
Jumlah
14.436 97,96 300 2,04 14.736
Sulawesi Selatanmemiliki jumlah aparat kepolisian adalah sebanyak 14.736 orang,
terdiri dari laki-laki sebanyak 14.436 orang (97,96 %) dan perempuan sebanyak 300 orang (2,04
%). Sedikitnya jumlah perempuan yang menjadi anggota polisi ini disebabkan karena masih
kentalnya nilai-nilai budaya yang melekat pada pekerjaan polisi ini yang beranggapan bahwa
hanya laki-laki yang paling tepat untuk pekerjaan tersebut. Karena secara fisik pekerjaan
sebagai polisi dianggap sebagai pekerjaan berat.
Sumber : Polda Sulawesi Selatan, 2010
87
Selain keterlibatan perempuan dalam keanggotaan di DPRD, hal lain yang perlu dilihat
adalah keterlibatan perempuan di setiap partai politik sebagai langkah awal dalam memasuki
dunia politik.
Sejumlah partai politik memberi peran strategis kepada kaum perempuan dalam
kepemimpinan partai politik. Tetapi lebih banyak yang memberi peran figuran untuk sekedar
memenuhi formalitas yang ditentukan undang-undang perempuan lebih kurang ditempatkan
pada posisi sekretaris, bendahara atau peran-peran yang terkait dengan konsumsi, dan
kesenian. Dalam daftar calon legislatif yang diserahkan kepada KPU, sebagian partai politik
berusaha memenuhi batas minimum kuota perempuan. Karena langkanya kader perempuan
yang dimiliki tidak jarang aroma nepotisme dalam rekrutmen calon anggota legislatif sulit
dielakkan. Soal kualitas calon perempuan masih menjadi tanda tanya, karena tidak sedikit partai
politik yang belum sempat menempa kader-kader srikandi yang mempunyai kemampuan untuk
ditampilkan sebagai wakil rakyat yang cerdas, trengginas mampu menangkap aspirasi rakyat
dan paham lika-likunya politik. Untuk mengetahui keberadaan perempuan dalam kepengurusan
partai politik dapat dilihat pada tabel 48 berikut:
88
Tabel 48. Jumlah Pengurus Partai Politik Tingkat Provinsi Menurut Jenis Kelamin dalam Pemilu Legislatif Tahun 2009
No. PartaiJumlah anggota Pengurus Partai
LK PR Jumlah Anggota1 Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) 2 1 32 Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) 3 0 33 Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI) 3 0 34 Partai Peduli Rakyat Indonesia (PPRN) 3 0 35 Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) 1 2 36 Partai Barisan Nasional (BARNAS) 3 0 37 Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) 1 2 38 Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 3 0 39 Partai Amanat Nasional (PAN) 3 0 3
10 Partai Perjuangan Indonesia Baru (PPIB) 2 1 311 Partai Kedaulatan (PK) 3 0 312 Partai Persatuan Daerah (PPD) 3 0 313 Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 3 0 314 Partai Pemuda Indonesia (PPI) 3 0 315 Partai Nasional Indonesia Marhaenisme (PNI Marhaenisme) 3 0 316 Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) 2 1 317 Partai Karya Perjuangan (Pakar Pangan) 3 0 318 Partai Matahari Bangsa (PMB) 3 0 319 Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI) 3 0 320 Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK) 3 0 321 Partai Republika Nusantara (Republikan) 3 0 322 Partai Pelopor 3 0 323 Partai Golongan Karya (Golkar) 3 0 324 Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 2 1 325 Partai Damai Sejahtera (PDS) 3 0 326 Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia (PNBKI) 3 0 327 Partai Bulan Bintang (PBB) 3 0 328 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) 3 0 329 Partai Bintang Reformasi (PBR) 3 0 330 Partai Patriot (PP) 0 3 331 Partai Demokrat 2 1 332 Partai Kasih Demokrasi Indonesia (PKDI) 2 1 333 Partai Indonesia Sejahtera (PIS) 2 1 334 Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) 3 0 335 Partai Merdeka 2 1 336 Partai Persatuan Nahdalatul Ummah Indonesia (PPNUI) 2 1 337 Partai Serikat Indonesia 3 0 338 Partai Buruh 3 0 3
Total: 98 16 114Sumber: Laporan Statistik Polkam Provinsi Sulawesi Selatan, 2009.
89
Gambar 8 menggambarkan keterlibatan perempuan pada kepengurusan partai politik di
Provinsi Sulawesi Selatan, dari 114 orang yang menjadi pengurus partai politik perempuan
hanya 16 orang (14 %) saja sementara perempuan mencapai 98 orang (86 %). Dari data
tersebut terlihat pula bahwa masih banyak partai politik yang tidak melibatkan perempuan dalam
kepengurusannya seperti partai. Dari 38 partai politik yang ada hanya 12 partai politik yang
melibatkan perempuan.
Kurangnya keterlibatan perempuan dalam partai politik dapat memberikan indikasi
bahwa akses perempuan dalam pengambilan keputusan, perumusan kebijakan, dan
perencanaan akan menjadi terbatas. Oleh karena itu, seringkali aspirasi perempuan kurang
diperhitungkan dalam menyusun kebijakan partai, sehingga pada gilirannya kebijakan-kebijakan
partai politik yang ada kurang berperspektif gender.
Jumlah PNS menurut Jabatan Eselon
Salah satu ukuran keterlibatan perempuan dalam sektor publik adalah banyaknya
perempuan yang duduk dalam jabatan-jabatan publik. Hal ini sangat penting mengingat bahwa
duduknya perempuan dalam jabatan/eselon memperlihatkan kontrol perempuan terhadap suatu
bidang tertentu dari kebijakan dan program-program publik. Dengan demikian diharapkan setiap
kebijakan yang dihasilkan oleh instansi yang mereka pimpin tidak bias gender.
Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa PNS terbanyak pada eselon IV sebanyak 6.309
orang diantaranya laki-laki 4.322 orang dan perempuan 1.987 orang ,kemudian eselon III
Gambar 8.Persentase Pengurus Partai Politik Tingkat Provinsi Menurut
Jenis Kelamin dalam Pemilu Legislatif Tahun 2009
90
sebanyak 1.349 orang diantaranya laki-laki 1.117 orang dan perempuan 232 orang. Pada tingkat
eselon II sebanyak 256 orang diantaranya laki-laki 241 orang dan perempuan 3 orang,
sementara pada posisi yang tertinggi yaitu eselon I berjumlah 2 orang yang kesemuanya adalah
laki-laki. Untuk mengetahui secara lebih jelas perbandingan antara laki-laki dan perempuan
menurut eselon pada setiap kabupaten.
Terlihat bahwa pada setiap jabatan eselon jumlah laki-laki jauh lebih banyak dibanding
perempuan, kecuali pada jabatan eselon terendah yaitu eselon IV. Hal ini kemungkinan besar
disebabkan oleh karena sedikitnya perempuan yang dianggap cakap untuk menduduki jabatan-
jabatan yang bereselon tinggi karena tidak memadainya tingkat pendidikan mereka, baik
pendidikan formal maupun pendidikan-pendidikan penjenjangan karir. Kurangnya perempuan
yang memiliki tingkat pendidikan, terutama pendidikan penjenjangan karir, selain karena
keinginan perempuan yang masih setengah-setengah juga karena masih seringnya kodrat
perempuan digunakan alasan untuk tidak diikutsertakannya perempuan dalam kegiatan-kegiatan
pendidikan tersebut.
98
BAB IIIRENCANA AKSI
3.1. ISU STRATEGIS
a. Bidang Pendidikan
Isu gender di bidang pendidikan meliputi :
Masih ada ketimpangan buta huruf dimana persentase perempuan yang tidak bisa
membaca menulis mencapai 14,00% dan laki-laki sisa 8,61%. Persenatse
penurunannya dari tahun 2008 ke tahun 2009 juga terdapat ketimpangan dimana
perempuan hanya 1.44 % sedangkan laki-laki mencapai 1,99%. Sebaran
kabupaten/kota menunjukkan bahwa kab Jeneponto, Bantaeng, takalar, Maros,
dan Gowa merupakan lima tertinggi persentase buta huruf. Kondisi ini
menunjukkan bahwa akses perempuan terhadap pendidikan dasar di Provinsi
Sulawesi Selatan masih lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki.
Rasio angka partisipasi murni anak perempuan terhadap anak laki-laki di tingkat
pendidikan dasar dan menengah sudah setara, sehingga prioritas harus diberikan
pada kualitas pendidikan untuk keduanya.
Kecenderungan peningkatan angka putus sekolah bagi anak laki-laki terjadi pada
jenjang pendidikan menengah yaitu usia 13-15 tahun dan 15-17 tahun, dan
jenjang pendidikan tinggi usia 16-18 tahun dan 19-24 tahun, baik pada tahun 2008
maupun tahun 2009. Angka putus sekolah pada anak laki-laki lebih tinggi daripada
anak perempuan. Ini terjadi di Kota Makassar, Kabupaten Tana Toraja dan
Kabupaten Bone. Hal utama karena tuntutan ekonomi keluarga yang
mengharuskan anak laki-laki untuk terlibat dalam membantu mengatasi masalah
ekonomi keluarga.
Rasio angka partisipasi laki-laki di pendidikan tinggi (D I, II, III) lebih rendah
dibandingkan perempuan, dan pada tingkat D IV, S1 , S2 laki-laki lebih tinggi :
6,19 % dibandingkan perempuan : 5,09 %. Hal ini menunjukkan bahwa ketika
memasuki jenjang pendidikan tinggi (D IV, S1, S2), ada kecenderungan orang tua
99
lebih memilih laki-laki untuk tetap melanjutkan pendidikannya dibandingkan
dengan anak perempuan. Kondisi ini bisa saja terjadi karena masih adanya
anggapan bahwa laki-laki adalah pencari nafkah di dalam keluarga.
Masih adanya ketimpangan ketersediaaan sarana dan prasarana pendidikan
dasar yang berkualitas, antara daerah perkotaan dengan perdesaan (terpencil),
dan pulau-pulau. Hal ini juga yang berpengaruh terhadap ketimpangan kualitas
pendidikan.
b. Bidang Kesehatan
Isu gender di bidang kesehatan meliputi :
Angka kematian Bayi dan balita masih cukup tinggi antara lain disebabkan
rendahnya pengetahuan ibu ttg nutrisi dan kehamilan, kurangnya pendidikan ibu
dan orangtua, dan Faktor utama dari semuanya ini adalah kemiskinan.
Data tahun 2009 dari Dinas Kesehatan Prov. Sulsel, menunjukkan bahwa jumlah
balita mati sebanyak 124 orang, dan jumlah bayi mati sejumlah 194 orang.
Angka Kematian Ibu masih cukup tinggi yaitu 114 org dari 134.958 kelahiran
hidup, yang antara lain disebabkan terlambat mengenali tanda bahaya dan
mengambil keputusan dimana perempuan biasanya menunggu
suami/orangtua untuk ambil keputusan; kurangnya sarana transportasi
dan terlambat mendapatkan pelayanan kesehatan serta terlalu sering
melahirkan, terlalu muda untuk melahirkan,dan budaya patriarki. Data
Susenas 2008 menunjukkan bahwa persentase pertolongan persalinan
menurut tenaga penolong persalinan adalah ditolong oleh dokter 10,87
%, oleh bidan 46,25 %, oleh paramedis lain 0,58 %, oleh dukun 34,33
%, oleh keluarga 7,56 %, oleh lainnya 0,42 %. Berdasarkan data per
kabupeten, tenryata Kabupaten Selayar merupakan yang tertinggi
Angka Kematian Ibu. Kondisi ini berbanding lurus dengan cakupan
pertolongan oleh tenaga medis, di mana kabupaten ini menempati posisi
terendah kedua setelah Kabupaten Bantaeng, dengan persentase hanya
67,26%.
100
Isteri/perempuan rentan dan seringkali menjadi korban pasangannya
di dalam penyebaran HIV AIDS dan penyakit menular lainnya di dalam
rumah tangga yang akan berdampak pula terhadap anak yang
dikandung. Selain itu, kurangnya akses perempuan dibandingkan laki-
laki terhadap bahaya HIV AIDS, juga berkontribusi terhadap kerentanan
bagi istri/perempuan.
Kelembagaan HIV AIDS di semua kabupaten kota belum berfungsi secara
optimal, khususnya dalam menyediakan data dan pelayanan bagi masyarakat
baik laki-laki maupun perempuan yang terinveksi dan rentan terinveksi HIV AIDS
c. Bidang Ekonomi
Isu gender di bidang ekonomi, meliputi :
Jumlah proporsi penduduk yg hidup di bawah garis kemiskinan secara mayoritas
adalah penduduk perempuan (a.l.: angka buta aksara perempuan dua kali lebih
besar dari penduduk laki-laki (P :15,44%, L: 10,60) dan perempuan yg buta aksara
sudah pasti miskin; persen penduduk menurut pendidikan yang ditamatkan
menunjukkan bahwa perempuan yang tdk/ blm pernah sekolah 12,72 % dan Laki2 :
8,40 %.
Tingkat pengangguran terbuka bagi perempuan mencapai 10,70% dan laki-laki
7,80% (per agustus 2009). Tingginya TPT perempuan diduga karena berhubungan
dengan peningkatan keinginan untuk bekerja di luar rumah tangga. Hal ini
merupakan indikasi adanya pergeseran status pekerjaan perempuan dari hanya
bekerja sebagai pekerja keluarga tanpa dibayar di sektor pertanian, menjadi pekerja
publik/umum untuk mendapatkan upah.
Dalam mendukung perluasan lapangan kerja, masyarakat yang bergerak di usaha
mikro khususnya perempuan, sering menghadapi kendala dalam mengakses
permodalan. Berbagai persyaratan lembaga perbankan atau lembaga kredit,
menyebabkan kelompok usaha kecil sering menjadi kendala yang utama. Padahal
seperti diketahui mikro berperanan cukup besar bagi pertumbuhan ekonomi,
menyerap tenaga kerja melalui penciptaan lapangan pekerjaan, menyediakan
101
barang dan jasa dengan harga murah, serta mengatasi masalah kemiskinan.
Disamping itu, usaha mikro juga merupakan salah satu komponen utama
pengembangan ekonomi lokal, dan berpotensi meningkatkan posisi tawar
(bargaining position) perempuan dalam keluarga.
Masih lemahnya perlindungan bagi tenaga kerja, khususnya tenaga kerja
perempuan. Misalnya penerapan hak cuti haid dan melahirkan yang masih sering
menjadi persoalan bagi buruh perempuan. Beberapa perusahaan menerapkan
aturan, ketika seorang pekerja perempuan menikah, maka dia harus berhenti
bekerja. Begitu juga hak cuti haid, sebagian besar pekerja perempuan tidak bisa
mendapatka hak tersebut karena alas an perusahaan tempat mereka bekerja yang
kurang respon.
Masyarakat yang bergerak di bidang usaha mikro masih mengalami kesulitan dalam
mengakses pasar (pemasaran hasil produksinya). Kelompok usaha mikro harus
diperhadapkan dengan kekuatan pemilik modal yang memiliki kemampuan
mengakses pasa yang lebih luas. Kondisi ini yang kadang membuat usaha mikro
kurang mampu berkembang.
Kontrol penerapan standar Upah Minimum Provinsi yang belum maksimal.
Beberapa tempat kerja masih menerapkan gaji/upah di bawah UMP.
Terdapat diskriminasi upah bagi perempuan, dimana upah pekerja laki-laki masih
lebih tinggi dibandingakn dengan perempuan. Ini terjadi di jenjang pendidikan SD-
SMA, baik di perkotaan maupun di perdesaan.
Kemiskinan menjadi penyebab utama rawannnya perdagangan orang, khususnya
perempuan dan anak-anak. Belum lagi persoalan akses pendidikan yang timpang
antara laki-laki dan perempuan. Berkaitan dengan praktek trafficking saat ini, Kota
Makassar telah menjadi daerah tujuan, transit dan daerah asal. Beberapa daerah
lainnya yang berpotensi adalah Bone, Tana Tiraja, Bulukumba, dan Pinrang.
Ketersediaan sumberdaya yang semakin terbatas di pedesaan menjadi masalah
bagi perempuan untuk mengakses lapangan kerja. Mereka semakin terpinggirikan
dengan penerapan pola pertanian yang semakin berwajah “laki-laki”. Sehingga bagi
perempuan, dengan iming-iming pekerjaan yang dapat memberikan gaji tinggi yang
102
cukup menggiurkan, menyebabkan tidak sedikit dari mereka, terjebak dal dalam
praktek perdagangan orang atau trafficking.
Maraknya praktek trafficking didukung oleh lemahnya system pengendalian hukum
pada semua tingkatan, mulai dari desa sampai dengan provinsi termasuk dalam hal
ini petugas imigrasi. Penerapan Perda Trafficking Provinsi Sulawesi Selatan yang
disahkan pada Tahun 2007 yang juga belum maksimal sampai di tingkat kabupaten.
Perencanaan pengentasan kemiskinan belum menggunakan analisis gender, masih
netral gender.
d. Bidang Publik
Isu gender di bidang publik, meliputi :
Terdapat ketimpangan proporsi pejabat eksekutif perempuan dan laki-laki,
khususnya pada esleon II, III dan IV, yang persentasenya baru 21,6% perempuan.
Pada eselon III laki-laki mencapai sudah mencapai 83% sedangkan perempuan
baru 17%. Demikian juga pada eselon II, perempuan baru 6% sedangkan laki-laki
sudah mencapai 94%.
Keterwakilan perempuan di legislative belum mencapai 30%. Ini terjadi di semua
kabupaten/kota.
Akses dan kontrol masyarakat miskin dan kelompok marjinal khususnya
perempuan dalam proses perencanaan penganggaran yang masih rendah
Fungsi dan Peran POKJA PUG yang belum optimal
Akses perempuan dalam pengambilan keputusan, perumusan kebijakan, dan
perencanaan sangat terbatas
e. Kekerasan Perempuan dan Anak
Isu gender di bidang kekerasan terhadap perempuan dan anak, meliputi :
Tingkat kekerasan terhadap perempuan dan anak yang masih tinggi : Tahun
2009 mencapai 2.212 KTK. Jumlah korban tindak kekerasan menurut usia dan
jenis kelamin anak perempuan jumlahnya 810 (87,09%) KTK dan anak laki
sebanyak 120 (12,91%) KTK, sedangkan perempuan dewasa 980 (89,56%)
103
KTK dan laki-laki sebanyak 114 (10,44), perempuan Lanjut usia 130 KTK
(69,14%) dan laki-laki sebanyak 58 (30,86%) KTK. Sampai bulan oktober 2010,
meskipun jumlahnya cenderung turun tetapi tidak terlalu signifikan, dengan
jumlah yang mencapai 2.109 KTK. Kasus Tindak Kekerasan terhadap anak
perempuan mencapai 613 (81,73%) KTK dan anak laki-laki 137 (18,27%)
KTK ; perempuan dewasa 991 (88,24%) KTK dan laki-laki dewasa 132
(11,76%) KTK; permpuan lansia 163 (69,07% dan laki-laki lansia 73 (30,93%).
(Sumber Dinas Sosial Prov.Sulsel, 2010)
Dari 171 kasus kekerasan terhadap anak, jenis kasus yang dominan yaitu
kekerasan seksual yang mencapai 82 kasus.
Pelayanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan belum tersedia secara
optimal. Pemberdayaan bagi perempuan korban kekerasan, masih terbatas
Masih adanya diskrimininasi bagi perempuan pekerja khususnya di perusahan,
terkait hak cuti haid dan melahirkan
3.2. Tujuan
Rencana Aksi Pengarusutamaan Gender di Sulawesi Selatan ditujukan untuk percepatan
pencapaian MDGs (Menanggulangi Kemiskinan dan Kelaparan , Mewujudkan Pendidikan Dasar
Untuk Semua. , Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan. , Menurunkan
Angka Kematian Anak , Meningkatkan Kesehatan Ibu , Memerangi HIV AIDS, Malaria dan
penyakit menular lainnya , dan Pelestarian Lingkungan ), sesuai isu strategis di setiap tujuan.
3.3. SasaranRencana Aksi PUG Sulawesi Selatan disusun untuk mencapai target sasaran :
Mendorong implementasi perundang-undangan yang berperspektif gender di Sulsel
Memperkuat jaringan kelembagaan pengarustamaan gender termasuk keterpaduan
program dan kegiatan di Sulsel
Memperkuat komitmen penganggaran yang responsif gender di SKPD/lembaga
pemerintah/non pemerintah di Sulsel
104
Peningkatan kemampuan mengintegrasikan isu gender dalam program/ kegiatan di
SKPD/lembaga pemerintah/non pemerintah di Sulsel
Tersedianya Statistik Gender dan Anak di provinsi dan kab/kota
Pelaksanaan PUG dalam pembangunan sesuai dengan perencanaan dan
penganggaran yang responsif gender di SKPD/lembaga pemerintah/non pemerintah di
Sulsel
Sasaran subyek/ pemangku kepentingan dari rencana aksi PUG Provinsi Sulawesi Selatan
adalah:
a. Eksekutif, yang terdiri dari Pejabat pemerintahan meliputi penentu kebijakan di provinsi,
dan kab/kota, Seluruh SKPD (khususnya eselon III dan IV) baik laki-laki maupun
perempuan.
b. Legiaslatif di provinsi dan kabupaten/kota
c. Yudikati, yaitu semua unsur penegak hukum termasuk para aparat penegak hukum dan
masyarakat (perempuan dan laki-laki)
d. Kelompok masyarakat diantaranya Tokoh agama, Tokoh adat, aktifis pemuda dan
perempuan
3.4. Kebijakan
Tugas pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota adalah menyelenggarakan pembangunan
daerah yang responsif gender melalui : 1) Keserasian kebijakan peningkatan kualitas anak dan
perempuan ; 2) Penguatan kelembagaan PUG dan anak ; 3) Peningkatan kualitas hidup dan
perlindungan perempuan; 4) Peningkatan peran serta dan kesetaraan gender dalam
pembangunan; 5) Optimalisasi kebijakan kesejahteraan rakyat daerah; 6) Semua program
SKPD yang memberikan pelayanan (service point) kepada kepada masyarakat (laki-laki dan
perempuan).
Kebijakan pemerintah daerah dalam pelaksanaan pembangunan daerah yang responsif
gender mengacu pada dasar hukum yaitu :
1) UU.No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
105
2) UU.No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah
3) UU.No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
4) UU.No.17 tentang Keuangan Negara, UU.No.1 tentang Perbendaharaan Negara, UU.No.1
tentang Pemeriksaan, Pengendalian dan Tanggung,Jawab.Keuangan Negara.
5) PP.No.20/21 tentang RKP dan RKA-KL
6) PP.No.58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
7) PP.No.8 Tahun 2006 tentang Laporan Pertangung jawaban keuangan dan kinerja.
8) Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan (PUG) Dalam Pembangunan Nasional.
9) Kepmendagri.No.132 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan PUG dalam
pembangunan di daerah.
10) Permendagri.No.13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
11) Surat Mendagri. No.411/1254/SJ 2006 tentang Percepatan Pelaksanaan Program PP dan
PUG di Daerah.
12) SEB.Men.PPN/Ka.Bappenas dan Mendagri.No.1354/M.PPN/03/2004 dan No.050/744/SJ
tentang Pedoman PelaksanaanForum Perencanaan Pembangunan dan Perencanaan
Partisipatif daerah .
Kebijakan Pembangunan Pemberdayaan Perempuan di dalam RPJMD Provinsi Sulawesi
Selatan 2008-2013 diarahkan untuk membangun partisipasi masyarakat dalam mendukung
terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender adalah : 1) Peningkatan kesempatan bagi kaum
perempuan untuk menikmati pendidikan disemua jenjang, sehingga mereka memiliki posisi
tawar yang tinggi menuju terciptanya kesetaraan dan keadilan gender; 2) Peningkatan partisipasi
masyarakat dalam ikut menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu dan anak serta peran
serta masyarakat dalam menjaga kesehatan reproduksi termasuk dalam keluarga berencana; 3)
Peningkatan akses kaum perempuan untuk berusaha di bidang ekonomi produktif, termasuk
mendapatkan modal pelatihan usaha, program perluasan kesempatan kerja dan informasi pasar
sehingga dapat mendorong lahirnya kemandirian kaum perempuan dalam berwirausaha; 4)
Peningkatan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan dan perumusan kebijakan,
sehingga tercipta keseimbangan perempuan diberbagai sektor; 5) Peningkatan perlindungan
terhadap perempuan dan anak guna mencegah terjadinya diskriminasi, eksploitasi, kekerasan
106
dan bahkan tindak perdagangan perempuan dan anak (trafikking) yang dilakukan berdasarkan
prinsip-prinsip keterpaduan dan keseimbangan.
3.5. Strategi
Strategi pengarusutamaan gender diimplementasikan pada seluruh tahap pembangunan
yaitu perencanaan, pelaksanaan dan monitoring pembangunan. Implementasi pada tahap
perencanaan pembangunan melalui : 1) Penguatan prasyarat yang terdiri dari 7 aspek yaitu
dukungan politik, kebijakan, kelembagaan, sumber daya, sistem data dan informasi, alat analisis
serta dukungan masyarakat sipil; 2) Sektor/Lembaga menyusun RKA/KL di mana menggunakan
data terpilah, melalui proses musrenbang, dan melewati tahapan analisis gender; 3) Bappeda
Provinsi/Kabupaten/Kota menyusun tolok ukur dan indikator kinerja ;4) Adanya komitmen
dalam menggoalkan anggaran.
Implementasi PUG pada tahap pelaksanaan pembangunan adalah : 1) Memastikan
fungsi managemen pelaksanaan pembangunan yang responsif gender melalui koordinasi,
sinkronisasi, sinergistis,bimbingan teknis dan supervisi; 2) Tidak ada kesenjangan antara
perencanaan dan pelaksanaan program yang responsif gender ditinjau dari aspek akses,
partisipasi, kontrol dan manfaat.
Implementasi PUG pada tahapan monitoring dan evaluasi pembangunan adalah 1)
sektor/lembaga melaporkan tentang pelaksanaan pembangunan yang responsif gender (LAKIP)
sesuai PP No.8/2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah kepada
Menpan/LAN tentang kinerja aparatur; BPKP untuk akuntabilitas ; Dinas Pengelola Keuangan
Daerah, Bappeda dan BPP & KB; 2) BPP & KB melakukan analisis format LAKIP sesuai PP
No.8/2006 melaporkannya kepada Sektor/Lembaga sebagai feed back dan kepada Gubernur
sebagai bentuk akuntabilitas; 3) Membuat tambahan format LAKIP baru sesuai tolok
ukur/indikator kinerja yang responsif gender.
107
98
BAB IVMATRIKS RENCANA AKSI PENGARUSUTAMAAN GENDER
Kebijakan Program Tindakan Keluaran Target penyelesaian
Sasaran Penanggung Jawab
I. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN (Persyaratan Implementasi PUG)
A. Penyerasian/ Pengintegrasian peraturan perundangan
Implementasi peraturan perundangan di daerah
Melakukan advokasi kepada eksekutif, legislatif, dan yudikatif ttg implementasi peraturan perundangan di daerah
Terbitnya Perda, Pergub/bup/walikota, SK gub/bup/walikota tentang Implementasi PUG
2010-012 Eksekutif, Legislatif, Yudikatif, dan masyarakat (perempuan dan laki-laki)
BPPKB Bappeda Biro/Bag.
Hukum LSM,
Ormas Media PT
B. Peningkatan pemahaman dan pelaksanaan strategi PUG dalam pembangunan
Peningkatan KIE PUG
Optimalisasi sosialisasi/ advokasi PUG
Seminar, lokakarya, workshop, diskusi publik,buku/leaflet/booklet
2010 Pejabat pemerintahan termasuk para aparat penegak hukum dan masyarakat (perempuan dan laki-laki)
BPPKB BAPPEDA BPMPDK DIKNAS
99
II. KELEMBAGAAN
Meningkatkan kelembagaan dan kinerja kelembagaan pengarustamaan gender
1.Peningkatan koordinasi dan kewenangan kelembagaan PUG
Melakukan koordinasi dengan SKPD dalam memperkuat peran dan fungsi kelembagaan pengarusutamaan gender
Adanya Focal point di SKPD dan Pokja pengarustamaan gender di tingkat Provinsi, dan kab/kota
2010-2011
Seluruh SKPD BAPPEDA BPPKB
2.Peningkatan Kinerja antar kelembagaan Pengarusutamaan Gender
Pengembangan dan penguatan jejaring kelembagaan Pengarusutamaan Gender di provinsi dan kab/kota
Adanya kebijakan dan system implementasi PUG di provinsi, dan kab/kota
2012 Penentu kebijakan di provinsi, dan kab/kota
Gubernur/ Bupati/ Walikota
3.Penyusunan anggaran yang responsif gender
Menyusun anggaran yang responsif gender
Program/ Kegiatan yang responsif gender di SKPD Prov. dan kab/kota
2012 Seluruh SKPD (eselon III dan IV)
SKPD &TAPD (Tim Anggaran Pemerintah Daerah) Pemprov. dan Pemkab/kota
4.Peningkatan kapasitas SDM pada kelembagaan pengarustamaan gender
a. Pelatihan/TOT bagi SKPD Provinsi dan kab/kota pada kelembagaan pengarusutaman gender
SDM paham dan mampu melakukan analisis gender di SKPD Prov. dan kab/kota
2010-2012
Seluruh SKPD (eselon III dan IV)
BAPPEDA
BPKD BPPK
B SKPD Pemka
b/ kota b. Menyebarluaskan
panduan teknis pelaksanaan PUG
Panduan teknis perencanaan dan penganggaran yang responsif gender
2011-2012
Seluruh SKPD BAPPEDA
BPKD BPPK
B
5.Penyusunan sistem data dan informasi gender
Menyusun sistem data & informasi gender di prov
Sistem data& informasi gender di prov
2010-2014
Data & profil gender di prov
BPS BPPKB SKPD
100
PSW
III. PELAKSANAAN PUG
A. Percepatan kebijakan/program/kegiatan yang responsif gender
Pengintegrasian pengarus utamaan gender dalam dokumen perencanaan di SKPD
Menggunakan data terpilah gender dan profil gender dalam dokumen perencanaan SKPD
RPJMN, RPJMD dan Renstra, dan DPA SKPD yang responsif gender
2011-2013 Seluruh SKPD Bappeda BPPKB SKPD Kab/kota
B. Optimalisasi monitoring dan evaluasi program/kegiatan yang responsif gender
Penyusunan sistem monitoring dan evaluasi pelaksanaan PUG
Menyusun sistem monitoring dan evaluasi pelaksanaan perencanaan dan penganggaran yang responsif gender di SKPD
Pedoman sistem monitoring dan evaluasi pelaksanaan perencanaan dan penganggaran yang responsif gender di SKPD
2012 Seluruh SKPD Independen yang kompeten dan profesional
Menyusun sistem pelaporan SKPD tentang pelaksanaan PUG dalam pembangunan
Mengintegrasikan dimensi gender dalam sistem pelaporan yang telah ada di SKPD
Laporan tentang pelaksanaan PUG yang terperinci
2012 Seluruh SKPD Bappeda BPPKB SKPD Independen
D. Peningkatan peran masyarakat dalam pelaksanaan PUG
Sosialisasi/advokasi pelaksanaan Pengarusutamaan gender
Memfasilitasi dan pendampingan pelaksanaan perngarusutamaan Gender di masyarakat
Tokoh agama, Tokoh adat, aktifis pemuda dan perempuan mampu menjadi fasilitator pengarusutamaan gender
2011-2013 Tokoh agama, Tokoh adat, aktifis pemuda dan perempuan
BPPKB SKPD CSO (LSM,
Ormas) PSW Media
102
TIM PENYUSUN
top related